RANCANG BANGUN MODEL PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI AREN DI SULAWESI UTARA
TOMMY FERDY LOLOWANG
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
IPB 2012
TOMMY FERDY LOLOWANG 995003
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Rancang Bangun Model Pengembangan Klaster Agroindustri di Sulawesi Utara adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Februari 2012
Tommy Ferdy Lolowang NRP 995003
ABSTRACT TOMMY FERDY LOLOWANG. Modelling Design for Cluster Plan of Sugar-palm Agroindustry in Sulawesi Utara. Under direction of DJUMALI MANGUNWIDJAJA, MARIMIN, ANAS MIFTAH FAUZI, and TITI CANDRA SUNARTI Sugar-palm (Arenga pinnata Merr) is local plant which produced some products such as palm sugar, brewing and alcohol. Most of sugar-palm agroindustries in Indonesia are rural industries and involved many household for harvesting and processing. This research is aimed to design a system modeling for strategic planning in the development of sugar-palm agroindustry. Sulawesi Utara is second production center in Indonesia, was chosen as case study. Designing models consisted of (1) determinationof location, (2) determination of core industry, (3) cluster institutional, (4) determination of processing tecnologiy, and (5) financial analysis. The result showed that Kabupaten Minahasa Selatan was the potential location for agroindustry cluster development in Sulawesi Utara, with palm-sugar based industry was the most prospective core industry, and crystal palm-sugar as most prospective products. The results explained the interpretive structural modeling could be identified as hierarchical structure, classification of matrix driver power-dependency, and the key elements of the essential agroindustry development system. Output from ptocessing technology models shows that crystal palm sugar industry with 5000 liters of palm saps production capacity and open-pan & vacuum evaporating techniques were chosen as competitive processing technology; and feasible to be developed in Sulawesi Utara. Keywords: sugar-palm, palm-sugar, agoindustry cluster, feasibility analysis
RINGKASAN TOMMY FERDY LOLOWANG. Rancang Bangun Model Pengembangan Klaster Agroindustri Aren di Sulawesi Utara. Dibimbing oleh DJUMALI MANGUNWIDJAJA, MARIMIN, ANAS MIFTAH FAUZI, dan TITI CANDRA SUNARTI. Agroindustri aren memiliki potensi untuk dikembangkan, baik ditinjau dari ketersediaan bahan baku, tenaga kerja, proses produksi, maupun peluang pasar. Pengembangan industri ini mempunyai arti penting karena dapat memperluas kesempatan kerja, meningkatkan nilai tambah, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat khususnya di wilayah pedesaan. Penelitian bertujuan untuk mendapatkan model penunjang keputusan pengembangan klaster agroindustri yang menggunakan bahan baku yang berasal dari tanaman aren di Sulawesi Utara. Sistem model yang dibangun dianalisi dengan menggunakan beberapa teknik pendekatan. Sub model lokasi pengembangan klaster digunakan teknik loqation quotient dan analitycal hirarchy process (AHP), sub model industri inti menggunakan teknik AHP, sub model kelembagaan klaster menggunakan teknik interpretive structural modelling, sub model pemilihan produk menggunakan teknik AHP, sub model penentuan kapasitas olah dan teknologi pengolahan menggunakan metode perbandingan eksponensial. Sedangkan sub model penilayan kelayakan investasi menggunakan kriteria-kriteria finansial. Berdasarkan keluaran model, lokasi pengembangan klaster agroindustri aren prioritas di Sulawesi Utara adalah Kabupaten Minahasa Selatan, diikuti oleh Kota Tomohon, dan Kabupaten Minahasa. Sedangkan agroindustri inti prospektif untuk dikembangkan adalah agroindustri gula aren, diikuti oleh agroindustri bioetanol dan agroindustri minuman beralkohol. Model kelembagaan pengembangan klaster yang dibangun terdiri dari lima elemen sistem yaitu elemen tujuan pengembangan, elemen pelaku, elemen kendala, elemen aktivitas dan elemen indikator keberhasilan. Berdasarkan hasil analisis struktur sistem terhadap elemen-elemen tersebut diperoleh masing-masing: (1) Sub elemen kunci tujuan pengembangan klaster agroindustri aren adalah meningkatkan pendapatan petani penyadap aren, meningkatkan nilai tambah agroindustri, dan meningkatkan kemampuan inovasi dan teknologi; (2) Sub elemen kunci pelaku pengembangan adalah pemilik lahan, petani penyadap, agroindustri pengolahan, industri terkait / pendukung, pedagang perantara, kelompok tani dan koperasi; (3) Sub-elemen kunci kendala pengembangan adalah kurangnya dukungan dari pemerintah, rendahnya kualitas sumberdaya manusia, dan rendahnya kemampuan manajerial; (4) Sub elemen kunci aktivitas pengembangan adalah pengembangan kerjasama dan koordinasi kegiatan antar agroindustri aren, pengembangan kerjasama dengan industri / lembaga terkait, dan pengembangan inovasi dan aplikasi teknologi; dan (5) Sub-elemen kunci indikator keberhasilan pengembangan adalah peningkatan
jumlah dan bentuk kerjasama antar pelaku dan peningkatan kemampuan penguasaan teknologi Model pemilihan teknologi yang didahului dengan penentuan produk unggulan menunjukan bahwa usaha agroindustri gula semut merupakan produk yang paling potensi untuk dikembangkan. Kapasitas olah unit pengolahan gula semut yang terpilih adalah 5.000 l nira per satu kali olah. Sedangkan teknologi proses yang dianjurkan teknik open pan dengan vacum evaporator. Model kelayakan usaha agroindustri aren khususnya usaha pengolahan gula semut menunjukan bahwa pada tingkat kapasitas olah 5.000 l, harga jual di tingkat pabrik sebesar Rp15.000,00 per kg adalah layak dan menguntungkan untuk dilaksanakan. Keuntungan bersih yang diperoleh adalah Rp1.192.876.720,00 per thn dengan tingkat pengembalian modal mencapai 41,17%. Model simulasi kelayakan usaha menunjukan bahwa jika harga produk mengalami penurunan sebesar 20% menjadi Rp12.000,00 per kg maka usaha pengolahan agroindustri gula semut tersebut masih menguntungkan karena koefisien-koefisien indikator yang diperoleh masih berada pada kategori layak dimana keuntungan bersih rata rata yang diperoleh adalah Rp406.164.220,00 per thn. Namun apabila harga bahan baku mengalami kenaikan sebesar 50% menjadi Rp1.500,00 per l, maka usaha pengolahan gula semut tersebut secara ekonomi tidak layak untuk dilaksanakan karena manfaat riil yang diperoleh bernilai negatif.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
RANCANG BANGUN MODEL PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI AREN DI SULAWESI UTARA
TOMMY FERDY LOLOWANG
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Sukardi, M.M. Dr. Ir. Sapta Raharja, DEA. Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Ir. Undang Fadjar, M.Sc. : Dr. Ir. Endang Warsiki, STP., M.T.
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di dusun kecil Torout Tompasobaru di Kabupaten Minahasa Selatan pada Tanggal 3 Agustus 1964 sebagai anak pertama dari pasangan ayah Alexander Lolowang dan ibu Margotje Poli. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di Kolongan-Atas Sonder pada tahun 1975, Sekolah Menengah Pertama di Sonder pada tahun 1979, sedangkan Sekolah Menengah Atas di Kawangkoan pada tahun 1982. Pendidikan sarjana diselesaikan pada Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi pada Tahun 1982. Pada Tahun 1993 penulis mengikuti Program Pembangunan Nasional di Universitas Indonesia. Pada tahun 1998 penulis menyelesaikan studi S2 di Institut Pertanian Bogor Program Studi Ekonomi Pertanian. Penulis diangkat sebagai pegawai negeri sipil pada tahun 1989 dan sejak saat itu bekerja sebagai staf pengajar pada Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi Manado. Pada tahun 2004 penulis menikah dengan Martha Dorkas Pasla SP dan dikarunia tiga orang anak yaitu Axel Dennis Lolowang, Chelsea Aurelia Lolowang, dan Luvmitha Ivory Lolowang. Pada tahun 1999 penulis diberi kesempatan melanjutkan studi S3 pada Program Studi Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan bantuan dana Beasiswa Pendidikan Pascasarjana yang diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Pada tahun 2003 penulis memutuskan untuk pindah ke Program Studi Teknologi Industri Pertanian. Sebuah artikel berjudul Model Penunjang Keputusan Pengembangan Klaster Agroindustri Aren di Sulawesi Utara akan diterbitkan pada Jurnal Teknologi Industri Pertanian pada Edisi Maret tahun 2012 dan artikel lain berjudul Model Penilaian Kelayakan Investasi Agroindustri Gula Aren akan diterbitkan pada Buletin Balitka dan Tanaman Palma lainnya pada Edisi Mei tahun 2012.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ..................................................................................................... xiii DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. xiv DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................................. xv 1
PENDAHULUAN ............................................................................................... 1.1. Latar Belakang ............................................................................................. 1.2. Tujuan Penelitian .......................................................................................... 1.3. Ruang Lingkup ............................................................................................. 1.4. Manfaat Penelitian ........................................................................................ 1.5. Kebaruan Penelitian ......................................................................................
1 1 4 4 5 5
2
TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................... 2.1. Pendekatan Sistem ........................................................................................ 2.2. Agroindustri Aren ......................................................................................... 2.3. Teknologi Pengolahan Agroindustri Aren .................................................... 2.4. Klaster Agroindustri ..................................................................................... 2.5. Pengembangan Inovasi dan Teknologi ......................................................... 2.6. Metode Penunjang Keputusan ...................................................................... 2.6.1. Location Quotients (LQ) ................................................................... 2.6.2. Analytical Hierarchy Process ........................................................... 2.6.3. Interpretive Structural Modelling ..................................................... 2.6.4. Metode Perbandingan Eksponensial ................................................. 2.6.5. Teknik Heuristik ............................................................................... 2.6.6. Analisis Kelayakan Finansial ............................................................
6 6 8 10 12 19 21 22 22 23 26 26 27
3
METODOLOGI PENELITIAN .......................................................................... 3.1. Kerangka Pemikiran ..................................................................................... 3.2. Tahapan Penelitian ........................................................................................ 3.3. Jenis dan Sumber Data .................................................................................. 3.4. Metode Pengumpulan Data ........................................................................... 3.5. Metode Pengolahan Data ..............................................................................
31 31 32 34 34 34
4
ANALISIS SISTEM ............................................................................................ 4.1. Analisis Sistuasional ..................................................................................... 4.2. Analisis Kebutuhan ....................................................................................... 4.3. Formulasi Permasalahan ............................................................................... 4.4. Identifikasi Sistem ........................................................................................
36 36 39 41 42
5
PEMODELAN SISTEM ..................................................................................... 5.1. Konfigurasi Model Pengembangan Klaster .................................................. 5.1.1. Penentuan Lokasi Unggulan ............................................................. 5.1.2. Penentuan Industri Inti ......................................................................
44 45 45 46
5.1.3. Identifikasi dan Strukturisasi Model Kelembagaan Klaster .............. 5.2. Konfigurasi Model Pengembangan Teknologi Pengolahan ......................... 5.2.1. Penentuan Produk Unggulan ............................................................ 5.2.2. Penentuan Kapasitas Olah ................................................................ 5.2.3. Penentuan Teknologi Pengolahan ...................................................... 5.3. Konfigurasi Model Kelayakan Investasi ......................................................
47 49 49 49 50 51
6
VERIFIKASI DAN VALIDASI MODEL .......................................................... 6.1. Model Pengembangan Klaster Agroindustri Aren ....................................... 6.1.1. Sub Model Lokasi Pengembangan ................................................... 6.1.2. Sub Model Industri Inti ..................................................................... 6.2. Model Struktural Kelembagaan Pengembangan .......................................... 6.2.1. Sub Model Sistem Elemen Tujuan ................................................... 6.2.2. Sub Model Sistem Elemen Pelaku .................................................... 6.2.3. Sub Model Sistem Elemen Kendala ................................................. 6.2.4. Sub Model Sistem Elemen Aktivitas ................................................ 6.2.5. Sub Model Sistem Elemen Indikator Keberhasilan .......................... 6.3. Model Pengembangan Teknologi Pengolahan ............................................. 6.3.1. Sub Model Produk Unggulan ........................................................... 6.3.2. Sub Model Kapasitas Olah ............................................................... 6.3.3. Sub Model Teknologi Pengolahan .................................................... 6.4. Model Penilaian Kelayakan Investasi ...........................................................
52 52 52 54 55 56 58 59 61 63 65 65 67 70 72
7
RANCANGAN SISTEM PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI AREN ............................................................................................... 7.1. Sistem Pengembangan Lokasi dan Industri Inti ........................................... 7.2. Sistem Pengembangan Kelembagaan ............................................................ 7.3. Sistem Pengembangan Teknologi ................................................................. 7.4. Sistem Pengukuran Kinerja .......................................................................... 7.5. Implikasi Kebijakan ......................................................................................
76 76 77 81 82 83
8
KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................... 87 8.1. Kesimpulan ................................................................................................... 87 8.2. Saran ............................................................................................................. 88
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 89 LAMPIRAN ................................................................................................................ 97
DAFTAR TABEL Halaman 1
Komposisi bahan dari nira kelapa, nira aren dan nira tebu .................................
9
2
Sebaran dan produksi tanaman aren di Sulawesi Utara tahun 2010 ................... 36
3
Sebaran dan produksi agroindustri aren di Sulawesi Utara tahun 2010 .............. 38
4
Analisis kebutuhan pelaku agroindustri aren ....................................................... 40
5
Koefisien LQ agroindustri aren di Sulawesi Utara ............................................. 53
6
Keluaran sub model lokasi pengembangan ......................................................... 54
7
Keluaran sub model industri inti .......................................................................... 55
8
Hubungan kontekstual elemen kelembagaan ....................................................... 56
9
Keluaran sub model elemen tujuan pengembangan ........................................... 57
10 Keluaran sub model elemen pelaku pengembangan ........................................... 58 11 Keluaran sub model elemen kendala pengembangan ......................................... 60 12 Keluaran sub model elemen aktivitas pengembangan ........................................ 62 13 Keluaran sub model elemen indikator keberhasilan pengembangan .................. 64 14 Keluaran sub model produk unggulan ................................................................ 66 15 Peringkat prioritas kapasitas olah ....................................................................... 68 16 Sumber dan produksi nira aren Kabupaten Minahasa Selatan tahun 2010 ......... 69 17 Peringkat prioritas teknologi pengolahan ........................................................... 71 18 Koefisisen indikator kelayakan investasi usaha agroindustri gula aren Pada kondisi normal ............................................................................................ 74 19 Dampak penurunan harga produk terhadap indikator kelayakan investasi ............................................................................................. 74 20 Dampak kenaikan harga bahan baku terhadap indikataor kelayakan ................. 75
DAFTAR GAMBAR 1
Halaman Proses pengolahan nira aren ............................................................................. 11
2
Kelembagaan konseptual program pengembangan agroindustri ......................
16
3
Model pengukuran kinerja klaster industri .......................................................
18
4
Kerangka pemikiran konseptual pengembangan klaster ..................................
32
5
Diagram alir perancangan model klaster agroindustri aren ..............................
33
6
Pohon industri tanaman aren ............................................................................
37
7
Diagram sebab akibat pengembangan sistem agroindustri aren ......................
42
8
Diagram input output pengembangan klaster agroindustri aren .......................
43
9
Sistem penunjang keputusan pengembangan klaster agroindustri aren ...........
45
10 Diagram alir model penentuan lokasi klaster agroindustri aren .......................
46
11 Diagram alir model penentuan industri inti ......................................................
47
12 Diagram alir identifikasi elemen sistem pelaku pengembangan ......................
48
13 Diagram alir strukturisasi elemen sistem pelaku pengembangan .....................
48
14 Diagram alir penentuan produk unggulan ........................................................
49
15 Diagram alir penentuan kapasitas olah .............................................................
50
16 Diagram alir pemilihan teknologi pengolahan .................................................
50
17 Diagram alir penilaian kelayakan investasi ......................................................
51
18 Struktur sistem pengembangan klaster agroindustri aren .................................
78
19 Jaringan kerjasama dalam sistem kelembagaan klaster .....................................
85
DAFTAR LAMPIRAN 1.
Halaman Peta lokasi penelitian ......................................................................................... 97
2.
Struktur hirarki AHP penentuan lokasi pengembangan klaster .........................
98
3.
Struktur hirarki AHP penentuan industri inti .....................................................
98
4.
Hasil pengolahan ISM elemen sistem tujuan pengembangan ...........................
99
5.
Hasil pengolahan ISM elemen sistem pelaku pengembangan ........................... 100
6.
Hasil pengolahan ISM elemen sistem kendala pengembangan ......................... 101
7.
Hasil pengolahan ISM elemen sistem aktivitas pengembangan ........................ 102
8.
Hasil pengolahan ISM elemen sistem indikator keberhasilan pengembangan .. 103
9.
Struktur hirarki AHP penentuan produk unggulan ............................................ 104
10. Kriteria penentuan kapasitas olah ...................................................................... 104 11. Aturan-aturan pemilihan kapasitas olah ............................................................ 105 12. Analisis penentuan kapasitas olah unit pengolahan gula aren ........................... 106 13. Analisis penentuan teknologi pengolahan gula aren ......................................... 107 14. Modal tetap investasi agroindustri gula aren kapasitas olah 5000 l .................. 108 15. Modal kerja investasi ........................................................................................ 109 16. Biaya investasi lainnya ...................................................................................... 109 17. Kewajiban pengembalian pinjaman usaha ......................................................... 109 18. Perkiraan rugi laba usaha agroindustri gula aren pada kondisi normal ............. 110 19. Perkiraan rugi laba usaha agroindustri gula aren pada kondisi harga bahan baku naik sebesar 50% ....................................................................................... 113 20 Perkiraan rugi laba usaha agroindustri gula aren pada kondisi harga produk Turun sebesar 20% ............................................................................................. 115
1
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu agroindustri yang memiliki potensi untuk meningkatkan nilai tambah dan pendapatan masyarakat khususnya di pedesaan adalah agroindustri yang menggunakan bahan baku dari tanaman aren. Sulawesi Utara termasuk daerah di Indonesia yang memiliki potensi tersebut baik dilihat dari sebaran tanaman aren sebagai sumber bahan baku maupun dilihat dari jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam kegiatan pengolahan. Total areal tanaman aren di Sulawesi Utara pada tahun 2010 adalah sekitar 5,615.40 Ha (BPS 2011b ) dengan populasi tanaman diperkirakan mencapai 1.585.000 pohon (Dinas Perkebunan Sulut 2011). 30-35% diantaranya merupakan tanaman produktif (Mahmud 1991), sedangkan jumlah tenaga kerja yang terlibat langsung dalam kegiatan agroindustri ini mencapai 29.600 orang ( BPS 2011b). Agroindustri aren sebagian besar diusahakan rakyat dalam skala usaha kecil dan menengah, lokasi yang terpencar, modal terbatas, peralatan dan teknologi sederhana dan akses informasi terbatas. Disamping itu, pihak-pihak yang berkepentingan
terhadap
berkembangnya
agroindustri
aren
belum
menunjukan keterpaduan dalam melakukan aktivitasnya. Petani penyadap, industri, lembaga terkait dan pemerintah dalam melaksanakan kegiatannya masih bersifat sendiri-sendiri, kurang mendukung dan belum terkoordinasi. Kondisi tersebut menyebabkan rendahnya daya saing dari agroindustri aren dibandingkan dengan agroindustri substitusi yang disebabkan oleh rendahnya produktivitas dan mutu dari produk yang dihasilkan. Kenyataan lain yang diakibatkan oleh kondisi tersebut adalah rendahnya nilai tambah yang diterima oleh pelaku-pelaku usaha khususnya petani penyadap dan industri kecil. Kecenderungan
meningkatnya
permintaan
pasar
dan
tersedianya
sumberdaya alam yang cukup besar menunjukan bahwa agroindustri aren memiliki potensi untuk menciptakan nilai tambah yang lebih besar terhadap setiap pelaku yang terlibat didalam sistem. Permintaan produk agroindustri aren dalam beberapa tahun terakhir ini menunjukkan peningkatan yang sangat berarti terutama produk gula merah. Sebagai contoh, konsumsi rataan per kapita gula
2
merah Indonesia meningkat dari 1,25 kg pada tahun 2001 menjadi 1.40 kg pada tahun 2010 (BPS 2011d). Selain itu, agroindustri aren dapat menjadi alternatif untuk mengurangi defisit kebutuhan gula nasional yang mencapai sekitar 2,8 juta ton pada tahun 2010. Namun pada kenyataannya, potensi dan peluang tersebut belum mampu direspon secara optimal oleh pihak-pihak yang berkepentingan khususnya oleh pelaku usaha maupun oleh pemerintah. Permasalahan utama yang dihadapi dalam upaya meningkatkan nilai tambah dan daya saing agroindustri aren bersumber dari sisi penawaran dan yang bersumber dari sisi permintaan (Anonim 2008). Kenyataan lokasi usahatani yang terpencar-pencar serta jauh dari lokasi industri penggolahan, diskontinuitas bahan baku, mutu bahan baku rendah, teknologi pengolahan sederhana dan tradisionil merupakan kendala yang bersumber dari sisi permintaan.
Sementara itu,
ketidakstabilan harga, rendahnya mutu produk, dan perubahan perilaku konsumen menjadi kendala utama pengembangan agroindustri aren dari sisi penawaran. Beberapa program pengembangan industri kecil dan pedesaan secara empiris telah dilaksanakan oleh pemerintah dan instansi terkait namun manfaat yang dihasilkan seringkali belum sesuai dengan yang diharapkan (Nasution 2001). Hal tersebut antara lain disebabkan oleh pola pengembangan yang dilakukan umumnya bersifat parsial yang hanya fokus pada satu atau sedikit aspek yang berhubungan dengan sistem yang harus dikembangkan. Selain itu, pola pengembangan tersebut seringkali hanya terbatas pada sektor internal yang umumnya menjadi karakteristik pembangunan di Indonesia dimana pembangunan dilakukan dengan tidak adanya koordinasi dan integrasi dengan sektor lain yang sebenarnya berkaitan satu sama lain, misalnya antara sektor pertanian dan sektor industri. Pengembangan agroindustri di Indonesia semestinya menjadi pilihan yang strategis dalam menanggulangi permasalahan ekonomi dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Hal ini disebabkan adanya kemampuan yang tinggi dari agroindustri dalam hal perluasan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha, meningkatkan nilai tambah dan perolehan devisa, mengingat sifat industri pertanian yang padat karya dan bersifat masal.
3
Hubungan timbal balik yang erat antara sektor pertanian dan industri mutlak perlu dipadukan, diserasikan dan diselaraskan menuju suatu pola pembinaan dan pengembangan industri sektor pertanian atau agroindustri, yang sesuai dengan sumber daya industri serta kondisi alam wilayah setempat, untuk dapat mewujudkan pola operasionai tersebut butuhkan persepsi yang senada dalam pengertian definitif dan Agroindustri di Indonesia (IPB 1983). Dalam rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) tahun 2010-2014 yang disusun oleh pemerintah disebutkan bahwa revitalisasi pertanian dilaksanakan antara lain melalui pengembangan agroindustri yang merupakan pilihan strategis untuk menggerakkan roda perekonomian dan pemberdayaan ekonomi masyarakat pedesaan.
Selanjutnya dikatakan bahwa pengembangan
tersebut sangat mungkin untuk dilaksanakan karena adanya kemampuan yang tinggi dari agroindustri dalam penyerapan tenaga kerja, mengingat sifat agroindustri yang padat karya dan bersifat masal. Agroindustri yang berbasis pada masyarakat tingkat menengah dan bawah ini merupakan sektor yang sesuai untuk menampung banyak tenaga kerja dan menjamin perluasan usaha sehingga akan efektif dalam upaya meningkatkan perekonomian di pedesaan. Model pengembangan industri yang relatif belum banyak diadopsi oleh sektor agroindustri di Indonesia adalah model klaster. Berdasarkan beberapa penelitian menunjukan bahwa model pengembangan agroindustri ini di beberapa menunjukan hasil yang nyata dalam meningkatkan nilai tambah dan daya saing khususnya agroindustri di pedesaan (Unido 2004; FAO 2008; Unido 2009). Klaster industri merupakan pola pikir tentang pengembangan industri suatu wilayah yang menekankan pada integrasi dan kerja sama diantara pihak-pihak yang berkepentingan yang bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing. Pengembangan klaster agroindustri aren dipandang dapat memberikan alternatif strategi yang dapat dipakai untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing agroindustri ini. Namun oleh karena agroindustri aren merupakan suatu sistem yang kompleks dan rumit maka dalam proses pengembangan model dibutuhkan suatu metode pendekatan yang dapat membantu pengembangan
4
tersebut sehingga keluaran model diharapkan dapat mewakili kondisi nyata dan berguna dalam membantu pengambilan keputusan. Eriyatno (1999) dan Marimin (2005) menyatakan bahwa pendekatan sistem dapat dipakai untuk memahami sistem secara lengkap dalam rangka merumuskan strategi pengembangan. Pendekataan sistem mensyaratkan suatu rancangan model dengan tahapan-tahapan tertentu yang dimulai dengan identifikasi kemudian diakhiri dengan penilaian terhadap keluaran model sehingga diperoleh suatu keputusan yang efektif dan efisien.
1.2. Tujuan Secara umum penelitian bertujuan untuk mendapatkan model penunjang keputusan pengembangan klaster agroindustri yang menggunakan bahan baku yang berasal dari tanaman aren di Sulawesi Utara. Secara khusus bertujuan untuk: (1) menentukan lokasi pengembangan agroindustri aren dan industri inti potensial, (2) mendapatkan struktur dan hubungan elemen sistem pengembangan klaster agroindustri aren, (3) menentukan produk unggulan serta kapasitas olah dan teknologi pengolahan pada agroindustri aren, (4) mengukur kelayakan investasi agroindustri aren terpilih.
1.3. Ruang Lingkup Penelitian ini diarahkan untuk menyusun suatu model penunjang keputusan pengembangan klaster agroindustri aren di Sulawesi Utara serta merumuskankan perencanaan strategis implementasi model tersebut namun dalam pengembangannya tidak menyertakan suatu perangkat lunak yang dapat membantu pengguna dalam pengambilan keputusan. Walaupun demikian, model yang dibangun dianggap cukup representatif untuk menjadi referensi dalam penentuan keputusan dan kebijakan pengembangan agroindustri aren di masa depan khususnya dalam rangka peningkatan nilai tambah dan daya saing. Ruang lingkup penelitian meliputi: a) penyediaan model lokasi pengembangan dan industri inti agroindustri aren, b) penyediaan model pengembangan kelembagaan klaster agroindustri aren, c) penyediaan model pemilihan produk unggulan,
5
kapasitas olah, dan teknologi pengolahan agroindustri aren, dan d) penyediaan model kelayakan investasi usaha agroindustri aren terpilih.
1.4. Manfaat Penelitian Model yang dirancang dan dikembangkan diharapkan dapat dijadikan pertimbangan oleh para pemangku kepentingan dalam pengambilan keputusan sehingga menghasilkan efek pengganda khususnya bagi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani dan pelaku agroindustri aren. Bagi pemerintah, khususnya pemerintah daerah, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan dalam penyusunan strategi pembangunan agroindustri kedepan, khususnya agroindustri berbasis bahan baku lokal dan pedesaan sehingga mampu menjadi motor penggerak perekonomian daerah. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat membantu memberikan informasi sekaligus bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan investasi bagi investor (perusahan agroindustri), petani aren, lembaga keuangan dan koperasi.
1.5. Kebaruan Penelitian Unsur kebaruan dari penelitian yang dilakukan berkaitan dengan substansi atau obyek kajian. Sedangkan dari aspek metodologi dan konsep pengembangan, model pendekatan sistem dan model klaster dipandang relatif telah banyak digunakan
dan
dikembangkan
dalam
penelitian-penelitian
terdahulu.
Pengembangan model klaster dengan fokus pada agroindustri aren secara relatif belum banyak bahkan belum pernah dilakukan baik secara perorangan maupun institusi, padahal sektor agroindustri aren memiliki arti strategis dalam rangka peningkatan pendapatan ekonomi masyarakat khususnya di beberapa daerah potensial di Indonesia.
6
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pendekatan Sistem Sistem didefinisikan sebagai seperangkat elemen atau sekumpulan entitas yang saling berkaitan, yang dirancang dan diorganisir untuk mencapai satu atau beberapa tujuan (Manetsch & Park 1976). Sistem dapat merupakan suatu proses yang sangat rumit yang ditandai oleh sejumlah lintasan sebab akibat, menurut Eriyatno (2003) sistem adalah totalitas himpunan hubungan yang mempunyai struktur dalam nilai posisional serta matra dimensional terutama dimensi ruang dan waktu. Pada dasarnya ada dua sifat dari sistem, yaitu berkaitan dengan aspek prilaku dan aspek struktur, sehingga permasalahan yang berkaitan dengan sistem akan menyangkut pada prilaku sistem dan struktur sistem. Prilaku sistem berkaitan dengan input dan output; dan struktur sistem berkaitan dengan susunan daii rangkaian diantara elemen-elemen sistem. Menurut Eriyatno (2003), karena disebabkan pemikiran sistem selalu mencari keterpaduan antarbagian melalui pemahaman yang utuh, maka diperlukan suatu kerangka fikir baru yang terkenal sebagai pendekatan sistem (system approach). Pendekatan sistem merupakan cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhankebutuhan sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif. Pada dasarnya pendekatan sistem adalah penerapan dari sistem ilmiah dalam manajemen (Eriyatno 2003). Dengan cara ini hendak diketahui faktorfaktor yang mempengaruhi perilaku dan keberhasilan suatu organisasi atau suatu sistem. Metode ilmiah dapat menghindarkan manajemen mengambil kesimpulankesimpulan yang sederhana dan simplisitis searah oleh suatu masalah disebabkan oleh penyebab tunggal. Pendekatan sistem dapat memberi landasan untuk pengertian yang lebih luas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku sistem dan memberikan dasar untuk memahami penyebab ganda dari suatu masalah dalam kerangka sistem. Menurut Marimin (2004), pendekatan sistem adalah suatu pendekatan analisis organisatoris yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak
7
analisis. Dengan demikian, manajemen sistem dapat diterapkan dengan mengarahkan perhatian kepada berbagai ciri dasar sistem yang perubahan dan gerakannya akan mempengaruhi keberhasilan suatu sistem. Pendekatan sistem adalah suatu cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan melakukan identifikasi terhadap sejumlah kebutuhan-kebutuhan sehingga dapat
menghasilkan suatu operasi dari
sistem
yang dianggap efektif
(Eriyatno 2003). Karakteristik pendekatan sistem adalah: 1) kompleks karena interaksi antar elemen cukup rumit, 2) dinamis, ada perubahan faktor menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan, dan 3) probabilistik, diperlukan fungsi peluang dan inferensi kesimpulan maupun rekomendasi. Jika diklasifikasikan masalah sistem secara garis besarnya ada tiga, yaitu 1) untuk sistem yang belum ada, struktumya dirancang untuk merealisasikan rancangan yang memiliki prilaku sesuai dengan yang diharapkan (persoalan sintesis sistem); 2) untuk sistem yang sudah ada (dalam kenyataan atau hanya sebagai suatu rancangan) dan strukturnya diketahui, maka prilaku ditentukan pada basis dari struktur yang diketahui itu (persoalan analisis sistem); dan 3) untuk sistem yang sudah ada (dalam kenyataan) tetapi tidak mengenalnya serta strukturnya tidak dapat ditentukan secara langsung, maka permasalahannya adalah mengetahui prilaku dari sistem itu serta strukturnya, yang dikenal dengan persoalan black box atau kotak hitam (Gaspersz 1992). Menurut Eriyatno (1998) dalam transformasi input menjadi output, perlu dibedakan antara elemen (entity) dari suatu sistem dengan sub sistem dari sistem itu sendiri. Sub sistem dikelompokkan dan bagian sistem yang masih berhubungan satu dengan lainnya pada tingkat resolusi yang tertinggi, sedangkan elemen dari sistem adalah pemisahan bagian sistem pada tingkat resolusi yang rendah. Masing-masing sub sistem saling berinteraksi untuk mencapai tujuan sistem. Interaksi antara sub sistem (disebut juga interface) terjadi karena output dari suatu sistem dapat menjadi input dari sistem lain. Jika interface antar sub sistem terganggu maka proses transformasi pada sistem secara keseluruhan akan terganggu juga sehingga akan menghasilkan bias pada tujuan yang hendak dicapai.
