SISTEM PENUNJANG KEPUTUSAN PERUMUSAN STRATEGI PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI BIODIESEL
Oleh : REZA HENDRAWAN F34103097
2008 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
SISTEM PENUNJANG KEPUTUSAN PERUMUSAN STRATEGI PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI BIODIESEL
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : REZA HENDRAWAN F34103097
2008 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
SISTEM PENUNJANG KEPUTUSAN PERUMUSAN STRATEGI PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI BIODIESEL
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : REZA HENDRAWAN F34103097
Tanggal Lulus : 7 Januari 2008 Disetujui, Bogor, Januari 2008
Prof. Dr. Ir. Marimin, MSc. Dosen Pembimbing Akademik
BIODATA PENULIS Penulis dilahirkan di Bandung, 20 Maret 1985, dari ayahanda bernama H. Abdul Rochim dan ibunda Tati Hendriati. Pendidikan formal penulis adalah TK Pertiwi Kec. Cisarua, Lembang, Bandung pada tahun 1990-1991, kemudian melanjutkan pendidikan ke SD Negeri Barukai Lembang, Bandung (1991-1995) dan SD Negeri Pangkalan Jati 01, Limo, Depok. (1995-1997). Setelah itu, penulis melanjutkan pendidikan ke SLTP Negeri 96 Jakarta Selatan dan lulus pada tahun 2000, kemudian melanjutkan pendidikan ke SMU Negeri 34 Jakarta Selatan dan lulus pada tahun 2003. setelah lulus SMU, penulis meneruskan pendidikan di Departemen Teknologi Industri Pertanian, FATETA, IPB, melalui jalur SPMB dan mengambil judul penelitian Sistem Penunjang Keputusan Perumusan Strategi Pengembangan Agroindustri Biodiesel. Penulis aktif di berorganisasi di antaranya, OSIS SLTPN 96 Jakarta sebagai Ka. Dept. I, ROHIS SMUN 34 Jakarta, dan anggota Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri (HIMALOGIN). Penulis juga pernah aktif dalam berbagai kepantiaan diantaranya Seminar SIX SIGMA (30 April 2005) pada seksi acara sebagai koordinator lapangan dan Seminar dan Pelatihan Kewirausahaan “Step on Fire, to be an Entrepreneur” (25 s.d. 26 Juni 2005) pada seksi publikasi, dekorasi dan dokumentasi. Selama masa studi di IPB, penulis beberapa kali aktif dalam kegiatan seminar dan pelatihan, di antaranya seminar yang berhubungan dengan topik penelitian penulis, yaitu Seminar Nasional Pemanfaatan Oleokimia Berbasis Minyak Sawit pada Berbagai Industri (24 November 2005), dan Diskusi Panel Biodiesel dan Gasohol Sebagai Sumber Energi Alternatif (21 Mei 2005).
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul : “Sistem
Penunjang
Keputusan
Perumusan
Strategi
Pengembangan
Agroindustri Biodiesel” adalah hasil karya asli sendiri, dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya.
Bogor, Januari 2008 Yang Membuat Pernyataan,
Reza Hendrawan F34103097
Reza Hendrawan. F34103097. Sistem Penunjang Keputusan Perumusan Strategi Pengembangan Agroindustri Biodiesel. Di bawah bimbingan Marimin.
Ringkasan Biodiesel telah menjadi sumber energi alternatif di negara-negara maju, dan pengolahan biodiesel di Indonesia juga telah mengalami perkembangan yang cukup pesat dalam beberapa tahun terakhir. Telah banyak investor yang menanamkan modalnya dalam pengembangan biodiesel tersebut. Namun, terdapat beberapa aspek penting yang patut untuk dipertimbangkan. Beberapa aspek penting tersebut meliputi komoditas bahan baku, lokasi pendirian industri, strategi pengembangan yang tepat, dan studi kelayakan investasinya berdasarkan analisis finansial. Untuk membantu para investor, pengusaha, dan pihak-pihak yang berkepentingan dalam mempertimbangkan pendirian agroindustri biodiesel, maka dibuat sistem penunjang keputusan perumusan strategi pengembangan agroindustri biodiesel. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran pengusahaan nilai tambah dari beberapa komoditi (bahan baku) agroindustri dalam bentuk biodiesel; memberikan gambaran mengenai peluang dan prospek industri biodiesel tersebut dan dapat mengambil keputusan secara sistematis berdasarkan aspek finansial dengan menganalisis kelayakan investasinya; serta memperoleh strategi terbaik yang akan digunakan dalam pengembangan agroindustri biodiesel. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan pendekatan sistem. Tahapan pelaksanaan penelitian ini dimulai dengan identifikasi kebutuhan dan pengumpulan data (studi literatur, observasi lapang, dan wawancara dengan pakar), perancangan sistem, implementasi, dan verifikasi. Sistem penunjang keputusan perumusan strategi pengembangan agroindustri biodiesel diimplementasikan ke dalam suatu paket program komputer yang diberi nama BioDSS 1.0 dengan menggunakan bahasa pemrograman dalam Borland Delphi 7. Terdapat empat model dalam sistem penunjang keputusan ini yaitu Model Penentuan Bahan Baku, Model Penentuan Lokasi Pendirian Agroindustri Biodiesel, Model Penentuan Strategi Pengembangan Agroindustri Biodiesel, dan Model Kelayakan Investasi Agroindustri Biodiesel. Model Penentuan Bahan Baku dirancang untuk memilih alternatifalternatif bahan baku yang dapat digunakan dalam agroindustri biodiesel. Model ini menggunakan teknik MPE (Metode Perbandingan Eksponensial). Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan kondisi nyata saat ini, bahan baku dari komoditas kelapa sawit yaitu CPO off grade yang merupakan bahan baku yang paling layak utuk digunakan. Model Penentuan Lokasi Pendirian Agroindustri Biodiesel digunakan untuk memilih alternatif-alternatif lokasi potensial untuk agroindustri biodiesel. Model ini menggunakan Analitical Hierarchy Process (AHP). Hasil perhitungan menunjukkan bahwa urutan prioritas lokasi potensial pendirian lokasi agroindustri biodiesel yaitu Riau, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Banjarmasin.
Model Penentuan Strategi Pengembangan Agroindustri Biodiesel dirancang untuk mendapatkan strategi pengembangan terbaik yang dapat diambil oleh para pelaku usaha atau investor. Model ini menggunakan analisis SWOT dan dilanjutkan dengan teknik Analitical Hierarchy Process (AHP) untuk menentukan strategi terbaik dari beberapa alternatif strategi pengembangan industri. Berdasarkan penelitian dengan kedua teknik analisis tersebut, strategi yang dapat dilakukan adalah menjalin kerja sama dengan perusahaan lain seperti produsen CPO sebagai pemasok bahan baku, untuk menampung CPO off grade yang belum dimanfaatkan dengan baik dengan cara mendirikan industri yang terintegrasi dengan pemasok bahan baku tersebut Model Kelayakan Investasi Agroindustri Biodiesel digunakan untuk menentukan layak atau tidaknya agroindustri Biodiesel sesuai dengan kapasitas produksi yang akan dibangun berdasarkan kelayakan kriteria investasinya. Kriteria-kriteria yang digunakan adalah NPV, IRR, BEP, PBP, dan B/C ratio. Dari hasil perhitungan didapatkan nilai NPV sebesar Rp 8.993.322.066,61; nilai IRR sebesar 31,38 %; PBP selama 2,05 tahun; nilai Net B/C Ratio sebesar 1,36; serta nilai BEP sebesar Rp 5.208.745.526,44 setara dengan 868.703,39 liter biodiesel. Saran utama terhadap penelitian ini yaitu perlu adanya pengkajian strategi pengembangan agroindustri yang lebih mendalam sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih mendetail dan lebih mudah untuk diaplikasikan. Pengembangan program komputer dalam sistem penunjang keputusan perumusan strategi pengembangan agroindustri biodiesel juga perlu dilakukan agar proses pemasukan (entry) data ke dalam program BioDSS 1.0 dapat lebih mudah dilakukan oleh pengguna. Kata kunci : biodiesel, strategi, MPE, SWOT, AHP, investasi.
Reza Hendrawan. F34103097. Decision Support System For Strategy Formulation of Biodiesel Agroindustry Development. Supervised by Marimin.
