PERANCANGAN MODEL PENGUKURAN KINERJA KOMPREHENSIF PADA SISTEM KLASTER AGROINDUSTRI HASIL LAUT
SRI GUNANI PARTIWI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul ”Perancangan Model Pengukuran Kinerja pada Sistem Klaster Agroindustri Hasil Laut” adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Mei 2007
Sri Gunani Partiwi NIM F361030041
ABSTRAK SRI GUNANI PARTIWI. Perancangan Model Pengukuran Kinerja Komprehensif pada Sistem Klaster Agroindustri Hasil Laut. Dibimbing oleh ERIYATNO, ANAS MIFTAH FAUZI, MACHFUD, KRISNANI SETYOWATI, PATDONO SUWIGNJO. Peningkatan daya saing klaster agroindustri hasil laut ditentukan oleh bagaimana upaya peningkatan kinerja komprehensif dilakukan. Kinerja komprehensif dapat dikelola secara efektif dan efisien jika didukung adanya model pengukuran kinerja yang optimal. Model pengukuran kinerja dibangun berbasis sistem pakar, di mana elisitasi pendapat pakar dilakukan melalui brainstorming dan pengisian kuesioner pakar. Metode yang digunakan diantaranya adalah fuzzy, Proses Hirarki Analitik (PHA), dan Electre II. Pengembangan model pengukuran kinerja didasarkan pada beberapa model yaitu SMART-2 (Strategic Monitoring and Reporting Technique), Objective Matrix (OMAX), IPMS (Integrated Performance Measurement System) dan Balanced Scorecard. Pengolahan hasil penilaian pakar untuk mendapatkan nilai bobot kriteria dan prioritas Indikator Kinerja Kunci (IKK) dilakukan dengan bantuan perangkat lunak Expert Choice 2000 dan Electre II. Penentuan IKK dalam model pengukuran kinerja komprehensif didasarkan pada kepentingannya terhadap aspek dan pelaku klaster agroindustri hasil laut. IKK terpilih merupakan tolok ukur kinerja komprehensif yang didisain dalam bangunan sistem penunjang keputusan (SPK) C-PROMEAS dengan bahasa pemrograman berbasis web PHP dan database MySQL yang dapat memberikan informasi kinerja komprehensif dalam bentuk scoring board. Terdapat tiga sub model dalam bangunan SPK yaitu Data Based Management System (DBMS), Model Based Management System (MBMS) dan Knowledge Based Management System (KBMS) serta Dialog Management System (DMS). Dari hasil elisitasi pendapat pakar dan setelah melalui pertimbangan logis maka diperoleh sejumlah 23 Indikator Kinerja Kunci (IKK) yang merepresentasikan kinerja klaster komprehensif, dan untuk efisiensi operasional dilakukan ekstraksi jumlah menjadi 11 IKK yang terdistribusi pada kinerja sosial, kinerja lingkungan, kinerja ekonomi dan kinerja proses bisnis internal. Verifikasi model dilakukan melalui implementasi model pengukuran kinerja komprehensif klaster agroindustri hasil laut pada klaster industri teri nasi dan rumput laut di Jawa Timur. Hasil implementasi menunjukkan bahwa capaian kinerja komprehensif klaster agroindustri hasil laut pada industri teri nasi dan rumput laut secara numerik cukup baik (62.45% ; 58%) yang merupakan agregat dari kinerja sosial (67.4% ; 46.2%), kinerja lingkungan (25% ; 25%), kinerja ekonomi (76.7% ; 82%) dan kinerja proses bisnis internal (66% ; 57.9%). Namun demikian berdasaran aturan tambahan yang ditentukan maka secara kategori nilai capaian kinerja kedua klaster termasuk dalam kategori kurang dikarenakan ada salah satu kinerja parsial yang memiliki nilai 25% yaitu pada aspek lingkungan. Model dialog yang dibangun dalam SPK memberikan fasilitas bagi pengguna sesuai otoritasnya untuk berkomunikasi dengan beberapa alternatif perubahan. Perubahan bisa dilakukan dari sisi prioritas maupun beberapa skenario analisis what-if yang didisain untuk tujuan tertentu diantaranya untuk mengetahui penilaian finansial atas kebijakan tertentu dan juga dampaknya terhadap kinerja komprehensif klaster, sehingga model pengukuran kinerja dapat diimplementasikan secara efektif dan efisien.
ABSTRACT SRI GUNANI PARTIWI. The Design of a Comprehensive Performance Measurement Model of Marine Agroindustry Clusters. Under supervision of ERIYATNO, ANAS MIFTAH FAUZI, MACHFUD, KRISNANI SETYOWATI, PATDONO SUWIGNJO. The competitiveness of marine agroindustry clusters depends on how the comprehensive performance improvement programs are conducted. Comprehensive performance could be managed effectively and efficiently if it was supported by an optimal performance measurement model. This study was focused on the development of a comprehehsive performance measurement model of marine agroindustry clusters. The performance measurement model was developed based on the expert system method. Fuzzy and Analytical Hierarchy Process (AHP) were used to evaluate criteria of industrial cluster performance and Electre II was used to determine weight of Performance Indicators. The model was formulated formulated with respect to SMART-2 (Strategic Monitoring and Reporting Technique), Objective Matrix (OMAX), IPMS (Integrated Performance Measurement System) and Balanced Scorecard. Expert choice 2000 and Electre II softwares ware used to process the expert judgment in order to obtain the weight of the criteria and the priority of the key performance indicators (KPI’s). In the comprehensive performance measurement model, the key performance indicator was determined based on its importance to some aspects and actors of marine agroindustry. The selected KPI act as a comprehensive performance standard which is designed on Decision Support System (DSS) structure, C-PROMEAS, to give information on the comprehensive performance in the form of scoring board. The sub models consist of the Data Based Management System (DBMS), Model Based Management System (MBMS) and Knowledge Based Management System (KBMS), and Dialog Management System (DMS). Expert elicitation and judgment analysis provides 23 key performance indicators, which represent a comprehensive cluster performance. These number are reduced in order to operationalise the measures. Eleven key performance indicators are drawn. These indicators are used to measure social, envrionment, economics and internal business process performance. The model was verified by implementing the comprehensive performance measurement model in marine industry, especially in East Java baby anchovy and sea weed industries . The results was presented by a scoring board indicates that numerically the performance of these clusters were fair. The baby anchovy and sea weeds agroindustrial clusters can only reach the social, environment, economics and internal business process for the both clusters perform 67.4%, 46.2% ; 25%, 25% ; 76.7%, 82% and 66%, 57.9% respectively towards the targetted performances. However, based on the rules that it isn’t allowed for any single value of aspect peformance was equal or less than 25%, the comprehensive performance achievement was stated in poor category. Through dialog boxes in this DSS, users can operate easily. Either a priority or a scenario can be tested. This system provides a what-if analysis for policy makers to obtain the predictive implications of a policy. The prediction includes the comprehensive performance of a cluster and its financial situation. Expectedly, using this system, the performance measurement system can be implemented effectively and efficiently.
Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak Cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm dan sebagainya
PERANCANGAN MODEL PENGUKURAN KINERJA KOMPREHENSIF PADA SISTEM KLASTER AGROINDUSTRI HASIL LAUT
SRI GUNANI PARTIWI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
Penguji pada Ujian Tertutup
: Prof. Dr. Ir. Djumali Mangunwidjaja, DEA
Penguji pada Ujian Terbuka
: 1. 2.
Dr. Ir. Victor P.H. Nikijuluw, M.Sc. Dr. Ir. Dedi Mulyadi, M.Si.
Judul Disertasi
:
Perancangan Model Pengukuran Kinerja Komprehensif Pada Sistem Klaster Agroindustri Hasil Laut
Nama
:
Sri Gunani Partiwi
NIM
:
F361030041
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Eriyatno, MSAE Ketua
Dr. Ir. Anas M. Fauzi, M.Eng Anggota
Dr. Ir. Machfud, MS Anggota
Dr. Ir. Krisnani Setyowati Anggota
Dr. Ir. Patdono Suwignjo, M.Eng Anggota Diketahui
a.n. Ketua Program Studi Sekretaris Program Studi Teknologi Industri Pertanian
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Ani Suryani, DEA
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.
Tanggal Ujian : 7 Mei 2007
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena hanya atas rahmat dan karunia-Nya maka disertasi ini dapat terselesaikan. Tulisan ini merupakan hasil penelitian yang disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian di Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa Penyelesaian tulisan ini tidak lepas dari bantuan beberapa pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih yang tulus kepada yang terhormat Bapak Prof. Dr. Ir. Eriyatno, MSAE, sebagai ketua komisi pembimbing yang telah memberikan curahan waktu, bimbingan dan arahan dengan penuh dedikasi serta atas dorongan moral sehingga penulis bisa menyelesaikan disertasi ini. Penghargaan dan ucapan terimakasih yang tulus juga penulis ucapkan kepada yang terhormat Bapak Dr. Ir. Anas M. Fauzi, M.Eng, Bapak Dr. Ir. Machfud, MS, Ibu Dr.Ir. Krisnani Setyowati dan Bapak Dr. Ir. Patdono Suwignjo, M.Eng, selaku anggota komisi pembimbing yang telah meluangkan waktu dan pikiran serta keikhlasannya dalam berbagi ilmu pengetahuan dan memberikan dorongan semangat sehingga dapat terselesaikannya disertasi ini. Terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Irawadi Jamaran, selaku Koordinator Program Studi S3 TIP atas dorongan semangat, arahan dan kemudahan yang diberikan selama studi dan kepada Ibu Dr. Ir. Ani Suryani DEA sebagai sekretaris program atas semua fasilitasinya serta kepada segenap Civitas Jurusan TIP IPB yang telah memberikan suasana kondusif selama penulis melaksanakan studi S3. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Syamsul Ma’arif, MEng, Dirjen Pengembangan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Direktur Investasi, Direktur Pengolahan Departemen Kelautan dan Perikanan, Direktur Industri Logam dan Direktur Industri Mesin dan Peralatan Pabrik Departemen Perindustrian, atas segala masukan serta kesediaannya dalam berbagi pengetahuan dan kepakaran dalam hal kebijakan klaster industri sehingga
memperkuat
hasil
disertasi
ini.
Ungkapan
terimakasih
juga
disampaikan kepada Bapak Hanafi Wirabrata dan tim peneliti di lingkungan Departemen Perindustrian atas kesediaan waktu untuk mendiskusikan hasil sementara penelitian ini. Penulis juga ingin mengucapkan terimakasih kepada
para praktisi Industri dan kolega akademisi yang telah bersedia untuk menjadi responden pakar pada penelitian ini. Rasa terimakasih yang mendalam penulis sampaikan kepada Ibunda, kakak dan adik di keluarga besar Soemadi Tjiptoyuwono (Alm), keluarga besar Soedomo (Alm) yang senantiasa memberikan doa dan semangat. Penghargaan khusus penulis sampaikan kepada suami tercinta Ir. Sudiartono MM, anak-anak Andri, Indra, Dimas dan Indri, atas pengertian, pengorbanan dan doa yang tidak pernah berhenti diberikan selama proses studi dari awal hingga saat ini. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada rekan-rekan kolega staf pengajar di Jurusan Teknik Industri ITS Surabaya serta mahasiswa S3 TIP atas kebersamaan dan semangat yang diberikan selama masa studi. Penulis juga mengucapkan terimakasih pada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dalam penyelesaian disertasi ini. Akhir kata, semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi yang membacanya.
Bogor, Mei 2007 Sri Gunani Partiwi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Semarang, Jawa Tengah pada tanggal 31 Mei 1966 sebagai anak keenam dari pasangan Soemadi Tjiptoyuwono dan Sri Hariyati. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB), lulus pada tahun 1988. Pada tahun 1992, penulis diterima di Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknologi Industri pada Program Pascasarjana Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan beasiswa dari pemerintah (BPPS) dan menamatkannya pada tahun 1995. Selanjutnya pada tahun 2003, penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan ke program Doktor pada program studi Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Insititut Pertanian Bogor. Beasiswa studi program Doktor diperoleh dari pemerintah melalui program DUE-Like pada tahun pertama dan dilanjutkan BPPS pada tahun kedua dan ketiga. Setelah menyelesaikan program S1, pada tahun 1988-1989 penulis bekerja di PT. Interdelta, Jakarta. Terhitung mulai bulan Agustus 1989 sampai dengan sekarang penulis bekerja sebagai staf pengajar di Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. Pada tahun 1991, penulis menikah dengan Ir. Sudiartono, MM. putra dari Bapak Soedomo (Alm) dan Ibu Soehastuti Soedomo. Penulis telah dikaruniai empat orang anak yang bernama Mohammad Andriya Gunartono, Mohammad Indrawan Gunartono, Mohammad Adimas Gunartono dan Sri Indriyani Diartiwi. Selama mengikuti program S3, penulis ikut bergabung dalam Tim Pengembangan Klaster Industri Baja, Direktorat Industri Logam, Departemen Perindustrian (tahun 2006-sekarang). Penulis telah menulis tiga buah artikel ilmiah yang telah dipublikasikan. Karya ilmiah yang berjudul Implementasi Metode Fuzzy dan Analitycal Hierarchy Process (AHP) dalam Pengembangan Klaster Agroindustri Di Jawa Timur telah dipublikasikan dalam jurnal Keilmuan dan Aplikasi Teknik dan Manajemen Industri, OPTIMA, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS), makalah yang berjudul Integrasi Metode Analytic Hierarchy Process (AHP) dan Metode Electre II dalam Pengambilan Keputusan pada Perancangan Sistem Pengukuran Kinerja telah disajikan pada The 4th Indonesian Symposium On Analytic Hierarchy Process, Jakarta pada bulan Desember 2006 serta makalah dengan judul Decision Support System
Design For Comprehensive Performance Management
(A Case For Marine
Agroindustry Clusters) yang telah dimuat di dalam jurnal terakreditasi, EKSEKUTIF. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.
RINGKASAN SRI GUNANI PARTIWI. Perancangan Model Pengukuran Kinerja Komprehensif pada Sistem Klaster Agroindustri Hasil Laut. Dibimbing oleh ERIYATNO, ANAS MIFTAH FAUZI, MACHFUD, KRISNANI SETYOWATI, PATDONO SUWIGNJO. Peningkatan daya saing klaster agroindustri hasil laut ditentukan oleh bagaimana upaya peningkatan kinerja komprehensif dilakukan. Kinerja komprehensif dapat dikelola secara efektif dan efisien jika didukung adanya model pengukuran kinerja yang optimal. Model pengukuran kinerja dibangun berbasis sistem pakar, di mana elisitasi pendapat pakar dilakukan melalui brainstorming dan pengisian kuesioner. Hasil dari penilaian pakar selanjutnya diolah dengan beberapa metode diantaranya adalah fuzzy, Analytical Hierarchy Process (AHP), dan Electre II. Pengembangan model pengukuran kinerja didasarkan pada beberapa model yaitu SMART-2 (Strategic Monitoring and Reporting Technique), Objective Matrix (OMAX), IPMS (Integrated Performance Measurement System) dan Balanced Scorecard. Pengolahan pendapat pakar untuk mendapatkan nilai bobot kriteria dan prioritas Indikator Kinerja Kunci (IKK) dilakukan dengan bantuan perangkat lunak Expert Choice 2000 dan Electre II. Penentuan IKK dalam model pengukuran kinerja komprehensif didasarkan pada kepentingannya terhadap aspek dan pelaku klaster agroindustri hasil laut. IKK terpilih merupakan tolok ukur kinerja komprehensif yang didisain dalam bangunan sistem penunjang keputusan (SPK) C-PROMEAS dengan bahasa pemrograman berbasis web PHP dan database MySQL yang dapat memberikan informasi kinerja komprehensif dalam bentuk scoring board. Terdapat tiga sub model dalam bangunan SPK yaitu Data Based Management System (DBMS), Model Based Management System (MBMS) dan Knowledge Based Management System (KBMS) serta Dialog Management System (DMS). Kinerja komprehensif klaster agroindustri hasil laut ditentukan oleh empat aspek yaitu aspek sosial, aspek lingkungan, aspek ekonomi dan aspek proses bisnis internal dengan nilai bobot kepentingan berturut-turut sebesar 17%, 16%, 34% dan 32%. Kinerja sebuah klaster industri hasil laut akan dapat diukur berdasarkan beberapa tolok ukur yang memenuhi kriteria SMART (Specific, Measurable, Agreed, Realistic dan Timebound). Dari setiap aspek dapat diturunkan sejumlah kriteria keberhasilan dan sub kriteria yang selanjutnya dapat dijadikan basis dalam penentuan ukuran kinerja klaster. Pada tahap awal mampu di eksplorasi 64 indikator kinerja yang selanjutnya dinilai oleh sejumlah pakar untuk mendapatkan tingkat kepentingannya terhadap keberhasilan sebuah klaster agroindustri hasil laut. Untuk efisiensi operasional, maka dilakukan ekstraksi jumlah Indikator Kinerja melalui beberapa tahapan. Pada tahap final diperoleh sebanyak 10 (sepuluh) indikator kinerja kunci (IKK). Pada aspek sosial adalah indeks CSR, keanggotaan klaster, aspek lingkungan adalah indeks CER, pada aspek ekonomi adalah keuntungan klaster, indeks RCA, market performance dan pada aspek proses bisnis internal diwakili oleh output standar, nilai rendemen, indeks kepuasan pelanggan dan produktivitas nelayan. Indikator Kinerja Kunci pada setiap aspek klaster dipadatkan dari 23 indikator kinerja (IK) yang terdistribusi pada aspek sosial (20%), aspek lingkungan (12%), aspek ekonomi (28%) dan aspek proses bisnis internal (32%). Keduapuluh dua indikator kinerja tersebut merepresentasikan kinerja beberapa pelaku klaster yang terdiri dari pemerintah diwakili sebanyak 12 IK, industri sebanyak 13 IK, pemasok bahan baku sebanyak 11 IK dan nelayan sebanyak 13 IK. Nilai bobot seluruh
indikator kinerja tersebut adalah 62% yang berarti dapat mewakili 62% dari kinerja klaster keseluruhan. IKK tersebut kemudian diintegrasikan dalam sebuah model pengukuran kinerja komprehensif yang ditampilkan dalam bentuk scoring board. Model pengukuran kinerja komprehensif klaster agroindustri hasil laut dalam bentuk scoring board menampilkan capaian nilai sejumlah indikator kinerja kunci yang telah dipilih. Nilai capaian kinerja komprehensif klaster agroindustri hasil laut merupakan fungsi dari kinerja aspek sosial, aspek lingkungan, aspek ekonomi dan aspek proses bisnis internal yang dinyatakan dengan kategori Baik, Cukup dan Kurang berdasarkan skor absolut dan status/kategori setiap IKK. Penetapan status berdasarkan nilai numerik telah dikemukakan sebelumnya melalui batasan-batasan nilai capaian dari masing-masing indikator kinerja kunci, kinerja parsial (aspek) maupun kinerja komprehensif. Penentuan status secara mutlak didasarkan pada batasan nilai numerik dapat diberlakukan untuk indikator kinerja kunci maupun kinerja parsial (aspek), namun hal ini tidak relevan jika diterapkan untuk penentuan status kinerja komprehensif. Hal ini dikarenakan ada kemungkinan dijumpai satu kondisi, di mana nilai capaian kinerja komprehensif secara numerik masuk kategori Baik, namun jika di disagregasi ke kinerja per aspeknya terdapat aspek yang memiliki kinerja sangat kecil atau bahkan bisa bernilai nol. Kondisi ini tentu saja tidak menunjukkan suatu kinerja yang baik, karena dalam sebuah sistem klaster industri ada tuntutan untuk baik pada semua aspek baik untuk aspek sosial, lingkungan, ekonomi maupun proses bisnis internal. Verifikasi model dilakukan melalui uji coba model pengukuran kinerja komprehensif klaster agroindustri hasil laut pada klaster industri teri nasi dan rumput laut di Jawa Timur. Validasi model dilakukan melalui expert judgment pada dua Diskusi Kelompok Terarah (DKT) di dua kelompok terpisah yaitu di kelompok praktisi industri hasil laut (teri nasi) dan kelompok di lingkungan pemerintahan. Hasil rancangan model pengukuran kinerja komprehensif klaster agroindustri hasil laut dipresentasikan pada dua kelompok tersebut dalam waktu dan tempat terpisah. Secara umum kedua kelompok pakar menyatakan bahwa model sudah merepresentasikan sistem klaster agroindustri hasil laut. Di samping itu Validasi model secara kuantitatif dilakukan pada penentuan model peramalan untuk indikator total penjualan klaster industri teri nasi. Model ini diperlukan untuk meramalkan omset klaster industri teri nasi beberapa periode mendatang. Hal ini diperlukan untuk merencanakan strategi klaster industri teri nasi agar terus dapat bertahan dan bahkan meningkatkan kinerjanya. Di samping itu berdasarkan hasil identifikasi indikator kinerja kunci yang telah dilakukan indikator total penjualan klaster merupakan salah satu indikator penting yang harus selalu dimonitor dan dievaluasi, hal ini untuk melihat apakah di masa mendatang secara eksternal kondisi sistem cukup kondusif untuk terjadinya peningkatan kinerja. Tabel scoring board hasil pengukuran kinerja komprehensif klaster agroindustri hasil laut pada industri teri nasi di atas, terdiri atas beberapa komponen parameter ukuran yang mencerminkan karakteristik dari setiap indikator kinerja yaitu nilai bobot, nilai yang ditargetkan, nilai capaian indikator, scoring system, nilai skor serta status kinerja. Pengukuran setiap indikator kinerja yang sudah ditentukan melalui penilaian pakar dilakukan secara langsung dengan bantuan alat berupa lembar periksa (check sheet) yang telah disiapkan terlebih dahulu. Idealnya sebuah klaster, pengukuran dilakukan pada semua anggota klaster tergantung pada pelaku mana indikator kinerja yang diukur. Hasil implementasi menunjukkan bahwa capaian kinerja komprehensif klaster agroindustri hasil laut pada industri teri nasi dan rumput laut secara numerik cukup baik (62.45% ; 58%) yang merupakan agregat dari kinerja sosial (67.4% ; 46.2%), kinerja lingkungan (25% ; 25%), kinerja ekonomi (76.7% ; 82%) dan kinerja proses
bisnis internal (66% ; 57.9%). Namun demikian berdasaran aturan tambahan yang ditentukan maka secara kategori nilai capaian kinerja kedua klaster termasuk dalam kategori kurang dikarenakan ada salah satu kinerja parsial yang memiliki nilai 25% yaitu pada aspek lingkungan. Upaya perbaikan kinerja komprehensif dapat dilakukan melalui dua sisi yaitu sisi eksternal dan internal. Indikator yang dominan dipengaruhi oleh lingkungan eksternal klaster namun sangat berarti dalam menentukan kinerja komprehensif adalah total penjualan klaster dan harga jual produk di pasar. Prediksi kecenderungan total penjualan teri nasi pada beberapa periode ke depan dilakukan dengan menggunakan metode peramalan kuantitatif, di mana metode dekomposisi terpilih sebagai model yang paling representatif. Sementara itu prediksi harga jual produk teri nasi di pasar ekspor dilakukan dengan menggunakan Jaringan Saraf Tiruan (JST). Metode JST ini digunakan dengan alasan karena adanya beberapa faktor yang dianggap berpengaruh tapi tidak memiliki keteraturan pola/distribusi sehingga tidak valid jika digunakan model-model deret waktu (time series) maupun model regresi yang pada umumnya digunakan untuk peramalan. Berdasarkan hasil peramalan dengan kedua metode di atas, ternyata kedua indikator tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan untuk beberapa periode mendatang, oleh karena itu upaya peningkatan kinerja komprehensif harus dilakukan melalui efisiensi proses internal klaster agroindustri hasil laut. Untuk itu disediakan fasilitas analisis what-if untuk membantu melihat perubahan beberapa skenario kebijakan dan lingkungan bisnis pada kinerja komprehensif, sehingga mempermudah dalan menentukan langkah upaya perbaikan. Berdasarkan hasil what if analisis, maka jika diasumsikan dengan upaya efektivitas penangkapan pada industri teri nasi dan budidaya serta panen pada industri rumput laut dapat meningkatkan jumlah bahan baku dua kalinya maka dengan menggunakan fasilitas dalam bangunan SPK dapat dilihat adanya peningkatan kinerja proses bisnis internal dari 66% menjadi 69.52% atau delta sebesar 3.52% dan untuk klaster industri rumput laut dari 57.9% menjadi 68.98% atau peningkatan sebesar 11.08%. Sementara itu secara komprehensif dapat meningkatkan kinerja untuk klaster industri teri nasi dan rumput laut berturut-turut sebesar 1.5% dan 2.62%. Dan seterusnya secara interaktif dapat dilakukan trade off perubahan pada kondisi-kondisi yang lain. Hal ini akan sangat membantu proses pengelolaan kinerja baik dari sisi waktu, dana maupun ketepatan perkiraan. Tersedianya bangunan SPK juga akan meningkatkan efektivitas umpan balik dari sistem sehingga antisipasi tindakan dalam bentuk inisiasi maupun program perbaikan kinerja dapat dilakukan dengan lebih cepat dan hasil yang lebih baik. Model dialog yang dibangun dalam SPK memberikan fasilitas bagi pengguna sesuai otoritasnya untuk berkomunikasi dengan beberapa alternatif perubahan. Perubahan bisa dilakukan dari sisi prioritas maupun beberapa skenario analisis what-if yang didisain untuk tujuan tertentu diantaranya untuk mengetahui penilaian finansial atas kebijakan tertentu dan juga dampaknya terhadap kinerja komprehensif klaster, sehingga model pengukuran kinerja dapat diimplementasikan secara efektif dan efisien. Bangunan SPK dilengkapi dengan fasilitas traffic light system yang berfungsi sebagai umpan balik dari sebuah kondisi kinerja yang dicapai. Sistem umpan balik ini didisain dengan berbasis pengetahuan pakar. Tersedia tiga warna yang memvisualkan suatu kondisi di antaranya adalah warna merah untuk kondisi Buruk/Kurang, warna kuning untuk kondisi kinerja Sedang dan warna hijau untuk kondisi kinerja Baik. Penentuan status ini mengacu pada batasan-batasan numerik yang sudah dikemukakan di bagian sebelumnya. Mekanisme ini dibuat untuk mempermudah pengguna dalam mengambil keputusan tindak lanjut atas kondisi kinerja klaster agroindustri yang dicapai.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI …………….........……………………………………..……………
xiv
DAFTAR TABEL …………………………………………………..……………
xvi
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………..………………
xviii
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………..………………
xxiii
PENDAHULUAN ………………………………………………………………… Latar Belakang ........................................................................................ Tujuan Penelitian...................................................................................... Batasan Penelitian .................................................................................. Manfaat Penelitian...................................................................................
1 1 4 4 4
KAJIAN PUSTAKA ...................................................................................
6 6 6 14 23 28 33 39
Agroindustri ............................................................................................. Potensi Agroindustri Hasil Laut …………………………………………….. Konsep Klaster Industri ........................................................................... Studi Sistem ............................................................................................ Perkembangan Model Pengukuran Kinerja ............................................. Metode-metode dalam Penilaian Kriteria ................................................. Alternatif Metode Prediksi Kinerja ........................................................... METODOLOGI .............................................................................................. Kerangka Dasar Pemikiran ..................................................................... Pemodelan Sistem ................................................................................... Perancangan Model Pengukuran Kinerja Komprehensif ......................... Tata Laksana Penelitian .......................................................................... Pembangunan Model Pengukuran Kinerja Komprehensif dalam Bentuk Scoring Board …………………………………............................................ Verifikasi dan Validasi Model ................................................................... Analisis Perbaikan Model ……………………………………………….......
46 46 47 48 49 52 54 57
PENDEKATAN SISTEM ............................................................................ Deskripsi Sistem Klaster Agroindustri Hasil Laut ..................................... Model Stakeholder Klaster Agroindustri Hasil Laut ……………………….. Model Berlian Porter Agroindustri Hasil Laut .......................................... Deskripsi Industri Teri Nasi dan Rumput Laut sebagai Contoh Klaster Industri Hasil Laut di Jawa Timur ............................................................. Karakterisasi Sistem Klaster Agroindustri Hasil Laut ............................... Diagram Lingkar Sebab Akibat ............ ............ ....................................... Diagram Input Output Sistem Klaster Agroindustri Hasil Laut ..................
59 60 64 65 66
PENGEMBANGAN MODEL.......................................................................... Identifikasi kebutuhan Stakeholder Klaster Agroindustri Hasil Laut ......... Eksplorasi Kriteria Keberhasilan Klaster .................................................. Eksplorasi Indikator Kinerja Kunci (IKK) .................................................. Pembobotan Kriteria, Sub kriteria dan Alternatif Indikator Kinerja Kunci (IKK) .........................................................................................................
76 76 79 88 91
71 74 75
xv Halaman Pemodelan Scoring Board Pengukuran Kinerja Klaster........................... Perancangan Sistem Penunjang Keputusan............................................
113 115
IMPLEMENTASI MODEL PENGUKURAN KINERJA KOMPREHENSIF Verifikasi Model pada Klaster Industri....................................................... Validasi Model Pengukuran Kinerja Komprehensif ………….. ................. Implementasi Model ................................................................................. Perbaikan Model Pengukuran Kinerja Komprehensif ............................... Implementasi SPK dalam Pengukuran Kinerja Klaster ............................ Peramalan Indikator Kinerja ....................................................................
118 118 119 123 130 135 138
PEMBAHASAN Efisiensi Pengolahan Data melalui Integrasi Metode Electre II dengan Proses Hirarki Analitik (PHA) ……… ……………………………………….. Analisis Model Pengukuran Kinerja Komprehensif Klaster ...................... Evaluasi Capaian Kinerja Komprehensif Klaster Agroindustri Hasil Laut di Jawa Timur ………………………………………………………………… Tingkat Kepentingan Ketersediaan Infrastruktur dan Persepsi Daya Dukungnya ……………………………………………………………………. Working Group (Kelompok Kerja) sebagai Pengelola Klaster ................. Kontribusi Sistem Penunjang Keputusan (SPK) dalam Memberikan Umpan Balik Perbaikan Kinerja Komprehensif Klaster ............................ Kontribusi Hasil Penelitian dalam Pembangunan Industri Hasil Laut di Indonesia ..................................................................................................
144 144
SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. Simpulan .................................................................................................. Saran ........................................................................................................ DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... LAMPIRAN ....................................................................................................
146 150 157 166 167 173
174 174 175
xvi DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1
Hasil yang diharapkan dari setiap langkah pada tahap pembangunan model.................................................................
55
Tabel 2
Distribusi Jumlah Perusahaan Agroindustri Hasil Laut di Indonesia ..................................................................................
61
Tabel 3
Distribusi jumlah perusahaan teri nasi di Indonesia ..................
63
Tabel 4
Perbandingan antara Klaster Industri dengan Sentra Industri (Taufik, 2001) ...........................................................................
73
Tabel 5
Rekapitulasi hasil eksplorasi kriteria keberhasilan klaster industri ………………………………………………………………
80
Tabel 6
Daftar Alternatif Indikator Kinerja Kunci klaster agroindustri hasil laut …………………………………………………………..
88
Tabel 7
Nilai bobot kriteria dan sub kriteria pada pencapaian keunggulan komparatif dan kompetetif klaster …………………
96
Tabel 8
Nilai bobot kriteria dan sub kriteria pada pencapaian pertumbuhan industri hasil laut .................................................
98
Tabel 9
Nilai bobot kriteria dan sub kriteria pada pencapaian kemampuan inovasi yang lebih baik .........................................
99
Tabel 10
Nilai bobot kriteria dan sub kriteria terjadinya peningkatan kesejahteraan pelaku klaster agroindustri hasil laut …………..
101
Tabel 11
Nilai bobot kriteria dan sub kriteria pada terbentuknya rantai nilai yang kokoh ……………………………………………………
102
Tabel 12
Rekapitulasi nilai bobot Indikator Kinerja Kunci klaster agroindustri hasil laut .................................................................
106
Tabel 13
Alternatif IKK berdasarkan bobot absolut ..................................
110
Tabel 14
IKK terpilih berdasarkan keterwakilan terhadap aspek klaster..
111
Tabel 15
Matriks IKK terpilih berdasarkan keterwakilan terhadap aspek klaster dan pelaku klaster agroindustri hasil laut .......................
112
Tabel 16
Model scoring board pengukuran kinerja komprehensif klaster agroindustri hasil laut ................................................................
114
Tabel 17
Nilai akurasi tiga alternatif model peramalan total penjualan teri nasi ...........................................................................................
124
Tabel 18
Hasil pengukuran kinerja klaster industri teri nasi di Jawa Timur .........................................................................................
125
xvii Halaman Tabel 19
Hasil pengukuran kinerja klaster industri rumput laut di Jawa Timur ........................................................................................
128
Tabel 20
Model final scoring board pengukuran kinerja komprehensif klaster agroindustri hasil laut (hasil perbaikan) ........................
131
Tabel 21
Hasil pengukuran kinerja klaster industri teri nasi di Jawa Timur dengan model scoring board hasil perbaikan ……………
133
Tabel 22
Hasil pengukuran kinerja klaster industri rumput laut di Jawa Timur dengan model scoring board hasil perbaikan ……………
134
Tabel 23
Hasil peramalan penjualan teri nasi di jawa timur dengan model dekomposisi untuk periode tahun 2007 ........................
136
Tabel 24
Harga ekspor teri nasi berdasarkan faktor musiman .................
137
Tabel 25
Dukungan dari pelaku klaster dalam pengembangan klaster agroindustri hasil laut .................................................................
147
Tabel 26
Kontribusi setiap aspek pada kinerja komprehensif klaster industri teri nasi .......................................................................
150
Tabel 27
Kontribusi setiap aspek pada kinerja komprehensif klaster industri rumput laut..................................................................
151
Tabel 28
Aturan dalam penentuan status kinerja komprehensif ............
152
Tabel 29
Status kinerja komprehensif klaster agroindustri teri nasi ..……
154
Tabel 30
Status kinerja komprehensif klaster agroindustri rumput laut …
154
Tabel 31
Rekapitulasi hasil penilaian pakar terhadap kepentingan infrastruktur dalam mendukung operasional pelaku klaster industri…………….......................................................................
158
Tabel 32
Rekapitulasi hasil penilaian pakar terhadap daya dukung infrastruktur dalam mendukung operasional pelaku klaster industri hasil laut .......................................................................
159
Tabel 33
Rekapitulasi hasil penilaian pakar praktisi industri terhadap kepentingan dan daya dukung infrastruktur dengan metode fuzzy...........................................................................................
163
Tabel 34
Rekomendasi aksi untuk kondisi kinerja lingkungan Kurang Baik ………………………………………………………………….
173
xviii DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1
Indeks spesialisasi perdagangan (ISP) ikan segar, dingin atau beku SITC 034 periode 1996-2002..............................
8
Gambar 2
Perkembangan nilai ekspor impor olahan hasil laut Indonesia ............................................................................
9
Gambar 3
Indeks spesialisasi perdagangan (ISP) ikan kering, garami atau diasapi SITC 035 periode 1996-2002..........................
9
Gambar 4
Indeks spesialisasi perdagangan (ISP) udang, kerang dan sejenisnya, segar/dingin SITC 036 periode 1996-2002 .....
10
Gambar 5
Indeks spesialisasi perdagangan (ISP) olahan ikan, udang dan kerang SITC 037 periode 1996-2002 ..........................
10
Gambar 6
Indeks Revealed Comparative Advantage (RCA) SITC 034 (ikan segar, dingin atau beku) periode 1996-2002 …...
11
Gambar 7
Indeks Revealed Comparative Advantage (RCA) SITC 035 (ikan segar, dingin atau beku) periode 1996-2002……
11
Gambar 8
Indeks Revealed Comparative Advantage (RCA) SITC 036 (udang, kerang dan sejenisnya, segar/dingin) periode 1996-2002 ..........................................................................
12
Gambar 9
Indeks Revealed Comparative Advantage (RCA) SITC 037 (olahan ikan, udang dan kerang) periode 1996-2002
12
Gambar 10
Model berlian Porter (Porter,1990)..................................
15
Gambar 11
Organisasi, sumberdaya dan lingkungannya (Schoderbek, 1985)……………………………………………………………
25
Gambar 12
Kerangka kerja dari Sistem SMART (Dixon, et al,1990) ....
29
Gambar 13
Kerangka kerja Balanced Scorecard (Kaplan dan Norton, 1996) ...................................................................................
31
Gambar 14
Pembagian Level Bisnis berdasarkan Pendekatan IPMS (Bittici dalam Suwignjo, 1999)……………………………….
32
Gambar 15
Triangular Fuzzy Number (TFN) A = (a1, a2, a3) (Bojadziev,1997) .................................................................
34
Gambar 16
Model dari saraf (neuron) ...................................................
41
Gambar 17
Model non linier dari sebuah saraf dengan parameter batas ……………………………………………………………
42
Gambar 18
Model non linier dari sebuah saraf dengan parameter bias
42
xix Halaman Gambar 19
Jaringan feedforward dengan saraf layer tunggal …………
43
Gambar 20
Jaringan feedforward yang terhubung penuh dengan satu hidden layer dan output layer ………………………………
43
Gambar 21
Kerangka Pemikiran Penelitian ...........................................
48
Gambar 22
Bangunan Sistem Penunjang Keputusan pada Perancangan Model Pengukuran Kinerja Komprehensif pada Sistem Klaster Agroindustri Hasil Laut .......................
51
Gambar 23
Kerangka analisis sistem klaster agroindustri hasil laut ....
53
Gambar 24
Kerangka perancangan dan analisis SPK pengukuran kinerja klaster agroindustri hasil laut ...................................
54
Gambar 25
Kerangka Sistem (Eriyatno, 2000) ......................................
59
Gambar 26
Distribusi pelaku agroindustri hasil laut di Indonesia ..........
61
Gambar 27
Model stakeholder agroindustri hasil laut nasional ..........
64
Gambar 28
Model berlian Porter klaster agroindustri hasil laut ............
66
Gambar 29
Rantai produksi dan pelaku industri hulu ke hilir produk teri nasi di Jawa Timur ......................................................
67
Gambar 30
Interaksi antara pelaku industri teri nasi dalam satu kelompok .............................................................................
68
Gambar 31
Produk dried baby anchovy (teri nasi) ……………………..
69
Gambar 32
Diagram alir proses pengolahan dried baby anchovy (teri nasi) …………………………………………………………….
69
Gambar 33
Rantai produksi dan pelaku industri rumput laut .................
70
Gambar 34
Proses pembuatan agar-agar bubuk ..................................
71
Gambar 35
Diagram sebab akibat sistem klaster agroindustri hasil laut
74
Gambar 36
Diagram input-output sistem klaster agroindustri hasil laut
75
Gambar 37
Kerangka kerja perancangan model pengukuran kinerja komprehensif klaster agroindustri hasil laut…...……………
77
Gambar 38
Aspek dan kriteria penentu kinerja klaster agroindustri hasil laut ................................................................
82
Gambar 39
Kriteria dan sub kriteria kinerja sosial klaster agroindustri hasil laut ..............................................................................
83
Gambar 40
Kriteria dan sub kriteria penentu kinerja lingkungan klaster agroindustri hasil laut ........................................................
84
xx Halaman Gambar 41
Kriteria dan sub kriteria penentu kinerja ekonomi klaster agroindustri hasil laut .......................................................
84
Gambar 42
Kriteria dan sub kriteria penentu kinerja ekonomi klaster agroindustri hasil laut .........................................................
85
Gambar 43
Struktur hirarki kinerja komprehensif klaster agroindustri hasil laut ………………………………………………………..
86
Gambar 44
Prioritas tujuan di dalam sistem klaster agroindustri hasil laut ……………………………………………………………..
91
Gambar 45
Kontribusi empat aspek didalam pencapaian tujuan peningkatan kesejahteraan pelaku klaster ..........................
92
Gambar 46
Distribusi bobot sub kriteria didalam kriteria kelembagaan klaster .................................................................................
93
Gambar 47
Distribusi bobot sub kriteria didalam kriteria finansial .........
94
Gambar 48
Distribusi bobot sub kriteria didalam kriteria pertumbuhan ekonomi ………………………………………………………..
94
Gambar 49
Nilai bobot relatif aspek terhadap tujuan klaster industri ....
96
Gambar 50
Contoh tampilan sensitifitas perubahan prioritas tujuan terhadap kritera dan sub kriteria …………………………….
104
Gambar 51
Nilai awal prioritas tujuan dan kriteria pembentuk kinerja ...
105
Gambar 52
Perubahan nilai prioritas terhadap nilai bobot dari sejumlah kriteria dan sub kriteria ……………………………
106
Gambar 53
Tampilan menu utama Sistem Penunjang Keputusan Kinerja Komprehensif Klaster ………………………………..
116
Gambar 54
Prediksi total penjualan dengan model pemulusan eksponensial tunggal…….…………………………………..
121
Gambar 55
Prediksi total penjualan dengan model dekomposisi ……..
122
Gambar 56
Prediksi total penjualan dengan model pemulusan eksponensial ganda...........................................................
122
Gambar 57
Struktur pelaku klaster industri teri nasi di Jawa Timur .......
124
Gambar 58
Struktur pelaku klaster industri rumput laut di Jawa Timur..
128
Gambar 59
Proses login pada SPK C-Promeas ....................................
136
Gambar 60
Tampilan sub menu database interaktif dalam SPK ...........
136
Gambar 61
Tampilan data nilai bobot sesuai dengan struktur hirarki....
137
xxi Halaman Gambar 62
Grafik peramalan harga ekspor teri nasi untuk 12 periode ke depan dengan menggunakan Jaringan Saraf Tiruan (JST) (Tahun 2007) ………………………………………….
141
Gambar 63
Hasil peramalan harga teri nasi dengan menggunakan JST ………………...............................................................
142
Gambar 64
Tingkat pengaruh beberapa parameter pada hasil peramalan harga teri nasi ...................................................
143
Gambar 65
Contoh grafik monitoring kinerja klaster industri .................
156
Gambar 66
Daftar keanggotaan fuzzy dalam penilaian kepentingan dan daya dukung infrastruktur ............................................
159
Gambar 67
Diagram lingkar sebab akibat penentuan kapal tangkap (Gunarta, 2006)..............................................................
169
Gambar 68
Total Penjualan teri nasi periode 2003-2005 ………...........
170
Gambar 69
Tampilan interaktif analisis what-if untuk finansial nelayan
171
xxii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1
Daftar pelaku industri hasil laut di Jawa Timur ........................
L-1
Lampiran 2
Panduan operasional (Manual) Sistem Penunjang Keputusan Pengelolaan Kinerja Komprehensif Klaster Agroindustri Hasil Laut ..........................................................................................
L-2
Lampiran 3
Kumpulan pengetahuan pakar (knowledge base) dalam bentuk rekomendasi aksi untuk setiap kondisi/status capaian kinerja aspek klaster agroindustri dan peningkatan fungsi dan peran stakeholder klaster .........................................................
L-3
Lampiran 4
Level agroindustri pada klaster industri teri nasi dan rumput laut menurut Austin (1981) .......................................................
L-4
PENDAHULUAN Penelitian perancangan model pengukuran kinerja sebuah sistem klaster agroindustri hasil laut dilakukan dengan berbagai dasar dan harapan dapat dijadikan sebagai perangkat bantuan untuk pengelolaan kinerja sebuah sistem klaster agroindustri hasil laut di Indonesia pada umumnya. Beberapa argumentasi dan aspek penting yang menjadi dasar dalam penelitian akan diuraikan dalam bagian ini secara sistematis.
Latar Belakang Pengembangan agroindustri senantiasa diarahkan untuk menyempurnakan sukses pada generasi pertanian sebelumnya, sehingga beberapa aspek pada generasi sebelumnya harus tetap menjadi fokus pertimbangan. Aspek-aspek yang tetap harus dipertimbangkan tersebut diantaranya adalah adanya peningkatan kesejahteraan petani dan kontribusi pendapatan nasional baik dari sisi Gross Domestic Product (GDP) maupun Gross National Product (GNP). Agroindustri muncul sebagai upaya peningkatan nilai tambah dari sektor pertanian melalui serangkaian aktivitas yang dilakukan untuk itu. Agroindustri diharapkan juga akan memberikan nilai tambah pada pendapatan nasional dan peningkatan kesejahteraan masyarakat petani. Menurut Brown (1994), agroindustri merupakan industri yang berbasis pada pengolahan bahan baku pertanian yang sangat utama dalam menunjang ekonomi negara berkembang. Salah satu sub sektor pertanian yang perlu diperhatikan karena potensinya adalah sub sektor kelautan. Kelautan
merupakan
sub
sektor
Pertanian
yang
potensial
untuk
dikembangkan, di samping karena peluang peningkatan devisa negara dari sektor non migas juga tingkat keterlibatan masyarakat dan potensi agroindustrinya. Hal ini diperkuat dengan arah kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan mengacu pada Rencana Strategis (RENSTRA) Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) 2002-2004
yang
menekankan
pertumbuhan
ekonomi
dan
peningkatan
kesejahteraan masyarakat pada bidang kelautan dan perikanan dengan pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan dengan sekaligus memelihara daya dukungnya.
Pengembangan
sub
sektor
kelautan
dan
perikanan
melalui
pembangunan agroindustri diharapkan dapat menjamin terjadinya peningkatan nilai tambah. Oleh karena itu diperlukan adanya pengembangan struktur agroindustri hasil laut yang mendukung arah kebijakan tersebut dan sistem pengukuran kinerja
2
yang dijadikan acuan dalam monitoring dan evaluasi sekaligus perbaikan menjadi sebuah sistem industri yang optimal. Klaster industri merupakan salah satu alternatif pedekatan dalam memperkuat struktur Agroindustri Hasil Laut sehingga diharapkan mampu meningkatkan kontribusi riil sektor agroindustri terhadap pembangunan nasional. Kebijakan pemerintah untuk meningkatkan pemasukan devisa negara melalui komoditas non migas khususnya melalui komoditas pertanian perlu disertai dengan tindakan nyata. Salah satu komoditas sektor pertanian yang memiliki potensi kuat untuk dikembangkan dan dijaga keberlanjutannya adalah komoditas hasil laut. Hasil laut di Indonesia
merupakan salah satu komoditas yang mempunyai keunggulan
komparatif yang perlu diimbangi dengan keunggulan kompetetif. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya nilai Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP) pada sub sektor kelautan ini. Meskipun sempat terjadi penurunan pada tahun 1999, namun pada tiga tahun
terakhir
(1999-2002)
meningkat
cukup
signifikan,
berdasarkan
hasil
pengolahan data diperoleh informasi bahwa pada periode tahun 1996 -2002 nilai ISP sub sektor ini memiliki rata-rata 0.95 (www.deprin.go.id). Dalam rangka mengoptimalkan nilai tambah pada sektor Agroindustri hasil laut maka diperlukan optimasi berupa penataan kembali struktur kelompok industri. Melalui penataan struktur kelompok industri ini diharapkan produktivitas sektor riil dapat ditingkatkan yang pada akhirnya dapat terjadi peningkatan kesejahteraan petani/nelayan dan pengusaha serta mampu memberikan kontribusi yang signifikan pada devisa negara. Pengembangan struktur industri harus disertai dengan tujuan adanya peningkatan nilai tambah dan terjadinya pemerataan ekonomi di Indonesia. Beberapa kebijakan perekonomian diindikasikan masih kurang berpihak pada kelompok menengah ke bawah, oleh karena itu perlu diupayakan adanya perubahan yang mampu mengakomodasi kebutuhan tersebut. Pembangunan sistem industri yang terintegrasi dengan model Klaster merupakan salah satu alternatif yang bisa dipelajari sehingga memberikan suatu rekomendasi baru bagi perkembangan sistem perindustrian di Indonesia dengan memunculkan kekuatan baru untuk
mampu
bersaing di era global. Persaingan industri yang terjadi pada era global ini sudah bergeser dari kompetensi industri secara individu menjadi kompetensi supply chain (rantai pasok) dan pada masa mendatang akan menjadi persaingan yang berbasis pada kompetensi klaster. Industri atau klaster yang dikelola secara efisien yang akan mampu memenangkan persaingan, di samping itu juga harus cukup kuat untuk
3
menghadapi
persoalan-persoalan
eksternal
di
masa
yang
akan
datang.
Pembangunan industri yang kokoh dapat dilakukan dengan menyatukan segala kekuatan yang ada sehingga struktur industri mampu tumbuh kembang dan mengurangi sebanyak mungkin pengaruh kondisi eksternal. Perubahan persaingan di pasar dunia yang terjadi di era globalisasi memberikan pengaruh terhadap lingkungan internal maupun eksternal dari sebuah sistem industri. Konsumen menjadi lebih kritis terhadap kualitas dan pelayanan. Perusahaan yang tidak sadar terhadap perubahan tersebut tidak akan mampu bersaing, demikian halnya dengan sebuah Klaster Agroindustri. Sebuah Klaster Agroindustri harus mampu bersaing, sehingga perlu untuk senantiasa ditingkatkan kinerjanya. Pengukuran kinerja klaster sangat diperlukan untuk mengetahui status kinerja klaster berdasarkan indikator-indikator kinerja yang diturunkan dari sejumlah kriteria keberhasilan klaster agroindustri hasil laut, sehingga bisa menjadi acuan dalam menyusun aktivitas perbaikan klaster. Dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi operasional pengukuran kinerja klaster agroindustri hasil laut maka diperlukan sebuah model sistem pengukuran kinerja klaster komprehensif yang tepat dan mudah untuk dioperasikan. Kinerja sebuah klaster yang baik menuntut dipenuhinya beberapa kriteria dasar yang akan menentukan keberhasilan sebuah pengembangan klaster. Banyak penelitian yang sudah dilakukan baik terhadap pengembangan klaster maupun perancangan sistem pengukuran kinerja, namun belum didapatkan adanya penelitian yang secara spesifik merancang sebuah model pengukuran kinerja yang memperhatikan semua aspek baik secara parsial maupun komprehensif sebuah klaster agroindustri hasil laut. Pengukuran kinerja secara parsial pada sebuah klaster agroindustri belum cukup menampilkan secara keseluruhan kinerja klaster tersebut, di samping itu juga sulit diketahui interaksi masing-masing ukuran kinerja sehingga strategi peningkatan kinerja sebuah klaster yang efektif masih sulit untuk dirumuskan. Berdasarkan beberapa uraian di atas, maka untuk meningkatkan kinerja sebuah klaster agroindustri hasil laut perlu dilakukan upaya-upaya konkrit yang diperoleh dari hasil monitoring dan evaluasi terhadap beberapa indikator kinerja yang telah ditetapkan sebagai ukuran kinerja klaster agroindustri hasil laut. Untuk bisa mengetahui capaian-capaian indikator kinerja klaster agroindustri hasil laut dan memberikan respon sebagai umpan balik untuk perbaikan kinerja sistem pada masa yang akan datang maka terlebih dahulu harus dirancang sebuah model pengukuran
4
kinerja komprehensif yang memperhatikan semua ukuran kinerja baik secara parsial maupun integral dalam modelnya.
Tujuan Penelitian Beberapa tujuan yang ingin diperoleh dari hasil penelitian yang dilakukan adalah : (1)
Mendapatkan ukuran kinerja pada sebuah klaster agroindustri hasil laut
(2)
Membangun model scoring board pengukuran kinerja komprehensif dengan memperhatikan klaster agroindustri hasil laut sebagai sebuah sistem.
(3)
Merancang model pengukuran kinerja komprehensif klaster agroindustri hasil laut dalam bentuk Sistem Penunjang Keputusan (SPK) untuk manajemen kinerja pada sistem klaster agroindustri hasil laut.
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk keperluan pengembangan sektor industri khususnya agroindustri hasil laut di Indonesia. Sistem agroindustri hasil laut berdasarkan rantai produksi terdiri dari usaha penangkapan ikan atau budidaya, usaha lepas pantai atau usaha pasca panen serta industri pengolahan hasil laut. Selanjutnya agroindustri hasil pertanian secara kategori berdasarkan tingkatan proses transformasi yang terjadi dapat dibedakan menjadi agroindustri level I, agroindustri level II, agroindustri level III dan agroindustri level IV. Perancangan model pengukuran kinerja komprehensif dilakukan berdasarkan karakteristik agroindustri hasil laut yang diperoleh melalui pendekatan sistem. Verifikasi model dilakukan pada klaster agroindustri hasil laut teri nasi dan rumput laut di Propinsi Jawa Timur. Mengingat belum adanya pernyataan formal sebuah klaster agroindustri hasil laut di Indonesia, maka dalam penelitian ini diasumsikan bahwa sistem agroindustri teri nasi dan rumput laut yang ada pada saat ini sebagai klaster industri untuk keperluan uji coba model. Berdasarkan tingkatan agroindustri, maka pada kedua klaster industri terpilih tersebut dapat dikelompokkan dalam tiga tingkatan yaitu agroindustri level I, level II dan level III, sementara untuk level IV (pada industri pangan) tidak terdapat pada klaster yang diamati. Pertimbangan lain adalah dimilikinya beberapa karakteristik perilaku klaster pada kedua jenis industri tersebut, diantaranya adalah adanya komunikasi dan kerjasama meskipun masih dalam batas rantai produksi. Untuk selanjutnya, hasil implementasi model pada kedua klaster tersebut akan dijadikan acuan dalam pengembangan ke
5
arah klaster agroindustri hasil laut yang lebih matang melalui sebuah sistem pengelola kinerja yang berkelanjutan.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat, baik untuk pengembangan ilmu maupun aplikasinya, sehingga mampu memberikan kontribusi riil di masyarakat industri khususnya di Indonesia. Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini antara lain : 1. Menjadi alat bantu dalam melaksanakan monitoring dan evaluasi klaster industri khususnya agroindustri yang sekarang sedang diinisiasi oleh Pemerintah dalam 32 sektor industri, di mana industri hasil laut adalah menjadi prioritas kedua. 2. Membantu pengambilan keputusan bagi seluruh pemangku kepentingan (stakeholder, stakeholder) klaster agroindustri hasil laut dalam meningkatkan kinerjanya baik secara individu maupun secara sistem (klaster). 3. Menyediakan infrastruktur lunak yang mudah digunakan (user friendly) sehingga memudahkan pemerintah dalam melakukan perencanaan pengembangan klaster industri khususnya klaster agroindustri. 4. Memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu di bidang Teknik dan Manajemen Industri khususnya di bidang Ilmu Sistem dan Pengukuran Kinerja serta Klaster Industri.
KAJIAN PUSTAKA Peningkatan kinerja klaster agroindustri hasil laut akan lebih efektif dan efisien jika telah tersedia sebuah sistem pengukuran kinerja komprehensif yang dapat diterapkan untuk sebuah klaster agroindustri hasil laut. Pemahaman beberapa aspek substansial diperlukan dalam rangka merancang sebuah sistem pengukuran kinerja yang komprehensif pada model klaster agroindustri hasil laut di Indonesia yang akan diuraikan lebih detail pada bagian ini.
