MODEL STRATEGI PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI UNGGULAN MENGGUNAKAN KOMPETENSI INTI DI DAERAH KABUPATEN DAN KELEMBAGAANNYA
AIDIL JUZAR
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
SURAT PERNYATAAN
Bersama ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul: Model Strategi
Pengembangan
Klaster
Agroindustri
Unggulan
Menggunakan
Kompetensi Inti di Daerah Kabupaten dan Kelembagaanya, adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun juga kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir disertasi.
Bogor,
September 2006
Aidil Juzar
ABSTRACT AIDIL JUZAR. Model of Development Strategy for Leading Agroindustry Cluster Using Core Competence in the Kabupaten Region and the Related Institutions. Supervised by IRAWADI JAMARAN as Chairman BUNASOR SANIM, MARIMIN, ANI SURYANI, and YANDRA ARKEMAN as members of the Supervisory Committee. The objective of this research was to develop a model of development strategy for upgrading the existing agglomeration of agroindustry in the region into a well functioning industrial cluster. Due to paucity of economic data and the absence of industry and trade input-output table at the regional and local level, an appropriate model needs to be developed. The required input data for each agroindustry group analysed in the model are: the number of establishment, the number of employee, the amount of value added, and expert opinions. The model comprises of several analytical techniques such as: Multi Sectoral Qualitative Analysis (MSQA), Shift-Share Analysis, Location Quotient (LQ), Analytical Hierarchy Process (AHP), Interpretive Structural Modelling (ISM), and Independent Preference Evaluation (IPE). The res earch shows that the model, which is named StraKlas Model, could be used as a decision support system to identify and select agroindustry groups which are potential to be nurtured and developed to become leading agroindustry clusters, and to identify the necessary policies to be taken for this purpose. The identification and selection process includes: identification of core competence of the region, concentration of industries in the region, the rate of growth of the industries, export potential of the industries of the region, linkages with other industry groups and other sectors, the number of emp loyees absorbed by the industries, and the creation of added value of the industries. Following the selection of the potential agroindustry group, the core industry of the would be cluster will be identified . Further analysis is conducted to find the key elements of the agroindustry development system, and based on the result of the analysis a cluster development plan is proposed. Key words: model, agroindustry cluster, core competence
RINGKASAN AIDIL JUZAR. Model Strategi Pengembangan Klaster Agroindustri Unggulan Menggunakan Kompetensi Inti di Daerah Kabupaten dan Kelembagaannya. Komisi Pembimbing : IRAWADI JAMARAN sebagai Ketua, BUNASOR SANIM, MARIMIN, ANI SURYANI, dan YANDRA ARKEMAN sebagai anggota. Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pada Pasal 7, ayat 1 telah memberikan kewenangan sepenuhnya kepada daerah untuk mengelola sumber daya nasional yang terdapat di daerah. Kewenangan ini perlu ditindak lanjuti untuk memacu pembangunan ekonomi di daerah tersebut, terutama pembangunan industri. Menurut Blakely (2000), sasaran pokok pembangunan ekonomi di daerah adalah peningkatan kesejahteraan penduduk di wilayahnya, untuk itu masingmasing pemerintah daerah harus meningkatkan daya saingnya. Pemahaman mengenai daya saing daerah sangat penting untuk menyusun rencana strategis pembangunan daerah tersebut (Muchdie 2000). Keunggulan bersaing suatu daerah akan tercipta jika daerah tersebut memiliki kompetensi inti yang dapat dibedakan dari daerah lainnya. Menurut Roberts dan Stimson (1998), kompetensi inti adalah sekumpulan kekuatan dan kemampuan yang dimiliki suatu daerah yang berkaitan dengan kekuatan ekonomi di bidang industri dan investasi, perdagangan, teknologi, sumber daya alam, sumber daya manusia, manajemen, pengaturan dan infrastruktur. Disisi lain, Undang-undang No, 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) mengamanatkan agar pembangunan sektorsektor primer, sekunder dan tersier ditempuh d engan pendekatan klaster industri. Hasil penelitian Porter (1990) menyatakan bahwa lokasi-lokasi industri yang kompetitif cenderung berkelompok pada daerah -daerah tertentu. Mengacu pada hasil penelitian tersebut, maka pendekatan klaster industri telah dijadikan sebagai kebijakan untuk pengembangan industri dibanyak negara. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia dan kawasan disekitarnya pada akhir dekade 1990-an memperlihatkan bahwa industri berbasis pertanian (agroindustri) merupakan sektor yang mampu mengatasi akibat-akibat negatif dari krisis tersebut (Saragih 2001). Mengacu pada uraian di atas, maka perlu dikembangkan suatu model strategi pengembangan klaster agroindustri menggunakan kompetensi inti di daerah. Karena keterbatasan tabel Input-Output dan data kuantitatif lainnya sebagai masukan untuk analisa klaster, maka diperlukan metodologi dengan masukan berupa data yang sudah dikumpulkan oleh instansi yang berwenang secara teratur dan dilengkapi dengan masukan data kualitatif dari pendapat ahli untuk menyusun strategi pengembangan klaster agroindustri. Penelitian ini bertujuan untuk menyusun suatu model strategi pengembangan klaster agroindustri menggunakan kompetensi inti di daerah kabupaten dan kelembagaannya, yang dibantu oleh satu set perangkat lunak. Model direkayasa melalui analisa atas kelompok agroindustri yang berpotensi sebagai klaster, dengan penilaian atas : konsentrasi, pertumbuhan,
i
tenaga kerja, nilai tambah, kemampuan ekspor, keterkaitan, kompetensi inti daerah, dan analisa strukturisasi sistem pengembangan agroindustri unggulan daerah untuk memformulasikan kebijakan dan sistem kelembagaan. Agroindustri yang diteliti adalah kelompok sesuai kode industri dalam Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia 2000, dengan skala “Sedang” dan skala “Besar” menurut klasifikasi Badan Pusat Statistik, yang ada di Kabupaten Bogor. Pemerintah daerah dan perusahaan yang terdapat di daerah tersebut sangat berkepentingan terhadap keberhasilan pembangunan agroindustri. Pemerintah daerah berkepentingan atas terciptanya lapangan kerja dan meningkatnya pendapatan daerah. Perusahaan agroindustri berkepentingan atas terc apainya produktivitas yang tinggi, laba yang besar dan pengembangan usaha. Kepentingan kedua pelaku tersebut perlu diakomodasikan dan dijadikan tujuan dari pembangunan agro industri daerah. Pencapaian tujuan ini sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang dimiliki oleh daerah dan faktor-faktor yang melekat pada industri itu sendiri. Faktor-faktor dimaksud adalah : kompetensi inti daerah yang mendukung pengembangan agroindustri, konsentrasi agroindustri yang terdapat di daerah, tingkat pertumbuhan agroindustri di daerah, jumlah tenaga kerja pada agroindustri di daerah, nilai tambah agroindustri di daerah, kemampuan ekspor agroindustri daerah dan k eterkaitan agroindustri dengan usaha lain di daerah tersebut. Metode penelitian d ilakukan melalui tahapan sebagai berikut : 1) Pengelompokan agroindustri berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia 3 digit, 2) Menetapkan kriteria dan menghitung bobot setiap kriteria, 3) Pemeringkatan kelompok agroindustri yang berpeluang menjadi suatu klaster, 4) Pemetaan kelompok agroindustri melalui identifikasi industri inti, industri terkait, dan industri pendukungnya, 5) Melakukan Strukturisasi Sistem Pengembangan Klaster Agroindustri, dan 6) Memformulasikan kebijakan pengembangan klaster agroindustri unggulan. Pengumpulan data meliputi data primer dan data sekunder. Data sekunder dikumpulkan dari Badan Pusat Statistik dan instansi lainnya, studi-studi dan laporan-laporan industri dan perdagangan. Data primer dikumpulkan melalui survei lapangan, wawancara, dan penyebaran kuesioner kepada sejumlah pakar. Penentuan pakar dilakukan melalui purporsive sampling. Data dan informasi yang diperoleh diolah dengan menggunakan model-model yang telah dirancang sesuai dengan tujuan pengolahan. Metode pengolahan data dilakukan menggunakan teknik Location Quotinent (LQ), Shift Share Analysis, teknik Heuristic, Multi Sectoral Qualitative Analysis (MSQA), Analytical Hierarchy Process (AHP), Interpretive Structural Modelling (ISM) dan Independent Preference Evaluation (IPE). Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan model-model di atas yang dirancang berbasis komputer yang dirangkum dalam suatu model perangkat lunak dinamak an Model Strategi Pengembangan Klaster Agroindustri Unggulan Daerah (Model StraKlas). Model StraKlas dirancang dalam bentuk Sistem Pendukung Keputusan dengan konfigurasi utamanya adalah Sistem Manajemen Basis Model, Sistem Manajemen Basis Data dan Sistem Manajemen Dialog.
ii
Pengelompokan klaster industri dilakukan menurut Klasifik asi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KLBI, 2000) pada tingkatan 3-digit. Berdasarkan data industri kabupaten Bogor (BPS Kab. Bogor 2002), maka agroindustri di daerah ini dapat digolongkan dalam kelompok Makanan; Minuman; Kulit; Kayu, Rotan, dan Bambu; Kertas dan Barang dari Kertas; Karet dan Barang dari Karet. Analisa pemeringkatan kelompok agroindustri dilakukan menggunakan teknik AHP dengan Fokus : Memilih Kelompok Agroindustri yang berpotensi sebagai klaster; Tujuan : 1) Meningkatkan Pendapatan Pemerintah Daerah, 2) Memperluas Lapangan Kerja dan Pembentukan Usaha Baru, 3) Memperluas Pasar Domestik dan Ekspor, 4) Meningkatkan Produktivitas Usaha; Kriteria : 1) Konsentrasi Industri, 2) Pertumbuhan Kelompok, 3) Jumlah Tenaga Kerja, 4) Nilai Tambah, 5) Kompetensi Inti Agroindustri Daerah, 6) Kemampuan Ekspor, 7) Keterkaitan dengan Usaha Lain; Alternatif adalah ketujuh kelompok agroindustri disebut di atas. Pembobotan masing-masing alternatif terhadap kriteria Konsentrasi Industri dilakukan dengan perbandingan Location Quotient, terhadap kriteria Pertumbuhan Kelompok dengan perbandingan komponen Differential Shift dari Shift-Share Analysis, terhadap kriteria Kompetensi Inti Agroindustri Daerah dengan analisa MSQA (Multi Sectoral Qualitative Analysis), terhadap kriteria Keterkaitan dengan Usaha Lain dan kriteria Kemampuan Ekspor dengan Pendapat Pakar, terhadap kriteria Jumlah Tenaga Kerja dan kriteria Nilai Tambah berdasarkan angka-angka realisasinya. Hasil pemeringkatan kelompok agroindustri dengan analisa AHP dan bobot setiap kelompok terhadap Fokus adalah : Makanan (0.2042); Minuman (0.1412); Kulit (0.1544); Kayu, Rotan dan Bambu (0.1649); Kertas, Barang dari Kertas (0.1740); Karet, Barang dari karet (0.1612). Berdasarkan peringkat yang diperoleh dari analisa AHP, maka dilakukan identifikasi industri inti dari kelompok ini. Industri inti dari Kelompok Agroindustri Makanan adalah : Pengalengan buah -buahan dan sayuran, Pengasinan buah-buahan dan sayuran, Pelumatan buah-buahan dan sayuran, Susu, Ransum pakan ternak atau ikan, Roti dan sejenisnya, Makanan dari coklat, Makaroni, mie, spagheti, bihun, so’un dan sejenisnya, Pengolahan teh. Berdasarkan data lapangan maka secara lebih spesifik industri inti dalam kelompok agroindustri Makanan di kabupaten Bogor adalah : industri manisan buah-buahan dalam kaleng, industri manisan buah-buahan kering, industri saus cabe, industri susu bubuk, industri pakan ternak, industri pakan ikan dan industri pakan udang, industri roti, industri kue kering, industri biskuit dan industri snack, industri kembang gula, industri mie kering dan industri bihun, industri teh hijau atau teh kering dan industri teh celup. Berdasarkan hasil identifikasi industri inti di atas maka dilakukan pemetaan klaster. Hasil analisis terhadap subelemen ditemukan elemen kunci dan elemen yang memiliki driver power yang tinggi. Pada elemen pelaku pengembangan yaitu: subelemen pemerintah daerah, lembaga keuangan, lembaga pendidikan dan pelatihan, lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga pengujian, standar, setifikasi, Asosiasi produsen. Pada elemen tujuan pengembangan yaitu: meningkatkan keterkaitan antar sektor, pemanfaatan sumber daya alam daerah, meningkatkan produkvifitas, menurunkan biaya transaksi dan meningkatkan kemampuan inovasi. Pada elemen peran pemerintah yaitu melakukan koordinasi
iii
antar instansi, membangun komunikasi dan kerjasama anggota klaster, menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan, melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan pada perguruan tinggi dan lembaga riset pemerintah, menerbitkan peraturan untuk persaingan yang sehat, dan menyediakan fasilitas umum dan sosial di daerah. Pada elemen aktivitas dunia usaha yaitu : mendirikan asosiasi khusus anggota klaster, mensponsori kegiatan penelitian dan pengembangan, melakukan usaha pemasaran bersama, melakukan promosi dagang dan investasi bersama pemerintah, dan melaksanakan kursus dan seminar untuk meningkatkan pengetahuan. Sedangkan pada elemen kendala yaitu: rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan, perbedaan kepentingan antar perusahaan, kurang adanya dukungan peraturan pemerintah dan perbedaan budaya kerja antar perusahaan. Peringkat kepentingan subelemen pada elemen Peran Pemerintah dalam pencapaian elemen Tujuan yang sangat penting dan penting adalah : Melakukan koordinasi antar instansi yang terkait; Membangun komunikasi dan kerjasama antar anggota; Menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan; Menerbitkan peraturan yang mendukung terbentuknya persaingan yang sehat; Melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan pada perguruan tinggi dan lembaga riset pemerintah; Menyediakan fasilitas umum dan sosial di daerah; dan Melakukan upaya menarik investor ke dalam klaster. Peringkat kepentingan subelemen pada elemen Aktivitas Dunia Usaha dalam pencapaian elemen Tujuan adalah sebagai berikut : Mendirikan asosiasi khusus anggota klaster; Mensponsori kegiatan penelitian dan pengembangan sesuai kebutuhan spesifik klaster; Melakukan usaha pemasaran bersama an ggota klaster; Melakukan promosi dagang dan investasi bersama pemerintah daerah; Melaksanakan kursus dan seminar untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan anggota klaster. Hasil klasifikasi subelemen pada elemen Pelaku memperlihatkan bahwa subelemen Lembaga Keuangan, Lembaga Pendidikan dan Pelatihan, Lembaga Penelitian dan Pengembangan, Lembaga Pengujian, Standardisasi dan Sertifikasi, dan Asosiasi Produsen termasuk dalam sektor linkage. Berdasarkan hasil pemeringkatan dan strukturisasi elemen, pengembangan klaster agroindustri membawa implikasi pada pengembangan kelembagaan, infrastruktur, sumber daya manusia, teknologi dan pasar. Pengembangan kelembagaan dilakukan dengan membentuk Lembaga Pengembangan Klaster Agroindustri Kabupaten yang berfungsi men jalin keterkaitan diantara lembaga stakeholders. Bentuk lembaga yang sesuai dengan karakteristik pelaku yang terlibat adalah struktur jaringan (network structure) yaitu sebuah organisasi kerja yang menyandarkan diri pada organisasi lain untuk melakukan keg iatan usaha. Rekayasa model pengembangan klaster agroindustri unggulan menggunakan kompetensi inti menghasilkan suatu model yang dapat digunakan untuk menunjang pengambilan keputusan dalam identifikasi dan memformulasi strategi pengembangan klaster agroindustri di daerah Kabupaten, dengan menggunakan data statistik yang tersedia pada Badan Pusat Statistik, dikombinasikan dengan masukan berupa pendapat pakar. Disarankan untuk menerapkan model pada berbagai tingkatan wilayah administratif baik secara sendiri maupun bersama dengan wilayah yang berbatasan.
iv
MODEL STRATEGI PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI UNGGULAN MENGGUNAKAN KOMPETENSI INTI DI DAERAH KABUPATEN DAN KELEMBAGAANNYA
AIDIL JUZAR
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
Judul Disertasi
: MODEL STRATEGI PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI UNGGULAN MENGGUNAKAN KOMPETENSI INTI DI DAERAH KABUPATEN DAN KELEMBAGAANNYA Nama Mahasiswa : Aidil Juzar Nomor Pokok : F 326010161 Program Studi : Teknologi Industri Pertanian
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Irawadi Jamaran Ketua
Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim, M. Sc Anggota
Dr. Ir. Ani Suryani, DEA Anggota
Prof. Dr. Ir. Marimin, M. Sc Anggota
Dr. Ir. Yandra Arkeman, M.Eng. Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian,
Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor,
Dr. Ir. Irawadi Jamaran
Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal ujian: 30 Agustus 2006
Tanggal lulus:
Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor tahun 2006 Hak Cipta Dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari IPB sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, foto copy, microfilm dan sebagainya.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Medan (Sumatera Utara) pada tanggal 14 November 1939, putra dari Bapak Juzar (almarhum) dan Ibu Syahrizat (almarhum). Setelah lulus dari Sekolah Menengah Atas Negeri I di Medan pada tahun 1958, penulis melanjutkan pendidikan pada Fakultas Teknik Institut Teknologi Bandung, Jurusan Elektroteknik dan lulus pada tahun 1962. Lulus dari Institut Teknologi Bandung, penulis bekerja pada Departemen Perindustrian Dasar & Pertambangan, dan pada tahun 1972 penulis ditugaskan pada BUMN PT. Krakatau Steel (perusahaan industri baja) sampai tahun 1984, dengan jabatan terakhir sebagai Direktur (periode 1984-1994). Dalam periode 1972-1976, penulis sambil bekerja mengikuti kuliah pada Ekstension Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan lulus pada tahun 1976. Pada tahun 1994 penulis ditugaskan kembali pada Departemen Perindustrian dengan jabatan sebagai Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Industri (1994- akhir 1995). Ketika Departemen Perindustrian dan Departemen Perdagangan digabung pada akhir tahun 1995, penulis ditugaskan sebagai Sekretaris Jenderal Departemen Peridustrian dan Perdagangan sampai akhir tahun 1998. Selama bekerja di PT. Krakatau Steel, penulis ditugaskan pula menjadi Komisaris pada beberapa anak perusahaan, antara lain : PT. KHI Pipe Industries, dan PT. Seamless Pipe Jaya. Demikian pula selama bertugas di Departemen Peridustrian dan Depatemen Perindustrian dan Perdagangan, penulis ditunjuk sebagai Komisaris Utama pada: PT. Semen Padang (1995-1997), PT. Pupuk Kalimantan Timur (1995-1997), PT. Semen Gresik (1997-1999), PT. Pupuk Sriwijaya (1997-1999) dan PT. Sucofindo (1997-2003). Pada tahun 2001 penulis diterima sebagai mahasis wa program doktor pada Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis menikah dengan Dra. Riana Gindo Siregar, Apoteker, pada tahun 1965, dan telah dikaruniai dua orang anak lelaki dan seorang anak perempuan.
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan berkat-Nya sehingga penulisan disertasi dapat diselesaikan. Penghargaan dan ucapan terima kasih yang tak terhingga disampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Irawadi Jamaran sebagai Ketua Komisi Pembimbing, Bapak Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim, M. Sc., Ibu Dr. Ir. Ani Suryani, DEA., Bapak Prof. Dr. Ir. Marimin, M. Sc., Bapak Dr. Ir. Yandra Arkeman, M.Eng., sebagai anggota Komisi Pembimbing atas bimbingan, dorongan semangat, curahan pengetahuan, waktu dan nesehat yang diberikan selama ini dengan penuh pengertian, kesabaran dan keikhlasan sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Penghargaan kami sampaikan pula kepada Dr. Ir. Anas M Fauzi M.Eng., sebagai penguji luar komisi pada Ujian Tertutup, Dr. Ir. Muhammad Said Didu, M.Si., dan Dr. Ir. Gatot Ibnu Santoso, DEA., sebagai penguji luar komisi pada Ujian Terbuka atas segala pengetahuan, saran dan waktunya untuk penyempurnaan disertasi ini. Ucapan terima kasih disampaikan pula kepada : 1. Dekan Sekolah Pascasarjana, Ketua Program Studi Pascasarjana Teknologi Industri Pertanian, Staf Pengajar dan Staf Administrasi yang telah membantu dan membekali ilmu selama mengikuti pendidikan. 2. Ketua Departemen Teknologi Industri Pertanian beserta Staf. 3. Rekan-rekan di Departemen Perindustrian dan Departemen Perdagangan. Terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya juga disampaikan kepada Pimpinan dan Staf pada Kantor Pusat Badan Pusat Statistik di Jakarta, Pimpinan dan Staf Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat di Bandung, Pimpinan dan Staf Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor di Cibinong, Pimpinan dan Staf Departemen Perindustrian, Pimpinan dan Staf Dinas Perindustrian Provinsi Jawa Barat, Pimpinan dan Staf Dinas Perindustrian Kabupaten Bogo r, Pimpinan dan Staf Departemen Perdagangan, Balai Besar Hasil Industri dan Pertanian, serta para nara sumber lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan informasi dan kemudahan selama penelitian dilakukan. Penghargaan dan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada isteri tercinta Dra. Riana Gindo Juzar, ananda Priandhi Satria Juzar dan Dhira Diantari Juzar; serta seluruh kerabat dan teman atas doa, kesabaran, dorongan, bantuan dan pengertian yang diberikan secara tulus dan ikhlas selama penulis menempuh pendidikan. Terima kasih disampaikan pula kepada Dr.Ir. Halim Mahfud M.Sc, Ir.Roni Wijaya dan semua p ihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah banyak sekali membantu dalam proses penyelesaian penelit ian ini. Penulis menyadari bahwa disertasi ini tidak luput dari kelemahan dan kekurangan, sehingga saran untuk perbaikan akan kami terima dengan segala ketulusan hati. Bogor,
September 2006 Aidil Juzar
v
DAFTAR ISI
Halaman RINGKASAN ……………………………………………………………….. KATA PENGANTAR ………………………………………………………. DAFTAR ISI ………………………………………………………………... DAFTAR TABEL …………………………………………………………... DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………... DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………... I.
PENDAHULUAN
1.1 1.2 1.3 1.4
Latar Belakang ………………………………………………………. Perumusan Masalah …………………………………………………. Tujuan Penelitian ……………………………………………………. Ruang Lingkup ………………………………………………………
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6
Pengembangan Industri dan Agroindustri …………………………... Klaster Industri ……………………………………………………… Kompetensi Inti ……………………………………………………... Pendekatan Sistem …………………………………………………... Sistem Penunjang Keputusan ……………………………………….. Penelitian Terdahulu …………………………………………………
III.
LANDASAN TEORI
3.1 3.2 3.3 3.4 3.5 3.6 3.7 3.8
Multi Sectoral Qualitative Analysis ………………………………… Location Quotient …………………………………………………… Analisa Shift-Share ………………………………………………….. Analytical Hierarchy Process ……………………………………….. Interpretive Structural Modelling (ISM) ……………………………. Teknik Perbandingan Indeks Kinerja ……………………………….. Independent Preference Evaluation (IPE) …………………………... Teknik Heuristik ……………………………………………………..
IV.
METODOLOGI
4.1 4.2 4.3 4.4 4.5
Kerangka Pemikiran Konseptual ……………………………………. Tahapan Penelitian ………………………………………………….. Kerangka Pemikiran Rekayasa Model ……………………………… Validasi dan Verifikasi Model ………………………………………. Jenis Data …………………………………………………………….
i v vi ix xi xiii
1 8 8 9
10 12 39 41 48 52
60 63 64 67 73 76 76 79
80 83 84 87 87
vi
4.6 4.7
Pengumpulan Data …………………………………………………... Pengolahan Data ……………………………………………………..
V.
ANALISA SISTEM
5.1 5.2 5.3 5.4 5.5
Agroindustri Nasional Saat Ini ……………………………………… Agroindustri di Kabupaten Bogor …………………………………... Analisa Kebutuhan ………………………………………………….. Formulasi Permasalahan …………………………………………….. Identifikasi Sistem …………………………………………………...
VI.
PEMODELAN SISTEM
6.1 6.2 6.3 6.4 6.5
Konfigurasi Model …………………………………………………... Sistem Manajemen Basis Model ……………………………………. Sistem Manajemen Basis Data ……………………………………… Sistem Manajemen Dialog …………………………………………... Pendapat Ahli ………………………………………………………..
VII.
VALIDASI DAN VERIFIKASI MODEL
7.1 7.2 7.3 7.4 7.5 7.6 7.7 7.8 7.9 7.10 7.11 7.12 7.13
Pengelompokan Agroindustri ……………………………………….. Kompetensi Inti ……………………………………………………... Konsentrasi Industri ………………………………………………… Tingkat Pertumbuhan ……………………………………………….. Kemampuan Ekspor ………………………………………………… Keterkaitan dengan Usaha Lain ……………………………………... Jumlah Tenaga Kerja ………………………………………………... Nilai Tambah ………………………………………………………... Pemilihan Kelompok Agroindustri Unggulan ………………………. Indentifikasi Industri Inti Klaster …………………………………… Strukturisasi Elemen S istem Pengembangan ……………………….. Tingkat Kepentingan Peran Pemerintah dan Aktivitas Dunia Usaha . Pelaksanaan Validasi dan Verifikasi Model …………………………
VIII.
PEMBAHASAN
8.1 8.2 8.3 8.4 8.5 8.6 8.7
Kebijakan Pengembangan Klaster …………………………………... Pengembangan Klaster Agroindustri Unggulan Daerah ……………. Implikasi Kebijakan Pengembangan Klaster Agroindustri …………. Pengukuran Kinerja Klaster …………………………………………. Prasyarat Implementasi Model ……………………………………… Model dan Wilayah Administratif …………………………………... Perbandingan dengan Penelitian Sejenis …………………………….
88 88
96 98 104 106 106
109 110 125 126 126
127 128 129 130 132 133 134 135 136 137 139 160 164
166 167 172 181 182 182 183
vii
IX.
KESIMPULAN DAN SARAN
9.1 9.2
Kesimpulan ………………………………………………………….. Saran …………………………………………………………………
184 189
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………..
190
LAMPIRAN ………………………………………………………………....
197
viii
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 2.1 Tabel 2.2 Tabel 2.3 Tabel 3.1 Tabel 3.2 Tabel 3.3 Tabel 5.1 Tabel 5.2 Tabel 5.3 Tabel 5.4 Tabel 5.5 Tabel 5.6 Tabel 5.7 Tabel 7.1 Tabel 7.2 Tabel 7.3 Tabel 7.4 Tabel 7.5 Tabel 7.6 Tabel 7.7 Tabel 7.8 Tabel 7.9 Tabel 7.10 Tabel 7.11 Tabel 7.12 Tabel 7.13 Tabel 7.14 Tabel 7.15 Tabel 7.16 Tabel 7.17 Tabel 7.18 Tabel 7.19 Tabel 7.20 Tabel 7.21 Tabel 7.22
Reformulasi Komponen Pembangunan Ekonomi Daerah …... Klaster Agroindustri dan Lokasi Geografis …………………. Ringkasan Penelitian Klaster Industri Terdahulu …………… Matrik s Model Sectoral Qualitative Analysis (MSQA) …….. Skala Komparasi …………………………………………….. Nilai Indeks Acak (RI) Matriks Berorde 1-10 ………………. Kinerja Sektor-Sektor Industri Nasional, Tahun 2003-2004 ... Struktur Industri Nasional Non-Migas, Tahun 2000 – 2004 ... Jumlah Unit Usaha dan Tenaga Kerja Agroindustri Besar dan Sedang Kabupaten Bogor, Tahun 1999 dan 2002 …………... Nilai Output dan Nilai Tambah Agroindustri Besar dan Sedang Kabupaten Bogor, Tahun 1999 dan 2002 …………... Jumlah Unit Usaha, Jumlah Tenaga Kerja dan Nilai Produksi Industri Kecil Kabupaten Bogor Tahun 2000 ……………….. Komposisi dan Kinerja Agroindustri Makanan KBLI 5-digit Kabupaten Bogor Tahun 2002 ………………………………. Kebutuhan Pelaku Pengembangan Klaster Agroindustri Unggulan Daerah ……………………………………………. Pengelompokan Agroindustri Kabupaten Bogor, Tahun 2002 Matriks Agregat Pendapat Ahli dan Bobot Kompetensi Inti ... Jumlah Tenaga Kerja Kabupaten dan Nasional Tahun 2002 .. Nilai dan Bobot LQ Agroindustri di Kabupaten Bogor …….. Jumlah Tenaga Kerja Agroindustri di Kabupaten Bogor dan Nasional, Tahun 1999 dan 2002 …………………………….. Bobot Tingkat Pertumbuhan (Komponen Differential Shift)... Matrik Agregat Pendapat Ahli dan Bobot Kemampuan Ekspor ……………………………………………………….. Matrik Agregat Pendapat Ahli dan Bobot Keterkaitan Usaha Lain ………………………………………………………….. Jumlah Tenaga Kerja dan Bobot Tenaga Kerja ……………... Jumlah Nilai Tambah dan Bobot Nilai Tambah …………….. Bobot Alternatif terhadap Fokus ……………………………. LQ Industri 5-digit KBLI 2002 Kelompok Makanan ………. Hasil Identifikasi Industri Inti ……………………………….. Matriks Reachibility Final Elemen Tujuan …………………. Driver Power dan Dependence Elemen Tujuan …………….. Matriks Reachibility Final Elemen Pelaku ………………….. Elemen Kunci pada Elemen Pelaku …………………………. Matriks Reachibility Final Elemen Kendala ………………... Driver Power dan Dependence Elemen Kendala …………… Matriks Reachibility Final Elemen Peran Pemerintah ……… Driver Power dan Dependence Elemen Peran Pemerintah …. Matriks Final Reachibility Elemen Aktivitas Dunia Usaha …
25 53 59 60 69 72 96 97 99 100 101 103 105 127 128 130 130 131 131 132 133 134 135 137 137 138 142 142 145 146 148 149 152 153 156
ix
Tabel 7.23 Tabel 7.24 Tabel 7.25 Tabel 7.26 Tabel 7.27
Driver Power dan Dependence Elemen Aktivitas Dunia Usaha ………………………………………………………... Tingkat Kepentingan Peran Pemerintah menurut Kriteria Tujuan ……………………………………………………….. Tingkat Kepentingan Peran Pemerintah Berdasarkan Agregasi Kriteria Tujuan ……………………………………. Tingkat Kepentingan Aktivitas Dunia Usaha menurut Kriteria Tujuan ……………………………………………… Tingkat Kepentingan Aktivitas Dunia Usaha Berdasarkan Agregasi Kriteria Tujuan …………………………………….
157 161 162 163 164
x
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 2.1 Gambar 2.2 Gambar 4.1
Gambar 4.2 Gambat 4.3 Gambar 5.1 Gambar 5.2 Gambar 6.1 Gambar 6.2 Gambar 6.3 Gambar 6.4 Gambar 6.5 Gambar 6.6 Gambar 6.7 Gambar 6.8 Gambar 6.9 Gambar 6.10 Gambar 6.11 Gambar 6.12 Gambar 6.13 Gambar 7.1 Gambar 7.2 Gambar 7.3 Gambar 7.4 Gambar 7.5 Gambar 7.6 Gambar 7.7 Gambar 7.8 Gambar 7.9 Gambar 7.10 Gambar 7.11
Diagaram Proses Pemodelan ……………………………….. Struktur Dasar SPK …………………………………………. Kerangka Pemikiran Konseptual Strategi Pengembangan Klaster Agroindustri Unggulan Menggunakan Kompetensi Inti Daerah ………………………………………………….. Tahapan Penelitian ………………………………………….. Kerangka Pemikiran Rekayasa Model Strategi Pengembangan Klaster Agroindustri Unggulan ……………. Diagram Sebab -Akibat Sistem Pengembangan Klaster Agroindustri Unggulan Daerah ……………………………... Diagram Input-Output Sistem Pengembangan Klaster Agroindustri Unggulan Daerah ……………………………... Konfigurasi Sistem Pendukung Keputusan Strategi Pengembangan Klaster Agroindustri Unggulan Daerah ……. Diagram Alir Model Kompetensi Inti ………………………. Diagram Alir Model Konsentrasi Industri ………………….. Diagram Alir Model Tingkat Pertumbuhan ………………… Diagram Alir Model Kemampuan Ekspor ………………….. Diagram Alir Model Keterkaitan dengan Usaha Lain ……… Diagram Alir Model Jumlah Tenaga Kerja ………………… Diagram Alir Model Nilai Tambah ………………………… Diagram Alir Model Pemilihan Kelompok Agroindustri Unggulan ……………………………………………………. Diagram Alir Model Indentifikasi Industri Inti Klaster …….. Diagram Alir Model Strukturisasi Sistem Pengembangan Klaster ………………………………………………………. Diagram Alir Model Tingkat Kepentingan Peran Pemerintah dan Aktivitas Dunia Usaha …………………………………. Diagram Alir Konfigurasi Model Pengukuran Kinerja Klaster ………………………………………………………. Hierarki Memilih Kelompok Agroindustri …………………. Struktur Hierarki Elemen Tujuan …………………………... Grafik Dependency-Driver Power Elemen Tujuan ………… Struktur Hierarki Elemen Pelaku …………………………… Grafik Driver Power-Dependence Elemen Pelaku …………. Struktur Hierarki Elemen Kendala …………………………. Grafik Driver Power-Dependence Elemen Kendala ………... Struktur Hierarki Elemen Peran Pemerintah ……………….. Grafik Dependence - Driver Power Elemen Peran Pemerintah ………………………………………………….. Struktur Hierarki Elemen Aktivitas Dunia Usaha ………….. Grafik Driver Power-Dependence pada Elemen Aktivitas Dunia Usaha …………………………………………………
46 50
81 84 86 107 108 109 111 112 113 114 116 117 118 120 121 122 123 125 136 143 144 146 147 150 151 154 155 158 159
xi
Gambar 8.1 Gambar 8.2 Gambar 8.3
Klaster Agroindustri Makanan Kab. Bogor ………………… Subelemen dengan Driver Power yang kuat pada Sistem Pengembangan Klaster Agroindustri Unggulan ……………. Model Kelembagaan Klaster Agroindustri Unggulan Daerah ……………………………………………………….
169 171 179
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1
Lampiran 2
Lampiran 3 Lampiran 4 Lampiran 5 Lampiran 6 Lampiran 7 Lampiran 8 Lampiran 9 Lampiran 10 Lampiran 11 Lampiran 12 Lampiran 13 Lampiran 14 Lampiran 15 Lampiran 16 Lampiran 17 Lampiran 18 Lampiran 19 Lampiran 20
Tabel Jumlah Pekerja, Unit Usaha, Nilai Input, Nilai Output dan Nilai Tambah Agroindustri Besar dan Sedang Kabupaten Bogor Tahun 2002 …………………………………………... Tabel Jumlah Pekerja, Unit Usaha, Nilai Input, Nilai Output dan Nilai Tambah Agroindustri Besar dan Sedang Indonesia Tahun 2002 ………………………………………………….. Tabel Jumlah Tenaga Kerja di Kabupaten Bogor Tahun 1999 - 2002 ………………………………………………….. Tabel Nilai Tambah di Kabupaten Bogor Tahun 1999 – 2002 …………………………………………………. Tampilan Pembuka Model StraKlas ………………………… Tampilan Model Kompetensi Inti dan Konsentrasi Industri ... Tampilan Model Pertumbuhan dan Model Kemampuan Ekspor ……………………………………………………….. Tampilan Model Keterkaitan Usaha dan Model Jumlah Tenaga Kerja ………………………………………………… Tampilan Model Nilai Tambah ……………………………... Matriks Perbandingan Berpasangan ………………………… Tampilan Keluaran Model Pemilihan Klaster Unggulan (AHP) ………………………………………………………... Tampilan Model Identifikasi Industri Inti Klaster …………... Tampilan Model Strukturisasi Sistem Pengembangan Klaster (ISM VAXO) untuk Elemen Tujuan ………………………... Tampilan Model Strukturisasi Sistem Pengembangan Klaster (ISM- VAXO) untuk Elemen Pelaku ……………………….. Tampilan Model Strukturisasi Sistem Pengembangan Klaster (ISM- VAXO) untuk Elemen Kendala ……………………… Tampilan Model Strukturisasi Sistem Pengembangan Klaster (ISM- VAXO) untuk Elemen Peran Pemerintah ……………. Tampilan Model Strukturisasi Sistem Pengembangan Klaster (ISM- VAXO) untuk Elemen Aktivitas Dunia Usaha ………. Tampilan Model IPE untuk Peran Pemerintah ……………… Tampilan Model IPE untuk Aktivitas Dunia Usaha ………… Petunjuk Penggunaan Model StraKlas ………………………
197
198 199 200 201 202 203 204 205 206 211 212 213 215 216 217 218 219 220 221
xiii
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Perkembangan industri di Indonesia, sebagaimana juga dibanyak negara berkembang lainnya, diawali dengan strategi substitusi impor yang berlangsung mulai akhir dekade 1960-an sampai pertengahan dekade 1980-an (Tambunan 2001). Strategi ini dicirikan antara lain dengan proteksi yang sangat tinggi, ekonomi yang tertutup dan berusaha berdikari dalam sebagian besar kebutuhan (Siahaan 2000). Proteksi yang umum dilakukan pada periode tersebut adalah pengenaan bea masuk yang tinggi untuk mengimpor produk-produk industri manufaktur, dan pengenaan tata niaga atas berbagai jenis barang antara lain berupa larangan impor, kuota dan lisensi impor, ketentuan-ketentuan administrasi serta hambatan non tarif lainnya. Pilihan pada strategi substitusi impor tersebut telah mendorong diberikannya prioritas pada pengembangan industri berspektrum luas (broad-based industry) dan industri-industri berbasis teknologi tinggi (high-tech industry) dengan bahan baku dan bahan pembantu yang sebagian besar masih diimpor, sedang industriindustri berbasis pertanian (agroindustri) yang berpotensi memiliki keunggulan kompetitif bila dikembangkan, kurang mendapatkan perhatian. Strategi substitusi impor yang berkepanjangan telah membawa dampak negatif terhadap perkembangan industri di Indonesia. Kebijakan proteksi dan tata niaga yang berlebihan telah mengakibatkan high cost economy, dan industri di Indonesia tidak didorong untuk kompetitif di pasar dunia dan tidak fokus pada pengembangan industri dengan keunggulan komparatif yang dimiliki. Melihat pengalaman beberapa negara berkembang yang kurang berhasil dengan strategi substitusi impor, badan-badan dunia (a.l. Bank Dunia dan IMF) menganjurkan agar negara-negara berkembang menerapkan strategi industrialisasi yang berorientasi ekspor yang dikenal dengan strategi promosi ekspor (Tambunan 2001). Menjelang pertengahan dekade 1980-an, Pemerintah secara bertahap mulai melakukan perubahan strategi industrialisasi dari strategi substitusi impor menjadi strategi promosi ekspor.
2
Pada era perdagangan bebas saat ini, dimana tidak dimungkinkan lagi diberikannya berbagai bentuk proteksi dan fasilitas yang selama ini dinikmati oleh industri di Indonesia, dan dihapuskannya hambatan-hambatan pada perdagangan internasional, maka industrialisasi harus sepenuhnya dilaksanakan dengan strategi promosi ekspor dengan tujuan meningkatkan daya saing produk Indonesia, baik di pasar dalam negeri maupun di pasar ekspor. Krisis ekonomi yang melanda kawasan ini yang dimulai menjelang akhir dekade 1990-an, memperlihatkan bahwa banyak industri yang dimasa lalu dibangun dengan strategi substitusi impor, dengan pendekatan industri berspektrum luas dan dengan pendekatan industri teknologi tinggi, kurang memiliki kemampuan untuk memasuki pasar ekspor karena kurang memiliki daya saing. Dilain pihak terlihat bahwa dalam menghadapi krisis ekonomi ini, industri berbasis pertanian (agroindustri) merupakan sektor yang mampu mengatasi akibat-akibat negatif dari krisis tersebut (Saragih 2001). Berdasarkan pengalaman masa lalu dan antisipasi atas perkembangan masa depan, maka ke depan Indonesia perlu menjadikan agroindustri sebagai sektor yang memimpin (leading sector) dalam strategi pengembangan industri. Agroindustri
yang
dimaksud
disini
adalah
industri sebagaimana yang
didefinisikan oleh Austin dalam Brown (1994) yaitu: “Perusahaan yang memproses bahan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan atau hewan, dalam proses mana terjadi transformasi dan preservasi melalui perubahan fisika atau kimia, penyimpanan, pengepakan dan distribusi”. Pengembangan agroindustri akan memberikan manfaat sebagai berikut (Saragih 2001) : 1) Agroindustri memiliki keterkaitan yang besar, baik ke hulu maupun ke hilir, karena agroindustri yang menggunakan bahan baku hasil pertanian memiliki keterkaitan yang kuat dengan budidaya pertanian maupun dengan konsumen akhir atau industri lain sehingga menciptakan pengaruh ganda yang besar terhadap kegiatan -kegiatan tersebut. Hal ini juga akan mempercepat transformasi struktur perekonomian dari pertanian ke industri.
3
2) Kegiatan agroindustri memiliki basis pada sumber daya alam, sehingga dengan dukungan sumber daya alam Indonesia yang ada, akan semakin besar kemungkinan untuk memiliki keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif dalam pasar dunia di samping memiliki pasar domestik yang cukup terjamin. 3) Kegiatan agroindustri umumnya menggunakan input yang dapat diperbaharui sehingga kelangsungan kegiatan ini dapat lebih terjamin dan tidak menimbulkan masalah pengurasan sumber daya alam. 4) Pasar untuk produk agroindustri memiliki peluang untuk terus berkembang karena kapasitas pasarnya yang masih cukup besar sehingga memiliki potensi untuk mendorong pertumbuhan yang tinggi. 5) Kegiatan agroindustri yang memiliki basis di pedesaan dapat menjadi wahana bagi usaha mengatasi kemiskinan dan akan mengurangi kecenderungan perpindahan tenaga kerja dari desa ke kota. 6) Kegiatan agroindustri di pedesaan akan menghasilkan produk dengan muatan lokal yang relatif besar sehingga dapat memiliki akar yang lebih kuat pada kegiatan ekonomi desa.
Dengan demikian pengembangan agroindustri tidak hanya ditujukan untuk mengembangkan
kegiatan
industri
itu
sendiri,
tetapi
sekaligus
untuk
mengembangkan kegiatan budidaya dan kegiatan lain dalam sistem agribisnis secara keseluruhan, sehin gga antara lain dapat memberikan pengaruh yang besar bagi pencapaian berbagai tujuan pembangunan, seperti: mengatasi kemiskinan, peningkatan pemerataan, peningkatan ekspor, pelestarian lingkungan (Saragih 2001). Dillon (1999) berpedapat bahwa investasi di agroindustri akan membawa dampak positif ganda dalam perekonomian nasional. Pertama, pengembangan produk agroindustri dengan bahan baku hasil pertanian lokal akan meningkatkan produktivitas petani, menghemat devisa, dan mendorong pertumbuhan yang lebih merata. Kedua, melalui peningkatan pangsa pasar ekspor produk agroindustri, akan dapat diraih devisa dalam jumlah yang lebih besar.
4
Agar pembangunan agroindustri dimaksud dapat menjawab tantangan persaingan global yang semakin ketat, maka Propenas menetapkan agar pembangunan tersebut dilakukan dengan pendekatan klaster industri. Selanjutnya Propenas menyatakan bahwa: “Dipilihnya pendekatan klaster industri didorong oleh pemikiran bahwa berbagai kebijakan yang lalu bersifat parsial dan memberi preferensi pada kegiatan industri tertentu yang cenderung kurang memperhatikan keterkaitan horizontal maupun vertikal, sehingga menimbulkan biaya tinggi dan pada gilirannya justru melemahkan daya saing nasional. Pengembangan klaster industri
membutuhkan
rumusan
strategi
nasional
industrialisasi
yang
perumusannya melibatkan unsur Pemerintah, termasuk Pemerintah Daerah, bersama seluruh pelaku usaha. Strategi nasional tersebut memuat arahan pengembangan
masing-masing
klaster
industri
yang
secara
khusus
mempertimbangkan poten si sumber daya lokal. Melalui pendekatan ini Pemerintah Daerah beserta pelaku usaha terkait memiliki peluang lebih besar di dalam menciptakan lingkungan bisnis lokal yang kondusif. Pada hakekatnya, klaster industri merupakan bentukan organisasi industrial yang paling sesuai guna menjawab tantangan globalisasi, tuntutan disentralisasi, dan sekaligus mendorong terbentuknya jaringan kegiatan produksi dan distribusi serta pengembangan Pengusaha Kecil, Menengah dan Koperasi untuk meningkatkan keunggulan kompetitifnya”. Pendekatan klaster industri sebagaimana yang diamanatkan oleh Propenas tampaknya tidak terlepas dari pengaruh hasil penelitian Porter (1990) yang menyatakan bahwa berdasarkan hasil penelitiannya pada 10 negara yang industrinya sudah maju (Denmark, Jerman, Itali, Jepang, Korea, Singapura, Swedia, Swiss, Inggris dan Amerika Serikat), ditemukan kenyataan bahwa lokasi industri-industri yang kompetitif di negara-negara tersebut tidak tersebar merata diseluruh wilayahnya, tetapi cenderung mengelompok pada daerah -daerah tertentu, membentuk klaster-klaster industri. Hal ini menurut Porter terjadi karena dinamika
dari
“national
diamond“
negara-negara
tersebut
mendorong
terbentuknya klaster-klaster industri yang kompetitif di daerah -daerah tertentu saja.
5
Sejak terbitnya hasil penelitian Porter tersebut, maka fenomena klaster industri telah menjadi topik pembahasan dan penelitian dibanyak negara, dan pendekatan klaster industri telah dijadikan kebijakan pengembangan industri dibanyak negara industri maju dan di negara yang termasuk newly industrialized countries. Diberbagai daerah di Indonesia pada waktu ini telah terdapat aglomerasi industri-industri di wilayah tertentu, berupa sentra-sentra industri dan kawasankawasan industri. Dengan dipilihnya pendekatan klaster industri dalam Propenas sebagai upaya menjawab tantangan persaingan global yang makin ketat, maka perlu dilakukan upaya-upaya untuk meningkatkan aglomerasi industri tersebut di atas menjadi berbagai klaster industri yang kompetitif. Diantara aglomerasi industri tersebut, terdapat antara lain pengelompokan agroindustri (Depperindag 2001): kelompok agroindustri sawit di Sumatera Utara, kelompok agroindustri pengalengan ikan di Indonesia Bagian Timur, kelompok agroindustri karet di Sumatera dan Kalimantan, kelompok agroindustri berbasis kayu di Kalimantan dan Jawa Tengah, kelompok agroindustri berbasis tembakau di Jawa, kelompok agroindustri berbasis cocoa di Jawa dan Sulawesi, kelompok agroindustri sari buah di Jawa, kelompok agroindustri kulit dan barang jadi dari kulit di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Knorringa dan Meyer-Stamer (1998) menemukan bahwa klaster industri yang terdapat di negara-negara berkembang pada umumnya adalah klaster yang masih pada tahapan embrio dengan skala yang masih sangat kecil dan hanya memproduksi barang-barang konsumsi yang berkualitas rendah. Klaster ini hanya melakukan spesialisasi horizontal dan belum melakukan pembagian pekerjaan sebagaimana yang terdapat dalam suatu rantai nilai (value-chain). Manfaat aglomerasi yang diperoleh baru berupa kemudahan untuk dapat bertemu dengan calon pembeli dan terdapatnya pool dari tenaga kerja. Klaster demikian ini disebut sebagai “survival cluster”. Klaster jenis ini sebagian besar bersifat stagnant, sehingga akan tetap hany a berupa aglomerasi dari sekumpulan perusahaan yang menikmati external economies karena aglomerasi tersebut, tetapi tidak mendapatkan manfaat lain dari aglomerasi tersebut. Sebagian lainnya dapat tumbuh dan berkembang menjadi klaster yang sudah lebih maju sebagaimana
6
yang didefinisikan oleh Cooke (2001): “Geographically proximate firms in vertical and horizontal relationships, involving a localised enterprise, support infrastructure, with a shared developmental vision for business growth, based on competition and co-operation in a specific market field”. Pada masa-masa yang lalu terlihat bahwa dengan terpisah -p isahnya pembinaan industri pada berbagai departemen teknis, maka pengembangan industri dilakukan dengan pendekatan sektor industri (industrial secto r approach) sehingga tidak tercapai sinergi yang maksimal antar industri. Demikian pula penyediaan prasarana yang diperlukan oleh industri ditangani oleh berbagai departemen teknis yang sulit dikordinasikan. Dengan ditetapkannya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka sesuai Pasal 7, ayat 1 yang berbunyi: “Kewenangan Daerah mencakup kewenangan diseluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiscal, agama, serta kewenangan di bidang lain”, dan Pasal 10, ayat 1 yang menetapkan bahwa: “Daerah berwenang mengelola sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan perundang -undangan”, maka kewenangan yang ada pada kepala daerah untuk mengelola sumber daya yang terdapat di daerahnya dapat digunakan untuk memacu pengembangan industri di wilayahnya, terutama sektor agroindustri. Hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam Propenas, bahwa pembangunan klaster industri membutuhkan rumusan strategi nasional industrialisasi yang perumusannya perlu melibatkan unsur Pemerintah, termasuk Pemerintah Daerah, bersama seluruh pelaku usaha dan pihak -pihak yang terkait. Menurut Blakely dan Bradshaw (2002) sasaran pokok pembangunan ekonomi dari pembuat kebijakan di Pemerintah Daerah adalah peningkatan kesejahteraan penduduk di wilayahnya. Hal ini hanya dapat terlaksana dengan cara meningkatkan daya saing dari masing-masing daerah. Untuk mencapai hal tersebut,
pembuat
kebijakan
pada
tingkat
lokal
dan
wilayah
harus
mengembangkan kebijakan yang sehat, dan memonitor hasil dari kebijakan yang ditetapkan. Pengalaman diberbagai negara memperlihatkan bahwa wilayah wilayah dimana terdapat klaster-klaster industri telah mengalami pertumbuhan
7
ekonomi yang mengesankan. Penelitian Porter (1998c) memperlihatkan bahwa sejumlah kecil klaster industri biasanya merupakan kontributor terbesar dari kegiatan ekonomi di suatu wilayah geografis dan juga merupakan pemberi kontribusi terbesar untuk kegiatan ekspor keluar daerahnya. Dalam kaitannya dengan pembangunan ekonomi dan industri di daerah, Ohmae (1995) berpendapat bahwa dalam dunia tanpa batas saat ini (borderless world), daerah yang disebutnya region state, akan menggantikan negara (nation state) sebagai pintu gerbang memasuki perekonomian global. Region state tersebut dapat berupa wilayah geografis dalam suatu negara ataupun wilayah geografis yang terdiri dari wilayah beberapa negara. Hal yang senada juga disampaikan oleh Porter (1990), bahwa para pelaku industri yang sukses pada skala internasional, ternyata hampir semuanya berupa klaster industri yang berlokasi disuatu kota atau suatu daerah dalam suatu negara. Memahami daya saing suatu daerah menjadi sangat penting bagi setiap daerah yang perlu menyusun rencan a strategis pengembangan daerah tersebut (Muchdie 2000). Keunggulan bersaing suatu daerah akan tercipta jika daerah tersebut memiliki kompetensi inti (core-competence) yang dapat dibedakan dari daerah lainnya. Kompetensi inti daerah ini dapat diwujudkan melalui penciptaan berbagai faktor produksi yang bisa menyebabkan prestasi daerah tersebut jauh lebih baik dibandingkan daerah pesaing-pesaingnya (Muchdie 2000). Pembangunan industri di daerah perlu dilandasi oleh kompetensi inti yang dimiliki oleh daerah tersebut. Dalam konteks perusahaan, Hamel dan Prahalad (1994) mendefinisikan kompetensi inti sebagai suatu kumpulan ket erampilan dan teknologi yang dimiliki suatu perusahaan yang membuat perusahaan tersebut mampu memberikan manfaat tertentu kepada pelanggannya. Dalam konteks daerah, maka yang dimaksud dengan kompetensi inti daerah menurut Roberts dan Stimson (1998) adalah sekumpulan kekuatan dan kemampuan yang dimiliki daerah tersebut yang berkaitan dengan kekuatan eko nomi domestik di b idang industri dan investasi, orientasi perdagangan, pengembangan teknologi, sumber daya alam dan sumber daya manusia, manajemen, keuangan, pengaturan (governance ) dan infrastruktur yang dimiliki daerah , yang dapat mendukung pengembangan ekonomi daerah tersebut.
8
Menurut, Hitt et al. (1999), kompetensi inti daerah adalah kemampuan sumber daya yang merupakan sumber keunggulan bersaing daerah tersebut terhadap daerah
pesaingnya. Terdapat empat kriteria yang mendukung
terbentuknya kompetensi inti daerah, yaitu: kemampuan yang berharga (valuable capabilities), kemampuan yang langka (rare capabilities), kemampuan yang tidak dapat ditiru dengan sempurna (imperfectly imitable capabilities) dan kemampuan yang tidak dapat tergantikan (nonsubstitutable capabilities). 1.2 Perumusan Masalah Mengacu pada uraian di atas, maka akan sangat bermanfaat apabila dapat dikembangkan
suatu
model
strategi
pengembangan
klaster
agroindustri
menggunakan kompetensi inti yang dimiliki daerah. Analisa klaster industri untuk mengidentifikasi klaster dan menyusun strategi yang banyak digunakan di negara industri maju saat ini memerlukan data berupa tabel input–ouput dan data kuantitatif lainnya d i bidang industri dan perdagangan. Data berupa tabel input–output dan banyak data kuantitatif lainnya pada saat ini belum tersedia di Indonesia, baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat daerah. Sehubungan dengan hal ini, maka perlu dikembangkan model untuk identifikasi klaster dan strategi pengembangan, dengan masukan berupa data yang secara teratur sudah dikumpulkan oleh instansi terkait yang bertugas untuk itu, seperti: Badan Pusat Statistik, Departemen -departemen Teknis yang terkait, serta dilengkapi dengan masukan berupa pendapat para ahli. 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk menghasilkan suatu model strategi pengembangan klaster agroindustri unggulan menggunakan kompetensi inti di daerah Kabupaten dan kelembagaannya, yang diharapkan dapat menjadi salah satu penggerak kegiatan ekonomi didaerah tersebut. Tujuan spesifik penelitian ini adalah : 1) Pemilihan kelompok agroindustri unggulan daerah yang berpotensi menjadi klaster. 2) Pemetaan elemen klaster agroindustri unggulan. 3) Strukturisasi elemen sistem pengembangan klaster agroindustri.
9
4) Implikasi
kebijakan
pengembangan
dan
perancangan
sistem
kelembagaan klaster agroindustri unggulan daerah.
Model yang dirancang memiliki kebaruan pada metodologi untuk memilih kelompok agroindustri unggulan daerah yang berpotensi untuk menjadi klaster dan identifikasi industri intinya dengan merangkai beberapa metode identifikasi kompetensi inti dan identifikasi atribut kelompok agroindustri ke dalam suatu metode pemilihan peringkat kelompok agroindustri. 1.4 Ruang Lingkup Ruang lingkup penelitian ini adalah : 1) Rekayasa model untuk identifikasi kompetensi inti daerah untuk kelompok agroindustri dan identifikasi atribut kelompok agroindustri di daerah Kabupaten. 2) Rekayasa model untuk memilih kelompok agroindustri yang menjadi calon klaster agroindustri unggulan di Kabupaten, dan pemetaan klaster 3) Rekayasa model strukturisasi sistem pengembangan agroindustri unggulan di Kabupaten, identifikasi implikasi kebijakan dan perancangan sistem kelembagaan. 4) Verifikasi untuk model dilakukan pada agroindustri di kabupaten Bogor, propinsi Jawa Barat. 5) Perusahaan yang membentuk klaster yang dicakup dalam penelitian in i adalah perusahaan agroindustri yang menurut klasifikasi Badan Pusat Statistik termasuk kategori Perusahaan Industri Sedang, yaitu perusahaan industri yang mempunyai tenaga kerja 20 sampai dengan 99 orang, dan Perusahaan Industri Besar, yaitu perusahaan industri yang mempunyai tenaga kerja 100 orang atau lebih. 6) Analisa-analis a dilakukan terhadap kelompok agroindustri yang terdiri dari satu atau beberapa kelompok agroindustri 3-dig it dalam Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Industri 2000 (KBLI 2000).
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengembangan Industri dan Agroindustri Perkembangan industri di Indonesia, sebagaimana juga dibanyak negara berkembang lainnya, terutama di Amerika Latin, Asia Selatan, Asia Timur dan Asia Tenggara, diawali dengan Strategi Substitusi Impor yang berlangsung mulai akhir dekade 1960-an sampai pertengahan dekade 1980-an (Tambunan 2001). Strategi ini dicirikan antara lain dengan proteksi yang sangat tinggi, ekonomi yang tertutup dan berusaha berdikari dalam sebagian besar kebutuhan (S iahaan 2000). Proteksi yang umum dilakukan pada periode tersebut adalah pengenaan bea masuk yang tinggi untuk impor produk-produk industri manufaktur, pengenaan tata niaga atas berbagai jenis barang antara lain dalam bentuk larangan impor, kuota dan lisensi impor, dan ketentuan-ketentuan administrasi serta hambatan non tarif lainnya. Pilihan pada Strategi Substitusi Impor tersebut telah mendorong diberikannya prioritas pada pengembangan industri berspektrum luas (broadbased industry) dan industri berbasis teknologi tinggi (high-tech industry) dengan bahan baku dan bahan pembantu yang sebagian besar masih diimpor, sedang industri-industri berbasis pertanian (agroindustri) kurang mendapatkan perhatian. Strategi Substitusi Impor yang berkepanjangan telah membawa dampak negatif terhadap perkembangan industri di Indonesia. Kebijakan proteksi dan tata niaga yang berlebihan telah mengakibatkan high cost economy, dan industri di Indonesia tidak didorong untuk kompetitif di pasar dunia dan tidak fokus pada pengembangan industri dengan keunggulan komparatif yang dimiliki. Melihat pengalaman yang kurang berhasil dengan Strategi Substitusi Impor, badan-badan dunia (Bank Dunia dan IMF) menganjurkan agar negara-negara berkembang menerapkan strategi industrialisasi yang berorientasi ekspor yang dikenal dengan Strategi Promosi Ekspor (Tambunan 2001). Menjelang pertengahan dekade 1980-an, Pemerintah secara bertahap mulai melakukan perubahan strategi industrialisasi dari Strategi Substitusi Impor ke Strategi Promosi Ekspor.
