RANCANG BANGUN MODEL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PERDESAAN DALAM KLASTER AGROINDUSTRI MINYAK ATSIRI (STUDI KASUS: MINYAK NILAM)
HENDRASTUTI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
2
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Rancang Bangun Model Pemberdayaan Masyarakat Perdesaan dalam Klaster Agroindustri Minyak Atsiri (Studi Kasus: Minyak Nilam) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2012
Hendrastuti NRP F 361060121
3
ABSTRACT HENDRASTUTI. The Design of Empowerment of Rural Communities in Agroindustry Cluster of Essential Oils (Case Study: Patchouli Oil). Under supervision of ERIYATNO, MEIKA SYAHBANA RUSLI, JOHNY WAHYUADI SOEDARSONO Patchouli oil is an essential oil commodity in Indonesia. A research on design of empowerment on rural communities in agroindustry cluster of essential oils has been conducted using system approach which aim was to establish its Decision Support System (DSS). The research produced DSS model of comprehensive essential oil agroindustry from farming and small refinement industry that harmoniously accommodate the needs of stakeholders and should be effectively used by the decision makers facing dynamic changes and information updating. Analytical tools such as cost analysis, Fibonacci technique, OPTSYS programme, IPMS (Integrated Performance Measurement System), FGD (Focus Group Discussion), AHP (Analytical Hierarchy Process), pairwise comparison and ISM (Interpretive Modelling System) were applied. The DSS software called PAP-Klaster that consist of several modules, namely the feasibility analysis of farming and post harvesting with a result of being feasible (Farming IRR= 14.6%, B/C ratio= 1.35; Small refinement industry IRR= 47.99%, B/C ratio= 1.69), selling price equilibrium of patchouli and patchouli oil which provide a proportionate profit margin (selling price equilibrium of patchouli: Rp 1 483/kg, selling price equilibrium of patchouli oil: Rp 396 770/kg ), performance measurement of farming and post harvesting in agroindustry cluster system resulting to the identification of 16 Key Performance Indicator (KPI) from 56 Performance Indicator (PI). Conceptual model of agroindustry cluster of essential oils that end result could arrange institutional engineering and found key elements such as sector of society, needs, constraints, goals, possible changes, benchmarks, activities needed for action planning and institution involved. Institutional engineering resulting Jejaring Usaha PAP-Klaster and Forum Lintas Pelaku Klaster Agroindustri Minyak Atsiri. This model was verified through case study on patchouli oil agroindustry in Kuningan and Brebes regency. Empowerment of rural communities in essential oil agroindustry not only improves the welfare of agroindustry entrepreneurs but also will improve the welfare of patchouli plant growers. Keywords: Empowerment of rural communities, patchouli oil, selling price equilibrium, institutional engineering
4
RINGKASAN HENDRASTUTI. Rancang Bangun Model Pemberdayaan Masyarakat Perdesaan dalam Klaster Agroindustri Minyak Atsiri (Studi Kasus: Minyak Nilam). Dibimbing oleh ERIYATNO, MEIKA SYAHBANA RUSLI, dan JOHNY WAHYUADI SOEDARSONO. Salah satu komoditas pertanian yang memiliki potensi yang besar adalah minyak atsiri. Di antara berbagai minyak atsiri yang ada di Indonesia, minyak nilam (patchouli oil) mempunyai pangsa ekspor Indonesia yang tinggi, dibandingkan dengan jenis minyak atsiri lainnya. Dalam klaster minyak nilam akan terbentuk jaringan dan aliansi pelaku agribisnis sehingga menciptakan sebuah mata rantai nilai yang akan meningkatkan nilai tambah pada rantai nilai tersebut. Indonesia hanya sebagai price taker dalam perdagangan minyak nilam walaupun merupakan pemasok terbesar minyak nilam. Pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri di perdesaan akan memberikan efek berganda berupa peningkatan kesejahteraan petani dan penyuling tanaman atsiri mengingat mayoritas perkebunan tanaman atsiri yang ada adalah perkebunan rakyat. Model pemberdayaan masyarakat perdesaan dalam klaster agroindustri minyak atsiri dibuat dalam perangkat lunak Sistem Penunjang Keputusan (SPK) PAP-Klaster. Model ini terdiri dari: 1) model kelayakan usaha yang memiliki dua sub model yaitu sub model kelayakan usahatani dan sub model kelayakan usaha industri kecil penyulingan; 2) model kesepakatan harga yang memiliki dua sub model yaitu sub model kesepakatan harga usahatani dan sub model kesepakatan harga industri kecil penyulingan; 3) model kinerja usahatani dan industri kecil penyulingan; dan 4) model kelembagaan. Model analisis kelayakan usaha memiliki sub model untuk mengevaluasi kelayakan usahatani dan industri kecil penyulingan yang dilakukan. Berdasarkan tingkat keuntungan usaha dan tingkat pembiayaan yang diperoleh, ditentukan kelayakan usahatani dan industri kecil penyulingan. Model kesepakatan harga memiliki sub model untuk menentukan optimasi kesepakatan harga jual nilam antara usahatani dengan industri kecil penyulingan dan kesepakatan harga jual minyak nilam antara industri kecil penyulingan dengan industri penyulingan/eksportir. Sub model ini
5
menggunakan teknik optimasi Fibonacci dan program OPTSYS. Model kinerja untuk mengevaluasi kinerja usahatani dan industri kecil penyulingan dengan menggunakan metode FGD (Focus Group Discussion), PHA (Proses Hirarki Analitik) dan IPMS (Integrated Performance
Measurement
System). Model
kelembagaan untuk
mengevaluasi kelembagaan yang ada dalam klaster agroindustri minyak atsiri dengan menggunakan metode ISM (Interpreted System Management). Verifikasi model dilakukan pada agroindustri minyak nilam di Kabupaten Kuningan dan Brebes. Hasil verifikasi menunjukkan bahwa berdasarkan luas lahan 1 ha, 3 kali panen dalam satu tahun yaitu panen pertama pada bulan ke enam, selanjutnya tiap 3 bulan, prakiraan harga jual nilam basah, maka keuntungan usahatani yang diperoleh sebesar Rp 14 juta
per tahun. Analisis sensitivitas yang dilakukan pada kondisi normal,
biaya produksi naik 65% atau harga jual turun 40%, maka usahatani tidak layak dilakukan jika terjadi kenaikan biaya produksi sebesar 65% maupun jika harga jual nilam basah turun sebesar 40%. Pada industri kecil penyulingan, berdasarkan hasil prakiraan bahan baku dan harga produk minyak nilam, kapasitas alat suling 300 kg nilam kering dan frekwensi suling 25 kali per bulan, rendemen 1.5%, maka keuntungan yang diperoleh sebesar Rp 208.8 juta per tahun. Analisis sensitivitas yang dilakukan pada kondisi normal, penurunan harga jual minyak nilam atau penurunan rendemen, maka industri kecil penyulingan tidak layak dilakukan jika terjadi penurunan harga jual minyak nilam hingga 50% serta jika terjadi penurunan rendemen hingga 1.25%. Kesepakatan harga jual dan harga beli nilam antara usahatani dengan industri kecil penyulingan adalah sebesar Rp 1 483 per kg. Sedangkan kesepakatan harga jual dan
harga beli minyak nilam antara industri kecil penyulingan dengan industri
penyulingan/ eksportir adalah sebesar Rp 396 770 per kg. Analisis sensitivitas dilakukan pada produktivitas usahatani normal, produktivitas usahatani rendah atau produktivitas usahatani tinggi. Berdasarkan analisis sensitivitas, pada produktivitas usahatani rendah maka keuntungan usahatani dan industri kecil penyulingan akan merosot tajam dibandingkan dengan turunnya keuntungan eksportir. Kinerja usahatani dan industri kecil penyulingan menghasilkan 56 IK (Indikator Kinerja) dengan memiliki 5 tujuan atau level harapan yaitu yaitu (1) peningkatan kesejahteraan pelaku usaha (45.58%), (2) rantai nilai yang efektif (25.91%), (3)
6
keunggulan komparatif yang berkelanjutan (10.24%) (4) kemampuan berinovasi (9.51%), dan (5) pertumbuhan usahatani dan industri kecil penyulingan, Dalam mewujudkan pertumbuhan hasil usaha tani, maka aspek ekonomi merupakan kriteria yang diutamakan dengan nilai bobot relatif 43.54% dan selanjutnya diikuti oleh tiga aspek lainnya yaitu aspek lingkungan (31.70%), aspek teknis (13.75%), dan aspek sosial (11.01%). Dari 56 IK (Indikator Kinerja) maka terpilih 16 IKK (Indikator Kinerja Kunci). Strukturisasi sistem kelembagaan yang dianalisis terdiri atas delapan elemen yaitu:
(1)
sektor
masyarakat
yang
terpengaruh,
(2)
kebutuhan
dari
pemberdayaan masyarakat, (3) kendala utama pemberda yaan masyarakat, (4) perubahan yang dimungkinkan, (5) tujuan pemberdayaan masyarakat, (6) tolok ukur untuk menilai setiap tujuan, (7) aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan, dan (8) lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri. Elemen kunci dari sektor masyarakat yang terpengaruh adalah petani dan petani-penyuling. Elemen kunci dari kebutuhan pemberdayaan masyarakat adalah dana pembinaan dari investasi usaha dan teknologi tepat guna. Elemen kunci dari kendala utama pemberdayaan masyarakat adalah keterbatasan sumberdaya finansial dan terbatasnya fasilitas dan infrastruktur. Elemen
kunci
dari
perubahan
yang
dimungkinkan
adalah
terbentuknya kelompok tani dan kebijakan daerah. Elemen kunci dari tujuan pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri adalah membangun kelompok usaha bersama (KUBE) dan membangun Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
Elemen kunci dari tolok ukur untuk menilai setiap tujuan adalah
terbentuknya kelompok usaha bersama (KUBE), meningkatnya pendapatan pelaku usaha (petani dan petani-penyuling) dan meningkatnya jumlah pelaku usaha. Elemen kunci dari aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan adalah pembentukan kelompok usaha bersama/koperasi. Elemen kunci dari lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri adalah Dinas daerah yang terkait, lembaga keuangan mikro dan kecil, perbankan nasional, koperasi, perguruan tinggi/lembaga riset dan pengembangan. Untuk menjadikan Jejaring Usaha PAP-Klaster dan Forum Lintas Pelaku Klaster Agroindustri Minyak Atsiri sebagai suatu bentuk usaha yang tangguh dan
7
berkelanjutan, maka seluruh komponen pelaku harus berpegang teguh pada prinsip kerjasama dan setara yang sinergis, saling percaya, memiliki komitmen untuk maju bersama, dan profesional dalam menjalankan usaha.
Kata kunci: Pemberdayaan masyarakat perdesaan, minyak nilam, kesepakatan harga jual, rekayasa kelembagaan
8
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
9
RANCANG BANGUN MODEL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PERDESAAN DALAM KLASTER AGROINDUSTRI MINYAK ATSIRI (STUDI KASUS: MINYAK NILAM)
HENDRASTUTI
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
10
Judul Disertasi
: Rancang Bangun Model Pemberdayaan Masyarakat Perdesaan Dalam Klaster Agroindustri Minyak Atsiri (Studi Kasus: Minyak Nilam)
Nama
: Hendrastuti
NRP
: F 361060121
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Eriyatno, MSAE Ketua
Dr. Ir. Meika Syahbana Rusli, M.Sc. Anggota
Prof. Dr. Ir. Johny Wahyuadi S., DEA. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Teknologi Industri Pertanian
Dr. Ir. Machfud, MS
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian: 25 Januari 2012
Tanggal Lulus:
11
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 30 Oktober 1954 sebagai anak bungsu dari enambelas bersaudara dari pasangan Bapak Hendro (Alm) dan Ibu Suwarni (Alm). Pendidikan sarjana muda ditempuh di Akademi Kimia Analisis Bogor, lulus pada tahun 1977. Pendidikan sarjana ditempuh di Sekolah Tinggi Manajemen Industri, Jakarta, lulus pada tahun 1985. Pada tahun 1994, penulis diterima di Program Studi Teknik Mesin Kekhususan Manajemen Industri Universitas Indonesia dan menamatkannya pada tahun 1996. Selanjutnya pada tahun 2006, penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan ke program Doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Program Pascasarjana IPB. Pada tahun 1978-1979 penulis bekerja di PT Kalbe Farma, tahun 1979-1983 penulis bekerja di PT Tri Usaha Indonesia, Jakarta. Terhitung sejak bulan November 1989 sampai dengan sekarang penulis bekerja sebagai staf pengajar di Sekolah Tinggi Manajemen Industri, Kementerian Perindustrian, Jakarta. Selain sebagai staf pengajar penulis juga pernah menjabat sebagai Ketua Jurusan Teknik & Manajemen Industri Sekolah Tinggi Manajemen Industri, Kementerian Perindustrian. Pada tahun 1981, penulis menikah dengan Ir.Agung Widodo, M.Sc., putra dari Bapak Agoeng Soejodono (Alm) dengan Ibu Supraptin (Alm). Penulis telah dikaruniai empat orang anak yang bernama Ichsan Nursetyo (Alm), Raden Anindityo SE.,BBA.,MBA., Widi Prasetyo SE., dan Hadyan Radhityo. Selama mengikuti program S3, penulis ikut bergabung dalam Tim Instruktur pada Diklat Pengembangan Jasa Konsultansi IKM, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Industri Departemen Perindustrian (tahun 2006-2010).
12
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena hanya atas rahmat dan karunia-Nya maka disertasi ini berhasil diselesaikan. Karya ilmiah ini merupakan hasil penelitian yang disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian di Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa untuk menyelesaikan karya ilmiah ini tidak lepas dari bantuan beberapa pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang tulus kepada yang terhormat Bapak Prof. Dr. Ir. Eriyatno, MSAE, sebagai ketua komisi pembimbing yang telah mencurahkan waktu, bimbingan dan arahan dengan penuh dedikasi serta atas dorongan moral sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Penghargaan dan ucapan terima kasih yang tulus juga penulis sampaikan kepada yang terhormat Bapak Dr. Ir. Meika Syahbana Rusli, M.Sc, dan Bapak Prof. Dr. Ir. Johny Wahyuadi Soedarsono, DEA selaku anggota komisi pembimbing yang telah meluangkan waktu dan pikiran serta keikhlasannya dalam berbagi ilmu pengetahuan dan memberikan dorongan semangat sehingga dapat terselesaikannya disertasi ini. Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Machfud, MS, selaku Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian atas dorongan semangat, arahan dan kemudahan yang diberikan selama studi, juga kepada segenap sivitas Jurusan TIP IPB yang telah memberikan suasana kondusif selama penulis melaksanakan studi S3. Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Arya H. Darmawan dan Dr. Ir. Dwi Setyaningsih, yang telah berkenan menjadi penguji luar komisi pada ujian tertutup, serta Dr. Ir. Sugiyono, M.Apps.Sc. sebagai pimpinan ujian tertutup. Terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Erliza Noor dan Dr. Sudarmasto, SE, MA, yang telah berkenan menjadi penguji luar komisi pada ujian terbuka, serta Dr. Ir. Sam Herodian, sebagai pimpinan ujian terbuka. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Chairul Muluk, M.Sc, Dr.Drs. Pudji Astuti, MT, Dr. Ir. Iveline Anne Marie, MT atas segala masukan serta kesediaannya dalam berbagi pengetahuan dan kepakarannya sehingga memperkuat hasil disertasi ini. Terima kasih penulis sampaikan kepada Roni Widjaja ST yang telah membantu penulis dalam penyelesaian program. Di samping itu,
13
penghargaan penulis sampaikan pula kepada para petani dan petani-penyuling Kabupaten Kuningan dan Brebes terutama kepada H.Tarsa dan Ir. Lisna Trisnawati yang telah membantu penulis selama pengumpulan data. Rasa terima kasih yang mendalam penulis sampaikan kepada keluarga besar Hendro dan keluarga besar Agoeng Soejoedono yang senantiasa memberikan doa dan semangat. Penghargaan khusus penulis sampaikan kepada suami tercinta Ir. Agung Widodo, M.Sc. serta anak-anak Raden Anindityo SE.,BBA, MBA, Widi Prasetyo SE, dan Hadyan Radhityo, atas pengertian, pengorbanan, dorongan semangat serta doa yang selalu setia mendampingi selama proses studi dari awal hingga saat ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada rekan-rekan kolega staf pengajar di Jurusan Teknik dan Manajemen Industri, Sekolah Tinggi Manajemen Industri, Kementerian Perindustrian serta mahasiswa S3 TIP atas kebersamaan dan semangat yang diberikan selama masa studi. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dalam penyelesaian disertasi ini. Akhir kata, semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi yang membacanya.
Bogor, Januari 2012 Hendrastuti
14
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR ISI ....................................................................................................
xiii
DAFTAR TABEL ............................................................................................
xiv
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
xvi
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................
xx
PENDAHULUAN ..........................................................................................
1
Latar Belakang ......................................................................................
1
Tujuan Penelitian ..................................................................................
5
Ruang Lingkup Penelitian .....................................................................
6
Manfaat Penelitian ................................................................................
6
Keluaran Hasil Penelitian ......................................................................
6
KAJIAN PUSTAKA .......................................................................................
7
Klaster Agroindustri Minyak Atsiri ......................................................
7
Kelembagaan Klaster ............................................................................
11
Pemberdayaan Agroindustri Perdesaan ……………………………….
13
Rantai Pasok dan Rantai Nilai ...............................................................
17
Teori Optimasi .......................................................................................
27
Sistem Pengukuran Kinerja ...................................................................
32
Pendekatan Sistem .................................................................................
35
Sistem Desain ........................................................................................
38
Sistem Penunjang Keputusan …………………………………………
39
Tinjauan Penelitian Terdahulu ………………………………………..
42
METODOLOGI PENELITIAN .......................................................................
44
Kerangka Pemikiran ..............................................................................
44
Pemodelan Sistem .................................................................................
46
Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................
48
Metoda Penelitian ..................................................................................
49
15
Metoda Pengumpulan Data ...................................................................
50
Tahapan Penelitian ................................................................................
51
PEMODELAN SISTEM .................................................................................
54
Pendekatan Sistem ................................................................................
54
Analisis Sistem ......................................................................................
54
Usahatani Nilam ........................................................................
54
Usaha Lepas Panen Perdesaan ..................................................
58
Industri Penyulingan Minyak Nilam Murni /Eksportir .............
62
Analisis Kebutuhan ...............................................................................
62
Formulasi Permasalahan .......................................................................
65
Identifikasi Sistem ................................................................................
66
SISTEM PENUNJANG KEPUTUSAN ..........................................................
72
Konfigurasi Model ................................................................................
72
Cakupan Model PAP-Klaster ...............................................................
73
Analisis Biaya ......................................................................................
75
Optimasi Kesepakatan Harga ...............................................................
75
Sistem Pengolahan Terpusat .................................................................
75
Sistem Manajemen Dialog ....................................................................
75
Sistem Manajemen Basis Data ..............................................................
76
Struktur Biaya Usahatani ..........................................................
77
Struktur Biaya Industri Kecil Penyulingan ...............................
79
Struktur Manajemen Basis Pengetahuan ..............................................
81
Perancangan Indikator Kinerja ..................................................
81
Pembobotan Indikator Kinerja ..................................................
82
Sistem Manajemen Basis Model ..........................................................
82
Model Kelayakan Usaha ......................................................................
82
Sub Model Kelayakan Usahatani Nilam ......................................
83
Sub Model Kelayakan Industri Kecil Penyulingan ......................
88
Model Kesepakatan Harga ....................................................................
98
Sub Model Kesepakatan Harga Jual Nilam .................................
99
Sub Model Kesepakatan Harga Jual Minyak Nilam ....................
103
16
Model Pengukuran Kinerja ...................................................................
110
Identifikasi Kebutuhan Stakeholder .............................................
111
Penetapan Tujuan (Objectives) ....................................................
113
Penetapan Indikator Kinerja Kunci ..............................................
114
Validasi IKK ................................................................................
114
Spesifikasi IKK ............................................................................
116
Model Konseptual Kelembagaan ..................................................................... .
118
Strategi pemberdayaan masyarakat .......................................................
147
Rekayasa Kelembagaan Pemberdayaan Masyarakat ........................................
154
Jejaring Usaha PAP-Klaster .................................................................
156
Forum Lintas Pelaku Klaster Agroindustri Minyak Atsiri ...................
160
SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................
161
Simpulan ...............................................................................................
161
Saran .....................................................................................................
164
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
17
DAFTAR TABEL Halaman 1
Daftar penelitian terdahulu …………………………………………
42
2
Daftar kebutuhan pemangku kepentingan industri nilam ..................
64
3
Struktur biaya investasi usahatani nilam ...........................................
77
4
Sruktur biaya produksi usahatani nilam ............................................
77
5
Biaya investasi industri kecil penyulingan minyak nilam ………….
79
6
Biaya operasional industri kecil penyulingan minyak nilam ……….
79
7
Biaya penyusutan industri kecil penyulingan minyak nilam ………..
80
8
Biaya perawatan industri kecil penyulingan minyak nilam …………
80
9
Biaya pembelian alat suling agroindustri minyak nilam PAP-Klaster .
80
10
Jadwal angsuran pinjaman agroindustri minyak nilam PAP-Klaster ..
81
11
Hasil kelayakan finansial usahatani nilam 10.000 m2 (1 ha) pada kondisi normal, biaya produksi naik 65%, harga jual turun 40% …..
87
12
Hasil kelayakan finansial industri kecil penyulingan minyak nilam dengan rendemen 1.2% pada harga jual Rp 450 000, harga jual turun 33.37%, harga jual turun 45%, harga jual turun 55% ………..
94
13
Hasil kelayakan finansial industri kecil penyulingan minyak nilam dengan harga jual Rp 202 500 pada rendemen 1.2%, 1.25%, 1.3%, dan 1.35% ……………………………………………………………
96
14
Margin keuntungan usahatani, industri kecil penyulingan dan eksportir pada kesepakatan harga jual nilam Rp 1 483 per kg, kesepakatan harga jual minyak nilam Rp 396 770 per kg …………..
108
15
Margin keuntungan usahatani, industri kecil penyulingan dan eksportir pada kesepakatan harga jual nilam Rp 1 204 per kg, kesepakatan harga jual minyak nilam Rp 349 409 per kg …………..
109
16
Margin keuntungan usahatani, industri kecil penyulingan dan eksportir pada kesepakatan harga jual nilam Rp 1 464 per kg, kesepakatan harga jual minyak nilam Rp 510 301 per kg …………..
109
17
Nilai bobot Indikator Kinerja usahatani nilam dan industri kecil penyulingan minyak nilam ………………………………………….
112
18
Daftar alternatif Indikator Kinerja Kunci …………………………..
115
19
Spesifikasi IKK ……………………………………………………..
116
20
Hubungan kontekstual tiap sub-elemen ……………………………….
118
18
21
Hasil Reachability Matriks Final dan Interpretasi terhadap elemen sektor masyarakat yang terpengaruh sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri ……………………………..
120
22
Hasil Reachability Matriks Final dan Interpretasi terhadap elemen kebutuhan sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri …………………………………………………………
123
23
Hasil Reachability Matriks Final dan Interpretasi terhadap elemen kendala utama dalam pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri …………………………………………..
126
24
Hasil Reachability Matriks Final dan Interpretasi terhadap elemen perubahan yang dimungkinkan dalam pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri ……………………………..
129
25
Hasil Reachability Matriks Final dan Interpretasi terhadap elemen tujuan dari sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri ……………….
132
26
Hasil Reachability Matriks Final dan Interpretasi terhadap elemen tolok ukur untuk menilai tujuan dari sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri …………….
136
27
Hasil Reachability Matriks Final dan Interpretasi terhadap elemen aktivitas yang dibutuhkan untuk tindakan dalam sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri ……..
139
28
Hasil Reachability Matriks Final dan Interpretasi terhadap elemen lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri ………………………………
143
19
DAFTAR GAMBAR
1
Halaman Model Berlian Porter (Porter 1990) ................................................. 8
2
Tataniaga minyak atsiri (Dimodifikasi dari Ketaren 1985) .............
10
3
Deret siklus pembentukan rantai pasok ( Vorst et al. 2007) ……….
18
4
Tiga tipe dasar rantai pasok ( Vorst et al. 2007) ……………………
19
5
Sistem rantai pasok agroindustri (Vorst 2004) ……………………..
20
6
Perspektif analitik dari rantai pertanian (Ruben et al. 2006)………..
21
7
Rantai nilai industri minyak atsiri ( Departemen Perindustrian 2008)
25
8
Pola sub-klaster dan pola umum dalam rantai nilai IKM minyak atsiri (Departemen Perindustrian 2008) ……………………………………
26
9
Rantai perdagangan minyak nilam di Sumatera dan Jawa ................... (Rusli, Meika S. 2009)
27
10
Algoritma teknik optimasi Fibonacci ...................................................
29
11
Pembagian Level Bisnis berdasarkan Pendekatan IPMS (Bittici 1996) ..35
12
Cara pandang sistem terhadap rantai pasok (Vorst et al. 2002)..........
36
13
Struktur pendekatan sistem pada proses pengambilan keputusan …..
40
14
Struktur dasar SPK (Turban 1995) ………………………………….
41
15
Kerangka dasar pemikiran penelitian ……………………………….
45
16
Kerangka pemikiran penelitian ……………………………………..
47
17
Diagram alir tata laksana penelitian agroindustri minyak nilam di perdesaan …………………………………………………………
53
18
Rantai pasok agroindustri minyak nilam ……………………………
55
19
Tanaman nilam ………………………………………………………
56
20
Tempat perajangan …………………………………………………..
58
21
Tempat penjemuran daun nilam …………………………………….
59
22
Rak pengeringan daun nilam ………………………………………..
59
23
Diagram alir proses pengolahan minyak nilam ……………………..
60
24
Alat penyulingan kapasitas 600 kg nilam kering ……………………
61
25
Klaster agroindustri minyak nilam ………………………………….
67
26
Diagram sebab-akibat agroindustri minyak nilam ………………….
69
27
Diagram input-output model pemberdayaan masyarakat perdesaan dalam klaster agroindustri minyak atsiri …………………
71
20
28
Tampilan halaman depan PAP-Klaster ………………………………
73
29
Konfigurasi SPK PAP-Klaster ……………………………………….
74
30
Tampilan menu utama PAP-Klaster ………………………………….
76
31
Tampilan asumsi dan koefisiensi budidaya nilam PAP-Klaster ……...
78
32
Tampilan biaya produksi usahatani nilam PAP-Klaster ………………
78
33
Diagram alir model analisis kelayakan usaha ………………...............
84
34
Tampilan sub-model kelayakan usahatani nilam ……………………..
85
35
B/C ratio pada kondisi normal, biaya produksi naik 65% dan harga jual turun 40% ……………………………………………..
88
36
Keuntungan per tahun pada kondisi normal, biaya produksi naik 65%dan harga jual turun 40% …………………………………..
88
37
Tampilan biaya pembelian alat suling agroindustri minyak nilam PAP-Klaster …………………………………………………………..
89
38
Tampilan jadwal angsuran pinjaman agroindustri minyak nilam PAP-Klaster …………………………………………………………..
89
39
Tampilan sub model kelayakan usaha industri kecil penyulingan minyak nilam …………………………………………………………
90
40
Diagram alir sub model kelayakan usaha industri kecil penyulingan minyak nilam ……………………………………………
91
41
B/C ratio dengan rendemen 1.2% pada harga jual Rp 450 000, harga jual turun 33.37%, harga jual turun 45%, harga jual turun 55% ..
94
42
Keuntungan bersih per tahun dengan rendemen 1.2% pada harga jual Rp 450 000, harga jual turun 33.37%, harga jual turun 45%, harga jual turun 50% …………………………………………………
95
43
B/C ratio dengan harga jual Rp 202 500 pada rendemen 1.2%, 1.25%, 1.3%, dan 1.35% ………………………………………………
97
44
Keuntungan bersih per tahun dengan harga jual Rp 202 500 pada remdemen 1.2%, 1.25%, 1.3%, dan 1.35%.............................................
97
45
Analisis sensitivitas kesepakatan harga jual nilam dan minyak nilam … 110
46
Struktur hirarki kinerja usahatani dan industri kecil penyulingan ……..
47
Diagram alir ISM-VAXO ……………………………………………… 118
48
Struktur hirarki elemen sektor masyarakat yang terpengaruh ……… 121
49
Klasifikasi elemen sektor masyarakat yang terpengaruh 121 dalam diagram Driver Power-Dependence ……………………………..
50
Struktur hirarki elemen kebutuhan dari sistem pemberdayaan 124 masyarakat agroindustri minyak atsiri ………………………………
117
21
51
Klasifikasi elemen kebutuhan dari sistem pemberdayaan 124 masyarakat agroindustri minyak atsiri dalam diagram Driver Power-Dependence …………………………………………
52
Struktur hirarki elemen kendala utama dalam pemberdayaan 127 masyarakat agroindustri minyak atsiri …………………………….
53
Klasifikasi elemen kendala utama dari sistem pemberdayaan masyarakat perdesaan dalam diagram Driver Power-Dependence.
128
54
Struktur hirarki elemen perubahan yang dimungkinkan dalam pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri ……………
130
55
Klasifikasi elemen perubahan yang dimungkinkan pada sistem pemberdayaan masyarakat perdesaan dalam diagram Driver Power-Dependence………………………………………………
131
56
Struktur hirarki elemen tujuan dari pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri …………………………………………
134
57
Klasifikasi elemen tujuan dari sistem pemberdayaan agroindustri minyak atsiri dalam diagram Driver Power-Dependence ………….
134
58
Struktur hirarki elemen tolok ukur untuk menilai tujuan dari pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri ……………
137
59
Klasifikasi elemen tolok ukur untuk menilai tujuan dari sistem 138 pemberdayaan agroindustri minyak atsiri dalam diagram Driver Power-Dependence ………………………………………………
60
Struktur hirarki elemen aktivitas yang dibutuhkan untuk tindakan dalam pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri ……..
61
Klasifikasi elemen aktivitas yang dibutuhkan untuk tindakan 141 dalam sistem pemberdayaan agroindustri minyak atsiri dalam diagram Driver Power-Dependence ……………………………………
62
Struktur hirarki elemen lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri ……………..
63
Klasifikasi elemen lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan 145 pemberdayaan agroindustri minyak atsiri dalam diagram Driver Power-Dependence …………………………………………
64
Elemen kunci pemberdayaan masyarakat perdesaan PAP-Klaster …..
147
65
Model konseptual sistem kelembagaan pemberdayaan masyarakat PAP-Klaster …………………………………………………………..
155
140
144
22
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Profil Usahatani, Industri Kecil Penyulingan dan Pedagang/Pengumpul ……………………………………………..
L-1
2
Kuesioner Pembobotan Indikator Kinerja Usahatani dan
L-2
Industri Kecil Penyulingan ……………………………………….. 3
Hasil Kesepakatan Harga Jual Nilam dan Minyak Nilam …………
L-3
4
Expert survey Interpretive Structural Modelling (ISM) …………..
L-4
5
Pedoman Operasional (Manual) Sistem Penunjang Keputusan
L-5
Pemberdayaan Masyarakat Agroindustri PAP-Klaster …………… 6
Pedoman Operasional (Manual) Program OPTSYS ……………….
L-6
23
PENDAHULUAN
Latar Belakang Dalam
perumusan
strategi
serta
implementasi
pembangunan
dan
pemberdayaan masyarakat terutama masyarakat perdesaan, sektor pertanian masih merupakan tema sentral yang perlu mendapatkan perhatian dengan sangat serius dari para pemangku kepentingan (stakeholders). Dengan struktur pertanian yang ada saat ini, sulit dikatakan perbaikan menuju kesejahteraan masyarakat.
Saat ini
pengembangan agribisnis memerlukan langkah nyata untuk merangsang investasi, meningkatkan nilai tambah, dan mencari pasar-pasar baru di dalam dan luar negeri. Keseriusan upaya merangsang pertumbuhan tinggi di sekor pertanian adalah suatu keharusan apabila ingin mengembangkan sistem agribisnis berkerakyatan yang lebih modern, mengikuti irama desentralisasi dan responsif terhadap perubahan global. Upaya perbaikan produktivitas dan penurunan harga input usaha tani untuk menekan biaya dirasa belum mencukupi untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat desa dan petani. Pembangunan agroindustri di daerah-daerah diarahkan pada pengembangan usaha mikro (UM) yang bersifat padat karya, mampu memperluas kesempatan kerja dan memeratakan kesempatan berusaha. Data dari Biro Pusat Statistik (BPS 2009) menyatakan bahwa dari 44.6 juta usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang ada di Indonesia, 36 juta diantaranya berupa UM yang mampu menyerap 96.77 % dari total tenaga kerja yang bekerja (sekitar 79.04 juta orang).
Pembangunan agroindustri di daerah-daerah dapat
diwujudkan terutama melalui upaya pemihakan dan pemberdayaan masyarakat serta optimalisasi nilai tambah setiap komoditi pertanian pada tingkat produsen. Diharapkan peran agroindustri perdesaan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat, kualitas sumberdaya manusia, dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam dan teknologi yang sesuai (compatible) dengan masyarakat perdesaan, sederhana, dan efektif disertai penataan dan pengembangan kelembagaan di perdesaan.
Salah satu
komoditas pertanian yang memiliki potensi yang besar adalah minyak atsiri yang termasuk kedalam sub sektor agrobisnis perkebunan.
24
Agroindustri minyak atsiri memiliki potensi sumberdaya alam dan peluang pasar yang sangat besar. Menurut BPS (Biro Pusat Statistik 2011), nilai ekspor minyak atsiri Indonesia pada tahun 2010 sebesar US$ 330,89 juta dan pada tahun 2011 sebesar US$ 438,16 juta. Sedangkan volume ekspornya pada tahun 2010 sebesar 330,879 ton dan pada tahun 66.742,46 ton. Walaupun volume ekspor pada tahun 2011 cenderung turun, tetapi karena harganya tinggi maka nilai ekspor pada tahun 2011 tetap meningkat. Pangsa pasar ekspor Indonesia untuk minyak nilam adalah 85 %, minyak pala 70 %, minyak cengkeh 63 %, dan minyak sereh 15 % (Departemen Perdagangan 2007). Dengan semakin ketatnya persaingan di pasar global dan tuntutan persyaratan pasar negara maju semakin berat dengan diterapkannya peraturan Registration Evaluation and Authorization Chemicals (REACH), maka industri minyak atsiri Indonesia harus bisa meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan mutu produk yang dihasilkan. Jumlah unit usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) minyak atsiri di Indonesia sebanyak 2.900 unit usaha yang tersebar di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Maluku, dan Papua yang mampu menyerap 14 500 tenaga kerja. Ketersediaan bahan baku merupakan salah satu faktor penting bagi keberlanjutan produksi minyak atsiri di Indonesia, baik secara kuantitas maupun kualitas (Departemen Perindustrian 2007). Industri minyak atsiri saat ini dicirikan dengan harga yang sangat fluktuatif. Kondisi ini tentunya tidak menguntungkan bagi semua pihak. Produsen menanggung resiko
pendapatan yang tidak pasti bahkan kemungkinan merugi, sedangkan
konsumen yang merupakan produsen personal/home care product seperti sabun, deterjen dan minyak wangi menanggung resiko biaya produksi yang tidak pasti. Program cultiva dengan prinsip perdagangan yang adil, transparansi dan tanpa spekulasi adalah suatu cara mengatasi hal tersebut. Program ini akan berhasil jika petani dan penyuling mendapatkan harga yang dapat memberikan keuntungan yang memadai (Dewan Atsiri Indonesia 2008). Dalam penelitian ini minyak atsiri yang menjadi penelitian adalah minyak nilam. Di antara berbagai minyak atsiri yang ada di Indonesia, minyak nilam (patchouli oil) mempunyai pangsa pasar ekspor yang tinggi, dibandingkan dengan jenis minyak atsiri lainnya. Data Ditjenbun (2008) menunjukkan pasar tujuan ekspor
25
minyak nilam Indonesia antara lain Singapura (37.17%), Amerika Serikat (17.92%), Spanyol (16.45%), Perancis (8.856%), Switzerland (6.93%), Inggris (4.42%) dan negara lainnya (8.26%). Areal penanaman nilam yang tercatat lebih dari 29 000 Ha, secara teoritis bisa memenuhi permintaan dunia > 1 400 ton/th. Sebagian besar tanaman nilam diusahakan oleh petani di daerah Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, dan Jawa Tengah (Ditjenbun 1998). Posisi Indonesia sebagai pemasok terbesar minyak nilam tetapi tidak mampu untuk menentukan harga minyak nilam di pasar dunia. Indonesia hanya sebagi price taker dalam perdagangan minyak nilam. Tingginya nilai minyak nilam dalam negeri dan di tingkat internasional ini tidak dirasakan manfaatnya secara signifikan ditingkat petani, ditambah lagi dengan permasalahan tingkat permintaan dunia yang semakin tinggi akan tetapi produksi minyak nilam Indonesia semakin menurun. Harga minyak nilam di pasar internasional sangat fluktuatif. Data dari Food and Agriculture Organization/FAO (2009) menunjukkan harga minyak nilam antara tahun 2000-2007 rata-rata sebesar US$ 28.83/kg dengan kisaran harga antara US$ 17-40 per kg. Fluktuasi harga di pasar internasional yang tinggi tersebut tentunya berimbas pada fluktuasi harga minyak nilam dan harga terna di dalam negeri. Pada September 2007 harga minyak nilam bergejolak sangat tajam karena jumlah produksinya menurun tajam, diperkirakan produksinya berkurang hampir separuh dari kondisi normal. Hal ini disebabkan pada tahun 2007 kombinasi cuaca tidak mendukung, harga yang tidak atraktif pada tahun 2006 dibandingkan dengan komoditas lainnya dan adanya penyakit tanaman (Dewan Atsiri Indonesia 2008). Kondisi ini menyebabkan tingkat resiko kerugian dari usahatani nilam dan usaha agroindustri minyak nilam menjadi tinggi. Tinginya tingkat resiko kerugian ini merupakan suatu kendala bagi pengembangan industri nilam di Indonesia. Upaya untuk mengatasi hal tersebut tengah dilakukan dengan meluncurkan program Cultiva Nilam yang mengatur harga pembelian nilam dan minyak nilam dari petani hingga pemakai akhir di negara tujuan ekspor. Berdasarkan prinsip Good Agricultural Practices (GAP), Good Manufacturing Practice (GMP), fairly trade, peniadaan perdagangan spekulatif, transparansi, dan keikutsertaan secara sukarela diharapkan akan tercapai kesepakatan harga pada tingkat yang wajar diantara para pelaku industri nilam yang tergabung dalam program Cultiva Nilam (Rusli 2008).
26
Minyak nilam didapat dari hasil penyulingan daun dan ranting tanaman nilam (Pogostemon cablin Benth) dan banyak digunakan sebagai bahan campuran pembuatan kosmetik, farmasi dan aromaterapi yang berfungsi sebagai zat pengikat/fixative agent. Bahkan saat ini minyak nilam mulai digunakan juga sebagai insektisida nabati (Ketaren 1985). Minyak nilam sebagian besar diusahakan rakyat dalam usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), lahan yang relatif sempit, modal terbatas, ketrampilan terbatas, peralatan dan teknologi sederhana dan akses informasi terbatas. Pelaku usaha, industri/institusi pendukung dan pemerintah memiliki program pengembangan sendiri-sendiri, kurang terkoordinasi dan kurang saling mendukung. Kondisi tersebut menyebabkan daya saing minyak nilam rendah, karena produktivitas usaha dan kualitasnya rendah. Menurut Syahza Almasdi (2006) dalam penelitiannya tentang kebijakan strategis untuk memperbesar atau mempercepat pertumbuhan sektor pertanian, khususnya peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat pedesaan. Faktor pendukung pembangunan ekonomi pedesaan, antara lain peran perguruan tinggi, pengusaha, lembaga perkreditan, pengusaha tani (petani), instansi terkait, dan koperasi sebagai badan usaha. Metode yang digunakan adalah RRA (Rural Rapid Appraisal). Subejo dan Supriyanto (2004) meneliti tentang paradigma baru pendekatan pembangunan agroindustri dengan keberpihakan pada masyarakat pedesaan serta memaknai pemberdayaan masyarakat sebagai upaya yang disengaja untuk memfasilitasi masyarakat lokal dalam merencanakan, memutuskan, dan mengelola sumberdaya lokal yang dimiliki melalui collective action dan networking. Oleh karena itu salah satu upaya agar dapat menghasilkan minyak nilam dengan daya saing tinggi adalah dengan pembentukan klaster agroindustri minyak nilam yang pelakunya adalah petani nilam, industri kecil penyulingan minyak nilam, industri penyulingan besar dan eksportir minyak nilam, pedagang, lembaga keuangan, lembaga penelitian, industri pengguna, industri perkakas, dan industri terkait lainnya. Dalam klaster agroindustri minyak nilam akan terbentuk jaringan dan aliansi pelaku agribisnis sehingga menciptakan sebuah mata rantai nilai yang akan meningkatkan nilai tambah pada rantai nilai tersebut. Menurut Priyono (2008) dalam penelitiannya di
27
kabupaten Trenggalek, besarnya marjin pemasaran nilam untuk saluran (petani, tengkulak, sampai penyuling) adalah sebesar Rp 200 per kg. Distribusi ini merupakan distribusi terbesar yang dimiliki tengkulak. Selisih keuntungan untuk penjualan nilam dari petani langsung ke penyuling dan dari petani ke tengkulak adalah sebesar Rp 140 per kg. Dalam hal ini berarti petani akan lebih untung menjual hasil nilamnya langsung ke pabrik daripada menjual nilam ke tengkulak. Industri ini hanya akan berhasil jika memberikan keuntungan yang pasti dan layak bagi pelaku-pelaku agribisnis terutama usaha tani nilam dan usaha agroindustri penyulingan minyak nilam. Berdasarkan berbagai fenomena tersebut diperlukan upaya yang dapat mendukung program industrialisasi berbasiskan minyak atsiri. Program industrialisasi ini merupakan pendukung pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat perdesaan. Penelitian tentang rancang bangun model pemberdayaan masyarakat perdesaan dalam klaster agroindustri minyak atsiri dilakukan sebagai alternatif pemecahan masalah dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat perdesaan agroindustri minyak atsiri melalui peningkatan pendapatan para pelaku usaha dan peningkatan nilai tambah pada rantai nilai klaster agroindustri minyak atsiri. Kebaruan dari penelitian ini adalah dihasilkannya model pemberdayaan masyarakat perdesaan dalam klaster agroindustri minyak atsiri yang mengintegrasikan rantai pasok (supply chain) dan rantai nilai (value chain) dalam klaster agroindustri minyak atsiri.
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menghasilkan
model
sistem
penunjang
keputusan
dalam
klaster
agroindustri minyak atsiri yang dapat digunakan oleh para pengambil keputusan 2. Menghasilkan model pemberdayaan masyarakat perdesaan dalam klaster agroindustri minyak atsiri dalam meningkatkan nilai tambah pada rantai nilai.
28
Ruang Lingkup Ruang lingkup penelitian ini adalah: 1. Obyek penelitian ini pada klaster agroindustri minyak nilam di Kabupaten Kuningan dan Brebes yang terdiri dari petani nilam, industri kecil penyulingan minyak nilam, pedagang nilam, dan pedagang minyak nilam 2. Sistem rantai pasok yang dipelajari meliputi produksi nilam pada usahatani, pasokan nilam pada industri kecil penyulingan, produksi minyak nilam, pasokan minyak nilam pada industri penyulingan/eksportir. 3. Evaluasi kelayakan usahatani dan industri kecil penyulingan ditinjau dari aspek analisis finansial. 4. Kesepakatan/keseimbangan harga difokuskan pada harga jual nilam dan minyak nilam. 5. Kinerja klaster agroindustri minyak nilam didasarkan pada kinerja usahatani nilam dan industri kecil penyulingan minyak nilam.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat, baik untuk pengembangan ilmu maupun aplikasinya. Sebagai pengembangan ilmu, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai rujukan dalam penelitian lanjutan mengenai model pemberdayaan masyarakat perdesaan pada bidang lain. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat sebagai rujukan bagi
pemangku kepentingan (stakeholder) dalam
pengembangan agroindustri minyak atsiri.
Keluaran Hasil Penelitian Hasil penelitian ini adalah: (1) suatu perangkat lunak sistem pendukung keputusan pemberdayaan masyarakat perdesaan dalam klaster agroindustri minyak atsiri yang dinamakan “PAP-Klaster”, (2) rekomendasi model pemberdayaan masyarakat perdesaan dalam klaster agroindustri minyak atsiri.
29
KAJIAN PUSTAKA
Klaster Agroindustri Minyak Atsiri Porter (1998) menyatakan klaster adalah suatu kelompok perusahaanperusahaan dan lembaga-lembaga asosiasi yang saling berhubungan, berdekatan secara geografis, yang dikaitkan oleh kebersamaan (commonalities) dan saling melengkapi
(complementories).