8
Proses transformasi yang dilakukan oleh suatu elemen dalam sistem dapat berupa fungsi matematik, operasi logic, dan proses operasi yang dalam ilmu sistem dikenal dengan konsep kotak gelap (black box). Kotak gelap adalah sebuah sistem dari rincian tidak berhingga yang mencakup struktur-struktur terkecil paling mikro. Dengan demikian karakter kotak gelap adalah behavioristic (tinjauan sikap). Kotak gelap digunakan untuk mengobservasi apa yang terjadi, bukan mengetahui tentang bagaimana transformasi terjadi. Untuk mengetahui transformasi yang terjadi dalam kotak gelap dapat dilakukan melalui tiga cara, yaitu 1) spesifikasi; 2) analog; kesepadanan dan modifikasi; dan 3) observasi dan percobaan. Eriyatno (1998) menyimpulkan ada tiga pola pikir dasar yang selalu menjadi pegangan pokok para ahli sistem dalam merancang bangun solusi permasalahan, yaitu 1) sibernetik (cybernetic), artinya berorientasi pada tujuan; 2) holistik (holistic), yaitu cara pandang yang utuh terhadap keutuhan sistem; dan 3) efektif (effectiveness). yaitu prinsip yang lebih mementingkan hasil guna yang operasional serta dapat dilaksanakan dari pada pendalaman teoritis untuk mencapai efisiensi keputusan.
2.2. Agroindustri Aren Kegiatan pemanfaatan bahan baku dari tanaman aren untuk diolah menjadi beberapa produk telah dilakukan oleh masyarakat secara turun temurun. Usaha ini umumnya masih bersifat tradisional yang ditandai dengan penggunaan teknologi sederhana dan dalam skala usaha kecil. Bahan baku yang berasal dari tanaman aren yang paling banyak digunakan oleh masyarakat untuk menghasilkan beberapa produk adalah nira aren yang diperoleh lewat proses penyadapan. Keberadaan gula (sukrosa) yang dihasilkan selain dari tanaman tebu menunjukkan potensi yang besar baik sebagai produk untuk dikonsumsi langsung maupun sebagai bahan baku industri pengolahan khususnya industri makanan. Salah satu tanaman yang memiliki potensi tersebut adalah aren (Arenga Pinnata Merr). Menurut Mahmud et al. (1991) dan Novarianto et al. (2001), selain menghasilkan gula, tanaman ini pada umumnya memiliki potensi untuk
9
menghasilkan beragam produk lain yang memiliki nilai ekonomi seperti daun, lidi, ijuk dan batang. Tanaman aren dapat tumbuh pada ketinggian 0 - 1400 m di atas permukaan laut serta pada berbagai kondisi agroklimat. Pohon aren akan mencapai tingkat kematangannya pada umur 6 - 12 tahun (Mahmud 1991). Selanjutnya, kondisi penyadapan terbaik pada umur 8 - 9 tahun, ditandai dengan keluarnya mayang. Penyadapan dapat dilakukan pada pagi dan sore hari. Setiap tahun dapat disadap 3-12 tangkai bunga dengan hasil nira mencapai 300 - 400 liter per musim (3-4 bulan) atau sekitar 900 -1600 liter per pohon setahun. Komposisis bahan dari nira aren utamanya terdiri atas sukrosa dan air yang relatif sama dengan yang terkandung pada nira yang berasal dari tanaman kelapa dan dari tanaman tebu (Tabel 1). Rendeman gula atau alkohol dari nira berkisar antara 15 - 20%, tergantung dari kondisi pohon aren yang disadap niranya (Novarianto et al. 2001). Tidak semua pohon yang hendak dipersiapkan untuk disadap dapat menghasilkan nira yang baik. Rendeman ini cenderung lebih tinggi pada nira yang dihasilkan dari mayang pertama hingga mayang ketiga. Sedangkan produktivitas petani untuk menyadap nira cukup beragam yang sangat tergantung dari keterampilan dan kemampuan petani dan juga tergantung pada tujuan pengolahan.
Tabel 1 Komposisi bahan dari nira kelapa, nira aren dan nira tebu Komponen
Nira Aren )
Air Sukrosa Gula Pereduksi Protein Lemak Abu Mineral Sabut Zat Warna, malam, gum pH
85 12,67 0,28 0,19 0,14 0,06 na na Na
Kandungan bahan (%) Nira Arenb) Nira Kelapac) 85 - 87,75 84,7 11,42 – 12,67 14,35 0,28 Na 0,09 – 0,19 0,19 0,14 0,5 – 1 0,06 Na na 0,66 na Na na Na
Na
6,9
a
Na
Nira Tebud) 60,0 – 80,0 11,0 – 14,0 0,5 – 2,0 0,15 – 0,20 0,20 – 0,55 0,5 – 1,10 0,3 – 0,75 10.0 – 15.0 7.5 – 15.0 Na
Sumber: a) Ardi dalam Laluyan (1995); b) Iskandar (1991), c) Anonimous (1989); d) Moerdokusumo (1993)
10
Nira aren yang dihasilkan dari penyadapan tandan bunga jantan oleh masyarakat umumnya diolah untuk menghasilkan gula aren, alkohol dan bioetanol (Mahmud et al. 1991; Novarianto et al. 2001). Namun demikian keputusan pengolahan nira sangat dipengaruhi oleh karakteristik dan kondisi dari nira itu sendiri. Agroindustri merupakan industri sekunder atau industri dengan tingkatan lebih lanjut yang memanfaatkan komoditas hasil pertanian sebagai bahan baku utamanya (IPB 1983; Austin 1992; Wirakartakusuma 1994). Pada agroindustri kendali sentral ada pada manusia dan perangkat teknologi serta institusi sebagai hasil rekayasanya. Secara lebih spesifik agroindustri dapat diartikan sebagai industri pengolahan yang memberikan nilai tambah baik dari segi ekonomi maupun kegunaan pada hasil-hasil pertanian (dalam arti luas) yang mencakup produk tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan serta hasil hutan. Bentuk-bentuk pertambahan nilai itu dapat berupa perluasan pasar, perbaikan daya simpan atau nilai gizi yang kesemuanya akan mendorong peningkatan pendapatan dan keuntungan bagi produsen (Wirakartakusuma 1994). Agroindustri
aren
merupakan
industri
yang
mengolah
dan
mentransformasi bahan baku yang berasal dari tanaman aren menjadi berbagai produk kebutuhan manusia terutama untuk menghasilkan gula dan alkhohol. Tanaman dan industri pengolahan aren telah ada sejak lama dan diusahakan oleh masyarakat di Indonesia, khususnya di Sulawesi Utara. Pengelolaan tanaman dan industri aren tersebut masih terbatas pada skala usaha kecil dan rumah tangga serta bersifat tradisional dengan menggunakan teknologi yang sangat sederhana.
2.3. Teknologi Pengolahan Agroindustri Aren Berdasarkan pohon industri, nira aren dapat diolah menjadi gula aren dan bioethanol.
Menurut Mangunwidjaja dan Sailah (2005) bahwa prinsip dasar
pengolahan gula dari tanaman palma meliputi ekstraksi (penyadapan nira) pada tahap awal sehingga diperoleh nira kotor yang selanjutnya dibersihkan melalui proses karbonatasi atau sulfitasi lalu dipekatkan dengan proses evaporasi. Sedangkan pada produk bioethanol, proses pengolahan dilakukan melalui tiga tahapan yaitu persiapan, sakarifikasi, fermentasi dan destilasi.
11
Nira Aren (Juice)
Nira kadar sukrosa 10-15%, pH 6 - 7 Pemanasan pada suhu ± 110oC selama ± 3 jam
Nira kadar sukrosa <8%
Purifikasi
Evaporasi
Pemanasan pada suhu 50-60oC, penambahan enzim glukoamilase Pemberian minyak kelapa 2gr/5lt
Pekatan nira (Peet)
Pencetakan
Pendinginan (± 10 menit)
Penambahan doctor sugar
Kristalisasi
Sakarifikasi
Gula Sederhana (glukosa dan fruktosa)
Fermentasi
Pemberian enzim zymase + ragi
Beer (ethanol + CO2)
Pendinginan Pendinginan Sentrifugasi
Destilasi
Gula Cetak
Pemanasan pada suhu 78 – 100oC
Gula Cair Pendinginan
Gula Semut
Bioethanol
Pengemasan
Gambar 1 Proses Pengolahan Nira Aren. Menurut Mangunwidjaja dan Sailah (2008) teknologi proses yang dapat diterapkan untuk agroindustri sangat beragam, dari yang sederhana (fisik, mekanik seperti pengeringan), teknologi sedang (reaksi hidrolisis) sampai ke teknologi tinggi (proses bioteknologis). Prinsip pengolahan nira aren menjadi gula adalah relatif sama dengan yang dilakukan oleh agroindustri gula lainnya seperti gula tebu dan gula palma lain dimana proses utamanya adalah evaporasi atau penguapan air dan kritalisasi.
12
Pengolahan nira aren menjadi gula dapat dilakukan dengan beberapa teknik diantaranya teknik tradisional, teknik open pan dan vacum evaporator dan teknik membran (Anonim 2008; Kusumanto 2010). Teknik tradisional merupakan pengolahan nira aren yang dalam proses penguapan atau pemasakan dilakukan secara manual dengan menggunakan teknik dan alat sederhana yang relatif sangat sederhana serta sumber panas untuk proses evaporasi menggunakan kayu bakar, teknik ini umumnya dilakukan oleh industri mikro (rumah tangga) dan kecil di pedesaan (Mahmud et al. 1991; Novarianto 2001; Karouw 2001). Teknik open pan dan vacum evaporator merupakan pengolahan nira menjadi gula semut dilakukan dengan menggunakan alat penguapan atau pemasakan terbuka yang dikombinasikan dengan teknik tekanan (Anonim 1990; Iskandar 1991; Novarianto 2001). Teknik membran adalah pengolahan nira aren menjadi gula semut yang dilakukan dengan mengkombinasikan teknik membran, teknik open pan dan vacum evaporator. Prinsip pokok yang dilakukan adalah melewatkan air dalam membran sehingga air tersebut terpisah dengan bahan lain. Alat yang digunakan pada teknik ini dinamakan reverse osmotic machine disingkat RO machine (Anonim 2008; Kusumanto 2010).
2.4. Klaster Industri Salah satu konsep untuk meningkatkan nilai tambah dan keunggulan bersaing suatu industri adalah pengembangan model klaster industri (Porter 1990; Unido 2008). Model klaster industri merupakan konsep pendekatan yang telah banyak digunakan untuk mengembangkan industri, termasuk agroindustri, di banyak negara di dunia, yang bertujuan untuk meningkatkan produktifitas dan daya saing, baik di tingkat internasional, regional, dan lokal. Istilah klaster industri mempunyai
pengertian bahwa kelompok kegiatan yang terdiri atas industri inti, industri terkait, industri penunjang, dan kegiatan-kegiatan ekonomi (sektor-sektor) penunjang dan terkait lain, yang dalam kegiatannya akan saling terkait dan saling mendukung (Porter 1997). Gonarsyah (2001) menyatakan bahwa klaster dapat didefinisikan sebagai suatu sistem dari perusahan-perusahan dan institusi-institusi yang berinterkoneksi yang nilainya secara keseluruhan lebih besar daripada penjumlahan masing-masing bagian, akibat dari efek sinergi. Sedangkan lingkup
13
geografis suatu klaster dapat mencakup suatu kota, daerah kabupaten, provinsi, atau bahkan suatu jaringan negara tetangga. Konsep ini dapat digunakan untuk mengembangkan industri yang bersifat luas atau pada industri yang terfokus pada jenis-jenis produk tertentu (Tambunan 2001). Keunggulan suatu industri disuatu negara atau daerah bukanlah ditentukan oleh kesuksesan industri itu sendiri tetapi merupakan kesuksesan kolektif dari kelompok industri (Porter 1990). Karakteristik utama yang menjadi kunci pengembangan
klaster
industri,
sebagaimana
dipresentasikan
oleh
Depperin (2006), adalah: (1) klaster industri melibatkan perusahan-perusahan yang saling berhubungan dan terkait dengan pemasok yang terspesialisasi, penyedia layanan, dan lain-lain; (2) klaster industri merupakan institusi-institusi yang bekerjasama; (3) adanya keterlibatan dan partisipasi dari universitas, asosiasi, dan lembaga swadaya masyarakat dalam bentuk penelitian, pelatihan tenaga kerja, dan konsultasi dalam rangka pemantapan klaster; (4) klaster industri memiliki konsentrasi geografis yang memudahkan pengembangan dan akses antar pelaku yang terlibat didalam klaster; dan (5) klaster dan komponen-komponen lainnya
yang berasosiasi
serta
terkonsentrasi
dalam wilayah geografis
memungkinkan terjadinya interaksi dan efisiensi yang dapat dikembangkan oleh perusahan yang berhubungan dan juga menyediakan akses pada tenaga kerja yang lebih terspesialisasi. Keterkaitan industri dalam klaster, selain dapat meningkatnya nilai tambah dan daya saing, juga akan menumbuhkan inovasi yang berkelanjutan dan memperkuat posisi tawar bagi setiap anggota klaster (Porter 1990). Inovasi akan muncul karena adanya ruang atau peluang yang besar bagi para anggota untuk melaksanakan proses pembelajaran. Perusahan tertentu akan belajar pada perusahan lain yang memiliki keunggulan dan kemajuan, sebaliknya perusahan yang unggul perlu terus memacu keunggulannya secara berkelanjutan. Selain itu, keterkaitan yang ada akan memungkinkan terjadinya perpindahan tenaga kerja antar perusahan dalam klaster yang berakibat pada terjadinya transfer pengetahuan pada perusahan yang menerima tenaga kerja tersebut sehingga akan mendorong terjadinya pertumbuhan kinerja dari perusahan tersebut. Pertumbuhan ini dapat memperdalam integrasi vertikal ataupun integrasi horizontal dari klaster tersebut.
14
Selain kemudahan mengakses tenaga kerja, perusahan didalam akan memperoleh manfaat berupa biaya transportasi dan biaya transaksi yang dikeluarkan menjadi kecil (Karaev et al. 2007; Anonim 2008).
Hal ini
dimungkinkan karena perusahan-perusahan berlokasi saling berdekatan atau karena adanya aglomerasi. Aglomerasi juga akan mendorong persaingan melalui transfer informasi, pengetahuan dan teknologi diantara perusahan yang saling terkait. Transfer pengetahuan dan teknologi ini dapat memunculkan industri baru yang menyebabkan klaster menjadi lebih besar. Porter (1990) mengemukakan bahwa pembentukan klaster merupakan proses dinamis dimana pertumbuhan suatu perusahan yang memiliki daya saing pada klaster tersebut akan membangkitkan kebutuhan akan adanya industri terkait lainnya pada klaster dimaksud. Dengan berkembangnya klaster akan terjadi sistem yang saling memperkuat sehingga manfaat akan mengalir ke depan (forward linkage) dan ke belakang (backward linkage) pada seluruh industri yang terdapat dalam klaster. Selanjutnya dikatakan bahwa persaingan antara perusahan dalam klaster akan mendorong pertumbuhan karena persaingan akan mendorong perusahan dalam klaster untuk lebih inovatif dan terdorong untuk melakukan pengembangan teknologi baru. Keadaaan ini selanjutnya menstimulus kegiatan penelitian dan pengembangan. Kajian terhadap klaster-klaster industri di Eropa Barat menunjukkan bahwa industri kecil dan menengah yang berada dalam klaster dapat berkembang lebih cepat dan lebih fleksibel dalam menghadapi perubahan pasar dibandingkan dengan industri kecil dan menengah yang beroperasi secara sendiri-sendiri di luar klaster (Tambunan 2001). Pengembangan klaster industri di suatu kawasan, wilayah atau lokasi tertentu memerlukan tahapan identifikasi. Menurut Porter (1998), identifikasi tersebut dimulai dengan menentukan perusahan inti, yang umumnya berskala besar, serta mengidentifikasi konsentrasi perusahan-perusahan sejenis lainnya yang memiliki skala usaha yang kecil dan menengah. Dalam hal ini perlu juga dianalisis keterkaitan kedepan dan kebelakang dari industri dengan institusi lain dalam suatu rantai vertikal. Langkah selanjutnya adalah menganalisis rantai
15
hubungan horizontal yaitu berkaitan dengan saluran pemasaran bersama atau menghasilkan produk yang sifatnya saling melengkapi. Tambunan
(2001)
mengemukakan
beberapa
pertimbangan
dalam
pengembangan klaster industri kecil dan menengah di Indonesia. Langkah awal yang perlu dilakukan adalah penentuan sentra-sentra industri yang ada, sentrasentra mana yang akan dibantu perkembangannya dengan menggunakan strategi tersebut. Kriteria pemilihan bisa didasarkan pada prospek pasar di dalam negeri atau ekspor, potensi kesempatan kerja yang dapat diciptakan, atau/dan intensitas penggunaan sumber-sumber daya lokal. Setelah itu, langkah berikutnya adalah melakukan diganosis klaster dengan tujuan untuk mengetahui kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan yang dimiliki klaster-klaster yang dipilih tersebut, permasalahan-permasalahannya, dan bentuk-bentuk bantuan yang diperlukan. Dalam proses diagnosis tersebut ada beberapa tahap yang harus dilakukan secara berurut. Akan tetapi, sebelumnya perlu dipahami terlebih dahulu mengenai jaringan bisnis dari klaster-klaster yang terpilih tersebut, yakni relasi mereka dengan pemasok bahan baku dan input-input lain, pensuplai mesin dan peralatannya, pasar, dan relasi mereka dengan pengusaha-pengusaha besar, universitas, bank, pemerintah, dan lembaga-lembaga lainnya. Selain jaringan bisnis, menurut Tambunan (2001), faktor lain yang sangat besar pengaruhnya terhadap kinerja klaster adalah iklim usaha, yang sifatnya bisa mendukung atau menghambat. Di dalam iklim usaha ini termasuk iklim ekonomi makro, rezim perdagangan, infrastruktur, sistem perpajakan, sikap bank dan lembaga keuangan lainnya terhadap industri kecil dan menengah, dan kebijakankebijakan pemerintah yang mempengaruhi langsung maupun tidak langsung perkembangan dan pertumbuhan klaster-klaster industri kecil dan menengah. Penyusunan rencana implementasi suatu program sangat tergantung pada hasil
diagnosis.
Hasil
diagnosis
tersebut
harus
memberikan
rumusan
permasalahan yang ada secara jelas dan lengkap (Tambunan 2001). Permasalahan bisa bervariasi antara satu klaster dan klaster lainnya (di dalam klaster itu sendiri, permasalahan yang dialami seorang pengusaha bisa berbeda dengan permasalahan yang dihadapi pengusaha-pengusaha lainnya). Permasalahan yang dialami industri kecil dan menengah pada klaster-klaster tergantung antara lain pada jenis
16
komoditas yang dibuat. Pada umumnya, permasalahan tersebut menyangkut aspek-aspek, seperti pemasaran, pengadaan bahan baku, permodalan, SDM, teknologi, informasi, dan lain lain. Apabila hasil diagnosis terhadap suatu klaster menemukan beberapa masalah, harus ditentukan mana di antaranya yang merupakan masalah utama. Rencana aksi akan berisi sejumlah aksi-aksi yang fokus atau prioritasnya adalah pada penyelesaian masalah utama tersebut. Keberadaan kelembagaan dalam sistem agroindustri dapat menjembatani keterbatasan agroindustri dalam mengakses dan mengoptimalkan faktor-faktor struktural seperti modal, pemasaran, persaingan, bahan baku, teknik produksi (proses dan teknologi), dan manajerial. Disamping itu, jika kelembagaan tersebut dapat menjalankan fungsinya dengan baik pada gilirannya akan berdampak pada kondisi produk yang dihasilkan dan harga. Secara konseptual, Hubeis (2007) mempresentasi bentuk dan hubungan kelembagaan dalam sistem agroindustri seperti pada Gambar 2.
Instansi Teknis
Usaha Besar
Lembaga Keuangan
Lembaga Inkubasi Lembaga Pendukung
Perguruan Tinggi
Program Pengembangan
Unit Usaha (UKM)
Bisnis
Pasar
Gambar 2 Kelembagaan konseptual program pengembangan agroindustri. Menurut Nasution (2001), kelembagaan yang mempunyai peluang untuk mengembangkan agroindustri, sebaiknya selain mampu menghasilkan produk yang sesuai dengan keinginan konsumen dalam hal jumlah dan mutu, agroindustri juga harus mampu membela kepentingan petani sebagai produsen terutama mampu meningkatkan nilai tambah dari produk yang dihasilkan. Dengan demikian bentuk kelembagaan agroindustri tersebut harus direkayasa dengan mempertimbangkan potensi yang dimiliki oleh masyarakat.
17
Bentuk kelembagaan yang banyak dipakai dalam sistem pengembangan agroindustri
diantaranya
adalah
kelembagaan
yang
berbasis
kemitraan
(Hafsah 1999; Hubeis 2007; Mangunwidjaja & Sailah 2008). Selama ini berbagai pola kemitraan pernah diterapkan di Indonesia namun masih ditemukan berbagai permasalahan dalam pelaksanaannya. Pola kemitraan tersebut diantaranya pola anak angkat, bapak angkat, inti plasma (PIR), model usaha ekonomi bersama, model inkubator, penyertaaan modal ventura, dan lain-lain. Pola kemitraan partisipatif dianggap relevan untuk mengembangkan sektor agroindustri pedesaan (Mangunwidjaja & Sailah 2008), karena menerapkan prinsip-prinsip: (1) rekayasa kelembagaan ekonomi masyarakat harus mengacu pada budaya setempat dimana kegiatan agroindustri bermuara, (2) kemitraan usaha didasarkan pada prinsip saling menguntungkan, saling membutuhkan dan saling menghidupi, (3) bentuk lembaga ditetapkan melalui musyawarah dari wakil unsur bersarikat, (4) transformasi kelembagaan (kelompok informal binaan menjadi lembaga formal mandiri) dilakukan melalui proses yang wajar demokratis dan sesuai dengan tahap penataan sistem agroindustri yang diterapkan, (5) sumber dana terpadu berasal dari berbagai sumber yang dapat menjamin efisiensi biaya serta memungkinkan diterapkannya pola bagi hasil, (6) untuk mencapai efisiensi bisnis yang tinggi maka pelaku utama kemitraan seyogyanya mempunyai entiti bisnis dalam jalur sistem bisnis yang sedang dikembangkan. Selanjutnya Mangunwidjaja dan Sailah (2008) menyatakan bahwa aspek penting yang dapat dijadikan pendekatan dalam pembentukan pola pembinaan kemitaraan partisipatif adalah (a) aspek bisnis untuk menjamin kelayakan usaha, (b) aspek kesejahteraan sosial untuk menjamin manfaat usaha, (c) aspek keikutsertaan (para pelaku kemitraan) untuk menjamin keberlanjutan usaha, dan (d) aspek teknologi untuk menjamin teknik dan mutu produk. Perencanaan
pengembangan
klaster
industri
memerlukan
sistem
pengukuran kinerja yang berguna untuk mengevaluasi kinerja klaster yang dibangun sehingga diketahui bagian sistem mana yang harus dipertahan dan diperbaiki dalam menyusun strategi kedepan. Carpinetti (2008) mengemukakan sejumlah indikator yang dapat dipakai untuk mengukur keberhasilan klaster yang dikelompokkan kedalam empat kategori yaitu a) indikator ekonomi dan sosial,
18
b) kinerja perusahan, c) efisiensi kolektif dan d) modal sosial (Gambar 3). Indikator modal sosial menyangkut ukuran-ukuran yang berhubungan dengan nilai budaya seperti rasa saling percaya dan kerja sama yang terjadi. Indikator kinerja perusahan berkaitan dengan hasil-hasil yang dicapai oleh agroindustri sebagai perusahan khususnya berkaitan dengan tingkat pertumbuhan dan daya saing yang dapat diukur melalui kinerja finansial dan non finansial. Manfaat sosial ekonomi berhubungan dengan kontribusi terhadap perekonomian lokal, lapangan kerja dan hasil-hasil lain yang menimbulkan manfaat ekonomi dan sosial. Sedangkan
efisiensi
kolektif
berkaitan
dengan
ekonomi
eksternal
dan
implementasi kerjasama antara pemangku kepentingan di dalam klaster.
MANFAAT SOSIAL EKONOMI
MODAL SOSIAL
KINERJA KLASTER INDUSTRI
KINERJA PERUSAHAN AGROINDUSTRI
EFISIENSI KOLEKTIF
Gambar 3 Model pengukuran kinerja klaster industri (Carpinetti 2008) Pengukuran kinerja klaster industri juga dikemukakan oleh Departemen Perdagangan dan Industri Inggris (http://www.dti.gov.uk/files/file14008.pdf). Pengukuran tersebut disebut industrial development scoreboard (IDS). Metode ini dibedakan atas: (1) competitive industrial performance (CIP) yang dilihat dari (a) volume dan nilai ekspor, (b) pangsa ekspor manufaktur berteknologi menengah dan teknologi tinggi, (c) nilai tambah manufaktur, (d) pangsa nilai tambah manufaktur berteknologi menengah dan teknologi tinggi, dan (2) faktor pengungkit kemampuan dari CIP itu sendiri, diantaranya ketrampilan, penelitian dan pengembangan, investasi asing, royalti dan lisensi, dan infrastruktur.
19
Selain itu, Arthurs et al (2007) juga menawarkan sejumlah indikator yang dapat digunakan untuk mengevaluasi keberhasilan pengembangan suatu klaster industri yang terdiri atas indikator umum dan indikator khusus. Indikator umum didasarkan pada data statistik yang dipublikasikan yang meliputi (a) investasi pada penelitian dan pengembangan (R&D), (b) kompetensi sumberdaya manusia, (c) paten, (d) pembelian teknologi. Sedangkan indikator khusus terdiri atas (a) keterkaitan rantai pasok dan forward market, (b) kerjasama (partnership), (c) tukar menukar informasi dan pengetahuan (knowledge sharing), (d) modal sosial (social capital), dan (e) pengetahuan tacit sumberdaya lokal.
2.5. Pengembangan Inovasi dan Teknologi Teknologi adalah sarana untuk melakukan suatu tugas, ke arah kehidupan manusia yang semakin baik dan sejahtera (Said 2001). Teknologi dapat juga dianggap sebagai pengetahuan dan sumber daya yang diperlukan untuk mencapai suatu tujuan. Selain itu, teknologi dapat diterapkan untuk merancang bangun suatu produk dan proses yang baru, atau pencarian ilmu yang baru. Oleh karena itu, pengelolaan teknologi yang kompleks di atas hendaknya dilakukan secara efektif dan efisien sehingga akan memperoleh hasil yang optimal. Hubeis (1993) teknologi dapat dibagi ke dalam empat kelompok, yaitu: (1) teknologi standar dengan sistem produksi standar, peralatan standar, dan pekerja berkualifikasi sedang (contoh: susu pasteurisasi, sirup, dan selai buahbuahan skala menengah); (2) teknologi mutakhir dengan sistem produksi kompleks, peralatan kompleks, dan pekerja berkualifikasi tinggi (contoh: industri makanan dan minuman kaleng, kultur jaringan, dan industri kertas); (3) teknologi tradisional dengan sistem produksi standar, peralatan tidak banyak, dan pekerja kurang berkualifikasi (contoh: home industry gula merah batok, kerupuk sagu, dan ikan asin); (4) teknologi transisi dengan sistem produksi standar, peralatan sederhana sampai modern, dan pekerja kurang berkualifikasi (contoh: industri tempe dan tahu skala menengah, industri pakan ternak, dan nata de coco skala menengah). Pengelolaan teknologi adalah suatu seni dan praktik dari manajemen teknologi yang fundamental. Dalam tingkat perusahaan agroindustri, pengelolaan
20
teknologi adalah suatu fungsi terpadu yang tunggal (a single integrated function), yang beroperasi secara menyeluruh pada suatu organisasi (Said 2001). Semua aktivitas agroindustri seharusnya berusaha mengelola penelitian, pengembangan, manufakturing, kreativitas, inovasi dan berbagai isu tunggal secara terpadu dan diarahkan kepada tujuan-tujuan bisnis yang ideal. Said (2001) menawarkan komponen-komponen spesifik yang harus diperhatikan dalam melakukan penilaian terhadap teknologi yang digunakan dalam 1)
kegiatan
mendefinisikan
industri. isu
Komponen-komponen
bisnis,
2)
mendefinisikan
tersebut konteks
meliputi: bisnis,
3) menggambarkan teknologi, 4) meramalkan teknologi, 5) meramalkan dampak pada industri, 6) mengidentifikasi respons-respons yang tersedia pada perusahaan, 7) menganalisis perubahan-perubahan pada struktur industri, 8) mengevaluasi dampak pada industri, 8) menganalisis respons-respons alternatif, 9) mengevaluasi respons-respons alternatif, 10) mengkomunikasikan hasil-hasil yang diperoleh, 11) mengalihkan teknologi, 12) melakukan partisipasi pada pengambilan posisi, dan 14) formulasi posisi. Inovasi berkaitan dengan metode untuk melakukan sesuatu dan berhubungan dengan resiko-resiko, kegagalan, cara-cara berpikir yang baru mengenai manajemen dan tidak belajar dari cara-cara lama. Inovasi merupakan proses mengerjakan sesuatu yang baru (Stuti 2009), dan mempertimbangkan fenomena random dari berpikir kreatif (Fargerberg 2005). Penting disini adalah mengakui bahwa inovasi mengimplikasikan tindakan, bukan hanya pemahaman dan penyusunan ide-ide baru. Inovasi merupakan susunan dari komponen kepakaran, interaksi antara berbagai pihak, keragaman latar belakang narasumber, dan dapat diaplikasikan (Anonim 2008). Dalam kaitannya dengan pengembangan industri kecil dan menengah, Little (1993) yang diacu dalam Stuti (2009) membagi inovasi kedalam 3 jenis yaitu (1) inovasi produk, Sejalan dengan itu,
(2) inovasi proses, dan (3) inovasi organisasional.
Anonim (2008) mengemukakan bahwa inovasi dapat
menghasilkan sesuatu yang baru misalnya jenis produk, metode produksi, sumber pasokan, pasar dan eksploitasi pasar, serta cara mengorganisir bisnis.
21
Menurut Anonim (2008), inovasi merupakan resep yang disusun oleh komponen kepakaran/keahlian, interaksi, keragaman, dan aplikasi. Hal pokok yang berkaitan dengan kepakaran atau keahlian adalah bahwa penemuan, pengetahuan, dan pemikiran baru, dapat diperoleh dari semua orang sebagai sumberdaya yang dibutuhkan untuk mencapai suatu hasil yang diinginkan. Interaksi berkaitan dengan pentingnya tatap muka dalam melakukan tukarmenukar ide dan gagasan yang kemudian bersinergi untuk mengembangkan model-model bisnis baru. Ide-ide hanya akan menghasilkan sesuatu yang terbaik apabila ide-ide tersebut didiskusikan secara terbuka dan dipertimbangkan oleh berbagai orang yang memiliki beragam bidang ilmu, latar belakang, pendekatan dan cara berpikir. Himpunan ide-ide yang dihasilkan akan tidak berguna kecuali jika dapat digunakan. Keberhasilan industri di negara-negara maju dalam meningkatkan nilai tambah
serta
mengembangkan
daya-saingnya
sangat
dipengaruhi
oleh
kemampuan dari organisasi dalam mengembangkan inovasi melalui proses pembelajaran disemua lini organisasi (Nonaka & Takeuchi 1995). Proses pembelajaran tersebut berangkat dari kepekaan terhadap perubahan perilaku konsumen. Untuk mengantisipasi perubahan, perusahan-perusahan Jepang melakukan
pembaharuan
teknologi,
disain
produk,
proses
produksi,
pendekatan/metode pemasaran, bentuk distribusi, atau pelayanan pada konsumen. Pada saat mengalami ketidakpastian, setiap perusahan mencari informasi (pengetahuan) di luar organisasi. Mereka secara kontinue mengunjungi pemasok bahan baku, konsumen, distributor, agen pemerintah dan bahkan pesaing-pesaing mereka untuk mendapatkan pengetahuan atau pemahaman yang akan dijadikan petunjuk atau saran bagi pengambilan keputusan.