Summary Biodiesel (methyl ester) has become a popular fuel alternative in the western countries. And the development of Biodiesel in Indonesia has also grown very rapidly in the last several years. Many investors have strated to enter this business. However, there are several important aspects need to be considered. Such aspects including raw material, plant location, the best strategy to develop the industry, and the feasibility study considered by financial analityc. In order to help the investors, businessmen, and other, who want to consider this industry then the decision support system for design of development strategy for biodiesel agroindustry is needed. The aim of the research are to give some descriptions about the added value from commodities (raw materials) of agroindustry to become biodiesel; to give some descriptions about prospects and the opportunities in biodiesel agroindustry and to take the decisions systematically based on the financial aspect with the analytical of feasibility study; and to get the best strategy to be used in biodiesel agroindustry development. The methodology used in this study is system approach. The study was started by identifying the needs and searching some data (literature study, observation, interview some experts), designing the system, implementing the system, and verifying the system. The Decision Support System For Strategy Formulation of Biodiesel Agroindustry Development is implemented into computer program which is named BioDSS 1.0 by using the program language in Borland Delphi 7. The decisions support system models consist of four models, Raw Material Election Model, Plant Location Election Model, Strategy Formulation of Biodiesel Agroindustry Development Election Model, and The Model of Feasibility Study for Biodiesel Agroindustry. Raw Material Selection Model is designed to select the best raw material alternative to be used in biodiesel agroindustry. The model uses Exponential Comparison Method. The result of the research shows that raw material from palm commodity especially off grade CPO as the best alternative to be used based on the real condition currently. Plant Location Selection Model is used to select the best potential plant location for biodiesel agroindustry. The model uses Analitical Hierarchy Process (AHP). The result shows that sequences of plant location priority are Riau, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, and Banjarmasin. Strategy Formulation for Biodiesel Agroindustry Development Selection Model is designed to get the best development strategy taken by decision maker or investor. The model uses SWOT analysis and Analitical Hierarchy Process (AHP) to decide the best strategy from some alternatives. Based on the result of both technics, the best strategy is making a cooperation with other company such as CPO maker to produce the unuseful off grade CPO as the raw material of biodiesel by establishing the integration industry with supplier.
The Model of Feasibility Study for Biodiesel Agroindustry is used to give the feasibility description of biodiesel agroindustry according to the production capacity based on investment criterium. The criterium are NPV, IRR, PBP, BEP, and B/C Ratio. The result shows that the NPV value is Rp 8.993.322.066,61; IRR value is 31,38 %; PBP 2,05 years; Net B/C Ratio value is 1,36; BEP value is Rp 5.208.745.526,44 or 868.703,39 liter biodiesel. This studi suggests to elaborate in more detail the factors for formulating strategy for biodiesel agroindustry development and to make easier in implementation. The computer programming of The Decision Support System For Strategy Formulation of Biodiesel Agroindustry Development needs to be provided with user friendly interface to entry the data into BioDSS 1.0 computer program. Key words : biodiesel, DSS, strategy, MPE, SWOT, AHP, investment.
KATA PENGANTAR Syukur alhamdulillah, penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas berkat dan rahmat-Nya skripsi yang berjudul Sistem Penunjang Keputusan Perumusan
Strategi
Pengembangan
Agroindustri
Biodiesel
telah
dapat
diselesaikan sebagai salah satu syarat kelulusan guna memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Shalawat dan salam penulis haturkan kepada Rasulullah SAW. Penulis menyadari bahwa selesainya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan serta dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada : 1. Prof. Dr. Ir. Marimin, M.Sc, sebagai dosen pembimbing akademik yang senantiasa memberikan arahan, perhatian, serta bimbingannya. 2. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA, sebagai dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukan kepada penulis. 3. Ir. Lien Herlina, M.Sc, sebagai dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukan kepada penulis. 4. Kedua orang tua penulis, H. Abdul Rochim dan Tati Hendriati, yang selalu memanjatkan doa bagi penulis dan memberikan perhatian serta pengertiannya dengan sabar. 5. Dr. Ir. Yoga Peryoga, Ir. Arie Rahmadi, M.Sc, Dr. Ir. Ani Suryani, DEA, Dr. Ir. Dwi Setyaningsih sebagai pakar yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk wawancara dan pengisian kuisioner selama penulis menjalani penelitian. 6. Rekan mahasiswa TIN yang satu bimbingan dengan penulis (Indah Kusumo Wardani dan Wuri Kurniasari) atas bantuan, semangat dan sumbangan pikirannya di dalam penyelasaian skripsi ini. 7. Yuvi Andria atas bantuan bahasa permrogramannya dalam pengerjaan program komputer dalam penelitian. 8. Yasmin Zainal dan Ichsan Ramdhani yang telah membantu penulis dalam kegiatan seminar penelitian dan ujian skripsi.
9. Seluruh rekan-rekan mahasiswa TIN 40 yang mendukung dan memberikan bantuan kepada penulis hingga terselesaikannya skripsi ini. 10. Kedua adik penulis (Devi Ariani dan Trya Amalia) atas doa dan semangat yang diberikan kepada penulis. 11. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, yang telah membantu penulis dari mulai penelitian hingga selelainya skripsi ini. Akhirnya, penulis menyadari bahwa tidak ada kesempurnaan pada skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun. Penulis juga berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan dan memberikan pengetahuan bagi yang membacanya.
Bogor, Januari 2008
Penulis
DAFTAR ISI
HalamanIII KATA PENGANTAR ..............................................................................
i
DAFTAR TABEL.....................................................................................
vi
DAFTAR GAMBAR ...............................................................................
vii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................
ix
I. PENDAHULUAN ................................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................. B. Tujuan Penelitian ............................................................................. C. Ruang Lingkup ................................ ................................................ D. Manfaaat Penelitian..........................................................................
1 3 3 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................
4
A. Agroindustri .................................................................................... B. Biodiesel .......................................................................................... C. Sistem Penunjang Keputusan .......................................................... D. Teknik Pendukung Pengambilan Keputusan ................................... 1. Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) ............................... 2. Metode AHP (Analitical Hierarchy Process) ............................ E. Krtiteria Investasi ............................................................................. 1. NPV (Net Present Value) ............................................................ 2. B/C Ratio (Benefit-Cost Ratio) ................................................... 3. BEP (Break Event Point) ............................................................ 4. IRR (Internal Rate of Return) ..................................................... 5. PBP (Payback Period) ................................................................ F. Penelitian Terdahulu ........................................................................
4 9 19 22 22 23 24 24 25 25 26 26 26
III. METODOLOGI ..............................................................................
28
A. Kerangka Pemikiran ....................................................................... B. Pendekatan Sistem ......................................................................... 1. Analisis Kebutuhan ................................................................... 2. Formulasi Permasalahan ........................................................... 3. Identifikasi Sistem .................................................................... C. Tata Laksana .................................................................................. 1. Jenis dan Sumber Data ..............................................................
28 31 32 33 34 36 36
2. Metode dan Pengumpulan Data ................................................ 3. Metode Pengolahan Data .......................................................... 4. System Development Life Cycle (SDLC) ..................................
36 36 37
IV. PEMODELAN SISTEM .................................................................
39
A. Konfigurasi Sistem.......................................................................... B. Rancangan Global Sistem .............................................................. C. Rancang Bangun Model BioDSS 1.0 ............................................. 1. Sistem Pengolahan Terpusat ..................................................... 2. Sistem Manajemen Basis Data Statis ........................................ 3. Sistem Manajemen Basis Data Dinamis ................................... 4. Sistem Manajemen Basis Model ............................................... 5. Sistem Manajemen Basis Dialog ...............................................
38 41 43 43 43 43 44 45
V. PROGRAM UTAMA BioDSS 1.0 ...................................................
52
A. Sistem Pengolahan Terpusat .......................................................... B. Sistem Manajemen Basis Data .......................................................
52 57
VI. MODEL PENENTUAN BAHAN BAKU BIODIESEL ...............
58
A. Input Penentuan Bahan Baku Biodiesel .......................................... B. Output Penentuan Bahan Baku Biodiesel ....................................... C. Tampilan Model Penentuan Bahan Baku Biodiesel ........................
58 59 61
VII. MODEL PENENTUAN LOKASI POTENSIAL .........................
64
A. Input Penentuan Lokasi Potensial ................................................... B. Output Penentuan Lokasi Potensial ................................................. C. Tampilan Model Penentuan Lokasi Potensial ..................................
64 67 69
VIII. MODEL PENENTUAN STRATEGI PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI BIODIESEL ..................................................
72
A. Input Penentuan Strategi Pengembangan ........................................ B. Output Penentuan Strategi Pengembangan .................................... C. Tampilan Model Penentuan Strategi Pengembangan ....................
72 80 83
XI. MODEL KELAYAKAN INVESTASI ..........................................
85
A. Kriteria Kelayakan Investasi .......................................................... B. Analisis Sensitivitas .......................................................................
85 88
X. RANCANGAN IMPLEMENTASI .................................................
92
A.Tahapan Pendirian Pabrik Biodiesel ................................................ B. Proses Produksi Biodiesel ............................................................... C. Adaptasi Model ...............................................................................
