19
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Pengembangan Agropolitan Konsep pengembangan agropolitan pertama kali diperkenalkan oleh Friedmann dan Douglass, tahun 1975 pada sebuah seminar di Nagoya, dengan judul “Pengembangan Agropolitan: Menuju Siasat Baru Perencanaan Regional di Asia”. Menurut Friedmann dan Douglass, agropolitan adalah aktivitas pembangunan yang terkonsentrasi di wilayah perdesaan. Agropolitan terdiri dari kata “agro” yang berarti pertanian, dan “politan (polis)” yang berarti kota/permukiman. Pengembangan agropolitan dapat diartikan sebagai pengembangan kota berbasis pertanian atau kota di daerah lahan pertanian (city in the field). Agropolitan cenderung dipersepsikan sebagai suatu pendekatan pembangunan kawasan perdesaan yang diwujudkan dalam bentuk pembangunan kota-kota berbasis pertanian. Karena itu penyediaan infrastruktur setara perkotaan seperti listrik, jalan, gudang, pasar dan sebagainya dirasakan cukup untuk mengubah daerah-daerah perdesaan menjadi kota-kota berbasis pertanian. Secara terminologi menurut Saefulhakim (2004), agropolitan berasal dari kata agro dan metropolis/metropolitan. Agro berasal dari istilah bahasa latin yang bermakna “tanah yang dikelola” atau “budidaya tanaman”, yang kemudian digunakan untuk menunjuk kepada berbagai aktivitas berbasis pertanian. Sementara metropolis mempunyai pengertian sebagai sebuah titik pusat dari beberapa/berbagai aktivitas. Dengan demikian agropolis atau agro-metropolis adalah lokasi pusat pelayanan sistem kawasan sentra-sentra aktivitas ekonomi berbasis pertanian. Karena itu pengembangan agropolitan sendiri berarti pengembangan berbagai hal yang dapat memperkuat fungsi/peran agropolis sebagai lokasi pusat pelayanan sistem kawasan sentra-sentra aktivitas ekonomi berbasis
pertanian
dimana
tipologi
pengembangan
disesuaikan
dengan
karakteristik tipologi kawasan yang dilayaninya. Menurut Deptan (2002), agropolitan adalah kota pertanian yang tumbuh dan berkembang yang mampu memacu berkembangnya sistem dan usaha agribisnis sehingga dapat melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan
20 pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya. Sementara itu menurut Anwar (2005), pengertian agropolitan adalah merupakan tempat-tempat pusat (central places) yang mempunyai struktur berhierarki, dimana agropolis mengandung arti adanya kota-kota kecil dan menengah di sekitar wilayah perdesaan (micro urban-village) yang dapat tumbuh dan berkembang karena berfungsinya koordinasi kepada sistem kegiatan-kegiatan utama usaha agribisnis, serta mampu melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan pertanian di kawasan sekitarnya. Oleh karenanya kawasan agropolitan diartikan sebagai sistem fungsional satu atau lebih kota-kota pertanian pada wilayah produksi pertanian tertentu, yang ditunjukkan oleh adanya sistem hierarki keruangan (spatial hierarchy) satuan-satuan permukiman petani, yang terdiri dari pusat agropolitan dan pusat-pusat produksi di sekitarnya. Menurut Rustiadi (2004), agropolitan adalah suatu model pembangunan yang mengandalkan desentralisasi, mengandalkan pembangunan infrastruktur setara kota di wilayah perdesaan, sehingga mendorong urbanisasi (pengkotaan dalam arti positif) serta bisa menanggulangi dampak negatif pembangunan (migrasi desa-kota yang tak terkendali, polusi, kemacetan lalu lintas, pengkumuhan kota, kehancuran masif sumber daya, pemiskinan desa, dan lainlain). Secara garis besar menurut Anugrah (2003), konsep agropolitan mencakup beberapa dimensi yang meliputi : (a) pengembangan kota-kota berukuran kecil sampai sedang dengan jumlah penduduk maksimum 600.000 jiwa dan luas maksimum 30.000 hektar (setara dengan kota kabupaten); (b) daerah belakang (yang merupakan daerah perdesaan) dikembangkan berdasarkan konsep perwilayahan komoditas yang menghasilkan satu komoditas/bahan mentah utama dan beberapa komoditas penunjang sesuai dengan kebutuhan; (c) pada daerah pusat pertumbuhan (yang merupakan daerah perkotaan) dibangun agroindustri terkait, yaitu terdiri atas beberapa perusahaan sehingga terdapat kompetisi yang sehat; (d) wilayah perdesaan didorong untuk membentuk satuan-satuan usaha yang optimal dan selanjutnya diorganisasikan dalam wadah koperasi, perusahaan kecil dan menengah, dan (e) lokasi dan sistem transportasi agroindustri dan pusat pelayanan harus memungkinkan para petani untuk bekerja sebagai pekerja paruh waktu (partime workers).
21 Menurut Friedmann dan Douglass (1975), agropolitan terdiri dari distrikdistrik agropolitan yang didefinisikan sebagai kawasan pertanian perdesaan yang memiliki kepadatan penduduk rata-rata 200 jiwa per km2. Kota-kota tani dalam distrik agropolitan berpenduduk 10.000 – 25.000 jiwa. Batas distrik dinyatakan dalam radius sejauh 5-10 km atau kurang lebih setara dengan 1 jam perjalanan dengan sepeda. Dimensi luasan geografis wilayah agropolitan ini akan menghasilkan jumlah penduduk antara 50.000 – 150.000 jiwa yang mayoritas bekerja di sektor pertanian. Friedmann tidak membedakan secara spesifik bentuk pertanian modern atau tidaknya, tetapi lebih cenderung menggunakan referensi pertanian modern yang ada di Amerika atau di Eropa. Ilustrasi model area agropolitan seperti yang digambarkan oleh Friedmann disajikan pada Gambar 6. Distrik Agropolitan III
Batas Internasional Kawasan Agropolitan Distrik Agropolitan II
Prioritas
A)
Pusat Pertumbuhan 1 Pusat Pertumbuhan 2 Danau
Kws. Metropolitan
Hutan
Lindung
Nasional Kawasan Agropolitan (B) Sungai
Gambar 6 Ilustrasi model area agropolitan menurut Friedmann (1975). Menurut Friedmann (1975), di dalam model area agropolitan di atas, kawasan agropolitan (A) lebih prioritas dari kawasan agropolitan (B), karena : tingkat populasi lebih tinggi dan terjadi konsentrasi penduduk; ekologinya lebih
22 potensial untuk pertumbuhan tanaman dan aktivitas eksport; kapasitas pemasaran untuk produk pertanian lebih baik; kondisi fisik lahan lebih baik; serta kondisi infrastukturnya lebih baik. Konsep dasar pembangunan agropolitan menurut Friedmann dan Douglass (1975), ditujukan untuk: a. Mengubah daerah perdesaan dengan cara memperkenalkan unsur-unsur gaya hidup kota (urbanism) yang telah disesuaikan pada lingkungan perdesaan tertentu. Hal ini berarti tidak lagi mendorong perpindahan penduduk dari desa ke kota dengan menanam modal di kota, tetapi mendorong mereka untuk tetap tinggal ditempat mereka semula, dengan menanam modal di daerah perdesaan, dan dengan demikian merubah tempat permukiman yang sekarang ini untuk dijadikan suatu bentuk campuran yang dinamakan agropolis atau “kota di ladang”. Pertentangan abadi antara kota dan desa dalam pembangunan agropolitan dapat diredakan. b. Memperluas hubungan sosial di wilayah perdesaan sampai keluar batas-batas desanya, sehingga terbentuk suatu ruang sosio-ekonomi dan politik yang lebih luas, atau yang disebut dengan agropolitan district. Agropolitan district dapat disesuaikan untuk dipakai sebagai dasar satuan tempat permukiman untuk kota-kota besar atau pusat kota-kota, terutama yang berada di sekitarnya dan yang selalu berkembang. c. Memperkecil keretakan sosial (social dislocation) dalam proses pembangunan, memelihara kesatuan keluarga, memperteguh rasa aman, dan memberi kepuasan pribadi dan sosial dalam membangun suatu masyarakat baru. d. Menstabilkan pendapatan desa dan kota, dan memperkecil perbedaanperbedaannya dengan cara memperbanyak kesempatan kerja yang produktif dan khususnya memadukan kegiatan-kegiatan pertanian dengan kegiatan nonpertanian dalam lingkungan masyarakat yang sama. e. Menggunakan
tenaga kerja yang
ada secara lebih
efektif, dengan
mengarahkannya pada usaha-usaha yang mengembangkan sumberdayasumberdaya alam secara sangat luas di tiap-tiap agropolitan district, termasuk peningkatan
hasil
