KELAYAKAN USAHATANI DAN AGROINDUSTRI NILAM Ermiati1) dan Chandra Indrawanto2) Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatika 1) Jln. Tentara Pelajar No. 3 Bogor 16111 Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain 2) Jln. Bethesda II, Mapanget, Manado 1004 I. PENDAHULUAN Tanaman nilam (Pogostemon cablin Benth) merupakan salah satu tanaman penghasil atsiri yang menyumbang devisa lebih dari 50% dari total ekspor minyak atsiri Indonesia. Minyak nilam tidak dapat digantikan oleh produk sintetis dan Indonesia merupakan pemasok minyak nilam utama dalam
perdagangan
dunia
dengan
kontribusi
sekitar
90%.
Laju
perkembangan kebutuhan minyak nilam relatif tidak tinggi, tetapi secara konsisten kebutuhan dunia menunjukkan peningkatan. Ekspor minyak nilam Indonesia tahun 2002 tercatat sebesar 1.295 ton dengan nilai US 22,5 juta dolar dan pada tahun 2006 meningkat menjadi 4.984 ton dengan nilai 49, 5 juta dolar (Ditjenbun 2009). Hampir seluruh pertanaman nilam di Indonesia merupakan perkebunan rakyat yang melibatkan lebih dari 65.651 kepala keluarga petani (Ditjen Bina Produksi Peternakan 2007; Ditjebun 2011). Harga minyak nilam di pasar lokal berkisar Rp 200.000-250 000,- per kg. Importir minyak nilam terbesar di dunia adalah Amerika Serikat (lebih dari 200 ton/tahun), disusul lima negara Eropa, masing Inggris (45-60 ton/tahun), Perancis, Swiss (40-50 ton/tahun), Jerman (35-40 ton/tahun) dan Belanda (30 ton/tahun) (http://arsip.pontianakpost.com dalam Sagala 2009). Produk minyak nilam dipergunakan dalam industri parfum, kosmetik, antiseptik dan insektisida, saat ini juga berkembang pemanfaatan nilam sebagai bagian dari aromaterapi. Sampai tahun 2009 sentra produksi nilam di Indonesia, terdapat di Sumatera Barat, Sumatera Utara, Nangroe Aceh Darusalam, Sumatera Selatan, Jambi, Lampung, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur dengan 134
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
total luas perkebunan 24.535 ha, luas panen 17.447 ha dengan produksi sebanyak 2.779 ton. Pada tahun 2011 mencapai 24 718 ha dengan luas panen 18.089 ha dan produksi 3,872 ton. Tetapi produktivitas nilam tersebut masih tergolong rendah, hasilnya rata-rata hanya 214 kg per ha per tahun dengan kadar minyak 1-2 % dari bahan kering (Ditjenbun 2009 dan 2011; Ditjen Bina Produksi Peternakan 2007). Rendahnya produktivitas dan
mutu
minyak
atsiri antara
lain
disebabkan rendahnya mutu genetik tanaman, teknologi budidaya yang masih sederhana, gangguan hama penyakit serta pemanenan dan pasca panen yang belum tepat. Ada tiga jenis nilam di Indonesia, yaitu nilam aceh (Pogostemon cablin Benth), nilam jawa (Pogostemon heyneanus Benth) dan nilam sabun (Pogostemon hortensis Backer). Akan tetapi yang umum dibudidayakan adalah nilam aceh karena kadar minyaknya cukup tinggi, yaitu lebih dari 2%, disamping itu kualitas minyaknya juga lebih baik dibanding nilam lain (Ditjen Bina Produksi Peternakan 2007). Pada tahun 2005 Balittro telah melepas 3 varietas unggul nilam, yaitu varietas Sidikalang, Lhokseumawe dan Tapak Tuan yang semuanya dari jenis nilam aceh. Penggunaan varietas unggul yang tepat, disertai dengan teknik budidaya yang baik, penanganan pasca panen dan pengolahan bahan yang sesuai, akan menghasilkan produksi minyak yang tinggi. Teknologi budidaya dan pascapanen telah tersedia, namun teknologi tersebut belum semuanya diadopsi oleh petani, mengingat proses alih teknologi kepada petani memerlukan
investasi yang
tinggi, karena
keterbatasan modal, petani belum mampu mengadopsi seluruh teknologi tersebut. Tulisan ini menyampaikan informasi tentang kelayakan usahatani dan agro industri penyulingan nilam.
