151
BAB VII PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI SUTERA ALAM 7.1. Kebijakan Pengembangan Klaster Dalam era globalisasi dan peningkatan persaingan timbul banyak tantangan terhadap kemampuan perusahaan-perusahaan untuk menyesuaikan diri secara fleksibel dari aspek pasar, produk, teknologi dan organisasi. Secara individual, usaha agroindustri sutera alam yang pada umumnya merupakan usaha kecil menengah (UKM) seringkali tidak sanggup menangkap peluang pasar yang membutuhkan jumlah volume produksi yang besar, standar yang homogen dan penyerahan yang teratur. Usaha ini seringkali mengalami kesulitan mencapai skala ekonomis dalam pembelian inputs (seperti peralatan, dan bahan baku) dan akses jasa keuangan dan konsultasi. Jaringan bisnis dan klaster industri sudah terbukti merupakan suatu alat (means) yang baik untuk mengatasi hambatan akibat ukuran usaha tersebut dan berhasil mengatasi persaingan dalam suatu lingkungan pasar yang semakin kompetitif. Melalui jaringan bisnis, usaha kecil menengah individual dapat mengatasi masalah akibat ukuran dan memperbaiki posisi kompetitifnya. Melalui kerja-sama horizontal misalnya bersama UKM lainnya menempati posisi yang sama dalam mata-rantai nilai (value chain) secara kolektif perusahaan-perusahaan dapat mencapai skala ekonomis melampaui jangkauan perusahaan kecil individual dan dapat memperoleh input pembelian-curah (bulk-purchase), mencapai skala optimal dalam penggunaan peralatan, dan menggabung kapasitas produksi untuk memenuhi order skala besar. Kerjasama antar perusahaan juga memberi kesempatan tumbuhnya ruang belajar secara kolektif yang terjadi pengembangan saling tukar pendapat dan saling bagi pengetahuan dalam suatu usaha kolektif untuk meningkatkan kualitas produk dan pindah ke segmen pasar yang lebih menguntungkan. Terakhir, jaringan bisnis diantara perusahaan, penyedia jasa layanan usaha (misalnya institusi pelatihan, sentra teknologi, dan sebagainya) dan perumus kebijakan lokal, dapat mendukung pembentukan suatu visi pengembangan lokal bersama dan memperkuat tindakan kolektif untuk meningkatkan daya-saing UKM (UNIDO, 1999).
152
Menurut Raines (2002) cara pemerintah melakukan intervensi pada kebijakan pengembangan klaster antara lain : 1. Tindakan yang difokuskan pada keterkaitan spesifik yang dapat meningkatkan jejaring antara anggota klaster, antara satu pelaku dengan pelaku usaha lain atau antara pelaku usaha dengan lembaga penelitian. Keterkaitan antara pelaku usaha sangat penting terutama dengan para pemasok dalam rangka mencapai skala ekonomi atau terjadinya alih pengalaman, keterampilan dan teknologi. Keterkaitan antara pelaku usaha dengan lembaga penelitian dapat meningkatkan komersialisasi dan kemampuan riset. 2. Aktivitas untuk meningkatkan common resources dalam rangka peningkatan daya saing seperti: penyediaan informasi pasar dan informasi bisnis, peningkatan sumber daya manusia, serta peningkatan infrastruktur umum dan khusus. 3. Tindakan untuk meningkatkan community building, yang bertujuan untuk mengupayakan agar anggota klaster berpikir dan bertindak untuk menciptakan identitas klaster tersebut. Selanjutnya Raines (2002) berpendapat bahwa identitas klaster dapat dibangun melalui dukungan terhadap pembentukan asosiasi diantara para pelaku usaha klaster, mendorong hubungan yang lebih sering diantara para anggota, meningkatkan pemahaman anggota dan meningkatkan sense of belongings para anggota. Identitas yang terbentuk dapat memberikan image tertentu yang bermanfaat untuk kegiatan pemasaran dan menarik investasi ke dalam klaster. Identitas klaster tersebut dapat diciptakan melalui kegiatan antara lain : (a) Melaksanakan pertemuan reguler para anggota klaster untuk membahas masalah, mencari solusi dan menumbuhkan perasaan kebersamaan, (b) Menjalin komunikasi secara terus menerus untuk meningkatkan kepercayaan sesama anggota klaster, (c) Branding digunakan untuk menghimpun potensi berbagai bagian dari klaster. Pemerintah dalam hal ini Departemen Perindustrian mengimplementasikan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2005-2009 yang mengarahkan pengembangan 10 (sepuluh) industri prioritas melalui pendekatan klaster. Salah satu industri prioritas yang perlu dikembangkan adalah industri tekstil produk tekstil (TPT) dimana sutera alam termasuk dalam subsektor industri tersebut. Dengan demikian
153
pengembangan agroindustri sutera alam juga harus mengikuti arahan dimaksud. Dalam rangka menentukan industri yang prospektif untuk dikembangkan di masa depan telah dilakukan pengukuran daya saing. Pengukuran dilakukan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing internasional industri Indonesia. Indikator yang digunakan untuk melihat faktor yang mempengaruhi daya saing internasional terdiri atas 15 parameter dari sisi penawaran (supply side) dan 8 parameter dari sisi permintaan (demand side). Adapun ke-23 parameter tersebut adalah sebagai berikut : (1) Modal Dasar, (2) Ukuran Perusahaan, (3) Struktur Kepemilikan, (4) Spesialisasi, (5) Penganekaragaman, (6) Keluaran, (7) Nilai Tambah, (8) Biaya Tenaga Kerja, 99) Asset Tetap, (10) Produktivitas, (11) Cakupan Ekspor, (12) Ketrgantungan Impor, (13) FDI dan Cakupan Ekspor, (14) Faktor Intensitas, (15) Teknologi, (16) Nilai Ekspor, (17) Pangsa Pasar di Dunia, (18) Impor, (19) Intra Industry Trade, (20) Keunggulan Komparatif (RCA), (21) Dinamisme Ekspor, (22) Struktur Pasar Impor Dunia, (23) Struktur Persaingan Dunia (Depperin, 2006a). Hasil analisis pengukuran daya saing terhadap industri yang sudah berkembang di Indonesia tersebut dibagi ke dalam dua kelompok berdasarkan orientasi pasarnya, yaitu Kelompok Industri Potensi Ekspor dan Kelompok Industri Potensi Pasar Dalam Negeri. Selanjutnya edua kelompok tersebut dibedakan kembali atas 4 (empat) kategori, sebagai berikut: 1. Industri Padat Sumber Daya Alam, meliputi industri-industri yang banyak menggunakan sumber daya alam sebagai bahan baku. Industri ini mempunyai potensi yang kuat dari sisi internal supply, dan untuk pengembangan produk ini sudah dapat didukung oleh litbang dalam negeri. 2. Industri Padat Tenaga Kerja, meliputi industri-industri yang banyak menggunakan tenaga kerja. Untuk dapat mengembangkan produk ini diperlukan usaha meningkatkan keterampilan dan produktivitas tenaga kerja, baik melalui pendidikan dan pelatihan maupun penerapan teknologi. 3. Industri Padat Modal, meliputi industri-industri yang banyak menggunakan modal. Dalam pengembangan produk ini diperlukan usaha meningkatkan penanaman modal asing. Pada umumnya untuk mengembangkan produk ini sangat tergantung pada faktor eksternal.
154
4. Industri Padat Teknologi, meliputi industri-industri yang mengandalkan teknologi sebagai faktor keunggulan untuk bersaing. Untuk mengembangkan produk ini diperlukan usaha meningkatkan penguasaan teknologi, baik melalui alih teknologi (antara lain melalui teknologi yang menyatu pada barang modal yang diimpor, dan lain-lain) maupun melalui libang teknologi oleh bangsa Indonesia sendiri (Depperin 2006a). Kriteria pemilihan industri inti (Core Industry) potensial ekspor untuk setiap sub sektor industri dalam masing-masing kelompok adalah sebagai berikut: •
Industri padat sumber daya alam: nilai ekspor, kandungan lokal, orientasi pasar, dan nilai produksi
•
Industri padat tenaga kerja: nilai ekspor, penyerapan tenaga kerja, nilai tambah per tenaga kerja, orientasi pasar, clan nilai produksi
•
Industri padat modal: total investasi, ICOR, nilai tambah, orientasi pasar, dan nilai produksi
•
Industri padat teknologi: nilai ekspor, kandungan impor, nilai tambah, nilai produksi, orientasi pasar, biaya litbang, dan pelatihan tenaga kerja. Kriteria pemilihan industri potensi dalam negeri untuk setiap sub sektor
industri dalam masing-masing kelompok sama dengan potensi ekspor, tetapi kriteria nilai ekspornya diganti dengan prosentase output yang dijual ke pasar dalam negeri. Industri potensi ekspor menunjukkan bahwa industri tersebut telah dapat memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri, sehingga produksinya diekspor karena tingginya permintaan pasar dunia. Sedangkan pada industri potensi pasar dalam negeri menunjukkan bahwa industrinya saat ini masih berorientasi untuk memenuhi permintaan pasar dalam negeri, dan diharapkan pada masa mendatang mampu bersaing di pasar dunia (Depperin 2006a). Uraian di atas menjelaskan bahwa Departemen Perindustrian mengembangkan klaster industri dengan menetapkan industri inti melalui beberapa kriteria, sedangkan untuk pengembangan klaster IKM hanya batu mulia dan perhiasan yang dijadikan industri inti. Pemilihannya dilakukan karena industri tersebut mempunyai ciri produksi berupa kerajinan dan barang seni atau produk-produk yang berhubungan dengan industri pariwisata.