pertanian,
proyek-proyek
untuk
memelihara
dan
23 mengendalikan air, pekerjaan umum di perdesaan, memperluas pemberian jasajasa untuk perdesaan dan industri yang berkaitan dengan pertanian. f. Merangkai agropolitan district menjadi jaringan regional, dengan cara membangun dan memperbaiki sarana hubungan antara agropolitan district dan kota-kota besar, serta menempatkan pada daerah (regional) jasa-jasa tertentu dan kegiatan-kegiatan penunjang yang membutuhkan tenaga kerja yang lebih besar dari pada yang terdapat dalam satu district. g. Menyusun suatu pemerintahan dan perencanaan yang sesuai dengan lingkungannya yang dapat mengendalikan pemberian prioritas-prioritas pembangunan dan pelaksanaannya pada penduduk daerahnya. Apa yang dimaksudkan disini ialah suatu pemerintahan yang memberi wewenang pada agropolitan district untuk mengambil keputusan sendiri. h. Menyediakan sumber-sumber keuangan untuk membangun agropolitan dengan cara : (1) menanam kembali bagian terbesar dari tabungan setempat di tiap-tiap district, (2) mengadakan sistem bekerja sebagai pengganti pajak bagi semua anggota masyarakat yang telah dewasa, (3) mengalihkan dana pembangunan dari pusat-pusat kota dan kawasan industri khusus untuk pembangunan agropolitan, dan (4) memperbaiki nilai tukar barang-barang yang merugikan antara petani dan penduduk kota agar lebih menguntungkan petani. Sedangkan pengembangan kawasan agropolitan di Indonesia ditujukan untuk: (1)
Menciptakan pembangunan desa-kota secara berimbang
(2)
Meningkatkan keterkaitan desa-kota yang sinergis (saling memperkuat)
(3)
Mengembangkan ekonomi melalui upaya konsentrasi/akumulasi nilai tambah di wilayah perdesaan berbasis aktivitas pertanian
(4)
Meningkatkan ketahanan pangan melalui konstribusi produk-produk subsistem pertanian primer, baik itu pertanian primer tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, maupun perikanan
(5)
Pengembangan lingkungan permukiman perdesaan
(6)
Diversifikasi dan perluasan basis peningkatan pendapatan dan kesejahteraan
(7)
Menciptakan daerah yang lebih mandiri dan otonom
24 (8)
Menahan arus perpindahan penduduk dari wilayah perdesaan ke wilayah perkotaan agar tidak berpindah secara berlebihan (berkontribusi pada penyelesaian masalah baru yang timbul di perkotaan)
(9)
Pemulihan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Berdasarkan model area agropolitan apabila besaran penduduk yang
menjadi ukuran, maka suatu distrik agropolitan setara dengan 1 wilayah pengembangan partial (WPP) permukiman transmigrasi. Namun bila dilihat dari luas wilayahnya (sekitar 100 – 250 km2 atau 10.000 – 25.000 Ha), ukurannya dapat lebih kecil dari luasan 1 WPP. Secara administratif luasan dan besaran penduduk ini setara dengan luasan wilayah kecamatan, dapat berpenduduk sampai dengan 25.000 jiwa dan sudah dapat berfungsi sebagai suatu simpul jasa distribusi.2 Simpul jasa distribusi merupakan titik tumpu bagi tumbuh dan berkembangnya kota, menurut pertimbangan ekonomis, atau dengan kata lain kota mempunyai fungsi ekonomi dalam perannya sebagai simpul jasa distribusi. Model
pembangunan
agropolitan
ini
sebenarnya
didasarkan
pada
pendekatan perencanaan pembangunan perdesaan di China yang diorganisasikan oleh Mao Tse Tsung pada awal tahun 1960-an (Pradhan 2003). Teori ini menekankan bahwa otoritas perencanaan dan pengambilan keputusan harus didesentralisasikan ke wilayah perdesaan, sehingga masyarakat yang tinggal di wilayah
perdesaan
akan
mempunyai
tanggung
jawab
penuh
terhadap
perkembangan dan pembangunan daerahnya sendiri. Sebelum konsep
agropolitan
dikembangkan,
Mosher
(1965)
telah
menawarkan lima faktor utama yang harus dipenuhi dalam mensukseskan pembangunan pertanian di wilayah perdesaan, yaitu: a. Adanya pasar atau pemasaran hasil pertanian, dimana petani dapat membeli sarana produksi dan alat pertanian dan menjual hasil pertanian; b. Adanya teknologi yang selalu berubah untuk membuat percobaan-percobaan pengujian lokal; c. Adanya sarana produksi secara lokal;
2
Konsep dasar pengembangan wilayah dikembangkan oleh Dr. Poernomosidhi Hadjisaroso ketika beliau menjadi Dirjen Bina Marga, Dep. PU. untuk pengembangan dan pembinaan sistem jaringan jalan di Indonesia.
25 d. Adanya insentif produksi bagi petani, berupa fasilitas kredit untuk penyediaan sarana produksi, dan e. Adanya transportasi yang memadai. Menurut Sitorus dan Nurwono (1998), pendekatan konsep agropolitan adalah pembentukan kota-kota pertanian, pada umumnya dilaksanakan dengan menerapkan
strategi
produktivitas yang
pembangunan dipengaruhi
oleh
perwilayahan jenis
berdasarkan
kesesuaian
efisiensi
komoditas
yang
dikembangkan, volume produksi, skala usaha dan keuntungan komparatif pemasaran komoditas dalam jangka panjang serta keterpaduan pengembangannya berdasarkan : a. Internalisasi dari berbagai dampak eksternal melalui keterkaitan dan komplementari kegiatan pertanian, industri dan jasa; b. Pemerataan pemilikan, peluang dan kontribusi terhadap produktivitas sistem perekonomian pertanian; c. Investasi yang berkesinambungan dalam pembangunan dan pemeliharaan sarana produksi dan pemasaran; d. Perlindungan terhadap pertumbuhan perekonomian setempat dari intervensi globalisasi ekonomi yang bersifat parasitik. Persyaratan terbentuknya agropolitan adalah kota tersebut memiliki nilai tambah (efisien) baik dalam pelayanan jasa-jasa yang mudah dan murah dibandingkan dari kota terdekat maupun dalam produksi dan pemasaran serta memiliki hinterland yang kegiatan perekonomian utamanya adalah di bidang agribisnis (ada rantai agribisnisnya). Perwujudan dari konsep tersebut adalah mengurangi kesenjangan pertumbuhan desa-kota melalui keterkaitan yang saling menguntungkan, dan penyamaan dasar kemitraan. Keterkaitan dalam konteks ini desa-desa utama harus dilengkapi dengan berbagai sarana dan prasarana sosial dan ekonomi yang berfungsi sebagai tempat untuk memulai penyamaan kemitraan dalam mengurangi kesenjangan pertumbuhan. Konsep ini menurut Friedmann dan Douglass (1975) dinamakan “perwilayahan agropolitan” dengan ciri sebagai berikut: a. Mempunyai tingkat kemandirian dan kepercayaan diri untuk tumbuh; b. Satuan unit permukiman efektif dan efisien untuk suatu kegiatan ”agribisnis”;
26 c. Disertifikasi ketenagakerjaan (tidak hanya petani) yang dapat menumbuhkan agroindustri); d. Keterkaitan yang baik antara sektor pertanian, pengolahan dan industri manufaktur yang banyak menggunakan hasil pemanfaatan sumberdaya setempat, agar tidak terjadi kesenjangan pertumbuhan antara sektor pertanian yang cenderung makin tertinggal dibandingkan sektor industri (Gambar 7).
Sebelum Pembangunan
Setelah Pembangunan
SP
SP SP (Sektor Pertanian) SI (Sektor Industri)
SI
SI
Gambar 7 Diagram Ketertinggalan Sektor Pertanian dengan Sektor Industri. Menurut
Rustiadi
(2007),
agropolitan
adalah
salah
satu
konsep
pembangunan pertanian dan perdesaan yang mampu memposisikan dirinya dalam kerangka untuk mengatasi permasalahan nasional yang timbul di wilayah perdesaan, melalui pengembangan: a. Secara spasial: agropolitan sangat menekankan perlunya keterkaitan hirarki ruang antara kawasan perdesaan dengan kota-kota kecil menengah (agropolis) dan kota besar (urban rural linkage); b. Secara sektoral: agropolitan sangat menekankan perlunya keterkaitan antara sektor pertanian dengan industri pengolahan, keuangan, dan jasa perdagangan termasuk ekotourism; c. Secara sumberdaya: agropolitan sangat menekankan keterkaitan antara pembangunan sumberdaya buatan (infrastruktur perdesaan), sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya sosial kelembagaan. Agropolitan menjadi relevan dengan wilayah perdesaan karena pada umumnya sektor pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam memang merupakan mata pencaharian utama dari sebagian besar masyarakat perdesaan.
