ANALISIS SEKTOR BASIS PEREKONOMIAN DAN PERANANNYA DALAM MENGURANGI KETIMPANGAN PENDAPATAN ANTAR KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA TIMUR
OLEH : LINDA KRISTIYANTI H14103082
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
ANALISIS SEKTOR BASIS PEREKONOMIAN DAN PERANANNYA DALAM MENGURANGI KETIMPANGAN PENDAPATAN ANTAR KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA TIMUR
OLEH : LINDA KRISTIYANTI H14103082
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
RINGKASAN
LINDA KRISTIYANTI. Analisis Sektor Basis Perekonomian dan Peranannya dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan antar Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur (di bawah bimbingan ALLA ASMARA).
Pembangunan merupakan suatu proses yang dilaksanakan secara berkesinambungan dan berencana untuk mendapatkan kondisi masyarakat yang lebih baik dari sebelumnya. Semua negara menginginkan adanya peningkatan standar hidup bagi rakyatnya, dengan cara mengindentifikasi potensi-potensi sumberdaya ekonomi yang dimiliki, kemudian menyusun rencana-rencana pembangunan dan melaksanakannya melalui partisipasi masyarakat untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik. Pada kenyataannya selama ini pembangunan bertujuan untuk mencapaian tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, bukan peningkatan taraf hidup sebagian besar masyakatnya. Artinya tingkat pertumbuhan yang tinggi tidak diimbangi dengan tingkat pemerataan distribusi hasil pembangunannya. Pertumbuhan terpusat yang diharapkan mampu memberikan trickle down effect tidak optimal, hal ini yang menyebabkan permasalahan ketimpangan pendapatan antar daerah. Pengurasan sumberdaya alam dan mobilitas sumberdaya manusia terus terjadi mengalir dari wilayah pendukung (hinterland) ke pusat pertumbuhan ekonomi. Jawa Timur merupakan salah satu provinsi yang terdapat di Pulau Jawa memiliki luas wilayah 46.428,57 km2, terbagi menjadi 38 kabupaten/kota, 640 kecamatan dan 8.464 desa yang mempunyai beragam potensi baik bersifat alami ataupun buatan yang berpeluang menjadi sektor basis daerah. Secara umum seluruh sektor perekonomian di Jawa Timur pada tahun 2005 mengalami peningkatan pertumbuhan. Akan tetapi berdasarkan hasil pendapatan daerah, struktur perekonomian Jawa Timur ternyata masih sangat timpang, dimana distribusi pendapatan yang menyusun Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Timur didominasi oleh daerah-daerah yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi seperti Kota Surabaya, Kota kediri, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Malang dan Kabupaten Gresik yang memberikan kontribusi lebih dari 50 persen dari total PDRB Jawa Timur setiap tahunnya. Surabaya merupakan ibukota provinsi yang secara otomatis sebagai pusat pemerintahan serta pendidikan di Jawa Timur. Kota Kediri menjadi produsen rokok terbesar di Indonesia. Lima kota ini mengalami kemajuan yang lebih pesat dibandingkan kabupaten/kota lain di Jawa Timur. Ketidakmerataan pertumbuhan ini menyebabkan adanya ketimpangan pembangunan di Jawa Timur. Penelitian ini difokuskan pada sektor basis di Provinsi Jawa Timur. Alat analisa menggunakan dua metode yaitu Location Quotient untuk mengetahui sektor basis ekonomi di Provinsi Jawa Timur dan Indeks Williamson untuk menghitung tingkat ketimpangan pendapatan daerah. Hasil penelitian ini hanya
memaparkan peranan sektor basis dalam mengurangi tingkat ketimpangan pendapatan antar daerah tingkat II di Provinsi Jawa Timur. Hasil perhitungan nilai LQ diseluruh sektor perekonomian berdasarkan indikator pendapatan daerah yaitu PDRB atas dasar harga konstan 2000 terdapat lima sektor yang menjadi basis perekonomian Provinsi Jawa Timur pada tahun 2001-2003 yaitu sektor pertanian, sektor industri dan pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih, sektor perdagangan, hotel dan restoran, dan sektor pengangkutan dan komunikasi. Pada tahun 2004-2005 terdapat tiga sektor basis yaitu sektor pertanian, sektor listrik, gas dan air bersih dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Hal ini ditunjukkan dari nilai LQ sektor tersebut lebih besar dari 1 (satu) dan berarti bahwa sektor-sektor tersebut berperan dalam kegiatan ekspor daerah. Ketimpangan pendapatan di Propinsi Jawa Timur termasuk dalam kategori ketimpangan sangat tinggi karena nilai indeks ketimpangan lebih besar dari 1 (satu), besar nilai ketimpangan. Sektor basis yang memiliki peranan besar dalam mengurangi tingkat pendapatan terbesar di Jawa Timur adalah sektor pertanian rata-rata sebesar 19 persen. Sektor basis lainnya seperti sektor listrik, gas dan air bersih dan sektor pengangkutan dan komunikasi hanya berperan kecil dalam mengurangi tingkat ketimpangan rata-rata di bawah 3 persen. Namun sektor industri dan pengolahan, dan sektor perdagangan justru memberikan dampak yang negatif terhadap ketimpangan dan menyebabkan kenaikan tingkat ketimpangan rata-rata selama perode pengamatan sebesar 45 persen. Ketiga analisis ini memberikan kesimpulan bahwa tidak semua sektor basis dapat mengurangi tingkat ketimpangan. Walaupun peranan sektor tersebut besar dalam pembentukan PDRB Jawa Timur. Hal ini diduga karena sektor-sektor tersebut tidak merata, hanya dinikmati oleh sebagian wilayah saja. Sektor pertanian yang memiliki peranan terbesar dalam mengurangi ketimpangan dan pembentukan PDRB Jawa Timur. Saran yang dapat direkomendasikan kepada pemerintah adalah diharapkan dapat terus meningkatkan pengembangan sektor basis daerah baik ditingkat provinsi maupun tingkat kabupaten dan kota. Pemerintah daerah diharapkan juga dapat memberikan perhatian yang besar terhadap pengembangan sektor non basis yang memberikan kontribusi dan peranan yang besar terhadap penciptaan PDRB Provinsi Jawa Timur.
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor,
September 2007
Linda Kristiyanti H14103082
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Linda Kristiyanti lahir pada tanggal 22 November 1984 di Wonogiri. Penulis adalah putri tunggal dari pasangan Saryoko dan Tukiyem. Riwayat pendidikan dimulai dari pendidikan taman kanak-kanak TK Pertiwi Jatirejo. Kemudian dilanjutkan pendidikan sekolah dasar SDN Mojopuro 1 diselesaikan pada tahun 1997 dan pendidikan sekolah lanjutan pertama SLTP Negeri 1 Jatiroto diselesaikan pada tahun 2000 selanjutnya sekolah lanjutan atas yang diselesaikan pada tahun 2003 di SMU Negeri 3 Wonogiri. Pada tahun 2003, penulis melanjutkan kejenjang perguruan tinggi di Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Departemen Ilmu Ekonomi, Institut Pertanian Bogor (IPB), melalui Undangan Sekeksi Masuk IPB (USMI). Selama menjadi mahasiswa IPB, penulis aktif dalam kegiatan kedaerahan MAHAGIRI (Media Silaturahmi Mahasiswa Wonogiri)
KATA PENGANTAR
Puji syukur di panjatkan kehadirat Allah SWT atas semua anugerah dan hidayahnya, penyusunan skripsi yang berjudul ”Analisis Sektor Basis Perekonomian
dan
Peranannya
dalam
Mengurangi
Ketimpangan
Pendapatan antar Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur” dapat diselesaikan. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Alla Asmara, S.Pt, M.Si. sebagai Dosen Pembimbing Skripsi yang telah memberikan bimbingan baik waktu persiapan, penelitian maupun penyusunan skripsi sehingga dapat diselesaikan dengan baik. 2. Ir. Idqan Fahmi, M.Ec. sebagai Dosen Penguji Utama yang telah memberikan kritik dan sarannya untuk perbaikan skripsi. 3. Widyastutik, S.E, M.Si. sebagai Dosen Penguji Komosi Pendidikan atas perbaikan tata cara penulisan skripsi ini. 4. Sahara, S.P, M.Si sebagai Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan bimbingan serta motivasi yang sangat berharga bagi penulis. 5. Ibu Reta dan Pustakawan BPS Jakarta atas segala informasi dan bantuannya dalam kemudahan memperoleh data-data yang dibutuhkan untuk penyusunan skripsi ini. Kepada semua petugas TU Departemen IE, Fakultas, LSI, Perpus FEM atas bantuannya kepada penulis. 6. Ayah dan Bunda, serta keluarga besar penulis atas kesabaran, kasih sayang dan doa yang tiada henti untuk penulis. 7. Dudi Arida Purba, S.Pi. dan keluarga atas doa dan motivasi yang telah diberikan selama ini. 8. Sahabat-sahabat terbaik penulis: Andina Oktariani, Echa, Sri, Reny. Temanteman IE 40 : Fajar, Mimi, Heny, Lida, Wilma, Arum, Ana, Devi, dan temanteman di Kost Putri HIKARI atas semangat dan bantuannya selama ini.
Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan. Besar harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan berguna bagi pihakpihak yang memerlukannya.
Bogor,
September 2007
Linda Kristiyanti H14103082
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa
: Linda Kristiyanti
Nomor Register Pokok : H 14103082 Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi
: Analisis Sektor Basis Perekonomian dan Peranannya dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan antar Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen pembimbing
Alla Asmara, S.Pt, M.Si. NIP. 132 159 707 Mengetahui , Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S. NIP. 131 846 872 Tanggal Kelulusan :
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ......................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR .................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN...............................................................................
xii
I.
PENDAHULUAN ............................................................................
1
1.1. Latar Belakang ..........................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah ..................................................................
6
1.3. Tujuan Penelitian ......................................................................
7
1.4. Manfaat Penelitian .....................................................................
7
1.5. Ruang Lingkup Penelitian .........................................................
7
TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................
9
2.1. Pembangunan Ekonomi Daerah ................................................
9
2.2. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) ...............................
10
2.3. Ketimpangan .............................................................................
12
2.4. Teori Ekonomi Basis .................................................................
18
2.5. Penelitian Terdahulu .................................................................
21
2.6. Kerangka Pemikiran ..................................................................
25
METODE PENELITIAN ..................................................................
28
3.1. Jenis dan Sumber Data ..............................................................
28
3.2. Metode Analisis ........................................................................
28
3.2.1. Metode Analisis Location Quotient (LQ) ......................
28
3.2.2. Pengganda Basis (Base Multiplier) ................................
30
3.2.3. Analisis Ketimpangan Pendapatan .................................
30
3.2.4. Analisis Peranan Sektor basis Terhadap Ketimpangan Pendapatan .....................................................................
32
IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA TIMUR ........................
33
4.1. Keadaan Geografis Jawa Timur ................................................
33
4.2. Wilayah Administratif dan Penduduk Provinsi Jawa Timur .....
33
4.3. Perekonomian Jawa Timur ........................................................
36
II.
III.
viii
V.
HASIL DAN PEMBAHASAN .........................................................
40
5.1. Analisis Ekonomi Basis ............................................................
40
5.1.1. Analisis Sektor Basis di Provinsi Jawa Timur ...............
40
5.1.2. Efek Pengganda Basis (Base Multiplier) ........................
46
5.2. Ketimpangan Pendapatan Daerah .............................................
48
5.2.1. Analisis Ketimpangan Pendapatan .................................
52
5.2.2. Peranan Sektor Basis dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan Daerah di Provinsi Jawa Timur ..................
53
5.2.2.1. Peranan Sektor Basis Pertanian Dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan di Provinsi Jawa Timur ....................................
54
5.2.2.2. Peranan Sektor Basis Industri Pengolahan dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan di Provinsi Jawa Timur ...................................
55
5.2.2.3. Peranan Sektor Basis Listrik, Gas dan Air Bersih dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan di Provinsi Jawa Timur ................
56
5.2.2.4. Peranan Sektor Basis Perdagangan, Hotel dan Restoran dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan di Provinsi Jawa Timur .................
57
5.2.2.5. Peranan Sektor Basis Pengangkutan dan Komunikasi dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan di Provinsi Jawa Timur .................
58
5.3. Perbandingan antara Nilai Location Quotient (LQ), Peranan dan Presentase Ketimpangan Pendapatan Sektor Basis Perekonomian di Provinsi Jawa Timur Tahun 2001-2005........
59
KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................
61
6.1. Kesimpulan ..............................................................................
61
6.2. Saran .........................................................................................
62
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
64
LAMPIRAN ...............................................................................................
66
VI.
ix
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1.1. Pertumbuhan Sektor Ekonomi Jawa Timur 2001-2005 (dalam persen) ...................................................................................
4
1.2. Perbandingan Pertumbuhan Ekonomi Provinsi-provinsi Besar di Jawa dan Nasional Tahun 2001-2005 (dalam persen) ..................
5
2.1. Indeks Ketimpangan Pendapata Daerah Williamson di Provinsi Lampung Tahun 1995-2001...............................................................
23
4.1. Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Timur ....................................
35
4.2. Peranan Sektor-sektor Perekonomian Provinsi Jawa Timur atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2001-2005 .....................................
39
5.1. Nilai LQ Sektor-sektor Perekonomian di Provinsi Jawa Timur Berdasarkan Harga Konstan 2000 periode 2001-2005 ......................
43
5.2. Sektor Basis Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Timur dengan Indikator Pendapatan Tahun 2001-2005...............................
44
5.3. Nilai Pengganda Basis Sektor Basis tahun 2001-2005 .....................
47
5.4. Nilai Pengganda Basis Masing-masing Sektor Basis Tahun 2001-2005 ...............................................................................
49
5.5. Indeks Pendapatan..............................................................................
50
5.6. Indeks Ketimpangan Pendapatan dan Pendapatan Perkapita Rata-rata di Propinsi Jawa Timur Tahun 2001-2005 .........................
53
5.7. Indeks Ketimpangan Pendapatan Dengan dan Tanpa Sektor Basis Pertanian Provinsi Jawa Timur 2001-2005 ........................................
54
5.8. Indeks Ketimpangan Dengan Sektor Basis dan Tanpa Sektor Industri dan Pengolahan Propinsi Jawa Timur 2001-2005 ...............
56
5.9. Indeks Ketimpangan Pendapatan Dengan Sektor Basis dan Tanpa Sektor Listrik, Gas&Air Bersih Provinsi Jawa Timur 2001-2005 .........................................................................................
57
5.10. Indeks Ketimpangan Pendapatan Dengan Sektor Basis dan Tanpa Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran Provinsi Jawa Timur2001-2005 ......................................................................
58
x
5.11. Indeks Ketimpangan Pendapatan Dengan Sektor Basis dan Tanpa Sektor Basis Pengangkutan dan Komunikasi Provinsi Jawa Timur 2001-2005 .......................................................
59
xi
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
2.1. Kurva “U” terbalik .............................................................................
14
2.2. Diagram Alir Kerangka Pemikiran ....................................................
27
5.1. Grafik Trend Koefisien Variance Terhadap 1 ...................................
51
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Contoh Perhitungan Nilai LQ Provinsi Jawa Timur Tahun 2001 Berdasarkan Harga Konstan Tahun 2000 ..............................................
66
2. Contoh Perhitungan Nilai Pengganda Basis Provinsi Jawa Timur Tahun 2001 Berdasarkan Harga Konstan Tahun 2000 ..........................
66
3. Contoh Perhitungan Nilai Pengganda Basis Sektor Pertanian Provinsi Jawa Timur Tahun 2001 Berdasarkan Harga Konstan Tahun 2000 ......
