PEMETAAN KEMISKINAN KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA TIMUR
JURNAL ILMIAH Disusun oleh :
Febri Angelina Manurung 115020107111011
JURUSAN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2015
1
2
PEMETAAN KEMISKINAN KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA TIMUR Febri Angelina Manurung, Dwi Budi Santoso Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Email:
[email protected]
ABSTRAK Dalam beberapa tahun terakhir, kemiskinan Nasional dan kemiskinan Jawa Timur mengalami penurunan. Namun, kemiskinan Jawa Timur masih selalu berada diatas kemiskinan Nasional. Dengan demikian permasalahan kemiskinan di Jawa Timur merupakan isu sentral. Pembangunan ekonomi Jawa Timur oleh karena itu penelitian ini ingin melakukan pemetaan kemiskinan yang bertujuan untuk memberikan kontribusi bagi percepatan pengurangan kemiskinan khususnya di Jawa Timur. Hasil analisis klaster menunjukkan bahwa kondisi irigasi yang buruk ternyata merupakan indikator utama suatu daerah untuk mendapatkan predikat sebagai daerah kantong kemiskinan. Daerah kantong kemiskinan di Jawa Timur memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (i) rendahnya aksesibilitas pendidikan, (ii) buruknya infrastruktur jalan, (iii) buruknya sistem irigasi, (iv) rendahnya ketersediaan air bersih dan (v) rendahnya aksesibilitas kesehatan. Kata Kunci: Kemiskinan, Pendidikan, Kesehatan, Infrastruktur, Analisis Klaster.
A. PENDAHULUAN Kemiskinan merupakan salah satu permasalahan serius yang masih dihadapi oleh negaranegara berkembang salah satunya Indonesia. Kemiskinan tidak hanya dipahami sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan memenuhi hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam mengalami kehidupan secara bermartabat. Kemiskinan juga dipandang secara multidimensi karena mencakup ketidakmampuan akses secara ekonomi, budaya, keadaan geografis, dan keadaan dalam masyarakat (Suryawati, 2005). Selama ini strategi dan kebijakan yang diimplementasikan oleh pemerintah terkait dengan pengentasan kemiskinan masih belum tepat, yaitu program pemberdayaan masyarakat miskin yang benar-benar berpihak kepada lapisan yang paling miskin. Kebijakan pembangunan dan berbagai program penanggulangan kemiskinan yang dibuat pemerintah belum memperhatikan karakteristik wilayah, misalnya ketersediaan infrastruktur jalan, irigasi, air bersih, sekolah dan pelayanan kesehatan. Gambar 1: Grafik Perkembangan Kemiskinan Jawa Timur dan Nasional 25
21.05
19.98
20 15
18.51 16.68
17.75
16.58
15.42
10
14.15
15.26
13.33
14.23
13.4
12.55
12.28
12.36
11.66
11.47
10.96
2011
2012
2013
2014
5 0 2006
2007
2008
2009
2010
JAWA TIMUR Sumber : BPS Provinsi Jawa Timur dan Nasional, 2014
3
NASIONAL
Pada tahun 2006 sampai 2014 kemiskinan Jawa Timur dan kemiskinan Nasional cenderung mengalami penurunan. Namun, kemiskinan provinsi Jawa Timur selalu berada diatas kemiskinan Nasional. Dengan demikian, permasalahan kemiskinan di provinsi Jawa Timur merupakan isu sentral, yang artinya pembangunan ekonomi di provinsi Jawa Timur harus lebih memperhatikan pengurangan kemiskinan lebih cepat dibandingkan dengan Nasional. Pada penelitian yang dilakukan Montgomery dalam Sumarto, Suryahadi dan Arifianto (2004), mengatakan bahwa sebagian besar penduduk miskin adalah mereka yang bekerja di sektor pertanian, yakni sektor dimana sebagian besar penduduk Indonesia bekerja. Secara Nasional