REKAYASA SISTEM PENDUKUNG KEPUTUSAN INTELIJEN UNTUK PENGEMBANGAN AGROPOLITAN BERBASIS AGROINDUSTRI
ZULFA FITRI IKATRINASARI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Sistem Pendukung Keputusan Intelijen untuk Pengembangan Agropolitan Berbasis Agroindustri adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Agustus 2010
Zulfa Fitri Ikatrinasari NRP: F 324010101/TIP
ABSTRACT ZULFA FITRI IKATRINASARI. Design of Intelligent Decision Support System for the Development of Agroindustry Based Agropolitan. Under the direction of M. SYAMSUL MA’ARIF, E. GUMBIRA SAID, MARIMIN, TAJUDDIN BANTACUT and ARIS MUNANDAR. Agropolitan is a concept of agricultural development based on regional dimension which optimizes local potential resources and increases local competitive advantages. However, agropolitan development has some obstacles to be implemented such as no coordination and cooperation between stakeholder. The purpose of this study was to establish agroindustry based agropolitan concept. Through system approach, the intelligent decision support system (DSS) developed in this research was to support the implementation of market and material driven agropolitan development. The intelligent DSS was also able to define and delineate spatially the agropolitan area where agriculture had a most contribution to mean of support and welfare of local residents. Meanwhile, within its agropolitan center, the agroindustry could increase agriculture added value to support agropolitan implementation and its sustainibility. The model has been tested at Kabupaten Probolinggo and showed that corn, mango, onion and potato were best commodities within the region and corn based ethanol was highest priority product. Ethanol agroindustry was designed with capacity of 30 milion gallons per year that feasible to be established. As a stucture and infrastructure of supporting agropolitan based on agroindustry, it was recommended to develop market and road. Considering medium level of existing human resource and infrastructure condition, vertical integrated institution has been selected as an appropriate institution model in agroindusty based agropolitan. Keywords: agropolitan, agroindustry, regional development, intelligent decision support system, analytical network process.
RINGKASAN Agropolitan atau kota pertanian merupakan salah satu konsep pengembangan wilayah berbasis pengembangan pertanian yang dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya potensial dan peningkatan daya saing pada suatu daerah. Pengembangan kawasan agropolitan diharapkan dapat mempercepat pembangunan perdesaan sehingga dapat mengatasi permasalahan kesenjangan pembangunan yang terjadi. Hal ini disebabkan karena agropolitan diharapkan dapat menghasilkan pemerataan pendapatan lebih cepat dibandingkan dengan pendekatan growth pole. Keberlangsungan agropolitan sangat dipengaruhi oleh nilai tambah yang diperoleh masyarakat kawasan agropolitan. Oleh karena itu agroindustri dapat diandalkan menjadi sektor yang dijadikan basis pengembangan agropolitan, karena nilai tambah yang besar dapat diwujudkan salah satunya dengan adanya agroindustri. Penelitian ini berupaya untuk membangun konsep pengembangan agropolitan berbasis agroindustri dan kemudian konsep tersebut diimplemetasikan dengan rekayasa sistem pendukung keputusan (SPK) intelijen. SPK Intelijen agropolitan ini dapat dimanfaatkan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dan masyarakat dalam pengelolaan pengambilan keputusan maupun pengembangan kebijakan yang sesuai dengan persoalan yang dihadapi dalam pengembangan agropolitan berbasis agroindustri yang bersifat kompleks dan berorientasi jangka panjang. Sistem pengembangan agropolitan dilakukan dengan menggunakan pendekatan sistem agar diperoleh penyelesaian yang utuh dan komprehensif. Salah satu metode pendekatan sistem yang dapat digunakan untuk mendukung keputusan adalah Sistem Pendukung Keputusan (SPK). SPK yang direkayasa merupakan SPK intelijen, yaitu SPK yang dapat mendukung pengambilan keputusan cerdas (intelijen). SPK intelijen memungkinkan sistem mengakuisisi pengetahuan para pakar ke dalam sistem karena SPK intelijen yang dibangun merupakan integrasi antara SPK dan sistem pakar. SPK Intelijen merupakan engineering solution dalam perencanaan kawasan. Model pengembangan agropolitan berbasis agroindustri diimplementasikan dalam bentuk perangkat lunak komputer Visual Basic versi 6.0 dan diberi nama SPK INTELIJEN AGROPOLITAN. Validasi operasional SPK INTELIJEN AGROPOLITAN dilakukan di Kabupaten Probolinggo. Pada model pemilihan komoditi unggulan diperoleh hasil bahwa jagung, mangga, bawang merah dan kentang merupakan empat komoditi yang merupakan alternatif dengan hasil tinggi (T), sedangkan proritas berikutnya adalah ubi kayu, alpukat, pisang dan kubis dengan hasil sedang (S). Hasil pemilihan komoditi unggulan dengan prioritas tertinggi selanjutnya digunakan untuk perencanaan agroindustri. Berdasarkan perhitungan menggunakan Analytical Network Process (ANP), diketahui bahwa produk Etanol merupakan produk yang memiliki rangking prioritas tertinggi dabandingkan alternatif produk lainnya. Untuk itu dalam perencanaan dan pengembangan kawasan agropolitan direkomendasikan dibangun industri Etanol berbahan baku jagung. Berdasarkan analisis prediksi
permintaan, peluang pasar dan ketersediaan bahan baku saat ini, dapat ditentukan bahwa kapasitas pabrik etanol di Kabupaten Probolinggo adalah 10 juta galon etanol per tahun. Hasil analisis kelayakan investasi agroindustri etanol sebesar 10 juta galon per tahun degan menggunakan dana bank konvensional pada suku bunga 14% menunjukkan PBP 7,07 tahun dengan nilai NPV Rp. 56,615 milyar dan IRR 19,07%. dan B/C 1,04. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa harga kritis jagung adalah sekitar Rp.2.100/kg. Harga jual etanol yang kritis adalah sekitar Rp. 24.900/galon dan suku bunga kritis adalah sekitar 18%. Berdasarkan model pengklasteran wilayah dengan menggunakan analisis klaster dan sistem pakar, maka direkomendasikan struktur ruang kawasan agropolitan terdiri dari dua pusat agropolitan yaitu Kraksaan dan Kuripan dan kawasan pendukungnya. Kawasan pendukung agropolitan adalah Tegalsiwalan, Banyuanyar, Pakuniran, Kotaanyar, Paiton, Besuk, Krejengan, Pajarakan, Maron, Gending, Dringu, Tiris, Krucil, Gading, Sukapura, Sumber, Bantaran, Leces, Wonomerto, Lumbang, Tongas dan Sumberasih. Kriteria pemilihan sarana prasarana pengembangan agropolitan di Kabupaten Probolinggo dibagi menjadi kriteria keuntungan dan kriteria biaya. Kriteria Keuntungan (Benefit) terdiri dari: aksesibilitas terhadap pasar, aksesibilitas terhadap pusat agropolitan, aksesibilitas terhadap sentra produksi pertanian, tingkat perbaikan kondisi perekonomian masyarakat sekitar, tingkat perbaikan sosial budaya masyarakat sekitar, peningkatan produktivitas pertanian, peningkatan kualitas lingkungan pemukiman dan tingkat kepadatan guna lahan. Kriteria Biaya (cost) terdiri dari: keseimbangan ekologi dan lingkungan hidup serta biaya pengadaan sarana prasarana. Pada model pemilihan kelembagaan yang menggunakan ANP maka diperoleh bahwa kelembagaan Integrasi Vertikal memiliki prioritas tertinggi di antara kelembagaan lainnya, kemudian berturut-turut prioritas tertinggi hingga yang terendah adalah Sistem Kontrak, Sistem Pasar, Koperasi dan Aliansi Strategis. Kelembagaan diperlukan untuk mengelola kawasan agropolitan termasuk menjamin pasokan bahan baku bagi agroindustri dan pemasaran produknya. Peningkatan lahan panen jagung dari 61.413 ha menjadi 106.422 ha dan peningkatan produktivitas dari 39,40 ku/ha menjadi 41,79 ku/ha akan meningkatkan produksi jagung dari 241.044,04 ton/tahun menjadi 421.740,54 ton/tahun dan dapat didirikan agroindustri etanol berkapasitas 30 juta galon/tahun. Analisis prediksi kinerja dengan didirikannya agroindustri etanol berkapasitas 30 juta galon per tahun adalah nilai tambah Rp. 183,952 milyar / tahun, peningkatan pendapatan pajak Rp.25 milyar hingga Rp.56 milyar per tahun, penngkatan lapangan kerja hingga 87.400 orang, peningkatan infrastruktur senilai Rp. 6,93 milyar per tahun, peningkatan fasilitas pendidikan senilai Rp. 10,89 milyar per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa nilai tambah merupakan driven force dalam pengembangan kawasan. Kata kunci: agropolitan, agroindustri, perencanaan wilayah, sistem pendukung keputusan intelijen, analytical network process.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjuan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
REKAYASA SISTEM PENDUKUNG KEPUTUSAN INTELIJEN UNTUK PENGEMBANGAN AGROPOLITAN BERBASIS AGROINDUSTRI
ZULFA FITRI IKATRINASARI
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Penguji luar komisi Ujian Tertutup: 1. Ir. Hastu Parabatmodjo, MS., Ph.D. Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota, Departemen Teknik Planologi, ITB. 2. Dr. Ir. Setia Hadi, MS. Departemen Arsitektur Lansekap, Fakultas Pertanian, IPB.
Ujian Terbuka: 1. Dr. Ir. Sugimin Pranoto, MSc. Koordinator Tim Pendukung Teknis Rehabilitasi dan Rekonstruksi Provinsi Sumatera Barat, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). 2. Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr. Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, IPB.
Judul Disertasi:
REKAYASA SISTEM PENDUKUNG KEPUTUSAN INTELIJEN UNTUK PENGEMBANGAN AGROPOLITAN BERBASIS AGROINDUSTRI
Nama:
Zulfa Fitri Ikatrinasari
NRP:
F 324 010101
Disetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. M. Syamsul Ma’arif, MEng. Ketua
Prof. Dr. Ir. E. Gumbira Sa’id, MADev. Anggota
Prof. Dr. Ir. Marimin, MSc. Anggota
Dr. Ir. Tajuddin Bantacut, MSc. Anggota
Dr. Ir. Aris Munandar, MS. Anggota
Diketahui, Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Machfud, MS.
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.
Tanggal Ujian: 23 Juli 2010
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT. atas limpahan rahmat, hidayah, karunia dan petunjukNya jualah sehingga disertasi ini dapat penulis selesaikan. Keberhasilan penelitian ini tidak terlepas dari peran aktif komisi pembimbing penulis. Oleh karena itu, ucapan terima kasih yang tidak terhingga penulis persembahkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. M. Syamsul Ma’arif, MEng. sebagai ketua komisi pembimbing dan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. E. Gumbira Sa’id, MADev., Prof. Dr. Ir. Marimin, MSc., Dr. Ir. Tajuddin Bantacut, MSc., Dr. Ir. Aris Munandar, MS. masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing yang tulus dan ikhlas membimbing penulis mulai dari penulisan proposal, penelitian dan penulisan hingga disertasi ini terwujud. Penghargaan dan ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Rektor Institut Pertanian Bogor atas kesediaannya menerima penulis menjadi mahasiswa pada program studi Teknologi Industri Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penghargaan dan ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dekan Sekolah Pascasarjana, Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Teknologi Pertanian, Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian, dan seluruh staf pengajar Sekolah Pascasarjana IPB khususnya Program Studi Teknologi Industri Pertanian yang telah tulus dan ikhlas memberi ilmu pengetahuan dan bimbingan serta berbagi pengalaman kepada penulis dengan penuh tanggung jawab dan pengabdian. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia yang telah memberikan bantuan pendidikan melalui proyek BPPS kepada penulis guna kelancaran proses pendidikan. Kepada Bupati Kabupaten Probolinggo Propinsi Jawa Timur, Bappeda, Dinas Pertanian, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Perindustrian dan Dinas Koperasi beserta seluruh stafnya, penulis sampaikan terima kasih dan penghargaan atas bantuan fasilitas dan kemudahan yang telah diberikan kepada penulis selama melaksanakan penelitian. Kepada yang mulia Ayahanda Drs. H. Tosari Wijaya dan Ibunda Hj. Mahsusoh Ujiati, Ayah mertua H. Arda Setiawan dan Ibu mertua Hj. Suprapti, ananda persembahkan terima kasih atas segala bantuan baik materiil maupun do’a restu, bimbingan, nasehat dan arahan yang tidak henti-hentinya diberikan kepada penulis. Terima kasih dan penghargaan yang tidak terhingga, penulis persembahkan kepada suami tercinta H. Kosasih, SE dan anak-anakku tersayang Fauzan, Kemal, Tara, Rafa dan Rana atas ketabahan, kesabaran, kesetiaan, pengorbanan dan iringan do’a yang tulus dan ikhlas dalam menyertai setiap langkah penulis selama menempuh pendidikan. Akhir kata, kepada semua pihak yang telah membantu, penulis ucapkan terima kasih, semoga Allah SWT. memberi pahala yang lebih baik. Amin. Bogor, Juli 2010 Zulfa Fitri Ikatrinasari
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 7 Maret 1972, sebagai anak pertama dari enam orang bersaudara dari pasangan Drs. H. Tosari Widjaja dan Hj. Mahsusoh Ujiati, SE. Penulis memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Jurusan Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Petanian Bogor pada tahun 1995. Pendidikan Magister Teknik dengan bidang Teknik Manajemen Industri pada Program Pascasarjana Institut Teknologi Bandung diperoleh pada tahun 1998. Pada tahun 2001 penulis melanjutkan pendidikan program Doktoral pada program studi Teknologi Industri Pertanian sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan sponsor biaya pendidikan proyek BPPS Dirjen Dikti Diknas RI Jakarta. Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada jurusan Teknik Industri Institut Sains dan Teknologi Al-Kamal (ISTA) Jakarta pada tahun 1998 hingga 2007. Bekerja sebagai Tenaga Ahli Anggota DPR RI pada tahun 2007 hingga 2009 dan bekerja pada Program Magister Teknik Industri Pasca Sarjana Universitas Mercu Buana (UMB) Jakarta sejak 2007 hingga sekarang dengan jabatan fungsional terakhir adalah Lektor. Penulis menghasilkan beberapa karya ilmiah, yang merupakan bagian dari program S3, antara lain: Model Pemilihan Kelembagaan Agropolitan Berbasis Agroindustri dengan Analytic Network Process yang diterbitkan pada Jurnal Teknologi Industri Pertanian Volume 19 No.3 Edisi Desember 2009 dan Model Pengembangan Industri Tanaman Pangan dan Hortikultura yang diterbitkan pada Jurnal Operations excellence Volume II No. 1 Edisi April 2010.
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Agropolitan
atau
kota
pertanian
merupakan
salah
satu
konsep
pengembangan wilayah dengan basis pengembangan pertanian yang dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya potensial dan peningkatan daya saing suatu daerah (Harun 2004; Nainggolan 2004; Rustiadi & Hadi 2004). Pengembangan kawasan agropolitan dapat mempercepat pembangunan perdesaan sehingga dapat mengatasi permasalahan kesenjangan pembangunan yang terjadi. Otonomi lokal merupakan syarat bagi pengembangan agropolitan sehingga setiap kawasan memiliki wewenang terhadap sumber-sumber ekonomi. Selain itu, keuntungan yang diperoleh dari kegiatan setempat harus ditanam kembali untuk menaikkan daya-hasil dan menciptakan suatu keadaan yang mendorong pertumbuhan ekonomi selanjutnya (Friedmann & Douglass 1976; Ferrario 2009). Agropolitan dapat menghasilkan pemerataan pendapatan lebih cepat dibandingkan dengan pendekatan growth pole (Stohr 1981; Douglass 1998b; Mercado 2002; Nurzaman 2005). Konsep growth pole menekankan pada terbentuknya pusat-pusat pertumbuhan di perkotaan dan mengharapkan adanya pemerataan secara otomatis yang berasal dari proses penetesan pembangunan (trickle down process) dari kutub pertumbuhan ke daerah belakang (hinterland). Namun proses penetesan pembangunan tidak terjadi, justru sebaliknya terjadi pengurasan sumberdaya yang dimiliki daerah oleh pusat secara besar-besaran (massive backwash effect), sehingga terjadi ketimpangan pembangunan antara perdesaan dan perkotaan (Douglass 1998b; Rustiadi & Hadi 2004). Agropolitan berada dalam kawasan pemasok hasil pertanian (sentra produksi pertanian) yang memberikan kontribusi besar terhadap mata pencaharian dan kesejahteraan masyarakatnya (Friedmann 1998; Soenarno 2003). Konsep agropolitan dinilai strategis dalam pengembangan komoditi pertanian berwawasan agribisnis dengan sasaran tercapainya sinergi pengembangan antar sektor dan secara spasial (desa-kota) dalam mendukung pengembangan di lapangan. Dalam pengembangan kawasan agropolitan masih ditemui beberapa permasalahan.
Cina merupakan salah satu negara yang mengadopsi konsep
2 agropolitan bagi pembangunan negaranya sejak tahun 1980’an, tetapi kemudian tidak berkelanjutan seiring dengan bergantinya kepemimpinan (Chu 2002). Negara-negara Asia lainnya seperti Korea Selatan, Malaysia, Filipina dan Thailand menerapkan pola kawasan pertanian yang serupa dengan konsep agropolitan dan berkelanjutan hingga saat ini (Hwang et al. 1996; SAIP 2010; Mercado 2002; Jinju City 2010). Indonesia sejak tahun 2002 telah merumuskan beberapa program rintisan pengembangan kawasan agropolitan dan pada tahun 2010 telah mengembangkan kawasan agropolitan di 270 kabupaten (BP2 Deptan 2003; Deptan 2010). Mempelajari pengalaman dari beberapa negara tersebut tampak bahwa keberlangsungan (sustainability) dari suatu agropolitan sangat tergantung dari nilai tambah yang dapat ditumbuhkannya. Semakin besar nilai tambah yang dihasilkan maka semakin langgeng pula implementasinya. Nilai tambah yang besar dapat diwujudkan salah satunya dengan adanya agroindustri yang dapat menjamin pemanfaatan hasil pertanian secara optimal dengan memberikan nilai tambah yang tinggi melalui upaya pemanfaatan, pengembangan, penguasaan teknologi dan bioteknologi.
Sebagai salah satu sub sistem dalam agribisnis,
agroindustri memiliki potensi yang besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pendapatan masyarakat, menyerap tenaga kerja, dan meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya serta mempercepat pembangunan daerah (Simatupang & Purwoto 1990; Rusastra et al. 2005; Susilawati 2007; Misra 2007). Agroindustri dapat diandalkan menjadi sektor yang memimpin dalam perekonomian (Gumbira-Said & Intan 2001; Saragih 2001; Supriyati & Suryani 2006). Peran agroindustri dalam perindustrian nasional cukup besar; pangsa nilai tambahnya dalam industri non migas sebesar 80,70 persen, kesempatan kerja 74,90 persen, dan efek pengganda nilai tambah sebesar 3,23 (Simatupang & Purwoto 1990). Dengan demikian, untuk menjamin keberlangsungan agropolitan, pengembangan agroindustri dapat menjadi penentu keberhasilan dan menjadi bagian tidak terpisahkan dari pengembangan agropolitan. Indonesia memiliki kekuatan bagi berkembangnya agroindustri, karena didukung oleh sumberdaya alam yang memungkinkan tingginya produktivitas
3 komoditi pertanian. Kekuatan tersebut adalah biodiversitas yang baik, potensi alam (agroklimat) yang tinggi bagi pengembangan komoditi dan tersedia lahan yang luas. Potensi tersebut belum termanfaatkan secara optimal. Hal ini dapat ditelaah dari semakin meningkatnya rasio impor terhadap ekspor hortikltura 0,32 pada periode 1985 – 1990 menjadi 0,75 pada periode 1995 – 1999 dan menjadi 0,23 pada bulan Januari sampai Desember tahun 2006. Indonesia mengimpor tanaman pangan pada bulan Januari sampai Desember tahun 2006 senilai US$ 2.646 juta dan hortikultura senilai US$ 40 juta. Nilai impor tersebut masih jauh di atas nilai ekspor pada waktu yang sama pada tanaman pangan senilai US$ 184 juta dan hortikultura senilai US$ 172 juta (Pusdatin Deptan 2010). Permasalahan-permasalahan
lain
yang
terungkap
pada
program
pengembangan agropolitan antara lain (Lukitaningsih 2004; Rusastra et al. 2005; Sartika 2006; Rustiadi & Pranoto 2007; Agusta 2008; Nugroho 2008): (1) tidak adanya koordinasi dan kerjasama antara stakeholder, (2) persepsi salah yang menganggap bahwa agropolitan adalah membentuk kota baru sehingga mengabaikan pengembangan sumberdaya manusia dan (3) ketidakpastian mengenai keberlangsungan program. Permasalahan-permasalahan di atas, maupun permasalahan lain yang mungkin muncul dalam pengembangan agropolitan di masa datang, dapat diminimalkan jika dalam perencanaan dan pengembangannya dilakukan pengkajian yang mendalam dan menyeluruh pada setiap elemen sistem agropolitan
dan
melibatkan
semua
pelaku
yang
terlibat
(stakeholder).
Perencanaan dan pengembangan yang melibatkan stakeholder bertujuan untuk menekan kemungkinan terjadinya keputusan yang tidak sensitif terhadap masalahmasalah di sekitar lingkungan, menjamin rasa memiliki (sense of belonging), dan menjamin dukungan masyarakat serta dapat menjamin komunikasi dua arah. Pengkajian yang mendalam dan menyeluruh tersebut dapat dilakukan dengan pendekatan sistem. Pendekatan sistem dapat merumuskan suatu keputusan yang optimal bagi setiap elemen sistem agropolitan yang memiliki sifat kompleks, dinamis, dan probabilistik. Salah satu metode pendekatan sistem yang dapat digunakan untuk mendukung keputusan adalah Sistem Pendukung Keputusan (SPK) (Eriyatno
4 1999; Turban 1990; Turban et al. 2006; Buede 2009; Stair & Reynolds 2010). Sistem pendukung keputusan (SPK) diperlukan dalam pengembangan kawasan agropolitan, karena SPK dapat memadukan setiap fungsi (sub sistem) agribisnis dan fasilitas pendukung lainnya yang melibatkan berbagai sektor dan pelaku dalam suatu kawasan agropolitan. SPK telah banyak diterapkan dalam penelitian, diantaranya adalah pengembangan agroindustri komoditi unggulan pada kawasan andalan di Ciamis (Kustanto 1999),
pengembangan agroindustri kelapa sawit (Didu 2000), dan
pengembangan agroindustri kelapa di Ciamis (Rukmayadi 2002).
Sistem
Manajemen Ahli (SMA) yang merupakan integrasi antara SPK dan Sistem Pakar juga telah diterapkan dalam penelitian, diantaranya dalam pengembangan agroindustri minyak atsiri (Machfud 2001). SPK Intelijen telah diterapkan oleh Matsatsinis dan Siskos (2003) dalam bidang pemasaran, Bose dan Sugumaran (2007) dalam teknologi web dan Yeh et al. (2009) menerapkannya dalam sistem seleksi proyek. Dari beberapa penelitian tersebut SPK maupun integrasi antara SPK dan sistem pakar belum diterapkan untuk mengkaji dan mengembangkan agropolitan. Perekayasaan SPK intelijen dapat mendukung pengambilan keputusan cerdas (intelijen). SPK ini memungkinkan sistem mengakuisisi pengetahuan para pakar ke dalam sistem karena merupakan integrasi antara SPK dan sistem pakar (Turban 1990; Turban et al. 2006; Turban et al. 2007; Stair & Reynolds 2010). Sistem ini merupakan sistem yang memiliki beberapa kelebihan mengingat beberapa karakteristik, diantaranya adalah keterlibatan para pakar memiliki preferensi beragam dan bersifat fuzzy (samar) serta faktor penentu pengembangan kawasan agropolitan dan ukuran keberhasilannya tidak semua bersifat numerik deterministik, akan tetapi bersifat deskriptif-kualitatif dan fuzzy.
1.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan konsep agropolitan berbasis agroindustri dan merekayasa sistem pendukung keputusan intelijen agropolitan berbasis agroindustri.
5 1.3 Ruang Lingkup Sistem Pendukung Keputusan Intelijen yang direkayasa adalah gabungan antara SPK dan Sistem Pakar yang terdiri dari elemen-elemen berikut: a. Pemilihan komoditi tanaman pangan dan hortikultura unggulan serta sentra produksi sebagai kawasan pendukung. b. Penentuan pusat agropolitan, yaitu kawasan-kawasan andalan yang dapat meningkatkan nilai tambah melalui agroindustri. c. Pemilihan dan perancangan agroindustri berdasarkan analisis pasar, kemampuan teknologi, nilai tambah produk dan analisis kalayakan finansial. d. Pemilihan prasarana serta pola kerjasama atau kelembagaan yang mendukung sistem agropolitan. e. Validasi SPK intelijen pengembangan agropolitan dilakukan secara studi kasus di Kabupaten Probolinggo
1.4 Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan, secara ilmiah maupun secara praktis sebagai berikut: a. Pengembangan konsep agropolitan berbasis agroindustri secara ilmiah dapat digunakan sebagai sumbangan pemikiran bagi perbaikan dan pengembangan konsep agropolitan. b. Secara praktis dapat memberikan informasi dan sumbangan pemikiran yang bermanfaat sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah, masyarakat di kawasan agropolitan, usahawan dan industriawan, akademisi dan pihak-pihak yang terlibat lainnya dalam pengembangan dan pembangunan agropolitan berbasis agroindustri. c. Berdasarkan rancangan SPK Intelijen yang dibangun maka akan diperoleh Informasi mengenai komoditi unggulan, pusat agropolitan dan sentra produksinya, perancangan agroindustri yang menghasilkan produk prospektif, dan perencanaan sarana prasarana serta kelembagaan yang dapat mendukung pengembangan suatu kawasan agropolitan.
2 PERKEMBANGAN KONSEP PEMBANGUNAN WILAYAH BERBASIS PERTANIAN
2.1 Pengertian Wilayah
Richardson (1979) mengartikan pewilayahan (regionalisation) dan ruang lingkup wilayah (region) tidak dapat didefinisikan secara baku karena kriteria yang digunakan sangat tergantung dari lingkup rancangan studi yang akan disusun. Sedangkan Raymond (1996), mengartikan wilayah cakupannya dapat beragam mulai dari pusat pemukiman kecil hingga wilayah yang sangat luas meliputi beberapa pulau bahkan negara. Richardson (1979); Glasson (1992); Glasson dan Marshal (2007), mendefinisikan wilayah secara formal adalah suatu kesatuan alam yang mempunyai keterkaitan yang menjadi pengikat. Suatu wilayah dalam pengertian geografi, merupakan kesatuan alam yang memiliki kesamaan dan ciri geografis yang khas, antara lain wilayah ekonomi yang berkaitan dengan proyek pembangunan dan pengembangan. Menurut Raymond (1996), wilayah perencanaan adalah wilayah geografis yang memungkinkan perencanaan dan penerapan program pengembangan wilayah sesuai dengan permasalahan dan kondisi spesifik di wilayah itu.
Wilayah
fungsional menurut Glasson (1992) dan Porter (1998) adalah suatu wilayah dengan keadaan alam yang tidak sama, tetapi memungkinkan berlangsungnya bermacam-macam kegiatan/fungsi yang saling mengisi dalam kehidupan masyarakat). Stohr (1981) memberikan pengertian wilayah berorientasi ekonomi sebagai semua unit teritorial yang lebih besar dari desa, dimana suatu kegiatan ekonomi layak untuk berkembang. Pengertian wilayah menurut Sasmojo (1999) didasarkan pada sisi administratif yang bermakna “daerah”, yang di Indonesia terdiri dari propinsi, kabupaten, dan kotamadya. Dilihat dari fungsinya, wilayah dapat berupa kawasan lindung dan kawasan budidaya.
Berdasarkan karakteristik kegiatan ekonomi
wilayah dapat berbentuk perdesaan dan perkotaan.
8 2.2 Pembangunan dan Pengembangan Wilayah
Zen (1999), mendifinisikan pengembangan wilayah adalah usaha mengawinkan secara harmonis sumberdaya alam, manusia dan teknologi dengan memperhatikan daya tampung lingkungan untuk pemebrdayaan masyarakat. Menurut Nachrowi dan Suhandojo (1999), terdapat tiga komponen wilayah yang harus diperhatikan dan disebut sebagai tiga pilar pengembangan wilayah yaitu sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan teknologi. Pembangunan atau pengembangan adalah suatu kata yang mulai populer pada masa sesudah Perang Dunia II merupakan keinginan untuk melakukan perubahan sosial (sosial change) yang dilakukan secara sadar, terencana dan berkelanjutan dengan tujuan demi eksistensi dan perbaikan kualitas hidup berdasarkan dengan kemampuan yang dimiliki untuk merealisasikannya (Streeten 1981; Syafa’at et al. 2003; Zen 1999).
Pada saat itu, tingkat Pendapatan
Domestik Bruto (PDB) merupakan indikator yang sangat praktis yang dipakai untuk mengukur tingkat perkembangan pembangunan. Pembangunan diharapkan secara otomatis akan menetes (ke wilayah atau golongan yang ekonominya kurang) setelah tercapai tingkat PDB tertentu (Singer 1981). Pembangunan akan tercapai dengan sendirinya setelah suatu negara terbebas dari penjajahan, mendapat bantuan ekonomi dan berkembang melalui industrialisasi (Misra 1981). Tetapi ternyata peningkatan PDB saja tidak dapat menunjukkan telah terjadi pembangunan. Peningkatan PDB tidak dapat menghilangkan kesenjangan antara kaya dan miskin maupun mengurangi kemiskinan. Pada saat ini pembangunan tidak hanya diukur dari kenaikan PDB atau pendapatan per kapita seperti pada era 1950/1960. Pemerataan juga merupakan faktor yang harus diperhatikan karena trickle down effect tidak otomatis berjalan begitu saja (Singer 1981).
Pembangunan berarti penciptaan kehidupan kaya
dalam arti luas, di mana tercakup di dalamnya kemampuan semua orang untuk mendapatkan barang yang lebih baik, lebih banyak dan lebih berharga bagi kehidupannya,
hormat terhadap orang lain dan dirinya sendiri dan bebas dari
segala bentuk tirani (Misra1981; Todaro 2001). Berdasarkan sisi lain dari hasil pembangunan, kemudian tumbuh alternatif konsep lain seperti pembangunan dari bawah (development from below).
9 Berlawanan dengan pembangunan dari atas (development from above) yang hanya dapat bekerjasama dengan modal asing dan pemerintah yang memihak kepentingan asing untuk industrialisasi (Hansen 1981), pembangunan dari bawah mengandalkan sepenuhnya pada sumberdaya alam dan keahlian setempat. Konsep pembangunan dari bawah jauh lebih tepat diterapkan pada wilayah yang kecil. Meskipun keberhasilan menaikkan PDRB mungkin agak lambat, tetapi pemerataan akan jauh lebih baik, serta aspirasi masyarakat akan lebih dihargai. Beberapa negara telah menerapkan konsep tersebut seperti Cina dan Thailand (Douglass 1981). Konsep tersebut memberikan hasil yang lebih baik bila terdapat pemerintahan yang lebih demokratis dan tidak terlalu sentralistis. Peru yang memiliki pemerintahan militer yang teknokratis, mengalami kesulitan dalam menerapkan konsep ini (Hilhorst 1981). Pada saat pengembangan lebih banyak dinyatakan hanya dengan ukuran Pendapatan Domestik Bruto (PDB), konsep pengembangan yang populer adalah konsep pusat pertumbuhan. Perkembangan konsep-konsep alternatif selanjutnya terkait
dengan
perkembangan
falsafah
atau
pola
pemikiran
mengenai
pengembangan. Kedudukan dan pandangan setiap konsep dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Konsep Perencanaan wilayah vs perubahan pemikiran mengenai pembangunan Pergeseran sistem nilai dunia
Lingkungan & pembangunan berkelanjutan
Top down / Growth Pole
Kurang demokratis: lebih menekankan kepentingan industri
Lingkungan bisa dikalahkan oleh tujuan pertumbuhan
Bottom up / “Agropolitan”
Lebih demokratis: lebih menekankan kepentingan rakyat
Aspek lingkungan & sustainable lebih mendapat perhatian
Sumber: Nurzaman (2005)
Globalisasi (kaitan dengan wilayah dan negara lain) - perkembangan mega urban - kesenjangan antar wilayah - tumbuhnya wilayah terpinggirkan - wilayah perdesaan menjadi basis perkembangan - hubungan dengan wilayah luar dibatasi
Pembangunan ekonomi yang sentralistis (top-down) mengakibakan terjadinya disparitas ekonomi yang sangat mengkhawatirkan. Kebijakan pembangunan yang top-down, dimana pemerintah pusat cenderung terlalu banyak turut campur tangan terhadap kegiatan-kegiatan ekonomi di daerah akan
10 mengakibatkan perekonomian daerah tidak berakar kuat (Syahrani 2001; Nurzaman 2005). Selain penekanan yang bergeser dari hanya PDB atau PDRB ke hal yang lebih bersifat pemerataan dan kesejahteraan manusia, persepsi pembangunan juga memberikan perhatian yang besar terhadap masalah lingkungan (Sunkel, 1981). Hal tersebut menyebabkan tumbuhnya paham pembangunan yang berkelanjutan atau sustainable development, yaitu maksimasi keuntungan bersih dari pembangunan ekonomi, dengan tetap memperhatikan tercapainya jasa serta kualitas sumberdaya alam sepanjang waktu. Jasa dan kualitas sumberdaya alam sepanjang waktu tersebut dapat dicapai dengan: (1) pemakaian sumberdaya terbarukan dalam tingkat yang lebih rendah atau sama dengan tingkat pembaruan sumberdaya alam tersebut, dan 2) mengoptimalkan efisiensi dalam pemakaian sumberdaya alam tidak terbarukan dengan memperhatikan substitusi antara sumberdaya alam dengan kemajuan teknik (Pearce & Turner 1990). Pendekatan perencanaan wilayah lainnya menurut Glasson dan Marshal (2007); Puradimaja et al. (2007); Rustiadi dan Pranoto (2007), adalah (a) Supply side: berdasarkan analisis kapasitas; b) Demand side: berdasarkan analisis kebutuhan; c) Sustainable approach: keseimbangan antara supply side dan demand side. Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) didefinisikan oleh World Commission on Environment and Development sebagai “pembangunan untuk memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya”. Konsep pembangunan yang berkelanjutan telah menjadi kesepakatan hampir seluruh bangsa-bangsa di dunia sejak KTT Bumi di Rio de Janeiro 1992. Tujuan pembangunan harus memuat tiga hal, yaitu: 1) pertumbuhan (growth), 2) keberlanjutan (sustainability) dan 3) pemerataan (equity) (Syafa’at et al. 2003). Tidak mungkin dilakukan pemerataan tanpa adanya pertumbuhan, dan tidak mungkin pula dipertahankan keberlanjutan pembangunan tanpa adanya pemerataan.
Salah satu pembangunan sektoral yang sangat mendukung
pengembangan ekonomi rakyat adalah pembangunan pertanian.
11 2.3 Pembangunan Desa dan Kota
Menurut Douglass (1998a), hubungan saling ketergantungan antara desa dan kota dalam perencanaan wilayah dapat dilihat pada Tabel 2. Kota pada wilayah perkotaan bertindak sebagai pusat pasar dari pertanian dan komoditi pedesaan untuk kedua wilayah dan wilayah lainnya dalam penjualan dan distribusi. Pusat kota tidak akan berfungsi sebagai pusat pemasaran tanpa produk perdesaan yang laku di pasaran, hal ini menunjukkan desa dan kota memiliki hubungan yang saling tergantung.
Untuk memperluas produksi perdesaan
diperlukan jaringan pemasaran yang disediakan oleh kota dan sistem perkotaan, tetapi tanpa pertanian dan proses berbasis pertanian yang terus menerus, kota perdesaan tidak akan berkembang. Tabel 2 Hubungan perkotaan dan perdesaan serta saling ketergantungannya Perkotaan
Perdesaan
Perdagangan pertanian / pusat transportasi Jasa pendukung pertanian - Input produksi - Jasa perbaikan - Inovasi: metode informasi dan produksi Non pertanian: pasar konsumen - Proses produk pertanian - Jasa perorangan - Jasa umum (kesehatan, pendidikan, administrasi) Industri berbasis pertanian
Produksi pertanian
Lapangan pekerjaan non pertanian Sumber: Douglass, 1998a
Intensifikasi pertanian - Infrastruktur perdesaan - Insentif produksi - Pendidikan dan pelatihan untuk adopsi inovasi Pendapatan dan kebutuhan perdesaan barang-barang non pertanian dan jasa
Produksi panen tunai dan diversifikasi pertanian Sama dengan di atas
Selanjutnya Douglass (1998a) menambahkan konsep regional network / cluster merupakan pendekatan baru dalam pembagunan perdesaan, yang dapat dibangun berdasarkan sumberdaya lokal dan hubungan kota-desa. Tabel 3 menunjukkan bagaimana growth pole terfokus pada industri perkotaan sebagai sektor unggulan dalam pengembangan wilayah, sedangkan pendekatan regional network mengakui banyak sektor lokal dalam pembangunan wilayah perdesaan dan mengakui peran sumberdaya wilayah perdesaan dan aktivitas yang sudah ada cukup bagi pembanguanan lokal untuk mendorong desentralisasi industri footloose dari pusat wilayah.
12 Tabel 3 Perbandingan model growth pole dan Network Regional No.
Komponen
Growth Pole/ Model Terpusat
Regional Cluster/ Model Network
1
Sektor dasar
2
Sistem perkotaan
3
Hubungan Perdesaanperkotaan
4
Tipe perencanaan
Perkotaan berbasis industri, umumnya terfokus pada industri skala besar dan unit produksi footloose bermarkas di luar wilayah Berhirarki, terpusat dan satu pusat dominan, kebanyakan diidentifikasi dari ukuran populasi dan hubungannya dengan teori pusat lokasi Menggambarkan proses perpindahan ke bawah hirarki perkotaan dan dari kota ke sekeliling perdesaan. Wilayah perdesaan pasif dalam pendapatan karena hanya mengharapkan tumpahan pertumbuhan perkotaan Kebanyakan top-down melalui agen perencanaan sektor dan kantor pertanahan. Wilayah memiliki batasan kurang jelas karena interaksi ekonomi
5
Wilayah kebijakan utama
Seluruh sektor, tergantung pada kondisi wilayah lokal, ditekankan pada perusahaan berbasis wilayah berukuran kecil sampai menengah Horisontal, terdiri dari beberapa pusat dan pendukungnya, dengan spesialisasi dan comparative advantages masingmasing Menggambarkan aktivitas lahan yang kompleks perkotaan-perdesaan, dengan stimulan pertumbuhan yang memancar baik dari wilayah perdesaan maupun perkotaan dan dengan peningkatan intensif sarana trnasportasi dalam wilayah Membutuhkan perencanaan sistem desentralisasi, dengan integrasi dan koordinasi dari beberapa sektor dan aktivitas perkotaan dan perdesaan pada tingkat lokal Diversifikasi pertanian, agroindustri, industri berbasis sumberdaya, pelayanan perkotaan, pelatihan tenaga kerja, jaringan transportasi lokal
Insentif desentralisasi industri, tax holiday, wilayah industri, transportasi/jalan nasional
Sumber: Douglass, 1998a
Menurut Douglass (1998b), Pembangunan perdesaan yang tidak seimbang tidak akan menjadi masalah dalam jangka pendek. Tetapi di beberapa negara telah menunjukkan konsekuensi dari pembangunan jangka panjang yang tidak diharapkan. Di Jepang dan Korea, pedesaan telah mulai punah oleh fungsi dasar perkotaan seperti transportasi bis dan kereta api, sehingga banyak sekolah menghilang dan menyisakan penduduk tua yang mengelola ekonomi pertanian. Meskipun pendapatan rumah tangga dapat membaik, namun kondisi wilayah terutama pada infrastruktur dasar, jasa dan potensi ekonomi tetap rendah. 2.4 Peran dan Pembangunan Pertanian
Pembangunan kecenderungan
pertanian
teknologi,
menurut
organisasi,
Mosher
aktivitas
(1976) dan
nilai
adalah budaya
sebuah yang
peningkatannya dapat membawa hasil lahan petanian menjadi lebih efektif dengan peningkatan produksi pertanian per petani. Selanjutnya Mosher (1968, 1974) mencirikan pertanian modern sebagai berikut: 1) teknologi dan efisiensi usaha taninya terus menerus diperbaiki, 2) hasil bumi yang diproduksi terus menerus
13 berubah dengan adanya perubahan permintaan konsumen dan perubahan biaya produksi yang disebabkan oleh adanya perubahan teknologi dan 3) perbandingan antara penggunaan tanah, tenaga kerja dan modal pada usaha tani terus berubah sesuai dengan perubahan penduduk, alternatif kesempatan kerja dan perubahan teknologi usaha tani. Pertanian modern adalah pertanian yang sangat dinamis dan fleksibel serta terus meningkat produktivitasnya. Faktor-faktor yang mendukung terciptanya pertanian modern menurut Mosher (1968) adalah: 1) Pendidikan pembangunan, 2) kredit produksi, 3) kerjasama berkelompok oleh para petani, 4) perbaikan dan perluasan tanah pertanian, 5) perencanaan nasional untuk pembangunan pertanian. Selanjutnya Mosher (1974) menambahkan syarat dasar untuk mencapai pertanian modern adalah: 1) penelitian untuk mengembangkan teknologi pertanian yang baru, 2) mengatur pebuatan atau impor sarana produksi dan alat pertanian, 3) mengusahakan adanya insentif produksi bagi petani, 4) mengadakan perbaikan tanah pertanian, dan 5) mengadakan pendidikan dan pelatihan bagi tenaga teknis. Komponen-komponen fungsional pertanian modern meliputi (Mosher, 1974): 1) farming, 2) agri-support yang terbagi menjadi komersial dan non komersial, dan 3) agri-milieu yang terdiri dari politik, ekonomi, dan budaya. Untuk mendukung pertanian modern, kegiatan agri-support, harus mudah diakses oleh petani yang memiliki pertanian potensial. Untuk itu perencanaan pertanian dilakukan dalam satuan farming district yang melayani farming locality. Timmer
(1998)
menggambarkan
bagaimana
perkembangan
peran
pertanian selama tahapan-tahapan pengembangan (Gambar 1). Setiap tahapan sesuai dengan perbedaan kebijakan politik dan hubungannnya dengan perekonomian, yang menunjukkan aliran tenaga kerja sebaik sumberdaya keuangan melalui berbagai mekanisme. Misalnya penyelamatan perdesaan dari investasi perkotaan dan transfer pendapatan melalui kebijakan harga, kebijakan komoditas, kebijakan suku bunga dan kebijakan tarif industri. Timmer memberikan nama setiap tahapan sesuai pengarang yang paling banyak mendokumentasikan lingkungan spesifik tersebut. Tahap pertama (Lingkungan Mosher) adalah usaha awal mengeluarkan sektor pertanian dari kemacetan. Pada tahap ini pertanian merupakan bagian
14 terbesar dari PDB dan populasi keseluruhan. Sumberdaya digunakan untuk menggerakkan pertanian dalam infrastruktur dasar. Perbedaan sosial yang ada di perdesaan
seperti kepemilikan lahan sempit, pertanian subsistem dan yang
lainnya lebih mampu mengakumulasi hak mereka untuk mengendalikan kelebihan aset. Peningkatan laju tenaga kerja desa-kota, seperti berpindahnya tenaga kerja berproduktivitas rendah di pertanian menuju tenaga kerja berproduktivitas tinggi di industri kota.
Laju sumberdaya: - Laju tenaga kerja - Simpanan perdesaan untuk investasi perkotaan - Transfer pendapatan, melalui: Kebijakan komoditi, kebijakan bunga, kebijakan tarif industri
Lingkungan Mosher
Lingkungan Johnston-Mellor
Lingkungan SchlutzRuttan
Lingkungan D.G.Johnson
Laju pendapatan & simpanan tanpa pertanian proteksi tinggi
Strategi jump
Laju pendapatan & simpanan dengan pertanian proteksi tinggi
Setting Kebijakan:
Perubahan pertanian: perubahan institusi, teknologi baru, investasi pada infrastruktur perdesaan
Laju tenaga kerja Pertanian sebagai motor Menyatukanpertanian ke Pertanian di ekonomi Pendapatan pertumbuhan: hubungan ekonomi makro: industri: pangan menjadi perkapita atau pasar dengan industri pembelanjaan pangan bagian kecil pada waktu yang mapan, peningkatan menurun pada anggaran anggaran rumah tangga, pasar memobilisasi rumah tangga, pemerataan pendapatan sumberdaya, peninkatan permasalahan distribisi menjadi isu kebijakan, hasil karena teknologi pendapatan sehubungan pengangguran di sektor produktifitas pertanian industri menjaga tenaga yang rendah, pertanian kerja pertanian , isu menjadi lebih efisien lingkungan menjadi perhatian
Gambar 1. Hubungan antara transformasi pertanian dan peran pertanian (Timmer, 1998)
Pada tahapan selanjutnya (Lingkungan Johnston-Mellor), pertanian dicirikan oleh peningkatan hubungan antara pertanian dan industri yang berlokasi di kota, ternasuk produksi dan konsumsinya. Faktor pemasaran menjadi sangat dinamis, yang kemudian memengaruhi mobilisasi sumberdaya
antar sektor
seperti keuangan dan tenaga kerja. Pertanian dalam tahap ketiga (Lingkungan Schultz-Ruttan) banyak terjadi perubahan. Pertama, terjadi penurunan bagian pertanian baik dalam PDB maupun populasi, sebagai akibat dari migrasi dari desa ke kota dan penurunan anggaran
15 rumah tangga terhadap pangan. Kedua, kebijakan nasional berpengaruh besar terhadap perpindahan sumberdaya keuangan dari pertanian ke deposito karena kebijakan suku bunga dan perdagangan. Ketiga, ketidakseimbangan pendapatan mencapai puncaknya,
karena produktivitas pertanian tertinggal jauh dari
produktivitas tenaga kerja di perekonomian. Akibatnya konsentrasi kemiskinan di perdesaan berlanjut. Pada tahap terakhir (Lingkungan Johnson), kebutuhan terhadap pangan menjadi bagian yang kecil dari anggaran rumah tangga. Sumberdaya keuangan pemerintah dari pajak pendapatan selain pertanian meningkat tajam, isu pemerataan pendapatan merupakan dimensi kebijakan yang berarti. Menurut Bresciani et al. (2005), pada perkembangan ekonomi terakhir banyak didiskusikan fungsi dan kemampuan
beragam dari pertanian dalam
memproduksi produk kerjasama. Contohnya adalah landscape, agro-tourisme, ketahanan pangan, keramahan perdesaan dan pengelola karbon. Potter (2005) menyatakan bahwa di luar fungsi utama pertanian dalam memproduksi pangan dan serat, aktifitas pertanian dapat membentuk landscape, menyediakan keuntungan lingkungan seperti konservasi tanah, pengelolaan sumberdaya terbarukan dan pemeliharaan biodeversitas dan memberikan kontribusi sosial ekonomi daerah perdesaan. Sektor pertanian pada negara berkembang dapat memiliki peran penting pada perkembangan ekonomi serta penurunan kemiskinan dan kelaparan. Knutson et al. (2006) mengemukakan perubahan kebijakan utama pertanian untuk dua dekade ke depan diantaranya adalah: 1) Globalisasi mendorong keberlanjutan pasar bebas.
Perdagangan, termasuk impor dan ekspor, menjadi penting. 2)
Ekonomi dan politik global akan menjadi tekanan yang semakin tinggi.
Pangan
dan pertanian memainkan peranan penting di dalam kebijakan ini. 3) Kelangkaan sumberdaya merupakan ancaman dan peluang bagi pertanian. Ancaman terhadap keterbatasan pasokan air bersih dan lahan pertanian bagi peternakan, susu dan unggas.
Peluangnya adalah ekspansi dan menjadikan pertanian sebagai
sumberdaya energi.
4) Lingkungan dan ketahanan pangan terus menjadi
tantangan bagi peningkatan aturan pertanian dan agribisnis.
16 Hayami dan Godo (2005), menjelaskan tentang ketidakseimbangan pertumbuhan
pertanian pada saat ini, yang ditujukkan oleh peningkatan
kekurangan pangan pada ekonomi pendapatan rendah sangat kontras jika dibandingkan dengan peningkatan kelebihan pangan pada pendapatan ekonomi tinggi, adalah tidak sesederhana sebagai sebuah bagian dari perbedaan struktur permintaan dan pasokan yang diakibatan perbedaan tingkat pendapatan. Hal tersebut diperparah oleh kebijakan yang diambil untuk mengatasi tiga masalah pertanian pada tiga tahapan pembangunan ekonomi yang berbeda. Permasalahan pangan pada tahapan pendapatan rendah, permasalahan perbedaan tingkat pendapatan menengah dan permasalahan perlindungan pada tingkat pendapatan tinggi. Pengambil kebijakan pada negara berpendapatan rendah telah cenderung mengambil kebijakan harga rendah pangan yang aman untuk memenuhi konsumen kota dalam membiayai produksi pertanian. Sebaliknya, di bawah permasalahan perlindungan, pengambil kebijakan di negara berpendapatan tinggi
tidak mampu untuk melawan tekanan dan lobi dari pertanian untuk
meningkatkan pendapatan petani menjadi setingkat dengan pekerja non pertanian. Menurut Stringer (2001), jauh sebelum Johnston dan Mellor pada tahun 1961 mengidentifikasi kontribusi ekonomi dasar pertanian untuk pengembangan, ekonom memfokuskan kepada bagaimana pertanian dapat lebih berkontribusi untuk seluruh pertumbuhan dan modernisasi. Pertanian dengan sumberdaya yang melimpah dan mampu mentransfer kelebihan pasokan untuk sektor industri yang penting. Dengan melayani sektor industri, pertanian memiliki peran penting dalam transformasi pembangunan ekonomi dan sebagai subordinat pusat strategi percepatan industrialisasi. Beberapa peran pertanian dalam pendekatan tradisional adalah: 1) menyediakan lapangan kerja dengan industri perdesaan, 2) memproduksi pangan untuk penduduk berpendapatan tinggi, 3) menyimpan pasokan untuk investasi industri, 4) meningkatkan pasar produk industri, 5) mendapat pendapatan dari ekspor untuk membayar barang-barang impor, dan 6) memproduksi bahan baku utama untuk agroindustri (Stringer 2001) Peran ekonomi pertanian secara non tradisional adalah 1) meningkatkan aktivitas agribisnis, yaitu mendukung produksi, pemasaran, dan kemudian
17 meningkatkan proses, penyimpanan, perdagangan, transportasi dan praktek finansial yang lebih kompleks, spesialis dan proses integrasi. Aktifitas jasa selanjutnya bertambah seperti penelitian, pengemasan, pasar modern, periklanan dan promosi, 2) peningkatan kesejahteraan sosial, yaitu transfer pendapatan dan penyangga kejutan pendapatan, selama krisis pertanian dapat berfungsi sebagai penyangga, pengaman dan penstabil ekonomi, 3) pertumbuhan laju produktivitas, pertanian lebih produktif dari industri sehingga harga pangan rendah yang berakibat peningkatan simpanan, peningkatan pendapatan, stabilitas ekonomi dan total faktor produktivitas, 4) menurunkan kemiskinan, pertumbuhan yang kuat dari pertanian akan menurunkan harga pangan, meningkatkan pendapatan bagi produsen pangan dan tenaga kerja perdesaan, termasuk menurunkan migrasi dari desa ke kota dan berpengaruh positif migras,
perdagangan
dan
bagi perputaran antar sektor termasuk
peningkatan
produktivitas,
5)
Meningkatkan
produktivitas tenaga kerja melalui pendidikan, 6) Menyediakan makanan yang aman dan menyehatkan (Stringer 2001). Walaupun di Indonesia pada tahun 1974-1979 (Repelita II) telah dikembangkan program village working unit (BUUD) yang terdiri atas kelompokkelompok desa yang meliputi 600 hingga 1000 hektar (atau 1/50 hingga 1/10 kawasan agropolitan). Dalam unit ini dikembangkan pertanian dan tata pinjaman desa, serta pengolahan dan pemasarannya. Menurut Friedmann dan Douglass (1976), program pembangunan Indonesia masih menganggap pembangunan pertanian di perdesaan bukanlah merupakan usaha yang berarti dan hanya dianggap sebagai pelengkap dari usaha industrialisasi. Todaro (2000) mengemukakan adanya stagnasi pertumbuhan pertanian sejak tahun 1950 di negara-negara berkembang.
Hal ini disebabkan karena
terabaikannya sektor yang sangat penting ini dalam perumusan prioritas pembangunan oleh pemerintah, dimana peran pertanian dalam pembangunan perekonomian hanya dipandang pasif bahkan hanya dianggap sebagai unsur penunjang semata.
Menurunnya peranan sektor pertanian juga terjadi di
Indonesia. Pembangunan yang dilaksanakan selama PJP I telah menghasilkan perubahan struktur ekonomi nasional, dimana peranan sektor pertanian mulai
18 mengecil dan sektor industri semakin besar.
Data dari World Bank (1994)
menunjukkan pada tahun 1971 pangsa sektor pertanian terhadap GDP sebesar 33 persen, sedangkan tahun 1990 menurun menjadi 19,5 persen. Sebaliknya sektor industri dan jasa mengalami peningkatan dari 35,9 persen menjadi 54,50 persen. Menurut Todaro (2000), kesadaran akan pentingnya pertanian di kalangan negara-negara dunia ketiga telah dimulai tahun 1970-an dan terus berlangsung hingga saat ini. Hal ini dapat dilihat salah satunya di negara Thailand. Thailand telah memprioritaskan pembangunan pertanian dengan mendirikan Bank for Agricultural Cooperative (BAAC) sejak tahun 1966, dimana bank di atas melayani 80 persen petani Thailand dengan bunga rendah (9 – 12 persen per tahun). Sejak 1976 Thailand sudah memiliki Marketing Organization for Farmer (MOF) yang memiliki sejumlah pasar produk pertanian segar. Dalam skala besar, sejak 1996 Thailand telah membangun Pasar Produk Taalad Thai, yaitu sebuah pasar produk pertanian terbesar dan terlengkap di Asia. Terminal ini merupakan tempat ideal bagi berlangsungnya transaksi antara penjual dengan pembeli (domestik dan ekspor) produk pertanian. Dokumen dan sertifikat ekspor selesai di tempat ini dalam tempo satu dua jam. Hasil pertanian yang dijual di tempat ini sudah melalui seleksi yang ketat dan dengan harga yang relatif rendah. Jaraknya 42 km dari Bangkok, sekitar 15 menit dari Bandara Internasional Don Muang dan setengah jam ke pelabuhan. Petani yang memanfaatkan terminal yang beropersi 24 jam tersebut datang dari berbagai penjuru Thailand (Abinowo 2000). Australia Barat melakukan pengembangan pertanian kolektif yang menyebabkan pembangunan pertaniannya dapat berkembang secara pasti. Pengembangan pertanian kolektif ini melalui rekayasa sosial yang melibatkan petani dari bawah bekerjasama dengan perguruan tinggi dalam rekayasa teknologi serta didukung pusat data & informasi. Hal tersebut menyebabkan pola tanam masing-masing komoditi diatur berdasarkan kebutuhan pasar dan setiap kelompok kolektif mengembangkan produk unggulan masing-masing sehingga posisi tawar kelompok kolektif dalam menentukan harga menjadi sangat bagus (Abinowo 2000).
19 Daya saing dicirikan oleh tingkat efisiensi, mutu, harga dan biaya produksi serta kemampuan menerobos pasar, meningkatkan pangsa pasar dan memberikan pelayanan kepada konsumen secara lebih memuaskan.
Sistem yang
berkerakyatan dicirikan oleh berkembangnya usaha produktif yang melibatkan masyarakat secara luas baik dalam peluang berusaha, kesempatan kerja, maupun dalam menikmati nilai tambah (pendapatan). Berkelanjutan diartikan sebagai kemampuan untuk meningkatkan kapasitas sumberdaya agribisnis yang semakin besar dari waktu ke waktu, semakin
mensejahterakan masyarakat, baik secara
ekonomis, sosial dan lingkungan hidup. Desentralistis diartikan bahwa kegiatan ekonomi ditentukan oleh masyarakat pelaku sesuai dengan kondisi wilayahnya atas dasar keunggulan komparatif dan aspirasi masyarakat setempat. Keterpaduan sistem agribisnis dapat dikaji dari dua aspek yaitu integrasi vertikal dan koordinasi vertikal. Integrasi vertikal adalah melaksanakan kegiatan dari setiap subsistem dan alokasi sumberdaya, pengambil keputusan pada satu tangan, yaitu suatu perusahaan agribisnis atau satu induk usaha (holding company). Koordinasi vertikal mengandung makna bahwa pengambilan keputusan tersebut berada pada satu kesatuan, tetapi tidak perlu dalam satu perusahaan. Secara swadaya masyarakat Indonesia juga telah menyadari pentingnya pertanian.
Hal ini dibuktikan salah satunya dengan dibangunnya Sentra
Pengembangan Agribisnis Terpadu (SPAT) di Pasuruan, Jawa Timur. SPAT merupakan perwujudan konsep pertanian terpadu (Integrated Farming), mulai dikembangkan pada tahun 1997 di dusun Parelegi, Desa Purwodadi, Kab Pasuruan yang ditandatangani prasastinya oleh Menpora saat itu Agung Laksono. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Terpadu, Pusat Data dan Informasi, Pusat Kajian dan Strategi Gerakan Pembangunan Desa, Pusat Pengembangan Teknologi Tepat Guna (TTG), dan pembentukan Pusat Kajian Pembiayaan & Investasi, dan pembentukan Terminal Agribisnis, merupakan program-program yang telah tersusun dalam SPAT (Abinowo 2000).
20 2.5 Pembangunan Wilayah Berbasis Pertanian
Wilayah dalam konteks pertanian menunjukkan kehomogenan wilayah. Konsep wilayah homogen didasarkan pada pendapat bahwa wilayah-wilayah geografik dapat dikaitkan bersama-sama menjadi suatu wilayah tunggal apabila wilayah tersebut dapat mempunyai ciri-ciri yang seragam (Wibowo 1993). Proyek-proyek tersebut menghabiskan dana milyaran rupiah, namun hasilnya tidak memuaskan, karena banyak petani kembali ke pola teknologi semula.
Beberapa alasan yang dikemukakan sebagai penyebabnya adalah
teknologi yang digunakan tidak tepat guna, perencanaan tidak terkoordinasi, dan pengawasan yang kurang. Beberapa hal yang kurang mendapat perhatian dalam penyusunan paket teknologi sehingga tidak diadopsi oleh petani adalah a) paket teknologi lebih berorientasi pada bantuan teknis yang bertujuan pada keberhasilan output bukan proses perubahan (pembangunan) itu sendiri, dan b) Paket teknologi tidak mencerminkan conflict resolution, misalnya antara petani hulu dan masyarakat hilir. Berdasarkan hal tersebut, maka diketahui bahwa pembangunan yang tidak menyentuh perubahan sosial dan hanya mengandalkan perubahan fisik (technological change) sering mengalami kegagalan. Hasil tinjauan mengenai proyek-proyek konservasi di DAS Hulu yang dilakukan oleh Prawiradiputra (1995), menunjukkan beberapa upaya telah dilakukan untuk memperbaiki kondisi DAS hulu sekaligus memperbaiki pendapatan petani melalui beberapa proyek, antara lain: a) Proyek DAS Solo sebagian hulu tahun 1970, b) Program reboisasi dan penghijauan tahun 1976, c) Program Kali Konto tahun 1979, d) Yogyakarta Rural Development Project tahun 1979, e) Proyek DAS Citanduy bagian hulu tahun 1982, f) Proyek DAS Jratunseluna dan Barantas tahun 1985, g) Proyek Wonogiri tahun 1988, h) Yogyakarta Upland Area Development Project tahun 1990, serta I) National Watershed Management and Conservation Project tahun 1995. Konsep pembangunan pertanian berkelanjutan (sustainable Agricultural Development) yang memandang pembangunan masyarakat perdesaan sebagai perubahan sosial (sosial change) harus diperhatikan dalam mengembangkan proyek
kawasan
pertanian.
Pengembangan
semberdaya
manusia
dan
kelembagaan lokal sangat penting bagi pembangunan pertanian berkelanjutan
21 karena peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan kapabilitas kelembagaan dapat meningkatkan akses masyarakat perdesaan terhadap sumber daya. Meskipun telah memberikan hasil, namun menurut pengakuan petani dan masyarakat di sejumlah daerah, hasilnya belum memuaskan.
Pembangunan
pertanian selama ini hanya bertumpu pada sisi produksi (sub-sistem budidaya) harus dirubah pada pembangunan sistem dan usaha agribisnis, dimana seluruh sub-sistem agribisnis (budidaya, sarana prasarana produksi, pengolahan hasil, pemasaran dan jasa), semuanya dilakukan secara simultan dan harmonis. Model pengembangan agribisnis one village one product movement (OVOP) yang melibatkan masyarakat lokal dan memanfaatkan sumberdaya lokal dalam pembangunan wilayah dikembangkan oleh Morihiro Hiramatsu seorang gubernur dari OITA, Jepang sejak tahun 1979. Konsep one village one product movement yang dapat dijelaskan dengan paradigma resource based strategy, merupakan konsep yang dapat meningkatkan daya saing berdasarkan kompetensi inti pada setiap kabupaten atau kota.
Hal ini sejalan dengan kondisi negara
Indonesia yang memiliki sumberdaya unggulan (comparative advantage) dari hasil migas, produk kayu, hortikultura, flora dan fauna yang bersifat tangible sebagai cikal bakal mewujudkan strategi resource based approach. Lima konsep one village one product movement adalah sebagai berikut: 1) mengidentifikasi kemampuan sumberdaya lokal yang berpotensi tinggi dalam mengaktualisasi pengembagan wilayah, 2) nilai tambah berada pada keunikan produk daerah, 3) meningkatkan saya saing produk tersebut melalui perbaikan kualitas dan keunikannya, kreativitas dan inovasi oleh penduduk lokal, 4) membuat satu atau dua produk, dan 5) kepemimpinan yang baik (Huseini 1999; Syafa’at 2003; OVOP 2010). Pemerintah Thailand telah mempromosikan industri lokal yang produknya berbasiskan sumberdaya, budaya dan tradisi lokal. Program tersebut disebut One Tambon One Product (OTOP), karena target wilayah secara unit administratif dinamakan Tambon. Tujuan program Thai OTOP adalah: 1) membangun sistem database yang menyeluruh yang dapat mengakomodasi informasi penting pada setiap Tambon di Thailand, 2) mempromosikan produk lokal Thailand untuk setiap Tambun dan memfasilitasi proses jual-beli, 3) membawa teknologi internet
22 ke perdesaan, 4) membantu meningkatkan promosi turisme tingkat Tambon, dan 5) membantu penduduk perdesaan memperoleh informasi, gagasan dan peningkatan komunikasi antar Tambun (OTOP 2010). Malaysia juga telah mengembangkan Agropolitan yang telah menelan biaya RM 1 milyar dan diharapkan dapat mengentaskan 10,000 keluarga miskin. Pusat pertumbuhan ekonomi Agropolitan Malaysia berorientasikan pertanian dan peternakan yang dilengkapi oleh industri kecil dan sederhana (IKS). Konsep agropolitan tersebut akan meningkatkan pembangunan perdesaan yang tertinggal. Pembangunan di bawah program juga akan didukung oleh
pembangunan
infrastruktur (air, elektrik, jalan raya dan rumah untuk wilayah target), pembangunan ekonomi melalui ladang komersial dan sampingan, peternakan dan perikanan, pembangunan sumberdaya manusia melalui penyediaan taman asuhan kanak-kanak (taska), taman bimbingan kanak-kanak (tabika), pendidikan dan pelatihan. Empat kawasan perintis program agropolitan di Malaysia adalah Pulau Banggi, Sabah, Rancangan Kemajuan Tanah (RKT), Kemajuan Kelantan Selatan (Kesedar), Kelantan, Wilayah Ganda, Gerik, Perak dan Gahai, Lipis, dan Pahang (SABAH 2010). Jinju City Korea Selatan, merupakan wilayah yang unggul secara geografis, menjadi pusat pendidikan tetapi tetap menjaga lingkungan hidup dan budaya di Propinsi Gyeongnam. Pengembangan wilayah Gwangyangman yang berorientasi industri masa depan, membangun industri bio pada Jinju City yang memiliki potensi tidak terbatas bagi pengembangan kawasan agropolitan. Kota di atas memiliki luas 712,9 km2 dengan populasi 350.000 orang yang memiliki 618 industri manufaktur, 12 000 tenaga kerja, satu kompleks industri lokal dan empat kompleks industri pertanian. Jinju City adalah Kawasan agropolitan yang indah dan lingkungan yang alami serta didasari oleh pembangunan perkotaan (Jinju City 2010).
2.6 Perkembangan Konsep Pembangunan Berdasarkan uraian mengenai konsep pembangunan, pembangunan perdesaan dan pembangunan pertanian sebelumnya, maka perkembangan masingmasing konsep dan interaksinya dengan konsep lain dapat dilihat pada Tabel 4.
23 Masing-masing pembangunan memiliki karakteristik pendekatan bottom up, kombinasi maupun top down. Tabel 4. Perkembangan konsep pembangunan
Top down
Kombinasi
Bottom up
Development from above
Local Economic Development / LED (Blakely 1998)
Development from below
Supply side development
Sustainable development
Demand side development
Model Terpusat / Growth pole
Agropolitan (Friedmann dan Douglass 1976; Anwar 1999; Harun 2004; Suwandi 2005)
Model Network / Regional Cluster (Douglass 1998)
KUNAK, KUBA, SPAKU, KIMBUN, PIR-PLASMA, SAADP (Rivai 2003; Rustiadi & Pranoto 2007)
PARUL (Rustiadi & Pranoto 2007)
OVOP, OTOP
Pembangunan
Pembangunan perdesaan Pembangunan kawasan pertanian
Beberapa program pengembangan kawasan pertanian di Indonesia adalah program DAS Hulu, program pengembangan Kawasan Usaha Peternakan (Kunak), Kawasan Usaha Bersama Agribisnis (Kuba) untuk komoditi tertentu di beberapa daerah, atau sentra Pengembangan Agribisnis Komoditi Unggulan (SPAKU), Kimbun, PIR-Plasma, corporate farming, Kawasan Sentra Produksi (KSP), Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET), Kawasan Andalan (KADAL), Poverty Alleviation trough Rural – Urban Linkages Program (PARUL), Program pengembangan kawasan tertinggal (KATING), Program Bimas, Program kawasan Industri Masyarakat Perkebunan (KIMBUN), Program Penyediaan Prasarana dan Sarana Perdesaan (PPSD), Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Proyek Pengembangan Wilayah Bebasis Pertanian (SAADP) (Rivai 2003; Rustiadi & Pranoto 2007). Program kawasan yang dikembangkan tersebut untuk mensinergikan berbagai program baik yang berasal dari pusat, propinsi dan kabupaten/kota pada kawasan andalan yang ditetapkan daerah, namun secara umum masih didominasi oleh teori pusat pertumbuhan (growth pole) dan strategi pembangunan dari sisi pasokan (supply side).
3 AGROPOLITAN DAN AGROINDUSTRI
3.1 Konsep Pengembangan Kawasan Agropolitan Menurut Mercado (2002) dan Nurzaman (2005), Agropolitan development adalah salah satu bentuk konsep pembangunan dari bawah yang dapat menghasilkan pemerataan pendapatan lebih cepat dibandingkan pendekatan growth pole. Menurut Douglass (1998b) dan Hastuti (2001), pendekatan growth pole menginspirasikan terbentuknya pusat-pusat pertumbuhan di perkotaan, dan diharapkan dengan terbentuknya pusat pertumbuhan tersebut akan terjadi proses penetesan pembangunan ke daerah-daerah belakang (trickle down process) dan pemerataan akan terjadi secara “otomatis” dari kutub-kutub pertumbuhan ke daerah
belakang
tersebut
(hinterland).
