RANCANG BANGUN MODEL BERBASIS AGEN UNTUK PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI UDANG DI KAWASAN MINAPOLITAN
MOHAMMAD FUAD FAUZUL MU’TAMAR
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi tentang Rancang Bangun Model Berbasis Agen untuk Pengembangan Agroindustri Udang di Kawasan Minapolitan adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013 Mohammad Fuad FM F361080041
RINGKASAN M. FUAD F. MU’TAMAR. Rancang Bangun Model Berbasis Agen untuk Pengembangan Agroindustri Udang di Kawasan Minapolitan. Dibimbing oleh ERIYATNO, MACHFUD dan KADARWAN SOEWARDI. Agroindustri merupakan komponen penting dalam jaringan rantai pasok komoditas perikanan maupun pertanian. Agroindustri udang sebagai salah satu jenis agroindustri merupakan salah satu industri yang dapat meningkatkan nilai tambah bagi komoditas udang. Posisi strategis dari agroindustri udang dalam jaringan rantai pasok, menjadikan keberadaan industri ini perlu dipertahankan keberlanjutannya. Keberlanjutan agroindustri udang salah satunya sangat bergantung pada kondisi pasokan komoditas udang. Pasokan bahan baku agroindustri udang bergantung pada produksi komoditas tersebut. Produksi udang yang meningkat akan meningkatkan pasokan bahan baku. Semakin tinggi pasokan bahan baku, maka keberlanjutan agroindustri udang semakin meningkat. Begitu juga sebaliknya, penurunan produksi udang mengakibatkan terganggunya pasokan bahan baku dan berdampak terancamnya keberlanjutan agroindustri udang. Komoditas udang dalam tahun-tahun terakhir mengalami kecenderungan penurunan produksi. Penurunan produksi udang terlihat pada tahun 2009, sebesar 350 ribu ton lebih kecil dari tahun sebelumnya yang mencapai 410 ribu ton. Produksi tahun 2009 tersebut menurun dari target yang telah ditetapkan sebesar 540 ribu ton. Salah satu usaha meningkatkan produksi udang yang diusahakan pemerintah adalah dengan program Minapolitan. Minapolitan merupakan konsepsi pembangunan ekonomi kelautan dan perikanan berbasis kawasan berdasarkan prinsip-prinsip terintegrasi, efisiensi, berkualitas dan percepatan. Konsep Minapolitan bertujuan untuk meningkatkan produksi, produktivitas, kontinuitas pasokan dan kualitas produk perikanan dan kelautan serta menjaga kelestarian lingkungan. Peningkatan produksi ini diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat perikanan dan keberlanjutan Minapolitan. Komoditas udang menjadi salah satu komoditas unggulan yang diusahakan dalam pengembangan kawasan Minapolitan. Kendala dalam mencapai keberlanjutan agroindustri udang seperti kurangnya pasokan bahan baku, rendahnya tingkat pendapatan petambak, perbedaan kepentingan antar pelaku dalam klaster serta adanya isu-isu pencemaran lingkungan menyebabkan kompleksitas dalam pengembangan agroindustri udang di kawasan Minapolitan semakin tinggi. Kompleksitas permasalahan tersebut diharapkan dapat dipecahkan melalui pendekatan berbasis agen. Pendekatan model berbasis agen, diharapkan mampu menyelesaikan kompleksitas permasalahan tersebut dengan mengidentifikasi semua perilaku agen yang ada dalam klaster Minapolitan dan interaksinya, sehingga dapat memprediksi kinerja pengembangan agroindustri udang di kawasan Minapolitan berdasar paradigma pembangunan berkelanjutan. Metode analisis yang digunakan pada model pengembangan agroindustri udang di kawasan Minapolitan terdiri dari dua metode pendekatan utama. Pertama dengan pendekatan sistem dinamik untuk menduga kinerja rantai pasok udang pada klaster Minapolitan. Kondisi kinerja rantai pasok merupakan gambaran situasional pasokan bahan baku di klaster Minapolitan. Metode kedua yang
digunakan adalah pendekatan berbasis agen dalam pengembangan Minapolitan dalam mendukung pasokan bahan baku agroindustri udang melalui pembangunan model simulasi menggunakan perangkat lunak SOARS (Spot Oriented Agent Role Simulator) Simulasi model dinamik pasokan bahan baku agroindustri udang di kawasan Minapolitan, memperlihatkan kondisi tingkat pemanfaatan kapasitas pabrik saat ini dikatagorikan kurang berkelanjutan. Peningkatan keberlanjutan pasokan bahan baku agroindustri dari model simulasi yang dibangun, menunjukkan peningkatan produktifitas lahan memberi dampak lebih positif jika dibandingkan dengan meningkatkan luasan lahan budidaya. Skenario peningkatan luas lahan budidaya hanya mampu meningkatkan pasokan bahan baku sebesar 60%, sedangkan skenario dengan peningkatan produktifitas dengan luasan lahan mampu meningkatkan pasokan bahan baku mencapai 84%. Model berbasis agen yang dibangun dengan kaidah SOARS menunjukkan pengubahan parameter sebagai penterjemahan aktivitas agen berpengaruh terhadap keberlanjutan agroindustri udang di kawasan Minapolitan. Dampak pengaruhnya terhadap kinerja nilai indikator pada ketiga dimensi keberlanjutan yaitu dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan yang diukur. Aktivitas agen petambak seperti misalnya pengunaan bibit, pemilihan luasan usaha budidaya udang dan kemampuan pengelolaan budidaya udang adalah aktifitas petambak yang berpengaruh terhadap indikator keberlanjutan secara keseluruhan. Aktivitas agen pedagang dalam menangani komoditas udang juga berpengaruh terhadap kebelanjutan pasokan bahan baku bagi agroindustri udang di kawasan Minapolitan. Rekomendasi kebijakan peningkatan keberlanjutan agroindustri udang di kawasan Minapolitan ditekankan pada ketiga dimensi keberlanjutan. Penyediaan bibit berkualitas, teknologi tepat guna dan ramah lingkungan serta teknologi pengolahan limbah merupakan upaya dari sisi dimensi lingkungan. Dari sisi ekonomi, upaya yang perlu dilakukan adalah mengupayakan adanya regulasi perbankkan guna memberi kemudahan mendapatkan modal bagi petambak dan pedagang serta pengurangan pajak komoditas. Pelatihan manajemen pertambakan, kemudahan transfer teknologi dan informasi antar agen adalah upaya dari sisi dimensi sosial. Upaya secara simultan yang dilakukan diharapkan keberlanjutan agroindustri udang di kawasan Minapolitan dapat ditingkatkan. Kata kunci: Agroindustri, Pendekatan Agen, Minapolitan Berkelanjutan
SUMMARY M. FUAD F. MU’TAMAR. Designing Agent-Based Model for the Development of Shrimp Agroindustri in Minapolitan Area. Supervised by ERIYATNO, MACHFUD and KADARWAN SOEWARDI. Agroindustry is a very important component in the agricultural supply chain. Shrimp agroindustry is an industry that can add value to the shrimp commodity. Since it has a strategic position in the agricultural supply chain, this industry need to be maintained its sustainability. The sustainability of shrimp agroindustry depends on the conditions of shrimp supply. If raw material supply increases, it will positively impact on the sustainability of shrimp commodity. On the contrary, a decrease in shrimp production resulted in disruption of the supply of raw materials and, in turn, damaging the sustainability of shrimp agroindustry. One attempt to increase shrimp production is the development of Minapolitan program. Minapolitan can be considered as an effort to implement fair and sustainable economic development through rural development focusing on fisheries as a cluster developing point. However, the development of Minapolitan zone has not had significant positive impact. Current fisheries production is stagnant and declining due to various things such as disease, unfavorable climatic conditions, cultivation management, quality seeds, and others. There are many elements that should be accommodated in the development of Minapolitan leading to the complexity and the social dynamic of this program. Agent-based model approach in the development of Minapolitan for sustainable shrimp agroindustry will provide simulation model for the sustainability of shrimp agroindustry. This simulation model was constructed from interaction between each autonomous agent within a cluster. The agent-based approach was started from identifying types of agents within Minapolitan cluster of shrimp agroindustry, the agent’s behaviour, the interaction between agents, the agreements among agents, and the interaction between agents and the environment. The next step was constructing a cluster model based on the principles of sustainability. The simulation model resulted from this study is not only able to determine the sustainability, but also is able to simulate policy scenarios to predict changes in the interaction among agents and the impact of the changes to the sustainability of shrimp agroindustry. The analytical ability and the policy scenario simulation will be useful for decision makers in formulating strategy of shrimp agroindustry sustainability in Minapolitan cluster’s. To increase the level of sustainability of shrimp agroindustry, a simulation of scenarios related to the activity of agents in Minapolitan has been done. The scenarios have been changed focusing on the efforts related to the activities of farmers in increasing the production of shrimp. The increase of shrimp production is very important because the activity in the Minapolitan cluster is closely related to the volume of shrimp production. In summary, the development of shrimp agroindustry cluster model has been designed to predict the sustainability of Minapolitan area by conducting some simulations that may occur in the real system. The results of simulation model shows that the current Minapolitan program can be considered sustainable. Farmer’s behavioural changes in choosing shrimp seeds, in optimizing fishpond area, and in improving aquaculture managerial skill could increase the production of shrimp and the profit. Improving the management of post-harvested shrimp conducted by middleman could also increase the percentage of the product purchased by agroindustrial companies in the Minapolitan zone. Keyword: Agroindustri, Sustainable Minapolitan, Agent-Based Simulation Model, Shrimp Production
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
i
RANCANG BANGUN MODEL BERBASIS AGEN UNTUK PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI UDANG DI KAWASAN MINAPOLITAN
MOHAMMAD FUAD FAUZUL MU’TAMAR
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
ii
Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Prof. Dr. Ir. Djumali Mangunwidjaja, DEA. 2. Prof. Dr. Ir. Erliza Noor. Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Prof. Dr. Ir. M. Syamsul Ma’arif, M. Eng 2. Dr. Aurik Gustomo, ST. MT.
iii Judul Disertasi
: Rancang Bangun Model Berbasis Agen untuk Pengembangan Agroindustri Udang di Kawasan Minapolitan Nama Mahasiswa : Mohammad Fuad Fauzul Mu’tamar NIM
: F 361080041
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Eriyatno, MSAE. Ketua
Dr. Ir. Machfud, MS. Anggota
Prof. Dr. Ir. Kadarwan Soewardi Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Machfud, MS
Dr. Ir. Dahrul Syah, MS
Tanggal Ujian: 15 Juli 2013
Tanggal Lulus :
iv
v
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena hanya atas rahmat dan karunia-Nya maka disertasi ini dapat terselesaikan. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Penulis menyadari bahwa penyelesaian tulisan ini tidak lepas dari bantuan banyak pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang tulus dan mendalam kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Eriyatno, MSAE selaku Ketua Komisi Pembimbing, serta Bapak Prof. Dr. Kadarwan Soewardi, dan Bapak Dr. Ir. Machfud, MS. masing-masing selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan curahan waktu, bimbingan, arahan, nasihat, dukungan dan dorongan moral dengan penuh dedikasi kepada penulis dari awal hingga selesainya disertasi ini. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Dekan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, Ketua Departemen Teknologi Industri Pertanian Institut Pertanian Bogor dan Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor atas segala bantuan dan pelayanan yang diberikan selama ini. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada seluruh staf pengajar Program Studi Teknologi Industri Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan ilmu dan pengalamannya selama penulis mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Terimakasih yang mendalam penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Trunojoyo, Dekan Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Trunojoyo dan Ketua Jurusan Teknologi Industri Pertanian atas ijin dan kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti Program Doktor pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penghargaan dan terimakasih penulis sampaikan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementrian Pendidikan Nasional atas dukungan dana beasiswa BPPS yang telah diberikan. Penghargaan dan ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Timur, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Gresik dan jajarannya atas bantuan berharga yang diberikan kepada penulis selama melakukan penelitian. Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua narasumber yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas segala waktu, pengetahuan, pengalaman dan informasi yang diberikan kepada penulis selama melakukan pengumpulan data di lapangan. Rasa hormat dan terima kasih yang sangat dalam penulis sampaikan kepada kedua orang tua, Ayahanda H. Masykur Yahya dan Ibunda Hj. Istifadah yang telah mencurahkan segenap perhatian, waktu dengan selalu membantu dan mendo’akan penulis agar berhasil dengan penuh rasa cinta. Demikian juga kepada Ayahanda H. Muhib dan Ibunda Hj. Muammaroh yang tiada henti mendo’akan penulis agar dapat menyelesaikan studi ini. Secara khusus, penulis mengucapkan penghargaan dan kebanggaan yang tidak terhingga kepada istri tercinta Millatul Ulya serta ananda tersayang Hanum Addiina Jasmine dan Naura Zakiyah Hanim atas ketulusan, pengertian, kesabaran, semangat dan pengorbanan yang terus-menerus diberikan kepada penulis selama menempuh pendidikan. Penulis juga menyampaikan rasa
vi penghargaan dan rasa terima kasih kepada keluarga besar KH. Muchith Muzadi dan handai taulan yang selalu memberikan dorongan dan do’a sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini. Kepada rekan-rekan mahasiswa Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Program Studi Teknologi Industri Pertanian, khususnya angkatan 2008, penulis menyampaikan terimakasih atas kebersamaan, kerjasama dan persaudaraannya selama menempuh pendidikan. Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan. Segala kritik dan saran selalu penulis harapkan demi kesempurnaan disertasi ini. Akhirnya penulis berharap semoga disertasi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak. Semoga Allah SWT selalu memberikan petunjuk, perlindungan dan kesejahteraan bagi kita semua. Aamiin.
Bogor, Juli 2013 Mohammad Fuad FM.
vii DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
ix
DAFTAR TABEL
xii
1. PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
3
Ruang Lingkup
4
Manfaat
4
2. TINJAUAN PUSTAKA
5
Model Berbasis Agen
5
Klaster Minapolitan
8
Manajemen Rantai Pasok (Supply Chain Management)
11
Agroindustri Udang Berkelanjutan
13
Kelembagaan Permodalan
15
Pemodelan dan Simulasi
16
Penelitian Terdahulu dan Posisi Strategis Penelitian
18
3. METODOLOGI PENELITIAN
20
Kerangka Pemikiran Penelitian
20
Tahapan Penelitian
21
Metode Analisis
24
Sistem Dinamik
24
Pendekatan Berbasis Agen
25
Identifikasi Agen dalam Sistem Klaster Berbasis Agen
25
Spot Oriented Agent Role Simulator
26
Metode Pengumpulan Data dan Informasi
27
Tempat dan Waktu Penelitian
28
4. ANALISIS SITUASIONAL
29
Kinerja Sistem Komoditas Udang
29
Minapolitan Kabupaten Gresik
31
Analisis Kebutuhan
35
Formulasi Permasalahan
36
viii Identifikasi Sistem
38
Indikator Keberlanjutan
40
5. PEMODELAN SISTEM
42
Model Pasokan Bahan Baku Kawasan Minapolitan
42
Konfigurasi Model Berbasis Agen
46
Desain Pengembangan Agroindustri Udang di Kawasan Minapolitan
51
6. HASIL DAN PEMBAHASAN
59
Analisis Pasokan Bahan Baku di Kawasan Minapolitan
59
Model Pengembangan Agroindustri Udang di Kawasan Minapolitan
63
Kinerja Agroindustri Udang di Kawasan Minapolitan
63
Simulasi Peningkatan Keberlanjutan Agroindustri udang di Kawasan Minapolitan
65
Model Konseptual Pengembangan Agroindustri Udang di Kawasan Minapolitan
86
Implikasi Kebijakan Peningkatan Keberlanjutan Agroindustri Udang di Kawasan Minapolitan
91
7. SIMPULAN DAN SARAN
96
Simpulan
96
Saran
96
Daftar Pustaka
98
ix DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Agen (Macal dan North,2005)
6
Gambar 2 Komponen dasar SOARS (Deguchi, 2006)
8
Gambar 3 Tahapan model SOARS (Deguchi, 2006)
8
Gambar 4 Konsep pengembangan Minapolitan (CPRI,2010)
10
Gambar 5 Aliran rantai pasok
11
Gambar 6 Skema rantai pasok pertanian (Vorst, 2004)
12
Gambar 7 Blending financing (CPRI, 2010)
16
Gambar 8 Kerangka pemikiran penelitian
21
Gambar 9 Tahapan penelitian rancang bangun model berbasis agen pada pengembangan agroindustri udang di kawasan Minapolitan
23
Gambar 10 Simbol variabel dalam sistem dinamik
24
Gambar 11 Siklus tahapan SOARS
27
Gambar 12 Produksi udang nasional
29
Gambar 13 Produksi udang tiap provinsi
29
Gambar 14 Rantai pasok agroindustri udang
31
Gambar 15 Peta Kabupaten Gresik
32
Gambar 16 Prosentase subsektor perikanan terhadap PDRB
33
Gambar 17 Diagram sebab akibat pengembangan agroindustri udang di kawasan Minapolitan
39
Gambar 18 Diagram input-output model pengembangan agroindustri udang di kawasan Minapolitan
40
Gambar 19 Diagram kausal pasokan bahan baku agroindustri udang
43
Gambar 20 Model sistem pasokan bahan baku agroindustri udang
45
Gambar 21 Diagram use case klaster Minapolitan
47
Gambar 22 Interaksi agen petambak dengan pedagang kecil
50
Gambar 23 Interaksi agen pedagang kecil dengan pedagang besar
50
Gambar 24 Interaksi agen pedagang besar dengan agen agroindustri
50
Gambar 25 Tahapan simulasi SOARS pengembangan agroindustri udang di kawasan Minapolitan
52
Gambar 26 Perhitungan keuntungan petambak
53
x Gambar 27 Perhitungan keuntungan pedagang
53
Gambar 28 Kontribusi agroindustri terhadap PEMDA
54
Gambar 29 Serapan tenaga kerja
55
Gambar 30 Model perhitunga potensi biaya sosial
56
Gambar 31 Model penghitungan jumlah produksi udang kawasan Minapolitan
57
Gambar 32 Model potensi limbah cair kawasan Minapolitan
58
Gambar 33 Model pengukuran potensi limbah padat kawasan Minapolitan
58
Gambar 34 Produksi udang dalam kawasan Minapolitan
61
Gambar 35 Tingkat pemanfaatan kapasitas agroindustri
62
Gambar 36 Keuntungan petambak skenario 1
67
Gambar 37 Keuntungan pedagang kecil skenario 1
68
Gambar 38 Keuntungan pedagang besar skenario 1
68
Gambar 39 Keuntungan agroindustri skenario 1
69
Gambar 40 Pendapatan asli daerah dari agroindustri skenario 1
69
Gambar 41 Serapan tenaga kerja di wilayah Minapolitan skenario 1
70
Gambar 42 Potensi biaya sosial skenario 1
70
Gambar 43 Volume produksi udang di wilayah Minapolitan skenario 1
71
Gambar 44 Prosentase produk udang yang diterima agroindustri skenario 1
71
Gambar 45 Potensi volume limbah cair skenario 1
72
Gambar 46 Potensi limbah padat kawasan Minapolitan skenario 1
72
Gambar 47 Keuntungan petambak skenario 2
73
Gambar 48 Keuntungan pedagang kecil skenario 2
74
Gambar 49 Keuntungan pedagang besar skenario 2
74
Gambar 50 Keuntungan agroindustri skenario 2
75
Gambar 51 Pendapatan asli daerah dari agroindustri skenario 2
75
Gambar 52 Serapan tenaga kerja di wilayah Minapolitan skenario 2
76
Gambar 53 Potensi biaya sosial skenario 2
76
Gambar 54 Volume produksi udang wilayah Minapolitan skenario 2
77
Gambar 55 Fluktuasi produksi udang petambak skenario 2
77
Gambar 56 Prosentase penerimaan udang oleh agroindustri skenario 2
78
Gambar 57 Potensi volume limbah cair skenario 2
78
Gambar 58 Potensi limbah padat di kawasan Minapolitan skenario 2
79
xi Gambar 59 Keuntungan petambak dengan menggunakan bibit kualitas 1
80
Gambar 60 Keuntungan petambak pengguna bibit kualitas 2
80
Gambar 61 Keuntungan pedagang kecil skenario 3
81
Gambar 62 Keuntungan pedagang besar skenario 3
81
Gambar 63 Keuntungan agroindustri
82
Gambar 64 Pendapatan asli daerah dari agroindustri skenario 3
82
Gambar 65 Potensi biaya sosial skenario 3
83
Gambar 66 Serapan tenaga kerja di wilayah Minapolitan skenario 3
83
Gambar 67 Volume produksi udang wilayah Minapolitan skenario 3
84
Gambar 68 Kontinuitas produksi udang petambak skenario 3
85
Gambar 69 Potensi volume limbah cair skenario 3
85
Gambar 70 Potensi limbah padat kawasan Minapolitan skenario 3
86
Gambar 71 Model pengembangan agroindustri udang di kawasan Minapolitan
88
xii DAFTAR TABEL
Tabel 1 Produksi udang nasional
1
Tabel 2 Produksi udang vannamei di Kabupaten Gresik
33
Tabel 3 Analisis kebutuhan elemen sistem
36
Tabel 4 Indikator keberlanjutan pengembangan agroindustri udang di kawasan Minapolitan
41
Tabel 5 Katagorisasi keberlanjutan penyediaan bahan baku
45
Tabel 6 Kegiatan petambak
47
Tabel 7 Kegiatan pedagang kecil
48
Tabel 8 Kegiatan agroindustri
49
Tabel 9 Pola budidaya dan luasan tambak
59
Tabel 10 Analisis usaha pertambakan tradisional plus udang Vannamei perhektar
63
1 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Agroindustri udang merupakan salah satu mata rantai yang penting dalam upaya meningkatkan nilai tambah bagi komoditas udang. Supriyati dan Suryani (2006) menjelaskan bahwa sektor agroindustri perikanan merupakan upaya strategis dalam menciptakan nilai tambah suatu komoditas, membuka lapangan kerja baru, dan mengurangi jumlah pengangguran serta meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Kedudukan agroindustri udang yang strategis perlu terus dikembangkan agar keberadaannya tetap ada, sehingga manfaatnya dapat dirasakan masyarakat secara berkelanjutan. Kondisi berlanjut didasarkan pada paradigma pembangunan keberlanjutan yang meliputi keberlanjutan pada dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan. Apabila salah satu dimensi keberlanjutan tidak terpenuhi maka akan terjadi ketimpangan dan mengakibatkan keberlangsungan agroindustri akan terancam. Salah satu kendala yang dihadapi agroindustri saat ini adalah pasokan bahan baku. Suprapto (1997) menyebutkan bahwa keberlanjutan agroindustri perikanan sangat berhubungan dengan kesinambungan pasokan bahan baku agroindustri. Ketiadaan pasokan bahan baku juga berdampak pada hilangnya kesempatan untuk mendapatkan nilai tambah dari sektor agroindustri udang. Komoditas perikanan budidaya khususnya udang, menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2013, produksi udang terus mengalami peningkatan walaupun sempat terpuruk di tahun 2009. Perkembangan produksi udang nasional seperti terlihat pada Tabel 1. Tabel 1 Produksi udang nasional Tahun Produksi udang (ton) 2007 352.222 2008 410.000 2009 350.000 2010 352.600 2011 399.528 Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2013 Penurunan produksi udang terlihat pada tahun 2009, hanya sebesar 350 ribu ton lebih kecil dari tahun sebelumnya yang mencapai 410 ribu ton. Produksi Tahun 2009 tersebut meleset jauh dari target yang telah ditetapkan sebesar 540 ribu ton. Penurunan produksi udang mengakibatkan terganggunya pasokan bahan baku ke industri pengolahan. Kurangnya pasokan bahan baku berdampak terancamnya keberlanjutan agroindustri udang. Kondisi kurangnya pasokan bahan baku agroindustri udang di Jawa Timur, menyebabkan banyak agroindustri udang beroperasi dibawah kapasitas terpasangnya, bahkan dalam kondisi tertentu tidak beroperasi. Penurunan produksi udang dikarenakan berbagai masalah, mulai dari produktivitasnya rendah, serangan penyakit khususnya virus, permodalan, kelembagaan, dan degradasi kualitas lingkungan menyebabkan terjadinya penurunan produksi udang. Kabupaten Gresik sebagai salah satu produsen udang terbesar di Jawa Timur, tidak lepas dari permasalahan tersebut. Permasalahan tersebut mengakibatkan produksi udang di Kabupaten Gresik menurun. Salah satu usaha yang dilakukan untuk meningkatkan produksi komoditas udang adalah dengan program Minapolitan.
2 Minapolitan merupakan sebuah konsep pembangunan ekonomi berbasis kawasan dan bertumpu pada komoditas unggulan perikanan dan kelautan. Konsep Minapolitan digulirkan pertama kali oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan pada tahun 2009 dengan tujuan meningkatkan produksi perikanan dan keuntungan bagi seluruh stakeholder di suatu kawasan. Pengembangan wilayah ini diharapkan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru di kawasan tersebut. Secara umum konsep pengembangan wilayah ini mengadopsi konsep agropolitan yang dikembangkan pertama kali tahun 1975, dengan pembeda komoditas perikanan yang diusahakan. Friedman dan Douglas (1975) mengembangkan konsep agropolitan berdasarkan atas pengalaman kegagalan pengembangan sektor industri di suatu wilayah. Komoditas perikanan yang diusahakan merupakan komoditas unggulan lokal sebagai basis pengembangan suatu wilayah. Pada tahun 2010 melalui Keputusan Menteri Kelautan No.32/Men/2010 dan No.39/Men/2011 telah menetapkan total 223 kawasan Minapolitan yang tersebar pada 33 Propinsi. Pengembangan konsep kawasan Minapolitan didasarkan pada klaster kabupaten. Kabupaten Gresik merupakan salah satu kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan Minapolitan berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.32/MEN/2010 dengan komoditas yang dikembangkan adalah udang dan bandeng. Komoditas udang ditetapkan sebagai komoditas yang dibudidayakan berdasarkan potensi luasan tambak udang yang dimiliki Kabupaten Gresik dan banyaknya masyarakat yang menggantungkan penghidupannya pada aktifitas pertambakan. Selain itu juga Kementerian Kelautan dan Perikanan pada Tahun 2007 merumuskan konsepsi pengembangan klaster perikanan dengan sepuluh komoditas unggulan salah satu diantaranya adalah komoditas udang. Industri pembekuan udang di wilayah Minapolitan Kabupaten Gresik merupakan industri utama sebagai konsumen komoditas udang yang memberikan nilai tambah menjanjikan. Agroindustri udang mampu memberikan nilai yang tinggi terhadap komoditas udang yang dihasilkan petambak. Tanpa adanya operasi agroindustri udang udang, aktivitas ekonomi kawasan akan terganggu dan mengakibatkan tujuan peningkatan kesejahteraan petambak di kawasan Minapolitan menjadi tidak tercapai. Oleh karena itu diperlukan sebuah terobosan untuk menyelesaikan permasalahan produksi udang tersebut guna meningkatkan peran dan keberlanjutan dari program Minapolitan. Minapolitan sebagai penunjang kerangka model pengembangan agroindustri perikanan perlu terus diperbaiki, agar produksi perikanan bisa meningkat dan berdampak pada peningkatan perekonomian masyarakat suatu wilayah. Namun demikian dalam perkembangannya program Minapolitan kurang menggembirakan. Grahadyarini (2010) menyatakan konsep Minapolitan kurang berkembang disebabkan ketidaksiapan pemerintah daerah dalam melaksanakan program Minapolitan. Program Minapolitan semakin kurang terdengar gaungnya ketika terjadi perubahan kebijakan kementerian yang kemudian lebih memfokuskan pada industrialisasi perikanan sebagai konsep pembangunan kelautan dan perikanan. Upaya pengembangan Minapolitan terus dilakukan, salah satunya melalui pendekatan model berbasis agen. Pendekatan model berbasis agen memiliki kemampuan penyelesaian masalah kompleks dan tidak linier (Twomey dan Cadman, 2002). Bonabeau (2001) menyatakan bahwa pendekatan agen mempunyai akar utama di bidang pemodelan human social behavior dan individual decision making, sehingga pendekatan ini sesuai digunakan dalam penyelesaian permasalahan-
3 permasalahan yang berkaitan dengan kajian perilaku sosial dan pengambilan keputusan. Yasik (2009) menyatakan bahwa pemodelan berbasis agen merupakan pendekatan dari bawah ke atas untuk mempelajari perilaku pelaku yang mempengaruhi sistem yang kompleks. Pendekatan agen merupakan sebuah pendekatan yang cukup baru dalam metodologi ilmiah dalam sebuah penelitian, menurut Axelrod (1997) menyatakan bahwa pendekatan agen merupakan metodologi ilmiah ketiga untuk melakukan penelitian ilmiah, sebagai tambahan metodologi tradisional yang berdasar pada deduktif dan induktif. Beberapa penelitian melibatkan penggunaan agen telah banyak dilakukan dan efektif dalam menyelesaikan suatu permasalahan, baik di bidang ekonomi dan sosial yang mempunyai tingkat kompleksitas yang tinggi. Macy dan Willer (2002) menggunakan pendekatan agen dalam melihat interaksi sosial dalam kehidupan kemasyarakatan dikaitkan dengan aspek lingkungan. Fang (2007) menggunakan pendekatan agen dalam model negosiasi antara penjual dan pembeli pada sistem manajemen rantai pasok. Macal dan North (2007) mengungkapkan bahwa kebutuhan penggunaan pendekatan berbasis agen semakin lama semakin meluas dan meningkat karena sistem yang akan dimodelkan dan dianalisis semakin lama juga semakin kompleks, sehingga pendekatan tradisional tidak cukup mampu menyelesaikan persoalan dengan baik. Selain itu pemodelan berbasis agen mempunyai daya pengorganisasian data lebih baik, dan dengan dibantu perkembangan komputasi semakin tinggi maka proses simulasi menjadi lebih cepat. Banyaknya permasalahan dalam pengembangan Minapolitan Kabupaten Gresik, mulai dari permasalahan pasokan bahan baku, perbedaan kepentingan antar pelaku dalam klaster dan adanya isu-isu lingkungan dalam agroindustri perikanan sebagai paradigma baru dalam pembangunan berkelanjutan, mengakibatkan kompleksitas dalam pengembangan agroindustri udang di kawasan Minapolitan semakin tinggi. Kompleksitas permasalahan tersebut berakar dari keberagaman perilaku dari masing-masing pelaku dalam mensikapi suatu keadaan. Kompleksitas permasalahan tersebut diharapkan dapat dipecahkan melalui pendekatan berbasis agen. Penggunaan kaidah pemodelan berbasis agen, diharapkan dapat mengidentifikasi semua perilaku agen yang ada dalam klaster Minapolitan dan interaksinya, sehingga dapat memprediksi kinerja Minapolitan berdasarkan paradigma pembangunan berkelanjutan. Pendekatan model berbasis agen di wilayah Minapolitan tersebut menghasilkan output berupa model simulasi berbasis agen sebagai penunjang pengambilan keputusan untuk pengembangan agroindustri udang di wilayah Minapolitan. Strategi-strategi yang digunakan dan keputusan yang diambil diharapkan mampu meningkatkan keberlanjutan agroindustri udang di kawasan Minapolitan.
Tujuan Penelitian Rancang bangun model berbasis agen untuk pengembangan agroindustri udang di kawasan Minapolitan mempunyai beberapa tujuan yaitu: 1. Identifikasi pasokan bahan baku dan agen-agen yang berpengaruh terhadap keberlanjutan agroindustri udang di kawasan Minapolitan
4 2. Rancang bangun model berbasis agen untuk menduga keberlanjutan agroindustri udang di kawasan Minapolitan 3. Rekomendasi kebijakan yang komprehensif dalam mewujudkan keberlanjutan agroindustri udang di kawasan Minapolitan
Ruang Lingkup Ruang lingkup penelitian ini adalah membangun sebuah model berbasis agen untuk agroindustri udang di kawasan Minapolitan dengan batasan model yang dibangun meliputi: 1. Lingkup dari model ini adalah rantai pasokan agroindustri udang di kawasan Minapolitan yang dimulai dari tambak udang sampai agroindustri pembekuan udang 2. Komoditas yang dimodelkan merupakan komoditas udang Vannamei hasil budidaya tambak. 3. Obyek penelitian adalah kawasan Minapolitan Kabupaten Gresik.
Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi nyata dalam meningkatkan keberlanjutan agroindustri perikanan khususnya udang dengan meningkatnya kesejahteraan kawasan Minapolitan. Manfaat penting lainnya adalah memberikan kontribusi dalam pengembangan model dan pemilihan strategi berbasis agen untuk pengembangan kawasan yang bertumpu pada komoditas udang Vannamei.
5 2. TINJAUAN PUSTAKA Model Berbasis Agen Pemodelan berbasis agen merupakan sebuah pendekatan baru untuk memodelkan sistem yang terdiri dari agen-agen otonom yang saling berinteraksi. Menurut Axelrod dan Tesfatsion (2005), metode pemodelan berbasis agen memiliki dua sifat yaitu sistem tersusun dari agen-agen yang saling berinteraksi dan sistem menunjukkan kemunculan sifat tertentu yaitu sifat yang timbul dari interaksi agen yang tidak dapat disimpulkan hanya dengan menggabungkan sifat-sifat agen. Menurut Yasik (2009), pemodelan berbasis agen adalah suatu metode yang menggunakan pendekatan dari bawah ke atas (bottom-up) untuk mendapatkan pemahaman mengenai suatu sistem dengan membangun agen yang dirancang untuk meniru secara detil atribut dan perilaku agen di alam nyata. Menurut Macal dan North (2005), akar utama pemodelan berbasis agen tersebut terletak di dalam bidang pemodelan human social behavior dan individual decision making. Pemodelan berbasis agen sebenarnya tidak sama dengan simulasi berorientasi objek, walaupun pemodelan berbasis agen memanfaatkan paradigma berorientasi objek sebagai landasan penting untuk pemodelan agen. Sedangkan jika ditinjau secara historis, pemodelan berbasis agen telah memiliki akar yang kuat di dalam bidang Multi-Agen Systems (MAS) dan robotics dari bidang Artificial Intelligence (AI). Menurut Wahono (2001), secara prinsip sebuah agen atau agen cerdas adalah sebuah perangkat lunak outonomous yang hidup, aktif, dan mampu beradaptasi secara mandiri, proaktif terhadap setiap kondisi lingkungan yang diciptakannya. Pada hakekatnya karakteristik dan atribut dari agen sebagai berikut: 1. Otonom Agen dapat melakukan tugas secara mandiri dan tidak dipengaruhi secara langsung oleh user, agen lain ataupun oleh lingkungan. Pencapaian tujuan dalam melakukan tugasnya secara mandiri, agen harus memiliki kemampuan kontrol terhadap setiap aksi yang mereka perbuat, baik aksi ke luar maupun ke dalam 2. Intelligence, Reasoning, dan Learning Setiap agen harus mempunyai standar minimum untuk bisa disebut agen, yaitu intelegensi. Konsep intelegensia, ada tiga komponen yang harus dimiliki: internal knowledge base, kemampuan reasoning berdasar pada knowledge base yang dimiliki, dan kemampuan belajar untuk beradaptasi dalam perubahan lingkungan. 3. Delegatif Agen bergerak dalam kerangka menjalankan tugas yang diperintahkan oleh user. Fenomena pendelegasian ini adalah karakteristik utama suatu program disebut agen. 4. Reaktif Karakteristik agen yang lain adalah kemampuan untuk bisa cepat beradaptasi dengan adanya perubahan informasi yang ada dalam suatu lingkungan. Lingkungan itu bisa mencakup: agen lain, user, adanya informasi dari luar, dan sebagainya. 5. Proaktif dan Berorientasi Tujuan Agen tidak hanya dituntut bisa beradaptasi terhadap perubahan lingkungan, tetapi juga harus mengambil inisiatif langkah penyelesaian apa yang harus diambil. Untuk itu agen harus didesain memiliki tujuan yang jelas, dan selalu berorientasi kepada tujuan yang diembannya.
