3 AGROPOLITAN DAN AGROINDUSTRI
3.1 Konsep Pengembangan Kawasan Agropolitan Menurut Mercado (2002) dan Nurzaman (2005), Agropolitan development adalah salah satu bentuk konsep pembangunan dari bawah yang dapat menghasilkan pemerataan pendapatan lebih cepat dibandingkan pendekatan growth pole. Menurut Douglass (1998b) dan Hastuti (2001), pendekatan growth pole menginspirasikan terbentuknya pusat-pusat pertumbuhan di perkotaan, dan diharapkan dengan terbentuknya pusat pertumbuhan tersebut akan terjadi proses penetesan pembangunan ke daerah-daerah belakang (trickle down process) dan pemerataan akan terjadi secara “otomatis” dari kutub-kutub pertumbuhan ke daerah
belakang
tersebut
(hinterland).
Namun
kenyataannya
penetesan
pembangunan tidak terjadi, dan yang terjadi adalah pengurasan sumberdaya yang dimiliki daerah oleh pusat secara besar-besaran (massive backwash effect). Menurut Stohr (1981), untuk menghindari backwash effect dari wilayah yang sudah lebih maju, kawasan agropolitan secara seleksi tertutup dari hubungan khusus dengan wilayah lainnya (selective spatial closure). Berbagai keputusan, baik dalam pemilihan teknologi produksi yang dipakai, tujuan pembangunan, maupun inisiatif untuk membangun, diserahkan kepada penduduk setempat. Demikian juga faktor produksi seperti lahan, harus dimiliki oleh penduduk setempat. Agropolitan terdiri dari dua kata Agro dan politan (polis). Agro berarti pertanian dan politan berarti kota, sehingga Agropolitan dapat diartikan sebagai kota pertanian atau kota di daerah lahan pertanian atau pertanian di daerah kota. Agropolitan adalah kota pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis serta mampu melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya. Menurut Anwar (1999), secara kumulatif, dengan adanya agropolitan maka akan tercipta berbagai peluang dalam pengembangan wilayah seperti tumbuhnya industri yang berbasis pada pertanian, peningkatan produk lokal dan permintaan akan barang-barang lokal, penyerapan tenaga kerja, dan berbagai
26 keuntungan lain.
Proses kumulatif dari perkembangan wilayah dengan pusat
pertumbuhan dapat dilihat pada Gambar 2. Perusahaan industri baru yang memilih lokasi pada tempat di wilayah perdesaan tertentu
Peningkatan lapangan kerja dan pendapatan penduduk
Peningkatan keuntungan aglomerasi pada suatu agropolitan
Peluasan produk-produk perusahaan lokal
Peningkatan pola penyerapan tenaga kerja Peningkatan permintaan akan barang dan jasa lokal
Perluasan sektor jasa/pelayanan Peningkatan keuntungan kepada pemerintah lokal
Peningkatan prasarana lokal
Gambar 2 Proses kumulatif dari pertumbuhan suatu wilayah yang didukung oleh suatu tempat pemusatan (Anwar 1999).
Menurut Soenarno (2003), kawasan agropolitan diartikan sebagai sistem fungsional desa-desa yang ditunjukkan dari adanya hirarki keruangan desa, yakni dengan adanya pusat agropolitan dan desa-desa di sekitarnya membentuk kawasan agropolitan (Gambar 3).
Kawasan tersebut terkait dengan sistem pusat-pusat
pemukiman nasional dan sistem pemukiman pada tingkat propinsi dan kabupaten.
