TINJAUAN PUSTAKA Agropolitan Agropolitan adalah kota pertanian yang tumbuh dan berkembang yang mampu memacu berkembangnya sistem dan usaha agribisnis, sehingga dapat melayani,
mendorong,
menarik,
menghela
kegiatan
pembangunan
pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya. Menurut Suwandi (2005), agropolitan diartikan sebagai kota pertanian atau lokasi pusat sistem kawasan sentra atau aktivitas ekonomi berbasis pertanian, yang pada kawasan pertanian, yang tumbuh dan berkembang karena mampu melayani, mendorong, menghela pembangunan pertanian (agribisnis) desa-desa sentra produksi pertanian dan desa yang ada di sekitarnya. Friedman dan Douglass (1975), menyarankan kawasan agropolitan sebagai aktivitas pembangunan berpenduduk antara 50.000 sampai 150.000 orang. Menurut pemikiran Friedman, kawasan agropolitan terdiri dari distrik-distrik agropolitan dan distrik agropolitan didefinisikan sebagai kawasan pertanian pedesaan yang memiliki kepadatan penduduk rata-rata 200 jiwa per km2 dalam distrik agropolitan ini akan dijumpai kota-kota tani yang berpenduduk 10.00025.000 jiwa. Kawasan agropolitan terdiri dari kota pertanian dan desa-desa sentra produksi pertanian yang ada di sekitarnya, dengan batasan yang tidak ditentukan oleh batasan administrasi pemerintahan, tetapi lebih ditentukan dengan memperhatikan skala ekonomi yang ada. Dengan kata lain, kawasan agropolitan adalah kawasan agribisnis yang memiliki fasilitas perkotaan. Fasilitas tersebut antara lain : lembaga pasar, lembaga keuangan, lembaga pendidikan, lembaga penyuluhan dan ahli teknologi pertanian, lembaga kesehatan, jaringan jalan, irigasi, transportasi, telekomunikasi serta prasarana dan sarana umum lainnya. Sedangkan menurut Rustiadi et al. (2007) secara khusus pengembangan agropolitan diharapkan mampu berdampak langsung bagi masyarakat, yaitu (1) peningkatan pendapatan masyarakat melalui penurunan ongkos transportasi setelah terbangunnya jalur pasar, dan (2) peningkatan perekonomian pedesaan melalui berkembangnya sistem agribisnis di masyarakat.
6
Kawasan agropolitan adalah kawasan agribisnis atau sentra produksi pertanian terpilih dimana pada kawasan tersebut terdapat kota pertanian (agropolis) yang merupakan pusat pelayanan. Menurut Rustiadi dan Hadi (2006), agropolitan dapat diartikan sebagai : 1. Suatu
model
pembangunan
yang
mengandalkan
desentralisasi,
mengandalkan pembangunan infrastruktur setara kota di wilayah pedesaan dengan kegiatan pengelolaan agribisnis yang berkonsentrasi di wilayah pedesaan sehingga mendorong kegiatan ekonomi. 2. Pendekatan agropolitan dapat mengurangi dampak negatif pembangunan yaitu terjadinya urbanisasi yang tak terkendali, pengurasan sumberdaya alam dan pemiskinan desa. Agropolitan menjadi relevan dengan wilayah perdesaan karena pada umumnya sektor pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam memang merupakan mata pencaharian utama dari sebagian besar masyarakat perdesaan. Otoritas perencanaan dan pengambilan keputusan akan didesentralisasikan sehingga masyarakat yang tinggal di pedesaan akan mempunyai tanggung jawab penuh terhadap pekembangan dan pembangunan daerahnya sendiri. Pembangunan
Agropolitan
dengan
permasalahan
dan
tantangan
kewilayahan dalam pembangunan pedesaan pada dasarnya ditujukan untuk : (1) mendorong ke arah terjadinya desentralisasi pembangunan maupun kewenangan, (2) menangggulangi hubungan saling memperlemah antara pedesaan dengan perkotaan, (3) menekankan kepada pengembangan ekonomi bebasis sumberdaya lokal dan bagaimana melibatkan sebesar mungkin peran masyarakat pedesaan dalam pembangunan wilayah pedesaan (Rustiadi et al. 2007). Konsep agropolitan mencoba untuk mengakomodasi dua hal utama, yaitu menetapkan sektor pertanian sebagai sumber pertumbuhan ekonomi utama dan diberlakukannya ketentuan-ketentuan mengenai otonomi daerah. Terdapat syarat kunci untuk pembumian agropolitan yakni: (1) Produksi dengan bobot sektor pertanian, (2) Prinsip ketergantungan dengan aktivitas pertanian, (3) Prinsip pengaturan kelembagaan, dan (4). Prinsip seimbang dinamis. Keempat syarat kunci tersebut bersifat mutlak dan harus dikembangkan secara simultan dalam aplikasi pengembangan agropolitan.