11 Pada era perdagangan bebas saat ini, dimana tidak dimungkinkan lagi diberikannya berbagai bentuk proteksi dan fasilitas yang selama ini dinikmati oleh industri di Indonesia, dan dihapuskannya hambatan-hambatan perdagangan internasional, maka industrialisasi perlu dilaksanakan dengan Strategi Promosi Ekspor dengan tujuan meningkatkan daya saing produk Indonesia, baik di pasar dalam negeri maupun di pasar ekspor. Krisis ekonomi yang melanda kawasan ini yang dimulai menjelang akhir dekade 1990 -an, memperlihatkan bahwa banyak industri yang telah dibangun di masa lalu dengan Strategi Substitusi Impor, dengan prioritas pada pengembangan industri berspektrum luas dan industri berbasis teknologi tinggi dengan bahan baku dan bahan pembantu yang sebagian besar masih di impor, kurang memiliki kemampuan untuk melakukan ekspor karena kurang kompetitif. Di lain pihak terlihat bahwa industri berbasis pertanian (agroindustri) merupakan sektor yang mampu mengatasi akibat-akibat negatif dari krisis tersebut karena kandungan lokalnya yang tinggi (Saragih 2001). Berdasarkan pengalaman masa lalu dan antisipasi atas perkembangan masa depan, maka ke depan, Indonesia perlu menjadikan agroindustri sebagai sektor yang memimpin (leading sector) dalam strategi pengembangan industri dengan dasar pemikiran sebagai berikut (Saragih 2001): (1) Agroindustri memiliki keterkaitan yang besar, baik ke hulu maupun ke hilir, karena agroindustri yang menggunakan bahan baku hasil pertanian memiliki keterkaitan yang kuat dengan budidaya pertanian maupun dengan konsumen akhir atau industri lain sehingga menciptakan pengaruh ganda yang besar terhadap kegiatan-kegiatan tersebut. Hal ini juga akan mempercepat transformasi struktur perekonomian dari pertanian ke industri; (2) Kegiatan agroindustri memiliki basis pada sumber daya alam, sehingga dengan dukungan sumber daya alam Indonesia yang ada, akan semakin besar kemungkinan untuk memiliki keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif dalam pasar dunia di samping memiliki pasar domestik yang cukup terjamin; (3) Kegiatan agroindustri umumnya menggunakan input yang dapat diperbaharui sehingga kelangsungan kegiatan ini dapat lebih terjamin dan tidak menimbulkan masalah pengurasan sumber daya alam; (4) Pasar untuk produk agroindustri memiliki peluang untuk terus berkembang karena kapasitas pasarnya
12 yang masih cukup besar sehingga memiliki potensi untuk mendorong pertumbuhan yang tinggi; (5) Kegiatan agroindustri yang memiliki basis di pedesaan dapat menjadi wahana bagi usaha mengatasi kemiskinan dan akan mengurangi kecenderungan perpindahan tenaga kerja dari desa ke kota; (6) Kegiatan agroindustri di pedesaan akan menghasilkan produk dengan muatan lokal yang relatif besar sehingga dapat memiliki akar yang lebih kuat pada kegiatan ekonomi desa. Dengan demikian pengembangan agroindustri tidak hanya ditujukan untuk mengembangkan
kegiatan
industri
itu
sendiri,
tetapi
sekaligus
untuk
mengembangkan kegiatan budidaya dan kegiatan lain dalam sistem agribisnis secara keseluruhan, sehingga dapat memberikan pengaruh yang besar bagi pencapaian berbagai tujuan pembangunan, seperti mengatasi kemiskinan, peningkatan pemerataan, peningkatan ekspor, pelestarian lingkungan dan lain sebagainya (Saragih 2001). 2.2 Klaster Industri 2.2.1 Pendekatan Klaster Industri Kebijakan pengembangan industri dengan pendekatan klaster telah menjadi pilihan banyak negara industri maju seperti: Amerika Serikat, Jerman, Inggris, Negeri Belanda, Perancis, Finlandia, Denmark, Swiss, dan negara industri baru, seperti: Korea Selatan, Taiwan dan Singapura. Kebijakan dengan pendekatan sektor industri sudah mulai ditinggalkan. Pendekatan sektoral meletakkan fokus pada hubungan-hubungan horizontal dan persaingan interdependence (hubungan antara pesaing yang bergerak dalam bidang usaha yang sejenis dan beroperasi dalam pasar produk yang sama), sedangkan pendekatan klaster selain melakukan hal tersebut terdahulu, juga memberikan fokus pada hubungan vertikal antara perusahaan yang tidak sejenis yang berada pada rantai nilai produk tersebut (Roelandt et al. 2000). Beberapa definisi mengenai klaster industri yang banyak ditemukan dalam literatur antara lain adalah sebagai berikut : 1) Porter (1990) menjelaskannya sebagai ”A set of industries related through buyer-supplier and supplier-buyer relationship, or by common
13 technologies, common buyers or distribution channels, or common labour pools”. 2) Doeringer dan Terkla (1995) memberi definisi sebagai “Geographical concentration of industries that gain performance advantages through co-location”. 3) Porter (1998a) mendefinisikan kembali sebagai: “A cluster is a geographic concentrations of interconnected companies, specialised suppliers, service providers, firms in related industries, and associated institutions (eg. universities, standard agencies and trade associations) in particular fields that compete but also cooperate”. 4) Definisi yang digunakan oleh UNIDO (OECD 1999) adalah: “The term cluster is used to indicate a sectoral and geographical concentration of enterprises which, first, give rise to external economies (such as the emergence of specialized suppliers of raw materials and component or the growth of a pool of sector specific skills) and, second, favours the rise of specialized services in technical, administrative and financial matters. Such specialized services create a conducive ground for the development of a network of public and private local institutions which support local economic development by promoting collective learning and innovation through implicit and explicit co-ordination”. 5) Philip Cooke (2001) mendefinisikannya dengan: “Geographically proximate firms in vertical and horizontal relationships, involving a localised enterprise, support infrastructure, with a shared developmental vision for business growth, based on competition and co-operation in a specific market field”.
Dari beberapa definisi tersebut di atas kelihatan bahwa definisi mengenai klaster terus berkembang, dan pada kenyataannya pada saat ini setiap negara memiliki pengertian tersendiri mengenai konsepsi klaster ini. Banyak negaranegara OECD menggunakan definisi dari UNIDO sebagaimana dicantumkan di atas dalam pendekatan klasternya. Pada penelitian ini istilah klaster juga mengacu pada definisi yang digunakan oleh UNIDO, yang pada dasarnya menyatakan
14 bahwa istilah klaster mengindikasikan adanya konsentrasi geografis dan sektoral dari perusahaan -perusahaan yang menimbulkan
external economies
dan
menyebabkan berkembangnya jasa-jasa pelayanan khusus di bidang teknis, adminstratif dan keuangan. Menurut Doeringer dan Terkla (1995) dan Rodriguez-Clare (2005), klaster industri lahir karena terdapatnya pengaruh luar yang menguntungkan (positive externalities). Lokasi yang spesifik untuk setiap klaster terjadi secara kebetulan saja (historical accident) atau karena biaya untuk membangun perusahaan di lokasi tersebut lebih rendah dari pada membangun di tempat lain. Menurut Porter (1998b), suatu klaster dapat lahir di suatu lokasi tertentu karena di lokasi tersebut terdapat bagian dari Porter’s diamond yang dapat dimanfaatkan. Motivasi utama yang mendorong terbentuknya klaster adalah tersedianya sejumlah faktor yang mendukung, seperti: adanya permintaan pasar yang spesifik, teknologi, keahlian atau ket erampilan khusus, fasilitas riset dan pengembangan dan atau sekolah atau perguruan tinggi, lokasi yang baik atau tersedianya sumber daya dan infrastruktur yang sesuai, atau karena timbulnya kesempatan (chance factor). Enright (2000) juga menyatakan bahwa banyak klaster berawal dari terdapatnya kondisi faktor lokal yang spesifik, permintaan pasar lokal atau industri yang terkait. Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa banyak hal yang dapat menyebabkan lahirnya klaster disuatu daerah tertentu, namun kelahiran suatu klaster tidak dapat dipaksakan (Enright 2000). Porter (1990) menyampaikan argumentasinya, bahwa adanya persaingan merupakan kekuatan yang mendorong perkembangan klaster. Pembentukan klaster (clustering) merupakan suatu proses yang dinamis, dimana pertumbuhan satu perusahaan yang memiliki daya saing pada klaster tersebut akan membangkitkan kebutuhan akan adanya industri terkait lainnya pada klaster dimaksud. Dengan berkembangnya klaster, akan terjadi sistem yang saling memperkuat dimana manfaatnya akan mengalir ke depan dan ke belakang pada seluruh industri yang terdapat dalam klaster. Porter (1990) berpendapat bahwa persaingan antara perusahaan dalam klaster akan mendorong pertumbuhan karena
15 persaingan akan memaksa perusahaan dalam klaster untuk lebih inovatif dan didorong untuk melakukan perbaikan serta menciptakan teknologi baru. Keadaan ini dapat mendorong terjadinya spin off, menstimulasi kegiatan penelitian dan pengembangan dan mendorong diterapkannya ket erampilan dan jenis pelayanan yang baru. Karena banyak perusahaan dalam klaster memerlukan tenaga dengan keterampilan yang sama, maka akan terjadi perpindahan tenaga kerja antar perusahaan dalam klaster yang berakibat terjadinya transfer pengetahuan kepada perusahaan yang menerima tenaga kerja tersebut. Hal ini akan meningkatkan persaingan, yang pada gilirannya akan meningkatkan pertumbuhan. Pertumbuhan ini dapat memperdalam integrasi vertikal dari klaster ataupun integrasi horizontal dari sektor klaster tersebut. Integrasi vertikal akan meningkat dalam hal terjadi pembagian kegiatan yang lebih spesifik, sehingga perusahaan yang baru dapat mengisi market niche yang terjadi. Clustering horizontal akan terjadi dalam hal diterapkannya teknologi baru dan keterampilan baru pada industri terkait dari berbagai sektor. Doeringer dan Terkla (1995) menekankan manfaat yang diperoleh dari aglomerasi yang juga sangat berperan dalam perkembangan klaster. Perusahaan yang berlokasi saling berdekatan, akan mendapat manfaat berupa biaya transportasi dan biaya transaksi yang lebih rendah serta mendapatkan akses yang lebih mudah untuk memperoleh tenaga kerja yang diperlukan. Aglomerasi juga akan mendorong persaingan melalui transfer dari informasi serta pengetahuan dan teknologi di antara perusahaan yang saling terkait. Transfer pengetahuan dan teknologi ini dapat memunculkan industri baru yang menyebabkan klaster menjadi lebih besar dan bertumbuh. Hal lain yang membantu perkembangan klaster adalah kesempatan untuk bertemu muka secara langsung antara para pelaku industri di dalam klaster tersebut karena lokasi yang berdekatan. Interaksi dengan cara tatap muka ini sangat membantu perusahaan kecil yang ada dalam klaster, dengan cara mana mereka bisa mendapatkan informasi mengenai market niche di klaster tersebut yang dapat mereka layani. Kedekatan dengan semua perusahaan di dalam klaster memungkinkan perusahaan-perusahaan meningkatkan teknologi dan inovasi
16 secara cepat sehingga dapat meningkatkan efisiensi keseluruhan proses produksinya. Perusahaan -perusahaan dalam klaster dapat bekerjasama untuk menyediakan pelayanan atau jasa-jasa tertentu yang diperlukan sehingga dapat mendorong perkembangan klaster lebih lanjut. Infrastruktur sosial pada klaster juga membantu memfasilitasi transfer pengetahuan dan teknologi sehingga dapat memperkuat klaster dan mendorong pertumbuhan klaster (Morosini 2004). Jadi dapat disimpulkan bahwa perkembangan klaster diakibatkan o leh beberapa faktor kunci antara lain: transfer dari teknologi, transfer dari pengetahuan, pengembangan tenaga terampil pada industri terkait, manfaatmanfaat dari aglomerasi dan infrastruktur sosial yang terbentuk (Le Veen 1998). Selain kelahiran yang secara alamiah, Bekar dan Lipsey (2001) berpendapat bahwa klaster dapat pula terbentuk melalui cara-cara : 1) Dengan membangun suatu klaster yang dikaitkan dengan klaster yang sudah ada. 2) Dengan menarik suatu perusahaan ternama ke suatu daerah, dengan harapan bahwa perusahaan tersebut akan diikuti oleh perusahaan lain yang terkait dengannya. 3) Dengan mendirikan atau mengadakan suatu fasilitas tertentu sehingga daerah tersebut memiliki keunggulan komparatif, seperti: research park yang dibangun oleh Pemerintah.
Cheney (2002) menguraikan manfaat yang diperoleh dari klaster sebagai berikut : 1) Suasana persaingan antara perusahaan tertentu dalam klaster akan menjalar dan menimbulkan suasana persaingan antara perusahaan perusahaan lain dalam klaster sehingga memacu timbulnya diversifikasi, produk baru atau bahkan klaster baru. Tanpa persaingan, tidak timbul tekanan untuk perbaikan atau diversifikasi. Apabila perusahaan berhenti bersaing, maka industri tersebut akan stagnan dibandingkan dengan industri lain yang berada diluar klaster tersebut, terutama terhadap pesaing dari luar negeri.
17 2) Pendatang baru dalam klaster menyebabkan peningkatan (upgrading) melalui
diversifikasi
dalam
penelitian
dan
pengembangan
dan
memperkenalkan strategi dan keterampilan baru. 3) Informasi mengalir secara bebas dan menyebar dengan cepat kepada para pemasok, dan melalui supply chain kepada para pelanggan. Komoditi yang paling penting yang diperoleh melalui klaster adalah informasi, dan hasil dari berbagi informas i sesama anggota klaster adalah berupa pengurangan biaya, diferensiasi, kemajuan teknologi dan ruang gerak yang lebih baik dalam rantai nilai. 4) Interkoneksi di dalam klaster menghasilkan cara-cara baru untuk bersaing dan kesempatan baru untuk diversifikasi, baik melalui penghematan biaya, penururnan harga maupun melalui operasi yang lebih efektif. 5) Klaster akan mendorong pertumbuhan dan berperan dalam menimbulkan dorongan untuk diferensiasi dan membantu mengatasi sikap yang hanya berfokus ke dalam, tidak fleksibel dan sikap cepat puas dengan apa yang telah dicapai, yang merupakan ciri-ciri perusahaan yang sudah mendekati akhir kurva pertumbuhannya (maturing industries).
Menurut Rosenfeld (1995), hal yang paling dikhawatirkan dari kebijakan klaster, adalah bahwa kebijakan klaster dapat menyebabkan over-specialization dalam suatu ekonomi. Apabila industri dalam klaster tersebut mengalami kegagalan, maka seluruh ekonomi di wilayah tersebut akan mengalami pukulan dan kerusakan. Hal kedua yang menjadi bahan kritikan adalah bahwa klaster industri lebih sesuai untuk perusahaan-perusahaan yang kecil, terutama karena suksesnya suatu klaster tergantung sikap saling percaya dan kerjasama yang baik antar anggota klaster. Dalam kenyataannya, perusahaan -perusahaan multi nasional banyak mendominasi ekonomi saat ini dan perusahaan besar cenderung akan meremehkan rasa saling percaya yang diperlukan untuk suksesnya suatu klaster. Kritik ketiga adalah bahwa klaster industri hanya sesuai untuk daerah urban karena daerah pedalaman tidak memiliki skala yang diperlukan untuk berkembangnya suatu klaster. Kritik lain adalah bahwa dengan kemajuan
18 telekomunikasi saat ini, maka tidak diperlukan lagi spatial clustering. Karena itu perusahaan tidak memperoleh keunggulan kompetitif dari kedekatan geografis. Glasmeier dan Harrison (1997) menyatakan bahwa pengembangan klaster hanya sesuai untuk suatu daerah dimana sudah ada basis ekonomi yang beragam yang mampu mendukung pasar yang baru dan diversifikasi. Kritik selanjutnya adalah bahwa klaster industri hanya dapat menjawab perubahan permintaan pasar dan perubahan teknologi secara lambat dan incremental. Untuk perubahanperubahan yang besar dan cepat, Harrison dan Glasmeier menyatakan bahwa klaster cenderung akan menolaknya karena hal itu dapat berakibat perubahan drastis dari proses terdahulu yang telah pernah membawa sukses. 2.2.2 Klaster Industri di Negara Berkembang dan di Indonesia Klaster industri yang terdapat di negara-negara berkembang pada umumnya adalah klaster yang masih pada tahapan embrio dengan skala yang masih kecil dan hanya memproduksi barang-barang konsumsi yang berkualitas rendah (Knorringa & Meyer-Stamer 1998). Klaster ini belum melakukan pembagian pekerjaan secara vertikal sebagaimana yang terdapat dalam suatu rantai nilai (value-chain ). Manfaat yang diperoleh dari aglomerasi baru terbatas pada kemudahan untuk dapat bertemu dengan calon pembeli dan terdapatnya pool dari tenaga kerja. Klaster dengan ciri-ciri demikan dikenal dengan istilah “survival cluster”. Survival cluster ini dapat ditemukan baik di daerah pinggiran (rural) maupun di daerah perkotaan (metropolitan). Yang berada di daerah perkotaan biasanya tumbuh karena kebutuhan pemiliknya untuk survive, kurang mempunyai akar di daerah tersebut dan beroperasi pada subsektor-subsektor yang modern. Klaster yang berada di daerah pinggiran lebih banyak beroperasi pada sektor tradisional yang pada umumnya bertumpu pada ket erampilan pekerjaan tangan, seperti: sepatu, alas kaki, barang-barang dari kulit, pakaian jadi, perabot rumah tangga dari kayu, perhiasan dan produk kerajinan tangan lainnya. Knorringa dan Meyer-Stamer (1998) berpendapat bahwa sangat sulit untuk mengembangkan survival cluster yang banyak terdapat pada negara -negara berkembang menjadi klaster dengan kinerja yang lebih tinggi, karena tidak punya kemampuan untuk memenuhi biaya, kualitas dan permintaan yang melekat pada suatu sektor yang formal.
19 Altenburg dan Meyer-Stamer (1999) dalam penelitiannya di Amerika Latin menyimpulkan bahwa pada negara-negara berkembang dik awasan tersebut terdapat bentuk-bentuk klaster yang dapat dikelompokkan sebagai berikut : 1) Sebagaian besar klaster adalah berupa “survival cluster” yang terdiri dari perusahaan berskala usaha mikro dan usaha kecil, yang memproduksi barang-barang konsumsi berkualitas rendah untuk pasar lokal, yang pada umumnya “barrier to entry”-nya rendah. Pada umumnya produktivitas dan upah pada perusahaan dalam klaster tersebut juga masih rendah. 2) Beberapa klaster merupakan “klaster maju” yang menghasilkan berbagai jenis barang dengan tingkat produksi massa, yang merupakan barang substitusi impor namun tidak banyak melakukan ekspor. Perusahaan dalam klaster ini terdiri dari berbagai skala, mulai dari yang kecil sampai perusahaan yang berskala besar. 3) Beberapa diantaranya merupakan klaster perusahaan trans-nasional, yang bergerak dalam bidang produksi barang yang mengandung muatan teknologi yang tinggi, seperti elektronika dan kendaraan bermotor. Klaster ini didominasi oleh cabang dari perusahaan multi-nasional, yang melayani baik pasar dalam negeri maupun pasar internasional.
Knorringa dan Stamer-Meyer (1998) berpendapat, bahwa klaster dalam suatu negara berkembang bisa stagnan saja atau berkembang menurut suatu lintasan tertentu. Klaster stagnan akan tetap hanya berupa aglomerasi dari sekumpulan perusahaan yang menikmati external economies karena aglomerasi tersebut, namun tidak mendapatkan manfaat lain dari keberadaan klaster tersebut. Klaster yang berkembang, dapat mengalamai pertumbuhan melalui beberapa kemungkinan lintasan (trajectory) menuju salah satu bentuk klaster berikut: klaster distrik industri Italia (Italianate industrial district), klaster “hub and spoke” atau bentuk klaster satelit (satellite). Pada lintasan pertama, suatu klaster yang semula hanya berupa aglomerasi perusahaan akan mengembangkan sekumpulan ciri-ciri yang merupakan ciri-ciri dari suatu distrik industri Italia (Italianate industrial district) dan kemudian berkembang menjadi suatu klaster berbentuk “hub and spoke” dimana terdapat
20 beberapa perusahaan besar yang yang menjadi leader dengan banyak perusahaan kecil dan menengah yang menjadi subkontraktornya. Lintasan kedua, yang lebih umum terjadi dibanyak negara berkembang, adalah perubahan dari aglomerasi biasa perusahaan yang kemudian berubah langsung menjadi klaster hub and spoke tanpa melalui proses menjadi suatu Italianate industrial district terlebih dahulu. Lintasan ketiga adalah perubahan dari suatu aglomerasi biasa menjadi suatu klaster yang berupa distrik satelit (satellite district), dimana perusahaan kecil dan menengah dalam klaster berproduksi untuk memenuhi keperluan perusahaan besar yang berada diluar klaster tersebut. Walaupun sebagian besar klaster industri di negara berkembang masih berupa survival cluster, tetapi terdapat beberapa klaster-klaster yang berhasil berkembang sehingga mempunyai daya saing di pasar global. Klaster industri dan klaster agroindustri yang memenuhi definisi UNIDO (OECD 1999), yang belakangan ini banyak digunakan sebagai acuan diberbagai negara, sampai saat ini belum berkembang di Indonesia. Pada saat ini telah terdapat beberapa embrio klaster agroindustri di Indonesia. Namun hampir semuanya masih berupa survival cluster yang hanya memproduksi barang-barang konsumsi yang berkualitas rendah. Beberapa studi diagnostik mengenai klaster agroindustri di Indonesia telah dilakukan oleh UNIDO, antara lain: klaster agroindustri barang-barang dari kulit, rotan, kopi, bawang goreng (UNIDO 1998a, 1998b, 1998c, 1998d). Depperindag (2001) telah mengidentifikasi beberapa jenis agroindustri yang sangat berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia menjadi klaster agroindustri sebagaimana yang terdapat di negara-negara maju, yakni: minyak kelapa sawit, pengalengan ikan, karet, kayu, tembakau, cocoa, juice buah -buahan. Masingmasing klaster agroindustri potensial ini terdiri dari beberapa perusahaan yang berlokasi dibeberapa Propinsi dan Kabupaten, bahkan ada yang tersebar dibeberapa
pulau.
Untuk
dapat
mengembangkan
masing-masing
usaha
agroindustri ini menjadi suatu klaster agroindustri yang kuat dan kompetitif maka diperlukan suatu strategi pengembangan klaster yang melintasi batas-batas propinsi.
21 Porter menyatakan bahwa biasanya klaster timbul di suatu daerah secara alamiah dan tidak dapat dipaksakan oleh Pemerintah. Begitu suatu klaster terbentuk secara alamiah, barulah Pemerintah, termasuk Pemerintah Daerah diharapkan berperan untuk memperkuatnya dengan memberikan fasilitasi serta menyiapkan sarana-sarana dan perangkat peraturan yang mendukung. Peranan ini dapat dilakukan Pemerintah antara lain melalui penciptaan faktor pendukung tertentu, seperti (Braga & Gerry 2002): (1) Universitas, pendidikan teknik dan pusat-pusat pelatihan; (2) Perbaikan lingkungan dan iklim usaha; (3) Pusat informasi atau bank data mengenai trend ekonomi; (4) Usaha-usaha pelayanan jasa untuk perusahaan; (5) Rangsangan bagi terbentuknya jaringan dan kerjasama antar perusahaan. Mengingat tingkat perkembangan ekonomi antara suatu daerah dengan daerah lainnya tidak sama, maka Pemerintah Daerah sesuai kewenangan yang ada padanya sebagai daerah otonomi dapat menetapkan kebijakan-kebijakan yang sesuai
untuk
daerahnya
masing-masing.
Pemerintah
Daerah
perlu
mengidentifikasi kekuatan industri unggulan di daerahnya masing-masing dan menetapkan kebijakan yang dapat mengemban gkan klaster dari industri unggulan tersebut. Dalam penetapan kebijakan Pemerintah Daerah setempat (Braga & Gerry 2002) dapat dicatat beberapa issue yang menjadi kendala, seperti: (1) Keterbatasan sumber dana yang dimiliki daerah, (2) Keterbatasan perangkat organisasi dan kemampuan teknis dari aparat daerah, (3) Adanya batasan-batasan kewenangan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, (4) Artikulasi, baik teknis maupun administratif antara kebijakan daerah dan kebijakan nasional sangat berbeda, (5) “Terjemah an” dari kebijakan nasional untuk pelaksanaan di daerah masih banyak tergantung pada interpretasi pejabat di tingkat nasional, (6) Sering ada celah pada peraturan tingkat nasional yang dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah Daerah untuk intervensi, (7) Kemungkinan terjadinya duplikasi dari fungsi tertentu antara badan tertentu ditingkat Nasional dengan Pemerintah Daerah yang perlu diputuskan oleh Pemerintah Pusat.
22 2.2.3 Klaster Industri dan Pembangunan Ekonomi Daerah Tujuan utama pembangunan ekonomi daerah adalah untuk menciptakan tambahan ragam dan jumlah lapangan kerja yang baru bagi masyarakat setempat, dimana Pemerintah Daerah bersama seluruh komponen masyarakat bekerjasama mengelola berbagai sumber daya yang ada di daerah tersebut. Sampai saat ini belum ada teori ataupun kumpulan teori yang secara memuaskan dapat menjelaskan ihwal pembangunan ekonomi daerah (Blakely & Bradshaw 2002). Dari
berbagai
teori
yang
ada,
Blakely
dan
Bradshaw
(2002)
menggambarkannya secara sederhana sebagai berikut : Pembangunan daerah = c x r, dimana c merupakan kemampuan suatu daerah (ekonomi, sosial, teknologi dan politik), dan r merupakan sumber daya daerah (ketersediaan sumber daya alam, lokasi, tenaga kerja, investasi modal, iklim usaha, tranportasi, komunikasi, komposisi industri, teknologi, luas daerah, pasar ekspor, kondisi ekonomi internasional, dan anggaran belanja Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah). Nilai c = 1 merupakan keadaan yang netral yang tidak menambah atau mengurangi sumber daya yang dimiliki masyarakat. Nilai c yang lebih besar dari 1 berarti memiliki kemampuan yang besar, yang apabila diaplikasikan terhadap sumber daya akan meningkatkan pembangunan daerah. Organisasi Pemerintah Daerah yang dapat secara efektif membentuk mitra dengan masyarakat akan dapat melipat gandakan sumber daya. Nilai c yang kurang dari 1 memperlihatkan kemampuan Pemerintah Daerah dan masyarakat yang rendah (kepemimpinan sosial, politik dan organisasi yang rendah), yang dapat disebabkan oleh praktek -praktek KKN, mementingkan kepentingan pribadi atau tindakan tidak pantas lainnya, sehingga apabila diaplikasikan terhadap sumber daya akan mengurangi nilainya dan menyebabkan terhambatnya pembangunan. Kemampuan sumber daya diukur dengan berbagai cara, dan setiap teori mengunggulkan sumber daya yang berbeda termasuk bahan baku, infrastruktur, belanja Pemerintah, besarnya pasar, akses kepada dana dan akses komunikasi. Teori-teori pembangunan ekonomi daerah secara tradisional fokus pada bagian r dari persamaan di atas (sumber daya) dan sering mengabaikan bagian c (kemampuan daerah) dari persamaan tersebut.
23 Sumber daya saja, apabila tidak diikuti dengan program pengembangannya, tidak akan menambah kemampuan masyarakat. Ini menunjukkan bahwa, setiap teori pembangunan ekonomi daerah harus memperhatikan baik sumber daya maupun kemampuan yang dimiliki. Kemampuan masyarakat yang lebih besar akan dapat mengatasi keterbatasan sumber daya daerah dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi daerah. Masyarakat yang memiliki jumlah dan ragam sumber daya yang terbatas, harus bekerja lebih keras untuk dapat memanfaatkan sumber daya yang terbatas tersebut secara efektif. Komunitas yang memiliki kemampuan yang lebih beragam, akan lebih besar kemampuannya untuk mengolah sumber daya yang ada menjadi peluang pembangunan. Misalnya, suatu komunitas memerlukan organisasi pembangunan ekonomi yang baik (a.l. asosiasiasosiasi bisnis, kamar dagang, badan pembangunan ekonomi) untuk dapat secara efektif
menanggulangi
masalah
lambatnya
perkembangan
ekonomi
dan
peningkatan pemanfaatan sumber daya yang ada. Blakely dan Bradshaw (2002) menyatakan bahwa terdapat 2 kumpulan teori yang dapat membantu memahami proses pembangunan ekonomi daerah, yaitu: teori-teori lokasi (location theories), yang fokusnya pada faktor-faktor geografi, dan teori-teori basis ekonomi (economic base theories), yang mempelajari aliran aktivitas ekonomi yang masuk dan keluar dari suatu ekonomi daerah guna mengidentifikasi dan menjelaskan perusahaan dan industri mana yang memiliki kapasitas untuk berkembang. Di samping itu, pemahaman mengenai teori ekonomi neo-classic (neoclassical economic theory) akan dapat membantu, karena prinsip-prinsip dari teori ini yang digunakan untuk ekonomi skala besar, dapat juga digunakan untuk subarea dari ekonomi skala besar tersebut. Teori lokasi menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi daerah sangat ditentukan oleh kesesuaian daerah tersebut untuk lokasi suatu industri. Paradigma lama pemilihan lokasi adalah selalu memilih lokasi dimana biaya-biaya transportasi bahan baku dan biaya-biaya tranportasi untuk mencapai pasar adalah yang paling rendah. Variabel lain yang mempengaruhi pilihan lokasi adalah biaya tenaga kerja, biaya energi, adanya pemasok bahan -bahan baku dan bahan pembantu, komunikasi yang lancar, tersedianya fasilitas pendidikan dan pelatihan, kualitas pelayanan dari pemerintah setempat dan masalah-masalah sanitasi dan
24 pelayanan kesehatan. Karena industri yang berbeda akan memerlukan faktorfaktor yang berbeda, maka komunitas setempat perlu melakukan upaya untuk memanipulasi faktor-faktor ini agar sesuai dengan kebutuhan masing-masing industri. Upaya-upaya ini diambil untuk menggembangkan kemampuan suatu daerah melebihi kemampuan alamiahnya. Teori basis ekonomi mendalilkan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu daerah berkaitan langsung dengan permintaan daerah lain terhadap barang-barang, jasa-jasa dan hasil produksi daerah tersebut (“ekspor” keluar daerah). Pertumbuhan industri yang menggunakan sumber daya lokal, termasuk tenaga kerja dan bahan-bahan lainnya, untuk menghasilkan produk yang di”ekspor” keluar daerah, akan menghasilkan kekayaan dan lapangan kerja untuk daerah tersebut. Berdasarkan teori ini, maka strategi pengembangan ekonomi daerah akan menekankan prioritas pada upaya menarik bisnis dan memberikan bantuan pada bisnis yang memiliki kemampuan menjual di pasar nasional dan internasional. Industri-industri yang berkemampuan ekspor ini akan menimbulkan kegiatan bagi perusahaan pemasok dan penyedia jasa lainnya yang terkait dan menambah lapangan kerja di daerah tersebut. Teori ekonomi neo-classic menawarkan dua konsepsi untuk pengembangan ekonomi daerah: keseimbangan sistem ekonomi (equilibrium of economic systems) dan mobilitas modal (mobility of capital). Teori ini menyatakan bahwa semua sistem ekonomi akan mencapai keseimbangan alamiah apabila modal dapat berpindah dan mengalir secara bebas. Berarti bahwa modal akan mengalir dari daerah dengan upah atau biaya yang tinggi ke daerah yang upah atau biayanya lebih rendah, karena yang terakhir ini akan memberi keuntungan yang lebih tinggi. Apabila model ini berjalan sempurna, maka semua daerah secara bertahap akan mencapai keadaan yang sama (equal status) dalam sistem ekonomi tersebut. Blakely dan Bradshaw (2002) berpendapat bahwa teori-teori pembangunan daerah yang ada tidak cukup untuk menjelaskan dan mengarahkan kegiatan pembangunan daerah. Karena itu mereka melakukan reformulasi konsepsikonsepsi yang penting dari berbagai teori yang ada, yaitu mengenai hal yang
25 berkaitan dengan lokasi, basis bisnis dan ekonomi, sumber lapangan kerja dan sumber daya komunitas, sebagaimana yang terdapat dalam tabel 2.1 berikut :
Tabel 2.1 Reformulasi Komponen Pembangunan Ekonomi Daerah Komponen Lokasi
Konsep Lama Lokasi fisik (dekat dengan sumber daya alam, transportasi, pasar) mempertinggi nilai ekonomi
Basis Bisnis dan Ekonomi
Perusahaan dan Industri berbasis ekspor menciptakan lapangan kerja dan menstimulasi peningkatan bisnis lokal
Sumber Lapangan Kerja
Makin banyak perusahaan akan menciptakan lebih banyak lapangan kerja, walaupun banyak diantaranya masih membayar upah yang rendah Pengembangan ekonomi masyarakat dilakukan oleh organisasi bisnis secara terpisah-pisah
Sumber daya Komunitas
Konsep Baru Lingkungan yang berkualitas dan kemampuan komunitas melipat gandakan keunggulan alami untuk pertumbuhan ekonomi Klaster-klaster dari industri- industri yang kompetitif yang membentuk jaringan berbagai perusahaan dapat menciptakan pertumbuhan dan pendapatan baru Pengembangan keterampilan yang komprehensif dan inovasi teknologi akan menghasilkan pekerjaan yang berkualitas dengan upah yang tinggi Kolaborasi dan kemitraan dari banyak kelompok masyarakat diperlukan untuk membangun dasar yang kuat bagi industri yang kompetitif
Sumber : Blakely dan Bradshaw (2002)
Lokasi: Teknologi telah merubah pandangan tradisional yang menyatakan bahwa lokasi merupakan faktor penentu dalam pengembangan industri. Perusahaan-perusahaan, termasuk perusahaan besar, sudah tidak lagi terikat pada suatu lokasi tertentu. Ketergantungan terhadap suatu sumber daya alam tertentu di suatu daerah telah diupayakan untuk dikurangi dan diganti dengan sumber daya pengetahuan yang lebih mobile sebagai inputnya. Pada masa ini, perusahaan lebih memilih lokasi dimana faktor fisik, sosial dan institusi bekerjasama membentuk lingkungan yang berkualitas dimana manusia dapat hidup dan melakukan kegiatan dengan lebih baik. Dengan demikian maka pandangan tradisional yang menyatakan bahwa ketersediaan sistem transportasi dan sistem pemasaran sebagai daya tarik utama ekonomi suatu daerah sudah usang. Peluang pembangunan ekonomi suatu daerah kini lebih ditentukan oleh kualitas dari sumber daya manusia yang tersedia serta jaringan sosial dan jaringan institusi yang ada di daerah tersebut (Blakely & Bradshaw 2002). Basis bisnis dan ekonomi: Teori pembangunan ekonomi daerah dibangun atas premis bahwa institusi yang ada di daerah haruslah dapat menemukan
26 masalah-masalah yang dihadapi oleh daerah itu dan menyesuaikan susunan institusi dengan kebutuhan untuk mengatasi masalah -masalah yang ada. Membangun hubungan -hubungan institusional yang baru merupakan substansi baru dalam pembangunan ekonomi. Masyarakat akan dapat mengendalikan masa depannya apabila mereka dapat memanfaatkan secara benar semua sumber daya yang dimiliki dengan menggunakan semua informasi yang diperlukan. Dalam era ekonomi baru sekarang ini, kegiatan bisnis masih tetap penting dalam melaksanakan agenda pembangunan daerah, tetapi fokusnya sudah beralih dari perusahaan yang beroperasi sendiri-sendiri kepada jaringan perusahaan atau klaster dari industri yang saling terkait dimana terdapat hubungan yang menguntungkan antara manusia, alam dan teknologi. Sebagai ganti dari pemberian insentif khusus kepada suatu perusahaan tertentu, pembangunan ekonomi adalah melakukan intermediasi diantara perusahaan -perusahaan yang membentuk suatu klaster industri untuk menjajaki bagaimana perusahaan-perusahaan tersebut dapat menghasilkan sinergi dan saling memberikan keuntungan satu terhadap yang lainnya. Sebagai contoh: dalam suatu kawasan industri dapat diatur agar limbah dari suatu perusahaan dapat menjadi input dari perusahaan lain yang berlokasi didekatnya, dan perusahaan dalam kawasan tersebut dapat secara bersama-sama menggunakan air, energi dan sumber daya lain yang ada dilokasi tersebut. Sumber lapangan kerja: Dalam model klasik, penciptaan lapangan kerja selalu terkait dengan upah yang rendah dan biaya-biaya yang rendah. Dalam model ini, maka daerah yang tingkat upahnya rendah akan berhasil menarik investasi ke daerahnya. Perusahaan -perusahaan direkrut berdasarkan berapa banyak tenaga kerja yang bisa diserapnya, walaupun tingkat upah yang dibayar masih sangat rendah dan tanpa memperhatikan tingkat ket erampilan yang dibutuhkan. Dengan kondisi ini, maka perusahaan yang datang ke daerah tersebut adalah perusahaan yang memang semata-mata mencari sumber daya manusia dengan upah yang rendah, yang pada jangka panjangnya tidak menguntungkan daerah tersebut. Dalam ekonomi yang baru, perusahaan memerlukan tenaga kerja yang sangat terampil dan bersedia membayar tingkat upah yang sesuai dengan itu. Perusahaan-perusahaan
yang
kompetitif
menyadari
sepenuhnya
bahwa
27 masyarakat dan perusahan tersebut harus secara terus menerus melakukan investasi untuk mendapatkan tenaga kerja dengan keterampilan yang tinggi. Kualitas sumber daya manusia di suatu daerah merupakan daya tarik yang besar bagi industri untuk berlokasi di daerah tersebut. Apabila sumber daya manusia di suatu daerah cukup berkualitas, maka perusahaan -perusahaan akan tertarik datang ke daerah tersebut atau akan bertumbuh perusahaan baru yang didirikan oleh tenaga terampil setempat. Jadi masyarakat tidak hanya harus menciptakan pekerjaan yang sesuai dengan penduduk yang ada, tetapi juga perlu mendirikan institusi-institusi yang dapat meningkatkan kemampuan dari penduduk. Pengembangan ekonomi daerah, baik untuk saat ini maupun untuk masa yang akan datang, akan tergantung dari kemampuan masyarakat untuk menggunakan sumber daya manusia yang berpendidikan lebih tinggi dan menggunakan institusi-institusi yang terkait dengan penelitian. Tujuan dari pembangunan ekonomi adalah untuk meningkatkan nilai dari warganya dan nilai dari daerah tersebut. Sumber daya masyarakat: Dalam model klasik, ekonomi suatu daerah dibangun oleh organisasi yang berorientasi bisnis yang mengutamakan kepentingan-kepentingan perusahaan di daerah tersebut. Dalam ekonomi yang baru,
masyarakat
memiliki
banyak
organisasi
yang
mewakili
berbagai
kepentingan. Dengan demikian maka pembangunan ekonomi hanya dapat terlaksana apabila terdapat kolaborasi dari banyak
organisasi
tersebut.
Pemerintah, asosiasi bisnis, lembaga pendidikan dan pelatihan, lembaga-lembaga pendidikan dan organisasi kemasyarakatan lainnya harus bekerjasama agar prakondisi untuk pertumbuhan ekonomi dapat tercipta. Yang bertanggung jawab untuk menghasilkan suatu pertumbuhan ekonomi bukan lagi satu organisasi tertentu, melainkan suatu organisasi virtual yang terdiri dari semua organisasi yang dapat memberikan kontribusi dalam mencapai keberhasilan pembangunan ekonomi didaerah tersebut. Menurut Raines (2002), studi mengenai pembangunan ekonomi daerah dalam dua dekade yang lalu telah memperlihatkan bahwa keberhasilan pembangunan suatu daerah selalu terkait dengan terdapatnya klaster industri di daerah tersebut. Klaster industri tersebut dapat berupa jaringan dari perusahaan
28 kecil berbasis keterampilan, mulai dari distrik industri seperti di Italia Utara sampai konsentrasi industri berteknologi tinggi seperti di Silicon Valley, serta dari jaringan agroindustri yang kompetitif di daerah pedalaman Denmark sampai industri perangkat lunak dan multi-media di New York. Sudah menjadi keyakinan banyak pembuat kebijakan diberbagai negara bahwa klaster industri dapat menjadi basis suatu strategi pembangunan ekonomi yang berhasil, melalui dukungan terhadap inovasi di daerah, mendorong spillover teknologi, menghasilkan economies of scale dan meningkatkan pembangunan ekonomi daerah secara berkelanjutan (Raines 2002). Dalam beberapa tahun belakangan ini terjadi perkembangan yang sangat meningkat dari kebijakan yang didesain untuk mengembangkan klaster industri. Menurut Armstrong dan Taylor (2000), secara tradisional kebijakan pembangunan daerah selalu memperlakukan perusahaan secara individual, sehingga kebijakan dikemas dalam berbagai kombinasi disesuaikan den gan kebutuhan perusahaan tertentu tersebut. Namun akhir-akhir ini kebijakan tersebut sudah mengalami perubahan mendasar, dimana kebijakan -kebijakan didesain sedemikian sehingga dapat mendorong terbentuknya klaster-klaster perusahaan di dalam daerah-daerah tertentu. Dalam beberapa keadaan, klaster ini berfokus pada perusahaan -perusahaan besar, yang ditarik masuk berinvestasi ke daerah tersebut dengan tujuan agar perusahaan tersebut dapat mendorong terbentuknya supply chains di daerah tersebut. Pemikiran baru mengenai klaster industri ini telah mempunyai
pengaruh
yang
sangat
besar
terhadap
kebijakan-kebijakan
pembangunan daerah. Brenner
(2004)
menyampaikan
tiga
faktor
yang
mempengaruhi
keberhasilan suatu daerah dalam menumbuhkan klaster yang berlokasi di daerah tersebut. Pertama, terdapatnya kondisi lokal tertentu yang harus ada, karena tanpa terdapatnya kondisi tersebut maka tidak akan ada klaster yang dapat tumbuh di daerah tersebut. Kondisi yang dimaksud adalah: 1) Terdapatnya suatu perguruan tinggi, 2) Terdapatnya lembaga penelitian, dan 3) Terdapatnya sumber daya dan lokasi yang secara geografis sesuai. Kedua, terdapatnya faktor-faktor yang memberi daya tarik bagi daerah tersebut sehingga dapat diharapkan bertumbuhnya klaster di daerah tersebut, seperti: 1) Faktor budaya (kewirausahaan dan
29 kemampuan berinovasi), 2) Kondisi politik dan hukum, 3) Lokasi geografis, 4) Tipe daerah (kota atau rural), 5) Perguruan tinggi dan lembaga penelitian, 6) Kegiatan ekonomi di b idang terkait. Ketiga, terdapat perkembangan yang tidak dapat diramalkan sejak awal, dan hanya dapat diketahui setelah terjadi, seperti: 1) Terdapatnya promotor lokal, 2) Adanya kebijakan khusus, 3) Kejadian historis tertentu, 4) Munculnya Inovasi, 5) Dibangunnya suatu perusahaan yang sangat mempengaruhi perkembangan. Kebijakan berbasis klaster industri dapat ditemukan pada tingkatan nasional, regional dan lokal di negara-negara Austria, Belgia, Denmark, Finlandia, Perancis, Jerman, Italia, Negeri Belanda, Spanyol, Swedia dan Inggris (Raines 2000). Di Amerika Serikat, kebijakan klaster sudah dijalankan oleh banyak negara bagian, baik negara bagian yang konservatif maupun yang liberal. Canada, baik negara-negara bagiannya yang sangat interventionist maupun yang moderat, juga telah memilih kebijakan klaster. Kebijakan klaster ini juga telah diadopsi oleh Australia, New Zealand, Malaysia dan Singapura. Dengan demikan banyaknya negara-negara yang mengadopsi pendekatan klaster, tidak tertutup kemungkinan bahwa pengertian, pemahaman dan praktek mengenai kebijakan klaster antara satu negara dengan negara lainnya akan ada perbedaan. Enright (1999) juga berpendapat bahwa kebijakan pembangunan daerah yang berlandaskan pengembangan klaster daerah (regional clusters) telah menjadi perhatian banyak negara. Dalam dekade terakhir ini, banyak wilayah (regions), propinsi, kabupaten, kota dan daerah-daerah yang lebih kecil telah menyusun rencana pengembangannya dengan pendekatan klaster industri daerah. Di samping itu, organisasi-organisasi internasional dan multilateral seperti World Bank, UNIDO, OECD, Komisi Eropa serta badan-badan dunia lainnya juga menggunakan strategi klaster sebagai alat untuk melakukan pembangunan daerah diberbagai negara. Alasan-alasan digunakannya strategi klater ini antara lain adalah: tekanan globalisasi dan lokalisasai dalam perekonomian dunia, hambatan hambatan yang dialami dalam pembangunan melalui perusahaan-perusahaan besar, kecenderungan outsourcing dan downsizing dari perusahaan-perusahaan besar, adanya studi-studi yang memperlihatkan keberhasilan strategi klaster
30 daerah pada berbagai negara dan adanya kecenderungan untuk menyerahkan kebijakan pembangunan ekonomi dari Pemerintah Pusat kepada daerah -daerah. Menurut Porter (1998c) peranan utama Pemerintah dalam perekonomian adalah menciptakan stabilitas di bidang ekonomi dan politik. Hal ini dapat dicapai melalui pembentukan pemerintahan yang stabil, kerangka dasar ekonomi yang konsisten dan kebijakan makro ekonomi yang sehat. Peranan kedua adalah memperbaiki kemampuan mikro ekonomi dari perusahaan dengan memperbaiki efisiensi dan kualitas dari input kepada dunia usaha yang diidentifikasi dalam Porter’s diamond (a.l. tenaga kerja yang terdidik, infrastruktur fisik yang diperlukan dan informasi yang akurat dan tepat waktu) dan institusi-institusi yang menyediakan input-input tersebut. Peranan Pemerintah yang ketiga adalah menyusun peraturan -peraturan dan insentif mikro ekonomi yang mengatur mengenai persaingan yang akan mendorong kenaikan produktivitas (a.l. peraturan mengenai persaingan, peraturan perpajakan dan Hak Atas Kekayaan Intelektual yang dapat mendorong investasi, sistem hukum yang adil dan efisien, perlindungan konsumen, coporate governance yang mengatur mengenai tanggung jawab para manajer dan peraturan yang mendorong penciptaan ino vasi. Peranan keempat, yang timbul karena dirasakan adanya kebutuhan untuk itu, adalah memfasilitasi pengembangan dan peningkatan klaster industri. Pemerintah harus melakukan segala upaya untuk mengembangkan dan meningkatkan klaster-klaster industri yang ada. Di samping melakukan penyesuaian kebijakan yang diperlukan, Pemerintah perlu pula memberi motivasi, melakukan fasilitasi dan memberikan insentif untuk kegiatan-kegiatan kolektif yang dilakukan oleh sektor swasta. Selanjutnya Porter (1998c) berpendapat bahwa peranan terakhir Pemerintah dalam perekonomian adalah mengembangkan dan mengimplementasikan suatu program aksi jangka panjang atau suatu proses perubahan yang memobilisasi aparat Pemerintah, dunia usaha, institusi-institusi terkait dan masyarakat untuk meningkatkan iklim usaha dan klaster-klaster industri yang berada di daerahdaerah. Peranan Pemerintah sebagaimana diuraikan di atas, juga harus dapat dilakukan pada tingkat Pemerintah Daerah. Menurut Blakely dan Bradshaw (2002), dalam melakukan pembangunan ekonomi daerah, peranan Pemerintah Daerah meliputi fungsi-fungsi sebagai:
31 wirausaha (entrepreneur), koordinator, fasilitator dan stimulator. Sebagai wirausaha, Pemerintah Daerah dapat melakukan kegiatan-kegiatan untuk mengidentifikasi dan menilai pelu ang-peluang bisnis yang mungkin dilakukan oleh Pemerintah Daerah tanpa meninggalkan tugas-tugas pokok mereka di dalam pemerintahan. Sebagai koordinator, Pemerintah Daerah mengkoordinasikan kebijakan dan strategi untuk membangun daerah, pengumpulan dan evaluasi data dan informasi ekonomi. Kegiatan koordinasi ini bertujuan agar semua sektor dan institusi terkait dan masyarakat memfokuskan pendekatan dan sumber daya masing-masing untuk mencapai tujuan yang sama dan agar sumber daya daerah yang terbatas dapat d igunakan secara efektif. Koordinasi ini juga diperlukan agar pembangunan ekonomi daerah berlangsung konsisten dengan program dan strategi Pemerintah Pusat. Sebagai fasilitator, Pemerintah Daerah dapat mendorong pembangunan melalui perbaikan lingkungan perilaku di daerahnya. Peranan ini
meliputi peningkatan kelancaran proses pembangunan, perbaikan
prosedur perencanaan dan pengaturan tata ruang. Berbagai kelompok masyarakat yang berbeda dapat membawa beragam pendekatan berbeda untuk dirumuskan menjadi suatu kebijakan pembangunan ekonomi daerah. Dengan tujuan pembangunan yang jelas maka Pemerintah Daerah dapat terfokus dalam pemanfaatan sumber daya dan tenaga yang dimilikinya. Tujuan pembangunan yang jelas akan memberi dasar yang kuat untuk melaksanakan program-program tambahan lainnya. Sebagai stimulator, Pemerintah Daerah dapat menstimulasi pembentukan bisnis baru ataupun perluasan dari bisnis yang ada melalui tindakan tindakan tertentu, yang akan mempengaruhi perusahaan -perusahaan baru untuk masuk ke daerah tersebut atau agar perusahaan-perusahaan yang sudah ada di daerah tersebut tidak pindah ke daerah lain. Berbagai fasilitas sebagai stimulasi dapat disediakan agar pengusaha tertarik untuk berlokasi di daerah tersebut, misalnya dengan membangun kawasan industri, menyediakan bangunan siap pakai dengan sewa murah dan kemudahan-kemudahan lainnya. 2.2.4 Strategi Pengembangan Klaster Industri Menurut Enright (1999) berbagai strategi pengembangan klaster biasanya mengandung beberapa elemen yang sama, antara lain: (1) Melakukan upaya memperbaiki lingkungan berusaha, dengan meninjau kembali kebijakan
32 perpajakan, meneliti kembali peraturan-peraturan yang terkait, mengurangi biayabiaya pelayanan, merampingkan administrasi dan memelihara iklim berusaha yang kondusif, (2) Menyediakan informasi dan data mengenai bisnis dan trend ekonomi umum maupun yang spesifik untuk klaster, a.l: data mengenai pasar, informasi mengenai konsumen dan pesaing, mengenai teknologi dan lain sebagainya, (3) Dibanyak negara maju, Pemerintah
juga menyediakan
infrastruktur yang diperlukan, pendidikan dan pelatihan. Untuk program berbasis klaster, maka penyediaan infrastruktur, pendidikan dan pelatihan tersebut disesuaikan dengan kebutuhan spesifik dari klaster yang bersangkutan. Sebagai contoh kebutuhan infrastruktur spesifik tersebut: pengolahan limbah (untuk klaster kulit di Catalan), air khusus (untuk klaster elektronik di Malaysia), tenaga listrik (untuk klaster logam di Venezuela), pelabuhan khusus (untuk klaster perkapalan di Singapura), dan angkutan udara khusus (untuk klaster bunga di Negeri Belanda). Kebutuhan spesifik tersebut dapat pula berupa pendidikan dan pelatihan, seperti: pendidikan dan pelatihan di b idang perangkat lunak (untuk klaster perangkat lunak di Bengalore), di bidang perfilman (untuk klaster perfilman di Los Angeles), pembuatan minuman anggur (klaster anggur di Napa Valley) dan elektronik (klaster elektronik di Taiwan),
(4)
Membantu
mengembangkan jaringan bisnis dan kerjasama antar perusahaan melalui perkenalan,
pertemuan,
asosiasi
industri
dan
mekanisme
lainnya,
(5)
Menyelenggarakan pelayanan bisnis yang mencakup penelitian dasar, penelitian pasar, pengetesan bahan-bahan, konsultasi proses bisnis, konsultasi manajemen, akuntansi dan administrasi, (6) Melaksanakan community building, yaitu membina masyarakat agar memiliki tujuan yang sama dan bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama tersebut. Walaupun berbagai strategi pengembangan klaster mengandung banyak elemen yang sama, ada beberapa hal yang menyebabkan perlu dilakukan pendekatan yang berbeda, antara lain: adanya perbedaan mengenai asal usul dari basis industri (industrial base) dan perbedaan mengenai besarnya intervensi Pemerintah (government intervention). Program pengembangan klaster daerah dapat berfokus pada perluasan dan pendalaman dari basis ekonomi yang dimiliki daerah, menarik investasi dari
33 perusahaan asing atau perusahaan dari luar daerah, atau kombinasi dari kedua hal tersebut. Oleh Enright (1999), strategi yang fokus pada perluasan dan pendalaman basis industri setempat disebut sebagai organic cluster strategy, yang berfokus pada penarikan investasi asing disebut sebagai transplant cluster strategy dan kombinasi keduanya disebut sebagai hybrid cluster strategy. Organic cluster strategy mengupayakan perluasan dan pendalaman dari basis ekonomi yang dimiliki daerah tersebut dengan melakukan identifikasi atas klaster yang ada di daerah dan kemudian mencoba mendorong pembangunan melalui perbaikan aliran informasi, meningkatkan interaksi antara perusahaanperusahaan setempat, menghilangkan hambatan atas ketersediaan infrastruktur, mengembangkan kemampuan sumber daya manusia dan mengupayakan kolaborasi antara perusahaan-perusahaan. Walaupun upaya untuk menarik perusahaan dari luar daerah tetap dilakukan, tetapi fokus tetap pada perusahaan yang sudah ada di daerah tersebut. Sebagian besar program strategi di Amerika Serikat, Spanyol, Italia, Austria dan New Zealand termasuk kategori ini. Transplant cluster strategy berusaha membangun klaster dengan menarik perusahaan besar dari luar daerah dan kemudian mengembangkan atau menarik pemasok dan perusahaan terkait. Perusahaan yang ditargetkan untuk masuk ke daerah adalah perusahaan-perusahaan yang memang sesuai dengan kondisi dan perkembangan yang ada di daerah tersebut. Di samping fasilitas produksinya, perusahaan yang ditarik masuk juga diharapkan mendirikan kantor regionalnya dan membawa kegiatan lain seperti kegiatan penelitian dan pengembangan dan kegiatan lain yang memiliki nilai tambah yang tinggi. Strategi seperti in i dilakukan oleh Irlandia, Scotland, Wales, Inggris bagian Utara, Malaysia dan Singapura. Dinamakan hybrid cluster strategy apabila pengembangan organic cluster juga secara aktif melakukan usaha penarikan modal asing ke daerah itu, atau apabila transplant strategy juga berhasil menciptakan critical mass dari perusahaan yang berasal dari daerah tersebut. Negara bagian Massachusetts dan Arizona di Amerika Serikat telah menambahkan upaya promosi penanaman modal asing ke dalam kebijakan klaster mereka, sedangkan Singapura dan Irlandia berhasil menarik banyak investasi asing sehingga dapat dijadikan basis untuk
34 pengembangan klaster di negara tersebut. Masing -masing strategi ada plus dan minusnya. Organic cluster strategy yang mengandalkan fitur yang unik dari lingkungan lokal akan dapat membantu mengembangkan kelebihan yang khas dari daerah, yang sulit untuk ditiru. Organic cluster strategy hanya dapat dilaksanakan apabila terdapat basis ekonomi yang kuat di daerah tersebut. Namun dalam kenyataannya, banyak daerah yang tidak memiliki basis ekonomi yang kuat. Transplant cluster strategy dapat membantu pengembangan ekonomi daerah secara relatif lebih cepat, tetapi peluang investasi yang ada biasanya terbatas. Strategi ini juga mudah untuk ditiru oleh daerah lain sehingga akan menimbulkan persaingan yang ketat. Hybrid cluster strategy yang pada hakekatnya sangat menarik, namun dapat menimbulkan masalah dan persaingan antara kebijakan yang dibuat untuk perusahaan lokal dengan kebijakan yang dibuat untuk perusahaan asing. Organic strategy melihat bahwa pengembangan ekonomi datang dari perusahaan lokal dan kemampuan mereka menembus pasar internasional
untuk
kemudian
menjadi
perusahaan
multi nasional
atau
memperkuat kehadiran mereka di pasar internasional. Transplant strategy mengupayakan pengembangan dengan menarik kegiatan global dari perusahaan multi nasional, dan memanfaatkan kegiatan ini sebagai suatu kegiatan inti disekeliling mana akan berkembang kegiatan-kegiatan lain. Globalisasi dari persaingan dan kegiatan perusahaan multi nasional menciptakan kesempatan untuk menarik kegiatan-kegiatan ke daerah-daerah yang sudah kehilangan daya saingnya atau daerah yang belum pernah dikembangkan. 2.2.5 Analisa Klaster Industri Menurut Bergman dan Feser (1999), terdapat 3 tingkatan analisa klaster industri, yaitu : 1) Analisa klaster industri pada tingkat mikro (tingkat perusahaan ), yang fokusnya adalah analis a pada tingkat perusahaan. Pada tingkat mikro ini, klaster
dilihat
sebagai
keterkaitan
beberapa
perusahaan
yang
menghasilkan produk yang hampir sama atau mirip (Redman 2002), dan antara perusahaan-perusahaan tersebut terdapat hubungan yang formal maupun tidak formal. Dalam analisa ini, masalah rantai nilai tidak menjadi hal yang mendapatkan perhatian. Fokus pada analis a ini adalah
35 melakukan identifikasi dan penggambaran hubungan dari para produsen produk yang mirip tersebut. 2) Analisa klaster industri pada tingkat meso (tingkat industri), yang fokusnya adalah pada rantai nilai suatu produk yang ada di pasar. Analisa pada tingkatan ini mencoba mengidentifikasi komplementaritas dan potensi aliansi strategis antara industri-industri yang sudah berkembang disuatu daerah maupun antara industri yang sudah berkembang dengan industri yang masih perlu dikembangkan. Analis a ini menggunakan metode yang dapat melakukan investigasi yang mencakup semua sektor ekonomi didaerah. 3) Analisa klaster industri pada tingkat makro (tingkat nasional), yang fokusnya adalah keseluruhan kelompok industri yang terdapat dalam perekonomian suatu negara. Analisa ini biasanya fokus pada jaringan dan aliran transaksi perdagangan secara nasional. Ketiga cara analisa ini mikro, meso dan makro apabila diaplikasikan pada suatu daerah yang sama, bisa saja memberikan hasil yang berbeda (Feser dan Bergman 2000). Sampai saat ini belum ada metodologi yang baku ataupun pendekatan yang secara konsisten digunakan untuk melakukan identifikasi dan menganalisa klaster industri (Vonortas & Auger 2002). Bergman dan Feser (1999) membahas dua pendekatan umum untuk melakukan analis a klaster industri pada tingkat meso: (1) Pendekatan “top-down”
yang menggunakan teknik reduksi data untuk
mengidentifikasi klaster industri dengan menggunakan data empiris, (2) Pendekatan “bottom-up” yang dilakukan dengan mengidentifikasi suatu sektor industri tertentu yang kemudian dicari kaitan dan hubungan yang terdapat dengan sektor tersebut. Pendekatan “top-down” biasanya lebih tepat digunakan untuk suatu daerah yang memiliki banyak dan bermacam jenis industri, sedang pendekatan “bottom-up” lebih tepat digunakan untuk daerah yang industrinya tidak terlalu padat. Analis a klaster industri yang dapat digunakan mencakup analis a yang bersifat kuantitatif, kualitatif maupun kombinasi dari keduanya. Analis a dengan pendekatan kuantitatif mengolah data dengan metode antara lain: analis a input-
36 output, analisa klaster (cluster anlalysis), analisa faktor (factor analysis), analisa location quotient dan shift-share analysis. Indikator kinerja yang digunakan antara lain: jumlah tenaga kerja, nilai tambah, ekspor dan penjualan dalam negeri, data produksi, keuntungan, dan investasi. Pendekatan kualitatif mencakup: wawancara, focus group, survei, pemetaan klaster dan multi sectoral qualitative analysis (Vonortas & Auger 2002). Kombinasi dari pendekatan kuantitatif dan kualitatif dapat menggunakan cluster analysis dan discriminant analysis, analis a GEM (groundings, enterprises and market analysis) yang diintrodusir oleh Padmore dan Gibson (1998), spider diagram yang diperkenalkan oleh Stough et al. (2000) dan National Cluster Templates dari Feser dan Bergman (2000). Bergman dan Feser (1999) menyusun urutan enam metode analisa klaster industri yang sering digunakan dalam penelitian-penelitian klaster yaitu: (1) Expert Opinion, yang dapat berupa wawancara, focus groups, dan teknik Delphi (2) Specialization Indicator (Location Quotient), dengan indikator berupa jumlah tenaga kerja atau jumlah perusahaan, (3) Input-Output (Trade) dengan bantuan factor analysis dan principal component analysis, (4) Input-Output (Innovation ), untuk negara-negara yang memiliki data mengenai inovasi (5) Graph Theory/Network Analysis, untuk negara dan daerah yang memiliki tabel input-output di bidang perdagangan dan inovasi dan (6) Survey, dengan mengumpulkan data di bidang industri dan perdagangan. Banyak negara, termasuk Indonesia, tidak atau belum memiliki data berupa tabel input-output yang sesuai, baik untuk tingkat nasional maupun untuk tingkat daerah sehingga analis a yang memerlukan tabel input-output ini tidak dapat digunakan di negara-negara tersebut. Menurut Feser dan Bergman (2000), identifikasi klaster pada tingkatan subnasional (misalnya: propinsi atau kabupaten) banyak menggunakan metode location quotient karena pada tingkatan subnasional tersebut tidak tersedia data yang
menggambarkan
keterkaitan
antar
industri,
institusi
bisnis
yang
dimanfaatkan bersama, jalur untuk transfer ilmu pengetahuan dan teknologi dan dimensi lain dari konsepsi klaster. Sebagai metode alternatif untuk identifikasi klaster pada tingkatan subnasional, Feser dan Bergman mengajukan metode yang dinamakan National Industry Cluster Template. Metode ini menggunakan data keterkaitan industri pada tingkat nasional untuk digunakan sebagai pola
37 mengidentifikasi klas ter industri pada tingkatan subnasional. Prinsip dasar dari metode ini adalah bahwa keterkaitan industri pada tingkatan nasional yang dapat diidentifikasi dengan menggunakan data tabel input-output nasional yang tersedia, dapat diberlakukan sebagai pola untuk keterkaitan industri pada tingkat subnasional. Data dari tabel input-output berupa keterkaitan langsung dan tidak langsung antara berbagai sektor industri akan digunakan sebagai variabel dalam analisa principal component dan analisa faktor untuk dapat mengidentifikasi keberadaan suatu klaster. Pendekatan ini hanya dap at digunakan apabila data pada tabel input-output cukup tersedia dan populasi industri tersebar cukup merata diseluruh wilayah nasional. Keberhasilan strategi pengembangan suatu klaster dapat diukur dengan menggunakan indikator tertentu yang dipilih. Pemilihan indikator ini perlu disesuaikan dengan data dan informasi yang bisa diperoleh dari suatu klaster. Indikator yang mungkin dipilih antara lain: jumlah perusahaan baru yang terbentuk dalam klaster sejak diterapkannya strategi, jumlah perusahaan yang merupakan spin -off dari klaster, pertambahan tenaga kerja, peningkatan pendapatan dari perusahaan dalam klaster, peningkatan pangsa pasar produk klaster, pembentukan aliansi strategis antar perusahaan klaster, biaya-biaya untuk penelitian dan pengembangan klaster, investasi baru pada klaster, jumlah paten baru dan penjualan teknologi dari klaster. Karena klaster memerlukan waktu yang cukup panjang untuk berkembang, maka pengaruh dari penerapan strategi tidak langsung dapat dilihat dalam waktu yang singkat. Diperlukan monitoring secara berkala dan untuk monitoring ini perlu ditetapkan indikator yang perlu dipantau. Berbagai dimensi dari kegiatan suatu klaster dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok (ERC 2005): (1) Jaringan bisnis dan kemitraan, yang merupakan modal sosial (social capital) yang dicerminkan oleh indikator: jumlah perjanjian kemitraan, jumlah perjanjian kerjasama, kegiatan networking, aktivitas riset bersama, dan tingkat modal sosial, (2) Inovasi dan Litbang, yang merupakan kemampuan di bidang inovasi dan riset yang meliputi indikator: jumlah tenaga di bidang riset, pengeluaran untuk riset, jumlah spin -outs, jumlah paten yang diajukan, jumlah inovasi yang mendapat penghargaan, jumlah proses dan produk baru yang diimplementasikan, (3) Keterampilan, yang menyangkut ketersediaan
38 dan kualitas sumber daya manusia dalam klaster, yang meliputi indikator: jumlah lowongan kerja, tingkat pencapaian pendidikan, jumlah kualifikasi profesional yang diperoleh. Ketiga dimensi ini akan mempengaruhi keluaran hasil (outcome) dari klaster, antara lain: peningkatan jumlah tenaga kerja, peningkatan nilai tambah, pertumbuhan perusahaan yang sudah ada dalam klaster, jumlah perusahaan dalam klaster, peningkatan investasi, tingkat keuntungan dan nilai ekspor atau penjualan. Karena tidak semua data untuk memantau indikator ini tersedia, maka perlu dilakukan pemilihan indikator berdasarkan data yang bisa diperoleh secara berkelanjutan. Christensen et al. (2002) membuat suatu daftar dari indikator yang dapat digunakan untuk mengukur efektivitas dari suatu kebijakan pengembangan klaster yang meliputi: total penjualan dan profitabilitas, pangsa pasar di pasar nasional atau pasar global, penjualan keluar daerah, jumlah tenaga kerja, jumlah paten yang diperoleh, jumlah capital expenditure, jumlah perusahaan yang terkait, jumlah perusahaan baru yang terbentuk, peningkatan penjualan atau profitabilitas setiap perusahaan dalam klaster, jumlah perusahaan patungan dan kemitraan atau kerjasama dalam klaster, jumlah perusahaan yang gagal, tingkat upah, jumlah pelatihan, jumlah fasilitas yang baru atau renovasi, dan jumlah tenaga kerja baru. Data mengenai indikator ini dapat bersumber dari: data statistik resmi yang dikeluarkan Pemerintah, data dari asosiasi, riset yang dilakukan oleh perguruan tinggi dan pihak lainnya dan hasil survei dari perusahaan. Pemilihan indikator sangat ditentukan oleh data mana yang secara berkala dapat diperoleh dan diolah. 2.2.6 Agroindustri Unggulan Dalam kebijakan pengembangan industri di Indonesia sering digunakan istilah-istilah sebagai berikut: industri unggulan, industri andalan dan industri prioritas. Belum terdapat pengertian yang baku untuk istilah-istilah ini. Mengacu pada Depdiknas (2001) maka istilah tersebut dapat diartikan sebagai berikut : 1) Industri unggulan adalah industri yang diunggulkan karena industri tersebut lebih baik dari industri lainnya ditinjau dari berbagai kinerjanya.