66
4. Contoh Perhitungan Indeks Ketimpangan Pendapatan dan Variance Terhadap 1 Tahun 2001 .........................................................................
67
5. Contoh Perhitungan Indeks Ketimpangan Pendapatan Provinsi Jawa Timur Tahun 2001 .................................................................................
68
6. Contoh Perhitungan Indeks Ketimpangan Pendapatan Provinsi Jawa Timur Tanpa Sektor Basis Pertanian Tahun 2001 .................................
69
7. Contoh Perhitungan Indeks Ketimpangan Pendapatan Provinsi Jawa Timur Tanpa Sektor Basis Industri dan Pengolahan Tahun 2001..........
70
8. Contoh Perhitungan Indeks Ketimpangan Pendapatan Provinsi Jawa Timur Tanpa Sektor Basis Listrik, Gas dan Air Bersih Tahun 2001 .....
71
9. Contoh Perhitungan Indeks Ketimpangan Pendapatan Provinsi Jawa Timur Tanpa Sektor Basis Perdagangan, Hotel dan Restoran Tahun 2001 ............................................................................................
72
10. Contoh Perhitungan Indeks Ketimpangan Pendapatan Provinsi Jawa Timur Tanpa Sektor Basis Pengangkutan dan Komunikasi Tahun 2001 ...........................................................................................
73
11. Nilai Loction Quotient (LQ), Perananan dan Presentase Ketimpangan Pendapatan Sektor Basis di Provinsi Jawa Timur Tahun 2001-2005...................................................................................
74
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses yang dilaksanakan secara berkesinambungan dan berencana untuk mendapatkan kondisi masyarakat yang lebih baik dari sebelumnya. Semua negara menginginkan adanya peningkatan standar hidup bagi rakyatnya, dengan cara mengindentifikasi potensi-potensi sumberdaya ekonomi yang dimiliki, kemudian menyusun rencana-rencana pembangunan dan melaksanakannya melalui partisipasi masyarakat untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik. Pembangunan regional di Indonesia khususnya selama pelaksanaan Repelita lebih dimaksudkan sebagai pembangunan daerah (Local Development). Hal ini dirumuskan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang bertujuan untuk (1) memelihara keseimbangan pembangunan antar sektor dan antar wilayah, (2) memelihara keseimbangan ekonomi antar wilayah dan mencegah kesenjangan antar daerah, (3) meningkatkan prakarsa daerah dan peran serta masyarakat dalam pembangunan, (4) memelihara keserasian pembangunan antara pusat-pusat kegiatan pembangunan di wilayah-wilayah perkotaan dan wilayah-wilayah pedesaan di sekitarnya (Ghalib, 2005). Namun pada kenyataannya selama ini pembangunan hanya ditujukan untuk pencapaian tingkat pertumbuhan ekonomi, bukan peningkatan taraf hidup sebagian besar masyakatnya. Artinya tingkat pertumbuhan yang tinggi tidak diimbangi dengan tingkat pemerataan distribusi hasil pembangunannya.
2
Pertumbuhan hanya terpusat pada daerah-daerah pusat pertumbuhan saja sehingga efek trickle down yang diharapkan tidak pernah tercapai. Hal ini yang menyebabkan permasalahan ketimpangan pendapatan antar daerah. Pengurasan sumberdaya alam dan mobilitas sumberdaya manusia terus terjadi mengalir dari wilayah pendukung (hinterland) ke pusat pertumbuhan ekonomi. Masalah ketimpangan di Indonesia secara nyata dapat dilihat dari tingkat pertumbuhan ekonomi antara Kawasan Barat Indonesia dengan Kawasan Timur Indonesia ataupun ketimpangan ekonomi yang terjadi antara kota dengan desa. Secara umum persoalan pembangunan negara sedang berkembang tidak hanya menyangkut
pencapaian
tingkat
pertumbuhan
saja,
tetapi
juga
harus
memperhatikan aspek distribusi dan pemerataan hasil pembangunan, sehingga hasil pembangunan dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat secara adil dan proporsional, meliputi juga adanya keseimbangan kemajuan antar wilayah. Berbagai
upaya
dilakukan
oleh
pemerintah
dalam
mewujudkan
pembangunan nasional, salah satunya adalah ditetapkannya Undang-undang Otonomi Daerah meliputi UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang direvisi dalam UU No.32 Tahun 2004 dan UU No.34 Tahun 2004 menjadi salah satu tolak ukur bagi suatu daerah untuk mengembangkan potensi lokalnya guna meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat. Karena otonomi daerah merupakan titik tolak pembangunan berbasis masyarakat. Masing-masing daerah memiliki tanggung jawab penuh terhadap pengelolaan dan pelaksanaan pembangunan daerahnya.
3
Kemampuan pemerintah daerah untuk melihat keunggulan atau kelemahan di wilayah menjadi semakin penting. Pengembangan sektor basis merupakan kebijakan yang strategis dalam pelaksanaan pembangunan daerah, karena sektor basis merupakan sektor yang dapat dipasarkan keluar batas perekonomian wilayah produksi setelah sektor tersebut memenuhi kebutuhan dalam wilayah sendiri. Sektor basis dapat dijadikan prioritas utama pembangunan terutama dalam mengurangi masalah ketimpangan pembangunan dan pendapatan daerah. Hal ini didasarkan pada penelitian-penelitian sebelumnya bahwa peningkatan terhadap sektor basis akan mendorong pengembangan sektor-sektor lainnya sehingga pada akhirnya terjadi peningkatan perekonomian suatu wilayah. Jawa Timur merupakan salah satu provinsi yang terdapat di Pulau Jawa memiliki luas wilayah 46.428,57 km2, terbagi menjadi 38 kabupaten/kota, 640 kecamatan dan 8.464 desa yang mempunyai beragam potensi baik bersifat alami ataupun buatan yang berpeluang menjadi sektor basis daerah. Secara umum seluruh sektor perekonomian di Jawa Timur pada tahun 2005 mengalami peningkatan pertumbuhan. Hampir seluruh sektor ekonomi pada tahun 2005 ini mengalami pertumbuhan yang positif, meskipun ada sebagian yang mengalami pertumbuhan yang menurun. Seperti sektor industri dan sektor pengangkutan dan komunikasi. Pada tahun 2005 sektor bangunan Jawa Timur tumbuh sebesar 3,48 persen, hal ini di sebabkan adanya peningkatan pembangunan proyek-proyek pemerintah daerah seperti pembangunan jalan, jembatan dan sarana infrastruktur lainnya. Demikian juga sektor pertanian yang melemah pada tahun 2003 karena adanya penurunan pada subsektor kehutanan, pada tahun 2005 tumbuh sebesar
4
3,16 persen. Sektor pertambangan dan penggalian menunjukkan kondisi yang membaik, sektor ini hanya tumbuh pada level 1-2 persen pada tahun 2001-2004, dan pada tahun 2005 tumbuh secara signifikan yaitu mencapai 9,23 persen. Sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan tumbuh secara fluktuasi dari tahun 2001-2005, pada tahun 2001 sektor ini tumbuh sebesar 3,11 persen dan pada tahun 2002 meningkat dengan tumbuh sebesar 3,39 persen sampai tahun 2005 tumbuh sebesar 7,49 persen. Sektor jasa-jasa mengalami pertumbuhan yang cukup stabil. Pada tahun 2001 tumbuh sebesar 3,11 persen dan pada tahun 2002 meningkat dengan tumbuh sebesar 3,95 persen. Selanjutnya pada tahun 20032004 tumbuh lebih rendah yaitu sebesar 3,41 persen dan 3,44 persen dan pada tahun 2005 tumbuh cukup signifikan hingga sebesar 4,23 persen. Berikut adalah tabel pertumbuhan sektor-sektor perekonomian Propinsi Jawa Timur : Tabel 1.1. Pertumbuhan Sektor Ekonomi Jawa Timur 2001-2005 dalam persen LAPANGAN USAHA Pertanian Pertambangan dan penggalian Industri dan Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Perdag, Hotel & Restoran Pengangkutan & Komunikasi Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan Jasa-jasa PDRB
2001 1,26 2,68 2,35 3,37 0,89 8,08 2,03 6,73 3,11 3,76
2002 2,02 2,76 -0,73 18,64 1,10 8,32 13,03 3,39 3,95 3,80
Tahun 2003 1,91 2,21 4,46 15,52 1,86 7,92 5,78 2,12 3,41 4,78
2004 2,82 1,84 5,28 14,86 1,85 9,25 6,77 5,94 3,44 5,83
2005 3,16 9,32 4,61 6,18 3,48 9,15 5,00 7,49 4,23 5,84
Sumber : BPS Jawa Timur 2005
Dibandingkan dengan provinsi besar lainnya di Pulau Jawa, Provinsi Jawa Timur tumbuh sebesar 3,76 persen pada tahun 2001, lebih besar dari pertumbuhan perekonomian Provinsi Jawa Tengah dan Banten. Laju Jawa Timur terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2005 pertumbuhan ekonomi Jawa
5
Timur sebesar 5,84 persen dan menduduki peringkat ke dua setelah laju pertumbuhan perekonomian DKI Jakarta. Dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi nasional, pada tahun 2002-2005 perekonomian Jawa Timur mampu tumbuh di atas pertumbuhan ekonomi nasional, yaitu Hal ini mengindikasikan bahwa perekonomian Jawa Timur semakin membaik. Tabel 1.2 Perbandingan Pertumbuhan Ekonomi Provinsi-provinsi Besar di Jawa dan Nasional Tahun 2001-2005 (dalam persen) Tahun
Daerah DKI Jakarta Jawa Timur Jawa Barat Jawa Tengah Yogyakarta Banten Nasional
2001 4,72 3,76 3,89 3,59 4,27 3,64 4,92
2002 4,89 3,80 3,94 3,55 4,50 4,78 3,45
2003 5,31 4,78 4,48 4,98 4,58 5,07 4,78
2004 5,65 5,83 5,16 5,13 5,12 5,63 5,05
2005 6,01 5,84 5,47 5,35 4,74 5,88 5,60
Sumber : BPS Jawa Timur 2005
Akan tetapi berdasarkan hasil pendapatan daerah, struktur perekonomian Jawa Timur ternyata masih sangat timpang, dimana distribusi pendapatan yang menyusun PDRB Jawa Timur didominasi oleh daerah-daerah yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi seperti Kota Surabaya, Kota kediri, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Malang dan Kabupaten Gresik yang memberikan kontribusi lebih dari 50 persen dari total PDRB Jawa Timur setiap tahunnya. Surabaya merupakan ibukota provinsi yang secara otomatis sebagai pusat pemerintahan serta pendidikan di Jawa Timur. Kota Kediri menjadi produsen rokok terbesar di Indonesia. Lima kota ini mengalami kemajuan yang lebih pesat dibandingkan kabupaten/kota lain di Jawa Timur. Ketidakmerataan pertumbuhan ini menyebabkan adanya ketimpangan pembangunan di Jawa Timur. Oleh karena itu diperlukan suatu penelitian untuk menganalisa sektor apa yang menjadi basis
6
perekonomian Jawa Timur sehingga diharapkan perkembangan sektor basis tersebut mampu mengurangi masalah ketimpangan yang terjadi.
1.2 Perumusan Masalah Sasaran pembangunan yang lebih ditujukan pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan pendekatan membangun pusat-pusat pertumbuhan ternyata disisi lain telah menimbulkan masalah yang semakin kompleks. Pusat-pusat pertumbuhan dengan daerah hinterland-nya ternyata tidak tumbuh bersama-sama secara seimbang. Trickledown effect yang diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan daerah hinterland ternyata berjalan sangat lambat, sedangkan sumberdaya lokal telah terkuras untuk menjadi input penunjang kemajuan daerah pusat pertumbuhan. Pola pembangunan yang demikian menimbulkan masalah ketimpangan wilayah seperti tingkat kemajuan daerah perkotaan yang lebih cepat daripada pedesaan, Pulau Jawa lebih maju daripada luar Pulau Jawa, Kawasan Barat Indonesia lebih maju daripada Kawasan Timur Indonesia. Berdasarkan uraian diatas dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut : 1. Sektor apa saja yang menjadi basis perekonomian di Provinsi Jawa Timur? 2. Berapa indeks tingkat ketimpangan pendapatan antar daerah tingkat II di Provinsi Jawa Timur? 3. Bagaimana peranan sektor basis terhadap pemerataan pendapatan daerah di Provinsi Jawa Timur?
7
1.3 Tujuan penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Menganalisa sektor-sektor yang menjadi basis perekonomian di Provinsi Jawa Timur. 2. Menghitung besar ketimpangan pendapatan antar daerah tingkat II di Provinsi Jawa Timur. 3. Menganalisa peranan sektor basis terhadap pemerataan pendapatan di Provinsi Jawa Timur.
1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan pertimbangan dan masukan terhadap pemerintah daerah Provinsi Jawa Timur dalam merumuskan, menentukan, dan memprioritaskan serta memutuskan arah kebijakan pembangunan. Penelitian ini diharapkan juga dapat berguna bagi insan akademi maupun masyarakat secara umum yang akan melakukan penelitian sejenis sebagai pengembangan pembangunan khususnya di Provinsi Jawa Timur dan wilayah lain secara umum.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian ini difokuskan pada sektor basis di Provinsi Jawa Timur. Alat analisa menggunakan dua metode yaitu Location Quotient untuk mengetahui sektor basis ekonomi di Provinsi Jawa Timur dan Indeks Williamson untuk
8
menghitung tingkat ketimpangan pendapatan daerah. Hasil penelitian ini hanya memaparkan peranan sektor basis dalam mengurangi tingkat ketimpangan pendapatan antar daerah tingkat II di Provinsi Jawa Timur.
9
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Pembangunan Ekonomi Daerah Pembangunan adalah suatu perubahan yang positif, yang meliputi kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan beserta hasil-hasilnya. Kegiatankegiatan ini berlangsung dalam rangka mengelola sumberdaya yang dimiliki oleh daerah yang bersangkutan. Hasil-hasil dari pembangunan ini akan tercermin dari pendapatan daerah dan tingkat kesejahteraan penduduknya (Tarigan, Pembangunan 2005). merupakan tujuan setiap bangsa untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Pembangunan dilakukan menyeluruh pada semua bidang termasuk juga bidang ekonomi, pembangunan ekonomi diartikan sebagai suatu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat yang sering kali diukur dengan tinggi rendahnya pendapatan perkapita. Todaro (2004), mendefinisikan pembangunan ekonomi sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup perubahan struktur, sikap hidup dan kelembagaan,
selain
mencakup
peningkatan
pertumbuhan
ekonomi,
pengurangan ketidakmerataan distribusi pendapatan dan pemberantasan kemiskinan. Menurut Arsyad (1999), pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber daya-sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) wilayah tersebut. Pembangunan daerah adalah bagian integrasi
10
dari pembangunan nasional yang dilaksanakan melalui otonomi daerah dan pengarahan sumber daya nasional yang memberikan kesempatan bagi peningkatan
demokrasi
penyelenggaraan
dan
pemerintah
kinerja
daerah
yang
dan
pelayanan
berguna
dalam
masyarakat
untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah secara merata. Dumairy (2000), pertumbuhan ekonomi dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan, namun terjadinya pertumbuhan ekonomi tidak selalu dapat dinikmati secara merata oleh masyarakat. Hal ini yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi hanya meningkatkan ketimpangan pendapatan. Menurut Irawan dan Suparmoko (1999), pembangunan ekonomi adalah usaha untuk meningkatkan taraf hidup suatu bangsa yang sering diukur dengan tinggi rendahnya pendapatan daerah dan pendapatan riil perkapita.