2.6. Metode Penunjang Keputusan Dalam menghasilkan informasi-informasi dalam rangka menunjang proses pengambilan keputusan pengembangan suatu agroindustri maka dibutuhkan seperangkat metode dalam rangka pemecahan masalah yang dihadapi. Metode atau alat analisis yang digunakan dalam perancangan model agroindustri aren di Sulawesi Utara adalah sebagai berikut:
22
2.6.1. Teknik LQ (location quotient) Teknik LQ merupakan salah satu pendekatan yang umum digunakan untuk mengetahui potensi aktivitas ekonomi yang merupakan indikasi sektor basis dan bukan basis (Rustiadi E et al. (2007). Teknik ini merupakan perbandingan relatif antara kemampuan sektor yang sama pada daerah yang lebih luas dalam suatu wilayah. Dalam prakteknya penggunaan teknik LQ meluas tidak terbatas pada bahasan ekonomi saja akan tetapi juga dimanfaatkan untuk menentukan sebaran komoditas atau melakukan identifikasi wilayah berdasarkan potensinya. Dasar ukuran dalam pemakaian LQ harus disesuaikan dengan tujuan serta ketersediaan dan sumber data. Jika jumlah tenaga kerja dipakai untuk mengidentifikasi sebaran suatu agroindustri di suatu wilayah, maka formula LQ adalah sebagai berikut:
dimana, = Koefisien location quotient = Jumlah tenaga kerja agroindustri ke-i di wilayah ke-j = Jumlah tenaga kerja agroindustri di wilayah ke-j = Total tenaga kerja agroindustri ke-i di semua wilayah = Total tenaga kerja agroindustri di semua wilayah Apabila koefisien LQ nilainya lebih besar dari 1 (satu) berarti bahwa agroindustri tersebut merupakan sektor basis suatu wilayah yang memiliki keunggulan komparatif dibanding dengan wilayah lain. Nilai koefisien yang lebih kecil dari satu menyatakan sebaliknya dimana agroindustri tersebut bukan merupakan sektor unggulan dari wilayah yang bersangkutan 2.6.2. Analitycal Hierarchy Process (AHP) Proses AHP yang dikembangkan oleh Thomas L Saaty (1994), memberikan perhatian khusus tentang penyimpangan dari konsistensi, pengukuran dan ketergantungan didalam dan diantara kelompok elemen struktur AHP merupakan suatu teori umum tentang pengukuranyang menentukan skala rasio baik terhadap perbandingan berpasangan diskrit dan juga terhadap perbandingan berpasangan yang kontinyu.
23
Menurut Saaty (1994), beberapa prinsip dalam menyelesaikan permasalahan dengan metode AHP yang harus dipahami : a) Dekomposisi; Setelah persoalan didefinisikan, maka perlu dilakukan dekomposisi, yaitu memecah persoalan yang utuh menjadi beberapa unsur. Agar lebih akurat hasilnya maka pemecahan juga dilakukan terhadap unsur-unsurnya sampai tidak mungkin dilakukan pemecahan lebih lanjut, sehingga akan didapatkan beberapa tingkatan dari persoalan. Proses ini dinamakan hirarki. b) Penilaian Perbandingan; Prinsip ini berarti membuat penilaian tentang kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkat diatasnya.
Penilaian ini merupakan inti dari AHP. Hasil penilaian ini akan
berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemennya. Hasil penilaian ini biasanya disajikan dalam matriks perbandingan berpasangan (pairwise comparison). c) Sintesa Prioritas; Dari setiap matriks perbandingan berpasangan kemudian dicari vektor Eigen untuk mendapatkan prioritas lokal.
Karena matriks-matriks
perbandingan berpasangan terdapat pada setiap level, maka untuk mendapatkan prioritas global harus dilakukan sintesa berbeda menurut bentuk hirarki. Pengurutan elemen-elemen menurut kepentingan relatif dilakukan melalui prosedur sintesa yang dinamakan priority setting. d) Konsistensi Logika; Dua makna yang ada didalamnya yaitu bahwa objek-objek yang serupa dapat dikelompokkan sesuai dengan keseragaman dan relevansi, dan tingkat hubungan antara objek-objek yang didasarkan pada kriteria tertentu. 2.6.3. Interpretive Structural Modelling Teknik interpretive structural modelling (ISM) merupakan pendekatan dalam menganalisis sistem berdasarkan elemen serta menyajikannya dalam sebuah gambaran grafikal setiap hubungan langsungnya serta tingkat hirarki dari elemen tersebut (Eriyatno 2003). Prinsip dasarnya adalah identifikasi dan strukturisasi suatu sistem yang akan memberikan nilai manfaat yang tinggi guna meramu sistem secara efektif dan pengambilan keputusan yang lebih tinggi khususnya dalam memformulasi kebijakan serta perencanaan strategis. Sejalan
dengan
dengan
pengertian
tersebut,
Eriyatno
(2003)
mengemukakan bahwa teknik ISM merupakan suatu proses pengkajian kelompok dimana model-model struktural dihasilkan guna memotret perihal yang kompleks
24
dari suatu sistem, melalui pola yang dirancang secara seksama dengan menggunakan grafik serta kalimat. Dalam teknik ISM, sistem yang ditelaah perjenjangan strukturnya dibagi menjadi elernen-elemen di mana setiap elemen selanjutnya diuraikan menjadi sejumlah sub-elemen. Saxena (1992) mengemukakan bahwa suatu sistem yang menjadi fokus pengembangan dapat dibagi kedalam sembilan elemen, yaitu: 1) sektor masyarakat yang terpengaruh, 2) kebutuhan dari program, 3) kendala utama, 4) perubahan yang dimungkinkan, 5) tujuan dari program, 6) tolok ukur untuk menilai setiap tujuan, 7) aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan, 8) ukuran aktivitas guna mengevaluasi hasil yang dicapai oleh setiap aktivitas, dan 9) lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program.
Elemen mungkin saja menjadi objek dari kebijakan, tujuan dari suatu organisasi, faktor-faktor penilaian, dan lain-lain. Hubungan langsung dapat saja bervariasi dalam suatu konteks (merujuk pada hubungan kontekstual), seperti elemen ke-i „lebih baik dari‟ atau „adalah keberhasilan melalui‟ atau „akan membantu keberhasilan‟ atau „lebih penting dari‟ elemen ke-j (Eriyatno 2003). Secara eksplisit tahapan ISM adalah sebagai berikut: a) Identifikasi elemen, dimana setiap elemen dari sistem diidentifikasi dan dicatat. b) Merumuskan hubungan kontekstual antar elemen-elemen. c) Menyusun matriks structural self interaction (SSIM), yaitu matriks persepsi responden terhadap elemen serta hubungan langsung antar elemen. Empat simbol yang digunakan untuk menyajikan tipe hubungan tersebut yaitu: Simbol V untuk relasi elemen ke-i dengan elemen ke-j, tetapi tidak berlaku untuk kebalikannya; Simbol A untuk relasi elemen ke-j dengan elemen ke-i, tetapi tidak berlaku untuk kebalikannya; Simbol X untuk interrelasi antara elemen ke-i dengan elemen ke-j (berlaku dua arah); serta Simbol O untuk mempresentasikan bahwa elemen ke-i dan elemen ke-j adalah tidak berkaitan. d) Menyusun matriks reachability (RM), dengan cara merubah simbol-simbol dalam SSIM menjadi matriks angka biner 1 dan 0. Aturan konversi yang digunakan adalah:
25
jika relasi elemen ke-i dengan elemen ke-j = V maka elemen Eij=1 dan elemen Eji=0, jika relasi elemen ke-i dengan elemen ke-j = A maka elemen Eij=0 dan elemen Eji=1, jika relasi elemen ke-i dengan elemen ke-j = X maka elemen Eij=1 dan elemen Eji=1, dan jika relasi elemen ke-i dengan elemen ke-j = O, maka elemen Eij=0 dan elemen Eji=0. e) Penentuan jenjang (level partitioning), yaitu melakukan perintah untuk mengklasifikasi elemen-elemen ke dalam tingkatan yang berbeda dalam sebuah struktur. Pada tahapan ini semua elemen yang dapat dicapai oleh elemen ke-i digabung dalam suatu reachability set (R i) sedangkan semua elemen yang dapat dicapai oleh elemen ke-j digabung dalam antecedent set (Aj). f) Penyusunan matriks kanonikal (canonical matrix), yaitu pengelompokan elemen yang memiliki tingkatan yang sama. Matriks ini memperlihatkan bahwa elemen yang berada pada segitiga bagian atas bernilai 0 dan pada segitiga bagian bawah bernilai 1. Matriks ini kemudian digunakan untuk mempersiapkan sebuah digraph. g) Menyususn digraph, dimana elemen-elemen direpresentasikan secara grafikal bentuk hubungan langsungnya dan tingkat hirarkhi. Kemudian disederhanakan lagi melalui operasi pemindahan semua transitivitasnya sehingga diperoleh digraph akhir. Hasil akhir teknik ISM adalah elemen kunci, diagram struktur, dan matriks DP-D (Driver Power-Dependence) yang menggambarkan klasifikasi dari subelemen. Klasifikasi sub elemen tersebut menurut Saxena et al (1992) terdiri atas: a) Weak driver - weak dependent variables (Autonomous), elemen tidak
berkaitan dengan
sistem,
dan
umumnya sub
mungkin
mempunyai
hubungan sedikit, meskipun hubungan tersebut bisa saja kuat (Sektor I). b) Weak driver - strongly dependent variables (Dependent), peubah tidak bebas dan akan terpengaruh oleh adanya program sebagai akibat tindakan terhadap sektor lain (Sektor II). c) Strong driver - strongly dependent variables (Linkage), peubah harus dikaji secara hati-hati, sebab hubungan antar peubah tidak stabil. Setiap tindakan
26
pada peubah tersebut akan membenkan dampak terhadap lainnya dan umpan balik pengaruhnya bisa memperbesar dampak (Sektor III). d) Strong drive - weak dependent variables (Independent), peubah mempunyai kekuatan penggerak yang besar terhadap keberhasilan program tetapi punya sedikit ketergantungan terhadap program (Sektor IV). 2.6.4. Metode Perbandingan Eksponensial Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) digunakan sebagai pembantu bagi individu pengambil keputusan untuk menggunakan rancang bangun model yang telah terdefinisi dengan baik pada setiap tahapan proses. Menurut Marimin (2004), tahapan yang dilakukan dalam teknik MPE adalah : a) Menyusun alternatif-alternatif, b) Menentukan kriteria-kriteria penting dalam pengambilan keputusan, c) Melakukan penilaian terhadap kriteria, d) Melakukan penilaian terhadap semua alternatif pada masing-masing kriteria, dan e) Menghitung dan mengurutkan nilai daril setiap alternatif dari nilai yang terbesar sampai nilai yang terkecil. Struktur model MPE adalah sebagai berikut :
Nai dimana, Nai Nilaiij
Nilaiij
Krit j
= Nilai akhir dari alternatif ke i = Nilai dari alternatif ke i pada kriteria ke
Krit j = Tingkat kepentingan kriteria ke
i j
j
j ; Krit j › 0
1, 2, 3, ... n; n = jumlah alternatif, 1, 2, 3, ... m; m = jumlah kriteria.
2.6.5. Teknik Heuristik Pendekatan heuristik merupakan suatu titik pandang dalam merancang suatu program dalam tugas pemrosesan informasi yang kompleks (Eriyatno 2003). Titik pandang tersebut bukan hanya terbatas pada program pengolahan angka biasa saja namun dapat juga digunakan oleh manusia dalam menangani berbagai persoalan. Teknik heuristik merupakan pengembangan dari operasi aritmatika dan logika matematika.
Ciri-ciri heuristik secara umum adalah: a) adanya operasi
aljabar yaitu penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian, b) adanya
27
perhitungan yang bertahap, dan c) mempunyai tahapan yang terbatas sehingga dapat dibuat algoritma komputernya. Turban & Aronzon (2001) mengatakan bahwa teknik heuristik merupakan metode dan aturan penemuan dalam pencarian ruang keadaan untuk memilih cara yang paling sesuai dan dapat diterima dalam memecahkan masalah. Namun demikian menurut Eriyatno (2003), pendekatan heuristik tidak menjamin adanya pemecahan yang optimal tetapi memberikan solusi yang memuaskan pengambil keputusan.
Pemilihan penggunaan teknik ini biasanya
didasarkan atas
pertimbangan untuk menyederhanakan lingkup pengambilan keputusan serta kemudahan dalam memecahkan masalah yang kompleks dalam waktu singkat. Sebagai contoh untuk mengolah menjadi suatu kesimpulan, pengetahuan dibuat dalam bentuk kaidah if-then (jika-maka) atau if-then-else. Menurut Marimin (2005), bentuk dasar metoda representasi pengetahuan berbasis kaidah adalah: if
then , atau if then atau if then atau if <evidence> then . Dengan demikian sebuah kaidah (rules) basis pengetahuan terdiri atas dua bagian yaitu bagian if (jika) yang menyatakan kondisi, enteseden atau evidence yang harus dipenuhi, serta then (maka) yang menyatakan konklusi, konsekuen atau hypothesis yang dapat diambil bila bagian if terpenuhi. Strategi penalaran yang digunakan mengikuti metode modus ponens atau hypothetical syllogism atau sistem penalaran pasti. Dalam modus ponens, sebuah kaidah bernilai benar dalam bagian if maka bagian then pasti bernilai benar. Mekanisme penalaran menggunakan gabungan metode forward chaining dan backward chaining secara bersama-sama sehingga mampu membentuk pembuktian yang lengkap. 2.6.6. Analisis Kelayakan Finansial Analisis kelayakan finanasial merupakan aspek yang penting dan harus dipertimbangkan dalam perencanaan investasi usaha bisnis apapun. Gittinger 1991 dan Brown 1994, penilaian terhadap kelayakan investasi umumnya dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa kriteria, diantaranya titik impas (break even point), periode kembali modal (payback period), nilai bersih saat sekarang (net present value), tingkat pengembalian internal (internal rate return), B/C ratio, dan analisis sensitivitas
28
a. Break Even Point (BEP) Break Even Point (BEP) adalah suatu titik dimana total biaya produksi sama dengan total penerimaan. BEP memberikan petunjuk bahwa tingkat produksi telah menghasilkan penerimaan yang sama besar dengan total biaya produksi. Untuk menghitung BEP digunakan persamaan sebagai berikut : TFC P VC
Q
dimana, Q P TFC VC
= = = =
Volume produk yang dihasilkan Harga produk per unit Total Biaya Tetap Biaya Variabel per unit
b. Payback Period (PBP) Payback Period (PBP) adalah jangka waktu yang dibutuhkan untuk mengembalikan investasi semula, dimana keputusan diambil berdasarkan kriteria waktu. Nilai PBP dijabarkan sebagai jangka waktu atau periode (t) dalam tahun, dimana kumulatif dari nilai (Bt-C t) mencapai nilai sama dengan nol. Persamaan untuk mendapatkan nilai PBP dengan metoda interpolasi sebagai berikut :
PBP
t
AKK t AKK t AKK t
1
dimana, t adalah tahun proyek pada saat arus kas kumulatif (AKK) bernilai negatif dan t+1 adalah tahun proyek pada saat AKK bernilai positif. Apabila nilai PBP lebih pendek dari pada yang telah disyaratkan misalnya umur proyek, maka proyek dikatakan menguntungkan. Sebaliknya jika waktunya lebih panjang maka proyek dinyatakan tidak layak. Kelemahan dari metoda ini adalah diabaikannya nilai waktu uang walaupun nilai waktu uang nantinya diperhitungkan. Kelemahan lainnya adalah diabaikannya aliran kas setelah periode pengembalian. c. Net Present Value (NPV) Nilai bersih pada saat ini yang diperoleh dengan jalan mendiskontokan selisih antara jumlah kas yang keluar dari dana proyek dan kas yang masuk ke dalam dana proyek tiap-tiap tahun, dengan suatu tingkat persentase bunga yang telah ditentukan sebelumnya. Tingkat bunga tersebut dapat diperoleh dari tingkat bunga pinjaman jangka panjang yang berlaku di pasar modal atau berdasarkan
29
tingkat bunga pinjaman yang harus dibayar oleh pemiliki proyek. Jangka waktu pendiskontoan harus sama dengan umur ekonomis proyek. Persamaan yang digunakan adalah n
NPV t 0
Bt ct (1 i ) t
dimana,
NPV Bt Ct n i
= = = = =
Net Present Value keuntungan kotor proyek pada tahun ke-t biaya pengeluaran kotor proyek pada tahun ke-t umur ekonomis proyek tingkat bunga yang berlaku (%).
d. Internal Rate of Return (IRR) Internal Rate of Return (IRR) merupakan suatu tingkat bunga (i) yang menyebabkan nilai NPV sama dengan nol, sehingga nilai sekarang dan aliran uang tunai yang masuk sama dengan nilai sekarang dari yang keluar. IRR dapat dinyatakan pula sebagai tingkat rendemen atas investasi bersih. Nilai IRR juga dapat dianggap sebagai tingkat keuntungan bersih atas investasi dalam suatu proyek, dengan syarat setiap keuntungan bersih (Bt-Ct yang bernilai positif) secara otomatis ditanam kembali pada tahun berikutnya dan mendapatkan tingkat keuntungan yang sama. Persamaan yang digunakan adalah :
IRR
it
NPVt x (i2 NPV1 NPV2
i1 )
Penyelesaian persamaan tersebut diatas dengan menggunakan metoda trial and error atau dengan teknik penelusuran oleh komputer untuk mencari nilai akar persamaan polinomial dalam i , dimana i , adalah tingkat suku bunga yang menyebabkan NPV1 bernilai positif, sedangkan i2 merupakan tingkat suku bunga yang menyebabkan NPV2 bernilai negatif mendekati nol. Jika nilai IRR (i*) lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku it , diambil adalah layak.
maka keputusan yang
30
e. Benefit Cost Ratio (B/C Ratio) Ni1ai B/C merupakan angka perbandingan antara keuntungan yang diperoleh terhadap biaya yang dikeluarkan. Persamaan yang digunakan sebagai berikut : n
Net B / C
t 0 n t 0
Bt
Ct
1 i Ct
t
Bt
1 i
t
Bt
Ct
Bt
Ct
Kriteria keputusan yang diambil adalah: jika B/C > 1, layak diterima jika B/C < 0, tidak layak jika B/C = 0, tidak dapat dibedakan antara diterima atau tidak.
31
III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Agroindustri
aren
merupakan
industri
yang
mengolah
dan
mentransformasi bahan baku yang berasal dari tanaman aren menjadi berbagai produk kebutuhan manusia terutama untuk menghasilkan gula, bioetanol dan produk lainnya. Tanaman dan industri pengolahan aren telah ada sejak lama dan diusahakan oleh masyarakat di Indonesia, khususnya di Sulawesi Utara. Pengelolaan tanaman dan industri aren tersebut masih terbatas pada skala usaha kecil dan rumah tangga serta bersifat tradisional dengan menggunakan teknologi yang sangat sederhana. Kecenderungan meningkatnya permintaan pasar akan produk-produk agroindustri serta tersedianya sumberdaya alam yang cukup besar telah memberikan harapan bahwa agroindustri ini cukup prospektif dan memiliki potensi untuk menciptakan nilai tambah yang lebih besar terhadap setiap pelaku yang terlibat didalam sistem. Disamping itu, pengembangan agroindustri ini akan secara langsung berpengaruh pada penciptaan lapangan kerja dan pemerataan pendapatan. Beberapa paradigma mengarahkan pengembangan agroindustri pada aspek-aspek yang berkaitan dengan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah pedesaan, penciptaan kemitraan setara antar pelaku usaha, pemerataan pendapatan, pemanfaatan sumberdaya lokal, pengembangan produk dan penciptaan nilai tambah. Respon dari pemikiran tersebut antara lain memuculkan perubahan kebijakan di tingkat pengambilan keputusan, khususnya pemerintah dan pelaku agroindustri. Pemikiran tersebut didasarkan pada kondisi dan permasalahan yang dihadapi oleh agroindustri dalam satu kesatuan sistem. Dalam kaitan dengan peningkatkan kinerja agroindustri pedesaan, maka sangat diperlukan pemahaman menyeluruh menyangkut sistem agroindustri tersebut sehingga dapat dihasilkan alternatif-alternatif pengembangan terbaik. Selama ini, berbagai model pengembangan agroindustri pedesaan telah diperkenalkan dan diimplementasikan di Indonesia, salah satunya adalah pengembangan model klaster industri. Konsep klaster industri merupakan salah
32
satu sistem yang dianggap sesuai untuk diimplementasikan untuk pengembangan agroindustri pedesaan di Indonesia karena dapat mengintegrasikan industri dalam suatu jaringan kerjasama dalam rangka untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing. Kerangka pemikiran konseptual yang dikembangkan dalam rangka mengembangkan klaster agroindustri aren, khususnya di Sulawesi Utara, disajikan pada Gambar 4. Model-model Pembangunan dan Pengembangan Agroindustri
Potensi Agroindustri Aren di Sulawesi Utara
Pengembangan Agroindustri Aren melalui Pendekatan Klaster
Perencanaan Teknologi pada Agroindustri dalam Klaster
Penilaian Kelayakan Investasi Agroindustri Aren
Usaha
Perumusan Strategi Pengembangan Klaster Agroindustri Aren
Hasil yang diharapkan: •Meningkatnya kerjasama industri •Merangsang terjadinya inovasi berkelanjutan •Terjadinya transfer informasi dan iptek •Mendorong terjadinya difersifikasi produk •Mendorong peningkatan kualitas produk •Memperkuat posisi tawar menawar dari masing-masing industri •Memungkinkan munculnya industri terkait lainnya • Meningkatkan daya saing dan nilai tambah perusahan/industri anggota klaster
Gambar 4 Kerangka pemikiran konseptual pengembangan klaster agroindustri aren. 3.2. Tahapan Penelitian Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai yakni membangun model pengembangan agroindustri pedesaan khususnya agroindustri aren di Sulawesi Utara,
penelitian
ini
dilakukan
dalam
beberapa
tahapan
sebagaimana
dipresentasikan pada Gambar 5. Tahapan tersebut dimulai dari analisis situasional dan prospektif wilayah pengembangan, kemudian dilanjutkan dengan mendisain model pengembangan klaster agroindustri.
33
Mulai
Analisis Sistuasional Agroindustri Aren di Sulawesi Utara
PENGEMBANGAN MODEL KLASTER AGROINDUSTRI AREN Analisis Faktor Pengembangan Model
Penentua Lokasi Andalan
Penentuan Industri Inti
Pengembangan Kelembagaan
PENGEMBANGAN MODEL PEMILIHAN TEKNOLOGI PADA KLASTER AGROINDUSTRI AREN
Penentuan Produk Unggulan
Penentuan Kapasitas Olah
Penentuan Teknologi Pengolahan
PENGEMBANGAN MODEL KELAYAKAN INVESTASI AGROINDUSTRI AREN
STRATEGI PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI AREN
VALIDASI DAN VERIFIKASI MODEL
Selesai
Gambar 5 Diagram alir perancangan model klaster agroindustri aren. Dalam model pengembangan klaster tersebut dilakukan analisis untuk menentukan lokasi pengembangan andalan, industri inti, serta struktur dan bentuk kelembagaan yang paling sesuai. Langkah selanjutnya adalah menentukan teknologi yang paling sesuai untuk digunakan pada masing-masing rantai pasok produksi sehingga dapat dihasilkan nilai produk yang paling tinggi, baik dilihat dari tingkat produktivitas maupun dari nilai tambah yang akan diperoleh.
34
Kemudian untuk menilai apakah sistem model yang dikembangkan akan mampu meningkatkan produktivitas dan nilai tambah apabila diimplementasikan, maka analisis dilanjutkan dengan melakukan prediksi terhadap kinerja sistem. Tahapan akhir dari penelitian yang dilakukan adalah merumuskan strategi pengembangan yang paling sesuai untuk diimplementasikan dalam pengembangan klaster agroindustri aren
dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang
merupakan kekuatan dan peluang serta faktor-faktor yang menjadi kelemahan dan ancaman.
3.3. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam kajian ini adalah data primer dan data sekunder yang terdiri dari data kualitatif dan kuantitatif. Data primer meliputi hasil wawancara bersama pakar dan praktisi yang terlibat langsung dalam pengembangan agroindustri aren serta respon dari kuisioner yang disebarkan. Data sekunder diperoleh dari kajian pustaka serta dari instansi terkait seperti Dinas Perkebunan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulawesi Utara, dan Badan Pusat Statistik.
3.4. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode survai dan wawancara pakar. Pemilihan ahli atau pakar menurut Marimin (2001) harus memiliki kemampuan mengumpulkan data dan informasi kompleks serta memiliki kemampuan menginterpresentasikan data sebagai suatu kegiatan terencana.
3.5. Metode Pengolahan Data Data yang dikumpulkan baik berupa data primer maupun data sekunder kemudian dikelompokkan berdasarkan konteks penggunaannya di dalam model yang akan dikembangkan. Untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai, maka data dalam masing-masing sub model dianalisis dengan menggunakan metode yang dianggap paling sesuai. Pada sub-model lokasi andalan klaster agroindustri aren, analisis dilakukan dengan menggunakan teknik LQ. Teknik ini mengukur
35
konsentrasi relatif atau derajat spesialisasi kegiatan ekonomi melalui pendekatan perbandingan. Sementara untuk sub-model penentuan industri inti, analisis dilakukan dengan menggunakan teknik IPE (Independent Preference Evaluation) dan AHP (Analytical Hierarchy Process). Model strukturisasi sistem klaster agroindustri inti dianalisis dengan menggunakan teknik IPE dan ISM (interpretive structural modelling) yang diadopsi dari Saxena et al. (1992). Metode analisis data untuk model perencanaan pengembangan teknologi pada agroindustri aren masing-masing digunakan teknik AHP untuk menentukan jenis produk potensial dalam industri ini, kemudian pada sub-model penentuan kapasitas olah digunakan teknik heuristik melalui if-then rule, serta teknik MPE (metode perbandingan eksponensial) pada sub-model penentuan teknologi proses pengolahan. Pada model kelayakan investasi usaha agroindustri berbahan baku aren, data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan kriteria-kriteria kelayakan finansial diantaranya BEP, NPV, B/C Ratio, IRR, dan PBP.
36
IV. ANALISIS SISTEM 4.1. Analisis Situasional Salah satu usaha agroindustri pedesaan potensial di Sulawesi Utara adalah agroindustri yang mengolah bahan baku dari tanaman aren. Dikatakan potensial karena sektor ini melibatkan petani dan tenaga kerja yang cukup besar. Selain itu ketersediaan sumber bahan baku relatif cukup besar. Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan, misalnya oleh Mahmud (1991); Pakasi (1998); Kindangen et al. (2001); Novarianto (2001), menunjukkan bahwa agroindustri aren memiliki nilai strategis baik dilihat dari aspek ekonomi maupun dari aspek sosial, karena agroindustri ini tersebar hampir merata di seluruh wilayah Provinsi Sulawesi Utara, melibatkan banyak petani dan tenaga kerja, dan umumnya merupakan industri berskala kecil serta berada di wilayah pedesaan. Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik Sulawesi Utara (2010), sebagaimana dipresentasikan pada Tabel 2, luas areal tanaman aren di Sulawesi Utara mencapai 5.615 ha dengan populasi tanaman diperkirakan mencapai 1.475,5 ribu pohon, dimana 30-35% diantaranya merupakan tanaman produktif. Kondisi ini menempatkan Sulawesi Utara sebagai daerah kedua di Indonesia yang memiliki luas areal dan populasi tanaman aren terbesar setelah Jawa Barat. Tabel 2 Sebaran dan produksi tanaman aren di Sulawesi Utara tahun 2010 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Kabupaten / Kota
Luas Areal (ha)
Kepulauan Talaud 85,70 Kepulauan Sangihe 160,00 Kepulauan Sitaro 35,00 Minahasa 812,60 Minahasa Utara 670,00 Minahasa Selatan 1959,50 Minahasa Tenggara 471,20 Bolaang Mongondow 184,30 Bolaang Mongondow Utara 110,00 Bolaang Mongondow Timur 125,70 Bolaang Mongondow Selatan 76,00 Kota Manado 17,00 Kota Bitung 22,80 Kota Tomohon 870,60 Kota Kotamobagu 15,00 Jumlah 5.615,00 Sumber: Dinas Perkebunan Sulawesi Utara (2011)
Populasi Tanaman (pohon) Tidak Produktif Jumlah Produktif 7.257 16.933 24.190 13.548 31.613 45.162 2.964 6.915 9.879 68.809 160.555 229.364 56.734 132.380 189.114 165.926 387.161 553.087 39.900 93.100 133.001 15.606 36.414 52.020 9.315 21.734 31.049 10.644 24.836 35.480 4.290 17.161 21.452 1.440 3.359 4.798 1.931 4.505 6.436 86.007 159.728 245.735 1.270 2.964 4.234 475.500 1.109.500 1.585.000
37
Bedasarkan survai yang dilakukan menunjukan bahwa hampir seluruh bagian tanaman aren dapat diolah menjadi berbagai produk turunan (Gambar 6). Daun aren dapat diolah menjadi atap rumah, bahan dekorasi, dan lidi. Buah dari tandan bunga betina atau kolang-kaling, dapat diambil dagingnya menjadi bahan baku pembuatan minuman atau makanan ringan. Nira yang disadap dari tandan bungan jantan merupakan bahan baku pembuatan gula aren dan bioetanol atau alkohol. Sementara itu, dari batangnya dapat dihasilkan sagu sebagai bahan makanan dan kayu sebagai bahan baku industri bangunan dan meubel. Sedangkan ijuk aren digunakan sebagai bahan baku pembuatan jok kursi atau meubel serta alat-alat rumah tangga seperti sapu, keset kaki dan sikat lantai.
Daun
Buah TANAMAN
AREN
Atap
Industri bangunan
Bahan Dekorasi
Industri kreatif
Lidi
Industri kreatif
Kolangkaling
Industri makanan
Gula Aren
Industri makanan
Alkohol
Industri bioethanol
Sagu
Industri makanan
Papan
Industri bangunan
Alat Rumah Tangga
Industri meubel
Nira
Batang
Ijuk
Gambar 6. Pohon industri tanaman aren Jenis agroindustri aren yang terdapat di Sulawesi Utara umumnya masih terbatas pada pengolahan bahan baku nira untuk menghasilkan produk gula aren dan alkohol. Ditinjau dari sisi penawaran, agroindustri pengolahan aren di Sulawesi Utara menunjukan beberapa karakteristik khusus yang berkaitan dengan jenis dan mutu produk turunan yang dihasilkan, skala usaha, proses penanganan bahan baku, proses pengolahan dan penanganan akhir. Faktor-faktor tersebut berperan sangat besar terhadap kinerja usaha dan individu pelaku agroindustri ini.
38
Selaras dengan luas areal dan produktifitas tanaman aren, jumlah industri pengolahan yang menggunakan bahan baku dari tanaman aren khususnya nira di Sulawesi Utara, menunjukkan angka yang cukup signifikan (Tabel 3). Sebagai contoh, jumlah industri gula aren pada tahun 2010 mencapai 6.635 unit usaha walaupun sebagian besar didominasi oleh industri skala mikro dan kecil. Total produksi gula aren yang dihasilkan oleh industri pengolahan mencapai 1.484,ton dengan jumlah tenaga kerja yang terlibat sekitar 13.270 orang. Demikian halnya dengan industri alkohol dimana volume produksi pada tahun yang sama mencapai 1.176.000 l serta melibatkan 9.366 tenaga kerja. Tabel 3 Sebaran dan produksi agroindustri aren di Sulawesi Utara tahun 2010 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Kepulauan Talaud Kepulauan Sangihe Kepulauan Sitaro Minahasa Minahasa Utara Minahasa Selatan Minahasa Tenggara Bolaang Mongondow Bolaang Mongondow Utara Bolaang Mongondow Timur Bolaang Mongondow Selatan Kota Manado Kota Bitung Kota Tomohon Kota Kotamobagu
Industri Gula Merah Unit Jumlah Produksi Usaha TK (ton) 63 125 10,31 117 234 19,26 26 51 4,21 892 1.785 199,67 782 1.564 164,63 2.522 5.044 597,44 471 943 99,24 112 225 22,18 80 161 13,24 77 153 15,13 37 74 6,10 12 25 2,05 17 33 2,74 1.415 2.831 325,98 11 22 1,81
Industri Alkohol (CT) Unit Jumlah Produksi Usaha TK (000 l) 73 110 8,17 137 205 15,26 30 45 3,34 1.002 1510 158,23 826 1230 130,46 2.075 3110 473,45 472 708 78,65 157 236 17,58 94 140 10,49 101 150 11,99 43 65 4,83 15 22 1,62 19 30 2,17 1.189 1783 258,32 13 20 1,43
Jumlah
6.635
6.246
Kabupaten/Kota
13.270
1.484,00
9364
1.176,00
Sumber: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sulawesi Utara (2011)
Berdasarkan potensi bahan baku dan kemampuan penyerapan tenaga kerja, sejak tahun 2006 pemerintah bekerjasama dengan pihak swasta menggagas berdirinya beberapa pabrik pengolahan nira aren di Sulawesi Utara. Pada tahun 2006 melalui kerjasama antara pemerintah dalam hal ini kementerian pertanian dan pemerintah kota Tomohon dibangun unit pengolahan gula aren skala menengah dengan kapasitas olah mencapai 10.000 l. Sementara di Minahasa Selatan dibangun dua unit pabrik pengolahan nira aren masing-masing pabrik pengolahan gula aren berkapasitas olah 8.000 l pada tahun 2008 dan unit pabrik pengolahan bioetanol yang berkapasitas olah 10.000 l pada tahun 2009.