27 Namun pengelolaan sektor pertanian di wilayah perdesaan masih bersifat primer, yang seharusnya dikembangkan ke arah industrialisasi pertanian untuk mengolah hasil pertanian primer menjadi produk olahan, yang sering juga disebut agroindustri. Agroindustri akan sulit berkembang apabila tidak didukung oleh pertanian primer sebagai penghasil bahan baku. Pertanian primer tidak akan berkembang apabila tidak disokong oleh pengembangan industri-industri yang menghasilkan sarana produksi. Ketiga hal tersebut, yaitu agroindustri, pertanian primer dan industri sarana produksi, tidak dapat berkembang jika tidak ada dukungan dari penyedia jasa pendukung, seperti lembaga keuangan, lembaga penelitian, maupun pendidikan. Oleh karena itu, pembangunan industri yang didukung oleh pertanian yang tangguh pada dasarnya adalah pembangunan agribisnis. 2.2
Konsepsi Dasar Pengembangan Wilayah Menurut Hadjisarosa (1982), konsep pengembangan wilayah secara nasional
mempunyai tujuan-tujuan : (1) mewujudkan keseimbangan antar daerah dalam hal tingkat pertumbuhannya, (2) memperkokoh kesatuan ekonomi nasional, dan (3) memelihara efisiensi pertumbuhan nasional. Ketiga tujuan tersebut saling berkaitan dan berkelakuan searah, dan satu diantara ketiga tujuan tersebut merupakan titik sentral, yakni keseimbangan antar daerah dalam hal tingkat pertumbuhannya. Keseimbangan antar daerah, selain memenuhi tuntutan keadilan sosial, juga memungkinkan berlangsungnya perdagangan antar daerah yang berimbang. Perdagangan antar daerah yang berimbang adalah perdagangan yang efisien, yang dapat mendorong semakin intensifnya perdagangan antar daerah, dan dapat merangsang timbulnya spesialisasi daerah yang berarti pula akan membuka kesempatan yang lebih besar lagi bagi masing-masing daerah untuk berkembang. Konsepsi dasar pengembangan wilayah menurut Hadjisarosa disajikan pada Gambar 8. Sedangkan
menurut
Anwar
(2005),
tujuan
pembangunan
wilayah
seharusnya diarahkan untuk mencapai: (1) pertumbuhan (growth); (2) pemerataan (equity), dan (3) keberlanjutan (sustainability). Tujuan pertama yaitu mengenai pertumbuhan, ditentukan sampai dimana sumber-sumber daya yang langka yang
28 terdiri atas : sumberdaya manusia (human capital), peralatan (man-made resources) dan sumberdaya alam (natural resources) dapat dialokasikan untuk
Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) ORIENTASI GEOGRAFIS PEMASARAN
Wilayah Pengembangan Partial (WPP)
Orde 1 WPP
ORIENTASI GEOGRAFIS PEMASARAN
Orde 2 Orde 3
STRUKTUR DASAR PENGEMBANGAN WILAYAH
Orde 2 Orde 3 WPP
WPP
Sumber : Poernomosidi Hadjisaroso, Konsepsi Dasar Pengembangan Wilayah di Indonesia, 1982
Orde 3 Orde 3
WPP
GAMBARAN IDEAL SUATU SWP
Gambar 8 Konsepsi dasar pengembangan wilayah (Hadjisarosa, 1982). hasil yang maksimal sehingga dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia dalam meningkatkan kegiatan produktifitasnya. Tujuan kedua yaitu pemerataan mempunyai implikasi dalam pencapaian tujuan ketiga, yaitu agar sumberdaya dapat berkelanjutan dalam arti pengaturan dari pembagian manfaat hasil pembangunan harus adil, dan tujuan ketiga yaitu keberlanjutan harus memenuhi persyaratan bahwa penggunaan sumberdaya, baik yang ditransaksikan melalui sistem pasar maupun ditransaksikan diluar sistem pasar harus tidak melampaui kapasitas kemampuan produksinya. Bahkan apabila dalam proses produksi tersebut banyak input diambil dari sumber daya alam yang bersangkutan, sebagian dari hasil yang diperoleh tersebut harus ditanamkan (diinvestasikan) kembali untuk menjaga keberlanjutannya. 2.3
Konsep Pembangunan Agribisnis Menurut Soekartawi (2005), agribisnis adalah “suatu kesatuan kegiatan
usaha yang meliputi salah satu atau keseluruhan dari mata rantai produksi, pengolahan hasil dan pemasaran yang ada hubungannya dengan pertanian dalam arti luas”. Maksud dari ”ada hubungannya dengan pertanian dalam artian yang
29 luas” adalah kegiatan usaha yang menunjang kegiatan pertanian dan kegiatan usaha yang ditunjang oleh kegiatan pertanian, seperti disajikan pada Gambar 9.
Kegiatan usaha yang menghasilkan/menyediak an prasarana dan sarana input bagi kegiatan pertanian (industri pupuk, alat-alat pertanian, pestisida, dan sebagainya)
AGRIBISNIS
Kegiatan Pertanian
Kegiatan usaha yang menggunakan hasil pertanian sebagai input (industri pengolahan hasil pertanian, perdagangan, dan sebagainya)
Gambar 9 Mata rantai kegiatan agribisnis (Soekartawi, 2005) Peranan penting atau keunggulan agribisnis tidak lepas dari agroindustri sebab agribisnis diartikan sebagai “the sum total of all operations involved in the manufacture and distribution of farm suplies, production activities on the farm, and storage, processing and distribution of farm commodities and items made from them” (Saragih, 2006). Konsep agribisnis merupakan cara baru melihat sektor pertanian. Selama ini pertanian dipandang secara sangat sempit dan ditangani secara parsial, sematamata hanya melihat sub-sistem produksi atau usahataninya saja. Cara pandang yang lama ini telah berimplikasi yang kurang menguntungkan bagi pembangunan pertanian dan perdesaan yakni : pertanian dan perdesaan hanya sebagai sumber produksi primer yang berasal dari tumbuhan dan hewan tanpa menyadari potensi bisnis sangat besar berbasis produk-produk primer tersebut. Menurut Saragih (2006), pembangunan sistem dan usaha agribisnis merupakan totalitas atau kesatuan kerja agribisnis yang terdiri dari 5 (lima) subsistem pengembangan. Sub-sistem pertama adalah agribisnis hulu (up-stream agribusiness), yakni industri-industri yang menghasilkan barang-barang modal bagi pertanian, berupa: industri perbenihan/pembibitan tumbuhan dan hewan, industri agrokimia (pupuk, pestisida, obat/vaksin ternak) dan industri agrootomotif (mesin dan peralatan pertanian) serta industri pendukungnya. Kedua: sub-sistem usahatani (on-farm agribusiness), yakni kegiatan yang menggunakan barang-barang modal dan sumberdaya alam untuk menghasilkan komoditas pertanian primer. Termasuk dalam hal ini adalah usahatani tanaman pangan dan
30 hortikultura, tanaman obat-obatan, perkebunan, peternakan, perikanan, dan kehutanan. Ketiga: sub-sistem pengolahan (down-stream agribusiness), yakni industri yang mengolah komoditas pertanian primer (agroindustri) menjadi produk olahan, baik produk antara (intermediate product) maupun produk akhir (finished product). Termasuk di dalamnya industri makanan, industri minuman, industri barang-barang serat alam (barang-barang karet, plywood, pulp, kertas, bahan-bahan bangunan terbuat dari kayu, rayon, benang dari kapas/sutera, barangbarang kulit, tali dan karung goni), industri biofarmaka, industri agrowisata dan estetika.
Keempat: sub-sistem
pemasaran yakni kegiatan-kegiatan untuk
memperlancar pemasaran komoditas pertanian, baik segar maupun olahan di dalam dan di luar negeri. Termasuk di dalamnya adalah kegiatan distribusi untuk memperlancar arus komoditi dari sentra produksi ke sentra konsumsi, promosi, informasi pasar, serta intelijen pasar (market intelligence). Kelima : sub-sistem jasa dan penunjang yang menyediakan jasa bagi sub-sistem agribisnis hulu, usahatani, pengolahan dan pemasaran hasil. Termasuk ke dalam sub-sistem ini adalah penelitian dan pengembangan, perkreditan dan asuransi, transportasi, pendidikan, pelatihan dan penyuluhan, sistem informasi dan dukungan kebijakan pemerintah (mikro ekonomi, tata ruang, makro ekonomi). Lingkup pembangunan agribisnis disajikan pada Gambar 10. Sub Sistem Agribisnis Hulu
Sub Sistem Usaha Tani
• Industri pembenihan/ pembibitan • Industri Agro Kimia • Industri Agro otomotif
• • • • •
Tn. pangan Hortikultura Perkebunan Peternakan Perikanan
Sub Sistem Pengolahan • • • •
Industri makanan Industri minuman Industri rokok Industri barang serat alam • Industri agrowisata dan estetika
Sub Sistem Pemasaran • • • •
Distribusi Promosi Inf pasar Kebijakan perdagangan • Struktur pasar
Sub-Sistem Jasa dan Penunjang • • • • • •
Gambar 10
Pelayanan umum dan fasilitas sosial Kelembagaan Perkreditan dan asuransi Penelitian dan Pengembangan Gambar 10. Lingkup Pembangunan Agribisnis Pendidikan dan penyuluhan Kebijak. pemerintah (mikro/makro ekonomi, tata ruang)
Lingkup Pembangunan Agribisnis menurut Saragih (2006).