39 2) Industri
andalan
adalah
industri
yang
diperkirakan
dapat
mempertahankan kinerjanya yang baik untuk waktu yang cukup panjang. 3) Industri prioritas adalah industri yang didahulukan dan diutamakan dari pada industri lainnya karena kinerjanya atau keandalannya atau perannya dalam pembangunan. Pengertian agroindustri unggulan dalam penelitian ini adalah agroindustri yang diutamakan pengembangannya karena berpotensi menghasilkan kinerja yang baik . Departemen Perindustrian saat ini menggunakan istilah industri prioritas untuk industri yang akan menjadi fokus pengembangan baik jangka menengah maupun jangka panjang (Depperin 2005). 2.3 Kompetensi Inti Istilah kompetensi inti (core competence) pertama sekali digunakan oleh Prahalad dan Hamel (1990). Mereka mendefinisikannya sebagai: “The collective learning in the organization, especially how to coordinate diverse production skills and integrate multiple streams of technologies”. Definisi tersebut dapat diterjemahkan menjadi: “Pembelajaran kolektif di dalam suatu organisasi, terutama mengenai bagaimana cara mengkordinasikan berbagai keahlian di bidang produksi dan mengintegrasikan berbagai perkembangan teknologi”. Konsep ini muncul bersamaan dengan berkembangnya paradigma baru di b idang strategi perusahaan yang oleh Nonaka dan Takeuchi (1995) disebut sebagai resource based approach (RBA). Paradigma baru ini dikembangkan untuk membantu perusahaan-perusahaan agar dapat bersaing secara lebih efektif dalam lingkungan global yang selalu berubah. Dalam menghadapi persaingan pada era setelah tahun 1990-an yang telah berubah secara dramatis, para pendukung RBA berpendapat bahwa kompetensi, kapabilitas, keahlian atau keterampilan dan aset strategis merupakan sumber keunggulan daya saing yang berkelanjutan. Menurut Stewart (1999) kompetensi inti adalah keahlian, keterampilan atau bakat yang tidak berwujud (intangible), yang dapat memberikan nilai tambah dan memiliki nilai strategis. Hammer (2001) menyatakannya sebagai sejumlah kegiatan yang dapat dilakukan oleh suatu perusahaan secara baik sekali sehingga perusahaan tersebut dapat berhasil dalam persaingan. Kanter (2001) secara
40 sederhana mendefinisikan kompetensi inti sebagai distinctive skill (keahlian atau keterampilan khusus) yang dimiliki perusahaan yang membedakannya dari perusahaan yang lain. Hamel dan Prahalad (1996) mendefinisikan kembali kompetensi inti sebagai “A bundle of skills and technologies that enables a company to provide a particular benefit to customers” (sekumpulan keahlian dan keterampilan yang memungkinkan suatu perusahaan menyediakan manfaat tertentu kepada pelanggannya). Semua definisi yang diuraikan di atas selalu dikaitkan dengan kegiatan suatu perusahaan. Menurut Muchdie (2000), kompetensi inti didefinisikan sebagai suatu proses pembelajaran kolektif dari suatu organisasi terutama dalam kaitannya dengan kegiatan mengkoordiasikan dan mengintegrasikan keahlian dan teknologi. Roberts dan Stimson (1998) mendefinisikan kompetensi inti suatu daerah sebagai “The critical mass of skills, technology and application of resources that a region possesses which drive its economy. Menurut Hitt, Ireland dan Hoskisson (1999), kompetensi inti suatu daerah adalah kemampuan sumber daya daerah yang merupakan sumber keunggulan bersaing daerah tersebut terhadap daerah lainnya. Dalam konteks potensi daerah, maka kompetensi inti didefinisikan sebagai kemampuan daerah untuk mengkoordinasikan dan mengintegrasikan sektor-sektor atau subsektor-subsektor kegiatan ekonomi yang terdapat dalam suatu daerah. Semakin baik koordinasi dan integrasi diantara sektor-sektor ekonomi atau subsektor-subsektor ekonomi yang dikembangkan di suatu daerah, maka semakin baik kompetensi inti yang dimiliki daerah tersebut. Terdapat empat syarat yang perlu dinilai untuk mengetah ui kompetensi inti suatu daerah: (1) Kemampuan yang berharga (valuable capabilities), (2) Kemampuan yang langka (rare capabilities), (3) Kemampuan yang tidak dapat ditiru dengan sempurna (imperfectly imitable capabilities), dan (4) Kemampuan yang tidak dapat digantikan (non substituteable capabilities). Dengan demikian maka daerah dapat memiliki kompetensi inti dengan atribut: (1) Kemampuan untuk memberikan akses pada variasi pasar yang lebih luas, (2) Kemampuan memberikan kontribusi yang signifikan kepada pelanggan atas manfaat yang diperoleh dari barang dan jasa yang ditawarkan, (3) Kemampuan menghasilkan
41 barang dan jasa unggulan yang sangat usah untuk ditiru, (4) Kemampuan melakukan koordinasi yang kompleks dari beragam teknologi. 2.4 Pendekatan Sistem 2.4.1 Teori Sistem Dalam tahun 1940-an, Ludwig von Bertalanffy yang merupakan seorang ilmuwan biologi memperkenalkan suatu cara pandang yang baru untuk melihat struktur dari semua kehidupan di alam ini (Haines 2000). Von Bertalanffy (2003) berpendapat bahwa semua kehidupan dapat dilihat sebagai suatu sistem yang komponen-komponennya saling berinteraksi. Suatu sistem juga berinteraksi dengan sistem lainnya dan dipengaruhi pula oleh hal-hal diluar sistem. Pada hakekatnya setiap sistem merupakan subsistem dari sistem yang lebih besar dilingkungannya. Keadaan ini menggambarkan bahwa sistem adalah terbuka (open system) dan selalu dipengaruhi oleh sistem lain dan lingkungan diluar sistem-sistem tersebut. Hal ini berbeda dengan anggapan yang dianut sebelumnya, dimana suatu sistem dianggap tertutup (closed system) dan tidak berinteraksi dengan sistem lainnya dan dunia diluar sistem tersebut. Dengan anggapan bahwa suatu sistem adalah tertutup, maka semua parameter yang mempengaruhi sistem sudah termasuk dalam model yang diteliti, yang memungkinkan untuk memperkirakan keadaan masa depan dengan ketelitian uang tinggi. Interaksi yang terjadi pada su atu sistem terbuka terdiri dari dua komponen : Input, yang merupakan segala sesuatu yang berasal dari luar dan masuk ke dalam sistem, dan Output, yang merupakan segala sesuatu yang keluar dari sistem dan masuk kelingkungan. Sistem dan lingkungan pada umumnya dibatasi oleh pembatas (boundary). Misalnya, pada sistem yang berupa badan manusia maka pembatas dengan lingkungannya adalah kulit manusia tersebut. Output suatu sistem adalah merupakan hasil langsung atau tidak langsung dari input. Namun biasanya output suatu sistem sang at berbeda dengan input yang masuk ke dalam sistem tersebut. Perubahan input menjadi output terjadi melalui transformasi di dalam sistem. Cara pandang sistem terbuka yang awalnya diperkenalkan oleh Von Bertalanffy dalam disiplin ilmu biologi ini selanjutnya berkembang keberbagai
42 disiplin ilmu lainnya, termasuk bidang sosial ekonomi dan soial politik, yang berpuncak pada diintrodusirnya apa yang dinamakan General Systems Theory pada tahun 1968. Teori ini merupakan doktrin interdisipliner yang mendalami prinsip dan model untuk suatu sistem tanpa harus harus memperdulikan keterlibatan elemen yang spesifik. Teori ini mencari pengertian dari keseluruhan melalui pengertian atas bagian-bagiannya (Eriyatno 1999). Gordon (1989) mendefinisikan sistem sebagai suatu agregasi atau kumpulan obyek-obyek yang terangkai dalam interaksi dan saling ketergantungan yang teratur, sedang Robert dan Michael (1991) mendefinisikannya sebagai suatu kumpulan dari elemen yang saling berinteraksi membentuk suatu kesatuan dalam interaksi yang kuat maupun lemah dengan pembatas sistem yang jelas. Manetsch dan Park (1977) dalam Eriyatno (1999) dan Murdick et al. (1995) memasukkan elemen tujuan dalam definisinya dan mendefinisikan sistem sebagai suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau satu gugus dari tujuan-tujuan. Suryadi dan Ramdani (2000) menambahkan elemen informasi dan mendefinisikan sistem sebagai seperangkat elemen yang saling berinteraksi, membentuk kegiatan atau suatu prosedur yang mencari
pencapaian
suatu
tujuan,
atau
tujuan-tujuan
bersama,
dengan
mengoperasikan data dan barang pada waktu rujukan tertentu untuk menghasilkan informasi dan atau energi dan atau barang. Suatu sistem dapat terdiri dari beberapa subsistem dan atau elemen-elemen, dan suatu subsistem terdiri dari sekumpulan elemen-elemen. Subsistem-subsistem ini sendiri dapat dilihat sebagai sistem-sistem yang lebih rendah tingkatannya, yang juga memiliki komponen sendiri yang saling berinteraksi, dan demikian seterusnya sampai pada tingkatan yang paling bawah. Subsistem merupakan unsur atau komponen fungsional suatu sistem yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Interaksi antar subsistem terjadi karena output dari suatu subsistem merupakan salah satu input bagi subsistem yang lain. Apabila interaksi antar subelemen terganggu, maka proses transformasi pada sistem secara keseluruhan juga terganggu yang dapat mengakibatkan ketidaksesuaian dari tujuan yang telah ditetapkan. Bagian terkecil dari suatu sistem adalah elemen-elemen.
43 Perkembangan teori sistem mendorong digunakannya pendekatan sistem (system approach) dalam mencari solusi dari berbagai masalah yang dihadapi dalam kehidupan. 2.4.2 Pendekatan Sistem Pendekatan sistem merupakan suatu kerangka berpikir yang selalu mencari keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh mengenai suatu permasalahan (Eriyatno 1999). Menurut Eriyatno penggunaan pendekatan sistem terutama untuk hal-hal yang memenuhi karakteristik: (1) Kompleks, dimana interaksi antar elemen cukup rumit, (2) Dinamis, dalam arti faktornya ada yang berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan. (3) Probabilistik, yaitu diperlukannya fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi. Pendekatan sistem merupakan cara penyelesaian persoalan yang diawali dengan dilakukannya identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhan -kebutuhan, sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif. Usaha pemecahan masalah dilakukan melalui dua hal, yaitu: (1) Pengkajia n terhadap semua faktor yang berpengaruh dalam rangka mendapatkan solusi untuk penyelesaian masalah, dan (2) Pembuatan suatu model untuk membantu pengambilan keputusan yang rasional. Dalam pelaksanaanya pendekatan sistem memerlukan pengetahuan lintas disip lin, sehingga permasalahan yang kompleks dapat diselesaikan secara komprehensip. Dalam merancang berbagai solusi permasalahan, terdapat tiga pola pikir yang harus menjadi pegangan, yaitu: (1) Sibernetik (Cybernetic), yang berarti berorientasi pada tujuan, (2) Holistik (Holistic), yaitu cara pandang yang utuh terhadap keutuhan sistem, (3) Efektif (Effective), yaitu dapat dioperasionalkan (Eriyatno 1999). Penyelesaian persoalan dengan pendekatan sistem dilakukan melalui beberapa tahapan proses. Tahapan proses tersebut mencakup: (1) Analisa sistem, (2) Rekayasa model, (3) Implementasi rancangan, (4) Implementasi dan operasi sistem. Pada setiap tahapan dalam proses tersebut, dilakukan evaluasi berulang untuk memeriksa apakah hasil dari setiap tahap telah sesuai dengan apa yang diharapkan atau belum sesuai. Apabila belum sesuai maka perlu dilakukan
44 pengulangan kembali untuk tahap tersebut (iterasi), sebelum dapat dilanjutkan ketahapan berikutnya. Pada prinsipnya metodologi untuk pendekatan sistem dilakukan melalui analisa sistem yang terdiri dari tahap -tahap berikut: (1) Analisa kebutuhan, (2) Identifikasi sistem, (3) Formulasi masalah, (4) Pembentukan alternatif sistem, (5) Determinasi dari realisasi fisik, sosial dan politik, (6) Penentuan kelayakan ekonomi dan keuangan. Tujuan utama dari analisa sistem ialah agar para pengambil keputusan didorong untuk berfikir dengan cara yang teratur serta menyeluruh. 2.4.3 Pe modelan Sistem Dalam melakukan analis a, biasanya sistem digambarkan ke dalam suatu model. Suatu model diartikan sebagai tiruan dari kondisi sebenarnya, atau dengan kata lain, model didefinisikan sebagai representasi dari suatu sistem nyata (real world system), atau penyederhanaan dari suatu sistem nyata. Melakukan eksperimen langsung pada sistem nyata untuk memahami bagaimana perilakunya, dalam beberapa keadaan merupakan suatu hal yang mungkin saja untuk dilakukan. Namun pada kenyataannya, keadaan sistem nyata itu terlalu kompleks atau masih dalam bentuk hipotesis sehingga terlalu mahal, tidak praktis bahkan tidak mungkin dapat dilakukan jika harus bereksperimen langsung. Hal ini merupakan alasan untuk dilakukannya perancangan suatu model (Suryadi & Ramdhani 2000). Menurut Manetsch dan Park (1977), model adalah perwakilan abstrak dari suatu sistem nyata yang dalam perihal tertentu berperilaku sebagaimana sistem nyata tersebut, sedang Eriyatno (1999) mendefinisikannya sebagai suatu perwakilan atau abstraksi dari sebuah obyek atau situasi aktual. Menurut Eriyatno, model memperlihatkan hubungan-hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istilah sebab-akibat, dan karena suatu model adalah suatu abstraksi dari suatu realitas, maka pada wujudnya model kurang kompleks dari realitas yang sedang dikaji. Model dapat dikategorikan menurut jenis, dimensi, fungsi, tujuan pengkajian
atau
derajat
keabstrakannya.
Menurut
jenis,
model
dapat
dikelompokkan menjadi model ikonik (model fis ik), model analog (model
45 diagramatik) dan model simbolik (model matematik). Ilmu sistem pada hakekatnya memusatkan perhatian pada model simbolik sebagai perwakilan dari realitas yang dikaji, dengan format model simbolik yang berupa angka, simbol dan rumus matematik. Suatu model simbolik dapat pula diklasifikasikan menjadi model statis (mikro dan makro), model dinamis (mikro dan makro), model deterministik, model probabilistik (stokastik), model optimasi dan model simulasi. Menurut Eriyatno (1999), pada pendekatan sistem, tahap proses pemodelan cukup kompleks namun tidak banyak ragamnya ditinjau baik dari jenis sis tem ataupun tingkat kecanggihan model. Tahap-tahap pemodelan sistem diuraikan di bawah ini dan dapat dilihat pada Gambar 2.1. a.
Tahap Seleksi Konsep : Pada tahap ini dilakukan seleksi alternatifalternatif yang bermanfaat dan bernilai cukup baik untuk dilakukan pemodelan abstraknya. Hal ini akan mempengaruhi biaya dan kinerja sistem yang dihasilkan.
b.
Tahap Rekayasa Model: Pada langkah ini ditetapkan jenis model abstrak yang akan diterapkan, sejalan dengan tujuan dan karakteristik sistem. Pada tahap ini dilakukan pembentukan model abstrak yang realistik. Terdapat dua cara pendekatan untuk membentuk model abstrak, yaitu: (1) Pendekatan Kotak Gelap: Metode ini melakukan identifikasi model sistem dari informasi yang menggambarkan perilaku terdahulu dari sistem yang sedang berjalan, Metode ini tidak banyak berguna pada sistem yang kenyataannya belum ada, dimana tujuan sistem masih berupa konsep. (2) Pendekatan Struktur: Metode ini mempelajari secara struktur sistem dari teori-teori untuk menentukan komponen dasar dari sistem serta keterkaitannya. Pendekatan struktur ini banyak dipakai pada rancang bangun dan pengendalian sistem fisik dan non fisik.
46
Konsep-konsep yang layak
Seleksi konsep tidak Terbaik ? ya Konsep pilihan
Pemodelan dari konsep tidak Lengkap ? ya Implementasi Komputer tidak Realistik ? ya Model Komputer
Validasi dan Verifikasi tidak Diterima ? ya Model yang dapat digunakan
Analisa sensitivitas tidak Lengkap ? ya Parameter dan input terkontrol yang sensitif
Analisa stabilitas tidak Lengkap ? ya Kondisi untuk stabilitas
Aplikasi model tidak Terbaik ? ya Spesifikasi dan kebijakan yang baik dan terbaik
Gambar 2.1 Diagram Proses Pemodelan
47 Pada beberapa kasus tertentu, kedua pendekatan ini d ipakai secara bersama-sama,
sehingga
penggunaan
kedua
pendekatan
dapat
memberikan informasi yang lebih baik serta menghasilkan model yang lebih efektif dari pada hanya memakai salah satu pendekatan. Hasil dari tahap ini adalah deskripsi dari model abstrak yang telah melalui uji permulaan atas validitasnya. c.
Tahap Implementasi Komputer: Pada tahap ini, model abstrak diwujudkan pada berbagai bentuk persamaan, diagram alir dan diagram blok. Setelah program komputer dibuat untuk model abstrak dimana format input-output telah dirancang secara memadai, maka tahap selanjutnya adalah Tahap Validasi.
d.
Tahap
Validasi dan
Verifikasi:
Validasi
model
adalah
usaha
menyimpulkan apakah model sistem tersebut di atas merupakan perwakilan yang sah dari realitas yang dikaji, dimana dapat dihasilkan kesimpulan yang meyakinkan. Validasi adalah proses iteratif yang berupa pengujian berturut-turut sebagai proses penyempurnaan model. Sering dijumpai kesulitan pada tahap ini karena kurangnya data yang tersedia ataupun sempitnya waktu guna melakukan validitas. Pada permasalahan yang kompleks dan mendesak, maka dapat dilakukan proses validasi parsial, yaitu tidak melakukan pengujian pada keseluruhan model sistem sehingga model direkomendasikan untuk pemakaian yang terbatas. Apabila model abstrak digunakan untuk merancang suatu sistem yang belum ada maka validitas model hanya bergantung pada bermacam teori dan asumsi yang menentukan struktur dari format persamaan pada model serta nilai-nilai yang ditetapkan pada parameter model. Rykiel (1996) juga menyatakan bahwa “Walaupun validasi sering merupakan hal yang penting untuk mengevaluasi kinerja suatu model, tetapi untuk modelmodel yang dimaksudkan untuk menjelaskan atau melakukan sistemisasi ilmu pengetahuan atau mengembangkan suatu teori, validasi tidak diperlukan dan tidak relevan. Verifikasi dilakukan untuk dapat menjawab
48 apakah model sudah melakukan apa yang diinginkan oleh perancang model tersebut. e.
Analisa Sensitivitas : Tujuan utama dari analisa ini adalah untuk menentukan variabel keputusan mana yang cukup penting untuk ditelaah lebih lanjut pada aplikasi model.
f.
Analisa Stabilitas: Analisa ini adalah untuk identifikasi batas kestabilan dari sistem. Hal ini diperlukan agar parameter tidak diberi nilai yang bisa mengarah pada perilaku tidak stabil apabila terjadi perubahan struktur dan lingkungan sistem.
g.
Aplikasi Model: Pada tahap ini model dioperasikan untuk mempelajari secara terperinci kebijakan yang dipermasalahkan. Hasil dari proses ini adalah gugus terperinci dari spesifikasi manajemen. Informasi yang diperoleh dari proses ini dapat merupakan indikasi akan kebutuhan untuk pengulangan kembali proses analisa sistem dan pemodelan sistem.
2.5 Sistem Penunjang Keputusan Perumusan strategi pengembangan klaster agroindustri unggulan daerah pada dasarnya merupakan keputusan yang melibatkan berbagai pelaku dan lembaga yang terkait, sehingga pengambilan keputusan perlu dilakukan dalam kerangka pemikiran secara sistem dan melalui pendekatan sistem. Pengambilan keputusan dengan pendekatan sistem dikenal sebagai Sistem Penunjang Keputusan (SPK). Menurut Suryadi dan Ramdhani (2000), SPK dapat membantu pengambil keputusan memilih berbagai alternatif keputusan yang merupakan hasil pengolahan
informasi-informasi
yang
diperoleh
atau
tersedia
dengan
menggunakan model-model pengambilan keputusan . Ciri utama dan sekaligus keunggulan dari SPK adalah kemampuannya untuk menyelesaikan masalahmasalah yang tidak terstruktur. Menurut Eriyatno (1999) SPK dimaksudkan untuk memaparkan elemen-elemen sistem sehingga dapat menunjang manajer dalam proses pengambilan keputusannya. Sebelumnya, Keen dan Scott-Morton dalam Turban (1993) mendefinisikan SPK sebagai sistem yang mengawinkan kemampuan intelektual seseorang dengan kemampuan yang dimiliki komputer
49 guna memperbaiki kualitas pengambilan keputusan. SPK adalah sistem penunjang berbasis komputer yang dapat digunakan oleh pengambil keputusan dalam menghadapi masalah -masalah yang bersifat semi-struktur. Little (1970) dalam Turban (1993) mendefinisikan SPK sebagai sekumpulan prosedur yang berbasis model guna memproses data dan pendapat untuk membantu para manajer dalam mengambil keputusan. Selanjutnya ia menyatakan bahwa agar suatu SPK berhasil, maka sistem tersebut harus : (1) Sederhana; (2) Robust; (3) Mudah diawasi dan dikendalikan; (4) Adaptif; (5) Lengkap untuk hal-hal penting; (6) Mudah untuk berkomunikasi. Implisit dalam definisi ini adalah bahwa sistem ini adalah berbasis komputer dan berfungsi untuk menambah kemampuan problem solving penggunanya. Dari banyak definisi mengenai SPK ini, Turban (1993) menyusun daftar karakteristik suatu SPK yang ideal. Sebagian besar SPK hanya memiliki sebagian saja dari karakteristik tersebut: (1) SPK menunjang pengambil keputusan terutama untuk masalah -masalah yang semi terstruktur dan tidak terstruktur dengan mengawinkan kemampuan otak manusia dengan informasi yang dikomputerisasi; (2) Dukungan diberikan untuk berbagai tingkatan manajemen; (3) Dukungan diberikan baik kepada individu maupun kepada kelompok; (4) SPK memberikan dukungan untuk keputusan yang saling berkaitan dan atau keputusan yang berurutan (sequential); (5) SPK memberikan dukungan pada setiap fase pengambilan keputusan; (6) SPK mendukung berbagai proses dan cara pengambilan
keputusan
dan
implementasinya;
(7)
SPK
sangat
adaptif
perkembangan situasi; (8) SPK mudah digunakan; (9) SPK cenderung lebih mengutamakan efektivitas daripada efisiensi pengambilan keputusan; (10) Pengambil keputusan memiliki kendali penuh terhadap semua langkah proses pengambilan keputusan dalam penyelesaian suatu masalah; (11) SPK berperan dalam proses pembelajaran untuk peningkatan sistem; (12) SPK relatif mudah untuk dirancang; (13) SPK umumnya menggunakan model-model, sehingga pengguna dapat melakukan berbagai eksperimen; (14) SPK yang lebih canggih dilengkapi dengan komponen pengetahuan yang dapat membantu mencarikan solusi yang lebih efektif dan lebih efisien. Selanjutnya Turban (1993) menjelaskan manfaat utama dari SPK sebagai berikut: (1) Kemampuan mendukung pencarian solusi untuk masalah yang
50 kompleks; (2) Cepat tanggap terhadap perubahan situasi dan kondisi; (3) Mampu secara cepat dan obyektif mencoba berbagai strategi dalam berbagai konfigurasi; (4) Membawa pandangan dan pembelajaran baru bagi pengguna; (5) Memfasilitasi komunikasi yang lebih baik diantara para manajer; (6) Memperbaiki kemampuan pengawasan dan kinerja para manajer; (7) Menghindarkan pemborosan yang disebabkan keputusan yang salah; (8) Keputusan lebih obyektif dibandingkan
pengambilan
keputusan
yang
berdasarkan
intuisi;
(9)
Menin gkatkan efektifitas manajemen. Model konseptual SPK (Eriyatno 1999) terdiri dari tiga komponen utama penunjang keputusan, yaitu : (1) Para pengambil keputusan atau pihak pengguna (user); (2) Model; dan (3) Data. Konfigurasi dasar SPK adalah sebagaimana terlihat pada Gambar 2.2. DATA
MODEL
Sistem Manajemen Basis Data (DBMS)
Sistem Manajemen Basis Model (MBMS)
Sistem Pengolahan Problematik
Sistem Pengolahan DIalog
Pengguna
Gambar 2.2 Struktur Dasar SPK 2.5.1 Sistem Manajemen Basis Data Manajemen Basis Data berfungsi mengelola data yang relevan yang mencakup data eksternal dan data internal. S istem tersebut terdiri dari: (1) Sistem Manajemen Basis Data atau Data Base Management System (DBMS), yang berfungsi melakukan: penyimpanan, pengambilan, pengontrolan,dan pen ambahan data; (2) Fasilitas Query, yaitu elemen yang menyajikan dasar-dasar untuk akses data; (3) Data Directory, yang merupakan katalog semua data yang ada dalam basis data. Kemampuan yang dibutuhkan dari manajemen basis data pada dasarnya adalah (Suryadi dan Ramdhani 2000): (1) Kemampuan untuk
51 mengkombinasikan berbagai variasi data melalui pengambilan dan ekstraksi data; (2) Kemampuan untuk menambahkan sumber data secara cepat dan mudah; (3) Kemampuan untuk menggambarkan struktur data sesuai dengan pengertian pemakai sehingga pemakai mengetahui apa yang tersedia dan dapat menentukan kebutuhan penambahan dan penguran gan data; (4) Kemampuan untuk mengolah berbagai variasi data. 2.5.2 Sistem Manajemen Basis Model Model adalah adalah suatu perwakilan atau abstraksi dari sebuah obyek atau situasi aktual. Model memperlihatkan hubungan -hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam pengertian sebab akibat (Eriyatno 1999). Sistem Manajemen Basis Model terdiri dari model-model kuantitatif yang memiliki kemampuan berbagai analis a mengenai statistik, keuangan dan aspek manajemen lainnya. Basis model dapat dibagi dalam empat kategori: model strategis, taktis dan operasional. Model strategis digunakan untuk mendukung manajemen puncak dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Model taktis digunakan oleh manajemen menengah untuk membantu mengalokasikan dan mengendalikan sumber daya organisasi, sedang model operasional adalah untuk mendukung kegiatan operasi sehari-hari organisasi. Fungsi atau kemampuan yang dimiliki sistem ini meliputi (Turban 1993): (1) Menciptakan model-model baru dengan cepat dan mudah; (2) Memungkinkan pemakai untuk memanipulasi model untuk melakukan eksperimen dan analis a sensitivitas; (3) Menyimpan dan mengelola berbagai model secara logis dan terintegrasi; (4) Mengakses dan mengintegrasikan model-model keputusan; (5) Membuat katalog dan tampilan direktori model untuk digunakan oleh anggota organisasi; (6) Mencatat pemakaian model, data dan aplikasi; (7) Saling menghubungkan model-model melalui basis data; (8) Mengelola dan memelihara basis model dengan fungsi manajemen yang analog dengan manajemen basis data (seperti: mekanisme untuk menyimpan, membuat dialog, menghubungkan, dan mengakses model).
52 2.5.3 Sistem Pengolahan Dialog Sistem Pengolahan Dialog memfasilitasi interface antara pengguna dengan SPK. Fungsi utamanya adalah menerima input dan memberikan output yang dikehendaki pengguna. Input dari pengguna ditransformasikan menjadi bahasa yang dapat dibaca oleh oleh Sistem Manajemen Basis Data (SMBD) dan Sistem Manajemen Basis Model (SMBM) dan selanjutnya output dari SMBD dan SMBM diterjemahkan ke dalam bentuk informasi yang dapat dimengerti oleh pengguna seperti: tabel, penyajian grafis dan lain sebagainya. 2.5.4 Sistem Pengolahan Problematik Subsistem ini berfungsi sebagai koordinator dan pengendali dari operasi SPK secara menyeluruh. Subsistem ini menerima input dari ketiga subsistem lainnya dalam bentuk baku, dan menyerahkan output ke subsistem yang dikehendaki dalam bentuk baku juga. Fungsi utamanya ad alah adalah sebagai penyangga untuk menjamin adanya keterkaitan antar sistem. Subsistem ini sering pula disebut sebagai subsistem pengolahan terpusat. 2.6 Penelitian Terdahulu Pada
tahun
2001,
Departemen
Perindustrian
dan
Perdagangan
(Depperindag) telah melakukan penelitian yang bertujuan untuk merumuskan pilihan-pilihan restrukturisasi di b idang teknis, kebijakan dan kelembagaan, rekomendasi dan strategi, dalam rangka mentransformasikan keunggulan komparatif beberapa kelompok agroindustri menjadi kenggulan kompetitif di pasar domestik dan pasar global (Dep perindag 2001). Penelitian dilakukan terhadap tujuh kelompok agroindustri, yang berdasarkan penelitian pendahuluan berpotensi untuk dikembangkan menjadi klaster agroindustri yang kompetitif. Kelompok agroindustri yang dipilih adalah : minyak kelapa sawit, pengalengan ikan, pengolahan karet, pengolahan kayu, pengolahan tembakau, pengolahan coklat dan pengolahan buah. Pendekatan yang dipilih untuk penelitian ini adalah pendekatan klaster industri dengan alat analisa menggunakan Porter’s Diamond dan “Determinants of national advantage” nya. Penelitian difokuskan pada pemetaan, penggolongan dan analisa yang mendalam terhadap kelompok
53 agroindustri yang yang menjadi obyek penelitian yang mencakup : industri inti, industri pendukung (hulu maupun hilir), industri terkait dan pemasok. Langkah -langkah penelitian yang dilakukan adalah: (1) Studi pustaka mengenai model-model klaster yang telah berhasil di beberapa negara, (2) Mengadopsi model klaster Porter dengan penyesuaian yang diperlukan, (3) Melakukan pertemuan dengan berbagai pihak terkait untuk melakukan appraisal mengenai kelompok agroindustri yang sedang dikaji, (4) Wawancara dan survei lapangan, termasuk penggunaan kuesioner, (5) Dialog konsultasi dengan para stakeholder mengenai pengaruh-pengaruh internal dan eksternal dan penyusunan analisa SWOT, (6) Melakukan penilaian dan analisa mengenai teknologi, rantai nilai, iklim dan lingkungan bisnis, daya saing, dan kebijakan, (7) Melakukan analisa kuantitatif mengenai daya saing global dan keuntungan rantai nilai. Metode yang digunakan untuk mengukur indikator kuantitatif dalam pendekatan klaster ini adalah: (1) Analisa rantai nilai tambah (value added chain analysis) dan analisa profitabilitas (net profitability analysis), (2) Analisa global competitive advantage dengan menggunakan price competitiveness analysis dan cost competitiveness analysis. Penelitian ini mengidentifikasi potensi pembentukan klaster agroindustri dengan industri inti: pengolahan minyak kelapa sawit, pengolahan dan pengalengan ikan, industri berbasis karet, industri berbasis kayu, industri berbasis tembakau, industri pengalahan cokelat (cocoa) dan industri minuman berasal dari buah di daerah sebagaimana dalam Tabel 2.2. Tab el 2.2 Klaster Agroindustri dan Lokasi Geografis Klaster 1 Industri Pengolahan Minyak Kelapa Sawit 2 Industri Pengolahan dan Pengalengan Ikan 3 Industri Pengolahan Berbasis Karet 4 Industri Pengolahan Berbasis Kayu 5 Industri Pengolahan Berbasis Tembakau 6 Industri Pengolahan Cacao 7 Industri Jus Buah-buahan Sumber : Depprindag (2001)
Lokasi Sumatera bagian Utara (Aceh, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Jambi) Indonesia bagian Timur (Sulawesi, Jawa Timur, Nusa Tenggara dan Bali) Sumater Selatan sebagai pusat, Sumatera dan Kalimantan Kalimantan bahan baku dan pengolahan) dan Jawa Tengah (pengolahan) Jawa Timur dan Nusa Tenggara Sulawesi Selatan Jawa Barat, Jawa Tengah
54 Pertimbangan ataupun kriteria yang digunakan dalam penyusunan opsi-opsi strategi dan usulan restrukturisasi kelompok agroindustri tersebut di atas adalah : (1) Kontribusi terhadap pembangunan sosial ekonomi nasional, (2) Kontribusi dan pemberdayaan daerah, (3) Dampak sosial dan kesejahteraan, (4) Sinergi antara industri inti, industri pendukung dan industri terkait, (5) Kebutuhan dan akses kepada
teknologi
pertanian
dan
agroindustri,
serta
kesempatan
untuk
meningkatkan nilai tambah, (6) Liberalisasi perdagangan dan investasi yang lebih luas, (7) Meningkatkan kualitas produk, (8) Meningkatkan penetrasi pasar, (9) Peningkatan kemampuan market intelligence dan promosi, (10) Pen capaian skala ekonomi dari perusahaan -perusahaan yang termasuk dalam klaster, (11) Memperbaiki iklim berusaha dan insentif untuk berusaha, (12) Mengembangkan sumber daya manusia, (13) Menjaga kelestarian lingkungan (Depperindag 2001). Dari rekomendasi yan g dihasilkan oleh penelitian ini, terlihat bahwa cakupan geografis untuk suatu klaster yang direkomendasikan meliputi wilayah antar propinsi, dan bahkan ada wilayah yang antar pulau. Dalam era otonomi daerah sekarang ini, dapat diantisipasi bahwa kordinasi yang dibutuhkan untuk pengembangan klaster jenis ini tidak akan terlalu mudah dan akan banyak mengalami kendala. Akan lebih baik apabila dapat dilakukan pengembangan klaster yang cakupan geografisnya berada dalam suatu daerah administrasi, misalnya kecamatan dan atau kabupaten. Pada awal tahun 2006 Departemen Perindustrian melakukan penelitian mengenai pengembangan industri kecil dan menengah furniture (Depperin 2006). Studi tersebut melakukan diagnosa, kajian rantai nilai dan kompetensi inti industri furn iture dan merumuskan pola pengembangan industri funiture dengan pendekatan klaster. Sebelum penelitian tersebut di atas, Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor (2000) telah pula melakukan penelitian mengenai industri rotan di Cirebon. Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) Melakukan diagnosa terhadap industri rotan, (2) Mengkaji rantai nilai industri rotan, (3) Perumusan strategi pengembangan klaster industri rotan di Cirebon, (4) Melakukan identifikasi langkah -langkah yang diperlukan serta tindakan yang diperlukan, (5) Merancang model kelembagaan yang mendukung klaster, (6) Merumuskan model klaster industri rotan di Cirebon.
55 Rekomendasi sebagai hasil dari penelitian ini adalah: (1) Untuk peningkatan daya saing dan kemandirian industri rotan, diperlu kan pendekatan klaster industri rotan, (2) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah perlu memfasilitasi pengembangan klaster dengan memberikan fasilitas untuk meningkatkan daya saing, (3) Perlu dilakukan kerjasama antar Pemerintah Daerah dalam rangka pemenuhan kebutuhan bahan baku, (4) Anggota klaster perlu membina kerjasama sesama anggota klaster untuk peningkatan produktiv itas dan pemasaran, (5) Anggota klaster perlu bekerjasama dengan pemeritah, perguruan tinggi dan lembaga lainnya untuk meningkatkan kemampuan berusaha dan penyediaan infrastruktur yang diperlukan. UNIDO juga telah melakukan beberapa studi diagnostik di Indonesia mengenai klaster industri beberapa jenis agroindustri seperti: kulit, rotan, kopi, bawang goreng (UNIDO 1998a, 1998b, 1998c, 1998d). Studi-studi ini baru pada tahapan diagnostik dan belum membahas masalah -masalah strategi. Di samping itu terdapat pula beberapa penelitian lainnya dari beberapa peneliti asing, seperti: Burger et al. (2001); Sandee dan Rietveld (2001); Weyland (1999) dan peneliti Indonesia, seperti: Kuncoro (2002), yang membahas mengenai klaster industri di Indonesia dari berbagai aspek, tetapi tidak dari aspek strategi pengembangannya. Hartmann (2002) melakukan penelitian mengenai klaster industri dan strategi pengembangannya diberbagai daerah di negara-negara di Eropa. Salah satunya adalah penelitian di wilayah Styria yang merupakan salah satu pusat industri di Austria. Styria merupakan salah satu wilayah yang pada saat ini oleh Pemerintah Austria maupun dunia internasional dianggap berhasil dalam membangun klaster industri. Keberhasilan ini merupakan fenomena yang baru belakangan ini dicapai oleh daerah tersebut. Dalam tahun delapan puluhan, Styria merupakan daerah industri yang sedang mengalami kemunduran yang parah dengan tingkat pengangguran yang lebih tinggi dari rata-rata nasional. Pendekatan klaster telah memberi perspektif baru kepada pemimpin-pemimpin ekonomi dan politik daerah tersebut, sehingga memberikan kontribusi terhadap munculnya filosofi baru tentang pembangunan daerah. Pendekatan klaster telah mempengaruhi strategi pengembangan ekonomi yang ditetapkan oleh para pengambil kebijakan, dimana kebijkan-kebijakan
56 sekarang lebih difokuskan pada kolaborasi antara perusahaan dan institusiinstitusi yang terkait. Menurut Hartmann (2002), pada saat ini di dalam perekonomian Styria terdapat 5 klaster industri yang sangat berperan. Kelima klaster ini diidentifikasi melalui analisa terhadap data sekunder dan survei terhadap perusahaan perusahaan dengan fokus pada perilaku inovatif dan kolaborasi perusahaan perusahaan tersebut. Salah satu dari klaster tersebut adalah klaster agroindustri kayu dan kertas. Sedang empat klaster lainnya adalah klaster industri kend araan bermotor, klaster industri kimia dan farmasi, klaster industri logam dan mesin, dan klaster industri teknologi informasi. Mulai tahun 1990-an telah berkembang filosofi baru kebijakan ekonomi di daerah ini yang timbul dari pengalaman menghadapi krisis yang dialami. Kebijakan ekonomi yang baru memiliki tiga perspektif baru: (1) Perspektif yang pertama adalah digunakannya “pendekatan lunak” sebagai ganti dari kebijakan cara lama. Yang dimaksud dengan pendekatan lunak adalah pemberian dukungan yang immaterial (barang tidak berwujud) sebagai ganti dari dukungan yang berupa modal. Kebijakan perekonomian daerah difokuskan kepada dukungan proaktif untuk melakukan kolaborasi, merangsang perilaku inovatif, alih teknologi dan pengetahuan serta penyediaan jasa konsultasi kepada perusahaan-perusahaan. Selanjutnya program-program akan ditujukan kepada jaringan perusahaan dan bukan kepada perusahaan sendiri-sendiri. (2) Perspektif kedua diarahkan kepada potensi ekonomi yang endogenous. Kalau dimasa lalu perhatian dipusatkan kepada upaya menarik investasi asing, sekarang yang menjadi tujuan dari kebijakan adalah meningkatkan potensi dari perusahaan -perusahaan di daerah dan elemen dari infrastruktur daerah yang berhubungan dengan inovasi. Dari perubahan orientasi ini, maka timbul permintaan untuk informasi mengenai keunggulan daerah tersebut. (3) Perspektif ketiga adalah mengenai konsepsi kebijakan ekonomi itu sendiri. Dimasa lalu, penetapan kebijakan merupakan proses top-down yang dilakukan oleh Pemerintah, sedang pelaku ekonomi lain semata-mata berperan sebagai pihak yang meminta bantuan. Dalam kebijakan baru, implementasi kebijakan dilakukan oleh suatu organisasi yang ramping dan
57 fleksibel, dan bukan lagi oleh oleh badan –badan Pemerintah yang cenderung lamban dalam bergerak. Perspektif baru ini membuka jalan bagi timbulnya suatu pengertian yang baru tentang kebijakan ekonomi daerah. Hal ini juga mengakibatkan perubahan yang besar pada kerangka organisasi untuk penentuan kebijakan perekonomian daerah yang memungkinkan dikeluarkannya instrumen -instrumen kebijakan yang baru. Selanjutnya akan tercipta landasan bagi pengembangan pendekatan klater industri dalam pembangunan ekonomi daerah Styria. Klaster industri kayu dan kertas di Styria berawal pada tahun 1994, ketika suatu penelitian yang dilakukan di daerah itu mengidentifikasi suatu klaster kayu dan kertas yang memiliki potensi untuh bertumbuh yang terdiri dari industri pengolahan kayu dan industri pembuatan kertas. Pemerintah Daerah Styria memutuskan untuk memfokuskan kebijakannya pada industri pengolahan kayu, karena industri ini telah memiliki asosiasi bisnis yang kuat yang dapat digunakan sebagai landasan untuk melakukan manajemen bagi klaster tersebut. Pada tahun 1997 Pemerintah setempat telah memutuskan untuk melakukan proses pengembangan klaster kayu tersebut. Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam pengembangan klaster ini adalah sebagai berikut : 1) Tahap pertama: menyusun suatu strategi klaster yang terperinci. Pelaksanaan penyusunan strategi ini cukup sulit untuk dilaksanakan karena sektor pengolahan kayu ternyata sangat heterogen, dimana klaster ini terdiri dari perusahaan yang sangat terpisah -pisah lokasinya dan sangat berbeda produknya. Dialami kesulitan untuk merumuskan masalah yang dapat diangkat menjadi masalah bersama, di samping budaya kolaborasi serta saling percaya yang belum tumbuh sehingga perusahaan dalam kelompok ini masih bergerak sendiri-sendiri. 2) Tahapan kedua: memeriksa kesediaan melakukan kolaborasi di dalam klaster industri. Tujuan tahapan ini adalah untuk memeriksa kesediaan perusahaan-perusahaan berkolaborasi dan pengembangan kerangka organisasi untuk melakukan pengelolaan terhadap pengembangan klaster. Disepakati untuk menyusun kegiatan pengembangan klaster dalam 5
58 bidang strategis berikut ini: (1) Teknologi informasi, (2) Program penelitian dan pengembangan, (3) Kolaborasi antar perusahaan yang memproduksi kayu lembaran, (4) Implementasi pilot project diketiga bidang yang disebut di atas, (5) Pemasaran dan menumbuhkan kesadaran berklaster. 3) Tahap ketiga: merumuskan proyek inti untuk pengembangan klaster. Tahap ini bertujuan untuk menyiapkan rencana pengembangan yang terinci yang dapat diimplementasikan segera. 4) Tahap keempat: pengembangan klaster melalui asosiasi bisnis. Pada tahap ini Pemerintah tidak lagi mendanai kegiatan pengembangan klaster ini
karena
diharapkan
sudah
dapat
mandiri.
Tanggung
jawab
pengembangan klaster diserahkan pada badan usaha yang dibentuk untuk itu, yang kepemilikannya adalah Pemerintah dan asosiasi bisnis. 5) Untuk pengembangan dimasa-masa yang akan datang, maka manajemen klaster telah menetapkan 5 langkah kunci strategis : (1) Pengembangan jaringan (network) dan manjemen serta pelaksanaan proyek kerjasama, (2) Pengembangan sumber daya pada tingkatan perusahaan dan antar perusahaan, (3) Jasa konsultasi klaster: benchmarking dan ekspor, (4) Penelitian dan pengembangan, (5) Pemasaran dan lobbying untuk anggota klaster.
Dari tahapan kegiatan pengembangan yang dilakukan, ditemui banyak kesulitan dalam pengembangan klaster kertas dan kayu ini. Hal ini disebabkan karena struktur industri pengolahan kayu ini sangat ter-fragmentasi sehingga jauh dari struktur klaster menurut teori diamond dari Porter. Klaster ini terdiri dari jaringan terbatas perusahaan yang umumnya berskala kecil dan mikro yang memproduksi barang berdasarkan pesanan dan tidak memiliki kemampuan untuk melakukan flexible industrial production . Di samping itu, klaster ini kurang memiliki produk akhir yang kompetitif dan bernilai tinggi. Sebagaian besar perusahaan -perusahaan belum berpengalaman berkolaborasi dalam jaringan yang besar, sehingga pada awalnya sulit untuk bekerjasama dalam menghadapi masalah bersama yang dihadapi perusahaan-perusahaan di daerah itu. Dari hal ini dapat
59 disimpulkan bahwa upaya pengembangan klaster harus memperhatikan budaya dari perusahaan di dalam klaster dan mengambil langkah -langkah yang disesuaikan untuk itu. Pada Tabel 2.3 di bawah ini disajikan ringkasan penelitian terdahulu. Tabel 2.3 Ringkasan Penelitian Klaster Industri Terdahulu Peneliti 1. Depperindag (2001)
2. LP – IPB (2000)
3. Hartmann (2002) 4. UNIDO (1998a,1998b 1998c,1998d) 5. Sandee dan Rietveld (2001) 6. Burger et al. (2001)
7. Weijland (1999)
8. Depperin (2006)
Tujuan Penelitian - Merumuskan restrukturisasi agroindustri - Merumuskan intervensi Pemerintah - Diagnosa industri rotan - Merumus kan strategi pengembangan - Merancang model kelembagaan - Merancang strategi pengembangan klaster kayu - Diagnosa agroindustri kulit, rotan, kopi dan bawang goreng - Inovasi pada klaster genteng
- Pengaruh pasar pada interaksi anggota klaster (klaster furnitur dan gula kelapa) - Mempelajari peranan microcluster dalam perkembangan industri - Melakukan diagnosa klaster furnitur - Melakukan kajian rantai nilai dan pola pengembangan dengan pendekatan klaster
Metode Penelitian
Hasil Penelitian
Survei lapangan Workshop Porter’s diamond Rantai Nilai
- Model klaster agroindustri - Usulan reformasi kebijakan
- Survei lapangan - Rantai nilai - Revealed Comparative Advantage (RCA) - Kompetensi Inti
- Alternatif strategi pengembangan - Model kelembagaan
- Survei lapangan
- Merumuskan langkah kunci strategi - Identifikasi permasalahan agroindustri
-
- Survei lapangan - Workshop
- Survei lapangan
- Survei lapangan
- Survei lapangan
- Survei lapangan
- Clustering dapat meningkatkan penyerapan teknologi - Pasar ekspor sangat mempengaruhi kerjasama dalam klaster - Microcluster berperan cukup penting dalam perkembangan industri - Diperlukan penguatan kelembagaan sebagai forum komunikasi dan pemberdayaan sumber daya produksi
III. LANDASAN TEORI
3.1 Multi Sectoral Qualitative Analysis Teknik dikembangkan
Multi oleh
Sectoral Roberts
Qualitative dan
Stimson
Analysis (1998)
(MSQA)
yang
digunakan
untuk
mengevaluasi daya saing dan potensi suatu daerah untuk berbagai sektor industri. Teknik ini membantu mengidentifikasi kompetensi inti suatu daerah yang mendukung sektor industri yang ada di daerah tersebut, peluang-peluang ekonomi, peluang-peluang pasar dan risiko -risiko ekonomi yang dihadapi. Dari analisa ini dapat diperoleh dua macam indeks, yaitu indeks kompetensi inti daerah untuk setiap sektor industri dan indeks kriteria kompetensi inti daerah. Dengan metod e MSQA ini, dapat dilakukan pengamatan atas hubungan hubungan antara variabel-variabel ekonomi yang dipilih (kriteria) antara berbagai kegiatan sektor industri yang ditetapkan. Hubungan ini dapat dinyatakan secara deskriptif atau dengan skor numerik dalam suatu matriks sebagaimana yang terlihat pada Gambar 3.1. Tabel 3.1 Matriks Model Multi Sectoral Qualitative Analysis (MSQA)
Kriteria Evaluasi X Y Z Jumlah
A 0 1 0 1
Sektor Industri B C 1 0 3 0 0 2 4 2
Jumlah 1 4 2
Sumber : Robert dan Stimson (1998)
Skor akan dijumlahkan secara vertikal maupun secara horizontal, dan akan dapat menghasilkan indeks kompetensi inti daerah untuk masing-masing sektor industri yang dievaluasi dan indeks kriteria kompetensi inti daerah untuk masing-masing kriteria. Untuk penggunaan metode MSQA ini, maka Roberts dan Stimson (1998) menggunakan 34 kriteria kompetensi inti, yang terbagi atas 8 kelompok, yaitu: kekuatan ekonomi domestik, orientasi perdagangan, teknologi dan pengembangan, pengembangan sumber daya
61
manusia, manajemen, keuangan, pemerintahan dan infrastruktur. Penetapan 34 kriteria kompetensi inti ini merupakan pengembangan dari 29 kriteria yang digunakan oleh Kasper et al. (1992) ketika mengkaji daya tarik wilayah industri Gladstone, di negara bagian Queensland, Australia. Kriteria-kriteria kompetensi inti yang digunakan Roberts dan Stimson (1998) dan juga oleh Muchdie (2000) dalam analisa menggunakan MSQA adalah : Kelompok kesatu, kekuatan ekonomi domestik yang dirinci atas: (1) Kinerja sektoral, (2) Dinamika kegiatan ekonomi, (3) Kegiatan pertambahan nilai. Kelompok kedua, orientasi perdagangan, yang dirinci atas: (1) Kinerja perdagangan dan investasi, (2) Partisipasi dalam ekonomi internasional, (3) Keterbukaan terhadap bisnis asing, (3) Kedekatan terhadap pasar, (4) Aliansi bisnis strategis. Kelompok ketiga, teknologi dan pembangunan yang dirinci atas: (1) Besarnya pengeluaran untuk kegiatan penelitian dan pengembangan, (2) Aglomerasi keahlian, (3) Kegiatan penelitian bersama, (4) Tingkat penyerapan teknologi. Kelompok keempat, pengembangan sumber daya manusia yang dirinci atas: (1) Jasa pendid ikan tinggi dan pelatihan, (2) Pendidikan dasar, (3) Hubungan perburuhan, (4) Mutu kehidupan, (5) Struktur upah dan gaji. Kelompok kelima, manajemen yang dirinci atas: (1) Layanan konsumen dan kualitas produk, (2) Jaringan asosiasi, (3) Efisiensi bisnis, (4) Kemampuan
pemasaran,
(5)
Penggunaan
sistem
informasi,
(6)
Kewirausahaan. Kelompok keenam, keuangan yang dirinci atas: (1) Modal dasar, (2) Ketersediaan dana. Kelompok ketujuh, pemerintahan yang dirinci atas: (1) Peraturan perundang-undangan, (2) Iklim usaha, (3) Pendelegasian wewenang dan otonomi lokal, (4) Skema penunjang bisnis. Kelompok kedelapan, infrastruktur yang dirinci atas: (1) Sumber daya fisik, (2) Biaya energi, (3) Kecukupan dan fleksibilitas in frastruktur, (4) Biaya angkutan, (5) Manajemen limbah dan lingkungan.
62
Penilaian terhadap ketiga puluh empat kriteria untuk setiap kegiatan sektor industri dikumpulkan melalui penilaian para nara sumber yang merupakan orang yang ahli dan selama ini berkec impung dalam kegiatan sektor industri yang berkaitan, baik dari pelaku dunia usaha maupun dari Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat. Dalam melakukan analisa ini, setiap kriteria untuk masing-masing sektor industri akan diberi peringkat (rank) dan akan diukur secara ordinal dalam 3 skor sebagai berikut : Kuat
(K) = 3
Sedang
(S) = 2
Lemah
(L) = 1
Pemeringkatan dilakukan secara subyektif, berdasarkan hasil diskusi dengan para pejabat Pemerintah yang terkait dan pelaku agroindustri, telaah laporan dan kajian ekonomi serta pengetahuan setempat (Roberts & Stimson 1998; Muchdie 2000). Selanjutnya, skor pada setiap kolom sektor industri dijumlahkan dan kemudian dibagi dengan jumlah skor maksimum yang mungkin untuk setiap sektor sehingga diperoleh indeks relatif masing -masing sektor industri. Dari analisa ini dapat dihasilkan dua macam indeks: Indeks kompetensi inti daerah untuk setiap sektor industri dan Indeks kriteria kompetensi inti daerah (untuk setiap kriteria). Indeks kompetensi inti daerah
untuk sektor industri
memperlihatkan secara relatif kekuatan atau kelemahan suatu sektor industri tertentu terhadap sektor industri lainnya di daerah yang dikaji, sedang Indeks kriteria kompetensi inti daerah menggambarkan kekuatan relatif wilayah yang dikaji yang berkaitan dengan berbagai kriteria yang digunakan dalam analisa untuk mendukung pengembangan ekonomi daerah tersebut. Metod e MSQA dapat pula dikembangkan untuk : a) Mengetahui kaitan -kaitan dan potensi pengembangan antara berbagai sektor industri: apak ah signifikan, kurang signifikan atau tidak terkait. Dengan memberi bobot nilai yang berbeda untuk hubungan yang signifikan, tidak signifikan dan tidak terkait, maka akan diperoleh indeks potensi keterkaitan antara suatu sektor dengan sektor-sektor lainnya.
63
b) Mengetahui potensi pemasaran ekspor sektor industri tertentu ke wilayah sekitarnya. Ini diperoleh dengan memberi bobot nilai yang berbeda untuk potensi ekspor ke wilayah sekitarnya: Sangat Tinggi, Tinggi, Sedang, Rendah, Rendah Sekali. Dari penilaian ini akan diperoleh indeks potensi pasar ekspor untuk setiap produk sektor industri. c) Mengetahui tingkat risiko dari berbagai kegiatan industri dilihat dari variabel risiko yang ditetapkan (indeks risiko industri) untuk wilayah tersebut) dan indeks relatif dari setiap variabel risiko di wilayah tersebut (indeks faktor risiko).
Pada penelitian ini, dengan menggunakan metode MSQA yang akan disesuaikan dengan data yang dapat diperoleh, daerah otonomi akan dikaji khusus untuk kelompok agroindustri yang ada di daerah tersebut yang berpotensi membentuk klaster agroindustri. 3.2 Location Quotient Teknik location quotient (LQ) adalah teknik yang membandingkan kegiatan ekonomi suatu daerah tertentu (local economy) dengan kegiatan ekonomi daerah yang lebih luas yang diambil sebagai referensi (reference economy) dalam rangka untuk mengidentifikasi adanya suatu spesialisasi pada kegiatan ekonomi di daerah tersebut (Blakely & Bradshaw 2002).