7
Keberhasilan pelaksanaan program pengembangan agropolitan akan memberikan dampak teknis dan ekonomis secara nyata terhadap pembangunan wilayah, dalam bentuk : (a) harmonisasi dan keterkaitan hubungan yang saling menguntungkan antara daerah pedesaan dan perkotaan, (b) peningkatan produksi, diversifikasi, dan nilai tambah pengembangan agribisnis yang dinikmati secara bersama-sama oleh masyarakat dalam kawasan pengembangan agropolitan, (c) peningkatan pendapatan, pemerataan kesejahteraan, perbaikan penanganan lingkungan, dan keberlanjutan pembangunan pertanian dan pedesaan, dan (d) dalam konteks regional dan nasional akan terjadi efisiensi pemanfaatan sumberdaya, peningkatan keunggulan komparatif wilayah, perdagangan antar daerah, dan pemantapan pelaksanaan desentralisasi pembangunan. Sebagai sebuah pendekatan pengembangan wilayah, menurut Rustiadi et al. (2007) ada tiga tahap yang perlu dilakukan dalam pengembangan kawasan agropolitan. Tahap awal pengembangan agropolitan adalah penetapan lokasi. Tahap kedua adalah penyusunan produk tata ruang dan bentuk organisasi pengelolaan sesuai dengan kebutuhan, dan tahap ketiga adalah penguatan sumberdaya manusia dan kelembagaan. Dengan demikian aspek ruang dan penataan ruang menjadi suatu hal yang penting yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kawasan agropolitan. Hal ini juga dipertegas dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang secara khusus mengatur penataan ruang kawasan perdesaan pada pasal 48 dan tentang kawasan agropolitan pada pasal 51. Setidaknya terdapat dua unsur penataan ruang, pertama menyangkut unsur kelembagaan/institusional penataan ruang dan kedua menyangkut proses penataan fisik ruang. Unsur kelembagaan menyangkut aspek mengenai penyusunan aturanaturan (rule of game) dan aspek-aspek pengorganisasian dalam rangka mengimplementasikan aturan penataan ruang, sedangkan unsur fisik menyangkut aspek struktur ruang dan pola ruang. Eksistensi agropolitan juga memerlukan tatanan yang mendukung pola dan struktur ruang, yaitu : (1) tata sosial agropolitan, (2) tata ekonomi agropolitan, (3) tata fisik-spasial agropolitan, (4) tata sumberdaya pertanian agropolitan, dan (5) tata institusi agropolitan.