DPP
Pasar/Global DPP
DPP
Keterangan:
Penghasil bahan baku Pengumpul bahan baku Sentra produksi Kota kecil/pusat regional Kota sedang/besar
DPP
Batas kawasan lindung Batas kawasan agropolitan Desa pusat pertumbuhan Jalan & dukungan sarana prasarana
Gambar 3 Konsep pengembangan kawasan agropolitan (Soenarno 2003)
27 Agropolitan berada dalam kawasan pemasok hasil pertanian (sentra produksi pertanian) yang memberikan kontribusi yang besar terhadap mata pencaharian dan kesejahteraan masyarakatnya. Selanjutnya kawasan pertanian tersebut (termasuk kotanya) disebut dengan kawasan agropolitan. Kota pertanian dapat merupakan kota menengah atau kota kecil atau kota kecamatan atau kota perdesaan atau kota nagari yang berfungsi sebagai pusat pertumbuhan ekonomi yang mendorong pertumbuhan pembangunan perdesaan atau wilayah sekitarnya melalui pengembangan ekonomi, yang tidak terbatas sebagai pusat pelayanan sektor pertanian, tetapi juga pembangunan sektor secara luas seperti usaha pertanian (on farm dan off farm), industri kecil, pariwisata, jasa pelayanan, dan lain-lain. Batasan suatu kawasan agropolitan tidak ditentukan oleh batasan administratif pemerintah (desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten) tetapi lebih ditentukan dengan memperhatikan economic of scale dan economic of scope. Oleh karena itu, penetapan kawasan agropolitan hendaknya dirancang secara lokal dengan memperhatikan realitas perkembangan agribisnis yang ada di setiap daerah. Dengan demikian bentuk dan luasan kawasan agropolitan, dapat meliputi satu wilayah Desa/kelurahan atau kecamatan atau beberapa kecamatan dalam kabupaten/kota atau dapat juga meliputi wilayah yang dapat menembus wilayah kabupaten/kota lain yang berbatasan. Kotanya dapat berupa kota desa, kota nagari, kota kecamatan, kota kecil atau kota menengah. Suatu kawasan agropolitan yang sudah berkembang memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Friedmann & Douglass 1976; Friedmann 1996; Soenarno 2003; Ferrario 2009): 1. Sebagian besar masyarakat di kawasan tersebut memperoleh pendapatan dari kegiatan pertanian (agribisnis). 2. Kegiatan di kawasan tersebut sebagian besar di dominasi oleh kegiatan pertanian atau agribisnis, termasuk di dalamnya usaha industri (pengolahan) pertanian, perdagangan hasil-hasil pertanian (termasuk perdagangan untuk kegiatan ekspor), perdagangan agribisnis hulu (sarana pertanian dan permodalan), agrowisata dan jasa pelayanan.
28 3. Hubungan antara kota dan daerah-daerah hinterland / daerah-daerah sekitarnya di kawasan agropolitan bersifat interdepedensi/timbal balik yang harmonis,
dan
saling
membutuhkan,
dimana
kawasan
pertanian
mengembangkan usaha budidaya (on farm) dan produk olahan skala rumah tangga
(off
farm),
sebaliknya
kota
menyediakan
fasilitas
untuk
berkembangnya usaha budidaya dan agribisnis seperti penyediaan sarana pertanian, modal, teknologi, informasi pengolahan hasil dan penampungan (pemasaran) hasil produksi/produk pertanian. 4. Kehidupan masyarakat di kawasan agropolitan mirip dengan suasana kota karena keadaan sarana yang ada di kawasan agropolitan tidak jauh berbeda dengan di kota. Sarananya terdiri dari: pasar, fasilitas sekolah, fasilitas kesehatan dan fasilitas telekomunikasi. Agropolitan merupakan kawasan yang diharapkan terjadi desentralisasi perencanaan dan pengambilan keputusan. Hal ini akan mencegah hiperurbanisasi, ketergantungan daerah miskin pada daerah kaya, pengangguran yang meningkat di perkotaan, kekurangan makanan yang terus menerus dan semakin besar dan kesejahteraan penduduk perdesaan yang memburuk (Friedmann & Douglas 1976). 3.2 Syarat, Tujuan dan Sasaran Pengembangan Kawasan Agropolitan
Agar pembangunan kawasan agropolitan berkelanjutan, maka diperlukan beberapa syarat, yaitu: (1) Harus diupayakan otonomi lokal sehingga setiap kawasan memiliki wewenang dan sumber-sumber ekonomi sehingga dapat merencanakan dan melaksanakan sendiri pembangunannya, (2) Keuntungan yang diperoleh dari kegiatan setempat harus ditanam kembali untuk menaikkan dayahasil dan menciptakan suatu keadaan yang mendorong pertumbuhan ekonomi selanjutnya, dan (3) Pemakaian sumberdaya alam yang lebih rasional dan produktif dengan menentukan batas-batas minimum dan maksimum luas tanah milik/land reform (Friedmann & Douglas 1976). Tujuan pengembangan kawasan agropolitan adalah untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat melalui percepatan pengembangan wilayah