6 6. Kemampuan koordinasi dan komunikasi Agen harus memiliki kemampuan berkomunikasi dengan user dan juga agen lain. 7. Mobility dan Stationary Khusus untuk mobile agent harus memiliki kemampuan yang merupakan karakteristik tertinggi yang dimiliki yaitu mobilitas. Berkebalikan dari hal tersebut adalah stationary agent. Namun demikian keduanya tetap memiliki kemampuan untuk mengirim pesan dan berkomunikasi dengan agen lain. Penggambaran agen terlihat pada Gambar 1. Lingkungan
Agen - atribut - aturan prilaku - memori - sumber - pengalaman pembuatan keputusan - aturan untuk modifikasi aturan prilaku
Gambar 1 Agen (Macal dan North,2005) Pemodelan berbasis agen merupakan metodologi ilmiah ketiga untuk melakukan penelitian ilmiah, sebagai tambahan untuk metodologi ilmiah tradisional yang bertumpu pada proses deduktif dan induktif (Axelrod, 1997). Konsep agen diperkenalkan pertama kali oleh Carl Hewitt (1977) dengan concurrent actor model yang menjelaskan bahwa obyek yang dia sebut actor mempunyai karakteristik autonomous, interaktif, dan bisa merespon pesan yang datang dari lain obyek sejenis (Wahono, 2001). Aktor ini kemudian disebut sebagai agen. Konsep ini kemudian berkembang pada tahun 1990 dengan titik fokus pada pemodelan internal agent secara simbolik, interaksi, koordinasi, dan komunikasi antar agen dalam kerangka multi agent system. Selanjutnya pada tahun 1990 sampai sekarang fokus penelitian mengarah kepada pengembangan teori agen, arsitektur agen dan bahasa pemrograman yang digunakan dengan knowledge based technology. Pemodelan menggunakan Sistem Multi Agen telah dilakukan sejak tahun 1996 dengan penggunaan Knowledge Query and Manipulation Language (KQML) untuk pertukaran informasi dan pengetahuan (Barbuceanu, 1996). Sistem Multi Agen tumbuh bersama seiring perkembangan kebutuhan pemodelan dan programming yang memiliki mobilitas tinggi, autonomous, memiliki komponenkomponen program yang loosely coupled, pola kegiatan usaha yang terdistribusi, dan kemampuan untuk mempelajari perilaku strategis dan dinamis (Macal dan North, 2005). Kemudian Sistem Multi Agen berkembang pula sejalan dengan perkembangan sarana dan teknologi kecerdasan buatan. Penggunaan sistem multi agen berkembang tidak hanya pada bidang engineering dan robotics, bahkan berkembang ke bidang ekonomi, dan sosial. Perkembangan penggunaan sistem multi agen karena sifatnya yang memberi keleluasaan bertindak dan berperan kepada aktor sesuai dengan kondisi yang dihadapi dan tujuan yang ingin dicapai. Sistem multi agen memungkinkan kemampuan belajar seperti halnya pendekatan neural network
7 dengan diberikan kumpulan data untuk dikuasai polanya, kemudian dapat bertindak terhadap data yang dimasukkan kemudian menggunakan prosedur atau logika yang telah diperbaharui. Happe (2004) melakukan penelitian sistem multi agen dengan mempelajari dan menyusun model berbasis agen dari perilaku para aktor perkebunan dalam perundingan harga dan biaya produk, kebijakan struktural pertanian agar sesuai dengan persyaratan Eropa. Penelitian yang sama dilakukan oleh Fang (2007) menggunakan pendekatan agen untuk pemodelan negosiasi penjual dan pembeli dalam managemen rantai pasok. Pembeli harus bernegosiasi dengan banyak calon pemasok dan harus membagi pesanannya ke beberapa pemasok yang berbeda sesuai dengan hasil negosiasi. Beberapa penelitian terakhir menunjukkan bahwa konsep agen mulai banyak digunakan dalam berbagai bidang, mulai sektor ekonomi, sosial, dan lingkungan. Penelitian North et al. (2002) menggunakan EMCAS, sebuah model simulasi berbasis agen untuk melihat pasar energi listrik di Illinois untuk menyelidiki restrukturisasi pasar, deregulasi dan memahami dampak terhadap pasar yang semakin kompetitif terhadap harga, ketersediaan dan kehandalan energi listrik. Konsep agen juga digunakan penyelesaian permasalahan manajemen rantai pasok dengan menggunakan agen untuk mewakili keanekaragaman peran dan fungsi aktor dalam sistem angkutan, bagaimana mereka berinteraksi melalui pasar dan bagaimana interaksi antara aktor yang ditetapkan di pasar melalui kontrak, biaya logistik, pemilihan jasa pengiriman pihak ketiga, dan jalur sistem baru dalam rantai pasokan dapat disimulasikan beserta skenario kebijakan yang akan diambil. (Roorda et al. 2010). Putro et al. (2009) menggunakan simulasi berbasis agen SOARS (spot oriented agent role simulator) dalam mensimulasikan interaksi dinamis antara unggas dengan aktivitas manusia dalam penyebaran flu burung di Bandung. Hasil penelitian berupa kebijakan dalam mengatasi berkembangnya wabah flu burung di Bandung. Simulasi model berbasis agen SOARS dikenalkan pertama kali oleh Tanuma et al. (2005) merupakan sebuah bahasa simulasi pemrograman untuk pemodelan berbasis agen pada ranah sosial dan organisasi. Konsep ini menurut Tanuma digunakan untuk menjembatani kesenjangan antara pendekatan fungsional dan pendekatan dari bawah (bottom up approach). Konsep SOARS dibangun dari dua komponen yaitu agen dan kedudukan agen. Masing masing komponen mempunyai beberapa variabel yang melekat pada masing masing komponen tersebut. Dua komponen dasar tersebut terlihat pada Gambar 2.
8 Aturan
Aturan
Lainnya - Tahapan - Waktu - Formulasi Matematika
Lokasi Agen Variabel
Variabel
- Kata kunci - Nilai Numerik - Kumpulan - Daftar - Nilai Kemungkinan - Variabel lokasi - Variabel kelas
- Kata kunci - Nilai Numerik - Kumpulan - Daftar - Nilai Kemungkinan - Variabel lokasi - Variabel kelas
Gambar 2 Komponen dasar SOARS (Deguchi, 2006) Variabel-variabel yang ada pada masing-masing komponen merupakan informasi tentang keadaan agen dan tempat interaksinya, nilai riil yang ada di lapangan, desain akses antar agen dan nilai kemungkinan dari agen dan interaksinya. Tahapan simulasi model menggunakan SOARS dimulai dengan menentukan waktu kegiatan yang disebut sebagai tahapan (stage). Kemudian membagi setiap tahapan menjadi beberapa tahapan mulai dari mengidentifikasi, memproses dan memutuskan. Pembagian tahapan tersebut bisa menggunakan tahap awal, tahap utama, dan tahap akhir dari sebuah simulasi. Setiap tahapan, agen dan kedudukan agen melaksanakan aktivitas dan berperan aktif, mengikuti beberapa aturan yang telah dibuat dan digunakan. Tahapan pemodelan SOARS dapat dilihat pada Gambar 3. Aturan Agen
Aturan Agen
Aturan Agen
Aturan Aturan Agen
Aturan lokasi
Aturan lokasi
Aturan lokasi
Aturan Aturan Lokasi
Tahap 1 Tahap
Langkah langkah
Tahap 2
jika
Lain jika
Aturan
kondisi
Lain jika kondisi
kondisi
Tahap ke-n maka
maka
perintah
maka perintah
perintah
Gambar 3 Tahapan model SOARS (Deguchi, 2006)
Klaster Minapolitan Klaster industri merupakan penggabungan berbagai kelompok industri yang kompetitif dimana dalam proses kegiatannya saling terkait baik secara horizontal
9 maupun vertikal (EDA, 1997). Bappenas (2004) memberi batasan klaster sebagai konsentrasi geografis antara perusahaan yang saling terkait dan bekerjasama dalam hal antara lain pemasok barang, penyedia jasa, industri terkait, serta beberapa institusi pendidikan dan bidang khusus misalnya lembaga standarisasi dan lain lain sebagai pelengkap. Porter (1998) mengemukakan klaster industri sebagai konsentrasi geografis dari perusahaan-perusahaan yang saling berhubungan, penyedia jasa pendukung dan berbagai institusi yang mendukung kegiatan sebuah industri. Klaster industri memiliki beberapa komponen pengisi yang mempunyai peran masing-masing, terdapat industri inti, industri pemasok kepada pelaku industri inti, industri pendukung bagi industri inti, lembaga jasa layanan. Semua kompenen saling berhubungan secara intensif dan membentuk kerja sama antar masing masing komponen. (Bergman dan Feser, 2000). Pengembangan klaster industri memberikan manfaat ekonomi yang signifikan dan meningkatkan daya saing industri. Beberapa manfaat diantaranya adalah meningkatkan efisiensi dan produktivitas bagi perusahaan dalam sebuah klaster, disertai dengan peningkatan kemampuan inovasi yang melibatkan lembaga penelitian. Manfaat lain adalah klaster memiliki keunggulan dalam memanfaatkan aset sumber daya secara kolektif untuk mendorong diversifikasi produk dan mendorong terjadinya spesialisasi produksi sesuai dengan kompetensi inti serta mendorong transformasi keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif (Porter, 1998). Pendekatan klaster industri dalam mendukung peningkatan daya saing komoditas, tertuang dalam salah satu agenda kebijakan yang merupakan prioritas pembangunan nasional sesuai dengan UU No. 25 Tahun 2000 dan tetap menjadi agenda utama dalam pengembangan ekonomi lokal dalam Rencana pembangunan jangka Menengah Nasional tahap kedua Tahun 2010 – 2014 (Bappenas, 2008). Program revitalisasi perikanan, konsep klaster industri dapat digunakan dalam meningkatkan peran sektor perikanan dalam pembangunan nasional. Konsep Klaster industri perikanan menekankan keterlibatan dan keterkaitan seluruh stakeholder dalam pengelolaan industri perikanan mulai industri hulu sampai industri hilir. Mereka terdiri dari elemen masyarakat lokal, pemerintah daerah, pihak perguruan tinggi maupun lembaga riset lainnya, investor, dan berbagai stakeholder lainnya yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung. Minapolitan dalam Renstra Kementerian Kelautan dan Perikanan 2010-2014 merupakan upaya percepatan pengembangan pembangunan kelautan dan perikanan yang bertujuan sebagai berikut: 1. Meningkatkan produksi perikanan, produktivitas usaha, dan meningkatkan kualitas produk kelautan dan perikanan, 2. Meningkatkan pendapatan nelayan, pembudidaya dan pengolah ikan yang adil dan merata, 3. Mengembangkan kawasan Minapolitan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di daerah dan sentra-sentra produksi perikanan sebagai penggerak ekonomi rakyat. Konsep Minapolitan dikuatkan melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No 18/men/2011 menyatakan Minapolitan adalah konsep pembangunan kelautan dan perikanan berbasis wilayah dengan komoditas utama produk kelautan dan perikanan. Sebagai adopsi dari Agropolitan, konsep Minapolitan didefinisikan sebagai kawasan perdesaan yang disiapkan, mempunyai kelengkapan sarana dan prasarana dalam menunjang pengembangan kawasan melalui pembentukan titik tumbuh suatu klaster
10 kegiatan perikanan dengan sistem agribisnis berkelanjutan yang meliputi produksi, pengolahan dan pemasaran, sampai jasa lingkungan sebagai sistem kemitraan di dalam satu wilayah (CPRI, 2010). Konsep Minapolitan merupakan sebuah konsep pengembangan wilayah yang didasarkan paradigma baru pembangunan berkelanjutan pada pengembangan suatu wilayah. Menurut Djakapermana (2010) pengembangan wilayah dewasa ini didasarkan pada optimasi pemanfaatan sumberdaya yang dimiliki suatu wilayah secara harmonis, serasi dan terpadu melalui pendekatan yang komprehensif mencakup aspek fisik, ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan hidup untuk pembangunan berkelanjutan. Kawasan Minapolitan ini terdiri dari sentra-sentra produksi, perdagangan komoditas kelautan dan perikanan, jasa, perumahan, serta kegiatan lain yang terkait. Kriteria Minapolitan meliputi wilayah pesisir dan perairan daratan, yang mempunyai wilayah inti dibangunnya agroindustri pengolahan. Industri inti mengelola komoditas unggulan yang dapat mendatangkan manfaat ekonomi, bagi masyarakat maupun perusahaan dan sekaligus memberikan manfaat untuk pengembangan agroindustri secara keseluruhan. Tujuan Minapolitan dalam pedoman umum Minapolitan ditujukan untuk mendorong percepatan pengembangan wilayah melalui kegiatan perikanan sebagai kegiatan utama, meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat hinterland yang dikembangkan. Pengembangan tidak saja on farm tetapi juga off farm seperti sarana perikanan dan jasa penunjang lainnya. Konsep Minapolitan dikembangkan melalui prinsip prinsip kerakyatan dan keadilan, keswadayaan, kewirausahaan dan profitabilitas, kemitraan saling memberdayakan dan prinsip keberlanjutan. Pengembangan Minapolitan harus didukung berbagai pihak mulai dari pemerintah pusat dan daerah, investor, perguruan tinggi dan lembaga riset, masyarakat lokal dan berbagai stakeholder yang terkait secara langsung maupun tidak langsung seperti terlihat pada Gambar 4. Stakeholder Perguruan Tinggi Pemasaran
Teknologi
Pembiayaan Dana Bergulir
LKM
UMKM
Ventura
Bank
Koperasi
Kelompok Petani Ikan / Petambak Petambak
Petambak
Petambak
Pemberdayaan Masyarakat/ Pendampingan
Gambar 4 Konsep pengembangan Minapolitan (CPRI,2010)
11 Konsep pengembangan Minapolitan yang digagas CPRI lebih menekankan bagaimana pemberdayaan kelompok petambak dalam usaha meningkatkan produksi perikanan. Hal ini memang menjadi focus pengembangan, namun demikian hal penting yang perlu menjadi perhatian adalah kelompok pedagang di kawasan Minapolitan yang kurang mendapatkan perhatian dalam skema pengembangan. Kelompok pedagang mempunyai peranan yang penting dalam menyalurkan produksi udang petambak ke agroindustri udang sebagai industri inti dalam kawasan Minapolitan. Pengembangan tanpa memperhatikan keberadaan pedagang tentunya akan mengakibatkan terganggunya sistem rantai pasokan dalam kawasan Minapolitan. Karena itu perlunya perhatian lebih dalam pengembangan Minapolitan, sehingga nantinya diharapkan sistem rantai pasokan dapat berjalan lebih optimal.
Manajemen Rantai Pasok (Supply Chain Management) Menurut Simchi-Levi et al. (2000) manajemen rantai pasok adalah sebuah pendekatan yang dipakai untuk mengintegrasikan aktivitas supplier, pabrikan, pergudangan dan konsumen. Integrasi tersebut agar produk dan jasa yang dihasilkan dapat didistribusikan dengan jumlah, tempat dan waktu yang tepat. Tujuan akhir adalah meminimalkan keseluruhan biaya dan meningkatkan kualitas pelayanan kepada konsumen. Terdapat tiga jenis aliran dalam sistem rantai pasok yaitu aliran barang, aliran uang dan aliran informasi. Aliran barang berawal dari penghasil barang menuju ke konsumen, aliran uang merupakan kebalikan dari aliran barang yaitu dari konsumen ke penghasil barang. Aliran informasi dalam sistem rantai pasok bisa terjadi dua arah, dari produsen ke konsumen dan sebaliknya. Gambaran aliran dalam sistem rantai pasok ditunjukkan pada Gambar 5. Aliran Informasi
Tambak Tambak Udang Udang
Pedagang Pedagang
Industri Industri pengolahan pengolahan
Pasar Pasar
Konsumen
Aliran Aliran Kebutuhan Kebutuhan // Uang Uang Aliran Aliran Pasokan Pasokan
Gambar 5 Aliran rantai pasok Salah satu faktor kunci dalam meningkatkan performa sistem rantai pasok adalah aliran informasi tentang produk yang dibutuhkan oleh konsumen. Kecepatan aliran informasi sangat menentukan tingkat efektifitas proses pengadaan barang dan jasa. Pertukaran data dan informasi yang akurat dan cepat hanya bisa difasilitasi oleh penggunaan informasi teknologi yang terintegrasi dari mulai pabrikan, supplier, transporter, sampai dengan konsumen. Menurut Austin (1981) agroindustri adalah pusat dari rantai pertanian yang penting. Agroindustri membutuhkan pasokan bahan baku yang berkualitas dan
12 jumlah yang sesuai dengan kebutuhan. Menurut Brown (1994) untuk mendapatkan pasokan bahan baku kualitas maka diperlukan standar dasar komoditas, sedangkan kuantitas pasokan perlu memperhatikan produktivitas tanaman. Setiap perusahaan diposisikan dalam sebuah lapisan jejaring dan keterlibatan minimal satu rantai pasok, sehingga bisa dalam satu waktu terjadi proses pararel dan sekuensial (Vorst, 2004). Gambar 6 merupakan aliran bahan di setiap tingkatan rantai pasok dalam konteks jejaring rantai pasok pertanian menyeluruh.
Pemangku Kepentingan lainnya
Agroindustri
Pedagang Besar
Pedagang Kecil
Petambak
Gambar 6 Skema rantai pasok pertanian (Vorst, 2004) Menurut Heizer dan Render (2001), sebuah perusahaan harus memutuskan strategi rantai pasokan dalam memenuhi kebutuhan produksinya. Strategi pertama adalah negosiasi dengan banyak pemasok dan memainkan satu pemasok dengan yang lainnya. Strategi yang kedua adalah mengembangkan hubungan jangka panjang bekerja sama dengan sedikit pemasok yang akan bekerja sama dengan pembeli untuk memuaskan pelanggan akhir. Strategi yang ketiga adalah integrasi vertikal, dimana perusahaan dapat memutuskan untuk menggunakan integrasi vertikal ke belakang dengan membeli pemasoknya. Strategi yang keempat adalah kombinasi beberapa pemasok dan integrasi vertikal, dimana pemasok menjadi bagian koalisi perusahaan. Terakhir, strategi kelima adalah mengembangkan perusahaan-perusahaan maya. Ballou (2004) menambahkan pendekatan yang inovatif dalam strategi rantai pasokan dapat memberikan keunggulan kompetitif pada perusahaan. Porter (1980) menyatakan bahwa persaingan dapat dipandang sebagai pengelolaan sumberdaya sedemikian rupa sehingga melampaui kinerja kompetitor. Untuk melaksanakannya, perusahaan perlu memiliki keunggulan kompetitif yang merupakan jantung kinerja perusahaan dalam sebuah pasar yang semakin kompetitif. Keunggulan kompetitif akan dapat dicapai bila perusahaan mampu memberikan customer value yang lebih tinggi dari kompetitor untuk biaya yang sama atau customer value yang sama untuk biaya yang lebih rendah. Analisa rantai pasok erat kaitannya dengan rantai nilai komoditas. Rantai nilai merupakan sebuah rangkaian kegiatan untuk mengubah bahan baku menjadi barang jadi yang memiliki nilai tambah bagi pelanggan. Analisis rantai nilai sangat bermanfaat untuk menciptakan keunggulan kompetitif dalam kondisi persaingan yang semakin ketat, karena rantai nilai mengidentifikasi hubungan internal dan eksternal sehingga dapat membantu perusahaan dalam mencapai keunggulan biaya
13 maupun dengan strategi diferensiasi. Jadi esensi analisis rantai nilai adalah menentukan secara tepat dimana segmen perusahaan dalam rantai mulai dari desain sampai dengan distribusi. Identifikasi sumber-sumber dan potensi keunggulan kompetitif bagi suatu perusahaan, diperlukan suatu alat analisis yang disebut konsep rantai nilai (Porter, 1985). Analisa rantai nilai perusahaan dapat menentukan dan mengidentifikasi hubungan yang terdapat dalam perusahaan, baik hubungan eksternal maupun hubungan internal. Hubungan internal akan menjaga keterkaitan antara aktivitasaktivitas yang dilakukan oleh perusahaan sebagai bagian dari rantai nilai, sedangkan hubungan eksternal akan menjaga keterkaitan antara aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan dengan pemasok dan konsumennya. Porter (1993) membagi aktivitasaktivitas kedalam dua kategori. Pertama adalah aktivitas primer, merupakan aktivitas yang berkaitan dengan penciptaan fisik produk, penjualan dan distribusin serta layanan purnajual. Aktivitas ini terdiri dari inbound logistics, kegiatan operasi, outbound logistics, pemasaran dan penjualan serta pelayanan. Kedua adalah aktivitas pendukung, merupakan aktivitas yang menyediakan dukungan bagi berlangsungnya aktivitas primer. Aktivitas ini terdiri dari pengadaan dan pembelian, pengembangan teknologi, manajemen sumber daya manusia) dan infrastruktur perusahaan.
Agroindustri Udang Berkelanjutan Keberlanjutan adalah suatu keadaan berkesinambungan dimana kegunaan yang diperoleh dari suatu obyek atau sumberdaya pada masa mendatang tidak berkurang dibandingkan saat ini (Fauzi, 2006). Keberlanjutan merupakan permasalahan yang kompleks karena mencakup berbagai aspek atau dimensi keberlanjutan, seperti dimensi sosial, ekonomi dan lingkungan (Hall, 2002). Penilaian keberlanjutan yang hanya menitikberatkan pada salah satu dimensi saja ternyata menyebabkan ketimpangan dan berdampak buruk pada dimensi lainnya. Sebagai contoh, kemajuan industri dan pembangunan yang sangat pesat pada pertengahan abad ke-20 dibanyak negara di dunia, telah memberikan keuntungan finansial dan ekonomi yang sangat besar, justru berdampak terhadap pencemaran lingkungan dan pengurasan sumberdaya alam sehingga berpengaruh buruk terhadap berlangsungnya industri itu sendiri, lingkungan dan sumberdaya yang dirasakan pada tahun 1980-an (Glavic dan Krajnc, 2003). Soekartawi (2002) menyatakan bahwa keberlanjutan mencakup tiga dimensi yaitu ekonomi, sumberdaya dan sosial. Agroindustri berkelanjutan jika secara ekonomi mempunyai produktivitas dan keuntungan yang dapat ditingkatkan dalam waktu yang relatif lama (nacessary) sehingga dapat mencukupi kebutuhan masa sekarang dan akan datang. Agroindustri berkelanjutan berkaitan dengan terjaganya sumberdaya atas ketersediaan bahan baku yang lestari (sufficient) dan peduli terhadap lingkungan dengan meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan. Paradigma pembangunan berkelanjutan mengandung tiga dimensi utama meliputi dimensi ekonomi, ekologi dan sosial. Suatu kawasan pembangunan secara ekonomi berkelanjutan jika kawasan tersebut mampu menghasilkan barang dan jasa secara berkesinambungan, menghindarkan ketidakseimbangan ekstrim antar sektor yang dapat mengakibatkan kehancuran produksi sektor primer, sektor sekunder, dan sektor tersier. Dimensi ekologi dapat dikatakan berkelanjutan jika sumberdaya
14 alamnya dapat dipelihara secara stabil, tidak terjadi eksploitasi berlebihan, tidak terjadi pembuangan limbah yang melampaui batas asimilasi lingkungan. Dimensi ekologi pada pemanfaatan sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui dikatakan berkelanjutan jika diiringi dengan upaya pengembangan bahan subtitusinya secara memadai. Suatu kawasan secara sosial dikatakan berkelanjutan apabila seluruh kebutuhan dasar bagi semua penduduk terpenuhi, terjadi distribusi pendapatan, terbukanya kesempatan berusaha secara adil, kesetaraan gender, dan terdapatnya akuntabilitas serta partisipasi politik (Dahuri, 2003). Konsep keberlanjutan dalam konteks industri, dapat ditetapkan untuk industri sebagai bagian dari strategi bisnis untuk mencapai keberhasilan perusahaan dalam jangka panjang. Terminologi pembangunan berkelanjutan saat ini, semakin berkembang seiring dengan peningkatan kesadaran terhadap arti penting keberlanjutan. Ometto et al. (2007) mengembangkan sistem simbiosis agroindustri gula tebu dengan menggunakan dimensi ekonomi, sosial, lingkungan, prosedur operasional, serta politik dan kelembagaan sebagai upaya meningkatkan keberlanjutan agroindustri gula. Dimensi lingkungan seperti penggunaan energi, air dan limbah, dimensi sosial meliputi persamaan hak, etika perdagangan, dan dimensi ekonomi meliputi keahlian tenaga keja, dan inovasi berbasis pengetahuan digunakan oleh Defra (2006) sebagai langkah untuk strategi keberlanjutan industri pangan. Komoditas udang Indonesia pernah mencatat masa keemasan sekitar tahun 1980 an, ditandai dengan komoditas udang windu menjadi primadona ekspor yang menyumbang 15 persen dari total ekspor nonmigas. Pada tahun 1985 sampai 1988, misalnya, terjadi kenaikan ekspor udang dari 30.800 ton senilai 202,3 juta dollar AS menjadi 56.552 ton senilai 499,85 juta dollar AS. Produksi udang Indonesia mencapai 410 ribu ton di tahun 2008 dengan total nilai Rp10 triliun. Namun demikian, puncak produksi udang tidak diikuti dengan upaya mempertahankan mutu induk, perbaikan kualitas tambak, dan daya dukung lingkungan sehingga pada tahun 2009 produksi udang nasional sekitar 350 ton, produksi ini menurun dari target yang telah di tetapkan sebesar 540 ton (Nurdjana, 2010). Penurunan produksi udang mengakibatkan beberapa perusahaan pengolahan udang berhenti beroperasi. Sejak awal tahun 2009, jumlah perusahaan pengolahan udang di Indonesia yang masih beroperasi telah menurun drastis hingga kurang dari 50% dari jumlah semula. Sebagai gambaran di wilayah Sulawesi Selatan pada tahun 2006 terdapat 13 perusahaan pengolahan sedangkan saat ini hanya tersisa 6 perusahaan. Hal yang sama terjadi di wilayah Jawa Timur dimana industri pengolahan yang sebelumnya berjumlah 35 di tahun 2006, saat ini hanya sekitar 16 perusahaan yang masih aktif. Di samping jumlah perusahaan yang berkurang drastis, produksi yang dihasilkan oleh setiap perusahaan pun semakin berkurang sehingga hanya 30-50 % dari kapasitas terpasang. Saat ini sebagian besar industri hanya bisa mengolah 3-5 ton udang per hari atau sekitar 1000 ton per tahun (Ilman, 2010). Berbagai upaya telah banyak dilakukan baik oleh pemerintah maupun oleh pihak swasta untuk meningkatkan produksi udang. Salah satu upaya yang ditempuh adalah dengan mengusahakan jenis udang baru yang dianggap memiliki peluang pasar ekspor, cepat tumbuh dan tahan terhadap penyakit. Adanya udang jenis baru dan budidaya udang dalam tambak intensif dapat meningkatkan harapan peningkatan produksi udang. Hampel dan Winther (1997) menyatakan bahwa budidaya udang di tambak dapat dilakukan dengan beberapa sistem yaitu ekstensif (tradisional), semi intensif dan intensif, bahkan akhir-akhir ini berkembang sistem super intensif.
15 Perbedaan dari setiap sistem tersebut terletak pada padat penebaran, pola pemberian pakan dan sistem pengelolaan air dan lingkungan. Hingga saat ini tidak terdapat data resmi yang jelas mengenai luas lahan yang masih aktif beroperasi dan teknologi pengelolaannya. Berdasarkan hasil pemantauan WIIP (Wetlands International Indonesia Programme) ke wilayah-wilayah Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi, diperkirakan sekitar 70 persen luasan pertambakan nasional dikelola secara ekstensif. Tambak-tambak ini umumnya tersebar disepanjang pesisir timur Sumatera, pesisir utara Jawa, pesisir Sulawesi selatan, dan pesisir timur Kalimantan. Tambak-tambak dengan teknologi ekstensif menghasilkan panen dalam jumlah yang sangat kecil, antara 10 – 100 kg/ha/musim (Ilman, 2010).
Kelembagaan Permodalan Lembaga permodalan sering dipandang sebagai kelembagaan pendukung agribisnis yang strategis, mengingat satu kelemahan utama petambak saat ini adalah kurang kuat dalam permodalan karena keterbatasan akses ke lembaga permodalan baik itu akses informasi, tempat dan pengetahuan. Dengan kondisi seperti ini, proses adopsi inovasi teknis berjalan kurang optimal karena ketidakmampuan petambak dalam permodalan. Kondisi di lapang menunjukkan bahwa pada dasarnya petambak mempunyai kemampuan dan kemauan untuk menabung, namun petambak tidak mempunyai sistem dan mekanisme yang rapi untuk membangun modal sendiri. Padahal potensi untuk melakukan aktivitas menabung tinggi, terlihat dengan seringnya petambak ikut iuran atau arisan pada komunitas dan acara tertentu. Dengan demikian petambak sebenarnya mempunyai kapasitas untuk menyisihkan hasil usaha mereka. Lembaga Keuangan Mikro (LKM) didefiniskan sebagai lembaga yang melakukan kegiatan penyediaan jasa keuangan kepada pengusaha kecil dan mikro serta masyarakat desa yang tidak terlayani oleh Lembaga Keuangan formal. Saat ini sudah berkembang banyak lembaga keuangan mikro yang dikelola oleh perbankan, pemerintah dan swasta. Banyaknya jenis lembaga keuangan mikro yang tumbuh dan berkembang di Indonesia menunjukkan bahwa lembaga keuangan mikro sangat dibutuhkan oleh masyarakat, terutama kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dan tidak terjangkau oleh lembaga keuangan formal. Keberadaan lembaga ini telah mengubah dinamika masyarakat dimana lembaga ini telah menumbuhkan minat masyarakat di pedesaan untuk berusaha atau menumbuhkan pengusaha-pengusaha kecil di pedesaan. Keberadaan lembaga keuangan mikro diharapkan mampu mencakup dua profil sekaligus, yaitu antara institusi sosial yang berpihak kepada masyarakat miskin tanpa memandang bankable atau tidak, dan institusi komersial yang memperhatikan efisiensi serta efektifitas dalam penyaluran dana keuangannya. Meski berperan sebagai institusi sosial, LKM dapat menjadi institusi komersial dengan cara meminimisasi biaya transaksi dan dengan bantuan kelompok swadaya masyarakat dalam mengkoordinir anggotanya. Faktor kedekatan dengan pihak nasabah dan fleksibilitas aturan, menyebabkan biaya operasional dapat ditekan. Lembaga keuangan mikro telah lama menjadi sarana yang efektif untuk mengembangkan ekonomi rakyat dan memberdayakan rakyat kecil. Keberadaan LKM tersebut ditujukan untuk memenuhi kebutuhan modal dan kebutuhan pelayanan keuangan lain bagi ekonomi rakyat yang terbiasa menggunakan metoda dan prosedur sesuai
16 kebutuhannya. Keuangan mikro merupakan pendekatan terbaik dalam menanggulangi kemiskinan, karena dapat berfungsi sebagai lembaga yang menyediakan berbagai jasa keuangan, baik untuk kegiatan produktif untuk kegiatan usaha mikro, maupun untuk kegiatan konsumtif keluarga masyarakat miskin tersebut. Pengembangan LKM diharapkan mampu membantu memecahkan masalah permodalan UMKM yang sebenarnya juga terbentur masalah permodalan. Belum adanya jaringan antara LKM dengan institusi keuangan lainnya menjadi salah satu sebab sulitnya LKM mengembangkan diri. Salah satu pengembangan lembaga permodalan adalah dengan menggabungkan berbagai institusi dalam menopang permodalan dalam LKM, CPRI (2010) mengembangkan model lembaga permodalan yang investasinya merupakan gabungan modal (Blending Financing, Gambar 7) yang dapatkan dari lembaga lembaga permodalan pemerintah seperti PEMP, PNPM, LBDP, perbankkan misalnya KUR Mikro, KKP-E, investor dari perusahaan melalui CSR nya (Corporate Sosial Responsibility), dan dukungan dana dari masyarakat sebagai pelaku bisnis. Dukungan dari semua pihak yang terlibat ini diharapkan usaha untuk mengembangkan dan memajukan usaha yang didanai dari lembaga permodalan yang dibentuk dapat tercapai. Berkembangnya usaha nantinya, diharapkan masyarakat merasakan manfaat pembangunan, akan menumbuhkan rasa memiliki pada setiap pembangunan yang ada, sehingga keberlanjutan program pembangunan akan lebih terjamin. USAHA MIKRO PERIKANAN Individu Petani Ikan
Kelompok Petani Ikan
produk Agroindustri/ Industri
Koperasi Petani Ikan Capacity building
kredit
Lembaga Pendampingan
pembiayaan
kredit
Infrastruktur
LKM
PEMP Kem. Kelautan dan Perikanan
PEMDA
CSR Swasta
BANK
Gambar 7 Blending financing (CPRI, 2010)
Pemodelan dan Simulasi Model adalah suatu bentuk yang dibuat untuk menirukan suatu gejala atau proses (Sushill, 1993). Menurut Eriyatno (1999) model didefinisikan sebagai suatu perwakilan atau abstraksi dari sebuah obyek atau situasi aktual. Model memperlihatkan hubungan-hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istilah sebab-akibat. Salah satu dasar utama untuk mengembangkan model adalah untuk menemukan peubah-peubah yang penting dan tepat. Penemuan peubah tersebut erat hubungannya dengan pengkajian hubungan-
17 hubungan yang terdapat diantara peubah-peubah. Formulasi model bertujuan untuk mendapatkan model logis yang dapat merepresentasikan sistem nyata. Pemodelan merupakan alat uji sistem yang dikembangkan untuk memudahkan mempelajari perilaku suatu sistem. Asyiawati (2002) menjelaskan secara rinci tujuan pemodelan adalah sebagai berikut : 1 Mempelajari gejala-gejala tertentu yang belum ada landasan teorinya. 2 Memecahkan persoalan matematik dari suatu gejala. 3 Mencari hubungan antara dua teori yang tidak berkaitan, dengan menggunakan salah satu teori yang lain atau dengan membuat satu model untuk kedua teori tersebut. 4 Melakukan generalisasi terhadap suatu teori tertentu. 5 Memperjelas teori tentang gejala-gejala tertentu. 6 Mempelajari sistem yang terlampau kecil, terlampau besar atau terlampau berbahaya jika dilakukan eksperimen langsung. 7 Untuk menjembatani kesenjangan antara gagasan yang terlalu abstrak dengan pengamatan nyata atau realitas faktual. Model dapat dibedakan menjadi banyak katagori, tergantung dari jenis, dimensi, fungsi, tujuan pokok pengkajian maupun derajat keabstrakannya. Menurut jenisnya model terdiri dari model fisik, diagramatik maupun matematik. Menurut Sushill (1993), pengkatagorian model berdasarkan teknik pemodelannya dapat dikelompokkan atas : 1 Model stokastik, yaitu model yang didasarkan atas teori peluang dan didukung oleh data dan informasi historis yang tidak menentu (uncertainly) untuk melihat peluang di masa mendatang. 2 Model deterministik, yaitu model yang mengasumsikan parameter dari hubungan persamaan ataupun pertidaksamaan secara pasti atau ditentukan untuk melihat tujuan dalam bentuk fungsi matematik. Model yang telah dibuat kemudian dilakukan simulasi dan validasi. Simulasi dapat diartikan sebagai suatu sistem yang digunakan untuk memecahkan atau menguraikan persoalan-persoalan dalam kehidupan nyata yang penuh dengan ketidakpastian. Simulasi yang dijalankan lebih ditekankan pada pemakaian komputer untuk mendapatkan solusinya (Kakiay, 2004). Sushill (1993) selanjutnya menyatakan bahwa simulasi bertujuan untuk memahami gejala atau proses, membuat analisis dan peramalan perilaku gejala atau proses tersebut dimasa depan. Menurut Render dan Stair (1994) simulasi merupakan alat analisis yang secara luas telah banyak digunakan oleh pengambil keputusan dengan berbagai alasan. Simulasi mempunyai beberapa keuntungan sebagai berikut : 1 Simulasi merupakan alat analisis yang efisien dan flekibel. 2 Dapat digunakan untuk menganalisis model-model quantitatif yang kompleks dan rumit yang tidak dapat diselesaikan dengan menggunakan metode analitik. 3 Menghemat waktu dan sumberdaya karena dilakukan dengan komputer dan menggunakan model dan tidak berhubungan langsung dengan dunia nyata. 4 Simulasi dapat digunakan untuk melakukan studi pengaruh beberapa variabel untuk menetapkan yang mana variabel yang paling berpengaruh atau penting. 5 Simulasi memungkinkan penggunaan skenario-skenario yang atraktif sehingga membantu memberikan alternatif keputusan. 6 Dapat dilakukan berulang-ulang dengan mengubah variabelnya sehingga perilaku sistem pada berbagai keadaan dapat diketahui.
18 Validasi merupakan penyimpulan apakah model sistem tersebut merupakan perwakilan yang sah dari realitas yang dikaji dimana dapat dihasilkan suatu kesimpulan yang meyakinkan. Validasi merupakan suatu proses yang iteratif yang berupa pengujian-pengujian sebagai proses penyempurnaan model. Hasil validasi akan menimbulkan proses perbaikan dan reformulasi model (Sushill, 1993).
Penelitian Terdahulu dan Posisi Strategis Penelitian Penelitian Terdahulu Pendekatan berbasis agen telah banyak digunakan dalam beberapa penelitian baik di dalam negeri maupun di luar negeri dalam menyelesaikan sebuah permasalahan. Beberapa kajian penelitian baik bidang sosial, ekonomi dan lingkungan bahkan kemiliteran telah dilakukan. Weidlich, A dan Veit, D (2008) menggunakan pendekatan agen dalam menyelesaikan permasalahan pasar energi listrik yang sangat dinamis dengan keterkaitan berbagai sektor yang komplek. Weidlich, A dan Veit, D mengembangkan apa yang disebut Agent Based Computational Economic (ACE) dalam mensimulasikan pasar energi listrik dengan menganalisis struktur pasar dan desain pasar dalam keseluruhan perdagangan energi listrik dengan menggunakan software agen Distributed Artificial Intelligence (DAI) dan Multi-Agent Systems (MAS). Pendekatan agen digunakan juga dalam Penelitian yang dilakukan oleh Garro dan Russo (2010) dengan menggunakan metode easyABMS dalam menyelesaikan permasalahan logistik menyangkut analisa kebijakan dalam mengelola kendaraan di terminal untuk menanggulangi penumpukan kontainer. Syairudin, et al. (2008) menggunakan pendekatan agen untuk pengembangan model knowledge sharing dalam menjembatani antara industri kecil dan menengah. Hasil penelitian berupa model knowledge sharing yang efektif pada klaster industri kecil dan menengah. Pendekatan agen juga digunakan dalam model simulasi menanggulangi berkembangnya wabah flu burung di Bandung. Hasil simulasi merekomendasikan beberapa kebijakan dalam mengatasi berkembangnya wabah flu burung di Bandung (Putro et al., 2009). Pendekatan klaster sebagai sebagai sebuah pendekatan yang mampu memberikan manfaat ekonomi yang signifikan dan meningkatkan daya saing industri, telah banyak dilakukan. Dengan kemampuan dalam memanfaatkan aset sumberdaya secara kolektif untuk mendorong diversifikasi, menjadikan pendekatan klaster mampu mendorong transformasi keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif. Mahfud (2004) menggunakan pendekatan klaster untuk pemodelan sistem pengembangan agroindustri minyak atsiri, dimana pengembangan model yang dilakukan mencakup model kelembagaan, model teknologi industri, model kelayakan finansial dan model keseimbangan. Penelitian lain dilakukan oleh Jusar (2006) dengan menggunakan pendekatan klaster untuk model strategi pengembangan klaster agroindustri unggulan menggunakan kompetensi inti dan kelembangaan di daerah kabupaten. Model yang dikembangkan meliputi kompetensi inti, konsentrasi industri, pertumbuhan, kemampuan ekspor, keterkaitan usaha, nilai tambah, strukturisasi sistem dan kinerja klaster. Hasil penelitian ini adalah kemampuan model dalam mengidentifikasi kelompok agroindustri yang berpotensi menjadi klaster unggulan di suatu daerah.
