3. PEMBANGUNAN AGROINDUSTRI BERBASIS KLASTER 3.1. Konsep Klaster Secara harfiah pengertian klaster (cluster) adalah pengelompokan suatu kegiatan yang sejenis dalam lingkup wilayah tertentu. Dalam pengertian yang lebih sempit, klaster diterjemahkan sebagai sentra industri yang merupakan aglomerasi kegiatan industri sejenis. Sejalan dengan perubahan lingkungan global, maka pengertian konsep klaster menjadi berkembang dan semakin luas lingkupnya, sehingga klaster industri tidak dapat lagi dipandang sebagai sentra industri yang menekankan pada lokalisasi atau status demografi, tetapi klaster industri lebih memberikan penekanan pada aglomerasi perusahaan yang membentuk kerjasama strategis dan komplementer serta memiliki hubungan yang intensif. Pola hubungan yang terjadi pada pendekatan klaster terdiri dari pola hubungan horizontal antar pesaing yang bergerak pada bidang yang sama dan pola hubungan vertikal antar perusahaan yang tidak sejenis yang berada pada suatu rantai nilai produk (Roelandt et al., 2002). Kelahiran suatu klaster dapat disebabkan oleh berbagai hal. Menurut Doeringer dan Terkla (1995) dan Rodriguez-Clare (2005) klaster industri lahir karena terdapatnya pengaruh luar yang menguntungkan (positive externalities), sedangkan lokasi yang spesifik untuk tiap klaster terjadi secara kebetulan atau karena biaya untuk membangun perusahaan di lokasi tersebut lebih rendah daripada tempat lain. Enright et al., (2000) menyatakan bahwa banyak klaster yang berawal dari terdapatnya kondisi faktor lokal yang spesifik, permintaan pasar lokal atau industri terkait. Namun demikian, kelahiran suatu klaster tidak dapat dipaksakan. Porter (1998) menyatakan bahwa kelahiran suatu klaster di suatu lokasi karena terdapatnya bagian dari porters diamond yang dapat dimanfaatkan. Motivasi utama yang mendorong terbentuknya klaster adalah ketersediaan faktor pendukung, yaitu: permintaan pasar yang spesifik, teknologi, keahlian atau keterampilan khusus, fasilitas riset, pengembangan lembaga pendidikan, lokasi
17
yang baik atau tersedianya sumberdaya dan infrastruktur yang sesuai, atau karena timbulnya kesempatan. Menurut Le Veen (1998), perkembangan klaster dipengaruhi oleh beberapa faktor kunci, antara lain transfer teknologi dan pengetahuan, pengembangan tenaga kerja terampil pada industri terkait, manfaat-manfaat dari aglomerasi dan infrastruktur sosial yang terbentuk. Persaingan merupakan kekuatan yang akan mendorong perkembangan klaster karena akan mendorong perusahaan agar lebih inovatif, sehingga akan melakukan perbaikan dan pengembangan teknologi baru (Porter, 1990). Kegiatan tersebut akan mendorong terjadinya spin off, menstimulasi kegiatan penelitian dan mendorong diterapkannya keterampilan dan jenis pelayanan baru. Adanya kebutuhan tenaga kerja dengan keterampilan yang sama dan terjadinya perpindahan tenaga kerja antar perusahaan dalam klaster juga akan mempercepat transfer pengetahuan, sehingga pada akhirnya akan meningkatkan persaingan dan pertumbuhan klaster. Menurut Doeringer dan Terkla (1995) aglomerasi juga sangat berperan dalam perkembangan klaster. Kedekatan lokasi perusahaan menyebabkan rendahnya biaya trasportasi dan biaya transaksi serta kemudahan dalam memperoleh tenaga kerja yang dibutuhkan. Aglomerasi juga akan mendorong persaingan melalui trasfer teknologi dan pengetahuan diantara perusahaan, sehingga dapat memunculkan industri baru yang menyebabkan klaster menjadi lebih besar. Kesempatan untuk berinteraksi secara langsung sangat membantu perusahaan kecil, sehingga dapat mengetahui informasi tentang market nische yang dapat dilayani. Kedekatan antar perusahaan dalam klaster juga dapat meningkatkan efisiensi keseluruhan proses produksi karena peningkatan teknologi dan inovasi dapat dilakukan secara cepat. Pengembangan klaster akan memberikan beberapa manfaat, antara lain adanya persaingan antara perusahaan tertentu akan menimbulkan persaingan antara perusahaan lain dalam klaster, sehingga dapat memacu timbulnya diversifikasi produk baru atau klaster baru. Pendatang baru dalam klaster menyebabkan peningkatan