dan peningkatan keterkaitan desa dan kota dengan mendorong
berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing berbasis
29 kerakyatan, berkelanjutan (tidak merusak lingkungan) dan terdesentralisasi (wewenang berada di Pemerintah Daerah dan Masyarakat) di kawasan agropolitan. Dengan berkembangnya sistem dan usaha agribisnis maka di kawasan agropolitan tersebut tidak saja membangun usaha budidaya (on farm) saja tetapi juga “off farm"nya, yaitu usaha agribisnis hulu (pengadaan sarana pertanian), agribisnis hilir (pengolahan hasil pertanian dan pemasaran) dan jasa penunjangnya, sehingga akan mengurangi kesenjangan pendapatan antar masyarakat, mengurangi kemiskinan dan mencegah terjadinya urbanisasi tenaga produktif, serta akan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) (Deptan, 2003). Sasaran pengembangan kawasan agropolitan menurut Deptan (2003), adalah untuk mengembangkan kawasan pertanian, melalui kegiatan-kegiatan berikut: 1. Pemberdayaan masyarakat pelaku agribisnis agar mampu meningkatkan produksi, produktifitas komoditi pertanian serta produk-produk olahan pertanian, yang dilakukan dengan pengembangan sistem dan usaha agribisnis yang efisien dan menguntungkan serta berwawasan lingkungan, 2. Penguatan kelembagaan petani, 3. Pengembangan
kelembagaan
sistem
agribisnis
(penyedia
agroinput,
pengolahan hasil, pemasaran dan penyediaan jasa), 4. Pengembangan kelembagaan penyuluhan pembangunan terpadu, 5. Pengembangan iklim yang kondusif bagi usaha dan investasi. Sejak tahun 2002, pemerintah Indonesia telah melakukan program rintisan pengembangan agropolitan secara terpadu lintas sektor, yang melibatkan Departemen
Pertanian/Deptan,
Wilayah/Depkimpraswil
serta
Departemen Departemen
Pemukiman Dalam
Negeri
dan dan
Prasarana Otonomi
Daerah/Depdagriotda. Program tersebut dimaksudkan untuk membentuk suatu kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan, perkebunan, tanaman pangan, dan hortikultura.
Tujuan program rintisan pengembangan agropolitan adalah
meningkatkan percepatan pembangunan wilayah, meningkatkan keterkaitan desa dan kota serta mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis pada daerah potensi sebagai kawasan pengembangan agropolitan (Deptan, 2003).
30 Program
pengembangan
agropolitan
tersebut
dimulai
dengan
ditetapkannya tujuh program rintisan oleh tim perencana departemen terkait seperti Deptan, Depkimpraswil, dan Depdagriotda sebagai berikut: (1) Kabupaten Agam (Sumatera Barat) dan Kabupaten Barru (Sulawesi Selatan) sebagai wilayah agropolitan berbasis agribisnis peternakan, (2) Kabupaten Bangli (Bali) dan Kabupaten Kulonprogo (DIY) sebagai wilayah agropolitan berbasis agroindustri perkebunan, (3) Kabupaten Cianjur (Jabar) dan Kabupaten (Rejang Lebong (Bengkulu) sebagai wilayah agropolitan berbasis agribisnis hortikultura, dan (4) Kabupaten Boalemo (Gorontalo) sebagai wilayah agropolitan berbasis agribisnis tanaman pangan. Selanjutnya diharapkan secara bertahap dan berjangka panjang kawasan agropolitan dapat dikembangkan di daerah-daerah lain di seluruh Indonesia sesuai potensi dan sumberdaya yang dimiliki (Ditjen Bina Produksi Peternakan Deptan 2003). Pada tahun 2003, jumlah daerah yang dikembangkan telah mencapai 52 kabupaten di 29 propinsi.
Tiga belas kabupaten
mengembangkan program tanpa fasilitas pemerintah atau swadana (Departemen Pertanian, 2002). Pada Februari 2006, terdaftar 98 kabupaten dari 31 propinsi yang mengembangkan kawasan Agropolitan (Deptan 2007). Menurut Djakapermana (2003), pengembangan kawasan agropolitan tidak bisa terlepas dari pengembangan sistem pusat-pusat kegiatan nasional (RTRWN) dan sistem pusat kegiatan pada tingkat Propinsi (RTRW Propinsi) dan Kabupaten (RTRW Kabupaten). Hal ini disebabkan, rencana tata ruang wilayah merupakan kesepakatan bersama tentang pengaturan ruang wilayah. Terkait dengan Rencana Tata Ruang Nasional (RTRWN), maka pengembangan kawasan agropolitan harus mendukung pengembangan kawasan andalan.