155
Pengembangan klaster industri yang dilakukan tidak membatasi wilayah geografis, sebagai contoh klaster rotan dengan industri intinya berada di Cirebon sedangkan pasokan bahan baku berasal dari Sulawesi Tengah dan Kalimantan Tengah serta pemasarannya tidak hanya untuk lokal tetapi juga untuk ekspor. Pengembangan klaster di Departemen Perindustrian tidak bertentangan dengan pengembangan agroindustri sutera alam yang dilakukan dalam penelitian ini. 7.2. Pengembangan Klaster Agroindustri Sutera Alam Identifikasi lokasi melalui teknik LQ dan pemilihan lokasi dengan menggunakan metode AHP menunjukkan bahwa Kabupaten yang berpotensi untuk pengembangan klaster agroindustri sutera alam secara berurutan dari paling potensial adalah Kabupaten Wajo, Kabupaten Soppeng, Kabupaten Enrekang, Kabupaten Sidrap dan Kabupaten Bone. Hasil ini menunjukkan bahwa Kabupaten Wajo ditinjau dari sisi keterkaitan usaha, potensi industri, dukungan pemerintah daerah, ketersediaan infrastruktur ekonomi, serta lembaga pendukung seperti perguruan tinggi memiliki potensi relatif paling tinggi dibandingkan dengan Kabupaten lainnya. Pengembangan klaster agroindustri memerlukan pengembangan keterkaitan termasuk keterkaitan antar daerah. Dengan adanya keterkaitan antar daerah potensial seperti halnya Kabupaten Soppeng, Enrekang, Sidrap dan Bone bahkan jika memungkinkan dapat juga mengembangkan keterkaitan dengan daerah lainnya sperti Garut di Jawa Barat, dan lain-lain. Kekurangan Kabupaten Wajo dapat ditutup oleh daerah lain yang memiliki kelebihan, sehingga skala ekonomi dapat dicapai, transfer teknologi dapat terlaksana, proses produksi lebih efisien dan luberan produksi atau pemasaran dapat dimanfaatkan. Sebagai contoh daerah Kabupaten Enrekang memilki industri pemintalan terbesar di daerah Sulawesi Selatan sehingga pasokan sebagian besar bahan baku benang yang digunakan di Kabupaten Wajo berasal dari Kabupaten Enrekang. Menurut Wirabrata (1998) salah satu persyaratan dalam pengembangan klaster adalah adanya industri inti. Industri ini diharapkan menjadi penggerak utama dalam pengembangan klaster. Sesuai hasil identifikasi rantai nilai agroindustri sutera alam maka industri pertenunan merupakan industri inti yang ditetapkan melalui pemilihan dengan menggunakan teknik Analytical Hierarchy Process (AHP). Industri inti
156
diharapkan dapat menggerakkan usaha lainnya baik ke arah hilir maupun ke hulu. Dengan mengembangkan industri pertenunan diharapkan mempunyai dampak terhadap usaha pemintalan yang menghasilkan benang sebagai bahan baku industri pertenunan. Peningkatan usaha pemintalan dapat berdampak positif terhadap usaha perkebunan/pemelihara ulat sutera yang menghasilkan kokon dimana industri pemintalan merupakan pasar bagi kokon. Selanjutnya pengembangan usaha pertenunan dapat meningkatkan usaha pembatikan yang merupakan pasar bagi usaha pertenunan sutera. Semakin berkembang usaha pertenunan maka jaminan supplai bahan baku kain sutera bagi usaha pembatikan semakin terjamin. Untuk mengembangkan keterkaitan memerlukan berbagai sarana dan prasarana yang mendukung terbentuknya hubungan antar daerah-daerah tersebut yang antara lain adalah kelembagaan dan teknologi selain hubungan profesional yang dapat memberi manfaat kepada kedua belah pihak yang berhubungan. Pengembangan kelembagaan menuntut adanya pengaturan hak dan kewajiban yang dituangkan dalam suatu perjanjian yang mengikat. Agar sistem kelembagaan dapat berjalan secara efektif dan produktif, maka pihak-pihak yang berhubungan harus saling memahami dan menghargai kepentingan
masing-masing pelaku. Dengan demikian, untuk
merancang sistem kelembagaan yang efektif perlu meramu berbagai kepentingan secara harmonis dan sinergis. Keberadaan anggota dari pemerintah daerah dalam kelembagaan klaster dapat memudahkan koordinasi antar daerah. Selain itu, keterkaitan dapat meningkatkan kontinyuitas pasokan bahan baku melalui penggunaan bahan baku daerah alternatif lain yang memiliki kedekatan spasial. Peningkatan kontinyuitas produksi
akan menurunkan biaya produksi,
meningkatkan pelayanan kepada pelanggan, meningkatkan
skala ekonomi,
meningkatkan pendayagunaan kapasitas dan meningkatkan ketersediaan produk baik dari aspek kualitas maupun kuantitas, yang akhirnya akan meningkatkan daya saing produk sutera alam. Hasil dari identifikasi dan strukturisasi elemen sistem dengan
teknik
Interpretative Structural Modelling (ISM) yang telah dibahas pada bab sebelumnya adalah proses penemuan elemen dan penstrukturan elemen
sistem berdasarkan
pengetahuan ahli. Elemen kunci dan elemen yang mempunyai daya dorong kuat
157
merupakan
data atau informasi yang mempunyai
nilai manfaat tinggi apabila
digunakan untuk dasar perancangan sistem yang efektif. Hasil identifikasi elemen kunci pada elemen-elemen tujuan, kendala, kebutuhan, aktivitas, pelaku, peranan pemerintah, faktor keberhasilan dan hambatan pembentukan klaster pada sistem pengembangan agroindustri sutera alam disajikan pada Gambar 56. Tujuan 1. Meningkatkan pemasaran 2. Meningkatkan produktivitas dan efisiensi 3. Meningkatkan kualitas 4. Mengembangkan disain
Kendala 1. Rendahnya kualitas BB 2. Keterbatasan teknologi 3. Terbatasnya modal
Kebutuhan 1. Terjaminnya kualitas bahan baku 2. Tersedianya bantuan modal 3. Tersedianya SDM berkualitas 4. Tersedianya bantuan teknologi
Pelaku 1. Pemerintah Pusat 2. Pemerintah Daerah 3. Fasilitator
Keberhasilan Pengembangan Klaster 1. Kerjasama/network 2. Komunikasi 3. Kepemimpinan/Kewirausahaan 4. Dukungan Fasilitator
Sistem Pengembangan Agroindustri Sutera Alam melalui Pendekatan Klaster
Aktivitas 1. Meningkatkan keterkaitan dengan lembaga keuangan 2. Pengadaan bahan baku berkualitas 3. Meningkatkan kemampuan teknologi 4. Meningkatkan kemampuan SDM
Peranan Pemerintah 1. Melakukan koordinasi antar instansi terkait 2. Melaksanakan diklat dan sosialisasi. 3. Memberikan bantuan mesin dan peralatan 4. Memfasilitasi pertemuan antar anggota klaster
Hambatan Pembentukan Klaster 2. Lemahnya system kelembagaan 3. Belum adanya sikap saling percaya antar pengusaha 4. Kurangnya pemahaman pengusaha tentang manfaat klaster
Gambar 56. Sub Elemen dengan Driver Power yang Kuat pada Sistem Pengembangan Agroindustri Sutera Alam melalui Pendekatan Klaster
158
Gambar 56 menunjukkan bahwa terjaminnya kualitas bahan baku, tersedianya bantuan teknologi, tersedianya SDM berkualitas dan tersedianya bantuan modal merupakan elemen kunci kebutuhan pengembangan sistem agroindustri sutera alam. Pemenuhan kebutuhan tersebut akan mendukung terpenuhinya elemen kebutuhan lain. Terjaminnya kualitas bahan baku akan meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan sesuai dengan standar mutu yang telah ditetapkan berdasarkan kebutuhan stakeholders. Pencapaian kualitas yang tinggi dimungkinkan apabila ada bantuan teknologi dan kemampuan SDM ditingkatkan. Oleh karena pengrajin sutera sebagian besar adalah industri kecil dan menengah yang kebanyakan masih menggunakan teknologi sederhana dan tingkat pendidikan yang relatif rendah, maka bantuan teknologi dan peningkatan ketrampilan para pengrajin perlu dilakukan. Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, pemerintah dan swasta mempunyai peran yang penting. Keterbatasan modal mengakibatkan kurangnya kemampuan para pengusaha untuk melakukan revitalisasi peralatan yang sudah sudah tua sehingga berdampak terhadap rendahnya kualitas kain yang diproduksi demikian juga akan menyebabkan produktivitas yang rendah. Selain itu terbatasnya modal untuk digunakan sebagai modal kerja berpengaruh terhadap kelancaran usaha. Unuk mengatasi kendala tersebut pemerintah perlu memfasilitasi usaha agroindustri sutera alam dengan memberikan bantuan permodalan malalui skim sesuai kebutuhan. Hasil pengolahan data pada elemen pelaku menunjukkan bahwa pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah bersama dengan fasilitator memiliki kekuatan penggerak yang relatif terbesar dibandingkan dengan para pelaku pengembangan agroindustri sutera alam lainnya. Kekuatan ini terletak pada kemampuan pemerintah dalam melakukan koordinasi antar instansi terkait, melaksanakan diklat dan sosialisasi, memberikan bantuan mesin dan peralatan serta memfasilitasi pertemuan antar anggota klaster. Pengembangan
klaster
agroindustri
sutera
pada
prinsipnya
adalah
mengembangkan jalinan keterkaitan antar industri, baik industri penunjang maupun industri pendukung, secara vertikal maupun horizontal. Perbedaan kepentingan dan kepemilikan sumber daya dari masing-masing pelaku yang tercermin pada hasil
159