19 Keberlanjutan merupakan salah satu topik penelitian yang banyak dipilih saat ini terutama berkaitan dengan isu lingkungan. Terminologi pembangunan berkelanjutan semakin berkembang seiring dengan peningkatan kesadaran terhadap arti penting keberlanjutan. Ometto et al. (2007) mengembangkan sistem simbiosis agroindustri gula tebu dengan menggunakan dimensi ekonomi, sosial, lingkungan, prosedur operasional, politik dan kelembagaan sebagai upaya meningkatkan keberlanjutan agroindustri gula. Dimensi lingkungan seperti penggunaan energi, air dan limbah, dimensi sosial meliputi persamaan hak, etika perdagangan, dan dimensi ekonomi meliputi keahlian tenaga keja, dan inovasi berbasis pengetahuan digunakan sebagai langkah untuk strategi keberlanjutan industri pangan (Defra, 2006). Adams dan Ghaly (2007) melakukan sebuah penelitian dengan indikator sistem produksi dan sistem pengolahan sebagai langkah dalam memaksimalkan keberlanjutan industri kopi di Costa Rica. Posisi Strategis Penelitian Posisi strategis penelitian merupakan kebaharuan penelitian ini adalah dikembangkannya pemodelan berbasis agen yang dikemas dalam lingkup pendekatan klaster dengan mengakomodasi dimensi-dimensi keberlanjutan dalam mengembangkan konsep Minapolitan. Penelitian ini juga menggunakan análisis sistem dinamik untuk melihat pasokan bahan baku agroindustri udang dalam klaster. Análisis sistem dinamik menghasilkan model dinamik pasokan bahan baku yang diharapkan berguna dalam penentuan strategi peningkatan keberlanjutan pasokan bahan baku agroindsutri udang dalam kawasan Minapolitan bagi pemerintah daerah. Penggunaan pendekatan agen diharapkan terjadi harmonisasi hubungan antar pelaku dan transformasi teknologi untuk meningkatkan kontinuitas dan kualitas produk yang dihasilkan dari masing-masing pelaku. Selain akan terjadi keterbukaan informasi antar pelaku dalam rantai pasok agroindustri udang. Penggunaan pendekatan klaster dan konsep keberlanjutan akan dihasilkan sebuah model Minapolitan dengan memberikan manfaat ekonomi yang signifikan dan meningkatkan daya saing industri, sehingga mendorong agroindustri lebih kompetitif dan berkelanjutan. Pengembangan kawasan melalui konsep klaster diyakini efektif dalam membangun keunggulan daya saing agroindustri dan pembangunan suatu daerah. Seperti dijelaskan EDA (1997) pengembangan ekonomi berbasis klaster merupakan kunci pengembangan daya saing suatu daerah. Masuknya isu pembangunan berkelanjutan dalam pengembangan suatu wilayah, maka hasil akhir yang didapat adalah sebuah model Agroindustri udang di kawasan Minapolitan yang berkelanjutan.
20 3. METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Pemikiran Penelitian Pengembangan agroindustri udang merupakan hal yang sangat penting dalam siklus rantai komoditas udang. Pentingnya keberadaan agroindustri udang berkaitan dengan peningkatan penciptaan nilai tambah komoditas udang. Peningkatan nilai tambah yang didapat, diharapkan dapat memberi dampak positif bagi kesejahteraan seluruh pelaku dalam rantai pasokan komoditas udang. Usaha pengembangan Minapolitan diharapkan dapat sebagai penopang keberlanjutan agroindustri udang. Pembangunan Minapolitan yang bertumpu pada tiga dimensi keberlanjutan, ekonomi, sosial dan lingkungan diharapkan keberlanjutan agroindustri udang dapat dipertahankan dalam jangka waktu yang lama. Sebagai program unggulan, Minapolitan dibentuk berdasarkan konsep klaster di daerah sentra produksi perikanan yang memiliki potensi untuk dikembangkan. Terbentuknya klaster agroindustri perikanan akan menjadi titik tumbuh perekonomian yang dapat menciptakan lapangan kerja, dan membawa kesejahteraan masyarakat di kawasan Minapolitan. Konsep Minapolitan juga dibangun berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan, dimana keberlanjutan dari masing-masing dimensi berjalan seiring dalam pengembangan wilayah Minapolitan. Berbagai kendala berkaitan dengan rendahnya tingkat produksi, degradasi lingkungan perairan dan kerumitan interaksi antar pelaku dalam klaster akibat perbedaan kepentingan perlu dilakukan upaya penyelesaian permasalahan. Kompleksitas permasalahan dalam klaster Minapolitan berdampak pada keberlanjutan agroindustri udang. Beberapa permasalahan perlu dilakukan penyelesaian dengan membangun sebuah model simulasi pengembangan klaster Minapolitan. Simulasi model pengembangan diharapkan dapat melihat pola interaksi dan dampaknya terhadap aktivitas klaster dan keberlanjutan agroindustri udang. Rancangan model yang dibangun menggunakan pendekatan sistem dinamis dalam melihat tingkat pasokan bahan baku agroindustri udang dan pemodelan berbasis agen dalam melihat pola interaksi dan dampaknya terhadap aktivitas agen. Rendahnya pasokan bahan baku agroindustri menjadi kendala utama dalam keberlanjutan Minapolitan yang dikembangkan. Salah satu tujuan Minapolitan adalah peningkatan produksi. Peningkatan produksi ini diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat kawasan Minapolitan. Pencapaian tujuan tersebut diperlukan keterlibatan dan keterkaitan seluruh stakeholder dalam pengelolaan agroindustri udang. Keterlibatan stakeholder mulai dari petambak udang, industri pembekuan udang dan industri kecil yang menggunakan bahan baku udang. Mereka terdiri dari elemen yakni petambak, pedagang pengumpul, pengusaha industri kecil, pekerja, investor industri pembekuan udang, pemerintah daerah, pihak perguruan tinggi maupun lembaga riset lainnya dan berbagai stakeholder lainnya yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung. Pendekatan model berbasis agen dalam pengembangan agroindustri udang di kawasan Minapolitan akan menghasilkan output berupa model simulasi keberlanjutan agroindustri udang di kawasan Minapolitan. Model disusun dari interaksi dan perilaku dari masing-masing agen otonom yang ada dalam klaster, dengan hasil keluaran adalah berupa kinerja nilai indikator pada ketiga aspek keberlanjutan. Pendekatan model berbasis agen dimulai dengan mengidentifikasi agen-agen yang ada dalam sebuah rantai pasokan agroindustri udang di kawasan
21 Minapolitan, bagaimana perilaku agen, interaksi antar agen, interaksi dengan lingkungan dan kesepakatan-kesepakatan yang dilakukan antar agen. Model simulasi yang dihasilkan dalam penelitian ini selain mempunyai kemampuan menentukan tingkat keberlanjutan Minapolitan, juga dapat melakukan simulasi skenario kebijakan yang akan diterapkan dan dampak yang ditimbulkan pada aspek keberlanjutan agroindustri udang di kawasan Minapolitan. Kemampuan analisis dan simulasi skenario kebijakan tersebut tentunya akan sangat berguna bagi para pengambil kebijakan sebagai masukan bagi formulasi strategi meningkatkan keberlanjutan agroindustri udang di kawasan Minapolitan. Kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada Gambar 8. Kompleksitas dan Dinamika Sistem Agroindustri Udang di Kawasan Minapolitan
Konsep klaster Konsep pembangunan berkelanjutan
Model Dinamis Pendekatan Agen
Perancangan Model Simulasi pengembangan agroindustri udang di kawasan Minapolitan
Analisis model keberlanjutan pasokan bahan baku
Kinerja keberlanjutan klaster Minapolitan
Rekomendasi model pengembangan agroindustri udang di kawasan Minapolitan
Gambar 8 Kerangka pemikiran penelitian
Tahapan Penelitian Studi Pendahuluan Studi pendahuluan merupakan tahap awal dalam pelaksanaan penelitian untuk mendapatkan informasi awal yang dibutuhkan dalam penelitian. Studi pendahuluan mencakup studi pustaka, observasi lapang, dan survey pakar. Studi pustaka mencakup kajian literatur dari berbagai sumber dan referensi yang melandasi penelitian. Studi pustaka difokuskan dengan mengkaji referensi-referensi terkait dengan klaster Minapolitan. Hasil kajian pustaka ini memberikan pemahaman tentang sistem klaster Minapolitan. Observasi lapang dilakukan dalam rangka mendapatkan gambaran mengenahi budidaya udang dan karakteristiknya, pengelolaan udang dan model-model sistem managemen rantai pasok udang sampai ke agroindustri pembekuan udang dalam kawasan Minapolitan.
22 Analisis Sistem Analisa sistem bertujuan untuk memberikan gambaran terhadap sistem klaster Minapolitan. Analisa sistem mencakup analisis kebutuhan sistem, formulasi permasalahan, serta identifikasi sistem. Analisa kebutuhan merupakan kebutuhankebutuhan dari agen yang terkait dalam rantai pasokan udang di kawasan Minapolitan. Analisis kebutuhan diperoleh dari hasil observasi lapang, pendapat pakar dan kajian literatur. Formulasi Permasalahan Formulasi permasalahan dilakukan dengan menganalisis kesenjangan antara pemenuhan kebutuhan dan kemampuan pemenuhan yang terjadi di kawasan Minapolitan berkaitan dengan pasokan bahan baku ke agroindustri udang. Formulasi permasalahan nantinya dijadikan titik tolak dalam model pengembangan agroindustri udang di kawasan Minapolitan. Tahapan selanjutnya dalam analisis sistem adalah identifikasi sistem. Identifikasi sistem bertujuan untuk memberikan gambaran terhadap sistem yang dikaji dalam bentuk diagram sebab akibat, kemudian diintepretasikan dalam diagram input output. Simulasi Pengembangan Model Proses awal dalam tahapan ini adalah melakukan identifikasi agen-agen yang berperan aktif dalam klaster Minapolitan. Identifikasi mencakup interaksi yang terjadi antar agen dan keputusan yang diambil oleh agen dalam merespon lingkungannya. Hasil identifikasi kemudian dilakukan pembangunan model dengan menggunakan kaidah-kaidah pemodelan berbasis agen. Model yang dibangun kemudian dilakukan proses simulasi, simulasi menghasilkan nilai-nilai kinerja indikator yang telah ditetapkan berdasarkan prinsip prinsip keberlanjutan yang meliputi aspek ekonomi, aspek sosial dan aspek lingkungan. Tahapan Verifikasi dan Validasi Tahapan verifikasi delakukan dengan mengevaluasi proses dengan memberikan data input pada model yang disimulasikan, kemudian hasil outputnya dibandingkan perhitungan manual apakah terjadi penyimpangan atau tidak. Verifikasi dimaksudkan untuk memeriksa apakah model yang dibangun sudah dapat diterjemahkan oleh model matematik dengan baik. Langkah selanjutnya adalah validasi. Proses ini merupakan upaya menyimpulkan apakah model sistem sudah merupakan perwakilan yang sah dari realitas yang dikaji, sehingga dapat dihasilkan kesimpulan yang menyakinkan. Menurut Eriyatno (1999) validasi model dimulai dengan pengujian terhadap formulasi model kemudian dilanjutkan dengan validasi perilaku model, apakah model telah dapat menghasilkan perilaku yang sesuai dengan sistem nyata atau tidak. Pada proses verifikasi dimungkinkan terjadinya perbaikan–perbaikan secara simultan yang pada akhirnya diperoleh model pengembangan agroindustri udang berkelanjutan di kawasan Minapolitan yang efektif. Perbaikan-perbaikan secara simultan dalam simulasi model dilakukan dengan melakukan beberapa skenario inputan untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan terhadap indikator-indikator yang diukur. Skenario yang dicobakan digunakan untuk menentukan strategi kebijakan untuk peningkatan keberlanjutan Agroindustri udang di kawasan Minapolitan. Diagram tahapan penelitian di tunjukkan pada Gambar 9.
23 Mulai
Analisis Sistem Klaster Minapolitan Udang - Analisis Situasional - Formulasi Permasalahan - Identifikasi Sistem
Model Pasokan Bahan Baku Agroindustri Udang di Kawasan Minapolitan
Desain Model Berbasis Agen Pengembangan Agroindustri Udang di Kawasan Minapolitan Identifikasi Agen Klaster Minapolitan
Analisis Keberlanjutan Minapolitan Aspek Ekonomi
Aspek Sosial
Aspek Ekologi
Simulasi Skenario Keberlanjutan
Model Agroindustri Udang Berbasis Agen di Kawasan Minapolitan
Perumusan Strategi peningkatan Keberlanjutan Agroindustri Udang di Kawasan Minapolitan
Model Konseptual Pengembangan Agroindustri Udang di Kawasan Minapolitan
Verifikasi dan Validasi
Selesai
Gambar 9 Tahapan penelitian rancang bangun model berbasis agen untuk pengembangan agroindustri udang di kawasan Minapolitan
24 Metode Analisis Metode analisis yang digunakan dalam penelitian dan perancangan model berbasis agen, untuk pengembangan agroindustri udang di kawasan Minapolitan terdiri atas dua metode utama. Pertama adalah dengan metode pendekatan simulasi sistem dinamik untuk menduga kinerja rantai pasok udang di klaster Minapolitan. Kondisi kinerja tersebut sebagai analisis situasional gambaran pasokan bahan baku di klaster Minapolitan. Metode kedua yang digunakan adalah pendekatan berbasis agen untuk pengembangan agroindustri udang di kawasan Minapolitan melalui pembangunan model simulasi menggunakan perangkat lunak SOARS (Deguchi, 2006)
Sistem Dinamik Sistem dinamik merupakan pendekatan yang menggunakan simulasi untuk menggambarkan dan memahami perilaku dari elemen-elemen di dalam sistem. Sistem dinamik diperkenalkan pertama kali oleh Jay Forrester pada tahun 1950-an. Simulasi sistem dinamik dalam pengambaran dan pemahaman sebuah sistem, dilakukan menggunakan causal loop diagram. Dinamika sistem dipengaruhi oleh waktu, penerapan feedback untuk mendapatkan informasi umpan balik dan perubahan sistem (Sushill, 1993). Terdapat tiga jenis variabel yang digunakan dalam metodologi sistem dinamik, yaitu stock, flow diagram dan auxiliary. Menurut Muhammadi et al. (2001) stock mewakili pokok persoalan yang menjadi perhatian. Flow diagram selalu berhubungan dengan level dan disimbolkan dengan panah tebal menuju atau keluar dari stock. Variabel auxiliary lebih bersifat fleksibel dan dapat mewakili konstanta atau nilai suatu perhitungan. Adanya auxiliary menyebabkan pemodelan sistem dinamik menjadi fleksibel dan mampu mengakomodasi nilai-nilai atau peubah yang digunakan. Sushill (1993) menjelaskan bahwa auxiliary hanya merupakan variabel pelengkap secara teoritis yang mempresentasikan suatu struktur kebijakan secara lebih baik dan jelas. Gambaran simbol variabel dalam sistem dinamik terlihat pada Gambar 10.
Stock
Flow Aliraninmasuk
Stok
Flow keluar out Aliran
Auxiliary Information link Jaringan informasi
Gambar 10 Simbol variabel dalam sistem dinamik (Muhammadi et al., 2001) Terdapat 6 tahapan dalam penyelesaian menggunakan model dinamis (Sushill, 1993) masing masing tahapan seperti berikut: - Identifikasi masalah Suatu proses yang digunakan untuk analisis pola kebutuhan dari tiap-tiap pelaku sistem, unsur-unsur sistem sampai pada elemen terkecil sistem. Hasil identifikasi
25
-
-
-
-
-
berupa pendefinisian permasalahan yang sebenarnya terjadi dalam sistem dan penyelesaian yang diharapkan. Konseptualisasi sistem Unsur-unsur yang berperan dan saling berinteraksi, berhubungan dan berkaitan nantinya disusun konsep mengenai gejala atau proses yang akan dimodelkan. Formulasi model Formulasi bertujuan mendapatkan model logis yang dapat merepresentasikan sistem nyata. Model diformulasikan secara matematis untuk menambah pemahaman tentang sistem kembali dengan tetap melakukan umpan balik terhadap tahapan identifikasi dan konseptualisasi sistem. Simulasi dan validasi Simulasi bertujuan untuk memahami gejala atau proses dimasa depan. Validasi adalah menyimpulkan apakah model sistem tersebut merupakan perwakilan yang sah dari realitas yang dikaji untuk mendapatkan kesimpulan meyakinkan. Analisis kebijakan Analisis kebijakan merupakan aktivitas pemilihan alternatif tindakan yang akan diambil sesuai dengan model yang telah ada untuk menyelesaikan masalah yang timbul. Implementasi Penerapan terhadap alternatif kebijakan yang dipilih untuk dilaksanakan dilapangan
Pendekatan Berbasis Agen Pendekatan pengembangan model yang dipergunakan adalah pendekatan pengembangan model berbasis agen. Pendekatan pengembangan model berbasis agen tersebut menghasilkan output berupa model simulasi berbasis agen, sehingga selanjutnya di dalam penulisannya akan digunakan istilah dengan sebutan pengembangan model simulasi berbasis agen. Langkah awal dalam pengembangan model simulasi berbasis agen adalah melakukan identifikasi agen yang berperan aktif dalam klaster Minapolitan. Langkah selanjutnya mendesain model interaksi antar agen, peran dan aktifitasnya dalam klaster Minapolitan. Kemudian hasilnya diimplementasikan dalam software agent SOARS. Simulasi model yang dibangun kemudian dilakukan simulasi skenario-skenario untuk melihat perubahan yang terjadi terhadap kinerja indikator keberlanjutan klaster agroindustri udang di kawasan Minapolitan. Indikator keberlanjutan didasarkan pada tiga dimensi paradigm pembangunan berkeberlanjutan yaitu dimensi ekonomi, dimensi sosial dan dimensi lingkungan. Hasil simulasi skenario kemudian digunakan untuk penentuan kebijakan startegi yang akan diterapkan dalam meningkatkan keberlanjutan model berbasis agen pada agroindustri udang di kawasan Minapolitan.
Identifikasi Agen dalam Sistem Berbasis Agen Bergenti dan Paola (2002), tujuan utama tahap analisis berbasis agen adalah untuk mengetahui aktor utama yang akan beriteraksi dengan sistem, bagaimana cara beriteraksinya, apakah yang harus dikerjakan oleh sistem. Kemudian merumuskan
26 bagaimana peranan, tanggung-jawab, kemampuan dari agen-agen, serta cara berinteraksi dengan agen lainnya.
Spot Oriented Agent Role Simulator Spot Oriented Agent Role Simulator (SOARS) merupakan desain bahasa pemrograman berbasis agen. Sebagai software agent, SOARS dirancang dapat menggambarkan aktivitas agen sesuai dengan peran dalam struktur sosial dan organisasi. SOARS merupakan alat bantu simulasi yang penting untuk eksperimental bidang ilmu-ilmu sosial dan lainnya, bisa digunakan untuk memberikan penjelasan dan pendukung keputusan bagi permasalahan di dunia nyata dan teori-teori yang mencakup baik konseptual maupun matematis. Pendekatan konseptual sangat penting untuk menciptakan kerangka kerja baru dan pendekatan matematika untuk mengklarifikasi logika struktur dari kerangka baru atau model. Pengembangan simulasi model berbasi agen menggunakan SOARS di kenalkan pertama kali oleh Tanuma et al. tahun 2005 dalam melihat model infeksi di rumah sakit dan kota. Software agent ini juga merupakan sebuah simulasi untuk pemodelan berbasis agen pada ranah sosial dan organisasi. Konsep ini menurut Deguchi (2006) SOARS dapat digunakan untuk menjembatani kesenjangan antara pendekatan fungsional dan pendekatan dari bawah (bottom up approach). Konsep SOARS dibangun dari dua komponen yaitu agen dan kedudukan dari agen sebagai tempat interaksi. Masing-masing komponen mempunyai beberapa variabel yang melekat pada masing-masing komponen tersebut. Tahapan simulasi pemodelan menggunakan SOARS dimulai dengan menentukan klasifikasi semua kegiatan yang dilakukan oleh agen. Identifikasi klasifikasi kegiatan agen terbagi menjadi tiga yaitu pertama kegiatan awal berupa inisiasi agen terhadap lingkungannya (initial stage), kedua kegiatan utama merupakan kegiatan utama agen dalam siklus kegiatan yang dilakukan dalam klaster Minapolitan (main stage), ketiga merupakan kegiatan akhir atau tahap akhir (terminal stage) dari suatu siklus SOARS berupa output nilai-nilai indikator hasil proses interaksi antar agen yang telah didesain sebelumnya. Lingkaran tahapan kegiatan agen di perlihatkan pada Gambar 11.
27 Tahapan Awal 1 Aturan Aksi untuk “Tahap utama 2”
Tahapan Awal 2
Aturan agen
Aturan Tempat
Aturan agen
Aturan Tempat
Aturan agen
Aturan Tempat
Tahapan Utama 2 Tahapan Utama 1
Tahapan Utama 3
Siklus Tahapan “pengawasan konsistensi”
Kebutuhan waktu dalam setiap siklus
Tahapan Utama n Tahapan Utama n-1
Aturan Aksi untuk “Tahap utama 3”
Tahapan Utama n-2 Aturan agen
Aturan Tempat
Aturan agen
Aturan Tempat
Aturan agen
Aturan Tempat
Tahap Terminal 1
Tahap Terminal 2
Gambar 11 Siklus tahapan SOARS (Deguchi, 2006)
Metode Pengumpulan Data dan Informasi Jenis data yang di gunakan dalam penelitian ini dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui observasi lapang, tempat penelitian dilakukan yaitu Kabupaten Gresik dan melakukan wawancara dengan pakar. Observasi dilakukan melalui peninjauan tambak, kegiatan pertambakan termasuk didalamnya pola dan manajemen pertambakan. Kegiatan observasi juga dilakukan dengan mengunjungi unit pengolahan ditingkat pedagang, pola transaksi barang dan agroindustri udang. Observasi lapang dilakukan pada sejumlah petambak, pedagang pengumpul untuk mengetahui mekanisme interaksi antar agen, kegiatan yang dilakukan, sistem budidaya, sistem perdagangan yang dilakukan dalam klaster Minapolitan. Wawancara dilakukan secara mendalam dengan pakar (in-depth interview) dengan tujuan menggali sebanyak banyaknya informasi dari pakar untuk digunakan dalam membangun model Minapolitan, proses akuisisi pengetahuan dilakukan melalui teknik expert survey. Pakar yang diakuisisi pengetahuannya merupakan seorang ahli dibidangnya, mempunyai reputasi, kredibilitas dan pengalaman yang cukup. Keahlian yang dibutuhkan dalam pengembangan model adalah dibidang pengelolaan sumberdaya perikanan khususnya udang budidaya, agroindustri udang, rantai pasok komoditas perikanan dan pembangunan berkelanjutan yang berasal dari institusi perguruan tinggi, pelaku agroindustri udang dan institusi pemerintah sebagai pemegang regulasi kebijakan. Kegiatan in-depth interview dilakukan terhadap 25 petambak dan 8 pedagang pengumpul di kawasan Minapolitan, pelaku agroindustri, asosiasi pengusaha pengolahan dan pemasaran produk perikanan Jawa Timur, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Timur dan Kabupaten Gresik.
28 Data sekunder diperoleh dengan cara mengkaji pustaka-pustaka yang relevan mulai dari laporan penelitian, jurnal, prosiding, website dan sumber sumber lain guna menunjang landasan teori penelitian. Data sekunder diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Timur maupun Kabupaten Gresik, BPS dan instansi lain yang terkait.
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di wilayah Kabupaten Gresik Provinsi Jawa Timur. Penelitian lapang tahap pertama dilaksanakan pada Bulan Pebruari sampai September 2011 yang bertujuan mengidentifikasi agen agen yang ada dalam klaster Minapolitan sekaligus menganalisi sistem yang ada di lapangan. Penelitian lapang tahap kedua dilaksanakan sampai pada bulan Juni 2012 untuk mengumpulkan data data kualitatif dan kuantitatif yang di butuhkan dalam merancang bangun model berbasis agen untuk pengembangan Agroindustri udang di kawasan Minapolitan.
29 4. ANALISIS SITUASIONAL
Produksi Udang Nasional (ton)
Kinerja Sistem Komoditas Udang Komoditas udang Indonesia pernah mencatat masa keemasan sekitar tahun 1980 an, ditandai dengan komoditas udang windu menjadi primadona ekspor yang menyumbang 15 persen dari total ekspor nonmigas. Produksi udang Indonesia mencapai puncak di tahun 2008 dengan volume produksi 409 ribu ton dengan total nilai Rp10 triliun. Namun tahun 2009, produksi udang nasional menurun menjadi sekitar 338 ribu ton. Tahun 2011 produksi udang nasional mengalami peningkatan dengan total volume produksi sebesar 400 ribu ton (KKP, 2013). Produksi udang nasional ditunjukkan pada Gambar 12. 450000 400000 350000 300000 250000 200000 2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Tahun
Gambar 12 Produksi udang nasional Produksi udang nasional dihasilkan dari sentra budidaya udang diantaranya Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat. Data statistik perikanan budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan, pada tahun 2011 produksi udang nasional terbesar disumbang oleh Sumatera Selatan sebesar 68.912 ton atau sekitar 17% dari total produksi udang nasional. Jawa Barat menempati urutan kedua sebagai pemasok produksi udang nasional sebesar 56.871 ton dan posisi selanjutnya adalah Jawa Timur sebesar 50.489 ton. Gambaran produksi udang tahun 2011 masing-masing propinsi ditunjukkan pada Gambar 13. 11%
5%
sumatera utara
7%
5%
sumatera selatan
17%
lampung jawa barat jawa timur
5% 12%
11%
NTB Kaltim Sulsel
13%
14%
Sultra lainnya
Gambar 13 Produksi udang tiap provinsi
30 Beberapa sentra produksi udang nasional pada tahun 2011 mengalami penurunan produksi jika dibandingkan pada tahun 2010 walaupun prosentasenya sedikit, seperti dicontohkan Sumatera Utara mengalami penurunan sebesar 8%, Jawa Timur sebesar 0,3%, dan Bali sebesar 36%. Penurunan produksi udang terbesar dialami Provinsi Jambi dengan prosentase 55% dari produksi tahun 2010 sebesar 10 ton menjadi 5 ton pada tahun 2011. Penurunan produksi udang mengakibatkan beberapa perusahaan pengolahan udang berhenti beroperasi. Sejak awal tahun 2009, jumlah perusahaan pengolahan udang di Indonesia yang masih beroperasi menurun drastis hingga kurang dari 50% dari jumlah semula. Sebagai ilustrasi di Sulawesi Selatan pada tahun 2006 terdapat 13 perusahaan pengolahan sedangkan saat ini hanya tersisa 6 perusahaan. Hal yang sama terjadi di Jawa Timur, industri pengolahan yang sebelumnya berjumlah 35 perusahaan di tahun 2006, saat ini hanya sekitar 16 perusahaan yang masih aktif. Di samping jumlah perusahaan yang berkurang drastis, produksi yang dihasilkan oleh setiap perusahaan pun semakin berkurang hanya 30-50 % dari kapasitas terpasang. Saat ini sebagian besar industri hanya bisa mengolah 3-5 ton udang perhari atau sekitar 1000 ton per tahun. (Ilman, 2010). Menurut asosiasi pengusaha pengolahan dan pemasaran produk perikanan (AP5I) pasokan bahan baku industri perikanan sangat terbatas. Jawa Timur hanya mampu memasok bahan baku industri perikanan sebesar 1000 ton per bulan, padahal kebutuhan bahan baku mencapai 6000 ton per bulan sehingga dalam memenuhi keutuhan agroindustri memerlukan pasokan bahan baku dari luar kawasan. Karakteristik pasokan bahan baku dari dalam kawasan dan luar kawasan Minapolitan tentunya berbeda dalam rantai pasokan baik dari segi penyaluran barang maupun sistem pengadaannya. Rantai pasokan merupakan jaringan yang terdiri dari organisasi-organisasi yang saling berhubungan untuk menyelenggarakan pengadaan atau penyaluran barang (Indrajit dan Djokopranoto, 2006). Rantai pasok agroindustri udang merupakan siklus lengkap produksi, mulai dari pertambakan udang untuk menghasilkan produk udang, penanganan pasca panen, sampai ke pengiriman udang ke agroindustri pembekuan udang sebagai konsumen inti dalam wilayah Minapolitan. Karakteristik rantai pasok agroindustri udang sangatlah unik dikarenakan komoditas yang diperdagangkan mudah sekali rusak sehingga perlu penanganan yang cepat dan benar. Selain itu seperti halnya komoditas pertanian lain, komoditas udang memiliki karakteristik musiman dan beragam sehingga salah satu permasalahan yang timbul adalah tidak kontinyu pasokan bahan baku. Pasokan bahan baku yang kurang mengakibatkan kegiatan produksi agroindustri udang seringkali tidak mencapai kapasitas optimalnya. Rantai pasokan agroindustri udang di wilayah Minapolitan terdiri dari produsen bahan baku yaitu petambak udang, kemudian pedagang pengumpul yang terdiri dari pedagang kecil dan pedagang besar, dan agroindustri pembekuan udang sebagai konsumen utama komoditas udang. Masing masing agen dalam rantai pasok agroindustri udang saling bergantung dan terlibat dalam transformasi barang, jasa, informasi dan modal. Gambaran rantai pasok agroindustri udang ditunjukkan pada Gambar 14.
31 Petambak Udang
Pedagang Kecil
Industri Pembekuan Udang
Pedagang Besar
Industri kecil Pengolahan Udang
Distributor
Eksportir
Konsumen Luar Negeri
Konsumen Domestik
Gambar 14 Rantai pasok agroindustri udang Industri kecil dan konsumen domestik merupakan konsumen komoditas udang di luar konsumen utama yaitu industri pembekuan udang. Pemenuhan kebutuhan konsumsi bahan bakunya, industri kecil dan konsumen domestik mengesampingkan kualitas dan lebih memilih harga murah sebagai pilihan dalam membeli udang. Daya beli konsumen domestik yang rendah dan keinginan menekan biaya bahan baku bagi industri kecil menjadi penyebab pemilihan harga sebagai prioritas. Pemenuhan pasokan bahan baku bagi industri pembekuan udang saat ini masih rendah, sebagai gambaran hanya 40% - 50% kapasitas produksi yang digunakan dari kapasitas terpasang. Kondisi ini jika berlangsung lama akan merugikan agroindustri udang mengingat biaya produksi yang ditanggung semakin besar, sehingga dalam jangka waktu tertentu akan mengalami kebangkrutan. Tidak beroperasinya agroindustri udang mengakibatkan terganggunya pemasaran udang dan berdampak pada kesejahteraan masyarakat secara umum, mengingat agroindustri udang sebagai konsumen utama komoditas udang. Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Jawa Timur Tahun 2011 mencatat terdapat 4 agroindustri udang yang beroperasi di Kabupaten Gresik.
Minapolitan Kabupaten Gresik Kabupaten Gresik terletak di sebelah barat laut Kota Surabaya dengan posisi geografis antara 112° sampai 113° Bujur Timur dan 7° sampai 8° Lintang Selatan dan merupakan dataran rendah dengan ketinggian 2 sampai 12 meter diatas permukaan air laut kecuali Kecamatan Panceng mempunyai ketinggian 25dpl. Luas wilayah Kabupaten Gresik sebesar 1.191,25 km2 terbagi dalam 18 Kecamatan dan terdiri dari 330 Desa dan 26 Kelurahan. Secara geografis wilayah Kabupaten Gresik merupakan daerah pesisir pantai, yaitu memanjang mulai dari Kecamatan Kebomas, Gresik, Manyar, Bungah, Sidayu, Ujungpangkah dan Panceng serta Kecamatan Sangkapura dan Tambak yang lokasinya berada di Pulau Bawean. Wilayah Kabupaten Gresik sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Mojokerto, Kota Surabaya dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Lamongan, sebelah timur berbatasan dengan Selat Madura. Peta Kabupaten Gresik ditunjukkan pada Gambar 15.
32
Gambar 15 Peta Kabupaten Gresik (sumber: http://hilal-setyawan.blogspot.com/2012/04/peta-kabupaten-gresik.html) Kabupaten Gresik di tetapkan sebagai salah satu pengembangan kawasan Minapolitan melalui keputusan menteri kelautan dan perikanan No.32/MEN/2010, khususnya pengembangan komoditas perikanan bandeng dan udang. Kawasan Minapolitan di Kabupaten Gresik terdiri dari kawasan budidaya atau hinterland, dan kawasan Minapolis atau pusat perikanan dan pelayanan yang didalamnya terdapat agroindustri. Sesuai dengan rencana tata ruang wilayah Kabupaten Gresik, Kecamatan Sidayu dimasukkan sebagai kawasan Minapolis sedangkan Kecamatan Bungah, Dukun, Ujung Pangkah dan Panceng di jadikan sebagai kawasan budidaya atau hinterland. Pemilihan Kecamatan Sidayu sebagai minapolis didasarkan pada letaknya yang strategis dilihat dari segi ketersediaan infrastruktur, pemasaran dan pengolahan komoditas perikanan sedangkan ke empat kecamatan lainya dikarenakan banyaknya aktivitas budidaya maka di tetapkan sebagai kawasan hinterland. Penetapan ini didukung dengan kekayaan sumberdaya alam yang melimpah khususnya perikanan darat, dari 18 kecamatan yang ada terdapat 14 kecamatan menggantungkan kegiatan perekonomiannya pada pembudidayaan perikanan darat. Perikanan darat Kabupaten Gresik menempati luasan 25.539 ha dan menempati urutan kedua setelah pertanian dengan luasan 36.746 ha. Data dinas kelautan dan perikanan Kabupaten Gresik tahun 2010 mencatat sebanyak 23.779 orang pembudidaya ikan di wilayah Kabupaten Gresik. Selain itu juga subsektor perikanan berperan cukup besar terhadap PDRB kabupaten Gresik, BPS mencatat bahwa sumbangan sub sektor perikanan terhadap Produk Domestic Regional Bruto atas dasar harga berlaku pada tahun 2011 sebesar 4.26% seperti tampak pada Gambar 16.