93 95 99
XI. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................
101
A. Kesimpulan ...................................................................................... B. Saran ................................................................................................
101 102
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................
103
LAMPIRAN .............................................................................................
106
DAFTAR ISTILAH ................................................................................
136
DAFTAR TABEL
Halamaniiii Tabel 1. Penurunan emisi regulasi B30 ..................................................... 11 Tabel 2. Emisi senyawa aromatik dengan minyak solar dan B30 ............. 11 Tabel 3. Perbandingan spesifikasi minyak solar dan biodiesel .................
13
Tabel 4. Hasil Perhitungan dengan MPE ..................................................
60
Tabel 5. Hasil Perhitungan Agregat Level2 (faktor) AHP Lokasi Potensial 67 Tabel 6. Hasil Perhitungan Agregat Level3 (aktor) AHP Lokasi Potensial 67 Tabel 7. Hasil Perhitungan Agregat Level4 (tujuan) AHP Lokasi Potensial 68 Tabel 8. Hasil Perhitungan Agregat Level 5 (alternatif lokasi).................... 68 Tabel 9. Internal Factor Evaluation (IFE) .................................................. 74 Tabel 10. External Factor Evaluation (EFE) .............................................. 74 Tabel 11. Hasil Perhitungan Agregat Level 2 (Faktor) Penentuan Strategi 80 Tabel 12. Hasil Perhitungan Agregat Level 3 (aktor) Penentuan Strategi
81
Tabel 13. Hasil Perhitungan Agregat Level 4 (tujuan) Penentuan Strategi 81 Tabel 14. Hasil Perhitungan Agregat Level 5 (alternatif strategi) .............. 82 Tabel 15. Kriteria kelayakan investasi skenario I ....................................... 89 Tabel 16. Kriteria kelayakan investasi skenario II ...................................... 89 Tabel 17. Kriteria kelayakan investasi skenario III ..................................... 90 Tabel 18. Kriteria kelayakan investasi skenario IV ..................................... 90 Tabel 19. Analisis sensitivitas dari keempat skenario ................................. 91 Tabel 20. Standar Mutu Biodiesel Indonesia (SNI Biodiesel No. 04-71822006) ............................................................................................ 98
DAFTAR GAMBAR Halamaniiii Gambar 1 Reaksi Transesterifikasi ...........................................................
10
Gambar 2. Struktur Dasar Sistem Penunjang Keputusan .........................
20
Gambar 3. Hirarki Metode Proses Hirarki Analitik ..................................
24
Gambar 4. Kerangka Pemikiran Sistem Penunjang Keputusan Perumusan Strategi Pengembangan Agroindustri Biodiesel ..............
30
Gambar 5. Metodologi Pemecahan Masalah Dengan Pendekatan Sistem
31
Gambar 6. Diagram Sebab Akibat Sistem Penunjang Keputusan Perumusan Strategi Pengembangan Agroindustri Biodiesel .............. 34 Gambar 7. Diagram Input-Output .............................................................
35
Gambar 8. Stuktur DSS program BioDSS 1.0 ..........................................
40
Gambar 9. DFD (Data Flow Diagram) Level 0 BioDSS1.0 ...................
41
Gambar 10. DFD (Data Flow Diagram) Level 1 BioDSS 1.0 ................
42
Gambar 11. Diagram Alir Deskriptif Model Sistem Penunjang Keputusan Perumusan Strategi Pengembangan Agroindustri Biodiesel 46 Gambar 12. Diagram Alir Model Penentuan Bahan Baku .......................
48
Gambar 13. Diagram Alir Model Penentuan Lokasi Potensial .................
49
Gambar 14. Diagram Alir Model Penentuan Strategi Pengembangan Agroindustri Biodiesel ..........................................................
50
Gambar 15. Diagram Alir Model Kelayakan Investasi ............................
51
Gambar 16. Tampilan Menu Login BioDSS 1.0 ......................................
53
Gambar 17. Tampilan Menu Utama BioDSS 1.0 .....................................
54
Gambar 18. Tampilan Menu Informasi Biodiesel BioDSS 1.0 ................
54
Gambar 19. Tampilan Menu Informasi Teknologi Proses Biodiesel ......
55
Gambar 20. Tampilan Menu Informasi Desain Pabrik Biodiesel ...........
55
Gambar 21. Tampilan Menu Model BioDSS 1.0 .....................................
56
Gambar 22. Basis Data Dinamis pada Model Penentuan Bahan Baku ....
57
Gambar 23. Form Alternatif dalam Penilaian Bahan Baku dengan MPE
61
Gambar 24. Form Kriteria dalam Penilaian Bahan Baku dengan MPE ...
61
Gambar 25. Form Pembobotan Alternatif oleh Pakar...............................
62
Gambar 26. Form Pembobotan Kriteria oleh Pakar .................................
62
Gambar 27. Form Hasil Perhitungan Model Penentuan Bahan Baku .....
63
Gambar 28. Struktur Hirarki Model Lokasi Agroindustri Biodiesel ......
65
Gambar 29. Form Pembuatan Hirarki AHP Model Penentuan Lokasi ...
69
Gambar 30. Form Pembobotan Hirarki AHP Model Penentuan Lokasi
70
Gambar 31. Grafik Prioritas Elemen Hirarki AHP Lokasi Potensial ....
70
Gambar 32. Form Hasil Pembobotan Hirarki AHP Lokasi Potensial ....
71
Gambar 33. Matriks Internal-Eksternal ...................................................
75
Gambar 34. Matriks Internal-Eksternal Agroindustri Biodiesel ..............
76
Gambar 35. Struktur Hirarki Model Penentuan Strategi Pengembangan Agroindustri Biodiesel .........................................................
79
Gambar 36. Form Pembuatan Hirarki AHP Model Penentuan Strategi
83
Gambar 37. Form Pembobotan Hirarki AHP Model Penentuan Strategi
83
Gambar 38. Grafik Prioritas Elemen Hirarki AHP Penentuan Strategi
84
Gambar 39. Form Hasil Pembobotan Hirarki AHP Penentuan Strategi
84
Gambar 40. Tampilan menu asumsi pada model kelayakan finansial dalam program BioDSS 1.0 ..................................................
86
Gambar 41. Tampilan menu biaya investasi dalam program BioDSS 1.0
87
Gambar 42. Tampilan menu biaya tetap dalam program BioDSS 1.0 .....
87
Gambar 43. Tampilan menu biaya variabel dalam program BioDSS 1.0
87
Gambar 44. Tampilan menu kelayakan investasi program BioDSS 1.0
88
Gambar 45. Diagram Alir Proses dan Peralatan pada Tahap Degumming CPO ........................................................................................ 94 Gambar 46. Diagram Alir Proses dan Peralatan pada Tahap Transesterifikasi dan Pencucian Ester ............................................. 94 Gambar 47. Diagram Alir Proses dan Peralatan pada Tahap Methanol Recovery dan Pemurnian Gliserol .......................................... 94
DAFTAR LAMPIRAN Halamaniii Lampiran 1. Perolehan dan pengolahan data ............................................. 107 Lampiran 2. Petunjuk Instalasi dan Pemakaian Program BioDSS 1.0 ...
110
Lampiran 3. Verifikasi AHP untuk model penentuan lokasi potensial ..... 121 Lampiran 4. Verifikasi AHP untuk model penentuan strategi pengembangan agroindustri biodiesel................................................... 123 Lampiran 5. Investasi Awal Agroindustri Biodiesel ................................. 126 Lampiran 6. Biaya Tenaga Kerja ................................................................ 127 Lampiran 7. Biaya Operasional, Modal Kerja (6 bulan pertama), dan Total Investasi ............................................................................... 128 Lampiran 8. Harga Produk Biodiesel dan Penerimaan Penjualan Produk
129
Lampiran 9. Pembayaran Kredit ..............................................................
130
Lampiran 10. Laporan Laba Rugi .............................................................
131
Lampiran 11. Proyeksi Arus Kas ..............................................................
132
Lampiran 12. Kriteria Investasi ................................................................
133
Lampiran 13. Neraca Massa Pengolahan Biodiesel .................................
134
Lampiran 14. Neraca Energi Pengolahan Biodiesel .................................