Agroindustri Beberapa pakar mendefinisikan agroindustri dari beberapa sudut pandang. Austin (1981) mengatakan bahwa agroindustri adalah sebuah usaha yang mengolah bahan baku hasil pertanian, termasuk di dalamnya tanaman dan peternakan. Berdasarkan proses transformasi yang terjadi, agroindustri dikategorikan dalam 4 tingkatan yaitu (1) agroindustri level I dengan aktivitas proses secara minimal misalnya pembersihan, pengelompokan dan penyimpanan, (2) agroindustri level II ditandai dengan adanya aktivitas proses peningkatan nilai tambah lagi yaitu pemisahan, penggilingan, pemotongan dan pencampuran, (3) agroindustri level III meliputi pemasakan/perebusan, pasteurisasi, pengalengan, dehidrasi, pembekuan dan ekstraksi serta (4) agroindustri level IV yang dicirikan dengan adanya proses perubahan kimia dan perubahan tekstur (teksturisasi). Sementara itu pada Simposium Pengembangan Agroindustri (1983) di Bogor menyepakati bahwa agroindustri adalah kegiatan industri yang memanfaatkan hasil pertanian sebagai bahan baku, merancang dan menyediakan peralatan serta jasa untuk kegiatan tersebut. Selanjutnya Simposium Nasional Agroindustri II (1987) mendefinisikan lebih jelas bahwa agroindustri adalah suatu kegiatan lintas disiplin yang memanfaatkan sumber daya alam (pertanian) untuk industri. Lebih lanjut lagi penelitian difokuskan pada sub sektor perikanan dan hasil laut, khususnya agroindustri hasil laut.
Potensi Agroindustri Hasil Laut Kelautan merupakan salah satu sub sektor pertanian yang memiliki potensi untuk dikembangkan sehingga dapat berkontribusi lebih baik kepada negara di dalam meningkatkan devisa. Karena sub sektor ini juga melibatkan banyak nelayan di sektor hulu, maka peningkatan kinerja sub sektor kelautan diharapkan juga akan mampu meningkatkan kesejahteraan nelayan. Agroindustri hasil laut merupakan industri hilir yang perlu dioptimalkan sistem pengelolaannya sehingga secara integral
7 mampu meningkatkan kinerja keseluruhan dari sub sektor kelautan khususnya dan sektor pertanian pada umumnya. Terdapat beberapa indikator yang dapat digunakan untuk menilai atau mengukur kinerja sebuah sektor secara kuantitatif di antaranya adalah
indeks
Indikator Spesialisasi Perdagangan (ISP), Pangsa Pasar dan indeks Revealed Comparative Advantage (RCA) untuk melihat pangsa relatif ekspor sebuah produk atau komoditas. Ketiga alat ukur tersebut dikenal dengan alat ukur spesialisasi. ISP merupakan alat ukur yang penting bagi perkembangan ekonomi suatu negara. Perekonomian suatu negara dapat mengalami penurunan, jika spesialisasi industrinya mengarah pada tujuan yang salah (Brasili, Epifani & Helg, 1999). Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP) Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP) digunakan untuk melihat apakah Indonesia sebagai pengimpor atau pengekspor komoditas tertentu. Rumusan ISP adalah sebagai berikut: ISP = (Xi-Mi)/(Xi + Mi)
……..(1)
keterangan : X = nilai ekspor M = nilai impor i = komoditas sesuai SITC Terdapat 3 (tiga) kondisi yang dapat dicirikan dalam perhitungan ISP, yaitu: Jika nilai ISP = -1, artinya negara tersebut hanya pengimpor komoditas tertentu Jika nilai ISP = 0, artinya negara tersebut memiliki jumlah ekspor dan impor SITC yang seimbang Jika nilai ISP = +1, artinya negara tersebut hanya mengekspor komoditas tertentu Dari nilai ISP dapat pula diketahui tahapan pertumbuhan perdagangan suatu komoditas, di mana : Jika -1
8 Komoditas yang memiliki nilai di bawah 0.5 potensial untuk dikembangkan, sedangkan yang memiliki nilai di atas 0.5 merupakan komoditas yang perlu dijaga daya saingnya. Komoditas hasil laut merupakan komoditas unggulan yang potensial untuk terus dijaga dan ditingkatkan kinerjanya. Berdasarkan hasil pengolahan data yang diperoleh dari www.deprin.co.id Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP) komoditas hasil laut di Indonesia memiliki nilai yang sangat baik yaitu dengan nilai rata-rata ISP sebesar 0.95. dengan distribusi nilai ISP komoditas hasil laut pada periode 1996– 1997 sebagai berikut :
0.98
0.98 0.96
0.96
0.96
0.96 0.94
0.94
Nilai ISP
0.94 0.92
0.91
0.9 0.88 0.86 1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
Tahun
Gambar 1 Indeks spesialisasi perdagangan (ISP) ikan segar, dingin atau beku ISTC 034 periode 1996-2002 (www.deprin.co.id) Berdasarkan distribusi nilai ISP komoditas hasil laut seperti grafik di atas dapat dilihat meskipun sempat terjadi penurunan pada tahun 2000, namun secara keseluruhan kinerja perdagangan komoditas hasil laut berada pada tahap menuju kematangan karena setiap tahun dalam periode di atas mempunyai nilai 0.5≤ISP≤ 1. Nilai indikator kinerja ISP menunjukkan bahwa komoditas hasil di Indonesia merupakan komoditas yang pantas diunggulkan dan perlu dijaga bahkan ditingkatkan kinerjanya melalui sebuah pengelolaan komprehensif yang lebih baik. Agroindustri hasil laut merupakan satu upaya peningkatan nilai tambah pada sub sektor kelautan dengan mengolah komoditas hasil laut menjadi produk olahan. Peningkatan nilai tambah bisa senantiasa dilakukan dengan perbaikan sistem dan manajemen secara berkelanjutan. Kondisi perkembangan ekspor impor untuk produk olahan hasil laut sangat baik, hal ini ditunjukkan dengan gambaran kecenderungan
9 nilai ekspor yang relatif stabil dan meningkat dari tahun ke tahun pada periode 19962003 meskipun kenaikannya tidak signifikan seperti dapat ditampilkan pada Gambar 2 berikut :
Gambar 2 Perkembangan nilai ekspor impor olahan hasil laut Indonesia (www.deprin.co.id)
Sementara itu, nilai indeks spesialisasi perdagangan untuk beberapa komoditas hasil laut lainnya dapat dilihat pada Gambar 3 sampai dengan Gambar 9 yang akan ditampilkan secara berurutan di bawah ini :
Gambar 3 Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP) ikan kering, digarami atau diasapi SITC 035 periode 1996-2002 (www.deprin.co.id)
10
Gambar 4 Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP) udang, kerang dan sejenisnya, segar/dingin SITC 036 periode 1996-2002 (www.deprin.co.id)
Gambar 5 Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP) olahan ikan, udang dan kerang SITC 037 periode 1996-2002 (www.deprin.co.id)
Indikator kinerja perdagangan lain yang juga sering digunakan untuk mengevaluasi kinerja perdagangan komoditas bahan baku maupun olahan adalah indeks Revealed Comparative Advantage (RCA) Indonesia di pasar dunia pada tahun 1996-2002 seperti ditampilkan pada Gambar 6 sampai dengan Gambar 9 berikut ini :
11
Gambar 6 Indeks Revealed Comparative Advantage (RCA) SITC 034 (ikan segar, dingin atau beku) periode 1996-2002 (www.deprin.co.id)
Gambar 7 Indeks Revealed Comparative Advantage (RCA) SITC 035 (ikan segar, dingin atau beku) periode 1996-2002 (www.deprin.co.id)
Gambar 8 Indeks Revealed Comparative Advantage (RCA) SITC 036 (udang, kerang dan sejenisnya, segar/dingin) periode 1996-2002 (www.deprin.co.id)
12
Gambar 9 Indeks Revealed Comparative Advantage (RCA) SITC 037 (olahan ikan, udang dan kerang) periode 1996-2002 (www.deprin.co.id) Jika dikaitkan dengan nilai ISP komoditas hasil laut, maka hal ini sangat positif karena tingginya nilai RCA pada komoditas hasil laut juga dibarengi dengan meningkatnya nilai ekspor produk olahan hasil laut (agroindustri hasil laut). Hal ini menunjukkan bahwa keberlanjutan bahan baku cukup bisa diandalkan sehingga peningkatan nilai tambah hasil laut melalui sistem produksi yang efisien dan upaya peningkatan kapasitas produksi diharapkan di masa depan akan lebih bisa meningkatkan kinerja sektor pertanian sub sektor kelautan khususnya agroindustri hasil laut di Jawa Timur maupun di Indonesia. Pangsa Pasar Dari sisi negara pengekspor, kontribusi ekonomi suatu komoditas juga bisa dilihat dari pangsanya, yang dapat diukur dengan rumusan sebagai berikut: P = Xi /∑ X
………(2)
keterangan : P = pangsa (share) X = nilai ekspor i = komoditas berdasarkan SITC Semakin besar nilai pangsa pasar suatu komoditas, semakin penting peranan komoditas tersebut di negara pengekspor. Idealnya, komoditas yang berkontribusi besar merupakan komoditas yang berkembang. Jika ISP menunjukkan nilai negatif, artinya Indonesia merupakan pengimpor komoditas tertentu, perlu dilihat apakah nilai
13 pangsa eskpor komoditas ini juga signifikan. Pembandingan ini dilakukan untuk mengevaluasi tingkat pemasukan / devisa negara. Indeks Revealed Comparative Advantage (RCA) Dilihat dari sisi pasar dunia, produk unggulan dapat dilihat jika produk tersebut memiliki daya saing global, yang direpresentasikan dengan Revealed Comparative Advantage (RCA). RCA dapat dihitung dengan rumus: RCA ij =( Xij/ ∑ Xij) / ∑ Xij/∑∑Xij
………..(3)
keterangan : X = Nilai ekspor i = SITC tertentu j = wilayah/negara tertentu Rasio nilai pembilang menggambarkan pangsa sektor i di suatu negara terhadap total ekspornya sedangkan rasio penyebut menggambarkan pangsa pasar yang sama terhadap ekonomi dunia (Brasili, Epifani & Helg, 1999). Indeks ini memiliki nilai antara 0 dan + ∞. Nilai RCA < 1 menunjukkan bahwa suatu sektor di suatu negara relatif mengalami penurunan spesialisasi terhadap perekonomian dunia. Nilai RCA ≥1 menunjukkan suatu sektor di suatu negara relatif terspesialisasi.
Index
ini
banyak
digunakan
karena
memungkinkan
untuk
membandingkan struktur ekspor suatu negara dengan ekonomi dunia maupun kelompok negara tertentu. Idealnya, suatu negara memiliki nilai RCA positif. Dinamika pola perdagangan dapat dilihat dari hasil perhitungan RCA melibatkan data historis. Penentuan jangka waktu analisis dilakukan dengan mempertimbangkan kebijakan-kebijakan perdagangan yang lalu dan yang masih berlaku.
Sementara
itu
untuk
mengidentifikasi
keunggulan
propinsi/wilayah
penelitian, maka dilakukan analisis korelasi yang membandingkan ekonomi daerah terhadap
ekonomi
Indonesia.
RCA
propinsi/wilayah
Indonesia
dan
RCA
propinsi/wilayah dunia. Arah yang diharapkan adalah terdapat hubungan korelasi positif antara keunggulan domestik (RCA prop/wil-Indonesia) dan keunggulan di pasar dunia (RCA prop/wilayah–dunia). Nilai skala korelasi adalah -1 hingga +1, nilai korelasi negatif berarti kondisi saat ini, produk unggulan SITC tidak sejalan dengan perkembangan pasar dunia. Sedangkan nilai korelasi 0 berarti tidak ada hubungan antara keunggulan kompetisi domestik dan global.
14 Salah satu pendekatan pembangunan struktur industri yang diyakini mampu memperkuat struktur agroindustri hasil laut di Indonesia adalah pendekatan klaster. Pendekatan ini berupaya untuk melihat sistem industri hasil laut sebagai sebuah sistem yang bersifat holistik sehingga perlu kajian dengan sebuah pendekatan sistem. Selanjutnya akan diuraikan konsep klaster industri dan beberapa aspek yang relevan.
Konsep Klaster Industri Klaster Industri yang seharusnya dikembangkan di Indonesia adalah sebuah kelompok yang terdiri dari beberapa industri terkait, institusi pendukung yang saling berinteraksi secara horisontal dan vertikal untuk menciptakan suatu nilai tambah baik untuk individu anggota kelompok maupun untuk bersama-sama. Konsep klaster banyak diperkenalkan oleh Porter (1998) yang melihat klaster industri sebagai sekumpulan perusahaan dan institusi yang terkait pada bidang tertentu yang secara geografis berdekatan, bekerjasama karena kesamaan dan saling memerlukan. Konsep tersebut didukung oleh beberapa pernyataan dari peneliti terdahulu di antaranya Roelandt dan den Hertog (1999) menekankan klaster industri pada jaringan produsen yang terdiri dari perusahaan-perusahaan yang independen dan kokoh bebas (termasuk pemasok khusus) yang terhubung satu sama lain dalam rantai nilai tambah produksi. OECD (2000) mendefinisikan klaster industri sebagai kumpulan/kelompok bisnis dan industri yang terkait melalui suatu rantai produk umum, ketergantungan atas ketrampilan tenaga kerja yang serupa atau penggunaan teknologi yang serupa atau saling komplementer. Berdasarkan kajian literatur yang dilakukan oleh konsorsium Trends Business Research dari Inggris (United Kingdom) terhadap klaster industri bisnis di Inggris diungkapkan adanya 6 (enam) jenis tipologi dari klaster industri yaitu: (1) Rantai produksi vertikal, yaitu suatu suatu rantai produksi vertikal dimana tahap-tahapan yang beriringan dalam rantai produksi membentuk inti klaster industri, (2) Agregasi sektor-sektor yang berhubungan yakni suatu agregasi dari sektor-sektor yang berhubungan, (3) Klaster industri regional, yaitu klaster mengacu pada suatu agregasi dari sektor-sektor yang berhubungan yang berpusat dalam daerah tertentu dan
kompetitif
dalam
pasar
dunia,
(4)
Daerah
(distrik)
industri,
sebagai
pengkonsentrasian lokal dari industri kecil dan menengah yang ahli dalam tahap proses produksi, (5) Jaringan, didefinisikan sebagai bentuk spesifik dari hubungan antara para pelaku ekonomi baik pasar maupun hirarki akan tetapi berbasis pada
ketergantungan yang timbal balik, kepercayaan, dan kooperatif. Klaster
15 industri ini tidak harus terpusat secara geografis, akan tetapi akan lebih baik jika terlokalisasi dan (6) Lingkungan yang inovatif (the innovative milieu), yaitu klaster yang mengacu pada pengkonsentrasian lokal dari industri berteknologi tinggi. Konsep klaster industri dari Michael E. Porter didasari dari hasil penelitiannya di dalam membandingkan daya saing internasional di beberapa negara. Negara yang memiliki daerah dengan kandungan mineral yang melimpah, tanah yang subur, tenaga kerja yang murah dan iklim yang baik sebenarnya memiliki keunggulan bersaing dibanding negara dengan daerah yang “berat”. Akan tetapi ditemui bahwa keunggulan karena keadaan daerah tidak mampu bertahan lama. Keunggulan daya saing suatu negara/daerah dapat bertahan lama di dalam ekonomi yang semakin mengglobal bukanlah karena kandungan mineral dan tanahnya tetapi karena negara tersebut mengkonsentrasikan dirinya terhadap peningkatan keahlian dan keilmuan, pembentukan institusi, menjalin kerja sama, melakukan relasi bisnis dan memenuhi keinginan konsumen yang semakin banyak dan sulit untuk dipenuhi (Porter, 1998). Porter (1998) berargumentasi bahwa industri di suatu daerah/negara unggul bukanlah dari kesuksesan sendiri tetapi merupakan kesuksesan kelompok dengan adanya keterkaitan antar perusahaan dan institusi yang mendukung. Sekelompok perusahaan dan institusi pada suatu industri di suatu daerah tersebutlah yang disebut dengan istilah klaster industri. Pada klaster industri, perusahaan-perusahaan yang terlibat tidak hanya perusahaan besar dan menengah, tetapi juga perusahaan kecil. Adanya klaster industri akan menstimulasi terjadinya bisnis baru, lapangan kerja baru, para pengusaha baru yang mampu memutar pinjaman baru. Porter (1990)
memperkenalkan
teori
kemampuan
kompetisi
suatu
negara
digambarkan dalam model berlian seperti dapat dilihat pada Gambar 10. Strategi Perusahaan, struktur dan persaingan
Perubahan
Kondisi Faktor
Kondisi Permintaan
Industri Terkait dan Pendukung
Gambar 10 Model berlian Porter (Porter,1990)
Pemerintah
yang
16 Terdapat 4 (empat) faktor kunci yang menentukan daya saing suatu negara yaitu : kondisi faktor, kondisi permintaan, strategi perusahaan, struktur dan persaingan serta keterkaitan dan industri pendukung. Konsep ini dikenal dengan model Diamond Porter (Berlian Porter) seperti terlihat pada Gambar 10. Negara tertentu memiliki bentuk berlian (keterkaitan antar empat faktor) berbeda dengan negara lain, yang membuat suatu negara mampu mengungguli negara lainnya. Yang dimaksud dengan kondisi faktor meliputi lima kategori kunci, yaitu: ketersediaan dan kemampuan sumber daya manusia, sumber daya fisik, sumber daya pengetahuan, sumber daya modal dan infrastruktur. Kondisi permintaan meliputi permintaan domestik dan internasional. Model ini menggabungkan analisis di tingkat industri maupun tingkat perusahaan. Strategi perusahaan, struktur dan persaingan mengaju pada kondisi tingkat perusahaan. Sedang keterkaitan dan industri pendukung menunjukkan bagaimana suatu industri saling bergantung dan mengisi industri lainnya. Dengan melihat keempat faktor ini, model berlian menunjukkan mengapa suatu industri bisa saja daya saingnya tidak dapat bertahan lama (Porter, 1990). Pada awalnya konsep ini mengedepankan kedekatan geografis (Porter, 1990). Dengan adanya kedekatan geografis, suatu industri dapat melakukan pemesanan produk secara bersamaan, pengembangan produk bersamaan dan terjadi alih pengetahuan yang dapat membuat industri sebagai suatu sistem mampu meningkatkan produktivitasnya. Pendekatan klaster mengetengahkan pentingnya produktivitas dalam suatu sistem sebagai kunci kemampuan kompetisi suatu negara (Porter, 1990). Produktivitas yang terbangun dengan adanya kedekatan geografis, menunjukkan bagaimana sumber daya manusia dan modal suatu negara digunakan. Produktivitas tergantung pada kemampuan secara efisien suatu produk dihasilkan. Lebih jauh lagi, produktivitas seringkali terkonsetrasi di segmen industri tertentu. Artinya, suatu industri mampu menghasilkan luaran lebih baik daripada industri lainnya. Adanya keterhubungan yang teratur antara keempat faktor tersebut akan menimbulkan terbentuknya klaster industri tanpa rekayasa. Kedekatan lokasi secara geografis menjadi daya tarik dan semakin iteratif terjadinya interaksi antara keempat faktor tersebut. Terdapat tiga cara meningkatkan pertumbuhan produktivitas, pertama, peningkatan produktivitas pada klaster industri disebabkan karena adanya spesialiasi bahan baku dan tenaga kerja, adanya peningkatan akses informasi dari institusi dan lembaga/asosiasi publik dengan menggunakan fasilitas dan program bersama. Kedua, peningkatan kemampuan perusahaan untuk melakukan inovasi dengan mendifusikan kemampuan ilmu teknologi sehingga inovasi akan terjadi lebih cepat. Ketiga, tekanan persaingan pada klaster industri perlu dibarengi dengan kebijakan
17 memberikan insentif kepada karyawan yang melakukan inovasi. Kondisi ini memperlihatkan terjadinya pembelajaran di daerah klaster industri,
adanya
peningkatan terapan teknologi dan kemampuan melakukan inovasi. Kondisi di atas akan menyebabkan klaster industri
mampu beradaptasi terhadap perubahan
lingkungan bisnis. Tujuan dan Manfaat Klaster Industri Pengembangan klaster industri yang mulai marak diperbincangkan saat ini pada dasarnya muncul bukan karena alasan kecenderungan atau sedang populer tetapi sudah mengarah pada kebutuhan akan adanya pengembangan klaster industri di tanah air. Secara umum sudah diyakini bahwa pendekatan klaster industri sangat bermanfaat bagi pembangunan ekonomi, khususnya bagi peningkatan daya saing industri yang berkelanjutan. Bappenas (2003) menyatakan bahwa peningkatan daya saing ini dapat terjadi karena strategi klaster dapat mempengaruhi kompetisi dalam tiga cara berikut : 1) Meningkatkan produktivitas perusahaan 2) Mengendalikan arah dan langkah inovasi yang berfungsi sebagai fondasi pertumbuhan produktivitas di masa depan 3) Menstimulasikan
tumbuhnya
usaha-usaha
baru
yang
dapat
memperkuat dan memperluas klaster Beberapa manfaat dari adanya pengembangan klaster industri pada suatu daerah antara lain (1) memungkinkan suatu kerangka bagi kolaborasi, (2) membantu pengembangan agenda bersama, (3) memperoleh manfaat skala ekonomi, (4) memfasilitasi pengembangan tingkat kompetensi yang lebih tinggi, (5) kerjasama bisnis untuk memperkuat industrinya, (6) membantu mengurangi kekhawatiran persaingan antar-industri dengan membangun rasa saling percaya dan kerjasama antar pelaku bisnis dalam klaster industri, (7) meningkatkan produktivitas, (8) meningkatkan pertambahan nilai, (9) menghimpun sumber daya kolektif, (10) pemasaran bersama, (11) mempengaruhi hubungan pemasok dan pembeli, (12) berbagi informasi, (13) analisis strategis nasional maupun internasional, (14) memperbaiki infrastruktur keras dan lunak daerah, dan (15) rekognisi/pengakuan nasional dan internasional. Klaster industri merupakan mekanisme yang ampuh untuk mengatasi keterbatasan Industri Kecil dan Menengah (IKM) utamanya dalam hal ukuran usaha dan untuk mencapai sukses dalam lingkungan pasar dengan persaingan yang senantiasa meningkat. Langkah kolaboratif yang melibatkan IKM dan perusahaan
18 besar, lembaga pendukung publik dan swasta serta pemerintah lokal dan regional, semuanya akan memberikan peluang untuk mengembangkan keunggulan lokal yang spesifik dan daya saing perusahaan yang tergabung dalam klaster industri. Banyak negara mengimplementasikan klaster industri untuk mengembangkan ekonomi dan meningkatkan daya saing daerah/negaranya, seperti negara Amerika (Arizona, Texas, dan lain-lain), Brazil, Italia, Australia, Spanyol, dan lain-lain. Negara tersebut meyakini adanya keuntungan di dalam mengimplementasikan klaster industri. Berikut ini keuntungan dari klaster industri yaitu (1) mereduksi biaya transaksi, (2) memudahkan terjadinya spesialisasi pemasok, jasa dan sumber tenaga kerja, (3) meningkatkan rata-rata inovasi, (4) menyelesaikan masalah bersama dengan bekerjasama menghasilkan solusi, (5) membuat lembaga pelatihan, teknologi dan infrastuktur bersama, dan (6) melakukan pembelajaran bersama untuk merumuskan strategi peningkatan daya saing. Faktor-Faktor Keberhasilan dan Kegagalan Klaster Industri Beberapa faktor dapat diidentifikasikan sebagai kunci keberhasilan suatu pengembangan klaster industri. Eurada (2003) mendefinisikan beberapa faktor kunci keberhasilan dalam pengembangan klaster industri adalah (1) jumlah pelaku bisnis (perusahaan) yang mencapai critical mass dalam suatu lokasi geografis, (2) bidang aktivitas bisnis terdefinisikan dengan baik, (3) hubungan kemitraan yang kuat antar stakeholder industri, (4) ketersediaan sistem pendukung bagi perusahaan, dan (5) budaya kewirausahaan. Dalam banyak hal, pengembangan klaster industri terkadang tidak berhasil dengan baik. Pada dasarnya, kegagalan-kegagalan tersebut disebabkan oleh tidak adanya faktor-faktor yang menentukan keberhasilan pengembangan klaster industri atau tidak ditangani sebagaimana mestinya. Terdapat beberapa hal yang disarankan untuk dihindari di mana faktor-faktor yang dapat menyebabkan kegagalan pengembangan klaster industri dapat diidentifikasi yaitu (1) Pengembangan klaster industri sebaiknya bukan semata karena “keinginan pemerintah” melainkan karena kebutuhan pasar dan dilakukan oleh pelaku bisnis yang bersangkutan, (2) kebijakan pemerintah tidak berorientasi kuat pada pensubsidian langsung terhadap industri dan perusahaan atau pembatasan persaingan dalam pasar, (3) kebijakan pemerintah sebaiknya berubah dari intervensi langsung ke bentuk tak langsung, (4) pemerintah sebaiknya tidak mengendalikan atau memiliki prakarsa klaster industri melainkan berperan sebagai katalis dan pihak yang membawa bersama seluruh para pelaku dalam klaster industri (termasuk pemasok) serta insentif untuk memfasilitasi proses
19 inovasi dan klasterisasi, (5) kebijakan klaster industri sebaiknya tidak mengabaikan klaster industri kecil dan yang sedang muncul ataupun memfokuskan hanya pada klaster industri yang sudah ada dan “klasik”, (6) kebijakan klaster industri tak hanya cukup dengan analisis atau studi, tetapi juga tindakan nyata. Kebijakan klaster industri yang efektif memiliki arti interaksi antara peneliti, para pimpinan dunia usaha, pembuat kebijakan dan pakar, serta meciptakan suatu forum untuk dialog yang konstruktif, dan (7) klaster industri sebaiknya tidak dimulai dari “nol” ataupun pasar dan industri yang menurun (Hertog, 1998). Asian
Development
pengembangan
klaster
Bank
industri
(ADB) industri
dalam di
penelitiannya
Indonesia
juga
mengenai
telah
berhasil
mengidentifikasikan beberapa hal yang menghambat kesuksesan sebuah klaster industri adalah 1) Mengabaikan hubungan klaster industri ke pasar Pra-syarat pengembangan klaster industri yang baik adalah potensi klaster industri untuk akses ke pasar yang berkembang. Apabila hal ini tidak terlaksana, setiap aktivitas peningkatan teknologi tidak akan berhasil karena para anggota klaster industri tidak memperoleh hasil finansial atas investasinya. 2) Mengabaikan atau bahkan memperlemah potensi UKM untuk berorganisasi sendiri 3) Ketidakmandirian organisasi klaster yang terbentuk, karena organisasi mandiri dari para anggota klaster industri yang kuat dan aktif akan mempermudah proses belajar secara kolektif dan berpikir secara aktif mengenai masa depan. Organisasi mandiri, penting juga untuk mengembangkan pasar dan jaringan distribusi baru. Organisasi mandiri juga penting jika klaster industri ingin meningkatkan keseragaman produk, standarisasi dan mempermudah distribusi. Organisasi mandiri juga penting apabila para produsen ingin menghadapi seorang pembeli yang kuat bersama-sama. 4) Keterbatasan
kemungkinan
Pemerintah
Daerah
untuk
mendorong
perkembangan klaster industri Kebanyakan pemerintah daerah sadar akan masalah yang dihadapi oleh klaster-klasternya. Pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa staf pemerintah daerah mampu dan bersedia menyediakan bantuan, jika diberi kesempatan dan fleksibilitas. Akan tetapi, peranan pemerintah daerah terbatas karena memiliki otonomi anggaran terbatas. Proses
berkembangnya
sebuah
klaster
mulai
pembentukan
hingga
pengelolaannya menuju sebuah klaster ideal akan bervariasi menurut model
20 pengembangan yang digunakan. Hansen (2003) mengemukakan bahwa ada tiga tipe atau model pengembangan klaster yaitu : (1) Spontaneous Clusters, merupakan model pengembangan klaster di mana pelaku usaha
mengetahui persis akan kebutuhan dan bagaimana
membangun klaster. Pada model ini bisa dikatakan klaster berdiri tanpa dukungan yang signifikan dari pemerintah. (2) Private Sector Driven, pada penerapan model ini pelaku usaha menyadari kebutuhannya akan perlunya klaster, namun mereka tidak atau belum tahu bagaimana melakukannya, sehingga di sini pelaku usaha bertindak sebagai inisiator yang dalam proses pengembangannya didukung oleh pemerintah. (3) Donor or Government-Driven, merupakan sebuah model pengembangan klaster di mana pelaku usaha
tidak mengetahui apa itu klaster dan
bagaimana cara mengembangkannya. Di sini pemerintah merupakan tokoh kunci berkembangnya sebuah klaster, baik pada pemilihan basis industri yang
akan
dikembangkan
menjadi
sebuah
klaster
maupun
dalam
menentukan strategi pengembangannya. Berdasarkan karakteristik sistem pemerintahan di Indonesia dan perilaku industri yang ada, maka masih diperlukan inisiator yang kuat untuk terbentuknya sebuah klaster industri baik itu dari industri besar maupun dari pemerintah. Kemauan yang kuat dari beberapa industri mapan menjadi inisiator belum cukup jika tidak dilengkapi dengan pemahaman konsep klaster yang baik. Pemahaman konsep sudah dimiliki oleh beberapa industri, namun masih belum semuanya memahami dengan baik. Model yang direkomendasikan untuk diimplementasikan adalah Spontaneous Clusters dan Private Donor Driven, hal ini diperkuat dengan hasil penelitian pendahuluan yang telah dilakukan (Partiwi dan Marimin, 2005). Peranan Pemerintah pada Klaster Industri Kebijakan pemerintah adalah kebijakan intervensi yang dapat mempengaruhi kondisi ekonomi suatu daerah seperti pemberian subsidi, peraturan (regulasi atau deregulasi), pembangunan infrastuktur, dan kebijakan bea impor dan ekspor. Keberhasilan suatu klaster industri pada suatu daerah, sangat didukung oleh kebijakan dari pemerintah yang efektif terhadap pengembangan klaster industri di daerahnya. Pengembangan klaster industri yang ada perlu didasari oleh strategi pengembangan
ekonomi
dari
pemerintah.
Adanya
peranan
pemerintah
menyebabkan klaster industri yang ada mampu lebih efisien, mengefektifkan aliran informasi, terpenuhinya skala ekonomi dan terjadinya inovasi yang kontinyu.
21 Kebijakan yang tidak berarti memanjakan klaster industri yang ada. Tidak semua keinginan klaster industri dipenuhi langsung dan dilakukan secara serentak. Pemerintah akan membatasi intervensinya hanya pada bidang kebijakan moneter, subsidi dan pemberian keringan bea masuk dan pajak. Klaster industri yang didorong agar lebih proaktif sedangkan pemerintah akan menjadi mediatornya. Adanya stimulus kebijakan diharapkan akan mendorong terjadi penguatan jaringan antar perusahaan dan institusi yang terlibat. Adanya penguatan jaringan dari klaster industri mampu mengefisienkan produksi sehingga meningkatnya kemampuan bersaing dan terbentuknya peningkatan pasar yang signifikan. Berikut ini, beberapa hal yang kebijakan pemerintah di dalam mendukung pembentukan dan pengembangan klaster industri yaitu: (1) mengidentifikasi dari klaster industri yang ada atau berpotensi pada suatu daerah, (2) menyediakan informasi yang dibutuhkan klaster industri dengan strategi informasi, (3) melakukan investasi teknologi dan kemampuan yang bermanfaat bagi klaster industri, (4) menghubungkan klaster industri dengan universitas setempat atau lembaga pelatihan, (5) membantu pengembangan jaringan, (6) memfungsikan diri sebagai pusat layanan, (7) membentuk dan memediasi adanya asosiasi, (8) melakukan kebijakan subsidi, dan (9) membuat peraturan perundang-undangan, serta (10) membangun infrastruktur. Adanya klaster industri tidak hanya menguntungkan perusahaan dan institusi yang terlibat di suatu klaster industri, akan tetapi juga menguntungkan pemerintah untuk lebih memahami ekonomi daerahnya dengan baik. Berikut ini keuntungan yang diperoleh pemerintah yaitu (1) lebih mengerti kebutuhan dari industri dan secara langsung mendialogkan dengan perusahaan dan institusi yang terlibat di suatu klaster industri, (2) dapat memberikan penghargaan dari program penunjang yang ada kepada perusahaan, institusi dan asosiasi, dan (3) dapat mendesain produk pendukung buatan sendiri untuk industri, membantu sektor swasta dalam hal finansial dan manajemennya. Contoh Sukses Klaster Agroindustri Anggur Di Australia Industri anggur Australia mengalami suatu kebangkitan dalam kurun waktu duapuluh tahun terakhir, para petani anggur dan industri anggur di Australia dapat dijadikan sebagai salah satu contoh sukses dalam agroindustri. Banyak petani anggur di negara lain yang telah mengadopsi teknologi penanaman dan pengolahan anggur di Australia seperti sistem irigasi tetes dan yang otomatisasi proses
22 memanen anggur sehingga banyak pesaing Internasional yang mampu menyaingi kualitas anggur Australia. Kesuksesan pertumbuhan industri anggur di Australia salah satunya adalah keberhasilan petani dalam menerapkan prinsip nilai tambah pada proses dan produk yang dihasilkan. Pada tahun 1985 petani Australia melakukan ekspor anggur masih dalam bentuk anggur curah dan sekarang anggur Australia di ekspor sudah dalam bentuk botol-botol anggur yang siap di konsumsi. Nilai tambah yang didapat dari peningkatan nilai produk ini mampu memberikan penambahan keuntungan penjualan lebih dari 90 % dari kondisi sebelumnya. Dengan menerapkan peningkatan nilai tambah dan peningkatan keterampilan kerja dari tiap industri anggur menghasilkan perubahan yang sangat berarti bagi industri ini. Industri anggur Australia mampu menciptakan anggur dengan mutu produk dengan kualitas ekspor yang setara dengan kemampuan untuk meningkatkan 5 kali harga buah anggur menjadi anggur ekspor. Klaster industri Anggur Victoria dalam lima tahun terakhir ini mampu menyumbangkan kontribusi besar pada perekonomian nasional yaitu sebesar 1,6 milliar dollar Australia di akhir bulan Juni 2000. Pertumbuhan kilang pengolah anggur di Australia juga bertambah sangat pesat. Pada tahun 1995, pemerintah Australia melakukan suatu analisis menyeluruh terhadap industri anggur yang dilakukan oleh the Australian Wine Foundation (suatu yayasan perkumpulan petani anggur), dalam usaha agar mendorong arah pengembangan yang lebih maju untuk 30 tahun kedepan dalam bentuk rencana strategi industri anggur sampai tahun 2025. Strategi industri tersebut disajikan dalam suatu rencana nasional dengan target penjualan tahunan $ 4.5 milyar Australia sampai tahun 2025. Dan rencana tersebut dicapai dengan misi untuk menjadi penyalur anggur terbaik di dunia dan menciptakan anggur dengan merk pilihan utama penggemar anggur dunia. Selain itu keunggulan utama yang dimiliki klaster industri anggur Victoria adalah adanya dukungan pemerintah dalam merumuskan perencanaan strategis industri anggur, adanya peraturan pemerintah yang sangat menyokong pertumbuhan industri anggur, adanya pemakaian bersama suatu teknologi antar industri serta dukungan pemerintah dari segi promosi internasional secara bersama-sama. Sejak tahun 1998, produksi anggur curah meningkat sekitar 12 kali lipat dan pada periode yang sama telah tumbuh lebih dari 350 industri pengolahan anggur (kebanyakan tumbuh sebagai industri kecil menengah). Terdapat 5 industri besar pengolah pengolah anggur yaitu Southcorp Wines, BRL Hardy, Orlando Wyndham dan Beringer Blass, yang menguasai hampir 70% dari total produksi anggur. Dan
23 kelima industri besar ini mampu menghasilkan anggur yang termasuk dalam 20 merk anggur terbaik. Klaster industri anggur Australia mampu menghasilkan kurang lebih 1000 ton anggur curah per tahun. Dibandingkan terhadap beberapa negara bagian penghasil anggur di Australia, klaster industri Victoria merupakan kumpulan industri anggur terbesar di Australia dengan jumlah industri 336 buah, yang kebanyakan diklasifikasikan sebagai Industri Kecil dan Menengah (IKM) dengan jumlah pemasok mencapai 708 buah, organisasi anggur sebanyak 167 organisasi dan distributor yang terlibat dalam klaster industri sebanyak 154 buah.
Studi Sistem Perkembangan yang terjadi di dunia nyata memberikan konsekuensi logis terhadap peningkatan kompleksitas persoalan. Semakin kompleks sebuah persoalan di dunia nyata maka semakin dituntut suatu pola pikir yang integratif dalam penyelesaiannya sehingga diperoleh suatu solusi yang optimal. Persoalan dunia nyata dapat dipandang sebagai sebuah sistem yang di dalamnya bisa terdiri dari beberapa sub sistem, sehingga persoalan dapat diselesaikan secara bertahap dengan sebuah metodologi yang sistematis yang dikenal dengan metodologi sistem. Eriyatno (2003) menyatakan bahwa metodologi sistem mempunyai tujuan untuk mendapatkan suatu gugus alternatif sistem yang layak untuk mencukupi kebutuhankebutuhan yang telah diidentifikasi dan diseleksi. Analisis dengan metodologi ini akan menghasilkan satu set alternatif dari kebutuhan yang telah diidentifikasi. Selanjutnya dikatakan bahwa metodologi sistem pada prinsipnya melalui enam tahap analisis sebelum tahap sintesa (rekayasa) yang meliputi ; (1) analisis kebutuhan, (2) identifikasi sistem, (3) formulasi masalah, (4) pembentukan alternatif sistem, (5) determinasi dari realisasi fisik, sosial dan politik, (6) penentuan kelayakan ekonomi dan finansial. Langkah ke-1 sampai ke-6 tersebut selanjutnya disebut dengan Analisis Sistem. Sistem didefinisikan sebagai sekumpulan obyek yang berkaitan di antara satu obyek dengan obyek yang lainnya dan antar atribut-atributnya serta keterkaitannya dengan lingkungan dengan membentuk suatu sinergi (Schoderbek,1985). Manetch and Park (1985) mendefinisikan sistem sebagai suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau suatu gugus dari tujuan-tujuan. Perbedaan definisi di atas terletak pada pernyataan bahwa di dalam sistem yang berinteraksi tidak murni obyeknya melainkan ada komponen intrinsik yang berinteraksi yaitu atribut yang relevan yang terdapat pada obyek tersebut.
24 Pada sebuah organisasi dapat digambarkan kerangka sistem yang sekaligus menunjukkan
posisi
sistem
yang
terdiri
dari
komponen-komponen
dengan
lingkungannya yang secara skematis dapat dilihat pada Gambar 11. Penggambaran skema tersebut dapat mempermudah dalam menentukan batasan sistem, identifikasi komponen dan analisisnya. Lingkungan merupakan elemen di luar sistem yang seringkali tidak dapat dikendalikan. Suatu obyek mungkin termasuk dalam sistem dan lingkungan. Eriyatno (2003) membagi komponen input menjadi input endogen (input yang terkendali) dan input eksogen (input yang tidak terkendali) serta mengklasifikasikan output kedalam output yang dikehendaki dan output yang tidak dikehendaki. Identifikasi dan pendefinisian yang benar akan seluruh bagian dari sistem di dalam sebuah persoalan sistem akan sangat menentukan validasi dari hasil sebuah studi sistem. Parameter sistem harus ditentukan terlebih dahulu untuk dapat mengelola sistem tersebut sehingga mampu mencapai tujuan yang diinginkan, manajemen/pengelolaan sistem tersebut dalam kerangka sistem akan menentukan kinerja umpan balik. Simatupang (1995) mengatakan bahwa sistem sebagai teori pertamakali dikembangkan oleh Ludwig Von Bertalanffy pada tahun 1940-an dan memberi nama General System Theory (GST). Selanjutnya mulai bermunculan ide dan metodologi sistem antara lain Norbert Wiener dengan metode Cybernetics (1948), Jay W. Forrester dengan metode Systems Dynamics (1961), Russel L. Ackoff dengan metode System Approach in Operation Research (1978), Peter Checkland & Jim Scholes dengan Soft System Methodology (1990) serta Michael C. Jackson & Robert L. Flood dengan metode Total Systems Intervention (1991). Evolusi ilmu sistem oleh Blanchard dan Fabricky (1998) digambarkan melalui perkembangan dari cybernetics, general system theory dan systemology.
25 Lingkungan Konsumen Karyawan
Ekologi
Bahan dan Peralatan
Pemerintah Organisasi
Input
Proses
Output
Pengendalian umpan balik
Kapital
Masyarakat Umum
Tanah
Pesaing Teknologi
Gambar 11. Organisasi, sumberdaya dan lingkungannya (Schoderbek, 1985) Pendekatan Sistem Pendekatan sistem merupakan pendekatan terpadu yang memandang suatu persoalan
dengan
menggabungkan
memperhatikan
obyek-obyek
interaksi
tersebut
antara
sehingga
obyek-obyek
membentuk
yang
keseluruhan
(Schoderbek, 1985). Prinsip dasar dari pendekatan sistem adalah (1) Suatu sistem lebih besar daripada jumlah komponen sistem tersebut, (2) Bagian dari sistem yang dipelajari harus dapat diduga, (3) Meskipun tiap sub sistem berdiri sendiri, sub sistem ini merupakan bagian dari sistem yang lebih besar, (4) Adanya pengorbanan suatu tujuan jika ingin meningkatkan tujuan lain, (5) Sistem yang kompleks harus dipecah ke dalam sub-sistem yang lebih kecil sehingga dapat dianalisis dan dimengerti sebelaum digabungkan
kembali, (6)
Komponen
sistem
saling berinteraksi,
perubahan pada suatu elemen akan mempengaruhi seluruh komponen dan (7) Semua sistem cenderung mencapai keseimbangan yang merupakan keseimbangan dari berbagai kekuatan dari luar sistem. Schoderbeck (1985) megatakan bahwa terdapat tiga fase utama
dalam
melakukan studi sistem yang menggunakan pendekatan sistem yaitu fase konseptualisasi, fase kuantifikasi dan fase komputerisasi. Pendekatan sistem merupakan multidisiplin ilmu, beberapa kompetensi yang diperlukan di antaranya
26 adalah tersedianya (1) metodologi untuk perencanaan dan pengelolaan, (2) Kerja tim (multidisiplin), (3) pengorganisasian, (4) disiplin untuk bidang yang non – kuantitatif, (5) teknik model matematik, (6) teknik simulasi, (7) teknik optimasi dan aplikasi komputer (Eriyatno, 2000).
Model Sistem Pengukuran Kinerja Peppard dan Rowland (1995) mengatakan bahwa pengukuran kinerja sebuah perusahaan atau organisasi merupakan kunci untuk menjadi efektif dan efisien. Jika tidak ada pengukuran berarti tidak bisa dikelola. Persoalan yang sering dihadapi berkaitan dengan implementasi sebuah sistem pengukuran kinerja adalah adanya kesalahpahaman perancang maupun praktisi dalam menerjemahkan beberapa komponen dasar yang meliputi ukuran kinerja (performance measure), pengukuran kinerja (performance masurement) dan sistem pengukuran kinerja (performance measurement system). Ketidaktepatan ini dapat menimbulkan ketidak optimalan bahkan kesalahan dalam pengambilan keputusan. Suwignjo (1999) mengemukakan bahwa terdapat beberapa definisi ukuran kinerja yang dapat dijadikan referensi penelitian yaitu ; (1) Karakteristik output yang diidentifikasi untuk tujuan evaluasi, (2) Indikator-indikator numerik atau kuantitatif yang menunjukkan seberapa jauh masing-masing sasaran dapat dicapai (3) Tandatanda vital dari sebuah organisasi yang mengukur secara kuantitatif bagaimana sebuah aktifitas baik berdasarkan proses maupun output dapat mencapai suatu tujuan tertentu dan (4) Deskripsi kuantitatif yang menyatakan kualitas produk maupun layanan dari sebuah proses atau sistem. Pada penelitian ini ukuran kinerja yang dielaborasi akan mencakup dua aspek baik tangible maupun intangible. Indikator yang berkaitan dengan aspek lingkungan dan sosial juga merupakan komponen yang perlu digali karena memberikan pengaruh terhadap kinerja klaster secara agregat sistem. Sebagai konsekuensinya maka akan dimungkinkan munculnya indikator-indikator kualitatif yang selanjutnya dapat diolah dengan metode tertentu untuk menghasilkan indikator kuantitatif. Menurut Armstrong dan Baron (1998), Pengukuran Kinerja adalah suatu strategi
dan
pendekatan
terpadu
untuk
menghasilkan
keberhasilan
yang
berkelanjutan pada suatu organisasi dengan peningkatan kinerja dari orang-orang yang bekerja di dalamnya dan dengan mengembangkan kapabilitas kontribusi baik secara tim maupun individu. Sementara itu Fletcher dalam Armstrong (1998) memberikan alternatif lain tentang definisi pengukuran kinerja yaitu suatu pendekatan untuk menghasilkan sebuah visi dari suatu maksud dan tujuan dari organisasi, membantu setiap karyawan untuk mengerti dan menyadari kontribusi
27 mereka dalam organisasi dan juga mengelola dan meningkatkan kinerja baik individu maupun organisasi. Sistem
Pengukuran
Kinerja
merupakan
suatu
cara
sistematis
untuk
mengevaluasi input, output, transformasi dan produktivitas dalam suatu operasi manufaktur maupun non manufaktur (Suwignjo, 1985). Selanjutnya dikemukakan bahwa sistem pengukuran kinerja adalah sebuah alat untuk menyeimbangkan ukuran-ukuran ganda (biaya, kualitas dan waktu) melalui beberapa level (organisasi, prosess dan orang). Menurut Neely, et al. (1990) terdapat beberapa definisi berkaitan dengan ketiga terminologi di atas yang dipandang lebih sistematis yang diberikan oleh Cambridge Research Group (kelompok yang berfokus pada sistem pengukuran kinerja) yaitu : 1. Suatu
ukuran
kinerja
adalah
sebuah
matriks
yang
digunakan
untuk
mengkuantitatifkan efisiensi dan efektifitas dari sebuah tindakan. 2. Pengukuran kinerja adalah proses kuantifikasi efisiensi dan efektifitas sebuah tindakan. 3. Sistem Pengukuran Kinerja adalah kumpulan matriks yang digunakan untuk mengukur baik efisiensi maupun efekktifitas dari tindakan-tindakan. Definisi ini yang selanjutnya akan digunakan sebagai acuan yang mendasari penelitian mengenai perancangan sistem pengukuran kinerja secara komprehensif pada sebuah klaster agroindustri ini.
Perkembangan Model Sistem Pengukuran Kinerja Perancangan sistem pengukuran kinerja sudah pernah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya dalam beberapa kasus yang berbeda. Banyak peneliti telah melakukan perancangan sistem pengukuran kinerja yang didasarkan pada kondisi keuangan secara tradisional telah gagal untuk diterapkan pada sebuah lingkungan bisnis yang dinamis (Kaplan, 1983; Kaplan, 1984 ; Suwignjo 1999). Beberapa model lain dikembangkan untuk situasi yang lain di antaranya Activity Based Costing System (Cooper, 1992), Balanced Scorecard (Kaplan dan Norton, 1996), SMART System (Cross and Lynch, 1989) dan beberapa penelitian lain yang secara umum memiliki kerangka pemikiran perancangan sebuah sistem pengukuran kinerja. Pada tahun 1999 sebuah penelitian dikembangkan oleh Suwignjo (1999), penelitian ini lebih berfokus pada penggunaan metode kuantitatif untuk sebuah sistem pengukuran kinerja yang lebih dikenal dengan model Quantitative Method for Integrated Performance Measurement Systems (QM-IPMS). Sampai dengan saat ini masih banyak penelitian sistem pengukuran kinerja yang telah dan sedang
28 dikembangkan, namun belum terdapat suatu penelitian sistem pengukuran kinerja yang berfokus pada klaster agroindustri hasil laut, oleh karena itu untuk melengkapi peta penelitian tentang sistem pengukuran kinerja maka pada penelitian ini akan dikembangkan sebuah model pengukuran kinerja komprehensif pada sistem klaster agroindustri hasil laut khususnya di Indonesia. Strategic Measurement Analysis and Reporting Technique (SMART) System Salah satu Model sistem pengukuran kinerja yang akan menjadi referensi dalam perancangan model sistem pengukuran kinerja komprehensif untuk Klaster Agroindustri adalah SMART System. Model ini dikembangkan pertama kali di Wang Laboratory, Inc., Lowell, Massachusetts (Cross and Lynch, 1989). Keberhasilan model ini diterapkan dengan menggunakan pendekatan Just In Time sebagai upaya untuk mendefinisikan beberapa kerangka kerja berikut : Pengukuran departemen-departemen dan fungsi-fungsi untuk memastikan bahwa mereka memberikan kontribusi secara terpisah atau bersama-sama dalam menentukan misi strategi manufaktur. Keterkaitan operasi dengan tujuan strategis Integrasi informasi finansial dan non-finansial dalam suatu cara yang dapat digunakan oleh para manajer operasi. Fokus pada seluruh aktifitas bisnis pada pemenuhan kebutuhan bisnis yang akan datang seperti yang diinginkan oleh konsumen. Perubahan kinerja, insentif dan sistem reward seperti yang diinginkan. Kerangka kerja SMART System secara lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 12. Di mana pada level paling puncak, maka visi bisnis akan membentuk dasar dari strategi korporasi. Manajemen kemudian dapat membuat aturan portfolio untuk masing-masing unit bisnis misalnya aliran kas, pertumbuhan dan inovasi. Sumber daya yang ada dialokasikan untuk memenuhi aturan portofolio tersebut. Namun demikian tidak tampak jelas bagaimana sumberdaya tersebut dialokasikan. Pada level kedua kerangka kerja sistem SMART, tujuan dari masing-masing unit bisnis didefinisikan karakteristik pasar dan finansialnya. Strategi untuk mencapai tujuan ini selanjutnya dirumuskan. Sebagian unit usaha mendefinisikan ukuran sukses dari : (1)
Pencapaian tujuan jangka pendek pada tingkat tertentu berupa aliran kas yang positif dan profitabilitas.
(2)
Pencapaian tujuan jangka panjang dari pertumbuhan dan penetrasi pasar.
29 Level ketiga menghasilkan sistem operasi untuk masing-masing unit bisnis, lebih banyak merupakan tujuan operasi yang bersifat tangible dan prioritas dapat didefinisikan dalam bentuk kepuasan pelanggan, fleksibilitas dan produktivitas. Kemudian pada level keempat atau yang paling bawah dari hirarki sistem SMART, menyatakan tujuan dari setiap fungsi ataupun departemen dari masing-masing unit bisnis untuk meningkatkan kualitas, waktu pengiriman dan menurunkan waktu proses dan biaya.
Visi Ukuran pasar Kepuasan konsumen Kualitas
Korporasi
Ukuran finansial
Unit-unit bisnis
Fleksibili- Produktivitas tas
Pengiriman
Waktu Proses
Sistem Operasi Unit
Biaya
Departemen dan Stasiun Kerja
Operasi-operasi Fokus Eksternal
Fokus Internal
Gambar 12. Kerangka kerja dari Sistem SMART (Dixon, et al,1993) Berdasarkan karakteristik agroindustri hasil laut, maka beberapa aspek perlu untuk dipertimbangkan dalam pengembangan model pengukuran kinerja untuk klaster agroindustri hasil laut kedepan. Aspek tersebut di antaranya adalah ukuranukuran intangible seperti aspek lingkungan dan sosial kemasyarakatan yang dalam sebuah klaster agroindustri merupakan aspek yang sangat menentukan kinerja sebuah klaster secara komprehensif.
30 Balanced Scorecard Kaplan dan Norton (1996) mengembangkan Balanced Scorecard sebagai satu model sistem pengukuran kinerja yang memperhatikan baik aspek finansial maupun non finansial. Aspek non finansial digunakan untuk mengevaluasi peningkatan kinerja lokal untuk bagian penerimaan dan pelayanan konsumen, sementara itu aspek finansial secara agregat lebih diutamakan untuk melihat kinerja dari para senior manajer yang juga dapat dilihat berdasarkan kinerja dari level-level di bawahnya. Selanjutnya kerangka kerja dari Model Balanced Scorecard dapat dilihat pada Gambar 13. Lebih lanjut Kaplan dan Norton (1996) mengatakan bahwa Balanced Scorecard menegaskan bahwa ukuran finansial dan non finansial harus merupakan bagian dari sistem informasi untuk karyawan pada semua level dari sebuah organisasi. Karyawan lini depan harus mengerti konsekuensi finansial dari setiap aktivitas dan keputusan yang dilakukan, eksekutif senior harus paham terhadap komponenkomponen driver yang menentukan keberhasilan finansial jangka panjang. Balanced Scorecard lebih bertujuan pada bagaimana kumpulan ukuran kinerja baik financial dan non financial dilakukan. Ukuran-ukuran kinerja tersebut dilakukan dengan proses top down melalui misi dan strategi dari unit bisnis. Balanced scorecard harus menterjemahkan misi dan strategi unit bisnis ke dalam ukuran dan tujuan yang tangible. Ukuran-ukuran tersebut menunjukkan keseimbangan antara ukuran-ukuran eksternal dari pemegang saham dan konsumen dan ukuran internal yang diwakili oleh proses unit bisnis, inovasi dan pertumbuhan. Ukuran-ukuran yang diseimbangkan antara ukuran-ukuran hasil yang merupakan akibat dari sebuah usaha masa lalu dan akan menentukan kinerja yang akan datang. Balanced Scorecard lebih dari sebuah sistem pengukuran kinerja taktis ataupun operasional. Perusahaan yang inovatif menggunakan scorecard sebagai satu sistem manajemen strategi untuk mengelola strategi melalui suatu langkah panjang. Perusahaan tersebut menggunakan fokus pengukuran pada scorecard untuk menyelesaikan proses manajemen yang kritis antara lain : (1)
Klarifikasi dan menterjemahkan visi dan strategi
(2)
Mengkomunikasikan dan mengkaitkan tujuan dan ukuran strategis
(3)
Merencanakan, menentukan target-target dan meluruskan inisiatif strategis
(4)
Meningkatkan strategi umpan balik dan pembelajaran.
(Kaplan dan Norton, 1996).