31
2.4 Kawasan Agropolitan 2.4.1 Pengertian Kawasan Agropolitan Menurut Hadjisarosa (1982), kawasan adalah sebutan untuk wilayah dalam batas yang ditetapkan berdasarkan fungsi tertentu. Sebagai contoh : kawasan kehutanan, kawasan perkebunan, kawasan pertanian, kawasan industri, kawasan perdagangan, kawasan permukiman, dan lain sebagainya. Kawasan agropolitan dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 didefinisikan sebagai kawasan yang terdiri dari satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agribisnis. Diagram konsepsi kawasan agropolitan disajikan pada Gambar 11.
DPP-1
Menuju hierarki ruang yang lebih tinggi Agropolis
DPP-3 DPP-2
KET:
Arah hierarki keruangan Desa pusat pertumbuhan sebagai sentra produksi Agropolis sebagai sentra pengolahan dan pemasaran
Batas Kawasan Agropolitan Desa hinterland sebagai penghasil komoditi
Gambar 11 Diagram konsepsi kawasan agropolitan.
2.4.2 Tipologi Kawasan Agropolitan Tipologi kawasan agropolitan berdasarkan sumberdaya (produk sektor usaha) yang dimilikinya, dapat dikelompokkan menjadi: (1) kawasan agropolitan
32 berbasis
tanaman pangan, dengan jenis produk: beras, jagung, kedelai. (2)
kawasan agropolitan berbasis hortikultura, dengan jenis produk: sayur-sayuran, bunga-bungaan. (3) kawasan agropolitan berbasis perkebunan, dengan jenis produk : buah-buahan, karet, kopi. (4) kawasan agropolitan berbasis kehutanan, dengan jenis produk: kayu, bambu, rotan. (5) kawasan agropolitan berbasis peternakan, dengan jenis produk: ternak sapi, kambing, ayam. (6) kawasan agropolitan berbasis perikanan, dengan jenis produk: ikan, udang, rumput laut, dan lain-lain. Sedangkan jika ditinjau berdasarkan skala nilai strategisnya, maka kawasan agropolitan dapat dikelompokkan menjadi: (1) Kawasan agropolitan tipe A (agropolitan kabupaten), berada di dalam 1 kabupaten yang memiliki arti strategis keberimbangan pembangunan desa-kota dan pembangunan perdesaan skala kabupaten/regional. (2) Kawasan agropolitan tipe B (agropolitan provinsi), memiliki kriteria tipe A namun juga memiliki arti strategis keberimbangan pembangunan inter-regional di tingkat provinsi, dan mempunyai lingkup lintas kabupaten dalam satu provinsi. (3) Kawasan agropolitan tipe C (agropolitan nasional), memiliki kriteria tipe B namun juga memiliki arti strategis keberimbangan pembangunan inter-regional secara nasional, seperti pada kawasan perbatasan, kawasan tertinggal skala nasional, Kawasan Timur Indonesia, dan mempunyai lingkup lintas provinsi.
2.4.3 Kategori Kawasan Agropolitan Kawasan
agropolitan
berdasarkan
dari
segi
terbentuknya,
dapat
dikategorikan menjadi 2 (dua) bentuk kawasan3. Pertama, kawasan agropolitan by design: yaitu kawasan agropolitan yang pembangunannya direncanakan dari baru, pada umumnya mendapat insentif dari pemerintah seperti pada pembangunan kawasan-kawasan transmigrasi, dan pembangunan resetlement berbasis komoditi pertanian. Bentuk kawasan agropolitan by design disajikan pada Gambar 12.
3
Bentuk kawasan agropolitan by nature dan by design dikemukakan oleh Bayu Krisnamurti pada saat rapat koordinasi interdep pengembangan kawasan agropolitan di kantor Menko Perekonomian, tahun 2006.
33
KETERANGAN Pusat Wilayah Pengembangan Pusat Kawasan Pengembangan Pusat Satuan Permukimsn Permukimsn Lahan Pertanian Lahan Konservasi Permukiman Penduduk setempat Jalan Regional Jalan Penghubung Jalan Desa Batas Wilayah Pengembangan Batas Kawasan Pengembangan
1 Satuan Permukiman (SP) dihuni oleh 300 - 500 KK 1 Kawasan Pengembangan (SKP) terdiri dari 4-6 SP 1 Wilayah Pengembangan (WPP) terdiri dari 4 -10 SKP.
Gambar 12 Model kawasan agropolitan ”by design” yang banyak digunakan di kawasan transmigrasi. Kedua, kawasan agropolitan by nature: yaitu kawasan agropolitan yang telah tumbuh dan berkembang secara alamiah/ tradisional dengan kemampuan dan sumberdaya yang dimiliki oleh kawasan tersebut. 2.4.4 Tingkat Perkembangan Kawasan Agropolitan Menurut Pedoman Umum Pengembangan Kawasan Agropolitan (Deptan 2002), dari segi tingkat perkembangan kawasan agropolitan, dapat digolongkan menjadi 3 (tiga) tingkatan/strata, yaitu : a. Pra kawasan agropolitan I, yaitu kawasan-kawasan perdesaan potensial dengan tingkat perkembangan rendah; b. Pra kawasan agropolitan II, yaitu kawasan-kawasan perdesaan potensial dengan tingkat perkembangan sedang; c. Kawasan agropolitan, yaitu kawasan-kawasan perdesaan potensial dengan tingkat perkembangan yang tinggi/sudah maju. Tingkatan/strata perkembangan kawasan agropolitan ini diukur dengan indikator-indikator keberadaan dan kecukupan potensi kawasan agropolitan (Tabel 1), antara lain: komoditas unggulan, kelembagaan pasar, kelembagaan
34 Tabel 1 Pedoman Indikator Tingkat Perkembangan Kawasan Agropolitan No 1.
Indikator
Satu jenis Komoditi
b.
Lebih dari 1 jenis komoditi
c.
Komoditi unggulan & produk olahan
2.
Kelembagaan Pasar
a.
Menampung hasil dari sebagian kecil kawasan
b.
Menampung hasil dari sebagian besar kawasan
c.
Menampung hasil dari kawasan dan luar kawasan
3.
Kelembagaan Petani
a.
Berperan dalam penyediaan sarana pertanian dan sebagian kecil dalam pengolahan dan pemasaran
b.
Berperan dalam penyediaan sarana pertanian, pengolahan dan pemasaran
c.
Berperan dalam penyediaan sarana pertanian, pengolahan dan pemasaran kebutuhan masyarakat
4.
Kelembagaan BPP
a.
BPP sebagian Balai Penyuluhan Pertanian
b.
BPP sebagian Balai Penyuluhan Agribisnis
c.
BPP sebagian Balai Penyuluhan Pembangunan
5.
Sarana dan Prasarana Aksesibilitas ke/di sentra produksi
a.
Sedang
b.
Cukup
c.
Baik
5.2.
Prasarana dan Sarana Umum
a.
Sedang
b.
Cukup
c.
Baik
5.3.
Pra Kawasan Agropolitan II
Kawasan Agropolitan
a
b
c
a
b
c
a
b
c
a
b
c
a
b
c
a
b
c
a
b
c
Komoditi Unggulan
a.
5.1.
Pra Kawasan Agropolitan I
Prasarana & Sarana Kesejahteraan Sosial
a.
Sedang
b.
Cukup
c.
Baik
petani, kelembagaan BPP, prasarana dan sarana. Pra kawasan agropolitan I, pra kawasan agropolitan II, dan kawasan agropolitan pada umumnya difasilitasi oleh
35 pemerintah selama 3 (tiga) tahun berturut-turut. Setelah masa fasilitasi kawasan tersebut
diharapkan
menjadi
kawasan
agropolitan
mandiri
yang
akan
dikembangkan secara swakarya, swadaya, dan swadana oleh pemerintah daerah dan masyarakat setempat. 2.4.5. Kawasan Agropolitan Mandiri Kawasan perdesaan potensial yang telah berkembang tinggi/maju secara alami melalui kemampuan sendiri, dan kawasan agropolitan yang telah mendapatkan fasilitasi dari pemerintah melalui dukungan stimulans, diharapkan akan berkembang menjadi kawasan agropolitan mandiri. Menurut Badudu dan Zain (1996), mandiri memiliki arti berdiri sendiri dalam artian tidak bergantung kepada pihak lain dalam mengerjakan sesuatu atau tidak menyandarkan diri kepada pihak lain karena sudah dapat berusaha sendiri. Dengan demikian, pengembangan kawasan agropolitan mandiri dapat diartikan sebagai upaya pembangunan wilayah dan ekonomi serta peningkatan kesejahteraan masyarakat di kawasan agropolitan berdasarkan kemampuan sendiri tanpa menyandarkan atau tidak bergantung kepada pihak lain, yang dilaksanakan dengan jalan mensinergikan berbagai potensi yang ada untuk mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis di kawasan agropolitan yang berdaya saing, berbasis kerakyatan, terdesentralisasi, berkelanjutan, dan digerakkan oleh masyarakat. Strata kawasan agropolitan mulai dari pra kawasan agropolitan I, pra kawasan agropolitan II, kawasan agropolitan, dan kawasan agropolitan mandiri disajikan pada Gambar 13.