Jadi tujuan
pembangunan ekonomi selain
meningkatkan
pendapatan riil juga untuk meningkatkan produktivitas. Salah satu indikator untuk mengukur tingkat keberhasilan pembangunan daerah adalah
besarnya
kontribusi
semua
sektor
perekonomian
terhadap
pertumbuhan ekonomi tersebut. Hal itu dapat dilihat melalui pendapatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) daerah yang bersangkutan.
2.2 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Produk Domestik Regional Bruto merupakan salah satu indikator ekonomi makro yang berperan dalam membuat perencanaan kebijaksanaan dalam pembangunan, menentukan arah pembangunan serta mengevaluasi
11
hasil pembangunan wilayah tersebut. PDRB dapat dijadikan sebagai indikator laju pertumbuhan ekonomi sektoral agar dapat diketahui sektorsektor mana saja yang menyebabkan perubahan pada pertumbuan ekonomi. Pengertian Produk Domestik Regional Bruto dapat didefinisikan menurut tiga sudut pandang yang berbeda namun mempunyai pengertian sama Menurut 1. yaitu : pendekatan produksi, adalah menghitung nilai tambah dari barang dan jasa yang diproduksi oleh seluruh kegiatan ekonomi dalam suatu region/wilayah dengan cara mengurangkan biaya antara dari masing-masing total produksi bruto tiap-tiap kegiatan, sub sektor atau sektor dalam jangka waktu tertentu biasanya satu tahun. Unit-unit produksi tersebut penyajiannya dikelompokkan menjadi 9 kelompok lapangan usaha, yaitu: (1)Pertanian, (2)Pertambangan dan Penggalian, (3)Industri
dan
Pengolahan,
(4)Listrik,
Gas
dan
Air
Bersih,
(5)Bangunan, (6)Perdagangan, Hotel dan Restoran, (7)Pengangkutan dan Komunikasi, (8)Keuangan, Perseewaan dan Jasa Perusahaan, dan 2
(9)Jasa-jasa. Menurut pendekatan pendapatan, merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi dalam suatu region/wilayah dalam jangka waktu tertentu. Balas jasa faktor produksi yang dimaksud adalah upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal dan keuntungan semua belum dipotong pajak. Dalam definisi ini PDRB mencakup juga penyusutan dan pajak tak langsung netto. Jumlah semua komponen pendapatan ini per sektor disebut sebagai nilai tambah bruto sektoral. Oleh karena itu Produk
12
Domestik Regional Bruto merupakan jumlah dari nilai tambah bruto seluruh sektor (lapangan usaha). 3.
Menurut pendekatan pengeluaran, PDRB adalah semua komponen permintaan akhir seperti: pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta, konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap domestik bruto, ekspor netto, dalam jangka waktu tertentu biasanya satu tahun. Dari ketiga pendekatan tersebut, secara konsep seyogyanya jumlah
pengeluaran tadi harus sama dengan jumlah barang dan jasa akhir yang dihasilkan dan harus sama pula dengan jumlah pendapatan yang untuk faktor-faktor produksinya. Selanjutnya Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga pasar, karena mencakup komponen pajak tidak langsung. Besar kecilnya PDRB yang dihasilkan oleh suatu wilayah dipengaruhi oleh jenis dan sumber daya alam yang telah dimanfaatkan, jumlah dan mutu sumberdaya manusia, kebijakan pemerintah, letak geografis, serta kemajuan penggunaan PDRB dari teknologi. suatu wilayah lebih menunjukkan pada besaran produksi suatu daerah bukan pendapatan yang sebenarnya diterima oleh penduduk di daerah yang bersangkutan. Walaupun demikian PDRB merupakan data yang paling representatif dalam menunjukkan pendapatan dibandingkan dengan data-data yang lainnya.
2.3 Ketimpangan Ketimpangan pembangunan terjadi karena ada tiga faktor yaitu faktor alami, faktor kondisi sosial dan keputusan-keputusan kebijakan. Faktor
13
alami meliputi kondisi agroklimat, sumberdaya alam, lokasi geografis, jarak pelabuhan dengan pusat aktivitas ekonomi, lokasi geografis, wilayah potensial untuk pembangunan ekonomi. Sementara faktor sosial budaya meliputi nilai tradisi, mobilitas ekonomi, inovasi dan wirausaha. Sedangkan faktor keputusan kebijakan adalah sejumlah kebijakan yang mendukung secara langsung atau tidak terjadinya ketimpangan (Nugroho, 2004). Menurut Wie (1981), negara yang semata-mata hanya menekankan pada pertumbuhan ekonomi, tanpa memikirkan pendistribusian pendapatan tersebut akan memunculkan ketimpangan-ketimpangan diantaranya : 1.
Ketimpangan pendapatan antar golongan atau ketimpangan relatif, ketimpangan pendapatan antar golongan ini biasanya di ukur dengan menggunakan koefisien gini. Kendati Koefisien gini bukan merupakan indikator yang ideal mengenai ketimpangan pendapatan antar berbagai golongan, namun sedikitnya angka ini dapat memberikan gambaran mengenai kecenderungan umum dalam pola distribusi pendapatan.
2.
Ketimpangan antar masyarakat pedesaan dengan masyarakat kota, ketimpangan dalam distribusi pendapatan dapat juga ditinjau dari segi perbedaan perolehan pendapatan antar masyarakat desa dengan masyarakat kota (urban-rural income disparities). Untuk membedakan hal ini, digunakan dua indikator pertama perbandingan antara tingkat pendapatan didaerah perkotaan dan pedesaan. Kedua, disparitas pendapatan daerah perkotaan dan daerah pedesaan.
14
3.
Ketimpangan distribusi pendapatan antar daerah, satu kajian sisi lain dalam melihat ketimpangan-ketimpangan pendapatan nasional adalah ketimpangan dalam pertumbuhan ekonomi antar daerah di berbagai daerah di indonesia, yang mengakibatkan pola terjadinya ketimpangan pendapatan antar daerah (region income dispareties). Ketimpangan pendapatan ini disebabkan oleh penyebaran sumberdaya alam yang tidak merata serta dalam laju pertumbuhan daerah dan belum berhasilnya usaha-usaha perubahan yang merata antar daerah di Menurut Todaro Indonesia.
(2004),
menggambarkan
ketimpangan
dengan
mempertimbangkan hubungan antara tingkat pendapatan perkapita dan tingkat
ketimpangan
pendapatan
untuk
negara
maju
dan
sedang
berkembang. Dan menggambarkan ketimpangan pendapatan negara-negara tersebut dalam tiga kelompok dimana pengelompokan ini disesuaikan dengan tinggi, sedang, dan rendahnya tingkat pendapatan yang diukur menurut koefisien gini dan tingkat PDRB. Setiap
wilayah
memiliki
kemampuan
perkembangan pembangunannya, sehingga
yang
berbeda
dalam
meninbulkan ketimpangan
pembangunan antar daerah. Ukuran lain untuk menghitung tingkat ketimpangan adalah teori Kuznet (1966), percaya tingkat pendapatan di negara sedang berkembang mengikuti kurva U yang terbalik, sebagaimana terlihat pada gambar Tingkat kurva Ketimpangan berikut ini :
15
Tingkat Pendapatan Perkapita Sumber : Pembangunan Ekonomi, 2004
Gambar 2.1. Kurva “U” terbalik Kurva ini menyatakan bahwa ketidakmerataan pendapatan akan meningkat pada awal pembangunan terjadi trade off antara pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan, tetapi pada tahap selanjutnya ketidakmeratan akan menurun sejalan dengan pertumbuhan ekonomi. Pola ini disebabkan karena pertumbuhan pada awal pembangunan cenderung terpusat pada sektor modern perekonomian yang pada saat itu kecil dalam penyerapan tenaga kerja. Ketimpangan membesar karena sektor karena kesenjangan antara sektor modern dan tradisional meningkat. Perkembangan tersebut karena
perkembangan sektor
modern
lebih cepat
daripada
sektor
tradisional. Koefisien Gini digunakan untuk melihat tingkat ketimpangan distribusi pendapatan antar daerah. Todaro (2004), memberikan batasan bahwa negara-negara yang ketimpangannya tinggi maka koefisien Gininya terletak antara
0.50
sampai
0.70,
sedangkan
untuk
negara-negara
yang
ketimpangannya rendah atau merata koefisien Gininya terletak antara 0.20 sampai Analisis 0.35. menggunakan formula sebagai berikut : G = 1 − ∑ ( X i +1 − X i )(Yi + Yi +1 ) G = 1 − ∑ f i (Yi + Yi +1 )
0
16
fi = Proporsi rumah tangga kelas-i X = Proporsi jumlah kuantitatif rumah tangga dalam kelas i Y = proporsi jumlah kuantitatif pendapatan kelas i
Adapun jumlah rumah tangga dapat dibagi menjadi lima kelas yaitu: 1. Rumah tangga termiskin 20 persen 2. Rumah tangga kedua 20 persen 3. Rumah tangga ketiga 20 persen 4. Rumah tangga keempat 20 persen 5. Rumah tangga terkaya 20 persen Ketidakmerataan sempurna terjadi apabila terdapat seseorang yang menerima seluruh pendapatan nasional, sementara orang lain sama sekali tidak menerima pendapatan. Namun selama ini belum pernah ditemukan kasus bahwa suatu negara mengalami kemerataan sempurna. Williamson dalam Abel (2006), menyatakan bahwa ketidakmerataan antar
regional berhubungan dengan
Berdasarkan
hasil
penelitiannya
proses pembangunan
secara
empiris
terhadap
nasional. sifat-sifat
ketidakmerataan secara spasial di dalam suatu batas wilayah secara nasional. Wajar jika ada perbedaan yang absolut antara daerah kaya dengan daerah miskin tetap muncul bahkan bertambah. Walaupun kedua wilayah tumbuh dengan presentase yang sama. Tampaknya keterkaitan ekonomi unit-unit regional dengan negara makin kuat dibandingkan antar daerahdaerah Metode itu sendiri. yang umum digunakan untuk mengukur ketimpangan yakni dengan mengukur ketimpangan pendapatan daerah dalam suatu nilai
17
ketimpangan yang disebut dengan koefisien regional income inequality dengan simbol “CVw” (Hendra dalam Matola 1985). Pengukuran ini dilakukan dalam analisisnya tentang ketimpangan pendapatan daerah di Indonesia dengan menggunakan data dasar pendapatan yang diukur dari PDRB dan jumlah penduduk setiap daerah, sehingga dapat menggambarkan tingkat ketimpangan pendapatan perkapita antar daerah. Semakin besar angka indeks berarti semakin tinggi pula tingkat ketimpangan regional yang terjadi indeks CVw yang dihasilkan dari suatu perhitungan akan sangat sensitif terhadap perbedaan data yang digunakan. Metode yang digunakan untuk menghitung CVw adalah sebagai berikut : fi
∑ (Y −Y ) . n 2
i
CV w =
Y
dimana : CV w
= indeks ketimpangan daerah
fi
= jumlah penduduk di daerah i
n
= penduduk total
Yi
= PDRB perkapita
Y
= PDRB perkapita untuk Provinsi Ada sejumlah teori yang menerangkan kenapa ada perbedaan tingkat
pembangunan ekonomi antar daerah. Teori yang umum digunakan adalah teori basis ekonomi, teori lokasi, dan teori daya tarik industri (Tambunan, 1. Teori Basis Ekonomi 2001): Teori ini menjelaskan bahwa faktor penentu utama pertumbuhan ekonomi adalah berhubungan langsung dengan permintaan barang dan
18
jasa dari luar daerah. Proses produksi sektor industri di suatu daerah yang menggunakan sumberdaya produksi lokal termasuk tenaga kerja, bahan
baku
pertumbuhan
dan
outputnya
ekonomi.