Penduduk Jawa Timur mayoritas (46,18%) memiliki mata pencaharian di bidang pertanian, selebihnya bekerja di sektor perdagangan (18,80%), sektor jasa (12,78%), dan sektor industri (12,51%). Seseorang yang bekerja di sektor pertanian memiliki potensi atau probabilitas menjadi miskin lebih besar dibandingkan seseorang yang tidak bekerja di sektor pertanian. Sebaliknya seseorang yang bekerja di pemerintahan mempunyai peluang lebih kecil untuk menjadi miskin. Kemampuan individu atau rumah tangga untuk keluar dari kemiskinan juga tergantung dari penghasilan yang didapat dari pekerjaan mereka. Pembangunan ekonomi yang melihat pada ketersediaan barang publik secara spasial juga sangat diperlukan untuk mengurangi kemiskinan. B. TINJAUAN PUSTAKA Konsep Kemiskinan Haughton dan Khandker dalam World Bank (2009) menjelaskan kemiskinan adalah deprivasi dalam kesejahteraan. Berdasarkan definisi tersebut kemiskinan dapat dipandang dari beberapa sisi. Pertama, kemiskinan dipandang dari sisi moneter, dimana kemiskinan diukur dengan membandingkan pendapatan/konsumsi individu dengan beberapa batasan tertentu, jika mereka berada di bawah batasan tersebut, maka mereka dianggap miskin. Pandangan mengenai kemiskinan berikutnya adalah bahwa kemiskinan tidak hanya sebatas ukuran moneter, tetapi juga mencakup miskin nutrisi yang diukur dengan memeriksa apakah pertumbuhan anak-anak terhambat. Selain itu, juga bisa dari miskin pendidikan, misalnya dengan menggunakan indikator angka buta huruf. Amartya Sen (1987) dalam World Bank menyatakan bahwa kesejahteraan berasal dari kemampuan untuk berfungsi dalam masyarakat. Dengan demikian kemiskinan muncul akibat seseorang tidak memiliki kemampuan yang memadai seperti pendapatan, pendidikan, kesehatan yang buruk, ketidakamanan, rasa percaya diri yang rendah atau ketidakberdayaan. Dimensi Kemiskinan Harniati dalam Wijanarko (2013), mengklasifikasikan dimensi kemiskinan dalam tiga jenis yaitu : 1) Kemiskinan alamiah, merupakan kemiskinan yang disebabkan oleh kualitas sumber daya alam dan sumber daya manusia yang rendah. Kondisi alam dan sumber daya yang rendah membuat peluang produksi juga rendah. Khusus untuk sektor pertanian, kemiskinan yang terjadi lebih diakibatkan kualitas lahan dan iklim yang tidak mendukung aktivitas pertanian. Dari seluruh wilayah di Indonesia, lahan subur justru banyak dijumpai di pulau Jawa. Sedangkan di luar Jawa, sumber daya alam yang subur jumlahnya terbatas, hal ini membuat petani hanya dapat menanami lahan sewaktu ada hujan, keadaan ini menyebabkan hasil produksi hanya dapat diperoleh sekali dalam satu tahun. 2) Kemiskinan Kultural, kemiskinan yang terkait erat dengan sikap seseorang atau kelompok dalam masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya, sekalipun ada usaha untuk memperbaiki dari pihak lain yang membantunya. Kemiskinan ini dapat pula disebabkan karena sebagian sistem dalam tradisi masyarakat berkontribusi dalam menyebabkan terjadinya kemiskinan masyarakat. Sebagai contoh adalah sistem waris yang mengakibatkan pembagian lahan, sehingga kepemilikan lahan per keluarga semakin lama menjadi semakin sempit. 3) Kemiskinan Struktural, kemiskinan yang secara langsung maupun tidak disebabkan oleh tatanan kelembagaan atau struktur sosial dalam masyarakat. Tatanan kelembagaan atau struktur sosial disini dapat diartikan sebagai tatanan organisasi maupun aturan permainan yang diterapkan.