melalui
diversifikasi
dalam
penelitian,
pengembangan
dan
18
memperkenalkan strategi atau keterampilan baru. Pergerakan informasi secara bebas dan menyebar dengan cepat kepada para pemasok dan para pelanggan melalui supply chan akan berdampak pada pengurangan biaya, diferensiasi, kemajuan teknologi dan ruang gerak yang lebih baik dalam rantai nilai. Adanya interkoneksi di dalam klaster akan menghasilkan cara-cara baru untuk bersaing dan kesempatan untuk diversifikasi produk melalui penghematan biaya, penurunan harga maupun proses yang lebih efektif. Pada akhirnya pengembangan klaster akan mendorong pertumbuhan dan berperan dalam menciptakan dorongan untuk diferensiasi (Cheney, 2002). Dalam beberapa hal, pengembangan kebijakan klaster memiliki beberapa kekurangan. Rosenfield (1995) menyatakan bahwa kebijakan klaster dapat menyebabkan terjadinya over-specialization dalam suatu ekonomi, sehingga jika industri dalam klaster mengalami kegagalan, maka akan menyebabkan resesi terhadap seluruh kegiatan ekonomi di wilayah tersebut. Kebijakan klaster juga cenderung lebih sesuai hanya untuk perusahaan skala kecil, karena perusahaanperusahaan multinasional yang mendominasi perekonomian saat ini cenderung tidak menghargai sikap saling percaya yang diperlukan untuk kesuksesan suatu klaster. Selain itu kemajuan teknologi komunikasi saat ini, menyebabkan perusahaan tidak memperoleh keunggulan kompetitif dari kedekatan geografis. Glasmeier dan Harrison (1997) menyatakan bahwa pengembangan klaster hanya sesuai untuk daerah yang sudah memiliki ekonomi yang beragam yang mampu mendukung pasar yang baru dan diversifikasi. Kemampuan klaster menjawab perubahan pasar dan teknologi yang bersifat lambat menyebabkan klaster cenderung menolak perubahan besar, karena akan mengakibatkan perubahan drastis dari proses yang sudah ada yang telah membawa kesuksesan.
3.2. Klaster Berbasis Komoditas Unggulan Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan suatu daerah dalam menumbuhkan klaster di lokasi daerahnya adalah adanya keunggulan daerah, baik berupa lembaga penelitian atau perguruan tinggi maupun sumberdaya (Brenner, 2004). Keunggulan sumberdaya meliputi adanya ketersediaan
19
sumberdaya manusia maupun sumberdaya alam (komoditas unggulan daerah). Menurut Bantacut (2002) secara teoritis dan faktual tidak semua komoditi di suatu daerah mempunyai keunggulan dibandingkan dengan komoditas yang sama di daerah lain. Komparasi tersebut menyebabkan adanya prioritas komoditas yang menghasilkan keunggulan. Keunggulan tersebut selanjutnya dapat digunakan sebagai stimulan dalam pembangunan klaster dan pembentukan faktor-faktor pendukung lainnya. Pengembangan klaster berbasis komoditas unggulan menuntut konsentrasi pembangunan dengan prioritas utama pada pemanfaatan keunggulan termasuk minimisasi kendala, infrastruktur, kebijakan dan kelembagaan. Namun demikian pembangunan klaster berbasis komoditas unggulan harus bersifat terpadu melibatkan semua sektor terkait, sehingga dapat menimbulkan efek multifikasi pada sektor terkait maupun sektor lainnya. Pendekatan pembangunan berbasis komoditas unggulan disajikan pada Gambar 3.1.
