KAJIAN KELEMBAGAAN AGROINDUSTRI PANGAN OLAHAN DI KAWASAN-KAWASAN AGROPOLITAN KOTA BATU PROVINSI JAWA TIMUR
QOSDUS SABIL
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa tesis saya yang berjudul : Kajian Kelembagaan Agroindustri Pangan Olahan di Kawasan-kawasan Agropolitan Kota Batu Provinsi Jawa Timur Merupakan karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor,
Maret 2008
Qosdus Sabil NIM : A155040061
ABSTRACT QOSDUS SABIL. 2008. A Study of Village Agro-industry Institution in Agropolitan Areas of Batu Municipality, East Java Province. Supervised by ERNAN RUSTIADI, and DEDDY S. BRATAKUSUMAH This research deals with agro-industry institution of processed food such as potato chips, drink of apple essence, apple cakes in the Agropolitan areas of Batu Municipality which is very potential in terms of raw material availability, skilled workers and prospective market demand. Institutionally, the existence of business units in processed food agro-industry has been well-established. However, the lack of the government's attention and marketing support has made the growth of agroindustry business of the processed food is very slow. The objectives of this research were: 1) to analyze the business feasibility of processed food agro-industry in Batu Municipality; 2) to analyze institutional factors as well as non-institutional factors which affect the development of processed food agro-industry in Batu Municipality; 3) to analyze the performance of marketing institution of processed food agroindustry products in Batu Municipality. The analyses used in this study were Descriptive analysis, Margin Analysis of Commerce, Net Benefit Cost Ratio (B/C Ratio), Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), and Binary Logistic Regression. Developing processed food agro-industry business in Batu Municipality was financially feasible. Processed food agro-industry business was profitable for the businessmen and the value of Internal Rate of Return (IRR) indicated that the processed food commodity was high competitiveness. The factors which encouraged the participation of processed food agro-industry institution in Batu Municipality were significantly influenced by age, formal education, number of workers and price information.
Keywords: Processed Food Agro-industry, Agropolitan, Institution.
RINGKASAN
QOSDUS SABIL. 2008. Kajian Kelembagaan Agroindustri Perdesaan di Kawasankawasan Agropolitan Kota Batu Provinsi Jawa Timur. Di bawah bimbingan ERNAN RUSTIADI, dan DEDDY S. BRATAKUSUMAH Kota Batu secara geografis memiliki potensi sumberdaya alam yang berlimpah. Untuk dapat memaksimalkan potensi sumberdaya limpahan hasil pertanian, dan dalam upaya menghadapi tekanan angkatan kerja, secara alami masyarakat Kota Batu telah berupaya melakukan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam sebagai bahan baku agroindustri. Dalam perkembangannya, Sektor Agroindustri terutama untuk sub sektor Makanan dan Minuman terlihat mendominasi sektor Industri Pengolahan di Kota Batu. Kondisi tersebut terlihat pada perkembangan sektor industri pengolahan yang inputnya sebagian besar memanfaatkan hasil dari sektor pertanian daerah setempat. Keberadaan sektor pariwisata yang berkembang pesat di Kota Batu merupakan nilai lebih tersendiri, karena dengan berkembangnya sektor pariwisata ini dapat meningkatkan permintaan yang lebih besar terhadap sektor hilir agribisnis mencakup agroindustri perdesaan, industri manufaktur makanan, pelayanan kebutuhan restoran dan hotel-hotel, hingga outlet-outlet agribisnis maupun toko oleh-oleh dan cindera mata. Penelitian ini membahas tentang kelembagaan Agroindustri makanan olahan seperti kripik kentang, minuman sari apel, jenang apel di Kawasan-kawasan Agropolitan Kota Batu yang berpotensi besar terhadap daya serap bahan baku, ketrampilan tenaga kerja dan permintaan pasar yang sangat prospektif. Penelitian ini bertujuan untuk : 1) Menganalisis kelayakan usaha agroindustri pangan olahan yang berkembang di Kota Batu, 2) Menganalisis faktor-faktor kelembagaan dan non kelembagaan yang mempengaruhi perkembangan agroindustri pangan olahan yang ada di Kota Batu, 3) Menganalisis keragaan (performance) kelembagaan pemasaran produkproduk agroindustri pangan olahan yang ada di Kota Batu. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu : Analisis Deskriptif, Analisis Marjin Tataniaga, Net Benefit Cost Ratio (B/C Ratio), Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), dan Regresi Logistik Binari.
Pengembangan agroindustri pangan olahan sebagai unit-unit Usaha Kecil Menengah berbasis agroindustri rakyat, diamati melalui aspek-aspek keragaan usaha, kelayakan usaha dan bagaimana efektifitas peran-peran kelembagaan yang ada.
Performance kelembagaan ditelaah melalui keberadaan organisasi usaha
agroindustri pangan olahan, hak-hak dan kewajiban, aturan representatif (rule of representations), kelembagaan perorangan (informal), kelembagaan kelompok (formal), peran pemerintah, faktor penghambat dan pendukung, dan beberapa parameter yang bersifat kualitatif. Karakteristik hubungan yang dideskripsikan adalah hubungan principal-agent, sistem kontrak kerjasama dan biaya transaksi yang timbul dalam hubungan tersebut. Berdasarkan hasil analisis keragaan, diketahui bahwa secara kelembagaan, keberadaan unit-unit usaha agroindustri pangan olahan tersebut tergolong sudah mapan. Namun karena kurangnya pembinaan dari pemerintah dan lemahnya dukungan pemasaran, menyebabkan pertumbuhan kelembagaan usaha agroindustri pangan olahan tersebut sangat lambat. Peran kelembagaan usaha agroindustri pangan olahan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap perkembangan kegiatan usaha, dimana pelaku usaha yang berada dalam kelembagaan perorangan (informal) memiliki peluang yang lebih besar untuk berkembang dibandingkan dengan pelaku usaha yang bergabung dalam kelembagaan kelompok (formal). Namun, peran kelembagaan tersebut tidak mempengaruhi struktur biaya transaksi yang terjadi. Hal ini dikarenakan banyaknya kesamaan pada jalur pemasaran yang dilalui oleh kelembagaan formal maupun informal. Sehingga, keberadaan kelembagaan kelompok (formal) sejauh ini belum signifikan dalam pengembangan agroindustri pangan olahan di Kota Batu. Analisis kelayakan usaha dilakukan terhadap kegiatan usaha agroindustri pangan olahan skala Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang banyak berkembang di Kota Batu. Dengan menggunakan beberapa parameter pengukuran seperti Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR) dan Net Benefit Cost Ratio (B/C Ratio), diketahui bahwa pengembangan usaha agroindustri pangan olahan di Kota Batu layak secara finansial. Usaha agroindustri pangan olahan memberikan keuntungan bagi para pelaku usaha, serta besarnya nilai Internal Rate of Return (IRR) menunjukkan bahwa komoditas pangan olahan tersebut memiliki daya saing yang
tinggi. Secara berturut-turut, persentase marjin keuntungan terbesar diperoleh pelaku usaha agroindustri dari usaha Sari Apel sebanyak 40,7%, kemudian Kripik Kentang 39,8%, dan Jenang Apel 28,4%. Selanjutnya keuntungan yang diterima toko pengecer dari usaha Kripik Kentang 36,2%, kemudian Sari Apel sebanyak 11,2%, dan Jenang Apel 5,6%. Serta keuntungan bagi pedagang perantara dari usaha Kripik Kentang 24,6%, kemudian Sari Apel sebanyak 8,4%, dan Jenang Apel 4,8%. Selanjutnya, dari hasil analisis regresi logit diketahui bahwa partisipasi dan keterlibatan peran kelembagaan agroindustri pangan olahan di Kota Batu secara signifikan dipengaruhi oleh: Umur, Pendidikan Formal, Jumlah Tenaga Kerja, dan Informasi Harga. Sebagai karakteristik individu pelaku usaha, dengan meningkatnya umur pelaku usaha agroindustri berarti memiliki korelasi positif terhadap partisipasi pelaku usaha dalam kelembagaan formal. Begitu pula dengan pendidikan formal pelaku usaha agroindustri, semakin tinggi tingkat pendidikan formal, pelaku usaha akan menjatuhkan pilihan terhadap kelembagaan formal. Sedangkan dengan meningkatnya jumlah tenaga kerja yang dimiliki berkorelasi negatif terhadap keterlibatan pelaku usaha dalam kelembagaan formal. Selanjutnya, dummy informasi harga (tahu/tidak tahu) sebagai salah satu karakteristik biaya transaksi, menunjukkan bahwa informasi harga termasuk faktor yang mendorong pelaku usaha untuk terlibat dalam kelembagaan formal kelompok usaha agroindustri pangan olahan. Kata Kunci : Agroindustri Pangan Olahan, Agropolitan, Kelembagaan.
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
KAJIAN KELEMBAGAAN AGROINDUSTRI PANGAN OLAHAN DI KAWASAN-KAWASAN AGROPOLITAN KOTA BATU PROVINSI JAWA TIMUR
QOSDUS SABIL
Tesis Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains Pada Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Judul Tesis
: Kajian Kelembagaan Agroindustri Pangan Olahan di Kawasan-kawasan Agropolitan Kota Batu Provinsi Jawa Timur
Nama
: Qosdus Sabil
NIM
: A155040061
Program Studi
: Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD)
Menyetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. Ketua
Dr. Ir. Deddy S. Bratakusumah, M.Sc. MURP Anggota
Mengetahui Ketua Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
Dr. Ir. Bambang Juanda, MS.
Tanggal Ujian : 19 Maret 2008
Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Lulus :
Penguji Luar Komisi Pembimbing : Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah, Dzat yang Maha Kuasa mencurahkan karunia, kemudahan dan petunjukNya sehingga tesis yang berjudul : “Kajian Kelembagaan Agroindustri Pangan Olahan di Kawasan-kawasan Agropolitan Kota Batu Provinsi Jawa Timur” dapat diselesaikan dengan baik. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Institut Pertanian Bogor. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggitingginya kepada Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Deddy S. Bratakusumah, M.Sc. MURP. Selaku Anggota Komisi Pembimbing serta Bapak Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim selaku Penguji Luar Komisi atas segala bimbingan, arahan dan motivasinya. Terima kasih juga kepada Bapak Dr. Ir. Bambang Juanda, MS. Selaku Ketua Program Studi Ilmuilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD), Bapak Prof. Isang Gonarsjah, Phd., Bapak Prof. Dr. Affendi Anwar, Bapak Prof. Dr. Ahmad Fauzi Syam, Bapak Dr. Hermanto Siregar, beserta seluruh Staf Pengajar yang telah mendidik dan mengajarkan nilai-nilai kehidupan akademik. Selanjutnya ucapan terima kasih kepada rekan-rekan mahasiswa PWD atas segala bentuk solidaritas dan social capital yang telah dibangun selama ini, wabilkhusus buat Zicho, Aa Bas, Te Pi2t, Om Ican dan Nita. Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Drs. H. Yusnan Arigayo, M.Si., Bapak KH. Ahmad Sutjipno (Alm.), Bapak KH. Baharuddin Rasyid, dan Bapak Prof. Dr. Yahya A. Muhaimin, atas motivasi dan dukungannya agar penulis semangat menjalani studi. Juga kepada institusi-institusi yang telah membantu selama penelitian berlangsung, seperti Pemerintah Kota Batu, Dinas Pertanian Kota Batu, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Batu, BPS Kota Batu dan Bappeda Kota Batu. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak H. Achyar Hidayat, SH., Bapak H. Abdillah Toha, SE., Mas Anton Jawa, Mas Ramly, Mas Mirdasy, Ustad Piet Hizbullah, Kang ”Dekan” Endy, Jeng Idhoh, Buk Miss, dan semua baladewa gang masjid: Syukri, Opan, Pak Syahruddin, Pak Yadi, Anil, Anas, Maw,
Panji, Sholihin, serta semua pihak yang telah banyak membantu yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu. Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih dan rasa hormat yang mendalam kepada kedua orang tua, Allahu Yarham Aba KH. Oemar Hassan dan Umi’ Dra. Hj. Sumu Zanarofah, M.Ag. di Lamongan, Papa H. Soepandi Daldiri, A.Md. dan Mama Hj. Lestari Apik di Bondowoso. Juga buat Mbah Buk, Mbah Dal, Kung Yan & Uti Ibah, Mbah Mun & Mbah Ti, serta semua saudara-saudaraku: Mas Jik & Mbak Ain di Kairo, Ririf & Iram di Jakarta, Yuyus & Ayuk di Bogor, Five di Jogja, Nice di Mantingan, U’uf & Baha’ yang masih berkesempatan menemani Umi’ tercinta di Lamongan, Dik Etik di Bondowoso, juga semua kemenakan: Dzuha’, Ardour, Aileen dan A’al. Penulis mengucapkan syukur yang tak terhingga, atas totalitas dukungan, kesabaran, doa, serta kasih sayang dari istri tercinta, Irma Yuli Astuti, S.Sos., M.Si. dan kedua buah hatiku: Masaro & Diara. Akhir kata, penulis mengharapkan adanya koreksi dan saran dari semua pihak bagi penyempurnaan tesis ini. Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi pengembangan agroindustri perdesaan selanjutnya. Amin
Bogor, Maret 2008
Qosdus Sabil
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kesambi Lamongan Jatim, pada tanggal 27 November 1974, anak kedua dari pasangan KH. Oemar Hassan dan Dra. Hj. Sumu Zanarofah, M.Ag.. Penulis merupakan anak kedua dari delapan bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di MIM 1 Kesambi lulus tahun 1986, SMPN 1 Sukodadi lulus tahun 1989 dan SMAN 2 Lamongan lulus tahun 1992. Kemudian, penulis sempat kuliah di Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Jember, tetapi setelah tiga tahun berjalan, penulis memutuskan untuk hijrah dan meneruskan pengembaraan hidupnya ke Kota Malang. Penulis menyelesaikan pendidikan S1 tahun 2003, dengan mengambil Jurusan yang sama di Universitas Muhammadiyah Malang. Pada Tahun 2004 penulis melanjutkan pendidikan S2 pada Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana (Magister Sains) Institut Pertanian Bogor. Penulis pernah bekerja sebagai Dosen Luar Biasa di UHAMKA Jakarta, Staf Ahli Anggota DPR RI, dan menjadi Executive Project Manager di PT. Multi Area Conindo (MACON) Jakarta. Saat ini, penulis bergabung menjadi konsultan untuk proyek COREMAP II Word Bank di Departemen Kelautan dan Perikanan RI.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .....................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR ...............................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
xiii
I. PENDAHULUAN ...............................................................................
1
1.1 1.2 1.3 1.4 1.5
Latar Belakang ............................................................................ Perumusan Masalah ..................................................................... Pertanyaan Penelitian ........................................................................ Tujuan Penelitian .......................................................................... Manfaat Penelitian .......................................................................
II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 2.1 2.2 2.3 2.4
1 9 13 13 13 14
Pengembangan Agroindustri Perdesaan ......................................... Kelembagaan Agroindustri ............................................................ Evaluasi Kelayakan Agroindustri .................................................. Strategi Pengembangan Ekonomi di Kawasan Agropolitan ................................................................................... 2.5 Penelitian Terdahulu ......................................................................
14 18 24
III. METODOLOGI ...................................................................................
31
3.1 3.2 3.3 3.4 3.5
26 28
Kerangka Pemikiran .................................................................... Hipotesis ....................................................................................... Lokasi dan Waktu Penelitian ....................................................... Metode Pengumpulan Data, Jenis dan Sumber Data ..................... Analisis Data ............................................................................... 3.5.1 Analisis Deskriptif Keragaan Kelembagaan ......................... 3.5.2 Analisis Marjin Tataniaga ................................................... 3.5.3 Analisis Finansial ............................................................... 3.5.4 Analisis Penentuan Opsi Kelembagaan ............................... 3.6 Batasan Operasional .....................................................................
31 32 33 33 34 36 36 36 39 40
IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ................................
43
4.1 Letak Geografis dan Administrasi.................................................. 4.2 Kondisi Umum Agroindustri Pangan Olahan ................................ 4.3 Karakteristik Pelaku Usaha Agoindustri Pangan Olahan ...............
43 43 47
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................
55
5.1 Analisis Deskriptif Keragaan Kelembagaan ................................. 5.1.1 Organisasi Usaha Agroindustri Pangan Olahan .................. 5.1.2 Peran Pembinaan dari Pemerintah ......................................
55 55 56
5.1.3 5.1.4 5.1.5 5.1.6 5.1.7
Faktor Penghambat dan Pendukung....................................... Kelembagaan Perorangan (Informal) ................................... Kelembagaan Kelompok (Formal)................................. ....... Struktur Tataniaga .............................................................. Marjin Tataniaga................................. ..................................
62 63 67 70 72
5.2 Kelayakan Usaha Agroindustri Pangan Olahan .............................. 5.2.1 Usaha Kripik Kentang ........................................................ 5.2.2 Usaha Sari Buah Apel ........................................................ 5.2.3 Usaha Jenang Apel .............................................................
76 77 78 80
7.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Peran Kelembagaan Agroindustri Pangan Olahan di Kota Batu ....................................
82
VII. KESIMPULAN DAN SARAN .. .......................................................
86
7.1 Kesimpulan ................................................................................... 7.2 Saran ............................................................................................
86 87
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................
89
LAMPIRAN ............................................................................................
92
DAFTAR TABEL No Halaman 1 Komposisi Penduduk Kota Batu menurut Mata Pencaharian 2 Pencaharian 2003-2007 ................................................................ 2 Distribusi PDRB Kota batu dan Kontribusi Setiap Sektor Tahun 2003-2005 .................................................................................... 3 3 Distribusi Persentase Sektor Industri Pengolahan dan Kontribusi setiap Sub-Sektor Tahun 2003-2005 ............................................ 4 4 Matriks Pendekatan Studi ............................................................. 35 5 Jenis, Luas dan Produksi Tanaman Sayur Kota Batu ................... 44 6 Jenis, Jumlah Pohon dan Produksi Tanaman Buah Kota Batu..... 44 7 Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan Banyaknya Pelaku Usaha Agroindustri Pangan Olahan ........................................................ 46 8 Jumlah Pelaku Usaha Agroindustri Pangan Olahan Kota Batu ... 47 9 Data Pelaku Usaha Perorangan Tahun 2006 ................................ 48 10 Data Kelompok Pelaku Usaha Pangan Olahan 2006 .................... 49 11 Komposisi Penduduk Kota Batu Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2003 ................................................................................... 50 12 Tingkat Pendidikan Responden Pelaku Usaha Agroindustri Kota Batu ...................................................................................... 51 13 Karakteristik Pengalaman Berusaha Responden Pelaku Usaha 52 Agroindustri Pangan Olahan di Kota Batu .................................. 14 Latar Belakang Pekerjaan Pelaku Usaha Agroindustri ................ 54 15 Perkembangan Kelembagaan Agroindustri Kota Batu Tahun 60 2003-2004 .................................................................................... 16 Distribusi Marjin Tataniaga Agroindustri Pangan olahan ............ 73 17 Analisis Kelayakan Finansial Usaha Kripik Kentang di Kota Batu ...................... 78 18 Analisis Kelayakan Finansial Usaha Sari Apel di Kota Batu ....... 79 19 Analisis Kelayakan Finansial Usaha Jenang Apel di Kota Batu .. 81 20 Hasil Regresi Logit Faktor yang Mempengaruhi Peran 88 Kelembagaan Agroindustri Pangan Olahan di Kota Batu............
DAFTAR GAMBAR Teks 1 Lingkup Pembangunan sisstem Agribisnis ………………………. 2 Diagram Alir Kerangka Penelitian ………………………………… 3 Jalur Pemasaran Agroindustri Pangan Olahan ……………………..
Halaman 15 32 71
DAFTAR LAMPIRAN No 1 2 3 4 5
Teks Analisis Usaha Kripik Kentang, Sari Apel dan Jenang Apel........ Data Pelaku Usaha Pangan Olahan di Kota Batu Tahun 2005 ..... Hasil Binary Logistic Regression ................................................ Peta Kota Batu .............................................................................. Foto-foto Kegiatan Usaha Agroindustri Pangan Olahan di Kota Batu ..............................................................................................
Halaman 92 98 105 106 107
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi perdesaan, sebagai bagian dari pembangunan ekonomi daerah, sedikit banyak telah menghasilkan sesuatu dalam bentuk meningkatnya taraf hidup sebagian masyarakat desa, terealisasinya berbagai prasarana dan sarana yang memperluas pelayanan dasar kepada masyarakat desa. Meningkatnya taraf hidup atau kesejahteraan masyarakat tersebut ditandai dengan meningkatnya konsumsi akibat meningkatnya pendapatan, dan meningkatnya pendapatan diakibatkan pula oleh meningkatnya produktifitas masyarakat. Sumodiningrat (2005) menyebutkan bahwa di era otonomi sekarang ini, selayaknya Desa adalah suatu self governing community yang dinamikanya disesuaikan dengan kebutuhan desa serta adat istiadat masyarakat setempat. Hal ini menuntut adanya alternatif formulasi strategi dan kebijakan yang efektif bagi kondusifnya perubahan yang diinginkan dalam konteks perdesaan. Sehubungan dengan itu perlu dioptimalkan pendekatan yang lebih partisipatif dalam setiap proses pembangunan yang dilakukan di perdesaan, dalam konteks pembangunan perdesaan yang berorientasi pada pendekatan partisipatif, perlu disiapkan pranata sumberdaya-sumberdaya yang ada, termasuk sumberdaya manusia. Kenyataan menunjukkan masih banyaknya masalah krusial atas kesiapan sumberdaya-sumberdaya dalam membangun kawasan perdesaan, antara lain adalah masih rendahnya mutu sumberdaya manusia, lemahnya lembaga pemerintahan desa dan lembaga masyarakat desa dalam menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, terbatasnya jangkauan pelayanan lembaga perekonomian dalam mendukung usaha ekonomi desa, dan belum meratanya prasarana dan sarana sosial ekonomi dalam melayani kebutuhan masyarakat desa serta masih lemahnya akses informasi untuk mengoptimalkan sumberdaya kepada masyarakat. Meningkatnya fungsi kelembagaan, baik kelembagaan pemerintah maupun kelembagan masyarakat desa, dan partisipasi aktif masyarakat desa,
dapat mengurangi kesenjangan pembangun antardesa dan antardesa dengan kota, dan mengurangi masalah kemiskinan adalah merupakan tantangan utama yang dihadapi dalam pembangunan ekonomi perdesaan saat ini. Kota Batu merupakan daerah pertanian dan perkebunan yang subur, banyak menghasilkan Apel berkualitas dalam berbagai jenis, serta sayur -sayuran dan bermacam tanaman hias atau bunga-bunga yang menjadi primadona komoditas unggulan daerah. Kota Batu juga dikenal luas sebagai daerah wisata
pegunungan yang sejuk. Kota Batu mulai tumbuh sebagai kawasan hunian seiring masuknya perkebunan kolonial pada
pertengahan abad ke-19 di Jawa
Timur. Penduduk Kota Batu sebagaimana penduduk kota lain di Indonesia memiliki mata pencaharian sebagian besar petani, pengrajin/industri kecil, pegawai negeri, TNI, Polri, buruh bangunan dan wiraswasta lainnya. Komposisi penduduk Kota Batu menurut mata pencaharian terlihat pada Tabel 1 menunjukkan bahwa sektor pertanian menyerap tenagakerja terbesar. Tabel 1. Komposisi Penduduk Kota Batu menurut Mata Pencaharian Tahun 2003 dan 2007 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Mata Pencaharian Petani Buruh Industri Pengrajin/Industri Kecil Buruh Bangunan Pedagang Angkutan/Sopir Pegawai Negeri TNI Polri Pensiunan Peternak Jumlah
Tahun 2003 Jumlah Persentase 29882 53.52 5271 9.44 1454 2.60 2368 4.24 4812 8.62 442 0.79 3489 6.25 742 13.29 78 0.14 1683 30.15 5865 10.50 55.842 100
Tahun 2007 Jumlah Persentase 40658 53.28 7171 9.39 1979 2.90 3221 4.22 6546 8.57 601 0.78 4746 6.21 1009 1.32 106 0.13 2289 2.99 7979 10.45 76305 100
Sumber: Batu dalam Angka 2003 dan data Lapangan Tahun 2007 diolah Komposisi penduduk Kota Batu dari hasil penelitian di lapangan dan data Skunder dari dinas terkait (BPS-Daerah) ditemukan bahwa tingkat kenaikan jumlah penduduk rata-rata pertahun awal Tahun 2004 sampai 2007 adalah 8 persen pertahun. Pertumbuhan penduduk tersebut sebagian besar masih bekerja di
sektor pertanian dan sektor industri olahan (off farm) serta perdagangan hasil-hasil pertanian. Dengan sebagian besar penduduk yang bekerja di sektor pertanian, sehingga sektor pertanian di Kota Batu memiliki konstribusi 21.17 % untuk PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan 23.54 % untuk PDRB Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2005. Berikut data PDRB Tahun 2003 sampai Tahun 2005 Tabel 2. Distribusi PDRB dari masing-masing sektor Kota Batu Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan dalam persentase. Tabel 2. Distribusi PDRB Kota Batu dan Konstribusi Setiap Sektor Tahun 20032005 dalam persentase Atas Dasar Harga Berlaku Atas Dasar Harga % Konstan % No Sektor 2003
2004
2005
2003
2004
2005
I
Pertanian
22.79
21.95
21.17
23.88
23.70 23.54
II
Pertambangan dan Penggalian
0.23
0.22
0.23
0.22
0.22
0.22
III
Industri Pengolahan
8.77
8.31
8.34
8.77
8.41
8.33
IV
Listrik dan Air Bersih
1.74
1.76
1.80
1.58
1.59
1.62
V
Bangunan
1.39
1.46
1.59
1.34
1.40
1.48
VI
Perdagangan, Hotel dan Restoran
43.26
43.44
43.14
43.00
42.75 42.27
VII
Pengangkutan dan Komunikasi
3.61
3.70
3.81
3.49
3.63
3.62
4.45
4.47
4.54
4.64
4.69
4.79
13.76
14.67
15.37
13.09
13.62 14.12
VIII Keuangan, Persewaan dan Jasa Konstruksi IX
Jasa – Jasa
Sumber: BPS Kota Batu Tahun 2003 – 2005 data diolah
Masih minimnya akses informasi yang diperoleh masyarakat untuk dapat mengoptimalkan potensi sumberdaya baik sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia untuk kesejahteraan masyarakat perdesaan, maka sangat dibutuhkan kajian optimalisasi upaya pemberdayaan kelembagaan sipil dan pemerintah. Dengan demikian, lambat tapi pasti peningkatan pembangunan ekonomi
perdesaan yang berbasis off farm akan tercapai. Kota Batu secara geografis memiliki potensi sumberdaya alam yang berlimpah. Untuk dapat memaksimalkan potensi sumberdaya limpahan hasil pertanian dan dalam upaya menghadapi tekanan angkatan kerja, secara alami masyarakat Kota Batu berupaya memanfaatkan potensi tersebut. Upaya optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam sebagai bahan baku agroindustri dalam sub sektor Makanan dan Minuman terlihat cukup mendominasi sektor Industri Pengolahan di Kota Batu.. Kondisi tersebut terlihat pada perkembangan sektor industri pengolahan yang inputnya sebagian besar memanfaatkan hasil dari sektor pertanian daerah setempat. Pada tahun 2005, sub sektor Makanan dan Minuman memberikan konstribusi sebesar 3,86 % terhadap PDRB Kota Batu atau sebesar 46,28 % terhadap Sektor Industri Pengolahan atas dasar harga berlaku, dan sebesar 3,90 % terhadap PDRB Kota Batu atau sebesar 46,82 % terhadap Sektor Industri Pengolahan atas dasar harga konstan. Tabel 3. menunjukkan pertumbuhan industri makanan dan minuman olahan limpahan hasil pertanian Tahun 2003 sampai Tahun 2005 di Kota Batu. Tabel 3. Distribusi Persentase Sektor Industri Pengolahan dan Konstribusi Setiap Sub-Sektor Tahun 2003 - 2005 No
Sub Sektor
Atas Dasar Harga Berlaku 2003
2004
2005
Atas Dasar Harga Konstan 2003
2004
2005
1.
Makanan dan Minuman
3.56
3.79
3.86
3.52
3.80
3.90
2.
Textil, Kulit dan Alas Kaki
1.41
0.68
0.67
1.39
0.68
0.68
3.
Barang dari Kayu & Hasil Hutan
1.31
1.30
1.20
1.35
1.36
1.16
4.
Kertas & Barang Cetakan
0.24
0.24
0.25
0.23
0.23
0.23
5.
Pupuk Kimia & Barang dari Karet
0.50
0.50
0.52
0.52
0.53
0.54
6.
Semen & Barang Galian Non Logam
1.43
1.43
1.50
1.39
1.43
1.46
7.
Logam Dasar Besi & Baja
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
8.
Alat Angkutan, Mesin & Peralatan 0.15
0.15
0.14
0.16
0.16
0.14
9.