Namun
kenyataannya
penetesan
pembangunan tidak terjadi, dan yang terjadi adalah pengurasan sumberdaya yang dimiliki daerah oleh pusat secara besar-besaran (massive backwash effect). Menurut Stohr (1981), untuk menghindari backwash effect dari wilayah yang sudah lebih maju, kawasan agropolitan secara seleksi tertutup dari hubungan khusus dengan wilayah lainnya (selective spatial closure). Berbagai keputusan, baik dalam pemilihan teknologi produksi yang dipakai, tujuan pembangunan, maupun inisiatif untuk membangun, diserahkan kepada penduduk setempat. Demikian juga faktor produksi seperti lahan, harus dimiliki oleh penduduk setempat. Agropolitan terdiri dari dua kata Agro dan politan (polis). Agro berarti pertanian dan politan berarti kota, sehingga Agropolitan dapat diartikan sebagai kota pertanian atau kota di daerah lahan pertanian atau pertanian di daerah kota. Agropolitan adalah kota pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis serta mampu melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya. Menurut Anwar (1999), secara kumulatif, dengan adanya agropolitan maka akan tercipta berbagai peluang dalam pengembangan wilayah seperti tumbuhnya industri yang berbasis pada pertanian, peningkatan produk lokal dan permintaan akan barang-barang lokal, penyerapan tenaga kerja, dan berbagai
26 keuntungan lain.
Proses kumulatif dari perkembangan wilayah dengan pusat
pertumbuhan dapat dilihat pada Gambar 2. Perusahaan industri baru yang memilih lokasi pada tempat di wilayah perdesaan tertentu
Peningkatan lapangan kerja dan pendapatan penduduk
Peningkatan keuntungan aglomerasi pada suatu agropolitan
Peluasan produk-produk perusahaan lokal
Peningkatan pola penyerapan tenaga kerja Peningkatan permintaan akan barang dan jasa lokal
Perluasan sektor jasa/pelayanan Peningkatan keuntungan kepada pemerintah lokal
Peningkatan prasarana lokal
Gambar 2 Proses kumulatif dari pertumbuhan suatu wilayah yang didukung oleh suatu tempat pemusatan (Anwar 1999).
Menurut Soenarno (2003), kawasan agropolitan diartikan sebagai sistem fungsional desa-desa yang ditunjukkan dari adanya hirarki keruangan desa, yakni dengan adanya pusat agropolitan dan desa-desa di sekitarnya membentuk kawasan agropolitan (Gambar 3).
Kawasan tersebut terkait dengan sistem pusat-pusat
pemukiman nasional dan sistem pemukiman pada tingkat propinsi dan kabupaten.
DPP
Pasar/Global DPP
DPP
Keterangan:
Penghasil bahan baku Pengumpul bahan baku Sentra produksi Kota kecil/pusat regional Kota sedang/besar
DPP
Batas kawasan lindung Batas kawasan agropolitan Desa pusat pertumbuhan Jalan & dukungan sarana prasarana
Gambar 3 Konsep pengembangan kawasan agropolitan (Soenarno 2003)
27 Agropolitan berada dalam kawasan pemasok hasil pertanian (sentra produksi pertanian) yang memberikan kontribusi yang besar terhadap mata pencaharian dan kesejahteraan masyarakatnya. Selanjutnya kawasan pertanian tersebut (termasuk kotanya) disebut dengan kawasan agropolitan. Kota pertanian dapat merupakan kota menengah atau kota kecil atau kota kecamatan atau kota perdesaan atau kota nagari yang berfungsi sebagai pusat pertumbuhan ekonomi yang mendorong pertumbuhan pembangunan perdesaan atau wilayah sekitarnya melalui pengembangan ekonomi, yang tidak terbatas sebagai pusat pelayanan sektor pertanian, tetapi juga pembangunan sektor secara luas seperti usaha pertanian (on farm dan off farm), industri kecil, pariwisata, jasa pelayanan, dan lain-lain. Batasan suatu kawasan agropolitan tidak ditentukan oleh batasan administratif pemerintah (desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten) tetapi lebih ditentukan dengan memperhatikan economic of scale dan economic of scope. Oleh karena itu, penetapan kawasan agropolitan hendaknya dirancang secara lokal dengan memperhatikan realitas perkembangan agribisnis yang ada di setiap daerah. Dengan demikian bentuk dan luasan kawasan agropolitan, dapat meliputi satu wilayah Desa/kelurahan atau kecamatan atau beberapa kecamatan dalam kabupaten/kota atau dapat juga meliputi wilayah yang dapat menembus wilayah kabupaten/kota lain yang berbatasan. Kotanya dapat berupa kota desa, kota nagari, kota kecamatan, kota kecil atau kota menengah. Suatu kawasan agropolitan yang sudah berkembang memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Friedmann & Douglass 1976; Friedmann 1996; Soenarno 2003; Ferrario 2009): 1. Sebagian besar masyarakat di kawasan tersebut memperoleh pendapatan dari kegiatan pertanian (agribisnis). 2. Kegiatan di kawasan tersebut sebagian besar di dominasi oleh kegiatan pertanian atau agribisnis, termasuk di dalamnya usaha industri (pengolahan) pertanian, perdagangan hasil-hasil pertanian (termasuk perdagangan untuk kegiatan ekspor), perdagangan agribisnis hulu (sarana pertanian dan permodalan), agrowisata dan jasa pelayanan.
28 3. Hubungan antara kota dan daerah-daerah hinterland / daerah-daerah sekitarnya di kawasan agropolitan bersifat interdepedensi/timbal balik yang harmonis,
dan
saling
membutuhkan,
dimana
kawasan
pertanian
mengembangkan usaha budidaya (on farm) dan produk olahan skala rumah tangga
(off
farm),
sebaliknya
kota
menyediakan
fasilitas
untuk
berkembangnya usaha budidaya dan agribisnis seperti penyediaan sarana pertanian, modal, teknologi, informasi pengolahan hasil dan penampungan (pemasaran) hasil produksi/produk pertanian. 4. Kehidupan masyarakat di kawasan agropolitan mirip dengan suasana kota karena keadaan sarana yang ada di kawasan agropolitan tidak jauh berbeda dengan di kota. Sarananya terdiri dari: pasar, fasilitas sekolah, fasilitas kesehatan dan fasilitas telekomunikasi. Agropolitan merupakan kawasan yang diharapkan terjadi desentralisasi perencanaan dan pengambilan keputusan. Hal ini akan mencegah hiperurbanisasi, ketergantungan daerah miskin pada daerah kaya, pengangguran yang meningkat di perkotaan, kekurangan makanan yang terus menerus dan semakin besar dan kesejahteraan penduduk perdesaan yang memburuk (Friedmann & Douglas 1976). 3.2 Syarat, Tujuan dan Sasaran Pengembangan Kawasan Agropolitan
Agar pembangunan kawasan agropolitan berkelanjutan, maka diperlukan beberapa syarat, yaitu: (1) Harus diupayakan otonomi lokal sehingga setiap kawasan memiliki wewenang dan sumber-sumber ekonomi sehingga dapat merencanakan dan melaksanakan sendiri pembangunannya, (2) Keuntungan yang diperoleh dari kegiatan setempat harus ditanam kembali untuk menaikkan dayahasil dan menciptakan suatu keadaan yang mendorong pertumbuhan ekonomi selanjutnya, dan (3) Pemakaian sumberdaya alam yang lebih rasional dan produktif dengan menentukan batas-batas minimum dan maksimum luas tanah milik/land reform (Friedmann & Douglas 1976). Tujuan pengembangan kawasan agropolitan adalah untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat melalui percepatan pengembangan wilayah
dan peningkatan keterkaitan desa dan kota dengan mendorong
berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing berbasis
29 kerakyatan, berkelanjutan (tidak merusak lingkungan) dan terdesentralisasi (wewenang berada di Pemerintah Daerah dan Masyarakat) di kawasan agropolitan. Dengan berkembangnya sistem dan usaha agribisnis maka di kawasan agropolitan tersebut tidak saja membangun usaha budidaya (on farm) saja tetapi juga “off farm"nya, yaitu usaha agribisnis hulu (pengadaan sarana pertanian), agribisnis hilir (pengolahan hasil pertanian dan pemasaran) dan jasa penunjangnya, sehingga akan mengurangi kesenjangan pendapatan antar masyarakat, mengurangi kemiskinan dan mencegah terjadinya urbanisasi tenaga produktif, serta akan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) (Deptan, 2003). Sasaran pengembangan kawasan agropolitan menurut Deptan (2003), adalah untuk mengembangkan kawasan pertanian, melalui kegiatan-kegiatan berikut: 1. Pemberdayaan masyarakat pelaku agribisnis agar mampu meningkatkan produksi, produktifitas komoditi pertanian serta produk-produk olahan pertanian, yang dilakukan dengan pengembangan sistem dan usaha agribisnis yang efisien dan menguntungkan serta berwawasan lingkungan, 2. Penguatan kelembagaan petani, 3. Pengembangan
kelembagaan
sistem
agribisnis
(penyedia
agroinput,
pengolahan hasil, pemasaran dan penyediaan jasa), 4. Pengembangan kelembagaan penyuluhan pembangunan terpadu, 5. Pengembangan iklim yang kondusif bagi usaha dan investasi. Sejak tahun 2002, pemerintah Indonesia telah melakukan program rintisan pengembangan agropolitan secara terpadu lintas sektor, yang melibatkan Departemen
Pertanian/Deptan,
Wilayah/Depkimpraswil
serta
Departemen Departemen
Pemukiman Dalam
Negeri
dan dan
Prasarana Otonomi
Daerah/Depdagriotda. Program tersebut dimaksudkan untuk membentuk suatu kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan, perkebunan, tanaman pangan, dan hortikultura.
Tujuan program rintisan pengembangan agropolitan adalah
meningkatkan percepatan pembangunan wilayah, meningkatkan keterkaitan desa dan kota serta mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis pada daerah potensi sebagai kawasan pengembangan agropolitan (Deptan, 2003).
30 Program
pengembangan
agropolitan
tersebut
dimulai
dengan
ditetapkannya tujuh program rintisan oleh tim perencana departemen terkait seperti Deptan, Depkimpraswil, dan Depdagriotda sebagai berikut: (1) Kabupaten Agam (Sumatera Barat) dan Kabupaten Barru (Sulawesi Selatan) sebagai wilayah agropolitan berbasis agribisnis peternakan, (2) Kabupaten Bangli (Bali) dan Kabupaten Kulonprogo (DIY) sebagai wilayah agropolitan berbasis agroindustri perkebunan, (3) Kabupaten Cianjur (Jabar) dan Kabupaten (Rejang Lebong (Bengkulu) sebagai wilayah agropolitan berbasis agribisnis hortikultura, dan (4) Kabupaten Boalemo (Gorontalo) sebagai wilayah agropolitan berbasis agribisnis tanaman pangan. Selanjutnya diharapkan secara bertahap dan berjangka panjang kawasan agropolitan dapat dikembangkan di daerah-daerah lain di seluruh Indonesia sesuai potensi dan sumberdaya yang dimiliki (Ditjen Bina Produksi Peternakan Deptan 2003). Pada tahun 2003, jumlah daerah yang dikembangkan telah mencapai 52 kabupaten di 29 propinsi.
Tiga belas kabupaten
mengembangkan program tanpa fasilitas pemerintah atau swadana (Departemen Pertanian, 2002). Pada Februari 2006, terdaftar 98 kabupaten dari 31 propinsi yang mengembangkan kawasan Agropolitan (Deptan 2007). Menurut Djakapermana (2003), pengembangan kawasan agropolitan tidak bisa terlepas dari pengembangan sistem pusat-pusat kegiatan nasional (RTRWN) dan sistem pusat kegiatan pada tingkat Propinsi (RTRW Propinsi) dan Kabupaten (RTRW Kabupaten). Hal ini disebabkan, rencana tata ruang wilayah merupakan kesepakatan bersama tentang pengaturan ruang wilayah. Terkait dengan Rencana Tata Ruang Nasional (RTRWN), maka pengembangan kawasan agropolitan harus mendukung pengembangan kawasan andalan.
3.3 Tahapan Pengembangan Agropolitan
Menurut Rustiadi dan Hadi (2004), tahap awal pengembangan agropolitan adalah penetapan lokasi sesuai dengan persyaratan agropolitan. Tahap berikutnya adalah penyusunan produk tata ruang dan bentuk organisasi pengelolaan sesuai dengan kebutuhan.
Setelah itu tahap penguatan sumberdaya manusia dan
kelembagaan, sehingga bisa dihindari adanya peluang pengaliran nilai tambah yang tidak terkendali keluar kawasan. Penguatan kelembagaan lokal dan sistem
31 kemitraan menjadi prasyarat utama yang harus ditempuh terlebih dahulu dalam pengembangan agropolitan. Pengembangan infrastruktur fisik di kawasan agropolitan dilakukan setelah tahap-tahap di atas dilakukan, agar tidak terjadi penyimpangan terhadap tujuan pengembangan kawasan agropolitan. Harun (2004) dan Suwandi (2005), mengemukakan bahwa ditinjau dari aspek tata ruang maka secara umum struktur hirarki sistem kota-kota agropolitan dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Orde yang paling tinggi (kota tani utama) dalam lingkup wilayah agropolitan skala besar sebagai: -
Kota perdagangan yang berorientasi ekspor ke luar daerah (nasional dan internasional) dan bila berada di tepi pantai maka kota ini memiliki pelabuhan samudra
-
Pusat berbagai kegiatan pabrikasi final industri pertanian (packing), stok pergudangan dan perdagangan bursa komoditi
-
Pusat berbagai kegiatan tertier agrobisnis, jasa perdagangan, asuransi pertanian, perbankan dan keuangan
-
Pusat berbagai pelayanan (general agroindustry services)
2. Orde kedua (pusat distrik agropolitan) yang berfungsi sebagai: -
Pusat perdagangan wilayah yang ditandai dengan adanya pasar-pasar grosir dan pergudangan komoditi sejenis
-
Pusat kegiatan agroindustri berupa pengolahan barang pertanian jadi dan setengah jadi serta kegiatan agrobisnis
-
Pusat pelayanan agroindustri khusus (special agroindustry services), pendidikan, pelatihan dan pemuliaan tanaman unggulan.
3. Orde ketiga (pusat suatu kawasan pertanian) -
Pusat perdagangan lokal yang ditandai dengan adanya pasar harian
-
Pusat koleksi komoditi pertanian yang dihasilkan sebagai bahan mentah industri
-
Pusat penelitian, pembibitan, dan percontohan komoditi
-
Pusat pemenuhan pelayanan kebutuhan permukiman pertanian
-
Koperasi atau badan usaha milik petani dan informasi pasar barang perdagang
32 3.4 Agroindustri Agroindustri memiliki peranan strategis dalam upaya pemenuhan bahan kebutuhan pokok, perluasan kesempatan kerja dan berusaha, pemberdayaan produksi dalam negeri, perolehan devisa, pengembangan sektor ekonomi lainnya, serta perbaikan perekonomian masyarakat di perdesaan. Hal ini disebabkan oleh karakteristik dari industri ini yang memiliki keunggulan komparatif berupa penggunaan bahan baku yang berasal dari sumberdaya alam yang tersedia di dalam negeri (IKAH Depperindag 2004). Peran Agroindustri dalam mengurangi kemiskinan dapat bersifat langsung dan tidak langsung. Secara langsung pembangunan sektor agroindustri dan sektor pertaian akan meningkatkan produktivitas pertanian melalui penigkatan produktivitas faktor.
Peningkatan produktivitas pertanian akan meningkatkan
pendaoatan petani dan lebih lanjut akan menurunkan kemiskinan, sedangkan peran secara tidak langsung adalah melalui sektor nonpertanian. Pembangunan agroindustri pada awalnya akan mempengaruhi pertumbuhan sektor pertanian dan melalui keterkaitan sektor akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara agregat dan selanjutnya akan mempengaruhi kemiskinan.
Komponen yang
mempengaruhi produktivitas faktor diantaranya adalah kapital fisik, infrastruktur, sumberdaya manusia, pendidikan, penelitian dan pengembangan, kepadatan populasi perdesaan, serta perubahan teknologi (Susilowati et al. 2007; Misra 2007). Agroindustri sebagai penarik pembangunan sektor pertanian diharapkan mampu berperan dalam menciptakan pasar bagi hasil-hasil pertanian melalui berbagai produk olahannya. Agar agroindustri dapat berperan sebagai penggerak utama, industrialisasi perdesaan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut yaitu: berlokasi di perdesaan, terintegrasi vertikal ke bawah, mempunyai kaitan input-output yang besar dengan industri lainnya, dimiliki oleh penduduk desa, padat tenaga kerja, tenaga kerja berasal dari desa, bahan baku merupakan produksi desa, dan produk yang dihasilkan terutama dikonsumsi pula oleh penduduk desa (Simatupang & Purwoto 1990). Peran agroindustri sebagai suatu kegiatan ekonomi yang diharapkan mampu menciptakan lapangan kerja masih sangat relevan dengan permasalahan
33 ketenagakerjaan saat ini, terutama beban sektor pertanian yang menyerap sekitar 46 persen dari total angkatan kerja dan adanya indikasi tingkat pengangguran terbuka dan terselubung yang semakin meningkat (Rusastra et al. 2005; Wilkinson & Rocha 2009). Peran agroindustri dalam perindustrian nasional cukup besar; pada tahun 2001 pangsa nilai tambahnya dalam industri non migas sebesar 80,70 persen, kesempatan kerja 74,90 persen, dan efek pengganda nilai tambah sebesar 3,23. Pada tahun 2004 dari industri makanan saja (belum termasuk agroindustri non makanan) dapat menyumbang nilai tambah dan penyerapan tenaga kerja masingmasing sebesar 23,3 dan 21,4 persen.
Fakta tersebut menunjukkan bahwa
agroindustri yang bergerak di sektor makanan, perikanan, peternakan, dan perkebunan merupkan sektor komplemen yang dapat dikembangkan untuk mendorong pertumbuhan sektor pertanian dan perdesaan. Sektor agroindustri merupakan pilar strategis pembangunan sektor pertanian (Supriyati & Suryani 2006; BP2HP Deptan 2001). Menurut Susila dan Setiawan
(2007), industri
berbasis perkebunan memberi kontribusi 3,2 persen dari PDB nasional dan menyediakan lapangan kerja sebesar 16,6 juta orang. Data Departemen Perindustrian dan Perdagangan memperlihatkan bahwa pada tahun 1999 terdapat 2.075 unit usaha agroindustri skala menengah dan besar, yang menyerap tenaga kerja sebesar 950.000 orang dengan nilai produksi sebesar Rp 41 trilyun dan nilai ekspor $ 3 milyar. Namun selama ini sektor agroindustri kurang menunjukkan perkembangan berarti yang terlihat dari jumlah perusahaan agroindustri makanan (skala besar dan sedang) yang hanya bertambah 34 perusahaan atau 0,74 persen selama sepuluh tahun terakhir (IKAH Depperindag 2004). Agroindustri yang menonjol pada saat itu adalah minyak sawit, minyak kelapa, kalengan ikan, produk kakao, margarin, confectionery, buah-buahan kalengan, Mono Sodium Glutamat (MSG), pakan ternak dan rokok. Pemberdayaan masyarakat tani dan perdesaan sangat erat kaitannya dengan upaya penumbuh-kembangkan usaha produktif di tingkat rumah tangga yang dapat menghasilkan nilai tambah bagi petani. Selama ini pangsa pasar (share) usaha pertanian terhadap pendapatan rumah tangga perdesaan sebesar 60,45 persen sebagian besar (54,35 persen) berasal dari kegiatan on-farm, dan
34 hanya 6,10 persen saja yang berasal dari kegiatan off-farm (Balitbang PSE Deptan dan Bank Dunia, 2000 di dalam BP2HP Deptan, 2001). Menurut Susilowati (2007), kebijakan di sektor agroindustri non makanan akan menurunkan tingkat kemiskinan lebih besar dibandingkan kebijakan di sektor agroindustri makanan.
Sebaliknya kebijakan di sektor agroindustri
makanan akan menurunkan tingkat kesenjangan pendapatan rumah tangga lebih besar. Kebijakan peningkatan investasi di sektor agroindustri akan berdampak lebih besar meningkatkan pendapatan rumah tangga, menurunkan tingkat kemiskinan dan memperbaiki distribusi pendapatan rumah tangga, jika dialokasikan di sektor agroindustri prioritas (industri karet, industri kayu lapis, bambu dan rotan, industri rokok, industri minuman dan industri pengolahan makanan sektor perikanan). Kendala kendala dalam pengembangan agroindustri adalah: (1) kontinuitas produk pertanian kurang terjamin, karena tidak adanya kepastian pemanfaatan lahan usaha yang sesuai hak guna usaha dan rencana umum tata ruang serta adanya kesenjangan pengembangan wilayah (2) kualitas bahan baku dan produk olahannya rendah karena kemampuan sumberdaya manusia terbatas, (3) informasi dan teknologi yang digunakan sebagian besar masih relatif sederhana dan masih tergantung pada lisensi (4) kemitraan belum berkembang secara luas antara agroindustri skala sedang/besar dengan agroindustri skala kecil/rumah tangga maupun antara hulu dan hilir, (5) investasi di bidang agroindustri kurang berkembang karena ketidakpastian iklim usaha dan kebijakan, sumber dana investasi terbatas serta lembaga keuangan menerapkan suku bunga yang sama untuk semua sektor (IKAH Deperindag 2003 dan 2005; Supriyati & Suryani 2006).
3.5 Agroindustri Hortikultura
Kegiatan-kegiatan penanganan pasca panen dan pengolahan hasil pertanian pada umumnya masih sangat kurang.
Komoditi pertanian pada
umumnya dipasarkan dalam bentuk primer (belum diolah), sehingga bernilai rendah dan rentan terhadap fluktuasi harga. Ekspor pertanian pun lebih banyak
35 dari komoditi tradisional dalam bentuk primer. Jika dikaji dari perkembangan produksi beberapa produk hortikultura Indonesia (Pusdatin Deptan 2010). Pasar hortikultura pada saat ini semakin dikuasai Cina, Thailand, dan bahkan Malaysia. Cina mampu menjual komoditi kentang, kol, dan jahe, yang semula pemasok utamanya adalah Indonesia, dengan harga murah dan kualitas baik.
Malaysia sejak 1997 telah mencanangkan program Third National
Agricultural Policy (NAP3) yang diharapkan pada tahun 2010 Malaysia dapat memenuhi kebutuhan buah dan sayurnya secara mandiri.
Thailand dapat
mengekspor buah segar senilai US$ 760 juta pada tahun 2002, karena memiliki kekuatan mutu yang tinggi, produk seragam, diproduksi secara berkelanjutan dan dalam jumlah yang memadai, selain juga karena didukung tersedianya infrastruktur jalan dan pendeknya jalur distribusi dari petani ke pengekspor. Indonesia dengan potensi sumberdaya yang tinggi ternyata belum memiliki daya saing terhadap negara-negara tetangganya. Hal ini disebabkan karena potensi sumberdaya yang dimiliki belum termanfaatkan secara optimal. Padahal Indonesia memiliki kekuatan bagi berkembangnya komoditi dan produk hortikultura, karena didukung oleh sumberdaya alam yang memungkinkan tingginya produktivitas komoditi hortikultura.
Kekuatan tersebut adalah:
biodiversitas yang tinggi, potensi alam (agroklimat) yang tinggi bagi pengembangan komoditi hortikultura dan tersedia lahan yang luas.
Peluang
diversifikasi produk bagi industri pengolahan sayur dan buah dapat dilihat pada pohon industri buah dan sayur yang disajikan pada Gambar 4 dan Gambar 5. Sayuran dalam kaleng Sayuran dalam botol Asinan sayuran Pickle (Acar) SAYUR-SAYURAN
Pasta Sayuran kering Sari pekat sayuran Bubuk sari sayuran Jus sayuran
Gambar 4 Pohon industri sayur-sayuran (Ditjen Agrokim Depperin, 2007)
36
Menurut IKAH Depperin (2007), agroindustri buah dan sayur mendapat tantangan yang besar karena Indonesia harus mampu mengatasi masalah high cost teknologi pengemasan kaleng akibat krisis ekonomi.
Ekspor buah dan
sayuran kaleng selama lima tahun terakhir berfluktuasi dimana tingkat pertumbuhan volume ekspor buah kaleng selama periode 1996 – 2000 adalah sebesar 9,62 persen per tahun.
Konsentrat
Makanan/minum Makanan/minum Buah dalam kaleng
Daging buah masak
Puree Juice Squash Paste
Sirop Anggur buah Jam Jelly Buah kering Tofee
BUAH
Leather fruits Tepung buah Manisan Daging buah mentah/hampir matang
Chutney Pickle Asinan
Kulit buah
Pektin
Makanan
Papain
Sediaan farmasi
Pakan ternak Pupuk kompos Makanan Biji
Pati
Makanan
Gambar 5 Pohon industri buah-buahan (Ditjen Agrokim Depperin 2007)
Menurut Irawan et al., (2001), dalam rangka peningkatan daya saing pada masa perdagangan bebas, maka pembangunan hortikultura seyogyanya dilakukan dengan pendekatan agribisnis, bukan dengan pendekatan produksi yang selama ini
37 dilakukan. Pembangunan dengan pendekatan agribisnis tersebut harus dilakukan menurut kawasan pasar dan didukung dengan sarana penyimpanan.
Tiga
komponen utama yang diperlukan dalam pembangunan dengan pendekatan agribisnis adalah: (1) membangun keterkaitan fungsional antara para pelaku agribisnis, (2) membangun keterkaitan produksi antara daerah produsen sayuran, dan (3) membangun sarana penyimpanan di sentra-sentra produksi sayuran. Secara alami komoditi hortikultura sangat mudah sekali mengalami kerusakan dan kebusukan. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap hal tersebut dapat berasal dari komoditi itu sendiri, maupun dari luar. Pada buah dan sayuran yang telah mengalami pemanenan, proses pematangan umumnya diikuti oleh perubahan penampakan dan komposisi kimia. Kerusakan lepas panen sayuran menurut Astawan et al. (1991) mencapai 20 – 40 persen. Untuk itu diperlukan teknologi penanganan pasca panen dan pengolahan. Dalam pengolahan, sayuran daun seperti kubis agak sulit untuk diolah, walaupun demikian masih terdapat alternatif pengolahannya, yaitu: dikeringkan, dibuat pikel, dibekukan, dan dikalengkan. Kentang merupakan umbi batang yang termasuk kelompok sayuran akar dan memiliki daya tahan lebih baik dibandingkan sayuran lain.
Alternatif pengolahan kentang diantaranya:
pembuatan kripik/chips, penepungan, dried mashed potatoes, pembekuan (termasuk french potato beku), dan pengalengan (Astawan et al. 1991). Mangga dapat dipasarkan selain dalam bentuk segar, juga memungkinkan dalam bentuk sari buah, konsentrat, jam, jelly, dan buah dalam kaleng. Semangka selain dalam buah segar, dapat dipasarkan dalam bentuk kripik.
3.6 Agroindustri Tanaman Pangan
Produksi jagung di Indonesia pada tahun 2003 sebanyak 10,8 juta ton (Tabel 5). Dari jumlah tersebut, 20 persen diantaranya berupa jagung hibrida. Tiga puluh persen dari produksi jagung hibrida dihasilkan di Jawa Timur. Pada tahun 2009 total produksi jagung nasional diperkirakan mencapai 17,6 juta ton. Produksi Ubi kayu Indonesia pada tahun 2009 diperkirakan mencapai 22 juta ton. Sebagian besar ubi kayu dihasilkan di Jawa Timur atau sekitar 23,45 persen.
38 Tanaman ubi kayu merupakan tanaman rakyat yang dikembangkan pada sekitar 1,2 juta ha luas lahan. Tabel 5 Perkembangan luas panen, produksi, dan produktivitas jagung dan ubi kayu Indonesia tahun 2002-2009 2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009*
10.886.442
11.225.243
12.523.894
11.609.463
13.287.527
16.317.252
17.592.309
3.358.511
3.356.914
3.625.987
3.345.805
3.630.324
4.001.724
4.156.706
32,41
33,44
34,54
34,70
36,60
40,78
42,32
18.523.810
19.424.707
19.321.183
19.986.640
19.988.058
21.757.575
22.028.502
1.244.543
1.255.805
1.213.460
1.227.459
1.201.481
1.204.933
1.174.819
149
155
159
163
166,36
180,57
188
JAGUNG Produksi (Ton) Luas Panen (HA) Produktivitas (QU/HA) UBI KAYU Produksi (Ton) Luas Panen (HA) Produktivitas (QU/HA) Sumber: Pusdatin Deptan 2010 Ket: * = Angka sementara
Tahun 2005 Indonesia masih mengimpor jagung sekitar 400 ribu ton. Jumlah tersebut menurun dari nilai impor tahun 2003 yaitu 1,5-2 juta ton jagung. Berdasarkan data tersebut, pemerintah mengharapkan pada tahun 2007 Indonesia sudah swasembada jagung. Untuk itu pemerintah membutuhkan dana sekitar Rp. 5 trilyun yang berasal dari pemerintah, swasta dan masyarakat. Pencanangan swasembada didasari oleh potensi lahan jagung di Indonesia yang mencapai tiga juta hektar, sedangkan penggunaan benih hibrida hanya 800.000 hektar atau sekitar 27 persen dari lahan yang ada. Peningkatan produksi melalui hibrida bisa dilakukan karena dapat menghasilkan 5 ton per hektar, sedangkan benih biasa hanya 3,5 ton. Selain itu
peningkatan produksi juga bisa dilakukan jika
pemerintah membantu perbaikan penanganan pascapanen. Data perkembangan ekspor impor jagung dapat dilihat pada Tabel 6.
39 Tabel 6 Perkembangan Ekspor dan Impor jagung dan ubi kayu (dlm jutaUS $) Jan-Juli 2004 Volume (Kg)
Jan-Des 2005
Nilai (US$)
Volume (Kg)
Jan-Sept 2006
Nilai (US$)
Volume (Kg)
Nilai (US$)
EKSPOR Jagung (Segar)
16,341,350
4,024,404
54,008,742
9,048,487
26,538,007
3,841,122
Jagung (Olahan)
12,654,930
2,423,225
8,739,132
2,846,319
964,978
329,862
Ubi Kayu (Segar)
19,198,505
1,557,750
229,789,042
25,441,429
53,979,037
6,246,189
Ubi Kayu (Olahan)
34,106,461
6,476,312
82,850,608
15,588,127
5,505,660
1,378,302
Total Ekspor
82,301,246
14,481,691
375,387,524
52,924,362
86,987,682
11,795,475
Jagung (Segar)
276,757,630
45,743,968
298,913,232
54,594,554
2,248,044,161
328,785,295
Jagung (Olahan)
10,603,897
4,952,016
115,841,836
36,300,194
79,903,700
25,062,680
Ubi Kayu (Segar)
1,776,775
346,623
203,752
270,707
65,174
80,421
Ubi Kayu (Olahan)
30,512,473
5,327,312
103,230,450
25,342,159
282,981,177
66,932,331
319,650,775
56,369,919
518,189,270
116,507,614
2,610,994,212
420,860,727
IMPOR
Total Impor
Sumber: Pusdatin Deptan 2010
Sebagian besar jagung hibrida digunakan sebagai bahan baku pakan ternak.
Selain sebagai bahan baku industri pakan ternak, jagung dapat juga
digunakan sebagai bahan baku minyak nabati, dekstrin, pati jagung maupun gula. Pada Gambar 6 dapat dilihat pohon industri jagung.
40
Daun Jagung
1. Pakan 2. Kompos Kulit Kelobot
1. Pakan 2. Kompos 3. Rokok Jagung Muda (Baby Corn)
Jagung Muda dalam Kaleng Pop Corn Industri Makanan
Grits
Pakan Ternak Pati Jagung (Tepung Maizena)
Jagung
Buah Jagung
Tepung Jagung
Dextrin
Industri Makanan Industri Farmasi
Bihun Jagung Gula Jagung
Industri Makanan Jagung dalam Kaleng (Whole Cernel Corrn, Sweet, Cream Corn)
Tongkol
Batang Jagung
1. Pulp 2. Kertas 3. Bahan Bakar
Minyak jagung
Makanan
Bungkil
Pakan Ternak
1. Pakan 2. Kompos 3. Bahan Bakar 4. Arang 5. Tepung Arang 6. Perosa
Gambar 6 Pohon industri jagung (Kemenperin , 2010)
4 PENDEKATAN SISTEM Pendekatan sistem adalah pendekatan terpadu yang memandang suatu objek atau masalah yang kompleks dan bersifat interdisiplin sebagai bagian dari suatu sistem. Pendekatan sistem mencoba menggali elemen-elemen terpenting yang memiliki kontribusi signifikan terhadap tujuan sistem. Gagasannya adalah suatu paham sinergi, yakni jumlah bagian-bagian yang diintegrasikan lebih besar dari jumlah bagian secara terpisah. Dengan kata lain, hasil suatu sistem secara keseluruhan
dapat
ditingkatkan
bila
bagian-bagian
komponennya
dapat
diintegrasikan. Gagasan lain adalah adanya hubungan timbal balik antar bagian atau sub sistem (komunikasi), hirarki bagian-bagian sistem, umpan balik, kontrol, batasan, dan lingkungan sistem (Simatupang 1995; Grady 1998; Eriyatno 1999; Buede 2009; Stair & Reynolds 2010). Metode sistem pada prinsipnya melalui enam tahap analisis sebelum tahap sintesa (rekayasa), meliputi : (1) analisis kebutuhan, (2) identifikasi sistem, (3) formulasi masalah , (4) pembentukan alternatif sistem, (5) determinasi dari realisasi fisik, sosial dan politik, (6) penentuan kelayakan ekonomi dan keuangan (Eriyatno, 1999; Buede 2009). Pendekatan sistem dicirikan oleh adanya suatu metodologi perencanaan atau pengelolaan, bersifat multi disiplin terorganisir, adanya penggunaan model matematik, berpikir secara kualitatif, optimasi serta dapat diaplikasikan dengan komputer. Pendekatan sistem menggunakan abstraksi keadaan nyata ataupun penyederhanaan sistem nyata untuk pengkajian suatu masalah . Menurut Simatupang (1995); Eriyatno (1999) dan Hadiguna (2009) ada beberapa alasan mengapa perlu melakukan pendekatan sistem dalam mengkaji suatu permasalahan, yaitu: 1) memastikan bahwa pandangan yang menyeluruh telah dilakukan, 2) mencegah analis menyajikan secara dini definisi masalah yang spesifik, 3) mencegah analis menerapkan secara dini model tertentu, 4) agar lingkungan masalah didefinisikan secara luas sehingga berbagai kebutuhan yang relevan dapat dikenali. Pada penelitian ini, pengembangan agropolitan merupakan proses yang berorientasi jangka panjang serta memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi.
42 Kompleksitas ini menyangkut: 1) berbagai tujuan dan kepentingan yang dapat saling bertentangan, 2) faktor dan kriteria yang tidak seluruhnya dapat dinyatakan secara kuantitatif-numerik, akan tetapi bersifat kualitatif dan bahkan fuzzy, dan 3) berada pada lingkungan yang dinamis. Selain itu pengembangan agropolitan juga merupakan sistem yang memiliki banyak ketidakpastian, dengan demikian dalam pengembangan agropolitan perlu dilakukan pendekatan sistem, sehingga diperoleh penyelesaian yang utuh dan komprehensif.
4.1 Sistem Pendukung Keputusan (SPK) Konsep Sistem Pendukung Keputusan (SPK) atau Decision Support System (DSS) mulai dikenal pada akhir tahun 1960-an dengan time sharing komputer. Namun, istilah SPK sendiri baru diperkenalkan pada 1971 oleh G. Anthony Gorry dan Michael S. Scott Morton, keduanya merupakan profesor MIT, yang merasakan perlunya suatu kerangka kerja untuk mengarahkan aplikasi komputer kepada pengambilan keputusan manajemen (McLeod 1995; Power 2002; Turban et al. 2006; Stair & Reynolds 2010). Istilah SPK didefinisikan sebagai konsep spesifik yang menghubungkan sistem komputerisasi informasi dengan para pengambil keputusan sebagai pemakainya (Eriyatno 1999). Karakteristik pokok yang melandasi teknik SPK adalah sebagai berikut: 1. Interaksi langsung antara komputer dengan pengambil keputusan 2. Dukungan menyeluruh (holistik) dari keputusan bertahap ganda 3. Suatu sintesa dari konsep yang diambil dari berbagai bidang, antara lain ilmu komputer, psikologi, intelegensia buatan, ilmu sistem dan ilmu manajemen 4. Mempunyai kemampuan adaptif terhadap perubahan kondisi dan kemampuan berevolusi menuju sistem yang lebih bermanfaat. Keen dan Morton di dalam McLeod (1995) mendefinisikan tujuan yang harus dicapai SPK sebagai berikut: 1. Membantu pengambil keputusan membuat keputusan untuk memecahkan masalah semi-struktur. 2. Mendukung penilaian pengambil keputusan bukan mencoba menggantikannya 3. Meningkatkan efektifitas pengambilan keputusan
43 Dalam aplikasinya, SPK baru bermanfaat apabila terdapat kondisi sebagai berikut : (1) Eksistensi dari basis data yang sangat besar sehingga sulit mendayagunakannya, (2) Kepentingan adanya transformasi dan komputasi pada proses mencapai keputusan, (3) Adanya keterbatasan waktu, baik dalam penentuan hasil maupun dalam prosesnya, (4) Kepentingan akan penilaian atas pertimbangan akal sehat untuk menentukan dan mengetahui pokok permasalahan serta mengembangkan alternatif dan pemilihan solusi. Model konsepsional dari SPK merupakan gambaran hubungan abstrak antara tiga komponen utama penunjang keputusan yaitu: para pengambil keputusan/pihak pengguna,
model, dan data (Eriyatno 1999).
Dari ketiga
komponen tersebut, model merupakan inti dalam rancang bangun SPK, karena model harus dapat menghasilkan keputusan yang efektif bagi pengguna. Menurut Mulyono (1991) model adalah abstraksi atau penyederhanaan realitas sistem yang kompleks dimana hanya komponen-komponen yang relevan atau faktor-faktor yang dominan dari masalah yang dianalisis diikutsertakan. Model diperlukan untuk menemukan variabel-variabel apa yang penting atau menonjol.
4.2 Sistem Pakar
Sistem pakar (Expert Sistem) merupakan salah satu alat yang dikembangkan dalam AI (Artificial Intelligent).
Sistem pakar merupakan
pengembangan perangkat lunak yang menggunakan pengetahuan simbolik untuk meniru perilaku seseorang atau sekelompok ahli (Marimin 2002). Sistem pakar merupakan salah satu alternatif terbaik untuk meyelesaikan persoalan dengan menggunakan komputer yang didukung oleh teknik kecerdasan buatan, terutama untuk pemecahan persoalan yang kompleks dan belum memiliki algoritma. Sistem pakar berbeda dengan program konvensional, karena program yang terakhir hanya dapat dimengerti oleh programmer. Sistem pakar bersifat interaktif dan mempunyai kemampuan untuk menjelaskan apa yang ditanyakan pengguna (user friendly). Pada prinsipnya sistem pakar tersusun dari beberapa komponen yang mencakup: 1) fasilitas akuisisi pengetahuan, 2) sistem berbasis pengetahuan (knowledge based sistem), 3) mesin inferensi (inference engine), 4) fasilitas untuk
44 penjelasan dan justifikasi, dan 5) penghubung antara pengguna dan sistem pakar (user interfase). Struktur dasar sistem pakar dapat dilihat pada Gambar 7. Pengguna
Pakar
Penghubung
- Fakta - Aturan - Model
- Nasehat - Justifikasi - Konsultansi Sistem Berbasis Pengetahuan Fakta
Akuisisi pengetahuan
Aturan Model
Dangkal Mendalam Statis Dinamis
Fakta Aturan
Mekanisme inferensi Strategi Penalaran
Strategi pengendalian
Model
Fasilitas penjelasan
Gambar 7 Struktur dasar sistem pakar (Marimin 2002)
4.3 SPK Intelijen
Menurut Turban (1990); Turban et al. (2006); Stair dan Reynolds (2010), terdapat kekurangan dalam SPK dan sistem pakar, tetapi jika dikombinasikan akan menghasilkan suatu sinergi. SPK memberikan pengendalian penuh terhadap pengambil keputusan dalam mengakuisisi informasi, mengevaluasi informasi dan dalam memberikan keputusan akhir. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa keputusan manusia yang bias dan kompleks dibantu oleh SPK. Sebaliknya sistem pakar bebas dari akuisisi, evaluasi dan keputusan bias. Sistem pakar memiliki kecerdasan pada ranah yang jelas dan menghasilkan keputusan sementara. Pengambil keputusan dapat menggunakan SPK secara tradisional dan mengambil keputusan sementara. Hasil sistem pakar dan SPK secara bersamaan dapat diperbaiki dan dievaluasi, dan dengan hubungan yang saling mendukung akan memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan jika digunakan masing-masing. Keuntungan mengintegrasikan SPK dan sistem pakar dapat dilihat pada Tabel 7.
45 Tabel 7 Keuntungan mengintegrasikan sistem pakar dan SPK Kontribusi Sistem Pakar Database dan DBMS
Model dan MDBS
Interface
Kemampuan sistem
Kontribusi SPK
- Memperbaiki konstruksi, operasi & perawatan DBMS - Memperbaiki kemampuan akses database besar - Meningkatkan kapabilitas DBMS - Memungkinkan merepresentasi data simbolik - Memperbaiki manajemen model - Membantu menyeleksi model - Memiliki elemen justifikasi terhadap model - Memperbaiki analisis sensitivitas - Menghasilkan solusi alternatif - Menyediakan heuristik - Menyederhanakan dlm membangun simulasi - Mempermudah modifikasi struktur permasalahan - Memperlancar simulasi trial and error - Menyediakan interface yang mudah - Menyediakan penjelasan-penjelasan - Menyediakan bagian yg memudahkan pengguna - Bersikap seperti pengajar - Memiliki kemampuan Interaktif, dinamis, & pemecahan masalah secara visual - Menyediakan pendukung cerdas (lebih cepat & lebih murah dibandingkan manusia) thd SPK dan penggunaannya - Mampu memberikan tambahan penjelasan - Memperluas komputerisasi dalam proses pengambilan keputusan
Menyediakan database bagi sistem pakar - Menyediakan awal struktur permasalahan - Menyediakan model standar dan perhitungan - Menyediakan kenyataan (data) ke model - Menyimpan model khusus oleh para pakar pd basis model Menyediakan tampilan sesuai gaya individu - Menyediakan percobaan pada pengumpulan data & implementasi - Menyediakan bantuan bagi setiap pengguna agar sesuai dengan gaya keputusan
(Turban 1990; Turban et al. 2006)
Menurut Turban (1990); Turban et al. (2006) dan Turban et al. (2007), Integrasi antara sistem pakar dan SPK dapat dilakukan dengan: 1) Sistem pakar dimasukkan ke dalam komponen-komponen SPK,
2) Sistem pakar
sebagai
komponen yang terpisah dari SPK, 3) Sistem Pakar berbagi dengan proses dengan SPK, 4) Sistem pakar memberikan solusi alternatif bagi SPK, dan 5) Pendekatan kesatuan (a unified approach). Pendekatan kesatuan untuk mengintegrasikan SPK dan sistem pakar telah dikembangkan oleh Teng et al. dalam Turban (1990), usulan untuk pendekatan kesatuan ini dinamakan dengan SPK Intelijen dan arsitekturnya dapat dilihat pada Gambar 8. Pada gambar tersebut terlihat bahwa sistem pakar tersusun diantara data
dan
model-model.
Sistem
pakar
menjadi
mengintegrasikan dua komponen tersebut secara intelijen.
fungsi
dasar
dalam
46
Basis data
Basis pengetahuan
Basis Model
intelijen Sistem Manajemen Basis Data
Sistem Manajemen Basis Model
Mesin Inference Supervisor
Subsistem akuisisi pengetahuan
Penghubung bahasa natural
Perekayasa pengeetahua
Pengguna
Pusat Pengelola Intelijen Subsistem Dialog
Gambar 8 Arsitektur kesatuan SPK intelijen (Teng et al. dalam Turban 1990)
Beberapa model SPK Intelijen telah dikembangkan dan dilaporkan berhasil dengan baik. Gachet dan Haettenschwiler (2003) mengembangkan SPK Intelijen
dengan
pendekatan
bipartit.
Bose
dan
Sugumaran
(2007)
mengembangkannya dengan teknologi Web. Yeh et al. (2009) menerapkan SPK intelijen dalam sistem seleksi proyek. Menurut Turban et al. (2006) dan Turban et al. (2007), SPK regular berfungsi secara pasif dalam interaksi manusia-komputer. SPK mengeksekusi perhitungan dan menampilkan data serta merespon perintah standar, tetapi tidak dapat berfungsi sebagai asisten intelijen terhadap pembuat keputusan, hal ini membatasi penggunaan SPK sehingga tidak berarti. Pemecahan masalah yang ambigu dan kompleks memerlukan SPK intelijen. SPK intelijen dapat mengambil inisiatif dalam pertanyaan dan perintah standar. SPK ini dinamakan SPK aktif atau simbiotik (active or symbiotic DSS). Menurut Mili (1990) di dalam Turban et al. (2006) dan Zhou et al. (2009), SPK Aktif dapat mengerjakan tugas: memahami domain (terminologi, parameter dan interaksi),
memformulasikan
permasalahan,
memaparkan
permasalahan,
menginterpretasikan hasil dan menjelaskan hasil dan keputusan. Di mana tugastugas tersebut memerlukan komponen intelijen dalam SPKnya.
47 SPK Intelijen lainnya adalah SPK berevolusi sendiri (self-evolving DSS). SPK ini didesain dengan pendekatan premis dasar bahwa SPK harus siaga dalam penggunaan dan otomatis beradaptasi dengan penggunanya. Untuk itu diperlukan kemampuan: menu dinamis yang menyediakan hirarki dinamis untuk memenuhi kebutuhan pengguna, interface pengguna yang dinamis untuk menyediakan keluaran yang beragam untuk pengguna yang berbeda, dan sistem manajemen dengan dasar model intelijen dapat menyeleksi model yang sesuai dengan keinginan pengguna yang berbeda-beda (Turban et al. 2006; Turban et al. 2007; Zhou et al. 2009). Sistem pengembangan agropolitan berbasis agroindustri pada penelitian ini direkayasa menggunakan SPK intelijen yang termasuk SPK aktif. SPK intelijen ini diharapkan dapat mengambil inisiatif dalam pertanyaan dan perintah standar.
SPK intelijen ini juga diharapkan dapat berfungsi sebagai asisten
intelijen terhadap pembuat keputusan dan dapat memecahkan permasalahan yang ambigu dan kompleks.
4.4. Sistem Intelijen Sistem Intelijen merupakan suatu pendekatan atau metodologi tentang bagaimana merumuskan suatu sistem untuk menghasilkan Intelligent information (Marimin 2002 dan Turban et al. 2007). (1) Hard System Sistem ini bersifat numerik, seperti pada metode konvensional seperti operation research, industrial statistic, dll. Sistem ini berkepentingan dengan domain yang sifatnya pasti (hard), walaupun di dalamnya terdapat probabilitas.
Sistem ini sulit mengakomodasikan sifat manusia yang
cenderung kualitatif atau bersifat tidak pasti. (2) Soft System Sistem ini terdiri dari psychology engineering, analisis kualitatif dan metodologi soft system. (3) Artificial Intelligence (AI) AI atau kecerdasan buatan adalah ilmu yang mempelajari bagaimana suatu benda berperilaku seperti manusia, atau mesin berfikir. Penerapan dalam
48 AI mencakup tiga bidang, yaitu: bahasa alamiah (natural languange), pengembangan dan penggunaaan robot (robotic), dan sistem pakar. Alatalat (tools) yang dikembangkan dalam AI selain sistem pakar adalah fuzzy logic, neural networks dan genetic algorithms.
4.4.1
Metode Pengambilan Keputusan Kelompok (Multi Expert-Multi Criteria Decision Making / ME-MCDM)
Yager (1993) mengembangkan suatu model Multi Expert-Multi Criteria Decision Making (ME-MCDM) untk pengambilan keputusan dengan banyak kriteria secara berkelompok menggunakan penilaian non-numeric atau linguistic label. Teknik evaluasi pilihan bebas (Independent Preference Evaluation/IPE) merupakan salah satu cara untuk pengambilan keputusan dengan kaidah teori gugus tidak pasti (fuzzy set theory).
Teknik tersebut untuk mengevaluasi
kesukaan atau pilihan yang dapat ditempuh dengan metode perhitungan nonnumerik. Marimin, et al. (1997) menyatakan bahwa di dalam evaluasi pilihan bebas, setiap pembuat keputusan (d j ) (j = 1, 2, 3,..., m) dapat menilai setiap alternatif (s i ) (i = 1, 2, ..., n) pada setiap kriteria (a k ) (k = 1, 2, ..., l) secara bebas. Penilaian ditetapkan dengan menggunakan label/simbol kualitatif. Hal ini dapat diperjelas dengan mengasumsikan V sebagai sesuatu yang menggambarkan nilai dari suatu set X = {x1 , x 2 ,...x n } dimana x n adalah skor nilai yang diwujudkan dalam bentuk simbol kualitatif. Langkah-langkah agregasi dalam pengambilan keputusan dengan kaidah Fuzzy IPE dapat diuraikan sebagai berikut : Langkah pertama, setiap pembuat keputusan (d j ) akan mendapatkan suatu set nilai (L) pada setiap alternatif (s i ) dan setiap kriteria (a k ) dengan formula sebagai berikut :
L = {vij (a1 ), vij (a 2 ),..., vij (a k )} ..........................................................................
(1)
Keterangan : v ij (a k ) adalah skor evaluasi terhadap alternatif ke-i pembuat keputusan ke-j.
pada kriteria ke-k oleh
49 Langkah ke dua, menghitung negasi terhadap setiap bobot elemen dengan menggunakan rumus : Neg (w k ) = w q-k+1 .............................................................................................
(2)
Keterangan : W adalah bobot nilai; q adalah jumlah item dari suatu set bobot penilaian dan k adalah item dari suatu set bobot penilain.
Langkah ke tiga, mengacu pada set nilai yang didapatkan dari persamaan (1) dan nilai negasi dari persamaan (2) maka dapat dilakukan agregasi untuk memperoleh skor terhadap setiap alternatif ke- i oleh setiap pembuat keputusan ke-j pada semua kriteria dengan menggunakan formula sebagai berikut : vij = min
k =1,...,l
[ Neg ( wak ) ∨ vij (a k )] ....................................................................
(3)
Keterangan : v ij adalah skor evaluasi terhadap alternatif ke-i oleh pembuat keputusan ke-j; min adalah minimum; V adalah maksimum dan Neg (w ak ) adalah negasi setiap bobot elemen. Langkah ke empat, menghitung pembobot nilai
dengan menggunakan
rumus :
W
( j)
= Int [1 + ( jx
q −1 )] r
..................................................................................
(4)
Keterangan : W
(j)
adalah pembobot nilai pada pakar ke-j ; j adalah pakar ke-j; r adalah jumlah
pakar; q adalah jumlah skala (item) dan Int adalah integer. Langkah ke lima, agregasi penentuan kesimpulan akhir oleh pengambil keputusan dengan menggunakan rumus : vi = f (vi ) = max [ w j ∧ b j ] ............................................................................. j =1,..., m
Keterangan : Max adalah maksimum; w j adalah pembobot nilai pada pakar ke-j; Λ adalah minimum dan b j adalah solusi dari persamaan (3) yang diurutkan dari terbesar ke terkecil.
(5)
50 Pada penelitian ini metode ME-MCDM digunakan pada Sistem Pengembangan Agropolitan Berbasis Agroindustri dalam model pemilihan komoditi unggulan dan model pemilihan sarana dan prasarana. Model pemilihan komoditi unggulan menggunakan lima orang pakar sebagi sumber data, sedangkan pada model pemilihan sarana prasarana menggunakan tiga orang pakar. Untuk lebih jelasnya diagram alir model pemilihan komoditi dan model pemilihan sarana prasarana dapat dilihat pada Bab 7 Rekayasa Sistem.
4.4.2 Analytical Network Process (ANP)
Pendekatan ANP (Analytical Network Process) banyak diabaikan dibandingkan dengan pendekatan AHP (Analytical Hierarchy Process) yang berstruktur linear dan tidak mengakomodasikan adanya feedback.
Hal ini
dikarenakan AHP relatif lebih sederhana dan mudah untuk diterapkan, sedangkan ANP lebih luas dan dalam dan sesuai untuk diterapkan pada pengambilank eputusan yang rumit serta kompleks serta memerlukan berbagai variasi intertaksi dan ketergantungan. Metode ANP berguna pada perusahaan besar atau sektor publik yang memerlukan pengambilan keputusan dalam jumlah informasi, interaksi serta feedback yang banyak dan memiliki tingkat kompleksitas tinggi. Sebagai metode pengembangan dari metode AHP, ANP masih menggunakan cara Pairwise Comparison Judgement Matrices (PCJM) antar elemen yang sejenis. Perbandingan berpasangan dalam ANP dilakukan antar elemen dalam komponen/kluster untuk setiap interaksi dalam network. Saaty (1996) dan Saaty (2001), menyatakan bahwa jaringan umpan balik adalah struktur dalam memecahkan masalah yang tidak dapat disusun dengan menggunakan struktur hirarki. Jaringan umpan balik terdiri dari interaksi dan ketergantungan antara elemen pada level yang lebih rendah. Struktur umpan balik tidak mempunyai bentuk linier dari atas ke bawah, tetepai nampak seperti sebuah jaringan siklus pada masing-masing klaster dari setiap elemen serta dapat berbentuk looping pada klaster itu sendiri. Bentuk ini tidak dapat disebut sebagai level. Umpan balik juga mempunyai sumber (source) dan tumpahan (sink). Titik sumber menunjukkan asal dari jalur kepentingan dan tidak pernah dijadikan tujuan dari jalur kepentingan lain, sedangkan titik tumpahan adalah titik yang
51 menjadi tujuan dari jalur kepentingan dan tidak pernah menjadi asal untuk kepentingan lain. Sebuah jaringan yang utuh terdiri dari titik sumber (source node), titik antara (intermediate node) yang berasal dari titik asal (source node), titik siklus, atau sebuah jalur yang menuju pada titik tumpahan (sink node), dan bagian akhir adalah titik tumpahan itu sendiri (sink node). Struktur ANP terdiri atas ketergantungan antar elemen dari komponen dalam (inner dependence) dan dari ketergantungan antar elemen dari komponen luar (outer dependence) seperti ditampilkan pada Gambar 9. Adanya jaringan (network) dalam suatu PJA dimungkinkan dapat merepresentasikan beberapa masalah tanpa terfokus pada awal dan kelanjutan akhir seperti pada AHP.
Komponen sumber
Komponen sumber (lingkaran umpan balik )
Komponen antara (wilayah antara) Komponen tumpahan (wilayah penyerapan) Komponen tumpahan
Gambar 9 Struktur jaringan umpan balik dalam ANP (Saaty, 2004) Supermatriks ANP akan secara otomatis menghasilkan bobot yang tepat bagi kriteria dan alternatif jika data yang digunakan adalah vektor prioritas pada supermatriks. Hal ini merupakan cara yang sederhana karena tidak membutuhkan pemikiran per bagian pada pengguna. Hanya mengetahui data dan supermatriks akan menghasilkan prioritas pada setiap titik pada model (Saaty 2004). Menurut Azis (2004), dengan umpan balik, alternatif bukan hanya dapat tergantung pada kriteria tetapi juga dapat tergantung antara satu alternatif dengan alternatif lainnya. Kriteria itu sendiri dapat tergantung pada alternatif dan yang lainnya. Untuk merepresentasikan feedback pada ANP maka diperlukan matriks
52 yang besar yang disebut sebagai supermatrix yang terdiri dari beberapa sub matriks.
5 AGROPOLITAN BERBASIS AGROINDUSTRI
Keberlangsungan kawasan agropolitan sangat dipengaruhi oleh seberapa besar stakeholder dapat menikmati nilai tambah dalam pengembangan kawasan agropolitan.
Mempelajari pengalaman dari beberapa negara Asia yang
menerapkan beberapa pola kawasan pertanian, tampak bahwa keberlangsungan (sustainability) dari suatu agropolitan sangat tergantung dari nilai tambah yang dapat ditumbuhkannya. Semakin besar nilai tambah yang dihasilkan maka semakin langgeng pula implementasinya. Kawasan agropolitan adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agrobisnis (UU No.26 tahun 2007 tentang penataan ruang). Berdasarkan definisi pada undang-undang tersebut belum terdapat penekanan tentang adanya agroindustri pada kawasan agropolitan. Nilai tambah yang besar salah satunya dapat diwujudkan dengan adanya agroindustri.
Agroindustri, merupakan kegiatan yang dapat menjamin
pemanfaatan hasil pertanian secara optimal dengan memberikan nilai tambah yang tinggi melalui upaya pemanfaatan, pengembangan, penguasaan teknologi dan bioteknologi.
Sebagai salah satu sub sistem dalam agribisnis, agroindustri
memiliki potensi yang besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pendapatan masyarakat, menyerap tenaga kerja, dan meningkakan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya serta mempercepat pembangunan daerah.
5.1 Kerangka Pemikiran Konsep Agropolitan Berbasis Agroindustri Konsep pembangunan kawasan pertanian yang mengintegrasikan sub-sub sistem agribisnis menjadi suatu sistem dan usaha agribisnis yang tangguh, berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan, dan desentralistis merupakan konsep yang terus berkembang dan disempurnakan hingga dasawarsa terakhir ini. Konsep
54
integrated farming, corporate farming, terminal agribisnis di Thailand, pertanian kolektif di Australia Barat, one village one product (OVOP) movement di Jepang, one tambon one product (OTOP) di Thailand, one town one product (OTOP) di Filipina, agropolitan di Sabah Malaysia dan Jinju City Korea Selatan, merupakan konsep-konsep
pembangunan
kawasan
berbasis
agribisnis
yang
telah
diimplementasikan. Program serupa sesungguhnya telah ada di Indonesia, tetapi proyek-proyek yang menghabiskan dana milyaran rupiah tersebut,
tidak
memuaskan hasilnya. Hal ini dapat dilihat dari petani kembali ke pola pertanian semula setelah berakhirnya proyek tersebut. Beberapa alasan yang dikemukakan sebagai penyebabnya adalah teknologi yang digunkan tidak tepat guna, perencanaan tidak terkoordinasi, dan pengawasan yang kurang, selain itu kewenangan Pemerintah Pusat melebihi kewenangan Pemerintah Daerah dalam merencanakan, mengelola dan mengawasi pengembangan program kawasan pertanian. Agropolitan berada dalam kawasan pemasok hasil pertanian (sentra produksi pertanian) dimana kawasan tersebut memberikan kontribusi yang besar terhadap mata pencaharian dan kesejahteraan masyarakatnya (Friedmann & Douglass 1976).
Terdapat beberapa prasyarat agar pembangunan kawasan
agropolitan berkelanjutan, yaitu: (1) Harus diupayakan otonomi lokal sehingga setiap kawasan memiliki wewenang dan sumber-sumber ekonomi sehingga dapat merencanakan dan melaksanakan sendiri pembangunannya, (2) Keuntungan yang diperoleh dari kegiatan setempat harus ditanam kembali untuk menaikkan dayahasil dan menciptakan suatu keadaan yang mendorong pertumbuhan ekonomi selanjutnya, dan (3) Pemakaian sumberdaya alam yang lebih rasional dan produktif dengan menentukan batas-batas minimum dan maksimum luas tanah milik/land reform. Syarat dan tujuan agropolitan yang pertama mengenai desentralisasi dan otonomi/kewenangan dalam mengelola sumberdaya yang dimiliki suatu daerah dapat tercapai jika pengembangan agropolitan minimal terkoordinasi secara vertikal.
Berdasarkan hal tersebut maka wilayah kabupaten menjadi batasan
pengembangan secara administratif bagi kawasan agropolitan. Hal ini disebabkan
55
karena terkait dengan kecenderungan administrasi publik yang akan mewujudkan otonomi sebesar-besarnya berada pada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Pembatasan hubungan dengan wilayah di luar kawasan agropolitan pada syarat kedua dikhawatirkan dapat menghambat keberlangsungan ekonomi pada suatu kawasan agropolitan. Koordinasi horisontal diperlukan antar kawasan yang memiliki komoditi / produk sejenis dengan daerah pasar yang sama. Hal ini dapat dilakukan antara lain dengan melakukan kerjasama dalam menyelaraskan perencanaan produksi antar daerah produsen dengan konsumen sehingga dapat menciptakan stabilitas harga. Pemilihan komoditi unggulan yang tidak terlalu banyak di suatu kawasan juga diperlukan untuk meminimalkan land reform. Komoditi yang telah memiliki potensi dan telah diterima masyarakat lebih minimal memerlukan pengaturan kembali lahan-lahan pertanian. Pemerataan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat perdesaan diharapkan dapat dicapai dengan pengembangan agropolitan. Agroindustri adalah sektor yang dapat menjawab meningkatkan nilai tambah dan lapangan pekerjaan.
Bahan baku yang digunakan agroindustri, proses
produksinya, maupun produk yang dihasilkan adalah ramah lingkungan. Selain itu dengan menggunakan komoditi pertanian lokal akan menurunkan tingkat ketergantungan bahan baku dari luar. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 10.
Pengembangan Agropolitan
Pemecahan Permasalahan
Agroindustri
- Keberlangsungannya dipengaruhi oleh nilai tambah yang diperoleh masyarakat
- Peningkatan nilai tambah produk pertanian - Penciptaan lapangan kerja
- Menciptakan nilai tambah bagi produk pertanian - Menyerap tenaga kerja - Menghela industri hulu - Mendorong industri hilir
- Aspek lingkungan semakin dituntut untuk diperhatikan
- Menjaga Sustainabilitas lingkungan
- Inputnya bahan alamiah yang dapat diperbaharui (renewable) - Proses produksinya renewable dan ramah lingkungan
- Pemasaran produk pertanian tdk melalui pusat agropolitan
- Produksi dan pemasaran pertanian dikelola pada pusat agropolitan
- Ketergantungan rendah terhadap bahan baku/modal/ kapital dari luar negeri/ impor
Gambar 10 Agroindustri sebagai dasar pengembangan agropolitan (diolah dari berbagai sumber: Irawan et al. 2001; Rusastra et al. 2005; Susilowati et al. 2007; Misra 2007; Wilkinson & Rocha 2009)
56
Agropolitan berbasis agroindustri adalah suatu kawasan pertanian dimana agroindustri akan dijadikan pusat pengembangan kawasan. Pusat pengembangan kawasan berperan dalam peningkatan nilai tambah, peningkatan lapangan kerja, yang selanjutnya akan memperluas sektor jasa/pelayanan, peningkatan sarana dan prasarana, kemudian memberikan keuntungan bagi seluruh pihak yang terlibat (Anwar 1999). Konsep pengembangan agropolitan berbasis agroindustri dapat dilihat pada Gambar 11.
KA III
Pasar KA II KA I
Keterangan: Penghasil bahan baku (kawasan pendukung) Pengumpul bahan baku Agroindustri (Pusat Agropolitan) Batas kawasan klaster agropolitan Batas kawasan agropolitan KA Klaster Agropolitan Jalan & dukungan sarana prasarana
Gambar 11 Konsep pengembangan agropolitan berbasis agroindustri (modifikasi dari Soenarno 2003) 5.2 Pengaruh Agroindustri bagi Perkembangan Agropolitan Agropolitan terdiri dari dua kata Agro dan politan (polis). Agro berarti pertanian dan politan berarti kota, sehingga Agropolitan dapat diartikan sebagai kota pertanian atau kota di daerah lahan pertanian atau pertanian di daerah kota. Agropolitan adalah kota pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis serta mampu melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya (Friedmann & Douglass 1976). Penciptaan lapangan kerja dan peningkatan nilai tambah produk pertanian merupakan hal yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan. Agroindustri adalah sektor yang dapat menjawab permasalahan agropolitan dalam peningkatan nilai tambah dan penciptaan lapangan pekerjaan.
Kerangka
57
pemikiran konseptual pengaruh agroindustri bagi pengembangan agropolitan dapat dilihat pada Gambar 12.
Paradigma Baru Pembangunan: - Memadukan Pemeratan, pertumbuhan dan Keberlangsungan - Desentralisasi (bottom up) - Pembangunan Kerakyatan
AGROPOLITAN
Ekonomi
Sosial
Paradigma Baru Pembangunan Pertanian: Perubahan Pola Pertanian Subsisten menjadi sistem agribisnis yang tangguh, berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan, dan desentralistis
Ekologi
AGROINDUSTRI
AGROINDUSTRI sebagai pusat pertumbuhan baru di AGROPOLITAN
Peluasan produkproduk perusahaan lokal
Peningkatan pola penyerapan tenaga kerja
Peningkatan lapangan kerja dan pendapatan penduduk
Peningkatan permintaan akan barang dan jasa lokal
Peningkatan investasi dan kerjasama
Perluasan sektor jasa / pelayanan
Peningkatan keuntungan kepada stakeholder
Peningkatan sarana prasarana lokal
Peningkatan keuntungan pada suatu agropolitan Keberlangsungan agropolitan yang senantiasa: - Memberikan nilai tambah Meningkatan lapangan kerja dan pendapatan masyarakat Memberikan peluang investasi dan kerjasama Pemerataan perekonomian Menurunkan kesenjangan pembangunan desa-kota Mempertahankan kualitas lingkungan
Gambar 12 Pengaruh agroindustri bagi pengembangan agropolitan (hipotesa)
58
Agroindustri dijadikan pusat pengembangan kawasan agropolitan karena dengan adanya agroindustri di pusat pengembangan kawasan, maka diharapkan terjadi peningkatan nilai tambah, terjadi peningkatan lapangan kerja, yang selanjutnya akan memperluas sektor jasa/pelayanan, peningkatan sarana dan prasarana, kemudian memberikan keuntungan bagi seluruh pihak yang terlibat.. Wilayah yang ditetapkan sebagai pusat agropolitan adalah wilayah dengan potensi kinerja pembangunan (yaitu kinerja ekonomi dan kinerja ekonomi pertanian) yang tinggi serta memiliki sumberdaya yang potensial, seperti sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya buatan, dan sumberdaya sosial.
Selanjutnya pada pusat agropolitan tersebut juga ditentukan komoditi
unggulan yang akan dikembangkan lebih lanjut menjadi agroindustri. Selain itu, sarana prasarana seperti fasilitas transportasi, telekomunikasi, dan utilitas untuk selanjutnya ditetapkan agar dapat mendukung pengembangan agropolitan. Demikian juga dengan kelembagaan dan pola kerjasama, merupakan hal yang penting untuk ditentukan agar keberlangsungan sistem terjaga.