verifikasi pada elemen kendala yaitu rendahnya kualitas bahan baku, keterbatasan teknologi dan kurangnya modal memunculkan hambatan-hambatan untuk menjalin keterkaitan yang saling menguatkan dan saling menguntungkan diantara industriindustri yang terkait. Hal ini tercermin dari hasil pengolahan data elemen hambatan pembentukan klaster yaitu lemahnya system kelembagaan, kurangnya pemahaman pengusaha tentang manfaat klaster, belum adanya sikap saling percaya diantara para pengusaha. Untuk mengatasi hambatan tersebut di atas, pemerintah mempunyai peranan yang sangat penting, baik sebagai fasilitator maupun regulator. Dari sisi fasilitator pemerintah dapat memfasilitasi adanya forum-forum komunikasi sebagai tempat para pelaku industri sutera untuk melakukan diskusi, konsultasi atau kompromi dalam rangka penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi industri sutera alam dengan prinsip saling menguntungkan. Dari aspek regulator, pemerintah dapat membuat peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh para pelaku industri untuk saling menguatkan dan saling menguntungkan. Hasil pengolahan data elemen tujuan pada pengembangan agroindustri sutera adalah meningkatkan pemasaran, meningkatkan produktivitas dan efisiensi, meningkatkan kualitas dan mengembangkan disain. Produktivitas adalah rasio antara output dibanding input. Dengan demikian peningkatan produktivitas dapat dilakukan melalui peningkatan output dengan input tetap, penurunan input dengan output tetap atau peningkatan output yang lebih besar dibanding dengan peningkatan input. Peningkatan produktivitas agroindustri sutera dapat dilakukan dengan peningkatan teknologi, peningkatan ketrampilan sumberdaya manusia, atau peningkatan kualitas bahan baku. Peningkatan teknologi dapat meningkatkan produktivitas, kualitas dan pengembangan disain. Dengan peningkatan kualitas dan disain produk akan meningkatkan harga yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan para pelaku usaha industri inti. Hasil pengolahan data elemen keberhasilan pengembangan klaster agroindustri sutera menurut para ahli adalah terbentuknya kerjasama atau jejaring, terjalinnya komunikasi diantara para pelaku secara harmonis, tumbuh dan berkembangnya jiwa kewirausahaan serta adanya dukungan dari fasilitator. Terbentuknya kerjasama atau networking, terjalinnya komunikasi diantara para pelaku dan berkembangnya jiwa
160
kewirausahaan memerlukan sarana dan prasarana, termasuk teknologi dan iklim usaha yang kondusif. Hal ini dapat dilakukan melalui aktivitas pengembangan kelembagaan usaha, peningkatan kemampuan teknologi dan menciptakan kesepakatan harga yang saling menguntungkan. 7.3. Implikasi Kebijakan Pengembangan Klaster Agroindustri Sutera Alam Pengembangan klaster agroindustri menurut pembahasan terdahulu dapat meningkatkan daya saing produk yang dihasilkan melalui peningkatan keterkaitan antar sektor, peningkatan produktivitas, penurunan biaya transaksi dan peningkatan kemampuan inovasi. Todling (2001) menyatakan bahwa jaringan antara perusahaanperusahaan, perguruan tinggi, pembeli, dan institusi lainnya yang terkait dalam rantai produksi akan menciptakan nilai tambah. Dalam klaster terjadi hubungan vertikal antara pemasok dengan pembeli, hubungan horisontal antara perusahaan dengan pesaingnya, dan juga hubungan antara organisasi-organisasi pendukung. Agar kebijakan pengembangan agroindustri sutera alam dapat mencapai tujuan seperti yang diharapkan perlu penetapan lokasi pengembangan, pengembangan industri inti melalui peningkatan permodalan, peningkatan teknologi, peningkatan kualitas produk, pengembangan disain, peningkatan sumber daya manusia (SDM), pembentukan kelembagaan klaster yang kuat yang dapat menjamin keuntungan secara proporsional dan berkelanjutan. 7.3.1. Penetapan Lokasi Pengembangan Klaster Dari hasil pemilihan lokasi ditetapkan Kabupaten Wajo menjadi daerah yang paling potensial dalam pengembangan agroindustri sutera alam di Sulawesi Selatan. Pemilihan dan penetapan lokasi sangat penting terutama untuk mengefisienkan dan mengefektifkan kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan dalam klaster antara lain dalam pengkoordinasian dan pembentukan klaster. Penetapan Kabupaten Wajo sebagai daerah pengembangan agroindustri melalui pendekatan klaster sangat didukung oleh Pemerintah Daerah. 7.3.2. Pengembangan Industri Inti Dari hasil pengelompokan elemen pengembangan industri inti untuk sub elemen kendala pengembangan terlihat bahwa kendala yang perlu segera diatasi
161
adalah rendahnya kualitas bahan baku, model yang terbatas, keterbatasan teknologi. Hal ini memberikan pengertian bahwa pengembangan agroindustri sutera alam harus memprioritaskan kegiatan untuk mengatasi permasalahan utama tersebut. a. Peningkatan permodalan Dari hasil pengolahan data tingkat kepentingan sub elemen kendala untuk pengembangan industri inti ditemukan modal yang terbatas merupakan elemen yang penting dan menjadi prioritas untuk diselesaikan. Pada umumnya para pengusaha mengalami kesulitan modal kerja terutama disebabkan karena hasil penjualan produk umumnya tidak dibayar tunai oleh para pembeli. Biasanya para pengusaha mendapatkan pembayaran jika barang telah laku dijual seluruhnya oleh pembeli dalam hal ini pedagang. Hal tersebut mengakibatkan para pengusaha memerlukan modal kerja yang biasanya dilakukan dengan meminjam dari pengusaha lainnya, karena terbatasnya akses ke perbankan. Meskipun bunganya relatif tinggi alternatif tersebut dilakukan karena biasanya prosesnya cepat. Melihat hal tersebut peran pemerintah sangat diperlukan untuk mengatasi permasalahan. Meskipun saat ini telah dikeluarkan beberapa skim permodalan untuk usaha kecil menengah pada kenyataannya para pengusaha belum dapat menikmati fasilitas tersebut karena persyaratan-persyaratan yang tidak bisa dipenuhi antara lain prosedur yang dianggap rumit dan persyaratan kolateral (jaminan) yang harus disediakan. Beberapa skim kredit, bagi UKM antara lain pemanfaatan laba BUMN dan bantuan modal melalui Lembaga Pembinaan Terpadu Industri dan Dagang Kecil (LPT-Indak). Khusus untuk LPT Indak yang dikelola oleh Departemen Perindustrian kinerjanya kurang memuaskan dilihat dari tingkat pengembalian yang sangat rendah. Namun demikian skim tersebut dipandang masih perlu diteruskan dan perlu dilakukan pembenahan-pembenahan. Menindaklanjuti Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan UMKM, pada tanggal 9 Oktober 2007 telah ditandatangani Nota Kesepahaman Bersama (Memorandum of Understanding) antara beberapa Kementrian dan Lembaga dengan Perusahaan Umum Sarana Pengembangan Usaha, PT (Persero) Asuransi Kredit Indonesia dan
162
PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, PT Bank Tabungan Negara (Persero), PT Bank Bukopin Tbk, PT Bank Syariah Mandiri tentang Penjaminan Kredit/ Pembiayaan kepada Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi. Tujuan Nota Kesepahaman Bersama ini adalah untuk meningkatkan akses pembiayaan dan mengembangkan
UMKM
dan
Koperasi
dalam
rangka
penanggulangan/
pengentasan kemiskinan dan perluasan kesempatan kerja. Bantuan kredit maksimal sebesar Rp. 500 juta bagi UMKM yang dinilai feasible namun tidak bankable. Artinya perusahaan tidak memerlukan jaminan atau agunan jika mengajukan kredit. Jumlah jaminan yang disediakan pemerintah sebesar 1,4 triliun, diharapkan dapat diputar oleh Bank sebesar 14 Triliun (gearing ratio 10 kali) dengan bunga kredit hanya 16 % per tahun. Skim perkreditan lainnya yang dapat diakses oleh usaha yang masih lemah adalah skim model Grameen Bank yaitu salah satu skim yang telah berhasil diterapkan di Bangladesh. Skim tersebut diperuntukkan bagi usaha yang masih lemah. Skim tersebut sudah diimplementasikan di daerah Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat dengan nama proyek ”Karya Usaha Mandiri” atau KUM. Prinsip utama KUM yaitu 1) tidak memerlukan jaminan, 2) Angsurannya relatif kecil dan dapat diangsur secara mingguan 3) apabila peminjam meninggal sisa pinjaman dihapuskan, (4) Prosedur sederhana, (5) Adanya transfer ilmu pengetahuan tentang pengelolaan dan keuangan usaha, (6) Ada dana tabungan kelompok yang dapat dipinjamkan kepada setiap anggota, (7) Antar anggota kelompok mempunyai hubungan yang erat (P2E-LIPI, 2003). b. Peningkatan Teknologi Saat ini teknologi yang digunakan sangat sederhana dengan peralatan bukan mesin serta kondisinya sebagian besar telah tua sehingga produktivitas rendah, kualitas kain yang dihasilkan rendah serta sulit untuk melakukan diversifikasi motif maupun disain produk. Investasi untuk pengembangan teknologi sangat kurang karena terbatasnya modal. Untuk meningkatkan produktivitas dapat dilakukan dengan perubahan teknologi dari alat tenun bukan mesin (ATBM) menjadi alat tenun mesin (ATM),