Barang-barang Lainnya
0.20
0.21
0.20
0.21
0.22
0.22
8.77
8.31
8.34
8.77
8.41
8.33
Jumlah Sumber: BPS Kota Batu (data diolah)
Pertumbuhan sub sektor makanan dan minuman dari tahun 2003 sampai tahun 2005 menunjukkan perkembangan yang sangat lambat. Hal ini dimungkinkan terjadi karena masih sangat terbatasnya akses yang dapat diperoleh masyarakat perdesaan di Kota Batu dalam mengadaptasi keterampilan pengolahan hasil-hasil pertanian menjadi produk agroindustri olahan yang lebih banyak memberikan nilai tambah secara ekonomi bagi petani. Namun, lambatnya perkembangan kegiatan usaha yang dilakukan oleh masyarakat bisa pula disebabkan oleh minimnya perhatian dari Pemerintah Kota Batu dalam memberikan dukungan dan pembinaan kepada masyarakat petani yang umumnya berada di perdesaan. Rustiadi dan Pranoto (2007) menyatakan bahwa perkembangan sektor industri ternyata banyak yang tidak terkait secara langsung dengan sektor pertanian dan perdesaan. Sementara sektor-sektor pertanian dan perdesaan tidak menyerap tenaga kerja lebih banyak, padahal pertumbuhan angkatan kerja di sektor tersebut relatif tinggi. Sebagai akibatnya terjadi kelebihan (excess supply) tenaga kerja yang kemudian bermigrasi secraa eksesif dari perdesaan ke perkotaan yang apabila ukuran kota mengalami ”diseconomies of scale’ kemudian menimbulkan berbagai ”penyakit” urbanisasi yang berdampak dan menimbulkan biaya-biaya sosial maupun kerusakan lingkungan hidup. Pertumbuhan sektor industri yang dipacu oleh kebijakan pemerintah, ternyata terlalu tergantung (over dependent) kepada kapital dari luar dan mengalami kelebihan (over capasity), sehingga keadaan ekonomi nasional yang berkait dengan ekonomi dunia yang dinamik kemudian menjadi rentan terhadap resiko-resiko yang suatu waktu menjadi penyebab ambruknya sektor tersebut. Dalam upaya memperkuat ekonomi masyarakat perdesaan, Erwidodo (1997), menyatakan bahwa sulit jika hanya mengandalkan kegiatan berbasis pertanian saja. yang terpenting saat ini adalah bagaimana menyediakan lapangan kerja sebesar-besarnya bagi penduduk di perdesaan. Untuk itu prioritas harus diberikan kepada kegiatan usaha yang mempunyai kaitan ke depan dan ke belakang yang besar. Bahwa sektor pertanian merupakan sektor dominan di perdesaan
dalam
penyerapan
tenaga
kerja,
tetapi
keinginan
untuk
mempertahankan dominasi sektor pertanian sama halnya dengan memaksa sektor ini untuk menghadapi tekanan yang semakin besar. Yang akan terjadi bukan
sektor pertanian yang modern dan efisien, tetapi justru sektor pertanian yang semakin gurem sebagai akibat dari fragmentasi lahan dan pemilikan aset pertanian yang berlangsung terus menerus. Dalam kondisi struktur kepemilikan dan penguasaan seperti itu, maka tidak ada cara lain yang lebih strategis untuk memperkuat ekonomi perdesaan kecuali dengan cara memacu pertumbuhan sektor-sektor lain, terutama sektor industri berbasis pertanian. Penyediaan jasa-jasa publik di wilayah perdesaan menjadi syarat agar masyarakat perdesaan dapat meningkatkan produktivitasnya. Jasa-jasa input (produksi) di wilayah perdesaan seperti air untuk irigasi, tenaga listrik, jalan penghubung desa (feeder roads), dan jaringan telekomunikasi yang biasa disebut barang publik (public good) di masa lalu sepenuhnya disediakan dan dibiayai oleh pemerintah. Tetapi, di daerah-daerah tertentu persediaan jasa ini sangat kurang, seperti berlaku di wilayah luar Jawa bahkan di pulau Jawa sendiri keadaan ini berlaku di beberapa wilayah perdesaan terisolir seperti di daerah pegunungan Dieng. Di sisi yang lain penyediaan jasa-jasa publik tersebut hanya dapat disediakan dengan biaya yang sangat mahal, karena tidak efisien dan kurangnya transparansi pembangunan infrastruktur di Indonesia. Jika suatu wilayah perdesaan kekurangan infrastruktur barang publik, maka seringkali menjadi terisolir, sehingga hanya pedagang tertentu yang mampu memasukinya, dan sebagai akibatnya pedagang tersebut akan menjadi spatial monopoly-monopsony (monopoli penguasaan atas akses sumberdaya tertentu di sebuah wilayah) tertentu yang cenderung mengeksploitasi para petani kecil (Rustiadi dan Pranoto, 2007). Keberadaan infrastruktur jalan dan telekomunikasi di Kota Batu sudah sangat memadai. Hal ini tidak terlepas dari keberadaan sektor pariwisata yang berkembang pesat, terlihat dari besarnya konstribusi sektor perdagangan, hotel dan restoran terhadap PDRB Atas Dasar Harga Berlaku sebesar 43.14 % dan untuk PDRB Atas Dasar Harga Konstan sebesar 42.27 % (Tahun 2005). Pariwisata di Kota Batu didukung oleh perkembangan kawasan Kusuma Agro Wisata, Jatim Park, Wisata Alam Selecta, Wisata Air Panas Songgoriti, Terminal-terminal Agribisnis, Klub Bunga dan beberapa obyek wisata lainnya yang sangat terkait erat dengan keberadaan Kota Batu sebagai sentra wisata Jawa Timur.
Berubahnya status Batu, dari Kota Administratif di Wilayah Kabupaten Malang menjadi Kota yang berdiri sendiri berdasarkan UU Nomor 11/2001 tanggal 21 Juni 2001, memang menjadikan Kota Batu dapat memiliki kesempatan yang lebih besar dalam melaksanakan pembangunan wilayahnya sesuai dengan potensi daerah yang dimilikinya. Perubahan status tersebut juga akan membawa implikasi terhadap keberadaan struktur Pemerintahan Kota dan Desa-desa/Kelurahan, yang pada gilirannya dapat mengancam keberadaan status perdesaan-perdesaan di wilayahnya, sekaligus dapat menyebabkan tergusurnya eksistensi kelembagaan lokal di perdesaan yang telah banyak melahirkan kearifan lokal dengan sistem dan adat istiadat yang selama ini dijalankan. Akibat lain yang dapat berlangsung adalah terjadinya proses pengkotaan terhadap desa-desa, yang pada gilirannya akan sangat mempengaruhi perkembangan sektor pertanian dan arah pembangunan wilayah perdesaan secara umum. Namun, dengan orientasi program pembangunan yang terarah dan tetap dalam koridor meningkatkan keterkaitan desa-kota, maka tidak menutup kemungkinan munculnya dinamisasi pertumbuhan sosial ekonomi yang lebih berarti baik di desa maupun di kota. Pembangunan sektor pertanian dan wilayah perdesaan sekarang dianggap sangat penting, karena apabila pembangunan sektor ini di wilayah tersebut menjadi tidak berhasil dikembangkan, terutama dalam jangka menengah dan jangka panjang, akan dapat memberi dampak-dampak negatif terhadap pembangunan nasional keseluruhannya, berupa terjadinya kesenjangan yang semakin melebar antar wilayah dan antar kelompok tingkat pendapatan. Pada gilirannya keadaan ini menciptakan ketidak-stabilan (instability) yang rentan terhadap setiap goncangan yang menimbulkan gejolak ekonomi-sosial yang dapat terjadi secara berulang-ulang (Rustiadi et al, 2004). Kegagalan pembangunan di wilayah perdesaan telah menimbulkan derasnya proses (speed up processes) migrasi penduduk yang berlebihan dari wilayah perdesaan ke kawasan kota-kota besar. Karena itu berkembanglah sektor-sektor informal dan pemukiman-pemukiman kumuh di perkotaan. Kondisi ini pada akhirnya juga memperlemah kondisi wilayah perkotaan yang sebelumnya mengalami kemajuan yang cukup pesat. Keadaan ini selanjutnya menimbulkan persoalan-persoalan dalam masyarakat kawasan kota yang sudah terlalu padat,
sehingga menimbulkan kongesti, pencemaran hebat, permukiman kumuh, keadaan sanitasi yang buruk, dan menurunnya kesehatan pada gilirannya akan menurunkan produktivitas masyarakat perkotaan. Menyadari akan berbagai permasalahan pembangunan perdesaan dan belum optimalnya berbagai program pembangunan yang pernah dilaksanakan, strategi pengembangan agropolitan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dalam enam tahun terakhir dimaksudkan untuk melakukan percepatan pembangunan kawasan perdesaan, tidak hanya bertumpu pada kepentingan pemenuhan kebutuhan pangan (beras) nasional, tetapi secara lebih spesifik mengedepankan potensi lokal atas komoditas-komoditas unggulan di tiap kawasan agropolitan yang dikembangkan. Kawasan-kawasan tersebut dirancang untuk mensinergikan berbagai potensi yang ada, guna mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berbasis kerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi, yang digerakkan
oleh
masyarakat
dan
difasilitasi
oleh
pemerintah.
Program
pengembangan dan pembangunan kawasan Agropolitan telah dilaksanakan di 98 kawasan yang tersebar dalam 33 Provinsi. Pemerintah Kota Batu sendiri sejak tahun 2003 juga telah menjadikan strategi pengembangan kawasan agropolitan sebagai salah satu program kebijakan pembangunan daerahnya. Diharapkan dengan strategi tersebut, akan dapat meningkatkan pergerakan perekonomian wilayah yang lebih dinamis dengan menitikberatkan pada sektor pertanian yang diintegrasikan dengan sektor pariwisata. Strategi pengembangan kawasan agropolitan yang dilakukan di Kota Batu tersebut memiliki relevansi yang sangat erat dalam mengintegrasikan pembangunan ekonomi wilayah, melalui pengembangan sistem agribisnis terpadu dalam rangka memperoleh nilai tambah produksi serta dapat meningkatkan jumlah produksi pertanian, yang pada gilirannya akan dapat mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat petani di perdesaan. Dalam rangka mendukung pengembangan kawasan agropolitan di Kota Batu, telah dilakukan program rintisan dengan pendekatan action research (kaji terap), berupa identifikasi potensi dan masalah untuk mengetahui arah pengembangan dan kebutuhan mendesak, diantaranya: Pemetaan Tanah dan Pewilayahan Komoditas Potensial di Kota Batu (kegiatan baru), Gerakan
Penanaman Apel Kembali (kegiatan baru), Peningkatan Produksi Hasil Pertanian Ramah Lingkungan (kegiatan lanjutan), Pengembangan Kebun Bibit Desa (kegiatan lanjutan), Pengembangan Kebun Campur Kawasan Panderman (kegiatan lanjutan), Usaha Konservasi pada Lahan Berlereng (kegiatan lanjutan), Rekayasa Teknologi Pertanian pada Lahan Sempit/Pekarangan (kegiatan baru), dan Pengembangan Agroindustri Spesifik dan Pemberdayaan Wanita (kegiatan baru). Secara umum, kawasan pertanian di Kota Batu telah memiliki hubungan timbal balik yang harmonis dan saling membutuhkan antara kegiatan usaha budidaya (on farm) dan pengembangan produk olahan skala rumah tangga (off farm). Sayangnya, perhatian terhadap perkembangan sub-sistem agribisnis yang banyak memberikan nilai tambah produksi pertanian khususnya dalam sub sistem pengolahan (agroindustri) dirasakan masih sangat kurang. Padahal, keberhasilan melakukan pembinaan dan pengembangan di sektor agroindustri ini akan dapat mencerminkan efektifitas strategi pengembangan kawasan agropolitan secara keseluruhan. Sudut pandang inilah yang akan ditelaah secara lebih spesifik dalam penelitian ini, dengan mengkaji aspek kelembagaan agroindustri pangan olahan dan keterkaitannya dalam memberikan daya dorong bagi pembangunan ekonomi wilayah perdesaan di Kota Batu.
1.2 Perumusan Masalah Pertanian kebanyakan hanya difokuskan pada kegiatan petani di lapang produksi. Budaya tani lalu sekadar menjadi budidaya. Selama puluhan tahun pemerintah mendorong petani juga sekadar menjadi unsur produksi, sekadar produsen. Padahal pertanian itu pada hakekatnya adalah sebuah industri. Proses industrial tersebut harus terjadi di desa. Sementara sekarang ini, semua produk pertanian "mentah-mentah" langsung dibawa ke kota. Masyarakat desa harus dididik menjadi masyarakat yang bermental industri. Dengan demikian desa menjadi desa industri dengan orientasi bisa mendapatkan nilai tambah, khususnya dari pertanian industri (Sadjad, 2005). Agroindustri sebagai salah satu sub sistem agribisnis yang sangat penting dalam usaha meningkatkan nilai tambah (value added) selama ini masih belum
dikembangkan secara sungguh-sungguh. Pendekatan pengembangan agroindustri harus disesuaikan dengan variasi kualitas sumberdaya pada usaha tani dan kondisi kelembagaan yang ada di masyarakat, dengan tetap memperhatikan skala usaha yang menguntungkan dan memperhitungkan kendala yang ada. Peranan kelembagaan agroindustri terutama dalam pengembangan kawasan pertanian yang subur seperti dimiliki Kota Batu memiliki posisi yang sangat strategis, karena jenis industri ini mempunyai akar yang kuat dan memberikan dampak langsung kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, pengembangan kelembagaan agroindustri harus diarahkan untuk memanfaatkan hasil pertanian secara optimal dengan memberikan nilai tambah yang tinggi melalui pemanfaatan, pengembangan dan penguasaan teknologi serta melalui keterkaitan yang saling menguntungkan antara petani dan industri. Kelembagaan memberi ketentuan terhadap anggota masyarakatnya mengenai hak-hak, kewajiban dan tanggungjawabnya. Disamping itu, tiap anggota mendapat suatu jaminan hak perlindungan dari masyarakat. Kelembagaan memberikan suatu kondisi bahwa tiap-tiap anggota menerima sesuatu yang menjadi ketentuan dan tiap anggota merasa aman, dan merasa sewajarnya. Arti ekonomi dari kelembagaan adalah memberikan kepastian tentang siapa memperoleh apa dan berapa banyak. Dengan kata lain kelembagaan menurunkan derajat ketidakpastian dari aliran manfaat atau ongkos yang akan diterima oleh partisipan dalam suatu sistem ekonomi (Sukmadinata, 1995). Kehadiran kelembagaan petani atau organisasi petani dapat berperan dalam transformasi struktural untuk dapat mendukung pertumbuhan ekonomi wilayah dimana lembaga pertanian tersebut berada. Aspek kelembagaan sangat penting bukan saja dilihat dari segi ekonomi pertanian tetapi juga segi ekonomi perdesaan (Soekartawi, 1989). Menurut Rondinelli (1985), pengembangan agropolitan di wilayah perdesaan pada dasarnya lebih ditujukan untuk meningkatkan produksi pertanian dan penjualan hasil-hasil pertanian, mendukung tumbuhnya industri agroprocessing skala kecil-menengah dan mendorong keberagaman aktivitas ekonomi dari pusat pasar. Segala aktivitas harus diorganisasikan terutama untuk membangun keterkaitan antara perusahaan di kota dengan wilayah suplai di perdesaan dan untuk
menyediakan fasilitas, pelayanan, input produksi pertanian dan aksesibilitas yang mampu memfasilitasi lokasi-lokasi permukiman di perdesaan yang umumnya mempunyai tingkat kepadatan yang rendah dan lokasinya lebih menyebar. Hal lain yang sangat strategis adalah bahwa pengembangan agropolitan yang dapat menjawab asumsi yang kurang tepat selama ini, yang menyebutkan bahwa kemajuan suatu wilayah ditandai oleh berubahnya struktur ekonomi dari peran sektor pertanian yang besar digantikan oleh peran sektor industri pengolahan dan perubahan wilayah dari wilayah perdesaan menjadi wilayah perkotaan Dengan asumsi bahwa sektor pertanian perhitungan produksinya sampai ke hilir yaitu sampai kepada kegiatan agro-processing, maka suatu wilayah dapat disebut maju dengan tetap mencirikan wilayah perdesaan dan peran sektor pertanian yang tetap dominan (Rustiadi et al, 2004). Keberadaan hasil produksi pertanian yang akan dipasarkan sebaiknya terlebih dahulu diolah atau ditangani sedemikian rupa, sehingga yang dijual tersebut bukan produk primer akan tetapi dalam bentuk sekunder (hasil olahan). Hal ini dilakukan untuk meningkatkan nilai tambah produksi tersebut, sekaligus nilai tambah ini secara ekonomi akan diperoleh petani. Beberapa pola pengembangan agroindustri yang dapat dikembangkan, antara lain pola skala besar, kemitraan dan skala kecil rumah tangga. Akan tetapi karena sifat agroindustri yang sangat terkait dengan berbagai kegiatan produksi seperti dengan sub sistem pengadaan, distribusi, produksi, penyaluran sarana dan pemasarannya, maka perlu ada keterpaduan supaya dapat menciptakan peluang-peluang bagi pengembangan ekonomi secara luas. Secara sederhana sebenarnya strategi dasar pengembangan agroindustri yaitu mengubah pola pikir petani dari production oriented ke business oriented dan mengurangi semua kendala agroindustri yang ada sehingga dapat mencapai tingkat yang optimal (Basdabella, 2001). Keterkaitan
antara
sektor
pertanian
dan
sektor
industri
dalam
pengembangan agroindustri menjadi mutlak dilaksanakan untuk mendukung kemajuan yang berarti bagi pengembangan kawasan agropolitan, khususnya di wilayah Kota Batu. Pengembangan sektor pertanian harus terintegrasi dengan pengembangan sektor industrinya. Dukungan infrastruktur, pengembangan teknologi
dan kualitas sumberdaya manusia akan memberikan daya dorong yang kuat terhadap upaya memajukan dan mengembangkan agroindustri, keterkaitan antara sektor dan sub sektor ini tidak dapat dipisahkan, harus saling mendukung dan mengisi satu sama lain. Mattjik (2006) menyatakan bahwa hal penting yang harus dilakukan dalam revitalisasi pertanian adalah mengubah pandangan tentang pertanian itu sendiri. Pertanian tidak sekedar menanam dan berkebun. Pertanian memiliki cakupan yang sangat luas, dari kegiatan hulu sampai hilir, mengubah input menjadi output berupa sandang, pangan, papan, dan lingkungan yang nyaman bagi makhluk hidup. Produk pertanian dapat berupa Coca cola, Yakult, ayam goreng McDonald, kapal nelayan, Sea world di Ancol, atau Taman Safari di Cisarua. Hal ini hanya untuk menunjukkan bahwa sektor pertanian mencakup berbagai kegiatan agroindustri, agrobisnis dan agroservis yang memiliki omset miliaran dolar AS dan tidak jarang mengubah nasib pengusaha menjadi konglomerat. Dewasa ini, globalisasi pangan telah menjelma menjadi suatu proses yang sangat berbeda dari versi sebelumnya karena menanggalkan sifat-sifat lamanya. Saat ini introduksi dan penetrasi produk ke pasar global didesain dan dilakukan secara sistematis melalui jaringan marketing dan distribusi yang serba efisien. Disinilah perlunya pengembangan teknologi dan rekayasa produk pangan. Keragaman teknologi produksi, pengolahan (agroindustri) dan pengemasan, terutama ditujukan untuk peningkatan umur simpan, sehingga diharapkan bisa menjawab tantangan pasar global (Widianarko, 2006). Perkembangan usaha dan kegiatan agroindustri pangan olahan di Kota Batu, memiliki prospek yang sangat bagus dan terus berkembang seiring meningkatnya hasil pertanian yang berlimpah. Hanya saja kurangnya pembinaan dari pemerintah dan masih lemahnya dukungan modal bagi kelangsungan usaha agroindustri menyebabkan pertumbuhan usaha agroindustri ini berjalan lambat. Padahal jika melihat ketersediaan bahan baku, tenaga kerja terampil dan permintaan pasar produk-produk olahan yang relatif
besar, maka sudah seharusnya upaya
memaksimalkan potensi pengembangan agroindustri ini mendapatkan perhatian yang lebih besar dari pemerintah.
1.3 Pertanyaan Penelitian Untuk mempertajam pokok persoalan yang dikemukakan dan lebih terfokusnya kajian penelitian, maka diajukan pertanyaan penelitian yang lebih mendasar yakni: 1. Bagaimana keragaan (performance) kelembagaan pemasaran produk-produk agroindustri pangan olahan yang ada di Kota Batu? 2. Bagaimana kelayakan usaha agroindustri pangan olahan yang berkembang di Kota Batu? 3. Faktor-faktor kelembagaan dan non kelembagaan seperti apakah yang mempengaruhi perkembangan agroindustri pangan olahan yang ada di Kota Batu?
1.4 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menjawab beberapa persoalan pokok yang dirumuskan di dalam pertanyaan penelitian diatas, antara lain: 1. Menganalisis keragaan (performance) kelembagaan pemasaran produkproduk agroindustri pangan olahan yang ada di Kota Batu. 2.
Menganalisis kelayakan usaha agroindustri pangan olahan yang berkembang di Kota Batu
3. Menganalisis faktor-faktor kelembagaan dan non kelembagaan yang mempengaruhi perkembangan agroindustri pangan olahan yang ada di Kota Batu.
1.5 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi bagi semua pihak terkait yaitu memberikan informasi tambahan dalam penentuan kebijakan pembangunan agroindustri pangan olahan bagi instansi pemerintahan terkait, serta memberikan informasi pendahuluan kepada pihak-pihak yang merencanakan program yang berkaitan dengan bidang agroindustri pada umumnya.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengembangan Agroindustri Perdesaan Mwabu dan Thorbecke (2001) menyatakan bahwa fokus dari kebijakan pembangunan perdesaan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan dengan memulai kebijakan tersebut di perdesaan seperti halnya selama ini telah dilakukan di wilayah perkotaan. Kebijakan yang mendorong pertumbuhan industri agro-based di wilayah perkotaan akan merangsang produksi dari produk pertanian perdesaan yang digunakan sebagai input dalam agroindustri di perkotaan. Selanjutnya industri kota juga memerlukan pasar yang besar di perdesaan, investasi dalam pembangunan infrastruktur komersial, misalnya jalan penghubung dan telekomunikasi akan sangat berguna bagi penduduk perdesaan. Pengembangan agroindustri menjadi penting karena usaha ini memiliki multiplier effect yang lebih besar bila dibandingkan dengan industri lainnya. Pengembangan agroindustri merupakan langkah yang perlu dijadikan prioritas melebihi yang telah dilakukan selama ini. Beberapa pertimbangan yang mendukung pengembangan agroindustri sebagai sektor pemimpin adalah: (1) sektor agroindustri memiliki pangsa besar dalam perekonomian sehingga kemajuan yang diperoleh dapat mempengaruhi perekonomian secara keseluruhan, (2) Pertumbuhan dan nilai tambah relatif tinggi dan (3) Adanya keterkaitan antara sektor hulu dan hilir yang relatif besar sehingga mampu menarik pertumbuhan pada sektor lain (Rustiadi et al, 2004). Agroindustri pada dasarnya mencakup pengolahan atau penanganan produksi pertanian. Ada produksi pertanian yang perlu diolah (dirubah susunan kimianya) menjadi bentuk lain yang mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, baik bentuk, citarasa, warna, guna dan baunya. Selain itu ada juga produk pertanian yang hanya perlu ditangani sedemikian rupa agar tetap segar sampai ke konsumen, misalnya pada produk pertanian buah-buahan dan sayur-sayuran. Pengembangan sistem agribisnis yang menunjukkan adanya keterkaitan vertikal antar sub-sistem agribisnis serta keterkaitan horisontal dengan sistem atau subsistem lain seperti jasa jasa (finansial, perbankan, transportasi, perdagangan, pendidikan dan lain-lain). Keterkaitan ini (industrial linkages) sebenarnya sudah
lama disadari oleh ekonom pasca revolusi industri, sehingga mereka menekankan arti strategis dari menempatkan pertanian dan perdesaan sebagai bisnis inti (core business) dalam kaitannya dengan proses industrialisasi (Pambudy, 2005). Secara singkat lingkup model pembangunan atau paradigma agribisnis dapat digambarkan sebagai berikut: Subsistem Agroindustri
Subsistem Usahatani
Industri Perbenihan/ Pembibitan Industri Agrokimia Industri Agrootomotif
Usaha tanaman pangan dan hortikultura Usaha Perkebunan Usaha Peternakan
Subsistem Pengolahan Industri makanan Industri minuman Industri rokok Industri barang serat alam Industri biofarma Industri agrowisata dan estetika
Subsistem Pemasaran
Distribusi Promosi Informasi pasar Kebijakan perdagangan Struktur pasar
Subsistem Jasa dan Penunjang Perkreditan dan Asuransi Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Penyuluhan Transportasi dan Pergudangan
Gambar 1. Lingkup Pembangunan Sistem Agribisnis Sumber: Pembangunan Sistem Agribisnis sebagai Penggerak Ekonomi Nasional (Deptan, 2001)
Faktor ekonomi memiliki hubungan yang sangat erat dengan masalah pembangunan disamping faktor-faktor lainnya. Para ahli studi pembangunan bahkan meyakini pentingnya faktor ini dalam proses pembangunan sebagai faktor yang mempunyai determinan tinggi. Hal ini didasarkan pada suatu kenyataan yang banyak terjadi di negara-negara berkembang, di mana pada umumnya mereka memberikan prioritas yang tinggi terhadap pembangunan ekonomi. Keadaan ekonomi yang meningkat diharapkan dapat memberikan kesempatan yang lebih baik untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan di bidang lainnya, sehingga lebih
mengejar
pertumbuhan ekonomi
sebagai
indikator
keberhasilan
pembangunan. Stabilitas ekonomi menjadi target utama yang harus diwujudkan melalui proses pembangunan, karena dengan adanya stabilitas ekonomi yang
dinamis, proses pembangunan akan berhasil dengan baik, walaupun hal itu tidak dapat dilepaskan dari adanya stabilitas di bidang lainnya (Riyadi dan Bratakusumah, 2005). Anwar (2005) menyatakan bahwa peranan pemerintah dalam pembangunan adalah memberikan modal permulaan untuk mereplikasi pertumbuhan kota-kota kecil yang mempunyai lokasi strategik, yang selebihnya dibangun sistem insentif melalui pajak dan transfer dalam mendorong pihak swasta untuk turut serta membinanya. Sumbangan kota kecil dalam bentuk fasilitas urban seperti penyediaan infrastruktur, khususnya dalam upaya untuk mengatasi persoalan yang mer.garah kepada pengurangan kesenjangan produktifitas antara kegiatan sektorsektor pertanian dan non-pertanian melalui peningkatan human capital, social capital dan teknologi wilayah perdesaan di sekitar kegiatan non-pertanian tersebut diutamakan yang dapat memberikan dampak kepada peningkatan penyerapan tenaga kerja dan mengurangi defisit neraca perdagangan. Jenis kegiatan tersebut akan sangat ditentukan oleh kemampuan strategi kebijakan pertanian dalam meningkatkan keunggulan kompetitif produk-produk pertanian olahan dari kegiatan agroindustri baik untuk permintaan di pasaran domestik maupun dunia. Dalam kaitan dengan strategi tersebut keunggulan komparatif dari masing-masing wilayah ditentukan oleh keadaan ekosistemnya. Oleh karena itu disamping perlunya fasilitas perkotaan umum, diperlukan juga organisasi dan kelembagaan yang melengkapinya (bank-bank, sekolah-sekolah umum, pusat koperasi pertanian, pusat penelitian) yang harus disesuaikan dengan lingkungan dan kebutuhan setempat. Pada saat sekarang telah terlihat kecenderungan terjadinya pergeseran preferensi konsumen dari permintaan komoditas kepada permintaan produkproduk pertanian olahan yang pada umumnya lebih mempunyai mutu-mutu yang baku (standardized quality). Dengan demikian strategi pengembangan sektor pertanian yang diolah dan dibakukan dalam kegiatan agroindustri haruslah berorientasi pada peningkatan dan keseragaman mutu tersebut, agar produk-produk pertanian mampu bersaing di pasaran dalam negeri maupun luar negeri. Peningkatan dan keseragaman mutu produk-produk memberikan implikasi tentang perlunya penggunaan teknologi maju pada sistem produksi, pengolahan dan
pemasaran. Penggunaan teknologi maju dalam sistem produksi ini akan membawa konsekuensi bahwa ratio modal dan tenaga kerja yang meningkat skillnya menjadi tetap. Dengan perkataan lain, koefisien teknis sistem produksi pertanian olahan yang maju tidak dapat berubah-ubah lagi. Salah satu dampak dari koefisien teknis yang bersifat demikian mengarah kepada keadaan bahwa produk-produk sektor pertanian primer (budidaya) menjadi kurang mampu daya serapnya untuk menampung terhadap penyerapan tenaga kerja. Dan untuk meningkatkan kapasitas penyerapan tenaga kerja di sektor tersebut hanya dapat dilakukan melalui penambahan modal. Hal ini berarti bahwa sektor primer pertanian tidak dapat diharapkan terlalu banyak untuk menyerap tenaga kerja, yang membawa implikasi perlunya mengembangkan sektor komplemen agroindustri beserta kegiatan lainnya yang berkaitan dan turut membantu meningkatkan kapasitas penyerapan tenaga kerja sektor pertanian di wilayah perdesaan. Sektor komplemen tersebut selain untuk membantu penyerapan tenaga kerja juga diharapkan dapat meningkatkan pendapatan rumahtangga di wilayah perdesaan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka sektor komplemen haruslah memenuhi syarat sebagai berikut: Pertama, produk sektor komplemen haruslah produk yang dihasilkan oleh masyarakat perdesaan lokal yang menjadi penghasil maupun penerima dari nilai tambah sektor utama. Syarat ini harus dipenuhi agar sektor pertanian mampu mengartikulasikan sektor komplemen melalui media penghubung keterkaitan dengan kegiatan konsumsi. Dengan jumlah penduduk perdesaan yang cukup besar, maka prospek pasar komoditas non-pangan (industri manufaktur) di wilayah perdesaan sangat baik, sehingga untuk meminimumkan biaya distribusi produk-produk olahan maka sebaiknya industri non-pertanian yang mendukung kegiatan sektor pertanian lokasinya juga di wilayah perdesaan. Kedua, produk-produk sektor komplemen yang dikembangkan sebaiknya merupakan produk yang mampu mengendurkan kendala permintaan (relaxing demand constraint) dalam masyarakat perdesaan. Strategi pembangunan pertanian yang berorientasi pada peningkatan permintaan diharapkan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat. Dengan meningkatnya pendapatan masyarakat tersebut diharapkan permintaan terhadap produksi non-pertanian juga meningkat.
Ketiga, disamping kegiatan agroindustri, maka jenis kegiatan industri lain yang dibangun sebaiknya diprioritaskan pada industri yang mempunyai intensitas penggunaan tenaga kerja yang tinggi. Syarat ini harus dipenuhi agar di wilayah perdesaan mampu menyediakan kesempatan kerja di luar usaha tani yang mampu menampung pertumbuhan tenaga kerja pada masyarakat perdesaan. Dengan demikian, pelaksanaan pembangunan diharapkan akan dapat mendukung kebijakan strategi pembangunan pertanian di wilayah perdesaan, sehingga mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mampu menyediakan kesempatan
kerja.
Untuk
itu
pembangunan
sektor
primer
dan
sektor
komplemennya sebaiknya dilakukan secara bersama-sama agar diperoleh dampak sinergis yang kuat terhadap kinerja sistem ekonomi perdesaan.