5.3 Agropolitan Terintegrasi Kawasan Pasar Friedmann dan Douglass (1976) mengemukakan beberapa syarat agar pembangunan kawasan agropolitan berkelanjutan, yaitu: (1) Harus diupayakan otonomi lokal sehingga setiap kawasan memiliki wewenang dan sumber-sumber ekonomi
sehingga
dapat
merencanakan
dan
melaksanakan
sendiri
pembangunannya, (2) Keuntungan yang diperoleh dari kegiatan setempat harus ditanam kembali untuk menaikkan daya-hasil dan menciptakan suatu keadaan yang mendorong pertumbuhan ekonomi selanjutnya, dan (3) Pemakaian sumberdaya alam yang lebih rasional dan produktif dengan menentukan batasbatas minimum dan maksimum luas tanah milik/land reform. Menurut Stohr (1981), untuk menghindari backwash effect dari wilayah yang sudah lebih maju, kawasan agropolitan ini secara seleksi tertutup dari hubungan khusus dengan wilayah lainnya (selective spatial closure). Berbagai keputusan, baik dalam pemelihan teknologi produksi yang dipakai, tujuan pembangunan, maupun inisiatif untuk membangun, diserahkan kepada penduduk setempat. Demikian juga faktor produksi seperti lahan, harus dimiliki oleh
59
penduduk setempat. Hal ini sejalan dengan pendapat Fridmann dan Douglass (1976) dalam syarat kedua dalam pembangunan agropolitan. Batasan kawasan agropolitan seharusnya tidak ditentukan oleh batasan administratif pemerintah (desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten) tetapi juga tetap memperhatikan economic of scale dan economic of scope. Batasan ekonomi tersebut
dipergunakan
di
dalam
pengembangan
agropolitan
dengan
memperhatikan syarat dan tujuan pengembangan agropolitan. Agar diperoleh keberlangsungan ekonomi pada suatu kawasan agropolitan, maka diperlukan pula koordinasi horisontal antar kawasan yang memiliki komoditi / produk sejenis dengan daerah pasar yang sama. Agropolitan yang terintegrasi horisontal pada kawasan pasar dapat menyelaraskan perencanaan produksi antar daerah produsen dengan konsumen sehingga dapat menciptakan stabilitas harga. Koordinasi vertikal dan koordinasi horizontal pada agropolitan dapat dilihat pada Gambar 13.
Pemasaran
Daerah 1
Daerah 2
Agroindustri
Koordinasi vertikal pada kabupaten
Pusat Agropolitan Sentra Produksi
Komoditi Unggulan
Komoditi/ Produk A
Komoditi/ Produk B
Komoditi/ Produk A
Komoditi/ Produk B
Koordinasi horizontal pada kawasan pasar
Gambar 13 Koordinasi vertikal dan horisontal dalam kawasan agropolitan
6 METODE PENELITIAN
6.1 Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian Model pengembangan agropolitan yang dibangun adalah agropolitan yang dapat diterapkan dan terjaga keberlangsungannya. Kajian dimulai dengan menyelesaikan
permasalahan
pengembangan
agropolitan
yang
kemudian
menghasilkan suatu konsep pengembangan agropolitan berbasis agroindustri. Konsep tersebut diterapkan ke dalam rekayasa sistem pendukung keputusan intelijen. Kerangka pemikiran penelitian pengembangan agropolitan berbasis agroindustri dapat dilihat pada Gambar 14.
KONSEP AGROPOLITAN
KONDISI RIIL PENGEMBANGAN AGROPOLITAN
IDENTIFIKASI PERMASALAHAN PENGEMBANGAN AGROPOLITAN
Studi Pustaka
KONSEP PENGEMBANGAN AGROPOLITAN BERBASIS AGROINDUSTRI
PERANCANGAN MODEL PENGEMBANGAN AGROPOLITAN BERBASIS AGROINDUSTRI DENGAN PENDEKATAN SISTEM Komoditi Unggulan
Produk Prospektif
Desain Agroindustri
Pewilayahan Agropolitan
Sarana Prasarana
Kelembagaan
Pengetahuan Pakar
MODEL PENGEMBANGAN AGROPOLITAN BERBASIS AGROINDUSTRI
Verifikasi dan Validasi
Data Kabupaten Probolinggo
KONSEP DAN MODEL PENGEMBANGAN AGROPOLITAN BERBASIS AGROINDUSTRI YANG DIREKOMENDASI
Gambar 14 Kerangka pemikiran konseptual penelitian
6.2 Kerangka Pemikiran Sistem Pengembangan Agropolitan Pengembangan kawasan agropolitan merupakan suatu usaha pemerataan pembangunan yang diharapkan dapat mengoptimalisasikan pemanfaatan potensi sumberdaya suatu wilayah.
Selain itu perencanaan pengembangan kawasan
62 agropolitan dengan pendekatan bottom up yang melibatkan seluruh stakeholder akan menjamin keberlangsungan kawasan agropolitan.
Untuk itu dalam
perencanaan dan pengembangannya diperlukan keterlibatan lintas sektoral. Pengembangan agropolitan merupakan proses yang berorientasi jangka panjang serta memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi.
Kompleksitas ini
menyangkut: 1) berbagai tujuan dan kepentingan yang dapat saling bertentangan, 2) faktor dan kriteria yang tidak seluruhnya dapat dinyatakan secara kuantitatifnumerik, akan tetapi bersifat kualitatif dan bahkan fuzzy, dan 3) berada pada lingkungan yang dinamis. Selain itu pengembangan agropolitan juga merupakan sistem yang
memiliki banyak ketidakpastian,
dengan demikian
dalam
pengembangan agropolitan perlu dilakukan pendekatan sistem, sehingga diperoleh penyelesaian yang utuh dan komperhensif.
Kerangka pemikiran sistem
pengembangan agropolitan dapat dilihat pada Gambar 15. Karakteristik Pengembangan Agropolitan: Tujuan dan kepentingan kompleks Permasalahan dan preferensi kualitatif dan fuzzy Lingkungan dinamis
PENDEKATAN SISTEM Model Komoditi Unggulan
Model Pusat Agropolitan
Model Agroindustri Prospektif
Model Sarana Prasarana
Model Kerjasama dan Kelembagaan
REKAYASA SISTEM PENDUKUNG KEPUTUSAN INTELIJEN SISTEM PENGEMBANGAN AGROPOLITAN BERBASIS AGROINDUSTRI Gambar 15 Kerangka pemikiran sistem pengembangan agropolitan
Pemusatan wilayah mendukung proses kumulatif pengembangan suatu wilayah sehingga penentuan pusat wilayah sangat penting untuk dilakukan. Wilayah yang akan ditetapkan sebagai pusat agropolitan adalah wilayah dengan potensi kinerja pembangunan (yaitu kinerja ekonomi dan kinerja ekonomi
63 pertanian) yang tinggi serta memiliki sumberdaya yang potensial, seperti sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya buatan, dan sumberdaya sosial. Pusat agropolitan dipengaruhi oleh komoditi unggulan yang telah dipilih sebelumnya. Komoditi unggulan ini merupakan komoditi yang memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif, diterima secara sosial masyarakat serta menguntungkan secara ekonomi dan finansial. Agroindustri yang menghasilkan produk prospektif adalah agroindustri yang berbahan baku komoditi unggulan, produknya diterima di pasar, memiliki nilai tambah yang tinggi dan menguntungkan secara finansial. Prasarana seperti fasilitas transportasi, telekomunikasi, dan utilitas untuk selanjutnya ditetapkan agar dapat mendukung pengembangan agropolitan. Kelembagaan dan pola kerjasama, merupakan hal yang penting untuk ditentukan agar sistem berkelanjutan. Hal ini disebabkan karena kelembagaan dapat meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, kapabilitas kelembagaan dan dapat meningkatkan akses masyarakat perdesaan terhadap sumberdaya. Kelembagaan ini termasuk kelembagaan untuk koordinasi vertikal dan horizontal.
6.2.1 Pendekatan Sistem Pendekatan sistem (system approach) merupakan cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan melakukan identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhan-kebutuhan sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif (Eriyatno 1996). Terdapat tiga tahapan yang harus dilakukan dalam pendekatan sistem, yaitu analisis kebutuhan, formulasi permasalahan, dan identifikasi sistem.
6.2.2 Analisis Kebutuhan
Dalam pengembangan agropolitan berbasis agroindustri terdapat beberapa pihak yang secara langsung maupun secara tidak langsung terlibat di dalamnya. Analisis kebutuhan masing-masing pihak merupakan permulaa pengkajian dari pendekatan suatu system. Pada analisis kebutuhan ditentukan kebutuhan dari pihak-pihak terkait yang merupakan pelaku sistem pengembangan agropolitan, seperti yang diperlihatkan pada Tabel 8.
64
Tabel 8 Analisis kebutuhan pengembangan agropolitan berbasis agroindustri No.
Pihak
Kebutuhan
1
Petani
2
Agroindustri
3
Dinas Perindustrian dan Perdagangan
4
Dinas Koperasi dan Pembinaan Usaha Kecil Menegah
5
Lembaga Keuangan
6
Pemerintah Daerah
7
Pemerintah Pusat
8
Pedagang
9
Masyarakat
- Harga jual komoditi yang stabil dan layak - Peningkatan pendapatan dan kesejahteraan - Jaminan Pemasaran - Bimbingan teknis/teknologis - Peningkatan keuntungan perusahaan - Penurunan biaya produksi - Kontinuitas bahan baku - Peningkatan produktifitas - Kemudahan memperoleh kredit dan pinjaman - Kelayakan usaha - Peningkatan kualitas komoditi pertanian serta produk olahannya - Peningkatan devisa negara - Peningkatan pangsa pasar dan daya saing produk komoditi Pertanian - Peningkatan kesadaran kehidupan berkoperasi di kalangan petani - Pengembangan usaha koperasi - Peningkatan peran koperasi dalam mensejahterakan masyarakat perdesaan - Tingkat suku bunga yang memadai - Pengembalian kredit yang lancar - Terjaminnya modal yang diinvestasikan - Peningkatan lapangan pekerjaan - Peningkatan investasi daerah - Peningkatan sarana dan prasarana daerah - Pemerataan pembangunan nasional - Peningkatan pertumbuhan perekonomian nasional - Kesejahteraan masyarakat Indonesia - Peningkatan keuntungan - Kemudahan dalam kegiatan perdagangan - Harga jual produk yang menguntungkan - Kesempatan kerja - Kelestarian lingkungan terjaga - Peningkatan sarana dan prasarana - Lingkungan sosial budaya terjaga
6.2.3 Formulasi Permasalahan Dalam Pengembangan kawasan agropolitan berbasis agroindustri, maka beberapa permasalahan yang harus diputuskan adalah sebagai berikut: a. Penetapan pusat agropolitan yang berfungsi sebagai berikut: -
Pasar konsumen produk pertanian
-
Pusat perdagangan dan transportasi pertanian
-
Pusat pengolahan produk pertanian
-
Penyedia pekerjaan non pertanian
65 b. Penetapan unit-unit kawasan pengembangan yang berfungsi sebagai berikut: -
Pusat Produksi Pertanian
-
Intensifikasi pertanian
-
Pusat pendapatan perdesaan dan permintaan untuk barang dan jasa
-
Produksi pertanian siap jual
c. Penetapan agroindustri unggulan dan kemungkinan pengembangannya -
Merupakan agroindustri unggulan yang didukung oleh sektor hilirnya
-
Didukung oleh kegiatan agribisnis yang banyak melibatkan pelaku dan masyarakat yang paling besar (sesuai dengan kearifan lokal)
-
Keselarasan agroindustri yang ramah lingkungan, sehingga secara sosial mampu memberikan manfaat bagi sebagian besar penduduk sekitar.
-
Mempunyai skala ekonomi yang memungkinkan untuk dikembangkan dengan orientasi ekspor
-
Jaminan hasil produksi yang mengandung nilai tambah yang tinggi yang mampu menembus standar kualitas pasar termasuk pasar internasional
d. Dukungan infrastruktur Dukungan infrastruktur berupa jaringan jalan, irigasi, sumber-sumber air dan jaringan utilitas (listrik dan telekomunikasi). e. Dukungan sistem kelembagaan -
Dukungan kelembagaan pengelola pengembangan kawasan agropolitan yang merupakan bagian dari Pemerintah Daerah
-
Pengembangan sistem kelembagaan yang mendukung proses kerjasama (kemitraan) yang mampu memberikan tingkat keuntungan yang optimal bagi semua pelaku yang terlibat dalam usaha bersama
-
Sistem kelembagaan yang mampu merealisasikan konsep kerjasama dalam format agropolitan terpadu yang mampu menata kepemilikan atas asset dari masing-masing pihak yang berpartisipasi, dengan pembagian (distribusi) manfaat yang adil.
-
Kelembagaan yang mampu mengelola jalannya proses dari hulu hingga akhir perdagangan, melibatkan semua pihak yang berkepentingan
66 6.2.4 Identifikasi Sistem Identifikasi sistem dapat dilakukan dengan cara menggambarkan sistem yang dikaji dalam bentuk diagram input output.
Diagram input output pada
prinsipnya menggunakan hubungan antar komponen di dalam pengembangan kawasan agropolitan. Diagram tersebut dapat dilihat pada Gambar 16 dan selanjutnya diagram tersebut akan digunakan sebagai dasar pengembangan pemodelan.
INPUT LINGKUNGAN: 1. Kebijakan pemerintah (GBHN, Peraturan, UU) 2. Peraturan perdagangan dunia (WTO) 3. Kerjasama ekonomi antar kawasan (AFTA, APEC)
1. 2. 3. 4.
OUTPUT DIKEHENDAKI: 1. Peningkatan nilai tambah 2. Peningkatan daya saing 3. Peningkatan lapangan kerja 4. Peningkatan investasi / kerjasama 5. Peningkatan pendapatan & kesejahteraan 6. Percepatan pembangunan perdesaan
INPUT TIDAK TERKENDALI: Permintaan pasar Fluktuasi harga komoditi Tingkat suku bunga Sosial budaya, demografi dan Geografi
MODEL PENGEMBANGAN AGROPOLITAN BERBASIS AGROINDUSTRI INPUT TERKENDALI : 1. Infrastruktur, sarana dan prasarana 2. Mutu komoditi 3. Teknologi budidaya 4. Teknologi proses produksi 5. Sistem Produksi 6. Pinjaman modal /investasi
OUTPUT TIDAK DIKEHENDAKI : 1. Kerusakan lingkungan 2. Kelebihan produksi 3. Produktivitas rendah 4. Kerugian usaha 5. Konflik sosial
Manajemen Kawasan Agropolitan
Gambar 16 Diagram input output model pengembangan kawasan agropolitan berbasis agroindustri
6.3 Pengembangan Sistem Berdasarkan kerangka pemikiran konseptual pemikiran, diketahui bahwa pendekatan sistem digunakan untuk merekayasa sistem yang dapat membantu dalam pengembangan agropolitan berbasis agroindustri. Untuk mewujudkan hal tersebut
maka
dilakukan
tahapan-tahapan
penelitian
mengikuti
tahapan
pengembangan sistem yang diajukan Turban (1990). Tahapan-tahapan tersebut
67 adalah sebagai berikut: 1) tahap perencanaan, 2) tahap penelitian, 3) tahap analisis, 4) tahap rekayasa (konstruksi, dan 5) tahap desain, 6) tahap implementasi, dan 7) tahap pemeliharaan.
6.3.1 Tahap Perencanaan Perencanaan pada dasarnya berkaitan dengan need assessment dan diagnosa masalah.
Dalam proses perencanaan, ditentukan tujuan Sistem
Pengambilan Keputusan (SPK) intelijen serta keputusan-keputusan kunci (key decision) yang akan digunakan dalam SPK intelijen.
6.3.2 Tahap Penelitian dan Analisis Data Tahap ini melibatkan identifikasi pendekatan yang relevan untuk mengetahui kebutuhan pemakai dan ketersediaan sumber daya (perangkat keras, perangkat lunak, vendor, sistem, studi-studi dan pengalaman yang berkaitan dengan organisasi lain, dan menelaah riset yang relevan). Pada tahap analisis ditentukan pendekatan terbaik dan sumberdaya spesifik yang diperlukan dalam pelaksanaan sistem, meliputi sumberdaya teknis, staf keuangan dan organisasi.
6.3.3 Tahap Konstruksi Tahap konstruksi adalah tahapan yang merancang konfigurasi modelmodel pengambilan keputusan, jenis-jenis database, basis pengetahuan dan dialog (user interface) sebagai komponen dari sistem pendukung keputusan intelijen (intelligent decision support sistem). 6.3.4 Tahap Desain Spesifikasi detail dari komponen sistem, struktur dan fitur ditentukan dalam tahap ini. Proses desain dibagi dalam bagian-bagian yang berhubungan erat dengan komponen utama SPK intelijen, yaitu sub sistem manajemen basis data, sub sistem manajemen basis model, sub sistem akuisisi pengetahuan, mesin inferensi, dan sub sistem dialog. Dalam proses ini dipilih sarana dan pembangkit perangkat lunak (seperti manajemen basis data dan grafik) yang digunakan.
68 6.3.5 Tahap Validasi dan Implementasi Sistem Validasi operasional sistem merupakan tahapan dari pengembangan sistem yang melakukan pengujian model dengan menggunakan data empiris dan operasional.
Validasi
operasional
merupakan
langkah
perbaikan
dan
penyempurnaan model dan sistem yang dikembangkan (Simatupang 1994; Sargent 2007). Pada akhir tahap konstruksi, sistem telah siap untuk diterapkan dalam dunia nyata. Dalam tahap implementasi, beberapa kegiatan perlu dilakukan dalam waktu yang bersamaan sebagai berikut: a.
Pengujian data mengenai kinerja sistem dikumpulkan dan dibandingkan dengan spesifikasi desainnya.
b.
Evaluasi, sistem dievaluasi untuk melihat sejauh mana sistem dapat memenuhi keinginan pengguna. Testing dan evaluasi pada umumnya menciptakan perubahan dalam desain dan konstruksi.
Proses ini
merupakan proses yang berulang kali (siklus). c.
Demonstrasi kemampuan sistem yang telah beroperasi penuh kepada pengguna merupakan tahap yang penting.
Dengan demonstrasi,
diharapkan pengguna dapat dengan baik menerima sistem. d.
Penyebaran sistem yang telah beroperasi penuh kepada seluruh anggota dalam komunitas pengguna.
6.4 Pengumpulan dan Pengolahan Data Pengumpulan dan pengolahan data dilakukan dengan metode studi pustaka dan survei lapangan. Survei lapangan ditujukan untuk memperoleh data primer dengan cara observasi, wawancara dan pengisian kuesioner.
Survey pada
penelitian ini berorientasi terhadap pengumpulan pengetahuan (knowledge acquisition) atau domain keahlian tertentu dari pakar dan pihak terkait dengan penelitian ini. Hal ini sesuai dengan kaidah yang dianut dalam pengembangan sistem pakar yang merupakan bagian dari SPK intelijen yang direkayasa. Pakar yang dilibatkan dapat dibagi menjadi empat kelompok, yaitu: 1) Pakar yang menyelesaikan pendidikan formal S2/S3 pada bidang yang dikaji, 2) pakar yang berpengalaman pada bidang yang dikaji, tetapi memiliki pendidikan formal di bidang lain, 3) pakar yang berpendidikan formal dan berpengalaman pada bidang
69 yang dikaji, dan 4) pakar yang berasal dari praktisi di dalam kehidupan sehari-hari (kaya akan pengalaman empiris). Tahap pengumpulan dan pengolahan data dilakukan untuk memvalidasi sistem yang telah dikembangkan sehingga dapat ditentukan pusat agroplitan, komoditi unggulan dan sentra produksinya, produk prospektif
berdasarkan
potensi pasar, teknologi, nilai tambah dan kelayakan finansialnya, dan kemudian ditentukan pula sarana prasarana serta pola kerjasama atau kelembagaan yang dapat menunjang pengembangan agropolitan. Tahapan pengumpulan dan pengolahan data dapat dilihat pada Gambar 17.
MULAI Penentuan Komoditi Tanaman Pangan & Horti Unggulan Alat Analisis: IPE satu peubah Penentuan Produk Agroindustri Prospektif Alat Analisis: Analytical Network Process /ANP Perancangan Agroindustri Prospektif Alat Analisis: forecasting, NPV, IRR, B/C Tidak
Layak Ya
Pengklasteran Wilayah Agropolitan Alat Analisis: Clustering Analysis Penentuan Pusat Agropolitan & Wilayah Pendukungnya Alat Analisis: Sistem Pakar Penentuan Pola Kelembagaan Alat Analisis: Analytical Network Process Penentuan Prasarana Alat Analisis: IPE dua peubah
SELESAI
Gambar 17 Diagram alir tahapan pengolahan data
6.4.1 Penentuan Komoditi Tanaman Pangan dan Hortikultura Unggulan Pemilihan komoditi unggulan dilakukan terhadap komoditi-komoditi tanaman pangan dan hortikultura dengan menggunakan metode Multi ExpertMulti Criteria Decision Making (ME-MCDM).
Seleksi komoditi unggulan
dilakukan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, sehingga dihasilkan
70 komoditi yang diunggulkan dan selanjutnya
ditentukan wilayah sentra
produksinya. ME-MCDM model Multi Expert-Multi Criteria Decision Making (MEMCDM) untk pengambilan keputusan dengan banyak kriteria secara berkelompok menggunakan penilaian non-numeric atau linguistic label.
Teknik evaluasi
pilihan bebas (Independent Preference Evaluation/IPE) merupakan salah satu cara untuk pengambilan keputusan dengan kaidah teori gugus tidak pasti (fuzzy set theory).
Teknik tersebut untuk mengevaluasi kesukaan atau pilihan yang dapat
ditempuh dengan
metode perhitungan non-numerik.
Langkah-langkah
perhitungan dapat dilihat pada Bab 4 Pendekatan Sistem.
6.4.2 Penentuan Pusat Agropolitan dan Wilayah Pendukungnya Model Penentuan Pusat Agropolitan menggunakan Clustering Analysis. Cluster analysis merupakan analisis variabel ganda yang dipergunakan untuk mengelompokkan n objek (dalam hal ini kecamatan) menjadi m gerombol (sehingga m
Kecamatan-kecamatan dalam gerombol yang sama akan
memiliki keragaman yang lebih homogen apabila dibandingkan dengan kecamatan-kecamatan dalam gerombol yang berlainan. Analisis gerombol dilakukan berdasarkan jarak antar skor total, sehingga kecamatan-kecamatan yang berada dalam cluster memiliki karateristik yang berdekatan. Analisis ini dipergunakan untuk mengelompokkan wilayah-wilayah berdasarkan data tingkat perkembangan dan kinerja perekonomian dan non perekonoian wilayah, tingkat ketimpangan distribusi pendapatan, transformasi struktur, dan potensi sumberdaya wilayah. Dari hasil analisis ini, seluruh kecamatan yang ada di kabupaten Probolinggo dikelompokkan menjadi beberapa kelompok yang dapat diketahui keunggulan masing-masing kelompok, sehingga dapat diketahui kalster mana yang terbaik dan kemudian dijadikan sebagai pusat agropolitan.
6.4.2.1 Analisis Tingkat Perkembangan Aspek Non Ekonomi Analisis perkembangan aspek non ekonomi dilakukan terhadap beberapa variabel dalam aspek sosial dan lingkungan. Indikator-indikator yang digunakan
71 untuk mengetahui tingkat perkembangan wilayah dalam aspek sosial meliputi kependudukan, pendidikan dan kesehatan.
6.4.2.2 Analisis Pemusatan Ekonomi Wilayah Location quotient merupakan metode analisis yang umum digunakan dalam ekonomi geografi.
Analisis ini digunakan untuk menunjukkan lokasi
pemusatan aktyivitas dan mengetahui kapasitas ekspor perekonomian wilayah serta kecukupan barang/jasa dari produksi lokal suatu wilayah.
Nilai LQ
merupakan indeks untuk membandingkan pangsa sub wilayah dalam aktivitas tertentu dengan pangsa total aktivitas tersebut dalam total aktivitas wilayah atau dapat dikatakan LQ didefinisikan sebagai rasio persentase aktivitas pada sub wilayah terhadap persentase aktivitas total terhadap wilayah yang diamati. Asumsi yang digunakan dalam analisis LQ adalah sebagai berikut: 1) kondisi geografis relatif seragam, 2) aktivitas bersifat seragam, dan 3) setiap aktivitas menghasilkan produk yang seragam. Rumus perhitungan LQ dapat dilihat pada Bab 7 Rekayasa Sistem.
6.4.2.3 Analisis Potensi Sumberdaya Wilayah Metode skalogram
dipakai untuk menganalisis hirarki pusat-pusat
pelayanan berdasarkan ketersediaan infrastruktur atau fasilitas-fasilitas pelayanan yang dimiliki. Asumsi yang digunakan adalah bahwa wilayah yang memiliki rangking tertinggi adalah lokasi yang dapat menjadi pusat pelayanan. Berdasarkan analisis ini dapat ditentukan prioritas pengadaan sarana dan prasarana si setiap unit wilayah yang dianalisis. Indikator yang digunakan dalam analisis skalogram adalah jumlah penduduk, jumlah jenis, jumlah unit serta kualitas fasilitas pelayanan yang dimiliki masing-masing kecamatan.
6.4.3 Pemilihan Agroindustri Prospektif Pemilihan dan perancangan agroindustri yang menghasilkan produk prospektif dilakukan berdasarkan aspek pemasaran, aspek teknologi, peningkatan nilai tambah, aspek finansial, dan dampak sosial ekonomi masyarakat. Pemilihan agroindustri prospektif dilakukan agar investasi yang direncanakan dapat berjalan
72 lancar dan selain akan memberikan peningkatan usaha dan laba perusahaan, diharapkan berdampak secara ekonomis terhadap masyarakat sekitar. Metode yang digunakan untuk pembobotan kriteria dan pembobotan prioritas agroindustri adalah ANP. Metode ANP berguna pada perusahaan besar atau sektor publik yang memerlukan pengambilan keputusan dalam jumlah informasi, interaksi serta feedback yang banyak dan memiliki tingkat kompleksitas tinggi. Sebagai metode pengembangan dari metode AHP, ANP masih menggunakan cara Pairwise Comparison Judgement Matrices (PCJM) antar elemen yang sejenis. Perbandingan berpasangan dalam ANP dilakukan antar elemen dalam komponen/kluster untuk setiap interaksi dalam network Saaty (1996) dan Saaty (2001). Tahap ini dilakukan dengan menganalisis peluang pasar berdasarkan kecenderungan permintaan dan tingkat persaingan pada alternatif produk, kemudian
analisis
teknologi
dilakukan
terhadap
tingkat
investasi
pengadaannya serta tingkat penguasaan dan penggunaan teknologi.
dan
Analisis
finansial menggunakan metode NPV, IRR, dan B/C dimana rumus yang digunakan dijelaskan pada Bab Rekayasa Sistem.
6.4.4 Penentuan Pola Kerjasama dan Kelembagaan Penentuan pola kerjasama dan kelembagaan dilakukan berdasarkan data mengenai budaya masyarakat, kebutuhan masyarakat, dan biaya transformasi ekonomi.
Menurut Pranadji (2003), Kebutuhan masyarakat dikaitkan dengan
kebutuhan terhadap pengembangan dan adopsi teknologi, kebutuhan terhadap kegiatan ekonomi, kegiatan sosial (pengurangan kesenjangan lapangan kerja, peluang berusaha, dan pemerataan pendapatan), kebutuhan akan kegiatan hukum dan politik, serta kebutuhan akan ekolosistem dan sumberdaya. Menurut Haris (2006), Biaya transformasi ekonomi terdiri dari biaya informasi, biaya negoisasi dan biaya penegakan aturan. Metode yang digunakan untuk pembobotan kriteria dan pembobotan prioritas pola kerjasama dan kelembagaan adalah ANP.
73 6.4.5 Penentuan Penyediaan Sarana dan Prasarana Penentuan penyediaan sarana dan prasarana dilakukan berdasarkan topografi (bukit, lembah, gunung), geologi tanah dan batuan, sistem drainase (persawahan dan pemukiman), meteorologi atau iklim, potensi material (batuan dan pasir), lingkungan hidup dan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Data dilengkapi dengan peta jaringan jalan dan sungai, peta land use, dan peta tanah sub wilayah pengembangan Kabupaten. Metode penentuan pengembangan sarana prasarana yang digunakan untuk pembobotan kriteria dan pembobotan prioritas penyediaan sarana dan prasarana adalah dengan pendekatan ME-MCDM menggunakan teknik Independent Preference Evaluation / IPE dua peubah.
7 REKAYASA SISTEM
7.1 Konfigurasi Sistem Sistem Pendukung Keputusan Intelijen untuk pengembangan agropolitan berbasis agroindustri dirancang dalam bentuk perangkat lunak komputer Visual Basic versi 6.0 (Microsoft USA, 1998) dan diberi nama SPK INTELIJEN AGROPOLITAN. Paket program SPK Intelijen Agropolitan terdiri dari lima komponen utama, yaitu: sub sistem manajemen basis data, sub sistem manajemen basis model, sub sistem akuisisi pengetahuan, mesin inferensi, dan sub sistem dialog (modifikasi dari Turban 1990). Konfigurasi umumnya disajikan pada Gambar 18. Basis data
• • • • •
Sistem Manajemen Basis Data Data sosial-demografi dan perekonomian Data produksi pertanian Data industri Data permintaan/ perdagangan Data sarana prasarana Subsistem Akuisisi Pengetahuan Fakta Aturan Perekayasa pengetahuan
Basis pengetahuan Intelijensi Mesin inferensi Penalaran /Inference Pengendalian/Control Supervisor
Basis model
• • • • •
Sistem Manajemen Basis Model Komoditi unggulan Pusat agropolitan Agroindustri prospektif Sarana dan prasarana Pola kelembagaan Pusat pengelola intelijen
Penghubung bahasa Subsistem dialog natural Pengguna
Gambar 18 Konfigurasi model pengembangan kawasan agropolitan berbasis agroindustri
Model SPK Intelijen Agropolitan diaplikasikan dalam bentuk sistem berbasis komputer yang dirancang agar pengguna dapat berinteraksi langsung dalam formulasi pemrograman suatu SPK Intelijen dimana memungkinkan untuk mengakuisisi pengetahuan pakar ke dalam sistem.
76 7.2 Desain Sistem 7.2.1 Sistem Manajemen Dialog Sistem manajemen dialog merupakan komponen yang dirancang untuk mengatur dan mempermudah interaksi antara model (program komputer) dan pengguna (user) menggunakan masukan dari basis data langsung maupun data file. Masukan dari pengguna berupa parameter, pengetahuan dan pilihan skenario, sedangkan keluaran yang diberikan berupa informasi dalam bentuk tabel dan pernyataan yang mudah dipahami.
7.2.2 Sistem Manajemen Basis Data Sistem Manajemen basis data digunakan untuk memberikan fasilitas pengelolaan data seperti pemasukan data, menampilkan data, memperbaiki data, menghapus data, dan mengeksekusi data. Jenis-jenis data yang dikelola pada SPK Intelijen Agropolitan adalah sebagai berikut:
7.2.2.1 Basis data seleksi komoditi tanaman pangan dan hortikultura unggulan. Data kriteria (faktor) penentu komoditi tanaman pangan dan hortikultura unggulan meliputi 1) tingkat pendapatan dari usaha komoditi, 2) kontribusi produksi
terhadap
perekonomian,
3)
laju
pertumbuhan
produksi
yang
menunjukkan bahwa komoditi tersebut diterima dan berkembang di masyarakat atau secara sosial dapat diterima oleh masyarakat, 4) kemampuan bersaing komoditi, 5) kemampuan komoditi menyediakan kesempatan kerja, 6) pemenuhan kebutuhan domestik, sedangkan untuk menentukan wilayah sentra produksinya, kriteria yang digunakan adalah 1) tingkat kesesuaian agroekologi, 2) ketersediaan areal setempat, 3) kemampuan pengembangan areal, 4) kondisi dan ketersediaan sarana prasarana, 5) jarak dengan pusat agropolitan, 6) kondisi dan ketersediaan tenaga kerja.
7.2.2.2 Basis data penentuan pusat agropolitan. Data kriteria (faktor) penentu pusat agropolitan meliputi tingkat perkembangan dan kinerja perekonomian dan non ekonomi wilayah (kecamatan),
77 tingkat ketimpangan distribusi pendapatan, transformasi struktural, potensi sumberdaya (alam, manusia, buatan, dan sosial), dan pemusatan ekonomi wilayah
7.2.2.3 Basis data seleksi agroindustri dengan produk prospektif. Data kriteria (faktor) penentu agroindustri prospektif meliputi peluang pasar, kemampuan teknologi, nilai tambah produk, dampak sosial ekonomi masyarakat dan kelayakan keuangan/finansial.
7.2.2.4 Basis data penentuan pola kerjasama dan kelembagaan. Data kriteria (faktor) penentu pola kerjasama dan kelembagaan meliputi budaya masyarakat,
kebutuhan masyarakat, dan biaya transformasi ekonomi.
Menurut Pranadji (2003), Kebutuhan masyarakat dikaitkan dengan kebutuhan terhadap pengembangan dan adopsi teknologi, kebutuhan terhadap kegiatan ekonomi, kegiatan sosial (pengurangan kesenjangan lapangan kerja, peluang berusaha, dan pemerataan pendapatan), kebutuhan akan kegiatan hukum dan politik, serta kebutuhan akan ekolosistem dan sumberdaya.
Menurut Haris
(2006), biaya transformasi ekonomi terdiri dari biaya informasi, biaya negoisasi dan biaya penegakan aturan.
7.2.2.5 Basis data penyediaan sarana dan prasarana. Data kriteria (faktor) penentu penyediaan sarana dan prasarana meliputi topografi (bukit, lembah, gunung), geologi tanah dan batuan, sistem drainase (persawahan dan pemukiman), meteorologi atau iklim, potensi material (batuan dan pasir), lingkungan hidup dan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Data dilengkapi dengan peta jaringan jalan dan sungai, peta land use, dan peta tanah sub wilayah pengembangan Kabupaten.
7.2.3 Sistem Akuisisi Pengetahuan Akuisisi pengetahuan merupakan suatu objek utama analisis dari pengembangan paket program SPK Intelijen Agropolitan yang keberadaannya didukung oleh sistem pengetahuan dasar yang berupa pendefinisian unsur (modelisasi masalah) dan struktur dasar (formalisasi penyajian) untuk
78 menginterpretasikan data (masukan informasi dari pemakai) dan memecahkan masalah (penyajian informasi ke pemakai) menurut tingkat kompleksitasnya. Sistem akuisisi pengetahuan dalam SPK Intelijen Agropolitan digunakan untuk menentukan mekanisme perencanaan tata ruang dan wilayah agropolitan dan mekanisme penerimaan kinerja agopolitan. Pengetahuan diperoleh melalui wawancara terhadap para pakar. Daftar pakar dapat dilihat pada Lampiran Teknik wawancara berupa observasi, diskusi masalah, diskripsi masalah, analisis permasalahan, tatacara perbaikan, tata cara pengujian, dan tata cara validasi.
Dari akuisisi pengetahuan maka diperoleh
kriteria dan bobotnya dalam setiap model pada SPK Intelijen Agropolitan.
7.2.4 Mesin inferensi Mesin inferensi adalah bagian yang memanipulasi dan mengarahkan pengetahuan, model dan fakta yang disimpan pada basis pengetahuan dalam rangka mencapai solusi atau kesimpulan.
Tugas utama dari mesin inferensi
adalah menguji fakta dan kaidah serta menambah fakta baru jika memungkinkan serta memutuskan perintah sesuai dengan hasil penalaran yang telah dilaksanakan. Terdapat dua strategi dalam mesin inferensi, yaitu strategi penalaran dan strategi pengendalian.
7.3 Sistem Manajemen Basis Model Sistem Manajemen Basis Model terdiri dari lima model yaitu: 1) model seleksi komoditi tanaman pangan dan hortikultura unggulan, 2) model penentuan pusat agropolitan, 3) model seleksi agroindustri prospektif, 4) model penentuan pola kerjasama dan kelembagaan, dan 5) model penentuan sarana dan prasarana.
7.3.1 Model Seleksi Komoditi Unggulan. Seleksi komoditi unggulan dilakukan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, sehingga dihasilkan komoditi tanaman pangan dan hortikultura yang diunggulkan dan selanjutnya ditentukan wilayah sentra produksinya. Metode yang digunakan untuk pembobotan kriteria dan pembobotan prioritas komoditi adalah
79 ME-MCDM. Diagram alir yang menggambarkan model ini dapat dilihat pada Gambar 19. • • • • •
Tingkat pendapatan produksi komoditi Kontribusi produksi Laju pertumbuhan produksi komoditi Kemampuan bersaing Kemampuan komoditi menyediakan kesempatan kerja • Pemenuhan kebutuhan domestik Penentuan prioritas kriteria pemilihan komoditi unggulan dengan IPE peubah tunggal • Alternatif komoditi unggulan • Bobot masing-masing kriteria • Skor relatif setiap alternatif komoditi unggulan pada setiap kriteria Penentuan prioritas komoditi unggulan Urutan prioritas komoditi unggulan
Gambar 19. Diagram alir model seleksi komoditi unggulan
7.3.2 Model Penentuan Pusat Agropolitan. Clustering Analysis digunakan untuk mengelompokkan wilayah-wilayah berdasarkan data tingkat perkembangan dan kinerja perekonomian dan non perekonomian wilayah, tingkat ketimpangan distribusi pendapatan, transformasi struktur, dan potensi sumberdaya wilayah. Analisis mengenai karakteristik setiap kluster dilakukan untuk mendukung sistem pakar. Sistem pakar digunakan untuk mengetahui mekanisme perencanaan wilayah agropolitan dalam menentukan pusat agropolitan beserta wilayah pendukung sebagai sentra-sentra produksinya. Diagram model penentuan pusat agropolitan secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 20, sedangkan prosedur umum yang digunakan untuk analisis adalah seperti yang diuraikan di bawah ini.
80
Total Shift,Specialization Index, Ratio Gini, % TK, Rasio perkembangan kependudukan, pendidikan & kesehatan, Location Quotient, Skalogram, Indeks fasilitas, Jarak dengan pasar, Jarak sentra produksi Akuisisi pengetahuan pakar Representasi Pengetahuan
Analisis potensi SD manusia Analisis potensi SD buatan & sosial i Analisis potensi industri
Pengklasteran wilayah
Analisis potensi SD Pertanian Analisis kesesuaian agroekologi & lahan Mekanisme penentuan pusat agropolitan & wilayah pendukung Pusat agropolitan dan wilayah pendukungnya (sentra produksi)
Gambar 20 Diagram alir model penentuan pusat agropolitan
Prosedur umum analisis klaster yang digunakan dalam model ini adalah sebagai berikut (Anderberg, 1973): 1. Berawal dengan N klaster yang memiliki satu permasalahan(klaster 1 hingga klaster N). 2. Diketahui yang paling serupa adalah klater p dan q (p>q). Dimana kesesuaian dinotasikan S pq . Jika ukuran ketidaksesuaian digunakan, nilai yang tinggi menunjukkan ketidaksesuaian.
Jika sebuah ukuran kesesuaian digunakan,
nilai yang kecil menunjukkan ketidaksesuaian. 3. Hilangkan satu per satu anggota klaster dengan menggabungkan klaster p dan q. Namakan klaster yang baru r (=q) dan perbaharui matriks kesesuaian (dengan metode yang dipilih) untuk menunjukkan perbaikan kesesuaian atau ketidaksesuaian antara klaster t dan semua klaster lainnya. Hilangkan baris dan kolom dari S yang berhubungan dengan klaster p. 4. Ulangi kedua langkah sebelumnya hingga semua anggota berada pada satu klaster
81 5. Untuk setiap metode, kesesuaian dan ketidaksesuaian matiks S diperbaharui untuk menunjukkan perbaikan kesesuaian dan ketidaksesuaian (S pq ) antara klaster baru Metode yang digunakan untuk memilih anggota klaster dalam model ini adalah Average Linkage Between Groups (Anderberg, 1973). Langkah-langkah perhitungan dalam metode ini adalah sebagai berikut: Sebelum penggabungan awal, jika N i =1 dimana i=1 sampai N Perbaharui S tr dengan:
S tr =S pr +S qr
Perbaharui N t dengan:
N t =N p +N q
Kemudian tentukan hubungan yang paling sesuai dengan: S ij /(N i N j )
7.3.2.1 Sub Model Tingkat Perkembangan Aspek Non Ekonomi. Pada model ini dihitung perkembangan aspek demografi, pendidikan dan kesehatan. Dalam aspek demografi, analisis dilakukan terhadap data jumlah, dan pertumbuhan penduduk, kepadatan, angka kelahiran – kematian, dan rasio ketergantungan.
Dalam aspek pendidikan beberapa hal yang akan dicermati
meliputi angka melek huruf, angka partisipasi masyarakat dalam bidang pendidikan, rasio murid-guru, rasio murid-sekolah, persentase jumlah pendududk dengan penduduk dengan pendidikan tinggi, dan persentase penduduk lulus SD dengan tidak lulus SD. Aspek kesehatan meliputi tingkat kematian bayi, jumlah penduduk-puskesmas, dan rasio balita-posyandu.
7.3.2.2 Sub Model Pemusatan Ekonomi Wilayah. Pemusatan aktivitas pertanian dilakukan dengan analisis Location Quotient (LQ) terhadap produksi beberapa komoditi tanaman pangan dan hortikultura di Kabupaten Probolinggo.
Interpretasi hasil analisis LQ adalah
sebagai berikut: a. Apabila nilai LQ ij >1, hal ini menunjukkan bahwa terjadi konsentrasi suatu aktivitas atau pemusatan di sub wilayah ke-i (kecamatan) secara relatif dibandingkan dengan total wilayah (kabupaten) b. Apabila nilai LQ ij =1, hal ini menunjukkan bahwa wilayah ke-i (kecamatan) mempunyai pangsa aktivitas setara dengan pangsa total c. Apabilai nilai LQ ij <1, hal ini menunjukkan sub wilayah tersebut mempunyai pangsa relatif lebih kecil dibandingkan dengan aktivitas yang secara umum ditemukan di seluruh wilayah.
82
Nilai LQ diketahui dengan rumus sebagai berikut (Budiharsono, 1995): X ij LQij =
X i. X.j X ..
Dimana: LQ = Nilai LQ untuk aktivitas ke-j di wilayah ke-i Xij = Derajat aktivitas ke-j pada wilayah ke-i Xi. = Derajat aktivitas total pada wilayah ke-i X.. = Derajat aktivitas total wilayah X.j = Derajat aktivitas ke-j pada total wilayah i = Wilayah/kecamatan yang diteliti j = Aktivitas ekonomi yang dilakukan 7.3.2.3 Sub Model Potensi Sumberdaya Wilayah. Peringkat kecamatan disusun urutannya berdasarkan jumlah total fasilitas yang dimiliki baik dari jumlah jenis maupun jumlah unit fasilitas pada masingmasing wilayah tersebut. Nilai yang digunakan dalam analisis komponen utama dari variabel sumberdaya buatan ini adalah nilai indeks fasilitas yang dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Budiharsono 1995): Fij a IF j = ∑ × i N i =1 b j m
Dimana: IFj = Indeks fasilitas pada wilayah ke-j Fij = Jumlah fasilitas ke-I pada wilayah ke-j bj = Jumlah total fasilitas di wilayah ke-j ai = Jumlah lkecamatan yang memiliki fasilitas m = Jenis fasilitas yang ada N = Jumlah kecamatan secara keseluruhan 7.3.3 Model Seleksi Agroindustri Prospektif. Seleksi produk tanaman pangan dan hortikultura prospektif dilakukan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, sehingga dihasilkan agroindustri tanaman pangan dan hortikultura yang prospektif. Metode yang digunakan untuk
83 pembobotan kriteria dan pembobotan prioritas agroindustri tanaman pangan dan hortikultura adalah ANP. Diagram alir model ini dapat dilihat pada Gambar 21. • Peluang pasar (prediksi permintaan, tingkat persaingan, distribusi) • Teknologi (tingkat penguasaan teknologi, investasi teknologi, kemampuan teknologi menghasilkan produk berkualitas) • Nilai tambah produk • Dampak sosial ekonomi masyarakat (penyediaan lapangan kerja, pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat) Penentuan prioritas kriteria produk prospektif dengan ANP • Alternatif produk prospektif • Bobot masing-masing kriteria • Skor relatif utk setiap produk prospektif utk setiap kriteria Penentuan prioritas produk prospektif dengan ANP Urutan prioritas produk prospektif
Perancangan agroindustri • Prediksi permintaan • Kapasitas dan teknologi agroindustri • Struktur biaya agroindustri dan prediksi cash flow Penentuan kelayakan finansial dengan NPV, IRR, B/C Layak?
Ya Predikat kelayakan usaha agroindustri
Gambar 21 Diagram alir model penentuan agroindustri prospektif
Setelah diketahui agroindustri prospektif, maka dilakukan perancangan kapasitas agroindustri berdasarkan prediksi pasar dan kemudian dilakukan analisis kelayakan finansial. Metode NPV, B/C, dan IRR digunakan untuk menganalisis kelayakan finansial. 7.3.3.1 Sub Model Prediksi Permintaan Berdasarkan data permintaan masa lalu, maka dilakukan peramalan permintaan di masa datang. Metode peramalan yang digunakan adalah Metode Simulasi Monte Carlo dengan distribusi normal, eksponensial dan empiris, dan Metode Time Series yang terdiri dari rata-rata bergerak tunggal, rata-rata bergerak ganda, pemulusan eksponensial, regresi pangkat tiga, regresi pangkat dua (kuadratik) dan regesi linear.
84 7.3.3.2 Sub Model Kelayakan Finansial. Analisis kelayakan usaha ditinjau dari aspek finansial dapat menggunakan tiga metode yang akan dipertimbangkan dalam penilaian aliran kas dari suatu investasi, yaitu metode Net Present Value (Nilai Sekarang Bersih), Internal Rate of Return (Analisis Laju Pengembalian) dan Benefit Cost Ratio (Rasio Manfaat Biaya). a) Net Present Value (NPV) Net Present Value atau Nilai Sekarang Bersih adalah selisih antara Present Value (PV) atau nilai sekarang dari investasi dengan nilai sekarang dari penerimaan-penerimaan kas bersih (aliran kas operasional maupun aliran kas terminal) di masa yang akan datang. Untuk menghitung nilai sekarang perlu ditentukan tingkat bunga yang relevan. Rumus yang digunakan untuk menentukan nilai NPV adalah sebagai berikut: NPV = PV Penerimaan – PV Biaya Dimana : NPV = Net Present Value atau nilai sekarang bersih PV = Present Value atau nilai sekarang Kriteria Penilaian : Jika NPV > 0, investasi dinyatakan layak Jika NPV < 0, investasi dinyatakan tidak layak b) Internal Rate of Return (IRR) Internal Rate of Return (IRR) atau Laju Pengembalian, dari suatu investasi dapat didefinisikan sebagai tingkat suku bunga yang akan menyebabkan nilai ekivalen biaya/investasi sama dengan nilai ekivalen penerimaan. Menghitung IRR pada dasarnya adalah menentukan i sedemikian rupa sehingga persamaan berikut berlaku: 1. Net Present Value =0 2. PV Penerimaan – PV Biaya = 0 PV Penerimaan 3. =1 PV Biaya Nilai IRR dapat dicari dengan cara coba-coba dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Umar, 1997):
85
IRR = r Dimana : IRR rr+ NPV+ NPV-
+
− NPV + + + ( r − r ) x + − NPV − NPV
= tingkat bunga yang dicari harganya (%) = Tingkat bunga yang membuat NPV negatif (%) = Tingkat bunga yang membuat NPV positif (%) = Net Present Value positif (Rp.) = Net Present Value negatif (Rp.)
Kriteria Penilaian : Jika IRR > bunga bank yang ditentukan maka investasi dinyatakan layak dan bila sebaliknya dinyatakan tidak layak.
c) Benefit Cost Ratio (B/C) Benefit Cost Ratio (B/C) atau Rasio Manfaat Biaya
merupakan
perbandingan antara nilai ekivalen manfaat dengan nilai ekivalen biaya yang dirumuskan sebagai berikut: B/C =
Nilai Sekarang Manfaat Nilai Sekarang Biaya
Kriteria untuk menerima atau menolak suatu proyek adalah sebagai berikut : proyek dinyatakan layak bila B/C > 1 dan ditolak bila sebaliknya. 7.3.4 Model Penentuan Pola Kerjasama dan Kelembagaan. Penentuan pola kerjasama dan kelembagaan dilakukan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, sehingga dihasilkan pola kerjasama dan konsep kerjasama yang dapat mendukung pengembangan agropolitan.
Metode yang digunakan
untuk pembobotan kriteria dan pembobotan prioritas pola kerjasama dan kelembagaan adalah ANP. Diagram alir model penentuan pola kerjasama dan kelembagaan dapat dilihat pada Gambar 22.
86 • Budaya dan Potensi masyarakat (potensi SDM, potensi budaya) • Kebutuhan masyarakat (teknologi, ekonomi, sosial, hukum & politik, ekologi & sumberdaya alam) • Biaya Kelembagaan (biaya transformasi ekonomi. biaya informasi, biaya negoisasi dan biaya penegakan aturan). Penentuan prioritas kriteria pemilihan pola kerjasama dan kelembagaan • Alternatif kelembagaan • Bobot masing-masing kriteria • Skor relatif setiap alternatif kelembagaan pada setiap kriteria Penentuan prioritas pola kerjasama dan kelembagaan
Urutan prioritas pengembangan kelembagaan
Gambar 22 Diagram alir model pola kerjasama dan kelembagaan
7.3.5 Model Penentuan Penyediaan Sarana dan Prasarana. Penentuan penyediaan sarana dan prasarana dilakukan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, sehingga dihasilkan prasarana dan sarana apa dan dimana yang harus disediakan. Metode yang digunakan untuk pembobotan kriteria dan pembobotan prioritas
penyediaan sarana dan prasarana adalah ME-MCDM.
Diagram alir model penentuan sarana dan prasarana dapat dilihat pada Gambar 23.
7.4 Migrasi dan Keterbatasan Model Berdasarkan lokasi / tempat implementasi model yang dibangun, variabel model yang dibangun terdiri dari variabel umum dan variabel khusus, sedangkan interaksi antar variabel bersifat umum. Variabel umum adalah variabel yang tidak dipengaruhi tempat implementasi, sedangkan variabel khusus adalah variabel yang dipengaruhi oleh tempat implementasi. Variabel umum pada model seleksi komoditi unggulan adalah kriteria pemilihan, sedangkan variabel khususnya adalah alternatif komoditi. Pada model penentuan pusat agropolitan, kriteria adalah variabel umum sedangkan alternatif
87 (nama kecamatan) adalah variabel khusus. Model seleksi agroindustri prospektif memiliki variabel khusus dalam alternatif produk agroindustri, sedangkan kriteria termasuk variabel umum. Model pola umum kerjasama dan kelembagaan semua variabelnya adalah variabel umum yang dapat diimplementasikan pada tempat mana pun. Model penyediaan sarana prasarana memiliki variabel khusus pada alternatif sarana prasarana, sedangkan kriteria merupakan variabel umum.
Kriteria Keuntungan: - Aksesibilitas terhadap Pasar - Aksesibilitas terhadap pusat agropolitan - Aksesibilitas terhadap sentra-sentra produksi - Perbaikan perekonomian masyarakat sekitar - Perbaikan sosial budaya masyarakat sekitar - Peningkatan produktivitas pertanian - Peningkatan kualitas pemukiman Kriteria Biaya: - Keseimbangan ekologi dan lingkungan hidup - Biaya pengadaan sarana prasaana Penentuan prioritas kriteria pengembangan prasarana dengan IPE dua peubah
• Alternatif pengembangan sarana prasarana • Bobot masing-masing kriteria • Skor relatif setiap alternatif pd setiap kriteria Penentuan prioritas pengemb prasarana
Urutan prioritas pengadaan sarana prasarana
Gambar 23 Diagram alir model penyediaan sarana prasarana
Beberapa keterbatasan dalam model diantaranya adalah sebagai berikut: a) Model seleksi komoditi unggulan Alternatif yang digunakan adalah komoditi tanaman pangan dan hortikultura yang memiliki produksi delapan tertinggi diantara komoditi lainnya dan termasuk komoditi unggulan yang ditetapkan Propinsi Jawa Timur maupun Kabupaten Probolinggo (BPS Kab Probolinggo 2009).
88 b) Model penentuan pusat agropolitan -
Jumlah klaster dalam analisis klaster sumberdaya adalah lima. Jumlah klaster tersebut valid sesuai dengan analisis varian pada Lampiran 13.
-
Node yang digunakan dalam perencanaan adalah wilayah kecamatan.
-
Tata ruang yang dihasilkan adalah struktur ruang yang terdiri dari pusat agropolitan dan kawasan pendukung, sedangkan pola ruang tidak ditentukan dengan model ini, hanya menggunakan pola ruang yang telah ada dalam RTRW Kabupaten Probolinggo (BAPPEDA Kab Probolinggo 2000).
c) Model seleksi agroindustri prospektif, Asumsi yang digunakan dalam desain agropolitan diantaranya adalah: harga jagung Rp. 1.900,- per kg, harga etanol Rp. 7.000 per liter, suku bunga bank 14 % per tahun. Asumsi yang lain dapat dilihat pada hal 125. Untuk mengetahui pengaruh input tidak terkendali digunakan analisis sensitivitas yang dapat mengetahui pengaruh perubahan harga dan tingkat suku bunga. d) Model penentuan sarana dan prasarana. Alternatifnya ditentukan berdasarkan daftar usulan kegiatan pembangunan bidang fisik dan prasarana Kabupaten Probolinggo yang memiliki empat biaya terbesar (BAPPEDA Kab Probolinggo 2007).
8 VERIFIKASI DAN VALIDASI OPERASIONAL SPK INTELIJEN AGROPOLITAN
Menurut Sargent (2007), proses pemodelan terdiri dari identifikasi identifikasi permasalahan (sistem), pemodelan konseptual dan pemodelan komputer. Permasalahan diidentifikasi menjadi suatu sistem (nyata atau yang diinginkan), ide, situasi, kebijakan, atau gejala yang dimodelkan. Pemodelan konseptual adalah merumuskan matematika/logika/representasi verbal dari suatu permasalahan yang dikembangkan untuk dikaji.
Pemodelan komputer adalah
mengimplementasikan model konseptual ke model komputer. Model konseptual dikembangkan melalui analisis dan tahapan pemodelan, sedangkan model komputer dibangun melalui pemrograman komputer dan tahapan implementasi. Penyelesaian suatu permasalahan yang dimodelkan tergantung uji coba model komputer pada tahapan percobaan. Penjelasan secara sederhana hubungan validasi dan verifikasi dalam pemodelan dapat dilihat pada Gambar 24.
Permasalahan (Sistem) Validasi Operasional
Validasi Model Konseptual Percobaan
Model komputer
Validitas data
Analisis dan Pemodelan
Pemrograman komputer dan implementasi
Model konseptual
Verifikasi model komputer
Gambar 24 Proses pemodelan secara sederhana (Sargent 2007)
Hubungan model validasi dan verifikasi pada proses pemodelan secara sederhana adalah sebagai berikut: Validasi model konseptual adalah menentukan apakah teori-teori dan asumsi-asumsi dalam model konseptual sudah benar dan
90
mewakili permasalahan dan pemodelan.
Verifikasi model komputer adalah
memastikan apakah program komputer yang merupakan implementasi model konseptual sudah sesuai.
Validasi operasional adalah menentukan apakah
keluaran model sesuai dengan maksud dan tujuan pemodelan. Validitas data adalah memastikan kebutuhan data dalam pengembangan model, evaluasi model dan
percobaan,
serta
mengarahkan
percobaan
model
sehingga
dapat
menyelesaikan permasalahan dengan benar (Grady 1998; Sargent 2007). Menurut Suryadi dan Ramdhani (1998) langkah yang dapat dilakukan untuk mengetahui validitas model yang dirancang, yaitu melakukan perunutan secara terstruktur (walk trough) terhadap model yang dibuat dan berkonsultasi dengan ahli yang terkait dengan sistem yang dimodelkan. Hal lain yang perlu diperhatikan selama perunutan (1) asumsi-asumsi yang digunakan dalam model, (2) tingkat keakuratan model yang diinginkan. Uji coba program dilakukan untuk melakukan validasi. Cara yang dapat dilakukan untuk melaksanakan validasi program adalah sebagai berikut: 1
Menggunakan analisis sensitivitas untuk mengetahui aspek yang berpengaruh berdasarkan kriteria performansi yang telah ditentukan.
2
Membandingkan hasil simulasi dengan performansi di masa lalu (data historis). Jika hasil performansi tidak berbeda secara signifikan (berarti) maka model simulasi dikatakan valid. Validasi model konseptual dalam sistem intelijen pengembangan
agropolitan berbasis agroindustri dilakukan pada setiap model melalui pemeriksaan sederhana, yaitu dengan menjelaskan logika dan argumentasi mengapa variabel-variabel tersebut digunakan dalam model dan juga memeriksa bagaimana hubungan antar variabel dalam model. Validasi model konseptual sebagian dijelaskan pada sub bab setiap model pada Bab 6 Metode Penelitian dan Bab 7 Rekayasa Sistem. Pada model pemilihan komoditi unggulan, dijelaskan mengapa alternatif komoditi unggulan yang ditentukan adalah ubi kayu, jagung, mangga, semangka, alpukat, bawang merah, kentang, dan kubis.
Penentuan
alterternatif tersebut disebabkan karena kedelapan komoditi pangan dan hortikultura tersebut memiliki tingkat produksi tertinggi di Kabupaten Probolinggo.
91
Proses verifikasi model komputer sistem pendukung keputusan intelijen pengembangan agropolitan berbasis agroindustri dijelaskan pada Bab 5 Rekayasa sistem.
Proses verifikasi model komputer dilakukan dengan menentukan
spesifikasi model konseptual yang telah dikembangkan dan kemudian mengimplementasikan spesifikasi model menjadi pemrograman komputer / model komputer. Pada Bab 5 tersebut telah dipastikan bahwa spesifikasi dan model komputer telah sesuai dengan model konseptual yang dikembangkan. Proses validasi operasional dalam sistem intelijen pengembangan agropolitan berbasis agroindustri dilakukan dengan menguji model dengan data aktual yang diambil dari sistem nyata dalam hal ini adalah data di Kabupaten Probolinggo. Pada Bab ini dianalisis hasil keluaran model komputer yang dalam penelitian ini menggunakan Sistem Pendukung Keputusan Intelijen. Selain itu kembali diuraikan validasi konseptual dan verifikasi SPK untuk melengkapinya. Data yang digunakan dalam validasi operasional adalah data primer berupa pendapat para ahli dan data sekunder yang tersedia seperti jumlah penduduk, tingkat produksi komoditi dan sebagainya.
8.1 Model Pemilihan Komoditi Unggulan Komoditi unggulan dapat menjadi penggerak ekonomi di perdesaan. Dalam kawasan agropolitan adanya komoditi unggulan yang sesuai dengan pasar dan didukung oleh sumberdaya manusia dan potensi alamnya akan memberikan efek multiplier yang tinggi dan akan menjadi penggerak ekonomi bagi masyarakat apalagi jika komoditi unggulan ini dikelola dari hulu sampai hilir, dimana pengelolaan tidak hanya parsial pada budidaya (produksi) saja tetapi sampai pada proses pengolahan dan pemasarannya. Kabupaten Probolinggo dengan kondisi alamnya yang relatif subur menjadikan masyarakatnya hidup dari pengelolaan sumberdaya alam, terutama pertanian.
Tidak
kurang
dari
67,4
persen
penduduk
yang
bekerja
menggantungkan kehidupannya di bidang pertanian. Menurut BPS Kabupaten Probolinggo (2008), Pada tahun 2007 Pertanian merupakan kegiatan ekonomi yang memberikan kontribusi terbesar di Kabupaten Probolinggo (32,03 persen).
92
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Probolinggo telah mengembangkan pola intensifikasi, diversifikasi, dan rehabilitasi secara terpadu sebagai strategi untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Disamping itu, bentuk pengembangan di atas diterapkan sebagai upaya mencegah terjadinya kerugian petani akibat kelebihan produksi yang hanya menurunkan harga pasar dan menunjang program ketahanan pangan daerah. Pada tahun 2001, Kabupaten Probolinggo termasuk delapan besar kabupaten termiskin di Jawa Timur, dimana tidak kurang dari 31 persen rumah tangga dikategorikan miskin. Pada tahun 2003, Kabupaten Probolinggo masih termasuk pada dua belas kabupaten di Jawa Timur yang dinyatakan rawan pangan.
8.1.1 Alternatif Komoditi Unggulan Pada tahun 2008, produk sayur-sayuran di Kabupaten Probolinggo adalah yang terbesar berturut-turut adalah bawang merah, kubis dan kentang. Produk buah-buahannya yang terbesar berturut-turut adalah pisang, mangga, alpukat dan semangka (BPS Kabupaten Probolinggo, 2009). Luas panen, produktivitas, dan produksi tanaman pangan dan hortikultura di Kabupaten Probolinggo pada tahun 2008 dapat dilihat pada Tabel 9. Produksi tanaman pangan yang terbesar selain padi di Kabupaten Probolinggo adalah jagung dan ubi kayu, masing-masing adalah 230,5 ribu ton dan 174,2 ribu ton.
Produksi jagung di Kabupaten Probolinggo merupakan
produksi tertinggi di Jawa Timur, sedangkan Jawa Timur sendiri menyumbangkan produksi jagung terbesar antar propinsi di Indonesia (sekitar 3 juta ton atau 35 persen).
Pangsa produksi dan produktivitas beberapa komoditi unggulan
Probolinggo terhadap Propinsi Jawa Timur dan Nasional dapat dilihat pada Tabel 10.
93
Tabel 9 Luas panen, produktivitas, dan produksi tanaman pangan dan hortikultura di Kabupaten Probolinggo tahun 2008
Padi
51.811
Produkti vitas (ku/ha) 57,19
296.324 Alpukat
Produkti Produksi vitas (ton) (kg/Pohon) 80.085 63,43 5.080
Jagung
63.116
4,02
253.699 Belimbing
12.610
16,06
203
Kedelai
2.404
0,96
2.298,16 Duku
52
1,92
0,1
Kacang Tnh
3.277
1,65
5.396,74 Durian
55.902
44,08
2.464
440
1,16
508,43 Jambu Biji
31.310
18,74
587
Ubi kayu
18.028
11,42
2.519
39
14,72
Ubi Jalar
114
9,71
12.453
6,78
84
Bawang Mrh
6.354
12,79
205.893 Jeruk besar Jeruk 1.106,37 keprok 81.256 Mangga
987.164
100,92
99.621
Cabe Merah
194
4,98
966 Manggis
1.223
13,90
17
Cabe Rawit
656
2,63
1.724 Nangka
37.925
20,22
767
2.509
14,56
36.533 Jambu Air
6.505
19,89
129
950
11,15
55.195
19,44
1.072,9
2.539
12,41
31.516 Rambutan
36.318
29,18
1060
Bawang Pth
16
3,08
49,3 Pisang
989.890
11,4
11.287
Tomat
98
12,06
1.182 Salak
14.520
11,93
173
Wortel
204
15,78
3.219,9 Anggur
7.818
12,3
96
Ketimun
26
2,59
67,4 Nanas
422
0,2
0,5
Sawi
40
13,21
528,5
Melon
16
10,66
170,5
Blewah
181
142,82
2.585
57
110,4
630
Komoditi
Kacang Hijau
Kubis Bawang Daun Kentang
Semangka
Luas Panen (ha)
Produksi (ton)
Komoditi
10.595,9 Pepaya
Jumlah Pohon
Sumber: BPS KabupatenProbolinggo 2009
Berdasarkan data potensi perkembangan produksi tanaman pangan dan hortikultura di Kabupaten Probolinggo, maka diketahui delapan komoditi pertanian yang memiliki produksi tertinggi yang kemudian ditetapkan sebagai alternatif komoditi unggulan. Alternatif komoditi unggulan tersebut terdiri dari: 1) Tanaman pangan: jagung dan ubi kayu, 2) Buah-buahan: mangga, pisang, dan alpukat dan 3) Sayur-sayuran: bawang merah, kubis dan kentang.
94
Tabel 10 Luas lahan, produksi, produktivitas tanaman pangan dan hortikultura tahun 2008 Nasional*
40,78
16.317.252
Jawa Timur* Pangsa Produksi produksi (ton) Nasional (%) 5.053.107 30,97
180,57
21.757.575
3.533.772
16,24
4,02
253.699
7,18
93,50
853.615
181.517
21,26
12,79
81.256
44,76
Kubis
215,10
1.323.702
169.571
12,81
14,56
36.533
21,54
Kentang
167,00
1.071.543
105.058
9,80
12,41
31.516
30,00
Mangga
110,30
2.105.085
691.904
32,87
100,92
99.621
14,40
Pisang
557,10
6.004.615
1.082.070
18,02
11,4
11.287
1,04
Alpukat
123,30
244.215
40.482
16,58
63,43
5.080
12,55
Komoditi
Jagung Ubi Kayu Bwg Merah
Produk tivitas (ku/ha)
Produksi (ton)
Probolinggo** Pangsa Produksi Produksi (ton) Jawa Timur (%) 57,19 296.324 5,86
Produkti vitas (ku/ha)
Sumber: *Pusdatin Deptan 2010 **BPS Probolinggo 2009; data diolah
8.1.1.1 Jagung Tanaman jagung (zea mays) merupakan salah satu jenis usaha tani yang sangat penting bagi pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat setelah padi, terutama karena sebagian etnis di Kabupaten Probolinggo memiliki kebiasaan untuk mengkonsumsi jagung sebagai makanan pokok sehari-hari.
Tanaman
jagung dapat ditemukan merata hampir di seluruh wilayah Kabupaten Probolinggo, meskipun di daerah dataran tinggi jumlahnya lebih sedikit. Rata-rata areal panen jagung setahun 60.750 ha dengan total produksi 236.287 ton pipil kering, Jika dirinci per kecamatan datanya seperti terlihat pada Tabel 11. Panen raya tanaman jagung sawah di Kabupaten Probolinggo pada bulan Agustus, September sedangkan jagung tegal pada bulan Februari sampai Maret. Varietas tanaman jagung di lahan sawah adalah jagung hibrida 86,39%, komposit 7,92% dan lokal 5,92%, sedangkan yang berkembang di lahan kering sebagian besar varietas lokal (Dinas Pertanian Kabupaten Probolinggo 2006).
95
Tabel 11 Luas lahan, produktifitas, dan produksi jagung di Kabupaten probolinggo 2008 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Kecamatan
Panen (ha)
Produktifitas (ku/ha)
Sukapura 1.665 Sumber 869 Kuripan 646 Bantaran 2.475 Leces 3.739 Tegalsiwalan 3.171 Banyuanyar 4.507 Tiris 8.058 Krucil 9.933 Gading 122 Pakuniran 1.445 Kotaanyar 827 Paiton 2.013 Besuk 350 Kraksaan 145 Krejengan 43 Pajarakan 45 Maron 1.866 Gending 542 Dringu 1.963 Wonomerto 2.833 Lumbang 1.498 Tongas 5.087 Sumberasih 3.274 JUMLAH 63.116 Sumber: Dinas Pertanian Kab Probolinggo 2009
2,65 2,85 2,65 3,95 5,05 4,94 5,15 3,26 3,68 4,06 4,07 4,26 5,44 4,67 4,39 4,6 4,57 4,96 4,59 4,86 4,36 3,94 4,35 4,17 4,02
Produksi (Ton) 4.414 2.480 17.612 9.779 18.898 15.665 23.207 26.269 36.563 495 5.880 3.526 10.949 1.636 636 198 206 9.253 2.487 9.532 12.349 5.899 22.123 13.643 253.699
8.1.1.2 Ubi Kayu Ubi kayu (manihot utilisima) merupakan tanaman keras yang hidup di daerah tropis. Komoditi ubi kayu di Kabupaten Probolingo banyak berada di Kecamatan Tiris, Kuripan, dan Pakuniran. Rata-rata areal panen ubi kayu di Kabupaten Probolinggo dalam setahun adalah 8.614 ha dengan total produksi 118.183 ton. Ubi kayu ditanam di lahan tegal dan panen raya biasanya jatuh pada bulan Juni sampai Oktober (Dinas Pertanian Kabupaten Probolinggo, 2008).
96
8.1.1.3 Mangga Mangga (mangifera indica L.) merupakan salah satu tanaman khas yang menjadi unggulan di Probolinggo, terutama untuk jenis Arummanis dan Manalagi. Hal ini dikarenakan kualitas produk mangga Probolinggo dapat dikenali kelebihannya dibandingkan dengan produk dari daerah lain, terutama dalam hal rasa dan aroma.
Pemasaran mangga dari Kabupaten Probolinggo memiliki
alternatif saluran pemasaran yang sangat luas.