3.3 Tahapan Pengembangan Agropolitan
Menurut Rustiadi dan Hadi (2004), tahap awal pengembangan agropolitan adalah penetapan lokasi sesuai dengan persyaratan agropolitan. Tahap berikutnya adalah penyusunan produk tata ruang dan bentuk organisasi pengelolaan sesuai dengan kebutuhan.
Setelah itu tahap penguatan sumberdaya manusia dan
kelembagaan, sehingga bisa dihindari adanya peluang pengaliran nilai tambah yang tidak terkendali keluar kawasan. Penguatan kelembagaan lokal dan sistem
31 kemitraan menjadi prasyarat utama yang harus ditempuh terlebih dahulu dalam pengembangan agropolitan. Pengembangan infrastruktur fisik di kawasan agropolitan dilakukan setelah tahap-tahap di atas dilakukan, agar tidak terjadi penyimpangan terhadap tujuan pengembangan kawasan agropolitan. Harun (2004) dan Suwandi (2005), mengemukakan bahwa ditinjau dari aspek tata ruang maka secara umum struktur hirarki sistem kota-kota agropolitan dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Orde yang paling tinggi (kota tani utama) dalam lingkup wilayah agropolitan skala besar sebagai: -
Kota perdagangan yang berorientasi ekspor ke luar daerah (nasional dan internasional) dan bila berada di tepi pantai maka kota ini memiliki pelabuhan samudra
-
Pusat berbagai kegiatan pabrikasi final industri pertanian (packing), stok pergudangan dan perdagangan bursa komoditi
-
Pusat berbagai kegiatan tertier agrobisnis, jasa perdagangan, asuransi pertanian, perbankan dan keuangan
-
Pusat berbagai pelayanan (general agroindustry services)
2. Orde kedua (pusat distrik agropolitan) yang berfungsi sebagai: -
Pusat perdagangan wilayah yang ditandai dengan adanya pasar-pasar grosir dan pergudangan komoditi sejenis
-
Pusat kegiatan agroindustri berupa pengolahan barang pertanian jadi dan setengah jadi serta kegiatan agrobisnis
-
Pusat pelayanan agroindustri khusus (special agroindustry services), pendidikan, pelatihan dan pemuliaan tanaman unggulan.
3. Orde ketiga (pusat suatu kawasan pertanian) -
Pusat perdagangan lokal yang ditandai dengan adanya pasar harian
-
Pusat koleksi komoditi pertanian yang dihasilkan sebagai bahan mentah industri
-
Pusat penelitian, pembibitan, dan percontohan komoditi
-
Pusat pemenuhan pelayanan kebutuhan permukiman pertanian
-
Koperasi atau badan usaha milik petani dan informasi pasar barang perdagang
32 3.4 Agroindustri Agroindustri memiliki peranan strategis dalam upaya pemenuhan bahan kebutuhan pokok, perluasan kesempatan kerja dan berusaha, pemberdayaan produksi dalam negeri, perolehan devisa, pengembangan sektor ekonomi lainnya, serta perbaikan perekonomian masyarakat di perdesaan. Hal ini disebabkan oleh karakteristik dari industri ini yang memiliki keunggulan komparatif berupa penggunaan bahan baku yang berasal dari sumberdaya alam yang tersedia di dalam negeri (IKAH Depperindag 2004). Peran Agroindustri dalam mengurangi kemiskinan dapat bersifat langsung dan tidak langsung. Secara langsung pembangunan sektor agroindustri dan sektor pertaian akan meningkatkan produktivitas pertanian melalui penigkatan produktivitas faktor.
Peningkatan produktivitas pertanian akan meningkatkan
pendaoatan petani dan lebih lanjut akan menurunkan kemiskinan, sedangkan peran secara tidak langsung adalah melalui sektor nonpertanian. Pembangunan agroindustri pada awalnya akan mempengaruhi pertumbuhan sektor pertanian dan melalui keterkaitan sektor akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara agregat dan selanjutnya akan mempengaruhi kemiskinan.