2.2 Kelembagaan Agroindustri Kelembagaan dipandang penting mengingat kelembagaan inilah yang mendasari keputusan untuk produksi, investasi dan kegiatan ekonomi lainnya, yang dibuat oleh individu atau sebuah organisasi dalam konteks sosial atau interaksi dengan pihak lain. Perubahan dalam kelembagaan akan mengubah gugus oportunitas yang dihadapi oleh para pelaku ekonomi sehingga keragaan ekonomi, seperti produksi, kesempatan kerja, kemiskinan, kerusakan lingkungan, distribusi pendapatan dan lain-lain menuntut adanya perubahan dalam kelembagaan (Pakpahan, 1991). Menurut Mubyarto (1989), yang dimaksud dengan lembaga adalah organisasi atau kaidah-kaidah, baik formal maupun informal, yang mengatur perilaku dan tindakan anggota masyarakat tertentu, baik dalam kegiatan rutin sehari-hari maupun dalam usahanya untuk mencapai tujuan tertentu. Lembagalembaga dalam masyarakat desa ada yang bersifat asli berasal dari adat kebiasaan yang turun temurun, tetapi juga ada yang baru diciptakan, baik dari dalam maupun dari luar masyarakat desa tersebut. Adapun pengertian lain dari kelembagaan yaitu merupakan seperangkat aturan tingkah laku yang mengatur pola hubungan dan pola tindakan. Kelembagaan sangat penting dalam pembangunan nasional karena mempunyai konstribusi yang besar dalam memecahkan masalah aktual yang dihadapi oleh masyarakat. Konstribusinya dalam proses pembangunan adalah
mengkoordinasikan para pemilik input dalam rangka menghasilkan output serta mendistribusikan output tersebut. Hayami dan Kikuchi (1987) mendefinisikan lembaga (pranata) sebagai aturan-aturan yang dikukuhkan dengan sanksi oleh para anggota komunitas. Aturan-aturan tersebut memudahkan koordinasi dan kerjasama di antara penduduk dalam pemakaian sumber-sumber daya, dengan membantu mereka membentuk harapan-harapan yang dimiliki setiap orang dalam hubungannya dengan orang lain. Menciptakan, memelihara dan mengubah pranata ini memerlukan kolektif yang berarti memerlukan biaya untuk perundingan dan pelaksanaan. Tindakan untuk perubahan kelembagaan tidak akan tersusun kecuali jika keuntungan dari perubahan itu melebihi biayanya. Sementara itu, penyediaan sumberdaya, teknologi, dan permintaan pasar pun menghendaki perubahan. Pranata-pranata yang efisien sifatnya ketika diciptakan, mungkin menjadi kurang efisien dalam memudahkan alokasi sumberdaya. Ketidakseimbangan yang tumbuh akan menimbulkan kesempatankesempatan memperoleh keuntungan yang cukup besar guna menyusun tindakan kolektif bagi perubahan kelembagaan. Sedangkan Ruttan (1984) mendefinisikan lembaga sebagai aturan perilaku yang menentukan pola-pola tindakan dan hubungan sosial yang memiliki wewenang untuk mengambil keputusan, seperti keluarga, perusahaan dan kantor, yang menjalankan fungsi pengendalian terhadap berbagai sumberdaya. Yustika (2006) menyatakan bahwa kelembagaan tidak statis, namun dinamis
sesuai dengan interaksi ekonomi
yang
mempertemukan antar
kepentingan. Sifat dinamis dari kelembagaan juga disebabkan oleh berubahnya nilai-nilai dan kultur masyarakat seiring dengan perubahan masa. Dengan begitu, kelembagaan pasti akan berubah sesuai dengan tantangan dan kondisi zaman. Pada titik ini, perubahan kelembagaan memiliki dua dimensi. Pertama, perubahan konfigurasi antarpelaku ekonomi akan memicu terjadinya perubahan kelembagaan (institutional change). Dalam pendekatan ini, perubahan kelembagaan dianggap sebagai dampak dari perubahan (kepentingan/konfigurasi) pelaku ekonomi. Kedua,perubahan kelembagaan sengaja didesain untuk mempengaruhi (mengatur) kegiatan ekonomi (termasuk aktor-aktor yang terlibat di dalamnya). Dari dua
spektrum tersebut, dapat diyakini bahwa perubahan kelembagaan sama pentingnya dengan desain kelembagaan itu sendiri. Perubahan kelembagaan di dalam masyarakat berarti terjadinya perubahan di dalam prinsip regulasi dan organisasi, perilaku, dan pola-pola interaksi. Arah perubahan tersebut biasanya menuju ke peningkatan berbagai prinsip-prinsip dan pola-pola umum di dalam kelembagaan yang saling berhubungan. Sementara itu, pada, waktu yang bersamaan terdapat peningkatan kebutuhan untuk melakukan integrasi di dalam sistem sosial yang kompleks. Perbedaan itu dapat berarti juga memperluas mata rantai saling ketergantungan yang menuntut adanya integrasi (Yustika, 2006). Manig (1992), seperti diacu dalam Yustika (2006), menyatakan adanya perubahan kelembagaan mendorong kepada perubahan kondisi-kondisi yang kemudian membuat penyesuaian baru yang diperlukan melalui faktor-faktor eksternal (proses umpan balik permanen). Dengan demikian, perubahan kelembagaan merupakan proses transformasi permanen yang merupakan bagian pembangunan. Oleh karena itu, tujuan utama dari setiap perubahan kelembagaan adalah untuk menginternalisasikan potensi produktivitas yang lebih besar daripada perbaikan pemanfaatan sumber daya yang kemudian secara simultan menciptakan keseimbangan baru (misalnya keadilan sosial). Ragam kelembagaan yang berkembang cukup banyak namun dalam bidang agroindustri yang berkembang di masyarakat petani adalah koperasi, kemitraan, contract farming, dan partisipasi. Koperasi sebagai lembaga ekonomi rakyat sudah lama dikenal di Indonesia. Koperasi adalah salah satu badan usaha bersama yang bergerak dalam bidang perekonomian, beranggotakan mereka yang umumnya berekonomi lemah yang bergabung secara sukarela dan atas dasar persamaan hak, kewajiban melakukan suatu usaha yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhankebutuhan para anggotanya (Kartasapoetra, 1993). Menurut UU N0.25 tahun 1992 tentang koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang, atau badan-badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan.
Kelembagaan kedua yang diterapkan di kalangan petani adalah kemitraan. Kemitraan adalah suatu bentuk kerjasama yang menganut asas kesetaraan sebagai konsekuensi logis dari kondisi alamiah bahwa manusia mengakui adanya keterbatasan dan saling ketergantungan. Petani bermitra dengan petani-petani lainnya dalam Koperasi Unit Desa (KUD), kemudian KUD ini bermitra dengan perusahaan besar. Para petani bermitra antar sesama petani untuk mendapatkan skala ekonomi dari komoditi yang dihasilkannya sehingga dapat layak untuk diproses lebih lanjut (agroindustri) atau dijual kepada konsumen. Petani yang bergabung dengan KUD mempunyai potensi lahan, tenaga kerja dan fasilitas kredit dari pemerintah tetapi lemah dalam manajemen, teknologi dan akses pasar. Karena itu perlu bermitra dengan perusahaan besar yang memiliki kemampuan manajemen, modal, teknologi dan akses pasar tetapoii tidak memiliki tenaga kerja dan lahan (terbatas). Kemitraan tersebut akan meningkatkan efisiensi secara bersama secara keseluruhan, sehingga akan memberikan keuntungan yang lebih tinggi pada petani dan perusahaan inti. Pembentukan kemitraan memiliki kelebihan karena lebih mudah dibentuk, lebih luwes diimplementasikan, tidak memerlukan dana yang besar, beriko kecil, serta menimbulkan beberapa efek ganda yang cukup berarti bagi perusahaan (Wahyudi, 1997). Salah satu persoalan besar dari koperasi tradisional (KUD-KUD) yang dibentuk oleh pemerintah ini adalah bahwa para anggotanya tidak pernah mempunyai suatu saham finansial yang cukup besar dalam koperasi. Karena koperasi seperti KUD merupakan bentukan organisasi yang umumnya dibiayai oleh pemerintah. Kebanyakan koperasi-koperasi menderita berbagai persoalan organisasi dan kekurangan (lack of governance), atau tidak mempunyai hak-hak yang
ditegaskan
secara
jelas
(property
rights
assignments),
sehingga
menghasilkan perilaku-perilaku para anggotany yang mengarah opportunistik, seperti kecenderungan mau untung sendiri (free riding), kerusakan moral (moral hazard), persoalan agensi (agency problems), ketidakefisienan birokrasi (bureaucratic inefficiencies) dan kekurangan investasi dalam kegiatan ekonomi koperasi yang bersangkutan. Sebagai akibatnya, citra koperasi tradisional (KUD) yang dibentuk pemerintah tersebut menjadi buruk dan jumlahnya menyusut dalam waktu akhir-akhir ini (Rustiadi dan Pranoto, 2007).
Kelembagaan ketiga yang diterapkan di kalangan petani adalah contract farming, yaitu bentuk organisasi produksi yang menggabungkan secara vertikal kegiatan petani kecil dengan perusahaan besar agroindustri. Penggabungan petani kecil dengan perusahaan besar tersebut dikenal dengan berbagai istilah seperti Inti Satelit, Usaha Tani Kontrak (contract farming) atau Outgrower System (Glover, 1984). Contract Farming didefinisikan sebagai suatu cara mengorganisasikan produksi pertanian, dimana petani-petani kecil atau outgrower dikontrak oleh suatu badan pusat untuk memasok hasil pertanian sesuai persyaratan yang tercantum dalam kontrak perjanjian. Badan pusat yang merupakan pembeli hasil produksi petani dapat memberikan bimbingan teknis, kredit dan masukan-masukan lainnya. Model kontrak produksi seperti contract farming tersebut juga dikenal sebagai model inti satelit dimana badan pusat sebagai inti membeli hasil pertanian dari petani satelit yang dikontrak tersebut. Dalam uraian khusus yang dipromosikan oleh The Commonwealth Development Corporation (CDC), inti merupakan sebuah nucleous estate, yaitu suatu wilayah kecil beserta unit pengolahan dan kepadanya sejumlah petani dikontrak untuk memasok hasil pertanian (Kirk, 1987). Kelembagaan lainnya di kalangan petani adalah partisipasi, yaitu sebagai suatu keikutsertaan masyarakat secara aktif di dalam mencapai suatu tujuan. Pengalaman praktek dalam pemberdayaan sumberdaya menunjukkan bahwa pengembangan masyarakat partisipatif merupakan pilihan yang cermat untuk memberdayakan masyarakat. Di dalam partisipasi, keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan terjadi secara sukarela dan atas kemauan sendiri, dan sifat kesukarelaan tersebut menjadi ciri dari partisipasi. Partisipasi tidak dapat dipaksakan tetapi harus tumbuh dari kesadaran dan kemauan sendiri. Kurnia (1997), menyatakan bahwa secara umum kelembagaan yang ada di tingkat petani masih berfungsi sebagai lembaga kerjasama dalam melaksanakan kegiatan produksi. Sedangkan tahapan pasca produksi, yaitu pemasaran, pada umumnya belum tersentuh. Pentingnya kesatuan dalam membentuk kelompok pemasaran ini berkaitan pula dengan upaya meningkatkan bargaining position petani terhadap kekuatan lain. Ada kecenderungan bahwa sulitnya petani diikat dalam kegiatan kelompok yang bergerak di dalam bidang pemasaran ini, karena
acapkali mereka dihadapkan kepada kebutuhan yang mendesak. Untuk itu, salah satu prasyarat agar petani bias juga bergabung di dalam kelompok pemasaran (bukan hanya dalam kegiatan produksi), adalah harus adanya dukungan lembaga keuangan. Perlu dipikirkan adanya federasi kelompok tani dalam suatu wilayah administrasi tertentu, yang berfungsi memperjuangkan kepentingan-kepentingan petani dengan pihak luar dan mengatur kesepakatan-kesepakatan di antara para petani dalam menentukan jenis usaha yang akan dipilihnya. Pemberdayaan masyarakat dalam wadah koperasi, khususnya untuk sentra pengembangan agribisnis dan agroindustri dapat dicapai dengan dua tahap. Tahap pertama adalah kerjasama sesama petani melalui koperasi, dan tahap kedua setelah koperasi terbentuk dengan mantap adalah kerjasama kemitraan antara koperasi dengan perusahaan pembimbing. Dalam kelembagaan tersebut intervensi dari pemerintah daerah diperlukan sebagai konsultan dalam membentuk dan menjalankan kemitraan sejajar, yang dapat berperan dalam rekayasa iklim usaha yang kondusif, rekayasa dana dan rekayasa ekonomisasi teknologi tepat sasaran (Maarif, 2000). Menurut Didu (2000), pengembangan kelembagaan agroindustri harus mengindahkan aturan dan nilai yang berlaku dalam masyarakat. Karena itu diperlukan kajian tentang faktor sosial budaya dan ekosistem dalam pembentukan kelembagaan, agar kelembagaan tersebut mampu menciptakan sumber kehidupan alternatif bagi masyarakat, harapan hidup yang lebih banyak dan lebih baik, rasa keadilan dalam masyarakat dan memberikan jaminan tentang kelestarian fungsi lingkungan hidup. Pengertian organisasi sering
bercampur
aduk dengan pengertian
kelembagaan. Organisasi berarti adanya hirarki untuk membuat pengambilan keputusan dan didalamnya terdapat unsur kelembagaan. Sedangkan kelembagaan adalah aturan main untuk mengatur prilaku manusia atau organisasi secara individual sehingga kelembagaan membatasi prilaku individu. Oleh karena itu kelembagaan dapat diartikan sebagai aturan main atau rule of the game, the player of the game dan equilibrium rule of the game (Anwar, 2003). Bottomore (1975) dalam Saptana et al, (2001) mendefinisikan kelembagaan sebagai a complex or cluster of roles yang menyebutkan bahwa
konsep peranan (role) merupakan komponen utama kelembagaan. Sedikitnya terdapat lima sistem kelembagaan yaitu : sistem komunikasi, sistem ekonomi, sistem kesepakatan, sistem otoritas dan pembagian kekuasaan serta sistem ritual untuk mempertahankan ikatan-ikatan sosial (social cohession) yang ada. Definisi tersebut jelas menekankan pada pentingnya fungsi dan peranan kelembagaan dalam mewarnai tata kehidupan masyarakat. Menurut North (1991) kelembagaan mengandung makna aturan main yang dianut masyarakat atau anggota yang dijadikan pedoman oleh seluruh anggota masyarakat atau anggota organisasi dalam melakukan interaksi. Peran utama kelembagaan dalam masyarakat adalah mengurangi ketidakpastian (uncertainty) dengan menciptakan struktur yang seimbang dalam interaksi manusia (namun tidak otomatis efisien). Rachman (1999) menambahkan bahwa kelembagaan secara evolusi tumbuh dari masyarakat atau sengaja dibentuk. Namun pada hakekatnya bentuk kelembagaan mengatur tiga hal esensial, yaitu penguasaan, pemanfaatan, dan transfer teknologi. Keragaan yang merupakan dampak dari bekerjanya suatu institusi sangat tergantung pada bagaimana institusi mengatur hal-hal tersebut.
2.3 Evaluasi Kelayakan Agroindustri Pengembangan agroindustri memerlukan berbagai kajian kelayakan, yaitu kelayakan teknis, ekonomis dan kelayakan sosial. Kelayakan teknis menyangkut aspek teknis dan teknologi yang digunakan. Menurut Husnan dan Suwarsono (1994) aspek teknis dan teknologis berkaitan dengan penentuan kapasitas produksi, pemilihan teknologi, penentuan kebutuhan bahan baku, bahan pembantu dan bahan pendukung serta penentuan lokasi dan letak pabrik pengolahan. Tarigan (2006) menyatakan bahwa dalam studi kelayakan terkandung berbagai aspek seperti aspek teknis, manajerial, keuangan, sosial ekonomi dan dampak lingkungan. Dari sudut pertimbangan teknis perlu dilihat apakah proyek itu memang dapat dibangun, misalnya setelah memperhatikan lokasi, bahan yang dibutuhkan, dan peralatan yang diperlukan. Dari sudut manajerial perlu dilihat apakah memang ada orang-orang yang memiliki berbagai keahlian yang sesuai dan dapat digabung dalam satu kesatuan kerja, baik dalam masa pembangunan
maupun pada masa pengoperasiannya. Dari sudut keuangan (financial) perlu dilihat apakah ada sumber dana yang cukup untuk membiayai pengoperasiannya. Selain itu, apabila proyek ditujukan untuk memperoleh pendapatan, maka pendapatan itu selain mampu menutupi ongkos-ongkos yang dikeluarkan juga masih dapat menghasilkan laba, sehingga penanam modal tidak merasa rugi untuk menanamkan modalnya di proyek tersebut. Aspek sosial ekonomi adalah melihat dari sudut pandang kepentingan ekonomi nasional, yaitu apakah proyek itu memiliki manfaat (benefits) lebih besar dari biaya, yang tidak kurang dari alternatif lain. Aspek dampak lingkungan adalah melihat bahwa proyek itu tidak akan merusak lingkungan sedemikian rupa sehingga banyak pihak luar yang dirugikan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Apabila kerugian semua pihak ikut dihitung, proyek itu sebetulnya tidak lebih merugikan dibandingkan manfaat yang dapat dirasakan orang banyak. Agroindustri sebagai suatu proses lanjutan untuk peningkatan nilai tambah dari hasil produksi pertanian, pengoperasiannya sangat dipengaruhi oleh ketersediaan bahan baku yang berkualitas, cukup jumlahnya dan kontinyu. Standar kualitas bahan baku ini juga akan mempengaruhi pemilihan jenis mesin dan peralatannya. Kajian mengenai ketersediaan bahan baku yang mudah didapat, murah dan dapat dikelola merupakan faktor yang sangat menentukan kelancaran operasi pabrik industri. Berkaitan dengan tata letak pabrik agroindustri, pemilihannya secara umum perlu mempertimbangkan beberapa faktor. Faktor pertama adalah ketersediaan bahan baku, dimana pabrik adakalanya harus dekat dengan lokasi bahan baku. Faktor kedua adalah pemasaran produk, dimana letak pabrik adakalanya harus dekat dengan pemasaran produk dan atau dekat dengan bahan baku dan pemasaran produk. Pertimbangan-pertimbangan ini dipengaruhi perhitungan biaya dan resiko. Ketiga faktor kebijakan pemerintah. Kadangkala pemerintah telah menentukan lokasi dari suatu industri tertentu, sehingga pemerintah memberikan berbagai fasilitas, keringan, bimbingan dan dukungan. Penentuan lokasi oleh pemerintah ini biasanya dikaitkan dengan kebijakan pengembangan wilayah untuk menjadikan suatu daerah sebagai kawasan investasi dan pusat pertumbuhan. Faktor keempat adalah berkaitan dengan ketersediaan industri penunjang dan industri komplementer termasuk di dalamnya kelembagaan
keuangan, jasa energi, telepon, serta infrastruktur baik berupa jalan, sarana angkutan maupun fasilitas pelabuhan. Faktor kelima adalah faktor lingkungan, terutama pengaruh kegiatan terhadap lingkungan seperti limbah dan pencemaran lingkungan lainnya, sehingga untuk jenis jenis industri tertentu harus mengeluarkan biaya yang besar agar kegiatannya ramah terhadap lingkungan. Kelayakan ekonomi pada umumnya menyangkut lamanya life cycle profit dari produk yang dihasilkan, sehingga berkaitan erat dengan aspek pasar dan pemasaran serta aspek finansial. Menurut Gittinger (1986), terdapat empat hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan aspek pasar dan pemasaran, yaitu : (1) kedudukan produk yang direncanakan pada saat ini, (2) komposisi dan perkembangan permintaan pada masa yang akan datang, (3) adanya persaingan dan (4) peranan pernerintah dalam menunjang pemasaran produk. Kelayakan sosial pada pustaka yang ada jarang digunakan atau dijadikan pertimbangan, biasanya pada waktu dulu hanya dimasukkan dalam kelayakan teknis dan teknologi terutama yang berkaitan dengan penanganan limbah dan pencemaran lingkugan. Akan tetapi belakangan ini, dimana dunia memasuki era globalisasi dan era hak-hak asasi manusia (HAM), maka kelayakan sosial harus dipertimbangkan dengan seksama, karena kelayakan sosial tersebut bukan saja berkaitan dengan limbah dan pencemaran lingkungan, akan tetapi sudah meluas kepada faktor-faktor agama, adat istiadat, kelestarian alam, pemakaian tenaga kerja dan lainnya. Secara matematis perhitungan mengenai kelayakan sosial belum ada rumus yang baku, kecuali berdasarkan data-data rasional dengan opsi berlawanan atau tidak. Apabila berlawanan dengan tata nilai atau norma sosial yang ada, maka lebih baik investasi tersebut dibatalkan (Basdabella, 2001).
2.4 Strategi Pengembangan Ekonomi di Kawasan Agropolitan Rustiadi dan Pranoto
(2007)
menyatakan bahwa
cara
pandang
pendikotomian yang melihat desa hanya sebagai tempat pertanian dan perkampungan, sedangkan kota adalah tempat aktivitas non pertanian merupakan salah satu sumber kelemahan pembangunan perdesaan. Konsep perdesaan terkesan masih dipandang dengan prespektif sempit yakni suatu kawasan yang dicirikan oleh kegiatan pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam. Pada
dasarnya, pembangunan perdesaan tidak akan pernah berhasil sebelum sektor non pertaniannya berkembang. Hal ini terjadi karena produktivitas dan nilai tukar dari produk sektor-sektor primer pertanian secara relatif cenderung rendah dan semakin rendah sehingga kurang mampu menyejahterakan masyarakat. Program pengembangan agropolitan dimaksudkan untuk mendorong pembangunan ekonomi berbasis pertanian yang dilaksanakan dengan jalan mensinergikan berbagai potensi yang ada, untuk mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis dalam suatu sistem yang utuh dan menyeluruh, yang berdaya saing, berbasis kerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi, yang digerakkan oleh mayarakat dan difaslitasi oleh pemerintah (Pokja Pengembangan Kawasan Agropolitan Pusat, 2004). Sektor pertanian pada umumnya merupakan sektor yang sangat penting bagi kegiatan ekonomi masyarakat perdesaan, sehingga menyebabkan wilayah perdesaan sangat bergantung kepada kinerja dari satu-satunya sektor tunggal ini, dimana investasi pada sektor ini sangat beriko tinggi. Lagi pula penerimaan (revenues) yang dapat dikumpulkan oleh pemerintah lokal keadaannya sangat terbatas karena sumber pendapatan dari pajak sangat langka. Keadaan terakhir ini menyebabkan sangat sukar untuk memobilisasikan sumberdaya secara mencukupi guna mampu membiayai program-program penelitian dan pengembangan yang dilakukan oleh pemerintah lokal secara mandiri (Rustiadi dan Pranoto, 2007). Tujuan dari pengembangan program agropolitan adalah untuk: (1) meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat petani di perdesaan, (2) mendorong berkembangannya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berbasis kerakyatan, dan berkelanjutan, (3) meningkatkan keterkaitan desa dan kota (urban rural linkages), (4) mempercepat pertumbuhan kegiatan ekonomi perdesaan yang berkeadilan, (5) mempercepat industrialisasi di wilayah perdesaan, (6) mengurangi arus migrasi dari desa ke kota, (7) memberi peluang berusaha dan menciptakan lapangan pekerjaan, serta (8) meningkatkan pendapatan asli daerah (Pokja Pengembangan Kawasan Agropolitan Pusat, 2004). Untuk memacu perkembangan Kota Batu melalui pengembangan kawasan agropolitan, dperlukan pengelolaan suatu wilayah secara terpadu yang mencakup sinergi sektoral dan spasial antara desa dan kota. Salah satu strategi yang
digunakan agar kawasan-kawasan agropolitan cepat terbentuk adalah dengan mengembangkan sistem agribisnis yang berkelanjutan dan terdesentralisasi untuk komoditas-komoditas unggul potensial di wilayah Kota Batu. Pengelolaan komoditas secara profesional mulai dari hulu ke hilir dalam sistem agribisnis akan dapat memacu pertumbuhan ekonomi masyarakat yang pada akhirnya akan mempercepat pembangunan ekonomi wilayah Kota Batu secara keseluruhan (Bappeda Kota Batu, 2004).
2.5 Penelitian Terdahulu Assidiqqi (2005) dalam penelitiannya, menganalisis keterkaitan pola penganggaran, sektor unggulan dan sumberdaya dasar untuk optimalisasi pembangunan di Kota Batu. Sektor unggulan dianalisis dengan menggunakan Metode Input-Output, pola penganggaran dianalisis dengan metode Analysis Hierarchy Process (AHP) dan sumberdaya dasar dianalisis dengan metode SWOT. Hasil
analisis
menunjukkan
bahwa
pola
penganggaran
belanja
pembangunan Kota Batu selama ini belum sepenuhnya memperhatikan sektor unggulan dan sumberdaya yang ada di Kota Batu, meskipun hasil analisis sistem mekanisme penyusunan belanja pembangunan APBD Kota Batu menunjukkan bahwa sektor unggulan menjadi prioritas utama dalam penyusunan APBD Kota Batu. Jika melihat struktur APBD Kota Batu terlihat bahwa dukungan anggaran terhadap pengembangan sektor unggulan sangat lemah. Sektor unggulan di Kota Batu yang memberikan multiplier effects yang tinggi terhadap pendapatan, penyerapan tenaga kerja dan kesejahteraan masyarakat adalah sektor industri, restoran, bangunan, hotel, energi dan perdagangan. Sedangkan sumberdaya dasarnya adalah kondisi tanahnya sebagian besar sesuai untuk lahan pertanian dan tersedia dalam jumlah cukup luas, terdapat banyak sumber mata air dengan kapasitas debit air yang besar, banyak terdapat kawasan wisata alam dan buatan, banyak terdapat home industry, adanya dukungan sarana akomodasi, transportasi, komunikasi dan perbankan serta potensi tenaga kerja dan kualitas sumberdaya manusia di bidang pertanian. Sektor pertanian yang memiliki konstribusi cukup tinggi terhadap PDRB dan menyerap banyak tenaga kerja bila dilihat dari indikator-indikator yang
dianalisis tidak muncul sebagai sektor unggulan kecuali untuk indikator angka pengganda pajak tak langsung neto. Namun begitu, sektor ini tetap menjadi sektor prioritas yang harus mendapatkan perhatian dalam pembangunan wilayah Kota Batu. Selain itu, banyak penduduk Kota Batu yang bekerja di sektor ini dan ketersediaan lahan yang luas serta cocok untuk pertanian dan perkebunan. Cara yang dapat dilaksanakan adalah dengan menciptakan sentra produksi dan pengolahan hasil-hasil pertanian atau membangun kawasan agropolitan mengingat bahwa kondisi dan sumberdaya dasar Kota Batu sangat mendukung dibangunnya kawasan agropolitan. Selain itu, pemerintah Kota Batu dapat memanfaatkan sumberdaya dasar yang ada di Kota Batu untuk pengembangan industri agrowisata dengan cara menata kembali berbagai potensi dan kekayaan alam yang berbasis pada pengembangan kawasan secara terpadu. Pengembangan kawasan wisata mampu memberikan konstribusi pada pendapatan asli daerah, membuka peluang usaha dan keseinpatan kerja, sekaligus dapat berfungsi untuk menjaga dan melestarikan kekayaan alam dan hayati. Lebih lanjut, diperlukan adanya regulasi yang memberikan perlindungan dan jaminan usaha masyarakat sehingga institusi pemodal besar dari luar daerah, para tengkulak, dan aktivitas ekonomi yang meningkatkan biaya transaksi dapat dikurangi. Investor pemodal besar dapat menanamkan modalnya tetapi melalui pola kemitraan strategis dengan masyarakat lokal. Sementara peran tengkulak dapat dikurangi dengan cara penguatan kapasitas dan kelembagaan lokal serta menata aspek produksi dan pemasarannya. Kemudian di sisi yang lain, aspekaspek penguatan kapasitas dan kelembagaan masyarakat juga memerlukan perhatian yang serius dari pemerintah untuk ditindaklanjuti dengan menata kelembagaan ekonomi serta mengoptimalkan sektor unggulan dan sumberdaya potensial guna meminimalisir terjadinya perangkap kemiskinan di masyarakat, khususnya di perdesaan. Sementara Purnomowati (1999) dalam penelitiannya menganalisis Peran Agroindustri Hilir dalam Peningkatan Nilai Tambah Komoditi Salak di Kabupaten Malang-Jatim. Penelitian ini bertujuan mengoptimalisasi nilai tambah output agroindustri salak, menentukan kombinasi output optimum dan pemasaran output
agroindustri salak. Informasi yang diperoleh berguna untuk mengembangkan agroindustri salak yang melibatkan pemasok bahan baku, pengolahan, lembaga pemasaran output industri. Lokasi desa Sowaru-Gondanglegi Malang. Dengan responden RTG pengolah salak yang diambil secara sensus. Penelitian ini dianalisis menggunakan pendekatan Hayami (1987), kombinasi output optimum ditentukan dengan program linier dan analisis pemasaran digunakan marjin pemasaran. Hasil penelitian ini merekomendasikan bahwa nilai tambah yang diciptakan dari setiap kg Salak bervariasi dan cukup besar(Rp 6.537 – Rp.13..558) atau 87% 94% dari nilai produksi yang dihasilkan per Kg Salak. Dengan kendala yang ada. Kombinasi output optimum adalah 1.613 jenang salak, 458 gelas manisan salak basah, 58 botol selai salak. Kombinasi ini menghasilkan keuntungan total maximum Rp. 3.379.544,-. Kombinasi output industri pada saat penelitian 410 pak jenang salak dengan keuntungaan total Rp. 2.779.182. Shadow price terigu, gula,dan salak cukup tinggi, masing masing kurang lebih Rp 47.129/ kg, Rp. 5.037/kg. kondisi tersebut pada saat harga terigu, gula, salak masing-masing sebesar Rp. 1.500, Rp. 2.975,Rp. 521/kg. jumlah output yang dijual pada konsumen akhir mencapai 96%, sedangkan 4 % sisanya pengecer. Profit sebesar 51,24% - 85,24% dari marjin pemasaran. Pengecer yang menangani pasca produksi memperoleh keuntungan 6,71% - 16,39% dari marjin pemasaran. Serta Syakir (2001) dalam penelitiannya menganalisis nilai tambah dan optimasi agroindustri apel studi kasus agroindustri apel PT. Kusuma Agrowisata Kota Batu. Dari analisis diketahui struktur biaya penerimaan dan pendapatan nilai tambah pengolahan apel, kombinasi berbagai bentuk olahan apel dengan kendala output apel, analisis marjin dan proses pemasaran, menunjukkan hasil bahwa keuntungan tertinggi diperoleh oleh sari apel (55,29%) dari total total biaya yang dikeluarkan oleh produsen sampai ke konsumen. Sedangkan pihak pemasaran memperoleh keuntungan tertinggi pada penjualan wingko apel (28,60%) dari marjin pemasaran.
III. METODOLOGI 3.1 Kerangka Pemikiran Perubahan status Kota Batu dari sifat perdesaan menjadi bersifat perkotaan, menyiratkan adanya harapan yang besar bagi terciptanya peluang yang lebih luas untuk memfungsikan kemandirian kota dalam melayani kebutuhan masyarakat yang mayoritas masih tersebar di perdesaan. Tantangan ke depan yang dihadapi oleh Pemerintah Kota Batu adalah bagaimana mengintegrasikan kebijakankebijakan pembangunannya dalam upaya meningkatkan keterkaitan perekonomian perdesaan dan perkotaan yang saling memperkokoh satu sama lain. Apabila melihat potensi wilayah Kota Batu, secara umum kegiatan agribisnis, terutama pada sektor agroindustrinya, masih dihadapkan pada kendala-kendala, seperti rendahnya daya saing produk pertanian, industri pengolahan yang masih sangat terbatas, lemahnya posisi tawar petani, kurangnya permodalan, lemahnya pemasaran serta terbatasnya informasi bagi petani untuk memperoleh akses pasar dan perbankan. Dengan pendekatan strategi pengembangan kawasan agropolitan yang ditempuh oleh Pemerintah Kota Batu, diharapkan dapat
mengatasi permasalahan tersebut
sehingga mampu
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi wilayahnya. Keterkaitannya dengan sektor pariwisata merupakan nilai lebih tersendiri, karena dengan berkembangnya sektor pariwisata ini dapat meningkatkan permintaan yang lebih besar terhadap sektor hilir agribisnis mencakup agroindustri perdesaan, industri manufaktur makanan, pelayanan kebutuhan restoran dan
hotel-hotel, hingga outlet-outlet agribisnis maupun toko
oleh-oleh dan cindera mata. Penguatan kelembagaan agroindustri perdesaan dan adanya peran pemerintah dalam memberikan stimulasi dan dukungan terhadap pertumbuhan sektor hilir pertanian di perdesaan melalui kebijakankebijakan yang kondusif, dapat meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi daerah, khususnya di perdesaan. Dalam penelitian ini, pengembangan agroindustri pangan olahan yang tumbuh dan berkembang di Kota Batu sebagai unit-unit Usaha Kecil Menengah
berbasis agroindustri rakyat, diamati melalui aspek-aspek keragaan usaha, kelayakan usaha dan bagaimana efektifitas peran-peran kelembagaan yang ada. Selanjutnya dengan menggunakan beberapa alat analisis yang ada, diharapkan dapat memberikan gambaran tentang proses dan pola hubungan dalam kegiatan agroindustri, distribusi marjin keuntungan dan faktor-faktor penentu kelembagaan, seperti terlihat dalam gambar diagram alir berikut: Potensi Desa-desa thd Kegiatan Agroindustri PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI PANGAN OLAHAN
Performance (Keragaan) Usaha
Efektifitas Kelembagaan Agroindustri yang ada
Kelayakan Usaha
Formal (Kelompok)
Analisis Finansial: Net BC ratio, NPV, IRR Analisis Deskriptif Kualitatif
Analisis Marjin Tataniaga
Proses & Pola Hubungan dalam Kegiatan Agroindustri
Distribusi Marjin Keuntungan Tataniaga
Informal (Perorangan)
Opsi-opsi Kelembagaan Model Regresi Logit
Kinerja Usaha Agroindustri
Faktor-faktor Penentu Perkembangan
Rekomendasi-rekomendasi Pengembangan Kelembagaan Agroindustri Di Kawasan Agropollitan
Gambar 2. Diagram Alir Kerangka Penelitian
3.2 Hipotesis Berdasarkan uraian sebelumnya, maka untuk lebih mengarahkan penelitian ini disusun beberapa hipotesis sebagai berikut: 1. Diduga keragaan (performance) kelembagaan usaha agroindustri pangan olahan yang ada di Kota Batu memberikan pengaruh yang berbeda terhadap struktur biaya transaksi yang terjadi.