4
Garis Kemiskinan World Bank (2008) menghitung tingkat dan jumlah penduduk miskin absolut dengan menggunakan ukuran tunggal yang seragam untuk semua negara. Menurut kajian kebijakan pembangunan World Bank (2014) seseorang yang dikatakan miskin adalah yang berpendapatan kurang dari $ US 1,25 per hari. Sementara garis kemiskinan yang diukur berdasarkan ukuran $ US 2 juga telah dipublikasikan dimana lebih dari 2 milyar penduduk yang hidup kurang dari batas tersebut. US dolar yang digunakan adalah US $ PPP (Purchasing Power Parity) bukan nilai tukar resmi (exchange rate). Kedua batas ini adalah garis kemiskinan absolut. Garis kemikinan yang digunakan Badan Pusat Statistik terdiri dari dua aspek yaitu komponen makanan dan komponen bukan makanan. Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kilokalori perkapita perhari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll). Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di pedesaan (BPS, 2014). Determinan Kemiskinan 1) Kemiskinan karena faktor pendidikan: menurut Todaro sumber utama dari pertumbuhan ekonomi dan kemajuan negara-negara maju saat ini bukan hanya physical capital, melainkan human capital. Seorang miskin yang mengharapkan pekerjaaan baik serta penghasilan yang tinggi, harus mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi. 2) Kemiskinan karena faktor kesehatan: kesehatan di suatu negara sama pentingnya dengan distribusi pendapatan. Di negara-negara berkembang, usia harapan hidup bagi orang-orang mampu cukup tinggi, sementara bagi orang-orang miskin jauh lebih rendah. Tingkat kematian anak-anak di negara berkembang masih lebih dari sepuluh kali lipat lebih tinggi dari pada yang ditemukan di negara-negara kaya. Kematian ini pada umumnya di sebabkan oleh berbagai kondisi yang sebenarnya mudah diatasi, termasuk jutaan anak yang sebenarnya tidak perlu meninggal tiap tahunnya karena dehidrasi yang disebabkan oleh diare. Jika tingkat kematian anak-anak di negara-negara berkembang menurun hingga mencapai level yang sama dengan yang ada di negara maju, maka lebih dari 10juta anak-anak dapat diselamatkan setiap tahunnya (Todaro, 2006). 3) Kemiskinan karena faktor infrastruktur: keberadaan infrastruktur akan mendorong terjadinya peningkatan produktivitas bagi faktor-faktor produksi. Sebagaimana teori Lewis, kondisi pareto optimal akan tercapai bila terjadi mobilitas faktor-faktor produksi tanpa hambatan untuk memacu pertumbuhan ekonomi (Jhingan dalam Sugiyanto, 2007). Daerah-daerah yang memiliki tingkat mobilitas faktor-faktor produksi antar daerah rendah akan menyebabkan pertumbuhan ekonominya rendah. Daerah-daerah dengan tingkat kemiskinan tinggi menunjukkan bahwa faktor-faktor produksi di daerah yang bersangkutan memiliki mobilitas antar daerah yang rendah. C. METODE PENELITIAN Pendekatan Penelitian dan Metode Pengumpulan Data Pendekatan penelitian yang digunakan yaitu kualtitatif deskriptif dengan jenis data sekunder untuk 38 Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Jawa Timur dalam kurun waktu 2006 – 2010. Teknik pengumpulan datanya yaitu dokumentasi berdasarkan data Badan Pusat StatistikKabupaten/Kota Provinsi Jawa Timur dan Nasional. Jenis data yang digunakan adalah data tahunan. Variabel yang digunakan yaitu tingkat kemiskinan, pendapatan, indeks pendidikan, angka kematian bayi, infrastruktur jalan baik, air bersih, irigasi teknis dan listrik.