31
Untuk berhasil secara financial, bagaimana cara menunjukkan pada para share holder Untuk Konsumen mencapai visi, apa yg seharusnya 1 2 dtunjukkan Tujuan pada Ukuran konsumen? Target Inisiatif
3
Untuk mencapai visi, bagaimana seharusnya kita menjaga keberlanjut an untuk berubah & meningkat?
Finansial 1
2
3
Tujuan Ukuran Target Inisiatif
Untuk memuaskan shareholder dan konsumen, proses usaha apa yg harusnya diunggulkan?
Visi dan Strategi
Proses Bisnis Internal 1
2
3
Tujuan Ukuran Target Inisiatif
Pembelajaran dan Pertumbuhan 1
2
3
Tujuan Ukuran Target Inisiatif
Gambar 13. Kerangka kerja Balanced Scorecard (Kaplan dan Norton, 1996) Model Integrated Performance Measurement System (IPMS) Model IPMS membagi level bisnis menjadi empat tingkatan yaitu (1) (Bisnis Induk), (2) Unit Bisnis, (3) Proses Bisnis dan (4) Aktivitas. Tingkatan tersebut dapat berupa fisik dan logis yaitu satu kondisi di mana tingkatan tidak bisa dilihat secara fisik dalam organisasi. Level bisnis induk menunjukkan bisnis secara keseluruhan yang bisa terdiri atas beberapa unit bisnis, dalam hal ini setiap unit bisnis diartikan sebagai satu unit yang merupakan bagian dari organisasi yang melayani sebagian segmen pasar dengan tuntutan pasar yang bersaing. Perbedaan kebutuhan pasar memisahkan satu unit bisnis dengan yang lain. Setiap unit bisnis selanjutnya dapat terdiri dari beberapa proses bisnis yang secara garis besar dapat dikelompokkan dalam dua kategori yaitu :
32 (1)
Proses Inti, yaitu proses yang menunjukkan alasan dasar bagi keberadaan organisasi.
(2)
Proses pendukung, yaitu proses-proses lain yang ditambahkan dalam proses inti untuk mendukung proses inti, sehingga dalam hal ini proses bisnis inti merupakan pemangku kepentingan (stakeholder, stakeholder) dari proses pendukung.
Secara skematis pembagian level pada pendekatan IPMS dapat dilihat pada Gambar 14 berikut ini :
Bisnis Induk
Unit Bisnis
Proses Bisnis
Aktivitas
Gambar 14. Pembagian Level Bisnis berdasarkan Pendekatan IPMS (Bittici, 1996) Pada keempat level tersebut di atas selanjutnya diidentifikasi Indikator Kinerja Kunci (IKK) atau Key Performance Indicator (KPI) berdasarkan kebutuhan pemangku kepentingan, external monitor dan tujuan. Beberapa tahapan yang dilakukan dalam pada bangunan model IPMS adalah sebagai berikut : (1)
Identifikasi kebutuhan dari masing-masing stakeholder.
(2)
Membandingkan kemampuan bisnis dalam memenuhi kebutuhan stakeholder dengan bisnis lain yang sejenis (monitor eksternal)
(3)
Menetapkan tujuan-tujuan bisnis.
(4)
Menentukan Indikator Kinerja Kunci (IKK)
(5)
Melakukan validasi IKK.
(6)
Melakukan spesifikasi IKK.
(Bittici dalam Suwignjo, 1999).
33 Penelitian yang dilakukan merujuk pada metode IPMS kususnya dalam hal identifikasi stakeholder dan penentuan Indikator Kinerja Kunci (IKK) yang dijadikan ukuran keberhasilan sebuah klaster agroindustri hasil laut. Pada metode IPMS indikator yang dielaborasi adalah indikator-indikator kuantitatif
dan tangible,
sementara itu pada penelitian yang dilakukan akan dikembangkan menjadi indikator tangible dan intangible. Metode-metode dalam Penilaian Kriteria Perancangan Model Sistem Pengukuran Kinerja Komprehensif pada Klaster Agroindustri dengan mengembangkan beberapa model memerlukan beberapa penilaian terhadap kriteria-kriteria untuk menentukan indikator kinerja kunci (IKK). Terdapat beberapa karakteristik penilaian yang akan dilakukan baik dari sisi penilai maupun komponen yang dinilai. Karakteristik ini akan menentukan metode yang digunakan dalam mengolah data hasil penilaian tersebut. Beberapa metode akan diuraikan dalam bagian ini secara lebih rinci. Metode fuzzy Dalam memberikan penilaian terhadap sebuah fenomena seringkali digunakan variabel linguistik yang sifat kebenarannya masih samar, kebenaran yang demikian disebut dengan kebenaran fuzzy. Namun demikian ketidakpastian (vagueness) yang menjadi karakteristik dari bahasa natural tidak selalu mengimplikasikan hilangnya ketelitian dan keberartian. Pencetus gagasan logika fuzzy adalah Prof. L. A. Zadeh dari California University di Berkeley. Teori gugus fuzzy pertamakali hanya dipandang sebagai teknik yang secara matematis mengekspresikan ambiguitas dalam bahasa. Namun saat ini, teori gugus fuzzy dikembangkan sebagai pengukuran beragam fenomena ambiguitas secara matematis yang mencakup konsep peluang. Banyak bentuk fungsi keanggotaan standard yang dimunculkan dalam literatur ilmiah, di antaranya adalah tipe Z, tipe lamda, tipe π, tipe U atau TFN dan tipe S. Fungsi keanggotaan standard memiliki nilai ternormalisasi dengan maksimum µ = 1 dan minimum µ = 0. Menurut Harwina (2002) di antara fungsi keanggotaan tersebut yang relatif sering digunakan dalam implementasi adalah Triangular Fuzzy Number (TFN). Dalam TFN, setiap nilai tunggal (crisp) memiliki fungsi keanggotaan yang terdiri dari tiga nilai yang masing-masing merepresentasikan nilai bawah, nilai tengah dan
34 nilai atas. Secara grafis fungsi keanggotaan dengan TFN dapat digambarkan seperti pada Gambar 15 berikut : µA(x) 1
a1
a2
a3
x
Gambar 15 Triangular Fuzzy Number (TFN) A = (a1, a2, a3) (Bojadziev, 1997)
Fungsi keanggotaan untuk TFN pada gambar 3 adalah sebagai berikut : µA(x)
=0
x – a1
= a2 – a1 = a3 - x
a3 – a2
untuk x< a1
…………………………….(4)
untuk a1 < x < a2
…………………………….(5)
untuk a2 < x < a3
…………………………….(6)
Fuzzifikasi dan Defuzzifikasi Nilai Fuzzifikasi merupakan pemrosesan suatu bilangan secara matematik fuzzy berdasarkan metode representasi yang digunakan. Metode representasi yang bisa digunakan di antaranya adalah model TFN, model pi, model Z dan model trapezioda. Masing-masing
model
tersebut
mempunyai
formulasi
matematis
untuk
mendefinisikan nilai fuzzy dari bilangan yang diolah. Defuzzifikasi merupakan proses pengubahan output fuzzy ke output yang bernilai tunggal. Terdapat banyak metode defuzzifikasi, namun yang biasa digunakan adalah metode centroid dan maksimum. Di dalam metode centroid, nilai tunggal dari variabel output dihitung dengan menemukan nilai variabel dari center of gravity suatu fungsi keanggotaan untuk nilai fuzzy. Sedangkan di dalam metode makimum, satu dari nilai-nilai variabel yang merupakan nilai kepercayaan maksimum gugus fuzzy dipilih sebagai nilai tunggal untuk variabel output.
35 Proses Hirarki Analitik (PHA) Menurut Saaty (1990), metode PHA merupakan suatu alat untuk menentukan tingkat pengaruh suatu elemen terhadap suatu permasalahan melalui skala perbandingan fundamental atas kemampuan individu
dalam membuat suatu
perbandingan secara berpasangan terhadap beberapa elemen yang dibandingkan. Lebih lanjut Saaty mengatakan bahwa dalam memecahkan persoalan dengan analisis logis eksplisit, terdapat tiga prinsip yaitu menyusun hirarki, prinsip menetapkan prioritas dan prinsip konsistensi logis. Proses PHA adalah suatu model yang luwes yang memberikan kesempatan bagi perorangan atau kelompok untuk membangun gagasan-gagasan dan mendefinisikan persoalan dengan cara membuat asumsi mereka masing-masing dan memperoleh pemecahan yang diinginkan. Beberapa tahapan yang dilakukan dalam perhitungan menggunakan metode PHA adalah sebagai berikut : (1)
Perbandingan berpasangan Masing-masing elemen di setiap level hirarki diperbandingkan dan dilakukan penilaian gabungan dengan menggunakan rata-rata geometri. Kemudian dilakukan
perhitungan
sintesis
dengan
melakukan
pembobotan
dan
penjumlahan untuk menghasilkan bilangan tungal yang menunjukkan prioritas tiap elemen. Hasil sintesa ini menentukan prosentase prioritas relatif menyeluruh masing-masing elemen. (2)
Perhitungan rasio konsistensi Dalam perbandingan berpasangan dapat terjadi bahwa pertimbangan yang diberikan tidak konsisten yang menyebabkan matriks menjadi tidak konsisten sehingga dilakukan uji konsistensi dengan langkah-langkah berikut : Menghitung nilai λmaks dengan cara : -
mengalikan nilai kolom ke-n dengan bobot barisan ke-n
-
menjumlahkan hasilnya perbaris
-
membagi jumlah baris tersebut dengan bobot masing-masing baris
-
menghitung rata-rata dari jumlah tersebut.
Menghitung indeks konsistensi (CI) dengan menggunakan rumus :
CI
=
λmaks – n n-1
..............................(7)
36 keterangan :
λmaks
= nilai eigen maksimum
n
= ukuran matriks
CI
= indeks konsistensi
Menghitung rasio konsistensi dengan rumus :
CR
=
CI RI
..............................(8)
Harga CR menurut Saaty (1990) tergantung dari matriks yang dibentuk, nilai Cr adalah 0,05 untuk matriks 3 x 3, 0,08 untuk 4 x 4 serta 0,1 untuk yang berukuran di atas 4 x 4. Dari perhitungan ini apabila didapatkan nilai ≤ 10 %, maka penilaian dianggap tidak konsisten (3)
Perhitungan uji konsistensi hirarki Pengujian konsistensi hirarki, dilakukan dengan menggunakan hasil indeks konsistensi dan prioritas relatif tiap matriks perbandingan berpasangan pada tingkat hirarki tertentu dengan menggunakan formula sebagai berikut :
CRH =
h
nij
i =1
j =1
∑ ∑W U ij
i , j +1
.
.............................(9)
keterangan:
j nij Wij
Uj+1
= tingkat hirarki (1,2,....h) = jumlah elemen pada tingkatan hirarki ke j = prioritas relatif dari elemen ke i tingkatan hirarki ke-j = indeks konsistensi semua elemen pada tingkatan hirarki ke j+1 yang dibandingkan dengan elemen tingkatan hirarki ke-j
Dalam penggunaannya rumus di atas dapat disederhanakan menjadi :
CCI
= CI1 + (EV1) x (EV2)
............................(10)
CRI
= RI1 + (EV1) x (EV2)
............................(11)
CRH
= CCI CRI
............................(12)
keterangan :
CRH CCI
= Rasio konsistensi hirarki = Indeks konsistensi hirarki
37
CRI CI1 CI2 EV1 RI1 RI2
= Indeks konsistensi acak hirarki = Indeks konsistensi matriks perbandingan berpasangan pada hirarki tingkat pertama = Indeks konsistensi matriks perbandingan berpasangan pada hirarki kedua (dalam bentuk vektor kolom) = Nilai prioritas dari matriks perbandingan berpasangan pada hirarki tingkatan pertama (dalam bentuk vektor baris) = Indeks konsistensi acak dari matriks perbandingan berpasangan pada hirarki tingkatan pertama (j) = Indeks konsistensi acak dari matriks perbandingan berpasangan
Hasil penilaian hirarki secara keseluruhan dapat diterima jika mempunyai rasio konsistensi (CRH) lebih kecil atau sama dengan 10%. Metode Simple Multi Attribute Rating Technique (SMART) Menurut Goodwin (2000) metode Simple Multi-Attribute Rating Technique (SMART) direkomendasikan karena kesederhanaan dari respon yang diperlukan maupun cara untuk menganalisis respon tersebut. Metode ini merupakan satu metode yang bersifat transparan sehingga dapat digunakan untuk meningkatkan pemahaman masalah dan dapat diterima oleh pengambil keputusan yang biasanya tidak sepenuhnya percaya pada pendekatan matematik ‘black box’ sepenuhnya. SMART dapat merupakan suatu alat yang berguna dalam konferensi keputusan, di mana sejumlah pengambil keputusan bertemu untuk mempertimbangkan sebuah pengambilan keputusan. Beberapa tahapan utama dalam analisis dengan metode SMART ini adalah sebagai berikut : 1. Identifikasi pengambil keputusan 2. Identifikasi alternatif tindakan 3. Identifikasi atribut yang relevan dengan persoalan keputusan 4. Untuk masing-masing atribut, tentukan nilai-nilai untuk mengukur kinerja dari alternatif-alternatif pada atribut tersebut 5. Tentukan bobot pada masing-masing atribut tersebut 6. Untuk masing-masing alternatif, ambil bobot rata-rata dari nilai-nilai yang diberikan untuk alternatif tersebut. 7. Buatlah sebuah keputusan 8. Lakukan analisis sensitivitas Identifikasi atribut dilakukan dengan membangun pohon nilai keputusan yang berisi atribut-atribut yang diawali dengan atribut utama dan dilanjutkan dengan pencabangan yang merupakan atribut-atribut turunan dari atribut utama. Proses diferensiasi atribut dilakukan terus hingga diperoleh atribut-atribut yang spesifik di
38 mana pengambil keputusan mampu membandingkan dengan baik antara satu atribut dengan atribut yang lainnya. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membangun sebuah pohon nilai adalah (1) kelengkapan yaitu semua atribut yang diperlukan sudah teridentifikasi, (2) operasionalitas, yaitu harus dipastikan bahwa atribut pada level terendah merupakan atribut yang mudah dibandingkan oleh pengambil keputusan, (3) bisa didekomposisi, artinya masing-masing atribut harus dipastikan independen satu sama lain, (4) tidak berlebihan atau duplikasi, di mana setiap atribut harus bersifat unik tidak dapat saling menggantikan dan (5) minimasi ukuran, artinya pohon nilai yang terbangun diupayakan seringkas mungkin namun tetap memenuhi kaidah-kaidah pada nomor-nomor sebelumnya (Goodwin & Wright, 2000). Metode Electre II Tabucanon (1988) merumuskan metode Electre II yang merupakan suatu algoritma yang disusun untuk melengkapi teknik Electre I dengan memberikan tambahan konsep keterkaitan antara ranking kuat dan rangking lemah, penjelasan tentang concordance tinggi, rata-rata dan rendah serta discordance tinggi dan ratarata. Kondisi concordance untuk pasangan alternatif (k, ℓ) didefinisikan oleh :
C ( k , l) =
W + (k , l) + W ∞ (k , l) ≥p W + ( k , l) + W ∞ ( k , l) + W * ( k , l)
.........................(13)
dan
W + (k , l) ≥ W * (k , l)
..........................(14)
keterangan :
W + (k , l) = jumlah bobot di mana alternatif k dinyatakan lebih baik dari alternatif ℓ W ∞ (k , l) = jumlah bobot di mana alternatif k dinyatakan tidak berbeda dengan ℓ W * (k , l) = jumlah bobot di mana alternatif k dinyatakan lebih jelek dari alternatif ℓ
Dengan mendefinisikan tiga level pengurangan dari nilai batas dari concordance (keharmonisan) yaitu p*, po dan p* (1 ≥ p* ≥ po ≥ p*) di mana berturut-turut dapat disebut tinggi, rata-rata dan rendah, maka tiga tipe concordance dapat didefinisikan seperti berikut ini :
39
1. Concordance tinggi yang didefinisikan oleh pertidaksamaan C(k, ℓ) ≥ p*
..........................(15)
2. Concordance rata-rata yang didefinisikan oleh pertidaksamaan C(k, ℓ) ≥ po
….......................(16)
3. Concordance rendah yang didefinisikan oleh pertidaksamaan C(k, ℓ) ≥ p*
..........................(17)
Untuk setiap pasangan alternatif (k, ℓ) nilai indeks discordance dihitung menggunakan persamaan berikut :
D(k , l) =
max ( f ( x ), f ( x 1
1
l
1
k
))
p*
…........................(18)
Dengan mendefinisikan dua nilai batas dari discordance yaitu q* dan qo di mana berturut-turut dapat disebut tinggi dan rata-rata, maka beberapa tipe discordance dapat didefinisikan seperti berikut ini : 1. Discordance rendah yang didefinisikan oleh pertidaksamaan D(k, ℓ) ≥ q*
..........................(19)
2. Discordance rata-rata yang didefinisikan oleh pertidaksamaan qo ≤ D(k, ℓ) ≥ q*
..........................(20)
3. Discordance tinggi yang didefinisikan oleh pertidaksamaan q* ≤ D(k, ℓ)
..........................(21)
Pada prosedur perankingan, dua tipe dari konsep keterkaitan ranking diperkenalkan dan terdapat hubungan kuat SF dan hubungan lemah Sf. Akibat dari hubungan ini adalah muncul dua preferensi yaitu preferensi kuat dan preferensi lemah.
Alternatif Metode Prediksi Kinerja Nilai kinerja sebuah organisasi dalam hal ini klaster agroindustri ditentukan oleh nilai kinerja pada tiga kondisi yaitu kinerja masa lalu, kinerja sekarang dan kinerja yang akan datang. Kinerja yang akan datang perlu diproyeksikan untuk mengetahui seberapa jauh capaian kinerja yang mungkin diperoleh oleh sebuah organisasi ataupun klaster agroindustri. Beberapa pendekatan dapat digunakan di antaranya adalah pendekatan numerik dan pendekatan simulasi.
40 Jaringan Saraf Tiruan (Artificial Neural Network) Jaringan saraf tiruan (JST) merupakan salah satu metode yang berbasis pendekatan simulasi dengan metode numerik di dalamnya dan memungkinkan untuk digunakan dalam memproyeksikan kinerja yang akan datang. JST merupakan teknologi yang berakar dari multidisiplin. JST ini memiliki beberapa atribut atau karakteristik yang unik di antaranya pendekatan universal (pemetaan input-output), kemampuan belajar dari lingkungan dan beradaptasi dengan lingkungan tersebut serta mampu membantu asumsi-asumsi lemah tentang fenomena fisik untuk pembangkitan data input (Haykin, 1994). Sebuah jaringan saraf merupakan suatu prosesor yang terdistribusi parallel dan tidak beraturan yang memiliki karakteristik alami dapat menyimpan pengetahuan hasil pelatihan dan menghasilkan sesuatu yang dapat diimplementasikan. Jaringan saraf ini merakit kembali otak dalam dua perhatian utama yaitu : 1. Akuisisi pengetahuan dengan jaringan melalui sebuah proses pembelajaran. 2. Kekuatan jaringan antar neuron dikenal sebagai bobot sinaptik yang digunakan untuk menyimpan pengetahuan. Prosedur yang digunakan untuk membentuk proses pembelajaran disebut dengan algoritma pembelajaran, yaitu terdiri dari fungsi yang memodifikasi bobotbobot sinaptik di dalam jaringan sehingga menghasilkan rancangan tujuan yang diinginkan. Modifikasi bobot-bobot merupakan metode tradisional untuk mendesain jaringan saraf. Misalnya sebuah pendekatan yang paling bagus untuk teori linier adaptive filter yang telah sukses diterapkan pada bidang-bidang telekomunikasi, pengendalian, radar, sonar, seismologi dan teknik kesehatan (Haykin,1994). Namun demikian, adalah hal yang juga memungkinkan untuk sebuah jaringan saraf memodifikasi tipologinya, yang mana dimotivasi oleh kenyataan bahwa saraf-saraf otak manusia bisa mati dan bahwa koneksi sinaptik yang baru dapat tumbuh kembali. Sebuah saraf merupakan suatu unit pemrosesan informasi yang menjadi dasar dari operasi-operasi pada neural network. Terdapat tiga elemen basis dari model saraf yaitu : 1. Sekumpulan sinaptis atau ikatan penghubung, masing-masing dicirikan oleh satu bobot atau kekuatan. Secara spesifik, satu signal xj pada sinapsis input j dikoneksikan ke saraf k dikalikan dengan bobot sinaptik wkj. 2. Suatu penambah untuk penjumlah signal-signal input. 3. Suatu fungsi aktivasi untuk pembatasan amplitudo output dari sebuah saraf. Hasil normalisasi amplitude berkisar pada nilai interval [0,1] atau [1,1].
41 Model saraf (neuron) dapat dilihat pada Gambar 21 termasuk nilai batas eksternal yang mempunyai pengaruh pada pelemahan input dan fungsi aktivasi. Sebaliknya, net input dari fungsi aktivasi dapat ditingkatkan dengan mengikutsertakan bias, bias adalah nilai negatif dari batas tersebut. Dalam bentuk matematis, dapat menjelaskan sebuah saraf k dengan bentuk persamaan sebagai berikut : p
u k = ∑ wkj x j
............................(22)
j =1
dan
y k = ϕ (u k − θ k )
.........................(23)
keterangan : x1, x2,...,xp adalah signal-signal input wk1, wk2,..., wkp adalah bobot sinaptik dari saraf k µk adalah combiner linier output θk merupakan batas φ(“) merupakan fungsi aktivasi yk merupakan signal output dari saraf Beberapa fungsi aktivasi adalah fungsi batas, fungsi piecewise-linear dan fungsi sigmoid. Secara jelas struktur sebuah model dari saraf dapat dilihat pada Gambar 16 sampai Gambar 20.
X1
Signal Input
X2
wk1 q
wk1 q
. . .
Xp
fungsi aktivasi
uk
Φ(“)
? . . .
wk1
Summing junction
Θk bobot
q
Bobot sinaptis
Gambar 16 Model saraf (neuron)
Output yk
42
Input tetap
X0=-1
wk0
X1
wk1
X2 Input
q
q
fungsi aktivasi
wk1
uk
q
. . .
Xp
Wk0 = θk (batas )
Φ(“)
? . . .
Summing junction
Output yk
Θk batas
wk1 q
Bobot sinaptik (termasuk batas
)
Gambar 17 Model non linier dari sebuah saraf dengan parameter batas
Input tetap
X0=+1
X1
X2 Input
wk0 q
wk1 q
fungsi aktivasi
wk1 q
. . .
Xp
Wk0 = bk (bias)
uk
Φ(“)
? . . .
wk1
Summing junction
Output yk
Θk Nilai batas
q
Bobot sinaptik (termasuk bias)
Gambar 18 Model non linier dari sebuah saraf dengan parameter bias
43 Arsitektur Jaringan Terdapat empat jenis bangunan jaringan yang dapat dijadikan refernsi pada kajian JST, yaitu : 1. Single-layer Feedforward networks 2. Multilayer Feedforward Networks 3. Recurrent Networks 4. Lattice Structures Dari keempat jenis bangunan jaringan tersebut multilayer feedforward networks akan dijadikan basis pada implementasi JST dengan metode back propagation. Beberapa struktur jaringan yang terbentuk dapat dilihat pada gambar berikut :
I n p u t la y e r o f so u rce n o d e s
O u tp u t la y e r o f N e u ru o n
Gambar 19 Jaringan feedforward dengan saraf layer tunggal
layer of output neurons
Input layer of source nodes
layer of hidden neuruon
Gambar 20 Jaringan Feedforward yang terhubung penuh dengan satu hidden layer dan output layer
44
Bentuk lain adalah jaringan feedforward yang mana tidak semua sumber input melalui setiap hidden neuron, tergantung pada karakteristik dari signal input yang terjadi. Metode peramalan kuantitatif Menurut Bowermen (2005), teknik peramalan kuantitatif meliputi analisis regresi, regresi deret waktu, metode dekomposisi, pemulusan eksponensial dan BoxJenkins. Analisis regresi merupakan suatu metodologi statistik yang digunakan untuk menghubungkan beberapa variabel yang dapat dikelompokkan ke dalam variabel bebas dan variabel tidak bebas. Variabel tidak bebas dinotasikan dengan y dan variabel bebas dengan notasi x. Bangunan model regresi adalah sebuah persamaan yang menghubungkan y dengan x1, x2, …, xn. Model ini biasanya digunakan untuk (1) menjelaskan sebuah kondisi, (2) memprediksi nilai akan datang dan (3) mengendalikan nilai melalui variabel-variabelnya. Metode dekomposisi digunakan jika diduga dalam deret waktu terdapat komponen kecenderungan, musiman, siklik dan tidak teratur (error). Bentuk umum dari model dekomposisi adalah sebagai berikut :
y t = TRt xSN t xCLt xIRt
.....................(24)
keterangan :
yt
= nilai yang diamati berdasarkan deret waktu pada periode ke-t
TRt
= komponen atau faktor kecenderungan pada periode ke-t
SNt
= komponen atau faktor musiman pada periode ke-t
CLt
= komponen atau faktor siklik pada periode ke-t
IRt
= komponen atau faktor ketidak teraturan pada periode ke-t
Metode pemulusan eksponensial akan efektif digunakan jika komponenkomponen dari deret waktu dapat berubah sepanjang waktu. Karakteristik model ditentukan oleh bobot unik yang dinyatakan sebagai konstanta pemulusan. Salah satu model dari metode pemulusan eksponensial yang sering digunakan adalah pemulusan eksponensial sederhana yang direpresentasikan dengan formula sebagai berikut :
yt = β 0 + ε t
......................(25)
45 keterangan :
ß0
= konstanta pemulusan
εt
= nilai ketidakteraturan (error) pada periode ke-t
Keakuratan dari ketiga alternatif metode peramalan kuantitatif yang telah disinggung di atas ditentukan oleh beberapa capaian parameter di antaranya adalah Mean Absolute Deviation (MAD), Mean Square Error (MSE) dan Mean Absolute Percentage Error (MAPE). Metode terbaik yang memberikan keakuratan hasil tertinggi adalah metode yang memiliki nilai terkecil dari ketiga parameter tersebut. Dan jika terjadi konflik hasil, maka perlu dilakukan pengambilan keputusan melalui beberapa pertimbangan luntuk memilih metode terbaik yang akan digunakan dalam peramalan.
METODOLOGI PENELITIAN Penelitian perancangan model pengukuran kinerja pada sistem klaster agroindustri hasil laut di Indonesia ini dilakukan berdasarkan sebuah kerangka berpikir logis. Gambaran kerangka pemikiran dan detail tahapannya selanjutnya akan diuraikan pada bagian ini.
Kerangka Dasar Pemikiran Keberlanjutan sebuah klaster industri di samping ditentukan oleh komitmen pelaku klaster juga oleh kemampuan klaster dalam mengelola kinerjanya, oleh karena itu perlu dirancang sebuah sistem pengukuran kinerja yang mengakomodasi seluruh kinerja anggota klaster sebagai sebuah sistem yang disebut dengan pengukuran kinerja komprehensif. Pada perancangan sistem pengukuran kinerja ini perlu dilakukan pendekatan sistem untuk mengetahui faktor-faktor yang dipentingkan dalam merepresentasikan kinerja total. Proses kajian bisa menggunakan cara deduktif maupun induktif. Pada pendekatan deduktif identifikasi faktor dilakukan pada kinerja total klaster baru kemudian diderivasi kepada ukuran kinerja dari masingmasing anggota klaster, sementara itu pada pendekatan induktif, identifikasi dilakukan pada masing-masing anggota klaster kemudian diagregasikan menjadi kinerja total. Pada penelitian ini definisi klaster industri yang akan dijadikan sebagai basis adalah ”Klaster Agroindustri merupakan kelompok yang terdiri dari beberapa industri terkait baik secara horisontal maupun vertikal dan institusi pendukung lainnya yang saling berinteraksi untuk menciptakan nilai tambah baik secara individu maupun bersama-sama” (Roelandt & den Hertog, 1999 ; Porter, 1998; Wirabrata, 2003). Pendekatan dengan sistem pakar dilakukan untuk mengakuisisi pengetahuan dari pakar mengenai faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam sebuah pengukuran kinerja baik total maupun parsial. Beberapa metode untuk mengolah data adalah Proses Hirarki Analitik (PHA), SMART-1 (Simple Multi Attribute Rating Technique) dan Electre. Pengembangan model pengukuran kinerja dapat didasarkan pada beberapa model yaitu SMART-2 (Strategic Monitoring and Reporting Technique), Objective Matrix (OMAX), IPMS (Integrated Performance Measurement System) dan Balanced Scorecard. Verifikasi dari hasil rancangan sistem pengukuran kinerja total sebuah klaster yang dihasilkan akan dilakukan pada beberapa klaster yang dipilih. Beberapa metode kuantitatif lainnya masih dimungkinkan untuk digunakan sesuai dengan kebutuhan perancangan model.
47 Verifikasi dari hasil rancangan sistem pengukuran kinerja total sebuah klaster yang dihasilkan akan dilakukan pada beberapa contoh klaster yang telah ditentukan. Pada proses verifikasi yang dilanjutkan validasi ini memungkinkan terjadi perbaikanperbaikan secara simultan yang pada akhirnya akan diperoleh sebuah sistem pengukuran kinerja total yang efektif. Perancangan Model Sistem Pengukuran Kinerja Komprehensif Klaster Agroindustri di Indonesia dilakukan berdasarkan suatu kerangka berpikir logis yang dilandasi argumentasi kuat secara ilmiah. Adapun kerangka pemikiran tersebut dapat digambarkan dalam bentuk skema pada Gambar 21. Tersedianya sebuah sistem pengukuran kinerja secara komprehensif untuk klaster agroindustri hasil laut akan sangat membantu dalam pengelolaannya sehingga dapat mewujudkan tumbuh kembangnya klaster-klaster agroindustri hasil laut yang tangguh dan mampu bersaing. Model pengukuran kinerja komprehensif ini untuk jangka panjang dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan klaster agroindustri hasil laut di masa yang akan datang.
Pemodelan Sistem Pemodelan
sistem
adalah
pembentukan
rangkaian
logika
untuk
menggambarkan karakteristik sistem dalam format matematis ataupun quasimatematis. Beberapa tahapan dalam pemodelan sistem adalah (1) Tahap seleksi konsep, (2) Tahap rekayasa model yaitu menetapkan jenis model yang akan diterapkan yang kemudian mengarah pada pengembangan model yang terarah dan realistik dengan alternatif pendekatan kotak gelap dan struktur, (3)
Tahap
implementasi komputer, pemakaian komputer sebagai pengolah data dan penyimpan data tidak dapat diabaikan dalam pendekatan sistem. Pada tahap implementasi komputer, model abstrak diwujudkan pada berbagai bentuk persamaan, diagram alir dan diagram blok, (4) Tahap validasi untuk jaminan keakuratan model, (5) Analisis sensitivitas, dengan tujuan utama untuk menentukan peubah keputusan mana yang cukup penting untuk ditelaah lebih lanjut pada aplikasi model, (6) Analisis stabilitas, analisis untuk identifikasi batas kestabilan dari sistem diperlukan agar parameter tidak diberi nilai yang bisa mengarah pada perilaku tidak stabil apabila terjadi perubahan struktur dan lingkungan sistem dan (7) Aplikasi model, proses ini dapat merupakan indikasi akan kebutuhan untuk pengulangan kembali proses analisis sistem dan pemodelan sistem (Eriyatno, 2000)
48
Struktur agroindustri di Indonesia
Perumusan Tujuan : Mendapatkan ukuran kinerja komprehensif klaster agroindustri hasil laut Membangun model scoring board pengukuran kinerja komprehensif Merancang model pengukuran kinerja komprehensif klaster agroindustri hasil laut dalam bentuk Sistem Penunjang Keputusan (SPK)
Data Perkembangan agroindustri hasil laut di Indonesia
Kajian Pustaka Klaster Agroindustri Sistem Pengukuran Kinerja Pendekatan sistem Taksonomi Penelitian tentang Pengukuran Kinerja dan Pembangunan Klaster Industri Metode dan model yang mendukung
Perancangan sistem pengukuran kinerja Disain sistem pengukuran kinerja komprehensif Pemilihan contoh klaster agroindustri hasil laut Verifikasi dan validasi model
Knowledge based Model dan Quantitative model
Rekomendasi Model Pengukuran Kinerja Komprehensif Sistem Klaster Agroindustri Hasil Laut Gambar 21 Kerangka Pemikiran Penelitian
Perancangan Model Pengukuran Kinerja Komprehensif Eksplorasi ukuran kinerja agregat dari sebuah klaster dilakukan melalui akuisisi pengetahuan dari pakar yang dijaring melalui sejumlah kuesioner yang dirancang sesuai dengan kebutuhan data dan informasi yang ingin diperoleh. Ukuran kinerja agregat klaster ini lebih bersifat makro sehingga memerlukan referensi ekonomi wilayah yang lebih banyak. Sementara itu untuk pendefinisian ukuran kinerja masingmasing anggota klaster juga akan dilakukan dengan cara akuisisi pengetahuan dari pakar baik dari manajemen industri tersebut maupun akademisi dan pihak lain yang mengenal industri atau anggota klaster tersebut dengan baik. Perancangan model
49 pengukuran kinerja dilakukan dalam bentuk scoring board yang dikembangkan dari beberapa model yang sudah ada berdasarkan fenomena spesifik pada klaster agroindustri hasil laut. Pada tahapan ini juga dilakukan pengumpulan data yang meliputi data primer dan data sekunder serta informasi-informasi lain yang relevan dengan topik penelitian yang sedang dikaji untuk membentuk model dasar pengukuran kinerja komprehensif. Data primer di antaranya adalah (1) data pengetahuan pakar tentang stakeholder sebuah klaster industri, (2) data pengetahuan tentang kebutuhan masing-masing stakeholder untuk peningkatan performansi sebuah klaster dan (3) data pengetahuan tentang ukuran-ukuran kinerja dari sebuah klaster agroindustri hasil laut. Data sekunder di antaranya dari Biro Pusat Statistik (BPS), data perkembangan industri khususnya agroindustri hasil laut di Indonesia dari Disperindag maupun dari sumber lainnya. Sebagian data dan informasi diperoleh dengan melakukan wawancara semi terstruktur kepada pejabat pemerintah yang relevan. Data yang telah diperoleh dari tahap sebelumnya kemudian diolah menggunakan bantuan beberapa perangkat lunak baik yang sudah ada maupun yang dirancang secara khusus. Dalam rancangan model sistem pengukuran kinerja ini terdapat satu bangunan SPK yang dapat dijadikan basis dalam perancangan model. Gambaran arsitektur SPK di dalam Model Sistem Pengukuran Kinerja Komprehensif pada Klaster Agroindustri yang terdiri dari Data Based Management System (DBMS), Model Based Management System (MBMS) dan Knowledge Based Management System (KBMS) serta Dialog Management System (DMS) dapat dilihat pada Gambar 22.
Tata Laksana Penelitian Penelitan ini dilakukan mengikuti beberapa tahapan yang dilakukan secara berurutan dan terstruktur. Hasil setiap tahapan sangat menentukan proses pada tahapan berikutnya. Berikut ini akan diuraikan langkah-langkah pada setiap tahapan penelitian yang akan dilakukan. Studi Pendahuluan Tahapan studi pendahuluan pada penelitian ini didominasi oleh aktivitas kajian terhadap bahan-bahan pustaka yang mendukung penelitian dari berbagai sumber ilmiah terutama yang berkaitan dengan klaster industri dan sistem pengukuran kinerja. Hasil dari kajian pustaka ini memberikan banyak informasi berupa pengkayaan materi. Pada langkah ini juga dilakukan penyusunan rangkaian
50 penelitian yang relevan dengan substansi penelitian yaitu model-model sistem pengukuran kinerja dan klaster industri sehingga dapat diketahui keseluruhan rangkaian penelitian yang telah ada. Berdasarkan gambaran ini dapat dilihat posisi penelitian yang diusulkan sehingga dapat menjadi argumentasi terhadap pentingnya usulan penelitian ini untuk dilakukan. Karakteristik dari model-model klaster industri dan
model-model
pengukuran
kinerja
diperoleh
melalui
perbandingan
dan
pertentangan (compare and contrast). Dari tahapan ini diupayakan untuk diperoleh pemahaman yang baik tentang makna sebenarnya sebuah klaster industri, sistem pengukuran kinerja dan model pengukuran kinerja yang akan dikembangkan. Sumber-sumber yang akan dijadikan referensi di antaranya adalah buku teks yang berkaitan dengan substansi penelitian dan metode-metode yang mungkin untuk diaplikasikan dalam merancang model pengukuran kinerja komprehensif klaster agroindustri hasil laut yang efektif. Segala bentuk artikel baik jurnal, majalah ilmiah maupun tulisan ilmiah (skripsi, tesis dan disertasi) yang memuat konsep klaster dan hal-hal yang relevan juga merupakan bahan berharga untuk dijadikan referensi penelitian yang diusulkan. Data sekunder yang diperlukan untuk mendukung penelitian yang diusulkan dapat diperoleh dari beberapa sumber di antaranya dari Biro Pusat Statistik (BPS), data perkembangan industri di Indonesia dari Disperindag (sebelum tahun 2002) dan Deperin (tahun 2002- sekarang) dan hasil-hasil survei yang telah dilakukan oleh pihak lain. Data sekunder tersebut diakses dengan melakukan kunjungan ke sumber yang bersangkutan maupun dengan mengunjungi beberapa perpustakaan. Data sekunder yang diperlukan di antaranya adalah (1) data industri di Indonesia, (2) data klaster industri yang ada di Indonesia dan informasi sistem kelembagaannya serta kinerjanya dan (3) data-data lainnya yang di dalam proses penelitiannya dipandang mendukung penelitian ini.
51
Data
Model
Data Based Management System (DBMS) 1. Data Perkembangan Agroindustri hasil laut di Indonesia 2. Daftar Stakeholder Klaster Agroindustri Hasil Laut 3. Data internal pelaku klaster Data keuangan Data produksi Data pemasaran Data sumber daya
Model Based Management System (MBMS) 1. Model penilaian kriteria metode fuzzy 2. Model penentuan prioritas Indikator Kinerja Kunci (IKK), Proses Hirarki Analisis (PHA) dan SMART-1 3. Model Scoring Board dengan berbasis model SMART-2 , OMAX dan Balanced Scorecard 4. Model Simulasi Evaluasi Kinerja Prediktif
Knowledge
Knowledge Based Management System (KBMS) 1. Hirarki Kriteria Klaster AI 2. Indikator Kinerja Klaster AI (Individu dan komprehensif) 3. Penetapan target Indikator Kinerja
Unit Pengolahan Terpusat
Dialog Management System (DMS)
PENGGUNA
Gambar 22 Bangunan Sistem Penunjang Keputusan untuk Pengelolaan Kinerja Komprehensif pada Sistem Klaster Agroindustri Hasil Laut
52 Observasi lapangan dilakukan pada beberapa wilayah yang dimungkinkan memiliki klaster agroindustri ataupun wilayah yang memiliki industri yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi sebuah klaster. Hasil dari observasi ini sangat diperlukan untuk mendapatkan contoh baik klaster yang bisa dijadikan obyek untuk verifikasi dan validasi model sehingga penyempurnaan model dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Observasi ini akan diupayakan untuk mendapatkan contoh klaster agroindustri hasil laut yang akan diperlukan dalam verifikasi dan validasi model. Penyusunan dari kemampuan dan komponen-komponen yang harus dimiliki oleh sistem yang dikembangkan dilakukan untuk mendapatkan ciri-ciri dari sistem yang akan dikembangkan. Hal ini akan dilakukan dengan pendekatan deduksi dari literatur klaster industri dan sistem pengukuran kinerja sehingga diperoleh karakteristik dari sistem pengukuran kinerja yang dikembangkan. Secara skematis dan detail, kerangka penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 23 dan Gambar 24.
Pembangunan Model Pengukuran Kinerja Komprehensif dalam Bentuk Scoring Board Tahapan ini merupakan rangkaian dari beberapa aktivitas yang dapat dilakukan secara serial, di mana masing-masing langkah dilakukan dengan menggunakan metode dan alat tertentu serta menghasilkan beberapa keluaran yang menjadi dasar pembangunan
model
pengukuran
kinerja
komprehensif
yang
akan
direkomendasikan. Adapun masing-masing langkah tersebut dapat disajikan dalam bentuk Tabel 1. Pada tahapan ini dilakukan penggalian informasi-informasi lain yang relevan dengan topik penelitian yang sedang dikaji. Informasi diperoleh dari subyek penelitian dan dilakukan langsung oleh peneliti. Pada penelitian ini data primer di antaranya adalah data pengetahuan yang dimiliki oleh pakar baik di bidang praktisi klaster industri maupun akademisi dan peneliti di bidang pengembangan regional dan pengembangan industri serta pakar di bidang agroindustri. Untuk mendapatkan data ini akan disusun alat berupa kuesioner yang sudah didisain sesuai dengan tujuan. Data primer tersebut di antaranya adalah (1) data pengetahuan pakar tentang stakeholder sebuah klaster agroindustri hasil laut, (2) data pengetahuan tentang kebutuhan masing-masing stakeholder untuk peningkatan performansi sebuah klaster dan (3) data pengetahuan tentang ukuran-ukuran kinerja dari sebuah klaster agroindustri hasil laut.
Studi Pendahuluan
53
Tinjauan Pustaka Klaster Agroindustri Sistem Pengukuran Kinerja Pendekatan sistem Taksonomi Penelitian tentang Pengukuran Kinerja dan Pembangunan Klaster Industri Metode dan model yang mendukung Analisis Model Pengembangan Klaster Industri
Identifikasi stakeholder klaster agroindustri hasil laut
Pengolahan data pakar
Survei Pakar
Analisis kebutuhan stakeholder klaster agroindustri hasil laut
Eksplorasi Kriteria Kinerja Klaster Agroindustri Hasil Laut
Analisis Kelembagaan
Eksplorasi Indikator Kinerja Kunci (IKK) Klaster Agroindustri Hasil Laut
Alternatif kriteria, sub kriteria dan indikator kinerja kunci (IKK)
Pembobotan Kriteria dan Sub Kriteria Keberhasilan (Kinerja) Klaster Agroindustri Hasil Laut
Pembobotan Indikator Kinerja Kunci (IKK) Klaster Agroindustri Hasil Laut
Penetapan kriteria dan sub kriteria terpilih
Penetapan Indikator Kinerja Kunci terpilih Penentuan target capaian nilai IKK
A Gambar 23 Kerangka analisis sistem klaster agroindustri hasil laut
54
A
Penentuan dan perancangan model prediksi nilai IKK
Pengukuran capaian nilai IKK pada saat sekarang
Identifikasi capaian nilai IKK pada masa lalu
Penetapan target capaian nilai IKK
Perhitungan nilai skor untuk setiap IKK
Pengukuran IKK masa akan datang
Penetapan status kinerja untuk IKK
Perhitungan Indeks Kinerja Komposit pada setiap aspek kinerja klaster industri Scoring Board Kinerja
Analisis What-if Analisis Kinerja Komprehensif Alternatif Rekomendasi Pengelolaan Kinerja Klaster Agroindustri Hasil Laut
Gambar 24
Kerangka perancangan dan analisis SPK pengukuran kinerja klaster agroindustri hasil laut
Verifikasi dan Validasi Model Verifikasi dan validasi dilakukan melalui uji coba model pada dua sistem klaster agroindustri hasil laut yang akan dijadikan alternatif untuk implementasi model yang diharapkan mewakili yaitu (1) klaster agroindustri teri nasi di wilayah Jawa Timur dan (2) klaster agroindustri rumput laut di wilayah Jawa Timur. Penggalian informasi dari
55 sektor hulu dilakukan melalui Focus Group Discussion (FGD) atau diskusi kelompok terpadu (DKT) di wilayah Tuban untuk teri nasi dan di Pasuruan untuk agroindustri rumput laut. Tabel 1. Hasil yang diharapkan dari setiap langkah pada tahap pembangunan model No
Tahapan Penelitian
Metoda dan Alat
Hasil
I.
Studi Literatur
1.1.
Kajian literatur tentang klaster industri
Karakterisasi dari model-model cluster industri melalui compare and contrast
Pemahaman tentang makna klaster industri dan sistem pengukuran kinerja
1.2.
Kajian literatur tentang sistem pengukuran kinerja
Karakterisasi dari model-model sistem pengukuran kinerja melalui compare and contrast
Mendapatkan model sistem pengukuran kinerja yang akan dikembangkan untuk mengukur kinerja klaster industri
II.
Penyusunan Ciri-Ciri Dari Sistem Pengukuran Kinerja Yang Akan Dikembangkan
2.1.
Penyusunan dari kemampuan dan komponen-komponen yang harus dimiliki oleh sistem yang akan dikembangkan
III.
Pengembangan Model Sistem Pengukuran Kinerja Komprehensif untuk Klaster Agroindustri
3.1.
Identifikasi stakeholder
Brainstorming, kuesioner
Daftar stakeholder klaster agroindustri
3.2.
Eksplorasi kebutuhan stakeholder terhadap klaster agroindustri
Metoda Delphi, kuesioner
Kebutuhan utama dari seluruh stakeholder terhadap klaster
3.3.
Eksplorasi ukuran kinerja untuk anggota klaster
Diagram sebab akibat
Ukuran kinerja anggota klaster
3.4.
Eksplorasi ukuran kinerja komprehensif dari sebuah klaster agroindustri
Diagram sebab akibat
Ukuran kinerja komprehensif klaster
3.5.
Pembobotan indikator kinerja kunci (IKK) klaster
Proses Hirarki Analitik (PHA)
Prioritas IKK berdasarkan bobot
3.6.
Pembuatan model Sistem Pengukuran Kinerja dalam bentuk Scoring Board
SMART (Simple Multi Atribute Rating Technique) / Balance Score Card
Mendapatkan nilai/skor untuk IKK
Deduksi dari literatur klaster industri dan sistem pengukuran kinerja
Karakteristik dari sistem pengukuran kinerja yang akan dikembangkan
56 Tabel 1. Lanjutan IV. 4.1.
Verifikasi dan Validasi Model Verifikasi model 1. Merancang alat untuk pengukuran kinerja sesuai konsep model 2. Menentukan best practice klaster untuk implementasi Model 3. Melakukan pengukuran kinerja pada contoh baik (2 klaster agroindustri terpilih)
Analisis, lembar periksa
Studi banding (benchmarking)
Implementasi, lembar periksa (check sheet)
Kuesioner dan form-form isian
Klaster agroindustri yang akan dijadikan contoh baik Capaian kinerja
4.2.
Validasi Model
Pendapat pakar melalui Brainstorming atau Metode Delphi serta diseminasi rancangan model
Umpan balik dari pakar untuk perbaikan sistem pengukuran kinerja
4.3.
Perbaikan Model Sistem Pengukuran Kinerja (SPK) Komprehensif Klaster
Penyempurnaan model berdasarkan umpan balik dari pakar dan hasil implementasi
Model yang lebih baik
V.
Analisis untuk mendapatkan temuan Penelitian
5.1.
Menganalisis keterkaitan antara IKK dari individu klaster dengan IKK komprehensif
Metoda deduktif dan induktif
Kontribusi aspek klaster terhadap kinerja komprehensif klaster
5.2.
Identifikasi kekuatan dan kelemahan model yang dikembangkan
Analisis dan sintesis (deduktif dan induktif)
Mengetahui kekuatan dan kelemahan dari model yang dikembangkan
5.3.
Identifikasi pelajaran yang dapat diambil dari research yang dilakukan
Analisis dan sintesis (deduktif dan induktif)
Mengetahui pelajaran yang dapat diambil dari penelitian yang dilakukan
Proses validasi model dilakukan dengan membandingkan hasil pengukuran kinerja dengan menggunakan model yang direkomendasikan dengan nilai kinerja aktual. Penentuan validitas dari model didasarkan hasil komparasi antara nilai-nilai yang dihasilkan pada implementasi model di beberapa klaster agroindustri hasil laut yang telah dilakukan maupun dengan pendapat pakar yang dilakukan melalui wawancara maupun diseminasi. Oleh karena itu perlu didisain beberapa kuesioner sebagai alat pengukuran kinerja. Data hasil pengukuran kinerja selanjutnya diolah sehingga diperoleh informasi berupa kinerja komprehensif dari klaster hasil laut yang diukur. Di samping
57 pengukuran hasil kinerja saat ini juga diprediksi kinerja komprehensif yang akan datang sehingga keakuratan model secara dinamis dapat diperoleh. Dalam pengolahan data dilakukan dengan bantuan antara lain metode logika fuzzy, model matematis dan jaringan saraf.
Khusus jaringan saraf digunakan untuk prediksi
kinerja klaster agroindustri hasil laut pada masa yang akan datang. Data hasil kuesioner untuk akuisisi pendapat pakar tentang ukuran kinerja yang dipentingkan untuk sebuah klaster agroindustri hasil laut diolah dengan metode Proses Hirarki Analitik (PHA) dengan menggunakan bantuan perangkat lunak Expert Choice. Pengolahan beberapa hasil penilaian nara sumber diolah dengan menggunakan metode MCDM satu di antaranya model Electre II. Pembangunan sistem pengukuran kinerja komprehensif dari sebuah klaster agroindustri hasil laut kemudian dilakukan dengan model dasar yang telah diuraikan diatas. Penyempurnaan model pengukuran kinerja dilakukan dengan perbaikanperbaikan yang didasarkan dari masukan pakar dan juga hasil implementasi model pada contoh klaster yang diukur.
Analisis Perbaikan Model Analisis model dilakukan berdasarkan hasil implementasi model yang telah dilakukan di dua contoh klaster terpilih seperti telah dikemukakan pada bagian verifikasi dan validasi. Untuk mengetahui keterkaitan antara IKK baik dari masingmasing anggota klaster maupun komprehensifnya, maka diperlukan metode deduksi dan induksi disesuaikan dengan karakteristik variabel. Berdasarkan hasil analisis ini akan dapat diketahui kontribusi masing-masing anggota klaster terhadap kinerja komprehensif klaster. Pendekatan
deduktif
dan
induktif
secara
simultan
digunakan
untuk
mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan model yang telah dikembangkan. Dari hasil analisis dan sintesis ini diharapkan akan dapat diketahui kekuatan dan kelemahan model yang dikembangkan sehingga dapat dijadikan masukan dalam proses perbaikan model. Analisis juga dilakukan pada aspek kelembagaan sehingga dapat diberikan suatu rekomendasi bentuk kelembagaan yang menunjang kinerja sebuah klaster agroindustri hasil laut. Dalam kajian sistem hasil analisis ini sekaligus merupakan pembangunan sistem diagnosis dan prognosis yang dapat memberikan argumentasiargumentasi kuat sehingga lebih memudahkan dalam proses perbaikan model maupun rekomendasi-rekomendasi berkaitan sistem riil dimasa yang akan datang.
58 Rekomendasi yang spesifik pada wilayah tempat uji coba model pengukuran kinerja baik untuk klaster agroindustri hasil laut di wilayah uji, maupun pemerintahan daerah setempat dapat diberikan berdasarkan analisis dari hasil implementasi model yang telah dilakukan. Hal ini dapat membantu pemerintah daerah setempat dalam pengelolaan wilayahnya khususnya dalam hal pengembangan struktur agroindustri hasil laut yang berbasis klaster.
PENDEKATAN SISTEM Persoalan perancangan model pengukuran sistem kinerja untuk sebuah klaster agroindustri hasil laut merupakan kumpulan aktivitas yang melibatkan berbagai disiplin, di samping itu bahasan sistem klaster yang cukup kompleks dalam interaksi antar elemen di dalamnya membutuhkan studi dengan pendekatan sistem. Beberapa tahapan dalam pendekatan sistem di antaranya adalah karakterisasi sistem hingga pemodelan sistemnya baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Berdasarkan dari studi pendahuluan melalui kajian pustaka dan observasi pendahuluan yang telah dilakukan maka dapat diuraikan hasil sementara dari tahapan pendekatan sistem di atas secara sistematis. Menurut Austin (1981), agroindustri merupakan suatu usaha yang mengolah hasil pertanian baik tanaman maupun hewan. Proses pengolahan dapat dilakukan dalam bentuk pengolahan fisik, kimia maupun biologi. Perubahan dan pengawetan adalah contoh bentuk pengolahan yang dilakukan berdasarkan tujuan yang diinginkan. Agroindustri khususnya di Indonesia dapat diklasifikasikan menurut jenis bahan baku yang diolah, disamping itu juga dapat diklasifikasikan berdasarkan skala industri dari agroindustri tersebut. Untuk bisa melakukan studi/kajian mendalam terhadap Agroindustri, maka harus terlebih dahulu dipahami secara menyeluruh karakteristik dari agroindustri tersebut. Agroindustri berdasarkan jenis bahan baku yang diolah dapat diklasifikasikan menjadi enam kelompok yaitu agroindustri dengan bahan baku tanaman keras (hasil perkebunan), tanaman pangan, tanaman holtikultura, hasil laut (Ikan), hasil ternak dan hasil hutan. Sementara itu berdasarkan skala industrinya, agroindustri dapat dikategorikan dalam tiga kelompok besar yaitu industri besar, industri menengah dan industri kecil. Dengan menggunakan pola berpikir sistem, maka identifikasi terhadap karakteristik agroindustri dapat dilakukan dengan memandang agroindustri sebagai sebuah sistem. Kerangka berpikir sistem diperoleh dengan melihat permasalahan agroindustri sesuai skema sistem berikut :
INPUT
PROSES
OUTPUT
Manejemen Umpan balik
Gambar 25 Kerangka Sistem (Eriyatno, 2000)
60 Industri hasil laut merupakan salah satu industri sub sektor pertanian yang mendapatkan prioritas untuk dikembangkan secara nasional dan selanjutnya sebagai ruang lingkup penelitian ini. Berikutnya akan diuraikan secara terstruktur gambaran dari sebuah sistem agroindustri hasil laut.