Dalam
konteks
ekonomi/bisnis,
“klaster
industri (industrial cluster)” adalah kelompok industri dengan focal/core industry yang saling berhubungan secara intensif dan membentuk partnership, baik dengan supporting industry maupun related industry (Deperindag 2000). Klaster merupakan jaringan produksi dari perusahaan-perusahaan yang saling bergantungan secara erat (termasuk pemasok yang terspesialisasi), agen penghasil pengetahuan (perguruan tinggi, lembaga riset, perusahaan rekayasa), lembaga perantara/bridging institution (broker, konsultan) dan pelanggan, yang terkait satu dengan lainnya dalam suatu rantai produksi peningkatan nilai tambah (Roelandt den Hertog 1998). Kotler (1997) mendefinisikan klaster industri sebagai kelompok segmen-segmen industri yang samasama memiliki keterkaitan vertikal dan horizontal. Konsep klaster industri dari Porter (1998) didasari dari hasil penelitiannya dalam membandingkan daya saing internasional di beberapa negara. Negara yang memiliki daerah dengan kandungan mineral yang melimpah, tanah yang subur, tenaga kerja yang murah dan iklim yang baik, sebenarnya memiliki keunggulan bersaing dibandingkan dengan negara dengan daerah yang ”berat”. Akan tetapi ditemui bahwa keunggulan karena keadaan daerah tidak mampu bertahan lama. Keunggulan daya saing suatu negara/daerah dapat bertahan lama bukanlah karena kandungan mineral dan tanahnya tetapi karena negara tersebut mengkonsentrasikan dirinya terhadap peningkatan keahlian dan keilmuan, pembentukan institusi, menjalin kerjasama dengan mitra, melakukan relasi bisnis dan memenuhi keinginan konsumen yang semakin banyak dan sulit untuk dipenuhi. Institusi di suatu negara/daerah unggul bukanlah dari kesuksesan sendiri tetapi merupakan kesuksesan kelompok dengan adanya keterkaitan antar perusahaan dan institusi yang mendukung. Sekelompok perusahaan dan institusi yang mendukung pada suatu industri
di suatu daerah
30
tersebutlah yang disebut dengan istilah klaster industri. Pada klaster industri, perusahaan-perusahaan yang terlibat tidak hanya perusahaan skala besar dan menengah, tetapi juga perusahaan skala kecil. Adanya klaster industri akan menstimulasi terjadinya bisnis baru, lapangan kerja baru, serta para pengusaha baru yang akan memutar pinjaman baru. Porter (1990) memperkenalkan teori kemampuan kompetisi suatu negara yang digambarkan dalam model berlian seperti dapat dilihat pada Gambar 1. Strategi Perusahaan, struktur dan persaingan Perubahan
Kondisi Permintaan
Kondisi Faktor
Industri Terkait dan Pendukung
Pemerintah h
Gambar 1 Model Berlian Porter (Porter 1990) Terdapat 4 (empat) faktor kunci yang menentukan daya saing suatu negara/daerah yaitu: 1) kondisi faktor, 2) kondisi permintaan, 3) strategi perusahaan, struktur dan persaingan, 4) keterkaitan dan industri pendukung. Konsep ini dikenal dengan model Berlian Porter. Negara/daerah tertentu memiliki karakteristik berlian (keterkaitan antar empat faktor) berbeda dengan negara/daerah lain. Yang dimaksud dengan kondisi faktor meliputi 5 (lima) kategori kunci, yaitu: 1) ketersediaan dan kemampuan sumber daya manusia, 2) sumber daya fisik, 3) sumber daya pengetahuan, 4) sumber daya modal dan 5) infrastruktur. Kondisi permintaan meliputi permintaan domestik dan internasional. Model ini menggabungkan analisa di tingkat industri maupun tingkat perusahaan. Strategi perusahaan, struktur dan persaingan mengacu pada kondisi tingkat perusahaan. Sedang keterkaitan dan industri pendukung
31
menunjukkan bagaimana suatu industri saling bergantung dan saling mengisi industri lainnya. Keterbatasan sumberdaya dan akses informasi pada industri minyak atsiri untuk meningkatkan daya saing minyak atsiri yang dihasilkan perlu perumusan strategi pemberdayaan agroindustri minyak atsiri di pedesaan yang tepat. Kurangnya keterkaitan antar kegiatan baik di dalam industri minyak atsiri maupun antara industri minyak atsiri dengan jaringan industri/institusi pendukung merupakan salah satu penyebab lemahnya daya saing minyak atsiri (Propenas 1999-2004). Keterkaitan agroindustri dengan petani, penyuling dan eksportir serta pedagang (keterkaitan horizontal) dapat menjamin pasokan bahan baku, stabilitas harga dan pemasaran produk. Keterkaitan agroindustri minyak atsiri dengan lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga keuangan, industri perkakas dan pemerintah (keterkaitan vertikal) dapat meningkatkan kualitas produk, kapasitas produksi dan penerimaan informasi. Merujuk pada definisi klaster menurut Kotler (2010), keterkaitan ini membentuk suatu klaster agroindustri minyak atsiri.
Keterkaitan adalah hubungan antara suatu
aktifitas dilaksanakan dengan aktifitas lain. Keunggulan bersaing adalah pelaksanaan suatu aktifitas secara lebih murah atau lebih baik dari pesaing. Keterkaitan dapat menghasilkan keunggulan bersaing melalui optimalisasi dan koordinasi. Keterkaitan sering mencerminkan trade off antar aktifitas untuk mencapai hasil keseluruhan. Sebagai contoh, spesifikasi bahan baku yang lebih berkualitas akan memunculkan harga pembelian yang lebih mahal, akan tetapi akan menurunkan biaya produksi dan meningkatkan kualitas produksi yang dihasilkan, keterkaitan tersebut perlu dioptimalkan. Keterkaitan mungkin pula mencerminkan kebutuhan untuk koordinasi antar aktifitas. Ketaren (1985) menyatakan bahwa tataniaga minyak atsiri melibatkan beberapa pihak yaitu petani, produsen, distributor dan konsumen. Distributor dapat terdiri dari pengumpul, perantara dan eksportir. Semakin banyak distributor yang terlibat, mata rantai tata niaga semakin panjang dan rumit. Keterlibatan distributor sulit dihindarkan dan sangat dilematis. Di satu sisi keterlibatan distributor dapat mengurangi pendapatan produsen, tetapi di sisi lain dapat membantu mengatasi
32
keterbatan produsen dalam permodalan, informasi dan akses terhadap konsumen. Tata niaga tersebut perlu dibenahi agar petani dan penyuling sebagai pemeran penting dalam sistem agroindustri minyak atsiri dapat memperoleh keuntungan secara layak dari hasil usahanya. Keuntungan akan memotivasi petani dan penyuling melakukan usaha untuk menyediakan bahan baku dan agroindustri dapat tumbuh dan berkembang. Gambar 2 menunjukkan tata niaga minyak atsiri pada umumnya.
Koperasi
Petani
Penyuling
Pasar Internasional
Eksportir
Pedagang Pengumpul Pedagang Perantara
Gambar 2 Tataniaga minyak atsiri (Dimodifikasi dari Ketaren 1985) Ketaren (1985) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi mutu minyak
atsiri
adalah
jenis
tanaman
dan
umur
panen;
perlakuan
bahan
sebelumpenyulingan; jenis peralatan dan teknologi proses penyulingan; penanganan hasil olahan setelah penyulingan dan pengemasan. Selain faktor teknis, daya saing juga dipengaruhi oleh faktor manajemen. Manajemen yang efektif dan efisien dapat meningkatkan mutu, menurunkan biaya dan meningkatkan pelayanan. Pengadaan bahan baku yang dikelola dengan efektif dan efisien akan menurunkan tingkat kerusakan, meningkatkan rendemen dan mengurangi biaya produksi. Teknologi produksi yang dikelola dengan efektif dan efisien akan menurunkan biaya produksi, meningkatkan mutu dan posisi tawar.
33
Dengan adanya klaster, diharapkan akan terbentuk mobilisasi dan kolaborasi dalam pemenuhan permintaan pasar. Para anggota dalam klaster pun bisa secara intensif berbagi pengetahuan dengan sesama pengusaha dan para ahli yang difasilitasi oleh pemerintah juga perguruan tinggi.
Kelembagaan Klaster Robbin (1994) menyatakan bahwa koordinasi memerlukan pengembangan organisasi/kelembagaan yang dapat mengatur proses interaksi antar anggota berlangsung dengan saling memperkuat dan saling menguntungkan. Optimalisasi memerlukan pengembangan teknologi yang dapat memanfaatkan ketersedian sumber daya secara efektif dan efisian. Selain itu, untuk menjamin adanya keterkaitan yang berkelanjutan, diperlukan pengembangan usaha agroindustri yang dapat memberi pengembalian atas investasinya secara layak dan seimbang. Kemampuan mengelola keterkaitan
dapat
menghasilkan
sumber
keunggulan
bersaing
yang
dapat
dipertahankan. Nasution (2002) menyatakan bahwa kelembagaan didefinisikan sebagai suatu sistem organisasi dan kontrol terhadap sumber daya yang sekaligus mengatur hubungan seseorang dengan lainnya. Pengembangan kelembagaan merupakan suatu proses perbaikan yang mencakup struktur dan hubungan di antara anggota dalam organisasi untuk lebih produktif. Tujuannya adalah memenuhi kebutuhan para anggotanya secara efektif, efisien dan adil.
Arifin (2004) menyatakan bahwa
kelembagaan memberikan naungan dan hambatan bagi individu atau anggota masyarakat, baik secara tertulis formal maupun berdasarkan kebiasaan atau tidak tertulis seperti aturan adat dan norma yang dianut. Kelembagaan akan mencakup konvensi dan aturan main sehingga mengandung kegiatan kolektif dalam suatu konytak atau jurisdiksi, pembebasan atau liberalisasi, dan perluasan kegiatan individu. Pembahasan tentang kelembagaan menjadi penting ketika menetapkan bentuk dan instrumen yang dapat mengatur tata nilai dan aturan main. Gibson et al. di dalam Nasution (2002) menyebutkan lima kriteria guna menilai keefektifan lembaga yaitu: 1) Kemampuan organisasi menghasilkan jumlah dan kualitas keluaran yang dibutuhkan lingkungan,
34
2) Efisiensi yang merupakan rasio keuntungan dengan biaya atau waktu yang digunakan, 3) Kepuasan, yakni ukuran yang menunjukkan tingkat organisasi memenuhi kebutuhan karyawan, 4) Adaptasi perubahan dan 5) Pengembangan yang mengukur kemampuan organisasi meningkatkan kapasitas menghadapi tuntutan lingkungan. Mahfud H. (2004) mengembangkan sebuah penelitian yang berfokus pada pengembangan agroindustri minyak atsiri dengan pendekatan klaster. Model kelembagaan yang didapatkan merupakan organisasi industri dengan struktur jaringan dimana simpul seperti pelaku, industri atau institusi saling terhubung melalui informasi, produk, jasa atau kebijakan untuk saling mendukung dan saling menguntungkan.Pengembangan kelembagaan klaster agroindustri minyak atsiri dapat mendorong tercapainya kerjasama yang saling menguatkan dan menguntungkan untuk meningkatkan daya saing minyak atsiri. Pengembangan kelembagaan klaster dapat meningkatkan produktivitas usaha melalui proses alih pengetahuan, teknologi dan manajemen di antara anggota dan pemanfaatan sumberdaya yang tersedia secara lebih produktif. Faktor penting yang perlu diperhatikan dalam merancang sistem pengembangan kelembagaan adalah pengaturan antara hak dan kewajiban yang dituangkan dalam suatu perjanjian yang saling mengikat. Pengembangan kelembagaan memerlukan analisa yang mendalam dan menyeluruh terhadap pelaku, kebutuhan, kendala, aktivitas dan tujuan guna merancang sistem kelembagaan yang efektif untuk mewujudkan kebersamaan dalam mengembangkan agroindustri minyak atsiri. Kegiatan kelembagaan bergantung pada fasilitator yang berfungsi untuk memediasi seluruh jalur komunikasi dan distribusi informasi. Fasilitator diharapkan mempunyai kompetensi yang diperlukan dalam melaksanakan peran mitivator dan organisator. Kata kompetensi dianggap paling tepat untuk menggambarkan kemampuan yang multi dimensi mencakup pengetahuan, keterampilan dan sikap. Spencer & Spencer (1993) dalam Woodruffe (2004) menyatakan terdapat tiga kelompok kompetensi yaitu: 1. Kompetensi generik, merupakan serangkaian sifat-sifat generik yang sebaiknya dimiliki oleh seorang fasilitator, yaitu:
35
a. Elemen enterpreneurship yang merupakan keinginan untuk bekerja dengan baik. Dengan demikian seseorang yang tepat menjadi fasilitator adalah orang yang senantiasa termotivasi menghasilkan karya yang lebih dari biasa, ingin terus berkreasi sehingga memiliki daya dorong anggota lain b.
Elemen pengaruh strategik (strategic influence) yaitu kemampuan untuk meyakinkan, mempengaruhi dan memberikan gambaran prospektif pada pihak lain (anggota) sehingga diharapkan petani bersedia mendukung agenda kerja jaringan
c. Elemen kerjasama yang menunjukkan keinginan untuk bekerja secara kooperatif dengan pihak lain. dalam pengertian ini, fasilitator adalah seseorang yang akan berusaha menggalang dinamika kelompok dan memotivasi anggota untuk berkontribusi sekaligus menghidupkan komunikasi dua arah 2. Kompetensi manajerial, merupakan serangkaian kemampuan bidang manajerial yang sebaiknya dimiliki oleh fasilitator agar kelompok efektif. Terdapat dua elemen manajerial yaitu: a) pengembangan pihak lain (developing others) dan b) pengorganisasian 3. Kompetensi teknikal, merupakan kemampuan berkaitan dengan bidang pokok usaha. Seorang fasilitator setidaknya memahami budidaya yang memberikan produktivitas hasil terbaik dan pemrosesan pencapaian yang berkualitas. Bauran kelompok kompetensi ini akan membuat suasana kehidupan berorganisasi lebih produktif dan mendorong anggota aktif untuk menghidupkan kelembagaan jaringan.
Pemberdayaan Agroindustri Perdesaan Terminologi pemberdayaan masyarakat (community empowerment) kadangkadang sulit dibedakan dengan penguatan masyarakat serta pembangunan masyarakat (community development). Dalam prakteknya seringkali terminologi-terminologi tersebut saling tumpang tindih, saling menggantikan dan mengacu pada suatu pengertian yang sama (Subejo dan Supriyanto 2004). Cook (1994) menyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan konsep yang berkaitan dengan upaya peningkatan atau pengembangan masyarakat menuju ke
36
arah yang positif. Sedangkan Giarci (2001) memandang community development sebagai suatu hal yang memiliki pusat perhatian dalam membantu masyarakat pada berbagai tingkatan umur untuk tumbuh dan berkembang melalui berbagai fasilitas dan dukungan agar mereka mampu memutuskan, merencanakan dan mengambil tindakan untuk mengelola dan mengembangkan lingkungan fisiknya serta kesejahteraan sosialnya. Proses ini berlangsung dengan dukungan collective action dan networking yang dikembangkan masyarakat. Ledwith M. (2003) mendefinisikan community development sebagai alat untuk menjadikan masyarakat semakin komplek dan kuat. Ini merupakan suatu perubahan sosial dimana masyarakat menjadi komplek, institusi lokal tumbuh, collective power-nya meningkat serta terjadi perubahan secara kualitatif pada organisasinya. Pemberdayaan masyarakat sebagai upaya mendorong masyarakat untuk mandiri serta memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan sendiri, prakarsa sendiri, dan memperbaiki hidup sendiri. Pada hakekatnya pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dari keikutsertaannya dalam lima tahap kegiatan, yaitu tahap pengambilan inisiatif, perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi, serta pengelolaan dan pemeliharaan. Partisipasi masyarakat merupakan suatu proses teknis untuk memberikan kesempatan dan wewenang yang lebih luas kepada masyarakat untuk secara bersamasama memecahkan berbagai persoalan. Pembagian kewenangan ini dilakukan berdasarkan tingkat keikutsertaan (level of involvement) masyarakat dalam kegiatan tersebut. Partipasi masyarakat bertujuan untuk mencari solusi permasalahan yang lebih baik dalam suatu komunitas dengan membuka lebih banyak kesempatan bagi masyarakat untuk ikut memberikan kontribusi sehingga implementasi kegiatan berjalan lebih efektif, efisien dan berkelanjutan (Sanoff H. 2000). Arnstein (1969) menjelaskan partisipasi sebagai arti di mana warga Negara dapat mempengaruhi perubahan social penting, yang dapat membuat mereka berbagi manfaat dari masyarakat atas. Partisipasi masyarakat di negara-negara yang kurang berkembang (underdeveloped), dapat dibagi menjadi delapan tingkatan, yaitu: pemberdayaan (empowerment), kemitraan (partnership), mendamaikan (conciliation), berpura-pura (dissimulation), diplomasi (diplomation), meberi informasi (informing), konspirasi (conspiration), dan memanage diri sendiri (self management).
37
Penelitian yang telah dilakukan Subejo dan Supriyanto (2004) melakukan analisis tentang paradigma baru pendekatan pembangunan agroindustri dengan keberpihakan pada masyarakat pedesaan serta memaknai pemberdayaan masyarakat sebagai upaya yang disengaja untuk memfasilitasi masyarakat lokal dalam merencanakan, memutuskan, dan mengelola sumberdaya lokal yang dimiliki melalui collective action dan networking sehingga pada akhirnya mereka memiliki kemampuan dan kemadirian secara ekonomi, ekologi, dan sosial. Syahza A. (2006) dalam penelitiannnya menganalisis kebijakan strategis dalam pengembangan agribisnis yang terkait dengan pembangunan sektor ekonomi lainnya, untuk memperbesar
atau
mempercepat
pertumbuhan
sektor
pertanian,
khususnya
peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat pedesaan. Untuk itu diperlukan factor pendukung pembangunan ekonomi pedesaan terutama yang berbasis agribisnis, antara lain: 1) peran perguruan tinggi; 2) pengusaha; 3) lembaga perkreditan; 4) pengusaha tani (petani); 5) instansi terkait; dan 6) koperasi sebagai badan usaha. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Kementerian Dalam Negeri 2010). Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 7 Tahun 2007 (Kementerian Dalam Negeri 2010) menyatakan
bahwa pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk
meningkatkan keberdayaan komunitas perdesaan, sehingga mampu menemukenali potensi-potensi yang ada dan mendayagunakannya secara optimal untuk kemakmuran dan kesejahteraan bersama serta berpartisipasi dalam pemeliharaan kelestarian lingkungan hidup dan konservasi Sumber Daya Alam. Pemberdayaan masyarakat dan Desa/Kelurahan adalah upaya untuk mewujudkan kemampuan dan kemandirian masyarakat desa dan kelurahan yang meliputi aspek ekonomi, sosial budaya, politik dan lingkungan hidup melalui penguatan pemerintahan desa dan kelurahan, lembaga kemasyarakatan dan upaya dalam penguatan kapasitas masyarakat. Pemangku kepentingan adalah para pihak yang mempunyai kepentingan langsung maupun tidak
38
langsung dalam Pembangunan Kawasan Perdesaan Berbasis Masyarakat (PKPBM) antara lain Instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah, Pemerintah Desa, Lembaga Swadaya Masyarakat, Perguruan Tinggi, Swasta dan Lembaga Kemasyarakatan. Dalam pengertian yang lebih luas, pemberdayaan masyarakat merupakan proses untuk memfasilitasi dan mendorong masyarakat agar mampu menempatkan diri secara proporsional dan menjadi pelaku utama dalam memanfaatkan lingkungan strategis untuk mencapai suatu keberlanjutan dalam jangka panjang. Paradigma baru pembangunan daerah adalah pembangunan dalam rangka pemberdayaan masyarakat, terutama petani dan buruhtani, melalui penyediaan fasilitas dan prasarana publik, pengembangan sistem agroindustri, industri kecil dan kerajinan rakyat, pengembangan kelembagaan, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) guna memanfaatkan potensi keunggulan sumberdaya alam. Permasalahan utama pemberdayaan masyarakat ditinjau dari aspek ekonomi adalah: 1. Kurang
berkembangnya
sistem
kelembagaan
agroindustri
yang
mampu
menciptakan kesempatan bagi masyarakat pertanian untuk mengembangkan kegiatan usaha agroindustri yang kompetitif 2. Lemahnya kemampuan masyarakat petani untuk membangun organisasi ekonomi masyarakat yang dapat meningkatkan posisi tawar dan daya saingnya. Ditinjau dari aspek sosial, permasalahan dalam pemberdayaan masyarakat agroindustri adalah: 1. Kurangnya upaya yang dapat mengurangi pengaruh lingkungan sosial-budaya yang mengungkung masyarakat kepada kondisi ketertinggalan 2. Lemahnya akses masyarakat untuk memperoleh tambahan pengetahuan, ketrampilan, dan informasi bisnis 3. Kurang berkembangnya kelembagaan masyarakat dan organisasi sosial yang dapat menjadi sarana interaksi sosial secara adil. Tantangan utama dalam upaya pemberdayaan masyarakat agroindustri adalah bagaimana membangun kelembagaan sosial-ekonomi yang mampu memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk mendapat lapangan kerja dan pendapatan yang lebih layak.
Secara khusus untuk memberdayakan ekonomi masyarakat tantangan
39
yang dihadapi adalah bagaimana memperbaiki iklim ekonomi makro dan kegiatan ekonomi riil yang
kondusif yang dapat menjamin kegiatan usaha ekonomi
masyarakat lebih kompetitif dan menguntungkan. Hal ini erat dengan upaya untuk memberikan akses masyarakat ke input sumberdaya ekonomi, pengembangan organisasi ekonomi yang dikuasai oleh pelaku ekonomi kecil, dan meningkatkan fasilitas bantuan teknis dan pemihakan bagi usaha masyarakat kecil. Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil, Menengah dan Gubernur Bank Indonesia Tahun 2009 (Kementerian Dalam Negeri 2010) menyatakan bahwa sasaran pelaksanaan Strategi Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro adalah beralihnya Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang belum berbadan hukum menjadi Bank Perkreditan Rakyat atau Koperasi atau Badan Usaha Milik Desa, atau lembaga keuangan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan gotong royong, masyarakat desa bisa dan mampu mengelola Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Pada penelitian ini dapat dibentuk BUMDes nilam dan minyak nilam agar dapat mempertahankan harga dan menjaga kualitas produk. Para pelaku usaha dalam agroindustri minyak atsiri dapat membentuk Kelompok Usaha Bersama (KUBE) dan Kelompok Tani Pemberdayaan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP). Masyarakat desa juga tidak harus terfokus dengan kegiatan produktif yang harus menggunakan barang ekonomi dan barang komoditas, sektor jasa juga masih bisa dilakukan dan mengundang banyak minat bagi yang memiliki akses sedikit, yaitu dengan membuat Credit Union (CU) atau yang lebih dipahami sebagai koperasi dalam tanggung renteng.
Rantai Pasok dan Rantai Nilai Rantai pasok (supply chain) adalah jaringan organisasi yang menyangkut hubungan dari hulu (upstream) dan ke hilir (downstream), dalam proses dan kegiatan yang berbeda yang menghasilkan nilai yang terwujud dalam barang dan jasa di tangan pelanggan terakhir (Poirier dan Reiter 1996). Sebuah rantai pasok akan terdiri dari rangkaian proses pengambilan keputusan dan eksekusi yang berhubungan dengan aliran bahan, informasi dan uang. Proses dari rantai pasok bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pelanggan mulai dari produksi sampai konsumen akhir. Rantai pasok
40
bukan hanya terdiri dari produsen dan pemasoknya tetapi mempunyai ketergantungan dengan aliran logistik, pengangkutan penyimpanan atau gudang, pengecer dan konsumen itu sendiri. Dalam arti luas, rantai pasok juga termasuk pengembangan produk, pemasaran, operasi-operasi, distribusi keuangan dan pelayanan pelanggan (Vorst et al. 2007). Gambar 3 menunjukkan rantai pasok sepintas terlihat sebagai deretan siklus-siklus yang bekerja sebagai inter-face bagi dua tahapan (stages) seperti terlihat pada. Cara pandang terhadap rantai pasok sebagai sebuah siklus menjadikan kategorisasi rantai pasok dalam tiga bentuk dasar yaitu rantai pasok internal, rantai pasok eksternal dan rantai pasok total atau keseluruhan. Rantai pasok internal adalah aliran bahan dan informasi yang terintegrasi dalam unit bisnis (korporasi) dari pemasok sampai pelanggan dan kadang disebut logistik bisnis.
Pemasok
Pemrosesan
Distributor
Pengecer
Pelanggan
Gambar 3 Deret siklus pembentukan rantai pasok ( Vorst et al. 2007) .Rantai pasok ekstemal adalah aliran bahan dan informasi yang terintegrasi didalam unit bisnis (korporasi) yang melintasi antara pemasok langsung dan pelanggan. Rantai pasok total adalah aliran bahan dan informasi yang terintegrasi didalam unit bisnis (korporasi) yang melintasi secara majemuk antara pemasok langsung dan pelanggan. Dalam sistem rantai pasok akan dikendalikan oleh unit pengambil keputusan yaitu seseorang yang berwenang dalam memutuskan spesifikasi produk, kebutuhan pengiriman dan pelayanan pelanggan. Gambar 4 menunjukkan skema yang membedakan tiga bentuk dasar rantai pasok. Tipe dasar rantai pasok dapat dipandang secara hirarki. Efektifitas rantai pasok total akan dipengaruhi oleh rantai pasok eksternal demikian selanjutnya rantai pasok intemal akan mempengaruhi efektifitas rantai pasok eksternal.
41
Rantai pasok internal Rantai pasok eksternal Rantai pasok total
Gambar 4 Tiga tipe dasar rantai pasok ( Vorst et al. 2007) Rantai pasok dalam agroindustri memiliki karateristik unik. Austin (1981) menyatakan bahwa agroindustri adalah pusat dari rantai pertanian yang penting mempelajari rantai tersebut mulai dari areal pertanian hingga pasar. Agroindustri membutuhkan pasokan bahan baku yang berkualitas dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan. Brown (1994) menyatakan bahwa untuk mendapatkan pasokan bahan baku yang berkualitas maka diperlukan standar dasar komoditas, sedangkan kuantitas pasokan perlu memperhatikan produktivitas tanaman. Cakupan agroindustri yang cukup luas dan kompleks menjadi sangat menarik untuk dipelajari oleh para peneliti dibidang manajemen rantai pasok. Rantai pasok agroindustri secara sederhana adalah rangkaian kegiatan pasokan dan pemrosesan yang menggunakan bahan baku dari hasil pertanian. Negara-negara yang mempunyai potensi pertanian tentunya berupaya untuk berhasil meningkatkan daya saing produk-produk hasil. Bailey (2002) menyatakan karateristik unik dari manajemen rantai pasok agroindustri adalah sebagai berikut:a) Konsumen; b) Distribusi produk pertanian; c) Peranan pemasaran dalam solusi rantai pasokan; d) Karateristik produk pertanian; e) Issue kesinambungan material. Dalam rantai pasok agroindustri persoalan akan semakin rumit dan kompleks dengan semakin banyaknya pelaku usaha yang terlibat. Pelaku usaha sebagai anggota dalam manajemen rantai pasok memiliki kepentingan bersama dalam menghindari kerugian dan bahkan meraih keuntungan bersama. Dalam praktek seringkali multilateral benefit tidak bisa dicapai secara maksimal. Banyak faktor sebagai penyebabnya antara lain kesalahan/ kekurang efektifan kebijakan karena informasi kurang akurat, mengandung ketidakpastian dan ketidakjelasan unsur-unsur yang terlibat dan peranannya dalam sistem. Manajemen rantai pasok yang berpandangan holistik sangat tepat untuk dipraktikan. Upaya penyeimbangan atau prinsip proposionalitas yang sangat diharapkan pada sistem pertanian modern dapat di capai melalui praktik manajemen rantai pasok. Hal ini dapat dilakukan karena definisi manajemen rantai pasok yang
42
mengedepankan pemenuhan kepuasan para pemangku kepentingan. Dalam sistem rantai pasok pertanian para pemangku kepentingan bisa terdiri dari petani, pedagang, pengumpul, prosesor, distributor, pengecer, konsumen akhir dan pemerintah. Setiap pemangku kepentingan akan memiliki kepentingan yang berbeda-beda dan dipengaruhi pula oleh perubahan lingkungan bisnis. Cara pandang yang holistik dan tidak menghilangkan kompleksitas sangat penting diperhatikan. Pada prinsipnya, rantai pasok agroindustri memiliki karakteristik dua tipe yaitu produk segar dan produk yang diproses. Produk segar misalnya saja sayuran, buahbuahan dan sejenisnya yang tidak membutuhkan proses pengolahan khusus atau proses transformasi kimia. Sebaliknya produk pertanian yang diproses membutuhkan proses transformasi kimia atau perubahan bentuk. Khusus untuk produk pertanian tipe ini akan melibatkan beberapa pemain diantaranya petani atau perkebunan, prosesor atau pabrik, distributor dan retail.
Stakeholder lainnya (NGO, pemerintah, dll)
Retail
Distributor
Prosesor/Pabrik
Petani/Perkebunan
Gambar 5 Sistem rantai pasok agroindustri (Vorst 2004) Gambar 5 merupakan rantai pasok generik pada tingkat organisasi perusahaan dalam konteks jejaring rantai pasok pertanian menyeluruh. Setiap perusahaan diposisikan dalam sebuah lapisan jejaring dan keterlibatan minimal satu rantai pasok. Perlu dipahami bahwa dalam jejaring rantai pasok pertanian bisa lebih dari satu rantai pasok dan lebih dari satu proses bisnis yang dapat diidentifikasi, dan dalam satu waktu bisa terjadi proses pararel dan sekuensial. Sistem rantai pasok agroindustri tidak terlepas dari sistem yang lebih lengkap
43
lagi. Dalam perspeklif analitik, bauran antara produsen dan distributor akan dipengaruhi oleh faktor ekonomi, teknologi, sosial, legal dan lingkungan. Faktorfaktor ini akan saling berkomplementer dalam penciptaan sebuah sistem rantai pasok.. Gambar 6 menunjukkan skema perspeklif analitik dari dimensi-dimensi yang berpengaruh. Dimensi ekonomi berhubungan dengan efisiensi rantai dalam perspektif manfaat-biaya dan orientasi pelanggan. Peningkatan efisiensi dan profitabilitas dapat dilakukan sebuah unit bisnis melalui kerjasama pada kolom yang berkesesuaian. Dimensi lingkungan berhubungan dengan cara produksi yang ramah lingkungan. Hasil samping dari proses produksi komoditas pertanian dapat dimanfaatkan sebagai produk samping atau siklus ulang dari produk yang berkualitas jelek. Dimensi teknologi berhubungan dengan penerapan teknologi, sistem logistik, teknologi informasi dan komunikasi untuk memperbaiki kinerja. Dimensi sosial dan legal berhubungan dengan norma-norma yang harus diikuti agar tidak merugikan banyak pihak (Ruben et al.2006).
Produsen primer (petani, perkebunan)
Sosial/legal
Teknologi
Pemrosesan
Distributor
Pengecer
Pasar
Ekonomi
Lingkungan
Gambar 6 Perspektif analitik dari rantai pertanian (Ruben et al. 2006)
Kerjasama antara pelaku langsung dalam sistem rantai pasok agroindustri seperti petani, prosesor, pedagang dan pengecer tidaklah mudah. Slingerland et al. (2006) telah mengidentifikasi beberapa cara yang dapat dilakukan agar praktik manajemen rantai pasok mudah diterapkan dalam agroindustri. Pertama, cakupan kompleksitas harus diketahui sehingga keberlanjutan dapat terjamin. Sebuah sistem rantai pasok bisa saja berukuran besar dan sangat kompleks atau kecil dan sederhana. Semakin banyak pemangku kepentingan yang terlibat akan semakin meningkat kompleksitas dari sistem. Tingkat kompleksitas akan terlihat ketika proses
44
pengambilan keputusan dilakukan. Konflik kepentingan akan terjadi sesuai dengan motif kebutuhan yang berbeda-beda dari pemangku kepentingan. Kedua, memulai dari industri sendiri. Tipe dasar rantai pasok telah memberikan pemahaman bahwa efektifitas rantai pasok internal akan berkontribusi pada rantai pasok eksternal dan rantai pasok total. Memulai dari rantai pasok internal adalah wujud praktik manajemen rantai pasok yang baik. Kumpulan rantai pasok internal yang telah efektif akan berintegrasi menjadi rantai pasok eksternal yang efektif pula. Rantai pasok harus berupaya meningkatkan daya saingnya berbasis kualitas, biaya, pengiriman dan pelayanan. Ketiga, pengorganisasian para petani. Kelangsungan kegiatan pemrosesan didalam agroindusti ditentukan para petani yang berperan sebagai pemasok bahan baku. Pengorganisasian para petani akan memberikan jaminan kelancaran pasokan baik dari segi kualitas bahan, jumlah pasokan dan jadwal pasokan. Proses pengadaan bahan baku akan lebih mudah dengan adanya pengorganisasian tersebut. Keempat, struktur insentif terhadap para pelaku di sistem rantai pasok. Machfud (2001) dalam penelitiannya membahas tentang pengembangan agroindustri minyak atsiri dengan fuzzy-logic. Pengembangan dilakukan menurut kepentingan pelaku usaha, bidang kepakaran serta lembaga yang terkait, serta criteria yang digunakan. Penelitian yang telah dilakukan oleh Hans-Henrik Hvolby et al. (2002) berfokus pada rantai pasok dalam usaha kecil dan menengah. Chandra Indrawanto (2007) melakukan penelitian tentang evaluasi kelayakan pembiayaan agroindustri minyak atsiri dengan pola syariah. Dalam penelitian ini, sumber pembiayaan yang dapat digunakan untuk pengembangan agroindustri minyak atsiri adalah pembiayaan dari lembaga keuangan syariah dengan pola musyarakah berdasarkan skema bagi hasil dan bagi resiko. Nilai tambah yang diperoleh dalam rantai pasok diharapkan bisa dinikmati secara proporsional oleh para pelaku. Strukfur insentif bisa berupa harga, bonus, pembagian biaya, mitigasi risiko, manfaat jangka pendek dan panjang. Kelima, transparansi informasi dalam setiap kegiatan. Permintaan yang berfluktuasi, harga yang tidak menentu dan ketersediaan bahan yang tidak dapat diprediksi akan meningkatkan risiko rantai pasok. Ketidakpastian bisa dikurangi melalui pertukaran informasi dari setiap tahapan rantai pasok. Umpan balik dari hilir rantai sebaiknya bisa diketahui juga di hulu rantai. Akurasi informasi akan meningkatkan kualitas perencanaan dan efisiensi pengambilan keputusan. Terakhir, pertukaran pengalaman
45
antar pelaku rantai pasok. Hal ini berhubungan dengan transfer teknologi dan pengetahuan yang dibutuhkan salah satu pihak. Sesama pemasok yang tergabung dalam kemitraan yang sama pada sebuah agroindustri bisa berbagi pengaiaman. Cara pandang ini dikenal dengan istilah co-opetition atau cooperation and competition. Aspek penting dalam rantai pasok adalah 1) menggabungkan setiap mata rantai bisnis dari hulu hingga hilir, dan 2) membangun efisiensi rantai pasok. Rantai nilai (value chain) merupakan suatu rangkaian nilai hasil aktivitas (produk atau jasa) dari aktivitas hulu sampai hilir atau sampai di terima konsumen. Dengan kata lain rantai nilai juga merupakan rangkaian Input-Output. Keterkaitan yang erat sepanjang rantai nilai berperan penting dalam meningkatkan efisiensi inovasi, namun pengintegrasian pada rantai nilai juga harus bersifat selektif dan terfokus pada yang memberikan nilai tambah yang tinggi (Porter 1998). Aktivitas
rantai
nilai
adalah aktivitas-aktivitas
spesifik
yang dapat
menciptakan nilai dan keuntungan kompetitif bagi organisasi (Christopher Martin 2000). Aktivitas-aktivitas tersebut dibagi dalam 2 jenis yaitu: 1. Aktivitas Utama (primary activities), terdiri dari: - Inbound logistics : aktivitas yang berhubungan dengan penanganan material sebelum digunakan - Operations : aktivitas yang berhubungan dengan pengolahan input menjadi output - Outbound logistics : aktivitas yang dilakukan untuk menyampaikan produk ke tangan konsumen - Marketing and sales : aktivitas yang berhubungan dengan pengarahan konsumen agar tertarik untuk membeli produk - Service : aktivitas yang mempertahankan atau meningkatkan nilai dari produk 2. Aktivitas penunjang (supported activities), terdiri dari : - Procurement : berkaitan dengan proses perolehan input/sumber daya - Human Resources Management : Pengaturan sumber daya manusia (SDM) mulai dari perekrutan, kompensasi, sampai pemberhentian - Technological Development : pengembangan peralatan, software, hardware, prosedur, didalam transformasi produk dari input menjadi output
46
- Infrastructure : terdiri dari departemen-departemen/fungsi-fungsi (akuntansi, keuangan, perencanaan, GM, dsb) yang melayani kebutuhan organisasi dan mengikat bagian-bagiannya menjadi sebuah kesatuan. Dalam rangkaian rantai nilai terdapat margin atau nilai tambah (value added). Pengertian nilai tambah adalah perbedaan atau selisih dari nilai output dengan nilai input. Komponen nilai tambah terdiri dari kontribusi yang diberikan oleh tenaga kerja (labor contribution) ditambah dengan kontribusi modal (capital contribution). Konsep industri itu sendiri berpijak pada pengembangan nilai tambah yang sebesar-besarnya, sehingga makin besar nilai tambah yang diperoleh akan makin baik suatu proses industri (Wirabrata 2003). Dalam konsep klaster minyak atsiri ini, peningkatan nilai tambah diperoleh dengan merangkaikan masing-masing proses sejak kegiatan di hulu (petani) sampai kegiatan yang paling hilir. Disamping itu, besarnya nilai tambah sangat menentukan tingkat produktivitas. Departemen Perindustrian (2005) menyatakan bahwa hasil diagnosa klaster IKM Minyak Atsiri adalah adanya rantai nilai mulai dari petani, industri kecil penyuling, pedagang perantara, pedagang pengumpul, industri eksportir, industri besar, industri pangan sampai eksportir. Gambar 7 menunjukkan rantai nilai industri minyak atsiri. Petani hanya memproduksi bahan baku saja dan hasilnya dijual ke pedagang pengumpul/perantara. Dari pedagang pengumpul/perantara akan dijual ke pengusaha penyuling dengan struktur pasar (buyer market) dimana penentu harga berada pada pengumpul. Keterbatasan modal menyebabkan petani memanen tanaman pada umur yang tidak optimal, bahkan petani membiarkan tanamannya tidak dipanen karena harga jual tidak sesuai dengan biaya pemanenan. Antara petani/pedagang pengumpul bahan dengan pemilik penyulingan terdapat ”ikatan emosional”, dan diklaim sebagai suatu kelompok. Kondisi penyulingan minyak atsiri menghadapi permasalahan yang mencakup: 1) penggunaan alat penyulingan yang bukan stainless steel, 2) kondisi proses, yaitu penggunaan suhu dan tekanan dalam proses penyulingan dan proses pemisahan minyak, 3) rendemen minyak, dan 4) mutu minyak yang dihasilkan. Harga jual minyak tidak seimbang dengan biaya produksi dan tdak memadainya apresiasi harga beli oleh pedagang terhadap mutu minyak yang lebih baik.
47
Budidaya tanaman atsiri
Pedagang perantara
IK-Penyuling
Petani
Bahan baku tanaman atsiri
Destilasi, ekstrasi
Minyak atsiri kasar
Penampungan, pengumpulan, pencampuran
Eksportir
Minyak atsiri kasar
Pedagang Pengumpul
Pedagang Pengumpul
Industrieksportir
Penampungan, pengumpulan
Penampungan, pengumpulan, pencampuran
Pemurnian, fraksinasi, ekspor
Pengumpulan Pencampuran Ekspor
Minyak atsiri murni, turunan
Industri besar
Industri pangan, kosmetik, toileteries, parfum, dll
Compounded flavours & fragrances
Compounding, blending
Gambar 7 Rantai nilai industri minyak atsiri ( Departemen Perindustrian 2008)
Mata rantai akhir dalam perdagangan minyak atsiri dalam negeri adalah Eksportir yang memproses minyak atsiri lebih lanjut dengan bantuan pedagang perantara dalam mendapatkan bahan baku. Penentu harga adalah pihak pembeli yang didasarkan atas mutu yang dinilai secara sepihak oleh pembeli secara subyektif (organoleptik). Permasalahn umum yang terjadi pada aspek perdagangan ini mencakup 1) tingkat harga, 2), fluktuasi harga, 3) rantai pemasaran, dan 4) distribusi margin atau dominasi pedagang pengumpul/perantara. Secara aktual di beberapa daerah penelitian terdapat dua pola rantai perdagangan, yaitu 1) pola yang siistilahkan sebagai ”sub-klaster” dan 2) pola umum. Gambar 8 menunjukkan pola sub-klaster dan pola umum dalam rantai nilai IKM minyak atsiri.
48
Sub-klaster Penyuling Pedagang perantara/ pengumpul
Penyuling
Pedagang perantara/ pengumpul
Penyuling
IndustriEksportir
P E T A N I
Penyuling
Pola Umum
Eksportir
Eksportir
Pedagang perantara/ pengumpul
Penyuling
Pedagang perantara/ pengumpul
Penyuling
Penyuling
P E T A N I
Penyuling
Gambar 8 Pola sub-klaster dan pola umum dalam rantai nilai IKM minyak atsiri (Departemen Perindustrian 2008) Rusli, Meika S. (2009) menyatakan bahwa rantai pasok minyak nilam panjang dan petani/penyuling kesulitan mendapatkan akses pembiayaan dan teknologi. Gambar 9 menunjukkan rantai perdagangan minyak nilam di Sumatera dan Jawa berbeda. Ada beberapa prinsip cultiva yang dapat diimplementasikan, yaitu 1) good agricultural practice, bukan “budidaya tani berpindah”, 2) good manufacturing (distillation) practice, bukan “crude field distillation” untuk meningkatkan kualitas dan efisiensi produksi, 3) prinsip perdagangan adil bagi semua pihak (fairly trade), 4) peniadaan perdagangan spekulatif, 5) transparansi, dan 6) keikutsertaan secara sukarela. Harapan dari pemakai terhadap minyak atsiri Indonesia, yaitu 1) stabilitas pada tingkat harga yang wajar, 2) konsistensi kualitas, dan 3) pasokan yang
49
berkesinambungan. Tingkat harga yang terlalu tinggi mengakibatkan pemakaian terbatas/dikurangi. SUMATERA
JAWA Minyak nilam
Petani-Penyuling
Pasar
Petani-Penyuling Daun nilam kering
Daun nilam kering
Petani-Penyuling Petani Pengumpul Minyak nilam
Agen
Petani-Penyuling
Mentah
Pembersihan distilasi ulang Light/iron free
Eksportir
Pembeli Luar Negeri
Gambar 9 Rantai perdagangan minyak nilam di Sumatera dan Jawa (Rusli, Meika S. 2009)
Teori Optimasi Kata “optimasi” muncul hampir di segala bidang kehidupan manusia. Dalam bidang teknik dan ekonomi, khususnya bidang agroindustri, optimasi memegang peranan yang sangat penting. Secara umum pengertian optimasi identik dengan mencari atau memperbaiki keadaan suatu sistem sedemikian rupa sehingga sistem tersebut dapat memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu. Secara lebih sederhana optimasi berarti memilih penyelesaian terbaik di antara penyelesaian yang ada dalam sistem, atau dengan kata lain, optimasi merupakan suatu proses menemukan kondisi yang memberikan nilai maksimal atau minimal dari suatu sistem atau fungsi (Kuester JL, Mize JH 1973). Syarat suatu sistem yang dapat dioptimasikan jika sistem tersebut mempunyai sifat-sifat seperti berikut:
50
1) Variabilitas Suatu sistem yang dioptimasikan jika pada sistem tersebut terdapat lebih dari satu penyelesaian alternatif 2) Penilaian yang unik terhadap semua kriteria yang ada. Kadang-kadang pendefinisian fungsi sasaran merupakan bagian yang paling sulit dalam optimasi. Sebagai contoh, jika sebuah masalah mempunyai beberapa kriteria yang harus dipenuhi, maka setiap kriteria harus direlatifkan dan diberi bobot yang sesuai. Secara garis besar ada dua metode atau cara yang dapat digunakan untuk mencari penyelesaian yang optimal, yaitu: 1) metode analitik (deduktif) 2) metode pencarian secara langsung dengan bantuan model simulasi yaitu dengan penggunan metode numerik. Peneyelesaian secara analitik dapat memberikan solusi secara umum sehingga dapat dikatakan bahwa penyelesaian analitik tersebut sifatnya lebih menyeluruh dibandingkan dengan penyelesaian secara numerik yang hanya memberikan solusi secara kasus per kasus. Penyelesaian masalah linier dapat dilakukan melalui metode linier programming dengan tenik grafik, teknik simplex atau teknik transportasi. (Bronson 1996). Metode analitik dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah linier maupun masalah non-linier. Untuk menyelesaikan masalah non-linier dapat dilakukan dengan metode turunan parsial dan konsep pengali Langrange yang relatif lebih sulit dibandingkan dengan turunan biasa. Cara atau metode analitik untuk memecahkan masalah-masalah non-linier mempunyai langkah-langkah berikut: 1) Menentukan titik stasioner (titik diam) pada kurva Q(X) yaitu dengan menentukan turunan pertama dari Q(X), kemudian menyamakannya dengan nol dan menyelesaikan persamaan yang dihasilkan. Selesaikan
dQ =0 dX
2) Langkah di atas tidak menjelaskan apakah titik yang dihasilkan adalah suatu titik maksimal atau minimal. Oleh karena itu dilakukan penurunan kedua dari Q(X), sehingga diperoleh d2Q/dx2.
51
Metode numerik dapat digunakan untuk mencari optimasi suatu sistem melalui pembuatan model dari sistem tersebut. Model suatu sistem yang dapat dicari optimasinya dengan metode ini dapat berupa model statik maupun model dinamik. Empat teknik penyelesaian optimasi suatu sistem dengan metode ini adalah dengan teknik optimasi complex, teknik optimasi evolusi, teknik optimasi combi dan teknik optimasi Fibonacci. Teknik optimasi Fibonacci dapat digunakan untuk mendapatkan nilai maksimum atau minimum suatu peubah (variabel) tunggal dari suatu fungsi non-linier dengan beberapa kendala. Strategi ini didasari oleh barisan bilangan Fibonacci, dari Leonardo von Pisa. Teknik Fibonacci adalah teknik terbaik di antara keempat teknik yang ada. Teknik ini memiliki peluang yang sangat kecil untuk terjebak kedalam nilai optimal palsu dan juga memiliki waktu proses yang cepat disbanding teknik yang lain. Kelemahan teknik ini adalah hanya dapat digunakan untuk mencari nilai optimal (maksimal atau minimal) dari satu variabel saja. Algoritma teknik ini dapat dilihat pada Gambar 10. Mulai
Tentukan: Fungsi objektif F(X); Batasan awal a1<X,b1; Tingkat akurasi (β); n = 1 / β; Bilangan fibonacci ke n (Fn); L1 = b1 – a1; k = 0
k=k+1
Hitung: Lk = (Fn-(k+1) / Fn-(k-1)) Lk ; X1 = ak + lk ; X2 = bk – lk F(X1) dan F(X2)
Tidak ak+1 = X1 ; bk+1 = bk
F(X1) < F(X2) Ya
Lk+1 = bk+1 – ak+1
ak+1 = ak ; bk+1 = X2
Tidak Lk+1 < β Ya
Titik optimasi (X) = ak+1
Stop
Gambar 10. Algoritma teknik optimasi Fibonacci
52
Dalam problem optimasi diminta untuk memaksimalkan atau meminimalkan suatu besaran tertentu yang bergantung pada variable masukan yang jumlahnya terbatas (input variable) yang disebut juga sebagai fungsi sasaran (Brons 1991). Variabelvariabel masukan tersebut dapat dapat saling bergantung atau tidak saling bergantung melalui satu atau lebih kendala (restriks). Restriksi sendiri dibedakan antara restriksi eksplisit (kendala yang berbentuk fungi eksplisit) dan restriksi implisit (kendala yang berbentuk fungsi implisit). Fleenor JW et al (2008) menjelaskan bahwa dengan reoptimisasi berkala dengan harga yang berjalan saat ini dapat menghasilkan kinerja perdagangan yang unggul, karena reoptimasis berkala dilakukan dalam jumlah yang tepat sesuai dengan harga saat ini serta dapat terus beradaptasi dengan model perdagangan yang sedang berlangsung dan dengan kondisi pasar sekarang.