2. Diduga pengembangan usaha agroindustri pangan olahan di Kota Batu layak secara finansial dan memberikan keuntungan bagi para pelaku usaha agroindustri. 3. Diduga terdapat pengaruh kelembagaan dan non kelembagaan terhadap kinerja usaha agroindustri pangan olahan yang berkembang di Kota Batu. 3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan dengan mengambil wilayah Kota Batu sebagai lokasi utama penelitian. Secara geografis Kota Batu terletak pada posisi 7°55'30" sampai dengan 7°57'30" Lintang Selatan dan 115°17'0" sampai dengan 118°19'0" Bujur Timur dengan ketinggian wilayah sekitar 600-3000 meter dpl. Kota Batu memiliki luas wilayah mencapai 151,37 Km² atau sama dengan 15.137 ha, dengan jumlah penduduk 163.393 jiwa (data tahun 2003). Kota Batu terdiri dari 3 (tiga) Kecamatan, meliputi 19 (sembilan belas) Desa dan 4 (empat) Kelurahan. Kota Batu ini mempunyai kedekatan spasial terutama dengan Kota Malang dan Surabaya, dan merupakan daerah yang didominasi oleh wilayah perdesaan dengan sektor pertanian dan pariwisata sebagai sektor unggulan daerah. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni hingga bulan September 2006. 3.4 Metode Pengumpulan, Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan dua jenis data, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dan dikumpulkan langsung dari responden dan informan kunci di lapangan, melalui wawancara langsung berdasarkan daftar pertanyaan (kuisioner) yang telah disiapkan sebelumnya baik berupa daftar pertanyaan bagi pelaku agroindustri dan pelaku pemasarannya. Sedangkan data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari instansi-instansi terkait yang telah tersedia dalam bentuk dokumen dan studi literatur. Inventarisasi dan penelusuran data sekunder ini akan dilakukan terhadap Instansi-instansi yang meliputi: Pemerintah Kota Batu, Bappeda, Dinas Pertanian, Dinas Perindustrian, Dinas Koperasi-UKM, Dinas perdagangan dan Dinas Pasar, serta Dinas/Instansi terkait lainnya di Kota Batu.
Dalam penelitian ini, sebelum dilakukan penetapan lokasi contoh, terlebih dahulu dilakukan identifikasi terhadap lokasi-lokasi yang terdapat usaha agroindustri pangan olahan di setiap kecamatan. Penentuan lokasi ditetapkan berdasarkan kegiatan agroindustri pangan olahan yang ada di setiap kecamatan dan kelurahan/desa. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode Purposive Sampling. Responden pelaku agroindustri pangan olahan yang dibutuhkan dalam penelitian ini berjumlah 38 orang, sehingga jumlah responden yang dijadikan contoh setiap kecamatan disesuaikan dengan persentase unit produksi dan jumlah total produksi agroindustri pangan olahan di Kota Batu, terdiri dari: pelaku usaha perorangan sebanyak 12 orang responden, serta dari 4 kelompok usaha yang ada diambil masing-masing sebanyak 5, 3, 11 dan 7 orang responden. Penetapan responden pelaku agroindustri pangan olahan
diupayakan
melalui
keterwakilan
kelembagaan
informal
(perorangan), dan mereka yang berada pada kelembagaan formal yaitu mereka yang mengikuti pola kemitraan dengan Koperasi/Kelompok Usaha. Selanjutnya
ditelusuri
pula
jalur-jalur
pemasaran
mulai
dari
produsen/pelaku usaha agroindustri hingga toko-toko pengecer. Jumlah responden pelaku pemasaran sebanyak 10 orang dengan wawancara terhadap para pelaku pemasaran yang terdapat di pusat-pusat penjualan oleh-oleh produk agroindustri di Kota Batu. 3.5 Analisis Data Dari data yang telah terkumpul kemudian dianalisis sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian, sehingga akan dapat menjawab permasalahan yang diangkat. Berbagai metode analisis yang dipakai adalah sebagai berikut:
Tabel 4. Matriks Pendekatan Studi No 1.
Metode/ Analisis
Tujuan Menganalisis Keragaan (performance) Kelembagaan Agroindustri
Analisis Deskriptif Keragaan (performance) Kelembagaan Agroindustri Analisis Marjin Tataniaga
Variabel
2.
3.
Mengkaji kelayakan usaha agroindustri pangan olahan yang berkembang di Kota Batu Menganalisis faktor-faktor kelembagaan formal & informal yang mempengaruhi perkembangan agroindustri pangan olahan di Kota Batu
Analisis Finansial: Net BC ratio, NPV, IRR
Model Regresi Logit (Logistic Regression Model)
Data
Output yang Diharapkan
Jenis Kegiatan Agroindustri Kelembagaan Agroindustri
Dinas Pertanian, Dinas Perindag, Bappeda Kota Batu, dan Wawancara dengan Pelaku Usaha Agroindustri
Diketahuinya Proses dan Pola Hubungan Kelembagaan Agroindustri dan Tataniaganya
Struktur Tataniaga Marjin Tataniaga
Wawancara dengan Pelaku Pemasaran Agroindustri
Total Biaya Total Produksi Total Pendapatan Suku Bunga Kelembagaan Formal/Informal Agroindustri
Wawancara dengan Pelaku Usaha Agroindustri
Teridentifikasinya Tingkat Efisiensi Pemasaran, Integrasi Harga ProdusenKonsumen dan Distribusi Marjin Tataniaga antar Pelaku Usaha Teridentifikasinya Kelayakan Usaha Agroindustri secara Finansial Teridentifikasinya Faktor-faktor Kelembagaan Formal & Informal yang mempengaruhi Perkembangan Agroindustri
Wawancara dengan Pelaku Usaha Agroindustri
3.5.1 Analisis Deskriptif Keragaan (performance) Kelembagaan Analisis deskriptif yang digunakan untuk mengkaji performance kelembagaan yang meliputi organisasi usaha agroindustri pangan olahan, hak-hak dan kewajiban, aturan representatif (rule of representations), kelembagaan perorangan (informal), kelembagaan kelompok (formal), peran pemerintah, faktor penghambat dan pendukung, dan beberapa parameter yang bersifat kualitatif. Karakteristik hubungan yang dideskripsikan adalah hubungan principal-agent, sistem kontrak kerjasama dan biaya transaksi yang timbul dalam hubungan tersebut. 3.5.2 Analisis Marjin Tataniaga Marjin tataniaga adalah perbedaan harga di tingkat produsen (harga beli), harga di tingkat pedagang perantara, harga di tingkat toko pengecer, serta harga di tingkat konsumen (harga jual). Marjin ini terdiri dari biaya dan keuntungan tataniaga, yang ditentukan terhadap komoditas agroindustri pangan olahan yang banyak diusahakan di Kota Batu, yaitu: Kripik Kentang, Sari Apel, dan Jenang Apel. Secara matematis persamaan marjin tataniaga adalah sebagai berikut : m
m
M=
n
Mj = j =1
m
Cij + j =1 j =1
Pj j =1
Dimana : M
= Marjin tataniaga (Rp/kg)
M j = Marjin tataniaga (Rp/kg) lembaga tataniaga ke j(j=1 ,2,..,m); m adalah jumlah lembaga tataniaga yang terlibat.
Cij = Biaya tataniaga ke-i (Rp/kg) pada lembaga tataniaga ke j; (i = 1,2, . . . n ) dan n adalah jumlah jenis pembiayaan. Pj
= Marjin keuntungan lembaga tataniaga ke j(Rp/kg)
3.5.3 Analisis Finansial Untuk mengetahui kriteria penilaian kelayakan investasi terhadap keberadaan agroindustri pangan olahan Kripik Kentang, Sari Apel, dan Jenang Apel, dilakukan dengan beberapa metode antara lain Net Benefit Cost
Ratio (B/C Ratio), Net Present Value (NPV), dan Internal Rate of Return (IRR). a. Net Benefit Cost Ratio (B/C Ratio) Net Benefit Cost Ratio (B/C Ratio) adalah nilai perbandingan antara nilai manfaat bersih dengan biaya bersih yang diperhitungkan nilainya saat ini. Net B/C menggunakan rumus: n
Bt Ct (1 +i ) t Net B/C = t n Ct t t =1 (1 +i ) Dimana : Bt
= Penerimaan kotor pada tahun t;
Ct
= Biaya kotor pada tahun t;
n
= Umur ekonomis usaha agroindustri;
i
= discount rate Kriteria pengukuran adalah apabila Net B/C> 1, maka kegiatan
pengembangan agroindustri baik secara swadaya oleh masyarakat maupun kemitraan koperasi yang dilakukan tersebut dinyatakan menguntungkan karena penerimaan lebih besar daripada biaya total dan sebaliknya. b. Net Present Value (NPV) Net Present Value (NPV) atau nilai tambah adalah nilai sekarang dari arus pendapatan yang ditimbulkan oleh penanaman investasi. Metode ini menghitung selisih antara manfaat/penerimaan dengan biaya/pengeluaran. Perhitungan ini diukur dengan nilai uang sekarang (net present value) dengan rumus: NPV =
Bt Ct (1 +i ) t
Dimana : Bt = pendapatan usaha agroindustri pada interval waktu tertentu t; C t = Biaya usaha agroindustri pada waktu tertentu t;
n = Umur ekonomis usaha agroindustri; i = Discount Rate
Kriteria yang digunakan adalah apabila : a). nilai NPV>O, maka peningkatan pengembangan agroindustri baik secara tradisional (swadaya) oleh masyarakat maupun kemitraan dengan koperasi layak untuk diusahakan; b). nilai NPV
maka
pengembangan
agroindustri
baik
secara
tradisional
(swadaya) oleh masyarakat maupun kemitraan dengan koperasi tidak layak untuk diusahakan; dan c). nilai NPV=O, maka pengembangan agroindustri baik secara tradisional (swadaya) oleh masyarakat maupun kemitraan koperasi mencapai break event point. c. Internal Rate of Return (IRR). Internal Rate of Return (IRR) adalah suatu tingkat bunga yang menunjukkan nilai sekarang netto (NPV) sama dengan jumlah seluruh investasi atau dengan kata lain tingkat bunga yang menghasilkan NPV sama dengan nol (NPV=O). Tingkat bunga tersebut merupakan tingkat bunga maksimum yang dapat dibayar oleh proyek untuk faktor produksi yang digunakan. Perhitungan IRR ditulis dengan rumus : IRR = i’+
NPV ' (i"-i' ) NPV ' NPV "
Dimana : i’
= nilai percobaan pertama untuk discount rate
i’’
= nilai percobaan kedua untuk discount rate
NPV’
= nilai percobaan pertama untuk NPV
NPV"
= nilai percobaan kedua untuk NPV Kriteria yang digunakan adalah apabila : a). Nilai IRR > discount rate,
maka peningkatan pengembangan agroindustri baik secara tradisional (swadaya) oleh masyarakat maupun kemitraan dengan koperasi layak untuk diusahakan; b). Nilai IRR < discount rate, maka pengembangan agroindustri baik secara tradisional (swadaya) oleh masyarakat maupun kemitraan dengan koperasi tidak layak untuk diusahakan; dan c). Nilai IRR = discount rate, maka pengembangan agroindustri baik secara tradisional (swadaya) oleh masyarakat maupun kemitraan koperasi mencapai break event point.
3.5.4. Analisis Penentuan Opsi Kelembagaan dengan menggunakan Model Regresi Logit (Logistic Regression Model) Dalam analisis ini akan diidentifikasi bentuk-bentuk kelembagaan yang dipilih oleh pelaku agroindustri untuk meminimalkan tingginya biaya-biaya transaksi dan sekaligus untuk mengurangi tingginya resiko dan ketidakpastian. Kelembagaan ini bisa berbentuk kelembagaan formal maupun informal. Model kelembagaan seperti ini tentunya akan dapat memberikan informasi yang memadai, bagaimana para pelaku agroindustri pangan olahan sekaligus pihak pengambil kebijakan dalam pengelolaan agroindustri tersebut mampu membangun kelembagaan pemasaran yang lebih baik dan sekaligus mampu mendorong terjadinya kontrak-kontrak
kerjasama/kemitraan
yang
mampu
meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan. Opsi kelembagaan diduga dipengaruhi oleh beberapa karakteristik antara lain termasuk ke dalam: atribut pelaku agroindustri meliputi: umur, pendidikan formal-non formal, lama usaha dan jumlah tenaga kerja produktif; karakteristik usaha meliputi: penguasaan aset usaha agroindustri, status kepemilikan, dan keikutsertaan dalam kelompok usaha; atribut biaya transaksi meliputi: informasi harga, prosedur transaksi, dan resiko tidak terjual. Menurut Thomas (1997), bentuk hubungan dari karakteristik-karakteristik ini secara matematis dapat dituliskan dalam fungsi probabilitas linier sebagai berikut:
P1 =β1 +β1 X 1i +β1 X 2i +β1 X 3i +β1 X 4i +β1 X 5i +β1 X 6i +β1D1i +β1D2i +β1D3i +β1D4i +β12D5i +ε i P2 =β 2 +β 2 X 1i +β 2 X 2i +β 2 X 3i +β 2 X 4i +β 2 X 5i +β 2 X 6i +β 2 D1i +β 2 D2i +β 2 D3i +β 2 D4i +β12 D5i +ε i
Untuk melakukan analisis opsi kelembagaan di atas digunakan Model Regresi Logit (Logistic Regression Model), dimana dependent variable-nya bersifat dikotomi. Dengan model ini dapat diduga peluang masing-masing bentuk kelembagaan yang
menjadi pilihan dan menguntungkan bagi usaha
agroindustri. Dalam bentuk persamaan, model regresi logit tersebut dapat dituliskan sebagai berikut:
Log ( P1 / P2 ) =β12 +β12 X 1i +β12 X 2i +β12 X 3i +β12 X 4i +β12 X 5i +β12 X 6i +β12 D1i +β12 D2i +β12 D3i +β12 D4i +β12 D5i +ε i
Dimana:
P1
= Peluang Memilih Kelembagaan Formal
P2
= Peluang Memilih Kelembagaan Informal
Log ( P1 - P2 )
= Logaritma Peluang Kelembagaan Formal terhadap Peluang Memilih Kelembagaan Informal
X1
= Umur Pelaku Usaha Agroindustri
(tahun)
X2
= Pendidikan Formal Pelaku Usaha Agroindustri
(tahun)
X3
= Pendidikan Informal Pelaku Usaha Agroindustri
(hari)
X4
= Lama Usaha
(tahun)
X5
= Jumlah Tenaga Kerja Produktif
(orang)
X6
= Penguasaan Aset Usaha
(unit)
D1
= Dummy Status Kepemilikan
1= milik; 0= lainnya
D2
= Dummy Kelompok Usaha
1= ikut; 0= lainnya
D3
= Dummy Informasi Harga (Pendapat Pelaku Usaha Agroindustri)
1= tahu; 0= lainnya
D4
= Dummy Prosedur Transaksi (Pendapat 1= mudah; 0 = lainnya Pelaku Usaha Agroindustri)
D5
= Dummy Resiko Tidak Terjual 1=sedikit; 0= lainnya (Pendapat Pelaku Usaha Agroindustri)
I
= Responden ke-i
Β
= Koefisien Regresi
3.6. Batasan Operasional Pemakaian sejumlah batasan operasional dalam penelitian ini untuk menghindari adanya perbedaan dalam penafsiran terhadap konsep -konsep sebagai berikut: a. Usaha agroindustri pangan olahan meliputi proses produksi dan pemasarannya. b. Produksi agroindustri pangan olahan adalah jumlah produksi yang dihasilkan selama satu periode produksi tertentu. c. Studi kelayakan adalah penelitian/penelaahan tentang layak tidaknya suatu
proyek/kegiatan
investasi
untuk
dilaksanakan
sehingga
akan
menguntungkan baik secara ekonomis, finansial, sosial dan teknis. Dalam studi kelayakan yang banyak digunakan adalah analisis/evaluasi proyek yang melihat studi kelayakan dari aspek ekonomis. d. Net present value (NPV) adalah nilai sekarang dari arus pendapatan yang ditimbulkan
oleh
penanaman
investasi
dan
digunakan
untuk
menghitung selisih antara present value penerimaan dengan present value dari biaya. e. Internal rate return (IRR) adalah suatu tingkat bunga yang menunjukkan jumlah sekarang netto (NPV) sama dengan seluruh ongkos investasi proyek. f. Net B/C adalah perbandingan antara nilai manfaat bersih dengan biaya bersih yang diperhitungkan nilainya saat ini. g. Kelembagaan usaha agroindustri pangan olahan merupakan status kelembagaan baik formal maupun informal, tertulis maupun tidak tertulis, yang mengatur saling berhubugan (interrelationship) antara principal dengan agent yang berkenaan dengan hak dan kewajiban dalam melakukan kontrak kerjasama dan transaksi. h. Kelembagaan formal merujuk pada kelembagaan agroindustri pangan olahan
yang
memiliki
hierarki
yang
jelas
seperti kelembagaan
KUD/koperasi. i.
Kelembagaan agroindustri pangan olahan informal adalah kelembagaan yang secara informal terjalin melalui suatu ikatan antara pelaku usaha sebagai produsen dengan pedagang perantara, pedagang perantara dengan pedagang besar.
j. Principal adalah pelaku usaha agroindustri pangan olahan yang bertindak sebagai pemilik usaha dalam memproduksi komoditas agroindustri dan kemudian menjual kepada agent dalam suatu kontrak kerjasama. k. Agent adalah pedagang perantara atau badan usaha yang melakukan pembelian/transaksi komoditas dalam suatu kontrak kerjasama. l.
Hubungan principal-agent adalah suatu bentuk hubungan keterikatan antara dua orang/kelompok dimana satu pihak bertindak sebagai
principal dan pihak lainnya sebagai agent yang didasarkan atas prinsip kerangka insentif ekonomi sebagai akibat dari adanya informasi yang asimetrik. m. Biaya transaksi didalamnya termasuk biaya agency adalah biaya yang timbul sebagai akibat dari adanya keterikatan antara principal dengan agent dalam bentuk suatu kelembagaan untuk melakukan suatu transaksi yang meliputi biaya informasi, biaya negosiasi dan biaya monitoring. n. Marjin tataniaga adalah perbedaan harga di tingkat produsen (harga beli), harga di tingkat pedagang perantara, harga di tingkat toko pengecer, serta harga di tingkat konsumen (harga jual), yang meliputi biaya tataniaga dari keuntungan kelembagaan tataniaga. o. Biaya tataniaga adalah biaya-biaya yang dikeluarkan oleh pelaku tataniaga untuk menggerakkan produk dari tingkat produsen ke tingkat pedagang perantara dan pedagang besar yang meliputi biaya pengumpulan, pengangkutan, bongkar muat, penyimpanan, pajak/retribusi. p. Keuntungan kelembagaan tataniaga adalah keuntungan yang diperoleh setiap kelembagaan tataniaga yang terlibat dalam mengerakkan produk dari tingkat produsen sampai tingkat pedagang perantara dan pedagang besar. q. Harga di tingkat produsen adalah harga jual produsen kepada pedagang perantara. r. Harga di tingkat pedagang perantara adalah harga pedagang perantara kepada pedagang besar. s. Harga di tingkat pedagang besar adalah harga jual produk-produk agroindustri kepada konsumen (baik lokal maupun ekspor). t. Prosedur transaksi adalah tahapan dalam transaksi agroindustri pangan olahan di Kota Batu.
IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Letak Geografis dan Administrasi Letak geografis Kota Batu ± 100 Km sebelah Selatan Kota Surabaya. Secara geografis Kota Batu terletak pada posisi antara 7°55´30" sampai dengan 7°57´30" Lintang Selatan dan 150°7´0" sampai dengan 118°19´0" Bujur Timur. Topografi Kota Batu merupakan wilayah pegunungan dengan ketinggian 6003000 mdpl, dengan suhu udara antara 17° C - 25° C. Kota Batu memiliki luas 151,37 km2 dan berpenduduk 159.617 jiwa, berbatasan dengan: - Sebelah Selatan
: Kecamatan Dau dan Kecamatan Wagir
- Sebelah Barat
: Kecamatan Pujon
- Sebelah Timur
: Kecamatan Karangploso dan Kecamatan Dau
- Sebelah Utara
: Kecamatan Pacet dan Kecamatan Prigen
Kota Batu adalah kota pemekaran dari Kabupaten Malang, Jawa Timur. Status Kota administratif Batu menjadi Kota Batu ditetapkan sejak turunnya Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri pada akhir Oktober 2001 dan mulai aktif dalam kegiatan pemerintahan tahun 2002. Sampai saat ini, dalam format administrasi pemerintahan masih dalam pembenahan, hal tersebut terlihat jelas dari beberapa kantor Dinas Pemerintahan yang sampai sekarang masih bergabung antar satu dengan yang lain. Kota Batu memiliki 19 desa dan empat kelurahan yang tersebar di tiga Kecamatan (Kecamatan Batu; empat Desa dan empat Kelurahan, Kecamatan Bumiaji; delapan Desa, Kecamatan Junrejo; tujuh Desa) dengan rata-rata laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,83 persen per tahun dari total penduduk pada tahun 2003 sebesar 158.854 jiwa (Kota Batu, 2003).
5.2 Kondisi Umum Agroindustri Pangan Olahan Sesuai dengan topografi wilayah dan iklim,
pertanian
Kota
Batu
didominasi oleh komoditas hortikultura yang meliputi: sayur-sayuran, buahbuahan dan tanaman bunga. Di samping itu pada beberapa wilayah juga diusahakan tanaman pangan seperti: padi, jagung, palawija dan tanaman pangan lainnya. Luas areal dan produksi komoditas pertanian Kota Batu disajikan dalam Tabel 5 berikut ini:
Tabel 5. Jenis, Luas dan Produksi Tanaman Sayur Kota Batu No
Komoditi
1.
Bawang Merah
2.
Luas (Ha)
Produksi (Ton)
1.054
11.673
Bawang Putih
53
532
3.
Bawang Daun
130
1.800
4.
Kentang
929
11.031
5.
Kubis
561
10.246
6.
Sawi Putih
5650
9.100
7.
Wortel
991
14.929
8.
Cabe Merah
84
1.008
9.
Buncis
59
708
10.
Labu Siam
13
132
11.
Tomat
119
2.023
12.
Seledri
15
225
Sumber: Dinas Pertanian Kota Batu Tahun 2004
Pada Tabel 5 diatas menunjukkan bahwa berbagai jenis komoditas sayursayuran diusahakan oleh petani Kota Batu dengan jenis yang dominan antara lain: Wortel, Kentang, Bawang Merah, Kubis dan Sawi Putih. Hal ini menunjukkan bahwa komoditas sayur-sayuran merupakan komoditas andalan bagi sebagian besar petani sebagai sumber penghasilannya. Sebagian besar sayur-sayuran diusahakan di wilayah Kecamatan Bumiaji karena sesuai dengan topografinya yang memungkinkan komoditas tersebut diusahakan. Disamping sayur-sayuran Kota Batu juga menghasilkan berbagai jenis buah-buahan dataran tinggi, sebagaimana dalam tabel berikut:
Tabel 6. Jenis, Jumlah Pohon dan Produksi Tanaman Buah Kota Batu No
Komoditi
Jumlah Pohon
Produksi (Ton)
1
Apel
2.631.919
14.744
2
Jeruk
29.840
136
3
Alpokat
14.830
224
4
Kesemek
2.319
58
Sumber: Dinas Pertanian Kota Batu Tahun 2004
Kota Batu sangat dikenal sebagai penghasil buah apel yang mempunyai ciri khas tersendiri dibandingkan dengan buah apel dari daerah lain. Pada tabel diatas menunjukkan bahwa apel masih menjadi buah-buahan dominan yang diusahakan oleh para petani di Kota Batu, diikuti oleh jeruk, alpokat dan kesemek. Sektor pertanian masih merupakan sumber penghasilan sebagian besar masyarakat perdesaan di Kota Batu. Masyarakat Kota Batu sebagian besar bekerja sebagai petani sebanyak 29.882 orang atau sebesar 53.52 %. Dalam distribusi persentase PDRB Kota Batu tahun 2005, sektor pertanian menempati urutan terbesar
kedua
dengan konstribusi sebesar 21,17 % (ADHB) dan 23,54 %
(ADHK). Sementara sektor industri pengolahan (didominasi oleh konstribusi sub sektor makanan dan minuman olahan) memberikan 8,34 % (ADHB) dan 8,33 % (ADHK). Seiring dengan keberadaan Kota Batu yang tumbuh secara alami sebagai sebuah kawasan agropolitan, menjadi pendorong adanya integrasi pembangunan ekonomi wilayah, terutama melalui pengembangan sistem agribisnis terpadu. Masyarakat petani di Kota Batu telah cukup lama menggeluti industri kecil rumah tangga yang bergerak dalam usaha agroindustri pangan olahan. Menjamurnya usaha agroindustri pangan olahan selama lima tahun terakhir di Kota Batu sangat berpotensi menjadi pendorong Kota Batu sebagai Kota Pengembangan Kawasan Agropolitan. Penetapan Kota Batu sebagai Kawasan Agropolitan memungkinkan tumbuhnya usaha budidaya (on farm) yang meliputi usaha Agribisnis hulu berupa penyediaan sarana pertanian, Agribisnis hilir (prosessing dan pemasaran hasil pertanian) dan jasa-jasa pendukungnya. Kota Batu terbagi dalam 3 (tiga) Kawasan Agropolitan berdasarkan pembagian wilayah Kecamatan yang ada. Masing-masing Kecamatan memiliki titik tekan yang berbeda antara satu dengan yang lain, dikarenakan adanya perbedaan tipologi kawasan, jenis produk unggulan dan keterkaitan wilayah terhadap pertumbuhan Kota Batu secara umum. Sesuai dengan topografi wilayah dan iklim, pertanian Kecamatan Bumiaji dan Kecamatan Batu didominasi oleh komoditas hortikultura yang meliputi: sayur-sayuran, buah-buahan dan tanaman bunga. Sedangkan di Kecamatan Junrejo banyak diusahakan budidaya sayursayuran dan tanaman pangan seperti: padi, jagung dan palawija.
Tabel 7. Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan Banyaknya Pelaku usaha Agroindustri Pangan Olahan Luas Jml.Pelaku No Kecamatan Desa/Kelurahan Wilayah Usaha (Km2) (orang) 1.
Batu Lw = 482,50 Pddk : 74.749
2.
Bumiaji Lw = 553,30 Pddk = 47.546
3.
Junrejo Lw = 331,60 Pddk = 36.559
1. Kel Songgokerto 2. Kel Ngaglik 3. Kel Sisir 4. Kel Temas 5. Desa Sumberejo 6. Desa Sidomulyo 7. Desa Pesangrahan 8. Desa Oro-Oro Ombo 1. Desa Punten 2. Desa Tulung Rejo 3. Desa Sumber Gondo 4. Desa Bulukerto 5. Desa Gunungsari 6. Desa Bumiaji 7. Desa Pandanrejo 8. Desa Giripurno 1. Desa Torongrejo 2. Desa Beji 3. Desatlekung 4. Desa Mojorejo 5. Desa Junrejo 6. Desa Dadaprejo 7. Desa Pendem
5,17 3,78 8,89 4,23 4,39 3,39 5,94 12,46 2,81 12,49 5,73 5,48 3,42 4,78 3,34 17,26 5,19 3,18 9,67 2,63 4,88 2,89 4,72
Jumlah
7 3 12 3 3 6 4 3 14 6 1 1 12 1 1 15 1 11 1 1 1 108
Sumber: Survei Lapangan dan Dinas Pertanian Kota Batu, 2006
Tabel 7 diatas menggambarkan keberadaan kegiatan agroindustri pangan olahan secara umum di Kota Batu, meliputi antara lain: produksi krupuk ikan, minyak kacang, tahu, tempe, kue kering, mi bihun, jahe instan, kacang telur, kripik kentang, kripik apel, jenang apel, jenang strawberry, sari apel, sari jeruk, dan lain-lain. Dalam penelitian ini, keberadaan kegiatan produksi di bidang agroindustri pangan olahan di Kota Batu dikelompokkan lagi secara lebih spesifik ke dalam kelompok kegiatan produksi pangan olahan yang memiliki keterkaitan erat dengan keberadaan bahan baku lokal di Kota Batu antara lain sebagai berikut: 1. Usaha Kripik: Kripik Kentang, Kripik Apel, Kripik Nangka, Kripik Wortel, Kripik Kesemek, Kripik Salak dan Kripik Nanas. 2. Usaha Sari Buah: Sari Apel, Sari Jeruk, Sari Strawberry, Cuka Apel, Sari Tamarillo, Sirup Tamarillo. 3. Usaha Jenang: Jenang Apel, Strawberry, Nanas dan Jenang Wortel.
5.3 Karakteristik Pelaku Usaha Agroindustri Pangan Olahan Perkembangan usaha agroindustri pangan olahan di Kota Batu menunjukkan adanya peningkatan jumlah pelaku usaha perorangan sebesar 31,42 %, sedangkan Organisasi Kelompok Usaha tidak mengalami peningkatan, seperti terlihat pada tabel berikut: Tabel 8. Jumlah Pelaku Usaha Agroindustri Pangan Olahan Kodya Batu Tahun Tahun No. Organisasi Usaha Persentase Kenaikan 2005 2006 1. Perorangan 35 46 31,42 2. Kelompok 4 4 Jumlah 39 50 Sumber: Survei Lapangan dan Dinas Pertanian Kota Batu, 2006
Dari data Tabel 8 menunjukkan bahwa karakteristik pelaku usaha perorangan adalah 24 orang berjenis kelamin laki-laki (52,17%), 22 orang perempuan (47,83%). Kemudian dari 46 (100%) pelaku usaha perorangan, terdapat 11 orang atau 23,9 % pelaku usaha non pribumi (cina). Hal ini dapat mengindikasikan adanya pasar yang cukup kompetitif dalam usaha agroindustri pangan olahan di Kota Batu. Menurut keterangan yang diperoleh selama penelitian, keberadaan pelaku usaha non pribumi (cina) bahkan telah lama eksis dan tampil sebagai pioner perkembangan beberapa jenis komoditas agroindustri pangan olahan, hingga kemudian juga berkembang di tengah-tengah masyarakat luas. Untuk pelaku usaha kelompok, sebagian besar terdiri dari para Ibu Rumah Tangga/Remaja Putri, yaitu sebanyak 104 orang atau sebesar 89,65%. Kemudian sisanya sebanyak 12 orang laki-laki, atau sebesar 10,35%. Keberadaan para pelaku usaha agroindustri pangan olahan kelompok yang terdiri dari mayoritas kaum perempuan, menunjukkan adanya korelasi positif pemanfaatan tenaga kerja perempuan yang umumnya kurang produktif menjadi jauh lebih produktif dengan adanya kegiatan pengolahan produk-produk agroindustri pangan olahan tersebut. Kegiatan di sektor agroindustri pangan olahan ini, membawa manfaat adanya peningkatan nilai tambah dari produk-produk pertanian yang mereka hasilkan.