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
135
II. KELAYAKAN USAHATANI Petani sebagai pelaksana mengharapkan produksi usahataninya besar agar
memperoleh
pendapatan
yang
besar
pula.
Untuk
itu
petani
menggunakan tenaga, modal dan sarana produksinya sebagai umpan untuk mendapatkan produksi yang diharapkan. Suatu usahatani dikatakan berhasil apabila usahatani tersebut dapat memenuhi kewajiban membayar bunga modal, alat-alat yang digunakan, upah tenaga kerja luar serta sarana produksi yang lain dan dapat menjaga kelestarian usahanya (Suratiyah 2006) A.
Analisis kelayakan finansial usahatani 3 varietas unggul nilam (Lhoseumawea, Tapak Tuan dan Sidikalang). Hasil penelitian Indrawanto dan Syakir (2008), kelayakan finansial
usahatani nilam varietas unggul Lhokseumawe, Tapak Tuan dan Sidikalang dengan skala produksi 1 ha, periode analysis 2 tahun (4 kali panen),
discount factor 12% per tahun, harga terna kering Rp 3 000,-/kg (perbandingan bobot kering dengan basah 1:4), produksi terna, kadar minyak dan produksi minyak per kg per ha per tahun untuk masing-masing varietas (Tabel 1 dan 2). Tabel 1.
Produksi terna, kadar dan produksi minyak per kg per per tahun tiga varietas nilam
Varietas
Produksi terna (kg kering/ha/thn)
Kadar minyak (%)
Produksi minyak (kg.ha/tahun)
11,087 13,237 10,902
3,21 2.83 2,89
356 376 315
Lhokseumawe Tapak Tuan Sudikalang
Sumber: Indrawanto dan Syakir (2008)
B.
Analisa Data Untuk mengetahui kelayakan usahatani masing-masing varietas
dianalisis melalui pendekatan analisis Benefit Cost Ratio (B/C), Net Present Value (NPV) dan Internal Rate Of Return (IRR) (Gittinger 1986; Kadariah et
al. 1988; Soetrisno 1982) dengan persamaan sebagai berikut: 136
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
B.1. Net Present Value (NPV) merupakan selisih antara benefit (penerimaan) dengan cost (pengeluaran):
Bt Ct
n
NPV
(1 i)
=
i 1
t
Kriteria NPV, yaitu (1). NPV > 0, berarti usahatani layak (2). NPV < 0, berarti usahatani tidak layak (3). NPV = 0, berarti tambahan manfaat yang diterima sama dengan tambahan biaya yang dikeluarkan B.2. Net Benefit/Cost Ratio (Net B/C rasio) Merupakan perbandingan antara benefit bersih dengan biaya bersih. n
Net B/C rasio
=
Bt
(1 i ) t 1 n
Ct
(1 i ) t 1
t
t
Kriteria Net B/C Ratio, yaitu: (1). Net B/C Rasio > 1, berarti usahatani menguntungkan (2). Net B/C Rasio < 1, berarti usahatani tidak menguntungkan (3). Net B/C Rasio = 1, berati usahatani pada kondisi impas (penerimaan = pengeluaran), atau terjadinya Break Event Point (BEP) B.3. Internal Rate of Return (IRR), yaitu: Menunjukkan kemampuan suatu proyek untuk menghasilkan suatu returns atau tingkat keuntungan yang akan dicapainya. IRR ini sebagai pedoman tingkat bunga bank (i) yang berlaku, walaupun sebetulnya bukan
i, tetapi IRR akan selalu mendekati besarnya i tersebut: IRR
=
i,
NPV (i ' i'' ) NPV ' NPV ''
Kriteria IRR, yaitu/Criteria of IRR, namely: (1) IRR > Sosial Discount Rate, berarti usahatani layak (2) IRR < Sosial Discount Rate, berarti usahatani tidak layak
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
137
Keterangan: Bt = penerimaan tahun ke t Ct = pengeluaran tahun ke t I’ = tingkat bunga yang menghasilkan NPV positif/ I“ = tingkat bunga yang menghasilkan NPV negetif/ NPV’ = NPV positif NPV“ = NPV negatif NPV’ + NPV“= merupakan penjumlahan mutlak C.