Philips RL (2005) menyatakan
bahwa jika harga sangat tinggi maka pedagang akan menikmati keuntungan yang sangat tinggi pula, sehingga akan lebih banyak lagi penjual masuk dan akibatnya dapat menurunkan harga rata-rata. Dalam situasi seperti ini, harga ditentukan oleh pasar. Untuk memperoleh model kesepakatan harga digunakan metode optimasi dengan teknik Fibonacci. Menurut Kuester dan Mize (1973), teknik Fibonacci merupakan sebuah prosedur untuk melakukan aliminasi interval yang dimulai dengan batasan awal dari peubah-peubah bebas. Teknik Fibonacci termasuk metode pencarian pada kelompok optimisasi problema tak linier berkendala variabel tunggal. Komponen-komponen biaya yang perlu diperhatikan dalam optimalisasi harga kesepakatan ini meliputi biaya-biaya yang dikeluarkan usahatani maupun industri kecil penyulingan, diantaranya adalah biaya produksi, biaya pemanenan, biaya penyimpanan, dan biaya transportasi. Harga kesepakatan (win-win solution) nilam ditentukan berdasarkan selisih antara harga yang diharapkan usahatani dan harga yang diharapkan oleh industri kecil penyulingan minyak nilam. Dalam hal ini usahatani mengharapkan harga jual nilam kering yang tinggi sesuai dengan harga produksi yang dikeluarkannya dan di sisi lain industri kecil penyulingan minyak nilam mengharapkan harga beli nilam yang rendah untuk memperoleh keuntungan yang maksimal. Berdasarkan hal tersebut maka yang menjadi fungsi tujuannya adalah usaha untuk mengeliminasi selisih harga tersebut untuk memperoleh harga yang adil. Harga
53
beli nilam kering oleh industri kecil penyulingan.minyak nilam dipengaruhi oleh harga jual minyak nilam, biaya penyulingan/pengolahan, biaya transportasi dan keuntungan industri. Harga jual nilam oleh usahatani dihitung dengan memperhatikan luas lahan, biaya total usaha tani, produktivitas lahan dan keuntungan usaha tani. Kesepakatan harga jual nilam yang akan memaksimalkan kewajaran keuntungan usahatani dan industri kecil penyulingan dapat dijelaskan sebagai berikut:. Keuntungan usahatani diperoleh apabila harga kesepakatan (misal X) lebih besar dari harga jual nilam (HJn). X > Hjn X - HJn > 0 Hal ini akan tercapai apabila harga beli nilam (HBn) oleh industri kecil penyulingan lebih besar dari harga kesepakatan (X). HBn > X HBn – X > 0 Jadi Fungsi tujuan:
Maksimum (HBn – X)(X – HJn) dimana
X < HBn X > HJn
atau
HBn > X > HJn
Hal ini dapat dibuktikan berikut: Maksimum
Z = (HBn – X) (X – HJn), dimana
HBn > X > HJn
Z = -X2 + HBn.X + HJn.X + (HBn)(HJn)
Zmaksimum
Syarat ekstrim: , sehingga -2X + HBn + HJn = 0 X* = dimana
HJn < X < HBn, maka Xoptimum = X* Є (HJn, HBn)
54
Rumus kesepakatan harga jual nilam (HJn) dan harga beli nilam (HBn):
Keterangan: LL = luas lahan (ha) BT = biaya usaha tani (Rp/ha/tahun) KT = keuntungan usaha tani (Rp/tahun) PL = produktivitas lahan (kg/ha/tahun)
HBn
= HJmnk - BP - BS – KI
Keterangan: HJmnk = harga jual minyak nilam kasar (Rp/kg) BP
= biaya pengolahan (Rp/kg)
BS
= biaya simpan dan transportasi (Rp/kg)
KI
= keuntungan industri kecil penyulingan (Rp/kg)
Fungsi tujuan: Maksimumkan (HBn – X) (X – HJn) Dengan kendala: HBn > X > HJn
Sistem Pengukuran Kinerja Peppard dan Rowland (1995) menyatakan bahwa pengukuran kinerja sebuah perusahaan atau organisasi merupakan kunci untuk menjadi efektif dan efisien. Jika tidak ada pengukuran berarti tidak bisa dikelola. Persoalan yang sering dihadapi berkaitan dengan implementasi sebuah sistem pengukuran kinerja adalah adanya kesalahpahaman perancang maupun praktisi dalam menerjemahkan beberapa komponen dasar yang meliputi ukuran kinerja (performance measure), pengukuran kinerja (performance measurement) dan sistem pengukuran kinerja (performance measurement system). Ketidaktepatan ini dapat mengakibatkan ketidak optimalan bahkan kesalahan dalam pengambilan keputusan. Sistem Pengukuran Kinerja merupakan suatu cara sistematis untuk mengevaluasi input, output, transformasi dan produktivitas dalam suatu operasi manufaktur maupun non manufaktur (Suwignyo 1999). Selanjutnya dikemukakan
55
bahwa sistem pengukuran kinerja adalah sebuah alat untuk menyeimbangkan ukuranukuran ganda (biaya, kualitas dan waktu) melalui beberapa level (organisasi, proses dan orang). Terdapat beberapa definisi ukuran kinerja yang dijadikan referensi penelitian yaitu : (1) Karakteristik output yang diidentifikasi untuk tujuan evaluasi; (2) Indikator-indikator numerik atau kuantitatif yang menunjukkan seberapa jauh masingmasing sasaran dapat dicapai; (3) Tanda-tanda vital dari suatu organisasi yang mengukur secara kuantitatif bagaimana sebuah aktifitas baik berdasarkan proses maupun output dapat mencapai suatu tujuan tertentu; dan (4) Deskripsi kuantitatif yang menyatakan kualitas produk maupun layanan dari sebuah proses atau sistem. Chae Bongsug (Kevin) (2009) melakukan penelitian dengan pendekatan praktis untuk pengukuran kinerja rantai pasok dengan pedoman merancang metric dan mengusulkan metric kunci untuk SCOR, dengan metode yang digunakan Supply Chain Operation-Reference (SCOR).
Neely et al.(1990) menyatakan
terdapat
beberapa berbagai definisi berkaitan dengan ketiga terminologi di atas yang dipandang lebih sistematis yang diberikan oleh Cambridge Research Group (kelompok yang berfokus pada sistem pengukuran kinerja), yaitu : 1. Suatu
ukuran
kinerja
adalah
sebuah
metrik
yang
digunakan
untuk
mengkuantitatifkan efektivitas dan efisiensi dari sebuah tindakan 2. Pengukuran kinerja adalah proses kuantifikasi efektivitas dan efisiensi sebuah tindakan 3. Sistem Pengukuran Kinerja adalah kumpulan metrik yang digunakan untuk mengukur baik efektivitas dan efisiensi dari tindakan – tindakan. Beberapa model lain dikembangkan untuk situasi yang lain diantaranya Activity Based Costing System, Balanced Scorecard, SMART System dan beberapa penelitian lain yang secara umum memiliki kerangka pemikiran perancangan sebuah sistem pengukuran kinerja. Dalam penelitian ini untuk pengukuran kinerja usahatani dan industri kevil penyulingan menggunakan Integrated Performance Measurement Sistem (IPMS). Mahfud H. (2004) mengembangkan sebuah penelitian tentang pengembangan agroindustri minyak atsiri dengan pendekatan klaster. Sampai dengan saat ini masih banyak penelitian sistem pengukuran kinerja yang telah dan sedang dikembangkan, namun belum terdapat suatu penelitian sistem pengukuran kinerja
56
yang berfokus pada pemberdayaan masyarakat perdesaan dalam klaster agroindustri minyak atsiri. Integrated Performance Measurement Sistem (IPMS) merupakan sistem pengukuran kinerja yang dibuat di Centre for Strategic Manufacturing, University of Strathclyde, Glasgow (Suwignyo, 2000), dengan tujuan mendeskripsikan dalam arti yang tepat bentuk dari integrasi, efektif dan efisien sistem pengukuran kinerja, sehingga untuk mencapai tujuan tersebut maka dideskripsikan sebagai berikut: (1) Komponen pokok dari sistem pengukuran kinerja dan (2) Membuat garis arahan pengukuran kinerja terbaik yang sebaiknya digunakan. Model IPMS membagi level bisnis menjadi empat tingkatan yaitu (1) Bisnis Induk, (2) Unit Bisnis, (3) Proses Bisnis dan (4) Aktivitas. Tingkatan tersebut dapat berupa fisik dan logis yaitu suatu kondisi di mana tingkatan tidak bisa dilihat secara fisik dalam organisasi. Level bisnis induk menunjukkan bisnis secara keseluruhan yang bisa terdiri dari beberapa unut bisnis, dalam hal ini setiap unit bisnis diartikan sebagai satu unit yang merupakan bagian dari organisasi yang melayani sebagian segmen pasar dengan tuntutan pasar yang bersaing. Perbedaan kebutuhan pasar memisahkan satu unit bisnis dengan yang lain. Setiap unit bisnis selanjutnya dapat terdiri dari beberapa proses bisnis yang secara garis besar dapat dikelompokkan dalam dua kategori yaitu: (1) Proses Inti, yaitu proses yang menunjukkan alasan dasar bagi keberadaan organisasi dan (2) Proses Pendukung, yaitu proses-proses lain yang ditambahkan dalam proses inti, sehingga dalam hal ini proses bisnis inti merupakan pemangku kepentingan (stakeholder) dari proses pendukung. Secara skematis pembagian level pada pendekatan IPMS dapat dilihat pada Gambar 11. Pada keempat level tersebut di atas selanjutnya diidentifikasi Indikator Kinerja Kunci (IKK) atau Key Performance Indicator (KPI) berdasarkan kebutuhan pemangku kepentingan, external monitor dan tujuan. Beberapa tahapan yang dilakukan dalam bangunan model IPMS adalah sebagai berikut: (Bittici dalam Suwignyo, 1999) (1) Identifikasi kebutuhan dari masing-masing stakeholder
57
(2) Membandingkan kemampuan bisnis dalam memenuhi kebutuhan stakeholder dengan bisnis lain yang sejenis (monitor eksternal) (3) Menetapkan tujuan-tujuan bisnis (4) Menentukan Indikator Kinerja Kunci (IKK) (5) Melakukan validasi IKK (6) Melakukan spesifikasi IKK
Bisnis Induk Unit Bisnis
Proses Bisnis Akltivitas
Gambar 11 Pembagian Level Bisnis berdasarkan Pendekatan IPMS (Bittici 1996)
Pendekatan Sistem Eriyatno
(2003)
menyatakan
karakteristik
permasalahan
memerlukan
pendekatan sistem, karena pemikiran sistem selalu mencari keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh. Kumpulan dan gugus bagian dapat disebut sistem apabila memenuhi syarat adanya kesatuan (unity), hubungan fungsional dan tujuan yang berguna. Pendekatan sistem adalah pendekatan terpadu yang memandang suatu obyek atau masalah yang kompleks dan bersifat anatar disiplin sebagai bagian dari sistem. Pendekatan sistem menggali elemen-elemen terpenting yang memiliki kontribusi yang signifikan terhadap tujuan sistem. Eriyatno (2007) menyatakan pemikiran kesisteman merupakan pendekatan ilmiah untuk mengkaji permasalahan yang memerlukan telaah berbagai hubungan
58
yang relevan, komplementer dan terpercaya. Para ahli sistem memberikan batasan perihal, yang solusinya sebaiknya menggunakan teori sistem yang pengkajiannya, yaitu persoalan yang memenuhi karakteristik : 1) kompleks, 2) dinamis, dan 3) probabilistik. Tiga pola pikir yang menjadi pegangan pokok ahli sistem dalam merancang berbagai solusi, yaitu : 1) sibernetik (cybernetic), artinya berorientasi pada tujuan; 2) holistik (holistic), yaitu cara pandang yang utuh terhadap kebutuhan sistem; dan 3) efektif (effetive), sehingga dapat dioperasionalkan. Waldman (2007)
menyatakan berpikir sistem lebih menekankan pada
perencana dan ahli strategi untuk fokus pada proses, interaksi dan penyebab hasil yang kurang baik, daripada mengandalkan pemain tunggal, komponen- komponen tertutup dari sistem atau hasil yang bersifat interim. Penggunaan berpikir.sistem harus mernpertimbangkan skala atau batasan. Pemikir sistem harus mempertimbangkan tiga inter: interaksi komponen didalam proses, inter-relasi proses-proses di dalam sistem dan inter-koneksi antar sistem dan lintas waktu. Para pemikir sistem mengidentifikasi beberapa karakteristik penting, seperti penstabilan, penemuan sasaran pemrograman sendiri, pemrograman yang mengikuti, antisipasitoris, perubahan lingkungan, peniruan sendiri, atau perawatan sendiri. Karakteristik ini menjadi konsekwensi dengan adanya tiga inter. Adanya karakteristik ini mengharuskan para pemikir sistem mengorganisasikan
berbagai
aspek
melalui
cara
perulangan
agar
tercipta
keseimbangan dan penguatan terhadap kerja sistem. Perbedaan kontras antara penerapan berpikir sistem dengan pendekatan linier pada umunnya adalah instruktif. Penerapan berpikir sistem untuk sistem berpikir membutuhkan dukungan yang melekat secara nyata berupa bebas keilmuan, pembelajar dan inovatif. Hal ini berarti seorang manajer harus membangun sebuah proses perubahan, bukan rencana strategis rinci. Sistem berpikir akan menolak rencana strategis dengan dua alasan. Pertama, sistem terbentuk dari beberapa orang yang harus diajak dan bersedia melakukan kerja, sebaliknya, orang-orang di dalam sistem akan berusaha mencegah adanya perubahan untuk mempertahankan status quo. Kedua, sistem berpikir berkemampuan berorganisasi sendiri, bagian-bagian saling menata dan hasil berasal dari interaksi tersebut. Jika seorang ahli strategi mencoba mengimplementasikan rencanarencananya, sistem berpikir aakan berorganisasi sendiri dengan cara melakukan perubahan terhadap proses-proses yang telah direncanakan, menata sendiri perubahan
59
yang berasal dari strukfur dan fungsi yang dirancang, dan hasil akan muncul sesuai dengan hubungan yang diinginkan. Pendekatan sistem dalam menyelesaikan masalah berarti memandang situasi masalah secara holistik. Pada saat dibicarakan tentang ide-ide sistem, atau modelmodel sistem yang dikonstruksi keluar dari ide-ide, kadangkala yang dipahami adalah mencoba memodelkan sistem dunia nyata, dalam hal ini sistem dijadikan dalam status ontologikal, Disaat yang lain, sering kali dalam konteks manajemen, penggunaan ideide sistem dan model dilakukan untuk mempelajari sesuatu dan mengklarifikasi perbedaan sudut pandang terhadap dunia nyata. Dalam hal ini, penggunaan ide-ide sistem dan model dianggap sebagai pelengkap epistemologi. Kedua prinsip ini dapat produktif sesuai dengan kondisi tertentu (Jackson 2003). Pendekatan sistem dalam manajemen rantai pasok masih sangat baru. Sebuah rantai pasok dapat dipandang sebagai sebuah sistem besar yang terdiri dari beberapa subsistem yang bersama-sama saling terkait. Vorst et al. (2000) mengadopsi pendapat bahwa organisasi terdiri dari sistem yang dikelola (managed system), pengelolaan sistem (managing system) dan sistem informasi. Sistem yang dikelola adalah proses transformasi primer. Sistem informasi bekerja untuk mendaftarkan data internal dan eksternal untuk dikonversi menjadi informasi kontrol. Pengelolaan sistem bertujuan merealisasi keluaran sistem dengan penyesuaian variabel kontrol terkadang mendapatkan masukan-masukan yang tak terkelola berupa variabel tidak beraturan seperti permintaan, pemogokan, pekerja yang sakit dan sebagainya. Gambar 12 menunjukkan hubungan tiga aspek dalam organisasi dengan rantai pasok. Barut Mehmet et al. (2002) dalam penelitiannya menyatakan bahwa
pentingnya
sistem aliran informasi suatu perusahaan dalam rantai pasok yang meliputi informasi tentang permintaan, kapasitas, persediaan, dan penjadwalan, yang dapat terukur. Pendekatan kesisteman mengutamakan kajian struktur sistem baik yang bersifat penjelasan maupun sebagai pendukung bagi penyelesaian persoalan. Kajian sistem dimulai dengan identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhan sehingga dapat dihasilkan suatu operasi dari sistem.
60
Masukan
Lingkungan
Kontrol informasi
Pengelolaan sistem
Data eksternal
Pengelolaan sistem Data internal
Kontrol aksi Sistem terkelola Variabel tak teratur
Hasil/keluaran
Manajemen rantai pasok
Pengelolaan sistem
Unit rantai pasok
Unit rantai pasok
Kontrol informasi
Kontrol informasi Pengelolaan sistem
Kontrol aksi
Data internal
Pengelolaan sistem Kontrol aksi
Sistem terkelola Variabel tak teratur
Pengelolaan sistem Data internal
Sistem terkelola Hasil/keluaran
Variabel tak teratur
Hasil/keluaran
Gambar 12 Cara pandang sistem terhadap rantai pasok (Vorst et al. 2002)
Sistem Desain Blanchard (2004) menyatakan bahwa usaha-usaha efektif dalam aplikasi ilmu pengetahuan dan engineering adalah mentransformasikan suatu kebutuhan operasi menjadi suatu konfigurasi sistem tertentu melalui definisi iteratif keperluan proses dari atas ke bawah, analisis fungsional, sintesis, desain, test, dan evaluasi. Oleh karena itu sains dari sistem desain disebut juga systems engineering. Yang menjadi dasar sistem desain adalah menentukan tujuan, identifikasi kebutuhan, mendapatkan solusi terbaik, dan kemudian evaluasi keefektifan dari solusi untuk mencapai tujuan. Tujuan dari pengembangan beberapa sistem adalah untuk mencapai suatu konfigurasi sistem yang optimum. Optimisasi dapat diperoleh dari kombinasi terbaik dari desain sistem dan parameter-parameter operasi (nilai-nilai
61
variabel keputusan) yaitu ukuran minimisasi atau maksimasi kinerja. Misal optimisasi tujuan dapat meminimasi biaya atau maksimasi produktivitas. Informasi terintegrasi dengan pendekatan desain sangat penting untuk menghindari kerugian dalam siklus generasi product knowledge dan juga memecahkan konsistensi pengetahuan dan masalah-masalah yang melekat pada desain yang ada dan metodologi manufaktur. Untuk itu dapat digunakan Decision Support System (DSS). Teknik-teknik yang digunakan adalah kecerdasan buatan (artificial intelligence) (William B. Rouse dan Kenneth R. Boff 1987).
Sistem Penunjang Keputusan Pendekatan sistem dalam pengambilan keputusan dikenal sebagai Sistem Penunjang Keputusan (SPK) atau Decision Support System (DSS). Millet dan Mawchinney CH (1992) menyatakan bahwa SPK mempunyai fokus pada masalah keputusan spesifik ataupun kumpulan masalah-masalah yang saling berhubungan. Turban (1995) menyatakan pengertian SPK adalah sistem informasi berbasis komputer yang interaktif, fleksibel dan dapat beradaptasi (adaptable), terutama dikembangkan untuk mendukung pemecahan masalah manajemen khusus dalam pengambilan keputusan yang lebih baik. SPK menggunakan data, menyediakan user interface yang mudah, dan membantu pengambil keputusan menggunakan pengetahuannya. SPK juga menggunakan model, dibuat dengan proses iteratif, mendukung seluruh fase pembuatan keputusan, dan memasukkan basis pengetahuan. Sprague dan Watson HJ (1996) mendefinisikan SPK sebagai suatu sistem yang berbasis komputer, membantu dalam membuat keputusan, berhubungan dengan problem yang tidak terstruktur, interaksi langsung dengan data dan analisis model. Masing-masing bagian dari definisi merupakan kunci konsep yang mempunyai kontribusi unik sebagai bagian dari sistem penunjang keputusan. Eriyatno (2003) menyatakan bahwa proses rancang bangun SPK berorientasi pada keputusan yang bersifat partisipatif. Hal ini erat kaitannya dengan aplikasi ilmu system untuk perencanaan dan pengendalian program yang membutuhkan partisipasi anggotanya. Gambar 13 menunjukkan kaitan dan struktur pendekatan sistem terhadap penunjang keputusan.
62
Kriteria keputusan suatu sistem harus bersifat lengkap (mencakup seluruh aspek penting dalam persoalan), operasional (dapat digunakan dalam praktek), tidak berlebihan (dapat menghindarkan perhitungan berulang) dan minimum (dengan tujuan agar lebih mudah meninjau seara komprehensif persoalan). Hal ini merupakan salah satu karakteristik SPK yang dapat mendukung proses pengambilan keputusan terutama keputusan yang bersifat semi struktural.
Direktif
fbi
Strategi s
ffi
Taktis Operasional
Gambar 13 Struktur pendekatan sistem pada proses pengambilan keputusan (Eriyatno, 1998) Keterangan: fbi = Informasi umpan balik (feed back) ffi = Informasi umpan kedepan (feed forward) Marimin (2008) menyatakan bahwa landasan utama dalam pengembangan SPK untuk model manajemen adalah konsepsi model. Konsepsi model ini diperlukan untuk menggambarkan secara abstrak tiga komponen utama system penunjang keputusan, yaitu: 1) pengambil keputusan atau pengguna, 2) model, dan 3) data. Struktur SPK terdiri dari: 1) Manajemen basis data, mencakup data yang relevan untuk situasi yang dihadapi dan dikelola oleh data base management systems (DBMS). Pada komponen ini data dapat ditambah, dihapus, diganti atau disunting agar tetap relevan jika hendak dibutuhkan; 2) Manajemen basis model, merupakan paket software yang terdiri dari finansial, statistik, manajemen pengetahuan, atau model-model kuantitatif lain yang menyediakan kapabilitas analitis sistem, dan manajemen software yang sesuai; 3) Sistem komunikasi atau manajemen dialog, merupakan sub-sistem yang disiapkan untuk berkomunikasi user interface sehingga tugas utama manajemen dialog adalah menerima masukan dan memberikan keluaran yang dikehendaki oleh pengguna; dan 4) Manajemen pengetahuan (knowledge
63
management) merupakan sistem pengolahan terpusat untuk melakukan fungsi koordinasi dan pengendali dari operasi SPK secara menyeluruh. sistem ini menerima masukan dari ketiga sub-sistem lainnya dalam bentuk yang baku pula. Manajemen terpusat atau manajemen pengendali merupakan sub-sistem optional yang dapat menunjang setiap sub-sistem lain atau bertindak sebagai suatu komponen independent. Struktur dasar SPK dapat dilihat pada Gambar 14. Eriyatno (2007) menyatakan SPK didefinisikan sebagai suatu sistem berbasis komputer yang mendukung manajemen pengambilan keputusan yang berhubungan dengan permasalahan yang semi terstruktur. Karakteristik pokok yang melandasi SPK adalah 1) interaksi langsung antara komputer dengan pengambil keputusan, 2) dukungan menyeluruh (holistik) dan keputusan tahap berganda, 3) suatu sintesa dari konsep yang diambil dari berbagai bidang, antara lain ilmu komputer, psikologi, intelegensia buatan, ilmu sistem, dan ilmu manajemen, dan 4) kemampuan adaptif terhadap perubahan kondisi dan kemampuan berevolusi menuju sistem yang lebih bermanfaat.
Data
Model
Sistem Manajemen Basis Data (DBMS)
Sistem Manajemen Basis Model (SMBM)
Sistem Pengolahan Problematik
Sistem Pengolahan Dialog
Pengguna
Gambar 14. Struktur dasar SPK (Turban 1995) Eriyatno (2007) menyatakan SPK didefinisikan sebagai suatu sistem berbasis komputer yang mendukung manajemen pengambilan keputusan yang berhubungan dengan permasalahan yang semi terstruktur. Karakteristik pokok yang melandasi SPK adalah 1) interaksi langsung antara komputer dengan pengambil keputusan, 2) dukungan menyeluruh (holistik) dan keputusan tahap berganda, 3) suatu sintesa dari
64
konsep yang diambil dari berbagai bidang, antara lain ilmu komputer, psikologi, intelegensia buatan, ilmu sistem, dan ilmu manajemen, dan 4) kemampuan adaptif terhadap perubahan kondisi dan kemampuan berevolusi menuju sistem yang lebih bermanfaat.
Tinjauan Penelitian Terdahulu Ada beberapa penelitian yang mendasari penelitian ini yaitu ranah penelitian pemberdayaan agroindustri di pedesaan, ranah penelitian minyak atsiri dan ranah penelitian rantai pasok. Tabel 1 menunjukkan beberapa penelitian terdahulu yang mendasari penelitian ini. Tabel 1 Daftar penelitian terdahulu No 1
2
3
Peneliti
Penelitian
Syahza Almasdi Penelitian tentang kebijakan strategis (2006) untuk memperbesar atau mempercepat pertumbuhan sektor pertanian, khususnya peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat pedesaan. Faktor pendukung pembangunan ekonomi pedesaan, antara lain peran perguruan tinggi, pengusaha, lembaga perkreditan, pengusaha tani (petani), instansi terkait, dan koperasi sebagai badan usaha Subejo dan Penelitian tentang paradigma baru Supriyanto pendekatan pembangunan agroindustri (2004) dengan keberpihakan pada masyarakat pedesaan serta memaknai pemberdayaan masyarakat sebagai upaya yang disengaja untuk memfasilitasi masyarakat lokal dalam merencanakan, memutuskan, dan mengelola sumberdaya lokal yang dimiliki melalui collective action dan networking Xiao Fang DU Penelitian tentang aplikasi keberhasilan et al. (2009) dalam industri pertanian dalam pertumbuhan penjualan, mengurangi persediaan, perbaikan ketelitian peramalan, mereduksi kerugian, dan mereduksi atau mengeliminasi ketidak efisienan dalam rantai pasok, dengan pendekatan CPFR
Metode Rapid Rural Apraisal (RRA)
Rapid Rural Apraisal (RRA)
CPFR
65
Tabel 1 Daftar penelitian terdahulu (lanjutan) 4
Machfud (2001)
5
Halim Mahfud (2004)
6
Kannan V.R. et al. (2010)
7
Indrawanto Chandra (2007)
8
Priyono A.(2006)
9
Yuhono J.T dan Shinta S (2007)
10
Sarifudin (2009)
A.
Penelitian tentang oerencanaan sistem pengembangan agroindustri minyak atsiri dan merekayasa sistem manajemen ahli Penelitian tentang pengembangan agroindustri minyak atsiri dengan pendekatan klaster. Penelitian yang menyatakan bahwa perusahaan dengan rentang integrasi luas akan lebih focus pada keselarasan dengan pemasok dan pelanggan serta rantai pasok dibandingkan dengan rentang integrasi yang sempit Penelitian tentang evaluasi kelayakan pembiayaan agroindustri minyak atsiri dengan pola syariah dimana sumber pembiayaan yang dapat digunakan untuk pengembangan agroindustri minyak atsiri adalah pembiayaan dari lembaga keuangan syariah dengan pola musyarakah berdasarkan skema bagi hasil dan bagi resiko Penelitian tentang besarnya marjin pemasaran nilam untuk saluran (petani, tengkulak sampai penyuling) Penelitian tentang upaya meningkatkan rendemen dan mutu minyak nilam melalui perbaikan teknologi budidaya; penanganan pasca panen; penggunaan alat suling; serta kebijakan di bidang sosial ekonomi yaitu dengan pembekuan dan pencabutan ijin industri/perdagangan atau eksportir untuk mencegah terjadinya pemalsuan kualitas minyak. Penelitian tentang perbaikan dan penataan dalam proses budidaya dan pengolahan minyak nilam secara tepat untuk mendapatkan kualitas yang baik sehingga dapat meningkatkan nilai jual dan perolehan keuntungan secara ekonomis oleh para petani nilam di daerah dan agroindustri skala kecil guna meningkatkan kesejahteraannya.
Teknik Fuzzylogic, ISM ISM
Analisis klaster
Sistem hasil
bagi
Analisis biaya
Teknologi proses
Teknologi budidaya
66
METODOLOGI PENELITIAN Penelitian perancangan model pemberdayaan masyarakat perdesaan dalam klaster agroindustri minyak atsiri dilakukan berdasarkan sebuah kerangka berpikir logis. Gambaran kerangka pemikiran dan detail tahapannya akan diuraikan pada bagian ini.
Kerangka Pemikiran Agroindustri minyak atsiri merupakan suatu kelembagaan usaha yang dalam implementasinya terdiri dari beberapa kegiatan, mulai dari pengadaan bahan baku, produksi, distribusi dan pemasaran. Kegiatan tersebut saling berkaitan dalam rangka mencapai tujuan akhir. Membangun agroindustri yang tangguh dan berdaya saing tinggi seharusnya dimulai dengan membangun sistem jaringan rantai pasok yang tangguh dan saling menguntungkan serta bersinergi dengan rencana pembangunan pemerintah
(Harris 2004). Pemberdayaan masyarakat perdesaan dalam klaster
agroindustri minyak atsiri seharusnya diletakkan dan diorientasikan searah dan selangkah
dengan
paradigma
baru
pendekatan
pembangunan.
Paradigma
pembangunan lama yang bersifat top-down perlu direorientasikan menuju pendekatan bottom-up yang menempatkan masyarakat atau petani di perdesaan sebagai pusat pembangunan. Pada penelitian ini definisi klaster agroindustri minyak nilam adalah kelompok yang terdiri dari usahatani, industri kecil penyulingan/usaha lepas panen, pedagang/pengumpul, industri penyulingan/eksportir dan industri pendukung. Klaster agroindustri minyak nilam ini terkait baik secara horisontal maupun vertikal dan institusi pendukung lainnya yang saling berinteraksi untuk menciptakan nilai tambah baik secara individu maupun bersama-sama (Roelandt & den Hertog 1999; Porter 1998; Wirabrata 2003). Pada klaster agroindustri minyak atsiri belum ada sinergi antara industri penyulingan dan eksportir, usaha lepas panen dan usahatani. Proses bisnis dalam jaringan klaster agroindustri minyak atsiri, harga ditentukan oleh mekanisme pasar dan industri besar dengan modal lebih kuat. Fluktuasi harga terjadi akibat adanya ketidakpastian harga pasar, kualitas produk dan kemampuan pasokan. Ketidakpastian harga mengakibatkan ketidak pastian tingkat keuntungan yang diperoleh pelaku dalam jaringan rantai pasok. Harga minyak nilam murni yang berfluktuasi ditetapkan
67
berdasarkan mekanisme pasar internasional. Harga minyak nilam kasar yang berfluktuasi ditetapkan oleh industri penyuling dan eksportir yang ditetapkan berdasarkan perubahan harga minyak nilam murni dan permintaan minyak nilam kasar. Harga nilam kering yang berfluktuasi ditetapkan oleh usaha lepas panen berdasarkan perubahan harga minyak nilam kasar dan permintaan nilam kering. Gambar 15 menunjukkan kerangka dasar pemikiran penelitian.
Usaha Tani
Industri Penyulingan Kecil & Menengah
Industri Penyulingan / Eksportir
Pasokan Nilam Kering
Pasokan Nilam Kering
Pasokan Minyak Nilam Kasar
Permintaan Nilam Kering
Penyulingan
Penyulingan
Permintaan Minyak Nilam Kasar
Permintaan Minyak Nilam Murni
Eksportir / Pedagang
Harga Jual Nilam Kering
Harga Jual Minyak Nilam Kasar
Harga Jual Minyak Nilam Murni
Kesepakatan Harga
Pemberdayaan masyarakat
Gambar 15 Kerangka dasar pemikiran penelitian Perancangan sistem
penunjang keputusan ini
dilakukan berdasarkan
keberlanjutan dan kelancaran pasokan nilam dan minyak nilam yang erat hubungannya dengan harga jual nilam kering, harga jual minyak nilam kasar dan harga jual minyak nilam murni. pendapatan yang diperoleh para pelaku usahatani dan usaha lepas panen. Bila pelaku usahatani dan usaha lepas panen dapat memperoleh pendapatan yang layak maka diharapkan ada peningkatan kesejahteran para pelaku usaha yang menjadi salah satu tujuan pemberdayaan masyarakat perdesaan.
68
Pemodelan Sistem Pemodelan menggambarkan
sistem
adalah
karakteristik
pembentukan
sistem
dalam
rangkaian format
logika
matematis
untuk ataupun
quasimatematis. Beberapa tahapan dalam pemodelan sistem adalah (1) Tahap seleksi konsep, (2) Tahap rekayasa model yaitu menetapkan jenis model yang akan diterapkan yang kemudian mengarah pada pengembangan model yang terarah dan realistik dengan alternative pendekatan kotak gelap dan struktur, (3) Tahap implementasi komputer, pemakaian komputer sebagai pengolah data dan penyimpan data tidak dapat diabaikan dalam pendekatan sistem. Pada tahap implementasi komputer, model abstrak diwujudkan pada berbagai bentuk persamaaan, diagram alir dan diagram blok, (4) Tahap validasi untuk jaminan keakuratan model, (5) Analisis sensitivitas, dengan tujuan utama untuk menentukan peubah keputusan mana yang cukup penting untuk ditelaah lebih lanjut pada aplikasi model, (6) Analisis stabilitas, analisis untuk identifikasi batas kestabilan dari sistem yang diperlukan agar parameter tidak diberi nilai yang bisa mengarah pada perilaku tidak stabil apabila terjadi perubahan struktur dan lingkungan sistem, dan (7) Aplikasi model, proses ini dapat merupakan indikasi akan kebutuhan untuk pengulangan kembali proses analisis sistem dan pemodelan sistem (Eriyatno 2000). Sistem klaster agroindustri minyak atsiri dari hulu hingga hilir diwarnai dengan permasalahan yang kompleks dan dinamis. Permasalahan tersebut terjadi karena adanya interaksi antar unsur-unsur dalam klaster agroindustri minyak atsiri yaitu
para pelaku usaha tani, usaha lepas panen termasuk yang dilakukan oleh
pedagang/pengumpul, serta industri penyulingan (industri pengolahan lanjut) yang dapat berfungsi juga sebagai eksportir serta lingkungan sistem. Pada perancangan pemberdayaan masyarakat perdesaan dalam klaster agroindustri minyak atsiri ini dilakukan pendekatan sistem untuk mengetahui adanya peningkatan nilai tambah dalam rantai nilai yang terdapat pada klaster agroindustri minyak atsiri. Teknologi produksi nilam dari usahatani masih sangat sederhana dan biasanya mengandalkan cahaya matahari dalam proses pengeringannya. Hal ini menyebabkan kualitas nilam kering beragam. Keragaman kualitas nilam kering sebagai bahan baku penyulingan minyak nilam kasar mengakibatkan beragamnya kualitas minyak nilam
69
kasar. Hal ini akan menyebabkan kurangnya pasokan bahan baku bagi usaha lepas panen yang berakibat tersendatnya produksi, sehingga banyak permintaan yang tidak terpenuhi dan mengancam kelangsungan usahatani. Teknologi pengolahan minyak nilam dari usaha lepas panen masih sangat sederhana yang dapat mengakibatkan beragamnya kualitas minyak nilam kasar yang dihasilkan. Hal ini akan menyebabkan kurangnya pasokan bahan baku bagi industri penyuling dan eksportir. Usahatani dan usaha lepas panen menghadapi kendala seperti pada industri kecil lainnya yaitu kurangnya pengetahuan yang dimiliki dan permodalan. Kerangka pemikiran penelitian dirumuskan berdasarkan keberlanjutan dan kelancaran pasokan nilam dan minyak nilam yang erat hubungannya dengan pendapatan yang diperoleh para pelaku usaha tani dan usaha lepas panen. Gambar16 menunujukkan skematis kerangka pemikiran dalam penelitian ini. Mulai
Iklim Usaha Agroindustri
Analisa Situasional
Kebijakan Pemerintah Pusat dan Daerah
Sistem Manajemen Klaster
Analisa Sistem Klaster
Identifikasi Rantai Nilai yang Meningkatkan Nilai Tambah
Penyusunan Skenario Permintaan dan Persediaan Rantai Pasok
Sistem Pendukung Keputusan
Analisa Kebutuhan Stakeholder Model Kelembagaan Analisa Kelayakan Usaha
- Model Kelayakan Usaha - Model Kesepakatan Harga - Model Kinerja
Model Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan dalam KlasterAgroindustri Minyak Atsiri
Verifikasi Model
Selesai
Gambar 16 Kerangka pemikiran penelitian
70
Keberlanjutan klaster agroindustri minyak atsiri ditentukan oleh komitmen pelaku klaster dan juga oleh kemampuan klaster dalam mengelola kinerjanya. Rantai pasok nilam dari mulai usaha tani sampai pasokan minyak nilam kasar dari usaha lepas panen harus berlanjut dan berjalan lancar. Keberlanjutan dan kelancaran pasokan erat hubungannya dengan pendapatan yang diperoleh para pelaku usaha tani dan usaha lepas panen. Harga jual nilam dan minyak nilam kasar yang naik turun menyebabkan ketidakpastian tingkat keuntungan yang diperoleh. Oleh karena itu perlu dilakukan analisa kelayakan usaha tani dan usaha lepas panen untuk mengetahui layak atau tidaknya usaha tersebut dijalankan.Usaha tani dan usaha lepas panen yang layak akan memberikan tingkat keuntungan yang memadai bagi para pelaku usaha dan dapat meningkatkan pendapatan para pelaku usaha tani dan usaha lepas panen. Harga minyak nilam murni bervariatif karena dipengaruhi oleh harga minyak nilam murni di pasar internasional. Harga minyak nilam murni berpengaruh terhadap harga jual minyak nilam kasar dan harga jual nilam kering. Dengan rendahnya harga jual minyak nilam kasar dan harga jual nilam, maka pendapatan para pelaku usahatani dan usaha lepas panen juga menjadi rendah. Hal ini akan mempengaruhi perekonomian
di
perdesaan.
Oleh
karena
itu
diperlukan
adanya
keseimbangan/kesepakatan harga antara harga jual nilam dan harga jual minyak nilam kasar. Kinerja dari usahatani dan usaha lepas panen akan berpengaruh terhadap kesepakatan harga jual. Dengan demikian perlu dilakukan perancangan pengukuran kinerja usahatani dan usaha lepas panen. Untuk menghasilkan pengukuran kinerja usahatani dan usaha lepas panen, perlu dirancang indikator kinerja dan indikator kinerja kunci dari usahatani dan usaha lepas panen. Jika kinerja dari usahatani dan usaha lepas panen memuaskan, maka didesain kelembagaan yang berfungsi untuk memonitor kesepakatan harga yang dihasilkan serta membantu peningkatan kinerja usahatani dan usaha lepas panen.
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di industri kecil penyulingan dan usahatani di (1) enam kecamatan yang berada pada Kabupaten Kuningan, yaitu Kecamatan
71
Cibeureum, Cibingbin, Karangkancana, Ciwaru, Lebakwangi dan Garawangi, (2) satu kecamatan yang berada pada Kabupaten Brebes, yaitu kecamatan Sindangheula. Lokasi ini dipilih sebagai lokasi penelitian karena memiliki banyak budidaya tanaman nilam dan beberapa industri kecil penyulingan dengan kualitas produk yang bagus. Observasi lapangan dilaksanakan pada November 2010 sampai Juli 2011 untuk mendapatkan data dan informasi yang dibutuhkan. Pengembangan model, analisis data dan kegiatan penelitian yang lain dilakukan secara simultan dengan melengkapi data yang dibutuhkan.
Metoda Penelitian Penelitian ini menggunakan berbagai teknik dan teori untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kelayakan usahatani dan industri kecil penyulingan dilakukan berdasarkan studi pustaka dan wawancara mendalam dengan melalui kusioner sehingga dapat digambarkan analisa situasional serta sistem rantai pasoknya.. Analisis kelayakan usaha dilakukan dengan metode analisis finansial. Hasil kelayakan usaha ini akan menjadi masukan pada penentuan optimasi kesepakatan harga jual. Penentuan optimasi kesepakatan harga jual dilakukan dengan metode optimasi kesepakatan harga. Keseimbangan harga jual nilam ditentukan berdasarkan kesepakatan harga antara harga jual nilam dari petani dengan harga beli nilam oleh industri kecil penyulingan.
Keseimbangan harga jual minyak nilam ditentukan
berdasarkan kesepakatan harga antara harga jual minyak nilam dari industri kecil penyulingan dengan harga beli minyak nilam oleh industri penyulingan/elsportir. Pengukuran kinerja usahatani dan industri kecil penyulingan menggunakan metode Integrated Performance Measurement System (IPMS). Pengukuran kinerja ini dilakukan berdasarkan identifikasi indikator kinerja. Identifikasi indikator kinerja usahatani dan industri kecil penyulingan dilakukan dengan melakukan penilaian kinerja usahatani dan industri kecil penyulingan berdasarkan pendapat pakar melalui Focus Group Discussion (FGD). Pakar yang dipilih adalah pada bidang keahlian teknologi budidaya tanaman atsiri, teknologi pengolahan, ekonomi dan kelembagaan. Ahli tersebut berasal dari Perguruan Tinggi dan Dinas terkait. Identifikasi indikator
72
kinerja ini dilakukan dengan pembobotan preferensi pakar. Preferensi pakar diakuisisi melaui pengisian kuesioner perbandingan berpasangan (pairwise comparison). Hasil dari identifikasi indikator kinerja berupa bobot pengaruh variabel terhadap indikator kinerja kunci dari pengukuran kinerja. Untuk menentukan indikator kinerja kunci digunakan Proses Hirarki Analitik (PHA). Perancangan kelembagaan dari klaster agroindustri minyak atsiri berdasarkan akuisisi pendapat pakar melalui FGD. Data dan informasi yang dikumpulkan, dianalisa dan diolah sesuai dengan kebutuhan aplikasi model yang dikembangkan dalam rangka strukturisasi sistem pengembangan ISM (Interpretive Structural Model). Verifikasi model dilakukan untuk mendapatkan keyakinan bahwa semua elemen sistem nyata dalam cakupan penelitian sudah terwakili dalam model. Verifikasi dilakukan dengan logika konseptual. Proses verifikasi ini menggunakan teknik face validity yaitu pemangku kepentingan melakukan evaluasi dan penelusuran secara menyeluruh terhadap logika konseptual dan kesesuaian keluaran model dengan sistem nyata.
Metoda Pengumpulan Data Pengumpulan data dan akuisisi pengetahuan dilakukan atas dasar kebutuhan system. Studi pustaka dilakukan untuk memperoleh informasi tentang rantai pasok minyak nilam, klaster agroindustri minyak atsiri, budidaya tanaman nilam, produksi nilam, harga nilam, teknik pengolahan tanaman nilam menjadi minyak nilam, potensi industri kecil penyulingan, dan harga minyak nilam. Data sekunder ini dikumpulkan dari laporan, publikasi, buku yang dikeluarkan oleh lembaga yang terkait seperti BPS, Dinas Pertanian, Perdagangan, dan Lembaga Riset lainnya. Sedangkan data primer dikumpulkan dari survey lapang di usahatani dan industri kecil penyulingan dan wawancara pakar, baik secara langsung maupun melalui kuesioner. Proses akuisisi pengetahuan dan proses pembobotan dilakukan melalui forum FGD.
73
Tahapan Penelitian Pelaksanaan penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu (Gambar 17): 1. Mempelajari klaster agroindustri minyak atsiri dan rantai pasok agroindustri minyak nilam melalui diskusi dengan pemilik industri kecil penyulingan, usahatani dan beberapa pakar terkait dengan agroindustri minyak nilam 2. Untuk lebih memahami proses bisnis, proses penyulingan minyak nilam dan budidaya tanaman nilam dilakukan melalui studi pustaka. Sumber pustaka diambil dari buku-buku dan penelitian terdahulu yang terkait dengan budidaya dan bisnis minyak nilam serta teknologi proses dan sistem tata niaga minyak nilam 3. Menentukan sistem manajemen klaster agroindustri minyak nilam melalui wawancara dengan pemilik industri kecil penyulingan dan usahatani serta mengidentifikasi rantai nilai yang dapat meningkatkan nilai tambah dalam rantai pasok agroindustri minyak nilam 4. Menganalisis kebutuhan pemangku kepentingan (stakeholder) melalui analisis kelayakan usahatani dan analisis industri kecil penyulingan. Dari analisis kelayakan usaha dapat diketahui apakah usahatani maupun industri kecil penyulinyan dapat dilaksanakan. Pengolahan data dilakukan dengan software Microsoft Office Excel 2007 untuk menghitung analisis biaya 5. Menentukan optimasi kesepakatan harga jual nilam berdasarkan harga jual nilam dari usahatani dan harga beli nilam oleh industri kecil penyulingan. Optimasi kesepakatan harga jual minyak nilam berdasarkan harga jual minyak nilam dari industri kecil penyulingan dan harga beli minyak nilam oleh industri penyulingan/eksportir.
Untuk
menentukan
optimasi
kesepakatan
harga
menggunakan teori optimasi Fibonacci dan program OPTSYS 6. Menentukan indikator kinerja usahatani dan industri kecil penyulingan dengan melakukan pembobotan preferensi pakar/stakeholder. Alat pengambilan data adalah kuesioner perbandingan berpasangan yang diberikan kepada responden yang kompeten dalam agroindustri minyak nilam. Untuk menentukan nilai bobot
74
kriteria dan sub-kriteria indikator kinerja dilakukan dengan perbandingan berpasangan dan PHA (Proses Hirarki Analitik) 7. Akuisisi pengetahuan pakar untuk menyusun strukturisasi sistem kelembagaan klaster agroindustri minyak nilam menggunakan metode ISM (Interpretive Structural Modeling) 8. Melakukan verifikasi model untuk mendapatkan keyakinan bahwa model mampu bekerja sesuai dengan kebutuhan pengambil kebijakan.
75
Studi Pendahuluan
Tinjauan Pustaka Klaster Agroindustri Minyak Atsiri Pemberdayaan Agroindustri Perdesaan Rantai Pasok dan Rantai Nilai Pendekatan sistem Sistem Desain Sistem Pengukuran Kinerja Metode dan model yang mendukung
Sistem Manajemen Klaster
Identifikasi rantai nilai yang dapat meningkatkan nilai tambah
Pengolahan Data
Analisis kebutuhan stakeholder
Analisis Kelayakan Usaha Tani
Analisis Kelayakan Usaha Industri Kecil Penyulingan
Analisis Biaya Usaha Tani
Analisis Biaya Industri Kecil Penyulingan
Usaha Tani layak?
Tidak
Tidak
IK Penyulingan layak?