Tabel 9. Data Pelaku Usaha Perorangan Tahun 2006 No Nama Alamat 1 2 3 4 5 6
CV. Jawara Marsilah Ngatmini Lilik Miati. Hj Edi Antoro, Ir
Torongrejo Sisir Sisir Sisir Ngaglik Ngaglik
7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Harianti Sadi Alam Sarana Makmur Sismurtiana Edi Suprapto Khotob Rudi Kuswoyo Eko Suparisno Sucipto Gunawan Jayadi Mashudi Samsul
Ngaglik Songgo Kerto Songgo Kerto Ngaglik Sisir Sidomulyo Sidomulyo Sidomulyo Temas Temas Bumiaji Bumiaji
19 20 21 22 23
Istana Rumanah Ismail Mastika Kadir Rasidi
Tlekung Beji Sisir Temas Tulungrejo
24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46
Sriwidayati Mindarto Elly Panorama Marsilah Agrofood Sukadi Kartodirjo Ngatemi Nur Dua Putra Jaya Tirta Agro Agrokonta GG Batu Bumi Agro Mandiri Lovina Agro 2000 Artika Dwipa Srianah Tirtatama Diplomat AF Arum Sari
Junrejo Tulungrejo Sisir Sisir Sisir Junrejo Bumiaji Junrejo Junrejo Junrejo Beji Songgokerto Bumiaji Ngaglik Bulukerto Bumiaji Ngaglik Mojorejo Oro-oro Ombo Beji Temas Bumiaji Bumiaji
Jenis Usaha
Sari Apel Kripik Kentang Kripik Kentang Kripik Kentang Sari Apel, strawberry Sari-Jenang Apel, strawberry, jeruk, jambu, cuka apel. Sari Apel, Kripik Apel Sari Apel Sari Apel Sari Apel Kripik Apel, Nangka Kripik Kentang Kripik Nangka Kripik Kentang Sari Apel Kripik Nangka, Apel, salak, nanas Jenang Apel, strawberry Sari Apel, Jenang Apel, Kripik Apel, Kripik Nangka Kripik Kentang Kripik Kentang Sari Apel, Jenang Apel, Jenang Wortel Sari Apel Kripik Apel, Nangka, Nanas, Kesemek, Sirup Tamarillo Kripik Nangka, Salak, Wortel Sari-Sirup-Jenang Tamarillo, Cuka Apel Sari Apel Kripik Kentang Sari Apel Sari Apel, Jenang Apel, Kripik Apel Kripik Kentang Kripik Kentang Kripik Kentang Sari Apel Sari Apel Sari Apel, Jenang Apel Kripik Kentang Sari Apel Kripik Nangka, Apel Kripik Nangka Sari Apel Sari Apel Kripik Kentang Sari Apel, Jenang Apel Sari Apel, Jenang Apel Sari Apel
Sumber: Survei Lapangan dan Dinas Pertanian Kota Batu, 2006
Tabel 10. Data Kelompok Pelaku Usaha Pangan Olahan 2006 No Nama Alamat Jenis Usaha 1
Kelompok Wanita Tani ”Bromo Semeru”
2
Kelompok Wanita PKK Mahkota Alam
3
Sisir
Sari Apel, Jenang Apel, Jenang Nanas, Jenang Wortel, Kripik Kentang. Temas Sari Apel, Kripik Kentang, Kripik Pisang (rasa coklat, rasa jagung bakar), Kripik Singkong. Tulungrejo Kripik Apel, Nangka, Nanas, Kentang dan Kesemek, Sari Apel, Sirup Tamarillo.
Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya (P4S) Tulungkaryo 4 Kelompok Wanita Junrejo Kripik Nangka, Apel, Salak, Tani ”Sri Rejeki” Kentang, Wortel, Singkong. Sumber: Survei Lapangan dan Dinas Pertanian Kota Batu, 2006
Jumlah Anggota 25
16
45
30
Keberadaan Kelompok-kelompok Wanita Tani memberikan pengaruh positif dalam memberdayakan ibu-ibu dan remaja putri. Adanya keterlibatan peranan wanita sebagai pelaku usaha mandiri dalam kegiatan agroindustri di Kawasankawasan Agropolitan Kota Batu, jelas berdampak positif terhadap meningkatnya kesejahteraan keluarga dan masyarakat. Secara umum, dengan aktivitas usaha agroindustri tersebut, para kaum wanita dapat memperoleh manfaat yang cukup besar, baik dari aspek sosial maupun aspek ekonomi. Hal ini pada gilirannya dapat membuka peluang tercapainya standar kualitas hidup yang lebih baik. Keterlibatan kaum wanita dalam Kelompok-kelompok Usaha Agroindustri yang cukup dominan, menunjukkan bahwa para wanita di Kota Batu memiliki ketertarikan yang lebih besar dibandingkan kaum pria untuk bergabung ke dalam Kelompok Usaha Agroindustri. Padahal, sebelum adanya aktivitas usaha agroindustri tersebut, umumnya para kaum wanita hanya melakukan kerja-kerja domestik rumah tangga saja. Berbeda dengan apa yang dinyatakan oleh Todaro (2000), bahwa generalisasi penting mengenai kemiskinan adalah bahwasanya kemiskinan itu lebih banyak diderita oleh kaum wanita. Terungkap fakta di berbagai negara-negara Dunia Ketiga, yang paling menderita adalah kaum wanita dan anak-anak. Merekalah yang paling menderita kekurangan gizi dan paling sedikit menerima pelayanan kesehatan. Selain itu, akses kaum wanita ternyata juga sangat terbatas dalam memperoleh pendidikan, pekerjaan yang layak di sektor formal, tunjangan-tunjangan sosial dan
program-program penciptaan lapangan kerja yang dilancarkan oleh pemerintah. Kenyataan ini turut mempersempit sumber-sumber keuangan bagi mereka, sehingga posisi mereka secara finansial jauh kurang stabil dibandingkan dengan kaum pria. Berkembangnya kegiatan usaha agroindustri pangan olahan diatas, apabila dibina dan diarahkan dengan sungguh-sungguh, akan menimbulkan iklim yang menguntungkan bagi dunia usaha dan daya serap tenaga kerja yang cukup besar. Tetapi upaya pembinaan selama kurun waktu 2 tahun terakhir yang dilakukan oleh Dinas Pertanian dan Dinas Perindustrian & Perdagangan Kota Batu baru dalam tahap pembinaan dibidang ketahanan pangan, pembinaan pengembangan pangan olahan non beras disektor pertanian. Oleh karena itu, perlu diupayakan pembinaan yang lebih intensif dan dukungan kebijakan pemerintah terhadap pertumbuhan Agroindustri pangan olahan tersebut. Kondisi potensi sumber daya alam yang dimiliki Kota Batu sayangnya masih belum diimbangi oleh potensi sumber daya manusia yang lebih produktif agar dapat mengoptimalkan potensi sumber daya alam yang dimiliki. Ini terlihat dari data Departemen Pendidikan Kota Batu menunjukkan 36,24 persen (57,571 Orang) penduduk Kota Batu yang berpendidikan SD, angka tersebut adalah angka terbesar pertama yang kemudian diikuti penduduk berpendidikan Tamat SLTP sebesar 32.257 orang (20,50%). Sisanya menunjukkan tidak sekolah, tidak tamat SD, tamat SLTA dan sarjana sebesar 11,67 persen. Tabel berikut menunjukkan komposisi penduduk menurut tingkat pendidikan di Kota Batu tahun 2003. Tabel 11. Komposisi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2003
No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Tingkat Pendidikan Tidak Sekolah Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Sarjana
Jumlah
Jumlah (Orang)
Persentase
15.606 10.655 57.571 32.257 24.221 18.544
9,82 6,70 20,50 36,24 1,25 11,67
158.854
100
Sumber: Pemerintah Kota Batu, 2003
Selanjutnya, potensi sumber daya manusia yang terus mengalami kenaikan sebesar 1,8 persen per tahun di Kota Batu sayangnya tidak dimbangi dengan
ketersediaan lapangan pekerjaan yang mampu menyerap angkatan kerja. Kondisi tersebut kemudian memunculkan tekanan (push factor)
inovasi baru dari
masyarakat untuk menciptakan usaha baru yang mampu memberikan pendapatan untuk pemenuhan kebutuhan hidup. Latar belakang pendidikan pelaku usaha agroindustri memiliki korelasi positif dengan kreatifitas dan inisiatif membuka peluang sektor ekonomi produktif. Untuk mendukung pertumbuhan kegiatan agroindustri Kota Batu, langkah strategis yang perlu dilakukan adalah dengan meningkatkan kemampuan sumber daya manusia Kota Batu sebagai mesin penggerak kebijakan yang sudah ditetapkan. Kondisi tersebut bila diusahakan secara sungguh-sungguh memungkinkan terjadinya keseimbangan antara potensi sumberdaya alam dan potensi sumber daya manusia, agar tidak terjadi efek pemborosan sumberdaya (environmental degradation) kawasan Kota Batu. Potensi sumber daya alam yang dimiliki seharusnya masih bisa dioptimalkan dengan baik apabila mutu sumber daya manusia manusia pelaku Agroindustri dapat ditingkatkan lebih baik. Tabel 12 berikut menunjukkan dari pengamatan terhadap 38 responden tingkat pendidikan pelaku usaha Agroindustri Kota Batu pertengahan tahun 2006.
Tabel 12. Tingkat Pendidikan Responden Pelaku Usaha Agroindustri Kota Batu No
Tingkat Pendidikan
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Tidak Sekolah Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Sarjana Jumlah Sumber: Survei lapangan, 2006
Jumlah (Orang)
Persentase (%)
5 9 9 15 38
13,17 23,68 23,68 39,47 100
Dari Tabel 12 diatas, dapat dilihat bahwa berbeda dengan keberadaan tingkat pendidikan masyarakat Kota Batu pada umumnya, maka justru mayoritas pelaku usaha agroindustri pangan olahan secara berturut-turut didominasi oleh Sarjana sebanyak 39,47 persen, Tamat SLTP 23,68 persen dan Tamat SLTA 23,68 persen, Tamat SD 13,17 persen.
Tingkat pendidikan pelaku usaha agroindustri pangan olahan yang relatif tinggi terbukti dapat mempengaruhi pengelolaan usaha, baik dalam kegiatan produksi, penerapan inovasi-inovasi baru, kebersihan dan kesehatan lingkungan produksi, sanitasi maupun kegiatan pengembangan usaha dan pemasaran. Hal ini menunjukkan adanya hubungan yang sangat erat antara tingkat pendidikan dengan munculnya inovasi produk agroindustri yang dihasilkan di Kota Batu. Selanjutnya, mengenai pengalaman berusaha yang dimiliki oleh para pelaku usaha agroindustri pangan olahan dalam menjalankan usahanya bervariasi antara 240 tahun, seperti terlihat dalam tabel berikut. Tabel 13. Karakteristik pengalaman berusaha responden pelaku usaha agroindustri pangan olahan No 1. 2. 3. 4. 5.
Lama Usaha (Tahun) 1-5 6-10 11-15 15-20 >20 Jumlah
Jumlah (Orang) 33 2 1 1 1 38
Persentase (%) 86,84 5,26 2,63 2,63 2,63 100
Sumber: Survei lapangan, 2006
Dari Tabel 13 diatas, dapat dilihat bahwa karakteristik pengalaman berusaha responden pelaku usaha agroindustri pangan olahan di Kota Batu sebagian besar telah menjalankan usahanya selama 1-5 tahun sebanyak 33 orang (86,84 %). Menurut keterangan yang diperoleh selama penelitian, faktor adanya krisis moneter berkepanjangan dan kenaikan harga BBM yang berdampak pada pemutusan hubungan kerja, ternyata membuat para ibu rumah tangga bangkit menyelamatkan keluarganya dengan membuat usaha di bidang agroindustri pangan olahan, mulai dari skala rumah tangga. Kemudian secara berturut-turut lama usaha antara 6-10 tahun sebanyak 2 orang (5,26 %), dan selama 11-15 tahun sebanyak 1 orang (2,63 %). Sedangkan untuk lama usaha antara 15-20 tahun sebanyak 1 orang (2,63 %). Serta lebih dari 20 tahun sebanyak 1 orang (2,63 %). Lamanya pengalaman berusaha yang dimiliki dalam menjalankan usaha agroindustri pangan olahan akan mempengaruhi seberapa besar optimalisasi kegiatan pengelolaan usaha yang dijalankan. Keadaan ini dapat
juga dilihat dari seberapa baik keteraturan proses produksi dengan menggunakan teknologi yang sudah ada, maupun pemasaran produksi yang dihasilkan. Adanya perbedaan komposisi yang cukup tajam mengenai lama usaha para responden mencerminkan fenomena umum agroindustri yang berkembang di Kota Batu. Jika menilik tentang sejarah munculnya kegiatan agroindustri di Kota Batu, maka akan diperoleh keterangan-keterangan dan data bahwa sebenarnya kegiatan agroindustri seperti itu memang telah lama berkembang. Hanya saja, munculnya keterlibatan masyarakat belakangan ini, terutama dalam kurun 1-5 tahun, menunjukkan adanya pertumbuhan yang sangat signifikan. Beberapa faktor pendorong yang menjadikan masyarakat petani di Kota Batu tergerak untuk mengusahakan sektor agroindustri, adalah karena faktor rendahnya harga jual hasil produk pertanian dan kebutuhan untuk membuka lapangan kerja yang lebih luas. Faktor rendahnya harga jual produk pertanian yang terkadang tidak sebanding dengan biaya produksi, menyebabkan masyarakat petani di Kota Batu mulai mencari alternatif usaha yang dapat meningkatkan nilai tambah produkproduk pertanian yang mereka hasilkan. Kegiatan usaha agroindustri muncul terutama setelah krisis ekonomi berkepanjangan di tanah air. Keadaan tersebut mendorong masyarakat petani untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar dengan jalan meningkatkan kemampuan daya saing produk pertanian, dari kegiatan pengolahan yang dilakukan. Selanjutnya, dengan kegiatan usaha agroindustri tersebut secara bersamaan memberikan multiplier effect terhadap pemanfaatan tenaga kerja yang lebih luas. Keberadaan mayoritas pelaku usaha memiliki latar belakang keluarga yang bekerja sebagai petani. Ini menunjukkan fenomena Kota Batu sebagai sebuah kawasan agropolitan, telah selangkah lebih maju karena tidak hanya berhenti pada lapang produksi-pasar agribisnis saja. Berkembangnya kesadaran keluarga petani untuk menjalankan usaha agroindustri tentunya merupakan jaminan adanya nilai tambah (vallue added) produk-produk pertanian. Lebih lanjut, komposisi pelaku usaha agroindustri pangan olahan kaitannya dengan latar belakang pekerjaan petani seperti terlihat dalam tabel berikut:
Tabel 14. Latar Belakang Pekerjaan Pelaku Usaha Agroindustri No
Profesi Sebelumnya
1. 2. 3. 4.
Petani Pedagang Pegawai Negeri Lain-lain Jumlah
Jumlah (Orang) 21 9 5 3 38
Persentase (%) 55,26 23,68 13,16 7,89 100
Sumber: Survei lapangan, 2006
Dari Tabel diatas, terlihat bahwa sebagian besar pelaku usaha agroindustri memiliki pekerjaan sebagai petani sebanyak 21 orang (55,26 %), pedagang sebanyak 9 orang (23,68), Pegawai Negeri 5 orang (13,16%), dan beragam pekerjaan lainnya sebanyak 3 orang (7,89 %). Keadaan ini memberikan gambaran ideal adanya keterlibatan masyarakat petani secara optimal dalam kegiatan agroindustri pangan olahan di Kota Batu, sehingga para petani dapat memperoleh manfaat paling besar dari meningkatnya nilai tambah (value added) produk-produk pertanian yang dihasilkan. Selanjutnya, adanya keterlibatan pedagang (23,68 %) dalam kegiatan usaha agroindustri ini, menunjukkan bahwa secara umum usaha agroindustri pangan olahan memberikan prospek yang sangat cerah. Kemampuan produk agroindustri melakukan penetrasi pasar hingga ke luar daerah menjadi pertimbangan utama bahwa perkembangan agroindustri pangan olahan ini masih memiliki peluang pasar yang sangat besar. Apalagi, jika menilik terhadap kekhususan produk agroindustri yang memiliki ciri khas tersendiri, terkait dengan ketersediaan bahan baku pertanian yang menjadi komoditas unggulan Kota Batu. Sedangkan adanya keterlibatan Pegawai Negeri dalam usaha agroindustri ini, menjadi jawaban tersendiri bahwa kegiatan agroindustri dapat dilakukan sebagai pekerjaan sampingan yang dapat memberikan keuntungan yang menjanjikan. Bahkan, dari beberapa responden yang memiliki pekerjaan sebelumnya sebagai PNS, menyatakan bahwa mereka bersedia mundur dari status PNS agar dapat lebih leluasa mengembangkan potensi bisnis usaha agroindustri yang mereka kelola secara mandiri.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Analisis Keragaan (Performance) Kelembagaan Agroindustri Pangan Olahan 5.1.1 Organisasi Usaha Agroindustri Pangan Olahan Unit usaha agroindustri pangan olahan memiliki struktur organisasi yang sederhana yang terdiri dari pelaku usaha (pemilik modal) dan karyawan. Sebagai pelaku usaha agroindustri pangan olahan, dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari juga merangkap sebagai pengelola usaha yang secara langsung mengawasi kegiatan operasional usaha yang meliputi kegiatan administrasi dan keuangan, produksi dan distribusi serta pemasaran produk agroindustri yang dihasilkan. Berdasarkan hasil pengamatan di lokasi penelitian, umumnya kegiatan agroindustri pangan olahan merupakan usaha keluarga dengan skala usaha kecil yang dikelola oleh para ibu-ibu rumah tangga. Pengelolaan usaha masih dilakukan secara sederhana. Dengan stuktur organisasi yang sederhana ini, diharapkan dapat memudahkan pelaku usaha untuk mengendalikan kegiatan manajemen dan operasional. Efektifitas dan efisiensi aliran tanggung jawab dan wewenang lebih memungkinkan untuk dipantau sekaligus meminimalisasi kesalahan produksi. Tenaga kerja yang digunakan dalam usaha agroindustri pangan olahan berasal dari luar dan dalam keluarga. Penggunaan tenaga kerja dari dalam keluarga umumnya lebih banyak digunakan daripada tenaga kerja dari luar lingkungan keluarga. Keadaan ini dikarenakan usaha agroindustri pangan olahan ini merupakan usaha keluarga, sehingga tenaga kerja bisa diatasi dari dalam keluarga, selain itu dimaksudkan untuk mengurangi biaya upah tenaga kerja. Hal ini sesuai dengan pandangan Mubyarto (2001), yang menyatakan bahwa tenaga kerja dalam keluarga tidak dinilai pada kegiatan usaha agroindustri pangan olahan. Adanya faktor kekeluargaan tersebut, dapat mempermudah dalam komunikasi dan koordinasi tugas, serta menimbulkan semangat untuk saling membantu, kebersamaan dan gotong royong yang tinggi dalam setiap aktivitas produksi. Dengan latar belakang usaha agroindustri pangan olahan yang merupakan usaha milik keluarga, maka secara umum sumber permodalan berasal dari dana
mandiri pelaku usaha. Hal ini membawa implikasi positif bahwa para pelaku usaha agroindustri pangan olahan tidak memiliki hutang atau pinjaman modal yang menyebabkan adanya kewajiban mengembalikan pokok pinjaman ditambah dengan bunga pinjaman. Sehingga kegiatan usaha bisa lebih cepat berkembang, terutama apabila keuntungan yang diperoleh dialokasikan juga untuk penambahan investasi usaha. Berkembangnya kegiatan usaha agroindustri pangan olahan diatas, apabila dibina dan diarahkan dengan sungguh-sungguh, akan menimbulkan iklim yang menguntungkan bagi dunia usaha dan daya serap tenaga kerja yang cukup besar. Tetapi upaya pembinaan selama kurun waktu 2 tahun terakhir yang dilakukan oleh Dinas Pertanian dan Dinas Perindustrian & Perdagangan Kota Batu baru dalam tahap pembinaan dibidang ketahanan pangan, pembinaan pengembangan pangan olahan non beras disektor pertanian. Oleh karena itu, perlu diupayakan pembinaan yang lebih intensif dan dukungan kebijakan pemerintah terhadap pertumbuhan Agroindustri pangan olahan tersebut. 5.1.2 Peran Pembinaan dari Pemerintah Pembangunan pertanian dan perdesaan harus dipakai sebagai strategi utama untuk mengentaskan kemiskinan. Pembangunan pertanian, khususnya sektor pangan bukanlah sebagai usaha untuk meraih swasembada sebanyak mungkin komoditas pangan. Swasembada pangan tidak akan menjamin kesejahteraan penduduk desa lebih baik dan kemiskinan dapat berkurang dengan cepat. Peningkatan produksi khususnya via peningkatan produktivitas dan kualitas, khususnya pangan harus dikaitkan dengan pembangunan agroindustri, infrastruktur distribusi dan pemasaran. Pembangunan pertanian dan perdesaan tentu tidak boleh dipisahkan dengan kebijakan industri, perdagangan dan infrastruktur penting di wilayah perdesaan (Puspoyo, 2006). Pengembangan agroindustri perdesaan merupakan pilihan yang sangat strategis untuk menggerakkan roda perekonomian dan pemberdayaan ekonomi masyarakat perdesaan. Hal ini sangat memungkinkan karena adanya kemampuan yang tinggi dari agroindustri dalam penyerapan tenaga kerja, mengingat sifat industri pertanian yang padat karya dan bersifat massal. Industri pertanian yang berbasis pada masyarakat tingkat menengah dan bawah ini merupakan sektor yang sesuai untuk
menampung banyak tenaga kerja dan menjamin perluasan berusaha sehingga akan efektif dalam upaya meningkatkan perekonomian di perdesaan. (Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Deptan, 2005). Strategi pembangunan pertanian dan perdesaan seharusnya merupakan kombinasi peningkatan produktivitas pertanian dan investasi pelayanan sosial di satu sisi, dengan perbaikan hubungan keterkaitan antara wilayah perdesaan dengan industri pengolahan hasil pertanian, dan pusat pertumbuhan di sisi yang lain. Dalam pengembangan agroindustri perdesaan diperlukan adanya suatu proses konsolidasi usahatani yang disertai dengan koordinasi vertikal agribisnis dalam suatu alur produk melalui mekanisme non pasar, sehingga karakteristik produk akhir yang dipasarkan dapat dijamin dan disesuaikan dengan preferensi konsumen akhir. Dengan demikian, setiap usaha agribisnis tidak lagi berdiri sendiri atau bergabung dalam asosiasi horizontal, tetapi memadukan diri dengan perusahaan-perusahaan lain yang bergerak dalam seluruh bidang usaha yang ada pada satu alur produk vertikal (hulu-hilir) dalam suatu kelompok usaha. Hal ini tentunya akan membutuhkan adanya perhatian dalam aspek kebijakan, teknologi, kelembagaan, sumberdaya manusia, dan permodalan. Upaya Pemerintah Kota Batu dalam mewujudkan strategi pembangunan kawasan agropolitan tersebut, terlihat dari atribut resmi kota sebagai ”agropolitan”. Baliho-baliho besar di sudut-sudut kota yang memuat rencana tata ruang kota diberi titel ”kawasan agropolitan”. Stasiun TV resmi milik Dinas Infokom Pemkot Batu bernama ATV (Agropolitan Televisi). Bahkan website resmi Pemkot Batu, jika diakses akan muncul sebuah tampilan www.agropolitan.com. Sebuah terobosan yang luar biasa dalam memberikan citra Kota Batu sebagai sebuah kawasan Agropolitan (Sabil, 2006). Berbekal potensi alamiah Kota Batu sebagai sebuah “Kawasan Agropolitan”, juga dengan keberadaan sosial masyarakatnya yang banyak bertumpu pada aktivitas ekonomi berbasis pertanian, telah mendorong Pemkot Batu untuk menggenjot pergerakan perekonomian wilayah yang lebih dinamis dengan menitikberatkan pada sektor pertanian yang menjadi ciri utama sebuah kawasan agropolitan. Rencana Tata Ruang Kawasan Agropolitan di wilayah Kota Batu didasarkan pada RTRW Kota Batu 2003-2013. Selanjutnya, berdasarkan tujuan dari
pengembangan
kawasan
agropolitan,
yakni
bermuara
pada
peningkatan
kesejahteraan masyarakat melalui percepatan pengembangan wilayah, sehingga pada gilirannya akan berdampak positif pada peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dalam penyusunan Rencana Induk (Master Plan) Pengembangan Kawasan Agropolitan Kota Batu, disusun program-program yang mengarah kepada kegiatan pertumbuhan, pembinaan dan pengembangan kawasan secara simultan. Secara umum program kegiatan pokok pembinaan dan pengembangan kawasan agropolitan di Kota Batu adalah untuk menumbuhkembangkan kegiatan ekonomi yang produktif dengan memperhatikan potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia dalam rangka mendukung perluasan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha serta percepatan pertumbuhan ekonomi kawasan, meliputi: 1.
pengembangan
komoditas
unggulan
dan
diversifikasi
komoditas
usahatani/agribisnis yang sesuai dengan spesifik lokal, menguntungkan dan mampu mendorong pertumbuhan kawasan yang berkelanjutan. 2.
penumbuhan kegiatan agroindustri kecil melalui pelatihan untuk pembentukan wirausaha baru dengan terwujudnya KUB (Kelompok Usaha Bersama).
3.
penumbuhan dan pembinaan sentra-sentra agroindustri dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi rakyat dan peningkatan pendapatan masyarakat.
4.
penumbuhan sentra-sentra usaha/agribisnis perdagangan di kawasan yang diharapkan mampu meningkatkan jalinan keterkaitan desa-kota.
5.
pembangunan dan pengembangan sarana dan prasarana yang mendorong kegiatan ekonomi produktif yang berbasis agribisnis.
6.
pengembangan kelembagaan sosial masyarakat, ekonomi, keuangan, dan perdagangan yang menunjang kelancaran usaha/bisnis di dalam kawasan.
7.
bimbingan
dan
penyuluhan
dalam
rangka
penumbuhan
usaha
agribisnis/agroindustri kecil dan pengembangannya. Dari beberapa kegiatan pokok tersebut, maka program peningkatan dan pengembangan agroindustri yang menjamin keterkaitan antara sektor pertanian dan pengolahan merupakan langkah yang tepat untuk mendorong
percepatan
pertumbuhan wilayah. Dalam hal ini secara spesifik, maka kegiatan pengembangan agroindustri harus dipandang sebagai kegiatan pokok yang harus didekati dengan
menggunakan konsep pengembangan agroindustri yang berkelanjutan (sustainable), meliputi: 1. Meningkatkan keunggulan komparatif dan aspek pengolahan sumberdaya alam (resource based industry). 2. Meningkatkan penelitian dan pengembangan potensi hasil pertanian dalam rangka pengembangan agroinsutri. 3. Mempersiapkan
pengembangan
agroindustri
pendukung
dalam
rangka
melakukan kegiatan agribisnis, seperti alat dan mesin pertanian. 4. Meningkatkan pelayanan informasi peluang usaha di bidang agroindustri melalui pengembangan data base produksi dan pasar. 5. Meningkatkan peluang usaha dengan pemanfaatan teknologi tepat guna yang berwawasan lingkungan. Kegiatan
agroindustri
pangan
olahan
di
Kota
Batu
dalam
perkembangannya lambat laun mulai mendapatkan perhatian dari Pemerintah Kota Batu. Beberapa kegiatan sosialisasi pengolahan hasil pertanian dilakukan oleh Dinas Pertanian Kota Batu, seperti: Sosialisasi Cipta Menu dengan Bahan Pangan NonBeras, Lomba Cipta Menu dengan Bahan Pangan Non-Beras, Pelatihan Pangan Olahan, dan lain-lain. Sedangkan dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Batu telah melaksanakan program-program pengembangan agroindustri dengan kegiatan-kegiatan: Pelatihan Pengembangan Agroindustri Apel, Kentang, Singkong dan Ladu, Pelatihan Industri Makanan dan Minuman, serta Pameran-pameran Produk Unggulan Agroindustri. Kegiatan rutin pembinaan di bidang agroindustri, meliputi: penumbuhan, pembinaan dan bimbingan serta pengawasan kelompok usaha agroindustri. Secara khusus, Deperindag Kota Batu juga melakukan pembinaan agroindustri (dan industri pada umumnya) melalui penataan kawasan dan sentra, ijin usaha, pengawasan produksi dan pencegahan pencemaran industri dengan kegiatan intensifiksi laboran industri, pengawasan lapangan dengan bimbingan pembuatan dokumen UKL/UPL, IPAL dan uji limbah industri. Sementara dalam bidang perdagangan, pembinaan dilakukan melalui proses ijin usaha, pengawasan distribusi dan pendaftaran gudang; Pameran Dagang
Industri Kecil, serta Peningkatan Kerjasama Agroindustri melalui kemitraan usaha, kemitraan investasi dan kerjasama bisnis lainnya. Perkembangan kelembagaan pemasaran agroindustri di Kota Batu secara kumulatif dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, terdiri dari agroindustri formal (berijin) dan informal (rumah tangga) serta agroindustri skala menengah. Perkembangan kelembagaan agroindustri secara kumulatif terlihat dalam Tabel 15 berikut: Tabel 15. Perkembangan Kelembagaan Agroindustri Kota Batu tahun 2003-2004 No
Jenis Lembaga
1
Agroindustri Formal
2
Agroindustri Informal
3
Agroindustri Skala Menengah Jumlah
Jumlah (Unit) 2003 2004 25 75
Kenaikan (%) 33,33
169
220
76,82
40
64
62,50
234
359
65,18
Sumber: Deperindag Kota Batu diolah, (2004)
Sesuai dengan Tabel 15 tersebut diatas terlihat bahwa terdapat peningkatan jumlah yang cukup besar pada kelembagaan agroindustri informal mencapai 76,82 %. Kemudian pada kelembagaan agroindustri skala menengah mengalami peningkatan sebesar 62,50 %. Sedangkan jumlah Kelembagaan Agroindustri Formal di Kota Batu mengalami perkembangan sebesar 33,33 %. Besarnya perkembangan sektor agroindustri informal menunjukkan adanya minat masyarakat yang besar terhadap kegiatan agroindustri. Namun, pada saat yang bersamaan mengisyaratkan masih terbatasnya kemampuan pemerintah untuk melakukan pendataan dan pembinaan secara menyeluruh kepada para pelaku usaha agroindustri. Pendataan kondisi agroindustri berdasarkan kepemilikan ijin formal usaha dari institusi yang berwenang, menggambarkan masih terbatasnya langkah dan inisiatif yang dilakukan oleh pemerintah. Ijin usaha hanyalah merupakan salah satu media untuk memberikan kontrol dan pengawasan usaha, agar kegiatan usaha agroindustri tersebut berjalan sesuai dengan standar kesehatan dan keamanan konsumen yang berlaku. Menurut informasi yang diperoleh selama penelitian, peran yang dilakukan pemerintah selama ini masih terlalu pasif. Kalaupun ada pembinaan, biasanya hanya
diberikan dalam bentuk pelatihan-pelatihan singkat, dimana manfaat yang diperoleh pelaku usaha agroindustri hanya sedikit saja dalam menambah pengetahuan teknikteknik produksi. Selebihnya, tentang bagaimana membantu pemasaran produkproduk agroindustri dan memperkuat modal usaha, belum banyak dilakukan oleh pemerintah. Sistem pemasaran dan distribusi hasil produksi agroindustri selama ini masih dirasakan belum efisien disebabkan antara lain oleh masih belum mapannya jaringan distribusi, sehingga menyebabkan tersendatnya aliran produk yang tersedia di pasar. Belum mapannya jaringan distribusi pemasaran, menyebabkan pengusaha agroindustri sering terpaksa menjual hasil produksinya kepada para tengkulak dengan harga yang kurang menguntungkan. Keberadaan sentra produksi yang terpencar dengan skala yang kecil menyebabkan proses transportasi produk-produk agroindustri menjadi tidak efisien. Sistem pemasaran komoditas unggulan selama ini selain dilakukan secara langsung dengan konsumen, juga melalui agen/distributor yang ditentukan oleh pengusaha/pelaku usaha agroindustri. Guna memperluas jaringan pemasarannya, Pemerintah Daerah Kota Batu secara berkala melibatkan para pengusaha agroindustri dalam kegiatan-kegiatan pameran baik lokal, regional maupun internasional, serta mengikuti pasar lelang di tingkat propinsi. Keberadaan pasar dan macamnya di Kota Batu terdiri dari: 1. Pasar Besar (Tradisional) Kota Batu
: 1 buah
2. Pasar Desa
: 6 buah
3. Pusat Perbelanjaan (Super Market)
: 1 buah
4. Pasar Wisata
: 3 buah
Secara umum jaringan pemasaran agroindustri di Kota Batu dapat digambarkan sebagai berikut: Pengrajin/ Pelaku Usaha
Pedagang
Distributor
Pasar Tujuan
Sistem Informasi Pasar belum mapan dan efektif, salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan pemasaran hasil produk agroindustri adalah tersedianya informasi pasar yang cepat, tepat dan akurat serta mudah diakses oleh pelaku pasar. Beberapa hal yang mempengaruhi, antara lain: a. Jaringan informasi pasar ini masih terbatas hanya beberapa daerah, sementara di banyak sentra produksi dan pasar potensial belum tercakup dalam sistem informasi pasar yang integrated. b. Sarana-prasarana informasi berupa institusi pelayanan informasi pasar belum tersebar di daerah produsen. Kecepatan dan ketepatan informasi pasar sangat ditentukan oleh ketersediaan dan kelengkapan sarana. c. Jenis data dan informasi yang dikumpulkan dan disebarluaskan belum mendorong terjadinya transaksi dan perubahan perilaku petani dalam merespons permintaan pasar yang berkaitan dengan kuantitas, kualitas dan kontinuitas pasokan. d. Petugas pelayanan informasi belum memadai dari segi kuantitas dan kualitas. Luas dan banyaknya daerah produksi dan konsumsi belum mampu dicakup oleh petugas, disamping pengetahuan dan keterampilannya yang masih kurang. (Deperindag Kota Batu, 2004) 5.1.3 Faktor Penghambat dan Pendukung Menurut keterangan yang diperoleh dari Kantor Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Batu, beberapa faktor penghambat dan Pendukung pada pelaksanaan kegiatan pembinaan agroindustri di Kota Batu adalah: a. Faktor Penghambat 1. Sarana dan prasarana untuk pemberdayaan agroindustri yang masih belum memadai. 2. Pengelolaan usaha bidang agroindustri dan perdagangan dilaksanakan dengan pola tradisional. 3. Kemampuan SDM dalam pengelolaan manajemen usaha masih rendah. 4. Belum tersedianya pasar lelang lokal guna peningkatan kualitas dan kuantitas produk agroindustri. 5. Produk unggulan Belum dikemas dan dipasarkan secara profesional.