yang
Peningkatan
diekspor
akan
pendapatan
menghasilkan perkapita
dan
menetapkan lapangan kerja daerah tersebut. 2. Teori Lokasi Teori ini sering digunakan untuk penetuan dan pengembangan kawasan industri disuatu daerah. Lokasi usaha ditentikan berdasarkan tujuan perusahaan, untuk mendekati bahan baku atau mendekati pasar. Inti dari pemikiran ini didasarkan pada sifat rasioal manusia yang cenderung mencari keuntungan yang setinggi-tingginya dengan biaya serendah mungkin. Oleh karena itu, pengusaha akan memilih lokasi usaha yang memaksimumkan biaya produksinya. 3. Teori Daya Tarik Industri Upaya pembangunan ekonomi daerah di Indonesia sering dipertanyakan jenis-jenis industri apa saja yang tepat untuk dikembangankan ini adalah masalah membangun portopolio industri suatu daerah. Faktor-faktor daya tarik antara lain adalah produktivitas, industri-industri kaitan, daya saing dimasa depan, spesialisasi industri, potensi ekspor dan prospek bagi permintaan domestik. 2.4 Teori Ekonomi Basis Teori ekonomi basis dapat digunakan untuk mengetahui perbedaan potensi suatu wilayah dengan wilayah lain dan mengetahui hubungan antar
19
sektor-sektor dalam suatu perekonomian. Teori basis ekonomi mendasarkan pandangannya bahwa laju pertumbuhan suatu daerah ditentukan oleh besarnya nilai ekspor dari wilayah tersebut (Richardson dalam Ghalib. 2005) Konsep ekonomi basis berguna untuk menganalisa dan memprediksi perubahan dalam perekonomian regional. Selain itu konsep ekonomi basis juga dapat digunakan untuk mengetahui suatu sektor pembangunan ekonomi dan kegiatan basis, yang dapat melayani pasar ekspor. Menurut Glasson
(1997), mengemukakan bahwa perekonomian
regional dapat dibagi menjadi dua sektor yaitu sektor basis dan sektor non basis. Kegiatan basis adalah kegiatan mengekspor barang-barang dan jasajasa ke tempat di luar batas perekonomian masyarakat yang bersangkutan atau memasarkan barang dan jasa kepada orang-orang yang datang dari luar perbatasan masyarakat yang bersangkutan setelah barang-barang tersebut mampu memenuhi kebutuhan masyarakat di wilayahnya sendiri. Sedangkan kegiatan non basis adalah kegiatan yang menyediakan barang-barang yang di butuhkan oleh orang-orang bertempat tinggal di dalam batas-batas perekonomian masyarakat yang bersangkutan. Kegiatankegiatan ini tidak mengekspor barang-barang jadi, luas lingkup produksi dan daerah pasar mereka yang terutama adalah bersifat lokal. Menurut Glasson (1997), meningkatnya arus jumlah aktivitas ekonomi basis di suatu wilayah akan membentuk arus pendapatan ke wilayah tersebut. Dengan meningkatnya arus pendapatan tersebut mereka akan meningkatkan permintaan terhadap barang-barang dan pelayanan
20
yang dihasilkan oleh sektor bukan basis. Sebaliknya, jika menurunnya aktivitas sektor basis di suatu wilayah maka akan menurunkan tingkat pendapatan dan permintaan terhadap sektor bukan basis. Karena itu sektor basis dapat dijadikan sebagai penggerak utama perubahan peningkatan di sektor non basis dan memiliki nilai multiplier atau pengganda basis terhadap pendapatan suatu wilayah. Kategori basis non basis dapat dilihat dengan dua metode yaitu metode langsung dan tidak langsung. Tapi para pakar ekonomi wilayah lebih memakai metode tidak langsung seperti : 1. Metode Arbiter, dilakukan dengan cara membagi secara langsung dalam kategori ekspor dan non ekspor tanpa melalui penelitian secara spesifik di tingkat lokal. Metode ini tidak memperhitungkan kenyataan bahwa kegiatan ekonomi yang menghasilkan barang yang sebagian diekspor atau dijual secara lokal ataupun kedua-duanya 2. Metode Location Quetiont (LQ) merupakan suatu alat analisis untuk melihat peranan suatu sektor tertentu dalam suatu wilayah dengan peranan sektor tersebut dalam wilayah yang lebih luas. 3. Metode kebutuhan minimum, metode ini tergantung pada pemilihan presentase minimum dan tingkat disagregasi. Dengan disagregasi yang semakin terperinci maka berakibat semua sektor akan jadi Berdasarkan sektor basis. ketiga metode tersebut Glasson (1997), menyarankan metode LQ dalam menentukan sektor basis. Teknik Location Quotient (LQ) adalah teknik yang lazim digunakan dalam studi empirik. Kelemahan dalam metode Location Quotient (LQ) adalah kegagalannya untuk menghitung
21
ketidakseragaman
permintaan
dan
produktivitas
nasional
secara
menyeluruh. Metode ini juga mengabaikan fakta bahwa sebagian produk nasional adalah untuk orang asing yang tinggal di wilayah tersebut. Teori basis ini juga memiliki kebaikan-kebaikan yang membuat teori relevan digunakan. Kebaikan teori basis antara lain metode ini sederhana, mudah diterapkan, dapat menjelaskan struktur perekonomian suatu daerah dan dampak umum dari perubahan jangka pendek. Permintaan masyarakat lebih banyak dari hasil produksi maka di impor dari tempat lain. Penyebab maju dan mundurnya sektor basis adalah sebagai berikut : Kemajuan sektor basis disebabkan oleh : 1. Transportasi dan komunikasi yang terus berkembang. 2. Pendapatan dan penerimaan daerah yang terus meningkat. 3. Teknologi yang berkembang. 4. Prasarana ekonomi dan sosial yang memadai. Kemunduran sektor basis disebabkan oleh : 1. Permintaan yang berubah di luar daerah. 2. Cadangan sumber daya alam habis Asumsi yang digunakan dalam menentukan sektor basis dan non-basis adalah: 1. Pergerakan utama pertumbuhan regional 2. Besarnya rasio tenaga kerja basis dan non-basis 3. Adanya keseragaman antara permintaan lokal dan nasional 4. Sistem permintaan yang tertutup 5. Spesialisasi lokal dan produksi
22
2.5 Penelitian Terdahulu Rahman (2003), menganalisis peranan sektor basis pertanian di Kabupaten Kuningan. Penelitiannya menyimpulkan bahwa masing-masing kecamatan di Kabupaten Kuningan memiliki beberapa komoditi basis pertanian yang jumlahnya berbeda-beda, secara keseluruhan surplus pendapatan komoditi basis yang dihasilkan relatif besar sehingga dapat digunakan pendapatan
untuk
membeli komoditi non-basis yang kurang
masyarakat setempat. Efek
untuk
pengganda yang dihasilkan
dibeberapa kecamatan selama tahun 2001 berkisar antara 1,0186-1,8997. Hasil analisis Location Quotient (LQ) dan spesialisasi menunjukkan bahwa hampir semua komoditi pertanian menyebar dan tidak terdapat spesialisasi
Quotient dengan kegiatan Sartono pertanian (2004), atau menggunakan cenderung menghasilkan metode Location komoditi yang(LQ) beragam. indikator pendapatan sebagai alat analisis penelitian mengenai Analisis Peranan Sektor Basis Perekonomian Terhadap Pembangunan Wilayah Kabupaten Wonogiri. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa selama kurun waktu 1998-2002 Kabupaten Wonogiri memiliki enam sektor basis (pertanian, pertambangan, bangunan, pengangkutan, komunkasi, dan jasajasa) pada tahun 1998. Pada tahun 1999 tedapat dua sektor yaitu pertanian dan pengangkutan. Pada tahun 2000-2002 memilki empat sektor basis yaitu pertanian, pengangkutan, keuangan dan sektor jasa. Penelitian ini juga dilakukan di tingkat lokal, sektor pertanian masih menunjukkan keunggulan diantara sektor yang lain hampir di setiap wilayah kecamatan wonogiri.
23
Hendra (2004), dengan menggunakan metode indeks Williamson CVw dalam penelitiannya yang berjudul Peranan Sektor Pertanian dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan Antar Daerah di Provinsi Lampung. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup besar di Provinsi Lampung. Sektor pertanian menjadi penyumbang terbesar dalam perekonomian semua kabupaten yang ada di Provinsi Lampung kecuali Kota Metro dan Kota Bandar Lampung. Berdasarkan analisis korelasi menunjukkan bahwa terjadi hubungan negatif antara presentase pertanian dengan laju pertumbuhan ekonomi. Ini menunjukkan bahwa daerah yang didominasi oleh sektor pertanian cenderung mempunyai PDRB/kapita yang rendah dibandingkan dengan daerah Ketimpangan yang didominasi pendapatan oleh sektor daerah non pertanian. di Lampung mengalami penurunan selama periode analisis, walaupun penurunan tersebut tidak signifikan. Dari analisis korelasi, didapat hubungan positif antara indeks ketimpangan dengan pertumbuhan ekonomi. Ini menunjukkan masih terjadi trade off antara pertumbuhan dengan pemerataan. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup besar dalam mengurangi ketimpangan pendapatan antar daerah. Peranan ini terlihat setelah dilakukan analisis, didapat bahwa ketimpangan semakin meningkat jika PDRB sektor pertanian dikeluarkan dari perhitungan. Dari uji korelasi juga didapat hubungan yang negatif yang kuat
antara
pertanian
dengan
indeks
ketimpangan,
yang
berarti
peningkatan produktivitas pertanian akan menurunkan ketimpangan pendapatan yang terjadi. Hal ini dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:
24
Tabel 2.1. Indeks Ketimpangan Pendapatan Daerah Williamson di Provinsi Lampung Tahun 1995-2001 Tahun 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001
Tanpa PDRB Sektor Pertanian 0.8373 0.8380 0.8391 0.8369 0.7951 0.7793 0.7680
Dengan PDRB Sektor Pertanian 0.4404 0.4499 0.4846 0.4426 0.4207 0.4160 0.4068
% Penurunan Ketimpangan Pendapatan Daerah 47.4 46.3 42.2 47.1 47.1 46.6 47.0
Sumber : BPS Provinsi Lampung, 2001
Supriantoro (2005), melakukan penelitian untuk menganalisis besarnya ketimpangan pendapata daerah di Provinsi Jawa Tengah periode tahun 1993-2003 dengan menggunakan formulasi Williamson. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa ketimpangan pendapatan di Jawa Tengah yang terbagi dalam sepuluh wilayah pembangunan tergolong dalam taraf ketimpangan antara 0,2768-0,3427 yang berarti masih berada di bawah 0,35 sebagai batas taraf ketimpangan rendah, kemudian untuk ketimpangan pendapatan yang terjadi di dalam wilayah pembangunan yang terdiri dari 10 kabupaten/kota berada pada taraf ketimpangan rendah untuk wilayah pembangunan II, III, IV yaitu antara 0,1291-0,3414 dan wilayah pembanguan I, X berada pada taraf ketimpangan yaitu antara 0,6403-0,9438. sementara untuk wilayah pembangunan VII dari tahun 2000-2003 berada pada taraf ketimpangan sedang dan wilayah pembangunan VIII berada pada wilayah taraf sedang antara Fitria 0,3578-0,4426. (2006), menganalisis tentang kesenjangan antara kabupaten/kota di Pulau Jawa. Dari hasil analisanya diperoleh bahwa kesenjangan antara kabuaten/kota di Pulau Jawa sebelum krisis selama periode 1993-1998 memburuk. Pada tahun 1993 tingkat kesenjangan antara kabupaten/kota sebesar 0,991 sedangkan pada tahun 1998 menjadi 0,9924. tetapi setelah
25
krisis kesenjangan membaik, tahun 2004 tingkat kesenjangan 0,991. Tingkat kesenjangan antara kabupaten/kota di Pulau Jawa selama periode 1993-2004 tidak terjadi dengan menganggap pendidikan mempengaruhi konvergensi pendapatan, maka tingkat konvergensi antar kabupaten/kota di Pulau Jawa tidak terjadi secara signifikan Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah penelitian ini
menganalisis
peranan
sektor
basis
dalam
mengurangi
tingkat
ketimpangan pendapatan. Dengan menggunakan dua pendekatan sekaligus, yang pertama menentukan sektor-sektor yang termasuk sektor ekonomi wilayah dengan menggunakan metode Location Quotient (LQ) kemudian membandingkan
peran
sektor
basis
tersebut
dalam
mengurangi
ketimpangan dengan metode CVw. 2.6 Kerangka Pemikiran Pembangunan daerah adalah bagian integrasi dari pembangunan nasional yang dilaksanakan melalui otonomi daerah. Pengarahan sumber daya nasional memberikan kesempatan bagi peningkatan demokrasi dan kinerja daerah yang berguna dalam penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah Permasalahan secara merata. pembangunan daerah selama yang terjadi selama ini adalah timbulnya ketimpangan pembangunan antar wilayah. Ketimpangan pembangunan selama ini berlangsung dan berwujud dalam bentuk, aspek dan dimensi, secara umum hal ini dapat dilihat dari perbedaan tingkat kemajuan suatu daerah, perbedaan pendapatan (PDRB), tingkat pemerataan
26
jumlah penduduk miskin dan tingkat penganggurannya. Tingginya orang yang hidup di bawah garis kemiskinan semakin mendorong tingginya tingkat ketimpangan pendapatan perorangan. Konsep kebijakan perekonomian pada masa orde baru menghendaki terjadinya trickle down effect ternyata gagal, karena pada kenyataannya yang tercapai hanyalah pertumhan ekonomi saja yang tinggi namun tingkat pemerataan tidak terjadi. Pembangunan hanya terpusat pada sektor modern yang sebenarnya masih sangat kecil dalam penyerapan tenaga kerjanya. Dalam rangka pelaksanaan pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan dan pemerataan maka kemampuan setiap daerah untuk dapat memanfaatkan kekayaan lokal yang dimiliki sangat penting. Hal ini juga yang diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat secara merata. Mengacu pada teori ekonomi basis yang menyatakan bahwa sektor basis merupakan sektor yang dapat menimbulkan pengaruh ganda bagi peningkatan pendapatan daerah. Teori basis juga mengklasifikasikan kegiatan ekonomimenjadi dua yaitu sektor basis dan sektor non basis. Metode yang digunakan untuk mengetahui kegiatan basis dan non basis ini Dalam hubungannya Location dengan Quotient kegiatan (LQ). sektor basis perekonomian, dengan menggunakan maka sektor basis dapat memberikan sumbangan penting bagi pertumbuhan ekonomi wilayah, antara lain kegiatan pemasaran sektor basis perekonomian akan menimbulkan kenaikan pendapatan daerah dan perkembangannya akan menciptakan permintaan terhadap produksi dan kegiatan sektor non basis. Selain itu pengembangan sektor basis juga diharapkan mampu
27
memberikan
kontribusi
yang
nyata
dalam
mengurangi
masalah
ketimpangan pendapatan antar wilayah. Diagram alir kerangka pemikiran dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.2
Pembangunan Ekonomi Daerah (Regional Development)
Pertumbuhan Ekonomi
Analisis Ketimpangan (CVw)
Ketimpangan Pendapatan
Sumber Pendapatan Daerah (data PDRB)
Sektor Non Basis
Pendekatan Location Quotient (LQ)
Sektor Basis
Peranan Sektor Basis dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan antar Kabupaten/Kota di Propinsi J Ti Kebijakan Pembangunan Daerah
Gambar 2.2. Diagram Alir Kerangka Pemikiran
28
Ket : = dianalisis = alat analisis
28
III. METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang dipakai adalah data sekunder dalam bentuk time series (deret waktu) data tersebut meliputi: (1) Data PDRB masing-masing kabupaten kota yang ada di Provinsi Jawa Timur bardasarkan harga konstan 2000 dari tahun 2001-2005, (2) Data jumlah penduduk menurut kabupaten/kota se-Jawa Timur dari tahun 2001-2005. Pengambilan data dilaksanakan mulai bulan Februari-Mei 2007. Jenis-jenis data tersebut diperoleh dari : (1) Badan Pusat Statistik Jakarta (BPS Jakarta), (2) Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur, (3) Publikasi penelitian terdahulu, (4) Literatur dari jurnal dan internet
3.2 Metode Analisis Dalam menganalisa peranan sektor basis dalam mengurangi ketimpangan pendapatan antar daerah di Provinsi Jawa Timur, ada beberapa pendekatan atau tahapan yang dilakukan. Yaitu mencakup analisis sektor-sektor yang termasuk sektor basis di Jawa Timur, dan analisis peranan sektor basis dalam mengurangi ketimpangan pendapatan.
3.2.1 Metode Analisis Location Quotient (LQ) Menurut Bendavid (1991) LQ adalah suatu indeks untuk mengukur tingkat spesialisasi (relatif) suatu sektor atau subsektor ekonomi suatu wilayah tertentu. Pengertian relatif disini diartikan sebagai tingkat perbandingan suatu wilayah
29
dengan wilayah yang lebih luas (wilayah referensinya), dimana wilayah yang diamati merupakan bagian dari wilayah yang lebih luas tersebut. Misalnya ukuran konsentrasi dari satu sektor atau subsektor di suatu propinsi dibandingkan dengan sektor atau subsektor tersebut untuk tingkat nasionalnya. Demikian pula ukuran konsentrasi satu sektor atau subsektor pada tingkat kabupaten/kota dibandingkan dengan sektor atau subsektor tersebut untuk tingkat provinsinya. Bendavid dalam Ghalib (2005), merumuskan definisi indeks konsentrasi untuk tingkat pendapatan adalah sebagai berikut :
Si LQ =
S
Ni
...............................................................(1)
N
dimana : LQ
= Besarnya kuosien lokasi suatu sektor ekonomi
Si
= Pendapatan sektor i di Propinsi Jawa Timur
S
= Pendapatan sektor i di Indonesia
Ni
= Total pendapatan di Propinsi Jawa Timur
N
= Total pendapatan di Indonesia Apabila LQ > 1 menunjukkan bahwa sektor i termasuk sektor basis, artinya
sektor tersebut mempunyai peran ekspor di wilayah (kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur). Apabila LQ = 1 artinya peranan sektor tersebut di kabupaten/kota itu setara dengan peranan sektor tersebut di Provinsi Jawa Timur. Apabila LQ < 1 menunjukkan bahwa sektor i termasuk bukan sektor basis, artinya sektor tersebut tidak mempunyai peran ekspor di wilayah (kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur) justru akan mendatangkan impor dari wilayah lain.
30
3.2.2 Pengganda Basis (Base Multiplier) Tarigan (2005), pengganda basis merupakan suatu metode untuk melihat besarnya pengaruh kegiatan ekonomi basis terhadap peningkatan total pendapatan di suatu wilayah. Nilai pengganda basis diperoleh dari pembagian antara jumlah pendapatan total wilayah dengan jumlah pendapatan sektor basis. Maka rumus penggada basis dapat ditulis secara metematik adalah sebagai berikut : K=
Y ..........................................................(2) Yb
dimana : K
= Koefisien pengganda basis
Yb
= Pendapatan sektor basis ekonomi basis di Provinsi Jawa Timur
Y
= Pendapatan total pendapatan di Provinsi Jawa Timur
Apabila nilai kontribusi (K) sebesar A berarti pada setiap peningkatan nilai kontribusi pendapatan yang dihasilkan pada sektor basis sebesar Rp 1,00 maka terjadi peningkatan terhadap total pendapatan di Provinsi Jawa Timur sebesar A.