Metode Analisis Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu analisis Klaster. Analisis Klaster merupakan salah satu teknik data mining yang bertujuan untuk mengidentifikasi sekelompok obyek yang mempunyai kemiripan karakteristik tertentu yang dapat dipisahkan dengan kelompok obyek lainnya, sehingga obyek yang berada dalam kelompok yang sama relatif
5
lebih homogen daripada obyek yang berada pada kelompok yang berbeda. Jumlah kelompok yang dapat diidentifikasi tergantung pada banyak dan variasi data obyek. Dalam analisis ini tiap-tiap kelompok bersifat homogen antara anggota dalam kelompoknya atau dapat dikatakan variasi obyek/individu dalam satu kelompok yang terbentuk sekecil mungkin (Gudono,2012). Analisis Klaster dilakukan untuk tujuan: (i) menggali data/eksplorasi data, (ii) mereduksi data menjadi kelompok data baru dengan jumlah lebih kecil atau dinyatakan dengan pengkelasan (klasifikasi) data, (iii) menggeneralisasi suatu populasi untuk memperoleh suatu hipotesis, dan (iv) menduga karakteristik data-data. Model yang diambil diasumsikan bahwa data yang dapat digunakan adalah data yang berupa data interval, frekuensi dan biner. Adapun metode pengelompokan dalam analisis Klaster meliputi : Metode Hirarkis Metode hirarki ini memulai pengelompokan dengan dua atau lebih obyek yang mempunyai kesamaan paling dekat. Kemudian diteruskan pada obyek yang lain dan seterusnya hingga Klaster akan membentuk semacam „pohon‟ dimana terdapat tingkatan (hirarki) yang jelas antar obyek, dari yang paling mirip hingga yang paling tidak mirip. Alat yang membantu untuk memperjelas proses hirarki ini disebut “dendogram”. Metode Non-Hirarkis Metode Non-Horarkis dimulai dengan menentukan terlebih dahulu jumlah Klaster yang diinginkan (dua, tiga, atau yang lain). Setelah jumlah Klaster ditentukan, maka proses Klaster dilakukan dengan tanpa mengikuti proses hirarki. Metode ini biasa disebut “Klaster K-Means”. Berbeda dengan metode hirarkikal, prosedur non hirarkikal (K-means Clustering) dimulai dengan memilih sejumlah nilai cluster awal sesuai dengan jumlah yang diinginkan dan kemudian obyek digabungkan ke dalam klaster-klaster tersebut. D. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Analisis Klaster Hasil analisis Klaster K-Means menunjukan bahwa terbentuk tiga klaster dengan jumlah anggota pada klaster pertama terdiri dari 9 kabupaten/kota, klaster kedua berjumlah 17 kabupaten/kota dan klaster ketiga berjumlah 12 kabupaten/kota dari total keseluruhan 38 Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Jawa Timur. Hasil pengelompokan dari analisis Klaster KMeans sebagai berikut : Tabel 1: Hasil Analisis Klaster
Rasio Kemiskinan Indeks Pendidikan Jalan Baik Layanan Air Bersih Rasio Irigasi Layanan Listrik Kesehatan (Angka Kematian Bayi) Sumber : SPSS 2015, data diolah
Kemiskinan Tinggi 27,79 68,78 52,15 24,51 35,46 23,82
Klaster Kemiskinan Sedang 15,89 74,03 40,98 26,84 89,97 24,08
Kemiskinan Rendah 11,06 81,74 78,06 33,69 89,04 24,29
44,39
38,98
31,28
Berdasarkan tabel 1 diketahui bahwa kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur terbagi menjadi tiga Klaster, yaitu: 1) Kabupaten/Kota yang termasuk kedalam klaster 1 mempunyai tingkat kemiskinan tinggi atau yang disebut kawasan miskin, di mana hal ini tergambar dari Tingkat Rasio Kemiskinan yang tinggi sebesar 27,79%. Indeks Pendidikan pada Kluster ini mencapai 68,78%, Infrastruktur Jalan Baik yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan klaster 2 mencapai 52,15%, Layanan Air Bersih yang rendah mencapai 24,51%, Rasio Irigasi Teknis yang rendah mencapai 35,36%, Layanan Listrik yang rendah mencapai 23,82% dan Angka Kematian Bayi yang tinggi yaitu sebesar 44,39%. Wilayah yang termasuk dalam anggota klaster pertama ini antara lain Kabupaten Pacitan, Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten
6