163
namun perubahan teknologi tersebut mempunyai dampak yang sangat besar terutama penyediaan modal untuk investasi, dan peningkatan kualitas bahan baku benang karena bahan baku yang diperlukan harus mempunyai kualitas yang baik dengan kekuatan yang tinggi. Untuk saat ini kualitas benang hasil produksi dalam negeri masih belum mampu untuk ditenun dengan menggunakan ATM. Salah satu faktor penyebab kualitas benang yang rendah karena mesin peralatan pemintalan yang digunakan saat ini tidak mempunyai detektor (alat untuk mendeteksi jika filamen putus). Hal tersebut menyebabkan hasil produksi tidak rata karena jumlah filamen dalam benang tidak seragam. Jika benang hasil produksi dalam negeri dibandingkan dengan produksi impor seperti benang dari China, atau Thailand kualitas benang produksi dalam negeri jauh lebih rendah. Produsen benang sutera di China dan Thailand sebagian besar telah menggunakan mesin peralatan semi automatis dan automatis yang dilengkapi dengan peralatan pendeteksi filamen putus dan umumnya usaha industri pemintalan di China dan Thailand sudah berskala menengah dan besar. Usaha persuteraan alam di Indonesia umumnya masih berskala kecil dengan produktivitas dan kualitas yang rendah. Meskipun beberapa tahun yang lalu ada beberapa industri pemintalan yang berskala menengah saat ini sudah berhenti beroperasi karena kekurangan bahan baku. Kurangnya bahan baku karena petani/pemelihara ulat sutera tidak mempunyai lahan yang cukup serta nilai tambah yang diperoleh petani kurang menjanjikan. Untuk membantu pengusaha dalam hal peralatan, diperlukan fasilitasi peningkatan kemampuan Unit Pelayanan Teknis yang ada di Kab. Wajo agar dapat digunakan oleh para pengusaha untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas produk yang dihasilkan. b. Peningkatan Kualitas Produk Hasil pengolahan data tingkat kepentingan sub elemen kendala untuk pengembangan industri inti ditemukan rendahnya kualitas bahan baku sehingga kualitas kain juga rendah dan kendala ini merupakan elemen penting yang perlu ditangani segera. Rendahnya kualitas produk terutama jika kain tenun dicelup dalam proses pembatikan maka pewarnaan tidak dapat dilakukan dengan sempurna. Seringkali warna yang tidak merata diakibatkan kerataan benang dalam
164
kain sangat rendah. Hal tersebut diakibatkan selain kondisi peralatan tenun yang sudah tua adalah karena kerataan benang hasil proses pemintalan sangat rendah. Pada proses pemintalan sutera seharusnya ada standar ukuran atau penomoran benang yang akan dipintal dimana untuk nomor tertentu sudah ada standar jumlah filamen yang akan dipintal. Saat ini pada proses pemintalan benang para operator kurang memperhatikan jumlah filamen yang dipintal sehingga menyebabkan benang hasil pemintalan tidak rata. Lebih lanjut lagi para pengusaha pemintalan juga kurang memperhatikan standar tersebut berhubung saat ini penjualan benang tidak mengikuti standar, artinya penjualan dilakukan berdasarkan berat saja tanpa menyertakan persyaratan nomor benang. Dengan kondisi seperti ini benang masih laku diperdagangkan sehingga tidak ada keinginan para pengusaha pemintalan untuk merubah sikap perbaikan kualitas meskipun dengan kualitas rendah harganya lebih rendah dibandingkan dengan benang impor. Selain itu kerataan benang yang rendah menyebabkan kekuatan benang juga rendah
sehingga
sering
putus
ketika
ditenun.
Sambungan-sambungan
menyebabkan kualitas kain kurang baik serta proses penyambungan benang ketika putus menyebabkan produktivitas rendah karena seringnya peralatan berhenti untuk melakukan penyambungan benang yang putus. Disamping masalah yang timbul pada proses pemintalan yang kurang benar, bahan baku kokon juga mempunyai peran dalam kualitas benang. Filamen dari kokon yang kualitasnya rendah akan menghasilkan benang dengan kualitas yang rendah juga. Kualitas kokon yang rendah disebabkan antara lain kokon rusak, kusut, bolong sehingga ketika dipintal akan sering putus. Untuk meningkatkan kualitas produk industri inti (kain tenun) perlu dilakukan peningkatan kualitas benang maupun kokon. c. Pengembangan Disain Dari hasil pengolahan data ditemukan bahwa salah satu tujuan pengembangan industri inti adalah pengembangan disain. Saat ini para pengusaha masih mempunyai keterbatasan dalam pembuatan disain baru. Hal tersebut diakibatkan oleh karena kurangnya kesempatan pengusaha untuk melakukan studi banding ke perusahaan yang telah mempunyai kemampuan untuk menciptakan inovasi dalam
165
pengembangan disain, jarang mengikuti pendidikan dan pelatihan mengenai disain baik melalui pendidikan formal maupun non formal. Selain kemampuan SDM, peralatan dengan teknologi sederhana yang digunakan mempunyai keterbatasan untuk memproduksi disain-disain yang beragam. Untuk meningkatkan kemampuan dan mengembangkan disain produk perlu dilakukan peningkatan kemampuan disain melalui pelatihan, studi banding, magang ke perusahaan yang sudah maju dan berkembang ataupun ke negara lain yang industri persuteraannya lebih maju dari Indonesia seperti China dan Tahiland. Pemerintah dapat memfasilitasi penyediaan disainer dan menciptakan captive market seperti industri pembatikan di Jawa. Untuk melakukan persaingan dengan produk sejenis dari China atau Thailand diperlukan disain-disain yang unik yang tidak mungkin dimiliki oleh negara tersebut. Peningkatan daya saing dapat dilakukan melalui kegiatan-kegiatan pengembangan disain. 7.3.3. Pengembangan Sumber Daya Manusia Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dari hasil pengolahan data tingkat kepentingan sub elemen tujuan untuk pengembangan industri inti ditemukan meningkatkan
produktivitas
dan
efisiensi,
meningkatkan
kualitas
dan
mengembangkan disain. Rendahnya produktivitas dan efisiensi sangat dipengaruhi oleh kemampuan dan keterampilan SDM, untuk itu diperlukan pelatihan guna meningkatkan kemampuan tenaga-tenaga yang menangani bidang produksi tersebut. Rendahnya kualitas produk yang diakibatkan oleh pasokan bahan baku benang yang kualitasnya rendah. Rendahnya kualitas benang disebabkan oleh karena rendahnya kesadaran operator pada industri pemintalan untuk meningkatkan kualitas benang. Masalah tersebut harus diatasi melalui peningkatan kesadaran operator mesin dan para pengusaha melalui sosialisasi. Dalam pembentukan klaster ditemukan hambatan utama yaitu kurangnya pemahaman para pengusaha tentang pentingnya atau manfaat dari klaster sehingga diperlukan sosialisasi tentang konsep dan kebijakan klaster bagi pengusaha, pelatihan peningkatan kemampuan dan peningkatan kesadaran untuk berproduksi secara baik.
166
7.3.4. Pengembangan Kelembagaan Agroindustri Sutera Alam Mengacu kepada hasil pengelompokan elemen pelaku/lembaga pada Gambar 43 sebelumnya terlihat bahwa
asosiasi, eksportir, lembaga litbang, importir,
perguruan tinggi termasuk dalam peubah linkage. Hal ini memberikan pengertian bahwa diantara sub-elemen sub-elemen ini mempunyai keterkaitan yang kuat satu dengan yang lainnya. Bila pada sub elemen tersebut dilakukan suatu perlakuan yang positif maka akan menimbulkan dampak positif juga pada sub elemen lainnya. Disamping itu sub-elemen sub-elemen tersebut mempunyai daya dorong yang cukup tinggi yang berarti bahwa disamping saling memiliki keterkaitan juga mempunyai kekuatan yang besar untuk mendorong tercapainya tujuan pengembangan agroindustri sutera alam. Selanjutnya pengembangan agroindustri sutera alam harus dilakukan dengan memadukan aktivitas dan kepentingan industri dan institusi tersebut agar sinergis. Pengintegrasian akan mendorong terciptanya kerjasama lintas industri/lembaga untuk saling mendukung dan saling menguntungkan. Pengintegrasian dapat dilakukan dengan pembentukan organisasi industri atau klaster industri. Klaster industri memerlukan wadah, aturan, mekanisme kerja antara anggota untuk mencapai hubungan yang efektif. Mengacu hasil identifikasi elemen pelaku/lembaga yang terlibat sangat beragam dalam aktivitas, tujuan, kebutuhan dan permasalahan, maka struktur wadah atau organisasi yang sesuai dikembangkan adalah struktur jaringan yaitu sebuah organisasi sentral yang menyandarkan diri pada organisasi lain untuk melakukan produksi, distribusi, pemasaran, penelitian, dan pengembangan serta fungsi-fungsi usaha lainnya atas dasar kerjasama yang saling menguntungkan. Struktur organisasi jaringan memerlukan suatu lembaga yang dapat berfungsi sebagai koordinator, fasilitator dan mediator secara efektif, efisien dan sinergis. Lembaga dapat berbentuk Lembaga Pengembangan Usaha (LPU) dan merupakan forum kerjasama lintas institusi. Rancangan model kelembagaan agroindustri sutera alam secara skematik disajikan pada Gambar 57.