135
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini, Indonesia sedang menghadapi permasalahan energi nasional yang cukup kompleks dimana kebutuhan energi nasional yang besar dan terus meningkat setiap tahunnya sementara cadangan dan produksi BBM Indonesia yang semakin terbatas. Hal tersebut telah menyebabkan Indonesia berubah dari negara eksportir menjadi negara importir minyak. Selain itu, Indonesia dihadapkan pada permasalahan lain yaitu energy mix yang timpang dimana penggunaan BBM yang harganya lebih mahal dan tidak bisa diperbaharui masih sangat dominan, pemanfaatan energi yang masih boros, dan daya beli masyarakat yang masih rendah sehingga ketergantungan terhadap subsidi pemerintah masih tinggi. Disamping itu, dengan meningkatnya harga minyak di tingkat internasional telah menimbulkan efek domino pada pengadaan energi nasional, pertumbuhan ekonomi dan industri, daya beli masyarakat, serta keuangan negara (Idris, 2006). Hal tersebut tentunya tidak dapat dibiarkan dan perlu penanggulangan yang sungguh-sungguh oleh semua pihak. Oleh karena itu, perlu adanya solusi yang tepat untuk memecahkan permasalahan yang semakin kompleks tersebut. Kita semua harus mengurangi ketergantungan terhadap berbagai bentuk energi tak terbarukan tersebut dan mencari energi alternatif yang terbarukan dan dapat menjadi alternatif pemakaian bahan bakar (Bona et al., 1999). Di antara sekian banyak jenis bahan bakar yang digunakan, bahan bakar solar adalah salah satu bahan bakar yang banyak digunakan, baik untuk bidang transportasi dan terutama untuk bidang industri sebagai sumber energi demi kelangsungan produksinya. Hal tersebut dapat dipahami sebab alat transportasi serta mesin-mesin industri banyak yang menggunakan mesin diesel. Diesel adalah mesin yang paling efisien dalam mengkonversi bahan bakar menjadi energi. Berdasarkan sudut pandang isu lingkungan global dan kesadaran terhadap keamanan sumber energi jangka panjang, maka pengembangan bahan bakar alternatif adalah suatu kebutuhan yang cukup mendesak dan penting untuk dipertimbangkan (Barnwal et al., 2005).
Permasalahan di atas telah membuka peluang yang besar untuk pengembangan biodiesel sebagai salah satu energi alternatif yang dapat dikembangkan di Indonesia dan memiliki prosek yang cerah. Bagi negaranegara berkembang seperti Indonesia, bahan bakar nabati dapat menjadi solusi untuk mengatasi krisis bahan bakar fosil dan degradasi mutu lingkungan (Sendzikiene et al., 2006). Sedangkan menurut Idris (2006), ada beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dari pengembangan biodiesel di Indonesia. Pertama, Indonesia mempunyai potensi sumber daya hayati yang besar sebagai sumber bahan baku biodiesel serta didukung oleh ketersediaan lahan yang luas. Kedua, pembuatan biodiesel relatif sederhana dan dapat dikembangkan oleh berbagai lembaga Litbang dan sejumlah industri rekayasa dalam negeri. Ketiga, bahan bakar biodiesel lebih ramah lingkungan dan dapat diperbaharui. Selain itu, bahan bakar nabati juga bersifat biodegradable dan dapat mengurangi polusi secara signifikan, seperti mengurangi emisi gas CO, SOx, poly aromatik hydrocarbons (PAH) serta asap buangan beracun lainnya (Vicente et al., 1998). Keempat, ditinjau dari aspek ekonomi, pengembangan biodiesel cukup menjanjikan dengan meningkatnya harga BBM sekaligus dapat meningkatkan pasokan energi dalam negeri serta pemberdayaan ekonomi rakyat (Idris, 2006). Dalam pengembangan agroindustri seperti pengolahan biodiesel, tentunya berbagai macam kendala serta permasalahan yang kompleks harus dapat diatasi. Banyak faktor yang harus dipertimbangkan oleh investor atau pelaku industri biodiesel. Untuk itu, perlu adanya suatu sistem yang dapat mengatasinya dan memberikan gambaran serta informasi yang akurat tentang prospek pengolahan biodiesel, yaitu dengan Sistem Penunjang Keputusan Perumusan Strategi Pengembangan Agroindustri Biodiesel. Hal tersebut diharapkan dapat membantu para investor atau pelaku bisnis yang ingin menanamkan modalnya dapat mengambil keputusan yang tepat dalam menentukan strategi pengembangan agroindustri biodiesel. Selain itu, sistem penunjang keputusan tersebut dapat mengarahkan dan memberi pedoman bagi pelaksana kegiatan proyek untuk mencapai tujuan proyek agroindustri yang telah direncanakan.
B. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian yang berjudul Sistem Penunjang Keputusan Perumusan Strategi Pengembangan Agroindustri Biodiesel ini adalah sebagai berikut: 1. Menghasilkan model sistem penunjang keputusan untuk agroindustri biodiesel sehingga para pelaku bisnis atau investor dapat mengetahui gambaran mengenai peluang dan prospek agroindustri biodiesel tersebut serta dapat mengambil keputusan secara sistematis. 2. Menghasilkan informasi mengenai nilai tambah komoditas pertanian sebagai bahan baku biodiesel. 3. Menghasilkan strategi terbaik yang akan digunakan dalam pengembangan agroindustri biodiesel. 4. Menghasilkan informasi mengenai peluang pendirian agrindustri biodiesel pada kapasitas tertentu berdasarkan aspek finansialnya.
C. Ruang Lingkup Ruang
lingkup
pengembangan
Sistem
Penunjang
Keputusan
Perumusan Strategi Pengembangan Agroindustri Biodiesel yaitu: 1. Analisis penentuan bahan baku biodiesel dari berbagai alternatif bahan baku sesuai kelayakan harga jual biodiesel yang bersaing di dalam negeri. 2. Analisis Penentuan lokasi potensial bagi pendirian agroindustri biodiesel. 3. Analisis dan penentuan strategi pengembangan agroindustri biodiesel. 4. Analisis kelayakan investasi agroindustri biodiesel dengan memperhatikan aspek finansial.
D. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memudahkan para investor atau pengembang agroindustri biodiesel untuk mengambil keputusan terbaik dalam menjalankan usahanya dengan memanfaatkan peluang usaha serta mengantisipasi risiko kegagalan yang akan dihadapi.
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Agroindustri Secara eksplisit, pengertian agroindustri pertama kali diungkapkan oleh Austin (1981) yaitu perusahaan yang memproses bahan nabati (berasal dari tanaman) atau hewani (berasal dari hewan). Proses yang diterapkan mencakup perubahan dan pengawetan melalui perlakuan fisik atau kimiawi, penyimpanan, pengemasan, dan distribusi. Produk agoindustri ini dapat berupa produk yang merupakan produk akhir yang siap dikonsumsi atau digunakan oleh manusia ataupun sebagai produk yang merupakan bahan baku industri lain. Pengertian lebih luas dicetuskan dalam Simposium Nasional Agroindustri I yang diselenggarakan oleh jurusan Teknologi Industri Pertanian, IPB, yaitu sebagai berikut : agroindustri adalah kegiatan yang memanfaatkan hasil pertanian sebagai bahan baku, merancang dan menyediakan peralatan serta jasa untuk kegiatan tersebut. Dengan demikian, agroindustri mencakup Industri Pengolahan Hasil Petanian (IPHP), Industri Peralatan dan Mesin Pertanian (IPMP), dan Industri Jasa Sektor Pertanian atau IJSP (Anonim, 1983). Menurut Mangunwidjaja et al. (2000), pada perkembangan dan wacana lebih lanjut, agroindustri lebih banyak digunakan dalam arti sempit yaitu industri yang mendayagunakan hasil pertanian sebagai bahan dasarnya untuk mendapatkan nilai tambah (added value). Simposium tersebut dapat dianggap sebagai cikal bakal wahana, diskusi, serta pengembangan agroindustri di Indonesia, sampai akhirnya dapat dirumuskan sebagai strategi pembangunan nasional dalam GBHN 1993 (Anonim, 1993). Definisi lain diberikan oleh Dominguez dan Adriano (1994) yaitu agroindustri merupakan kegiatan yang saling berhubungan (inter-relasi) antara produksi, pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, pendanaan, pemasaran, dan distribusi produk pertanian. Berdasarkan pengertian dan lingkup agroindustri tersebut, serta latar belakang sosial, ekonomi, dan geografis Indonesia, agroindustri diharapkan dapat menjadi subsektor industri yang strategis. Pengembangan agroindustri
juga diharapkan dapat menjadi faktor utama peningkatan nilai tambah hasil pertanian sebab secara komparatif, Indonesia merupakan penghasil utama komoditas penting dalam pertanian (Mangunwidjaja et al., 2000). Nilai strategis agroinustri juga terletak pada posisinya sebagai jembatan yang menghubungkan antara sektor pertanian pada kegiatan hulu sampai sektor industri pada kegiatan hilir. Dengan pengembangan agroindustri secara tepat, diharapkan terjadinya peningkatan (a) jumlah lapangan kerja, (b) pendapatan petani, (c) volume ekspor dan perolehan devisa, (d) pangsa pasar domestik maupun internasional, (e) nilai tukar produk hasil pertanian, dan (f) penyediaan bahan baku industri. Salah satu bentuk nyata dari agroindustri adalah agroindustri biodiesel. Menurut Solikhah (2007), kegiatan membangun pabrik biodiesel merupakan suatu kegiatan yang mempunyai prospek bagus di masa mendatang. Sebagain petunjuk umum, pabrik biodiesel adalah suatu pabrik dengan proses pengolahan yang relatif mudah dan dapat dilakukan dalam skala home industry hingga skala besar (ekspor) serta parameter-parameter reaksi yang bersifat public domain. Akan tetapi, pembangunan pabrik biodiesel yang menghasilkan produk dengan kualitas yang konsisten, energi yang optimal, serta memenuhi persyaratan lingkungan, adalah suatu tantangan dan memerlukan keahlian teknik yang handal. Terdapat beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan desain atau membangun pabrik biodiesel. Hal tersebut termasuk aspek bahan baku, produk, plant design, seleksi lokasi pabrik, pemilihan proses, pasar, serta aspek lingkungan.