Ya
Harga Jual Nilam
Ya
Optimasi Kesepakatan Harga Jual dan Harga Beli Nilam
Harga Jual Minyak Nilam
Harga Nilam
Alternatif Kriteria, sub kriteria dan indikator kinerja kunci Usaha Tani
Alternatif kriteria, sub kriteria dan indikator kinerja kunci IK Penyulingan
Pembobotan kriteria dan sub kriteria kinerja Usaha Tani
Pembobotan indikator kinerja kunci Usaha Tani
Pembobotan kriteria dan sub kriteria kinerja Usaha Tani
Pembobotan indikator kinerja kunci IK Penyulingan
Penetapan kriteria dan sub kriteria Usaha Tani terpilih
Penetapan indikator kinerja kunci Usaha Tani terpilih
Penetapan kriteria dan sub kriteria IK Penyulingan terpilih
Penetapan indikator kinerja kunci IK Penyulingan terpilih
Penentuan target capaian nilai indikator kinerja kunci Usaha Tani
Penentuan target capaian nilai indikator kinerja kunci IK Penyulingan
Gambar 17 Diagram alir tata laksana penelitian agroindustri minyak nilam di perdesaan
76
PEMODELAN SISTEM
Pendekatan Sistem Analisis Sistem Sistem Rantai Pasok Agroindustri Minyak Nilam secara garis besar terdiri dari 3 (tiga) level pelaku utama, yaitu: (1) usahatani
nilam, (2) industri kecil
penyulingan/usaha lepas panen, dan (3) industri penyuling/eksportir. Disamping itu ada juga pedagang/ pengumpul nilam dan pedagang/pengumpul minyak nilam. Usahatani nilam terdiri dari petani nilam dan pedagang/ pengumpul nilam; industri kecil penyulingan terdiri dari petani-penyuling minyak nilam kasar dan pedagang/ pengumpul minyak nilam kasar. Pedagang/ pengumpul nilam terdiri dari pedagang/ pengumpul tingkat dusun dan tingkat desa. Pedagang/ pengumpul minyak nilam terdiri dari pedagang / pengumpul tingkat kecamatan dan pedagang/ pengumpul besar. Sedangkan dalam industri penyulingan minyak nilam besar termasuk juga eksportir besar. Berdasarkan penelitian lapang, jumlah total petani nilam 41 orang yang terbagi menjadi enam kelompok usahatani, pedagang/pengumpul 20 orang dan industri kecil penyulingan 4 pengusaha. Seluruh kegiatan mata rantai tersebut saling terkait erat satu sama lain dan saling mempengaruhi. Dalam seluruh aktivitasnya terdapat interaksi yang sangat kuat dari masing-masing pemangku kepentingan (stakeholder), baik yang terkait secara langsung maupun dari aktivitas-aktivitas yang berasal dari usaha berbasis nilam. Gambar 18 menunjukkan rantai pasok usaha minyak nilam. Usahatani Nilam Tanaman nilam (Pogostemon cablin, Benth) dapat tumbuh dan berkembang di dataran rendah sampai tinggi. Menurut Guenther E. (2006), nilam dapat ditanam sampai pada ketinggian 1 200 m dpl. Akan tetapi nilam akan tumbuh dengan baik pada ketinggian antara 50 – 400 m dpl. Tanaman ini menghendaki suhu yang panas dan lembab, serta membutuhkan curah hujan yang merata sepanjang tahun. Curah hujan yang diperlukan bagi pertumbuhan tanaman nilam berkisar antara 2 000 – 2 500 mm/tahun, suhu optimum 24 – 28oC dengan kelembaban lebih dari 75 %.
77
Pemasok
USAHA TANI
Benih Petani
USAHA LEPAS PANEN PEDESAAN
Petani Penyuling
Industri Kecil Penyulingan
Industri Penyulingan/ Eksportir Besar
End User
Pupuk Alat Peralatan
PEDAGANG / PENGUMPUL NILAM KERING Pedagang/ Pengumpul Tingkat Dusun
Pedagang/ Pengumpul Tingkat Desa
PEDAGANG / PENGUMPUL MINYAK NILAM Pedagang/ Pengumpul Tingkat Kecamatan
Pedagang/ Pengumpul Besar
Gambar 18 Rantai pasok agroindustri minyak nilam Daun nilam merupakan bagian dari tanaman nilam yang paling berharga, karena minyak nilam yang baik berasal dari daun. Daun nilam dari jenis tanaman nilam (Pogostemon cablin, Benth) ini agak membulat seperti jantung, di bagian bawah daun terdapat bulu-bulu rambut sehingga warnanya nampak pucat. Nilam jenis ini tidak atau jarang sekali berbunga. Kadar minyaknya tinggi sekitar 2.5 – 5 % dan komposisi minyaknya bagus. Nilam yang berbunga ini menjadi indikator bahwa nilam tersebut tidak layak dikembangkan, karena kadar minyaknya rendah dan komposisi minyaknya juga jelek. Pada dasarnya, seluruh bagian tanaman nilam seperti akar, batang, tangkai atau cabang maupun daunnya mengandung minyak nilam, namun kualitas kandungannya berlainan (Gambar 19). Akar nilam mengandung minyak dengan mutu yang terbaik, tetapi kandungan minyaknya hanya sedikit. Kandungan minyak yang terbanyak terdapat pada daun nilam. Waktu, umur dan cara pemanenan daun nilam sangat berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas minyak yang dihasilkan.
78
Gambar 19 Tanaman nilam Daun nilam yang berkualitas baik adalah jika daun-daun nilam bagian bawah telah menguning. Panen pertama dilakukan 7–9 bulan setelah tanam, dan panen beikutnya dapat dilakukan pada setiap 3-4 bulan sekali, hingga umur produktif selama 3 tahun. Waktu pemanenan nilam harus dilakukan pada pagi atau sore hari, untuk menghindari berkurangnya jumlah minyak yang dihasilkan. Dengan bertambahnya umur tanaman nilam, daun nilam yang dihasilkan juga akan semakin berkurang, sehingga produksinyapun akan berkurang. Produksi tertinggi dicapai setelah tanaman berumur satu tahun, yakni 7-10 ton daun kering/ha/tahun, dan selanjutnya cenderung lebih rendah. Produksi nilam sangat tergantung pada musim. Pemanenan daun nilam diawali dengan memotong daun nilam menggunakan ani-ani atau sabit. Pemanenan dengan menggunakan ani-ani dapat memakan waktu
79
lama dan memerlukan tenaga kerja lebih banyak dibandingkan dengan menggunakan sabit. Namun kelebihannya, kadar minyak yang dihasilkan tinggi, karena tiga pasang daun termuda akan menghasilkan minyak lebih tinggi. Kemudian daun nilam yang telah dipanen dipotong-potong / dirajang sepanjang 2-3 cm sebelum dikeringkan. Hasil panen daun nilam dari kebun, atau hasil yang telah dirajang, kemudian dijemur di bawah sinar matahari. Lama penjemuran kira-kira 5 jam, atau sampai daun menjadi layu. Selanjutnya, daun-daun yang telah layu tersebut diangin-anginkan di atas rak-rak bambu di tempat teduh dan dibolak-balik sebanyak 2-3 kali dalam seharinya. Pengeringan dapat dihentikan setelah timbul bau nilam yang keras dan khas dibandingkan dengan daun segarnya. Lama pengeringan membutuhkan waktu 3-4 hari. Hasil panen daun nilam kering ini diangkut ke pedagang/pengumpul nilam kering dengan dipikul. Harga jual daun nilam kering dari petani berkisar Rp.4.500/kg tergantung dari banyaknya suplai. Harga daun nilam kering ditetapkan berdasarkan mekanisme pasar, dalam hal ini ditentukan oleh pedagang/pengumpul daun nilam kering. Pedagang / pengumpul daun nilam kering akan membayar uang muka sebelum daun nilam dipanen karena petani membutuhkan uang muka tersebut untuk biaya operasionalnya, sehingga harga jual telah ditetapkan sebelum panen. Tetapi ada juga yang dibayar pada saat penyerahan hasil panen, hal tersebut tergantung pada kecukupan modal. Petani tidak berada pada posisi tawar yang kuat. Penawaran harga dibuka oleh pembeli dan biasanya pembeli mendatangi lokasi panen. Apabila harga daun nilam kering tidak sebanding dengan biaya budidaya, maka petani akan mengalami kerugian. Setelah daun nilam nampak kering, segera dilakukan penyulingan atau disimpan sementara waktu dengan diletakkan di atas para-para, atau di lantai beralaskan papan berkaki. Gudang penyimpanan tidak boleh lembab dan sirkulasi udara harus baik. Bila waktu penyimpanan terlalu lama dapat menyebabkan penyusutan jumlah daun nilam kering dan sekaligus menurunkan jumlah minyak yang dihasilkan. Prakiraan jumlah produksi nilam didasarkan pada luas lahan dikalikan dengan produktivitas. Luas lahan 1 ha menghasilkan 8750 kg nilam, luas lahan 0.42 ha
80
menghasilkan 4500 kg nilam dan luas lahan 0.56 ha menghasilkan 6200 kg nilam. Rata-rata produktivitas nilam sebesar 10 ton/ha. Rendahnya produktivitas nilam sebagai akibat dari minimnya teknologi budidaya. Populasi tanaman nilam per hektar rata-rata 15.000 tanaman. Dilihat dari kepemilikan usahanya, kegiatan usaha tani nilam merupakan usaha milik sendiri atau sebagai tanaman tumpangsari di kebun milik Perhutani. Usaha Lepas Panen Perdesaan Pada Usaha Lepas Panen Perdesaan, petani-penyuling minyak nilam kasar maupun industri kecil penyulingan minyak nilam kasar mendapatkan daun nilam basah maupun kering dari petani atau dari pedagang / pengumpul tingkat dusun dan desa. Bila bahan baku adalah daun nilam basah maka harus dilakukan perajangan dan pengeringan terlebih dahulu. Bahan baku daun nilam basah dirajang 2-3 cm sebelum dijemur. Hasil yang telah dirajang, kemudian dijemur di bawah sinar matahari. Tempat perajangan dapat dilihat pada Gambar 20.
Gambar 20 Tempat perajangan Lama penjemuran kira-kira 5 jam, atau sampai daun menjadi layu. Selanjutnya, daun-daun yang telah layu tersebut diangin-anginkan di atas rak-rak bambu di tempat teduh dan dibolak-balik sebanyak 2-3 kali dalam seharinya. Pengeringan dapat dihentikan setelah timbul bau nilam yang keras dan khas dibandingkan dengan daun segarnya. Lama pengeringan membutuhkan waktu 3-4 hari. Gambar 21 menunjukkan tempat penjemuran dan Gambar 22 menunjukkan rak pengeringan..
81
Gambar 21. Tempat penjemuran daun nilam
Gambar 22 Rak pengeringan daun nilam Penyulingan dapat dilakukan oleh petani-penyuling atau industri kecil penyulingan. Cara penyulingan yang terbaik adalah penyulingan dengan uap langsung dan peralatan penyulingan terbuat dari bahan SS dan MS. Tekanan uap harus diatur sebaik-baiknya, mula-mula bertekanan rendah 1 atmosfir kemudian dinaikkan sekitar 2,5-3 atmosfir. Daun nilam yang akan disuling harus kering dan mempunyai kadar air sekitar 12-15%. Penyulingan dilakukan dengan cara mendidihkan daun nilam kering yang dimasukkan ke dalam ketel dan dialiri uap. Dengan penyulingan ini akan dipisahkan zat-zat bertitik didih tinggi dari zat-zat yang tidak dapat menguap Adanya panas air dan uap akan mempengaruhi bahan tersebut, sehingga di dalam ketel terdapat dua
82
cairan, yaitu air panas dan minyak nilam. Kedua cairan tersebut dididihkan perlahanlahan hingga terbentuk campuran uap yang terdiri dari uap air dan uap minyak. Campuran uap ini akan mengalir melalui pipa-pipa pendingin, dan terjadilah proses pengembunan sehingga uap tadi kembali mencair. Dari pipa pendingin, cairan tersebut dialirkan ke alat pemisah, yang akan memisahkan minyak atsiri dari air berdasarkan berat jenisnya. Gambar 23 menunjukkan diagram alir proses pengolahan minyak nilam kasar.
Nilam
Air Pembersihan Destilasi
Ampas
Perajangan Evaporasi Pengeringan Separasi Nilam Kering MinyakNilam Kasar
Gambar 23 Diagram alir proses pengolahan minyak nilam Penyulingan dilakukan selama 8 jam dengan sistem uap air pada tekanan sekitar 2.5 – 3 atmosfir. Rendemen minyak nilam kasar yang diperoleh rata-rata sebesar 1.2% dari bobot terna bahan baku nilam kering. Dengan demikian setiap kali suling dengan bobot terna nilam kering seberat 300 kg maka akan diperoleh sekitar 3.6 kg minyak nilam kasar. Minyak nilam kasar yang ditampung dipisahkan secara manual dari air uap penyulingan. Sedangkan nilam sisa penyulingan hanya dibakar dan dibuang. Gambar 24 menunjukkan alat penyulingan yang digunakan industri kecil penyulingan.
83
Berdasarkan penelitian di Kabupaten Kuningan dan Brebes, jumlah pekerja penyulingan rata-rata sebanyak 3 orang yang terdiri dari satu orang tenaga tetap sebagai teknisi dan digaji per bulan sebesar Rp 1 500 000 per bulan dan satu orang tenaga tidak tetap yang dibayar sebesar Rp 75 000 per orang per kali suling. Biaya operasional lain yang cukup besar adalah biaya bahan baku nilam kering dan biaya bahan bakar minyak untuk pembakaran. Dengan harga bahan baku sekitar Rp 4 500 per kg nilam kering maka dengan kapasitas per satu kali suling seberat 300 kg diperlukan biaya bahan baku sebesar Rp 1 350 000. Sedangkan untuk pembakaran diperlukan sekitar 3 m3 kayu bakar per kali suling, sehingga jika harga kayu bakar per m3 sebesar Rp 70 000 maka diperlukan sekitar Rp 210 000 untuk biaya bahan bakar per satu kali suling.
Gambar 24 Alat penyulingan kapasitas 600 kg nilam kering Pendapatan usaha minyak nilam sangat ditentukan oleh penerimaan usahanya dan biaya operasional yang dikeluarkan. Besarnya penerimaan ditentukan oleh kapasitas berjalan usaha, tingkat rendemen yang didapat dan harga minyak nilam. Sedangkan biaya operasional yang terbesar adalah biaya bahan baku nilam kering dengan kontribusi terhadap total biaya sekitar 67.5%, dan biaya bahan bakar dengan kontribusi sekitar 10.5%, kontribusi biaya tenaga kerja sekitar 7.5% dan biaya lainnya sekitar 14.5%.
84
Pada umumnya pengusaha minyak nilam kasar menjual hasil minyaknya ke pedagang / pengumpul di Ibukota Kabupaten atau pedagang / pengumpul besar, dan bias juga langsung dijual ke beberapa industri penyulingan besar atau eksportir besar. Harga bahan baku nilam kering selalu fluktuatif setiap tahun. Harga ini selain dipengaruhi oleh ketersediaan nilam juga dipengaruhi oleh harga minyak nilam yang terjadi. Rata-rata harga bahan baku nilam kering dalam lima tahun terakhir sekitar Rp 4.500,- per kg. Demikian pula harga minyak nilam kasar selalu fluktuatif setiap tahun. Harga minyak nilam kasar ini dipengaruhi oleh harga minyak nilam murni. Rata-rata harga minyak nilam kasar dalam lima tahun terakhir sekitar Rp 420 000 per kg. Industri Penyulingan Minyak Nilam Murni/ Eksportir Pada industri penyulingan minyak nilam murni, bahan baku minyak nilam kasar diperoleh dari Usaha Lepas Panen maupun dari pedagang / pengumpul Tingkat Kecamatan / Kabupaten. Minyak nilam kasar yang diperoleh akan diekstraksi dengan pelarut sehingga menghasilkan resin dan oleoresin minyak nilam. Selanjutnya disuling / dimurnikan dan akan menghasilkan essence flavor / parfum. Dengan pencampuran dan atau peracikan akan menghasilkan campuran flavor dan fragran yang dapat digunakan antara lain pada industri pangan dan kosmetika. Harga bahan baku minyak nilam kasar selalu fluktuatif karena mengikuti harga minyak nilam di pasar internasional. Pada situasi perdagangan seperti ini, usahatani tidak memiliki posisi tawar harga yang kuat. Ketidakberdayaan terhadap kebijakan harga minyak nilam kasar membuat usahatani harus kehilangan kemampuan untuk menjalankan budidaya nilamnya. Begitu pula pada usaha lepas panen juga tidak memiliki posisi tawar harga minyak nilam kasar yang kuat terhadap kebijakan harga minyak nilam murni. Harga minyak nilam murni sangat fluktuatif tergantung pada harga minyak nilam murni di pasar internasional. Analisis Kebutuhan Kebutuhan konsumen atau industri pengguna akan minyak nilam murni di pasaran lokal maupun internasional sangat mempengaruhi harga minyak nilam pada beberapa level / tingkatan.
85
Terkait dengan fluktuasi harga minyak nilam, setiap pihak yang terkait dalam agroindustri nilam mempunyai kebutuhan masing-masing. Analisis kebutuhan sangat diperlukan untuk merancang suatu model yang mampu mengakomodir semua kebutuhan pihak-pihak yang terkait. melibatkan beberapa pihak yang saling terkait dan saling berkepentingan. Langkah awal dari analisis kebutuhan ini adalah mengidentifikasi pihak yang berkepentingan dan kebutuhannya. Agroindustri minyak nilam melibatkan (1) usahatani (petani), pedagang / pengumpul nilam kering, pedagang/ pengumpul tingkat dusun/ desa; (2) usaha lepas panen
yang
terdiri
dari
petani
penyuling
dan
industri
kecil
penyulingan,pedagang/pengumpul minyak nilam tingkat kecamatan/ kabupaten serta (3) industri penyulingan dan atau eksportir. Peran lembaga keuangan dan pemerintah sebagai fasilitator dan regulator sangat diperlukan dalam pengembangan agroindustri nilam ini. Usaha tani melakukan budidaya nilam secara tradisional di atas lahan yang dimiliki atau di kebun milik Perhutani dengan sistem bagi hasil. Optimasi produktivitas nilam kering dan harga jual nilam kering dapat meningkatkan pendapatan yang menjadi tujuan kelangsungan kegiatan pertanian nilam. Keuntungan bisnis dari usaha lepas panen dapat diperoleh apabila mampu melakukan kontinuitas dan efisiensi produksi serta meningkatkan kualitas produk minyak kasar. Kontinuitas pasokan nilam kering dan pengembangan teknologi sangat mendukung tercapainya tujuan tersebut. Kelangsungan industri kecil penyulingan bergantung pada perencanaan produksi pada kapasitas optimal, kestabilan dan kesesuain harga. Pemerintah memiliki kepentingan dalam pengembangan agroindustri nilam khususnya dalam hal penyerapan tenaga kerja dan perbaikan ekonomi makro. Tabel 1 menunjukkan analisis kebutuhan dari pihak-pihak yang terkait dalam pengembangan agroindustri nilam.
86
Tabel 2 Daftar kebutuhan pemangku kepentingan industri nilam No
Pelaku
Kebutuhan Pelaku
1
Usaha tani (Petani)
a. b. c. d. e. f. g. h. i.
2
Pedagang/Pengumpul Nilam Kering
a. b. c. d. e. f.
3
Usaha Lepas Panen (Petani-penyuling, Industri Kecil Penyulingan)
a. b. c. d. e. f. g. h. i. j.
4
Pedagang/Pengumpul minyak nilam
a. b. c. d. e. f.
5
Industri Penyulingan/Eksportir
a. b. c. d. e. f. g. h. i.
Harga jual nilam kering yang tinggi Peningkatan teknologi budidaya nilam Permintaan nilam kering yang tinggi Peningkatan nilai tambah Biaya usaha tani rendah Nilam kering yang berkualitas tinggi Pasokan bibit yang berkualitas Sarana dan prasarana transportasi yang memadai Tersedianya kredit modal kerja dengan resiko rendah Harga jual nilam kering yang tinggi Permintaan nilam kering yang tinggi Margin keuntungan tinggi Nilam kering yang berkualitas tinggi Sarana dan prasarana transportasi yang memadai Tersedianya kredit modal kerja dengan resiko rendah Ketersediaan bahan baku nilam kering terjamin Harga bahan baku nilam kering rendah Rendemen minyak nilam kasar tinggi Peningkatan teknologi proses Permintaan minyak nilam kasar tinggi Mutu minyak nilam kasar tinggi Biaya produksi rendah Margin keuntungan tinggi Sumberdaya manusia yang terampil Tersedianya kredit modal kerja dengan resiko rendah Harga jual minyak nilam yang tinggi Permintaan minyak nilam yang tinggi Margin keuntungan tinggi Minyak nilam yang berkualitas Sarana dan prasarana transportasi yang memadai Tersedianya kredit modal kerja dengan resiko rendah Harga jual minyak nilam kasar rendah Ketersediaan minyak nilam kasar terjamin Permintaan minyak nilam murni tinggi Peningkatan teknologi proses Minyak nilam murni berkualitas tinggi Harga minyak nilam murni tinggi Margin keuntungan tinggi Iklim usaha yang kondusif Kepastian pasar yang tinggi
87
Tabel 2 Daftar kebutuhan pemangku kepentingan industri nilam (lanjutan) 6
Lembaga Keuangan
a. Tingkat resiko pembiayaan rendah b. Tingkat keuntungan pembiayaan yang tinggi c. Peningkatan jumlah nasabah
7
Pemerintah
a. b. c. d. e. f.
Meningkatnya lapangan pekerjaan Meningkatnya pendapatan masyarakat Meningkatnya pendapatan devisa Meningkatnya pendapatan daerah Meningkatkan perekonomian pedesaan Terjaganya kelestarian lingkungan
Formulasi Permasalahan Berdasarkan kebutuhan para pelaku di atas, permasalahan yang dihadapi pelaku agroindustri minyak nilam dalam kaitannya dengan pemberdayaan agroindustri minyak nilam di perdesaan adalah: 1. Harga minyak nilam yang selalu fluktuatif dan tidak pasti menyebabkan keuntungan usaha agroindustri minyak nilam menjadi sangat tidak pasti. Ketidakpastian pendapatan ini akan mengakibatkan ketidakpastian keuntungan yang didapat oleh pelaku usaha agroindustri minyak nilam, terutama usahatani dan industri kecil penyulingan 2. Harga bahan baku nilam kering yang selalu fluktuatif dan tidak pasti menyebabkan biaya produksi minyak nilam menjadi tidak pasti sehingga menambah ketidakpastian pendapatan para pelaku usaha agroindustri minyak nilam 3. Budidaya tanaman nilam yang kurang baik mengakibatkan rendahnya rendemen minyak nilam 4. Rentan terhadap ketidakseimbangan pasokan bahan baku dan permintaannya 5. Masih menggunakan teknologi yang sederhana 6. Keterbatasan sumberdaya finansial dan kemampuan SDM dari para pelaku usaha 7. Kualitas sumberdaya yang rendah dan lemahnya posisi tawar usaha tani (petani) dan usaha lepas panen nilam mengakibatkan lemahnya dayasaing usaha tani dan usaha lepas panen 8. Dukungan dari Lembaga dan Dinas terkait yang masih lemah / kurang
88
9. Kurangnya akses informasi, teknologi dan keterjangkauan akses permodalan mengakibatkan rendahnya produktivitas produksi nilam dan minyak nilam kasar 10. Kelangkaan pasokan nilam kering sebagai bahan baku minyak nilam diakibatkan oleh turunnya daya tarik petani untuk menanam nilam, semakin sempitnya lahan, minimnya teknologi pertanian dan rendahnya produktivitas produksi nilam. Dengan memperhatikan permasalahan utama dalam pengembangan industri berbasis nilam, maka dibutuhkan suatu model pemberdayaan agroindustri minyak nilam di perdesaan yang lebih baik dengan keberpihakan pada usahatani (petani). Model yang dibangun ini untuk meningkatkan pemberdayaan agroindustri minyak nilam di perdesaan melalui klaster agroindustri minyak nilam sehingga kehidupan usahatani akan lebih meningkat lagi.
Identifikasi Sistem Identifikasi
sistem
merupakan
hubungan
antara
kebutuhan
dengan
permasalahan yang harus dipecahkan dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Identifikasi sistem ini diperlukan untuk memfokuskan pemodelan tanpa mengurangi kompleksitas yang ada. Pengetahuan ini diperlukan dalam perancangan model pemberdayaan masyarakat perdesaan dalam klaster agroindustri minyak nilam yang akan dikembangkan. Agregasi atas kepentingan setiap pemangku kepentingan teridentifikasi bahwa kesepakatan harga nilam kering dan minyak nilam kasar merupakan optimalisasi dari sumberdaya agroindustri minyak nilam. Sistem pemberdayaan masyarakat perdesaan dengan kesepakatan harga nilam dan minyak nilam kasar yang akan dikembangkan ini dapat mengoptimalkan setiap kepentingan dari para pemangku kepentingan yang terlibat pada klaster agroindustri minyak nilam. Tujuan pengembangan sistem pemberdayaan agroindustri minyak nilam di perdesaan ini adalah untuk menjamin kelangsungan usahatani yang berada pada klaster agroindustri minyak nilam dan meningkatkan perekonomian perdesaan. Keterkaitan dan koordinasi antar pemangku kepentingan dibutuhkan agar sistem pemberdayaan masyarakat perdesaan dalam klaster agroindustri minyak nilam ini dapat berjalan baik (Gambar 25). Dengan demikian akurasi pendugaan dari variabel-
89
variabel yang mempengaruhi hasil akhir yang diinginkan merupakan prasyarat bagi keberhasilan sistem yang dibangun.
Industri Alat & Peralatan
Supplier Pupuk & Pestisida
Pemasok
USAHA LEPAS PANEN PEDESAAN
USAHA TANI Benih Petani
Pupuk
Lembaga Keuangan
Petani Penyuling
Industri Kecil Penyulingan
Pemerintah Pusat & Daerah
Industri Penyulingan /Eksportir Besar
Konsu men
Alat Peralatan
PEDAGANG / PENGUMPUL NILAM KERING Pedagang/ Pengumpul Tingkat Dusun
Perguruan Tinggi
PEDAGANG / PENGUMPUL MINYAK NILAM
Pedagang/ Pengumpul Tingkat Desa
Pedagang/ Pengumpul Tingkat Kecamatan
Dewan Atsiri Indonesia
Pedagang/ Pengumpul Besar
Asosiasi Minyak Atsiri
Gambar 25 Klaster agroindustri minyak nilam Tujuan tersebut merupakan gambaran output yang dikehendaki bahwa keberlangsungan klaster agroindustri nilam akan memberikan kontribusi terhadap pemberdayaan
ekonomi
masyarakat
melalui
ketersediaan
lapangan
kerja,
pemberdayaan ekonomi petani di perdesaan, meningkatkan daya saing untuk menjamin pemenuhan permintaan nilam dan minyak nilam regional dan ekspor. Industri penyulingan minyak nilam yang memiliki daya saing ini diharapkan akan menarik investor dan mengingkatkan devisa negara.
Perancangan sistem yang
dibangun mencakup pengendalian variabel-variabel input yang terkait rantai kebelakang dan kedepan (backward dan forward lingkage) dari sistem klaster agroindustri minyak nilam sehingga dapat mengoptimalkan variabel-variabel output sesuai yang diinginkan dan meminimalkan output yang tidak dikehendaki. Sektor produksi industri penyulingan minyak nilam murni membentuk loop positif dari faktor-faktor penyusunnya yaitu pasokan bahan baku minyak nilam kasar dan harga
90
minyak nilam kasar. Untuk meningkatkan keberlanjutan produksi
industri
penyulingan minyak nilam murni dengan melakukan optimalisasi faktor pasokan bahan baku minyak nilam kasar (backward linkage) dan harga minyak nilam kasar (forward linkage). Begitu pula pada industri penyulingan minyak kasar yang membentuk loop positif dari faktor –faktor pasokan bahan baku nilam kering dan harga nilam kering. Untuk meningkatkan keberlanjutan produksi industri penyulingan minyak nilam kasar dengan melakukan optimalisasi faktor pasokan bahan baku nilam kering dan harga nilam kering. Dari aspek penyediaan bahan baku, bahan baku minyak nilam kasar harus selalu tersedia baik dari segi jumlah maupun mutu yang sesuai dengan kebutuhan industri penyulingan minyak nilam murni. Jumlah produksi minyak nilam kasar dipengaruhi oleh jumlah pasokan nilam kering, rendemen minyak nilam kasar, dan teknologi prosesnya. Sedangkan bahan baku nilam kering juga harus selalu tersedia sesuai dengan kebutuhan industri penyulingan minyak nilam kasar. Jumlah produksi nilam kering dipengaruhi oleh produktivitas nilam, budidaya, luas lahan dan teknologi budidayanya. Causal loop diagram pasokan bahan baku membentuk loop positif Oleh karena itu optimalisasi rantai nilai level usahatani dan optimalisasi produksi nilam kering akan mendukung kontinuitas pasokan bahan baku nilam kering. Begitu pula optimalisasi rantai nilai level usaha lepas panen akan mendukung kontinuitas pasokan bahan baku minyak nilam kasar. Variabel input terkendali yaitu sumberdaya yang dibutuhkan dalam kegiatan memasok bahan baku pada sektor ini meliputi: teknologi budidaya nilam, teknologi proses minyak nilam kasar, sistem tataniaga nilam, dan kelembagaan keuangan. Gambar 27 menunjukkan diagram keterkaitan variabelvariabel dalam klaster agroindustri nilam. Dari aspek distribusi produk minyak nilam murni, bagaimana kestabilan harga dapat dijamin sehingga mampu meningkatkan daya saing dan meningkatkan rantai nilai. Harga minyak nilam murni yang ditentukan oleh mutu produknya, dipengaruhi oleh pasar internasional sehingga harganya cenderung fluktuatif. Harga minyak nilam yang fluktuatif di pasar internasional, menjadi kendala dalam menjamin kestabilan harga minyak nilam kasar dan harga nilam kering.
Keterangan : DNK : Daun Nilam Kering
MNK :Minyak Nilam Kasar
MNM:Minyak Nilam Murni
Gambar 26 Diagram sebab-akibat agroindustri minyak nilam 91
92
Pada Causal loop diagram harga bahan baku membentuk loop positif. Turun naiknya harga bahan baku nilam kering maupun minyak kasar bergantung pada harga nimyak nilam murni. Harga minyak nilam murni bergantung pada harga pasar internasional Oleh karena itu peran pemerintah sangat diperlukan untuk menjaga kestabilan harga agar kontinuitas pasokan bahan baku dapat terjamin. Variabel input terkendali pada sektor ini meliputi: teknologi budidaya atsiri, teknologi proses minyak atsiri, sistem tataniaga atsiri, sistem tataniaga minyak atsiri, kelembagaan keuangan, kebijakan sistem ekspor, dan kebijakan terhadap industri hilir. Input tak terkendali yaitu elemen dalam sistem yang mempengaruhi kinerja sistem tetapi tidak dapat dikendalikan keberadaannya. Dalam sistem pemberdayaan agroindustri minyak atsiri ini, input tak terkendali meliputi: harga minyak atsiri, harga bahan baku, rendemen, dan persaingan industri. Output yang dikehendaki adalah tujuan yang ingin dicapai yang meliputi: tingkat keuntungan usaha yang tinggi, kestabilan harga, keberlanjutan produksi, peningkatan daya saing, dan peningkatan devisa. Output yang tidak dikehendaki adalah efek yang tidak diinginkan sehingga perlu diminimumkan. Output yang tidak dikehendaki ini meliputi : penurunan kemampuan produksi, penurunan mutu produk, fluktuasi harga, penurunan pendapatan, penurunan pasokan bahan baku, dan penurunan devisa. Input lingkungan merupakan kondisi lingkungan diluar sistem yang turut mempengaruhi kinerja sistem. Input lingkungan sistem ini meliputi: iklim, kondisi ekonomi nasional, dan kondisi pasar minyak atsiri internasional. Gambar 27 menunjukkan hubungan keterkaitan variabel-variabel pada diagram black box.
93
Input Tak Terkendali Harga minyak atsiri Harga bahan baku Rendemen Persaingan industri
Input Lingkungan Iklim Kondisi ekonomi nasional Kondisi pasar minyak atsiri internasional Output Yang Dikehendaki Tingkat keuntungan usaha yang tinggi Kestabilan harga Keberlanjutan produksi Peningkatan daya saing Peningkatan devisa
MODEL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PERDESAAN dalam KLASTER AGROINDUSTRI MINYAK ATSIRI Input Terkendali Teknologi budidaya atsiri Teknologi proses minyak atsiri Sistem tataniaga atsiri Sistem tataniaga minyak atsiri Kelembagaan keuangan Kebijakan ekspor Kebijakan industri hilir
Output Tidak Dikehendaki Lahan yang tidak termanfaatkan Terjadinya tanah longsor Penggunaan tenaga kerja berlebihan Penggunaan pupuk berlebihan Penggunaan energi berlebihan Penurunan devisa
MANAJEMEN PENGENDALIAN Gambar 27 Diagram input-output model pemberdayaan masyarakat perdesaan dalam klaster agroindustri minyak atsiri
94
SISTEM PENUNJANG KEPUTUSAN
Konfigurasi Model Hasil analisis sistem menunjukkan bahwa sistem pemberdayaan masyarakat perdesaan dalam klaster agroindustri minyak atsiri bersifat kompleks, dinamis, dan probabilistik. Hal tersebut ditunjukkan oleh banyaknya pelaku yang terlibat dalam sistem dengan kepentingan yang berbeda-beda sehingga memerlukan pendekatan sistem. Melalui prosedur metodologi dalam rancang bangun pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri, diharapkan mampu menghasilkan keputusan yang komplementer dan komprehensif terhadap sejumlah kebutuhan masing-masing komponen pelaku sehingga tercipta suatu sistem yang harmonis. Dinamika lingkungan sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri berupa biaya produksi serta harga jual nilam dan minyak nilam yang cenderung berfluktuasi, dapat diatasi melalui rancang bangun model yang dapat diaplikasikan ke dalam sistem berbasis computer. Model tersebut dibangun melalui empat komponen utama, yaitu Sistem Manajemen Basis Data (SMBD), Sistem Manajemen Basis Model (SMBM), Sistem Manajemen Basis Pengetahuan (SMBP), dan Sistem Pengolahan Terpusat (SPT). Selain itu model tersebut juga dilengkapi dengan Sistem Manajemen Dialog (SMD) dan hubungannya dengan pengguna. Sebagai tujuan akhir dari pengembangan model adalah membantu semua pihak dalam pengambilan keputusan terutama
kepada
koperasi
usahatani
dan
usaha
lepas
panen,
industri
penyuling/eksportir, lembaga keuangan, dan Pemerintah Pusat/Daerah, baik dalam bentuk formulasi strategi maupun operasional. Sistem Pengolahan Terpusat merupakan bagian sistem yang bertujuan mengorganisasikan
dan
mengendalikan
seluruh
komponen
sistem,
serta
memungkinkan sistem berinteraksi secara dua arah dengan sistem lainnya. Sistem Pengolahan Terpusat divisualisasikan dalam bentuk Menu Utama yang terdiri dari Basis Data, Basis Pengetahuan dan Basis Model. Sistem Manajemen Dialog merupakan bagian sistem yang memungkinkan pengguna dengan mudah berinteraksi dengan sistem. Sistem Manajemen Dialog dalam sistem penunjang keputusan pemberdayaan masyarakat perdesaan dalam klaster agroindustri minyak atsiri
95
menyediakan fasilitas interaktif antara model dengan pengguna dalam proses pengambilan keputusan. Berdasarkan analisis sistem nyata, agroindustri minyak nilam melibatkan beberapa elemen dengan pola interaksi yang sangat kompleks. Oleh karena itu perlu disusun suatu model yang terstruktur, sederhana tetapi dapat merepresentasikan sistem nyata. Model Sistem Penunjang Keputusan dirancang dalam bentuk perangkat lunak berbasis komputer yang berfungsi sebagai Sistem Penunjang Keputusan yang diberi nama PAP-Klaster (Pemberdayaan Agroindustri Perdesaan dengan Pendekatan Klaster).
Cakupan Model PAP-Klaster PAP-Klaster
dirancang
sebagai
sistem
pendukung
keputusan
yang
mengintegrasikan beberapa sub-model yang saling berhubungan dan didukung oleh basis data serta basis pengetahuan. Fitur-fitur yang disiapkan merupakan elemenelemen rinci yang disusun berdasarkan diskusi dengan praktisi sebagai pengguna dan literatur. Pada Halaman utama ini pengguna dapat memasukkan username dan password. Gambar 28 menunjukkan halaman depan dari PAP-Klaster.
Gambar 28 Tampilan halaman depan PAP-Klaster
96
Konfigurasi model dirancang dalam paket program komputer sistem penunjang keputusan. Paket program tersebut bertujuan untuk membantu pengguna dalam proses pengambilan keputusan berkenaan dengan sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri. Gambar 29 menunjukkan konfigurasi SPK PAP-Klaster dilengkapi dengan Sistem Manajemen Dialog (SMD) dan hubungannya dengan pengguna (user).
Data
Model
Pengetahuan
Sistem Manajemen Basis Data (DBMS)
Sistem Manajemen Basis Model (MBMS)
Sistem Manajemen Basis Pengetahuan (KBMS)
Daftar stakeholder Klaster Agroindustri Nilam Data internal pelaku klaster (data keuangan, data produksi, data pemasaran, data sumber daya)
Model Kelayakan Usaha Tani dan Industri Kecil Penyulingan Model Kesepakatan Harga Model Pengukuran Kinerja
Penentuan Fungsi Sasaran Penentuan Kendala Utama Indikator Kinerja Usaha tani dan Industri Kecil Penyulingan Penentuan Indikator Kinerja
Sistem Pengolahan Terpusat
Sistem Manajemen Dialog
PENGGUNA
Gambar 29 Konfigurasi SPK PAP-Klaster Sistem penunjang keputusan (SPK) pada program PAP-Klaster disusun berdasarkan dua basis pengetahuan, yaitu: (1) perancangan indikator kinerja, dan (2) pembobotan indikator kinerja. Masing-masing basis data tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
97
Analisis Biaya Analisis biaya ini menganalisis basis data berdasarkan kriteria finansial berupa PBP (Payback Period), NPV (Net Present Value), IRR (Internal Rate of Return), B/C-ratio (Benefit-Cost-Ratio), dan BEP (Break Event Point). Analisis sensitivitas dilakukan pada berbagai skenario, proyeksi cash-flow, dan analisis laba-rugi. Tujuan akhir dari analisis ini adalah untuk mendapatkan informasi layak atau tidak layak usahatani dan industri kecil penyulingan.
Optimasi Kesepakatan Harga Optimasi
kesepakatan
harga
pada
usahatani
dilakukan
berdasarkan
kesepakatan antara harga jual nilam kering dari petani dan harga beli nilam kering oleh industri kecil penyulingan. Tujuan dari optimasi kesepakatan harga ini adalah untuk member keuntungan yang memadai bagi usahatani dan industri kecil penyulingan.
Sistem Pengolahan Terpusat Sistem Pengolahan Terpusat merupakan bagian dari sistem yang mengelola dan mengatur seluruh komponen, serta memungkinkan sistem berinteraksi secara timbal balik dengan sistem lainnya. Sistem pengolahan terpusat berfungsi sebagai koordinator dan pengendalian dari operasi Rancang Bangun Sistem Penunjang Keputusan Pemberdayaan Masyarakat Perdesaan dalam Klaster Agroindustri Minyak Atsiri.
Sistem Manajemen Dialog Sistem Manajemen Dialog merupakan fasilitas yang diberikan untuk berkomunikasi antara model dengan pengguna dalam proses pengambilan keputusan. Sistem ini akan mempermudah pengguna dalam pemakaian program. Hal ini dikarenakan sistem yang dibuat user friendly. Sistem Manajemen Dialog perlu dirancang dengan tampilan menarik agar pengguna mudah mengerti dengan alur kerja penggunaan program serta membuat pengguna tidak merasa bosan.
98
Sistem Manajemen Basis Data Sistem manajemen basis data merupakan salah satu komponen penting dari suatu sistem karena adanya perbedaan kebutuhan data. Sistem Manajemen Basis Data merupakan bagian sistem yang didalamnya terdiri dari basis data yang dapat digunakan untuk memberikan informasi yang bersifat tetap, tidak dapat diubah ataupun dimanipulasi dan berperan sebagai input bagi pengembangan sistem. Juga dapat berisikan basis data yang merupakan mekanisasi integrasi berbagai jenis data internal dan eksternal. Ada kemungkinan basis data harus dimanipulasi atau diubah dalam penggunaannya agar menghasilkan model tertentu. Sistem manajemen basis data pada model pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri merupakan bagian yang memberikan fasilitas pengolahan data, yaitu mengendalikan dan memanipulasi data yang tersimpan. Proses tersebut diantaranya input data, ubah data, dan hapus data. Hal ini dimaksudkan agar keluaran model lebih aktual dan sesuai kondisi ketika model akan digunakan. Gambar 30 menunjukkan tampilan menu utama program PAP-Klaster yang memiliki tiga menu, yaitu: (1) analisis usaha, (2) kinerja, dan (3) kelembagaan.
Gambar 30 Tampilan menu utama PAP-Klaster
99
Struktur Biaya Usahatani Nilam Analisis usaha dari usahatani memiliki basis data struktur biaya investasi dan biaya produksi usahatani. Data proyeksi produksi usahatani dalam kg nilam kering per hektar selama umur ekonomis diasumsikan bulan pertama 0 persen, bulan keenam 100 persen, dan bulan kesembilan 90 persen dengan umur ekonomis proyek satu tahun. Basis data tersebut dapat dilakukan editing berupa penambahan atau pengurangan sesuai keperluan ketika model akan dioperasikan. Tabel 3 menunjukkan struktur biaya investasi dan Tabel 4 menunjukkan struktur biaya produksi usahatani. Tabel 3 Struktur biaya investasi usahatani nilam No 1 2 3 4
Uraian Sewa lahan Cangkul Sabit Sprayer Total
Satuan
Volume
Harga (Rp)
Total Biaya (Rp/ha)
Rp/ha/th buah buah buah
1 5 5 2
1 000 000 50 000 50 000 200 000
1 000 000 250 000 250 000 400 000 1 900 000
Tabel 4 Struktur biaya produksi usahatani nilam No
Uraian
1
Biaya Variabel: - Benih - Pupuk urea - Pupuk TSP - Pestisida - Obat semprot rumput - Karung - Tenaga Pembukaan Lahan - Tenaga angkut bibit Sub Total
2
Biaya Tetap: - Tenaga Penanaman - Tenaga Pemupukan dan Pengendalian - Tenaga Pemanenan Sub Total Total
Satuan
Volume
Harga (Rp)
Total Biaya (Rp/ha)
tanaman kg kg botol buah buah HOK
25 000 60 30 3 2 100 58
175 2 200 2 500 35 000 35 000 1 000 35 000
4 375 000 132 000 75 000 105 000 70 000 100 000 2 030 000
HOK
26
40 000
1 040 000 7 927 000
HOK HOK
14 20
20 000 20 000
280 000 400 000
HOK
43
20 000
860 000 1 540 000 9 467 000
100
Gambar 31 menunjukkan tampilan asumsi dan kofisien budidaya nilam PAP-Klaster dan Gambar 32 menunjukkan tampilan biaya produksi usahatani nilam PAP-Klaster.
Gambar 31 Tampilan asumsi dan koefisien budidaya nilam PAP-Klaster
Gambar 32 Tampilan biaya produksi usahatani nilam PAP-Klaster
101
Struktur Biaya Industri Kecil Penyulingan Minyak Nilam Basis data struktur biaya industri kecil penyulingan terdiri dari biaya investasi tanah dan bangunan, mesin dan peralatan, biaya operasional, biaya penyusutan, dan biaya perawatan. Data proyeksi industri kecil penyulingan dalam kg minyak nilam per tahun selama umur ekonomis diasumsikan bulan pertama sampai bulan ke dua puluh 100 persen, dengan umur ekonomis proyek 20 bulan. Basis data tersebut dapat dilakukan editing berupa penambahan atau pengurangan sesuai keperluan ketika model akan dioperasikan. Tabel 5 menunjukkan biaya investasi, Tabel 6 menunjukkan biaya operasional, Tabel 7 menunjukkan biaya penyusutan dan Tabel 8 menunjukkan biaya perawatan industri kecil penyulingan. Tabel 5 Biaya investasi industri kecil penyulingan minyak nilam No 1 2 3 4 5
Uraian
Satuan
Volume
unit unit unit
1 1 1
100 000 000 10 000 000 10 000 000
100 000 000 10 000 000 10 000 000
unit unit
1 1
3 000 000 100 000
3 000 000 100 000 123 100 000
Alat Penyulingan Mesin Rajang Rumah Suling dan Tungku Katrol Bak Angkut Total
Harga (Rp)
Total Biaya (Rp)
Tabel 6 Biaya operasional industri kecil penyulingan minyak nilam No 1
2
Uraian Biaya variabel (per siklus): - Kayu bakar - Air - Listrik - Jerigen plastik 30 kg Sub Total Biaya tetap: -Nilam kering -Tenaga kerja Sub Total Total Biaya
Satuan
Volume
m3 paket paket paket
3 1 1 1
Harga (Rp)
Total biaya (Rp)
40 000 100 1 000 6 000
120 000 100 1 000 6 000 127 100
Kg HOK
300 1
4 500 60 000
1 350 000 60 000 1 410 000 1 537 100
102
Tabel 7 Biaya penyusutan industri kecil penyulingan minyak nilam No
Uraian
1 2 3
Alat Penyulingan Mesin Rajang Rumah Suling dan Tungku Katrol Bak Angkut Total
4 5
Biaya (Rp)
Umur
Penyusutan (%)
Biaya Penyusutan (Rp)
100 000 000 10 000 000 10 000 000
5 5 5
10 10 15
2 000 000 200 000 300 000
3 000 000 100 000
5 4
15 10
90 000 2 500 2 592 500
Tabel 8 Biaya perawatan industri kecil penyulingan No
1 2 3 4 5
Uraian
Biaya (Rp)
Alat Penyulingan Mesin Rajang Rumah Suling dan Tungku Katrol Bak Angkut Total
Perawatan (%)
Biaya Perawatan (Rp)
100 000 000 10 000 000 10 000 000
1 1 1
1 000 000 100 000 100 000
3 000 000 100 000
1 1
30 000 1 000 1 231 000
Tabel 9 menunjukkan biaya pembelian alat suling agroindustri minyak nilam PAPKlaster. Tabel 10 menunjukkan jadwal angsuran pinjaman agroindustri minyak nilam PAP-Klaster. Tabel 9 Biaya pembelian alat suling agroindustri minyak nilam PAP-Klaster N o
Uraian
1
Alat penyulingan Mesin rajang Rumah suling dan tungku Katrol Bak angkut
2 3
4 5
Total
Jumlah (unit)
Harga (ribu Rp)
Sub total (ribu Rp)
Umur (thn)
Penyusut an (%)
1
100 000
100 000
5
1 1
10 000 10 000
10 000 10 000
1 1
3 000 100
3 000 100 123 100
10
B.penyusut an (ribu Rp) 2 000
Perawa tan (%) 1
B.perawa tan (ribu Rp) 1 000
5 5
10 15
200 300
1 1
200 100
5 4
15 10
90 2.5
1 1
30 1
2 592.5
1 231
103
Tabel 10 Jadwal angsuran pinjaman agroindustri minyak nilam PAP-Klaster (Rp) No Awal Tahun 1 74 922 060 2 68 678 555 3 62 435 050 4 56 191 545 5 49 948 040 6 43 704 535 7 37 461 030 8 31 217 525 9 24 974 020 10 18 730 515 11 12 487 010 12 6 243 505 Total
Pokok 6 243 505 6 243 505 6 243 505 6 243 505 6 243 505 6 243 505 6 243 505 6 243 505 6 243 505 6 243 505 6 243 505 6 243 505 74 922 060
Bunga 749 221 686 786 624 351 561 915 499 480 437 045 374 610 312 175 249 740 187 305 124 870 62 435 4 869 934
Total 6 992 726 6 930 291 6 867 856 6 805 420 6 742 985 6 680 550 6 618 115 6 555 680 6 493 245 6 430 810 6 368 375 6 305 940 79 791 994
Struktur Manajemen Basis Pengetahuan Sistem manajemen basis pengetahuan pada program PAP-Klaster disusun berdasarkan dua basis pengetahuan, yaitu: (1) perancangan indikator kinerja, dan (2) pembobotan indikator kinerja. Masing-masing basis pengetahuan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: Perancangan Indikator Kinerja Perancangan indikator kinerja (IK) dirancang berdasarkan beberapa kriteria yang selanjutnya bisa diderivasikan menjadi beberapa sub kriteria. Dalam perancangan ini identifikasi kriteria dilakukan dengan akuisisi pengetahuan pakar baik melalui kajian pustaka, brainstorming dengan pakar maupun dengan mengajukan beberapa pertanyaan pada pakar dalam bentuk kuesioner semi terbuka. Pakar yang dilibatkan sebanyak 6 orang yang terdiri dari 2 orang praktisi usahatani dan industri kecil penyulingan, 3 orang dari pemerintah dan 1 orang akademisi. Tujuan dari perancangan indikator kinerja ini adalah untuk mendapatkan indikator kinerja kunci dari klaster agroindustri minyak atsiri.