Keberlanjutan
Kawasan Agropolitan Mandiri
Fase - 2
Fasilitasi ThTh-3
Kawasan Agropolitan Fasilitasi ThTh-2
Pra Kawasan Agropolitan II
Fase 1
Fasilitasi ThTh-1
Pra Kawasan Agropolitan I
Gambar 13 Strata kawasan agropolitan menurut tingkat perkembangannya.
36 Deutsche Gesselschaft fur Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH (2003), menyusun “Guide to Rural Economic and Enterprise Development” (Guide to REED) edisi-1 yang merupakan suatu pendekatan yang bertujuan untuk diversifikasi dan inovasi ekonomi perdesaan (rural), meningkatkan orientasi ekonominya dan memberikan nilai tambah pada produk perdesaan. Intensifikasi pertanian, transformasi pertanian dan produk sumberdaya alam akan mendorong pada terbangunnya kesempatan kerja off farm (yang tidak berbasis lahan), meningkatkan perekonomian lokal, memperbesar permintaan pertanian lokal dan produk pertanian off farm. Oleh karena itu REED bertujuan untuk menstimulasi dan meningkatkan keterkaitan sektoral antara pertanian (produksi), agribisnis dan aktifitas ekonomi non pertanian lainnya termasuk dengan jasa. Inti dari dokumen Guide to REED adalah 10 kriteria/fungsi pokok (cornerstone) yang harus diikuti untuk menjamin keberhasilan dan proses pembangunan perdesaan yang mandiri. Sepuluh kriteria kemandirian tersebut adalah (1) Adanya kemauan politik yang kuat dari para pengambil kebijakan, (2) Terciptanya iklim investasi yang kondusif, (3) Memprioritaskan kebutuhan lokal, (4) Mengaktifkan institusi dan jaringan swasta, (5) Fungsionalisasi dan efektifitas infrastruktur, (6) Akses untuk pasar terbuka, (7) Akses untuk efektifitas dan efisiensi pelayanan dan sumberdaya, (8) Kapasitas manajemen yang adaptif, (9) Organisasi lokal yang mengutamakan pihak rendah sebagai blok pembangunan, dan (10) Partisipasi aktif seluruh stakeholders terkait. Salah satu dari 10 kriteria/fungsi pokok tersebut adalah fungsionalisasi dan efektifitas infrastruktur. Infrastruktur memungkinkan bisnis perdesaan mudah mengakses input dan pasar outputnya. Infrastruktur yang dibangun haruslah mampu
meminimumkan
biaya
pelaksanaan
bisnis,
dan
mampu
untuk
memfasilitasi proses produksinya. Investasi dalam infrastruktur mendorong pertumbuhan yang berpihak pada penduduk miskin (pro-poor) melalui peningkatan akses pada infrastruktur tersebut serta resiko dan biaya transaksi yang terkait dengan produksi dan distribusi produknya yang pada akhirnya akan meningkatkan
produktifitas
usahanya.
Pelaku
utama
dalam
menjamin
berfungsinya infrastruktur efektif dalam rangka menunjang kawasan agropolitan mandiri antara lain : pemerintah pusat dan daerah, swasta dan komunitas
37 perdesaan beserta organisasi dan asosiasi atau lembaga yang ada di wilayah perdesaan tersebut. 2.4.6. Persyaratan Kawasan Agropolitan Sedangkan persyaratan suatu kawasan agropolitan menurut Pedoman Umum Pengembangan Kawasan Agropolitan (2002), antara lain adalah : a. Memiliki
sumberdaya
mengembangkan
lahan
dengan
agroklimat
yang
sesuai
untuk
komoditi pertanian yang dapat dipasarkan atau telah
mempunyai pasar (selanjutnya disebut sebagai komoditi unggulan), serta berpotensi atau telah berkembang diversifikasi usaha dari komoditi unggulannya. Pengembangan kawasan tersebut tidak saja menyangkut kegiatan budidaya pertanian (on farm) tetapi juga kegiatan off farmnya; yaitu mulai dari pengadaan sarana dan prasarana pertanian (seperti benih/bibit, pupuk, obatobatan, alsintan), kegiatan pengolahan hasil pertanian (seperti membuat produk olahan), produk makanan ringan/kripik, dodol, dan lain-lain) sampai dengan kegiatan pemasaran hasil pertanian (seperti bakulan, warung, jual beli hasil pertanian, pasar lelang, terminal/sub terminal agribisnis, dan lain-lain) dan juga kegiatan penunjangnya (seperti pasar hasil pertanian, agrowisata). b. Memiliki berbagai sarana dan prasarana agribisnis yang memadai untuk mendukung pengembangan sistem dan usaha agribisnis, yaitu: (1) Pasar, baik pasar untuk hasil-hasil pertanian, pasar sarana pertanian, alat dan mesin pertanian, maupun pasar jasa pelayanan termasuk pasar lelang, gudang tempat penyimpanan dan prosesing hasil pertanian sebelum dipasarkan. (2) Lembaga keuangan (perbankan dan non perbankan) sebagai sumber modal untuk kegiatan agribisnis. (3) Memiliki kelembagaan petani (kelompok, koperasi, asosiasi) yang dinamis dan terbuka pada inovasi baru, yang harus berfungsi pula sebagai sentra pembelajaran
dan
pengembangan
agribisnis.
Kelembagaan
petani
disamping sebagai pusat pembelajaran (pelatihan), juga diharapkan kelembagaan petani/petani maju dengan petani di sekitarnya merupakan Inti-Plasma dalam usaha agribisnis.
38 (4) Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) yang berfungsi sebagai klinik konsultasi agribisnis (KKA) yakni sebagai sumber informasi agribisnis, tempat percontohan usaha agribisnis, dan pusat pemberdayaan masyarakat dalam
pengembangan
usaha
agribisnis
yang
lebih
efisien
dan
menguntungkan. Dalam pengembangan kawasan agropolitan ini BPP perlu diarahkan menjadi Balai Penyuluhan Pembangunan Terpadu dimana BPP ini merupakan basis penyuluhan bagi para penyuluh dan petugas yang terkait dengan pengembangan kawasan agropolitan dan penyuluh swakarsa seperti kontak tani/petani maju, tokoh masyarakat, dan lain-lain. (5) Percobaan/pengkajian
teknologi
agribisnis,
untuk
mengembangkan
teknologi tepat guna yang cocok untuk daerah kawasan agropolitan. (6) Jaringan jalan yang memadai dan aksessibilitas dengan daerah lainnya serta sarana irigasi, yang kesemuanya untuk mendukung usaha pertanian (agribisnis) yang efisien. c. Memiliki sarana dan prasarana umum yang memadai, seperti transportasi, jaringan listrik, telekomunikasi, air bersih dan lain-lain. d. Memiliki sarana dan prasarana kesejahteraan sosial masyarakat yang memadai seperti kesehatan, pendidikan, kesenian, rekreasi, perpustakaan, swalayan dan lain-lain. e. Kelestarian lingkungan hidup baik kelestarian sumberdaya alam, kelestarian sosial budaya maupun keharmonisan hubungan dan desa yang terjamin. Jika suatu kawasan agropolitan dinyatakan sudah berkembang, baik berkembang karena dukungan fasilitasi pemerintah maupun berkembang atas kemandirian pemerintah daerah dan masyarakatnya sendiri, maka ciri-ciri kawasan agropolitan tersebut pada umumnya sebagai berikut : a. Sebagian besar masyarakat di kawasan tersebut memperoleh pendapatan dari kegiatan pertanian (agribisnis). b. Sebagian besar masyarakat di kawasan tersebut didominasi oleh kegiatan pertanian (agribisnis), termasuk di dalamnya usaha industri (pengolahan) pertanian, perdagangan hasil-hasil pertanian (termasuk perdagangan untuk kegiatan ekspor), perdagangan agribisnis hulu (sarana pertanian dan permodalan), agrowisata dan jasa pelayanan.