Sektor Terkait
Sektor Pendukung
Komoditas Unggulan
• • • •
Optimasi keuntungan ekonomi Peyerapan tenaga kerja Akumulasi kapital Distribusi pendapatan
Kelembagaan
Gambar 3.1. Pendekatan pembangunan berbasis komoditas unggulan (Bantacut, 2002) Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa peluang pembangunan di suatu daerah lebih ditentukan oleh kualitas sumberdaya manusia dan tersedianya jaringan sosial dan jaringan institusi di daerah yang bersangkutan (Blakely & Bradshaw, 2002). Perkembangan teknologi telah mengubah pandangan tradisional yang menyatakan bahwa lokasi merupakan faktor penentu dalam pengembangan
20
industri. Ketergantungan terhadap sumberdaya alam tertentu di suatu daerah telah diupayakan untuk dikurangi dan diganti dengan pengetahuan yang lebih fleksibel sebagai inputnya. Pada umumnya klaster yang ada di negara berkembang masih bersifat embrio dengan
skala
yang masih
kecil
(Knorringa
&
Meyer-Stamer,
1998).
Perkembangan klaster menjadi bentuk yang ideal memerlukan waktu dan proses yang panjang. Sebagai contoh, klaster agroindustri anggur di Australia mengalami kebangkitan dalam kurun waktu dua puluh tahun. Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan klaster industri anggur di Australia adalah penerapan prinsip nilai tambah pada proses dan produk yang dihasilkan. Perkembangan produk dari anggur curah menjadi anggur siap konsumsi memberikan nilai tambah hingga lima kali lipat. Sebagian besar industri pengolahan anggur juga didominasi oleh industri kecil menengah hingga saat ini. Klaster industri Victoria sebagai kumpulan industri anggur terbesar di Australia memiliki 336 industri yang kebanyakan termasuk klasifikasi industri kecil menengah (IKM) dengan jumlah pemasok mencapai 708 buah, organisasi anggur sebanyak 187 organisasi dan distributor yang terlibat dalam klaster industri mencapai 154 buah. Menurut Taufiq (2004), konsep klaster diartikan sebagai pusat perekonomian dalam suatu wilayah yang merupakan kelompok perusahaan, yang ditandai oleh tumbuhnya pengusaha-pengusaha yang menggunakan teknologi lebih maju, berkembang spesialisasi proses produksi pada perusahaan-perusahaan dan kegiatan ekonominya saling terkait dan saling mendukung. Dalam klaster yang telah berkembang dengan baik, kelompok usaha yang terdapat dalam kesatuan geografis bukan saja melibatkan usaha yang saling terkait mulai dari hulu sampai hilir, tetapi juga terdapat aktivitas-aktivitas jasa yang menunjang seperti lembaga penelitian dan pengembangan yang menunjang aktivitas usaha dalam klaster. Perkembangan klaster tersebut merupakan kelanjutan dari pengembangan usaha kecil menengah (UKM) dan sentra industri. Orientasi UKM dan sentra industri pada sumberdaya alam dan sumberdaya lokal hanya dapat menghasilkan komoditas unggulan komparatif pada masing-masing
21
wilayah, sehingga kesinambungannya sangat rentan. Bertitik tolak dari karakteristik dan kelemahan UKM, maka pemerintah dalam mengembangkan sentra juga mengembangkan Business Development Services Provider (BDSP) serta fasilitasi pembiayaan bagi UKM melalui pengembangan sistem pembiayaan dana bergulir yang disalurkan oleh lembaga Koperasi Simpan Pinjam (KSP) atau Unit Simpan Pinjam Koperasi (USP). Ketiga komponen ini yaitu sentra, BDS dan KSP/USP dikembangkan secara terintegrasi untuk memberdayakan UKM, dimana strategi ini dikenal dengan istilah pemberdayaan UKM berbasis sentra. Pengembangan sentra ini merupakan bagian penting dari upaya memberdayakan UKM lebih lanjut menuju bentuk klaster. Sentra industri yang prospektif akan membutuhkan aktivitas usaha di sektor penyedia bahan baku, pemasaran, penelitian dan pengembangan, pengujian mutu, asuransi, dan lain sebagainya sebagai bentuk dari sebuah klaster.
Model klaster yang ideal adalah sinergi
beberapa aktivitas usaha UKM yang saling terkait baik dari aspek proses produksi yang melibatkan UKM di sektor hulu dan hilir, maupun usaha jasa yang dikembangkan oleh UKM sebagai penunjang aktivitas bisnis dalam klaster (Taufiq, 2004). Tujuan utama pembangunan ekonomi daerah adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat
dengan
memanfaatkan
keunggulan
daerah
secara
optimal.