Deskripsi Sistem Klaster Agroindustri Hasil Laut Agroindustri Hasil Laut merupakan salah satu industri inti yang menjadi prioritas pembangunan oleh pemerintah, hal ini dinyatakan secara eksplisit dalam arah kebijakan pembangunan industri nasional mengacu kepada agenda dan prioritas pembangunan nasional Kabinet Indonesia Bersatu dalam kerangka Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2004-2009 (Peraturan Presiden No.7 Tahun 2005). Dalam kerangka tersebut juga dinyatakan pokok-pokok kebijakan pengembangan industri prioritas di Indonesia, di mana telah ditetapkan 10 (sepuluh) jenis industri yang diprioritaskan untuk dikembangkan dengan berbasis klaster industri. Kesepuluh jenis industri tersebut di antaranya adalah sebagai berikut : 1. Industri Makanan dan Minuman yang meliputi : Industri Pengolahan Cacao Industri Pengolahan Buah Industri Pengolahan Kelapa Industri Pengolahan Kelapa Industri Pengolahan Kopi Industri Pengolahan Gula Industri Pengolahan Tembakau 2. Industri Pengolahan Hasil Laut 3. Industri Tekstil dan Produk Tekstil 4. Industri Alas Kaki 5. Industri Turunan Minyak Kelapa Sawit 6. Industri Pengolahan Kayu (termasuk Rotan dan Bambu) 7. Industri Pengolahan Karet dan Barang Karet 8. Industri Pulp dan Kertas 9. Industri Mesin Listrik dan Peralatan Listrik 10. Industri Petrokimia Dalam pelaksanaannya pengembangan kesepuluh industri di atas dengan pendekatan klaster harus didukung oleh penguatan beberapa industri manufaktur yang secara detail telah diuraikan dalam kerangka kebijakan pengembangan industri
61 pada Bab 18, RPJMN tahun 2004-2009. Pengembangan klaster industri hasil laut menempati prioritas kedua dalam kerangka kebijakan nasional, oleh karena itu adanya perangkat yang dapat menjadi acuan dalam mengevaluasi dan mengelola sebuah klaster agroindustri hasil laut menjadi sangat strategis untuk direalisasikan. Model Pengukuran Kinerja Komprehensif pada Sistem Klaster Agroindustri Hasil Laut menjadi kebutuhan mendesak untuk keberlanjutan sebuah klaster agroindustri hasil laut tersebut. Berdasarkan
data
yang
diperoleh
dari
Pusat
Informasi
Departemen
Perindustrian (2005) diperoleh satu gambaran distribusi industri pengolahan hasil
Proporsi jumlah industri
laut di Indonesia berdasarkan jumlahnya yang dapat dilihat pada Gambar 26 berikut :
70% 60% 50% 40% 30% 20% 10%
Ja ya n Iri a
M al uk u
es i la w Su
an ta n
ra
lim
gg a
Ka
Ba li &
Nu sa
Te n
Ja wa
Su m
at ra
0%
Gambar 26 Distribusi pelaku agroindustri hasil laut di Indonesia Sementara itu secara detail produk yang dihasilkan oleh industri hasil laut di masingmasing wilayah propinsi di Indonesia dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 2 Distribusi jumlah perusahaan agroindustri hasil laut di Indonesia
No
Propinsi
Jumlah Perusahaan
Persentase dari total (%)
1
Sumatra Utara
28
5.59
2
Riau
11
2.20
Masakan Kaleng, Ikan, Ikan Rebus, Ikan Asin, Ikan Teri, Udang Beku, Kerang, Tepung Ikan dan Terasi Ikan Asin, Terasi, Ikan Beku
3
Sumatra Selatan Lampung
4
0.80
Ikan Asin, Paha Kodok, Udang Beku
2
0.40
Udang Beku Ikan Beku, Ikan Fillet, Udang Beku, Biota Laut Beku Ikan Kaleng, Ubur-ubur, Udang Beku, Ikan Beku, Daging Kepiting, Kerang Hijau Makanan Kaleng, Rajungan, Udang Beku, Teri
4
8
1.60
6
Bangka Belitung DKI Jakarta
40
7.98
7
Jawa Barat
13
2.59
5
Produk
62 Tabel 2. Lanjutan
8
Jawa Tengah
102
20.36
9
DI Yogyakarta
1
0.20
10
Jawa Timur
184
36.73
11
Banten
1
0.20
Nasi Kering Ikan Asin, Ikan Kering, Rajungan, Ikan Pindang,Teri Nasi, Teri Nasi Kering, Fillet Ikan, Ikan Beku, Udang Beku, Winter Gloves, Bandeng Presto, Daging Rajungan, Ikan Olahan, Tepung Ikan Pengepakan Udang Ikan Kaleng, Sarden, Ikan Tuna Kaleng, Udang Kaleng, Tepung Rumput Laut, Ikan Asin, Ikan Kering, Ikan Laut Kering, Ikan Pindang,Teri Nasi, Teri, Teri Nasi Kering, Teri Nasi Masak, Tripang, Bekicot Beku, Daging Ikan & Udang, Ikan Beku, Katak Beku, Pakan Udang, Udang Kupas, Udang Beku, Rajungan, Sirip Hiu Beku dan Kerang, Surimi, Tuna Fillet, Kodok, Ikan Pindang, Tuna Beku, Olahan Ikan, Petis, Seafood Value Added, Tepung Ikan. Udang Windu Beku
12
Bali
8
1.60
Ikan Kaleng, Sarden, Tepung Ikan
13
Nusa Tenggara Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara
4
0.80
Ikan Asap, Ikan Beku
4
0.80
Udang Beku
1
0.20
Udang Laut
7
1.40
Udang Beku
14
2.79
Udang Beku
15
2.99
Ikan Kayu, Ikan Kaleng, Ikan Beku Kepiting Kaleng dan Daging, Fillet Ikan, Ikan Beku, Pembekuan Hasil Laut, Kepiting, Udang Beku, Udang Kupas, Abon Ikan, Rumput Laut Ikan Teri Kering, Daging Kepiting, Ikan Kayu, Ikan Beku, Rajungan, Daging Olahan Ikan Beku, Ikan Kaleng
14 15 16 17 18 19
Sulawesi Selatan
21
4.19
20
6
1.20
21
Sulawesi Tenggara Gorontalo
8
1.60
22
Maluku
7
1.40
23
Irian Jaya Barat Irian Jaya Timur Irian Jaya Selatan
9
1.80
1
0.20
Pengalengan Ikan
2
0.40
Udang Beku, Ikan Beku
501
100
24 25
Pengawetan Ikan, Pembekuan Ikan, Cold Storage Ikan Kaleng, Ikan Beku, Udang Beku, Ikan Kayu
Dari Tabel 2 di atas dapat dilihat bahwa proporsi jumlah industri hasil laut terbanyak ada di Propinsi Jawa Timur (36.73 %), oleh karena itu dalam penelitian ini studi
63 kasus pada agroindustri hasil laut sebagai dasar perancangan model pengukuran kinerja komprehensif untuk klaster agroindustri hasil laut dilakukan di Propinsi Jawa Timur. Karakteristik industri hasil laut sangat bervariasi tergantung pada jenis produk yang dihasilkan dan juga orientasi pasar yang hendak dituju. Karakteristik kualitas yang harus dipenuhi untuk produk ekspor dan pasar domestik sangat berbeda, demikian juga antara industri udang beku dan pengeringan ikan. Oleh karena itu untuk lebih memfokuskan lagi hasil rancangan model pengukuran kinerja komprehensif sehingga diperoleh model Sistem Pengukuran Kinerja pada Klaster Agroindustri Hasil Laut, maka dari 32 jenis produk yang dihasilkan pada agroindustri hasil laut di Jawa Timur dipilih satu jenis produk yang diproduksi oleh sebagian besar perusahaan agroindustri hasil laut di Jawa Timur. Berdasarkan rekapitulasi dari data Industri Hasil Laut di Jawa Timur dari Deperin (2004) jenis produk yang dihasilkan, maka terdapat 26 perusahaan di bidang Teri Nasi yang selanjutnya dipilih sebagai studi kasus untuk produk ekspor. Perusahaan yang dimaksud merupakan jumlah kumulatif dari Industri Besar, Industri Menengah dan Industri Kecil. Perusahaan yang bergerak di bidang teri nasi di Indonesia sebagian besar berada di Jawa Timur,
hal ini semakin memperkuat
alasan dipilihnya agroindustri hasil laut produk teri nasi di Jawa Timur sebagai studi kasus. Adapun distribusi jumlah perusahaan teri nasi di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 3. berikut : Tabel 3 Distribusi jumlah perusahaan teri nasi di Indonesia Jumlah Perusahaan 2
Prosentase dari total (%) 4.44
Jawa Barat
1
2.22
Teri Nasi Kering
3
Jawa Tengah
10
22.22
4
Jawa Timur
26
57.78
5
Sulawesi Tenggara
6
13.33
Teri Nasi, Teri Nasi Kering Teri Nasi, Teri, Teri Nasi Kering, Teri Nasi Masak Ikan Teri Kering
45
100
No
Propinsi
1
Sumatra Utara
2
Produk Ikan Teri
Komposisi pada tabel d iatas, menunjukkan bahwa sebagian besar industri teri nasi terdistribusi di Jawa Timur dengan sebaran daerah Tuban, Lamongan, Situbondo, Pamekasan, Sumenep dll. Selanjutnya industri ini akan menjadi studi kasus dalam perancangan model pengukuran kinerja komprehensif untuk klaster industri hasil
64 laut, yang nantinya dapat digunakan untuk produk ekspor pada industri hasil laut di Indonesia. Di samping industri teri nasi, model juga akan diverifikasi pada industri yang masih belum dominan namun memiliki potensi untuk dikembangkan yaitu industri rumput laut. Selanjutnya secara detail deskripsi sistem kedua jenis industri tersebut akan diuraikan pada bagian selanjutnya.
Model Stakeholder Klaster Agroindustri Hasil Laut Keterkaitan antara pelaku inti dan pelaku lainnya dalam klaster dapat digambarkan dalam bentuk model stakeholder klaster. Berdasarkan model stakeholder yang diperoleh berdasarkan identifikasi pelaku dan keterhubungan satu sama lain dapat dielaborasi lebih lanjut fungsi dan peran masing-masing seharusnya untuk dapat memperkuat klaster industri khususnya klaster agroindustri hasil laut. Secara umum dapat digambarkan suatu model stakeholder klaster agroindustri hasil laut yang ideal seperti pada Gambar 27.
Lembaga Penelitian dan Informasi Industri/Usaha Pendukung : Usaha penangkapan, budidaya, lepas pantai/ pasca panen dan Industri pendukung lainnya
Lembaga Keuangan
Pelaku Inti : Industri Pengolahan hasil laut
Perguruan Tinggi (Disiplin ilmu yang relevan)
Lembaga Pelatihan dan Pengembangan SDM
Instansi Pemerintah (Deperin, DKP, Dep Perdagangan, DepKeu,
Gambar 27 Model stakeholder agroindustri hasil laut nasional
Dari gambar di atas dapat dilihat interaksi dari masing-masing komponen klaster agroindustri hasil laut, di mana seluruh elemen pendukung secara serentak
65 sesuai peran dan fungsinya memberikan dukungan pada pelaku inti. Interaksi bersifat timbal balik yang berarti kebutuhan datang dari kedua belah pihak. Harmonisasi antar seluruh komponen klaster akan menentukan keberhasilan klaster industri yang dilihat berdasarkan capaian kinerja peningkatan nilai tambah dan keunggulan kompetetif yang berkelanjutan secara jangka panjang. Oleh karena itu perlu diciptakan satu komunikasi yang efektif sehingga kebutuhan dari industri inti dapat ditangkap oleh institusi pendukung dan sebaliknya fasilitas yang telah dan dapat disediakan oleh elemen pendukung dapat diakses secara optimal oleh industri inti. Mekanisme ini dapat terjadi jika ada media komunikasi untuk itu dan salah satu alternatifnya adalah dengan adanya sebuah forum komunikasi non formal yang disepakati bersama oleh seluruh stakeholder dengan tujuan untuk meningkatkan efektivitas fungsional masing-masing stakeholder klaster.
Model Berlian Porter Pada Agroindustri Hasil Laut Di Indonesia Analisa dinamik klaster dapat dilakukan berdasarkan hasil observasi awal, elaborasi sistem maupun kajian pustaka yang telah diuraikan di depan. Observasi dilakukan melalui brainstorming yang dilakukan dengan beberapa stakeholder klaster agroindustri hasil laut di antaranya adalah pemerintah (kebijakan dan institusi pendukung), pelaku industri (dari nelayan hingga industri hilir), pengamat dan peneliti. Berdasarkan informasi yang diperoleh maka dapat dipetakan kondisi empat faktor kunci yang mengacu pada konsep berlian Porter yang sekaligus bisa menggambarkan struktur analisa dinamik klaster agroindustri hasil laut di Indonesia pada umumnya. Gambaran model berlian Porter selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 28.
66
Gambar 28 Model berlian Porter klaster agroindustri hasil laut
Berdasarkan gambaran model
berlian Porter di atas, dapat dilihat bahwa
terdapat beberapa kekuatan dalam sistem industri hasil laut di Indonesia, namun demikian juga masih banyak kelemahan yang masih perlu ditingkatkan sebagai upaya penguatan industri hasil laut yang berbasis pada klaster industri. Kekuatan pasar luar negeri dan potensi pasar domestik merupakan salah satu faktor kunci untuk terjadinya keberlanjutan daya saing. Hal ini harus diimbangi dengan dukungan dari seluruh stakeholder klaster sehingga potensi yang ada dapat dimanfaatkan dengan adanya dukungan infrastruktur baik ekonomi dan teknologi yang memadai dari pemerintah maupun institusi dan industri pendukung lainnya.
Deskripsi Industri Teri Nasi dan Rumput Laut sebagai Contoh Klaster Industri Hasil Laut di Jawa Timur Perkembangan industri teri nasi di Jawa Timur bersifat sangat dinamis, pada tahun 2004 sampai dengan sekarang tercatat hanya ada 5 perusahaan yang masih beroperasi sementara yang lainnya terpaksa menutup operasi untuk produk teri
67 nasinya karena dipandang tidak efisien. Sementara itu dari sisi permintaan, masih terbuka peluang yang cukup besar dengan jumlah permintaan pasar luar negeri 3000 ton teri nasi per tahunnya baru terpenuhi sekitar 80%, di mana Indonesia merupakan eksportir utama yang semua produknya dapat terserap karena mempunyai kualitas yang lebih baik dibandingkan 3 pesaingnya yaitu Korea, Cina dan Taiwan. Oleh karena itu pemantapan struktur industri hasil laut dengan pendekatan klaster industri khususnya untuk produk teri nasi perlu segera dilakukan. Hal inilah yang melatarbelakangi dipilihnya industri teri nasi sebagai obyek verifikasi model pengukuran kinerja komprehensif agroindustri hasil laut di Indonesia, yang diharapkan dapat dikembangkan lebih lanjut untuk klaster industri produk hasil laut lainnya. Berdasarkan data industri yang dikeluarkan oleh Dinas Perindustrian (2004) terdapat 12 perusahaan yang bergerak di bidang produksi teri nasi di Jawa Timur, namun setelah diklarifikasi ternyata hanya terdapat 5 perusahaan yang sampai sekarang masih beroperasi yaitu PT. Kelola Mina Laut, PT. Indorasa Sentral Coop Sea Food (ICS), PT. MMM, PT. Madura Prima Internal (MPI) dan PT. Mahera. Sehingga jika digambarkan rantai produksi dari hulu ke hilir seperti Gambar 29
Usaha Pasca Panen (Agroindustri level I)
Usaha Penangkapan Ikan (Nelayan)
berikut :
Agroindustri level II dan III (Industri Pengolahan)
Pasar Luar Negeri
PT.ICS
PT. MPI
PT.MMM PT.Mahera PT.KML
Pasar Dalam Negeri
Gambar 29 Rantai produksi dan pelaku agroindustri teri nasi di Jawa Timur Kondisi hubungan antara pelaku dalam klaster industri hasil laut khususnya teri nasi saat ini masih kuat dalam kelompok hulu ke hilir pada satu industri tertentu, sehingga peningkatan kinerja klaster ke depan dapat diarahkan terciptanya suatu interaksi yang positif antara seluruh pelaku klaster industri teri nasi. Gambaran interaksi antar pelaku dari nelayan sampai pada industri hilir tertentu dapat dilihat pada gambar berikut :
68
PT ‘X’
Unit Pabrik-1
usaha pasca panen-1
Usaha penangkapan ikan Nelayan-1
Unit Pabrik-2
usaha pasca panen -2
Usaha penangkapan ikan Nelayan-2
Unit Pabrik-n
usaha pasca panen-m
Usaha penangkapan ikan Nelayan-l
Gambar 30 Interaksi antara pelaku industri teri nasi dalam satu kelompok
Mengacu pada konsep klaster yang telah diuraikan di bab-bab terdahulu, klaster industri teri nasi terdiri dari pelaku inti yaitu perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan teri nasi, pelaku pendukung yang terdiri dari industri/usaha pendukung dan institusi pendukung. Yang termasuk dalam kelompok industri/usaha pendukung adalah usaha penangkapan ikan, usaha lepas pantai maupun pemasok mesin peralatan pabrik serta pemasok lainnya sedangkan kelompok institusi pendukung di antaranya adalah pemerintah, lembaga keuangan, institusi pendidikan, lembaga pelatihan, balai latihan kerja, dan institusi lain yang ikut berkontribusi terhadap keberlanjutan sebuah sistem klaster industri. Produk teri nasi merupakan salah satu produk unggulan khususnya untuk pasar ekspor dengan kapasitas produksi rata-rata 200 ton per bulan yang diproduksi di 25 unit pabrik yang tersebar di pantai Jawa Utara dan Madura (PT KML), 9 Unit Pabrik yang tersebar pada daerah sama untuk PT ICS, unit-unit pabrik lain yang juga dimiliki oleh industri teri nasi lainnya. Sebagai ilustrasi produk olahan ini dapat dilihat pada Gambar 31. Sementara itu daya saing industri hasil laut pada umumnya dan teri nasi khususnya sangat ditentukan oleh kualitas produk yang dihasilkan. Kualitas produk ini sangat ditentukan oleh kualitas proses bisnis internal yang meliputi kualitas
pengadaan
bahan
baku,
penanganan
bahan
baku
dan
proses
pengolahannya yang bisa dikelola dengan memperhatikan setiap rantai produksi yang salah satunya adalah aktifitas proses produksi dalam industri pengolahan.
69
Gambar 31 Produk dried baby anchovy (teri nasi)
Produk teri nasi cukup mudah dalam sisi pengadaan maupun proses produksinya, sehingga permintaan bisa terpenuhi dengan baik selama ini. Bahan baku neri diperoleh dari beberapa lokasi tempat penangkapan ikan terdekat dengan masing-masing pabrik unit, yang selanjutnya diolah terlebih dahulu oleh pabrik unit. Secara singkat proses pengolahan produk teri nasi pada level industri dapat ditampilkan dalam bentuk diagram alir seperti pada Gambar 32 berikut : Teri Nasi basah
Pencucian dengan air mengalir
Pemasakan
Penjemuran (pengeringan) Pemisahan dari ikan jenis lain yg ada Pengelompokan berdasarkan ukuran
Ikan jenis lain Limbah padat
Pemisahan dari ikan lain atau benda lain yang tidak diinginkan Pengemasan Penyimpanan dalam cold storage
Gambar 32 Diagram alir proses pengolahan dried baby anchovy (teri nasi)
70 Industri rumput laut di Jawa Timur saat ini sedang berkembang dan mempunyai potensi pasar ekspor maupun domestik yang cukup tinggi. Nilai rata-rata ekspor per tahun ini sebesar 300 ton. Pelaku industri rumput laut di Jawa Timur cukup dominan menguasai pasar di Indonesia, hal ini ditunjukkan oleh tingkat produksi dan penjualan yang cukup tinggi. Rumput laut atau sea weeds dikenal sebagai alga atau ganggang. Terdapat beberapa jenis rumput laut yang masing-masing memiliki potensi untuk diolah menjadi agar-agar, karaginan dan alginat. Agar-agar dan karaginan dihasilkan dari ganggang merah (rhodophyceae) sedangkan aglinat dapat dihasilkan dari ganggang coklat (sargassum) yang jumlahnya masih sedikit di Indonesia sementara kebutuhan pasar sangat tinggi, hal ini menjadi peluang bagi dikembangkannya budidaya rumput laut jenis ini sekaligus membuka peluang investasi dan lapangan kerja. Di perairan Indonesia telah diidentifikasi terdapat 555 jenis rumput laut, 23 jenis telah dimanfaatkan untuk sayuran dan makanan dan 55 jenis lain dimanfaatkan untuk makanan sekaligus obat-obatan (Poncomulyo, et al, 2006). Industri rumput laut atau industri yang berbasis bahan baku rumput laut memiliki rantai produksi dari hulu ke hilir yang kesemuanya akan mempengaruhi kualitas produk akhir. Oleh karena itu pendekatan klaster industri dengan mengutamakan jaringan kerja dan kolaborasi serta optimasi fungsi dan peran dari seluruh stakeholder untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing menjadi sangat
Usaha pasca panen (Agroindustri level I
Usaha budidaya rumput laut (petambak)
diperlukan. Rantai produksi industri rumput laut dapat dilihat gambar berikut :
Pasar Luar Negeri
Agroindustri level II dan III (Pengolahan) Pasar Dalam Negeri
Gambar 33 Rantai produksi dan pelaku industri rumput laut Sementara itu untuk meningkatkan kualitas produk hasil olahan rumput laut, maka perlu dilakukan perhatian dan optimasi perlakuan setiap tahapan proses berikut pengolahan rumput laut yang salah satunya adalah untuk menghasilkan bubuk agar sebagai berikut :
71
Asam sulfat encer
Rumput laut bersih Perendaman sambil diaduk Kaporit 0.25%, 4-6 jam
Asam cuka
Pencucian dan perendaman air tawar, 1-2 jam Perendaman sambil diaduk Kaporit 0.25%, 4-6 jam
0.5%
Pengadukan sampai lunak 15 menit Pemasakan sambil diaduk sampai menjadi bubur 90-1000C, pH 5-6, 4-8 jam Penyaringan Filtrat
Ampas (pakan ternak)
Pendinginan Filtrat sampai beku (7 jam) Pemotongan (tebal 1 cm) & penumpukan sd 50 cm Pengepresan
Penjemuran (1-2 hari) Vanili atau tambahan aroma lain
Penghancuran (milling) lembaran kering, 5x5 mm Bubuk agar-agar
Gambar 34 Proses pembuatan agar-agar bubuk
Karakterisasi Sistem Klaser Agroindustri Hasil Laut Karakteristik agroindustri hasil laut sangat bervariasi tergantung pada jenis produk yang dihasilkan, sehingga untuk memfokuskan rancangan model pengukuran kinerja yang akan didisain perlu dilakukan pembatasan lebih spesifik sebagai basis bangunan model generik pengukuran kinerja agroindustri hasil laut. Perancangan model ini didasarkan pada perilaku klaster industri hasil laut baik yang berorientasi ekspor maupun yang berorientasi pasar domestik. Model ini diharapkan dapat diaplikasikan juga untuk semua jenis industri pengolahan hasil laut dengan melakukan beberapa modifikasi terlebih dahulu.
72 Karakteristik agroindustri hasil laut di atas diperlukan untuk memahami lebih jauh sifat-sifat spesifik dari industri hasil laut khususnya di Indonesia, sehingga rekomendasi korektif yang diberikan dalam perbaikan serta analisa lainnya selalu mengacu pada karakteristik yang dimiliki oleh industri hasil laut tersebut. Lebih jauh lagi klaster industri hasil laut yang terdiri dari sekumpulan pelaku yang saling berinteraksi dalam peningkatan daya saing juga memiliki karakteristik tertentu dan informasi ini sangat diperlukan dalam perancangan sebuah sistem pengukuran kinerja komprehensif yang akan dibangun. Pada bagian selanjutnya uraian akan lebih spesifik membahas tentang klaster agroindustri hasil laut. Identifikasi kebutuhan sistem diawali dengan melakukan karakteristik sistem secara lengkap di antaranya entiti dan atribut dari masing-masing. Sistem yang menjadi kajian adalah sistem klaster agroindustri hasil laut yang selanjutnya akan dijadikan basis dalam perancangan model sistem pengukuran kinerja secara komprehensif. Sebuah sistem klaster agroindustri hasil laut terdiri dari beberapa elemen pembentuk sebagai berikut : 1. Pelaku Inti yaitu industri-industri yang mengolah bahan baku hasil laut menjadi bahan jadi. Beberapa kriteria yang diutamakan dalam operasionalnya adalah : Keuntungan Industri Kesejahteraan karyawan/pekerja Keberlanjutan produksi 2. Pelaku Pendukung adalah anggota klaster lainnya yang bersifat mendukung proses produksi dari pelaku inti baik dalam memasok bahan baku, memasarkan produk hasil olahan maupun melakukan pengembangan-pengembangan lainnya. (1) Industri pendukung, diantaranya adalah pemasok bahan baku utama (usaha penangkapan ikan dan budidaya, usaha lepas pantai dan pasca panen) dan bahan baku pendukung lainnya. Kinerja dari kelompok ini sangat ditentukan oleh beberapa kriteria berikut : Keuntungan Industri/Usaha Kesejahteraan karyawan/pekerja termasuk pekebun dari sumber penyedia bahan baku utama pertanian. Keberlanjutan Usaha (2) Pemerintah, adalah institusi yang menjadi katalisator bagi perkembangan klaster agroindustri. Beberapa kriteria yang akan menentukan keberhasilan dukungannya terhadap kualitas klaster agroindustri antara lain : Kebijakan Pemerintah (Ketersediaan Infrastruktur dll) Peningkatan kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah
73 Peningkatan minat investor pengembang Peningkatan lapangan kerja (3) Institusi pendukung lainnya selain pemerintah, di antaranya adalah lembaga keuangan, lembaga pelatihan, lembaga penelitian dan pengembangan dan lain-lain. Beberapa aspek yang menjadi kriteria keberhasilan dari komponenkomponen ini antara lain : Faktor tangible di antaranya adalah keuntungan finansial Faktor Intangible, salah satu di antaranya adalah manfaat sosial. (4) Masyarakat sekitar Klaster Agroindustri, dampak aktivitas dan perkembangan klaster agroindustri pasti dirasakan juga oleh masyarakat sekitar lokasi. Beberapa kriteria yang membuat sebuah klaster dikatakan baik jika masyarakat sekitar memiliki beberapa indikasi berikut : Adanya kebanggaan dan rasa memiliki Peningkatan peluang usaha Peningkatan kesejahteraan Di samping karakteristik ditinjau dari unsur pelaku yang ada, klaster industri juga memiliki karakteristik fungsional yang berbeda dengan jenis kumpulan industri lainnya. Salah satu contoh perbedaan dapat dilihat pada Tabel 4. yang menyajikan perbedaan mendasar antara klaster industri dengan sentra industri. Tabel 4 Perbandingan antara Klaster Industri dengan Sentra Industri (Taufik, 2001) Klaster Industri
Sentra Industri
Batasan Industri
Faktor
Himpunan para pelaku dalam konteks tertentu baik pelaku industri tertentu yang berperan sebagai industri inti (core industries), pemasok kepada pelaku industri inti, industri pendukung bagi industri inti, pihak/lembaga yang memberikan jasa layanan kepada pelaku industri inti
Himpunan para pelaku (produsen) di bidang usaha industri tertentu yang serupa. Catatan : untuk beberapa sentra industri, telah terdapat UPT (Unit Pelayanan Teknis)
Faktor penting yang menjadi pertimbangan
Nilai tambah dan daya saing serta hal positif lain yang terbentuk atas rangkaian rantai nilai keseluruhan industri
Hal positif yang diperoleh karena aglomerasi fisik pada pelaku usaha
Keterkaitan antara keduanya
Dalam suatu klaster industri, suatu sentra bisa ditempatkan sebagai salah satu sub sistem dalam rangkaian rantai nilai sistem industri tertentu
Sentra industri bisa menjadi salah satu himpunan simpul (sub grup) dari suatu klaster industri, baik sebagai industri inti, pemasok, atau pendukung. Suatu sentra mungkin saja tidak/belum menjadi bagian dari klaster industri tertentu
74 Tabel 4. Lanjutan
Faktor Batasan lokasi/wilayah
Klaster Industri
Sentra Industri
Dimungkinkan terbentuknya klaster industri yang bersifat “lintas batas (cross-border) dalam konteks batasan kewilayahan tertentu”
Sentra industri tertentu hanya ada di suatu lokasi (desa/kelurahan) tertentu
Diagram Lingkar Sebab Akibat Pendekatan sistem diawali dengan melakukan analisa kebutuhan melalui karakterisasi sistem sehingga dapat diketahui elemen sistem, atribut-atribut dan variable-variabel yang diduga berpengaruh dalam kinerja sistem baik yang sifatnya tangible maupun intangible. Interaksi yang terjadi antar elemen pembentuk klaster secara fisik adalah interaksi elemen itu sendiri, namun interaksi yang sebenarnya yaitu interaksi yang berbasis nilai adalah interaksi yang terjadi antar atribut ataupun variabel yang dipentingkan oleh elemen-elemen tersebut. Gambaran hubungan atribut atau variabel yang dipentingkan dari elemen pembentuk klaster agroindustri dapat digambarkan dalam bentuk diagram sebab akibat. Diagram ini sekaligus dapat digunakan sebagai acuan dalam melihat kinerja klaster agroindustri hasil laut secara dinamis pada masa mendatang melalui kajian sistem dinamis yang di dalam penelitian ini masih belum menjadi fokus. Adapun gambaran dinamis tersebut dapat dilihat pada Gambar 35. + +
+ Minat investasi
+ + Kolaborasi pelaku klaster
+
Pendapatan pemerintah
Keuntungan Pelaku klaster agroindustri hasil laut
+
+
+
Keberlanjutan industri
Jumlah pelaku industri +
+
+
+
+
+
Keuntungan Klaster (Komprehensif)
Kesejahteraan masyarakat sekitar
Kebijakan pemerintah
+ +
+
Peluang kerja baru +
Gambar 35 Diagram sebab akibat sistem klaster agroindustri hasil laut
+
75 Diagram Input Output Sistem Klaster Agroindustri Hasil Laut Deskripsi skematis bangunan sistem input dan output yang dihasilkan untuk sebuah perancangan Model Pengukuran Kinerja Komprehensif dari sebuah sistem Klaster Agroindustri Hasil Laut akan memberikan informasi berharga untuk dihasilkannya sebuah sistem pengukuran kinerja yang efektif. Berdasarkan dari gambaran diagram sebab akibat dan kajian lain yang relevan maka dapat digambarkan diagram Input Output berikut : Input Tak Terkendali Sumber hasil laut Harga pasar Nilai tukar rupiah terhadap dollar Musim
Lingkungan Kebijakan pemerintah dan Iklim usaha
Sistem Klaster Agroindustri Hasil Laut
Output dikehendaki Keuntungan proporsional pada seluruh pelaku klaster Pertumbuhan usaha/industri Terjadinya kolaborasi Peningkatan kapasitas Peningkatan jumlah Tenaga kerja Peningkatan omset klaster Daya saing berkelanjutan
Input Terkendali Pelaku klaster Teknologi Informasi Teknologi Proses Kapasitas produksi Harga jual produk hasil laut Teknologi penangkapan
Output tak dikehendaki
Manajemen pengendalian klaster agroindustri hasil laut
Konflik antar pelaku klaster Penurunan keuntungan Pencemaran lingkungan
Gambar 36 Diagram input-output sistem klaster agroindustri hasil laut Pengendalian sistem klaster agroindustri hasil laut untuk meminimasi output yang tidak dikehendaki dan memaksimumkan output yang dikehendaki dapat dilakukan dengan penerapan sebuah model pengukuran kinerja komprehensif sehingga kinerja dapat dimonitor, dievaluasi dan diperbaiki. Sebagai langkah awal perancangan model pengukuran kinerja klaster agroindustri hasil laut ini adalah melakukan identifikasi kebutuhan stakeholder untuk keberhasilan klaster di masa mendatang.
PENGEMBANGAN MODEL Pembangunan model pengukuran kinerja komprehensif sebuah sistem klaster agroindustri hasil laut dilakukan mengikuti beberapa tahapan yang sistematis. Secara skematis kerangka kerja logis model
sistem pengukuran
kinerja yang dikembangkan dapat ditampilkan seperti pada Gambar 37.
Identifikasi kebutuhan stakeholder klaster agroindustri hasil laut Informasi tentang kebutuhan stakeholder klaster industri sangat diperlukan dalam perancangan model pengukuran kinerja komprehensif, sehingga model dapat dirumuskan sesuai kebutuhan dari seluruh pemangku kepentingan sebuah klaster agroindustri hasil laut. Stakeholder adalah seluruh elemen pemangku kepentingan sebuah klaster agroindustri hasil laut yang terdiri dari pelaku industri baik inti maupun pendukung dan institusi terkait lainnya, termasuk di dalamnya adalah pemerintah sebagai pengambil kebijakan. Pada penelitian ini identifikasi kebutuhan stakeholder dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang ditujukan pada sejumlah pakar baik di bidang praktisi, akademisi maupun pemerintahan. Pakar dalam konteks adalah individu yang mempunyai komitmen, kompetensi dan kapasitas
secara
substansi
yang
diharapkan
dapat
merepresentasikan
pandangan/jawaban dari seluruh stakeholder klaster agroindustri hasil laut. Pendekatan klaster industri dalam pengembangan agroindustri hasil laut di Indonesia mengacu pada tujuan akhir yaitu terjadinya keunggulan kompetitif dan komparatif
yang
berkelanjutan
(Sustainable
Comparative
&
Competetive
Advantage). Di samping itu ada sejumlah kebutuhan yang diinginkan oleh stakeholder, hal ini didasarkan pada hasil kuesioner yang telah diisi oleh para pakar klaster industri di antaranya adalah : 1. Terjalinnya rantai nilai yang kokoh di antara pelaku dari hulu ke hilir yang dapat menjamin terjadinya keberlanjutan industri (38.46%) 2. Keunggulan kompetitif dan komparatif industri yang berkelanjutan (23.08%) 3. Terjadinya pertumbuhan industri hasil laut yang lebih baik (15.38%) 4. Terjadinya peningkatan keuntungan bagi semua pelaku dalam klaster (15.38%) 5. Peningkatan kemampuan dan kemudahan dalam berinovasi (7.70%)
77
Karakteristik Klaster Agroindustri
Sistem Pengukuran Kinerja
Tabel karakteristik Agroindustri berdasarkan jenis agroindustri
Karakteristik Sistem Diagram lingkar sebab akibat Diagram Input Output Diagram sebab akibat
Model Pembobotan Proses Hirarki Analitik (PHA) Fuzzy Electre II Model Scoring OMAX SMART Diagram Hirarki
Target Kinerja KPI 1 Keuntungan 8% KPI 2 Deviasi Keuntungan 0.05% KPI n
IPMS Balance Scorecard SMART OMAX
Kinerja Klaster Agroindustri
Identifikasi IKK Kumpulan Indikator Kinerja Kunci (IKK) untuk mengukur kinerja komprehensif Klaster Agroindustri
Pembobotan KPI
Model Sistem Pengukuran Kinerja Komprehensif Klaster Agroindustri Indikator Kinerja Kunci terpilih
Metode dan alat pengukuran KPI
Model perhitungan KPI
Status kinerja klaster (bentuk scoring board) Pengaruhnya terhadap beberapa perubahan kebijakan dan lingkungan bisnis sbg multiplier effect berklaster
KPI yang telah terbobot Sistem Scoring Scoring ukuran kinerja Klaster Agroindustri
What if analysis
Pencapaian Kinerja KPI 1 KPI 2 . KPI n
= ….. = ….. = …..
Gambar 37 Kerangka kerja rancangan model pengukuran kinerja komprehensif klaster agroindustri hasil laut
78 Sejumlah kebutuhan dari stakeholder yang dikemukakan oleh pakar tersebut di atas, menunjukkan adanya suatu harapan yang tinggi terhadap bangunan klaster industri dan diperlukannya peningkatan kompetensi baik secara individu maupun sistem klaster (komprehensif) sehingga dapat dipenuhi di masa mendatang. Berdasarkan kebutuhan di atas, maka dilakukan elaborasi lebih lanjut terhadap kriteria-kriteria yang menentukan keberhasilan klaster agroindustri hasil laut. Proses elaborasi diawali dengan pandangan bahwa sebuah sistem industri haruslah memperhatikan beberapa aspek generik dan senantiasa meningkatkan kinerja pada aspek tersebut. Terdapat empat aspek dalam sistem industri dengan berbasis klaster yaitu : 1. Aspek Sosial 2. Aspek Lingkungan 3. Aspek Ekonomi 4. Aspek Teknik (Proses Bisnis Internal) Kinerja dari setiap aspek klaster industri di atas dapat dilihat berdasarkan capaian beberapa indikator kinerja yang diturunkan melalui beberapa kriteria dan sub kriteria yang ditentukan sebelumnya. Proses eksplorasi kriteria dan penentuan alternatif indikator kunci dari setiap aspek klaster di atas akan diuraikan secara bertahap pada bagian selanjutnya. Pada akhirnya nilai kinerja komprehensif sebuah klaster agroindustri hasil laut dapat diperlihatkan sebagai fungsi dari nilai kinerja keempat aspek di atas.
Cp = f (Sp , Ecp , Ep , Tp ) Cp = c 1 Sp + c 2 Ecp + c 3 Ep + c 4 Tp keterangan
:
Cp
= nilai kinerja komprehensif
Sp
= nilai kinerja sosial
Ecp
= nilai kinerja ekonomi
Ep
= nilai kinerja lingkungan
Tp
= nilai kinerja proses bisnis internal
c1
= nilai bobot agregat kinerja sosial
c2
= nilai bobot agregat kinerja lingkungan
c3
= nilai bobot agregat kinerja ekonomi
c4
= nilai bobot agregat kinerja proses bisnis internal
………..(26) ………..(27)
79 Nilai kinerja dari setiap aspek klaster industri diperoleh dari agregasi sejumlah kriteria dan sub kriteria serta indikator-indikator kinerja yang membentuknya. Proses eksplorasi untuk mendapatkan kriteria dan sub kriteria keberhasilan klaster industri akan dilakukan melalui proses penurunan (derivasi) keempat aspek tersebut yang secara detail akan diuraikan pada bagian selanjutnya.
Eksplorasi Kriteria Keberhasilan Klaster Agroindustri Keberhasilan atau kinerja sebuah klaster industri dapat diukur berdasarkan beberapa kriteria yang selanjutnya bisa diderivasikan menjadi beberapa sub kriteria. Dalam perancangan model pengukuran kinerja komprehensif klaster agroindustri hasil laut, eksplorasi kriteria-kriteria tersebut perlu dilakukan secara akurat. Pada penelitian ini eksplorasi kriteria dilakukan dengan elisitasi pengetahuan pakar baik melalui kajian pustaka, brainstorming dengan pakar maupun dengan mengajukan beberapa pertanyaan pada pakar dalam bentuk kuesioner semi terbuka. Pakar yang dilibatkan dalam proses elisitasi sebanyak 15 orang pakar yang terdiri dari 5 orang praktisi agroindustri hasil laut, 7 orang dari pemerintah dan 3 orang akademisi. Identifikasi
kriteria
kinerja
klaster
tidak
sepenuhnya
berdasarkan
pengetahuan dari pakar, melainkan juga dari hasil kajian dan analisa yang telah dilakukan sebelumnya. Brainstroming dan elisitasi pendapat dari pakar diperlukan untuk mengklarifikasi, memverifikasi dan sekaligus memberikan masukan tambahan kriteria yang masih belum teridentifikasi. Oleh karena itu penyusunan kuesioner tahap I untuk pakar didasarkan pada hirarki kriteria. Selanjutnya berdasarkan hirarki kriteria tersebut disusun sebuah kuesioner (terlampir) yang diperuntukkan para pakar untuk memberikan masukan dan penilaian terhadap beberapa kriteria dan sub kriteria yang telah didefinisikan. Dalam perancangan kuesioner khususnya untuk menentukan kriteria keberhasilan klaster yang menentukan kinerja klaster secara komprehensif digunakan alat bantu berupa diagram sebab akibat (cause & effect) Elisitasi pendapat pakar dengan menggunakan
kuesioner tahap I
menghasilkan sejumlah informasi tentang prioritas awal kriteria keberhasilan klaster industri yang dihasilkan oleh pemilihan pakar, di samping itu juga diperoleh tambahan kriteria dan penilaian seperti ditampilkan pada Tabel 5.
Disain
kuesioner pada tahap ini hanya diperuntukkan dalam pemilihan sejumlah kriteria
80 keberhasilan klaster industri yang diajukan dan penambahan kriteria yang dianggap perlu oleh pakar, tidak untuk kebutuhan pembobotan kriteria secara komprehensif. Namun demikian, dari isian kuesioner pakar tahap I ini dapat dilakukan pengolahan sederhana untuk menghitung bobot relatif masing-masing sub kriteria terhadap kriteria utama. Jumlah responden pakar yang memilih alternatif kriteria tertentu dibandingkan dengan total alternatif responden yang ada, sehingga diperoleh persen relatif dari masing-masing alternatif kriteria. Nilai persen relatif setiap alternatif kriteria ini selanjutnya dinormalkan sehingga diperoleh nilai total dari setiap level pertanyaan sebesar 100 %. Normalisasi nilai dilakukan dengan operasi matematis berikut :
Pi =
xi n
∑
................................(28)
pi
i =1
keterangan : = prosentase normal untuk alternatif kriteria i = prosentase alternatif kriteria i sebelum dinormalkan (persen relatif) = jumlah alternatif kriteria pada setiap pertanyaan
Pi pi n
Tabel 5 Rekapitulasi hasil eksplorasi kriteria keberhasilan klaster industri Kriteria dan Sub Kriteria
No I
II
LEVEL HARAPAN 1 Harapan/keinginan dan manfaat klaster industri bagi pelaku : 1.1 Keunggulan kompetetif industri yang berkelanjutan 2 Terjadinya pertumbuhan industri hasil laut yang lebih baik (2) 2.9 Peningkatan kemampuan dan kemudahan dalam berinovasi 3.8 Terjadinya peningkatan keuntungan bagi semua pelaku dalam klaster Terjalinnya rantai nilai yang kokoh diantara pelaku dari hulu ke hilir yang dapat 4.7 menjamin terjadinya sustainabilitas industri LEVEL KRITERIA UTAMA Kriteria Utama keberhasilan klaster industri 1 Aspek Finansial 2 Aspek Kelembagaan 3 Aspek Sosial 4 Aspek Lingkungan
III
Bobot relatif
23.1% 15.4% 7.7% 15.4% 38.5%
38.5% 15.4% 30.8% 15.4%
LEVEL SUB KRITERIA 3.1 Kriteria efektivitas kelembagaan klaster 1 Kelengkapan komponen klaster 2 Terjadinya interaksi antar pelaku klaster yang optimal (fungsional klaster) 3 Terciptanya nilai tambah pelaku klaster 4 Partisipasi aktif dari pelaku-pelaku dalam klaster 5 Komitmen pelaku klaster (berfungsi sesuai fungsinya). 6 Terdapat Visi dan Misi bersama 7 Adanya insentif dari otoritas
23.1% 38.5% 7.7% 7.7% 7.7% 7.7% 7.7%
81 Tabel 5 Lanjutan No
Kriteria dan Sub Kriteria
3.1.1 Kriteria kelengkapan komponen dalam sebuah klaster 1 Kelembagaan klaster industri 2 Keterwakilan industri inti 3 Keterwakilan industri pendukung 4 Keterwakilan institusi pendukung 5 Kelengkapan industri hulu ke hilir di wilayah (propinsi)
Bobot relatif 8.3% 41.7% 25.0% 16.7% 8.3%
3.1.2 Kriteria efektivitas fungsional klaster industri 1 Adanya mekanisme koordinasi yang terstruktur Terjadinya kolaborasi dan aliansi strategis antar pelaku klaster industri dalam 2 meningkatkan kompetensi inti 3 Tersedianya sebuah sistem monitoring dan evaluasi yang akurat 4 Keterbukaan (beban kerja, beban biaya dan waktu) 5 Pasrtisipasi kontrol secara aktif dari pelaku klaster 6 Tersedianya standar kompetensi terkait insentif yang diberikan
36.4% 27.3% 9.1% 9.1% 9.1%
3.2.1 Kriteria Finansial 1 Besarnya keuntungan (profit margin ) dari masing-masing pelaku klaster industri 2 Keseimbangan keuntungan di antara seluruh pelaku klaster industri 3 Keadilan yang proporsional sesuai peran masing-masing 4 Kestabilan harga jual 5 Kepastian pasar 6 Adanya saling memberi positif diantara pelaku klaster 7 Besarnya nilai tambah yang dihasilkan oleh masing-masing pelaku
30.8% 23.1% 7.7% 15.4% 7.7% 7.7% 7.7%
3.2.2 Kriteria internal proses bisnis 1 Peningkatan permintaan produk dari sebuah klaster industri 2 Peningkatan kapasitas produksi sebuah klaster industri 3 Pertumbuhan industri di dalam sebuhan klaster industri 4 Pertumbuhan industri secara keseluruhan 5 Kepastian pasar 6 Kepastian harga jual 7 Dukungan infrastruktur yang memadai
18.8% 18.8% 31.3% 12.5% 6.3% 6.3% 6.3%
3.3 Kriteria aspek sosial 1 Hubungan dengan masyarakat sekitar 2 Bersifat ramah lingkungan 3 Pengaruhnya terhadap ketenagakerjaan secara nasional maupun regional 4 Pengaruh positif terhadap pemberdayaan ekonomis masyarakat sekitar 5 Semakin baiknya piramida/struktur pendidikan masyarakat sekitar 6 Meningkatnya kesejahteraan penduduk sekitar 3.3.1 Kriteria terjalin hubungan baik dengan masyarakat sekitar 1 Keterlibatan masyarakat sekitar dalam kegiatan industri
9.1%
26.7% 20.0% 33.3% 6.7% 6.7% 6.7% 33.3%
2 Tersedianya program-program perusahaan dalam klaster industri yang bisa diakses masyarakat sekitar 3 Apresiasi masyarakat terhadap pelaku klaster industri
25.0% 33.3%
4 Peningkatan pendidikan bagi masyarakat sehingga mampu meningkatkanan taraf hidup
8.3%
82
Tabel 5 Lanjutan Kriteria dan Sub Kriteria
No
3.3.2 Kriteria klaster industri yang ramah lingkungan 1 Seluruh proses produksi berorientasi pada ramah lingkungan Ketersediaan green area (wilayah hijau) yang melindungi masyarakat dari segala bentuk peluang gangguan lingkungan. 2 3 Menghasilkan produk samping bermanfaat bagi masyarakat 4 Membaiknya indeks lingkungan hidup yang ditetapkan KLH 3.3.3 Kriteria dampak terhadap ketenagakerjaan 1 Penyerapan tenaga kerja 2 Peningkatan Kualitas SDM 3 Tersedianya sarana peningkatan kualitas SDM yang memadai 4 Peningkatan program secara kontinyu untuk peningkatan pendapatan dan taraf hidup 5 Peningkatan profesionalisme dan daya kompetetif
Bobot relatif 44.4% 33.3% 11.1% 11.1% 30.8% 30.8% 23.1% 7.7% 7.7%
Hasil pengolahan data akuisisi pengetahuan pakar menunjukkan adanya variasi pengetahuan. Variasi ini di antaranya dikarenakan latar belakang dan pengalaman yang berbeda. Namun demikian kepakaran responden tetap bisa dijadikan sebagai bahan masukan untuk dipertimbangkan pada penyusunan model pengukuran kinerja klaster industri. Berdasarkan pengetahuan pakar dari kuesioner tahap 1 dan hasil observasi pada beberapa proses pembangunan klaster industri, maka dapat dilakukan elaborasi lebih mendalam dengan bantuan diagram sebab akibat untuk memetakan dan mengidentifikasi peluang munculnya kriteria baru yang relevan yang pada level 1 dan 2 dapat dilihat pada gambar berikut :
Gambar 38 Aspek dan kriteria penentu kinerja klaster agroindustri hasil laut
83 Setiap
aspek
yang
berkontribusi
pada
kinerja
klaster
dapat
direpresentasikan oleh sejumlah kriteria seperti tampak pada gambar di atas. Pada beberapa aspek penggalian lebih dilakukan berdasarkan hasil pengolahan kuesioner tahap I dan referensi lain untuk mengidentifikasi lebih detail apakah masih ada sub-sub kriteria yang bisa di turunkan dari setiap kriteria yang sudah diidentifikasi. Beberapa kriteria ternyata masih bisa di turunkan dalam bentuk subsub kriteria sehingga akan lebih memudahkan dalam identifikasi alternatif indikator kinerja yang dapat dijadikan tolok ukur keberhasilan dari sudut aspek sosial ini. Adapun hasil elaborasi diagram sebab akibat untuk aspek sosial dapat ditampilkan dilihat pada Gambar 39.
Gambar 39 Kriteria dan sub kriteria kinerja sosial klaster agroindustri hasil laut
Sementara itu untuk aspek lingkungan, terdapat beberapa kriteria dan sub kriteria derivasinya yang merupakan faktor penentu kinerja lingkungan sebuah klaster industri hasil laut seperti tampak pada gambar berikut :
84
Gambar 40 Kriteria dan sub kriteria penentu kinerja lingkungan klaster agroindustri hasil laut Kinerja ekonomi yang merupakan gambaran kondisi finansial dan pertumbuhan ternyata juga dipengaruhi oleh faktor pembentuk kinerja aspek sosial yaitu ketenagakerjaan dan kelembagaan. Hal ini diperoleh dari hasil analisa berdasarkan diagram sebab akibat, sehingga secara agregat kriteria dan sub kriteria pembentuk kinerja aspek ekonomi klaster industri hasil laut dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 41 Kriteria dan sub kriteria penentu kinerja ekonomi klaster agroindustri hasil laut
85 Penguatan kelembagaan klaster industri perlu dilakukan untuk menjaga keberlanjutan klaster itu sendiri, oleh karena itu elaborasi pada kriteria ini harus dilakukan dengan teliti dan terinci. Berdasarkan hasil brainstorming dan kajian logis, maka dapat diperoleh derivasi dari kinerja kelembagaan klaster seperti dapat dilihat pada gambar berikut : Kelengkapan komponen klaster Keterwakilan industri inti Keterwakilan institusi pendukung
Ketewakilan industri pendukung
Kinerja kelembagaan Kualitas sistem monitoring & evaluasi Kolaborasi antar pelaku klaster
Mekanisme koordinasi
Efektifitas fungsional klaster
Gambar 42 Kriteria dan sub kriteria penentu kinerja ekonomi klaster agroindustri hasil laut Berdasarkan
hasil
elaborasi
lanjutan
dari
kuesioner
tahap
I
dan
brainstorming pada pakar terbatas serta kajian literatur maka secara lengkap struktur hirarki kriteria yang menentukan kinerja komprehensif klaster agroindustri hasil laut dapat dirumuskan seperti pada Gambar 43. Pada setiap level tujuan akan berkontribusi sejumlah aspek kinerja klaster yang dapat diderivasi menjadi beberapa kriteria. Beberapa kriteria dapat diderivasi lagi ke dalam sub kriteria atau sub-sub kriteria. Derivasi akan dihentikan jika dipandang telah diperoleh satu kriteria yang unik yang dapat diwakili oleh beberapa indikator kinerja terukur yang memenuhi
kaidah SMART
(Specific, Measurable, Agreed,
Timebound). Pada level terakhir ini
Realistic
dan
dilakukan eksplorasi beberapa alternatif
indikator kinerja kunci (IKK) melalui brainstorming dan kajian literatur yang relevan. Berdasarkan hasil eksplorasi ini, selanjutnya didisain kuesioner pakar bagian dua dengan tujuan untuk mendapatkan nilai bobot dari masing-masing alternatif indikator kinerja kunci yang telah diperoleh. Secara lengkap proses eksplorasi IKK klaster agroindustri hasil laut akan diuraikan pada bagian setelah ini.
86
Gambar 43 Struktur hirarki kinerja komprehensif klaster agroindustri hasil laut
87 Pada struktur hirarki di atas dapat dilihat bahwa pembangunan sebuah klaster agroindustri hasil laut didasarkan pada lima tujuan yang terdiri dari (1) terciptanya keunggulan komparatif dan kompetitif yang berkelanjutan, (2) terwujudnya pertumbuhan industri hasil laut, (3) peningkatan kemampuan dalam berinovasi, (4) terjadinya peningkatan kesejahteraan pelaku seluruh anggota klaster dan (5) terjadinya rantai nilai yang kokoh dari hulu sampai dengan hilir. Pencapaian dari masing-masing tujuan tersebut dapat dilihat dari kinerja beberapa aspek klaster agroindustri hasil laut yaitu (1) aspek sosial, (2) aspek lingkungan, (3) aspek ekonomi dan (4) aspek teknis (proses bisnis internal). Kinerja dari masing-masing aspek klaster industri hasil laut ditentukan oleh beberapa kriteria yang selanjutnya dapat diderivasi lebih rinci menjadi sub-sub kriteria. Pada level terakhir sebuah hirarki kriteria barulah alternatif-alternatif indikator kinerja kunci dapat dieksplorasi. Seluruh kriteria dan sub kriteria yang berhasil diderivasi seperti tampak pada gambar memiliki prioritas yang berbeda di dalam
penentuan kinerja klaster
agroindustri hasil laut tergantung persepsi dari pakar. Oleh karena itu perlu dilakukan satu langkah pembobotan pada setiap elemen di masing-masing level hirarki, sehingga secara kuantitatif dapat ditentukan bobot masing-masing kriteria dan sub kriteria yang diidentifikasi. Penilaian berpasangan terhadap kriteria dan sub
kriteria
akan
dilakukan
oleh
pakar yang
telah
ditentukan
dengan
menggunakan kaidah-kaidah ilmiah sesuai dengan metode Proses Hirarki Analitik (PHA) atau Analytic Hierarchy Process (AHP) dan hasil penilaiannya akan diolah dengan menggunakan bantuan perangkat lunak Expert Choice 2000. Elisitasi pendapat pakar dilakukan melalui pengisian kuesioner tahap II yang didisain berdasarkan struktur hirarki kinerja klaster agroindustri hasil laut. Kuesioner pakar tahap II terdiri dari dua bagian di mana bagian I merupakan penilaian pakar melalui perbandingan berpasangan dari setiap level hirarki kriteria dan bagian II merupakan kuesioner untuk mendapatkan penilaian pakar terhadap sejumlah alternatif indikator kinerja kunci. Bagian I bertujuan untuk mendapatkan prioritas berdasarkan nilai bobot dari masing-masing kriteria dan sub kriteria yang dinilai, sementara itu bagian pada bagian dua dilakukan penilaian terhadap alternatif indikator kinerja kunci menggunakan skala likert 1 (satu) sampai dengan 5 (lima). Nilai 1 menunjukkan bahwa IKK dinilai sangat tidak penting yang artinya sangat tidak dipentingkan untuk menilai kinerja dari sebuah klaster agroindustri
88 hasil laut, sementara 2 sampai 5 berturut-turut adalah tidak penting, cukup penting, penting dan sangat penting.