8
Komoditas Unggulan Strategi pembangunan pertanian melalui pendekatan sistem usaha agribisnis dapat mendorong pengembangan sektor pertanian melalui 3 (tiga) pendekatan yaitu optimalisasi sumber daya lokal, penetapan komoditas unggulan berdasarkan keunggulan komparatif dan kompetitf di setiap wilayah dan perwujudan sentra pengembangan komoditas unggulan atau kawasan sentra produksi. Pendekatan tersebut menekankan pengembangan komoditas unggulan dan peningkatan produksi pada wilayah yang terkonsentrasi. Menurut Syafa’at dan Priyatno (2000) konsep dan pengertian komoditas unggulan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi penawaran (supply) dan sisi permintaan (demand). Dilihat dari sisi penawaran, komoditas unggulan merupakan komoditas yang superior dalam menghasilkan produk. Sedangkan dari sisi permintaaan, komoditas unggulan merupakan komoditas yang memiliki permintaan yang kuat baik untuk pasar domestik maupun pasar internasional. Sehingga suatu komoditas dapat dikatakan komoditas unggulan jika mampu memproduksi dan memenuhi permintaan pasar. Pengertian tersebut dapat diartikan bahwa komoditas unggulan harus memilliki keunggulan komparatif. Keunggulan komparatif dapat dilihat melalui luas tanam atau jumlah produksi. Luas tanam dan produksi memperlihatkan banyaknya tanaman yang di tanam oleh petani di suatu wilayah. Komoditas unggulan secara tidak langsung mampu menjadi penggerak ekonomi (prime mover) pada wilayah tersebut, karena sebagai daerah yang memiliki potensi sumberdaya pertanian, aktivitas pertanian menjadi dominan dan tercermin melalui luas tanam dan produksi suatu komoditas. Sehingga pengembangan komoditas unggulan menjadi penting karena komoditas unggulan merupakan komoditas yang memiliki posisi strategis, baik berdasarkan pertimbangan biofisik maupun sosial ekonomi dan kelembagaan (penguasaan teknologi, kemampuan sumberdaya manusia, infrastruktur) untuk dikembangkan di suatu wilayah. Kedepan, keunggulan komparatif komoditas unggulan perlu ditingkatkan menjadi keunggulan yang kompetitif. Artinya pengembangan tidak hanya sebatas pemanfaatan sumber daya yang ada, tetapi harus didorong menuju pengembangan produk komoditas unggulan menjadi komoditas yang memiliki mutu yang baik dan komoditas yang memiliki nilai tambah (menjadi produk
9
olahan). Hal tersebut tentunya akan membawa komoditas unggulan mampu bersaing dalam memasuki segmen pasar yang lebih luas sekaligus memperbesar manfaat ekonomi melalui peningkatan nilai tambah dan penyerapan tenaga kerja. Lebih lanjut Alkadri et al. (2001) memaparkan beberapa kriteria mengenai komoditas unggulan antara lain : 1. Harus mampu menjadi penggerak utama (prime mover) pembangunan perekonomian, yakni dapat memberikan kontribusi yang signifikan pada peningkatan produksi, pendapatan dan pengeluaran. 2. Mempunyai keterkaitan ke depan dan ke belakang (forward and backward looking linkages) baik terhadap sesama komoditas unggulan maupun komoditas lain. 3. Mampu
bersaing
dengan
produksi
sejenis
dari
wilayah
lain
(competitiveness) baik dalam harga produk, biaya produksi dan kualitas pelayanan. 4. Memiliki keterkaitan dengan wilayah lain (regional linkages) dalam hal pasar/konsumen maupun pemasok bahan baku. 5. Mampu menyerap tenaga kerja secara optimal sesuai dengan skala produksinya. 6. Dapat bertahan dalam jangka panjang mulai dari fase kelahiran (increasing), pertumbuhan (growth) hingga fase kejenuhan (maturity) atau penurunan (decreasing). 7. Tidak rentan terhadap gejolak internal dan eksternal. 8. Pengembangannya mendapat berbagai dukungan, misalnya informasi dan peluang pasar, kelembagaan, fasilitas, insentif dan lain-lain.