Komponen yang
mempengaruhi produktivitas faktor diantaranya adalah kapital fisik, infrastruktur, sumberdaya manusia, pendidikan, penelitian dan pengembangan, kepadatan populasi perdesaan, serta perubahan teknologi (Susilowati et al. 2007; Misra 2007). Agroindustri sebagai penarik pembangunan sektor pertanian diharapkan mampu berperan dalam menciptakan pasar bagi hasil-hasil pertanian melalui berbagai produk olahannya. Agar agroindustri dapat berperan sebagai penggerak utama, industrialisasi perdesaan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut yaitu: berlokasi di perdesaan, terintegrasi vertikal ke bawah, mempunyai kaitan input-output yang besar dengan industri lainnya, dimiliki oleh penduduk desa, padat tenaga kerja, tenaga kerja berasal dari desa, bahan baku merupakan produksi desa, dan produk yang dihasilkan terutama dikonsumsi pula oleh penduduk desa (Simatupang & Purwoto 1990). Peran agroindustri sebagai suatu kegiatan ekonomi yang diharapkan mampu menciptakan lapangan kerja masih sangat relevan dengan permasalahan
33 ketenagakerjaan saat ini, terutama beban sektor pertanian yang menyerap sekitar 46 persen dari total angkatan kerja dan adanya indikasi tingkat pengangguran terbuka dan terselubung yang semakin meningkat (Rusastra et al. 2005; Wilkinson & Rocha 2009). Peran agroindustri dalam perindustrian nasional cukup besar; pada tahun 2001 pangsa nilai tambahnya dalam industri non migas sebesar 80,70 persen, kesempatan kerja 74,90 persen, dan efek pengganda nilai tambah sebesar 3,23. Pada tahun 2004 dari industri makanan saja (belum termasuk agroindustri non makanan) dapat menyumbang nilai tambah dan penyerapan tenaga kerja masingmasing sebesar 23,3 dan 21,4 persen.
Fakta tersebut menunjukkan bahwa
agroindustri yang bergerak di sektor makanan, perikanan, peternakan, dan perkebunan merupkan sektor komplemen yang dapat dikembangkan untuk mendorong pertumbuhan sektor pertanian dan perdesaan. Sektor agroindustri merupakan pilar strategis pembangunan sektor pertanian (Supriyati & Suryani 2006; BP2HP Deptan 2001). Menurut Susila dan Setiawan
(2007), industri
berbasis perkebunan memberi kontribusi 3,2 persen dari PDB nasional dan menyediakan lapangan kerja sebesar 16,6 juta orang. Data Departemen Perindustrian dan Perdagangan memperlihatkan bahwa pada tahun 1999 terdapat 2.075 unit usaha agroindustri skala menengah dan besar, yang menyerap tenaga kerja sebesar 950.000 orang dengan nilai produksi sebesar Rp 41 trilyun dan nilai ekspor $ 3 milyar. Namun selama ini sektor agroindustri kurang menunjukkan perkembangan berarti yang terlihat dari jumlah perusahaan agroindustri makanan (skala besar dan sedang) yang hanya bertambah 34 perusahaan atau 0,74 persen selama sepuluh tahun terakhir (IKAH Depperindag 2004). Agroindustri yang menonjol pada saat itu adalah minyak sawit, minyak kelapa, kalengan ikan, produk kakao, margarin, confectionery, buah-buahan kalengan, Mono Sodium Glutamat (MSG), pakan ternak dan rokok. Pemberdayaan masyarakat tani dan perdesaan sangat erat kaitannya dengan upaya penumbuh-kembangkan usaha produktif di tingkat rumah tangga yang dapat menghasilkan nilai tambah bagi petani. Selama ini pangsa pasar (share) usaha pertanian terhadap pendapatan rumah tangga perdesaan sebesar 60,45 persen sebagian besar (54,35 persen) berasal dari kegiatan on-farm, dan
34 hanya 6,10 persen saja yang berasal dari kegiatan off-farm (Balitbang PSE Deptan dan Bank Dunia, 2000 di dalam BP2HP Deptan, 2001). Menurut Susilowati (2007), kebijakan di sektor agroindustri non makanan akan menurunkan tingkat kemiskinan lebih besar dibandingkan kebijakan di sektor agroindustri makanan.