33
Gambar 16 Prosentase subsektor perikanan terhadap PDRB Pada lingkup Provinsi Jawa Timur, Kabupaten Gresik masuk dalam lima besar penyumbang produksi perikanan Jawa Timur bersama Kabupaten Lamongan, Sumenep, Banyuwangi dan Sidoarjo. Dinas kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Timur mencatat pada tahun 2007 produksi perikanan Kabupaten Gresik 58.527,9 ton dengan nilai sebesar Rp 599.540.252.000. Tahun 2008 produksi perikanan sebesar 58,797.8 ton dengan nilai Rp 544.702.599.000. sedangkan tahun 2009 dan 2010 produksi perikanan berturut turut sebesar 46.606 ton dan 58.939,68 ton. Ekpor komoditas perikanan Provinsi Jawa Timur dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, menurut Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Timur pada tahun 2007 ekspor hasil perikanan membukukan total 216.648,97 ton dengan nilai US $ 580.971.927. Volume ekspor hasil perikanan Tahun 2008 sebesar 243.712,598 ton dengan nilai US $ 673.608.502, sedangkan tahun 2009 volume ekspor hasil perikanan sebesar 226.284,85 ton dengan nilai US $ 621.687.819. Komoditas perikanan darat yang diusahakan di Kabupaten Gresik meliput bandeng, udang, mujair, gurame, nila dan lain lain. Pada tahun 2010 produksi bandeng mencapai 28.181,38 ton sedangkan udang mencapai 5.919,05 ton. Produksi udang di Kabupaten Gresik didominasi oleh udang vannamei yang mencapai 72 % dari produksi udang Kabupaten Gresik. Produksi udang dari tahun ke tahun mengalami fluktuasi yang di sebabkan beberapa faktor baik internal maupun eksternal misalnya serangan penyakit dan banjir. Tabel 2 Produksi udang vannamei di Kabupaten Gresik No Jenis vannamei Produksi (ton) 2006 2007 2008 2009 2010 1 Vannamei payau 1027.02 1237.02 1387.49 1387.49 1916.52 2 Vannamei tawar 1800.24 1890.08 1970.9 1982.16 2340.99 Jumlah 2827.26 3127.1 3358.39 3369.65 4257.51 Sumber: Dinas Kelautan, Perikanan dan Peternakan Kab Gresik. 2011. Potensi pasar untuk udang Vannamei sampai saat ini masih terbuka luas, seberapapun produksi petambak selalu di serap oleh pasar, karena itu diharapkan dengan ditetapkannya Kabupaten Gresik sebagai kawasan Minapolitan, akan terjadi peningkatan aktivitas dan produksi komoditas perikanan khususnya udang vannamei sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Aktivitas kawasan Minapolitan merupakan interaksi antar pelaku yang ada dalam kawasan Minapolitan dan bersinergi, untuk mengelola komoditas perikanan agar mendapatkan keuntungan. Masing-masing pelaku mempunyai peran dan fungsi
34 yang sesuai dengan kedudukan dalam Minapolitan. Pelaku utama dimulai dari petambak sebagai aktor produsen udang. Sebagai pelaku usaha yang berada di hulu, keberadaan petambak adalah mutlak bagi kelangsungan usaha yang lebih hilir lainnya. Petambak di Kabupaten Gresik umumnya mendapatkan tambaknya dari warisan orang tua, sedikit yang berasal dari pembelian hasil jerih payah usahanya. Dinas kelautan, perikanan dan peternakan Kabupaten Gresik pada tahun 2011 mencatat terdapat sekitar 20.981 orang petambak. Aktivitas pertambakan dalam satu tahun melakukan penanaman sekali sampai tiga kali, dengan pola budidaya adalah tradisional plus. Pola tambak tradisional merupakan pola yang paling banyak dipakai oleh petambak. Tambak udang di Kabupaten Gresik luasannya mencapai 32.464 ha yang terdiri atas pola tradisional mencapai 23.808 ha, tradisional plus 8.594 ha, semi intensif 43 ha dan pola intensif sebesar 19 ha. Pola tradisional plus merupakan modifikasi dari pola tradisional dengan adanya tambahan pakan dan kepadatan yang lebih tinggi di banding dengan pola tradisional. Pola tradisional plus tidak hanya mengandalkan pakan alami berupa plankton yang berkembang di areal pertambakan selama budidaya udang, namun ada penambahan pakan buatan untuk mencukupi kebutuhan pertumbuhan udang. Pola tradisional plus tingkat kepadatannya berkisar 8-10 ekor/m2. Hasil produksi perhektar menghasilkan rata-rata 500 kg dengan ukuran ratarata udang yang di hasilkan 80 ekor/ kg. Ukuran udang yang dihasilkan tergantung dari lama budidaya, untuk umur panen sekitar 60 hari akan menghasilkan ukuran udang berkisar 100-150 ekor/ kg sedangkan jika udang di panen pada umur 100 hari bisa menghasilkan ukuran 50-90 ekor/kg. Namun demikian biasanya petambak melihat kondisi serangan penyakit, kalau terdapat serangan penyakit akan di panen lebih awal untuk mengurangi kerugian. Sistem penjualan udang menganut sistem terbuka dimana hasil produksi tambak dijual ke pedagang yang paling menguntungkan, namun ada aturan yang tidak tertulis ketika petambak mendapatkan bantuan pinjaman dari pedagang tertentu, hasil produksinya harus ke pedagang tersebut sesuai harga pasar yang berlaku. Pedagang kecil dan pedagang besar merupakan pelaku yang menjembatani perniagaan udang hasil produksi petambak ke agroindustri. Selain ke agroindustri, udang produksi yang afkir akan di pasok ke agroindustri kecil misalnya industri krupuk. Kelompok pedagang melakukan pembelian langsung ke petambak dan melakukan sortasi untuk memisahkan mutu udang yang didapatkan dari pembelian. Sortasi ini dilakukan secara sederhana dan dilakukan secara manual. Perbedaan sortasi yang dilakukan pedagang kecil dan besar terletak pada tingkat mutu yang lebih spesifik, pedagang kecil melakukan sortasi dengan 4 mutu udang yakni kecil, sedang besar dan afkir sedangkan pedagang besar lebih memperinci mutu yang dihasilkan dari pedagang- pedagang kecil. Perbedaan lain antara pedagang besar dan kecil yaitu kepemilikan modal usaha. Modal usaha pedagang besar tentunya lebih besar di banding dengan pedagang kecil, semakin banyak modal maka volume pembelian udang juga semakin banyak. Agroindustri pembekuan udang dan industri kecil krupuk merupakan pasar bagi pedagang maupun petambak udang. Sebagai industri primer dalam rantai pasok udang, industri ini mempunyai kedudukan yang penting dalam menaikkan dan menurunkan harga komoditas udang. Keberadaan agroindustri memberikan jaminan pasar bagi petambak untuk memasarkan hasil tambaknya. Semakin baik kondisi agroindustri, maka dampaknya akan semakin menguntungkan bagi petambak udang,
35 misalnya perbaikan harga jual udang sehingga pendapatan petambak akan meningkat. Industri pembekuan udang membeli udang segar dari pedagang besar yang kemudian melakukan proses pengolahan menjadi produk olahan udang beku yang langsung di ekspor ke negara tujuan misalnya Amerika, Jepang dan Eropa. Penentuan harga pembelian udang dari pedagang disesuaikan dengan harga pasar dunia dan biasanya antar industri tidak terlalu banyak berbeda. Data Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Timur mencatat terdapat empat industri pembekuan udang di Kabupaten Gresik. Industri pembekuan udang biasanya melakukan pengarahan terhadap mutu yang diinginkan dan menjaga mutu kepada pemasok, agar mutu udang yang dikirim masih tetap baik dan terjaga kesegarannya agar tidak ditolak oleh industri pembekuan udang. Lembaga permodalan sebagai salah satu pelaku dalam Minapolitan memegang peranan yang penting dalam penyediaan modal, mengingat salah satu kelemahan petambak adalah kurang kuat dalam penyediaan modal usaha akibat keterbatasan akses ke lembaga permodalan. Selama ini penyediaan modal petambak lebih banyak dibantu oleh pedagang kecil maupun pedagang besar dengan imbalan petambak mau menjual hasil panennya ke pemberi modal. Lembaga permodalan khususnya keuangan mikro menjadi salah satu pilihan petambak, karena mampu memenuhi kebutuhan modal dan prosedur yang cukup sederhana. Pelaku lain yang berperan penting dalam klaster Minapolitan adalah pemerintah. Pemerintah mempunyai kewenangan regulasi dalam mengelola sumberdaya perikanan termasuk tambak. Pemerintah membangun infrastruktur guna memperlancar kegiatan budidaya, transportasi bahan baku sampai ke agroindutri dalam kawasan. Penyuluhan guna peningkatan produktifitas tambak merupakan salah satu fungsi pemerintah dalam usaha mengembangkan dan meningkatkan aktifitas Minapolitan. Pemerintah Kabupaten Gresik telah menetapkan kawasan Minapolitan guna peningkatan pemanfaatan ruang yang saling mendukung mulai dari proses produksi di kawasan budidaya, kawasan agroindustri maupun dalam distribusi dan pemasaran. Peningkatan kinerja Minapolitan diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus peningkatan pendapatan daerah, karena itu pemerintah sangat berkepentingan untuk mengembangkan kawasan guna meningkatkan keberlanjutan agroindustri udang di kawasan Minapolitan.
Analisis Kebutuhan Analisis kebutuhan sistem rantai pasok agroindustri udang di kawasan Minapolitan, menjabarkan beberapa kebutuhan dari elemen-elemen sistem pembentuk rantai pasok agroindustri udang di kawasan Minapolitan. Pengembangan Minapolitan diusahakan secara operasional dapat memenuhi kebutuhan pelakupelaku yang berperan dalam pengembangan agroindustri udang di kawasan Minapolitan. Terpenuhinya kebutuhan elemen penyusun Minapolitan mendorong tercapainya agroindustri udang berkelanjutan di kawasan Minapolitan. Pendekatan yang dilakukan untuk menganalisis kebutuhan pelaku sistem dilakukan secara bottom up, hasil analisis kebutuhan elemen elemen sistem agroindustri udang di kawasan Minapolitan ditunjukkan pada Tabel 3.
36 Tabel 3 Analisis kebutuhan elemen sistem Pelaku Kebutuhan 1. Petambak Udang - Harga udang stabil - Produksi meningkat - Kepastian pasar udang hasil produksi - Pendapatan meningkat - Peningkatan kesejahteraan 2. Pedagang - Kontinuitas bahan baku dari petambak - Terjaminnya pasar - Harga stabil - Hubungan baik dengan petambak dan agroindustri 3. Agroindustri - Adanya kontinuitas bahan baku udang - Mutu bahan baku udang yang tinggi - Harga bahan baku yang rasional - Meningkatnya volume bahan baku - Peningkatan pendapatan perusahaan - Hubungan baik dengan petambak dan pedagang - Rendahnya pengaduan atas limbah agroindustri 4. Lembaga permodalan - Peningkatan nasabah potensial - Rendahnya resiko pengembalian kredit - Kelancaran pengembalian kredit 5. Masyarakat kawasan - Bertambahnya lapangan kerja - Peningkatan kesejahteraan - Kenyamanan dan keamanan lingkungan 6. Pemerintah - Peningkatan pendapatan petambak - Kelestarian sumberdaya perikanan khususnya tambak - Lapangan kerja bertambah - Peningkatan penyerapan tenaga kerja - Meningkatnya kontribusi pendapatan dari agroindustri udang
Formulasi Permasalahan Formulasi permasalahan merupakan kesenjangan antara pemenuhan kebutuhan pelaku sistem berdasarkan analisis kebutuhan dengan tujuan yang telah ditetapkan. Menurut Eriyatno (1999) kesenjangan yang ada perlu diformulasikan sehingga mencapai taraf definitif. Permasalahan utama dalam pengembangan Agroindustri udang di kawasan Minapolitan yang dihadapi dapat diformulasikan sebagai berikut: a. Jaminan pasokan bahan baku Permasalahan utama tidak berkembangnya agroindustri udang secara optimal banyak disebabkan tidak adanya jaminan pasokan bahan baku yang tepat, baik volumenya, mutu, dan waktu. Hal ini disebabkan banyak faktor yang mengganggu proses budidaya baik internal maupun eksternal petambak. Internal
37 meliputi ketersediaan bibit unggul yang mampu tahan terhadap serangan penyakit, jumlah bibit yang tersedia, teknologi budidaya dan biaya produksi yang semakin meningkat. Eksternal lebih ke arah gangguan alam yang banyak menyebabkan perubahan iklim dan banjir. Hal ini menyebabkan terganggunya kontinuitas pasokan bahan baku untuk agroindustri udang. Menurut asosiasi pengusaha pengolahan dan pemasaran produk perikanan (AP5I) pasokan bahan baku industri perikanan sangat terbatas. Jawa Timur hanya mampu memasok bahan baku industri perikanan sebesar 1000 ton per bulan, padahal kebutuhan bahan baku mencapai 6000 ton per bulan. Kesulitan pasokan bahan baku menyebabkan industri pengolahan ikan hanya bisa berproduksi kurang dari setengah kapasitas terpasangnya. b. Standar Kualitas Produk Kualitas produk tambak udang umumnya masih rendah, umumnya disebabkan kualitas bibit udang yang kurang baik, waktu panen yang kurang tepat dan penanganan pasca panen yang kurang baik. Kualitas rendah ditandai dengan ukuran udang kecil, produk tidak segar dan moulting akibat kurang tepatnya penanganan waktu panen. Kondisi ini disebabkan kurangnya pengetahuan dan pendidikan berkaitan dengan budidaya dan penanganan udang. c. Limbah Industri udang Limbah industri udang baik di budidaya maupun di tingkat agroindustri sangat mempengaruhi kualitas lingkungan. Limbah budidaya berupa sisa sisa pakan udang dan obat-obatan akan mempengaruhi produktifitas panen pada musim berikutnya. Banyaknya kandungan limbah budidaya menyebabkan tingkat kematian udang akan meningkat baik disebabkan keracunan maupun kerentanan terhadap serangan penyakit. Limbah agroindustri berupa sisa-sisa grading dan air pencucian akan menimbulkan bau dan kontaminasi di perairan maupun tambak sehingga akan menimbulkan permasalahan baru yang kompleks baik dari sisi lingkungan maupun sosial. Oleh karena itu permasalahan limbah budidaya udang dan pengolahan perlu mendapatkan penanganan yang serius agar keberlanjutan agroindustri udang bisa berlangsung. d. Kelembagaan Hubungan kelembagaan yang terjalin antar pelaku pelaku dalam kawasan Minapolitan umumnya telah ada. Hal ini tercermin pada mekanisme jual beli antara petambak dengan pedagang, pedagang dengan pedagang dan pedagang dengan agroindustri. Namun demikian hubungan kelembagaan ini sifatnya lemah dalam arti hanya bersifat bisnis semata tidak dalam bagaimana menjaga keberlangsungan agar agroindustri hulu sampai hilir bisa tetap berlangsung, egoisme masing masing pelaku dalam mendapatkan keuntungan sebagai penyebab lemahnya kelembagaan yang ada. Oleh karena itu perlu peran pemeritah yang lebih besar untuk memperkuat sistem kelembagaan yang telah ada. Model pengembangan agroindustri udang di kawasan Minapolitan dimaksudkan permasalahan dan kesenjangan yang ada bisa teratasi. Dengan adanya model ini diharapkan pengembangan Minapolitan dapat menyelesaikan permasalahan, aspek apa saja yang seharusnya diperbaiki dan perlu mendapatkan kebijakan yang tepat, sehingga keberlanjutan agroindustri udang pada masa mendatang dapat ditingkatkan.
38 Identifikasi Sistem Identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan dengan pernyataan khusus dari masalah yang diselesaikan untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan sistem. Identifikasi sistem dimaksudkan untuk menentukan batasan sistem dan ruang lingkup penelaahan model pengembangan agroindustri udang di kawasan Minapolitan. Identifikasi sistem bertujuan untuk memberikan gambaran terhadap model klaster Minapolitan dalam bentuk diagram. Diagram yang digunakan adalah diagram sebab akibat (causal loop) yang kemudian diterjemahkan dalam diagram input-output (black box diagram). Diagram sebab akibat (causal loop) Causal loop merupakan penggambaran model agroindustri udang di kawasan Minapolitan dan berbagai elemennya yang terkait berikut interaksinya. Pengambaran ini menjelaskan kebutuhan sistem dan permasalahannya serta tujuan yang ingin dicapai. Tujuan pengembangan agroindustri udang di kawasan Minapolitan adalah untuk mengembangkan sebuah model pengembangan yang berdampak positif, baik dari sisi ekonomi, sosial dan lingkungan sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Dukungan dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan sangat berkorelasi bagi keberlanjutan klaster Minapolitan yang dibangun, jika salah satu dimensi tersebut kinerjanya negatif maka keberlanjutan klaster akan berkurang, seperti dicontohkan misalnya dari sisi ekonomi, salah satu pelaku klaster tidak diuntungkan dengan kegiatan perdagangan komoditas utama dalam klaster maka akan terjadi pelemahan terhadap kinerja ekonomi klaster tersebut, sebaliknya jika kebutuhan bahan baku meningkat didukung harga komoditas bagus akan meningkatkan pelaku pembudidaya untuk memproduksi bahan baku, dengan didukung kelayakan usaha yang semakin meningkat maka keberlanjutan sisi ekonomi sebuah klaster akan meningkat pula. Begitu juga dengan sisi lingkungan misalnya, banyaknya limbah yang dihasilkan dalam kegiatan Minapolitan akan berdampak negatif terhadap daya dukung lingkungan. Banyaknya limbah yang dihasilkan juga akan meningkatkan biaya sosial yang harus di tanggung akibat dampak limbah yang ditimbulkan, begitu juga sebaliknya. Hubungan yang harmonis dan sinergi antar pelaku dalam klaster Minapolitan akan mampu mewujudkan agroindustri udang berkelanjutan. Pengembangan Minapolitan harus juga berdampak positif pada dimensi sosial. Tingkat penyerapan tenaga kerja yang tinggi, peningkatan kesejahteraan pekerja merupakan dampak positif yang diharapkan pada pengembangan agroindustri udang di kawasan Minapolitan. Hubungan antar elemen sistem pembentuk klaster Minapolitan digambarkan dalam diagram sebab-akibat Model pengembangan Agroindustri udang di kawasan Minapolitan yang ditunjukkan dalam Gambar 17.
39
+
Kebijakan Pemerintah
+
Sumberdaya Udang
-
Kebutuhan Bahan Baku Industri -
+
-
Kebutuhan Pasar
Keberlanjutan Lingkungan
+ +
+
Potensi Limbah dan Resiko Pencemaran +
-
Keberlanjutan Ekonomi
Biaya sosial
+ +
+
Daya Saing Agroindustri + +
Kelayakan Bisnis Agroindustri
Keberlanjutan Agroindustri Udang di Kawasan Minapolitan +
+
-
Pendapatan Daerah
+
Keberlanjutan Sosial
+
+
+
Kesejahteraan Pelaku Klaster
+
Lembaga Pembiayaan +
Gambar 17 Diagram sebab akibat model pengembangan agroindustri udang di kawasan Minapolitan Diagram input-output (black box diagram). Model pengembangan agroindustri udang di kawasan Minapolitan, dibangun dengan mengakomodasi berbagai kebutuhan elemen sistem yang terkait. Hubungan antar elemen, input maupun output dalam model pengembangan agroindustri udang di kawasan Minapolitan dinyatakan dalam diagram Input-Output (black box diagram) disajikan pada Gambar 18. Penggunaan diagram input-output dapat mengabstaksikan model keberlanjutan agroindustri udang di kawasan Minapolitan sebagai kotak hitam, dimana struktur yang ada didalamnya dianggap belum diketahui. Melalui proses dan fenomena tertentu yang terjadi dalam model agroindustri udang di kawasan Minapolitan maka masukan-masukan yang diterima akan diolah menjadi keluaran-keluaran sistem. Mekanisme umpan balik akan mengolah kembali keluaran yang tidak diinginkan menjadi keluaran yang diinginkan. Mekanisme umpan balik yang dapat dijadikan landasan untuk memilih alternatif strategi dalam meningkatkan keberlanjutan agroindustri udang di kawasan Minapolitan.
40 INPUT LINGKUNGAN : - Peraturan & Kebijakan Pemerintah - Kondisi Ekonomi Mikro - Perubahan Iklim Global
INPUT TAK TERKONTROL : Harga Produk udang ekspor Perubahan Iklim dan Cuaca Volume Produksi udang luar kawasan Nilai Tukar Rupiah
OUTPUT DIKEHENDAKI: Keberlanjutan ekonomi Keberlanjutan sosial Keberlanjutan lingkungan MODEL PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI UDANG DI KAWASAN MINAPOLITAN
INPUT TERKONTROL : Struktur Klaster Teknologi Budidaya Kapasitas Produksi Budidaya udang kawasan Teknologi pasca panen Biaya Investasi Usaha Insentif pajak
OUTPUT TIDAK DIKEHENDAKI: Peningkatan produksi melebihi daya dukung lingkungan Pencemaran lingkungan Pengurangan kapasitas agroindustri
MANAJEMEN PENGENDALIAN
Gambar 18 Diagram input-output model pengembangan agroindustri udang di kawasan Minapolitan Diagram input output model pengembangan agroindustri udang di kawasan Minapolitan tergambar proses umpan balik antara output yang dikehendaki dengan input yang masuk. Proses umpan balik memerlukan suatu indikator sebagai dasar tercapainya output yang dikehendaki dalam model pengembangan agroindustri udang di kawasan Minapolitan. Indikator haruslah mudah diukur, sederhana dan dapat mewakili sistem secara keseluruhan.
Indikator Keberlanjutan Indikator keberlanjutan haruslah sesuai dan mampu mewakili sistem secara keseluruhan apabila tercapai output sistem yang dikehendaki. Penentuan indikator harus selalu terkait dengan tujuan (McCool dan Stankey, 2004). Beberapa kriteria yang digunakan dalam pemilihan indikator adalah sebagai berikut: 1. Indikator merupakan seperangkat variabel kunci yang mampu menggambarkan kinerja sistem yang kompleks secara efektif 2. Nilai indikator dapat digunakan untuk melakukan pengukuran sistem secara efektif, dan dapat menggambarkan keadaan masa mendatang sehingga dapat digunakan sebagai alat bantu pengambilan kebijakan Menurut Hemphill et al. (2004) kharakteristik indikator harus sesuai dengan maksud pengukuran, akurat dan terpercaya dan informasinya mudah diperoleh. Penetapan indikator keberlanjutan agroindustri udang di kawasan Minapolitan yang sesuai didasarkan pada survey lapang, wawancara mendalam dengan pelaku, narasumber
41 ahli dan pengkajian pustaka yang berkaitan dengan indikator yang biasa digunakan dalam penentuan keberlanjutan pengembangan agroindustry udang di kawasan Minapolitan. Tabel 4 Indikator keberlanjutan pengembangan agroindustri udang di kawasan Minapolitan No Dimensi Indikator Keberlanjutan 1. Ekonomi - Keuntungan petambak - Keuntungan pedagang - Keuntungan agroindustri - Pendapatan Asli Daerah 2. Sosial - Penyerapan tenaga kerja - Potensi biaya sosial 3. Lingkungan - Produksi Udang Kawasan Minapolitan - Kontinuitas produksi udang - Potensi volume limbah
42 5. PEMODELAN SISTEM Model Pasokan Bahan Baku Kawasan Minapolitan Menurut Austin (1981) agroindustri adalah inti rantai komoditas pertanian yang penting. Agroindustri udang sebagai bagian dari agroindustri membutuhkan pasokan bahan baku berkualitas dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan. Rantai pasokan agroindustri udang di wilayah Minapolitan terdiri dari produsen udang yaitu petambak udang, kemudian pedagang pengumpul yang terdiri dari pedagang kecil dan pedagang besar, dan agroindustri pembekuan udang sebagai konsumen utama komoditas udang. Pemenuhan pasokan bahan baku bagi industri pembekuan udang saat ini masih rendah, ditandai dengan rerata kapasitas produksinya kurang dari setengah kapasitas terpasangnya. Pemenuhan pasokan bahan baku udang agroindustri bersumber dari dalam kawasan dan luar kawasan Minapolitan. Pada umumnya pemenuhan bahan baku agroindustri udang lebih mementingkan dari dalam kawasan dengan berbagai alasan. Pengutamaan bahan baku dari dalam kawasan dikarenakan tingkat kesegarannya lebih baik dan terjadinya peningkatan keberlangsungan berusaha dengan adanya jalinan dengan pemasok dan pekerja dari dalam kawasan. Model pasokan bahan baku di kawasan minapolitan udang menjelaskan keadaan produksi udang Vaname yang ada di dalam kawasan dari waktu ke waktu dalam kaitannya dengan kebutuhan agroindustri pembekuan udang terhadap bahan baku udang. Model ini dapat memberikan gambaran secara jelas apakah produksi udang di kawasan minapolitan telah dapat memenuhi kebutuhan bahan baku agroindustri pembekuan udang atau belum, menduga seberapa besar potensi volume produksi udang di dalam kawasan, dan bagaimana kecenderungannya pada waktu mendatang terkait dengan keberlanjutan pasokan bahan baku udang bagi agroindustri tersebut. Dengan menggunakan model ini, pasokan bahan baku ke agroindustri yang berada di dalam kawasan dapat ditentukan nilainya kemudian dibandingkan dengan besarnya kapasitas produksi yang tersedia. Nilai rasio antara pasokan bahan baku dengan kapasitas produksi digunakan sebagai dasar untuk menentukan tingkat keberlanjutannya pada masa mendatang. Lingkup model pasokan bahan baku adalah mengkaji sistem produksi udang pada setiap jenjang kegiatan atau aktivitas produksi yang terjadi di kawasan Minapolitan. Model dibangun dengan mempertimbangkan tiga aspek yang mempengaruhi dinamika produksi udang, yaitu aspek pelaku, teknis, dan ekonomi. Pelaku yang terlibat dalam sistem yang dikaji adalah petambak udang, pedagang pengumpul (pedagang kecil dan besar) dan agroindustri pembekuan. Petambak udang berperan sebagai produsen udang segar yang menghasilkan udang bagi para pedagang pengumpul di dalam kawasan. Pedagang pengumpul tidak hanya berperan sebagai pengumpul saja, namun juga melakukan aktivitas yang dapat meningkatkan nilai tambah udang segar melalui kegiatan pemilahan atau grading mutu udang segar. Agroindustri pembekuan udang memperoleh bahan baku udang dari para pedagang pengumpul dan mengolahnya menjadi produk udang beku. Agroindustri merupakan pasar bagi para pedagang pengumpul, sedangkan pedagang pengumpul udang adalah pasar bagi petambak udang. Dengan demikian, model yang dibangun pada dasarnya menggambarkan pasokan dan permintaan dari masingmasing pelaku yang terlibat dalam rantai produksi udang di dalam kawasan.
43 Aspek teknis berkaitan dengan sifat atau karakteristik operasional yang mempengaruhi volume produksi udang di dalam kawasan, meliputi luas lahan budidaya, pola budidaya, mutu benih dan produktivitas. Pedagang pengumpul tidak dibatasi oleh kemampuan mengelola udang segar dari petambak udang, artinya pelaku ini mampu menerima berapa pun produksi udang segar dari petambak, serta bebas mendistribusikan hasil produksinya kepada agroindustri yang ada di dalam ataupun di luar kawasan. Sementara, kemampuan agroindustri memanfaatkan udang segar dibatasi oleh kapasitas produksinya. Apabila kapasitas produksi agroindustri melampaui produksi udang di dalam kawasan, maka keseluruhan udang segar akan dimanfaatkan. Sebaliknya, jika kapasitasnya kurang dari produksi udang di dalam kawasan, maka kelebihan udang segar akan dijual oleh pedagang pengumpul untuk dimanfaatkan agroindustri pembekuan udang lain yang berada di luar kawasan. Aspek ekonomi berkaitan dengan harga transaksi antara agroindustri dengan para pedagang pengumpul. Apabila harga yang yang ditawarkan oleh agroindustri sesuai dengan harapan, maka agroindustri akan mempunyai peluang besar mendapatkan bahan baku udang dari dalam kawasan secara kontinyu. Demikian pula sebaliknya, apabila harga yang ditawarkan lebih rendah dari yang diharapkan pelaku, maka para pedagang pengumpul akan menjualnya ke luar kawasan sehingga agroindustri beresiko untuk menghadapi kehilangan pasokan bahan baku dari dalam kawasan. Disamping berpengaruh terhadap kontinyuitas pasokan bahan baku dari dalam kawasan, harga juga berpengaruh terhadap pendapatan para pelaku lainnya. Terjadinya surplus harga, yaitu apabila harga yang ditawarkan oleh agroindustri melebihi harga harapan pelaku, menyebabkan karakteristik operasional petambak udang akan mengalami perubahan menjadi lebih baik karena usaha budidaya udang dipandang prospektif. Penanganan kompleksitas dan penggambaran kedinamikaan sistem yang dikaji, maka model pasokan bahan baku di kawasan minapolitan udang dibangun menggunakan model sistem dinamik. Konsep model dibangun berdasarkan diagram lingkar sebab akibat sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 19.
++
++
Pola Pola budidaya budidaya udang udang
++
++
Proporsi Proporsi luas luas lahan lahan budidaya budidaya
++
Produksi Produksi udang udang segar segar Minapolitan Minapolitan
Luas Luas lahan lahan budidaya budidaya tambak tambak Minapolitan Minapolitan
Luas Luas pemanfaatan pemanfaatan lahan lahan budidaya budidaya Laju Laju pengurangan pengurangan lahan lahan budidaya budidaya
++
Produktivitas Produktivitas tambak tambak
++
Produksi Produksi udang udang hasil hasil sortasi sortasi Pedagang Pedagang pengumpul pengumpul dalam dalam Kawasan Kawasan Minapolitan Minapolitan
++ Skill Skill petambak petambak udang udang dalam dalam kawasan kawasan
Keberlanjutan Keberlanjutan pasokan pasokan bahan bahan baku baku Agroindustri Agroindustri Udang Udang
++
++
++ Surplus Surplus harga harga udang udang dalam dalam kawasan kawasan
-
++
Pasokan Pasokan udang udang dari dari dalam dalam kawasan kawasan
++ Rasio Rasio pemanfaatan pemanfaatan kapasitas kapasitas agroindustri agroindustri
++ -
Harga Harga udang udang hasil hasil sortasi sortasi luar luar kawasan kawasan Minapolitan Minapolitan
++ Harga Harga udang udang hasil hasil sortasi sortasi dalam dalam kawasan kawasan Minapolitan Minapolitan
++
Bahan Bahan baku baku Agroindustri Agroindustri Udang Udang
++ ++
Pasokan Pasokan udang udang dari dari luar luar kawasan kawasan
Produksi Produksi Udang Udang Beku Beku
Gambar 19 Diagram kausal pasokan bahan baku agroindustri udang
-
Kapasitas Kapasitas Agroindustri Agroindustri
44 Variabel produksi udang segar di dalam kawasan pada diagram kausal menjelaskan volume udang segar yang mampu diproduksi oleh petambak udang yang ada di di dalam kawasan. Nilai variabel tersebut dipengaruhi oleh variabel luas budidaya, jenis bibit yang digunakan, produktivitas dan frekuensi budidaya dalam setahun. Variabel luas lahan budidaya menunjukkan luas lahan untuk masing-masing pola budidaya. Variabel ini dinyatakan dalam bentuk stock yang nilainya dipengaruhi oleh laju pengurangan luas budidaya, luas pemanfaatan lahan budidaya dan proporsi luas lahan budidaya udang. Ketersediaan lahan budidaya dari tahun ke tahun kecenderungan berkurang, tahun 2011 terjadi pengurangan luas lahan sebesar 762 ha untuk kebutuhan permukiman dan industri. Luasan lahan juga dipengaruhi oleh proporsi pemanfaatan lahan yang ada, proporsi luas lahan nantinya dapat diinput melalui user interface dalam program simulasi. Terdapat empat jenis pola budidaya dalam produksi udang oleh petambak, tradisional, tradisional plus, semi intensif dan intensif. Variabel proporsi luas lahan budidaya udang merupakan variabel dinamis yang dipengaruhi oleh variabel keputusan investasi. Melalui variabel ini, proporsi luas lahan budidaya untuk masing-masing pola budidaya akan berubah, bisa naik – bisa turun, tergantung selisih harga jual udang segar. Jika selisihnya positif, pola budidaya akan bergeser ke arah budidaya plus/semi intensif/intensif, sebaliknya jika selisihnya negatif, bergeser ke arah yang lebih tradisional. Variabel produktivitas panen udang bersifat dinamis, dipengaruhi oleh variabel ketrampilan petambak dan kualitas bibit. Variabel ketrampilan, nilainya tergantung dari variabel selisih harga jual udang segar. Semakin tinggi selisihnya (selisih positif), maka keuntungan yang diperoleh oleh petambak/pedagang pengumpul semakin tinggi. Situasi ini akan menyebabkan petambak menjadi lebih tertarik terhadap usaha budidaya udang karena menjanjikan keuntungan yang besar. Akibatnya, mereka akan menggunakan sebagian keuntungannya untuk menambah ketrampilan, baik melalui training individu, maupun training institusi melalui kelompok petambak udang sehingga ketrampilan akan meningkat Tingkat penyediaan bahan baku agroindustri udang dalam kawasan Minapolitan ditentukan oleh volume pasokan udang dan seberapa besar kapasitas produksi dan jumlah agroindustri dalam kawasan Minapolitan. Keberlanjutan pasokan bahan baku agroindustri udang ditentukan oleh pasokan udang dalam kawasan dan luar kawasan Minapolitan yang mencukupi. Umumnya pasokan bahan baku dalam kawasan lebih diutamakan dibandingkan pasokan dari luar kawasan. Ketersediaan pasokan bahan baku yang mencukupi dalam kawasan akan lebih meningkatkan keberlanjutan agroindustri udang. Peningkatan volume produksi udang kawasan Minapolitan, meningkatkan tingkat penyediaan bahan baku dalam kawasan. Semakin meningkatnya tingkat penyediaan bahan baku agroindustri dalam kawasan akan meningkatkan keberlanjutan agroindustri udang. Tingkat keberlanjutan pasokan bahan baku agroindustri udang diklasifikasikan menjadi 4 tingkatan kategori. Tingkatan ini didasarkan dari sejumlah narasumber ahli dari praktisi agroindustri udang. Tingkatan tersebut dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap kinerja produksi terhadap penggunaan kapasitas terpasang agroindustri udang. Penggunaan kapasitas terpasang menentukan tingkat keuntungan dan keberlanjutan agroindustri. Tingkatan
45 keberlanjutan agroindustri udang berdasarkan atas penyediaan bahan baku agroindustri udang ditunjukkan pada Tabel 5. Tabel 5
Tingkatan keberlanjutan agroindustri udang berdasar atas penyediaan bahan baku Katagori
Rentang nilai Indikator
Skor
Tidak berkelanjutan Kurang berkelanjutan Cukup berkelanjutan Sangat berkelanjutan
< 30% 30% - 50% 50% - 70% >70%
1 2 3 4
Model pendugaan pasokan bahan baku agroindustri udang di kawasan Minapolitan akan menghasilkan prediksi volume pasokan udang dalam klaster Minapolitan. Model dinamik pasokan bahan baku agroindustri udang ditunjukkan pada Gambar 20. Sedangkan persamaan dalam menentukan pasokan bahan baku agroindustri udang kawasan Minapolitan secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 1. Konstanta Pengurangan Lahan Luas Lahan Total
Luas Lahan yang Tersedia Laju Pengurangan Lahan Input Proporsi Pemanfaatan Lahan Proporsi Pemanfaatan Lahan
Laju Perkembangan Lahan Budidaya
Penyesuaian Proporsi Luas Lahan Budidaya Udang
Luas Lahan Bud1daya
Proporsi Luas Budidaya Berdasar Jenis Bibit
Loss Udang Segar Karena Transportasi
Frekuensi Budidaya Proporsi Luas Lahan untuk Budidaya Udang
Produksi Udang Segar
INPUT PROPORSI LAHAN BUDIDAYA TRADISIONAL
INPUT PROPORSI LAHAN BUDIDAYA TRADISIONAL PLUS
Proporsi Luas Lahan Budidaya Udang Perubahan Proporsi Luas Lahan Budidaya
Volume Udang yang Diterima Pedagang Pengumpul
INPUT PROPORSI LAHAN BUDIDAYA INTENSIF
Konversi Afkir
Akumulasi Produk Hasil Olahan Produksi Hasil Pedagang Pengumpul Olahan Udang di Pedagang Pengumpul
Proporsi Udang yang di jual di Dalam Kaw asan
INPUT PROPORSI LAHAN BUDIDAYA SEMI INTENSIF Harga Jual Udang Luar Kaw asan
Suplai udang dari Dalam Kaw asan
Bahan Baku untuk Agroindustri
Fluktuasi Harga Udang di Dalam Kaw asan
Katagori Keputusan Investasi Pola Budidaya
Rasio Bahan Baku dan Kapasitas Agroindustri
Katagori Keberlanjutan
Kap Total Agroindustri
Suplai Udang dari Luar Kaw asan Gap Harga Jual Laju Produksi Udang Beku Agroindustri
Provit B-Intensif Rata-rata Surplus Laju Surplus Harga Harga Udang dalam Kaw asan Udang di Dalam Kaw asan
Produktivitas Panen Udang
Rendemen produk Kap Total Agroindustri
Provitas B-Trad Peningkatan Skill
Provitas B-TradPlus Provitas B-Semi-Int Skill SDM Petambak Udang
Laju Peningkatan Skill SDM Petambak
Produksi Udang Beku Agroindustr1
Klasifikasi SKILL SDM
Gambar 20 Model dinamik pasokan bahan baku agroindustri udang
46 Pembangunan model dinamik pasokan bahan baku agroindustri udang yang dilakukan, kemudian dilakukan proses simulasi beberapa skenario terhadap variabel inputan. Kinerja yang ditunjukkan dari nilai indikator tingkatan keberlanjutan agroindustri udang atas pasokan bahan baku di kawasan Minapolitan, kemudian ditindaklanjuti dengan pendekatan berbasis agen. Pendekatan ini digunakan untuk mengetahui perilaku dan interaksi antar agen yang mempengaruhi keberlanjutan pasokan bahan baku agroindustri udang.
Konfigurasi Model Berbasis Agen Pemodelan sistem dilakukan guna efektifitas dan efisiensi dalam melakukan kajian terhadap sistem yang sangat komplek. Kompleksitas sistem seperti dalam pengembangan agroindustri udang di kawasan Minapolitan. Model yang dibangun menurut Checkland (1995) harus dibuat seakurat mungkin agar hasil simulasi dari sistem nyata bisa sesuai. Konfigurasi model pengembangan agroindustri udang di kawasan Minapolitan berbasis agen dirancang dalam bentuk perangkat lunak simulasi model. Tahapan analisis meliputi pembentukan diagram use case, identifikasi agen, identifikasi tugas, identifikasi relasi, perbaikan agen dan informasi penyebaran agen. Desain sistem yang dibangun bertumpu pada pembangunan berkelanjutan dengan tiga dimensi keberlanjutan. Desain sistem yang mengacu pada ketiga dimensi yang secara simultan akan menghasilkan keluaran berupa nilai indikator keberlanjutan secara ekonomi, keberlanjutan secara sosial dan keberlanjutan lingkungan. Kinerja dari masing masing nilai indicator dijadikan sebagai acuan dalam menentukan strategi kebijakan dalam pengembangan peningkatan keberlanjutan agroindustri udang di kawasan Minapolitan. Pembentukan Diagram Use Case Diagram use case merupakan teknik yang efektif dan jelas dalam menggambarkan kebutuhan sebuah sistem. Diagram use case merepresentasikan satu atau lebih skenario yang menggambarkan apa yang diperbuat sistem, interaksi apa yang dilakukan dengan sistem lain untuk mencapai tujuan tertentu beserta tindakan-tindakan yang akan dilakukan oleh agen yang terlibat dalam sebuah sistem tersebut. Berdasarkan kriteria sebuah entitas dapat dikatakan sebagai agen dan observasi dilapangan, model pengembangan agroindustri udang di kawasan Minapolitan memiliki 4 agen pelaku usaha utama yang aktif dan saling berinteraksi yaitu petambak, pedagang kecil, pedagang besar, dan agroindustri. Diagram use case menggambarkan apa yang dilakukan oleh agen dalam sebuah sistem secara umum. Petambak merespon akan permintaan komoditas udang dengan melakukan kegiatan penanaman dan pemanenan dan menjual hasil panenannya ke pedagang kecil dan mendistribusikan. Pedagang kecil melakukan apa yang dinamakan jual beli antar agen, interaksi dengan petambak melakukan kegiatan pembelian, sedangkan dengan pedagang besar melakukan aktifitas penjualan. Masing masing agen membuat kesepakatan dan mendistribusikan komoditas yang diperdagangkan. Agroindustri sebagai konsumen melakukan pembelian sesuai dengan rencana produksi dan kemudian melakukan proses produksi. Secara rinci diagram use case ditunjukkan pada Gambar 21.