Keunggulan daerah tersebut antara lain sumberdaya alam, infrastruktur, sumberdaya manusia, keberadaan lembaga pendidikan dan pelatihan dan sosial budaya masyarakat. Blakely dan Bradshaw (2002) menyatakan bahwa terdapat dua kumpulan teori yang dapat membantu membantu memahami proses pembangunan daerah, yaitu teori-teori lokasi dan teori-teori basis ekonomi. Teori lokasi (location theories) menyatakan bahwa pertumbuhan suatu daerah sangat ditentukan oleh kesesuaian daerah tersebut untuk lokasi suatu industri. Variabel yang mempengaruhi pemilihan lokasi tersebut antara lain biaya trasportasi bahan baku dan produk, biaya tenaga kerja, biaya energi, adanya pemasok bahan baku dan bahan pembantu, komunikasi yang lancar, tersedianya fasilitas pendidikan dan pelatihan, kualitas pelayanan dari pemerintah setempat dan masalah sanitasi pelayanan kesehatan. Teori basis ekonomi (economic base theories) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi di suatu daerah berkaitan langsung dengan
22
permintaan daerah lain terhadap barang atau jasa yang diproduksi di daerah tersebut. Pertumbuhan industri yang menggunakan sumberdaya lokal termasuk tenaga kerja dan bahan-bahan lainnya untuk menghasilkan produk yang diekspor ke daerah lain akan mendatangkan kekayaan dan lapangan kerja untuk daerah tersebut. Lebih lanjut Blakely dan Bradshaw (2002) menyatakan bahwa teoriteori pembangunan daerah yang ada tidak cukup menjelaskan dan mengarahkan kegiatan pembangunan daerah, sehingga diperlukan reformulasi konsepsikonsepsi penting dari berbagai teori yang ada. Reformulasi pembangunan daerah dari berbagai teori disajikan pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1. Reformulasi komponen pembangunan ekonomi daerah Komponen Lokasi
Konsep lama Lokasi fisik (dekat dengan sumberdaya alam, transportasi, pasar) mempertinggi nilai ekonomi
Sumber lapangan kerja
Makin banyak perusahaan akan menciptakan lebih banyak lapangan kerja, walaupun dengan tingkat upah yang rendah
Basis bisnis dan ekonomi
Perusahaan dan industri berbasis ekspor menciptakan lapangan kerja dan menstimulasi peningkatan bisnis lokal
Sumberdaya komunitas
Pengembangan ekonomi masyarakat dilakukan oleh organisasi bisnis secara terpisahpisah
Konsep baru Lingkungan yang berkualitas dan kemampuan komunitas melipatgandakan keunggulan alami untuk pertumbuhan ekonomi Pengembangan keterampilan yang komprehensif dan inovasi teknologi akan menghasilkan pekerjaan yang berkualitas dengan upah tinggi Klaster-klaster dari industri yang kompetitif yang membentuk jaringan berbagai perusahaan dapat menciptakan pertumbuhan dan pendapatan baru. Kolaborasi dan kemitraan dari banyak kelompok masyarakat diperlukan untuk membangun dasar yang kuat bagi industri kompetitif
Sumber : Blakely dan Bradshaw (2002)
Secara umum strategi untuk memperoleh dan meningkatkan nilai tambah dilakukan melalui proses pengolahan mengikuti mata rantai nilai. Secara sederhana kegiatan ini akan melibatkan aktivitas penelitian dan pengembangan (research and development), rancangan awal produksi, kegiatan perbaikan, persiapan prototipe, rancangan proses, pengadaan komponen dan material, sub rakitan, rakitan akhir, jaminan mutu, distribusi dan pemasaran.