39 c. Hubungan antara kota-desa hinterland-nya bersifat interdependensi/hubungan timbal balik yang harmonis dan saling membutuhkan, dimana kawasan pertanian mengembangkan usaha budidaya (on farm) dan produk olahan skala rumah tangga (off farm). Sebaliknya kota menyediakan fasilitas untuk berkembangnya usaha budidaya dan agribisnis seperti penyediaan sarana pertanian, modal, teknologi dan informasi, pengolahan hasil dan pemasaran hasil produksi/produksi pertanian. d. Kehidupan masyarakat di kawasan agropolitan mirip dengan suasana kota karena keadaan sarana yang ada di kawasan agropolitan tidak jauh beda dengan di kota. 2.5. Pembangunan Berkelanjutan, Pertanian Berkelanjutan, dan Infrastruktur Berkelanjutan 2.5.1 Pembangunan Berkelanjutan Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) menurut Bruntland (1987), dan laporan World Commision on Environment and Development (WCED) dalam Our Common Future, menyatakan “sustainable development is development which meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs”. Pada prinsipnya adalah bahwa kebutuhan untuk memperbaiki kualitas hidup penduduk saat ini dengan kebutuhan untuk memelihara atau meningkatkan sumberdaya alam sehingga penduduk yang akan datang pada saatnya juga mempunyai kesempatan untuk memperbaiki kualitas hidupnya sesuai dengan kebutuhan. Prinsip keberlanjutan adalah
non
declining
dimana
akan
ada
pemerataan
antar
generasi
(intergenerational equity) sehingga setiap orang pada prinsipnya perlu menjaga keseimbangan lingkungan (habitat) nya. Alam pada dasarnya sudah mempunyai sistem sendiri untuk menyehatkan lingkungan, sebagai bagian dari sistem hukum alam. Namun sistem ini bisa terganggu kerjanya karena perilaku dan kegiatan manusia yang bertentangan. Sedangkan menurut Djajadiningrat (2004), pembangunan berkelanjutan tidak lain adalah bagaimana menyelenggarakan pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang. Di
40 dalamnya terkandung dua gagasan penting : gagasan “kebutuhan” yaitu kebutuhan esensial yang memberlanjutkan kehidupan manusia, dan gagasan “keterbatasan” yaitu yang bersumber pada kondisi teknologi dan organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan kini dan hari depan. Prinsip dasar setiap elemen pembangunan berkelanjutan diuraikan menjadi empat hal, yaitu : (1) pembangunan berkelanjutan menjamin pemerataan dan keadilan sosial, (2) pembangunan berkelanjutan menghargai keanekaragaman (diversity), (3) pembangunan berkelanjutan menggunakan pendekatan integratif, dan (4) pembangunan berkelanjutan meminta perspektif jangka panjang. Bosshard, (2000), mengemukakan bahwa pendekatan secara komprehensif menuju pembangunan berkelanjutan harus mempertimbangkan lima prinsip kriteria, yaitu : (1) abiotik lingkungan, (2) biotik lingkungan, (3) nilai-nilai budaya, (4) sosiologi, dan (5) ekonomi. Dalam hubungannya untuk memproteksi lingkungan, maka konsekwensi intervensi manusia dalam pemanfaatan dan manipulasi sumberdaya lingkungan harus diantisipasi. Jika hal ini tidak dilakukan maka dapat mengakibatkan degradasi lingkungan yang akan merongrong pembangunan ekonomi. Selanjutnya, sebagai konsep pembangunan yang berkelanjutan dan lingkungan yang baik, maka harus dapat memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengurangi tuntutan generasi mendatang dalam mencukupi kebutuhannya sendiri (Meyer dan Harger, 1996). Pemahaman lain terhadap konsep berkelanjutan dikemukakan oleh Roderic dan Mappem 1997), bahwa berkelanjutan memerlukan pengelolaan tentang : (1) skala keberlanjutan ekonomi terhadap dukungan sistem ekologi, (2) pembagian distribusi sumberdaya dan kesempatan antara generasi sekarang dan generasi yang akan datang secara berimbang/adil, dan (3) efisiensi dalam pengalokasian sumberdaya. Kriteria pembangunan berkelanjutan (Comhar 2007), adalah adanya kesetaraan (equity), masa mendatang (futurity), valuasi lingkungan (environmental valuation). Sedangkan pokok-pokok pembangunan berkelanjutan terdiri dari 7 pokok yang dijabarkan ke dalam 12 prinsip, yaitu: 1. Pemenuhan kebutuhan manusia melalui penggunaan sumber daya efisien; a. Minimalisasi penggunaan sumber daya tak-terbarukan.
41 b. Minimalisasi penggunaan bahan pencemar/berbahaya dan minimalisasi limbah, serta penanganannya secara ramah lingkungan. 2. Kesetaraan antar generasi; a. Penggunaan sumberdaya yang sesuai dengan kapasitas untuk regenerasi. b. Perbaikan dan perawatan kualitas sumberdaya tanah dan air. 3. Penghormatan terhadap integritas lingkungan dan keanekaragaman hayati; a. Perbaikan dan perawatan kehidupan liar, habitat dan spesies. 4. Kesetaraan antar negara dan wilayah; a. Perlindungan terhadap udara dan atmosfir, serta minimalisasi dampak aktifitas manusia terhadap iklim. b. Pembangunan potensi sumber daya di satu wilayah tidak mengganggu kemampuan potensi sumber daya wilayah lain. 5. Kesetaraan sosial; a. Upaya memajukan kekhasan sosial guna meningkatkan kualitas kehidupan secara keseluruhan. b. Pembangunan berkelanjutan bergantung pada kerjasama dan persetujuan antar daerah. 6. Penghormatan terhadap keragaman/warisan budaya; a. Perbaikan dan perawatan kualitas lanskap, warisan lingkungan buatan manusia dan bersejarah, serta budaya. 7. Pengambilan keputusan yang baik; a. Penyampaian pengambilan keputusan hingga ke tingkat yang tepat. b. Peran serta semua pihak pada semua tingkat pengambilan keputusan.
2.5.2 Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Konsep pertanian berkelanjutan muncul pada awal 1980-an. Konsep pertama ini bertujuan membangun pertanian berdasarkan interaksi ekologis. Konsep kedua mulai tahun 1987, mulai banyak menggunakan istilah sustainable dengan arti pertanian yang stabil dalam arti ekosistem, serta melibatkan aspek pertanian dan interaksinya dengan masyarakat. Dengan kedua konsep tersebut, maka berkembanglah seruan untuk mengembangkan pertanian yang ekologis dan berkelanjutan untuk masa depan (Reinjtjes, 2003).