Pemillihan Jenis Tanaman dan Pola Tanam Pembangunan pertanian harus senantiasa memperhatikan perubahan ke arah yang lebih maju. Kemajuan dapat dipacu dengan pengenalan teknologi baru dalam pertanian. Teknologi pertanian dapat berarti cara bertani, dimana di dalamnya terdapat berbagai kombinasi cabang-cabang usahatani yang dapat menggunakan lahan, tenaga kerja dan modal milik petani dengan sebaik-baiknya. Peningkatan produktivitas pertanian dapat dilakukan dengan penggunaan sumberdaya yang
10
dimiliki petani, seperti lahan, tenaga kerja dan modal secara optimal. Dengan pengalokasian sumberdaya yang optimal tersebut akan diperoleh hasil yang terbaik, sehingga memberikan pendapatan maksimal bagi petani. Perencanaan pengembangan sistem usahatani pada dasarnya adalah suatu proses memutuskan apa yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah mengenai pembangunan pertanian melalui kebijaksanaan dan kegiatan yang dapat mempengaruhi pembangunan pertanian selama jangka waktu tertentu. Bahwa merencanakan sistem usahatani jauh lebih sukar daripada merencanakan pembangunan industri, karena kegiatan usahatani dilakukan oleh jutaan petani dengan skala usahatani yang kecil-kecil dan berbeda-beda. Petani sebagai pelaksana produksi akan selalu berusaha menaikkan produksinya agar memperoleh keuntungan. Usaha peningkatan produksi pertanian tanaman pangan menurut Norse dalam Siregar (1993) dapat dilakukan melalui empat cara yaitu: (1) memperluas, memperbaiki dan rehabilitasi tanah pertanian, (2) modifikasi pola tanam (cropping pattern) dari jenis tanaman berpotensi rendah, dengan jenis yang lebih unggul, (3) meningkatkan produksi persatuan luas lahan dengan menggunakan benih unggul, pemupukan dan pemberantasan hama/penyakit, dan (4) mengubah sistem pertanian dari ekstensif ke arah intensif dengan cara memperluas usaha, sehingga lahan dimanfaatkan untuk jenis pertanian lain. Tindakan sederhana yang mungkin dilakukan petani hortikultura adalah dengan modifikasi pola tanam. Modifikasi pola tanam dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: (1) menyusun pola tanam yang didasarkan pada teknologi yang terbaik yang sudah dimiliki, dan (2) belajar dari apa yang telah dilakukan petani. Yang dimaksud pola tanam adalah suatu usaha penanaman pada suatu bidang lahan dengan mengatur pola pertanaman, sedangkan pola pertanaman adalah suatu susunan tata letak dan tata urutan tanaman pada sebidang lahan selama periode tertentu, termasuk pengolahan dan bera. Beberapa penelitian menjelaskan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan jenis tanaman dan pola tanam oleh petani. Faktor-faktor yang diidentifikasi antara lain yaitu; biofisik, ekonomi dan sosial-budaya. Faktor biofisik menyakut tentang kesesuaian tanaman terhadap karakteristik lahan, faktor ekonomi berkaitan dengan harga dan akses pasar, sedangkan faktor sosial-budaya merupakan faktor yang mempengaruhi pemilihan
11
tanaman namun tidak bersinggungan langsung. Suharjito (2002) menyatakan bahwa petani memilih jenis tanaman yang pada satu sisi dapat menghasilkan produk yang dapat langsung dikonsumsi oleh keluarga, pada sisi lain dapat dipasarkan untuk memperoleh pendapatan uang. Pola tanam yang dilakukan oleh petani dipengaruhi faktor produksi yang dimiliki oleh petani. Faktor-faktor produksi yang mempengaruhi pola tanam baik secara langsung atau tidak langsung adalah lahan, tenaga kerja keluarga, teknologi, modal, kredit, input yang dibeli, pasar, manajemen, iklim dan irigasi. Modal merupakan kendala bagi petani kecil setelah kendala lahan. Menurut Mubyarto et al. (1986) modal merupakan unsur esensial dalam mendukung peningkatan produksi dan taraf hidup petani. Pemilihan dalam pengusahaan berbagai cabang-cabang usahatani sangat mempengaruhi pendapatan petani. Sedangkan Kuntjoro dan Utami (1997) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani sekaligus merupakan tujuan dalam memilih pola pertanaman yang akan diusahakan yaitu: (1) untuk memenuhi kebutuhan keluarga, (2) untuk memperoleh memenuhi pendapatan, (3) meratakan penyebaran tenaga kerja, dan (4) mengurangi resiko. Oleh sebab itu petani berusaha mengalokasikan sumberdaya yang dimilikinya (seperti lahan, tenaga kerja dan modal) untuk mencapai kombinasi yang terbaik dari cabang-cabang usahatani. Pemilihan pola tanam dapat berubah setiap tahun karena perubahan dari status sumberdaya yang dikuasai, perubahan teknologi usahatani, perubahan harga dan kebijakan dalam pembangunan pertanian. Jones dan Egli (1984) mengemukakan bahwa usaha tani yang baik untuk dikembangkan di suatu daerah harus merupakan usaha tani yang memberikan keuntungan yang tinggi, sesuai dengan sumberdaya yang tersedia dan kemampuan petani dalam mengelolanya. Pola usahatani yang optimal merupakan pola usahatani yang berinteraksi baik antara komponen produksinya maupun dengan kondisi sosial ekonomi petani dan lingkungannya. Menurut Sudaryono (1997), model usahatani pilihan harus memenuhi asas kemantapan dan ketepatan pemanfaatan lahan menurut matra (dimensi) ruang dan waktu serta terjaminnya kelestarian sumberdaya lahan dan lingkungan. Pilihan usaha tani harus bersifat
12
rasional untuk memperbesar peluang keberhasilan sistem produksi yang berkelanjutan.