167
UNIT LAYANAN PENGEMBANGAN USAHA Informasi
Fasilitator
Eksportir
Industri Pembatikan
Importir
Industri Pertenunan
Asosiasi
Industri Pemintalan
Produsen Mesin/ Peralatan
Lembaga Keuangan
Perguruan Tinggi
Lembaga Litbang
Produsen Kokon Informasi
Kementrian/Lembaga, Dinas Terkait
= Aliran materi = Aliran informasi
Gambar 57. Keterkaitan Kelembagaan Agroindustri Sutera Alam Melalui Pendekatan Klaster
Gambar 57 menunjukkan keterkaitan aktivitas agroindustri sutera alam dengan institusi/industri lain dalam memproduksi, memasarkan, dan mendistribusikan sutera alam. Keterkaitan dapat berupa produk, informasi, teknologi, permodalan, atau
168
peralatan. Koordinasi dan optimalisasi keterkaitan dapat ditingkatkan melalui sistem informasi terpadu. Masing-masing anggota memiliki komitmen melakukan kerjasama saling menguatkan dan menjalankan fungsinya sebaik mungkin. Model pengembangan ini disebut sistem kelembagaan klaster agroindustri sutera alam. Sistem kelembagaan demikian belum terbentuk dan perlu dibangun untuk mengkonsolidasikan sumber daya yang tersebar dan terpisah dalam satu kesatuan lembaga yang utuh, saling menguatkan dan saling menguntungkan. Para pelaku dalam Unit Layanan Pengembangan Usaha (ULPU) yang terdiri dari unsur pemerintah baik pusat maupun daerah, dunia usaha, lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga keuangan, eksportir, importir, asosiasi/koperasi, perguruan tinggi, dan fasilitator mempunyai kepentingan dalam pengembangan persuteraan alam sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing. Pemerintah Pusat dalam hal ini antara lain Depperin, Meneg KUKM, Dephut, dan Depdag maupun Pemerintah Daerah berkepentingan untuk membangun perekonomian dengan basis kerakyatan yang mampu mengangkat kesejahteraan masyarakat luas terutama masyarakat pedesaan, dengan membuka lapangan kerja, penyerapan tenaga kerja dan penghapusan kemiskinan serta sekaligus meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah dan perolehan devisa. Dengan tugas dan fungsinya pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dapat memfasilitasi maupun memberikan bantuan kepada usaha agroindustri sutera alam baik bantuan teknologi, pemasaran, maupun bantuan peningkatan SDM. Dalam upaya membantu usaha agroindustri sutera alam di bidang teknologi dilakukan melalui bantuan mesin peralatan kepada kelompok maupun melalui pemanfaatan Unit Pelayanan Teknis yang dibangun oleh pemerintah di daerah. Bantuan peningkatan pemasaran dapat dilakukan melalui fasilitasi keikutsertaan pengusaha pada pameran baik di dalam maupun luar negeri, sedangkan peningkatan sumber daya manusia dilakukan melalui pelatihan, magang maupun studi banding. Morosini (2003) menyebutkan bahwa pemerintah daerah maupun pusat mempunyai peran yang sangat penting dalam menumbuhkan maupun memfasilitasi pengelolaan klaster. Peran ini dapat diklasifikasikan antara lain sebagai inisiator, promotor,
169
koordinator dan manager. Lembaga keuangan (Bank/non Bank) mempunyai kepentingan untuk menyalurkan dana yang dimilikinya untuk usaha produktif dari nasabah yang baik dan memberikan keuntungan. Lembaga lainnya seperti Lembaga penelitian dan pengembangan pada umumnya mempunyai fungsi untuk mengembangkan produkproduk maupun teknologi baru yang dapat digunakan oleh pengusaha. Temuantemuan teknologi berkaitan dengan peningkatan produktivitas dan efisiensi, kualitas dan penggunaan-penggunaan bahan baku alternatif lainnya. Pengembangan produk baru akan melahirkan usaha-usaha baru dan meningkatnya penyerapan tenaga kerja dan lapangan usaha yang pada gilirannya dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Disamping itu usaha baru akan meningkatkan pemanfaatan sumberdaya alam daerah sehingga menciptakan nilai tambah dan pendapatan bagi daerah. Lembaga penelitian dan pengembangan serta Perguruan Tinggi mempunyai kepentingan untuk mengaplikasikan hasil temuan dan rekayasa teknologi yang dikembangkan ke usaha agroindustri sutera alam dan menyalurkan tenaga ahli yang mereka miliki untuk memberikan bimbingan bagi pelaku usaha agroindustri sutera alam. Asosiasi sebagai organisasi petani, pengrajin dan pedagang persuteraan alam berkepentingan memberikan manfaat bagi anggota dan sebagai mitra kerja pemerintah. Asosiasi berperan sebagai fasilitator dalam menjembatani kepentingan anggota dengan stakeholder untuk terwujudnya klaster persuteraan alam yang produktif dan berdaya saing. Produsen Mesin/Peralatan mempunyai kepentingan untuk memasok mesin/peralatan bagi pengusaha agroindustri sutera alam. Pada umumnya mesin/peralatan yang digunakan dalam agroindustri sutera alam di Indonesia masih cukup sederhana. Produsen mesin/peralatan mempunyai keterkaitan dengan lembaga litbang dimana hasil temuan lembaga litbang dapat dikembangkan dan diproduksi oleh produsen mesin peralatan. Importir mempunyai kepentingan untuk memasarkan produk yang mereka impor. Dengan keterlibatan importir ketersediaan bahan baku dapat dipenuhi. Eksportir
mempunyai
kepentingan
untuk
memasarkan
produk-produk
hasil
agroindustri dalam negeri. Eksportir dapat membantu pengusaha sutera alam untuk mengembangkan pasarnya. Industri pendukung seperti industri pembuat mesin
170
peralatan mempunyai kepentingan untuk memasok mesin/peralatan yang dibutuhkan oleh pengusaha agroindustri sutera alam. Fasilitator mempunyai kepentingan khususnya secara mandiri maupun bersama pemerintah dapat membantu
memfasilitasi
maupun
mengkoordinir
pelaksanaan pengembangan klaster antara lain (1) mengidentifikasi para pengusaha yang akan menjadi anggota klaster, (2) bersama-sama dengan anggota klaster mendiagnosa permasalahan dan merumuskan rencana tindak pengembangan klaster, (3) memfasilitasi dan mengkoordinasikan pertemuan-pertemuan antar anggotaanggota klaster, (4) membantu mencari solusi jika terjadi permasalahan atau konflik dalam klaster, (5) mengumpulkan, mengolah dan mendistribusikan informasi dan lainlain. Tenaga fasilitator merupakan elemen kunci dan merupakan salah satu prasyarat dalam pengembangan klaster, untuk itu diharapkan pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan kemampuan maupun jumlah tenaga-tenaga fasilitator melalui pelatihanpelatihan. Dari hasil pengolahan data tingkat kepentingan dan strukturisasi elemen keberhasilan pengembangan klaster ditemukan bahwa faktor yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan pengembangan klaster adalah meningkatkan kerjasama/network, melakukan komunikasi secara intensif, adanya industri inti, adanya jiwa kepemimpinan/kewirausahaan serta dukungan fasilitator. Kerjasama/network dapat diciptakan terutama jika antar pelaku usaha memiliki tujuan yang sama, saling mempercayai serta mematuhi komitmen yang telah disepakati. Komitmen merupakan prasyarat dalam pengembangan klaster, tanpa adanya komitment dari semua pelaku yang terlibat upaya pengembangan klaster tidak akan tercapai. Adanya industri inti sebagai penggerak utama yang dipimpin oleh individu yang mempunyai jiwa kepemimpinan dan kewirausahaan yang tinggi menjadi faktor yang sangat penting dalam mengelola klaster. Industri inti dapat berupa perusahaan besar atau kelompok usaha dalam sentra industri kecil menengah yang mampu sebagai katalisator, inovator, mengelola pasokan, pemasaran maupun promosi produk dari anggota klaster maupun melakukan penelitian dan pengembangan produk. Sebagai koordinator dari klaster diharapkan muncul dari personil industri inti yang dapat dipercaya oleh anggota klaster. Koordinator harus mampu meyakinkan anggota klaster
171
untuk mengimplementasikan strategi maupun kesepakatan-kesepakatan yang telah ditetapkan secara bersama. Berbagai fungsi dan kepentingan masing-masing pelaku dalam pengembangan agroindustri sutera alam sehingga ULPU yang merupakan lembaga pengembangan agroindustri sutera alam diharapkan dapat mengkoordinasikan semua kepentingan para stakeholder. Lembaga tersebut diharapkan dapat mengatur pembagian keuntungan yang proporsional bagi semua pelaku usaha dalam klaster. Melalui upayaupaya yang dilakukan diharapkan tujuan pengembangan agroindustri sutera alam dapat tercapai. 7.3.5. Upaya Mengatasi Hambatan Pembentukan Klaster Dari hasil pengolahan data tingkat kepentingan sub elemen hambatan pembentukan klaster ditemukan kurangnya pemahaman pengusaha tentang manfaat klaster, sulitnya melakukan koordinasi sesama stakeholder dan belum adanya sikap saling percaya antar pengusaha. Ketiga elemen tersebut perlu diatasi melalui sosialisasi untuk memberikan pemahaman tentang pentingnya pengembangan industri melalui pendekatan klaster. Peran