42 Pembangunan pertanian berkelanjutan dapat diartikan sebagai upaya pengelolaan sumberdaya dan usaha pertanian melalui penerapan teknologi pertanian dan kelembagaan secara berkesinambungan bagi generasi kini dan masa depan. Menurut Drommond et al., dalam Kusmuljono (2007), definisi komprehensif bagi pertanian berkelanjutan meliputi komponen-komponen ekologi, sosial, dan ekonomi, yang direpresentasikan dengan sistem pertanian yang melaksanakan pengurangan input bahan-bahan kimia dibandingkan pada sistem pertanian tradisional, erosi tanah terkendali, dan pengendalian gulma, memiliki efisiensi kegiatan pertanian (on-farm) dan bahan-bahan input maksimum, pemeliharaan kesuburan tanah dengan menambahkan nutrisi tanaman, dan penggunaan dasar-dasar biologi pada pelaksanaan pertanian. Konsep LEISA (low-external-input and sustainable agriculture) dikenal dalam pertanian berkelanjutan yaitu pertanian yang mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam dan manusia yang tersedia di tempat (seperti tanah, air, tumbuhan, tanaman, dan hewan lokal serta tenaga manusia, pengetahuan, dan keterampilan) dan yang secara ekonomis layak, mantap secara ekologis, disesuaikan menurut budaya dan adil secara sosial. Pemanfaatan input luar tidak dikesampingkan namun hanya sebagai pelengkap pemanfaatan sumberdaya lokal (Reinjtjes, 2003). Pertanian berkelanjutan dapat diterapkan melalui berbagai metoda, termasuk metoda pertanian organik, dengan syarat pemberian material organik dan input kimia minimum. 2.5.3 Pembangunan Infrastruktur Berkelanjutan Infrastruktur menurut Grigg, 1988 dalam Suripin (2003), diartikan sebagai fasilitas fisik suatu kota atau negara yang disebut pekerjaan umum, yang dikembangkan atau dibutuhkan oleh agen-agen publik untuk fungsi-fungsi pemerintahan dalam penyediaan air, tenaga listrik, pembuangan limbah, transportasi dan pelayanan-pelayanan similar untuk memfasilitasi tujuan-tujuan ekonomi dan sosial. American Public Works Association (APWA) telah mendefinisikan bahwa pekerjaan umum (public work) adalah : Public works are the physical structures and fasilities that are developed or acquired by the public agencies to house
43
governmental functions and provide water, power, waste disposal, transportation, and similar services to facilitate the achievement of common social and economic objectives (Stone, 1974 dalam Kodoatie, 2003). Definisi ini menjelaskan bahwa pekerjaan umum adalah konstruksi fisik berikut fasilitas-fasilitas yang dibangun atau disediakan oleh badan-badan pemerintahan antara lain penyediaan air, energi, pembuangan sampah, sarana transportasi, dan jasa-jasa lainnya yang sejenis untuk mencapai tujuan pengembangan ekonomi dan sosial. Definisi yang lain diberikan oleh AGCA (Associated General Contractors of America), untuk semua aset yang berumur panjang yang dimiliki oleh pemerintah daerah, maupun pusat dan utilitas yang dimiliki oleh pengusaha (Kwiatkowski dalam Suripin, 2003). Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (Depkimpraswil) mendefinisikan prasarana dan sarana sebagai berikut (CBUIM, 2002) : prasarana dan sarana merupakan bangunan dasar yang sangat diperlukan untuk mendukung kehidupan manusia yang hidup bersama-sama dalam suatu ruang yang terbatas agar manusia dapat bermukim dengan nyaman dan dapat bergerak dengan mudah dalam segala waktu dan cuaca, sehingga dapat hidup dengan sehat dan dapat berinteraksi satu dengan lainnya dalam mempertahankan kehidupannya. Infrastruktur berkelanjutan, merupakan bagian dari sumberdaya buatan, yang pembangunannya harus memperhatikan aspek-aspek keberlanjutan sosial yang artinya infrastruktur yang dibangun harus bermanfaat bagi masyarakat petani, memenuhi aspek keberlanjutan ekonomi yang artinya infrastruktur yang dibangun harus menguntungkan bagi pengembangan kawasan dan petani, serta memenuhi aspek keberlanjutan lingkungan yang artinya infrastruktur yang dibangun harus ramah lingkungan. Menurut GTZ (2003), infrastruktur dapat dibagi atas infrastruktur yang bersifat software (perangkat lunak), dan infrastruktur yang bersifat hardware (perangkat keras/bersifat fisik). Infrastruktur yang bersifat software (perangkat lunak) antara lain: 1. Layanan lembaga keuangan dan layanan terkait bisnis lainnya, misalnya: bank, jasa konsultan bisnis; 2. Layanan terkait kesehatan dan sosial/kesejahteraan masyarakat lainnya;
44 3. Kelompok-kelompok informal; 4. Pasar; 5. Layanan pos dan kurir; 6. Pelatihan. Sedangkan infrastruktur yang bersifat hardware (perangkat keras/bersifat fisik) pada dasarnya sangat luas dan banyak, namun menurut Grigg 1988 dalam Kodoatie (2003) secara umum terdiri dari 13 komponen sesuai dengan sifat dan karakternya, yaitu: 1. Sistem penyediaan air: waduk, penampungan air, transmisi dan distribusi, fasilitas pengolahan air (treatment plant); 2. Sistem pengelolaan air limbah: pengumpul, pengolahan, pembuangan, daur ulang; 3. Fasilitas pengelolaan limbah (padat); 4. Fasilitas pengendalian banjir, drainase dan irigasi; 5. Fasilitas lintas air dan navigasi; 6. Fasilitas transportasi : jalan, rel, bandar udara. Termasuk di dalamnya adalah tanda-tanda lalu lintas, fasilitas pengontrol; 7. Sistem transit publik; 8. Sistem kelistrikan: produksi dan distribusi; 9. Fasilitas gas alam; 10. Gedung publik: sekolah, rumah sakit; 11. Fasilitas perumahan publik. 12. Taman kota sebagai daerah resapan, tempat bermain termasuk stadion 13. Komunikasi. Dari
ketiga
belas
komponen
tersebut,
dapat
lebih
diperkecil
pengelompokannya ke dalam 7 grup infrastruktur (Grigg dan Fontane, 2000 dalam Kodoatie, 2003) yaitu: 1. Grup infrastruktur air; meliputi air baku, air bersih, air kotor, air hujan, dan pengendalian banjir; 2. Grup infrastruktur jalan; meliputi jalan raya, jalan kota, jalan desa, dan jembatan;
45 3. Grup infrastruktur sarana transportasi; meliputi terminal penumpang, terminal barang, jaringan rel dan stasiun kereta api, pelabuhan laut, dan pelabuhan udara; 4. Grup infrastruktur pengelolaan limbah; meliputi sistem manajemen limbah padat (persampahan), dan limbah cair ; 5. Grup infrastruktur bangunan; meliputi bangunan produksi, bangunan pengolahan, bangunan pemasaran (pasar), bangunan fasilitas umum, dan bangunan fasilitas sosial; 6. Grup infrastruktur energi; meliputi produksi dan distribusi listrik dan gas; 7. Grup infrastruktur telekomunikasi; meliputi telepon umum/seluler, dan internet. Infrastruktur yang bersifat hardware (perangkat keras/bersifat fisik), yang merupakan bagian dari sumberdaya buatan, rancangan pembangunannya harus memperhatikan aspek-aspek keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan sosial, dan keberlanjutan lingkungan, sehingga dapat menjamin kelestarian lingkungan hidup, menjaga keseimbangan biologis, memelihara kelestarian bahkan memperbaiki kualitas sumberdaya alam sehingga dapat terus diberdayakan. Sebagai suatu sistem yang terdiri dari banyak komponen, maka perencanaan dan perancangan infrastruktur harus mempertimbangkan keterkaitan dan keterpengaruhan antar komponen, beserta dampak-dampaknya. Perencanaan dan perancangan infrastruktur merupakan proses dengan kompleksitas tinggi, multi disiplin, multi sektor dan multi user. Oleh sebab itu, perencanaan dan perancangan infrastrtuktur tidak boleh sektoral, namun juga tidak bisa terlalu global. Jika perencanaan dan perancangan terlalu spesifik (bersifat sektoral) tanpa memperdulikan komponen lain, maka akan banyak bertabrakan dengan komponen lainnya. Sebaliknya jika terlalu global, hasilnya tidak akan efektif (Grigg, 1988 dalam Suripin, 2003).
2.6 Kawasan Agropolitan Sebagai Suatu Sistem Pengembangan yang Komprehensif Kawasan
agropolitan
merupakan
suatu
sistem,
yang
mengandung
kemajemukan yang tinggi, multi sektor, multi finance, dan multi displin ilmu
46 pengetahuan. Sebagai suatu sistem, kawasan agropolitan terdiri dari sub-sistem sub-sistem pengembangan, antara lain : (a) sub-sistem pengembangan sumberdaya manusia, (b) sub-sistem pengembangan sumberdaya alam, (c) sub-sistem pengembangan tata ruang, (d) sub-sistem pengembangan permukiman, (e) subsistem pengembangan usahatani, (f) sub-sistem pengembangan infrastruktur, (g) sub-sistem pengembangan teknologi dan informasi, (h) sub-sistem pengembangan permodalan, dan (i) sub-sistem pengembangan kelembagaan. Sub-sistem subsistem pengembangan di kawasan agropolitan disajikan pada Gambar 14.
sektorsektor terkait
SUMBERDAYA MANUSIA SUMBERDAYA ALAM TATA RUANG PERMUKIMAN
INFRASTRUKTUR (sebagai aspek penggerak sektor lain)
PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN MANDIRI
USAHATANI sektorsektor terkait
TEKNOLOGI PERMODALAN KELEMBAGAAN
Gambar 14 Kawasan agropolitan sebagai suatu sistem yang terdiri dari subsistem sub-sistem pengembangan. 2.7
Pendekatan Sistem Sistem adalah gugus atau kumpulan dari komponen yang saling terkait dan
terorganisasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau gugus tujuan tertentu (Manetsch dan Park 1977 dalam Hartrisari 2007). Pendekatan sistem adalah pendekatan terpadu yang memandang suatu objek atau masalah yang kompleks dan bersifat antar disiplin sebagai bagian dari sistem. Pendekatan sistem menggali elemen-elemen terpenting yang memiliki kontribusi yang signifikan terhadap tujuan sistem. Menurut Marimin (2005b) pendekatan sistem adalah suatu pendekatan analisa organisatoris yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisa. Pendekatan sistem sangat dibutuhkan dalam menyelesaikan
47 permasalahan-permasalahan
yang
kompleks
di
kawasan
agropolitan.