Analisis Hasil analisis diketahui bahwa usahatani ke tiga varietas unggul
nilam tersebut menguntungkan dan layak untuk dikembangkan. Hal ini ditunjukkan oleh kriteria NPV masing-masing vatietas tersebut positif, IRR diatas tingkat suku bunga bank yang berlaku (12%/ tahun) dan B/C Rasio masing-masing > 1 (Tabel 2). Dari ke tiga varietas unggul yang ada, ditinjau dari segi poduksi varietas nilam Tapak Tuan memberikan keuntungan lebih tinggi karena produksinya lebih tinggi dari dua varietas lainnya (Tabel 2). Tabel 2. Kalayakan usahatani tiga varietas unggul nilam asal Balittro Parameter Produksi terna kerning/ha/tahun (kg) Harga terna kering (Rp/kg) NPV IRR (%) B/C Ratio Harga BEP (Rp/kg) Produksi BEP (kg/ha)
Lhokseumawe
Varietas Tapak Tuan
Sidikalang
11.087 3.000 28.593.027 9,46 2,44 1.550
13.278 3.000 40.269.140 11,84 3,03 1.300
10.902 3.000 27.607.139 9,24 2,39 1.575
5.740 kg terna kering per tahun
Sumber: Indrawanto danSyakir (2008)
C.1. Analisis Finansial Agroindustri Penyulingan Minyak Nilam Dengan volume ketel 2.000 liter, kapasitas berjalan dua kali suling per hari selama 25 hari kerja. Biaya investasi Rp 168 juta, modal kerja Rp 68 juta dan lama usaha 20 tahun, discount factor 12%/tahun dan harga terna 138
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Rp 3.000/kg kering. Hasil analisis menunjukkan, agroindustri penyulingan minyak nilam dari ke tiga varietas unggul yang ada, ke tiga-tiganya menguntungkan dan layak diusahakan. Hal ini ditunjukkan oleh kriteria NPV masing-masingnya positif, IRR lebih tinggi dari tingkat suku bunga bank yang berlaku (12%/tahun) dan B/C Rasio > 1. Varietas unggul nilam yang memberikan keuntungan paling tinggi, yaitu varietas Lhokseumawe karena kadar minyaknya lebih tinggi dari ke dua varietas lainnya (Tabel 3). Tabel 3. Kelayakan agroindustri penyulingan minyak nilam dari tiga varietas unggul nilam Parameter Harga terna kering (Rp/kg) Luas pertanaman nilam (ha) Rendemen (%) Produksi minyak per tahun (kg) Harga minyak (Rp/kg) NPV IRR (%) B/C
Varietas Lhokseumawe 3.000 11 3.21 3.915 200.000 958.560.364 90 6,71
Tapak Tuan 3.000 9 2,83 3.419 200.000 328.748.795 40 2,96
Sidikalang 3.000 11 2,89 3.466 200.000 420.141.938 47 3,50
Sumber: Indrawanto dan Syakir (2008)
C.2. Analisis Sensitifitas: Hasil analisis sensitifitas harga menunjukkan bahwa jika produktifitas minyak masing-masing varietas tetap (Tabel 4), maka kondisi BEP usaha agroindustri penyulingan minyak nilam terjadi jika harga minyak nilam untuk masing-masing varietas (Lhokseumawe, Tapak Tuan dan Sidikalang) turun menjadi Rp 163.500,-, Rp 185.500,-, Rp 182.000,- per kg. Begitu juga rendemen BEP masing-masing 2,63%.