6. Belum terciptanya kemitraan usaha yang berkesinambungan antara pengusaha besar, pengusaha menengah dan pengusaha kecil. 7. Terbatasnya kemampuan permodalan khususnya bagi pengusaha kecil. 8. Imbas Semburan Lumpur Lapindo di Sidoarjo menyebabkan turunnya kunjungan wisatawan ke Kota Batu, serta menambah beban biaya transportasi diakibatkan kemacetan yang masih sering terjadi di jalur tranportasi Batu/Malang-Surabaya. b. Faktor Pendukung 1. Kota Batu sebagai tujuan wisata sangat strategis guna pengembangan dan sentra bisnis produk unggulan agroindustri. 2. Letak geografis wilayah Kota Batu sangat cocok bagi pengembangan Agrobisnis dan Agroindustri. 5.1.4 Kelembagaan Perorangan (Informal) Kelembagaan Perorangan (Informal) merupakan kelembagaan yang sudah berkembang cukup lama di sentra-sentra produksi usaha agroindustri pangan olahan di Kota Batu. Kelembagaan ini terus berkembang seiring dengan meningkatnya permintaan pasar terhadap produk-produk agroindustri yang dihasilkan. Dalam kelembagaan ini pedagang perantara memiliki peranan yang sangat dominan. Pusatpusat produksi usaha agroindustri umumnya dihubungkan oleh pedagang perantara ke pasar-pasar dan outlet-outlet di dalam Kota Batu maupun ketika sudah menjangkau konsumen di luar Kota Batu, baik Kota/Kabupaten Malang, Surabaya atau Kota-kota lainnya di Jawa Timur, dan Kota-kota besar lainnya di Jawa, bahkan luar jawa. Sebagian besar masih menggunakan jalur pemasaran melalui pedagang perantara. Biasanya penjualan langsung oleh para produsen/pengusaha agroindustri pangan olahan ini hanya dilakukan oleh beberapa pengusaha agroindustri yang berskala besar saja. Para pengusaha besar ini telah mampu melengkapi fasilitas produksinya dengan lebih baik, seperti fasilitas transportasi dan show room/outlet produksi. Mereka juga telah memiliki manajemen usaha yang baik sehingga memiliki informasi dan akses pasar yang berkelanjutan. Sedangkan pada pelaku usaha kecil dengan kapasitas modal dan produksi yang terbatas, umumnya mereka tidak melakukan transaksi jual beli langsung
dengan konsumen, kecuali dalam jumlah terbatas dengan pembeli yang memiliki kedekatan kekerabatan, kenalan atau kolega di tempat kerja tetapnya sehari-hari. Pembeli seperti ini biasanya telah mengetahui kualitas produknya dan lebih tertarik terhadap aspek sosial dalam hubungan keseharian dengan produsen daripada melakukannya atas dasar harga produk, disamping karena harga
produk yang
ditawarkan juga relatif masih terjangkau dengan harga yang bersaing di pasaran. Perkembangan usaha agroindustri pangan olahan skala kecil, pada beberapa kasus, justru dimulai dengan upaya pelaku usaha yang terintegrasi mulai dari proses produksi hingga pemasaran. Semua kegiatan tersebut mereka tangani sendiri. Tetapi dalam perkembangannya, mereka pada akhirnya akan memilih untuk berkonsentrasi pada salah satu sektor kegiatan, hanya bergerak sebagai produsen saja atau bertindak sebagai pelaku pemasarannya. Keadaan tersebut tidak terlepas dari terbatasnya informasi harga yang dimiliki oleh pelaku usaha agroindustri, sehingga mereka akan selalu dihadapkan oleh resiko tidak terjual yang akan merugikan usahanya sendiri. Selanjutnya, secara alamiah kemudian terbentuk sebuah sistem untuk melakukan kerjasama yang saling menguntungkan berdasarkan kepercayaan diantara mereka. Aspek kepercayaan ini tidak bisa dilepaskan dari hubungan yang sudah lama terbangun, karena umumnya mereka sudah saling mengenal dengan baik antara yang satu dengan yang lainnya. Hubungan kerjasama antara para pelaku usaha agroindustri pangan olahan dan para pedagang perantara ini berjalan dalam sebuah sistem kontrak tidak tertulis yang hanya didasarkan atas kesepakatan yang umumnya berlaku diantara mereka. Aturan-aturan yang memuat hak dan kewajiban diantara mereka merupakan pengetahuan yang secara luas sudah diketahui dan disepakati bahkan sudah menjadi konsensus bersama. Walaupun demikian, mereka tetap memiliki standar kualitas produk yang akan ditransaksikan. Penilaian kualitas produk ditentukan oleh kategori grade produk, serta hasil uji sertifikasi yang dikeluarkan oleh Dinas yang berwenang. Hal ini telah menjadi prasyarat utama untuk memulai usaha di sektor produksi pangan olahan. Dalam sistem kontrak pada kelembagaan Perorangan (Informal), pedagang perantara memiliki akses pasar yang luas dan menguasai informasi harga yang berlaku. Pedagang perantara bertugas memasarkan produk-produk yang dihasilkan,
menagih pembayaran dari distributor hingga pedagang pengecer, serta mengontrol peredaran dan kualitas produk di pasaran. Apabila terjadi kerusakan produk sebelum masa kadaluarsanya, maka barang akan diganti oleh produsen. Namun sejauh ini, barang-barang produk pangan olahan ini selalu habis terjual sebelum masa kadaluarsanya berakhir. Pedagang perantara memegang peranan yang sangat penting dalam memasarkan barang sebelum masa kadaluarsanya berakhir. Biasanya mereka akan mengantisipasi dengan cara me-return (menukar kembali barang lama dengan barang baru) dan menjual barang-barang yang masa kadaluarsanya hampir habis ke tempat-tempat yang lebih ramai. Terkadang mereka akan menjual barang-barang yang sudah hampir kadaluarsa tersebut dengan harga miring dan bonus yang lebih banyak bagi pembeli. Penetapan harga produk agroindustri pangan olahan ditentukan oleh mekanisme pasar berdasarkan besarnya jumlah permintaan dan penawaran. Penetapan harga tersebut didasarkan pada pertimbangan perhitungan harga pokok produksi dan keuntungan yang diperoleh. Untuk menawarkan produk kepada konsumen atau pasar, harga ditentukan berdasarkan kebijakan pelaku usaha agroindustri pangan olahan. Tetapi dalam kondisi tertentu, terkadang harga ditentukan melalui kompromi dengan pedagang perantara. Harga produk ditentukan diawal transaksi dan akan dibayar dengan sistem konsinyasi, dengan jaminan sejumlah uang tertentu untuk pemesanan dalam jumlah besar. Hal ini berlaku secara umum untuk semua jenis produk. Tetapi, untuk beberapa produk yang tergolong cepat laku di pasaran, biasanya pembayarannya dilakukan langsung secara tunai. Bahkan tidak sedikit diantara pedagang perantara yang inden terlebih dahulu untuk mendapatkan barang yang diinginkan. Berbeda ketika pelaku usaha melakukan transaksi sendiri secara langsung dengan pedagang lepas atau konsumen produk yang ia hasilkan, dalam penentuan harga pelaku usaha agroindustri pangan olahan memiliki posisi tawar yang cukup kuat untuk mendapatkan peluang harga yang lebih baik. Pada sistem ini pelaku usaha juga memiliki kewenangan untuk menolak transaksi bila merasa harga tidak cocok. Di sisi yang lain, bagi pedagang perantara juga terjadi pertimbangan yang sama karena masih bisa memperoleh barang yang lebih baik dan memberikan peluang keuntungan yang lebih besar. Namun, tidak jarang diantara keduanya juga
akan memperoleh resiko. Bagi pelaku usaha resiko tidak terjualnya produk, dan bagi pedagang perantara tidak mendapatkan barang dagangan. Kondisi ini sangat membutuhkan pengalaman dan kejelian mengamati informasi harga yang bermain, agar mereka bisa sama-sama mendapatkan keuntungan yang optimal. Transaksi yang terjadi antara pelaku usaha agroindustri dan pedagang perantara memperlihatkan bahwa kontrak ini sudah berjalan cukup lama dan dibangun atas dasar kepercayaan (trust) dan sosial kekerabatan. Hal ini berimplikasi pada usaha meminimalisasi kejadian salah pilih (adverse selection) dan mereduksi resiko diantara keduanya. Keuntungan bagi pelaku usaha dalam sistem kontrak seperti ini adalah adanya jaminan yang lebih besar atas terjualnya produk yang ia hasilkan, kendatipun harga yang diterima tidak sebesar ketika ia melakukan transaksi langsung dengan pedagang lepas atau konsumen. Kemudian keuntungan bagi pedagang perantara terletak pada margin harga yang cukup besar sebelum barang jatuh ke tangan konsumen. Secara eksplisit tidak dinyatakan secara tertulis sanksi yang akan dikenakan apabila terjadi pelanggaran terhadap kesepakatan kontrak yang telah dibuat. Dari kenyataan di lokasi penelitian, umumnya sanksi yang ditetapkan hanya berupa sanksi sosial berupa hilangnya kepercayaan terhadap pihak yang melanggar kesepakatan kontrak tersebut. Pelanggaran ini bisa saja terjadi oleh pelaku usaha yang tidak bersungguh-sungguh dalam menjaga higienitas dan standar kualitas produk barang yang dihasilkan, sehingga barang akan lebih cepat mengalami kerusakan. Namun, pelanggaran ini bisa juga dilakukan oleh pedagang perantara yang tidak membayar hasil penjualan sesuai jumlah dan tidak tepat waktu dengan alasan-alasan tertentu. Meskipun sistem kontrak informal mengandung keterbatasan-keterbatasan pada sisi tertentu menyangkut hak dan kewajiban hingga sanksi yang tegas sebagaimana dalam sistem kontrak formal, tetapi pengaruh hubungan sosial dan kekerabatan yang baik akan dapat mencegah munculnya tindakan pelanggaran atau kecurangan yang mungkin terjadi. Pihak-pihak yang terlibat dalam sistem kontrak tersebut umumnya akan berusaha untuk selalu menjaga kepercayaan agar usaha yang digelutinya tetap bisa berlangsung. Disinilah arti penting kesadaran dan kejujuran diantara mereka dalam memelihara hubungan bisnis yang saling
menguntungkan, tidak hanya mengejar orientasi keuntungan sesaat, tetapi keuntungan yang berkesinambungan. 5.1.5 Kelembagaan Kelompok (Formal) Kelembagaan kelompok (formal) adalah kelembagaan yang secara resmi menghimpun para pelaku usaha agroindustri pangan olahan dalam sebuah pengorganisasian yang lebih tertib dan memiliki aturan-aturan formal kelembagaan, biasanya berbentuk kelompok usaha atau koperasi tertentu. Secara umum kerjasama yang dilakukan meliputi permodalan, produksi dan pemasaran. Konsep kerjasama dalam kelompok usaha ini muncul sebagai suatu bentuk adanya kebutuhan dari para anggotanya untuk mendapatkan jaminan yang lebih besar bagi kelangsungan usaha yang mereka jalankan di bidang produk pangan olahan tersebut. Namun karena keterbatasan kelembagaan Kelompok (Formal) tersebut, sejauh ini belum ada aturan tertulis khusus dalam bentuk kontrak kerjasama antara kedua belah pihak, disamping umumnya masih cukup besar terjadinya kecenderungan mengikuti perkembangan dan informasi yang berlaku di pasaran. Pihak yang menjadi pelaku utama dalam kelembagaan tataniaga Kelompok (Formal)
ini adalah pelaku usaha agroindustri dengan kelompok usahanya
(koperasi), pedagang perantara dan pedagang besar. Pada kelembagaan kemitraan yang memiliki informasi harga adalah kelompok usaha dan bertindak sebagai agen resmi. Dalam mekanisme penetapan harga ini kelompok usaha memiliki peranan yang dominan sebagai penentu harga (price maker), sementara itu para anggota/pelaku usaha bertindak sebagai penerima harga (price taker). Kondisi ini tidak terlepas dari hirarki pasar selanjutnya dimana kelompok usaha sebenarnya juga hanya sebagai price taker dari pihak pedagang perantara/pedagang besar yang bertindak sebagai price maker-nya. Dari pengamatan di lokasi penelitian, hubungan yang terjadi antara pelaku usaha agroindustri pangan olahan di Kota Batu dengan kelompok usaha formal di mana mereka bergabung menjadi anggota, menunjukkan adanya ketergantungan yang cukup besar kepada kelompok usaha dari para anggota. Kebutuhan-kebutuhan anggota yang menyebabkan mereka tergantung kepada keberadaan kelompoknya secara umum diawali oleh adanya kebutuhan permodalan. Disamping itu, mereka juga ingin mendapatkan pengetahuan baru dan keterampilan produksi yang diperoleh dari
pelatihan-pelatihan di kelompoknya. Selanjutnya, kebutuhan untuk dapat menjalin interaksi dengan sesama anggota kelompok usaha muncul dengan sendirinya sebagai bagian dari usaha untuk meng-update pengalaman produksi, mendapatkan informasiinformasi harga produk bahan baku, daerah asal penyedia bahan baku, hingga informasi perkembangan harga jual produk agroindustri pangan olahan yang mereka hasilkan. Dalam perkembangannya, eksistensi kelompok usaha sangat ditentukan oleh mekanisme hubungan antara kelompok usaha dengan para anggotanya. Secara umum, kelompok usaha berperan penting dalam ikut mengawasi dan mengontrol standarisasi produk yang dihasilkan oleh para anggotanya, menerima setoran barang-barang produksi dari para anggotanya, serta mengendalikan jumlah produksi dari para anggotanya agar tidak membuat harga di pasaran jatuh. Terkait dengan mekanisme pengembalian modal usaha yang diberikan oleh kelompok usaha kepada anggota-anggotanya, biasanya setiap anggota akan mengangsur pembayaran pinjaman modal pada saat terjadi transaksi penyetoran barang-barang produksi melalui kelompoknya. Pembayarannya dilakukan dengan cara memotong sejumlah uang tertentu sebagai angsuran pengembalian modal sesuai kesepakatan yang dibuat berdasarkan kesanggupan anggota masing-masing. Adakalanya pengembalian modal dilakukan juga melalui kegiatan arisan yang rutin diikuti kebanyakan anggota kelompok usaha tersebut. Interaksi organisasi di dalam kelompok usaha terhadap para anggotanya sangat ditentukan oleh musyawarah/pertemuan yang rutin mereka selenggarakan. Kegiatan-kegiatan pertemuan anggota seperti itu dapat meningkatkan hubungan sosial para anggota kelompoknya, untuk meningkatkan peran-peran kerjasama dalam kelompok. Hal ini merupakan faktor penting terjadinya hubungan yang saling menguntungkan. Dengan adanya interaksi yang intensif antara kelompok usaha dengan para anggotanya, dapat menjadi kontrol yang efektif dan berfungsi sebagai upaya untuk meminimalisir terjadinya pelanggaran-pelanggaran dari anggota kelompoknya terhadap kesepakatan/kontrak kerjasama yang telah dibuat bersama. Walaupun demikian,
dikarenakan adanya keterbatasan kelembagaan
kelompok (formal) tersebut, sejauh ini belum ada aturan tertulis khusus mengenai sanksi apa yang diberikan jika ada anggotanya yang melakukan pelanggaran. Sejauh ini, sanksi yang diberikan baru sebatas sanksi moral saja. Namun demikian, sanksi
moral tersebut sudah cukup efektif dalam menekan terjadinya pelanggaranpelanggaran berikutnya yang mungkin terjadi. Ini dikarenakan lingkungan kelompok usaha yang terdiri dari masyarakat lokal perdesaan yang memiliki kedekatan tempat tinggal, kesamaan budaya serta adanya hubungan kekerabatan yang relatif masih sangat kental. Sebagaimana dinyatakan oleh Rustiadi dan Pranoto (2007) bahwa keuntungan dari mengorganisasikan para petani kecil ke dalam
kelompok-
kelompok, sebenarnya merupakan suatu upaya untuk mengurangi biaya-biaya transaksi dalam memperoleh akses kepada pasar-pasar input dan output, disamping juga untuk memperbaiki kekuatan tawar menawar dan negosiasi dari para petani kecil dan pengrajin industri kecil yang berhadapan dengan para pembeli dan penjual produk-produk agribisnis yang bermodal kuat. Keberadaan kelompok-kelompok usaha agroindustri yang ada di Kawasan Agropolitan Kota Batu menunjukkan perkembangan yang cenderung lebih lambat jika dibandingkan dengan keberadaan pelaku usaha agroindustri perorangan. Secara umum, ini terjadi karena para pelaku usaha agroindustri perorangan merasa lebih leluasa mengembangkan usahanya sendiri. Fenomena ini memiliki kemiripan dengan pengorganisasian petani di Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur. Menurut hasil penelitian Pranoto (2005), rata-rata petani kurang tertarik untuk bergabung dengan kelompok tani. Alasannya selama ini keikutsertaan mereka dalam kelompok tani kurang memberikan manfaat dan hanya membuang-buang waktu saja. Apalagi ada kesan trauma apabila membicarakan masalah kelompok tani yang berkaitan dengan pemberian Kredit Usaha Tani (KUT). Menurut mereka pemberian KUT hanya menguntungkan bagi orang-orang tertentu saja sementara anggota kelompok tani tidak mendapatkan apa-apa. Di lokasi desa pusat pertumbuhan kawasan Agropolitan juga terdapat 9 kelompok tani. Tetapi kelompok tani tersebut bukan inisiatif dari masyarakat, melainkan hasil bentukan ketika akan ada program tertentu sehingga aktivitasnya pun sangat kurang. Karena keberadaan kelompok tani tersebut tidak berangkat dari kebutuhan petani maka dari sisi fungsi kelompok tani menjadikan kelembagaan jauh dari harapan dan kurang memberikan manfaat. Kelembagaan yang berkembang di kawasan ini pada akhirnya adalah
kelembagaan principal-agent relationship dimana ketergantungan petani terhadap tengkulak sebagai prinsipal relatif tinggi. 5.1.6 Struktur Tataniaga Struktur tataniaga pemasaran produk-produk agroindustri pangan olahan di Kota Batu cukup sederhana dan umumnya bersifat lokal mencakup wilayah Kota Batu dan Malang. Sementara untuk menjangkau keluar wilayah yang lebih luas, biasanya para pelaku usaha/kelompok usaha agroindustri pangan olahan, masih mengandalkan peran para pedagang perantara dalam membuka jaringan pemasaran dan melayani permintaan produk dari luar daerah. Jalur pemasaran yang digunakan oleh pelaku usaha agroindustri dalam memasarkan produksinya dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Pelaku Usaha Agroindustri Pedagang Perantara Toko Pengecer Konsumen 2. Pelaku Usaha Agroindustri Toko Pengecer Konsumen 3. Pelaku Usaha Agroindustri Konsumen
Selanjutnya, dari beberapa jalur pemasaran yang ada di Kawasan-kawasan Agropolitan Kota Batu tersebut dapat dilihat pada Gambar 3:
Pelaku Usaha Agroindustri Kelompok Usaha/ Koperasi Pedagang Perantara
Toko Pengecer
Konsumen
: Jalur Umum : Jalur Alternatif Gambar 3. Jalur Pemasaran Agroindustri Pangan Olahan
Dari hasil wawancara di lokasi penelitian, responden pelaku usaha agroindustri pangan olahan yang menjual produknya melalui pedagang perantara berjumlah 18 orang atau 47,37%. Sementara yang menitipkan langsung melalui toko pengecer berjumlah 6 orang atau 15,79%. Sedangkan sebanyak 14 orang atau 36,84% langsung berhubungan dengan konsumen. Beberapa alasan mengapa para pelaku usaha agroindustri pangan olahan menjual produknya melalui pedagang perantara karena faktor terbatasnya informasi pasar yang dimiliki, menekan resiko barang tidak terjual dan keberadaan kapasitas produksi yang cukup besar. Sementara pada pola berikutnya, yakni dengan menitipkan melalui Toko-toko Pengecer terlihat bahwa hubungan relasi pelaku usaha dengan toko pengecer masih sangat terbatas, sehingga transaksi pada pola ini tidak begitu banyak terjadi. Sedangkan pada pola hubungan langsung dengan konsumen dimungkinkan cukup banyak terjadi karena banyak lokasi usaha yang berada di pinggir jalan yang cukup strategis, terutama di jalur menuju lokasilokasi pariwisata yang banyak terdapat di Kota Batu. Bahkan tidak jarang terjadi,
konsumen mencari sendiri produk yang diinginkan dengan membeli langsung kepada pelaku usaha agroindustri, karena dengan begitu konsumen bisa mendapatkan produk yang masih
benar-benar fresh dan memperoleh
harga yang jauh lebih murah. Kalaupun terdapat para tengkulak (pedagang pengecer) yang mengambil barang-barang produksi, mereka harus membayar kontan barang-barang yang diambilnya untuk kemudian dijual lagi. Hal ini terjadi terutama ketika ada peningkatan permintaan barang oleh pasar. Keberadaan pelaku usaha yang menjual produknya melalui kelompok usaha terlihat cukup besar dalam struktur tataniaga tersebut. Karena, bagi pelaku usaha agroindustri keberadaan kelompok usaha dapat berfungsi untuk mengkoordinir dan memudahkan transaksi, menjamin kepastian harga produk agroindustri pangan olahan, serta sebagai pengendali harga produk terhadap para anggota kelompoknya. Hubungan yang terjalin antara kelompok usaha dengan pedagang perantara/pedagang besar dapat memberikan jaminan terlaksananya tataniaga yang efektif bagi anggotaanggotanya. Demikian pula bagi para pedagang perantara/pedagang besar, keberadaan kelompok usaha akan dapat memberikan jaminan adanya standarisasi kuantitas dan kualitas produk yang dihasilkan, serta jaminan adanya pasokan barang produk agroindustri yang lebih stabil.
5.1.7 Marjin Tataniaga Analisis marjin tataniaga bermanfaat untuk mengidentifikasi struktur pasar yang terjadi di Kawasan Agropolitan Kota Batu. Struktur pasar dapat memberikan gambaran mengenai kemampuan petani dalam menentukan harga jualnya. Di samping itu analisis marjin tataniaga juga dapat memperlihatkan konstribusi masingmasing lembaga pemasaran terhadap nilai tambah produk yang dihasilkan. Menurut Rustiadi et al. (2004), dalam sistem pemasaran terdapat empat fungsi pemasaran yang terjadi. Keempat fungsi pemasaran (marketing utilities) tersebut adalah fungsi perubahan kepemilikan (possesion utilities), fungsi perubahan bentuk (form utilities), fungsi perubahan waktu (time utilities) dan fungsi perubahan tempat (place utilities). Jika fungsi perubahan bentuk tidak terjadi, maka dapat dipastikan bahwa sistem pemasaran yang ada tidak memberikan insentif bagi pelaku
pasar untuk meningkatkan nilai tambahnya, atau nilai tambah yang dihasilkan hanya akan terjadi dan dinikmati oleh pelaku pasar di luar Kawasan Agropolitan. Fungsi perubahan bentuk pemasaran produk di Kawasan Agropolitan Kota Batu telah lama berlangsung dengan cukup dinamis. Produk-produk pertanian telah banyak diubah bentuknya menjadi produk-produk olahan yang mampu mendorong kelangsungan usaha agroindustri perdesaan serta memberikan nilai tambah produk yang dihasilkan. Distribusi marjin tataniaga antara pelaku usaha agroindustri pangan olahan, pedagang perantara hingga toko-toko pengecer tergambar dalam Tabel 16: Tabel 16. Distribusi Marjin Tataniaga Agroindustri Pangan Olahan
Komoditas
Kripik Kentang (kg) Sari Apel (karton) Jenang Apel (pak)
Rp
%
Rp
%
Keuntungan yang Diterima Pelaku Pedagang Toko Usaha Perantara Pengecer Agroindustri Rp % Rp % Rp %
7.800
19,5
2.290
5,7
15.930
39,8
9.860
24,6
14.500
36,2
1.060
3,4
7.320
23,6
12.620
40,7
2.600
8,4
3.500
11,2
4.510
26,7
1.940
11,5
4.800
28,4
810
4,8
940
5,6
Bahan Baku dari Petani
Biaya Produksi
Harga diterima Konsumen
Rp 40.000 31.000 16.875
Sumber : Data Primer Diolah, 2006.
Dari Tabel 16, terlihat bahwa persentase terbesar diterima oleh pelaku usaha agroindustri pangan olahan sebagai keuntungan usaha, yaitu: untuk Kripik Kentang/kg, Rp.15.930 (39,8%); Sari Apel/karton, Rp.12.620 (40,7%); Jenang Apel/pak, Rp.4.800 (28,4%). Marjin keuntungan terbesar diperoleh pelaku usaha agroindustri dari usaha Sari Buah Apel sebanyak 40,7 %, kemudian Kripik Kentang 39,8%, dan Jenang Apel 28,4 %. Kemudian secara berturut-turut, keuntungan usaha yang diperoleh toko pengecer terlihat lebih besar daripada keuntungan yang diterima pedagang perantara. Untuk Kripik Kentang/kg, keuntungan yang diperoleh toko pengecer sebesar Rp.14.500 (36,2%), sedangkan bagian
keuntungan yang diterima pedagang
perantara sebesar Rp.9.860 (24,6%). Sari Apel/karton, keuntungan yang diperoleh toko pengecer sebesar Rp.3.500 (11,2%), sedangkan bagian
keuntungan yang
diterima pedagang perantara sebesar Rp.2.600 (8,4%). Dan untuk Jenang Apel
% 100 100 100
keuntungan yang diperoleh toko pengecer sebesar Rp.940 (5,6%), serta pedagang perantara Rp.810 (4,8%). Distribusi tataniaga tersebut menunjukkan bahwa pelaku usaha memperoleh distribusi marjin keuntungan terbesar. Sedangkan pihak toko pengecer memperoleh keuntungan yang lebih besar daripada pedagang perantara dikarenakan besarnya biaya operasional usaha yang dikeluarkan toko pengecer lebih besar daripada biaya distribusi barang yang ditanggung oleh pihak pedagang perantara. Pihak pedagang perantara memiliki resiko usaha yang lebih sedikit, karena ia hanya melakukan tugas distribusi barang saja. Keuntungan yang diperoleh pedagang perantara akan semakin besar, jika mereka dapat memasarkan atau mendistribusikan barang produk agroindustri dalam jumlah yang lebih besar, dan jika pedagang perantara mampu membuka peluang pasar yang lebih luas. Bagian terbesar keuntungan usaha yang diterima oleh pelaku usaha agroindustri pangan olahan tersebut, menjadi bukti bahwa kegiatan usaha agroindustri dapat memberikan prospek yang cerah. Dari data responden mengenai latar belakang pekerjaan pelaku usaha agroindustri yang terdiri dari 55,26 % orang yang berprofesi sebagai petani, maka keadaan ini sudah cukup mencerminkan adanya kesadaran di kalangan masyarakat petani untuk terlibat secara aktif dalam kegiatan usaha agroindustri. Petani yang berperan sebagai pelaku usaha agroindustri, akan dapat memperoleh keuntungan usaha yang lebih besar. Hal ini terkait dengan keberadaan bahan baku utama usaha agroindustri yang berasal dari kegiatan usaha taninya sendiri. Adanya keterkaitan ekonomi antara sektor pertanian budidaya dengan sektor industri pengolahan hasil-hasil pertanian, dalam jangka panjang akan dapat mendorong pertumbuhan kawasan-kawasan agropolitan di Kota Batu. Seperti dinyatakan oleh Tambunan (2003), kemampuan sektor pertanian sebagai lokomotif penarik pertumbuhan output di sektor-sektor ekonomi tidak hanya melalui keterkaitan produksi, tetapi juga melalui keterkaitan konsumsi atau pendapatan dan pada banyak kasus juga melalui keterkaitan investasi. Dalam bentuk-bentuk keterkaitan ekonomi tersebut, sektor pertanian mempunyai tiga fungsi utama. Pertama, sebagai sumber investasi di sektor-sektor non pertanian: surplus uang di sektor pertanian menjadi sumber dana investasi di sektor-sektor lain. Kedua,
sebagai sumber bahan baku atau input bagi sektor-sektor lain, khususnya agroindustri dan sektor perdagangan. Ketiga, melalui peningkatan permintaan di pasar output, sebagai sumber diversifikasi produksi di sektor-sektor ekonomi yang lain. Pentingnya pertanian sebagai sumber pertumbuhan bagi sektor-sektor lainnya sangat bergantung pada besarnya keterkaitan produksi antara pertanian dengan sektor-sektor ekonomi tersebut. Dalam pertumbuhan kawasan agropolitan, sangat penting untuk diperhatikan pula tentang sejauhmana keterkaitan antara sistem permukiman dan sistem produksi. Keberadaan unit-unit usaha agroindustri yang tersebar di perdesaan-perdesaan akan dapat meningkatkan efisiensi jalur tataniaga produk-produk pertanian. Petani juga mendapatkan keuntungan yang lebih besar disebabkan oleh berkurangnya biaya transportasi. Di sisi yang lain, petani akan sekaligus mendapatkan ”jalan keluar” atas termanfaatkannya semua produk-produk pertanian yang telah disortir, dimana hasil-hasil panen yang kurang memenuhi syarat-syarat kuantitatif seperti ukuran, besar dan berat, masih dapat diolah menjadi produk olahan yang memiliki nilai jual lebih. Keberadaan pelaku usaha agroindustri yang umumnya merupakan penduduk asli (warga setempat) di perdesaan Kota Batu, akan memberikan dampak multiplier income yang sangat menopang pertumbuhan ekonomi kawasan agropolitan tersebut. Keuntungan yang mereka dapatkan dari usaha agroindustri pangan olahan, dapat digunakan untuk berbagai keperluan konsumsi ataupun dialokasikan untuk kegiatan investasi lebih lanjut. Demikian pula dengan keberadaan para pedagang perantara maupun pemilik toko-toko pengecer yang mayoritas terdiri dari penduduk setempat. Sehingga, income di sektor agroindustri ini menjadi berlipat ganda manfaatnya menjadi income masyarakat.