Eksplorasi Indikator Kinerja Kunci (IKK) Kinerja sebuah klaster industri hasil laut akan dapat diukur berdasarkan beberapa tolok ukur yang memenuhi kriteria SMART (Specific, Measurable, Agreed, Realistic dan Timebound). Pengertian dari masing-masing kriteria dari Indikator kinerja kunci tersebut adalagh (1) Specific (spesifik), yang artinya sebuah indikator kinerja harus terdefinisi dengan jelas, tidak ambisius, langsung dan bisa dimengerti, (2) Measurable (terukur) , sebuah indikator kinerja kunci harus dapat diukur baik kuantitas, kualitas, waktu maupun nilai uangnya, (3) Agreed (sepakat) berarti Indikator kinerja harus merupakan kesepakatan antara individu dan manajer dalam sebuah organisasi, atau oleh setiap individu dalam sebuah sistem, (4) Realistic (realistik), berarti indikator kinerja haruslah berada dalam kendali dan kemampuan individu yang diukur, dan (5) Timebound (batasan waktu), harus berada dalam skala waktu tertentu. Identifikasi IKK dilakukan dengan mengacu pada setiap kriteria dan sub kriteria yang telah dirumuskan pada level terakhir berdasarkan struktur hirarki. Eksplorasi dilakukan berbasis pada pemikiran logis dengan memperhatikan aspek SMART, kajian literatur dan brainstorming dengan pakar terbatas. Hasil identifikasi alternatif IKK dapat disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Daftar alternatif Indikator Kinerja Kunci klaster agroindustri hasil laut
Kriteria / Sub kriteria Penyerapan Tenaga Kerja
Kualitas SDM
Sarana Peningkatan kualitas SDM
Indikator Kinerja Kunci (IKK) 1 Jumlah tenaga kerja lokal (%) 2 Jumlah tenaga kerja penduduk sekitar pabrik/usaha (kelurahan/desa) (%) 3 Turn over tenaga kerja 1 Jumlah SDM berpendidikan >= S1 (%) 2 Jumlah SDM berpendidikan D3 (%) 3 Jumlah SDM berpendidikan <=SMA (%) 1 Jumlah perguruan tinggi dengan disiplin ilmu yang relevan di Jatim 2 Jumlah lembaga pendidikan lain khusus kelautan dan perikanan di Jatim 3 Jumlah lembaga dan balai pelatihan hasil laut di Jatim 4 Jumlah lembaga penelitian kelautan dan perikanan di Jatim
Keterwakilan Industri Inti
1 Jumlah usaha pada industri hasil laut yang tergabung dalam klaster 2 Jumlah industri hasil laut yang bergabung dalam Klaster
Keterwakilan Industri
1 Jumlah usaha pemasok bahan baku utama yang menjadi anggota klaster
89
Tabel 6 Lanjutan
Kriteria / Sub kriteria
Indikator Kinerja Kunci (IKK)
Pendukung
2 Jumlah usaha pendukung lain (kapal nelayan, peralatan dll) 3 Jumlah nelayan yang terlibat pada klaster
Keterwakilan Institusi pendukung
1 Jumlah institusi pemerintah yang berdedikasi terhadap klaster
Mekanisme koordinasi
1 Jumlah pertemuan kelompok kerja klaster industri (Forum Koordinasi)
2 Jumlah institusi penelitian yang berdedikasi terhadap klaster 2 Prosentase kehadiran anggota forum koordinasi klaster
Kolaborasi antar pelaku klaster
1 Jumlah pelaku yang bekerjasama dalam pengadaan bahan baku 2 Jumlah pelaku yang bekerjasama dalam proses produksi 3 Jumlah pelaku yang bekerjasama dalam pemasaran 4 Jumlah pelaku yang bekerjasama dalam peningkatan kompetensi SDM
Kualitas sistem evaluasi
Keterlibatan masyarakat dl industri
Ketersediaan program masyarakat Tingkat keluhan masyarakat Proses produksi ramah lingkungan
1 Jumlah pertemuan untuk mengevaluasi klaster dalam satu tahun 2 Rata-rata pelaku yang hadir dalam pertemuan 3 Jumlah indikator kinerja yang dijadikan alat ukur keberhasilan klaster 4 Prosentase rencana kerja klaster yang terealisasi per tahun 1 Persentase penduduk sekitar (desa) yang terlibat aktif dalam program per tahun (%) 2 Jumlah saran yang masuk dari penduduk sekitar terhadap suatu penyelenggaraan program 1 Jumlah program pemberdayaan masyarakat yang diselenggarakan per tahun 2 Jumlah program pendidikan untuk masyarakat sekitar 1 Jumlah keluhan berdasarkan tingkat keseriusannya 2 Perubahan tingkat keluhan berdasarkan waktu 1 Jumlah keluhan atas produk per thn 2 Jumlah keluhan masyarakat per thn 3 Jumlah pelaku yang memiliki dokumen amdal dan tersertifikasi (%)
Ketersediaan green area (wilayah hijau) (wilayah hijau) Pemenuhan persyaratan teknis KLH
1 Jarak dengan pemukiman penduduk (m) 2 Jumlah pohon per luas areal (unit/m2) 1 Jumlah indeks KLH yang dipenuhi 2 Jumlah penghargaan KLH yang diperoleh dalam satu tahun 3 Ada tidaknya sarana pengolahan limbah
Keuntungan klaster
1 Rata-rata keuntungan pelaku klaster (%) 2 Deviasi keuntungan anggota klaster (%) 3 Jumlah penjualan domestik 4 Total penjualan 5 Pangsa Pasar
90 Tabel 6 Lanjutan
Kriteria / Sub kriteria Pertumbuhan Klaster
Indikator Kinerja Kunci (IKK) 1 Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP) 2 Indeks RCA (Revealed Comparative Advantage) 3 Peningkatan investasi dalam klaster industri hasil laut
Kontribusi pada devisa negara Pengadaan Bahan Baku
1 Besarnya kontribusi pada devisa negara (%) 1 Jumlah bahan baku yang diperoleh dalam satu kali tangkapan (untuk ikan dan udang) 2 Jumlah bahan baku yang diperoleh dalam satu kali panen (rumput laut) 3 Biaya yang dikeluarkan dalam sekali melaut (untuk ikan & udang) 4 Biaya yang dikeluarkan dalam sekali musim tanam (untuk rumput laut) 5 Harga jual produk/bahan baku 6 Nilai rendemen bahan baku (%)
Penanganan Bahan Baku
1 Nilai rendemen setelah penanganan awal oleh pemasok 2 Harga jual ke pabrik
Pengolahan
1 Output standar 2 Nilai rendemen setelah pengolahan
Pendisribusian hasil olahan (produk jadi)
3 Banyaknya produk yang cacat (kg/hari) 1 Jumlah keluhan keterlambatan pengiriman produk jadi ke distributor (domestik) 2 Jumlah keluhan keterlambatan pengiriman produk ke negara tujuan (ekspor) 3 Jumlah produk yang rusak dalam perjalanan distribusi 4 Jumlah keluhan kerusakan oleh konsumen
Daftar indikator kinerja (IK) yang telah diidentifikasi seperti pada tabel di atas merupakan daftar alternatif yang masih perlu dipilih berdasarkan nilai kepentingan masing-masing IK. Oleh karena itu perlu dilakukan penilaian terhadap masingmasing IKK oleh sejumlah pakar yang telah memenuhi kriteria untuk melakukan penilaian. Hasil penilaian pakar dapat memberikan nilai kepentingan yang dijadikan dasar dalam memilih indikator kinerja yang akan digunakan dalam model sistem pengukuran kinerja. Pengolahan hasil penilaian tingkat kepentingan pada sejumlah alternatif IKK tersebut akan dilakukan dengan bantuan perangkat lunak Electre II.
91 Pembobotan Kriteria, Sub Kriteria Dan Indikator Kinerja Kunci (IKK) Kinerja komprehensif klaster agroindustri hasil laut ditentukan oleh beberapa aspek, kriteria dan sub kriteria yang masing-masing memiliki bobot dalam menentukan kinerja tersebut. Pembobotan dilakukan terhadap masing-masing komponen pada setiap level hirarki seperti digambarkan pada struktur hirarki dengan menggunakan teknik perbandingan berpasangan yang diolah dengan bantuan perangkat lunak expert choice 2000. Secara agregat tujuan yang paling dipentingkan pada klaster agroindustri hasil laut adalah terjadinya peningkatan kesejahteraan pelaku klaster (0.216). Sementara itu nilai bobot kepentingan tujuan kedua sampai dengan ke lima berturut-turut berturut-turut adalah terjadinya pertumbuhan industri hasil laut dan kemampuan berinovasi (0.200), terbangunnya rantai nilai yang kokoh pada agroindustri hasil laut di Indonesia (0.199), keunggulan komparatif dan kompetitif yang berkelanjutan (0.184). Secara grafis urutan prioritas dari masing-masing tujuan klaster industri dapat dilihat pada Gambar 44. 0.22
0.216
Keunggulan komparatif dan kompetetif
0.21 0.2
0.2
Nilai Bobot
0.2
0.199
Pertumbuhan industri
Kemampuan inovasi
0.19 0.184
0.18
Kesejahteraan pelaku
0.17
Rantai nilai
0.16 Tujuan Klaster
Gambar 44 Prioritas tujuan di dalam sistem klaster agroindustri hasil laut Nilai bobot pada masing-masing tujuan sekaligus menunjukkan prioritas arah pengembangan dari klaster industri hasil laut, di mana peningkatan kesejahteraan pelaku klaster menjadi prioritas. Hal ini juga menunjukkan bahwa semangat kebersamaan dalam sebuah klaster merupakan prioritas, di sisi lain situasi ini juga menunjukkan bahwa diperlukan adanya pemerataan keuntungan di antara pelaku sehingga kesejahteraan dalam ditingkatkan tidak hanya pada pelaku tertentu
92 tetapi pada seluruh pelaku klaster. Pertumbuhan industri hasil laut dan kemampuan inovasi merupakan dua tujuan yang saling mendukung. Jika kemampuan inovasi bertambah, maka peluang untuk mendirikan usaha baru sebagai bentuk diversifikasi produk maupun efisiensi proses juga akan meningkat. Sementara itu tujuan terbangunnya rantai nilai yang kokoh juga merupakan hal penting yang harus diperhatikan dalam pengembangan klaster industri hasil laut kedepan. Rantai nilai yang kokoh hanya akan bisa dicapai jika terjadi hubungan sinergis dalam rantai produksi dari hulu sampai dengan hilir yang juga merupakan konsep dasar dari pendekatan klaster industri. Namun demikian untuk menuju arah keberhasilan klaster masih perlu ditingkatkan dedikasi dari institusi pendukung lainnya dalam mendukung efektivitas klaster industri hasil laut sehingga tujuan sistem klaster dapat tercapai. Terdapat empat aspek yang dinilai sangat berperan dalam keberhasilan sebuah klaster industri hasil laut di antaranya adalah aspek sosial, aspek lingkungan, aspek ekonomi dan aspek proses bisnis internal. Keempat aspek tersebut memiliki kontribusi yang berbeda dalam pencapaian kelima tujuan yang diprioritaskan dalam klaster industri. Dalam mewujudkan kesejahteraan pelaku klaster, maka aspek ekonomi merupakan kriteria yang diutamakan dengan nilai bobot relatif 0.44 dan selanjutnya diikuti oleh tiga aspek lainnya secara berturutturut aspek sosial (0.243), aspek proses bisnis internal (0.230) dan aspek lingkungan (0.087). Perbedaan tersebut secara lebih jelas dapat dilihat pada gambar 45 berikut : 0.5 0.44
0.45 0.4 Nilai Bobot
0.35 0.3 0.25
0.243
0.23
0.2 0.15 0.087
0.1 0.05 0 Aspek Sosial
Aspek Lingkungan
Aspek Ekonomi
Aspek Proses Bisnis Internal
Gambar 45 Kontribusi empat aspek di dalam pencapaian tujuan peningkatan kesejahteraan pelaku klaster
93 Berdasarkan grafik di atas dapat dilihat bahwa tingkat kesejahteraan pelaku klaster agroindustri hasil laut sangat dipengaruhi oleh kinerja ekonomi. Kinerja ekonomi secara hirarki ditentukan oleh beberapa kriteria di antaranya adalah kelembagaan klaster agroindustri hasil laut, finansial dan pertumbuhan ekonomi. Setelah dilakukan penilaian berpasangan oleh sejumlah responden pakar, maka dapat dilihat tiga tampilan secara berturut-turut yang menggambarkan tingkat pengaruh dari masing-masing kriteria yang dinilai.
0.655
0.7 0.6
Nilai Bobot
0.5 0.4
0.345
0.3 0.2 0.1 0
Kelengkapan Komponen
Efektivitas Fungsional
Kriteria kelembagaan
Gambar 46 Distribusi bobot sub kriteria di dalam kriteria kelembagaan klaster
Dalam kelembagaan klaster seperti tampak pada gambar di atas, dapat dilihat bahwa efektivitas fungsional klaster dengan nilai bobot 0.655 lebih menjadi penentu keberhasilan atau kinerja klaster agroindustri hasil laut dibanding dengan sekedar jumlah keanggotaan klaster (jumlah komponen) yang mempunyai bobot 0.345. Hal ini menunjukkan bahwa penguatan interaksi, kolaborasi melalui aliansi strategis dan bentuk kolaborasi lainnya diharapkan akan lebih efektif dalam peningkatan keberhasilan klaster industri sekaligus dalam peningkatan daya saing global.
94 0.7
0.646
Nilai Bobot
0.6 0.5 0.4
0.354
0.3 0.2 0.1 0 Keuntungan Klaster
Penjualan Klaster
Kriteria Finansial
Gambar 47 Distribusi bobot sub kriteria di dalam kriteria finansial Sejalan dengan konsep bisnis pada umumnya, secara finansial keuntungan klaster lebih menjadi prioritas dibanding penjualan di tingkat klaster itu sendiri. Di sini dapat diartikan bahwa tingkat penjualan tidaklah menjamin adanya tingkat keuntungan yang baik, faktor harga merupakan satu komponen yang sangat menentukan apakah terjadinya peningkatan jumlah penjualan akan secara otomatis memberikan keuntungan yang baik. Efisiensi proses produksi yang dielaborasi dalam aspek proses bisnis internal juga merupakan salah satu komponen yang akan bisa meningkatkan keuntungan klaster jika dioptimalkan. 0.9 0.8
0.771
Nilai Bobot
0.7 0.6 0.5 0.4 0.3
0.229
0.2 0.1 0 Pertumbuhan Klaster
Kontribusi Devisa Negara
Kriteria Pertumbuhan Ekonomi
Gambar 48 Distribusi bobot sub kriteria di dalam kriteria pertumbuhan ekonomi
95 Sementara itu secara lengkap perbedaan kontribusi dari keempat aspek yang diteliti terhadap pencapaian tujuan terjadinya pertumbuhan industri hasil laut di Jawa Timur khususnya dan di Indonesia pada umumnya yang merupakan prioritas kedua di dalam sebuah sistem klaster agroindustri hasil laut dapat dilihat pada gambaran berikut :
Gambar 49 Nilai bobot relatif aspek terhadap tujuan klaster industri
96 Berdasarkan struktur hirarki kriteria seperti yang digambarkan sebelumnya, kinerja klaster industri dapat ditentukan oleh pencapaian lima tujuan yang diprioritaskan. Pencapaian dari masing-masing tujuan tersebut ditentukan oleh empat aspek klaster industri yang selanjutnya dapat di turunkan kedalam kriteria dan sub kriteria. Hasil penilaian seluruh kriteria dan sub kriteria yang menentukan kinerja komprehensif dari sebuah sistem klaster agroindustri hasil laut dapat dilihat pada Tabel 7 sampai dengan Tabel 11: Tabel 7 Nilai bobot kriteria dan sub kriteria pada pencapaian keunggulan komparatif dan kompetitif klaster Deskripsi kriteria dan sub kriteria pada setiap aspek klaster 1. Aspek Sosial 1.1 Ketenagakerjaan Penyerapan tenaga kerja Kualitas sumber daya manusia Ketersediaan sarana pelatihan SDM 1.2 Kelembagaan klaster industri Kelengkapan komponen klaster industri Keterwakilan industri inti Keterwakilan industri pendukung Keterwakilan institusi pendukung Efektivitas fungsional Mekanisme koordinasi Kolaborasi Proses Monitoring dan Evaluasi 1.4 Penerimaan lingkungan sosial (Social Acceptability) Keterlibatan masyarakat dalam program sosial kemasyarakatan yang diselenggarakan industri Ketersediaan program Keluhan masyarakat tentang lingkungan 2. Aspek Lingkungan 2.1 Penerimaan lingkungan sosial (Social Acceptability) Keterlibatan masyarakat dalam program sosial kemasyarakatan yang diselenggarakan industri Ketersediaan program Keluhan masyarakat tentang lingkungan 2.2 Penerimaan lingkungan secara teknik (Technical Acceptability) Produksi yang ramah lingkungan Ketersediaan green area (wilayah hijau) Pemenuhan terhadap persyaratan legal KLH
Bobot 0.131 0.288 0.389 0.312 0.300 0.199 0.251 0.522 0.263 0.215 0.749 0.294 0.350 0.356 0.604 0.665 0.202 0.133 0.186 0.604 0.524 0.284 0.192 0.396 0.658 0.159 0.183
97 Tabel 7 Lanjutan Deskripsi kriteria dan sub kriteria pada setiap aspek klaster 3. Aspek Ekonomi 3.1 Ketenagakerjaan Penyerapan tenaga kerja Kualitas sumber daya manusia Ketersediaan sarana pelatihan SDM 3.2 Kelembagaan klaster industri Kelengkapan komponen klaster industri Efektivitas fungsional 3.3 Finansial Keuntungan Klaster Penjualan Klaster Industri 3.4 Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan klaster industri Kontribusi pada devisa negara 4. Aspek Proses Bisnis Internal 4.1 Pengadaan bahan baku 4.2 Penanganan bahan baku 4.3 Pengolahan 4.4 Distribusi produk jadi
Bobot 0.387 0.250 0.466 0.243 0.291 0.250 0.345 0.655 0.250 0.646 0.354 0.250 0.771 0.229 0.296 0.310 0.172 0.206 0.312
Tabel di atas menunjukkan bahwa untuk pencapaian tujuan terjadinya peningkatan keunggulan komparatif dan kompetitif klaster yang berkelanjutan di masa datang ternyata yang memiliki kontribusi terbesar adalah aspek ekonomi sebesar 0.367 diikuti oleh aspek proses bisnis internal, aspek lingkungan dan aspek sosial berturut-turut dengan nilai 0.229, 0.186 dan 0.131. Hal ini menunjukkan bahwa keunggulan komparatif dan kompetitif sangat ditentukan oleh kinerja ekonomi sebuah klaster industri baru kemudian dipertimbangkan tiga kinerja aspek lainnya secara proporsional. Sementara itu distribusi nilai bobot pada setiap kiriteria dan sub kriteria untuk pencapaian pertumbuhan industri hasil laut di industri hasil laut Berdasarkan hasil pengolahan dengan metode AHP, pertumbuhan hasil laut juga sangat ditentukan oleh kinerja aspek ekonomi.
Nilai bobot kriteria yang
diturunkan dari aspek ekonomi adalah sama, meskipun nilai bobot dari sub kriteria turunannya memiliki variasi yang cukup signifikan dengan bobot relatif tertinggi diperoleh oleh kriteria pertumbuhan klaster (0.771) dan keuntungan klaster (0.646). Secara lengkap hasil pembobotan kriteria dan sub kriteria untuk pencapaian tujuan pertumbuhan industri hasil laut yang optimal dapat dilihat pada Tabel 8.
98 Tabel 8 Nilai bobot kriteria dan sub kriteria pada pencapaian pertumbuhan industri hasil laut
Deskripsi kriteria dan sub kriteria pada setiap aspek klaster 1. Aspek Sosial 1.1 Ketenagakerjaan Penyerapan tenaga kerja Kualitas sumber daya manusia Ketersediaan sarana pelatihan SDM 1.2 Kelembagaan klaster industri Kelengkapan komponen klaster industri Keterwakilan industri inti Keterwakilan industri pendukung Keterwakilan institusi pendukung Efektivitas fungsional Mekanisme koordinasi Kolaborasi Proses Monitoring dan Evaluasi 1.3 Penerimaan lingkungan sosial (Social Acceptability) Keterlibatan masyarakat dalam program sosial kemasyarakatan yang diselenggarakan industri Ketersediaan program Keluhan masyarakat tentang lingkungan 2. Aspek Lingkungan 2.1 Penerimaan lingkungan sosial (Social Acceptability) Keterlibatan masyarakat dalam program sosial kemasyarakatan yang diselenggarakan industri Ketersediaan program Keluhan masyarakat tentang lingkungan 2.2 Penerimaan lingkungan secara teknik (Technical Acceptability) Produksi yang ramah lingkungan Ketersediaan green area (wilayah hijau) Pemenuhan terhadap persyaratan legal KLH 3. Aspek Ekonomi 3.1 Ketenagakerjaan Penyerapan tenaga kerja Kualitas sumber daya manusia Ketersediaan sarana pelatihan SDM 3.2 Kelembagaan klaster industri Kelengkapan komponen klaster industri Efektivitas fungsional
Bobot 0.116 0.291 0.417 0.309 0.273 0.192 0.251 0.522 0.263 0.215 0.749 0.294 0.350 0.356 0.517 0.665 0.202 0.133 0.198 0.613 0.524 0.284 0.192 0.387 0.658 0.159 0.183 0.387 0.250 0.466 0.243 0.291 0.250 0.345 0.655
99
Tabel 8 Lanjutan Deskripsi kriteria dan sub kriteria pada setiap aspek klaster 3.3 Finansial Keuntungan Klaster Penjualan Klaster Industri 3.4 Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan klaster industri Kontribusi pada devisa negara 4. Aspek Proses Bisnis Internal 4.1 Pengadaan bahan baku 4.2 Penanganan bahan baku 4.3 Pengolahan 4.4 Distribusi produk jadi
Salah
satu
tujuan
dilakukannya
Bobot 0.250 0.646 0.354 0.250 0.771 0.229 0.299 0.310 0.172 0.206 0.312
pendekatan
klaster
adalah
untuk
mempermudah terjadinya difusi pengetahuan dan teknologi sehingga tumbuh kemampuan inovasi dari klaster industri tersebut. Dari hasil pengolahan pendapat pakar yang direkam dalam sebuah kuesioner, maka aspek yang dianggap paling menentukan pencapaian tingkat kemampuan inovasi pada klaster agroindustri hasil laut adalah aspek proses bisnis internal dengan nilai bobot sebesar 0.523 dan aspek lingkungan dinyatakan sebagai aspek yang paling kecil pengaruhnya dengan bobot 0.101. Pada Tabel 9 dapat dilihat distribusi dari nilai pembobotan pada kriteria dan sub kriteria yang harus diperhatikan untuk tumbuhnya kemampuan inovasi di lingkungan klaster agroindustri hasil laut. Tabel 9 Nilai bobot kriteria dan sub kriteria pada pencapaian kemampuan inovasi yang lebih baik
Deskripsi kriteria dan sub kriteria pada setiap aspek klaster 1. Aspek Sosial 1.1 Ketenagakerjaan Penyerapan tenaga kerja Kualitas sumber daya manusia Ketersediaan sarana pelatihan SDM 1.2 Kelembagaan klaster industri Kelengkapan komponen klaster industri Keterwakilan industri inti Keterwakilan industri pendukung Keterwakilan institusi pendukung
Bobot 0.146 0.288 0.389 0.312 0.300 0.199 0.251 0.522 0.263 0.215
100
Tabel 9 Lanjutan Deskripsi kriteria dan sub kriteria pada setiap aspek klaster Efektivitas fungsional Mekanisme koordinasi Kolaborasi Proses Monitoring dan Evaluasi 1.3 Penerimaan lingkungan sosial (Social Acceptability) Keterlibatan masyarakat dalam program sosial kemasyarakatan yang diselenggarakan industri Ketersediaan program Keluhan masyarakat tentang lingkungan 2. Aspek Lingkungan 2.1 Penerimaan lingkungan sosial (Social Acceptability) Keterlibatan masyarakat dalam program sosial kemasyarakatan yang diselenggarakan industri Ketersediaan program Keluhan masyarakat tentang lingkungan 2.2 Penerimaan lingkungan secara teknik (Technical Acceptability) Produksi yang ramah lingkungan Ketersediaan green area (wilayah hijau) Pemenuhan terhadap persyaratan legal KLH 3. Aspek Ekonomi 3.1 Ketenagakerjaan Penyerapan tenaga kerja Kualitas sumber daya manusia Ketersediaan sarana pelatihan SDM 3.2 Kelembagaan klaster industri Kelengkapan komponen klaster industri Efektivitas fungsional 3.3 Finansial Keuntungan laster Penjualan klaster industri 3.4 Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan klaster industri Kontribusi pada devisa negara 4. Aspek Proses Bisnis Internal 4.1 Pengadaan bahan baku 4.2 Penanganan bahan baku 4.3 Pengolahan 4.4 Distribusi produk jadi
Bobot 0.749 0.294 0.350 0.356 0.513 0.664 0.206 0.130 0.101 0.604 0.524 0.284 0.192 0.396 0.658 0.159 0.183 0.230 0.250 0.467 0.265 0.269 0.250 0.345 0.655 0.250 0.646 0.354 0.250 0.771 0.229 0.523 0.310 0.172 0.206 0.312
Sementara itu pada pencapaian tujuan peningkatan kesejahteraan pelaku klaster agroindustri hasil sangat ditentukan oleh kinerja aspek ekonomi (0.440) yang terdistribusi merata pada empat kriteria pembentuk masing-masing dengan nilai
101 bobot 0.25. Hasil pembobotan kriteria dan sub kriteria yang perlu diperhatikan dalam rangka peningkatan kesejahteraan seluruh pelaku klaster agroindustri hasil laut disajikan dalam bentuk tabel berikut :
Tabel 10 Nilai bobot kriteria dan sub kriteria terjadinya peningkatan kesejahteraan pelaku klaster agroindustri hasil laut
Deskripsi kriteria dan sub kriteria pada setiap aspek klaster 1. Aspek Sosial 1.1 Ketenagakerjaan Penyerapan tenaga kerja Kualitas sumber daya manusia Ketersediaan sarana pelatihan SDM 1.2 Kelembagaan klaster industri Kelengkapan komponen klaster industri Keterwakilan industri inti Keterwakilan industri pendukung Keterwakilan institusi pendukung 1.3 2 Efektivitas fungsional Mekanisme koordinasi Kolaborasi Proses monitoring dan evaluasi 1.4 Penerimaan lingkungan sosial (Social Acceptability) Keterlibatan masyarakat dalam program sosial kemasyarakatan yang diselenggarakan industri Ketersediaan program Keluhan masyarakat tentang lingkungan 2. Aspek Lingkungan 2.1 Penerimaan lingkungan sosial (Social Acceptability) Keterlibatan masyarakat dalam program sosial kemasyarakatan yang diselenggarakan industri Ketersediaan program Keluhan masyarakat tentang lingkungan 2.2 Penerimaan lingkungan secara teknik (Technical Acceptability) Produksi yang ramah lingkungan Ketersediaan green area (wilayah hijau) Pemenuhan terhadap persyaratan legal KLH 3. Aspek Ekonomi 3.1 Ketenagakerjaan Penyerapan tenaga kerja Kualitas sumber daya manusia Ketersediaan sarana pelatihan SDM
Bobot 0.243 0.288 0.389 0.312 0.300 0.199 0.251 0.490 0.290 0.220 0.749 0.294 0.350 0.356 0.513 0.665 0.202 0.133 0.087 0.604 0.524 0.284 0.192 0.396 0.658 0.195 0.183 0.440 0.250 0.467 0.265 0.269
102
Tabel 10 Lanjutan Deskripsi kriteria dan sub kriteria pada setiap aspek klaster 3.2 Kelembagaan klaster industri Kelengkapan komponen klaster industri Efektivitas fungsional 3.3 Finansial Keuntungan Klaster Penjualan Klaster Industri 3.4 Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan klaster industri Kontribusi pada devisa negara 4. Aspek Proses Bisnis Internal 4.1 Pengadaan bahan baku 4.2 Penanganan bahan baku 4.3 Pengolahan 4.4 Distribusi produk jadi
Bobot 0.250 0.345 0.655 0.250 0.646 0.354 0.250 0.771 0.229 0.230 0.310 0.172 0.206 0.312
Rantai nilai yang kokoh baik secara vertikal maupun horisontal pada sebuah sistem industri merupakan salah satu tujuan yang ingin dicapai dari suatu pendekatan klaster. Pada sistem klaster agroindustri hasil laut tujuan ini akan tercapai jika dengan memperhatikan sejumlah kriterian dan sub kriteri yang telah berhasil diderivasi dari sejumlah aspek klaster yang menentukan keberhasilan sebuah klaster industri. Aspek proses bisnis internal dalam sebuah klaster dinilai oleh pakar merupakan aspek yang paling menentukan tingkat pencapaian tujuan ini dengan nilai bobot 0.329. Hasil pembobotan kriteria dan sub kriteria pada tujuan pencapaian rantai nilai yang kokoh pada klaster agroindustri hasil laut dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Nilai bobot kriteria dan sub kriteria pada terbentuknya rantai nilai yang kokoh Deskripsi kriteria dan sub kriteria pada setiap aspek klaster 1. Aspek Sosial 1.1 Ketenagakerjaan Penyerapan tenaga kerja Kualitas sumber daya manusia Ketersediaan sarana pelatihan SDM 1.2 Kelembagaan klaster industri Kelengkapan komponen klaster industri Keterwakilan industri inti Keterwakilan industri pendukung
Bobot 0.188 0.294 0.389 0.312 0.300 0.235 0.251 0.522 0.263
103
Tabel 11 Lanjutan Deskripsi kriteria dan sub kriteria pada setiap aspek klaster Keterwakilan institusi pendukung Efektivitas fungsional Mekanisme koordinasi Kolaborasi Proses Monitoring dan Evaluasi 1.4 Penerimaan lingkungan sosial (Social Acceptability) Keterlibatan masyarakat dalam program sosial kemasyarakatan yang diselenggarakan industri Ketersediaan program Keluhan masyarakat tentang lingkungan 2. Aspek Lingkungan 2.1 Penerimaan lingkungan sosial (Social Acceptability) Keterlibatan masyarakat dalam program sosial kemasyarakatan yang diselenggarakan industri Ketersediaan program Keluhan masyarakat tentang lingkungan 2.2 Penerimaan lingkungan secara teknik (Technical Acceptability) Produksi yang ramah lingkungan Ketersediaan green area (wilayah hijau) Pemenuhan terhadap persyaratan legal KLH 3. Aspek Ekonomi 3.1 Ketenagakerjaan Penyerapan tenaga kerja Kualitas sumber daya manusia Ketersediaan sarana pelatihan SDM 3.2 Kelembagaan klaster industri Kelengkapan komponen klaster industri Efektivitas fungsional 3.3 Finansial Keuntungan klaster Penjualank Klaster industri 3.4 Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan klaster industri Kontribusi pada devisa negara 4. Aspek Proses Bisnis Internal 4.1 Pengadaan bahan baku 4.2 Penanganan bahan baku 4.3 Pengolahan 4.4 Distribusi produk jadi 1.3 2
Bobot 0.215 0.749 0.294 0.350 0.356 0.471 0.665 0.202 0.133 0.212 0.604 0.475 0.310 0.215 0.396 0.564 0.205 0.230 0.271 0.250 0.467 0.265 0.269 0.250 0.352 0.648 0.250 0.545 0.455 0.250 0.771 0.229 0.329 0.310 0.172 0.206 0.312
Penilaian yang dilakukan pakar di atas bersifat statis pada saat dilakukan penilaian, oleh karena itu perlu dilakukan analisa sensitifitas untuk bisa
104 mengetahui tingkat perubahan sub kriteria tertentu jika terjadi perubahan nilai bobot komponen pada level di atasnya. Analisa sensitifitas dilakukan dengan bantuan perangkat Expert Choice 2000 yang merupakan rangkaian dari pengolahan hasil kuesioner pakar dengan menggunakan metode PHA seperti telah diuraikan sebelumnya. Berdasarkan hasil analisa sensitifitas tingkat pengaruh dari masing-masing kriteria dan sub kriteria terhadap kinerja klaster agroindustri hasil laut, maka dapat dieksplorasi lebih lanjut kriteria-kriteria yang sensitif, kurang sensitif atau tidak sensitif memberikan pengaruh pada kinerja klaster secara komprehensif. Salah satu contoh tampilan analisa di layar komputer yang menunjukkan pengaruh perubahan prioritas tujuan terhadap masing-masing kepentingan kriteria dan sub kriteria kinerja klaster industri hasil laut dapat dilihat pada gambar berikut :
Gambar 50 Contoh tampilan sensitifitas perubahan prioritas tujuan terhadap kritera dan sub kriteria Tampilan secara lengkap dan interaktif dalam komputer bisa menunjukkan semua perubahan prioritas terhadap nilai bobot semua kriteria dan sub kriteria pembentuknya. Informasi ini membantu pengambil keputusan dalam menentukan prioritas perubahan yang mungkin dilakukan, dengan mempertimbangkan dampak dari setiap keputusan untuk melakukan perubahan tertentu. Pada tampilan SPK bagian sub model akan dapat dilakukan pengamatan perubahan nilai tujuan terhadap setiap kriteria dan sub kriteria pembangun kinerja
105 komprehensif klaster. Dari sini dapat dilihat kriteria-kriteria mana yang sangat sensitif terhadap perubahan prioritas tujuan dan sebaliknya. Misalnya masih pada kasus di atas, dilakukan perubahan nilai prioritas tujuan tertentu maka secara otomatis akan merubah nilai-nilai bobot kriteria dan sub kriteria, salah satu contoh dapat diperlihatkan pada Gambar 51 dan Gambar 52 secara berturut-turut.
Gambar 51 Nilai awal prioritas tujuan dan kriteria pembentuk kinerja Gambar 51 menunjukkan kondisi awal sesuai dengan hasil pengolahan elisitasi pendapat pakar terhadap sejumlah kriteria dan sub kriteria yang didasarkan pada struktur hirarki kriteria pembentuk kinerja komprehensif klaster. Kemudian pada tahap berikutnya dicoba untuk dilakukan sensitifitas analisis dengan mengubah nilai prioritas tujuan peningkatan kesejahteraan pelaku dari 21.6 % menjadi 53.8%, maka dapat dilihat pada Gambar 52 bahwa semua nilai prioritas tujuan akan berubah dan sekaligus menggerakkan nilai bobot dari setiap kriteria dan sub kriteria kinerja dengan tingkat perubahan tertentu.
106
Gambar 52 Perubahan nilai prioritas terhadap nilai bobot dari sejumlah kriteria dan sub kriteria Alternatif indikator kinerja kunci (IKK) yang dijadikan sebagai tolok ukur keberhasilan dan kinerja sebuah sistem klaster agroindustri hasil laut yang telah diidentifikasi seperti pada tabel sebelumnya, selanjutnya diajukan kepada responden pakar untuk dilakukan penilaian berdasarkan tingkat kepentingan relatif dari setiap alternatif IKK terhadap setiap kriteria atau sub kriteria yang direpresentasikan.
Hasil penilaian kepentingan tersebut selanjutnya diolah
dengan bantuan perangkat lunak Electre II untuk mendapatkan bobot relatif terhadap kriteria atau sub kriteria tertentu. Adapun hasil eksplorasi IKK dan hasil pembobotannya dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 12 Rekapitulasi nilai bobot Indikator Kinerja Kunci klaster agroindustri hasil laut
No 1
Kriteria / Sub kriteria Penyerapan Tenaga Kerja
2
Kualitas SDM
3
Sarana Peningkatan
Indikator Kinerja Kunci (IKK) 1 Jumlah tenaga kerja lokal (%) 2 Jumlah tenaga kerja penduduk sekitar pabrik/usaha (kelurahan/desa) (%) 3 Turn over tenaga kerja 1 Jumlah SDM berpendidikan >= S1 (%) 2 Jumlah SDM berpendidikan D3 (%) 3 Jumlah SDM berpendidikan <=SMA (%) 1 Jumlah perguruan tinggi dengan disiplin ilmu yang relevan di Jatim
Bobot 0.273 0.545 0.182 0.333 0.333 0.333 0.318
107
Tabel 12 Lanjutan
No
Kriteria / Sub kriteria kualitas SDM
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Keterwakilan Industri Inti Keterwakilan Industri Pendukung
Keterwakilan Institusi pendukung Mekanisme koordinasi Kolaborasi antar pelaku klaster
Kualitas sistem evaluasi
Keterlibatan masyarakat dl industri Ketersediaan program masyarakat Tingkat keluhan masyarakat
Indikator Kinerja Kunci (IKK)
Bobot
2 Jumlah lembaga pendidikan lain khusus kelautan dan perikanan di Jatim 3 Jumlah lembaga dan balai pelatihan hasil laut di Jatim 4 Jumlah lembaga penelitian kelautan dan perikanan di Jatim 1 Prosentase jumlah usaha pada industri hasil laut yang tergabung dalam klaster 2 Jumlah industri hasil laut yang bergabung dalam Klaster 1 Jumlah usaha pemasok bahan baku utama yang menjadi anggota klaster 2 Jumlah usaha pendukung lain (kapal nelayan, peralatan dll) 3 Jumlah nelayan yang terlibat pada klaster
0.318
1 Jumlah institusi pemerintah yang berdedikasi terhadap klaster 2 Jumlah institusi penelitian yang berdedikasi terhadap klaster 1 Jumlah pertemuan kelompok Kerja Klaster Industri (Forum Koordinasi) 2 Prosentase kehadiran anggota forum koordinasi klaster
0.158 0.216 0.50 0.50 0.333 0.333 0.333 0.333 0.667 0.50 0.50
1 Jumlah pelaku yang bekerjasama dalam pengadaan bahan baku
0.235
2 Jumlah pelaku yang bekerjasama dalam proses produksi 3 Jumlah pelaku yang bekerjasama dalam pemasaran
0.235 0.353
4 Jumlah pelaku yang bekerjasama dalam peningkatan kompetensi SDM
0.177
1 Jumlah pertemuan untuk mengevaluasi klaster dalam satu tahun 2 Rata-rata pelaku yang hadir dalam pertemuan 3 Jumlah indikator kenerja yang dijadikan alat ukur keberhasilan klaster 4 Prosentase rencana kerja klaster yang terealisasi per tahun 1 Persentase penduduk sekitar (desa) yang terlibat aktif dalam program per tahun (%) 2 Jumlah saran yang masuk dari penduduk sekitar terhadap suatu penyelenggaraan program 1 Jumlah program pemberdayaan masyarakat yang diselenggarakan per tahun 2 Jumlah program pendidikan untuk masyarakat sekitar 1 Jumlah keluhan berdasarkan tingkat keluhan
0.250
0.500 0.500
2 Perubahan tingkat keluhan berdasarkan waktu
0.500
0.250 0.250 0.250 0.667 0.333 0.500
108
Tabel 12. Lanjutan
No
Kriteria / Sub kriteria
Indikator Kinerja Kunci (IKK)
Bobot
13
Proses produksi ramah lingkungan
1 Jumlah keluhan atas produk per tahun 2 Jumlah keluhan masyarakat per tahun 3 Jumlah pelaku yang memiliki dokumen amdal dan tersertifikasi (%)
0.333 0.333 0.333
14
Ketersediaan green area (wilayah hijau) Pemenuhan persyaratan teknis KLH
1 Jarak dengan pemukiman penduduk (m)
0.500
2 Jumlah pohon per luas areal (unit/m2)
0.500
1 Jumlah indeks KLH yang dipenuhi 2 Jumlah penghargaan KLH yang diperoleh dalam satu tahun 3 Ada tidaknya sarana pengolahan limbah
0.400 0.200
1 Rata-rata keuntungan pelaku klaster (%)
0.667
2 Deviasi keuntungan anggota klaster (%)
0.333
1 Jumlah produk yang di ekspor (ton/th)
0.214
2 Jumlah penjualan domestik
0.143
3 Total penjualan
0.214
4 Pangsa pasar
0.429
1 Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP)
0.231
2 Indeks RCA (Revealed Comparative Advantage)
0.462
3 Peningkatan investasi dalam klaster industri hasil laut
0.307
1 Besarnya kontribusi pada devisa negara (%)
1.000
1 Jumlah bahan baku yang diperoleh dalam satu kali tangkapan (untuk ikan dan udang) 2 Jumlah bahan baku yang diperoleh dalam satu kali panen (rumput laut) 3 Biaya yang dikeluarkan dalam sekali melaut (untuk ikan & udang) 4 Biaya yang dikeluarkan dalam sekali musim tanam (untuk rumput laut) 5 Harga jual produk/bahan baku 6 Nilai rendemen bahan baku (%)
0.25
15
16 17
18
19 20
Keuntungan klaster Penjualan klaster
Pertumbuhan klaster
Kontribusi pada devisa negara Pengadaan bahan baku
0.400
0.25
0.25 0.25
21
Penanganan bahan baku
1 Nilai rendemen setelah handling 2 Harga jual ke pabrik
0.500 0.500
22
Pengolahan
1 Output standar
0.500
2 Nilai rendemen
0.250
3 Jumlah produk yang tidak digunakan lebih lanjut (reject) 1 Jumlah keluhan keterlambatan pengiriman produk jadi ke distributor (domestik)
0.250 0.158
23
Pendisribusian hasil olahan
109 Tabel 12 Lanjutan
Kriteria / Sub kriteria
No
Bobot
Indikator Kinerja Kunci (IKK)
(produk jadi)
2 Jumlah keluhan keterlambatan pengiriman produk ke negara tujuan (ekspor) 3 Jumlah produk yang rusak dalam perjalanan distribusi
0.316
4 Jumlah keluhan kerusakan oleh konsumen
0.210
0.316
Model pengukuran kinerja komprehensif dibangun berdasarkan sejumlah indikator kinerja terukur hasil eksplorasi seperti pada tabel di atas, sehingga bisa diperoleh satu nilai kuantitafif yang dapat merepresentasikan kinerja sebuah klaster agroindustri hasil laut. Hasil penilaian di atas selanjutnya akan digunakan sebagai basis untuk menghitung nilai bobot absolut setiap indikator kinerja terhadap kinerja komprehensif sebuah klaster industri. Berdasarkan nilai bobot absolut tersebut di atas, maka dilakukan pemilihan terhadap sejumlah IKK yang memiliki nilai signifikan untuk dijadikan sebagai ukuran yang secara agregat menentukan kinerja komprehensif sebuah sistem klaster agroindustri hasil laut. Pemilihan IKK dilakukan sebagai bentuk penyederhanaan sehingga lebih memudahkan implementasi pengukuran kinerjanya. Hal ini dilakukan karena indikator-indikator kunci tersebut akan diukur secara periodik sebagai dasar penentuan keberhasilan klaster dan penentuan nilai kinerja komprehensif dari klaster, sehingga jika terlalu banyak secara aplikatif sulit untuk dilakukan. Terdapat beberapa alternatif pemilihan IKK yang dapat dilakukan, di antaranya adalah dengan cara : 1) menghitung bobot absolut dari setiap alternatif IKK terhadap kinerja klaster dan memilih sejumlah indikator dengan bobot terbesar, 2) menggunakan
cara
pertama
namun
dengan
mempertimbangkan
keterwakilan dari seluruh aspek kinerja klaster yang telah ditentukan yaitu aspek sosial, aspek lingkungan, aspek ekonomi dan aspek teknis (proses bisnis internal) 3) menghitung bobot absolut kemudian melihat keterwakilannya pada dua sudut secara serentak yaitu aspek kinerja klaster dan aktor klaster agroindustri hasil laut. Berdasarkan cara yang pertama maka dapat dihitung dengan menggunakan aturan
multiplikatif
dan
peluang
bersyarat
nilai
bobot
menggambarkan nilai indikator kinerja secara agregat
absolut
yang
terhadap kinerja
110 komprehensif klaster. Pada Tabel 13 dapat dilihat 25 (duapuluh lima) indikator kinerja dengan nilai tertinggi dan mencakup sebesar 65.57 % dari total keseluruhan nilai kinerja (100%), artinya jika cara ini digunakan dalam menentukan IKK maka dapat mewakili 65.57 % dari keseluruhan kinerja klaster agroindustri hasil laut. Tabel 13 Alternatif IKK berdasarkan bobot absolut Ranking 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Alternatif Indikator Kinerja Kunci Persentase penduduk sekitar (desa) yang terlibat aktif dalam program per tahun (%) Jumlah tenaga kerja penduduk sekitar pabrik/usaha (kelurahan/desa) (%) Rata-rata keuntungan pelaku klaster (%) Jumlah saran yang masuk dari penduduk sekitar terhadap suatu penyelenggaraan program Output standar Jumlah komplain keterlambatan pengiriman produk ke negara tujuan (ekspor) Jumlah produk yang rusak dalam perjalanan distribusi Nilai rendemen setelah penanganan Harga jual ke pabrik Jumlah bahan baku yang diperoleh dalam satu kali tangkapan (untuk ikan dan udang) Biaya yang dikeluarkan dalam sekali melaut (untuk ikan & udang) Harga jual produk/bahan baku Nilai rendemen bahan baku (%) Jumlah program pemberdayaan masyarakat yang diselenggarakan per tahun Jumlah program pendidikan untuk masyarakat sekitar Indeks RCA (Revealed Comparative Advantage ) Jumlah komplain kerusakan oleh end user Jumlah tenaga kerja lokal (%) Deviasi keuntungan anggota klaster (%) Jumlah keluhan atas produk per thn Jumlah keluhan masyarakat per thn Jumlah pelaku yang memiliki dokumen amdal dan tersertifikasi (%) Nilai rendemen Jumlah produk yang tidak bisa dipakai lagi (reject) Peningkatan investasi dalam klaster industri hasil laut Bobot yang terwakili
Bobot relatif
Bobot absolut
0.667
0.0692
0.545 0.667
0.0363 0.0361
0.333 0.5
0.0346 0.0328
0.316 0.316 0.5 0.5
0.0313 0.0313 0.0273 0.0273
0.25
0.0246
0.25 0.25 0.25
0.0246 0.0246 0.0246
0.5 0.5 0.462 0.21 0.273 0.333 0.333 0.333
0.0246 0.0246 0.0243 0.0208 0.0182 0.0180 0.0172 0.0172
0.333 0.25 0.25 0.307
0.0172 0.0164 0.0164 0.0161 0.6557
Keduapuluh lima IKK terpilih meskipun memiliki nilai bobot tertinggi, namun setelah dievaluasi lebih dalam ternyata kurang mampu menjelaskan secara merata kontribusi masing-masing aspek maupun pelaku dari sebuah klaster agroindustri hasil laut, bahkan aspek lingkungan hanya terwakili oleh satu jenis IKK saja, sementara aspek proses bisnis internal diwakili oleh mayoritas yaitu
111 sebanyak 13 jenis IKK (50%). Jika hal ini diteruskan maka pengelolaan kinerja melalui aspek lainnya menjadi sulit untuk dilakukan, oleh karena itu perlu dilakukan pertimbangan khusus untuk memilih alternatif yang lain. Alternatif pemilihan yang kedua adalah dengan melihat keterwakilan dari seluruh aspek yang dipertimbangkan dalam kinerja komprehensif klaster industri hasil laut. Masing-masing aspek ditentukan diwakili oleh lima jenis indikator kinerja kunci dengan nilai bobot tertinggi seperti dapat ditampilkan pada tabel berikut : Tabel 14. IKK terpilih berdasarkan keterwakilan terhadap aspek klaster
Proses Bisnis Internal
Ekonomi
Lingkungan
Sosial
Aspek
Alternatif Indikator Kinerja Kunci Persentase penduduk sekitar (desa) yang terlibat aktif dalam program per tahun (%) Jumlah tenaga kerja penduduk sekitar pabrik/usaha (kelurahan/desa) (%) Jumlah saran yang masuk dari penduduk sekitar terhadap suatu penyelenggaraan program Jumlah program pemberdayaan masyarakat yang diselenggarakan per tahun Jumlah program pendidikan untuk masyarakat sekitar Jumlah keluhan atas produk per thn Jumlah keluhan masyarakat per thn Jumlah pelaku yang memiliki dokumen amdal dan tersertifikasi (%) Jarak dengan pemukiman penduduk (m) Jumlah pohon per luas areal (unit/m2) Rata-rata keuntungan pelaku klaster (%) Indeks RCA (Revealed Comparative Advantage ) Deviasi keuntungan anggota klaster (%) Peningkatan investasi dalam klaster industri hasil laut Besarnya kontribusi pada devisa negara (%) Output standar Jumlah keluhan keterlambatan pengiriman produk ke negara tujuan (ekspor) Jumlah produk yang rusak dalam perjalanan distribusi Nilai rendemen setelah penanganan Harga jual ke pabrik Total Nilai Bobot
Bobot absolut 0.0692 0.0363 0.0346 0.0246 0.0246 0.0172 0.0172 0.0172 0.0074 0.0074 0.0361 0.0243 0.0180 0.0161 0.0156 0.0328 0.0313 0.0313 0.0273 0.0273 0.5157
Dari hasil pemilihan indikator dengan cara di atas diperoleh 25 indikator kinerja yang terdistribusi masing-masing 5 untuk setiap aspek klaster dengan nilai bobot yang dicapai 0.5157 dari total. Hal ini berarti indikator-indikator yang terpilih hanya mampu merepresentasikan 51.57 % dari total kinerja (komprehensif) klaster industri. Cara perumusan di atas belum menjamin bahwa setiap pelaku klaster
112 dapat terwakili karena hanya didasarkan pada nilai bobot tertinggi pada masingmasing aspek yang diteliti, oleh karena itu perlu dibuat sebuah matriks yang dapat memperlihatkan indikator kinerja kunci berdasarkan dari dua sudut pandang sekaligus yaitu aspek klaster dan pelaku klaster. Dengan cara ini diharapkan IKK terpilih akan mampu merepresentasikan kinerja komprehensif dari sebuah klaster agroindustri hasil laut. Tabel 15. Aktor
Sosial
Aspek
Matriks IKK terpilih berdasarkan keterwakilan terhadap aspek klaster dan pelaku klaster agroindustri hasil laut Sistem
Industri
Pemasok
Nelayan
Indikator Kinerja
Indikator Kinerja
Indikator Kinerja
Indikator Kinerja
Persentase penduduk sekitar (desa) yang terlibat aktif dalam program per tahun (%) Jumlah tenaga kerja penduduk sekitar pabrik/usaha (kelurahan/desa) (%)
Persentase penduduk sekitar (desa) yang terlibat aktif dalam program per tahun (%) Jumlah tenaga kerja penduduk sekitar pabrik/usaha (kelurahan/desa) (%)
Persentase penduduk sekitar Persentase penduduk sekitar (desa) yang terlibat aktif (desa) yang terlibat aktif dalam program per tahun (%) dalam program per tahun (%) Jumlah tenaga kerja penduduk sekitar pabrik/usaha (kelurahan/desa) (%)
Jumlah saran yang masuk dari penduduk sekitar terhadap suatu penyelenggaraan program Jumlah tenaga kerja lokal Jumlah tenaga kerja lokal (%) Jumlah tenaga kerja lokal (%) Jumlah tenaga kerja lokal (%) (%) Jumlah saran yang masuk dari Jumlah saran yang masuk dari penduduk sekitar penduduk sekitar terhadap terhadap suatu suatu penyelenggaraan penyelenggaraan program program
Jumlah perguruan tinggi dengan disiplin ilmu yang relevan di Jatim
Proses bisnis Internal
Ekonomi
Lingkungan
Jumlah industri hasil laut yang bergabung dalam Klaster Jumlah pelaku yang memiliki dokumen amdal dan tersertifikasi (%)
Jumlah keluhan atas produk per thn Kepemilikan dokumen amdal dan tersertifikasi Jumlah keluhan masyarakat per thn Rata-rata keuntungan pelaku Rata-rata keuntungan pelaku klaster (%) klaster (%) Indeks RCA (Revealed Comparative Advantage) Deviasi keuntungan anggota Deviasi keuntungan anggota klaster (%) klaster (%) Peningkatan investasi dalam klaster industri hasil laut Besarnya kontribusi pada devisa negara (%) Pangsa Pasar Total Penjualan per tahun Total Penjualan per tahun
Output standar Jumlah komplain keterlambatan pengiriman produk ke negara tujuan (ekspor) Jumlah produk yang rusak dalam perjalanan distribusi
Jumlah keluhan atas produk per thn Kepemilikan dokumen amdal dan tersertifikasi Jumlah keluhan masyarakat per thn Rata-rata keuntungan pelaku klaster (%)
Jumlah keluhan atas produk per thn Kepemilikan dokumen amdal dan tersertifikasi Jumlah keluhan masyarakat per thn Rata-rata keuntungan pelaku klaster (%)
Deviasi keuntungan anggota Deviasi keuntungan anggota klaster (%) klaster (%)
Nilai rendemen setelah handling
Harga jual ke pabrik
Jumlah bahan baku yang diperoleh dalam satu kali tangkapan (untuk ikan dan udang) Biaya yang dikeluarkan dalam sekali melaut (untuk ikan & udang) Harga jual produk/bahan baku Nilai rendemen bahan baku (%)
113 Penentuan IKK terpilih dengan metode di atas di mana tidak hanya didasarkan pada bobot absolut, namun juga mempertimbangkan keterwakilan dan prioritas didasarkan pada aspek dan pelaku klaster menghasilkan IKK terpilih sebanyak 26 IKK dari 66 alternatif IKK. Ke duapuluh enam IKK tersebut terdistribusi pada aspek sosial (20%), aspek lingkungan (12%), aspek ekonomi (28%) dan aspek proses bisnis internal (32%). Sementara itu IKK merepresentasikan kinerja pelaku yang terdistribusi merata pada setiap pelaku yang dikaji di antaranya ; sistem (pemerintah) sebanyak 12 IKK, industri hasil laut (13 IKK), pemasok bahan baku (11 IKK) dan nelayan (13 IKK). Nilai bobot keseluruhan IKK yang terpilih telah mencakup sebanyak 62% dari keseluruhan IKK dinilai yang berarti dapat mewakili 62 % dari kinerja klaster secara keseluruhan.