Perencanaan Penggunaan Lahan Sektor pertanian merupakan salah satu sektor dibidang ekonomi yang memiliki arti dan kedudukan penting dalam pembangunan nasional. Sektor ini berperan sebagai sumber penghasil bahan makan, sumber bahan baku bagi industri, mata pencaharian sebagian besar penduduk, penghasil devisa negara dari ekspor komoditinya bahkan berpengaruh besar terhadap stabilitas dan keamanan nasional. Namun keberadaan sumberdaya lahan yang terbatas tidak mampu mengimbangi kebutuhan lahan yang sangat pesat baik dari sektor pertanian maupun non pertanian, akibatnya timbul persaingan penggunaan lahan yang saling tumpang tindih dan tidak memperhatikan aspek kelestarian lingkungan. Berbagai usaha pengembangan perlu dilakukan, diantaranya dengan membuat suatu perencanaan yang tepat dan rasional baik melalui aspek teknis maupun non teknis. Aspek teknis dapat dilakukan di antaranya dengan menentukan potensi wilayah sedangkan aspek non teknis dapat dilakukan dengan pendekatan kebijaksanaan bagi pengembangan wilayah tersebut. Kedua aspek ini akan saling berkaitan erat terhadap keberhasilan proses dan hasil pembangunan suatu wilayah. Aspek teknis merupakan salah satu cara yang tepat dan mendasar bagi perencanaan pembangunan wilayah karena dengan cara ini dapat diketahui potensi dan daya dukung lahan di wilayah tersebut untuk jenis-jenis penggunaan lahan yang dipertimbangkan dengan didukung teknologi yang sesuai. Perencanaan penggunaan lahan pada dasarnya adalah inventarisasi dan penilaian keadaan (status), potensi dan pembatas-pembatas dari suatu daerah tertentu dan sumberdayanya. Proses ini berinteraksi dengan penduduk setempat atau dengan orang-orang yang menaruh perhatian terhadap daerah tersebut, terutama kebutuhan-kebutuhan mereka, aspirasi dan keinginan pada masa datang (Soil Survey Staf, 1982, dalam Hardjowigeno, 1983). Penilaian potensi wilayah merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk mencari lahan yang memang berpotensi bagi pembangunan pertanian. Dengan dilakukannya penilaian potensi wilayah ini diharapkan akan dihasilkan
13
suatu perencanaan pembangunan pertanian yang tepat dan rasional, dimana pemanfaatan lahannya dapat optimum, lestari dan berkelanjutan. Penilaian potensi wilayah ini dilakukan melalui analisis potensi wilayah baik secara fisik maupun sosial ekonomi. Dengan pendekatan tersebut diharapkan dihasilkan penilaian potensi komoditas wilayah yang mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif. Penilaian potensi lahan dilakukan melalui penilaian kesesuaian lahan. Kesesuaian lahan dilakukan untuk tujuan evaluasi lahan yaitu menentukan nilai (kelas) suatu lahan untuk tujuan penggunaan tertentu. FAO (1976) menyatakan dalam evaluasi lahan perlu juga memperhatikan aspek ekonomi, sosial, serta lingkungan dan berkaitan dengan perencanaan tata guna tanah. Dalam tahapan evaluasi lahan harus ditetapkan tujuan yang jelas mengapa evaluasi lahan itu dilakukan. Selanjutnya menentukan faktor-faktor yang digunakan sebagai penciri, dimana faktor-faktor tersebut harus merupakan sifat-sifat yang dapat diukur atau ditaksir dan erat hubungannya dengan tujuan evaluasi. Evaluasi kesesuaian lahan dilakukan dengan cara membandingkan kualitas lahan