5
5.2 Analisis Kelayakan Usaha Agroindustri Pangan Olahan di Kota
Batu Dalam penelitian ini, analisis kelayakan usaha dilakukan terhadap kegiatan usaha agroindustri pangan olahan skala Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang banyak berkembang di Kota Batu. Layak tidaknya usaha dapat diukur melalui beberapa parameter pengukuran seperti Net Present Value (NPV), Internal Rate of
Return (IRR) dan Net Benefit Cost Ratio (B/C Ratio). Parameter-parameter pengukuran tersebut berguna sebagai pedoman dalam memulai usaha yang akan dilakukan,
sekaligus
bermanfaat
dalam
pengembangan
usaha
secara
berkesinambungan. Hasil survei menunjukkan bahwa karakteristik usaha agroindustri yang menunjukkan adanya keterkaitan erat dengan keberadaan bahan baku lokal di Kota Batu antara lain sebagai berikut: 1. Usaha Kripik: Kripik Kentang, Kripik Apel, Kripik Nangka, Kripik Wortel, Kripik Kesemek, Kripik Salak dan Kripik Nanas. 2. Usaha Sari Buah: Sari Apel, Sari Jeruk, Sari Strobery, Cuka Apel, Sari Tamarillo, Sirup Tamarillo. 3. Usaha Jenang: Jenang apel, Jenang Strobery dan Jenang Nanas, Jenang Wortel. Selanjutnya profil usaha agroindustri pangan olahan di Kota Batu tergambar pada lampiran. Analisa usaha agroindustri pangan olahan difokuskan pada usaha Kripik Kentang (mewakili jenis Kripik), Sari Apel (mewakili Sari Buah), dan Jenang Apel (mewakili jenis Jenang/Dodol). Pemilihan terhadap ketiga komoditas usaha ini dilakukan karena jenis usaha tersebut kebanyakan dilakukan oleh para pelaku usaha agroindustri pangan olahan, di samping karena ketiga jenis usaha tersebut paling mudah didapatkan di pasaran atau outlet-outlet penyedia oleholeh di Kota Batu/Malang dan sekitarnya. Asumsi tingkat suku bunga yang digunakan dalam penelitian ini adalah 10 %. Asumsi ini diambil terkait dengan adanya dana skim pemerintah yang disalurkan bagi usaha kecil dan menengah dengan suku bunga berkisar antara 4 % sampai dengan 6 %. Sementara tingkat suku bunga perbankan selama penelitian ini dilakukan berkisar antara 10 % sampai dengan 16 %. Berikut analisis Kelayakan Usaha Agroindustri Pangan Olahan yang umumnya diminati masyarakat Kota Batu, Jawa Timur. 5.2.1 Usaha Kripik Kentang Hasil analisis menunjukkan bahwa total biaya pada tahun I terdiri dari biayabiaya investasi dan biaya operasional kerja. Biaya investasi yang dikeluarkan pelaku usaha meliputi bangunan; perlengkapan kerja seperti: wajan, pisau, mesin potong, sodet, cerok, ember, kompor & tabung gas, rak jemur, sealer; serta biaya ijin usaha.
Sedangkan biaya operasional kerja adalah biaya tetap yang dikeluarkan setiap hari produksi, meliputi: pembelian kentang dan minyak goreng, upah tenaga kerja, biaya telpon, listrik/bahan bakar, kemasan, dan ongkos transportasi. Dalam memulai usaha kripik kentang dengan kapasitas produksi 50 kg/hari, dibutuhkan beberapa komponen usaha yang penting antara lain adalah biaya perijinan. Menurut pelaku usaha yang sekarang sedang menggeluti usaha tersebut biaya perijinan untuk usaha makanan ringan adalah sebesar Rp. 200.000,-. Sedangkan untuk pembelian bahan baku Kentang adalah sebesar
Rp.
4.500,- /kg. Harga tersebut adalah merupakan harga Kentang dengan standart medium dengan kualitas yang sudah cocok untuk mendapatkan kripik Kentang yang bagus. Biaya pengolahan lain yang dibutuhkan adalah minyak goreng, dalam penelitian ini diasumsikan 1 kg kentang membutuhkan minyak goreng sebanyak 0,5 kg
dengan
harga
Rp.13.000,-/kg.
Sedangkan
kebutuhan
akan
perangkat
penggorengan lainnya pada umumnya para pengusaha menggunakan Gas LPG dengan alasan lebih praktis, stabil dalam harga dan kualitas kripik kentang lebih bagus. Hasil analisis kelayakan usaha Kripik Kentang di Kota Batu menunjukkan adanya kelayakan secara finansial, terlihat pada Tabel 17. Tabel 17. Analisis Kelayakan Finansial Usaha Kripik Kentang di Kota Batu Uraian Investasi Cost Pendapatan Net Profit DF (10%) NPV (10%) DF (13%) NPV (13%) IRR (%) BC Ratio
Tahun 0 7,601,000
(7,601,000) 1.00 (7,601,000) 705,897,853 1.00 (7,601,000) 654,409,454 188.23 93.87
1
2
3
4
5
240,780,800 429,000,000
240,780,800 429,000,000
240,780,800 429,000,000
240,780,800 429,000,000
240,780,800 429,000,000
188,219,200 0.91 171,108,364
188,219,200 0.83 155,553,058
188,219,200 0.75 141,411,871
188,219,200 0.68 128,556,246
188,219,200 0.62 116,869,315
0.88 166,565,664
0.78 147,403,242
0.69 130,445,347
0.61 115,438,360
0.54 102,157,841
Sumber: Kuisioner dan Data Sekunder (diolah)
Pada Tabel 17 terlihat bahwa pada tahun pertama aktivitas produksi Kripik Kentang dijalankan dibutuhkan biaya investasi sebesar Rp. 7,601,000 dan modal kerja setiap bulan sebesar Rp. 19,950,000. Selama lima tahun kerja memberikan nilai uang sebesar Rp. 705,897,853. Biaya manfaat yang diperoleh adalah 93,87 artinya usaha Kripik Kentang ini memberikan manfaat sebanyak 93,87 kali lipat. Nilai Internal Rate of Return (IRR) sebesar 188,23 % menunjukkan lebih besar dari discount
rate
13
%.
Dengan
nominal
keuntungan
usaha
sebesar
Rp.
15,681,600/bulan atau Rp. 603,138/hari, hal ini menunjukkan adanya kemampuan kinerja usaha yang sangat baik. Usaha produksi Kripik Kentang sangat layak untuk diusahakan dan memberikan keuntungan. Sehingga, sangat wajar jika masyarakat Kota Batu sangat tertarik untuk membuka usaha produksi Kripik Kentang tersebut. Walaupun modal usaha berasal dari pihak ketiga (Bank, KUD, Kelompok, dst), asalkan tingkat pengembalian suku bunga tidak melebihi 188,23 %, artinya walaupun modal usaha ini 100 % berasal dari pinjaman Bank, kegiatan usaha masih bisa berkembang secara layak.
5.2.2 Usaha Sari Buah Apel Hasil analisis menunjukkan bahwa total biaya pada tahun I terdiri dari biayabiaya investasi dan biaya operasional kerja. Biaya investasi yang dikeluarkan pelaku usaha meliputi bangunan; perlengkapan kerja seperti: mesin sealer, panci besar, panci sedang, wajan, sodet, irus, ember, kompor & tabung gas, pisau; serta biaya ijin usaha. Sedangkan biaya operasional kerja adalah biaya tetap yang dikeluarkan setiap hari produksi, meliputi: pembelian apel dan gula, upah tenaga kerja, biaya telpon, listrik/bahan bakar, kemasan, dan ongkos transportasi. Dalam memulai usaha pembuatan Sari Buah Apel dengan kapasitas bahan baku sebanyak 20 kg/hari, dibutuhkan biaya perijinan untuk usaha sari buah apel sebesar Rp. 200.000,-. Kemudian untuk pembelian bahan baku Apel (jenis Rom Beauty BS) adalah sebesar Rp. 2.500,-/ Kg. Harga tersebut adalah merupakan harga Apel sortiran dengan kualitas yang sudah cocok untuk mendapatkan sari apel yang diproduksi. Bahan lain yang dibutuhkan adalah gula putih dengan komposisi 20 % dari bahan baku apel, dengan harga Rp.6.800,-/kg. Sedangkan kebutuhan akan
peralatan dapur sebesar kurang lebih Rp. 1.000.000,- dan pembelian 2 (dua) buah mesin sealer seharga @ Rp. 750.000,Usaha pembuatan sari buah apel dengan volume produksi 20 kg setiap harinya membutuhkan 3 orang tenaga kerja dengan upah bersih Rp. 20.000/hari. Biaya pengemasan @ Rp. 8.500/karton. Biaya Transportasi sekali order sebesar Rp. 100.000 menurut keterangan rata-rata order sebanyak sekali setiap minggunya. Hasil analisis kelayakan usaha Sari Apel di Kota Batu menunjukkan adanya kelayakan secara finansial, terlihat pada Tabel 18. Tabel 18. Analisis Kelayakan Finansial Usaha Sari Apel di Kota Batu Uraian Investasi Cost Pendapatan Net Profit DF (10%) NPV (10%) DF (13%) NPV (13%) IRR (%) BC Ratio
Tahun 0 7,460,500
(7,460,500) 1.00 (7,460,500) 502,917,033 1.00 (7,460,500) 466,084,870.49 187.51 68.41
1
2
3
4
5
192,994,100 327,600,000
192,954,100 327,600,000
192,954,100 327,600,000
192,954,100 327,600,000
192,954,100 327,600,000
134,605,900 0.91 122,369,000
134,645,900 0.83 111,277,603
134,645,900 0.75 101,161,458
134,645,900 0.68 91,964,961
134,645,900 0.62 83,604,510
0.88 119,120,265
0.78 105,447,490
0.69 93,316,363
0.61 82,580,852
0.54 73,080,400
Sumber: Kuisioner dan Data Sekunder (diolah)
Pada Tabel 18 terlihat bahwa pada tahun pertama aktivitas produksi Sari Apel dijalankan dibutuhkan biaya investasi sebesar Rp. 7,460,500 dan modal kerja setiap bulan sebesar Rp.15,994,000. Selama lima tahun kerja memberikan nilai uang sebesar Rp. 502.917.033. Biaya manfaat yang diperoleh adalah 68,41 artinya usaha Sari Apel ini memberikan manfaat sebanyak 68,41 kali lipat. Nilai Internal Rate of Return (IRR) sebesar 187,51 % menunjukkan lebih besar dari discount rate 13 %, hal ini menunjukkan adanya kemampuan kinerja usaha yang sangat baik. Usaha produksi Sari Apel sangat layak untuk diusahakan dan memberikan keuntungan. Walaupun modal usaha berasal dari pihak ketiga (Bank, KUD, Kelompok, dst), usaha Sari Apel masih sangat layak berkembang dan menguntungkan. Asalkan tingkat suku bunga tidak melebihi 187,51% dan pada
kenyataannya tingkat suku bunga Bank saat ini adalah 13 % sampai 24 %, artinya walaupun usaha ini 100% berasal dari pinjaman Bank bisa berkembang secara layak. 5.2.3 Usaha Jenang Apel Hasil analisis menunjukkan bahwa total biaya pada tahun I terdiri dari biayabiaya investasi dan biaya operasional kerja. Biaya investasi yang dikeluarkan pelaku usaha meliputi bangunan; perlengkapan kerja seperti: wajan besar, ember, mesin giling, sodet kayu besar, baki tatakan, sealer kecil, kompor & tabung gas, pisau; serta biaya ijin usaha. Sedangkan biaya operasional kerja adalah biaya tetap yang dikeluarkan setiap hari produksi, meliputi: pembelian apel, gula, danm tepung terigu, upah tenaga kerja, biaya telpon, listrik/bahan bakar, kemasan, dan ongkos transportasi. Dalam memulai usaha pembuatan Jenang Apel dengan kapasitas bahan baku sebanyak 30 kg/hari, dibutuhkan biaya perijinan untuk usaha Jenang Apel sebesar Rp. 200.000,-. Kemudian untuk pembelian bahan baku Apel kualitas sedang adalah sebesar Rp. 2.500,-/ Kg. Bahan lain yang dibutuhkan adalah gula putih dengan harga Rp.6.800,-/kg. Dan tepung dengan harga Rp. 4.000,-/kg. Usaha pembuatan Jenang Apel dengan volume produksi 30 kg setiap harinya membutuhkan 3 orang tenaga kerja dengan upah bersih @ Rp.20.000,-./hari. Biaya pengemasan @ Rp.781/pak (1 karton = 48 pak). Biaya Transportasi sekali order sebesar Rp. 100.000,- menurut keterangan rata-rata order sekali setiap minggunya. Hasil analisis kelayakan usaha Jenang Apel di Kota Batu menunjukkan adanya kelayakan secara finansial, terlihat pada Tabel 19. Tabel 19. Analisis Kelayakan Finansial Usaha Jenang Apel di Kota Batu Uraian Investasi Cost Pendapatan Net Profit DF (10%) NPV (10%) DF (13%)
Tahun 0 7,038,000
(7,038,000) 1.00 (7,038,000) 166,552,768 1.00
1
2
3
4
5
106,337,600 152,100,000
106,297,600 152,100,000
106,297,600 152,100,000
106,297,600 152,100,000
106,297,600 152,100,000
45,762,400 0.91 41,602,182
45,802,400 0.83 37,853,223
45,802,400 0.75 34,412,021
45,802,400 0.68 31,283,655
45,802,400 0.62 28,439,687
0.88
0.78
0.69
0.61
0.54
NPV (13%) IRR (%) BC Ratio
(7,038,000) 154,024,234.90 182.84 24.66
40,497,699
35,869,998
31,743,361
28,091,470
24,859,708
Sumber: Kuisioner dan Data Sekunder (diolah)
Pada Tabel 19 terlihat bahwa pada tahun pertama aktivitas produksi Jenang Apel dijalankan dibutuhkan biaya investasi sebesar Rp. 7.038.000 dan modal kerja setiap bulan sebesar Rp. 8.779.000. Selama lima tahun kerja memberikan nilai uang sebesar Rp. 166.552.768. Biaya manfaat yang diperoleh adalah 24,66 artinya usaha Sari Apel ini memberikan manfaat sebanyak 24,66 kali lipat. Nilai Internal Rate of Return (IRR) sebesar 182,84 % menunjukkan lebih besar dari discount rate 13 %, hal ini menunjukkan adanya kemampuan kinerja usaha yang sangat baik. Usaha produksi Jenang Apel sangat layak untuk diusahakan dan memberikan keuntungan. Sehingga, sangat wajar jika masyarakat Kota Batu sangat tertarik untuk membuka usaha produksi Jenang Apel tersebut. Walaupun modal usaha berasal dari pihak ketiga (Bank, KUD, Kelompok, dst), usaha Jenang Apel masih sangat layak berkembang dan menguntungkan. Asalkan tingkat pengembalian suku bunga tidak melebihi 182,84 % dan pada keyataannya tingkat suku bunga Bank saat ini adalah 13 % sampai 24 %, artinya walaupun usaha ini 100% berasal dari pinjaman Bank masih bisa berkembang secara layak. Tingginya nilai Internal Rate of Return (IRR) menunjukkan bahwa komoditas pangan olahan tersebut memiliki daya saing yang tinggi. 5.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peran Kelembagaan Agroindustri Pangan Olahan di Kota Batu Interpretasi koefisien untuk model regresi logistik dapat dilakukan dengan melihat nilai coeffisients, p-value dan odds rasio-nya. Dan yang paling utama odds rasio. Rasio Odds adalah ukuran asosiasi yang memperkirakan berapa besar kecenderungan pengaruh peubah-peubah penjelas (variabel bebas) terhadap respon jika suatu peubah penjelas mempunyai tanda koefisien positif, maka nilai rasio odds-nya akan lebih besar dari satu, sebaliknya jika tanda koefisien negatif, maka nilai rasio odds-nya akan lebih kecil dari satu (Hosmer, 1989).
Selanjutnya,
hasil
regresi
logit
faktor
yang
mempengaruhi
peran
kelembagaan agroindustri pangan olahan di Kawasan-kawasan Agropolitan di Kota Batu dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20. Hasil Regresi Logit Faktor yang Mempengaruhi Peran Kelembagaan Agroindustri Pangan Olahan di Kota Batu Variabel bebas
Keterangan Variabel
Konstanta
Konstanta
X1
Umur
X2
Jenis Kelamin
X3
Pendidikan Formal
X4
Pendidikan Informal
X5
Lama Usaha
X6
Jumlah Tenaga Kerja
Coefficients Penduga β SE Coef
Sig
Odd Ratio
6 0.1975
7212 0.1146
0.999 0.085
1.934
1.500
0.197
2.139
1.093
0.050
8.49
-0.825
1.338
0.537
0.44
0.03316
0.09329
0.722
1.03
-0.19638
0.09738
0.044
0.82
1.22 6.92
2.204 1.380 0.110 9.06 Dummy Status Kepemilikan 4.454 1.939 0.022 85.97 Dummy Informasi D2 Harga -1.144 1.244 0.358 0.32 Dummy Prosedur D3 Transaksi -24 7212 0.997 0.00 Dummy Resiko Tidak D4 Terjual Sumber : Data Primer Diolah, 2006. Keterangan : Variabel terikat: Peran Kelembagaan Agroindustri Pangan Olahan di Kota Batu *) Signifikan pada α <5 % **) Signifikan pada α <10 % ***) Signifikan pada α <1 %
D1
Berdasarkan data hasil analisis pada Tabel 20 diketahui bahwa peran kelembagaan agroindustri pangan olahan di Kota Batu secara signifikan dipengaruhi oleh: Umur, Pendidikan Formal, Jumlah Tenaga Kerja, dan Informasi Harga. Hasil analisis pada variabel bebas pertama (umur), bahwa umur secara signifikan berpengaruh terhadap peran kelembagaan agroindustri pangan olahan di Kota Batu. Senioritas (tingginya umur) cenderung mendorong peningkatan peran kelembagaan agroindustri pangan olahan di Kota Batu. Dengan demikian, peran kelembagaan agroindustri pangan olahan yang terjadi akibat pertambahan umur cenderung meningkatkan peran kelembagaan agroindustri pangan olahan di Kota Batu. Sebaliknya pada usaha-usaha yang dikelola pengusaha-pengusaha muda, peran kelembagaan agroindustri pangan olahan di Kota Batu cenderung rendah.
Hal ini adalah suatu konsekuensi logis, karena semakin bertambah umur anggota kelompok usaha maka akan
mempengaruhi secara signifikan terhadap
peran kelembagaan agroindustri pangan olahan di Kota Batu. Apabila umur semakin bertambah maka peran seseorang anggota kelompok usaha terhadap kelembagaan agroindustri pangan olahan di Kota Batu akan semakin berperan. Apabila terjadi peningkatan
umur maka akan mempengaruhi terhadap peran kelembagaan
agroindustri pangan olahan di Kota Batu. Karena umur bersifat inelastis terhadap peran kelembagaan agroindustri pangan olahan di Kota Batu. Sebagai karakteristik individu pelaku usaha, dengan meningkatnya umur berarti memiliki korelasi positif terhadap partisipasi pelaku usaha dalam kelembagaan formal. Pendidikan formal pelaku usaha secara signifikan akan meningkatkan peran kelembagaan agroindustri pangan olahan di Kota Batu. Apabila terjadi peningkatan pendidikan formal, maka akan terdapat peningkatkan peran kelembagaan agroindustri pangan olahan di Kota Batu
sebanding dengan meningkatnya
pendidikan formal. Dengan demikian, peran kelembagaan agroindustri pangan olahan
yang terjadi akibat pendidikan formal cenderung meningkatkan peran
kelembagaan agroindustri pangan olahan di Kota Batu. Sebaliknya setiap berkurangnya tahun pendidikan formal, maka akan menurunkan peran kelembagaan agroindustri pangan olahan di Kota Batu. Hal ini adalah suatu konsekuensi logis, karena dengan semakin meningkatnya strata pendidikan formal anggota kelompok usaha agroindustri pangan olahan di Kota Batu menyebabkan semakin tingginya produktivitas, sehingga peran kelembagaan agroindustri pangan olahan di Kota Batu menjadi lebih efisien dan efektif. Pendidikan formal merupakan salah satu faktor penting dalam inovasi usaha agroindustri. Semakin tinggi strata pendidikan formal yang dimiliki oleh anggota agroindustri pangan olahan di Kota Batu, mencerminkan kemampuan yang dimiliki oleh anggota kelompok usaha dalam menerapkan inovasi dan manajemen usaha yang lebih baik. Hasil analisis terhadap variabel jumlah tenaga kerja, bahwa jumlah tenaga kerja secara signifikan akan berpengaruh terhadap peran kelembagaan agroindustri pangan olahan di Kota Batu. Apabila jumlah orang tenaga kerja meningkat, maka peran kelembagaan agroindustri pangan olahan di Kota Batu akan peningkatan.
Dengan demikian jumlah tenaga kerja merupakan salah satu faktor yang mendukung peran kelembagaan agroindustri pangan olahan di Kota Batu. Sebaliknya setiap berkurangnya jumlah orang tenaga kerja, maka peran kelembagaan agroindustri pangan olahan di Kota Batu akan mengalami penurunan. Jumlah tenaga kerja produktif merupakan faktor utama dalam bidang usaha agroindustri pangan olahan. Semakin besar jumlah tenaga kerja yang dimiliki oleh pelaku usaha agroindustri pangan olahan di Kota Batu, akan menunjukkan kapasitas produksi usaha agroindustri, nilai investasi usaha serta seberapa besar produksi yang dapat dihasilkan dalam kegiatan usaha agroindustri pangan olahan tersebut. Sedangkan dengan meningkatnya jumlah tenaga kerja yang dimiliki berkorelasi negatif terhadap keterlibatan pelaku usaha dalam kelembagaan formal. Sesuai dengan fakta di lapangan bahwa jumlah tenaga kerja yang semakin banyak memberikan peluang bagi pelaku usaha untuk meningkatkan kapasitas produksi dan memperluas jaringan pemasaran, sehingga dengan pertimbangan ini biasanya membuat pelaku usaha menolak terlibat dalam kelembagaan formal yang biasanya justru membuat batasan jumlah kapasitas produksi bagi anggota-anggotanya. Selanjutnya, hasil analisis terhadap informasi harga secara signifikan akan berpengaruh terhadap peran kelembagaan agroindustri pangan olahan di Kota Batu. Apabila akses terhadap informasi harga semakin mudah diperoleh, maka akan mempengaruhi terhadap peran kelembagaan agroindustri pangan olahan di Kota Batu yang mengalami peningkatan. Dengan demikian akses terhadap informasi harga merupakan salah satu faktor penting yang mendukung dalam peran kelembagaan agroindustri pangan olahan di Kota Batu. Sebaliknya apabila akses terhadap informasi harga semakin sulit, maka peran kelembagaan agroindustri pangan olahan di Kota Batu akan menurun. Keadaan ini menunjukkan jika akses terhadap informasi harga semakin sulit diperoleh, akan mempengaruhi terhadap rendahnya tingkat partisipasi anggota kelompok usaha. Dan sebaliknya jika akses terhadap informasi harga mudah didapat maka akan mempengaruhi terhadap tingkat partisipasi anggota kelompok usaha dan peran kelembagaan agroindustri pangan olahan di Kota Batu. Selanjutnya, dummy informasi harga (tahu/tidak tahu) sebagai salah satu karakteristik biaya transaksi, menunjukkan bahwa informasi harga termasuk faktor
yang mendorong pelaku usaha untuk terlibat dalam kelembagaan formal kelompok usaha agroindustri pangan olahan. Sangat masuk akal jika pelaku usaha bersedia terlibat dalam kelembagaan formal, ini diharapkan dapat memberikan kepastian adanya informasi harga yang mereka butuhkan dalam memasarkan produk-produk agroindustri yang dihasilkan. Di sisi yang lain, dari observasi langsung di lokasi penelitian menunjukkan adanya gambaran telah meningkatnya kemandirian pelaku usaha dalam menjalankan usaha agroindustri pangan olahan tanpa terlalu bergantung kepada kelompok usaha/koperasi yang ada. Keterlibatan pelaku usaha agroindustri dalam kelembagaan formal berlangsung secara terbatas, terlihat dari sedikitnya keberadaan kelompok usaha/koperasi yang ada di Kawasan Agropolitan Kota Batu.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan umum bahwa usaha agroindustri pangan olahan di kawasan-kawasan agropolitan Kota Batu Provinsi Jawa Timur menunjukkan adanya prospek usaha yang sangat baik, karena dapat memberikan keuntungan bagi para pelaku usaha. Walaupun di sisi yang lain ditemukan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi lambatnya pertumbuhan kelembagaan usaha agroindustri pangan olahan tersebut. Sedangkan untuk kesimpulan khusus adalah sebagai berikut: 1. Peran kelembagaan usaha agroindustri pangan olahan yang ada di Kota Batu memberikan pengaruh yang berbeda terhadap perkembangan kegiatan usaha, dimana pelaku usaha yang berada dalam kelembagaan perorangan (informal) memiliki peluang yang lebih besar untuk berkembang dibandingkan dengan pelaku usaha yang bergabung dalam kelembagaan kelompok (formal). Namun, peran kelembagaan tersebut tidak mempengaruhi struktur biaya transaksi yang terjadi. Hal ini dikarenakan banyaknya kesamaan pada jalur pemasaran yang dilalui oleh kelembagaan formal maupun informal. Sehingga, keberadaan kelembagaan
kelompok
(formal)
sejauh
ini
belum
signifikan
dalam
pengembangan agroindustri pangan olahan di Kota Batu. 2. Pengembangan usaha agroindustri pangan olahan di Kota Batu layak secara finansial. Usaha agroindustri pangan olahan memberikan keuntungan bagi para pelaku usaha, serta besarnya nilai Internal Rate of Return (IRR) menunjukkan bahwa komoditas pangan olahan tersebut memiliki daya saing yang tinggi. Secara berturut-turut, persentase marjin keuntungan terbesar diperoleh pelaku usaha agroindustri dari usaha Sari Apel sebanyak 40,7%, kemudian Kripik Kentang 39,8%, dan Jenang Apel 28,4%. Selanjutnya keuntungan yang diterima toko pengecer dari usaha Kripik Kentang 36,2%, kemudian Sari Apel sebanyak 11,2%, dan Jenang Apel 5,6%. Serta keuntungan bagi pedagang perantara dari usaha Kripik Kentang 24,6%, kemudian Sari Apel sebanyak 8,4%, dan Jenang Apel 4,8%. 3. Partisipasi dan keterlibatan peran kelembagaan agroindustri pangan olahan di Kota Batu secara signifikan dipengaruhi oleh: Umur, Pendidikan Formal, Jumlah Tenaga
Kerja, dan Informasi Harga. Sebagai karakteristik individu pelaku usaha, dengan meningkatnya umur pelaku usaha agroindustri berarti memiliki korelasi positif terhadap partisipasi pelaku usaha dalam kelembagaan formal. Begitu pula dengan pendidikan formal pelaku usaha agroindustri, semakin tinggi tingkat pendidikan formal, pelaku usaha akan menjatuhkan pilihan terhadap kelembagaan formal. Sedangkan dengan meningkatnya jumlah tenaga kerja yang dimiliki berkorelasi negatif terhadap keterlibatan pelaku usaha dalam kelembagaan formal. Selanjutnya, dummy informasi harga (tahu/tidak tahu) sebagai salah satu karakteristik biaya transaksi, menunjukkan bahwa informasi harga termasuk faktor yang mendorong pelaku usaha untuk terlibat dalam kelembagaan formal kelompok usaha agroindustri pangan olahan. 6.2 Saran Saran yang dapat dikemukakan dari hasil analisis mengenai Kajian Kelembagaan Agroindustri Pangan Olahan di Kawasan-kawasan Agropolitan Kota Batu Provinsi Jawa Timur, adalah sebagai berikut: 1. Kelembagaan perorangan (informal) usaha agroindustri pangan olahan di Kota Batu dapat ditingkatkan dengan keterlibatan peran kebijakan dari Pemerintah Kota Batu dalam
memberikan
pembinaan
secara
berkesinambungan.
Pengembangan
kelembagaan agroindustri perdesaan harus diikuti oleh adanya kebijakan pemerintah dalam memberikan dukungan nyata kepada para pelaku usaha agroindustri untuk memperbaiki kualitas industri pengolahan agar memiliki daya saing produk pertanian yang lebih tinggi. 2. Jika melihat manfaat dari keterlibatan petani dalam kegiatan usaha agroindustri dapat mendatangkan keuntungan usaha yang lebih tinggi, maka hendaknya para petani secara langsung harus didorong menjadi pelaku usaha dalam kegiatan agroindustri pangan olahan, dengan cara memberikan insentif-insentif yang diperlukan kepada para pelaku usaha untuk meningkatkan akselerasi pertumbuhan usaha agroindustri pangan olahan tersebut. 3. Peningkatan partisipasi dan keterlibatan pelaku usaha terhadap peran kelembagaan agroindustri pangan olahan dapat dilakukan melalui peningkatan kapasitas pelaku usaha sesuai dengan perubahan-perubahan signifikan yang mempengaruhi. Pemerintah Kota Batu diharapkan dapat menetapkan adanya regulasi kebijakan
yang mampu menarik minat investor untuk menanamkan modalnya pada sektor usaha agroindustri pangan olahan di Kota Batu, melalui pola kemitraan yang saling menguntungkan dengan masyarakat lokal, sehingga dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat menjadi lebih sejahtera.