Pemodelan Scoring Board Pengukuran Kinerja Klaster Hasil pengukuran kinerja komprehensif klaster agroindustri hasil laut yang nantinya dilakukan akan ditampilkan dalam bentuk scoring board. Selain untuk menampilkan capaian dari setiap indikator kinerja kunci klaster yang telah ditetapkan seperti diuraikan pada bagian sebelumnya juga akan dijadikan acuan dalam mengevaluasi kinerja klaster sehingga bisa diberikan rekomendasi perbaikan. Scoring board akan terdiri dari beberapa komponen yaitu IKK terpilih berikut bobot masing-masing, nilai capaian IKK pada saat ini, nilai target IKK yaitu satu nilai yang harus dicapai sehingga kinerja dikatakan baik serta perhitungan skor nilai akhir dan status masing-masing IKK. Komponen indikator kinerja kunci (IKK) adalah semua IKK terpilih berdasarkan masing-masing aspek klaster yang diteliti. Secara komprehensif aspek klaster mempunyai bobot dari hasil penilaian pakar, nilai ini selanjutnya akan disertakan dalam scoring board untuk menghitung skor absolut dari masingmasing IKK maupun aspek kinerja.
Pencapaian nilai IKK terpilih merupakan
indikasi kinerja komprehensif dari klaster agroindustri hasil laut yang sebelumnya harus diukur dengan menggunakan alat ukur baik berupa kuesioner maupun berupa lembar check list yang telah disiapkan. Penetapan nilai target dari setiap indikator kinerja kunci mutlak diperlukan untuk menentukan status capaian dari masing-masing indikator. Oleh karena itu perlu dilakukan strategi penentuan nilai target yang dalam penelitian ini telah dilakukan berdasarkan beberapa referensi dan pendapat pakar. Nilai target
114 didasarkan pada rekaman atau referensi sebuah indikator tertentu dikatakan dapat dicapai dengan baik, untuk beberapa indikator yang nilai targetnya dapat dirujuk dari hasil penelitian dan referensi lain maka cukup diambil data sekunder, namun untuk beberapa yang belum pernah ada maka harus dilakukan penggalian data primer melalui elisitasi pendapat pakar. Selanjutnya nilai skor dari setiap indikator dan agregatnya dalam aspek tertentu dapat dihitung berdasarkan bobot, nilai capaian IKK dan nilai target masing-masing IKK. Matriks scoring board pengukuran kinerja klaster agroindustri hasil laut dapat ditampilkan pada Tabel 16. Tabel 16 Model scoring board pengukuran kinerja komprehensif klaster agroindustri hasil laut Indikator Kinerja Kunci Klaster Agroindustri Bobot Bobot Target Unit Capaian Hasil Laut relatif Normal Aspek Sosial Prosentase penduduk sekitar (desa) yang terlibat aktif dalam program industri Jumlah tenaga kerja penduduk sekitar pabrik/usaha (kelurahan/desa) (%) Jumlah tenaga kerja lokal (%) Jumlah perguruan tinggi dengan disiplin ilmu yang relevan di Jatim Jumlah industri hasil laut yang bergabung dalam Klaster Aspek Lingkungan Jumlah keluhan atas produk per tahun Jumlah keluhan dari masyarakat per tahun Jumlah pelaku yang memiliki dokumen amdal dan tersertifikasi (%) Aspek Ekonomi Rata-rata keuntungan pelaku klaster (%) Indeks RCA (Revealed Comparative Advantage) Deviasi keuntungan anggota klaster (%) Pangsa Pasar Total Penjualan per tahun Aspek Proses Bisnis Internal Output standar Jumlah penolakan pengiriman oleh pembeli (eksportir) Jumlah produk yang rusak dalam perjalanan distribusi Nilai rendemen setelah penanganan Harga jual ke pabrik Jumlah bahan baku yang diperoleh dalam satu kali tangkapan (untuk ikan dan udang) Biaya yang dikeluarkan dalam sekali melaut (untuk ikan & udang) Harga jual produk/bahan baku Nilai rendemen bahan baku (%)
Sistem Scoring
Skor Relatif
Absolut
Status
0.1664 0.0692 0.47405
Higher is better
0.0363 0.24859 0.0182 0.12452
Higher is better Higher is better
0.0123 0.08431
Higher is better
0.0100 0.06853 0.155
Higher is better
0.0344
0.66
Lower is better
0.33 0.34358 0.0361 0.36571
Higher is better
0.0243 0.2457 0.0180 0.18258 0.0135 0.13713 0.0068 0.06888 0.31829 0.0328 0.13168
Higher is better Lower is better Higher is better Higher is better
0.0313 0.12605
Lower is better
0.0313 0.12605 0.0273 0.10995 0.0273 0.10995
Lower is better Higher is better Higher is better
0.0246 0.09908
Higher is better
0.0246 0.09908 0.0246 0.09908 0.0246 0.09908
Lower is better Higher is better Higher is better
0.0172
Higher is better
Higher is better
Pada scoring board di atas ditampilkan sebanyak 22 IK yang berarti mereduksi 3 IK dari cara ketiga dalam pemilihan IK dengan pertimbangan efisiensi implementasi.
115 Penentuan status kinerja klaster agroindustri hasil laut berdasarkan masingmasing IKK terpilih dilakukan dengan mengolah hasil capaian dan target menjadi satu nilai skor tertentu. Nilai skor ini kemudian dievaluasi berdasarkan beberapa argumentasi logika sehingga dapat dinyatakan status kinerja capaiannya. Nilai status menggunakan tiga ketentuan penilaian yaitu higher is better, lower is better atau must be zero. Model scoring board tersebut untuk selanjutnya akan digunakan sebagai sistem pengukuran kinerja klaster sebagai bahan informasi capaian saat ini baik nilai skor maupun status. Disamping itu juga menjadi bahan evaluasi untuk upaya peningkatan kinerja klaster agroindustri hasil laut yang diukur pada periode berikutnya.
Perancangan Sistem Penunjang Keputusan Model pengukuran kinerja komprehensif klaster agroindustri hasil laut yang telah dibangun dan direpresentasikan dalam model scoring board selanjutnya akan diimplementasikan pada dua buah sistem klaster agroindustri hasil laut yang mempunyai potensi cukup bagus di wilayah Jawa Timur. Untuk alasan efektivitas dan efisiensi maka dirancang sebuah Sistem Penunjang Keputusan model Pengukuran
Kinerja
Komprehensif
Klaster
Agroindustri
Hasil
Laut
terkomputerisasi. Komputerisasi akan membantu sistem bisa diakses lebih cepat dan mudah dengan hasil informasi yang lebih akurat dan terbarukan. Sistem
Penunjang
Keputusan
(SPK)
dibangun
dengan
bahasa
pemrograman berbasis web PHP dengan database MySQL. Pemilihan bahasa web PHP berdasarkan pertimbangan bahwa perangkat lunak ini akan digunakan oleh multi user dan dengan lokasi yang tidak harus berdekatan secara geografis, oleh karena itu diperlukan bahasa fleksibel yang memungkinkan pengguna mengakses secara on line melalui internet yang bisa di install pada lokasi geografis yang berbeda secara on line. Di samping itu bahasa web PHP juga memberikan ruang untuk melakukan kreativitas tampilan multimedia dan animasi serta fiture tertentu sehingga menarik untuk dikunjungi dan mudah untuk diakses. SPK yang dirancang terbangun dari tiga komponen utama yaitu Data Base Management System (DBMS), Knowledge Base Management System (KBMS), Model Base Management System (MBMS) serta Dialog Management System (DMS). Model SPK dibangun mengacu pada konfigurasi SPK yang telah ditampilkan pada bagian sebelumnya. Sementara itu untuk operasionalisasi, maka SPK dilengkapi dengan manajemen dialog sehingga memudahkan pengguna
116 dalam mengakses sistem. Model dialog di sini berupaya untuk menghubungkan model pengolahan yang dipakai dengan data yang diperlukan yang terdapat dalam database dan informasi yang berasal dari knowledge based model untuk dihasilkan sejumlah informasi untuk mendukung pengambilan keputusan dalam pengelolaan kinerja klaster agroindustri hasil laut. Sesuai dengan fungsinya rancangan SPK berbasis komputer ini diberi nama C-PROMEAS (Comprehensive Performance Measurement System). Tampilan pada menu utama memberikan lima pilihan yaitu database, model, knowledge based, scoring board dan simulasi (what if analysis).
Gambar 53. Tampilan menu utama SPK pengukuran kinerja klaster Model SPK C-PROMEAS dibangun
untuk tujuan membantu pangambil
keputusan dalam setiap elemen yang ada dalam klaster industri hasil laut dengan otoritas yang berbeda-beda. Pemeliharaan model SPK ini ada pada otoritas kantor klaster yang telah ditentukan sebelumnya dalam pertemuan antar seluruh stakeholder. Dalam klaster adanya manajer kantor sebagai pengelola klaster ini akan menjaga keberlanjutan SPK dan secara sistem klaster menjadi pengelola klaster misalnya mengatur waktu pertemuan dan tema antara kelompok kerja (working group) maupun antara seluruh anggota klaster. Seperti telah diuraikan di depan, kelembagaan klaster merupakan kriteria yang penting dalam pencapaian
117 kinerja yang optimal. Pada kriteria kelembagaan, mekanisme koordinasi merupakan salah satu sub kriteria yang perlu diperhatikan disamping beberapa sub kriteria yang lainnya. Setiap stakeholder klaster dapat melihat kinerja individunya dan secara komprehensif ditingkat klaster yang ditampilkan dalam bentuk scoring board. Beberapa model yang digunakan dalam SPK diintegrasikan pada sistem komputerisasi diantaranya adalah model penilian kriteria dengan menggunakan metode PHA dan bantuan perangkat lunak Expert Choice 2000. Model penilaian Indikator Kinerja (IK) untuk menentukan IKK terpilih yang dijadikan tolok ukur keberhasilan klaster agroindustri hasil laut dengan menggunakan metode electre II juga terdapat di dalam model. Disamping itu model penentuan nilai rata-rata dengan menggunakan model analitik juga dilakukan sebelum masing-masing indikator kinerja ditampilkan capaiannya dalam bentuk komprehensif klaster. SPK ini masih mungkin dikembangkan dengan mengintegrasikan beberapa model yang sudah ada sesuai dengan perkembangan kebutuhan dalam pengukuran kinerja klaster agroindustri hasil laut. Hasil pengukuran kinerja pada klaster merupakan hasil utama yang ditampilkan dalam bentuk scoring board hasil pengukuran kinerja. Capaian dari seluruh indikator kinerja kunci yang telah terpilih dan status kinerja untuk masingmasing indikator kinerja juga dapat dilihat. Penentuan status kinerja akan diberikan berdasarkan nilai capaian IKK dan nilai targetnya masing-masing serta memperhatikan tiga karakteristik penilaian yaitu higher is better, lower is better atau must be zero. Penilaian higher is better digunakan jika semakin tinggi nilai numerik sebuah indikator kinerja maka semakin baik makna dari nilai tersebut, lower is better digunakan untuk nilai indikator yang semakin rendah nilainya semakin baik kinerjanya, sementara itu must be zero digunakan untuk sebuah indikator kinerja yang dikatakan baik jika dan hanya jika nilainya nol. Di samping itu juga bisa dilakukan simulasi dalam bentuk analisis what-if untuk melihat kecenderungan pengaruh beberapa perubahan di lingkungan bisnis khususnya dengan intervensi pendekatan klaster pada industri hasil laut di Jawa Timur. Selanjutnya model dialog dari SPK ini bisa dieksplorasi lebih jauh untuk menampilkan berbagai informasi yang diperlukan dalam manajemen kinerja sebuah klaster agroindustri hasil laut.
IMPLEMENTASI MODEL PENGUKURAN KINERJA KOMPREHENSIF Keakuratan sebuah model ditentukan oleh proses pembangunan model tersebut. Sebelum sebuah model diimplementasikan, maka perlu dilakukan dua tahapan yaitu verifikasi dan validasi. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan kebutuhan lainnya, maka verifikasi dan validasi dikembangkan menjadi sebuah langkah sistematis yang berupaya untuk memberikan umpan balik pada model
konseptual
sehingga
dapat
dilakukan
perbaikan
sebelum
diimplementasikan (Anderson, 1972; Chatergy and Pooch, 1977: Mc Carl dan Apland, 1986 ; Eriyatno, 2006). Verifikasi dan validasi juga dilakukan pada model pengukuran kinerja komprehensif klaster agroindustri hasil laut yang dirancang. Selanjutnya tahapan proses dan hasil verifikasi serta validasi model akan diuraikan secara sistematis pada bagian ini.
Verifikasi Model pada Klaster Industri Verifikasi dilakukan untuk menguji apakah logika model memiliki kesesuaian yang cukup baik dengan situasi riil di mana model akan diterapkan. Untuk itu dipilih dua klaster industri hasil laut untuk keperluan verifikasi model pengukuran kinerja komprehensif yaitu klaster agroindustri teri nasi dan rumput laut di wilayah Jawa Timur. Kedua klaster ini dipilih karena produk ini memiliki potensi yang sangat baik, baik dari sisi ekspor maupun domestik. Produk teri nasi lebih dominan di pasar ekspor, permintaan terus meningkat namun pasokan terbatas dikarenakan dukungan hasil tangkapan (nelayan) yang masih terbatas, di mana rata-rata kemampuan pasokan adalah 300 ton per tahun. Peluang pasar domestik juga sangat menjanjikan karena kandungan gizi yang sangat tinggi kandungan 100 gram teri nasi ekivalen dengan satu gelas susu Anlene (BLPMHP, 2005). Sementara itu produk rumput laut di samping kandungan serat yang sangat dibutuhkan untuk kesehatan juga mempunyai derivasi produk hilir yang sangat beragam dan masih terus dikembangkan. Oleh karenanya dibutuhkan penguatan struktur industri sehingga dapat terus meningkatkan daya saing baik di pasar global. Model pengukuran kinerja berisi sejumlah indikator kinerja yang mewakili baik dari sisi aspek klaster maupun pelaku klaster yang telah ditentukan berdasarkan hasil penilaian pakar dan pertimbangan logis. Terdapat 22 indikator
119 kinerja kunci yang mewakili empat aspek kinerja klaster dan empat stakeholder yang dikaji seperti telah dikemukakan di bagian terdahulu. Verifikasi model diawali dengan menyusun alat pengukuran berupa form-form penilaian berdasarkan jenis indikator yang akan diukur capaiannya. Verifikasi dilakukan untuk melihat apakah sejumlah indikator kinerja kunci yang telah dipilih secara logika dapat diterima untuk sebuah sistem klaster industri dan akan mampu diimplementasikan dengan baik serta mudah dalam operasionalisasinya. Verifikasi pada sektor hulu dilakukan melalui Diskusi Kelompok Terpadu (DKT) dengan sejumlah usaha penangkapan lepas panen ikan teri nasi (nelayan) dan usaha pasca panen di Jawa Timur dalam dua kelompok dan sesi yang berbeda. Pada DKT tersebut dilakukan eksplorasi data yang terkait dengan model serta capaian ukuran beberapa indikator kinerja kunci pada saat ini. Di samping juga dilakukan penggalian harapan dan persoalan yang dihadapi oleh komponen tersebut pada klaster agroindustri hasil laut. Berdasarkan hasil verifikasi model pengukuran kinerja yang dilakukan, logika model telah cukup sesuai dengan kondisi di lapangan, hal ini ditunjukkan oleh dapat diukurnya semua ukuran secara mudah dan tepat dalam pengisian. Semua indikator kinerja kunci yang terpilih untuk merepresentasikan kinerja komprehensif klaster industri hasil laut dapat diukur di lapangan dengan upaya-upaya klarifikasi yang intensif.
Validasi Model Pengukuran Kinerja Komprehensif Perancangan model pengukuran kinerja komprehensif pada sistem klaster agroindustri hasil laut dilakukan dengan menggunakan pendekatan sistem. Studi perilaku sistem yang kompleks pada sistem klaster industri hasil laut menuntut adanya suatu pendekatan yang bersifat holistik dengan tetap mengacu pada efektivitas hasil. Kajian yang dilakukan pada penelitian ini sebagian besar berbasis pada pengetahun pakar melalui akuisisi dan elisitasi pendapat pakar, oleh karenanya di dalam ilmu sistem kajian ini masuk dalam kategori soft system yang relatif tidak terstruktur. Pada model-model dengan pendekatan soft system methodology validasi tidak bisa sepenuhnya dilakukan secara matematis, namun cukup dengan pengujian untuk mendapat pengakuan secara intelektual yang bisa dilakukan melalui pendekatan expert judgment (Checkland, 1995 ; Eriyatno, 2006).
120 Selanjutnya metode ini akan digunakan pada validasi model pengukuran kinerja yang telah dilakukan pada kedua contoh klaster industri di atas. Validasi model pada situasi ini tidak untuk mencari pembuktian valid atau tidak, namun lebih untuk memperbaiki tingkat keyakinan bahwa berdasarkan kondisi yang diasumsikan model yang dikembangkan bisa mewakili sistem yang sebenarnya (Naylor dan Finger, 1967; Gass, 1983). Validasi meliputi validasi penyusunan dan validasi hasil. Proses penyusunan model harus dijamin validitasnya mulai dari asumsi yang mendasari, pengumpulan data sampai dengan proses pengolahannya, sementara secara hasil juga harus dijamin keakuratnnya bahwa hasil dari model benar-benar merepresentasikan kondisi riil. Validitas konstruksi model ditentukan oleh ketepatan pemilihan pakar dalam penelitian. Pakar yang dipilih berasal dari tiga komponen yang relevan yaitu praktisi industri hasil laut, pengambil kebijakan (Departemen Perindustrian (Deprin) dan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP)) dan akademisi dengan tingkat kepakaran yang dibuktikan berdasarkan pengalaman dan kapasitas keilmuan. Empat pakar praktisi industri yang dilibatkan adalah tingkat General Manager dan Direktur Perusahaan, dari pengambil kebijakan adalah 6 pakar di tingkat Direktur di lingkungan DKP dan Deprin. Sementara itu dari pihak akademisi ikut berkontribusi sebagai pakar adalah 5 pakar yang terdiri dari seorang guru besar yang memiliki keilmuan Teknologi Industri Pertanian dan mempunyai pengalaman praktis dan penelitian di bidang kelautan dan perikanan, 3 orang doktor masing-masing di bidang Sistem Dinamik,Teknik Perkapalan dan Ilmu Wilayah serta satu orang calon Doktor di bidang Ekonomi Internasional. Berdasarkan dari kompetensi seluruh pakar yang dilibatkan pada penilaian sejumlah kriteria dan indikator kinerja klaster industri diharapkan dapat dipertanggungjawabkan validitasnya. Penentuan validitas hasil dari model dilakukan melalui expert judgment pada dua Diskusi Kelompok Terarah (DKT) di dua kelompok terpisah yaitu di kelompok praktisi industri hasil laut (teri nasi) dan kelompok di lingkungan pemerintahan. Hasil rancangan model pengukuran kinerja komprehensif klaster agroindustri hasil laut dipresentasikan pada dua kelompok tersebut dalam waktu dan tempat terpisah. Secara umum kedua kelompok pakar menyatakan bahwa model sudah merepresentasikan sistem klaster agroindustri hasil laut, namun demikian dalam proses dialog dan diskusi yang terjadi terdapat beberapa masukan yang diharapkan bisa ditindaklanjuti.
121 Validasi model secara kuantitatif dilakukan pada penentuan model peramalan untuk indikator total penjualan klaster industri teri nasi. Model ini diperlukan untuk meramalkan omset klaster industri teri nasi beberapa periode mendatang. Hal ini diperlukan untuk merencanakan strategi klaster industri teri nasi agar terus dapat bertahan dan bahkan meningkatkan kinerjanya. Di samping itu berdasarkan hasil identifikasi indikator kinerja kunci yang telah dilakukan indikator total penjualan klaster merupakan salah satu indikator penting yang harus selalu dimonitor dan dievaluasi, hal ini untuk melihat apakah secara eksternal sistem ada kondisi kedepan yang kondusif untuk peningkatan kinerja. Validasi model dilakukan dengan mencoba beberapa model peramalan deret waktu untuk memprediksi total penjualan teri nasi di Jawa Timur dalam 12 periode bulan ke depan. Dari pemeriksaan karakteristik pola data awal di mana data bersifat fluktuatif dengan pola tertentu, maka diduga terdapat tiga jenis model yang mampu merepresentasikan sesuai kondisi riilnya yaitu model pemulusan eksponensial tunggal, pemulusan eksponensial ganda dan dekomposisi. Dengan hasil ramalan dan rekaman indikator ketepatan model seperti ditampilkan secara berturut-turut pada Gambar 54–56. Pada Gambar 54 dapat dilihat hasil peramalan dengan menggunakan model pemulusan eksponensial tunggal yang memiliki beberapa parameter keakuratan hasil (MAPE, MAD dan MSD) seperti tampak pada sisi kanan gambar grafik berikut :
450000
Actual Predicted Forecast
C2
350000
Actual Predicted Forecast
250000 Smoothing Constant Alpha:
150000
MA PE:
50000 0
10
20
30
0.562 42
MA D:
57665
MSD:
7.08E+09
40
Time
Gambar 54 Prediksi total penjualan dengan model pemulusan eksponensial tunggal
122 Selanjutnya
sebagai
perbandingan
dilakukan
peramalan
dengan
model
dekomposisi yang memberikan hasil ramalan penjualan dalam bentuk grafik sebagai berikut :
450000
Actual Predicted
Kilogram/bulan C2
Forecast
350000
Actual Predicted Forecast
250000
150000 MAPE: MAD: MSD:
50000 0
10
20
30
40
25 47422 4.13E+09
50
Time
Gambar 55 Prediksi total penjualan dengan model dekomposisi Kemudian sebagai alternatif pembanding lainnya dilakukan uji coba peramalan total penjualan klaster dengan menggunakan model pemulusan eksponensial ganda, dengan hasil seperti tampak pada Gambar 56.
Actual
800000
Predicted Forecast
C2 Kilogram/bulan
600000
Actual Predicted
400000
Forecast
200000 Smoothing Constants Alpha (level): 0.672 Gamma (trend): 0.063
0 -200000
MAPE: MAD: MSD:
-400000 0
10
20
30
43 61935 8.14E+09
40
Time
Gambar 56
Prediksi total penjualan dengan model pemulusan eksponensial ganda
123
Model peramalan deret waktu dipilih atas dasar pendugaan awal bahwa omset penjualan ditentukan oleh periode waktu, disamping alasan ketersediaan data. Adapun rekapitulasi nilai akurasi model dari ketiga model yang diuji di atas dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 17. Nilai akurasi tiga alternatif model peramalan total penjualan teri nasi
No 1 2 3
Parameter keakuratan model
Jenis model MAPE
MAD
MSD
Pemulusan eksponensial tunggal
42
57665
7.08E+09
Dekomposisi
25
47422
4.13E+09
Pemulusan eksponensial ganda
43
61935
8.14E+09
Berdasarkan ketiga parameter keakuratan model seperti pada tabel, maka dapat dilihat bahwa model dekomposisi memiliki keakuratan yang terbaik yang ditunjukkan dengan nilai ketiga parameter paling kecil dibandingkan semua model yang diuji. Hal ini memberikan arti bahwa model dekomposisi akan memberikan kesalahan dalam peramalan paling kecil dibanding dua model lainnya, sehingga dari sini dapat disimpulkan bahwa model dekomposisi merupakan model yang representatif untuk menggambarkan pola data sekaligus menghasilkan prediksi yang paling mendekati hasil yang sebenarnya.
Implementasi Model Setelah melalui tahap verifikasi dan validasi di atas, maka rancangan model pengukuran kinerja komprehensif pada klaster agroindustri hasil laut dapat diimplementasikan. Implementasi dilakukan pada dua klaster industri hasil laut sebagai percontohan yaitu klaster industri teri nasi dan klaster industri rumput laut di Jawa Timur. Proses pengukuran kinerja dilakukan dengan menggunakan bantuan lembar periksa dan dilaksanakan dengan metode interview dengan pihak industri dan pelaku lain untuk mendapatkan informasi capaian indikator kinerja kunci seperti yang telah ditentukan dalam model. Gambaran sistem klaster industri teri nasi di Jawa Timur dan keterkaitannya dapat dilihat pada gambar berikut :
124
Pemerintah Pusat
Industri Mesin dan Peralatan
- Departemen Perindustrian - Departemen Kelautan dan Perikanan - Departemen Keuangan - Departemen Perdagangan - Departemen Pertanian
- Mesin Diesel - Jaring ikan - Peralatan lainnya (Blung dll)
INDUSTRI PENDUKUNG Industri/Usaha Pemasok Bahan Baku Penolong -PLN (Listrik) -PDAM (Air) -Es Batu
PT KML
Pemerintah Daerah
- Dinas Perikanan - Dinas Perindustrian dan Perdagangan
PT MMM
Asosiasi 1. APIKI 2. GAPMMI
PELAKU INTI INSTITUSI PENDUKUNG
(Industri Pengolahan Teri Nasi) PT MPI
PT ICS
Dukungan hasil tangkapan dan usaha lepas pantai (nelayan dan agroindustri level I)
CV Mahera
Lembaga Keuangan - Bank - Non Bank (Koperasi)
Lembaga Penelitian 1. Perguruan Tinggi (Penelitian dan Pengembangan SDM). 2. BLPMHP
Gambar 57 Struktur pelaku klaster industri teri nasi di Jawa Timur Sementara itu gambaran kategori agroindustri teri nasi berdasarkan level proses transformasi menurut Austin (1981) dapat dilihat pada Lampiran 4 dan hasil implementasi model pengukuran kinerja pada sistem klaster agroindustri teri nasi dapat ditampilkan dalam bentuk scoring board seperti pada Tabel 18. Dari hasil verifikasi dapat dilihat bahwa nilai kinerja parsial untuk indikator lokalitas masuk dalam kategori baik, yaitu untuk indikator jumlah tenaga kerja sekitar desa dan jumlah tenaga kerja lokal berturut-turut 105% dan 100 %. Capaian ini sekaligus menunjukkan bahwa lokalitas dari industri hasil laut di Jawa Timur sangat tinggi sehingga dapat diharapkan akan menjadi lapangan kerja yang potensial bagi masyarakat sekitar. Sementara itu beberapa indikator kinerja kunci yang pencapaiannya kurang di antaranya adalah kepemilikan dokumen sertifikasi lingkungan dan jumlah komplain
dari konsumen atas produk yang dihasilkan,
masing-masing dengan nilai kinerja nol.
125 Tabel 18 Hasil pengukuran kinerja klaster industri teri nasi di Jawa Timur Indikator Kinerja Kunci Klaster Agroindustri Hasil Bobot Bobot Target Unit Capaian Laut relatif Normal
Sistem Scoring
Skor Relatif
Kinerja Komprehensif Klaster
Status
Absolut 55.61%
Kinerja Sosial Persentase penduduk sekitar (desa) yang terlibat aktif dalam program per tahun (%) Jumlah tenaga kerja penduduk sekitar pabrik/usaha (kelurahan/desa) (%) Jumlah tenaga kerja lokal (%) Jumlah perguruan tinggi dengan disiplin ilmu yang relevan di Jatim Jumlah industri hasil laut yang bergabung dalam Klaster
0.1664 0.0692 0.47405
3% orang
8.69%
52.25%
0.50% Higher is better
7.90%
16.67%
Kurang
0.0363 0.24859 0.0182 0.12452
90% kary 100% kary
95% Higher is better 100% Higher is better
26.24% 12.45%
105.56% 100.00%
Baik Baik
0.0123 0.08431
10 Inst
4 Higher is better
3.37%
40.00%
Kurang
0.0100 0.06853
15
5 Higher is better
2.28%
33.33%
Kurang
0 0 kali
1 Lower is better 1 Lower is better
0.00% 0.00% 0.00%
0.00% 0 0
Kurang Kurang
5 buah
0 Higher is better
0.00% 26.37% 24.38%
0.00% 76.74% 66.67%
Kurang
54.00% 150.00% 60.00% 50.53% 64.57% 53.33%
Cukup Baik Cukup Cukup
Kinerja Lingkungan Jumlah komplain atas produk per thn Jumlah komplain masyarakat per thn Jumlah pelaku yang memiliki dokumen amdal dan tersertifikasi (%) Kinerja Ekonomi Rata-rata keuntungan pelaku klaster (%)
0.155 0.0172 0.33333 0.0172 0.33333
Indeks RCA (Revealed Comparative Advantage) Deviasi keuntungan anggota klaster (%) Pangsa Pasar Total Penjualan per tahun Kinerja Proses Bisnis Internal Output standar Jumlah komplain keterlambatan pengiriman produk ke negara tujuan (ekspor) Jumlah produk yang rusak dalam perjalanan distribusi Nilai rendemen setelah handling Harga jual ke pabrik Jumlah bahan baku yang diperoleh dalam satu kali tangkapan (untuk ikan dan udang) Biaya yang dikeluarkan dalam sekali melaut (untuk ikan & udang) Harga jual produk/bahan baku Nilai rendemen bahan baku (%)
0.0172 0.33333 0.34358 0.0361 0.36571
30% %
20% Higher is better
0.0243 0.2457 0.0180 0.18258 0.0135 0.13713 0.0068 0.06888 0.31829 0.0328 0.13168
4 20 % 50% % 950 ton
2.16 Higher is better 10 Lower is better 30% Higher is better 480 Higher is better
75 ton
40 Higher is better
13.27% 27.39% 8.23% 3.48% 20.55% 7.02%
0.0313 0.12605
0 kali
1 Lower is better
0.00%
0.00%
Kurang
2 Lower is better 20% Higher is better 12500 Higher is better
0.00% 12.94% 9.16%
0.00% 117.65% 83.33%
Kurang Baik Baik
20 Higher is better
4.95%
50.00%
Kurang
50000 Lower is better 11000 Higher is better 90 Higher is better
12.39% 8.72% 9.39%
125.00% 88.00% 94.74%
Baik Baik Baik
0.0313 0.12605 0.0273 0.10995 0.0273 0.10995
0 kali 17% % 15000 rupiah
0.0246 0.09908
40 kg
0.0246 0.09908 0.0246 0.09908 0.0246 0.09908
40000 rupiah 12500 rupiah 95 %
Cukup
Cukup
Tabel scoring board hasil pengukuran kinerja komprehensif klaster agroindustri hasil laut pada industri teri nasi di atas, terdiri atas beberapa komponen parameter
ukuran yang mencerminkan karakteristik dari setiap
indikator kinerja yaitu nilai bobot, nilai yang ditargetkan, nilai capaian indikator, scoring system, nilai skor serta status kinerja. Pengukuran setiap indikator kinerja yang sudah ditentukan melalui penilaian pakar dilakukan secara langsung dengan bantuan alat berupa lembar periksa (check sheet) yang telah disiapkan terlebih dahulu. Idealnya sebuah klaster, pengukuran dilakukan pada semua anggota klaster tergantung pada pelaku mana indikator kinerja yang diukur. Hasil pengukuran pada individu pelaku selanjutnya diagregasikan menjadi nilai capaian
126 indikator kinerja yang diukur seperti tampak pada kolom capaian di Tabel 18 di atas. Nilai skor setiap indikator kinerja yang diukur sangat ditentukan oleh target yang ditentukan oleh pengelola klaster. Pada perhitungan di atas nilai target ditentukan berdasarkan brainstorming dari pakar industri. Penentuan target ini didasarkan pada beberapa pertimbangan yang mengacu pada kriteria SMART (Specific, Measurable, Achievable, Realistic dan Timebound) yang secara detail telah diuraikan pada bagian sebelumnya. Setiap indikator kinerja yang diukur akan memiliki target yang berbeda dengan satuan yang juga bisa berbeda. Scoring system yang dilakukan seperti tabel di atas akan mampu menghilangkan satuan menjadi sebuah ukuran yang unik, di mana nilai skor dapat diperoleh dengan perhitungan sebagai berikut :
Score
ij
= (
k ij t ij
) n ij
..................(29)
keterangan :
i
: indeks indikator kinerja yang diukur
j
: indeks kinerja parsial (aspek klaster)
kij
: nilai capaian kinerja untuk indikator kinerja kunci ke-i pada kinerja parsial (aspek) ke-j
tij
: target yang diinginkan untuk indikator kinerja kunci ke-i pada kinerja parsial (aspek) ke-j
nij
: bobot yang telah dinormalkan untuk indikator kinerja kunci ke-i pada kinerja parsial (aspek) ke-j
Sementara itu status kinerja klaster industri dikategorikan dalam tiga kelompok yaitu Baik, Sedang dan Kurang. Berdasarkan pendapat pakar maka penentuan kategori berdasarkan nilai sebagai berikut : Status Baik jika nilai skor absolut indikator kinerja ≥ 75 Status Sedang jika nilai skor absolut indikator kinerja ≥ 50% dan < 75% Status Kurang jika nilai capaian absolut indikator kinerja < 50 %
127 Dari hasil pengukuran kinerja pada tabel di atas, maka secara parsial dapat dilihat bahwa kinerja klaster agroindustri hasil laut (teri nasi) yang tertinggi dicapai oleh kinerja ekonomi (67.59%) dan terendah oleh kinerja lingkungan (0%). Sementara kinerja sosial dan proses bisnis internal berturut-turut dengan nilai kinerja 52.25% dan 64.57%. Selanjutnya
dengan menggunakan persamaan 13 dan 14 dapat
dihitung nilai kinerja komprehensif klaster agroindustri hasil laut sebagai berikut :
Cp = f (Sp , Ecp , Ep , Tp
)
Cp = c 1 Sp + c 2 Ecp + c 3 Ep + c 4 Tp
……………(30) ……………(31)
Cp = 55 . 61 %
keterangan :
Cp Sp
= nilai kinerja komprehensif
Ecp
= nilai kinerja ekonomi
Ep Tp
= nilai kinerja lingkungan
c1
= nilai bobot agregat kinerja sosial
c2
= nilai bobot agregat kinerja lingkungan
c3
= nilai bobot agregat kinerja ekonomi
c4
= nilai bobot agregat kinerja proses bisnis internal
= nilai kinerja sosial
= nilai kinerja proses bisnis internal
Nilai capaian kinerja komprehensif di atas menunjukkan suatu nilai yang sangat bagus bahwa kinerja komprehensif klaster industri teri nasi di Jawa Timur berada pada kategori Cukup dengan nilai capaian 55.61%. Oleh karena itu harus dilakukan analisa lebih lanjut untuk bisa mendapatkan rekomendasi umpan balik dari hasil pengukuran di atas yang secara detail akan diuraikan pada bagian pembahasan. Selanjutnya sebagai perbandingan model pengukuran kinerja komprehensif juga diimplementasikan pada klaster industri rumput laut, namun pengukuran terbatas masih dilakukan pada satu perusahaan inti yang mewakili industri pengolahan dan pelaku lainnya yakni petambak dan institusi pendukung. Secara lengkap sistem klaster industri rumput laut di Jawa Timur yang menggambarkan komponen dan posisinya dalam klaster dapat dilihat pada Gambar 58 berikut :
128
Pemerintah Pusat
- Departemen Perindustrian - Departemen Kelautan dan Perikanan - Departemen Keuangan - Departemen Perdagangan Pemerintah Daerah - Departemen Pertanian - Dinas Perikanan Industri - Dinas Perindustrian dan Mesin dan Peralatan Perdagangan - Mesin Diesel PT ASML - Jaring ikan - Peralatan lainnya PT SS (Blung dll) Asosiasi
INDUSTRI PENDUKUNG Industri/Usaha Pemasok Bahan Baku Penolong
-PLN (Listrik) -PDAM (Air) -Bibit rumput laut
PELAKU INTI (Industri Pengolahan Rumput Laut) PT SKS
Dukungan hasil panen dan usaha pasca panen (petambak rumput laut dan agroindustri level I)
INSTITUSI PENDUKUNG Lembaga Keuangan - Bank - Non Bank (Koperasi)
Lembaga Penelitian 1. Perguruan Tinggi (Penelitian dan Pengembangan SDM). 2. BLPMHP
Gambar 58 Struktur pelaku klaster industri rumput laut di Jawa Timur Adapun gambaran kategori agroindustri rumput laut berdasarkan level proses transformasi menurut Austin (1981) dapat dilihat pada Lampiran 4.2 dan hasil pengukuran kinerja komprehensif dengan menggunakan model yang dirancang secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 19. Dari tabel tersebut, dapat dilihat bahwa nilai numerik kinerja komprehensif klaster industri rumput laut yang dihasilkan sebesar 57.44 %, hal ini menunjukkan bahwa secara numerik klaster industri rumput laut hanya mampu mencapai 57.44% dari target komprehensif yang telah ditentukan. Meskipun secara komprehensif nilai numerik kinerja klaster industri rumput laut dengan kinerja komprehensfif numerik klaster industri teri nasi tidak berbeda secara signifikan, namun jika dilihat secara parsial pada setiap indikator kinerja aspek klaster maka terdapat perbedaan yang cukup signifikan pada kinerja ekonomi. Status indikator kinerja rata-rata keuntungan pada klaster industri rumput laut masuk kategori Baik (120%) yang berarti melebihi 20% dari target keuntungan yang telah ditetapkan, sementara pada klaster industri teri nasi berkinerja Cukup dengan nilai 66.67%.
129 Kinerja komprehensif klaster agroindustri hasil laut di Jawa Timur dengan contoh terpilih dua klaster yang telah diuraikan di atas, dengan berasumsi bahwa kedua klaster industri tersebut memiliki kepentingan sama adalah nilai rata-rata kinerja komprehensif dari kedua klaster tersebut. Sehingga secara numerik dapat dihasilkan nilai agregat 56.63%, yang berarti klaster agroindustri hasil laut di Jawa Timur memiliki kinerja komprehensif atau dengan kata lain klaster industri hasil laut di Jawa Timur hanya memenuhi 56.63% dari target yang ditentukan. Untuk itu masih perlu dilakukan upaya peningkatan kinerja di masa yang akan datang melalui program-program yang efektif. Tabel 19. Hasil pengukuran kinerja klaster industri rumput laut di Jawa Timur
Indikator Kinerja Kunci Klaster Agroindustri Hasil Laut Kinerja Komprehensif Klaster Kinerja Sosial Persentase penduduk sekitar (desa) yang 1 terlibat aktif dalam program per tahun (%) Jumlah tenaga kerja penduduk sekitar 2 pabrik/usaha (kelurahan/desa) (%) 3 Jumlah tenaga kerja lokal (%) Jumlah perguruan tinggi dengan disiplin ilmu 4 yang relevan di Jatim Jumlah industri rumput laut yang bergabung 5 dalam Klaster Kinerja Lingkungan Jumlah komplain masyarakat krn 1 pencemaran lingkungan Jumlah pelaku yang memiliki dokumen amdal 2 dan tersertifikasi (%) Kinerja Ekonomi 1 Rata-rata keuntungan pelaku klaster (%) Indeks RCA (Revealed Comparative 2 Advantage) 3 Deviasi keuntungan anggota klaster (%) 6 Pangsa Pasar 7 Total Penjualan per tahun Kinerja Proses Bisnis Internal 1 Output standar Jumlah penolakan pengiriman oleh pembeli 2 (eksportir) 3 Jumlah komplain atas produk yang dikirim 4 Nilai rendemen setelah handling 5 Harga jual ke pabrik Jumlah bahan baku yang diperoleh dalam 6 satu kali panen (untuk rumput laut) Biaya yang dikeluarkan dalam sekali panen 7 (rumput laut) 9 Nilai rendemen bahan baku (%)
Bobot Bobot Target Unit Capaian relatif Normal
Sistem Scoring
17%
Skor Relatif
Absolut
Status
7.59%
57.44% 45.61%
Kurang
0.0692
47%
2%
0.3 Higher is better
7.11%
15.00%
Kurang
0.0363 0.0182
25% 12%
90% % 100 %
75% Higher is better 100 Higher is better
20.72% 12.45%
83.33% 100.00%
Baik Baik
0.0123
8%
10 unit
4 Higher is better
3.37%
40.00%
Kurang
0.0100
7% 16%
7 unit
2 Higher is better
1.96% 0
28.57% 0
Kurang
0.0344
66%
0 kali
1 Lower is better
0
0.00%
Kurang
0.0172
33% 34% 37%
1 unit
0 Higher is better
0 30.51% 43.89%
0.00% 88.80% 120.00%
Kurang
13.27% 18.26% 8.23% 5.17% 19.33% 13.14%
54.00% 100.00% 60.00% 75.00% 60.74% 80.00%
Cukup Baik Cukup Baik
Lower is better Lower is better Higher is better Higher is better
0.00% 0.00% 9.14% 12.34%
0.00% 0.00% 66.67% 90.00%
Kurang Kurang Cukup Baik
1 Higher is better
8.24%
66.67%
Cukup
100 Lower is better 90 Higher is better
6.18% 11.71%
50.00% 94.74%
Kurang Baik
0.0361 0.0243 0.0180 0.0135 0.0068
25
30 Higher is better
4 0 50% 200 ton
2.16 Higher is better 0 Lower is better 30% Higher is better 150 Higher is better
0.0328
25% 18% 14% 7% 32% 16%
15 ton
12 Higher is better
0.0313 0.0313 0.0273 0.0273
16% 16% 14% 14%
0 0 15 5000
0.0246
12%
1.5 ton/ha
0.0246 0.0246
12% 12%
50 95 %
0 0 10 4500
Baik
Baik
Berdasarkan hasil verifikasi melalui uji coba model pada dua klaster agroindustri hasil laut terpilih, kemudian dianalisis lebih lanjut untuk menentukan apakah model sudah cukup baik berdasarkan beberapa pertimbangan atau masih
130 memerlukan perbaikan. Pada bagian selanjutnya akan diuraikan pertimbanganpertimbangan logis untuk mendapatkan model pengukuran kinerja komprehensif final yang siap untuk diimplementasikan secara periodik dan kontinyu.
Perbaikan Model Pengukuran Kinerja Komprehensif Dalam implemetasinya, sebuah model ini di samping mempertimbangkan aspek substansi juga perlu mempertimbangkan efisiensi dan kemudahan dalam operasionalnya. Model pengukuran kinerja dalam bentuk scoring board yang telah diverifikasi dan divalidasi di atas, ternyata masih mengandung cukup banyak indikator kinerja kunci sehingga sulit untuk diingat. Hal ini juga akan mempersulit implementasi
dan
membuat
enggan
bagi
pengelola
klaster
(kelompok
kerja/working group) untuk menerapkan. Oleh karena itu perlu dilakukan penyederhanaan
penampilan
tanpa
harus
mengurangi
substansi
model
pengukuran kinerja yang telah disepakati seperti pada scoring board sebelumnya. Proses reduksi jumlah indikator kinerja dengan tanpa merubah keterwakilan dan nilai bobot dilakukan melalui brainstorming, elaborasi dan penggalian referensi lainnya. Upaya penyederhanaan dilakukan dengan mendefinisikan beberapa indikator kinerja dalam representasi indikator kinerja yang lebih padat melalui pengelompokan sebagai berikut : 1. Kinerja Sosial direpresentasikan oleh indikator kinerja kunci : (1)
Indeks CSR (Corporate Social Responsibility) yang mewakili indikator kinerja antara lain : Tingkat kepedulian industri terhadap masyarakat sekitar Jumlah tenaga kerja penduduk sekitar pabrik/usaha (kelurahan/desa) (%) Jumlah tenaga kerja lokal (%)
(2)
Keanggotaan klaster mencakup indikator kinerja : Jumlah perguruan tinggi dengan disiplin ilmu yang relevan di Jatim Jumlah industri hasil laut yang bergabung dalam Klaster
2. Kinerja Lingkungan diwakili oleh indikator kinerja Indeks CER (Corporate Environment Responsibility) mencakup indikator : Jumlah keluahan masyarakat karena pencemaran lingkungan Jumlah pelaku yang memiliki dokumen amdal dan tersertifikasi (%)
131 3. Kinerja Ekonomi terdiri dari indikator kinerja kunci berikut : (1)
Keuntungan klaster meliputi : Rata-rata keuntungan pelaku klaster (%) Deviasi keuntungan anggota klaster (%)
(2)
Indeks RCA (Revealed Comparative Advantage)
(3)
Kontribusi pada devisa negara (%)
(4)
Kinerja pasar (Market Performance), mewakili beberapa indikator kinerja berikut : Pangsa Pasar Total Penjualan per tahun
4. Kinerja Proses Bisnis Internal diwakili oleh indikator kinerja kunci berikut : (1)
Output standar
(2)
Nilai rendemen yang mencakup indikator : Nilai rendemen setelah handling Nilai rendemen bahan baku (%)
(3)
Indeks kepuasan pelanggan atas produk, representasi dari indikator berikut : Jumlah penolakan pengiriman oleh pembeli (eksportir) Jumlah komplain atas produk yang dikirim
(4)
Produktivitas petani/nelayan/petambak yang mencakup indikator : Jumlah bahan baku yang diperoleh dalam satu kali tangkapan (untuk ikan) atau satu kali panen (untuk rumput laut) Biaya yang dikeluarkan dalam sekali melaut (untuk ikan) atau sekali tanam (untuk rumput laut) Harga jual produk/bahan baku
Hasil penyederhanaan indikator kinerja kunci di atas sekaligus mereduksi jumlah indikator kinerja yang terdahulu namun tidak merubah substansi indikator kinerja yang telah ditentukan di depan. Selanjutnya melalui penormalan nilai-nilai bobot dari masing-masing indikator kinerja yang digabungkan dapat diperoleh nilai bobot baru untuk setiap indikator kinerja yang baru. Pada perbaikan model ini juga dilakukan penyamaan sistem scoring yang semula terdiri dari tiga cara yaitu higher is better, smaller is better dan must be zero menjadi satu cara yaitu higher is better. Hasil final dari komposisi indikator kinerja kunci (IKK) yang bisa mewakili kinerja
132 komprehensif klaster industri hasil laut tersebut dan selanjutnya akan dijadikan model pengukuran kinerja untuk diimplementasikan dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20 Model final scoring board pengukuran kinerja komprehensif klaster agroindustri hasil laut.
Kinerja Kunci dan indikator kinerja
Bobot Bobot Target Unit Capaian relatif Normal
Skor Relatif
Absolut
Status
Kinerja Komprehensif Klaster Kinerja Sosial 1 Indeks CSR (Corporate Social Responsibility ) 2 Keanggotaan klaster Kinerja Lingkungan 1 Indeks CER (Corporate Environment Responsibility ) Kinerja Ekonomi 1 Keuntungan Klaster 2 Indeks RCA (Revealed Comparative Advantage ) 3 Kinerja Pasar (Market Performance) Kinerja Proses Bisnis Internal 1 Output standar 2 Nilai Rendemen 3 Indeks kepuasan pelanggan atas produk 4 Produktivitas petani/nelayan/petambak
0.1664 0.1237 0.0223
0.8472 0.1528 0.155
0.0515 0.0541
1 0.3436 0.5483
0.0243
0.2457
0.0203 0.0328 0.0766
0.206 0.3183 0.1333 0.3117
0.0626
0.2547
0.0738
0.3003
Penentuan indikator kinerja kunci seperti pada tabel di atas dilakukan berdasarkan proses agregasi dengan memperhatikan keterkaitan antara beberapa indikator kinerja yang diagregasikan. Sebagai contoh beberapa indikator kinerja untuk aspek kepedulian sosial yang meliputi tingkat kepedulian perusahaan melalui penyelenggaraan program kemasyarakatan untuk masyarakat sekitar industri, jumlah tenaga kerja dari penduduk sekitar serta jumlah tenaga kerja lokal dapat diwakili oleh satu indikator kinerja baru yaitu indeks CSR (Corporate Social Responsibility). Hubungan antara masing-masing indikator pembentuk dengan indeks CSR dapat dinyatakan dalam formula berikut :
Indeks
CSR = f (S 1 , S 2 , S 3 ,... S n
)
= c 1 S 1 + c 2 S 2 + c 3 S 3 + ... + c n S n
…….(32) …….(33)
133 keterangan :
S
: nilai indikator kinerja pembentuk (disagregasi)
n
: jumlah indikator kinerja pembentuk
Pengukuran capaian nilai indeks CSR ini tetap memperhatikan indikator kinerja disagregasinya. Hal yang sama juga terjadi pada indikator kinerja yang merepresentasikan seluruh kriteria pada aspek lingkungan yaitu indeks CER (Corporate Environment Responsibility). Indikator kinerja keuntungan klaster merupakan nilai kovarian dari rata-rata keuntungan pelaku klaster industri hasil laut dan standar deviasinya. Sementara itu semua indikasi kepuasan pelanggan yang terdiri dari jumlah penolakan dan jumlah komplain terhadap produk yang dibeli dapat diwakili oleh satu indikator kunci yaitu indeks kepuasan pelanggan. Semua kegiatan yang berkaitan dengan kemasyarakatan dalam sebuah sistem industri lebih dikenal dengan kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR). CSR merupakan suatu hal yang semakin dipandang perlu dari waktu kewaktu. Hal ini dikarenakan kelangsungan hidup perusahaan tidak hanya ditentukan oleh kemampuan pengelolaan perusahaan secara efisien, tetapi juga karena kemampuan memenuhi nilai-nilai masyarakat sekitarnya. Meskipun tidak ada definisi yang tepat tentang CSR, Waldman et al. (2006) menyatakan bahwa CSR merupakan langkah yang dilakukan oleh perusahaan lebih dari kewajiban legalnya.
Langkah
ini
dilakukan
dengan
mempertimbangkan
stakeholder
perusahaan. Pada model ini, nilai CSR ini diwakili dari hasil pengolahan satu paket kuesioner pakar dan di konfirmasikan pada perwakilan masyarakat sekitar industri. Proses agregasi nilai capaian indikator kinerja dari model scoring board yang lama ke model scoring board yang baru dilakukan melalui perhitungan matematis yang salah satunya diperlihatkan pada formula di atas (CSR). Secara lengkap hasil transformasi dan perhitungan kinerja klaster industri teri nasi dapat dilihat pada Tabel 21. Jika dibandingkan hasil pengukuran kinerja dengan menggunakan model awal dan model final, maka terjadi perbedaan nilai skor pada aspek kinerja yang diukur. Hal tersebut terjadi karena ada perubahan representasi indikator kinerja kunci dari setiap aspeknya. Perbedaan kinerja yang paling signifikan terjadi pada aspek sosial dan aspek lingkungan, pada model awal bernilai 52.25% dan 0% menjadi 67.4% dan 25%. Sementara untuk kinerja dua aspek yang lain tidak
134 mengalami perubahan yang signifikan dikarenakan tidak adanya perubahan yang berarti pada indikator kinerja yang mewakili. Tabel 21 Hasil pengukuran kinerja klaster industri teri nasi di Jawa Timur dengan model scoring board final Kinerja Kunci dan indikator kinerja
Bobot relatif
Bobot Normal
Target
Skor
Capaian
Relatif
Absolut
Kinerja Komprehensif Klaster Kinerja Sosial 1 Indeks CSR (Corporate Social Responsibility) 2 Keanggotaan klaster Kinerja Lingkungan 1 Indeks CER (Corporate Environment Responsibility) Kinerja Ekonomi 1 Keuntungan Klaster 2 Indeks RCA (Revealed Comparative Advantage) 3 Market Performance Kinerja Proses Bisnis Internal 1 Output standar 2 Nilai Rendemen 3 Indeks kepuasan pelanggan atas produk Produktivitas 4 petani/nelayan/petambak
0.166404
11.2%
67.4%
0.1237 0.8471587 0.0223 0.1528413 0.155004
4 4
3 1
63.5% 3.8% 3.88%
75.0% 25.0% 25%
0.0515
4
1
100%
94%
25% 26.4% 51.8%
25% 76.7% 94%
0.0243 0.2456972 0.0203 0.2060108 0.318294 0.0328 0.1481334 0.0519 0.2349361
4 100%
2.16 57%
75 100%
40 107%
13.3% 11.7% 21.0% 7.9% 25.1%
54% 57% 66.0% 53% 107%
0.0626 0.2831367
4
3
21.2%
75%
0.0738 0.3337937
12.5
4.4
11.7%
35%
0.0541
1 0.343577 0.548292
Indikator CSR (Corporate Social Responsibility), keanggotaan klaster dan CER (Corporate Environment Responsibility) dilakukan dengan menggunakan kuesioner
berskala
likert.
Hal
ini
dilakukan
sebagai
konsekuensi
dari
penyederhanaan dan perampingan indikator kinerja yang telah dilakukan untuk alasan kemudahan operasional dan implementasi model pengukuran kinerja komprehensif pada sistem klaster agroindustri hasil laut. Implementasi model final pengukuran kinerja komprehensif (hasil perbaikan) juga dilakukan pada klaster industri rumput laut di Jawa Timur. Melalui
cara
agregasi yang sama dapat diperoleh hasil pengukuran kinerja klaster industri rumput laut dengan menggunakan model yang telah diperbaiki seperti pada Tabel 22. Seperti halnya pengukuran kinerja pada klaster industri teri nasi, hasil pengukuran kinerja pada klaster rumput laut juga mengalami perubahan nilai skor. Perubahan terjadi sebagai konsekuensi atas perubahan indikator kinerja yang digunakan karena adanya upaya perampingan indikator kinerja kunci, khususnya pada kinerja aspek sosial dan aspek lingkungan. Sementara itu untuk aspek
135 ekonomi dan proses bisnis internal hanya sedikit terjadi perbedaan dari 88.8% dan 60.74% menjadi 82% dan 57.9%. Tabel 22. Hasil pengukuran kinerja klaster industri rumput laut di Jawa Timur dengan model scoring board final
Kinerja Kunci dan indikator kinerja
Bobot relatif
Bobot Normal
Target
Score
Capaian
Relatif
Absolut
Kinerja Komprehensif Klaster Kinerja Sosial 1 Indeks CSR (Corporate Social Responsibility) 2 Keanggotaan klaster Kinerja Lingkungan 1 Indeks CER (Corporate Environment Responsibility) Kinerja Ekonomi 1 Keuntungan Klaster 2 Indeks RCA (Revealed Comparative Advantage) 3 Market Performance Kinerja Proses Bisnis Internal 1 Output standar 2 Nilai Rendemen 3 Indeks kepuasan pelanggan atas produk Produktivitas 4 petani/nelayan/petambak
0.166404
7.7%
46.2%
0.1237 0.0223
0.8471587 0.1528413 0.155004
4 4
2 1
42.4% 3.8% 3.88%
50.0% 25.0% 25%
0.0515
1 0.343577 0.548292
4
1
100%
113%
25% 28.3% 62.1%
25% 82% 113% 54.0% 33.3% 57.9% 53% 80%
0.0541 0.0243 0.0203
4 100%
2.16 33%
0.0328 0.0520
0.2456972 0.2060108 0.318294 0.1481026 0.235095
75 100%
40 80%
13.3% 6.9% 18.4% 7.9% 18.8%
0.0626
0.2830779
4
3
21.2%
75%
0.0738
0.3337244
150
45
10.0%
30%
Dalam upaya meningkatkan efisiensi dan efektivitas sebuah sistem pengukuran kinerja maka perlu dirancang sebuah Sistem Penunjang Keputusan (SPK)
yang
lebih
fleksibel
dan
mudah
digunakan
sehingga
mampu
mengakomodasi kebutuhan manajerial untuk pengembangan klaster agroindustri hasil laut ke depan dalam bentuk perangkat lunak.