Buah mangga dari petani
umumnya dijual kepada lembaga pemasaran tingkat kesatu (pedagang pengecer, tengkulak, pengumpul atau langsung ke pedagang besar).
Pada tahap ini
pemilihan saluran oleh petani berdarakan pada saluran yang memberikan nilai penjualan yang tertinggi. Dari lembaga pemasaran tingkat kesatu, buah mangga juga akan menempuh saluran pemasaran di tingkat kedua (pasar lokal, pasar antar kota, pasar swalayan, atau ekspotir). Bulan panen raya tanaman mangga di Kabupaten Probolinggo antara September sampai Januari.
Varietas yang
berkembang adalah harumanis 65%, manalagi 25% dan varietas lainnya 10% (Dinas Pertanian Kab Probolinggo 2007).
8.1.1.4 Alpukat Alpukat (persea americana mill/persea gratissima gaerth) merupakan pohon buah dari Amerika Tengah, tumbuh liar di hutan-hutan, banyak juga ditanam di kebun dan di pekarangan yang lapisan tananhnya gembur dan subur serta tidak tergenang air. Walau dapat berbuah di dataran rendah, tapi hasil akan memuaskan bila ditanam pada ketinggian 200-1.000 m di atas permukaan laut (dpl), pada daerah tropik dari subtropik yang banyak curah hujannya. Buah Alpukat yang masak daging buahnya lunak, berlemak, biasanya dimakan sebagai es campur atau dibuat jus. minyaknya digunakan antara lain untuk keperluan kosmetik.
8.1.1.5 Pisang Pisang (musa spp) adalah tanaman buah yang berasal dari kawasan Asia Tenggara yang kemudian menyebar ke Afrika (Madagaskar), Amerika Selatan dan Tengah. Pisang tumbuh pada iklim tropis basah, lembab dan panas dengan
97
curah hujan optimal adalah 1.520 – 3800 mm/tahun dengan 2 bulan kering. Tanaman ini toleran akan ketinggian dan kekeringan dan dapat tumbuh baik sampai ketinggian 1000 m dpl (SIM Bappenas, 2000).
8.1.1.6 Bawang Merah Di Indonesia, Kabupaten Probolinggo merupakan daerah penghasil bawang merah terluas kedua setelah Kabupaten Brebes. Tanaman bawang merah (allium ascalonicum) banyak terdapat pada lahan dataran rendah khususnya di sepanjang pantai utara. Sebaran komoditi bawang merah adalah di daerah Kecamatan Sumberasih, Tegalsiwalan, Gending, Leces, Tongas, Banyuanyar, Maron, Dringu, Kraksaan, Krejengan, Besuk, Pajarakan, Kotaanyar dan Pakuniran. Kecamatan Dringu,Banyuanyar dan Tegalsiwalan merupakan tiga kecamatan dengan luas area pertanaman bawang merah terluas di Kabupaten Probolinggo, berturut-turut luas areal nya adalah 4.092 ha, 1.530 ha, dan 1.396 ha. Rata-rata areal panen bawang merah setahun di Kabupaten Probolinggo adalah 9.402 ha dengan total produksi 115.814 ton. Pengusahaan bawang merah dilakukan pada lahan sawah irigasi, dengan pola tanam padi-bawangmerahbawang merah atau padi-padi-bawang merah. Areal panen bawang merah ada sepanjang tahun, rata-rata panen raya tertinggi berada pada bulan Juni sampai September.
8.1.1.7 Kubis. Kubis (brassica oleracea L) adalah tumbuhan sayuran daun yang berasal dari Eropa Selatan dan Eropa Barat. Rata-rata areal panen kubis setahun di Kabupaten Probolinggo adalah 3.111 ha dengan total produksi 48.373 ton yang tersebar pada Kecamatan Sukapura, Lumbang, Kuripan, Sumber dan Krucil. Areal panen kubis ada sepanjang tahun dan panen raya biasanya jatuh pada bulan Januari sampai September. Pola pemasaran yang berkembang adalah Petani→ Pedagang → Pasar.
98
8.1.1.8 Kentang Di antara bahan pangan dunia, produksi kentang (solanum tuberosum) merupakan peringkat keempat sesudah gandum, jagung dan padi. Selain sebagai bahan pangan umbi kentang juga dapat dibuat tepung, kripik serta kebutuhan industri alkohol. Tanaman kentang tumbuh baik di dataran tinggi sampai 1.500 m dpl, dan dataran medium di atas 300 m dpl, dengan tanah yang gembur, subur, dan cukup mengandung zat organic, pH tanah antara 5-5,5. Probolinggo rata-rata menghasilkan 49.852 ton kentang per tahun dan banyak berkembang di Kecamatan Sukapura, Sumber, Krucil, dan Lumbang. Areal panen kentang di Kabupaten Probolinggo ada sepanjang tahun, tetapi panen raya biasanya jatuh pada bulan Januari sampai April dan Juli sampai Oktober (Dinas Pertanian Kabupaten Probolinggo 2007).
8.1.2 Kriteria Komoditi Unggulan Pengambilan keputusan merupakan suatu pemilihan alternatif dari beberapa alternatif
yang dapat dilakukan. Pengambilan keputusan tersebut
dilakukan dengan melakukan penilaian alternatif yang kemudian memilih nilai tertinggi dari alternatif tersebut. Untuk melakukan penilaian alternatif diperlukan kriteria-kriteria sebagai dasar penilaian alternatif tersebut. Kriteria penetapan komoditi unggulan selama ini berbeda-beda baik antar instansi maupun antar pemerintah pusat maupun daerah.
Sebagai contoh
Deperindag menetapkan suatu komoditi unggulan berdasarkan volume dan nilai ekspor, kontinuitas ekspor dan kontinuitas produksi serta jumlah tenaga kerja yang diserap. Pendekatan ini memiliki kelebihan bahwa komoditi yang diekspor pastilah memberikan kontribusi dalam penerimaan devisa dan penyerapan tenaga kerja, namun juga memiliki kelemahan terutama kurang memperhatikan potensi sumberdaya domestik non tenaga kerja, sehingga banyak komoditi yang dianggap unggulan tetapi berbasis bahan baku dan barang modal impor, contohnya produk tekstil. Kriteria yang digunakan tersebut cenderung kurang berbasis sumberdaya domestik. Deptan cenderung lebih lengkap dalam menentukan persyaratan komoditi unggulkan.
Penetapan disesuaikan dengan kesesuaian lahan dan agroklimat,
99
produksi dan pasar baik domestic maupun ekspor. Penetapan komoditi unggulan tersebut hanya didasarkan data kuantitatif semata dan cenderung ditetapkan dari pusat (top down). Kelemahan pendekatan ini adalah kurang dipertimbangkannya persepsi masyarakat local, sehingga pengembangan komoditi sering terhambat oleh adanya rasa kurang memiliki masyarakat terhadap program pengembangan komoditi unggulan tersebut. Untuk itu dalam penetapan komoditi unggulan memerlukan kriteriakriteria yang tepat dan komprehensif, dapat menggabungkan analisis kualitatif dan kuantitatif dan dalam mentapkan seberapa besar pengaruh kriteria terhadap penetapan komoditi unggulan (bobot) dilakukan oleh bebrapa pakar yang mewakili pemerintah pusat dan pemerintah daerah, pengusaha serta masyarakat pada umumnya atau petani pada khususnya. Berdasarkan hasil kajian pustaka dan pendapat pakar serta ketersediaan data dan informasi, maka ditetapkan kriteria pemilihan komoditi unggulan adalah sebagai berikut : 1)
Tingkat pendapatan komoditi
2)
Kontribusi produksi komoditi
3)
Laju/tren pertumbuhan produksi
4)
Kemampuan bersaing dalam perdagangan
5)
Kemampuan menyediakan lapangan kerja
6)
Pemenuhan kebutuhan / konsumsi domestik
Pemilihan alternatif komoditi unggulan dilakukan dengan menggunakan teknik pengambilan keputusan Multi Expert – Multi Criteria Decision Making (ME-MCDM). Penilaian alternatif
berdasarkan
kriteria pemilihan komoditi
unggulan dilakukan oleh lima orang pakar yang mewakili akademisi, petani, pengusaha agroindustri, pemerintah daerah dan pemerintah propinsi. Daftar pakar dapat dilihat pada lampiran 12 Pakar tersebut melakukan penilaian terhadap alternatif berdasarkan kriteria pengadaan bahan baku yang sudah dirumuskan sebelumnya. Penilaian dilakukan secara linguistic label dengan skala ordinal yaitu : PT = paling tinggi (nilai 7), ST = sangat tinggi (nilai 6), T = tinggi (nilai 5), S = sedang (nilai 4), R = rendah (nilai 3), SR = sangat rendah (nilai 2), dan PR –
100
paling rendah (nilai 1). Bobot kriteria ditentukan dengan menggunakan metode perbandingan berpasangan yang dilakukan oleh pakar. Skor bobot kriteria dari hasil perbandingan berpasangan ditransformasikan ke dalam bentuk linguistic label. Berdasarkan model yang dibangun maka diperoleh bobot setiap kriteria adalah seperti pada Tabel 12. Tabel 12 Hasil pembobotan setiap kriteria No
Kriteria Komoditi Unggulan
Bobot
1
Tingkat pendapatan komoditi
ST
2
Kontribusi produksi komoditi
T
3
Laju/tren pertumbuhan produksi
S
4
Kemampuan bersaing dalam perdagangan
T
5
Kemampuan menyediakan lapangan kerja
S
6
Pemenuhan kebutuhan / konsumsi domestik
S
8.1.2.1 Tingkat pendapatan komoditi. Tingkat pendapatan dari usaha komoditi menunjukkan kemampuan komoditi dalam menciptakan nilai tambah atau pendapatan (high capability on income generate and value added). Pemilihan komoditi yang memiliki tingkat pendapatan tinggi
akan mampu pengatasi persoalan mendasar di bidang
pertanian, yaitu rendahnya produktivitas. Selain itu semakin tinggi tingkat pendapatan komoditi semakin layak diusahakan baik secara finansial maupun ekonomi (financial and economic feasibility and viability) dan dapat menarik para pengusaha dan investor mengusahakan komoditi tersebut. Jagung dan mangga merupakan komoditi yang memiliki skor tertinggi pada kriteria tingkat pendapatan, sedangkan pisang memiliki skor yang terendah. Nilai skor setiap alternatif pada setiap kriteria dapat dilihat pada Tabel 13. Nilai diperoleh dari jumlah total skor yang diisi oleh responden dimana penilaian dilakukan secara linguistic label seperti pada penentuan bobot kriteria.
101
Tabel 13 Skor setiap alternatif komoditi pada setiap kriteria Komoditi Unggulan
Tingkat pendapatan
Kontribusi produksi
Laju pertumbuhan produksi
Kemampuan bersaing
Kemampuan Pemenuhan menyediakan kebutuhan lapangan kerja domestik
Jagung
21
20
19
19
19
19
Ubi Kayu
18
18
18
17
14
16
Mangga
21
20
19
20
16
20
Alpukat
18
18
18
17
16
18
Pisang
16
18
18
16
16
17
Bawang Merah
18
20
20
20
19
20
Kubis
18
18
19
19
17
17
Kentang
18
18
17
17
17
17
8.1.2.2 Kontribusi produksi komoditi Kontribusi produksi terhadap perekonomian menunjukkan nilai kontribusi produksi komoditi terhadap wilayah yang levelnya lebih tinggi, dalam hal ini kabupaten terhadap propinsi.
Kriteria tersebut menggambarkan kemampuan
komparatif komoditi dibandingkan daerah lain. Jagung, mangga dan bawang merah adalah komoditi dengan skor tertingi pada kriteria kontribusi produksi.
8.1.2.3 Laju/tren pertumbuhan produksi Laju pertumbuhan produksi menunjukkan bahwa komoditi tersebut diterima dan berkembang di masyarakat atau secara sosial dapat diterima oleh masyarakat
setempat
(sosial
acceptability),
sehingga
apabila
ingin
mengembangkan komoditi ini tidak akan mengalami banyak kesulitan. Bawang merah merupakan komoditi yang memiliki skor tertinggi pada kriteria laju pertumbuhan produksi.
8.1.2.4 Kemampuan bersaing dalam perdagangan Kemampuan bersaing komoditi yang tinggi menunjukkan komoditi memiliki orientasi pasar yang jelas dan prospek harga yang baik (market orientation and prospects), baik dalam pasar lokal maupun iternasioal. Pasar dan
102
harga sangat berpengaruh terhadap tingkat pendapatan dan tingkat keberlanjutan usaha komoditi tersebut. Mangga dan bawang merah memiliki skor tertinggi untuk kriteria kemampuan bersaing.
8.1.2. 5 Kemampuan menyediakan lapangan kerja Kriteria kemampuan komoditi menyediakan kesempatan kerja (job opportunities) merupakan kriteria sosial sekaligus ekonomi. Komoditi dengan kemampuan menyediakan lapanghan kerja yang tyinggi diharapkan dapat mengatasi permasalahan pengangguran, terutama pengangguran yang tidak kentara. Jagung dan bawang merah memiliki skor tertinggi untuk kriteria menciptakan lapangan kerja.
8.1.2.6 Pemenuhan kebutuhan/konsumsi domestik Pemenuhan kebutuhan domestik menunjukkan ketersediaan komoditi terhadap pemintaan/kebutuhan lokal yang menjamin kemandirian penyediaan komoditi pada tingkat lokal.
Ketersediaan komoditi yang tinggi memiliki
kemampuan dalam meningkatkan ketahanan pangan masyarakat setempat yang berpendapatan rendah (high capability on food security for low income community). Hal ini mendukung konsep ketahanan pangan. Walaupun konsep ketahanan pangan diartikan sebagai kemampuan akses terhadap pangan, dalam hal ini kemampuan daya beli, sehingga untuk meningkatkan ketahanan pangan adalah peningkatan pendapatan masyarakat, maka untuk wilayah tertentu ketahanan pangan harus diterjemahkan ke dalam konsep ketersediaan pangan. Mangga dan bawang merah merupakan komoditi yang memiliki skor tertinggi untuk kriteria pemenuhan kebutuhan domestik.
8.1.3 Pemilihan Komoditi Unggulan Alternatif pemilihan komoditi unggulan dinilai berdasarkan kriteriakriteria yang telah ditetapkan. Skor alternatif pengadaan bahan baku ini adalah merupakan agregasi penilaian berdasarkan kriteria-kriteria dengan pembobotan yang ditentukan sebelumnya. Penentuan skor alternatif dilakukan dengan cara agregasi skor alternatif dari beberapa pakar beserta bobot nilai pakar tersebut.
103
Hasil penilaian beberapa alternatif komoditi pilihan menunjukkan bahwa jagung, mangga, bawang merah dan kentang merupakan empat komoditi yang merupakan alternatif prioritas dengan hasil tinggi (T). Hasil penilaian beberapa alternatif secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 14. Untuk selanjutnya, hasil pemilihan komoditi unggulan ini akan digunakan untuk menetapkan pewilayahan agropolitan dan kemudian perencanaan agroindustri pada setiap wilayah agropolitan. Tabel 14 Hasil penilaian alternatif komoditi unggulan di Kabupaten Probolinggo No
Alternatif Komoditi Unggulan
Hasil
1
Jagung
T
2
Ubi Kayu
S
3
Mangga
T
4
Alpukat
S
5
Pisang
S
6
Bawang Merah
T
7
Kubis
S
8
Kentang
T
8.2 Model Pemilihan Produk Agroindustri Prospektif Agroindustri memiliki peran yang sangat penting dalam menarik sektor pertanian dan menghela industri lain, seperti industri pupuk, alsintan, industri perdagangan, industri transportasi dan industri jasa lainnya. Pemilihan produk agroindustri yang tepat diharapkan dapat memberikan nilai tambah bagi masyarakat di Kabupaten Probolinggo. Industri pengolahan pertanian di Probolinggo relatif masih sangat terbatas, sebagian besar produk hortikultura dipasarkan dalam produk segar. Agroindustri hortikultura kecil dan menengah tersebut diantaranya: 1) Buah kaleng di Desa Banjarsari, Sumberasih, 2) Industri makanan ringan di Jl. MT.Haryono, Kraksaan, 3) Industri kripik kentang di Jl. Bromo, Sukapura, 4) Industri kripik tales di Desa Gantingwetan, Maron, 5) Industri dodol buah di Desa Gili Ketapang, Sumberasih, 6) Perdagangan bawang merah di Desa Lambang Kuning, Lumbang, 7)
104
Perdagangan sayur mayur di Jl. Raya Tempuran, Sumberasih, 8) Perdagangan Mangga di Desa Alas Kandang, Besuk (Nusantara online, 2006).
8.2.1 Alternatif Produk Berdasarkan model pemilihan komoditi unggulan sebelumnya, diperoleh komoditi jagung, mangga, dan bawang merah memiliki prioritas terbesar dengan nilai “Tinggi”. Untuk itu pemilihan produk agroindustri prospektif akan didasari oleh produk yang berbahan baku komoditi unggulan yang terpilih apada Model Pemilihan Momoditi Unggulan, yaitu jagung, mangga, bawang merah dan kentang. Diharapkan dengan menggunakan lebih dari satu komoditi sebagai bahan baku akan diperoleh alternatif produk agroindustri yang benar-benar prospektif karena didasari oleh pertimbangan dan analisis yang lebih komprehensif. Berdasarkan pohon industri jagung yang telah diuraikan pada Bab 3, maka ditentukan alternatif produk berbahan baku jagung. Alternatif produk agroindustri berbahan baku jagung adalah: Minyak Jagung, Gula Jagung, Asam Organik, Etanol, Dekstrin, Tepung Maizena dan Grits. Pada setiap musim panen banyak terdapat buah mangga yang berukuran kecil atau bentuknya tidak normal, atau tergolong offgrade. Buah seperti ini masih bernilai ekonomi karena dapat diolah menjadi berbagai produk, seperti mangga kering, jus, jam/selai, jeli, dodol, fruit bar, mangga leather, mangga dalam kaleng, dan permen mangga. Nilai dari pemanfaatan mangga off grade tiap musim cukup besar. Alternatif produk berbahan baku mangga yang dianalisis dalam penelitian ini adalah: manisan mangga, jus mangga, sirup mangga, dodol mangga, keripik mangga, buah dalam kaleng, jelly mangga dan tepung mangga. Bawang merah dapat digunakan sebagai bahan baku bawang goreng, jus bawang dan tepung bawang.
Ketiga produk ini dijadikan alternatif produk
berbahan baku bawang merah dalam model pemilihan produk berbahan baku bawang merah. Kentang dapat diproses menjadi bermacam-macam produk pangan, diantaranya keripik kentang, chips kentang, tepung kentang dan kentang goreng beku. Keempat jenis produk inilah yang dijadikan alternatif produk yang akan
105
dipilih bersama-sama dengan alternatif produk berbahan baku komoditi unggulan sebelumnya.
8.2.2 Kriteria Pemilihan Produk Agroindustri Kriteria pemilihan produk agroindustri yang prospektif menjadi hal yang sangat penting bagi pengembangan agropolitan.
Hal ini disebabkan karena
berkembangnya agroindustri pada suatu kawasan agropolitan akan mendatangkan nilai tambah tinggi bagi masyarakat dan kemudian diharapkan dapat menjaga keberlangsungan pengembangan kawasan agropolitan. Pada penelitian ini kriteria yang digunkan dalam pemilihan produk agroindustri prospektif adalah: 1) laju/tren permintaan, 2) kemampuan bersaing, 3) kemudahan akses teknologi, 4) nilai tambah, 5) kemampuan agroindustri menyediakan lapangan kerja, 6) ketersediaan sumberdaya manusia, 7) dampak lingkungan, dan 8) ketersediaan bahan baku. Laju/tren permintaan produk merupakan salah satu aspek pasar yang harus dinalisis secara mendalam. Hal ini disebabkan karena kecenderungan permintaan produk di masa lalu akan menunjukkan peluang atau potensi pasar produk tersebut di masa sekarang maupun masa akan datang. Permintaan produk yang cenderung meningkat akan menunjukkan produk tersebut memiliki potensi pasar yang baik. Potensi pasar yang ditunjukkan oleh tren permintaan belum sepenuhnya menunjukkan pangsa pasar yang dapat diperoleh produsen produk.
Tingkat
persaingan dan kemampuan bersaing industri dalam merebut potensi pasar sangat mempengaruhi kemampuan produsen dalam memperoleh pangsa pasar. Kemampuan bersaing dipengaruhi oleh kemampuan manajemen dalam mengelola industri, misalnya kemampuan mengelola marketing mix, seperti people, place, price, product, dan promotion. Walaupun tingkat persaingan tinggi, tetapi jika produsen memiliki kemampuan bersaing yang tinggi pula akan memperluas pangsa pasar produk tersebut. Perkembangan teknologi yang pesat belakangan ini menuntut kemampuan industri mengadopsi perkembangannya dengan cepat pula. Teknologi diperlukan selain dalam proses produksi peroduk juga sangat diperlukan dalam inovasi produk itu sendiri.
Kemudahan dalam mengakses perkembangan teknologi
106
dipengaruhi oleh kondisi internal maupun kondisi eksternal suatu industri. Kondisi internal diantaranya komitmen manajemen khususnya dalam pemodalan yang didukung oleh kemampuan sumberdaya manusia yang dimiliki industri. Kondisi eksternal yang dimaksud adalah dukungan pemerintah baik dalam penyediaan
informasi
maupun
perundang-undangan
atau
hokum
yang
mendukungnya. Selain itu secara eksternal, kerjasama maupun koordinasi antar industri sejenis dapat meningkatkan kemampuan akses teknologi.
Semakin
mudah perkembangan teknologi diakses oleh suatu industri maka semakin baik kemungkinan perkembangan industri tersebut. Nilai tambah adalah selisih keuntungan yang dapat diperoleh suatu komoditi antara sebelum dan sesudah dilakukannya proses produksi. Semakin tinggi nilai tambah yang dihasilkan suatu produk, maka semakin baik pemilaian produk tersebut. Dampak sosial merupakan salah satu dampak yang harus dipertimbangkan dalam pendirian suatu industri. Industri yang memiliki dampak positif secara sosial seperti kemampuan penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat di sekitar industri akan berdampak pula bagi perkembangan kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. Semakin tinggi suatu industri memiliki kemampuan menyediakan lapangan kerja, maka semakin tinggi pula prioritas pengembangan industri tersebut. Sumberdaya Manusia yang diperlukan suatu industri sangat spesifik. Industri dengan teknologi tingggi memerlukan kualitas sumberdaya manusia yang tinggi pula. Kualitas sumberdaya manusia selain dapat dilihat dari latar belakang pendidikan dan pengalaman kerja juga harus didukung oleh karakter atau sikap yang bertanggung jawab dan mudah beradaptasi terhadap perkembangan teknologi. Semakin banyak sumberdaya manusia tersedia untuk suatu industri, maka akan memudahkan pengembangan industri tersebut. Limbah industri yang tidak dikelola dengan baik akanmencemari lingkungan sekitar.
Semakin tinggi tingkat polusi suatu limbah tentunya
memerlukan penanganan dan biaya semakin tinggi. Dampak lingkungan di sini menunjukkan tingkat penangan dan biaya yang diperlukan bagi penanganan
107
limbah industri. Semakin tinggi kemungkinan lingkungan dipengaruhi secara negatif oleh industri, maka semakin kecil nilai kemungkinan perkembangannya. Walaupun pada model pemilihan komoditi unggulan sebelumnya variabel kondisi komoditi (bahan baku) telah dianalisis, namun pada model pemilihan produk agroindustri ini variabel tersebut kembali dinalisis. Hal ini disebabkan karena setiap produk walaupun memerlukan bahan baku sejenis, tetapi kualitas dan kuantitas bahan bakunya berbeda. Semakin tinggi nilai ketersediaan bahan baku, maka semakin besar kemungkinan prioritas pengembangan industri ini.
8.2.3 Pemilihan Produk Agroindustri Prospektif Produk agroindustri prospektif dipilih dengan menggunakan metode ANP (Analytical Network Process). ANP merupakan metode pemecahan suatu masalah yang tidak terstruktur dan membutuhkan ketergantungan hubungan antar elemennya. Dalam penyelesaian suatu masalah ANP bersifat umum, artinya tidak perlu membuat asumsi ketergantungan antar level. Pada kenyataan yang ada digunakan sebagai jaringan yang tidak membutuhkan level khusus sebagaimana dalam hierarkhi. ANP dengan konsep hubungan yang saling mempengaruhi antar elemen digunakan sebagai sarana untuk memprediksi dan merepresentasikan antara kompetitor yang berbeda dengan memasukkan interaksi dan kekuatan relatif untuk pemecahan suatu masalah. Model pemilihan produk agroindustri prospektif adalah model yang digunakan untuk menemukan produk agroindustri prospektif sehingga mampu memberikan solusi alternatif yang dapat memberikan nilai tambah tinggi bagi kawasan agropolitan dan menjamin kesinambungannya. Model tersebut menggunakan aplikasi pendukung yaitu Super decisions 1.6.0. (creative decisions foundation USA, 19 http://www.superdecisions.com/ [Juni 2009]). Program ini merupakan program penerapan dari teori ANP. Jaringan model pemilihan produk agroindustri prospektif disajikan pada Gambar 25.
108
Gambar 25 Jaringan model pemilihan agroindustri dengan ANP
Berdasarkan hubungan antar klaster pada model pemilihan agroindustri, maka diperoleh nilai prioritas bagi kriteria pemilihan dan nilai prioritas bagi setiap alternatif pada setiap klaster. Kriteria ketersediaan bahan baku merupakan kriteria yang memiliki bobot tertinggi dibandingkan kriteria lainnya. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Bobot kriteria pemilihan produk prospektif No
Keterangan
Nilai bobot
1
Laju/Tren Permintaan
0,0663
2
Kemampuan bersaing
0,1843
3
Kemudahan Akses Teknologi
0,0579
4
Nilai Tambah
0,1462
5
Kemampuan Menyediakan Lapangan Kerja
0,0938
6
Ketersediaan SDM
0,0952
7
Dampak Lingkungan
0,1017
8
Ketersediaan Bahan Baku
0,2547
109
Untuk mengetahui prioritas tertinggi produk prospektif dapat dilihat pada Tabel 16. Etanol merupakan produk yang memiliki prioritas tertinggi dabandingkan alternatif produk lainnya.
Untuk itu dalam perencanaan dan
pengembangan kawasan agropolitan direkomendasikan dibangun industri Etanol berbahan baku jagung. Tabel 16 Rangking dan prioritas alternatif produk secara keseluruhan Alternatif Produk 1.1. Manisan Mangga 1.2. Jus Mangga 1.3. Sirup Mangga 1.4. Dodol Mangga 1.5. Buah dalam Kaleng 1.6. Keripik Mangga 1.7. Jelly Mangga 1.8. Tepung Mangga 2.1. Bawang Goreng 2.2. Jus Bawang 2.3. Tepung Bawang 3.1. Minyak Jagung 3.2. Glukosa 3.3. Etanol 3.4. Asam Organik 3.5. Dekstrin 3.6. Tepung Maizena 3.7. Gritz 4.1. Keripik Kentang 4.2. Chips Kentang 4.3. Tepung Kentang 4.4. Kentang Goreng Beku
Total
Ideal
Normal
Rangking
0,1906 0,1892 0,1970 0,1970 0,1749 0,1555 0,1822 0,1612 0,2148 0,1874 0,1874 0,1400 0,1276 0,2387 0,2019 0,1461 0,1327 0,1276 0,1522 0,1522 0,1522 0,1327
0,7984 0,7927 0,8255 0,8255 0,7329 0,6514 0,7633 0,6755 0,9001 0,7849 0,7849 0,5864 0,5347 1,0000 0,8457 0,6120 0,5558 0,5347 0,6377 0,6378 0,6378 0,5559
0,0509 0,0506 0,0527 0,0527 0,0468 0,0416 0,0487 0,0431 0,0574 0,0501 0,0501 0,0374 0,0341 0,0638 0,0540 0,0390 0,0355 0,0341 0,0407 0,0407 0,0407 0,0355
6 7 4 5 11 13 10 12 2 8 9 18 22 1 3 17 20 21 16 15 14 19
8.3 Desain Agroindustri Etanol Bahan baku yang dapat diproduksi menjadi etanol sangat beragam. Alkohol sintesis dapat diturunkan dari minyak mentah atau gas atau batu bara. Alkohol berbahan baku produk pertanian dapat didestilasi dari padi, gandum, molase, buah-buahan, gula tebu, selulosa. Kedua produk, baik fermentasi maupun alkohol sintesis memiliki kandungan kimia yang identik sama. Tapi skala bahan baku sintesis lebih kecil. Pada tahun 2003, kurang dari 5% produksi berasal dari sintesis dan lebih dari 95% berasal dari pertanian yang memberikan pengaruh bagi
110
pertumbuhan produksi etanol dunia. Komposisi ini dapat berkembang di masa datang (Berg 2004). 8.3.1 Proyeksi Permintaan Etanol Bahan bakar etanol akan berkembang dalam dunia industri alkohol. Jika saat ini semua proyek etanol yang telah diumumkan terimplementasi, maka produksi bahan bakar etanol dunia meningkat menjadi 31 juta liter pada tahun 2006, bandingkan dengan produksi 2001 yang hanya 20 juta liter.
Hal ini
didasarkan oleh oleh peningkatan bahan baku etanol menjadi 70 persen pada tahun 2005 dibandingkan sekitar 63 persen pada tahun 2001(Berg 2004). Berdasarkan data produksi etanol dunia terjadi peningkatan produksi yang bearti setiap tahunnya, bahkan diperkirakan permintaan etanol dunia akan meningkat empat kali lipat pada tahun 2010 dibandingkan saat ini. Data produksi etanol dunia untuk semua grade dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Produksi Etanol Dunia Tahun 1990-2009 Tahun
Juta Liter
Juta Galon
Tahun
Juta Liter
Juta Galon
1990
15.190
4.013
2000
17.315
4.574
1991
16.348
4.319
2001
18.676
4.934
1992
15.850
4.187
2002
21.715
5.736
1993
15.839
4.184
2003
27.331
7.220
1994
16.802
4.439
2004
30.632
8.092
1995
17.970
4.747
2005
44.875
11.855
1996
18.688
4.937
2006
51.056
13.489
1997
20.452
5.403
2007
49.587
13.113
1998
19.147
5.058
2008
66.329
17.524
1999
18.671
4.932
2009*
72.773
19.227
Keterangan *: Prediksi Sumber: Compiled by Earth Policy Institute with data for 1975-1998 from F.O. Licht, World Ethanol and Biofuels Report, vol. 6, no. 4 (23 October 2007), p. 63; 1999-2009 from F.O. Licht, World Ethanol and Biofuels Report, vol. 7, no. 18 (26 May 2009), p. 365. di dalam www.earth-policy.org [Juni 2010]
111
Prediksi Permintaan Etanol 140000
Juta liter
120000 100000 80000
Data Aktual Hasil Perkiraan
60000 40000 20000 0 1980 1985 1990 1995 2000 2005 2010 2015 Tahun
Gambar 26 Perkiraan permintaan Etanol dunia tahun 2010 hingga tahun 2020 (data diolah)
Berdasarkan data tersebut di atas, maka dilakukan peramalan permintaan Etanol dunia dengan mengguakan metode Times Series yang terdapat dalam model prediksi permintaan pada paket program SPK Intelijen Agropolitan. Hasil peramalan yang menghasilkan statistik kesalahan terkecil adalah model regreasi kuadratik. Prediksi permintaan etanol dunia 12 tahun kemudian dapat dilihat pada Gambar 26 dan Tabel 18 . Tabel 18 Prediksi permintaan etanol dunia Tahun
Prediksi Permintaan Juta liter
Juta galon
2010
65.983
17.433
2011
70.978
18.752
2012
76.183
20.128
2013
81.598
21.558
2014
87.223
23.044
2015
93.057
24.586
2016
105.356
27.835
2017
111.820
29.543
2018
118.493
31.306
2019
125.377
33.125
2020 132.470 Sumber: Hasil pengolahan data
34.999
112
Permintaan etanol di kemudian hari cenderung lebih tingggi dari perkiraan yang telah dilakukan. Hal ini disebabkan karena beberapa negara di dunia telah mengembangkan program-program yang mendukung penggunaan etanol sebagai pengganti maupun campuran bensin, seperti yang terlihat pada Tabel 19. Tabel 19 Contoh produksi etanol di beberapa negara Lokasi Bahan Baku
Produksi Etanol
AMERIKA SELATAN Brazil
Tebu
Peru
Tebu
Colombia
Tebu
Amerika Tengah
Tebu
Pemerintah Brazil memulai program nasional fuel alkohol pada pertengahan tahun 1970an, dan sejak 1980 etanol telah menggantikan gasolin. Sejak harga bebas tahun 1999, harga etanol menjadi tiga kali lebih rendah dari gasolin. Brazil adalah produsen dan eksporter paling unggul yang memproduksi 4 miliar galon di tahun 2004. Pada tahun 2002 Peru menerbitkan program “mega proyek” yang merencanakan pembangunan 20 distilasi dan jalur pipa dari dalam ke Bajovar. Lebih dari 600 000 ha kebun tebu akan ditanam. Pemerintah berharap dapat mengeksport 300 juta galon etanol pada tahun 2010. Sejak 2006 penggunaan 10 % etanol pada bahan bakar diwajibkan di kota yang berpenduduk lebih dari 500 000 jiwa. Hal ini membutuhkan penambahan 370 000 ha kebun tebu dan sembilan pabrik etanol baru yang menghasilkan 260 juta galon per tahun. El Salvador, Guatemala, Honduras, Nicaragua dan Costa Rica memiliki total proyek 132 juta galon hingga 2010, cukup untuk memenuhi kebutuhan 10% etanol dalam gasolin. Costa Rica, Jamaica dan El Salvador mengekspor bahan bakar ethanol ke AS dan sedang meningkatkan eksport.
AMERIKA UTARA Amerika Serikat
Canada
Jagung
Pada tahun 2004, 35 juta ton jagung (12% dari produksi jagung AS) telah digunakan untuk memproduksi 3,4 miliar galon etanol. Kapasitas akan ditingkatkan lebih dari 4,4 miliar galon di tahun 2005 dengan membangun 16 pabrik baru. Saat ini telah ada 81 pabrik beroperasi dengan kapasitas 1 sampai 300 juta galon per tahun, setengahnya adalah milik petani.
Jag, barley, gandum
Kanada memproduksi 61 juta galon etanol tahun 2004. Untuk memenuhi perjanjian protokol kyoto, kanada merencanakan menggunakan 35% gasolin dengan pencampuan E10, membutuhkan 350 juta galon etanol. Tujuh pabrik baru dengan kapasitas200 juta galon telah direncanakan dalam program ekspansi eatanol. Ontario, Saskatchewan, dan Manitoba telah menyiapkan dukungan penggunaan etanol berupa subsidi produksi, penurunan pajak dan aturan pencampuran.
ASIA / OCEANIA Cina adalah produsen etanol ketiga terbesar, dengan 964 juta galon di tahun 2004. sejak 2001, cina mempromosikan etanol sebagai bahan bakar utama di lima kota pada pusat dan wilayah timur laut (Zhengzhou, Luoyang and Nanyang di Henan and Harbin and Zhaodong Jagung, Cina dipropinsi Heilongjiang).p Pabrik etanol jilin tianhe adalah pabrik etanol terbesar didunia gandum dengan produksi 240 juta galon per tahun dan dapat berproduksi hingga 320 juta galon per tahun Sejak 2003, pemerintah india mengharuskan penggunaan E5 di sembilan negara bagian. Produsen gula tebu merencanakan membangun 20 anol baru untuk menambah 10 pabrk India Tebu yang ada saat ini, lokasinya di Uttar Pradesh, Maharashtra dan Tamil Nadu. Kebutuhan etanol tahunan diprediksi 98 juta galon, dengan produksi 462 juta galon per tahun dan kapasitas 713 juta galon per tahun. Thailand mengeluarkan peraturan pencampuran etanol 10 % mulai 2007. Hal ini akan Singkong, meningkatkan produksi dari 74 juta galon tahun 2004 menjadi 396 juta galon. Pabrik etanol Thailand tebu, padi baru sejumlah 18 pabrik sedang dibangun, dan produsen dapat menikmati kei gasolin konvensional. Pemerintah Australia telah mendukung etanol sejak 2000 dengan memberikan keringanan Grains, tebu, Australia pajak dan mensubsidi produksi, sehingga dapat memproduksi 92 juta galon tahun 2010, sweet sorghum yang dapat memenuhi 1% dari total supply. Produksi 2004 mencapai 33 juta galon. Sumber: dari berbagai sumber di dalam www.earth-policy.org, [4 Maret 2007].
113
Dari Tabel 20 diketahui bahwa Amerika Serikat dan Brazil merupakan dua negara produsen Etanol terbesar di dunia.
Sejarah penggunaan bio-etanol di
Amerika Serikat (AS) ditandai dengan penandatanganan Energy Policy Act pada bulan Agustus 2005 yang meliputi Renewable Fuel Standard. Kebijakan tersebut memberikan amanat ”a 7,5 billion galon renewable fuel mandate, by 2012”. Pada Tabel 20 disajikan produksi etanol setiap negara pada tahun 2004 hingga 2006. Indonesia sebagai salah satu produsen etanol menghasilkan kira-kira 45 juta galon per tahunnya (tahun 2004 -2006). Tabel 20 Produksi etanol beberapa negara di dunia (juta galon) Negara
2004
Brazil U.S. China India France Russia South Africa U.K. Saudi Arabia Spain Thailand Germany Ukraine Canada Poland Indonesia Argentina
3,989 3,535 964 462 219 198 110 106 79 79 74 71 66 61 53 44 42
2005 4,227 4.264 1,004 449 240 198 103 92 32 93 79 114 65 61 58 45 44
2006 4,491 4,855 1,017 502 251 171 102 74 52 122 93 202 71 153 66 45 45
Negara Italy Australia Japan Pakistan Sweden Philippines South Korea Guatemala Cuba Ecuador Mexico Nicaragua Mauritius Zimbabwe Kenya Swaziland Others Total
Sumber: Renewable Fuels Association, Industry Statistics, 2007 http://www.ethanolrfa.org/industry/statistics/#E
2004 40 33 31 26 26 22 22 17 16 12 9 8 6 6 3 3 338 10,770
2005
2006
40 43 33 39 30 30 24 24 29 30 22 22 17 16 17 21 12 12 14 12 12 13 7 8 3 2 5 7 4 5 3 5 710 270 12,150 13,489
8.3.2 Penggunaan Jagung sebagai Bahan Baku Etanol Lima tahun ke depan industri etanol akan mengambil sekitar 50 juta ton jagung untuk produksi etanol dari total produksi jagung sebanyak 250 juta ton. AS juga telah memilih jagung untuk bahan baku produksi etanol setelah kajian dari Departemen Pertanian AS (USDA) yang terbaru dikeluarkan pada bulan Maret 2007. Menurut USDA, molase dan gula bukan bahan baku yang efisien untuk
114
produksi etanol bagi pabrik etanol di AS. USDA juga menyebutkan, peningkatan penggunaan jagung untuk etanol meningkat sebesar 35 persen dibandingkan tahun lalu. Sebanyak 90 persen dari produksi etanol di AS dihasilkan dari bahan baku jagung dan 10 persen dari gandum. Hampir 90 persen etanol digunakan sebagai bahan bakar. Penggunaan Jagung untuk bahan baku etonol di AS dapat dilihat pada Gambar 27.
Gambar 27 Penggunaan jagung sebagai bahan baku etanol di AS dalam juta Ton (USDA di dalam www.earth-policy.org, 2007)
Peningkatan penggunaan jagung sebagai bahan baku etanol menyebabkan harga jagung dunia melonjak. Hasil penelitian di Amerika Serikat yang menyatakan bahwa produksi etanol berbahan dasar jagung lebih ekonomis dibandingkan etanol berbahan dasar gula membuat jagung dicari orang. Lonjakan harga tersebut terlihat jelas. Pada Agustus 2006 harga jagung tercatat 135 dollar AS per ton. Pertengahan Januari 2007 naik menjadi 230 dollar AS per ton.
8.3.3 Produksi Etanol Indonesia Sejak lima tahun terakhir Indonesia mengalami penurunan produksi minyak nasional yang disebabkan menurunnya secara alamiah (natural decline) cadangan minyak pada sumur-sumur yang berproduksi. Di lain pihak, pertambahan jumlah penduduk telah meningkatkan kebutuhan sarana transportasi dan aktivitas industri yang berakibat pada peningkatan kebutuhan dan konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) nasional. Untuk memenuhi kebutuhan BBM tersebut, pemerintah mengimpor sebagian BBM. Menurut Ditjen Migas (2005),
115
impor BBM terus mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari 106,9 juta barrel pada 2002 menjadi 116,2 juta barrel pada 2003 dan 154,4 juta barrel pada 2004. Dilihat dari jenis BBM yang diimpor, minyak solar (ADO) merupakan volume impor terbesar setiap tahunnya. Pada 2002, impor BBM jenis ini mencapai 60,6 juta barrel atau 56,7% dari total, kemudian meningkat menjadi 61,1 juta barrel pada 2003 dan 77,6 juta barrel pada 2004. Besarnya
ketergantungan
Indonesia
pada
BBM
impor
semakin
memberatkan pemerintah ketika harga minyak dunia terus meningkat yang mencapai di atas US$ 70 per barrel pada Agustus 2005, karena semakin besarnya subsidi yang harus diberikan pemerintah terhadap harga BBM nasional. Pemerintah akhirnya memutuskan untuk mengurangi subsidi BBM yang berakibat pada meningkatnya harga BBM nasional yang dilakukan dalam 2 tahap yaitu pada bulan Maret dan Oktober 2005. Ini berakibat pada penurunan konsumsi BBM yang cukup signifikan. Menurut catatan Pertamina, total konsumsi harian BBM menurun sebesar 27% paska kenaikan BBM tanggal 1 Oktober 2005 yaitu dari 191,0 ribu kiloliter per hari menjadi 139,8 ribu kiloliter per hari. Solar mengalami penurunan sebesar 30,3% dari 77,0 ribu kiloliter per hari menjadi 53,6 ribu kiloliter per hari. Konsumsi premium menurun cukup tajam sebesar 36,8% dari 53,4 ribu kiloliter per hari menjadi 33,7 kiloliter per hari. Penyebab utama penurunan konsumsi ini diduga karena turunnya daya beli masyarakat dan semakin selektifnya masyarakat memilih aktivitas harian untuk menghemat pemakaian BBM (Shintawaty 2006). Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral memperkirakan, konsumsi premium nasional bakal mencapai 38,27-miliar liter dan lebih dari 20% diimpor. Untuk pengganti premium, terdapat alternatif gasohol yang merupakan campuran antara bensin dan bioetanol. Bioetanol bersumber dari karbohidrat yang potensial sebagai bahan baku seperti jagung, ubi kayu, ubi jalar, sagu, dan tebu. Setelah melalui proses fermentasi, dihasilkanlah etanol. Menurut penelitian BPPT, tanaman jagung merupakan unggulan untuk bahan utama bioetanol karena selain dari segi ekonomis tergolong murah, jumlah hasil bioetanol yang dihasilkan jagung ternyata lebih besar di antara tanaman lain seperti ubi kayu, ubi jalar, sagu dan tebu. Jagung seberat 1 ton dapat menghasilkan 400 liter bioetanol sementara
116
ubi kayu, ubi jalar, sagu, dan tebu untuk bobot yang sama menghasilkan masingmasing 166,6 liter, 125 liter, 90 liter dan 250 liter bioetanol. Dari jagung bisa dibuat etanol 99,5% atau etanol untuk bahan bakar yang bisa digunakan untuk campuran gasohol (Shintawaty 2006). Dalam perkembangan industri etanol, Indonesia yang kaya sumber daya alam ini hanya sampai pada rencana investasi. Beberapa rencana investasi tersaebut adalah pabrik etanol berbahan baku singkong dengan kapasitas 200 kiloliter per hari di Lampung dan di Jawa Barat dengan kapasitas 80 kiloliter per hari dengan bahan baku molase. Investasi pada industri etanol memang sangat lambat di Indonesia, karena kendala penyediaan bahan baku. Lahan tidur masih sangat banyak, tetapi tidak dimanfaatkan karena dukungan kebijakan pemerintah belum maksimal. Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain, diharapkan dapat memacu investasi pada industri etanol. Jika pemerintah Indonesia, swasta, dan petani dapat bekerja sama, substitusi 5% bensin dapat menghemat US$1,539-miliar setara Rp1,539triliun. Itulah nilai subsidi 0,86-miliar liter bensin pada 2005 dengan harga subsidi Rp1.790/liter. Penghematan semakin besar, jika persentase substitusinya meningkat. Pada saat ini terdapat enam produsen besar etanol di Indonesia dengan total produksi 174 ribu kiloliter pada 2002. Namun, sebagian besar masih terfokus untuk memenuhi kebutuhan industri dan ekspor. Sedangkan menurut BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal), pada pertengahan tahun lalu sudah ada 11 investor yang siap membangun pabrik bioetanol dan biodiesel di Indonesia dengan kapasitas 50 ribu kiloliter hingga 150 ribu kiloliter per tahun. Tiga perusahaan di antaranya sudah mempersiapkan diri melakukan pembangunan konstruksi pabrik bioetanol di daerah Lampung yang diperkirakan akan selesai dalam waktu setahun ke depan dengan total kapasitas mencapai 300 ribu kiloliter per tahun.
Sehingga pada 2010 diproyeksikan produksi bioetanol Indonesia
mencapai 280 juta liter/tahun.
117
Meningkatnya produksi bioetanol akan diikuti peningkatan aplikasi bioetanol menjadi E-10 atau E-20. Dari empat pabrik di Lampung, Jawa Tengah, dan Jawa Timur saja dihasilkan 174,5 juta liter per tahun. Dari jumlah itu, 115 juta liter diekspor ke Jepang dan Filipina, sedangkan sisanya digunakan sebagai bahan baku industri asam asetat, selulosa, pengolahan rumput laut, minuman alkohol, cat, farmasi, dan kosmetik. SPBU di Rampal, Malang, Jawa Timur, satu-satunya yang menyediakan biopremium di Jawa Timur. Komposisinya, 5% etanol asal tebu dan 95% premium. Campuran kedua bahan itu juga disebut gasohol. Harga gasohol di Malang sama dengan premium. Meski demikian, masyarakat antusias mengisi kendaraannya dengan biopremium. Menurut Suwandi (2007), rata-rata penjualan gasohol mencapai 14.000 liter per hari. Penjualan meningkat 22% dibandingkan saat pertama kali SPBU dibuka pada 13 Agustus 2006. Saat itu permintaan gasohol baru 11.000 liter per hari. 8.3.4 Teknologi Proses Etanol Secara umum, produksi bioetanol ini mencakup 3 (tiga) rangkaian proses, yaitu: Persiapan Bahan baku, Fermentasi, dan Pemurnian.
Proses produksi
bioetanol secara lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 28. Enzim Urea Kaustik / Lime
PENGGI LINGAN
Jagung
Ragi
Enzim Asam Sulfat
LIKUIFIKASI
SAKARIFI KASI
Kondensat
Vent Energi panas
Backsate
EVAPORASI
FERMENTASI
SENTRIFU GASI
Air Daur Ulang
Kaldu
DESTILASI
Wet DDG
Sirup
PENGERI NGAN
DDG
PEYIM PANAN
Gambar 28 Teknologi Proses Pembuatan Bioetanol (USDA di dalam Wallace et al, 2005)
Vent
118
8.3.4.1 Persiapan Bahan Baku Bahan baku untuk produksi bietanol bisa didapatkan dari berbagai tanaman, baik yang secara langsung menghasilkan gula sederhana semisal Tebu (sugarcane), gandum manis (sweet sorghum) atau yang menghasilkan tepung seperti jagung (corn), singkong (cassava) dan gandum (grain sorghum) disamping bahan lainnya. Persiapan bahan baku beragam bergantung pada bahan bakunya, tetapi secara umum terbagi menjadi beberapa proses, yaitu: 1) Tebu dan Gandum manis harus digiling untuk mengektrak gula, 2) Tepung dan material selulosa harus dihancurkan untuk memecahkan susunan tepungnya agar bisa berinteraksi dengan air secara baik, 3) Pemasakan, Tepung dikonversi menjadi gula melalui proses pemecahan
menjadi
gula
kompleks
(liquefaction)
dan
sakarifikasi
(Saccharification) dengan penambahan air, enzim serta panas (enzim hidrolisis). Pemilihan jenis enzim sangat bergantung terhadap supplier untuk menentukan pengontrolan proses pemasakan. Tahap
Likuifikasi
memerlukan
penanganan
sebagai
berikut:
1)
Pencampuran dengan air secara merata hingga menjadi bubur, 2) Pengaturan pH agar sesuai dengan kondisi kerja enzim, 3) Penambahan enzim (alpha-amilase) dengan perbandingan yang tepat, 4) Pemanasan bubur hingga kisaran 80 sd 90°C, dimana tepung-tepung yang bebas akan mengalami gelatinasi (mengental seperti jeli) seiring dengan kenaikan suhu, sampai suhu optimum enzim bekerja memecahkan struktur tepung secara kimiawi menjadi gula komplek (Dekstrin). Proses Likuifikasi selesai ditandai dengan parameter dimana bubur yang diproses menjadi lebih cair seperti sup. Tahap sakarifikasi (pemecahan gula kompleks menjadi gula sederhana) melibatkan proses sebagai berikut: 1) Pendinginan bubur sampai suhu optimum enzim sakarifikasi bekerja, 2) Pengaturan pH optimum enzim, 3) Penambahan enzim (glukoamilase) secara tepat , 4) Mempertahankan pH dan Suhu pada rentang 50 sd 60°C sampai proses sakarifikasi selesai (dilakukan dengan pengetesan gula sederhana yang dihasilkan).
119
8.3.4.2 Fermentasi Pada tahap ini, tepung telah sampai pada titik telah berubah menjadi gula sederhana (glukosa dan sebagian fruktosa) dimana proses selanjutnya melibatkan penambahan enzim yang diletakkan pada ragi (yeast) agar dapat bekerja pada suhu optimum. Proses fermentasi tersebut akan menghasilkan etanol dan CO 2 . Bubur kemudian dialirkan kedalam tangki fermentasi dan didinginkan pada suhu optimum kisaran 27 sd 32°C, dan membutuhkan ketelitian agar tidak terkontaminasi oleh mikroba lainnya. Karena itu keseluruhan rangkaian proses dari liquefaction, sakarifikasi dan fermentasi haruslah dilakukan pada kondisi bebas kontaminan. Selanjutnya ragi akan menghasilkan etanol sampai kandungan etanol dalam tangki mencapai 8 sd 12 % (biasa disebut dengan cairan beer), dan selanjutnya ragi tersebut akan menjadi tidak aktif, karena kelebihan etanol akan berakibat racun bagi ragi. Tahap selanjutnya yang dilakukan adalah destilasi, namun sebelum destilasi perlu dilakukan pemisahan padatan-cairan, untuk menghindari terjadinya clogging selama proses distilasi. 8.3.4.3 Distilasi Distilasi dilakukan untuk memisahkan etanol dari bir (sebagian besar adalah air dan etanol). Titik didih etanol murni adalah 78°C sedangkan air adalah 100°C (Kondisi standar). Dengan memanaskan larutan pada suhu rentang 78 100°C akan mengakibatkan sebagian besar etanol menguap, dan melalui unit kondensasi akan bisa dihasilkan etanol dengan konsentrasi 95 % volume. 8.3.4.4 Persentase Penggunaan Energi Persentase perkiraan penggunaan energi panas/steam dan listrik diuraikan dalam Tabel 21.
8.3.4.5 Peralatan Proses Adapun rangkaian peralatan proses yang digunakan pada proses produksi Etanol adalah sebagai berikut: •
Peralatan penggilingan
120
•
Pemasak, termasuk support, pengaduk dan motor, steam line dan insulasi
•
External Heat Exchanger
•
Pemisah padatan - cairan (Solid Liquid Separators)
•
Tangki Penampung Bubur
•
Unit Fermentasi (Fermentor) dengan pengaduk serta motor
•
Unit Distilasi, termasuk pompa, heat exchanger dan alat kontrol
•
Boiler, termasuk sistem feed water dan softener
•
Tangki Penyimpan sisa, termasuk fitting
•
Tangki penyimpan air hangat, termasuk pompa dan pneumatik
•
Pompa Utilitas, Kompresor dan kontrol
•
Perpipaan dan Elektrikal Tabel 21 Persentase penggunaan energi dalam proses produksi Etanol Identifikasi Penerimaan bahan baku, penyimpanan, dan penggilingan Pemasakan (liquefaction) dan Sakarifikasi Produksi Enzim Amilase Fermentasi Distilasi Etanol Dehidrasi (jika ada) Penyimpanan Produk Utilitas Bangunan TOTAL
Proses Uap
Listrik
0%
6.1 %
30.5 %
2.6 %
0.7 %
20.4 %
0.2 %
4%
58.5 %
1.6 %
6.4 %
27.1 %
0%
0.7 %
2.7 %
27 %
1%
0.5 %
100 %
100 %
Sumber: A Guide to Commercial-Scale Etanol Production and Financing 2005 Solar Energy Research Institute (SERI), 1617 Cole Boulevard, Golden, CO 80401
8.3.5 Kapasitas Pabrik Kapasitas pabrik etanol yang akan dibangun sangat dipengaruhi peluang pasar yang ditentukan berdasarkan tren permintaan dan persaingan. Selain itu ketersediaan bahan baku juga dijadikan batasan dalam menentukan kapasitas pabrik.
121
8.3.5.1 Peluang Pasar Berdasarkan prediksi permintaan Etanol pada Tabel 19 maka diketahui pada tahun 2010 terdapat permintaan dunia kira-kira 14 milyar galon Etanol per tahun. Data produksi Etanol Indonesia menunjukkan pada tahun 2004 hingga 2006 mengambil pangsa pasar sekitar 0,40%. yang selama ini digunakan untuk keperluan industri minuman serta farmasi dan sebagian lagi diekspor ke sejumlah negara, maka dengan kemampuan yang sama pada tahun 2010 minimal Produk Etanol Indonesia masih memiliki peluang memproduksi kira-kira 56 juta galon. Peluang pasar baik di dalam maupun di luar negeri masih dapat ditingkatkan dengan memafaatkan ketersediaan bahan baku yang melimpah di Indonesia dan juga didukung oleh kebijakan pemerintah seperti disediakannya insentif bagi produsen etanol, keringanan pajak atau peraturan penggunaan kandungan Etanol dalam bensin. Bahkan menurut perkiraan www.marketresearch.com [2007], Produksi etanol Indonesia diprediksi mencapai 96 juta galon pada tahun 2010.
8.3.5.2 Ketersediaan Bahan Baku Menurut Pimentel dan Patzak (2005), 1 liter Etanol dapat dihasilkan dari 2,69 kg jagung atau memerlukan 10,18 kg untuk menghasilkan 1 galon etanol, sehingga dengan produksi jagung di Kabupaten Probolinggo yang saat ini ratarata 240.000 ton per tahun, maka dapat direncanakan pendirian industri Etanol yang berkapasitas 85 juta liter per tahun atau 23 juta galon per tahun. Kapasitas pabrik dapat ditingkatkan hingga 50 juta galon per tahun dengan pengembangan agropolitan. Peningkatkan produksi bahan baku (jagung) dengan perluasan lahan panen dan peningkatan produktivitas jagung di Kabupaten Probolinggo. Berdasarkan analisis prediksi permintaan, peluang pasar dan ketersediaan bahan baku di atas, maka ditentukan kapasitas pabrik bisa mencapai 50 juta galon etanol per tahun. Kapasitas ini ditentukan karena besarnya peluang pasar bagi produksi Indonesia pada tahun 2010 adalah 56 hingga 96 juta galon etanol. Ketersediaan bahan baku (jagung) di Kabupaten Probolinggo saat ini sebesar 240.000 ton per tahun dengan total lahan mencapai 56.000 hektar. Dimana Produktifitas hasil jagung tertinggi di Jawa Timur berada di Probolinggo (3,6 ton/ha). Selama ini penggunaannya adalah 5 persen untuk konsumsi dan sisanya
122
digunakan sebagai bahan baku pakan ternak. Umumnya, para petani menjual hasil panennya langsung ke beberapa pabrik makanan ternak yang ada di Mojokerto dan sekitarnya. Beberapa lainnya memilih menjual jagung ke tengkulak yang mendatanginya di sawah untuk mencukupi permintaan di beberapa pasar setempat. 8.3.6 Model Analisis Kelayakan Finansial 8.3.6.1 Kriteria Kelayakan Alat ukur atau kriteria kelayakan digunakan ntuk menentukan apakah suatu usaha tersebut menguntungkan atau layak untuk diusahakan. Alat ukur atau kriteria tersebut digunakan untuk mengambil keputusan layak tidaknya suatu usaha untuk dijalankan. Alat ukur atau kriteria yang biasa dipakai adalah dengan menggunakan NPV (Net Present value), Net B/C ( Net Benefit Cost ratio), IRR (Internal Rate Of Return), BEP (Break Even Point) dan PBP (Pay Back Period). Net present value dapat diartikan sebagai nilai bersih sekarang, menunjukan keuntungan yang akan diperoleh selama umur investasi. Net benefit cost ratio menujukkan berapa kali lipat keuntungan yang akan diperoleh dari besarnya investasi yang dikeluarkan. Internal rate of return menunjukkan prosentase keuntungan yang akan diperoleh dari usaha tersebut tiap tahun. IRR merupakan kemampuan dari usaha tersebut dalam mengembalikan atau membayar bunga bank. Pengertian yang sederhana tentang kriteria tersebut saling mendukung atau saling melengkapi dalam menunjukkan kelayakan dari suatu usaha. Analisis yang biasa digunakan dalam menilai kelayakan usaha yaitu analisis finansial. Analisis finansial pendekatannya individual, yang dimaksud dengan individu ini adalah dapat berupa perusahaan perorangan atau lembaga ekonomi (PT, CV). Analisis finansial menujukkan kelayakan usaha dilihat dari perusahaan. Keuntungan yang diraih merupukan keuntungan yang dilihat dari segi perusahaan. Analisis suatu usaha yang direncanakan diperlukan data-data yang relevan dengan usaha tersebut. Biaya yang diperlukan untuk usaha tersebut dibandingkan dengan nilai hasil produksi yang akan dicapai selama umur proyek merupakan benefit dari usaha tersebut. Pengertian biaya tersebut adalah meliputi biaya investasi dan biaya operasional/variabel.
123
8.3.6.2 Biaya Investasi Biaya investasi merupakan seluruh biaya yang dikeluarkan sebelum usaha tersebut berjalan yang meliputi biaya peralatan, mesin-mesin sesuai dengan besar kecilnya usaha tersebut. Biaya investasi tersebut dikeluarkan pada awal proyek. Biaya operasional/variabel merupakan seluruh biaya yang dikeluarkan selama proses produksi meliputi biaya tenaga kerja, produksi, bahan baku, pajak dan biaya operasional lainya yang digunakan dalam proses produksi. Pengertian benefit sebenarnya adalah pendapatan yang tampak yaitu keuntungan yang dapat dihitung atau dinilai dengan uang dan benefit yang intangible yaitu keuntungan yang sulit dihitung dengan uang. Analisis yang digunakan adalah benefit yang tampak yaitu dinilai hasil produksi tiap tahun/periode selama umur proyek. Yudiarto dan Djumali (2006) mengemukakan dari 83 buah pabrik bioetanol di AS, skalanya berkisar dari 2,5 kl/hari sampai dengan 1.000 kL/hari, meskipun pada umumnya di atas 100 kL/hari. Secara hitungan kasar, setiap kelipatan 10 kali kapasitasnya, biaya investasinya menurun separuhnya. Biaya investasi kilang bioetanol kapasitas 100 kl/hari berkisar antara Rp 2-3 milyar perkiloliternya. Wallace (2002), Memperkirakan biaya investasi pabrik etanol berkapasitas 30 juta galon per tahun adalah $73,694,000; 50 juta galon per tahun $103,136,000 dan 70 juta galon per tahun $129,879,000. Dimana biaya per galon pada kapasitas 30, 50 dan 70 juta galon per tahun bertutur-turut adalah $2.18, $1.85 dan $1.67 per galon. 8.3.6.3 Biaya Produksi Jagung berpotensi memproduksi etanol lebih baik karena rendemennya paling tinggi, yakni mencapai 55%, selain itu biaya produksinya juga murah. Misalnya dengan harga yang berlaku pada tahun 2005, untuk menghasilkan satu liter etanol cuma diperlukan 2,5 kg jagung seharga Rp 1.000/kg. Proses fermentasinya membutuhkan uap air 3,8 kg seharga Rp 304 dan listrik 0,2 kwh (Rp200). Jika harga pekerja dihitung Rp300 per liter, maka biaya produksi etanol per liter hanya Rp 3.340. Biaya produksi tersebut lebih murah jika dibandingkan dengan biaya produksi premium yang mencapai Rp 6.300.
124
Jika etanol diproyeksikan menggantikan 10% konsumsi BBM dalam negeri saat ini, maka dibutuhkan 14,4-juta ton jagung atau setara 3-juta hektar lahan jagung. Investasi jagung relatif rendah daripada tanaman lain, hanya Rp3juta/ha. Jarak sebagai bahan biodiesel membutuhkan investasi Rp8-juta-Rp9juta/ha. Amerika Serikat memproduksi etanol dari jagung, walau belum efisien, dengan biaya produksi US$ 59 per barel. Saat ini, Brasil merupakan produsen etanol terbesar di dunia, dengan kapasitas terpasang 18 miliar liter per tahun. Etanol yang dihasilkan terbuat dari tetes dan nira sehingga biaya produksinya termurah di dunia, 14-16 sen dollar AS per liter. Ini yang membuat Brasil jadi produsen etanol paling efisien dan termurah di dunia: biaya produksinya (sebelum pajak) US$ 17,5 per barel atau sekitar Rp 1.080 per liter, sedangkan produsen etanol dari bahan baku jagung Amerika Utara menghabiskan biaya produksi US$ 44,1 per barel atau sekitar Rp 2.718 per liter. Tabel 22 Input per 1000 l of 99.5% produksi etanol dari jagung Input
Jumlah
kcal × 1000
Biaya ($)
Corn grain
2,690 kg
2,522
284.25
Corn transport
2,690 kg
322
21.40
Water
40,000 l
90
21.16
Stainless steel
3 kg
12
10.60
Steel
4 kg
12
10.60
Cement
8 kg
8
10.60
Steam
2,546,000 kcal
2,546
21.16
392 kWh
1,011
27.44
9 kcal/L
69
40.00
20 kg BOD
6,597
6.0
Electricity 95% ethanol to 99.5% Sewage effluent Total
453.21
Sumber: Pimentel dan Patzek 2005
Biaya produksi bioetanol di Brazil termurah karena listrik dan uap air yang digunakan dalam
proses dapat dipenuhi melalui pembakaran ampas tebu,
sehingga biaya produksinya hanya setengah harga bensin. Sedangkan di AS, karena menggunakan gas alam sebagai bahan bakar proses, mengalami penigkatan
125
biaya produksi karena gas alam juga ikut naik bersama kenaikan harga minyak. Sebagai gambaran, per-30 Agustus 2005, ketika harga mentah US$69,81/barel, harga bensin Rp 6.500,-/liter dan bioetanol Rp 5.600,-/liter (asumsi 1US$1 = Rp10.000) (Yudiarto & Djumali 2006).
Berdasarkan uraian di atas, maka ditentukan asumsi-asumsi yang digunakan dalam analisis kelayakan industri etanol adalah sebagai berikut: 1.
Umur ekonomis proyek 10 tahun
2.
Sumber dana pembiayaan bank konvensional pada suku bunga 14 %
3.
Perbandingan modal pinjaman dengan modal sendiri adalah (DER = 60:40)
4.
Jangka waktu pelunasan pinjaman selama 10 tahun dengan tenggang waktu 3 tahun selama masa pendirian pabrik
5.
Harga beli jagung pipilan Rp.1.900,-/kg
6.
Harga jual etanol Rp. 7.000,-/liter atau Rp. 26.497,-/galon
7.
Untuk menghasilkan satu liter etanol memerlukan 2,3 kg jagung pipilan kering
8.
Kapasitas pabrik adalah 10 juta galon etanol per tahun, pada tahun pertama beroperasi 80%, tahun kedua 90%, tahun ketiga dan seterusnya 100%
9.
Waktu operasi pabrik 8 jam/hari untuk 25 hari kerja/bulan setara 200 jam/bulan atau 2400 jam/tahun
10.
Biaya penyusutan menggunakan metode garis lurus dengan nilai sisa pada tahun kesepuluh 10 %
11.
Pajak dihitung berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2000 tentang pajak penghasilan. Tarif pajak untuk wajib pajak beban dalam negeri dan bentuk usaha tetap sebesar 10% untuk 50 juta pertama, 15% untuk pendapatan di atas 50 juta sampai dengan 100 juta, dan selanjutnya 30% di atas 100 juta dari pendapatan kena pajak.
Input data model kalayakan agroindustri menggunakan basis data biaya investasi, biaya tetap dan biaya variabel. Hasil analisis berdasarkan proyeksi labarugi dan cash flow dapat dilihat pada Lampiran. Secara rinci hasil analisis kelayakan investasi agroindustri etanol sebesar 10 juta galon per tahun dengan
126
menggunakan dana bank konvensional pada suku bunga 14% menunjukkan PBP 7,07 tahun dengan nilai NPV Rp. 56,615 milyar dan IRR 19,07%. dan B/C 1,04. Analisis sensitivitas untuk mengetahui variabel yang berpengaruh terhadap kriteria investasi dan biaya terhadap berbagai kemungkinan yang mungkin terjadi seperti fluktuasi harga, baik harga jual etanol maupun harga beli jagung kering pipilan sebagai bahan baku etanol dan peruahan suku bunga bank. Analisis sesitivitas dilakukan dengan tiga skenario, yaitu: 1) harga jagung berubah, sedangkan harga etanol dan suku bunga tetap, 2) harga etanol berubah, sedangkan harga jagung dan suku bunga tetap, dan 3) suku bunga berubah, sedangkan harga jagung dan harga etanol berubah. Berdasarkan ketiga seknario tersebut akan diketahui nilai kritis dari harga jagung, harga etanol dan suku bunga. Hasil analisis sensitivitas dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23 Hasil analisis sensitivitas Skenario Perubahan
Kriteria Investasi
No
Harga Jagung (Rp./kg)
Harga Etanol (Rp./galon)
Suku Bunga (%)
I
1800
26497
14
1900
26497
2000 II
III
NPV (Rp.Milyar)
IRR (%)
PBP (th)
B/C
86,863
22,58
6,12
1,06
14
56,615
19,70
7,07
1,04
26497
14
26,367
16,71
8,38
1,02
2100
26497
14
-3,881
13,59
10,31
1,00
1900
26500
14
56,719
19,71
7,06
1,04
1900
26100
14
42,821
18,35
7,62
1,03
1900
25700
14
28,922
16,97
8,25
1,02
1900
25300
14
15,024
15,56
9,00
1,01
1900
24900
14
1,126
14,12
9,92
1,00
1900
24500
14
-12,772
12,65
11,06
0,99
1900
26497
14
56,615
19,70
7,07
1,04
1900
26497
16
28,364
19,04
8,15
1,02
1900
26497
18
3,366
18,38
9,72
1,00
1900
26497
20
-18,842
17,73
12,45
0,98
Pada skenario pertama, hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa harga kritis jagung dengan harga jual etanol Rp. 26.497,- per galon dan suku
127
bunga 14% adalah sekitar Rp.2.100/kg. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 23
NPV (Milyar Rupiah)
dan grafik analisis sensitivitas harga jagung terhadap NPV pada Gambar 29.