masing-masing satuan lahan dengan persyaratan penggunaan lahan yang akan diterapkan. FAO (1976) menjelaskan bahwa pendekatan dalam evaluasi lahan dapat dilakukan melalui dua cara yaitu : 1. Pendekatan dua tahap (two stage approach) Tahap pertama dari pendekatan ini adalah merupakan evaluasi lahan secara kualitatif, sedangkan tahap kedua (kadang-kadang tidak dilakukan) terdiri dari analisa ekonomi dan sosial. Pendekatan dua tahap ini sering dilakukan untuk evaluasi perencanaan penggunaan lahan secara umum dalam tingkat survai tinjau. Pendekatan dua tahap ini lebih sistematis karena memiliki kegiatan yang jelas terpisah. Survei tanah fisik dilakukan lebih dulu, baru kemudian survei dan analisis sosial-ekonomi, sehingga memungkinkan penjadwalan kegiatan dan penggunaan staf. 2. Pendekatan paralel (parallel approach) Pendekatan paralel merekomendasikan analisis ekonomi dan sosial terhadap jenis penggunaan lahan yang direncanakan dilakukan secara bersamaan dengan analisis sifat-sifat fisik dan lingkungan dari lahan
14
tersebut. Hasil pendekatan ini biasanya memberi petunjuk mengenai modifikasi penggunaan lahan untuk mendapatkan hasil yang sebaikbaiknya. Pendekatan paralel diharapkan dapat memberi hasil yang lebih tepat dalam waktu yang lebih cepat. Cara ini memberi kemungkinan yang lebih baik untuk memusatkan kegiatan survei dan pengumpulan data pada keterangan-keterangan yang diperlukan untuk evaluasi. Sistem FAO (1976) membagi kesesuaian lahan menjadi 4 (empat) kategori, yaitu; ordo, kelas, sub kelas, dan unit. Kesesuaian lahan tingkat ordo dan kelas biasanya digunakan dalam pemetaan tanah tinjau, sub kelas untuk pemetaan tanah semi detail, dan unit biasanya digunakan untuk pemetaan skala terinci (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007).
Perencanaan Usahatani Saat
kebijakan
pemerintah
tidak
menyentuh
kesejahteraan
petani,
pergerakan harga merupakan salah satu faktor yang paling menarik bagi petani dalam menentukan pola tanam. Komoditas dengan harga tinggi paling banyak diminati oleh petani karena menjanjikan masukan ekonomi yang besar. Banyak petani melaksanakan budidaya tanpa memprediksi harga jual pada saat panen melainkan berdasarkan harga jual pada saat tanam. Keputusan ini dapat beresiko karena sejatinya harga komoditas tiap bulannya bervariasi bergantung pada interaksi produksi yang ada dan tingkat kebutuhan. Perencanaan penggunaan lahan menjadi penting untuk mengatasi resiko ini. Distribusi luas tanam dan rencana kebutuhan produksi komoditas dalam satu satuan waktu menjadi salah satu strategi mengoptimalkan penggunaan lahan. Dengan perencanaan ini diharapkan dapat menyeimbangkan kebutuhan dengan produksi yang cukup, sehingga diharapkan kestabilan harga terjaga. Kemampuan produksi kawasan pertanian terhadap suatu komoditas dibatasi oleh ketersediaan lahan ditambah dengan konflik prioritas penggunaan lahan. Pemerintah daerah memiliki pemanfaatan pola ruang yang tercantum dalam RTRW. Pola ruang ini mengatur porsi dan lokasi penggunaan lahan bagi sektor pembangunan. Merupakan sebuah tantangan dalam perencanaan penggunaan lahan dalam mengakomodasi kebutuhan produksi suatu komoditas dan bagaimana
15