3.2.3 Analisis Ketimpangan Pendapatan Hendra dalam Matolla (1985), Untuk mengamati kecenderungan awal dari prespektif ketimpangan pendapatan daerah, dilakukan penghitungan indeks Pendapatan, dengan rumus : Indeks Pendapatan =
% PDRB ..............................(3) % JumlahPenduduk
Untuk Provinsi Jawa Timur angka indeks sama dengan 1 dengan membandingkan antara titik waktu selama periode analisis, jika indeks suatu region dalam hal ini kabupaten/kota mendekati angka satu berarti telah terjadi
31
perubahan dalam kearah pembangunan ketimpangan dan sebaliknya. Untuk melihat seberapa jauh nilai indeks masing-masing region tersebar sekitar 1 (karena 1 adalah nilai indeks untuk tingkat provinsi dan berarti merata sempurna). Jika variance-nya semakin besar maka semakin timpang dan sebaliknya apabila variance makin semakin kecil maka kondisi menunjukkan semakin merata, secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut : Vx =
∑(X
i
− X )2
n −1
..........................................................(4)
dimana : Xi
= Angka indeks kabupaten/kota di Jawa Timur
X
= Angka indeks provinsi
n
= Jumlah kabupaten/kota di Jawa Timur
Vx
= Variance (terhadap1) Williamson dalam Matolla (1985), Pengukuran angka ketimpangan
pendapatan antar daerah di propinsi Jawa Tmur dilakukan dengan menggunakan metode indeks Williamson (CVw). Analisis tersebut menggunakan formula sebagai berikut :
∑ (Y
i
CV w =
−Y ) 2 . Y
fi n ....................................................(5)
dimana : CV w
= Indeks ketimpangan daerah
fi
= Jumlah penduduk di kabupaten/kota di Propinsi Jawa Timur
n
= Penduduk total Propinsi Jawa Timur
Yi
= PDRB perkapita kabupaten/kota
Y
= PDRB perkapita untuk Propinsi Jawa Timur
32
Nugroho (2004), menggolongkan nilai indeks ketimpangan dalam beberapa kriteria, sebagai berikut : Indeks > 1, ketimpangan sangat tinggi Indeks 0.7-1, ketimpangan tinggi Indeks 0.4-0.5, ketimpangan menengah Indeks < 0.3, ketimpangan rendah
3.2.4. Analisis Peranan Sektor Basis Terhadap Ketimpangan Pendapatan
Untuk melihat peranan sektor basis terhadap ketimpangan pendapatan daerah dilakukan dengan cara menghitung ketimpangan pendapatan tanpa memasukkan nilai PDRB masing-masing sektor basis dalam perhitungan tersebut. Kemudian
bandingkan
dengan
besarnya
tingkat
ketimpangan
dengan
memasukkan PDRB sektor basis. Apabila setelah PDRB sektor basis dikeluarkan dari perhitungan tingkat ketimpangan semakin besar, maka artinya sektor basis berperan dalam mengurangi ketimpangan pendapatan antar daerah yang terjadi.
33
IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
4.1 Keadaan Geografis Provinsi Jawa Timur Provinsi ini terletak pada 111,0' hingga 114,4' Bujur Timur dan 7,12' hingga 8,48' Lintang Selatan. Batas Daerah : Sebelah Utara
: Pulau Kalimantan (Kalimantan Selatan)
Sebelah Timur
: Pulau Bali
Sebelah Selatan
: Samudera Indonesia
Sebelah barat
: Provinsi Jawa Tengah
Kondisi geografis Jawa Timur yang strategis merupakan keuntungan bagi Provinsi Jawa Timur dari segi perdagangan dan perhubungan. Jawa Timur menjadi pintu gerbang perdagangan antara Kawasan Tengah dan Kawasan Timur Indonesia dengan Kawasan Barat Indonesia atau sebaliknya. Selain infrastruktur jalan raya yang sangat memadai, keberadaan pelabuhan laut dan bandara udara sangat menentukan dalam kemajuan sektor perdagangan. Pintu gerbang ekspor impor Jawa Timur terletak pada pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, Pelabuhan Gresik, Pelabuhan Tuban dan Bandara Juanda.
4.2 Wilayah Administratif dan Penduduk Provinsi Jawa Timur Provinsi Jawa Timur memiliki luas wilayah 46.428,57 km2, terbagi menjadi 38 kabupaten/kota, 640 kecamatan dan 8.464 desa. Sementara itu daerah dengan wilayah terluas yaitu Kabupaten Banyuwangi sebesar 5.783 km2. Pada Tabel 4.1
34
dapat dilihat luas wilayah, jumlah penduduk serta kepadatan penduduk pada masing-masing kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Timur. Jumlah penduduk Provinsi Jawa Timur 2005 dari hasil proyeksi penduduk berdasarkan BPS Jawa Timur yaitu sebesar 37.071.731 jiwa dengan pertumbuhan 2,39 persen. Surabaya mempunyai jumlah penduduk yang paling besar yaitu 2.698.972 jiwa, diikuti oleh Kabupaten Malang 2.393.959 jiwa dan Kabupaten Jember 2.263.794 jiwa. Sedangkan kabupaten/kota yang mempunyai jumlah penduduk paling sedikit adalah Kota Mojokerto 116.383 jiwa, Kota Blitar 124.944 jiwa dan Kota Madiun 170.931 jiwa. Pada tahun 2005 rata-rata kepadatan jumlah penduduk Jawa Timur adalah 798 jiwa per km2. Kepadatan penduduk di Jawa Timur tersebar pada kabupaten/kota namun sebarannya tidak merata. Kepadatan penduduk di kota pada umumnya lebih tinggi jika dibandingkan dengan kepadatan penduduk di kabupaten. Kota Surabaya memiliki kepadatan penduduk tertinggi yaitu 8.270 jiwa,
sedangkan
Banyuwamgi
kepdatan
penduduk
paling
rendah
adalah
Kabupaten
270 jiwa per km2. Berdasarkan pada Tabel 4.1 terlihat bahwa
kepadatan penduduk di Provinsi Jawa Timur terpusat pada daerah yang merupakan daerah pusat-pusat industri dan perdagangan, terutama pada daerah atau kawasan Gerbangkertasusila (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, dan Lamongan).
35
Tabel 4.1 Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Timur No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 2 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38
Kabupaten/Kota Pacitan Ponorogo Trenggalek Tulung Agung Blitar Kediri Malang Lumajang Jember Banyuwangi Bondowoso Situbondo Probolinggo Pasuruan Sidoarjo Mojokerto Jombang Nganjuk Madiun Magetan Ngawi Bojonegoro Tuban Lamongan Gresik Bangkalan Sampang Pamekasan Sumenep Kediri Blitar Malang Probolinggo Pasuruan Mojokerto Madiun Surabaya Batu Jumlah
Sumber : BPS Provinsi Jawa Timur. 2005
Luas Wilayah (Km2) 1.342,42 1.371,78 1.205,22 1.046,22 1.588,79 1.386,05 2.979,41 1.790,90 2.477,68 5.782,68 1.560,10 1.638,81 1.599,03 1.150,75 634,39 692,15 903,90 1.224,33 1.010,86 688,82 1.295,98 2.307,06 1.839,94 1.669,56 1.191,19 1.259,54 1.233,36 792,30 1.998,54 63,40 32,57 110,06 56,66 35,29 16,46 33,23 326,36 92,78 46.428,57
Jumlah Penduduk (jiwa) 546.150 546.150 880.701 682.465 976.691 1.131.222 1.509.135 2.393.959 1.017.839 2.263.794 1.564.026 720.183 631.382 1.059.322 1.464.297 1.787.771 1.008.740 1.199.958 1.053.569 664.282 621.511 851.884 1.238.811 1.095.795 1.261.972 1.101.000 926.560 874.512 768.587 1.056.985 254.367 124.944 779.002 205.490 182.072 170.931 2.698.972 185.467 37.070.731
Kepadatan (Jiwa/Km2) 407 642 566 934 712 1089 804 568 914 270 462 385 662 1272 2818 1457 1328 861 657 902 657 537 596 756 924 736 709 970 529 4012 3836 7078 3627 5159 7071 5144 8270 1999 798
36
4.3 Kondisi Perekonomian Provinsi Jawa Timur Kondisi perekonomian daerah dapat dilihat dari beberapa indikator salah satunya dari Produk Regional Domestik Bruto (PDRB). Dilihat dari peranan sektor perekonomian Jawa Timur sektor yang mempunyai kontribusi besar di dalam penciptaan PDRB Jawa Timur adalah sektor pertanian, sektor industri dan pengolahan, sektor perdagangan, hotel dan restoran. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang mendapat perhatian besar dalam proses pembangunan. Hal ini dikarenakan sektor pertanian dapat menyediakan surplus pangan yang semakin besar kepada penduduk yang semakin meningkat, sektor pertanian juga berperan dalam mendorong perkembangan sektor lain terutama sektor industri dan pengolahan. Selanjutnya sektor juga berperan dalam menghasilkan tambahan devisa bagi daerah. Kemajuan sektor pertanian juga dapat meningkatkan pendapatan pedesaan dan dapat memperbaiki kesejahteraan masyarakat di pedesaan (BPS Jawa Timur, 2005). Di Jawa Timur sektor pertanian memiliki peranan yang semakin menurun dari tahun 2001-2005. Pada tahun 2001 dan tahun 2002 peranan sektor pertanian masih sebesar 19,77 persen dan 19,04 persen. selanjutnya pada tahun 2003 dan 2004 mulai menurun menjadi sebesar 18,24 persen dan 17,58 persen dan pada tahun 2005 peranan pertanian hanya sebesar 17,24 persen. Perubahan ini tidak berarti mengalami penurunan tetapi karena sektor lain tumbuh lebih cepat. Sektor industri dan pengolahan merupakan sektor penggerak perekonomian Jawa Timur, pembangunan sektor ini harus menjadi prioritas pembangunan daerah. Karena sektor ini merupakan sektor yang memberikan kontribusi yang
37
terbesar dalam pembentukkan PDRB Jawa Timur dari tahun 2001-2005. Pada tahun 2001 dan tahun 2002 peranan sektor ini sebesar 29,66 persen dan 29,31 persen. Pada tahun 2003-2004 meningkat lagi sebesar 29,50 persen dan 29,61 persen. Selanjutnya pada tahun 2005 sebesar 29,99 persen. Hal ini lebih diakibatkan karena adanya kenaikan harga barang-barang industri terutama kelompok industri makanan, minuman dan tembakau. Subsektor makanan, minuman dan tembakau masih memiliki peranan besar terhadap PDRB sektor industri pengolahan. Pada tahun 2005, peranan subsektor makanan, minuman dan tembakau masih sebesar 55,67 persen. Sedangkan hampir seluruh subsektor lainnya. rata-rata berperan dibawah 10 persen (BPS Jawa Timur, 2005). Sektor yang mampu berkembang dan mengalami peningkatan dalam kontribusi pada PDRB adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran. Sektor ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Perekonomian Jawa Timur saat ini sepenuhnya bertumpu pada sektor perdagangan, hotel dan restoran terutama dengan subsektor perdagangannya. Subsektor perdagangan disebut-sebut sebagai motor penggerak perekonomian dan sampai sekarang juga berperan besar dalam pertumbuhan perekonomian Jawa Timur. Pada tahun 2001 dan tahun 2002 peranan sektor ini sebesar 24,57 persen dan 25,35 persen. Pada tahun 2003-2004 meningkat lagi sebesar 26.08 persen dan 26,71 persen. Selanjutnya pada tahun 2005 sebesar 27,17 persen. Sektor bangunan memegang peranan yang sangat penting untuk memenuhi kebutuhan akan fasilitas tempat tinggal, pembangunan jalan, jembatan, dan infrastruktur lain yang dapat meningkatkan perkembangan sektor lainnya. Namun
38
sektor ini memperlihatkan kinerja lambat, dikarenakan sektor ini masih di pengaruhi oleh dampak setelah krisis ekonomi Indonesia. Pada tahun 2001-2005 peranannya terus menurun yaitu masing-masing sebesar 3,88 persen, 3,81 persen. 3,74 persen, 3,74 persen, 3,68 persen, dan 3,60 persen. Diharapkan dengan ramainya pembangunan pusat perbelanjaan, perkantoran dan sarana lainnya sektor ini mampu memperbaiki peranannya dalam pembentukan PDRB Jawa Timur. Sektor pengangkutan dan komunikasi di Provinsi Jawa Timur sangat vital dan menjadi indikator penting untuk melihat kemajuan ekonomi wilayah, terutama kemajuan angkutan udara dan komunikasi swasta. Subsektor transportasi memiliki peran penting bagi mobilitas perekonomian (BPS Jawa Timur, 2005). Pada tahun 2001-2003 sektor ini terus meningkat dan mampu berperan sebesar 5,18 persen, 5,67 persen dan 5,71 persen. Adanya kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada tahun 2004-2005 juga memberikan dampak yang signifikan terhadap sektor pengangkutan. Pada tahun 2004-2005 mengalami penurunan dan hanya mampu berperan sebesar 5,52 persen dan 5,53 persen. Sektor listrik, gas dan air bersih merupakan salah satu sektor yang menunjang seluruh kegiatan ekonomi dan sebagai infrastruktur yang mendorong aktivitas seluruh sektor terutama sektor industri dan pengolahan. Dilihat dari peranannya dalam pembentukan PDRB Jawa Timur sektor ini merupakan sektor yang terendah karena hanya mampu berperan pada level 1-2 persen dari tahun 2001-2005. Pada tahun 2001-2004 peranan sektor ini terus meningkat sebesar 1,35 persen, 1,62 persen, 1,76 persen dan 2,05 persen. Pada tahun 2005 peranan
39
sektor ini menurun hanya sebesar 1,89 persen. Berikut adalah tabel yang menunjukkan peranan sektor perekonomian Jawa Timur dari tahun 2001-2005. Tabel 4.2. Peranan Sektor-sektor Perekonomian Provinsi Jawa Timur atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2001-2005 Tahun
LAPANGAN USAHA Pertanian Pertambangan dan penggalian Industri dan Pengolahan Listrik. Gas dan Air Bersih Bangunan Perdag. Hotel & Restoran Pengangkutan & Komunikasi Keuangan. Persewaan & Jasa Perusahaan Jasa-jasa Sumber : BPS Jawa Timur 2005
2001 19,77 2,1 29,66 1,35 3,88 24,57 5,18 4,97 8,51
2002 19,04 2,06 29,31 1,62 3,18 25,35 5,67 4,79 8,35
2003 18,24 2,00 29,50 1,76 3,74 26,08 5,71 4,59 8,83
2004 17,58 1,93 29,61 2,05 3,68 26,71 5,52 4,60 8,23