39
Namun demikian, dari ketiga pabrik pengolahan nira aren tersebut, hanya pabrik gula aren yang berlokasi di Tomohon yang dapat melakukan kegiatan produksi, walaupun sering tidak beroperasi secara kontinyu. Sementara pabrik pengolahan gula aren dan bioetanol di Minahasa Selatan sampai saat ini belum dapat melakukan kegiatan produksi. Berdasarkan hasil pengamatan awal diketahui bahwa salah satu penyebab utama tidak berjalannya kegiatan produksi di kedua pabrik pengolahan tersebut berkaitan dengan status badan hukum dan kelembagaan organisasi.
4.2. Analisis Kebutuhan Analisis kebutuhan merupakan permulaan pengkajian dari suatu sistem. Analisis ini akan dinyatakan dalam kebutuhan-kebutuhan yang ada, baru kemudian dilakukan tahapan pengembangan terhadap kebutuhan-kebutuhan yang dideskripsikan (Eriyatno 1998). Analisis kebutuhan selalu menyangkut interaksi antara respon yang timbul dari seorang pengambil keputusan terhadap jalannya sistem. Analisis ini dapat meliputi hasil suatu survei, pendapat ahli, diskusi, observasi lapangan dan sebagainya. Dalam sistem agroindustri pedesaan, terdapat beberapa pihak yang secara langsung maupun tidak langsung terlibat didalamnya serta memiliki kepentingan yang umumnya berbeda satu dengan lainnya. Analisa kebutuhan masing-masing pihak tersebut merupakan langkah awal dalam pengkajian pendekatan suatu sistem. Kebutuhan dan keinginan dari pihak-pihak terkait yang merupakan aktor atau pelaku sistem perencanaan pengembangan agroindustri aren diuraikan seperti pada Tabel 4.
40
Tabel 4 Analisis kebutuhan pelaku pengembangan agroindustri aren No
Aktor
Kebutuhan
1.
Pemilik Lahan
2.
Petani Penyadap
3.
Agroindustri dan Industri Terkait
3.
Industri Peralatan
4.
Pedagang Perantara
5.
Kelompok tani dan gapoktan
6.
Koperasi
7.
Asosiasi Dagang
8.
Konsumen
9.
Lembaga Keuangan
1. Produktivitas lahan meningkat 2. Nilai tambah lahan meningkat 1. Sewa lahan rendah 2. Produktivitas meningkat 3. Harga jual produk tinggi 4. Pendapatan dan kesejahteraan meningkat 1. Terjaminnya mutu dan pasokan bahan baku 2. Harga bahan baku rendah 3. Tersedianya tenaga kerja terampil 4. Kemudahan akses terhadap teknologi tepat guna dan murah 5. Produktivitas meningkat 6. Nilai tambah dan daya saing produk tinggi 7. Mutu produk yang dihasilkan tinggi 8. Tersedianya infrastruktur penunjang 9. Keberlanjutan usaha 10. Tersedianya kredit investasi lunak 11. Iklim investasi yang mendukung 1. Tersedianya tenaga kerja terampil 2. Menghasilkan peralatan inovatif 3. Nilai tambah dan daya saing produk tinggi 4. Tersedianya kredit investasi lunak 1. Harga produk aren di tingkat produsen rendah 2. Pasokan produk aren dari produsen tinggi 3. Marjin keuntungan tinggi 4. Pajak penghasilan rendah 1. Produktivitas meningkat 2. Kuatnya jaringan kerjasama 3. Mutu produk rata-rata meningkat 4. Nilai tambah produk meningkat 5. Tingkat partisipasi anggota meningkat 1. Laba usaha meningkat 2. Dividen yang dibagikan pada anggota meningkat 3. Tingkat partisipasi anggota meningkat 4. Jenis usaha bertambah 1. Terjaminnya pasokan produk 2. Stabilitas harga produk terjaga 3. Rendahnya perselisihan dagang 1. Harga beli rendah 2. Kualitas produk tinggi 3. Produk aman dikonsumsi 4. Terjaminnya ketersediaan produk 1. Tingkat suku bunga kredit yang sesuai (tinggi) 2. Meningkatnya kredit yang disalurkan 3. Lancarnya pengembalian kredit yang disalurkan 4. Keamanan kredit investasi 5. Meningkatnya tabungan masyarakat
41
Lanjutan No
Aktor
Kebutuhan
10.
Lembaga Litbang dan Perguruan Tinggi
11.
Inkubator
12.
Badan Standarisasi Produk
13.
Pemerintah Daerah
1. 2. 3. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 1. 2. 3. 4. 5.
Berkembangnya kerjasama penelitian Inovasi teknologi meningkat Anggaran penelitian meningkat Meningkatnya layanan pendampingan usaha Meningkatnya skala dan jenis usaha agroindustri Meningkatnya kinerja agoindustri Kualitas bahan baku terjamin Kualitas produk meningkat Keamanan produk terjamin Meningkatnya lapangan kerja dan kesempatan berusaha Meningkatnya jumlah dan volume investasi Meningkatnya tingkat konsumsi masyarakat Meningkatnya tabungan masyarakat Meningkatnya penerimaan pajak dan pendapatan daerah 6. Tingkat inflasi terkendali 7. Berkembangnya agroindustri dan industri terkait
4.3. Formulasi Permasalahan Rendahnya nilai tambah dan daya saing sektor agroindustri aren umumnya bersumber dari aspek penawaran dan permintaan. Aspek penawaran berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi proses produksi seperti ketersediaan bahan baku, jumlah dan kualitas tenaga kerja, teknologi pengolahan, dan penanganan akhir produk. Sedangkan pada aspek permintaan berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan produk itu sendiri seperti harga produk, tingkat konsumsi, mutu produk, dan produk substitusi. Perencanaan pengembangan agroindustri aren di Indonesia diperhadapkan dengan sejumlah permasalahan yaitu: 1) potensi bahan baku yang belum dimanfaatkan secara optimal, 2) teknologi yang digunakan dalam proses produksi sangat sederhana sehingga membatasi produktivitas dan mutu produk yang dihasilkan, 3) skala usaha relatif kecil, sehingga menyebabkan tidak memungkinkan tercapainya skala ekonomi yang menghasilkan keuntungan, 4) harga jual produk relatif rendah, sehingga nilai tambah yang dihasilkan relatif kecil dan tidak memungkinkan petani dan pelaku usaha untuk meningkatkan pendapatannya, 5) belum adanya kerjasama dan keterpaduan antara pihak-pihak atau lembaga yang terkait dengan sistem agroindustri, dan 6) strategi kebijakan pengembangan
agroindustri
pedesaan belum
pernah
dirumuskan
secara
42
komprehensif sehingga belum mampu meningkatkan daya saing produk agroindustri, serta 7) kurangnya informasi mengenai sistem penunjang keputusan investasi, baik mengenai kelayakan teknis maupun ekonomi, bagi pengusaha dan pelaku usaha lainnya. 4.4. Identifikasi Sistem Identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan dengan pernyataan khusus dari masalah yang harus dipecahkan untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan tersebut (Marimin 2004). Berkaitan
dengan
hal
tersebut,
maka
identifikasi
sistem
perencanaan
pengembangan agroindustri aren digambarkan dalam bentuk diagram lingkar sebab akibat (causal loop), seperti pada Gambar 7.
+
Permintaan bahan baku
+
+
+
Kapasitas produksi
Pasar lokal/ ekspor
+
+
+
+
Konsumsi masyarakat
Pendapatan daerah
+
+
+
+
+
Program kemitraan
+
Permintaan produk
+ +
Pengembangan produk
+
+
Kualitas SDM
Mutu produk
+
+
Inovasi
Keterkaitan usaha
Daya saing
+
+
Pengembangan Agroindustri Aren di Sulawesi Utara
Produktivitas
+
+ Skala Usaha
+
Investasi
+
Tabungan masyarakat
Penerimaan pajak
+
+
+
Tingkat teknologi
+
Pendapatan masyarakat
+
Suku bunga perbankan
Keuntungan perusahan
+
+
Tenaga kerja
+
Pendapatan Petani
+
+
Areal tanam
Aktivitas ekonomi
Permintaan bahan baku industri hilir
Gambar 7 Diagram sebab akibat pengembangan sistem agroindustri aren.
Aspek penting lainnya dalam mengidentifikasi sistem tersebut adalah melanjutkan interpretasi diagram lingkar sebab akibat tersebut ke dalam konsep kotak gelap (black box) atau diagram input-output.
Gambar 8 menunjukkan
diagram kotak gelap sistem perencanaan pengembangan agroindustri aren. Elemen utama dalam kotak gelap tersebut terdiri atas peubah input, peubah output dan parameter-parameter yang membatasi sistem tersebut.
43
INPUT LINGKUNGAN 1. Kebijakan Pemerintah 2. Kondisi Sosial Ekonomi 3. Etos Kerja Masyarakat 4. Akses dan Kesempatan
INPUT TIDAK TERKONTROL 1. Harga Pasar Produk 2. Harga Pasar Input 3. Suku Bunga Bank 4. Persaingan Industri Sejenis/Terkait 5. Struktur persaingan industri 5. Perkembangan Teknologi 6. Ketersediaan Infrastruktur 7. Ketersediaan Dana / Modal 8. Permintaan Pasar Domestik dan Dunia 9. Kewirausahaan
OUTPUT YANG DIKEHENDAKI 1. Peningkatan Produktivitas 2. Stabilitas Harga Produk 3. Kualitas Produk Terjaga (zero defect) 4. Peningkatan Nilai Tambah 5. Peningkatan Pendapatan Pemerintah 6. Peningkatan Pendapatan Industri Hulu dan Hilir 7. Peningkatan Pendapatan Petani 8. Difersifikasi Produk 9. Peningkatan Daya Saing 10. Produksi Bersih dan Berkelanjutan 11. Peningkatan Lapangan Kerja 12. Peningkatan kerjasama antar pihak MODEL PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI AREN DI SULAWESI UTARA
INPUT TERKONTROL 1. Tenaga Kerja / SDM 2. Bahan Baku dan Produksi 3. Permodalan / Investasi 4. Manajemen Usaha 5. Sarana dan Prasarana 6. Teknologi disepanjang Rantai Pasok
OUTPUT TIDAK DIKEHENDAKI 1. Kualitas Produk Rendah 2. Harga Produk Fluktuatif / Rendah 3. Meningkatnya Biaya Produksi 4. Penurunan Keuntungan / Pendapatan 5. Disparitas Pendapatan 6. Kerusakan Lingkungan
MANAJEMEN PENGENDALIAN Gambar 8 Diagram input output pengembangan klaster agroindustri aren. Identifikasi terhadap sistem perencanaan pengembangan agroindustri pedesaan akan menghasilkan spesifikasi yang lebih terperinci tentang peubah yang menyangkut rancangan dan proses pengendalian. Identifikasi sistem tersebut ditentukan dan ditandai dengan adanya determinasi kriteria jalannya sistem yang akan membantu dalam evaluasi alternatif sistem.
44
V. PEMODELAN SISTEM Dalam analisis sistem perencanaan pengembangan agroindustri aren di Sulawesi Utara menunjukkan bahwa terdapat berbagai pihak yang terlibat dan berperan didalam sistem tersebut. Pihak-pihak tersebut mempunyai kebutuhan yang berbeda-beda sesuai dengan tujuan masing-masing dan saling berinteraksi satu dengan yang lain serta berpengaruh terhadap keseluruhan sistem yang ada. Dalam hal ini, pihak-pihak tersebut adalah petani/penghasil bahan baku, perusahan agroindustri, pedagang perantara, konsumen, investor, kelompok tani dan gapoktan, koperasi, lembaga penelitian dan perguruan tinggi, lembaga keuangan, dan pemerintah daerah dan pusat. Kebutuhan dari pihak-pihak yang terlibat dapat bersifat menguatkan maupun saling melemahkan.
Kondisi ini
menjadi permasalahan dalam pengembangan agroindustri pedesaan ke depan. Oleh sebab itu, sistem agroindustri aren perlu untuk dirancang dalam suatu model
perencanan
pengembangan
yang diharapkan
dapat
memecahkan
permasalahan yang dihadapi. Basis model dalam sistem penunjang keputusan pengembangan agroindustri aren di Sulawesi Utara terdiri atas tiga model utama yaitu: 1) model pengembangan klaster agroindustri aren, 2) model pengembangan teknologi agroindustri aren, dan 3) model kelayakan investasi. Konfigurasi model yang tercakup didalam sistem penunjang keputusan pengembangan klaster agroindustri aren di Sulawesi Utara dipresentasikan pada Gambar 9. Model pengembangan klaster agroindustri aren terdiri atas: a) sub model lokasi pengembangan, b) sub model agroindustri inti, dan c) sub model kelembagaan klaster. Model pengembangan teknologi agroindustri aren terdiri atas: a) sub model produk unggulan, b) sub model kapasitas olah, dan c) sub model penentuan teknologi pengolahan. Sedangkan model kelayakan investasi diukur berdasarkan kinerja finansial usaha agroindustri aren terpilih.
45
Data
Model
Sistem Manajemen Basis Data
Sistem Manajemen Basis Model
1. Data potensi bahan baku 2. Data lokasi industri, jenis, jumlah dan skala industri, jarak, sarana prasarana, jlh tenaga kerja 3. Rantai kegiatan dari hulu sampai hilir 4. Elemen-elemen tujuan sistem 5. Elemen-elemen kendala sistem 6. Elemen-elemen pelaku sistem 7. Elemen-elemen aktivitas sistem 8. Elemen-elemen indikator keberhasilan sistem 7. Alternatif produk unggulan 8. Jenis dan kapasitas teknologi pada rantai pasok 9. Alternatif teknologi pengolahan 10.Kinerja finansial usaha
1. Model Pengembangan Klaster Agroindustri Aren 2.1. Sub-model lokasi andalan 2.2. Sub-model industri Inti 2.3. Sub-model kelembagaan 2. Model Pengembangan Teknologi 4.1. Sub-model produk unggulan 4.2. Sub-model kapasitas olah 4.3. Sub-model proses pengolahan 4. Model Kelayakan Investasi
Sistem Pengolahan Terpusat
Sistem Manajemen Dialog
Pengguna
Gambar 9 Sistem penunjang keputusan pengembangan klaster agroindustri aren.
5.1. Konfigurasi Model Pengembangan Klaster Model pengembangan klaster agroindustri aren di Sulawesi Uatara bertujuan untuk mendapatkan keputusan implementatif mengenai lokasi pengembangan dan industri inti prioritas, struktur sistem pengembangan, dan kelayakan investasi usaha agroindustri aren terpilih. 5.1.1. Penentuan Lokasi Unggulan Sub model lokasi andalan bertujuan untuk menentukan prioritas lokasi pengembangan klaster agroindustri aren di Sulawesi Utara. Metode LQ digunakan untuk mengidentifikasi alternatif lokasi pengembangan sedangkan untuk menentukan lokasi unggulan digunakan teknik AHP. Gambar 10 menunjukkan diagram alir penentuan lokasi unggulan dimaksud.
46
Alternatif lokasi pengembangan Jumlah tenaga kerja lokal Jumlah tenaga kerja provinsi
Mulai
Penentuan prioritas lokasi pengembangan (Teknik AHP)
Perhitungan rasio tenaga kerja agroindustri aren terhadap agroindustri pada setiap lokasi (Teknik LQ)
Koefisien LQ masingmasing lokasi
Lokasi potensial
Hirarki elemen: Fokus pengembangan Lokasi potensial Kriteria-kriteria keputusan
Penilaian berpasangan untuk setiap elemen
Tidak Tidak
Perhitungan IK dan RK Gabungan
Konsistensi?
Matriks perbandingan berpasangan
Perhitungan vektor Eigen pada setiap hirarki
Ya
Penyusunan Matriks Gabungan
Pengolahan vertikal
Prioritas Lokasi Pengembangan
Selesai
Ya
Konsistensi?
Penentuan prioritas lokal
Perhitungan Rasio Konsistensi (RK)
Perhitungan Indeks Konsistensi (IK)
Gambar 10 Diagram alir model penentuan lokasi klaster. 5.1.2. Penentuan Industri Inti Tujuan dari sub model ini adalah untuk menentukan industri inti prioritas dalam sistem pengembangan klaster agoindustri aren. Masukan data dalam sub model ini adalah alternatif industri inti yang sesuai dengan pohon industri aren serta kriteria-kriteria keputusan. Keluaran yang diharapkan adalah industri inti prioritas dalam pengembangan sistem. Proses analisis dilakukan dengan menggunakan teknik AHP. Diagram alir proses penentuan tersebut disajikan pada Gambar 11.
47
Hirarki elemen: Fokus pengembangan Tujuan pengembangan Alternatif industri inti agroindustri aren Kriteria-kriteria keputusan
Mulai
Tidak Tidak
Perhitungan IK dan RK Gabungan
Konsistensi?
Ya
Penyusunan Matriks Gabungan
Pengolahan vertikal
Industri Inti Prioritas
Selesai
Matriks perbandingan berpasangan
Penilaian berpasangan untuk setiap elemen
Ya
Perhitungan vektor Eigen pada setiap hirarki
Konsistensi?
Penentuan prioritas lokal
Perhitungan Rasio Konsistensi (RK)
Perhitungan Indeks Konsistensi (IK)
Gambar 11 Diagram alir model penentuan industri inti. 5.1.3. Identifikasi dan Strukturisasi Model Kelembagaan Klaster 5.1.3.1. Identifikasi Elemen Penting Analisis terhadap struktur sistem pengembangan klaster agroindustri aren didahului dengan melakukan identifikasi terhadap elemen-elemen yang dianggap penting dan menentukan dalam sistem. Identifikasi terhadap elemen-elemen penting tersebut dilakukan melalui tahapan seperti dipresentasikan pada Gambar 12. Menurut Saxena et al (1992) bahwa dalam pengembangan program sebagai suatu sistem paling tidak terdapat sembilan elemen penting yang harus diperhatikan yaitu: 1) sektor masyarakat yang terpengaruhi, 2) kebutuhan dari program, 3) kendala utama, 4) perubahan yang dimungkinkan, 5) tujuan dari program, 6) indikator untuk menilai setiap tujuan, 7) aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan, 8) ukuran aktivitas guna mengevaluasi hasil yang dicapai oleh setiap aktivitas, dan 9) lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program.
Setelah elemen-elemen penting dalam sistem ditentukan, tahapan
selanjutnya yaitu mengidentifikasi sub-sub elemen didalam masing-masing elemen penting tersebut.
48
Nama dan Jumlah Pakar Nama dan Jumlah Elemen Nama dan Jumlah Sub-elemen Jumlah Skala Penilaian
Mulai
Urutan Elemen dan Sub elemen Penting
Selesai
Penilaian Pakar
Penentuan Urutan Elemen dan Sub elemen
Nilai Hasil Pembobotan
Hasil Penilaian Pakar
Penentuan Bobot Nilai
Gambar 12 Diagram alir identifikasi elemen penting sistem pengembangan. 5.1.3.2. Strukturisasi Elemen Penting Sub model strukturisasi ini bertujuan untuk menentukan bentuk hubungan kontekstual antar sub elemen didalam elemen sistem pengembangan agroindustri aren. Proses strukturisasi dilakukan dengan menggunakan pendekatan ISM (Gambar 13) yang meliputi: 1) penyusunan matriks SSIM, 2) transformasi matriks SSIM menjadi matriks Reachability, 3) revisi matriks reachability menjadi reachability final, serta 4) penentuan sub elemen kunci, struktur hirarki dan klasifikasi sub elemen. Data input: Nama dan jumlah elemen penting Nama dan jumlah sub elemen masing-masing elemen penting Jumlah dan nama pakar
Mulai
Penilaian hubungan kontekstual antar sub elemen pada masingmasing elemen penting oleh setiap pakar
Structural Self Interaction Matrix (SSIM) masing-masing elemen penting pada setiap pakar
Pembentukan Reachability Matrix (RM) masing-masing elemen penting pada setiap pakar Modifikasi SSIM
Tidak
Selesai
Transitif?
Ya
Pembentukan RM Gabungan
Struktur sistem pengembangan: Sub elemen kunci pada setiap elemen Hirarki sub-elemen pada setiap elemen Klasifikasi sub-elemen untuk setiap elemen penting
RM Gabungan
Penentuan sub elemen kunci Penyusunan hirarki sub elemen Pengelompokan sub elemen
Gambar 13 Diagram alir strukturisasi elemen sistem pengembangan klaster.
49
5.2. Konfigurasi Model Pengembangan Teknologi Pengolahan Model pengembangan teknologi pada agroindustri aren terdiri atas 1) submodel pemilihan produk unggulan, 2) sub-model penentuan kapasitas olah mesin pengolahan, dan 3) sub-model penentuan proses pengolahan. 5.2.1. Penentuan Produk Unggulan Pemilihan produk unggulan tersebut dilakukan dengan menggunakan teknik AHP dengan mempertimbangkan kriteria-kriteria utama yang diperoleh melalui proses identifikasi. Tahapan analisis dalam sub-model ini dipresentasikan pada Gambar 14.
Mulai
Hirarki elemen: Fokus pengembangan Alternatif produk pada industri inti Kriteria-kriteria keputusan
Penilaian berpasangan untuk setiap elemen
Tidak Tidak
Konsistensi?
Perhitungan IK dan RK Gabungan
Ya
Pengolahan vertikal
Produk Prioritas
Penyusunan Matriks Gabungan
Selesai
Ya
Matriks perbandingan berpasangan
Perhitungan vektor Eigen pada setiap hirarki
Konsistensi?
Penentuan prioritas lokal
Perhitungan Rasio Konsistensi (RK)
Perhitungan Indeks Konsistensi (IK)
Gambar 14 Diagram alir penentuan produk unggulan. 5.2.2. Penentuan Kapasitas Olah Permasalahan penentuan kapasitas olah dari produk unggulan menjadi pokok dalam sub-model ini. Dengan kata lain, sub-model penentuan kapasitas olah yang dibangun bertujuan untuk mendapatkan kapasitas olah agroindutri produk unggulan yang paling sesuai untuk dilakukan dengan mempertimbangkan aspekaspek yang berkaitan dengan penentuan kapasitas olah tersebut. Pendekatan yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan dengan pendekatan if…then
50
rule yang dilanjutkan dengan penentuan prioritas kapasitas olah menggunakan teknik MPE. Diagram alir penentuan kapasitas olah agroindustri aren terpilih dipresentasikan pada Gambar 15.
Mulai
Data input: Produk unggulan Alternatif kapasitas olah Kriteria penilaian
Penentuan Kapasitas Olah
Penilaian Kriteria untuk menentukan Derajat Kepentingan Relatif
Tidak
Selesai
Kapasitas olah terpilih
Ya
Analisis setiap komponen dengan logika if...then
Verifikasi
Gambar 15 Diagram alir penentuan kapasitas olah.
5.2.3. Penentuan Teknologi Pengolahan Tujuan yang ingin dicapai dalam sub-model ini yaitu menentukan metode atau teknik proses pengolahan produk unggulan. Input data yang diperlukan dalam sub-model ini adalah alternatif keputusan proses pengolahan dari produk terpilih dan kriteria yang dipakai dalam melakukan penilaian. Selanjutnya dilakukan penilaian terhadap kriteria-kriteria yang ada sehingga diperoleh derajat kepentingan relatif yang akan menjadi dasar dalam menganalisis setiap komponen proses pengolahan. Diagram alir tahapan analisis dalam sub-model ini dipresentasikan pada Gambar 16.
Mulai
Selesai
Produk unggulan Alternatif teknologi pengolahan Kriteria keputusan
Teknologi proses terpilih
Penilaian kriteria untuk menentukan derajat kepentingan relatif
Anasisis setiap komponen dengan teknik MPE
Gambar 16 Diagram alir pemilihan teknologi pengolahan.
51
5.3. Konfigurasi Model Penilaian Kelayakan Investasi Model kelayakan agroindustri pengolahan dirancang untuk menganalisis potensi dan kelayakan usaha pengolahan nira aren. Agroindustri pengolahan yang dikaji dalam model ini adalah agroindustri gula semut. Penentuan jenis investasi usaha agroindustri ini didasarkan pada keluaran sub model produk unggulan. Kriteria kelayakan yang digunakan dalam model ini terbatas pada kriteria finansial meliputi BEP (break-even point), B/C ratio, ROI (return of investment), NPV (net present value), IRR (internal rate of return), dan PBP (payback period). Tahapan proses analisis dalam model ini disajikan pada Gambar 17.
Mulai
Jenis produk Kapasitas olah Biaya investasi Biaya operasional Harga bahan baku Produktivitas Harga produk Sumber pembiayaan Tenor pinjaman Tingkat suku bunga
Total penerimaan Total biaya Laba bersih
Penyusunan neraca investasi
Biaya tetap Biaya variabel
Penyusunan neraca rugi laba
Perhitungan BEP, B/C ratio, ROI dan NPV
Break even point B/C ratio Return of investment Net present value
Internal rate of return Pay back periode
Perhitungan IRR dan PBP
Analisis sensitivitas
Koefisien kriteria kelayakan simulatif
Selesai
Gambar 17 Diagram alir penilaian kelayakan investasi. Keluaran model yang didasarkan pada kondisi faktual, selanjutnya disimulasi dengan menggunakan analisis sensitivitas yang bertujuan untuk mengetahui seberapa besar dampak atau resiko yang muncul jika satu atau beberapa faktor endogen mengalami perubahan. Faktor endogen
yang
disimulasikan tersebut adalah harga bahan baku dan harga jual produk di tingkat pabrik.
52
VI. VERIFIKASI DAN VALIDASI MODEL Model klaster agroindustri aren dirancang dan dibangun sebagai bahan pertimbangan pengambilan keputusan pengembangan di Sulawesi Utara terdiri atas 3 (tiga) blok model yaitu (1) model pengembangan klaster agroindustri aren, yang terdiri atas sub model lokasi pengembangan, sub model industri inti, dan sub model kelembagaan klaster, (2) model pengembangan teknologi pada agroindustri aren berbasis industri inti, yang terdiri atas sub model pemilihan produk, sub model pemilihan penentuan kapasitas, dan sub model pemilihan teknologi proses pengolahan, (3) model prediksi kinerja klaster agroindustri aren, yang terdiri atas sub model kriteria teknis teknologi dan sub model kriteria finansial. Hasil verifikasi menunjukan bahwa model konseptual pengembangan klaster memiliki kesesuaian dengan model yang dirancang dan dibangun. Selaras dengan itu, validasi terhadap model pengembangan klaster agroindustri aren di Sulawesi Utara menunjukan bahwa keluaran model yang dibangun memiliki kesesuaian dengan kondisi nyata. Proses pengujian dilakukan melalui expert judgement (uji pendapat pakar) serta membandingkan dengan bukti-bukti empiris. 6.1. Model Pengembangan Klaster Agroindustri Aren 6.1.1. Sub Model Lokasi Pengembangan Penentuan lokasi pengembangan klaster agroindustri aren dilakukan dengan menggunakan metode LQ. Berdasarkan analisis (Tabel 5) diperoleh bahwa dari lima belas daerah di Sulawesi Utara, terdapat 5 (lima) daerah yang memiliki koefisien relatif yang lebih besar dari pada satu, yakni: 1) Kabupaten Minahasa (1,146), 2) Kabupaten Minahasa Utara (1,149) 3) Kabupaten Minahasa Tenggara (1,164), 4) Kabupaten Minahasa Selatan (1,472), dan 5) Kota Tomohon (1,435). Hal tersebut menunjukkan bahwa daerah-daerah tersebut memiliki keunggulan relatif dibandingkan dengan daerah-daerah lain baik dalam hal konsentrasi sumber bahan baku maupun tenaga kerja yang terlibat. Hasil analisis lokasi dengan menggunakan LQ tersebut tidaklah cukup untuk dijadikan sebagai pertimbangan dalam penentuan lokasi unggulan pengembangan klaster agroindustri aren karena kriteria yang dipakai sebagai pertimbangan dalam analisis hanya terbatas pada satu faktor yaitu jumlah tenaga kerja. Walaupun
53
demikian keluaran model yang diperoleh dapat memberikan informasi mengenai alternatif lokasi yang memiliki potensi untuk dikembangkan. Oleh karena itu, untuk menguatkan pengambilan keputusan lokasi pengembangan klaster aren maka analisis kemudian dikembangkan dengan menggunakan teknik AHP yang mempertimbangkan sejumlah kriteria penting yang diperoleh dari proses identifikasi. Tabel 5 Koefisien LQ agrondustri aren di Sulawesi Utara No.
Kabupaten/Kota
1
Kepulauan Talaud
2 3 4
Kepulauan Sangihe Kepulauan Sitaro
5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
TK Industri Aren (org)
250 440 124 4320 3890 8394 2517 895 412 388 524 180 118 4646 168 27266
Minahasa Minahasa Utara Minahasa Selatan Minahasa Tenggara Bolaang Mongondow Bolaang Mongondow Utara Bolaang Mongondow Timur Bolaang Mongondow Selatan Kota Manado Kota Bitung Kota Tomohon Kota Kotamobagu Jumlah
TK Agroindustri (org)
Koefisien LQ
1797 3152 2066 13575 12193 20550 7790 3789 3483 2982 2410 2904 8700 11664 1172 98228
0.501 0.503 0.216 1.146 1.149 1.472 1.164 0.851 0.426 0.469 0.783 0.223 0.049 1.435 0.516
Berdasarkan hasil identifikasi tersebut kemudian dilakukan pengembangan model lokasi unggulan dengan menggunakan teknik AHP dimana struktur model terdiri atas 3 tingkatan hirarki yaitu tujuan, kriteria, dan alternatif lokasi (Lampiran 2). Kriteria-kriteria yang digunakan dalam penentuan lokasi adalah: a) konsentrasi geografis, b) ketersediaan
bahan baku, c) potensi sumberdaya
manusia, d) kapasitas dan kemampuan teknologi, e) industri pendukung, f) ketersediaan infrastuktur fisik, g) ketersediaan lembaga pendukung, h) dukungan pemerintah daerah dan pusat, i) budaya kerja, dan j) jangkauan pasar. Berdasarkan
tujuan
dan
kriteria-kriteria
tersebut,
keluaran
model
menunjukan bahwa lokasi prioritas pengembangan klaster agroindustri di Sulawesi Utara adalah Kabupaten Minahasa Selatan (Tabel 6) dengan skor keputusan 0,307. Peringkat kedua sampai kelima berturut-turut Kota Tomohon
54
(0,293), Kabupaten Minahasa (0,172), Kabupaten Minahasa Utara (0,130) dan terakhir Kabupaten Minahasa Tenggara (0,098). Tabel 6 Keluaran sub model lokasi pengembangan
6.1.2. Sub Model Industri Inti Klaster Agroindustri Aren Struktur hirarki yang dibangun dalam model terdiri atas tujuan, kriteria dan alternatif industri inti (Lampiran 3). Berdasarkan identifikasi diperoleh 9 (sembilan) jenis agroindustri inti, yaitu: a) industri nira segar, b) industri gula aren, c) industri bioetanol, d) industri minuman beralkohol, e) industri alat rumah tangga, f) industri meubel, g) industri kerajinan, h) industri atap, dan i) industri kolang kaling.
Berdasasarkan hasil identifikasi juga disepakati 11 (sebelas)
kriteria yang dapat dipakai untuk menilai industri inti yang paling sesuai untuk dikembangkan dalam pengembangan klaster agroindustri aren. Kriteria-kriteria tersebut adalah
1) sebaran agroindustri, 2) potensi bahan baku, 3) potensi
sumberdaya manusia, 4) kemampuan pengetahuan dan teknologi, 5) kapasitas produksi, 6) infrastruktur fisik, 7) keterkaitan industri, 8) keberadaan lembaga pendukung, 9) dukungan pemerintah, 10) eksternalitas negatif, dan (11) jangkauan pasar. Keluaran model dengan menggunakan metode AHP (Tabel 7) menunjukan bahwa agroindustri aren yang paling berpotensi untuk dikembangkan di Sulawesi Utara
adalah industri gula aren, dengan skor keputusan 0,306 (Tabel 7),
kemudian diikuti oleh industri bioetanol (0,251), industri nira segar (0,227), industri minuman beralkohol (0,116) dan industri kerajinan (0,101). Keluaran
55
model industri inti menjadi input pada model struktur sistem kelembagaan dan model pengembangan dan pemilihan teknologi pengolahan. Tabel 7 Keluaran sub model pemilihan industri inti
6.2. Model Struktural Kelembagaan Pengembangan Strukturisasi sistem dan pengembangan kelembagaan klaster agroindustri aren dengan kasus gula aren (hasil analisis dari model industri inti) terdiri atas lima elemen penting, yaitu : (1) tujuan pengembangan, (2) pelaku, (3) kendala utama,
(4)
aktivitas
pengembangan,
dan
(5)
indikator
keberhasilan
pengembangan. Penentuan sub elemen dan tingkat kepentingan setiap sub elemen didalam sistem dilakukan melalui masukan dan pendapat ahli. Sedangkan hubungan kontekstual diantara sub elemen didalam elemen sistem merujuk pada model perencanaan sistem yang dibangun oleh Saxena et al (1992). Hubungan kontekstual antar sub elemen pada setiap elemen sistem pengembangan klaster agroindustri gula aren dipresentasikan pada Tabel 8. Informasi penting dalam rangka memahami struktur sistem pengembangan adalah hirarki dari sub-elemen, klasifikasi sub-elemen, dan identifikasi subelemen kunci. Klasifikasi dilakukan berdasarkan karakteristik yang dinyatakan dengan tingkat driver-power dan tingkat dependency masing-masing sub-elemen. Sub-elemen kunci dari setiap elemen sistem diidentifikasi berdasarkan struktur hirarki dan jumlah lintasan pada struktur hirarki yang keluar dari sub-elemen yang bersangkutan.
