Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
FERTILITAS DAN DAYA TETAS TELUR ITIK PERSILANGAN PEKING X ALABIO (PA) DAN PEKING X MOJOSARI (PM) YANG DIINSEMINASI ENTOK JANTAN (Fertility and Hatchability of Egg of Crossbred Duck Inseminated with Muscovy Semen) S. SOPIYANA dan L.H. PRASETYO Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002
ABSTARCT Mule duck, as a result of crossing between Muscovy and common ducks has a good potential development in Indonesia. This potential could be improved by using either PA duck (Pekin x Alabio) or PM duck (Pekin x Mojosari) female that have higher body weight than that of Alabio and Mojosari purelines. The aim of this study was to obtain complete information on PA and PM ducks which will be crossed with Muscovy male. Semen was collected from 10 Muscovy drakes and inseminated to 50 PA ducks and 50 PM ducks to produce EPA and EPM eggs. The result showed that fertility of EPA and EPM were 74.14 and 69.78%. The hatchability of EPA and EPM were 47,67 and 59,64%. This information is important in the development of mule duck production system in the future. Key Words: Mule Duck, Fertility, Hatchability ABSTRAK Itik Serati yang merupakan persilangan entok jantan dan itik betina memiliki potensi pengembangan yang cukup besar di Indonesia. Untuk meningkatkan potensi itik Serati, maka perlu induk betina yang memiliki bobot tinggi yaitu Itik PA (Peking x Alabio) atau PM (Pekín x Mojosari) yang nantinya dikawinkan dengan entok jantan, seperti halnya itik Kaiya (Peking x Tsaiya) di Taiwan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi yang lengkap tentang fertilitas dan daya tetas itik PA dan PM yang diinseminasi oleh entok jantan. Sebanyak 10 ekor entok jantan diambil semennya untuk diinseminasikan ke 50 ekor itik PA dan 50 ekor itik PM dalam dua kali inseminasi untuk mendapatkan telur tetas EPA dan EPM. Hasil menujukkan bahwa fertilitas itik EPA dan EPM masing-masing 74,14 dan 69,78%, sedangkan daya tetas EPA dan EPM masing-masing 47,67 dan 59,64%. Informasi ini penting untuk dipertimbangkan dalam pengembangan itik Serati di masa mendatang. Kata Kunci: Itik Serati, Fertilitas, Daya Tetas
PENDAHULUAN Potensi ternak itik di Indonesia sangat besar terutama sebagai penghasil daging dan telur. Beberapa bangsa itik pedaging seperti itik Peking, entok dan itik “Serati" atau Mule yang merupakan hasil persilangan antara entok dan itik, memiliki potensi yang besar sebagai itik pedaging. Di Indonesia potensi pengembangan itik pedaging sangat cepat karena teknologinya tidak sulit dan cara yang paling efisien adalah menggunakan entok jantan dan itik betina (HARDJOSWORO et al., 2001).
622
Itik pedaging ini di Indonesia dikenal dengan beberapa nama seperti Serati, Mandalung, Ritog (Meri x Entok) merupakan perkawinan antara itik jantan petelur biasa (common ducks) dengan entok betina. Itik Serati yang ada secara komersial di luar negeri seperti Cina adalah kebalikannya yaitu pejantan entok dan betina itik petelur. Di Indonesia itik ini belum dikembangkan secara komersial, namun akhir-akhir ini pengembangan kearah sana sudah mulai dilakukan. Di Taiwan itik Serati berasal dari perkawinan antara itik Peking jantan dan itik
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
petelur Tsaiya, yang menghasilkan itik Kaiya sebagai induk, kemudian itik ini dikawinkan dengan entok jantan untuk menghasilkan itik Serati (TAI, 1985; TAI dan TAI, 1991). Tampaknya pengembangan itik Serati melalui persilangan tiga bangsa ini dapat dilakukan di Indonesia dan memiliki potensi yang cukup besar. Suatu program pemuliaan untuk membentuk itik Serati dari persilangan tiga bangsa telah dimulai di Balai Penelitian Ternak. Beberapa pilihan yang ada diantaranya adalah persilangan antara entok jantan dengan itik betina yang berasal dari persilangan itik Peking dengan Alabio atau Peking dengan Mojosari. Itik Peking merupakan salah satu jenis itik pedaging yang potensial. Itik ini memiliki penampilan seragam dengan bulu berwarna putih, paruh dan shank kuning. Pergerakan saat berjalan menyerupai entok, yaitu agak landai