23
3.3. Pengembangan Klaster Komoditas Berbasis Agroindustri Pengembangan pendekatan klaster telah digunakan oleh beberapa negara untuk menjawab tantangan terhadap perubahan ekonomi negara secara global. Dalam tiga dasawarsa terakhir ini pembangunan industri di Indonesia masih cenderung berorientasi pada pendekatan broad spectrum (perspektif industri). Pada tahap awal pembangunan industri, strategi tersebut telah memberikan hasil yang baik, dimana telah terjadi perubahan struktur ekonomi. Namun dengan adanya perubahan lingkungan global secara cepat menyebabkan struktur industri nasional tidak mampu bertahan. Selain perubahan lingkungan yang sangat cepat, perkembangan teknologi informasi dan transportasi juga sangat berperan terhadap perkembangan industri nasional. Dalam konteks persaingan industri, dayasaing suatu negara menunjukkan bahwa keunggulan kompetitif tidak hanya ditentukan oleh masing-masing perusahaan secara individu. Setiap perusahaan secara inheren merupakan bagian dari suatu klaster, dimana peran masing-masing bergerak dalam satu alur mata rantai nilai (value chain). Suatu klaster yang kuat di beberapa negara yang telah menerapkannya
ternyata
dapat
menjamin
keunggulan
kompetitif
yang
berkelanjutan. Beberapa negara yang telah menerapkan kebijakan klaster antara lain Austria, Belgia, Denmark, Finlandia, Perancis, Jerman, Italia, Belanda, Spanyol, Swedia dan Inggris (Raines, 2002).
Kebijakan klaster juga telah
dijalankan di negara-negara bagian di Amerika Serikat dan Canada. Adopsi kebijakan klaster juga telah diterapkan di Australia, New Zealand, Malaysia dan Singapura. Strategi pengembangan klaster berbasis agroindustri dengan klaster lainnya pada umumnya relatif sama. Menurut Enright (1999) berbagai strategi pengembangan klaster pada umumnya memiliki beberapa elemen yang sama, yaitu : (1) berupaya untuk memperbaiki lingkungan usaha dengan cara meninjau kembali kebijakan, perpajakan, meniti kembali peraturan-peraturan yang terkait, mengurangi biayabiaya pelayanan, merampingkan administrasi dan memelihara iklim usaha yang kondusi, (2) menyediakan informasi dan data mengenai bisnis dan trend ekonomi
24
umum maupun yang spesifik untuk klaster, misalnya data mengenai pasar, informasi mengenai konsumen, pesaing, teknologi dan lain-lain, (3) upaya pemerintah dalam menyediakan infrastruktur, pendidikan, dan pelatihan yang disesuaikan dengan kebutuhan spesifik klaster yang bersangkutan, misalnya pendidikan dan pelatihan pembuatan minuman anggur (klaster anggur di Napa Valey), elektronik (klaster elektronik di Taiwan), (4) membantu mengembangkan jaringan bisnis dan kerjasama antar perusahaan melalui perkenalan, pertemuan, asosiasi industri dan mekanisme lainya, (5) menyelenggarakan pelayanan bisnis yang mencakup penelitian dasar dan pasar, pengendalian mutu bahan/produk, konsultasi
proses
bisnis,
manjemen,
akutansi
dan
administrasi,
dan
(6) melaksanakan community building, membina masyarakat agar memiliki tujuan yang sama dan mau bekerjasama dalam mencapai tujuan tersebut.
Enright (1999) menyatakan bahwa program pengembangan klaster daerah dapat berfokus pada perluasan dan pendalaman dari basis ekonomi yang dimiliki daerah, dan menarik investasi dari perusahaan asing atau luar daerah atau kombinasi dari keduanya. Strategi yang berfokus pada perluasan dan pendalaman dari basis industri setempat disebut sebagai organic cluster strategy, yang berfokus pada penarikan investasi asing disebut sebagai transplant cluster strategy dan kombinasi dari keduanya disebut sebagai hybrid cluster strategy. Organic cluster strategy mengupayakan perluasan dan pendalaman dari basis ekonomi yang dimiliki daerah tersebut dengan melakukan identifikasi atas klaster atau potensi klaster yang ada kemudian mencoba mendorong pembangunan melalui perbaikan aliran informasi, meningkatkan interaksi antar perusahaanperusahaan setempat, menghilangkan hambatan atas ketersediaan infrastruktur, mengembangkan kemampuan sumberdaya manusia dan membentuk kolaborasi antar perusahaan-perusahaan. Walaupun upaya untuk menarik perusahaan dari luar tetap dilakukan, tetapi fokus pengembangan klaster tetap pada perusahaan yang sudah ada di daerah tersebut. Strategi seperti ini sebagian besar diterapkan di Amerika Serikat, Spanyol, Italia, Austria, dan New Zealand.