Jika harga minyak nilam yang
berlaku dan rendemen berada di bawah masing-masing angka tersebut, maka usaha agroindustri penyulingan minyak masing-masing varietas akan mengalami kerugian (Tabel 4)
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
139
Tabel 4. Analisis sensitivitas tiga varietas unggul nilam Varietas Unggul
Parameter
Lhokseumawe
Harga minyak BEP (Rp/kg) Rendemen BEP (%) HPP (Rp/kg)
Tapak Tuan
163.500 2,63 134.576
Sidikalang
185.500 2.63 152.670
182.000 2.63 149,519
Nilam varietas Tapak Tuan dengan keunggulan produktivitas terna yang tinggi memberikan keuntungan usahatani tertinggi. Nilam varietas Lhokseumawe dengan tingkat rendemen minyak yang tinggi memberikan keuntungan agroindustri penyulingan minyak yang tertinggi. Keunggulan produktivitas terna varietas Tapak Tuan dan keunggulan tingkat rendemen varietas Lhokseumawe tidak akan berarti jika ancaman penyakit layu bakteri dan nematoda cukup tinggi. Nilam varietas Sidikalang merupakan pilihan tepat untuk kondisi ini. C.2.1. Kelayakan usahatani nilam teknologi introduksi dan pola petani di lahan kering Kalimantan Tengah Pegembangan usahatani lahan kering di Kalimantan Tengah yang bertumpu hanya pada tanaman pangan saja, agak sulit memenuhi kebutuhan petani akan pangan sehingga perlu diusahakan tanaman perkebunan antara lain nilam. Pengembangan tanaman nilam dapat ditanam secara monokulktur atau multiple cropping. Sebagian besar petani di Kalimantan
Tengah
membudidayakan
intercropping dengan tanaman
nilam
secara
monokultur
dan
terong, kacang panjang, cabe, semangka
dan kelapa sawit untuk efisiensi lahan, diversivikasi komoditas, kesuburan lahan maupun pengendalian hama dan penyakit (Krismawati et al. 2005). Penanaman nilam pada umumnya diusahakan dengan budidaya sederhana dan semi intensif yang pada lahan pekarangan dan lahan usahatani seluas 0,25-1,0 ha. Lahan yang baru dibuka langsung ditanami nilam dan hanya untuk selama satu tahun dengan panen 1-2 kali, karena kadar Patchouli Alkohol (PA) yang merupakan salah satu kualifikasi mutu
140
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
untuk minyak nilam semakin menurun karena kekurangan air pada musim kemarau dan tanah yang kurang subur. Produktivitas terna kering di tingkat petani masih rendah, yaitu 1-1,5 ton/ha/tahun. Produktiviats ini masih bisa ditingkatkan dengan menggunakan varietas unggul, penanaman nilam pada daerah yang sesuai, pemberian pupuk serta pengendalian hama dan penyakit (Krismawati et al. 2006). Pembinaan terhadap petani nilam di Kabupaten Kotawaringin Timur dilakukan mulai tahun 2001. Pada tahun 2003 Disbun Tk I Kalimantan Tengah dan Disbun Tk II Kabupaten Kotawaringin Timur melaksanakan program Pengembangan Komoditas Rintisan nilam seluas tujuh ha di lahan transmigrasi Parenggean UPT J II di jalur 4 dan pada tahun 2003 dan 2004 memberikan bantuan alat penyuling minyak nilam dengan kapasitas 350 kg dan 50 kg terna kering (Krismawati et al. 2005). Pengadaan alat suling ini menambah semangat petani menanam nilam dengan memanfaatkan lahan yang cukup luas, mengingat produksinya dalam
bentuk
minyak,
mempunyai
harga
cukup
tinggi.
Semakin
bertambahnya luas pertanaman nilam menunjukkan bahwa tanaman tersebut diminati oleh petani di Kalimantan Tengah, karena mempunyai prospek dan peluang pasar cukup tinggi.