56
Tabel 8 Hubungan kontekstual elemen kelembagaan No Elemen 1 Tujuan Pengembangan
2
Pelaku/Lembaga terkait
3
Kendala Utama
4
Aktivitas Pengembangan
5
Indikator Keberhasilan
Hubungan Kontekstual Antar Sub Elemen Sub elemen tujuan yang satu memberikan kontribusi tercapainya sub elemen tujuan lainnya Sub elemen pelaku/lembaga terkait yang satu mendukung sub elemen pelaku/lembaga terkait lainnya Sub elemen kendala yang satu mempengaruhi sub elemen kendala lainnya Sub elemen aktivitas yang satu mempengaruhi sub elemen aktivitas pengembangan lainnya Sub elemen indikator keberhasilan yang satu memberikan kontribusi tercapainya sub elemen indikator keberhasilan lainnya
6.2.1. Sub Model Elemen Tujuan Pengembangan Hasil identifikasi terhadap sistem tujuan pengembangan diperoleh 11 (sebelas) sub elemen penting yang memberikan kontribusi pada tercapainya tujuan pengembangan klaster. Hasil pengolahan matriks penilaian sub elemen tersebut disajikan pada Lampiran 4. Berdasarkan keluaran model (Tabel 9) diperoleh bahwa sub-elemen kunci yang memiliki daya dorong (driver power) paling besar dalam pencapaian tujuan pengembangan klaster adalah meningkatkan pendapatan petani/penyadap aren (T3), meningkatkan nilai tambah agroindustri aren (T7), dan meningkatkan kemampuan inovasi dan teknologi T8. Hasil ini memberikan arti bahwa ketiga sub elemen ini akan memberikan kontribusi yang paling besar dalam rangka pencapaian tujuan pengembangan. Dalam hirarki sistem ditunjukan bahwa ketiga sub-elemen kunci tersebut merupakan sub elemen yang berada pada tingkatan pertama dari 4 (empat) tingkatan hirarki. Pada tingkatan kedua, sub elemen meningkatkan mutu produk agroindustri aren (T2) dan memperluas lapangan kerja (T4). Tingkatan ketiga, meningkatkan produktifitas agroindustri aren (T1), memperluas jangkauan pasar (T5), meningkatkan volume pasokan ke pasar (T6), dan meningkatkan minat investasi (T10). Tingkatan keempat,
mewujudkan agroindustri aren yang
berkelanjutan (T9) dan meningkatkan pendapatan daerah (T11). Hasil ini
57
memberikan arti bahwa jalur pencapaian tujuan pengembangan melewati empat tahapan atau tingkatan tersebut. Tabel 9 Keluaran sub model elemen sistem tujuan pengembangan Dependency
Sub Elemen
Driver DepenPower dent
T1 Meningkatkan produktifitas agroindustri aren T2 Meningkatkan mutu produk agroindustri aren T3 Meningkatkan pendapatan petani /penyadap aren T4 Memperluas lapangan kerja T5 Memperluas jangkauan pasar T6 Meningkatkan volume pasokan ke pasar T7 Meningkatkan nilai tambah agroindustri aren T8 Meningkatkan kemampuan inovasi dan teknologi T9 Mewujudkan agroindustri aren yang berkelanjutan T10 Meningkatkan minat investasi T11 Meningkatkan pendapatan daerah
Kategori
6
8
Linkage
9
3
Independent
10
4
Dependent
9 6 6
4 8 8
Dependent Linkage Linkage
10
6
Linkage
10
4
Independent
4
9
Dependent
6 4
8 9
Linkage Dependent
Hirarki
T1
T9
T11
T5
T6
T2
T4
T3
T7
T10
T8
Sub-elemen kunci: T3, T7, dan T8
Berdasarkan pengelompokan sub-elemen, yang termasuk pada kategori independent
adalah
sub-elemen
meningkatkan
mutu
produk
(T2)
dan
meningkatkan kemampuan inovasi dan teknologi (T8). Sub elemen meningkatkan produktifitas agroindustri aren (T1), memperluas jangkauan pasar (T5), meningkatkan volume pasokan ke pasar (T6), meningkatkan nilai tambah agroindustri aren (T7) dan meningkatkan minat investasi (T10) masuk pada kelompok linkage. Sedangkan sub-elemen meningkatkan pendapatan petani dan penyadap aren (T3), memperluas lapangan kerja (T4), mewujudkan agroindustri aren yang berkelanjutan (T9), dan sub-elemen meningkatkan pendapatan daerah (T11) dikategorikan sebagai dependent. Tujuan-tujuan atau faktor-faktor pada kelompok independent dan kelompok linkage berperan besar dalam mencapai tujuan pengembangan klaster namun tujuan pada kelompok linkage harus dikaji lebih mendalam karena apakah bersifat berpengaruh atau dipengaruhi oleh tujuan-tujuan lain. Tujuan pada kelompok dependent merupakan faktor-faktor yang bersifat tidak bebas atau
58
dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, dengan kata lain faktor-faktor tersebut merupakan entitas dari tujuan pengembangan klaster. 6.2.2. Sub Model Elemen Pelaku Pengembangan Hasil identifikasi terhadap sistem pelaku pengembangan diperoleh 14 (empat belas) sub elemen atau pelaku penting yang mendukung sistem pengembangan klaster. Hasil pengolahan matriks penilaian sub elemen tersebut disajikan pada Lampiran 5. Berdasarkan keluaran model (Tabel 10) diperoleh bahwa sub-elemen atau pelaku kunci yang memiliki daya dorong terbesar pada sistem pengembangan klaster adalah pemilik lahan (P1), petani penyadap (P2), agroindustri aren (P3), industri terkait/pendukung (P4), pedagang perantara (P6), kelompok tani dan gapoktan (P9), dan koperasi (P10). Tabel 10 Keluaran sub model elemen pelaku pengembangan Dependency
Sub Elemen
Dependence
Kategori
14 14 14 14 1 14 1 1 14 14 1 4
7 7 7 7 8 7 8 11 7 7 11 10
Linkage Linkage Linkage Linkage Dependent Linkage Dependent Dependent Linkage Linkage Dependent Dependent
5 4
8 10
Dependent Dependent
Driver Power
P1 Pemilik lahan P2 Penyadap P3 Industri aren P4 Industri terkait/ pendukung P5 Produsen peralatan P6 Pedagang perantara P7 Asosiasi dagang P8 Pemerintah daerah dan pusat P9 Kelompok tani dan gapoktan P10 Koperasi P11 Lembaga keuangan dan donor P12 Lembaga penelitian dan pengembangan P13 Inkubator P14 Badan standarisasi produk
Hirarki
P5
P7
P8
P12
P14
P11
P13 P10
P9 P1
P6 P2
P4 P3
Sub-elemen kunci: P1, P2, P3, P4, P6, P9, dan P10
Hirarki sub elemen pelaku pengembangan terdiri atas 4 (empat) tingkatan dimana pada tingkatan pertama ditempati oleh sub-sub elemen kunci pelaku pengembangan. Tingkatan kedua ditempati oleh sub elemen inkubator (P13). Tingkatan ketiga
ditempati
oleh sub elemen lembaga
penelitian dan
pengembangan (P12) dan badan standarisasi produk (P14). Sedangkan tingkatan
59
keempat ditempati oleh sub elemen produsen peralatan (P5), asosiasi dagang (P7), pemerintah daerah dan pusat (P8), lembaga keuangan dan donor (P11). Berdasarkan pengelompokan sub-elemen diperoleh bahwa tidak satupun sub elemen pelaku yang termasuk dalam kategori independent dan autonomous. Kelompok linkage ditempati oleh sub-sub elemen kunci yaitu pemilik lahan (P1), petani penyadap (P2), agroindustri aren (P3), industri terkait/pendukung (P4), pedagang perantara (P6), kelompok tani dan gapoktan (P9), dan koperasi (P10). Sedangkan pada kelompok dependent terdiri atas sub elemen produsen peralatan (P5), asosiasi dagang (P7), pemerintah daerah dan pusat (P8), lembaga keuangan dan donor (P11), lembaga penelitian dan pengembangan (P12), inkubator (P13) dan badan standarisasi produk (P14). Hasil strukturisasi memberikan pengertian bahwa pelaku penting yang harus menggerakkan aktivitas klaster agroindustri aren adalah pemilik lahan, petani penyadap, agroindustri aren, industri pendukung dan industri terkait, pedagang perantara, kelompok tani dan gapoktan, dan koperasi. Berdasarkan pengelompokan, pelaku-pelaku tersebut juga mempunyai ketergatungan terhadap pelaku-pelaku lain. Pelaku-pelaku penting lain yang terlibat dalam sistem pengembangan adalah produsen peralatan, asosiasi dagang, pemerintah daerah dan pusat, lembaga keuangan dan donor, lembaga penelitian dan pengembangan, inkubator dan badan standarisasi produk. Pelaku-pelaku pengembangan yang disebutkan terakhir bersifat tidak bebas (dependent) karena dipengaruhi oleh pelaku-pelaku lain namun memiliki kekuatan besar dalam pengembangan sistem.
6.2.3. Sub Model Elemen Kendala Pengembangan Hasil identifikasi terhadap sistem kendala pengembangan diperoleh 16 (enam belas) sub elemen atau kendala penting yang mempengaruhi sistem pengembangan klaster. Hasil pengolahan matriks penilaian sub elemen tersebut disajikan pada Lampiran 6. Berdasarkan keluaran model (Tabel 11) diperoleh bahwa sub elemen kunci yang memiliki daya dorong terbesar pada sistem pengembangan adalah kurangnya dukungan dari pemerintah (K7). Keadaan ini memberikan arti bahwa sub elemen tersebut merupakan kendala utama dalam sistem pengembangan klaster.
60
Tabel 11 Keluaran sub model elemen kendala pengembangan Dependency
Sub-Elemen K1 K2 K3 K4
Skala usaha kecil Keterbatasan teknologi Keterbatasan modal Rendahnya kualitas sumber daya manusia K5 Rendahnya kualitas bahan baku K6 Kurangnya pemahaman mengenai manfaat klaster K7 Kurangnya dukungan dari pemerintah pusat dan daerah K8 Rendahnya kemampuan manajerial K9 Kurangnya inovasi baru K10 Kesulitan akses pada pasar K11 Kesulitan akses pada lembaga keuangan K12 Kesulitan akses pada informasi baru K13 Kurangnya keterlibatan lembaga penyedia jasa terkait K14 Rendahnya rasa saling percaya diantara pelaku K15 Kurangnya penelitian terkait yang dilakukan K16 Kurangnya kerjasama antar pelaku
Driver Power
Dependence
Hirarki
Kategori
1 3 8 14
14 12 10 3
Dependent Dependent Dependent Independent
1 12
13 4
Dependent Independent
15
1
Independent
14 3 1 8
3 12 13 10
Independent Dependent Dependent Dependent
8
10
Dependent
9
7
Independent
12
1
Independent
6
7
Autonomous
11
6
Independent
K1
K3
K5
K10
K2
K9
K11
K12
K15
K13 K16 K6
K14
K4
K8 K7
Sub-elemen kunci: K4, K7, dan K8
Hirarki sub elemen pelaku pengembangan terdiri atas 8 (delapan) tingkatan.
Pada tingkatan pertama ditempati oleh sub elemen kunci yaitu
kurangnya dukungan dari pemerintah (K7). Tingkatan kedua adalah rendahnya kualitas sumber daya manusia (K4) dan rendahnya kemampuan manajerial (K8). Tingkatan ketiga adalah kurangnya pemahaman mengenai manfaat klaster (K6) dan rendahnya rasa saling percaya diantara pelaku (K14). Tingkatan keempat adalah sub elemen kurangnya kerjasama antar pelaku (K16). Tingkatan kelima adalah kurangnya keterlibatan lembaga penyedia jasa terkait (K13). Tingkatan keenam ditempati oleh empat sub elemen kendala yaitu keterbatasan modal (K3), kesulitan akses pada lembaga keuangan (K11), kesulitan akses pada informasi baru (K12), dan kurangnya penelitian terkait yang dilakukan (K15). Tingkatan ketujuh adalah keterbatasan teknologi (K2) dan kurangnya inovasi baru (K9). Sedangkan pada tingkatan kedelapan atau terakhir ditempati oleh tiga sub elemen
61
yaitu skala usaha kecil (K1), rendahnya kualitas bahan baku (K5), dan kesulitan akses pada pasar (K10). Berdasarkan pengelompokan sub-elemen diperoleh bahwa tujuh sub elemen kendala termasuk dalam kategori independent. Ketujuh sub-elemen tersebut adalah rendahnya kualitas sumber daya manusia (K4), kurangnya pemahaman mengenai manfaat klaster (K6), kurangnya dukungan dari pemerintah pusat dan daerah (K7), rendahnya kemampuan manajerial (K8), kurangnya keterlibatan lembaga penyedia jasa terkait (K13), rendahnya rasa saling percaya diantara pelaku (K14), dan sub-elemen kurangnya kerjasama antar pelaku (K16). Kelompok linkage terdiri atas tiga sub-elemen yaitu keterbatasan modal (K3), kesulitan akses pada lembaga keuangan (K11), dan kesulitan akses pada informasi baru (K12). Sementara itu, sub-elemen skala usaha kecil (K1), keterbatasan teknologi (K2), rendahnya kualitas bahan baku (K5), kurangnya inovasi baru (K9), dan sub-elemen kesulitan akses pada pasar (K10) termasuk pada kategori sub-elemen dependent. Sedangkan sub-elemen kurangnya penelitian terkait yang dilakukan (K15) masuk pada kategori autonomous. Hasil analisis diatas memberikan arti bahwa kendala yang harus menjadi prioritas untuk diatasi adalah bagaimana mendorong pemerintah, baik pusat maupun
daerah,
memberikan
perhatian
yang
lebih
intensif
terhadap
pengembangan agroindustri aren. Selain itu kendala penting yang harus menjadi prioritas untuk diatasi adalah rendahnya kualitas sumber daya manusia dan rendahnya kemampuan manajerial. Solusi kendala-kendala tersebut menjadi dasar dalam menyelesaikan persoalan yang berada pada tingkatan diatasnya seperti pada hirarki sistem.
6.2.4. Sub Model Elemen Aktivitas Pengembangan Hasil identifikasi terhadap sistem aktivitas pengembangan diperoleh 14 (empat belas) sub elemen penting yang mempengaruhi sistem pengembangan klaster. Hasil pengolahan matriks penilaian hubungan antar sub elemen tersebut disajikan pada Lampiran 7. Berdasarkan keluaran model (Tabel 12) diperoleh bahwa sub elemen kunci dari elemen aktivitas yang memiliki daya dorong terbesar dalam sistem
62
pengembangan adalah kerjasama dan koordinasi kegiatan antar agroindustri aren (A1), pengembangan kerjasama dengan industri/lembaga pendukung (A2), dan pengembangan inovasi dan aplikasi teknologi tepat guna (A3). Ketiga sub-elemen kunci
ini
merupakan kegiatan
awal
yang secara
bersama-sama
akan
mempengaruhi kegiatan lain pada hirarki diatasnya. Tabel 12 Keluaran sub model elemen aktivitas pengembangan Sub Elemen A1 Pengembangan kerjasama dan koordinasi kegiatan antar agroindustri aren A2 Pengembangan kerjasama dengan industri/lembaga pendukung A3 Pengembangan inovasi dan aplikasi teknologi tepat guna A4 Pendidikan dan pelatihan tenaga kerja A5 Perluasan jaringan dan jangkauan pasar A6 Pengembangan sistem manajemen pengetahuan A7 Keikutsertaan dalam pameran dagang A8 Pengembangan kapasitas produksi A9 Pengembangan kualitas produk A10 Pengembangan pemanfaatan sumberdaya lokal A11 Pengembangan sikap saling percaya diantara pelaku A12 Pengembangan kemampuan manajerial dan kewirausahaan A13 Pengembangan alternatif sumber pembiayaan A14 Pengembangan investasi
Dependency Driver Power
Depen dence
Kategori
14
6
Independent
14
6
Independent
14
12
Linkage
9
12
Linkage
10
7
Independent
8
10
Linkage
9
6
Independent
5
14
Dependent
5 9
14 6
Dependent Independent
9
6
Independent
8
12
Linkage
10
7
Independent
5
13
Dependent
Hirarki
A8
A4
A1
A9
A14
A6
A12
A7
A10
A5
A13 A2
A11
A3
Sub-elemen kunci: A1, A2, dan A3
Hirarki sub elemen sistem aktivitas pengembangan terdiri atas 5 (lima) tingkatan dimana pada tingkatan pertama ditempati oleh sub-sub elemen kunci. Tingkatan kedua adalah sub elemen perluasan jaringan dan jangkauan pasar (A5) dan pengembangan alternatif sumber pembiayaan (A13). Tingkatan ketiga adalah pendidikan dan pelatihan tenaga kerja (A4), keikutsertaan dalam pameran dagang (A7), pengembangan pemanfaatan sumberdaya lokal (A10), dan pengembangan sikap saling percaya diantara pelaku (A11). Tingkatan keempat adalah
63
pengembangan sistem manajemen pengetahuan (A6) dan pengembangan kemampuan manajerial dan kewirausahaan (A12). Sedangkan tingkatan kelima terdiri atas pengembangan kapasitas produksi (A8), pengembangan kualitas produk (A9), dan pengembangan investasi (A14). Hasil ini menunjukan bahwa sub-sub elemen yang berada pada tingkatan dibawah akan mendukung sub-sub elemen yang berada pada tingkatan diatasnya. Berdasarkan pengelompokan sub-elemen diperoleh bahwa sub elemen aktivitas yang termasuk dalam kategori independent adalah pengembangan kerjasama dan koordinasi kegiatan antar agroindustri aren (A1), pengembangan kerjasama dengan industri/lembaga pendukung (A2), perluasan jaringan dan jangkauan pasar (A5) keikutsertaan dalam pameran dagang (A7), pengembangan pemanfaatan sumberdaya lokal (A10), dan pengembangan sikap saling percaya diantara pelaku (A11), dan pengembangan alternatif sumber pembiayaan (A13). Sub-sub elemen pada kelompok ini mempunyai kekuatan yang besar mempengaruhi sub elemen lain dalam pengembangan sistem. Kelompok linkage adalah pengembangan inovasi dan aplikasi teknologi tepat guna (A3), pendidikan dan pelatihan tenaga kerja (A4), pengembangan sistem manajemen pengetahuan (A6), dan pengembangan kemampuan manajerial dan kewirausahaan (A12). Sub-sub elemen ini memiliki daya dorong yang tinggi terhadap pengembangan sistem namun juga memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap sub elemen aktivitas lainnya. Kelompok dependent terdiri atas sub elemen pengembangan kapasitas produksi (A8), pengembangan kualitas produk (A9), dan pengembangan investasi (A14). Kegiatan-kegiatan ini berpengaruh terhadap pengembangan sistem namun sangat dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan lain.
6.2.5. Sub Model Elemen Indikator Keberhasilan Pengembangan Hasil identifikasi terhadap sistem indikator keberhasilan pengembangan klaster diperoleh 14 (empat belas) sub elemen penting yang memberikan kontribusi pada sistem indikator keberhasilan pengembangan klaster. Hasil pengolahan matriks penilaian hubungan sub elemen tersebut disajikan pada Lampiran 8.
64
Berdasarkan keluaran model (Tabel 13) diperoleh 2 (dua) sub-elemen kunci yang memiliki daya dorong (driver power) paling besar dalam sistem indikator keberhasilan pengembangan klaster yaitu peningkatan jumlah dan bentuk kerjasama (I2) dan peningkatan kemampuan penguasaan teknologi (I12). Hirarki sub elemen indikator keberhasilan pengembangan terdiri atas 3 (tiga) tingkatan dimana pada tingkatan pertama ditempati oleh kedua sub elemen kunci. Tingkatan kedua ditempati oleh peningkatan jumlah anggota klaster (I1), peningkatan skala usaha (I3), terciptanya efisiensi kolektif (I5), peningkatan jangkauan dan pangsa pasar (I9), peningkatan jumlah tenaga kerja (I10), peningkatan investasi (I12), dan peningkatan kemampuan inovasi (I13). Sedangkan pada tingkatan ketiga ditempati oleh sub elemen tercapainya skala ekonomi (I4), peningkatan nilai tambah (I6), peningkatan produktivitas (I7), peningkatan mutu produk (I8), dan menguatnya hubungan sosial diantara pelaku (I11). Tabel 13 Keluaran sub model elemen indikator keberhasilan pengembangan Sub Elemen I1 Peningkatan jumlah anggota klaster I2 Peningkatan jumlah dan bentuk kerjasama I3 Peningkatan skala usaha I4 Tercapainya skala ekonomi I5 Terciptanya efisiensi kolektif I6 Peningkatan nilai tambah I7 Peningkatan produktivitas I8 Peningkatan mutu produk I9 Peningkatan jangkauan dan pangsa pasar I10 Peningkatan jumlah tenaga kerja I11 Menguatnya hubungan sosial diantara pelaku I12 Peningkatan investasi I13 Peningkatan kemampuan inovasi I14 Peningkatan kemampuan penguasaan teknologi Sub Elemen Kunci : I2 dan I14
Dependency Driver Power
Dependence
Kategori
10
12
Independent
13
4
Independent
10 4 10 4 4 4 10
12 12 6 12 12 12 6
Lingkage Dependent Independent Dependent Dependent Dependent Independent
10 4
12 5
Linkage autonomous
10 10 13
4 6 4
Independent Independent Independent
Hirarki I4
I1
I6
I7
I8
I11
I3
I5
I10
I12
I2
I9 I13
I14
Pengelompokan sub elemen dalam sistem indikator keberhasilan menunjukan bahwa yang termasuk pada kategori independent adalah peningkatan jumlah anggota klaster (I1), peningkatan jumlah dan bentuk kerjasama (I2),
65
terciptanya efisiensi kolektif (I5), peningkatan jangkauan dan pangsa pasar (I9), peningkatan investasi (I12), peningkatan kemampuan inovasi (I13), dan peningkatan kemampuan penguasaan teknologi (I14). Sub-elemen peningkatan skala usaha (I3) dan peningkatan jumlah tenaga kerja (I10) masuk pada kategori linkage. Sementara itu, sub-elemen tercapainya skala ekonomi (I4), peningkatan nilai tambah (I6), peningkatan produktivitas (I7), dan peningkatan jangkauan dan pangsa pasar (I9) masuk pada kelompok dependent. Sedangkan sub elemen menguatnya hubungan sosial diantara pelaku (I11) dikategorikan sebagai autonomous. 6.3. Model Pengembangan Teknologi Pengolahan Rancangan model pengembangan teknologi pada agroindustri aren dibatasi pada tahapan pasca panen yakni setelah nira aren disadap dan diolah menjadi produk-produk tertentu. Model tersebut terdiri atas sub model pemilihan produk unggulan, sub model pemilihan kapasitas olah mesin pengolahan dan sub model pemilihan teknologi proses pengolahan. 6.3.1. Sub Model Produk Unggulan Struktur hirarki yang dibangun dalam model terdiri atas alternatif produk unggulan agroindustri inti dan kriteria penilaian (Lampiran 9). Berdasarkan identifikasi diperoleh 9 (sembilan) jenis agroindustri inti. Berdasarkan hasil identifikasi diperoleh bahwa alternatif produk potensial agroindustri inti terdiri atas: 1) gula cetak, 2) gula semut, dan 3) gula cair. Sementara itu, kriteria pemilihan produk agroindustri inti potensial pada model ini adalah: 1) nilai tambah, 2) harga produk, 3) tingkat permintaan produk, 4) kualitas tenaga kerja, 5) ketersediaan alat dan mesin, 6) kondisi bahan baku, 7) biaya produksi, dan 8) kebiasaan masyarakat, Masing-masing kriteria memiliki parameter atau bobot tertentu yang menentukan dan meyakinkan pengambil keputusan penentuan produk agroindustri aren potensial. Kriteria nilai tambah, harga produk, dan tingkat permintaan produk merupakan kriteria kunci dimana memiliki tingkat kepentingan tertinggi dalam menentukan produk unggulan. Walaupun demikian kriteria-kritera lain seperti kualitas tenaga kerja, ketersediaan alat dan mesin, kondisi bahan baku, biaya
66
produksi, dan kebiasaan masyarakat, tetap harus dijadikan pertimbangan walaupun dengan nilai kepentingan yang relatif lebih rendah. Keluaran model (Tabel 14) menunjukan bahwa produk agroindustri inti yang memiliki keunggulan terbesar adalah gula semut, dengan skor keputusan 0,395; diikuti oleh gula cair (0,341) di peringkat kedua, dan di peringkat ketiga gula cetak (0,265). Urutan prioritas produk didasarkan pada pertimbangan nilai kepentingan kriteria yang ditentukan pada tahapan sebelumnya. Tabel 14 Keluaran sub model produk unggulan
Prioritas pengembangan produk gula semut dipengaruhi oleh kenyataan bahwa potensi nilai tambah yang akan diperoleh adalah relatif lebih tinggi dibandingkan dengan alternatif produk agroindustri gula aren lainnya. Perbedaan nilai tambah tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan harga gula semut dengan harga gula cetak dan gula cair. Berdasarkan data Indeks Harga Konsumen (IHK) yang dipublikasikan oleh BPS (2011), harga gula semut di pasar domestik mencapai Rp20.000 – 22.000/ kg, gula cair Rp25.000-30.000/ kg, sedangkan gula cetak berkisar Rp12.000-14.000/ kg. Disamping faktor harga, permintaan domestik maupun ekspor produk gula aren menunjukan peningkatan nyata pada beberapa tahun terakhir. Kondisi tersebut antara lain terlihat dari konsumsi per kapita gula merah di Indonesia yang mengalami peningkatan rata-rata sebesar 8,7% pada selang 2005 – 2010 (BPS, 2011), dimana permintaan terbesar terjadi pada komoditi gula semut. Kriteria yang memiliki tingkat kepentingan relatif yang lebih rendah umumnya bersumber dari sisi penawaran dimana secara kumulatif akan memberikan dampak yang cukup besar terhadap produk yang dihasilkan. Faktorfaktor kualitas tenaga kerja, ketersediaan alat dan mesin, kondisi bahan baku,
67
biaya produksi, dan kebiasaan masyarakat dalam kenyataan memiliki kekuatan dalam perencanaan pengembangan agroindustri. Austin (1992) dan Tan (1994) menunjukan bahwa perencanaan pengembangan produksi harus menempatkan faktor-faktor tersebut sebagai faktor kritis dalam pengambilan keputusan.
6.3.2. Sub Model Kapasitas Olah Kapasitas agroindustri merupakan faktor yang sangat penting dalam perencanaan pengembangan agroindustri aren di suatu wilayah karena akan berkaitan dengan kelayakan dan keberlanjutan usaha agroindustri itu sendiri. Berdasarkan hasil identifikasi diperoleh tiga alternatif kapasitas olah agroindustri
aren gula semut yaitu: a) 1.000 l nira b) 5.000 l nira, dan c) 10.000 l nira. Dasar pertimbangan
penentuan
ketiga
alternatif
tersebut
disesuaikan
dengan
karakteristik wilayah dan program pengembangan agroindustri nasional yang menitikberatkan pada pengembangan industri kecil dan menengah. Penentuan prioritas kapasitas olah dilakukan melalui dua tahapan: 1) merumuskan aturan-aturan (rules) dalam logika if … then, dan 2) penentuan kapasitas olah dengan menggunakan teknik MPE. Kriteria-kriteria yang digunakan dalam proses-proses tersebut adalah 1) ketersediaan bahan baku, 2) jarak sumber bahan baku, 3) mutu bahan baku, 4) ketersediaan alat dan mesin, 5) waktu pengangkutan, 6) kapasitas penampungan, 7) tenaga kerja yang tersedia, dan 8) biaya produksi. Berdasarkan kriteria dan aturan-aturan tersebut, penentuan kapasitas olah prioritas dilakukan dengan menggunakan teknik MPE. Berdasarkan analisis kepentingan masing-masing kriteria terhadap proses penentuan kapasitas olah diperoleh bahwa kriteria ketersediaan bahan baku, mutu bahan baku dan biaya produksi memiliki tingkat kepentingan yang lebih besar dibandingkan dengan kreteria-kriteria lainnya (Lampiran 12). Dengan kata lain, ketiga kriteria tersebut merupakan faktor-faktor kritis dalam penentuan kapasitas olah agroindustri aren dimana produk gula semut sebagai prioritas. Hasil keluaran model (Tabel 15) menunjukan bahwa prioritas kapasitas olah yang memiliki skor keputusan tertinggi adalah kapasitas olah 5000 liter nira dengan skor keputusan 42,8765, peringkat kedua adalah kapasitas olah 1.000 l, sedangkan kapasitas olah 10.000 l berada pada peringkat ketiga. Keputusan
68
kapasitas olah 5.000 l merupakan pilihan yang tepat untuk dikembangkan di Kabupaten Minahasa Selatan karena memenuhi sebagian besar prasyarat prioritas pengembangan sebagaimana tercermin pada kriteria-kriteria utama yang umumnya ditetapkan pada tahapan awal perencanaan.
Tabel 15 Peringkat Prioritas Kapasitas Olah No
Alternatif Kapasitas
Skor Keputusan
Peringkat
1
1.000 l
33,7049
3
2
5.000 l
42,8765
1
3
10.000 l
37,9391
2
Apabila diasumsikan bahwa agroindustri aren yang akan dikembangkan harus memenuhi unsur peningkatan dan pemerataan nilai tambah maka alternatif kapasitas olah 5000 l menjadi prioritas keputusan. Berdasarkan sebaran jumlah penyadap dan potensi bahan baku yang dapat dihasilkan (Tabel 16) diperoleh bahwa sebagian besar kecamatan di Minahasa Selatan berpotensi untuk menghasilkan nira aren dengan jumlah lebih dari 10.000 l per hari atau 5.000 l per sekali olah. Pada kondisi ini sebenarnya alternatif pilihan kapasitas olah 1000 l per satu kali olah adalah cukup realistis namun jika pertimbangan lain dimasukan maka pilihan keputusan menjadi semu. Begitu juga dengan kriteria mutu bahan baku, dimana diketahui bahwa sampai pada kapasitas olah 5.000 liter, kontrol terhadap mutu bahan baku dapat dijalankan dengan baik sampai pada tahap dimana nira tersebut siap untuk diproses lanjut pada tahapan pengolahan. Kondisi ini berkaitan erat dengan waktu maksimal yang digunakan untuk menampung nira tersebut dari setiap penyadap. Berdasarkan pengamatan lapangan diketahui bahwa sampai pada batas waktu maksimal (3 jam setelah disadap) volume nira yang dapat dikumpulkan pada suatu titik di lokasi produsen utama tidak akan mencapai 10.000 l. Karena untuk menghasilkan gula, nira sudah harus sampai pada tangki penampungan pada proses pengolahan maksimum 3 jam setelah disadap. Jika melebihi batas waktu tersebut maka komposisi nira telah mengalami perubahan, khususnya pH dan
69
kadar sukrosa, sehingga tidak cocok untuk diolah menjadi gula. Perubahan komposisi tersebut diakibatkan oleh adanya proses fermentasi karena adanya aktivitas mikroba. Semakin lama nira tersebut didiamkan akan menyebabkan semakin tinggi derajat keasaamannya dan berbanding terbalik dengan kadar sukrosa didalam nira. Tabel 16 Sumber dan produksi nira aren Kabupaten Minahasa Selatan tahun 2010 No.
Kecamatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Modoinding Maesaan Tompaso Baru Ranoyapo Motoling Motoling Timur Motoling Barat Kumelembuai Tenga Sinonsayang Amurang Amurang Timur Amurang Barat Tumpaan Tatapaan Tareran Suluun Tareran Jumlah
Luas Jumlah Penyadap (ha) Pohon (org) 66,40 332 21 94,43 2.489 160 141,47 3.816 246 134,40 2.821 182 67,48 12.444 802 48,50 20.409 1.314 39,79 14.104 908 97,24 18.252 1.176 196,31 10.619 684 108,36 6.637 427 170,09 2.489 160 53,09 13.274 855 122,13 12.610 812 128,40 8.296 534 55,20 9.956 641 42,80 16.261 1.047 45,40 11.117 716 1591,65 165.926 10.687
Produksi Nira (l/hr) 315 2.400 3.690 2.730 12.030 19.710 13.620 17.640 10.260 6.405 2.400 12.825 12.180 8.010 9.615 15.705 10.740 160.305
Sumber: Dinas Perkebunan Kabupaten Minahasa Selatan (2011) Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Minahasa (2011)
Biaya produksi dikategorikan sebagai faktor kritis penentuan kapasitas olah berkaitan erat dengan tingkat penerimaan dan nilai tambah yang akan diperoleh. Pada kapasitas olah skala kecil, biaya produksi per satuan produk umumnya lebih besar dari nilai tambah per satuan produk yang dihasilkan. Dengan kata lain, usaha agroindustri yang dijalankan belum berada pada skala ekonomi. Konsekuensi tidak menguntungkan juga terjadi pada skala produksi yang relatif besar karena besarnya resiko yang dihadapi, terutama apabila terjadi perubahan faktor-faktor eksternal. Pertimbangan yang berkaitan dengan biaya
70
produksi inilah yang mengarahkan pengambilan keputusan kapasitas olah 5000 l yang memiliki keunggulan untuk dikembangkan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Novarianto et al (2001) menunjukan bahwa kapasitas olah agroindustri gula aren skala menengah, 4.000 – 6.000 l, memiliki tingkat keuntungan rata-rata jika dibandingkan dengan skala kapasitas olah yang lebih kecil atau lebih besar dari kapasitas tersebut. Kondisi tersebut antara lain disebabkan oleh (a) sifat dari bahan baku yang cepat mengalami perubahan, (b) kemampuan dan ketrampilan tenaga kerja yang dimiliki, dan (3) kemampuan modal yang dimiliki. 6.3.3. Sub Model Teknologi Pengolahan Hasil identifikasi model teknologi pengolahan agroindustri aren inti, dalam hal ini gula aren, diperoleh tiga alternatif teknologi yang dapai digunakan pada proses pengolahan yaitu: 1) teknik tradisional (OP), 2) teknik open pan dan vacum evaporator (OP+VE), dan 3) kombinasi teknologi membran, open pan dan vacum evaporator (TM+OP+VE). Berdasarkan hasil identifikasi juga diperoleh 13 (tiga belas) kriteria penentuan prioritas teknologi, dimana berdasarkan tingkat kepentingan relatif diperoleh 5 (lima) kriteria yang memiliki bobot terbesar yaitu: 1) ketersediaan dan aksesibilitas, 2) harga satuan, 3) biaya operasi, 4) produksi per satuan waktu, dan 5) penggunaan alat dan bahan tambahan. Bobot dan penilaian kriteria dipresentasikan pada Lampiran 13. Keluaran model menunjukan bahwa proses pengolahan agroindustri gula semut yang memiliki nilai keputusan tertinggi adalah
proses dengan
menggunakan teknologi OP+VE. Nilai keputusan masing-masing alternatif teknologi proses pengolahan disajikan pada Tabel 17. Skor keputusan teknologi OP+VE berdasarkan keluaran model adalah 35,4256 diikuti oleh teknologi proses TM+OP+VE sebesar 29,8900; sedangkan alternatif teknologi tradisional (OP) berada pada peringkat terakhir dengan skor keputusan terkecil. Ditinjau dari aspek teknis, proses pengolahan yang dilakukan oleh agroindustri aren umumnya masih bersifat tradisional dimana selain penggunaan alat sederhana dan manual, proses pengolahan juga masih menggunakan metode konvensional. Padahal untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing tidak
71
dapat dicapai apabila teknik atau metode seperti itu masih terus dipertahankan. Aplikasi teknologi pengolahan gula aren dengan teknik open pan dan vacum evaporator (OP+VE) merupakan alternatif teknologi yang disarankan oleh model dengan beberapa pertimbangan yang ditetapkan berdasarkan tingkat kepentingan.
Tabel 17 Peringkat prioritas teknologi proses pengolahan No
Alternatif Proses
Skor Keputusan
Peringkat
1
Tradisional (OP)
28.1281
3
2
OP + VE
35.4256
1
3
TM + OP + VE
29.8900
2
Keterangan: OP = open pan ; VE = vacum evaporator; TM = Teknik Membran
Alternatif teknik pengolahan nira aren pada unit produksi gula aren dengan menggunakan teknik OP+VE lebih baik jika dibandingkan dengan teknik-teknik lainnya. Implementasi penggunaan teknologi pengolahan tersebut memberi keuntungan dan manfaat antara lain karena: (a) waktu yang dibutuhkan pada proses evaporasi menjadi lebih singkat dan (b) meningkatnya efisiensi produksi sebagai akibat dari tingkat penggunaan tenaga kerja yang relatif lebih sedikit. Kajian yang dilakukan oleh Iskandar (1991) menunjukan bahwa peningkatan tekanan mengakibatkan peningkatan suhu penguapan (pemasakan) berakibat meningkatnya gula pereduksi. Lamanya proses penguapan (pemasakan) juga tergantung besarnya tekanan evaporator. Lama proses pengolahan gula merah cair dengan metoda evaporator kurang dari 120 menit. Semakin tinggi tekanan, semakin cepat proses evaporasi Proses pengolahan tradisional yang dilakukan oleh unit agroindustri di pedesaan umumnya menghasikan nilai tambah yang relatif rendah dibandingkan dengan yang diperoleh oleh unit pengolahan dengan menggunakan teknologi yang lebih baik. Rendahnya nilai tambah tersebut disebabkan oleh besarnya beban biaya tenaga kerja dan rendahnya tingkat produktivitas, sehingga pada gilirannya tidak memiliki daya saing yang kuat di pasar. Sementara itu,
72
Pengolahan gula aren dengan alternatif teknologi pengolahan kombinasi teknik membran dengan open pan dan vacum evaporator (TM+OP+VE) berdasarkan kajian empiris memberikan manfaat yang relatif sama dengan teknik OP+VE dimana efisiensi produksi berada pada kondisi maximum. Namun jika dilihat dari faktor-faktor lain maka keputusannya akan berdampak negatif terhadap indikator penting seperti
nilai tambah dan daya saing. Teknologi
pengolahan TM+OP+VE tidak dianjurkan dalam model karena biaya pengadaan dan operasi teknik ini adalah sangat besar dan membebani biaya produksi sehingga berdampak pada terjadinya inefisiensi usaha yang bermuara pada rendahnya nilai tambah dan daya saing.
6.4. Model Kelayakan Investasi Agroindusri Aren Penentuan kelayakan usaha menggunakan kriteria finansial yang terdiri dari (1) Net Present Value (NPV) yaitu nilai bersih yang diterima proyek selama umur ekonomis pada saat sekarang, (2) Internal Rate of Return (IRR) yaitu nilai suku bunga yang menjadikan NPV proyek sama dengan nol, atau tingkat suku bunga yang menunjukan bahwa nilai penerimaan bersih sama dengan jumlah seluruh biaya investasi sekarang,
(3) Pay Back Period (PBP) yaitu nilai yang
mengukur seberapa cepat suatu investasi bisa kembali, (4) Net Benefit Cost ratio (Net B/C) yaitu perbandingan nilai sekarang keuntungan bersih dengan nilai sekarang biaya bersih, dan (5) Break Event Point (BEP) yaitu analisis titik pulang pokok dimana tingkat volume penjualan akan impas untuk menutup biaya tetap dan biaya variabel. Input model prediksi kelayakan investasi usaha agroindustri gula semut didasarkan pada keluaran model terdahulu yaitu keluaran pada model industri inti, kelembagaan klaster dan keluaran pada model pengembangan teknologi. Keluaran model terdahulu dimaksud adalah: (1) jenis produk industri inti yang memiliki keunggulan untuk dikembangkan yaitu industri gula semut, (2) kapasitas bahan baku yang disarankan adalah skala II yaitu 5000 liter per satu kali olah, dan (3) teknologi proses yang digunakan adalah kombinasi teknik open pan dan vacum evaporator.
73
Analisis finansial yang dilakukan didasarkan pada beberapa asumsi dasar sesuai dengan kondisi aktual pada saat kajian dilakukan serta berdasarkan keluaran dari model yang dibangun terdahulu. Asumsi-asumsi yang digunakan dalam model penilaian kelayakan agroindustri gula aren semut adalah: (a) umur proyek 10 tahun, (b) kapasitas olah pabrik adalah 5.000 liter nira aren (hasil analisis pada model penentuan kapasitas olah), (c) frekueensi olah dua kali dalam satu hari, (d) produksi gula aren rata-rata 1000 kg per hari, (e) umur ekonomis usaha adalah 10 tahun, (f) nilai investasi Rp652.500.000,00 (g) modal kerja Rp2.957.100.000,00, (h) jumlah hari kerja per tahun adalah 300 hari, (i) modal investasi bersumber dari kredit perbankan komersial dengan bunga pinjaman sebesar 18%, (j) tenor pinjaman 10 tahun, (k) harga nira aren di tingkat petani Rp1.000,00 per liter, dan (l) harga produk berupa gula semut di tingkat pabrik adalah Rp15.000 per kilogram. Neraca keuangan dan proyeksi kelayakan usaha agroindustri gula aren berturut-turut disajikan pada tabel Lampiran 14 – 21. Keluaran model (Tabel 18) menunjukan bahwa pada kondisi normal, investasi usaha agroindustri gula semut dengan peralatan mesin kapasitas olah 5000 liter nira dan umur proyek 10 tahun layak untuk dijalankan. Hal ini terlihat dari nilai kriteria kelayakan investasi: (1) NPV bernilai positif, yaitu sebesar Rp5.493.905.598,00; (2) Nilai IRR sebesar 84,25% menunjukan nilai yang lebih besar dari tingkat suku bunga saat ini; (3) B/C ratio bernilai 1,41 yang lebih besar dari satu. Jika usaha agroindustri gula semut ini dijalankan maka akan diperoleh tingkat keuntungan bersih sebesar Rp1.192.876.720,00 dengan BEP (kondisi dimana
tidak
mengalami
kerugian/titik
impas)
berada
pada
nilai
Rp6.797.929.388,00 dan ROI sebesar 41,17% yang menunjukan bahwa penggunaan modal pada investasi yang dipilih adalah efisien. Sementara itu, jangka waktu pengembalian biaya investasi (BEP) akan terjadi pada tahun ke 2,83. Secara umum, hasil keluaran model kelayakan investasi yang diperoleh selaras dengan hasil kajian yang dilakukan oleh Bank Indonesia tahun 2008 dengan studi kasus usaha agroindustri yang sama (gula semut) di Lebak Banten keputusan investasi adalah selaras, walaupun beberapa asumsi yang digunakan relatif berbeda pada model yang dibangun.
74
Tabel 18 Koefisien indikator kelayakan investasi usaha agroindustri gula pada kondisi normal Kriteria Finansial BEP Laba Bersih rata-rata NPV B/C Ratio ROI IRR PBP Keputusan Investasi
Nilai / Koefisien Rp 6.797.929.388 Rp 1.192.876.720,00 Rp 5.493.905.598 1,41 41,17% 84,25% 2,80 Tahun
Keterangan Layak Layak Layak Layak Layak Layak Layak LAYAK
Ditinjau dari aspek empiris, operasionalisasi perusahan bisnis sering berhadapan dengan kenyataan berubahnya faktor internal dan eksternal (Porter 1998a; Porter 1998b).
Berdasarkan hal tersebut, dikembangkan analisis
sensitivitas pada model kelayakan investasi dimana faktor-faktor yang diskenariokan adalah perubahan faktor endogen didalam sistem yaitu perubahan harga produk dan perubahan harga bahan baku. Dampak perubahan faktor endogen berdasarkan analisis sensitivitas menunjukan apabila harga produk mengalami penurunan sebesar 20%, maka usaha pengolahan produk agroindustri aren unggulan, dalam hal ini gula semut, secara finansial masih menguntungkan untuk dilaksanakan. Keluaran model (Tabel 19) menunjukan bahwa semua nilai koefisien parameter masih memenuhi syarat kelayakan, walaupun nilai koefisien tersebut mengalami penurunan jika dibandingkan dengan investasi pada kondisi aktual. Tabel 19 Dampak penurunan harga produk terhadap indikator kelayakan Kriteria Finansial BEP Laba Bersih rata-rata NPV B/C Ratio ROI IRR PBP Keputusan Investasi
Nilai / Koefisien Rp 9.062.954.000,00 Rp 406.164.220,00 Rp 766.569.779,00 1,13 12,94% 26,11% 4,61%
Keterangan Layak Layak Layak Layak Layak Layak Layak LAYAK
75
Pada kondisi lain, jika terjadi kenaikan harga bahan baku nira sebesar 50% maka usaha agroindustri gula semut adalah tidak menguntungkan atau tidak layak untuk dilaksanakan. Hal tersebut ditunjukan oleh beberapa nilai koefisien parameter yang tidak memenuhi syarat kelayakan (Tabel 20).
Tabel 20 Dampak kenaikan harga bahan baku terhadap indikator kelayakan Kriteria Finansial BEP Laba Bersih rata-rata NPV B/C Ratio ROI IRR PBP Keputusan
Nilai / Koefisien Rp 12.505.043.146,00 Rp 107.071.720,00 – Rp 1.385.980.765,00 1,02 1,59% 3,04% 9,11 Tahun
Keterangan Layak Layak Tidak Layak Layak Layak Tidak Layak Layak TIDAK LAYAK
Secara umum, hasil analisis kelayakan investasi yang diperoleh menunjukan bahwa usaha agroindustri gula aren memiliki prospek ekonomi yang cukup besar khususnya dalam rangka peningkatan daya saing agroindustri aren dan peningktan nilai tambah dan kesejateraan pelaku dimana umumnya merupakan industri skala mikro dan kecil serta merupakan sumber pendapatan utama masyarakat yang tinggal di wilayah pedesaan. Di pihak lain, keluaran model kelayakan investasi mampu mengarahkan setiap proses perencanaan pengembangan agroindustri yang berbasis pemanfaatan bahan baku yang berasal dari tanaman aren di wilayah tertentu dengan berbagai karakteristik yang dimiliki.
76
VII. RANCANGAN SISTEM PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI AREN Sistem pengembangan klaster agroindustri aren di Sulawesi Utara terdiri atas sistem lokasi unggulan, industri inti unggulan, produk unggulan, kelembagaan pengembangan, teknologi pengolahan, dan kelayakan investasi. Sistem pengembangan ini merupakan model penunjang keputusan yang dapat membantu para pengambil keputusan dalam rangka peningkatan nilai tambah dan daya saing agroindustri aren baik di pasar domestik maupun internasional.
7.1. Sistem Pengembangan Lokasi dan Industri Inti Ditinjau dari aspek lokasi, terdapat lima daerah di Sulawesi Utara yang berpotensi untuk mengembangkan klaster agroindustri aren karena memiliki keunggulan sumberdaya, khususnya bahan baku dan tenaga kerja. Daerah-daerah tersebut adalah Kabupaten Minahasa, Kabupaten Minahasa Utara, Kabupaten Minahasa Selatan, Kabupaten Minahasa Tenggara dan Kota Tomohon. Pada daerah-daerah ini sektor agroindustri aren merupakan sektor basis dimana memiliki jumlah usaha agroindustri dan tenaga kerja yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lain, selain luas areal tanam dan jumlah tanaman produktif sebagai sumber bahan baku. Data yang diperoleh dari Dinas Perkebunan dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan tahun 2010 (Tabel 21) menunjukan bahwa sebagian besar wilayah kecamatan di Minahasa Selatan memiliki keunggulan komparatif di sektor agroindustri aren dimana ditunjukan oleh sebaran sumber bahan baku yang relatif merata dengan jumlah produksi yang tinggi. Berdasarkan fakta tersebut dan analisis terhadap kriteria-kriteria penting maka Kabupaten Minahasa Selatan dipandang sebagai lokasi yang memiliki keunggulan untuk mengembangkan klaster agroindustri aren. Selain
memiliki
keunggulan
komparatif,
beberapa
karakteristik
agroindustri aren di Kabupaten Minahasa Selatan selaras dengan prasyarat pengembangan klaster suatu industri (Porter 1998a; Porter 1998b; Ketels et al. 2008). Karakteristik pengembangan klaster tersebut yaitu terkonsentrasinya
77
pemasok,
industri
inti,
industri
terkait
dan
industri
pendukung serta
pelaku/institusi lain di suatu lokasi tertentu. Berdasarkan hasil verifikasi bahwa agroindustri inti yang memiliki potensi relatif tinggi untuk dikembangkan dalam sistem klaster agroindustri aren adalah agroindustri gula aren, sedangkan produk unggulannya adalah gula semut. Faktorfaktor yang memberi bobot dalam mempertimbangkan pemilihan gula semut sebagai produk unggulan yaitu permintaan produk, harga, biaya produksi, nilai tambah, ketersediaan alsin, kondisi bahan baku, kualitas tenaga kerja dan kebiasaan masyarakat. Kecenderungan permintaan produk gula semut tersebut antara lain disebabkan oleh tujuan penggunaan, dimana gula semut bersifat lebih mudah dan fleksibel dalam penggunaannya sebagai bahan baku atau bahan tambahan pengolahan makanan dan minuman. Harga jual gula semut di pasar domestik dan internasional
menunjukan
kecenderungan
meningkat
dari
tahun-ketahun
(Sumaryanto et al. 1999; Efendi 2010). Selain gula semut, diketahui juga bahwa gula cair dan gula cetak masih memiliki peluang untuk dikembangkan, hal ini terlihat dari skor keputusan yang dihasilkan dari analisis (Tabel 14) dimana tidak terdapat selisih yang nyata jika dibandingkan dengan gula semut.
7.2. Sistem Pengembangan Kelembagaan Model kelembagaan pengembangan klaster agroindustri aren secara langsung berkaitan dengan elemen-elemen di dalam sistem tersebut. Hasil indentifikasi menunjukan bahwa elemen penting sistem pengembangan terdiri atas elemen tujuan, kendala, pelaku, aktivitas, dan indikator keberhasilan. Gambar 18 menyajikan hasil sintesis terhadap struktur sistem pengembangan klaster agroindustri aren berdasarkan hasil keluaran model.
78
Kendala Pengembangan 1. Kurangnya dukungan dari pemerintah 2. Rendahnya kualitas sdm 3. Rendahnya kemampuan manajerial industri
Tujuan Pengembangan 1. Meningkatkan nilai tambah agroindustri aren 2. Meningkatkan kemampuan inovasi dan teknologi
Pelaku Pengembangan 1. Pemilik lahan 2. Petani penyadap 3. Industri pengolahan 4. Pedagang perantara 5. Kelompok tani 6. Koperasi
Sistem Pengembangan Klaster Agroindustri Aren
Indikator Keberhasilan 1. Peningkatan jumlah dan bentuk kerjasama 2. Peningkatan kemampuan penguasaan teknologi
Aktivitas Pengembangan 1. Pengembangan kerjasama dan koordinasi kegiatan antar agroindustri aren 2. Pengembangan kerjasama dengan industri/lembaga pendukung 3. Pengembangan inovasi dan aplikasi teknologi tepat guna
Gambar 18 Struktur sistem pengembangan klaster agroindustri aren.
Berdasarkan hasil verifikasi yang diperoleh terlihat bahwa pengembangan sistem klaster pada agroindustri aren memiliki tingkat efektivitas yang tinggi untuk meningkatkan nilai tambah dan kemampuan inovasi dan teknologi pelakupelaku yang terlibat di dalam sistem. Peningkatan nilai tambah dan kemampuan inovasi dan teknologi tersebut memberikan kontribusi terhadap tercapainya tujuan-tujuan lain sistem sehingga secara kumulatif meningkatkan daya saing agroindustri aren. Kendala yang dihadapi dalam upaya mengembangkan klaster agroindustri aren di Sulawesi Utara semuanya bersumber dari pelaku-pelaku yang terlibat di dalam sistem. Berdasarkan keluaran model bahwa kendala utama dalam pengembangan klaster agroindustri aren di Sulawesi Utara adalah kurangnya dukungan dari pemerintah baik pusat maupun daerah, rendahnya kualitas sumberdaya pelaku, dan rendahnya kemampuan manajerial. Kurangnya dukungan dari pemerintah ditunjukan antara lain oleh kebijakan dan regulasi yang dikeluarkan tidak memihak kepada upaya peningkatan sektor agroindustri aren. Perhatian pemerintah secara empiris banyak diberikan pada sektor-sektor agroindustri konvensional yang ada sejak lama dan
79
dikembangkan seperti agroindustri yang berbasis pada tanaman kelapa, padi, dan cengkeh. Dampak dari hal tersebut mengakibatkan kurangnya regulasi yang mengarah pada peningkatan kemampuan dan nilai tambah dari agroindustri aren. Disamping itu insentif dan pembangunan infrastruktur penunjang tidak banyak dilakukan baik untuk merangsang peningkatan produksi maupun pengembangan pemasaran. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan rendahnya kemampuan manajerial berperan sebagai faktor penyumbang rendahnya kualitas pekerjaaan dan produk yang dihasilkan. Proses produksi agroindustri aren di Sulawesi Utara selain menggunakan teknologi sederhana, umumnya menggunakan tenaga-tenaga tidak terampil dan berpendidikan rendah. Kondisi ini berdampak pada rendahnya produktivitas, kualitas produk yang dihasilkan, serta bentuk dan jenis produk yang dihasilkan. Kondisi tersebut juga menyebakan ketidakmampuan untuk mengakses informasi dan teknologi yang pada gilirannya berakibat pada rendahnya posisi tawar. Kurangnya kerjasama para pemangku kepentingan juga menjadi hambatan pengembangan klaster di Sulawesi Utara. Para pelaku yang memiliki kepentingan dengan
agroindustri
ini
seolah-olah
berjalan
sendiri-sendiri
sehingga
memungkinkan nilai tambah yang diperoleh khususnya pihak-pihak disepanjang rantai nilai menjadi rendah serta tidak tersebar secara merata. Keluaran model aktivitas penting menunjukan bahwa terdapat tiga kegiatan penting dan menjadi kunci implementasi klaster agroindustri aren yaitu pengembangan kerjasama dan koordinasi antar agroindustri aren, pengembangan kerjasama antara agroindustri dengan industri dan lembaga pendukung, serta pengembangan inovasi dan aplikasi teknologi tepat guna. Pengembangan inovasi dan aplikasi teknologi tepat guna muncul sebagai elemen kunci merupakan konsekuensi logis dari dinamika klaster. Porter (1998) menyatakan bahwa sifat persaingan didalam klaster menyebabkan terjadinya kondisi tersebut. Tekanan persaingan memaksa agroindustri anggota tersebut melakukan inovasi dan menciptakan metode-metode baru, yang berkaitan baik pada sisi penawaran maupun pada sisi permintaan produk yang dihasilkan, sehingga meningkatkan nilai tambah yang diperoleh.
80
Perluasan jaringan dan jangkauan pasar serta pengembangan alternatif sumber pembiayaan menjadi aktivitas penting pada tingkatan kedua. Kedua aktivitas ini dapat dikatakan sebagai hasil dari adanya kerjasama diantara agroindustri khususnya yang berkaitan dengan pemasaran bahan baku maupun produk yang dihasilkan. Sedangkan alternatif sumber pembiayaan investasi dihasilkan dari kerjasama antara agroindustri dengan lembaga terkait khususnya lembaga keuangan dan inkubator. Indikator keberhasilan dipandang sebagai elemen penting yang harus diperhatikan khususnya dalam perencanaan dan implementasi pengembangan klaster agroindustri aren. Indikator-indikator tersebut menjadi signal atau pemandu untuk pengambilan keputusan klaster di kemudian hari oleh para pemangku kepentingan khususnya perusahan agroindustri aren, pemerintah dan perusahan terkait. Berdasarkan hasil identifikasi dalam model diperoleh bahwa indikator yang penting untuk diperhatikan adalah peningkatan jumlah dan bentuk kerjasama dan indikator kemampuan penguasaan teknologi. Jumlah dan bentuk kerjasama yang dilakukan oleh anggota merupakan salah satu karakter penting dari klaster agroindustri karena akan berdampak pada terjadinya peningkatan produktivitas dan efisiensi, baik efisiensi biaya maupun efisiensi produksi. Indikator penguasaan teknologi lebih ditujukan untuk mengukur apakah telah terjadi proses tranfer informasi dan pengetahuan diantara anggota. Kedua indikator keberhasilan diatas memberikan kontribusi terhadap indikator lainnya pada level berikutnya seperti indikator peningkatan jumlah anggota klaster, peningkatan skala usaha, terciptanya efisiensi kolektif, peningkatan jangkauan dan pangsa pasar, peningkatan jumlah tenaga kerja, peningkatan investasi, dan indikator peningkatan kemampuan inovasi. Indikator level pertama dan kedua memberikan kontribusi terhadap indikator-indikator level terakhir yaitu tercapainya skala ekonomi, peningkatan nilai tambah, peningkatan produktivitas, peningkatan mutu produk, dan menguatnya hubungan sosial diantara pelaku.
81
7.3. Sistem Pengembangan Teknologi Pengembangan teknologi dalam sistem klaster agroindustri aren memiliki dimensi yang luas. Berdasarkan ruang lingkup kajian, sistem yang dibangun hanya terdiri atas penentuan produk unggulan, penentuan kapasitas olah dan submodel penentuan teknologi proses pengolahan. Ketiga sub-sistem ini dianggap merupakan faktor kritis dalam perencanaan pengembangan teknologi agroindustri aren. Hasil verifikasi menunjukan bahwa kapasitas olah yang paling sesuai untuk dikembangkan oleh agroindustri aren di Kabupaten Minahasa Selatan yaitu 5.000 l per satu kali pengolahan. Penentuan kapasitas olah agroindustri aren berkaitan dengan ketersediaan bahan baku, mutu bahan baku (% sukrosa), dan jarak sumber bahan baku. Sumber dan tingkat ketersedian bahan baku berbanding lurus dengan mutu bahan baku itu sendiri. Semakin jauh lokasi sumber bahan baku dengan lokasi pengolahan mengakibatkan waktu tempuh menjadi panjang, sehingga dapat menyebabkan menurunnya kualitas bahan tersebut. Menurut Mahmud et al. (1991) nira yang akan diolah menjadi gula harus diproses paling lambat 2 jam setelah disadap sehingga menjamin kualitas bahan baku tersebut masih memiliki komposisi terbaik. Apabila waktu tunggu sebelum pengolahan melewati waktu tersebut maka akan mengakibatkan kualitas dan komposisi bahan dari nira mengalami perubahan antara lain karena terjadinya proses fermentasi, sehingga tidak baik untuk diolah menjadi gula aren. Perubahan tersebut disebabkan oleh aktivitas mikroba yang ada di dalam nira aren. Nira aren yang baik untuk diolah menjadi gula aren adalah nira yang memiliki kandungan
sukrosa tinggi. Iskandar (1991) menyatakan bahwa
kandungan sukrosa diatas 11% dan pH 6 – 7 akan menghasilkan gula aren dengan rendemen yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan sukrosanya lebih rendah. Tahapan pemilihan peralatan dan proses produksi harus disesuaikan dengan rencana produk yang akan dihasilkan dan kapasitas olah terpilih dengan mempertimbangkan faktor-faktor penting lainnya. Oleh karena itu keluaran model menyarankan teknologi pengolahan gula semut prioritas menggunakan teknik open pan dan vacum evaporator. Teknologi pengolahan gula semut seperti ini
82
mampu meningkatkan produktivitas serta kualitas produk dan efisien, baik ditinjau dari aspek waktu maupun aspek biaya (Iskandar 1991; Kusumanto 2010).
7.4. Sistem Pengukuran Kinerja Sistem pengukuran kinerja klaster merupakan cara sistematis untuk mengevaluasi input, output, transformasi dan produktivitas dalam operasi sistem atau program. Dengan cara demikian implementasi program pengembangan suatu sistem atau program dapat dievaluasi tingkat efektivitasnya dalam mencapai tujuan. Metode pengukuran kinerja klaster yang dikembangkan oleh Carpinetti (2009) dianggap cukup komprehensif karena memiliki dimensi yang relatif luas namun praktis dalam implementasi. Sistem pengukuran tersebut secara umum dibagi kedalam empat dimensi yaitu kinerja perusahan, manfaat sosial ekonomi, efisiensi kolektif dan modal sosial. Kinerja perusahan berhubungan dengan pertumbuhan dan daya saing perusahan dan diukur melalui kinerja finansial dan non finansial. Manfaat sosial ekonomi berhubungan dengan pendapatan daerah dan perluasan kesempatan kerja. Efisiensi kolektif berhubungan dengan ekonomi eksternal dan kerjasama antar perusahan di dalam klaster. Sedangkan modal sosial berhubungan dengan nilai-nilai budaya seperti rasa saling percaya baik diantara pelaku maupun dengan masyarakat sekitar. Kinerja pengembangan klaster agroindustri aren di Sulawesi Utara berdasarkan hasil identifikasi menghasilkan indikator atau elemen yang tidak jauh berbeda dengan yang diuraikan tersebut. Indikator kunci yang memiliki kekuatan penggerak yang diperoleh adalah peningkatan jumlah dan bentuk kerjasama pelaku dan peningkatan kemampuan penguasaan teknologi. Sebagai penunjang pengambilan keputusan, model pengukuran kinerja pengembangan klaster agroindustri aren idealnya mengimplementasikan metode pengukuran kinerja komprehensif, paling tidak berdasarkan output model yang dibangun.
Dengan pertimbangan bahwa nilai tambah dan daya saing dapat
didekati dengan penilaian perubahan sisi permintaan dan penawaran perusahan, maka implementasi pengukuran kinerja yang dilakukan dalam model adalah pengukuran kelayakan investasi usaha agroindustri aren unggulan. Hasil pengukuran kinerja finansial menunjukan bahwa keputusan investasi pada
83
agroindustri gula semut sebagai produk unggulan pada kapasitas olah prioritas adalah layak dan menguntungkan sehingga dianggap mampu meningkatkan nilai tambah dan daya saing agroindustri basis tanaman aren di Sulawesi Utara.
7.4. Implikasi Kebijakan Pendekatan klaster merupakan suatu strategi yang dapat digunakan dalam meningkatkan kinerja dan daya saing agroindustri aren. Untuk mendukung strategi tersebut beberapa hal yang harus diupayakan antara lain pertama, terpenuhinya kebutuhan dasar sebuah klaster seperti terciptanya stabilitas ekonomi makro yang mantap, iklim investasi yang kondusif, dan terjaminnya penyelenggaraan hukum yang efisien dan dapat dipercaya. Kedua, peningkatan kompetensi sumber daya manusia dari masing-masing pelaku dalam klaster hendaknya dilakukan dengan cara pengembangan keterampilan dan kecakapan baik
melalui
pelatihan
maupun
kegiatan
produktif
lainnya.
Ketiga,
mengembangkan berbagai kelembagaan pendukung terutama kelembagaan pembiayaan, penelitian penyuluhan, dan pendidikan. Adanya kelembagaan tersebut akan mampu meningkatkan akses pelaku terhadap informasi terkait dengan permodalan, teknologi dan inovasi yang sangat diperlukan untuk meningkatkan kinerja klaster. Keempat, diperlukan identifikasi dan pemetaan karakterisasi wilayah dalam menentukan lokasi untuk klaster agroindustri aren. Penentuan lokasi klaster tersebut merupakan keputusan yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas. Tahapan awal yang dilakukan dalam perencanaan pengembangan klaster aren adalah penentuan wilayah pengembangannya. Dalam hal ini, proses penentuan tersebut harus dilakukan secara akurat dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang berkaitan erat dengan objek pengembangan tersebut seperti ketersediaan sumberdaya di wilayah tersebut dan kemampuan permintaan. Proses penentuan wilayah pengembangan tersebut harus melibatkan seluruh pemangku kepentingan dan didukung oleh ketersediaan data yang lengkap mengenai potensi dan peluang yang dimiliki. Penentuan lokasi merupakan keputusan yang didasarkan pada perpaduan dari berbagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengembangan seperti
84
konsentrasi geografis agroindustri dan lembaga terkait, ketersediaan dan kontinutas bahan baku, potensi sumberdaya manusia, kapasitas dan kemampuan teknologi
yang
dimiliki,
ketersediaan
industri
pendukung,
ketersediaan
infrastuktur fisik, ketersediaan lembaga pendukung, dukungan pemerintah daerah dan pusat, budaya kerja yang mendukung, serta potensi dan jangkauan pasar. Ketidakmampuan menganalisis dan mensintesa faktor-faktor penting dalam sistem penentuan lokasi berdampak pada proses dan kinerja pengembangan dimana tujuan tidak akan tercapai sesuai dengan target-target yang ditetapkan. Pengembangan kelembagaan harus diarahkan pada pembentukan sistem kelembagaan yang dapat mendorong industri dan lembaga terkait melakukan kerjasama untuk saling mendukung dan saling menguntungkan. Pengembangan teknologi diarahkan pada peningkatan kemampuan agroindustri aren melakukan ekspansi dan pengembangan produk. Pengembangan kinerja usaha diarahkan pada peningkatan pendapatan petani penyadap dan usaha agroindustri kecil. Hasil verifikasi terhadap Perencanaan strategi pengembangan klaster agroindustri aren harus dilakukan oleh pelaku-pelaku dan institusi-institusi terkait secara terintegrasi dan sinergis dalam suatu sistem Pelaku-pelaku dan institusi kunci yang harus berperan lebih adalah pemilik lahan, petani penyadap, industri pengolahan, pedagang perantara, kelompok tani dan koperasi. Sementara
itu, aktivitas utama
yang harus dilaksanakan dalam
implementasi program adalah mendorong pengembangan kerjasama dan koordinasi antar industri anggota klaster, pengembangan kerjasama dengan lembaga terkait, pengembangan inovasi dan teknologi baru, dan pendidikan dan pelatihan. Hubungan kemitraan dan kerjasama pelaku-pelaku dalam sistem klaster agroindustri aren ditandai dengan adanya aliran bahan atau materi dan adanya aliran informasi, sebagaimana dipresentasikan pada Gambar 19.