104
Pembobotan Indikator Kinerja Pembobotan indikator kinerja dilakukan untuk menghasilkan indikator kinerja kunci berdasarkan bobot dari masing-masing indikator kinerja. Dalam pembobotan ini digunakan perbandingan berpasangan (pairwise comparison) terhadap indikator kinerja yang ada. Dengan menggunakan AHP dapat dihasilkan struktur indikator kinerja dan indikator kinerja kunci (IKK) yang dihasilkan.
Sistem Manajemen Basis Model Sistem manajemen basis model merupakan fasilitas yang diberikan dalam pengelolaan
model untuk perhitungan yang dapat digunakan dalam
proses
pengambilan keputusan. Sistem manajemen basis model disusun berdasarkan empat model, yaitu: (1) model analisis kelayakan usaha, (2) model kesepakatan harga, (3) model pengukuran kinerja, dan (4) model kelembagaan. Masing-masing basis model tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
Model Kelayakan Usaha Model analisis kelayakan usaha dirancang dengan tujuan untuk menganalisis kelayakan usahatani nilam dan industri kecil penyulingan minyak nilam. Model ini diharapkan dapat berguna bagi: (1) koperasi usahatani dan industri kecil penyulingan guna mendapatkan nilai tambah, (2) pengusaha atau investor yang ingin menanamkan modalnya pada usahatani nilam dan industri kecil penyulingan minyak nilam, (3) lembaga pembiayaan usaha untuk penyaluran kredit bagi pengusaha, dan (4) Pemerintah Daerah dalam memfasilitasi sistem pemberdayaan masyarakat pedesaan dalam klaster agroindustri minyak atsiri berupa formulasi kebijakan, perbaikan infrastruktur, dan mendorong bentuk pengusahaan nilam secara terintegrasi melalui “PAP-Klaster”. Input data model kelayakan usaha dilakukan melalui dua cara yaitu input data yang tersimpan dalam file data struktur biaya usahatani nilam dan industri kecil penyulingan minyak nilam serta masukan data dan informasi langsung dari pengguna. Formulasi yang digunakan untuk menghitung kelayakan investasi dilakukan melalui
105
kriteria finansial berupa NPV (Net Present Value) adalah nilai bersih yang diterima proyek selama umur ekonomis pada saat ini; PBP (Pay Back Period) merupakan nilai yang mengukur seberapa cepat investasi bisa kembali; IRR (Internal Rate of Return ) adalah nilai suku bunga yang membuat NPV proyek sama dengan nol, atau tingkat suku bunga yang menunjukkan bahwa nilai penerimaan sama dengan jumlah seluruh biaya investasi sekarang; B/C ratio (Benefit-Cost-Ratio) merupakan perbandingan nilai sekarang dengan nilai biaya bersih; dan BEP (Break Even Point) adalah analisa titik pulang pokok di mana tingkat volume penjualan akan impas untuk menutup biaya tetap dan biaya variabel. Skenario yang dilakukan pada model kelayakan usaha ini terdiri dari tiga skenario, yaitu: (1) pada kondisi normal, (2) dengan penurunan harga jual sebesar 20%, dan (3) dengan penurunan harga jual sebesar 40%. Analisis sensitivitas dilakukan terhadap ketiga skenario tersebut. Output model analisis kelayakan usaha berupa analisis laba-rugi, analisis cash flow, dan kriteria kelayakan usahatani nilam dan industri kecil penyulingan minyak nilam.
Sub model Kelayakan Usahatani Nilam Sub Model ini bertujuan untuk mengetahui kelayakan usahatani nilam dari segi aspek finansialnya. Perhitungan kriteria kelayakannya terdiri dari NPV (Net Present Value), BEP (Break Even Point), B/C Ratio, dan PBP (Pay Back Period). Perhitungan sub model ini dilakukan dengan menggunakan Microsoft excel 2007. Gambar 33 menunjukkan diagram alir model kelayakan analisis kelayakan usaha.
106
Mulai Input Basis Data Usahatani: 1. Biaya tetap: - Gaji karyawan tetap - Biaya tetap lainnya 2. Biaya tidak tetap: - Pemeliharaan tanaman - Pupuk, pestisida - Panen dan pascapanen -Biaya tidak tetap lainnya 3. Target produksi kebun: 10.000 kg/ha/tahun
Input Skenario Model Usahatani: Sumber dana Bank Konvensional Tenggang waktu pengembalian pinjaman kredit Umur ekonomis proyek Harga jual nilam kering
Hitung: Biaya investasi Biaya produksi
Hitung: Analisis Laba-Rugi Analisis Cash-Flow Hitung: IRR - PBP NPV - BEP B/C ratio
Layak?
Cetak Output: Kriteria kelayakan usaha Analisis Laba-Rugi Analisis Cash-Flow
Selesai
Gambar 33 Diagram alir model analisis kelayakan usaha
107
Gambar 34 menunjukkan Tampilan Sub Model Kelayakan Usahatani Nilam.
Gambar 34 Tampilan sub-model kelayakan usahatani nilam Tampilan sub-model kelayakan usahatani nilam terdiri dari: 1) Masukan model Masukan dari Sub-Model Kelayakan Usaha untuk usahatani nilam berasal dari data struktur biaya usahatani yang terdiri atas biaya tetap dan biaya variabel, dan nilainilai asumsi untuk parameter yang digunakan dalam analisis. Biaya investasi yang diperlukan untuk usahatani nilam dengan luas lahan 10 000 m2 sebesar Rp 1 900 000. Biaya produksi usahatani sebesar Rp 9 467 000, sehingga modal kerja yang diperlukan adalah sebesar Rp 11 367 000 2) Analisis kelayakan finansial usahatani nilam ini menggunakan beberapa asumsi, yaitu : Masa usaha 1 tahun (12 bulan) Jangka waktu pengembalian pinjaman 12 bulan
108
Jarak tanam 0.6 m x 0.8 m, jumlah tanaman di lapang untuk 1 ha adalah adalah 20 834 tanaman Jumlah bibit yang disediakan adalah 25 000 tanaman dengan kematian bibit di lapang ± 16% Umur tanaman saat panen pertama adalah bulan ke 6, dan panen selanjutnya setiap 3 bulan sekali Satu tahun 3 kali panen, jumlah produksi per panen sebanyak 12 000 kg, Harga jual nilam basah adalah Rp 1 200/kg atau harga jual nilam kering sebesar Rp 4 500/kg Bunga bank yang berlaku adalah 12% Modal pinjaman dari bank sebesar 60% dan modal sendiri sebesar 40% Persentase produksi bulan ke-1 sampai dengan bulan ke-5 sebesar 0%, bulan ke-6 sebesar 100%, bulan ke-9 sebesar 90%. 3) Keluaran model Dalam penentuan kelayakan finansial perlu dilakukan pengujian terhadap tingkat sensitivitasnya. Pengujian dilakukan pada tiga kondisi yang berbeda. Skenario pertama adalah kondisi normal dengan menggunakan asumsi yang telah ditetapkan. Skenario kedua adalah kondisi dimana terjadi penurunan harga jual nilam basah sebesar 20%. Skenario ketiga adalah kondisi dimana terjadi penurunan harga jual nilam basah sebesar 40%.
Skenario 1 Pada skenario pertama yang merupakan kondisi normal yaitu pada harga jual nilam basah Rp 1 200/kg, biaya produksi Rp 9 467 000, usahatani nilam untuk masa proyek selama 1 tahun memiliki keuntungan bersih per tahunnya sebesar Rp 14 019 145; NPV sebesar Rp 12 130 935; IRR sebesar 14.60%; PBP selama 4.97 bulan, dan B/C Ratio sebesar 1.35. Hasil analisis menunjukkan bahwa pada kondisi normal usahatani layak untuk dijalankan.
109
Skenario 2 Pada skenario kedua terjadi penurunan harga jual nilam basah sebesar 20% yaitu pada harga jual Rp 960. Usahatani nilam untuk masa proyek selama 1 tahun memiliki keuntungan bersih per tahunnya sebesar Rp 6 675 145; NPV sebesar Rp 5 414 029; IRR sebesar 7.81%; PBP selama 10.25 bulan, dan B/C Ratio sebesar 1.16. Hasil analisis menunjukkan bahwa pada kondisi kedua tersebut usahatani nilam layak untuk dijalankan jika terjadi penurunan harga jual hingga 20% Skenario 3 Pada skenario ketiga terjadi penurunan harga jual nilam basah sebesar 40%, yaitu pada harga jual Rp 720. Usahatani nilam untuk masa proyek selama 1 tahun memiliki keuntungan bersih per tahunnya sebesar Rp -668 855; NPV sebesar Rp -1 302 877; IRR sebesar -0 92%; PBP selama 20 bulan; dan B/C Ratio sebesar 0 96. Hasil analisis sensitivitas pada skenario ketiga menunjukkan bahwa usahatani nilam juga mulai tidak layak untuk dijalankan jika terjadi penurunan harga jual nilam hingga 40%. Berdasarkan analisis sensitivitas usahatani nilam, pada penurunan harga jual 40% usahatani tidak layak dijalankan. Tabel 11 menunjukkan hasil perhitungan kelayakan finansial usahatani nilam pada ketiga kondisi dengan luas lahan 1 ha. Tabel 11 Hasil kelayakan finansial usahatani nilam 10.000 m2 (1 ha) pada kondisi normal, biaya produksi naik 65%, harga jual turun 40% Parameter Kelayakan
Kondisi Normal (Skenario 1)
Penurunan Harga Jual(20%) (Skenario 2)
Penurunan Harga Jual (40%) (Skenario 3)
Keuntungan bersih/tahun (Rp)
14,019,145
6 675 145
-668,855
NPV (Rp)
12,130,935
5 414 029
-1,302,877
14,60
7.81
-0,92
PBP (bulan)
4,97
10.25
20
B/C Ratio
1,35
1.16
0,96
LAYAK
LAYAK
TIDAK LAYAK
IRR (%)
Hasil Analisis
110
Gambar 35 menunjukkan hubungan B?C ratio dengan skenario 1, 2, dan 3. Gambar 36 menunjukkan hubungan keuntungan per tahun dengan skenario 1, 2, dan 3.
B/C Ratio 1.6 1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0
B/C Ratio
Kondisi normal
Harga jual turun 20%
Harga jual turun 40%
Gambar 35 B/C ratio pada kondisi normal, harga jual turun 20% dan harga jual turun 40%
Keuntungan per tahun 15000000 10000000 5000000
Keuntungan per tahun
0 -5000000
Kondisi normal
Harga jual turun 20%
Harga jual turun 40%
Gambar 36 Keuntungan per tahun pada kondisi normal, harga jual turun 20% dan harga jual turun 40% Sub-model Kelayakan Usaha Industri Kecil Penyulingan Minyak Nilam Sub-Model ini bertujuan untuk mengetahui kelayakan industri kecil penyulingan minyak nilam dari segi aspek finansialnya. Perhitungan kriteria kelayakannya terdiri dari NPV (Net Present Value), BEP (Break Even Point), B/C Ratio, dan PBP (Pay Back Period). Perhitungan sub model ini dilakukan dengan menggunakan Microsoft excel 2007. Gambar 37 menunjukkan tampilan biaya
111
pembelian mesin, Gambar 38 menunjukkan tampilan jadwal angsuran pinjaman, dan Gambar 39 menunjukkan tampilan sub model kelayakan usaha industri kecil penyulingan minyak nilam. Gambar 40 menunjukkan diagram alir model kelayakan analisis kelayakan industri kecil penyulingan minyak nilam.
Gambar 37 Tampilan biaya pembelian mesin agroindustri minyak nilam PAP-Klaster
Gambar 38 Tampilan jadwal angsuran pinjaman agroindustri minyak nilam PAP-Klaster
112
Gambar 39 Tampilan sub model kelayakan usaha industri kecil penyulingan minyak nilam
113
Mulai
Input Basis Data Industri Kecil Penyulingan: 1. Biaya tetap: - Gaji karyawan tetap - Biaya tetap lainnya 2. Biaya tidak tetap: - Pemeliharaan tanaman - Pupuk, pestisida - Panen dan pascapanen -Biaya tidak tetap lainnya
Input Skenario ModelIndustri Kecil Penyulingan: Sumber dana Bank Konvensional Tenggang waktu pengembalian pinjaman kredit Umur ekonomis proyek Harga jual minyak nilam
Hitung: Biaya investasi - Biaya penyusutan Biaya operasional - Biaya pemeliharaan
Hitung: Analisis Laba-Rugi Analisis Cash-Flow
Hitung: IRR - PBP NPV - BEP B/C ratio
Layak?
Cetak Output: Kriteria kelayakan usaha Analisis Laba-Rugi Analisis Cash-Flow
Selesai
Gambar 40 Diagram alir sub model kelayakan usaha industri kecil penyulingan minyak nilam
114
Tampilan sub model kelayakan usaha industri kecil penyulingan terdiri dari: 1) Masukan model Masukan dari sub model kelayakan usaha industri kecil penyulingan minyak nilam untuk terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel, serta nilai-nilai asumsi untuk parameter yang digunakan dalam analisis. Perhitungan finansial industri kecil penyulingan minyak nilam dapat dilihat pada Lampiran 2) Analisis kelayakan usaha industri kecil penyulingan minyak nilam ini menggunakan beberapa asumsi, yaitu : Masa proyek 20 bulan Jangka waktu pengembalian pinjaman 20 bulan Kapasitas alat suling 300 kg nilam kering Rendemen sekitar 1,2% Jumlah kapasitas produksi sebesar 112,50 kg/bulan Lama penyulingan per satu kali suling adalah 8 jam Jumlah jam kerja adalah 8 jam/hari, 1 minggu 5 hari kerja atau sebanyak 260 hari/tahun Persentase terjual adalah 100% Harga jual minyak nilam adalah Rp 450.000 per kg Bunga bank yang berlaku adalah 12% Modal pinjaman dari bank sebesar 60% dan modal sendiri sebesar 40% Penyusutan peralatan sebesar 10% Persentase produksi tahun 1 sampai tahun ke 12 sebesar 100%. 3) Keluaran model Dalam penentuan kelayakan usaha perlu dilakukan pengujian terhadap tingkat sensitivitasnya. Pengujian dilakukan pada tiga kondisi yang berbeda. Skenario pertama adalah pada kondisi normal dengan menggunakan asumsi yang telah ditetapkan, penurunan harga jual minyak nilam sebesar 33,7%, 45% dan 50%. Skenario kedua adalah kondisi dimana terjadi kenaikan dan penurunan rendemen minyak nilam sebanyak 0,05%.
115
Skenario 1 Analisis sensitivitas pada skenario 1 dilakukan pada rendemen 1.2% dengan harga jual Rp 450 000, harga jual turun 33.7%, 45%, dan 50%. Dalam kondisi normal (rendemen 1,2% dan harga jual Rp 450.000), industri kecil penyulingan minyak nilam untuk masa proyek selama 1 tahun memiliki keuntungan bersih per tahunnya sebesar Rp 234 221 718; NPV sebesar Rp 216 615 449; IRR sebesar 47.99%; PBP selama 2.10 bulan; B/C Ratio sebesar 1.69. Hasil analisis menunjukkan bahwa pada kondisi normal industri kecil penyulingan layak untuk dijalankan. Bila harga jual diturunkan sebesar 33,7%, maka keuntungan bersih per tahun Rp 86 817 918; NPV sebesar Rp 78 362 017; IRR sebesar 20.68%; PBP selama 4.49 bulan; B/C ratio sebesar 1.26. Hasil analisis menunjukkan bahwa pada kondisi normal industri kecil penyulingan layak untuk dijalankan. Bila harga jual diturunkan sebesar 45%, maka keuntungan bersih per tahun Rp 37 391 718; NPV sebesar Rp 32 004 041; IRR sebesar 9.99%; PBP selama 7.18 bulan; B/C ratio sebesar 1.11. Hasil analisis menunjukkan bahwa pada kondisi normal industri kecil penyulingan layak untuk dijalankan. Sedangkan bila harga jual diturunkan sebesar 55%, maka keuntungan bersih per tahun Rp -6 348 282; NPV sebesar
Rp -9 020 717; IRR sebesar -2.05%;
PBP selama 21 bulan; B/C ratio sebesar 0,97. Hasil analisis menunjukkan bahwa pada kondisi normal industri kecil penyulingan tidak layak untuk dijalankan. Tabel 12 menunjukkan hasil perhitungan kelayakan usaha untuk industri kecil penyulingan dengan skenario 1.
116
Tabel 12 Hasil kelayakan finansial industri kecil penyulingan minyak nilam dengan rendemen 1.2% pada harga jual Rp 450 000, harga jual turun 33.37%, harga jual turun 45%, harga jual turun 55% Parameter Kelayakan
Kondisi Normal
Penurunan Harga jual 33,7%
Penurunan Harga Jual 45%
Penurunan Harga Jual 55%
Keuntungan bersih/tahun (Rp)
234 221 718
86 817 918
37 391 718
-6 348 282
NPV (Rp)
216 615 449
78 362 017
32 004 041
-9 020 717
47.99
20.68
9.99
-2.05
PBP (bulan)
2.10
4.49
7.18
21
B/C Ratio
1.69
1.26
1.11
0,97
LAYAK
LAYAK
LAYAK
TIDAK LAYAK
IRR (%)
Hasil Analisis
Merujuk pada hasil analisis sensitivitas skenario I, usaha industri kecil penyulingan minyak nilam layak dijalankan, bila penurunan harga jual minyak nilam minimal 45% dari kondisi awal yaitu pada harga jual Rp 247 500 per kg. Gambar 41 menunjukkan grafik B/C ratio pada ke empat kondisi di atas.
B/C ratio 1.8 1.6 1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0
Kondisi normal Penurunan harga Penurunan harga Penurunan harga jual 33.7% jual 45% jual 55%
Gambar 41 B/C ratio dengan rendemen 1.2% pada harga jual Rp 450 000, harga jual turun 33.37%, harga jual turun 45%, harga jual turun 55%
117
Gambar 42 menunjukkan hubungan keuntungan bersih per tahun pada ke empat kondisi di atas.
Keuntungan /tahun 250000000 200000000 150000000 100000000
50000000 0 Kondisi normal -50000000
Penurunan Penurunan Penurunan harga jual 33.7% harga jual 45% harga jual 55%
Gambar 42 Keuntungan bersih per tahun dengan rendemen 1.2% pada harga jual Rp 450 000, harga jual turun 33.37%, harga jual turun 45%, harga jual turun 50%
Skenario 2 Analisis sensitivitas pada skenario 2 dilakukan pada harga jual Rp 202 500 dan kenaikan rendemen minyak nilam sebesar 0.05%, yaitu pada rendemen 1.2%, 1.25%, 1.3% dan1.35%. Dengan rendemen 1.2%, maka keuntungan bersih per tahun Rp -6 348 282; NPV sebesar
Rp -9 020 717; IRR sebesar -2.05%; PBP selama 21 bulan; B/C
ratio sebesar 0.97. Hasil analisis menunjukkan bahwa pada kondisi normal industri kecil penyulingan tidak layak untuk dijalankan. Dengan kenaikan rendemen menjadi 1.25%, maka keuntungan bersih per tahun Rp 1 852 968; NPV sebesar
Rp -1 328 575; IRR sebesar 0.57%; PBP selama
21 bulan; B/C ratio sebesar 1.00. Hasil analisis menunjukkan bahwa pada kondisi normal industri kecil penyulingan tidak layak untuk dijalankan.
118
Dengan kenaikan rendemen menjadi 1,3%, maka keuntungan bersih per tahun Rp 10 054 218; NPV sebesar
Rp 6 363 567; IRR sebesar 2.98%; PBP selama
10.61 bulan; B/C ratio sebesar 1.02. Hasil analisis menunjukkan bahwa pada kondisi normal industri kecil penyulingan layak untuk dijalankan. Dengan kenaikan rendemen menjadi 1.35%, maka keuntungan bersih per tahun Rp 18 255 468; NPV sebesar Rp 14 055 709; IRR sebesar 5.22%; PBP selama 9.29 bulan; B/C ratio sebesar 1.05. Hasil analisis menunjukkan bahwa pada kondisi normal industri kecil penyulingan layak untuk dijalankan. Tabel 13 menunjukkan hasil perhitungan kelayakan usaha untuk industri kecil penyulingan dengan skenario 2. Tabel 13 Hasil kelayakan finansial industri kecil penyulingan minyak nilam dengan harga jual Rp 202 500 pada rendemen 1.2%, 1.25%, 1.3%, dan 1.35% Parameter Kelayakan
Rendemen 1,20%
Rendemen 1,25%
Rendemen 1,30%
Rendemen 1,35%
Keuntungan bersih/tahun (Rp)
-6 348 282
1 852 968
10 054 218
18 255 468
NPV (Rp)
-9 020 717
-1 328 575
6 363 567
14 055 709
-2.05
0.57
2.98
5.22
21
21
10.61
9.29
0,97
1.00
1.02
1.05
TIDAK LAYAK
TIDAK LAYAK
LAYAK
LAYAK
IRR (%) PBP (bulan) B/C Ratio Hasil Analisis
Berdasarkan hasil analisis sensitivitas skenario 2, usaha industri kecil penyulingan minyak nilam layak dijalankan bila rendemen minyak yang dihasilkan minimal 1.3%. Gambar 43 menunjukkan grafik hubungan B/C ratio dengan harga jual Rp 225 000 pada remdemen 1.2%, 1.25%, 1.3%, dan 1.35%. Gambar 44 menunjukkan grafik hubungan keuntungan bersih per tahun dengan harga jual Rp 202 500 pada remdemen 1.2%, 1.25%, 1.3%, dan 1.35%.
119
B/C ratio 1.06 1.04 1.02 1 0.98 0.96 0.94 0.92 Rendemen 1.2%
Rendemen 1.25%
Rendemen 1.3%
Rendemen 1.35%
Gambar 43 B/C ratio dengan harga jual Rp 202 500 pada rendemen 1.2%, 1.25%, 1.3%, dan 1.35%.
Keuntungan / tahun 20000000
15000000 10000000 5000000 0 Rendemen 1.2% Rendemen 1.25% Rendemen 1.3% Rendemen 1.35%
-5000000 -10000000
Gambar 44 Keuntungan bersih per tahun dengan harga jual Rp 202 500 pada remdemen 1.2%, 1.25%, 1.3%, dan 1.35%.. Merujuk pada hasil analisis sensitivitas, industri kecil penyulingan minyak nilam lebih sensitif terhadap perubahan rendemen minyak nilam dibandingkan terhadap perubahan harga jual minyak nilam. Pada rendemen 1.2%, usaha industri kecil penyulingan layak dijalankan minimal pada harga jual Rp 247 500. Sedangkan jika harga jual minyak nilam Rp 202 500, maka usaha industri kecil penyulingan layak dijalankan minimal pada rendemen 1.3%.
120
Model Kesepakatan Harga Untuk memperoleh model kesepakatan harga digunakan metode optimasi dengan teknik Fibonacci. Kuester dan Mize (1973) menyatakan teknik Fibonacci merupakan sebuah prosedur untuk melakukan aliminasi interval yang dimulai dengan batasan awal dari peubah-peubah bebas. Teknik Fibonacci termasuk metode pencarian pada kelompok optimisasi problema tak linier berkendala variabel tunggal. Komponen-komponen biaya yang perlu diperhatikan dalam optimalisasi harga kesepakatan ini meliputi biaya-biaya yang dikeluarkan usahatani maupun industri kecil penyulingan, diantaranya adalah biaya produksi, biaya pemanenan, biaya penyimpanan, dan biaya transportasi. Harga kesepakatan (win-win solution) nilam ditentukan berdasarkan selisih antara harga yang diharapkan usahatani dan harga yang diharapkan oleh industri kecil penyulingan minyak nilam. Dalam hal ini usahatani mengharapkan harga jual nilam kering yang tinggi sesuai dengan harga produksi yang dikeluarkannya dan di sisi lain industri kecil penyulingan minyak nilam mengharapkan harga beli nilam yang rendah untuk memperoleh keuntungan yang maksimal. Berdasarkan hal tersebut maka yang menjadi fungsi tujuannya adalah usaha untuk mengeliminasi selisih harga tersebut untuk memperoleh harga yang adil. Model kesepakatan harga dirancang dengan tujuan untuk memperoleh optimasi kesepakatan: (1) harga
jual nilam antara usahatani nilam dengan industri kecil
penyulingan, dan (2) harga jual minyak nilam antara industri kecil penyulingan dengan industri penyulingan/eksportir, yang selanjutnya disebut eksportir. Model ini diharapkan dapat berguna bagi: (1) usahatani, industri kecil penyulingan dan eksportir guna mendapatkan keuntungan yang adil dan transparansi, (2) pengusaha atau investor yang ingin menanamkan modalnya pada usahatani nilam dan industri kecil penyulingan minyak nilam, (3) lembaga pembiayaan usaha untuk penyaluran kredit bagi pengusaha, dan (4) Pemerintah Daerah dalam memfasilitasi sistem pemberdayaan masyarakat perdesaan dalam klaster agroindustri minyak atsiri berupa formulasi kebijakan, perbaikan infrastruktur, dan mendorong bentuk pengusahaan nilam secara terintegrasi melalui “PAP-Klaster”. Input data model kelayakan usaha dilakukan melalui dua cara yaitu input data yang tersimpan dalam file data struktur biaya usahatani nilam dan industri kecil
121
penyulingan minyak nilam serta masukan data dan informasi langsung dari pengguna. Struktur biaya eksportir diperoleh dari informasi dari pengguna dan pakar. Formulasi yang digunakan untuk menghitung optimasi kesepakatan harga dilakukan bedasarkan program Optsys. Skenario yang dilakukan pada model kesepakatan harga ini terdiri dari tiga skenario, yaitu: (1) pada kondisi normal, yaitu kondisi saat penelitian, (2) pada saat produktiktivas usahatani tinggi, harga jual minyak nilam murni rendah, dan (3) pada saat produktivitas usahatani rendah, harga jual minyak nilam murni tinggi. Analisis sensitivitas dilakukan terhadap ketiga skenario tersebut. Output model kesepakatan harga berupa kesepakatan harga jual nilam antara usahatani dengan industri kecil penyulingan, dan kesepakatan harga jual minyak nilam antara industri kecil penyulingan dan eksportir minyak nilam.
Sub-model Kesepakatan Harga Jual Nilam Harga beli nilam oleh industri kecil penyulingan.minyak nilam dipengaruhi oleh harga jual minyak nilam, biaya penyulingan/pengolahan, biaya simpan dan transportasi serta keuntungan industri. Harga jual nilam oleh usahatani dihitung dengan memperhatikan luas lahan, biaya total usaha tani, produktivitas lahan dan keuntungan usaha tani. Untuk menghitung keuntungan yang diharapkan oleh usahatani digunakan. Nilai Kebutuhan Hidup Minimum (Upah Minimum Ratarata/UMR) yang berlaku di Kabupaten Kuningan yaitu Rp 700 000. Tampilan sub model kesepakatan harga jual nilam antara usahatani dengan industri kecil penyulingan terdiri dari: 1) Masukan model Masukan dari sub model kesepakatan harga jual nilam antara usahatani dengan industri kecil penyulingan terdiri dari biaya usahatani dan biaya industry kecil penyulingan, serta nilai-nilai asumsi untuk parameter yang digunakan dalam analisis. 2) Optimasi kesepakatan harga jual nilam menggunakan beberapa asumsi teknis, yaitu pada usahatani nilam, yang dihasilkan oleh petani dengan luas lahan 1 hektar, berdasarkan studi kasus di Kabupaten Kuningan dan Brebes: a) Produksi total nilam basah per tahun, 1 tahun 3x panen, sebesar 36 000 kg; b) Panen
122
pertama pada bulan ke-6, selanjutnya tiap 3 bulan sekali; c) Harga jual nilam basah Rp 1 200 per kg; d) Total penerimaan usahatani sebesar Rp 43 200 000 /ha/tahun; e) Merujuk pada arus kas usahatani, total biaya usahatani per tahun Rp 15 169 000; f) Keuntungan usahatani per tahun yaitu Rp 28 031 000 . Pada industri kecil penyulingan, berdasarkan studi kasus di Kabupaten Kuningan dan Brebes, dalam satu kali penyulingan diperlukan: a) Bahan baku nilam kering 300 kg; b) Rendemen 1.5%; c) Jumlah minyak yang dihasilkan 4.5 kg; d) Harga nilam kering sekitar 3.75 x harga nilam basah, jadi harga nilam kering Rp 4 500/kg; e) Merujuk pada biaya operasional, total biaya pengolahan Rp 341 578/kg; f) Harga pasar minyak nilam tahun 2011 Rp 450 000/kg; g) Biaya simpan dan transportasi Rp 2 500/kg; h) Keuntungan per kg diasumsikan 4% dari harga jual minyak/kg, yaitu Rp 18 000; i) 1 kg minyak nilam membutuhkan 66 kg nilam kering (4.5 kg minyak nilam membutuhkan 300 kg nilam kering). 3) Keluaran model Keluaran dari sub-model kesepakatan harga jual nilam adalah harga jual nilam yang dapat menguntungkan usahatani dan industri kecil penyulingan. Validasi model dengan melakukan pengujian tingkat sensitivitasnya pada tiga kondisi yang berbeda. Skenario pertama adalah pada kondisi produktivitas usahatani sedang, yaitu total produksi 36 000 kg per tahun, harga jual nilam per kg Rp 1 200 dan harga jual minyak nilam kasar per kg Rp 450 000. Skenario kedua adalah pada saat produktiktivas usahatani tinggi,yaitu total produksi 42 000 kg nilam per tahun, harga jual nilam per kg Rp 1 000, dan harga jual minyak nilam kasar per kg Rp 400 000. Skenario ketiga adalah pada saat produktiktivas usahatani rendah,yaitu total produksi 24 000 kg nilam per tahun, harga jual nilam per kg Rp 1 400, dan harga jual minyak nilam kasar per kg Rp 525 000. Perhitungannya menggunakan teori optimasi dengan program Optsys. Skenario 1 Analisis sensitivitas pada skenario 1 dilakukan pada kondisi produktivitas usahatani sedang, yaitu harga jual nilam Rp 1 200 per kg dan harga jual minyak nilam kasar Rp 450 000 per kg. Biaya pengolahan industri kecil penyulingan sebesar Rp 41 578 yaitu (biaya tenaga kerja+energy+air+listrik+jerigen)/4.5 kg.
123
Keuntungan industri kecil penyulingan diasumsikan 10% dari harga jual minyak nilam yaitu Rp 45 000/ kg.
Rumus kesepakatan harga jual nilam (HJn) dan harga beli nilam (HBn): /kg Keterangan: LL BT KT PL
= = = =
luas lahan (ha) biaya usaha tani (Rp/ha/tahun) keuntungan usaha tani (Rp/tahun) produktivitas lahan (kg/ha/tahun)
Jadi, HJn = Rp 1 200 per kg HBn
= HJmn - BP - BS – KI = 450 000 –41 578 – 2 500 – 45 000 = Rp 360 922/ 250 kg nilam basah = Rp 1 444 /kg nilam basah
Keterangan: HJmnk BP BS KI
= = = =
harga jual minyak nilam kasar (Rp/kg) biaya pengolahan (Rp/kg) biaya simpan dan transportasi (Rp/kg) keuntungan industri kecil penyulingan (Rp/kg)
Jadi, HBn = Rp 1 444 per kg Fungsi tujuan: Maksimumkan (HBn – X) (X – HJn) Dengan kendala: HBn > X > HJn Dengan menggunakan program OPTSYS, hasil perhitungan menunjukkan bahwa pada kondisi produktivitas usahatani sedang, kesepakatan harga jual nilam dari usahatani dan harga beli nilam dari industri kecil penyulingan adalah Rp 1 321.98 per kg atau Rp 1 322 per kg Skenario 2 Analisis sensitivitas pada skenario 2 dilakukan pada saat produktiktivas usahatani tinggi,yaitu total produksi nilam 42 000 kg per tahun, harga jual nilam per kg Rp 1 000, biaya operasional usahatani Rp 13 652 100 per tahun, dan keuntungan usahatani Rp 28 347 900 per tahun.
124
Rumus kesepakatan harga jual nilam (HJn) dan harga beli nilam (HBn): /kg Keterangan: LL BT KT PL
= = = =
luas lahan (ha) biaya usaha tani (Rp/ha/tahun) keuntungan usaha tani (Rp/tahun) produktivitas lahan (kg/ha/tahun)
Jadi, HJn = Rp 1 000 per kg Pada industri kecil penyulingan, biaya pengolahan Rp 41 578 per kg, biaya simpan dan transportasi Rp 2 500, keuntungan industri 10% dari harga jual minyak nilam,per kg yaitu Rp 40 000, dan harga jual minyak nilam kasar Rp 400 000 per kg. HBn = HJmn - BP - BS – KI = 400 000 – 41 578 – 2 500 – 40 000 = Rp 315 922 / 250 kg nilam basah = Rp 1 264/ kg nilam basah Keterangan: HJmnk BP BS KI
= = = =
harga jual minyak nilam kasar (Rp/kg) biaya pengolahan (Rp/kg) biaya simpan dan transportasi (Rp/kg) keuntungan industri kecil penyulingan (Rp/kg)
Jadi, HBn= Rp 1 264 per kg Fungsi tujuan: Maksimumkan (HBn – X) (X – HJn) Dengan kendala: HBn > X > HJn Dengan menggunakan program OPTSYS, hasil perhitungan menunjukkan bahwa pada kondisi normal kesepakatan harga jual nilam dari usahatani dan harga beli nilam dari industri kecil penyulingan adalah Rp 1 131.97 per kg atau Rp 1 132 per kg. Skenario 3 Analisis sensitivitas pada skenario 3 dilakukan pada saat produktiktivas usahatani rendah,yaitu produksi total 24 000 kg nilam per tahun, harga jual nilam per kg Rp 1 400, biaya operasional usahatani Rp 20 400 000 per tahun, keuntungan usahatani Rp 13 200 000.
125
Rumus kesepakatan harga jual nilam (HJn) dan harga beli nilam (HBn): /kg Keterangan: LL BT KT PL
= = = =
luas lahan (ha) biaya usaha tani (Rp/ha/tahun) keuntungan usaha tani (Rp/tahun) produktivitas lahan (kg/ha/tahun)
Jadi, HJn = Rp 1 400 per kg Pada industri kecil penyulingan, biaya pengolahan Rp 41 578 per kg, biaya simpan dan transportasi Rp 2 500, keuntungan industri 10% dari harga jual minyak nilam per kg, yaitu Rp 52 500, dan harga jual minyak nilam kasar Rp 525 000 per kg.
HBn
= HJmnk- BP - BS – KI = 525 000 – 41 578 – 2 500 – 52 500 = Rp 428 422 / 250 kg nilam basah = Rp 1 714/ kg nilam basah
Keterangan: HJmnk BP BS KI
= = = =
harga jual minyak nilam biaya pengolahan biaya simpan dan transportasi keuntungan industri kecil penyulingan
Jadi, HBn= Rp 1 714 per kg Fungsi tujuan: Maksimumkan (HBn – X) (X – HJn) Dengan kendala: HBn > X > HJn Dengan menggunakan program OPTSYS, hasil perhitungan menunjukkan bahwa pada kondisi normal kesepakatan harga jual nilam dari usahatani dan harga beli nilam dari industri kecil penyulingan adalah Rp 1 556.97 per kg atau Rp 1 557 per kg. Sub-model Kesepakatan Harga Jual Minyak Nilam Harga beli minyak nilam oleh eksportir dipengaruhi oleh harga jual minyak nilam, biaya pengolahan, biaya simpan dan transportasi serta keuntungan eksportir. Harga jual nilam oleh industri kecil penyulingan minyak nilam dihitung dengan
126
memperhatikan kapasitas alat penyulingan, biaya total industri kecil penyulingan, produktivitas penyulingan dan keuntungan industri kecil penyulingan. Tampilan sub model kesepakatan harga jual minyak nilam antara industri kecil penyulingan dengan eksportir terdiri dari: 1) Masukan model Masukan dari sub model kesepakatan harga jual minyak nilam antara industri kecil penyulingan dengan eksportir terdiri dari biaya industri kecil penyulingan dan biaya eksportir, serta nilai-nilai asumsi untuk parameter yang digunakan dalam analisis. 2) Optimasi kesepakatan harga jual minyak nilam menggunakan beberapa asumsi yang digunakan pada industri kecil penyulingan dengan kapasitas alat penyulingan 300 kg. Pada industri kecil penyulingan, dalam satu kali penyulingan diperlukan: a) Bahan baku nilam kering 300 kg; b) Rendemen 1.5%; c) Jumlah minyak yang dihasilkan 4.5 kg; d) Merujuk pada biaya operasional, total biaya pengolahan Rp 1 537 100 per kali suling; e) Harga pasar minyak nilam Rp 450 000 per kg Pada eksportir, data yang diperlukan merujuk pada informasi pelaku maupun pakar, yaitu: a) Harga pasar minyak nilam murni Rp 540 000 per kg; b) Biaya pengolahan 5% dari harga jual minyak nilam murni, yaitu Rp 27 500; c) Biaya simpan 4% dari harga minyak nilam murni, yaitu Rp 21 600; d) Keuntungan per kg diasumsikan 5% dari harga jual minyak murni per kg, yaitu Rp 27 000. 3) Keluaran model Keluaran dari sub-model kesepakatan harga jual minyak nilam adalah harga jual minyak nilam yang dapat menguntungkan industri kecil penyulingan dan eksportir. Validasi model dengan melakukan pengujian tingkat sensitivitasnya pada tiga kondisi yang berbeda. Skenario pertama adalah pada kondisi produktivitas usahatani sedang, yaitu harga jual nilam per kg Rp 1 200, harga jual minyak nilam kasar per kg Rp 450 000 dan harga jual minyak nilam murni per kg Rp 540 000. Skenario kedua adalah pada saat produktiktivas usahatani tinggi,yaitu produksi total 42 000 kg nilam per tahun, harga jual nilam per kg Rp 1 000, dan harga jual minyak nilam kasar per kg Rp 400 000, dan harga jual minyak nilam murni
127
Rp 450 000 per kg. Skenario ketiga adalah pada saat produktiktivas usahatani rendah,yaitu produksi total 24 000 kg nilam per tahun, harga jual nilam Rp 1 400 per kg, dan harga jual minyak nilam kasar Rp 525 000 per kg. Perhitungannya menggunakan teori optimasi dengan program Optsys. Skenario 1 Analisis sensitivitas pada skenario 1 dilakukan pada kondisi produktivitas usahatani sedang, yaitu harga jual minyak nilam kasar dari industri kecil penyulingan adalah Rp 450 000 per kg, biaya pengolahan per kali suling Rp 1 537 100, produktivitas industri 4.5 kg/unit/1x suling dan keuntungan industri kecil penyulingan Rp 487 900 per kali suling. Jadi, HJmnk= Rp 450 000 per kg Pada eksportir, harga jual minyak nilam murni per kg sebesar $ 60 atau Rp 540 000 (kurs US$1=Rp 9 000). Keuntungan eksportir diasumsikan 5% dari harga jual minyak nilam murni, yaitu Rp 27 000 per kg. = HJmnm – BPe - BSe – KE = 540 000 – 27 000 – 21 600 – 27 000 = Rp 464 400 /kg
HBmnk
Keterangan: HJmnm BPe BSe KE
= = = =
harga jual minyak nilam murni (Rp/kg) biaya pengolahan eksportir (Rp/kg) biaya simpan dan transportasi eksportir (Rp/kg) keuntungan eksportir (Rp/kg)
Jadi, HBmnk = Rp 464 400 per kg Fungsi tujuan: Maksimumkan (HBmnk – X) (X – HJmnk) Dengan kendala: HBmnk > X > HJmnk Dengan menggunakan program OPTSYS, hasil perhitungan menunjukkan bahwa pada kondisi produktivitas usahatani sedang, kesepakatan harga jual minyak nilam dari industri kecil penyulingan dan harga beli minyak nilam kasar oleh eksportir adalah Rp 457 199 per kg.
128
Skenario 2 Analisis sensitivitas pada skenario 2 dilakukan pada pada saat produktiktivas usahatani tinggi, harga jual minyak nilam kasar per kg Rp 400 000, biaya pengolahan per kali suling Rp 1 342 100 (merujuk biaya operasional), pendapatan Rp 1 800 000, produktivitas industri 4.5 kg/unit/1x suling dan keuntungan industri kecil penyulingan Rp 457 900 per kali suling Jadi, HJmnk = Rp 400 000 per kg Pada eksportir, biaya operasional 2.5% dari harga jual minyak nilam murni sebesar Rp 11 250, biaya simpan 2.5% dari harga jual minyak nilam murni sebesar Rp 11 250, keuntungan eksportir 4% dari harga jual minyak nilam murni sebesar Rp 18 000. Harga jual minyak nilam murni per kg sebesar $ 50 atau Rp 450 000 (kurs US$1=Rp 9 000). Rumus kesepakatan harga beli minyak nilam kasar (HBmnk): = HJmnm - BPe - BSe – KE = 450 000 – 11 250 – 11 250 – 18 000 = Rp 409 500 /kg
HBmnk
Keterangan: HJmnm BPe BSe KE
= = = =
harga jual minyak nilam murni (Rp/kg) biaya pengolahan eksportir (Rp/kg) biaya simpan dan transportasi eksportir (Rp/kg) keuntungan eksportir (Rp/kg)
Jadi, HBmnk = Rp 409 500 per kg Fungsi tujuan: Maksimumkan (HBmnk – X) (X – HJmnk) Dengan kendala: HBmnk > X > HJmnk Dengan menggunakan program OPTSYS, hasil perhitungan menunjukkan bahwa pada kondisi produktivitas usahatani tinggi, kesepakatan harga jual minyak nilam dari industri kecil penyulingan dan harga beli minyak nilam kasar oleh eksportir adalah Rp 400 000 per kg. Skenario 3 Analisis sensitivitas pada skenario 3 dilakukan pada pada saat produktiktivas usahatani rendah, harga jual minyak nilam kasar per kg Rp 525 000, biaya operasional per kali suling Rp 1 792 100 (merujuk biaya operasional), pendapatan
129
Rp 2 362 500, produktivitas industri 4.5 kg/unit/1x suling, dan keuntungan industri Rp 570 400 per kali suling. Jadi, HJmnk = Rp 525 000 per kg Pada eksportir, biaya operasional 5% dari harga jual minyak nilam murni sebesar Rp 31 500, biaya simpan 5% dari harga jual minyak nilam murni sebesar Rp 31 500, keuntungan eksportir 5% dari harga jual minyak nilam murni sebesar Rp 31 500. Harga jual minyak nilam murni per kg sebesar $ 70 atau Rp 630 000 (kurs US$1=Rp 9 000). Rumus kesepakatan harga beli minyak nilam kasar (HBmnk): = HJmnm - BPe - BSe – KE = 630 000 – 31 500 – 31 500 – 31 500 = Rp 535 500 /kg
HBmnk
Keterangan: HJmnm BPe BSe KE
= = = =
harga jual minyak nilam murni (Rp/kg) biaya pengolahan eksportir (Rp/kg) biaya simpan dan transportasi eksportir (Rp/kg) keuntungan eksportir (Rp/kg)
Jadi, HBmnk = Rp 535 500 per kg Fungsi tujuan: Maksimumkan (HBmnk – X) (X – HJmnk) Dengan kendala: HBmnk > X > HJmnk Dengan menggunakan program OPTSYS, hasil perhitungan menunjukkan bahwa pada produktivitas usahatani rendah, kesepakatan harga jual minyak nilam kasar dari industri kecil penyulingan dan harga beli minyak nilam kasar oleh eksportir adalah Rp 530 249 per kg. Merujuk pada Skenario 1, 2, dan 3 dari sub-model kesepakatan harga jual nilam dan sub-model harga jual minyak nilam,dilakukan validasi harga jual nilam dan minyak nilam dengan menggunakan tiga skenario.Total penerimaan dan biaya operasional merujuk pada aliran kas. Biaya operasional eksportir dihitung sebagai kesepakatan harga beli minyak nilam + biaya pengolahan 5% + biaya simpan 5%. Skenario 1 Validasi kesepakatan harga jual nilam dan minyak nilam dilakukan dengan analisis sensitivitas terhadap margin keuntungan yang dihasilkan oleh usahatani,
130
industri kecil penyulingan , dan eksportir. Skenario 1 dilakukan pada produktivitas usahatani sedang, yaitu total produksi 36 000 kg nilam per tahun, kesepakatan harga jual nilam Rp 1 322, kesepakatan harga jual minyak nilam kasar Rp 457 199 per kg, total produksi eksportir 50 000 kg minyak per tahun dan harga jual minyak nilam murni Rp 540 000 per kg. Tabel 14 menunjukkan margin keuntungan dari ketiga pelaku usaha pada skenario 1. Tabel 14 Margin keuntungan usahatani, industri kecil penyulingan dan eksportir pada kesepakatan harga jual nilam Rp 1 322 per kg, kesepakatan harga jual minyak nilam Rp 457 199 per kg No
Uraian
Usahatani
Industri Kecil Penyulingan
Eksportir
1
Penerimaan per tahun (Rp)
47 592 000
246 887 460
27 000 000 000
2
Biaya operasional/ tahun (Rp)
20 400 000
184 452 000
24 209 950 000
3
Margin keuntungan/tahun (Rp)
27 192 000
44 435 460
2 790 050 000
4
Margin keuntungan / tahun (%)
57.71
18
10.34
Skenario 2 Skenario 2 dilakukan pada produktivitas usahatani tinggi, yaitu total produksi 42 000 kg nilam per tahun, kesepakatan harga jual nilam Rp 1 132/kg, kesepakatan harga jual minyak nilam Rp 404 749 per kg, total produksi eksportir 70 000 kg minyak per tahun dan harga jual minyak nilam murni Rp 450 000 per kg. Tabel 15 menunjukkan margin keuntungan dari ketiga pelaku usaha pada skenario 2. Tabel 15 Margin keuntungan usahatani, industri kecil penyulingan dan eksportir pada kesepakatan harga jual nilam Rp 1 132 per kg, kesepakatan harga jual minyak nilam Rp 404 749 per kg No.