2005 17,24 2,01 29,99 1,89 3,60 27,17 5,53 4,53 8,04
40
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Analisis Ekonomi Basis
5.1.1. Analisis Sektor Basis di Provinsi Jawa Timur Penggunaan analisis Location Quotient merupakan suatu ukuran untuk menentukan sektor basis atau non basis dalam suatu wilayah dengan membandingkan sektor perekonomian di tingkat bawah dengan perekonomian di tingkat atasnya. Penentuan sektor basis sangat penting bagi pemerintah karena dapat digunakan sebagai barometer untuk menentukan sektor yang menjadi prioritas dalam pembangunan daerah untuk periode selanjutnya. Hasil perhitungan nilai LQ diseluruh sektor perekonomian berdasarkan indikator pendapatan daerah yaitu PDRB atas dasar harga konstan 2000 terdapat lima sektor yang menjadi basis perekonomian Provinsi Jawa Timur pada tahun 2001-2003 yaitu sektor pertanian, sektor industri dan pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih, sektor perdagangan, hotel dan restoran, dan sektor pengangkutan dan komunikasi ini ditunjukkan dari nilai LQ sektor tersebut lebih besar dari 1 (satu), hal ini berarti bahwa sektor-setor tersebut memiliki peranan yang besar dalam kegiatan ekspor daerah dan memiliki kontribusi yang besar dalam pembangunan perekonomian di Jawa Timur. Jika dilihat dari kontribusi terhadap pembentukan PDRB maka sektor industri pengolahan memberikan kontribusi yang terbesar, besarnya sektor tersebut berasal dari subsektor industri makanan, minuman, dan tembakau yang lebih di dominasi oleh industri rokok. Kebijakan kenaikan Bahan Bakar Minyak
41
(BBM) pada tahun 2004 dan 2005 berpengaruh besar terhadap sektor industri dan pengolahan. Kenaikan harga BBM akan menaikan biaya operasional angkutan dan produksi pada sektor industri sehingga harga jual produksi menjadi mahal. Daya beli masyarakat yang kembali turun dengan kenaikan harga BBM akan mengurangi pola permintaan terhadap hasil-hasil sektor industri dan pengolahan maupun terhadap sektor produksi lainnya. Perubahan sektor industri dan pengolahan menjadi sektor non basis juga mengidikasikan bahwa sektor pengolahan ini tidak mampu bersaing di pasar global, sehingga menimbulkan adanya impor sektor pengolahan dari wilayah lain. Begitu juga dengan sektor pengankutan dan konumikasi pada tahun yang sama juga tidak lagi menjadi sektor basis perekonomian Jawa Timur. Hal ini diduga karena alasan yang sama dengan sektor pengolahan. Sektor pertanian, sektor listrik, gas dan air bersih, dan sektor perdagangan, hotel dan restoran adalah sektor yang mampu bertahan menjadi sektor basis di Provinsi Jawa Timur dari tahun 2001-2005. Hal ini menunjukkan bahwa sektorsektor tersebut memiliki keunggulan kompetitif dan nilai kontribusi yang besar dalam perekonomian Jawa Timur. Sektor pertanian sangat penting karena sangat berpengaruh terhadap sektor lain atau perekonomian secara keseluruhan. Sektor pertanian merupakan input dari sektor industri dan pengolahan. Walaupun dilihat dari perkembangannya tehadap PDRB Jawa Timur terus menurun namun sektor pertanian masih merupakan sektor basis perekonomian Jawa Timur. Jika dilihat dari nilai LQ maka sektor pertanian cenderung menurun dari tahun 2001-2004, hal ini diduga
42
karena adanya pergeseran dari sektor primer ke sektor industri, diduga alasan lain karena adanya perubahan fungsi lahan pertanian menjadi daerah perumahan karena kenaikan jumlah penduduk dan tingginya permintaan akan rumah. Nilai LQ
sektor
petanian
meningkat
tahun
2005
sebesar
1.2030,
hal
ini
mengindikasikan bahwa sektor pertanian semakin membaik. Dilihat dari besarnya nilai LQ hanya sektor perdagangan, hotel dan restoran yang selalu meningkat LQ setiap tahunnya, sedangkan sektor basis lain cenderung berfluktuatif. Hal ini berarti bahwa sektor perdagangan hotel dan restoran dapat dikembangkan menjadi sektor andalan ekspor di Jawa timur. Pada tahun 2001 nilai LQ sektor ini sebesar 1.5687 dan nilai ini terus meningkat sampai tahun 2005 sebesar 1.7321. Nilai LQ yang tertinggi adalah dari sektor Listrik, gas dan air bersih, nilai LQ sektor ini mencapai angka dua selama periode 2001-2005 dan merupakan sektor yang memiliki nilai LQ tertinggi dibanding sektor basis lainnya. Hal ini berarti bahwa sektor ini mampu menjadi andalan ekspor Jawa Timur walaupun peranannya terhadap PDRB Jawa Timur kecil. Sektor ini merupakan sektor penunjang seluruh kegiatan ekonomi dan sebagai sarana infrastruktur yang dapat mendorong aktivitas seluruh sektor terutama industri dan pengolahan. Hampir seluruh kegiatan disektor ini dimonopoli oleh pemerintah sehingga sektor ini terus dapat berkembang dan bisa bebas dari persaingan tarif harga. Sektor pertambangan dan galian, sektor bangunan, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan dan sektor jasa-jasa tidak termasuk sektor basis. Hal ini dapat dilihat dari nilai LQ sektor ini lebih kecil daripada satu. Sektor
43
bangunan memiliki nilai LQ yang terus menurun, diduga penyebabnya adalah makin banyaknya penambahan bangunan seperti pertokoan, perkantoran dikotakota besar sehingga peranan kabupaten dan desa semakin menurun. Sektor pertambangan dan penggalian tidak mampu menjadi sektor basis diduga penyebabnya karena sektor basis ini hanya dihasilkan dari wilayah tertentu di Jawa Timur seperti Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Tuban, Kabupaten Bangkalan,
Kabupaten
Sidoarjo
dan
Kabupaten
Sumenep
saja.
Hasil
penghitungan analisis sektor basis di Provinsi Jawa Timur periode 2001-2005 dapat dilihat dari tabel 5.1 sebagai berikut: Tabel 5.1. Nilai LQ Sektor-sektor Perekonomian di Provinsi Jawa Timur Berdasarkan Harga Konstan 2000 periode 2001-2005 LAPANGAN USAHA Pertanian Pertambangan dan penggalian Industri dan Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Perdag, Hotel & Restoran Pengangkutan & Komunikasi Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan Jasa-jasa
2001 1.2391 0.1748 1.0873 2.0024 0.7011 1.5687 1.0551 0.5848 0.9233
2002 1.2302 0.1790 1.0087 2.1952 0.6765 1.6407 1.1076 0.5705 0.9313
Tahun 2003 1.2080 0.1855 1.0003 2.4182 0.6495 1.6792 1.0444 0.5459 0.9225
2004 1.1989 0.1963 0.9825 2.6178 0.6108 1.7225 0.9761 0.5332 0.8987
2005 1.2030 0.2078 0.9815 2.6110 0.5875 1.7321 0.9058 0.5359 0.8904
Sumber : BPS Jawa Timur, 2005 (diolah) Keterangan : dicetak tebal adalah sektor basis
Pada tingkat kabupaten/kota dapat dilihat adanya perbedaan sektor basis yang dimiliki dibandingkan dengan tingkat provinsinya. Hal ini disebabkan karena perbedaan potensi yang dimiliki masing-masing kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Timur. Jumlah sektor basis berbeda di setiap kabupaten dan kota menunjukkan bahwa sektor perekonomian yang menjadi basis disuatu wilayah belum tentu menjadi basis juga di wilayah lain. Kondisi tersebut dapat terlihat pada Tabel 5.2 di bawah ini :
44
Tabel 5.2. Sektor Basis Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Timur dengan Indikator Pendapatan Tahun 2001-2005 Kabupaten/Kota Pacitan Ponorogo Trenggalek Tulung Agung Blitar Kediri Malang Lumajang Jember Banyuwangi Bondowoso Situbondo Probolinggo Pasuruan Sidoarjo Mojokerto Jombang Nganjuk Madiun Magetan Ngawi Bojonegoro Tuban Lamongan Gresik Bangkalan Sampang Pamekasan Sumenep Kediri Blitar Malang Probolinggo Pasuruan Mojokerto Madiun Surabaya Batu
2001 1,2,5,7,8,9 1,2,5,8,9 1,2,7,9 1,2,6,8,9 1,2,8,9 1,2,9 1,2,4,9 1,2,5,8 1,2,8,9 1,2,7,8 1,8,9 1,6,7 1,2,4,5,9 1,3,4,9 2,3,4,7 1,3 1,4,7,9 1,6,9 1,2,5,9 1,5,9 1,5,8,9 1,8,9 1,2,4,5 1,4,9 2,3,4,5 1,5,7,9 1,2,9 1,5,8,9 1,2,9 3 4,5,7,8,9 3,6,7,8,9 4,6,7,8,9 4,5,6,7,8,9 4,5,6,7,8,9 4,5,7,8,9 3,4,5,6,7,8 1,4,6,9
2002 1,2,5,7,8,9 1,2,5,8,9 1,2,5,7,9 1,2,6,8,9 1,2,8,9 1,2,9 1,2,4,9 1,2,8 1,2,8,9 1,2,8 1,8,9 1,2,6,9 1,2,5,9 1,3,4,9 2,3,4,7 1,3 1,4,7,9 1,6,9 1,2,5,9 1,5,9 1,5,8,9 1,8,9 1,2,4,5 1,4,9 3,4,5 1,5,7,9 1,2,9 1,5,8,9 1,2,9 3 4,5,7,8,9 3,6,7,8,9 4,6,7,8,9 4,5,6,7,8,9 4,5,6,7,8,9 4,5,7,8,9 3,4,5,6,7,8 1,6,9
Sektor Basis 2003 1,2,5,7,8,9 1,2,5,8,9 1,2,5,7,9 1,2,6,8,9 1,2,8,9 1,2,8,9 1,2,9 1,2,8 1,2,8,9 1,2,8 1,8,9 1,2,6,9 1,2,5,9 1,3,4,9 3,7 1,3 1,4,7,9 1,6,9 1,2,5,9 1,5,9 1,5,8,9 1,8,9 1,2,4,5 1,9 3,4,5 1,5,7,9 1,2,9 1,5,8,9 1,2,9 3 4,5,7,8,9 3,6,7,8,9 4,6,7,8,9 4,5,6,7,8,9 4,5,6,7,8,9 4,5,7,8,9 3,4,5,6,7,8 1,6,9
Sumber : BPS Jawa Timur, 2005 (diolah) Keterangan : 1. Sektor Pertanian 2. Sektor Pertambangan dan Penggalian 3. Sektor Industri dan Pengolahan 4. Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih 5. Sektor Bangunan 6. Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran 7. Sektor Pengangkutan dan komunikasi 8. Sektor Keuangan, Keuangan dan Jasa Perusahaan 9. Sektor Jasa-Jasa
2004 1,2,5,7,8,9 1,2,5,8,9 1,2,5,7,9 1,2,6,8,9 1,2,8,9 1,2,8,9 1,2,9 1,2,8 1,2,8,9 1,2,8 1,8,9 1,2,6,9 1,2,5,9 1,3,4,9 3,7 1,3 1,4,7,9 1,6,9 1,2,5,9 1,5,9 1,5,8,9 1,2,8,9 1,2,4,5 1,9 3,4,5 1,5,7,9 1,2,9 1,5,8,9 1,2,9 3 4,5,7,8,9 3,6,7,8,9 4,6,7,8,9 4,5,6,7,8,9 4,5,6,7,8,9 4,5,7,8,9 3,4,5,6,7,8 1,6,9
2005 1,2,5,7,8,9 1,2,5,8,9 1,2,5,7,9 1,2,6,8,9 1,2,8,9 1,2,9 1,2,9 1,2,8 1,2,8,9 1,2,8 1,8,9 1,2,6,9 1,2,5,9 1,3,4,9 3,7 1,3 1,4,7,9 1,6,9 1,2,5,9 1,5,9 1,5,8,9 1,2,5,8,9 1,2,4,5 1,9 3,4,5 1,5,7,9 1,2,9 1,5,8,9 1,2,9 3 4,5,7,8,9 3,6,7,8,9 4,6,7,8,9 4,5,6,7,8,9 4,5,6,7,8,9 4,5,7,8,9 3,4,5,6,7,8 1,6,9
45
Pada tingkat kabupaten dan kota sektor jasa merupakan salah satu sektor basis yang mendominasi di setiap wilayah, hal ini berarti sektor jasa dapat menjadi andalan bagi ekspor di tingkat kabupaten dan kota. Namun di tingkat provinsi sektor ini belum mampu bersaing di pasar global, karena tidak mampu menjadi sektor basis perekonomian. Sektor pertanian merupakan sektor basis yang dimiliki oleh 27 kabupaten dan satu kota di Provinsi Jawa Timur. Hal ini berarti bahwa struktur perekonomian di kota telah berubah dari sektor primer menjadi sekunder. Kondisi ini disebababkan karena adanya tingginya permintaan lahan terhadap sektor bangunan, sektor perdagangan dan sektor industri. Pergeseran fungsi lahan ini yang diduga sebagai penyebab sektor pertanian tidak mampu menjadi sektor basis di kota-kota yang ada di Provinsi Jawa Timur. Sektor basis industri dan pengolahan hanya di miliki oleh empat kabupaten dan tiga kota di Provinsi Jawa Timur yaitu Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Gresik, Kota Kediri, Kota Malang dan
Kota Surabaya. Pada tingkat provinsi sektor ini mampu menjadi basis
perekonomian Provinsi Jawa Timur dari Tahun 2001-2003. Sektor keuangan tidak mampu menjadi sektor basis di tingkat provinsi namun sektor ini mampu berkembang di 18 wilayah di provinsi Jawa Timur. Kota kediri hanya memiliki satu sektor basis perekonomian yaitu sektor industri dan pengolahan, namun pendapatan perkapita di Kota Kediri lebih tinggi di bandingkan Kota besar lain di Provinsi Jawa Timur seperti surabaya, Kota Malang, kabupaten Sidoarjo dan lainnya. Hal ini diduga karena sektor industri dan
46
pengolahan rokok berpengaruh besar terhadap perekonomian Kota Kediri. Kabupaten dan kota yang meniliki sektor basis perekonomian terbanyak adalah Kabupaten Pacitan, Kota Pasuruan, Kota Mojokerto dan Kota Surabaya, yang masing-masing memiliki enam sektor basis perekonomian perbedaannya masingmasing kota tidak memiliki sektor basis pertanian sedangkan Kabupaten Pacitan memiliki sektor basis pertanian. Pada beberapa kabupaten dan kota sektor basis mengalami perubahan, jumlah sektor basis ada yang bertambah namun ada pula yang berkurang. Hal ini di duga karena adanya perubahan kondisi perekonomian di Provinsi Jawa timur.
5.1.2. Efek Pengganda Basis (Base Multiplier) Konsep ekonomi basis wilayah menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi pada suatu wilayah terjadi karena adanya pengganda basis dari pembelanjaan kembali pendapatan yang diperoleh dari penjualan keluar atau jasa yang dihasilkan dari wilayah tersebut. Peningkatan pendapatan suatu sektor basis dapat memberikan efek peningkatan terhadap sektor lainnya (sektor bukan basis) yang ditunjukkan oleh nilai koefisien yang dihasilkan.
Komoditi basis merupakan
suatu komoditi yang mampu dipasarkan keluar wilayah karena komoditi tersebut telah mampu memenuhi kebutuhan dalam wilayahnya. Hasil dari penjualan atau ekspor komoditi ini akan memberikan arus pendapatan ke wilayah tersebut. Koefisien pengganda basis merupakan perbandingan antara pendapatan total dengan pendapatan sektor basis.