pemerintah
yang
independen
sangat
diperlukan
dalam
hal
mensosialisasikan konsep klaster, memfasilitasi dan mengkoordinasikan pertemuanpertemuan dalam rangka menciptakan saling percaya antar pelaku usaha agroindustri sutera alam. Kepercayaan dapat tumbuh melalui pertemuan, perkenalan dan dilanjutkan dengan komunikasi secara intensif baik melalui pertemuan-pertemuan formal maupun informal. Semakin meningkatnya keakraban tentunya kepercayaan dapat tumbuh dengan sendirinya. Berkembangnya teknologi informasi memungkinkan untuk melakukan komunikasi secara intensif dan efisien. 7.3.6. Peningkatan Peran Pemerintah Dari hasil pengolahan data tingkat kepentingan sub elemen peningkatan peran pemerintah ditemukan bahwa melakukan koordinasi antar instansi terkait, melaksanakan diklat dan sosialisasi, memberikan bantuan mesin dan peralatan serta memfasilitasi pertemuan antar anggota klaster. Elemen-elemen tersebut merupakan elemen yang sangat perlu diperhatikan dalam pengembangan klaster agroindustri
172
sutera alam. Meskipun selama ini pemerintah telah banyak melakukan kegiatan-kegiatan seperti tersebut di atas, dalam pengembangan klaster perlu ditingkatkan dan difokuskan sesuai dengan kendala yang dihadapi. Pemerintah juga harus berperan aktif untuk meningkatkan kesadaran pengusaha akan pentingnya kerjasama, membangun jaringan, sikap saling mempercayai dan bersaing secara sehat. Selain itu dalam pembentukan klaster ditemukan hambatan lain yaitu kurangnya pemahaman para pengusaha tentang pentingnya atau manfaat dari klaster sehingga diperlukan sosialisasi tentang konsep dan kebijakan klaster bagi pengusaha. Sosialisasi dapat dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan fasilitator yang berada di daerah. Fasilitator merupakan elemen penting dalam pengembangan klaster, untuk itu pemerintah telah melatih tenaga-tenaga fasilitator, namun sampai saat ini jumlah dan kemampuannya masih sangat terbatas. Untuk itu diperlukan pelatihanpelatihan untuk menambah jumlah dan kemampuan fasilitator. Dari hasil pengolahan data tingkat kepentingan aktivitas ditemukan bahwa elemen mengembangkan kelembagaan usaha, meningkatkan kemampuan teknologi, menciptakan kesepakatan harga berdasarkan standar merupakan hal yang harus diupayakan oleh pengusaha industri inti (pertenunan). Dalam rangka pengembangan kelembagaan dan meningkatkan kemampuan teknologi melalui bantuan peralatan pengusaha tidak dapat berjalan sendiri mengingat keterbatasan pengusaha, untuk itu peran pemerintah sangat diharapkan. Para pengusaha pertenunan dapat meningkatkan harga produknya apabila produk yang dihasilkan memenuhi standar. Saat ini telah ada beberapa peralatan uji di Unit Pelayanan Teknis Kabupaten Wajo yang pengadaannya difasilitasi oleh Pemerintah Pusat, namun pemanfaatannya belum optimal. Hal tersebut disebabkan karena masih kurangnya kesadaran para pengusaha untuk melakukan pengujian produk yang dihasilkan. Pada penjelasan sebelumnya terlihat bahwa rendahnya kualitas produk yang dihasilkan oleh pengusaha pertenunan. Untuk itu para pengusaha harus mengubah sikap untuk meningkatkan kesadaran meningkatkan mutu produk. Peran pemerintah sangat diharapkan dalam hal tersebut untuk melakukan pelatihan peningkatan
173
kesadaran maupun melalui sosialisasi bahkan jika memungkinkan mengikutsertakan dalam studi banding ke negara-negara penghasil sutera yang telah maju seperti China, Thailand, dan Vietnam. Kemungkinan ditemui kesulitan untuk mencapai kesepakatan atau persetujuan dari pengusaha yang dikurangi pendapatannya karena penyetaraan B/C untuk meningkatkan pendapatan usaha lainnya. Dalam hal ini peran pemerintah di dalam klaster sangat diperlukan terutama dalam memberikan pemahaman kepada semua pelaku usaha. Perlu dijelaskan kepada para pengusaha bahwa selain peningkatan daya saing tujuan lainnya dari pembentukan klaster adalah untuk menjaga kesinambungan semua usaha. Sebagai kompensasi dari kerugian yang dialami oleh pengusaha yang diturunkan pendapatannya pemerintah dapat memberikan insentif. Departemen Perindustrian yang bertanggung jawab dalam pembinaan dan pengembangan industri telah melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat insentif kepada industri kecil menengah antara lain melakukan pelatihan peningkatan SDM, peningkatan kualitas dan disain produk, mengikutsertakan pengusaha kecil menengah untuk mengikuti pameran baik dalam dan luar negeri, memberikan bantuan permodalan melalui dana bergulir, memberikan bantuan mesin peralatan, mendirikan Unit Pelayanan Teknis (UPT) yang dapat dipergunakan oleh para pengusaha dan lain-lain. Pemberian insentif masih merupakan solusi yang cukup baik dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh agroindustri sutera alam. Pemberian insentif dalam pengembangan agroindustri sejalan dengan bahasan Yusuf (2007) tentang Desain Mekanisme. Fondasi dari Teori Desain Mekanisme diletakkan oleh tiga pemenang hadiah Nobel Ekonomi tahun ini yaitu Leonid Hurwich, Eric Maskin dan Roger Myerson. Teori tersebut menjelaskan bahwa pemberian insentif masih tetap diperlukan untuk kepentingan bersama. Selanjutnya dorongan kepentingan individu akan tetap pada akhirnya menciptakan kepentingan bersama, seperti digagas Adam Smith lebih dari dua abad yang lalu, dan teori Desain Mekanisme memberikan jalan untuk mewujudkannya.
174
7.3.7. Kelayakan Usaha Pengembangan agroindustri sutera alam dengan pendekatan klaster ditujukan untuk meningkatkan daya saing agroindustri sutera alam serta pendapatan pengusaha melalui pengembangan industri inti, pengembangan kelembagaan dan kelayakan usaha. Pengembangan industri inti dimaksudkan untuk menggerakkan semua rantai nilai baik ke arah hulu maupun ke arah hilir sehingga dapat meningkatkan pendapatan semua usaha termasuk harmonisasi harga antar usaha. Pengembangan kelembagaan dimaksudkan untuk meningkatkan koordinasi antar aktivitas agroindustri sutera alam dengan industri/instansi penunjang. Pengembangan finansial usaha berkaitan dengan masalah perencanaan pengembangan usaha yang dapat memberikan pendapatan secara layak. Berkaitan dengan tujuan pengembangan, maka kinerja pengembangan agroindustri sutera alam dapat dinilai melalui kriteria finansial dan fleksibilitas industri menghadapi perubahan pasar. Dari hasil analisa kelayakan usaha Agroindustri sutera alam dimana dalam penelitian ini dibatasi pada petani/pemeliharaan ulat sutera, pemintalan, pertenunan dan pembatikan serta integrasi usaha (petani/pemeliharaan ulat sutera, pemintalan, pertenunan) diperoleh hasil bahwa kinerja agroindustri persuteraan alam masih perlu ditingkatkan. Meskipun semua rantai usaha mulai dari pemeliharaan ulat sutera, pemintalan, pertenunan dan pembatikan menunjukkan kelayakan namun jika dilihat dari pemerataan penghasilan masih sangat tidak berimbang. Bila dilihat dari hasil analisa kelayakan pada Tabel 7.14 sebelumnya dimana Net Present Value untuk usaha tani atau pemelihara ulat sutera hanya Rp. 5,2 juta dengan harga kokon/kg Rp. 26.000, usaha pemintalan sutera Rp. 79,571 juta dengan harga benang Rp. 315.000, usaha pertenunan Rp. 99,158 juta dengan harga kain Rp. 60.000 dan usaha pembatikan Rp. 103,337 juta dengan harga kain baik Rp. 560.000/stel. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin ke hilir usahanya maka semakin tinggi NPVnya. Untuk ke empat usaha mempunyai nilai IRR lebih tinggi dari bunga pasar (18%) dan nilai B/C juga semuanya di atas 1 (satu). Hasil-hasil tersebut menunjukkan keempat usaha tersebut layak dikembangkan meskipun usaha tani/produsen kokon memperoleh pendapatan yang paling kecil.