47 Panen Panen Udang Udang Merespon Merespon Kebutuhan Kebutuhan Udang Udang
Budidaya Budidaya Udang Udang
Petambak
Membuat Membuat Kesepakatan Kesepakatan
Distribusi Distribusi Udang Udang Pedagang Kecil
Pedagang Besar Rencana Rencana Produksi Produksi Produksi Produksi
Agroindustri Udang
Ekspor Ekspor
Gambar 21 Diagram use case klaster Minapolitan Identifikasi Agen Pengidentifikasian aktor berdasarkan diagram use case di atas yang mengacu pada Nikraz (2006), dimana agen merupakan entitas yang berperan aktif dalam sebuah sistem dan mempunyai prilaku dan mengambil keputusan. Pada Minapolitan terdapat empat agen yaitu agen produsen udang yang diwakili oleh petambak, pedagang kecil sebagai agen pemasok kecil, pedagang besar sebagai agen besar pemasok udang ke agroindustri, dan agen agroindustri sebagai konsumen utama komoditas udang dalam klaster Minapolitan. Identifikasi Tugas Pengidentifikasian tugas tiap agen dilakukan dalam bentuk informal dan mudah dicerna dengan cara menterjemahkan tugas tiap agen dari use case dan mengidentifikasi aktifitas yang lebih jelas dari masing-masing agen. Hasil identifikasi aktivitas agen ditunjukkan pada Tabel 6. Tabel 6 Kegiatan petambak Jenis Agen Aktifitas Petambak Merespon permintaan komoditas udang Menanam bibit udang pada lahan tambak Menawarkan komoditas udang Mencari harga yang sesuai dengan mutu udang Memanen udang dari tambak Menyerahkan hasil panen ke pedagang kecil
48 Kegiatan awal petambak adalah melihat potensi usaha tambak udang beserta pemasarannya, dengan asumsi usaha tambak menjanjikan keuntungkan dan pemasaran hasil terbuka luas, maka petambak melakukan kegiatan utama untuk budidaya tambak. Kegiatan awal petambak adalah merencanakan dalam satu tahun berapa kali proses penanaman, kemudian merencanakan bibit udang yang akan di tebar apakah menggunakan bibit kualitas satu atau kualitas dua, setelah itu mengkalkulasi biaya budidaya tambak. Setelah tahap perencanaan selesai kemudian melakukan kegiatan penanaman dengan tebar bibit yang sesuai dengan pola budidaya. Pola budidaya yang digunakan adalah tradisional plus, dimana dalam model budidaya tradisional plus tebar bibit antara 80 ribu sampai 100 ribu ekor per hektar. Pada umur panen yang telah ditentukan, dilakukan pemanenan udang dengan mencari terlebih dahulu pedagang kecil yang siap untuk membeli udang dengan harga yang sesuai dengan prakiraan mutu udang. Kegiatan pedagang kecil diawali dengan mengidentifikasi harga dan mutu udang yang diinginkan oleh pembeli kemudian menganalisis daerah dan petambak yang potensi panen beserta informasi luasan lahan budidaya yang akan panen. Aktivitas selanjutnya adalah menentukan jumlah pembelian yang disesuaikan dengan kondisi keuangan yang ada, termasuk kemungkinan melakukan proses peminjaman modal kepada pedagang besar atau lembaga permodalan. Kemudian melakukan proses pembelian dan melakukan kegiatan sortasi untuk memilah mutu berdasarkan ukuran udang yang dibeli dari petambak. Hasil sortasi pedagang kecil dijual ke pedagang besar sesuai dengan kesepakatan sebelumnya, terkait dengan harga dan mutu yang ada. Produk sortasi yang rusak dan tidak masuk kelas mutu biasanya langsung dijual ke pasar. Pedagang kecil sebenarnya bisa langsung menjual ke agroindustri, namun tidak dilakukan karena sistem pembayaran di agroindustri udang memiliki rentang waktu yang cukup lama. Pedagang kecil memerlukan pembayaran langsung untuk melakukan proses pembelian selanjutnya. Selengkapnya ditunjukkan pada Tabel 7. Tabel 7 Kegiatan pedagang kecil Jenis Agen Aktivitas Pedagang kecil Merespon permintaan komoditas udang Mengidentifikasi panen petambak dan pedagang besar sebagai pembeli produk udang Menentukan jumlah udang yang akan dibeli Melakukan pembelian udang petambak Melakukan proses sortasi hasil pembelian udang petambak Mencari harga yang sesuai dengan mutu udang Menyerahkan hasil panen ke pedagang besar sesuai kesepakatan Menerima pembayaran atas produk yang dijual Pedagang besar melakukan kegiatannya tidak jauh berbeda dengan pedagang kecil, yang membedakan hanya ketersediaan modal dan akses langsung ke agroindustri. Ketersediaan modal yang besar berpengaruh kepada kemampuan volume pembelian yang jauh lebih besar dibanding dengan pedagang kecil. Agroindustri memanfaatkan pedagang besar sebagai pemasok udang karena modal yang dimilikinya. Pedagang besar langsung melakukan transaksi pembayaran ke
49 pedagang kecil, sedangkan agroindustri melakukan pembayaran atas udang yang dibeli dari pedagang besar dengan tempo tertentu. Oleh karena itu agroindustri dalam memenuhi kebutuhan bahan baku udang selalu melalui pedagang besar, dan pedagang besar mendapat keuntungan dari jual beli dan proses pembelian udang dari pedagang kecil di wilayah Minapolitan. Aktivitas agroindustri di mulai dengan menginisiasi kebutuhan produk udang di pasar internasional beserta mutu, volume dan harga dipasaran internasional. Hasil inisiasi kemudian digunakan untuk menentukan rencana produksi udang dengan mutu dan volume yang sesuai dengan hasil identifikasi. Melakukan pembelian bahan baku udang dari pedagang besar dengan syarat mutu dan harga yang sesuai. Umumnya pemasok udang dari pedagang besar yang sudah biasa memasok ke agroindustri tersebut. Agroindustri biasanya lebih memilih pedagang besar yang dalam kawasan, dengan asumsi tingkat penurunan mutu selama transportasi lebih rendah di banding dari luar kawasan. Selain itu pemilihan ini untuk membantu stabilitas atas berdirinya agroindustri udang di kawasan tersebut, dan membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar agroindustri. Setelah adanya bahan baku udang, agroindustri menjalankan proses produksinya dan menghasilkan produk yang sesuai dengan keinginan konsumen. Keberlangsungan proses produksi dan keuntungan yang diperoleh, diharapkan berimbat terhadap keberlanjutan agroindustri udang di kawasan Minapolitan secara keseluruhan. Selengkapnya ditunjukkan pada Tabel 8. Tabel 8 Kegiatan agroindustri Jenis Agen Aktivitas Agroindustri Menginisiasi permintaan komoditas udang (mutu dan harga) Merespon permintaan komoditas udang Mengidentifikasi panen petambak dan pedagang besar sebagai pemasok bahan baku udang Membuat rencana produksi Menentukan jumlah udang yang akan di beli Melakukan pembelian udang Melakukan proses produksi sesuai rencana produksi Menjual produk ke konsumen sesuai dengan mutu yang disepakati Menerima pembayaran atas produk yang dijual Identifikasi Relasi Pada tahap pengembangan sistem, identifikasi relasi merupakan kegiatan penggambaran penentuan interaksi antar agen. Identifikasi relasi dibutuhkan untuk mengetahui interaksi antar agen, aliran informasi, dan barang/jasa maupun modal. Terdapat tiga interaksi antar agen yaitu interaksi petambak dengan pedagang kecil, pedagang kecil dengan pedagang besar dan pedagang besar dengan agroindustri udang. Interaksi masing-masing agen ditunjukkan berturut turut pada Gambar 22, 23 dan 24.
50
Memanen Memanen Udang Udang
Merespon Merespon Panenan Panenan
Transaksi Transaksi Harga Harga Menjual Menjual udang udang Membeli Membeli Udang Udang Petambak Penyerahan Penyerahan udang udang
Pedagang Kecil
Penerimaan Penerimaan udang udang
Gambar 22 Interaksi agen petambak dengan pedagang kecil Menawarkan Menawarkan Udang Udang
Merespon Merespon Penawaran Penawaran
Transaksi Transaksi Harga Harga Menjual Menjual udang udang Membeli Membeli Udang Udang Pedagang Kecil Penyerahan Penyerahan udang udang
Pedagang Besar
Penerimaan Penerimaan udang udang
Gambar 23 Interaksi agen pedagang kecil dengan pedagang besar Menawarkan Menawarkan Udang Udang
Merespon Merespon Penawaran Penawaran
Transaksi Transaksi Harga Harga Menjual Menjual udang udang Membeli Membeli Udang Udang Pedagang Besar Penyerahan Penyerahan udang udang
Agroindustri
Penerimaan Penerimaan udang udang
Gambar 24 Interaksi agen pedagang besar dengan agen agroindustri
51 Identifikasi relasi antara petambak dengan pedagang kecil memperlihatkan terjadinya aliran informasi terkait dengan adanya informasi panenan udang. Informasi direspon oleh pedagang dengan melakukan penawaran terhadap udang yang di panen. Setelah terjadi kesepakatan maka interaksi berikutnya proses penyerahan udang dari petambak ke pedagang kecil. Proses tersebut terdapat aliran barang dan aliran uang hasil transaksi yang dilakukan antar kedua agen dalam proses rantai pasokan komoditas udang. Identifikasi relasi tahap selanjutnya antara pedagang kecil dan pedagang besar. Proses relasi antar kedua agen bersifat perdagangan. Pedagang kecil menawarkan barang dan pedagang besar merespon adanya informasi penjualan dari pedagang kecil. kedua agen selanjutnya melakukan transaksi dan kesepakatan kesepakatan terhadap proses jual beli yang dilakukan. Hasil kesepakatan berdampak pada transformasi perpindahan komoditas udang yang diperdagangkan dari pedagang kecil ke pedagang besar dan transformasi uang dari pedagang besar ke pedagang kecil. relasi selanjutnya dalam sistem rantai pasok komoditas udang adalah interaksi antara pedagang besar dan agroindustri udang sebagai konsumen utama dalam kawasan Minapolitan. Proses awal dalam interaksi antar agen, agen agroindustri mendapatkan informasi kebutuhan produk dan harga dari pasar global yang kemudian diterjemahkan dalam rencana produksi dan kebutuhan bahan baku. Informasi tentang kebutuhan bahan baku kemudian ditindaklanjuti dengan melakukan proses penginformasian ke pedagang besar tentang kebutuhan bahan baku, termasuk didalamnya jumlah dan kualitas yang dibutuhkan. Respon selanjutnya melakukan penawaran dan kesepakatan antar kedua agen pada komoditas udang yang diperdagangkan. Jika terjadi kesepakatan maka terjadi aliran barang dan uang antar kedua agen.
Desain Pengembangan Agroindustri udang di kawasan Minapolitan Pengembagan agroindustri udang di kawasan Minapolitan dibangun melalui program simulasi SOARS (spot oriented agent role simulator). Aktivitas dan interaksi yang diidentifikasi sebelumnya diterjemahkan sesuai dengan kaidah-kaidah yang ada dalam program simulasi. Konsep SOARS dibangun dari dua komponen dasar yaitu agen dan tempat interaksi agen (spot). Masing-masing agen dan spot memiliki aturan (role) yang dapat berubah tergantung situasi. Proses pentahapan dilakukan secara berurutan mulai dari tahap awal (initial stage) kemudian masuk ke tahap utama (main stage), sampai kemudian ke tahap akhir (terminal stage) dari masing masing agen. Tahap akhir nantinya berupa nilai nilai indikator yang nantinya sebagai dasar ukuran tingkat keberlanjutan suatu pengembangan. Nilai indikatorindikator mencerminkan kinerja dari aktivitas dan interaksi antar agen yang ada di dalam klaster. Tahapan program simulasi model pengembangan agroindustri udang di kawasan Minapolitan ditunjukkan pada Gambar 25.
52 Masa kirim udang petambak
Sortir pedagang kecil Grading pedagang kecil
Masa jual udang petambak
Pre masa jual pedagang kecil
Inisialisasi Masa panen
Masa jual pedagang kecil Masa tanam
Siklus Tahapan Post masa jual pedagang kecil Produksi agroindustri
status
Masa kirim pedagang kecil
Masa kirim pedagang besar
Sortir pedagang besar
Masa jual pedagang besar Grading pedagang besar
Gambar 25 Tahapan simulasi SOARS pengembangan agroindustri udang di kawasan Minapolitan Desain Penghitungan Keberlanjutan Ekonomi Tercapainya keberlanjutan secara ekonomi bertujuan agar masing masing pelaku klaster dapat menjalankan bisnisnya secara menguntungkan, dan dapat memberi kontribusi bagi pembangunan kawasan dalam jangka panjang. Desain penghitungan dari indikator keberlanjutan ekonomi yang dikembangkan, mencakup keuntungan petambak, keuntungan pedagang, keuntungan agroindustri udang, kontribusi ekonomi agroindustri melalui pajak penghasilan ke pemerintah. Model keuntungan petambak bertujuan untuk mengetahui tingkat keuntungan petambak atas usaha budidaya udang yang dilakukan dalam satu tahun. Hasil usaha tambak nantinya dibandingkan dengan nilai upah minimum regional, jika lebih besar dari keuntungan usaha tambak maka budidaya tambak dikatakan berkelanjutan. Diagram alir penentuan tingkat keuntungan petambak disajikan pada Gambar 26.
53 Mulai
Luas lahan Produktivitas Harga udang
Perhitungan kelayakan finansial budidaya udang
Verifikasi
Keuntungan petambak udang
Selesai
Gambar 26 Perhitungan keuntungan petambak Model pengukuran kinerja ekonomi selanjutnya adalah model keuntungan pedagang pengumpul. Aktivitas pedagang pengumpul dalam klaster Minapolitan merupakan agen penghubung antara petambak dan agroindustri udang. Keuntungan yang diperoleh pedagang merupakan penghasilan atas jasa perdagangan dan pengolahan yang dilakukan pedagang pengumpul. Pengolahan yang dilakukan berupa sortasi terhadap udang yang dibeli dari petambak, kemudian hasil sortasi dijual ke agroindustri udang sesuai dengan mutu dan harga yang disepakati. Hasil keuntungan seperti halnya pada petambak, dibandingkan dengan upah minimum regional yang nantinya didapatkan nilai tingkat keuntungan pedagang udang. Diagram alir penentuan tingkat pendapatan pedagang pengumpul disajikan pada Gambar 27. Mulai
volume pembelian udang Harga udang
Perhitungan kelayakan finansial perdagangan udang
Verifikasi
Keuntungan pedagang udang
OK Selesai
Gambar 27 Perhitungan keuntungan pedagang
54 Pedagang pengumpul dalam klaster Minapolitan terdiri dari dua macam yaitu pedagang kecil dan pedagang besar, aktivitas antar keduanya sama yang membedakan adalah volume perdagangan dan modal. Semakin besar volume pembelian maka modal yang dibutuhkan juga semakin besar. Perbedaan lainya adalah model interaksi yang dilakukan, pedagang kecil berinteraksi antara petambak udang dengan pedagang besar, sedangkan pedagang besar berinteraksi dengan pedagang kecil dan agroindustri udang. Kontribusi ekonomi agroindustri udang pada pemerintah, sebagai salah satu indikator keberlanjutan ekonomi Minapolitan adalah besarnya penerimaan pajak dari agroindustri. Kontribusi agroindustri udang terhadap pendapatan asli daerah ditentukan beban pajak terhadap keuntungan yang diperoleh agroindustri. Nilai kontribusi tersebut menunjukkan seberapa besar kontribusi agroindustri udang dapat memberikan manfaat ekonomi bagi suatu daerah. Asumsi ini melandasi bahwa semakin tinggi keuntungan agroindustri maka semakin tinggi pula kontribusinya terhadap pemerintah melalui pendapatan asli daerah. Kontribusi agroindustri terhadap penerimaan asli daerah digambarkan pada Gambar 28. Mulai
Keuntungan Agroindustri Udang (KA) Prosentase pajak (PPH)
Perhitungan kontribusi agroindustri udang (PKA) PKA= (KA) x (PPH) x 100%
Verifikasi OK
Kontribusi Agroindustri
Selesai
Gambar 28 Kontribusi agroindustri terhadap PEMDA Desain Penghitungan Keberlanjutan Sosial Model perhitungan keberlanjutan sosial yang dibangun untuk mengetahui manfaat sosial yang diperoleh dari pengembangan Agroindustri udang di kawasan Minapolitan. Model difokuskan untuk melihat seberapa besar penyerapan tenaga kerja baik di sector pertambakan, perdagangan maupun agroindustri udang. Penyerapan tenaga kerja adalah indikator yang mencerminkan manfaat sosial bagi masyarakat sekitar kawasan Agroindustri udang di kawasan Minapolitan. (Brink dan Woerd 2004; Glavicv dan Krajn 2003). Semakin besar jumlah angkatan kerja yang terserap adanya pengembangan Agroindustri udang di kawasan Minapolitan maka tingkat keberlanjutannya semakin tinggi.
55 Model penyerapan tenaga kerja ditentukan berdasarkan jumlah kebutuhan usaha budidaya tambak, kebutuhan sortasi pada usaha perdagangan dalam kawasan Agroindustri udang di kawasan Minapolitan. Model penyerapan tenaga kerja dalam kawasan Minapolitan dapat dilihat pada Gambar 29. Mulai
Kebutuhan tenaga pembudidaya per ha (KTB) Luas lahan budidaya (HA)
Produktivitas tenaga sortasi (PTS) Volume pembelian pedagang (VPP)
Perhitungan serapan tenaga kerja pedagang (TP) TP= Volume pembelian pedagang (VPP) Produktivitas tenaga sortasi
Perhitungan serapan tenaga kerja pembudidaya (TB) TB= KTB x HA
Verifikasi
Serapan tenaga kerja
Selesai
Gambar 29 Serapan tenaga kerja Pengukuran potensi biaya sosial yang di timbulkan akibat adanya aktivitas Minapolitan dihitung berdasarkan pada potensi limbah baik cair maupun padat yang dihasilkan akibat aktivitas Minapolitan. Aktivitas pemberian pakan udang selama budidaya berpotensi menghasilkan limbah padat. Penghitungan limbah pakan Huisman (1987) menyatakan bahwa pemberian pakan sebanyak 1.5 ton dengan Food convertion ratio sebesar 1.5 akan menghasilkan limbah pakan dalam bentuk tersuspensi sebesar 0.514 ton. Volume limbah pakan kemudian dikonversi dalam bentuk rupiah sebagai biaya yang harus di tanggung oleh masyarakat. Semakin tinggi biaya yang ditanggung masyarakat maka klaster Minapolitan semakin tidak berlanjut. Potensi sumber biaya sosial lainya adalah limbah cair akibar proses pencucian yang dilakukan pedagang pengumpul di wilayah Minapolitan. Air digunakan untuk Proses sortasi yang dilakukan pedagang pengumpul, semakin banyak volume sortasi maka semakin banyak pula air yang di gunakan. Mengacu ke data Bapedal Jawa Timur (2002) menyebutkan bahwa kebutuhan air untuk pengolahan hasil laut adalah 5 liter per kilogram bahan baku. Air yang terbuang dari pencucian akan mencemari lingkungan perairan. Limbah cair kemudian di konversi
56 dalam bentuk rupiah dan ditambahkan dalam potensi biaya sosial. Model penghitungan potensi biaya sosial ditunjukkan pada Gambar 30. Mulai Mulai
Berat Berat panen panen udang udang Kadar Kadar protein protein pakan pakan Food Convention Food Convention Ratio Ratio
Volume Volume udang udang sortasi sortasi Kebutuhan Kebutuhan air/kg air/kg bahan bahan baku baku
Perhitungan Perhitungan volume volume limbah limbah pakan pakan LP= LP= Berat Berat panen panen xx FCR FCR xx 0.34 0.34
Perhitungan Perhitungan volume volume limbah limbah cair cair LC= LC= volume volume udang udang xx 55
Perhitungan Perhitungan pontensi pontensi biaya biaya sosial sosial PBS= PBS= (LP+LC) (LP+LC) xx Rp Rp air air
Potensi Potensi Biaya Biaya sosial sosial
selesai selesai
Gambar 30 Model perhitunga potensi biaya sosial Desain Perhitungan Keberlanjutan Lingkungan Model penghitungan keberlanjutan lingkungan dalam klaster Minapolitan dilihat seberapa besar jumlah produksi yang kemungkinan bisa dihasilkan dalam menopang keberadaan agroindustri udang. Ketersediaan bahan baku udang kawasan menentukan keberlanjutan dari dimensi lingkungan. Semakin baik penyediaan udang dalam kawasan akan semakin meningkatkan keberlanjutan agroindustri udang. Keberlanjutan agroindustri udang berdampak pada berkembangnya klaster Minapolitan. Jumlah produksi udang dalam kawasan Minapolitan ditentukan oleh beberapa variabel yaitu jumlah bibit yang ditebar, luasan lahan yang dibudidayakan, tingkat kematian udang dan ukuran udang pada saat panen. Jumlah bibit yang ditebar tergantung dari teknologi budidaya yang digunakan, terdapat 4 jenis budidaya yaitu budidaya tradisional, tradisional plus, semi intensif dan intensif. Masing masing jenis teknologi mempunyai kepadatan tebar bibit yang berbeda. Petambak kawasan Minapolitan Kabupaten Gresik secara umum memilih teknologi budidaya tradisional plus dimana jumlah tebar bibit dalam satu hektarnya berkisar antara 80 ribu sampai 100 ribu ekor. Model penghitungan jumlah produksi udang dalam kawasan Minapolitan ditunjukkan Gambar 31.
57 Mulai Mulai
Luas Luas lahan lahan (ha) (ha) Jumlah Jumlah Tebar Tebar bibit bibit (ekor/ha) (ekor/ha)
SR SR (survival (survival rate) rate) Berat Berat udang udang per per ekor ekor (gr/ (gr/ ekor) ekor)
Perhitungan Perhitungan produksi produksi budidaya budidaya udang udang per per ha ha P= P= Jumlah Jumlah bibit bibit xx LL xx SR SR xx Berat Berat udang udang
Jumlah Jumlah produksi produksi udang udang
selesai selesai
Gambar 31 Model penghitungan jumlah produksi udang kawasan Minapolitan Model keberlanjutan lingkungan bertujuan digunakan juga untuk mengukur dampak proses produksi agroindustri udang terhadap lingkungannya. Secara umum, proses produksi agroindustri udang termasuk ramah lingkungan. Hasil sampingnya telah dapat dimanfaatkan sebagai produk yang mempunyai nilai tambah. Limbah yang dihasilkan agroindustri udang adalah limbah cair dari proses pencucian dan pembersihan fasilitas produksi. Agroindustri udang dalam kawasan Minapolitan telah mengarah kepada penerapan teknologi produksi bersih (clean production) dan sudah mempunyai instalasi pengolahan limbah, oleh karena itu limbah agroindustri udang tidak dimasukkan dalam potensi limbah yang dihasilkan dari kawasan Minapolitan. Hal yang menjadi perhatian adalah aktivitas pedagang kecil maupun besar dalam kegiatan sortasi udang sebelum masuk ke agroindustri. Aktivitas sortasi pedagang pengumpul memerlukan air untuk pembilasan, semakin banyak bahan baku udang yang disortasi maka kebutuhan air semakin banyak. Air yang digunakan semakin banyak akan meningkatkan limbah cair yang dihasilkan. Limbah cair inilah yang dihitung sebagai indikator potensi limbah cair hasil aktivitas Minapolitan. Potensi limbah cair adalah indikator yang mencerminkan jumlah limbah cair yang dihasilkan oleh aktivitas Minapolitan. Semakin tinggi volume limbah, maka potensi pencemaran terhadap lingkungannya dinilai semakin tinggi (Glavic dan Lukman 2007). Model potensi limbah cair yang di hasilkan dalam kawasan Minapolitan ditunjukkan pada Gambar 32.
58 Mulai Mulai
Volume Volume pembelian pembelian udang udang pedagang pedagang kecil kecil Persentase udang tersortasi Persentase udang tersortasi Kebutuhan Kebutuhan air air sortasi sortasi (kg/lt) (kg/lt)
Volume Volume pembelian pembelian udang udang pedagang pedagang besar besar Prosentase udang tersortasi Prosentase udang tersortasi Kebutuhan Kebutuhan air air sortasi sortasi (kg/lt) (kg/lt)
Perhitungan Perhitungan volume volume limbah limbah cair cair pedagang pedagang kecil kecil Lck= Lck= volume volume udang udang xx % % sortasi sortasi xx kebutuhan kebutuhan air air
Perhitungan Perhitungan volume volume limbah limbah cair cair pedagang pedagang besar besar Lcb= Lcb= volume volume udang udang xx % % sortasi sortasi xx kebutuhan kebutuhan air air
Perhitungan Perhitungan pontensi pontensi limbah limbah cair cair (lt) (lt) PLC= PLC= Lck Lck ++ Lcb Lcb
Potensi Potensi limbah limbah cair cair
selesai selesai
Gambar 32 Model potensi limbah cair kawasan Minapolitan Selain limbah cair yang dihasilkan di kawasan Minapolitan, terdapat juga limbah padat yang berpotensi mencemari lingkungan. Limbah padat dari pakan udang berpotensi mencemari lingkungan. Soewardi (2002) mengemukakan bahwa aktivitas budidaya tambak udang intensif dengan luasan lahan 5000 m 2, dengan input pakan total 3.6 ton selama 120 hari pemeliharaan dapat menghasilkan limbah TSS (total soluble solid) sebanyak 1.230 kg. Dengan demikian semakin tinggi pemberian pakan berpotensi besar mencemari lingkungan perairan budidaya tambak udang. Potensi limbah padat kawasan Minapolitan digambarkan pada Gambar 33. Mulai Mulai
Berat Berat panen panen udang udang Food Food Convention Convention Ratio Ratio
Perhitungan Perhitungan volume volume limbah limbah pakan pakan LP= LP= Berat Berat panen panen xx FCR FCR xx 0.34 0.34
Potensi Potensi Limbah Limbah padat padat
selesai selesai
Gambar 33 Model pengukuran potensi limbah padat kawasan Minapolitan
59 6. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Pasokan Bahan Baku Kawasan Minapolitan Model Pasokan bahan baku kawasan Minapolitan yang dibangun, bertujuan untuk menganalisis volume pasokan bahan baku ke agroindustri udang dan memprediksi tingkat keberlanjutan pasokan bahan baku di kawasan Minapolitan. Model yang dibangun dengan menggunakan pendekatan dinamik dengan beberapa faktor inputan yang sifatnya dinamis. Hasil observasi dilapangan, saat ini terdapat empat jenis pola budidaya udang Vannamei yaitu pola budidaya tradisional, tradisional plus, semi intensif dan intensif. Masing masing pola budidaya mempunyai luasan yang berbeda beda seperti ditunjukkan pada Tabel 9. Tabel 9 Pola budidaya dan luasan Tambak No Pola Budidaya Luas (ha) 1 Tradisional 23.808 2 Tradisional Plus 8.594 3 Semi Intensif 43 4 Intensif 19 Pola budidaya tradisional merupakan pola budidaya udang vannamei yang mempunyai ciri padat tebar bibitnya rendah, satu petak lahan umumnya sangat luas, tidak ada inputan pakan selama proses budidaya, dan tidak adanya kincir atau pompa dalam pengaturan aerasi selama proses budidaya. Tebar bibit pola tradisional biasa kurang dari 7 ekor/ m2, sedangkan pakan bagi udang selama proses budidaya mengandalkan plankton yang hidup diperairan tambak udang. Pola budidaya tradisional plus merupakan modifikasi dari pola tradisional. Tebar bibit pada pola ini lebih padat dibanding pola tradisional sekitar 7 sampai 15 ekor/ m2, dengan tebar bibit yang lebih padat maka perlu adanya inputan pakan selama proses budidaya. Pada pola tradisional plus terdapat pompa air atau satu kincir untuk aerasi selama proses budidaya. Pola budidaya udang vannamei semi intensif memiliki ciri padat tebar bibit 20 sampai 50 ekor/ m2. Pola ini memerlukan asupan pakan yang tinggi, kincir yang cukup untuk memenuhi sistem aerasi yang ideal dan manajemen budidaya yang bagus dalam mengelola tambak. Petakan luasan budidaya umumnya kecil biasanya seperempat hektar. Pola budidaya intensif merupakan pola budidaya dengan teknologi tinggi, modal besar namun jika berhasil keuntungan yang didapatkan juga tinggi. Pola ini juga beresiko terhadap pencemaran lingkungan jika limbah yang dihasilkan tidak ditangani dengan baik. Luas budidaya yang diusahakan setiap tahunnya mengalami fluktuasi sehingga dalam model disimulasikan terdapat input proporsi lahan yang diusahakan. Analisis dilapangan menunjukkan bahwa proporsi pemanfaatan lahan masing-masing pola budidaya tertinggi adalah pola semi intensif 80%, tradisional plus 70%, tradisional 50% dan intensif 10%. Rendahnya proporsi pola intensif disebabkan biaya operasional yang tinggi sehingga umumnya petambak modal besar lebih memilih pola semi intensif yang biaya operasionalnya lebih rendah. Pola intensif dijalankan secara situasional jika prediksi harga dan kondisi lingkungan yang mendukung. Volume produksi tambak dipengaruhi oleh produktifitas masing-masing pola budidaya yang digunakan. Hasil analisis dilapangan menunjukkan produktifitas pola tradisional berkisar 100 sampai 150 kg/ha. Pola tradisional budidaya udang sifatnya
60 polikultur dengan bandeng maupun ikan nila, sehingga tingkat pemeliharaan tidak optimal menyebabkan produktifitas budidaya udang rendah. Pola tradisional plus tingkat produktifitasnya berkisar 350 sampai 400 kg/ha. Pola semi intensif budidaya udang mempunyai tingkat produktifitas dikisaran 2000 kg/ha, kisaran ini mengacu ke penelitian yang dilakukan Adiwidjaya et al. (2008) dengan tebar bibit 25 ekor/m2 . Produktifitas pola intensif mengacu ke penelitian yang dilakukan oleh Syah et al. (2008), dengan tebar bibit 50 ekor/m2 mampu memproduksi 5000-6000 kg/ha. Simulasi pertama dijalankan mengacu ke data di atas sebagai inputan model dinamik pasokan bahan baku agroindustri udang dalam kawasan Minapolitan saat ini. Simulasi pertama menunjukkan bahwa volume pasokan udang berkisar antara 3900 kg sampai 4200 kg per tahun. Hasil ini menunjukkan kesesuaian dengan kondisi nyata dimana pada tahun 2009 dan 2010 produksi udang Kabupaten Gresik sebesar 3369 kg dan 4257 kg. Kondisi volume pasokan udang dalam kawasan tersebut, dengan kapasitas produksi agroindustri udang di Kabupaten Gresik sebesar 10.000 ton pertahun maka tingkat pemanfaatan kapasitas pabrik berkisar antara 34% sampai 37% dari kapasitas terpasang. Kondisi tingkat pemanfaatan kapasitas pabrik dari pasokan bahan baku dalam kawasan Minapolitan, dapat dikatagorikan kurang berkelanjutan. Tingkat pemanfaatan kapasitas pabrik yang rendah jika ditambahkan pasokan bahan baku dari luar kawasan tentunya akan lebih besar dari kisaran tersebut. Pada tahun 2011 menurut data DKP Propinsi Jawa Timur, Kabupaten Gresik mampu mengekspor sebanyak 3.515.744 kg dengan nilai sebesar US$ 30.393.039. Ekspor udang tersebut jika diasumsikan rendemen bahan baku sebesar 63% maka kebutuhan pasokan bahan baku sebanyak 5.580.546 kg. Bahan baku tersebut tentunya dipasok dari dalam kawasan dan luar kawasan Kabupaten Gresik, dengan pasokan bahan baku dalam kawasan sebesar 3.387.982 kg maka pasokan dari luar kawasan sebesar 2.192.564 kg. Tambahan pasokan tersebut akan meningkatkan tingkat pemanfaatan kapasitas pabrik menjadi 56%. Peningkatan pemanfaatan kapasitas pabrik dapat disimulasikan dalam model dinamik yang dibangun. Simulasi dilakukan dengan mengubah input yang tersedia pada program Powersim (Petunjuk penggunaan model pasokan bahan baku yang dibangun dalam Powersim Studio 2005 dapat dilihat pada Lampiran 2). Simulasi kedua dilakukan dengan meningkatkan proporsi pemanfaatan lahan menjadi 100%, yang berarti keseluruhan luas lahan melakukan proses budidaya. Hasil simulasi menunjukkan bahwa pasokan bahan baku ke agroindustri udang dalam kawasan Minapolitan mampu mencapai 5.952 ton per tahun. Pasokan udang ke agroindustri tersebut mampu meningkatkan tingkat pemanfaatan kapasitas pabrik sampai 60% dengan volume produksi udang agroindustri sebesar 3.760 ton. Kondisi demikian jika pasokan dari luar kawasan dimasukkan maka tingkat pemanfaatan kapasita pabrik akan semakin meningkat. Pada kondisi ini tingkat keberlanjutan pasokan bahan baku dalam kawasan dapat dikategorikan cukup berkelanjutan. Simulasi ketiga dijalankan dengan skenario mengubah tingkat produktifitas masing-masing masing pola budidaya. Pola tradisional dari beberapa penelitian mampu menghasilkan tingkat produktifitas sampai 200 kg/ha. Pola tradisional plus, mengacu pada penelitian Hendrajat et al. (2007) produktifitas pola tradisional plus mampu mencapai 835 kg/ha dengan tebar bibit 80000 ekor/ ha. Produktifitas pola budidaya semi intensif dan intensif dalam simulasi kedua kondisinya tetap seperti simulasi sebelumnya. Hasil simulasi ketiga menunjukkan pasokan bahan baku agroindustri udang dari dalam kawasan mampu mencapai 8.360 ton dengan tingkat keberlanjutan
61 pasokan bahan baku agroindustri udang dilevel 4 yang sangat berkelanjutan dengan tingkat pemanfaatan kapasitas pabrik sebesar 84%. Model pasokan bahan baku agroindustri udang dalam kawasan dibangun dengan memperhatikan pengaruh harga udang terhadap pasokan. Pedagang pengumpul sebagai pemasok udang ke agroindustri tentunya akan melihat fluktuasi harga udang di dalam maupun di luar kawasan Minapolitan. Jika harga udang di luar kawasan lebih tinggi maka kecenderungan pedagang pengumpul akan memasarkan udangnya keluar kawasan begitu sebaliknya. Pada simulasi keempat, skenario yang dijalankan adalah mengetahui pengaruh harga terhadap pasokan udang ke agroindustri. Diasumsikan terjadi peningkatan harga udang Rp 10.000. Hasil simulasi menunjukkan pasokan bahan baku agroindustri udang dari dalam kawasan Minapolitan sebesar 6.975 ton pertahun dengan tingkat keberlanjutan pasokan udang berada pada level 3 yaitu cukup berkelanjutan. Jika harga udang dalam kawasan kurang dari harga yang ditetapkan misalnya 66 ribu maka aliran udang ke luar kawasan mencapai 49%, begitu sebaliknya jika harga udang di dalam kawasan 74 ribu maka prosentase udang kawasan yang dijual ke luar sebesar 32%. Rangkuman hasil simulasi pasokan bahan baku udang dalam kawasan ditunjukkan pada Gambar 34.
Produksi Udang dalam Kawasan (ton)
12000 10000
kondisi saat ini
8000 perluasan lahan
6000 4000
peningkatan produktifitas
2000
perubahan harga
0 0
5
10
Tahun ke-
Gambar 34 Produksi udang dalam kawasan Minapolitan Produksi udang dalam kawasan Minapolitan akan meningkat seiring dengan peningkatan luasan lahan budidaya dan produktifitas lahan budidaya. Peningkatan produktifitas mempunyai dampak positif lebih jika dibandingkan dengan peningkatan proporsi luas lahan yang diusahakan. Peningkatan produktifitas mampu meningkatkan produksi bahan baku sebesar 110%, sedangkan dengan penambahan luasan budidaya dengan produktifitas saat ini hanya mampu meningkatkan produksi bahan baku sebesar 58%. Kecenderungan produksi bahan baku menurun jika harga udang dalam kawasan lebih rendah dibandingkan di luar kawasan ini terlihat pada simulasi ke empat yang dijalankan. Walaupun pada simulasi ke empat terjadi peningkatan produksi bahan baku namun kecenderungan menurun drastis. Tingkat pemanfaatan kapasitas agroindustri udang dipengaruhi oleh volume produksi budidaya udang dan harga jual udang dalam kawasan Minapolitan. Kondisi tersebut ditunjukkan pada Gambar 35.