tubuhnya dengan bobot badan jantan berkisar antara 4 – 5 kg/ekor dan betina berkisar antara 2,5 – 3 kg/ekor. Itik Alabio dikenal selain karena memiliki warna bulu yang khas juga mampu menghasilkan telur yang tinggi dan juga dagingnya banyak digemari (DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN, 1985; GUNAWAN et al., 1994). Produksi telur 3 bulan itik Alabio adalah 66 butir, umur pertama bertelur 24 minggu dengan bobot telur pertamanya 56 gram (PRASETYO dan SUSANTI, 2000). Itik Mojosari mempunyai warna bulu bervariasi dari coklat tua sampai sedang dengan sedikit kombinasi putih. Warna putih polos sering muncul namun populasinya sangat kecil. Itik Mojosari berpotensi sebagai itik petelur sehingga layak dipakai dalam program persilangan. Sebagaimana diketahui bahwa hasil silang itik dengan entok merupakan ternak yang steril, akibat tidak kompatibel pasangan barunya ditingkat kromosom membawa beberapa masalah. ROUVIER (1999) menyatakan bahwa rendahnya fertilitas adalah akibat tidak kompatibelnya pasangan di tingkat kromosom. HU et al. (1997) dan ROUVIER (1999) menyatakan bahwa beberapa faktor pembatas berpengaruh terhadap kesuburan telur yang dibuahi, dalam hal ini adalah fertilitas dan daya tetas. CHENG et al. (1999) melaporkan dalam penelitiannya bahwa terhadap telur tetas hasil silang Pekín dengan Tsaiya coklat, fertilitasnya sebesar 36,6% generasi awal dan meningkat
menjadi 41,6% pada generasi ke-9. Artinya bahwa fertilitas dari kedua galur induk yang diuji masih menunjukkan penampilan baik, jika dilihat dari perbandingan hasil laporan sebelumnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi fertilitas dan daya tetas itik hasil silangan Peking x Alabio (PA) dan Peking x Mojosari (PM) yang dikawinkan dengan entok jantan yaitu itik EPA dan EPM. MATERI DAN METODE Penelitian dilakukan di kandang itik Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor. Sebanyak 10 ekor entok jantan diambil semennya untuk diinseminasikan ke 50 ekor itik PA dan 50 PM dalam dua periode inseminasi. Tingkat fertilitas dan daya tetas diamati. Inseminasi buatan dilakukan untuk membuahi induk-induk betina yang dilakukan dua kali seminggu yaitu pada hari Selasa dan Kamis menggunakan metode vagina buatan (SETIOKO et al., 2001). Telur hasil IB dikoleksi, ditimbang dan diberi nomor pada telur sesuai dengan nomor induk dan hari koleksi. Telur yang terkumpul dimasukkan dalam mesin tetas setelah 7 hari koleksi. Pada 7 hari pertama ditetaskan dilakukan pemeriksaan (candling) terhadap telur yang tidak fertil maupun embrio yang diduga mati. Candling kedua dilakukan pada hari ke-21, guna memastikan telur yang fertil hasil candling pertama kondisi embrionya masih berkembang dengan normal. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik telur Karakteristik warna kerabang telur itik PA dan PM yang dibuahi entok yaitu telur tetas itik EPA dan EPM adalah hijau kebiruan. Hasil ini sama dengan warna kerabang telur tetuanya yaitu itik PA dan PM. Konsistensi sifat pewarisan warna kerabang telur tampaknya lebih kuat mengikuti pola warna kerabang telur induk yaitu itik lokal sebagai tetuanya, dimana itik Alabio dan Mojosari mempunyai warna kerabang telur biru kehijauan (SUPARYANTO, 2005). Jumlah telur tetas yang digunakan yaitu 632 butir telur EPM dan 781 butir telur EPA. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa besar
623
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
dan bentuk telur EPA secara statistik berbeda nyata (P < 0,01) dibandingkan dengan telur EPM. Bobot telur tetas untuk menghasilkan EPA nyata lebih tinggi dari EPM. Tingkat perbedaan ukuran telur dari dua genotipa induk masing-masing adalah bobot telur tetas EPA yaitu 81,12 ± 0,17 g nyata lebih tinggi dari EPM yaitu 75,40 ± 0,21 g. Besarnya indeks telur tetas EPM adalah 77,28 ± 0,10 nyata (P < 0,05) lebih tinggi dari indeks telur tetas EPA yaitu 76,43 ± 0,12. Indeks telur yang dihasilkan oleh dua galur induk PA dan PM terbukti memiliki nilai dan keseragaman bentuk yang baik. Oleh karena itu, telur-telur tersebut masih dalam kriteria yang baik sebagai telur tetas.