175
Tabel 22 menunjukkan bahwa keuntungan bersih usaha tani rata-rata pertahun hanya sebesar 5,3 juta. Jika kebutuhan fisik minimum rata-rata di Kabupaten Wajo sebesar Rp. 30.000 per hari untuk setiap keluarga, maka untuk 1 (satu) tahun (350 hari) dibutuhkan biaya sebesar Rp. 10,5 juta. Jika pendapatan rata-rata petani/produsen kokon sekitar Rp. 5,3 juta per tahun maka pendapatan tersebut jauh dari mencukupi. Namun demikian usaha tersebut dapat berjalan terus disebabkan umumnya yang menjadi tenaga kerja pada usaha tersebut adalah kelurga yang tidak perlu diperhitungkan gajinya. Selain itu para pengusaha/produsen kokon biasanya mempunyai pekerjaan tambahan selain memelihara ulat sutera. Hal tersebut menyebabkan usaha tersebut masih tetap bertahan. 7.3.8 Analisis Sensitivitas Analisa sensitivitas dilakukan untuk mengetahui sejauhmana pengaruh perubahan suatu variable terhadap variable lainnya. Model AI Sutera yang dirancang sebagai Sistem Penunjang Keputusan berbasis komputer memiliki kemampuan untuk menjawab pertanyaan, jika suatu variabel atau parameter mengalami perubahan bagaimana akibatnya atau perubahannya terhadap parameter lain. Dalam analisis ini parameter tersusun dalam skenario pengembangan yang mencakup harga, dalam lingkup usaha petani/pemelihara ulat sutera yang menghasilkan kokon, industri pemintalan, pertenunan, serta usaha integrasi. Misalnya sejauhmana perubahan harga mempengaruhi NPV, IRR, PBP dan B/C. Fasilitas dirancang secara interaktif untuk mendukung proses pengambilan keputusan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Tabel 22 sebelumnya perihal hasil Analisa Sensitivitas Perubahan Harga Jual Kokon terhadap Kriteria Investasi Pada Usaha Pemelihara Ulat Sutera menunjukkan bahwa peningkatan harga sebesar Rp. 1.000/kg kokon mengakibatkan terjadinya peningkatan NPV sebesar Rp. 2.691.175. Break Even Point (BEP) dicapai pada harga kokon Rp. 24.064/kg. Tabel 23 perihal hasil Analisa Sensitivitas Perubahan Harga Jual Benang terhadap Kriteria Investasi Pada Usaha Pemintalan menunjukkan bahwa peningkatan harga sebesar Rp. 5.000/kg mengakibatkan terjadinya peningkatan NPV sebesar Rp. 43.780.000. Break Even Point (BEP) dicapai pada harga benang Rp. 305.913/kg.
176
Tabel 24 perihal hasil Analisa Sensitivitas Perubahan Harga Jual Kain terhadap Kriteria Investasi Pada Usaha Pertenunan menunjukkan bahwa peningkatan harga sebesar Rp. 1.000/meter mengakibatkan terjadinya peningkatan NPV sebesar Rp. 47.250.000. Break Even Point (BEP) dicapai pada harga kain Rp. 57.901/meter. Tabel 25 perihal hasil Analisa Sensitivitas Perubahan Harga Jual Batik terhadap Kriteria Investasi Pada Usaha Pembatikan menunjukkan bahwa peningkatan harga sebesar Rp. 10.000/stel mengakibatkan terjadinya peningkatan NPV sebesar Rp. 47.249.000. Break Even Point (BEP) dicapai pada harga batik Rp. 538.130/stel. Tabel 26 perihal hasil analisa sensitivitas peningkatan harga jual kokon, benang, kain dan batik sebesar 5% dari harga awal terhadap kriteria investasi pada masing-masing usaha menunjukkan bahwa terjadi peningkatan nilai tambah atau pendapatan masing-masing usaha. Peningkatan harga jual sebesar 5% dikaitkan dengan asumsi atau prediksi jika kualitas produksi kain tenun ditingkatkan dengan cara menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Kenaikan harga kokon dari Rp. 26.000 menjadi Rp. 27.300 meningkatkan NPV sebesar Rp. 900.000, kenaikan harga benang dari Rp. 315.000 menjadi Rp. 330.750 meningkatkan NPV sebesar Rp. 14,9 juta, kenaikan harga kain dari Rp. 60.000 menjadi Rp. 63.000 meningkatkan NPV sebesar Rp. 14,3 juta dan kenaikan harga kain batik dari Rp. 560.000 menjadi Rp. 588.000 meningkatkan NPV sebesar Rp. 13,3 juta. Untuk kriteria lainnya juga mengalami peningkatan, namun peningkatan pendapatan atau NPV usaha tani masih tetap kurang signifikan dibandingkan dengan ketiga usaha lainnya. Analisis selanjutnya adalah melihat perubahan harga bahan baku terhadap kriteria investasi pada usaha pemintalan, pertenunan dan pembatikan sutera. Tabel 26 perihal Analisa Sensitivitas Perubahan Harga Bahan Baku Kokon terhadap Kriteria Investasi pada Usaha Pemintalan menunjukkan bahwa usaha pemintalan masih layak jika harga bahan baku kokon paling tinggi Rp. 27.228. Tabel 27 perihal Analisa Sensitivitas Perubahan Harga Bahan Baku Benang terhadap Kriteria Investasi pada Usaha Pertenunan menunjukkan bahwa usaha pertenunan masih layak jika harga bahan baku benang paling tinggi Rp. 348.650. Tabel 28 perihal Analisa Sensitivitas Perubahan Harga Bahan Baku kain terhadap Kriteria Investasi pada Usaha Pembatikan menunjukkan bahwa usaha pembatikan masih layak jika harga bahan
177
baku kain paling tinggi Rp. 65.312. Tabel 30 perihal hasil analisa sensitivitas penurunan biaya pemasaran sebesar 50% dari biaya pemasaran awal terhadap kriteria investasi pada masing-masing usaha menunjukkan bahwa terjadi peningkatan nilai tambah atau pendapatan masing-masing usaha. Penurunan biaya pemasaran sebesar 50% dikaitkan dengan asumsi atau prediksi jika peran pedagang perantara dihilangkan karena pengintegrasian usaha dalam klaster tidak memerlukan perantara. Penurunan biaya pemasaran usaha tani dari 2,5% menjadi 1,25% meningkatkan NPV sebesar Rp. 3,5 juta, pemintalan dari 1% menjadi 0,5% meningkatkan NPV sebesar Rp. 53,7 juta, pertenunan dari 1% menjadi 0,5% meningkatkan NPV sebesar Rp. 95,3 juta dan pembatikan dari 1% menjadi 0,5% meningkatkan NPV sebesar Rp. 73,3 juta. Untuk kriteria lainnya juga mengalami peningkatan, namun peningkatan pendapatan atau NPV usaha tani masih tetap kurang signifikan dibandingkan dengan ketiga usaha lainnya. 7.3.9. Analisa Usaha Integrasi Agroindustri Sutera Alam Konsep
pengembangan
agroindustri
melalui
pendekatan
klaster
mengutamakan adanya integrasi antar usaha. Dari hasil pembahasan sebelumnya diperoleh hasil sebagai berikut : 1. Pada usaha integrasi pemeliharaan ulat sutera, pemintalan, pertenunan dan pembatikan ditemukan bahwa dengan kesetaraan B/C sebesar 1,34, harga batik sebesar Rp. 560.000, maka harga kain dapat ditingkatkan menjadi Rp. 61.030 dari harga semula Rp. 60.000, harga benang dapat ditingkatkan menjadi 329.150 dari Rp. 315.000 dan harga kokon dapat ditingkatkan menjadi Rp. 27.726 dari Rp. 26.000. Namun industri pembatikan akan mengalami penurunan NPV dari Rp. 103,337 juta menjadi Rp. 83,3 juta. Meskipun keempat usaha tersebut dapat diintegrasikan ke dalam satu klaster industri namun dapat diasumsikan akan terjadi kendala dalam pengkoordinasian para anggota khususnya karena usaha pembatikan yang akan tergabung dari luar Kab. Wajo. Data finansial industri pembatikan yang dimasukkan dalam penelitian ini adalah data sampling industri pembatikan di Bandung. Di Kabupaten Wajo belum terdapat usaha pembatikan yang berproduksi secara mandiri atau secara individu perusahaan. Ada beberapa usaha pembatikan yang belum berkembang
178
karena masih melekat pada usaha pertenunannya. Sebelumnya pernah dilakukan pelatihan pembatikan di Kabupaten Wajo dalam rangka menciptakan usaha baru di bidang pembatikan dengan mendatangkan tenaga instruktur dari Bandung, namun sampai saat ini usaha tersebut belum berkembang. Kurang berkembangnya upaya tersebut dapat disebabkan karena budaya setempat yang kurang mendukung karena belum terbiasa memproduksi kain batik serta para pengusaha kurang mampu melakukan pemasaran batik tersebut di daerah Sulawesi Selatan. 2. Hasil analisa kelayakan untuk usaha integrasi petani/pemelihara ulat sutera, pemintalan dan pertenunan bahwa untuk mencapai kesetaraan dengan harga kain tenun sutera