Tingkat pemanfaatan Kapasitas pabrik (%)
62 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
kondisi saat ini perluasan lahan peningkatan produktifitas perubahan harga 0
5
10
Tahun ke-
Gambar 35 Tingkat pemanfaatan kapasitas agroindustri Simulasi skenario yang dijalankan menunjukkan, dengan peningkatan produktifitas lahan mampu meningkatkan pemanfaatan kapasitas pabrik sampai 80% atau berada di level 4 yang berarti sangat berkelanjutan. Tingkat keberlanjutan pasokan akan lebih meningkat jika ditambahkan pasokan bahan baku dari luar kawasan Minapolitan. Peningkatan pemanfaatan kapasitas agroindustri juga terjadi pada skenario peningkatan luas lahan namun hanya dikisaran 50-60% dari kapasitas terpasang. Pasokan bahan baku akan berkurang drastis jika terjadi perbedaan harga yang mencolok antara dalam kawasan dan luar kawasan Minapolitan. Semakin tinggi harga di luar kawasan maka pasokan bahan baku agroindustri dari dalam kawasan akan berkurang drastis. Penurunan pasokan bahkan bisa mencapai dibawah 40% kapasitas terpasang. Peningkatan keberlanjutan pasokan bahan baku agroindustri seperti disimulasikan sebelumnya, dapat dilakukan dengan meningkatkan luasan lahan, peningkatan produktifitas dan menjaga disparitas harga antara dalam dan luar kawasan Minapolitan. Peningkatan produktifitas seperti ditunjukkan dalam simulasi yang dilakukan memberikan dampak yang lebih efektif, jika dibandingkan dengan skenario peningkatan luasan lahan dan harga udang. Peningkatan proporsi luas lahan dari tahun ke tahun akan banyak menghadapi tantangan, kebutuhan akan lahan permukiman, infrastruktur dan industri mempersulit peningkatan proporsi luas lahan budidaya. Peningkatan produksi dengan cara perluasan areal lebih sulit dilakukan, dikarenakan minimnya lahan produktif di Indonesia akibat konversi dan degradasi lahan (Darmardjati et al, 2005).Teknologi Informasi dan keberlangsungan usaha, menekan para pedagang pemasok bahan baku mempermainkan harga udang. Oleh karena itu pilihan peningkatan produktifitas budidaya menjadi prioritas. Namun demikian sinergitas ketiga faktor yang mempengaruhi pasokan bahan baku agroindustri udang, sangat diperlukan untuk meningkatkan keberlanjutan agroindustri udang dikawasan Minapolitan. Peningkatan produktivitas sebagai fokus dalam meningkatkan keberlanjutan agroindustri udang, pada tahap selanjutnya akan berfokus pada aktivitas agen yang berpengaruh terhadap peningkatan produktifitas sebagai langkah dalam meningkatkan produksi udang di kawasan Minapolitan. Aktivitas agen merupakan terjemahan dari perilaku agen dalam merespon kejadian di lingkungan sekitarnya. Pengembangan model dengan melibatkan perilaku agen dalam upaya meningkatkan keberlanjutan agroindustri udang yang berfokus peningkatan produktifitas budidaya udang, dibangun menggunakan pendekatan model berbasis agen.
63 Model Pengembangan Agroindustri Udang di Kawasan Minapolitan Pendekatan berbasis agen digunakan untuk membangun model pengembangan agroindustri udang di kawasan Minapolitan. Pembangunan model dilakukan menggunakan pendekatan agen dengan kaidah SOARS (spot oriented agent role simulator). Model yang dihasilkan merupakan sebuah model simulasi, dimana user dapat melakukan perubahan input dan melihat perubahan nilai indikator keberlanjutan agroindustri udang di kawasan Minapolitan yang dikembangkan. (Petunjuk penggunaan simulasi model pengembangan agroindustri udang di kawasan Minapolitan yang dibangun dalam SOARS dapat dilihat pada Lampiran 3) Pembangunan model dimulai dengan menganalisis kondisi nyata dan variabel-variabel yang digunakan dalam membangun model. Hasil simulasi awal dengan input variabel kondisi nyata, kemudian dilakukan proses verifikasi nilai indikator sesuai dengan kondisi nyata saat ini. Kesesuaian nilai indikator menunjukkan model yang dibangun telah dapat diimplementasikan. Model simulasi yang dibangun kemudian menjalankan beberapa skenario guna melihat dampak terhadap nilai indikator keberlanjutan. Perubahan nilai indikator sebagai dampak dijalankannya skenario, dijadikan sebagai dasar dalam penentuan strategi dalam pengembangan Agroindustri udang di kawasan Minapolitan. Kinerja Agroindustri Udang di kawasan Minapolitan Hasil pengamatan dan wawancara mendalam dengan beberapa pelaku dalam klaster Minapolitan didapat beberapa nilai variabel kondisi nyata, baik ditingkat petambak, pedagang kecil, pedagang besar maupun agroindustri. Simulasi dilakukan terhadap model dengan nilai variabel yang didapat. Hasil simulasi digunakan sebagai penilaian kinerja keberlanjutan Agroindustri udang di kawasan Minapolitan. Aktivitas pertambakan di wilayah Minapolitan, dimulai dari budidaya udang ditambak. Beberapa komponen penyusun usaha budidaya vannamei pola tradisional plus diperlihatkan pada Tabel 10. Tabel 10 Analisis usaha pertambakan tradisional plus udang Vannamei perhektar Komponen biaya Jumlah satuan harga Total Biaya investasi 1 sewa tambak 1 per tahun 5000000 5,000,000 2 sewa pompa 1 per tahun 1000000 1,000,000 Biaya operasional 1 pengolahan, perbaikan kontruksi paket 1500000 1,500,000 2 benih udang 100000 ekor 25 2,500,000 3 pakan buatan 450 kg 7500 3,375,000 4 pupuk organik 3000 kg 50 150,000 5 pupuk anorganik 150 kg 5000 750,000 6 dolomit 2500 kg 300 750,000 7 saponin 40 kg 5500 220,000 8 bahan bakar 110 lt 4500 495,000 9 biaya panen paket 500000 500,000 10 akomodasi dan konsumsi 4 bulan 100000 400,000 11 lain lain 500000 500,000 biaya per musim 14,140,000
64 Seperti terlihat pada Tabel 10 aktivitas budidaya tradisional plus udang vannami membutuhkan biaya sekitar 14 juta dalam satu musim (pembiayaan budidaya tradisional plus lainnya sebagai pembanding ditunjukkan pada Lampiran 4). Aktivitas pertambakan saat ini, jika dilihat dari sisi ekonomi menunjukkan bahwa keuntungan petambak sedikit bahkan rentan mengalami kerugian. Keuntungan petambak masih relatif kecil jika dibandingkan dengan upah minimum regional yang ditetapkan pemerintah. Namun demikian secara ekonomi keuntungan yang didapat cukup layak, dengan tingkat rerata B/C ratio diatas 1. Keuntungan petambak tertinggi dikisaran 3 juta. Kondisi kinerja budidaya udang vannamei petambak sangat bergantung volume produksi udang yang bisa dihasilkan. Semakin banyak volume produksi udang, keuntungan yang didapat semakin tinggi. Kondisi saat ini produksi udang perhektarnya dikisaran 350 sampai 500 kg, kondisi ini rentan kerugian. Banyaknya penyakit, cuaca yang kurang mendukung, kualitas bibit, lingkungan perairan dan lain lain mempengaruhi produksi udang petambak. Pedagang pengumpul kecil dalam melakukan aktivitasnya, selain melakukan aktivitas jual beli juga melakukan proses sortasi dan grading. Pedagang kecil diharuskan memiliki keahlian dalam memprediksi mutu udang yang dibeli. Kesalahan dalam memprediksi mutu menyebabkan kerugian. Keahlihan dalam penanganan komoditas udang, sortasi dan grading juga menjadi faktor penentu keuntungan yang didapat. Rerata keuntungan yang didapatkan sekitar Rp 500 perkilogram udang yang dibeli. Proses sortasi dan grading yang dilakukan pedagang pengumpul kecil, menghasilkan udang afkir, baik yang disebabkan kerusakan selama proses sortasi maupun ukuran udang yang tidak masuk dalam mutu udang yang dibeli pedagang pengumpul besar maupun agroindustri udang. Aktivitas perdagangan yang dilakukan oleh pedagang besar hampir sama dengan pedagang kecil. Keuntungan diperoleh tidak jauh berbeda dengan pedagang kecil, hasil pengamatan dilapang menunjukkan rerata keuntungan yang didapat sekitar Rp 500 perkilogram. Semakin banyak volume perdagangan yang dilakukan maka keuntungan semakin tinggi. Aktivitas Minapolitan dari sisi sosial menunjukkan serapan tenaga kerja adanya aktivitas pertambakan udang cukup besar. Aktivitas budidaya dalam satu hektarnya membutuhkan tenaga kerja sekitar 11 orang. Minapolitan Kabupaten Gresik terdapat 8.594 hektar lahan budidaya udang maka jumlah tenaga kerja yang terserap sekitar 94.534 orang. Jumlah tersebut akan bertambah dengan adanya aktivitas perdagangan komoditas udang. Pedagang pengumpul kecil mempekerjakan 3 sampai 4 orang sedangkan pedagang pengumpul besar mempekerjakan 8 sampai 10 orang. Potensi biaya sosial yang mungkin ditimbulkan adanya aktivitas Minapolitan adalah potensi pencemaran limbah. Aktivitas budidaya tambak udang dengan pola tradisional plus dapat menimbulkan pencemaran disebabkan sisa pakan udang yang tidak dimakan udang. Pencemaran akibat pakan terbuang menjadi tinggi apabila inputan pakan dalam tambak juga tinggi. Soewardi (2002) mengemukakan bahwa aktivitas budidaya tambak udang intensif dengan luasan lahan 5000 m 2, dengan input pakan total 3.6 ton selama 120 hari pemeliharaan, dapat menghasilkan limbah TSS sebanyak 1.230 kg. Limbah pakan ini akan berpotensi menjadi penyebab biaya sosial dikarenakan untuk menetralisi membutuhkan biaya. Biaya yang dikenakan untuk menetralisi limbah pakan menjadi biaya sosial yang harus ditanggung masyarakat. Seandainya tidak ada aktivitas pemberian pakan pada budidaya tambak udang di
65 wilayah Minapolitan, maka biaya pengolahan limbah tersebut tidak akan ada. Biaya sosial adalah biaya yang ditanggung oleh masyarakat dari suatu peristiwa, tindakan, atau perubahan terhadap suatu aktivitas atau kebijakan. Potensi biaya sosial dari aktivitas pertambakan dihitung berdasarkan upaya yang dilakukan untuk menetralisis limbah tersebut. Kinerja keberlanjutan disisi dimensi lingkungan dapat dilihat dari sisi volume produksi udang dan limbah yang ditimbulkan. Aktivitas Minapolitan menunjukkan indikator produksi udang di kawasan Minapolitan cukup mengkhawatirkan, hasil produksi udang vannamei dalam luasan satu hektar didapatkan sekitar 350 – 500 kg dengan ukuran udang vannamei yang dihasilkan berkisar antara 50–90 ekor per kilogram. Kondisi hasil produksi tersebut jika dihitung perbandingan jumlah bibit yang di tebar akan didapatkan sintasan budidaya udang vannamei secara tradisional plus sekitar 30 persen. Kondisi tingkat produksi demikian sangatlah kecil bahkan hampir dapat dikatakan rugi, jika terjadi kenaikan biaya aktivitas budidaya maka kemungkinan besar hasil produksi udang tidak mampu menutupi biaya produksi. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya untuk menaikkan sintasan agar tingkat produksinya menjadi lebih baik. Kontinuitas bahan baku berupa ketersediaan udang vannamei termasuk fluktuatif, tingkat kenaikan dan penurunan produksi dari tiap periode panen tinggi. Kontinuitas bahan baku dapat dikatakan baik jika rerata jumlah produksi stabil dan mengalami kecenderungan peningkatan. Saat ini produksi udang Fluktuasi, produksi tertinggi dikisaran 500 kg sedangkan terendah terkadang tidak mendapatkan hasil sama sekali karena mengalami kematian dini. Kinerja keberlanjutan jika dilihat dari potensi limbah yang dihasilkan, menunjukkan bahwa potensi limbah dari hasil pengamatan di lapangan cukup mengkhawatirkan. Air bilasan hasil aktivitas pedagang langsung dibuang dan masuk ke saluran pembuangan air. Umumnya tempat pedagang berada dikawasan sekitar tambak sehingga saluran pembuangan air tersebut akan mencemari perairan tambak dan berdampak pada aktivitas budidaya tambak. Penggunaan air bilasan hasil aktivitas pedagang kecil maupun besar cukup besar yaitu rerata sekitar 2 liter dalam satu kilogram udang vannamei. Semakin banyak volume pembelian udang vannamei oleh pedagang maka potensi limbah cair yang dihasilkan juga akan semakin banyak. Semakin tinggi volume limbah, maka potensi pencemaran lingkungan akan semakin tinggi (Glavic P, dan Krajnc D. 2003; Glavic P dan Lukman R. 2007)
Simulasi Peningkatan Keberlanjutan Agroindustri Udang di Kawasan Minapolitan Peningkatan keberlanjutan agroindustri udang di kawasan Minapolitan dilakukan dengan melakukan implementasi beberapa skenario berkaitan dengan aktivitas agen dalam kawasan Minapolitan. Pengubahan skenario lebih ditekankan kepada upaya yang berkaitan dengan aktivitas petambak dalam meningkatkan produksi udang, kesejahteraan pelaku dan kelestarian lingkungan. Peningkatan produksi udang merupakan hal penting, karena aktivitas dalam klaster Minapolitan berkaitan erat dengan volume produksi udang. Gairah aktivitas Minapolitan akan semakin meningkat jika produksi udang semakin meningkat. Peningkatan aktivitas
66 berdampak kepada nilai indikator keberlanjutan agroindustri udang di kawasan Minapolitan yang terdiri atas dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan. Selama ini kendala yang utama dalam aktivitas Minapolitan lebih pada rendahnya produksi udang Vannamei oleh petambak. Seperti pada penjelasan sebelumnya produksi udang vannamei di wilayah penelitian berkisar 350 sampai 500 kg dalam satu hektar dengan pola budidaya tradisional plus, padahal di beberapa penelitian dan ujicoba lapangan mampu menghasilkan udang sekitar 800 sampai 900 kg perhektarnya. Budidaya udang vannamei dengan pola tradisional plus di Kabupaten Maros dengan tebar bibit 80000 ekor per hektar mampu menghasilkan 835 kg udang, sedangkan ujicoba yang dilakukan Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara dengan pola budidaya yang sama mampu menghasilkan 950 kg udang dengan tebar bibit 75000 ekor per hektarnya (Adi, 2011). Pemasaran udang vannamei di wilayah penelitian menunjukkan tidak ada kendala, masing masing agen mendapatkan keuntungan yang cukup tergantung berapa volume udang yang diperdagangkan. Pasar komoditas udang menganut sistem terbuka dimana semua pedagang berhak membeli udang tergantung kesepakatan antara penjualan dan pembeli. Transparansi harga udang bisa dilihat semua agen, membuat saling mengerti dan mengetahui perkiraan keuntungan yang didapat oleh masing masing agen. Sistem ini mampu menekan permainan harga udang oleh agen tertentu. Seberapapun volume udang yang diproduksi petambak selalu terserap oleh agroindustri pembekuan udang, malahan kondisi dilapangan menunjukkan kekurangan pasokan udang vannamei. Permasalahan lingkungan khususnya limbah hasil aktivitas Minapolitan tidak terlalu mengkhawatirkan keberlanjutan kawasan Minapolitan. Limbah budidaya udang oleh petambak tidak terlalu mengkhawatirkan, mengingat pola yang diterapkan berupa pola tradisional plus dengan inputan pakan yang sedikit. Pakan udang merupakan komponen utama penyumbang limbah padatan tersuspensi pada budidaya udang vannamei. Peningkatan kewaspadaan apabila pola budidaya udang yang dijalankan adalah pola intensif. Luasan budidaya dengan pola intensif sekitar 0.058% atau sekitar 19 ha di wilayah Kabupaten Gresik. Hal lain yang perlu dicermati adalah limbah cair yang berasal dari bilasan udang hasil aktivitas pedagang kecil maupun pedagang besar. Limbah cair hasil bilasan udang akan meningkat seiring volume pembelian udang oleh pedagang. Skenario peningkatan keberlanjutan Agroindustri udang di kawasan Minapolitan akan mengubah beberapa nilai variabel, kemudian dilakukan proses simulasi. Terdapat tiga Skenario simulasi yang dijalankan, walaupun sebenarnya dapat dilakukan lebih banyak dengan melakukan perubahan input variabel.variabel inputan berkaitan dengan aktivitas pertambakan udang dengan mengkombinasikan beberapa petambak dengan luasan lahan yang berbeda beda, penggunaan kualitas bibit dan skenario sintasan udang. Pada tingkatan pedagang pengumpul baik pedagang pengumpul kecil dan besar, skenario yang disimulasikan adalah aktivitas sortasi dengan melakukan skenario pengubahan kemampuan penanganan komoditas udang yang didapatkan dengan melakukan proses sortasi dan grading. Skenario 1 Skenario pertama dijalankan dengan delapan petambak, masing masing petambak mempunyai luasan yang berbeda mulai dari 1 ha sampai 4 ha. Petambak 1 dan 2 dengan luasan lahan 1 ha, petambak 3 dan 4 dengan luasan 2 ha, petambak 5
67 dan 6 dengan luasan 3 ha, dan petambak 7 dan 8 dengan luasan 4 ha. Petambak menggunakan kualitas bibit sesuai dengan kondisi nyata saat ini. Modal awal yang disiapkan awal sesuai dengan kondisi sekarang termasuk biaya tanam sebesar Rp 14 juta per hektarnya. Jumlah bibit disesuaikan dengan pola budidaya tradisional plus saat ini dan sintasan juga disesuaikan dengan kondisi saat ini yaitu 30%. Terdapat empat pedagang kecil, dua pedagang besar dan masing-masing kemampuannya adalah sedang dalam menangani komoditas udang sesuai kondisi saat ini. Proses simulasi dilakukan sampai 20 periode musim panen. Kinerja hasil simulasi diukur melalui nilai indikator keberlanjutan dari tiga dimensi yang telah di tetapkan. Kinerja keberlanjutan dimensi ekonomi menunjukkan bahwa keuntungan petambak dari luasan tambak yang berbeda memberikan hasil yang berbeda. Gambaran keuntungan petambak pada simulasi pertama ditunjukkan pada Gambar 36.
Keuntungan petambak SIM1 (Rpx1000)
30000 petambak 1
25000
petambak 2
20000
petambak 3
15000
petambak 4
10000
petambak 5
5000
petambak 6
0
petambak 7
-5000
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19
petambak 8
periode panen ke-
Gambar 36 Keuntungan petambak skenario 1 Secara umum gambaran keuntungan petambak antara petambak dengan luasan 1 ha sampai petambak dengan luasan 4 ha menunjukkan keuntungan rata-rata perhektar yang mampu diperoleh berkisar antara Rp 2.900.000 sampai Rp 3.600.000., dengan keuntungan rata-rata tertinggi dimiliki oleh petambak dengan luasan 1 ha kemudian menyusul petambak dengan luasan 4 ha. Keuntungan petambak ini jika dilihat dari fluktuasi keuntungan yang didapatkan menunjukkan bahwa petambak dengan luasan 1 ha memiliki tingkat fluktuasi lebih rendah dibanding dengan petambak dengan luasan 4 ha begitu juga dengan luasan 2 ha dan 3 ha tambak yang diusahakan petambak lainnya. Keuntungan yang diperoleh ditingkat pedagang, ditentukan oleh besaran volume pembelian dan peningkatan kualitas udang dari proses sortasi yang dilakukan. Semakin tinggi volume pembelian akan berpotensi keuntungan semakin besar, begitu juga dengan peningkatan kualitas yang udang hasil sortasi, semakin tinggi prosentase peningkatan kualitas udang maka keuntungan yang diperoleh semakin meningkat. Kisaran keuntungan pedagang kecil antara 179 sampai 698 rupiah per kilogramnya, sedangkan pedagang besar dapat meraup keuntunga perkilogram udang sekitar 181 sampai 391. Besaran nilai keuntungan yang diperoleh pedagang kecil dan pedagang besar ditunjukkan pada Gambar 37 dan 38.
Keuntungan pedagang kecil
68 3,500,000
3,000,000 2,500,000 2,000,000
pedagang K1
1,500,000
pedagang K2
1,000,000
pedagang K3
500,000
pedagang K4
-
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 periode panen ke
Keuntungan pedagang besar
Gambar 37 Keuntungan pedagang kecil skenario 1 2,500,000 2,000,000 1,500,000 1,000,000
Pedagang B1
500,000
Pedagang B2
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 periode panen ke
Gambar 38 Keuntungan pedagang besar skenario 1 Pedagang dalam aktivitasnya terkadang juga mengalami kerugian, kerugian ini diakibatkan terjadinya kesalahan prediksi terhadap mutu udang yang dibeli. Kesalahan prediksi diakibatkan kesalahan sampling pada saat pembelian, sehingga pada saat penjualan banyak mutu di bawah mutu hasil sampling. Agroindustri udang dalam klaster Minapolitan merupakan konsumen utama dalam rantai komoditas udang. Keuntungan yang didapatkan dari aktivitas produksi menunjukkan bahwa dengan pasokan bahan baku udang sekitar 7500 kg dari luasan lahan tambak udang 20 ha, agroindustri mampu mendapatkan keuntungan rerata dikisaran Rp 24.843.844. Nilai keuntungan per periode panen budidaya udang ditunjukkan pada Gambar 39.
Keuntungan Agroindustri (Rp)
69 30,000,000 25,000,000 20,000,000 15,000,000 10,000,000 5,000,000 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1011121314151617181920 periode panen
Gambar 39 Keuntungan agroindustri skenario 1
PAD (Rp)
Pendapatan asli daerah didapatkan dari hasil pajak yang dikenakan pada agroindustri udang kawasan Minapolitan. Kisaran pendapatan asli daerah dari sektor agroindustri antara 12 juta sampai 15 juta per periode panen budidaya tambak udang. Besaran PAD sangat bergantung keuntungan yang didapatkan aktivitas usaha agroindustri. Pajak yang dikenakan dan digunakan sebagai acuan untuk menghitung pendapatan asli daerah, dikhususkan pada agroindustri udang dalam kawasan Minapolitan. Nilai pendapatan asli daerah yang bisa didapatkan dari pajak agroindustri dapat dilihat pada Gambar 40. 16,000,000 14,000,000 12,000,000 10,000,000 8,000,000 6,000,000 4,000,000 2,000,000 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1011121314151617181920 periode panen
Gambar 40 Pendapatan asli daerah dari agroindustri skenario 1 Skenario pertama keberlanjutan dimensi ekonomi menyimpulkan bahwa keuntungan yang di peroleh petambak dalam satu musim perhektarnya sekitar Rp. 3.311.600, keuntungan pedagang kecil dalam satu musim panen sebesar Rp. 3.657.619, keuntungan pedagang besar dalam sekali panen sebesar Rp. 2.026.886 sedangkan agroindustri mendapatkan keuntungan dari produksi udang dalam satu tahun sebesar Rp. 49.687.688. pemerintah melalui Pajak yang dikenakan kepada agroindustri dalam satu tahun mendapatkan pemasukan sebesar Rp.26.754.910. Gambaran keberlanjutan dimensi sosial ditunjukkan dengan besaran nilai indikator penyerapan tenaga kerja dan potensi biaya sosial yang disebabkan adanya aktivitas Minapolitan. Hasil simulasi menunjukkan bahwa serapan tenaga kerja
70 untuk luasan lahan budidaya 20 ha, empat pedagang kecil dan dua pedagang besar mampu menyerap tenaga kerja berkisar antara 59 sampai 61 orang. Tenaga kerja ini belum termasuk tenaga kerja yang dipekerjakan oleh agroindustri. Tenaga kerja yang diserap agroindustri di wilayah Minapolitan menurut data Dinas Kelautan, Perikanan dan Peternakan Kabupaten Gresik tahun 2007 menunjukkan bahwa terdapat 2.225 orang yang bekerja di agroindustri pembekuan udang. Serapan tenaga kerja di wilayah Minapolitan ditunjukkan pada Gambar 41. 61.5 61
Orang
60.5 60 59.5 59 58.5 58 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 periode panen
Gambar 41 Serapan tenaga kerja di wilayah Minapolitan skenario 1
Rupiah
Potensi biaya sosial yang ditimbulkan adanya limbah yang dihasilkan dari aktivitas Minapolitan. Limbah ini dapat berupa limbah cair hasil aktivitas pedagang dalam mensortasi udang dan limbah padat yang dihasilkan dari budidaya tambak. Limbah yang dihasilkan kemudian dikonversikan kedalam rupiah dengan mengasumsikan bahwa air limbah yang dihasilkan dikalikan dengan harga air bersih, sedangkan limbah padat diasumsikan berapa nilai untuk menetralisis limbah padat agar tidak mencemari lingkungan. Potensi biaya sosial yang disebabkan oleh adanya pencemaran ditunjukkan pada Gambar 42. 1,060,000 1,040,000 1,020,000 1,000,000 980,000 960,000 940,000 920,000 900,000 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1011121314151617181920 periode panen
Gambar 42 Potensi biaya sosial skenario 1 Hasil skenario pertama jika dilihat dari sisi keberlanjutan lingkungan didasarkan pada tiga indikator yang diukur yaitu jumlah produksi udang, kontinuitas
71 produksi udang dan potensi volume limbah. Jumlah produksi udang kawasan yang mampu dihasilkan petambak dengan luasan 20 ha dapat di lihat pada Gambar 43.
Produksi Udang (Kg)
11,500 11,000 10,500 10,000
9,500 9,000 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 periode panen ke-
Gambar 43 Volume produksi udang wilayah Minapolitan skenario 1
Prosentase pasokan udang (%)
Produksi udang di kawasan Minapolitan hasil simulasi menunjukkan kemampuan sampai 11.1 ton dalam luasan lahan 20 ha. Rerata produksi udang per periode panen sebesar 521 kg/ha. Kontinuitas produksi udang dari Gambar 43. menunjukkan bahwa kecenderungan tingkat fluktuasi yang relatif stabil di kisaran 9.8 sampai 11 ton per sekali panen. Kencenderungan produksi udang mengalami peningkatan walaupun kecil. Kontinuitas produksi udang juga ditentukan oleh besaran volume udang yang dibeli oleh agroindustri. Penanganan komoditas udang oleh pedagang menentukan volume pasokan ke agroindustri udang. Penanganan yang baik akan mengurangi kerusakan udang begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu kontinuitas bahan baku juga dapat dilihat seberapa besar prosentase udang yang masuk ke agroindustri. Semakin tinggi prosentasenya maka semakin tinggi pula tingkat kontinuitas bahan baku, dengan asumsi seluruh produksi udang masuk ke agroindustri kecuali produk afkir. Prosentase produk udang yang diterima agroindustri disajikan pada Gambar 44. 120.0 100.0 80.0 60.0 40.0 20.0 0.0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1011121314151617181920 periode panen ke-
Gambar 44 Prosentase produk udang yang di terima agroindustri skenario 1
72 Potensi limbah yang dihasilkan dari aktivitas Minapolitan menunjukkan terdapat dua jenis limbah yang dihasilkan yaitu limbah padat dan limbah cair. Limbah cair yang dihasilkan akan meningkat seiring dengan banyaknya udang yang diperdagangkan mengingat kebutuhan air dalam mensortasi udang. Rerata limbah yang dihasilkan dalam simulasi pertama sebesar 3.7 lt/kg. Volume limbah tersebut jika dibandingkan dengan batasan yang ditetapkan Bapedal Jatim sebesar 5lt/kg. Semakin banyak udang yang disortasi maka limbah cair yang dihasilkan semakin banyak. Limbah cair yang dihasilkan dari aktivitas Minapolitan ditunjukkan pada Gambar 45.
Limbah cait (Lt)
40000 30000 20000 10000 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
periode panen
Gambar 45 Potensi volume limbah cair skenario 1 Limbah padat dihasilkan dari sisa pakan yang terbuang saat proses budidaya udang berlangsung. Sekitar 15% pakan udang yang diberikan akan tersuspensi kedalam air tambak. Jika pakan yang diberikan semakin banyak maka jumlah total padatan tersuspensi juga semakin banyak sehingga berpotensi menimbulkan pencemaran. Hasil simulasi pertama berkaitan dengan potensi limbah padat dari pakan udang ditunjukkan pada Gambar 46.
Limbah padat (Kg)
1,600 1,550 1,500 1,450 1,400 1,350 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 periode panen
Gambar 46 Potensi limbah padat kawasan Minapolitan skenario 1 Skenario 2 Skenario kedua dijalankan dengan mengubah perilaku petambak dalam menggunakan bibit unggul. Penggunaan bibit unggul dengan konsekuensi biaya produksi akan naik, karena harga bibit yang naik. Bibit unggul diharapkan mampu
73
Keuntungan petambak (Rp)
meningkatkan produksi tambak udang. Pada simulasi kedua terdapat delapan petambak dengan luasan lahan masing masing sebagai berikut; luasan 1 ha terdapat dua petambak yaitu petambak 1 dan petambak 2, luasan 2 ha terdapat dua petambak yaitu petambak 3 dan petambak 4, luasan 3 ha terdapat 2 petambak dan luasan 4 ha terdapat 2 petambak yaitu petambak 7 dan petambak 8. Aktifitas pedagang disimulasikan memiliki kemampuan lebih dibandingkan dengan kondisi saat ini atau baik. Terdapat empat pedagang kecil dan dua pedagang besar disimulasi kedua yang akan dijalankan. Modal awal yang disiapkan awal sesuai dengan kondisi sekarang termasuk biaya tanam sebesar Rp 14 juta per hektarnya namun belum termasuk biaya bibit. Pola budidaya tetap menggunakan pola budidaya tradisional plus dengan asumsi nantinya dapat membandingkan dengan kondisi saat ini. Proses simulasi dilakukan sampai periode 20 musim tanam. Hasil keluaran simulasi, nantinya akan dilihat kinerja sesuai dengan indikator keberlanjutan dari tiga dimensi yang telah di tetapkan. Keuntungan petambak sebagai salah satu indikator keberlanjutan dari sisi dimensi ekonomi, menunjukkan keuntungan rata-rata petambak sebesar Rp 23.782.400 dengan kisaran keuntungan mulai Rp 20 juta sampai 27 juta perhektarnya. Keuntungan rerata tertinggi diperoleh dengan luasan budidaya 1 ha yang mempunyai rerata keuntungan berkisar 25 juta. Gambaran keuntungan petambak ditunjukkan pada Gambar 47. 140,000,000 120,000,000 100,000,000 80,000,000 60,000,000 40,000,000 20,000,000 -
petambak 1 petambak 2 petambak 3 petambak 4 petambak 5 petambak 6 1
3
5
7
9 11 13 15 17 19
periode panen
petambak 7 petambak 8
Gambar 47 Keuntungan petambak skenario 2 Keuntungan petambak jika dilihat dari fluktuasi keuntungan yang didapat menunjukkan petambak dengan luasan 1 ha memiliki tingkat fluktuasi lebih rendah dibanding dengan petambak dengan luasan lainnya. Fluktuasi keuntungan tertinggi ditunjukkan oleh petambak yang melakukan aktivitas luasan budidaya 4 ha. Keuntungan pedagang kecil pada simulasi kedua menunjukkan terjadinya kecenderungan penurunan keuntungan perkilogram dengan melakukan pembelian dengan volume lebih besar. Kisaran keuntungan pedagang kecil antara 170 sampai 696 rupiah per kilogramnya, dengan rerata keuntungan perkilogramnya sebesar Rp 383. Keuntungan yang diperoleh di tingkat pedagang, ditentukan oleh besaran volume pembelian dan peningkatan kualitas udang dari proses sortasi yang dilakukan. Semakin tinggi volume pembelian akan berpotensi keuntungan juga semakin besar, namun tentunya ada batasan maksimum berkaitan dengan kemampuan penanganan komoditas udang. Gambar 48 menunjukkan bahwa pedagang kecil tiga mempunyai
74 rerata tingkat keuntungan lebih besar dibanding yang lain yaitu sebesar Rp. 413 perkilogram. Keuntungan pedagang kecil (Rp)
8,000,000 6,000,000 pedagang K1
4,000,000
pedagang K2
2,000,000
pedagang K3 pedagang K4
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 periode panen
Gambar 48 Keuntungan pedagang kecil skenario 2
Keuntungan pedagang besar (Rp)
Gambaran keuntungan yang didapat pedagang besar dikisaran Rp 150 sampai Rp 368. Kecenderungan penurunan keuntungan terjadi pada pedagang besar dengan volume pembelian besar, dimana hal ini kemungkinan disebabkan ketidakmampuan pedagang besar dalam melakukan penanganan terhadap komoditas yang dibeli. Volume pembelian yang semakin meningkat, menyebabkan perlu penangan lebih ekstra agar kerusakan komoditas dapat dihindarkan. Kerusakan udang akibat ketidakmampuan penanganan menyebabkan kerugian akibat turunnya harga penjualan komoditas udang. Keuntungan pedagang besar ditunjukkan pada Gambar 49. 6,000,000 5,000,000 4,000,000
3,000,000
Pedagang B1
2,000,000
Pedagang B2
1,000,000 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 periode panen
Gambar 49 Keuntungan pedagang besar skenario 2 Aktivitas agroindustri sebagai industri inti dalam klaster Minapolitan mampu meraup keuntungan rerata 67 juta rupiah per periode panen. Keuntungan yang didapatkan ini jauh lebih tinggi dibanding dengan model simulasi sebelumnya. Keuntungan tertinggi mampu didapat pada volume pembelian sebesar 22.390 kg dengan nilai Rp 73.946.011. Nilai keuntungan agroindustri per periode panen budidaya udang ditunjukkan pada Gambar 50.
Keuntungan agroindustri (Rp)
75 80,000,000 70,000,000 60,000,000 50,000,000 40,000,000 30,000,000 20,000,000 10,000,000 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1011121314151617181920 periode panen
Gambar 50 Keuntungan agroindustri skenario 2
Pendapatan Asli Daerah (Rp)
Besaran pendapatan asli daerah sangat ditentukan oleh pendapatan pajak yang dikenakan pada agroindustri. Semakin meningkatnya aktivitas agroindustri diharapkan keuntungan semakin meningkat, sehingga pendapatan asli daerah juga semakin meningkat. Indikator pendapatan asli daerah dapat digunakan sebagai acuan kinerja aktivitas Minapolitan. Kisaran pendapatan asli daerah dari sektor agroindustri antara 31 juta sampai 39 juta per periode panen budidaya tambak udang dengan rerata per periode panen sebesar Rp 36.511.775. Nilai pendapatan asli daerah dapat dilihat pada Gambar 51. 45,000,000 40,000,000 35,000,000 30,000,000 25,000,000 20,000,000 15,000,000 10,000,000 5,000,000 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1011121314151617181920 periode panen
Gambar 51 Pendapatan asli daerah dari agroindustri skenario 2 Gambaran keberlanjutan dimensi sosial ditunjukkan dari nilai indikator penyerapan tenaga kerja dan potensi biaya sosial, karena adanya aktivitas Minapolitan. Serapan tenaga kerja yang disimulasikan merupakan serapan tenaga kerja yang berada dipertambakan dan perdagangan udang. Hasil simulasi menunjukkan bahwa serapan tenaga kerja untuk luasan lahan budidaya 20 ha, empat pedagang kecil dan dua pedagang besar mampu menyerap tenaga kerja berkisar antara 70 sampai 75 orang. Serapan tenaga kerja di wilayah Minapolitan ditunjukkan pada gambar 52.
Jumlah orang
76 76 75 74 73 72 71 70 69 68 67 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 periode panen
Gambar 52 Serapan tenaga kerja di wilayah Minapolitan skenario 2
Potensi biaya sosial (Rp)
Biaya sosial merupakan biaya yang harus di tanggung oleh masyarakat karena adanya suatu aktivitas atau perubahan kebijakan. Potensi biaya sosial yang ditimbulkan adanya aktivitas Minapolitan berasal dari adanya limbah yang dihasilkan. Limbah ini dapat berupa limbah cair hasil aktivitas pedagang dalam mensortasi udang dan limbah padat yang dihasilkan dari budidaya tambak. Asumsi biaya ini didapatkan dari seandainya tidak ada aktivitas sortasi maka tidak akan ada pencemaran limbah. Air yang tercemar inilah yang dikonversi sebagai biaya sosial dengan cara mengkalikan dengan nilai air bersih. Potensi biaya sosial yang disebabkan oleh adanya pencemaran ditunjukkan pada Gambar 53. 720,000 700,000 680,000 660,000 640,000 620,000 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1011121314151617181920 periode panen
Gambar 53 Potensi biaya sosial skenario 2 Potensi rerata biaya sosial adanya aktivitas Minapolitan sebesar Rp 689.451 per sekali masa panen dengan luasan lahan 20 ha. Potensi biaya sosial tertinggi terjadi pada saat volume produksi udang sebanyak 22.555 kg Produksi udang sebagai salah satu indikator keberlanjutan lingkungan, menunjukkan aktivitas petambak dengan menggunakan bibit kualitas bagus meningkatkan volume produksi. Hasil simulasi kedua menunjukkan jumlah produksi udang kawasan yang mampu dihasilkan sebesar 1.148 kg/ha. Selengkapnya produksi udang dalam luasan 20 ha dapat dilihat pada Gambar 54.