Kompleksitas permasalahan yang ada di kawasan agropolitan yang saling terkait dan saling mempengaruhi, jika upaya pemecahan masalahnya dilakukan dengan cara parsial, maka upaya untuk menunjang pengembangan kawasan agropolitan menjadi kawasan agropolitan mandiri akan sulit untuk diwujudkan di lapangan. Pendekatan sistem yang merupakan upaya penyelesaian yang bersifat menyeluruh (holistik), memfokuskan pada integrasi dan keterkaitan antar komponen. Menurut Jackson (2000) metodologi yang digunakan dalam pendekatan sistem bisa berupa Hard Systems Thinking (HST), maupun Soft Systems Methodology (SSM). Sejalan dengan hal tersebut, menurut Eriyatno dan Sofyar (2007) metodologi sistem dapat dibagi dua yaitu Hard Systems Methodology (HSM), maupun Soft Systems Methodology (SSM). Kedua metode ini akan digabungkan dalam penelitian ini menjadi suatu kesatuan sistem pengembangan KAMM menuju kawasan agropolitan mandiri. HSM akan terdiri dari berbagai metode pengumpulan, pengolahan dan analisis data yang berkaitan dengan fisik, lahan, hidrologi, sosial ekonomi, dan sosial budaya. Sementara SSM akan difokuskan pada metode pengumpulan dan analisis pendapat pakar (expert survey) dan stakeholders yang berkaitan dengan pemilihan alternatif dalam pembangunan infrastruktur KAMM. SSM lebih mengarah pada model yang bisa menghasilkan perancangan dan skenario. 2.8
Model Model merupakan penyederhanaan sistem. Karena sistem sangat kompleks,
tidak mungkin membuat model yang dapat menggambarkan seluruh proses yang terjadi dalam sistem. Model disusun dan digunakan untuk memudahkan dalam pengkajian sistem karena sulit dan hampir tidak mungkin untuk bekerja pada keadaan sebenarnya. Model kuantitatif menggunakan persamaan matematika untuk menggambarkan keterkaitan antar komponen sistem dapat bersifat statik maupun dinamik. Hanya model yang bersifat kuantitatif yang dapat digunakan untuk melakukan prediksi. Model dinamik menggambarkan proses perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu. Simulasi yang menggunakan model dinamik dapat memberikan penjelasan tentang proses yang terjadi dalam sistem
48 pengembangan kawasan agropolitan dan memprediksi hasil dari berbagai skenario untuk menuju kawasan agropolitan mandiri. Berdasarkan hasil simulasi model diperoleh alternatif-alternatif untuk menunjang pengambilan keputusan. Suatu model dinamik adalah kumpulan dari variabel-variabel yang saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya dalam suatu kurun waktu. Setiap variabel berkorespondensi dengan suatu besaran yang nyata. Semua variabel tersebut memiliki nilai numerik. Pada waktu mensimulasikan model, variabel-variabel akan saling dihubungkan membentuk suatu sistem yang dapat menirukan kondisi sebenarnya. Hubungan antara variabel dinamakan diagram alir (flow diagram). Variabel-variabel tersebut digambarkan dengan simbol aliran (flow symbol) dihubungkan dengan simbol level panah tebal --> (bisa barang, uang, orang, bisa penambahan dan pengurangan, dan lain-lain). Panah halus yang menghubungkan antara level dengan aliran adalah proses informasi umpan balik. Diagram alir menggambarkan struktur dari model, sedangkan hasil simulasi berupa gambar atau grafik menggambarkan perilaku dari sistem. 2.9
Tinjauan Studi-studi Terkait Terdahulu Hasil
penelitian
terdahulu
(Pranoto,
2005)
menitikberatkan
pada
pengembangan kebijakan perdesaan berkelanjutan melalui model pengembangan perdesaan, berdasarkan pada analisis kewilayahan, kelembagaan, dan sistem dinamis. Hasil analisis kelembagaan menunjukkan bahwa faktor kunci yang mendukung keberhasilan pembangunan agropolitan adalah SDM yang berkualitas, kemitraan usaha, pemasaran, dan kinerja lembaga penyedia input. Kendala utama yang terjadi di wilayah perdesaan menurut penelitian tersebut meliputi kepemilikan lahan yang sempit dan alih fungsi lahan, lembaga penyuluhan yang belum efektif, kualitas SDM yang rendah, perubahan perilaku usaha sulit, dan dukungan lembaga permodalan masih rendah. Peranan penyediaan infrastruktur dalam menunjang pengembangan kawasan agropolitan berkelanjutan belum dikaji secara mendalam pada penelitian tersebut. Kajian yang belum terinci terutama dalam rancangan model pembangunan infrastruktur yang dapat menunjang pengembangan sistem dan usahatani (agribisnis) di kawasan agropolitan untuk menunjang peningkatan produksi hasil
49 pertanian, menunjang pengolahan hasil, menunjang pemasaran, dan menunjang permukiman serta fasilitasnya. Studi lain (Sitorus, 2003) mencoba menganalisis kebutuhan infrastruktur di Kawasan Agropolitan Pacet Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat, melalui pendekatan masalah (problem approach). Hasil analisis kebutuhan infrastruktur di Kawasan Agropolitan Pacet menunjukkan bahwa tersedianya infrastruktur yang memadai dari segi kualitas dan kuantitas sangat berperan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi serta meningkatkan pendapatan petani di Kawasan Agropolitan Pacet. Pembangunan infrastruktur yang cukup maju secara pesat, tanpa didahului dengan master plan dan RPJM yang telah mendapat kekuatan hukum berupa peraturan daerah, ternyata dapat menimbulkan dampak negatif. Dampak negatif tersebut, antara lain: tumbuhnya bangunan-bangunan konstruksi berupa perumahan penduduk dan warung-warung di sepanjang jalan desa yang dibangun tanpa beraturan dan terkesan menjadi semrawut, dan rendahnya partisipasi masyarakat dalam memelihara dan memanfaatkan infrastruktur yang telah dibangun, sehingga ada beberapa infrastruktur yang belum dimanfaatkan secara optimal. Studi yang dilakukan oleh Sitorus (2003), menjelaskan bahwa berbagai infrastruktur belum menggunakan pendekatan sistem yang bersifat sibernatik, holistik, dan efektif (SHE), serta belum memperhatikan aspek-aspek keberlanjutan ekologi, ekonomi, dan sosial. Studi lain tentang agropolitan (Soesilo, 2008) mengkaji Model Pengelolaan Usahatani Sayuran Dataran Tinggi Berkelanjutan di Kawasan Agropolitan, dengan lokasi penelitian Kawasan Agropolitan Pacet Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat. Penelitian ini menghasilkan kajian kesesuaian komoditas unggulan dengan kondisi alam dan agroklimat, agar keberlanjutan usahatani sayuran dataran tinggi (USDT) dapat berjalan dengan baik. Dari segi ekologis, penelitian ini mengkaji tentang erosi yang terjadi pada lapisan atas lahan sebagai akibat aktivitas budidaya usahatani sayuran dataran tinggi (USDT). Kajian ini juga menawarkan konsep perlunya mencapai agropolitan lestari melalui pengembangan pertanian terpadu.
50 Studi lain (Thamrin, 2009) mengkaji Model Pengembangan Kawasan Agropolitan di Wilayah Perbatasan Kalimantan Barat-Malaysia Berbasis Potensi Pertanian Terpadu Perkebunan–Tanaman Pangan–Perkebunan. Kajian ini menemukan tingginya kebutuhan infrastruktur di kawasan agropolitan model perbatasan sebagai akibat dari karakteristik wilayah yang memanjang mengikuti garis wilayah perbatasan kedua negara, sehingga membutuhkan infrastruktur yang sangat tinggi. Dari hasil kajian yang dilakukan, direkomendasikan perlunya memperpanjang proses limit to growth dengan mengurangi tekanan penggunaan sumberdaya yang berlebihan yang bisa menyebabkan daya dukung lingkungan menjadi menurun. Rekomendasi lainnya adalah bahwa pentingnya membentuk lembaga khusus yang berbasis masyarakat untuk menangani pengembangan kawasan agropolitan setelah program rintisan selesai dari pemerintah, sebagai upaya untuk menjaga keberlanjutan pengelolaan kawasan agropolitan. Studi lain (Liny Tambajong, 2010) mengkaji Model Pengembangan Infrastruktur agropolitan berbasis komoditas unggulan kelapa di Sulawesi Utara. Hasil penelitian memperlihatkan secara keseluruhan dampak pengembangan model infrastruktur agropolitan pada lima subsistem agribisnis berimplikasi kepada tiga aspek sistem pembangunan berkelanjutan yaitu aspek social, aspek ekonomi, dan aspek lingkungan. Faktor penggerak kunci keberhasilan adalah penyediaan infrastruktur agribisnis kawasan untuk menunjang subsistem agribisnis hulu, subsistem usahatani, subsistem pengolahan hasil, subsistem pemasaran hasil serta subsistem jasa penunjang. Aktor penggerak adalah pemerintah sebagai leader, organisasi masyarakat sebagai partner pemerintah, akademisi sebagai pendamping, perbankan sebagai penopang permodalan petani, dan swasta sebagai partner petani. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa dengan pengembangan infrastruktur agropolitan berbasis komoditas unggulan kelapa
dapat
menciptakan
lapangan
pekerjaan
di
wilayah
perdesaan,
meningkatkan pendapatan petani, infrastruktur desa berkembang setara kota, mengurangi migrasi masyarakat desa ke kota sehingga hubungan desa-kota saling bersinergi.