100,000 90,000 80,000 70,000 60,000 50,000 40,000 30,000 20,000 10,000 0 -10,000
86,863
56,615
26,367
1800
1900
2000
-3,881 2100
Harga Jagung (Rp/kg)
Gambar 29 Analisis sensitivitas harga jagung terhadap NPV (skenario I)
Pada skenario kedua, hasil analisis sensitivitas menunjukkan dengan harga jual jagung tetap Rp. 1900/ kg dan suku bunga tetap 14% diketahui harga etanol yang kritis adalah sekitar Rp. 24.900/galon . Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 24 dan grafik analisis sensitivitas harga etanol terhadap NPV pada Gambar 30.
70,000
NPV (Milyar Rupiah)
60,000
56,719
50,000 42,821
40,000 30,000
28,922
20,000
15,024
10,000
1,126
0 -10,000
26500
26100
25700
25300
24900
24500 -12,772
-20,000 Harga Etanol (Rp/galon)
Gambar 30 Analisis sensitivitas harga etanol terhadap NPV (skenario II)
128
Pada skenario ketiga dengan harga jagung Rp. 1.900/kg dan harga etanol Rp. 26.497/galon, suku bunga kritis adalah sekitar 18%. Hal ini dapat dilihat pada
NPV (Milyar Rupiah)
Tabel 24 dan grafik analisis sesitifitas suku bunga terhadap NPV pada Gambar 31.
70,000 60,000 50,000 40,000 30,000 20,000 10,000 0 -10,000 -20,000 -30,000
56,615
28,364 3,366 14
16
18
20 -18,842
Suku Bunga (%)
Gambar 31 Analisis sensitivitas suku bunga terhadap NPV (skenario III)
8.3.7 Desain Agroindustri dengan Pendekatan Material Driven Berdasarkan analisis kelayakan pasar pada bab desain industri etanol sebelumnya, maka diperoleh kapasitas optimal berdasarkan kondisi pasar adalah 10 juta galon per tahun. Desain agroindustri selain dapat dilakukan dengan pendekatan market driven dapat pula dilakukan dengan pendekatan material driven, yaitu dengan melihat ketersediaan dan potensi bahan baku sebagai dasar desain. Kabupaten Probolinggo merupakan kabupaten yang memiliki potensi produksi jagung yang sangat tinggi. Oleh karena itu pendekatan material driven dalam desain agroindustri etanol sebagai basis pengembangan kawasan agropolitan diperlukan untuk dianalisis lebih lanjut. Pada Tabel 24 di bawah ini dapat dilihat beberapa skenario desain agroindustri etanol dengan beberapa kapasitas.
129
Tabel 24 Skenario Perubahan Kapasitas Industri Etanol No
Kapasitas Pabrik (Galon/th)
Kapasitas Pabrik (liter/th)
Kebutuhan Jagung (ton/th)
Kebutuhan Lahan Ha/th *
Kebutuh an Bahan Baku % **
NPV (Milyar Rupiah)
1
10,000,000
37,854,110
87,064.453
23,530.933
37.854
56,615
2
20,000,000
75,708,220
174,128.906
47,061.866
75.708
131,445
3
30,000,000
113,562,330
261,193.359
70,592.800
113.562
202,034
4
40,000,000
151,416,440
348,257.812
94,123.733
151.416
261,326
* (Rata-rata produktivitas jagung di Kab Prob =3.7ton/ha/th) ** (Rata-rata produksi jagung Kab Prob= 230.000 ton/th)
Dapat diketahui pada Tabel 24 bahwa NPV masih positif untuk keempat skenario kapasitas industri tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa pabrik layak untuk didirikan pada kapasitas 10 juta galon, 20 juta galon, 30 juta galon dan 40 juta galon per tahun. Berdasarkan kapasitas tersebut, maka dapat ditentukan kebutuhan bahan baku (jagung) dan kebutuhan lahan untuk produksi jagung. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar pengembangan kawasan agropolitan selanjutnya.
129
Tabel 24 Skenario Perubahan Kapasitas Industri Etanol No
Kapasitas Pabrik (Galon/th)
Kapasitas Pabrik (liter/th)
Kebutuhan Jagung (ton/th)
Kebutuhan Lahan Ha/th *
Kebutuh an Bahan Baku % **
NPV (Milyar Rupiah)
1
10,000,000
37,854,110
87,064.453
23,530.933
37.854
56,615
2
20,000,000
75,708,220
174,128.906
47,061.866
75.708
131,445
3
30,000,000
113,562,330
261,193.359
70,592.800
113.562
202,034
4
40,000,000
151,416,440
348,257.812
94,123.733
151.416
261,326
* (Rata-rata produktivitas jagung di Kab Prob =3.7ton/ha/th) ** (Rata-rata produksi jagung Kab Prob= 230.000 ton/th)
Dapat diketahui pada Tabel 24 bahwa NPV masih positif untuk keempat skenario kapasitas industri tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa pabrik layak untuk didirikan pada kapasitas 10 juta galon, 20 juta galon, 30 juta galon dan 40 juta galon per tahun. Berdasarkan kapasitas tersebut, maka dapat ditentukan kebutuhan bahan baku (jagung) dan kebutuhan lahan untuk produksi jagung. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar pengembangan kawasan agropolitan selanjutnya.
130
8.4 Model Penentuan Pusat dan Wilayah Pendukung Agropolitan 8.4.1 Pengklasteran Wilayah Pengklasteran wilayah dilakukan untuk mengelompokkan kecamatankecamatan yang memiliki potensi sumberdaya wilayah yang serupa.
Potensi
sumberdaya wilayah terdiri dari potensi sumberdaya manusia, potensi sumberdaya buatan dan sosial, potensi sumberdaya pertanian, serta potensi sumberdaya industri. Data potensi Kabupaten Probolinggo dapat dilihat pada Lampiran 6 sampai 9, sedangkan hasil analisis klaster berupa mean klaster, jarak antar klaster dan analisis varian dapat dilihat pada Lampiran 13. 8.4.1.1 Potensi Sumberdaya Manusia Potensi sumberdaya manusia diketahui dari data yang berhubungan dengan potensi sumberdaya manusia dalam variabel demografi, pendidikan dan kesehatan. Data sumberdaya manusia di Kabupaten Probolinggo dapat dilihat pada Lampiran 6, Konfigurasi spasial potensi sumberdaya manusia Kabupaten Probolinggo dapat dilihat pada Gambar 32.
Gambar 32 Konfigurasi spasial potensi sumberdaya manusia Kabupaten Probolinggo
Berdasarkan data potensi sumberdaya manusia yang diolah dalam model klaster wilayah maka diperoleh pengklasteran wilayah sebagai berikut:
131
Klaster 1 : Bantaran, Tegalsiwalan, Kota Anyar, Wonometo, Tongas. Klaster 2 : Banyuanyar, Paiton, Besuk, Krejengan, Maron, Gending. Klaster 3 : Leces, Kraksaan, Pajarakan, Dringu, Sumberasih. Klaster 4 : Kuripan, Tiris, Gading, Pakuniran, Lumbang. Klaster 5 : Sukapura, Sumber, Krucil. Setiap
klaster
memiliki
kesamaan
karakteristik
pada
persentase
pengunjung posyandu dan persentase tidak tamat sekolah, tetapi memiliki perbedaan karakteristik sebagai berikut: Klaster 1
: Pertumbuhan penduduk, rasio murid/guru Sekolah Dasar (SD) dan tidak tamat SD paling tinggi; rasio laki-laki/perempuan paling rendah, persentase tamat SD dan persentase tamat SMA paling rendah.
Klaster 2
: Rasio laki-laki/perempuan, rasio murid/guru SMA paling tinggi; rasio murid/guru SD dan persentase tidak tamat SD paling rendah.
Klaster 3
: Kepadatan penduduk, rasio guru/murid SMP, angka kelahiran, tamat SMP, persentase tamat SMA dan persentase tamat akademik/perguruan tinggi paling tinggi.
Klaster 4
: Persentase tamat SD paling tinggi; pertumbuhan penduduk, angka kelahiran dan angka kematian paling rendah.
Klaster 5
: Angka kematian paling tinggi; kepadatan penduduk, rasio murid/guru SMP, rasio murid/guru SMA, persentase tamat SMP dan persentase tamat akademik/perguruan tinggi paling rendah.
Berdasarkan karakteristik klaster yang telah diuraikan di atas, maka dapat diketahui bahwa klaster 3 merupakan klaster dengan potensi sumberdaya manusia paling tinggi, kemudian berturut-turut hingga paling rendah adalah: klaster 2, klaster 1, klaster 4 dan klaster 5.
8.4.1.2 Potensi Sumberdaya Buatan dan Sosial Dalam aspek ini data yang digunakan adalah keragaan sumberdaya buatan termasuk infrastruktur, data kelembagaan masyarakat yang ada, serta nilai indeks fasilitas. Nilai indeks fasilitas merupakan hasil analisis terhadap sumberdaya
132
buatan dengan metode skalogram. Nilai Indeks Fasilitas pada setiap kecamatan Probolinggo dapat dilihat pada Tabel 25, sedangkan data sumberdaya buatan dan sosial secara keseluruhan dapat dilihat pada Lampiran 7. Konfigurasi spasial potensi sumberdaya buatan Kabupaten Probolinggo dapat dilihat pada Gambar 33. Tabel 25 Data indeks fasilitas per kecamatan di Kabupaten Probolinggo Jumlah Pdd (Orang)*
Indeks Fasilitas**
Jumlah Pdd (Orang)*
Indeks Fasilitas**
10.208,53
20.581
5.327,94
72.566
2,393
Sumber
14.188,13
Besuk
3.503,63
49.613
1,328
Kuripan
0,631
Kraksaan
3.779,75
68.869
2,669
42.680
1,081
Krejengan
3.442,84
41.476
1,522
3.680,97
58.161
1,921
Pajarakan
2.134,35
32.643
1,440
Tegalsiwalan
4.173,56
35.838
0,989
Maron
5.139,27
65.947
1,809
Banyuanyar
4.569,63
54.998
1,366
Gending
3.661,48
42.254
1,554
Tiris
16.566,69
69.682
1,054
Dringu
3.113,54
53.910
1,283
Krucil
20.252,66
52.552
1,360
Wonomerto
4.566,84
42.053
1,044
Gading
14.684,64
58.034
1,855
Lumbang
9.271,00
31.705
1,013
Pakuniran
11.385,00
46.502
1,421
Tongas
7.795,20
65.758
2,104
Kotaanyar
4.258,00
36.979
1,195
Sumberasih
3.025,41
62.038
1,420
Kecamatan
Luas (m2)*
Kecamatan
Luas (m2)*
Sukapura
1,103
Paiton
26.435
0,741
6.674,70
30.923
Bantaran
4.212,83
Leces
Sumber: * BPS Kabupaten Probolinggo, 2009 ** Pengolahan data
Berdasarkan data potensi sumberdaya buatan dan sosial yang diolah dalam model klaster wilayah maka diperoleh pengklasteran wilayah sebagai berikut: Klaster 1
: Tiris, Gading, Pakuniran, Krejengan, Tongas.
Klaster 2
: Besuk, Kraksaan, Maron.
Klaster 3
: Sukapura, Bantaran, Leces, Tegalsiwalan, Banyuanyar, Kotaanyar, Pajaakan, Gending, Dringu, Woomerto, Sumberasih.
Klaster 4
: Paiton.
Klaster 5
: Sumber, Kuripan, Krucil, Lumbang.
Klaster 5 merupakan klaster yang memiliki potensi sumberdaya buatan dan sosial paling rendah di antara klaster lainnya, sedangkan klaster 3, klaster 1, klaster 2 dan klaster 4 berturut-turut adalah klaster yang memiliki potensi sumberdaya buatan dan sosial dari rendah hingga paling tinggi. Hal ini dapat
133
diketahui dari karakteristik masing-masing klaster, dimana terdapat kesamaan jumlah desa swakarsa, tetapi terdapat perbedaan karakteristik sebagai berikut: Klaster 1
: Indeks fasilitas sedang; Jumlah desa swadaya mula paling tinggi.
Klaster 2
: Indeks fasilitas tinggi; Jumlah desa swadaya madya paling tinggi dan jumlah desa swadaya mula paling rendah.
Klaster 3
: Indeks fasilitas rendah; Jumlah Lembaga Ketahanan Desa (LKD) II paling rendah.
Klaster 4
: Indeks fasilitas, LKD , LKD II, dan jumlah desa swadaya lanjut paling tinggi.
Klaster 5
: Indeks fasilitas, jumlah desa swadaya madya dan lanjut paling rendah.
Gambar 33 Konfigurasi spasial potensi sumberdaya buatan Kabupaten Probolinggo
8.4.1.3 Potensi Sumberdaya Pertanian Data yang digunakan dalam analisis potensi sumberdaya pertanian adalah nilai LQ (Location Quotient), data produksi, luas panen dan produktivitas sepuluh komoditi pertanian unggulan di Kabupaten Probolingggo yaitu: padi, jagung, ubi kayu, bawang merah, kentang, kubis, cabe merah, pisang, alpukat, mangga {Dinas Pertanian Kab Probolinggo, 2009). Nilai LQ empat komoditi unggulan dapat dilihat pada Tabel 26, sedangkan data lengkap dapat dilihat pada Lampiran 8.
134
Tabel 26 Nilai LQ Komoditi unggulan terprioritas pada Kabupaten Probolinggo,2008 Kecamatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Sukapura Sumber Kuripan Bantaran Leces Tegalsiwalan Banyuanyar Tiris Krucil Gading Pakuniran Kotaanyar Paiton Besuk Kraksaan Krejengan Pajarakan Maron Gending Dringu Wonomerto Lumbang Tongas Sumberasih
Jagung 0.537 0.268 1.583 1.416 1.717 1.518 1.602 1.753 1.952 0.039 0.755 1.088 1.711 0.271 0.134 0.018 0.078 1.156 0.267 0.440 1.849 0.751 0.672 1.799
LQ Bwg Merah Kentang 0.000 12.299 0.000 16.321 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.787 0.000 3.476 0.000 0.478 0.000 0.000 0.053 0.000 0.000 0.000 0.000 0.016 0.000 0.004 0.000 0.000 0.000 0.014 0.000 0.758 0.000 0.351 0.000 0.039 0.000 2.192 0.000 6.649 0.000 0.000 0.000 0.000 0.072 0.002 0.000 0.443 0.000
Mangga 0.031 0.039 0.019 0.866 0.891 1.299 0.507 0.022 0.024 2.216 2.239 0.000 0.000 3.038 2.510 3.096 0.243 0.179 0.000 0.370 0.366 6.001 1.141 1.072
Sumber: BPS Kabupaten Probolinggo, 2009, data diolah.
Berdasarkan data potensi sumberdaya pertanian maka diperoleh klaster wilayah seperti pada Gambar 34 dengan keterangan sebagai berikut: Klaster 1
: Kuripan, Tiris, Krusil, Tongas.
Klaster 2
: Pakuniran, Kotaanyar, Paiton, Maron, Lumbang.
Klaster 3
: Gading, Besuk, Kraksaan, Krejengan, Pajarakan, Gending.
Klaster 4
: Bantaran, Leces, Tegalsiwalan, Banyuanyar, Dringu, Wonomerto, Sumberasih.
Klaster 5
: Sukapura, Sumber.
135
Gambar 34 Konfigurasi spasial potensi sumberdaya pertanian Kabupaten Probolinggo
Masing-masing klaster memiliki kesamaan pada LQ cabe merah, produksi mangga, produktivitas pisang dan luas panen pisang, dan luas panen mangga, sedangkan karakteristik masing-masing klaster lainnya adalah sebagai berikut: Klaster 1
: LQ, produksi dan luas panen pada komoditi jagung, ubi kayu, alpukat paling tinggi; produksi dan luas panen cabe merah paling tinggi; produksi, produktivitas dan luas panen bawang merah paling rendah.
Klaster 2
: LQ, produksi dan luas panen ubi kayu paling rendah; produktivitas mangga paling rendah.
Klaster 3
: LQ, produksi dan luas panen untuk komoditi padi dan pisang paling tinggi;
LQ mangga
paling
tinggi;
LQ,
produksi,
produktivitas dan luas lahan untuk komoditi kentang dan kubis paling rendah; LQ, produksi dan luas panen jagung dan alpukat paling rendah; produktivitas ubi kayu paling rendah. Klaster 4
: LQ, produksi, produktivitas dan luas panen bawang merah paling tinggi; produktivitas ubi kayu dan jagung paling tinggi; LQ, produksi, produktivitas dan luas panen kentang dan kubis paling rendah.
136
Klaster 5
: LQ, produksi, produktivitas dan luas panen kentang dan kubis paling tinggi; produktivitas cabe merah, alpukat, mangga paling tinggi; LQ, produksi, produktivitas dan luas panen bawang merah paling rendah; produksi dan luas panen cabe merah paling rendah; LQ mangga dan pisang paling rendah.
Berdasarkan potensi komoditi jagung (LQ, produksi, produktivitas, dan luas panen jagung), maka diperoleh klaster seperti pada Gambar 35 dengan keterangan sebagai berikut: Klaster 1
: Leces, Tegalsiwalan, Banyuanyar, Tongas, Sumberasih.
Klaster 2
: Kuripan, Tiris, Krucil.
Klaster 3
: Sukapura,
Bantaran,
Pakuniran,
Paiton,
Maron,
Dringu,
Wonomerto, Lumbang. Klaster 4
: Sumber, Kotaanyar, Gending.
Klaster 5
: Gading, Besuk, Kraksaan, Krejengan, Pajarakan,
Gambar 35 Konfigurasi spasial potensi komoditi jagung Kabupaten Probolinggo
Masing-masing klaster memiliki karakteristik sebagai berikut: Klaster 1
: Produktivitas paling tinggi; LQ, produksi dan luas panen tinggi.
Klaster 2
: LQ, produksi dan luas panen paling tinggi; produktivitas paling rendah.
137
Klaster 3
: LQ, produksi, produktivitas dan luas panen sedang.
Klaster 4
: LQ, produksi, produktivitas dan luas panen rendah.
Klaster 5
: LQ, produksi dan luas panen paling rendah; produktivitas tinggi.
8.4.1.4 Potensi Sumberdaya Industri Industri yang ada di Kabupaten Probolinggo terdiri dari lima jenis industri, yaitu pangan, sandang dan kulit, kerajinan umum, kimia dan bangunan, serta logam. Data yang digunakan dalam analisis potensi industri adalah jumlah unit usaha dan jumlah tenaga kerja pada masing-masing kelompok industri tersebut. Jumlah industri pangan pada tahun 2008 di Kabupaten Probolinggo adalah 3429 unit industri dengan jumlah tenaga kerja 3116 orang. Jumlah unit industri dan tenaga kerja untuk industri sandang, kimia, kerajinan dan logam berturut turut adalah 640 unit industri dengan 1655 orang tenaga kerja, 1974 unit industri dengan 2786 orang tenaga kerja, 998 unit industri dengan 747 orang tenaga kerja, dan 320 unit industri dengan 360 orang tenaga kerja (BPS Kab Probolinggo, 2009). Berdasarkan data potensi sumberdaya industri (Lampiran 9) yang diolah dalam Model Klaster Wilayah maka diperoleh pengklasteran (Gambar 36) sebagai berikut: Klaster 1
: Sukapura, Sumber, Kuripan, Bantaran, Tegalsiwalan, Banyuanyar, Kotaanyar, Besuk, Wonomerto.
Klaster 2
: Gading, Paiton, Krejengan, Maron, Gending, Dringu, Lumbang, Tongas.
Klaster 3
: Leces, Pajarakan.
Klaster 4
: Krucil, Pakuniran, Sumberasih.
Klaster 5
: Tiris, Kraksaan.
Berdasarkan karakteristik pada setiap klaster, maka diketahui klaster yang memiliki potensi industri paling tinggi adalah klaster 3, kemudian berturut-turut potensi tinggi, sedang, rendah dan paling rendah adalah klaster 5, klaster 2, klaster 4, dan klaster 1. Masing-masing klaster memiliki kesamaan dalam karakteristik
138
jumlah tenaga kerja industri logam dan memiliki karakteristik lainnya sebagai berikut: Klaster 1
: Jumlah unit industri pangan, sandang-kulit, kerajinan umum paling rendah; Jumlah tenaga kerja industri sandang-kulit dan jumlah industri sedang-besar paling rendah.
Klaster 2
: Jumlah unit industri logam paling tinggi dan jumlah tenaga kerja industri kerajinan umum paling rendah.
Klaster 3
: Jumlah unit dan tenaga kerja pada industri sandang-kulit dan kimia-bahan bangunan paling tinggi; Jumlah industri sedang-besar paling tinggi; jumlah unit industri logam paling rendah; jumlah tenaga kerja industri pangan paling rendah.
Klaster 4
: Jumlah unit industri kimia-bahan bangunan paling rendah.
Klaster 5
: Jumlah unit dan tenaga kerja pada industri pangan dan kerajinan umum paling tinggi; jumlah unit industri kimia-bahan bangunan paling rendah.
Gambar 36 Konfigurasi spasial potensi sumberdaya industri Kabupaten Probolinggo
8.4.1.5 Potensi Lahan dan Agroekologi Kabupaten Probolinggo merupakan daerah yang memiliki banyak potensi di bidang pertanian yang bisa dikembangkan, terutama dalam hal ini potensi
139
sumberdaya lahan yang ada telah memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk dikelola dan dipetik hasil darinya dengan cara budidaya/ usaha tani yang tepat dan optimal, sesuai dengan kondisi dan tanahnya. Tabel 27 menyajikan beberapa jenis tanah yang ada di Kabupaten Probolinggo beserta analisis kesesuainannya dengan sejumlah komoditi unggulan berdasarkan zona agroekologi. Tabel 27 Karakter biofisik zona agroekologi, alternatif pengembangan komoditi unggulan dan penyebarannya di Kabupaten Probolinggo No
1
Suhu
Kelembaban Fisiografi
Panas Isohyp erther mic
Agak Kering Ustic
Dataran Kipas Alluvial Volkan
Lembab Udic
Plato Lereng Lahar Volkan
Agak Kering Ustic
Datran Karstik Kipas Alluvial Teras Sungai Pesisir Pantai
Sejuk 2 Isother mic
3
Zonasi Pengembangan Pertanian & Kehutanan
EKOLOGI
Panas Isohyp erther mic
Leren g
Group Tanah
>8 -15
Haplustults, Ustropepts, Calciustolls
<8 -15
Dysdrande pts, Europepets , Humitropep ts
<8
Ustropepts, Haplustalfs, Paleustalfs, Chromuster ts
Draina Sistem se
Baik
Komoditi
Kecamatan
Jambu Mente, Mangga, Lumbang, Wanatan Srikaya, Kacang Tongas, i/ Budiday Hijau, Kacang Wonometo, a Lorong Tanah, Kedele, Besuk Jagung Lengkeng, Leci WanaJambu, Jeruk, tani / Sayuran (Worte Sukapura Budiday Cabe, Kentang a Lorong Kubis, Tomat)
Baik
Pertania n Lahan Kering
Wonomerto, Bantaran Padi Gogo, Leces, Jagung, Kedelai, Tegalsiwalan, Banyuanyar, Kacang Kraksaan, Tanah, Besuk, Maron
Sumber: BPPT Jawa Timur, 2006
Analisis tingkat kesuburan, kerusakan dan kesesuaian lahan diperlukan sebagai pendukung utama kebehasilan pengembangan budidaya pertanian yang antara lain menyangkut: kondisi tanah, iklim dan hidrologinya, yang masingmasing saling menunjang satu sama lain secara sinergis. Budidaya pertanian yang telah dilakukan mempunyai tingkat ketergantungan yang sangat besar terhadap kondisi lahan dan lingkungannya. Pola pengembangan komoditi pertanian yang dapat diterapkan di tiap-tiap kecamatan
di
Kabupaten
Probolinggo
agroekologinya dapat dilihat pada Tabel 28.
berdasarkan
kesesuaian
zona
140
Tabel 28 Kesesuaian antara jenis tanah dan tanaman di Kabupaten Probolinggo No
Jenis Tanah
1
Alluvial Hidromorf (Epiaquents)
2
Alluvial Kelabu Tua (Epiaquents)
3
Alluvial Coklat Kekelabuan (Epiaquents)
4
Kompleks Regosol Kelabu dan Litosol
5
Regosol Coklat (Ustipsamments)
6
Asosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat
7 8 9 10 11 12 13 14
Asosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat Kekuningan Grumusol Kelabu (Epiaquents) Kompleks Grumusol Hitam dan Litosol Mediteran Coklat (Haplustafls) Asosiasi Mediteran Coklat dan Regosol
Lokasi/Kecamatan Gending, Pajarakan, Kraksaan, Krejengan, Besuk, Paiton Tongas, Suberasih, Wonomerto, Bantaran, Leces, Tegalsiwalan, Dringu, Gending, Pajarakan, Krejengan, Kraksaan, Maron Tongas, Sumberasih, Gensing, Pjarakan, Kraksaan, Paiton
Mangga, Bawang Merah
Jagung
Mangga, Bawang Merah,
Dringu Bantaran, Leces, Tegalsiwalan, Krejengan, Gading, Kraksaan, Besuk
Mangga, Bawang Merah, Jagung
Krucil, Tiris, Gading
Jagung
Kuripan, Sumber, Sukapura, Luimbang, Wonomerto
Mangga, Bawang Merah, Jagung
Pakuniran, Kotaanyar, Paiton
Tongas, Sumberasih, Wonomerto, Lumbang, Sukapura
Jagung
Krucil, Sukapura Tegalsiwalan, Banyuanyar, Maron, Gending. Dringu
Jagung
Kentang
Kentang
Kentang Kentang
Mangga, Bawang Merah, Jagung, Kentang Kentang Mangga, Bawang Merah, Jagung
Jagung Tegalsiwalan, Tiris
Tidak Sesuai
Kentang Mangga, Bawang Merah, Kentang ManggaBawang Merah, Jagung
Sumber, Sukapura
Mediteran Coklat dan Litosol Asosiasi Latosol Coklat dan Regosol Kelabu Kompleks Latosol Coklat Kemerahan dan Litosol
Kesesuaian Tanaman Sesuai Sesuai Bersyarat Mangga, Jagung Bawang Merah,
Kentang Kentang
Mangga, Bawang Kentang Merah, Jagung, Mangga, Anggur, Bawang Merah, Kentang Kubis, Tebu, Tembakau, Kedelai Jagung, Mangga, Kentang Bwg Merah Mangga, Bawang Merah,
Sumber: BPTP Karangploso, 2004
Menurut BPTP Propinsi Jawa Timur (2004), di Kabupaten Probolinggo kondisi bahan organik dalam tanah sangat rendah, seperti yang ada pada Kecamatan Banyuanyar, Besuk, Pakuniran, Leces, Tiris, Sumberasih, Dringu, Maron, Kraksaan, Pajarakan, Kotanayar, Tegalsiwalan, Krejengan dan Kuripan. Hal ini berkaitan dengan eksploitasi lahan tanpa memasukkan kembali bahan kering organik ke dalam lahan tersebut. Jika kondisi ini tidak segera diperbaiki, maka produktivitas lahan tidak optimal dalam mendukung kualitas dan kuantiitas produksi tanaman yang dihasilkan.
141
Berdasarkan analisis potensi lahan dan zona agroekologi terhadap kesesuaian komoditi unggulan, maka lima klaster wilayahnya (Gambar 37) adalah: Klaster 1 : Tongas, Sumberasih, Wonomerto, Lumbang Klaster 2 : Sukapura, Kuripan, Sumber Klaster 3 : Dringu, Gending, Banyuanyar, Maron, Krejengan Klaster 4 : Krucil, Tiris, Paiton, Pakuniran, Kotaanyar, Gading, Besuk Klaster 5 : Bantaran, Leces, Tegalsiwalan, Pajarakan, Kraksan
Gambar 37 Konfigurasi spasial ekologi pertanian Kabupaten Probolinggo
Komoditi potensial pada setiap klaster adalah: Klaster 1 : Mangga dan jagung Klaster 2 : Kentang Klaster 3 : Bawang Merah dan jagung Klaster 4 : Mangga Klaster 5 : Lainnya Berdasarkan kesesuaian lahan dengan komoditi jagung, maka kecamatankecamatan dalam Kabupaten Probolinggo dapat dikelompokkan menjadi (Gambar 38):
142
Klaster 1 : Paiton, Besuk, Pakuniran, Kotaanyar. Klaster 2 : Sumber, Kuripan, Banyuanyar, Lumbang. Klaster 3 : Krejengan, Sukapura, Bantaran, Leces, Tiris, Krucil, Gading, Pajarakan. Klaster 4 : Gending, Dringu, Maron, Tongas, Sumberasih, Kraksaan Klaster 5 : Wonomerto, Tegalsiwalan.
Gambar 38 Konfigurasi spasial ekologi komoditi jagung Kabupaten Probolinggo
Kesuaian lahan setiap kecamatan di Kabupaten Probolinggo terhadap komoditi jagung pada setiap klaster adalah sebagai berikut: Klaster 1 : Hanya terdapat tanah sesuai bersyarat Klaster 2 : Terdapat satu jenis tanah sesuai Klaster 3 : Terdapat satu jenis tanah sesuai dan kurang dari tiga jenis tanah sesuai bersyarat Klaster 4 : Terdapat dua jenis tanah sesuai atau satu jenis tanah sesuai bersyarat dengan tiga atau lebih jenis tanah sesuai bersyarat Klaster 5 : Terdapat tiga atau lebih jenis tanah sesuai atau dua sesuai dengan dua atau lebih sesuai bersyarat
143
8.4.2 Penentuan Kawasan Agropolitan Klaster wilayah yang telah dianalisis, selanjutnya akan digunakan untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang pada kawasan agropolitan. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya (UU No.26 tahun 2007 tentang penataan ruang). Struktur ruang pada kawasan agropolitan terdiri dari kawasan pendukung dan pusat kawasannya. Struktur ruang ini ditentukan dengan menggunakan sistem pakar. Aturan-aturan yang digunakan dalam sistem pakar dapat dilihat pada Lampiran 1.
8.4.2.1 Kawasan Pendukung (Hinterland) Produk Etanol Berbahan baku Jagung merupakan produk yang terpilih dalam model sebelumnya. Hal ini yang menjadikan dasar dalam pembangunan kawasan agropolitan. Berdasarkan klaster potensi sumberdaya pertanian, klaster potensi komoditi jagung dan klaster kesesuaian lahan dan agroekologi terhadap komoditi jagung, maka diperoleh pengelompokan kawasan pendukung dengan menggunakan sistem pakar (Lampiran 1) adalah sebagai berikut: Klaster 1
: Tegaslsiwalan, Tongas, Sumberasih.
Klaster 2
: Kuripan, Leces, Banyuanyar, Tiris, Krucil, Dringu, Wonomerto.
Klaster 3
: Sukapura, Bantaran, Gading, Kraksaan, Maron, Gending.
Klaster 4
: Sumber, Krejengan, Pajarakan, Lumbang.
Klaster 5
: Pakuniran, Kotaanyar, Paiton, Besuk.
Setiap klaster memiliki karakteristik sebagai berikut: Klaster 1
: Kawasan pendukung agropolitan prioritas paling tinggi.
Klaster 2
: Kawasan pendukung agropolitan prioritas tinggi.
Klaster 3
: Kawasan pendukung agropolitan prioritas sedang.
Klaster 4
: Kawasan pendukung agropolitan prioritas rendah.
Klaster 5
: Bukan kawasan pendukung.
144
Berdasarkan klaster di atas maka direkomendasikan kawasan pendukung agropolitan adalah kecamatan-kecamatan yang berada pada klaster 1, klaster 2, klaster 3 dan klaster 4. Konfigurasi spasial kawasan pendukung agropoltan dapat dilihat pada Gambar 39 di bawah ini.
Gambar 39. Konfigurasi spasial kawasan pendukung agropolitan
8.4.2.2 Pusat Agropolitan Struktur keterkaitan antara kinerja ekonomi pembangunan dengan sumberdaya wilayah seperti sumberdaya manusia, sumberdaya buatan dan sumberdaya sosial akan menentukan suatu pusat agropolitan. Pusat agropolitan ditentukan berdasarkan kinerja perekonomian yang kompetitif dan potensi sumberdaya wilayah yang tinggi. Diharapkan wilayah yang memiliki daya saing yang tinggi akan menjamin keberlangsungan dan perkembangan kawasan agropolitan. Pusat Agropolitan diharapkan dapat pula menjadi lokasi yang terbaik bagi pendirian industi pengolahan pertanian, yang dalam penelitian ini berdasarkan model pemilihan produk agroindustri prospektif direkomendasikan dibangun industri etanol berbahan baku jagung. Berdasarkan analisis potensi sumberdaya wilayah pada masing-masing kecamatan dengan menggunakan sistem pakar, maka direkomendasikan pusat agropolitan adalah Kraksaan dan atau Kuripan.
145
Jika digunakan kedua kecamatan tersebut untuk menjadi pusat agropolitan, maka akan diperoleh dua klaster wilayah agropolitan yang dibagi berdasarkan jarak terdekat antara wilayah pendukung dengan pusat agropolitan. Pembagian wilayah menjadi dua klaster adalah sebagai berikut: Klaster I
: Kraksaan,Tegalsiwalan, Banyuanyar, Pakuniran, Kotaanyar, Paiton, Besuk,Krejengan, Pajarakan, Maron, Gending, Dringu, Tiris, Krucil, Gading
Klaster II : Kuripan, Sukapura, Sumber, Bantaran, Leces, Wonomerto, Lumbang Tongas, Sumberasih
8.5. Model Penentuan Sarana Prasarana Agropolitan 8.5.1 Alternatif Sarana Prasarana Alternatif sarana prasarana ditentukan berdasarkan rencana pengembangan sarana prasarana pada Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Kabupaten Prbolinggo, pada DPU Cipta Karya, DPU Bina Marga, dan DPU Pengairan. Pada model ini alternatif yang digunakan adalah rencana yang memiliki biaya empat terbesar dibandingkan rencana lainnya. Adapun alternatifnya adalah sebagai berikut: DPU Cipta Karya (Pemukiman) 1. Rehabilitasi kantor kecamatan Gending 2. Penyediaan prasarana air bersih, Tegalsiwalan 3. Pembangunan pasar produk unggulan di Kec Tongas 4. Pembangunan pasar Maron DPU Bina Marga 1. Pendamping pembangunan jembatan Kunci, Lumbang 2. Pembangunan jembatan Pohkecik, Tiris 3. Peningkatan jalan Yos Sudarso, Dringu 4. Pembangunan jembatan Desa Munceng-Sumberbendo, Sumberasih DPU Pengairan 1. Perkuatan tebing dan pembuatan parapet, Dringu 2. Normalisasi dan perkuatan tebing kali Taposan, Tegalsiwalan Dringu 3. Rehabilitasi dam Paleran dan talang kali Bades, Kuripan 4. Perkuatan tangkis kiri kali Besuk, Kraksaan
146
8.5.2 Kriteria Pemilihan Sarana Prasarana Kriteria
pemilihan sarana prasarana pengembangan agropolitan dibagi
menjadi kriteria keuntungan dan kriteria biaya. Kriteria Keuntungan (Benefit) terdiri dari: aksesibilitas terhadap pasar, aksesibilitas terhadap pusat agropolitan, aksesibilitas terhadap sentra produksi pertanian, tingkat perbaikan kondisi perekonomian masyarakat sekitar, tingkat perbaikan sosial budaya masyarakat sekitar, peningkatan produktivitas pertanian, peningkatan kualitas lingkungan pemukiman,
tingkat kepadatan guna lahan. Kriteria Biaya (cost) terdiri dari:
keseimbangan ekologi dan lingkungan hidup serta biaya pengadaan sarana prasarana.
8.5.3 Penentuan Sarana Prasarana Kawasan Agropolitan Penetuan sarana prasarana kawasan agropolitan menggunakan pebdekatan ME-MCDM dengan metode Inpendent Preference Evaluation (IPE) dua peubah Berdasarkan pendapat tiga orang pakar (Daftar pakar dapat dilihat pada Lampiran) maka diperoleh hasil seperti pada Tabel 29 dan Gambar 40. Tebel 29 Hasil pemilihan sarana prasarana pada kawasan agropolitan No Alternatif DPU Cipta Kaya 1 Rehab kantor kecamatan Gending 2 Penyediaan prasarana air bersih, Tegalsiwalan 3 Pembangunan pasar produk unggulan di Kec Tongas 4 Pembangunan pasar Maron DPU Bina Marga 1 Pendamping pembangunan jembatan Kunci, Lumbang 2 Pembangunan jembatan Pohkecik, Tiris 3 Peningkatan jalan Yos Sudarso, Dringu Pembangunan jembatan Desa Munceng-Sumberbendo, 4 Sumberasih DPU Pengairan 1 Perkuatan tebing dan pembuatan parapet, Dringu Normalisasi dan perkuatan tebing kali taposan, 2 Tegalsiwalan Dringu Rehabilitasi dam Paleran dan talang kali Bades, 3 Kuripan 4 Perkuatan tangkis kiri kali Besuk, Kraksaan
Keuntungan
Biaya
S S T T
T T ST T
S S S
T S S
S
T
R R
S S
R
S
R
T
147
8.5.3.1 DPU Cipta Karya Berdasarkan hasil yang dapat dilihat pada Gambar 40, maka alternatif pembangunan pasar Maron merupakan alternatif dengan prioritas pertama dalam pembangunan sarana prasarana pada kawasan Agropolitan. Pembangunan Pasar Maron memiliki nilai Tinggi (T) pada keuntungan dan biaya, sehingga rasio keuntungan terhadap biaya alternatif tersebut adalah 1.
Rasio keuntungan
terhadap biaya pada alternatif lainnya seperti pembangunan pasar komoditi unggulan kecamatan Togas adalah 0,833, Rehab kantor kecamatan Gending dan Penyediaan prasarana air bersih di Tegalsiwalan masing-masng 0,800.
Keuntungan PT
ST
T
Pasar Maron S
Kantor Kec Gending, Air bersih Tegalsiwalan
Tebing Dringu; Tebing Kali Taposan; Talang Kali Bades
SR PR
Jembatan Kunci Lumbang; Jembatan Munceng
Jembatan Pohkecik; Jalan Yos Sudarso
R
PR
SR
R
Pasar Tongas
Keterangan: = Prioritas 1
Tangkis Kiri Kali Besuk
= Prioritas 2 = Prioritas 3
S
T
ST
PT
Biaya
Gambar 40 Hasil perhitungan model perencanaan prasarana dan sarana Agropolitan Kabupaten Probolinggo
8.5.3.2 DPU Bina Marga Alternatif
Pembangunan jembatan Pohkecik di Tiris dan Peningkatan
jalan Yos Sudarso di Dringu merupakan alternatif yang memiliki nilai tertinggi, sehingga dua alternatif ini merupakan alternatif dengan prioritas pertama dengan nilai keuntungan dan biaya sama-sama Sedang (S). Alternatif Pembangunan jembatan Desa Munceng-Sumberbendo di Sumberasih dan
Pendamping
pembangunan jembatan Kunci, Lumbang merupakan alternatif pada prioritas kedua dengan nilai keuntungan Sedang (S) dan biaya Tinggi (T).
148
8.5.3.3 DPU Pengairan Prioritas pertama dalam pembangunan sarana prasarana DPU Pengairan adalah alternatif perkuatan tebing dan pembuatan parapet Dringu, rehabilitasi dam Paleran dan talang kali Bades di Kuripan, serta perkuatan tangkis kiri kali Besuk di Kraksaan. Alternatif
normalisasi dan perkuatan tebing kali Taposan
Tegalsiwalan Dringu merupakan alteratif dengan nilai terendah.
8.6 Model Kelembagaan Kawasan Agropolitan Kelembagaan atau institusi dapat diartikan sebagai “aturan main” (rules of the game). Institusi juga sering diartikan sebagai “organisasi” yang melaksanakan rules of the game, atau sebagai player of the game. Institusi diartikan juga sebagai “aturan main yang telah mengalami keseimbangan” (equilibrium ruls of the game).
Kelembagaan pada dasarnya merupakan seperangkat formal dan non
formal yang mengatur perilaku (behavioural rules) dan dapat memfasilitasi terjadinya koordinasi atau mengatur hubungan-hubungan interaksi antar individuindividu. Masyarakat membuat pengaturan perilaku kepada individual bertujuan agar individual tidak mengancam/merusak keberlanjutan kehidupan masyarakat keseluruhan.
Contoh dari kelembagaan adalah kelembagaan pertukaran dari
barang dan jasa melalui ekonomi pasar )market economy) atau kelembagaan non pasar yangbanyak terdapat di wilayah perdesaan seperti bagi hasil atau sewa atau hak pakai, di mana pembagaian hasil diatur menurut kesepakatan bersama. Kelembagaan
formal
seperti
hukum
(undang-undang,
peraturan
pemerintah) ataupun kelembagaan non formal seperti banya di perdesaan (munaseuh, lembaga adat, nagari, pesirah, penyakapan lahan, ijon, dll) akan berperan dalam mengatur dan mengkoordinasikan kegiatan individual atau keleompok petani kea rah kerjasama pada suatu masyarakat perdesaan.
Namun
kebanyakan kelembagaan masyarakat komunal di wilayah perdesaan yang sebenarnya mampu mengelola sumberdaya alam kearah pengelolaaan berlanjut telah banyak tidak berfungsi. Hal ini disebabkan banyaknya aturan perilaku atau program-program yang sifatnya top-down dan banyak aturan tersebut diambil begitu saja dari negara lain yang tidak dapat diwujudkan di negara berkembang.
149
Dalam kawasan agropolitan sangat penting ditelaah aspek kelembagaan ini yang disesuaikan dengan kelembagaan tradisional yang telah berkembang sebelumnya, sehingga melalui kelembagaan pemberdayaan masyarakat dapat dikembangkan sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
8.6.1 Alternatif Kelembagaan pada Kawasan Agropolitan Alternatif kelembagaan dalam model pemilihan kelembagaan pada kawasan agropolitan terdiri dari sistem pasar, sistem kontrak, aliansi strategik, koperasi dan integrasi vertikal. Anwar (2004) menggambarkan karakteristik setiap alternatif kelembagaan tersebut seperti terlihat pada Gambar 41 .
Karakteristik koordinasi dari
Sistem Pasar
Pilihan-pilihan strategis ke arah koordinasi vertikal Sistem Aliansi Integrasi Koperasi Kontrak Strategis Vertikal
Invisible Hand Self Interest
Karakteristik koordinasi Mutual Interest
Hubungan Shortrun Bounded Rationality Mengarah pd sikap oppourtunism complexity
Hubungan Long Term Pembagian Keuntungan
Keterbatasan Distribusi Informasi
Pembagian Informasi yang Terbuka
Flexibility Independence
Stability Interdependence Pengendali an eksternal via harga & pembakuan kualitas
Pengendali Saling Pengendali an eksternal mengontrol an internal via pihak satu via struktur spesifikasi terhadap terdesentral & ikatan yang lain i sasi legal Sistem pengendalian / koordinasi yang berperan
Pengendali an internal via struktur terdesentral i sasi
Gambar 41 Pola Kelembagaan (Anwar, 2004)
8.6.1.1 Sistem pasar (spot market) Pola kelembagaan pasar umumnya mengikuti pola hubungan ekonomi “rasional” dan tergantung sekali pada dinamika dan peluang pasar. Interaksi antar pelaku ekonomi tercermin dalam proses transaksi dan penentuan harga produk pertanian yang dipasarkan, sehingga sistem pasar ini memiliki sistem pengendalian atau
150
koordinasi eksternal melalui harga dan pembakuan kualitas.
Pemilik modal
umumnya sebagai “penguasa” dan berada di puncak organisasi, sedangkan posisi petani, yang biasanya tidak memiliki modal, berada di bawah dan “kurang berkuasa”.
Pemilik modal umumnya membutuhkan fungsi petani sebagai
pemasok bahan mentah pertanian yang bernilkai tambah ekonomi relative rendah. Pengambilan keputusan dalam keorganisasian biasanya dilakukan secara sepihak oleh penguasa modal dan petani sepenuhnya sebagai penerima keputusan
8.6.1.2 Sistem kontrak Sistem pengendalian atau koordinasi yang berperan dalam sistem kontrak adalah melalui spesifikasi dan ikatan legal. Karakteristik koordinasinya tidak hanya mengandalkan keuntungan pribadi, hubungan kerjasama lebih panjang dan lebih memperhatikan pembagian keuntungan dibandingkan sistem pasar, informasi lebih terbuka dan ketergantungan lebih tinggi dibandingkan sistem pasar.
8.6.1.3 Aliansi strategik Aliansi strategik adalah bentuk kerjasama jangka panjang yang memiliki tiga kerakteristik, yakni: 1) dua atau lebih perusahaan bersatu untuk mencapai tujuan yang disepakati dengan tetap mempertahankan independensi masingmasing, 2) perusahaan mitra sama-sama meperoleh manfaat dari aliansi dan secara bersama-sama mengendalikan kinerja dari pekerjaan yang ditentukan, dan 3) perusahaan mitra secara berkelanjutan mendukung satu atau beberapa area strategis yang merupakan kunci seperti teknologi, pengembangan produk dan sebagainya. Aliansi strategis merupakan salah satu bentuk kelembagaan ekonomi yang mengatur kerjasama antara dua atau lebih pelaku usaha untuk mencapai tujuan bersama dalam jangka panjang melalui penggabungan sumberdaya dan kompetensi secara sinergis dengan tetap mempertahankan entitas masing-masing pelaku usaha.
Prasyarat yang harus dipenuhi terbentuknya alaiansi strategis
adalah adanya kesalingtergantungan, kepercayaan (mutual interest), dan transparasi dari masing-masing pelaku aliansi.
151
8.6.1.4 Koperasi Koperasi adalah perkumpulan otonom dari orang-orang yang bersatu secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan aspirasi-aspirasi ekonomi, sosial dan budaya bersama melalui perusahaan yang mereka kendalikan secara demokratis. Dalam koperasi primer anggota-anggota mempunyai hak-hak suara yang sama (satu anggota, satu suara), dan koperasi pada tingkatan-tingkatan lain juga diatur secara demokratis. Pengendalian dan koordinasi melalui struktur dan terdesentralisasi.
8.6.1.5 Integrasi vertikal Seperti pada koperasi, integrasi vertikal juga dikoordinasikan oleh pengendalian internal melalui struktur yang terdesentralisasi.
Karakteristik
koordinasinya adalah kepentingan bersama, hubungan kerjasama jangka panjang, pembagian keuntungan dan informasi terbuka, dan ketergantungannya stabil.
8.6.2 Kriteria Pemilihan Kelembagaan pada Kawasan Agropolitan Kriteria pemilihan kelembagaan pada kawasan agropolitan dibagai menjadi kriteria biaya dan kriteria keuntungan. Kriteria biaya terdiri dari biaya transaksi, biaya informasi, biaya negoisasi, dan biaya penegakan aturan. Kriteria keuntungan terdiri dari pemenuhan kebutuhan pengetahuan dan teknologi, pemenuhan kebutuhan pemodalan, pemenuhan kebutuhan pemasaran & distribusi, pemenuhan kebutuhan hukum & politik, pemenuhan kebutuhan pengendalian ekologi & sumberdaya alam, pemenuhan kebutuhan pendidikan dan pelatihan dan pemenuhan kebutuhan sarana prasarana.
8.6.2.1 Kriteria Biaya a. Biaya transaksi Proses produksi atau aliran barang dan jasa baik antar individu maupun antar lembaga dapat dikategorikan ke dalam tiga jenis transaksi yaitu transaksi melalui pasar, transaksi melalui komando atau administrasi dan transaksi melalui hibah. Transaksi melalui sistem pasar dicirikan oleh adanya persetujuan bersama
152
untuk melakukan transaksi di antara partisipan yang terlibat. Dalam setiap transaksi setiap partisipan masing-masing memiliki kesempatan dan pembatas yang mungkin berbeda.
Kelembagaan yang memungkinkan anggotanya
mengeluarkan biaya transaksi seminal mungkin akan menguntungkan bagi pengembangan kawasan agropolitan.
b. Biaya informasi Memperkirakan dampak alternatif kelembagaan terhadap akses informasi mengenai sumber interdependensi atau situasi dari suatu komoditi sangat diperlukan. Biaya informasi akan tinggi jika pemilik informasi mencegah pihak lain memanfaatkan sumber daya dan informasi yang dimiliki. Kondisi ini akan mendatangkan masalah free rider yaitu kelompok individu yang menikmati sesuatu yang dihasilkan oleh orang lain tanpa memberikan kontribusi dan informasi terhadap produksi komoditi tersebut.
c. Biaya negosiasi Melalui proses negosiasi, kedua belah pihak dapat setuju atau tidak untuk mentransfer apa yang mereka miliki. Proses nogosiasi akan membutuhkan biaya tinggi jika anggota kelembagaan tidak memiliki jaminan kesetaraan terhadap anggota yang lain. Kelembagaan yang memiliki kemampuan menjamin biaya nogosiasi yang rendah sangat menguntungkan bagi pengembangan kawasan agropolitan.
d. Biaya penegakan aturan Kelembagaan dapat diartikan sebagai organisasi atau sebagai aturan main. Dari sudut pandang ekonomi politik, lembaga dalam artian dikoordinasikan bukan oleh mekanisme pasar tetapi mekanisme organisasi (Rachbini, 1997). Pasar dapat menjadi batas eksternal dari suatu organisasi, akan tetapi secara internal aktivitas ekonomi dikoordinasikan dan diatur secara administratif (Pakpahan, 1990). Peranan kelembagaan adalah memudahkan penegakan aturan dan koordinasi di antara anggotanya dengan cara membantu memenuhi harapan-harapan mereka melalui kerjasama secara wajar dalam hubungannya satu sama lain (Hayami,
153
1987). Semakin tinggi usaha yang diperlukan dalam penegakan aturan dalam suatu organisasi maka akan meningkatkan biaya penegakan aturan kelembagaan.
8.6.2.2 Kriteria Pengetahuan dan Teknologi Penguasaan teknologi produksi, daya inovasi dan skala usaha industri pengolahan pertanian dalam kawasan perdesaan sebagain besar masih terbatas. Teknologi yang digunakan biasanya masih sederhana. Kondisi ini mengakibatkan tingkat produktivitas petani, pengusaha, maupun masyarakat perdesaan pada umumnya pada kawasan agropolitan masih rendah. Kelembagaan pada kawasan agropolitan diharapkan dapat meningkatkan produktivitas setiap elemen dalam kawasan agropolitan sehingga akan mampu bersaing. Kriteria ini akan memberikan penilaian apakah kelembagaan yang dipilih mempunyai kemampuan akses pengetahuan dan teknologi tinggi atau tidak. Semakin tinggi ketersediaan pengetahuan dan informasi yang mudah diakses petani, pengusaha, dan masyarakat secara umum dalam kelembagaan tersebut maka semakin tinggi nilai yang diberikan.
8.6.2.3 Kriteria Modal Salah satu kebutuhan setiap elemen yang berada dalam kawasan agropolitan dalam mengembangkan usahanya adalah modal usaha. Sebagian besar elemen kawasan agropolitan, seperti petani dan industri kecil pengolahan pertanian, memiliki kemampuan modal yang terbatas dan kemampuan mengakses permodalan juga terbatas Kelembagaan pada kawasan agropolitan diharapkan mampu menjawab permasalahan dalam pemenuhan kebutuhan pemodalan. Kriteria ini akan memberikan penilaian kelembagaan yang dipilih berkaitan dengan kemampuan kelembagaan tersebut mengakses sumber permodalan. Semakin mudah kelembagaan tersebut mengakses sumber permodalan akan semakin tinggi penilaian yang diberikan.
8.6.2.4 Kriteria Pemasaran Petani dan pengusaha industri pengolahan hasil pertanian seringkali tidak mampu memenuhi permintaan pasar yang menuntut kestabilan mutu, jumlah
154
pesanan yang besar, delivery cepat dan tepat waktu. Salah satu tujuan pemilihan kelembagaan adalah untuk memilih kelembagaan mana yang dapat menjamin bahkan meningkatkan pangsa pasar bagi produk yang dihasilkan pada kawasan agropolitan. Dengan kelembagaan yang dipilih diharapkan mampu meningkatkan kemampuan dan agresifitas baik bagi petani maupun pengusaha kecil dalam mengakses pasar. Kriteria ini akan memberikan penilaian apakah kelembagaan yang dipilih mampu meningkatkan peluang pasar yang akan diperoleh atau tidak. Semakin tinggi peluang pemasaran dan kemudahan distribusi yang akan diciptakan dengan kelembagaan tersebut maka akan semakin tinggi penilaian yang diberikan.
8.6.2.5 Kriteria Hukum dan Politik Kelembagaan sebagai aturan main dapat diartikan sebagai himpunan aturan mengenai tata hubungan di antara orang-orang, di mana hak-hak mereka ditentukan, dilindungi hak-haknya, kepemilikan hak-hak istimewa dan tanggung jawabnya. Peranan kelembagaan memudahkan koordinasi di antara orang-orang sebagai anggotanya dengan cara membantu memenuhi harapan-harapan mereka melalui kerjasama secara wajar dalam hubungannya satu sama lain. Kelembagaan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan hukum dan politik yaitu : hak-hak kepemilikan baik yang berupa hak atas benda materi maupun bukan materi, batasbatas yurisdiksi dan aturan representasi. Semakin tinggi hak kepemilikan, batas yuridiksi dan reperesentasi dapat dipenuhi oleh kelembagaan maka semakin tinggi pula nilai kriteria pemenuhan kebutuhan hukum & politiknya.
8.6.2.6 Kriteria Ekologi Pengembangan kawasan agropolitan diharapkan tidak berdampak buruk bagi pengendalian ekologi dan sumberdaya alam. Beberapa program peningkatan produksi pertanian seringkali tidak memperhatikan aspek kelestarian lingkungan. Hal ini dapat dilihat dari penerapan konsep intensifikasi untuk peningkatan produksi pertanian seperti pengolahan tanah, pemupukan dan pengendalian hama. Untuk itu diperlukan kelembagaan yang dapat menjamin keberlangsungan lingkungan pada kawasan agropolitan. Semakin tinggi kemampuan kelembagaan
155
menjaga keberlangsungan lingkungannya, maka semakin baik nilai pemenuhan kebutuhan pengendalian ekologi dan sumberdaya alamnya.
8.6.2.7 Kriteria Pendidikan dan Pelatihan Kelembagaan dalam kawasan agropolitan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pendidikan dan pelatihan bagi para anggotanya. Hal ini disebabkan karena sebagian besar elemen kawasan agropolitan di perdesaan memiliki keterbatasan pengetahuan dan keterampilan dalam menunjang peningkatan kualitas dan produktifitasnya. Semakin tinggi pemenuhan kebutuhan pendidikan dan pelatihan dapat diberikan oleh suatu kelembagaan maka semakin baik pula keuntungan yang diperoleh bagi anggota kelembagaan.
8.6.2.8 Kriteria Sarana dan Prasarana Sarana prasarana adalah hal yang penting dalam kawasan agropolitan. Infrastruktur termasuk pelayanan sistem transportasi dan fasilitas umum memmpunyai dimensi teknologi yang kuat dan penting dalam mendukung kegiatan di perdesaan. Dalam pembangunan perdesaan yang berimbang tidak hanya membentuk satu pemukiman secara individu tapi juga membangun keterkaitan desa kota dengan sarana prasarana. Kemampuan kelembagaan yang dapat menjamin tersedianya sarana prasarana yang dibutuhkan dalam kawasan agropolitan dapat memberikan arti yang positif bagi pengembangan dan keberlangsungan kawasan agropolitan.
8.6.3 Pemilihan Kelembagaan pada Kawasan Agropolitan Penentuan kelembagaan pada kawasan agropolitan dilakukan dengan metode ANP.
Pendekatan ANP (Analytical Network Process) lebih memungkinkan
hubungan feedback dibandingkan dengan pendekatan AHP (Analytical Hierarchy Process) yang berstruktur linear. Jaringan model pemilihan kelembagaan dapat dilihat pada Gambar 42.
156
Gambar 42 Jaringan ANP dalam model pemilihan kelembagaan pada kawasan agropolitan
Integrasi Vertikal memiliki prioritas tertinggi di antara kelembagaan lainnya, kemudian berturut-turut prioritas tertinggi hingga yang terendah adalah sistem kontrak, integrasi vertikal, koperasi dan yang terakhir adalah aliansi strategis. Pada Tabel 30 dapat dilihat nilai prioritas pada setiap alternatif kelembagaan. Pemilihan jenis kelembagaan sangat dipengaruhi oleh potensi sumberdaya manusia dan potensi kelembagaan yang saat ini telah berkembang pada suatu daerah.
157
Tabel 30 Hasil perhitungan model pemilihan kelembagaan Keterangan ALTERNATIF 1 Sistem Pasar 2 Sistem Kontrak 3 Aliansi Strategis 4 Koperasi 5 Integrasi Vertikal BIAYA 1 Biaya Transaksi 2 Biaya Informasi 3 Biaya Negosiasi 4 Biaya Penegakan Aturan EKOLOGI Pengendalian Ekologi & Sumberdaya Alam HUKUM & POLITIK 1 Perlidungan Hak-hak 2 Penegakan Kewajiban PEMASARAN 1 Kemudahan Akses Pasar 2 Peningkatan Peluang Pasar 3 Kemudahan Distribusi PEMODALAN 1 Kemudahan Prosedur Peminjaman 2 Keringanan Bunga Pinjaman DIKLAT 1 Kemudahan Mengikuti Diklat 2 Ketersediaan Program Diklat 3 Materi Diklat Dapat Diterapkan PENGETAHUAN & TEKNOLOGI 1 Kemudahan Akses IPTEK 2 Kemudahan Penerapan IPTEK 3 Kemutakhiran IPTEK SARANA PRASARANA Ketersediaan Sapras
Normalized By Cluster
Limiting
0.047 0.055 0.025 0.038 0.068
0.203 0.236 0.108 0.162 0.292
0.022 0.034 0.016 0.038
0.199 0.311 0.145 0.345
0.069
1.000
0.089 0.060
0.598 0.402
0.021 0.054 0.041
0.181 0.465 0.353
0.029 0.029
0.503 0.497
0.023 0.037 0.019
0.292 0.467 0.241
0.034 0.011 0.068
0.184 0.062 0.368
0.071
0.386
9. RANCANGAN IMPLEMENTASI
Berdasarkan validasi operasional SPK Intelijen Agropolitan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya dilakukan perancangan implementasi berupa perencanaan kawasan agropolitan berbasis agroindustri. Perencanaan kawasan agropolitan ini merupakan evaluasi hasil analisis dalam bentuk rencana (plan evaluation).
Struktur dasar rencana adalah pembangunan pertanian jagung
terpadu dengan agroindustri bioetanol yang berlokasi di pusat agropolitan. Pengujian rencana dilakukan dengan menganalisis kontribusi agropolitan terhadap asumsi dasar pengembangannya, seperti peningkatan nilai tambah, peningkatan kesempatan kerja, peningkatan investasi, peningkatan pendapatan dan percepatan pembangunan perdesaan. 9.1 Perencanaan Kawasan Agropolitan Berbasis Agroindustri Pengembangan agropolitan berbasis agroindustri dilengkapi dengan master plan, rancangan pendirian agroindustri, pembentukan kelembagaan dan aturan kerjasama serta pengelolaan pertanian dan agroindustri dalam kawasan agropolitan yang berkesinambungan (Gambar 43).
9.1.1 Penyiapan Master Plan. Dalam rangka pengembangan kawasan agropolitan secara terintegrasi, perlu disusun Master Plan Pengembangan Kawasan Agropolitan yang akan menjadi acuan penyusunan program pengembangan.
Adapun muatan yang
terkandung didalamnya adalah: 1) Penetapan sektor unggulan, 2) Penetapan pusat agropolitan dan kawasan pendukung agropolitan, dan 3) Penetapan sarana prasarana.
9.1.1.1 Penetapan sektor unggulan Berdasarkan Bab 8 Verifikasi dan Validasi Oprasional SPK Intelijen Agropolitan, maka diketahui empat komoditi tanaman pangan dan hortikultura yang diprioritaskan menjadi unggulan di Kabupaten Probolinggo, yaitu: jagung, bawang merah mangga dan kentang. Kemudian produk berbahan baku komoditi
160
unggulan tersebut dipilih untuk menentukan komoditi yang memiliki produk olahan paling prospektif, dan berdasarkan model terpilih produk bioetanol berbahan baku jagung. Dengan demikian, jagung ditetapkan sebagai komoditi unggulan di Kabupaten Probolinggo. Salah satu pertimbangan adalah jagung mempunyai skala ekonomi yang memungkinkan untuk dikembangkan dengan orientasi industri dan ekspor. Mulai - Menentukan komoditi unggulan - Menentukan produk prospektif - Analisis pasar - Analisis finansial
Desain agroindustri
Analisis situasi & potensi: pertanian, manusia, buatan, sosial, Industri
Perencanaan Kawasan
Kelayakan Agroindustri
Master plan kawasan
- Pusat agropolitan - Kawasan pendukung
- Menentukan kelembagaan - Menentukan sarana dan prasarana
Pengembangan kawasan agropolitan berbasis agroindustri
Analisis Indikator kinerja: - Peningkatan nilai tambah komoditi pertanian - Peningkatan daya saing komoditi pertanian - Peningkatan lapangan kerja - Peningkatan investasi dan kerjasama - Peningkatan pendapatan & kesejahteraan - Percepatan pembangunan perdesaan Ya
Tidak Tercapai
Selesai
Gambar 43 Tahapan perencanaan dan implementasi model pengembangan agropolitan berbasis agroindustri
9.1.1.2 Penetapan pusat agropolitan dan kawasan pendukung agropolitan. Pusat dan kawasan pendukung sebagai struktur ruang di kawasan agropolitan, masing-masing memiliki fungsi. Pusat agropolitan berfungsi sebagai (Douglass 1986; Harun 2004; Suwandi 2005): a) Pusat perdagangan dan transportasi pertanian (agricultural trade/ transport center), b) Penyedia jasa pendukung pertanian (agricultural support services), c) Pasar konsumen produk non-pertanian (non agricultural consumers market), d) Pusat industri pertanian (agro-based industry), e) Penyedia pekerjaan non pertanian (non-
161
agricultural employment). Dengan memperhatikan kriteria tersebut maka terpilih Kraksaan sebagai pusat agropolitan (Gambar 44).
Gambar 44. Konfigurasi spasial kawasan pendukung dan pusat agropolitan
Kawasan pendukung agropolitan fungsinya sebagai (Douglass 1986; Harun 2004; Suwandi 2005): a) Pusat produksi pertanian (agricultural production), b) Intensifikasi pertanian (agricultural intensification), c) Pusat pendapatan perdesaan dan permintaan untuk barang-barang dan jasa non pertanian (rural income and demand for non-agricultural goods and services) dan d) Produksi tanaman siap jual dan diversifikasi pertanian (cash crop production and agricultural diversification). Penglasteran kawasan pendukung dilakukan berdasarkan: a) Tingkat kesesuaian agroklimat, b) Potensi komoditi jagung (LQ, produktivitas, luas lahan) dan c) Tingkat kesesuaan jenis tanah atau lahan. Berdasarkan pengklasteran wilayah pada Model Penentuan Pusat dan Wilayah Pendukung Agropolitan yang telah diuraikan pada Bab 8. Validasi Operasional SPK Intelijen Agropolitan, Sub Bab 8.4 Model Penentuan Pusat dan Wilayah Pendukung Agropolitan,
maka diketahui klaster wilayah pendukung.
Pengklasteran di atas kemudian digunakan untuk menentukan rencana pengembangan kawasan pendukung agropolitan.
162
Klaster 4 dan kalster 5 tidak diprioritaskan untuk dikembangkan sebagai kawasan pendukung agropolitan, sehingga tidak direncanakan perluasan luas panen. Klaster 2 dan 3 diprioritaskan untuk dikembangkan luas panennya hingga satu setengah kali lipat dari luas panen saat ini. Klaster 1 merupakan kawasan yang sangat diprioritaskan, sehingga direncanakan mengembangkan luas panennya hingga dua kali lipat dari luas panen saat ini. Berdasarkan hal tersebut, maka rencana luas panen total adalah 92.597 ha atau meningkat 31.184 ha dari luas panen saat ini 61.413 ha (Tabel 31). Tabel 31 Perencanaan kawasan agropolitan Kecamatan
Klaster*
Sukapura Sumber Kuripan Bantaran Leces Tegalsiwalan Banyuanyar Tiris Krucil Gading Pakuniran Kota Anyar Paiton Besuk Kraksaan Krejengan Pajarakan Maron Gending Dringu Wonomerto Lumbang Tongas Sumberasih
3 4 2 3 2 1 2 2 2 3 5 5 5 5 3 4 4 3 3 2 2 4 1 1
Keterangan
Luas panen (ha) A** B** 1.657 2.485,5 848 848,0 6.793 10.189,5 1.753 2.629,5 4.111 6.166,5 2.892 5.784,0 4.404 6.606,0 7.594 11.391,0 9.403 14.104,5 179 268,5 3.367 3.367,0 798 798,0 992 992,0 384 384,0 225 337,5 162 162,0 318 318,0 1.263 1.894,5 380 570,0 1.877 2.815,5 3.269 4.903,5 1.906 1.906,0 3.752 7.504,0 3.086 6.172,0 61.413 92.597,0
Produktivitas (Ku/ha) A** B** 25,27 40,06 35,24 40,06 38,63 40,06 37,52 40,06 40,25 40,25 40,13 40,13 44,08 44,08 34,91 40,06 36,22 40,06 38,77 40,06 43,02 43,02 43,01 43,01 43,83 43,83 31,22 40,06 39,16 40,06 44,63 44,63 37,42 40,06 38,93 40,06 43,97 43,97 45,06 45,06 43,79 43,79 30,09 40,06 44,06 44,06 46,46 46,46 39,40 41,79
* : Klaster 1: Kawasan pendukung agropolitan prioritas paling tinggi Klaster 2: Kawasan pendukung agropolitan prioritas tinggi Klaster 3: Kawasan pendukung agropolitan prioritas sedang Klaster 4: Kawasan pendukung agropolitan prioritas rendah Klaster 5: Bukan kawasan pendukung agropolitan **: A= Saat ini (BPS Kab Probolinggo, 2008) B= Rencana pengembangan
Produksi (ton) A** 4.187,24 2.988,35 26.241,36 6.577,26 16.546,78 11.605,60 19.412,83 26.510,65 34.057,67 693,98 14.484,83 3.432,20 4.347,94 1.198,85 881,10 723,01 1.189,96 4.916,86 1.670,86 8.457,76 14.314,95 5.735,15 16.531,31 14.337,56 241.044,04
B* 9.956,913 3.397,088 40.819,137 10.533,777 24.820,163 23.211,192 29.119,248 45.632,346 56.502,627 1.075,611 14.484,834 3.432,198 4.347,936 1.538,304 1.352,025 723,006 1.273,908 7.589,367 2.506,290 12.686,643 21.472,427 7.635,436 33.062,624 28.675,112 385848,211
163
Pengembangan luas panen jagung didapat dari sebagian alih fungsi lahan pertanian saja dengan merubah jenis komoditinya dan tidak merubah pola ruang yang telah ditentukan. Alih fungsi lahan pertanian diasumsikan diperoleh dengan: 1) 100 % pemanfaatan lahan-lahan sawah sebelum ditanami padi, serta pada lahan hutan sebelum tanaman induk besar, 2) 50 % alih fungsi lahan bagi komoditi yang tidak diunggulkan, 3) 25 % pengalihan fungsi lahan pertanian bagi komoditi 10 besar produksi tertinggi, dan 4 ) tidak dilakukan alih fungsi lahan karena merupakan komoditi unggulan (padi, mangga, bawang merah dan kentang). Rincian alih fungsi lahan dapat dilihat pada Lampiran 10. Rencana peningkatan produktivitas rata-rata 41,79 ku/ha. Peningkatan tersebut dicapai dengan target produktivitas minimal 40,06 ku/ha yang merupakan target Kabupaten Probolinggo pada tahun 2010. Kecamatan yang memiliki produktivitas lebih tinggi dari target minimal tetap dipertahankan. Untuk memenuhi target tersebut, maka pemerintah daerah dapat menyalurkan Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU) pada petani. Penerapan teknologi dalam pengembangan jagung antara lain penggunaan benih jagung hibrida berlabel P11, dan pemberiaan tiga macam pupuk anorganik (450 kg urea/ha, 150 kg ZA/ha, dan 200 kg Phonska/ha) dapat digunakan untuk peningkatan produktivitas.