LQ i = LQ i = ei = et = Ei = Et =
ei Ei
et
.................................................................................. (1)
Et
Location Quotient untuk industri – i di daerah yang dikaji Jumlah pekerja pada industri – i di daerah yang dikaji Jumlah pekerja pada seluruh industri di daerah yang dikaji Jumlah pekerja pada industri - i secara Nasional Jumlah pekerja pada seluruh industri secara Nasional Location Quotient mengukur ratio antara spesialisasi pada industri
tertentu pada suatu daerah dibandingkan dengan daerah referensi yang lebih luas. Apabila nilainya lebih besar dari satu, berarti ekonomi daerah tertentu tersebut lebih terspesialisasi dari daerah referensi yang digunakan, yang juga berarti bahwa terdapat aglomerasi atau konsentrasi suatu industri tertentu di
64
daerah tersebut. Nilai yang kurang dari satu menyatakan keadaan yang sebaliknya. Rumus di atas dapat juga digunakan untuk variable lain, seperti: jumlah unit usaha atau perusahaan, nilai penjualan, nilai ekspor (Balassa index atau Revealed Comparative Advantage index). Namun karena data mengenai jumlah pekerja relatif lebih banyak tersedia, maka variable yang banyak digunakan adalah jumlah pekerja untuk suatu industri tertentu. Metode Location Quotient merupakan metode yang umum digunakan untuk mengidentifikasi klaster industri regional (Bergman & Feser 1999). Penggunaan
metode Location Quotient secara tersendiri tidak dapat
mengidentifikasi
keberadaan
klaster
industri
karena
hanya
dapat
memperlihatkan adanya aglomerasi dari sektor industri tertentu, namun tidak dapat mendeteksi saling keterkaitan antara sektor industri. (Bergman & Feser 1999). Untuk itu teknik Location Quotient perlu dilengkapi dengan teknik lainnya sehingga dapat diperoleh komposisi suatu klaster industri dengan unsur-unsur yang saling mendukung dan saling terkait. 3.3 Analisa Shift-Share Analisa Shift-Share merupakan teknik yang sangat berguna untuk membandingkan perubahan atau pertumbuhan berbagai sektor industri di suatu daerah dengan wilayah nasional atau wilayah referensi lain. Analisa ini merupakan analisa men genai dinamika perubahan dan pertumbuhan industri suatu daerah dan akan dapat menjawab, apakah industri yang berlokasi di wilayah tersebut termasuk dalam kelompok industri yang secara nasional merupakan industri yang memiliki keunggulan kompetitif, yang dapat dijadikan target untuk dijadikan industri unggulan dari wilayah tersebut (Dinc 2002). Analisa ini menguraikan penyebab perubahan kegiatan industri suatu daerah menjadi tiga komponen: national share, industrial mix dan regional share. Penguraian ini dapat dilakukan berdasarkan jumlah tenaga kerja, pendapatan, nilai penjualan atau faktor-faktor ekonomi lainnya. Sebagaimana analisa Location Quotient, maka variabel yang banyak digunakan dalam
65
analisa ini adalah jumlah tenaga kerja, karena pada umumnya data tenaga kerja lebih mudah diperoleh dibandingkan data apabila dipilih variabel yang lain. Komponen National share adalah banyaknya pertambahan lapangan kerja pada kegiatan industri tertentu di suatu wilayah, seandainya proporsi perubahannya sama dengan laju pertumbuhan kegiatan industri nasional selama periode yang diamati. Hal ini dapat digunakan oleh daerah yang bersangkutan untuk mengukur apakah industri tertentu di daerah itu tumbuh lebih cepat atau lebih lambat dari pertumbuhan rata-rata industri nasional (Tarigan 2004). Karena industri daerah merupakan bagian dari kegiatan industri nasional, maka diasumsikan bahwa pertumbuhan industri nasional akan mempengaruhi kegiatan industri d i daerah secara proporsional. Rumus untuk komponen National share (NS) dari kegiatan industri adalah : NS = ? Et ir gn
………………………………………………… (2)
Dimana : Et ir gn
= Jumlah tenaga kerja pada industri i di daerah r, pada waktu t = Laju pertumbuhan tenaga kerja industri secara keseluruhan di daerah referensi n Komponen Industrial mix atau Proportional sh ift mengukur besarnya
perubahan lapangan kerja pada kegiatan industri tertentu di daerah yang ditimbulkan oleh komposisi industri di daerah tersebut. Komponen ini menggambarkan sejauh mana suatu daerah memiliki spesialisasi pada industri tersebut. Komponen ini akan positif di daerah -daerah yang berspesialisasi dalam sektor-sektor yang secara nasional tumbuh lebih cepat dari rata-rata industri, dan negatif di daerah-daerah yang berspesialisasi dalam sektor-sektor yang secara nasional tumbuh lebih lambat dari rata-rata industri. Rumusan untuk Industrial mix (IM) adalah : IM = ? Et ir ( g in – gn )
………………………………………… (3)
Dimana : Et ir
= Jumlah tenaga kerja pada industri i di daerah r, pada waktu awal t
66
gin gn
= Laju pertumbuhan tenaga kerja pada industri i di wilayah referensi n, periode t – t + 1 = Laju pertumbuhan tenaga kerja industri secara keseluruhan di daerah referensi n, periode t – t + 1 Komponen Regional share atau Differential shift mengukur perubahan
lapangan kerja pada suatu industri tertentu d i daerah yang disebabkan adanya perbedaan antara laju pertumbuhan industri tertentu tersebut d idaerah dengan laju pertumbuhan industri yang sama pada tingkat nasional. Komponen ini memperlihatkan pertumbuhan atau kemunduran yang ditimbulkan oleh posisi daya saing industri yang bersangkutan yang ada di daerah tersebut yang disebabkan oleh faktor-faktor lokasi. Suatu daerah yang mempunyai keuntungan lokasional seperti: sumber daya alam, sumber daya manusia yang baik, infrastruktur yang mendukung, dsb, akan memiliki komponen Regional share yang positif, sedangkan daerah yang secara lokasional tidak terlalu menguntungkan akan mempunyai komponen Regional share yang negatif. Rumus untuk Regional share (RS) adalah : RS = ? Et ir ( gir – g in )
………………………………………… (4)
Dimana : Et ir gir gin
= Jumlah tenaga kerja pada industri i di daerah r, pada waktu awal t = Laju pertumbuhan tenaga kerja pada industri i di daerah r, periode t–t +1 = Laju pertumbuhan tenaga kerja pada industri i di wilayah referensi n, periode t – t + 1 Total shift (TS) adalah penjumlahan dari ketiga komponen tersebut di atas: TS = ? Et ir g n + ? Et ir ( gin – gn ) + ? Et ir ( gir – g in )
………… (5)
Hasil dari analisa Shift-share dapat sedikit membantu untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu daerah, namun tidak cukup untuk mengetahui kekuatan atau kelemahan sesungguhnya mengenai ekonomi daerah tersebut. Temuan dari analisa ini perlu didukung oleh metod e-metode lain untuk mengetahui dengan lebih baik keadaan industri-industri kunci di daerah tersebut. Analisa ini menggunakan asumsi-asumsi, yang tidak semuanya bisa terpenuhi. Asumsi yang digunakan mencakup (Dinc 2002) :
67
(1) Teknologi yang digunakan di daerah adalah setingkat dengan teknologi yang secara nasional digunakan. (2) Produktivitas tenaga kerja di daerah adalah sama dengan produktivitas tenaga kerja secara nasional. (3) Pola permintaan di daerah adalah sama dengan pola permintaan rata-rata nasional. (4) Mengabaikan adanya perdagangan antar wilayah dan perdagangan internasional. 3.4
Analytical Hierarchy Process Analytical Hierarchy Process (AHP) adalah salah satu metod e yang
banyak digunakan oleh pengambil keputusan untuk menyelesaikan persoalan yang menyangkut kesisteman, untuk menentukan prioritas pilihan-pilihan yang mengandung banyak kriteria. Metode AHP yang diperkenalkan Saaty (Saaty 1983) pada prinsipnya adalah penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang tidak terstruktur, stratejik dan dinamik menjadi bagian bagiannya, serta menatanya dalam suatu hierarki. Selanjutnya tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai numerik secara subyektif tentang arti penting setiap variabel tersebut secara relatif dibandingkan dengan variabel yang lain. Dari berbagai pertimbangan tersebut kemudian dilakukan sintesa untuk mendapatkan variabel yang memiliki prioritas tinggi dan berperan untuk mempengaruhi hasil pada sistem tersebut (Marimin 2004). Masalah keputusan AHP secara grafis dapat dikonstruksikan sebagai diagram bertingkat, yang dimulai dengan goal atau sasaran atau fokus, lalu kriteria level pertama, dilanjutkan dengan subkriteria dan akhirnya alternatif. AHP memungkinkan pengguna untuk memberikan nilai bobot relatif dari suatu kriteria majemuk (atau alternatif majemuk terhad ap suatu kriteria) secara intuitif, yaitu dengan melakukan perbandingan berpasangan (pairwise comparison). Saaty kemudian menentukan suatu cara yang konsisten untuk mengubah perbandingan berpasangan menjadi suatu himpunan bilangan yang merepresentasikan prioritas relatif dari setiap kriteria dan alternatif. Langkah langkah dalam metode AHP meliputi (Marimin 2004) :
68
a. Penyusunan hierarki Persoalan yang akan diselesaikan, diuraikan menjadi unsurunsurnya, yaitu kriteria dan alternatif. Jika ingin mendapatkan hasil yang akurat, pemecahan dilanjutkan hingga sehingga didapatkan beberapa tingkatan dan unsur-unsurnya tidak dapat dipecah lagi. b. Penilaian kriteria dan alternatif Kriteria dan alternatif dinilai melalui perbandingan berpasangan yaitu membuat penilaian tentang kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkat di atasnya. Saaty (1983), mengekspresikan kepentingan dengan menggunakan skala 1 sampai 9. Penilaian ini merupakan inti dari AHP. Hasil penilaian disajikan dalam bentuk matriks pairwise comparison. c. Penentuan prioritas Penetuan prioritas adalah pemeringkatan elemen-elemen menurut relatif pentingnya. Penentuan peringkat dilakukan dengan cara mencari eigen vector pada setiap matrik pairwise comparison untuk mendapatkan local priority. Karena matrik pairwise comparison terdapat pada setiap tingkat, maka untuk mendapatkan global priority harus dilakukan sintesis diantara local priority. Pengurutan elemen-elemen menurut kepentingan relatif melalui prosedur sintesa dinamakan priority setting. d. Konsistensi Logis Konsistensi logis memiliki dua makna. Pertama adalah bahwa obyek-obyek
yang
serupa
dapat
dikelompokkan
sesuai
dengan
keseragaman dan relevansi. Kedua adalah menyangkut tingkat hubungan antara obyek-obyek yang didasarkan pada kriteria tertentu. Konsistensi logis menjamin bahwa semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten sesuai dengan suatu kriteria yang logis. Salah satu langkah penting dalam AHP adalah melakukan manipulasi
matriks
atas
perbandingan
berpasangan,
yang
akan
memperlihatkan dengan jelas tingkat kepentingan (importance) suatu kriteria atau alternatif relatif terhadap kriteria atau alternatif lain.
69
Penyelesaian dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut : 1) Komparasi Berpasangan Penentuan tingkat kepentingan (bobot) dari elemen-elemen keputusan pada setiap tingkat hirarki dilakukan dengan judgement melalui pembandingan. Nilai tingkat kepentingan ini dinyatakan dalam bentuk kualititif dengan membandingkan antara satu elemen dengan elemen lainnya. Untuk mengkuantifikasikan digunakan skala penilaian. Menurut Saaty (1983), skala penilaian 1 sampai 9 merupakan yang terbaik berdasarkan nilai RMS (Root Mean Square Deviation ) dan MAD (Median Absolute Deviation). Nilai dan definisi pendapat kualitatif tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.2.
Tabel 3.2 Skala Komparasi Nilai 1 3 5 7 9 2,4,6,8
Keterangan Kriteria atau Alternatif A sama penting dengan kriteria atau alternatif B A sedikit lebih penting dari B A jelas lebih penting dari B A sangat jelas lebih penting dari B A mutlak lebih penting dari B Apabila ragu-ragu antara dua nilai yang berdekatan
Sumber : Saaty (1983)
2) Matriks Pendapat Individu Pada penentuan tingkat kepentingan (bobot) dari elemen-elemen keputusan disetiap tingkat hirarki keputusan dilakukan dengan judgement melalui komparasi berpasangan. Nilai yang didapat disusun dalam bentuk matrik individu dan gabungan yang kemudian diolah untuk mendapatkan peringkat. Jika C1, C2, …, Cn merupakan set elemen suatu tingkat keputusan dalam hirarki, maka kuantifikasi pendapat dari hasil komparasi berpasangan setiap elemen terhadap elemen lainnya akan membentuk matrik A yang berukuran n x n. Apabila Ci dibandingkan dengan C j, maka a ij merupakan nilai matriks pendapat has il komparasi yang mencerminkan nilai tingkat kepentingan C i terhadap C j. Nilai matriks
70
a ij=1/ a1j, yaitu nilai kebalikan dari nilai matriks a ij. Untuk i = j , maka nilai matriks a ij = a ji = 1, karena perbandingan elemen terhadap elemen itu sendiri adalah 1. Formulasi matriks A yang berukuran n x n dengan elemen C1, C1, …, Cn untuk ij = 1, 2, 3, …, n dan ij adalah sebagai berikut : Hasil Transformasi Matriks Pendapat C1 C2 C3 .. Cn
C1 1 1 / a12 1 / a13 .. 1 / a1n
C2 a 12 1 1 / a 23 .. 1 / a 2n
C3 a 13 A23 1 .. 1 / a3n
.. .. .. .. .. ..
Cn a1n a2n a3n .. 1
3) Matriks Pendapat Gabungan Matriks pendapat gabungan (G), merupakan susunan matriks baru yang elemen-elemen matriksnya (g ij ) berasal dari rata-rata geometrik pada elemen matriks pendapat individu (a ij ) yang resiko konsistensinya (CR) memenuhi persyaratan. Formulasi nilai rata-rata geometrik adalah sebagai berikut : g ij =
m
m
∏
k =1
a ij (k ) …………………………………….…………..... (6)
keterangan : g ij a ij ij k m
= Elemen matriks pendapat gabungan pada baris ke-i dan kolom ke-j = Elemen matrik pendapat individu pada baris ke-i dan kolom ke-j untuk matriks pendapat individu dengan Rasio Konsistensi (CR) yang memenuhi persyaratan ke-k. = 1, 2, …..…………. n = 1, 2, …………….. m = Jumlah matriks pendapat individu dengan CR memenuhi persyaratan
4) Pengolahan Horizontal Pengolahan horizontal digunakan untuk menyusun prioritas elemen-elemen keputusan pada tingkat hirarki keputusan. Tahapan
71
perhitungan yang dilakukan pada pengolahan horizontal ditunjukkan pad a persamaan-persamaan berikut : Perkalian baris (Z i ) dengan rumus : Zi =
m
m
∏a
ij ( k )
…………………………………………………… (7)
k =1
Perhitungan vektor prioritas atau vektor eigen (VP i ) dengan rumus : m
n
k=1 m n ∑ n ∏ a ij(k) i=1 k =1
=
VP i
∏ a ij(k )
………………………………..…… (8)
Perhitungan nilai eigen maksimum (λ mak ) dengan rumus :
( )
( )
VA = a ij × VP , dengan VA = va i
VB =
VA , dengan VB = (vb ) i VP i
λ max =
1 n
………………..…
(9)
…………..……... (10)
n
∑
i=1
vb i , untuk i = 1, 2, 3, …. n . ......................... (11)
Perhitungan indeks konsistensi (CI) dengan rumus :
CI =
λ max − n n− 1
………………….………………….. (12)
Perhitungan rasio konsistensi (CR) dengan rumus :
CR
=
CI RI
……………………………………… (13)
Dengan RI : Indeks Acak (Random Index)
72
Nilai indeks acak bervariasi sesuai dengan orde matriksnya. Untuk lebih jelasnya, indeks acak untuk orde tertentu dapat dilihat pada Tabel berikut. Tabel 3.3 Nilai Indeks Acak (RI) Matriks Berorde 1-10 Orde 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 RI 0,00 0,00 0,58 0,90 1,12 1,24 1,32 1,41 1,45 1,49 Sumber : Sri Mulyono, 1996
Nilai rasio konsistensi (CR) yang lebih kecil atau sama dengan 0.1 merupakan nilai yang mempunyai tingkat konsistensi baik dan dapat dipertanggung jawabkan. Dengan demikian nilai CR merupakan tolak ukur bagi konsistensi hasil komparasi berpasangan dalam suatu matrik pendapat. 5) Pengolahan Vertikal Pengolahan vertikal digunakan untuk menyusun prioritas pengaruh setiap elemen pada tingkat hirarki keputusan tertentu terhadap sasaran utama (ultimate goal). Jika didefinisikan sebagai nilai prioritas pengaruh elemen ke-j pada tingkat ke-i terhadap sasaran utama, maka: s
CVij = ∑ CHijt (i −1) × VWt (i −1)
………………………………
(14)
t =1
Untuk : i = 1, 2, 3, ……………. p j = 1, 2, 3, ……………. r t = 1, 2, 3, ……………. s Keterangan : s
∑ CH
ijt ( i − 1)
= Nilai prioritas pengaruh elemen ke-j pada tingkat ke-I
t =1
VWt (i − 1)
=
p r s
= = =
terhadap elemen ke-t pada tingkat di atasnya (i –1), yang diperoleh dari hasil pengolahan horizontal. Nilai prioritas pengaruh elemen ke-t pada tingkat ke-(i-1) terhadap sasaran utama, yang diperoleh dari hasil pengolahan vertikal. Jumlah tingkat hirarki keputusan Jumlah elemen yang ada pada tingkat ke-i Jumlah elemen yang ada pada tingkat ke- (i - 1)
73
Jika di dalam hirarki keputusan terdapat dua faktor yang tidak berhubungan, maka nilai prioritas sama dengan nol. Vektor prioritas untuk tingkat ke-i (CV) didefinisikan sebagai berikut :
(
)
CV i = CV ij , untuk j = 1, 2, 3, ………. s
….…………… (15)
Menurut Saaty (1980), teknik komparasi berpasangan yang digunakan dalam AHP dilakukan dengan wawancara langsung terhadap responden. Responden bisa seorang ahli atau bukan, tetapi terlibat dan mengenal baik permasalahan tersebut. Jika responden merupakan kelompok, maka seluruh anggota diusahakan memberikan pendapat (judgement). 3.5 Interpretive Structural Modelling (ISM) Tujuan dari analisa struktural adalah untuk memberi penjelasan mengenai struktur dari hubungan -hubungan yang terdapat antara beberapa variabel kualitatif yang merupakan karakter dari sistem yang sedang dipelajari. Analisa struktural memungkinkan seseorang untuk menjelaskan suatu sistem dengan menggunakan matriks yang menghubungkan semua komponen dari sistem tersebut (Godet 1994). Menurut Saxena et al. (1992) salah satu model yang telah dikembangkan untuk analisa ini adalah Interpretive Structural Modelling (ISM). Teknik ISM merupakan suatu proses pengkajian kelompok, dimana model-model struktural dihasilkan guna memotret perihal yang kompleks dari suatu
sistem
melalui
pola
yang
dirancang
secara
seksama
dengan
menggunakan grafis atau kalimat. Teknik ISM terutama ditujukan untuk pengkajian suatu tim, namun bisa juga dipakai oleh seo rang peneliti (Eriyatno 1999). Prinsip dasarnya adalah identifikasi dari struktur di dalam suatu sistem akan memberikan nilai manfaat yang tinggi guna meramu sistem secara efektif dan untuk pengambilan keputusan yang lebih baik. Struktur dari suatu sistem yang berjenjang diperlukan untuk lebih menjelaskan pemahaman tentang perihal yang dikaji.
74
Program yang sedang ditelaah penjenjangan strukturnya dibagi menjadi elemen-elemen, dimana setiap elemen selanjutnya diuraikan menjadi sejumlah subelemen sampai dipandang memadai untuk perihal yang akan dikaji. Setelah dilakukan identifikasi semua elemen dan subelemen, maka ditetapkan hubungan kontekstual antar subelemen. Hubungan kontekstual ini selalu dinyatakan dalam terminology subordinat yang menuju pada perbandingan berpasangan antar sub elemen, dimana terkandung suatu arahan (direction ) pada hubungan tersebut. Keterkaiatan antar elemen pada perbandingan berpasangan ditunjukkan oleh pendapat dari para pakar paneleis. Apabila Paneleis lebih dari satu, maka dilakukan Penyusunan
perataan
secara
nilai
hubungan
geometris
atau
kontekstual
diambil pada
suara
matrik
terbanyak.
perbandingan
berpasangan menggunakan simbol V, A, X dan O, dimana : V adalah jika eij = 1 dan e ij = 0 A adalah jika eij = 0 dan e ij = 1 X adalah jika eij = 1 dan e ij = 1 O adalah jika eij = 0 dan e ij = 0
Simbol 1 menunjukkan adanya hubungan kontekstual, sedangkan simbol 0 menunjukkan tidak ada hubungan kontekstual antara elemen i dan j begitu juga sebaliknya. Hasil penilaian ini disusun dalam Structural Self Interaction Matrik (SSIM). Setelah SSIM terbentuk dibuat tabel R eachability Matrix (RM) dengan menggantikan V, A, X, O dengan bilangan 1 dan 0. Lebih lanjut RM dikoreksi hingga membentuk matrik tertutup yang memenuhi aturan transivitas yaitu aturan kelengkapan sebab akibat. Misalnya A mempengaruhi B, B mempengaruhi C, maka A (seharusnya) mempengaruhi C. Pengolahan lebih lanjut RM ini adalah penetapan pilihan jenjang (level partition). Berdasarkan pilihan jenjang, maka skema elemen menurut jenjang vertikal maupun horizontal dapat digambarkan. Berdasarkan pertimbangan hubungan kontekstual, maka disusunlah Structural Self Interaction Matrix (SSIM). SSIM disusun berdasarkan perbandingan berpasangan (pairwise comparison ) dari subelemen. Setelah
75
SSIM terbentuk, kemudian dibuat table Reachbility Matrix. Kemudian dilakukan pengkajian menurut aturan Transitivity, dimana dilakukan koreksi terhadap SSIM sampai terjadi matriks yang tertutup. Hasil koreksi SSIM dan matrix yang memenuhi syarat transitivity diproses lebih lanjut. Pengolahan lebih lanjut dari Reachbility Matrix (RM) yang telah memenuhi aturan Transitivity adalah penetapan pilihan jenjang (level partition). Pengolahan bersifat tabulatif dengan pengisian format. Berdasarkan pilihan jenjang maka dapat digambarkan skema setiap elemen menurut jenjang vertik al maupun horizontal. Untuk beragam subelemen dalam satu elemen berdasarkan RM disusunlah Driver Power-Dependence. Klasifikasi subelemen dipaparkan dalam 4 sektor, yaitu : a) Weak driver – weak dependent variables (AUTONOMOUS). Peubah disektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem, dan mungkin mempunyai hubungan kecil, meskipun hubungan tersebut bisa saja kuat. Subelemen yang masuk pada sektor 1 jika: Nilai DP ≤ 0.5 X dan nilai D ≤ 0.5 X (X adalah jumlah subelemen). b) Weak driver–strongly dependent variables (DEPENDENT). Umumnya peubah disini adalah peubah tidak bebas. Subelemen yang masuk pada sektor 2 jika: Nilai DP ≤ 0.5 X dan nilai D > 0.5 X (X adalah jumlah subelemen). c) Strong driver–strongly dependent variables (LINKAGE). Peubah pada sektor ini harus dikaji secara hati-hati, sebab hubungan antar peubah adalah tidak stabil. Setiap tindakan pada peubah tersebut akan memberikan dampak terhadap lainnya dan umpan balik pengaruhnya bisa memperbesar dampak. Subelemen yang masuk pada sektor 3 jika: Nilai DP > 0.5 X dan nilai D > 0.5 X (X adalah jumlah subelemen). d) Strong driver – weak dependent variables (INDEPENDENT). Peubah pada sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan disebut peubah bebas. Subelemen yang masuk pada sektor 4 jika: Nilai DP > 0.5 X dan nilai D ≤ 0.5 X (X adalah jumlah subelemen).
76
Saxena (1992) di dalam Eriyatno (1996), membagi program dalam sembilan elemen, yaitu: (1) Sektor masyarakat yang terpengaruh, (2) Kebutuhan dari program, (3) Kendala utama, (4) Perubahan yang dimungkinkan, (5) Tujuan dari program, (6) Tolak ukur untuk menilai setiap tujuan, (7) Aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan, (8) Ukuran aktivitas guna mengevaluasi hasil yang dicap ai oleh setiap aktivitas, (9) Lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program. 3.6 Teknik Perbandingan Indeks Kinerja Untuk melakukan penilaian atau peringkat dari berbagai alternatif bardasarkan beberapa kriteria dapat digunakan Teknik Perbandingan Ind eks Kinerja atau Comparative Performance Index (Marimin 2004). Teknik ini digunakan dalam hal tersedianya data-data kuantitatif untuk diperbandingkan. Dalam teknik ini dilakukan perhitungan untuk mendapatkan indeks gabungan. Formula yang digunakan dalam teknik ini adalah sebagai berikut : Aij = Xij (min) x (100 / Xij (min)) A(I + 1.j) = (X(I + 1.j) / Xij (min) x 100 Iij = Aij x Pj n
Ii
=
∑( I ) ij
i =1
Keterangan : Aij Xij (min) A(I + 1.j) X(I + 1.j) Pj Iij Ii i j
= Nilai alternatif ke-i pada kriteria ke-j = Nilai alternatif ke-i pada kriteria awal minimum ke-j = Nilai alternatif ke-i + 1 pada kriteria ke-j = Nilai alternatif ke-i + 1 pada kriteria awal ke-j = Bobot kepentingan kriteria ke-j = Indeks alternatif ke-I = Indeks gabungan kriteria pada alternatif ke-I = 1, 2, 3, ..., n = 1, 2, 3, ..., m
3.7 Independent Preference Eva luation (IPE) Independent Preference Evaluation (IPE) atau Teknik evaluasi pilihan bebas merupakan salah satu teknik pengambilan keputusan dengan cara mengevaluasi kesukaan atau pilihan bebas dari suatu grup pembuat keputusan
77
terhadap sejumlah kriteria dan alternatif yang disajikan dalam bentuk kualitatif (non numerik). Dalam operasinya alternatif yang satu tidak dibandingkan dengan alternatif yang lainnya. Teknik ini digunakan untuk mendapatkan pilihan terbaik dari beberapa alternatif pilihan, yang untuk semua altenatif telah ditetapkan kriteria yang akan dinilai. Penilaian dilakukan oleh beberapa pakar yang ahli di bidang tersebut. Pengambilan keputusan yang melibatkan berbagai pihak (stake holder ) atau ahli dan didasarkan kepada kriteria jamak disebut sebagai Multi-Expert Multi Criteria Decision Making atau ME -MCDM . Yager (1993), merumuskan suatu metode komputasi non-numerik untuk proses pengambilan keputusan kelompok secara fuzzy. Teknik fuzzy digunakan dalam proses pengambilan keputusan, karena tidak semua permasalahan yang dihadapi di dunia nyata dapat dinyatakan secara eksak ya atau tidak, tetapi mengandung ketidakpastian. Hal ini sering dinyatakan dengan ungkapan: mendekati, kira-kira, hampir, sedikit lebih besar dari, dan sebagainya yang sulit dinyatakan dalam besaran eksak. Metode komputasi dilakukan secara bertahap yaitu (1) agregasi terhadap kriteria dan (2) agregasi terhadap semua ahli. Marimin (1997) menunjukan bahwa tahapan sebaliknya memberikan solusi yang sama. Di dalam evaluasi pilihan bebas, setiap pengambil keputusan setiap alternatif
(si )(i = 1,2,...,n)
(d )( j = 1,2 ,...,m ) j
dapat menilai
pada setiap kriteria (a k ) (k = 1, 2, ………., l)
secara bebas. Skala penilaian menggunakan simbol kualitatif atau label linguistic yang kemungkinan skornya adalah “sempurna” (S 7 ), “sangat tinggi” (S 6), “tinggi” (S 5), “medium” (S 4 ), “rendah” (S 3), “sangat rendah” (S 2), dan “tidak ada” (S 1) atau himpunan S = (S 1, S2 , …, S 7 ). Langkah -langkah agregasi dalam pengambilan keputusan dengan kaidah Fuzzy IPE untuk sampai pada mendapatkan tingkat preferensi seluruh pakar terhadap masing-masing alternatif adalah sebagai berikut (Yager 1993) : a) Tingkat preferensi pakar dinyatakan dalam 5 skala dari Sangat Baik (S 5), Baik (S 4), Sedang (S 3), Kurang (S2 ) dan Sangat Kurang (S 1). Tingkat kepentingan kriteria ditetapkan dengan menggunakan skala
78
penilaian yang sama. Dengan demikian setiap pembuat keputusan akan mendapatkan satu set nilai (L) pada setiap alternatif dan setiap setiap kriteria dengan rumusan sebagai berikut :
L = v
a ,v a ,...,v a ij 1 ij 1 ij k
………........................ (16)
dimana: v ij ( a k ) adalah skor evaluasi terhadap alternatif ke-i pada kriteria ke-k oleh pembuat keputusan ke-j. b) Operasi Negasi terhadap masing-masing tingkat kepentingan kriteria dengan rumus :
Neg (w k ) = wq − k + 1
.................................................
(17)
Dimana: W adalah bobot nilai; q adalah jumlah item dari suatu set bobot penilaian dan k adalah item dari suatu set bobot penilaian. c) Tingkat preferensi masing-masing pakar terhadap masing-masing alternatif, ditentukan dengan mengacu pada set nilai yang didapatkan dari persamaan 1 dan nilai negasi dari persamaan 2. Agregasi untuk memperoleh skor terhadap alternatif ke-i oleh setiap pembuat keputusan ke-j pada semua kriteria didapat dengan menggunakan rumus berikut :
v
ij
= Min
k
Neg w ak
∨ v ij a k
…………….....
(18)
Dimana: v ij adalah skor evaluasi terhadap alternatif ke-i oleh pembuat keputusan ke-j; min adalah minimum; V adalah maksimum dan
Neg (w ak
)
adalah negasi setiap bobot elemen.
d) Selanjutnya preferensi masing-masing pakar terhadap suatu alternatif dikombinasikan dengan metode Yager yang didasarkan pada operator OWA (Ordered Weighted Averaging) dilakukan pembobotan nilai dengan menggunakan rumus :
q − 1 W ( j ) = Int 1 + jx × ……………….………........... r
(19)
Dimana: W(j) adalah pembobot nilai pakar ke-j; j adalah pakar ke-j; r adalah jumlah pakar; q adalah jumlah skala dan int adalah integer.
79
e) Agregasi Preferensi seluruh pakar terhadap suatu alternatif ditentukan dengan rumus berikut :
v (i ) = max
j
[w
j
^ bj
]
………………….…….........…..
(20)
Dimana: Max adalah maksimum, Wj adalah pembobot nilai pada pakar ke-j; ^ adalah minimum dan b adalah solusi dari persamaan 3 yang diurutkan dari terbesar ke terkecil.
3.8 Teknik Heuristik Menurut Thierauf dan Klekamp dalam Eriyatno (1999), teknik heuristik merupakan titik pandang dalam merancang suatu program untuk tugas pemrosesan informasi yang kompleks. Titik pandang ini bukan merupakan program
yang
biasa
dilakukan
dengan
komputer,
tetapi
merupakan
pengolahan seperti yang biasa dilakukan oleh manusia dalam menangani berbag ai masalah. Pada teknik heuristik tidak ada suatu model yang baku, sehingga untuk setiap permasalahan menggunakan program heuristik yang spesifik.. Pada dasarnya teknik heuristik mengandung pengertian adanya rumusan urutan atau tata kerja yang logis untuk mencapai tujuan. Heuristik tidak menjamin adanya pemecahan yang optimal, tetapi menjamin suatu pemecahan yang memuaskan pengambil keputusan. Ciri-ciri teknik heuristik secara umum adalah: adanya operasi aljabar, adanya perhitungan yang bertahap, dan mempunyai tahapan yang terbatas sehingga dapat dibuat algoritma komputernya.
IV. METODOLOGI
4.1 Kerangka Pemikiran Konseptual Pendekatan klaster industri telah ditetapkan sebagai strategi pengembangan industri nasional dalam Undang-undang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004 (Propenas), dan penjabarannya dalam subbab 4.2 menyatakan bahwa kegiatan pokok yang dilakukan adalah perumusan strategi peningkatan daya saing global dengan prioritas pada klaster industri berbasis sumber daya alam. Penetapan pendekatan klaster sebagai strategi pengembangan industri nasional sejalan dengan kecenderungan dibanyak negara industri maju yang telah memilih pendekatan klaster industri guna meningkatkan daya saing dalam rangka menghadapi era globalisasi. Sementara itu Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah Tahun 1999 dalam Pasal 10 ayat 1 menetapkan bahwa Daerah (dalam hal ini: Kabupaten) berwenang mengelola sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya masing-masing. Oleh karena itu berbagai daerah otonom yang memiliki potensi sumber daya alam perlu menyusun strategi pengembangan klaster agroindustri dengan memperhatikan potensi agroindustri dan kompetensi inti yang dimiliki daerah untuk mendukung agroindustri tersebut. Klaster agroindustri ini diharapkan dapat mengolah sumber daya alam menjadi produk agroindustri bernilai tambah tinggi yang dapat dijual di pasar dalam negeri dan luar negeri sehingga dapat menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi setempat. Strategi pengembangan tersebut harus berlandaskan perhitungan-perhitungan yang realistis dengan memperhatikan kompetensi inti daerah otonom dan potensi kelompok agroindustri yang ada, serta kapasitas dan kemampuan wilayah untuk mengimplementasikan rencana, kebijakan, dan program dibawah suatu kordinasi. Pendekatan klaster industri akan menentukan dan menuntut peranan yang baru dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah, institusi terkait lainnya dan perusahaan -perusahaan dalam klaster industri. Disamping kebijakan-kebijakan makro ekonomi untuk membantu peningkatan daya saing, diperlukan pula peranan dan pengaruh Pemerintah pada level mikro. Peranan dan pengaruh Pemerintah untuk menghilangkan hambatan yang mengganggu pertumbuhan
81 klaster industri dan peningkatan kemampuan dari klaster yang sedang bertumbuh merupakan hal yang perlu diprioritaskan. Pendekatan klaster industri diharapkan akan memberikan tambahan lapangan kerja, peningkatan pendapatan daerah, peningkatan produktivitas, peningkatan ekspor, tumbuhnya usaha-usaha baru dan berkembangnya inovasi yang akan membantu terwujudnya masyarakat yang dicita-citakan yaitu masyarakat berdaya saing, sejahtera dan maju. Dengan banyaknya pelaku yang terlibat dengan kepentingan yang beragam maka diperlukan pendekatan sistem yang selalu mencari keterpaduan antar bagian. Dengan pemikiran ini, maka pola pikir konseptual model strategi pengembangan klaster agro industri pada daerah otonom disajikan dalam Gambar 4.1 : Propenas (UU No.25/2000)
-
Otonomi Daerah (UU No.22/1999)
Arah Kebijakan a.l : Industri Berbagai Keunggulan Sumber Daya Alam Pendekatan Klaster Industri
Trend di Negara Industri Maju
Pengembangan Industri dengan Pendekatan Klaster
Potensi Agroindustri Daerah
Kewenangan Pengelolaan Sumber Daya Daerah
Pengembangan Agroindustri Menggunakan Kompetensi Inti
Strategi Pengembangan Klaster Agroindustri Unggulan Menggunakan Kompetensi Inti Daerah Hasil yang diharapkan : - Penambahan lapangan kerja - Peningkatan pendapatan daerah - Peningkatan produktivitas - Peningkatan ekspor - Tumbuhnya usaha- usaha baru - Berkembangnya inovasi Tujuan pembangunan : - Masyarakat berdaya saing dan berdaya tahan - Masyarakat sejahtera - Masyarakat Maju
Gambar 4.1 Kerangka Pemikiran Konseptual Strategi Pengembangan Klaster Agroindustri Unggulan Menggunakan Kompetensi Inti Daerah
82 Penyusunan model strategi pengembangan klaster agroindustri di daerah otonom dilakukan dengan mengacu pada model manajemen yang diperkenalkan oleh Hamel dan Prahalad (1994). Model Hamel dan Prahalad ini terdiri dari 3 komponen dasar untuk penyusunan suatu strategi (Roberts dan Stimson 1998), yaitu : (1) Identifikasi dan pengembangan kompetensi inti. (2) Mendefinisikan “strategic architecture”. (3) Menetapkan “strategic intent”.
Kompetensi
inti
adalah
kombinasi
dari
teknologi,
keterampilan,
pemanfaatan sumber daya dan manajemen, yang apabila dikombinasikan dengan cara-cara tertentu akan membuat suatu perusahaan atau wilayah mampu menghasilkan barang dan jasa yang memiliki daya saing untuk pasar ekspor dan domestik. Strategic architecture menjelaskan mengenai cara-cara untuk memanfaatkan kompetensi inti, memobilisasi sumber daya dan menciptakan pasar untuk mencapai tujuan, sedang Strategic intent menguraikan hal-hal yang ingin dicapai (Roberts & Stimson 1998). Penelitian ini akan mengidentifikasi kompetensi inti daerah dan kelompokkelompok agroindustri yang ada di daerah tersebut, dan sebagai strategic architecture-nya adalah pendekatan klaster agroindustri menggunakan kompetensi inti.
Sebagai Strategic intent-nya adalah klaster agroindustri yang dapat: 1)
Meningkatkan pendapatan Pemerintah Daerah; 2) Memperluas lapangan kerja dan pembentukan usaha baru; 3) Memperluas pasar domestik dan ekspor; 4) Meningkatkan produktivitas usaha. Dalam merumuskan kebijakan pengembangannya, klaster agroindustri harus dilihat sebagai suatu sistem karena ia merupakan suatu kesatuan atau gugus yang utuh, yang memiliki kompleksitas permasalahan yang tinggi. Kompleksitas yang tinggi timbul dari banyaknya pihak yang terkait, yang memiliki kepentingan kepentingan dan tujuan berbeda yang mungkin berbenturan. Pendekatan sistem diperlukan
untuk
mendapatkan
kebijakan
menyeluruh, efektif dan berkelanjutan.
strategi
pengembangan
yang
83 4.2 Tahapan Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut di atas, maka pelaksanaan penelitian untuk pengembangan klaster agroindustri unggulan menggunakan kompetensi inti daerah dilakukan melalui tahapan: (1) Identifikasi kompetensi inti daerah untuk mendukung pengembangan berbagai kelompok agroindustri yang ada di daerah, (2) Identifikasi atribut yang dimiliki setiap kelompok agroindustri yang diperlukan untuk pembentukan klaster, (3) Pemilihan kelompok agroindustri yang dapat dikembangkan sebagai klaster agroindustri unggulan daerah, (4) Pemetaan klaster agroindustri dan identifikasi unsur klaster yang masih perlu dikembangkan, (5) Strukturisasi sistem pengembangan klaster agroindustri unggulan, (6) Formulasi kebijakan pengembangan klaster agroindustri unggulan, (7) Perancangan kelembagaan klaster agroindustri unggulan, sebag aimana disajikan pada Gambar 4.2. Identifikasi kompetensi inti daerah dimaksudkan untuk mengetahui potensi daerah dalam mendukung pengembangan masing-masing kelompok agroindustri yang terdapat di daerah tersebut. Identifikasi atribut yang dimiliki kelompok agroindustri dimaksudkan untuk mengetahui kelompok agroindustri yang lebih memiliki peluang untuk dikembangkan sebagai klaster agroindustri. Atribut yang ditetapkan mencakup faktor-faktor: konsentrasi industri, pertumbuhan kelompok, jumlah tenaga kerja, nilai tambah, kompetensi inti daerah untuk kelompok agroindustri, keterkaitan dengan usaha lain, dan kemampuan ekspor. Pemilihan klaster agroindustri unggulan daerah dimaksudkan untuk mendapatkan kelompok agroindustri yang perlu didukung untuk menjadi penggerak pembangunan ekonomi daerah. Strukturisasi sistem pengembangan dimaksudkan untuk mengidentifikasi keterkaitan antara elemen program pengembangan klaster agroindustri unggulan. Formulasi kebijakan pengembangan dimaksudkan untuk merumuskan kegiatan pengembangan
yang
dapat
meningkatkan
keunggulan
bersaing
melalui
pendekatan klaster agroindustri. Perancangan
model
strategi
pengembangan
klaster
agroindustri
dimaksudkan untuk mendapatkan model strategi pengembangan klaster agroindustri yang memiliki keunggulan bersaing.
84 Metode : - Data Statistik - Wawancara - Kuesioner
Metode : - MSQA
Metode : - LQ - Shift Share - Heuristic
Metode : - AHP
Pengumpulan Data
Identifikasi Kompetensi Inti Daerah
Identifikasi Atribut Kelompok Agroindustri
Pemilihan Agroindustri Unggulan
Metode : - Pendapat Ahli - Model Porter
Pemetaan Klaster Agroindustri Unggulan dan Identifikasi Unsur Klaster yang Belum Terbentuk
Peran Pemerintah (Model Porter)
Strukturisasi Sistem Pengembangan Agroindustri
Metode : - ISM dan IPE
Peran Swasta (Model Porter)
Formulasi Kebijakan Pengembangan Klaster Agroindustri Unggulan Analisa Kelembagaan pada Klaster Agroindustri Unggulan
Gambar 4.2 Tahapan Penelitian 4.3 Kerangka Pemikiran Rekayasa Model Secara diagram, kerangka pemikiran pemodelan sistem pengembangan klaster agroindustri unggulan menggunakan kompetensi inti disajikan dalam Gambar 4.3 dengan penjelasan sebagai berikut : 1) Rekayasa model identifikasi kompetensi inti agroindustri di daerah untuk masing-masing kelompok agroindustri (selanjutnya disebut dengan kompetensi inti kelompok agroindustri), dengan metode Multi Sectoral Qualitative Analysis (MSQA) dari Roberts dan Stimson (1998) dengan
85 penyesuaian yang diperlukan pada kriteria -kriteria yang digunakan. Output dari model ini adalah Indeks Kompetensi Inti Daerah dan bobotnya untuk masing-masing kelompok agroindustri. 2) Rekayasa model identifikasi konsentrasi kelo mpok agroindustri dengan teknik Location Quotient. Output dari model ini adalah nilai Location Quotient (LQ) dan Indeks Konsentrasi Industri dan bobotnya untuk masing-masing kelompok agroindustri. 3) Rekayasa model identifikasi tingkat pertumbuhan kelompok agroindustri dengan teknik Shift Share Analysis. Output dari model ini adalah Indeks Tingkat Pertumbuhan Industri dan bobotnya untuk masing-masing kelompok agroindustri. 4) Rekayasa model identifikasi kemampuan ekspor kelompok agroindustri dengan metode heuristic. Output dari model ini adalah Indeks Kemampuan Ekspor dan bobotnya untuk masing-masing kelompok agroindustri. 5) Rekayasa model identifikasi keterkaitan kelompok agroindustri dengan sektor atau usaha lain dengan metode heuristic. Output dari model ini adalah Indeks Keterkaitan dan bobotnya untuk masing-masing kelompok. 6) Rekayasa model identifikasi nilai tambah pada setiap kelompok agroindustri yang diteliti. Output dari analisa ini adalah Bobot Nilai Tambah untuk masing-masing kelompok agroindustri. 7) Rekayasa model identifikasi jumlah tenaga kerja pada setiap kelompok agroindustri. Output dari analisa ini adalah Bobot Jumlah Tenaga Kerja untuk masing-masing kelompok agroindustri. 8) Rekayasa model pemilihan calon klaster agroindustri unggulan. Pemilihan dilakukan dengan menggunakan analisa Analytical Hierarchy Process (AHP). Output dari model ini adalah peringkat kelompok agroindustri untuk dikembangkan sebagai klaster unggulan daerah. 9) Rekayasa model strukturisasi sistem pengembangan klaster agroindustri unggulan. Rekayasa dilakukan dengan bantuan alat analisa Interpretive Structural Modelling (ISM) dengan input pendapat para ahli yng dipilih. Output dari model ini adalah struktur sistem pengembangan agroindustri.
86 10) Rekayasa model hubungan antar subelemen sistem pengembangan dengan teknik Multi Expert Multi Criteria Decision Making. Outputnya adalah tingkat kepentingan hubungan antar subelemen. 11) Formulasi kebijakan pengembangan klaster agroindustri unggulan, untuk merumuskan kegiatan pengembangan. Juga dilakukan analisa mengenai kelembagaan yang perlu dikembangkan untuk peningkatan kinerja klaster dan penetapan indikator untuk pengukuran kinerja klaster. - Kriteria Kompetensi Inti Daerah - Kelompok Agroindustri - Tenaga Kerja
Mulai
- Nilai Ekspor - Nilai Tambah
1. Identifikasi Kompetensi Inti Kelompok AI dengan Teknik - Bobot Kompetensi Inti Kelompok AI
MSQA 2. Identifikasi Konsentrasi
- Bobot Konsentrasi Kelompok AI
Kelompok AI dengan Metode LQ 3. Identifikasi Pertumbuhan
- Bobot Pertumbuhan Kelompok AI
Kelompok AI dengan Metode Shift Share
- Bobot Potensi Ekspor Kelompok AI
4. Identifikasi Potensi Ekspor dengan Metode Heuristik
- Bobot Potensi Keterkaitan Industri - Bobot Nilai Tambah - Bobot Jumlah Tenaga Kerja
5. Identifikasi Potensi Keterkaitan Kelompok AI dengan Metode Heuristik 6. Identifikasi Nilai Tam bah 7. Identifikasi Jumlah Tenaga Kerja
Pemilihan Calon Klaster AI Unggulan dengan Metode AHP
Calon Klaster AI Unggulan
A
Identifikasi Industri Inti
Industri Inti
Gambar 4.3 Kerangka Pemikiran Rekayasa Model Strategi Pengembangan Klaster Agroindustri Unggulan
87
A
Pendapat Ahli Tentang Sistem Pengembangan Klaster AI
Tingkat Kepentingan Sub Elemen Terhadap Elemen Tujuan
Formulasi Kebijakan Pengembangan Klaster AI Unggulan
Strukturisas i Sistem dan identifikasi hubungan antar subelemen, Metode ISM
- Klasifikasi Elemen - Elemen Kunci Penegmbangan - Hubungan antar subelemen
Pemeringkatan Tingkat Kepentingan Sub Elemen (Metode IPE)
Pendapat Ahli Tentang Tingkat Kepentingan Antar Sub Elemen
Skenario Pengembangan : - Kelembagaan Klaster AI - Implikasi Kebijakan - Sistem Pengukuran Kinerja
Selesai
Gambar 4.3 (Lanjutan) Kerangka Pemikiran Rekayasa Model Strategi Pengembangan Klaster Agroindustri Unggulan 4.4 Validasi dan Verifikasi Model Validasi dan Verifikasi model dilakukan dengan cara yang dianjurkan oleh Rykiel (1996) dengan melakukan: 1) Review oleh ahli yang independen mengenai ketepatan (soundness) dari logika dan konsep model; 2) Memasukkan data empiris ke dalam model; 3) Membandingkan hasil keluaran model dengan keadaan nyata melalui pendapat ahli. 4.5 Jenis Data Jenis data yang dikumpulkan meliputi: (1) Kriteria kompetensi inti daerah ; (2) Jumlah perusahaan, tenaga kerja, nilai tambah, untuk masing-masing kelompok agroin dustri makanan, minuman, kulit, kayu rotan dan bambu, kertas dan barang dari kertas, karet dan barang dari karet; (3) Pendapat ahli untuk Analytical Hierarchy Process tentang pemilihan kelompok agroindustri unggulan
88 daerah; (4) Pendapat ahli tentang struktur sistem pengembangan klaster agroindustri; (5) Pendapat ahli tentang tingkat kepentingan subelemen dari elemen Peranan Pemerintah dan Aktivitas Dunia Usaha terhadap elemen Tujuan. 4.6 Pengumpulan Data Pengumpulan data penelitian dilakukan melalui pengumpulan data yang tersedia pada Badan Pusat Statistik (Nasional, Propinsi dan Kabupaten) dan instansi lainnya, studi-studi serta laporan-laporan mengenai industri dan perdagangan, survei lapangan dan wawancara. Survei lapangan dilakukan terhadap pihak yang memahami perihal agroindustri dan pihak terkait lainnya, antara lain: instansi Pemerintah, pelaku agroindustri dan industri terkait, , institusi pelatihan dan pendidikan, institusi penelitian dan pengembangan, lembaga keuangan, pakar di bidang industri dan perdagangan, dan pakar di b idang agroindustri. Survei lapangan dilakukan melalui wawancara, pengiriman kuesioner dan pengamatan langsung di lapangan. Responden dipilih secara purposive sampling. 4.7 Pengolahan Data Pengolahan data di dalam penelitian ini dilakukan berbagai macam analisa sebagaimana yang diuraikan berikut ini : 1) Identifikasi kompetensi inti daerah untuk kelompok agroindustri daerah. Analisa yang digunakan adalah metode MSQA yang disesuaikan, yang selanjutnya disebut Metode Kualitatif Multi Kelompok Agrondustri (MKMKA). Kolom dari matriks MKMKA terdiri dari tujuh kelompok agroindustri yang anggota kelompoknya terdiri dari satu atau beberapa industri pada tingkat 3-digit pada Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI 2000), sedang baris pada matriks MKMKA terdiri dari 16 kompetensi yang dimiliki daerah (kriteria). Dari pengolahan matriks ini akan diperoleh dua macam indeks, yaitu Indeks Kompetensi Inti Daerah untuk Kelompok Agroindustri (IKIDKA) untuk masing-masing kelompok agroindustri yang ada di daerah tersebut dan Indeks Kriteria Kompetensi
Inti
Daerah
(IKKID).
IKIDKA
secara
relatif
menggambarkan dukungan sumber daya daerah terhadap kelompok
89 agroindustri tertentu. Indeks yang lebih besar berarti dukungan sumber daya daerah terhadap agroindustri tersebut lebih besar dibandingkan dengan agroindustri yang indeksnya lebih kecil, sebaliknya.
IKKID
menggambarkan
tingkatan
demikian pula dukungan
suatu
kompetensi (kriteria) daerah terhadap pembangunan agroindustri di daerah tersebut. Makin tingg i indeks IKKID suatu kompetensi, berarti makin besar dukungan kompetensi tersebut untuk pengembangan agroindustri daerah. Dari hasil analisa ini akan diperoleh output berupa urutan kelompok agroindustri yang paling mendapat dukungan dari sumber daya dan kemampuan yang dimiliki daerah. Data yang digunakan untuk analisa ini adalah data sekunder dari Badan Pusat Statistik, wawancara pakar, serta pengolahan data dari laporan dan studi mengenai perekonomian daerah. Dengan metode MKMKA ini, dilakukan pengamatan atas hubungan -hubungan antara variabel-variabel ekonomi yang merupakan kompetensi daerah dengan berbagai kelompok agroindustri yang ditetapkan, sehingga dapat diketahui kelompok agroindustri daerah yang berpotensi membentuk klaster agroindustri. Masing-mas ing kelompok agroindustri yang dikaji, terdiri dari satu atau beberapa agroindustri 3-digit dalam Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia 2000 (KBLI 2000), Kategori D (Industri Pengolahan) dengan memperhatikan kesamaan dan kemiripan diantara industri 3-digit yang bersangkutan. Dengan mengolah data dari BPS dan mengeliminasi golongan industri yang bukan agroindustri serta memperhatikan kedekatan serta keterkaitan antara kelompok 3-digit tersebut, maka agroindustri yang dikaji dikelompokkan menjadi 7 kelompok yaitu : Kelompok-1 : Agroindustri Makanan. 151 153 154
: Pengolahan dan pengawetan daging, ikan, buah-buahan, sayuran, minyak dan lemak. : Industri penggilingan padi-padian, tepung dan makanan ternak . : Industri makanan lainnya.
Kelompok-2 : Agroindustri Minuman. 155
: Industri minuman.
90 Kelompok-3 : Agroindustri Tembakau. 160 : Industri pengolahan tembakau . Kelompok-4 : Agroindustri Kulit. 181 : Industri pakaian jadi atau barang jadi dari kulit berbulu dan pencelupan bulu. 191 : Industri kulit dan barang jadi dari kulit (termasuk kulit buatan). 192 : Industri alas kaki. Kelompok-5 : Agroindustri Kayu, Rotan dan Bambu. 201 : Industri penggergajian dan pengawetan kayu, rotan, bambu dan sejenisnya. 202 : Industri barang-barang dari kayu, dan barang-barang anyaman dari rotan, bambu dan sejenisnya. 361 : Industri Furnitur. Kelompok-6 : Agroindustri Kertas dan Barang dari Kertas . 210 : Industri kertas, barang dari kertas dan sejenisnya. Kelompok-7 : Agroindustri Karet dan Barang dari Karet. 251 : Industri Karet dan Barang dari Karet. Dengan
memperhatikan
kegiatan
ekonomi
di daerah
dan
keterbatasan data serta informasi di daerah, maka kriteria atau kompetensi yang digunakan dalam MKMKA adalah sebagai berikut: (1) Peraturan di bidang investasi, (2) Peraturan di bidang perdagangan, (3) Fasilitas penunjang bisnis, (4) Kegiatan investasi, (5) Ketersediaan tenaga kerja, (6) Ketersediaan tenaga ahli, (7) Fasilitas pendidikan dan pelatihan, (8) Fasilitas penelitian dan pengembangan, (9) Keberadaan jaringan asosiasi bisnis, (10) Ketersediaan infrastruktur fisik, (11) Dukungan permodalan, (12) Tingkat upah, (13) Pasar domestik, (14) Daya tarik bagi investor asing, (15) Sumber daya alam setempat, (16) Jarak ke pasar utama ekspor. Penilaian terhadap masin g-masing kriteria untuk setiap kelompok agroindustri dilakukan melalui pengumpulan pendapat ahli atau secara subyektif oleh peneliti berdasarkan data statistik dari BPS, kajian dan studi serta laporan-laporan yang menyangkut kegiatan industri dan perdagangan, wawancara dengan para ahli dari dunia usaha maupun akademisi, serta pejabat Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat.
91 Mengacu pada Roberts dan Stimson (1998), maka untuk melakukan analisa kompetensi inti ini, setiap kriteria untuk masingmasing kelompok agroindustri akan diberi peringkat (rank) dan akan diukur secara ordinal dalam tiga skor sebagai berikut : Baik (B)
= 5
Cukup (C)
= 3
Kurang (K) = 1
Selanjutnya, skor pada setiap kolom kelompok agroindustri dijumlahkan dan kemudian dibagi dengan jumlah skor maksimum yang mungkin untuk setiap kelompok agroindustri sehingga diperoleh indeks relatif masing-masing kelompok agroindustri tersebut yang disebut sebagai Indeks Kompetensi Inti Daerah untuk Kelompok Agroindustri (IKIDKA) yang mencerminkan kekuatan ataupun kelemahan kelompok agroindustri di daerah itu. Dari hasil perhitungan indeks IKIDKA dapat disusun ranking agroindustri yang paling didukung oleh kompetensi inti daerah. Indeks Kriteria Kompetensi Inti Daerah (IKKID) diperoleh dengan menjumlahkan skor pada setiap baris dan kemudian dibagi dengan jumlah skor maksimum yang mungkin sehingga diperoleh indeks relatif untuk masing-masing kompetensi yang mencerminkan kekuatan relatif suatu kompetensi di daerah tersebut untuk mendukung pengembangan berbagai kelompok agroindustri. 2) Identifikasi konsentrasi kelompok agroindustri. Analisa dilakukan dengan menggunakan metod e Location Quotient. Data yang digunakan dalam analisa ini adalah data jumlah pekerja dalam setiap kelompok agroindustri yang dikaji untuk tahun 2002. Dengan demikian, maka yang dimaksud dengan Location Quotient dalam penelitian ini adalah rasio antara proporsi jumlah tenaga kerja pada masing-masing kelompok agroindustri yang diteliti pada daerah penelitian dengan jumlah total tenaga kerja pada seluruh agroindustri di daerah penelitian, dengan proporsi antara jumlah tenaga kerja secara nasional pada masing-masing
92 kelompok agroindustri yang diteliti dengan jumlah tenaga kerja pada seluruh
agroindustri nasional.
Analisa
Location
Quotient akan
memberikan hasil berupa besaran location quotient untuk masing-masing kelompok agroindustri di daerah dan urutan peringkatnya. Location Quotient yang lebih tinggi berarti kelompok tersebut lebih terkonsentrasi daripada kelompok yang location quotientnya lebih rendah. Location Quotient yang lebih besar dari 1 dapat berarti bahwa industri yang bersangkutan menghasilkan produksi barang melebihi kebutuhan lokal, sehingga dapat menjual produksinya keluar daerah dan ekspor. Location quotient, berdasarkan jumlah tenaga kerja, yang lebih besar dari 1 belum berarti bahwa industri tersebut merupakan industri yang kompetitif. Harus dilakukan analisa lain seperti Shift-Share analysis untuk memastikan bahwa industri tersebut memang kompetitif dan memiliki tingkat pertumbuhan yang tinggi. 3) Identifikasi pertumbuhan kelompok agroindustri. Metode yang digunakan untuk identifikasi ini adalah analisa Shift-Share, yang dapat memberikan informasi mengenai pertumbuhan suatu kelompok agroindustri pada tahun tertentu dibandingkan dengan tahun referensi sebelumnya. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data jumlah tenaga kerja dalam masing-masing kelompok agroindustri untuk dua tahun referensi (1997 dan 2002), sehingga akan kelihatan apakah terjadi pertumbuhan pada periode tersebut. Yang digunakan untuk analisa pertumbuhan ini adalah komponen differential shift dari rumus Shift-Share (Blakely & Bradshaw 2002), atau disebut juga sebagai komponen regional share (Dinc 2002). Angka differential shift dapat dikonversi menjadi differential shift quotient. Angka yang positif dari differential shift berarti kelompok industri tersebut mengalami pertumbuhan dari tahun referensi sebelumnya. Makin tinggi angka differential shift berarti makin baik pertumbuhannya, yang berarti kelompok ini lebih kompetitif. Output dari analisa ini adalah besarnya differential shift quotient untuk setiap kelompok agroindustri yang dikaji, yang dalam penelitian ini disebut sebagai indeks pertumbuhan industri. Differential shift quotient atau
93 indeks pertumbuhan industri yang tinggi berarti bahwa kelompok agroindustri yang bersangkutan mengalami pertumbuhan yang tinggi. 4) Identifikasi kemampuan ekspor kelompok agroindustri. Analisa mengenai potensi ekspor kelompok agroindustri tidak dapat dilakukan dengan menggunakan angka realisasi ekspor pada tingkat Kabupaten, karena tidak terdapat statistik untuk hal tersebut. Kemampuan ekspor kelompok agroindustri Kabupaten Bogor dilakukan dengan mengumpulkan pendapat 3 orang ahli. Setiap ahli diminta untuk memberikan penilaian dengan peringkat B= Baik (skor=5), C= Cukup (skor=3) dan K= Kurang (skor=1) untuk kemampuan ekspor Kabupaten Bogor ke setiap negara atau kawasan mitra dagang. Pendapat dari ketiga ahli akan diagregasi untuk mendapatkan indeks kemampuan ekspor untuk masing-masing kelompok agroindustri. Negara atau Kawasan mitra dagang Kabupaten Bogor tersebut adalah: 1) Singapura, 2) Malaysia, 3) Asean lainnya, 4) Korea Selatan, 5) China, 6) Taiwan, 7) Jepang, 8) Australia dan New Zealand, 9) Uni Eropa, 10) Amerika Serikat dan Canada, 11) Timur Tengah dan Afrika, 12) Wilayah Indonesia diluar Kabupaten Bogor. 5) Identifikasi keterkaitan kelompok agroindustri dengan industri lain. Analisa keterkaitan ini tidak dapat dilakukan dengan analisa input-output pada tingkat Kabupaten, karena tidak tersedia data untuk maksud ini. Keterkaitan antara kelompok agroindustri dan lapangan usaha lain dilakukan dengan memintakan pendapat 3 (tiga) orang ahli. Setiap ahli akan memberi penilaian dengan peringkat T=Tinggi (skor=5), S=Sedang (skor=3) atau R=Rendah (skor=1), untuk setiap keterkaitan skor dari ketiga ahli akan diagregasi untuk mendapatkan indeks keterkaitan untuk masing-masing kelompok agroindustri. Keterkaitan yang dikaji adalah keterkaitan
antar
kelompok
agroindustri
dan
antara
kelompok
agroindustri dengan lapangan usaha lain yang terdiri dari: 1) Pertanian, 2) Peternakan, 3) Kehutanan, 4) Perikanan, 5) Penerbitan dan Percetakan, 6) Kimia, 7) Perdagangan, 8) Mesin dan Perlengkapan, 9) Transportasi dan Pergudangan, 10) Jasa Keuangan, 11) Jasa Pendidikan dan Pelatihan, 12) Jasa Penelitian dan Pengembangan.
94 6)
Identifikasi nilai tambah pada setiap kelompok agroindustri. Analisa dilakukan dengan menggunakan data nilai tambah untuk setiap kelompok agroindustri untuk tahun referensi 2002. Pembobotan antar kelompok agroindustri dilakukan berd asarkan perbandingan besarnya nilai tambah.
7)
Identifikasi jumlah tenaga kerja pada setiap kelompok agroindustri. Analisa dilakukan dengan menggunakan data jumlah tenaga kerja untuk setiap kelompok agroindustri untuk tahun referensi 2002. Pembobotan antar kelompok agroindustri dilakukan berdasarkan besarnya jumlah tenaga kerja.
8) Pemilihan
Klaster
Agroindustri
Ungggulan.