Tuban, Kabupaten Lamongan, Kabupaten Gresik, Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Sampang, Kabupaten Pamekasan dan Kabupaten Sumenep. 2) Pada klaster 2 penduduk Jawa Timur mempunyai rasio penduduk miskin sebesar 15.48% yang merupakan kawasan sedang. Indeks Pendidikan yang cukup tinggi sebesar 74,03%, Infrastruktur Jalan Baik yang rendah yaitu 40,98%, Layanan Air Bersih yang cukup tinggi mencapai 26,84%, Rasio Irigasi Teknis yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan klaster 1 dan klaster 3 yaitu sebesar 89,97%, Layanan Listrik yang cukup tinggi sebesar 24,08% sedangkan Angka Kematian Bayi mempunyai hasil yang cukup tinggi sebesar 39,98%. Wilayah yang termasuk dalam anggota klaster kedua ini antara lain Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten Jember, Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Bondowoso, Kabupaten Situbondo, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Jombang, Kabupaten Nganjuk, Kabupaten Madiun, Kabupaten Magetan, Kabupaten Ngawi, Kota Probolinggo, Kota Mojokerto dan Kota Madiun. 3) Pada klaster 3 Kabupaten/ Kota yang berada di klaster ini tergolong dalam kawasan kaya yang mempunyai tingkat kemiskinan rendah dengan tingkat penduduk miskin sebesar 11,06%. Indeks pendidikan yang tinggi mencapai 81,74%, Infrastruktur Jalan Baik yang tinggi mencapai 78,06%, Layanan Air Bersih yang tinggi mencapai 33,69%, Rasio Irigasi Teknis yang lebih rendah jika dibandingkan dengan klaster dua yaitu sebesar 89,04%, Layanan Listrik yang tinggi sebesar 24,29% sedangkan Angka Kematian Bayi menunjukan hasil yang rendah yaitu 31,28%. Wilayah yang termasuk dalam anggota klaster 3 ini antara lain Kabupaten Blitar, Kabupaten Kediri, Kabupaten Malang, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Mojokerto, Kota Kediri, Kota Blitar, Kota Malang, Kota Pasuruan, Kota Surabaya dan Kota Batu. Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa dari ketiga klaster, Kabupaten/Kota yang mempunyai tingkat kemiskinan tinggi merupakan wilayah yang membutuhkan perhatian khusus dari pemerintah pusat dan daerah maupun para pembuat kebijakan dalam memberikan solusi pengentasan kemiskinan di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Timur. Kabupaten/Kota yang mempunyai tingkat kemiskinan yang tinggi ini merupakan kumpulan wilayah dengan tingkat pendidikan, infrastruktur air, listrik, irigasi dan kesehatan yang rendah. Sedangkan kelompok klaster yang mempunyai tingkat kemiskinan sedang merupakan wilayah dengan rasio irigasi yang paling baik jika dibandingkan dengan kelompok kemiskinan rendah dan tinggi. Terakhir, Kabupaten/Kota yang mempunyai tingkat kemiskinan rendah merupakan kumpulan wilayah dengan tingkat pendidikan, infrastruktur air, jalan, listrik dan kesehatan yang paling baik dibandingkan dengan kelompok klaster kemiskinan sedang maupun rendah. Ciri-ciri Kawasan Miskin 1) Rendahnya Pendidikan. Rendahnya indeks pendidikan ini adanya kemungkinan disebabkan karena dua hal. Pertama, tingginya biaya pendidikan dan rendahnya pendapatan membuat penduduk miskin kesulitan dalam memperoleh pendidikan. Besarnya biaya untuk membayar SPP dan keperluan sekolah lainnya membuat penduduk miskin tidak mampu untuk memenuhinya sehingga mereka memilih untuk tidak bersekolah. Sedangkan sistem pendidikan di Indonesia masih sebagian saja yang dibiayai oleh pemerintah yaitu hanya sampai sekolah dasar. Kedua, pendidikan bagi penduduk miskin tidak termasuk dalam kebutuhan primer. Banyak anak dalam keluarga miskin putus sekolah dikarenakan ikut bekerja mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Tuntuntan kebutuhan serta biaya kompensasi yang berbeda membuat keluarga miskin lebih mementingkan kebutuhan hidup sehari-hari dari pada harus menyuruh anak mereka untuk pergi ke sekolah. 2) Rendahnya Pelayanan Jalan Baik. Akses jalan baik pada daerah dengan tingkat kemiskinan sedang lebih rendah dari pada daerah dengan tingkat kemiskinan tinggi, namun akses jalan baik pada kawasan kemiskinan tinggi (miskin) juga masih dalam kategori rendah. Rendahnya akses jalan baik adanya kemungkinan disebabkan karena daerah tersebut merupakan daerah terisolasi. Sedangkan rendahnya akses jalan baik pada kawasan sedang dapat disebabkan karena pemerintah daerah lebih memfokuskan pembangunan pada sektor yang memberikan peningkatan PAD lebih tinggi seperti pembangunan sistem irigasi teknis di daerah tersebut.