9.1.1.3 Dukungan sistem infrastruktur Dukungan infrastruktur yang membentuk struktur ruang yang mendukung pengembangan kawasan agropolitan diantaranya adalah jaringan jalan dan irigasi. Pada Tabel 32 dan Tabel 33 disajikan data kondisi jalan & irigasi pada saat ini. Dengan menggunakan model yang dikembangkan (Bab 8.5), maka diperoleh
prioritas
Agropolitan.
pengembangan
sarana
prasarana
pada
kawasan
Alternatif pembangunan pasar Maron merupakan alternatif
dengan prioritas pertama dalam pembangunan sarana prasarana pada DPU Cipta Karya. Alternatif
Pembangunan jembatan Pohkecik di Tiris dan
Peningkatan jalan Yos Sudarso di Dringu merupakan alternatif yang diprioritaskan pada DPU Bina Marga. Prioritas pertama dalam pembangunan sarana prasarana pada DPU Pengairan adalah alternatif perkuatan tebing di
164
Dringu, rehabilitasi dam Paleran dan talang kali Bades di Kuripan, serta perkuatan tangkis kiri kali Besuk di Kraksaan. Tabel 32 Kondisi Jalan di Kabupaten Probolinggo (km) URAIAN SATUAN 2006 Kondisi Jalan Negara - Baik Km 33,320 - Sedang Km 54,760 - Rusak Km 0,200 - Rusak Berat Km Jumlah Km 88,280 Kondisi Jalan Propinsi - Baik Km 0,251 - Sedang Km 19,995 - Rusak Km - Rusak Berat Km Jumlah Km 20,210 Kondisi Jalan Kabupaten - Baik Km 582,99 - Sedang Km 79,72 - Rusak Km 19,25 - Rusak Berat Km 103,87 Jumlah Km 785,82 Jenis Permukaan Jalan Kab - Hotmik Km 327,48 - Lapen Km 364,48 - Kerikil/Makadam Km 47,44 - Tanah Km 46,42 Jumlah Km 782,82 Sumber : Dinas PU Bina Marga Kabupaten Probolinggo 2009
2007
2008
35,312 52,791 0,177 88,280 0,251 19,995
20,210 604,55 69,81 51,43 60,02 785,81
629,53 64,12 53,38 38,80 785,82
381,81 351,53 17,81 34,66 785,82
401,63 351,27 14,56 18,36 785,82
Tabel 33 IPAIR di Kabupaten Probolinggo URAIAN
SATUAN
2006
2007
2008
Jumlah Daerah Irigasi
Buah
202
202
202
Jumlah Daerah Irigasi Pompa
Buah
104
105
105
Luas Areal Irigasi
Ha
35.031
35.031
35.026
Luas Areal Tadah Hujan
Ha
1.375
1.375
1.375
Daerah Irigasi yang telah IPAIR Ha 21,17 sumber: Dinas PU Pengairan Kabupaten Probolinggo 2009
21,17
21,17
165
9.1.2 Desain Agroindustri Penyusunan
rencana
kerja
dan
kelayakan
pendirian
agroindustri
merupakan tahapan selanjutnya dalam pengembangan agropolitan berbasis agroindustri.
Agroindustri berperan penting dalam menjaga kesinambungan
kawasan agropolitan.
Agroindustri berperan dalam peningkatan nilai tambah
komoditi pertanian, yang kemudian akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat khusunya masyarakat petani. Pengembangan kawasan agropolitan dilakukan dengan peningkatan luas lahan dan peningkatan produktivitas pada kawasan yang memiliki potensi jagung yang tinggi. Berdasarkan perluasan lahan dan peningkatan produktivitas lahan tersebut, maka diperoleh rencana produksi jagung sekitar 421.740 ton per tahun seperti pada Tabel 32. di atas. Pada saat ini, penggunaan jagung di Probolinggo adalah 10 persen (24.000 ton) untuk pangan dan sisanya untuk pakan (216.000 ton). Rencana penggunaan komoditi jagung di kawasan agropolitan adalah 40 persen pangan dan pakan (168.696 ton) dan sisanya 60 persen untuk bahan baku industri bioetanol (265.282 ton). Dengan jumlah jagung sebagai bahan baku etanol 253.044 ton per tahun, maka dapat didirikan industri bioetanol yang berkapasitas 30 juta galon per tahun. Kekurangan sumber bahan baku pakan (60.000 ton) dapat disubstitusi oleh produk samping industri bioetanol Distiller Dried Grains and Solubles (DDGS). DDGS merupakan sumber bahan baku pakan baru yang produksinya meningkat di Amerika Serikat akibat peningkatan produksi alkohol (Shurson et al., 2005). DDGS banyak digunakan sebagai pakan sapi perah maupun sapi pedaging, bahkan dalam bentuk basah (wet DDGS), terutama di kawasan peternakan sapi yang dekat dengan pabrik. Meningkatnya jumlah pabrik etanol akhir-akhir ini mengakibatkan pasokan DDGS meningkat tajam dan diekspor dalam bentuk kering. Beberapa negara di Asia, Eropa, Meksiko, dan Kanada mulai memanfaatkan DDGS untuk pakan babi, unggas, dan ikan (Tangendjaja dan Wina, 2008). Satu bushel jagung dapat menghasilkan 16,25 ponds DDGS (Missisipi State University, 2003). Hal ini berarti dengan Kapasitas pabrik bioetanol 30 juta galon per tahun maka dapat dihasilkan 546.261 ton DDGS per
166
tahun (1 bu = 3,5239 liter; 56 lb corn 15,5 % moisture = 25.4012 kg; 1 galon = 3,7854 liter). Pendirian agroindustri dapat memperluas kesempatan, memberdayakan produksi dalam negeri, pengembangan sektor ekonomi lainnya, serta perbaikan perekonomian masyarakat di perdesaan melalui pengurangan kemiskinan. Peran Agroindustri dalam mengurangi kemiskinan dapat bersifat langsung dan tidak langsung. Secara langsung pembangunan sektor agroindustri dan sektor pertaian akan meningkatkan produktivitas pertanian melalui penigkatan produktivitas faktor.
Peningkatan produktivitas pertanian akan meningkatkan pendapatan
petani dan lebih lanjut akan menurunkan kemiskinan. Sedangkan peran secara tidak langsung adalah melalui sektor nonpertanian. Pembangunan agroindustri pada awalnya akan mempengaruhi pertumbuhan sektor pertanian dan melalui keterkaitan sektor akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara agregat dan selanjutnya akan mempengaruhi kemiskinan (Simatupang & Purwoto 1990; Rusastra et al. 2005; Susilowati et al. 2007).
9.1.3 Pengelolaan dan Kelembagaan Kawasan Agropolitan. Pengelolaan kawasan agropolitan di Kabupaten Probolinggo melalui kelembagaan integrasi vertikal yang dapat dalam bentuk Badan/Unit Pengelola Kawasan Agropolitan. Badan Pengelola sebaiknya bertanggungjawab kepada pemerintahan dan dikelola oleh tenaga profesional. Tugas Badan / Unit Pengelola Kawasan Agropolitan antara lain: a. Mempersiapkan master plan Pengembangan Kawasan Agropolitan b. Mensinkronkan, mensinergikan semua program/proyek dan investasi yang masuk kedalarn kawasan agropolitan c. Mengkoordinasikan para penyuluh dan pendamping lapangan. d. Menyampaikan permasalahan untuk dipecahkan oleh instansi terkait. e.
Membuat laporan berkala dan insidentil
kepada pemerintah. Dukungan kelembagaan pengelola pengembangan kawasan agropolitan yang merupakan bagian dari Pemerintah Daerah dengan fasilitasi Pemerintah Pusat. Fasilitas instansi terkait di tingkat kawasan sebaiknya terkoordinasi dalam wadah Badan/Unit Pengelola Kawasan Agropolitan. Penanggungjawab fasifitas
167
dari instansi terkait dalam pengembangan Kawasan Agropolitan adalah seperti pada Tebel 34. Tabel 34 Kegiatan pengembangan kawasan agropolitan Kegiatan Pengembangan Kawasan
Fasilitas Instansi Terkait
Penguatan kelembagaan inti (koperasi, asosiasi kelompok tani/usaha, LKM) Budidaya komoditi unggulan dan diversifikasinya (on farm) Kegiatan off farm : - Permodalan - Pengolahan dan pemasaran hasil - Sarana produksi Penyuluhan dan pendampingan terpadu (pertanian, koperasi, KB, dai, industri, swasta, LSM) dengan wadah BPP atau Badan/Unit Pengelola Kawasan Agropolitan Pemberian konsultasi/pemecahan masalah Pendidikan SDM Kawasan Prasarana dan sarana dasar untuk pembangunan agribisnis
Dinas yang menangani koperasi dan usaha kecil menengah (UKM)
Kesehatan dan kelestarian lingkungan
Dinas/Badan Lingkup Pertanian Dinas yang menangani koperasi dan UKM - Dinas yang menangani Perindag - Dinas yang menangani Perindag Instansi terkait ditingkat lapangan/kawasan dikoordinasi oleh Badan/Unit Pengelola Kawasan Agropolitan Instansi terkait Dinas yang menangani pendidikan (formal) Dinas yang menangani pekerjaan umum/prasarana wilayah Dinas yang menangani kesehatan dan dinas yang menangani pariwisata.
Dalam pelaksanaan program agropolitan, masyarakat harus ditempatkan sebagai pelaku utama sedangkan pemerintah berperan memberikan fasilitasi dan pendampingan. Masyarakat diharapkan dapat terlibat dari perencanaan dan pengembangannya
sehingga
komitmen
bersama
antara
masyarakat
dan
pemerintah dapat terwujud dan mendapatkan keberhasilan yang optimal. Pembiayaan program agropolitan dilakukan oleh masyarakat, baik petani, pelaku penyedia agroinput, pelaku pengolah hasil, pelaku pemasaran dan pelaku penyedia jasa. Fasilitasi pemerintah melalui dana stimultans untuk mendorong Pemda dan masyarakat diarahkan untuk membiayai prasarana dan sarana yang bersifat publik dan strategis. 9.2 Analisis Dampak Pengembangan Agropolitan Berbasis Agroindustri Menurut Nasution (1998); Rusastra et al. (2002); Hendriatno et al. (2005); Supriatna et al. (2005) keberhasilan pengembangan agropolitan akan memberikan dampak teknis dan ekonomis secara nyata terhadap pembangunan wilayah, dalam bentuk (a) Harmonisasi dan keterkaitan hubungan yang saling menguntungkan
168
antara daerah perdesaan dan perkotaan; (b) Peningkatan produksi, diversifikasi dan nilai tambah pengembangan agribisis yang dinikmati secara bersama-sama oleh masyarakat dalam kawasan pengembangan agropolitan; (c) Peningkatan pendapatan, pemerataan kesejahteraan, perbaikan penanganan lingkungan dan keberlanjutan pembangunan pertanian dan perdesaan; (d) Terjadi efisiensi pemanfaatan
sumberdaya,
perdagangan
antar
daerah,
peningkatan dan
keunggulan
pemantapan
komparatif
pelaksanaan
wilayah,
desentralisasi
pembangunan. Analisis dampak menggunakan data yang diperoleh dari sistem pendukung keputusan intelijen yang dikembangkan dan telah divalidasi sebelumnya (lihat Bab VIII). Analisis terdiri dari: 1) Peningkatan nilai tambah komoditi pertanian, 2) Peningkatan keunggulan komparatif dan kompetitif komoditi pertanian, 3) Peningkatan lapangan kerja, 4) Peningkatan investasi dan kerjasama, 5) Peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat dan 6) Percepatan pembangunan perdesaan. Hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel 35 di bawah ini. Tabel 35 Prediksi kinerja agropolitan berbasis agroindustri di Kabupaten Probolinggo Keterangan Kinerja pengembangan agroindustri etanol a. IRR b. NPV c. PBP d. Nilai tambah e. Peningkatan pendapatan daerah dari pajak f. Peningkatan jumlah tenaga kerja - Tenaga kerja operasional pabrik - Tenaga kerja sementara konstruksi Kinerja usahatani a. Peningkatan pendapatan petani b. Peningkatan efisiensi kapital c. Peningkatan pendapatan daerah d. Peningkatan jumlah tenaga kerja Kinerja pengembangan agropolitan Pengembangan infrastruktur Pengembangan SDM a. Fasilitasi pemerintah c. Pendapatan masyarakat d. Kesempatan kerja
Prediksi Nilai 20,92% Rp. 225,549 Milyar 6,5 tahun Rp. 704.35/kg jagung, atau Rp. 183,952 milyar/tahun Rp. 25 milyar pada tahun pertama sd. Rp. 56 milyar pada tahun kesepuluh 150 orang 150 orang Rp. 407.529.943,50/tahun 14,3 % Rp. 990.297.762,70/tahun 87.103 orang Meningkat Rp. 6,93 Milyar Meningkat Rp. 10,89 Milyar (43%) Meningkat Rp. 245 Milyar / tahun Meningkat 87.400 orang (10%)
169
9.2.1 Peningkatan nilai tambah komoditi pertanian. Nilai tambah (value added) adalah pertambahan nilai suatu komoditas karena mengalami proses pengolahan, pengangkutan ataupun penyimpanan dalam suatu produksi. Dalam proses pengolahan nilai tambah dapat didefinisikan sebagai selisih antara nilai produk dengan nilai biaya bahan baku dan input lainnya, tidak termasuk tenaga kerja (Hayami et al. 1987). Pembangunan agroindustri akan meningkatkan nilai tambah dari hasil-hasil pertanian dan menciptakan kesempatan kerja (Simatupang & Purwoto 1990; Hicks 1995; Rusastra et al. 2005; Susilowati et al. 2007). Kegiatan agroindustri merupakan bagian integral dari pembangunan sektor pertanian. Efek agroindustri mampu mentransformasikan produk primer ke produk olahan sekaligus budaya kerja bernilai tambah rendah menjadi budaya kerja industrial modern yang menciptakan nilai tambah tinggi (Suryana, 2005). Pembangunan agroindustri bioetanol akan memberikan nilai tambah sebesar Rp. 704,35 per kg jagung atau Rp. 183,952 Milyar per tahun. Nilai tambah yang dihasilkan tersebut merupakan manfaat yang dapat secara langsung dirasakan oleh masyarakat di kawasan agropolitan. Nilai tambah yang besar tersebut sesuai dengan data pada BP2HP Deptan, (2001) yang menunjukkan peran agroindustri dalam perindustrian nasional pada tahun 2001 memiliki efek pengganda nilai tambah yang besar.
9.2.2 Peningkatan keunggulan komparatif dan kompetitif komoditi pertanian Keunggulan komparatif merupakan ukuran daya saing (keunggulan) potensial yang akan dicapai pada perekonomian yang tidak mengalami distorsi, sehingga aspek yang terkait adalah kelayakan ekonomi. Keunggulan kompetiif merupakan ukuran keunggulan pada kondisi ekonomi aktual, sehingga aspek yang terkait adalah kelayakan finansial (Simatupang 1991; Sudaryanto & Simatupang 1993). Menurut
Saptana
et
al.
(2006),
beberapa
faktor
yang
perlu
dipertimbangkan untuk mewujudkan keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif adalah kemitraan usaha yang dibangun harus mampu 1) meningkatkan aplikasi teknologi sehingga meningkatkan efisiensi dan produktivitas; 2) menjamin pemasaran dan kepastian harga melalui sistem kontrak sebelum tanam
170
atas perencanaan dan pengaturan produksi oleh perusahaan mitra berdasarkan dinamika pasar; dan 3) menghasilkan ikatan saling membutuhkan, saling memperkuat dan saling menguntungkan melalui manajemen korporasi yang transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Agroindustri Bioetanol dapat meningkatkan keunggulan komparatif komoditi jagung di Kabupaten Probolinggo karena industri ini menggunakan bahan baku yang berasal dari sumberdaya alam yang tersedia di kawasan tersebut. Pada saat ini produksi jagung tertinggi di Propinsi Jawa Timur adalah Kabupaten Probolinggo, sehingga keunggulan komparatif yang sudah dimiliki akan semakin meningkat dan dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan nilai tambah setinggitingginya. Keunggulan kompetitif dapat diwujudkan dengan adanya pengelolaan kawasan agropolitan yang akan meningkakan efisiensi dan produktivitas produksi jagung.
Agroindustri dapat memberikan pasar dan kepastian harga melalui
perencanaan dan pengaturan oleh kelembagaan kawasan agropolitan. Pengelolaan agropolitan diharapkan juga akan menjaga ikatan saling membutuhkan dan kerjasama antara petani dan agroindustri.
9.2.3 Peningkatan lapangan kerja Agroindustri
bioetanol
pada
kawasan
agropolitan
di
Kabupaten
Probolinggo diharapkan mampu menciptakan lapangan kerja baru terutama bagi pekerja di sektor pertanian. Pekerja pertanian menyerap sekitar 80 persen dari total angkatan kerja (BPS Kabupaten Probolinggo, 2009). Jumlah Penduduk Kabupaten Probolinggo pada tahun 2008 adalah 1.092.036 jiwa dan sekitar 776 ribu orang diantaranya adalah penduduk usia kerja (Tabel 35). Jumlah angkatan kerja yang tidak tertampung adalah sekitar 200 ribu orang (25%). Jumlah angkatan kerja yang tidak tertampung akan berkurang hingga 87 ribu orang (10%).
171
Tabel 36 Jumlah Tenaga Kerja di Kabupaten Probolinggo (orang) NO.
URAIAN
2006
2007
2008
1.
Angkatan Kerja
563.426
571.603
578.766
2.
Angkatan Kerja Tertampung
518.132
517.536
522.772
3.
Pencari Kerja
8.123
4.670
7.138
4.
Penduduk Usia Kerja
763.303
774.381
776.035
306.832
311.285
314.063
5. Penduduk Bukan Usia Kerja Sumber : BPS Kab Probolinggo, 2009
Peningkatan lapangan kerja tersebut diperoleh dari pendirian agroindustri bioetanol dan ekstensivikasi usaha tani jagung. Pendirian agroindustri bioetanol berkapasitas 30 juta galon per tahun, akan memerlukan tenaga kerja 150 orang tenaga kerja langsung dan tidak langsung pada pemrosesan ethanol dan 150 orang pekerja konsruksi sementara (Petrulis et al. 1993). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Haryanto et al (2008), diketahui bahwa nilai pengganda kesempatan kerja usaha tani jagung adalah 1,07 (Lampiran Analisis Dampak).
Berdasarkan nilai tersebut maka diperoleh penambahan
jumlah tenaga kerja adalah: Ekspansi lahan jagung * jumlah tenaga kerja / ha * indeks = 82955 ha * 15 * 0,07 = 87.103 orang tenaga kerja.
9.2.4 Peningkatan investasi dan kerjasama Investasi dan kerjasama pendirian agroindustri dan lembaga pendukung lainnya sangat diperlukan dalam pengembangan agroindustri berbasis agroindustri ini. Berdasarkan pengelolaan dan kelembagaan agropolitan yang telah disusun (Tabel 33), maka diketahui pengembangan agropolitan melibatkan lintas sektoral dalam pemerintahan maupun masyarakat (swasta). Peningkatan kerjasama dan investasi dalam agroindustri akan berdampak lebih besar dalam meningkatkan pendapatan rumah tangga, menurunkan tingkat kemiskinan dan memperbaiki distribusi pendapatan rumah tangga. Hal ini juga ditunjukkan oleh hasil penelitian yang dilakukan Susilowati et al. (2007). Menurut Iqbal dan Anugrah (2009) forum kemitraan mewadahi terjalinnya hubungan tanggungjawab antara pemerintah (aparat dan wakil rakyat), swasta (perusahaan, lembaga keuangan, pedagang, dan produsen), dan masyarakat
172
(warga, LSM, dan lembaga pendukung lain). Forum kemitraan adalah lembaga pemangku kepentingan yang memiliki persamaan persepsi, jalinan komitmen, keputusan kolektif dan sinergi aktivitas.
9.2.5 Peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat Peran Agroindustri dalam mengurangi kemiskinan dapat bersifat langsung dan tidak langsung. Secara langsung pembangunan sektor agroindustri dan sektor pertaian akan meningkatkan produktivitas pertanian melalui peningkatan produktivitas faktor.
Peningkatan produktivitas pertanian akan meningkatkan
pendapatan petani dan lebih lanjut akan menurunkan kemiskinan dan peran secara tidak langsung adalah melalui sektor non pertanian. Pembangunan
agroindustri
pada
awalnya
akan
mempengaruhi
pertumbuhan sektor pertanian dan melalui keterkaitan sektor akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara agregat dan selanjutnya akan mempengaruhi kemiskinan.
Komponen yang mempengaruhi produktivitas faktor diantaranya
adalah kapital fisik, infrastruktur, sumberdaya manusia, pendidikan, penelitian dan pengembangan, kepadatan populasi perdesaan, serta perubahan teknologi (Susilowati et al. 2007). Peningkatan pendapatan petani jagung pada kawasan agropolitan berbasis agroindustri di Kabupaten Probolinggo diperoleh melalui: 1) peningkatan produktivitas dan 2) perluasan lahan panen jagung. Peningkatan produktivitas dilakukan dengan peningkatan kualitas bibit, pelatihan dan pendampingan dalam teknologi pertanian, maupun pinjaman modal bagi petani.
Dengan program
peningkatan produktivitas maka jumlah produksi dan kualitas komoditi jagung yang dihasilkan petani akan meningkat dan selanjutnya akan meningkatkan pendapatan petani. Selain itu efisiensi kapital yang dimiliki petani diharapkan meningkat dengan baik sejalan dengan peningkatan produktivitas petani. Perluasan lahan panen jagung yang sesuai secara agroekologis dapat dicapai dengan adanya peningkatan kepastian harga jagung yang didukung oleh adanya industri bioetanol.
173
Peningkatan Pendapatan petani jagung setahun karena: a. Prakiraan peningkatan produktivitas (luas lahan 61413 ha): Jumlah produksi jagung sebelum peningkatan produktivitas – Jumlah produksi jagng setelah peningkatan produktivitas * harga jual jagung per kg = (2.570.969,98-2.410.440,44) ton/tahun * Rp. 2.000,-/kg = Rp. 321.059.080,/tahun
b. Prakiraan penambahan luas panen dengan mensubstitusi lahan komoditi lain Berdasarkan expert judgement pada model pemilihan komoditi unggulan yang telah dibangun, maka diperoleh skor pada kriteria tingkat pendapatan komoditi unggulan. Data tersebut digunakan untuk menghitung indeks peningkatan pendapatan yaitu penambahan keuntungan jika lahan yang digunakan merupakan lahan yang disubstitusi dari komoditi unggulan lainnya. jumlah produksi berdasarkan ekspansi lahan * harga jual jagung * indeks peningkatan pendapatan = 3.462.579,59 ton/tahun * Rp. 2000,-/kg jagung * 0,143 = 990.297.762,7/tahun
Rp.
Menurut SIPUK BI (2010), B/C untuk usaha tani jagung adalah 1,43 sehingga keuntungan usaha tani jagung di kawasan Agropolitan Probolinggo adalah: (peningkatan pendapatan karena peningkatan produktivitas + peningkatan pendapatan karena substitusi komoditi) / (1+B/C) = (Rp. 321.059.080,- /tahun + Rp. 990 297 762.7/tahun) / 2,43 = Rp. 407.529.943,50 / tahun
9.2.6 Percepatan pembangunan perdesaan. Percepatan pembangunan perdesaan dapat dicapai dengan peningkatan pengembangan infrastruktur dan pengembangan sumberdaya manusia. Hal tersebut
meningkat sejalan dengan meningkatnya pendapatan daerah.
Berdasarkan data historikal alokasi anggaran pendapatan dan belanja daerah Kabupaten Probolinggo (Tabel 36), maka diketahui proporsi alokasi anggaran bagi pengembangan infrastruktur adalah sekitar 21 % (Rp. 6,93 Milyar) dan untuk pengembangan SDM (pendidikan) sekitar 33% (Rp. 10,89 Milyar). Selain
174
itu terdapat peningkatan pendapatan dari pajak sebesar Rp.25 milyar hingga Rp. 56 milyar/tahun yang akan membuka peluang bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan
program
pengembangan
agropolitan
seperti
peningkatan
infrastruktur, pemberdayaan masyarakat khususnya petani, dll. Diketahui pada rencana alokasi anggaran 2010 untuk peningkatan fasilitas pendidikan adalah Rp. 25 Milyar (Pemda Kabupaten Probolinggo, 2010), dengan bertambah Rp.10,89 Milyar artinya ada peningkatan anggaran hingga 43%. Walaupun alokasi anggaran pendidikan sangat tinggi, namun peningkatan pengembangan SDM diprediksi hanya berjalan sedang hingga baik. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi sosial budaya masyarakat di Kabupaten Probolinggo yang sebagian belum dapat menerima perubahan secara cepat karena latar belakang pendidikan relatif masih rendah.
9.3 Intervensi terbatas dari pemerintah Dalam negara berkembang, keberadaan sumber daya terbatas sehingga pemerintah harus dapat mengelolanya seefisien mungkin. Pemerintah dapat melakukan intervensi dengan menetapkan suatu kebijakan terhadap berbagai barang. Hampir seluruh negara menggunakan sistem pasar bebas, namun pada saat pasar bebas tidak memberikan hasil yang positif bagi masyarakat, pemerintah dapat mengambil tindakan dan mengubahnya. Itervensi terbatas pemeritah dapat diterapkan pada kawasan agropolitan agar berbagai jenis barang, khususya komoditi pertanian unggulan dan hasil olahannya, beredar dalam jumlah yang tepat.
Hal ini dapat mengurangi
pengaruh ketidakpastian kondisi perekonomian dalam fluktuasi harga dan perkembangan tingkat suku bunga. Pemerintah dapat menstabilkan kondisi pasar dengan beberapa cara, antara lain: penetapan regulasi mengenai persaingan sehat oleh pemerintah, mengubah distribusi
pendapatan
dan
kesejahtaraan
dalam
perekonomian
nasional,
meningkatkan skala ekonomis sehingga dapat menurunkan biaya, dan penetapan batas harga pasar tertinggi dan terendah.
Selain itu insentif bagi usaha
agroindustri perlu diterapkan misalnya dengan menentukan suku bunga lebih rendah bagi investasi di bidang agroindustri.
10 KESIMPULAN DAN SARAN
10.1 Kesimpulan Penelitian bertujuan untuk mengembangkan konsep agropolitan berbasis agroindustri dan merekayasa sistem pendukung keputusan intelijen agropolitan. Berdasarkan analisis pada bab sebelumnya maka dapat disimpulkan: 1) Konsep agropolian berbasis agroindustri a. Agropolitan berbasis agroindustri adalah suatu kawasan yang pada pusatnya dikelola suatu agroindustri yang didukung oleh kawasan penghasil pertanian. b. Perencanaan terintegrasi dari hulu ke hilir pada kawasan agropolitan berbasis agroindustri memperhatikan keterkaitan ke depan dan ke belakang suatu agroindustri pada kawasan agropolitan. c. Agroindustri dapat meningkatkan nilai tambah, meningkatkan kesempatan kerja,
meningkatkan
investasi,
meningkatkan
pendapatan
dan
mempercepat pembangunan perdesaan dan memperbaiki positioning secara proporsional para pihak terutama petani yang pada akhirnya akan meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat
yang
dapat
menjamin
keberlangsungan agropolitan. Hal ini menunjukkan bahwa nilai tambah dapat menjadi driving force dalam pengembangan kawasan. d. Minimisasi biaya transaksi, biaya transportasi dan biaya pengepakan merupakan nilai tambah lain yang dapat diperoleh dengan didirikannya agroindustri pada pusat agropolitan.
2) SPK Intelijen Agropolitan a. SPK Intelijen Agropolitan adalah engineering solution dalam perencanaan dan pengembangan kawasan agropolitan, yang dapat menentukan dan merencanakan struktur ruang agropolitan berdasarkan kebutuhan pangsa pasar produk agroindustri dan ketersediaan bahan baku, yang bersifat efektif, efisien dan komprehensif sehingga mampu membangun kondisi optimal dalam pemenuhan kebutuhan secara harmonis di antara stakeholder agropolitan.
176
b. Model pemilihan komoditi unggulan dapat menghasilkan prioritas komoditi yang dapat diunggulkan pada suatu daerah yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif. c. Model pemilihan produk agroindustri prospektif yang menggunakan Analytical Network Process (ANP) dapat mengetahui produk agroindustri berbahan bahu komoditi ungulan yang prospektif di pasar.
Model
penentuan kelayakan dapat menentukan kapasitas agroindusti yang layak didirikan baik dari sudut kebutuhan (market driven) maupun dari sudut ketersediaan bahan baku (material driven). d. Model perencanaan struktur ruang menghasilkan pola ruang pusat agropolitan dan kawasan pendukungnya berdasaarkan klaster potensi sumberdaya manusia, sumberdaya pertanian, sumberdaya industri, dan sumberdaya sosial buatan. e. Model kelembagaan agropolitan yang menggunakan Analytical Network Process (ANP) dapat menentukan model kelembagaan yang paling sesuai dengan kondisi sumberdaya manusia dan infrastruktur yang ada pada daerah.
3) Berdasarkan verifikasi dan validasi SPK Intelijen Agropolitan di Kabupaten Probolinggo, maka dihasilkan jagung, mangga, bawang merah dan kentang merupakan komoditi yang dapat diunggulkan. Produk etanol berbahan baku jagung merupakan produk dengan prioritas paling tinggi. Agroindustri etanol berbahan baku jagung berkapasitas 30 juta galon per tahun layak didirikan. Pusat agropolitan adalah Kraksaan. Peningkatan jalan di Dringu dan penguatan tebing Dringu merupakan perencanaan fasilitas yang diprioritaskan. Kelembagaan ayang paling sesuai adalah kelembagaan integrasi vertikal.
177
10.2 Kontribusi Ilmiah Beberapa kontribusi ilmiah yang dapat dihasilkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1)
Pengembangan konsep agropolitan berbasis agroindustri dapat digunakan sebagai
perbaikan
konsep
agropolitan,
sehingga
dapat
menjamin
keberlangsungan agropolitan. 2) SPK Intelijen Agropolitan dapat memberikan informasi dan sumbangan pemikiran yang bermanfaat bagi pemerintah daerah, masyarakat di kawasan agropolitan, usahawan dan industriawan, akademisi dan pihak-pihak yang terlibat lainnya dalam pengembangan dan pembangunan agropolitan berbasis agroindustri. agropolitan
Informasi yang dihasilkan adalah komoditi unggulan, pusat dan
sentra
produksinya,
menghasilkan produk prospektif, dan
perancangan
agroindustri
yang
perencanaan sarana prasarana serta
kelembagaan yang dapat mendukung pengembangan suatu kawasan agropolitan.
10.3 Saran Berdasarkan keterbatasan model dan kebutuhan migrasi model yang telah diuraikan, maka dapat disarankan: 1) Apabila SPK Intelijen Agropolitan akan diimplementasikan di kawasan lain, maka diperlukan penyesuaian beberapa variabel model, seperti alternatif komoditi
unggulan,
dan
pelatihan
sumberdaya
manusia
untuk
mengoperasikan SPK Inteljen Agropolitan. 2) Pengembangan SPK Intelijen dengan menggunakan metode unsupervise dalam analisis klaster, memperhatikan ketidakpastian perkembangan perekonomian selain fluktuasi harga dan tingkat suku bunga dalam desain agroindustri dan memperhatikan iklim dan ekologi.
DAFTAR PUSTAKA
. 2007. Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Abinowo U. 2000. Model Pertanian Masa Depan: Solusi Alternatif Menghadapi Perdagangan Bebas. Sentra Pengembangan Agribisnis Terpadu (SPAT). Pasuruan. Agusta I. 2008. Lompatan Paradigmatik Program Agropolitan di Indonesia: Dari Paradigma Pembangunan Berbasis Manusia menuju Paradigma Modernisasi. Makalah. Simposium Nasional Riset dan Kebijakan Ekonomi. Universitas Airlangga. Surabaya. Anderberg MR. 1973. Cluster analysis for applications. Academic Press. New York. Anwar A. 1999. Mobilisasi Sumberdaya Ekonomi dalam Mengatasi Masalah Pengangguran ke Arah Pemerataan yang Menyumbang kepada Pertumbuhan Ekonomi. Makalah: Disampaikan pada Seminar Nasional Pembangunan Wilayah Pedesaan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Anugrah IS. 2003. Kunci-kunci Keberhasilan Pengembangan Agropolitan. Sinar Tani, 17 Maret 2003. Astawan M, Sugiyono, Pramudya B, Wijaya CH, Iskandar A, Andarwulan N, Suprihatin. 1991. Studi Pengembangan Agroindustri Hasil Olahan Hortikultura. Ditjen Industri Kecil, Proyek Pengembangan Komoditi Industri Kecil & Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Azis IJ. 2004. A New Approach of Impact Study With Feedback Influence. Indonesia Symposium on Analytical Hierarchy Process III. Institut Teknologi Bandung. Bandung [BAPPEDA Kab Probolinggo] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Probolinggo. 2000. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Probolinggo tahun 2000 – 2010. Berg C. 2001. World Ethanol Production 2001. F.O. Licht's International Molasses and Alcohol Report and World Ethanol Markets, Analysis and Outlook. www.fo-licht.com. [4 Maret 2007]. Berg C. 2004. World Fuel Ethanol Analysis and Outlook. www.fo-licht.com .[4 Maret 2007].
180 [BP2 Deptan] Ditjen Bina Produksi Peternakan Departemen Pertanian. 2003. Rintisan Pengembangan Agropolitan Berbasis Peternakan. http://www.bangnak.ditjennak.go.id/. [19 September 2003]. [BP2HP Deptan] Ditjen Badan Pemasaran dan Pengolahan Hasil Pertanian Deptan. 2001. Kebijakan dan Program Pembangunan Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian 2001-2004. http://agribisnis.deptan.go.id. [28 Juni 2003]. [BPS Kab Probolinggo] Biro Pusat Statistik Kabupaten Probolinggo. Kabupaten Probolinggo dalam Angka.
2009.
Bresciani F, Deve FC, Stinger R. 2005. The Multiple Roles of Agriculture in Developing Countries. Di dalam Sustaining Agriculture and Rural Environment. Edwar Elgar. Cheltenham, UK. Budiharsono S. 1995. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Bose R, Sugumaran, V 2007. Semantic Web Technologies for Enhancing Intelligent DSS Environments. Decision Support for Global Enterprises. Volume 2. Springer Science Business Media. New York. Buede DM. 2009. The Engineering Design of Systems. Models and Methods. 2nd Ed. John Wiley & Sons, Inc. New Jersey. Chu DKY. 1992. The Hong Kong-Zhujiang Delta and The World City Sistem. http://www.unu.edu/unupress/unupbooks.htm. [19 September 2003]. [Deptan Jatim] Departemen Pertanian Propinsi Jawa Timur. 2002. Komoditi Unggulan Propinsi Jawa Timur. www.diperta-jatim.go.id. [ 7 Februari 2004]. Dhianingtyas AN. 2004. Analisis Perencanaan Proyek Pengembangan Sapi Potong dalam Rangka Program Peningkatan Produksi Pakan Ternak di Kota Pekalongan. [Thesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Didu MS. 2001. Rancang Bangun Sistem Penunjang Keputusan Pengembangan Agroindustri Kelapa Sawit untuk Perekonomian Daerah. [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Douglass M. 1986. Regional Network Development. UNHCS-Bappenas
181 Douglass M. 1998a. A Regional Network Strategy for Reciprocal Rural-Urban Linkages: An Agenda for Policy Research with Reference to Indonesia. Third World Planning Review, Vol 20, No. 1, 1998. http://wbln0018.worldbank.org. [14 Juli 2007]. Douglass M. 1998b. East Asian Urbanization:Patterns, Problems, and Prospects. The Asia/Pacific Research Center. Stanford University. Eriyatno. 1999. Ilmu Sistem: Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. IPB Press. Bogor. Erwidodo. 1995. Transformasi Struktural dan Industrialisasi Pertanian di Indonesia. Prosiding Agrisbisnis : Peluang dan Tantangan Agri- bisnis Perkebunan, Peternakan dan Perikanan. Pusat penelitian Sosial Ekonomi Pertanian Bogor. Ferrario V. 2009. Agropolitana. Dispersed City and Agricultural Spaces in Veneto Region (Italy). The 4th International Conference of the International Forum on Urbanism (IFoU) 2009 Amsterdam/Delft The New Urban Question – Urbanism beyond Neo-Liberalism. Friedmann J, Douglass M. 1976. Agropolitan Development. Towards a New Strategy for Regional Planning in Asia. University of California, Los Angeles. The Seminar on Industrialization Strategies and Growth Pole Approach to Regional Planning and Development: The Asian Experience (4-13 November1975). United Nations Centre for Regional Development. Nagoya. Japan. Terjemahan Oleh LPEM FE-UI. Jakarta. Friedmann J. 1998. Modular Cities: Beyond the Rural-Urban Divide. Environment and Urbanization 8(1): 129. http://eau.sagepub.com/ [10 Juni 2010]
Gachet A, Haettenschwiler P. 2003. Developing Intelligent Decision Support Systems: A Bipartite Approach. Knowledge-Based Intelligent Information and Engineering Systems. Proceedings Part II. 7th International Conference. Oxford. UK. September 2003: 87-93. Glasson J. 1992. An Introduction to Regional Planning: Concept, Thory, and Practice. 2nd Ed. UCC Press Ltd. London. Glasson J, Marshal T. 2007. Regional Planning. Routledge. New York. Grady JO. 1998. System Validation and Verification. CRC Press LLC. Florida. Gumbira-Sa’id E. 2001. Penerapan Manajemen Teknologi dalam Meningkatkan Daya Saing Global Produk Agribisnis/Agroindustri Berorientasi Produksi Berkelanjutan. Orasi Ilmiah Guru Besar Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
182
Gumbira-Sa’id E, Rachmayanti, Muttaqin MZ. 2001. Manajemen Teknologi Agribisnis Kunci Menuju Daya Saing Global Produk Agribisnis. Penerbit Ghalia Indonesia. Jakarta. Gumbira-Sa’id E, Intan AH. 2001. Manajemen Agribisnis. Penerbit Ghalia Indonesia. Jakarta. Hadiguna RA. 2009. Manajemen Pabrik – Pendekatan Sistem untuk Efisiensi dan Efektivitas. Bumi Aksara. Jakarta. Hansen NM. 1981. Development From Above: The Center Down Developmet Paradigm. Di dalam Stohr W.B. dan T. Frazer. Development From Above or Below, The Dialectics of Regioal Planning in Developing Countries. John Willey and Sons. Chichester Haris U. 2006. Rekayasa Model Aliansi Strategis Sistem Agroindustri Cumb Rubber. [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hartoyo S. 2000. Kajian Daya Saing Buah-buahan Tropis dan Strategi Pengembangannya. Laporan Penelitian Hibah Bersaing VI Perguruan Tinggi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Harun UR. 2004. Perencanaan Pengembangan Kawasan Agropolitan dalam Sistem Perkotaan Regional di Indonesia. Makalah Workshop Pengembangan Agropolitan Sebagai Strategi Pembangunan Perdesaan dan Wilayah Secara Berimbang. P4W-IPB dan P3PT. Bogor. Hastuti HI. 2001. Model Pengembangan Wilayah dengan Pendekatan Agropolitan. [Thesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Hayami Y. 2004. From the Washington Consensus to the Post-Washington Consensus: Retrospect and Prospect. Asian Development Review 20(2): 40-65. Hayami Y, Godo Y. 2005. The Three Agricultural Problems in the Disequilibrium of World Agriculture. Asian Journal of Agriculture and Development 1(1). Hayami Y, Thosinori M, Masdjidin S. 1987. Agricultural Marketing and Processing in Upland Java: A Prospective from A Sunda Village. CGPRT Centre. Bogor.
183 Hendiarto, WK, Sejati D, Hidayat, Rusastra IW. 2005. Kinerja dan Perspektif Pengembangan Model Agropolitan Berbasis Peternakan di Kabupaten Barru Sulawesi Selatan. ICASEPS Working Paper No.78. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Hicks PA. 1995. An Overview of Issues and Strategies in The Development of Food Processing Industries in Asia and The Pacific, APO Symposium, 28 September-5 Oktober 1995. Tokyo. Hilhorst JGM. 1981. Peru: Regional Planning 1968-1977: Frustated Bottom Up Aspiration in Technocratic Millitary Setting, di dalam Stohr, W.B. dan T. Frazer. Development From Above or Below, The Dialectics of Regioal Planning in Developing Countries. John Willey and Sons. Chichester. Honda K, Ichihashi H. 2004. Linear Fuzzy Clustering Techniques With Missing Values and Their Application to Local Principal Component Analysis. IEEE Transactions on Fuzzy Sistems 12(2): 183193. Hughes H. 1988. Agricultural development, growth and equity: 40 years of experience. the Consultative Group on International Agricultural Research, CGIAR Washington, D.C. Huseini M. 1999. Mencermati Misteri Globalisasi: Menata Ulang Strategi Pemasaran Internasional Indonesia Melalui Pendekatan Resource Based. Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar Bidang Marketing Internasional. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Jakarta. Hwang Y, Hee ELR, Lee KK. 1996. Sustainable Land Use Strategies for Rural Area in Agropolitaion Regions : A Case Study Choongju in Korea. International Symposium on City Planning. Tokyo [IKAH Depperindag] Direktorat Jenderal Industri Kimia, Agro dan Hasil Hutan Departemen Perindustrian dan Perdagangan. 2000. Program dan Strategi Pembangunan Industri Kimia, Agro dan Hasil Hutan 2000-2004. [IKAH Depperindag] Direktorat Jenderal Industri Kimia, Agro dan Hasil Hutan Departemen Perindustrian dan Perdagangan. 2003. Perkembangan Kapasitas Poduksi dan Utilisasi Industri Agro tahun 1997 – Semester I 2001. [IKAH Depperindag] Direktorat Jenderal Industri Kimia, Agro dan Hasil Hutan Departemen Perindustrian dan Perdagangan. 2005. Program dan Strategi Pembangunan Industri Kimia, Agro dan Hasil Hutan 2005-2009.
184 Iqbal M, Anugrah IS. 2009. Rancang Bangun Sinergi Kebijakan Agropolitan dan Pengembangan Ekonomi Lokal Menunjang Percepatan Pembangunan Wilayah. Analisis Kebijakan Pertanian 7(2): 169-188. Irawan B, Nurmanaf AR, Hastuti EL, Supriyatna Y, Darwis V, Muslim C. 2003. Studi Kebijaksanaan Pengembangan Agribisnis Komoditi Unggulan Hortikultura. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian (PSE) Departemen Pertanian. Bogor. Irawan B. 2003. Membangun Agroindustri Hortikultura Terintegrasi dengan Basis Kawasan Pasar. Forum Penelitian Agro Ekonomi (FAE) 21(1): 67 - 82. [Jinju City]. 2010. Jinju City. http://english.jinju.go.kr/ [30 Juni 2010]. Kaufmann A, Gupta MM. 1988. Fuzzy Mathematical Models in Engineering and Management Science. Elsevier Science Publisher. North Holland. Knutson RD, Penn JB, Flinchbaugh BL, Outlaw JL. 2006. Agricultural and Food Policy. Pearson Prentice Hall. New Jersey. Ohio. Koester U, Brummer B. 2006. Institutional Changes for Agricultural and Rural Development in the CEEC anf CIS Region. Electronic Journal Agricultural and Development Economics 3(2): 144 - 179. www.fao.org/es/esa/eJADE. [14 Juli 2007]. Kosasi S. 2002. Sistem Penunjang Keputusan. Dirjen DIKTI DIKNAS RI. Jakarta. Kustanto H. 1999. Sistem Pengembangan Agroindustri Komoditas Unggulan pada Kawasan Andalan: Studi Kasus di Kabupaten Ciamis Jawa Barat. [Thesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Lukitaningsih. 2004. Sumberdaya Air Agropolitan Minimalkan Kelemahan Kawasan Agropolitan. Kebijakan Permukiman dan Prasarana Wilayah Vol. 1 No.1. http://www.pu.go.id/Sekjen/Puskabijak [Juni 2010] Machfud. 2001. Rekayasa Model Penunjang Keputusan Kelompok dengan Fuzzy-logic untuk Sistem Pengembangan Agroindustri Minyak Atsiri. [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Marimin, Umano, Hatono M, Tamura I. 1997. Non-Numeric Method For Pairwise Fuzzy Group-Decision Analysis. Journal of Intelligent and Fuzzy Sistem 5: 257-269.
185 Marimin. 1997. Linguistic Labels Based Methodology for Fuzzy Group Decision Making. [Disertasi]. Osaka Japan: Doctor of Philosophy in Engineering at Osaka University. Marimin. 2002. Teori dan Aplikasi Sistem Pakar dalam Teknologi Manajerial. IPB Press. Bogor. Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Gramedia Widiaswara Indonesia. Jakarta. Matsatsinis NF, Siskos Y. 2003. Intelligent Support Systems for Marketing Decisions. Kluwer Academic Publisher. USA. Mc. Leod RE Jr. 1995. Sistem Informasi Manajemen. Terjemahan dari Management Information Sistem. Oleh: Hendra Teguh. Prenhallindo, Jakarta. Mercado R. 2002. Regional Development in the Philippines: A Review of Experience, State of Art and Agenda for Research and Action. The PIDS Discussion Paper Series. Misra RP. 1981. The Changing Perseption of Development Problem. Di dalam Misra, R.P dan M. Honjo (eds). Changing Perception of Development Problem. Maruzen Asia. Nagoya. Japan. Misra KN. 2007. Agro Industrial Development in Indian Developing Economy. Northern Book Centre. New Delhi. Mosher AT. 1968. Menggerakkan dan Membangun Pertanian, Syarat Mutlak Pembangunan dan Modernisasi. Terjemahan. Getting Agriculture Moving (1966). Yasaguna. Jakarta Mosher AT. 1974. Menciptalan Struktur Pedesaan Progresif. Terjemahan. Creating a Progressive Rural Structure (1969). Yasaguna. Jakarta. Mosher AT. 1976. Thinking About Rural Development. The Agricultural Development Council, Inc. New York. Mulyono S. 1991. Operations Research. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.. Jakarta. Nachrowi ND, Suhandojo. 1999. Analisis Sumberdaya Manusia, Otonomi Daerah dan Pengembangan Wilayah. Di Dalam Tiga Pilar pengembangan Wilayah, Sumberdaya Alam, Sumberdaya Manusia, Teknologi. Pusat Pengkajian Kebijaan Teknologi Pengembangan Wilayah, BPPT. Jakarta.
186 Nainggolan K. 2004. Perkembangan Kawasan Agropolitan Ditinjau dari Sudut Pandang Pakar dan Praktisi. Kelompok Kerja Pengembangan Kawasan Agropolitan. Departemen Pertanian. Jakarta. Nasution LI. 1998. Pendekatan Agropolitan Dalam Rangka Penerapan Pembangunan Wilayah Pedesaan. PWD-PPS IPB, Bogor. Nurzaman SS. 2005. Perencanaan Wilayah di Indonesia pada Masa Sekitar Krisis. Penerbit ITB. Bandung. Nugroho P. 2008. Contesting Values in Agropolitan Development Policy in Indonesia. Junal Tata Loka, Planologi UNDIP 10(2): 201-212. [OVOP] Oita OVOP International Exchange Promotion Committee. 2010. http://www.ovop.jp/ [5 Juni 2010] Olmstead AL, Rhode PW. 2006. Conceptual Issues for the Comparative Study of Agricultural Development. International Centre for Economic Research (ICER). Helsinki. [OTOP] One Tambon One Product. 2010. http://www.thai-otop-city.com/ [5Juni 2010. Pearce DW, Turner RK. 1990. Economics of Natural Resources and The Environment. The John Hopkins University Press. Baltimore. Pimentel D, Patzek TW. 2005. Ethanol Production Using Corn, Switchgrass, and Wood; Biodiesel Production Using Soybean and Sunflower. Natural Resources Research l(14): 65-76. Potter C. 2005. Multifunctionality as an Agricultural and Rural Policy Concept. Di dalam F. Brouwer (Ed). Sustaining Agriculture and Rural Environment, Governance, Policy and Multifunctionaitly. Edwar Elgar. Cheltenham dan Northampton. Power DJ. 2002. Decision Support Systems: Concepts and Resources for Managers. Quaorum Books. Greenwood Publishing Group. Inc. USA. Pranadji T. 2003. Penajaman Analisis Kelembagaan dalam Perspektif Penelitian Sosiologi Pertanian dan Pedesaan. Forum Penelitian Agro Ekonomi (FAE) 21(1): 12 – 25. Pranadji T. 2003. Menuju Transformasi Kelembagaan dalam Pembangunan Pertanian dan Pedesaan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.
187 [PSE Deptan] Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian Departemen Pertanian. 2001. Rangkuman Paradigma Pembangunan dan Kebijaksanaan Pengembangan Agroindustri. Monograph Series No.23. ISBN:9798094-67-0 Puradimaja DJ, Kombaitan B, Irawan DE, 2006, Hydrogeological Analysis in Regional Planning of Tigaraksa City, Tangerang, Banten, Indonesia, Persidangan Bersama Geosains, Universiti Kebangsaan Malaysia. [Pusdatin Deptan] Pusat Data dan Informasi Departemen Pertanian. 2010. Basis Data Pertanian. http://www.deptan.go.id/ [29 Juni 2010]. Raymond SU. 1996. Science-based Economic Development – Case Studies Around the World. Annal of the New York Academy Science. Vol.798. New York. Rahardi F, Indriani YH, Haryono. 2000. Agribisnis Tanaman Buah. Cetakan VII. Penebar Swadaya. Jakarta. Richardson HW. 1979. Chicago.
Regional Economics.
University of Illinoiis Press.
Rinawati AS. 2003. Studi Penetapan Kebutuhan Lahan Teknis untuk Pengembangan Kawasan Agropolitan di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor: Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Rukmayadi D. 2002. Desain Sistem Penunjang Keputusan Perencanaan Strategi Pengembangan Agroindustri Kelapa: Studi Kasus Kabupaten Ciamis Jawa Barat. [Thesis]. Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.. Rusastra IW, Simatupang P, Rachman B. 2002. Pembangunan Ekonomi Pedesaan Berbasis Agribisnis. Analisis Kebijakan: Pembangunan Pertanian Andalan Berwawasan Agribisnis (Editor: T. Sudaryanto, et.al., 2002). Monograph Series No.23. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Rusastra IW, Noekman KM, Supriyati, Suryani E, Elizabeth R, Suryadi. 2005a. Analisis Ekonomi Ketenagakerjaan Sektor Pertanian dan Pedesaan di Indonesia. Laporan Penelitian. Pusat Penelitian Agro Ekonomi Pertanian, Bogor. Rusastra IW, Hendriarto, Noekman KM, Supriatna A, Sejati WK, Hidayat D. 2005b. Kinerja dan Perspektif Pengembangan Model Agropolitan dalam Mendukung Pengembangan Ekonomi Wilayah Berbasis Agribisnis. Laporan Penelitian. Pusat Penelitian Agro Ekonomi Pertanian, Bogor.
188
Rustiadi E, Hadi S. 2004. Pengembangan Agropolitan Sebagai Strategi Pembangunan Perdesaan dan Pembangunan Berimbang. Makalah Workshop Pengembangan Agropolitan Sebagai Strategi Pembangunan Perdesaan dan Wilayah Secara Berimbang. P4W-IPB dan P3PT. Bogor Rustiadi E, Pranoto S. 2007. Agropolitan Membangun Ekonomi Perdesaan. Crestpent Press. Bogor. Saaty RW. 2004. Why Brazilia’s Criticisms of AHP are Incorrect. Indonesia Symposium on Analytical Hierarchy Process III. Institut Teknologi Bandung. Bandung. Saaty TL. 1996. Decision Making For Leaders: The Analytical Hierarchy Process for Decision in Complex World. RWS Publications. Pittsburgh. Saaty TL. 2001. Decision Making With Dependence and Feedback. Analytic Network Process. 2nd Ed. RWS Publication. Pittsburgh. [SAIP]
Sabah Agroindustrial Precinct. http://www.ids.org.my/current/SAIP. [4 Juni 2010].
The
2010.
Saptana, Sunarsih, Indraningsih KC. 2006. Mewujdkan Keunggulan Komparaif Menjadi Keunggulan Kompetitif Melalui Pengembangan Kemitraan Usaha Hortikultura. Forum Penelitian Agro Ekonomi 24(1): 61-76. Saragih B. 2001. Suara Dari Bogor: Membangun Sistem Agribisnis. Pustaka Wirausaha Muda. Jakarta. Sargent RG. 2007. Verification and Validatain of Simulation Models. Proceedings of the 39th conference on Winter simulation: 124-137. Sartika D. 2006. Agropolitan Development As An Alternative of A Rural Development. [Thesis]. Bandung: Regional and City Planning, Intitut Teknologi Bandung. Sasmojo S. 1999. Kebijaksanaan Teknologi untuk Pengembangan Wilayah: Pokok-pokok Pemikiran. Di dalam Tiga Pilar pengembangan Wilayah, Sumberdaya Alam, Sumberdaya Manusia, Teknologi. Pusat Pengkajian Kebijaan Teknologi Pengembangan Wilayah, BPPT. Jakarta. Sayogyo. 1994. Pemikiran Arthur T. Mosher Dua Puluh Tahun Kemudian. Makalah Seminar PSP IPB. 16 Juni 1994. Bogor.
189 Shintawaty A. 2006. Prospek Pengembangan Biodiesel dan Bioetanol Sebagai Bahan Bakar Alternatif di Indonesia. Economic Review No.203. Maret 2006. Simatupang P. 1991. The Conception of Domestic Resource Cost and Net Economic Benefit for Comparative Advantage Analysis. Agribusiness Division Working Paper N.2/91. Centre for Agro-Socioeconmic Research. Bogor. Simatupang TM. 1995. Pemodelan Sistem. Penerbit Nindita, Klaten. Simatupang P, Purwoto A. 1990. Pengembangan Agroindustri Sebagai Penggerak Pembangunan Desa. Prosiding Agroindustri Faktor Penunjang Pembangunan Pertanian di Indonesia. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Sibigroth J. 1992. Implementing Fuzzy Expert Rules In Hardware. Magazine of Asrtificial Intelligence in Prentice 7(4):25-31.
The
Singer HW. 1981. Thirty Years of Changing Thought on Development Problems. Di dalam Misra, R.P dan M. Honjo (eds). Changing Perception of Development Problem. Maruzen Asia. Nagoya. Japan. Soenarno 2003. Pengembangan Kawasan Agropolitan dalam Rangka Pengembangan Wilayah. Makalah pada Seminar Nasional Agroindustri dan Pengembangan Wilayah. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah Republik Indonesia. Jakarta. Streeten PP. 1981. Development Ideas In Historical Prespectives. Di dalam Misra, R.P dan M. Honjo (eds). Changing Perception of Development Problem. Maruzen Asia. Nagoya. Japan. Stair R, Reynolds G. 2010. Principles of Information System. Learning. Boston. USA.
Cengage
Stringer R. 2001. How important are the 'non-traditional' economic roles of agriculture in development?. Paper for FAO’s ESAC Research Project, Socio-Economic Analysis and Policy Implications of the Roles of Agriculture in Developing Countries . http://venus.icre.go.kr. [14 Juli 2007]. Stohr WB. 1981. Development from Below: The Bottom Up and Periphery Inward Development Paradigm. Di dalam Development in Developing Countries. John Willey and Sons. Chichester. Sudaryono. 2004. Pola dan Struktur Ruang Kawasan Agropolitan dalam Perspektif Politikal-Ekonomi. Makalah Workshop Pengembangan
190 Agropolitan Sebagai Strategi Pembangunan Perdesaan dan Wilayah Secara Berimbang. P4W-IPB dan P3PT. Bogor Sudaryanto T, Simatupang P. 1993. Arah Pengembangan Agribisnis : Suatu Catatan Keranga Analisis dalam Prosiding Prospektif Pegembangan Agribisnis di Indonesia. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Petanian. Bogor. Sunkel O. 1981. The Interaction Between Styles of Development and The Environment in Latin America. Di dalam Misra, R.P. dan Honjo, M (eds), Changing Perception in Development Problems. Maruzen Asia. Nagoya. Japan. Supriyati, Suryani E. 2006. Peranan, Peluang dan Kendala Pengembangan Agroindustri di Indonesia. Forum Penelitian Agro Ekonomi 24(2): 92106. Supriatna A, Sejati WK, Hidayat D, Rusastra I. Kinerja dan Perspektif Pengembangan Model Agropolitan Berbasis Agribisnis di Kabupaten Cianjur Jawa Barat. ICASEPS Working Paper No.77. Pusat Analisis Sosial Eknomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Suryadi K, Ramdhani MA. 1998. Sistem Pendukung Keputusan: Suatu Wacana. Struktural dan Implementasi Konsep Pengambilan Keputusan. PT Remaja Rosdakarya. Bandung. Suryadi K, Sudirman I, Faisal M, Sukoya, Nusantara B. 2004. Kombinasi Metoda Borda, Liberatore dan Cut-off Point Berbasis ANP dalam Perancangan Sistem Pendukung Keputusan. Indonesia Symposium on Analytical Hierarchy Process III. ITB. Bandung Suryana A. 2005. Arah, Strategi dan Program Pembangunan Pertanian 20052009. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Susila WR, Setiawan IDMD. 2007. Peran Industri Berbasis Perkebunan dalam Pertumbuhan Ekonomi dan Pemerataan: Pendekatan Sistem Neraca Sosial Ekonomi. Jurnal Agro Ekonomi 25(2): 125-147. Susilowati SH, Sinaga BM, Wilson H, Limbong, Erwidodo. 2007. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sktor Agroindustri terhadap Kemiskinan dan Distribusi Pendapatan Rumah Tangga di Indonesia: Analisis Simulasi dengan Sstem Neraca Sosial Ekonomi. Jurnal Agro Ekonomi 25(1): 11 – 36. Suwandi. 2005. Agropolitan: Merentas Jalan Meniti Harapan. Duta Karya Swasta. Jakarta.
191
Syafaat N, Simatupang P, Muardianto S, Pranadji T. 2003. Konsep Pengembangan Wilayah Berbasis Agribisnis dalam Rangka Pemberdayaan Petani. Forum Penelitian Agro Ekonomi (FAE) 21(1): 26 – 43. Terano T, Asai K, Sugeno M. 1991. Fuzzy Sistems Theory and Its Application. Academic Press, Inc. San Diego. Thamrin SH, Sutjahjo, Herison C, Sabiham S. 2007. Analisis Keberlanjutan Wilayah Perbatasan Kalimantan Barat Malaysia untuk Pengembangan Kawasan Agropolitan. Jurnal Agro Ekonomi 25(2): 103-124. Timmer CP. 1998. The Agricultural Transformation. Di dalam C.K. Eicher dan J.M. Staatz (eds). International Agricultural Development, 3rd ED. The John Hopkins University Press. Baltimore and London. Todaro MP. 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jilid 1. Edisi Ketujuh. Terjemahan dari Economic Development in the Third World. oleh Munandarm H. Erlangga. Jakarta Turban E. 1990. Decision Support System and Expert System. Management Support Sistem. 2nd Ed. Prentice Hall. Englewood Cliffs. New Jersey. Turban E, Aronson JE, Liang TP. 2006. Decision Support Systems and Intelligent Systems.7th Edition. Pearson Prantice Hall. NJ 07458. Turban E. JE, Aronson TP, Liang, Sharda R. 2007. Decision Suppot and Business Intelligence Systems. 8th Edition. Pearson Prantice Hall. New Jersey. Viot G. 1993. Fuzzy Logic: Concepts to Construct. The Magazine of Artificial Inteligance in Practice 8 (11): 26-33. Wallace R. 2002. Feasibility Study for Bioethanol Co-Location with a Coal Fired Power Plant. Subscontarctor Report. BBI International dan National Renewable Energy Laboratory (NREL). Colorado. Wallace R, Ibsen K, Mc Aloon A, Yee W. 2005 Feasibility Study for CoLocating and IntegratingEthanol Production Plants from Corn Starch and Lignocellulosic Feedstocks. National Renewable Energy Laboratory (NREL) dan Eastern Regional Research Center Agricultural Research Service. www.osti.gov/bridge. [14 Juli 2007].
192 Wilkinson J, Rocha R. 2009. Agro-industry Trends, Patterns and Development Impacts. FAO and UNIDO 2009. Agro-industries for Development. C.A da Silva et al. (Eds). The Food and Agriculture Organization of UN and The UN Industrial Development Organization. MPG Book Group. Bodmin. Yeh CH, Deng H, Wibowo S, Xu Y. 2009. Multicriteria Group Decision Support for Information System Project Selection. B.C. Chien et al. (Eds): IEA/AIE 2009. LNAI 5579. pp. 152-161. Springer-Verlag Berlin Heidelberg. Yudiarto A, Djumali. 2006. Menimbang Kelayakan Bioetanol sebagai Pengganti Bensin. www.bppt.go.id. [18 Agustus 2007]. Yusdja Y, Iqbal M. 2002. Kebijaksanaan Pembangunan Agroindustri dalam Analisis Kebijakan: Paradigma Pembangunan dan Kebijaksanaan Pengembangan Agroindustri. Monograph Series No. 21. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Zen MT. 1999. Falsafah Dasar Pengembangan Wilayah: Memberdayakan Manusia. Di Dalam Tiga Pilar pengembangan Wilayah, Sumberdaya Alam, Sumberdaya Manusia, Teknologi. Pusat Pengkajian Kebijaan Teknologi Pengembangan Wilayah, BPPT. Jakarta. Zhou FG, Zhang F, Yang BR. 2009. General Structural Model and Application of Intelligent Decision Support System Based on Knowledge Discovery. Luo Qi (Ed): FCC June 2009, Communication in Computer and Information Science/CCIS 34. pp. 218-225. Springer-Verlag Berlin Heidelberg.
Lampiran 1. Aturan sistem pakar penentuan kawasan pendukung dan pusat agropolitan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF
Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian
Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND
Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung
Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster
1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 4 4 4 4 4 5 5 5 5 5
AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND
Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi
Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN
kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas
2 2 1 1 1 3 2 2 1 1 3 3 2 2 1 4 3 3 2 2 4 4 3 3 2
SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN
Peningkatan luas panen jagung Peningkatan luas panen jagung Peningkatan luas panen jagung Peningkatan luas panen jagung Peningkatan luas panen jagung Peningkatan produktivitas jagung Peningkatan produktivitas jagung Peningkatan produktivitas jagung Peningkatan produktivitas jagung Peningkatan produktivitas jagung Peningkatan produktivitas & luas panen jagung Peningkatan produktivitas & luas panen jagung Peningkatan produktivitas & luas panen jagung Peningkatan produktivitas & luas panen jagung Peningkatan produktivitas & luas panen jagung Peningkatan produktivitas & luas panen jagung Peningkatan produktivitas & luas panen jagung Peningkatan produktivitas & luas panen jagung Peningkatan produktivitas & luas panen jagung Peningkatan produktivitas & luas panen jagung Peningkatan luas panen jagung Peningkatan luas panen jagung Peningkatan luas panen jagung Peningkatan luas panen jagung Peningkatan luas panen jagung
Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan
26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF
Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian
Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND
Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung
Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster
1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 4 4 4 4 4 5 5 5 5 5
AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND
Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi
Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN
kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas
4 3 3 2 2 4 4 3 3 2 5 4 4 3 3 5 5 4 4 3 5 5 5 4 4
SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN
Peningkatan luas panen jagung Peningkatan luas panen jagung Peningkatan luas panen jagung Peningkatan luas panen jagung Peningkatan luas panen jagung Peningkatan produktivitas jagung Peningkatan produktivitas jagung Peningkatan produktivitas jagung Peningkatan produktivitas jagung Peningkatan produktivitas jagung Peningkatan produktivitas & luas panen jagung Peningkatan produktivitas & luas panen jagung Peningkatan produktivitas & luas panen jagung Peningkatan produktivitas & luas panen jagung Peningkatan produktivitas & luas panen jagung Peningkatan produktivitas & luas panen jagung Peningkatan produktivitas & luas panen jagung Peningkatan produktivitas & luas panen jagung Peningkatan produktivitas & luas panen jagung Peningkatan produktivitas & luas panen jagung Peningkatan luas panen jagung Peningkatan luas panen jagung Peningkatan luas panen jagung Peningkatan luas panen jagung Peningkatan luas panen jagung
Lampiran 1. Lanjutan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan
51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75
IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF
Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian
Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND
Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung
Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster
1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 4 4 4 4 4 5 5 5 5 5
AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND
Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi
Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN
kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas
3 2 2 1 1 3 3 2 2 1 4 3 3 2 2 4 4 3 3 2 5 4 4 3 3
SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN
Peningkatan luas panen jagung Peningkatan luas panen jagung Peningkatan luas panen jagung Peningkatan luas panen jagung Peningkatan luas panen jagung Peningkatan produktivitas jagung Peningkatan produktivitas jagung Peningkatan produktivitas jagung Peningkatan produktivitas jagung Peningkatan produktivitas jagung Peningkatan produktivitas & luas panen jagung Peningkatan produktivitas & luas panen jagung Peningkatan produktivitas & luas panen jagung Peningkatan produktivitas & luas panen jagung Peningkatan produktivitas & luas panen jagung Peningkatan produktivitas & luas panen jagung Peningkatan produktivitas & luas panen jagung Peningkatan produktivitas & luas panen jagung Peningkatan produktivitas & luas panen jagung Peningkatan produktivitas & luas panen jagung Peningkatan luas panen jagung Peningkatan luas panen jagung Peningkatan luas panen jagung Peningkatan luas panen jagung Peningkatan luas panen jagung
Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan
76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99
IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF
Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian
Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster
4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND
Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung
Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster
1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 4 4 4 4 4 5 5 5 5
AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND
Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi
Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4
THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN
kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas
3 2 2 1 1 3 3 2 2 1 4 3 3 2 2 4 4 3 3 2 5 4 4 3
SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN
Peningkatan luas panen jagung Peningkatan luas panen jagung Peningkatan luas panen jagung Peningkatan luas panen jagung Peningkatan luas panen jagung Peningkatan produktivitas jagung Peningkatan produktivitas jagung Peningkatan produktivitas jagung Peningkatan produktivitas jagung Peningkatan produktivitas jagung Peningkatan produktivitas & luas panen jagung Peningkatan produktivitas & luas panen jagung Peningkatan produktivitas & luas panen jagung Peningkatan produktivitas & luas panen jagung Peningkatan produktivitas & luas panen jagung Peningkatan produktivitas & luas panen jagung Peningkatan produktivitas & luas panen jagung Peningkatan produktivitas & luas panen jagung Peningkatan produktivitas & luas panen jagung Peningkatan produktivitas & luas panen jagung Peningkatan luas panen jagung Peningkatan luas panen jagung Peningkatan luas panen jagung Peningkatan luas panen jagung
Aturan 100 IF Potensi sumberdaya pertanian Klaster
4 AND Potensi Jagung Klaster
5 AND Kesesuaian Lahan & Ekologi Klaster 5 THEN kawasan pendukung prioritas 3 SARAN Peningkatan luas panen jagung
5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 4 4 4 4 4 5 5 5 5 5
Lampiran 1. Lanjutan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan
101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125
IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF
Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian Potensi sumberdaya pertanian
Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster
AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND
Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung Potensi Jagung
Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster
AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND
Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi Kesesuaian Lahan & Ekologi
Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN
kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas kawasan pendukung prioritas
3 3 2 2 1 4 3 3 2 2 4 4 3 3 2 5 4 4 3 3 5 5 4 4 3
SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN SARAN
Peningkatan luas panen jagung Peningkatan luas panen jagung Peningkatan luas panen jagung Peningkatan luas panen jagung Peningkatan luas panen jagung Peningkatan produktivitas jagung Peningkatan produktivitas jagung Peningkatan produktivitas jagung Peningkatan produktivitas jagung Peningkatan produktivitas jagung Peningkatan produktivitas & luas panen jagung Peningkatan produktivitas & luas panen jagung Peningkatan produktivitas & luas panen jagung Peningkatan produktivitas & luas panen jagung Peningkatan produktivitas & luas panen jagung Peningkatan produktivitas & luas panen jagung Peningkatan produktivitas & luas panen jagung Peningkatan produktivitas & luas panen jagung Peningkatan produktivitas & luas panen jagung Peningkatan produktivitas & luas panen jagung Peningkatan luas panen jagung Peningkatan luas panen jagung Peningkatan luas panen jagung Peningkatan luas panen jagung Peningkatan luas panen jagung
Lampiran 1. Lanjutan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan
126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150
IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF
Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia
Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND
Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial
Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster
1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 4 4 4 4 4 5 5 5 5 5
AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND
Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri
Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN
Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 1 1 2 1 0 0 0 0 0
Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan
151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163 164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175
IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF
Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia
Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND
Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial
Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster
1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 4 4 4 4 4 5 5 5 5 5
AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND
Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri
Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN
Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0
Lampiran 1. Lanjutan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan
176 177 178 179 180 181 182 183 184 185 186 187 188 189 190 191 192 193 194 195 196 197 198 199 200
IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF
Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia
Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND
Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial
Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster
1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 4 4 4 4 4 5 5 5 5 5
AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND
Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri
Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN
Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas
2 1 1 2 1 1 1 1 1 1 2 1 1 2 1 1 1 1 1 1 2 2 1 2 1
Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan
201 202 203 204 205 206 207 208 209 210 211 212 213 214 215 216 217 218 219 220 221 222 223 224
IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF
Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia
Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster
4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND
Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial
Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster
1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 4 4 4 4 4 5 5 5 5
AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND
Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri
Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4
THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN
Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2 1 2 1 0 0 0 0
Aturan
225 IF Potensi sumberdaya manusia
Klaster
4 AND Potensi sumberdaya buatan dan sosial
Klaster
5 AND Potensi sumberdaya industri
Klaster
5 THEN Pusat agropolitan prioritas
0
Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster
5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster
1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 4 4 4 4 4 5 5 5 5 5
Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster Klaster
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Lampiran 1. Lanjutan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan Aturan
226 227 228 229 230 231 232 233 234 235 236 237 238 239 240 241 242 243 244 245 246 247 248 249 250
IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF IF
Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia Potensi sumberdaya manusia
AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND
Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial Potensi sumberdaya buatan dan sosial
AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND AND
Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri Potensi sumberdaya industri
THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN THEN
Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas Pusat agropolitan prioritas
Lampiran 2. Proyeksi arus kas agroindustri etanol 30.000.0000 galon/tahun Tahun Ke-
0
Total Pendapatan Biaya Variabel Biaya Tetap Total Biaya Biaya Investasi Rp 669,773,064,000 Laba Kotor Bunga pinjaman Penyusutan Laba sebelum pajak dan pengembalian pinjaman Pajak (30%) Laba bersih Rp (669,773,064,000)
1
2
3
4
Rp 683,175,681,840 Rp 472,023,105,647 Rp 4,278,000,000 Rp 476,301,105,647
Rp 768,572,540,556 Rp 531,025,993,853 Rp 4,278,000,000 Rp 535,303,993,853
Rp 853,969,399,276 Rp 590,028,882,059 Rp 4,278,000,000 Rp 594,306,882,059
Rp 853,969,399,276 Rp 590,028,882,059 Rp 4,278,000,000 Rp 594,306,882,059
Rp 206,874,576,193 Rp 54,252,618,184 Rp 66,977,306,400 Rp 85,644,651,609 Rp 25,693,395,483 Rp 59,951,256,126
Rp 233,268,546,703 Rp 48,826,456,366 Rp 66,977,306,400 Rp 117,464,783,937 Rp 35,239,435,181 Rp 82,225,348,756
Rp 259,662,517,216 Rp 43,401,294,547 Rp 66,977,306,400 Rp 149,283,916,269 Rp 44,785,174,881 Rp 104,498,741,389
Rp 259,662,517,216 Rp 37,976,132,729 Rp 66,977,306,400 Rp 154,709,078,087 Rp 46,412,723,426 Rp 108,296,354,661
Lampiran 3.