85
Industri Alat dan Mesin
Pemerintah Daerah/ Pusat
Asosiasi Dagang
Pemilik Lahan
Penyadap
Industri Gula Semut
Pedagang Perantara
Kelompok Tani
Industri Gula Cetak
Industri Makanan
Industri Gula Cair Koperasi
Lembaga Keuangan
Konsumen Akhir
Badan Standarisasi
Lembaga Litbang
Perguruan Tinggi
Industri Bioetanol/ Alkohol
Inkubator
Keterangan: a) - - - - - - : aliran informasi dan pengetahuan b) : aliran bahan / materi
Gambar 19 Jaringan kerjasama dalam sistem kelembagaan klaster agroindustri aren Dalam mengembangkan kluster agroindustri aren, berbagai aspek baik dari subsistem hulu, subsistem hilir maupun jasa penunjang haruslah saling mendukung satu sama lainnya. Kluster agroindustri aren yang baik digambarkan oleh tingginya tingkat keterkaitan berbagai kegiatan yang saling mendukung antara satu pelaku dengan pelaku yang lain. Oleh karena itu, untuk mencapai tingkat keberhasilan, beberapa faktor kunci yang harus diperhatikan dalam kluster agroindustri aren yaitu tercipta kemitraan dan jaringan (networking) yang efektif diantara pihak-pihak yang terlibat. Terciptanya
kemitraan
dan jaringan
kerjasama
antar
perusahaan
merupakan hal yang sangat penting bukan hanya terjaminnya pasokan dan permintaan sumberdaya namun juga dalam hal fleksibilitas keputusan. Fleksibilitas tersebut misalnya kesepakatan penentuan harga bahan baku, jumlah produksi, harga produk, serta transfer informasi dan teknologi. Pengembangan inovasi dan teknologi merupakan bagian penting dalam sistem pengembangan klaster agroindustri aren. Oleh sebab itu, perencanaan teknologi pada setiap rantai pasok harus dilaksanakan secara akurat sehingga
86
tujuan untuk meningkatkan produktivitas, nilai tambah dan daya saing agroindutri aren dapat dicapai. Dalam implementasi, penggunaan teknologi tersebut harus dilaksanakan secara simultan di setiap rantai pasok dengan mempertimbangkan faktor-faktor kunci seperti ketersediaan dan aksesibilitas, harga satuan, biaya operasi, produktivitas, dan penggunaan alat dan bahan tambahan. Pengembangan
klaster
agroindustri
aren
sebagai
suatu
program
mengharuskan adanya metode pengukuran kebehasilan pelaksanaan program tersebut. Berdasarkan hasil kajian diperoleh bahwa indikator utama yang dapat dipakai untuk menilai keberhasilan pengembangan program tersebut adalah adanya peningkatan jumlah dan bentuk kerjasama, peningkatan anggota klaster, peningkatan nilai investasi dan peningkatan skala usaha. Walaupun demikian, kebehasilan implementasi model pengembangan klaster membutuhkan adanya suatu sistem pengukuran yang lebih komprehensif, misalnya metode yang dikembangkan Carpinetti (2008), dimana aspek utama yang harus ditinjau yaitu kinerja perusahan, efisiensi kolektif, manfaat sosial ekonomi dan modal sosial.
87
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan Sistem pengembangan agroindustri merupakan sistem yang sangat kompleks dan dinamis dimana terdapat sejumlah entitas yang sulit untuk didefinisikan. Walaupun demikian, berdasarkan verifikasi dan validasi diketahui bahwa model yang dibangun memiliki kesesuaian untuk menjawab persoalan menyangkut bagaimana mendeteksi dan memahami struktur sistem pengembangan klaster agroindustri aren, khususnya di Sulawesi Utara, sehingga dapat dijadikan bahan petimbangan dalam pengambilan keputusan pengembangan. Terdapat tiga model utama untuk mendukung keputusan pengembangan klaster agroindustri aren di Sulawesi Utara, yaitu: (1) model pengembangan klaster agroindustri aren, yang terdiri dari sub-model penentuan lokasi pengembangan, penentuan industri inti, dan kelembagaan pengembangan klaster, (2) model pengembangan teknologi, yang terdiri dari sub-model produk unggulan, kapasitas olah, dan proses pengolahan; (3) model kelayakan investasi. Model penentuan lokasi potensial pengembangan klaster di Sulawesi didapatkan bahwa Kabupaten Minahasa Selatan memiliki nilai prioritas tertinggi, diikuti Kota Tomohon, dan Kabupaten Minahasa. Model penentuan industri inti menunjukan bahwa industri gula aren memiliki prioritas paling tinggi untuk dikembangkan, diikuti oleh industri bioetanol dan industri minuman beralkohol. Model kelembagaan pengembangan klaster yang dibangun terdiri dari lima elemen sistem yaitu elemen tujuan pengembangan, elemen pelaku, elemen kendala, elemen aktivitas dan elemen indikator keberhasilan. Sub-elemen kunci tujuan pengembangan klaster agroindustri aren adalah meningkatkan pendapatan petani penyadap aren, meningkatkan nilai tambah agroindustri, dan meningkatkan kemampuan inovasi dan teknologi. Sub-elemen kunci pelaku pengembangan adalah pemilik lahan, petani penyadap, agroindustri pengolahan, industri terkait/ pendukung, pedagang perantara, kelompok tani, dan koperasi. Sub-elemen kunci kendala pengembangan adalah kurangnya dukungan dari pemerintah, rendahnya kualitas sumberdaya manusia, dan rendahnya kemampuan manajerial. Sub-elemen kunci dari elemen aktivitas adalah pengembangan kerjasama dan koordinasi
88
kegiatan antar agroindustri aren, pengembangan kerjasama dengan industri dan lembaga terkait, serta pengembangan kemampuan inovasi dan aplikasi teknologi. Sedangkan sub-elemen kunci indikator keberhasilan pengembangan adalah peningkatan jumlah dan bentuk kerjasama antar pelaku, dan peningkatan kemampuan penguasaan teknologi. Model pemilihan teknologi yang didahului dengan penentuan produk unggulan menunjukan bahwa usaha agroindustri gula semut merupakan industri pengolahan yang paling potensi untuk dikembangkan. Kapasitas olah mesin pengolahan gula semut yang terpilih adalah 5.000 l nira per satu kali olah. Sedangkan teknologi proses yang dianjurkan adalah kombinasi teknik open pan dan vacum evaporator. Model kelayakan investasi usaha agroindustri aren khususnya usaha pengolahan gula semut menunjukan bahwa pada tingkat kapasitas olah 5.000 l, harga jual di tingkat pabrik sebesar Rp15.000,00 per kg adalah layak dan menguntungkan untuk dilaksanakan. Keuntungan bersih yang diperoleh adalah Rp1.192.876.720,00 per thn dengan tingkat pengembalian modal mencapai 41,17%. Hasil analisis sensitivitas menunjukan bahwa jika harga produk mengalami penurunan sebesar 20% menjadi Rp12.000,00 per kg maka usaha pengolahan agroindustri gula semut tersebut masih menguntungkan karena
koefisien-
koefisien indikator yang diperoleh masih berada pada kategori layak dimana keuntungan bersih rata rata yang diperoleh adalah Rp406.164.220,00 per thn dengan tingkat pengembalian modal sebesar 12,94%. Namun apabila harga bahan baku mengalami kenaikan sebesar 50% menjadi Rp1.500,00 per l, maka usaha pengolahan gula semut tersebut secara ekonomi tidak layak untuk dilaksanakan karena potensi manfaat riil yang akan diperoleh bernilai negatif.
8.2. Saran Berdasarkan pertimbangan bahwa agroindustri aren memiliki nilai strategis khususnya bagi peningkatan nilai tambah dan daya saing produk agroindustri di beberapa daerah di Indonesia maka perlu dilakukan kajian-kajian
89
lanjutan dengan dimensi pendekatan yang lebih luas sehingga diperoleh gambaran dan informasi yang akurat dalam upaya penentuan kebijakan pengembangan. Pengembangan model perlu dirahkan pada bagaimana mengukur besarnya hubungan antara entitas-entitas atau elemen-elemen penting didalam sistem dengan model pendekatan yang lebih akurat dan dinamis.
90
DAFTAR PUSTAKA Abereijo IO, Adegbite SA, Ilori MO, Adeniyi AA, Aderemi HA. 2009. Technological Innovation Sources and Institutional Supports for Manufacturing Small and Medium Enterprises in Nigeria. J Technol Manag Innov 4(2): 82-89. Abrol D. 2004. Lessons from the Design of Innovation Systems for Rural Industrial Clusters in India. J Technol Innov 12(2): 67-97. Albaladejo M. 2001. Determinants and policies to foster the competitiveness of SME clusters: Evidence from Latin America. QEH Working Paper Series, 71 (2001): 117. An AVI Book. 1990. Sugar: A User‟s Guide to Sucrose. Didalam: Pennington NL, Baker CW. New York: Van Nostrand Reinhold. [Anonim]. 2005. Agro-Industry Sector and Agro-Enterprise Cluster Development in Selected Transition Economies. Korea Rural Economic Institute. [Anonim]. 2005. Revitalisasi Pertanian Melalui Agroindustri Pedesaan. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Departemen Pertanian Republik Indonesia. http://agribisnis.deptan.go.id/Pustaka/ revitalisasi.html [30 Des 2009] [Anonim]. 2008. Competitive Advantages of Washington Agriculture – Current and Future. WSU: Future of Farming Project. [Anonim]. 2008. Improving Competitiveness And Development Impact. FAO, UNIDO dan IFAD. New Delhi: Global Agro-Industries Forum (GAIF) [Anonim]. 2008. Pengembangan Ekonomi Daerah Berbasis Kawasan Andalan: Membangun Model Pengelolaan dan Pengembangan Keterkaitan ProgramJakarta: Deputi Bidang Otonomi Daerah dan Pengembangan Regional BAPPENAS. [Anonim]. 2008. The Innovation Driven Economic Development Model: A Practical Guide For The Regional Innovation Broker. Collaborative Economics, The Bay Area Council Economic Institute. [Anonim]. 2009. Economic Report on Africa. An Integrated Regional Value Chains Approach to Agricultural Development in Africa. [Anonim]. 2009. European Commission, Enterprise & Industry Directorate General. Fostering user-driven innovation through clusters. Brussels: Draft discussion paper prepared by DG ENTR-Unit D2 “Support for innovation”. [Anonim]. 2011. Gula Aren Cair. http://iinparlina.wordpress.com/ 2011/10/18/gula-arencair/#more-837 [20 Nop 2011] [Anonim]. A Practical Guide to Claster Development: A Report to the Department of Trade and Industry and the English RDAs by Ecotec Research & Consulting. http://www.dti.gov.uk/files/file14008.pdf [06 Desember 2010].
91
[Anonim]. Agribusiness & Markets-Key Concepts: ICRA Learning Materials Agribusiness and Markets. http://www.icra-edu.org/page.cfm?pageid= anglores.html [14 Mar 2010]. [Anonim]. Knowledge Clusters and Entrepreneurship In Regional Economic Development. Minneapolis, Minnesota Usa: The Hhh Institute Of Public Affairs, University Of Minnesota. [APO] The Asian Productivity Organization. 2008. Knowledge Management in Asia: Experience and Lessons (Report of the APO Survey on the Status of Knowledge Management in Member Countries). Hirakawacho, Chiyoda-ku, Tokyo: The Asian Productivity Organization Arikan AM, McGahan AM. 2010. The Development Of Capabilities In New Firms (Research Notes And Commentaries). Strat Mgmt J, 31(2010): 1–18. Arıkan AT, Schilling MA. 2010. Structure and Governance in Industrial Districts: Implications for Competitive Advantage. J Manag Studies, 2010: 1-35. Arthurs D, Cassidy E, Davis CH, Wolfe DA. 2007. Indicators to Support Innovation Cluster Policy. Intl J Technol Manag, 11 (1): 1-17 Asian Productivity Organization. 1989. Marketing Systems For Farm Products In Asia and the Pasific. Tokyo. Austin GT. 1986. Shreve‟s Chemical Process Industries. Singapore: McGraw-Hill. Austin JE. 1992. Agroindustrial Project Analysis: Critical Design Factors. EDI Series in Economic Development. London and Baltimor: The John Hopkins University Press. [BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Provinsi Sulawesi Utara. 2006. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2005-2010. [BAPPENAS] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Republik Indonesia. 2008. Pengembangan Ekonomi Daerah Berbasis Kawasan Andalan: Membangun Model Pengelolaan dan Pengembangan Keterkaitan Program. Jakarta: BAPPENAS. Barone MJ, DeCarlo TE. 2003. Emerging Forms of Competitive Advantage: Implications for Agricultural Producers. MATRIC Research Paper 03-MRP. Iowa State University: Midwest Agribusiness Trade Research and Information Center. Bell M, Albu M. 1999. Knowledge Systems and Technological Dynamism in Industrial Clusters in Developing Countries. World Development J, 27 (9): 1715–1734. Berdegué Ja, Escobar G. 2002. Rural Diversity, Agricultural Innovation Policies and Poverty Reduction. Agricultural Research & Extension Network. Network Paper No. 122. [BI] Bank Indonesia. 2008. Pola Pembiayaan Usaha Kecil (PPUK): Gula Aren (Gula Semut dan Cetak). Jakarta: Direktorat Kredit, BPR dan UMKM Bank Indonesia.
92
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2008, 2011. Indonesia Dalam Angka. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2008, 2011. Minahasa Selatan Dalam Angka. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2008, 2011. Sulawesi Utara Dalam Angka. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2008, 2011. Tomohon Dalam Angka. Carpinetti LCR, Galda´mez EVC, Gerolamo MC. 2008. A measurement system for managing performance of industrial clusters: A conceptual model and research cases. International Journal of Productivity and Performance Management, 57 (5): 405-419. Ceglie G, Dini M. 1999. SME Cluster And Network Development In Developing Countries: The Experience Of Unido. Private Sector Development Branch, Investment Promotion and Institutional Capacity Building Division. Viena: United Nations Industrial Development Cheng Shi. 2006. China‟s Rural Industrialization Policy (Growing Under Orders Since 1949). New York: Palgrave MacMillan Depperin] Departemen Perindustrian. 2006. Kebijakan Pembangunan Industri Nasional. Jakarta: Departemen Perindustrian Republik Indonesia Effendi DS. 2010. Prospek Pengembangan Tanaman Aren (Arenga Pinnata Merr) Mendukung Kebutuhan Bioetanol di Indonesia. Perspektif, 9(1): 36-46. Eriyatno. 1999. Ilmu Sistem: Meningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajemen. Jilid-1. Bogor: IPB-Press. [FAO] Food and Agriculture Organization. 2008. Improving Competitiveness and Development Impact. Report of the Global Agro-Industries Forum (GAIF); New Delhi, 8-11 April 2008. Roma: Food and Agriculture Organization of The United Nations. Fauzi AM. 2007. Ketahanan Pangan Nasional dan Peran Teknologi Pertanian. Didalam Purwiyatno Hariyadi (editor) Upaya Peningkatan Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan Melalui Ilmu dan Teknologi. Bogor: SEAFAST Centre, IPB. Gittinger JP. 1991. Analisa Ekonomi Proyek-proyek Pertanian (Terjemahan). Jakarta: UI-PRESS. Gumbira-Said E, Rachmayanti, Muttaqin M. 2001. Manajemen Teknologi Agribisnis: Kunci Menuju Daya Saing Global Produk Agribisnis. Didalam: Khadafi MS, editor. Jakarta: Ghalia Indonesia. Handoko TH. 1997. Dasar-dasar Manajemen Produksi. Yogyakarta: BPFE. Hasan MI. 2002. Pokok-pokok Materi Teori Pengambilan Keputusan. Didalam: Khadafi MS, editor. Jakarta: Ghalia Indonesia. (IPB)
Institut Pertanian Bogor. 1983. Bogor: IPB.
Pengembangan Agroindustri Di Indonesia.
93
Iskandar A. 1991. Diversifikasi Produk Gula Merah Menjadi Gula Merah Cair. http//web.ipb.ac.id/~lppm/ID/index.php?view=penelitian/ [19 September 2010] Karaev A, Koh SCL, Szamosi LT. 2007. The cluster approach and SME competitiveness: a review. J Manuf Technol Manag, 18 (7): 818-835. Karouw S. 2001. Produk-produk Hasil Olahan Kelapa dan Palma. Buletin Balitka, 27: 85 – 93. Ketels Ch, Lindqvist G, Sölvell Ö. 2008. Clusters and Cluster Initiatives. Stockholm: Center for Strategy and Competitiveness, Stockholm School of Economics. Kusuma H. 2004. Manajemen Produksi: Perencanaan dan Pengendalian Produksi. Yogyakarta: Andi Offset. Kusumanto. 2010. Mengurangi Kandungan Air dari Nira Aren. http://www.kebunaren.com/2010/07/mengurangi kandungan air dari nira aren. html. [06 Desember 2010] [LIPI] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 1993. Science and Technology Manajement Information System (STMIS). Volume Empatbelas, Indikator Teknologi Industri (Kasus PT PAL Indonesia). Jakarta. [LIPI] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 1993. Science and Technology Manajement Information System (STMIS). Volume Enambelas, Manual Indikator Teknologi Industri . Jakarta. Loiola ER, Ribeiro MTF. 2007. A Science, Technology and Innovation Proposal for the State of Bahia: A Transversal Approach. J. Technol. Manag. Innov. 2(1): 80-91. Mahmud Z, Amrizal. 1991. Palma Sebagai Bahan Pangan, Pakan dan Konservasi. Buletin Balitka, 14: 106 – 113. Mahmud Z, D Allorerung, dan Amrizal. 1991. Prospek Tanaman Kelapa, Aren, Lontar, dan Gewang untuk Menghasilkan Gula. Buletin Balitka, 14: 90 – 105. Manescth TJ, Park GL. 1977. System Analysis and Simulation with Application to Economic and Social System. Michigan State University I (2) : 1-49. Mangunwijaya D, Sailah I. 2005. Pengantar Teknologi Pertanian. Jakarta: Penebar Swadaya. Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan: Kriteria Majemuk. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Marimin. 2005. Teori dan Aplikasi Sistem Pakar dalam Teknologi Manajerial. Edisi ke2. Bogor: IPB Press. Moerdokusumo A. 1993. Pengawasan Kualitas dan Teknologi Pembuatan Gula di Indonesia. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Nasution M. 2002. Pengembangan Kelembagaan Koperasi Pedesaan Untuk Agroindustri. Didalam: Eryatno, Sulaeman S, Soemarta ID, Sujana JG, editor. Bogor: IPB Press.
94
Nelson J. 2007. Building Linkage for Competitive and Responsible Entrepreneurship. Cambridge, MA: Puritan Press Nonaka I, Takeuchi H. 1995. The Knowledge-Creating Company: How Jappanese Companies Create the Dynamics of Innovation. New York: Oxford University Press. Novarianto H, Tulalo MA, Rindengan B. 2001. Keragaman Hasil Nira dan Gula Beberapa Kultivar Kelapa. Buletin Balitka 27: 7 – 13. Novarianto R, Lintang M, Joseph GH. 2001. Pengolahan Gula Semut dari Nira Aren. Di dalam: Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Agribisnis berbasis Sumberdaya Lokal dan Teknologi Ramah Lingkungan; Bogor, 2 – 3 Agu 2001. Bogor: Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian, Departemen Pertanian RI. Pellissier R. 2008. A Conceptual Framework for the Alignment of Innovation and Technology. J. Technol. Manag. Innov. 3(3): 67-77. Pennington NL, Baker CW. 1990. Sugar. New York: An AVI Book. Published by Van Nostrand Reinhold. Pietrobelli C, Rabellotti R. 2004. Upgrading in Clusters and Value Chains in Latin America: The Role of Policies. Washington, D.C.: Micro, Small and Medium Enterprise Division, Inter-American Development Bank. Porter ME. 1990. The Competitive Advantage of Nations, First Edition. New York: The Free Press. Porter ME. 1998a. Cluster and the New Economics. Boston: The Harvard Businees Review. Porter ME. 1998b. On Competition: Clusters and Competition. Boston: The Harvard Business Review Book Series. [PSE] Pusat Studi Ekonomi. 1999. Ekonomi Gula di Indonesia. Didalam: Sawit MH, Suharno P, Rachman A, penyunting. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Rianto Y, Zulhamdani M, Laksani CS, Prihadyanti D. 2008. Innovation System-Based Industrial Cluster Development: A Comparative Study Of Industrial Cluster In Indonesia And Some Asian Countries. Jakarta: Center For Science and Technology Development Studies, Indonesia Institute of Sciences. Riyanto Y, Triyono B, Laksani CC. 2006. Studi Faktor-faktor Determinan Kemampuan Inovasi. Jakarta: LIPI Press. Roy R.N. 2005. A Modern Approach to Operations Management. New Delhi: New Age International (P) Ltd., Publishers Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2009. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta: Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia. Saaty TL. 1994. Fundamentals of Decision Making and Priority Theory with the Analytic Hierarchy Process, Volume VI. Pittsburgh: RWS Publications.
95
Saxena JP, Sushil, Vrat P. 1992. Hierarchy and Classification of Program Plan Elements Using Interpretive Structural Modelling. System Practice 5(6): 651-670. Schmidt RJ. 2005. Palmae (PalmFamily). http//www.bodd.cf.ac.uk/ BotDermFolder/BotdermP/Palm.html [19 September 2010] Soeseno S. 2000. Bertanam Aren. Jakarta: Penebar Swadaya. Sumaryanto, Mulyana W, Haryandi A. 1999. Penggunaan Gula Pasir dan Pemanis Lainnya dalam Industri Makanan dan Minuman. Didalam: Sawit MH, Suharno P, Rachman A, penyunting. Ekonomi Gula Di Indonesia. Bogor: Institut Pertanian Bogor Sun Y, Wang H. 2004. Technological Innovation in Rural Enterprises of Jiangsu, China. Northridge: Department of Geography, California State University. Sunanto H. 1993. Aren. Yogyakarta: Kanisius. Sureephong P, Chakpitak N, Ouzrout Y, Neubert G, Bouras A (2006). Knowledge Management System for Cluster Development in Small and Medium Enterprises. Author manuscript, published in "International Conference on Software, Knowledge, Information Management and Applications (SKIMA)”, Chiang Mai : Thailand (2006) Surroca J, Tribo JA, Waddock S. 2010. Corporate Responsibility And Financial Performance: The Role Of Intangible Resources. Strat. Mgmt. J., 31(2010): 463– 490. Sweeney SH, Feeer EJ. 1998. Plant Size and Clustering of Manufacturing Activity. Geograph Anal, 30 (1): 45-64. Syukur M, Kusnadi D, Andrida R. 1999. Industri Gula Merah dan Pemanis Lainnya. Didalam: Sawit MH, Suharno P, Rachman A, penyunting. Ekonomi Gula Di Indonesia. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Tambunan T. 2006. Development Of Small-And Medium-Scale Industry Clusters In Indonesia . Kadin Indonesia-Jetro. Http://www.Kadin-Indonesia.Or.Id/ Enm/Images/Dokumen/Kadin-98-1572-02032007.pdf. [25 Nopember 2010] Tan F. 1994. Industrialisasi Berbasis Inovasi Teknologi: Peranan Transfer Teknologi Bagi Pengembangan Usaha di Daerah. Prisma 1(1994); 3-12. Turban E, Aronson JE, Bolloju N. 2001. Decision Support Systems And Intelligent Systems. Upper Saddle River New Jersey: Pearson Education, Inc. Turban E, Aronson JE, Liang TP. 2005. Decision Support Systems And Intelligent Systems. Upper Saddle River New Jersey: Pearson Education, Inc. Tyagi RK, Sawhney MS. 2010. High-Performance Product Management: The Impact of Structure, Process, Competencies, and Role Definition. J Prod Innov Manag, 27: 83–96.