Pemilihan
klaster
agroindustri unggulan dilakukan dengan metode Analytical Hierarchy Process (AHP). Pada analisa ini ditetapkan 4 tingkatan hierarki. Tingkat1 : Fokus, yaitu Memilih Klaster Agroindustri Unggula Daerah. Tingkat2 : Tujuan, terdiri dari 4 elemen, yaitu : 1) Meningkatkan Pendapatan Pemerintah Daerah, 2) Memperluas Lapangan Kerja dan Pembentukan Usaha Baru, 3) Memperluas Pasar Domestik dan Ekspor, dan 4) Meningkatkan Produktivitas Usaha. Tingkat -3: Kriteria, yang terdiri dari 7 elemen, yaitu: 1) Kompetensi Inti, 2) Konsentrasi Industri, 3) Pertumbuhan Kelompok, 4) Kemampuam Ekspor, 5) Keterkaitan dengan Usaha Lain, 6) Nilai Tambah, dan 7) Jumlah Tenaga Kerja. Tingkat-4: Alternatif, yang terdiri dari tujuh kelompok agroindustri yang telah ditetapkan sebelumnya, yaitu : (1) Kelompok Agroindustri Makanan, (2) Kelompok
Agroindustri
Minuman,
(3)
Kelompok
Agroindustri
Tembakau, (4) Kelompok Agroindustri Kulit, (5) Kelompok Agroindustri Kayu, Rotan dan Bambu, (6) Kelompok Agroindustri Kertas dan Barang dari Kertas, (7) Kelompok Agro industri Karet dan Barang dari Karet. Output dari proses ini adalah terpilihnya peringkat kelompok agroindustri yang akan dikembangkan menjadi klaster agroindustri unggulan daerah. 9) Strukturisasi Sistem Pengembangan Klaster Agroindustri. Strukturisasi dilakukan dengan metode Interpretive Structural Modelling (ISM). Masukan diambil dari hasil identifikasi elemen penting sistem pengembangan klaster agroindustri unggulan daerah, yang dalam
95 penelitian ini terdiri dari 5 elemen, yaitu: (1) Tujuan; (2) Pelaku; (3) Kendala; (4) Aktivitas Dunia Usaha yang dibutuhkan; (5) Peran Pemerintah. Setiap elemen diuraikan lagi atas subelemen yang penting berdasarkan masukan dari para ahli. Terhadap setiap elemen dilakukan proses sesuai dengan metode ISM sehingga diperoleh output untuk setiap elemen. Keluaran dari analisa ini untuk setiap elemen adalah klasifikasi elemen sistem pengembangan yang terdiri dari: (1) Struktur sistem pada setiap elemen, (2) Rank dan hierarki dari subelemen pada setiap elemen, (3) Klasifikasi subelemen pada empat kategori peubah (Eriyatno 1999). 10) Pendapat gabungan mengenai tingkat kepentingan antar subelemen pada elemen Aktivitas Dunia Usaha dan subelemen pada elemen Peran Pemerintah dengan subelemen pada elemen Tujuan dilakukan dengan teknik Independent Preference Evaluation (IPE). Hasil analisa ini memperlihatkan tingkat kepentingan dari masing -masing subelemen pada elemen Aktivitas Dunia Usaha dan elemen Peran Pemerintah berdasarkan agregasi sub elemen Tujuan. 11) Formulasi kebijakan pengembangan klaster agroindustri. Berdasarkan klasifikasi elemen sistem pengembangan yang merupakan output dari proses ISM tersebut dan tingkat kepentingan subelemen yang merupakan output pendapat gabungan melalui teknik IPE, dapat dilakukan tahap penyelesaian lanjutan berupa formulasi kebijakan pengembangan klaster agroindustri unggulan daerah termasuk analisa mengenai kelembagaan dan penetapan indikator pengukuran kinerja klaster, yang akan memberikan output berupa Skenario Pengembangan Klaster Agroindustri di daerah.
V. ANALISA SISTEM
5.1 Agroindustri Nasional Saat Ini Kebijakan
pembangunan
industri
nasional
yang
disusun
oleh
Departemen Perindustrian (2005) dalam rangka mewujudkan visi: Indonesia menjadi Negara Industri Maju Baru Tahun 2005, antara lain menggariskan bahwa dalam jangka menengah peningkatan daya saing industri dilakukan dengan membangun dan mengembangkan klaster-klaster industri prioritas, sedangkan dalam jangka panjang lebih dititik beratkan pada pengintegrasian pendekatan
klaster
dengan
upaya
untuk
mengelola
permintaan
dan
membangun kompetensi inti pada setiap klaster. Dalam kebijakan tersebut ditetapkan pula bahwa industri berbasis agro merupakan salah satu industri yang diprioritaskan pengembangannya dimasa yang akan datang, di samping industri alat angkut dan industri telematika (peralatan telekomunikasi dan teknologi
informasi).
Kinerja
sektor-sektor
agroindustri
dan
industri
pengolahan lainnya di Indonesia untuk tahun 2003 dan 2004 disajikan pada Tabel 5.1 (Departemen Perindustrian 2005).
Tabel 5.1 Kinerja Sektor-Sektor Industri Nasional, Tahun 2003-2004 (Harga Konstan Tahun 2000)
Sektor a. Makanan, Minuman dan Tembakau b. Tekstil Barang Kulit dan Alas Kaki c. Barang Kayu dan Hasil Hutan Lainnya d. Kertas dan Barang Cetakan e. Pupuk, Kimia dan Barang dari Karet f. Semen dan Barang Galian Bukan Logam g. Logam Dasar Besi dan Baja h. Alat Angkut, Mesin dan Peralatan i. Barang Lainnya Sumber : Departemen Perindustrian (2005)
Pertumbuhan (%) 2003 2004 3,69 1,66 6,18 4,23 1,19 -2,01
Kontribusi terhadap PDB (%) 2003 2004 7,45 6,90 3,63 3,38 1,62 1,36
8,41 10,71
7,73 9,14
1,17 4,21
1,30 4,15
7,60
9,56
1,09
1,04
-7,98 8,88 17,73
-2,68 17,65 15,12
0,65 7,34 0,23
0,71 5,52 0,20
97
Dari tabel yang disajikan di atas dapat dilihat bahwa baik pertumbuhan maupun kontribusi terhadap PDB berbagai sektor agroindustri dalam tahun 2004 mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun 2003. Pertumbuhan sektor Makanan, Minuman dan Tembakau turun dari 3,69% menjadi 1,66%, sektor Tekstil, Barang Kulit dan Alas Kaki turun 6,18% menjadi 4,23%, sektor Barang Kayu & Hasil Hutan lainnya turun dari 1,19% menjadi -2,01%, Kertas dan Barang Cetakan turun dari 8,41% menjadi 7,73%. Kontribusi terhadap PDB sektor Makanan, Minuman dan Tembakau turun dari 7,45% menjadi 6,90%, sektor Tekstil, Barang Kulit dan Alas Kaki turun dari 3,63 menjadi 3,63%, sektor Barang Kayu dan Hasil Hutan lainnya turun dari1,62% menjadi 1,36%, Kertas dan Barang Cetakan naik sedikit dari 1,17% menjadi 1,30%. Sementara itu struktur industri nasional non-migas selama kurun waktu 2000–2004 adalah sebagaimana yang disajikan pada Tabel 5.2 (Departemen Perindustrian 2005). Tabel 5.2 Struktur Industri Nasional Non-Migas, Tahun 2000 - 2004 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Total
Sektor Industri Makanan, Minuman dan Tembakau Tekstil, Barang Kulit dan Alas Kaki Barang Kayu dan Hasil Hutan Lainnya Kertas dan Barang Cetakan Pupuk, Kimia dan Barang dari Karet Semen dan Barang Galian bukan Logam Logam Dasar, Besi dan Baja Alat Angkut, Mesin dan Peralatannya Barang Lainnya
2000 33,8 13,2
2001 2002 2003 29,1 30,1 29,9 12,9 14,4 14,8
(%) 2004 28,1 13,8
6,1
7,1
6,1
6,0
5,6
6,0 12,9
4,4 16,0
4,8 15,2
5,2 16,5
5,3 16,9
3,0
3,8
3,9
4,2
4,2
2,7 20,7
2,8 23,1
2,9 21,7
2,6 20,0
2,9 22,5
0,8 0,9 0,9 0,8 0,8 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS), diolah.
Dapat dilihat dari Tabel 5.2 bahwa kontribusi agroindustri makanan, minuman dan tembakau dalam industri nasional menurun dari 33,8% pada
98
tahun 2000 menjadi 28,1% pada tahun 2004, barang kayu dan hasil hutan lainnya turun dari 6,1% pada tahun 2000 menjadi 5,6% pada tahun 2004, dan kertas dan barang cetakan turun dari 6,1% pada tahun 2000 menjadi 5,3% pada tahun 2004. Tekstil, barang kulit dan alas kaki mengalami sedikit peningkatan dari 13,2% pada tahun 2000 menjadi 13,8% pada tahun 2004. Dari kedua tabel yang disajikan di atas dapat dilihat bahwa telah terjadi penurunan peran sektor agroindustri dalam industri nasional yang cukup signifikan, sehingga perlu dilakukan upaya-upaya untuk meningkatkan tingkat pertumbuhan sektor-sektor agroindustri sehingga peranannya dalam struktur industri nasional dapat ditingkatkan. Selanjutnya Kebijakan Industri Nasional 2005 menggariskan pula bahwa untuk menghadapi p ermasalahan yang mendesak yaitu: penyerapan tenaga kerja, pemenuhan kebutuhan dasar dalam negeri, pengolahan hasil pertanian dalam arti luas, maka fokus pembangunan industri dalam lima tahun kedepan adalah penguatan dan penumbuhan klasterklaster industri inti, yaitu: 1) Industri makanan dan minuman; 2) Industri pengo lahan hasil laut; 3) Industri tekstil dan produk tekstil; 4) Industri alas kaki; 5) Industri kelapa sawit; 6) Industri barang kayu (termasuk rotan dan bambu); 7) Industri karet dan barang dari karet; 8) Industri pulp dan kertas; 9) Industri mesin dan peralatan listrik; dan 10) Industri petrokimia. 5.2 Agroindustri di Kabupaten Bogor Pada saat ini di Kabupaten Bogor telah terdapat sejumlah agroindustri yang terdiri dari industri besar, industri sedang, industri kecil, dan industri rumah tangga. Berdasarkan data tahunan untuk industri besar dan industri sedang yang diolah dari data statistik tahunan yang dikeluarkan BPS, maka dapat disusun Tabel 5.3 dan Tabel 5.4 d i bawah ini. Agroindustri di Kabupaten Bogor dapat dikelompokkan ke dalam: 1) Kelompok Makanan (kode KBLI 151, 152, 153 dan 154); 2) Kelompok Minuman (kode KBLI 155); 3) Kelompok Kulit dan Barang dari Kulit (kode KBLI 182, 191, 192); 4) Kelompok Kayu, Rotan dan Bambu (kode KBLI 201, 202, 361); 5) Kelompok Kertas dan Barang dari Kertas (kode KBLI 210); 6) Kelompok Karet dan Barang dari Karet (kode KBLI 251).
99
Tabel 5.3 Jumlah Unit Usaha dan Tenaga Kerja Agroindustri Besar dan Sedang Kabupaten Bogor, Tahun 1999 dan 2002 Kelompok
KBLI Kode 151
152 Makanan 153 154 Minuman
155 182
Kulit
191 192
Kayu, Rotan, Bambu
201
202
361 Kertas, Barang dari Kertas Karet, Barang dari Karet
210
251
Nama Industri pengolahan dan pengawetan daging, ikan, buahbuahan, sayuran, minyak dan lemak Industri susu dan makanan dari susu Industri penggilingan padi-padian, tepung dan makanan ternak Industri makanan lainnya Jumlah Industri minuman Jumlah Indu stri pakaian jadi dan barang jadi dari kulit berbulu dan pencelupan bulu Industri kulit dan barang jadi dari kulit (termasuk kulit buatan) Industri alas kaki Jumlah Industri penggergajian kayu dan pengawetan kayu, rotan, bambu dan sejenisnya Industri barang-barang dari kayu dan barang anyaman dari rotan, bambu dan sejenisnya Industri furnitur Jumlah Industri kertas dan barang dari kertas dan sejenisnya Jumlah Industri karet dan barang dari karet Jumlah
1999 4
Unit Usaha Kenaikan 2002 Jumlah Unit 3 7
Tenaga Kerja Kenaikan 1999 2002 Tenaga Kerja 162 314 152
2
2
0
209
218
9
4
4
0
447
456
9
59 69 14 14 0
52 65 9 9 0
-7 -4 -5 -5 0
7.015 7.823 1.258 1.258 0
7.104 8.092 1.268 1.268 0
89 269 10 10 0
12
13
1
3.165
4.490
1 325
20 32 4
18 31 6
-2 -1 2
6.266 9.431 125
6.249 10.739 672
-17 1 308 547
23
15
-8
2.382
2.246
-136
34 61 16
28 49 13
-6 -12 -3
5.952 8.459 4.003
5.701 8.619 3.889
-251 160 -114
16
13
-3
4.003
3.889
-114
22 22
16 16
-6 -6
5.389 5.389
4.865 4.865
-524 -524
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS), diolah.
Dari Tabel 5.3 terlihat bahwa dalam periode 1999–2002 terjadi penurunan ju mlah perusahaan pada semua kelompok agroindustri di Kabupaten Bogor. Jumlah tenaga kerja pada agroindustri kelompok Makanan, kelompok Minuman, kelompok Kulit, kelompok Kayu, Rotan dan Bambu mengalami sedikit peningkatan, sedang pada kelompok Kertas dan Barang dari Kertas, dan kelompok Karet dan Barang dari Karet mengalami penurunan.
100
Tabel 5.4 Nilai Output dan Nilai Tambah Agroindustri Besar dan Sedang Kabupaten Bogor, Tahun 1999 dan 2002 Kelompok
KBLI Kode
Nama
151
Industri pengolahan dan pengawetan daging, ikan, buahbuahan, sayuran, minyak dan lemak Industri susu dan makanan dari susu Indu stri penggilingan padi-padian, tepung dan makanan ternak Industri makanan lainnya Jumlah Industri minuman Jumlah Industri pakaian jadi dan barang jadi dari kulit berbulu dan pencelupan bulu Industri kulit dan barang jadi dari kulit (termasuk kulit buatan) Industri alas kaki Jumlah Industri penggergajian kayu dan pengawetan kayu, rotan, bambu dan sejenisnya Industri barangbarang dari kayu dan barang anyaman dari rotan, bambu dan sejenisnya Industri furnitur Jumlah Industri kertas dan barang dari kertas dan sejenisnya Jumlah Industri karet dan barang dari karet Jumlah
152 Makanan 153
154
Minuman
155 182
191
Kulit
192 201
Kayu, Rotan, Bambu
202
361 Kertas, Barang dari Kertas Karet, Barang dari Karet
210
251
Nilai Output (000 Rp.) Kenaikan Rata-rata 1999 2002 Per Tahun (%) 459, 26 41.240 2.129
Nilai Tambah (000 Rp.) Kenaikan Rata-rata 1999 2002 Per Tahun (%) 232, 32 11.559 1.123
44.848
196.901
84,76
30.683
99.028
55,69
301. 316
1.108.370
66,96
84.147
316.324
68,98
481. 021
722.917
12,57
209. 518
252.077
5,08
829. 314 251. 148 251. 148 0
2.069.428 151.258 151.258 0
37,38 -9,94 -9,94 0,00
325. 471 182. 653 182. 653 0
678.988 80.396 80.396 0
27,15 -14,00 -14,00 0,00
256. 929
1.390.563
110, 31
173. 044
299.078
18,21
94.365 351. 294 3.150
145.159 1.535.722 38.088
13,46 84,29 277, 29
27.123 200. 167 1.303
69.776 368.854 20.467
39,31 21,07 367, 69
199. 817
602.487
50,38
76.451
262.285
60,77
236. 747 439. 714 1.562. 756
255.131 895.706 1.110.228
1,94 25,93 -7,24
116. 928 194. 682 569. 468
102.984 385.736 306.483
-2,98 24,53 -11,55
1.562.756 875. 641
1.110.228 1.107.990
-7,24 6,63
569. 468 375. 738
306.483 261.912
-11,55 -7,57
875. 641
1.107.990
6,63
375. 738
261.912
-7,57
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS), diolah.
Dari Tabel 5.4 dapat dilihat bahwa dalam periode 1999-2002, kelompok Makanan, kelompok Kulit dan Barang dari Kulit, kelompok Kayu, Rotan dan Bambu, dan kelompok Karet dan Barang dari Karet mengalami peningkatan nilai output yang cukup signifikan, sedang kelompok Minuman dan kelompok Kertas mengalami penurunan nilai output. Apabila dilihat dari nilai tambahnya, maka kelompok Makanan, kelompok Kulit dan Barang dari Kulit, kelompok Kayu, Rotan dan Bambu mengalami peningkatan nilai tambah yang
101
cukup signifikan dengan rata-rata diatas 20% per tahun, sedang kelompok Minuman, kelompok Kertas dan Barang dari Kertas serta kelompok Katret dan Barang dari Karet mengalami penurunan masing-masing rata-rata 14%, 11,55% dan 7,57% per tahun. Di samping industri besar dan sedang yang tercatat dalam statistik BPS, di Kabupaten Bogor terdapat juga banyak agro industri kecil dan rumah tangga. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Prop insi Jawa Barat, adapun jumlah unit usaha, jumlah tenaga kerja dan nilai produksi agroindustri kec il pada tahun 2000 adalah sebagaimana disajikan pada Tabel 5.5. Tabel 5.5 Jumlah Unit Usaha, Jumlah Tenaga Kerja dan Nilai Produksi Industri Kecil Kabupaten Bogo r Tahun 2000 Kelompok
KBLI Kode 151
Makanan
152 153 154
Minuman
155 182
Kulit
191 192
Kayu, Rotan, Bambu
201 202 361 210
Kertas, Barang dari Kertas Karet, Barang dari Karet
251
Nama Industri pengolahan dan pengawetan daging, ikan, buah-buahan, sayuran, minyak dan lemak Industri susu dan makanan dari susu Industri penggilingan padi-padian, tepung dan makanan ternak Industri makanan lainnya Jumlah Industri minuman Jumlah Industri pakaian jadi dan barang jadi dari kulit berbulu dan pencelupan bulu Industri kulit dan barang jadi dari kulit (termasuk kulit buatan) Industri alas kaki Jumlah Industri penggergajian kayu dan pengawetan kayu, rotan, bambu dan sejenisnya Industri barang-barang dari kayu dan barang anyaman dari rotan, bambu dan sejenisnya Industri furnitur Jumlah Industri kertas dan barang dari kertas dan sejenisnya Jumlah Industri karet dan barang dari karet Jumlah
Jumlah Unit Usaha 274
Jumlah Tenaga Kerja 925
Nilai Produksi Rp.000 6.980.000
2 67
9 600
75.000 1.485. 000
1.121 1.464 21 21 0
6.140 7.674 375 375 0
186.873.607 195.413.607 6.495.450 6.495. 450 0
10
370
1.177.000
931 941 0
6.838 7.208 0
23.695.250 24.872.250 0
800
3.413
10.963.250
132 932 13 13
351 3.764 186 186
138.600 11.101.850 0 0
0 0
0 0
0 0
Sumber : Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Barat 2001, diolah.
Kelompok industri kecil Makanan merupakan kelompok yang terbesar dilihat dari jumlah unit usaha, jumlah tenaga kerja dan nilai produksinya, disusul oleh kelompok Kulit dan Barang dari Kulit dan kelompok Kayu, Rotan dan Bambu. Industri kecil Kelompok Minuman dan kelompok Kertas dan Barang dari Kertas tidak signifikan jumlahnya, sedang industri kecil kelompok Karet dan Barang dari Karet tidak tercatat.
102
Identifikasi yang dilakukan dengan menggunakan data industri besar dan industri sedang dari BPS untuk memilih kelompok agroindustri di Kabupaten Bogor yang berpeluang dikembangkan menjadi suatu klaster agroindustri (calon klaster agroindustri), menghasilkan peringkat sebagai berikut : 1. Kelompok agroindustri Makanan (kode KBLI 151, 152, 153, 154). 2. Kelompok agroindustri Kertas dan Barang dari Kertas (kode KBLI 210). 3. Kelompok agroindustri Kayu, Rotan dan Bambu (kode KBLI 201, 202, 361). 4. Kelompok agroindustri Karet dan Barang dari Karet (kode KBLI 251). 5. Kelompok agroindustri Kulit dan Barang dari Kulit (kode KBLI 182, 191, 192). 6. Kelompok agroindustri Minuman (kode KBLI 155). Berdasarkan hasil pemeringkatan ini, maka penelitian difokuskan pada kelompok agroindustri Makanan. Enright (2000) mengidentifikasi adanya beberapa tingkat perkembangan klaster, yaitu : 1) Klaster operasional, adalah klaster dimana telah dicapai critical mass mengenai pengetahuan, keahlian, personil dan sumber daya sehingga terbentuk agglomeration economies yang digunakan oleh perusahaan anggota klaster sebagai keunggulan untuk bersaing dengan perusahaan yang berada diluar klaster. 2) Klaster laten, adalah klaster yang juga telah mencapai critical mass, namun masih belum sepenuhnya berkembang untuk dapat memanfaatkan adanya interaksi dan aliran informasi dalam klaster. Hal ini dapat disebabkan kurangnya pengetahuan mengenai perusahaan lain yang ada di daerah tersebut, kurangnya inetraksi diantara perusahaan -perusahaan dan
diantara
individu-individu,
kurangnya
pemahaman
bersama
mengenai visi masa depan atau kurangnya tingkat kepercayaan diantara perusahaan
untuk
bersama-sama
mencari
dan
mengekploitasi
kepentingan bersama. 3) Klaster potensial, adalah klaster yang telah memiliki beberapa elemen yang diperlukan bagi pengembangan klaster yang sukses, namun
103
terhadap elemen ini masih harus dilakukan pendalaman (deepening ) dan pelebaran (broadening ) agar dapat memanfaatkan adanya aglomerasi. Sering terdapat gap pada input, pelayanan jasa atau aliran informasi yang diperlukan untuk pengembangan klaster. Seperti klaster laten, klaster ini belum memiliki interaksi dan kesadaran yang diperlukan oleh suatu klaster operasional. 4) Klaster “keinginan ”, yaitu klaster yang dipilih oleh pemerintah untuk diberikan dukungan, namun belum mencapai critical mass jumlah perusahaan atau belum memiliki kondisi untuk berkembang sendiri.
Dari aspek tingkat perkembangan ini, maka berdasarkan pengkajian terhadap kelompok agroindustri makanan, dapat diketahui bahwa klaster agroindustri makanan di Kabupaten Bogor ini masih berada pada tingkat klaster potensial, yang masih memer lukan pengembangan lebih lanjut agar dapat menjad i klaster operasional. Untuk mengetahui jenis produk yang dihasilkan oleh kelompok agroindustri makanan tersebut, maka ditelusuri lebih lanjut mengenai komposisi berdasarkan ko de KBLI 5-digit yang memperlihatkan hasil yang disajikan pada Tabel 5.6. Tabel 5.6 Komposisi dan Kinerja Agroindustri Makanan KBLI 5-digit Kabupaten Bogor Tahun 2002 No
KBLI
Industri
1 2
15131 15132
3 4
15133 15141
5 6 7 8 9 10
15211 15213 15331 15410 15432 15440
11 12 13 14
15491 15493 15494 15495
15 16 17
15496 15497 15499
Industri pengalengan buah-buahan dan sayuran Industri pengasinan dan pemanisan buah-buahan dan sayuran Industri pelumatan buah-buahan dan sayuran Industri minyak kasar (minyak makan) dari nabati dan hewani Industri susu Industri es krim Industri rasum pakan ternak dan ikan Industri roti dan sejenisnya Industri makanan dari coklat dan kembang gula Industri makaroni, mie, spagheti, bihun, so’un dan sejenisnya Industri pengolahan teh Industri kecap Industri tempe Industri makanan dari kedele dan kacangkacangan lainnya selain kecap dan tempe Industri kerupuk dan sejenisnya Industri bumbu masak dan penyedap masakan Industri makanan yang tidak diklasifikasikan di tempat lain
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS), diolah.
Unit Usaha 2 3
Tenaga Kerja 105 77
2.202.251 987.689
Nilai Tambah 1.121.730 446.413
1 1
100 32
4.592.254 33.458.343
2.152.900 7.837.760
1 1 4 15 3 6
193 25 456 1,709 956 855
195.804.593 1.096.400 1.108.370.549 223.719.636 116.373.404 134.922.112
98.582.084 445.568 316.324.389 66.137.605 40.394.824 35.369.457
6 2 3 1
2 574 70 63 50
193.785.854 13.264.534 2.546.460 2.590.250
90.612.030 3.396.536 821.016 998.800
11 2 3
452 93 282
8.316.694 15.832.398 11.566.008
3.469.681 7.053.450 3.823.368
Output
104
Untuk pengembangan lebih lanjut dari klaster makanan ini, maka perlu dilakukan pengkajian mengenai industri inti dari klaster ini yang diharapkan bisa menggerakkan klaster ini lebih lanjut mencapai tingkat perkembangan klaster laten dan berikutnya menjadi klaster operasional. Industri inti pada kelompok ini adalah industri 5-digit dengan LQ > 1. Pengkajian lebih lanjut pada industri 5-digit yang memiliki LQ > 1 pada kelompok ini dengan menggunakan kriteria-kriteria: jumlah unit usaha, jumlah tenaga kerja dan nilai tambah, menghasilkan urutan industri inti klaster berikut: 1) Industri pengolahan teh (kode 15491); 2) Industri roti dan sejenisnya (kode 15410); 3) Industri ransum pakan ternak dan ikan (kode 15331); 4) Industri makaroni, mie, spagheti, bihun dan sejenisnya (kode 15440); 5) Industri makanan dari coklat dan kembang gula (kode 15432); 6) Industri susu (kode 15211); 7) Industri pengasinan dan pemanisan buah buahan (kode 15132); 8) Industri pengolahan buah -buahan dan sayuran (kode 15131); 9) Industri pelumat buah -buahan dan sayuran (kode 15133). 5.3 Analisa Kebutuhan Analisa kebutuhan dilakukan untuk mengidentifikasi kebutuhan para pihak yang berkepentingan dalam perancangan model Strategi Pengembangan Klaster Agroindustri Unggulan dimaksud. Dalam perancangan model ini terdapat dua tahapan penting yang berurutan, yang masing-masing dapat dilihat sebagai suatu sistem yaitu: 1) tahap pemilihan kelompok agroindustri sebagai calon klaster agroindustri unggulan; dan 2) tahap strukturisasi sistem pengembangan agroindustri unggulan. Pada kedua tahapan ini perlu dilakukan upaya-upaya
untuk
dapat
memenuhi
kebutuhan
para
pihak
yang
berkepentingan (stakeholders). Pada tahap pemilihan kelompok agroindustri sebagai
calon
klaster
agroindustri
unggulan,
pihak
yang
berkepentingan adalah: 1) Pemerintah Daerah, dan 2) Pengusaha
sangat Industri
yang terdiri dari pengusaha industri inti pada kelompok agroindustri, industri terkait dan industri pendukung. Sedang pada tahap strukturisasi sistem pengembangan agroindustri unggulan, pihak-pihak yang berk epentingan adalah: 1) Perusahaan industri inti klaster; 2) Perusahaan-perusahaan terkait;
105
3) Perusahaan -perusahaan pendukung; 4) Pemerintah daerah; 5) Lembaga Keuangan; 6) Lembaga Pendidikan dan Pelatihan; 7) Lembaga Penelitian dan Pengembangan; 8) Lembaga Pengujian, Standard isasi dan Sertifikasi; 9) Asosiasi Produsen; 10) Eksportir . Sistem pengembangan akan efektif apabila kebutuhan dari masingmasing pelaku dapat diakomodir secara maksimal. Inventarisasi kebutuhan setiap pelaku berdasarkan masukan pendapat ahli dan kajian adalah sebagaimana disajikan pada Tabel 5.7.
Tabel 5.7
Kebutuhan Pelaku Pengembangan Klaster Agroindustri Unggulan Daerah
No 1
Pelaku Industri inti klaster
2
Industri terkait
3
Industri pendukung
4
Pemerintah daerah
5
Lembaga keuangan
6
Lembaga pendidikan dan pelatihan Lembaga Penelitian dan pengembangan Lembaga pengujian, standardisasi dan sertifikasi
7 8
9
Asosiasi produsen
10
Eksportir
Kebutuhan 1. Pasar domestik dan ekspor 5. Tenaga kerja yang sesuai berkembang 6. Bahan baku tersedia 2. Produktivitas meningkat 7. Keterkaitan dengan usaha lain 3. Iklim usaha yang baik 8. Permodalan terpenuhi 4. Infrastruktur yang cukup 9. Nilai tambah per tenaga kerja tinggi 1. Pasar yang berkembang 5. Tenaga kerja yang sesuai 2. Produktivitas meningkat 6. Bahan baku tersedia 3. Iklim usaha yang baik 7. Permodalan terpenuhi 4. Infrastruktur yang cukup 1. Pasar yang berkembang 5. Tenaga kerja yang sesuai 2. Produktivitas meningkat 6. Bahan baku tersedia 3. Iklim Usaha yang baik 7. Permodalan terpenuhi 4. Infrastruktur yang cukup 1. Perluasan lapangan kerja 3. Kerjasama antar pelaku 2. Peningkatan pendapatan 4. Sumber daya dari daerah setempat 1. Perluasan usaha dan pasar 3. Pengembalian kredit lancar 2. Usaha- usaha baru berkembang 1. Jumlah tenaga kerja 2. Kebutuhan tenaga bermacam meningkat keterampilan 1. Kualitas produk meningkat 2. Diversifikasi produk meningkat 1. Kesadaran mutu meningkat 3. Kesadaran kelestarian 2. Kesadaran atas keselamatan lingkungan tinggi dan kesehatan kerja 1. Kerjasama yang baik dengan Pemerintah 2. Kerjasama dan saling percaya yang baik antara pelaku 1. Harga yang kompetitif 2. Mutu yang baik
3. Akses ke permodalan 4. Akses ke teknologi dan informasi 3. Delivery yang tepat
106
5.4 Formulasi Permasalahan Permasalahan
yang
teridentifikasi
dalam
sistem
pengembangan
agroindustri unggulan daerah adalah sebagai berikut : 1) Belum berfungsiny a kelembagaan yang dibutuhkan bagi pengembangan klaster. 2) Masih kurangnya keterkaitan baik vertikal maupun horisontal antara pelaku industri inti, industri terkait dan industri pendukung di dalam klaster. Kekurangan ini berdampak pada tingkat produktivitas yang dapat dicapai oleh klaster. 3) Keterbatasan dalam penguasaan informasi pasar dan kemampuan untuk memperluas pasar ekspor. 4) Belum terbentuknya jaringan kerjasama d i bidang produksi, pemasaran, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan antara para pelaku industri dalam klaster dan antara para pelaku industri dengan institusi lain dalam klaster. 5) Masih terb atasnya akses kepada permodalan manajemen dan teknologi. 5.5 Identifikasi Sistem Untuk melakukan rekayasa model strategi pengembangan klaster agroindustri
unggulan
daerah,
perlu
dilakukan
pengenalan
mengenai
keterkaitan dan atau pengaruh antar kebutuhan dari elemen-elemen sistem yang terlibat dalam sistem. Identifikasi sistem pengembangan disajikan dalam bentuk diagram lingkar sebab-akibat (causal loop diagram) sebagaimana dalam Gamb ar 5.1.
107
+ +
+
Kerjasama antar Pelaku
+
Usaha Baru
+
Alih Iptek
+
Iklim Usaha
+
Pembangunan Infrastruktur
+
Tabungan Masyarakat
Pemanfaatan SDA Daerah
+
+ +
+ Pendapatan Masyarakat
+ -
+
+ +
Kelestarian Lingkungan
Investasi
Memperluas Lapangan Kerja
+
+ +
Penerimaan Devisa
+ +
Pendapatan Pemda
+
Pengembangan Klaster Agroindustri Unggulan Daerah
+
+
+
Produktivitas
+
+
+ +
+
Daya Saing
Nilai Tambah
Keterkaitan antar Sektor
+
+
+ Kemampuan Inovasi
Volume Ekspor
+
Diversifikasi Produksi
Gambar 5.1 Diagram Sebab-Akibat Sistem Pengembangan Klaster Agroindustri Unggulan Daerah
Diagram ini memperlihatkan suatu rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan dengan pernyataan khusus d ari masalah yang harus dipecahkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut (Eriyatno 1999). Pada Gambar 5.2 disajikan Diagram Input-Output yang menggambarkan hubungan antara masukan (input) dengan keluaran (output) dari rekayasa model strategi pengembangan klaster agroindustri daerah melalui proses transformasi yang digambarkan dengan kotak hitam. Input terdiri dari input yang terkendali dan input yang tidak terkendali. Output terbagi atas output yang
dikehendaki
Pengendalian
dan
melalui
output
yang
pengaturan
tidak
input
dikehendaki.
terkendali
dapat
Manajemen melakukan
pengendalian terhadap pengoperasian sistem untuk menghasilkan output yang dikehendaki dan untuk menghindari atau mengurangi output yang tidak dikehendaki.
108
INPUT LINGKUNGAN - Globalisasi perdagangan - Peraturan pemerintah - Kondisi sosial ekonomi masyarakat INPUT TIDAK TERKENDALI - Persaingan usaha - Permintaan pasar - Karakteristik daerah - Nilai tukar rupiah - Perubahan teknologi
OUTPUT DIKEHENDAKI 1. Memperluas lapangan kerja 2. Bertumbuhnya usaha baru 3. Meningkatnya produktivitas 4. Memperluas pasar 5. Meningkatnya keterkaitan 6. Meningkatnya pemanfaatan SDA daerah 7. Meningkatnya kemampuan inovasi
SIS TEM PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI UNGGULAN DAERAH INPUT TERKENDALI 1. Kelembagaan usaha 2. Peraturan daerah 3. Infrastruktur usaha 4. Pembinaan usaha 5. Kegiatan litbang
OUTPUT TIDAK DIKEHENDAKI 1. Persaingan tidak sehat 2. Kerjasama tidak seimbang 3. Pendapatan tidak seimbang 4. Kesenjangan modal
MANAJEMEN PENGENDALIAN
Gambar 5.2 Diagram Input-Output Sistem Pengembangan Klaster Agro industri Unggulan Daerah
Output yang dikehendaki dari sistem pengembangan agroindustri unggulan daerah adalah : bertambah luasnya lapangan kerja, bertumbuhnya usaha-usaha baru, meningkatnya produktivitas, bertambah luasnya pasar, meningkatnya keterkaitan antar industri, meningkatnya pemanfaatan sumber daya alam daerah dan meningkatnya kemampuan inovasi.
VI. PEMODELAN SISTEM
6.1 Konfigurasi Model Model strategi pengembangan klaster agroindustri unggulan daerah dirancang dalam bentuk perangkat lunak Sistem P enunjang Keputusan (SPK) berbasis komputer yang diberi nama Model StraKlas. Model ini dapat digunakan oleh Pemerintah Daerah, pelaku industri dan pihak terkait lainnya untuk
membantu
proses pengambilan keputusan penyusunan
strategi
pengembangan klaster agroindustri unggulan daerah. Paket program Model StraKlas dirancang dengan bahasa pemograman Microsoft Visual Basic Versi 6.0. Model ini terdiri dari tiga komponen utama yaitu sistem manajemen basis model, basis data dan dialog. Konfigurasi Sistem Pendukung Keputusan Strategi Pengembangan Klaster Agroindustri Unggulan Daerah adalah sebagaimana yang tersaji pada Gambar 6.1. DATA
MODEL
Sistem Manajemen Basis Data - Jumlah Unit Usaha - Jumlah Tenaga Kerja - Nilai Tambah - Nilai Output - Nilai Ekspor - Klasifikasi KBLI - Pendapat Ahli
Sistem Manajemen Basis Model - Kompetensi Inti - Konsentrasi Industri - Pertumbuhan - Kemampuan Ekspor - Keterkaitan Usaha - Nilai Tambah - Tenaga Kerja - Pemilihan Agroindustri Unggulan - Industri Inti Klaster - Strukturisasi Sistem - Tingkat Kepentingan Subelemen - Kinerja Klaster
Sistem Pengolahan Terpusat
Sistem Manajemen Dialog PENGGUNA
Gambar 6.1 Konfigurasi Sistem Pendukung Keputusan Strategi Pengembangan Klaster Agroindustri Unggulan Daerah
110 6.2 Sistem Manajemen Basis Model Sistem Manajemen Basis Model (Model Based Management System atau MBMS) dalam Model StraKlas terdiri dari kelompok: (1) untuk Pemilihan Kelompok Agroindustri Unggulan; (2) untuk Strukturisasi Sistem Pengembangan Klaster; (3) untuk Pengukuran Kinerja Klaster. Kelompok model Pemilihan Kelompok Agroindustri diranc ang untuk mendapatkan peringkat kelompok agroindustri yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai klaster agroindustri unggulan daerah. Model dirancang dari keluaran sub model: (1) Kompetensi Inti; (2) Konsentrasi Ind ustri; (3) Tingkat Pertumbuhan; (4) Kemampuan Ekspor; (5 ) Keterkaitan Usaha; (6) Jumlah Tenaga Kerja; (7) Nilai Tambah. Model Strukturisasi Sistem Pengembangan Klaster merupakan model deskriptif yang dirancang untuk mendapatkan keterkaitan hubungan antara pelaku dalam mengembangkan klaster agroindustri unggulan tersebut. Model Pengukuran Kinerja Klaster dirancang untuk memonitor perkembangan klaster agroindustri yang sudah ditetapkan untuk dikembangkan sebagai klaster agroindustri unggulan daerah. Keluaran dari model ini akan memberikan
informasi
mengenai
kinerja
klaster
yang
meliputi:
(1)
Peningkatan Tenaga Kerja; (2) P eningkatan Jumlah Perusahaan; (3 ) Peningkatan Nilai Investasi; (4) Peningkatan Nilai Penjualan ; (5) Peningkatan Nilai Tambah; (6) Peningkatan Nilai Tambah per Tenaga Kerja. 6.2.1 Model Kompetensi Inti Model ditujukan untuk mengidentifikasi kompetensi inti yang dimiliki oleh daerah untuk mendukung pengembangan suatu kelompok agroindustri tertentu di daerah tersebut dan melakukan pembobotan kompetensi inti untuk masing-masing kelompok agroindustri tersebut. Berdasarkan masukan dari para ahli, maka kriteria dari kompetensi inti daerah mencakup 16 kriteria, yaitu: (1) Peraturan di bidang investasi; (2) Peraturan di bidang perdagangan; (3) Fasilitas penunjang bisnis; (4) Kegiatan investasi; (5) Ketersediaan tenaga kerja; (6) Ketersediaan tenaga ahli; (7) Fasilitas pendidikan dan pelatihan; (8) Fasilitas penelitian dan pengembangan; (9) Keberadaan jaringan asosiasi
111 bisnis; (10) Ketersediaan infrastruktur fisik; (11) Dukungan permodalan; (12 ) Tingkat Upah; (13 ) Pasar domestik; (14) Daya tarik bagi investor asing; (15) Sumber daya alam setempat; (16) Jarak ke pasar utama ekspor. Proses identifikasi dilakukan melalui pengumpulan pendapat ahli dengan langkah-langkah sebagai berikut: (1) Kelompok agroindustri yang akan dinilai adalah kelompok makanan, kelompok minuman, kelompok tembakau, kelompok kulit, kelompok kayu rotan dan bambu, kelompok kertas, dan kelompok karet; (2) Kriteria yang digunakan adalah 16 kriteria sebagaimana yang telah diuraikan di atas; (3) Para ahli diminta memberikan peringkat setiap kriteria untuk masing-masing kelompok agroindustri dengan peringkat: Baik (skor=5), Sedang (skor=3) dan Kurang (skor=1); (4) Penilaian para ahli untuk setiap kriter ia diagregasi dengan mengambil rata-rata geometriknya; (5) Dilakukan penghitungan ind eks kompetensi inti untuk masing-masing kelompok agroindustri dengan cara membandingkan jumlah nilai rata-rata geometrik setiap kriteria terhadap nilai maksimum yang mungkin dicapai; (6) Dilakukan penentuan bobot kompetensi inti untuk setiap kelompok agroindustri. Model Kompetensi Inti pada setiap kelompok agroindustri disajikan dalam Gambar 6.2.
Inisialisasi pakar, alternatif, dan kriteria
Pengisian Matriks Pendapat untuk pakar i, alternatif j, dan kriteria k dengan skala s i=1–m j=1–n k = 1– p ijk s = 1– S
V
Mulai
Prosedur rata-rata geometrik untuk memperoleh pendapat agregat
(Ajk)
Penentuan indeks Kompetensi Inti Alternatif (KIj)
m
A jk = m ∏Vijk
p
KI j =
i =1
∑A k =1
jk
S*p
Penentuan bobot Kompetensi Inti Alternatif (wKI j) Selesai
Tampilkan hasil bobot Kompetensi Inti
wKI j =
p
∑A
m
k =1 n
jk
p
∑∑∑V i =1 j =1 k =1
Gambar 6.2 Diagram Alir Model Kompetensi Inti
ijk
112 6.2.2 Model Konsentrasi Industri Model Konsentrasi Industri ditujukan untuk mengidentifikasi tingkat konsentrasi masing-masing kelompok agroindustri di daerah dan menghitung bobot tingkat konsentrasi industri ini untuk masing-masing kelompok agroindustri. Urutan langkah identifikasi adalah: (1) Menetapkan alternatif kelompok agroindustri yang akan di-identifikasi; (2) Menghit ung Location Quotient dari masing-masing kelompok agroindustri; (3) Menghitung bobot dari masing-masing kelompok agroindustri. Diagram alir model ini adalah seperti yang disajikan dalam Gambar 6.3. Inisialisasi alternatif kelompok agroindustri
Jumlah tenaga kerja alternatif ke-i pada tingkat kabupaten (K i) Jumlah tenaga kerja alternatif ke-i pada tingkat nasional (N i)
Mulai
Perhitungan proporsi tenaga kerja setiap alternatif pada masing tingkat kabupaten (PK i) dan tingkat nasional (PNi) PKi =
Ki
PN i =
n
∑K i =1
i
Ni n
∑N
i
i =1
Tampilkan hasil bobot LQ Selesai
Penentuan LQ setiap alternatif (LQi) PKi LQi = PNi
Penentuan bobot LQ Alternatif (wLQi)
wLQ i =
LQ i
n
∑ LQ i =1
i
Gambar 6.3 Diagram Alir Model Konsentrasi Industri 6.2.3 Model Tingkat Pertumbuhan Model Tingkat Pertumbuhan dimaksudkan untuk mengidentifikasi perbedaan tingkat pertumbuhan dari masing-masing kelompok agroindustri daerah terhad ap tingkat pertumbuhan agro industri secara nasional dan menghitung bobot dari perbedaan tingkat pertumbuhan dari setiap kelompok industri tersebut. Yang ditetapkan sebagai ind ikator untuk maksud ini adalah komponen differential shift dari rumus Shift Share Analysis. Komponen ini memberikan gambaran mengenai tingkat pertumbuhan kelompok agro industri
113 tertentu di daerah dan dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan agro industri secara nasional. Langkah identifikasi perbedaan tingkat pertumbuhan adalah: (1) Menetapkan alternatif kelompok agroindustri; (2) Menghitung tingkat pertumbuhan setiap alternatif kelompok agroindustri pada tingkat daerah dan tingkat pertumbuhan agroindustri secara nasional; (3) Menghitung komponen differential shift masing-masing kelompok; (4) Menghitung bobot differential shift dari masing-masing kelompok agroindustri. Diagram alir model ini diperlihatkan pada Gambar 6.4. Inisialisasi alternatif kelompok agroindustri
Mulai
Jumlah tenaga kerja alternatif ke-i pada tingkat kabupaten tahun referensi ke-1 (K1i)
Jumlah tenaga kerja alternatif ke-i pada tingkat nasional tahun referensi ke-1 (N1i)
Jumlah tenaga kerja alternatif ke-i pada tingkat kabupaten tahun referensi ke-2 (K2i)
Jumlah tenaga kerja alternatif ke-i pada tingkat nasional tahun referensi ke-2 (N2i)
Hitung Pertumbuhan tenaga kerja setiap alternatif pada tingkat kabupaten (PKi) dan tingkat nasional (PNi) K 2i − K1i N 2i − N1i PKi = PNi = K1i N1i Perhitungan Differential Shift Share untuk masing-masing alternatif( DSi) DSi = PKi − PNi
Perhitungan rata-rata jangkauan differential shift share (RJ) Max( DSi ) − Min( DSi ) Tampilkan hasil bobot differential shift share
RJ =
Perhitungan bobot differential shift share
wDS i = Selesai
Perhitungan nilai differential shift setiap alternatif
(NDS i)
1, Jika DSi < Min ( DSi ) + RJ 2, Jika Min (DSi ) + RJ ≤ DSi < Min (DSi ) + 2 ⋅ RJ NDSi = 3, Jika Min ( DSi ) + RJ ≤ DSi < Min ( DSi ) + 3 ⋅ RJ Μ n, Jika DSi ≥ Min (DSi ) + n ⋅ RJ
NDS i n
∑ NDS i =1
5
i
Gambar 6.4 Diagram Alir Model Tingkat Pertumbuhan 6.2.4 Model Kemampuan Ekspor Model dirancang untuk mengidentifikasi kemampuan ekspor (termasuk “ekspor” keluar daerah ke daerah Indonesia lainnya) kelompok-kelompok agroindustri
di daerah
yang
diteliti.
Identifikasi
dilakukan
melalui
pengumpulan pendapat ahli. Para ahli dimintakan pendapatnya mengenai kemampuan untuk mengekspor produk dari masing-masing kelompok
114 agroindustri daerah ke negara-negara mitra dagang Indonesia dan daerah Indonesia lainnya. Kelompok agroindustri yang ditetapkan sebagai alternatif adalah: (1) Makanan; (2) Minuman; (3) Tembakau; (4) Kulit; (5) Kayu, Rotan dan Bambu; (6) Kertas; (8) Karet. Negara tujuan ekspor yang merupakan mitra dagang Indonesia sebagai kriteria adalah: (1) Singapura; (2) Malaysia; (3) ASEAN lainnya; (4) Korea Selatan; (5) China; (6) Taiwan; (7) Jepang; (8) Australia dan New Zealand; (9) Uni Eropa; (10) Amerika Serikat dan Canada; (11) Timur Tengah dan Afrika; (12) Daerah Indonesia lainnya. Proses identifikasi melalui pengumpulan pendapat ahli dilakukan dengan langkah-langkah berikut: (1) Para ahli diminta memberikan peringkat masingmasing produk kelompok agroindustri untuk diekspor ke masing-masing negara mitra dagang Indonesia, dengan peringkat: Baik (skor=5), Sedang (skor=3) dan Kurang (skor=1); (2) Penilaian para ahli diagregasi dengan mengambil rata-rata geometriknya; (3) Dilakukan penghitungan indeks kemampuan ekspor untuk masing-masing kelompok agroindustri dengan cara membandingkan jumlah nilai rata-rata geometrik setiap kriteria terhadap jumlah nilai maksimum yang mungkin dicapai; (4) Dilakukan penentuan bobot kemampuan ekspor untuk setiap kelompok agroindustri. Diagram alir Model Kemampuan Ekspor disajikan pada Gambar 6.5.
Inisialisasi pakar, alternatif, dan kriteria
Pengisian Matriks Pendapat untuk pakar i, alternatif j, dan kriteria k dengan skala s i=1–m j=1–n k = 1– p ijk s = 1– S
V
Mulai
Prosedur rata-rata geometrik untuk memperoleh pendapat agregat
(Ajk)
A jk =
(KEj )
m
m
∏V i =1
Penentuan indeks Kemampuan Ekspor Alternatif p
KE j =
ijk
∑A k =1
jk
S* p
Penentuan bobot Kompetensi Inti Alternatif (wKE j) p Selesai
Tampilkan hasil bobot Kemampuan Ekspor
wKE j =
∑A
m
k =1 n
jk
p
∑∑∑V i =1 j =1 k =1
Gambar 6.5 Diagram Alir Model Kemampuan Ekspor
ijk
115 6.2.5 Model Keterkaitan dengan Usaha Lain Rancangan
model
dimaksudkan
untuk
mengidentifikasi
tingkat
keterkaitan relatif setiap kelompok agroindustri dengan usaha-usaha di sektor ekonomi lainnya. Kelompok agroindustri yang dievaluasi sebagai alternatif adalah sama dengan kelompok agroindustri pada model-model yang dibahas terdahulu. Sebagai krit eria adalah kelompok agroindustri dan sektor-sektor kegiatan ekonomi lainnya, yaitu: (1) Makanan; (2) Minuman; (3) Tembakau ; (4) Kulit; (5) Kayu, Rotan, Bambu; (6) Kertas; (7) Karet; (8) Tekstil; (9) Pertanian; (10) Peternakan; (11) Kehutanan; (12) Perikan an; (13) Penerbitan dan Percetakan; (14) Industri Kimia; (15) Perdagangan; (16) Mesin dan Perlengkapan; (17 ) Transportasi dan Pergudangan; (18) Jasa Keuangan; (19 ) Jasa Pendidikan dan Pelatihan; (20) Jasa Penelitian dan Pengembangan. Proses identifikasi melalui pengumpulan pendapat ahli dilakukan dengan langkah-langkah berikut: (1) Para ahli diminta memberikan peringkat keterkaitan
masing-masing
kelompok
agroindustri
dengan
kelompok
agroindustri lain dan sektor kegiatan eko nomi lainnya, dengan peringkat: Baik (skor=5), Sedang (skor=3) dan Kurang (skor=1); (2) Penilaian diagregasi
dengan
mengambil
rata-rata
geometriknya;
(3)
para ahli Dilakukan
penghitungan indeks keterkaitan usaha untuk masing-masing kelompok agroindustri dengan cara membandingkan jumlah nilai rata-rata geometrik setiap kriteria terhadap jumlah nilai maksimum yang mungkin dicapai; (4) Dilakukan penentuan bobot keterkaitan usaha untuk setiap kelompok agroindustri. Diagram alir Model Keterkaitan dengan Usaha Lain disajikan pada Gambar 6.6.
116 Inisialisasi pakar, alternatif, dan kriteria
Pengisian Matriks Pendapat untuk pakar i, alternatif j, dan kriteria k dengan skala s i=1–m j=1–n k = 1– p ijk s = 1– S
V
Mulai
Prosedur rata-rata geometrik untuk memperoleh pendapat agregat
(Ajk)
Penentuan indeks Keterkaitan Usaha Alternatif (KUj)
m
A jk = m ∏Vijk
KE j =
p
∑A k =1
jk
S* p
i =1
Penentuan bobot Keterkaitan Usaha Alternatif Selesai
Tampilkan hasil bobot Keterkaitan Usaha
(wKEj) p
wKE j =
∑A m
k =1 n
jk
p
∑ ∑∑V i =1 j =1 k =1
ijk
Gambar 6.6 Diagram Alir Model Keterkaitan dengan Usaha Lain 6.2.6 Model Jumlah Tenaga Kerja Model ini dimaksudkan untuk menghitung bobot setiap kelompok agroindustri untuk faktor Tenaga Kerja. Sebagai alternatif dalam model ini adalah kelompok agroindustri: (1) Makanan; (2) Minuman; (3) Tembakau; (4) Kulit; (5) Kayu, Rotan, Bambu; (6) Kertas; dan (7) Karet. Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, maka jumlah tenaga kerja yang digunakan dalam model adalah rata-rata jumlah tenaga kerja beberapa tahun terakhir pada setiap kelompok agroindustri. Langkah -langkah yang dilakukan adalah: (1) Menetapkan alternatif kelompok agroindustri dan periode analisa; (2) Menghitung rata-rata jumlah tenaga kerja pada setiap alternatif untuk periode yang dipilih; (3) Menentukan bobot setiap kelompok agroindustri untuk faktor tenaga kerja. Diagram alir Model Jumlah Tenaga Kerja disajikan pada Gambar 6.7.
117 Inisialisasi alternatif, wilayah, dan periode analisa
Penetapan jumlah tenaga kerja pada wilayah i, alternatif j, dan periode k i=1–m j=1–n ijk k=1–p
V
Selesai
Mulai Perhitungan rata-rata jumlah tenaga kerja setiap alternatif pada masing-masing wilayah
(A )
p
ij
A ij =
∑V k =1
Tampilkan hasil bobot Tenaga Kerja
ijk
p Penentuan bobot Tenaga Kerja Alternatif (wTKij)
wTKij =
Aij n
∑A
ij
j=1
Gambar 6.7 Diagram Alir Model Jumlah Tenaga Kerja 6.2.7 Model Nilai Tambah Model ini dimaksudkan untuk menghitung bobot setiap kelompok agroindustri untuk faktor Nilai Tambah. Sebagai alternatif dalam model ini adalah kelompok agroindustri: (1) Makanan; (2) Minuman; (3) Tembakau; (4) Kulit; (5) Kayu, Rotan, Bambu; (6) Kertas; dan (7) Karet. Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, maka jumlah tenaga kerja yang digunakan dalam model adalah rata-rata nilai tambah beberapa tahun terakhir pada setiap kelompok agroindustri. Langkah-langkah yang dilakukan adalah : (1) Menetapkan alternatif kelompok agroindustri dan periode analisa; (2) Menghitung rata-rata jumlah nilai tambah pada setiap alternatif untuk periode yang dipilih; (3) Menentukan bobot setiap kelompok agroindustri untuk faktor Nilai Tambah. Diagram alir Model Nilai Tambah disajikan pada Gambar 6.8.
118
Inisialisasi alternatif, wilayah, dan periode analisa
Penetapan nilai tambah pada wilayah i, alternatif j, dan periode k i=1–m j=1–n ijk k=1–p
V
Selesai
Mulai
Perhitungan rata-rata nilai tambah setiap alternatif pada masing-masing wilayah
(A )
p
ij
A ij =
∑V k =1
Tampilkan hasil bobot Nilai Tambah
ijk
p Penentuan bobot Nilai Tambah Alternatif
(wNTij)
wNTij =
Aij n
∑A
ij
j =1
Gambar 6.8 Diagram Alir Model Nilai Tambah
6.2.8 Model Pemilihan Kelompok Agroindustri Unggulan Model ini dirancang untuk memilih kelompok agroindustri unggulan daerah yang akan dikembangkan sebagai klaster agroindustri unggulan daerah. Model direkayasa dengan menggunakan teknik Analytical Hierarchy Process (AHP) dengan melakukan tahapan-tahapan berikut: (1) Dekomposisi terhadap program pemilihan kelompok agroindustri unggulan daerah dengan mengacu pada hasil kajian pustaka, konsultasi dengan para ahli dan pihak terkait serta penelitian lapangan; (2) Menetapkam hierarki dan elemen pada setiap hierarki; (3) Mengidentifikasi ada-tidaknya hubungan antara masingmasing elemen pada suatu hierarki dengan elemen -elemen pada hierarki dibawahnya. Pada model ini dimungkinkan bahwa tidak semua elemen pada suatu hierarki mempunyai hubungan dengan elemen pada hierarki diatasnya; (3) Melakukan comparative judgement, yaitu membuat penilaian setiap ahli tentang kepentingan relatif sepasang (dua) elemen pada suatu tingkat hierarki tertentu dengan setiap elemen yang ada hubungan pada hierarki diatasnya; (4) Menentukan peringkat elemen-elemen pada suatu tingkat hierarki menurut
119 relatif pentingnya terhadap elemen-elemen hierarki diatasnya melalui teknik pairwise comparison, yang akan menghasilkan prioritas lokal (local priority) suatu elemen. Pada model ini direkayasa agar peringkat elemen dapat juga dilakukan berdasarkan masukan langsung (direct input) tanpa proses pairwise comparison; (5) Melakukan pemeriksaan atas in deks konsistensi (consistency index) dan ratio konsistensi (consistency ratio). Apabila memenuhi ketentuan maka proses dilanjutkan, sedang apabila tidak memenuhi ketentuan maka dilakukan proses iterasi atas pendapat ahli yang bersangkutan; (6) Menyusun matriks gabungan pendapat ahli dari matriks individu setiap ahli dan melakukan pemeriksaan indeks konsistensi dan ratio konsistensi serta proses iterasi apabila diperlukan; (7) Melakukan pengolahan untuk menyusun prioritas pengaruh setiap elemen pada setiap tingkat hierarki terhadap hierarki paling puncak. Melalui proses tahapan -tahapan tersebut di atas akan diperoleh peringkat kelompok agroindustri unggulan daerah. Model ini tidak membatasi banyaknya tingkatan hierarki dan jumlah elemen pada setiap hierarki. Pada model ini dimungkinkan pula keadaan dimana tidak semua elemen pada tingkat hierarki tertentu harus mempunyai hubungan dengan semua elemen hierarki diatasnya. Diagram alir Model Pemilihan Kelompok Agroindustri Unggulan disajikan dalam Gambar 6.9.
120 Inisialisasi pakar, hirarki, dan elemen pada setiap hirarki
Mulai
Pengisian pendapat pakar secara berpasangan untuk setiap elemen
Matriks Pairwise Comparison
Perhitungan eigen vektor pada setiap hirarki Pengolahan prioritas lokal Perhitungan indeks konsistensi (CI) Kompetensi inti, konsentrasi industri, pertumbuhan kelompok, kemampuan ekspor, keterkaitan usaha, tenaga kerja, nilai tambah
Perhitungan rasio konsistensi (CR) Tidak
Konsisten? Ya Penyusunan matriks gabungan
Perhitungan bobot
Perhitungan indeks konsistensi dan rasio konsistensi gabungan
Konsisten?
Bobot kompetensi inti, konsentrasi industri, pertumbuhan kelompok, kemampuan ekspor, keterkaitan usaha, tenaga kerja, nilai tambah
Tidak
Ya Pengolahan vertikal
Prioritas kelompok agroindustri
Selesai
Gambar 6.9 Diagram Alir Model Pemilihan Kelompok Agroindustri Unggulan
121 6.2.9 Model Identifikasi Industri Inti Klaster Model ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi agroindustri 5-digit KBLI 2000 yang dapat ditetapkan sebagai agroindustri inti pada kelompok agroindustri unggulan yang diteliti. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, kelompok-kelompok
agroindustri
yang
diteliti
merupakan
kelompok-
kelompok yang terdiri dari satu atau beberapa agroindustri 3-digit KBLI 2000. Dengan mengetahui agroindustri inti pada kelompok ini, maka dapat dilakukan analisa-analisa lanjutan yang diperlukan. Identifikasi dilakukan menghitung ind eks atau bobot komposit kriteria dari setiap alternatif. Sebagai alternatif untuk analisa ini adalah semua agroindustri 5-digit KBLI yang termasuk dalam kelompok agroindustri unggulan dengan LQ > 1. Kriteria yang ditetapkan untuk analisa adalah: (1) Jumlah Perusahaan; (2) Jumlah Tenaga Kerja; (3) Nilai Tambah. Langkah langkah yang dilaksanakan adalah: (1) Memilih kelompok agroindustri 5-digit yang memiliki LQ > 1 sebagai alternatif; (2) Menetapkan kriteria dan memasukkan bobot kriteria; (3) Memasukkan nilai setiap kriteria untuk setiap alternatif; (4) Menghitung indeks atau bobot kriteria untuk setiap alternatif; (5) Menghitung indeks atau bobot komposit kriteria untuk setiap alternatif. Alternatif yang memiliki indeks atau bobot terbesar adalah agroindustri yang berperan sebagai industri inti. Diagram alir model diperlihatkan pada Gambar 6.10. Mulai
Selesai
Masukkan alternatif Industri (A i) dengan LQ >=1 i = 1…m
Hitung Nilai Indeks Alternatif (wAi)
Masukkan kriteria (Kj ) beserta bobotnya (B j) j = 1…n
Hitung Nilai indeks kriteria (Cij)
Masukkan nilai setiap alternatif untuk setiap kriteria
V ij
wA i = ∑ (B j • C ij )
Hitung Total Nilai untuk setiap kriteria (TNj)
n
j =1
C ij =
V ij TN m
TN j = ∑Vij i=1
Gambar 6.10 Diagram Alir Model Indentifikasi Industri Inti Klaster
j
122 6.2.10 Model Strukturisasi Sistem Pengembangan Klaster Model ini dirancang dengan tujuan untuk menstrukturisasi elemen sistem pengembangan klaster agroindustri unggulan daerah. Masukan model berasal dari pengumpulan pendapat ahli. Elemen pengembangan klaster agroindustri
dapat
dikelompokkan
menjadi
sekurang-kurangnya
lima
kelompok elemen yaitu: (1) Elemen Tujuan; (2) Elemen Pelaku; (3) Elemen Peran Pemerintah; (4) Elemen Aktivitas Dunia Usaha; (5) Elemen Kendala. Masing-masing elemen diuraikan lagi atas sub-sub elemen yang penting. Struktur sistem dinyatakan dalam hierarki dan klasifikasi sistem yang dihasilkan dari proses strukturisasi elemen sistem dengan menggunakan teknik Interpretive Stru ctural Modelling (ISM). Diagram alir model adalah sebagaimana yang diperlihatkan pada Gambar 6.11.
Mulai Inisialisasi pakar, elemen, dan sub elemen
Pengisian matriks pendapat pakar ke-i, sub elemen j dalam kaitannya dengan sub elemen k i=1–m j=1–n ijk k=1–p
V
Perhitungan rata-rata aritmatik pendapat
Modifikasi Structural Self Interaction Matrix
m
A
jk
=
∑V i =1
ijk
Transformasi ke reachability matrix
m Tidak
Modifikasi Pendapat
Pendapat Transitif? Ya
Tampilkan Elemen kunci, struktur, dan grafik dependency – driver power.