7
3) Rendahnya Pelayanan Air Bersih Rendahnya layanan air bersih pada daerah kemiskinan tinggi adanya kemungkinan disebabkan karena tipologi geografis daerah tersebut memiliki sumber daya air yang langka. Daerah kemiskinan tinggi merupakan daerah lahan kritis dengan kesuburan yang sangat rendah, tingginya biaya teknologi dalam pengadaan air bersih mengakibatkan kurangnya pasokan air bersih di daerah kemiskinan tinggi. 4) Rendahnya Rasio Irigasi Teknis Rendahnya rasio irigasi teknis pada daerah kawasan miskin adanya kemungkinan disebabkan karena daerah tersebut merupakan daerah yang berlahan tandus, kering atau daerah yang mempunyai lahan kritis. 5) Rendahnya Kesehatan. Rendahnya tingkat kesehatan disebabkan karena kurangnya perhatian dan komitmen pemerintah di bidang kesehatan, kurangnya kesadaran yang timbul dalam diri masyarakat mengenai pemahaman perilaku hidup sehat, serta mahalnya biaya obat-obatan yang ada. E. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis pemetaan terdapat 3 kesimpulan utama dari penelitian ini yaitu: 1) Kondisi pengairan/ irigasi yang buruk ternyata merupakan indikator utama suatu daerah memiliki penduduk miskin yang cukup tinggi. 2) Daerah kantong-kantong kemiskinan di Jawa Timur lebih banyak di indikatorkan karena buruknya infrastruktur, seperti rendahnya aksesibilitas kesehatan dan pendidikan serta buruknya sistem irigasi dan juga ketersediaan air bersih yang rendah. 3) Berdasarkan hasil pemetaan kemiskinan di daerah Jawa Timur mengisyaratkan bahwa ketersediaan listrik antara daerah-daerah miskin, sedang dan kaya tidak terlalu berbeda, artinya ketersediaan listrik bukan merupakan ciri khusus kawasan miskin. Namun demikian, tingkat ketersediaan listrik baik kawasan miskin, sedang dan kaya ternyata masih rendah yaitu dibawah 50%. Artinya kurang dari 50% penduduk miskin di Jawa Timur yang bisa menikmati listrik. Saran Berdasarkan hasil analisis pemetaan dan kesimpulan yang diperoleh maka terdapat 2 saran utama yang perlu dilakukan dalam rangka mengurangi jumlah penduduk miskin terutama yang berada pada kawasan kantong kemiskinan. 1) Peningkatan aksesibilitas pendidikan dan kesehatan merupakan prioritas pembangunan utama di Jawa Timur terkait dengan kebijakan pengurangan kemiskinan. Peningkatan aksesibilitas pendidikan maupun kesehatan dapat dilakukan dengan terus memperbaiki sistem bantuan seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dan juga Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) agar lebih diefektifkan. 2) Khusus daerah kantong-kantong kemiskinan yang berbasis pertanian prioritas pembangunan ditujukan pada pembangunan infrastruktur seperti perbaikan irigasi teknis dan juga pembangunan jalan antar pusat produksi dengan daerah pemasaran. Untuk kawasan perkotaan/ non-pertanian pembangunan penyediaan air bersih termasuk sanitasi merupakan prioritas utama dalam pengurangan kemiskinan. DAFTAR PUSTAKA Arsyad, Lincolin. 1999. Ekonomi Pembangunan, Edisi Pertama. Yogyakarta: STIE-YKPN. ----------. 2006. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah, Edisi Pertama. Yogyakarta: BPFE. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur. 2014. Provinsi Jawa Timur Dalam Angka Tahun 20062010. http://jatim.bps.go.id diakses pada 15 Desember 2014. ----------.
2014. Presentase Kemiskinan Kabupaten/Kota http://jatim.bps.go.id diakses pada 11 November 2014.
8
Jawa
Timur
2006-2010.
----------. 2014. Tingkat Pendidikan Kabupaten/Kota Jawa Timur 2006-2010. http://jatim.bps.go.id diakses pada 17 November 2014. ----------. 2014. Indeks Kesehatan Kabupaten/Kota Jawa Timur 2006-2010. http://jatim.bps.go.id diakses pada 24 November 2014. ----------. 2014. PDRB Atas Harga Konstan Kabupaten/Kota Jawa Timur 2006-2010. http://jatim.bps.go.id diakses pada 15 Desember 2014. ----------. 2015. Jumlah Pelanggan Perusahaan Air Bersih 2006-2010. http://jatim.bps.go.id diakses pada 18 Maret 2015. ----------. 2015. Listrik Terjual PT.PLN Persero Kabupaten/Kota Jawa Timur 2006-2010. http://jatim.bps.go.id diakses pada 23 Maret 2015.