Perbedaan dan penerapan
teknologi usahatani nilam dengan teknologi introduksi dan pola petani, di Kalimantan Tengah (Tabel 5). Tabel 5. Perbedaan dan Penerapan Teknologi Introduksi dan Pola Petani, di Desa Tanah Putih Darat Kec. Kota Besi Kabupaten Kotawaringin Timur, MT 2004-2005 Komponen Tekonologi Varietas Pembibitan Pengolahan tanah
Pola tanam
Pola Petani
Teknologi Introduksi
Aceh Polibag berisi media tanam berupa campuran tanah + pukan yang sudah matang (1:1) Dilakukan dengan system Tanpa Olah Tanah (TOT) dengan menggunakan herbisida sebanyak 2l/ha
Sidikalang Polibag berisi media tanam campuran tanah + pukan yang sudah matang (1:2) Dilakukan dengan sistem Tanpa Olah Tanah (TOT) dengan menggunakan herbisida sebanyak 4 l/ha Monokultur
Monokultur, Intercopping; nilamcabe; nilam terong; nilam kacang panjang; nilam semangka; nilam-ubi kayu; nilam-kelapa sawit
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
141
Tabel 5. Lanjutan Komponen Tekonologi
Pola Petani
Teknologi Introduksi
Pengapuran
Tanpa kapur
Kapur 3. 500 kg/ ha 2 minggu sebelum tanam (350 gram/lubang)
Jarak tanam
100 cm x 100 cm, 1 bibit/lubang (20 cm x 20 cm x 20 cm)
100 cm x 100 cm, 1 bibit/lubang (30 cm x 30 cm x 30 cm)
Pupuk organik
Kompos 100 gram/lubang
Kompos 500 gram/lubang
Pupuk an organik
Urea SP-36 KCL
Urea = 280 kg/ha Sp-36 = 70 kg/ha KCl = 140 kg/ha
Pengendalian OPT
Sanitasi dan diperhatikan
Pasca panen/Prosesing
Dijemur 1 hari @ 6 jam Dan penyulingan selama 5 jam
= 100 kg/ha = 50 kg/ha = 70 kg/ha eradikasi
kurang
Sanitasi & eradikasi dilakukan sejak di pembibitan hingga panen. Memperbaiki drainase pada waktu curah hujan tinggi. Mengunakan pestisida untuk mencegah penularan. Dijemur 2 hari @ 7 jam Lama penyulingan 7 jam
Sumber: Krismawati dan Bhermana (2006)
C.2.2.
Analisa Data
Untuk mengetahui tingkat pendapatan petani dilakukan dengan metode finansial: -
R/C yaitu imbangan penerimaan dan biaya,
-
B/C yaitu imbangan keuntungan dan biaya serta
-
MBCR yaitu ditujukan untuk melihat produksi dan pendapatan yang diterima petani sebelum dan sesudah pengkajian (before
and after) (Kadariah 1988; Soekartawi 2002). Cara perhitungan R/C, B/C dan MBCR adalah sebagai berikut : total penerimaan R/C = -------------------total biaya B/C =
142
keuntungan -------------total biaya
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
penerimaan introduksi - pola petani MBCR = -----------------------------------------pengeluaran introduksi - pola petani Untuk
mengetahui
kelayakan
dari
usahatani
nilam
digunakan
beberapa indikator kelayakan Yaitu (Soetrisno 1981; Gittinger 1986). - Net Present Value (NPV), dan - Net Benefit Cost Ratio (Net B/C rasio) III. HASIL PENELITIAN Hasil penelitian menunjukkan, bahwa bobot terna basah, bobot terna kering dan poduksi minyak melalui penerapan teknologi introduksi relatif lebih tinggi dibandingkan teknologi di tingkat petani (pola petani) (Tabel 6). Produksi tanaman nilam tergantung sekali pada varietas yang ditanam, keadaan tanah, dan pertumbuhan tanaman. Menurut Nuryani et al. (2004), salah satu usaha untuk meningkatkan produksi dan mutu minyak nilam adalah melalui perbaikan bahan genetik. Tanaman
nilam
sangat
responsif
terhadap
pemupukan
yang
diperlukan untuk meningkatkan produksi terna, mutu minyak nilam, dan untuk
mempertahankan
atau
mengembalikan
kesuburan
tanah.
Pertumbuhan tanaman yang optimal dapat diperoleh melalui pemupukan, guna memenuhi kebutuhan hara tanaman selama pertumbuhannya. Pemupukan pada tanaman nilam selain menggunakan pupuk anorganik (seperti pupuk Urea, SP- 36 dan KCl), juga menggunakan pupuk organic (Mile et al. 1991). Tabel 6. Bobot Terna Basah, Bobot Terna Kering, Produktivitas Minyak dan Kadar Patchouli Alkohol (PA) dengan Penerapan Teknologi Introduksi dan Pola Petani Perlakuan Perlakuan Parameter Bobot terna basah (ton/ha) Bobot terna kering (ton.ha) Produktivitas minyak (kg/ha) Kadar Patchouli Alkohol (PA)
Teknologi Introduksi 15,50 3,50 117,60 32,64
Pola Petani 8,50 2,00 54,50 24,67
Sumber: Krismawati dan Bhermana (2006)
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
143
Pemberian dosis NPK adalah 14 gram/tanaman atau 280 kg/ha (Trisilawati 2002). Pemupukan sangat penting untuk diperhatikan, karena hasil yang diharapkan dari tanaman nilam adalah terna terutama daun. Oleh sebab itu faktor kesuburan merupakan suatu hal yang perlu diusahakan, agar
pertumbuhan
vegetatif
tanaman
dapat
semaksimal
mungkin.