Sebaliknya kebijakan di sektor agroindustri
makanan akan menurunkan tingkat kesenjangan pendapatan rumah tangga lebih besar. Kebijakan peningkatan investasi di sektor agroindustri akan berdampak lebih besar meningkatkan pendapatan rumah tangga, menurunkan tingkat kemiskinan dan memperbaiki distribusi pendapatan rumah tangga, jika dialokasikan di sektor agroindustri prioritas (industri karet, industri kayu lapis, bambu dan rotan, industri rokok, industri minuman dan industri pengolahan makanan sektor perikanan). Kendala kendala dalam pengembangan agroindustri adalah: (1) kontinuitas produk pertanian kurang terjamin, karena tidak adanya kepastian pemanfaatan lahan usaha yang sesuai hak guna usaha dan rencana umum tata ruang serta adanya kesenjangan pengembangan wilayah (2) kualitas bahan baku dan produk olahannya rendah karena kemampuan sumberdaya manusia terbatas, (3) informasi dan teknologi yang digunakan sebagian besar masih relatif sederhana dan masih tergantung pada lisensi (4) kemitraan belum berkembang secara luas antara agroindustri skala sedang/besar dengan agroindustri skala kecil/rumah tangga maupun antara hulu dan hilir, (5) investasi di bidang agroindustri kurang berkembang karena ketidakpastian iklim usaha dan kebijakan, sumber dana investasi terbatas serta lembaga keuangan menerapkan suku bunga yang sama untuk semua sektor (IKAH Deperindag 2003 dan 2005; Supriyati & Suryani 2006).
3.5 Agroindustri Hortikultura
Kegiatan-kegiatan penanganan pasca panen dan pengolahan hasil pertanian pada umumnya masih sangat kurang.
Komoditi pertanian pada
umumnya dipasarkan dalam bentuk primer (belum diolah), sehingga bernilai rendah dan rentan terhadap fluktuasi harga. Ekspor pertanian pun lebih banyak
35 dari komoditi tradisional dalam bentuk primer. Jika dikaji dari perkembangan produksi beberapa produk hortikultura Indonesia (Pusdatin Deptan 2010). Pasar hortikultura pada saat ini semakin dikuasai Cina, Thailand, dan bahkan Malaysia. Cina mampu menjual komoditi kentang, kol, dan jahe, yang semula pemasok utamanya adalah Indonesia, dengan harga murah dan kualitas baik.
Malaysia sejak 1997 telah mencanangkan program Third National
Agricultural Policy (NAP3) yang diharapkan pada tahun 2010 Malaysia dapat memenuhi kebutuhan buah dan sayurnya secara mandiri.
Thailand dapat
mengekspor buah segar senilai US$ 760 juta pada tahun 2002, karena memiliki kekuatan mutu yang tinggi, produk seragam, diproduksi secara berkelanjutan dan dalam jumlah yang memadai, selain juga karena didukung tersedianya infrastruktur jalan dan pendeknya jalur distribusi dari petani ke pengekspor. Indonesia dengan potensi sumberdaya yang tinggi ternyata belum memiliki daya saing terhadap negara-negara tetangganya. Hal ini disebabkan karena potensi sumberdaya yang dimiliki belum termanfaatkan secara optimal. Padahal Indonesia memiliki kekuatan bagi berkembangnya komoditi dan produk hortikultura, karena didukung oleh sumberdaya alam yang memungkinkan tingginya produktivitas komoditi hortikultura.
Kekuatan tersebut adalah:
biodiversitas yang tinggi, potensi alam (agroklimat) yang tinggi bagi pengembangan komoditi hortikultura dan tersedia lahan yang luas.
Peluang
diversifikasi produk bagi industri pengolahan sayur dan buah dapat dilihat pada pohon industri buah dan sayur yang disajikan pada Gambar 4 dan Gambar 5. Sayuran dalam kaleng Sayuran dalam botol Asinan sayuran Pickle (Acar) SAYUR-SAYURAN
Pasta Sayuran kering Sari pekat sayuran Bubuk sari sayuran Jus sayuran
Gambar 4 Pohon industri sayur-sayuran (Ditjen Agrokim Depperin, 2007)
36
Menurut IKAH Depperin (2007), agroindustri buah dan sayur mendapat tantangan yang besar karena Indonesia harus mampu mengatasi masalah high cost teknologi pengemasan kaleng akibat krisis ekonomi.