Selesai
Gambar 6.11 Diagram Alir Model Strukturisasi Sistem Pengembangan Klaster Tahapan proses pemodelan adalah sebagai berikut: (1) Inisialisasi pakar, elemen dan subelemen; (2) Pengisian matriks penilaian setiap pakar mengenai hubungan kontekstual antara subelemen pada setiap elemen; (3) Perhitungan
123 rata-rata pendapat pakar dan penyususnan Structural Self-Interaction Matrix (SSIM); (4) Transformasi SSIM menjadi Reachability Matrix (RM); (5) Perhitungan aturan Transivity dan koreksi; (6) Modifikasi SSIM apabila diperlukan; (7) Menampilkan sub elemen kunci, struktur subelemen dan penggambaran grafis dalam koordinat Driver-Power-Dependence. 6.2.11 Model Tingkat Kepentingan Subelemen Model ini dirancang untuk mengetahui tingkat kepentingan dari masingmasing subelemen pada elemen Peran Pemerintah dan elemen Aktivitas Dunia Usaha berdasarkan agregasi kriteria (subelemen) Tujuan. Setiap kegiatan pada elemen Peran Pemerintah dan elemen Aktivitas Dunia Usaha mempunyai tingkat kepentingan yang tidak sama terhadap setiap kriteria (subelemen) pada elemen Tujuan. Dari model ini akan dapat diketahui subelemen mana dari elemen Peran Pemerintah yang memiliki tingkat kepentingan yang tinggi terhadap pencapaian Tujuan, demikian pula mengenai subelemen mana dari elemen Aktivitas Dunia Usaha yang memiliki tingkat kepentingan yang tinggi untuk pencapaian Tujuan. Masukan model diperoleh dari pengumpulan pendapat ahli dan diproses dengan teknik fuzzy Multi Expert Multi Criteria Decision Making. Diagram alir model adalah sebagaimana yang disajikan pada Gambar 6.12. Mulai
Iinisialisasi • Skala Penilaian (Sh) ; h = 1 – q • Pakar/Pengambil Keputusan (P i) ; i = 1 – r • Alternatif (Aj) ; j = 1 – s • Kriteria (K k) dan Bobot Kriteria (B k); k = 1 to t
Selesai
Agregasi pakar untuk memperoleh skor alternatif
wAj = max [vij ∧ wi ] i =1 ,..., r
Hitung bobot OWA setiap pakar Pengisian matriks pendapat pakar ke – i terhadap alternatif ke – j berdasarkan kriteria ke – k (M ijk)
Perhitungan negasi bobot kriteria Neg B k = q – B k + 1
q − 1 wi = int 1 + i r Agregasi kriteria untuk memperoleh skor alternatif ke – j oleh pakar ke – i
vij = kmin [Neg Bk ∨ M ijk ] =1,...,q
Gambar 6.12 Diagram Alir Model Tingkat Kepentingan Peran Pemerintah dan Aktivitas Dunia Usaha
124 Tahapan proses pada model adalah sebagai berikut: (1) Inisisalisasi pakar, skala, penilaian, alternatif dan kriteria; (2) Pengisian matriks pendapat setiap pakar terhadap alternatif untuk setiap kriteria; (3) Perhitungan negasi bobot kriteria; (4) Agregasi kriteria untuk memperoleh skor setiap alternatif; (5) Menghitung bobot pendapat setiap pakar dengan metode OWA; (6) Melakukan agregasi pendapat pakar untuk memperoleh skor setiap alternatif. 6.2.12 Model Pengukuran Kinerja Klaster Model ini dimaksudkan untuk mengikuti perkembangan klaster industri dalam kaitannya dengan dengan intervensi dan kebijakan-kebijakan yang diambil Pemerintah Daerah untuk mendukung pengembangan klaster industri. Indikator yang digunakan dalam model ini haruslah indikator yang dapat diukur secara b erkala (tahunan) dengan menggunakan data statistik yang tersedia atau data yang relatif mudah diperoleh melalui survei lapangan. Untuk model ini dipilih indikator: (1) Peningkatan jumlah tenaga kerja klaster; (2) Peningkatan jumlah perusahaan klaster; (3) Peningkatan jumlah investasi klaster; (4) Peningkatan nilai penjualan klaster; (5) Peningkatan nilai tambah klaster; (6) Peningkatan nilai tambah per tenaga kerja. Langkah yang dilakukan adalah: (1) Memasukkan angka-angka jumlah tenaga kerja, jumlah perusahaan, nilai investasi, nilai penjualan, dan nila i tambah untuk seluruh perusahaan dalam klaster pada awal periode monitoring; (2) Memasukkan angka-angka jumlah tenaga kerja, jumlah perusahaan, nilai investasi, nilai penjualan, dan nilai tambah perusahaan dalam klaster pada akhir periode monitoring; (3) Menghitung peningkatan jumlah tenaga kerja, peningkatan jumlah perusahaan, peningkatan nilai investasi, peningkatan nilai penjualan, peningkatan nilai tambah, dan peningkatan nilai tambah per tenaga kerja. Diagram alir model disajikan pada Gambar 6.13.
125
Jumlah tenaga kerja periode ke-i (TKi) Jumlah perusahaan periode ke-i (PRi) Nilai investasi periode ke-i (INi) Nilai penjualan periode ke-i (PJi) Nilai tambah periode ke-i (NTi)
Mulai
Peningkatan tenaga kerja ke-i = (TKi – TKi-1)/ TKi-1 Peningkatan jumlah perusahaan periode ke-i = (PRi – PRi-1)/ PR i-1 Peningkatan nilai investasi periode ke-i = (INi – INi-1)/ INi-1 Peningkatan nilai penjualan periode ke-i = (PJi – PJi-1 )/ PJi-1 Peningkatan nilai tambah periode ke-i = (NTi – NTi-1 )/ NTi-1 Peningkatan nilai tambah per tenaga kerja periode ke-i = (NT i /TKi) –(NT i-1 /TKi-1 )/ (NT i-1/TKi-1)
Tampilkan peningkatan tenaga kerja ke-i Tampilkan peningkatan jumlah perusahaan periode ke-i Tampilkan peningkatan nilai investasi periode ke-i Tampilkan peningkatan nilai penjualan periode ke-i Tampilkan peningkatan nilai tambah periode ke-i Tampilkan peningkatan nilai tambah per tenaga kerja periode ke-i
Selesai
Gambar 6.13 Diagram Alir Konfigurasi Model Pengukuran Kinerja Klaster 6.3 Sistem Manajemen Basis Data Sistem Manajemen Basis Data (Data Base Management System atau DBMS) merupakan salah satu komponen Sistem Penunjang Keputusan yang terdiri dari basis data dan program pengelola untuk menambah, menghapus, mengambil dan membaca data. Pada dasarnya DBMS melakukan tiga fungsi utama, yaitu menyimpan data pada data base, pencarian kembali data dari data base dan pengaturan data pada data base. Melalui DBMS maka akses dan pengambilan data dapat cepat dilakukan. Basis data dalam model StraK las mencakup berbagai data mengenai perusahaan agroindustri pada klasifikasi 3 dan 5 digit KBLI yang ada di Kabupaten, Propinsi maupun seluruh Indonesia, yang mencakup antara lain : jumlah unit usaha, jumlah tenaga kerja, nilai tambah, biaya input, nilai output.
126 6.4 Sistem Manajemen Dialog Sistem manajemen dialog adalah komponen SPK yang dirancang untuk memfasilitasi interface antara pengguna dengan sistem. Sistem manajemen dialog berfungsi mengatur arus informasi input dan output, dan berfungsi untuk mentransformasi input dari pengguna menjadi bahasa yang bisa dibaca oleh DBMS dan MBMS. Sistem manajemen dialog ini juga menterjemahkan output dari DBMS dan MBMS serta Sistem Ahli ke dalam bentuk yang dapat dimengerti oleh pengguna. Komponen ini oleh sebagian pakar SPK (Turban 1993) dianggap komponen yang paling penting pada suatu SPK karena kemampuan, fleksibilitas dan kemudahan penggunaan dari suatu sistem SPK bersumber dari komponen ini. 6.5 Pendapat Ahli Di dalam SPK pada umumnya, pendapat ahli digunakan untuk membantu pengambil keputusan mendapatkan input untuk berbagai model yang digunakan, dan juga untuk mengolah data guna mendapatkan alternatifalternatif keputusan yang terbaik. Di dalam model StraKlas, pendapat ahli digunakan sebagai input untuk: penilaian kompetensi inti daerah, penilaian kemampuan ekspor dari produk-produk kelompok agroindustri, penilaian keterkaitan usaha antara kelompok agroindustri dengan sektor usaha lain, identifikasi dan penyusunan struktur dan hierarki dalam analisa AHP, penilaian pairwise comparison antar subelemen dalam analisa AHP, identifikasi elemen dalam proses ISM, hubungan kontekstual dalam proses ISM dan penyusunan Structural Self Interaction Matrix (SSIM) dalam proses ISM.
VII. VALIDASI DAN VERIFIKASI MODEL
7.1 Pengelompokan Agroindustri Penentuan
industri-industri
yang
dapat
membentuk
suatu
klaster
agroindustri mengacu pula kepada pendapat Rosenfeld (1995) yang menyatakan bahwa suatu klaster industri terdiri dari industri-industri yang mirip (similar) yang berkelompok di suatu daerah tertentu, dan definisi UNIDO (OECD 1999) yang menyatakan bahwa istilah klaster dimaksudkan untuk menunjukkan adanya spesialisasi sektoral dan konsentrasi geografis dari perusahaan industri. Berdasarkan hal tersebut di atas, dan mengacu pada data industri di Kabupaten Bogor (BPS Kab. Bogor 2002, BPS Jakarta 2002), maka pengelompokan agroindustri yang dapat membentuk klaster agroindustri di daerah ini adalah mengikuti pengelompokan KBLI 2000 (Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Industri) seperti yang disajikan dalam Tabel 7.1. Data industri yang terdapat dalam KBLI 2000 hanya mencakup Industri Besar (tenaga kerja > 100 orang) dan Industri Sedang (tenaga kerja antara 20 sampai dengan 99 orang). Untuk Industri Rumah Tangga (1 sampai dengan 4 tenaga kerja) dan Industri Kecil (5 sampai dengan 19 tenaga kerja) tidak ada data yang sesuai dengan klasifikasi KBLI 2000, sehingga dalam analisa yang dilakukan untuk penelitian ini belum diperhitungkan keberadaan industri rumah tangga dan industri kecil. Tabel 7.1 Pengelompokan Agroindustri Kabupaten Bogor, Tahun 2002 Kelompok
1. Makanan 2. Minuman 3. Kulit
4. Kayu, Rotan dan Bambu 5. Kertas,dan barang dari kertas 6. Karet,dan barang dari karet
Kode 151 152 153 154 155 182 191 192 201 202 361 210 251
Sumber: diolah dari data BPS 2002.
KBLI Nama Industri pengolahan dan pengawetan daging, ikan, sayuran, minyak dan lemak Industri susu dan makanan dari susu Industri penggilingan padi-padian, tepung dan makanan ternak Industri makanan lainnya Industri minuman Industri pakaian jadi dan barang jadi dari kulit berbulu dan pencelupan bulu Industri kulit dan barang dari kulit (termasuk kulit buatan) Industri alas kaki Industri penggergajian kayu dan pengawetan kayu, rotan, bambu dan sejenisnya Industri barang-barang dari kayu dan barang anyaman dari rotan, bambu dan sejenisnya Industri furnitur Industri kertas dan barang dari kertas dan sejenisnya Industri karet dan barang dari karet
128
Dalam pengelompokan agro industri di atas, tidak tercantum Industri Pengolahan Tembakau (kode KBLI 160) dan Industri Kapuk (kode KBLI 174) karena kedua industri tersebut memang tidak ada di Kabupaten Bogor. Sedang Industri Pemintalan, Pertenunan, Pengolahan Akhir Tekstil (kode KBL I 171), Industri Barang Jadi Tekstil dan Permadani (kode KBLI 172), dan Industri Perajutan (kode KBLI 173) tidak dimasukkan dalam pengertian agroindustri karena produk-produk tersebut bagian terbesarnya adalah merupakan bahan kimia atau sintetis. 7.2 Model Kompetensi Inti Identifikasi kompetensi inti daerah untuk setiap kelompok agroindustri dilakukan dengan Model Kompetensi Inti yang dirancang berdasarkan metode MSQA. Setiap kriteria dari kompetensi inti daerah dinilai oleh 3 (tiga) orang ahli dengan memberikan skor untuk masing-masing kriteria sebagai berikut: Baik (skor=5), Sedang (skor=3), dan Kurang (skor=1). Setelah itu dilakukan agregasi pendapat ahli dengan menghitung rata-rata geometriknya, dan dilanjutkan dengan perhitungan indeks kompetensi inti dan pembobotan berdasarkan indeks kompetensi inti daerah tersebut. Matriks agregat pendapat ahli dan hasil pembobotan disajikan pada Tabel 7.2. Tabel 7.2 Matriks Agregat Pendapat Ahli dan Bobot Kompetensi Inti Kode K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 K12 K13 K14 K15 K16 Indeks Bobot Peringkat
A1 3,5569 3,5569 2,9240 2,4662 4,2172 4,2172 4,2172 4,2172 2,9240 2,4662 2,4662 3,5569 4,2172 3,5569 4,2172 3,5569 0,7042 0,2009 1
A2 2,4662 2,4662 3,5569 2,4662 3,5569 3,5569 3,5569 3,5569 2,4662 2,4662 2,4662 3,5569 4,2172 3,5569 4,2172 3,5569 0,6461 0,1843 3
A3 2,4662 2,4662 2,4662 3,5569 4,2172 3,0000 3,0000 3,0000 2,4662 2,0801 2,4662 2,0801 3,5569 1,4422 2,0801 2,4662 0,5351 0,1526 5
A4 2,4662 1,7100 2,9240 2,0801 2,9240 2,9240 4,2172 4,2172 2,9240 2,4662 2,4662 2,0801 3,5569 2,4662 1,0000 2,4662 0,5361 0,1529 4
A5 2,4662 2,4662 2,4662 1,4422 2,4662 1,4422 2,0801 2,0801 1,7100 1,4422 2,4662 2,4662 4,2172 1,7100 1,4422 2,4662 0,4354 0,1242 6
A6 3,5569 3,5569 2,9240 2,0801 2,9240 5,0000 5,0000 5,0000 5,0000 2,4662 2,4662 2,4662 2,0801 2,4662 2,4662 2,4662 0,6490 0,1851 2
129
Keterangan : A1 = Makanan A2 = Minuman A3 = Kulit A4 = Kayu, Rotan dan Bambu A5 = Kertas dan barang dari kertas A6 = Karet dan barang dari karet
K1 = Peraturan di bidang investasi K2 = Peraturan di bidang perdagangan K3 = Fasilitas penunjang bisnis K4 = Kegiatan investasi K5 = Ketersediaan tenaga kerja K6 = Ketersediaan tenaga ahli K7 = Fasilitas pendidikan dan pelatihan K8 = Fasilitas penelitian dan pengembangan K9 = Keberadaan jaringan asosiasi bisnis K10 = Ketersediaan infrastruktur fisik K11 = Dukungan permodalan K12 = Tingkat upah K13 = Pasar domestik K14 = Daya tarik bagi investor K15 = Sumber daya alam setempat K16 = Jarak pasar utama ekspor
Tampilan Model Kompetensi Inti disajikan pada Lampiran 6. 7.3 Model Konsentrasi Industri Identifikasi Konsentrasi Industri untuk setiap kelompok agroindustri dilakukan dengan Model Konsentrasi Industri. Proses identifikasi dilakukan dengan analisa Location Quotient untuk menghitung Location Quotient (LQ) masing-masing kelompok agroindustri, dilanjutkan dengan pembobotan dari LQ setiap kelompok. LQ yang lebih tinggi berarti industri bersangkutan lebih terkonsentrasi. Masukan bagi model ini adalah data kuantitatif berupa jumlah tenaga kerja pada masing-masing kelompok ag roindustri yang diteliti untuk Kabupaten Bogor dan seluruh Indonesia yang diperoleh dari BPS. Data yang digunakan dalam analisa adalah data pada tahun 2002. Input yang digunakan dalam model ini (Gambar 6.3) sebagai mana pada Tabel 7.3 adalah sebagai berikut : -
Ki = Jumlah tenaga kerja pada setiap kelompok agroindustri yang dimaksud pada subbab 7.1 pada tingkat Kabupaten Bogor.
-
Ni = Jumlah tenaga kerja pada setiap kelompok agroindustri yang dimaksud pada subbab 7.1 pada tingkat Indonesia (Nasional).
130
Tabel 7.3 Jumlah Tenaga Kerja Kabupaten dan Nasional Tahun 2002 Kelompok Agroindustri Kabupaten 1. Makanan 8.092 2. Minuman 1.268 3. Kulit 10.739 4. Kayu, Rotan dan Bambu 8.619 5. Kertas dan barang dari kertas 3.889 6. Karet dan barang dari karet 4.865
(Orang) Nasional 540.834 23.476 262.238 543.957 94.896 151.776
Hasil verifikasi Model Konsentrasi Industri disajikan pada Tabel 7.4. Tabel 7.4 Nilai dan Bobot LQ Agroindustri di Kabupaten Bogor Kelompok Agroindustri
Regional Tenaga
Proporsi
Kerja
Nasional Tenaga
LQ
Proporsi
Nilai
Bobot
Peringkat
Kerja
1. Makanan
8.092
0,2159
540.834
0,3344
0,6457
0,0753
6
2. Minuman
1.268
0,0338
23.476
0,0145
2,3310
0,2717
1
10.739
0,2866
262.238
0,1622
1,7673
0,2060
3
8.619
0,2300
543.957
0,3364
0,6838
0,0797
5
3.889
0,1038
94.896
0,0587
1,7686
0,2061
2
4.865
0,1298
151.776
0,0939
1,3833
0,1612
4
37.472
1,0000
1.617.177
1,0000
8,5799
1,0000
3. Kulit 4. Kayu, Rotan dan Bambu 5. Kertas dan barang dari kertas 6. Karet dan barang dari karet Grand Total
Tampilan Model Konsentrasi Industri disajikan pada Lampiran 6. 7.4 Model Tingkat Pertumbuhan Identifikasi tingkat pertumbuhan untuk setiap kelompok agroindustri dilakukan dengan Model Tingkat Pertumbuhan. Proses identifikasi dilakukan dengan analisa Shift-Share untuk menghitung komponen differential shift masingmasing kelompok agroindustri, dilanjutkan dengan pembobotan dari differential shift dari setiap kelompok. Komponen differential shift yang tinggi berarti pertumbuhan industri daerah bersangkutan lebih baik dari pertumbuhan industri pada daerah yang dijadikan referensi. Masukan bagi model ini adalah data kuantitatif berupa jumlah tenaga kerja pada masing-masing kelompok agroindustri
131
yang diteliti untuk Kabupaten Bogor dan seluruh Indonesia yang diperoleh dari BPS. Data yang digunakan dalam analisa adalah data tahun 1999 dan tahun 2002 sebagaimana yang terdapat pada Tabel 7.5. Pengolahan data pada model ini (Gambar 6.4) menggunakan variabel sebagai berikut : -
K1i = Jumlah tenaga kerja pada setiap kelompok agroindustri yang dimaksud pada subbab 7.1 di Kabupaten Bogor pada tahun 1999.
-
K2i = Jumlah tenaga kerja pada setiap kelompok agroindustri yang dimaksud pada subbab 7.1 di Kabupaten Bogor pada tahun 2002.
-
N1i = Jumlah tenaga kerja pada setiap kelompok agroindustri yang dimaksud pada subbab 7.1 pada tingkat Indonesia (Nasional) untuk tahun 1999.
-
N2i = Jumlah tenaga kerja pada setiap kelompok agroindustri yang dimaksud pada subbab 7.1 pada tingkat Indonesia (Nasional) untuk tahun 2002.
Tabel 7.5 Jumlah Tenaga Kerja Agroindustri di Kabupaten Bogor dan Nasional, Tahun 1999 dan 2002 Kabupaten Tenaga Tenaga Kerja Kerja 1999 2002 1. Makanan 7.823 8.092 2. Minuman 1.258 1.268 3. Kulit 9.431 10.739 4. Kayu, Rotan dan Bambu 8.459 8.619 5. Kertas dan barang dari kertas 4.003 3.889 6. Karet dan barang dari karet 5.389 4.865 Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS), diolah. Kelompok Agroindustri
Nasional Tenaga Tenaga Kerja Kerja 1999 2002 548.126 540.834 23.104 23.476 283.372 262.238 603.462 543.957 99.391 94.896 128.445 151.776
Hasil verifikasi Model Tingkat Pertumbuhan disajikan pada Tabel 7.6. Tabel 7.6 Bobot Tingkat Pertumbuhan (Komponen Differential Shift) Kelompok Agroindustri 1. Makanan 2. Minuman 3. Kulit 4. Kayu, Rotan dan Bambu 5. Kertas dan barang dari kertas 6. Karet dan barang dari karet
Nilai 4 3 5 5 4 1
Weighted Differential Shift Skala Bobot Tinggi 0,1818 Sedang 0,1364 Sangat tinggi 0,2273 Sangat tinggi 0,2273 Tinggi 0,1818 Sangat rendah 0,0455
Tampilan Model Tingkat Pertumbuhan disajikan pada Lampiran 7.
Peringkat 2 3 1 1 2 4
132
7.5 Model Kemampuan Ekspor Identifikasi kemampuan ekspor untuk setiap kelompok agroindustri dilakukan dengan Model Kemampuan Ekspor. Proses identifikasi dilakukan melalui pengumpulan pendapat ahli. Setiap negara atau wilayah yang potensial sebagai pasar ekspor dinilai oleh 3 (tiga) orang ahli dengan memberikan skor untuk masing-masing negara atau wilayah sebagai berikut: Baik (skor=5), Sedang (skor=3), dan Kurang (skor=1). Agregasi pendapat ahli dilakukan dengan menghitung rata-rata geometriknya, dan dilanjutkan dengan perhitungan indeks kemampuan ekspor setiap alternatif dan pembobotan berdasarkan indeks kemampuan ekspor tersebut. Matriks pendapat agregat ahli dan hasil pembobotan kemampuan ekspor disajikan pada Tabel 7.7. Tabel 7.7 Matrik Agregat Pendapat Ahli dan Bobot Kemampuan Ekspor Kode K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 K12 Index Bobot Peringkat
A1 3,5569 3,0000 3,5569 2,0801 3,0000 3,0000 2,4662 3,5569 2,0801 3,5569 4,2172 5,0000 0,6512 0,1699 2
A2 3,5569 3,5569 3,5569 2,0801 2,0801 3,0000 4,2172 2,0801 2,0801 3,0000 4,2172 5,0000 0,6404 0,1671 4
A3 2,4662 2,9240 2,4662 2,9240 2,9240 1,7100 2,4662 1,7100 1,7100 1,7100 2,4662 3,0000 0,4746 0,1238 6
A4 2,4662 3,5569 3,5569 2,4662 3,5569 2,4662 2,4662 3,5569 3,5569 2,4662 3,5569 5,0000 0,6445 0,1681 3
A5 2,9240 2,4662 4,2172 3,5569 1,7100 1,7100 2,9240 3,5569 3,5569 2,4662 4,2172 3,0000 0,6051 0,1579 5
A6 4,2172 2,9240 2,9240 3,5569 5,0000 4,2172 5,0000 3,5569 4,2172 4,2172 4,2172 5,0000 0,8175 0,2133 1
Keterangan : A1 = Makanan A2 = Minuman A3 = Kulit A4 = Kayu, Rotan dan Bambu A5 = Kertas dan barang dari kertas A6 = Karet dan barang dari karet
K1 = Singapura K2 = Malaysia K3 = ASEAN lainnya K4 = Korea Selatan K5 = China K6 = Taiwan K7 = Jepang K8 = Australia dan New Zaeland K9 = Uni Eropa K10 = Amerika Serikat dan Canada K11 = Timur Tengah K12 = Industri di luar Kabupaten Bogor Tampilan Model Kemampuan Ekspor disajikan pada Lampiran 7.
133
7.6 Model Keterkaitan dengan Usaha Lain Keterkaitan kelompok agroindustri dengan usaha lain diidentifikasi dengan Model Keterkaitan dengan Usaha Lain. Sektor usaha lain yang terkait dipilih dengan mengacu pada KBLI 2000 dan diskusi dengan ahli. Setiap kelompok agroindustri akan dinilai keterkaitannya dengan 19 sektor kegiatan ekonomi lain melalui pendapat ahli. Keterkaitan dengan masing-masing sektor usaha lain tersebut dinilai oleh 3 (tiga) orang ahli dengan memberikan skor untuk masingmasing kriteria sebagai berikut: Baik (skor= 5), Sedang (skor=3), dan Kurang (skor=1). Selanjutnya dilakukan agregasi pendapat ahli dengan menghitung ratarata geometriknya, dan dihitung indeks keterkaitan setiap alternatif. Kemudian dilakukan pembobotan berdasarkan indeks keterkaitan tersebut. Matriks pendapat agregat ahli dan hasil pembobotan disajikan pada Tabel 7.8. Tabel 7.8 Matrik Agregat Pendapat Ahli dan Bobot Keterkaitan Usaha Lain Kode K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 K12 K13 K14 K15 K16 K17 K18 K19 Index Bobot Peringkat
A1 3,0000 3,5569 1,0000 1,0000 2,0801 1,0000 1,0000 5,0000 4,2172 1,0000 5,0000 3,0000 3,5569 5,0000 4,2172 4,2172 4,2172 4,2172 5,0000 0,6450 0,1889 1
A2 3,5569 1,0000 1,0000 1,0000 2,0801 1,0000 1,0000 4,2172 1,7100 1,0000 1,0000 2,0801 2,0801 4,2172 4,2172 4,2172 4,2172 2,9240 4,2172 0,4919 0,1441 6
A3 1,0000 1,0000 5,0000 1,4422 1,4422 1,4422 1,4422 1,4422 5,0000 1,0000 1,7100 2,0801 4,2172 4,2172 4,2172 3,5569 4,2172 3,5569 3,5569 0,5425 0,1589 4
A4 1,0000 1,0000 1,4422 5,0000 2,9240 1,7100 1,4422 1,4422 1,0000 5,0000 1,0000 2,0801 3,0000 5,0000 4,2172 4,2172 4,2172 4,2172 5,0000 0,5780 0,1693 3
A5 2,0801 2,0801 1,4422 2,9240 5,0000 1,4422 2,0801 2,4662 1,4422 5,0000 1,4422 5,0000 5,0000 4,2172 3,5569 4,2172 4,2172 2,4662 2,4662 0,6162 0,1805 2
A6 1,0000 1,0000 1,4422 1,7100 1,4422 5,0000 1,0000 2,9240 1,0000 2,0801 1,0000 2,0801 3,5569 4,2172 4,2172 4,2172 4,2172 4,2172 5,0000 0,5402 0,1582 5
134
Keterangan : A1 = Makanan A2 = Minuman A3 = Kulit A4 = Kayu, Rotan dan Bambu A5 = Kertas dan barang dari kertas A6 = Karet dan barang dari karet
K1 = Makanan K2 = Minuman K3 = Kulit K4 = Kayu, Rotan dan Bambu K5 = Kertas dan barang dari kertas K6 = Karet dan barang dari karet K7 = Tekstil K8 = Pertanian K9 = Peternakan K10 = Kehutanan K11 = Perikanan K12 = Penerbitan dan Percetakan K13 = Kimia K14 = Perdagangan K15 = Mesin dan Perlengkapan K16 = Transportasi dan Pergudangan K17 = Jasa Keuangan K18 = Jasa Pendidikan dan Pelatihan K19 = Jasa Penelitian dan Pengembangan
Tampilan Model Keterkaitan dengan Usaha Lain disajikan pada Lampiran 8. 7.7 Model Jumlah Tenaga Kerja Identifikasi bobot tenaga kerja untuk setiap kelompok agroindustri dilakukan dengan Model Jumlah Tenaga Kerja. Masukan untuk model ini adalah jumlah tenaga kerja pada setiap kelompok agroindustri. Untuk mengurangi pengaruh fluktuasi tenaga kerja terhadap hasil pembobotan, maka digunakan angka rata-rata jumlah tenaga kerja untuk 4 tahun terakhir, yaitu tahun 1999, 2000, 2001, 2002. Hasil pembobotan disajikan pada Tabel 7.9. Tabel 7.9 Jumlah Tenaga Kerja dan Bobot Tenaga Kerja
A1 A2 A3 A4 A5 A6
1999
2000
2001
2002
Rata-rata
(Orang)
(Orang)
(Orang)
(Orang)
(Orang)
Bobot Peringkat
7.823 9.798 8.137 8.092 8.462,50 0,2186 1.258 1.922 1.231 1.268 1.419,75 0,0367 9.431 9.018 10.990 10.739 10.044,50 0,2595 8.459 12.350 8.399 8.619 9.456,75 0,2443 4.003 4.790 4.728 3.889 4.352,50 0,1124 5.389 4.801 4.836 4.865 4.972,75 0,1285
3 6 1 2 5 4
135
Keterangan : A1 = Makanan A2 = Minuman A3 = Kulit A4 = Kayu, Rotan dan Bambu A5 = Kertas dan barang dari kertas A6 = Karet dan barang dari karet Tampilan Model Jumlah Tenaga Kerja disajikan pada Lampiran 8. 7.8 Model Nilai Tambah Identifikasi bobot nilai tambah untuk setiap kelompok agroindustri dilakukan dengan Model Nilai Tambah. Masukan untuk model ini adalah jumlah nilai tambah pada setiap kelompok agroindustri. Untuk mengurangi pengaruh fluktuasi nilai tambah terhadap hasil pembobotan, maka digunakan angka rata-rata jumlah nilai tambah untuk 4 tahun terakhir, yaitu tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002. Hasil pembobotan disajikan pada Tabel 7.10. Tabel 7.10 Jumlah Nilai Tambah dan Bobot Nilai Tambah 1999
2000
2001
2002
Rata-rata
(Rp)
(Rp)
(Rp)
(Rp)
(Rp)
Bobot
Peringkat
A1 325.471 630.464 472.449 678.988
526.843 0,2657
1
A2 182.653 353.342
80.396
171.920 0,0867
6
A3 200.167 181.453 368.492 368.854
279.741 0,1411
5
A4 194.682 228.849 381.701 385.736
297.742 0,1502
4
A5 569.468 491.904 213.391 306.483
395.311 0,1994
2
A6 375.738 351.303 255.022 261.912
310.993 0,1569
3
71.292
Keterangan : A1 = Makanan A2 = Minuman A3 = Kulit A4 = Kayu, Rotan dan Bambu A5 = Kertas dan barang dari kertas A6 = Karet dan barang dari karet Tampilan Model Nilai Tambah disajikan pada Lampiran 9.
136
7.9 Model Pemilihan Kelompok Agroindustri Unggulan Model ini direkayasa untuk memilih kelompok agroindustri yang diunggulkan untuk dikembangkan sebagai klaster agroindustri. Data input diperoleh dari ahli melalui nilai perbandingan berpasangan elemen-elemen pada setiap hierarki, dan dari model-model sebagaimana yang diuraikan dalam subbab 7.2 sampai dengan subbab 7.8. Proses pemilihan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP). Pada model ini dapat dilihat bahwa elemen Tujuan tertentu hanya dipengaruhi oleh sebagian saja dari elemen Kriteria pada level di bawahnya sebagaimana yang diperlihatkan pada Gambar 7.1. Tujuan
Kriteria
Meningkatkan Pendapatan Daerah (0,0445)
Kompetensi Inti (0,1312)
Alternatif (Kelompok Agroindustri)
Makanan (0,2042)
Kosentrasi Industri (0,0426)
Fokus Kelompok Agroindustri Unggulan Daerah (1,0000)
Memper luas Lapangan Kerja (0,5396)
Memperluas Pasar Domestik dan Ekspor (0,2741)
Meningkatkan Produktivitas Usaha (0,1418)
Minuman (0,1412)
Tingkat Pertumbuhan (0,1323)
Kulit (0,1544)
Kemampuan Ekspor (0,2695)
Kayu, Rotan dan Bambu (0,1649)
Keterkaitan Usaha (0,1007) Nilai Tambah (0,3193) Jumlah Tenaga K erja (0,0043)
Kertas, Barang dari Kertas (0,1740) Karet, Barang dari Karet (0,1612)
Gambar 7.1 Hierarki Memilih Kelompok Agroindustri Hasil perhitungan Consistency Ratio pendapat Pakar untuk elemen-elemen Tujuan terhadap Pemilihan Kelompok Agroindustri Unggulan Daerah (Fokus) menunjukan pendapat yang konsisten dengan nilai lebih kecil dari 0, 1 baik untuk masing-masing pakar maupun agregat pendapatnya. Nilai Consistency Ratio disajikan pada Lampiran 10. Hasil perhitungan Consistency Ratio pendapat Pakar untuk elemen-elemen Kriteria terhadap elemen -elemen Tujuan menunjukan pendapat yang konsisten dengan nilai lebih kecil dari 0, 1 baik untuk masing -masing pakar maupun agregat pendapatnya, sebagaimana disajikan pada Lampiran 10.
137
Hasil pemeringkatan kelompok agroindustri dengan analisa AHP ini disajikan pada tabel 7.11 di bawah ini. Tabel 7.11 Bobo t Alternatif terhadap Fokus Kelompok Kelompok AI Makanan Kelompok AI Minuman Kelompok AI Kulit Kelompok AI Kayu, Rotan dan Bambu Kelompok AI Kertas, Barang dari Kertas Kelompok AI Karet, Barang dari Karet
Bobot Peringkat 0,2042 1 0,1412 6 0,1544 5 0,1649 3 0,1740 2 0,1612 4
Tampilan Model Pemilihan Kelompok Agroindustri Unggulan disajikan pada Lampiran 10 dan Lampiran 11. 7.10 Model Identifikasi Industri Inti Klaster Identifikasi industri inti klaster agroindustri unggulan dilakukan dengan terlebih dahulu dengan mengidentifikasi industri 5-d igit KBLI 2000 yang termasuk pada kelompok agroindustri makanan sebagai kelompok agroindustri unggulan yang dipilih. Seleksi diawali dengan memilih kelompok industri pada klasifikasi industri 5-digit KBLI 2000 yang memiliki LQ > 1,0. Hasil seleksi awal adalah sebagaimana yang disajikan dalam Tabel 7.12.
Tabel 7.12 LQ Industri 5 -d igit KBLI 2002 Kelompok Makanan KBLI 15131 15132 15133 15211 15331 15410 15432 15440 15491
Industri Industri pengalengan buah -buahan dan sayuran Industri pengasinan dan pemanisan, buah -buahan dan sayuran Industri pelumatan buah -buahan dan sayuran Industri susu Industri ransum pakan ternak dan ikan Industri roti dan sejenisnya Industri makanan dari coklat dan kembang gula Industri makaroni, mie, sphageti, bihun, so’un dan sejenisnya Industri pengolahan teh dan kopi
LQ 2,9011 8,4557 6,2911 1,7565 1,6666 1,6908 2,5775 1,2759 2,3153
Dari industri 5-d igit yang memiliki LQ > 1,0 tersebut, dilakukan seleksi lanjutan dengan menggunakan kriteria sebagai berikut : 1) Jumlah perusahaan industri 5-digit.
138
2) Jumlah tenaga kerja. 3) Jumlah nilai tambah. Idetifikasi industri inti dilakukan dengan menghitung bobot komposit kriteria untuk setiap kelompok industri 5-digit. Hasil identifikasi disajikan pada Tabel 7.13. Tabel 7.13 Hasil Identifikasi Industri Inti Alternatif KBLI
Industri
15131
Industri pengalengan buah-buahan dan sayuran Industri pengasinan dan pemanisan, buah-buahan dan sayuran Industri pelumatan buahbuahan dan sayuran Industri susu Industri ransum pakan ternak dan ikan Industri roti dan sejenisnya Industri makanan dari coklat dan kembang gula Industri makaroni, mie, spagheti, bihun dan sejenisnya Industri pengolahan te h dan kopi
15132 15133 15211 15331 15410 15432 15440 15491
Kriteria Jumlah Tenaga Kerja
Jumlah Nilai Tambah
2
105
1.121.730
0,0177
8
3
77
446.413
0,0203
7
1
100
2.152.900
0,0130
9
1
193
98.582.084
0,0640
6
4
456
316.324.389
0,1977
3
15
1.709
66.137.605
0,2253
2
3
956
40.394.824
0,1013
5
6
855
35.369.457
0,1064
4
6
2.574
90.612.030
0,2542
1
Jumlah Perusahaan
Bobot
Peringkat
Dari hasil identifikasi industri inti klaster agroindustri makanan di Kabupaten Bogor ini, dapat dilihat bahwa industri inti klaster ini terdiri dari industri KBLI-5 digit ; 15131, 15132, 15133, 15211, 15331, 15410, 15432, 15440 dan 15491. Pengecekan lebih lanjut mengenai jenis industri spesifik yang tercakup dalam KBLI-5 digit tersebut di Kabupaten Bogor memperlihatkan hasil sebagai berikut : 15131 : industri buah-buahan dalam kaleng 15132 : industri manisan dan asinan buah-buahan 15133 : industri saos cabe dan agar-agar 15211 : industri susu bubuk 15331 : industri pakan ternak, industri pakan ikan dan industri pakan udang 15410 : industri roti, industri kue kering, industri biskuit dan industri snack
139
15432 : industri makanan dari cokelat dan kembang gula 15440 : industri bihun, industri mie telor dan mie instant 15491 : industri teh kering dan industri teh celup Tampilan Model Identifikasi Industri Inti Klaster disajikan pada Lampiran 12. 7.11 Strukturisasi Elemen Sistem Pengembangan Identifikasi elemen sistem dan subelemen sistem pengembangan dilakukan berdasarkan kajian pustaka, survei lapangan dan pengumpulan pendapat ahli. Sistem pengembangan diuraikan atas 5 elemen yang terdiri dari: (1) Elemen Tujuan; (2) Elemen Pelaku; (3) Elemen Kendala; (4) Elemen Peran Pemerintah; (5) Elemen Aktivitas Dunia Usaha. Masing-masing elemen sistem pengembangan ini terdiri dari sejumlah subelemen sebagaimana yang diuraikan dalam bahasan mengenai strukturisasi setiap elemen di bawah ini : 1) Elemen Tujuan terdiri dari subelemen sebagai berikut : 1. Memperluas lapangan kerja. 2. Menumbuhkan usaha-usaha baru. 3. Meningkatkan produktivitas usaha klaster. 4. Memperluas pasar domestik. 5. Memperluas pasar ekspor. 6. Menurunkan biaya transaksi. 7. Meningkatkan keterkaitan antar sektor. 8. Memanfaatkan sumber daya alam daerah. 9. Meningkatkan pendapatan pemerintah daerah. 10. Meningkatkan kemampuan inovasi. 2) Elemen Pelaku terdiri dari subelemen sebagai berikut : 1. Perusahaan dan industri inti klaster. 2. Perusahaan dan industri terkait. 3. Perusahaan dan industri pendukung. 4. Pemerintah daerah. 5. Lembaga keuangan. 6. Lembaga pendidikan dan pelatihan.
140
7. Lembaga penelitian dan pengembangan. 8. Lembaga pengujian, standardisasi dan sertifikasi. 9. Asosiasi produsen. 10. Pedagang dan eksportir. 3) Elemen Kendala terdiri dari subelemen sebagai berikut : 1. Kekurangan pemahaman pengusaha tentang manfaat klaster. 2. Lemahnya sistem kelembagaan. 3. Belum
terbentuknya
jaringan
dan
kerjasama
yang
saling
mendukung diantara pengusaha. 4. Kurang
adanya
dukungan
peraturan
pemerintah
dalam
pengembangan klaster. 5. Rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan. 6. Perbedaan budaya kerja antar perusahaan. 7. Perbedaan kepentingan antar perusahaan. 8. Belum adanya sikap saling percaya diantara pengusaha. 9. Belum terbentuknya forum komunikasi antar pengusaha. 10. Kurangnya akses permodalan. 4) Elemen Peran Pemerintah terdiri dari subelemen sebagai berikut : 1. Melakukan koordinasi antar instansi yang terkait dengan klaster. 2. Membangun komunikasi dan kerjasama antar anggota k laster. 3. Meningkatkan sistem transportasi, komunikasi dan infrastruktur lainnya. 4. Menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan. 5. Menerbitkan peraturan yang mendukung terbentuknya persaingan yang sehat. 6. Melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan pada perguruan tinggi dan lembaga riset pemerintah. 7. Menyediakan fasilitas umum dan sosial di daerah. 8. Melakukan upaya menarik investor ke dalam klaster. 9. Mensponsori kegiatan standardisasi, pengujian dan sertifikasi. 10. Melakukan promosi penjualan dan ekspor.
141
11. Melakukan kegiatan pengumpulan dan diseminasi data serta informasi. 5) Elemen Aktivitas Dunia Usaha terdiri dari subelemen sebagai berikut : 1. Membangun sikap saling percaya diantara anggota klaster. 2. Mendirikan asosiasi khusus anggota klaster. 3. Melakukan usaha pemasaran bersama anggota klaster. 4. Melakukan promosi dagang dan investasi bersama pemerintah daerah. 5. Membangun
jaringan
formal
dan
informal
untuk
berbagi
pengetahuan dan informasi. 6. Melakukan komunikasi dengan pemerintah untuk menerbitkan dan memperbaiki peraturan. 7. Mensponsori kegiatan penelitian dan pengembangan
sesuai
kebutuhan spesifik klaster 8. Melakukan kerjasama dengan lembaga pendidikan dan kejuruan dalam menyusun kurikulum. 9. Melaksanakan
kursus
dan
seminar
untuk
meningkatkan
pengetahuan dan kemampuan anggota klaster. 10. Mengumpulkan dan mendesiminasi data dan informasi yang dibutuhkan klaster melalui asosiasi. 11. Melakukan kerjasama dengan pemerintah untuk mendirikan lembaga standard isasi, pengujian dan sertifikasi. 7.11.1 Strukturisasi Elemen Tujuan Strukturisasi Elemen Tujuan, yang terdiri dari 10 subelemen, dengan menggunakan teknik ISM VAXO menghasilkan matriks reachability, struktur hierarki dan klasifikasi elemen. Hasil final matriks reachability dari elemen Tujuan disajikan pada Tabel 7.14 dan Tabel 7.15.
142
Tabel 7.14 Matriks Reachibility Final Elemen Tujuan Kode E1 E2 E3 E4 E5 E6 E7 E8 E9 E10 E1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 0 E2 1 1 0 0 0 0 0 0 1 0 E3 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 E4 1 1 0 1 0 0 0 0 1 0 E5 1 1 0 0 1 0 0 0 1 0 E6 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 E7 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 E8 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 E9 1 1 0 0 0 0 0 0 1 0 E10 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 Keterangan : E1 = Memperluas lapangan kerja E2 = Menumbuhkan usaha-usaha baru E3 = Meningkatkan produktivitas usaha klaster E4 = Memperluas pasar domestik E5 = Memperluas pasar ekspor E6 = Menurunkan biaya transaksi E7 = Meningkatkan keterkaitan antar sektor E8 = Memanfaatkan sumber daya alam daerah E9 = Meningkatkan pendapatan pemerintah daerah E10 = Meningkatkan kemampaun inovasi Tabel 7.15 Driver Power dan Dependence Elemen Tujuan Kode DP Ranking DP E1 3 4 E2 3 4 E3 8 2 E4 4 3 E5 4 3 E6 8 2 E7 10 1 E8 10 1 E9 3 4 E10 8 2 Keterangan : D DP
= Dependence = Driver Power
D Ranking D 10 1 10 1 5 3 6 2 6 2 5 3 2 4 2 4 10 1 5 3
143
Dari Tabel 7.14 dan Tabel 7.15 dapat disusun struktur hierarki Elemen Tujuan sebagaimana disajikan pada Gambar 7.2. Dari gambar ini dapat dilihat bahwa pada hierarki tertinggi (level 4) terdapat dua subelemen yang berarti bahwa subelemen -sub elemen ini merupakan subelemen kunci yang utama pada struktur Elemen Tujuan, yaitu: elemen Meningkatkan keterkaitan antar sektor (E7), dan elemen Memanfaatkan sumber daya alam daerah (E8). Kedua subelemen ini memiliki daya dorong yang besar (Nilai Driver Power =10) untuk mempengaruhi subelemen lain. Pada level di bawahnya (level 3) terdapat tiga subelemen yang memiliki driver power yang tinggi juga yaitu: subelemen Meningkatkan produktivitas usaha klaster (E3), Menurunkan biaya-biaya transaksi (E6), dan subelemen Meningkatkan kemampuan inovasi (E10) dengan nilai driver power=8. Setiap tindakan yang positif pada setiap subelemen ini akan memberikan dampak positif pada program. Pada level 2 terdapat subelemen Memperluas pasar domestik (E4), dan Memperluas pasar ekspor (E5). Pada level 1 terdapat subelemen Memperluas lapangan kerja (E1), Menumbuhkan usaha-usaha baru (E2), dan Meningkatkan pendapatan Pemerintah Daerah (E9). Subelemen pada level 1 dan level 2 merupakan subelemen dengan nilai driver power yang rendah (nilai driver power pada level 1 = 3 dan pada level 2 = 4).
Gambar 7.2 Struktur Hierarki Elemen Tujuan Keterangan : E1 E2 E3 E4 E5 E6 E7
= Memperluas lapangan kerja = Menumbuhkan usaha-usaha baru = Meningkatkan produktivitas usaha klaster = Memperluas pasar domestik = Memperluas pasar ekspor = Menurunkan biaya transaksi = Meningkatkan keterkaitan antar sektor
144
E8 = Memanfaatkan sumber daya alam daerah E9 = Meningkatkan pendapatan pemerintah daerah E10 = Meningkatkan kemampaun inovasi Dengan menggunakan hasil perhitungan Driver Power dan Dependence sebagaimana disajikan dalam Tabel 7.14 dan Tabel 7.15, maka dapat disusun suatu grafik dengan menempatkan Dependence pada sumbu-x dan Driver Power pada sumbu-y sehingga diperoleh klasifikasi elemen Pelaku dalam diagram Driver Power-Dependence sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 7.3.
Gambar 7.3 Grafik Dependency-Driver Power Elemen Tujuan Merujuk pada Gambar 7.3 terlihat bahwa pada sektor 4 (sektor Independent) terdapat dua subelemen dengan nilai DP=10: Meningkatkan keterkaitan antar sektor (E7), dan Memanfaatkan sumber daya alam daerah (E8). Kedua subelemen ini merupakan subelemen yang independen dan memiliki kekuatan penggerak (driver power) yang tinggi, namun memiliki ketergantungan yang rendah terhadap subelemen lain. Tepat pada sumbu-y antara sektor 4 (sektor independent) dan sektor 3 (sektor Linkage) terdapat subelemen: Meningkatkan produktivitas usaha klaster (E3), Menurunkan biaya-biaya transaksi (E6) dan, Meningkatkan kemampuan inovasi (E10). Sub elemen-subelemen ini merupakan subelemen dengan driver power yang cukup tinggi (nilai DP=8) dan memiliki karakteristik ketergantungan yang cukup berarti terhadap subelemen lain. Setiap tindakan yang positif pada subelemen ini akan berpengaruh positif pada program, sedang
145
lemahnya perhatian terhadap subelemen ini akan menyebabkan kegagalan pada program. Pada sektor 2 (sektor Dependent) terdapat subelemen: Memperluas lapangan kerja (E1), Menumbuhkan usaha-usaha baru (E2), Memperluas pasar domestik (E4), Memperluas pasar ekspor (5), dan Meningkatkan pendapatan daerah (E9). Subelemen pada sektor ini memiliki driver power yang relatif rendah (nilai DP=5 dan DP=4) dengan dependence yang cukup tinggi. Subelemen pada sektor ini merupakan subelemen yang tidak bebas d an mempunyai ketergantungan yang besar kepada subelemen
lain. Tampilan Model Strukturisasi Sistem
Pengembangan Klaster (ISM-VAXO) untuk Elemen Tujuan disajikan pada Lampiran 13. 7.11.2 Strukturisasi Elemen Pelaku Strukturisasi terhadap 10 subelemen pada Elemen Pelaku dengan menggunakan teknik ISM VAXO menghasilkan matriks reachability, struktur hierarki dan klasifikasi elemen. Hasil final dari matriks reachability dari elemenElemen Pelaku disajikan dalam Tabel 7.16 dan Tabel 7.17. Tabel 7.16 Matriks Reachibility Final Elemen Pelaku Kode E1 E2 E3 E4 E5 E6 E7 E8 E9 E10 E1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 E2 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 E3 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 E4 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 E5 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 E6 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 E7 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 E8 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 E9 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 E10 1 1 0 0 0 0 0 0 0 1 Keterangan : E1 = Perusahaan dan industri inti klaster E2 = Perusahaan dan industri terkait E3 = Perusahaan dan industri pendukung E4 = Pemerintah daerah E5 = Lembaga keuangan E6 = Lembaga pendidikan dan pelatihan E7 = Lembaga penelitian dan pengembangan E8 = Lembaga pengujian, standardisasi dan sertifikasi E9 = Asosiasi produsen E10 = Pedagang dan eksportir
146
Tabel 7.17 Elemen Kunci pada Elemen Pelaku Kode DP Ranking DP E1 2 4 E2 2 4 E3 3 3 E4 10 1 E5 8 2 E6 8 2 E7 8 2 E8 8 2 E9 8 2 E10 3 3
D Ranking D 10 1 10 1 2 4 1 5 6 3 6 3 6 3 6 3 6 3 7 2
Keterangan : D DP
= Dependence = Driver Power Dari Tabel 7.16 dan Tabel 7.17 dapat disusun struktur hierarki Elemen
Pelaku sebagaimana disajikan pada Gambar 7.4. Dapat dilihat bahwa subelemen Pemerintah Daerah (E4) menempati hierarki tertinggi (level 4) dengan nilai driver power =10, yang berarti bahwa sub elemen ini merupakan subelemen kunci pada struktur Elemen Pelaku. Pada level di bawahnya (level 3) dengan nilai driver power=8, terdapat subelemen lain yang memiliki driver power yang cukup tinggi, yaitu subelemen: Lembaga Keuangan (E5), Lembaga Pendidikan dan Pelatihan (E6), Lembaga Penelitian dan Pengembangan (E7) Lembaga Pengujian, Standard isasi, Sertifikasi (E8) dan Asosiasi Produsen (E9). Pada level 2 dengan nilai driver power =3 terdapat sub elemen: Perusahaan dan Industri Pendukung (E3) dan elemen Pedagang dan Ekspotir (10), sedang pada level 1 dengan nilai driver power =2 terd apat sub elemen: Perusahaan dan Industri Inti Klaster (E1), dan Perusahaan dan Industri Terkait (E2).
Gambar 7.4 Struktur Hierarki Elemen Pelaku
147
Keterangan : E1 = Perusahaan dan industri inti klaster E2 = Perusahaan dan industri terkait E3 = Perusahaan dan industri pendukung E4 = Pemerintah daerah E5 = Lembaga keuangan E6 = Lembaga pendidikan dan pelatihan E7 = Lembaga penelitian dan pengembangan E8 = Lembaga pengujian, standardisasi dan sertifikasi E9 = Asosiasi produsen E10 = Pedagang dan eksportir Dengan menggunakan hasil perhitungan Driver Power dan Dependence sebagaimana disajikan dalam Tabel 7.16 dan Tabel 7.17 maka dapat disusun grafik dengan menempatkan Dependence pada sumbu-x dan Driver Power pada sumbu-y sehingga diperoleh klasifikasi elemen Pelaku dalam diagram Driver Power-Dependence sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 7.5.
Gambar 7.5 Grafik Driver Power-Dependence Elemen Pelaku Pada Gambar 7.5 terlihat bahwa pada sektor 4 (sektor Independent) terdapat subelemen Pemerintah Daerah (E4) dengan nilai Driver Power =10. Subelemen ini merupakan subelemen yang independen yang memiliki pengaruh yang tinggi terhadap subelemen lainnya. Pada sektor 3 (sektor Linkage) terdapat subelemen dengan nilai DP=8: Lembaga Keuangan (E5), Lembaga Pendidikan dan Pelatihan (E6), Lembaga Penelitian dan Pengembangan (E7), Lembaga Pengujian, Standard isasi dan
148
Sertifikasi, dan Asosiasi Produsen (E9). Subelemen pada sektor ini merupakan subelemen yang apabila diberikan tindakan kepada subelemen tersebut, maka akan timbul dampak terhadap subelemen lainnya dan umpan balik pengaruhnya dapat memperbesar dampak. Setiap tindakan yang tepat pada subelemen ini akan memberikan dampak positif, sedang tindakan yang tidak tepat akan memberikan dampak negatif terhadap pencapaian program. Pada sektor 2 (sektor Dependent) terdapat subelemen dengan niali DP=3: Pedagang dan Eksportir (E10), dan subelemen dengan niali DP=2: Perusahaan Industri Inti Klaster (E1), dan Perusahaan dan Industri Pendukung (E2). Subelemen pada sektor ini memiliki driver power yang rendah dengan dependence yang cukup tinggi. Subelemen pada sektor ini merupakan subelemen yang tidak bebas dan mempunyai ketergantungan yang besar kepada subelemen lain. Terdapat satu subelemen pada sektor 2 yaitu subelemen Perusahaan atau Industri Terkait (E3) yang memiliki driver power yang rendah (nilai DP=3) dan juga dependence yang rendah. Tampilan Model Strukturisasi Sistem Pengembangan Klaster (ISM-VAXO) untuk Elemen Pelaku disajikan pada Lampiran 14. 7.11.3 Strukturisasi Elemen Kendala Strukturisasi terhadap 10 subelemen pada Elemen Kendala dengan menggunakan teknik ISM VAXO menghasilkan matriks reachability, struktur hierarki dan klasifikasi elemen. Hasil final dari matriks reachability dari elemen Elemen Kendala disajikan dalam Tabel 7.18 dan Tabel 7.19. Tabel 7.18 Matriks Reachibility Final Elemen Kendala Kode E1 E2 E3 E4 E5 E6 E7 E8 E9 E10 E1 1 1 1 0 0 0 0 1 1 1 E2 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 E3 1 1 1 0 0 0 0 1 1 1 E4 1 1 1 1 0 1 0 1 1 1 E5 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 E6 1 1 1 1 0 1 0 1 1 1 E7 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 E8 1 1 1 0 0 0 0 1 1 1 E9 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 E10 1 1 1 0 0 0 0 1 1 1
149
Keterangan : E1 = Kekurangan pemahaman pengusaha tentang manfaat klaster E2 = Lemahnya sistem kelembagaan E3 = Belum terbentuknya jaringan dan kerjasama yang saling mendukung di antara pengusaha E4 = Kurang adanya dukungan peraturan pemerintah dalam pengembangan klaster E5 = Rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan E6 = Perbedaan budaya kerja antar perusahaan E7 = Perbedaan kepentingan antar perusahaan E8 = Belum adanya sikap saling percaya diantara pengusaha E9 = Belum terbentuknya forum komunikasi antar pengusaha E10 = Kurangnya akses permodalan Tabel 7.19 Driver Power dan Dependence Elemen Kendala Kode DP Ranking DP E1 6 3 E2 2 4 E3 6 3 E4 8 2 E5 10 1 E6 8 2 E7 10 1 E8 6 3 E9 2 4 E10 6 3
D Ranking D 8 2 10 1 8 2 4 3 2 4 4 3 2 4 8 2 10 1 8 2
Keterangan : D DP
= Dependence = Driver Power Dari Tabel 7.18 dan Tabel 7.19 dapat disusun struktur hierarki Elemen
Kendala sebagaimana disajikan pada Gambar 7.6. Dapat dilihat bahwa subelemen Rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan (E5) dan subelemen Perbedaan kepentingan antar perusahaan (E7) menempati hierarki tertinggi (level 4) dengan nilai driver power =10, yang berarti bahwa kedua subelemen ini merupakan subelemen kunci pada struktur Elemen Kendala. Pada level di bawahnya (level 3) terdapat sub elemen yang memiliki driver power yang cukup tinggi yaitu: subelemen : Kurang adanya dukungan peraturan dari Pemerintah untuk pengembangan klaster (E4) dan subelemen Perbedaan budaya perusahaan (E6), masing-masing dengan nilai driver power = 8. Pada level 2, terdapat subelemen:
150
Kekurangan pemahaman pengusaha mengenai manfaat klaster (E1), Belum terbentuknya jaringan dan kerjasama yang saling mendukung diantara pengusaha (E3), Belum adanya sikap saling percaya diantara pengusaha (E8), dan Kurangnya akses ke permodalan (E10) dengan nilai Driver Power = 6. Sedang pada level 1 terdapat subelemen Lemahnya sistem kelembagaan (E2) dan subelemen Belum terbentuknya forum komunikasi antar pengusaha (E9) dengan nilai driver power=2.
Gambar 7.6 Struktur Hierarki Elemen Kendala Keterangan : E1 = Kekurangan pemahaman pengusaha tentang manfaat klaster E2 = Lemahnya sistem kelembagaan E3 = Belum terbentuknya jaringan dan kerjasama yang saling mendukung diantara pengusaha E4 = Kurang adanya dukungan peraturan pemerintah dalam pengembangan klaster E5 = Rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan E6 = Perbedaan budaya kerja antar perusahaan E7 = Perbedaan kepentingan antar perusahaan E8 = Belum adanya sikap saling percaya diantara pengusaha E9 = Belum terventuknya forum komunikasi antar pengusaha E10 = Kurangnya akses permodalan
Dengan menggunakan hasil perhitungan Driver Power dan Dependence sebagaimana disajikan dalam Tabel 7.18 dan Tabel 7.19 maka dapat disusun grafik dengan menempatkan Dependence pada sumbu-x dan Driver Power pada sumbu-y sehingga diperoleh klasifikasi Elemen Kendala dalam diagram Driver Power-Dependence sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 7.7.
151
Gambar 7.7 Grafik Driver Power-Dependence Elemen Kendala Pada Gambar 7.7 terlihat bahwa pada sektor 4 (sektor Independent) terdapat subelemen dengan niali DP=10: Rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan (E5), Perbedaan kepentingan antara perusahaan (E7), dan subelemen dengan nilai DP=8: Kurang adanya dukungan peraturan dari pemerintah untuk pengembangan klaster (E4), dan Perbedaan budaya kerja diantara perusahaan (E6). Subelemen subelemen ini merupakan subelemen yang independen dan memiliki pengaruh yang tinggi terhadap subelemen lainnya. Pada sektor 3 (sektor Linkage) terdapat subelemen -subelemen dengan nialai DP= 6: Kekurangan pemahaman pengusaha mengenai manfaat klaster (E1), Belum terbentuknya jaringan dan kerjasama yang saling mendukung diantara pengusaha (E3), Belum adanya sikap saling percaya diantara pengusaha (E8), dan Kurangnya akses ke permodalan (E10). Subelemensubelemen pada sektor ini merupakan subelemen yang apabila diberikan tindakan kepada subelemen tersebut, maka akan timbul dampak terhadap subelemen lainnya dan umpan balik pengaruhnya dapat memperbesar dampak. Setiap tindakan yang tepat pada subelemen ini akan memberikan dampak positif, sedang tindakan yang tidak tepat akan memberikan dampak negatif terhadap pencapaian program. Pada sektor 2 (sektor Dependent) terdapat subelemen-subelemen dengan nilai DP=2: Lemahnya sistem kelembagaan (E2) dan Belum terben tuknya forum komunikasi antar pengusaha (E9). Subelemen -subelemen ini memiliki driver power yang rendah dan sangat dipengaruhi oleh subelemen lain, sehingga merupakan subelemen yang tidak bebas.
152
Tampilan Model Strukturisasi Sistem Pengembangan Klaster (ISM-VAXO) untuk Elemen Kendala disajikan pada Lampiran 15. 7.11.4 Strukturisasi Elemen Peran Pemerintah Strukturisasi Elemen Peran Pemerintah yang terdiri dari 11 subelemen dengan menggunakan teknik ISM VAXO menghasilkan matriks reachability, struktur hierarki dan klasifikasi elemen. Hasil final dari matriks reachability dari Elemen Peran Pemerintah disajikan dalam Tabel 7.20 dan Tabel 7.21.