Implementasi SPK dalam Pengukuran Kinerja Klaster SPK dirancang untuk memudahkan dalam operasionalisasi penerapan model pengukuran kinerja komprehensif klaster. Menu utama SPK terdiri dari database, model base, knowledge base, scoring board dan simulasi. Semua data dan informasi yang diperlukan disimpan dalam satu database di dalam SPK dan disediakan fasilitas untuk memperbaiki dan memperbarui data sehingga data yang digunakan selalu data terkini. Pengguna harus terlebih dulu melakukan login dengan user name dan password yang sudah diinformasikan dalam sistem, hal ini
136 dilakukan sebagai bentuk sekuritas sistem dan untuk mengantisipasi adanya pihak-pihak lain yang tidak berkepentingan masuk dalam sistem.
Gambar 59 Proses login pada SPK C-Promeas Sistem database dirancang untuk dapat memelihara dan mengelola data dengan baik dan mudah. Sub menu database terdiri dari empat basis data yang disertai sistem perubahan yaitu ; (1) capaian indikator kinerja pelaku industri anggota klaster, (2) nilai bobot kriteria dan indikator kinerja, (3) batasan kategori/status kinerja klaster dan (4) nilai fuzzy infrastruktur. Sementara itu dua basis data lainnya adalah kumpulan informasi yang bersifat statis. Adapun tampilan sub menu database dalam SPK dapat dilihat pada Gambar 60.
Gambar 60 Tampilan sub menu database interaktif dalam SPK
137 Data capaian indikator kinerja pelaku industri anggota klaster dapat dimasukkan dan disimpan dalam database, di samping juga disediakan fasilitas untuk mengganti data yang baru maupun menghapus data jika sudah tidak diperlukan. Perubahan ini akan langsung direspon oleh sub menu scoring board untuk serentak melakukan perubahan perhitungan skor kinerja dan penetapan status kinerja komprehensif klaster. Salah satu tampilan data nilai bobot kriteria dapat dilihat pada Gambar 61. Sub menu model base memuat beberapa model penilaian kriteria diantaranya expert choice 2000, electre II dan perhitungan logika fuzzy dengan metode center of gravity. Keberadaan model ini disiapkan untuk keperluan jika suatu saat akan ada kebutuhan untuk merubah kriteria-kriteria sehingga memerlukan penilaian pakar lagi. Sementara data hasil pengolahan dari ketiga model tersebut untuk SPK saat ini disimpan dalam sub menu database. Dalam operasionalnya penggunaan model ini lagi hanya akan dilakukan jika terjadi suatu perubahan lingkungan yang signifikan sehingga muncul kriteria-kriteria baru dalam menentukan kinerja klaster atau ada perubahan persepsi pakar terhadap kondisi yang ada.
Gambar 61 Tampilan data nilai bobot sesuai dengan struktur hirarki
138 Beberapa informasi yang diperoleh berdasarkan penggalian pendapat pakar secara kualitatif disimpan secara rapi di dalam sub menu knowledge base. Sub menu ini mengandung sejumlah informasi yang diperoleh dari pakar untuk digunakan sebagai umpan balik maupun pertimbangan-pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Sub menu terdiri dari informasi pakar mengenai rekomendasi perbaikan kinerja klaster, model berlian Porter, diagram lingkar sebab akibat dan diagram input output. Khusus untuk sub menu rekomendasi dihubungkan dengan sub menu scoring board karena untuk menentukan umpan balik kinerja klaster yang akan diuraikan lebih lengkap pada bagian pembahasan. SPK C-Promeas juga memberikan fasilitas utama untuk pengolahan semua data empiris capaian indikator kinerja kunci dan pendapat pakar yang hasilnya ditampilkan dalam bentuk scoring board sesuai dengan nama sub menunya. Pada sub menu ini, pengguna bisa melihat hasil pengukuran kinerja secara parsial dalam bentuk skor pada setiap aspek dan indikator kinerja kunci serta dalam bentuk status atau kategori (baik, sedang dan kurang) untuk kinerja komprehensif klaster agroindustri hasil laut yang diukur. Di samping itu, pada sub menu ini pengguna dapat melihat rekomendasi pakar terhadap capaian skor kinerja parsial dan status kinerja komprehesif berdasarkan status. Pada bagian akhir SPK ini dapat dibuka sub menu simulation yang didisain untuk melihat beberapa dampak perubahan lingkungan terhadap kinerja klaster agroindustri hasil laut. Adapun petunjuk penggunaan SPK C-Promeas dapat dilihat pada lampiran.
Peramalan Indikator Kinerja Gambaran kondisi ke depan dapat menjadi deteksi dini bagi keberlanjutan sebuah sistem klaster industri hasil laut khususnya teri nasi. Keberlanjutan klaster industri di antaranya dapat dilihat dari dua sisi baik internal maupun eksternal. Sisi internal dapat diwakili oleh sejumlah indikator kinerja kunci yang dominan dipengaruhi oleh internal proses di dalam sistem klaster, sementara sisi eksternal lebih diwakili oleh beberapa indikator yang sebenarnya dominan dipengaruhi oleh faktor eksternal, misalnya kondisi pasar, nilai dolar, kebijakan pemerintah ataupun faktor lain yang berada di luar sistem klaster industri. Pada kasus sistem klaster industri hasil laut dan dengan melihat hasil eksplorasi sejumlah indikator kinerja kunci yang telah ditetapkan di atas, maka indikator total penjualan merupakan salah satu indikator kinerja kunci yang sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal. Di samping itu, untuk melihat kinerja lebih
139 konkrit yaitu omset penjualan klaster, maka perlu diperhatikan satu indikator lagi yang sangat berpengaruh yaitu harga jual produk. Pada penelitian ini peramalan kedua indikator kinerja di atas akan dilakukan untuk klaster industri teri nasi, yang hasilnya akan dijadikan sebagai gambaran apakah ada kemungkinan peningkatan kinerja terjadi pada kedua indikator yang sebenarnya lebih banyak dipengaruhi oleh faktor eksternal sistem. Peramalan total penjualan dilakukan pada sistem klaster teri nasi khususnya untuk ekspor (karena dominasi di pasar ekspor (90%). Karena model pengukuran kinerja yang dirancang dalam format SPK (Sistem Penunjang Keputusan) tidak dilengkapi dengan fasilitas peramalan indikator kinerja karena hanya bersifat sebagai pendukung dan juga tidak semua indikator kinerja yang diukur memiliki data historis, maka peramalan dilakukan di luar sistem SPK, namun hasilnya dapat ditampilkan pada sub menu hasil simulasi pada bangunan SPK. Sesuai dengan pemilihan model peramalan yang memberikan hasil paling akurat berdasarkan data historis penjualan klaster yang dilakukan pada bagian sebelumnya, maka model dekomposisi dapat dipercaya untuk digunakan dalam peramalan total penjualan ini. Model dekomposisi ini merupakan salah satu model peramalan deret waktu yang memperhatikan beberapa faktor diantaranya kecenderungan, musiman, siklik dan tidak teratur (error). Peramalan dilakukan dengan bantuan perangkat lunak Minitab versi terbaru (2005). Adapun hasil peramalan total penjualan teri nasi di Jawa Timur untuk 12 periode bulanan ke depan dapat ditampilkan pada Tabel 23. Berdasarkan hasil peramalan, dapat dilihat bahwa meskipun terjadi kenaikan total penjualan pada setiap periode berikutnya, namun tidak cukup signifikan sehingga peningkatan kinerja klaster industri teri nasi tidak bisa mengandalkan dari sisi peningkatan penjualan karena nilai yang cenderung statis. Namun demikian hal ini masih mungkin dilakukan jika diketahui bahwa ada kenaikan harga jual produk yang cukup signifikan dari sistem klaster industri teri nasi, oleh karena itu perlu dilihat kecenderungan indikator lain yang relevan dengan total penjualan.
140 Tabel 23 Hasil peramalan penjualan teri nasi di Jawa Timur dengan model dekomposisi untuk periode tahun 2007 Bulan
Total Penjualan (kg)
Januari
208 901
Februari
209 406
Maret
209 911
April
210 415
Mei
210 920
Juni
211 425
Juli
211 929
Agustus
212 434
September
212 939
Oktober
213 443
November
213 948
Desember
214 453
Nilai penjualan (omset) ditentukan oleh dua indikator yaitu jumlah penjualan dan harga jual dari produk, sehingga untuk lebih lengkap informasi prediksi indikator kinerja omset penjualan perlu dilakukan prediksi harga jual teri nasi pada periode mendatang. Prediksi harga jual produk teri nasi di pasar ekspor dilakukan dengan menggunakan Jaringan Saraf Tiruan (JST) seperti telah diuraikan pada bagian sebelumnya. Metode JST ini digunakan dengan alasan karena adanya beberapa faktor yang dianggap berpengaruh tapi tidak memiliki keteraturan pola/distribusi sehingga tidak valid jika digunakan model-model time series maupun model regresi yang pada umumnya digunakan untuk peramalan. Beberapa faktor yang dianggap berpengaruh dalam menentukan harga jual ekspor produk teri nasi, di samping jumlah produk teri nasi yang dihasilkan oleh klaster industri juga sangat dipengaruhi oleh produksi dan harga jual dari pesaing sejenis serta pola musiman yang diduga mempengaruhi jumlah produksi dan harga. Berdasarkan hasil observasi di lapangan dan hasil DKT dengan sejumlah nelayan dan usaha lepas pantai (pasca panen) teri nasi diperoleh informasi bahwa bahan baku teri nasi bersifat musiman, maka diperoleh data harga jual produk teri nasi pada beberapa negara tujuan ekspor pada satu tahun terakhir (2006) dengan jenis musimnya sebagai berikut :
141 Tabel 24 Harga ekspor teri nasi berdasarkan faktor musiman
Bulan
Harga Jual (US$)
Harga Jual KOR
THA
CHN
INA
Januari
Peak
9.15
9.05
9.05
9.25
Februari
Med
8.99
8.89
9.05
9.09
Maret
Med
8.58
8.48
9.05
8.68
April
Med
9.05
8.95
9.05
9.15
Mei
Med
8.68
8.58
9.05
8.78
Juni
Med
9.03
8.93
9.05
9.13
Juli
Med
9.15
9.05
9.05
9.25
Agustus
Low
9.8
9.7
9.05
9.9
September
Low
10
9.9
9.05
10.1
Oktober
Low
9.88
9.78
9.05
9.98
November
Peak
9.15
9.05
9.05
9.25
Desember
Peak
8.91
8.81
9.05
9.01
Sumber : Notulen FGD, 2005 ; dokumentasi PT.ICS, 2006 Dari data harga seperti yang ada pada tabel di atas dilakukan peramalan dengan menggunakan metode JST, dengan memakai parameter-parameter bulan, musim panen (peak, medium, dan low). Langkah pertama adalah proses pelatihan (training) sistem untuk mengenali pola yang terbentuk pada data historis yang dimaksud, selanjutnya setelah didapatkan pola dari data historis sistem telah siap untuk melakukan peramalan. Berikut adalah hasil dari peramalan dengan menggunakan metode JST:
US$ Aktual dan Hasil peramalan
10,28 10,08 9,88 9,68 9,48
Aktual
9,28
Hasil Peramalan
9,08 8,88 8,68 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Bulan
Gambar 62 Grafik peramalan harga ekspor teri nasi untuk 12 periode ke depan dengan menggunakan Jaringan Saraf Tiruan (JST) (Tahun 2007)
142 Dengan menggunakan JST sebenarnya peramalan dapat dilakukan dengan tingkat akurasi tinggi jika jumlah data untuk input JST sedikitnya berjumlah tiga kali jumlah data yang akan diramal. Namun JST juga mampu meramal dengan jumlah data kurang dari batasan tersebut dengan catatan tingkat akurasi dan variasi hasil ramalan tidak sebesar jika data historisnya besar. Untuk peramalan harga teri nasi ini, hasil peramalan yang dihasilkan ternyata memiliki tingkat akurasi tinggi. Hal ini ditunjukkan dari hasil peramalan, Gambar 63 menunjukkan kesesuaian antara data aktual dengan data hasil peramalan. Yang memiliki simpangan tidak lebih dari 0.06639.
Musim Peak Med Med Med Med Med Med Low Low Low Peak Peak
KOR 9.15 8.99 8.58 9.05 8.68 9.03 9.15 9.8 10 9.88 9.15 8.91
Input
THA 9.05 8.89 8.48 8.95 8.58 8.93 9.05 9.7 9.9 9.78 9.05 8.81
Target CHN 9.05 9.05 9.05 9.05 9.05 9.05 9.05 9.05 9.05 9.05 9.05 9.05
Output
INA
Forecast Abs. Error
9.25 9.09 8.68 9.15 8.78 9.13 9.25 9.9 10.1 9.98 9.25 9.01
9.2501293 0.0001292 9.0585722 -0.031428 8.69066261 0.0106626 9.1364827 -0.013517 8.753516 -0.026484 9.10995565 -0.020044 9.2756944 0.0256944 9.9216848 0.0216848 10.073378 -0.026621 9.9906492 0.0106492 9.2501293 0.0001293 8.9436131 -0.06639
Rel. Error 0.00% 0.35% 0.12% 0.15% 0.30% 0.22% 0.28% 0.22% 0.26% 0.11% 0.00% 0.74%
Gambar 63 Hasil peramalan harga teri nasi dengan menggunakan JST Dari hasil pengolahan data dengan JST juga dapat menunjukkan parameterparameter yang berpengaruh pada pergerakan harga jual teri nasi, Gambar 62 menunjukkan
tingkat
kepentingan
masing-masing
parameter.
Berdasarkan
gambar tersebut, dapat dilihat bahwa dari beberapa faktor yang digunakan dalam peramalan tiga di antaranya yaitu harga jual teri nasi oleh Negara Thailand, harga jual negara Korea dan faktor musiman memiliki pengaruh terhadap hasil yang diperoleh. Dua parameter pertama memiliki pengaruh yang signifikan terhadap harga jual teri nasi dari Indonesia secara berturut-turut adalah Thailand (53.89%) dan negara Korea (43.47%), sementara faktor musiman tidak secara signifikan berpengaruh pada harga jual teri nasi dengan nilai pengaruh 2.649%. Harga dari China tidak memberikan pengaruh karena harga dari China adalah harga statis
143 yang tidak bergerak dari waktu ke waktu. Musim panen pun demikian tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap harga jual teri nasi dari Indonesia.
Faktor Input
Harga jual Thailand Thailand
53.887%
Harga jual Korea Korea
Perubahan Musim musim
0%
43.465%
2.649%
20%
40%
60%
80%
100%
Tingkat pengaruh
Gambar 64 Tingkat pengaruh beberapa parameter pada hasil peramalan harga teri nasi Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa dari hasil peramalan harga jual dengan metode JST, menunjukkan tidak ada kecenderungan kenaikan harga jual dan harga cenderung statis.
PEMBAHASAN Pada bagian ini akan dilakukan pembahasan terhadap beberapa hal penting yang dijumpai selama proses penelitian hingga direkomendasikannya sebuah
model
pengukuran
kinerja
komprehensif
dalam
bentuk
Sistem
Penunjang Keputusan C-PROMEAS. Efisiensi melalui pemilihan metode pengolahan data dan evaluasi hasil serta kontribusi penelitian terhadap berbagai aspek riil di sektor industri maupun kebijakan akan diuraikan pada bagian ini secara rinci.
Efisiensi Pengolahan Data melalui Integrasi Metode Electre II dengan Proses Hirarki Analitik (PHA) Pada penelitian ini implementasi beberapa metode dilakukan secara terpisah berdasarkan tujuan masing-masing. Misalnya metode fuzzy untuk mengolah data penilaian pakar terhadap dukungan infrastruktur. Sementara itu untuk penilaian kriteria dan sub kriteria digunakan metode PHA dan terakhir metode Electre II untuk penilaian alternatif Indikator Kinerja Kunci. Metode AHP sebenarnya mampu digunakan untuk menilai secara keseluruhan secara serentak semua kriteria, sub kriteria dan seluruh alternatif Indikator Kinerja Kunci (IKK). Namun prosedur perbandingan berpasangan yang harus ditempuh mengharuskan pakar melakukan penilaian yang melelahkan, sehingga dikhawatirkan bisa menimbulkan bias penilaian. Oleh karena itu pada level terakhir yaitu penilaian IKK akan digunakan metode Electre II. Karena pada hakikatnya alternatif IKK merupakan satu kesatuan dalam struktur PHA, maka untuk finalisasi hasil perlu dilakukan penyesuaian dengan hasil penilaian PHA pada level-level di atasnya. Prosedur ini dapat dilihat pada rekapitulasi pembobotan seluruh level struktur hirarki pada perangkan lunak C-PROMEAS. Argumentasi utama pengambilan langkah integrasi metode PHA dengan metode Electre II adalah efisiensi penilaian. Hal ini
dapat diperlihatkan dari
penurunan jumlah penilaian perbandingan berpasangan yang harus dilakukan dari: ( C 25 xC 24 ) + C 23 + C 22 + C 24 + C 24 + C 23 + C 22 + C 23 + C 23 + C 22 + C 22 + C 23 + C 23 + C 266 = 2239
145 atau paling sedikit dari : ( C 25 xC 24 ) + C 23 + C 22 + C 24 + C 24 + C 23 + C 22 + C 23 + C 23 + C 22 + C 22 + C 23 + C 23 + ( 9 C 22 + 8 C 23 + 4 C 24 + C 26 ) = 166
kali penilaian menjadi : ( C 25 xC 24 ) + C 23 + C 22 + C 24 + C 24 + C 23 + C 22 + C 23 + C 23 + C 22 + C 22 + C 23 + C 23 = 94
atau sebanyak 94 kali penilaian perbandingan berpasangan. Dari perbedaan jumlah di atas, dapat dilihat bahwa reduksi penilaian berpasangan diperoleh sebanyak maksimum C 266 kali =
66 ! = 2145 2 !64 !
penilaian atau minimum : 9 2 ! + 8 3 ! + 4 4 ! + 6 ! = 72 2 !0 !
2 !1!
2 !2 !
kali
kali penilaian.
2 !4 !
Sementara itu jika dikombinasikan dengan penilaian prioritas IKK dengan metode Electre II, maka akan didapat reduksi dari menjadi 66 penilaian. Efisiensi tersebut cukup signifikan sehingga dapat direkomendasikan untuk diimplementasikan. Integrasi hasil penilaian dengan metode PHA dan metode Electre II dilakukan untuk menghasilkan nilai bobot absolut dari setiap IKK yang dinilai. Nilai absolut atau nilai bobot agregat ini selanjutnya yang menentukan prioritas dan IKK terpilih yang akan digunakan dalam model sistem pengukuran kinerja komprehensif yang dibangun. Secara matematis dapat dibuktikan bahwa penilaian dengan metode Electre II tetap menjamin kebebasan linier dari setiap himpunan alternatif IKK. Pembuktian dapat dilakukan dengan dalil bahwa sekumpulan vektor-vektor a1, k
a2, .... ak berdimensi n dikatakan bebas linier jika
∑
λ j a j = 0 jika dan hanya
j =1
jika λ
j
= 0 untuk j = 1, 2, ..., k. Pembuktian ini diperlukan karena setiap kriteria
yang diperbandingkan dengan metode PHA harus bebas linier namun memungkinkan mutually exclusive, sehingga integrasi metode Electre II ke dalam metode PHA dapat diterima.
146 Analisis Model Pengukuran Kinerja Komprehensif Klaster Perancangan model pengukuran kinerja komprehensif klaster agroindustri hasil laut yang didasarkan pada metodologi yang telah dikemukakan di depan memberikan beberapa konsekuensi baik secara proses maupun hasil. Pemilihan berbagai kriteria yang dipertimbangkan berdasarkan pendapat pakar dan teknik pembobotan atau prioritasisasi menyebabkan tidak semua kriteria yang harus dipertimbangkan dapat diwakili oleh indikator kinerja kunci (IKK). Ketepatan pemilihan sangat ditentukan oleh kemampuan pakar dalam melakukan penilaian. Namun demikian, untuk menjamin keterwakilan setiap kriteria dari setiap aspek dan pelaku klaster telah diupayakan melalui mekanisme pemilihan indikator kinerja kunci yang telah diuraikan pada bagian pengembangan model. Jaminan bahwa model yang dihasilkan merupakan model pengukuran kinerja komprehensif diberikan oleh dipertimbangkannya semua aspek kinerja klaster yang terdiri dari aspek sosial, lingkungan, ekonomi dan proses bisnis internal. Identifikasi kriteria dan sub kriteria didasarkan dari setiap aspek yang dikaji yang dilanjutkan dengan proses derivasi menjadi sejumlah indikator kinerja yang merupakan alternatif indikator kinerja kunci yang akan ditentukan pada proses berikutnya. Semua aspek klaster harus dapat diwakili oleh sejumlah IKK yang dianggap penting dalam menentukan kinerja sebuah klaster agroindustri hasil laut. Tingkat kepentingan dari IKK tersebut didasarkan pada nilai bobot dari setiap IKK dan keterwakilannya terhadap pelaku klaster agroindustri hasil laut. Model pengukuran kinerja komprehensif didisain seefektif dan efisien mungkin, sehingga di samping hasil pengukuran yang diperoleh dapat merepresentasikan kinerja yang sebenarnya juga dapat diterapkan di lapangan secara mudah dan sederhana. Kriteria ini telah terpenuhi melalui uji coba model baik melalui tahap verifikasi maupun validasi seperti telah diuraikan secara rinci pada bagian sebelumnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa model telah memenuhi persyaratan untuk diterapkan dalam pengukuran kinerja komprehensif sebuah klaster agroindustri hasil laut. IKK
kinerja
komprehensif
klaster
yang
dihasilkan
lebih
dominan
merepresentasikan pelaku berdasarkan rantai produksi dari hulu sampai ke hilir diantaranya usaha penangkapan ikan (nelayan) dan budi daya rumput laut (petambak), agroindustri level I (usaha lepas pantai dan pasca panen) dan agroindustri level II dan III (industri pengolahan). Sementara itu kepentingan
147 industri pendukung dan institusi terkait kecuali pemerintah masih kurang terwakili dikarenakan tidak terpilih setelah melalui beberapa tahapan pemilihan. Disadari bahwa kelembagaan klaster dan fungsi serta peran dari setiap komponen pelaku klaster yang ada di dalamnya sangat menentukan keberhasilan pengembangan klaster, maka dilakukan elaborasi terpisah melalui brainstorming dengan pakar dan praktisi untuk mendapatkan informasi dukungan apa yang diperlukan dari setiap elemen tersebut. Adapun rekapitulasi kebutuhan dukungan dari elemen klaster agroindustri hasil laut lainnya dapat disajikan dalam bentuk tabel berikut : Tabel 25 Dukungan dari pelaku klaster dalam pengembangan klaster agroindustri hasil laut No 1
Pelaku Klaster Pemerintah
Dukungan untuk pengembangan klaster Membuat kebijakan yang mendukung peningkatan daya saing industri hasil laut Birokrasi yang mudah dan membantu semua komponen dalam industri hasil laut Ikut memberikan fasilitas peralatan maupun pendanaan usaha penangkapan ikan (nelayan) dan level I (usaha lepas pantai/pasca panen) Memfasilitasi peralatan laboratorium yang diperlukan sesuai standar internasional/negara tujuan Turut berperan aktif secara Government to Government bila ada masalah dengan negara tujuan ekspor Berperan aktif dalam penyelesaian masalah standarisasi kualitas produk dengan negara tujuan (misalnya dengan Jepang dan Uni Eropa dalam masalah antibiotik) Penyediaan fasilitas laboratorium (alat dan bahan) untuk pengujian-pengujian yang disyaratkan oleh negara tujuan (analisa antibiotik, cloraphenicol, dll) Perlunya skema pendanaan bergulir untuk para nelayan dan usaha pasca panen (tangkap) yang bekerjasama dengan industri terkait
2
3
Agroindustri level Kepedulian kepada lingkungan sekitar, baik masyarakat dan lingkungan II dan III (Industri Meningkatkan kapasitas industri dengan kualitas yang baik, sehingga menambah Pengolahan) permintaan untuk sektor hulu Menjaga kualitas produk agar sesuai dengan yang diinginkan pembeli Membina nelayan dan usaha pasca panen (lepas pantai) dalam penanganan b h b yang k Agroindustri Level Kualitas baik sebagai bahan baku industri dengan harga yang sesuai I (usaha lepas Menjadi penghubung yang baik dari hulu ke hilir pantai (pasca Menjamin stabilitas pasokan dan kualitas bahan baku panen) Memberi pembinaan kepada nelayan tentang penanganan bahan baku yang benar agar kualitas tetap terjaga
4
Nelayan/ Petambak
Menjamin suplai bahan baku yang baik (segar dan kualitas bagus) Menjaga agar pasokan bisa stabil dan kontinyu Menjaga kualitas agar sesuai dengan yang disyaratkan industri
5
Industri Terkait lainnya
Terbangun kerjasama pengadaan mesin, alat dan bahan pendukung yang saling menguntungkan (kapal, mesin kapal, jaring ikan, es batu, blung dan kebutuhan lainnya yang mendukung) Menyediakan mesin, alat dan bahan pendukung yang berkualitas dengan harga yang terjangkau oleh seluruh pelaku industri pada setiap level di agroindustri hasil laut
148 Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya (Partiwi dan Marimin, 2005) tentang penentuan model pengembangan klaster industri yang relevan diterapkan di Jawa Timur khususnya, diperoleh hasil bahwa keberhasilan klaster industri masih sangat ditentukan oleh fasilitasi pemerintah sebagai institusi pendukung dalam klaster industri. Oleh karena itu pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah memiliki peran yang sangat penting dalam pengembangan sebuah klaster industri. Jika dilihat dari dukungan yang diperlukan dari pemerintah pada tabel di atas, maka dukungan kebijakan merupakan salah satu yang diprioritaskan. Dari hasil diskusi yang dilakukan, beberapa kebijakan yang perlu selalu disesuaikan dengan kebutuhan klaster agroindustri hasil laut secara spesifik
adalah
kebijakan
perpajakan,
kepabeanan
dan
perdagangan.
Sinkronisasi kebijakan pemerintah antar departemen dan antara pusat dan daerah juga perlu dilakukan untuk lebih memudahkan operasionalisasi industri pengolahan hasil laut. Model pengukuran kinerja komprehensif klaster agroindustri hasil laut bersifat generik untuk agroindustri hasil laut, meskipun verifikasi dilakukan hanya pada dua klaster agroindustri hasil laut yaitu industri teri nasi dan rumput laut di Jawa Timur. Indikator kinerja kunci yang terpilih merupakan hasil derivasi dari sejumlah aspek klaster pada kriteria dan sub kriteria yang telah ditentukan, sehingga dapat dijamin tingkat generalisasinya untuk agroindustr hasil laut. Pemilihan dua jenis klaster contoh untuk verifikasi model dimaksudkan untuk menguji model apakah model dapat diaplikasikan, pemilihan jenis industri ini juga didasarkan pada argumentasi bahwa kedua jenis industri tersebut relatif telah memiliki sebagian dari karakteristik klaster industri secara konseptual. Aplikasi model pada klaster agroindustri hasil laut jenis lainnya misalnya klaster agroindustri ikan tuna, klaster agroindustri udang dan lainnya, tetap dapat dilakukan menggunakan model hasil rancangan. Beberapa hal perlu diperhatikan dalam aplikasi model pada setiap jenis klaster yang berbeda yaitu pada penentuan target setiap indikator kinerja kunci maupun dalam melihat peluang perlunya indikator kinerja tambahan yang dianggap penting. Target yang ingin dicapai akan digunakan sebagai basis scoring, oleh karena itu harus ditetapkan dengan sangat hati-hati dan akurat berdasarkan ketentuan yang akan diuraikan pada bagian lain. Penentuan target pada setiap jenis klaster industri akan sangat bervariasi tergantung karakteristik sistem yang dimiliki oleh klaster tersebut. Di samping penentuan target, juga dimungkinkan untuk menggunakan indikator-
149 indikator tambahan yang dianggap penting dalam merepresentasikan kinerja sebuah sistem klaster agroindustri hasil laut yang dievaluasi kinerjanya melalui sebuah mekanisme tertentu. Model pengukuran kinerja komprehensif yang dihasilkan merupakan model yang diimplementasikan dalam tataran taktis untuk mendukung pengambilan keputusan operasional, dimana pendekatan yang lebih dominan digunakan Hard System Methodology (AHP dan Electre).
Pengguna yang relevan dalam
kelembagaan klaster adalah kelompok kerja (Working Group Klaster) yang mewakili seluruh stakeholder klaster agroindustri hasil laut di antaranya adalah Direktur Agroindustri (pelaku agroindustri level I, II dan III), ketua kelompok nelayan dan petambak (usaha penangkapan dan budidaya), dari institusi pendukung yaitu para Direktur (Eselon II) di Departemen Pemerintah terkait di Tingkat Pusat (DKP, Deprin, Depkeu dan Depdag), Kepala Dinas di Departemen Terkait di Tingkat Propinsi dan Kabupaten/Kota, Kepala Bidang terkait di Bappeda di Tingkat Propinsi dan Kabupaten/Kota. Dalam menjaga keberlanjutan sebuah klaster agroindustri hasil laut, diperlukan kajian lebih lanjut yang dapat memberikan dukungan pada keputusan yang lebih bersifat direktif dan strategis melalui penelitian-penelitian analisis kebijakan. Untuk tujuan tersebut penelitan dapat kembangkan lebih lanjut dengan menggunakan pendekatan lain yang salah satunya adalah Soft System Methodology. Dari penelitian lanjutan ini nantinya akan diperoleh alternatif dukungan kebijakan yang bersifat sinergi dan sesuai dengan fungsi dan peran pemerintah dan elemen klaster lainnya sehingga dapat melengkapi kajian klaster dalam berbagai tingkatan berdasarkan piramida pengambilan keputusan. Hasil penelitian analisis kebijakan selanjutnya akan dapat membantu pada tingkat pengambilan keputusan tertinggi di berbagai tingkat pemerintahan (Eselon I, Gubernur dan Bupati). Di samping itu kajian klaster agroindustri harus tetap memperhatikan karakteristik agroindustri yang memiliki perbedaan cukup signifikan dengan industri jenis lainnya. Beberapa karakteristik spesifik yang dimiliki oleh agroindustri diantaranya adalah bahan baku yang bersifat mudah rusak (perishable), musiman (seasonal) dan beragam (variability), kondisi ini menunjukkan bahwa perlu ada perlakuan dan perhatian yang lebih pada agroindustri.
150 Evaluasi Capaian Kinerja Komprehensif Klaster Agroindustri Hasil Laut di Jawa Timur Kinerja komprehensif klaster yang dapat direpresentasikan oleh nilai kinerja total yang merupakan agregasi dari empat nilai kinerja aspek utama klaster industri.
Berdasarkan
dari
scoring
board
yang
telah
dihasilkan
pada
implementasi model di klaster industri teri nasi dan rumput laut di Jawa Timur diperoleh nilai kinerja komprehensif berturut-turut 62.45% dan 58% dengan status kinerja cukup baik. Dari hasil penilaian pakar dalam penentuan bobot semua komponen pada setiap level hirarki pembentuk kinerja komprehensif klaster industri hasil laut diperoleh nilai bobot yang bervariasi untuk keempat aspek yang disebutkan, hal ini menunjukkan bahwa setiap aspek dalam klaster mempunyai kontribusi komprehensif yang bervariasi tergantung pada nilai bobot, target yang ditetapkan dan capaian dari setiap kinerja parsialnya. Dengan demikian jika dilihat kontribusi kinerja parsial aspek klaster industri terhadap kinerja komprehensif klaster industri hasil laut khususnya teri nasi dan rumput laut dapat dilihat dari rekapitulasi yang disajikan pada tabel berikut : Tabel 26 Kontribusi setiap aspek pada kinerja komprehensif klaster industri teri nasi No 1 2 3 4
Aspek
Bobot absolut 0.166404 0.155004 0.343577 0.318294
Kinerja aspek
Sosial 67.4% Lingkungan 25% Ekonomi 76.7% 66.0% Proses Bisnis Internal Total Pada saat ini klaster industri teri nasi memiliki
Kontribusi pada kinerja komprehensif 0.112 0.039 0.264 0.210 0.625 kinerja komprehensif 62.5%
yang berarti telah memenuhi 62.5 % dari yang telah ditargetkan baik dari aspek sosial, lingkungan, ekonomi maupun proses bisnis internal dengan kontributor terbesar ada pada aspek ekonomi. Dari fenomena ini dapat dilihat bahwa pelaku industri pada klaster telah memiliki kompetensi yang bagus dari sisi ekonomi dan proses bisnis internal, namun belum diimbangi dengan aspek lainnya secara signifikan khususnya aspek lingkungan. Beberapa indikator kinerja yang dijadikan tolok ukur keberhasilan pada aspek ini ternyata belum mendapatkan perhatian yang cukup di antaranya adalah sertifikasi kategori kepedulian lingkungan. Namun demikian berdasarkan interview dengan responden praktisi
151 industri, banyak perusahaan telah mengupayakan untuk mendapatkan sertifikat tersebut. Capaian kinerja komprehensif klaster industri rumput laut meskipun berada pada status yang sama dengan klaster industri teri nasi, namun memiliki variasi yang berbeda pada setiap capaian kinerja parsial dan indikator kinerjanya. Secara parsial kontribusi kinerja setiap aspek klaster industri terhadap kinerja komprehensif klaster agroindustri rumput laut dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 27 Kontribusi setiap aspek pada kinerja komprehensif klaster industri rumput laut
No 1 2 3 4
Aspek Sosial Lingkungan Ekonomi Proses Bisnis Internal Total
Bobot absolut 0.166404 0.155004 0.343577 0.318294
Kinerja aspek 46.2% 25.0% 82.0% 57.9%
Kontribusi pada kinerja komprehensif 0.077 0.039 0.283 0.184 0.583
Meskipun nilai numerik capaian kinerja komprehensif klaster relatif sama bahkan sedikit lebih kecil, namun klaster industri rumput laut memiliki capaian kinerja ekonomi yang sangat tinggi yaitu 82% atau telah memenuhi 82% dari target yang ditetapkan dengan capaian tertinggi pada indikator kinerja kunci keuntungan klaster yaitu sebesar 113%. Penentuan Status Kinerja Klaster Industri Model pengukuran kinerja komprehensif dirancang untuk bisa menampilkan capaian kinerja klaster industri hasil laut baik secara numerik maupun status linguistik. Status kinerja dikelompokkan dalam tiga kategori yang secara linguistik dinamakan Baik, Cukup dan Kurang. Penetapan status berdasarkan nilai numerik telah dikemukakan sebelumnya melalui batasan-batasan nilai capaian dari masing-masing indikator kinerja kunci, kinerja parsial (aspek) maupun kinerja komprehensif. Penentuan status secara mutlak didasarkan pada batasan nilai numerik dapat diberlakukan untuk indikator kinerja kunci maupun kinerja parsial (aspek), namun hal ini tidak relevan jika diterapkan untuk penentuan status kinerja komprehensif. Hal ini dikarenakan ada kemungkinan dijumpai satu kondisi, di mana nilai capaian kinerja komprehensif secara numerik masuk
152 kategori Baik, namun jika didisagregasi ke kinerja per aspeknya terdapat aspek yang memiliki kinerja sangat kecil atau bahkan bisa bernilai nol. Kondisi ini tentu saja tidak menunjukkan suatu kinerja yang baik, karena dalam sebuah sistem klaster industri ada tuntutan untuk baik pada semua aspek yaitu aspek sosial, lingkungan, ekonomi dan proses bisnis internal. Antisipasi untuk kondisi nilai kinerja parsial yang tidak seimbang khususnya dalam penentuan status kinerja komprehensif sebuah klaster dapat dilakukan dengan memberikan aturan tambahan dengan memperhatikan capaian pada setiap kinerja aspek klaster. Idealnya aturan tambahan ini ditentukan oleh keputusan bersama dalam Working Group (kelompok kerja) klaster. Pada model pengukuran kinerja klaster industri hasil laut ini telah dibuat rule (aturan) dalam penentuan status kinerja komprehensif seperti pada Tabel 28. Tabel 28 Aturan dalam penentuan status kinerja komprehensif klaster Status Kinerja Komprehensif Baik
Sedang
Buruk
Sosial Baik Sedang Sedang Baik Baik Baik Baik Sedang Sedang Sedang Baik Sedang Sedang Kurang (>0.25) Sedang Kurang (>0.25) Kurang (<=0.25) Sedang Kurang (<=0.25) Sedang Sedang Sedang Sedang Kurang Kurang Kurang Sedang Sedang Kurang Kurang
Kinerja Lingkungan Ekonomi Baik Sedang Baik Sedang Baik Baik Baik Baik Baik Baik Sedang Sedang Sedang Sedang Kurang (>0.25) Kurang (>0.25) Sedang Kurang (<=0.25) Kurang (<=0.25) Sedang Sedang Sedang Kurang Sedang Kurang Kurang Kurang Kurang Sedang Kurang
Baik Baik Baik Baik Sedang Baik Sedang Baik Sedang Sedang Sedang Sedang Baik Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Kurang Sedang Kurang Kurang Kurang Kurang Sedang Kurang Sedang Kurang Kurang
Proses Bisnis Internal Baik Baik Baik Baik Baik Sedang Sedang Sedang Baik Sedang Baik Baik Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Kurang Kurang Sedang Kurang Kurang Sedang Kurang Sedang Kurang Sedang Kurang
153 Dengan mengacu pada aturan di atas, maka dapat dihindari pernyataan status kinerja klaster komprehensif yang baik sementara status kinerja parsialnya ada yang bernilai ekstrim kurang. Misalnya pada impelementasi klaster industri hasil laut baik untuk industri teri nasi maupun industri rumput laut, meskipun keduanya memiliki nilai capaian kinerja komprehensif secara numerik masuk kategori Cukup Baik, namun jika dilihat secara parsial terdapat satu kinerja aspek yang kurang yaitu kinerja lingkungan dengan nilai 25%. Jika mengacu pada tabel aturan di atas, maka kinerja komprehensif klaster tidak bisa dinyatakan Cukup tetapi lebih buruk lagi yaitu masuk dalam kategori Kurang. Untuk selanjutnya aturan ini bisa direvisi berdasarkan keputusan bersama dengan alasan yang kuat. Penerapan penentuan status berdasarkan aturan yang telah dijelaskan di atas, memberikan konsekuensi terhadap representasi nilai kinerja komprehensif pada scoring board. Representasi dalam nilai numerik tidak konsisten lagi untuk digunakan dalam penentuan status kinerja komprehensif, karena dapat terjadi status yang dicapai tidak sesuai dengan nilai numerik dalam ketentuan batasan status. Representasi pada scoring board final akan berupa nilai kategori (baik, sedang dan kurang) tanpa harus menyertakan nilai numerik. Berdasarkan ketentuan di atas maka tampilan akhir scoring board kinerja komprehensif klaster untuk teri nasi dapat dilihat pada Tabel 29. Kinerja komprehensif klaster agroindustri teri nasi memiliki kategori kurang, hal ini dikarenakan tidak terpenuhinya batas kriteria yang ditentukan bahwa semua nilai kinerja parsial (aspek) klaster harus lebih besar dari 25 %, sementara dari hasil pengukuran ternyata salah satu kinerja parsial yaitu kinerja lingkungan memiliki capaian 25%. Dengan demikian nilai kinerja komprehensif dinyatakan berada pada kategori kurang yang berarti memerlukan perbaikan signifikan khususnya pada kinerja lingkungan. Hal yang sama juga terjadi pada hasil pengukuran kinerja komprehensif klaster agroindustri rumpul laut, di mana capaian kinerja komprehensifnya dinyatakan dalam kategori kurang karena ada satu kinerja parsial (aspek lingkungan) yang memiliki nilai 25 %.
154 Tabel 29 Status kinerja komprehensif klaster agroindustri teri nasi
Kinerja Kunci dan indikator kinerja
Bobot relatif
Bobot Normal
Target
Skor
Capaian
Relatif
Absolut
Kinerja Komprehensif Klaster Kinerja Sosial 1 Indeks CSR (Corporate Social Responsibility ) 2 Keanggotaan klaster Kinerja Lingkungan 1 Indeks CER (Corporate Environment Responsibility ) Kinerja Ekonomi 1 Keuntungan Klaster 2 Indeks RCA (Revealed Comparative Advantage ) 3 Kinerja Pasar (Market Performance ) Kinerja Proses Bisnis Internal 1 Output standar 2 Nilai Rendemen 3 Indeks kepuasan pelanggan atas produk 4 Produktivitas petani/nelayan/petambak
Status Kurang
0.166404
11.2%
67.4%
Cukup
0.1237 0.847159 0.0223 0.152841 0.155004
4 4
3 1
63.5% 3.8% 3.88%
75.0% 25.0% 25%
Cukup Kurang Kurang
0.0515
4
1
100%
94%
25% 26.4% 51.8%
25% 76.7% 94%
Kurang Baik Baik
54% 57% 66.0% 53% 107%
Cukup Cukup Cukup Cukup Baik
1 0.343577 0.0541 0.548292 0.0243 0.245697 0.0203 0.206011 0.318294 0.0328 0.148133 0.0519 0.234936
4 100%
2.16 57%
75 100%
40 107%
13.3% 11.7% 21.0% 7.9% 25.1%
0.0626 0.283137
4
3
21.2%
75%
Baik
0.0738 0.333794
12.5
4.4
11.7%
35%
Kurang
Sementara itu tabel hasil pengukuran kinerja komprehensif klaster agroindustri rumput laut dapat dilihat pada Tabel 30. Tabel 30 Status kinerja komprehensif klaster agroindustri rumput laut Kinerja Kunci dan indikator kinerja
Bobot relatif
Bobot Normal
Target
Skor
Capaian
Relatif
Absolut
Kinerja Komprehensif Klaster Kinerja Sosial 1 Indeks CSR (Corporate Social Responsibility) 2 Keanggotaan klaster Kinerja Lingkungan 1 Indeks CER (Corporate Environment Responsibility) Kinerja Ekonomi 1 Keuntungan Klaster 2 Indeks RCA (Revealed Comparative Advantage) 3 Market Performance Kinerja Proses Bisnis Internal 1 Output standar 2 Nilai Rendemen 3 Indeks kepuasan pelanggan atas produk Produktivitas 4 petani/nelayan/petambak
Penetapan Target Kinerja
Status Kurang
0.166404
7.7%
46.2% Kurang
0.1237 0.847159 0.0223 0.152841 0.155004
4 4
2 1
42.4% 3.8% 3.88%
50.0% Kurang 25.0% Kurang 25% Kurang
0.0515
4
1
100%
113%
25% 28.3% 62.1%
25% Kurang 82% Baik 113% Baik
0.0243 0.245697 0.0203 0.206011 0.318294 0.0328 0.148103 0.0520 0.235095
4 100%
2.16 33%
75 100%
40 80%
13.3% 6.9% 18.4% 7.9% 18.8%
54.0% 33.3% 57.9% 53% 80%
0.0626 0.283078
4
3
21.2%
75%
0.0738 0.333724
150
45
10.0%
30% Kurang
1 0.343577 0.0541 0.548292
Cukup Cukup Cukup Cukup Baik Baik
155 Nilai capaian kinerja komprehensif klaster industri teri nasi yang secara numerik sedikit lebih baik dibanding kinerja klaster industri rumput laut tidak secara otomatis menunjukkan kinerja absolut lebih baik, namun perlu dilihat lagi nilai target yang ditetapkan oleh masing-masing klaster industri. Nilai kinerja tersebut lebih berfungsi untuk melihat kemampuannya dalam mencapai target yang telah ditetapkan. Dengan demikian dalam mengimplementasikan model pengukuran kinerja ini maka penentuan target harus benar-benar mendapat perhatian. Penetapan target yang tidak tepat akan memberikan informasi kinerja yang tidak akurat. Oleh karena itu dalam menetapkan target harus dipenuhi kriteria SMART (Specific, Measurable, Achievable, Realistic dan Timebound), yang pengertiannya masing-masing telah dikemukakan pada bagian sebelumnya. Penetapan target harus didasari oleh kondisi dan asumsi ataupun ekspektasi yang diinginkan, sehingga dalam penentuannya harus dilakukan oleh orangorang yang berkompeten. Pada sistem klaster penetapan nilai target ini sebaiknya dilakukan oleh Kelompok Kerja yang merupakan perwakilan dari seluruh stakeholder klaster industri. Pengukuran kinerja tidak hanya dilakukan untuk mengetahui level kinerja dari sebuah klaster industri, namun yang lebih penting adalah sebagai umpan balik
dalam memperbaiki kinerja klaster industri secara keseluruhan. Untuk
keperluan ini maka monitoring dan evaluasi harus dilakukan secara kontinyu sehingga bisa dianalisis lebih lanjut untuk lebih ditingkatkan. Salah satu cara untuk monitoring adalah dengan membuat grafik capaian setiap indikator kinerja atau paling sedikit per kinerja aspek klaster. Dari hasil implementasi model pada klaster
industri
dapat
digambarkan
grafik
capaian
baik
untuk
kinerja
komprehensif maupun setiap indikator kinerja kunci dengan menggunakan pola sebagai berikut :
156
20 18
7
16 5
Kinerja (%)
14 3
12
6
10
3 5
8
Target kinerja
5
Kinerja tahun lalu
4
6
Pencapaian kinerja
4
3
5
3
2
2 0
1
2
3
4
Periode tahun ke
Gambar 65 Contoh grafik monitoring kinerja klaster industri Asumsi telah dilakukan pengukuran kinerja secara rutin setiap periode (tahun) dan diplotkan secara grafis setiap nilai capaian (saat ini), target yang ditetapkan dan nilai capaian masa lalu. Dari sini akan dapat dilihat beberapa kondisi yang mungkin di antaranya perbandingan antara nilai capaian tahun lalu dengan tahun sekarang dan perbandingan antara nilai target yang ditetapkan dengan pencapaian kinerja saat ini. Perbandingan yang pertama akan bermanfaat bagi investor dalam memutuskan apakah akan berinvestasi atau tidak, sementara untuk perbandingan kedua digunakan sebagai pengendalian internal klaster industri. Berdasarkan capaian dibanding target, setiap pelaku klaster bisa menyusun rencana strategis maupun operasionalnya yang mengarah pada peningkatan kinerja klaster baik secara individu maupun secara sistem. Pada penelitian ini dilakukan analisis what if untuk bisa melihat perubahanperubahan yang mungkin terjadi kedepan jika terdapat sejumlah perubahan baik kebijakan maupun lingkungan bisnis hasil laut. Analisis what if akan lebih dititikberatkan pada beberapa kondisi yang mungkin dicapai jika pendekatan klaster dilakukan secara optimal, sementara itu analisis ini hanya terbatas dilakukan
pada
beberapa
indikator
yang
dipilih
pertimbangan. Fasilitas analisis what-if dalam sistem
berdasarkan
berbagai
SPK akan memudahkan
dalam pengambilan inisiasi untuk perbaikan kinerja. Mekanisme umpan balik akan diuraikan lebih spesifik pada bagian terakhir di pembahasan ini.
157 Tingkat Kepentingan Ketersediaan Infrastruktur dan Persepsi Daya Dukungnya Model pengukuran kinerja yang dihasilkan lebih memuat indikatorindikator kinerja yang terukur secara kuantitatif yang diidentifikasi berdasarkan penilaian pakar terhadap sejumlah kriteria dan sub kriteria yang bisa diderivasi untuk menghasilkan sejumlah indikator yang dianggap representatif dalam menampilkan nilai kinerja dari sebuah klaster industri berdasarkan kriteria yang telah ditentukan. Salah satu komponen pendukung yang juga perlu dievaluasi untuk mendukung keberhasilan sebuah klaster industri adalah daya dukung infrastruktur. Infrastruktur yang baik akan mendukung pelaksanaan operasional pelaku klaster industri. Untuk itu pada penelitian ini juga dilakukan elaborasi untuk melihat sejauh mana kondisi infrastruktur yang ada diapresiasi oleh industri dan harapan industri terhadap dukungan infrastruktur tersebut. Berdasarkan dari hasil komunikasi dan pendekatan yang intensif akhirnya diperoleh
komitmen
beberapa
pakar
industri
untuk
membantu
dalam
memberikan masukan dengan memberikan penilaian terhadap persepsi kepentingan dan daya dukung beberapa jenis infrastruktur. Terdapat 12 (duabelas) jenis infrastruktur fisik yang dievaluasi yaitu (1) jalan raya, (2) jalur kereta api, (3) pelabuhan/dermaga, (4) bandar udara, (5) jaringan air bersih, (6) pasokan listrik (pembangkit listrik), (7) sarana pengolahan limbah, (8) teknologi informasi, (9) lembaga keuangan, (10) lembaga penelitian,(11) kebijakan pemerintah, dan (12) balai latihan kerja. Penilaian dilakukan untuk mendapatkan dua jenis informasi yaitu untuk mengetahui tingkat kepentingan infrastruktur fisik tersebut dalam menunjang keberhasilan klaster industri dan untuk mengetahui daya dukung yang dirasakan oleh pihak pelaku industri pada saat ini. Hasil ini nantinya dapat digunakan oleh pemerintah untuk bisa menyediakan infrastruktur yang memadai sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi industri dalam beroperasi. Skala yang digunakan dalam penilaian adalah skala linguistik yang terdiri dari enam nilai. Untuk penilaian tingkat kepentingan skala linguistik yang digunakan adalah
Sangat Penting (SP), Penting (P), Cukup Penting (CP),
Kurang Penting (KP), Tidak Penting (TP) dan Sangat Tidak Penting (STP). Sementara itu untu penilaian daya dukung juga digunakan enam nilai skala linguistik yaitu Sangat Baik (SB), Baik (B), Cukup Baik (CB), Kurang Baik (KB), Tidak Baik (TB) dan Sangat Tidak Baik (STB). Dalam penilaian ini diminta tiga
158 pakar dari praktisi industri sebagai responden untuk mengisi kuesioner bagian 3 dengan hasil yang dapat ditampilkan dalam rekapitulasi sebagai berikut : Tabel 31 Rekapitulasi hasil penilaian pakar terhadap kepentingan infrastruktur dalam mendukung operasional pelaku klaster industri No.
Jenis infrastruktur fisik
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Jalan raya Jalur kereta api Pelabuhan/dermaga Bandar udara Jaringan air bersih Pasokan listrik (pembangkit listrik) Sarana pengolahan limbah Teknologi informasi Lembaga keuangan Lembaga penelitian Kebijakan pemerintah Balai latihan kerja
Penilai Pakar 2 SP CP SP P SP SP P SP SP P SP P
Pakar 1 SP TP P P SP SP CP SP SP P P CP
Pakar 3 SP TP SP CP P SP P P P CP P TP
Dalam waktu dan paket kuesioner yang sama, juga dimintakan pendapat para pakar dari praktisi industri terhadap daya dukung masing-masing jenis infrastruktur yang dirasakan. Adapun hasil rekapitulasi penilaian dalam variabel linguistik dapat dilihat pada Tabel 32. Pengolahan dengan metode fuzzy Penilaian terhadap kepentingan dan daya dukung infrastruktur fisik yang ada oleh responden pakar menggunakan variabel linguistik yang secara keseluruhan mewakili sebuah kisaran nilai numerik antara 0 sampai dengan 100. Untuk kebutuhan pengolahan dengan metode fuzzy, maka masing-masing variabel linguistik akan merepresentasikan nilai numerik dalam interval tertentu yang telah ditetapkan maka kisaran dari setiap variabel linguistik yang akan diolah adalah sebagai berikut : SP
= 85 - 100
SB
= 85 - 100
P
= 65 - 90
B
= 65 - 90
CP
= 45 - 70
CB
= 45 - 70
KP
= 30 - 55
KB
= 30 - 55
TP
= 10 - 35
TB
= 10 - 35
STP
= 0
STB
= 0
- 15
- 15
159 Tabel 32 Rekapitulasi hasil penilaian pakar terhadap daya dukung infrastruktur dalam mendukung operasional pelaku klaster industri No.
Jenis infrastruktur fisik
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Jalan raya Jalur kereta api Pelabuhan/dermaga Bandar udara Jaringan air bersih Pasokan listrik (pembangkit listrik) Sarana pengolahan limbah Teknologi informasi Lembaga keuangan Lembaga penelitian Kebijakan pemerintah Balai latihan kerja
Pakar 1 CB CB B B TB CB TB KB KB KB CB CB
Penilai Pakar 2 B TB SB B B B B B SB B CB CB
Pakar 3 B TB B B B CB CB CB CB CB B TB
Dengan menggunakan fungsi keanggotaan Triangular Fuzzy Number (TFN) maka dapat digambarkan seperti grafik berikut :
Gambar 66 Daftar keanggotaan fuzzy dalam penilaian kepentingan dan daya dukung infrastruktur Data yang telah diperoleh selanjutnya diolah melalui dua tahapan yaitu fuzzifikasi dan defuzzifikasi. Proses fuzzifikasi dimaksudkan untuk mencari besarnya derajat keanggotaan masukan yang berupa suatu variabel numerik. Sementara defuzzifikasi adalah proses mengubah variabel fuzzy menjadi variabel bukan fuzzy. Pada pengolahan data penelitian ini digunakan metode centre of gravity. Perhitungan dilakukan dengan mengambil asumsi bahwa terdapat perbedaan tingkat kepakaran sehingga diberikan bobot yang berbeda untuk masing-masing pakar dengan menggunakan ketentuan bobot sebagai berikut :
160 Rendah
= R (0.0-0.4)
Medium
= M (0.3-0.7)
Tinggi
= T (0.6-1)
Berdasarkan pendapat peneliti maka diberikan bobot medium (M) untuk pakar 1, medium (M) untuk pakar 2 dan tinggi (T) untuk pakar 3. Sedangkan pada jenis infrastruktur tidak dilakukan pembobotan atau dengan kata lain dianggap mempunyai bobot yang sama. Fuzzifikasi (pemrosesan bilangan fuzzy) Data
hasil
penelitian
yang
merupakan
variabel
linguistik
merepresentasikan sebuah bilangan fuzzy yang mempunyai nilai kisaran tertentu dengan disertai kesamaran pada nilai yang dikandungnya. Fuzzifikasi dilakukan secara matematis sesuai dengan metode representasinya. Salah satu contoh perhitungan fuzzifikasi adalah : Perhitungan hasil penilaian pada kepentingan infrastruktur fisik (sarana) ke 2 : n
S
j
=
∑
w i Np
i
i =1 n
∑
wi
.............................(34)
i =1
keterangan : Sj
: Nilai kepentingan infrastruktur fisik (sarana) ke- j
wi
: Bobot kepakaran untuk pakar ke-i
Npi
: Nilai kepentingan yang diberikan oleh pakar ke-i S2 =
M(TP) + M(CP) + T(TP) M+M+T
S2 =
[ (0.3 , 0.7)( 0 , 15) + (0.3 , 0.7)(45 , 70) + (0.6 , 1.0)(0 , 15)] [(0.3 , 0.7) + (0.3 , 0.7) + (0.6 , 1.0)]
S2 = S2 =
[(0.3*0 , 0.7*15) + (0.3*45 , 0.7*70) + (0.6*0 , 1.0*15)] [(0.3+0.3+0.6) , (0.7+0.7+1.0)] [(0+13.5+0) , (10.5+49+15)] (1.2 , 2.4)
161 (13.5 , 74.5) (1.2 , 2.4)
S2 =
=
(13.5/2.4 – 74.5/1.2) = 5.625 – 62.08
Jadi nilai fuzzy dari penilaian sarana 1 dari tiga responden pakar ada pada kisaran (5.625 – 62.08) dengan domain adalah (0 – 100). Selanjutnya dihitung nilai rata-rata terbobotnya sebagai berikut : S2 = (5.625+62.08)/2 = 33.85 Nilai 33.85 di atas terletak pada range nilai numerik yang overlap (samar/fuzzy) antara Tidak Penting (TP) dan Kurang Penting (KP) sehingga perlu dilakukan defuzzifikasi untuk menentukan nilai akhir dalam skala linguistik. Jika nilai hasil fuzifikasi berada tidak berada pada nilai fuzzy/samar/overlap maka dapat ditentukan nilai representasi tunggal. Pada sub bab berikutnya akan dipaparkan perhitungan defuzzifikasi, sementara itu perhitungan fuzzifikasi untuk nilai daya dukung infrastruktur dapat dilakukan dengan cara yang sama menggunakan formula berikut : n
D
j
=
∑
w i Np
i
i =1 n
∑
wi
...........................................(35)
i =1
keterangan : Dj
: Nilai daya dukung infrastruktur fisik (sarana) ke- j
wi
: Bobot kepakaran untuk pakar ke-i
Npi
: Nilai kepentingan yang diberikan oleh pakar ke-i
Defuzzifikasi (pemrosesan bilangan fuzzy menjadi nilai tunggal/crisp) Defuzzifikasi merupakan suatu proses perhitungan kembali dari output fuzzifikasi untuk mendapatkan representasi nilai tunggal. Terdapat beberapa metode defuzzifikasi, namun dalam kajian ini metode yang dipilih adalah metode Center of Area Method (CAM) atau juga dikenal dengan Center of Gravity. Metode ini merupakan metode yang popular digunakan karena alasan cukup bisa diterima meskipun kadang-kadang memerlukan perhitungan yang cukup kompleks (Bojadziev, 1977).