Ekspor buah dan
sayuran kaleng selama lima tahun terakhir berfluktuasi dimana tingkat pertumbuhan volume ekspor buah kaleng selama periode 1996 – 2000 adalah sebesar 9,62 persen per tahun.
Konsentrat
Makanan/minum Makanan/minum Buah dalam kaleng
Daging buah masak
Puree Juice Squash Paste
Sirop Anggur buah Jam Jelly Buah kering Tofee
BUAH
Leather fruits Tepung buah Manisan Daging buah mentah/hampir matang
Chutney Pickle Asinan
Kulit buah
Pektin
Makanan
Papain
Sediaan farmasi
Pakan ternak Pupuk kompos Makanan Biji
Pati
Makanan
Gambar 5 Pohon industri buah-buahan (Ditjen Agrokim Depperin 2007)
Menurut Irawan et al., (2001), dalam rangka peningkatan daya saing pada masa perdagangan bebas, maka pembangunan hortikultura seyogyanya dilakukan dengan pendekatan agribisnis, bukan dengan pendekatan produksi yang selama ini
37 dilakukan. Pembangunan dengan pendekatan agribisnis tersebut harus dilakukan menurut kawasan pasar dan didukung dengan sarana penyimpanan.
Tiga
komponen utama yang diperlukan dalam pembangunan dengan pendekatan agribisnis adalah: (1) membangun keterkaitan fungsional antara para pelaku agribisnis, (2) membangun keterkaitan produksi antara daerah produsen sayuran, dan (3) membangun sarana penyimpanan di sentra-sentra produksi sayuran. Secara alami komoditi hortikultura sangat mudah sekali mengalami kerusakan dan kebusukan. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap hal tersebut dapat berasal dari komoditi itu sendiri, maupun dari luar. Pada buah dan sayuran yang telah mengalami pemanenan, proses pematangan umumnya diikuti oleh perubahan penampakan dan komposisi kimia. Kerusakan lepas panen sayuran menurut Astawan et al. (1991) mencapai 20 – 40 persen. Untuk itu diperlukan teknologi penanganan pasca panen dan pengolahan. Dalam pengolahan, sayuran daun seperti kubis agak sulit untuk diolah, walaupun demikian masih terdapat alternatif pengolahannya, yaitu: dikeringkan, dibuat pikel, dibekukan, dan dikalengkan. Kentang merupakan umbi batang yang termasuk kelompok sayuran akar dan memiliki daya tahan lebih baik dibandingkan sayuran lain.
Alternatif pengolahan kentang diantaranya:
pembuatan kripik/chips, penepungan, dried mashed potatoes, pembekuan (termasuk french potato beku), dan pengalengan (Astawan et al. 1991). Mangga dapat dipasarkan selain dalam bentuk segar, juga memungkinkan dalam bentuk sari buah, konsentrat, jam, jelly, dan buah dalam kaleng. Semangka selain dalam buah segar, dapat dipasarkan dalam bentuk kripik.
3.6 Agroindustri Tanaman Pangan
Produksi jagung di Indonesia pada tahun 2003 sebanyak 10,8 juta ton (Tabel 5). Dari jumlah tersebut, 20 persen diantaranya berupa jagung hibrida. Tiga puluh persen dari produksi jagung hibrida dihasilkan di Jawa Timur. Pada tahun 2009 total produksi jagung nasional diperkirakan mencapai 17,6 juta ton. Produksi Ubi kayu Indonesia pada tahun 2009 diperkirakan mencapai 22 juta ton. Sebagian besar ubi kayu dihasilkan di Jawa Timur atau sekitar 23,45 persen.