Tabel 7.20 Matriks Reachibility Final Elemen Peran Pemerintah Kode E1 E2 E3 E4 E5 E6 E7 E8 E9 E10 E11 E1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
E2 E3 E4
1 0 0
1 0 0
1 1 1
1 0 1
1 0 1
1 0 1
1 0 1
1 1 1
1 1 1
1 1 1
1 1 1
E5 E6 E7 E8 E9
0 0 0 0 0
0 0 0 0 0
1 1 1 0 1
0 1 0 0 0
1 1 1 0 0
0 1 0 0 0
1 1 1 0 0
1 1 1 1 1
1 1 1 0 1
1 1 1 1 1
1 1 1 1 1
E10 E11
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
1 1
0 0
1 1
1 1
Keterangan : E1 E2 E3 E4 E5
= Melakukan koordinasi antar instansi yang terkait dengan klaster = Membangun komunikasi dan kerjasama antar anggota klaster = Meningkatkan sistem transportasi, komunikasi dan infrastruktur lainnya = Menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan = Menerbitkan peraturan yang mendukung terbentuknya persaingan yang sehat E6 = Melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan pada perguruan tinggi dan lembaga riset pemerintah E7 = Menyediakan fasilitas umum dan sosial di daerah E8 = Melakukan upaya menarik investor ke dalam klaster E9 = Mensponsori kegiatan standardisasi, pengujian dan sertifikasi E10 = Melakukan promosi penjualan dan ekspor E11 = Melakukan kegiatan pengumpulan dan diseminasi data serta informasi
153
Tabel 7.21 Driver Power dan Dependence Elemen Peran Pemerintah Kode DP Ranking DP E1 11 1 E2 11 1 E3 5 4 E4 9 2 E5 7 3 E6 9 2 E7 7 3 E8 3 5 E9 5 4 E10 3 5 E11 3 5
D Ranking D 2 5 2 5 8 2 4 4 6 3 4 4 6 3 11 1 8 2 11 1 11 1
Keterangan : D DP
= Dependence = Driver Power Dari Tabel 7.20 dan Tabel 7.21 dapat disusun struktur hierarki Elemen
Peran Pemerintah sebagaimana disajikan pada Gambar 7.8. Dapat dilihat bahwa pada hierarki tertinggi (level 5) terdapat 2 subelemen yang berarti bahwa subelemen ini merupakan subelemen kunci pada struktur Elemen Peran Pemerintah, yaitu subelemen Melakukan koordinasi antar instansi pemerintah yang terkait dengan klaster (E1) dan subelemen Membangun komunikasi dan kerjasama antar anggota klaster (E2). Kedua subelemen ini memiliki daya dorong yang besar (Nilai Driver Power =11) untuk mempengaruhi sub elemen lain. Pada level di bawahnya (level 4) terdapat subelemen kunci lain yang memiliki driver power yang tinggi, yaitu subelemen Menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan (E4) dan subelemen Melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan pada perguruan tinggi dan lembaga riset (E6), dengan nilai driver power =9. Pada level di bawahnya (level 3) terdapat subelemen dengan nilai driver power =7 yaitu subelemen: Menerbitkan peraturan yang mendukung terbentuknya persaingan sehat (E5), dan Menyediakan fasilitas umum dan sosial di daerah (E7). Setiap tindakan yang positif pada elemen yang meemiliki driver power tinggi ini akan memberikan dampak positif pada program. Pada level 2 terdapat elemen Meningkatkan sistem transportasi, komunikasi dan infrastruktur lainnya (E3), dan elemen Mensponsori kegiatan standardisasi, pengujian dan sertifikasi (E9) dengan
154
nilai driver power = 5. Pad a level 1 terdapat elemen Melakukan upaya menarik investor ke dalam klaster (E8), Melakukan promosi penjualan dan ekspor (E10), dan Melakukan kegiatan pengumpulan dan diseminasi data serta informasi (E11) dengan nilai driver power = 3. Elemen-elemen pada level 1 dan level 2 merupakan elemen dengan nilai driver power yang rendah.
Gambar 7.8 Struktur Hierarki Elemen Peran Pemerintah Keterangan : E1 E2 E3 E4 E5
= Melakukan koordinasi antar instansi yang terkait dengan klaster = Membangun komunikasi dan kerjasama antar anggota klaster = Meningkatkan sistem transportasi, komunikasi dan infrastruktur lainnya = Menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan = Menerbitkan peraturan yang mendukung terbentuknya persaingan yang sehat E6 = Melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan pada perguruan tinggi dan lembaga riset pemerintah E7 = Menyediakan fasilitas umum dan sosial di daerah E8 = Melakukan upaya menarik investor ke dalam klaster E9 = Mensponsori kegiatan standardisasi, pengujian dan sertifikasi E10 = Melakukan promosi penjualan dan ekspor E11 = Melakukan kegiatan pengumpulan dan diseminasi data serta informasi Dengan menggunakan hasil perhitungan Driver Power dan Dependence sebagaimana disajikan dalam Tabel 7.20 dan Tabel 7.21 maka dapat disusun suatu grafik dengan menempatkan Dependence pada sumbu-x dan Driver Power pada sumbu-y sehingga diperoleh klasifikasi elemen Pelaku dalam diagram Driver Power-Dependence sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 7.9.
155
Gambar 7.9 Grafik Dependence - Driver Power Elemen Peran Pemerintah Pada Gambar 7.9 terlihat bahwa pada sektor 4 (sektor Independent) terdapat subelemen dengan nilai DP=11: Melakukan kordinasi antar instansi pemerintah yang terkait dengan klaster (E1), subelemen Membangun komunikasi dan kerjasama antara anggota klaster (E2), dan subelemen dengan nilai DP=9: Menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan (E4), dan subelemen Melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan pada perguruan tinggi dan lembaga riset (E6). Semua subelemen ini merupakan subelemen yang independen dan memiliki pengaruh yang tinggi terhadap subelemen lainnya. Subelemen E1, E2, E4 dan E6 ini memiliki ketergantungan yang rendah terhadap subelemen lain. Pada sektor 3 (sektor Linkage) terdapat subelemen dengan nilai DP=7: Menerbitkan peraturan yang mendukung terbentuknya persaingan yang sehat (E5), dan Menyediakan fasilitas umum dan sosial di daerah (E7). Subelemen pada sektor ini merupakan subelemen yang harus dikaji secara cermat sebab hubungan antar elemen pada sektor ini adalah tidak stabil. Tindakan kepada subelemen tersebut akan menimbulkan dampak terhadap subelemen lainnya dan umpan balik pengaruhnya dapat memperbesar dampak. Setiap tindakan yang tepat pada subelemen ini akan memberikan dampak positif, sedang tindakan yang tidak tepat akan memberikan dampak negatif terhadap pencapaian program. Pada sektor 2 (sektor Dependent) terdapat subelemen dengan nilai DP=5: Meningkatkan sistem transportasi, komunikasi dan infrastruktur lain (E3), Mensponsori kegiatan standardisasi, pengujian dan sertifikasi (E9), dan subelemen dengan nilai DP=3: Melakukan upaya menarik in vestor ke dalam klastrer (E8), Melakukan promosi
156
penjualan dan ekspor (E10), Melakukan kegiatan pengumpulan dan diseminasi data (E11). Subelemen pada sektor ini memiliki driver power yang relatif rendah dengan dependence yang cukup tinggi. Subelemen pada sektor ini merupakan subelemen yang tidak bebas dan mempunyai ketergantungan yang besar kepada subelemen lain. Tampilan Model Strukturisasi disajikan pada Lampiran 16. 7.11.5 Strukturisasi Elemen Aktivitas Dunia Usaha Strukturisasi terhadap 11 subelemen pada Elemen Aktivitas Dunia Usaha dengan menggunakan teknik ISM VAXO menghasilkan matriks reachability, struktur hierarki dan klasifikasi elemen. Hasil final dari matriks reachability dari Elemen Aktivitas Dunia Usaha disajikan dalam Tabel 7.22 dan Tabel 7.23.
Tabel 7.22 Matriks Final Reachibility Elemen Aktivitas Dunia Usaha Kode E1 E2 E3 E4 E5 E6 E7 E8 E9 E10 E11 E1 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 E2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 E3 1 0 1 1 1 1 0 1 1 1 1 E4 1 0 1 1 1 1 0 1 1 1 1 E5 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 E6 1 0 0 0 1 1 0 1 0 1 1 E7 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 E8 1 0 0 0 1 1 0 1 0 1 1 E9 1 0 1 1 1 1 0 1 1 1 1 E10 1 0 0 0 1 1 0 1 0 1 1 E11 1 0 0 0 1 1 0 1 0 1 1 Keterangan : E1 E2 E3 E4 E5 E6 E7 E8 E9
= Membangun sikap saling percaya diantara anggota klaster = Mendirikan asosiasi khusus anggota klaster = Melakukan usaha pemasaran bersama anggota klaster = Melakukan promosi dagang dan investasi bersama pemerintah daerah = Membangun jaringan formal dan informal untuk berbagi pengetahuan dan informasi = Melakukan komunikasi dengan pemerintah untuk menerbitkan dan memperbaiki peraturan = Mensponsori kegiatan penelitian dan pengembangan sesuai kebutuhan spesifik klaster = Melakukan kerjasama dengan lembagapendidikan dan kejuruan dalam menyusun kurikulum = Melaksanakan kursus dan seminar untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan anggota klaster
157
E10 = Mengumpulkan dan mendesiminasi data dan informasi yang dibutuhkan klaster melalui asosiasi E11 = Melakukan kerjasama dengan pemerintah untuk mendirikan lembaga standardisasi, pengujian dan setifikasi Tabel 7.23 Driver Power dan Dependence Elemen Aktivitas Dunia Usaha Kode E1 E2 E3 E4 E5 E6 E7 E8 E9 E10 E11
DP Ranking DP 2 4 11 1 9 2 9 2 2 4 6 3 11 1 6 3 9 2 6 3 6 3
D 11 2 5 5 11 9 2 9 5 9 9
Ranking D 1 4 3 3 1 2 4 2 3 2 2
Keterangan : D DP
= Dependence = Driver Power Selanjutnya dari Tabel 7.22 dan Tabel 7.23 dapat disusun struktur hierarki
Elemen Aktivitas Dunia Usaha sebagaimana disajikan pada Gambar 7.10. Dapat dilihat bahwa subelemen Mendirikan asosiasi khusus anggota klaster (E2), dan subelemen
Mengumpulkan dan mendesiminasi data dan informasi yang
dibutuhkan anggota klaster melalui asosiasi (E7) menempati hierarki tertinggi (level 4) dengan nilai driver power =11, yang berarti bahwa kedua subelemen ini merupakan subelemen kunci pada struktur Elemen Aktivitas Dunia Usaha. Pada level di bawahnya (level 3) terdapat subelemen-subelemen : Melakukan usaha pemasaran bersama diantara anggota klaster (E3), Melakukan promosi dagang dan investasi bersama pemerintah (E4), dan Melaksanakan kursus atau seminar untuk meningkatkan pengetahuan anggota klaster, dengan nilai driver power = 9. Pada level 2 dengan nilai driver power=6, terdapat subelemen: Melakukan komunikasi dengan pemerintah untuk menerbitkan dan memperbaiki peraturan (E6), Melakukan kerjasama dengan lembaga pendidikan untuk menyusun kurikulum (E8), Mensponsori kegiatan penelitian dan pengembangan sesuai kebutuhan spesifik klaster (E10), dan aktivitas Melakukan kerjasama dengan pemerintah
158
untuk mendirikan lembaga standardisasi, pengujian dan sertifikasi (E11). Sedang pada level 1 aktivitas yang dilakukan adalah Membangun sikap saling percaya diantara anggota klaster (E1), dan Membangun jaringan formal dan informal untuk berbagi pengetahuan dan informasi (E5).
Gambar 7.10 Struktur Hierarki Elemen Aktivitas Dunia Usaha
Keterangan : E1 E2 E3 E4 E5
= Membangun sikap saling percaya diantara anggota klaster = Mendirikan asosiasi khusus anggota klaster = Melakukan usaha pemasaran bersama anggota klaster = Melakukan promosi dagang dan investasi bersama pemerintah daerah = Membangun jaringan formal dan informal untuk berbagi pengetahuan dan informasi E6 = Melakukan komunikasi dengan pemerintah untuk menerbitkan dan memperbaiki peraturan E7 = Mensponsori kegiatan penelit ian dan pengembangan sesuai kebutuhan spesifik klaster E8 = Melakukan kerjasama dengan lembaga pendidikan dan kejuruan dalam menyusun kurikulum E9 = Melaksanakan kursus dan seminar untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan anggota klaster E10 = Mengumpulkan dan mendesiminasi data dan informasi yang dibutuhkan klaster melalui asosiasi E11 = Melakukan kerjasama dengan pemerintah untuk mendirikan lembaga standardisasi, pengujian dan setifikasi Dengan menggunakan hasil perhitungan Driver Power dan Dependence sebagaimana disajikan dalam Tabel 7.22 dan Tabel 7.23 maka disusun grafik dengan menempatkan Dependence pada sumbu-x dan Driver Power pada sumbuy sehingga diperoleh klasifikasi elemen Aktivitas Dunia Usaha dalam diagram Driver Power-Dependence sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 7.11.
159
Gambar 7.11 Grafik Driver Power-Dependence pada Elemen Aktivitas Dunia Usaha Merujuk pada Gambar 7.11 terlihat bahwa pada sektor 4 (sektor Independent) terdapat subelemen dengan nilai DP=11: Mendirikan asosiasi khusus anggota klaster (E2), subelemen Mensponsori kegiatan penelitian dan pengembangan sesuai kebutuhan spesifik klaster (E7), dan subelemen dengan nilai DP=9: Melakukan usaha pemasaran bersama diantara anggota klaster (E3), subelemen Melakukan promosi dagang dan investasi bersama pemerintah (E4), dan subelemen Melaksanakan kursus dan seminar untuk meningkatkan pengetahuan anggota klaster (E9). Subelemen-subelemen ini merupakan subelemen yang independen dan memiliki daya pendorong yang tinggi terhadap subelemen lainnya. Pada sektor 3 (sektor Linkage) terdapat subelemen -subelemen dengan
nilai
DP=6:
Melakukan
komunikasi
dengan
pemerintah
untuk
menerbitkan dan memperbaiki peraturan (E6), Melakukan kerjasama dengan lembaga pendidikan untuk menyusun kurikulum (E8), Mengumpulkan dan mendesiminasi data dan informasi yang dibutuhkan klaster melalui asosiasi (E10), dan Melakukan kerjasama dengan pemerintah untuk mendirikan lembaga standardisasi, pengujian dan sertifikasi (E11). Subelemen pada sektor ini merupakan subelemen yang apabila diberikan tindakan kepada subelemen tersebut, maka akan timbul dampak terhadap subelemen lainnya dan umpan balik pengaruhnya dapat memperbesar dampak. Setiap tindakan yang tepat pada
160
subelemen ini akan memberikan dampak positif, sedang tindakan yang keliru akan memberikan dampak negatif terhadap pencapaian program. Pada sektor 2 (sektor Dependent) terdapat subelemen dengan niali DP=2: Membangun sikap saling percaya diantara an ggota klaster (E1), dan subelemen Membangun jaringan formal atau informal untuk berbagi pengetahuan dan informasi (E5). Subelemen-subelemen ini memiliki driver power yang rendah dan sangat dipengeruhi oleh subelemen lain, sehingga merupakan subelemen yang tidak bebas. Tampilan Model Strukturisasi disajikan pada Lampiran 17. 7.12 Tingkat Kepentingan Peran Pemerintah dan Aktivitas Dunia Usaha Model
strukturisasi
sistem
pengembangan
untuk
Elemen
Peranan
Pemerintah dan Elemen Aktivitas Dunia Usaha sebagaimana yang diuraik an pada 7.11.4 dan 7.11.5 belu m mengintegrasikan tingkat kepentingan subelemen pada masing-masing
elemen
tersebut
berdasarkan
Elemen
Tujuan
dalam
pengembangan sistem. Penilaian tingkat kepentingan suatu aktivitas ditentukan oleh pihak -pihak yang terkait dalam sistem pengembangan serta penilaian ahli di bidang tersebut. Untuk keperluan ini direkayasa suatu model yang dimaksudkan untuk mendapatkan harmonisasi mengenai kepentingan dan pendapat yang berbeda tersebut guna menghasilkan preferensi dari kelompok mengenai tingkat kepentingan suatu aktivitas (subelemen) pada Elemen Peranan Pemerintah dan Elemen Aktivitas Dunia Usaha berdasarkan kriteria (subelemen) Elemen Tujuan tertentu. Tabel 7.24 menyajikan contoh masukan dari salah seorang ahli mengenai tingkat kepentingan dari setiap alternatif (dalam hal ini adalah masing-masing subelemen dari elemen Peran Pemerintah) terhadap masing-masing kriteria (dalam hal ini adalah subelemen dari elemen Tujuan). Dengan mengumpulkan pendapat 3 orang ahli dan menetapkan tin gkat kepentingan relatif setiap kriteria, maka dapat diketahui tingkat kepentingan setiap alternatif terhadap pencapaian Tujuan berdasarkan agregasi kriteria dan agregasi pendapat ahli-ahli tersebut. Tabel 7.25 menyajikan hasil analisa Tingkat Kepentingan masing-masing subelemen Peran Pemerintah berdasarkan agregasi pendapat ahli dan agregasi subelemen pada elemen Tujuan.
161
Tabel 7.24 Tingkat Kepentingan Peran Pemerintah menurut Kriteria Tujuan
Keterangan : A = Sangat Penting B = Penting C = Cukup Penting D = Kurang Penting E = Tidak Penting
Meningkatkan produktivitas usaha klaster
Memperluas pasar domestik
Memperluas pasar ekspor
Menurunkan biaya transaksi
Meningkatkan keterkaitan antar sektor
Memanfaatkan sumber daya alam daerah
Meningkatkan pendapatan pemerintah daerah
Meningkatkan kemampuan inovasi
Melakukan koordianasi antar instansi yang terkait dengan klaster Membangun komunikasi dan kerjasama antar anggota klaster Meningkatkan sistem transportasi, komunikasi dan infrastruktur lainnya Menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan Menerbitkan peraturan yang mendukung terbentuknya persaingan yang sehat Melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan pada perguruan tinggi dan lembaga riset pemerintah Menyediakan fasilitas umum dan sosial di daerah Melakukan upaya menarik investor ke dalam klaster Mensponsori kegiatan standardisasi, pengujian dan sertifikasi Melakukan promosi penjualan dan ekspor Melakukan kegiatan pengumpulan dan diseminasi data serta informasi
Menumbuhkan usaha-usaha baru
Peran Pemerintah
Memperluas lapangan kerja
Kriteria Tujuan
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
C
B
A
C
C
A
A
C
B
B
A
A
A
A
A
A
A
A
B
B
A
A
A
A
A
A
A
B
B
A
A
A
A
B
B
A
B
A
A
A
A
A
A
B
B
A
B
A
A
A
A
A
B
A
A
B
B
A
A
B
C
B
A
B
B
C
A
C
C
A
B
B
C
A
A
C
C
C
C
C
C
B
B
B
B
C
B
C
C
B
162
Tabel 7.25 Tingkat Kepentingan Peran Pemerintah Berdasarkan Agregasi Kriteria Tujuan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Kegiatan Melakukan koordinasi antar instansi yang terkait dengan klaster Membangun komunikasi dan kerjasama antar anggota klaster Menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan Menerbitkan peraturan yang mendukung terbentuknya persaingan yang sehat Melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan pada perguruan tinggi dan lembaga riset pemerintah Menyediakan fasilitas umum dan sosial di daerah Melakukan upaya menarik investor ke dalam klaster Meningkatkan sistem transportasi, komunikasi dan infrastruktur lainnya Mensponsori kegiatan standardisasi, pengujian dan sertifikasi Melakukan promosi penjualan dan ekspor Melakukan kegiatan pengumpulan dan diseminasi data serta informasi
Tingkat Kepentingan Sangat Penting Sangat Penting Penting Penting Penting Penting Penting Cukup Penting Cukup Penting Cukup Penting Cukup Penting
Pada Tabel 7.26 disajikan contoh masukan pendapat dari salah seorang ahli mengenai tingkat kepentingan dari setiap alternatif elemen Aktivitas Dunia Usaha terhadap masing-masing kriteria dari elemen Tujuan. Dengan mengumpulkan pendapat 3 orang ahli dan menetapkan tingkat kepentingan relatif setiap kriteria, maka tingkat kepentingan setiap alternatif terhadap pencapaian Tujuan berdasarkan agregasi kriteria dan agregasi pendapat ahli-ahli tersebut adalah sebagaimana disajikan pada Tabel 7.27. Tabel 7.27 menyajikan hasil analisa Tingkat Kepentingan masing-masing subelemen Aktivitas Dunia Usaha berdasarkan agregasi pendapat ahli dan agregasi subelemen pada elemen Tujuan.
163
Tabel 7.26 Tingkat Kepentingan Aktivitas Dunia Usaha menurut Kriteria Tujuan
Keterangan : A = Sangat Penting B = Penting C = Cukup Penting D = Kurang Penting E = Tidak Penting
Meningkatkan produktivitas usaha klaster
Memperluas pasar domestik
Memperluas pasar ekspor
Menurunkan biaya transaksi
Meningkatkan keterkaitan antar sektor
Memanfaatkan sumber daya alam daerah
Meningkatkan pendapatan pemerintah daerah
Meningkatkan kemampuan inovasi
Membangun sikap saling percaya diantara anggota klaster Mendirikan asosiasi khusus anggota klaster Melakukan usaha pemasaran bersama anggota klaster Melakukan promosi dagang dan investasi bersama pemerintah daerah Membangun jaringan formal dan informal untuk berbagi pengetahuan dan informasi Melakukan komunikasi dengan pemerintah untuk menerbitkan dan memperbaiki peraturan Mengumpulkan dan mendesiminasi data dan informasi yang dibutuhkan klaster melalui asosiasi Melakukan kerjasama dengan lembaga pendidikan dan kejuruan dalam menyusun kurikulum Melaksanakan kursus dan seminar untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan anggota klaster Mensponsori kegiatan penelitian dan pengembangan sesuai kebutuhan spesifik klaster Melakukan kerjasama dengan pemerintah untuk mendirikan lembaga standardisasi, pengujian dan sertifikasi
Menumbuhkan usaha-usaha baru
Aktivitas Dunia Usaha
Memperluas lapangan kerja
Kriteria Tujua n
B
B
B
A
A
C
A
C
C
B
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
B
A
A
A
A
A
A
A
A
B
B
C
B
B
A
A
A
A
B
C
A
C
C
B
B
B
B
B
A
B
C
C
C
B
B
B
C
C
B
C
C
C
B
B
C
C
A
C
A
C
B
A
A
A
A
A
A
A
A
B
B
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
B
B
B
B
B
B
C
C
C
C
164
Tabel 7.27 Tingkat Kepentingan Aktivitas Dunia Usaha Berdasarkan Agregasi Kriteria Tujuan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Aktivitas Dunia Usaha Mendirikan asosiasi khusus anggota klaster Mensponsori kegiatan penelitian dan pengembangan sesuai kebutuhan spesifik klaster Melakukan usaha pemasaran bersama anggota klaster Melakukan promosi dagang dan investasi bersama pemerintah daerah Melaksanakan kursus dan seminar untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan anggota klaster Membangun sikap saling percaya diantara anggota klaster Membangun jaringan formal dan informal untuk berbagi pengetahuan dan informasi Melakukan komunikasi dengan pemerintah untuk menerbitkan dan memperbaiki peraturan Mengumpulkan dan mendesiminasi data dan informasi yang dibutuhkan klaster melalui asosiasi Melakukan kerjasama dengan lembaga pendidikan dan kejuruan dalam menyusun kurikulum Melakukan kerjasama dengan pemerintah untuk mendirikan lembaga standardisasi, pengujian dan sertifikasi
Tingkat Kepentingan Sangat Penting Sangat Penting Penting Penting Penting Cukup Penting Cukup Penting Cukup Penting Cukup Penting Cukup Penting Cukup Penting
Tampilan Model IPE untuk Peran Pemerintah disajikan pada Lampiran 18, dan Tampilan Model IPE untuk Aktivitas Dunia Usaha disajikan pada Lampiran 19. 7.13 Pelaksanaan Validasi dan Ve rifikasi Model Menurut Rykiel (1996), terdapat dua elemen pokok dalam mengevaluasi model, yaitu: (1) Verifikasi, dan (2) Validasi. Verifikasi dilakukan untuk dapat menjawab apakah model sudah melakukan apa yang diinginkan oleh perancang model tersebut, sedang Validasi dilakukan untuk menjawab bagaimana hasil keluaran model dibandingkan dengan keadaan nyata. Langkah pertama dalam melakukan kegiatan Validasi dan Verifikasi yang diilakukan pada penelitian ini adalah meminta ahli yang independen untuk melakukan pemeriksaan mengenai ketepatan (soundness) dari logika yang digunakan dan ketepatan dari konsep dalam pembuatan
model-model:
165
Kompetensi Inti, Konsentrasi Industri, Tingkat Pertumbuhan, Kemampuan Ekspor, Keterkaitan dengan Usaha Lain, Jumlah Tenaga Kerja, Nilai Tambah , Pemilihan Kelompok Agroindustri Unggulan, Identifikasi Industri Inti Klaster, Strukturisasi Sistem Pengembangan Klaster, Tingkat Kepentingan Subelemen, Pengukuran Kinerja Klaster. Setelah ketepatan dari logika dan konsep ini diyakini, maka langkah berikutnya adalah memasukkan data empiris ke dalam model. Keluaran dari setiap model akan diperiksa apakah sudah melakukan apa yang diinginkan oleh perancang model (verifikasi), dan bagaimana hasil keluaran tersebut dibandingkan dengan hasil pen golahan data yang sama dengan menggunakan perhitungan menggunakan program Excel (validasi). Hasil yang sama menguatkan keyakinan bahwa logika dan konsep yang diterapkan pada model sudah benar. Selanjutnya keluaran dari setiap model dibandingkan dengan kead aan nyata melalui pendapat ahli. Keluaran model yang sesuai dengan pendapat ahli menandakan bahwa model sudah menghasilkan keluaran yang valid . Sebagai contoh dalam penelitian ini adalah Model Pemilihan Kelompok Agroindustri Unggulan. Model ini memperoleh sebagian masukannya dari model: Kompetensi Inti, Konsentrasi Industri, Tingkat Pertumbuhan, Kemampuan Ekspor, Keterkaitan dengan Usaha Lain, Jumlah Tenaga Kerja, dan Nilai Tambah , dan sebagian lainnya berasal langsung dari pendapat ahli. Keluaran dari Model Pemilihan Kelompok Agroindustri Unggulan menghasilkan peringkat Kelompok Agroindustri yang berpotensi sebagai klaster unggulan, dan menempatkan Kelompok Agroindustri Makanan sebagai peringkat pertama. Keluaran berupa peringkat tersebut memang merupakan hal yang ingin dihasilkan oleh model tersebut sehingga sudah memenuhi keperluan verifikasi. Sedang keluaran berupa terpilihnya Kelompok Agroindustri Makanan sebagai peringkat pertama masih memerlukan validasi. Para Ahli yang bekerja di Dinas yang menangani masalah perindustrian dan perdagangan di Kabupaten Bogor ternyata memberikan pendapat yang sama mengenai Kelompok Agroindustri Makanan sebagai kelompok yang paling berpotensi, sehingga dapat dinyatakan bahwa hasil keluaran dari model sudah di validasi.
VIII. PEMBAHASAN
8.1 Kebijakan Pengembangan Klaster Intervensi pemerintah pada kebijakan pengembangan klaster menurut Raines (2002), dapat terdiri dari: (1) Tindakan yang difokuskan pada keterkaitan spesifik, yang dapat meningkatkan networking antara anggota klaster untuk suatu tujuan atau proyek tertentu. Tindakan yang mendukung networking dan kerjasama antara satu pelaku usaha dengan pelaku usaha lain, atau antara pelaku usaha dengan lembaga penelitian. Keterkaitan antara pelaku usaha sangat penting untuk pengembangan pemasok agar dapat mencapai economies of scale atau terjadinya alih pengalaman, keterampilan dan teknologi. Keterkaitan antara pelaku usaha dengan lembaga penelitian dapat meningkatkan komersialisasi dan kemampuan riset. (2) Tindakan untuk meningkatkan common resources, seperti: informasi pasar dan informasi bisnis, sumber daya manusia yang terampil dan pelatihannya, infrastruktur umum dan khusus, yang tidak terdapat pada klaster. T indakan ini ditujukan untuk mengembangkan common resources yang dapat meningkatkan daya saing kelompok perusahaan dalam klaster. (3) Tindakan untuk meningkatkan community building, yang bertujuan untuk mengupayakan agar anggota klaster berpikir dan bertindak untuk menciptakan identitas klaster tersebut. Identitas klaster dapat dibangun melalui dukungan terhadap pembentukan asosiasi diantara para pelaku usaha klaster, mendorong hubungan yang lebih sering diantara para anggota, meningkatkan pemahaman anggota, dan meningkatkan sense of belongings para anggota. Identitas yang terbentuk dapat memberikan image tertentu yang bermanfaat untuk kegiatan pemasaran dan menarik investasi ke dalam klaster. Hal ini dapat dilakukan melalui: (a) Forum pertemuan reguler anggota klaster untuk membahas masalah, mencari solusi dan menumbuhkan perasaan kebersamaan; (b) Komunikasi untuk meningkatkan
image; (c)
Konsentrasi anggota yang tinggi pada suatu daerah, penting untuk menarik investor dan melakukan upaya pemasaran; (d) Branding : Digunakan untuk menghimpun potensi berbagai bagian dari klaster melalui karakteristik bersama.
167
8.2 Pengembangan Klaster Agroindustri Unggulan Daerah Hasil pemeringkatan kelompok agroindustri 3-digit KBLI 2000 dengan analisa AHP pada Bab terdahulu memperlihatkan bahwa Kelompok Agroindustri Makanan menempati peringkat satu, yang kemudian diikuti secara berurutan oleh Kelompok Agroindustri Kertas, Barang dari Kertas; dan Kelompok Agroindustri Kayu, Rotan dan Bambu. Hasil tersebut menunjukkan bahwa Kelompok Agroindustri Makanan merupakan agroindustri unggulan di daerah Kabupaten Bogor dit injau dari gabungan beberapa kriteria: kompetensi inti, konsentrasi industri, tingkat pertumbuhan, kemampuan ekspor, keterkaitan dengan usaha lain, jumlah tenaga kerja dan nilai tambah . Dari analisa AHP tersebut, dapat diketahui bahwa subelemen dari elemen Tujuan yang paling berpengaruh adalah subelemen Memperluas Lapangan Kerja (bobot: 0,5396) dan diikuti secara berurutan oleh subelemen : Memperluas Pasar Domestik dan Ekspor (bobot: 0,2741), Meningkatkan produktivitas Usaha (bobot: 0,1418), dan Meningkatkan Pendapatan Daerah (bobot: 0,0445). Sedang subelemen dari elemen Kriteria yang paling berpengaruh adalah subelemen Nilai Tambah (bobot: 0,3193) dan diikuti oleh subelemen: Kemampuan Ekspor (bobot: 0,2695), Tingkat Pertumbuhan (bobot: 0,1323), Kompetensi Inti (bobot: 0,1312), Keterkaitan Usaha (bobot: 0,1007), dan Jumlah Tenaga Kerja (bobot: 0,0043). Subelemen dari elemen Alternatif yang paling berpengaruh adalah subelemen Agroindustri
Makanan
(bobot:
0,2042),
disusul
secara
berurutan
oleh:
Agroindustri Kertas dan Barang dari Kertas (bobot: 0,1740), Agroindustri Karet dan Barang dari Karet (bobot: 0,1612), Agroindustri Kulit (bobot: 0,1544), dan dan Agroindustri Minuman (bobot: 0,1412). Salah satu kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil analisa AHP ini adalah bahwa Kelompok Agroindustri Makanan sebagai kelompok yang paling berpotensi untuk dikembangkan sebagai klaster agroindustri sangat dipengaruhi oleh kriteria: Nilai Tambah, Kemampuan Ekspor, Tingkat Pertumbuhan, dan Kompetensi Inti. Ini berarti bahwa untuk lebih meningkatkan kinerja Kelompok Agroindustri Makanan, maka masing-masing kriteria ini perlu lebih d itingkatkan. Kriteria Nilai Tambah, Kemampuan Ekspor dan Tingkat Pertumbuhan merupakan atribut yang melekat pada kelompok industri tersebut, sedang kriteria Kompetensi
168
Inti merupakan hal yang melekat pada daerah , sehingga pengembangan komponen-komponen dari Kompetensi Inti yang dapat berpengaruh positif pada peningkatan Nilai Tambah, Kemampuan Ekspor dan Tingkat Pertumbuhan perlu mendapatkan prioritas. Penelitian lebih lanjut untuk pemilihan industri inti klaster pada Kelompok Agroindustri Makanan dilakukan melalui dua tahap yaitu: seleksi awal dan seleksi lanjutan. Seleksi awal dimaksudkan untuk mengidentifikasi industri 5-digit KBLI 2000 yang termasuk pada kelompok agroindustri makanan 3-digit KBLI 2000 dengan nilai LQ >1. Kelompok dengan LQ >1 mengindikasikan bahwa kelompok tersebut cukup memiliki daya saing secara nasional. Seleksi lanjutan dilakukan untuk menentukan peringkat industri inti pada agroindustri makanan dengan menggunakan kriteria: jumlah perusahaan, jumlah tenaga kerja, dan besarnya nilai tambah. Seleksi awal untuk mengidentifikasi industri 5-dijit KBLI yang memiliki LQ >1 menghasilkan: Industri pengalengan buah -buahan dan sayuran; Industri pengasinan dan pemanisan buah-buahan dan sayuran; Industri pelumatan buah buahan dan sayuran; Industri susu; Industri ransum pakan ternak dan ikan; Industri roti dan sejenisnya; Industri makanan dari cokelat dan kembang gula; Industri makaroni, mie, spagheti, bihun dan sejenisnya; dan Industri pengolahan teh dan kopi. Seleksi lanjutan untuk mengidentifikasi peringkat industri 5-dijit KBLI pada industri inti menghasilkan: Industri pengolahan teh dan kopi sebagai peringkat pertama industri inti pada agroindustri makanan yang secara berturut-turut diikuti oleh Industri roti dan sejenisnya; Industri ransum pakan ternak dan ikan; Industri makaroni, mie, spagheti, bihun dan sejenisnya; Industri makanan dari cokelat dan kembang gula; Industri pengasinan atau pemanisan, buah -buahan dan sayuran, Industri susu; Industri pengalengan buah-buahan dan sayuran; dan Industri pelumatan buah-buahan dan sayuran. Hasil identifikasi di atas menunjukkan bahwa menurut pakar, perusahaan yang termasuk dalam kelompok industri pengolahan teh dan kopi merupakan industri yang paling berpotensi pada inti klaster agroindustri makanan. Industri-industri ini mempunyai potensi tertinggi
169
untuk menjadi pendorong perkembangan klaster agroindustri makanan di daerah Kabupaten Bogor. Menurut Keeney dan Swirski (Austrian 2000) pemetaan klaster dapat dilakukan dengan membagi anggota atas 4 komponen yaitu: Pasar (pelanggan), Produk Ekspor (produk yang dijual ke luar Kabupaten), Pemasok (pemasok bahan baku, industri terkait dan industri pendukung), Infrastruktur (fisik dan non fisik). Berdasarkan metode tersebut pemetaan klaster agroindustri makanan di Kabupaten Bogor adalah sebagaimana konfigurasi pada Gambar 8.1 berikut.
Pasar (pelanggan)
Produk Ekspor
Pedagang dan Distributor
Teh Kering dan Teh Celup (15491)
Roti, Kue Kering, Biskuit dan Snack (15410)
Pemasok
Bahan Pengawet, Bahan Pewarna
Infrastruktur
Lembaga Keuangan
Daun Teh
Peternak, Petambak
Buah dalam Kaleng, Manisan dan asinan buahbuahan, Saos cabe dan agaragar (15131, 15132, 15133)
Bihun, Mie Telor dan Mie Instant (15440)
Tepung Terigu, Tepung Beras, Umbi-umbian
Gula, Coklat, Susu
Jaringan Transportasi Darat
Konsumen Akhir
Pakan Ternak, Pakan Ikan dan Pakan Udang (15331)
Kemasan dan Palet
Susu bubuk (15211)
Makanan dari Coklat dan Kembang Gula (15432)
Angkutan Darat
Asosiasi-asosiasi Produsen Industri Makanan
Lembaga Pendidikan Umum Lembaga Litbang Lembaga Pendidikan Kejuruan
Instansi Pembinaan Industri Tingkat Kabupaten
Gambar 8.1 Klaster Agroindustri Makanan Kab. Bogor
170
Dari pemetaan pada Gambar 8.1 dapat dilihat bahwa pada klaster agroindustri makanan ini sebagian besar elemen yang diperlukan untuk terbentuknya suatu klaster sudah ada, namun masih perlu diu payakan keterkaitan antara elemen-elemen tersebut agar klaster tersebut dapat menjadi klaster yang operasional. Elemen penting yang belum terbentuk adalah asosiasi anggota klaster kabupaten dan lembaga pengembangan klaster industri kabupaten. Berdasarkan strukturisasi yang dilakukan dengan metode ISM, maka pada setiap elemen sistem pengembangan klaster agroindustri yang terdiri dari elemen elemen: Tujuan, Pelaku, Kendala, Peran Pemerintah dan Aktivitas Dunia Usaha telah diidentifikasi subelemen-subelemen kunci dan subelemen -subelemen penting yang memiliki driver power yang kuat, serta karakteristik setiap subelemen berdasarkan tingkat driver power dan tingkat dependency masingmasing subelemen tersebut. Pada Gambar 8.2 disajikan hasil identifikasi subelemen kunci yang berada pada level hierarki tertinggi dan subelemen penting yang memiliki driver power kuat yang berada pada level hierarki dibawahnya pada masing-masing elemen sistem pengembangan. Hasil tersebut menunjukkan subelemen-subelemen dari masing-masing elemen yang memiliki daya dorong besar untuk pengembangan klaster agoindustri. Untuk itu perlu dikelola secara optimal, agar dapat menghasilkan satu aktivitas yang dapat saling melengkapi dan saling menguatkan. Keluaran model Strukturisasi Elemen Sistem Pengembangan ini baru memperlihatkan hubungan -hubungan antar subelemen dalam masing-masing elemen pengembangan Peran Pemerintah dan elemen pengembangan Aktivitas Dunia Usaha. Untuk mengetahui prioritas dari berbagai subelemen kegiatan pada elemen Peran Pemerintah dan elemen Aktivitas Dunia Usaha dalam pencapaian elemen Tujuan, perlu dilakukan analisa untuk mengetahui tingkat kepentingan dari setiap subelemen pada elemen Peran Pemerintah dan elemen Aktivitas Dunia Usaha berdasarkan agregasi kriteria Tujuan dengan metode IPE.
171
1. 2. 3. 4. 5.
KENDALA Rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan 1) Perbedaan kepentingan antar perusahaan 1) Kurang adanya dukungan peraturan pemerintah 2) Perbedaan budaya kerja antar perusahaan 2)
1. 2. 3. 4.
1. 2. 3. 4. 5. 6.
TUJUAN Meningkatkan keterkaitan antar sektor 1) Pemanfaatan sumber daya alam daerah 1) Meningkatkan produktivitas 2) Menurunkan biaya transaksi 2) Meningkatkan kem ampuan inovasi 2)
PELAKU 1. Pemerintah daerah 1) 2. Lembaga keuangan 3) 3. Lembaga pendidikan dan pelatihan 3) 4. Lembaga penelitian dan pengembangan 3) 5. Lembaga pengujian, standardisasi, Setifikasi 3) 6. Asosiasi produsen 3)
SISTEM PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI MAKANAN
PERANAN PEMERINTAH Melakukan koordinasi antar instansi 1) Membangun komunikasi dan kerjasama anggota klaster 1) Menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan 2) Melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan pada perguru an tinggi dan lembaga riset pemerintah 2) Menerbitkan peraturan untuk persaingan yang sehat 3) Menyediakan fasilitas umum dan sosial di daerah 3)
1. 2. 3. 4. 5.
AKTIVITAS DUNIA USAHA Mendirikan asosiasi khusus anggota klaster Mensponsori kegiatan penelitian dan pengembangan 1) Melakukan usaha pemasaran bersama 2) Melakukan promosi dagang dan investasi bersama pemerintah 2) Melaksanakan kursus dan seminar unt uk meningkatkan pengetahuan 2)
1)
Gambar 8.2 Subelemen dengan Driver Power yang kuat pada Sistem Pengembangan Klaster Agroindustri Unggulan
Keterangan : 1) 2) 3)
Subelemen kunci pada sektor Independent Subelemen dengan driver power kuat pada sektor Independent Subelemen dengan driver power kuat pada sektor Linkage
Hasil identifikasi mengenai driver power dengan metode ISM dan identifikasi tingkat kepentingan dengan motoda IPE untuk setiap subelemen pada elemen Peran Pemerintah dan elemen Aktivitas Dunia Usaha dalam Sistem Pengembangan Agroindustri Makanan sebagaimana disajikan pada Tabel 7.21, Tabel 7.23, Tabel 7.25 dan Tabel 7.27, menunjukkan bahwa sublemen kunci dan subelemen yang memiliki driver power yang tinggi dan memiliki peringkat sangat penting dan penting pada elemen Peran Pemerintah dalam pencapaian elemen Tujuan dari Sistem Pengembangan Klaster Agroindustri Makanan adalah: Melakukan koordinasi antar instansi yang terkait dengan klaster; Membangun komunikasi dan kerjasama antar anggota klaster; Menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan; Menerbitkan peraturan yang mendukung terbentuknya
172
persaingan yang sehat; Melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan pada perguruan tinggi dan lembaga riset pemerintah; Menyediakan fasilitas umum dan sosial di daerah ; dan Melakukan upaya menarik investor ke dalam klaster. Sedangkan untuk elemen Aktivitas Dunia Usaha adalah : Mendirikan asosiasi khusus anggota klaster; Mensponsori kegiatan penelitian dan pengembangan sesuai kebutuhan spesifik klaster; Melakukan usaha pemasaran bersama anggota klaster; Melakukan promosi dagang dan investasi bersama pemerintah daerah; dan Melaksanakan kursus dan seminar untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan anggota klaster. Sintesis hasil pengolahan data pemikiran pakar pada proses strukturisasi dan klasifikasi subelemen untuk masing-masing elemen, pemeringkatan tingkat kepentingan Peran Pemerintah dan tingkat kepentingan Aktivitas Dunia Usaha untuk mencapai tujuan pengembangan klaster agroindustri di atas, dan kebijakan yang ditetapkan untuk mengembangkan agroindustri daerah menggunakan kompetensi inti membawa implikasi pada perlunya pengemb angan kelembagaan untuk mengkoordinasikan berbagai aktivitas agar menghasilkan aktivitas yang saling melengkapi dan saling menguatkan, pengembangan infrastruktur baik fisik maupun non fisik untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi perkembangan agroindustri, pengembangan sumber daya manusia agar lebih mampu berinovasi, pengembangan teknologi untuk meningkatkan efesiensi dan efektivitas dalam berproduksi dan pengembangan pasar untuk meningkatkan pangsa pasar yang lebih besar dan tersebar di berbagai negara. 8.3 Implikasi Kebijakan Pengembangan Klaster Agroindustri Pembahasan
terdahulu
menunjukkan
bahwa
pengembangan
klaster
agroindustri dapat meningkatkan daya saing produk yang dihasilkan melalui peningkatan keterkaitan antar sektor, peningkatan produktivitas, penurunan biaya transaksi dan peningkatkan kemampuan inovasi. Namun demikian, agar kebijakan tersebut dapat mencapai tujuan seperti yang diharapkan, perlu pengembangan kelembagaan, infrastruktur, sumber daya manusia, teknologi dan pasar. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa pemerintah dan dunia usaha (swasta) mempunyai peran penting dalam mengembangkan klaster agroindustri melalui
173
penyusunan kebijakan dan pelaksanan berbagai program pengembangan, peraturan
pelaksanaan,
pemberian
fasilitas
bantuan
dan
implementasi
pelaksanaan. Dari hasil pengolahan data pada elemen Peran Pemerintah dan Aktivitas Dunia Usaha terlihat bahwa subelemen Peran Pemerintah yang sangat penting dan penting yang perlu sepenuhnya dilakukan oleh Pemerintah adalah: Menyusun program-program kebijakan yang mengarah pada peningkatan koordinasi antar instansi yang terkait dengan pengembangan klaster agroindustri; Penyusunan peraturan-peraturan yang mengarahkan terbentuknya persaingan yang sehat di bidang investasi dan perdagangan ; Menyediakan fasilitas umum dan sosial; Meningkatkan sistem transportasi, komunikasi dan infrastruktur lainnya untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif dan Melakukan kegiatan pengumpulan dan diseminasi data dan informasi. Kegiatan yang perlu dilakukan pemerintah dengan partisipasi dunia usaha adalah :
Membangun
komunikasi
dan
kerjasama
anggota
klaster;
Menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan ; Melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan pada perguruan tinggi dan lembaga riset pemerintah, antara lain untuk pemanfaatan sumber daya lokal; Melakukan upaya menarik investor ke dalam klaster; Mensponsori kegiatan standardisasi, pengujian dan sertifikasi; Melakukan promosi penjualan dan ekspor. Kegiatan yang sepenuhnya perlu dilakukan oleh dunia usaha adalah : Melakukan usaha pemasaran bersama oleh anggota klaster; Melakukan kerjasama dengan lembaga pendidikan dan kejuruan dalam menyusun kurikulum; Membangun sikap saling percaya diantara anggota klaster ; Membangun jaringan formal dan informal untuk berbagi pengetahuan dan informasi; Mengumpulkan dan mendesiminasi data dan informasi yang dibutuhkan klaster melalui asosiasi. Kegiatan yang perlu dilakukan dunia usaha dengan dukungan pemerintah adalah : Mendirikan asosiasi khusus anggota klaster; Menspnsori kegiatan penelitian dan pengembangan sesuai kebutuhan spesifik klaster; Melakukan promosi dan investasi bersama pemerintah daerah; Melakukan komunikasi dengan pemerintah untuk menerbitkan dan memperbaiki aturan ; Melakukan kerjasama
174
dengan pemerintah untuk mendirikan lembaga standardisasi, pengujian dan sertifikasi. 8.3.1 Pengembangan Kelembagaan Hasil pengolahan data elemen pelaku dengan metode ISM menghasilkan klasifikasi seperti pada Gambar 7.5. Gambar tersebut memperlihatkan bahwa subelemen Lembaga Keuangan (E5), Lembaga Pen didikan dan Pelatihan (E6), Lembaga Penelitian dan Pengembangan (E7), Lembaga Pengujian, Standardisasi dan Sertifikasi (E8), dan Asosiasi Produsen (E9) menempati sektor 3 (Linkage). Hal ini menunjukan bahwa diantara subelemen -subelemen ini terdapat keterkaitan yang kuat. Apabila pada subelemen ini diberi tindakan positif, akan menimbulkan dampak positif pada subelemen lainnya, serta akan memperbesar output yang dikehendaki. Umpan balik pengaruh yang ditimbulkan oleh subelemn -subelemen ini dapat memperbesar dampak posistif pada output yang dikehendaki melalui manajemen pengendalian pada subelemen input yang dapat dikendalikan. Karena sistem dirancang dengan menggunakan sistem umpan balik, maka pengaruh positif akan terjadi secara iteratif dan makin besar. Dis amping subelemensubelemen ini memiliki keterkaitan yang kuat, subelemen-subelemen ini juga memiliki daya dorong yang besar dengan nilai Driver Power = 8. Hal ini memberi pengertian bahwa subelemen lembaga-lembaga ini, disamping saling terkait, juga secara potensial memiliki kekuatan yang besar untuk mendorong tercapainya tujuan pengembangan klaster agroindustri. Untuk itu, agar subelemen -subelemen ini dapat berperan secara optimal dalam mencapai tujuan pengembangan klaster agroindustri,
diperlukan
pengembangan
kelembagaan,
pengembangan
infrastruktur, pengembangan sumber daya manusia dan pengembangan pasar. Hasil klasifikasi subelemen pada elemen pelaku atau institusi terlihat bahwa subelemen Lembaga Keuangan, Lembaga Pendidikan dan Pelatihan, Lembaga Penelitian dan Pengembangan, Lembaga Pengujian, Standardisasi dan Sertifikasi, dan Asosiasi Produsen termasuk perubah pengkait dari sistem. Setiap tindakan positif pada pelaku atau institusi tersebut akan memberikan keberhasilan program pengembangan klaster agroindustri, sedangkan lemahnya perhatian terhadap
175
pelaku
atau
institusi
tersebut
akan
menyebabkan
kegagalan
program
pengembangan klaster agroindustri. Lembaga keuangan melalui fungsi intermediasinya dapat memberikan modal usaha kepada para pelaku industri. Dengan adanya modal, pelaku usaha dapat meningkatkan kapasitas produksi, baik melalui penambahan investasi pada peralatan produksinya maupun melalui penambahan input produksi sehingga produktivitas usaha meningkat. Penambahan peralatan dan input produksi berdampak pada peningkatan volume penjualan dan kebutuhan tenaga kerja. Peningkatan volume penjualan akan meningkatkan keuntungan perusahaan yang pada akhirnya akan meningkatkan deviden bagi para pemegang saham dan meningkatkan investasi. Peningkatan kebutuhan tenaga kerja akan memperluas kesempatan kerja yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan penerimaan pajak negara. Peran yang demikian besar dari lembaga keuangan terhadap pengembangan ekonomi bangsa tersebut memerlukan berbagai kebijakan perbankan sehingga mudah diakses dengan tidak melepaskan prinsip kehati-hatian. Lembaga pendidikan dan pelatihan melalui fungsinya dapat meningkatkan pengetahuan dan teknologi para pelaku usaha. Peningkatan pengetahuan dan teknologi akan meningkatkan kemampuan inovasi pelaku sehingga produk yang dihasilkan semakin berkualitas, beragam dan berbiaya rendah. Dengan demikian daya saing meningkat dan keuntungan yang didapat juga meningkat yang pada akhirnya kesejahteraan masyarakat meningkat dan pendapatan daerah juga meningkat. Lembaga
Penelitian
dan
Pengembangan
melalui
fungsinya
dapat
mengembangkan produk baru, proses produksi yang lebih efisien dan penggunaan bahan baku alternatif. Dengan dikembangkannya produk baru, akan mencip takan rantai nilai baru, akibatnya tumbuh usaha-usaha baru, kesempatan kerja makin luas dan kesejahteraan masyarakat semakin meningkat. Munculnya usaha-usaha baru akan meningkatkan pemanfaatan sumber daya alam daerah, sehingga pendapatan daerah juga semakin meningkat. Lembaga Pengujian, Standardisasi dan Sertifikasi mempunyai fungsi untuk memberikan jaminan bahwa produk yang dihasilkan mempunyai karakteristik
176
sesuai dengan spesifikasi seperti yang tercantum dalam label. Dengan adanya spesikasi ini konsumen akan lebih mudah mencocokan antara kebutuhan dengan persediaan. Di samping itu, produk yang standard memungkinkan penggunaan yang lebih luas, lebih mudah dan tidak beragam. Akibatnya volume penjualan meningkat, harga jual meningkat yang pada akhirnya keu ntungan juga meningkat dan pasar pun semakin luas. Adanya pengujian juga memungkinkan adanya proses sertifikasi terhadap produk-produk yang diuji. Hal ini akan memberi informasi kepada konsumen bahwa produk tersebut mempunyai kualitas seperti yang tercantum dalam spesifikasi produknya. Asosiasi Produsen dapat berperan sebagai penghimpun para produsen. Himpunan produsen yang besar akan meningkatkan posisi tawar bagi para produsen. Posisi tawar yang tinggi memungkinkan untuk memperoleh keuntungan yang besar. Keberadaan asosiasi produsen akan meningkatkan keterkaitan diantara produsen. Hal ini memungkinkan terjadinya transfer teknologi dan pengetahuan. Akibatnya kemampuan sumber daya manusia mengelola bisnisnya meningkat. Peningkatan kemampuan sumber daya manusia akan mendorong peningkatan berinovasi dan produktivitas usaha. Hasil pengolahan data tingkat kepentingan peran pemerintah dalam mencapai tujuan menunjukkan bahwa melakukan koordinasi antar instansi yang terkait, membangun komunikasi dan mendorong terbentuknya kerjasama antar anggota adalah sangat penting. Untuk menjalankan peran tersebut, pemerintah perlu membentuk lembaga atau forum yang dapat berfungsi untuk melakukan koordinasi, komunikasi dan kerjasama. Pembentukan Lembaga atau Forum ini harus mendapat dukungan dari para stakeholders, jika tidak lembaga ini tidak dapat berfungsi sebagai mana mestinya. Untuk itu perlu disusun aturan yang mengatur tentang hak dan kewajiban, wewenang serta mekanisme hubungan diantara anggotanya. Hasil analisa pada subelemen pelaku atau institusi yaitu Lembaga Keuangan, Lembaga Pendidikan dan Pelatihan, Lembaga Penelitian dan Pengembangan, Lembaga Pengujian, Standardisasi dan Sertifikasi, dan Asosiasi Produsen di atas, memperlihatkan bahwa meskipun subelemen -subelemen tersebut memiliki aktivitas yang saling berkaitan, namun masing-masing
177
subelemen pelaku atau institusi mempunyai fungsi yang berlainan. Perbedaan fungsi ini harus dipertimbangkan dalam merancang sistem kelembagaan, karena dapat mengakibatkan sistem kele mbagaan yang dirancang menjadi tidak efektif sebagai akibat dari perbedaan fungsi masing-masing pelaku atau institusi yang tidak terakomodasi secara baik. Bentuk struktur kelembagaan sudah banyak dikembangkan diantaranya adalah lini, dimana karakteristik dari struktur lini adalah bahwa diantara anggota terletak dalam satu garis vertikal dan bertingkat, dimana tingkat diatasnya merupakan atasan dari tingkat dibawahnya. Bentuk lain adalah staf yang memiliki karakterisitik hampir sama dengan lini, hanya perbedaannya adalah penambahan beberapa spesialis dengan tujuan untuk membebaskan pimpinan puncak dari beberapa bebannya. Bentuk struktur jaringan kerja merupakan desain organisasi baru yang sedang populer. Bentuk ini memberikan fleksibilitas yang cukup bes ar kepada manajemen dalam menanggapi perubahan. Bentuk ini juga sesuai untuk perusahaan -perusahaan yang operasi manufakturnya membutuhkan perusahaan perusahaan lain yang lokasinya tersebar. Desain struktur jaringan kerja (network structure) adalah sebuah organisasi sentral yang menyandarkan diri pada organisasi lain untuk melakukan aktivitas logistik, produksi, distribusi, pemasaran atau fungsi-fungsi bisnis penting lainnya atas dasar perjanjian kerjasama. Merujuk karakteristik bentuk organisasi dengan struktur jaringan di atas dan hasil analisa pelaku atau institusi yang terlibat dalam pengembangan klaster agroindustri, maka struktur kelembagaan yang cocok untuk pengembangan klaster agroindustri adalah struktur jaringan, karena struktur ini memberi indep endensi pada anggotanya untuk melakukan aktivitas bisnis sesuai dengan perusahaannya atau institusinya dan fleksibilitas untuk melakukan kerjasama dengan institusi lain dalam melakukan kegiatan pengadaan, produksi, penyimpanan, distribusi, pemasaran, serta fungsi-fungsi usaha lain berdasarkan kerjasama yang saling menguntungkan. Pengembangan klaster agroindustri dengan struktur jaringan di daerah agar efektif memerlukan Lembaga Pengembangan Klaster Agroindustri Kabupaten. Lembaga ini merupakan forum komunikasi untuk melakukan fungsi koordinasi,
178
fasilitasi dan pengawasan yang terkait dengan semua kegiatan untuk mengembangkan klaster agroindustri agar terdapat bekerjasama yang sinergis. Lembaga ini terdiri dari unsur pemerintah dan unsur dunia usaha, lembaga keuangan,
lembaga
pendidikan
dan
pelatihan,
lembaga
penelitian
dan
pengembangan, lembaga pengujian, standardisasi dan sertifikasi, asosiasi produsen dan eksportir dan dipimpin secara bersama oleh unsur pemerintah dan unsur dunia usaha. Fungsi koordinasi dilakukan untuk menjamin bahwa aktivitas yang dilakukan oleh masing-masing anggota dapat berjalan dengan saling melengkapi, menguatkan dan menguntungkan. Fungsi fasilitasi dilakukan untuk menjamin bahwa aktivitas yang dijalankan anggota dapat dilaksanakan dengan sebaik mungkin dan fungsi pengawasan dilakukan untuk menjamin bahwa aktivitas yang dilakukan oleh masing-masing anggota dapat berjalan dengan baik. Lembaga ini membawahi unit yang berfungsi merumuskan strategi dan fasilitasi untuk klaster agroindustri yang akan dikembangkan, yang dipimpin oleh seorang Koordinator. Unit ini harus memiliki kemampuan yang tinggi sehingga dipercaya dan dipandang oleh anggota klaster. Demikian pula Koordinator yang memimpin unit ini haruslah seorang wakil dunia usaha yang mempunyai kemampuan tinggi sehingga dipercaya oleh anggota klaster. Ia harus dapat meyakinkan anggota klaster untuk mengimplementasikan strategi yang telah ditetapkan. Bersama Pemerintah dan dunia usaha ia harus mampu melahirkan suatu Visi yang menjadi pegangan dan landasan kerja semua anggota klaster. Dari uraian di atas maka model kelembagaan klaster agroindustri unggulan menggunakan kompetensi inti di daerah yang dirancang adalah tersaji pada Gambar 8.3. Keterkaitan hubungan aktivitas antara satu pelaku atau institusi dengan pelaku atau institusi lainnya pada model rancangan dapat berupa aliran informasi atau materi. Keterkaitan materi dapat berupa produk, teknologi, permodalan atau peralatan. Keterkaitan ini dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas, menumbuhkan inovasi dan meningkatkan daya saing produk agroindustri yang dikembangkan melalui pendekatan klaster. Namun demikian, struktur jaringan kerja tidak mempunyai kontrol yang ketat terhadap organisasi yang menjadi mitranya dalam melaksanakan kegiatan bisnis, seperti kepastian mengenai pasokan bahan baku. Di samping itu kelemahan
179
struktur jaringan kerja juga tidak bisa menjaga secara ketat inovasi-inovasi yang berada di bawah pimpinan manajemen klaster untuk tidak menyebar ke organisasi lain. Akan tetapi, dengan kemajuan teknologi informasi yang begitu canggih yaitu mampu melakukan komunikasi secara on-line melalui jaringan internet, maka struktur
jaringan
kerja
menjadi
alternatif
yang
sangat
menarik
untuk
dikembangkan.