Uraian
Usahatani
Industri Kecil Penyulingan
Eksportir
1
Penerimaan per tahun (Rp)
47 544 000
254 991 870
31 500 000 000
2
Biaya operasional/tahun (Rp)
18 360 000
204 484 000
29 119 930 000
3
Margin keuntungan/tahun (Rp)
28 184 000
49 507 870
2 380 070 000
4
Margin keuntungan/ tahun (%)
59.27
19.42
7.56
131
Skenario 3 Skenario 3 dilakukan pada produktivitas usahatani rendah, yaitu total produksi 24 000 kg nilam per tahun, kesepakatan harga jual nilam Rp 1 557/kg, kesepakatan harga jual minyak nilam kasar Rp 530 249 per kg, total produksi eksportir 20 000 kg minyak per tahun dan harga jual minyak nilam murni Rp 630 000 per kg. Tabel 16 menunjukkan margin keuntungan dari ketiga pelaku usaha pada skenario 3. Tabel 16 Margin keuntungan usahatani, industri kecil penyulingan dan eksportir pada kesepakatan harga jual nilam Rp 1 474 per kg, kesepakatan harga jual minyak nilam Rp 530 249 per kg No
Uraian
Usahatani
Industri Kecil Penyulingan
Eksportir
1
Penerimaan per tahun (Rp)
37 368 000
191 696 400
12 600 000 000
2
Biaya operasional/ tahun (Rp)
27 435 000
147 688 000
11 234 980 000
3
Margin keuntungan/tahun (Rp)
9 933 000
44 008 400
1 365 020 000
4
Margin keuntungan / tahun (%)
26.58
22.96
10.83
Merujuk pada hasil analisis sensitivitas kesepakatan harga jual nilam dan minyak nilam, margin keuntungan tertinggi dari usahatani dan industri kecil penyulingan terjadi pada produktivitas usahatani tinggi atau skenario 2. Pada produktivitas usahatani rendah atau skenario 3, margin keuntungan usahatani sangat turun dibandingkan dengan skenario 1 dan 2. Sedangkan margin keuntungan industri kecil penyulingan dan eksportir sedikit meningkat. Gambar 45 menunjukkan margin keuntungan dari para pelaku usaha pada produktivitas sedang, rendah dan tinggi.
132
Kesepakatan Harga Jual Nilam dan Minyak Nilam Margin Keuntungan (%)
70 60 Usahatani
50
40
Industri Kecil Penyulingan
30 20
Eksportir
10 0 Skenario 1
Skenario 2
Skenario 3
Gambar 45 Analisis sensitivitas kesepakatan harga jual nilam dan minyak nilam
Model Pengukuran Kinerja Model pengukuran kinerja dirancang dengan tujuan untuk mengetahui keberhasilan atau kinerja klaster agroindustri minyak nilam yang diukur berdasarkan beberapa kriteria yang selanjutnya dapat diderivasikan menjadi beberapa sub kriteria. Dalam perancangan model pengukuran kinerja ini menggunakan metode IPMS dan identifikasi kriteria-kriteria perlu dilakukan secara akurat. Identifikasi kriteria kinerja klaster agroindustri minyak nilam tidak sepenuhnya berdasarkan pengetahuan dari pakar, melainkan juga dari hasil kajian dan analisa yang telah dilakukan sebelumnya. Brainstorming dan akuisisi pendapat dari pakar diperlukan untuk mengklarifikasi, memverifikasi dan sekaligus memberikan masukan tambahan kriteria yang masih belum teridentifikasi. Oleh karena itu penyusunan kuesioner untuk pakar didasarkan pada hirarki kriteria. Selanjutnya berdasarkan hirarki kriteria tersebut disusun penilaian terhadap beberapa kriteria dan sub kriteria yang telah didefinisikan. Pada penelitian ini identifikasi kebutuhan stakeholder dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang ditujukan pada sejumlah pakar baik di bidang praktisi, akademisi, maupun pemerintahan.
133
Identifikasi Kebutuhan Stakeholder Informasi
tentang
kebutuhan
Stakeholder
sangat
diperlukan
dalam
perancangan sistem pengukuran kinerja Usahatani dan Industri Kecil Penyulingan pada Klaster Agroindustri Minyak Nilam. Stakeholder adalah seluruh elemen pemangku kepentingan yang terdiri dari pelaku industri baik inti maupun pendukung dan institusi terkait lainnya, termasuk di dalamnya adalah pemerintah sebagai pengambil kebijakan. Berdasarkan pendekatan sistem dan pembagian level organisasi dapat diketahui stakeholder Usaha Tani dan Industri Kecil Penyulingan adalah pihak-pihak yang
terkait
dengan
klaster
agroindustri
minyak
nilam
seperti
petani,
pedagang/pengumpul nilam kering, petani-penyuling, industri kecil penyulingan, pedagang/pengumpul minyak nilam dan industri pendukung lainnya termasuk institusi/dinas
terkait.
Dari
masing-masing
stakeholder
tersebut
kemudian
diidentifikasi kebutuhannya dan dilakukan seleksi untuk melihat adanya kesamaan kebutuhan dari masing-masing stakeholder. Pada penelitian ini identifikasi kebutuhan stakeholder dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang ditujukan pada sejumlah pakar dan pelaku. Pakar dalam konteks adalah individu yang mempunyai komitmen, kompetensi dan kapasitas secara substansi yang diharapkan dapat merepresentasikan pandangan/jawaban dari seluruh stakeholder Usahatani dan Industri Kecil Penyulingan dalam Klaster Agroindustri Minyak Nilam. Hasil identifikasi kebutuhan stakeholder dilakukan pembobotan dengan perbandingan berpasangan. Tabel 17 menunjukkan pembobotan Indikator Kinerja (IK) usahatani dan industri kecil penyulingan.
Tabel 17 Nilai bobot Indikator Kinerja usahatani nilam dan industri kecil penyulingan minyak nilam No 1
Kriteria dan Sub Kriteria LEVEL HARAPAN 1.1 Peningkatan kesejahteraan pelaku 1.2 Rantai nilai yang kokoh 1.3 Keunggulan komparatif yang berkelanjutan
Bobot relatif (%) 45.58 25.91 10.24
134
1.4 1.5 2
3
4
Kemampuan berinovasi Pertumbuhan hasil usahatani dan industri kecil penyulingan minyak nilam LEVEL KRITERIA UTAMA 2.1 Aspek ekonomi 2.2 Aspek lingkungan 2.3 Aspek teknis 2.4 Aspek sosial LEVEL SUB KRITERIA 3.1 Akseptabilitas sosial 3.2 Ketenagakerjaan 3.3 Akseptabilitas teknis 3.4 Finansial 3.5 Pertumbuhan 3.6 Kapasitas produksi industri penyulingan minyak nilam 3.7 Kelembagaan 3.8 Pasokan nilam kering 3.9 Pendistribusian minyak nilam LEVEL SUB SUB KRITERIA 4.1 Kriteria ketenagakerjaan 4.1.1 Penyerapan tenaga kerja 4.1.2 Kualitas SDM 4.1.3 Sarana peningkatan kualitas SDM 4.2 Kriteria kelembagaan 4.2.1 Efektivitas fungsional 4.2.2 Keterwakilan industri 4.3 Kriteria finansial 4.3.1 Harga beli nilam kering dan minyak nilam 4.3.2 Harga jual minyak nilam kasar 4.3.3 Penjualan nilam dan minyak nilam tahunan 4.3.4 Keuntungan usahatani dan industri kecil tahunan 4.4 Kriteria pertumbuhan 4.4.1 Pertumbuhan usahatani dan industri kecil minyak nilam 4.4.2 Kontribusi terhadap devisa tahunan
9.51 8.75
43.54 31.70 13.75 11.01 19.52 18.18 15.85 14.51 14.51 10.20 3.67 2.79 0.76
6.06 6.06 6.06 1.84 1.84 5.99 3.22 3.22 2.08 12.70 1.81
Tabel 17 Nilai bobot Indikator Kinerja usahatani nilam dan industri kecil penyulingan minyak nilam (lanjutan) No
Kriteria dan Sub Kriteria 4.5 4.5.1 4.5.2 4.5.3 4.6
Kriteria Pasokan nilam dan minyak nilam Pasokan nilam dan minyak nilam tahunan Pasokan nilam sekali panen Keterlambatan pasokan Kapasitas usahatani dan industri kecil
Bobot relatif (%) 1.34 1.13 0.32
135
4.6.1 4.6.2 4.6.3 5.1 5.1.1 5.1.2 5.1.3 5.1.4 5.1.5 5.2 5.2.1 5.2.2 5.3 5.3.1 5.3.2 5.4 5.4.1 5.4.2 5.5 5.5.1 5.5.2 6.1 6.1.1 6.1.2
Luas lahan dan kapasitas penyulingan Frekuensi panen dan penyulingan Rendemen Kualitas SDM Lulus > SMU Lulus SMU Lulus SMP Lulus SD Tidak lulus SD Sarana peningkatan kualitas SDM Jumlah Balai Pelatihan Pertanian dan Industri Nilam Jumlah Sekolah Kejuruan Pertanian dan Pengolahan Hasil Nilam Efektivitas fungsional Kualitas sistem evaluasi Mekanisme koordinasi Keterwakilan industri Jumlah usahatani dan industri kecil penyulingan Jumlah industri pendukung Penyerapan tenaga kerja Jumlah tenaga kerja Tingkat turn over tenaga kerja Mekanisme koordinasi kelembagaan Prosentase kehadiran wakil usahatani dan industri kecil Jumlah pertemuan
0.34 0.34 0.34 1.40 1.40 1.40 1.40 0.47 3.03 3.03
0.92 0.92 0.92 0.92 3.03 3.03 0.80 0.11
Penetapan Tujuan (Objectives) Setelah kebutuhan stakeholder ditentukan, kemudian ditetapkan tujuannya. Dari hasil penelitian dapat ditentukan 5 tujuan sebagai upaya yang akan dilakukan industri kecil penyulingan minyak nilam dalam memenuhi keinginan dari stakeholder. Kelima tujuan yang dimaksud yaitu (1) peningkatan kesejahteraan pelaku usaha (45.58%), (2) rantai nilai yang kokoh (25.91%), (3) keunggulan komparatif yang berkelanjutan (10.24%) (4) kemampuan berinovasi (9.51%), dan (5) pertumbuhan usahatani dan industri kecil penyulingan (8.76%). Penetapan Indikator Kinerja Kunci Dari hasil kuesioner para pakar dapat dirumuskan sebuah struktur hirarki kriteria klaster agroindustri minyak nilam. Seluruh kriteria dan sub kriteria yang berhasil diderivasi memiliki prioritas yang berbeda dalam penentuan kinerja agroindustri
136
minyak nilam. Penentuan didasarkan pada bobot masing-masing yang dihasilkan dari pengolahan hasil penilaian pakar dengan menggunakan metode Proses Hirarki Analitik (PHA). Seluruh kriteria dan sub kriteria yang berhasil diderivasi memiliki prioritas yang berbeda dalam penentuan kinerja usaha tani nilam. Rekapitulasi hasil eksplorasi kriteria keberhasilan usahatani nilam dan industri kecil penyulingan minyak nilam menunjukkan bahwa terdapat 51 Indikator Kinerja (IK) yang tersusun berdasarkan level harapan, kriteria dan sub kriteria. Indikator Kinerja Kunci (IKK) ditetapkan sebagai ukuran untuk mengetahui tingkat pencapaian masing-masing tujuan. Dari 51 IK yang dihasilkan dapat ditetapkan 16 IKK. Tabel 18 menunjukkan 16 IKK yang berhasil diidentifikasi dari 51 Indikator Kinerja. Validasi IKK Validasi IKK dilakukan setelah IKK yang teriidentifikasi disusun dalam bentuk hirarki Sistem Perancangan Kinerja dengan metode Proses Hirarki Analitik (PHA). Dari hirarki sistem perancangan kinerja dihasilkan level teratas kinerja agroindustri minyak nilam, level di bawahnya kriteria kinerja dilihat dari berbagai aspek dan level paling bawah adalah IKK. Proses validasi ini dilakukan dengan cara mengembalikan hirarki SPK tersebut kepada pengambil keputusan di agroindustri minyak nilam untuk memberikan penilaian apakah IKK dan hirarki SPK yang ada sudah sesuai atau belum dalam arti valid atau perlu perbaikan. Berdasarkan proses validasi yang dilakukan ternyata IKK yang tersusun dinyatakan valid berdasarkan pendekatan sistem bisnis agroindustri penyulingan minyak nilam.
Tabel 18 Daftar alternatif Indikator Kinerja Kunci No. IKK 1 2
Kriteria / Sub Kriteria Penyerapan Tenaga Kerja Kualitas SDM
No.
Indikator Kinerja Kunci (IKK)
1
Jumlah tenaga kerja (%)
2
Tingkat turn over tenaga kerja
1
Jumlah SDM tidak lulus SD (%)
2
Jumlah SDM berpendidikan SD (%)
137
3 4 5 6 7
3
Jumlah SDM berpendidikan SMP (%)
4
Jumlah SDM berpendidikan SMU (%)
5
Jumlah SDM berpendidikan > SMU (%)
Sarana Peningkatan 1 Kualitas SDM 2
Jumlah balai pelatihan industri nilam
Efektivitas Fungsional
1
Kualitas sistem evaluasi
2
Mekanisme koordinasi
1
Jumlah pertemuan
2
Prosentase kehadiran wakil petani
1
Jumlah kelompok tani
2
Jumlah petani per kelompok
Mekanisme koordinasi Keterwakilan industri Pasokan tahunan
nilam
Jumlah sekolah kejuruan pertanian
kering 1
Jumlah pabrik penyulingan
2
Jumlah industri pendukung
Spesifikasi IKK Proses spesifikasi IKK dilakukan untuk mengetahui deskripsi yang jelas tentang IKK, tujuan, keterkaitan dengan tujuan, target, formula/cara mengukur IKK, frekuensi pengukuran, frekuensi review, siapa yang mengukur, dan apa yang mereka kerjakan seperti pada Tabel 19.
Tabel 19 Spesifikasi IKK IKK No.
1
Deskripsi
Penyerapan tenaga kerja
Tujuan
Untuk memastikan jumlah tenaga kerja selalu meningkat dari waktu ke waktu sehingga Usaha Tani dan Industri Kecil
138
Penyulingan dapat berkembang Terkait dengan Cara mengukur Frekuensi pengukuran
Tujuan “Pertumbuhan Usaha Industri Kecil Penyulingan”
Tani
dan
Dengan kuesioner Setahun sekali
Frekuensi review Siapa yang mengukur
Setahun sekali
Sumber data
Tim evaluasi dan pengendalian kinerja
Siapa yang punya
Data Usaha Tani Nilam dan Industri Kecil Penyulingan Minyak Nilam Usaha Tani, Industri Kecil Penyulingan, institusi/dinas terkait
Dengan PHA, Indikator Kinerja dan Indikator Kinerja Kunci yang dihasilkan dapat digambarkan dalam sebuah struktur hirarki kinerja. Gambar 46 menunjukkan struktur hirarki dari kinerja usahatani nilam dan industri kecil penyulingan minyak nilam.
Gambar 46 Struktur hirarki kinerja usahatani nilam dan industri kecil minyak nilam
139
140
MODEL KONSEPTUAL KELEMBAGAAN
Model kelembagaan klaster agroindustri minyak nilam dirancang melalui pendekatan sistem dengan menggunakan metode ISM (Interpretative Structural Modelling). Gambar 47 menunjukkan diagram alir ISM-VAXO.
Penentuan Hubungan Kontekstual (VAXO) antar Sub-elemen pada setiap Elemen untuk setiap Pakar
Nama Elemen Nama Sub-elemen Pakar
Mulai
Matriks Self Structural Interpretive (SSIM) untuk setiap Pakar dan pada setiap Elemen
Pembentukan Reachability Matrix (RM) untuk setiap Pakar dan pada setiap Elemen
Tidak Modifikasi menjadi Matriks Transitif
Selesai
Ya Transitif?
Pembentukan RM Pendapat Gabungan Pakar
Strukturisasi Sistem Pengembangan Kelompok Sub-elemen
Reachability Matrix Pendapat Gabungan Pakar
Strukturisasi Elemen Sistem Penetapan Sub-elemen Kunci Kategorisasi Sub-elemen
Gambar 47 Diagram alir ISM-VAXO Strukturisasi sistem dan kelembagaan yang dianalisis terdiri atas delapan elemen, yaitu: (1) sektor masyarakat yang terpengaruh; (2) kebutuhan dari program; (3) kendala utama, (4) perubahan yang dimungkinkan; (5) tujuan program; (6) tolok ukur untuk menilai setiap tujuan; (7) aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan; (8) lembaga yang terlibat dengan pelaksanaan program. Setiap elemen terdiri dari sub-elemen yang mempunyai hubungan kontekstual satu sama lain yang ditetapkan sesuai dengan implementasi program pemberdayaan masyarakat pedesaan dalam klaster agroindustri minyak atsiri. Tabel 20 menunjukkan adanya hubungan kotekstual dari tiap sub-elemen.
141
Tabel 20 Hubungan kontekstual tiap sub-elemen No
Elemen
Hubungan Kontekstual
1
Sektor masyarakat yang terpengaruh (M)i
Mi peranannya mendukung Mj
2
Kebutuhan dari program (B)i
Bi mendukung Bj
3
Kendala utama (K)i
Ki menyebabkan Kj
4
Perubahan yang dimungkinkan (R)i
Ri mengakibatkan Rj
5
Tujuan program (S)i
Si berkontribusi tercapainya Sj
6
Tolok ukur untuk menilai tujuan (TS)i
TSi berpengaruh terhadap TSj
7
Aktivitas
yang
dibutuhkan
guna Ai mempengaruhi Aj Li peranannya mendukung Lj
perencanaan 8
kerja (A)i Lembaga yang terlibat dengan pelaksanaan program (L)i
Ij = 1,2,3,.........(i,j ≤ 10) Proses analisis diawali demngan penilaian hubungan kontekstual antara masing-masing sub-elemen pada setiap elemen melalui proses brainstorming dengan para pakar. Hasil penilaian sejumlah elemen melalui teknik ISM terhadap sistem pemberdayaan masyarakat pedesaan dalam klaster agroindustri minyak atsiri selanjutnya dibahas lebih lanjut. Elemen
sektor
masyarakat
yang
terpengaruh
sistem
pemberdayaan
masyarakat agroindustri minyak atsiri Elemen sektor masyarakat yang terpengaruh sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri berdasarkan hasil kajian terdiri dari 5 subelemen, yaitu: 1. Petani (E-l) 2. Petani-penyuling (E-2) 3. Pedagang / pengumpul (E-3) 4. Keluarga pelaku usaha (E-4) 5. Masyarakat lokal (E-5)
142
Strukturisasi
terhadap
lima
sub-elemen
sektor
masyarakat
yang
terpengaruh sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri menghasilkan matriks reachability , struktur hirarki dan klasifikasi sub-elemen. Tabel 21 menunjukkan hasil analisis masing-masing sub-elemen dalam bentuk reachability matriks final terhadap elemen sektor masyarakat yang terpengaruh .
Tabel 21 Hasil Reachability Matriks Final dan Interpretasi terhadap elemen sektor masyarakat yang terpengaruh sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri Kode E-1 E-2 E-3 E-4 E-5 D RD
E-1
E-2
E-3
E-4
E-5
DP
RDP
1
1
1
1
1
5
1
1
1
1
1
1
5
1
0
0
1
1
1
3
2
0
0
0
1
1
2
3
0
0
0
1
1
2
3
2
2
3
5
5
3
3
2
1
1
Elemen kunci: E-1 dan E-2 Keterangan: D DP E-1 E-2 E-3 E-4 E-5
: : : : : : :
Dependence RD : Ranking Dependence Driver Power RDP : Ranking Driver Power Petani Petani-penyuling Pedagang / pengumpul Keluarga pelaku usaha Masyarakat lokal
Merujuk Tabel 20, sub-elemen petani (E-1) dan sub-elemen petanipenyuling (E-2) memiliki driver power (DP) atau daya dorong dengan peringkat tertinggi yang disebut sebagai elemen kunci (key element). Hasil ini menjelaskan bahwa petani dan petani-penyuling mempunyai peran besar dalam mendukung pemberdayaan agroindustri minyak atsiri. Hasil strukturisasi terhadap hirarki elemen sektor masyarakat yang terpengaruh dapat dilihat pada Gambar 48. Struktur hirarki menunjukkan hubungan langsung dan kedudukan relatif antar sub-elemen sektor masyarakat
143
yang terpengaruh yang mana terpenuhinya sub-elemen tersebut didukung oleh terpenuhinya sub-elemen pada hirarki dibawahnya. Berdasarkan Gambar 48, sub-elemen kunci dari elemen sektor masyarakat yang terpengaruh adalah sub-elemen petani dan sub-elemen petani-penyuling yang menempati hirarki terendah (level 1). Hasil tersebut memberi pengertian bahwa untuk memberdayakan masyarakat perdesaan dalam agroindustri minyak atsiri, sub-elemen pada level 1 yaitu petani dan petani-penyuling memerlukan dukungan sub-elemen level 2 yaitu pedagang / pengumpul dan sub-elemen level 3 yaitu keluarga pelaku usaha dan masyarakat local.
Level 3
Level 2
Level 1
Gambar 48 Struktur hirarki elemen sektor masyarakat yang terpengaruh Gambar 49 menunjukkan hasil pengelompokan elemen sektor masyarakat yang terpengaruh ke dalam empat sektor Driver Power-Dependence.
6 E1, E2
5 4 3
0
1
2
2
E3 3
4
5
E4, E5
1 0
Gambar 49 Klasifikasi elemen sektor masyarakat yang terpengaruh dalam diagram Driver Power-Dependence
6
144
Merujuk Gambar 49, sub-elemen petani dan sub-elemen petani-penyuling termasuk dalam peubah bebas (sektor independent). Hasil ini memberi pengertian bahwa variabel-variabel tersebut mempunyai kekuatan penggerak yang besar, namun mempunyai sedikit ketergantungan terhadap pemberdayaan masyarakat perdesaan dalam agroindustri minyak atsiri. Sub-elemen pedagang/pengumpul mempunyai kekuatan penggerak dan ketergantungan yang sama. Sub-elemen keluarga pelaku usaha dan masyarakat lokal termasuk peubah linkages (sektor III). Hasil ini memberi pengertian bahwa peubah-peubah tersebut harus dikaji secara hati-hati karena hubungan antar peubah saling terkait dan tidak stabil. Elemen kebutuhan dari pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri Berdasarkan hasil kajian, elemen kebutuhan dari sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri terdiri dari 7 sub-elemen, yaitu: 1. Peran serta masyarakat (E-l) 2. SDM yang kompeten dengan program (E-2) 3. Peralatan dan bahan untuk pelatihan (E-3) 4. Dana pembinaan dari investasi usaha (E-4) 5. Teknologi tepat guna (E-5) 6. Komitmen dan konsisten dari pemerintah pusat dan daerah (E -6) 7. Instrumen monitoring dan evaluasi (E-7) Strukturisasi terhadap tujuh sub-elemen kebutuhan sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri menghasilkan matriks reachability , struktur hirarki dan klasifikasi sub-elemen. Tabel 22 menunjukkan h asil analisis masingmasing sub-elemen dalam bentuk reachability matriks final terhadap elemen kebutuhan sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri. Merujuk Tabel 22, sub-elemen dana pembinaan dari investasi usaha dan subelemen teknologi tepat guna memiliki driver power (DP) atau daya dorong dengan peringkat tertinggi yang disebut sebagai elemen kunci (key element). Sedangkan sub-elemen komitmen dan konsistensi dari pemerintah pusat dan daerah memiliki daya dorong cukup tinggi, namun ketergantungan terhadap pemberdayaan masyarakat perdesaan cukup rendah. Hasil ini menjelaskan bahwa
145
dana pembinaan dari investasi usaha dan teknologi tepat guna mempunyai peran besar dalam mendukung pemberdayaan agroindustri minyak atsiri. Tabel 22 Hasil Reachability Matriks Final dan Interpretasi terhadap elemen kebutuhan sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri Kode E-1 E-2 E-3 E-4 E-5 E-6 E-7 D RD
E-1
E-2
E-3
E-4
E-5
E-6
E-7
DP
RDP
1
1
1
0
0
0
1
4
3
1
1
1
0
0
0
1
4
3
1
1
1
0
0
0
1
4
3
1
1
1
1
1
1
1
7
1
1
1
1
1
1
1
1
7
1
1
1
1
0
0
1
1
5
2
1
1
1
0
0
0
1
4
3
7
7
7
2
2
3
7
1
1
1
3
3
2
1
Elemen kunci: E-4 dan E-5 Keterangan: D DP E-1 E-2 E-3 E-4 E-5 E-6 E-7
: : : : : : : : :
Dependence RD : Ranking Dependence Driver Power RDP : Ranking Driver Power Peran serta masyarakat SDM yang kompeten dengan program Peralatan dan bahan untuk pelatihan Dana pembinaan dari investasi usaha Teknologi tepat guna Komitmen dan konsistensi dari pemerintah pusat dan daerah Instrumen monitoring dan evaluasi
Gambar 50 menunjukkan hasil strukturisasi terhadap hirarki elemen kebutuhan sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri. Struktur hirarki menunjukkan hubungan langsung dan kedudukan relatif antar sub-elemen kebutuhan dari sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri yang mana terpenuhinya sub-elemen tersebut didukung oleh terpenuhinya sub-elemen pada hirarki dibawahnya.
146
Level 3
Level 2
Level 1 Gambar 50 Struktur hirarki elemen kebutuhan dari sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri Merujuk Gambar 50, sub-elemen kunci dari elemen kebutuhan sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri adalah sub-elemen dana pembinaan dari investasi usaha dan sub-elemen teknologi tepat guna menempati hirarki terendah (level 1). Hasil tersebut memberi pengertian bahwa untuk memberdayakan masyarakat perdesaan dalam agroindustri minyak atsiri, subelemen pada level 1 yaitu dana pembinaan dari investasi usaha dan teknologi tepat guna memerlukan dukungan sub-elemen level 2 yaitu
komitmen dan
konsistensi dari pemerintah pusat dan daerah serta sub-elemen level 3 yaitu peran serta masyarakat, SDM yang kompeten dengan program serta peralatan dan bahan untuk pelatihan. Gambar 51 menunjukkan hasil pengelompokan elemen kebutuhan sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri ke dalam empat sektor Driver Power-Dependence.
E4, E5 E6 0
1
2
3
8 7 6 5 4 3 4 2 1 0
5
6
E1, E2, E3, E7 7 8
Gambar 51 Klasifikasi elemen kebutuhan dari sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri dalam diagram Driver Power-Dependence
147
Merujuk Gambar 51, dana pembinaan dari investasi usaha, teknologi tepat guna serta komitmen dan konsistensi dari pemerintah pusat dan daerah, termasuk dalam peubah bebas (sektor independent). Hasil ini memberi pengertian bahwa dana pembinaan dari investasi usaha dan teknologi tepat guna mempunyai kekuatan penggerak yang lebih besar dibandingkan dengan komitmen dan konsistensi dari pemerintah pusat dan daerah, namun mempunyai sedikit ketergantungan terhadap pemberdayaan masyarakat perdesaan dalam agroindustri minyak atsiri. Sub-elemen peran serta masyarakat, SDM yang kompeten dengan program serta peralatan dan bahan untuk pelatihan berada diantara peubah linkages (sektor III) dan dependence (sektor II). Hasil ini member pengertian bahwa peubah-peubah tersebut harus dikaji secara hati-hati karena hubungan antar peubah saling terkait dan tidak stabil. Elemen kendala utama dalam pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri Berdasarkan hasil kajian, elemen kendala utama dalam pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri terdiri dari 6 sub-elemen, yaitu: 1. Kesadaran terhadap pentingnya pendidikan yang masih rendah (E-l) 2. Keterbatasan sumberdaya finansial (E-2) 3. Rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan (E-3) 4. Terbatasnya fasilitas dan infrastruktur (E-4) 5. Pemasaran hasil (E-5) 6. Ketersediaan informasi jejaring usaha/networking (E-6) Strukturisasi
terhadap
enam
pemberdayaan masyarakat agroindustri
sub-elemen
kendala
utama
dalam
minyak atsiri menghasilkan matriks
reachability , struktur hirarki dan klasifikasi sub-elemen. Tabel 23 menunjukkan hasil analisis masing-masing sub-elemen dalam bentuk reachability matriks final terhadap elemen kendala utama dalam pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri.
148
Tabel 23 Hasil Reachability Matriks Final dan Interpretasi terhadap elemen kendala utama dalam pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri Kode E-1 E-2 E-3 E-4 E-5 E-6 DP RDP 3 E-1 1 0 1 0 0 1 3 1 E-2 1 1 1 1 1 1 6 3 E-3 1 0 1 0 0 1 3 1 E-4 1 1 1 1 1 1 6 2 E-5 1 0 1 0 1 1 4 3 E-6 1 0 1 0 0 1 3 D 6 2 6 2 3 6 RD 1 3 1 3 2 1 Elemen kunci: E-2 dan E-4 Keterangan: D DP E-1 E-2 E-3 E-4 E-5 E-6
: : : : : : : :
Dependence RD : Ranking Dependence Driver Power RDP : Ranking Driver Power Kesadaran terhadap pentingnya pendidikan yang masih rendah Keterbatasan sumberdaya finansial Rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan Terbatasnya fasilitas dan infrastruktur Pemasaran hasil Ketersediaan informasi jejaring usaha/networking
Merujuk Tabel 23, sub-elemen keterbatasan sumberdaya finansial dan subelemen terbatasnya fasilitas dan infrastruktur memiliki driver power (DP) atau daya dorong dengan peringkat tertinggi yang disebut sebagai elemen kunci (key element). Sedangkan sub-elemen pemasaran hasil memiliki daya dorong cukup tinggi, namun ketergantungan terhadap pemberdayaan masyarakat perdesaan lebih tinggi dari sub-elemen kesadaran terhadap pentingnya pendidikan yang masih rendah, rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan dan ketersediaan informasi jejaring usaha/networking. Hasil ini menjelaskan bahwa keterbatasan sumberdaya finansial serta terbatasnya fasilitas dan infrastruktur merupakan kendala yang besar dalam sistem pemberdayaan agroindustri minyak atsiri. Gambar 52 menunjukkan hasil strukturisasi terhadap hirarki elemen kendala utama dalam pemberdayaan masyarakat agroindustri
minyak atsiri.
Struktur hirarki menunjukkan hubungan langsung dan kedudukan relatif antar sub-elemen kebutuhan dari sistem pemberdayaan masyarakat perdesaan yang
149
mana terpenuhinya sub-elemen tersebut didukung oleh terpenuhinya sub-elemen pada hirarki dibawahnya.
Level 3
Level 2
Level 1 Gambar 52 Struktur hirarki elemen kendala utama dalam pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri Merujuk Gambar 52, sub-elemen kunci dari elemen kendala utama dalam pemberdayaan masyarakat agroindustri
minyak atsiri adalah sub-elemen
keterbatasan sumberdaya finansial dan sub-elemen terbatasnya fasilitas dan infrastruktur yang menempati hirarki terendah (level 1). Hasil tersebut memberi pengertian
bahwa
untuk
memberdayakan
masyarakat
perdesaan
dalam
agroindustri minyak atsiri, sub-elemen pada level 1 yaitu keterbatasan sumberdaya finansial dan terbatasnya fasilitas dan infrastruktur merupakan kendala yang dapat mempengaruhi sub-elemen level 2 yaitu pemasaran hasil serta sub-elemen level 3 yaitu kesadaran terhadap pentingnya pendidikan yang masih rendah, rendahnya tingkat pendidikan dan
pengetahuan serta ketersediaan informasi jejaring
usaha/networking. Gambar 53 menunjukkan hasil pengelompokan elemen kendala utama dari sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri ke dalam empat sektor Driver Power-Dependence dapat dilihat pada.
150
7 E2, E4
6 5 4 E5
0
1
3 3 2
2
4
5
6 E1, E3, E6 7
1 0
Gambar 53 Klasifikasi elemen kendala utama dari sistem pemberdayaan masyarakat perdesaan dalam diagram Driver Power-Dependence
Merujuk Gambar 53, keterbatasan sumberdaya finansial, terbatasnya fasilitas dan infrastruktur serta
pemasaran hasil termasuk dalam peubah bebas (sektor
independent). Hasil ini memberi pengertian bahwa keterbatasan sumberdaya finansial dan terbatasnya fasilitas dan infrastruktur mempunyai kekuatan penggerak yang lebih besar dibandingkan dengan pemasaran hasil, namun mempunyai sedikit ketergantungan terhadap pemberdayaan masyarakat perdesaan dalam agroindustri minyak atsiri.. Sub-elemen kesadaran terhadap pentingnya pendidikan yang masih rendah, rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan serta ketersediaan informasi jejaring usaha/networking berada pada peubah dependent (sektor II).
Hasil ini memberi pengertian bahwa peubah-peubah
tersebut harus dikaji secara hati-hati karena hubungan antar peubah saling terkait dan tidak stabil.
Elemen perubahan yang dimungkinkan dalam pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri Berdasarkan hasil kajian, elemen perubahan yang dimungkinkan dalam pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri terdiri dari 7 sub-elemen, yaitu: 1. Terbentuknya kelompok tani (E-l) 2. Pengetahuan dan keterampilan usaha (E-2) 3. Kewirausahaan (E-3)
151
4. Perubahan pola pikir dan kebiasaan menabung (E-4) 5. Kebijakan pemerintah daerah (E-5) 6. Insentif/bantuan sektoral (E-6) 7. Koordinasi dan sinergitas program lintas sektoral (E-7) Strukturisasi terhadap enam sub-elemen perubahan yang dimungkinkan dalam pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri menghasilkan matriks reachability , struktur hirarki dan klasifikasi sub-elemen. Tabel 24 menunjukkan hasil analisis masing-masing sub-elemen dalam bentuk reachability matriks final terhadap elemen perubahan yang dimungkinkan dalam pemberdayaan masyarakat
agroindustri minyak atsiri . Merujuk Tabel 24, sub-elemen terbentuknya kelompok tani dan subelemen kebijakan pemerintah daerah memiliki driver power (DP) atau daya dorong dengan peringkat tertinggi yang disebut sebagai elemen kunci ( key element). Sedangkan sub-elemen insentif/bantuan sektoral dan koordinasi dan sinergitas program lintas sektoral memiliki daya dorong cukup tinggi, namun ketergantungan terhadap pemberdayaan masyarakat perdesaan lebih tinggi dari sub-elemen terbentuknya kelompok tani dan kebijakan pemerintah daerah. Hasil ini menjelaskan bahwa terbentuknya kelompok tani dan kebijakan pemerintah daerah memiliki kekuatan penggerak yang besar dalam perubahan yang dimungkinkan pada sistem pemberdayaan agroindustri minyak atsiri. Tabel 24 Hasil Reachability Matriks Final dan Interpretasi terhadap elemen perubahan yang dimungkinkan dalam pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri Kode E-1 E-2 E-3 E-4 E-5 E-6 E-7 DP RDP 1 E-1 1 1 1 1 1 1 1 7 3 E-2 0 1 1 1 0 0 0 3 3 E-3 0 1 1 1 0 0 0 3 3 E-4 0 1 1 1 0 0 0 3 1 E-5 1 1 1 1 1 1 1 7 2 E-6 0 1 1 1 0 1 1 5 2 E-7 0 1 1 1 0 1 1 5 D 2 7 7 7 2 4 4 RD 3 1 1 1 3 2 2 Elemen kunci: E-1 dan E-5
152
Keterangan: D DP E-1 E-2 E-3 E-4 E-5 E-6 E-7
: : : : : : : : :
Dependence RD : Ranking Dependence Driver Power RDP : Ranking Driver Power Terbentuknya kelompok tani Pengetahuan dan keterampilan usaha Kewirausahaan Perubahan pola pikir dan kebiasaan menabung Kebijakan pemerintah daerah Insentif/bantuan sektoral Koordinasi dan sinergitas program lintas sektoral
Gambar 54 menunjukkan hasil strukturisasi terhadap hirarki elemen perubahan yang dimungkinkan dalam pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri. Struktur hirarki menunjukkan hubungan langsung dan kedudukan relatif antar sub-elemen perubahan yang dimungkinkan dari sistem pemberdayaan masyarakat perdesaan yang mana terpenuhinya sub-elemen tersebut didukung oleh terpenuhinya sub-elemen pada hirarki dibawahnya. Merujuk Gambar 54, sub-elemen kunci dari elemen perubahan yang dimungkinkan dalam pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri adalah sub-elemen kelompok tani dan sub-elemen kebijakan pemerintah daerah yang menempati hirarki terendah (level 1).
Level 3
Level 2
Level 1 Gambar 54 Struktur hirarki elemen perubahan yang dimungkinkan dalam pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri Hasil tersebut memberi pengertian bahwa untuk memberdayakan masyarakat perdesaan dalam agroindustri minyak atsiri, sub-elemen pada level 1 yaitu kelompok tani dan sub-elemen kebijakan pemerintah daerah memiliki perubahan
yang
memungkinkan
terhadap
sub-elemen
level
2
yaitu
153
insentif/bantuan sektoral dan koordinasi dan sinergitas program lintas sektoral serta sub-elemen level 3 yaitu pengetahuan dan keterampilan usaha, kewirausahaan dan perubahan pola pikir dan kebiasaan menabung. Gambar 55 menunjukkan hasil pengelompokan elemen perubahan yang dimungkinkan dalam sistem pemberdayaan masyarakat perdesaan ke dalam empat sektor Driver Power-Dependence.
8 7
E1, E5
6 5
E6, E7
4 0
1
2
3
3 4
5
6
7 E2, E3, E4 8
2 1 0
Gambar 55 Klasifikasi elemen perubahan yang dimungkinkan pada sistem pemberdayaan masyarakat perdesaan dalam diagram Driver Power-Dependence Merujuk Gambar 55, sub-elemen kelompok tani dan kebijakan pemerintah daerah termasuk dalam peubah bebas (sektor independent). Sub-elemen insentif/bantuan sektoral dan koordinasi dan sinergitas program lintas sektoral berada pada peubah bebas (sektor independent) dan sektor linkages (sektor III). Hasil ini memberi pengertian bahwa kelompok tani dan kebijakan pemerintah daerah mempunyai kekuatan penggerak yang lebih besar dibandingkan dengan insentif/bantuan sektoral dan koordinasi dan sinergitas program lintas sektoral, namun mempunyai sedikit ketergantungan terhadap pemberdayaan masyarakat perdesaan dalam agroindustri minyak atsiri.. Sub-elemen pengetahuan dan keterampilan usaha, kewirausahaan dan perubahan pola pikir dan kebiasaan menabung berada pada peubah dependent (sektor II).
Hasil ini memberi
pengertian bahwa peubah-peubah tersebut harus dikaji secara hati-hati karena hubungan antar peubah saling terkait dan tidak stabil.
154
Elemen tujuan dari sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri Berdasarkan hasil kajian, elemen tujuan dari pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri terdiri dari 5 sub-elemen, yaitu: 1. Membangun kelompok usaha bersama (KUBE) (E-l) 2. Meningkatkan taraf hidup keluarga (E-2) 3. Meningkatkan pendidikan dan pengetahuan (E-3) 4. Memperluas lapangan kerja (E-4) 5. Membangun Badan Usaha Milik Desa (BUM-Des) (E-5) Strukturisasi terhadap lima sub-elemen tujuan dari sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri menghasilkan matriks reachability, struktur hirarki dan klasifikasi sub-elemen. Tabel 25 menunjukkan hasil analisis masingmasing sub-elemen dalam bentuk reachability matriks final terhadap elemen tujuan dari sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri . Merujuk Tabel 25, sub-elemen membangun kelompok usaha bersama (KUBE) (E-1) dan sub-elemen membangun Badan Usaha Milik Desa (BUM-Des) memiliki driver power (DP) atau daya dorong dengan peringkat tertinggi yang disebut sebagai elemen kunci (key element). Sedangkan sub-elemen meningkatkan taraf hidup keluarga, meningkatkan pendidikan dan pengetahuan dan memperluas lapangan
kerja
memiliki
ketergantungan
tinggi
terhadap
pemberdayaan
masyarakat perdesaan. Tabel 25 Hasil Reachability Matriks Final dan Interpretasi terhadap elemen tujuan dari sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri Kode E-1 E-2 E-3 E-4 E-5 DP RDP 1 E-1 1 1 1 1 1 5 2 E-2 0 1 1 1 0 3 2 E-3 0 1 1 1 0 3 2 E-4 0 1 1 1 0 3 1 E-5 1 1 1 1 1 5 D 2 5 5 5 2 RD 2 1 1 1 2 Elemen kunci: E-1 dan E-5
155
Keterangan: D DP E-1 E-2 E-3 E-4 E-5
: : : : : : :
Dependence RD : Ranking Dependence Driver Power RDP : Ranking Driver Power Membangun kelompok usaha bersama (KUBE) Meningkatkan taraf hidup keluarga Meningkatkan pendidikan dan pengetahuan Memperluas lapangan kerja Membangun Badan Usaha Milik Desa (BUM-Des)
Hasil ini menjelaskan bahwa membangun kelompok usaha bersama (KUBE) dan membangun Badan Usaha Milik Desa (BUM-Des)
memiliki
kekuatan penggerak yang besar dalam tujuan dari sistem pemberdayaan agroindustri minyak atsiri. Gambar 56 menunjukkan hasil strukturisasi terhadap hirarki elemen tujuan dari sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri. Struktur hirarki menunjukkan hubungan langsung dan kedudukan relatif antar sub-elemen tujuan dari sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri yang mana terpenuhinya sub-elemen tersebut didukung oleh terpenuhinya sub-elemen pada hirarki dibawahnya. Merujuk Gambar 56, sub-elemen kunci dari tujuan dari pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri adalah sub-elemen membangun kelompok usaha bersama (KUBE) dan sub-elemen membangun Badan Usaha Milik Desa (BUM-Des) yang menempati hirarki terendah (level 1). Hasil tersebut memberi pengertian
bahwa
untuk
memberdayakan
masyarakat
perdesaan
dalam
agroindustri minyak atsiri, sub-elemen pada level 1 yaitu membangun kelompok usaha bersama (KUBE) dan membangun Badan Usaha Milik Desa (BUM-Des) memiliki tujuan terhadap sub-elemen level 2 yaitu
meningkatkan taraf hidup
keluarga dan memperluas lapangan kerja serta sub-elemen level 3 yaitu meningkatkan pendidikan dan pengetahuan.
156
Level 3
Level 2
Level 1 Gambar 56 Struktur hirarki elemen tujuan dari pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri
Gambar 57 menunjukkan hasil pengelompokan elemen tujuan dari sistem pemberdayaan masyarakat perdesaan ke dalam empat sektor Driver PowerDependence. Merujuk Gambar 57, sub-elemen membangun kelompok usaha bersama (KUBE) dan sub-elemen membangun Badan Usaha Milik Desa (BUM-Des)
termasuk
dalam peubah bebas (sektor independent). Sub-elemen meningkatkan taraf hidup keluarga dan memperluas lapangan kerja berada pada sektor dependent (sektor II) dan sektor linkages (sektor III). Sub-elemen meningkatkan pendidikan dan pengetahuan berada pada sektor dependent (sektor II).
6 E1, E5 5 4 3 0
1
2
E2, E4 3
4
5
6
2 1
E3
0
Gambar 57. Klasifikasi elemen tujuan dari sistem pemberdayaan agroindustri minyak atsiri dalam diagram Driver PowerDependence
157
Hasil ini memberi pengertian bahwa membangun kelompok usaha bersama (KUBE) dan sub-elemen membangun Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) mempunyai kekuatan penggerak yang lebih besar dibandingkan dengan Subelemen meningkatkan taraf hidup keluarga dan memperluas lapangan kerja, namun mempunyai sedikit ketergantungan terhadap pemberdayaan masyarakat perdesaan dalam agroindustri minyak atsiri.. Sub-elemen meningkatkan pendidikan dan pengetahuan berada pada peubah dependent (sektor II).
Hasil ini memberi
pengertian bahwa peubah-peubah tersebut harus dikaji secara hati-hati karena hubungan antar peubah saling terkait dan tidak stabil. Elemen tolok ukur untuk menilai tujuan dari sistem pemberdayaan agroindustri minyak atsiri Berdasarkan hasil kajian, elemen tolok ukur untuk menilai tujuan dari sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri terdiri dari 6 subelemen, yaitu: 1. Presentasi jumlah rumah tangga petani miskin (E-l) 2. Terbentuknya kelompok usaha bersama ekonomi (KUBE)/koperasi (E-2) 3. Meningkatnya pendapatan pelaku usaha (petani, petani-penyuling) (E-3) 4. Meningkatnya jumlah tabungan keluarga (E-4) 5. Menurunnya jumlah masyarakat yang buta huruf (E-5) 6. Meningkatnya pelaku usaha (E-6) Strukturisasi terhadap enam sub-elemen tolok ukur untuk menilai tujuan dari sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri menghasilkan matriks reachability, struktur hirarki dan klasifikasi sub-elemen. Tabel 26 menunjukkan hasil analisis masing-masing sub-elemen dalam bentuk reachability matriks final terhadap elemen tolok ukur untuk menilai tujuan dari sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri.
158
Tabel 26 Hasil Reachability Matriks Final dan Interpretasi terhadap elemen tolok ukur untuk menilai tujuan dari sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri Kode E-1 E-2 E-3 E-4 E-5 E-6 D RD
E-1 1 1 1 1 1 1 6 1
E-2 0 1 1 0 0 1 3 2
E-3 0 1 1 0 0 1 3 2
E-4 1 1 1 1 1 1 6 1
E-5 1 1 1 1 1 1 6 1
E-6 0 1 1 0 0 1 3 2
DP 3 6 6 3 3 6
RDP 2 1 1 2 2 1
Elemen kunci: E-2, E-3 dan E-6 Keterangan: D DP E-1 E-2 E-3 E-4 E-5 E-6
: : : : : : : :
Dependence RD : Ranking Dependence Driver Power RDP : Ranking Driver Power Presentasi jumlah rumah tangga petani miskin Terbentuknya kelompok usaha bersama ekonomi (KUBE)/koperasi Meningkatnya pendapatan pelaku usaha (petani, petani-penyuling) Meningkatnya jumlah tabungan keluarga Menurunnya jumlah masyarakat yang buta huruf Meningkatnya pelaku usaha
Merujuk Tabel 26, sub-elemen terbentuknya kelompok usaha bersama ekonomi (KUBE)/koperasi, meningkatnya pendapatan pelaku usaha (petani, petanipenyuling) dan meningkatnya pelaku usaha memiliki driver power (DP) atau daya dorong dengan peringkat tertinggi yang disebut sebagai elemen kunci (key element). Sedangkan sub-elemen presentasi jumlah rumah tangga petani miskin, meningkatnya jumlah tabungan keluarga dan menurunnya jumlah masyarakat yang buta huruf memiliki ketergantungan tinggi terhadap pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri. Hasil ini menjelaskan bahwa terbentuknya kelompok usaha bersama ekonomi (KUBE)/koperasi, meningkatnya pendapatan pelaku usaha (petani, petanipenyuling) dan meningkatnya pelaku usaha memiliki kekuatan penggerak yang besar dalam tolok ukur untuk menilai tujuan dari sistem pemberdayaan agroindustri minyak atsiri.