38 Tanaman ubi kayu merupakan tanaman rakyat yang dikembangkan pada sekitar 1,2 juta ha luas lahan. Tabel 5 Perkembangan luas panen, produksi, dan produktivitas jagung dan ubi kayu Indonesia tahun 2002-2009 2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009*
10.886.442
11.225.243
12.523.894
11.609.463
13.287.527
16.317.252
17.592.309
3.358.511
3.356.914
3.625.987
3.345.805
3.630.324
4.001.724
4.156.706
32,41
33,44
34,54
34,70
36,60
40,78
42,32
18.523.810
19.424.707
19.321.183
19.986.640
19.988.058
21.757.575
22.028.502
1.244.543
1.255.805
1.213.460
1.227.459
1.201.481
1.204.933
1.174.819
149
155
159
163
166,36
180,57
188
JAGUNG Produksi (Ton) Luas Panen (HA) Produktivitas (QU/HA) UBI KAYU Produksi (Ton) Luas Panen (HA) Produktivitas (QU/HA) Sumber: Pusdatin Deptan 2010 Ket: * = Angka sementara
Tahun 2005 Indonesia masih mengimpor jagung sekitar 400 ribu ton. Jumlah tersebut menurun dari nilai impor tahun 2003 yaitu 1,5-2 juta ton jagung. Berdasarkan data tersebut, pemerintah mengharapkan pada tahun 2007 Indonesia sudah swasembada jagung. Untuk itu pemerintah membutuhkan dana sekitar Rp. 5 trilyun yang berasal dari pemerintah, swasta dan masyarakat. Pencanangan swasembada didasari oleh potensi lahan jagung di Indonesia yang mencapai tiga juta hektar, sedangkan penggunaan benih hibrida hanya 800.000 hektar atau sekitar 27 persen dari lahan yang ada. Peningkatan produksi melalui hibrida bisa dilakukan karena dapat menghasilkan 5 ton per hektar, sedangkan benih biasa hanya 3,5 ton. Selain itu
peningkatan produksi juga bisa dilakukan jika
pemerintah membantu perbaikan penanganan pascapanen. Data perkembangan ekspor impor jagung dapat dilihat pada Tabel 6.
39 Tabel 6 Perkembangan Ekspor dan Impor jagung dan ubi kayu (dlm jutaUS $) Jan-Juli 2004 Volume (Kg)
Jan-Des 2005
Nilai (US$)
Volume (Kg)
Jan-Sept 2006
Nilai (US$)
Volume (Kg)
Nilai (US$)
EKSPOR Jagung (Segar)
16,341,350
4,024,404
54,008,742
9,048,487
26,538,007
3,841,122
Jagung (Olahan)
12,654,930
2,423,225
8,739,132
2,846,319
964,978
329,862
Ubi Kayu (Segar)
19,198,505
1,557,750
229,789,042
25,441,429
53,979,037
6,246,189
Ubi Kayu (Olahan)
34,106,461
6,476,312
82,850,608
15,588,127
5,505,660
1,378,302
Total Ekspor
82,301,246
14,481,691
375,387,524
52,924,362
86,987,682
11,795,475
Jagung (Segar)
276,757,630
45,743,968
298,913,232
54,594,554
2,248,044,161
328,785,295
Jagung (Olahan)
10,603,897
4,952,016
115,841,836
36,300,194
79,903,700
25,062,680
Ubi Kayu (Segar)
1,776,775
346,623
203,752
270,707
65,174
80,421
Ubi Kayu (Olahan)
30,512,473
5,327,312
103,230,450
25,342,159
282,981,177
66,932,331
319,650,775
56,369,919
518,189,270
116,507,614
2,610,994,212
420,860,727
IMPOR
Total Impor
Sumber: Pusdatin Deptan 2010
Sebagian besar jagung hibrida digunakan sebagai bahan baku pakan ternak.
Selain sebagai bahan baku industri pakan ternak, jagung dapat juga
digunakan sebagai bahan baku minyak nabati, dekstrin, pati jagung maupun gula. Pada Gambar 6 dapat dilihat pohon industri jagung.
40
Daun Jagung
1. Pakan 2. Kompos Kulit Kelobot
1. Pakan 2. Kompos 3. Rokok Jagung Muda (Baby Corn)
Jagung Muda dalam Kaleng Pop Corn Industri Makanan
Grits
Pakan Ternak Pati Jagung (Tepung Maizena)
Jagung
Buah Jagung
Tepung Jagung
Dextrin
Industri Makanan Industri Farmasi
Bihun Jagung Gula Jagung
Industri Makanan Jagung dalam Kaleng (Whole Cernel Corrn, Sweet, Cream Corn)
Tongkol
Batang Jagung
1. Pulp 2. Kertas 3. Bahan Bakar
Minyak jagung
Makanan
Bungkil
Pakan Ternak
1. Pakan 2. Kompos 3. Bahan Bakar 4. Arang 5. Tepung Arang 6. Perosa
Gambar 6 Pohon industri jagung (Kemenperin , 2010)