162 Salah satu contoh perhitungan defuzzifikasi untuk hasil penilaian pada kajian ini akan diuraikan lebih lanjut. Pada hasil penilaian sarana pendukung 2 di atas, dari perhitungan fuzzifikasi diperoleh nilai numerik 33.85, nilai ini berdasarkan kisaran dari variabel linguistik berada pada daerah samar/overlap antara Tidak Penting (TP) dan Kurang Penting (KP), sehingga harus dilakukan defuzzifikasi untuk mendapatkan nilai tunggal (crisp) dengan cara sebagai berikut :
30
33.85
35
Jarak dari pusat 1 = (33.85 – 30)
= 3.85
(representasi KP)
Jarak dari pusat 2 = (35 – 33.85)
= 1.15
(representasi TP)
5
5 Karena jarak terhadap nilai representasi KP lebih besar dibandingkan dengan jarak terhadap nilai representasi TP maka nilai tunggal (crisp) yang dapat merepresentasikan hasil penilaian pakar terhadap sarana pendukung 2 berdasarkan hasil defuzzifikasi adalah Tidak Penting (TP). Perhitungan fuzzifikasi dan defuzzifikasi dilakukan dengan cara yang sama untuk semua jenis saran pendukung yang dinilai yang memiliki perbedaan nilai di antara pakar. Selengkapnya hasil perhitungan akan ditampilkan pada Tabel 33 pada bagian selanjutnya. Proses agregasi penilaian kepentingan dan daya dukung infrastruktur Pemrosesan bilangan fuzzy (fuzzifikasi) maupun defuzzifikasi dilakukan pada semua hasil penilaian dari pakar terhadap semua model dan kriteria. Setelah melalui proses perhitungan secara lengkap pada semua hasil penilaian, maka hasil rekapitulasinya dapat disajikan pada Tabel 33 berikut :
163 Tabel 33
Rekapitulasi hasil penilaian pakar praktisi industri terhadap kepentingan dan daya dukung infrastruktur dengan metode fuzzy
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Jenis infrastruktur fisik Jalan raya Jalur kereta api Pelabuhan/dermaga Bandar udara Jaringan air bersih Pasokan listrik (pembangkit listrik) Sarana pengolahan limbah Teknologi informasi Lembaga keuangan Lembaga penelitian Kebijakan pemerintah Balai latihan kerja
Tingkat kepentingan
Daya Dukung
SP TP SP P SP SP P P P CP P KP
B TB B B B CB CB CB CB CB CB KB
Pengolahan selanjutnya adalah melakukan agregasi dari seluruh kriteria pada masing-masing model. Agregasi dilakukan dengan tahap fuzzifikasi dan defuzzifikasi hingga dapat
diperoleh nilai tunggal yang representatif (nilai
crisp) dengan mencari nilai rata-rata aritmetiknya. Berikut perhitungan agregat dari penilaian pakar berdasarkan seluruh jenis infrastruktur fisik (sarana pendukung) yang dipertimbangkan : n
NK
=
∑
Np
i =1
i
...............................(36)
n
keterangan :
NK
: Nilai agregat kepentingan infrastruktur fisik (sarana)
Np
: Nilai agregat yang diberikan oleh pakar untuk jenis sarana ke-i
n
: banyaknya infrastruktur fisik (sarana) yang dinilai
164 12
∑
Np
i
NK
=
NK
= ( 62 . 5 + 84 . 17 ) / 2 = 73 . 335
i =1
12 SP + TP + SP + P + SP + SP + P + P + P + CP + P + KP NK = 12 [( 85 ,100 ) + (10 , 35 ) + ( 85 ,100 ) + ( 65 , 90 ) + ( 85 ,100 ) + ( 85 ,100 ) ] NK = 12 [ ( 65 , 90 ) + ( 65 , 90 ) + ( 65 , 90 ) + ( 45 , 70 ) + ( 65 , 90 ) + ( 30 , 55 ) ] + 12 [( 750 ,1010 ) ] NK = (12 ,12 ) NK = [( 750 / 12 ) − (1010 / 12 ) ] = ( 62 . 5 − 84 . 17 )
Nilai 73.335 pada kisaran numerik tepat jatuh pada daerah yang tidak overlap yaitu pada variabel linguistik Penting (P), sehingga dapat dikatakan bahwa nilai agregat penilaian terhadap kepentingan tersedianya infrastrukur fisik (sarana) yang memadai menurut ketiga pakar adalah Penting (P). Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan infrastruktur fisik yang memadai merupakan satu aspek penting yang dapat menunjang peningkatan kinerja sebuah klaster industri, oleh karena itu pemerintah sebagai salah satu stakeholder klaster industri yang berfungsi untuk menyediakan sarana dan prasarana pendukung operasional industri seharusnya meningkatkan kualitas infrastruktur ini sehingga bisa secara optimal dimanfaatkan oleh industri dalam beroperasi untuk menghasilkan kinerja sistem klaster yang lebih baik. Pada sisi lain, pelaku industri sebagai pemanfaat infrastruktur fisik yang tersedia memberikan apresiasi yang bervariasi. Namun demikian dapat dilakukan pengolahan agregasi penilaian praktisi industri dengan menggunakan metode fuzzy seperti yang telah dilakukan pada penilaian kepentingan infrastruktur seperti ditampilkan pada Tabel 32 di atas. Perhitungan agregasi seluruh penilaian daya dukung infrastruktur fisik dapat dilakukan sebagai berikut :
n
ND
=
∑
Np
i =1
n
i
..............................(37)
165 keterangan :
ND
: Nilai agregat daya dukung infrastruktur fisik (sarana)
Np
: Nilai agregat daya dukung yang diberikan pakar untuk sarana ke-i
n
: banyaknya infrastruktur fisik (sarana) yang dinilai
12
∑
Np
i
ND
=
ND
= ( 47 . 08 + 72 . 5 ) / 2 = 59 . 79
i =1
12 B + TB + B + B + B + CB + CB + CB + CB + CB + CB + KB ND = 12 [( 65 , 90 ) + (10 , 35 ) + ( 65 , 90 ) + ( 65 , 90 ) + ( 65 , 90 ) + ( 45 , 70 ) ] ND = 12 [( 45 , 70 ) + ( 45 , 70 ) + ( 45 , 70 ) + ( 45 , 70 ) + ( 45 , 70 ) + ( 30 , 55 ) ] + 12 [ ( 565 , 870 ) ] ND = (12 ,12 ) ND = [( 565 / 12 ) − ( 870 / 12 ) ] = ( 47 . 08 − 72 . 5 )
Dari perhitungan di atas, dapat dilihat bahwa nilai numerik agregat daya dukung infrastruktur adalah 59.79, nilai ini pada kisaran numerik tepat jatuh pada daerah yang tidak overlap yaitu pada variabel linguistik Cukup Baik (CB), sehingga dapat dikatakan bahwa nilai agregat penilaian terhadap daya dukung infrastrukur fisik (sarana) yang memadai di lingkungan industri hasil laut di Jawa Timur menurut ketiga pakar dari praktisi industri adalah Cukup Baik (CB). Berdasarkan perbandingan antara hasil penilaian kepentingan dan daya dukung yang dirasakan oleh pelaku industri hasil laut terhadap kondisi infrastruktur fisik yang ada di lingkungan industri hasil laut di Jawa Timur, maka dapat dilihat ada gap/perbedaan baik secara numerik maupun linguistik. Pengurangan sampai dengan peniadaan gap ini dapat dilakukan melalui beberapa upaya kebijakan maupun kerjasama antara pelaku klaster industri. Jika dilihat dari fungsi peran stakeholder klaster industri, maka sebagian besar fungsi dan peran tersebut akan jatuh pada pemerintah sebagai pengambil kebijakan dan penyedia fasilitas umum bagi kelancaran operasionalisasi industri. Oleh karena itu perencanaan ulang untuk melakukan perbaikan kualitas sarana dan
166 prasarana yang mendukung perlu dilakukan sebagai upaya pengurangan atau peniadaan gap tersebut di atas.
Working Group (Kelompok Kerja) sebagai Pengelola Klaster Klaster industri sebagai sebuah sistem memiliki sejumlah tujuan kolektif yang perlu diwujudkan dalam tindakan sinergi oleh seluruh pelaku klaster baik pelaku inti (industri inti) maupun pelaku dan institusi pendukung lainnya. Masingmasing individu pelaku klaster merupakan unit yang independen dengan masingmasing karakteristiknya. Klaster industri merupakan sebuah organisasi non formal yang tidak berbadan hukum, tetapi didasari oleh nilai-nilai kebersamaan yang menjadi komitmen dan harus dijaga oleh seluruh anggota klaster. Oleh karena itu untuk menjamin keberlanjutan klaster dan operasionalisasinya, diperlukan sebuah kelompok kerja yang mewakili seluruh stakeholder klaster agroindustri hasil laut yang dikenal dengan Working Group (Kelompok kerja). Kelompok kerja berfungsi sebagai koordinator operasional klaster industri baik sebagai badan koordinasi maupun operator dari kelembagaan klaster industri yang dibangun. Kelompok kerja terdiri dari dua komponen utama yaitu Steering Committee yang berasal dari kelompok ahli di bidang klaster baik dari kalangan praktisi maupun bidang lainnya tetapi memiliki kompetensi di bidang klaster industri serta berkomitmen untuk menjadi tim pengarah dalam
Working Group untuk
keperluan operasionalisasi klaster industri. Sementara itu Organising Committee dalam kelompok kerja berfungsi sebagai pengelola jalannya klaster industri. Ketua Organising Committee sebaiknya salah satu dari pelaku industri inti yang dipilih dalam forum klaster yang
memiliki kemampuan teknis dan manajerial
yang diharapkan mampu menjadi motor penggerak dalam klaster industri. Kebersamaan dalam sebuah klaster industri merupakan kebutuhan mutlak dapat berlanjutnya sebuah sistem. Kesamaan visi dan misi serta tujuan harus ditetapkan secara partisipatoris oleh seluruh anggota klaster yang difasilitasi oleh kelompok kerja. Berdasarkan visi, misi dan tujuan bersama inilah kemudian dirumuskan secara bersama pula sebuah konsep aksi pengembangan klaster industri. Konsep aksi pengembangan klaster yang dirumuskan meliputi penguatan kelembagaan klaster, rancangan program kolaborasi yang mungkin dilakukan
167 dan program lain yang mengarah pada peningkatan kinerja klaster secara komprehensif. Kolaborasi antara pelaku industri dalam sebuah klaster dapat dilakukan jika hubungan industrial dari setiap individu klaster berjalan dengan baik. Hubungan industrial meliputi internal perusahaan dan eksternal perusahaan. Secara internal perusahaan adalah bagaimana individu klaster membangun keharmonisan di antara karyawan dan antara karyawan dengan manajemen, sementara secara eksternal adalah bagaimana perusahaan menjaga dan melakukan hubungan dengan baik terhadap masyarakat sekitar, industri lainnya serta elemen terkait di luar perusahaan. Kualitas hubungan industrial ini dalam sebuah klaster industri akan menentukan efektifitas kolaborasi dan kerjasama antara industri ataupun institusi pendukung dalam klaster, sehingga dapat terwujud sebuah sistem klaster yang berkelanjutan. Dalam operasionalnya kelompok kerja (working group) klaster perlu melakukan komunikasi rutin baik dalam bentuk tatap muka maupun melalui media elektronik, sehingga koordinasi dalam upaya peningkatan nilai tambah industri secara bersama melalui kolaborasi dan kerjasama dengan tujuan peningkatan daya saing global dapat berjalan secara optimal. Keberhasilan klaster dapat diukur dari beberapa capaian dari sejumlah indikator kinerja yang telah dirumuskan dalam model pengukuran kinerja komprehensif klaster. Model
pengukuran
kinerja
dalam
paket
SPK
(Sistem
Penunjang
Keputusan) yang dibangun dalam penelitian ini merupakan salah satu kontribusi yang
dapat
diterapkan
dalam
sebuah
klaster
agroindustri
hasil
laut.
Operasionalisasi model pengukuran kinerja komprehensif klaster yang dikemas dalam produk perangkat lunak didisain dengan memperhatikan efektivitas hasil dan faktor kemudahan dalam penggunaannya. Rancangan SPK dengan bahasa web PHP sangat mudah dikoneksikan dalam jaringan internet yang bisa diakses setiap saat oleh seluruh stakeholder klaster dengan disain sekuritas dan otoritas tertentu dalam sistemnya. Sebagai pusat akses dari SPK ini adalah working group server.
Kontribusi Sistem Penunjang Keputusan (SPK) Dalam Memberikan Umpan Balik Perbaikan Kinerja Komprehensif Klaster Hasil implementasi model pengukuran kinerja komprehensif klaster agroindustri hasil laut diharapkan tidak hanya sekedar memberikan gambaran kondisi kinerja klaster pada saat ini, namun juga untuk bisa dijadikan bahan
168 masukan untuk upaya peningkatan kinerja yang akan datang. Oleh karena itu dirancang
sebuah
Sistem
Penunjang
Keputusan
(SPK)
yang
mampu
mengoperasionalkan model pengukuran kinerja komprehensif klaster lebih interaktif, efektif dalam memberikan informasi dan efisien dalam operasionalnya. SPK dilengkapi dengan fasilitas interaktif, dimana pengambil keputusan dapat melakukan
perubahan
skenario
kondisi
dan
melihat
secara
simultan
perubahannya terhadap capaian kinerja komprehensif klaster di masa datang. Nilai tambah pada rantai produksi industri hasil laut pada umumnya dan teri nasi khususnya masih sangat beragam jika dilihat dari hulu sampai ke hilir. Industri hulu di mana petani/nelayan sebagai pelaku utama menjadi tumpuan pada industri hasil laut, khususnya pada industri teri nasi seluruh pelaku industri menyatakan memiliki kapasitas yang cukup untuk menampung berapapun teri nasi yang dipasok oleh nelayan karena pada saat ini dan mendatang pasar luar negeri masih terbuka lebar. Oleh karena itu menjadi penting untuk melihat lebih jauh
kemungkinan-kemungkinan
pemberdayaan
nelayan
sehingga
dapat
diperoleh pasokan bahan baku sesuai kebutuhan secara kontinyu. Pemampuan sektor hulu ini di samping dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan juga secara multiplikasi mampu menggerakkan operasional di industri lebih hilir sehingga juga terjadi peningkatan keuntungan dan secara sistem klaster keuntungan juga akan bertambah. Salah satu kendala keterbatasan dalam mensuplai dikarenakan kapasitas kapal dan teknologi penangkapan yang masih rendah. Kapal-kapal tradisional yang masih digunakan nelayan untuk mencari ikan dan keterbatasan jelajah kapal menyebabkan rendahnya kinerja di sektor ini, oleh karena itu perlu diberikan solusi untuk bisa meningkatkan nilai tambahnya. Pendekatan klaster pada industri teri nasi membukan peluang untuk dimungkinkannya secara kolektif nelayan berinvestasi untuk menggunakan perahu yang lebih besar dengan daya jelajah yang lebih baik. Di samping itu penyediaan fasilitas lembaga keuangan yang sesuai dengan karakteristik nelayan juga merupakan hal yang perlu dipertimbangkan untuk segera direalisasikan. Konsep klaster akan sangat memungkinkan adanya kolaborasi antar pelaku dalam satu level produksi maupun lintas level misalnya industri pengolahan ikut membantu industri hulu dalam peningkatan kinerja. Pada penelitian yang telah dilakukan oleh Gunarta dan Harisno (2006) mengambil kasus di Nusa Penida Bali dapat dilihat sebuah sebuah diagram lingkar sebab
169 akibat yang memperlihatkan bahwa jumlah kapal dengan kapasitas tertentu dapat diprediksi melalui simulasi dengan pendefinisian beberapa parameter yang diperlukan oleh model. Adapun sebagai referensi dapat dilihat gambar sebagai berikut :
Gambar 67 Diagram lingkar sebab akibat penentuan kapal tangkap (Gunarta, 2006) Meskipun pada kenyataannya sumber daya alam juga terbatas, namun pada studi ini diasumsikan bahwa sumber daya alam (perikanan laut) masih mencukupi untuk dieksplorasi lebih jauh, sehingga fokus diskusi bisa pada strategi pengalihan kapal tradisional ke kapal yang lebih modern. Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa jumlah kapal yang dibutuhkan dapat ditentukan tergantung target tangkapan yang diinginkan. Analog dengan hal tersebut, pada klaster industri teri nasi di mana kebutuhan industri belum tersuplai dengan baik, maka jumlah kebutuhan bisa didasarkan pada permintaan pasar baik global maupun domestik. Selanjutnya jumlah kapal yang diperlukan akan dapat diestimasi dengan baik. Pada analisis what-if yang dilakukan dapat dilihat sensitifitas beberapa parameter terhadap kesejahteraan maupun kinerja nelayan. Dari sini dapat dirumuskan strategi yang tepat untuk melakukan pengembangan industri hasil laut yang diawali dengan pemampuan nelayan. Investasi berupa pengalihan kapal untuk peningkatan daya tangkap (indikator jumlah tangkapan) akan
170 berdampak pada terjadinya peningkatan total penjualan yang selama ini relatif konstan dari tahun ke tahun seperti diperlihatkan pada Gambar 68.
Penjualan (kilogram)
3 000 000
2 642 401
2 471 711 2 115 834
2 500 000 2 000 000 1 500 000 1 000 000 500 000 0
2003
2004 Tahun
2005
Gambar 68 Total penjualan teri nasi periode 2003-2005 Sementara itu secara finansial ditingkat nelayan, pengaruh investasi ini dapat dianalisis dengan menggunakan analisis what-if dan bantuan simulasi yang telah disediakan dalam bangunan Sistem Penunjang Keputusan. Jumlah tangkapan yang bertambah akan meningkatkan kesejahteraan nelayan, sementara itu juga bisa dirumuskan sebuah kebijakan keuangan yang bisa diakses oleh nelayan sehingga dapat mengembangkan usaha. Adapun salah satu contoh tampilan analisis what-if yang cukup interaktif dan mudah digunakan dapat dilihat pada Gambar 69. Peningkatan jumlah tangkap pada industri teri nasi dan jumlah panen pada industri rumput laut akan memberikan dampak pada kinerja komprehensif klaster industri khususnya pada kinerja parsial aspek proses bisnis internal. Jika jumlah tangkapan atau
jumlah panen meningkat, maka dengan asumsi bahwa
kapasitas produksi tidak terbatas, maka kondisi ini juga akan dapat meningkatkan total penjualan klaster industri. Peningkatan total penjualan akan meningkatkan kinerja aspek ekonomi, sehingga secara komprehensif juga akan mampu meningkatkan kinerja klaster industri.
171
Gambar 69 Tampilan interaktif analisis what-if untuk finansial nelayan Berdasarkan hasil analisis what-if, maka jika diasumsikan dengan upaya efektivitas penangkapan pada industri teri nasi dan budidaya serta panen pada industri rumput laut dapat meningkatkan jumlah bahan baku dua kalinya maka dengan menggunakan fasilitas dalam bangunan SPK dapat dilihat adanya peningkatan kinerja proses bisnis internal dari 66% menjadi 69.52% atau delta sebesar 3.52% dan untuk klaster industri rumput laut dari 57.9% menjadi 68.98% atau peningkatan sebesar 11.08%. Sementara itu secara komprehensif dapat meningkatkan kinerja untuk klaster industri teri nasi dan rumput laut berturut-turut sebesar 1.5% dan 2.62%. Dan seterusnya secara interaktif dapat dilakukan simulasi perubahan pada kondisi-kondisi yang lain. Hal ini akan sangat membantu proses pengelolaan kinerja baik dari sisi waktu, dana maupun ketepatan perkiraan. Tersedianya bangunan SPK juga akan meningkatkan efektivitas umpan balik dari sistem sehingga antisipasi tindakan dalam bentuk inisiasi maupun program perbaikan kinerja dapat dilakukan dengan lebih cepat dan hasil yang lebih baik. Traffic light system Bangunan SPK dilengkapi dengan fasilitas traffic light system yang berfungsi sebagai umpan balik dari sebuah kondisi kinerja yang dicapai. Sistem umpan balik ini didisain dengan berbasis pengetahuan pakar. Tersedia
tiga
warna yang memvisualkan suatu kondisi di antaranya adalah warna merah untuk
172 kondisi Buruk/Kurang, warna kuning untuk kondisi kinerja Sedang dan warna hijau untuk kondisi kinerja Baik. Penentuan status ini mengacu pada batasanbatasan numerik yang sudah dikemukakan di bagian sebelumnya. Mekanisme ini dibuat untuk mempermudah user dalam mengambil keputusan tindak lanjut atas kondisi kinerja klaster industri yang dicapai. Sesuai dengan fungsinya, bahwa SPK merupakan sistem penunjang keputusan yang diharapkan dapat mendukung manajemen dalam pengambilan keputusan, maka pada bangunan SPK juga disediakan seperangkat knowledge base yang bisa diakses untuk melihat rekomendasi aksi yang disarankan oleh para pakar dalam setiap kondisi kinerja yang dihadapi untuk setiap aspek klaster industri. Status kinerja komprehensif yang Kurang Baik dapat ditelusuri lebih lanjut penyebab utamanya apakah disebabkan oleh kinerja sosial yang rendah, kinerja lingkungan, kinerja ekonomi ataupun kinerja proses bisnis internal. Setiap kondisi yang dicapai akan memerlukan tindak lanjut, sementara setiap warna traffic light yang ditampilkan dapat dimaknai sebagai berikut : 1. Warna Merah, berarti kondisi kinerja Kurang Baik/Buruk. Pada kondisi ini upaya perbaikan harus dilakukan secara maksimal dari berbagai sisi. 2. Warna Kuning, menunjukkan kondisi kinerja Sedang. Status ini menunjukkan bahwa ada beberapa aspek yang perlu dipertahankan, namun masih ada beberapa aspek yang perlu mendapat perhatian untuk ditingkatkan dengan upaya perbaikan tertentu. 3. Warna
Hijau,
yang
berarti
klaster
industri
memiliki
kinerja
baik,
merekomendasikan aktivitas monitoring dan evaluasi yang terus menerus sehingga dapat diketahui segera jika terjadi penyimpangan. Berbagai rekomendasi aksi dari pakar telah dikumpulkan dalam satu database pengetahuan dan siap diakses sesuai dengan keperluan. Salah satu contoh misalnya dari capaian kinerja klaster industri teri nasi diperoleh informasi bahwa meskipun secara batasan numerik kinerja komprehensif memenuhi kategori Cukup, namun bila mengacu pada aturan tambahan penentuan status/kategori, kinerja komprehensif klaster industri teri nasi masih dalam status Kurang Baik. Hal ini dikarenakan salah satu kinerja parsialnya yaitu kinerja lingkungan masih di bawah ketentuan (≤25%). Jika di ’klik’ warna merah pada capaian kinerja lingkungan maka akan tampil paket inisiasi tindak lanjut yang
173 direkomendasikan oleh sejumlah pakar yang direkam dalam knowledge base dengan detail rekomendasi aksi sebagai berikut : Tabel 34 Rekomendasi aksi untuk kondisi kinerja lingkungan Kurang Baik No 1 2 3 4
Rekomendasi Aksi Memiliki instalasi pengolah limbah sesuai dengan standar yang telah ditentukan Memiliki sertifikasi Amdal sesuai dengan skala industri Memastikan produknya terbebas dari semua kandungan terlarang dan pencemaran lingkungan Standar Industri sama dengan standar internasional
Selanjutnya secara lengkap kumpulan rekomendasi pakar untuk perbaikan kinerja klaster industri berdasarkan status kinerja aspek klaster dapat dilihat pada lampiran. Dengan dibangunnya Sistem Penunjang Keputusan yang terkomputerisasi ini, diharapkan model pengukuran kinerja komprehensif untuk klaster industri hasil laut dapat diterapkan secara efektif dan efisien.
Kontribusi Hasil Penelitian dalam Pembangunan Agroindustri Hasil Laut di Indonesia Hasil penelitian berupa model pengukuran kinerja komprehensif klaster agroindustri hasil laut dengan mengambil kasus klaster industri teri nasi dan rumput laut di Jawa Timur diharapkan dapat memberikan kontribusi riil dalam pembangunan agroindustri hasil laut baik secara teoritis maupun praktis. Kontribusi teoritis Model pengukuran kinerja yang dikembangkan selama ini sudah cukup banyak dan beragam seperti telah diuraikan beberapa di bagian kajian pustaka. Model pengukuran kinerja yang ada masih dirancang berdasarkan kebutuhan pada level mikro perusahaan atau korporasi, yang relevan diterapkan untuk level tersebut. Sementara ini belum tersedia sebuah model sistem pengukuran kinerja komprehensif untuk sebuah klaster industri, sehingga jika model level mikro diterapkan pada klaster industri akan terjadi kesenjangan di mana kinerja sistem klaster secara keseluruhan tidak termonitor dan terkelola dengan baik. Oleh karena itu, model pengukuran kinerja komprehensif yang direkomendasikan menjadi sangat berarti sebagai sumbangan pemikiran secara teoritis dalam pengelolaan kinerja klaster agroindustri pada umumya dan agroindustri hasil laut
174 pada khususnya. Implementasi pada beberapa fokus klaster industri lainnya diharapkan dapat ditindaklanjuti melalui beberapa modifikasi disesuaikan dengan karakteristik industrinya. Model pengukuran kinerja komprehensif pada sistem klaster agroindustri ini sekaligus sebagai bentuk temuan baru dari penelitian ini yang dapat disebut sebagai novelty (kebaruan) dari penelitian yang telah dilakukan. Kontribusi praktis Kenyataan bahwa secara geografis Indonesia adalah negara kepulauan yang terpisah oleh laut, maka fokus pengembangan pada industri yang berbasis sumber daya (resource based) sangatlah tepat. Pengelolaan industri secara terfokus akan lebih memudahkan dalam upaya peningkatan daya saing. Konsep klaster menjadi satu pendekatan yang relevan dikarenakan untuk menghadapi persaingan yang sudah mengarah pada persaingan antara negara diperlukan kerjasama antar industri dan manajemen yang lebih integratif. Metode partisipatif yang menonjol pada pendekatan klaster industri akan memberikan peluang bagi seluruh stakeholder untuk berpartisipasi dan berdedikasi dalam pengembangan industri ke depan. Penguatan kelembagaan klaster agroindustri hasil laut melalui kelengkapan komponen klaster dan efektivitas fungsional klaster akan dapat mengoptimalkan kontribusi semua pihak untuk memperkuat agroindustri hasil laut secara sistem bukan parsial. Strategi agroindustri hasil laut secara regional maupun nasional disusun melalui pelibatan seluruh stakeholder sehingga jika hal ini dilaksanakan secara konsisten dengan bangunan komitmen yang tinggi dari seluruh stakeholder industri hasil laut, maka akan terjadi sistem agroindustri hasil laut yang utuh dan berdaya saing, karena masing-masing stakeholder akan mencurahkan pikiran dan kemampuannya untuk membangun sistem agroindustri hasil laut sehingga dapat bersaing bersama-sama di tingkat global. Hal ini juga diperkuat oleh permintaan agroindustri hasil laut yang berskala internasional dan peluang diversifikasi pada industri yang lebih hilir, misalnya makanan, kosmetik dan obat-obatan atau produk kesehatan lainnya. Dari uraian ini dapat dikonfirmasi bahwa konsep klaster pada pengembangan industri hasil laut di Jawa Timur relevan untuk diterapkan.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Ukuran kinerja komprehensif klaster agroindustri hasil laut terdiri dari 64 (enam puluh empat) nilai kuantitatif yang dapat mengindikasikan efisiensi dan efektivitas operasional klaster dan setelah melalui tahapan proses dapat dirumuskan 10 (sepuluh) indikator kinerja kunci (IKK). 2. Penilaian kinerja komprehensif klaster agroindustri hasil laut dilakukan berdasarkan empat aspek yaitu aspek sosial, aspek lingkungan, aspek ekonomi dan aspek proses bisnis internal dengan nilai bobot kepentingan berturut-turut sebesar 0.166, 0.155, 0.344 dan 0.318. Indikator kinerja kunci (IKK) pada aspek sosial adalah indeks CSR, keanggotaan klaster, aspek lingkungan adalah indeks CER, pada aspek ekonomi adalah keuntungan klaster, indeks RCA, kinerja pasar (market performance) dan pada aspek proses bisnis internal diwakili oleh output standar, nilai rendemen, indeks kepuasan pelanggan dan produktivitas nelayan. 3. Indikator kinerja kunci pada setiap aspek klaster disarikan dari 22 indikator kinerja (IK) yang terdistribusi pada aspek sosial (20%), aspek lingkungan (12%), aspek ekonomi (28%) dan aspek proses bisnis internal (32%). Keduapuluh dua indikator kinerja tersebut merepresentasikan kinerja beberapa pelaku klaster yang terdiri dari pemerintah diwakili sebanyak 12 IK, industri sebanyak 13 IK, pemasok bahan baku sebanyak 11 IK dan nelayan sebanyak 13 IK.
4. Model pengukuran kinerja didisain dalam sebuah perangkat lunak Sistem Penunjang Keputusan (SPK) yang mudah untuk dioperasikan, bangunan SPK terdiri dari database, model base, knowledge base, scoring board dan simulasi. SPK juga menyediakan fasilitas yang dapat memberikan rekomendasi terhadap capaian status kinerja serta berdialog dengan sistem serta untuk melakukan perubahan prioritas dan skenario perubahan kebijakan atau lingkungan bisnis dan dampaknya terhadap kinerja komprehensif. Hasil rancang bangun SPK yang diberi nama C-PROMEAS.
176 5. Model pengukuran kinerja komprehensif klaster agroindustri hasil laut ditampilkan dalam bentuk scoring board yang menginformasikan capaian nilai IKK. Nilai capaian kinerja komprehensif klaster agroindustri hasil laut merupakan fungsi dari kinerja aspek sosial, aspek lingkungan, aspek ekonomi dan aspek proses bisnis internal yang dinyatakan dengan kategori Baik, Cukup dan Kurang berdasarkan skor absolut dan kategori setiap IKK. 6. Model pengukuran kinerja komprehensif klaster agroindustri hasil laut diimplementasikan pada klaster industri teri nasi dan klaster industri rumput laut di Jawa Timur dengan hasil capaian kinerja komprehensif dalam kategori kurang baik untuk klaster industri teri nasi maupun klaster industri rumput laut.
Saran 1. Penguatan kelembagaan klaster agroindustri hasil laut di Jawa Timur perlu terus dijaga keberlanjutannya melalui peningkatan fungsional dan kolaborasi antar anggota klaster serta penciptaan iklim usaha yang kondusif dari sisi penyediaan infrastruktur ekonomi maupun infrastruktur teknologinya. 2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan yang yang berfokus pada aspek perilaku klaster industri dan aspek keseimbangan finansial serta analisa kebijakan yang lebih
meningkatkan
keberlanjutan
klaster
industri
khususnya
klaster
agroindustri hasil laut. 3. Untuk keberhasilan Implementasi model pengukuran kinerja komprehensif klaster dalam bentuk perangkat lunak Sistem Penunjang Keputusan diperlukan tahap sosialisasi dan pelatihan SPK kepada seluruh pengguna serta diperlukan adanya dukungan sebuah sistem informasi manajemen yang terintegrasi baik secara manual maupun terkomputerisasi sehingga kekinian data dan informasi dapat diandalkan.
DAFTAR PUSTAKA Altenburg T, Stamer JM. 1999. How to Promote Clusters: Policy Experiences from Latin America. World Development 27 (9): 1693-1713 Anderson JA. 1977. An Overview Of Modelling In Agricultural Management. Review of Marketing and Economics 40 (3):111-112. [Anonim]. 2006. APEC Symposium On Industrial Clustering for SMES. APEC Small and Medium Enterrises Working Group. Taipei. [Anonim]. 2002. Competetiveness Cluster-Based Policy. The Cluster Competetiveness Group, Technology Park Valles. E-08290 Cerdanyola (Barcelona). http://www.competetiveness.com. [Anonim]. 1994. The Emerging Optics Cluster of Arizona. Collaborative Economics, Arizona Departement of Commerce, Governor’s Strategic Partnership for Economic Development and Pima & Santa Cruz Countries School To Work Partnership, Inc. [Anonim]. 1994. Governor's Strategic Partnership for Economic Development and Pima & Santa Cruz Countries School To Work Partnership, Inc.. The Emerging Optics Cluster of Arizona. Collaborative Economics, Arizona Departement of Commerce. Armstrong M, Baron A. 1998. Developing Practice Performance Management. British.: Institute of Personnel Development. Austin JE. 1992. Agroindustrial Project Analysis : Critical Design Factors. Baltimore-London: The Johns Hopkins University Press. Bair J., Gereffi G. 2001. Local Clusters in Global Chains: The Causes and Consequences of Export Dynamism in Torreon's Blue Jeans Industry. World Development, 29(11): 1885-903. [Bappenas] Badan Perencanaan Nasional. Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal, Mengenal Klaster, Jakarta: 2004. [Bappenas] Badan Perencanaan Nasional. Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal, Contoh-contoh Pembangunan Klaster, Jakarta: 2004. [Bappenas] Badan Perencanaan Nasional. Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal, Panduan Pembangunan Klaster Industri, untuk Pengembangan Ekonomi Daerah Berdaya Saing Tinggi, Jakarta: 2004. [Bappenas] Badan Perencanaan Nasional. Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal, Kajian Perbandingan Program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil dan Program Pengembangan Wilayah Terpadu, Jakarta: 2004.
[Bappenas] Badan Perencanaan Nasional. Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal, Tata cara Perencanaan Pengembangan Kawasan, untuk Percepatan Pembangunan Daerah Jakarta: 2004. Bell M, Albu M. 1999. Knowledge Systems And Technological Dynamism In Industrial Clusters In Developing Countries. World Development, 27(9): 1715. Bittici US, Carrie AS, Mc-Devitt L. 1996. Performance Measurement : A Business Process View. Proceeding of IFIP WG 5.7 workshop on Modelling Techniques. Bussiness Process and Benchmarking. France. Bititci US, Mendibil K, Nudurupati S, Garengo P, Turner T. 2006. Dynamics of performance measurement and organisational culture. International Journal of Operation and Production Management, 26(12): 1325-1350. Blanchard BS, Fabrycky WJ. 1998. System Engineering and Analysis. Third edition. Prenctice Hall International Inc. Bojadziev G, Bojadziev M. 1997. Fuzzy Logic For Business, Finance and Management. Singapore: World Scientific. Bowerman BL, O’Connell RT, Koehler AB. 2005. Forecasting, Time Series, and Regression, An Applied Approach. USA: Thomson Brooks/Cole.
[BPS] Badan Pusat Statistik. Statistik Indonesia, Statistical Yearbook of Indonesia. Jakarta: 2006. Brasili, Andrea, Epifani P, Helg R. 1999. On the Dynamnics of Trade Patterns. Liuc Papers, 61. Brown JG. 1994. Agroindustrial Investment and Operation. The World Bank: Office of the Publisher. Busi M, Bititci US. 2006. Collaborative performance management: presents gaps and future research. International Journal of Productivity and Performance Management, 55(1):7-25. Caniels, Marjolein CJ, Romijn HA. 2003. SME Clusters, Acquisition of Technological Capabilities and Development : Concept, Practise and Policy Lessons. Journal of industy, Competition and Trade. 3(3): 187. Caniels, Marjolein CJ, Romijn HA. 2003. Dynamic Clusters in Developing Countries: Collective Efficiency and Beyond. Oxford Development Studies, 31(3): 275. Chattergy R, Pooch UW. 1977. Integrated design and verivication of simulation program. Computer, 10 (4): 40-45.
Checkland P. 1995. Model Validation in Soft Systems Practical. System Research 12 (1) 47-48. Checkland P, Scholes J. 1991. Soft System Methodology In Action. England : John Wiley and Sons. Chobanyan, Armen and Leigh L. 2006. The Competitive Advantages Of Nations. International Journal of Emerging Markets, 1(2): 147. Cooper R, Kaplan, Maisel RS, Morrissey LS, Oehm RM. 1992. Implementing Activity-Based Cost Management : Moving From Analysis To Action. New Jersey: Institute of Management Accountants. Cross K.F, Lynch RL. 1989. The SMART Way to Define and Sustain Success. National Productivity Review, 8 (1): 23-33. Dayasindhu, N. 2001. Embeddedness, Knowledge Transfer, Industry Clusters and Global Competitiveness : a Case Study of the Indian Software Industry. Elsevier Science Ltd. [Deperin] Departemen Perindustrian. 2006. Daftar Industri di Indonesia. Jakarta: Pusat Sistem Informasi. [Disperindag] Departemen Perindustrian dan Perdagangan. 2000. Strategi Industri Nasional.. Jakarta. Dixon RW, Nanni AJ, Vollman TE. 1993. The performance challenge: Measuring Operations for World Class Competition, Dow Jones-Irwin, Homewood, II. Eilson B. 2001. Soft System Methodology, Conceptual Model Building and its Contribution. England: John Wiley & Sons. Ltd. Enright J, Tenti P. 1990. How the Diamond Works: The Italian Ceramic Tile Industry. Harvard Business Review, 68(2): 90. Eriyatno, Sofyan F. 2007. Metoda Penelitian Pasca-Sarjana untuk Analisa dan Rancangan Kebijakan. Bogor: IPB Press. Eriyatno. 2003. Ilmu Sistem : Meningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajemen. Bogor: IPB Press. Eriyatno, Larasati L. 1986. Aplikasi Analisa Numerik di Bidang Industri Pangan. Bogor Agricultural University: Course Material, Food Process Engineering Laboratory, Inter University Center.. Fan C, Allen S. 2003. Industrial Agglomeration And Development: A Survey Of Spatial Economic Issues In East Asia And A Statistical Analysis Of Chinese Regions. Economic Geography, 79(3): 295. Forsman,M. and N.Solitander. 2003. Knowledge Transfer in Clusters and Networks, An interdiciplinary conceptual analysis.. Swedish School of Economics: International Business Studies.
Garengo P, Biazzo S, Bititci US. 2005. Performance measurement system in SME : A review for a research agenda. Blackwell Publishing Ltd Gass, S.I. 1983. Desion-Aiding Models : Validation, Assessment And Related Issues For Policy Analysis. Operation Research, 31, 603-631. Goodwin P, Wright D. 2000. Decision Analysis for Management Judgment. England : John Wiley & Sons. . Gunarta, I.K. dan Harisno. 2006. Penentuan Jumlah Kapal Penangkap Ikan Laut Guna Pemanfaatan Potensi Sumber Daya Kelautan yang Berkelanjutan dengan Menggunakan Pemodelan Sistem Dinamik. Jakarta. Hansen A. 2003. Developing a Cluster Based Economic Development Program of A Region. The Competetive Institute. Haykin S. 1994. Neural Networks A Comprehensive Foundation. New Jersey: Prentice Hall. Helmhout AS, Karabulut E. 2006. Institutional Barriers to Enterpreneurship in Clusters : Evidence from the Turkish Textile Sector. International Journal of Emerging Markets, 1(2):128-146. Emerald Group Publishing Limited. Hertog PD. Et al. 1999. Approaches to Cluster Analysis and its Rationale as a Basis of Policy. University of Brighton. Humphrey J, Schmitz H. 2002. How Does Insertion In Global Value Chains Affect Upgrading In Industrial Clusters? Regional Studies, 36(9): 1017. Jackson MC. 2000. Systems Approaches to Management. New York: Kluwer Academic/Plenu Publishers. . Johnston R. 2003. Clusters : A Review. The Australian Center for Innovation Limited. Australia. Kaplan RS, Norton DP. 1996. Translating Strategic into Action-the Balance Scorecard. Boston. Massachusetts: Harvard Business School Press. . Kendrick, Tom. 2003. Identifying and Managing Project Risk: Essential Tools for Failure-Proofing Your Project. New york: Amacom. Kopelmen, RE. 1986. Managing Productivity in Organizations, A Practical, People-Oriented Perspective. Singapore: McGraw-Hill International Edition. Manetsch TJ, Park GL. 1977. System Analysis and Simulations with Application to Economic and Social Systems. USA: Michigan State University. Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Grasindo.
Marimin. 2002. Teori dan Aplikasi Sistem Pakar dalam Teknologi Manajerial. Bogor: IPB Press.. McCarl BA, Apland J. 1986. Validation of linear programming models. Southern Journal of Agricultural Economics, 18 (2), 155-164.
Mesquita LF, Sergio GL. Vertical and Horizontal Relationship in An Industrial Cluster : Implications for Firms’ Access to Global Markets. School of Global Management and Leadership, Arizona State University. Arizona. Midgley G. 2000. Systemic Intervention, Philosophy, Methodology and Practice. New York: Kluwer Academic/Plenu Publishers. Nadvi K, Gerhard H. 2005. Local clusters in global value chains: exploring dynamic linkages between Germany and Pakistan. Entrepreneurship & Regional Development, 17(5): 339-63. Naylor TH, Fingger JM. 1967. Verification of simulation models. Management Science, 14 (92), B92-B106. Neely A, Gregory M, Platts K. 1995. Performance measurement system design: A literature review and research agenda. International Journal of Operation Production Management, 15(4): 80-116. Nepal RB. 1990. Performance Audit of Development Projects: The experience of Nepal. International Journal of Government Auditing, 18(4). OECD. 2000. High-Tech Cluster in North Carolina. Report prepard for the North Carolina Board of Science and Technology by Office of Economic Development University of North California at Chapel Hill. Otsuka K, Sonobe. 2006. The Division of Labor and The Formation of Industrial Clusters in Taiwan. Review of Development Economics, 10(1), 71-86. Paap R, Franses, P.H., dan Dijk D.V. 2005. Does Africa grow slower than Asia, Latin America and the Middle East? Evidence from a new data-based classification method. Journal of Development Economics, 77(2): 553. Partiwi, SG. dan Marimin. 2006. Implementasi metode AHP dan Fuzzy dalam Penentuan Model Pengembangan Klaster Industri di Jawa Timur. Journal OPTIMA, Teknik Industri ITS, 2. Peppard and Rowland. 1995. The Essence of Business Process Re-Engineering. Prentice Hall International. Palpacuer, Florence, Peter Gibbon, and Lotte Thomsen. 2005. New Challenges for Developing Country Suppliers in Global Clothing Chains: A Comparative European Perspective. World Development, 33(3): 409-30. Poncomulyo, Herti M, dan Lusi K. 2006. Budidaya dan Pengolahan Rumput Laut. Agro Media Pustaka. Jakarta.
Porter M.E. 1998. Clusters and the New Economic of Competetion. Harvard Business Review. Porter, Michael. 1990. What Is National Competitiveness? Harvard Business Review, 68(2): 84-85. Porter, M. 1980. Competitive Strategy : Techniques for Analyzing Industries and Competitors : With a New Introduction : The Free Press. Roberts, Edward B. and Todd A. Senturia. 1996. Globalizing the emerging hightechnology company. Industrial Marketing Management, 25(6): 491-506. Rodríguez-Clare, Andrés. 2007. Clusters and comparative advantage: Implications for industrial policy. Journal of Development Economics, 82(1): 43. Roelandt, den Hertag. 1999. Boosting Innovation : The Cluster Approach. OECD, Proceedings. Paris: OECD. Saaty TL. 1998. Multi Criteria Decision Making, The Analytical Hierarchy Process. British Library Cataloguing in Publication Data. United States of America. Saaty TL. 1991. Pengambilan keputusan bagi para Pemimpin. Proses Hirarki Analitik untuk Pengambilan Keputusan dalam situasi yang Kompleks. Seri Manajemen no.134, PPM. Jakarta. Saaty TL. 2001. Decision Making with Dependence and Feedback, The Analytical Network Process. University of Pittsburgh. Saka-Helmhout, Ayse and Elif Karabulut. 2006. Institutional barriers to entrepreneurship in clusters. International Journal of Emerging Markets, 1(2): 128. Scheel, Carlos. 2002. Knowledge clusters of technological innovation systems. Journal of Knowledge Management, 6(4): 356. Schmitz, Hubert. 1999. Collective efficiency and increasing returns. Cambridge Journal of Economics, 23(4): 465. Schmitz, Hubert. 2000. Does Local Co-operation Matter? Evidence from Industrial Clusters in South Asia and Latin America. Oxford Development Studies, 28(3): 323-36. Schmitz, Hubert and J. Humphrey. 2000. How does Insertion on Global Value Chains Affect Upgrading in Industrial Clusters?. Regional Studies,. 36(9): pp. 1017-1027. Schoderbek, Schoderbek and Kefalas. 1985. Management Systems : Conceptual Consideration. Plano. Texas: Business Publications, Inc.
Simatupang T. 1995. Teori Sistem : Suatu Prespektif Teknik Industri. Yogyakarta: Andi Offset. Sonobe, Tetsushi and Keijiro Otsuka. 2006. The Division of Labor and the Formation of Industrial Clusters in Taiwan. Review of Development Economics, 10(1): 71. Stamer MJ. 1999. From Industrial Policy to Regional and Local Locational Policy: Experience from Santa Catarina/Brazil. Bulletin of Latin American Research, 18(4): 451-68. Stenzel Cand J. Stenzel. 2003. From Cost to Performance Management, A Blueprint for Organizational Development. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc. Summanth. 1985. Producttivity Engineering and Management. New York: McGraw-Hill Book Company, Susila WR. 1991. Verifikasi dan Validasi Model. Forum Statistik. Maret-Juni. Suwignjo,P. 1999. Quantitative Methods for Performance Measurement Systems. Department of Design, Manufacture and Engineering Management. University of Stratchlyde. Glasgow. Tabucanon MT. 1988. Multiple Criteria Decision Making in Industri. Elsevier. Amsterdam. The U.S. Department of Economic and Community Development. 1999. Connecticut Industry Clusters. [TIN-FATETA-IPB] Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Prosiding Simposium Nasional Pengembangan Agroindustri. FATETA IPB:1983. [TIN-FATETA-IPB] Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Prosiding Simposium Nasional Agroindustri II. FATETA IPB:1987. Turner TJ, Bititci US, Nudurupati SS. 2005. Implementation and impact or performance measure in two SME in Central Scotland. Production Planning and Control, 16(2): 135-151. Van Dijk, Pieter M. and Sverrisson A. 2003. Enterprise clusters in developing countries: mechanisms of transition and stagnation. Entrepreneurship & Regional Development, 15(3): 183-206. Wirabrata H. 2003. Konsep Klaster. Materi pembicara sebagai nara sumber pada sosialisasi konsep klaster, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Kantor Wilayah Jawa Timur. Surabaya. Young SD, Stephen FO. 2001. EVA and Value Based Management, A Practical Guide to Implementation. USA: McGraw Hill Company.
PETUNJUK PENGGUNAAN PROGRAM APLIKASI SISTEM PENUNJANG KEPUTUSAN PENGUKURAN KINERJA KLASTER AGROINDUSTRI HASIL LAUT C-PROMEAS
PENGANTAR Program aplikasi Sistem Penunjang Keputusan (SPK) dibangun dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi implementasi model pengukuran kinerja klaster agroindustri hasil laut yang telah dihasilkan dari penelitian. Program ini didisain sedemikian rupa sehingga dapat membantu pengambil keputusan dalam pengelolaan kinerja klaster agroindustri hasil laut. Keputusan-keputusan yang dihasilkan diharapkan dapat lebih efektif sehingga mampu meningkatkan kinerja klaster agroindustri secara komprehensif di masa mendatang. Disain SPK diupayakan untuk dapat digunakan secara mudah dan interaktif oleh pengguna sesuai dengan kebutuhannya. Model SPK C-PROMEAS terdiri dari sub menu database, sub menu model base, sub menu knowledge base, sub menu scoring board dan sub menu simulasi. Masing-masing sub menu akan diuraikan fungsinya secara sistematis dalam manual ini.
1. Instalasi Program Install PHP dan MySQL server untuk localhost dengan double klik pada file Appserv Set username : root dan password : (kosong) Tekan tombol ‘next’ sampai selesai Install MySQL Front Buat koneksi dengan username : root, password : (kosong), ok Tools Æ create database, buat database dengan nama Kpi Klik Tab bar Query, buka file Kpi.sql Jalankan file tersebut (atau tekan F9) Copy folder Kpi yang dibuat ke folder (:\appser\www.kpi) Jalankan lewat browser untuk alamat localhost/kpi
Lampiran Panduan Operasional SPK
1
2. Membuka Program Aplikasi Buka Internet Explorer Tulis alamat website program aplikasi, atau ketik ‘localhost/kpi’ untuk komputer localhost Keluar tampilan:
Membuka aplikasi
Tampilan menu utama
2. MEMBUKA MENU ‘DATABASE’
Klik Menu Database pada menu utama program, maka akan tampil beberapa sub menu yang terdiri dari database yang bisa di update yaitu o
Capaian indikator kinerja pelaku industri dalam klaster
o
Nilai bobot kriteria dan indikator kinerja
o
Batasan kategori/status kinerja parsial klaster
database yang bersifat informatif dalam posisi statis
Lampiran Panduan Operasional SPK
2
Untuk mengubah data, misalnya data capaian indikator kinerja, klik sub menu tersebut maka akan keluar tampilan “Daftar Perusahaan Di Bidang Agroindustri Hasil Laut Produk Terinasi Di Jawa Timur”,
Pilih ‘UBAH’ untuk mengubah data capaian dari IKK yang terpilih Lampiran Panduan Operasional SPK
3
Keluar tampilan sebagai berikut:
Isikan capaian ‘text box’ yang disediakan untuk masing-masing IKK, tekan ‘UBAH’ jika selesai. Untuk mengubah data nilai bobot kriteria dan indikator kinerja, klik sub menu nilai bobot kriteria dan indikator kinerja, maka akan keluar tampilan :
Klik di sini untuk ubah bobot
Lampiran Panduan Operasional SPK
4
Pilih Tujuan 1 sampai 5 untuk melihat Aspek, Kriteria, Sub Kriteria, dan IKK yang diinginkan Tekan angka pembobotan untuk mengubah bobot masing-masing Tujuan, Aspek, Kriteria, Sub Kriteria, dan IKK yang diinginkan
Keluar tampilan:
Tekan ‘UBAH’ jika sudah selesai
2. MEMBUKA MENU ‘MODEL’
Klik Menu ‘MODEL’ pada menu utama program dan pilih model yang diinginkan maka secara otomatis akan muncul model dimaksud dan siap untuk dioperasikan
Lampiran Panduan Operasional SPK
5
Klik disini
3. MEMBUKA MENU ‘KNOWLEDGE DATABASE’
Buka Menu ‘KNOWLEDGE DATABASE’’ pada menu utama
Jika di klik sub menu ‘rekomendasi’ maka akan keluar tampilan sebagai berikut:
Lampiran Panduan Operasional SPK
6
4. MEMBUKA MENU ‘SCORING BOARD’ Buka Menu ‘SCORING BOARD’’ pada menu utama Keluar tampilan sebagai berikut:
Lampiran Panduan Operasional SPK
7
Tekan ‘UPDATE’ untuk melihat kondisi terakhir dari Status IKK Masing-masing Status IKK dapat ditekan untuk melihat rekomendasi tindakan yang akan dilakukan Range Nilai dapat diubah. Setiap pengubahan range nilai, diikuti penekanan tombol ‘UPDATE’.
5. MEMBUKA MENU ‘SIMULATION’
Buka Menu ‘SIMULATION’’ pada menu utama Keluar tampilan sebagai berikut:
Lampiran Panduan Operasional SPK
8
Perubahan angka pada setiap parameter pada lokasi di atas, dapat dilakukan dengan menggerakkan krusor untuk menentukan angka yang diinginkan. Perubahan ini akan otomatis merubah tampilan financial assessment untuk nelayan, seperti terlihat pada tampilan berikut :
Lampiran Panduan Operasional SPK
9
Lampiran Panduan Operasional SPK
10
Lampiran 4.1 Level agroindustri pada klaster industri teri nasi menurut Austin (1981)
Lampiran Kategori Agroindustri Hasil Laut berdasarkan Level Transformasi
1
Lampiran 4.2 agroindustri pada klaster industri rumput laut menurut Austin (1981)
Lampiran Kategori Agroindustri Hasil Laut berdasarkan Level Transformasi
2