Pemberian pupuk anorganik mampu menyediakan unsur hara lebih cepat dan dalam jumlah yang lebih besar. Produksi yang baik dapat mencapai 15-20 ton daun basah atau 5 ton daun kering per ha dengan rendemen minyak 2,5-4% sehingga produksi minyak mencapai 100-200 kg/ha/tahun (Emmyzar dan Ferry 2004). Budidaya yang sederhana dan kurang intensif serta bibit yang kurang baik mutunya menyebabkan produktivitas nilam menjadi rendah, yaitu sekitar 2 ton terna nilam kering/ha/tahun (Sudaryani dan Sugiharti 1991). Tabel 7. Analisis usahatani nilam seluas 1 hektar/1 kali panen di Desa Tanah Putih Darat, Kec Kota Besi, Kabupaten Kotawaringin Timur, musim tanam 2004 - 2005
Sumber: Krismawati dan Bhermana (2006)
144
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Produk olahan dari terna nilam adalah minyak nilam, dengan tersedianya beberapa unit penyulingan minyak nilam dilokasi penelitian maka petani mengolah sendiri terna nilam menjadi minyak. Panen nilam dilakukan pada umur 6 - 9 bulan, biasa dilakukan dua kali panen, akan tetapi panen kedua jarang dilakukan karena kadar Patchouli Alkohol (PA) pada panen kedua menurun. Hai ini disebabkan tanah yang kurang subur dan kekurangan air pada musim kemarau dan hasilnya hanya ± 30% dari hasil panen pertama. Oleh karena itu penerimaan yang diperhitungkan dalam penerimaan tunai diasumsikan bahwa petani hanya satu kali panen. Analisis
finansial
usahatani
menunjukkan
penerapan
teknologi
introduksi memberikan pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pola petani. Bobot terna kering dengan penerapan teknologi introduksi (petani kooperator) dapat mencapai 3,5 ton/ha/1 kali panen dengan penerimaan sebesar Rp.21.168.000,-, sedang pola petani (petani non kooperator) memperoleh 2,0 ton/ha/1 kali panen dengan penerimaan hanya sebesar Rp.8.175.000,- (Tabel 7). Demikian pula produktivitas minyak nilam petani kooperator dapat mencapai rata-rata 117,60 kg/ha/1 kali panen, sedang petani non kooperator rata-rata hanya mencapai 54,50 kg/ha/1 kali panen atau terjadi peningkatan sebesar 2,16 kali kali lipat dari produktivitas pola petani (Tabel 7). Begitu juga dengan keuntungan yang diperoleh oleh petani kooperartor (tekonologi introduksi) lebih tinggi (Rp. 11.043.875,-) atau meningkat 326% dibanding pola petani yang hanya sebesar Rp 3.500.000,-/ha/panen . Pola usahatani, baik pola petani maupun penerapan teknologi introduksi secara finansial sama-sama layak diusahakan. Hal ini ditunjukkan oleh kriteria kelayakan NPV positif dan B/C rasio >1. Namun usahatani dengan teknologi introduksi lebih menguntungkan dengan NPV
Rp
9.086.910,-, dan Net B/C rasio 1,95 serta MBCR 2,38. Sedangkan NPV pada pola petani hanya sebesar Rp 2.487.450,- dengan B/C rasio 1,53 (Tabel 7).
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
145
IV.