1. Bahan Baku Di Indonesia, terdapat lebih dari 40 jenis komoditas hasil pertanian berupa minyak yang dapat digunakan sebagai bahan baku biodiesel. Dari sekian banyak jenis minyak tersebut, hanya beberapa jenis saja yang sudah termanfaatkan sumber minyaknya karena telah diproduksi secara komersial. Studi yang dilakukan oleh Soerawidjaja (2003) menunjukkan bahwa minyak kelapa sawit (CPO) dan minyak jarak pagar atau Jatropha curcas (CJO) adalah jenis minyak nabati yang paling potensial untuk aplikasi di Indonesia.
Tetapi dari beberapa bahan baku tersebut, pada saat ini minyak sawit merupakan bahan baku yang paling siap karena industrinya sudah mapan dengan pengalaman nasional pembudidayan kelapa sawit yang telah lebih dari seabad lamanya, selain itu Indonesia adalah produsen terbesar kedua di dunia (Hariana, 2007). Berdasarkan Konsep Losari, bahan baku biodiesel mulai tahun 2010, sekitar 50% dipenuhi dari bahan baku minyak kelapa sawit (CPO) dan sisanya dipenuhi dari minyak jarak. Karena pembudidayaan jarak memerlukan waktu sekitar 4 tahun untuk hasil optimal, maka sampai dengan tahun 2009, hampir semua bahan baku biodiesel berasal dari CPO. Dengan asumsi 95% yield biodiesel dari bahan baku CPO, maka untuk memenuhi kebutuhan biodiesel sektor transportasi pada tahun-tahun mendatang diperlukan CPO, Tandan Buah Segar (TBS) sawit dan luas lahan yang telah diprioritaskan. Sepeti telah diuraikan sebelumnya, minyak jarak telah dicanangkan dalam Konsep Losari sebagai bahan baku untuk produksi biodiesel. Pada tahun 2010 telah ditargetkan agar sebanyak 50% bahan baku produksi biodiesel adalah minyak jarak selain dari CPO. Salah satu faktor pendorong pemanfaatan biji jarak adalah karena CPO merupakan edible oil yang diperlukan untuk bahan baku minyak goreng sedangkan minyak jarak adalah minyak beracun yang tidak dapat dimakan sehingga tidak akan terjadi kompetisi antara minyak pangan dan bahan bakar. Selain itu pohon jarak bisa ditanam di lahan kritis. Meskipun jarak pagar telah ditargetkan sebagai bahan baku bagi biodiesel, sampai saat ini potensi jarak pagar masih dalam tahap penelitian oleh berbagai kalangan/lembaga nasional. Penelitian tersebut meliputi bibit unggul, teknis budidaya, resistensi terhadap hama akibat pola tanam monokultur serta pengolahan menjadi minyak kasar (Crude Jatropha Oil, CJO). Jumlah kebutuhan CPO dan CJO akan jauh lebih besar seandainya kebijakan pencampuran berubah menjadi lebih tinggi dari 20% serta masuknya sektor lain seperti industri ke dalam skup pemanfaatan biodiesel sebagai bahan bakar pengganti solar.
2. Produk Biodiesel adalah bahan bakar alternatif bagi minyak diesel (minyak solar) yang tersusun dari alkil ester (SNI, 2006). Alkil ester yang umum digunakan adalah metil ester yang terbuat dari metanol dan trigliserida atau asam lemak. Biodiesel yang dihasilkan harus memenuhi standar negara setempat atau mengacu pada standar yang diakui oleh dunia internasional. Di Indoensia, standar mutu biodiesel yang telah dikeluarkan tercantum dalam SNI Biodiesel No. 04-7182-2006 (Solikhah, 2007).
3. Plant Design Plant design adalah suatu pekerjaan bersama dari berbagai disiplin yang dilakukan oleh perusahaan atau lembaga engineering bersama-sama dengan pemilik pabrik guna menoptimalkan yield, neraca massa dan integrasi bahan baku serta fasilitas yang ada. Kecenderungan di masa mendatang, pabrik biodiesel dirancang sebagai suatu fasilitas proses berskala besar. Hal tersebut disebabkan industri proses umumnya mempunyai ciri khas semakin besar kapasitas produksi, maka akan semakin efisien dari segi ekonomi. Menurut Solikhah (2007), suatu pabrik transesetrifikasi modern sebaiknya menggunakan proses secara kontinu karena memiliki karakteristik penggunaan panas yang lebih baik, kemurnian produk yang lebih tinggi, recovery methanol yang lebih baik untuk menghemat biaya produksi dan peraturan (regulasi) bagi limbah cair, serta tentunya biaya kapital yang lebih kecil per unit produk. Pabrik biodiesel juga sebaiknya didesain secara terintegrasi dengan pabrik pengolah oleochemical. Hal tersebut diperlukan agar optimasi bahan baku, penyimpanan produk dan integrasi dengan transportasi dan fasilitas utilitas dapat dicapai.
4. Lokasi Pabrik Lokasi pabrik biodiesel yang paling sesuai adalah dekat dengan sumber bahan baku minyak. Hal ini akan menghasilkan biaya produksi yang kompetitif. Kedekatan dengan sumber bahan baku tersebut berkaitan pula dengan biaya transportasi bahan baku yang lebih murah. Faktor lain yang
penting untuk diipertimbangkan adalah tersedianya sumber air yang cukup untuk kebutuhan air pendingin dan air proses, serta tersedianya sarana transportasi dan fasilitas penunjang lainnya (BRDST, 2006).
5. Pertimbangan Pemilihan Proses Terdapat banyak rute proses pengolahan yang dapat dipilih dalam memproduksi biodiesel dan hal itu sangat tergantung pada kualitas bahan baku yang akan digunakan. Secara umum, ada berbagai alternatif proses untuk menghasilkan metil ester yaitu transesterifikasi, esterifikasi, atau secara enzimatis (Mittelbach, 2004). Menurut Solikkhah (2007), saat ini teknologi proses yang paling sering digunakan dan telah dikomersialkan adalah proses transesterifikasi (untuk bahan baku yang berupa trigliserida) dan esterifikasi (untuk bahan baku yang berupa asam lemak atau fatty acid).
6. Analisis Pasar Pola distribusi biodiesel yang telah berjalan hingga saat ini di Indonesia adalah dengan memasarkannya dalam bentuk campuran dengan minyak solar. Pemasaran dalam skala besar dilakukan oleh Pertamina dengan memanfaatkan jaringan distribusi yang telah ada dalam bentuk campuran B5 (minyak solar 95% + biodiesel 5%). Hal ini mengurangi resistensi terhadap biodiesel oleh pengguna otomotif dengan adanya kepastian kualitas dari penyalur BBM yaitu Pertamina (Hariana, 2007). Seperti tersirat dalam roadmap pengembangan biodiesel, target pencampuran biodiesel untuk sektor transportasi adalah 10%, 15% dan 20% pada tahun 2010, 2015 dan 2025, meskipun saat ini peraturan pencampuran biodiesel dengan minyak solar baru mengakomodasi pencampuran sampai dengan 5% yang tersedia di Jakarta dengan jumlah 130 SPBU, di Surabaya sebanyak 5 SPBU dan Malang sebanyak 1 SPBU (Anonim, 2006). Pemakaian biodiesel di sektor industri tidak dibatasi aturan pencampuran 10% biodiesel. Implikasi dari situasi ini adalah pasar biodiesel bisa menjadi sangat besar dengan syarat harga biodiesel bisa bersaing dengan
harga solar industri (minyak diesel). Selain pasar domestik, pasar internasional juga sangat menjanjikan. Jepang misalnya, konsumsi minyak solarnya mencapai 40 milyar liter pada tahun 2005. Seandainya hanya 5% saja dari jumlah tersebut disubstitusi dengan biodiesel, maka akan diperlukan biodiesel sebanyak 2 milyar liter. Selain Jepang, masih banyak negara-negara lain dengan sumber daya hayati bahan baku biodiesel sangat terbatas yang berpotensi untuk menjadi konsumen (Hariana, 2007). Salah satu hal utama yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan aspek pasar adalah jaminan kontrak jangka panjang pembelian produk biodiesel. Dalam hal pemasaran produk, sebaiknya menjalin kerja sama dan kemitraan yang strategis dengan perusahaan penyalur BBM seperti Pertamina, Elnusa, Shell, atau Petronas, sebab penyalur BBM tersebut mempunyai citra yang kuat di masyarakat (Solikhah, 2007).