Volume produksi (Kg)
77 25,000 24,500 24,000 23,500 23,000 22,500 22,000 21,500 21,000 20,500 20,000 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 periode panen
Gambar 54 Volume produksi udang wilayah Minapolitan skenario 2 Produksi udang di kawasan Minapolitan hasil simulasi mampu mencapai 24.375 kg dalam luasan lahan 20 ha. Rerata produksi udang kawasan Minapolitan sebesar 22.958 kg per periode panen. Tingkat fluktuasi cenderung stabil menunjukkan kontinuitas bahan baku udang relatif stabil di kawasan Minapolitan. Petambak dengan luasan lahan 1 ha mempunyai tingkat fluktuasi rendah jika dibandingkan dengan luasan lebih tinggi, petambak dengan luasan 4 ha dan 3 ha memperlihatkan tingkat fluktuasi produksi tinggi. Selengkapnya disajikan pada Gambar 55.
Produksi udang petambak
6,000 5,000 4,000 Petambak 1ha
3,000
Petambak 2ha
2,000
Petambak 3ha
1,000
Petambak 4ha
1
3
5
7
9 11 13 15 17 19
periode panen
Gambar 55 Fluktuasi produksi udang petambak skenario 2 Prosentase pasokan udang ke agroindustri mengalami peningkatan dibandingkan dengan simulasi sebelumnya. Peningkatan ketrampilan dalam mengolah komoditas kemungkinan menjadi sebab meningkatnya prosentase pasokan udang. Peningkatan prosentase menunjukkan kontinuitas pasokan udang ke agroindustri juga meningkat. Gambaran prosentase penerimaan udang oleh agroindustri disajikan pada Gambar 56.
Prosentase pasokan udang (%)
78 95.00 90.00
85.00 80.00 75.00 70.00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 periode panen
Gambar 56 Prosentase penerimaan udang oleh agroindustri skenario 2 Potensi limbah hasil aktivitas Minapolitan menunjukkan semakin banyak udang yang disortasi maka limbah cair akan semakin banyak. Volume pembelian udang berpengaruh pada kebutuhan air untuk mensortasi udang. Limbah cair yang dihasilkan berkisar 87 ribu liter untuk volume produksi udang sekitar 22 ton. Limbah cair tertinggi dari hasil simulasi mampu mencapai 93.530 lt dan terendah sebesar 79.508 lt. Limbah cair yang dihasilkan dari aktivitas Minapolitan ditunjukkan pada Gambar 57.
Limbah cair (Liter)
95,000 90,000 85,000 80,000
75,000 70,000 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 periode panen
Gambar 57 Potensi volume limbah cair skenario 2 Pakan udang merupakan salah satu sumber pencemaran lingkungan dipertambakan udang. Pakan udang yang tidak termakan oleh udang akan tersuspensi kedalam air tambak. Sekitar 15% pakan udang yang diberikan akan tersuspensi kedalam air tambak. Jika pakan yang diberikan semakin banyak maka jumlah total padatan tersuspensi akan semakin banyak dan menimbulkan pencemaran. Hasil simulasi kedua dengan pemberian pakan sebanyak 450 kg/ha menunjukkan bahwa jumlah pakan yang tersuspensi pada luasan budidaya 20 ha mampu mencapai 793 kg, sedangkan rerata per periode panen limbah padat yang di hasilkan sebesar 750 kg. Potensi limbah padat dari pakan udang ditunjukkan pada Gambar 58.
79
Limbah padat (Kg)
800 750 700 650 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 periode panen
Gambar 58 Potensi limbah padat kawasan Minapolitan skenario 2 Skenario 3 Skenario ketiga penilaian kinerja keberlanjutan Minapolitan, dijalankan dengan menggabungkan perilaku petambak dalam menggunakan bibit udang. Terdapat delapan petambak dengan menggunakan kualitas bibit yang berbeda. Ada dua petambak masing masing menggunakan bibit kualitas satu dan kualitas dua dengan luasan 1 ha yaitu petambak 1 menggunakan bibit kualitas 1 dan petambak 2 menggunakan bibit kualitas 2 pada awal simulasi, petambak dengan luasan 2 ha juga menggunakan bibit kualitas satu dan dua yaitu petambak 3 menggunakan bibit kualitas 1 dan petambak 4 menggunakan bibit udang kualitas 2 pada awal simulasi, begitu seterusnya sampai petambak dengan luasan 4 ha. Kemampuan penanganan komoditas udang oleh pedagang disimulasikan sesuai simulasi kedua atau memiliki kemampuan baik. Pedagang yang terlibat pada simulasi ketiga tidak mengalami perubahan dalam jumlah. Modal yang disiapkan sebesar Rp 14 juta belum termasuk biaya bibit yang akan ditebar. Jumlah tebar bibit masing masing petambak dalam 1 ha adalah 100.000 ekor dengan mengikuti pola tradisional plus. Pemeliharaannya dilakukan selama maksimum 120 hari dalam satu siklus panen dan dalam satu tahun melakukan kegiatan budidaya sebanyak 2 kali. Proses simulasi dilakukan sampai periode 20 masa tanam kedepan. Kinerja Hasil keluaran simulasi didasarkan pada nilai indikator keberlanjutan. Keuntungan secara finansial dari aktivitas Minapolitan, sangat dibutuhkan oleh seluruh agen dalam menunjang keberlanjutan secara ekonomi. Keuntungan petambak sebagi produsen komoditas udang dalam Minapolitan, sangatlah penting dalam menjaga pasokan udang. Hasil simulasi ketiga mengkombinasikan penggunaan kualitas bibit yang berbeda dalam aktivitas budidaya tambak. Hasil simulasi menunjukkan penggunaan bibit kualitas satu dan kualitas dua menunjukkan perbedaan dalam perolehan keuntungan. Rerata keuntungan yang diperoleh petambak pengguna bibit kualitas satu sebesar Rp 23.985.200 sedangkan yang menggunakan bibit kualitas dua sebesar Rp 18.398.000. Keuntungan petambak menggunakan bibit kualitas satu lebih besar 1.3 kali dibandingkan dengan petambak yang menggunakan bibit kualitas dua. Sebenarnya kondisi tersebut akan jauh berbeda jika petambak pengguna bibit kualitas dua tidak melakukan peralihan ke penggunaan bibit kualitas satu. Kondisi perilaku petambak dalam mencoba menggunakan bibit kualitas satu dimungkinkan dalam pendekatan berbasis agen. Kondisi tersebut dalam pendekatan agen dinamakan emerging properties merupakan sebuah perilaku yang muncul akibat interaksi antar agen dalam melihat peluang keuntungan yang kemungkinan dapat diperoleh (perubahan penggunaan bibit udang
80 dapat dilihat pada Lampiran 5.). Perbandingan keuntungan yang diperoleh masing masing petambak ditunjukkan pada Gambar 59. dan 60. 140,000,000 Keuntungan (Rp)
120,000,000 100,000,000 80,000,000
petambak1
60,000,000
petambak3
40,000,000
petambak5
20,000,000
petambak7
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 periode panen
Gambar 59 Keuntungan petambak dengan menggunakan bibit kualitas 1 120,000,000 Keuntungan (Rp)
100,000,000 80,000,000
petambak2
60,000,000
petambak4
40,000,000
petambak6
20,000,000
petambak8
(20,000,000)
1
3
5
7 9 11 13 15 17 19 periode panen
Gambar 60 Keuntungan petambak pengguna bibit kualitas 2 Secara umum gambaran keuntungan petambak luasan 1 ha sampai petambak luasan 4 ha menunjukkan tingkat fluktuasi keuntungan yang berbeda. Petambak dengan luasan 1 ha memiliki tingkat fluktuasi lebih rendah dibanding dengan petambak dengan luasan 4 ha. Keuntungan ditingkat pedagang, besarannya tergantung oleh besaran volume pembelian dan ketepatan dalam memprediksi mutu pembelian. Semakin tinggi volume pembelian berpotensi memperoleh keuntungan semakin besar. Peningkatan kualitas hasil sortasi mempengaruhi keuntungan yang didapatkan. Semakin tinggi prosentase peningkatan kualitas udang maka keuntungan yang diperoleh semakin meningkat. Kisaran keuntungan pedagang kecil rata rata Rp 411 per kilogramnya, sedangkan pedagang besar dapat meraup keuntungan perkilogram udang sekitar 236. Besaran nilai keuntungan yang diperoleh pedagang kecil dan pedagang besar ditunjukkan pada Gambar 61 dan 62.
81
Keuntungan (Rp)
6,000,000 5,000,000 4,000,000 pedagang K1
3,000,000
pedagang K2
2,000,000
pedagang K3
1,000,000
pedagang K4
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 periode panen
Gambar 61 Keuntungan pedagang kecil skenario 3 6,000,000 Keuntungan (Rp)
5,000,000 4,000,000 3,000,000
pedagang B1
2,000,000
pedagang B2
1,000,000 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 periode panen
Gambar 62 Keuntungan pedagang besar skenario 3 Keuntungan tertinggi diperoleh pedagang kecil sebesar Rp 5.688 ribu dalam satu periode panen, sedangkan pedagang besar keuntungan tertinggi yang berhasil didapatkan dalam simulasi sebesar Rp 5.072 ribu. Salah satu agen penting dalam klaster Minapolitan adalah agroindustri udang. Aktivitas agroindustri udang dalam klaster Minapolitan merupakan konsumen utama penerima hasil produksi udang dalam wilayah Minapolitan. Adanya agroindustri udang mampu meningkatkan harga udang di wilayah Minapolitan. Komoditas udang merupakan komoditas yang mempunyai nilai jual tinggi dalam bentuk segarnya. Nilai jual ini tidak akan mampu dijangkau konsumen lokal yang mempunyai daya beli rendah. oleh karena itu keberadaan agroindustri menjadi sangat penting. Keuntungan tertinggi yang didapatkan dari aktivitas produksi udang agroindustri sebesar Rp 71.847.691.dengan nilai terendah yang dapatkan sebesar Rp 46.387.035. Nilai keuntungan agroindustri udang per periode panen ditunjukkan pada Gambar 63.
Keuntungan Agroindustri (Rp)
82 80000000 70000000
60000000 50000000 40000000 30000000 20000000 10000000 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 periode panen
Gambar 63 Keuntungan agroindustri
PAD dari Agroindustri udang (Rp)
Pendapatan asli daerah di wilayah Minapolitan merupakan hasil pajak yang dikenakan pada aktivitas agroindustri udang. Pajak dikenakan terhadap keuntungan agroindustri udang. Pajak yang dikenakan untuk agroindustri udang di wilayah Minapolitan Kabupaten Gresik sekitar 35% dari keuntungan sebelum pajak. Nilai pendapatan asli daerah yang dikenakan pada keuntungan agroindustri udang dapat dilihat pada Gambar 64. 50,000,000
40,000,000 30,000,000 20,000,000 10,000,000 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1011121314151617181920 periode panen
Gambar 64 Pendapatan asli daerah dari agroindustri skenario 3 Rerata PAD yang didapatkan dari simulasi ketiga sebesar Rp 33.116.315 dalam satu kali masa panen. Pendapatan asli daerah tertinggi yang mampu dicapai dalam simulasi ini sebesar Rp. 38.687.218 dan terendah di Rp 24.977.634 Simulasi ketiga keberlanjutan Minapolitan dimensi ekonomi menyimpulkan bahwa keuntungan yang di peroleh petambak dalam satu musim perhektarnya sekitar Rp. 21.191.600, keuntungan pedagang kecil dalam satu musim panen sebesar Rp. 9.030.648, keuntungan pedagang besar dalam sekali panen sebesar Rp. 4.460.052 sedangkan agroindustri mendapatkan keuntungan dari produksi udang dalam satu tahun sebesar Rp. 61.501.728. pemerintah melalui Pajak yang dikenakan kepada agroindustri dalam satu tahun mendapatkan pemasukan sebesar Rp 66.232.630.
83
Potensi biaya sosial (Rp)
Keberlanjutan Minapolitan dimensi sosial dapat dilihat dari nilai indikator yang mewakili keberlanjutan Minapolitan dari sisi sosial. Nilai indikator tersebut adalah nilai indikator serapan tenaga kerja dan potensi biaya sosial yang ditimbulkan adanya aktivitas Minapolitan. Potensi biaya sosial terkait adanya pencemaran lingkungan baik limbah padat maupun limbah cair hasil aktivitas dalam kawasan Minapolitan. Potensi biaya sosial yang disebabkan oleh adanya pencemaran ditunjukkan pada Gambar 65. 1,000,000 950,000 900,000 850,000
800,000 750,000 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 periode panen
Gambar 65 Potensi biaya sosial skenario 3
Serapan tenaga kerja (orang)
Potensi biaya sosial yang dihasilkan merupakan hasil simulasi kegiatan budidaya tambak seluas 20 ha beserta perniagaannya sampai pedagang besar. Rerata besaran potensi biaya sosial adalah 899 ribu setiap musim panen. Hasil simulasi menunjukkan bahwa serapan tenaga kerja untuk luasan lahan budidaya 20 ha, empat pedagang kecil dan dua pedagang besar mampu menyerap tenaga kerja berkisar antara 66 sampai 74 orang. Tenaga kerja ini belum termasuk tenaga kerja yang dipekerjakan oleh agroindustri udang. Perhitungan tenaga kerja hanya tenaga kerja yang di serap adanya aktivitas budidaya, aktivitas pedagang kecil dan besar. Serapan tenaga kerja di wilayah Minapolitan ditunjukkan pada Gambar 66. 76 74 72 70 68 66 64 62 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 periode panen
Gambar 66 Serapan tenaga kerja di wilayah Minapolitan skenario 3 Keberlanjutan lingkungan dilihat berdasarkan tiga indikator yaitu jumlah produksi udang, kontinuitas produksi udang dan potensi volume limbah. Hasil
84 simulasi menunjukkan bahwa jumlah produksi udang kawasan dengan luasan 20 ha dapat dilihat pada Gambar 67.
Volume produksi (Kg)
30,000 25,000 20,000 15,000 10,000 5,000 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 periode panen
Gambar 67 Volume produksi udang wilayah Minapolitan skenario 3 Produksi udang di kawasan Minapolitan hasil simulasi, menunjukkan rerata produksi per periode panen dengan luasan lahan 20 ha sebesar 21.484 kg. Jika dilakukan perhitungan maka rerata produktifitas lahan perhektarnya sebesar 1.074 kg. Produksi tertinggi hasil simulasi mampu mencapai 24.310 kg dalam satu periode panen. Kontinuitas produksi udang merupakan gambaran perkembangan jumlah produksi udang. Kontinuitas sangat ditentukan oleh tingkat fluktuasi produksi udang dalam kawasan Minapolitan dan kecenderungan peningkatan jumlah pasokan udang. Tingkat fluktuasi yang tinggi akan mempersulit penentuan kapasitas produksi agroindustri, sehingga diperlukan sebuah keadaan yang relatif stabil dalam jumlah produksi udang dalam klaster Minapolitan. Kecenderungan jumlah produksi juga menentukan kontinuitas produksi udang, jika kecenderungan jumlah produksi menurun maka kontinuitas produksi udang dikatakan rendah begitu sebaliknya. Hasil simulasi menunjukkan tingkat fluktuasi tinggi untuk tambak luasan 4 ha. Produksi udang dengan luasan 4 ha tertinggi di angka 5.200 kg, sedangkan terendah sebesar 3.900 kg. Kecenderungan peningkatan produksi udang ditunjukkan oleh petambak dengan luasan 3 ha. Kontinuitas produksi udang oleh petambak ditunjukkan pada Gambar 68.
85
Produksi udang (Kg)
6,000 petambak1
5,000
petambak2
4,000
petambak3
3,000
petambak4
2,000
petambak5
1,000
petambak6
-
petambak7 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 periode panen
petambak8
Gambar 68 Kontinuitas produksi udang petambak skenario 3
Potensi limbah cair (Lt)
Potensi limbah hasil aktivitas Minapolitan menunjukkan terdapat dua jenis limbah yaitu limbah padat dan limbah cair. Rerata limbah cair yang dihasilkan dengan luasan lahan 20 ha sebesar 80 ribu liter dalam sekali periode panen. Hasil simulasi menunjukkan bahwa potensi limbah cair tertinggi bisa mencapai 89 ribu liter. Limbah cair yang dihasilkan dari aktivitas Minapolitan ditunjukkan pada Gambar 69. 100,000 80,000 60,000 40,000 20,000 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1011121314151617181920 periode panen ke-
Gambar 69 Potensi volume limbah cair skenario 3 Limbah padat yang dimaksudkan disini adalah limbah dari pakan yang tidak termakan oleh udang yang kemudian tersuspensi dalam air di lokasi pertambakan. Sekitar 15% pakan udang yang diberikan akan tersuspensi kedalam air tambak. Jika pakan yang diberikan semakin banyak maka jumlah total padatan tersuspensi akan semakin banyak. Kondisi tersebut biasanya terdapat pada pola budidaya udang intensif dengan input pakan yang sangat tinggi. Hasil simulasi pertama berkaitan dengan potensi limbah padat dari pakan udang ditunjukkan pada Gambar 70.
Jumlah limbah padat (Kg)
86 1,200 1,180 1,160 1,140 1,120 1,100 1,080 1,060 1,040 1,020
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 periode panen
Gambar 70 Potensi limbah padat kawasan Minapolitan skenario 3
Model Konseptual Pengembangan Agroindustri Udang di Kawasan Minapolitan Keberlanjutan agroindustri udang merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan nilai tambah yang efektif bagi komoditas udang. Peningkatan tersebut diharapkan berdampak positif bagi peningkatan kesejahteraan pelaku dalam kawasan Minapolitan. Oleh karena itu peran masing-masing agen dalam mewujudkan keberlanjutan agroindustri udang sangatlah dibutuhkan. Model konseptual yang dibangun dalam pengembangan agroindustri udang di kawasan Minapolitan di dasarkan pada observasi dilapangan dan hasil simulasi model yang dijalankan sebelumnya. Terdapat dua simulasi model yang dilakukan. Simulasi model dinamik untuk melihat kondisi pasokan bahan baku agroindustri udang dan simulasi berbasis agen dalam melihat aktifitas dan interaksi agen dalam klaster Minapolitan. Observasi dilapangan menunjukkan bahwa pihak-pihak yang berperan penting dalam usaha peningkatan keberlanjutan agroindustri udang di kawasan Minapolitan meliputi agroindustri udang, kelompok pedagang, petambak, pemerintah, perguruan tinggi, masyarakat, dan lembaga permodalan. Masing-masing pihak mempunyai peranan yang penting dalam mewujudkan keberlanjutan agroindustri udang di kawasan Minapolitan. Agroindustri udang sebagai konsumen utama udang Vannamei berkontribusi besar dalam penentuan harga udang di kawasan Minapolitan, seperti halnya terjadi pada agroindustri teri nasi (Purnomo, 2012). Namun demikian peranan tersebut dibatasi oleh adanya persaingan dalam mendapatkan pasokan udang dari agroindustri lain, sehingga dalam penentuan harga agroindustri udang di kawasan Minapolitan tidak dapat dengan semena-mena. Adanya perusahaan yang sejenis dalam memperebutkan bahan baku mempengaruhi perilaku masing-masing agroindustri. Hal ini menyebabkan adanya saling ketergantungan antar agroindustri dalam mendapatkan pasokan bahan baku. Keadaan demikian menyebabkan penentuan harga bahan baku menganut model struktur pasar oligopoli dalam persaingan untuk mendapatkan pasokan bahan baku (Case dan Fair, 2007). Oleh karena itu harga rendah yang ditetapkan agroindustri udang di kawasan akan berdampak pada kehilangan kesempatan mendapatkan pasokan udang dari kawasan Minapolitan.
87 Petambak sebagai agen yang membudidayakan udang di kawasan Minapolitan, akan melakukan proses budidaya jika dipandang usaha yang dilakukan menguntungkan dan mempunyai resiko kecil. Proses budidaya yang dilakukan petambak umumnya telah adaptif terhadap teknologi yang ada. Petambak dengan adanya pilihan teknologi dan variasi bibit serta jenis pakan yang bermacam-macam dapat menentukan pilihan yang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki petambak. Pemilihan beberapa alternatif tersebut membawa dampak pada tingkat keberhasilan dalam proses budidaya, hal ini sudah sangat dipahami oleh petambak, oleh karena itu pemerintah dalam hal ini berkewajiban dalam menyediakan alternatif teknologi dan bibit yang dibutuhkan petambak dalam meningkatkan produktifitas usahanya. Penyediaan teknologi dan bibit yang adaptif dan tepat guna oleh pemerintah perlu didukung dari instansi terkait khususnya lembaga penelitian, baik yang berada di lingkungan pemerintahan maupun lembaga perguruan tinggi. Perguruan tinggi sebagai salah satu penghasil teknologi telah banyak bersinergi dengan petambak, pedagang dan masyarakat dalam upaya menghasilkan teknologi yang tepat guna dan adaptif untuk diterapkan di masyarakat, namun terkadang kendala yang dihadapi adalah belum adanya pendampingan yang optimal yang dilakukan agar teknologi tersebut berjalan dengan baik. Sehingga diperlukan tenaga penyuluh lapang yang mampu mengawal dan menjawab beberapa permasalahan yang ada dilapangan. Tugas penyediaan penyuluh merupakan kewajiban pemerintah untuk menyediakannya. Saat ini tenaga penyuluh dilapangan sangat minim sehingga kurang mampu menangani luasan lahan yang begitu besar, oleh karena itu perlu dilakukan penambahan penyuluh yang memadahi. Pedagang dalam mata rantai pasokan udang ke agroindustri, mempunyai peran yang tidak kalah penting. Sebagai agen pemasok atau distribusi barang, pedagang mempunyai tugas menjaga kesegaran dan mutu udang selama proses distribusi. Pengamatan dilapangan mengungkapkan bahwa pedagang juga melakukan proses sortasi untuk meningkatkan keuntungan dalam usaha niaganya. Proses tersebut membutuhkan ketrampilan tertentu dalam menangani komoditas agar mutu dan kesegaran udang tetap terjaga dan meminimalisasi kerusakan produk. Ketrampilan pedagang dalam menangani komoditas menjadi penting untuk ditingkatkan agar dapat menjaga dan meningkatkan kualitas produk selama proses distribusi. Ketrampilan yang diperoleh saat ini hanya sebatas pengalaman dari tahun-tahun sebelumnya tanpa ada dukungan dari pihak lain. Peningkatan ketrampilan pedagang sebenarnya bisa dilakukan oleh agroindustri udang sebagai penerima produk dan pemerintah melalui berbagai pelatihan. Lembaga permodalan di kawasan Minapolitan telah ada dan menjalankan sesuai dengan fungsinya, namun perlu optimasi dalam pemberian kredit bagi usaha kecil. Salah satu hal yang perlu dilakukan adalah bersama sama dengan pemerintah dan agroindustri melakukan restrukturisasi kebijakan dalam pemberian kredit untuk mempermudah usaha kecil dan petambak dalam mendapatkan modal. Pemerintah melalui skim dana pinjaman untuk rakyat sedangkan agroindustri melalui penjaminan terhadap modal yang dipinjam oleh pedagang, petambak yang mempunyai hubungan dengan agroindustri tersebut. Dengan demikian kemudahan mendapatkan modal mampu meningkatkan produktifitas usahanya. Hasil observasi dan analisis dari kedua model simulasi yang dilakukan menunjukkan bahwa keterkaitan berbagai elemen dalam model pengembangan agroindustri udang di kawasan Minapolitan disajikan pada Gambar 71.
88
Dana Pinjaman (KUR)
Pemerintah
Pendanaan Litbang
Pasar Global
Produk
Regulasi
- Jaminan Pinjaman - CSR
Agroindustri Udang Perguruan Tinggi
Bahan Baku
Informasi
Ketersediaan Teknologi - Pendampingan Teknis - Penyuluhan
Informasi Pemasaran
- Informasi pasar - Transfer Teknologi
Kelompok Pengolah / Mitra Binaan Pedagang Pengumpul
Koperasi Pinjaman
Udang Segar
- Informasi - Dana
Simpanan
Lembaga Permodalan
Kelompok Petambak Petambak
Petambak
Tenaga Kerja Pemberdayaan
Masyarakat
Gambar 71 Model pengembangan agroindustri udang di kawasan Minapolitan Keterkaitan antar elemen yang ada dalam model pengembangan yang dibangun memperlihatkan peran dan fungsi masing-masing elemen dalam meningkatkan keberlanjutan agroindustri udang. Hasil validasi dengan expert judgement melalui teknik face validity yang dilakukan, menunjukkan bahwa model pengembangan yang dibangun telah mengandung semua elemen yang dibutuhkan dalam pengembangan agroindustri udang berkelanjutan. Model yang dibangun telah mencakup interaksi antar agen di wilayah Minapolitan dan hubungan input output dari sebuah sistem Minapolitan dalam mendukung keberlanjutan agroindustri udang. Simulasi model dinamik pasokan bahan baku agroindustri udang dalam klaster Minapolitan memperlihatkan kondisi tingkat pemanfaatan kapasitas pabrik dari pasokan bahan baku dalam kawasan Minapolitan saat ini dikatagorikan kurang berkelanjutan. Dengan kapasitas produksi agroindustri udang dalam kawasan Minapolitan sebesar 10.000 ton pertahun, hanya mampu dipenuhi sebesar 3.400 ton pertahun. Kondisi tersebut memperlihatkan hanya 34% dari kapasitas terpasang kemampuan pasokan bahan baku dalam kawasan Minapolitan.
89 Peningkatan keberlanjutan pasokan bahan baku agroindustri dari model simulasi yang dibangun, menunjukkan bahwa peningkatan produktifitas lahan memberi dampak yang lebih positif jika dibandingkan dengan meningkatkan luasan lahan budidaya. Peningkatan luas lahan budidaya hanya mampu meningkatkan pasokan bahan baku sebesar 60%, sedangkan dengan peningkatan produktifitas dengan luasan lahan sesuai saat ini mampu meningkatkan pasokan bahan baku mencapai 84%. Pasokan bahan baku ini belum termasuk komoditas udang dari luar kawasan. Kondisi pasokan bahan baku agroindustri udang yang mencapai 84%, maka status keberlanjutan pasokan udang sangat berkelanjutan. Pasokan bahan baku agroindustri udang dipengaruhi juga fluktuasi harga antara dalam kawasan dan luar kawasan Minapolitan. Harga komoditas udang yang meningkat di luar kawasan menurunkan pasokan bahan baku di dalam kawasan Minapolitan. Simulasi model yang dilakukan terhadap pengaruh harga menunjukkan dengan kenaikan harga Rp 2.000 di dalam kawasan, dapat meningkatkan proporsi pasokan dari dalam kawasan menjadi 58%, begitu juga sebaliknya jika dalam kawasan Minapolitan terjadi penurunan harga udang Rp 5.000 akan menurunkan pasokan udang dari dalam kawasan sampai 46%. Tingkat pasokan bahan baku agroindustri udang kurang dari 50% menunjukkan tingkat keberlanjutan pasokan bahan baku pada taraf kurang berkelanjutan. Model simulasi dalam menunjang pengambilan keputusan selanjutnya adalah model simulasi berbasis agen. Model ini dibangun mengikuti kaidah SOARS. Hasil simulasi menunjukkan pengubahan parameter sebagai penterjemahan aktivitas agen berpengaruh terhadap keberlanjutan agroindustri udang di kawasan Minapolitan. Pengaruh aktivitas agen berdampak pada indikator keberlanjutan pengembangan suatu wilayah. Aktivitas petambak seperti misalnya pengunaan bibit, pemilihan luasan usaha budidaya udang dan kemampuan pengelolaan budidaya udang merupakan aktifitas petambak yang mempengaruhi indikator keberlanjutan secara keseluruhan. Aktivitas pedagang dalam menangani komoditas udang berpengaruh terhadap kebelanjutan Agroindustri udang di kawasan Minapolitan. Aktivitas agen dalam klaster lebih banyak mengarah kepada upaya peningkatan produksi udang di kawasan Minapolitan. Upaya ini dilakukan mengingat pokok permasalahan keberlanjutan agroindustri udang di kawasan Minapolitan adalah kurangnya pasokan bahan baku udang. Peningkatan produksi udang di kawasan Minapolitan akan memberi dampak berantai bagi keseluruhan agen yang ada didalamnya. Peningkatan produksi udang berdampak kepada peningkatan keuntungan bagi petambak sehingga gairah usaha pertambakan udang menjadi meningkat. Peningkatan produksi udang membawa peningkatan volume perdagangan dan tentunya keuntungan bagi pedagang. Adanya pasokan udang ke agroindustri akan menghidupkan aktivitas produksi dan keuntungan. Pemerintah akan mendapatkan dana melalui pajak penghasilan untuk membangun kawasan Minapolitan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Keterkaitan antar elemen dalam mencapai tujuan dalam pengembangan Minapolitan melalui interaksi kerjasama saling mendukung masing-masing elemen. Pemerintah dalam mendorong kemudahan penyediaan modal melakukan penyediaan modal melalui penyediaan dana melalui anggaran pendapatan belanja negara. Pemerintah dalam menyalurkan dana berinteraksi dengan lembaga permodalan dengan menyediakan program kredit usaha rakyat (KUR). Pemerintah dalam menunjang keberlanjutan agroindustri udang juga berinteraksi dengan pedagang
90 pemasok, petambak dan masyarakat perikanan melakukan berbagai pembinaan, pemberdayaan untuk meningkatkan ketrampilan sesuai dengan kedudukan dari masing masing agen. Secara berkala pemerintah melakukan pelatihan kepada tenaga kerja, petambak dan pedagang pengumpul tentang kualitas udang, peningkatan produktifitas kerja dan usaha budidaya tambak udang. Pemerintah dalam penyediaan teknologi bekerjasama dengan lembaga penelitian dan perguruan tinggi untuk menghasilkan teknologi tepat guna melalui penyediaan pendanaan bagi riset pengembangan teknologi. Teknologi yang dihasilkan diharapkan mampu meningkatkan produksi dan penanganan pascapanen yang baik sehingga kualitas produk dapat terjaga sampai ke agroindustri, dan juga diharapkan mengurangi produk yang rusak selama penanganan pasca panen maupun transportasi. Pemerintah melalui lembaga penyuluh perikanan memberikan bimbingan dan pendampingan bagi petambak dan pedagang untuk selalu mengadopsi teknologi yang berguna bagi peningkatan produksi dan penanganan pascapanen. Adopsi teknologi diharapkan bisa memudahkan dalam mencapai peningkatan produksi sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan petambak. Teknologi yang dihasilkan disosialisasikan dan diseminasikan oleh dinas kabupaten kepada agen yang terlibat melalui pendampingan teknis yang dilakukan penyuluh perikanan. Agroindustri dalam meningkatkan dan mempertahankan keberlangsungan pasokan bahan baku, melakukan interaksi dan menjalin kemitraan dengan pemasok. Kerjasama saling menguntungkan dapat dilakukan dengan memberikan harga yang pantas bagi produk sesuai dengan kualitas, informasi yang transparan terkait dengan mutu yang diinginkan beserta volume kebutuhan. Sebaliknya pemasok memberikan jaminan produk udang segar yang bagus dan kontinu bagi agroindustri. Agroindustri udang dalam interaksinya dengan pemasok berkomitmen dan berkewajiban untuk mentransfer teknologi guna meningkatkan kualitas pasokan dan mengurangi terjadinya produk yang rusak akibat kesalahan penanganan oleh pemasok. Adanya alih teknologi diharapkan keberlanjutan pasokan bahan baku dapat ditingkatkan. Agroindustri diharapkan berperan dalam penyediaan modal usaha bagi agen yang di kawasan Minapolitan. Peranan agroindustri diimplementasikan dalam menjamin mitra pemasok untuk mendapatkan kemudahan pinjaman dari lembaga permodalan. Penjaminan dalam mendapatkan kemudahan dana diharapkan mampu meningkatkan jalinan kerjasama dengan agen yang berkaitan dengan rantai pasok di kawasan Minapolitan. Peningkatan kejasama dengan agen pemasok melalui penjaminan kredit, diharapkan mampu meningkatkan komitmen untuk secara kontinyu memasok bahan baku ke agroindustri udang. Peningkatan keberlanjutan agroindustri udang dari model pengembangan yang dibangun, peranan CSR dari agroindustri yang merupakan bakti sosial terhadap lingkungan diharapkan mampu meningkatkan keberlanjutan agroindustri udang di kawasan Minapolitan. Keterkaitan petambak dengan pedagang pengumpul di kawasan Minapolitan ditunjukkan melalui jalinan kerjasama saling menguntungkan dalam proses penyaluran komoditas udang dalam bentuk perdagangan. Pedagang pengumpul dalam kerjasamanya dengan petambak, membeli komoditas udang sesuai dengan mutu dan harga yang berlaku di pasaran, selanjutnya petambak menerima uang hasil penjualan. Keberlanjutan dalam proses ini dipengaruhi oleh masing masing agen. Pedagang pengumpul dalam usaha meningkatkan keberlanjutan usahanya, hendaknya memberikan informasi yang transparan berkaitan dengan mutu dan harga komoditas udang yang berlaku dipasaran. Pedagang pengumpul di kawasan
91 Minapolitan umumnya juga melakukan usaha budidaya tambah, oleh karena itu diharapkan mampu mentranfer ketrampilan dalam usaha budidaya udang ke petambak udang dimana petambak tersebut biasanya menjual komoditas udang ke mereka. Hal ini diharapkan mampu meningkatkan jalinan kerjasama dan pasokan komoditas udang sehingga keberlanjutan pasokan udang di kawasan Minapolitan dapat ditingkatkan, selanjutnya peningkatan tersebut diharapkan keberlanjutan agroindustri udang di kawasan Minapolitan juga meningkat.
Implikasi Kebijakan Peningkatan Keberlanjutan Agroindustri Udang di Kawasan Minapolitan Implikasi kebijakan dalam upaya peningkatan keberlanjutan agroindustri udang di kawasan Minapolitan, ditekankan pada aktifitas yang berkaitan dengan peningkatan produksi udang di kawasan Minapolitan. Upaya lain dalam meningkatkan pasokan bahan baku ke agroindustri udang ditekankan pada penanganan pasca panen dalam tata niaga perdagangan. Hal ini dilakukan agar komoditas udang yang diperdagangkan terjaga mutu kesegarannya dan mengurangi terjadinya produk afkir akibat kerusakan bahan selama proses transportasi. Implikasi kebijakan yang direkomendasikan, didasarkan pada variabel-variabel yang sangat berpengaruh terhadap indikator keberlanjutan pada skenario simulasi yang dijalankan. Proses lanjutannya adalah diperlukan tindakan operasional untuk mempermudah implementasi kebijakan dilapangan dalam meningkatkan keberlanjutan agroindustri udang di kawasan Minapolitan. Pemerintah Rendahnya produktifitas udang yang kecil, memerlukan sebuah tindakan nyata dari pemerintah dalam upaya meningkatkan produksi udang di kawasan Minapolitan. Upaya dilakukan hendaknya fokus tertuju pada aktivitas agen yang berkaitan langsung dengan pasokan bahan baku agroindustri yaitu petambak dan pedagang pengumpul. Kebijakan pemerintah dapat dilakukan melalui beberapa langkah pendukung terhadap aktivitas budidaya secara teknis melalui penyuluhan dan pendampingan.
Penyediaan Bibit Berkualitas Kualitas bibit sangat menentukan tingkat produksi dari budidaya tambak. Hasil simulasi menunjukkan bahwa penggunaan bibit unggul mampu meningkatkan produksi secara signifikan. Peningkatan peran balai benih udang dalam upaya menghasilkan bibit udang berkualitas perlu terus dilakukan. Selain itu balai benih diupayakan melakukan pendampingan terhadap kelompok pembibitan udang untuk selalu menyediakan bibit berkualitas. Saat ini pembedaan kualitas bibit sulit dilakukan mengingat keterbatasan petambak dalam mengenali bibit berkualitas. Bibit yang selama ini beredar dikalangan petambak merupakan bibit hasil pembesaran para petambak pembibit di wilayah Minapolitan. Umumnya bibit yang diperjualbelikan kualitasnya diragukan. Keterbatasan pengetahuan dan ketiadaan sertifikasi bibit menyebabkan kualitas bibit di kawasan Minapolitan menjadi tidak terjamin kualitasnya.