penelitiannya bahwa terhadap telur tetas hasil silang Pekín dengan Tsaiya coklat, fertilitasnya sebesar 36,6% generasi awal dan meningkat menjadi 41,6% pada generasi ke-9. Artinya bahwa fertilitas dari kedua galur induk yang diuji masih menunjukkan penampilan baik, jika dilihat dari perbandingan hasil laporan sebelumnya. Selanjutnya juga CHENG et al. (2002) menyatakan bahwa hasil silang antara itik betina yang diinseminasi menggunakan semen entok jantan masih menunjukkan laju fertilitas yang rendah, terutama pada hari ke-7 setelah telur dimasukkan ke mesin tetas. Tabel 1. Parameter reproduksi itik PA dan PM yang diinseminasi dengan semen entok Parameter
EPA
Infertil
25,9
30,2
Embrio mati
32,1
22,8
Netas normal
35,3
41,4
Netas lemah
0,6
0,4
Fertilitas dan daya tetas Hasil kawin antara pejantan entok dengan betina itik PA maupun PM untuk menghasilkan itik Serati yang untuk kemudian digunakan istilah EPA dan EPM, menunjukkan bahwa telur fértil seperti yang tersaji dalam Tabel 1 menunjukkan angka 74,14% untuk EPA dan 69,78% untuk EPM. Angka fertilitas ini jauh lebih tinggi dari yang dilaporkan HANH et al. (1995) dengan tingkat fertilitas hanya sebesar 36,80%, tetapi relatif tidak berbeda dengan laporan ROUVIER (1999) bahwa fertilitas Serati yang didapat sebesar 71%. Namun demikian hasil penelitian ini lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai fertilitas tetuanya yaitu itik silangan Pekín x Alabio dan Pekín x Mojosari dimana angka fertilitas untuk PA adalah 92,2% dan PM adalah 93,8% (SUPARYANTO, 2005). Selanjutnya SETIOKO et al. (2004) juga melaporkan bahwa angka fertilitas itik silangan Pekín x Alabio adalah 92,81%. Sebagaimana diketahui bahwa hasil silang itik dengan entok merupakan ternak yang steril, akibat tidak kompatibel pasangan barunya ditingkat kromosom membawa beberapa masalah. HU et al. (1997) dan ROUVIER (1999) menyatakan bahwa beberapa faktor pembatas berpengaruh terhadap kesuburan telur yang dibuahi, dalam hal ini adalah fertilitas dan daya tetas. Selanjutnya ROUVIER (1999) menyatakan bahwa rendahnya fertilitas adalah akibat tidak kompatibelnya pasangan di tingkat kromosom. CHENG et al. (1999) melaporkan dalam
624
EPM
......….. % ............
6,1
5,2
Total
100,0
100,0
Fertilitas
74,1
69,8
Daya tetas
47,7
59,6
Tidak netas
Banyaknya telur silang antar genus yang mengalami infertil sudah selayaknya untuk mendapat perhatian, agar produk serati yang bersifat final stock dapat ditekan tingkat rasio antara jumlah telur ditetaskan dengan jumlah DOD yang dihasikan agar lebih ekonomis. Pengertiannya bila rasio tersebut kecil maka harga DOD serati akan menjadi semakin rendah dan ini tentunya akan membuka peluang bagi peternak untuk dapat menekan faktor produksi, khususnya nilai harga DOD serati sebagai komponen utama. Daya tetas yang dihitung dari persentase banyaknya telur yang menetas terhadap jumlah telur fertil secara keseluruhan memberikan angka sebesar 47,67% untuk telur tetas EPA dan 59,64% untuk telur tetas EPM. Daya tetas ini cenderung memiliki rentang selisih yang kecil terhadap laporan HANH et al. (1995) yaitu sebesar 55,2%. Artinya bahwa prestasi daya tetas yang dicapai pada telur hasil silang antara galur induk dengan entok tidak lebih dari 60%. Hasil ini lebih tinggi dibandingkan dengan
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