7. Pertimbangan Lingkungan Hal-hal yang menjadi permasalahan adalah banyaknya limbah cair yang merupakan konsekuensi logis dari proses pencucian. Berbagai studi menunjukkan bahwa limbah cair ini memerlukan penanganan yang baik sebelum layak dibuang ke lingkungan. Untuk itu, persyaratan lokal tentang batas mutu limbah cair patut untuk dicermati dalam penanganan limbah cair pabrik biodiesel.
B. BIODIESEL Biodiesel merupakan senyawa ester monoalkil dari asam lemak yang diolah dari sumber lipid alami terbarukan, dan digunakan sebagai bahan bakar motor diesel (Reksowardojo, 2002). Di Indonesia bahan bakar biodiesel mulai diprioritaskan oleh pemerintah, ditandai dengan keluarnya INPRES No. 1 tahun 2006 pada tanggal 25 Januari 2006, yang menekankan perlunya penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati (BBN) (Support Office for Eastern Indonesia – SOFEI, 2006). Menurut Hariana (2007), biodiesel secara definisi adalah senyawa metil-ester hasil esterifikasi/ transesterifikasi bermacam minyak nabati/lemak
hewani. Definisi ini akan membedakan dengan berbagai minyak hayati yang juga dipergunakan sebagai pengganti minyak solar yang selama ini sering disalahpahamkan sebagai biodiesel. Proses produksi biodiesel mengacu kepada
reaksi
transesterifikasi
trigliserida
dengan
methanol
untuk
mendapatkan metil ester dan gliserin seperti diperlihatkan pada Gambar 1.
C-OOC-R1 katalis
3R’OH
C-OOC-R2 C-OOC-R3 Trigliserida
Alkohol
H H
H H
C
R: C
C C
H H
H C
R2-COO-R’
C-OH
R3-COO-R’
C-OH
Fatty acid ester
Gliserin
C
H H
C C
H H
C-OH
H H
C H
H
H
H
R1-COO-R’
H
C C
H H
H H C C
H H
H H C C
H H
H H
Gambar 1. Reaksi transesterifikasi Pada dasarnya bentuk alkohol yang lain seperti ethanol bisa dipergunakan dalam proses transesterifikasi, tetapi penggunaan methanol memiliki keunggulan karena hasil reaksinya yang berupa Fatty Acid Methyl Ester (FAME, yang dikenal sebagai biodiesel) dan gliserin sangat sukar untuk tercampur sehingga akan membentuk dua lapisan, yaitu biodiesel di bagian atas dan gliserin di bagian bawah sehingga mempermudah proses pemisahan biodiesel dari produk samping gliserin. Selain itu, methanol bisa diperoleh dengan harga lebih murah daripada ethanol sehingga lebih menguntungkan dari sisi komersial. Biodiesel memiliki sifat fisis yang sama dengan minyak solar sehingga bisa dipergunakan sebagai bahan bakar pengganti untuk kendaraan bermesin diesel. Selain itu, biodiesel bisa juga dipakai sebagai minyak bakar karena memiliki nilai kalor minimal 37 MJ/kg; sebagai perbandingan dengan bahan bakar fosil dengan nilai kalor 42,7 MJ/kg.
Secara komposisi kimia, biodiesel berbeda dengan minyak solar. Pada umumnya minyak solar terdiri atas 30 – 35% senyawa hidrokarbon aromatik dan 65 – 70% parafin disertai sedikit olefin, sedangkan biodiesel sebagian besar terdiri atas C16 – C18 fatty acid methyl ester dengan satu sampai dengan 3 ikatan rangkap untuk setiap molekulnya. Karkateristik yang menjadi kelebihan biodiesel bila dibandingkan dengan minyak solar adalah sebagai berikut: a. Emisi gas buang Pembakaran, secara kimia, adalah proses oksidasi yang memerlukan oksigen yang cukup agar tercapai pembakaran sempurna yang menghasilkan gas karbon dioksida (CO2) dan uap air (H2O). Pembakaran yang tidak sempurna akan menghasilkan gas karbon monoksida (CO) atau residu karbon (C). Biodiesel adalah oxygenated fuel (bahan bakar yang mengandung oksigen) yang ikut terbakar selama proses oksidasi sehingga menghasilkan emisi yang lebih baik karena ada tambahan pasokan oksigen tersebut. Pemakaian biodiesel dengan cara dicampur dengan minyak solar dalam jumlah tertentu (misalnya sampai dengan 30% biodiesel atau dikenal dengan sebutan B30) akan memperbaiki emisi gas buang secara signifikan seperti ditunjukkan dari hasil Road Test Biodiesel sejauh 20.000 km yang dilakukan oleh BPPT pada tahun 2005 seperti ditunjukkan dalam Tabel 1 dan Tabel 2. Tabel 4. Penurunan emisi regulasi B30 Penurunan Emisi Rata-rata, % 25.35 10.82 42.02 23.5
Emisi Regulasi CO (g/km) NOX + THC (g/km) Partikulat (g/km) Opasitas** (%)
Tabel 5. Emisi senyawa aromatik dengan minyak solar dan B30 Parameter (μg/gram)
Jarak 0 km
Jarak 20.000 km
Solar B30 Δ %* Solar
B30
Δ %*
Benzene Toluene Xylene
113 83 31
99 56 19
-12 -33 -39
186 274 113
168 260 96
-10 -5 -15
Ethyl Benzene
22
13
-41
86
73
-15
b. Kadar Sulfur Kkadar sulfur dalam biodiesel lebih rendah daripada minyak solar, seperti ditunjukkan dalam Tabel 3. Kadar sulfur ini berpengaruh terhadap kandungan SOX dalam gas buang hasil pembakaran. c. Cetane number Cetane number merupakan ukuran kualitas pembakaran bahan bakar dimana cetane number yang lebih tinggi akan menghasilkan pembakaran dengan kualitas lebih baik. Cetane number biodiesel, seperti ditunjukkan dalam Tabel 3, lebih tinggi bila dibandingkan dengan minyak solar. d. Keteruraian dan stabilitas Biodiesel terurai 4 (empat) kali lebih cepat bila dibandingkan dengan minyak solar ataupun minyak diesel. Pencampuran biodiesel dengan minyak solar dapat mempercepat keteruraian campuran tersebut bila dibandingkan dengan minyak solar murni. Untuk B20 (20% biodiesel dicampur dengan 80% minyak solar) akan terurai dua kali lebih cepat daripada minyak solar murni. Dari sisi stabilitas, biodiesel harus disimpan dalam wadah tertutup untuk menghindari kontak langsung dengan udara luar, air dan sinar matahari untuk menghindari oksidasi. Sampai saat ini penelitian mengenai stabilitas biodiesel masih terus dilakukan. e. Pelumasan dan pembersihan mesin Biodiesel secara alami lebih kental daripada minyak solar sehingga sifat pelumasan (lubrikasi) terhadap mesin lebih baik daripada minyak solar. Selain itu, biodiesel yang nama kimianya Fatty Acid Methyl Ester (FAME) merupakan pelarut yang memiliki kemampuan untuk membersihkan ruang pembakaran dan komponen mesin. Meskipun demikian, komponen mesin yang terbuat dari karet alam atau karet nitril dapat bereaksi dengan biodiesel yang dapat memperpendek umur pemakaian komponen tersebut.