159
Gambar 58 menunjukkan hasil strukturisasi terhadap hirarki elemen tolok ukur untuk menilai tujuan dari sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiria. Struktur hirarki menunjukkan hubungan langsung dan kedudukan relatif antar sub-elemen tolok ukur untuk menilai tujuan dari
sistem
pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri yang mana terpenuhinya sub-elemen tersebut didukung oleh terpenuhinya sub-elemen pada hirarki dibawahnya.
Level 2
Level 1
Gambar 58 Struktur hirarki elemen tolok ukur untuk menilai tujuan dari pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri Merujuk Gambar 58, sub-elemen kunci dari tolok ukur untuk menilai tujuan dari pemberdayaan masyarakat agroindustri elemen
terbentuknya
meningkatnya
kelompok usaha
pendapatan
pelaku
bersama
usaha
minyak atsiri adalah subekonomi
(petani,
(KUBE)/koperasi,
petani-penyuling)
dan
meningkatnya pelaku usaha yang menempati hirarki terendah (level 1). Hasil tersebut
memberi
pengertian
bahwa
untuk
memberdayakan
masyarakat
agroindustri minyak atsiri, sub-elemen pada level 1 yaitu terbentuknya kelompok usaha bersama ekonomi (KUBE)/koperasi, meningkatnya pendapatan pelaku usaha (petani, petani-penyuling) dan meningkatnya pelaku usaha merupakan tolok ukur untuk menilai tujuan terhadap sub-elemen level 2 yaitu meningkatkan taraf hidup keluarga dan memperluas lapangan kerja serta sub-elemen level 3 yaitu meningkatkan pendidikan dan pengetahuan. Gambar 59 menunjukkan hasil pengelompokan elemen tolok ukur untuk menilai tujuan dari sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri ke dalam empat sektor Driver Power-Dependence.
160
7
6 E3, E6 E2, 5 4 0
1
2
3 3 2
4
5
6 E1, E4, E5 7
1 0
Gambar 59 Klasifikasi elemen tolok ukur untuk menilai tujuan dari sistem pemberdayaan agroindustri minyak atsiri dalam diagram Driver Power-Dependence Merujuk Gambar 59, sub-elemen terbentuknya kelompok usaha bersama ekonomi (KUBE)/koperasi, meningkatnya pendapatan pelaku usaha (petani, petanipenyuling) dan meningkatnya pelaku usaha termasuk dalam peubah bebas (sektor independent). Sedangkan sub-elemen meningkatkan taraf hidup keluarga dan memperluas lapangan kerja serta sub-elemen level 3 yaitu meningkatkan pendidikan dan pengetahuan berada pada sektor dependent (sektor II). Hasil ini memberi pengertian bahwa terbentuknya kelompok usaha bersama ekonomi (KUBE)/koperasi, meningkatnya pendapatan pelaku usaha (petani, petanipenyuling) dan meningkatnya pelaku usaha mempunyai kekuatan penggerak yang besar, namun mempunyai sedikit ketergantungan terhadap pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri.. Sub-elemen meningkatkan taraf hidup keluarga dan memperluas lapangan kerja serta sub-elemen level 2 yaitu meningkatkan pendidikan dan pengetahuan berada pada peubah dependent (sektor II). Hasil ini memberi pengertian bahwa peubah-peubah tersebut harus dikaji secara hati-hati karena hubungan antar peubah saling terkait dan tidak stabil. Elemen aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan Berdasarkan hasil kajian, elemen aktivitas yang dibutuhkan untuk tindakan dalam sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri terdiri dari 5 sub-elemen, yaitu: 1. Pembentukan kelompok usaha bersama/koperasi (E-l) 2. Pelatihan teknologi budidaya (E-2)
161
3. Pelatihan pasca panen pengolahan nilam (E-3) 4. Penyuluhan manajemen keuangan keluarga (E-4) 5. Penyaluran kredit usaha mikro (E-5) Strukturisasi terhadap lima sub-elemen aktivitas yang dibutuhkan untuk tindakan dalam sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri
minyak atsiri
menghasilkan matriks reachability, struktur hirarki dan klasifikasi sub-elemen. Tabel 27 menunjukkan hasil analisis masing-masing sub-elemen dalam bentuk reachability matriks final terhadap elemen aktivitas yang dibutuhkan untuk tindakan dalam sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri dapat dilihat pada. Tabel 27 Hasil Reachability Matriks Final dan Interpretasi terhadap elemen aktivitas yang dibutuhkan untuk tindakan dalam sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri Kode E-1 E-2 E-3 E-4 E-5 D RD
E-1 1 0 0 0 0 1 3
E-2 1 1 1 0 1 4 2
E-3 1 1 1 0 1 4 2
E-4 1 1 1 1 1 5 1
E-5 1 1 1 0 1 4 2
DP 5 4 4 1 4
RDP 1 2 2 3 2
Elemen kunci: E-1 Keterangan: D DP E-1 E-2 E-3 E-4 E-5
: : : : : : :
Dependence RD : Ranking Dependence Driver Power RDP : Ranking Driver Power Pembentukan kelompok usaha bersama/koperasi Pelatihan teknologi budidaya Pelatihan pasca panen pengolahan nilam Penyuluhan manajemen keuangan keluarga Penyaluran kredit usaha mikro
Merujuk
Tabel
27,
sub-elemen
pembentukan
kelompok
usaha
bersama/koperasi memiliki driver power (DP) atau daya dorong dengan peringkat tertinggi yang disebut sebagai elemen kunci (key element). Sedangkan sub-elemen pelatihan teknologi budidaya, pelatihan pasca panen pengolahan nilam dan penyaluran kredit usaha mikro memiliki ketergantungan tinggi terhadap
162
pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri. Hasil ini menjelaskan bahwa pembentukan kelompok usaha bersama/koperasi memiliki kekuatan penggerak yang besar dalam aktivitas yang dibutuhkan untuk tindakan dari sistem pemberdayaan agroindustri minyak atsiri. Gambar 60 menunjukkan hasil strukturisasi terhadap hirarki elemen aktivitas yang dibutuhkan untuk tindakan dalam sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri
minyak atsiri dapat dilihat pada. Struktur hirarki menunjukkan
hubungan langsung dan kedudukan relatif antar sub-elemen aktivitas yang dibutuhkan untuk tindakan dalam sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri yang mana terpenuhinya sub-elemen tersebut didukung oleh terpenuhinya sub-elemen pada hirarki dibawahnya.
Level 3
Level 2
Level 1
Gambar 60 Struktur hirarki elemen aktivitas yang dibutuhkan untuk tindakan dalam pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri Merujuk Gambar 60, sub-elemen kunci dari elemen aktivitas yang dibutuhkan untuk tindakan dalam pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri adalah sub-elemen pembentukan kelompok usaha bersama/koperasi yang menempati hirarki terendah (level 1). Hasil tersebut memberi pengertian bahwa untuk memberdayakan masyarakat agroindustri minyak atsiri, sub-elemen pada level 1 yaitu pembentukan kelompok usaha bersama/koperasi merupakan aktivitas yang digunakan untuk tindakan terhadap sub-elemen level 2 yaitu
pelatihan
teknologi budidaya, pelatihan pasca panen pengolahan nilam dan penyaluran kredit usaha mikro serta sub-elemen level 3 yaitu penyuluhan manajemen keuangan keluarga.
163
Gambar 61 menunjukkan hasil pengelompokan elemen aktivitas yang dibutuhkan untuk tindakan dalam sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri ke dalam empat sektor Driver Power-Dependence.
6 5
E1
4
E2, E3, E5
3 0
1
2
3
4
5
6
2 1
E4
0
Gambar 61 Klasifikasi elemen aktivitas yang dibutuhkan untuk tindakan dalam sistem pemberdayaan agroindustri minyak atsiri dalam diagram Driver Power-Dependence Merujuk
Gambar
61,
sub-elemen
pembentukan
kelompok
usaha
bersama/koperasi termasuk dalam peubah bebas (sektor independent). Hasil ini memberi pengertian bahwa pembentukan kelompok usaha bersama/koperasi mempunyai kekuatan penggerak yang besar, namun mempunyai sedikit ketergantungan terhadap pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri. Sedangkan sub-elemen pelatihan teknologi budidaya, pelatihan pasca panen pengolahan nilam dan penyaluran kredit usaha mikro berada pada peubah linkages (sektor III). Hasil ini memberi pengertian bahwa pelatihan teknologi budidaya, pelatihan pasca panen pengolahan nilam dan penyaluran kredit usaha mikro memiliki ketergantungan tinggi teerhadap system pemberdayaan agroindustri minyak atsiri. Sub-elemen penyuluhan manajemen keuangan keluarga berada pada sektor dependent (sektor II). Hasil ini memberi pengertian bahwa peubah tersebut harus dikaji secara hati-hati karena hubungan antar peubah saling terkait dan tidak stabil.
164
Elemen lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri Berdasarkan hasil kajian, elemen lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri terdiri dari 8 sub-elemen, yaitu: 1. Aparatur pemerintah pusat (E-l) 2. Dinas daerah yang terkait (E-2) 3. Lembaga keuangan mikro dan kecil (E-3) 4. Perbankan nasional (E-4) 5. Lembaga pembiayaan non bank (E-5) 6. Koperasi (E-6) 7. Lembaga swadaya masyarakat (E-7) 8. Perguruan tinggi/lembaga riset dan pengembangan (E-8) Strukturisasi terhadap delapan sub-elemen lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri menghasilkan matriks reachability , struktur hirarki dan klasifikasi sub-elemen. Tabel 28 menunjukkan hasil analisis masing-masing sub-elemen dalam bentuk reachability matriks final terhadap elemen lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan dapat dilihat pada.
Merujuk Tabel 28, sub-elemen dinas daerah yang terkait, lembaga keuangan mikro dan kecil, perbankan nasional dan sub-elemen lembaga pembiayaan non bank memiliki driver power (DP) atau daya dorong dengan peringkat tertinggi yang disebut sebagai elemen kunci (key element). Hasil ini menjelaskan bahwa dinas daerah yang terkait, lembaga keuangan mikro dan kecil, perbankan nasional dan lembaga pembiayaan non bank mempunyai peran besar dalam mendukung pemberdayaan agroindustri minyak atsiri.
165
Tabel 28 Hasil Reachability Matriks Final dan Interpretasi terhadap elemen lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri Kode E-1 E-2 E-3 E-4 E-5 E-6 E-7 E-8 D RD
E-1 E-2 E-3 E-4 E-5 E-6 E-7 E-8 1 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0 1 1 1 8 8 4 4 4 4 8 8 1 1 2 2 2 2 1 1
DP 4 8 8 8 8 4 4 4
RDP 2 1 1 1 1 2 2
2
Elemen kunci: E-2, E-3, E-4 dan E-5 Keterangan: D DP E-1 E-2 E-3 E-4 E-5 E-6 E-7 E-8
: : : : : : : : : :
Dependence RD : Ranking Dependence Driver Power RDP : Ranking Driver Power Aparatur pemerintah pusat Dinas daerah yang terkait Lembaga keuangan mikro dan kecil Perbankan nasional Lembaga pembiayaan non bank Koperasi Lembaga swadaya masyarakat Perguruan tinggi/lembaga riset dan pengembangan
Gambar 62 menunjukkan hasil strukturisasi terhadap hirarki elemen lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri. Struktur hirarki menunjukkan hubungan langsung dan kedudukan relatif antar sub-elemen lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan yang mana terpenuhinya sub-elemen tersebut didukung oleh terpenuhinya sub-elemen pada hirarki dibawahnya.
166
Level 2
Level 1
Gambar 62 Struktur hirarki elemen lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri Merujuk Gambar 62, sub-elemen kunci dari elemen lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan pemberdayaan agroindustri minyak atsiri adalah subelemen dinas daerah yang terkait, lembaga keuangan mikro dan kecil, perbankan nasional dan sub-elemen lembaga pembiayaan non bank yang menempati hirarki terendah (level 1). Hasil tersebut memberi pengertian bahwa untuk pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri, sub-elemen pada
level 1 yaitu dinas
daerah yang terkait, lembaga keuangan mikro dan kecil, perbankan nasional dan sub-elemen aparatur pemerintah pusat, koperasi, lembaga swadaya masyarakat serta perguruan tinggi/lembaga riset dan pengembangan. Hasil pengelompokan elemen lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan pemberdayaan agroindustri minyak atsiri ke dalam empat sektor Driver Power-Dependence dapat dilihat pada Gambar 63. Merujuk Gambar 63, sub-elemen dinas daerah yang terkait, lembaga keuangan mikro dan kecil, perbankan nasional dan sub-elemen lembaga pembiayaan non bank termasuk dalam peubah bebas (sektor independent). Hasil ini memberi pengertian bahwa variabel-variabel tersebut mempunyai kekuatan penggerak yang besar terhadap pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri. Sub-elemen aparatur pemerintah pusat, koperasi, lembaga swadaya masyarakat serta perguruan tinggi/lembaga riset dan pengembangan termasuk peubah independent (sektor II). Hasil ini memberi pengertian bahwa peubahpeubah tersebut harus dikaji secara hati-hati karena hubungan antar peubah saling terkait dan tidak stabil.
167
9 8E2, E3, E4, E5 7
6 5 0
1
2
3
4 4 3
5
6
7
E1,8 E6, E7, E8 9
2 1 0
Gambar 63. Klasifikasi elemen lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan pemberdayaan agroindustri minyak atsiri dalam diagram Driver Power-Dependence Hasil kajian di atas menunjukkan bahwa dalam pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri, faktor yang paling menentukan adalah petani dan petani-penyuling yang tergabung dalam wadah koperasi usahatani dan industri kecil penyulingan. Hal tersebut memberi gambaran bahwa dalam program pemberdayaan PAP-Klaster, petani dan petani-penyuling yang tergabung dalam wadah koperasi usahatani dan industri kecil penyulingan merupakan pelaku kunci. Hal ini dapat diartikan bahwa petani dan petani-penyuling harus dipandang sebagai komponen lembaga pelaku pemberdayaan PAP-Klaster yang perlu mendapat perhatian utama.
Selain koperasi usahatani dan industri kecil
penyulingan, komponen kelembagaan lain yang perlu diperhatikan adalah lembaga keuangan mikro dan kecil serta perbankan nasional. Demikian halnya Dinas
Daerah
yang teerkait
serta
Perguruan Tinggi/lembaga
riset
dan
pengembangan, adalah pelaku yang secara terus menerus harus berkoordinasi dan bersinergi dalam memfasilitasi segala bentuk kebutuhan yang terkait dengan program pemberdayaan PAP-Klaster. Dengan adanya sistem otonomi, Pemerintah Daerah (Dinas yang terkait) memiliki peran yang sangat strategis karena menjadi penentu kebijakan pembangunan di daerah. Oleh karena itu Pemerintah Daerah dalam pengambilan kebijakan diharapkan keberpihakannya dengan memandang
168
bahwa pemberdayaan masyarakat perdesaan PAP-Klaster yang berorientasi sentra produksi merupakan terobosan dalam menciptakan nilai tambah secara maksimal sehingga tercipta struktur perekonomian perdesaan yang tangguh. Apabila hal ini tertangani secara sungguh-sungguh, maka dapat diyakini bahwa pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri akan mampu menjadi motor penggerak perekonomian perdesaan khususnya di Kabupaten Kuningan dan Brebes yang menjadikan nilam sebagai komoditas unggulan. Hasil analisis strukturisasi sistem dan
pemberdayaan masyarakat
perdesaan PAP-Klaster, dapat diketahui sub-elemen kunci dari masing-masing elemen yang diteliti. Sub-elemen kunci tersebut dapat dijadikan pedoman dalam merancang bangun sistem pemberdayaan masyarakat PAP-Klaster sehingga memberi hasil yang maksimal. Kedelapan elemen sistem yang telah dianalisis seluruhnya berhasil diidentifikasi komponen-komponennya. Demikian pula gambar struktur subelemen dari masing-masing elemen telah diketahui dan matriks hubungan DP-D berhasil digambarkan yang terbagi dalam empat sektor atau kategori. Demikian pula sub-elemen kunci masing-masing elemen telah dapat diketahui. Elemen kunci sistem pemberdayaan masyarakat perdesaan PAP-Klaster secara rinci terangkum dalam Gambar 64.
169
TUJUAN PEMBERDAYAAN: Membangun kelompok usaha bersama (KUBE) Membangun Badan Usaha Milik Desa (BUM-Des)
MASYARAKAT YANG TERPENGARUH: Petani Petani-penyuling
KEBUTUHAN PEMBERDAYAAN: Dana pembinaan dari investasi usaha Teknologi tepat guna
AKTIVITAS YANG DIGUNAKAN: Pembentukan kelompok usaha bersama/ koperasi
KENDALA PEMBERDAYAAN: Keterbatasan sumberdaya finansial Terbatasnya fasilitas dan infrastruktur
SIITEM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PERDESAAN PAP-Klaster
LEMBAGA PELAKU PEMBERDAYAAN: Dinas daerah yang terkait Lembaga keuangan mikro dan kecil Perbankan nasional Koperasi Perguruan tinggi/lembaga riset dan pengembangan
TOLOK UKUR PEMBERDAYAAN: Terbentuknya kelompok usaha bersama ekonomi (KUBE)/koperasi Meningkatnya pendapatan pelaku usaha (petani, petani-penyuling) Meningkatnya pelaku usaha
PERUBAHAN YANG DIMUNGKINKAN: Terbentuknya kelompok tani Kebijakan pemerintah daerah
Gambar 64 Elemen kunci pemberdayaan masyarakat perdesaan PAP-Klaster
Strategi Pemberdayaan Masyarakat
Merujuk Gambar 64, langkah strategi yang harus dilakukan dalam rangka pemberdayaan masyarakat perdesaan dalam klaster agroindustri minyak atsiri melalui PAP-Klaster sebagai berikut:
170
Strategi harmonisasi sektor masyarakat yang terpengaruh program Program pemberdayaan masyarakat PAP-Klaster memberi dampak langsung dan tidak langsung bagi masyarakat petani dan petani-penyuling. Petani dan petanipenyuling bertindak sebagai pelaku utama dalam budidaya tanaman nilam dan dalam penyulingan minyak nilam, juga sebagai pemilik industri kecil penyulingan yang akan ditingkatkan kemampuannya. Untuk mewujudkannya, petani dan petani-penyuling hendaknya memahami sungguh-sungguh hak dan kewajibannya dalam program pemberdayaan masyarakat PAP-Klaster. Strategi pelaksanaannya dilakukan melalui sosialisasi kebermanfaatan PAP-Klaster bagi petani dan petani-penyuling, baik manfaat yang tangibles maupun intangibles. Sosialisasi ini dipandang penting karena berdasarkan hasil wawancara langsung dengan para petani dan petani-penyuling diperoleh keterangan bahwa ada kecenderungan petani dan petani-penyuling menolak setiap ajakan untuk bergabung dalam program-program yang baru. Alasan penolakan mereka dapat dimaklumi karena selama ini hampir setiap kebijakan pemerintah yang berkaitan langsung dengan petani dan petani-penyuling dinilai merugikan dalam posisinya yang lemah. Implikasinya terhadap program pemberdayaan masyarakat perdesaan PAP-Klaster adalah member fleksibilitas pada petani dan petani-penyuling untuk turut berpartisipasi. Hal ini dikarenakan tidak ada paksaan untuk bergabung dan juga tidak ada larangan untuk untuk keluar jika merasa tidak mendapatkan kebermanfaatan (entry-exit). Dengan demikian program pemberdayaan masyarakat PAP-Klaster hendaknya dapat dikelola dengan baik dan transparan sehingga dapat memberikan keuntungan yang proporsional antara petani dengan petani-penyuling dan dengan pelaku lainnya. Sosialisasi tentang program pemberdayaan masyarakat PAP-Klaster sebaiknya juga dilakukan pada masyarakat sekitar lokasi budidaya dan industry penyulingan. Hal ini penting agar masyarakat sekitar dapat melihat adanya peluang kerja baru untuk meningkatkan kesejahteraannya. Berdasarkan kondisi tersebut, eksistensi program pemberdayaan masyarakat PAP-Klaster sangat dibutuhkan sebagai mitra strategis masyarakat setempat. PAP-Klaster dapat bertindak sebagai mediator antara usahatani dan industri kecil penyulingan dalam menentukan optimasi kesepakatan harga jual
171
nilam dan minyak nilam secara berkesinambungan berdasarkan informasi harga jual yang ada. Strategi pemenuhan kebutuhan pemberdayaan masyarakat PAP-Klaster Kebutuhan utama program pemberdayaan masyarakat PAP-Klaster melalui dana pembinaan dari investasi usaha dan teknologi tepat guna. Strategi pemenuhan kebutuhan tersebut dapat diupayakan melalui akses sumber-sumber dana yang tersedia, seperti: perbankan (bank konvensional dan syariah) dan lembaga permodalan lainnya (BUMD, BUMN, PNM, ventura dan lembaga donor). Pemenuhan kebutuhan ini sangat ditentukan oleh kemampuan jejaring usaha agroindustri minyak atsiri dalam mensosialisasikan program-program strategisnya serta bantuan pemerintah pusat dan daerah. Salah satu bentuk strategis yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah adalah mendirikan lembaga permodalan khusus agroindustri di perdesaan seperti Badan Usaha Milik Desa (BUM-Des) dan Kelompok Usaha Bersama (KUBE). Dalam pemenuhan kebutuhan ini, modal bukanlah satu-satunya faktor penentu. Diperlukan pula teknologi tepat guna bagi usahatani dan industri kecil penyulingan, perbaikan infrastruktur, penyediaan sarana dan prasarana produksi, penyediaan bibit unggul, dan kemudahan akses teknologi produksi. Factor-faktor tersebut akan berfungsi maksimal jika mendapat dukungan dari pemerintah pusat dan daerah serta dari perguruan tinggi/lembaga riset. Strategi mengatasi kendala utama pemberdayaan masyarakat PAP-Klaster Beberapa kendala utama yang menyebabkan pemberdayaan masyarakat perdesaan agroindustri minyak atsiri kurang berjalan adalah keterbatasan sumberdaya finansial dan terbatasnya fasilitas dan infrastruktur. Keterbatasan sumberdaya finansial atau sumber dana bagi kegiatan usaha kecil menengah dan koperasi menjadi kendala utama yang menyebabkan perekonomian perdesaan tidak berkembang dengan maksimal. Arah kebijakan pemerintah dalam penyediaan sumber dana usaha lebih berorientasi pada usaha yang berskala besar atau usaha konglomerasi, sementara penyediaan dana untuk usaha kecil menengah dan koperasi masih kurang. Kebijakan demikian terkesan mengedepankan
perolehan
pendapatan negara bukan kemanfaatan masyarakat secara luas. Dengan kondisi
172
perekonomian saat ini, sudah saatnya arah kebijakan pemerintah dalam penyediaan sumberdaya finansial lebih berorientasi pada usaha kecil menengah dan koperasi. Belum memadainya infrastruktur di perdesaan, terbatasnya fasilitas atau sarana dan prasarana produksi, juga menjadi kendala dalam pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri. Strategi untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan mengajak para pelaku usaha untuk bekerjasama dan bersinergi dalam mengatasi kendala tersebut. Strategi perubahan yang dimungkinkan dalam pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri. Perubahan yang dimungkinkan dalam pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri adalah terbentuknya kelompok tani dan kebijakan daerah. maka diperlukan penggabungan beberapa petani menjadi suatu kelompok tani. Setiap petani yang tergabung dalam program ini diasumsikan memiliki lahan produktif seluas satu hektar di bawah koordinasi seorang ketua kelompok. Dengan adanya kelompok tani, penyediaan bibit unggul, pupuk, peralatan produksi dan fasilitas lainnya dapat dilakukan secara bersama-sama sehingga dapat meningkatkan produktivitas. Hasil panenpun dapat dijual bersama sehingga kelompok tani mempunyai posisi tawar yang lebih tinggi. Arah kebijakan daerah harus sejalan dengan para pelaku usaha di perdesaan. Bentuk keterlibatan Pemerintah Daerah dan Dinas lintas sektoral dalam program pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri adalah sebagai fasilitator, motivator dan melakukan pembinaan sehingga diperoleh peningkatan produktivitas usaha dan meningkatnya pendapatan para pelaku usaha. Strategi pencapaian tujuan pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri Tujuan
pemberdayaan
masyarakat
agroindustri
minyak
atsiri
adalah
membangun kelompok tani/kelompok usaha bersama (KUBE) dan membangun Badan Usaha Milik Desa (BUM-Des). Agar usahatani dan industri kecil penyulingan memiliki kekuatan untuk mengambil bagian atau peluang usaha yang lebih besar sehingga menjadi usaha yang
173
kuat dan berkelanjutan, maka diperlukan suatu jejaring usaha. Manajemen jejaring usaha ini dibentuk oleh penggabungan kekuatan koperasi usahatani dan industri kecil penyulingan. Kelompok tani/KUBE bertujuan membina petani-petani melalui fungsi administrasi dan keuangan, organisasi dan peningkatan SDM, serta menjadi media pusat informasi dan pemasaran. Peningkatan pendapatan diperoleh melalui peningkatan akses sumber daya, yang dapat berbentuk pemanfaatan sumber daya. Akses pemanfaatan diberikan kepada masyarakat local dan adat melalui Badan Usaha Milik Desa (BUM-Des) yang berbentuk koperasi. Pembentukan BUM-Des berpedoman pada ketentuan UndangUndang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa. Inisiasi dan pembentukan BUM-Des didasarkan atas aspirasi dan prakarsa masyarakat desa dengan prinsip kooperatif, partisipatif dan emansipatif. Pada intinya, BUM-Des dimiliki, dipetik manfaat produktifnya dan dikelola oleh pemrakarsa. Strategi
penilaian
keberhasilan
program
pemberdayaan
masyarakat
agroindustri minyak atsiri Elemen kunci yang dapat dijadikan tolok ukur untuk menilai keberhasilan program pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri adalah terbentuknya kelompok usaha bersama (KUBE), meningkatnya pendapatan pelaku usaha (petani dan petani-penyuling) dan meningkatnya jumlah pelaku usaha. Tolok ukur merupakan indikator keberhasilan program. Dengan terbentuknya KUBE yang dikelola dengan baik, maka para pelaku usaha yang tergabung di dalamnya dapat merasakan manfaat adanya KUBE. Apabila indikator ini telah menunjukkan kinerja yang baik, maka akan berpengaruh langsung pada indikator lainnya seperti peningkatan pendapatan pelaku usaha, peningkatan jumlah pelaku usaha, penurunan jumlah pengangguran di desa, peningkatan produktivitas nilam dan minyak nilam serta terjadinya peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat di desa. Strategi jangka pendek dalam penilaian keberhasilan program ini adalah melakukan evaluasi kinerja model secara konseptual. Evaluasi kinerja secara konseptual dalam penelitian ini dilakukan melalui model analisis kelayakan usaha dan model optimasi kesepakatan harga. Hasil analisis menunjukkan bahwa model
174
pemberdayaan masyarakat PAP-Klaster
terbukti efektif dan menunjukkan
peningkatan pendapatan usahatani dan industri kecil penyulingan sebagai pelaku utama. Strategi jangka menengah dapat dilihat dari tingkat partisipasi usahatani dan industri kecil penyulingan dalam program pemberdayaan masyarakat PAP-Klaster yaitu dengan meningkatnya jumlah pelaku usaha yang bergabung dalam manajemen jejaring usaha. Sedangkan strategi jangka panjang adalah terjadinya peningkatan nilai tambah komoditas, adanya peningkatan pendapatan pelaku usaha, semakin kuatnya usaha melalui program ini sehingga dapat memperluas pangsa pasar, terjadinya penurunan angka kemiskinan dan tingkat pengangguran di desa, meningkatnya kualitas SDM di desa oleh alih teknologi sehingga akan tercipta kesejahteraan masyarakat di desa. Strategi aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan Elemen kunci dari aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan adalah pembentukan kelompok usaha bersama/koperasi. Kelompok usaha bersama dapat terbentuk melalui kerjasama dari para petani. Agar kinerja kelompok usaha bersama ini baik, diperlukan minimal tiga orang tenaga SDM yang terampil dan berkualitas. Dengan demikian kelompok usaha bersama ini dapat mebuka peluang kerja bagi masyarakat di desa. Strategi untuk menjalankan aktivitas yang dibutuhkan ini dengan merekrut SDM yang pendidikannya minimal sekolah menengah umum atau kejuruan, jujur, menguasai teknologi komputer serta dapat menjalankan kelompok usaha bersama ini dengan memanfaatkan peluang pasar yang ada. Strategi lembaga yang terlibat dalam program pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri Elemen kunci dari lembaga yang terlibat dalam program pemberdayaan masyarakat PAP-Klaster adalah Dinas daerah yang terkait, lembaga keuangan mikro dan kecil, perbankan nasional, koperasi, perguruan tinggi/lembaga riset dan pengembangan. Sub-elemen lembaga keuangan mikro dan kecil, perbankan nasional dan
koperasi
merupakan
sumberdaya
financial
yang
dapat
menentukan
keberlangsungan program PAP-Klaster karena ketiganya memiliki keterkaitan yang
175
sangat erat. Apabila salah satu komponen tersebut tidak berfungsi dengan baik , makaprogram tidak dapat dilaksanakan secara efektif. Para pelaku usaha tidak dapat menjalankan usahanya dengan baik tanpa adanya dukungan permodalan. Sebaliknya lembaga keuangan tidak berani menyalurkan dananya jika tidak ada jaminan kemampuan pelaku usaha di dalam mengelola usahanya dengan menggunakan dan pinjaman. Strateginya adalah melakukan sosialisasi secara baik dan efektif agar program pemberdayaan masyarakat perdesaan dalam klaster agroindustri minyak atsiri ini dapat dilaksanakan. Bentuk keterlibatan Dinas daerah yang terkait adalah sebagai fasilitator, motivator dan melakukan pembinaan sehingga diperoleh peningkatan produktivitas usaha. Strategi yang harus dilakukan Perguruan Tinggi atau lembaga riset dan pengembangan
adalah melakukan
penelitian
dan
pengkajian
pemberdayaan
masyarakat agroindustri minyak atsiri secara terus menerus. Asosiasi pengusaha dan eksportir yang selama ini telah eksis diharapkan secara bersama-sama dan bersinergi dengan KUBE dan BUM-Des untuk tumbuh dan berkembang dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat agroindustri minyak atsiri.
176
MODEL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PERDESAAN DALAM KLASTER AGROINDUSTRI MINYAK ATSIRI Berdasarkan
hasil
analisis
strategi
sistem,
strukturisasi
sistem
dan
pemberdayaan masyarakat PAP-Klaster, dilakukan rekayasa model konseptual kelembagaan pemberdayaan masyarakat PAP-Klaster. Gambar 65 menunjukkan model konseptual yang dirancang untuk memberdayakan petani dan petani-penyuling sebagai pelaku utama agroindustri minyak atsiri di samping komponen pelaku lainnya dalam satu sistem. Klaster agroindustri minyak atsiri masih dihadapkan pada berbagai kendala antara lain belum sinerginya kegiatan di hulu dan di hilir yang mengakibatkan para pelaku usahatani dan industri lepas panen belum merasakan adanya nilai tambah pada rantai nilai tersebut. Oleh karena itu dibutuhkan suatu langkah strategis yang mampu memberikan nilai tambah pada rantai nilai sehingga dapat memberikan margin keuntungan yang proporsional antara usahatani, usaha lepas panen dan industri penyulingan/eksportir. Koperasi Usahatani dan Industri Kecil Penyulingan Adanya nilai tambah mendorong kegiatan yang ada dalam klaster agroindustri minyak atsiri dapat dilakukan secara terintegrasi antara kebun, pascapanen, dan pengolahan melalui pemberdayaan kelompok tani dalam wadah koperasi usahatani dan koperasi industri kecil penyulingan skala UKM. Koperasi usahatani dan koperasi industri kecil penyulingan pada setiap sentra produksi bersinergi melalui manajemen jejaring usaha untuk membangun kekuatan baru sehingga dapat bersaing dengan perusahaan besar yang ada di luar sentra produksi. Para petani atsiri dari masing-masing kecamatan dapat bersinergi dan membentuk sebuah kelompok tani yang akan menjadi suatu kekuatan sendiri. Beberapa kelompok tani bersepakat membangun wadah secara formal sesuai dengan kultur atau budaya masyarakat desa yaitu koperasi usahatani atau koperasi usaha bersama (KUBE). Beberapa petani-penyuling dapat bersinergi dan membentuk koperasi industri kecil penyulingan.
177
Minyak Nilam
Pemerintah Pusat Industri Penyulingan / Eksportir
Dukungan pembiayaan
Pembinaan, pengendalian dan pengawasan Kemitraan
Minyak Nilam
Kemitraan
Sarana distribusi & transportasi
Kemitraan
Pemerintah Daerah
Pasar Produk UKM: - Industri Dalam Negeri - Industri Luar Negeri
Jejaring Usaha PAP-Klaster
Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank
Kemitraan
Koperasi Industri Kecil Penyulingan / UKM
Dukungan pembiayaan
Dukungan pembiayaan
Asosiasi: - Petani nilam - Industri penyulingan - pedagang/eksportir Dewan Atsiri Indonesia
Badan Usaha Milik Desa (BUM-Des)/Koperasi Kemitraan
Pembinaan
Lembaga Keuangan Mikro dan Kecil Produk Nilam
Kemitraan
Lembaga pendukung: - Konsultan agroindustri dan agribisnis - Litbang minyak atsiri - Perguruan Tinggi - LSM
Kemitraan
Kemitraan
Dukungan pembiayaan
Sarana Produksi
Dinas teknis
Pembinaan
Industri Pendukung: - Pupuk - Saprotan - Alat produksi, dll
KOPERASI USAHATANI/ KELOMPOK USAHA BERSAMA (KUBE) Kelompok Tani
Kelompok Tani
P
P
P P
Kelompok Tani P
P
Dukungan pembiayaan
P
P P
Gambar 65 Model konseptual sistem kelembagaan pemberdayaan masyarakat PAP-Klaster
Manajemen koperasi usahatani dan industri kecil penyulingan dibentuk oleh pengurus kelompok tani dan petani-penyuling dengan tenaga kerja dapat diperoleh dari anggota keluarga petani, maupun petani-penyuling yang merupakan anggota koperasi, masyarakat sekitar industri dan tenaga professional dari dalam atau luar
178
anggota koperasi. Tugas manajemen koperasi adalah mengelola usahatani dan industri kecil penyulingan guna mendapatkan keuntungan yang optimal. Manajemen koperasi mempertanggungjawabkan seluruh aktivitas usaha yang dilakukan kepada para anggota koperasi. Koperasi usahatani dan industri kecil penyulingan dalam melakukan usahanya lebih menekankan pada bidang administrasi dan keuangan, produksi, pemasaran, teknik pengolahan dan pemeliharaan serta pemberdayaan kebun. Manfaat yang diharapkan dari koperasi usahatani dan industri kecil penyulingan adalah peningkatan kinerja usaha, membangun pengaruh dan kekuatan pasar sehingga dapat menjadi suatu bentuk usaha yang kuat. Pada saat yang bersamaan memberikan kesempatan bagi koperasi usahatani dan industri kecil penyulingan untuk mampu bersaing dan mampu mengatasi keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki terutama keterbatasan mengakses SDM yang profesional, keterbatasan mendapatkan informasi pasar, keterbatasan akses terhadap modal, keterbatasan kemampuan menyelesaikan kontrak yang lebih besar, dan keterbatasan kemampuan dalam bersaing baik di pasar domestik maupun pasar global. Proses partisipasi koperasi usahatani dan industri kecil penyulingan dapat berlangsung secara efektif dan efisien bila dibuatkan sebuah wadah yaitu Jejaring Usaha PAP-Klaster.
Jejaring Usaha PAP-Klaster Jejaring Usaha PAP-Klaster (JUP) adalah suatu wadah independen yang berada pada setiap kabupaten dan bukan dibentuk oleh satu pihak, melainkan merupakan hasil kesepakatan antar pihak pemerintah dan nonpemerintah (antara lain koperasi usahatani dan industri kecil penyulingan atau koperasi atsiri UKM yang memiliki jenis usaha sama dan dibangun dengan prinsip kesetaraan (equal partnership). Proses keterlibatan unsur nonpemerintah serta terbentuknya JUP bukan didasarkan pada mobilisasi (rekayasa) namun sangat menitikberatkan pada kondisi yang terjadi sesuai dengan yang dibutuhkan oleh pelaku-pelakunya (participatory). Tujuan Jejaring Usaha PAP-Klaster adalah menciptakan lingkungan bisnis yang sehat dan mewujudkan tata persaingan yang sehat guna mendapatkan peluang pasar yang baru, melakukan penawaran bersama untuk pasar domestik, peningkatan ekspor produk dan saling menguntungkan. Melalui manajemen JUP, koperasi usahatani dan
179
industri kecil penyulingan, selanjutnya disebut koperasi atsiri UKM, dapat mengakses informasi dan pengetahuan tentang usaha, melakukan efisiensi biaya, meningkatkan teknologi proses produksi, memperkuat pemasaran dan distribusi, dan bersama-sama mencari jalan keluar dalam menghadapi setiap permasalahan serta berbagi risiko usaha yang mungkin timbul. Dengan demikian dapat meningkatkan daya saing produk minyak atsiri di pasar domestik maupun di pasar internasional. Hal ini tidak mudah diperoleh jika masing-masing koperasi atsiri UKM bergerak sendiri-sendiri. Pengelolaan usaha dilakukan oleh manajer yang terampil dan profesional dalam bidangnya. Pengelolaan JUP dapat direkrut dari kalangan anggota koperasi, eksportir, masyarakat sekitar industri, dan tenaga profesional dari dalam atau dari luar anggota koperasi dan eksportir. Struktur organisasi yang dirancang merupakan suatu struktur organisasi fungsional yang disusun berdasarkan ruang lingkup tugas dan wewenang dari suatu jabatan. Batasan rancangan jabatan adalah spesifikasi, deskripsi tugas, wewenang serta tanggung jawab masing-masing personal yang terlibat dalam organisasi. Penempatan tenaga kerja yang sesuai dengan tempat dan kualifikasinya dapat memacu peningkatan produktivitas usaha. Penyusunan spesifikasi dan kualifikasi tenaga kerja dilakukan dengan mempertimbangkan skala usaha, jenis usaha, dan ruang lingkup pekerjaan. Pengakuan keberadaan JUP bersumber dari kepercayaan koperasi atsiri UKM dan untuk keperluan asas legalitasnya ditetapkan berdasarkan kesepakatan para pelaku dalam JUP dengan surat keputusan Kepala Daerah setempat. Rencana kerja manajemen JUP disusun berdasarkan kesepakatan seluruh anggota manajemen JUP melalui rapat anggota. Rencana kerja yang telah disepakati bersama seluruh anggota JUP bersifat mengikat sehingga semua anggota wajib menaatinya. Mekanisme operasionalisasi manajemen JUP perlu dirumuskan secara rinci, tegas, benar, dan adil. Perumusan nota kesepahaman masing-masing pelaku harus dituangkan dalam dokumen yang memiliki kekuatan hukum berkaitan dengan hak dan tanggung jawabnya dalam manajemen JUP. Dokumen tersebut hendaknya memuat sanksi bagi setiap anggota yang melanggar kesepahaman kerja. Kesepahaman kerja manajemen jejaring usaha mengacu pada draft usulan masing-masing anggota yang
180
akan disepakati melalui agenda nota kesepahaman yang meliputi: (1) kesepahaman mengenai pengaturan keuangan, (2) kesepahaman mengenai kesepakatan harga, (3) kesepahaman mengenai pengaturan produksi, (4) kesepahaman mengenai pengaturan manajemen dan administrasi, (5) kesepahaman mengenai pengaturan peranan dan tugas masing-masing anggota. Pemerintah Daerah dapat berfungsi sebagai mediator atau fasilitator JUP untuk mendapatkan kemudahan fasilitas dan birokrasi dari lembaga-lembaga terkait. Juga dapat membantu koperasi atsiri UKM dalam mendapatkan persetujuan perolehan pinjaman dari lembaga pembiayaan usaha (perbankan) yang masih dalam lingkup kewenangannya. Jika memungkinkan membentuk lembaga perbankan pada tingkat Daerah atau desa seperti pembentukan BUM-Des berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 39 tahun 2010. BUM-Des merupakan usaha desa yang dikelola oleh Pemerintah Desa, dan berbadan hukum. Pemerintah Desa dapat mendirikan BUM-Des sesuai dengan kebutuhan dan potensi Desa. Pembentukan BUM-Des ditetapkan dengan Peraturan Desa. Kepengurusan BUM-Des terdiri dari Pemerintah Desa dan masyarakat desa setempat. Permodalan BUM-Des dapat berasal dari Pemerintah Desa, tabungan masyarakat, bantuan Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, pinjaman, atau penyertaan modal pihak lain atau kerja sama bagi hasil atas dasar saling menguntungkan. BUM-Des dapat melakukan pinjaman, yang dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan BPD. Pemerintah daerah dapat melakukan koordinasi dengan lembaga atau dinas terkait dalam rangka pembinaan koperasi atsiri UKM sampai pengembangan industri pengolahannya. Pemerintah Daerah juga berhak memungut pajak dari hasil usaha berupa PPN, PPH dan PBB. Agar JUP dapat dikelola dengan baik serta untuk meningkatkan produktivitas usahanya, maka dimungkinkan menggunakan bantuan lembaga profesional yang dapat melayani kebutuhan tersebut. Salah satu jenis lembaga bantuan pelayanan terhadap pengembangan bisnis UKM dan koperasi adalah lembaga layanan pengembangan bisnis (business development service / BDS). BDS telah berhasil dikembangkan di berbagai Negara antara lain Amerika Serikat, Taiwan dan China. Tujuannya adalah membantu UKM dan koperasi dalam mengembangkan bisnisnya. BDS merupakan bentuk jasa non-finansial yang disediakan oleh lembaga eksternal (pemerintah atau
181
swasta) dengan tujuan membantu memecahkan setiap permasalahan yang dihadapi oleh UKM. Secara umum BDS dapat memberikan layanan pengembangan bisnis pada UKM dan koperasi dalam bentuk layanan informasi, konsultasi, pelatihan, bimbingan teknis
dan
teknologi,
melakukan
bimbingan
dan
pendampingan
bisnis,
menyelenggarakan kontak binis, memfasilitasi peluang pasar dan modal serta mengembangkan organisasi, manajemen, dan teknologi. Perencanaan pembiayaan koperasi usahatani dan koperasi industri kecil penyulingan dapat dilakukan dengan sumber dana murah, bank konvensional dan bank syariah. Ada dua alternatif sumber pembiayaan yang dapat digunakan sebagai sumber dana murah, yaitu: Alternatif pertama, adalah dengan menggunakan Badan Perkreditan Rakyat atau Koperasi atau Badan Usaha Milik Desa (BUM-Des). Bantuan kredit yang diberikan lebih bermakna sebagai motor penggerak laju kegiatan ekonomi. BUM-Des lebih tepat sebagai sumber modal kerja karena kredit yang dapat disalurkan tidak besar, tetapi bunganya sangat rendah. Alternatif kedua, adalah dengan menggunakan modal ventura. Modal ventura merupakan suatu sistem permodalan usaha dalam bentuk penyertaan investasi modal dari perusahaan modal ventura (PMV) kepada perusahaan pasangan usaha (PPU) berupa industri penyulingan minyak atsiri berdasarkan jangka waktu tertentu. Sebagai investor adalah PMV yang tidak hanya bertindak sebagai pemberi modal, tetapi sekaligus berfungsi sebagai Pembina dan ikut serta dalam pengelolaan manajemen PPU nya. Oleh karena itu sistem permodalan ini lebih diarahkan pada upaya meningkatkan taraf hidup petani dan industri kecil penyulingan, dibanding untuk mencapai keuntungan secara finansial. Yang paling tepat bertindak sebagai PMV adalah Pemerintah Daerah melalui badan usaha milik daerah (BUMD). Sedangkan JUP dapat bertindak sebagai PPU nya. Hubungan kerjasama antara PMV dan PPU dituangkan dalam suatu nota kesepahaman (MoU). Keberhasilan usaha dengan menggunakan sumber dana ini sangat tergantung pada muatan nota kesepahaman yang dibuat karena dalam pelaksanaannya dapat terjadi penyelewengan, baik yang merugikan PMV maupun PPU.
182
Sumber Dana Jika akan menggunakan sumber dana bank konvensional yakni berupa kredit komersial, maka harus mengikuti tingkat suku bunga yang berlaku di pasar umum. Sebagai contoh, PT BRI saat ini mencapai suku bunga pada kisaran 12 – 15%. Meskipun diketahui bahwa suku bunga komersial tinggi, namun memiliki kelebihan karena jumlah dana yang dibutuhkan relatif tersedia. Mekanisme perolehan kredit melalui bank syariah hampir sama dengan bank konvensional. Demikian pula dengan keberadaannnya, bank syariah juga merupakan bank milik pemerintah yang melandaskan operasionalnya pada prinsip syariah. Bank syariah tidak mengenal bunga uang sehingga pembiayaan dilakukan dengan sistem kemitraan melalui mekanisme bagi hasil.