47
Pada tabel 5.3. nilai koefisien pengganda basis berfluktuasi selama periode 2001-2005. Nilai koefisien pengganda basis tahun 2001 sebesar 1.2427, hal ini mengandung pengertian bahwa jika terjadi peningkatan pendapatan sektor basis sebesar Rp 100,000 maka total pendapatan sebesar Rp 124,270 dan pendapatan sektor bukan basis sebesar Rp 22,380. Nilai koefisien mengalami kecenderungan yang terus naik dari tahun 2002-2005. Pada tahun 2004 juga terjadi perubahan pada sektor yang menjadi sektor basis di Jawa Timur yang menjadi tiga sektor basis. Penurunan jumlah sektor basis memberikan pengaruh yang nyata pada besarnya nilai efek penggandanya. Hal ini juga mengindikasikan sumbangan yang dihasilkan dari sektor basis lebih kecil daripada sektor non basisnya. Pada tahun 2004-2005 nilai pengganda basis meningkat. Pada tahun 2004 sebesar 2.0918 dan pada tahun 2005 sebesar 2.0729 yang artinya jika terjadi kenaikan pada sektor basis sebesar Rp 100,000 maka pendaptan total akan meningkat sebesar Rp 207,290 dan Rp 107,290 sektor non basis. Hasil perhitungan nilai efek pengganda dapat dilihat pada tabel sebagai berikut : Tabel 5.3. Nilai Pengganda Basis Sektor Basis Tahun 2001-2005 BASE MULTIPLIER TAHUN 2001 2002 2003 2004 2005
Y total 210,448,570.19 218,452,389.09 228,884,458.54 242,228,892.17 256,374,726.78
Y basis 169,343,848.52 176,067,362.07 185,375,243.68 115,799,076.99 123,677,261.61
K (multiplier) 1.2427 1.2407 1.2347 2.0918 2.0729
Sumber : BPS Jawa Timur, 2005 (diolah)
Jika dilihat dari efek pengganda per sektor, maka sektor listrik memberikan sektor pengganda terbesar, walapun nilanya terus menurun. Pada tahun 2005 nilai pengganda basis sektor ini adalah 79.4115 artinya jika terjadi peningkatan
48
pendapatan sektor basis sebesar Rp 100,000 maka total pendapatan sebesar Rp 7,901,150 dan Rp 7,801,150 sektor non basis. Sektor pertanian memiliki efek pengganda yang cenderung meningkat dan stabil selama tahun 2001-2005. pada tahun 2005 nilai pengganda basis sebesar 5.7375 yang artinya jika terjadi peningkatan pendapatan sektor basis sebesar 100,000 maka total pendapatan sebesar Rp 573,750 sektor basis dan Rp 473.750 sektor non basis. Sektor pengolahan juga memperlihatkan nilai pengganda basis yang semakin meningkat dari tahun 2001-2005. Pada tahun 2005 nilai pengganda basis 3.6295 yang artinya bahwa jka terjadi peningkatan sektor basis sebesar Rp100,000 maka pendapatan total sebesar Rp 362,950 dan Rp 262,950 sektor non basis. Hasil perhitungan nilai pengganda basis persektor dapat dilihat pada tabel sebagai berikut : Tabel 5.4. Nilai Pengganda Basis Masing-masing Sektor Basis Tahun 2001-2005 TAHUN 2001 2002 2003 2004 2005
Pertanian 5.1919 5.2824 5.4310 5.5901 5.7353
BASE MULTIPLIER PER SEKTOR BASIS Pengolahan Listrik Perdagangan 3.4025 79.4115 3.9354 3.5580 69.4817 3.7711 3.5688 63.0198 3.6614 3.5874 58.0659 3.5467 3.6295 57.8783 3.4391
Pengangkutan 19.4248 178396 17.6697 17.5141 17.6544
Sumber : BPS Jawa Timur, 2005 (diolah)
5.2 Ketimpangan Pendapatan Daerah Untuk melihat kecenderungan awal terjadinya ketimpangan pendapatan terlebih dahulu menggunakan metode yang sederana yaitu menghitung indeks pendapatan dari setiap kabupaten/kota yang ada di propinsi Jawa Timur dengan
49
PDRB 100 persen dan jumlah penduduk juga 100 persen berarti memiliki indeks pendapatan sama dengan 1 (satu). Untuk setiap kabupaten/kota di Jawa Timur memiliki nilai yang bervariasi. Besarnya nilai indeks tergantung dari besarnya PDRB yang dimiliki serta besarnya jumlah penduduk di wilyah tersebut. Dengan membandingan variance dari indeks pendapatan masing-masing kabupaten/kota dalam periode waktu lima tahun diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai kecenderungan awal ketimpangan pendapatan. Dari hasil perhitungan indeks pendapatan yang telah dilakukan, diketahui ketimpangan pendapatan di Provinsi Jawa Timur mengalami kecenderungan meningkat karena perkembangan angka indeks setiap tahun bergerak menjauhi angka 1 (satu), hal ini berarti bahwa pembagian pendapatan wilayah semakin timpang. Hanya ada enam kota yang memiliki nilai indeks lebih dari satu dan mengalami peningkatan dari tahun 2001 ke tahun 2005 yaitu Kabupaten Gresik, Kota Kediri, Kota Malang, Kota Probolinggo, Kota Mojokerto, dan Kota Surabaya. Nilai indeks tertinggi periode 2001-2005 adalah Kota Surabaya dan wilayah yang memiliki nilai indeks terendah di tahun 2005 dan cenderung mengalami peningkatan ketimpangan pendapatan selama periode 2001-2005 adalah Kabupaten Pamekasan, selama periode 2001-2005 nilai indeksnya bergerak pelahan tapi menjauhi angka 1 (satu), tahun 2001 nilai indeks Kabupaten Pamekasan sebesar 0.3638 dan pada tahun 2005 menjadi 0.3475. Hasil perhitungan dapat dilihat dari tabel sebagai berikut:
50
Tabel 5.5. Indeks Pendapatan Kabupaten dan Kota Tahun 2001-2005 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38
Tahun
Kabupaten/Kota Pacitan Ponorogo Trenggalek Tulung Agung Blitar Kediri Malang Lumajang Jember Banyuwangi Bondowoso Situbondo Probolinggo Pasuruan Sidoarjo Mojokerto Jombang Nganjuk Madiun Magetan Ngawi Bojonegoro Tuban Lamongan Gresik Bangkalan Sampang Pamekasan Sumenep Kediri Blitar Malang Probolinggo Pasuruan Mojokerto Madiun Surabaya Batu Jawa Timur Variance terhadap 1
2001
2002
2003
2004
2005
0.3788 0.4828 0.4315 0.9724 0.6438 0.5812 0.7608 0.7141 0.5951 0.8455 0.4070 0.7130 0.8174 0.5810 2.0562 0.7760 0.6523 0.5743 0.5407 0.6611 0.4736 0.6086 0.7584 0.5148 1.7793 0.5046 0.4313 0.3686 0.7238 2.9872 0.7982 2.1125 1.1864 0.7749 1.3033 0.8399 3.5366
0.3731 0.4846 0.4293 0.9838 0.6434 0.5715 0.7567 0.7148 0.5976 0.8527 0.4052 0.7106 0.8201 0.5783 2.0180 0.7703 0.6535 0.5757 0.5428 0.6625 0.4690 0.6071 0.7509 0.5136 1.7797 0.4999 0.4237 0.3635 0.7232 3.0826 0.7540 2.1048 1.1912 0.7737 1.3211 0.8457 3.5498 0.8652 1 0.5064
0.3692 0.4868 0.4267 0.9916 0.6487 0.5608 0.7589 0.7141 0.5982 0.8562 0.4052 0.7114 0.8185 0.5758 1.9825 0.7637 0.6582 0.5788 0.5405 0.6643 0.4661 0.6072 0.7470 0.5127 1.7711 0.4975 0.4176 0.3608 0.7189 3.1638 0.7684 2.1096 1.1856 0.7733 1.3396 0.8552 3.5629 0.8573 1 0.5164
0.3653 0.4859 0.4233 0.9942 0.6469 0.5456 0.7615 0.7201 0.5986 0.8512 0.4064 0.7082 0.8140 0.5728 1.9428 0.7563 0.6583 0.5788 0.5355 0.6661 0.4651 0.6096 0.7373 0.5088 1.7699 0.4893 0.4075 0.3539 0.7057 3.2736 0.7794 2.1347 1.1851 0.7721 1.3380 0.8593 3.6034 0.8518 1 0.5366
0.3617 0.4834 0.4209 0.9969 0.6490 0.5311 0.7602 0.7174 0.6018 0.8476 0.4060 0.7069 0.8090 0.5713 1.9202 0.7508 0.6583 0.5816 0.5359 0.6683 0.4611 0.6251 0.7317 0.5094 1.7874 0.4827 0.3961 0.3475 0.6855 3.2970 0.7854 2.1250 1.1890 0.7684 1.3283 0.8650 3.6364 0.8501 1 0.5447
1 0.5078
Sumber : BPS Jawa Timur, 2005 (diolah)
Trend ketimpangan juga menunjukkan bahwa ketimpangan pendapatan semakin meningkat, trend ketimpangan Jawa Timur dilakukan dengan mengukur variance terhadap 1, untuk melihat seberapa jauh nilai indeks masing-masing
51
daerah tersebar diantara 1 (karena satu adalah nilai indeks untuk propinsi dan berarti merata sempurna). Jika variance terhadap 1 (satu) semakin besar maka semakin timpang hal ini berarti ketimpangan pendapatan antar wilayah di Propinsi Jawa Timur meningkat. Pada tahun 2001 nilai variance terhadap 1 adalah 0.5078 dan terus meningkat secara pasti sampai pada tahun 2005 nilai variance terhadap 1 sebesar 0.5447. peningkatan nilai trend ketimpangan di Jawa Timur terlihat pada gambar
variance terhadap 1
sebgai berikut : 0.55
0.5447 0.5366
0.54 0.53 0.52 0.51
Series1 0.5164 0.50780.5064
0.5 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 tahun
Gambar 5.1 Grafik Trend Koefisien Variance Terhadap 1 Kecenderungan lain untuk mengamati tingkat ketimpangan pendapatan dengan cara melihat range indeks pendapatan dari yang tertinggi dan terendah. Diketahui bahwa nilai indeks tertinggi pada tahun 2001 adalah Kota Surabaya sebesar 3.5366 yang merupakan 9.3363 kali lipat dari nilai indeks yang terendah yaitu Kabupaten Pacitan sebesar 0.3788. Kemudian pada pada tahun 2005 nilai indeks yang tertinngi tetap Kota Surabaya sebesar 3.6364 dan terendah adalah Kabupaten Pamekasan sebesar 0.3475, nilai indeks tertinngi tahun 2005 menjadi
52
10.4646 kali lipat dari nilai terendahnya. Kondisi range yang semakin melebar ini berarti bahwa ketimpangan semakin meningkat.
5.2.1. Analisis Ketimpangan Pendapatan Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam penghitungan ketimpangan pendapatan daerah dalam penelitian ini menggunakan rumus atau formula yang diperkenalkan oleh Williamson (1965) yang disebut CV Williamson (CVw). Semakin besar nilainya maka tingkat ketimpangan pendapatan daerah semakin besar dan sebaliknya jika nilainya semakin kecil atau mendekati nol maka tingkat ketimpangan rendah (merata). Setelah dilakukan perhitungan dengan menggunakan rumus tersebut, maka diperoleh bahwa perhitungan nilai indeks ketimpangan pendapatan di Jawa Timur dalam kurun waktu 2001-2005 terus meningkat ini mengindikasikan bahwa ketimpangan pendapatan yang terjadi di Jawa Timur kurang baik artinya cenderung bahwa ketimpangan pendapatan antar wilayah juga meningkat. Ketimpangan pendapatan di Provinsi Jawa Timur termasuk dalam kategori ketimpangan maksimal karena nilai indeks ketimpangan lebih besar dari 1 (satu), dari hasil perhitungan tersebut juga mengindikasikan bahwa upaya pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk menciptakan pemerataan pendapatan belum optimal. Tingkat ketimpangan Jawa Timur berflutuatif, tingkat ketimpangan tahun 2001 sebesar 1.1150 kondisi ini mulai menurun tahun 2002 menjadi 1.1008 nanum meningkat kembali tahun 2003-2004.
53
Pada Tabel 5.6. ditunjukkan bahwa pendapatan perkapita Provinsi Jawa Timur selama periode 2001-2005 mengalami pertumbuhan yang semakin membaik ini dapat dilihat dari jumlah pendapatan perkapita rata-rata propinsi Jawa Timur yang terus meningkat. Pada tahun 2001 pendapatan perkapita Jawa Timur sebesar Rp. 6.2809 juta per orang angka ini terus meningkat setiap tahunnya dan pada tahun 2005 mencapai Rp. 6.9292 juta per orang. Namun peningkatan pendapatan perkapita tidak dapat menjadi tolak ukur bahwa ketimpangan pendapatan antar wilayah di Jawa Timur menurun, karena ternyata ini
berlawanan
dengan
hasil
perhitungan
nilai
ketimpangannya.
Hasil
penghitungan analisis ketimpangan pendapatan di Provinsi Jawa Timur periode 2001-2005 dapat dilihat dari tabel sebagai berikut: Tabel 5.6. Indeks Ketimpangan pendapatan dan Pendapatan Perkapita Rata-rata di Propinsi Jawa Timur Tahun 2001-2005 No
Tahun
1 2 3 4 5
2001 2002 2003 2004 2005
Indeks Ketimpangan Pendapatan 1.1150 1.1008 1.1015 1.1104 1.0915
Pendaptan Perkapita (juta rupiah) 6.2809 6.3023 6.5176 6.7825 6.9292
Sumber: BPS Jawa Timur, 2005 (diolah)
5.2.2. Peranan Sektor Basis dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan Daerah di Provinsi Jawa Timur Dalam menganalisis peranan sektor basis dalam mengurangi ketimpangan pendapatan daerah di Provinsi Jawa Timur dilakukan dengan cara menghitung selisih antara indeks ketimpangan dengan memasukkan PDRB sektor basis dengan indeks ketimpangan tanpa memasukkan PDRB sektor basis. Besarnya nilai selisih menunjukkan peranan sektor basis tersebut dalam mengurangi
54
ketimpangan pendapatan antar daerah di Provinsi Jawa Timur. Masisng-masing sektor basis memilki peranan yang berbeda terhadap tingkat ketimpanngan pendapatan di Jawa Timur. Perhitungan besar peranan masing-masing sektor basis dapat dilihat pada penjelasan berikut.
5.2.2.1. Peranan Sektor Basis Pertanian dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan di Provinsi Jawa Timur Dari hasil perhitungan bahwa sektor basis pertanian memberikan kontribusi yang besar dalam mengurangi tingkat ketimpangan pendapatan di Jawa Timur. Nilai indeks ketimpangan dengan mengeluarkan PDRB sektor basis pertanian lebih tinggi dibandingkan nilai indeks dengan memasukkan PDRB sektor basis pertanian. Hal ini juga mengindikasikan bahwa perkembangan sektor basis pertanian mampu menekan tingkat ketimpangan pendapatan antar daerah. Hasil perhitungan indeks ketimpangan pendapatan Propinsi Jawa timur dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 5.7. Indeks Ketimpangan Pendapatan Dengan dan Tanpa Sektor Basis Pertanian Provinsi Jawa Timur Tahun 2001-2005 Tahun
Indeks Ketimpangan Pendapatan
2001 2002 2003 2004 2005
1.1150 1.1008 1.1015 1.1104 1.0915
Indeks Ketimpangan Tanpa Sektor Basis Pertanian 1.3850 1.3711 1.3668 1.3709 1.3497
Presentase Ketimpangan Pendapatan (%) 19.49 19.71 19.41 19.00 19.13
Sumber: BPS Jawa Timur 2005 (diolah)
Indeks ketimpangan Jawa Timur tanpa sektor pertanian pada tahun 2001 sebesar 1.3850 sedangkan 1.1150 dengan memasukkan sektor basis pertanian, ini berarti bahwa sektor pertanian mampu memberikan kontribusi sebesar 19.49 persen terhadap penurunan tingkat ketimpangan pendapatan.