hasil penelitian PRASETYO et al. (2002) bahwa daya tetas itik dari populasi Alabio terseleksi adalah 48.99%, namun lebih rendah jika dibandingkan daya tetas itik silangan Pekín x Alabio yang dilaporkan SETIOKO et al. (2004) yaitu 72.94%. Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa daya tetas itik EPM lebih tinggi dibanding itik EPA. Kondisi ini ditunjang dari kontribusi rendahnya tingkat kematian embrio dari telur itik PM yang hanya 22,8%. Sementara kematian embrio telur itik PA yang mencapai angka sebesar 32,1% mampu menurunkan persentase telur yang menetas, meskipun angka infertilitasnya lebih rendah dari PM. KESIMPULAN Berdasarkan hasil pengamatan terlihat bahwa baik galur induk PA maupun PM masih memiliki kendala dalam fertilitas telur yang dibuahi dengan entok jantan. Namun demikian penampilan daya tetas PM lebih tinggi dibandingkan dengan PA, dan hal ini penting untuk dipertimbangkan dalam program pengembangan itik Serati di masa mendatang. DAFTAR PUSTAKA CHENG, Y.S. et al. 1999. Selection experiment for maximum duration of fertility in Brown Tsaiya breed for mule ducks: Comparison of fertility, hatchability, embryo mortality rate in selected and control line. Proc. 1st World Waterfowl Conference. December 1 – 4, 1999. Taichung, Taiwan, Republic of China. pp. 115 – 121. CHENG, Y.S., R. ROUVIER, Y.H. HU, J.J.L. TAI and C. TAI. 2002. Breeding and genetics of Waterfowl. Di dalam: 7th World Congress on Genetics Applied to Livestock Production. Aug 19 – 23 2002, France. DINAS PETERNAKAN PROPINSI KALIMANTAN SELATAN. 1985. Pembinaan ternak itik di Kalimantan Selatan. Pertemuan Koordinasi Regional Pembangunan Peternakan Wilayah III, Banjarbaru. GUNAWAN, B. dan SABRANI. 1994. Produktivitas itik Alabio pada peternakan rakyat di Kalimantan Selatan. Balai penelitian Ternak bekerjasama dengan Proyek Pembangunan Penelitian Pertanian Nasional, Bogor.
HANH, D.T., L.T.H. HAI, D.S. HUNG and N.H. TINH. 1995. Improving the productivity of local muscovy duck by crossing with high yielding exotic muscovy duck and the initial production experiment of Mullard in Vietnam. Proc. 10th European Symposium on Waterfowl. March 26 – 31, 1995. World Poultry Science Association, Halle (Saale), Germany. pp. 31 – 39. HARDJOSWORO, P.S, A.R. SETIOKO, P.P. KETAREN, L.H. PRASETYO, A.P. SINURAT dan RUKMIASIH. 2001. Perkembangan teknologi peternakan unggas air di Indonesia. Pros. Lokakarya Unggas Air, Ciawi, Bogor, 6 – 7 Agustus 2001. Balai Penelitian Ternak. hlm. 22 – 24. PRASETYO, L.H., T. SUSANTI, M. PURBA dan B. BRAHMANTIYO. 2002. Seleksi dalam galur pada bibit induk itik lokal. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Ternak, Ciawi. PRASETYO, L.H., T. SUSANTI, 2000. Persilangan timbal balik antara itik Alabio dan Mojosari: Periode awal bertelur. JITV 5(4): 210 – 214. ROUVIER RG. 1999. Genetics and physiology of waterfowl. Proc. 1st World Waterfowl Conference. December 1 – 4, 1999. Taichung, Taiwan, Republic of Cina. pp. 1 – 18. SETIOKO, A.R., P. SITUMORANG, T. SUGIARTI, E. TRIWULANNINGSIH, D.A. KUSUMANINGRUM dan R. SIANTURI. 2001. Pengaruh Frekuensi Penampungan Semen terhadap Kualitas Spermatozoa Sebelum dan Sesudah Dibekukan. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Ternak, Ciawi. SETIOKO, A.R., L.H. PRASETYO. D.A KUSUMANINGRUM dan S. SOPIYANA. 2004. Daya tetas dan kinerja pertumbuhan itik Pekín x Alabio (PA) sebagai induk itik pedaging. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 4 – 5 Agustus 2004. Puslitbang Peternakan, Bogor. SUPARYANTO, A. 2005. Peningkatan Produktivitas Daging Itik Mandalung melalui Pembentukan Galur Induk. Disertasi. Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. TAI, C. 1985. Duck breeding and artificial insemination in Taiwan. In: Duck Production. Ferrell, D.J. and P. Steplon (Eds.). Univ. of New England. pp. 139 – 203. TAI LIU, J.J. and C. TAI. 1991. Mule duck production in Taiwan. I. Artificial Insemination of ducks. Food and Fertilizer Technology Center, Extension Bull. 328: 1 – 6.
625
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
DISKUSI Pertanyaan: Bagaimana implikasi di lapang? Jawaban: Harus mencari partner yang kooperatif dan bermodal, dan untuk pembibitan bukan porsi peternak tetapi lebih diarahkan untuk pemerintah.
626