96
[UNIDO] United Nations Industrial Development Organization. 2002. Creative Industries and Micro & Small Scale Enterprise Development (A Contribution to Poverty Alleviation). Vienna: Vienna International Centre. [UNIDO] United Nations Industrial Development Organization. 2006. Report on the Implementation Of The Brussels Programe of Action for the Least Developed Countries within the Mandate Relevant To UNIDO. Vienna: UNIDO. [UNIDO] United Nations Industrial Development Organization. 2004. Effective Policies For Small Business: A Guide For The Policy Review Process And Strategic Plans For Micro, Small And Medium Enterprise Development. Viena: United Nations Industrial Development Organization. [UNIDO] United Nations Industrial Development Organization. 2005. Western China: Enhancing Industrial Competitivenessand Employment, Technical Report. Prepared by UNIDO for the National Development and Reform Commission (NDRC) and the China International Centre for Economic and Technical Exchanges (CICETE). Viena: United Nations Industrial Development Organization. [UNIDO] United Nations Industrial Development Organization. 2006. Creative Industries and Micro & Small Scale Enterprise Development: A Contribution to Poverty Alleviation. Viena: United Nations Industrial Development Organization. [UNIDO] United Nations Industrial Development Organization. 2009. Agro-Value Chain Analysis And Development: The Unido Approach. A staff working paper. Viena: United Nations Industrial Development Organization. [UNIDO] United Nations Industrial Development Organization. 2009. Cluster development for pro-poor growth:the UNIDO approach. Viena: United Nations Industrial Development Organization. [WB] World Bank. 2006. Enhancing Agricultural Innovation: How to Go Beyond the Strengthening of Research Systems. Wheelen TL, Hunger JD. 2004. Strategic Management and Business Policy. Upper Saddle River New Jersey: Pearson Education, Inc. Wilson L, Spoehr J. 2010. Labour Relations and the Transfer of Knowledge in Industrial Clusters: Why do Skilled Workers Share Knowledge with Colleagues in Other Firms?. Geographical Research, 48(1):42–51 Woolley J. 2010. Technology Emergence Through Entrepreneurship Across Multiple Industries. Strat. Entrepreneurship J., 4(2010): 1–21. Yager RR. 1993. Non-numeric Multi-criteria Multi Person Decision Making. Group Decision and Negotiation 2: 81-93. Zhang Y, Li H. 2010. Innovation Search Of New Ventures In a Technology Cluster: The Role Of Ties With Service Intermediaries. Strat. Mgmt. J., 31(2010): 88–109
97
LAMPIRAN
98
Lampiran 1 Peta Lokasi Penelitian
97
Lampiran 2 Struktur hirarkhi AHP penentuan lokasi
Fokus
Tujuan
Kriteria
Alternatif Lokasi
Lampiran 3 Struktur hirarkhi AHP penentuan industri inti
Fokus
Tujuan
Kriteria
Alternatif Industri Inti
98
Lampiran 4 Hasil pengolahan ISM elemen sistem tujuan pengembangan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Dep No. Drv Dep T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 T8 T9 T10 T11
1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 0 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 0 1 0 1 1 1 1 1 0 0 0 0 1 0 1 0 0 1 0 0 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 0 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 0 1 1 1 0 1 0 0 0 0 1 0 0 0 1 8 3 4 4 8 8 6 4 9 Sub Elemen Driver Power Dependence Meningkatkan produktifitas agroindustri aren Meningkatkan mutu produk agroindustri aren Meningkatkan pendapatan petani dan penyadap aren Memperluas lapangan kerja Memperluas jangkauan pasar Meningkatkan volume pasokan ke pasar Meningkatkan nilai tambah agroindustri aren Meningkatkan kemampuan inovasi dan teknologi Mewujudkan agroindustri aren yang berkelanjutan Meningkatkan minat investasi Meningkatkan pendapatan daerah
10 1 1 1 1 0 1 1 1 1 0 1 8
11 0 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 9
Drv 6 9 10 9 6 6 10 10 4 6 4
99
Lampiran 5 Hasil pengolahan ISM elemen sistem pelaku pengembangan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Dep No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
1 2 3 4 5 6 7 8 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 1 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 7 7 7 7 8 7 8 11 Sub Elemen Pemilik lahan Penyadap Industri aren Industri hilir (terkait) Produsen peralatan Pedagang perantara Asosiasi dagang Pemerintah daerah dan pusat Kelompok tani dan gapoktan Koperasi Lembaga keuangan dan donor Lembaga penelitian dan pengembangan Inkubator Badan standarisasi produk
9 1 1 1 1 0 1 0 0 1 1 0 0 0 0 7
10 1 1 1 1 0 1 0 0 1 1 0 0 0 0 7
11 1 1 1 1 0 1 0 0 1 1 1 1 1 1 11
12 1 1 1 1 0 1 0 0 1 1 0 1 1 1 10
13 1 1 1 1 0 1 0 0 1 1 0 0 1 0 8
14 1 1 1 1 0 1 0 0 1 1 0 1 1 1 10
Drv 14 14 14 14 1 14 1 1 14 14 1 4 5 4
100
Lampiran 6 Hasil pengolahan ISM elemen sistem kendala pengembangan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Dep No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0 1 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 1 1 0 1 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 0 0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0 0 1 1 0 0 1 1 1 0 1 0 0 0 1 1 1 1 14 12 10 3 13 4 1 3 12 13 10 10 Sub Elemen Skala usaha kecil Keterbatasan teknologi Keterbatasan modal Rendahnya kualitas sumber daya manusia Rendahnya kualitas bahan baku Kurangnya pemahaman mengenai manfaat klaster Kurangnya dukungan dari pemerintah pusat dan daerah Rendahnya kemampuan manajerial Kurangnya inovasi baru Kesulitan akses pada pasar Kesulitan akses pada lembaga keuangan Kesulitan akses pada informasi baru Kurangnya keterlibatan lembaga penyedia jasa terkait Rendahnya rasa saling percaya diantara pelaku Kurangnya penelitian terkait yang dilakukan Kurangnya kerjasama antar pelaku
13 0 0 0 1 0 1 1 1 0 0 0 0 1 1 0 1 7
14 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1
15 0 0 0 1 0 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 7
16 0 0 0 1 0 1 1 1 0 0 0 0 0 1 0 1 6
Drv 1 3 8 14 1 12 15 14 3 1 8 8 9 12 6 11
101
Lampiran 7 Hasil pengolahan ISM elemen sistem aktivitas pengembangan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Dep No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 1 1 1 0 1 0 0 1 0 1 0 0 1 1 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 1 1 1 0 0 0 0 1 1 0 1 1 1 1 1 0 0 0 0 1 1 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 1 1 0 0 0 0 1 1 1 0 0 1 1 1 1 0 1 1 1 0 0 0 0 1 1 1 0 1 0 0 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 0 1 0 1 1 0 0 1 0 0 1 1 0 0 0 1 1 0 0 1 6 6 12 12 7 10 6 14 14 6 6 12 Sub Elemen Pengembangan kerjasama dan koordinasi kegiatan antar industri Pengembangan kerjasama dengan industri dan lembaga terkait Pengembangan inovasi dan teknologi baru Pendidikan dan pelatihan tenaga kerja Perluasan jaringan dan jangkauan pasar Pengembangan sistem manajemen pengetahuan Keikutsertaan dalam pameran dagang Pengembangan kapasitas produksi Pengembangan kualitas produk Pengembangan pemanfaatan sumberdaya lokal Pengembangan sikap saling percaya diantara pelaku Pengembangan kemampuan manajerial dan kewirausahaan Pengembangan alternatif sumber pembiayaan Pengembangan investasi
13 1 1 1 1 1 0 1 0 0 0 1 0 1 0 7
14 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 13
Drv 14 14 14 9 10 8 9 5 5 9 9 8 10 5
102
Lampiran 8 Hasil pengolahan ISM elemen sistem indikator keberhasilan pengembangan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Dep No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 1 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 1 0 0 0 1 0 1 0 0 1 1 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 1 1 0 1 1 0 1 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 1 1 0 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 0 0 0 0 1 0 1 0 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 1 0 0 1 1 0 0 0 1 1 12 4 12 12 6 12 12 12 6 Sub Elemen Peningkatan jumlah anggota klaster Peningkatan jumlah dan bentuk kerjasama Peningkatan skala usaha Tercapainya skala ekonomi Terciptanya efisiensi kolektif Peningkatan nilai tambah Peningkatan produktivitas Peningkatan mutu produk Peningkatan jangkauan dan pangsa pasar Peningkatan jumlah tenaga kerja Menguatnya hubungan sosial diantara pelaku Peningkatan investasi Peningkatan kemampuan inovasi Peningkatan kemampuan penguasaan teknologi
10 1 1 1 1 0 1 1 0 0 1 0 1 0 0 12
11 1 1 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 1 5
12 1 1 0 0 1 0 0 0 0 1 0 0 1 1 4
13 1 1 1 0 1 0 0 0 0 0 0 1 1 0 6
14 0 1 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 4
Drv 10 13 10 4 10 4 4 4 10 10 4 10 10 13
103
Lampiran 9 Struktur hirarki AHP penentuan produk unggulan
Lampiran 10 Kriteria penentuan kapasitas olah Kriteria ke-1 (Ketersediaan bahan baku)
Dekat < 10 km Moderat 10 – 20 km Jauh >20 km Kriteria ke-3 (mutu bahan baku) Rendah Kadar sukrosa < 12% Moderat Kadar sukrosa 12 – 16% Tinggi Kadar Sukrosa > 16% Kriteria ke-5 (waktu pengangkutan) Cepat < 1 jam Moderat 1 – 2 jam Lama > 2 jam Kriteria ke-7 (tenaga kerja) Kurang < 5 orang Moderat 5 – 10 Banyak > 10
Kriteria ke-2 (volume bahan baku) Banyak > 6.000 l Moderat 3.000 – 6.000 l Sedikit < 3.000 l Kriteria ke-4 (daya angkut kendaraan) Banyak > 6.000 l Moderat 3.000 – 6.000 Sedikit < 3.000 Kriteria ke-6 (kapasitas penampungan) Besar > 6.000 l Moderat 3.000 – 6.000 Kecil < 3.000 l Kriteria ke-8 (biaya pengangkutan) Tinggi > Rp 100 / l Moderat Rp 50 – 100 / l Rendah < Rp 50 / l
104
Lampiran 11 Aturan-aturan (rules) pemilihan kapasitas olah If and No Kadar sukrosa Jarak bahan baku (%) (km) 1 <12 <10 2 <12 <10 3 <12 <10 4 <12 10-20 5 <12 10-20 6 <12 10-20 7 <12 >20 8 <12 >20 9 <12 >20 10 12-16 <10 11 12-16 <10 12 12-16 <10 13 12-16 10-20 14 12-16 10-20 15 12-16 10-20 16 12-16 >10 17 12-16 >10 18 12-16 >10 19 >16 >20 20 >16 >20 21 >16 >20 22 >16 10-20 23 >16 10-20 24 >16 10-20 25 >16 >20 26 >16 >20 27 >16 >20
and Ketersediaan bahan baku (liter) <3000 3000-6000 >6000 <3000 3000-6000 >6000 <3000 3000-6000 >6000 <3000 3000-6000 >6000 <3000 3000-6000 >6000 <3000 3000-6000 >6000 <3000 3000-6000 >6000 <3000 3000-6000 >6000 <3000 3000-6000 >6000
then Kapasitas produksi (liter) 1.000 l 10.000 l 10.000 l 1.000 l 5.000 l 5.000 l 1.000 l 5.000 l 5.000 l 1.000 l 5.000 l 10.000 l 1.000 l 5.000 l 10.000 l 1.000 l 5.000 l 10.000 l 1.000 l 5.000 l 5.000 l 1.000 l 5.000 l 5.000 l 1.000 l 5.000 l 5.000 l
105
Lampiran 12 Analisis penentuan kapasitas olah unit pengolahan gula aren Nilai dan Kepentingan Kriteria
Skor Keputusan
Alternatif
Rangking
Ketersediaan BB
Jarak sumber BB
% Sukros a
Ketersediaan alat
Waktu pengangkutan
Kapasitas tampung
Tenaga kerja
Biaya produksi
Bayes
MPE
Bayes
MPE
Kapasitas 1000 l
3
5
2
5
1
1
2
1
2,55
33,705
3
3
Kapasitas 5000 l
4
4
5
3
3
3
3
3
3,55
42,876
1
1
Kapasitas 10000 l
5
3
5
2
5
3
2
5
3,85
37,939
2
2
Bobot Bayes
0.15
0.1
0.15
0.15
0.1
0.1
0.1
0.15
Bobot MPE
1.5
1
1.5
1.5
1
1
1
1.5
106
Lampiran 13 Analisis penentuan teknologi pengolahan gula aren Kriteria Ketersediaan dan aksesibilitas Harga satuan (Rp/Unit) Biaya operasi (Rp/volume bahan) Umur ekonomis Kemudahan pengoperasian dan pemeliharaan Produksi per satuan waktu Mutu produksi (bentuk dan penampakan) Penggunaan energi Penggunaan alat dan bahan tambahan Penggunaan tenaga kerja Tingkat penerimaan masyarakat Ketersediaan suku cadang Kemampuan pasokan bahan baku Skor Keputusan MPE Ranking Kriteria dengan nilai kepentingan terbesar adalah: 1. Ketersediaan dan aksesibilitas 2. Harga satuan 3. Biaya operasi 4. Produksi per satuan waktu 5. Penggunaan alat dan bahan tambahan
Bobot MPE 1.00 1.00 1.00 0.80 0.50 1.00 0.70 0.50 1.00 0.75 0.75 0.50 0.50 10.00
Rata-rata Penilaian Tek I Tek II Tek III 5 4 1 2 4 5 1 4 4 3 4 2 5 3 4 2 3 4 2 4 4 5 4 3 2 3 2 5 3 2 3 3 2 1 3 2 1 3 1
Skor Keputusan Tek I Tek II Tek III 5.0000 4.0000 1.0000 2.0000 4.0000 5.0000 1.0000 4.0000 4.0000 2.4082 3.0314 1.7411 2.2361 1.7321 2.0000 2.0000 3.0000 4.0000 1.6245 2.6390 2.6390 2.2361 2.0000 1.7321 2.0000 3.0000 2.0000 3.3437 2.2795 1.6818 2.2795 2.2795 1.6818 1.0000 1.7321 1.4142 1.0000 1.7321 1.0000 28.1281 35.4256 29.8900 3 1 2
107
Lampiran 14 Modal tetap investasi agroindustri gula aren kapasitas olah 5000 l Deskripsi 1. Tanah 2. Bangunan 3. Mesin Dan Alat : Tangki Penampungan Tungku Pembakaran Boiler Purifikasi Evaporasi Kristalisasi Sentrifugasi Pendinginan Pengemasan Generator Tangki Bahan Bakar Tangki Pengangkutan Mobil Pick-Up Instalasi Listrik Instalasi Air Sub Total (3) 4. Alat Kantor/Fasilitas Meja Kantor Kursi Telepon Komputer Lemari Pendingin Ruangan Alat Kantor Lainnya Sub Total (4) 5. Pra-Investasi Studi kelayakan Perizinan Sub Total (5) 6. Tenaga Kerja Direktur Manajer Staff Karyawan Sopir Satpam Sub Total (6) 7. Pemasaran TOTAL 1 s/d 7
m2 m2
Harga Satuan (Rp) 50,000 500,000
Total Biaya (Rp) 20,000,000 125,000,000
2 2 1 1 1 1 1 1 1 2 2 6 2 1 1
Unit Unit Unit Unit Unit Unit Unit Unit Unit Unit Unit Unit Unit Set Set
7,000,000 8,000,000 150,000,000 5,000,000 5,000,000 10,000,000 12,000,000 5,000,000 35,000,000 10,000,000 2,500,000 1,000,000 90,000,000 5,000,000 4,000,000
14,000,000 16,000,000 150,000,000 5,000,000 5,000,000 10,000,000 12,000,000 5,000,000 35,000,000 20,000,000 5,000,000 6,000,000 180,000,000 5,000,000 4,000,000 472,000,000
5 10 1 2 3 1 1
Unit Unit Unit Set Unit Unit Set
400,000 100,000 1,000,000 4,000,000 1,000,000 3,000,000 2,500,000
2,000,000 1,000,000 1,000,000 8,000,000 3,000,000 3,000,000 2,500,000 20,500,000
5,000,000 2,000,000
5,000,000 10,000,000 15,000,000 36,000,000 24,000,000 43,200,000 86,400,000 14,400,000 24,000,000 228,000,000 12,000,000 892,500,000
Jumlah
Satuan
400 250
1 5
1 1 3 6 1 2
Orang Orang Orang Orang Orang Orang
3,000,000 2,000,000 1,200,000 1,200,000 1,200,000 1,000,000
1
Paket
12,000,000
108
Lampiran 15 Modal kerja investasi agroindustri gula aren Deskripsi
Liter
Harga Satuan (Rp) 1,000
50 25
Kg Kg
5,000 3,000
100 30 50
Liter M3 Kwh
4,500 900 1,100
Jumlah
1. Bahan Baku 2. Kemasan Kantong Karton 3. Utilitas Bahan Bakar/Minyak Air Listrik Total
9,000
Satuan
Biaya (Rp/hari) 9,000,000 325,000 250,000 75,000 532,000 450,000 27,000 55,000 9,857,000
Jumlah per tahun 2,700,000 15,000 7,500 30,000 9,000 15,000
Biaya per tahun 2,700,000,000 97,500,000 75,000,000 22,500,000 159,600,000 135,000,000 8,100,000 16,500,000 2,957,100,000
Lampiran 16 Biaya investasi lainnya Nilai Investasi (Rp)
Uraian Penyusutan 1. Bangunan 2. Peralatan 3. Fasilitas Pemeliharaan 1. Bangunan 2. Peralatan 3. Fasilitas Asuransi Pajak Bumi Bangunan
125,000,000 472,000,000 20,500,000 12,350,000 2,500,000 9,440,000 410,000 29,850,000 2,175,000
Umur Ekonomi (thn) 10 10 10
Nilai Sisa (Rp) 61,750,000 12,500,000 47,200,000 2,050,000
Penyusutan (Rp) 55,575,000 11,250,000 42,480,000 1,845,000
Lampiran 17 Kewajiban pengembalian pinjaman usaha Thn 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Pinjaman 3,849,600,000
Jumlah Kredit
Bunga (18%)
3,849,600,000 3,464,640,000 3,079,680,000 2,694,720,000 2,309,760,000 1,924,800,000 1,539,840,000 1,154,880,000 769,920,000 384,960,000
692,928,000 623,635,200 554,342,400 485,049,600 415,756,800 346,464,000 277,171,200 207,878,400 138,585,600 69,292,800
Angsuran
Sisa Kredit
384,960,000 384,960,000 384,960,000 384,960,000 384,960,000 384,960,000 384,960,000 384,960,000 384,960,000 384,960,000
3,849,600,000 3,464,640,000 3,079,680,000 2,694,720,000 2,309,760,000 1,924,800,000 1,539,840,000 1,154,880,000 769,920,000 384,960,000 -
109
Lampiran 18 Perkiraan rugi laba usaha agroindustri gula aren pada kondisi normal URAIAN
Tahun 0
Tahun1
Tahun2
Tahun3
Tahun4
Tahun5
Tahun6
Tahun7
Tahun8
Tahun9
Tahun10
0%
50%
75%
100%
100%
100%
100%
100%
100%
100%
100%
Produksi Gula Semut (kg)
202,500
303,750
405,000
405,000
405,000
405,000
405,000
405,000
405,000
405,000
Harga Gula Semut (Rp/kg)
15,000
15,000
15,000
15,000
15,000
15,000
15,000
15,000
15,000
15,000
Persen Produksi
Total Penerimaan
Jumlah
3,037,500,000 4,556,250,000 6,075,000,000 6,075,000,000 6,075,000,000 6,075,000,000 6,075,000,000 6,075,000,000 6,075,000,000 6,075,000,000 56,193,750,000
Investasi 1. Tanah
20,000,000
2. Bangunan
125,000,000
3. Mesin dan Alat
472,000,000
4. Fasilitas
20,500,000
5. Pra Investasi
15,000,000
6. Biaya Tetap :
339,950,000
339,950,000
339,950,000
339,950,000
339,950,000
339,950,000
339,950,000
339,950,000
339,950,000
339,950,000
Gaji Pegawai
228,000,000
228,000,000
228,000,000
228,000,000
228,000,000
228,000,000
228,000,000
228,000,000
228,000,000
228,000,000
Pemasaran
12,000,000
12,000,000
12,000,000
12,000,000
12,000,000
12,000,000
12,000,000
12,000,000
12,000,000
12,000,000
Penyusutan
55,575,000
55,575,000
55,575,000
55,575,000
55,575,000
55,575,000
55,575,000
55,575,000
55,575,000
55,575,000
Perawatan
12,350,000
12,350,000
12,350,000
12,350,000
12,350,000
12,350,000
12,350,000
12,350,000
12,350,000
12,350,000
Asuransi
29,850,000
29,850,000
29,850,000
29,850,000
29,850,000
29,850,000
29,850,000
29,850,000
29,850,000
29,850,000
2,175,000
2,175,000
2,175,000
2,175,000
2,175,000
2,175,000
2,175,000
2,175,000
2,175,000
2,175,000
PBB
3,399,500,000
7. Biaya Variabel
2,069,970,000 2,365,680,000 2,957,100,000 2,957,100,000 2,957,100,000 2,957,100,000 2,957,100,000 2,957,100,000 2,957,100,000 2,957,100,000 28,092,450,000
Bahan Baku
1,890,000,000 2,160,000,000 2,700,000,000 2,700,000,000 2,700,000,000 2,700,000,000 2,700,000,000 2,700,000,000 2,700,000,000 2,700,000,000
Kemasan
68,250,000
78,000,000
97,500,000
97,500,000
97,500,000
97,500,000
97,500,000
97,500,000
97,500,000
97,500,000
Utilitas
111,720,000
127,680,000
159,600,000
159,600,000
159,600,000
159,600,000
159,600,000
159,600,000
159,600,000
159,600,000
8. Angsuran Pokok
384,960,000
384,960,000
384,960,000
384,960,000
384,960,000
384,960,000
384,960,000
384,960,000
384,960,000
384,960,000
9. Angsuran Bunga
692,928,000
623,635,200
554,342,400
485,049,600
415,756,800
346,464,000
277,171,200
207,878,400
138,585,600
69,292,800
Total Pengeluaran Laba Sebelum Pajak
652,500,000 3,487,808,000 3,714,225,200 4,236,352,400 4,167,059,600 4,097,766,800 4,028,474,000 3,959,181,200 3,889,888,400 3,820,595,600 3,751,302,800 39,805,154,000 (652,500,000) (450,308,000)
842,024,800 1,838,647,600 1,907,940,400 1,977,233,200 2,046,526,000 2,115,818,800 2,185,111,600 2,254,404,400 2,323,697,200 16,388,596,000
PPN (30%)
(135,092,400)
252,607,440
Laba Setelah Pajak
(315,215,600)
589,417,360 1,287,053,320 1,335,558,280 1,384,063,240 1,432,568,200 1,481,073,160 1,529,578,120 1,578,083,080 1,626,588,040 11,928,767,200
551,594,280
572,382,120
593,169,960
613,957,800
634,745,640
655,533,480
676,321,320
697,109,160
110
Lampiran 18a Keuntungan total sebelum pajak A. Total Penerimaan B. Total Pengeluaran Total keuntungan sebelum pajak = A-B Keuntungan Total sebelum pajak
56.193.750.000 39.805.154.000 16.388.596.000
Lampiran 18b Break Even Point (BEP) A. Biaya Tetap B. Biaya Varibel C. Hasil Penjualan BEP = A/(1-(B/C)) BEP
3.399.500.000 28.092.450.000 56.193.750.000 6.797.929.388
Lampiran 18c Benefit Cost Ratio A. Penerimaan Kotor B. Biaya Produksi Total B/C Ratio = A/B B/C Ratio
56.193.750.000 39.805.154.000 1.41
Lampiran 18d Return of Investment (ROI) A. Keuntungan total sebelum pajak B. Biaya Produksi Total ROI = (A/B)x100% ROI
16.388.596.000 39.805.154.000 41.17%
Lampiran 18e Net Present Value (NPV) Tahun 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 NPV
Bt-Ct (652,500,000) -450,308,000 842,024,800 1,838,647,600 1,907,940,400 1,977,233,200 2,046,526,000 2,115,818,800 2,185,111,600 2,254,404,400 2,323,697,200
18% 1.000 0.847 0.718 0.609 0.516 0.437 0.370 0.314 0.266 0.225 0.191
NPV (652,500,000) (381,616,949) 604,729,101 1,119,057,693 984,094,433 864,266,854 758,097,776 664,208,487 581,323,078 508,269,158 443,975,967 5,493,905,598
111
Lampiran 18f Internal Rate of Return Tahun
i' = 85%
Bt-Ct DF
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
(652,500,000) -450,308,000 842,024,800 1,838,647,600 1,907,940,400 1,977,233,200 2,046,526,000 2,115,818,800 2,185,111,600 2,254,404,400 2,323,697,200 TOTAL
1.000 0.541 0.292 0.158 0.085 0.046 0.025 0.013 0.007 0.004 0.002
Lampiran 18g Pay Back Period (PBP) Tahun 0 1
Bt-Ct (652,500,000) -450,308,000
Akumulasi (652,500,000) (1,102,808,000)
2 3 4 5 6 7 8 9 10
842,024,800 1,838,647,600 1,907,940,400 1,977,233,200 2,046,526,000 2,115,818,800 2,185,111,600 2,254,404,400 2,323,697,200
(260,783,200) 1,577,864,400 3,485,804,800 5,463,038,000 7,509,564,000 9,625,382,800 11,810,494,400 14,064,898,800 16,388,596,000
NPV' (652,500,000) (243,409,730) 246,026,238 290,391,108 162,883,799 91,242,936 51,048,960 28,528,332 15,925,746 8,881,499 4,948,371 3,967,259
DF 1.000 0.538 0.289 0.155 0.084 0.045 0.024 0.013 0.007 0.004 0.002
i'' = 86 NPV'' (652,500,000) (242,101,075) 243,387,906 285,732,517 159,409,070 88,816,401 49,424,195 27,471,847 15,253,520 8,460,876 4,688,675 (11,956,069)
112
Lampiran 19 Perkiraan rugi laba usaha agroindustri gula aren pada kondisi harga bahan baku naik sebesar 50% URAIAN
Tahun 0 0%
Tahun1
Tahun2
Tahun3
Tahun4
Tahun5
Tahun6
Tahun7
Tahun8
Tahun9
Tahun10
50%
75%
100%
100%
100%
100%
100%
100%
100%
100%
Produksi Gula Semut (kg)
202,500
303,750
405,000
405,000
405,000
405,000
405,000
405,000
405,000
405,000
Harga Gula Semut (Rp/kg) Total Penerimaan (Rp/kg)
15,000
15,000
15,000
15,000
15,000
15,000
15,000
15,000
15,000
15,000
Persen Produksi
Jumlah
3,037,500,000 4,556,250,000 6,075,000,000 6,075,000,000 6,075,000,000 6,075,000,000 6,075,000,000 6,075,000,000 6,075,000,000 6,075,000,000 56,193,750,000
Investasi: Tanah
20,000,000
Bangunan
125,000,000
Mesin dan Alat
472,000,000
Fasilitas
20,500,000
Pra Investasi
15,000,000
Biaya Tetap :
339,950,000
339,950,000
339,950,000
339,950,000
339,950,000
339,950,000
339,950,000
339,950,000
339,950,000
339,950,000 3,399,500,000
Gaji Pegawai
228,000,000
228,000,000
228,000,000
228,000,000
228,000,000
228,000,000
228,000,000
228,000,000
228,000,000
228,000,000
Pemasaran
12,000,000
12,000,000
12,000,000
12,000,000
12,000,000
12,000,000
12,000,000
12,000,000
12,000,000
12,000,000
Penyusutan
55,575,000
55,575,000
55,575,000
55,575,000
55,575,000
55,575,000
55,575,000
55,575,000
55,575,000
55,575,000
Perawatan
12,350,000
12,350,000
12,350,000
12,350,000
12,350,000
12,350,000
12,350,000
12,350,000
12,350,000
12,350,000
Asuransi
29,850,000
29,850,000
29,850,000
29,850,000
29,850,000
29,850,000
29,850,000
29,850,000
29,850,000
29,850,000
2,175,000
2,175,000
2,175,000
2,175,000
2,175,000
2,175,000
2,175,000
2,175,000
2,175,000
2,175,000
PBB Biaya Variabel
3,014,970,000 3,445,680,000 4,307,100,000 4,307,100,000 4,307,100,000 4,307,100,000 4,307,100,000 4,307,100,000 4,307,100,000 4,307,100,000 40,917,450,000
Bahan Baku
2,835,000,000 3,240,000,000 4,050,000,000 4,050,000,000 4,050,000,000 4,050,000,000 4,050,000,000 4,050,000,000 4,050,000,000 4,050,000,000 68,250,000
78,000,000
97,500,000
97,500,000
97,500,000
97,500,000
97,500,000
97,500,000
97,500,000
97,500,000
Utilitas
111,720,000
127,680,000
159,600,000
159,600,000
159,600,000
159,600,000
159,600,000
159,600,000
159,600,000
159,600,000
Angsuran Pokok
519,960,000
519,960,000
519,960,000
519,960,000
519,960,000
519,960,000
519,960,000
519,960,000
519,960,000
519,960,000
Angsuran Bunga
935,928,000
842,335,200
748,742,400
655,149,600
561,556,800
467,964,000
374,371,200
280,778,400
187,185,600
93,592,800
Kemasan
Total Pengeluaran
652,500,000
4,810,808,000 5,147,925,200 5,915,752,400 5,822,159,600 5,728,566,800 5,634,974,000 5,541,381,200 5,447,788,400 5,354,195,600 5,260,602,800 55,316,654,000
Laba Sebelum Pajak (652,500,000) (1,773,308,000) (591,675,200)
159,247,600
PPN (30%)
(531,992,400)
(177,502,560) 47,774,280
Laba Setelah Pajak
(1,241,315,600) (414,172,640) 111,473,320
252,840,400
346,433,200
440,026,000
533,618,800
627,211,600
720,804,400
814,397,200
75,852,120
103,929,960
132,007,800
160,085,640
188,163,480
216,241,320
244,319,160
176,988,280
242,503,240
308,018,200
373,533,160
439,048,120
504,563,080
570,078,040
877,096,000 1,070,717,200
113
Lampiran 19a Keuntungan total sebelum pajak A. Total Penerimaan B. Total Pengeluaran Total keuntungan sebelum pajak = A-B Keuntungan Total sebelum pajak
56.193.750.000 55.316.654.000 877.096.000
Lampiran 19b Break Even Point (BEP) A. Biaya Tetap B. Biaya Varibel C. Hasil Penjualan BEP = A/(1-(B/C)) BEP
3.399.500.000 40.917.450.000 56.193.750.000 12.505.043.146
Lampiran 19c Benefit Cost Ratio A. Penerimaan Kotor B. Biaya Produksi Total B/C Ratio = A/B B/C Ratio
56.193.750.000 55.316.654.000 1.02
Lampiran 19d Return of Investment (ROI) A. Keuntungan total sebelum pajak B. Biaya Produksi Total ROI = (A/B)x100% ROI
877.096.000 55.316.654.000 1.59%
Lampiran 19e Net Present Value (NPV) Tahun 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 NPV
Bt-Ct (652,500,000) -1,773,308,000 -591,675,200 159,247,600 252,840,400 346,433,200 440,026,000 533,618,800 627,211,600 720,804,400 814,397,200
18% 1.000 0.847 0.718 0.609 0.516 0.437 0.370 0.314 0.266 0.225 0.191
NPV (652,500,000) (1,502,803,390) (424,931,916) 96,923,006 130,412,266 151,429,145 162,999,508 167,516,300 166,862,222 162,509,728 155,602,367 -1,385,980,765
114
Lampiran 19f Internal Rate of Return Tahun
i' = 4%
Bt-Ct
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
(652,500,000) -1,773,308,000 -591,675,200 159,247,600 252,840,400 346,433,200 440,026,000 533,618,800 627,211,600 720,804,400 814,397,200 TOTAL
DF 1.000 0.962 0.925 0.889 0.855 0.822 0.790 0.760 0.731 0.703 0.676
NPV' (652,500,000) (1,705,103,846) (547,036,982) 141,570,537 216,129,034 284,742,838 347,758,939 405,506,432 458,297,373 506,427,610 550,177,568 5,969,501
Lampiran 19g Pay Back Period (PBP) Tahun 0 1 2
Bt-Ct (652,500,000) -1,773,308,000 -591,675,200
Akumulasi (652,500,000) (2,425,808,000) (3,017,483,200)
3 4 5 6 7 8 9 10
159,247,600 252,840,400 346,433,200 440,026,000 533,618,800 627,211,600 720,804,400 814,397,200
(2,858,235,600) (2,605,395,200) (2,258,962,000) (1,818,936,000) (1,285,317,200) (658,105,600) 62,698,800 877,096,000
DF 1.000 0.952 0.907 0.864 0.823 0.784 0.746 0.711 0.677 0.645 0.614
i'' =5% NPV'' (652,500,000) (1,688,864,762) (536,666,848) 137,564,064 208,012,423 271,439,477 328,354,176 379,232,919 424,521,499 464,636,943 499,969,235 (164,300,874)
115
Lampiran 20 Perkiraan rugi laba usaha agroindustri gula aren pada kondisi harga produk turun sebesar 20% URAIAN
Tahun 0
Persen Produksi Produksi Gula Semut (kg)
0%
Harga Gula Semut (Rp/kg) Total Penerimaan (Rp/kg)
Tahun1
Tahun2
Tahun3
Tahun4
Tahun5
Tahun6
Tahun7
Tahun8
Tahun9
Tahun10
50%
75%
100%
100%
100%
100%
100%
100%
100%
100%
202,500
303,750
405,000
405,000
405,000
405,000
405,000
405,000
405,000
405,000
12,000
12,000
12,000
12,000
12,000
12,000
12,000
12,000
12,000
12,000
Jumlah
2,430,000,000 3,645,000,000 4,860,000,000 4,860,000,000 4,860,000,000 4,860,000,000 4,860,000,000 4,860,000,000 4,860,000,000 4,860,000,000 44,955,000,000
Investasi: Tanah
20,000,000
Bangunan
125,000,000
Mesin dan Alat
472,000,000
Fasilitas
20,500,000
Pra Investasi
15,000,000
Biaya Tetap :
339,950,000
339,950,000
339,950,000
339,950,000
339,950,000
339,950,000
339,950,000
339,950,000
339,950,000
339,950,000 3,399,500,000
Gaji Pegawai
228,000,000
228,000,000
228,000,000
228,000,000
228,000,000
228,000,000
228,000,000
228,000,000
228,000,000
228,000,000
Pemasaran
12,000,000
12,000,000
12,000,000
12,000,000
12,000,000
12,000,000
12,000,000
12,000,000
12,000,000
12,000,000
Penyusutan
55,575,000
55,575,000
55,575,000
55,575,000
55,575,000
55,575,000
55,575,000
55,575,000
55,575,000
55,575,000
Perawatan
12,350,000
12,350,000
12,350,000
12,350,000
12,350,000
12,350,000
12,350,000
12,350,000
12,350,000
12,350,000
Asuransi
29,850,000
29,850,000
29,850,000
29,850,000
29,850,000
29,850,000
29,850,000
29,850,000
29,850,000
29,850,000
2,175,000
2,175,000
2,175,000
2,175,000
2,175,000
2,175,000
2,175,000
2,175,000
2,175,000
2,175,000
PBB Biaya Variabel
2,069,970,000 2,365,680,000 2,957,100,000 2,957,100,000 2,957,100,000 2,957,100,000 2,957,100,000 2,957,100,000 2,957,100,000 2,957,100,000 28,092,450,000
Bahan Baku
1,890,000,000 2,160,000,000 2,700,000,000 2,700,000,000 2,700,000,000 2,700,000,000 2,700,000,000 2,700,000,000 2,700,000,000 2,700,000,000 68,250,000
78,000,000
97,500,000
97,500,000
97,500,000
97,500,000
97,500,000
97,500,000
97,500,000
97,500,000
Utilitas
111,720,000
127,680,000
159,600,000
159,600,000
159,600,000
159,600,000
159,600,000
159,600,000
159,600,000
159,600,000
Angsuran Pokok
384,960,000
384,960,000
384,960,000
384,960,000
384,960,000
384,960,000
384,960,000
384,960,000
384,960,000
384,960,000
Angsuran Bunga
692,928,000
623,635,200
554,342,400
485,049,600
415,756,800
346,464,000
277,171,200
207,878,400
138,585,600
69,292,800
Kemasan
Total Pengeluaran Laba Sebelum Pajak PPN (30%) Laba Setelah Pajak
652,500,000
3,487,808,000 3,714,225,200 4,236,352,400 4,167,059,600 4,097,766,800 4,028,474,000 3,959,181,200 3,889,888,400 3,820,595,600 3,751,302,800 39,805,154,000
(652,500,000) (1,057,808,000)
(69,225,200)
(317,342,400)
(20,767,560)
(740,465,600) (48,457,640)
623,647,600 187,094,280 436,553,320
692,940,400 207,882,120 485,058,280
762,233,200 228,669,960 533,563,240
831,526,000 249,457,800 582,068,200
900,818,800 270,245,640 630,573,160
970,111,600 1,039,404,400 1,108,697,200 5,149,846,000 291,033,480 679,078,120
311,821,320 727,583,080
332,609,160 776,088,040
4,061,642,200
116
Lampiran 21a Keuntungan total sebelum pajak A. Total Penerimaan B. Total Pengeluaran Total keuntungan sebelum pajak = A-B Keuntungan Total sebelum pajak
44.955.000.000 39.805.154.000 5.149.846.000
Lampiran 21b Break Even Point (BEP) A. Biaya Tetap B. Biaya Variabel C. Hasil Penjualan BEP = A/(1-(B/C)) BEP
3.399.500.000 28.092.450.000 44.955.000.000 9.062.954.446
Lampiran 21c Benefit Cost Ratio A. Penerimaan Kotor B. Biaya Produksi Total B/C Ratio = A/B B/C Ratio
44.955.000.000 39.805.154.000 1.13
Lampiran 21d Return of Investment (ROI) A. Keuntungan total sebelum pajak B. Biaya Produksi Total ROI = (A/B)x100% ROI
5.149.846.000 39.805.154.000 12.94%
Lampiran 21e Net Present Value (NPV) Tahun 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 NPV
Bt-Ct (652,500,000) -1,057,808,000 -69,225,200 623,647,600 692,940,400 762,233,200 831,526,000 900,818,800 970,111,600 1,039,404,400 1,108,697,200
18% 1.000 0.847 0.718 0.609 0.516 0.437 0.370 0.314 0.266 0.225 0.191
NPV (652,500,000) (896,447,458) (49,716,461) 379,571,183 357,410,949 333,179,157 308,023,456 282,789,572 258,086,709 234,340,032 211,832,639 766,569,779
117
Lampiran 21f Internal Rate of Return Tahun 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Bt-Ct (652,500,000) -1,057,808,000 -69,225,200 623,647,600 692,940,400 762,233,200 831,526,000 900,818,800 970,111,600 1,039,404,400 1,108,697,200 TOTAL
i' =27% DF 1.000 0.787 0.620 0.488 0.384 0.303 0.238 0.188 0.148 0.116 0.092
NPV' (652,500,000) (832,919,685) (42,919,710) 304,458,492 266,367,355 230,711,507 198,177,118 169,048,528 143,348,096 120,934,736 101,572,406 6,278,845
Lampiran 21g Pay Back Period (PBP) Tahun 0 1 2
Bt-Ct (652,500,000) -1,057,808,000 -69,225,200
Akumulasi (652,500,000) (1,710,308,000) (1,779,533,200)
3 4 5 6 7 8 9 10
623,647,600 692,940,400 762,233,200 831,526,000 900,818,800 970,111,600 1,039,404,400 1,108,697,200
(1,155,885,600) (462,945,200) 299,288,000 1,130,814,000 2,031,632,800 3,001,744,400 4,041,148,800 5,149,846,000
DF
i'' = 28% NPV'' 1.000 (652,500,000) 0.781 (826,412,500) 0.610 (42,251,709) 0.477 297,378,349 0.373 258,140,415 0.291 221,839,058 0.227 189,067,123 0.178 160,017,564 0.139 134,630,029 0.108 112,692,451 0.085 93,910,306 (53,488,914)