mengoptimasi berbagai kebutuhan dengan luasan lahan yang terbatas. Sedangkan bagi petani tantangan terbesar adalah bagaimana mengoptimalkan penguasaan lahan yang dimiliki. Sebagian besar petani di Indonesia hanya memiliki lahan yang sempit. Menurut Soekartawi (1993), salah satu ciri petani kecil adalah kepemilikan lahannya sempit yaitu lebih kecil dari 0,25 ha lahan sawah di Pulau Jawa atau 0,50 ha di luar Jawa, sedangkan untuk lahan tegalan, kepemilikannya kurang dari 0,50 ha di Jawa atau 1,00 ha di luar Jawa. Dengan terbatasnya sumberdaya yang tersedia dalam usahatani, suatu perencanaan usahatani sebaiknya diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : (1) membantu petani meningkatkan produksi dan pendapatan, (2) membantu merencanakan penggunaan sumberdaya produksi serta metode kerja petani, dan (3) menaksir produksi dan pendapatan yang akan diperoleh (Soekartawi et al. 1985). Peningkatan pendapatan petani dan pencapaian tujuan pembangunan daerah berdasarkan potensi sumberdaya dapat dilakukan dengan perencanaan. Perencanaan dapat dilihat sebagai suatu alat atau cara untuk mencapai tujuan. Alasan lain yang lebih kuat untuk melakukan perencanaan adalah sebagai berikut (Bintoro, 1986): 1. Dengan perencanaan diharapkan terdapat suatu pengarahan kegiatan, adanya pedoman bagi pelaksana kegiatan yang ditujukan pada pencapaian tujuan. 2. Dengan perencanaan dapat dilakukan suatu perkiraan terhadap hal-hal yang akan dilalui dalam masa pelaksanaan. Perkiraan yang dilakukan mengenai potensi-potensi dan prospek-prospek perkembangan dan juga mengenai hambatan-hambatan dan resiko-resiko yang mungkin dihadapi. Dengan perencanaan diusahakan supaya ketidakpastian dapat diusahakan sesedikit mungkin. 3. Perencanaan memberikan kesempatan untuk memilih berbagai alternatif tentang cara terbaik atau kesempatan untuk memilih kombinasi yang terbaik. 4. Dengan perencanaan yang tepat dapat disusun skala prioritas, yaitu memilih urutan-urutan dari segi pentingnya tujuan, sasaran maupun kegiatan usahanya.
16
5. Dengan adanya perencanaan maka akan ada suatu alat pengukuran atau standar untuk mengadakan evaluasi. Soekartawi et al. (1985) menyatakan perencanaan usahatani dapat dilakukan melalui pendekatan dengan program (programming approach) yang ditujukan untuk memilih dan mengkombinasikan kegiatan tanaman yang menghasilkan keadaan yang optimal. Salah satunya dengan metode program linear (linear programming). Program linear dapat digunakan untuk memilih kombinasi beberapa kegiatan yang dapat memaksimalkan pendapatan kotor. Metode ini juga memberikan tambahan informasi ekonomi yang berguna mengenai pemecahan yang optimal. Menurut Kasryno dalam Sumantri (1991) metode program linear untuk membahas persoalan optimasi mempunyai beberapa kelebihan dibanding dengan metode lainnya, yaitu : (1) lebih efisien dalam penggunaan waktu, biaya dan menganalisis hasil penggunaan data, (2) analisis ekonomi dapat dikembangkan sekaligus walaupun kegiatan ekonomi dikatagorikan atas dasar wilayah, sektor serta waktu, dan (3) solusi program linear dapat memberikan informasi tentang struktur kait-mengkait dan keuntungkan komparatif dalam sektor pertanian, potensi produksi dan kesempatan kerja, pola produksi dan konsistensi dari kebijakan pertanian.