Rp. 60.000 diperoleh kesetaraan harga pada B/C 1,26. Dengan
kesetaraan B/C sebesar 1,26 harga kain tenun sebesar Rp. 60.000, maka harga benang dapat ditingkatkan menjadi Rp. 320.904 dari harga semula Rp. 315.000, dan harga kokon dapat ditingkatkan menjadi Rp. 26.904 dari Rp. 26.000. Namun NPV untuk kain menurun dari Rp. 99,158 juta menjadi Rp. 82,312 juta. Meskipun ketiga usaha tersebut dapat diintegrasikan ke dalam satu klaster industri dengan nilai BC ratio masih cukup tinggi yaitu 1,26 dan secara finansial masih layak dapat diasumsikan akan terjadi kendala karena industri pertenunan tentunya merasa dirugikan dengan penurunan pendapatan tersebut. Peluang terbesar untuk pembentukan klaster di Kabupaten Wajo adalah integrasi usaha petani/pemelihara ulat sutera, pemintalan dan pertenunan karena ketiga usaha tersebut terkonsentrasi secara geografis di Kab. Wajo dan ketiga usaha tersebut telah berkembang. 2. Hasil analisa kelayakan untuk usaha integrasi petani/pemelihara ulat sutera, dan pemintalan menunjukkan bahwa usaha integrasi memberikan kinerja yang cukup baik. Dari hasil perhitungan untuk mencapai kesetaraan dengan harga benang sutera Rp. 315.000 diperoleh kesetaraan harga pada B/C 1,21. Dengan kesetaraan B/C sebesar 1,21 harga benang sebesar Rp. 315.000/kg, maka harga kokon dapat ditingkatkan dari Rp 26.000/kg menjadi Rp. 26.346/kg. Namun NPV untuk industri pemintalan menurun dari Rp. 79,571 juta menjadi Rp. 57,11 juta. Meskipun kedua usaha tersebut dapat diintegrasikan ke dalam satu klaster industri dengan nilai BC ratio masih cukup tinggi yaitu 1,21 dapat diasumsikan akan
179
terjadi kendala karena industri pemintalan tentunya merasa dirugikan dengan penurunan pendapatan tersebut. Melihat kendala yang mungkin terjadi pada usaha integrasi perlu dilakukan upaya untuk memberikan pemahaman kepada semua usaha bahwa dalam rangka mempertahankan
kelangsungan
usaha
dalam
agroindustri
diperlukan
keseimbangan pendapatan. 7.3.10. Analisa Kapasitas Produksi Usaha Integrasi Untuk mengefisienkan usaha integrasi perlu dihitung kapasitas minimum untuk masing-masing usaha dalam agroindustri sutera alam. Dari hasil pembahasan sebelumnya dapat ditunjukkan kapasitas produksi yang diperlukan untuk setiap usaha. 1. Dalam klaster usaha integrasi pemeliharaan ulat sutera, pemintalan, pertenunan dan pembatikan, untuk memproduksi kain batik sebanyak 1200 stel per tahun dibutuhkan kain tenun sebanyak 4.800 meter/tahun, berarti peralatan ATBM yang dibutuhkan adalah sebanyak 4 (empat) unit. Untuk memasok pertenunan diperlukan benang sebanyak 480 kg/tahun sehingga mesin reeling (pemintalan) yang dibutuhkan sebanyak 2 (dua) mesin. Untuk memasok pemintalan diperlukan kokon sebanyak 3.360 kg/tahun, berarti luas lahan untuk pemeliharaan ulat sutera diperlukan seluas 4,5 ha. 2. Dalam klaster usaha integrasi pemeliharaan ulat sutera, pemintalan, dan pertenunan, untuk memproduksi kain tenun sutera sebanyak 12.000 meter per tahun dibutuhkan pasokan benang sebanyak 1.200 kg/tahun. Untuk menghasilkan benang sebanyak 1.200 kg dibutuhkan mesin reeling (pemintalan) sebanyak 4 (empat) mesin. Untuk memasok pemintalan dibutuhkan kokon sebanyan 8.400 kg kokon/tahun. Untuk itu dibutuhkan lahan untuk pemeliharaan ulat sutera seluas 11,5 ha. Jumlah industri pertenunan sutera alam di Kabupaten Wajo sebanyak 5.208 unit usaha dengan jumlah IKM yang menggunakan ATBM sebanyak 1.104 unit usaha dengan rata-rata jumlah ATBM sebanyak 5 buah. Jadi jumlah ATBM yang ada di Kabupaten Wajo sebanyak 5.520 buah. Jika diasumsikan bahwa kapasitas riel sebesar 50%, maka dengan kapasitas produksi per ATBM sebanyak 4 meter perhari maka dalam satu tahun dapat memproduksi kain sebanyak 3.312.000
180
meter. Untuk itu dibutuhkan pasokan benang sebanyak 331.200 kg. Untuk memproduksi benang sebanyak 331.200 kg dibutuhkan kokon sebanyak 2.318.400 kg. Jika 1 ha lahan dapat digunakan untuk memproduksi kokon sebanyak 755 kg pertahun maka lahan yang diperlukan untuk memproduksi kokon
sebanyak
2.318.400 kg adalah seluas 2.991 ha. Saat ini luas lahan yang ada di Kabupaten Wajo hanya seluas 209 ha sehingga bahan baku kokon masih dipasok dari daerah lainnya dan sebagian impor. 3. Dalam klaster usaha integrasi pemeliharaan ulat sutera, dan pemintalan, untuk memproduksi benang sebanyak 2.400 kg/tahun dibutuhkan pasokan kokon sebanyak 16.800 kg/tahun. Untuk memproduksi kokon sebanyak 16.800 kg/tahun dibutuhkan luas lahan untuk pemeliharaan ulat sutera seluas 23 ha. 7.3.11. Analisis Kesetaraan Harga Hasil analisis kelayakan usaha agroindusti sutera alam dengan menggunakan harga yang mengikuti harga pasar keempat usaha dinyatakan layak secara finansial, namun belum terjadi keseimbangan pendapatan antara keempat usaha tersebut. Jika dilihat dari kriteria Benefit and Cost Ratio (B/C), usaha tani memperoleh B/C terendah, dengan kata lain pendapatan petani termasuk yang paling rendah. Untuk itu perlu dilakukan keseimbangan pendapatan melalui penyetaraan B/C. Dari hasil pengolahan data kesetaraan harga usaha integrasi mulai dari usaha tani, pemintalan, pertenunan dan pembatikan menunjukkan bahwa dengan kesetaraan B/C 1,34 akan meningkatkan harga kokon, harga benang dan harga kain. Dengan kesetaraan B/C sebesar 1,34, harga batik sebesar Rp. 560.000 per stel, maka harga kain dapat ditingkatkan dari harga semula Rp. 60.000/meter menjadi Rp. 61.030/meter, harga benang dapat ditingkatkan dari Rp. 315.000/kg menjadi 329.150/kg dan harga kokon dapat ditingkatkan dari Rp. 26.000/kg menjadi Rp. 27.726/kg. Usaha integrasi usaha tani, pemintalan dan pertenunan dengan kesetaraan B/C 1,26, harga kain sebesar Rp. 60.000 per meter, maka harga benang dapat ditingkatkan dari harga semula Rp. 315.000/kg
menjadi Rp. 320.718/kg, harga kokon dapat
ditingkatkan dari Rp. 26.000/kg menjadi 26.904/kg. Usaha integrasi dari usaha tani dan pemintalan dengan kesetaraan B/C 1,21, harga benang Rp. 315.000/kg akan
181
meningkatkan harga kokon dari Rp. 26.000/kg menjadi Rp. 26.346/kg. Penyetaraan B/C memungkinkan timbulnya ketidakpuasan dari usaha yang mempunyai B/C diturunkan karena pendapatan usaha menurun, meskipun usaha tersebut masih dalam keadaan menguntungkan. Hal tersebut perlu diantisipasi melalui kebijakan atau intervensi dari pemerintah. Permasalahan yang terjadi akibat penyesuaian kesetaraan B/C di atas dapat diatasi melalui sosialisasi pemahaman-pemahaman untuk mengutamakan kepentingan bersama. Pembentukan kelembagaan dengan melibatkan semua stakeholder terkait termasuk di dalamnya pelaku dari pemerintah, diharapkan dapat membantu pemecahan permasalahan tersebut. Pemerintah dapat memberikan pemahaman bagi semua usaha untuk mendahulukan kesinambungan usaha untuk kepentingan bersama. Selain itu, pendekatan melalui pemberian insentif dapat juga dilakukan misalnya dengan memberikan insentif bagi usaha-usaha yang mau berkorban untuk kepentingan bersama sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Dengan
demikian
permasalahan
yang
terjadi
akibat
penyeimbangan
pendapatan dapat diatasi melalui pendekatan insentif. Pengusaha yang merasa dirugikan dapat dikompensasi dengan pemberian insentif seperti disebutkan di atas. Selain itu kesetaraan B/C seharusnya tidak akan menimbulkan konflik berhubung semua pengusaha akan diperlakukan sama. Semua pengusaha berpeluang untuk menghasilkan B/C tinggi dan kemudian diturunkan untuk kepentingan bersama.