92 Petambak pada umumnya menginginkan bibit berkualitas bagus walaupun dengan harga sedikit mahal agar hasil panennya tinggi, oleh karena itu merupakan tanggungjawab pemerintah dalam menyediakan bibit berkualitas melalui balai pembenihan yang ada dan memberikan pengetahuan berkaitan pengenalan bibit yang berkualitas. Upaya tersebut dilakukan dengan revitalisasi balai benih yang telah ada untuk lebih meningkatkan peran sesuai fungsinya dalam upaya meningkatkan produksi. Balai benih diharapkan terus berupaya melakukan inovasi dan peningkatan pengetahuan kepada petambak dalam upaya pengenalan terhadap bibit yang berkualitas kepada petambak. Pemerintah melalui kementerian yang terkait hendaknya melakukan pengawasan terhadap masuknya indukan udang dan penyebaran bibit udang agar bibit yang dihasilkan dan tersebar di kawasan Minapolitan dapat terjamin kualitasnya. Petambak dalam proses adopsi teknologi lebih menekankan pada peniruan terhadap apa yang secara riil dilakukan dilapangan sehingga diharapkan dinas perikanan mampu memberikan contoh atau demopond di wilayah sentra budidaya untuk menunjukkan bagaimana teknik budidaya yang baik agar produktifitas meningkat. Pendampingan melalui Penyediaan Penyuluh Pendampingan oleh penyuluh perikanan diharapkan meningkatkan kualitas budidaya petambak. Peran penyuluh sangatlah penting, jika terjadi sesuatu permasalahan dilapang bisa langsung dikonfirmasikan dan ditanyakan. Permasalahan tingginya tingkat kematian udang merupakan salah satu akibat kurangnya pendampingan dari penyuluh perikanan. Saat ini tingkat sintasan dari budidaya udang vannamei secara tradisional plus di wilayah Minapolitan Kabupaten Gresik berada di kisaran 25% sampai 30%. Petambak dengan segala keterbatasannya berusaha untuk melakukan upaya menekan kematian udang, namun keterbatasan pengetahuan menyebabkan tingkat kematian udang dalam proses budidaya masih terus terjadi. Keterbatasan pengetahuan sebenarnya bisa ditanggulangi, salah satunya adalah dengan penyediaan penyuluh perikanan di kawasan Minapolitan. Keterbatasan tenaga penyuluh menyebabkan keterlambatan penanganan jika terjadi suatu persoalan. Oleh karena itu penyediaan penyuluh pertanian yang memadahi dan mumpuni merupakan kebijakan yang harus dilakukan pemerintah. Kebijakan pemerintah melalui penyediaan penyuluh yang mencukupi dan berkualitas, diharapkan proses pendampingan terhadap petambak semakin intensif. Intensitas pendampingan diharapkan meningkatkan ketrampilan dan manajemen budidaya petambak dan mendorong peningkatan produktifitas tambak udang. Penyediaan Pusat Informasi Terpadu Ketersediaan informasi yang lengkap dan akurat di Mina Center akan mempermudah petambak dalam menentukan jadwal tanam, mencari informasi teknologi pertambakan dan manajemen budidaya tambak. Petambak, pedagang pengumpul sebagai agen dalam rantai pasok komoditas udang di wilayah Minapolitan saat ini sangat terbuka terhadap masuknya informasi yang ada. Kebutuhan akan informasi terkini menjadi sesuatu hal yang sagat dinantikan bagi petambak maupun pedagang pengumpul. Ketersediaan informasi diharapkan bisa mengurangi resiko kegagalan dalam berproduksi. Keberadaan Mina center menjadi sangat penting, selain berfungsi sebagai pusat informasi, juga diharapkan sebagai ajang pertemuan saling diskusi dan tukar informasi antara petambak, pedagang
93 udang dan agroindustri udang. Pertukaran Informasi dapat berupa harga udang, prediksi jumlah panen, kapan waktu panen udang, termasuk tukar pengalaman dalam penanganan pasca panen agar mampu menjaga mutu udang tetap baik sampai agroindustri. Penyediaan pusat informasi oleh pemerintah dalam bentuk Mina center akan sangat membantu peningkatan aktivitas dalam wilayah Minapolitan dan berimplikasi pada peningkatan keberlanjutan agroindustri udang. Penyediaan Infrastruktur yang Memadahi Selama ini pembangunan wilayah Minapolitan lebih dititikberatkan pada pembangunan infrastruktur. Ketepatan pembangunan infrastruktur membantu meningkatkan mobilitas dan kemudahan dalam melakukan aktivitas. Pembangunan infrastruktur seperti penyediaan jaringan listrik, perbaikan sarana transportasi di tambak, normalisasi saluran termasuk penyediaan pintu air untuk keluar masuknya air dari saluran adalah infrastruktur yang sangat menunjang peningkatan aktivitas Minapolitan. Infrastruktur yang memadahi akan meningkatkan mobilitas agen di kawasan Minapolitan sehingga akan terjadi peningkatan aktivitas dan mobilitas perdagangan. Percepatan mobilitas angkutan perdagangan diharapkan menekan kerusakan produk dan mempercepat masuknya komoditas udang ke agroindustri. Pembangunan beberapa cold storage yang berdekatan dengan sentra pertambakan menjadi penting untuk menjaga kualitas udang agar tetap segar. Penyediaan air bersih juga penting untuk menjaga kualitas udang setelah pasca panen. Insentif permodalan Pemerintah berkewajiban membantu kemudahan permodalan bagi pelaku usaha di wilayah Minapolitan. Agen petambak sangat berkeinginan kemudahan mendapatkan modal dan berusaha sedapat mungkin mengembalikan pinjamannya secepatnya. Kemudahan pemenuhan modal bagi agen petambak akan membantu meningkatkan kualitas usaha yang dilakukan, sehingga kemungkinan usaha menjadi berhasil menjadi lebih tinggi. Selama ini permodalan banyak dibantu oleh pedagang pengumpul baik pedagang pengumpul kecil maupun besar. Bantuan modal dari pedagang diharapkan produk yang dihasilkan oleh petambak disetorkan ke pemberi modal. Pasokan udang bagi para pedagang berdampak pada keberlangsungan usaha sehingga diharapkan mendapat keuntungan dari aktivitas perdagangannya. Posisi agen petambak sebagai penerima bantuan modal kerja, sedikit banyak mempengaruhi posisi tawar petambak dalam memperdagangkan hasil produksinya. Walaupun dalam perjanjian yang tidak tertulis agen petambak boleh menjual hasil produksinya ke pedagang lain. Kebijakan pemerintah dalam permodalan melalui kredit usaha rakya memberi alternatif dalam pemenuhan modal untuk usaha. Keberadaan program pemerintah mengenahi kredit usaha rakyat (KUR) perlu dilanjutkan dan ditingkatkan nilainya agar petambak dan pedagang pengumpul mampu meningkatkan aktifitas tanpa terkendala permodalan. Skema pemberian modal melalui kredit usaha rakyat diharapkan mampu meningkatkan posisi tawar petambak dalam usahanya agar terhindar dari praktek rentenir. Peningkatan insentif permodalan oleh pemerintah mampu meningkatkan keberlangsungan usaha masing-masing agen di kawasan Minapolitan sehingga peningkatkan keberlanjutan agroindustri udang di wilayah Minapolitan menjadi lebih baik.
94
Peningkatan sistem pengawasan Pengawasan perlu dilakukan pemerintah sebagai pemegang kendali di daerah berkaitan dengan perubahan fungsi lahan. Pengaturan fungsi lahan secara ketat mencegah alih fungsi lahan yang dapat mengganggu aktivitas pertambakan. Perbedaan nilai ekonomi yang tinggi, jika digunakan untuk budidaya udang dengan tawaran dijual untuk pembangunan properti membuat petambak tergoda untuk menjual lahan pertambakan produktifnya. Hal ini menjadi pemicu semakin meningkatnya alih fungsi lahan pertambakan. Perubahan fungsi tambak produktif harus menjadi perhatian pemerintah daerah. Pembangunan kawasan permukiman dan industri di sekitar pertambakan produktif akan menurunkan produktifitas tambak, selain itu juga akan mempertinggi kemungkinan alih fungsi lahan di sekitar kawasan yang dibangun. Pengawasan lain yang perlu mendapat perhatian adalah kegiatan yang berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan. Pencemaran terhadap perairan tambak sangat merugikan dan mengancam aktivitas tambak udang. Ketidak pedulian pedagang pengumpul berkaitan dengan penganganan limbah proses sortasi menyebabkan peningkatan pencemaran di wilayah Minapolitan. Pemerintah diharapkan membuat aturan dan tindakan yang tegas, apabila suatu kegiatan dapat mengancam kelestarian kawasan Minapolitan, agar keberlanjutan agroindustri udang dapat terus berlangsung. Agroindustri Udang Agroindustri udang sangat mengharapkan kontinuitas dan peningkatan volume udang dari waktu ke waktu. Agroindustri diharapkan berperan aktif untuk meningkatkan kontinuitas pasokan bahan baku. Keterbatasan produksi udang karena rendahnya produktifitas tambak merupakan suatu hal yang perlu ditingkatkan bersama sama dengan pemerintah. Peningkatan jalinan kerjasama ke pedagang pengumpul harus ditingkatkan agar pasokan bahan baku lebih terjamin. Bahan baku Agroindustri udang yang sifatnya musiman memerlukan kerjasama dalam menjamin keberlangsungan pasokan bahan baku (Setthasakko, 2007). Jalinan kerjasama tidak hanya pemberian insentif terhadap pasokan udang tetapi juga transfer teknologi penanganan komoditas udang agar tetap terjaga mutunya. Hasil simulasi menunjukkan bahwa aktivitas pedagang dalam menangani komoditas udang menghasilkan produk udang afkir yang tidak sedikit, besaran produk afkir hasil simulasi sekitar 10% dari total produk panen dalam satu kali periode. Hal ini dapat di dikurangi apabila terjadi transfer teknologi penanganan komoditas udang dari agroindustri ke pedagang pemasok. Teknologi penanganan yang dipunyai agroindustri diharapkan mampu menekan kerusakan produk akibat kesalahan penanganan. Selain itu bagi pedagang pengumpul adanya transfer teknologi, memberi gambaran terhadap kualitas udang yang diharapkan agroindustri, proses penanganan yang baik sehingga memperkecil kemungkinan ditolaknya komoditas udang yang dipasok. Rendahnya kemungkinan penolakan atas produk yang di pasok, memperkecil resiko kerugian bagi pedagang pengumpul. Penanganan pasca panen yang baik menghasilkan produk udang tetap terjaga kesegarannya dan berkualitas baik. Penanganan yang baik meningkatkan prosentase pasokan bahan baku dari pedagang pemasok di wilayah Minapolitan. Penanganan yang baik menjadikan udang yang masuk sudah memenuhi standard kualifikasi mutu
95 agroindustri. Kualifikasi mutu yang sesuai menurunkan pengulangan pekerjaan dalam proses produksi sehingga diharapkan mampu meningkatkan produktifitas agroindustri. Kemitraan yang dibangun tentunya kemitraan yang saling menguntungkan. Disisi agroindustri udang, dimungkinkan terjadinya peningkatan keterjaminan pasokan dan kontinuitas bahan baku, termasuk jaminan mendapatkan mutu bahan baku udang sesuai harapan. Disisi pedagang mendapatkan pengetahuan mengenahi proses penanganan pasca panen yang baik dan sesuai harapan agroindustri. Kondisi demikian berdampak menurunya produk afkir di tingkat pedagang pemasok. Pedagang juga akan mendapatkan jaminan pemasaran sesuai dengan harga dan kualitas mutu. Namun demikian hal yang terpenting adalah komitmen dari kedua belah pihak untuk saling bekerjasama dengan baik dan saling menguntungkan sehingga keberlanjutan usaha masing-masing pihak bisa tetap berlangsung. Kebijakan lain dalam upaya meningkatkan kontinuitas pasokan bahan baku ke agroindustri adalah pemberian insentif kepada pedagang pemasok. Insentif diharapkan menjadi daya tarik untuk tetap menjadi pemasok ke agroindustri yang bersangkutan. Sulitnya mendapatkan komoditas udang memberikan dampak ketatnya persaingan antar agroindustri dalam mendapatkan bahan baku. Kebijakan pemberian insentif bisa dilakukan dengan cara lain yaitu menaikkan harga beli udang pedagang, namun dampak psikologisnya akan berbeda jika dikatakan sebagai insentif. Insentif lebih memberikan rasa saling membutuhkan antara pemasok dengan agroindustri bukan sekedar bisnis belaka.
96 7. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Model sistem dinamis pasokan bahan baku agroindustri udang di kawasan Minapolitan yang dibangun, menunjukkan kondisi pasokan udang saat ini berada pada tingkat kurang berkelanjutan dengan rerata tingkat pemanfaatan kapasitas agroindustri udang sebesar 37% dari kapasitas terpasang. 2. Rancang bangun model pengembangan agroindustri udang di kawasan Minapolitan menghasilkan sebuah simulasi model bagi pelaku usaha dan pemerintah daerah. Simulasi model yang dibangun digunakan untuk mengetahui kondisi mendatang pada keberlanjutan agroindustri udang. Hasil simulasi model menunjukkan bahwa keberlanjutan Minapolitan dalam mendukung pengembangan agroindustri udang saat ini berada dalam katagori kurang berkelanjutan dari sisi keuntungan petambak. Rerata tingkat keuntungan petambak sebesar Rp. 3.311.600. per ha/musim. 3. Model pengembangan agroindustri udang di kawasan Minapolitan dengan pendekatan agen menggunakan kaidah SOARS, tersusun atas elemen-elemen yang saling berkaitan dan bekerjasama dalam lingkup Minapolitan. Peranan masing masing elemen berbeda, pemerintah berperan sebagai pemegang regulasi, pendanaan dan penyedia teknologi dan informasi, sedangkan petambak sebagai agen produsen udang. Agroindustri udang berperan sebagai industri inti dalam kawasan Minapolitan dan pedagang berperan sebagai agen pemasok bahan baku agroindustri. Kesemua elemen berkomitmen dalam mewujudkan agroindustri udang berkelanjutan di kawasan Minapolitan. 4. Pengubahan perilaku agen dalam Minapolitan seperti agen petambak dalam pemilihan bibit, luasan budidaya tambak dan peningkatan kemampuan manajemen pertambakan dapat meningkatkan produksi dan keuntungan petambak. Hasil simulasi model menunjukkan kemampuan penanganan komoditas udang oleh agen pedagang pengumpul, mampu meningkatkan prosentase pasokan bahan baku ke agroindustri udang dari kawasan Minapolitan, sehingga meningkatkan keberlanjutan agroindustri udang. 5. Penyediaan penyuluh lapang yang memadahi dan berkualitas, dalam rangka peningkatan pembinaan dan pendampingan bagi petambak, merupakan upaya yang harus dilakukan pemerintah dalam upaya peningkatan ketrampilan petambak dan manajemen pertambakan. Kemampuan penanganan bahan baku oleh agroindustri udang, hendaknya dapat ditransfer ke mitra pedagang pemasok sebagai bagian kerjasama saling menguntungkan dalam upaya peningkatan kualitas mutu pasokan dan keberlanjutan pasokan bahan baku agroindustri udang di kawasan Minapolitan. Saran 1. Perlunya penggunaan kaidah pemodelan berbasis agen yang lain dalam membangun model keberlanjutan agroindustri udang. Keterbatasan pengembangan model berbasis agen menggunakan kaidah-kaidah SOARS, diharapkan dapat diakomodasi oleh pemodelan berbasis agen yang lain agar model yang dikembangkan lebih komprehensif sehingga pencapaian tujuan keberlanjutan agroindustri udang bisa tingkatkan.
97 2. Model pengembangan agroindustri udang di kawasan Minapolitan perlu terus dikembangkan sesuai dengan kondisi mendatang, oleh karena itu diperlukan sistem informasi managemen yang terintegrasi dalam model sehingga perubahan inputan yang cepat bisa diakomasi agar keluaran sesuai dengan kondisi dilapangan. 3. Perlu pelibatan usaha pembibitan udang dalam kawasan Minapolitan agar ketergantungan bibit dari wilayah luar bisa diminimasi, sekaligus diperlukan pemberdayaan masyarakat di kawasan Minapolitan. 4. Komoditas udang sebagai salah satu komoditas ekspor unggulan akan bernilai tinggi jika terjaga mutu kesegarannya, maka diperlukan upaya menjaga kesegaran mutu udang dalam rantai pasok udang di kawasan Minapolitan. 5. Industri berskala UKM seperti industri kerupuk, petis membutuhkan ketersediaan produk samping dari agroindustri udang, karena itu diperlukan sistem logistik terpadu untuk menjaga ketersediaan bahan baku bagi UKM dalam menjaga keberlangsungan usahanya.
98 Daftar Pustaka Adams M dan Ghaly AE. 2007. Maximizing Sustainability of The Costa Rican Coffee Industri. Journal of Cleaner Production 15:1716-1729 Adiwidjaya D, Supito, Iwan Sumantri. 2008. Penerapan Teknologi Udang Vannamei semi intensif pada lokasi tambak udang Salinitas Tinggi. Media Budidaya air payau. Adi S. 2011. Analisis Usaha Perikanan Budidaya. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara. Kementrian Kelautan dan Perikanan Asyiawati Y. 2002. Pendekatan Sistem Dinamis dalam Penataan Ruang Wilayah Pesisir [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Austin JE. 1981. Agroindustrial Project Analysis. Maryland: The John Hopkins University Press. Axelrod, R. 1997. Advancing the art of simulation in the social sciences, in Conte., R., Hegselmann, R. and Terna, P. (eds.): Simulating social phenomena, Berlin: Springer-Verlag: 21-40. Axelrod, R. dan Tesfatsion, L. 2005. On-Line Guide for Newcomers to Agen-Based Modeling in the Sosial Sciences. http://www.econ.iastate.edu/tesfatsi/abmread. htm. Diakses pada 26-01-2010. Ballou, R. H. 2004. Business Logistic: Supply Chain Management. Fifth Edition. Pearson Prentice Hall, New Jersey. [Bapedal Jatim] Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Jawa Timur. 2002. Baku Mutu Limbah Cair bagi Industri atau Kegiatan Usaha Lainnya di Jawa Timur. Surabaya:Bapedal Jatim [BAPPENAS] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2004. Tata Cara Perencanaan Pengembangan Kawasan untuk Percepatan Pembangunan Daerah. Jakarta. [BAPPENAS] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2008. Rencana pembangunan jangka Menengah Nasional tahap kedua Tahun 2010 – 2014. Jakarta. Barbuceanu M, Fox M. 1996. Coordinating Multiple Agens in the Suply Chain. IEEE Proceedings of WET ICE. Bergenti F. dan Paola T. 2002. Agen-Oriented Software Engineering. AOT Lab Department of Engineering Information. University of Parma Bergman EM dan Feser EJ. 2000. National Industri Cluster Templates: A Framework for Applied Regional Cluster Analysis. Regional Studies February, 34:1 Bonabeau, E. 2001. Agent-Based Modeling: Methods and Techniques for Simulating Human Systems. In Proc.National Academy of Sciences 99(3): 7280-7287. Brink TWMV dan Woerd FV. 2004. Industry Specific Sustainability Benchmarks: An ECSF Pilot Bridging Corporate Sustainability with Sosial Responsible Investment. Journal of Business Ethics 55: 187-203 Brown JG. 1994. Agroindustrial Investment and Operations. Washinton: The World Bank.
99 Case, KE dan Fair, RC. 2007. Prinsip-prinsip Ekonomi. Penerbit Erlangga. Jakarta Checkland P. 1995. Model Validation in Soft System Practice. System Research 12 (1): 47-54 [CPRI] Center for Policy Reform Indonesia. 2010. Pola Pengembangan Minapolitan Budidaya di Seluruh Kabupaten di Indonesia [Makalah Rakornas Kementrian Kelautan dan Perikanan]. Jakarta Dahuri R. 2003. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan [orasi ilmiah]. Bogor: FPIK IPB. Damardjati, Dj. S., Marwoto, D. K. S. Swastika, D. M. Arsyad, Y. Hilman. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kedelai. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta Defra. 2006. Food Industri Sustainability Strategy. London: Department for Environment, Food and Rural Affairs. Deguchi, H. 2006. Introduction of SOARS. http://www.soars.jp/download/ material/introduction_of_soars_en.pdf. diakses 28-10-2010 Djakapermana, RD. 2010. Pengembangan Wilayah Melalui Pendekatan Kesisteman. IPB Press. Bogor. [EDA] Economic Development Administration, 1997. Cluster Based Economic Development: A Key to Regional Competitifness. Information Design Assosiates and ICF Kaiser International. Eriyatno. 1999. Ilmu Sistem : Meningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajemen. Bogor: IPB Press. Fang F. 2007. A Life-cycle-oriented Negotiation Framework for Supply Chain Management: An Agen-based Approach with Hybrid Learning. PhD Dissertation. The University of Hong Kong. Fauzi A. 2006. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Friedmann, J. dan M. Douglass . 1975. Agropolitan Development: Towards a New Strategy for Regional Planning in Asia. In: United Nations Centre for Regional Development, Growth Pole Strategy and Regional Development Planning in Asia. Garro A. dan Wilma Russo. 2010. easyABMS: A Domain-Expert Oriented Methodology for Agen-Based Modeling and Simulation. Journal Simulation Modelling Practice and Theory. Article in press. Glavic P, dan Krajnc D. 2003. Indikators of Sustainable Production. Clean Techn Environ Policy (5): 279 – 288. Glavic P dan Lukman R. 2007. Review of sustainability Terms and Their Definition. Journal of Cleaner Production 15: 1875-1885 Grahadyrini, L. 2010. Apa Kabar Program Minapolitan?. Kompas 21 Oktober 2010. Hall JP. 2001. Criteria and Indikators of Sustainable Forest Management. Environmental Monitoring and Assessment (67): 109–119. Hampel E. dan U. Winther. 1997. Shrimp Farming and The Enviroment. The World Bank. Draft report from KPMG center for aquaculture and fisheries.
100 Happe K. 2004. Agricultural Policies And Farm Structures, Agen-based Modelling and application to EU-policy reform. Institute of Agricultural Development in Central and Eastern Europe (IAMO). Heizer J dan Render B. 2001. Prinsip-prinsip Manajemen Operasi. PT. Salemba Emban Patria. Jakarta. Hemphill L, Berry J, McGreal S. 2004. An Indicator-based Approach to Measuring Sustainable Urban Regeneration Performance: Part1,Conceptual Foundations and Methodological Framework. Urban Studies. 41 (4): 725– 755. Hendrajat EA, Markus M, Hidayat S. 2007. Budidaya Udang Vannamei Pola Tradisional Plus . Media Akuakultur Vol 2(2); pp 67-70. Huisman EA. 1987. Principle of Fish Production. Wageningen Agricultural University. Wageningen. Ilman, M. 2010. Pengolahan dan Pemasaran Udang Indonesia. Warta Konservasi Lahan Basah Vol 18 No 1. Februari 2010. Indrajit, RE. dan R. Djokopranoto. 2006. Konsep Manajemen Supply Chain, Cara Baru Memandang Mata Rantai penyediaan barang. Grasindo. Jakarta. Jusar A. 2006. Model Strategi Pengembangan Klaster Agroindustri Unggulan Menggunakan Kompetensi Inti di Daerah Kabupaten dan kelembagaannya. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kakiay TJ. 2004. Pengantar Sistem Simulasi. Yogyakarta: Penerbit Andi. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2010. Rencana Strategis Kementerian Perikanan dan Kelautan 2010-2014. Jakarta [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2011. Kepmen Kelautan dan Perikanan RI No. 18/ Men/2011 tentang Pedoman Umum Minapolitan. Jakarta. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2013. Statistik Kelautan dan Perikanan 2011. Pusat Data Statistik dan Informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Macal, C.M. dan North, M.J. 2005. Tutorial on Agen-based Modelling and Simulation. Proceedings of The Winter Simulation Conference. Macal, C.M. dan North, M.J. 2007. Agen-based Modelling and Simulation: Dekstop ABMS. Proceedings of The Winter Simulation Conference. Mahfud H. 2004. Pemodelan Sistem Pengembangan Agroindustri Minyak Atsiri dengan Pendekatan Klaster. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Macy, MW. dan Robert Willer. 2002. From factors to actors: computational sociology and agent-based modeling. Annual Review of Sociology 28:143-166. McCool SF dan Stankey GH. 2004. Indicators of Sustainability: Challenges and Opportunities at the Interface of Science and Policy. Environmental Management 33 (3): 294–305. Muhammadi, Aminullah E, Soesilo B. 2001. Analisis Sistem Dinamis : Lingkungan Hidup, sosial, Ekonomi dan Manajemen. UMJ. Press : Jakarta.
101 Nikarz M, Giovanni C, Parisa A, Bahri. 2006. Methodology for the Analysis and Design of Multi-Agent System using JADE. International Journal of Computer Systems Science and Engineering. Australia North, M., G. Conzelmann, V. Koritarov, C. Macal, P.Thimmapuram and T. Veselka. 2002. E–laboratories: agent–based modeling of electricity markets. American Power Conference. Chicago. IL. Apr.15-17. Nurdjana, M. 2010. http://www.dkp.go.id/archives/c/2/2108/produksi-udangnasional-turun-pemerintah-siapkan-benur-berkualitas/. Diakses 20-10-2010 Ometto AR, Ramor PAR, Lombardi G. 2007. The Benefit of a Brazilian Agroindustrial Symbiosis System and The Strategies to Make it Happen. Journal of Cleaner Production 15: 1253-1258 Porter, ME. 1980. Competitive Strategic: Technigues for Analyzing Industries and Competitors. The Free Press. New York. USA Porter, ME. 1985. Competitive Andvantage: Creating and Sustaining Superior Performance. The Free Press. New York. USA Porter. ME. 1998. Clusters and new Economics of Competition. Harvard Business Review. November-Desember Porter, M.E. 1993. Keunggulan Bersaing: Menciptakan dan Mempertahankan Kinerja Unggul. Cetakan ketiga. Penerbit Airlangga Putro, U.S. et al.. 2008. Searching For Effective Policies To Prevent Bird Flu Pandemic In Bandung City Using Agen Based Simulation. Journal System Research and Behavioral Science 25(5): 663-673 Purnomo, BH. 2012. Rancang Bangun Model Prediksi Keberlanjutan Agroindustri Perikanan Tangkap. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Render B, dan Stair RM. 1994. Quantitatif Analysis for Management. Allyn dan Bacon. Roorda, M.J., Rinaldo Cavalcante, Stephanie McCabe, Helen Kwan. 2010. A Conceptual Framework for Agen-Based Modelling of Logistics Services. Journal Transportation Research Part E 46: 18–31 Setthasakko, W. 2007. Determinats of Corporate Sustainability: Thai Frozen Seafood Processor. British Food Journal 2: 155-168. Simchi-Levi, D., P. Kaminsky, E. Simchi-Levi. 2000. Designing and Managing the Supply Chain : Concepts, Strategis and Case Studies. McGraw-Hill International Edition. Singapore. Soekartawi. 2002. Pengantar Agroindustri. Raja Grafindo Persada. Jakarta Soewardi, K. 2002. Pengelolaan Kualitas Air Tambak,Makalah Dalam Seminar Penetapan Standar Kualitas Air Buangan Tambak, Ditjen Perikanan Budidaya, Puncak, 7 – 9 Agustus 2002. Suprapto, A. 1997. Agroindustri Masa Depan, makalah symposium nasional agrindustri. Jurusan Teknologi Industri Pertanian IPB. Supriyati, Suryani E. 2006. Peranan, Peluang dan kendala pengembangan Agroindustri di Indonesia. Forum Penelitian Agroekonomi (FAE).
102 Sushill. 1993. System Dynamic : A Practical Approach for Managerial Problems. New Delhi: Wiley Eastern Limited Syah R, Hidayat Ss, M Chaidir Undu, Makmur. 2006. Pendugaan Nutrient Budget Tambak Intensif Udang Litopenaus Vannamei. Jurnal Riset Akuakultur 1(2);181-202 Syairudin B, Iman Sudirman, T. M. A. Ari Samadhi, Kadarsah Suryadi. 2008. Pengembangan Model Knowledge Sharing Berbasis Agen Untuk Klaster Industri Kecil Dan Menengah. Prosiding Seminar Nasional Sains Dan Teknologi-II Tanuma H, Hiroshi Deguchi, Tetsuo Shimizu. 2005. SOARS: Spot Oriented Agent Role Simulator-Design and Implementation. Agent-Based Simulation: From Modeling Methodologies to Real-World Applications. Agent-Based Social Systems 1: 1-15 Twomey P dan Cadman R. 2002. Agent-based modeling of customer behaviour in the telecom and media markets. The Journal of Policy, Regulation and Strategy for Telecommunications. 4 (1): 56-63. Wahono, R.S. 2001, Pengantar Software Agen: Teori Dan Aplikasi. Di Dalam Proceeding Of The I Eci Japan Workshop Weidlich A. dan Daniel Veit. 2008. A Critical Survey of Agen-Based Wholesale Electricity Market Models. Journal Energy Economics 30: 1728–1759 Yasik, Y.l. 2009. Agen Based Modelling. http://yudiyasik.blogspot.com /2009/03/agen-based-modeling.html. di akses 22-2-2010 Vorst JGAJ van der. 2004. Supply Chain Management: Theory and Practice. Di dalam: T.Camps, P. Diederen, G.J Hofstede, B.Vos, (eds). The Emerging World of Chains & Networks. Hoofdstuk: Elsevier
103 Lampiran 1. Model Persamaan Penentuan Pasokan Bahan Baku Agroindustri Udang di Kawasan Minapolitan Proporsi Luas Lahan Budidaya = {‘Input Proporsi Budidaya’[INDEX(1)],’Input Proporsi Budidaya’ [INDEX(2)],’Input Proporsi Budidaya’[INDEX(3)],’Input Proporsi Budidaya’[INDEX(4)]} Laju Perkembangan Lahan Budidaya = 'Luas Lahan yang Tersedia'*'Proporsi Luas Lahan Budidaya Udang'*'Proporsi Pemanfaatan Lahan'*1<<1/yr>>//'Luas Lahan Total'*'Proporsi Luas Lahan Budidaya'*'Frekuensi Budidaya'*'Proporsi Pemanfaatan Lahan' Produktivitas Panen = {200,400,2000,4752}<
> {Pola Tradisional, tradisional plus, semi intensif, intensif} Produksi Udang Segar = ('Luas Lahan Budidaya'*'Produktivitas Panen')*1/1000<> Volume Udang yang diterima Pedagang Pengumpul ARRSUM(‘Produksi Udang Segar’)*(1-‘Loss Udang Segar Karena Transportasi’) Produksi Udang di Pedagang Pengumpul = {'Volume Udang yang Diterima Pedagang Pengumpul'*(1-'Konversi Afkir'),'Volume Udang yang Diterima Pedagang Pengumpul'*'Konversi Afkir'} Keputusan Penjualan = GRAPH ('Fluktuasi Harga di Dalam Kawasan', 55000<>, 7500<>,{0.3,0.4,0.5,0.6,0.7,0.8,0.9,1}) Bahan Baku untuk Agroindustri = {('Produksi Hasil Olahan Udang di Pedagang Pengumpul'[INDEX(1)] *'Proporsi Wilayah Penjualan Udang Hasil Sortasi'[INDEX(1)]),((1'Proporsi Wilayah Penjualan Udang Hasil Sortasi'[INDEX(1)])/('Proporsi Wilayah Penjualan Udang Hasil Sortasi'[INDEX(1)]))*('Produksi Hasil Olahan Udang di Pedagang Pengumpul'[INDEX(1)]*'Proporsi Wilayah Penjualan Udang Hasil Sortasi'[INDEX(1)])} Tingkat Pemanfaatan Kapasitas Produksi Pabrik = (ARRSUM('Bahan Baku untuk Agroindustri')/('Kap Total Agroindustri')) *100% Katagori Keberlanjutan = IF('Tingkat Pemanfaatan Kapasitas Produksi Pabrik'<=30%,1,IF(('Tingkat Pemanfaatan Kapasitas Produksi Pabrik'>30%)AND('Tingkat Pemanfaatan Kapasitas Produksi Pabrik'<=50%),2,IF(('Tingkat Pemanfaatan Kapasitas Produksi Pabrik'>50%)AND('Tingkat Pemanfaatan Kapasitas Produksi Pabrik'<=70%),3,4)))
104 Lampiran 2. Petunjuk penggunaan model pasokan bahan baku yang dibangun dalam Powersim Studio 2005 1. Silakan buka software Powersim Studio 2005 yang telah diinstal dengan cara klik Start, kemudian All Program dan pilih Powersim Studio
2. Tampilan awal Powersim Studio 2005, Kemudian klik Finish sehingga muncul constructor diagram
105 3. Silakan buka aplikasi “Simulasi Pasokan Udang Kawasan Minapolitan” dengan cara klik simbol Open pada toolbars dan carilah file “Simulasi Pasokan Udang Kawasan Minapolitan”
4. Untuk menampilan aplikasi model dalam mode presentasi silakan klik tombol Toggle Presentation Mode atau tekan F5 sehingga muncul tampilan depan “SIMULASI MODEL SISTEM DINAMIK PASOKAN UDANG KAWASAN MINAPOLITAN“
106 5. Lakukanlah perubahan nilai parameter sesuai dengan skenario kebijakan yang dibutuhkan pengguna. Perubahan dilakukan dengan cara meng-klik tombol switch control yang telah disediakan untuk para pengguna. Untuk menjalankan simulasi, silakan tekan tombol Toggle Play (>) yang terletak disebelah kanan tombol Reset Simulation.
107 Lampiran 3. Petunjuk penggunaan Simulasi model pengembangan Agroindustri udang di kawasan Minapolitan yang dibangun dalam SOARS 4 1. Silakan buka software SOARS 4 yang telah diinstal dengan cara klik Start, kemudian All Program dan pilih SOARS 4
2. Tampilan awal SOARS 4, Kemudian klik Start pada model manager sehingga muncul SOARS Model Manager.
108 3. Silakan buka aplikasi “Simulasi Minapolitan Udang” dengan cara klik file “Simulasi Minapolitan Udang V.13”
4. Untuk menampilan aplikasi model silakan klik tombol Run (Start VisualShell) sehingga muncul tampilan depan “Simulasi Minapolitan Udang v13.vsl“
109 5. Lakukanlah perubahan nilai parameter sesuai dengan skenario kebijakan yang dibutuhkan pengguna. Perubahan dilakukan dengan cara menekan dua kali tombol skenario yang telah disediakan untuk para pengguna. Setelah diisi semua variabel lalu di klik ok. Untuk menjalankan simulasi, silakan tekan tombol Play (>) yang terletak di atas sebelah kanan.
110 Lampiran 4. Analisis usaha pola tradisional plus udang vannamei perhektar komponen biaya Biaya investasi 1 sewa tambak 2 sewa tambak untuk tandon air 3 sewa pompa 8" 4 sewa gubuk dan saprotan Sub Total Biaya operasional 1 pengolahan dan perbaikan kontruksi 2 benih udang 3 pakan buatan 4 pupuk organik 5 pupuk anorganik 6 dolomit 7 saponin 8 probiotik 9 biofilter 10 Feed additive 11 bahan bakar 12 perawatan dan sarana budidaya 13 tenaga kerja 14 biaya panen 15 akomodasi dan konsumsi 16 lain lain Sub Total total biaya per tahun Sumber: Adopsi dari Adi S. (2011)
Jumlah satuan
harga
1 per tahun 1500000 0.5 375000 1 per tahun 1000000 paket 750000
paket 75000 975 3000 150 2500 40 30 paket paket 111 paket 10 paket 5
ekor kg kg kg kg kg lt
lt org/bln bulan
1500000 40 9500 50 5000 300 5500 55000 500000 350000 4500 500000 500000 500000 120000 500000
Total 1.500.000 375.000 1.000.000 750.000 3.625.000
1.500.000 3.000.000 9.262.500 150.000 750.000 750.000 220.000 1.650.000 500.000 350.000 500.000 500.000 5.000.000 500.000 600.000 500.000 25.732.500 55.090.000
111 Analisis Usaha Budidaya Udang Vannamei Perhektar di Kab. Maros No Uraian Jumlah Harga Total 1 Investasi pompa air 1 4500000 4500000 sewa tambak (ha/th) 1 2500000 2500000 7000000 2 Biaya Operasional benur Vannamei 80000 40 3200000 Pakan udang 450 8000 3600000 pupuk organik 6000 110 660000 pupuk an organik 250 2960 740000 dolomit 1000 500 500000 saponin 70 3000 210000 solar 200 4500 900000 perbaikan dan pemeliharaan tambak 1 600000 600000 pemeliharaan peralatan 1 400000 400000 lain lain 1 200000 200000 bunga modal 1350000 1350000 12360000 Sumber: Adopsi dari Erfan (2007)
112 Lampiran 5. Pemilihan Grade Bibit Udang pada Masa Tanam periode P1 tanam 1 grade1 2 grade1 3 grade1 4 grade1 5 grade1 6 grade1 7 grade1 8 grade1 9 grade1 10 grade1 11 grade1 12 grade1 13 grade1 14 grade1 15 grade1 16 grade2 17 grade2 18 grade2 19 grade2 20 grade2 Ket: P1 = Petambak 1 P2 = Petambak 2 . . . P8 = Petambak 8
P2
P3
P4
P5
P6
P7
P8
grade2 grade1 grade1 grade1 grade1 grade2 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1
grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1
grade2 grade2 grade2 grade2 grade2 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1
grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1
grade2 grade2 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1
grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1
grade2 grade2 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1 grade1
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jember pada tanggal 15 Pebruari 1974 dan merupakan anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan H. Masykur Yahya dan Hj. Istifadah. Penulis memperoleh gelar Sarjana Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Jember pada tahun 1997. Pendidikan Magister Sains pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian IPB pada tahun 2006.
Kemudian tahun 2008 penulis melanjutkan pendidikan program
doktoral di Program Studi Teknologi Industri Pertanian spesifikasi Teknik Manajemen Agroindustri Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (SPS-IPB) di Bogor dengan sponsor Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia (BPPS).
Penulis bekerja sebagai staf pengajar Program Studi
Teknologi Industri Pertanian Universitas Trunojoyo Madura sejak tahun 2006 sampai sekarang. Penulis menikah dengan Millatul Ulya STP, MT. dan telah dikaruniai 2 orang anak putri : Hanum Addiina Jasmine (4 tahun) dan Naura Zakiyah Hanim (2 tahun). Selama mengikuti program doktoral di SPs-IPB, berkesempatan menulis artikel dan terpublikasi secara ilmiah pada beberapa jurnal antara lain : 1. Agent-Based Simulation Model for the Sustainability of Minapolitan: A Case Study of Shrimp Agroindustry: Journal of Economics and Sustainable Development Volume 4 No. 4 Tahun 2013. 2. Analisis Model Dinamik Pasokan Bahan Baku Agroindustri Udang di Kawasan Minapolitan: Jurnal Sain dan Teknologi Indonesia Volume 17 No. 2 Tahun 2015. 3. Analisis Model Keberlanjutan Usaha Berbasis Agen Pada Minapolitan Udang : Jurnal Teknologi Industri Pertanian (Peer-review).