25
Transplant cluster strategy dikembangkan di Irlandia, Scotland, Wales, Inggris bagian utara, Malaysia dan Singapura. Strategi ini berupaya membangun klaster dengan
cara
menarik
perusahaan
besar
dari
luar
daerah,
kemudian
mengembangkan atau menarik pemasok dan perusahaan terkait. Perusahaan yang akan ditarik untuk masuk ke daerah pengembangan disesuaikan dengan potensi yang ada di daerah. Selain fasilitas produksi (pabrik), perusahaan yang ditarik juga diharapkan mendirikan kantor regionalnya dan mengembangkan kegiatan penelitian dan pengembangan serta kegiatan lain yang dapat memberikan nilai tambah yang tinggi. Kombinasi dari organic dan trasplant cluster strategy disebut sebagai hybrid cluster strategy. Selain fokus pada upaya pengembangan perusahaan yang sudah ada dan juga aktif melakukan penarikan modal asing ke daerah tersebut. Negara bagian Massachusetts dan Arizona di Amerika Serikat telah manambahkan upaya promosi penanaman modal asing ke dalam kebijakan klaster mereka, sedangkan Irlandia dan Singapura telah berhasil menarik banyak investasi asing, sehingga dapat dijadikan basis pengembangan klaster di daerah tersebut. Enright (1999) menyatakan bahwa masing-masing strategi pengembangan klaster memiliki kelebihan dan kelemahan. Organic cluster strategy yang mengandalkan fitur yang unik dari lingkungan lokal akan dapat membantu mengembangkan kelebihan yang khas dari daerah, sehingga sulit ditiru. Namun strategi ini hanya dapat dilaksanakan apabila terdapat basis ekonomi yang kuat di daerah tersebut, dimana pada kenyataannya banyak daerah yang tidak memiliki hal tersebut. Walaupun transplant cluster strategy dapat membantu pengembangan ekonomi daerah relatif lebih cepat, namun peluang investasi yang ada biasanya terbatas. Disamping itu, strategi ini juga mudah ditiru oleh daerah lain, sehingga akan menimbulkan persaingan yang ketat. Hybrid cluster strategy merupakan strategi yang paling komplek, namun dapat menimbulkan permasalahan dan persaingan antara kebijakan untuk perusahaan lokal dengan perusahaan asing. Organic strategy melihat bahwa pengembangan ekonomi berasal dari perusahaan lokal dan kemampuan mereka menembus pasar internasional dan kemudian menjadi perusahaan internasional. Transplant
strategy mengupayakan pengembangan
26
dengan menarik kegiatan global dari perusahaan multinasional dan memanfaatkan kegiatan ini sebagai suatu kegiatan inti yang akan diikuti oleh pengembangan kegiatan-kegiatan lainnya. Globalisasi dari persaingan dan kegiatan multinasional menciptakan kesempatan untuk menarik kegiatan-kegiatan ke daerah-daerah yang sudah kehilangan dayasaingnya atau daerah yang belum dikembangkan. Proses berkembangnya sebuah klaster mulai pembentukan hingga pengelolaannya menuju sebuah klaster ideal akan bervariasi menurut model pengembangan yang digunakan (Hansen, 2003). Terdapat tiga tipe atau model pengembangannya, yaitu: 1) Spontaneous cluster Pada tipe ini
pelaku usaha mengetahui persis akan kebutuhan dan cara
membangun klaster, sehingga klaster dapat berdiri sendiri tanpa dukungan yang signifikan dari pemerintah. 2) Private sector driven Pada tipe private sector driven pelaku usaha menyadari kebutuhannya akan adanya klaster, namun mereka belum tahu cara melakukannya, sehingga pelaku usaha bertindak sebagai inisiator yang membutuhkan dukungan dari pemerintah dalam proses pengembangannya. 3)
Donor or goverment driven, Pelaku usaha model ini tidak mengetahui tentang klaster dan cara mengembangkannya,
sehingga
pemerintah
merupakan
tokoh
kunci
berkembangnya suatu klaster, baik dalam pemilihan basis industri yang akan dikembangkan maupun strategi pengembangannya.