Tabel 6. Perbandingan spesifikasi minyak solar dan biodiesel No
Parameter
1
Massa jenis
2 3 4 5
Viskositas kinematik (40 °C) Angka setana Titik nyala (mangkok tertutup) Titik kabut Titik tuang
6
Korosi lempeng (3 jam pada 50 °C)
7
8 9 9 10 11
Residu karbon - dalam contoh asli, atau - dalam 10 % ampas distilasi Air dan sedimen Temperatur distilasi 90 % Temperatur distilasi 95 % Abu tersulfatkan Belerang
12 13 14 15 16 17
Fosfor Angka asam Gliserol bebas Gliserol total Kadar ester alkil Angka iodium
Satuan
Minyak Solar(1)
Biodiesel (2)
kg/m3
820 – 870 (15°C)
850 – 890 (40°C)
mm2/s (cSt)
1.6 – 5,8 min. 45 min. 60
2,3 – 6,0 min. 51 min. 100 maks. 18
°C °C °C
tembaga
maks. 18 maks. no 1
maks. no 3
maks. 0.1 maks. 0,05* maks. 370 maks.0,01 maks. 5000
maks 0,05 maks. 0,30 maks. 0,05* maks. 360 maks.0,02 maks. 100
maks.0,6 -
maks. 10 maks.0,8 maks. 0,02 maks. 0,24 min. 96,5 maks. 115
%-massa
%-vol. °C °C %-massa ppm-m (mg/kg) ppm-m (mg/kg) mg-KOH/g %-massa %-massa %-massa %-massa (g-I2/100 g)
18 Uji Halphen Negatif Catatan : dapat diuji terpisah dengan ketentuan kandungan sedimen maksimum 0.01 %-vol (1) Minyak solar, www.pertamina.com (akses Juni 2006) (2) SNI Biodiesel No. 04-7182-2006 yang mengacu pada ASTM D 6175 & EN 14214
Menurut Solikhah (2007), biodiesel dapat diolah dari berbagai macam bahan baku. Tidak kurang dari 40 jenis tanaman di Indonesia yang dapat digunakan sebagai bahan baku biodiesel. Dari sekian banyak jenis bahan baku tersebut, hanya beberapa jenis saja yang sudah termanfaatkan sebagai sumber minyak yang komersial. Jenis minyak nabati yang paling potensial untuk aplikasi biodiesel di Indonesia saat ini adalah minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil atau CPO) dan minyak jarak pagar (Crude Jatropha Oil atau CJO). Terdapat enam kriteria yang dijadikan pertimbangan dalam penentuan alternatif bahan baku biodiesel, yaitu :
a. Ketersediaan bahan baku Indonesia memiliki beragam jenis tanaman yang dapat digunakan sebagai bahan baku biodiesel. Namun dari sekian banyak jenis tanaman tersebut, ketersediaannya sebagai bahan baku untuk industri biodiesel haruslah dalam jumlah yang besar dan kontinu agar pasokan bahan baku selalu terpenuhi untuk kelangsungan produksi biodiesel. Hal ini yang patut menjadi pertimbangan dalam penentuan bahan baku biodiesel. b. Harga bahan baku Selain ketersediaannya, harga bahan baku juga harus dipertimbangkan dengan cermat karena kriteria tersebut berhubungan langsung dengan biaya produksi dan keuntungan yang akan didapat. Untuk harga bahan baku, berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa harga bahan baku menyumbang sekitar 70-80% dari harga biodiesel. c. Teknologi produksi Teknologi produksi yang digunakan juga menjadi kriteria yang tidak bisa dikesampingkan, sebab dengan penggunaan teknologi produksi yang tepat maka hal tersebut dapat menghemat biaya produksi. Teknologi produksi yang paling umum digunakan adalah esterifikasi-transesterifikasi baik satu tahap maupun dua tahap. d. Kandungan asam lemak bebas (ALB) Keberadaannya yang semakin besar dapat membuat penggunaan katalis dan bahan kimia lain meningkat. Peningkatan penggunaan katalis akan meningkatkan jumlah konsenstrasi garam dan air dalam produk gliserin. Disamping terjadi peningkatan biaya produksi atas bahan-bahan kimia tersebut, kehadiran ALB juga meningkatkan potensi terjadinya pembentukan sabun dan segala masalah produksi yang berkaitan dengan sabun. e. Kandungan air Keberadaan air dalam bahan baku juga akan menimbulkan permasalahan yang berkaitan dengan pembentukan sabun. f. Kandungan fosfor Keberadaan fosfor merupakan indikasi tingkat gum (getah) atau phospholipids dalam minyak nabati, dan menyebabkan kesulitan pemisahan
fase gliserol dan methyl ester. Selain itu, keberadaan senyawa phospholipids dapat mengganggu terjadinya reaksi. Peningkatan fosfor akan meningkatkan potensi kontaminasi fosfor dalam biodiesel sehingga dapat menyebabkan produknya tidak memenuhi standar spesifikasi biodiesel. Hariana (2007) mengemukakan bahwa proses pembuatan biodiesel untuk skala komersial sangat tergantung dari bahan baku yang akan dipakai. Biodiesel adalah hasil transesterifikasi trigliserida untuk mendapatkan fatty acid methyl ester (FAME). Terdapat banyak pilihan proses pembuatan biodiesel sesuai dengan keanekaragaman kondisi bahan baku. Teknologi produksi biodiesel yang selama ini lazim diapakai dapat digolongkan sebagai berikut: a. Transesterifikasi minyak yang sudah diolah (refined oil) dan di-degumming dengan menggunakan katalis basa. Jika dalam bahan baku terdapat asam lemak bebas (free fatty acid, FFA) maka akan dihasilkan sabun sebagai produk samping tambahan selain gliserin yang memiliki potensi pasar sendiri. Jika diinginkan, sabun bisa dikumpulkan dan kemudian dikonversi menjadi FFA dengan perlakuan asam; FFA ini kemudian bisa diubah menjadi FAME melalui proses esterifikasi asam. b. Transesterifikasi minyak berkadar FFA rendah (kurang dari 5%) dengan menggunakan katalis basa. Sebelum proses transesterifikasi, kadar FFA diturunkan dengan process caustic stripping menjadi sabun, kemudian sabun tersebut dipisahkan dari bahan baku. Sabun bisa diubah lagi menjadi FFA dan kemudian dikonversi menjadi FAME dengan proses esterifikasi asam. Gliserin yang dihasilkan dalam sistem ini relatif berkualitas lebih baik karena tidak bercampur sabun. c. Transesterifikasi minyak berkadar FFA rendah (kurang dari 5%) dengan katalis basa bersamaan dengan proses caustic stripping FFA selama proses transesterifikasi. Kadar sabun yang tinggi selama proses ini bisa mengakibatkan pembusaan dan emulsifikasi yang berakibat menurunnya produksi FAME. Selain itu sabun akan tercampur dengan gliserin sebagai produk samping. Seperti pada proses sebelumnya, sabun bisa di-recovery dan diubah menjadi FFA yang kemudian diproses lagi menjadi biodiesel.
d. Esterifikasi asam dilanjutkan dengan transesterifikasi basa minyak dengan kadar FFA rendah sampai tinggi (kurang dari 20%). Pertama kali semua bahan baku melalui proses esterifikasi asam untuk mengubah FFA menjadi biodiesel, kemudian pisahkan kelebihan air, methanol dan asam. Setelah itu seluruh bahan baku diproses secara transesterifkasi dengan katalis basa, diperlukan katalis ekstra untuk menetralisasi asam dan sisa FFA. Sabun dan FFA yang tersisa kemudian didaur ulang dan disatukan dengan bahan baku untuk melalui proses awal lagi sebagai feedstock. Selain keempat proses teknologi komersial di atas, untuk bahan baku dengan kandungan FFA bervariasi antara 5 – 20%, bahan baku bisa dicampur untuk mendapatkan kadar FFA tertentu untuk kemudian memanfaatkan teknologi b s/d d di atas. Untuk bahan baku dengan kadar FFA sampai dengan 50% bisa dilakukan dalam beberapa tahap, misalnya melalui 2 (dua) kali esterifikasi asam secara berurutan dengan dilakukan pemisahan air di antara keduanya. Kemudian dilanjutkan dengan proses transesterifikasi. Diperlukan pula caustic stripping secara bertahap. Dalam prosesnya, semua teknologi tersebut di atas bisa dilakukan dengan proses tumpak (batch) atau kontinu. Secara umum, peralatan untuk proses tumpak lebih sederhana dan lebih cocok untuk pabrik biodiesek kapasitas kecil (500 – 10.000 ton/tahun). Untuk pabrik biodiesel berkapasitas besar (lebih dari 30.000 ton/tahun), proses kontinu akan lebih ekonomis meskipun prosesnya lebih kompleks. Untuk pabrik-pabrik biodiesel kapasitas kecil, saat ini rancang bangun dan pabrikasinya sudah bisa dilakukan di dalam negeri seperti yang dibuat oleh Balai Rekayasa Desain dan Sistem Teknologi, BPPT dengan kapasitas 500 – 3.000 ton/tahun yang berlokasi di Tangerang dan Riau. Sistem yang dipergunakan adalah proses tumpak dan semi kontinu. Untuk pabrik biodiesel dengan kapasitas besar, saat ini sudah banyak perusahaan internasional yang menyediakan teknologi. Tenologi proses produksi biodiesel terus berkembang dengan pesat dewasa ini seiring dengan meningkatnya permintaan dan kebutuhan biodiesel dunia.