PENUTUP
Aplikasi penerapan teknologi dengan penggunaan varietas unggul, pupuk anorganik dan organik, akan meningkatkan produktivitas terna dan mutu minyak nilam. Untuk meningkatkan produksi diperlukan budidaya intensif, sejak dari pemilihan bibit sampai ke panen dan penanganan pasca panen Produktivitas minyak dengan penerapan teknologi introduksi mencapai 117,60 kg/ha dengan kadar Patchouli Alkohol (PA) 32,64, sedang pada pola petani hanya sebesar 54,50kg/ha dengan kadar Patchouli Alkohol (PA) 24,67. Penerapan paket teknologi usahatani nilam di lahan kering mampu meningkatkan tambahan keuntungan usahatatani mencapai 326% dengan NPV= Rp9.086.910,-R/C = 2,09, Net B/C = 1,95, MBCR = 2,38. Sedang pada pola petani keuntungan usahatani R/C = 1,75, B/C = 0,75, Net B/C = 1,53 dan NPV Rp.2.487.450,Untuk kelancaran penerapan inovasi teknologi, diperlukan dukungan sarana produksi di sekitar lokasi usahatani dengan harga yang terjangkau disertai pendampingan dan monitoring secara berkala. Kelembagaan tani dan kelembagaan usaha bersama perlu dibangun, agar memperkuat dan memantapkan eksistensi petani nilam. Penguatan dan pemberdayaan kelembagaan petani sangat diperlukan untuk pengembangan nilam di Kalimantan Tengah DAFTAR PUSTAKA Ditjen Bina Produksi Peternakan. 2007. KP-3, Penunjang Permodalan Pertanian. Agribisnis Indonesia Vol. 36. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. Departemen Pertanian: 51-52. Ditjenbun. 2009. Statistik Perkebunan Indonesia 2007-2009. Direktorat Jendral Perkebunan. Departemen Pertanian. 17 p Ditjenbun. 2011. Statistik Perkebunan Indonesia 2009-2011. Direktorat Jendral Perkebunan. Departemen Pertanian. Emmyzar dan Y. Ferry. 2004. Pola budidaya untuk peningkatan produktivitas dan mutu minyak nilam. Perkembangan Teknologi Tanaman Rempah 146
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
dan Obat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan. Hal 52-61. Gittingger, J.P. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-proyek Pertanian. Edisi ke Dua. Universitas Indonesia (UI-Press), 1986. 579 p. Indrawanto, C. dan M. Syakir. 2008. Analisa usahatani nilam. Bahan seminar rutin Balittro, April 2008. 9 p (tidak dipublikasikan) Kadariah, L.K. dan Gray. 1988. Pengantar Evaluasi Proyek. Analisa Ekonomis Edisi Kedua. LPFE - UI. Jakarta. 122 p. Krismawati, A. 2005. Nilam dan potensi pengembangannya, Kalteng Jadikan Komoditas Rintisan. Sinar Tani No 3083 Tahun XXXV. Krismawati, A. dan A. Bherman, 2006. Kajian Penerapan Teknologi Usahatani Nilam (Pogostemon cablin Benth) di Lahan Kering Kalimantan Tengah. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Balitbang Pertanian. 9:160-171 Mile, Y., N. Mindawati dan S. Prajadinata. 1991. Kemungkinan peningkatan produktivitas lahan dengan menggunakan kompos organik dalam menunjang keberhasilan HTI. Majalah Kehutanan Indonesia. No 5 : 12-17. Nuryani, Y., Hobir dan D. Seswita. 2004. keragaan potensi produksi, kadar dan mutu minyak empat nomor harapan nilam di berbagai lokasi. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Perkembangan Teknologi Tanaman Rempah dan Obat 16: 46 – 51. Sagala, F.C. 2009. Prospek Pengembangan Nilam di Desa Tanjung Meriah Kecamatan Sitellu Tali Urang Jehe Kabupaten Pakpak Barat. 80 p. Soekartawi. 2002. Analisis usahatani. Universitas Indonesia Press. Hal 85-87. Soetrisno. 1982. Dasar-Dasar Evaluasi Proyek (Dasar-dasar Perhitungan Teori dan Studi Kasus). Fakultas Ekonomi UGM. Andi Offset. Yokyakarta, 1982: 231-24 Sudaryani, T dan E. Sugiharti. 1991. Budidaya dan penyulingan nilam. Penebar Swadaya. Jakarta. 69 Hal. Suratiyah, K. 2006. Ilmu Usahatani. Cetakan I. Penebar Swadaya. Jakarta. 124 p. Trisilawati, O. 2002. Peranan kapur dan pupuk organik terhadap pertumbuhan dan produksi nilam pada tanah latosol. Prosiding Simposium Nasional II Tumbuhan Obat dan Aromatik 13 Hal.
Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
147