Lembaga Pengembangan Klaster Agroindustri Kabupaten
Unit Strategi dan Fasilitasi Klaster Agroindustri Makanan
Lembaga Keuangan
Modal
Eksportir dan Pedagang
Informasi Regulasi
Informasi Regulasi
Produk Modal
Industri Inti
Informasi Teknologi Manajemen
Mesin Alat Jasa
Dinas Perindustrian Kabupaten
Asosiasi Pelaku Usaha Klaster
Industri Terkait Sertifikat
Industri Pendukung
Lembaga Pengujian, Standardisasi, Sertifikasi
Teknologi Manajemen
Lembaga Litbang
Gambar 8.3 Model Kelembagaan Klaster Agroindustri Unggulan Daerah Keterangan : Aliran informasi Aliran materi 8.3.2 Pengembangan Infrastruktur Proses pengolahan data pada tingkat kepentingan peran pemerintah dalam mencapai tujuan pengemb angan klaster industri dengan metode IPE menghasilkan informasi bahwa menerbitkan peraturan yang mendukung pengembangan usaha
180
yang sehat, melakukan upaya menarik investor, serta menyediakan fasilitas umum dan sosial di daerah adalah penting. Hasil ini menunjukkan bahwa peran pemerintah dalam mengembangkan infrastruktur, baik keras seperti sarana prasarana transportasi, telekomunikasi dan energi, maupun lunak seperti peraturan perizinan dan perpajakan dalam pendirian perusahaan, penggunaan jalan raya, perpajakan badan usaha atau pertambahan nilai adalah penting untuk menumbuhkan usaha-usaha baru, memperluas lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan daerah. Pengembangan infrastruktur akan menciptakan iklim usaha yang kondusif, sehingga menarik investor, meningkatkan investasi, memperluas lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan daerah. 8.3.3 Pengembangan Sumber Daya Manusia Proses pengolahan data pada tingkat kepentingan peran pemerintah dalam mencapai tujuan pengembangan klaster industri dengan metode IPE juga menghasilkan informasi bahwa menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan adalah penting. Hasil ini menunjukkan bahwa pendidikan dan pelatihan mempunyai peran penting dalam meningkatkan produktivitas dan inovasi usaha. Pendidikan dan pelatihan akan meningkatkan kemampuan dan keterampilan sumber daya manusia. Hal ini akan mengurangi kegagalan dalam melaksanakan kegiatan dan meningkatkan kinerja perusahaan. Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan pelatihan adalah melalui perbaikan, penyesuaian kurikulum dan silabus, menata kelembagaan, penyediaan sarana dan prasarana yang memadai dan peningkatan kualitas tenaga pengajar serta meningkatkan manajemen penyelenggaraan pendidikan. Untuk itu, peranan pemerintah
sangat
penting
dalam
memfasilitasi
dan
mengkoordinasi
penyelenggaraan pendidikan. 8.3.4 Pengembangan Teknologi Proses pengolahan data tingkat kepentingan subelemen peran pemerintah dan swasta dalam mencapai tujuan pengembangan klaster industri dengan metode IPE menghasilkan informasi bahwa menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan, melakukan kegiatan pen elitian dan pengembangan pada perguruan tinggi dan lembaga riset pemerintah adalah penting bagi program pemerintah,
181
sedangkan
untuk
swasta
bahwa
mensponsori
kegiatan
penelitian
dan
pengembangan merupakan hal yang sangat penting, dan melaksanakan kursus dan seminar untuk meningkatkan pengetahuan adalah penting. Teknologi merupakan metode, mesin dan peralatan, serta keterampilan yang digunakan untuk merubah input menjadi output melalui peningkatan nilai tambah. Kegiatan pendidikan, penelitian dan pelatihan akan meningkatkan teknologi. Peningkatan teknologi akan meningkakan kualitas produk yang dihasilkan, meningkatkan efesiensi dan efektivitas serta meningkatkan kecepatan dan ketepatan pelayanan. 8.3.5 Pengembangan Pasar Proses pengolahan data pada tingkat kepentingan peran pemerintah dalam mencapai tujuan pengembangan klaster industri dengan metode IPE menghasilkan informasi bahwa melakukan usaha pemasaran bersama dan melakukan promosi dagang dan investasi bersama adalah penting. Karena kegiatan ini akan berdampak pada perluasan pasar yang berarti akan meningkatkan volume penjualan, meningkatkan pendapatan dan meningkatkan keuntungan. Pengembangan pasar dapat dilakukan melalui promosi, lobby, penyebaran informasi, pameran dagang dan bermitra dengan perusahaan luar negeri. Aktivitas ini sulit dilakukan dan memerlukan biaya yang besar. Untuk industri besar, kegiatan promosi ini mungkin dapat didanai sendiri, tetapi untuk industri sedang bantuan pemerintah sangat diperlukan, karena pada umumnya memiliki keterbatasan dalam modal, akses dan informasi pasar. 8.4 Pengukuran Kinerja Klaster Pengukuran
kinerja
klaster
dimaksudkan
untuk
mengetahui
arah
perkembangan klaster dan memantau implikasi kebijakan Pemerintah terhadap perkembangan klaster. Berhubung data statistik yang diperlukan masih sangat terbatas, maka perlu ditetapkan indikator pengukuran yang dapat menggunakan data statistik yang saat ini sudah dikumpulkan oleh instansi yang berwenang. Untuk sementara ini maka data yang digunakan dalam model StraKlas adalah: jumlah tenaga kerja, jumlah perusahaan, jumlah nilai investasi, jumlah nilai penjualan, jumlah nilai tambah. Data-data ini perlu dikumpulkan sekurangkurangnya setahun sekali dan diperbandingkan dengan data-data dari tahun
182
sebelumnya sehingga dapat diketahui perubahannya dari tahun ke tahun. Pada tahap lebih lanjut, indikator kinerja perlu diperluas dengan memasukkan antara lain data: pangsa pasar, aliansi strategis perusahaan dan jumlah paten. 8.5 Prasyarat Implementasi Model Model Straklas direkayasa dengan menggunakan masukan berupa data kuantitatif dan pendapat ahli. Agar model dapat diimplementasikan, maka perlu tersedianya data kuantitatif menurut jenis dan klasifikasi tertentu, dan masukan berupa pendapat dari ahli yang menguasai masalah tertentu sesuai kebutuhan model. Jenis data kuantitatif yang minimal diperlukan adalah jumlah tenaga kerja, jumlah perusahaan, nilai tambah menuru t klasifikasi KBLI 2000 untuk perusahaan besar dan perusahaan sedang menurut pengelompokan 3-digit dan 5-digit. Di samping itu diperlukan masukan dari ahli untuk menilai kompetensi inti daerah, keterkaitan usaha dan kemampuan ekspor dari setiap kelompok agroindustri guna mendapatkan nilai bobotnya. Selanjutnya diperlukan pula pendapat ahli untuk melakukan perbandingan berpasangan dalam rangka Analytical Hierarchy Process dan penetapan elemen dan keterkaitan antar subelemen dalam teknik Interpretive Structural Modelling dan penentuan tingkat kepentingan subelemen dari Peran Pemerintah dan subelemen Aktivitas Dunia Usaha dengan teknik Independent Preference Evaluation. Dalam implementasi model, pendapat ahli selain sebagai masukan juga dimintakan untuk membahas hasil keluaran model apabila diperlukan. 8.6 Model dan Wilayah Administratif Pada dasarnya model StraKlas direkayasa untuk digunakan pada wilayah dimana data yang diperlukan cukup tersedia. Wilayah tersebut dapat terdiri dari satu atau beberapa wilayah administratif yang saling berbatasan. Wilayah administratif dapat berupa kecamatan, kabupaten dan propin si. Karena dalam metode analisanya antara lain membandingkan data dari suatu wilayah dengan wilayah diatasnya, misalnya kabupaten terhadap propinsi atau nasional, maka model ini hanya dapat digunakan paling tinggi pada wilayah propinsi, dengan pembandingnya adalah wilayah nasional. Pemakaian model untuk wilayah yang
183
terdiri dari beberapa wilayah administratif berbatasan akan menghadapi kendala dalam implementasinya, karena akan memerlukan koordinasi yang baik dan intensif dalam pembuatan kebijakan-kebijakan. 8.7 Perbandingan dengan Penelitian Sejenis Menurut Feser dan Bergman (2000) identifikasi klaster pada tingkat subnasional banyak menggunak an metode Location Quotient karena tidak tersedianya data yang diperlukan. Alternatif lain adalah metode National Industry Cluster Template, yang menggunakan keterkaitan industri pada tingkat nasional sebagai pola untuk mengidentifikasi klaster industri pada tingkat subnasional. Hal ini hanya dapat dilakukan jika tersedia data tabel Input-Output pada tingkat nasional. Metoda ini telah mereka gunakan untuk penelitian mengenai klaster industri di North Carolina. Stough et al. (2000) menggunakan tabel Input-Output untuk mengidentifikasi klaster industri di negara bagian Virginia. Munnich Jr et al. (1996) menggunakan metoda Location Quotient untuk mengidentifikasi klaster industri di daerah Southern Minnesota. Model StraKlas yang dirancang telah memperkenalkan metode yang merupakan rangkaian metoda Location Quotient, metoda Shift-share, beberapa metoda Heuristik dan Pendapat Ahli untuk mengidentifikasi klaster industri secara lebih baik di daerah -daerah subnasional.
IX. KESIMPULAN DAN SARAN
9.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1) Penelitian yang dilakukan dengan pendekatan sistem menghasilkan Model
Strategi
Pengembangan
Klaster
Agroindustri
Unggulan
Menggunakan Kompetensi Inti Daerah dalam bentuk Sistem Pendukung Keputusan (SPK) yang diberi nama Model StraKlas dengan konfigurasi yang terdiri dari Sistem Manajemen Basis Data, Sistem Manajemen Basis Model, Sistem Pengolahan Terpusat dan Sistem Manajemen Dialog. Model dapat mendukung proses pengambilan keputusan untuk perencanaan strategi pengembangan klaster agroindustri. Dukungan dilakukan melalui proses identifikasi kompetensi inti daerah dan atribut kelompok agroindustri dengan menggunakan submodel: Kompetensi Inti, Konsentrasi Industri, Tingkat Pertumbuhan, Kemampuan Ekspor, Keterkaitan dengan Usaha Lain, Jumlah Tenaga Kerja dan Nilai Tambah. 2) Sintesis keluaran sub model dengan metode Analytical Hierarchy Process menghasilkan peringkat kelompok agroindustri unggulan daerah yang berpotensi menjadi klaster. 3) Pemetaan calon klaster melalui identifikasi industri inti menghasilkan konfigurasi klaster, yaitu: Pasar, Produk Ekspor, Pemosok dan Infrastruktur dengan masing-masing komponennya. 4) Strukturisasi dan klasifikasi sub elemen sistem pengembangan dengan menggunakan teknik Interpretive Structural Modelling menghasilkan subelemen kunci dan subelemen dengan driver power yang kuat pada setiap elemen sistem pengembangan. 5) Pemeringkatan tingkat kepentingan elemen Peran Pemerintah dan elemen Aktivitas Dunia Usaha dalam mencapai elemen Tujuan dengan menggunakan teknik Independent Preference Evaluation, menunjukkan bahwa pengembangan klaster agroindustri membawa implikasi akan perlunya pengembangan kelembagaan, pengembangan infrastruktur,
185
pengembangan sumber daya manusia, pengembangan teknologi dan pengembangan pasar. 6) Klasifikasi dan strukturisasi subelemen Pelaku yang dihasilkan dapat digunakan
untuk
mengembangkan
sistem
kelembagaan
klaster
agroindustri melalui subelemen -subelemen Pelaku yang saling berkaitan . Model kelembagaan klaster agroindustri yang dikembangkan merupakan organisasi industri yang mempunyai bentuk struktur jaringan. Penerapan
Sistem
Pendukung
Keputusan
Model
StraKlas
perancangan strategi pengembangan agroindustri unggulan
untuk
menggunakan
kompetensi inti memberikan kesimpulan sebagai berikut : 1) Berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia 2000 (KBLI 2000) untuk industri 3-digit, agroindustri di Kabupaten Bogor terkelompok dalam Makanan; Minuman; Kulit; Kayu, Rotan dan Bambu; Kertas dan Barang dari Kertas; Karet dan Barang dari Karet. 2) Identifikasi kompetensi inti daerah untuk setiap kelompok agroindustri yang dirancang dengan teknik MSQA menghasilkan bobot sebagai berikut: Makanan dengan bobot 0,2009; Minuman dengan bobot 0,1843; Kulit dengan bobot 0,1526; Kayu, Rotan dan Bambu dengan bobot 0,1529; Kertas dan Barang dari Kertas dengan bobot 0,1242; Karet dan Barang dari Karet dengan bobot 0,1851. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kelompok Makanan mempunyai bobot kompetensi inti tertinggi. 3) Identifikasi konsentrasi industri untuk setiap kelompok agroindustri yang dirancang dengan metode Location Quetient berdasarkan tenaga kerja menghasilkan: Makanan dengan bobot 0,1753; Minuman dengan bobot 0,2717; Kulit dengan bobot 0,2060; Kayu, Rotan dan Bambu dengan bobot 0,0797; Kertas dan Barang dari Kertas dengan bobot 0,2061; Karet dan Barang dari Karet dengan bobot 0,1612. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kelompok Minuman mempunyai bobot LQ tertinggi. 4) Identifikasi tingkat pertumbuhan daerah untuk setiap kelompok agroindustri yang dirancang dengan metode Shift Share berdasarkan jumlah tenaga kerja, menghasilkan bobot komponen Differensial Shift sebagai berikut: Makanan dengan bobot 0,1818; Minuman dengan bobot
186
0,1364; Kulit dengan bobot 0,2273; Kayu, Rotan dan Bambu dengan bobot 0,2273; Kertas dan Barang dari Kertas dengan bobot 0,1818; Karet dan Barang dari Karet dengan bobot 0,0455. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kelompok Kulit; Kayu, Rotan dan Bambu mempunyai bobot Differensial Shift tertinggi. 5) Identifikasi kemampuan ekspor untuk setiap kelompok agroindustri yang dirancang dengan metode Heuristic menghasilkan bobot kemampuan ekspor sebagai berikut : Makanan dengan bobot 0,1889; Minuman dengan bobot 0,1441; Kulit deng an bobot 0,1589; Kayu, Rotan dan Bambu dengan bobot 0,1693; Kertas dan Barang dari Kertas dengan bobot 0,1805; Karet dan Barang dari Karet dengan bobot 0,1582. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kelompok Makanan mempunyai bobot kompetensi inti tertinggi. 6) Identifikasi keterkaitan dengan usaha lain untuk setiap kelompok agroindustri yang dirancang dengan metode Heuristic menghasilkan bobot jumlah tenaga kerja sebagai berikut: Makanan dengan bobot 0,1889; Minuman dengan bobot 0,1441; Kulit dengan bobot 0,1589; Kayu, Rotan dan Bambu dengan bobot 0,1693; Kertas dan Barang dari Kertas dengan bobot 0,1805; Karet dan Barang dari Karet dengan bobot 0,1582. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kelompok Makanan mempunyai bobot keterkaitan usaha tertinggi. 7) Identifikasi jumlah tenaga kerja untuk setiap kelompok agroindustri yang dirancang dengan metode Heuristic menghasilkan bobot jumlah tenaga kerja sebagai berikut: Makanan dengan nilai bobot 0,2186; Minuman dengan bobot 0,0367; Kulit dengan bobot 0,2595; Kayu, Rotan dan Bambu dengan bobot 0,2443; Kertas dan Barang dari Kertas dengan bobot 0,1124; Karet dan Barang dari Karet dengan bobot 0,1285. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kelompok kulit mempunyai nilai bobot tertinggi. 8) Identifikasi nilai tambah untuk setiap kelompok agro industri yang dirancang dengan metode Heuristic menghasilkan bobot nilai tambah sebagai berikut: Makanan dengan bobot 0,2657; Minuman dengan bobot
187
0,0867; Kulit dengan bobot 0,1411; Kayu, Rotan dan Bambu dengan bobot 0,1502; Kertas dan Barang dari Kertas dengan bobot 0,1994; Karet dan Barang dari Karet dengan bobot 0,1569. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kelompok Makanan mempunyai bobot tertinggi. 9) Hasil perhitungan bobot elemen Tujuan pada pemilihan agroindustri unggulan dengan metode AHP menunjukkan bahwa Meningkatkan Pendapatan Daerah mempunyai bobot 0,0445; Memperluas Lapangan Kerja mempunyai bobot 0,5396; Memperluas Pasar Domestik dan Ekspor mempunyai bobot 0,2741; Meningkatkan Produktivitas Usaha mempunyai 0,1418. Dengan demikian bobot tertinggi untuk elemen Tujuan adalah Memperluas Lapangan Kerja. 10) Hasil perhitungan bobot pada elemen Kriteria menunjukkan bahwa Kompetensi Inti mempunyai bobot 0,1312; Konsentrasi Industri mempunyai bobot 0,0426; Tingkat Pertumbuhan mempunyai bobot 0,1323; Kemampuan Ekspor mempunyai bobot 0,2695; Keterkaitan Usaha mempunyai bobot 0,1007; Nilai Tambah mempunyai bobot 0,3193; Jumlah Tenaga Kerja mempunyai bobot 0,0043. Dengan demikian bobot tertinggi untuk elemen Kriteria adalah Nilai Tambah. 11) Hasil perhitungan bobot pada elemen Alternatif Kelompok Agroindustri menunjukkan bahwa Makanan mempunyai bobot 0,2042; Minuman mempunyai bobot 0,1412; Kulit mempunyai bobot 0,1544; Kayu, Rotan dan Bambu mempunyai bobot 0,1649; Kertas dan Barang dari Kertas mempunyai bobot 0,1740; Karet dan Barang dari Karet mempunyai bobot 0,1612. Dengan demikian bobot tertinggi untuk elemen Alternatif Kelompok Agroindustri Unggulan Daerah adalah kelompok Makanan. 12) Hasil identifikasi industri inti untuk industri 5-digit KBLI 2000 pada kelompok agroindustri unggulan yang memiliki peringkat tertinggi adalah Industri pengolahan teh dan kopi yang kemudian diikuti secara berturut-turut oleh Industri roti dan sejenisnya; Industri ransum pakan ternak dan ikan; Industri makaroni, mie, spagheti, bihun dan sejenisnya; Industri makanan dari cokelat dan kembang gula; Industri susu ; Industri pengasinan
dan
pemanisan
buah-buahan
dan
sayuran;
Industri
188
pengalengan buah-buahan dan sayuran; Industri pelumatan buah-buahan dan sayuran. 13) Model strukturisasi dan klasifikasi elemen dengan teknik ISM menempatkan subelemen Meningkatkan keterkaitan antar sektor dan subelemen Memanfaatkan sumber daya alam daerah sebagai sub elemen kunci pada elemen Tujuan; subelemen Pemerintah daerah sebagai subelemen kunci pada elemen Pelaku; subelemen Rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan, subelemen Perbedaan kepentingan antar perusahaan sebagai subelemen kunci pada elemen Kendala ; subelemen Melakukan koordinasi antar instansi yang terkait; dan subelemen Membangun komunikasi dan kerjasama antar anggota sebagai subelemen kunci pada elemen Peran Pemerintah; serta subelemen Mendirikan asosiasi
khusus
anggota;
dan
subelemen
Mengumpulkan
dan
mendesiminasi data dan informasi yang dibutuhkan sebagai subelemen kunci pada elemen Aktivitas Dunia Usaha. 14) Hasil pengo lahan tingkat kepentingan subelemen pada elemen Peran Pemerintah yang sangat penting dan penting dalam pencapaian tujuan pengembangan klaster agroindustri adalah Melakukan koordinasi antar instansi yang terkait; Membangun komunikasi dan kerjasama antar anggota;
Menyelenggarakan
program
pendidikan
dan
pelatihan ;
Menerbitkan peraturan yang mendukung terbentuknya persaingan yang sehat; Melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan pada perguruan tinggi dan lembaga riset pemerintah; Menyediakan fasilitas umum dan sosial di daerah ; dan Melakukan upaya menarik investor ke dalam klaster. 15) Hasil pengolahan tingkat kepentingan subelemen pada elemen Aktivitas Dunia Usaha yang sangat penting dan penting dalam mencapai tujuan pengembangan klaster agroindustri adalah Mendirikan asosiasi khusus anggota klaster; Mensponsori kegiatan penelitian dan pengembangan sesuai kebutuhan spesifik klaster; Melakukan usaha pemasaran bersama anggota klaster; Melakukan promosi dagang dan investasi bersama
189
pemerintah
daerah;
Melaksanakan
kursus
dan
seminar
untuk
meningkatkan pengetahuan dan kemampuan anggota klaster.
Kebijakan pengembangan klaster agroindustri unggulan menggunakan kompetensi inti daerah memberi implikasi sebagai berikut : 1) Pengembangan
kelembagaan
untuk
mengkoordinasikan
berbagai
aktivitas agar menghasilkan aktivitas yang sinergis. 2) Pengembangan infrastruktur baik fisik maupun non fisik untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi perkembangan agroindustri. 3) Pengembangan sumber daya manusia agar lebih mampu berinovasi. 4) Pengembangan teknologi untuk meningkatkan efesiensi dan efektivitas dalam berproduksi. 5) Pengembangan pasar untuk meningkatkan pangsa pasar yang lebih besar. 9.2 Saran Berdasarkan hasil penelitian ini, maka disarankan beberapa hal berikut : 1) Menerapkan
Model
StraKlas
pada
berbagai
tingkatan
wilayah
administratif untuk mengidentifikasi kelompok agroindustri yang berpotensi menjadi klaster unggulan di wilayah -wilayah tersebut. 2) Daerah-daerah yang secara geografis berbatasan agar menerapkan model StraKlas secara bersama-sama untuk mengidentifikasi potensi klaster agroidustri lintas batas di wilayah-wilayah tersebut. 3) Menggunakan Model StraKlas sebagai landasan penunjang keputusan untuk merancang pengembangan geografis wilayah kabupaten dan kota. 4) Menyediakan data industri kecil dan industri rumah tangga sesuai dengan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia 2000 (KBLI 2000), untuk melengkapi data pada penerapan model StraKlas.
DAFTAR PUSTAKA
Altenburg T, Meyer Stamer J. 1999. How to Promote Clusters: Policy Experiences from Latin America. World Development Vol. 27, No.9 : hal.1693-1713. Armstrong H, Taylor J. 2000. Regional Economics and Policy. Blackwell Publishing Ltd. Oxford UK. Austrian Z. 2000. Cluster Case Studies : The Marriage of Quantitative and Qualitative Information for Action. Economic Development Quarterly : Vol.14 No.1, February 2000 : 97 – 110. Austin JE. 1992. Agroindustrial Project Analysis : Critical Design Factor. The Johns Hopkins University Press. Baltimore, Maryland USA. Bekar C, Lipsey RG. 2001. Cluster and Economi Policy. Paper presented at Policies for the New Economy. Montreal. Bergman EM, Feser EJ. 1999. Industrial and Regional Cluster : Concept and Comparative Applications. The Web Book of Regional Science. http://www.rri.wvu.edu/Web Book/Bergman-Feser/htm. Blakely EJ, Bradshaw TK. 2002. London : Sage Publications.
Plann ing Local Economic Development.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2000. Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia. Jakarta. Badan Pusat Statistik. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2002. Kabupaten Bogor dalam Angka 2002. Bogor. Badan Pusat Statistik. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2002. Statistik Industri Besar dan Sedang. Jakarta. Badan Pusat Statistik. Braga V, Garry C. 2002. Policies in support of local clusters : A preliminary analysis of the hinterland zone of the north Portuguese cost. Paper presented at the EUNIP Conference. Turku, Fin land. Brenner T. 2004. Local Industrial Cluster – Existence, Emergence and Evolution. London and New York : Routledge, Taylor and Francis Group. Brown JG. 1994. Agroindustrial Investment and Operations. Washington D.C. : The World Bank.
Burger K, Kameo D, Sandee H. 2001. Clustering of Small Agro Processing Firms in Indonesia. International Food and Agribusiness Review. Vol. 2 : 289-299. Cheney, E. 2002. Cluster Theories. http://bioontario.ca/UserResources CB/24/Cluster Theories pdf. [ 17/8/2002 ]. Christensen P, McIntyre N, Pikholy L. 2002. Bridging Community and Economic Development. Cleveland, Ohio : Shorebank Enterprise Group. Cooke, P. 2001. Clusters as Key Determinant of Economic Growth. Didalam: Mariussen A, editor. Cluster Policies – Cluster Development ? http://www.nordregio.se/r0102.htm. [Depdiknas] Departemen Pendidikan Nasional, 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. [Depperin] Departemen Perindustrian. 2005. Kebijakan Pembangunan Industri Nasional. Departemen Perindustrian. [Depperin] Departemen Perindustrian. 2006. Pengembangan Industri Kecil dan Menengah Furniture Melalui Pendekatan Klaster. Departemen Perindustrian. [Depperindag] Departemen Perindustrian dan Perdagangan. 2001. Study on Restructuring the Agro-based Industry. Ministry of Industry and Trade. Dinc M. 2002. Regional and Local Economic Analysis Tools. Washington DC : The Wolrd Bank. Dillon HS. 1999. Harapan.
Pertanian Membangun Bangsa.
Jakarta : Pustaka Sinar
Doeringer PB, Terkla DG. 1995 . Business Strategy and Cross Industry Clusters. Economic Development Quarterly : 9 : 225-37. Enright M J. 1999. The Globalization of Competition and the Localization of Competitive Advantage : Policies Toward Regional Clustering. Didalam : Hood N, , Young S, editor. The Globalization of Multinational Enterprise Activity and Economic Development. London : Macmillan. Enright M.J, Ffowcs-Williams I. 2000. Enhancing the Competitiveness of SMEs in the Global Economy: Strategies and Policies. OECD. Paris . [ERC] Ecotec Research & Consulting. 2005. A Practical Guide to Cluster Development. London : Department of Trade and Industry, United Kingdom.
Eriyatno. 1999. Ilmu Sistem - Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Managemen. Edisi Kedua. Bogor. IPB Press. Feser EJ, Bergman EM. 2000. National Industry Cluster Templates: A Framework for Applied Regional Cluster Analysis. Regional Studies: Vol. 34.1: 1-19 Glasmeier AK, Harrison B. 1997. Response : Why Business Alone Won’t Redevelop the Inner City. A Friendly Critique of Michael Porter’s Approach to Urban Revitalization. Economic Development Quarterly : Vol. 14 No.1. February 2000 : 65 – 96. Godet M. 1994. From Anticipation to Action. A handbook of strategic prospective. Paris. United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization. Gordon G. 1989. System Simulation. New Delhi : Prince Hall of India Private Limited. Haines SG. 2000. The Systems Thinking Approach to Strategic Planning and Management. Boca Raton : St. Lucie Press. Hamel G, Prahalad CK. 1989, Strategic Intent. Harvard Business Review : May – June 1989 : 2 – 14. Hamel G, Prahalad CK. 1994, Competing for the future. Boston, Massachusetts. Harvard Business School Press. Hammer M. 2001. The Agenda. New York, New York. Crown Business. Hartmann C. 2002. Styria. Didalam : Raines P, editor. Cluster Development and Policy. Chippenham, Wiltshire : Antony Rowe Ltd. hlm 123-140. Hitt MA, Ireland RD, dan Hoskisson RE. 1999. Manajemen Strategis Menyongsong Era Persaingan dan Globalisasi, alih bahasa : Armand Hediyanto, Tulus Sihombing dan Yati Sumiarti. Jakarta : Penerbit Erlangga. Kanter RM. 2001. Frontiers of Management. Boston, Massachusetts : Harvard Business School Press. Kasper W, Bennett J, Jackson S, Markowski S. 1992. The International Attractiveness of Regions : A Case Study of the Gladstone-Fitzroy Region in Central Queensland, Canberra : Center for Management Logistics, University College. Knorringa P, Meyer Stamer J. 1998. New Dimension in Local Enterprise Cooperation and Development : From Clusters to Industrial Districts. ATAS Bulletin XI. The Hague and Duisburg.
Kuncoro M. 2002. Analisis Spasial dan Regional. Studi Aglomerasi & Kluster Industri Indonesia. Jakarta : Unit Penerbit dan Percetakan AMP YKPN. [Lembaga Pernelitian IPB]. 2000. Pengembangan Industri Kimia, Agro dan Hasil Hutan dengan Pendekatan Kluster Industri. Bogor : IPB Bogor. Le
Veen, Jessica. 1998. Urban and Regional Development. http://www.unc.edu/depts/dcrpweb/courses/261leveen/litrev.htm.
Manetsch TJ, Park GL. 1977. System Analysis and Simulations with Application to Economic and Social Systems. Michigan State University . Marimin. 2004. Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Morosini P. 2004. Industrial Cluster, Knowledge Integration and Performance. World Development Vol. 32, No. 2, pp. 305-326. Muchdie. 2000. Kompetensi Inti Sektor Unggulan Kapet Manado Bitung. Didalam Suhandoyo, Mukti SH, Tukiyat, editor. Pengembangan Wilayah Pedesaan dan Kawasan Tertentu. Jakarta : BPPT. Munnich Jr LW, Bau MB, Berkwitz LL. 1996. A Southeastern Minnesota Industrial Cluster Study. http://www.hhh.umn.edu/centers/slp/projects/edweb/seminn.htm Murdick RG, Ross JE, Claggett JR. 1995. Sistem Informasi untuk Manajemen Modern. Jakarta : Erlangga. Nonaka I, Takeuchi H. 1995. The Knowledge Creating Company. New York : Oxford University Press. OECD. 1999. Boosting Innovation. Paris. Ohmae K. 1995. The End of the Nation State. New York, New York. The Free Press. Padmore T, Gibson H. 1998. Modelling Systems of Innovation : A Framework for Industrial Cluster Analysis in Regions. Journal Research Policy 26 : 625-641. Porter, M.E. 1990. The Competitive Advantage of Nations, First Edition. New York : The Free Press. --------------. 1998 a. The Competitive Advantage of Nations – with a new introduction. New York : The Free Press.
--------------. 1998 b. Cluster and the New Economics. Boston, Massachusetts : Harvard Business Review. --------------. 1998 c. On Competition, Boston, Massachusetts : Harvard Business Review Book. Prahalad CK, Hamel G. 1990. The Core Competence of the Corporation. Harvard Business Review ; May – June 1990 : 79 – 90. Raines P. 2002. Cluster Development and Policy. Burlington, USA : Ashgate Publishing Company. Redman JM. 2002. Understanding S tate Economies Through Industry Studies. Council of Governors’ Policy Advisors, Washington, DC. Robert LF, Michael CJ. 1991. Creative Problem Solving. Canada : John Wiley and Sons. Roberts B, Stimson RJ. 1998. Multi sectoral qualitative analysis - a tool for assessing the competitiveness of regions and formulating strategies for economic development. The Annals of Regional Science : Volume 32 Number 4, 1998 : 469 – 494. Rodriguez-Clare A. 2005. Clusters and Comparative Advantage: Implications For Industrial Policy. Journal of Development Economics: http://www.elsevier.com/locate/econbase Roelandt Th J A, Gilsing VA, van Sinderen J. 2000. Cluster -based Innovation Policy : International Experiences [Research Memorandum]. 4 th Annual EUNIP Conference. Tilburg, Netherland. Rosenfeld SA. 1995. Industrial Strength Strategies : Regional Business Clusters and Public Policy. Washington DC : Aspen Institute. Rykiel Jr EJ. 1996. Testing Ecological Model : the meaning of validation. Ecological Modelling Vol.90 : 229-244. Saaty TL. 1983. The Analytical Hierarchy Process. New York : Mc Graw Hill Publication. Sandee H, Rietveld P. 2001. Upgrading Traditional Technologies in Small Scale Industry Clusters : Collaboration and Innovation Adoption in Indonesia. The Journal of Development Studies, Vol. 37, No. 4 : 150-172. Saragih, B. 2001. Kumpulan Pemikiran Agribisnis – Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian. Terbitan Kedua. Jakarta : Yayasan Mulia Persada Indonesia.
Saxena JP, Sushil, Vrat P. 1992. Hierarchy and Classification of Program Plan Elements Using Interpretive Structural Modelling. System Practice, vol.5 (6), 651-670. Schmitz H. 1993. Industrial Districts in Europe – Policy Lessons for Developing Countries ? Discussion Paper. Institute of Development Studies. Siahaan, B. 2000. Industrialisasi di Indonesia – Sejak periode rehabilitasi sampai awal reformasi. Cetakan Pertama. Bandung : Penerbit ITB. Stewart TA. 1999. Intellectual Capital- The New Wealth of Organizations. New York : Doubleday. Stough RR, Haynes K, Kulkarni R, Auge R, Kie Q. 2000. New methods in Support of Industrial Cluster Analysis. Paper prepared for Pacific Regioanal Science Association. Tokyo, Japan. Suryadi K, Ramdhani MA. 2000. Sistem Pendukung Keputusan. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Tambunan, T. T. H. 2001 . Industrialisasi di Negara Sedang Berkembang – Kasus Indonesia. Cetakan Pertama. Jakarta : Ghalia Indonesia. Tarigan R. 2004. Ekonomi Regional – Teori dan Aplikasi. Jakarta : Bumi Aksara. Turban E. 1993. Decision Support and Expert Systems : Management Support Systems. New York : Macmillan Publishing Company. Undang-Undang RI No.22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta : Penerbit Restu Agung. Undang-Undang RI No. 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000 – 2004. Jakarta : C.V. Tamia Utama. [UNIDO] The United Nations Industrial Development Organization. 1998a. Cluster Diagnosis in Kuningan Fried Onion Cluster. Jakarta : UNIDO. ----------1998b. Cluster Diagnosis in Padang Rattan Industries. Jakarta : UNIDO. ----------1998c. Cluster Diagnosis and Action Plan. South Sulawesi Coffee Processing Cluster. Jakarta : UNIDO. ----------- 1998d. Cluster Diagnosis and Action Plan. Yogyakarta Area Leatfer Goods Cluster. Jakarta : UNIDO. Von Bertalanffy L. 2003. General System Theory. New York : George Braziller.
Vonortas NS, Auger RN. 2002. Assessing Industrial Performance. Washington: Center for International Science and Technology Policy, The George Washington University. Weyland H. 1999. Microenterprise Clusters in Rural Indonesia : Industrial Seedbed and Policy Target. World Development : Vol.27, No.9 : 15151530. Yager RR. 1993. Non Numeric Multi Criteria Multi Person Decision Making Group. Decision and Negotiatio n : 2 : 81-93.
197
Lampiran 1 Tabel Jumlah Pekerja, Unit Usaha, Nilai Input, Nilai Output dan Nilai Tambah Agroindustri Besar dan Sedang Kabupaten Bogor Tahun 2002 KBLI
Kelompok Kode 1 (Makanan)
151
Nama Industri pengolahan dan pengawetan daging, ikan,
Tenaga
Unit
Nilai Input
Nilai Output
Nilai Tambah
Kerja
Usaha
(000 Rp)
(000 Rp)
(000 Rp)
314
7
29,682
41,241
11,559
buah-buahan, sayuran, minyak dan lemak 152
Industri susu dan makanan dari susu
218
2
297,873
196,901
99,028
153
Industri penggilingan padi-padian, tepung
456
4
792,046
1,108,371
316,324
Industri makanan lainnya
7,104
52
470,841
422,917
252,077
Jumlah
8,092
65
1,590,442
1,769,430
678,988
Industri minuman
1,268
9
70,863
151,258
80,396
Jumlah
1,268
9
70,863
151,258
80,396
0
0
0
0
0 299,078
dan makanan ternak 154 2 (Minuman) 3 (Kulit)
155 182
Industri pakaian jadi/barang jadi dari kulit berbulu dan pencelupan bulu
191
Industri kulit dan barang jadi dari kulit (termasuk kulit buatan)
4,490
13
1,091,486
1,390,563
192
Industri alas kaki
6,249
18
75,383
145,159
69,776
10,739
31
1,166,869
1,535,722
368,854
672
6
17,621
28,088
20,467
2,246
15
340,202
602,487
262,285
Industri furnitur
5,701
28
152,146
255,131
102,984
Jumlah
8,619
49
509,969
885,706
385,736
Industri kertas dan barang dari kertas dan sejenisnya
3,889
13
803,745
1,110,228
306,483
Jumlah
3,889
13
803,745
1,110,228
306,483
Industri karet dan barang dari karet
4,865
16
846,077
1,107,990
261,912
Jumlah
4,865
16
846,077
1,107,990
261,912
37,472
183
4,987,965
6,560,334
2,082,369
Jumlah 4 (Kayu, Rotan, Bambu)
201
Industri penggergajian kayu dan pengawetan kayu, rotan, bumbu dan sejenisnya
202
Industri barang-barang dari kayu dan barang anyaman dari rotan, bambu dan sejenisnya
361 5 (Kertas, Barang dari Kertas) 6 (Karet, Barang dari Karet)
210 251
Seluruh Agroindustri
198
Lampiran 2 Tabel Jumlah Pekerja, Unit Usaha, Nilai Input, Nilai Output dan Nilai Tambah Agroindustri Besar dan Sedang Indonesia Tahun 2002 KBLI
Kelompok Kode 1 (Makanan)
151
Nama Industri pengolahan dan pengawetan daging, ikan,
Tenaga
Unit
Nilai Input
Nilai Output
Nilai Tambah
Kerja
Usaha
(000 Rp)
(000 Rp)
(000 Rp)
179,422
859
43,323,451
57,984,551
14,661,100
76,976
744
13,472,220
18,747,317
5,275,098
278,194
2,394
17,760,513
28,864,630
11,104,118
6,242
27
3,804,138
7,646,013
3,841,876
540,834
4,024
78,360,322
113,242,511
34,882,192
buah-buahan, sayuran, minyak dan lemak 153
Industri penggilingan padi-padian, tepung dan makanan ternak
154
Industri makanan lainnya
152
Industri susu dan makanan dari susu Jumlah
2 (Minuman) 3 (Kulit)
155 182
Industri minuman
23,476
237
1,607,668
3,426,934
1,819,266
Jumlah
23,476
237
1,607,668
3,426,934
1,819,266
1927
3
5 911
19280
13369
Industri pakaian jadi/barang jadi dari kulit berbulu dan pencelupan bulu
4 (Kayu, Rotan, Bambu)
191
Industri kulit dan barang jadi dari kulit (termasuk kulit buatan)
25473
159
3548537
4585150
1036613
192
Industri alas kaki
234838
347
12617988
18864458
6246470
Jumlah
262238
509
16166525
23468888
7296452
201
Industri penggergajian kayu dan pengawetan kayu, rotan,
76109
744
2347313
53556887
3009574
299754
786
19364156
34336664
14972508
bumbu dan sejenisnya 202
Industri barang-barang dari kayu dan barang anyaman dari rotan, bambu dan sejenisnya
361 5 (Kertas, Barang dari Kertas) 6 (Karet, Barang dari Karet)
210 251 D
Industri furnitur
168094
1343
5948406
9728956
3780549
Jumlah
543957
2873
27659875
97622507
21762631
Industri kertas dan barang dari kertas dan sejenisnya
94896
314
33508225
48089143
14580919
Jumlah
94896
314
33508225
48089143
14580919
Industri karet dan barang dari karet
151776
428
19032336
25006348
5974012
Jumlah
151776
428
19032336
25006348
5974012
1,617,177
8,385
176,334,951
310,856,331
86,315,472
Seluruh Agroindustri
199
Lampiran 3 Tabel Jumlah Tenaga Kerja di Kabupaten Bogor Tahun 1999 - 2002 Kelompok
KBLI Kode
Makanan
151
Nama Industri pengolahan dan pengawetan daging, ikan,
Tenaga Kerja 1999
2000
2001
2002
152
172
314
314
buah-buahan, sayuran, minyak dan lemak 152
Industri susu dan makanan dari susu
209
278
242
218
153
Industri penggilingan padi-padian, tepung
447
473
456
456
Industri makanan lainnya
7,015
8,875
7,125
7,104
Jumlah
7,823
9,798
8,137
8,092
Industri minuman
1,258
1,922
1,231
1,268
Jumlah
1,258
1,922
1,231
1,268
0
0
0
0 4,490
dan makanan ternak 154 Minuman Kulit
155 182
Industri pakaian jadi/barang jadi dari kulit berbulu dan p encelupan bulu
Kayu, Rotan, Bambu
191
Industri kulit dan barang jadi dari kulit (termasuk kulit buatan)
3,165
2,853
4,547
192
Industri alas kaki
6,266
6,165
6,443
6,249
Jumlah
9,431
9,018
10,990
10,739
125
95
699
672
2,382
4,339
2,394
2,246
201
Industri penggergajian kayu dan pengawetan kayu, rotan, bumbu dan sejenisnya
202
Industri barang-barang dari kayu dan barang anyaman dari rotan, bambu dan sejenisnya
361 Kertas, Barang dari Kertas Karet, Barang dari Karet
210 251
Industri furnitur
5,952
7,916
5,306
5,701
Jumlah
8,459
12,350
8,399
8,619
Industri kertas dan barang dari kertas dan sejenisnya
4,003
4,790
4,728
3,889
Jumlah
4,003
4,790
4,728
3,889
Industri karet dan barang dari karet
5,389
4,801
4,836
4,865
Jumlah
5,389
4,801
4,836
4,865
200
Lampiran 4 Tabel Nilai Tambah di Kabupaten Bogor Tahun 1999 - 2002 Kelompok
KBLI
Nilai Tambah (000 Rp.)
Kode Makanan
151
Nama Industri pengolahan dan pengawetan daging, ikan,
1999
2000
1,123
2001
1,361
2002
9,805
11,559
buah-buahan, sayuran, minyak dan lemak 152
Industri susu dan makanan dari susu
30,683
55,820
61,606
99,028
153
Industri penggilingan padi-padian, tepung
84,147
272,180
221,279
316,324
Industri makanan lainnya
209,518
301,103
179,759
252,077
Jumlah
325,471
630,464
472,449
678,988
Industri minuman
182,653
353,342
71,292
80,396
Jumlah
182,653
353,342
71,292
80,396
0
0
0
0
173,044
130,309
272,073
299,078
27,123
51,144
96,419
69,776
200,167
181,453
368,492
368,854
1,303
1,328
16,743
20,467
76,451
101,497
276,596
262,285
Industri furnitur
116,928
126,024
88,362
102,984
Jumlah
194,682
228,849
381,701
385,736
Industri kertas dan barang dari kertas dan sejenisnya
569,468
491,904
213,391
306,483
Jumlah
569,468
491,904
213,391
306,483
Industri karet dan barang dari karet
375,738
351,303
255,022
261,912
Jumlah
375,738
351,303
255,022
261,912
dan makanan ternak 154 Minuman Kulit
155 182
Industri pakaian jadi/barang jadi dari kulit berbulu
191
dan pencelupan bulu Industri kulit dan barang jadi dari kulit (termasuk kulit buatan)
192
Industri alas kaki Jumlah
Kayu, Rotan, Bambu
201
Industri penggergajian kayu dan pengawetan kayu, rotan, bumbu dan sejenisnya
202
Industri barang-barang dari kayu dan barang anyaman dari rotan, bambu dan sejenisnya
361 Kertas, Barang dari Kertas Karet, Barang dari Karet
210 251
221
Lampiran 5 Tampilan Pembuka Model StraKlas
222
Lampiran 6 Tampilan Model Kompetensi Inti dan Konsentrasi Industri
a. Matriks Pendapat Agregat pada Model Indeks Kompetensi Inti
b. Visualisasi Keluaran Model Input Konsentrasi Industri
223
Lampiran 7 Tampilan Model Pertumbuhan dan Model Kemampuan Ekspor
a. Visualisasi Keluaran Model Input Pertumbuhan
b. Matriks Pendapat Agregat pada Model Kemampuan Ekspor
224
Lampiran 8 Tampilan Model Keterkaitan Usaha dan Model Jumlah Tenaga Kerja
a. Matriks Pendapat Agregat pada Model Keterkaitan Usaha
b. Matriks Pendapat pada Model Jumlah Tenaga Kerja
225
Lampiran 9 Tampilan Model Nilai Tambah
a. Matriks Pendapat pada Model Nilai Tambah
226
Lampiran 10 Matriks Perbandingan Berpasangan
a. Matriks Perbandingan antar Elemen yang Berpengaruh pada Elemen Fokus
b. Matriks Perbandingan antar Elemen yang Berpengaruh pada Elemen Pendapatan Daerah
227
Lampiran 10 (Lanjutan) Matriks Perbandingan Berpasangan
c. Matriks Perbandingan antar Elemen yang Berpengaruh pada Elemen Lapangan Kerja
d. Matriks Perbandingan antar Elemen yang Berpengaruh pada Elemen Pasar
228
Lampiran 10 (Lanjutan) Matriks Perbandingan Berpasangan e. Matriks Perbandingan antar Elemen yang Berpengaruh pada Elemen Produktivitas
f. Matriks Perbandingan antar Elemen yang Berpengaruh pada Elemen Konsentrasi Industri
229
Lampiran 10 (Lanjutan) Matriks Perbandingan Berpasangan g. Matriks Perbandingan antar Elemen yang Berpengaruh pada Elemen Pertumbuhan Kelompok Agroindustri
h. Matriks Perbandingan antar Elemen yang Berpengaruh pada Elemen Tenaga Kerja
i. Matriks Perbandingan antar Elemen yang Berpengaruh pada Elemen Nilai Tambah
230
Lampiran 10 (Lanjutan) Matriks Perbandingan Berpasangan
j. Matriks Perbandingan antar Elemen yang Berpengaruh pada Elemen Kompetensi Inti Daerah
k. Matriks Perbandingan antar Elemen yang Berpengaruh pada Elemen Kemampuan Ekspor
l. Matriks Perbandingan antar Elemen yang Berpengaruh pada Elemen Keterkaitan dengan Usaha Lain
231
Lampiran 11 Tampilan Keluaran Model Pemilihan Klaster Unggulan (AHP)
a. Grafis Keluaran Model Analisis Hierarki Proses
232
Lampiran 12 Tampilan Model Identifikasi Industri Inti Klaster a. Pendapat Pakar dan Keluaran Model Identifikasi Industri Inti Klaster
233
Lampiran 13 Tampilan Model Strukturisasi Sistem Pengembangan Klaster (ISM VAXO) untuk Elemen Tujuan
a. Halaman Depan Model ISM-VAXO untuk Elemen Tujuan
b. Halaman Matriks Pendapat Agregat Elemen Tujuan
234
Lampiran 13 (Lanjutan) Tampilan Model Strukturisasi Sistem Pengembangan Klaster (ISM VAXO) untuk Elemen Tujuan
c. Keluaran Model ISM VAXO – Elemen Kunci Elemen Tujuan
235
Lampiran 14 Tampilan Model Strukturisasi Sistem Pengembangan Klaster (ISMVAXO) untuk Elemen Pelaku a. Halaman Matriks Pendapat Agregat Elemen Pelaku
b. Keluaran Model ISM-VAXO Elemen Kunci Elemen Pelaku
236
Lampiran 15 Tampilan Model Strukturisasi Sistem Pengembangan Klaster (ISMVAXO) untuk Elemen Kendala
a. Halaman Matriks Pendapat Agregat Elemen Kendala
b. Keluaran Model ISM VAXO – Elemen Kunci Elemen Kendala
237
Lampiran 16 Tampilan Model Strukturisasi Sistem Pengembangan Klaster (ISMVAXO) untuk Elemen Peran Pemerintah
a. Halaman Matriks Pendapat Agregat Elemen Peran Pemerintah
b. Keluaran Model ISM VAXO – Elemen Kunci Elemen Peran Pemerintah
238
Lampiran 17 Tampilan Model Strukturisasi Sistem Pengembangan Klaster (ISMVAXO) untuk Elemen Aktivitas Dunia Usaha
a. Halaman Matriks Pendapat Agregat Elemen Aktivitas Dunia Usaha
b. Keluaran Model ISM-VAXO – Elemen Kunci Elemen Aktivitas Dunia Usaha
239
Lampiran 18 Tampilan Model IPE untuk Peran Pemerintah
a. Penetapan Bobot Kriteria pada Model IPE (Peran Pemerintah)
b. Keluaran Akhir Model IPE (Peran Pemerintah)
240
Lampiran 19 Tampilan Model IPE untuk Aktivitas Dunia Usaha
a. Penetapan Bobot Kriteria pada Model IPE (Aktivitas Dunia Usaha)
b. Keluaran Akhir Model IPE (Aktivitas Dunia Usaha)
221
Lampiran 20 Petunjuk Penggunaan Model StraKlas
Petunjuk Instalasi Mengkopi file –file yang diperlukan serta mengatur konfigurasi sistem agar aplikasi model StraKlas dapat berjalan dengan baik.
A
plikasi model StraKlas melibatkan beberapa file beserta konfigurasi yang harus diatur sedemikian rupa sehingga aplikasi ini dapat berjalan dengan baik. File – file ini (pada PC yang berbeda) kemungkinan tidak tersedia dan konfigurasi yang ada tidak memenuhi persyaratan yang diperlukan StraKlas. Untuk menjamin berjalannya aplikasi model StraKlas dengan baik diperlukan proses instalasi yang bertujuan meng-kopi file – file yang diperlukan serta mengatur konfigurasinya. StraKlas hanya dapat berjalan pada sistem operasi yang berbasis windows tepatnya Microsoft Windows 9x atau versi yang lebih tinggi dengan minimal RAM 128 dan disk free space sebesar 5 (lima) MB. Khusus untuk sistem operasi yang multiuser (Microsoft Windows XP, Microsoft Windows 2000, atau sekelasnya) hendaknya aplikasi StraKlas diinstal pada mode administrator. Ada beberapa tahapan yang perlu diperhatikan dalam proses instalasi StraKlas Untuk melakukan prosedur instalasi disediakan sebuah CD yang berisi 3 (tiga) buah file, diantaranya: StraKlas.cab, setup .exe, dan setup.lst. Berikut adalah beberapa tahapan prosedur instalasi StraKlas: :: Hapus Versi Sebelumnya
Instalasi tidak dapat menghapus secara otomatis aplikasi StraKlas yang telah terinstal pada waktu sebelumnya. Lakukan penghapusan jika sebelumnya anda telah meng-instal Aplikasi StraKlas sesuai prosedur Menghapus Aplikasi StraKlas dari Windows. :: Jalankan File Instalasi
Jalankan file instalasi StraKlas dengan meng-klik ganda setup.exe pada direktori / drive dimana file ini ditempatkan. Ikuti semua petunjuk yang ditayangkan pada proses selanjutnya, biasanya pengguna hanya melakukan persetujuan dengan menekan tombol [Enter] pada setiap dialog yang ditampilkan. :: Update File System (Jika Diperlukan)
Untuk kasus tertentu terkadang sistem operasi harus melakukan prosedur updating file system terlebih dahulu sebelum proses instalasi dilanjutkan. Tetapi jangan khawatir, konfigurasi ini dilakukan secara otomatis, dan instalasi akan meminta windows untuk direstart sebelum progres dilanjutkan. Setujui permintaan ini dengan menekan tombol [Enter], windows secara otomatis akan melakukan booting ulang, jika tidak - lakukan booting ulang secara manual. Ulangi lagi prosedur instalasi dari awal.
222
Lampiran 20 (Lanjutan) Petunjuk Penggunaan Model StraKlas :: Instalasi Selesai
Jika proses instalasi berjalan dengan lancar, windows akan membuat program group baru dengan nama StraKlas. Untuk mengaktifkannya, klik shortcut pada Start|Programs|StraKlas|StraKlas.
223
Lampiran 20 (Lanjutan) Petunjuk Penggunaan Model StraKlas
Model StraKlas
A
Plikasi Model StraKlas merupakan implementasi Sistem Penunjang Keputusan dari Model Strategi Pengembangan Klaster Agroindustri Unggulan Menggunakan Kompetensi Inti di Daerah Kabupaten dan Kelembagaannya yang dirancang dalam suatu paket program komputer yang diberi nama StraKlas. Model StraKlas dirancang dengan tujuan untuk membantu pengguna, baik peneliti, pengambil kebijakan, investor, lembaga pembiayaan maupun lembaga ekonomi dalam proses pengambilan keputusan pada pengembangan agroindustri unggulan dengan pendekatan klaster. Uraian ini dirancang untuk membantu operasionalisasi penggunaan aplikasi model StraKlas.
Menjalankan Aplikasi Model StraKlas Aplikasi model StraKlas dapat dijalankan apabila proses instalasi berjalan dengan baik. Apabila terjadi kesalahan dalam prosedur instalasi ataupun pada saat eksekusi program, laporkan kembali kesalahan tersebut kepada system designer. Untuk menjalankan aplikasi StraKlas, klik tombol [Start] pada taskbar windows – kemudian pada menu Programs ditampilkan beberapa aplikasi (program group) yang terinstal dalam windows dan salah satunya adalah StraKlas. Arahkan pointer pada grup StraKlas kemudian klik shortcut StraKlas untuk mengaktifkannya.
Gambar 1. Visualisasi dialog akses aplikasi StraKlas.
224
Lampiran 20 (Lanjutan) Petunjuk Penggunaan Model StraKlas Halaman pertama yang ditampilkan aplikasi StraKlas adalah dialog akses aplikasi yang berguna sebagai gerbang otorisasi penggunaan aplikasi. Pada dialog ini ditanyakan mengenai jenis pengguna dan passowrd-nya. Pilihlah jenis pengguna pada pilihan ‘User’ dan berikan password yang bersesuaian. Klik tombol [Lanjut] atau tekan [Enter] untuk menyetujuinya dan klik [Batal] atau tekan [Es] untuk membatalkannya. Apabila jenis pengguna beserta password-nya disetujui, maka anda dapat menggunakan aplikasi ini dengan fitur yang sesuai jenis user-nya.
Struktur Aplikasi StraKlas Secara struktural konfigurasi aplikasi model StraKlas terdiri dari beberapa modul (halaman dialog) yang masing-masing dikonstruksi untuk memproses input berupa data untuk menghasilkan output yang berbentuk informasi, alternatif keputusan, strategi kebijakan, atau upaya pengembangan. Modul-modul tersebut secara umum dikelompokkan ke dalam 6 (enam) komponen utama yaitu Bobot Direct, AHP, Inti Klaster, ISM, IPE, dan Kinerja. Keenam komponen tersebut dapat diakses dengan cara meng-klik komponen yang bersesuaian pada panel ‘Menu Utama’ yang ditempatkan pada bagian kanan atas aplikasi. Sedangkan modul-modul/halaman dikumpulkan pada panel ‘Sub Menu’ yang terletak di sebelah kiri aplikasi, klik modul-modul/halaman yang diinginkan untuk menampilkan detail modul/halaman tersebut.
Keluar Aplikasi Bobot Direct Kompetensi Inti Konsentrasi Industri Pertumbuhan Kemampuan Ekspor Keterkaitan Usaha Jumlah Tenaga Kerja Nilai Tambah
Kinerja
AHP (Pemilihan Kelompok Agroindustri Unggulan)
Inti Klaster
IPE (Tingkat Kepentingan) ISM (Strukturisasi Elemen Sistem Pengembangan) Tujuan Pelaku Kendala Peran Pemerintah Aktivitas
Gambar 2. Struktur sistem aplikasi model StraKlas
225
Lampiran 20 (Lanjutan) Petunjuk Penggunaan Model StraKlas Model Indeks Kompetensi Inti
Model Indeks Kompetensi Inti dalam paket StraKlas dirancang untuk membantu pengguna mengidentifikasi indeks kompetensi inti masing-masing kelompok agroindustri. Keluaran dari model ini berupa bobot/vektor dari beberapa alternatif kelompok agroindustri berdasarkan rating pendapat pakar terhadap alternatif-alternatif tersebut berdasarkan kriteria yang ditetapkan. Model Indeks Kompetensi Inti diolah menggunakan teknik Multi Sectoral Quantitative Analysis (MSQA). Petunjuk penggunaan model ini dibahas secara rinci pada bagian berikutnya (Petunjuk Penggunaan Modul MSQA). Model Konsentrasi Industri
Model Konsentrasi Industri di dalam paket StraKlas dirancang untuk membantu pengguna dalam melakukan analisis konsentrasi industri dari berbagai kelompok agroindustri pada suatu wilayah. Keluaran dari model ini berupa bobot/vektor dari beberapa alternatif kelompok agroindustri berdasarkan proporsi jumlah tenaga kerja regional dengan jumlah tenaga kerja nasional pada wilayah yang dianalisa. Model ini menggunakan pendekatan Location Quotinent (LQ) yang petunjuk penggunaannya dapat dilihat pada topik berikutnya (Petunjuk Penggunaan Modul LQ). Model Tingkat Pertumbuhan
Model Tingkat Pertumbuhan di dalam paket StraKlas dirancang untuk membantu pengguna dalam menentukan tingkat pertumbuhan kelompok agroindustri pada suatu wilayah. Keluaran dari model ini berupa bobot/vektor dari beberapa alternatif kelompok agroindustri berdasarkan masukan jumlah tenaga kerja pada dua periode yang berbeda di wilayah yang dianalisa. Model Tingkat Pertumbuhan dalam paket StraKlas menggunakan teknik pengolahan Shift Share yang petunjuk penggunaannya dibahas secara rinci pada bagian berikutnya (Petunjuk Penggunaan Modul Shift Share). Model Kemampuan Ekspor
Model Kemampuan Ekspor dalam paket StraKlas dikembangkan untuk membantu pengguna dalam proses pengambilan keputusan tentang kemampuan ekspor masingmasing kelompok agroindustri. Keluaran dari model ini berupa bobot/vektor dari beberapa alternatif kelompok agroindustri berdasarkan rating pendapat pakar terhadap alternatif-alternatif tersebut berdasarkan kriteria yang ditetapkan. Model Kemampuan Ekspor Inti diolah menggunakan teknik heuristik yang mempunyai metodologi identik dengan teknik Multi Sectoral Quantitative Analysis (MSQA). Petunjuk penggunaan model ini dibahas secara rinci pada bagian berikutnya (Petunjuk Penggunaan Modul MSQA). Model Keterkaitan dengan Usaha Lain
Model Keterkaitan dengan Usaha Lain dalam paket StraKlas dikembangkan untuk membantu pengguna dalam proses pengambilan keputusan tentang keterkaitan kelompok agroindustri dengan kelompok lainnya. Keluaran dari model ini berupa bobot/vektor keterkaitan dari beberapa alternatif kelompok agroindustri berdasarkan rating pendapat pakar terhadap alternatif-alternatif tersebut berdasarkan kriteria yang ditetapkan. Model Keterkaitan dengan Usaha Lain diolah menggunakan teknik pengolahan yang identik dengan teknik Multi Sectoral Quantitative Analysis (MSQA).
226
Lampiran 20 (Lanjutan) Petunjuk Penggunaan Model StraKlas Model Jumlah Tenaga Kerja
Model Jumlah Tenaga Kerja dalam paket StraKlas dikembangkan untuk membantu pengguna dalam proses pengambilan keputusan tentang vektor kelompok agroindustri pada kriteria jumlah tenaga kerja. Keluaran dari model ini berupa bobot/vektor jumlah tenaga kerja dari beberapa alternatif kelompok agroindustri berdasarkan masukan jumlah tenaga kerja setiap periode yang dikelompokan pada berbagai kelompok agroindustri. Model Jumlah Tenaga Kerja diolah menggunakan teknik heuristik yang petunjuk penggunaannya identik dengan petunjuk penggunaan pada Model Nilai Tambah. Model Nilai Tambah
Model Nilai Tambah dalam paket StraKlas dikembangkan untuk membantu pengguna dalam proses pengambilan keputusan tentang vektor kelompok agroindustri pada kriteria nilai tambah. Keluaran dari model ini berupa bobot/vektor nilai tambah dari beberapa alternatif kelompok agroindustri berdasarkan masukan nila i tambah setiap periode yang dikelompokan pada berbagai kelompok agroindustri. Model Nilai Tambah diolah menggunakan teknik heuristik yang petunjuk penggunaannya dibahas secara rinci pada bagian berikutnya (Petunjuk Teknis Penggunaan Modul Nilai Tambah). Model Pemilihan Kelompok Agroindustri Unggulan
Model Pemilihan Kelompok Agroindustri Unggulan dalam paket StraKlas dikembangkan untuk membantu pengguna dalam proses pengambilan keputusan dalam rangka menentukan kelompok agroindustri potensial untuk dikembangkan sebagai klaster industri unggulan daerah. Model ini menggunakan teknik Analisis Hirarki Proses (AHP) yang petunjuk penggunaannya dibahas secara rinci pada bagian berikutnya (Petunjuk Penggunaan Modul AHP). Model Identifikasi Industri Inti Klaster
Model Identifikasi Industri Inti Klaster di dalam paket StraKlas dirancang untuk membantu pengguna dalam melakukan analisis konsentrasi industri dari berbagai kelompok agroindustri yang lebih spesifik dari kelompok agroindustri yang hirarkinya lebih tinggi pada suatu wilayah. Keluaran dari model ini berupa bobot/vektor dari beberapa alternatif kelompok agroindustri berdasarkan data aktual kelompok agroindustri pada berbagai kriteria. Model ini menggunakan teknik Indeks Komposit yang petunjuk penggunaannya dapat dilihat pada topik berikutnya (Petunjuk Penggunaan Modul Indeks Komposit). Catatan:
Masukan data pada model ini harus disaring terlebih dahulu yaitu kelompok agroindustri yang mempunyai nilai LQ lebih dari 1 (satu). Gunakan Model LQ sesuai dengan petunjuk yang telah dijelaskan sebelumnya. Model Strukturisasi Elemen Sistem Pengembangan
Model Strukturisasi Elemen Sistem Pengembangan dirancang dengan tujuan menstrukturisasi elemen sistem pengembangan klaster agroindustri unggulan daerah. Rekayasa dilakukan dengan bantuan teknik Interpretive Structural Modelling (ISM) dengan
227
Lampiran 20 (Lanjutan) Petunjuk Penggunaan Model StraKlas input pendapat para ahli yang dipilih. Output dari model ini adalah struktur sistem pengembangan agroindustri. Petunjuk teknis penggunaan Modul Strukturisasi Elemen Sistem Pengembangan dapat dibahas secara rinci pada bagian berikutnya (Petunjuk Penggunaan Modul ISM VAXO). Model Tingkat Kepentingan Peran Pemerintah dan Aktivitas Dunia Usaha
Model Tingkat Kepentingan Peran Pemerintah dan Aktivitas Dunia Usaha dalam paket StraKlas merupakan implementasi dari rekayasa model hubungan antar subelemen sistem pengembangan dengan teknik Multi Expert Multi Criteria Decision Making. Outputnya adalah tingkat kepentingan hubungan antar subelemen. Teknis Penggunaan Model Tingkat Kepentingan Peran Pemerintah dan Aktivitas Dunia Usaha dapat dilihat secara rinci pada bagian berikutnya (Petunjuk Penggunaan Modul IPE) Model Kinerja Klaster
Model Kinerja Klaster dimaksudkan untuk mengikuti perkembangan klaster industri dalam kaitannya dengan dengan intervensi dan kebijakan-kebijakan yang diambil Pemerintah Daerah untuk mendukung pengembangan klaster industri. Teknis Penggunaan Model Kinerja dapat dilihat secara rinci pada bagian berikutnya (Petunjuk Penggunaan Modul Kinerja)
Mengakhiri Aplikasi Untuk mengakhiri aplikasi StraKlas, gunakan tombol x ‘Close’ yang diletakkan pada bagian kanan atas aplikasi.
Catatan : Petunjuk penggunaan selengkapnya terdapat pada buku Petunjuk Penggunaan Aplikasi Model Sistem Penunjang Keputusan – StraKlas.