DAFTAR PUSTAKA Anwar. Affendi. 2005. Ketimpangan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan. P4W-IPB. Bogor. Anwar, Affendi. 2002. Teori Permainan (Game Theory) dan Aplikasinya dalam Analisis Ekonomi dan Kelembagaan. Bahan Kuliah PPS Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan.Bogor: Institut Pertanian Bogor. Asmon, Doni. 2004. Kajian Ekonomi dan Kelembagaan Usahatani Sayur Daundaunan (Leavy Vegetables) di Kota Pekanbaru. Tesis SPs-IPB. Bogor. Assidiqqi, F. 2005. Analisis Keterkaitan Pola Penganggaran Sektor Unggulan dan Sumberdaya Dasar untuk Optimalisasi Kinerja Pembangunan Daerah (Studi Kasus Kota Batu Provinsi Jawa Timur). Tesis SPs-IPB. Bogor. Bappeda Kota Batu. 2004. Laporan Akhir Perencanaan Program Jangka Menengah Kawasan Agropolitan Kota Batu. Batu. Bappeda Kota Batu. 2004. Pengembangan Kawasan Agropolitan Bernuansa Wisata di Kota Batu. Batu. Basdabella, Supri. 2001. Pengembangan Sistem Agroindustri Kelapa Sawit dengan Pola Perusahaan Agroindustri Rakyat. Disertasi PPs-IPB. Bogor. Didu. MS. 2000. Merancang Kelembagaan Agroindustri. Jurnal TIP-IPB. Bogor. Erwidodo. 1997. Modernisasi dan Penguatan Ekonomi Masyarakat Pedesaan. Diacu dalam: Pembangunan Ekonomi Rakyat di Pedesaan. PT. Bina Rena Pariwara. Jakarta. Gittinger PJ. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-proyek Pertanian. UI Press. Jakarta. Hayami dan Kikuchi. 1987. Dilema Ekonomi Desa, Suatu Pendekatan Ekonomi terhadap Perubahan di Asia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Hayami, Yijiro dan VW. Ruttan. 1984. Agricultural Development, an International Prespective. The John Hopkins Univ.Press. Baltimore & London. Husnan dan Suwarsono. 1994. Studi Kelayakan Proyek, Konsep, Teknik dan Penyusunan Laboran. BPFE. Jogjakarta. Kurnia, Ganjar. 1997. Modernisasi dan Penguatan Ekonomi Masyarakat Pedesaan. Diacu dalam: Pembangunan Ekonomi Rakyat di Pedesaan. PT. Bina Rena Pariwara. Jakarta Maarif. S. 2000. Rancang Bangun Sentra Pengembangan Agribisnis dan Agroindustri Komoditas Unggulan di Kab. Barito Utara Kalteng. Jurnal TIP-IPB. Bogor. Mattjik, AA. 2006. 2006. Sambutan Rektor Institut Pertanian Bogor. Diacu dalam: Revitalisasi Pertanian dan Dialog Peradaban. Kompas. Jakarta.
Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3ES. Jakarta. Mwabu, G. dan Thorbecke, E. 2001. Rural Development, Economic Growth and Poverty Reduction in Sub-Sahara Africa. Plenary Paper prepared for presentation at the AERC (African Economic Research Consortium). Biannual Research Workshop, December 1-6, Nairobi, Kenya North, Douglas C .1991. Institution, Institutional Change and Economic Performance. United Kingdom : University of Chambridge. Pakpahan, A. 1991. Kerangka Analitik Untuk Penelitian Rekayasa Sosial: Prespektif Ekonomi Institusi, Prosiding Patanas: Evolusi Kelembagaan Pedesaan di Tengah Perkembangan Teknologi Pertanian. Puspen Agroekonomi Badan Litbang Pertanian Bogor. Bogor. Pambudy, Rachmat. 2005. Sistem dan Usaha Agribisnis yang Berkerakyatan, Berdaya Saing, Berkelanjutan dan Terdesentralisasi; diacu dalam: Pembangunan Sistem dan Usaha Agribisnis. Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan-LPPM IPB. Bogor. Pemerintah Kota Batu. 2003. Batu dalam Angka. Batu. Pokja Pengembangan Kawasan Agropolitan Pusat. 2004. Pedoman Penyusunan Master Plan Kawasan Agropolitan. Badan Pengembangan SDM Pertanian, Deptan. Jakarta. Purnomowati, Endri. 1999. Peran Agroindustri Hilir dalam Peningkatan Nilai Tambah Komoditi Salak di Kabupaten Malang-Jatim. Tesis Universitas Brawijaya. Malang. Rachman B, Pasandaran E, Kariyasa K .2002. Kelembagaan Irigasi Dalam Perspektif Otonomi Daerah. Bogor : Jurnal Pusat Penelitian Dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Riyadi dan Bratakusumah. DS. 2005 Perencanaan Pembangunan Daerah, Gramedia, Jakarta. Rondinelli, A. Dennis. 1985. Applied Methods of Regional Analysis- The Spatial Dimensions of Development Policy. Westview Press / Boulder. London. Rustiadi, E. dan Pranoto, S. 2007. Agropolitan Membangun Ekonomi Perdesaan. Crestpent Press. Bogor. Rustiadi, et al, 2004. Studi Pengembangan Model dan Tipologi Kawasan Agropolitan. Departemen Kimpraswil. Jakarta. Sabil, Qosdus. 2006. Kritik atas Visi Agropolitan Kota Batu: Makalah Diskusi Publik Wong Mbatu, 3 Juni 2006. Batu. Sadjad, Sjamsoe'oed. 2005. Pembangunan Pertanian dan Perdesaan. Makalah Seminar "Kritik atas Kebijakan Pembangunan Perdesaan di Indonesia". Bogor.
Saptana, Herdiarto, Sunarsih, Sumaryanto. 2001. Tinjauan Historis dan Perspektif Pengembangan Kelembagaan Irigasi di Era Otonomi Daerah. Bogor: Forum Agro Ekonomi Volume 19 N0. 2 Desember 2001: 50-65. Soekartawi. 1989. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian. Teori dan Aplikasi. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Sukmadinata. 1995. Kajian Kelembagaan Transaksi dalam Pemasaran Hasil Usaha Penangkapan Ikan di Jatim. Disertasi PPs-IPB. Bogor. Sumodiningrat, Gunawan. 2005. Kemiskinan dan Pengembangan Ekonomi Perdesaan. Makalah Seminar "Kritik atas Kebijakan Pembangunan Perdesaan di Indonesia". Syakir, Farida. 2001. Analisis Nilai Tambah dan Optimasi Agroindustri Apel Studi Kasus Agroindustri Apel PT. Kusuma Agrowisata Kodya Batu. Tesis Universitas Brawijaya. Malang. Tarigan, Robinson. 2006. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Bumi Aksara. Jakarta. Todaro, Michael P. 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Penerbit Erlangga. Jakarta. Wahyudi. 1997. Pengembangan Agroindustri Sub-Sektor Perkebunan dalam Upaya Meningkatkan Nilai Tambah melalui Pola Kemitraan. Makalah Seminar. Bogor. Widianarko, Budi. 2006. Globalisasi Pangan: Masih Adakah Peluang bagi Pertanian Indonesia. Diacu dalam: Revitalisasi Pertanian dan Dialog Peradaban. Kompas. Jakarta. Yustika, Ahmad Erani. 2006. Ekonomi Kelembagaan Definisi, Teori dan Strategi. Bayumedia. Madang.
Lampiran 1 ANALISIS USAHA KRIPIK KENTANG SKALA USAHA KECIL MENENGAH DI KOTA BATU 1. Modal Investasi No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Jenis Jumlah (unit) Bangunan(gedung) 1 Wajan Besar 1 Pisau 6 Mesin Potong 1 Sodet 2 Cerok 2 Ember 8 Kompor Gas 1 Tabung Gas 1 Rak jemur 100 Sealer 2 Biaya Ijin Usaha 1 Total modal investasi
2. Biaya Penyusutan NO URAIAN NB (Rp) NS 1 Bangunan (gedung) 5,000,000 2,000,000 2 Wajan 145,000 20,000 Besar 3 Pisau 12,000 2,000 4 Mesin 2,500,000 250,000 Potong 5 Sodet 5,000 6 Cerok 7,000 7 Ember 15,000 8 Kompor 210,000 50,000 Gas 9 Tabung Gas 250,000 100,000 10 Rak jemur 10,000 11 Sealer 15,000 12 Biaya Ijin Rp Usaha 200,000
Harga/unit (Rp) 5,000,000 145,000 12,000 750,000 5,000 7,000 15,000 210,000 250,000 10,000 15,000 200,000
JUE
RS
Total (Rp) 5,000,000 145,000 72,000 750,000 10,000 14,000 120,000 210,000 250,000 1,000,000 30,000 200,000 7,801,000
Volume
Total
5 5
600,000 25,000
1 1
600,000 25,000
5 5
2,000 450,000
6 1
12,000 450,000
5 5 5 5
1,000 1,400 3,000 32,000
2 2 8 1
2,000 2,800 24,000 32,000
5 5 5 5
30,000 2,000 3,000 40,000
1 100 1 1
30,000 200,000 3,000 40,000
1,189,400
1,420,800
3. Modal Kerja No Jenis 1 Kentang
Jumlah 1,300
Harga/unit (Rp) 4,500
Total (Rp) 5,850,000
2
Minyak Goreng
650
13,000
3
Tenaga kerja / orang
130
20,000
4
Telpon / bln
1
50,000
5
Listrik/Bahan bakar
26
25,000
6
Kemasan
26
75,000
7
Transportasi
4
100,000
8,450,000 2,600,000 50,000 650,000 1,950,000 400,000 19,950,000 Total modal kerja dalam 1 Tahun
4. Penerimaan No Jenis 1 Kripik Kentang Total Penerimaan dalam 1 Tahun
5. Keuntungan 1 Penerimaan 2 Modal Kerja 3 Penyusutan Keuntungan dalam 1 Tahun
12
Jumlah 650
239,400,000
Harga/unit (Rp) 55,000
12
Total (Rp) 35,750,000 429,000,000
429,000,000 239,400,000 1,420,800 188,179,200
6. Kondisi Lapangan Uraian
Tahun 0
Investasi Cost Pendapatan
7,601,000
Net Profit DF (10%) NPV (10%)
(7,601,000) 1.00 (7,601,000) 705,897,853 1.00 (7,601,000) 654,409,454.26 188.23 93.87
DF (13%) NPV (13%) IRR (%) BC Ratio
1
2
3
4
5
240,780,800 429,000,000
240,780,800 429,000,000
240,780,800 429,000,000
240,780,800 429,000,000
240,780,800 429,000,000
188,219,200 0.91 171,108,364
188,219,200 0.83 155,553,058
188,219,200 0.75 141,411,871
188,219,200 0.68 128,556,246
188,219,200 0.62 116,869,315
0.88 166,565,664
0.78 147,403,242
0.69 130,445,347
0.61 115,438,360
0.54 102,157,841
ANALISIS USAHA SARI APEL SKALA USAHA KECIL MENENGAH DI KOTA BATU 1. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Modal investasi Jenis Bangunan (gedung) Mesin sealer Panci besar Panci sedang Wajan Sodet Irus Ember Kompor gas Tabung gas Pisau Biaya Ijin Usaha Total modal investasi
Jumlah ( unit ) 1 2 2 1 1 1 2 8 1 1 4 1
Harga / unit (Rp) 5,000,000 750,000 90,000 65,000 60,000 7,500 10,000 15,000 210,000 250,000 12,000 200,000
Total (Rp) 5,000,000 1,500,000 180,000 65,000 60,000 7,500 20,000 120,000 210,000 250,000 48,000 200,000 7,660,500
2.
Biaya Penyusutan
NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
URAIAN Bangunan (gedung) Mesin sealer Panci besar Panci sedang Wajan Sodet Irus Ember Kompor gas Tabung gas Pisau Biaya Ijin Usaha
3. No 1 2 3 4 5 6 7
NB (Rp) NS 5,000,000 2,000,000 750,000 75,000 90,000 10,000 65,000 5,000 60,000 5,000 7,500 10,000 15,000 210,000 50,000 250,000 100,000 12,000 200,000 -
5. 1 2 3
Volum RS e 600,000 1 135,000 2 16,000 2 12,000 1 11,000 1 1,500 1 2,000 2 3,000 8 32,000 1 30,000 1 2,400 4 40,000 1 884,900
Total 600,000 270,000 32,000 12,000 11,000 1,500 4,000 24,000 32,000 30,000 9,600 40,000 1,066,100
Modal kerja Jenis
Jumlah
Apel Gula Tenaga kerja / orang Telpon / bln Listrik/Bahan bakar Kemasan Transportasi
520 130 78 1 26 1300 4
Total modal kerja dalam 1 Tahun
4. No 1
JUE 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
Penerimaan Jenis Sari Apel Total Penerimaan dalam 1 Tahun
Keuntungan Penerimaan Modal Kerja Penyusutan Keuntungan dalam 1 Tahun
Harga / unit (Rp) 2,500 6,800 20,000 150,000 25,000 8,500 100,000
12
Jumlah 1,300 12
Rp. 327,600,000 Rp 191,928,000 Rp 1,066,100 Rp 134,605,900
Total (Rp) 1,300,000 884,000 1,560,000 150,000 650,000 11,050,000 400,000 15,994,000 191,928,000
Harga / unit (Rp) 21,000
Total (Rp) 27,300,000 327,600,000
6. Kondisi Lapangan Uraian Investasi Cost Pendapatan
Tahun 0
1
2
3
4
5
192,994,100 327,600,000
192,954,100 327,600,000
192,954,100 327,600,000
192,954,100 327,600,000
192,954,100 327,600,000
134,605,900
134,645,900 0.83
134,645,900 0.75
134,645,900 0.68
134,645,900 0.62
7,460,500
Net Profit DF (10%)
(7,460,500) 1.00
NPV (10%)
(7,460,500)
0.91 122,369,000
111,277,603
101,161,458
91,964,961
83,604,510
502,917,033 1.00 (7,460,500)
0.88 119,120,265
0.78 105,447,490
0.69 93,316,363
0.61 82,580,852
0.54 73,080,400
DF (13%) NPV (13%) IRR (%) BC Ratio
466,084,870.49 187.51 68.41
ANALISIS USAHA JENANG APEL SKALA USAHA KECIL MENENGAH DI KOTA BATU 1. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Modal investasi Jenis Bangunan (gedung) Wajan besar Ember Mesin giling Sodet kayu besar Baki tatakan Sealer kecil Kompor gas Tabung gas Pisau Biaya Ijin Usaha Total modal investasi
2. Biaya Penyusutan NO URAIAN Bangunan 1 (gedung) 2 Wajan besar 3 Ember 4 Mesin giling 5 Sodet kayu besar 6 Baki tatakan 7 Sealer kecil 8 Kompor gas 9 Tabung gas 10 Pisau 11
Biaya Ijin Usaha
Jumlah (unit) 1 2 6 1 2 20 2 1 1 4 1
Harga/unit (Rp) 5,000,000 145,000 15,000 1,000,000 10,000 5,000 15,000 210,000 250,000 12,000 200,000
JUE
Total (Rp) 5,000,000 290,000 90,000 1,000,000 20,000 100,000 30,000 210,000 250,000 48,000 200,000 7,238,000
NB
NS
RS
5,000,000 145,000 15,000 1,000,000 10,000 5,000 15,000 210,000 250,000 12,000
2,000,000 20,000 100,000 50,000 100,000 -
5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
600,000 25,000 3,000 180,000 2,000 1,000 3,000 32,000 30,000 2,400
1 2 6 1 2 20 2 1 1 4
600,000 50,000 18,000 180,000 4,000 20,000 6,000 32,000 30,000 9,600
200,000
-
5
40,000
1
40,000
918,400
Volume
Total
989,600
3. Modal Kerja No Jenis 1 Apel 2 Gula 3 Tepung Terigu 4 Tenaga kerja / orang 5 Telpon / bln 6 Listrik/Bahan bakar 7 Kemasan 8 Transportasi
Jumlah 780 130 130 78 1 26 26 4
Total modal kerja dalam 1 Tahun 4. Penerimaan No Jenis 1 Jenang Apel Total Penerimaan dalam 1 Tahun
Harga / unit (Rp) 2,500 6,800 4,000 20,000 150,000 15,000 112,500 100,000
Total (Rp) 1,950,000 884,000 520,000 1,560,000 150,000 390,000 2,925,000 400,000 8,779,000
12
Jumlah 3,900
105,348,000
Harga / unit (Rp) 3,250
Total (Rp) 12,675,000
12
5. 1 2
Keuntungan Penerimaan Modal Kerja
3
Penyusutan Keuntungan dalam 1 Tahun
152,100,000
Rp. 152,100,000 Rp. 105,348,000 Rp. 989,600 Rp. 45,762,400
6. Kondisi Lapangan Uraian
Tahun 0
1
2
3
4
5
106,337,600
106,297,600
106,297,600 106,297,600 106,297,600
152,100,000
152,100,000
152,100,000 152,100,000 152,100,000
Investasi Cost Pendapata n
7,038,000
Net Profit DF (10%) NPV (10%)
(7,038,000) 1.00
45,762,400 0.91
45,762,400 0.83
45,762,400 0.75
45,762,400 0.68
45,762,400 0.62
(7,038,000) 166,552,768 1.00
41,602,182
37,853,223
34,412,021
31,283,655
28,439,687
0.88
0.78
0.69
0.61
0.54
(7,038,000) 154,024,234.90 182.84 24.66
40,497,699
35,869,998
31,743,361
28,091,470
24,859,708
DF (13%) NPV (13%) IRR (%) BC Ratio
Lampiran 2. Data Pelaku Usaha Pangan Olahan di Kota Batu Tahun 2005
No
Nama Pengusaha / Perusahaan
Jenis Produk
1
2
3
Olahan
Alamat
Produksi
4
5
1
Kusuma Agrowisata
Sari Apel Jenang Apel Cuka Apel
Jl. Imam Bonjol Atas Batu
10.000 kg/th 10.000 kg/th 10.000 kg/th
2
Bagus Agriseta Mandiri
Sari Apel Jenang Apel
Dusun Banaran RT 1 / RW 1 Desa Bumiaji
2.880 dos 2.016 dos
3
Kelompok Tani Wanita Brosem
Sari Apel
Jl. Bromo – Semeru Batu
67.680 lt/th
4
Panorama
Sari Apel
Jl. Dewi Sartika (Toko Morodadi)
70.000 lt/th
5
Surya Alam
Sari Apel
Kelurahan Ngaglik
33.400 lt/th
6
H. Abdul Kadir
Kripik Apel
Desa Tulungrejo
11.250 kg/th
7
Bu Marsilah
Kripik Kentang
Jl. M. Kahar I/23
48.000 kg/th
8
Gizi Food / H. Chotob
Kripik Kentang
Jl. Raya Sidomulyo
96.000 kg/th
9
CV. Arjuna Flora
Kripik Ketela Rambat
Dusun Junggo Tulungrejo
8.000 kg/th
10
Pranoto
Jl. Dewi Sartika 2 Temas-Batu
11
CV. Claudia
Marning Jagung Kripik Jagung Tahu Kedelai
50.000 kg/th 50.000 kg/th 55.000 kg
12
PT. ASPINDO INDO
Sayur dalam Kaleng
Jl. Raya Sidomulyo no. 31
13
Agro Food
Sari Apel
Jl. Suropati II / 10 Desa Junrejo
3.500 kg/bln
14
Sukadi
Dodol Apel Kripik Apel Sari Apel
Desa Bumiaji
11.250 kg/th 11.250 kg/th 11.250 kg/th
15
Elly
Cuka Apel
Jl. Hasanudin Batu
1.100 kg
16
Kartodirjo
Kripik Kentang
Jl. Suropati IIc / 6 Junrejo
36.000 kg
17
Ngatemi
Kripik Kentang
Jl. M. Kahar
18.000 kg
18
Pak Nur
Kripik Kentang
Jl. M. Kahar
72.000 kg
19
SAUDARA
Beras Jagung
Beji – Junrejo
100.000 kg
Jl. Melati II RT 4 / RW 3 Desa Pesanggrahan
1.250 ton
20
Ragil Cahyaning Lestari
Jamu Instan Simplisia
Jl. Raya Junrejo 16
15.000 kg 2.500 ltr
21
UD. Inti Gurih Food
Kacang oven
Jl. WR. Supratman 37
20.000 kg
22
PT. Macan Dunia
Minyak Kacang
Jl. Semeru II/12
100.000 kg
23
Endang Suwarni
Minyak Kacang
Jl. Gajahmada 23
120.000 kg
24
KUD Batu
Susu Pasteurisasi
Jl. Diponegoro
100.000 kg/th
25
GKSI
Susu Pasteurisasi
Jl. Raya Beji
150.000 kg/th
26
Sutrisno
Tahu dan Tempe
Desa Temas
7.500 kg/th
27
Syaiful
Tahu dan Tempe
Desa Sumberejo
28
Saib
Tahu
Jl. Bromo
14.000 kg/th
29
Dardi
Tempe
Desa Beji
1.000 kg/th
30
Supari
Tempe
Desa Beji
1.500 kg/th
31
Suwadi
Tempe
Desa Beji
1.500 kg/th
32
Sadi
Tempe
Desa Beji
1.500 kg/th
650 kg/th
33
Bendo
Tempe
Desa Beji
1.500 kg/th
34
Sulistya
Tempe
Desa Beji
1.500 kg/th
35
Suwarno
Tempe
Desa Beji
1.500 kg/th
36
Trisno
Tempe
Desa Beji
1.000 kg/th
37
Wito
Tempe
Desa Beji
1.000 kg/th
38
Sien Hien
Bihun
Jl. WR. Supratman
20.000 kg/th
39
Sien Khien Hien
Bihun
Jl. Panglima Sudirman 7
25.000 kg/th
40
Dua Putra Jaya
Sari Apel
Jl. Sarimun RT 3 / RW 3 Desa Beji
72.000 cup
41
UD. Semeru
Bubur Jahe
Jl. Ahmad Yani II/13
1.000 kg/th
42
Ampera
Kue Kering
Jl. Diponegoro VII / 127
5.000 kg/th
43
DP. Sari
Kue Kering
Desa Songgokerto
50.000 kg/th
44
Yulius R. Hendrawan
Kue Kering
Jl. Kartini 17
5.000 kg/th
45
Ny. Sri Wahyuni
Kue Kering
Desa Sidomulyo
5.000 kg/th
46
Malang Sari
Kue Kering
Jl. Imam Bonjol Atas
7.500 kg/th
47
Kusuma Apple House
Kue Basah
Jl. Abdul Gani Atas
12.000 kg/th
48
Ilona
Jelly
RT 4 / RW 8 Ds. Junrejo
365.000 btl
49
Tirta Agro Industri
Sari Apel
Jl. Flamboyan Atas Tambuh Songgokerto
7.200 cup
Sari Jeruk Pengemasan Makanan Ringan
7.200 cup 7.200 cup
50
Camilan “GG”
Kripik Kentang
Jl. Darsono 2-4 Kelurahan Ngaglik
15.000 kg
51
Gevin
Kacang-kacangan
Jl. Simpang Kamboja 7 Pesanggrahan
3.000 kg
52
Kembar Jaya
Roti Kering/Mari Wijen
Jl. Mojosari Desa Mojorejo
6.864 dos
53
Rose
Mari Wijen
Jl. Wukir XII Desa Temas
6.000 pak
54
Agro Comta
Sari Apel Jenang Apel
Jl. Jeruk 8 Bumiaji
10.400 cup 10.400 pak
55
UD. Bintang Brilliant
Pengemasan Makanan Ringan
RT 4 / RW 3 Desa Sumberejo
30.000 kg
56
Sona
Makanan Ringan
Jl. Lesti Utara 7 Kelurahan Ngaglik
19.500 kg
57
PT. Batu Bhumi Suryatama
Sari Apel
Dsn. Cangar RT 7/ RW 1 Bulukerto
3.600.000 cup
58
Agro Mandiri
Kripik Apel Kripik Nangka
Dsn. Banaran RT 3 / RW 1 Bumiaji
1.920 kg 1.920 kg
59
Segoro Bening
Sari Apel
Jl. Darsono 38 Kelurahan Ngaglik
960 pak
60
Jawara
Pengemasan Mak. Ringan Sari Apel
Jl. Stadion Utara 1 Kelurahan Sisir
150.000 bks 72.000 cup
61
Lovina
Kripik Nangka
Jl. Lesti II / 5 Kelurahan Ngaglik
12.480 kg
62
PT. Agro Duaribu Mandiri
Sari Apel
Dusun Ngandat RT 18 / RW 8 Mojorejo
10.800 dos
63
Chado
Terasi
Jl. Raya Dadaprejo 158 Dadaprejo
64
Artika Dwipa
Sari Apel
Perum Puri Indah Blok J.10 Desa Oro-Oro Ombo
300.000 cup
65
Asli
Sari Apel
Jl. Flamboyan 34 Kel. Songgokerto
72.000 cup
66
Viola Snack
Pengemasan Mak. Ringan
Jl. Bromo IV/42 Kelurahan Sisir
1.500 kg
67
PT. Srianah Tirtatama
Kripik Kentang
Jl. Sarimun IV / 19 Desa Beji
8.000 kg
600 kg
68
Jayadi
Kripik Nangka
Jl. Patimura RT 4 / RW 7 Temas
10.000 kg
69
UD. Diplomat
Sari Apel Selai Apel Dodol
Jl. Imam Bonjol 17 B Kel. Temas
720.000 cup 30.000 dos 90.000 kg
70
CV. MTI Leluhur Java Research Hasil Bumi
Krupuk
Jl. Mojoasri RT 19/RW 2 Mojorejo
90.000 bks
71
Alam Sarana Makmur
Sari Sirsak Sari Nanas
Jl. Kemuning 17 Kel. Songgokerto
30.000 cup 7.500 kg
72
Manggala Jaya
Pengemasan Mak. Ringan
Jl. Raya Mojorejo II/48 RT 11/ RW 5
1.040 kg
73
Talenta Wijaya
Jamu Pengolahan Teh dan Kopi
Jl.Sarimun Gg.Punden 9 RT4/RW1 Desa Beji
125 kg 2.000 cup
74
CV. Maulya
Kerupuk Ikan
Dsn.DadapanRT3/RW4 Ds.Pandanrejo
15.000 kg
75
A. F
Sari Apel Jenang Apel
Dsn. Beru RT 2/ RW 6 Bumiaji
90.000 cup 90.000 pak
76
Kapal Layar
Kacang Telor Kue Kering
Dsn. Gondorejo RT 1/ RW 12 Desa Oro-Oro Ombo
8.000 kg
77
Berjaya Sekawanindo
Buah-buahan campur dlm
Dsn. Keliran RT 1/ RW 2 Bulukerto
150.000 kaleng
kaleng 78
Gunung Biru
Sari buah Tamarillo Sirup Tamarillo Jenang Tamarillo
Dsn.Gondang RT4/RW1Tulungrejo
20.000 cup 3.650 cup 1.500 kg
79
Buah Selecta
Kripik Apel
Jl. Pang.Sudirman 29 RT 2 / RW 7 Kelurahan Ngaglik
18.000 kg
80
“ATIE”
Ting-ting Jahe
Jl. Panglima Sudirman IV/12 RT 2/ RW 2 Kelurahan Ngaglik
500 kg
81
Nicko Abadi
Kripik Tempe
Dsn. Dresel RT 3/ RW 8 Ds. Oro-Oro Ombo
15.000 pak
82
Mahkota Alam
Sari Apel Kripik Pisang Jenang Apel
Jl. Wukir III / 17 Kelurahan Temas
6.000 dos 1.500 kg 5.400 kg
83
Kaya Rasa
Bumbu Pecel
Ds. Pandanrejo RT 20/ RW 11 Kecamatan Bumiaji
4.500 kg
84
Arum Sari
Sari Apel
Jl. Nanas Binangun RT 1/ RW 9 Desa Bumiaji
6.600 dos
85
Bintang Mas
Kripik Talas
Perum Puri Indah I 4 / 13 Desa Oro-Oro Ombo
32.400 bks
Lampiran 3. Binary Logistic Regression: Variabel Y versus Jenis kelamin, Umur, ... * NOTE * * * * *
Algorithm has not converged after 20 iterations. Convergence has not been reached for the parameter estimates criterion. The results may not be reliable. Try increasing the maximum number of iterations.
Link Function:
Logit
Response Information Variable Variabel
Value 1 0 Total
Count 26 12 38
(Event)
Logistic Regression Table Predictor Constant Jenis ke Umur Pendidik Pendidik Lama Usa Jumlah T D-Status D. Infor D-Prosed D- Tdk T
Coef 6 1.934 0.1975 2.139 -0.825 0.03316 -0.19638 2.204 4.454 -1.144 -24
SE Coef 7212 1.500 0.1146 1.093 1.338 0.09329 0.09738 1.380 1.939 1.244 7212
Z 0.00 1.29 1.72 1.96 -0.62 0.36 -2.02 1.60 2.30 -0.92 -0.00
Odds Ratio
P 0.999 0.197 0.085 0.050 0.537 0.722 0.044 0.110 0.022 0.358 0.997
6.92 1.22 8.49 0.44 1.03 0.82 9.06 85.97 0.32 0.00
95% CI Lower Upper 0.37 0.97 1.00 0.03 0.86 0.68 0.61 1.92 0.03 0.00
130.79 1.53 72.33 6.03 1.24 0.99 135.36 3847.86 3.65 *
Log-Likelihood = -12.011 Test that all slopes are zero: G = 23.376, DF = 10, P-Value = 0.009 Goodness-of-Fit Tests Method Pearson Deviance Hosmer-Lemeshow
Chi-Square 38.055 24.021 1.949
DF 27 27 8
P 0.077 0.629 0.983
Table of Observed and Expected Frequencies: (See Hosmer-Lemeshow Test for the Pearson Chi-Square Statistic) Value 1 Obs Exp 0 Obs Exp Total
Group 6
1
2
3
4
5
7
8
9
0 0.0
1 0.6
1 1.5
2 2.6
3 3.2
3 3.0
3 3.4
3 2.5
2 1.4
3
4
4
4
10
3 2.6
4 3.6
4 3.8
4 4.0
4 4.0
26
1 0.8
0 0.4
0 0.4
0 0.2
0 0.0
0 0.0
12
4
3
4
4
4
4
38
Measures of Association: (Between the Response Variable and Predicted Probabilities) Pairs Concordant Discordant Ties Total
Number 294 18 0 312
Percent 94.2% 5.8% 0.0% 100.0%
Summary Measures Somers' D Goodman-Kruskal Gamma Kendall's Tau-a
0.88 0.88 0.39
Total
Lampiran 4. Peta Kota Batu
Lampiran 5. Foto-foto Kegiatan Produksi Agroindustri Pangan Olahan
Proses Produksi Pembuatan Jenang Apel
Proses Produksi Pembuatan Kripik Kentang
Proses Produksi Pembuatan Sari Apel
Outlet-outlet Penjualan Oleh-oleh Khas Kota Batu
Leaflet/Brosur Produk-produk Agroindustri