Data model finansial dan asumsi-asumsi teknis dan proses agroindustri etanol (30 jt galon/th)
Sumber: Mississippi Technology Alliance/Mississippi Alternative Energy Enterprise, 2003, diolah
Pabrikasi (Teknis dan Proses) Tahun Kapasitas Ethanol Plant Size (galon) Yield etanol (galon/kg) Kebutuhan bahan baku jagung per tahun (kg) Yield DDG (pounds/kg jagung) Produksi DDGS per tahun (pounds) Konversi gas alam (m3/kg corn) Kebutuhan gas per tahun (m3) Konversi listrik (KwH/kg corn) Kebutuhan listrik per tahun (KwH) Pembuangan limbah (tons) Pembuangan limbah dalam setahun (tons) Persentase denaturan dari produksi etanol Kebutuhan denaturan per tahun (galon) Konversi bahan kimia/enzim (% of ethanol) Kebutuhan bahan kimia/enzim per tahun (gal) Revenue Assumptions Tahun Kapasitas Harga etanol per galon Total pendapatan etanol Harga DDGS per ton Total pendapatan DDGS Pinjaman (60% investasi) Total Pendapatan
Variabel 0.1149 0.6400 0.0044 0.0840 0.0100 0.0450 0.9569
0
401,863,838,400 401,863,838,400
1 80.00% 24,000,000
2 90.00% 27,000,000
3 sampai 10 100.00% 30,000,000
208,932,627
235,049,205
261,165,783
133,716,881
150,431,491
167,146,101
919,304
1,034,217
1,149,129
17,550,341
19,744,133
21,937,926
2,089
2,350
2,612
1,080,000
1,215,000
1,350,000
22,965,600
25,836,300
28,707,000
1 80.00% 26,496 508,723,200,000 785,588 47,270,869,753
2 90.00% 26,496 572,313,600,000 785,588 53,179,728,472
3 sampai 10 100.00% 26,496 635,904,000,000 785,588 59,088,587,192
555,994,881,840
625,494,140,556
694,993,399,276
Lampiran 4. Data model finansial dan asumsi-asumsi biaya variabel agroindustri etanol Tahun Kapasitas Asumsi biaya variabel Harga jagung di tingkat petani per kg Perkiraan biaya transportasi jagung per kg Biaya penyimpanan jagung per kg Total biaya jagung per kg Total biaya jagung Gas alam (Rp/m3) Total biaya gas alam Listrik (Rp/KwH) Total biaya listrik Air (Rp/1,000 gal) Total biaya air Denaturan (Rp/gal) Total biaya denaturan Limbah (Rp/ton) Total biaya pengolahan limbah Enzim/bahan kimia (Rp/1,000 gal ethanol) Total biaya enzim/bahan kimia Biaya pemasaran (Rp/1,000 gal) Total biaya pemasaran Biaya tenaga kerja langsung (Rp/Kgal) Total biaya tenaga kerja langsung Total Biaya Variabel
1 80.00% Rp Rp Rp Rp
1,900 50 15 1,965
Rp
30,150
Rp
700
Rp
5,000
Rp
6,100
Rp
10,000
Rp 600,000 Rp
10,000
Rp
30,000
Rp
410,552,611,658
Rp
2 90.00%
3 sampai 10 100.00%
Rp 461,871,688,115
Rp
513,190,764,572
27,717,002,271
Rp
31,181,627,555
Rp
34,646,252,839
Rp
12,285,238,456
Rp
13,820,893,263
Rp
15,356,548,070
Rp
120,000,000
Rp
135,000,000
Rp
150,000,000
Rp
6,588,000,000
Rp
7,411,500,000
Rp
8,235,000,000
Rp
20,893,263
Rp
23,504,921
Rp
26,116,578
Rp
13,779,360,000
Rp
15,501,780,000
Rp
17,224,200,000
Rp
240,000,000
Rp
270,000,000
Rp
300,000,000
Rp Rp
720,000,000 472,023,105,647
Rp 810,000,000 Rp 531,025,993,853
Rp Rp
900,000,000 590,028,882,059
202 Lampiran 5. Biaya Investasi agroindustri etanol (Rupiah) Capital Investment Hard Cost Allocation
Installation Factor * Major Equipment & Field Tanks 40.00% Equipment Freight & Handling 1.00% Instrumentation & Controls 2.70% Electrical 7.70% Protective Coverings 1.00% Mechanical 10.40% Steel Structures 2.80% Concrete 5.20% Buildings 3.40% Civil/Site 4.40% Equipment Rental/Consumables 1.30% Subtotal Construction 80.00% Construction Contingency 7.00% Total Construction Cost 87.00% Process Licensing Fees 1.20% Detailed Engineering 6.00% DCS Engineering 0.20% Procurement Services 0.20% Construction Management 3.00% Field Expenses 0.60% EPC Fees 1.90% Subtotal Project Services 13.00% Total Conventional Equipment EPC Cost 100.00% Pretreatment and Conditioning Equipment Calculations Major Equipment & Field Tanks 44.00% Equipment Freight & Handling 1.00% Instrumentation & Controls 6.00% Electrical 8.00% Protective Coverings 2.00% Mechanical 15.00% CSA 2.80% Subtotal Construction 79.00% Construction Contingency 7.00% Total Construction Cost 86.00% Conventional Equipment Calculations
Process Licensing Fees Detailed Engineering DCS Engineering Procurement Services Construction Management Field Expenses EPC Fees Subtotal Project Services Total Pretreatment & Conditioning EPC Cost
1.20% 6.00% 0.20% 0.20% 3.00% 1.60% 2.00% 14.00% 100.00%
10 juta galon/th
30 juta galon/th
36216720000 905418000 2444628600 6971718600 905418000 9416347200 2535170400 4708173600 3078421200 3983839200 1177043400 72433440000 6337926000 78771366000 1086501600 5432508000 181083600 181083600 2716254000 543250800 1720294200 11770434000 90541800000
36216720000 905418000 2444628600 6971718600 905418000 9416347200 2535170400 4708173600 3078421200 3983839200 1177043400 72433440000 6337926000 78771366000 1086501600 5432508000 181083600 181083600 2716254000 543250800 1720294200 11770434000 271625400000
48691368000 1106622000 6639732000 8852976000 2213244000 16599330000 3098541600 87423138000 7746354000 95169492000
48691368000 1106622000 6639732000 8852976000 2213244000 16599330000 3098541600 87423138000 7746354000 95169492000
1327946400 6639732000 221324400 221324400 3319866000 1770595200 2213244000 15492708000 110662200000
1327946400 6639732000 221324400 221324400 3319866000 1770595200 2213244000 15492708000 331986600000
Sumber*: Mississippi Technology Alliance/Mississippi Alternative Energy Enterprise, 2003
203 Lampiran 5. Lanjutan Capital Investment Soft Cost Allocation Financing and Development Cost Legal, document preparation, etc. Bank legal Other due diligence Consultants Closing - legal and misc. closing costs Title insurance & recording fees Subtotal Owner's Project Admin Expenses (capitalized) Preliminary permitting and site design Site office Owner utilities allowance Owners project manager & bank's engineer Legal and accounting Travel Insurance - liability, workman's comp. Builders risk insurance Project construction interest Project construction commitment fee Directors fee's and travel expenses Subtotal Owner Supplied Construction & Assets Owners discretionary project cost Land Spare parts inventory, hand tools Vehicles, forklift & maintenance equipment Office equipment Prepaid insurance premium Sales tax Subtotal Pre-startup operations - capitalized expenses Plant management Other staff Operations training contract Utilities, telephone, travel, supplies & misc. Plant utilities - miscellaneous startup prep Subtotal Beginning Inventories Corn Stover Chemicals Denaturant Subtotal Total Capital Investment Soft Cost Capital Investment Summary Total Project EPC Cost (Hard Cost Allocation) Total Capital Investment Soft Cost Total Capital Investment Cost Capital Investment per Gallon
10.30% 1.80% 1.10% 7.10% 0.30% 0.70% 21.30%
2302668000 402408000 245916000 1587276000 67068000 156492000 4761828000
2302668000 402408000 245916000 1587276000 67068000 156492000 4761828000
0.80% 1.20% 0.80% 2.90% 0.60% 0.50% 0.30% 1.00% 18.40% 9.00% 0.90% 36.40%
178848000 268272000 178848000 648324000 134136000 111780000 67068000 223560000 4113504000 2012040000 201204000 8137584000
178848000 268272000 178848000 648324000 134136000 111780000 67068000 223560000 4113504000 2012040000 201204000 8137584000
7.20% 2.10% 2.90% 1.30% 1.30% 1.90% 0.40% 17.10%
1609632000 469476000 648324000 290628000 290628000 424764000 89424000 3822876000
1609632000 469476000 648324000 290628000 290628000 424764000 89424000 3822876000
5.90% 3.30% 1.70% 0.40% 4.80% 16.10%
1319004000 737748000 380052000 89424000 1073088000 3599316000
1319004000 737748000 380052000 89424000 1073088000 3599316000
6.50% 1.90% 0.70% 9.10% 100.00%
1453140000 424764000 156492000 2034396000 22356000000
1453140000 424764000 156492000 2034396000 67068000000
90.00% 10.00% 100.00%
201204000000 22356000000 223560000000 22356
603612000000 67068000000 670680000000 22356
204
Lampiran 6. Potensi Sumberdaya Manusia Kabupaten Probolinggo (BPS Kabupaten Probolinggo, 2009)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Kecamatan
Luas
Sukapura Sumber Kuripan Bantaran Leces Tegalsiwalan Banyuanyar Tiris Krucil Gading Pakuniran Kotaanyar Paiton Besuk Kraksaan Krejengan Pajarakan Maron Gending Dringu Wonomerto Lumbang Tongas Sumberasih
10208.53 14188.13 6674.70 4212.83 3680.97 4173.56 4569.63 16566.69 20252.66 14684.64 11385.00 4258.00 5327.94 3503.63 3779.75 3442.84 2134.35 5139.27 3661.48 3113.54 4566.84 9271.00 7795.20 3025.41
Kepadatan Pdd (jiwa/km2) 187 179 458 929 1401 800 1103 364 241 323 377 799 1196 1242 1597 1075 1505 1141 1002 1490 803 319 786 1808
Rasio Murid-Guru
Pertumb Pdd
Sex Ratio
SD
SMP
SMA
0.42 0.32 0.25 1.17 0.79 5.13 0.94 -0.26 0.29 0.99 -0.95 0.73 0.61 1.27 0.12 0.42 0.58 0.40 5.98 0.73 0.44 0.19 0.74 0.20
94.95 89.12 94.92 90.57 93.75 89.03 93.21 96.55 93.51 96.26 95.41 95.11 98.80 99.99 95.68 98.86 95.18 96.08 95.71 98.91 91.51 97.08 92.65 95.64
10.32 16.37 13.75 23.57 13.84 11.04 9.63 11.34 10.82 9.59 9.63 8.10 10.18 9.98 13.62 8.57 8.61 11.01 11.62 14.35 15.13 14.19 15.39 15.12
8.13 5.15 7.75 9.02 8.61 9.88 10.78 14.19 6.86 8.53 11.64 9.06 9.88 10.02 10.13 8.00 15.72 10.45 9.80 15.69 5.92 7.17 14.49 18.51
11.78 6.60 4.56 10.38 8.25 4.49 1.75 1.57 9.79 8.43 15.56 13.70 21.96 11.49 5.46 8.79 6.87 12.73 17.93 3.47 15.31 4.82
%pengunjung posyandu 77.34 82.46 73.52 80.85 89.93 85.08 91 73.61 95.03 86.79 70.35 67.61 1.69 95.93 82.41 78.76 91.51 97.48 85.05 86.25 76.67 78.83 75.14 62.08
205
Lampiran 6. Lanjutan Kecamatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Sukapura Sumber Kuripan Bantaran Leces Tegalsiwalan Banyuanyar Tiris Krucil Gading Pakuniran Kotaanyar Paiton Besuk Kraksaan Krejengan Pajarakan Maron Gending Dringu Wonomerto Lumbang Tongas Sumberasih
Angka Kelahiran
Angka Kematian
% Tdk Sekolah
68 52 3 27 193 5 7 1
16 101
9.86 30.99 11.69 36.55 52.07 40.35 30.64 47.00 19.98 5.25 22.56 55.65 13.27 32.17 6.14 54.58 33.71 17.15 29.23 30.63 4.32 22.86 16.44 37.88
2 6 8 191 198 69 6 24 11 26 97 10 19 183 21
1
3 4
3 3
1
%Tdk Tamat SD 31.89 33.36 10.39 22.77 26.87 39.34 19.08 21.70 33.36 18.64 24.84 32.27 9.16 30.66 16.56 13.39 23.47 32.82 41.54 19.08 57.31 18.53 14.12 8.11
% Tamat SD 49.94 30.57 73.91 29.49 6.55 15.15 24.72 24.44 40.63 42.76 31.95 8.18 47.33 20.40 37.61 27.30 26.41 35.03 22.48 24.71 24.28 51.05 48.46 33.01
% Tamat SMP 4.54 3.45 2.42 9.82 9.95 2.65 23.33 5.25 0.70 17.71 13.59 3.33 18.33 10.57 21.68 2.83 14.64 10.30 3.99 17.22 8.57 5.12 14.77 11.38
% Tamat SMA 3.38 1.59 1.37 1.16 4.19 1.98 1.87 1.51 5.00 14.92 6.84 0.32 10.16 5.73 15.74 1.60 0.82 4.35 2.69 7.02 5.30 2.00 5.60 9.44
% Tamat Akadmk/PT 0.39 0.04 0.23 0.22 0.36 0.54 0.36 0.10 0.33 0.72 0.22 0.26 1.75 0.48 2.27 0.30 0.94 0.35 0.08 1.34 0.22 0.43 0.62 0.19
206 Lampiran 7. Potensi Sumberdaya Buatan dan Sosial Kabupaten Probolinggo Kecamatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Sukapura Sumber Kuripan Bantaran Leces Tegalsiwalan Banyuanyar Tiris Krucil Gading Pakuniran Kotaanyar Paiton Besuk Kraksaan Krejengan Pajarakan Maron Gending Dringu Wonomerto Lumbang Tongas Sumberasih
Jml Pdd 19010 24285 27910 38854 49459 33874 46092 59084 47181 46774 36627 31973 54120 43527 55347 33387 29533 55019 37400 43713 30840 27095 56775 49023 976902
Indeks Fasilitas 1.103 0.741 0.631 1.081 1.921 0.989 1.366 1.054 1.360 1.855 1.421 1.195 2.393 1.328 2.669 1.522 1.440 1.809 1.554 1.283 1.044 1.013 2.104 1.420
II 3 3 1 3 2 2 2 3 4 2 3 3 3 3 3
1 2 2 45
LKD
III 9 6 6 7 8 10 12 13 10 17 14 13 17 14 18 14 12 15 13 14 10 8 12 13 285
Mula 4 5 5 1 1 4 2 9 11 10 6 3 3 1 1 10 2
2 1 9 7 4 101
Desa Swadaya Madya Lanjut 7 4 2 6 3 5 4 8 10 2 7 3 9 9 2 9 5 12 16 13 4 2 5 10 16 2 9 4 10 2 9 1 1 7 8 1 185 42
Desa Swakarsa 1
1
2
207
Lampiran 8. Potensi Sumberdaya Pertanian Kabupaten Probolinggo
Kecamatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Sukapura Sumber Kuripan Bantaran Leces Tegalsiwalan Banyuanyar Tiris Krucil Gading Pakuniran Kotaanyar Paiton Besuk Kraksaan Krejengan Pajarakan Maron Gending Dringu Wonomerto Lumbang Tongas Sumberasih
Padi
Jagung
0.027 0.046 0.517 0.354 0.637 0.590 0.650 1.075 0.468 2.418 1.972 2.511 2.009 2.237 2.537 1.805 3.220 2.274 1.766 0.267 0.857 0.690 0.447 1.333
0.537 0.268 1.583 1.416 1.717 1.518 1.602 1.753 1.952 0.039 0.755 1.088 1.711 0.271 0.134 0.018 0.078 1.156 0.267 0.440 1.849 0.751 0.672 1.799
Ubi Kayu 0.000 0.539 2.313 2.305 1.562 0.846 0.219 0.820 1.255 0.179 0.133 0.000 0.016 0.000 0.000 0.193 0.000 0.000 1.098 0.830 1.265 0.030 3.005 0.103
Bwg Merah 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.787 3.476 0.478 0.000 0.000 0.000 0.016 0.004 0.000 0.014 0.758 0.351 0.039 2.192 6.649 0.000 0.000 0.002 0.443
LQ Kentang
Kubis
12.299 16.321 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.053 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.072 0.000 0.000
13.470 8.685 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.067 3.249 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.097 0.000 0.000
Cabe Merah 0.000 0.511 0.000 0.685 0.000 0.000 0.399 2.962 6.308 0.000 1.687 0.000 2.339 0.000 0.000 0.000 5.467 0.000 1.015 0.000 0.000 0.000 0.000 3.151
Pisang 0.043 0.130 0.188 0.953 0.151 0.123 0.421 0.574 0.486 4.624 0.435 1.360 0.142 0.248 0.000 6.826 0.000 4.236 0.787 0.057 1.474 1.278 0.049 1.073
Alpokat Mangga 1.691 1.236 0.292 0.000 0.082 0.053 0.762 8.841 1.947 0.269 0.822 0.108 0.039 0.000 0.084 0.000 0.170 0.187 0.016 0.035 0.022 3.446 0.085 0.000
0.031 0.039 0.019 0.866 0.891 1.299 0.507 0.022 0.024 2.216 2.239 0.000 0.000 3.038 2.510 3.096 0.243 0.179 0.000 0.370 0.366 6.001 1.141 1.072
208 Lampiran 8. Lanjutan Kecamatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Sukapura Sumber Kuripan Bantaran Leces Tegalsiwalan Banyuanyar Tiris Krucil Gading Pakuniran Kotaanyar Paiton Besuk Kraksaan Krejengan Pajarakan Maron Gending Dringu Wonomerto Lumbang Tongas Sumberasih
Padi 48.8 49.5 48.5 56.5 56.5 56.4 56.99 49.9 53.5 56.9 56.1 57.92 57.8 59.6 59.8 57.2 58.6 59.56 59.8 57.68 65.36 56.4 61.1 58.42
Jagung 2.65 2.85 2.65 3.95 5.05 4.94 5.15 3.26 3.68 4.06 4.07 4.26 5.44 4.67 4.39 4.6 4.57 4.96 4.59 4.86 4.36 3.94 4.35 4.17
Ubi Kayu 0 13.15 12.26 10.96 12.84 12.46 12.45 10.64 9.95 12.72 11.35 0 11.86 0 0 12.44 0 0 12.82 10.85 12.38 10.67 11.25 11.94
Bwg Merah 0 0 0 13 141.6 128.47 120.38 0 0 0 0 132 0 130.67 0 120.29 137.78 0 119.56 126.18 0 0 0 131.4
PRODUKTIVITAS Kentang 13.17 12.42 0 0 0 0 0 0 15.38 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1.05 0 0
Kubis 14.13 13.62 0 0 0 0 0 18 18.57 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2.15 0 0
Cabe Merah
Pisang
0 18 0 9 0 0 11 5.63 6 0 10 0 2.09 0 0 0 5.5 0 4.5 0 0 0 0 5.69
11.8 13.6 11.7 9.1 13.3 8 23.5 3 3.9 115.7 6.5 14.6 9 12 0 10.1 0 15 32 3.4 9.6 8.3 7.9 7.5
Alpokat Mangga 98.92 80.93 37.48 0 39.55 45.4 83.94 67.51 53.2 49.32 20.77 24.43 25.5 0 97.6 0 98.88 69.22 47.09 40.6 25.71 81.47 113.32 0
81.5 197.9 9.8 27.5 76.4 139.3 142.4 49.1 46.7 106.7 54.4 0 0 92.5 407.3 186.1 40.9 40.7 0 51.8 18.5 162.9 122.2 173.1
206 Lampiran 7. Potensi Sumberdaya Buatan dan Sosial Kabupaten Probolinggo Kecamatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Sukapura Sumber Kuripan Bantaran Leces Tegalsiwalan Banyuanyar Tiris Krucil Gading Pakuniran Kotaanyar Paiton Besuk Kraksaan Krejengan Pajarakan Maron Gending Dringu Wonomerto Lumbang Tongas Sumberasih
Jml Pdd 19010 24285 27910 38854 49459 33874 46092 59084 47181 46774 36627 31973 54120 43527 55347 33387 29533 55019 37400 43713 30840 27095 56775 49023 976902
Indeks Fasilitas 1.103 0.741 0.631 1.081 1.921 0.989 1.366 1.054 1.360 1.855 1.421 1.195 2.393 1.328 2.669 1.522 1.440 1.809 1.554 1.283 1.044 1.013 2.104 1.420
II 3 3 1 3 2 2 2 3 4 2 3 3 3 3 3
1 2 2 45
LKD
III 9 6 6 7 8 10 12 13 10 17 14 13 17 14 18 14 12 15 13 14 10 8 12 13 285
Mula 4 5 5 1 1 4 2 9 11 10 6 3 3 1 1 10 2
2 1 9 7 4 101
Desa Swadaya Madya Lanjut 7 4 2 6 3 5 4 8 10 2 7 3 9 9 2 9 5 12 16 13 4 2 5 10 16 2 9 4 10 2 9 1 1 7 8 1 185 42
Desa Swakarsa 1
1
2
207
Lampiran 8. Potensi Sumberdaya Pertanian Kabupaten Probolinggo
Kecamatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Sukapura Sumber Kuripan Bantaran Leces Tegalsiwalan Banyuanyar Tiris Krucil Gading Pakuniran Kotaanyar Paiton Besuk Kraksaan Krejengan Pajarakan Maron Gending Dringu Wonomerto Lumbang Tongas Sumberasih
Padi
Jagung
0.027 0.046 0.517 0.354 0.637 0.590 0.650 1.075 0.468 2.418 1.972 2.511 2.009 2.237 2.537 1.805 3.220 2.274 1.766 0.267 0.857 0.690 0.447 1.333
0.537 0.268 1.583 1.416 1.717 1.518 1.602 1.753 1.952 0.039 0.755 1.088 1.711 0.271 0.134 0.018 0.078 1.156 0.267 0.440 1.849 0.751 0.672 1.799
Ubi Kayu 0.000 0.539 2.313 2.305 1.562 0.846 0.219 0.820 1.255 0.179 0.133 0.000 0.016 0.000 0.000 0.193 0.000 0.000 1.098 0.830 1.265 0.030 3.005 0.103
Bwg Merah 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.787 3.476 0.478 0.000 0.000 0.000 0.016 0.004 0.000 0.014 0.758 0.351 0.039 2.192 6.649 0.000 0.000 0.002 0.443
LQ Kentang
Kubis
12.299 16.321 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.053 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.072 0.000 0.000
13.470 8.685 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.067 3.249 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.097 0.000 0.000
Cabe Merah 0.000 0.511 0.000 0.685 0.000 0.000 0.399 2.962 6.308 0.000 1.687 0.000 2.339 0.000 0.000 0.000 5.467 0.000 1.015 0.000 0.000 0.000 0.000 3.151
Pisang 0.043 0.130 0.188 0.953 0.151 0.123 0.421 0.574 0.486 4.624 0.435 1.360 0.142 0.248 0.000 6.826 0.000 4.236 0.787 0.057 1.474 1.278 0.049 1.073
Alpokat Mangga 1.691 1.236 0.292 0.000 0.082 0.053 0.762 8.841 1.947 0.269 0.822 0.108 0.039 0.000 0.084 0.000 0.170 0.187 0.016 0.035 0.022 3.446 0.085 0.000
0.031 0.039 0.019 0.866 0.891 1.299 0.507 0.022 0.024 2.216 2.239 0.000 0.000 3.038 2.510 3.096 0.243 0.179 0.000 0.370 0.366 6.001 1.141 1.072
208 Lampiran 8. Lanjutan Kecamatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Sukapura Sumber Kuripan Bantaran Leces Tegalsiwalan Banyuanyar Tiris Krucil Gading Pakuniran Kotaanyar Paiton Besuk Kraksaan Krejengan Pajarakan Maron Gending Dringu Wonomerto Lumbang Tongas Sumberasih
Padi 48.8 49.5 48.5 56.5 56.5 56.4 56.99 49.9 53.5 56.9 56.1 57.92 57.8 59.6 59.8 57.2 58.6 59.56 59.8 57.68 65.36 56.4 61.1 58.42
Jagung 2.65 2.85 2.65 3.95 5.05 4.94 5.15 3.26 3.68 4.06 4.07 4.26 5.44 4.67 4.39 4.6 4.57 4.96 4.59 4.86 4.36 3.94 4.35 4.17
Ubi Kayu 0 13.15 12.26 10.96 12.84 12.46 12.45 10.64 9.95 12.72 11.35 0 11.86 0 0 12.44 0 0 12.82 10.85 12.38 10.67 11.25 11.94
Bwg Merah 0 0 0 13 141.6 128.47 120.38 0 0 0 0 132 0 130.67 0 120.29 137.78 0 119.56 126.18 0 0 0 131.4
PRODUKTIVITAS Kentang 13.17 12.42 0 0 0 0 0 0 15.38 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1.05 0 0
Kubis 14.13 13.62 0 0 0 0 0 18 18.57 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2.15 0 0
Cabe Merah
Pisang
0 18 0 9 0 0 11 5.63 6 0 10 0 2.09 0 0 0 5.5 0 4.5 0 0 0 0 5.69
11.8 13.6 11.7 9.1 13.3 8 23.5 3 3.9 115.7 6.5 14.6 9 12 0 10.1 0 15 32 3.4 9.6 8.3 7.9 7.5
Alpokat Mangga 98.92 80.93 37.48 0 39.55 45.4 83.94 67.51 53.2 49.32 20.77 24.43 25.5 0 97.6 0 98.88 69.22 47.09 40.6 25.71 81.47 113.32 0
81.5 197.9 9.8 27.5 76.4 139.3 142.4 49.1 46.7 106.7 54.4 0 0 92.5 407.3 186.1 40.9 40.7 0 51.8 18.5 162.9 122.2 173.1
Lampiran 9. Potensi Sumberdaya Industri Kabupaten Probolinggo 2008
Kecamatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Sukapura Sumber Kuripan Bantaran Leces Tegalsiwalan Banyuanyar Tiris Krucil Gading Pakuniran Kotaanyar Paiton Besuk Kraksaan Krejengan Pajarakan Maron Gending Dringu Wonomerto Lumbang Tongas Tongas
Pangan 68 72 45 61 80 60 112 300 197 210 222 99 251 125 222 148 159 166 146 151 108 124 219 84 3429
Jumlah Unit Usaha Industri Sandang& Kerajinan Kimia& Kulit Umum B.Bangunan 24 66 6 30 17 1 27 14 12 55 34 42 129 181 7 33 23 27 35 65 1 423 3 142 18 58 50 26 18 170 24 18 15 76 17 27 15 23 59 145 38 152 45 86 67 37 89 108 26 20 13 33 44 48 42 40 41 3 15 50 19 14 39 24 20 20 25 26 175 57 640 1974 958
Logam 3 4 2 28 1 35 1 1 55 3 7 20 24 10 5 5 1 27 9 34 6 29 10 320
Pangan 120 105 80 30 102 70 200 300 140 102 In150 95 145 104 414 40 73 40 60 120 110 120 310 86 3116
Jumlah Tenaga Kerja Sandang& Kerajinan Kimia& Kulit Umum B.Bangunan 60
320
40 39 61 75 48 200 30 325 50 80 80 65 80 120 42 1655
40 100 307 50 65 491 105 36 240 71 55 121 467 40 26 54 35 56 64 72 231 2786
26 156 48 15
21 6 35 125 45 47 26
48 19 56 42 32 747
Logam
10 50
Jml Industri Besar/Sedang
1 7 2
20 18 44 40
12 20 20 84 42 360
1 2 1 2 7 3 16 2 12 4 2 2 1 1 5 7 78
210 Lampiran 10 Rencana alih fungsi lahan kawasan agropolitan URAIAN
SATUAN
Padi ha Jagung ha Ubi Kayu ha Ubi Jalar ha Kedele ha Kacang Tanah ha Kacang Hijau ha Sorghum ha Sayur-sayuran - Bawang Merah ha - Bawang Putih ha - Bawang Daun ha - Kentang ha - Kubis ha - Petsai/Sawi ha - Wortel ha - Cabe ha - Tomat ha - Terung ha - Timun ha - Labu Siam ha Tidak diusahakan Lahan sawah tdk ditanam Lahan sawah 1x Perkebunan (tanaman tua/rusak) - Kopra ha - Kapuk Randu ha - Cengkeh ha - Kopi ha - Aren ha - Pinang ha Perkebunan Tembakau ha Tebu ha Jarak ha Kapas ha Kelapa ha Kopi ha Aren ha Asem ha Cengkeh ha Lada ha Kapuk ha Jambu Mete ha Pinang ha Buah-buahan - Alpukad Pohon - Blimbing Pohon
53457 61743 11499 102 3768 5261 1174 8
51421 62501 10337 68 2389 4433 1246 31
51811 63071 18028 114 2404 3277 440 16
Rata-Rata 2006-2008 52229.67 62438.33 13288.00 94.67 2853.67 4323.67 953.33 18.33
7249 15 1030 2043 2862 66 246 517 78 35 28 48
6233 26 1973 2860 3062 30 218 667 68 29 28 48
6354 16 950 2539 2509 40 204 850 98 41 26 32 8748 1672 14651
6612.00 19.00 1317.67 2480.67 2811.00 45.33 222.67 678.00 81.33 35.00 27.33 42.67 8748.00 1672.00 14651.00
6612.00 9.50 988.25 2480.67 2108.25 22.67 111.33 339.00 40.67 17.50 13.67 21.33 0.00 0.00 0.00
1 3 2 1 2 3 3 3 3 3 3 3 4 4 4
324 540 141.2 106 5 52
326 539 127 97 5 52
325 539.5 134.1 101.5 5 52
650.00 1079.00 268.20 203.00 10.00 104.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
4 4 4 4 4 4
10126 2355 59 49.5 3568 3014 308 65 978.5 9 6215 73 340
10510 1968 73 55 3604 2818 342 62 1020 7 4696 73 340
12246 2014 71 57 3653 2846 350 62 1035 7.85 4762 72 342
10960.67 2112.22 67.67 53.83 3608.33 2892.62 333.33 62.83 1011.17 7.95 5224.33 72.67 340.67
21921.33 4224.45 135.33 107.67 7216.67 5785.25 666.67 125.67 2022.33 15.90 10448.67 145.33 681.33
21921.33 4224.45 101.50 107.67 5412.50 4338.94 500.00 94.25 1516.75 11.93 7836.50 109.00 511.00
1 1 2 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2
79958 3708
98334 5164
80085 12610
86125.67 7160.67
344.50 28.64
258.38 14.32
2 3
2006
2007
2008
Rencana
Ket*
52229.67 106422.00 9966.00 47.33 1426.83 2161.83 476.67 9.17
1 0 2 3 3 3 3 3
211 Lampiran 10 Lanjutan URAIAN - Duku - Durian - Jambu Biji - Jambu Air - Jeruk - Mangga - Manggis - Nangka - Nenas - Pepaya - Pisang - Rambutan - Salak - Sawo - Sirsak - Sukun - Anggur - Semangka TOTAL
SATUAN Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon ha
2006 23 24338 13939 5052 9145 810635 10193 15996 3160 67345 1184363 22343 8069 11614 11014 2603 2888 99
2007
2008
22 39901 11180 1576 9261 1224134 394 21472 1035 54040 919621 19878 8453 9607 12655 2439 6663 74
52 55902 31310 6505 12453 987164 1223 17925 422 5519 989890 36318 14520 9110 13564 2286 7818 57
Keterangan *: Klaster 1= Tidak dilakukan alih fungsi lahan Klaster 2= 25% dilakukan alih fungsi lahan Klaster 3= 50% dilakukan alih fungsi lahan Klaster 4= 100% dilakukan alih fungsi lahan
32.33 40047.00 18809.67 4377.67 10286.33 1007311.00 3936.67 18464.33 1539.00 42301.33 1031291.33 26179.67 10347.33 10110.33 12411.00 2442.67 5789.67 76.67
Rata-Rata 2006-2008 0.13 160.19 75.24 17.51 41.15 4029.24 15.75 73.86 6.16 169.21 4125.17 104.72 41.39 40.44 49.64 9.77 23.16 76.67 240886.65
Rencana
Ket*
0.06 80.09 37.62 8.76 20.57 4029.24 7.87 36.93 3.08 84.60 2062.58 52.36 20.69 20.22 24.82 4.89 11.58 57.50 239026.32
3 3 3 3 3 1 3 3 3 3 2 3 3 3 3 3 3 3
212
Lampiran 11. Contoh kuesioner kelembagaan
KUESIONER KELEMBAGAAN PENDUKUNG KAWASAN AGROPOLITAN DI KABUPATEN PROBOLINGGO Kuesioner ini adalah bagian penelitian disertasi program doktoral (S3) Sekolah Pascasarjana Teknologi Industri Pertanian IPB, yang berjudul Rekayasa Sistem Pendukung Keputusan Intelijen untuk Pengembangan Agropolitan Berbasis Agroindustri. Terima kasih atas kesediaan dan kerjasama Bapak/Ibu dalam mengisi dan mengembalikan kuisioner ini kepada kami. (Zulfa Fitri Ikatrinasari, Telp. (021) 70706815, HP 081314305170, Fax (021) 5350305)
A. PENENTUAN BOBOT KRITERIA Petunjuk Pengisian: Tentukanlah tingkat kepentingan dari dua kriteria di bawah ini dengan memberikan nilai pada kolom yang disediakan dengan arti setiap nilai adalah sebagai berikut: Nilai
Keterangan
Nilai
Keterangan
9
Kriteria A mutlak lebih penting dari kriteria B
1/9
Kiteria B mutlak lebih penting dari kriteria A
7
Kriteria A jelas-jelas lebih penting dari kriteria B
1/7
Kiteria B jelas-jelas lebih penting dari kriteria A
5
Kriteria A sangat lebih penting dari kriteria B
1/5
Kiteria B sangat lebih penting dari kriteria A
3
Kriteria A sedikit lebih penting dari kriteria B
1/3
Kiteria B sedikit lebih penting dari kriteria A
2,4,6,8
Nilai-nilai diantara dua nilai pertimbangan yang berdekatan
1/2,1/4, 1/6,1/8
Nilai-nilai diantara dua nilai pertimbangan yang berdekatan
1
Kriteria A dan kriteria B sama penting
Tdk
Kriteria A dan kriteria B tidak ada hubungan
213
Biaya Biaya Biaya Biaya Penegakan Transaksi Informasi Negosiasi Aturan Biaya Transaksi Biaya Informasi Biaya Negosiasi Biaya Penegakan Aturan Pengendalian Ekologi & SD Alam Perlidungan hak-hak Penegakan Kewajiban Kemudahan Akses Pasar Peningkatan Peluang Pasar Kemudahan Distribusi Kemudahan Prosdr Peminjaman Keringanan Bunga Pinjaman Kemudahan Mengikuti Diklat Ketersediaan Program Diklat Materi Diklat Kemudahan Akses IPTEK Kemudahan Penerapan IPTEK Kemutakhiran IPTEK Ketersediaan Sapras
Pengendalian Perlidungan Penegakan Ekologi & SD Hak-hak Kewajiban Alam
Kemudahan Peningkatan Kemudahan Akses Peluang Distribusi Pasar Pasar
214
Kemudahan Keringanan Prosedur Bunga Peminjaman Pinjaman Biaya Transaksi Biaya Informasi Biaya Negosiasi Biaya Penegakan Aturan Pengendalian Ekologi & SD Alam Perlidungan hak-hak Penegakan Kewajiban Kemudahan Akses Pasar Peningkatan Peluang Pasar Kemudahan Distribusi Kemudahan Prosedur Peminjaman Keringanan Bunga Pinjaman Kemudahan Mengikuti Diklat Ketersediaan Program Diklat Materi Diklat Dapat Diterapkan Kemudahan Akses IPTEK Kemudahan Penerapan IPTEK Kemutakhiran IPTEK Ketersediaan Sapras
Kemudahan Ketersediaan Mengikuti Program Diklat Diklat
Materi Diklat
Kemudahan Kemudahan Kemutakhiran Akses Penerapan IPTEK IPTEK IPTEK
Ketersediaan Sapras
215
B. PENENTUAN SKOR SETIAP ALTERNATIF PADA SETIAP KRITERIA Petunjuk Pengisian: Tentukanlah tingkat penilaian (skor) dari alternatif kelembagaan di bawah ini dengan memberikan nilai pada kolom yang disediakan dengan arti setiap nilai adalah sebagai berikut: Nilai
Keterangan
Nilai
Keterangan
9
Kriteria A mutlak lebih penting dari kriteria B
1/9
Kiteria B mutlak lebih penting dari kriteria A
7
Kriteria A jelas-jelas lebih penting dari kriteria B
1/7
Kiteria B jelas-jelas lebih penting dari kriteria A
5
Kriteria A sangat lebih penting dari kriteria B
1/5
Kiteria B sangat lebih penting dari kriteria A
3
Kriteria A sedikit lebih penting dari kriteria B
1/3
Kiteria B sedikit lebih penting dari kriteria A
2,4,6,8
Nilai-nilai diantara dua nilai pertimbangan yang berdekatan
1/2,1/4, 1/6,1/8
Nilai-nilai diantara dua nilai pertimbangan yang berdekatan
1
Kriteria A dan kriteria B sama penting
Tdk
Kriteria A dan kriteria B tidak ada hubungan
1.1 Kriteria Biaya Transaksi Sistem Pasar
Sistem Kontrak
Aliansi Strategis
Koperasi
Integrasi Vertikal
Sistem Kontrak
Aliansi Strategis
Koperasi
Integrasi Vertikal
Sistem Kontrak
Aliansi Strategis
Koperasi
Integrasi Vertikal
Sistem Pasar Sistem Kontrak Aliansi Strategis Koperasi Integrasi Vertikal 1.2 Kriteria Biaya Informasi Sistem Pasar Sistem Pasar Sistem Kontrak Aliansi Strategis Koperasi Integrasi Vertikal 1.3. Kriteria Biaya Negosiasi Sistem Pasar Sistem Pasar Sistem Kontrak Aliansi Strategis Koperasi Integrasi Vertikal
216
1.4 Kriteria Biaya Penegakan Aturan Sistem Pasar
Sistem Kontrak
Aliansi Strategis
Koperasi
Integrasi Vertikal
Aliansi Strategis
Koperasi
Integrasi Vertikal
Aliansi Strategis
Koperasi
Integrasi Vertikal
Aliansi Strategis
Koperasi
Integrasi Vertikal
Aliansi Strategis
Koperasi
Integrasi Vertikal
Sistem Pasar Sistem Kontrak Aliansi Strategis Koperasi Integrasi Vertikal 2 Kriteria Pengendalian Ekologi & Sumberdaya Alam Sistem Pasar
Sistem Kontrak
Sistem Pasar Sistem Kontrak Aliansi Strategis Koperasi Integrasi Vertikal 3.1 Kriteria Perlindungan Hak-hak Sistem Pasar
Sistem Kontrak
Sistem Pasar Sistem Kontrak Aliansi Strategis Koperasi Integrasi Vertikal 3.2 Kriteria Penegakan Kewajiban Sistem Pasar
Sistem Kontrak
Sistem Pasar Sistem Kontrak Aliansi Strategis Koperasi Integrasi Vertikal 4.1 Kriteria Kemudahan Akses Pasar Sistem Pasar Sistem Pasar Sistem Kontrak Aliansi Strategis Koperasi Integrasi Vertikal
Sistem Kontrak
217 Lampiran 12. Daftar Pakar Nama
Keterangan
Model Seleksi Komoditi Unggulan 1
Ir. Kusdirianto, MS
Kasubdin Penyusunan Program Dinas Pertanian Prop Jawa Timur
2
Ir. Joni
Subdin Ekonomi Bappeda Kab Probolinggo
3
Ir. Handoko
Dinas Pertanian Kabupaten Probolinggo
4
M. Rizal Krisna, MMA.
Manajer Operasional PT. Bromo Agropolitan Internasional
5
Muhamad Hidayat
Ka Kelompok Tani Kab Probolinggo
Model Penentuan Pusat Agropolitan 1
Ir. Donny Adianto, MSc
Kabag Fisik Bappeda Kab Probolinggo
2
Djoni Sudiono
Bapeda Kab Probolinggo
Model Seleksi Agroindustri Prospektif 1
Kussunarti
Kasi Usaha Industri, Disperindag Kab Prob
2
Djoni Sudiono
Bapeda Kab Probolinggo
3
Ir. Kukilo Tyas Kumolo
Manajer Warehouse PT. Bromo Agropolitan Internasional
Model Penentuan Pola Kerjasama dan Kelembagaan 1
Imam Kamarun,SP
Kaseksi Kelembagaan Dinas Pertanian Kab Prob
2
Ir. Joni
Subdin Ekonomi Bappeda Kabupaten Probolinggo
3
Febti Suryani, SP
Dinas Pertanian Kabupaten Probolinggo
4
Saryono, SE
Kasi Kelembagaan Dinas Koperasi dan UKM Kabupaten Probolinggo
5
M. Hidayat
Kelompok Tani
Model Penyediaan Sarana dan Prasarana 1
Ir. Rahmat Waluyo
Kasubdin Pengend Operasional Dinas PU Bina Marga Kab Prob
2
Sutanto, ST
Kasi Eksploitasi Dinas PU Pengairan Kab Prob
3
Ir. Donny Adianto, MSc
Kabag Fisik Bappeda Kab Probolinggo
Lampiran 13. Ouput Analisis Klaster Potensi Sumberdaya Manusia
Variable Kepadatan Penduduk Pertumbuhan Penduduk Sex Ratio M/G SD M/G SMP M/G SMA Angka Kelahiran Angka Kematian % Tdk Tamat SD % Tamat SD % Tamat SMP % Tamat SMA % Tamat Akademik/PT
Cluster Means (Manusia) Cluster Cluster Cluster Cluster Cluster No. 1 No. 2 No. 3 No. 4 No. 5 823.4000 1126.500 1560.200 368.2000 202.3333 1.6420 1.603 0.484 0.3433 0.0440 91.7740 97.108 95.832 96.0440 92.5267 14.6460 13.108 11.7000 12.5033 10.165 9.822 13.732 9.8560 6.7133 9.6740 9.4300 10.868 10.682 5.3140 4.4500 46.6000 73.167 80.800 6.2000 40.0000 0.2000 1.000 1.600 0.0000 39.0000 33.1620 24.442 18.818 18.8200 32.8700 25.1120 29.543 25.658 44.8220 40.3800 7.8280 11.558 14.974 8.8180 2.8967 2.8720 3.3233 4.400 7.442 5.3280 1.020 0.3400 0.2533 0.3720 0.553
Euclidean Distances between Clusters (Manusia) Distances below diagonal Cluster Squared distances above diagonal No. 1 No. 2 No. 3 No. 4 No. 5 Number 0.0000 7133.740 41874.03 16114.4 29813.2 No. 1 84.4615 0.000 14480.69 44601.1 65920.9 No. 2 204.6314 120.336 0.00 109760.6 142118.6 No. 3 0.0 2342.7 126.9424 211.190 331.30 No. 4 172.6649 256.751 376.99 48.4 0.0 No. 5
Variable Kepadatan Penduduk Pertumbuhan Penduduk Sex Ratio M/G SD M/G SMP M/G SMA Angka Kelahiran Angka Kematian % Tdk Tamat SD % Tamat SD % Tamat SMP % Tamat SMA % Tamat Akademik/PT
Analysis of Variance (Manusia) Between df Within df F SS SS 5381343 4 162171.0 19 157.6200 11 4 41.4 19 1.2812 106 4 89.2 19 5.6398 60 4 210.4 19 1.3554 102 4 152.5 19 3.1671 162 4 598.6 19 1.2825 17883 4 90535.6 19 0.9382 3856 4 5920.0 19 3.0939 903 4 2201.8 19 1.9477 1504 4 3680.6 19 1.9414 320 4 685.5 19 2.2146 62 4 344.6 19 0.8597 2 4 5.1 19 1.6337
signif. p 0.000000 0.312229 0.003632 0.286361 0.037454 0.311751 0.463147 0.040454 0.143817 0.144857 0.106023 0.505661 0.206941
Lampiran 13. Lanjutan Potensi Sumberdaya Buatan dan Sosial
Variable Indeks Fasilitas LKD II LKD III Desa Swadaya Mula Desa Swadaya Madya Desa Swadaya Lanjut
Cluster Means (Fasilitas) Cluster Cluster Cluster Cluster No. 4 No. 3 No. 2 No. 1 1.59120 1.93533 1.30873 2.39300 2.60000 2.00000 1.18182 3.00000 14.00000 15.66667 11.00000 17.00000 8.40000 0.66667 2.18182 3.00000 6.80000 15.00000 8.27273 5.00000 1.40000 2.00000 1.54546 12.00000
Cluster No. 5 0.936250 2.500000 7.500000 7.500000 2.500000 0.000000
Euclidean Distances between Clusters (Fasilitas) Distances below diagonal Cluster Squared distances above diagonal No. 1 No. 2 No. 3 No. 4 No. 5 Number No. 1 0.000000 21.77677 8.65782 25.76048 10.65816 No. 2 4.666559 0.00000 11.76639 34.73861 45.81451 No. 3 2.942417 3.43022 0.00000 26.85985 13.02037 No. 4 5.075479 5.89395 5.18265 0.00000 43.85369 No. 5 3.264684 6.76864 3.60838 6.62221 0.00000
Variable Indeks Fasilitas LKD II LKD III Desa Swadaya Mula Desa Swadaya Madya Desa Swadaya Lanjut
Analysis of Variance (Fasilitas) Between df Within df F SS SS 2.9603 4 2.64275 19 5.32075 10.7886 4 27.83636 19 1.84097 176.9583 4 87.66666 19 9.58805 215.4553 4 60.50304 19 16.91506 282.9765 4 71.98180 19 18.67331 118.5727 4 51.92727 19 10.84633
signif. p 0.004776 0.162659 0.000203 0.000005 0.000002 0.000095
Lampiran 13. Lanjutan Potensi Sumberdaya Pertanian (Total)
Variable LQ Padi LQ Jagung LQ Ubi Kayu LQ Bawang Merah LQ Kentang LQ Kubis LQ Pisang LQ Alpokat LQ Mangga Produksi Padi Produksi Jagung Produksi Ubi Kayu Produksi Bawang Merah Produksi Kentang Produksi Kubis Produksi Cabe Mera Produksi Pisang Produksi Alpukat Produktivitas Padi Produktivitas Jagung Produtivitas Ubi Kayu Produktivitas Bawang Merah Produktivitas Kentang Produktivitas Kubis Produktivitas Cabe Merah Produktivitas Alpukat Produktivitas Mangga Luas Panen Padi Luas Panen Jagung Luas Panen Ubi Kayu Luas Panen Bawang Merah Luas Panen Kentang Luas Panen Kubis Luas Panen Cabe Merah Luas Panen Alpukat
Cluster Means (Pertanian) Cluster Cluster Cluster No. 1 No. 2 No. 3 0.63 1.89 2.33 1.49 1.09 0.13 1.85 0.04 0.25 0.12 0.01 0.55 0.01 0.01 0.00 0.83 0.02 0.00 0.32 1.49 2.08 2.79 0.92 0.09 0.30 1.68 1.85 13215.00 13985.40 19660.67 25641.75 7101.40 943.00 223.00 1978.17 32559.00 0.00 7.92 1280.37 30.75 14.00 0.00 2227.50 22.00 0.00 154.75 21.40 15.17 238.07 468.46 1062.40 875.50 142.40 14.67 53.25 57.56 58.65 3.48 4.53 4.48 11.03 6.78 6.33 0.00 26.40 84.72 3.85 0.21 0.00 9.14 0.43 0.00 2.91 2.42 1.67 67.88 44.28 48.81 56.95 51.60 138.92 2466.02 2421.45 3375.16 74313.40 15295.67 2078.45 29240.18 198.00 1551.82 0.00 0.60 105.83 19.99 133.33 0.00 102.33 1200.13 0.00 262.54 64.55 30.00 138.05 27.46 2.69
Cluster No. 4 0.67 1.48 1.02 1.76 0.00 0.00 0.61 0.14 0.77 7759.57 14724.71 8374.57 10504.60 0.00 0.00 18.71 221.27 38.29 58.26 4.64 11.98 94.43 0.00 0.00 3.67 33.60 89.86 1335.15 31372.14 7133.27 815.42 0.00 0.00 28.56 5.45
Euclidean Distances between Clusters (Pertanian) Distances below diagonal Cluster Squared distances above diagonal No. 1 No. 2 No. 3 No. 4 No. 5 Number No. 1 0.00 163521200 216620100 91028380 193316400 0 No. 2 12787.54 7219816 16628810 25541580 14718.02 2687 0 38634900 33950780 No. 3 9540.88 4078 6216 0 39986850 No. 4 13903.83 5054 5827 6324 0 No. 5
Cluster No. 5 0.04 0.40 0.27 0.00 14.31 11.08 0.09 1.46 0.04 378.00 3447.00 2025.50 0.00 15661.50 13756.50 9.00 34.60 253.50 49.15 2.75 6.58 0.00 12.80 13.88 9.00 89.92 139.70 76.74 12679.18 1540.30 0.00 12322.16 9889.09 5.00 28.20
Lampiran 13. Lanjutan Potensi Sumberdaya Pertanian (Total)
Variable LQ Padi LQ Jagung LQ Ubi Kayu LQ Bawang Merah LQ Kentang LQ Kubis LQ Pisang LQ Alpokat LQ Mangga Produksi Padi Produksi Jagung Produksi Ubi Kayu Produksi Bawang Merah Produksi Kentang Produksi Kubis Produksi Cabe Mera Produksi Pisang Produksi Alpukat Produktivitas Padi Produktivitas Jagung Produtivitas Ubi Kayu Produktivitas Bawang Merah Produktivitas Kentang Produktivitas Kubis Produktivitas Cabe Merah Produktivitas Alpukat Produktivitas Mangga Luas Panen Padi Luas Panen Jagung Luas Panen Ubi Kayu Luas Panen Bawang Merah Luas Panen Kentang Luas Panen Kubis Luas Panen Cabe Merah Luas Panen Alpukat
Analysis of Variance (Pertanian) Between df Within SS SS 1.589579E+01 4 4.454394E+00 7.789742E+00 4 3.071826E+00 9.802616E+00 4 7.589613E+00 1.274926E+01 4 4.171809E+01 3.751258E+02 4 8.094485E+00 2.209344E+02 4 1.926716E+01 1.267045E+01 4 5.526431E+01 2.288230E+01 4 5.987088E+01 1.067514E+01 4 3.814658E+01 7.711886E+08 4 7.092451E+08 1.747167E+09 4 3.862956E+08 2.996891E+09 4 3.354655E+09 5.071705E+08 4 8.717348E+08 4.491842E+08 4 1.936569E+07 3.427212E+08 4 6.650917E+07 6.319229E+04 4 1.484702E+05 3.133001E+06 4 1.322632E+07 2.233469E+06 4 4.755742E+06 2.050609E+02 4 1.741339E+02 8.614575E+00 4 4.796821E+00 1.575726E+02 4 4.872618E+02 3.840841E+04 4 5.767982E+04 3.132106E+02 4 1.785715E+02 5.362028E+02 4 3.383317E+02 8.631731E+01 4 4.449443E+02 6.521253E+03 4 2.140439E+04 3.084840E+04 4 1.603591E+05 2.301807E+07 4 2.243690E+07 1.389786E+10 4 1.831554E+09 2.441396E+09 4 2.605702E+09 3.043662E+06 4 5.300076E+06 2.768993E+08 4 1.595278E+07 1.751717E+08 4 2.058885E+07 1.782264E+05 4 4.646552E+05 5.515896E+04 4 1.022854E+05
df
F
19 16.9507 19 12.0454 19 6.1350 19 1.4516 19 220.1311 19 54.4677 19 1.0890 19 1.8154 19 1.3293 19 5.1649 19 21.4837 19 4.2434 19 2.7635 19 110.1755 19 24.4767 19 2.0217 19 1.1252 19 2.2308 19 5.5936 19 8.5305 19 1.5361 19 3.1630 19 8.3314 19 7.5280 19 0.9215 19 1.4472 19 0.9138 19 4.8730 19 36.0431 19 4.4505 19 2.7278 19 82.4478 19 40.4134 19 1.8219 19 2.5615
signif. p 0.000005 0.000048 0.002409 0.255941 0.000000 0.000000 0.390048 0.167543 0.295232 0.005474 0.000001 0.012743 0.057640 0.000000 0.000000 0.132088 0.374155 0.104097 0.003777 0.000407 0.231905 0.037615 0.000466 0.000824 0.471964 0.257273 0.476072 0.007102 0.000000 0.010477 0.059926 0.000000 0.000000 0.166282 0.071917
Lampiran 13. Lanjutan Potensi Sumberdaya Komoditi Jagung
Variable LQ Jagung Produksi Jagung Produktivitas Jagung Luas Panen Jagung
Cluster Means (Pertanian) Cluster Cluster Cluster Cluster Cluster No. 1 No. 2 No. 3 No. 4 No. 5 1.46 1.76 0.541 0.108 1.08 18707.20 26814.67 8506.88 2831.000 634.200 4.73 3.20 3.900 4.458 4.28 39553.79 82132.04 19693.93 7465.684 1410.474
Euclidean Distances between Clusters Distances below diagonal Cluster Squared distances above diagonal No. 3 No. 2 No. 1 Number No. 1 0.00 469659600 1.246151E+08 No. 2 21671.63 0 1.058423E+09 No. 3 11163.11 32533 0.000000E-01 No. 4 17900.42 39212 6.740654E+03 No. 5 21104.18 42431 9.953188E+03
Variable LQ Jagung Produksi Jagung Produktivitas Jagung Luas Panen Jagung
(Pertanian)
No. 5 No. 4 3.204251E+08 445386400 1.537570E+09 1800347000 4.543641E+07 99065970 0.000000E-01 10372870 3.220694E+03 0
Analysis of Variance (Pertanian) signif. df F Within Between df p SS SS 7.451667E+00 4 3 19 10.38019 0.000125 1.830067E+09 4 303396300 19 28.65169 0.000000 5.068882E+00 4 8 19 2.88608 0.050487 1.474072E+10 4 988694300 19 70.81908 0.000000
Lampiran 13. Lanjutan Potensi Sumberdaya Industri
Variable Unit Industri pangan Unit Industri sandang & kulit Unit Industri kerajinan umum Unit industri bahan kimia & bangunan Unit industri logam Unit industri pangan TK industri sandang & kulit TK industri kerajinan umum TK industri bahan kimia & bangunan jumlah industri besar/sedang
Cluster Means (Industri) Cluster Cluster Cluster No. 3 No. 2 No. 1 83.3333 176.8750 119.5000 14.1111 37.3750 65.5000 41.1111 38.1250 118.5000 44.3333 25.6250 103.5000 15.2222 19.0000 3.0000 101.5556 117.1250 87.5000 19.3333 69.3750 322.5000 62.5556 42.7500 173.5000 29.7778 26.7500 91.0000 1.0000 3.1250 9.5000
Variable Unit Industri pangan Unit Industri sandang & kulit Unit Industri kerajinan umum Unit industri bahan kimia & bangunan Unit industri logam Unit industri pangan TK industri sandang & kulit TK industri kerajinan umum TK industri bahan kimia & bangunan jumlah industri besar/sedang
Analysis of Variance (Industri) F Between df Within df SS SS 71998.6 4 37000.04 19 9.24305 5886.9 4 7334.43 19 3.81254 136931.1 4 42057.44 19 15.46510 10545.5 4 30760.38 19 1.62842 850.6 4 4076.72 19 0.99109 115343.1 4 79416.27 19 6.89883 157940.6 4 33718.38 19 22.24952 356109.6 4 60648.24 19 27.89068 8510.4 4 26606.22 19 1.51936 169.1 4 203.38 19 3.95006
Euclidean Distances between Clusters (Industri) Distances below diagonal Cluster Squared distances above diagonal No. 1 No. 2 No. 3 No. 4 No. 5 Number No. 1 0.0000 1281.696 12182.46 3972.39 33809.68 No. 2 35.8008 0.000 10307.77 4062.49 31860.31 No. 3 110.3742 101.527 0.00 10707.07 27718.70 No. 4 63.0269 63.738 103.47 0.00 16597.20 No. 5 183.8741 178.495 166.49 128.83 0.00
Cluster No. 4 167.6667 14.6667 162.3333 33.0000 4.6667 125.3333 27.0000 192.0000 12.6667 3.0000
Cluster No. 5 261.0000 19.5000 287.5000 24.0000 5.5000 357.0000 100.0000 479.0000 22.5000 8.0000
signif. p 0.000254 0.019380 0.000009 0.208219 0.436260 0.001319 0.000001 0.000000 0.236475 0.016923
er 4 667 667 333 000 667 333 000 000 667 000
Cluster No. 5 261.0000 19.5000 287.5000 24.0000 5.5000 357.0000 100.0000 479.0000 22.5000 8.0000
P E T U N J U K
T E K N I S
P E N G G U N A A N
A P L I K A S I
Petunjuk Instalasi Mengkopi file –file yang diperlukan serta mengatur konfigurasi sistem agar aplikasi model SPK Intelijen Agropolitan dapat berjalan dengan baik.
A
plikasi model SPK Intelijen Agropolitan melibatkan beberapa file beserta konfigurasi yang harus diatur sedemikian rupa sehingga aplikasi ini dapat berjalan dengan baik. File – file ini (pada PC yang berbeda) kemungkinan tidak tersedia dan konfigurasi yang ada tidak memenuhi persyaratan yang diperlukan SPK Intelijen Agropolitan. Untuk menjamin berjalannya aplikasi model SPK Intelijen Agropolitan dengan baik diperlukan proses instalasi yang bertujuan meng-kopi file – file yang diperlukan serta mengatur konfigurasinya.
Ada beberapa tahapan yang perlu diperhatikan dalam proses instalasi SPK Intelijen Agropolitan Untuk melakukan prosedur instalasi disediakan sebuah CD yang berisi 3 (tiga) buah file, diantaranya: agropolitan.cab, setup.exe, dan setup.lst. Berikut adalah beberapa tahapan prosedur instalasi SPK Intelijen Agropolitan: :: Kebutuhan Sistem Operasi
SPK Intelijen Agropolitan hanya dapat berjalan pada sistem operasi yang berbasis windows tepatnya Microsoft Windows 9x atau versi yang lebih tinggi dengan minimal RAM 128 dan disk free space sebesar 5 (lima) MB. Khusus untuk sistem operasi yang multiuser (Microsoft Windows XP, Microsoft Windows 2000, atau sekelasnya) hendaknya aplikasi model SPK Intelijen Agropolitan diinstal pada mode administrator. :: Hapus Versi Sebelumnya
Instalasi tidak dapat menghapus secara otomatis aplikasi SPK Intelijen Agropolitan yang telah terinstal pada waktu sebelumnya. Lakukan penghapusan jika sebelumnya anda telah meng-instal Aplikasi SPK Intelijen Agropolitan sesuai prosedur Menghapus Aplikasi SPK Intelijen Agropolitan dari Windows. :: Jalankan File Instalasi
Jalankan file instalasi SPK Intelijen Agropolitan dengan meng-klik ganda setup.exe pada direktori / drive dimana file ini ditempatkan. Ikuti semua petunjuk yang ditayangkan pada proses selanjutnya, biasanya pengguna hanya melakukan persetujuan dengan menekan tombol [Enter] pada setiap dialog yang ditampilkan. :: Update File System (Jika Diperlukan)
Untuk kasus tertentu terkadang sistem operasi harus melakukan prosedur updating file system terlebih dahulu sebelum proses instalasi dilanjutkan. Tetapi jangan khawatir, konfigurasi ini dilakukan secara otomatis, dan instalasi akan meminta windows untuk di-restart sebelum progres dilanjutkan. Setujui permintaan ini dengan menekan tombol [Enter], windows secara otomatis akan melakukan booting ulang, jika tidak - lakukan booting ulang secara manual. Ulangi lagi prosedur instalasi dari awal. :: Instalasi Selesai
Jika proses instalasi berjalan dengan lancar, windows akan membuat program group baru dengan nama SPK Intelijen Agropolitan. Untuk mengaktifkannya, klik shortcut pada Start|Programs|SPK Intelijen Agropolitan|SPK Intelijen Agropolitan. 1
Aplikasi Model SPK Intelijen Agropolitan
A
plikasi model SPK Intelijen Agropolitan merupakan implementasi Rekayasa Sistem Pendukung Keputusan Intelijen untuk Pengembangan Agropolitan Berbasis Agroindustri yang dirancang dalam suatu paket komputer yang dengan nama SPK Intelijen Agropolitan. Paket program ini disusun dalam bentuk Sistem Penunjang Keputusan dengan tujuan untuk membantu pengguna, baik peneliti, pengambil kebijakan, investor, lembaga pembiayaan maupun lembaga ekonomi petani dalam melakukan analisa pembiayaan dan kelembagaan agropolitan berbasis agroindustri. Uraian ini dirancang untuk membantu operasionalisasi penggunaan aplikasi model SPK Intelijen Agropolitan.
Menjalankan Aplikasi Model SPK Intelijen Agropolitan Aplikasi model SPK Intelijen Agropolitan dapat dijalankan apabila proses instalasi berjalan dengan baik. Apabila terjadi kesalahan dalam prosedur instalasi ataupun pada saat eksekusi program, laporkan kembali kesalahan tersebut kepada system designer. Untuk menjalankan aplikasi SPK Intelijen Agropolitan, klik tombol [Start] pada taskbar windows – kemudian pada menu Programs ditampilkan beberapa aplikasi (program group) yang terinstal dalam windows dan salah satunya adalah SPK Intelijen Agropolitan. Arahkan pointer pada grup SPK Intelijen Agropolitan kemudian klik shortcut SPK Intelijen Agropolitan untuk mengaktifkannya.
Gambar 1. Visualisasi Dialog Akses Aplikasi SPK Intelijen Agropolitan. Halaman pertama yang ditampilkan aplikasi SPK Intelijen Agropolitan adalah dialog akses aplikasi yang berguna sebagai gerbang otorisasi penggunaan aplikasi. Pada dialog ini ditanyakan mengenai 2
P E T U N J U K
T E K N I S
P E N G G U N A A N
A P L I K A S I
passowrd akses aplikasi. Silahkan masukkan password yang sesuai untuk melanjutkan, kemudiank klik tombol [Lanjut] atau tekan [Enter] untuk menyetujuinya dan klik [Batal] atau tekan [Esc] untuk membatalkannya. Password sangat sensitif pada jenis karakter, silahkan perhatikan kembali tombol [Caps Lock] akses aplikasi tidak sukses.
Struktur Aplikasi SPK Intelijen Agropolitan Secara struktural konfigurasi aplikasi model SPK Intelijen Agropolitan terdiri dari beberapa modul kecil yang masing-masing dikonstruksi untuk memproses input berupa data untuk menghasilkan output yang berbentuk informasi, alternatif keputusan, strategi kebijakan, atau saran/upaya pengembangan. Modul-modul tersebut secara umum dikelompokkan ke dalam 4 (empat) kelompok antara lain: Pemilihan, Perspektif, Kelembagaan, dan Kinerja. Kelompok-kelompok modul tersebut dapat diakses dengan cara meng-klik kelompok bersesuaian pada panel yang ditempatkan pada bagian kanan-atas aplikasi. Sedangkan modul-modul dalam kelompok masingmasing dikumpulkan pada panel yang ditempatkan pada bagian kiri aplikasi.