55
Pada Tabel 5.7. dapat dilihat apabila kontribusi sektor pertanian dalam penurunan ketimpangan naik maka nilai indeks ketimpangan menurun artinya tingkat ketimpangan juga menurun. Sektor basis pertanian merupakan sektor basis yang paling besar memberikan kontribusi dalam mengurangi tingkat ketimpangan dibandingkan sektor basis lainnya.
5.2.2.2. Peranan Sektor Basis Industri Pengolahan dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan di Provinsi Jawa Timur Jika dilihat dari sisi peranannya sektor industri pengolahan memiliki peranan terbesar terhadap PDRB Jawa Timur. Terutama sektor makanan, minuman dan tembakau. Sektor ini juga mampu menjadi sektor basis di Jawa Timur hingga tahun 2003. Namun jika dilihat dari peranannya terhadap ketimpangan pendapatan sektor ini memberikan peran yang negatif artinya nilai indeks ketimpangan tanpa memasukkan PDRB sektor pengolahan nilainya lebih rendah. Hal ini berarti sektor pengolahan menyebabkan peningkatan terhadap ketimpangan. Pada tahun 2001 nilai indeks ketimpangan tanpa sektor pengolahan sebesar 0.7129 sedangkan dengan sektor pengolahan sebesar 1.1150 hal ini berarti sektor pengolahan telah memberikan kontribusi terhadap tingkat kenaikan ketimpangan sebesar 56.40 persen. Kondisi ini terjadi diduga karena sektor pengolahan ini hanya terpusat beberapa wilayah saja seperti Kota Kediri, Kota Surabaya yang selama ini merupakan kota pusat pertumbuhan. Sektor ini memberikan kontribusi yang besar terhadap tingkat pertumbuhan pendapatan daerah dan bukan tingkat pemerataan pendapatan. Dari tahun 20032005 sektor ini menunjukkan kondisi yang semakin membaik dalam ketimpangan
56
pendapatan hal ini dikarenakan sektor ini semakin memberikan dampak yang semakin kecil terhadap peningkatan ketimpangan pendapatan Jawa Timur. Nilai indeks ketimpangan dengan dan tanpa sektor basis pengolahan dapat dilihat pada tabel dibawah ini: Tabel 5.8. Indeks Ketimpangan Dengan dan Tanpa Sektor Industri dan Pengolahan Propinsi Jawa Timur Tahun 2001-2005 Tahun
Indeks Ketimpangan Pendapatan
Indeks Ketimpangan Tanpa Sektor Basis Pengolahan
2001 2002 2003 2004 2005
1.1150 1.1008 1.1015 1.1104 1.0915
0.7129 0.7264 0.7362 0.7561 0.7696
Presentase Ketimpangan Pendapatan (%) -56.40 -39.50 -49.61 -46.85 -41.82
Sumber : BPS Jawa Timur, 2005 (diolah)
5.2.2.3. Peranan Sektor Basis Listrik, Gas dan Air Bersih dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan di Provinsi Jawa Timur Sektor listrik, gas dan air bersih merupakan sektor yang mampu menjadi sektor basis selama periode 2001-2005, artinya sektor ini mampu bertahan dalam guncangan perekonomian. Walupun sektor ini merupakan sektor yang memberikan kontribusi terendah terhadap PDRB Jawa Timur. Perkembangan sektor ini juga mempengaruhi sektor lain terutama sektor industri. Dilihat dari peranannya dalam mengurangi ketimpangan pendapatan sektor ini hanya mampu memberi kontribusi yang sangat kecil. Dilihat dari perkembangannya kontribusi sektor listrik, gas dan air bersih dalam mengurangi tingkat ketimpangan pendapatan terus menurun. Tahun 2001 sektor ini masih memberi kontribusi sebesar 2.53 persen. Tetapi pada tahun 2005 hanya sebesar 0.07 persen. Hal ini karena perkembangan sektor yang bergantung pada sektor listrik juga terpusat pada daerah-daerah tertentu. Nilai indek ketimpangan dengan
57
dan tanpa sektor basis listrik, gas dan air bersih dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 5.9. Indeks Ketimpangan Pendapatan Dengan dan Tanpa Sektor Listrik, Gas&Air Bersih Provinsi Jawa Timur Tahun 2001-2005 Tahun
Indeks Ketimpangan Pendapatan
2001 2002 2003 2004 2005
1.1150 1.1008 1.1015 1.1104 1.0915
Indeks Ketimpangan Tanpa Sektor Basis Listrik, Gas&Air Bersih 1.1440 1.1269 1.1028 1.1117 1.0923
Presentase Ketimpangan Pendapatan (%) 2.53 2.31 0.11 0.16 0.07
Sumber : BPS Jawa Timur, 2005 (diolah)
5.2.2.4. Peranan Sektor Basis Perdagangan, Hotel dan Restoran dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan di Provinsi Jawa Timur Dilihat dari perkembangannya kontribusi sektor perdagangan, hotel dan restoran dalam mengurangi tingkat ketimpangan pendapatan terus menurun. Tahun 2001 sektor ini masih memberi kontribusi sebesar 0.14 persen. Tetapi pada tahun 2002-2005 peranan sektor ini terus melemah, hal ini di indikasikan dari nilai kontribusi yang negatif yang berarti bahwa sektor perdagangan, hotel dan restoran menyebabkan peningkatan ketimpangan. Tahun 2002 nilai presentase penurunan ketimpangan pendapatan sebesar 0.62 persen artinya bahwa sektor perdagangan, hotel dan restoran meningkatkan ketimpangan pendapatan di Jawa Timur sebesar 0.62 persen. Nilai ini terus meningkat dari tahun 2003-2005. Jika dilihat dari peranan terhadap pembentukkan PDRB Jawa Timur sektor ini selalu menduduki peringkat kedua setelah sektor industri dan pengolahan. Kondisi ini diduga karena perkembangan sektor perdagangan yang pesat hanya terjadi dikota-kota besar di Jawa Timur. Hal ini juga mengindikasikan bahwa effec trikle down dari pembangunan sektor industri
58
dan pengolahan tidak berjalan dengan optimal di Jawa Timur. Nilai indeks ketimpangan dengan dan tanpa sektor perdagangan, hotel dan restoran dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 5.10. Indeks Ketimpangan Pendapatan Dengan dan Tanpa Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran Provinsi Jawa Timur Tahun 2001-2005 Tahun
Indeks Ketimpangan Pendapatan
2001 2002 2003 2004 2005
1.1150 1.1008 1.1015 1.1104 1.0915
Indeks Ketimpangan Tanpa Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran 1.1166 1.0940 1.0944 1.1008 1.0740
Presentase Ketimpangan Pendapatan (%) 0.14 -0.62 -0.64 -0.87 -1.62
Sumber : BPS Jawa Timur, 2005 (diolah)
5.2.2.5. Peranan Sektor Basis Pengangkutan dan Komunikasi dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan di Provinsi Jawa Timur Dilihat dari perkembangannya kontribusi sektor pengangkutan dan komunikasi dalam mengurangi tingkat ketimpangan pendapatan terus menurun. Dari tahun 2001-2005 nilai indeks ketimpangan pendapatan dengan sektor basis lebih kecil dari indeks ketimpangan pendapatan tanpa sektor basis pengangkutan dan komunikasi. Pada tahun 2001 nilai indeks ketimpangan tanpa sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar 1.1266 sedangkan dengan sektor pengolahan sebesar 1.1150 berarti sektor pengangkutan dan komunikasi mampu berperan sebesar 1.02 persen dalam mengurangi tingkat ketimpangan pendapatan di Jawa Timur. Pada tahun 2005 nilai ketimpangan tanpa sektor basis sebesar 1.0947 dan dengan sektor basis 1.0915 artinya bahwa pada tahun 2005 sektor basis pengangkutan dan komunikasi hanya mampu berperan 0.29 persen dalam
59
mengurangi ketimpangan pendapatan di Jawa Timur. Nilai indeks ketimpangan dengan dan tanpa sektor pengangkutan dan komunikasi dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 5.11. Indeks Ketimpangan Pendapatan Dengan dan Tanpa Sektor Pengangkutan dan Komunikasi Provinsi Jawa Timur Tahun 20012005 Tahun
Indeks Ketimpangan Pendapatan
2001 2002 2003 2004 2005
1.1150 1.1008 1.1015 1.1104 1.0915
Indeks Ketimpangan Tanpa Sektor Pengankutan dan Komunikasi 1.1266 1.1085 1.1091 1.1183 1.0947
Presentase Ketimpangan Pendapatan (%) 1.02 0.69 0.68 0.70 0.29
Sumber : BPS Jawa Timur, 2005 (diolah)
5.3. Perbandingan antara Nilai Loction Quotient (LQ), Perananan dan Presentase Ketimpangan Pendapatan Sektor Basis di Provinsi Jawa Timur Tahun 2001-2005 Apabila dilihat dari perbandingan antara nilai LQ, Presentase ketimpangan pendapatan dan peranan sektor basis perekonomian, menunjukkan bahwa peranan sektor pertanian cenderung menurun dari tahun 2001-2005. Hal ini berdampak pula pada penurunan nilai LQ hingga tahun 2004 dan nilai indeks ketimpangan tanpa sektor pertanian hingga tahun 2004. Pada sektor industri dan pengolahan menunjukkan cenderung meningkat, akan tetapi sektor ini tidak mampu menjadi sektor basis pada tahun 2004-2005 berarti nilai LQ cenderung menurun, sedangkan dilihat dari peranan dalam mengurangi tingkat ketimpangan tanpa menggunakan sektor industri maka presentase terhadap ketimpangan negatif. Pada sektor listrik menunjukkan nilai LQ yang semakin meningkat namun dilihat dari peranannya semakin menurun dalam ketimpangan pendapatan. Sektor pengangkutan dan komunikasi menunjukkan peranan yang cenderung menurun
60
dalam perekonomian, nilai LQ dan presentase ketimpangan pendapatannya. Pada sektor perdagangan, hotel dan restoran peranannya dalam perekonomian provinsi Jawa Timur semakin meningkat, nilai LQ juga semakin meningkat, namun dari presentase ketimpangan pendapatan, sektor ini menyebabkan nilai ketimpangan yang meningkat. Hasil perbandingan ini dapat dilihat pada Lampiran 11.
61
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan 1. Hasil perhitungan nilai LQ diseluruh sektor perekonomian berdasarkan indikator pendapatan daerah yaitu PDRB atas dasar harga konstan 2000 terdapat lima sektor yang menjadi basis perekonomian Provinsi Jawa Timur pada tahun 2001-2003 yaitu sektor pertanian, sektor industri dan pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih, sektor perdagangan, hotel dan restoran, dan sektor pengangkutan dan komunikasi. Pada tahun 2004-2005 terdapat tiga sektor basis yaitu sektor pertanian, sektor listrik, gas dan air bersih dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Hal ini ditunjukkan dari nilai LQ sektor tersebut lebih besar dari 1 (satu) dan berarti bahwa sektor-sektor tersebut berperan dalam kegiatan ekspor daerah. 2. Ketimpangan pendapatan di Propinsi Jawa Timur termasuk dalam kategori ketimpangan sangat tinggi karena nilai indeks ketimpangan lebih besar dari 1 (satu), besar nilai ketimpangan dari tahun 2001-2005 yaitu 1.1150, 1.1008, 1.1015, 1.1104, 1.0915 dari hasil perhitungan tersebut juga mengindikasikan bahwa upaya pemerintah Propinsi Jawa Timur untuk menciptakan pemerataan pendapatan belum optimal. 3. Sektor basis yang memiliki peranan besar dalam mengurangi tingkat pendapatan terbesar di Jawa Timur adalah sektor pertanian rata-rata sebesar 19 persen. Sektor basis lainnya seperti sektor listrik, gas dan air bersih dan sektor pengangkutan dan komunikasi hanya berperan kecil dalam mengurangi tingkat
62
ketimpangan rata-rata di bawah 3 persen. Namun sektor industri dan pengolahan, dan sektor perdagangan justru memberikan dampak yang negatif terhadap ketimpangan dan menyebabkan kenaikan tingkat ketimpangan ratarata selama perode pengamatan sebesar 45 persen. Jadi tidak semua sektor basis dapat berperan dalam mengurangi ketimpangan pendapatan.
6.2 Saran 1. Saran yang dapat direkomendasikan kepada pemerintah daerah adalah dapat memprioritas pembangunan yang diarahkan kepada pengembangan sektor basis perekonomian dari tingkat kabupaten dan kota karena terbukti mampu memberi kontribusi yang besar terhadap pendapatan daerah dari sisi ekspor daerah dan mampu mendorong sektor pertumbuhan sektor lain atau sektor non basis. 2. Pemerintah daerah diharapkan juga dapat memberikan perhatian yang besar terhadap pengembangan sektor non basis yang memiliki laju pertumbuhan yang tinggi dan memiliki peranan yang besar dalam pembentukan PDRB di Provinsi Jawa Timur seperti sektor industri dan pengolahan, sektor perdagangan, hotel dan restoran, dan sektor listrik, gas dan air bersih. 3. Pengembangan sektor basis maupun sektor non basis dikembangkan sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh masing-masing wilayah. Misal wilayah kabupaten yang didominasi sektor basis perekonomian pertanian, maka sektor ini harus mendapat perhatian yang serius, dengan menjalin kerjasama dengan institusi atau badan penelitian pertanian untuk pengembangan bibit unggul,
63
pupuk, dan mengadakan penyuluhan pertanian di lapang. Wilayah perkotaan yang memiliki sektor basis perekonomian di sektor industri dan sektor perdagangan harus mampu dipertahankan. Jadi pemerintah diharapkan mampu mengembangkan kemajuan daerah yang tertinggal dan tetap mempertahankan kemajuan sektor-sektor di wilayah yang telah maju.
Lampiran 11. Nilai Loction Quotient (LQ), Perananan dan Presentase Ketimpangan Pendapatan Sektor Basis di Provinsi Jawa Timur Tahun 2001-2005 Nilai LQ Sektor Basis
LAPANGAN USAHA Pertanian Industri dan Pengolahan Listrik. Gas & Air Bersih Perdag. Hotel & Restoran Pengangkutan & Komunikasi
2001 1.2391 1.0873 2.0024 1.5687
2002 1.2302 1.0087 2.1952 1.6407
2003 1.2080 1.0003 2.4182 1.6792
2004 1.1989 0.9825 2.6178 1.7225
2005 1.2030 0.9815 2.6110 1.7321
1.0551
1.1076
1.0444
0.9761
0.9058
Peranan Sektor Basis dalam Perekonomian 2001 2002 2003 2004 2005 19,77 19,04 18,24 17,58 17,24 29,66 29,31 29,50 29,61 29,99 1,35 1,62 1,76 2,05 1,89 24,57 25,35 26,08 26,71 27,17 5,18
5,67
5,71
5,52
5,53
Presentase Indeks Ketimpangan 2001 19,49 -56,4 2,53 0,14
2002 19,71 -39,5 2,31 -0,62
2003 19,41 -49,61 0,11 -0,64
2004 19,00 -46,8 0,16 -0,87
2005 19,13 -41,8 0,07 -1,62
1,02
0,69
0,68
0,70
0,29