Dewi, Indah N 2012. Pengaruh Variabel PendidikanTerhadap Presentase Penduduk Miskin (Studi Pada 33 Provinsi di Indonesia). Malang: Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya. Gudono. 2012. Analisis Data Multivariate. Edisi 2. Yogyakarta : BPFE Haughton, J dan Khandker, S. 2009. Handbook on Poverty and Inequality. The International Bank for Reconstruction and Development/The WorldBank. ---------------. 2011. Indikator Kesejahteraan Daerah Provinsi Jawa Timur : Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. Indra, Van. 2013. Analisis Pengaruh PDRB, Pendidikan, dan Pengangguran terhadap Kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005-2010. Malang: Program Sarjana Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya. Juanita, 2002. Kesehatan dan Pembangunan Nasional . Medan: Tesis Magister AKK FKM USU. ---------------. 2014. Kajian Kebijakan Pembangunan 2014 : The World Bank. Kumalasari, Merna. 2011. Analisis Pertumbuhan Ekonomi, Angka Harapan Hidup, Angka Melek Huruf, Rata-rata Lama Sekolah, Pengeluaran Perkapita dan Jumlah Penduduk Terhadap Tingkat Kemiskinan di Jawa Tengah. Semarang: Fakultas Ekonomika Dan Bisnis Universitas Diponegoro. Kompasiana. 2013. Provinsi Dua Sisi Mata Uang; http://kompasiana.com diakses pada 13 Juli 2015.
Kemiskinan
dan
Kesehatan.
Pasandaran, Effendi. 1991. Irigasi di Indonesia. Jakarta : LP3ES. PKDSP UNIBRAW dan BAPPEPROV JATIM, 2011. Analisa Pengeluaran Publik Jawa Timur : The World Bank/Bank Dunia. Sachs, Jeffrey D. 2005. The End of Poverty. New York: The Penguin Press SMERU. 2008. Peta Kemiskinan Indonesia: Asal Mula dan Signifikansinya. Jakarta : Lembaga Penelitian SMERU. Sugiyanto, Catur dan Bakti Setiawan, 2007. Kajian Aspek Kemasyarakatan Di Dalam Pengembangan Infrastruktur Indonesia. Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia
9
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Bisnis (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D). Bandung : Alfabeta. Sukirno, Sadono. 1980. Ekonomi Pembangunan : Proses, Masalah dan Dasar Kebijaksanaan, Medan : Borta Gorat Sumarto, Suryahadi dan Arifianto. 2004. Tata Kelola Pemerintah dan Penanggulangan Kemiskinan: Bukti-bukti Awal Desentralisasi Indonesia, Jakarta: SMERU. Suryawati, Chriswardani. 2005. Memahami Kemiskinan Secara Multidimensional. Journal Fakultas Kesehatan Masyarakat JMPK Vol. 08/No.03/September/2005. Suyanto, Bagong. 2010. Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat Miskin. Volume 14, Nomor 4:25-42. Surabaya: Departemen Sosiologi, FISIP, Universitas Airlangga. The World Bank Office Jakarta. 2007. Era Baru Dalam Pengentasan Kemiskinan Di Indonesia. PT. Jakarta: Graha Info Kreasi. Todaro, Michael P dan Stephen C. Smith. 2006. Pembangunan Ekonomi. Edisi Kesembilan. Jakarta: Erlangga. Trenggonowati. 2009. Metodologi Peenelitian Ekonomi dan Bisnis. Yogyakarta : BPFE Yogyakarta. Tumiran. 2007. Infrastrukutur Kelistrikan Indonesia Dewasa ini dan Pemikirian Pengelolaan Bisnis Kelistrikan Kedepan. Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia Wijanarko, Vendi. 2013. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Kemiskinan di Kecamatan Jelbuk Kabupaten Jember. Jember: Ilmu Ekonomi Dan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Jember. World Bank Institute. 2005. Introduction To Poverty Analysis.The World Bank Institute. Yoga, Anggit P. 2012, Analisis Pengaruh PDRB, Pengangguran, Pendidikan, dan Kesehatan Terhadap Kemiskinan di Jawa Tengah Tahun 2004-2009. Semarang: Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro.
10