Forum Lintas Pelaku Klaster Agroindustri Minyak Atsiri Seluruh program JUP sangat memerlukan pengawasan yang ketat agar program-program tersebut mencapai hasil yang diharapkan. Disadari bahwa pengawasan yang paling efektif adalah dari masyarakat, dan untuk menunjang hal itu maka Forum Lintas Pelaku Klaster Agroindustri Minyak Atsiri dapat menjadi salah satu medianya. Forum Lintas Pelaku Klaster Agroindustri Minyak Atsiri (FLPK) adalah suatu wadah forum lintas pelaku independen yang berada pada setiap kabupaten/kota, sebagai fasilitas unsur pemerintah dan non pemerintah untuk secara bersama dan sejajar memantau pelaksanaan, memberi masukan, serta menangani berbagai permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan program-program JUP di lingkup daerahnya masing-masing untuk diarahkan pada kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Fungsi dari FLPK adalah sebagai wadah untuk berkomunikasi, konsultasi, pemantauan, penanganan masalah/keluhan, dan hal-hal lain yang merupakan kesepakatan para pelaku yang tergabung dalam lembaga ini. Fungsi yang dimiliki oleh FLPK bukan hanya terbatas pada kebijakan program saja, namun dimaksudkan agar dapat pula memfasilitasi kerjasama untuk pembuatan kebijakan, pengawasan
pelaksaan
kebijakan,
dan
memberikan
masukan-masukan
atas
pelaksanaan program-program JUP. Sehingga sewaktu berbagai program JUP selesai
183
dilaksanakan, maka FLPK dapat terus menjadi media bersama untuk kemudian berfungsi sesuai dengan kesepakatan bersama pula. FLPK merupakan wadah terbuka (inklusif) bagi para pelaksana, pemantau dan pemerhati program-program lembaga jejaring serta kebijakan pembangunan lainnya, yang berasal dari kalangan pemerintah (pelaksana program, Bappeda, dan aparat lainnya) maupun nonpemerintah (koperasi usahatani dan industri kecil penyulingan, eksportir, perguruan tinggi, LSM, perusahaan swasta, dan individu-individu penerima manfaat). FLPK bukan dibentuk oleh satu pihak, melainkan merupakan hasil kesepakatan antar pihak pemerintah dan nonpemerintah. Proses keterlibatan unsur nonpemerintah serta terbentuknya FLPK bukan didasarkan pada mobilisasi (rekayasa) namun sangat menitikberatkan pada kondisi yang terjadi sesuai dengan yang dibutuhkan oleh pelaku-pelakunya (participatory). Oleh sebab itu, beberapa langkah berikut dapat dipertimbangkan: 1. Desiminasi Pada tahap awal dilakukan sosialisasi JUP kepada aparat pemerintah daerah (pelaksana program-program). Informasi mengenai JUP dan FLPK (dalam bentuk booklet) akan pula didesiminasikan seluas mungkin ke unsur-unsur nonpemerintah di setiap kabupaten/kota. Upaya tersebut dilakukan oleh Sekretariat Tim Koordinasi Program-Program (TKPP) JUP Pusat yang bekerjasama dengan berbagai institusi nonpemerintah. 2. Identifikasi Setelah itu dilakukan pendataan semua institusi formal dan non formal yang terkait dengan JUP di daerah-daerah, termasuk diantaranya tokoh-tokoh masyarakat yang memiliki komitmen tinggi terhadap JUP. Selama proses identifikasi ini harus bersifat independen. 3. Konsultasi Selanjutnya mengundang dan mengajak institusi serta tokoh masyarakat yang telah didata untuk berdialog tentang pelbagai masalah pembangunan, termasuk JUP. Suatu proses dialog yang terbuka dan jujur akan mendorong mereka untuk ikut bertanggungjawab terhadap proses dan hasil pembangunan serta mau berpartisipasi di
184
dalamnya. Proses partisipasi masyarakat dapat berlangsung dapat berlangsung secara efektif dan efisien bila dibuatkan sebuah wadah. Salah satu wadah tersebut adalah Forum Lintas Pelaku Klaster Agroindustri Minyak Atsiri. Untuk mensosialisasikan program-program JUP dan bersama mengupayakan terbentuknya FLPK dilakukan Lokakarya Pembahasan JUP dan FLPK yang mengundang secara terbuka segenap unsur nonpemerintah. FLPK tidak harus terbentuk pada acara Lokakarya tesebut, melainkan diharapkan terlebih dahulu terbentuknya “Panitia Persiapan” yang beranggotakan beberapa perwakilan organisasi nonpemerintah/individu (tokoh masyarakat) dan sekurang-kurangnya 1 (satu) perwakilan dari TKPP JUP (unsur pemerintah) yang diberi mandat oleh ketua TKPP JUP. Keanggotaan dan koordinator Panitia Persiapan dipilih secara musyawarah dan demokratis oleh pihak pemerintah dan nonpemerintah yang hadir pada acara Lokakarya, atau dengan melalui mekanisme lain yang disepakati bersama. Dan akan lebih baik bila anggota dari Panitia Persiapan ini terdapat individu yang memiliki pengalaman dalam mengelola hal yang serupa. Koordinator Panitia Persiapan ini diharapkan adalah seseorang inspirasional, koordinatif, dan sebaiknya memiliki kemampuan dalam memfasilitasi suatu forum. Untuk tidak merancukan fungsi antar keduanya, maka Panitia Persiapan yang dimaksud bukan merupakan perwakilan dari FLPK. Fungsi Panitia Persiapan akan lebih bersifat teknis yang meliputi antara lain adalah: 1. Mengidentifikasi berbagai pelaku yang berminat bergabung dalam FLPK, baik sewaktu acara Lokakarya dan sesudahnya 2. Menyiapkan (a) visi dan misi FLPK yang sesuai dengan kondisi daerahnya dan dipahami oleh para pelaku, (b) tujuan dan sasaran FLPK yang strategis, (c) tata tertib FLPK yang efektif dan efisien, (d) agenda kerja FLPK yang responsif dan akomodatif terhadap perkembangan yang terjadi di daerahnya, dan (e) hal-hal lain yang diusulkan dan disepakati bersama 3. Mengundang para pelaku yang berminat bergabung dalam FLPK untuk menghadiri pertemuan pembentukan FLPK
185
4. Mengajukan berbagai hal yang telah disiapkan oleh Panitia Persiapan (antara lain visi, misi dan tata tertib) kepada para pelaku pada pertemuan pembentukan FLPK untuk dibahas bersama dan disepakati secara bersama pula 5. Menyusun agenda, mengundang pelaku, serta membuat berita acara dari pertemuan pembentukan FLPK 6. Menyusun rencana anggaran biaya pengeluaran aktifitas FLPK. FLPK dapat terbentuk dan berfungsi setelah acara Lokakarya diadakan, yaitu pada pertemuan pembentukan FLPK. Pada acara pertemuan tersebut, diharapkan masing-masing pelaku dapat mempoerkenalkan dirinya secara singkat, agar masing-masing pelaku saling kenal dan mengetahui kualitas serta komitmennya terhadap JUP. Selanjutya, bentuklah beberapa kelompok untuk mendiskusikan serta merevisi (bila diperlukan) berbagai hal yang telah disiapkan oleh Panitia Persiapan. Beberapa hal yang perlu menjadi perhatian dalam diskusi kelompok adalah: 1. Apakah nama wadah ini (FLPK atau bukan)? 2. Kapan suatu kesepakatan bisa dikatakan merupakan keputusan FLPK? 3. Apakah diperlukan keanggotaan tetapmdalam FLPK? 4. Bagaimana menyebarluaskan keberadaan FLPK kepada masyarakat sehingga dapat dipercaya dan difungsikan oleh masyarakat? 5. Bagaimana mengantisipasi ketidakaktifan Panitia Persiapan? 6. Di mana lokasi secretariat FLPK? Hasil-hasil diskusi kelompok dibahas dan disahkan secara terbuka dalam siding pleno. Pengakuan keberadaan FLPK bersumber dari kepercayaan masyarakat dan untuk keperluan azas legalitasnya ditetapkan berdasarkan kesepakatan para pelaku dalam FLPK dengan surat keputusan Kepala Daerah setempat. Struktur Organisasi FLPK FLPK terdiri atas Forum dan Badan Pelaksana. Forum adalah pemegang keputusan tertinggi. Badan Pelaksana adalah sebagai pelaksana harian forum lintas pelaku. Struktur Badan Pelaksana sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga) orang dengan ketentuan satu orang perwakilan dari pemerintah yang diberi mandat tertulis
186
oleh Ketua TKPP-JUP untuk FLPK nasional dan Bupati/Walikota untuk FLPK kabupaten/kota ditambah dua orang yang mewakili organisasi nonpemerintah. FLPK tidak berada dalam struktur pemerintahan maupun TKPP. FLPK berdiri secara independen yang diakui oleh Kepala Pemerintahan setempat melalui “Surat Keputusan Bupati/Walikota”. Karena posisi FLPK sebagai mitra pemerintah, maka pemerintah tidak memiliki wewenang untuk membatasi atau melarang siapa saja unsur-unsur nonpemerintah untuk bergabung di dalamnya. Kegiatan FLPK Pertemuan FLPK diharapkan dapat diadakan secara rutin atau sesuai dengan kebutuhannya. Oleh karena itu FLPK memiliki peranan dalam menampung dan mengolah aspirasi masyarakat serta kontrol sosial dalam pelaksanaan programprogram JUP dan penyelenggaraan pemerintah di daerahnya. Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan oleh FLPK antara lain adalah: 1. Memberikan masukan atas rencana pengalokasian dana program-program JUP yang akan didistribusikan 2. Memantau dan memberikan masukan terhadap perkembangan dan pelaksanaan program-program JUP secara rutin 3. Memantau penanganan atas berbagai pengaduan yang masuk sekaligus mencarikan alternatif pemecahan dari berbagai permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan program-program JUP 4. Menyepakati inovasi yang didasarkan atas kondisi lokal dan disepakati bersama pada FLPK guna mengatasi kekurangan yang ada pada Petunjuk Pelaksanaan program-program JUP 5. Hal-hal lain yang merupakan hasil kesepakatan bersama. Untuk menunjang hal tersebut di atas, maka TKPP JUP memiliki tugas dalam memberikan secara rutin laporan bulanan perkembangan pelaksanaan dari masingmasing program JUP dan laporan bulanan penanganan atas pengaduan-pengaduan yang masuk ke Unit Pengaduan Masyarakat di setiap program dan TKPP. Selain itu, di bawah TKPP JUP telah terdapat Pusat Informasi (PI) JUP Kabupaten/Kota yang merupakan sarana penyediaan dan penyebarluasan data/informasi mengenai programprogram JUP secara lengkap, akurat, dan mudah untuk didapat.
187
Dalam melakukan fungsinya, FLPK dapat pula membentuk komisi-komisi yang secara khusus mengurusi suatu bidang tertentu agar bisa menjadi DEVELOPER dari klaster. Kegiatan yang dilakukan oleh FLPK diharapkan tidak berorientasi pada keuntungan materi, demikian pula dengan kepedulian dan partisipasi para pelaku yang tergabung di dalamnya. Pembiayaan FLPK dapat dilakukan melalui sumber-sumber pembiayaan yang sah dan atas inisiatif yang disepakati oleh anggota forum. Jika dibutuhkan dan disepakati, dapat disediakan dana untuk membiayai sekretariat FLPK, pertermuan dan kegiatan FLPK. Setiap Rencana Anggaran Biaya (RAB) FLPK yang dibuat harus dapat diketahui dengan mudah oleh para pelaku yang tergabung di dalamnya. Untuk mendukung keberlanjutan dari FLPK di tahun-tahun berikutnya, dibutuhkan kerjasama yang baik antar para pelaku didalamnya untuk mendanai program-program kerja yang telah disepakati bersama. Kepercayaan masyarakat tehadap FLPK merupakan asset utama yang perlu dibuktikan. Dan untuk mendukung hal tersebut, eksistensi serta agenda kegiatan FLPK perlu diketahui oleh masyarakat luas (transparansi). Yang paling penting lagi adalah kerjasama (kooperatif) dan komitmen dari setiap pelaku yang tergabung dalam FLPK untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat demi kepentingan para pihak klaster.
188
SIMPULAN DAN SARAN
SIMPULAN 1. Dari analisis situasional ditemukan bahwa agroindustri minyak atsiri tergantung pada tanaman yang bersifat musiman, mutu yang dihasilkan, harga jual yang fluktuatif dan kelembagaan yang kurang mendukung. Berbagai keadaan di atas mengakibatkan posisi tawar usahatani dan usaha lepas panen menjadi lemah. Dengan adanya pola tanam yang terencana, peningkatan mutu, kesepakatan harga jual nilam dan minyak nilam serta kelembagaan yang mendukung, diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat agroindustri minyak atsiri 2. Hasil penelitian ini adalah model pemberdayaan masyarakat perdesaan dalam klaster agroindustri minyak atsiri yang terdiri dari sistem penunjang keputusan (model kelayakan usaha, model kesepakatan harga, model pengukuran kinerja) dan model kelembagaan. Model ini dapat dijalankan dengan program aplikasi PAP-Klaster yang dapat mengoptimasikan kesepakatan harga jual nilam kering dan harga jual minyak nilam kasar melalui pertimbangan analisis kelayakan usaha, pengukuran kinerja, serta sistem kelembagaan. Komponen sistem terdiri atas (a) sistem manajemen basis data yang berisi data struktur biaya investasi dan biaya produksi usahatani,
struktur biaya investasi, biaya penyusutan dan biaya
perawatan industri kecil penyulingan; (b) sistem manajemen basis model yang terdiri dari model kelayakan usaha dengan menggunakan analisis finansial, model kesepakatan harga dengan menggunakan metode optimasi kesepakatan harga, dan model pengukuran kinerja dengan menggunakan metode IPMS, dan (c) sistem manajemen basis pengetahuan yang berisi parameter dan bobot parameter kinerja dan kelembagaan. 3. Sistem penunjang keputusan PAP-Klaster yang dikembangkan bersifat fleksibel sehingga dapat mengevaluasi kelayakan usaha berdasarkan perubahan nilai pada luas lahan, harga bahan baku, harga minyak nilam kasar, berbagai kondisi bahan baku yang mempengaruhi tingkat rendemen, kapasitas berjalan usaha, dan tingkat
189
kontribusi modal usaha. SPK PAP-Klaster juga dapat mengevaluasi kesepakatan harga jual nilam dan minyak nilam pada berbagai kondisi. 4. Model kelayakan usaha terdiri dari kelayakan Usahatani dan Industri Kecil Penyulingan. Usahatani nilam: keuntungan bersih per ha per tahun = Rp 14 019 145; rata-rata keuntungan per bulan = Rp 1 168 262; NPV = Rp 12 130 935; IRR = 14.60 %; PBP (Payback Period) = 4.97 bulan; rasio laba-rugi = 1.35. Sedangkan Industri kecil penyulingan minyak nilam: keuntungan bersih per tahun = Rp 208 842 265; rata-rata keuntungan per tahun = Rp 17 403 522; NPV = Rp 192 812 280; IRR = 43.49 %; PBP = 2.32 bulan; rasio laba-rugi = 1.57. Model kelayakan usaha yang dihasilkan bersifat generik dan fleksibel serta secara finansial layak dilakukan. Hasil verifikasi model menunjukkan bahwa usaha agroindustri nilam dan minyak nilam dapat memberikan keuntungan yang tinggi apabila rendemen minyak nilam minimal 1.3 %, harga jual nilam kering minimal Rp 1 000 per kg dan harga jual minyak nilam kasar minimal Rp 250 000 per kg minyak. 5. Model kesepakatan harga memungkinkan pengguna mengetahui kesepakatan harga jual nilam dan minyak nilam yang layak. Hasil kesepakatan harga jual dan harga beli nilam yang layak antara usahatani dengan industri kecil penyulingan adalah Rp 1 483 per kg. Sedangkan kesepakatan harga jual dan harga beli minyak nilam yang layak antara industri kecil penyulingan dengan industri penyulingan/eksportir adalah Rp 396 770 per kg. Kesepakatan harga jual yang dicapai dapat menghasilkan tingkat keuntungan usaha yang tinggi bagi para pelaku usaha dan diharapkan dapat memberikan rasa keadilan bagi Usahatani dan Industri Kecil Penyulingan. Dengan demikian dapat memotivasi para pelaku Usahatani dan Industri Kecil Penyulingan
untuk memperluas usahanya dan
meningkatkan kesejahteraannya. Hasil verifikasi model menunjukkan bahwa kesepakatan harga nilam dan minyak nilam dapat memberikan margin keuntungan yang proporsional bagi usahatani, industri kecil penyulingan dan eksportir. 6. Model pengukuran kinerja memungkinkan pengguna mengevaluasi kinerja serta melakukan perbaikan sehingga produktivitas dapat meningkat dan distribusi pasokan dapat berlanjut sesuai target yang diinginkan. Tujuan kinerja Usahatani
190
dan Industri Kecil Penyulingan: yaitu (1) peningkatan kesejahteraan pelaku usaha (45.58%), (2) rantai nilai yang efektif (25.91%), (3) keunggulan komparatif yang berkelanjutan (10.24%) (4) kemampuan berinovasi (9.51%), dan (5) pertumbuhan usahatani dan industri kecil penyulingan (8.76%), Dalam mewujudkan pertumbuhan hasil usaha tani, maka aspek ekonomi merupakan kriteria yang diutamakan dengan nilai bobot relatif 43.54% dan selanjutnya diikuti oleh tiga aspek lainnya yaitu aspek lingkungan (31.70%), aspek teknis (13.75%), dan aspek sosial (11.01%). Dari 56 IK (Indikator Kinerja) maka terpilih 16 IKK (Indikator Kinerja Kunci). 7. Model kelembagaan dirumuskan dengan metode ISM, memungkinkan pengguna mengetahui pelaksanaan kesepakatan harga yang dihasilkan dan diharapkan dapat berjalan sesuai dengan kesepakatan yang telah ditetapkan oleh para pelaku Usahatani dan Industri Kecil Penyulingan. Penggunaan teknik ISM untuk delapan elemen system dapat disimpulkan bahwa petani dan petani-penyuling adalah
pemangku
kepentingan
yang
pemberdayaan masyarakat dibutuhkan dan teknologi tepat guna, dengan
paling
berpengaruh.
Dalam
dana pembinaan dari investasi usaha
kendala utamanya adalah keterbatasan
sumberdaya financial, fasilitas dan infrastruktur. Perubahan yang dimungkinkan dalam pemberdayaan masyarakat adalah
terbentuknya kelompok tani dan
kebijakan daerah. Untuk mencapai tujuan membangun kelompok usaha bersama (KUBE) dan membangun Badan Usaha Milik Desa (BUM-Des), aktivitas yang menjadi
pendorong
utama
adalah
pembentukan
kelompok
usaha
bersama/koperasi. Ukuran keberhasilan yang paling berpengaruh atas pencapaian tujuan adalah terbentuknya kelompok usaha bersama (KUBE), meningkatnya pendapatan pelaku usaha (petani dan petani-penyuling) dan meningkatnya jumlah pelaku usaha. Sedangkan pada tahap pelaksanaan, lembaga yang paling berpengaruh adalah Dinas daerah yang terkait, lembaga keuangan mikro dan kecil, perbankan nasional, koperasi, perguruan tinggi/lembaga riset dan pengembangan. 8. Model pemberdayaan masyarakat perdesaan dalam klaster agroindustri minyak atsiri menghasilkan Jejaring Usaha PAP-Klaster (JUP) dan Forum Lintas Pelaku Klaster Agroindustri Minyak Atsiri (FLPK). JUP dapat menjadi suatu bentuk
191
usaha yang tangguh dan berkelanjutan, apabila seluruh komponen pelaku berpegang teguh pada prinsip kerjasama yang setara dan sinergis, saling percaya, memiliki komitmen untuk maju bersama, dan professional dalam menjalankan usaha. Sedangkan (FLPK) sebagai lembaga intermediasi yang diintroduksi pada sistem pemberdayaan masyarakat perdesaan dan memungkinkan berperan sebagai program pemberdayaan masyarakat perdesaan dalamklaster agroindustri minyak atsiri serta dapat menjadi DEVELOPER dari klaster dengan partisipasi dari masyarakat. 9. Sistem Penun jang Keputusan ini dapat diterapkan tidak hanya pada agroindustri nilam saja, tetapi juga pada agroindustri minyak atsiri lainnya (diantaranya minyak sereh / akarwangi) yaitu dengan mengubah faktor dan parameter harga, biaya, serta penentu kinerja. SARAN 1. Diperlukan tenaga penyuluh atau tenaga pendampingan yang dapat membantu Usahatani dan Industri Kecil Penyulingan agar dapat meningkatkan teknologi yang compatible baik pada budidaya maupun pada industri pengolahannya serta dapat meningkatkan kemampuan sumber daya manusianya (SDM) 2. Diperlukan kebijakan pemerintah untuk menjaga keseimbangan harga jual nilam dan minyak nilam kasar agar para pelaku Usahatani dan Industri Penyulingan Kecil & Menengah tidak dirugikan, sehingga motivasi petani untuk menanam nilam dapat meningkat serta dapat membuka lapangan kerja pada sektor pertanian di perdesaan 3. Diperlukan lembaga pembiayaan usaha (perbankan) yang dapat difasilitasi oleh Pemerintah Daerah sebagai sumber dana bagi para pelaku Usahatani dan Industri Kecil Penyulingan sehingga dapat menggerakkan perekonomian perdesaan diantaranya melalui program Kredit Usaha Rakyat (KUR) 4. Diperlukan inovasi teknologi dan efisiensi energi maupun efisiensi biaya pada proses penyulingan minyak nilam agar produknya lebih dapat berdaya saing.
192
DAFTAR PUSTAKA Arifin B. 2004. Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia. Penerbit Kompas. Jakarta Armstrong M, Baron A. 1998. Developing Practice Performance Management. British: Institute of Personnel Development Arnstein Sherry R. 1969. A Ladder of Citizen Participation. JAIP. Vol.3 Austin ,JE. 1981. Agroindustrial Project Analysis: Critical Desig Factors. BaltimoreLondon: The Johns Hopkins University Press Bailey, W. C; Norina L and Cassavant K. 2002. The Use of Supply Chain Management to Increase Exports of Agricultural Products. Massey University. New Zealand Barut, Mehmet et al. 2006. Business and Society Review. Volume 111. Issue 3. P: 287303. Blackwell Publishing. UK Bell, C.S.H. 2003. Using System Modelling to Understand the Dynamics of Supply Chain. Australia: Department of Management Faculty of Business and Economics. Monash University Bell M, Albu M. 1999. Knowledge Systes and Technological Dynamism in Industrial Clusters In Developing Countries. World Development Bittici US, Carrie AS, Mc-Devitt L. 1996. Performance Measurement: A Business Process View. Proceeding of IFIP WG 5.7 Workshop on Modelling Techniques. Business Process and Bendhmarking. France Bittici US, Mendibil K, Nudurupati S, Garengo P, Turner T. 2006. Dynamics of Performance Measurement and Organizational Culture. International Journal of Operation and Production Management, 26(12): 1325-1350 Blanchard Benyamin S. 2004. System Engineering Management. Third edition. John Wiley & Sons, Inc. Canada Blocher, J.E. 2005. Cost Management A Strategic Emphasis. Singapore:McGraw Hill BPS. 2006. Statistik Ekspor Indonesia 2005. Jakarta Bronson Richard, Bronson Gary J. 1996. Finite Mathematics: A Modelling Approach. West Publishing Company
193
Brown, J.B. 2000. Agribusiness Cases In Supply Chain Management. Department of Agricultural Economics, University of Saskatchewan, Saskatoon, Saskatchewan. Canada Busi M, Bititci US. 2006. Collaborative performance management: present gaps and future research. International Journal of Productivity and Performance Management, 55(1):7-25 Chae Bongsug (Kevin). 2009. Developing Key Performance Indicators for Supply Chain: An Industry Perspective. Supply Chain Management: An International Journal 14/6 (2009) 422-428. Emerald Group Publishing Limited Christopher Martin. 2000. Logistics and Supply Chain, Strategies for Reducing Cost and Improving Service. Prentice Hall. London Cook, J.B. 1994. Community Development Theory, Community Development Publication MP568. Dept. Of Community Development. University of Missouri. Columbia Departemen Perdagangan. 2007. Strategi Industri Nasional. Jakarta Didu M.S. 2001. Rancang Bangun Sistem Penunjang Keputusan Pengembangan Agroindustri Kelapa Sawit untuk Perekonomian Daerah. [disertasi]. Bogor:Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Ditjenbun. 2008. Statistik Perkebunan Indonesia: Nilam. Jakarta. P.32 Dixon RW, Nanni AJ, Vollman TE. 1993. The Performance Challenge: Measuring Operations for World Class Competition. Dow Jones-Irwin, Homewood, II Du Xiao Fung, Leung Stephen C.H., Zhang Jin Long, Lai K.K. 2009. Procurement of Agriculture Products Using The CPFR Approach. Supply Chain Management: An International Journal Volume 14 Number 4: 253-258. Emerald Group Publishing Limited Eriyatno dan Sofyar Fadjar. 2007. Riset Kebijakan Metoda Penelitian Untuk Pascasarjana. IPB Press. Bogor Eriyatno. 2003. Ilmu Sistem : Meningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajemen. IPB Press. Bogor Eriyatno. 1989. Analisa Sistem Industri Pangan. PAU Pangan dan Gizi. IPB. Bogor Fleenor, JW, Taylor S, Chappelow C. 2008. Leveraging The Impact of 360-Degree Feedback. copyright by RobertPrado. John Wiley & Sons. New Jersey Garengo P, Biazzo S, Bititci US. 2005. Performance Measurement System in SME: A Review for a research agenda. Blackwell Publishing Ltd
194
Giarci, G.G. 2001. Caught in Nets: A Critical Examination of The Use of the Concept of “Network” in Community Development Studies. Community Development Journal Vol.36 (1): 63-71. Januari 2001. Oxford University Press Gitman, L.J. 2000. Principle of Managerial Finance. 6th ed. Addison-Wesley, New York Gray, C., Simanjuntak P., Sabur L, Maspaitella P F L., dan Varley RGC. 1992. Pengantar Evaluasi Proyek. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Guenther, E. et al. Penerjemah: S. Ketaren. 2006. Minyak Atsiri. Jilid 1. Penerbit Universitas Indonesia. UI Press. Jakarta Hendrawati, Yuni; Eriyatno; Machfud; Koesnandar; Sailah,Illah; Sunarti,Titi Chandra. 2007. Rancang Bangun Industri Tepung Lidah Buaya (Aloe Vera) Terpadu. IPB Bogor Agricultural University Herlina, B., Perjaka, H., Arisandi, D., Henriyani, Y., D.J. Hendres. 2010. Efektifitas Penyulingan Daun Nilam Metode Steam Distillation Dengan Perlakuan Pengeringan Suhu Rendah. Program Studi Teknologi Industri Pertanian. Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu. Bengkulu Indrajit Eko Richardus. 2002. Supply Chain Cara Baru Memandang Mata Rantai Penyediaan Barang. Jalakrta:Grasindo Indrawanto, Chandra; Pitono Joko. 2010. Analisa Finansial Tiga Varietas Unggul Nilam. Perkembangan Teknologi TRO Vol.22 No.1. Hlm.1-5 Jackson. M.C. 2003. Systems Thinking: Creative Holism for Managers. John Wiley & Sons, Ltd. England Kadariah, Karlina L., Gray C. 1999. Pengantar Evaluasi Proyek. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta Kadarsan HW. 1995. Keuangan Pertanian dan Pembiayaan Perusahaan Agribisnis. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Kannan Vijay R., Tan Keah Choon. 2010. Supply Chain Integration: Cluster Analysis of The Impact of Span of Integration. Supply Chain Management: An International Journal 15/3 (2010) 207-215. Emerald Group Publishing Limited Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. 2010. Himpunan Peraturan Menteri Dalam Negeri Bidang Pemberdayaan Masyarakat dan Desa tahun 2010. Jakarta Ketaren S. 1985. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. PN Balai Pustaka. Jakarta
195
Kotler Philip, Lee Nancy. 2010. Marketing Strategy from The Masters. FT Press Delivers. New Jersey Kuester JL, Mize JH. 1973. Optimization Techniques with Fortran. Mc Graw-Hill Laksmono, Arya .J., Agustian, Egi, Badria. I. 2005. Patchouli Alcohol Enrichment From Patchouli Oil Using Molecular Distillation Unit. Jurnal Teknologi Industri Pertanian (88). IPB-Bogor Agricultural University. Bogor Ledwith Margaret. 2005. Community Development: A Critical Approach. The Policy Press. University of Bristol. UK Maani, K.E., Robert Y. Cavana. 2007, Systems Thinking, System Dynamics: Managing Change and Complexity. Pearson Education. New Zealand Machfud. 2001. Rekayasa Model Penunjang Keputusan Kelompok Dengan FuzzyLogic Untuk Sistem Pengembangan Agroindustri Minyak Atsiri. Disertasi. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor Mangunwijaya,. Suprihatin D, dan Muslich. 2000. Agroindustry: Peran, Prospek, dan Perkembangannya di Indonesia. Departemen Teknologi Industri Pertanian. FATETA. IPB. Bogor. Manoi Feri. 2010. Perkembangan Teknologi Pengolahan dan Penggunaan Minyak Nilam Serta Pemanfaatan Limbahnya. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Bogor Manurung, T.R. 2002. Peluang dan Hambatan Dalam Peningkatan Ekspor Minyak Atsiri. Workshop Nasional Minyak Atsiri. Direktorat Jenderal Industri Kecil dan Menengah. P.1-7 Mardiningsih, T.L., E.A. Wikardi, Wiratno, dan Ma’mun. 1999. Nilam Sebagai Bahan Baku Insektisida Nabati. Monograf Nilam. Balittro, Bogor. P.96-99 Marimin. 2008. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Jakarta: Grasindo Marimin. 2005. Teknik dan Aplikasi Sistem Pakar dalam Teknologi Manajerial. Bogor: IPB Press Mentzer, J.T. 2001. Supply Chain Management. Sage Publication, Inc., United State of America Millet I., Mauhinney C.H. 1992. Application Executive Information Systems. A Critical Perspective. Information & Management. Journal 23. North-Holland. P.83-92
196
Nasution Muslimin. 2002. Pengembangan Kelembagaan Koperasi Pedesaan untuk Agroindustri. Bogor: IPB Press Neely A, GregoryM, Platts K. 1995. Performance Measurement System Design: A Literature Review and Research Agenda. International Journal of Operation Production Management, 15(4):80-116 Peppard and Rowland. 1995. The Essence of Business Process Re-Engineering. Prentice-Hall International Philips RL. 2005. Pricing & Revenue Optimization. Stanford University Press Poirier AR. 1996. Supply Chain Optimozation Building The Strongest Total Business Network. San Fransisco:Berrett-Kochler Publisher Porter M.E. 1998. Clusters and The New Economic of Competetion. Harvard Business Review, 68(2): 84-85 Porter, Michael. 1990. What is National Competitiveness? Harvard Business Review, 68(2):84-85 Priyono Adi. 2006. Analisisi Margin Pemasaran dan Nilai Tambah Penyulingan Nilam di Kecamatan Pule Kabupaten Trenggalek. Jurnal of Department Agribisnis Universitas Muhammadiyah. Malang Puslitbangbun. 2007. Teknologi Unggulan: Nilam. Bogor Robbin P.S. 1994. Teori Organisasi: Struktur, Desain & Aplikasi (terjemahan). Penerbit Arcan, edisi 3. Jakarta Roelandt, den Hertag. 1999. Boosting Innovation: The Cluster Approach. OECD, Proceedings. Paris:OECD Ruben R, Slingerland M, Nijhoff H. 2006. Agro-food Chains and Networks for Development. Di dalam: Ruben R, Slingerland M, Nijhoff H, editor. Agrofood Chains and Networks for Development. Netherlands. Springer:1-25 Rusli, M.S. 2008. Fasilitasi Pembentukan Kelembagaan Minyak Atsiri. Makalah Pada pelaksanaan Fasilitasi Pembentukan Kelembagaan Daerah Potensial Minyak Atsiri di Jawa Timur. Diselenggarakan oleh Dirjen IKM dan DAI di Malang 17-18 Nopember 2008 Rouse WB. Dan Boff KR. 1987. System Design: Behavioral Perspectives on Designer, Tools and Organizations, New York: Elsevier Sciences Publishing Co.Inc. Saaty T.L. 1993. Pengambilan Keputusan bagi Para Pemimpin. Proses Hierarki Analitik Untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi Kompleks. Terjemahan. PT Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta
197
Saaty TL. 2001. Decision Making with Dependence and Feedback, The Analytical Network Process. University of Pittsburgh Sanoff Henry. 2000. Community Participation Methods in Design and Planning. John Wiley & Sons. Canada Sarifudin A. 2009. Peningkatan Budidaya dan Produksi Pengolahan Minyak Nilam di Tingkat Petani Desa dan Agroindustri Skala Kecil dan Menengah. Institut Pertanian Bogor Saxena, J.P. et al, 1992. Hierarchy and Classification of Program Plan Element Using Interpretative Structural Modelling. Systems Practice, Vol 12 (6):651-670 Simatupang P. 1995. Industrialisasi Pertanian sebagai Strategi Agribisnis dan Pembangunan Pertanian dalam Era Globalosasi: Orasi Pengukuhan Ahli Peneliti Utama. Bogor:PSE Simatupang P. 1997. Akselerasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Melalui Strategi Keterkaitan Berspektrum Luas. Bogor:PSE Simatupang TM. 1994. Pemodelan Sistem. Bandung: Studi Manajemen Jurusan Teknik Industri Institut Teknologi Bandung Simchi-Levi, D., P. Kaminsky. Simchi-Levi E. 2000. Designing and Managing The Supply Chain: Concepts, Strategies and Case Studies. The McGraw-Hill Company, Inc. Singapore Singh M.G. 1990. System & Control Encyclopedia. Supplemetary. Volume I. Oxford UK. Pergamon Press. 145-155 Slingerland M, Ruben R, Nijhoff H, Zuurbier PJP. 2006. Agro-food Chains and Networks for Development. Di dalam: Ruben R, Slingerland M, Nijhoff H, editor. Agro-food Chains and Networks for Development. Netherlands. Springer:219-231 Soeharto I. 2002. Studi Kelayakan Proyek Industri. Penerbit Erlangga. Jakarta Somantri, A.S., Supriatna, A., Sumangat, Djajeng. 2007. Model Simulasi dan Rancang Bangun Kapasitas Usaha Penyulingan Minyak Nilam. Jurnal Teknologi Industri Pertanian. IPB Respository. Bogor Sprague R.H.J., Waston H.J. 1996. Decision Support for Management. Prentice-Hall. New Jersey:Upper Sanddle River Stenzel Cand J. 2003. From Cost to Performance Management, A Blueprint for Organizational Development. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc
198
Subejo dan Supriyanto. 2004. Metodologi Pendekatan Pemberdayaan Masyarakat. Lembaga Penelitian Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada. Yogyakarta Summanth. 1985. Productivity Engineering and Management. New York: McGrawHill Book Company Suryadi K., Ramdhani A. 2000. Sisem Pendukung Keputusan , Suatu Wacana Struktural Idealisasi dan Implementasi Konsep Pengambilan Keputusan. PT Remaja Rosdakarta. Bandung Susila WR. 1991. Verifikasi dan Validasi Model. Forum Statistik. Maret-Juni Sutoyo S. 1993. Studi Kelayakan Proyek:Teori dan Praktek. PT Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta Suwignyo P. 199. Quantitative Methods for Performance Measurement Systems. Department of Design, Manufacture and Engineering Management. University of Stratchlyde. Glasgow Syahza Almasdi. 2003. Rancangan Model Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pedesaan Berbasis Agribisnis di Daerah Riau. Jurnal Pembangunan Pedesaan. Volume 3 Nomor 2. Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto Turban E. 1995. Decision Support System and Expert System: Management Support System. New York: Macmillan Publishing Company Turban E. 2005. Decision Support System and Intelligent Support System. New Jersey: Pearson Prentice Hall
System: Management
Vorst JGAJ van der, Da Silva CA Trienekens JH. 2007. Agro-Industrial Supply Chain Management: Concepts and Applications. Agricultural Management, Marketing and Finance Occasional Paper. Roma: Food and Agriculture Organization of The United Nations. Vorst JGAJ van der. 2004. Supply Chain Management: Theory and Practice. Di dalam: Canps T, Diederen P, Hofstede GJ, Voas B, editor. The Emerging World of Chains & Networks. Hoofdstuk:Elsevier Waldman JD. 2007. Thinking Systems Need Systems Thinking. Systems Research and Behavioral Science 24:271-284 Woodruffe Charles. 2004. Development and Assessment Centres: Identifying and Assessing Competence. Third edition. Chartered Institute of Personnel and Development. CIPD House. London. p: 99 Wirabrata H. 2003. Konsep Klaster. Materi pembicara sebagai nara sumber pada sosialisasi konsep klaster, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Kantor Wilayah Jawa Timur. Surabaya
199
www.FAO.org Yuhono J.T. dan Suhirman S. 2007. Strategi Peningkatan Rendemen dan Mutu Minyak Dalam Agribisnis Nilam. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Bogor
200
Lampiran 1
Profil Usahatani, Industri Kecil Penyulingan dan Pedagang/Pengumpul
Form A
Kuesioner Profil Usaha Tani Program Penelitian Pemberdayaan Agroindustri Nilam di Pedesaan dalam Sistem Klaster Identitas Responden
Nama
:
Umur
:
Jenis Kelamin
:
Pendidikan Terakhir : Status
:
Alamat
:
a. Pemilik b. Pekerja Tetap c. Pekerja Lepas
Institut Pertanian Bogor Program Pasca Sarjana Teknologi Industri Pertanian 2011
201
I.
DEFINISI USAHA TANI Usaha Tani adalah suatu usaha yang berorientasi secara subsistem, semi komersial, komersial, yang dilakukan di alam terbuka dan memakan waktu yang lama, luas lahan yang sangat terbatas, permodalan padat karya, dengan sistem produksi yang sederhana dimana peralatan dan sarana pendukung lainnya dimiliki oleh perorangan. Usaha Tani dikelola oleh petani dan anggota keluarga meski tidak selalu demikian apabila dikaitkan dengan kelompok usaha bersama ekonomi ataupun sistem klaster. Usaha Tani umumnya mempunyai kesulitan dalam penjualan dan pendistribusian produk. Pada saat ini banyak didukung melalui pemberdayaan masyarakat setempat dan bisnis lokal yang berkelanjutan.
II. IDENTITAS USAHA Nama pemilik
:
Nama kelompok Alamat
: :
Kabupaten Nomor telpon / HP Status kepemilikan
: :
III. PRODUKSI TANAMAN NILAM Nama Luas lahan Populasi tanaman Jarak tanam Jumlah % kematian bibit (penyulaman) Jumlah bibit yang disediakan Umur tanaman saat panen pertama Berapa kali panen dalam satu tahun Jumlah tanaman nilam basah yang dihasilkan Jumlah tanaman nilam kering yang dihasilkan
Keterangan
202
Form A
Kuesioner Profil Industri Penyulingan Program Penelitian Pemberdayaan Klaster Agroindustri Nilam di Pedesaan Identitas Responden
Nama
:
Umur
:
Jenis Kelamin
:
Pendidikan Terakhir : Status
:
Alamat
:
a. Pemilik b. Pekerja Tetap c. Pekerja Lepas
Institut Pertanian Bogor Program Pasca Sarjana Teknologi Industri Pertanian Pebruari 2011
203
IV. DEFINISI INDUSTRI PENYULINGAN Industri Penyulingan adalah suatu sistem produksi lokal yang berada di rumah perseorangan atau kelompok tani dimana peralatan dan sarana pendukung lainnya dimiliki oleh perorangan atau kelompok. Produk yang dihasilkan adalah minyak nilam kasar yang dikerjakan secara khusus. Industri Penyulingan dikelola oleh petani-penyuling dan anggota keluarga meski tidak selalu demikian apabila dikaitkan dengan kelompok usaha bersama ekonomi ataupun sistem klaster. Industri Penyulingan umumnya mempunyai kesulitan dalam penjualan dan pendistribusian produk. Pada saat ini banyak didukung melalui pemberdayaan masyarakat setempat dan bisnis lokal yang berkelanjutan. V. IDENTITAS USAHA Nama usaha Status hukum Alamat
: :
Kabupaten Tahun berdiri Izin usaha Kategori usaha
: :
PT/CV/UD/Koperasi/KUBE/Tidak ada
:
: :
1. 2. 3. 4.
Jasa Perkebunan Pengolahan Pembiayaan Mikro
VI. TENAGA KERJA (TK) A. Jumlah dan Tingkat Pendidikan TK Jumlah TK Jumlah TK Tidak Tingkat Pendidikan TK Tetap Tetap/ Harian Wanita Laki-laki Wanit Laki Wanit Laki S SLT SLT P S SLT SLT a -laki a -laki D P A T D P A
P T
204
Form A
Kuesioner Profil Pedagang / Pengumpul Program Penelitian Pemberdayaan Klaster Agroindustri Nilam di Pedesaan Identitas Responden
Nama
:
Umur
:
Jenis Kelamin
:
Pendidikan Terakhir
:
Alamat
:
Institut Pertanian Bogor Sekolah Pasca Sarjana Teknologi Industri Pertanian Pebruari 2011
205
VII. DEFINISI PEDAGANG / PENGUMPUL Pedagang/ Pengumpul adalah suatu pelaku usaha yang berorientasi komersial. Pedagang/ Pengumpul sebagai perantara antara usaha tani dan industri penyulingan. VIII.
IDENTITAS USAHA
Nama pemilik
:
Nama kelompok Alamat
: :
Kabupaten Nomor telpon / HP
: :
III. DATA USAHA A. Penjualan Volume Penjualan Per bulan Harga produk/kg Daerah Pemasaran
: : :
Cara Distribusi Penjualan
:
Cara Pembayaran
:
... Rp. 1. 2. 3. 4. dst
kg
B. Modal Jumlah modal awal Modal sendiri Modal luar/pinjaman Sumber pinjaman
: : : :
Sistem pembayaran pinjaman Bunga Pinjaman
: :
LKM/ Koperasi Perbankan
Simpan
Pinjam/
206
Lampiran 2
Kuesioner Pembobotan Indikator Kinerja Usahatani dan Industri Kecil Penyulingan
Form C
Kuesioner Pembobotan Indikator Kinerja Usaha Tani Program Penelitian Perancangan Kinerja Agroindustri Nilam di Pedesaan Identitas Responden
Nama
:
Umur
:
Jenis Kelamin
:
Pendidikan Terakhir
:
Status
:
Alamat
:
a. Petani Pemilik b. Petani Penggarap
Institut Pertanian Bogor Sekolah Pasca Sarjana Teknologi Industri Pertanian Pebruari 2011
207
Form C
Kuesioner Pembobotan Indikator Kinerja Industri Penyulingan Program Penelitian Perancangan Kinerja Agroindustri Nilam di Pedesaan Identitas Responden
Nama
:
Umur
:
Jenis Kelamin
:
Pendidikan Terakhir
:
Status
:
Alamat
:
a. Pemilik b. Pekerja tetap c. Pekerja lepas
Institut Pertanian Bogor Sekolah Pasca Sarjana Teknologi Industri Pertanian Pebruari 2011
208
Lampiran 4 Expert Survey Interpretive Structural Modelling (ISM) Direktif
: Pemberdayaan Agroindustri Minyak Nilam di Pedesaan
Strategi
: Pemberdayaan Masyarakat Perdesaan dalam Klaster Agroindustri Minyak Nilam
Topik Operasionalisasi : Program
Peningkatan
Pendapatan
Pelaku
Usaha Melalui Keseimbangan Harga Jual Nilam dan Minyak Nilam
Kuesioner Interpretive Structural Modelling (ISM) Expert survey
Identitas Responden Pakar
1. Nama
: _________________________________
2. Bidang Keahlian/ Profesi : _________________________________ 3. Pendidikan
:
S1
S2
S3
4. Institusi / Lembaga
: _________________________________
5. Tanggal Pengisian
: _________________________________
6. Alamat
:
Telp:
_________________________________
Hp:
________________________________
E-mail:
_________________________________
INSTITUT PERTANIAN BOGOR PROGRAM PASCASARJANA TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN MARET 2011
209
B. METODE ISM
Program Pemberdayaan Klaster Agroindustri Minyak Atsiri di Pedesaan dalam metode ISM diuraikan menjadi 8 elemen yaitu: 1. Sektor masyarakat yang terpengaruh 2. Kebutuhan dari program 3. Kendala utama 4. Perubahan yang dimungkinkan 5. Tujuan program 6. Tolok ukur untuk menilai setiap tujuan 7. Aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan 8. Lembaga yang terlibat dengan pelaksanaan program Setiap elemen terdiri dari sub-elemen yang mempunyai hubungan kontekstual satu sama lain yang ditetapkan sesuai dengan implementasi Program Pemberdayaan Klaster Agroindustri Minyak Atsiri di Pedesaan yaitu : Elemen 1. Sektor masyarakat yang terpengaruh (M) i
Hubungan Kontekstual Mi peranannya mendukung
Mj 2. Kebutuhan dari program (B)i
Bi mendukung Bj
3. Kendala utama (K)i
Ki menyebabkan Kj
4. Perubahan yang dimungkinkan (R)i
Ri mengakibatkan Rj
5. Tujuan program (S)i
Si
berkontribusi
tercapainya Sj 6. Tolok ukur untuk menilai tujuan (TS)i
TSi berpengaruh terhadap
TSj 7. Aktivitas yang dibutuhkan guna
Ai mempengaruhi Aj
perencanaan kerja (A)i 8. Lembaga yang terlibat dengan Lj pelaksanaan program (L)i Ij = 1,2,3,.........(i,j ≤ 10)
Li peranannya mendukung
210
Masukan informasi dalam rangka aplikasi metode ISM adalah pendapat dari responden (para pakar) tentang hubungan kontekstual antar sub-elemen dari setiap elemen Program Pemberdayaan Klaster Agroindustri Minyak Atsiri di Pedesaan. Untuk itu diharapkan partisipasi Bapak / Ibu sebagai nara sumber untuk memberikan kontribusi pendapat sesuai dengan kepakaran dan pengalaman Bapak / Ibu.
C. TATA CARA PENGISIAN KUESIONER 1. Sektor masyarakat yang terpengaruh dalam Program Pemberdayaan Klaster Agroindustri Minyak Atsiri di Pedesaan Terdapat 6 sub elemen sektor masyarakat yang terpengaruh dalam Program Pemberdayaan Klaster Agroindustri Minyak Atsiri di Pedesaan yang telah dirumuskan dan Saudara dimohon untuk memberikan pendapat tentang Hubungan Kontekstual (tingkat peranan) antar sub elemen sektor masyarakat yang terpengaruh dalam program, dengan mengisi pada Sel Matriks Hubungan Kontekstual sektor masyarakat yang terpengaruh dengan : V : Apabila menurut pendapat saudara sub-elemen ke-i dari elemen sektor masyarakat yang terlibat peranannya mendukung sub-elemen ke-j dari elemen masyarakat yang terpengaruh A : Apabila menurut pendapat saudara sub-elemen ke-j dari elemen sektor masyarakat yang terlibat peranannya mendukung sub-elemen ke-i dari elemen masyarakat yang terpengaruh X : Apabila menurut pendapat saudara sub-elemen ke-i dan sub-elemen ke-j dari
elemen
sektor
masyarakat
yang
terpengaruh
mempunyai
peranannya saling mendukung dalam program O : Apabila menurut pendapat saudara sub-elemen ke-i dan sub-elemen ke-j dari elemen sektor masyarakat yang terpengaruh peranannya tidak saling mendukung dalam program Sebagai contoh :
211
Jika sub-elemen sektor masyarakat yang terlibat (1) Pelaku usaha peranannya saling mendukung dibandingkan sub-elemen sektor masyarakat yang terpengaruh (2) Masyarakat non petani nilam Sub-Elemen Sektor
Sub-Elemen Sektor Masyarakat ke-i
Masyarakat ke-j
(1)
(2)
(1) Pelaku usaha (2)
Masyarakat
x non
petani nilam
SEKTOR MASYARAKAT YANG TERPENGARUH
1. Petani 2. Petani-penyuling 3. Pedagang/ Pengumpul 4. Keluarga pelaku usaha 5. Masyarakat lokal
5. Masyarakat lokal
4. Keluarga pelaku usaha
3. Pedagang/ Pengumpul
1. Petani
Sub elemen ke-j
2. Petani-penyuling
Sub elemen ke-i
212