Pemilihan:
Komoditi Unggulan, Pusat Agropolitan, Klaster Wilayah, Prasarana
Prospektif:
Pemilihan Agroindustri, Prediksi Permintaan, Kelayakan Finansial
Kelembagaan:
Model Kelembagaan
Kinerja:
Model Kinerja
Gambar 2. Struktur Sistem Aplikasi Model SPK Intelijen Agropolitan Modul Pemilihan dalam paket aplikasi SPK Intelijen Agropolitan dirancang untuk membantu pengguna Modul Pemilihan menetapkan jenis komoditi unggulan yang akan dikembangkan, memilih pusat agropolitan, menentukan klaster wilayah, dan melakukan pemilihan prasarana agropolitan berbasis agroindustri. Klik perintah ‘Pemilihan’ untuk mengaktifkan kelompok modul Pemilihan, pada panel atas aplikasi kemudian disediakan beberapa perintah untuk menampilkan modul-modul pada kelompok modul Pemilihan yaitu ‘Komoditi Unggulan’, ‘Pusat Agropolitan’, ‘Klaster Wilayah’, dan ‘Prasarana’. Arahkan pointer pada modul yang sesuai, kemudian klik modul tersebut untuk menampilkan modul-modul yang diinginkan. 3
Modul Pemilihan Komoditi Unggulan digunakan untuk melakukan pemilihan berbagai jenis komoditi yang diunggulkan. Untuk mengaktifkan modul ini dapat dilakukan dengan meng-klik tombol perintah ‘Komoditi Unggulan’ yang diletakan pada panel bagian kiri aplikasi. Modul Pemilihan Komoditi Unggulan diolah menggunakan teknik Multi Expert - Multi Criteria Decision Making (ME-MCDM) dengan petunjuk penggunaan yang dibahas secara tersendiri pada bagian berikutnya (Modul ME-MCDM Satu Peubah). Modul Pemilihan Pusat Agropolitan digunakan untuk menentukan pilihan pusat agropolitan. Untuk mengaktifkan modul ini dapat dilakukan dengan meng-klik tombol perintah ‘Pusat Agropolitan’ yang diletakan pada panel bagian kiri aplikasi. Modul Pemilihan Pusat Agropolitan diolah menggunakan sistem pakar dengan petunjuk penggunaan yang dibahas secara tersendiri pada bagian berikutnya (Modul Sistem Pakar). Modul Pemilihan Klaster Wilayah digunakan untuk menentukan klaster wilayah pada pengembangan agropolitan. Untuk mengaktifkan modul ini dapat dilakukan dengan meng-klik tombol perintah ‘Klaster Wilayah’ yang diletakan pada panel bagian kiri aplikasi. Modul Pemilihan Klaster Wilayah diolah menggunakan pendekatan K-min klaster dengan petunjuk penggunaan yang dibahas secara tersendiri pada bagian berikutnya (Modul Klaster). Modul Pemilihan Prasarana digunakan untuk melakukan pemilihan prasarana. Untuk mengaktifkan modul ini dapat dilakukan dengan meng-klik tombol perintah ‘Prasarana’ yang diletakan pada panel bagian kiri aplikasi. Modul Pemilihan Prasarana diolah menggunakan teknik Multi Expert - Multi Criteria Decision Making (ME-MCDM) Dua Peubah dengan petunjuk penggunaan yang dibahas secara tersendiri pada bagian berikutnya (Modul ME-MCDM Dua Peubah). Modul Prospektif pada aplikasi SPK Intelijen Agropolitan dirancang untuk membantu Modul Prospektif pengguna melakukan beberapa kegiatan yang erat kaitannya dengan prospek pengembangan agrowisata berbasis agroindustri. Beberapa kegiatan tersebut antar lain menentukan pilihan produk agroindustri, melakukan prediksi permintaan pasar, dan melakukan analisa kelayakan finansial. Arahkan pointer pada perintah ‘Prospektif’ yang ditempatkan pada panel kanan-atas aplikasi, kemudian klik perintah tersebut untuk menampilkan modul Prospektif. Berikutnya pada panel bagian kiri aplikasi ditampilkan beberapa pilihan modul-modul kecil. Modul Pemilihan Agroindustri digunakan untuk melakukan pemilihan produk agroindustri pada pengembangan agropolitan berbasis agroindustri. Untuk mengaktifkan modul ini dapat dilakukan dengan meng-klik tombol perintah ‘Pemilihan Agroindustri’ yang diletakan pada panel bagian kiri aplikasi. Modul Pemilihan Agroindustri diolah menggunakan teknik Analytical Network Process (ANP) yang disediakan pada software terpisah dengan nama Super Decision Plus (creative decisions foundation USA, http://www.superdecisions.com/ ) [Juni 2009]. Modul Prediksi Permintaan digunakan untuk melakukan prediksi terhadap permintaan pada pengembangan agropolitan berbasis agroindustri berdasarkan data historis masa lalu. Untuk mengaktifkan modul ini dapat dilakukan dengan meng-klik tombol perintah ‘Prediksi Permintaan’ yang diletakan pada panel bagian kiri aplikasi. Modul Prediksi Permintaan diolah menggunakan berbagai teknik prakiraan dengan pendekatan time series. Adapun petunjuk penggunaan Modul Prediksi Permintaan diuraikan secara tersendiri pada bagian berikutnya (Petunjuk Penggunaan Teknik Prakiraan).
4
P E T U N J U K
T E K N I S
P E N G G U N A A N
A P L I K A S I
Modul Kelayakan Finansial digunakan untuk melakukan analisa prospektif secara finansial pada pengembangan agropolitan berbasis agroindustri. Untuk mengaktifkan modul ini dapat dilakukan dengan meng-klik tombol perintah ‘Kelayakan Finansial’ yang diletakan pada panel bagian kiri aplikasi. Modul Kelayakan Finansial diolah menggunakan teknik pembiayaan proyek dengan petunjuk penggunaan yang diuraikan secara tersendiri pada bagian berikutnya (Modul Kelayakan Finansial). Modul Kelembagaan pada aplikasi model SPK Intelijen Agropolitan dirancang untuk membantu Modul Kelembagaan pengguna melakukan analisa kelembagaan pada pengembangan agropolitan berbasis agroindustri. Untuk mengaktifkan modul Kelembagaan dapat dilakukan dengan meng-klik tombol perintah ‘Kelembagaan’ yang diletakan pada panel bagian atas aplikasi. Modul Kelembagaan diolah menggunakan teknik Analytical Network Process (ANP) yang disediakan pada software terpisah dengan nama Super Decicion Plus.
Modul Kinerja pada aplikasi model SPK Intelijen Agropolitan dirancang untuk membantu pengguna Modul Kinerja melakukan analisa kinerja keseluruhan pengembangan agropolitan berbasis agroindustri. Untuk mengaktifkan modul Kinerja dapat dilakukan dengan meng-klik tombol perintah ‘Kinerja’ yang diletakan pada panel bagian atas aplikasi. Modul Kinerja diolah menggunakan sistem pakar dengan petunjuk penggunaan yang dibahas secara tersendiri pada bagian berikutnya (Modul Sistem Pakar).
Mengakhiri Aplikasi Untuk mengakhiri aplikasi SPK Intelijen Agropolitan, gunakan tombol ‘Close’ yang diletakkan pada bagian kanan atas aplikasi.
5
Modul IPE dengan Satu Peubah Menentukan prioritas dari beberapa alternatif berdasarkan pendapat pakar menggunakan teknik IPE dengan Satu Peubah
M
odul IPE dengan Satu Peubah merupakan sistem penunjang keputusan yang dirancang untuk membantu para pengambil keputusan dalam menentukan prioritas beberapa alternatif yang ditetapkan berdasarkan pendapat beberapa pakar dengan nilai kualitatif/numerik yang mencerminkan tingkat kepentingan relatif dari elemen-elemen terlibat. Modul IPE dengan Satu Peubah diolah menggunakan teknik Independent Preference Evaluation (IPE). Modul IPE dengan Satu Peubah menghasilkan keluaran yang sangat berguna bagi para pengambil keputusan yang mempelajari tingkat kepentingan (prioritas) elemen-elemen berdasarkan penilaian beberapa pakar. Ilustrasi halaman utama modul IPE dengan Satu Peubah dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Kumpulan Perintah Dokumentasi
Panel Utama: Menampilkan halaman halaman tertentu
Gambar 3. Ilustrasi Halaman Utama Modul IPE dengan Satu Peubah. Secara struktural user interface modul IPE dengan Satu Peubah memiliki 3 (tiga) bagian utama yaitu kumpulan perintah dokumentasi, bagian inisialisasi (input data dan editing data) , dan pengisian matriks pendapat serta hasil akhir pengolahan. Berikut dijelaskan mengenai bagaian-bagian tersebut.
Kumpulan Perintah Dokumentasi Bagian dokumentasi didesain sebagai fasilitas untuk mempermudah pengguna dalam manajemen data yang dianalisis. Bagian ini memiliki fitur-fitur yang dapat digunakan untuk membuat dokumen 6
P E T U N J U K
T E K N I S
P E N G G U N A A N
A P L I K A S I
baru, menyimpan dokumen, membuka dokumen yang sebelumnya telah disimpan dalam media penyimpan. Semua fitur yang ada dalam bagian dokumentasi, seperti halnya fitur-fitur lain - dapat diakses pada semua halaman dialog yang ditampilkan. Membuat Dokumen Baru
Perintah ini digunakan untuk membuat dokumen yang sama sekali baru dengan objek/alternatif, faktor/kriteria, dan tim penilai yang belum diinisialisasi. Operasi ‘membuat dokumen baru’ dapat juga didefinisikan sebagai kegiatan mengosongkan variabel-variabel yang terlibat. Simpanlah selalu dokumen yang sedang dikerjakan jika anda memerlukannya pada kesempatan lain. Membuka Dokumen
Modul IPE dengan Satu Peubah menyediakan fasilitas untuk membuka dokumen yang sebelumya telah tersimpan dalam media penyimpan seperti hard disk, floppy disk, flash disk, dan sejenisnya. Klik tombol (membuka dokumen) yang terdapat pada kumpulan tombol perintah utama – kemudian pengguna diminta untuk menentukan nama dokumen yang akan dibuka. Silahkan tentukan lokasi dimana dokumen tersebut diletakkan kemudian klik [Open] atau tekan [Enter] untuk Pilih lokasi file di sini melanjutkan. Untuk membatalkan, klik tombol [Cancel] atau Klik nama file yang tekan [Esc] pada akan dibuka keyboard. Dialog membuka dokumen dapat dilihat pada Klik di sini untuk melanjutkan Gambar 4. Klik di sini untuk membatalkan
Gambar 4. Visualisasi dialog membuka dokumen
Menyimpan dokumen aktif
Untuk menyimpan dokumen aktif dalam bentuk file, gunakan tombol (Menyimpan dokumen aktif) yang terletak pada kumpulan tombol perintah utama. Jika dokumen yang aktif belum memiliki nama dokumen, maka nama dokumen akan ditanyakan. Tetapkan lokasi dan nama dokumen pada dialog tersebut, kemudian klik [OK] atau tekan [Enter] untuk melanjutkan dan klik [Save] atau tekan tombol [Esc] untuk membatalkan. Jika dokumen tersebut sudah mempunyai nama file, sistem tidak Pilih lokasi file di sini lagi meminta nama dokumen. Tuliskan nama file di sini
Gambar 5. Dialog menyimpan dokumen
Klik di sini untuk melanjutkan Klik di sini untuk membatalkan 7
Inisialisasi Data Bagian input dan editing data meliputi beberapa kegiatan diantaranya inisialiasi deskripsi analisa, inisialisasi skala penilaian, inisialisasi pakar, inisialisasi alternatif, dan inisialisasi kriteria. Masingmasing halaman input data ini diperlukan sebagai inisialisasi data yang mutlak harus dilengkapi. Input datanya cukup sederhana dan memiliki karakteristik masukan yang hampir mirip, cukup memasukan data yang diperlukan kemudian diakhiri dengan menekan tombol [Enter]. Hampir semua jenis kesalahan masukan data yang dilakukan pengguna juga telah di-handle dalam aplikasi ini sehingga pengguna tidak perlu khawatir akan kesalahan input data. Inisialisasi Deskripsi Analisa
Deskripsi analisa merupakan keterangan mengenai keterangan analisis yang akan dilakukan. Inisialisasi deskripsi analisa sifatnya optional (tidak mutlak harus dilakukan) karena tujuannya hanyalah sebagai catatan analisis jika diperlukan. Halaman inisialisasi deskripsi analisa dapat diaktifkan dengan meng-klik panel ‘Intro’ yang disediakan pada panel utama modul IPE dengan Satu Peubah. Tuliskan mengenai keterangan atau catatan (jika diperlukan) pada halaman deskripsi analisa sesuai keinginan. Untuk meng-update keterangan tersebut, kemudian simpan dokumen perkiraan dengan tahapan yang dijelaskan pada bagian sebelumnya. Berikut adalah halaman deskripsi analisa pada modul IPE dengan Satu Peubah.
Gambar 6. Deskripsi Analisa pada Modul IPE dengan Satu Peubah. Inisialisasi Skala Penilaian
Inisialisasi skala penilaian merupakan kegiatan menambah/menghapus data skala penilaian yang akan digunakan pakar untuk menilai alternatif. Pada bagian ini pengguna harus melengkapi lembar kerja dengan deskripsi skala penilaian sesuai keperluan. Arahkan pointer pada tab perintah ‘Skala’, kemudian klik perintah ini untuk menampilkan halaman inisialisasi skala penilaian. Halaman Skala penilaian mutlak dilengkapi dengan jumlah skala minimal 3 (tiga) buah skala. User interface untuk kegiatan menambah dan menghapus data skala penilaian adalah berupa lembar kerja yang ditangani secara khusus oleh sebuah kontrol yang dinamakan Grid Recorder Control. Karena itu semua tahapan penggunaan yang berkaitan kegiatan editing deskripsi skala penilaian diuraikan secara umum pada bagian tersebut. 8
P E T U N J U K
T E K N I S
P E N G G U N A A N
A P L I K A S I
Gambar 7. Halaman Inisialisasi Skala Penilaian pada Modul IPE dengan Satu Peubah. Inisialisasi Pakar
Inisialisasi pakar merupakan kegiatan menambah/menghapus pakar/pengambil keputusan sebagai responden yang akan menilai alternatif. Pada bagian ini pengguna diharuskan melengkapi lembar kerja dengan identitas para pakar/pakar sesuai keperluan. Arahkan pointer pada perintah ‘Pakar’, kemudian klik perintah ini untuk menampilkan halaman inisialisasi pakar. Pakar/pengambil keputusan mutlak dilengkapi dengan jumlah pakar/pengambil keputusan minimal satu orang pakar/pengambil keputusan. Hal ini terkait erat kaitannya dengan pendapat pakar yang akan diisi pada bagian matriks pendapat.
Gambar 8. Halaman Inisialisasi Pakar pada Modul IPE dengan Satu Peubah. 9
User interface untuk kegiatan menambah dan menghapus identitas pakar/pengambil keputusan adalah berupa lembar kerja yang ditangani secara khusus oleh Grid Recorder Control. Karena itu semua tahapan yang berkaitan kegiatan editing identitas pakar/pengambil keputusan diuraikan secara umum pada bagian tersebut. Inisialisasi Alternatif
Inisialisasi alternatif merupakan kegiatan menambah/menghapus alternatif yang dinilai. Pada bagian ini pengguna diharuskan melengkapi lembar kerja dengan deskripsi alternatif-alternatif sesuai dengan keperluan analisa. Arahkan pointer pada perintah ‘Alternatif’, kemudian klik perintah ini untuk menampilkan halaman inisialisasi alternatif.
Gambar 9. Halaman Inisialisasi Alternatif pada Modul IPE dengan Satu Peubah. User interface untuk kegiatan menambah dan menghapus deskripsi alternatif adalah berupa lembar kerja yang ditangani secara khusus oleh Grid Recorder Control. Karena itu semua tahapan yang berkaitan kegiatan editing pada halaman inisialisasi alternatif diuraikan secara umum pada bagian tersebut. Inisialisasi Kriteria
Inisialisasi kriteria merupakan kegiatan menambah/menghapus kriteria penilaian alternatif yang dinilai. Pada bagian ini pengguna diharuskan melengkapi lembar kerja dengan deskripsi kriteria penilaian sesuai dengan keperluan analisa. Arahkan pointer pada perintah ‘Kriteria’, kemudian klik perintah ini untuk menampilkan halaman inisialisasi kriteria penilaian. User interface untuk kegiatan menambah dan menghapus deskripsi kriteria penilaian adalah berupa lembar kerja yang ditangani secara khusus oleh Grid Recorder Control. Karena itu semua tahapan yang berkaitan kegiatan editing pada halaman inisialisasi kriteria penilaian diuraikan secara umum pada bagian tersebut.
10
P E T U N J U K
T E K N I S
P E N G G U N A A N
A P L I K A S I
Gambar 10. Halaman Inisialisasi Kriteria pada Modul IPE dengan Satu Peubah.
Matriks Pendapat dan Hasil Akhir Pengolahan Matriks pendapat pakar dalam modul IPE dengan Satu Peubah merupakan lembar penilaian pakar/pengambil keputusan terhadap alternatif-alternatif yang telah ditetapkan sebelumnya pada halaman inisialisasi alternatif. Matriks pendapat pakar diisi dengan memberikan nilai – nilai numerik (skor) pada setiap sel yang bersesuaian di mana sel tersebut mencerminkan kordinat antara alternatif dan pakar/responden. Arahkan pointer pada perintah ‘Pendapat’ kemudian klik perintah tersebut untuk menampilkan halaman matriks pendapat. Visualisasi dialog halaman matriks pendapat pakar pada modul IPE dengan Satu Peubah dapat dilihat pada Gambar di bawah ini.
Klik pada tombol-tombol ini untuk menampilkan pendapat pakar tertentu Klik kombo ini untuk memilih skor alternatif pada sel terpilih
Gambar 11. Halaman Matriks Pendapat Pakar pada Modul IPE dengan Satu Peubah 11
Hasil Akhir Pengolahan
Setelah matriks pendapat semua pakar dilengkapi, hasil pengolahan modul IPE dengan Satu Peubah dapat dilihat pada halaman resume pendapat. Arahkan pointer pada tombol perintah ‘Hasil’, kemudian klik tombol tersebut untuk menampilkan hasil pengolahan modul IPE dengan Satu Peubah. Hasil pengolahan IPE dengan Satu Peubah ditayangkan berupa laporan bobot kepentingan/skor alternatif yang diolah berdasarkan data masukan pada halaman-halaman inisialisasi pada bagian sebelumnya. Berikut adalah visualisasi dialog halaman hasil pengolahan teknik IPE dengan Satu Peubah.
Gambar 12. Hasil Pengolahan Modul IPE dengan Satu Peubah.
12
P E T U N J U K
T E K N I S
P E N G G U N A A N
A P L I K A S I
Aplikasi Sistem Pakar Alat bantu pengambilan keputusan menggunakan logika boolean yang didasarkan kepada pengetahuan yang diakuisisi dari para pakar
M
odul Sistem Pakar dirancang untuk membantu pengambil keputusan dalam menentukan kebijakan berdasarkan akuisisi pengetahuan para pakar yang distrukturisasi dan dikelola dalam manajemen basis pengetahuan. Secara praktis modul Sistem Pakar tidak lain berupa kumpulan aturan (if-then rule) yang dirancang berdasarkan pendapat/kebiasaan para ahli yang didesain dalam bentuk paket program komputer sehingga dengan ini pengguna dapat memecahkan masalah tanpa harus menjadi expert. Dokumen ini membahas mengenai petunjuk teknis penggunaan modul Sistem Pakar. Adapun uraian dijelaskan menjadi 3 (tiga) bagian yaitu dokumentasi, rancang bangun sistem pakar, dan implementasi sistem pakar. Berikut adalah penjelasan bagian-bagian tersebut.
Gambar 13. Bagian-bagian user interface aplikasi Sistem Pakar
Dokumentasi Sistem Pakar Dokumentasi dalam hal ini dimaksudkan untuk kegiatan manajemen basis data dalam sistem pakar. Dengan dokumentasi pengguna dapat membuat basis data baru, membuka basis data yang sudah ada, dan menyimpan parameter-parameter dan juga rule-base untuk kemudian digunakan pada kesempatan berikutnya. Membuat Dokumen Baru
Perintah ini digunakan untuk membuat dokumen yang sama sekali baru dengan variabel-variabel (input, output, dan saran) dan rule base belum diinisialisasi. Operasi ‘membuat dokumen baru’ 13
dapat juga didefinisikan sebagai kegiatan mengosongkan variabel-variabel tersebut. Perintah ‘membuat dokumen baru’ tidak secara otomatis menyimpan file yang sedang dikerjakan, simpanlah dokumen tersebut jika anda memerlukannya pada kesempatan lain. Membuka Dokumen
Aplikasi Sistem Pakar menyediakan fasilitas untuk membuka dokumen yang sebelumya telah tersimpan dalam media penyimpan seperti hard disk, floppy disk, flash disk, dan sejenisnya. Klik tombol (membuka dokumen) yang terdapat pada kumpulan perintah dokumentasi – kemudian pengguna diminta untuk menentukan nama dokumen yang akan dibuka. Silahkan tentukan lokasi dimana dokumen tersebut diletakkan kemudian klik [Open] atau tekan [Enter] untuk melanjutkan. Untuk membatalkan, klik tombol [Cancel] atau tekan [Esc] pada Pilih lokasi file di sini keyboard. Klik nama file yang akan dibuka
Klik di sini untuk melanjutkan Klik di sini untuk membatalkan
Semua dokumen aplikasi Sistem Pakar secara default disimpan dalam file berekstensi File Sistem Pakar-*.fsp. Contoh tampilan dialog membuka dokumen dapat dilihat pada Gambar 14. Gambar 14. Dialog membuka dokumen
Menyimpan dokumen aktif
Untuk menyimpan dokumen aktif dalam bentuk file, gunakan tombol (Menyimpan dokumen aktif) yang terletak pada kumpulan perintah dokumentasi. Jika dokumen yang aktif belum memiliki nama dokumen, maka nama dokumen akan ditanyakan. Tetapkan lokasi dan nama dokumen pada dialog tersebut, kemudian klik [OK] atau tekan [Enter] untuk melanjutkan dan klik [Save] atau tekan tombol [Esc] untuk membatalkan. Jika Pilih lokasi file di sini dokumen tersebut sudah mempunyai nama file, dialog ini tidak akan ditampilkan. File yang diberikan tidak boleh sama dengan file-file yang Tuliskan nama file di ada dalam folder yang sini sama. Klik di sini untuk melanjutkan
Klik di sini untuk membatalkan
14
Gambar 15. Dialog menyimpan dokumen
P E T U N J U K
T E K N I S
P E N G G U N A A N
A P L I K A S I
Menampilkan Informasi File
Aplikasi Sistem Pakar menyediakan fasilitas yang dapat digunakan untuk mengetahui informasi mengenai nama file, ukuran, dan beberapa informasi lainnya. Klik tombol ‘tampilkan informasi dokumen aktif’ pada kumpulan perintah dokumentasi untuk menampilkan informasi dokumen aktif.
Rancang Bangun Sistem Pakar Rancang bangun sistem pakar pada dasarnya merupakan tahapan permodelan/rekayasa aturan pada sistem pakar. Pada tahap ini system designer diharapkan sudah memahami rule pada sistem pakar yang dikembangkan. Ada 5 (lima) parameter yang harus dilengkapi sebelum modul sistem pakar dapat digunakan untuk konsultasi. Parameter-parameter tersebut di antaranya adalah parameter input, output, saran, aturan (rule), dan nilai/satuan parameter. Berikut ini disajikan uraian singkat mengenai deskripsi dan petunjuk teknis penggunaan untuk inisialisasi pada parameter-parameter tersebut. Parameter Input
Parameter input merupakan parameter yang digunakan sebagai variabel kondisional (constraint) pada aturan (rule) yang berlaku atau dengan kata lain – sebagai bagian ‘persyaratan’ pada aturan (rule). Jika kondisi aktual sesuai dengan aturan (rule) yang melibatkan parameter-parameter ini, maka output-output yang bersesuaian akan dimasukkan sebagai salah satu keluaran konsultasi.
Parameter Output
Parameter output merupakan parameter yang digunakan sebagai variabel keluaran (subjek) pada aturan (rule) yang berlaku. Jika kondisi aktual sesuai dengan aturan (rule) yang ada, maka outputoutput pada aturan (rule) ini akan dimasukkan sebagai salah satu keluaran konsultasi. Sebuah aruran (rule) kemungkinan memiliki satu atau lebih keluaran. Parameter Saran
Parameter saran merupakan parameter yang kegunaannya tidak berbeda dengan parameter output, hanya saja penekanannya berbeda. Parameter saran biasanya bersifat opsional – lebih kepada pilihan metodologi penyelesaian dan bukan merupakan keluaran dari aturan. Sebuah aruran (rule) kemungkinan memiliki satu atau lebih saran. Aturan/Rule
Atutan/rule merupakan serangkaian formulasi if-then rule yang terdiri dari satu atau lebih input parameter beserta nilai-nilainya dan menghasilkan satu atau lebih output parameter. Operasi logika yang disediakan pada aplikasi Sistem Pakar ini antara lain adalah IF, AND, dan OR. Nilai/Satuan Parameter
Nilai parameter atau skala penilaian dirancang sebagai satuan dari parameter. Nilai-nilai inilah yang nantinya akan menjadi batasan sebuah aturan (rule). Disamping itu nilai-nilai ini akan menjadi data masukan dari pengguna pada saat konsultasi nanti. Aplikasi Sistem Pakar menyediakan satuan parameter pada hampir semua parameter, tetapi untuk beberapa kasus satuan parameter ini mungkin tidak digunakan. Kondisi ini tergantung kepada substansi sistem pakar yang bersangkutan. Normalnya (kondisi default) parameter-parameter yang memiliki satuan parameter adalah parameter input, output, dan parameter saran. Ada beberapa kegiatan yang dapat dilakukan pada dialog inisialisasi parameter. Kegiatan-kegiatan tersebut memiliki teknis operasional yang sama baik untuk inisialisasi parameter input, parameter output, saran, aturan, maupun inisialisasi nilai parameter. Kegiatan-kegiatan tersebut di antaranya adalah menambah parameter, menghapus parameter, dan mengganti parameter. Khusus untuk 15
parameter input ditambahkan kegiatan mengedit teks yang akan ditampilkan. Berikut adalah tabel distribusi kegiatan pada berbagai parameter: Jenis Kegiatan Menambah parameter Menghapus parameter Mengganti deskripsi parameter Mengedit teks yang ditampilkan
Input
Output
Parameter Saran Nilai/Satuan
Aturan
Daftar parameter input
Tambahkan parameter di sini
Daftar nilai/satuan parameter input
Display Text: mengedit teks yang akan ditampilkan
Tambahkan nilai/satuan parameter di sini
Gambar 16. Visualisasi dialog inisialisasi parameter (input) pada aplikasi Sistem Pakar. Menambahkan parameter. Aplikasi Sistem Pakar menyediakan kotak masukan untuk menambahkan parameter yang dinamakan ‘Input Parameter’. Untuk menambahkan parameter, tuliskan parameter sesuai kebutuhan pada kotak ini diakhiri dengan menekan tombol [Enter]. Aplikasi Sistem Pakar tidak menyediakan fasilitas sorting data, selain itu aplikasi Sistem Pakar mengijinkan pengguna untuk mengisi data yang sama. Urutkan terlebih dahulu data yang akan dimasukkan untuk mempermudah kegiatan editing dan menghindari duplikasi parameter. Menghapus parameter. Jika parameter tidak diperlukan maka parameter tersebut bisa dihilangkan/dihapus. Klik/pilih parameter tersebut kemudian tekan tombol [Del] pada keyboard untuk menghapusnya. Kegiatan menghapus parameter tidak dapat dibatalkan, pastikan terlebih dahulu sebelum anda melakukannya. Mengganti deskripsi parameter. Penggantian deskripsi parameter dapat dilakukan secara langsung pada parameter yang aktif. Pilihlah parameter yang akan diganti deksipsinya kemudian tekan [Enter] untuk menyetujui perubahan tersebut atau tekan [Esc] untuk membatalkannya. Aplikasi Sistem Pakar akan mengganti secara otomatis deskripsi parameter pada semua aturan (rule) yang melibatkan parameter ini, dengan demikian pengguna tidak perlu lagi mengganti aturan (rule) yang sudah ada. 16
P E T U N J U K
T E K N I S
P E N G G U N A A N
A P L I K A S I
Mengedit teks yang akan ditampilkan. Parameter yang dimasukkan kemungkinan berupa tulisan singkat yang kurang dimengerti oleh pengguna pada saat konsultasi. Klik tombol pada bagian input parameter untuk mengubah tulisan yang akan ditampilkan, bemudian masukkan tulisan sesuai yang akan ditanyakan pada saat konsultasi pada dialog berikutnya dan diakhiri dengan menekan tombol [Enter] untuk menyetujui. Untuk membatalkannya tekan tombol [Esc] atau klik [Cancel]. Perintah ‘mengedit teks yang akan ditampilkan’ hanya disediakan pada bagian inisialisasi parameter input. Mengisi bobot pada parameter output dan saran. Pada beberapa kasus output dan saran terkadang memerlukan bobot CF sebagai faktor kritis yang akan digunakan dalam penentuan keluaran sistem pakar. Untuk kepentingan ini aplikasi Sistem Pakar menyediakan sebuah kolom yang harus diisi dengan nilai numerik. Isilah semua bobot pada output dan saran jika diperlukan sesuai kebutuhan. Akhiri dengan menekan tombol [Enter] untuk menyetujui perubahan atau [Esc] untuk membatalkannya.
Penentuan Rule Based Skenario Penentuan rule based skenario disediakan aplikasi Sistem Pakar pada halaman ‘deskripsi aturan’. Pada halaman ini pengguna diharuskan menentukan formulasi aturan-aturan (rule based skenario) yang berlaku untuk konsultasi sistem pakar. Daftarkan terlebih dahulu aturan-aturan yang berlaku pada halaman ‘inisialisasi aturan’ sebelum anda menentukan formulasinya. Gambar 17. menyajikan visualisasi dialog penentuan deskripsi/formulasi aturan. Kembali ke halaman sebelumntya
Menambahkan kondisi aturan Mengganti kondisi aturan Daftar kondisi aturan
Pilihan nilai/satuan parameter
Pilihan operator Pilihan parameter input Tab output dan saran Menambahkan output/saran Daftar output atau saran
Mengganti output/saran Pilihan nilai/satuan output/saran
Pilihan output/saran
Gambar 17. Dialog penentuan deskripsi/formulasi aturan pada aplikasi Sistem Pakar. Halaman deskripsi/formulasi pada aplikasi Sistem Pakar melibatkan 3 (tiga) bagian utama yaitu kondisi aturan, output, dan saran. Ketiga bagian tersebut melibatkan kegiatan dan prosedur operasional yang mirip. Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan pada ketiga bagian tersebut diantaranya adalah operasi penambahan, penghapusan, dan penggantian. Berikut ini disajikan uraian singkat mengenai petunjuk singkat mengenai operasi-operasi tersebut. 17
Menambahkan Kondisi Aturan
Kondisi aturan melibatkan aspek-aspek di antaranya operator boolean, parameter input, dan nilai/satuan parameter input. Operator-operator boolean dikumpulkan pada kontrol ‘Pilihan operator’, sedangkan parameter input dapat dipilih pada kontrol ‘Pilihan parameter input’, dan nilai/satuan parameter dikumpulkan pada kontrol ‘Pilihan nilai/satuan parameter’. Tentukan kombinasi operator, parameter input, dan nilai/satuan parameter dengan cara meng-klik kontrolkontrol yang sesuai kemudian klik tombol ‘Menambahkan kondisi aturan’ untuk menyetujui penambahan kondisi aturan yang baru. Setiap penambahan kondisi aturan akan didaftarkan pada ‘daftar kondisi aturan’. Mengganti Kondisi Aturan
Penggantian kondisi prosedurnya mirip dengan penambahan kondisi aturan, hanya saja pada penggantian kondisi aturan terlebih dahulu dipilih kondisi aturannya dan disetujui dengan mengklik tombol yang berbeda. Pada ‘daftar kondisi aturan’ pilih kondisi aturan yang akan diganti, kemudian tentukan operator, parameter input, dan nilai/satuan parameter dengan cara meng-klik kontrol-kontrol yang sesuai dan disetujui dengan meng-klik tombol ‘Mengganti kondisi aturan’. Menghapus Kondisi Aturan
Jika kondisi aturan tidak digunakan dalam aturan (rule) maka kondisi aturan tersebut dapat dihapus. Pilih terlebih dahulu kondisi aturan yang akan dihapus, kemudian tekan tombol [Delete] pada keyboard untuk melakukan penghapusan. Perlu diketahui bahwa perintah menghapus kondisi aturan tidak dapat dibatalkan, pastikan terlebih dahulu sebelum melakukannya. Menambah, Mengganti, dan Menghapus Output dan Saran
Tahapan operasional yang harus dilakukan untuk menambahkan, mengganti, dan menghapus output dan saran identik dengan tahapan operasional untuk menambahkan, mengganti, dan menghapus kondisi aturan seperti yang telah diuraikan di atas. Bedanya, pada output dan saran tidak lagi diperlukan operator boolean. Aktifkan terlebih dahulu output/saran dengan mengklik output/saran yang disediakan pada ‘Tab output dan saran’. Catatan: Untuk beberapa kasus mungkin nilai/satuan parameter tidak digunakan baik pada kondisi aturan, output, ataupun saran. Hal ini tergantung kepada konstruksi/substansi sistem pakar yang dirancang. Jika dalam kasus yang dipelajari nilai/satuan parameter ini tidak digunakan, maka nilai/satuan parameter ini tidak perlu dimasukkan.
Konsultasi Sistem Pakar Halaman konsultasi sisem pakar merupakan bagian yang dirancang bagi pengguna untuk melakukan simulasi/verifikasi dari aturan-aturan (rule) yang telah diberlakukan sebelumnya. Pada bagian ini disediakan form yang berupa pertanyaan-pertanyaan mengenai beberapa parameter dan harus dijawab sesuai kondisi permasalahan yang dihadapi. Jawaban yang diberikan pengguna kemudian dibandingkan oleh aplikasi Sistem Pakar dengan aturan (rule) yang telah didaftarkan. Jika sesuai, maka output berupa strategi/kebijakan dan saran yang berkaitan dengan aturan (rule) ini akan ditampilkan sebagai keluaran aplikasi Sistem Pakar. Halaman konsultasi sistem pakar terdiri dari 2 (dua) bagian dialog (user interface) yaitu dialog pengisian data (form konsultasi) dan dialog resume konsultasi. Dialog pengisian data merupakan lembaran yang berisi daftar pertanyaan dan pilihan jawaban-jawabannya, sedangkan dialog resume konsultasi menyajikan hasil pengolahan yang telah dilakukan aplikasi Sistem Pakar. Berikut ini diuraikan mengenai petunjuk penggunaan kedua dialog tersebut. 18
P E T U N J U K
T E K N I S
P E N G G U N A A N
A P L I K A S I
Pengisian form konsultasi
Form konsultasi ditampilkan berupa pertanyaan-pertanyaan yang disajikan kepada pengguna untuk dijawab sesuai kondisi yang permasalahan yang dihadapi. Pertanyaan-pertanyaan yang diberikan berupa pilihan (multiple choice). Klik salah satu dari opsi yang disediakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Demikian juga dengan bobot CF, isilah bobot CF pada kotak yang disediakan sesuai penilaian anda dengan nilai-nilai numerik dan diakhiri dengan menekan tombol [Enter] untuk menyetujui perubahan bobot CF tersebut.
Tampilkan resume hasil konsultasi
Gambar 18. Visualisasi form konsultasi pada aplikasi Sistem Pakar. Dialog Resume Konsultasi
Dialog resume konsultasi merupakan resume hasil perbandingan form konsultasi dengan aturanaturan yang berlaku pada skenario rule base. Resume ini terdiri dari 3 (tiga) bagian yaitu review penilaian, output/strategi, dan saran. Klik tombol-tombol yang sesuai untuk menampilkan bagian-bagian tersebut. Klik tombol ‘Hasil Konsultasi’ untuk menampilkan dialog resume hasil pengolahan tersebut..
19
Tampilkan resume penilaian Tampilkan daftar output/strategi Tampilkan daftar saran Kembali ke dialog konsultasi
Gambar 19. Dialog resume penilaian aplikasi Sistem Pakar. Dalam melakukan simulasi/konsultasi ada kemungkinan pengguna menemukan satu atau lebih output/saran pada resume hasil pengolahan, hal ini tergantung dari skenario rule base yang ditetapkan. Berdasarkan kemungkinan ini perlu diteliti terlebih dahulu secara cermat mengenai konsistensi aturan-aturan yang diberlakukan. Aplikasi Sistem Pakar tidak menyediakan fasilitas untuk menganalisis konsistensi skenario rule base yang diberlakukan.
Tahapan Penggunaan Modul Topik ini membahas mengenai tahapan penggunaan modul yang direkomendasikan untuk mempermudah penyelesaian sebuah permasalahan menggunakan aplikasi Sistem Pakar. Tahapan ini dimulai dari persiapan, tahapan inisialisasi variabel, sampai kepada penetapan skenario rule base dan konsultasi sistem pakar. Tahapan kegiatan pada aplikasi modul Sistem Pakar diilustrasikan pada Gambar 20. Kegiatan yang pertama kali dilakukan pada aplikasi modul Sistem Pakar adalah menyiapkan dokumen aktif yaitu dokumen yang sedang dikerjakan. Persiapan dokumen aktif ini dapat dilakukan dengan cara membuka atau membuat dokumen baru. Membuat dokumen baru merupakan kegiatan yang dapat diartikan ‘membuat pekerjaan baru’ yaitu pekerjaan dengan variabel-variabel (skala, pakar, alternatif, kriteria, dan matriks pendapat) yang masih kosong. Sementara itu membuka dokumen adalah kegiatan membuka dokumen yang sebelumnya disimpan dalam bentuk file. Membuka dokumen dapat diartikan ‘melanjutkan pekerjaan’ yang tertunda. 1. Persiapan Pekerjaan.
Tahap berikutnya setelah dokumen diaktifkan adalah tahapan inisialisasi parameter yang terdiri dari inisialisasi parameter input, parameter output, saran, dan inisialisasi aturan. Pada tahap ini pengguna harus melengkapi parameter-parameter tersebut. Prosedur teknis yang berkenaan dengan kegiatan inisialisasi parameter ini telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. 2. Inisialisasi Parameter.
20
P E T U N J U K
T E K N I S
P E N G G U N A A N
A P L I K A S I
Setelah semua parameter dimasukkan, berikutnya pengguna dianjurkan menetapkan skenario rule base sesuai keperluan. Gunakan seperti prosedur yang telah dijelaskan sebelumnya untuk melakukan pengisian skenario rule base. 3. Inisialisasi Skenario Rule Base.
4. Konsultasi Sistem Pakar dan Resume Hasil Pengolahan. Tahap berikutnya
adalah pengisian dialog konsultasi yang merupakan tahap akhir dalam permodulan sistem pakar. Pada tahap ini pengguna dapat melakukan simulasi untuk melakukan verifikasi atau bahkan konsultasi mengenai permasalahan yang dihadapi untuk memperoleh strategi/kebijakan beserta saran yang dianjurkan. Gambar 20. Tahapan kegiatan penggunaan aplikasi Sistem Pakar yang direkomendasikan.
21
Modul Klaster Melakukan pengelompokan elemen (klasterisasi) berdasarkan tingkat kedekatan kriteria yang ditetapkan dengan menggunakan teknik Klaster
M
odul Klaster merupakan modul penunjang keputusan yang dirancang untuk membantu para pengambil keputusan dalam melakukan pengelompokan elemen-elemen berdasarkan tingkat kedekatan pada elemen-elemen tersebut. Modul Klaster diolah berdasarkan teknik K-Min Klaster. Modul Klaster menghasilkan keluaran yang sangat berguna bagi para pengambil keputusan yang mempelajari taksonomi makhluk hidup misalnya. Dokumen ini dirancang sebagai petunjuk penggunaan modul Klaster.
Kumpulan Perintah Dokumentasi
Panel Utama: Menampilkan halaman halaman tertentu
Gambar 21. Ilustrasi Halaman Utama Modul Klaster. Penggunaan Modul Klaster akan diuraikan ke dalam 2 (dua) bagian antara lain: dokumentasi, inisialisasi dan penilaian parameter serta hasil akhir pengolahan. Berikut dijelaskan mengenai bagaian-bagian tersebut.
Dokumentasi Dokumentasi dalam hal ini dimaksudkan untuk kegiatan manajemen basis data dalam modul klaster. Dengan dokumentasi pengguna dapat membuat basis data baru, membuka basis data yang sudah ada, dan menyimpan nilai-nilai parameter ke dalam bentuk file untuk kemudian digunakan pada kesempatan berikutnya. Membuat Dokumen Baru
Perintah ini digunakan untuk membuat dokumen yang sama sekali baru, artinya parameterparameter dan juga nilai-nilainya masih kosong. Operasi ‘membuat dokumen baru’ dapat juga 22
P E T U N J U K
T E K N I S
P E N G G U N A A N
A P L I K A S I
didefinisikan sebagai kegiatan mengosongkan variabel-variabel yang terlibat. Simpanlah selalu dokumen yang sedang dikerjakan jika anda memerlukannya pada kesempatan lain. Membuka Dokumen
Modul Klaster menyediakan fasilitas untuk membuka dokumen yang sebelumya telah tersimpan dalam media penyimpan seperti hard disk, floppy disk, flash disk, dan sejenisnya. Klik tombol (membuka dokumen) yang terdapat pada kumpulan tombol perintah utama – kemudian pengguna diminta untuk menentukan nama dokumen yang akan dibuk a. Silahkan tentukan lokasi dimana dokumen tersebut diletakkan kemudian klik [Open] atau tekan [Enter] untuk Pilih lokasi file di sini melanjutkan. Untuk membatalkan, klik tombol [Cancel] atau Klik nama file yang tekan [Esc] pada akan dibuka keyboard. Dialog membuka dokumen dapat dilihat pada Klik di sini untuk melanjutkan Gambar 22. Klik di sini untuk membatalkan
Gambar 22 Visualisasi dialog membuka dokumen
Menyimpan dokumen aktif
Untuk menyimpan dokumen aktif dalam bentuk file, gunakan tombol (Menyimpan dokumen aktif) yang terletak pada kumpulan tombol perintah utama. Jika dokumen yang aktif belum memiliki nama dokumen, maka nama dokumen akan ditanyakan. Tetapkan lokasi dan nama dokumen pada dialog Pilih lokasi file di sini tersebut, kemudian klik [OK] atau tekan [Enter] untuk melanjutkan dan klik Tuliskan nama file di [Save] atau tekan sini tombol [Esc] untuk Klik di sini untuk melanjutkan membatalkan. Klik di sini untuk membatalkan
Gambar 23. Dialog menyimpan dokumen
Inisialisasi Data dan Hasil Pengolahan Bagian input dan editing data meliputi beberapa kegiatan diantaranya inisialiasi deskripsi analisa, inisialisasi aspek, inisialisasi alternatif, inisialisasi kriteria, dan inisialisasi nilai-nilai klaster. Masingmasing halaman input data ini diperlukan sebagai inisialisasi data yang mutlak harus dilengkapi. Input datanya cukup sederhana dan memiliki karakteristik masukan yang hampir mirip, cukup 23
memasukan data yang diperlukan kemudian diakhiri dengan menekan tombol [Enter]. Hampir semua jenis kesalahan masukan data yang dilakukan pengguna juga telah di-handle dalam aplikasi ini sehingga pengguna tidak perlu khawatir akan kesalahan input data. Inisialisasi Deskripsi Analisa
Deskripsi analisa merupakan keterangan mengenai keterangan analisis yang akan dilakukan. Inisialisasi deskripsi analisa sifatnya optional (tidak mutlak harus dilakukan) karena tujuannya hanyalah sebagai catatan analisis jika diperlukan. Halaman inisialisasi deskripsi analisa dapat diaktifkan dengan meng-klik panel ‘Intro’ yang disediakan pada panel utama modul Klaster. Tuliskan mengenai keterangan atau catatan (jika diperlukan) pada halaman deskripsi analisa sesuai keinginan. Untuk meng-update keterangan tersebut, kemudian simpan dokumen perkiraan dengan tahapan yang dijelaskan pada bagian sebelumnya. Berikut adalah halaman deskripsi analisa pada modul Klaster.
Gambar 24. Deskripsi Analisa pada Modul Klaster. Inisialisasi Aspek
Inisialisasi aspek merupakan kegiatan menambah/menghapus data aspek-aspek apa saja yang akan digunakan dinilai. Pada bagian ini pengguna harus melengkapi lembar kerja dengan deskripsi aspek-aspek sesuai keperluan. Arahkan pointer pada tab perintah ‘Aspek’, kemudian klik perintah ini untuk menampilkan halaman inisialisasi aspek-aspek. Halaman Aspek mutlak dilengkapi dengan jumlah skala minimal 1 (satu) buah aspek yang dinilai. User interface untuk kegiatan menambah dan menghapus data aspek-aspek adalah berupa lembar kerja yang ditangani secara khusus oleh sebuah kontrol yang dinamakan Grid Recorder Control. Karena itu semua tahapan penggunaan yang berkaitan kegiatan editing deskripsi aspek diuraikan secara umum pada bagian tersebut.
Gambar 25. Halaman Inisialisasi Aspek pada Modul Klaster. 24
P E T U N J U K
T E K N I S
P E N G G U N A A N
A P L I K A S I
Inisialisasi Alternatif
Inisialisasi alternatif merupakan kegiatan menambah/menghapus alternatif-alternatif yang akan dikelompokan. Pada bagian ini pengguna diharuskan melengkapi lembar kerja dengan deskripsi alternatif sesuai keperluan. Arahkan pointer pada perintah ‘Alternatif’, kemudian klik perintah ini untuk menampilkan halaman inisialisasi alternatif. Data alternatif mutlak dilengkapi dengan jumlah alternatif minimal 5 (lima) buah alternatif.
Gambar 26. Halaman Inisialisasi Alternatif pada Modul Klaster. User interface untuk kegiatan menambah dan menghapus alternatif adalah berupa lembar kerja yang ditangani secara khusus oleh Grid Recorder Control. Karena itu semua tahapan yang berkaitan kegiatan editing alternatif diuraikan secara umum pada bagian tersebut. Inisialisasi Kriteria
Inisialisasi kriteria merupakan kegiatan menambah/menghapus kriteria penilaian alternatif yang dinilai. Pada bagian ini pengguna diharuskan melengkapi lembar kerja dengan deskripsi kriteria penilaian sesuai dengan keperluan analisa. Arahkan pointer pada perintah ‘Kriteria’, kemudian klik perintah ini untuk menampilkan halaman inisialisasi kriteria penilaian. Halaman inisialisasi kriteria mutlak harus dilengkapi dengan minimal 3 (tiga) buah kriteria, hal ini berkaitan erat dengan proses perhitungan nilai K-Min Klaster nanti. Pada tahap inisialisasi kriteria, pengguna diharuskan menentukan terlebih dahulu sebuah aspek. Hal ini dapat dilakukan dengan meng-klik dan memilih aspek-aspek yang tersedia pada kombo aspek yang diletakkan tepat di bagian kanan-atas halaman yang aktif. Setelah aspek dipilih, baru kemudian kriterianya didaftarkan pada dialog yang ditampilkan. User interface untuk kegiatan menambah dan menghapus deskripsi kriteria penilaian adalah berupa lembar kerja yang ditangani secara khusus oleh Grid Recorder Control. Karena itu semua tahapan yang berkaitan kegiatan editing pada halaman inisialisasi kriteria penilaian diuraikan secara umum pada bagian tersebut.
25
Gambar 27. Halaman Inisialisasi Kriteria pada Modul Klaster. Penilaian Aspek
Penilaian Aspek merupakan kegiatan penilaian alternatif pada aspek-aspek yang ditetapkan berdasarkan kriteria penilaian yang telah didaftarkan sebelumnya. Arahkan pointer pada perintah ‘Penilaian’, kemudian klik perintah ini untuk menampilkan halaman inisialisasi penilaian alternatif. Penilaian aspek dilakukan pada setiap aspek yang ada. Aktifkan terlebih aspek sesuai keperluan dengan cara meng-klik dan memilih aspek-aspek pada kombo yang tersedia. Dialog Penilaian Aspek disediakan dalam bentuk lembar kerja yang terdiri dari sel-sel yang menggambarkan sel alternatif dan kriteria. Pilihlah/sorotlah sel tertentu sesuai keperluan, kemudian ketik angka-angka sesuai data pengamatan, akhiri dengan menekan tombol [Enter].
Gambar 28. Penilaian Alternatif pada Modul Klaster. 26
P E T U N J U K
T E K N I S
P E N G G U N A A N
A P L I K A S I
Hasil Akhir Pengolahan
Setelah nilai-nilai parameter dilengkapi, hasil pengolahan modul Klaster dapat dilihat pada halaman resume pendapat. Arahkan pointer pada tombol perintah ‘Hasil’, kemudian klik tombol tersebut untuk menampilkan hasil pengolahan modul Klaster. Hasil pengolahan Klaster ditayangkan berupa laporan kedekatan alternatif sesuai dengan penilaian sebelumnya. Berikut adalah visualisasi dialog halaman hasil pengolahan teknik Klaster.
Gambar 29. Hasil Pengolahan Modul Klaster.
27
Modul IPE dengan Dua Peubah Menentukan prioritas dari beberapa alternatif berdasarkan pendapat pakar menggunakan teknik IPE dengan Dua Peubah
M
odul IPE dengan Dua Peubah merupakan sistem penunjang keputusan yang dirancang untuk membantu para pengambil keputusan dalam menentukan prioritas beberapa alternatif yang ditetapkan berdasarkan pendapat beberapa pakar dengan nilai kualitatif/numerik yang mencerminkan tingkat kepentingan relatif dari elemen-elemen terlibat. Modul IPE dengan Dua Peubah diolah menggunakan teknik Independent Preference Evaluation (IPE). Modul IPE dengan Dua Peubah menghasilkan keluaran yang sangat berguna bagi para pengambil keputusan yang mempelajari tingkat kepentingan (prioritas) elemen-elemen berdasarkan penilaian beberapa pakar. Modul IPE dengan Dua Peubah pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan Modul IPE dengan Satu Peubah baik secara model maupun penggunaannya. Perbedaannya hanya terletak pada penetatapan kriteria yang dipandang dari dua perspektif yaitu keuntungan dan biaya. Dengan demikian Modul IPE dengan Dua Peubah memiliki output yang dapat digambarkan berdasarkan kedua perspektif tersebut. Berikut diuraikan beberapa ilustrasi Modul IPE dengan Dua Peubah. Inisialisasi Kriteria
Halaman inisialisasi kriteria pada Modul IPE dengan Dua Peubah memiliki 2 (dua) bagian yaitu kriteria keuntungan dan kriteria biaya. Kedua bagian dapat dilengkapi dengan prosedur yang identik dengan inisialisasi kriteria pada Modul IPE dengan Satu Peubah.
Gambar 30. Dialog Inisialisasi Kriteria pada Modul IPE dengan Dua Peubah Pengisian Matriks Pendapat
Halaman pengisian matriks pendapat pada Modul IPE dengan Dua Peubah juga memiliki 2 (dua) bagian yaitu kriteria keuntungan dan kriteria biaya. Kedua bagian dapat dilengkapi dengan 28
P E T U N J U K
T E K N I S
P E N G G U N A A N
A P L I K A S I
prosedur yang identik dengan prosedur pengisian matriks pendapat pada Modul IPE dengan Satu Peubah.
Gambar 31. Dialog Matriks Pendapat Pakar pada Modul IPE dengan Dua Peubah Hasil Akhir Pengolahan
Dialog hasil pengolahan IPE dengan Dua Peubah juga merupakan salah satu perbedaan dengan hasil pengolahan pada IPE dengan Satu Peubah. Hasil pengolahan IPE dengan Dua Peubah ditampilkan dalam bentuk grafik yang ilustrasinya dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 32. Hasil Pengolahan Modul IPE dengan Dua Peubah.
29
Modul Perkiraan Melakukan perkiraan berdasarkan data historis masa lalu menggunakan teknik perkiraan time series dan simulasi Monte Carlo
M
odul Perkiraan merupakan sistem penunjang keputusan yang dirancang untuk membantu melakukan perkiraan suatu variabel berdasarkan data historis pada masa lalu dengan berbagai teknik peramalan time series dan teknik simulasi Monte Carlo. Modul perkiraan pada aplikasi model WIFALDIEN digunakan pada beberapa model antara lain: Model perkiraan harga gula, harga raw sugar, harga refined sugar, perkiraan produksi dan konsumsi gula nasional, dan perkiraan impor untuk swasembada gula. Dokumen ini dirancang sebagai petunjuk teknis penggunaan modul-modul WIFALDIEN yang berkaitan dengan modul perkiraan.
Inisialisasi Deskripsi Analisa Deskripsi analisa merupakan keterangan mengenai analisis perkiraan yang akan dilakukan. Inisialisasi deskripsi analisa sifatnya optional (tidak mutlak harus dilakukan) karena tujuannya hanyalah sebagai catatan analisis jika diperlukan. Halaman inisialisasi deskripsi analisa dapat diaktifkan dengan meng-klik panel ‘Intro’ yang disediakan pada Modul Perkiraan. Tuliskan mengenai keterangan atau catatan (jika diperlukan) pada halaman deskripsi analisa sesuai keinginan. Untuk meng-update keterangan tersebut, kemudian simpan dokumen perkiraan dengan tahapan yang dijelaskan pada bagian berikutnya. Berikut adalah halaman deskripsi analisa pada modul perkiraan.
Gambar 33. Visualisasi Dialog Deskripsi Analisa pada Modul Perkiraan.
30
P E T U N J U K
T E K N I S
P E N G G U N A A N
A P L I K A S I
Pengisian Data dan Skenario Perkiraan Basis data, teknik perkiraan, dan hasil perkiraan disediakan secara tersendiri pada halaman ‘Data dan Perkiraan’. Arahkan pointer pada perintah ‘Data dan Perkiraan’, kemudian klik perintah tersebut untuk mengaktifkan halaman ‘Data dan Perkiraan’. Halaman Data dan Perkiraan terdiri dari 2 (dua) bagian utama antara lain: bagian pengisian data aktual dan bagian hasil perkiraan. Berikut dijelaskan secara singkat mengenai bagian-bagian tersebut. Pengisian data pada modul perkiraan dilakukan pada halaman pengisian data aktual. Halaman pengisian Pengisian Data Aktual data dapat diaktifkan melalui 2 (dua) cara tergantung halaman awal yang sebelumnya ditampilkan. Apabila halaman yang tampil sebelumya adalah halaman deskripsi analisa, gunakan perintah ‘Data dan Perkiraan’ untuk menampilkan bagian ini. Selanjutnya jika halaman yang tampil sebelumya adalah halaman hasil perkiraan, maka halaman pengisian data dapat ditampilkan melalui perintah ‘Tampilkan/hilangkan resume model’. Gambar 34 di bawah ini merupakan contoh viualisasi dialog halaman pengisian data aktual.
Menambah Periode Perkiraan:
Fokuskan seleksi pada sel ini, kemudian masukkan periode perkiraan, dan tekan [Enter] untuk menambah periode perkiraan
Hasil Perkiraan:
Klik di sini untuk menampilkan hasil perkiraan
Teknik Perkiraan:
Pilih salah satu teknik perkiraan yang dikehendaki
Gambar 34. Visiualisasi Dialog Halaman Pengisian Data Aktual pada Modul Perkiraan Menambahkan Periode Perkiraan
Pada halaman pengisian data aktual pengguna diperbolehkan untuk menambah periode perkiraan sesuai keperluan analisa. Tempatkan seleksi dengan cara meng-klik sel (2,2) pada lembar kerja, kemudian tuliskan periode perkiraan yang akan ditambahkan – dan tekan [Enter] untuk menyetujui penambahan periode analisa. Periode analisa yang ditambahkan akan ditempatkan pada baris terakhir lembar kerja. Selanjutnya pengguna harus mengisi kolom ketiga dengan data aktual. Tempatkan seleksi pada periode yang bersesuaian, kemudian isilah sel tersebut sesuai data aktual yang akan dimasukkan – dan tekan tombol [Enter] untuk menyetujui pengubahan data. untuk membatalkan perubahan data, tekan [Esc]. 31
Menghapus Data Perkiraan
Data perkiraan pada periode tertentu dapat dihapus jika tidak digunakan. Untuk melakukan hal tersebut, letakkan seleksi pada baris yang akan dihapus. Berikutnya, tekan tombol [Del] untuk menghapus data pada periode tersebut. Perlu diketahui bahwa data yang telah dihapus tidak dapat dikembalikan, karena itu pastikan terlebih dahulu sebelum menghapusnya. Hasil perkiraan dengan teknik yang ditetapkan dapat dilihat pada halaman hasil perkiraan. Teknik dan Hasil Perkiraan Arahkan pointer pada tombol (‘Tampilkan/hilangkan hasil perkiraan’) kemudian klik tombol tersebut untuk menampilkan hasil perkiraan. Klik tombol tersebut sekali lagi untuk kembali ke halaman pengisian data. Pilihlah teknik perkiraan dengan cara meng-klik teknik yang diinginkan pada pilihan metode perkiraan, secara otomatis modul perkiraan akan menghitung hasil perkiraannya seperti yang tampak pada Gambar 35 di bawah ini.
Data Aktual:
Klik di sini untuk menampilkan halaman dpengisian data aktual
Teknik Perkiraan:
Pilih salah satu teknik perkiraan yang dikehendaki
Gambar 35. Visualisasi Dialog Hasil Perkiraan pada Modul Perkiraan
32
P E T U N J U K
T E K N I S
P E N G G U N A A N
A P L I K A S I
Modul Kelayakan Finansial Identifikasi kelayakan agroindustri pada aspek finansial dengan kriteria NPV (Net Present Value), IRR (Internal Rate Of Return), PBP (Payback Periode), dan BCR (Benefit-Cost Ratio)
M
odul Kelayakan Finansial merupakan tools yang dirancang untuk membantu para pengambil keputusan dalam melakukan analisis kelayakan agroindustri berdasarkan aspek finansial. Perhitungan pada Modul Kelayakan Finansial menggunakan metodologi tekno ekonomi dengan parameter-parameter keluaran yang terdiri NPV (Net Present Value), IRR (Internal Rate Of Return), PBP (Payback Periode), dan BCR (Benefit-Cost Ratio). Gambar 36 adalah contoh ilustrasi halaman utama aplikasi Modul Kelayakan Finansial. Dokumen ini dirancang sebagai petunjuk penggunaan modul Kelayakan Finansial.
Pilihan Halaman: Menampilkan halaman-halaman tertentu Toogle Resume: Tampilkan/hilangkan resume parameter kelayakan
Area Kerja
Panel Resume Pengolahan
Gambar 36. Ilustrasi Halaman Utama Modul Kelayakan Finansial.
Toolbar Finansial Toolbar finansial merupakan kumpulan perintah-perintah yang disediakan untuk mempermudah pengguna melakukan beberapa kegiatan seperti kegiatan dokumentasi file, menampilkan atau menghilangkan resume analisis, dan menampilkan pilihan halaman yang mungkin dapat diakses. Perintah-perintah dokumentasi file sangat berguna untuk melakukan kegiatan seperti membuat dokumen baru, membuka dokumen, dan menyimpan dokumen. Sementara pilihan halaman berguna sebagai navigator halaman. Klik perintah untuk menampilkan pilihan halaman.
33
Membuat Dokumen Baru
Perintah ini digunakan untuk membuat dokumen yang sama sekali baru dengan nilai-nilai seperti keadaan default-nya. Klik tombol pada kumpulan tombol perintah utama untuk membuat dokumen baru. Membuka Dokumen
Aplikasi Modul Kelayakan Finansial menyediakan fasilitas untuk membuka dokumen yang sebelumya telah tersimpan dalam media penyimpan seperti hard disk, floppy disk, flash disk, dan yang terdapat pada kumpulan tombol perintah utama – kemudian sejenisnya. Klik tombol pengguna diminta untuk menentukan nama dokumen yang Pilih lokasi file di sini akan dibuka. Silahkan tentukan lokasi dan nama file dimana dokumen tersebut Klik nama file yang diletakkan, kemudian akan dibuka klik [Open] atau tekan [Enter] pada untuk melanjutkan. Untuk membatalkan, klik Klik di sini untuk melanjutkan tombol [Cancel] atau tekan [Esc] pada Klik di sini untuk membatalkan keyboard. Gambar 37. Visualisasi dialog membuka file Menyimpan dokumen aktif
Ada kemungkinan pengguna tidak dapat melanjutkan pekerjaan karena satu dan lain hal sementara simulasi atau bahkan entri data belum selesai. Dalam kondisi ini pengguna dapan menunda pekerjaan tersebut kemudian dilanjutkan pada kesempatan lain. Simpanlah dokumen tersebut dalam bentuk file. Klik tombol yang terletak pada kumpulan tombol perintah utama. Jika dokumen yang sedang aktif belum memiliki nama dokumen, maka dialog permintaan nama dokumen akan ditampilkan. Tetapkan lokasi dan nama file pada dialog tersebut, kemudian klik [OK]atau tekan [Enter] untuk melanjutkan dan klik Pilih lokasi file di sini [Save] atau tekan tombol [Esc] untuk membatalkan. Jika dokumen tersebut sudah mempunyai nama file, maka dialog permintaan nama Tuliskan nama file di sini dokumen tidak akan ditampilkan lagi. Klik di sini untuk melanjutkan Gambar 38. Klik di sini untuk membatalkan Visualisasi dialog menyimpan dokumen. 34
P E T U N J U K
T E K N I S
P E N G G U N A A N
A P L I K A S I
Menampilkan / Menghilangkan Panel Resume Analisis
Panel resume analisis dapat ditampilkan / dihilangkan melalui perintah tampilkan/hilangkan resume analisis yang terdapat pada kumpulan perintah utama. Arahkan pointer pada tombol yang bertanda , kemudian klik tombol ini. Jika panel resume analisis awalnya ditampilkan, maka perintah ini akan menghilangkan panel, sebaliknya jika ditampilkan maka perintah ini akan menampilkan panel. Menampilkan halaman halaman tertentu
Ada beberapa halaman yang dapat ditampilkan pada modul Kelayakan Finansial. Halaman-halaman tersebut tergantung kepada jenis kelayakan finansial (‘Pilihan Halaman’) yang ada. Klik tombol kemudian pilih halaman yang diinginkan pada pilihan Gambar 39. Visualisasi Pilihan Halaman yang ada untuk menampilkan halaman tertentu. Lakukan editing pada area kerja jika diperlukan. pada modul Kelayakan Finansial.
Skenario Permodelan pada Modul Kelayakan Finansial Skenario permodelan merupakan kegiatan input dan editing data pada halaman-halaman yang disediakan Modul Kelayakan Finansial. Pengguna dapat melakukan beberapa skenario dengan merubah nilai-nilai yang ada pada halaman aktif. Namun demikian, tidak semua parameter dapat diberikan skenario, beberapa sel/variabel yang ada pada sebuah halaman mungkin tidak dapat dimodifikasi. Sel-sel/variabel-variabel tersebut merupakan sengaja dirancang untuk tidak dimodifikasi karena terkait dengan aturan (rule) dalam Modul Kelayakan Finansial. Semua halaman dialog yang disediakan Modul Kelayakan Finansial umumnya memiliki karakteristik editing yang sama kecuali pada halaman ‘Asumsi dan Koefisien’. Untuk melakukan skenario permodelan pada halaman aktif, masukkan angka pada parameter yang diinginkan, kemudian tekan [Enter] untuk menyetujui perubahan atau [Esc] untuk membatalkannya. Jika dikehendaki, simpan semua perubahan yang dilakukan sesuai prosedur yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Asumsi dan Koefisien
Asumsi dan koefisien merupakan halaman yang berisi beberapa koefiesien penting dan memberikan pengaruh kepada halaman-halaman lainnya. Halaman asumsi dan koefisien dapat juga dikatakan sebagai kumpulan variabel-variabel kritis dalam aplikasi Modul Kelayakan Finansial. Pada halaman asumsi dan koefisien ditambahkan sebuah kolom ‘Perubahan’ dengan satuan % (persen), gunanya adalah untuk melakukan simulasi perubahan terhadap variabel-variabel yang bersesuaian. Biasanya simulasi ini digunakan untuk melakukan analisis sensitifitas terhadap variabel-variabel tersebut. Aktifkan kontrol ‘Gunakan nilai perubahan’ untuk menandai bahwa persentase perubahan digunakan, sebaliknya matikan jika perubahan tidak digunakan.
35
Referensi Teknis Grid Recorder Control Menambahkan, dan menghapus rekord pada beberapa atribut seperti pakar, alternatif, kriteria, sub elemen, dan sejenisnya.
G
rid Recorder Control merupakan kontrol yang dirancang sebagai user interface tambahan untuk memudahkan pengguna dalam operasi rekord seperti menambah, menghapus, dan mengedit rekord. Beberapa modul dalam sistem penunjang keputusan menggunakan Grid Recorder Control untuk kegiatan editing rekord misalnya kegiatan inisialisasi pakar, skala penilaian, alternatif, kriteria, sub elemen, dan sejenisnya. Di samping itu untuk beberapa kasus Grid Recorder Control juga sering digunakan untuk keperluan navigasi pakar pada matriks pendapat. Grid Recorder Control secara visual tidak berbeda dengan lembar kerja (worksheet) seperti biasanya, akan tetapi dalam Grid Recorder Control disediakan sebuah new record handler untuk menambahkan data. Karena itu jumlah baris pada Grid Recorder Control dapat dirubah sesuai jumlah rekord yang ada. New record handler diletakkan pada baris pertama kolom ke dua Grid Recorder Control.
New Record Handler:
Masukkan karakter pada baris pertama kolom ke dua untuk menambahkan rekord
Gambar 39. Salah Satu Contoh Visualisasi Grid Recorder Control untuk Recorder Pakar. Adalah kegiatan menambah rekord baru seperti pakar, alternatif, kriteria, sub elemen atau entiti lainnya sesuai konteks modul yang menggunakan kontrol ini. Letakkan seleksi pada new record handler, kemudian masukkan data baru sesuai keperluan dan tekan [Enter] untuk menyetujui. Data baru yang ditambahkan akan diletakkan ada baris terakhir Grid Recorder Control. Lengkapi kolom-kolom lainnya (dengan prosedur yang sama) setelah rekord baru ditambahkan. Menambah Rekord Baru,
36
P E T U N J U K
T E K N I S
P E N G G U N A A N
A P L I K A S I
Informasi
Gunakan selalu tombol [Enter] setelah anda mengisi setiap kolom yang disediakan, ini dimaksudkan sebagai tanda disetujuinya operasi penambahan. Setiap kali anda sukses menambahkan rekord baru, rekord tersebut akan ditempatkan pada baris terakhir Grid Recorder Control. Untuk membatalkan perintah penambahan, gunakan tombol [ESC] pada keyboard. merupakan kegiatan menghapus data yang tidak diperlukan dalam analisa. Untuk menghapus rekord, tempatkan seleksi pada rekord yang akan dihapus dengan cara mengklik rekord tersebut kemudian tekan tombol [Del] pada keyboard. Perlu diketahui bahwa penghapusan rekord bersifat permanen artinya rekord tersebut tidak dapat dikembalikan. Karena itu pastikan terlebih dahulu sebelum menghapusnya. Jika kegiatan ini terlanjur dilakukan, anda harus meng-entri ulang data tersebut. Gunakan prosedur ‘Menambah rekord baru’ untuk mengentri ulang data yang telah dihapus (jika) diperlukan. Menghapus Rekord,
merupakan kegiatan mengganti deskripsi rekord dengan data yang baru seperti misalnya ada kesalahan dalam penulisan nama responden. Sorotlah rekord yang akan diganti dengan cara meng-klik rekord yang bersangkutan. Berikutnya ketik langsung data rekord yang benar pada sel tersebut, kemudian tekan [Enter] untuk menyetujui atau [Esc] untuk membatalkan. Mengganti Rekord,
37