Beberapa teknologi baru telah bermunculan dan sedang dalam tahap pengembangan sebagai berikut: a. Proses Cosolvent Proses ini dapat digunakan untuk minyak dengan kadar FFA < 20% dan bahkan diklaim bisa juga digunakan untuk kadar FFA sampai dengan 50%. Pada prinsipnya proses ini merupakan konversi FFA dan trigliserida secara simultan dengan mempergunakan hexane, THF dan pelarut (solvent) lainnya sehingga methanol, FFA dan trigliserida bisa tercampur untuk mempercepat reaksi. Dengan proses ini, seluruh bahan baku dicampur dengan cosolvent, methanol dan katalis. Kemudian dilakukan pemisahan hasil akhir reaksi yaitu biodiesel, gliserin, cosolvent serta methanol dengan mempergunakan teknologi yang sudah ada. Melalui proses ini, produk samping yang tidak dikehendaki seperti peroksida bisa dihindari. b. Konversi enzimatic Tidak seperti dalam proses biodiesel konvensional dimana katalis yang dipergunakan adalah non-organik, dalam konversi enzimatik ini katalis yang dipergunakan adalah lipase yang terbuat dari bermacam mikroorganisme. Lipase adalah enzim yang berfungsi sebagai katalis baik untuk proses pemecahan secara hidrolisis maupun sistesis ikatan ester dalam ester gliserol. Sebenarnya pembuatan biodiesel dengan proses ini telah dilakukan sejak tahun 1986. Jika dibandingkan dengan katalis non-organik, bio-katalis seperti ini memiliki beberapa keunggulan yaitu bisa mengkonversi dalam temperatur, tekanan dan kondisi pH sedang. Baik produk ester maupun gliserin tidak perlu dipurifikasi dari pengotor seperti sabun ataupun residu katalis. Hal ini berarti bahwa pemisahan fasa menjadi lebih mudah sehingga gliserin kualitas tinggi bisa diperoleh sebagai produk samping. Meskipun demikian, transesterifikasi dengan lipase sebagai katalis memiliki beberapa kelemahan jika dibandingkan dengan katalis konvensioal yaitu efisiensi yang rendah sehingga diperlukan konsentrasi enzim yang tinggi dengan waktu reaksi yang jauh lebih lama. Selain itu, harga enzim juga terlalu mahal untuk produksi biodiesel komersial, apalagi jika diperlukan enzim dengan kemurnian yang tinggi. Hal lain yang
menjadi kelemahan lipase adalah enzim ini bisa menjadi non-aktif oleh bahanbahan yang terdapat dalam minyak nabati. Kelemahan-kelemahan ini terus diperbaiki sampai saat ini untuk mengurangi waktu reaksi, menaikan efisiensi dan mencegah inaktifasi enzim. c. Transesterifikasi in-situ Transesterifikasi in-situ merupakan suatu proses konversi minyak di dalam biji
tumbuhan
(misalnya
biji
jarak)
dengan
cara
diekstrak
dan
ditransesterifikasi dalam satu langkah. Hal ini berimplikasi bahwa alkohol berfungsi ganda sebagai ekstraktor untuk minyak dan sebagai reagent untuk alkoholisis. Proses seperti ini memberi beberapa keuntungan yaitu tidak diperlukannya lagi hexane sebagai pelarut dalam recovery minyak, keseluruhannya mengalami proses transesterifikasi sehingga kerugian bisa diminimalkan. Selain itu, lipid yang teresterifikasi lebih mudah di-rekovery dari residu padat daripada dalam bentuk minyak dengan viskositasnya yang relatif rendah. d. Teknologi lain yang mungkin digunakan Selain beberapa teknologi di atas, terdapat beberapa teknologi yang memungkinkan untuk dipergunakan dalam proses produksi biodiesel yaitu: •
Gliserolisis FFA dalam bahan baku. Proses sudah tersedia secara komersial meskipun saat ini belum dipergunakan dalam proses produksi biodiesel. Dengan proses ini, FFA yang terkandung dalam bahan baku diubah menjadi monogliserida dan kemudian bahan baku ditransesterifikasi.
•
Hidrolisis diikuti esterifikasi asam. Proses ini bisa dipergunakan secara komersial meskipun saat ini belum dimanfaatkan dalam proses produksi biodiesel dan merupakan proses yang bersifat energy intensive. Proses ini dipergunakan untuk bahan baku dengan kandungan FFA tinggi yang diubah menjadi metil ester melalui esterifikasi asam. Proses yang ada di pasaran saat ini mampu mengahasilkan efisiensi sampai dengan 99%, penanganan FFA yang tersisa adalah melalui proses caustic stripping.
Kedua teknologi tersebut perlu penelitian lebih lanjut untuk dikembangkan.
C. SISTEM PENUNJANG KEPUTUSAN Menurut Eriyatno (1990), sistem penunjang keputusan adalah suatu pendekatan secara ilmiah dalam menentukan teknologi yang tepat untuk mengambil keputusan. Sistem penunjang keputusan merupakan konsep spesifik yang berhubungan dengan sistem komputerisasi informasi dengan para pengambil keputusan. Sistem penunjang keputusan dimaksudkan untuk memaparkan secara rinci elemen-elemen sistem sehingga dapat menunjang proses pengambilan keputusan. Sistem penunjang keputusan (SPK) adalah sistem yang berfungsi mentransformasi data dan informasi menjadi alternatif keputusan dan prioritasnya (Marimin, 2004). Sistem penunjang keputusan sebagai sistem komputerisasi informasi yang menggunakan aturan-aturan keputusan, modelmodel, dan basis model yang diakomodasikan dengan basis data dan pandangan pribadi pengambil keputusan, serta menuntun kepada keputusan yang bersifat spesifik dalam pemecahan masalah-masalah yang tidak dapat diselesaikan hanya dengan model optimasi ilmu manajemen. Sistem penunjang keputusan dinyatakan pula sebagai sistem yang diperuntukkan bagi problema-problema keputusan yang bersifat terstruktur dan tidak terstruktur. Problema keputusan yang terstruktur adalah prosedur untuk mendapatkan penyelesaian terbaik yang telah diketahui. Problema pengambilan keputusan yang bersifat tidak terstruktur merupakan hasil dari intuisi manusia menjadi dasar dalam pengambilan keputusan. Problema pengambilan keputusan semi terstruktur berbeda dari keduanya, yaitu dengan melibatkan prosedur-prosedur baku dan pendapat atau pertimbangan pribadi (Turban,1990). Menurut Marimin (2004), Decision Support System (DSS) bermanfaat dalam membantu pengambilan keputusan secara interaktif. Suryadi dan Ramdhani (1998) mengemukakan bahwa pada umumnya setiap organisasi yang bergerak dibidang produksi maupun jasa, tidak terlepas dari segala problematika manajemen yang terdapat dalam lingkungan pembuatan
keputusan. Perubahan struktur pasar, produk, teknologi produksi, organisasi dan yang lainnya terus terjadi sehingga berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung pada setiap kebijakan manajemen yang dihasilkan. Pembuatan keputusan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari totalitas sistem organisasi secara keseluruhan. Pada dasarnya sebuah sistem organisasi mencakup sistem fisik (sistem operasional), sistem manajemen (sistem keputusan) dan sistem informasi. Menurut Eriyatno (1999), konsep dari rancang bangun dan pengembangan sistem penunjang keputusan terdiri dari 3 elemen utama, yaitu: 1. Pengoptimalan kriteria dalam merancang bangun sistem, 2. Proses rancang bangun sistem secara total, 3. Proses rancang bangun sistem secara mendetail. Model konsepsional dari sistem penunjang keputusan merupakan gambaran hubungan abstrak antara tiga komponen utama penunjang keputusan , yaitu: (a) para pengambil keputusan atau pihak pengguna (user), (b) model, dan (c) data. Struktur dasar sistem penunjang keputusan dapat dilihat pada Gambar 2.
Data
Model
Sistem Manajemen Basis Data (DBMS)
Sistem Manajemen Basis Model (MBMS)
Sistem Pengolahan Problematik
Sistem Pengolahan Dialog
Pengguna (user)
Gambar 2. Struktur Dasar Sistem Penunjang Keputusan (Eriyatno, 1999).
Menurut Marimin (2004), Sistem Penunjang Keputusan terdiri dari tiga komponen, yaitu : 1. Manajemen Data, termasuk di dalamnya adalah database yang berisi data yang berhubungan dengan sistem yang diolah menggunakan perangkat lunak yang disebut sistem manajemen basis data. 2. Manajemen Model, yaitu paket perangkat lunak yang terdiri dari model finansial, statistika, ilmu manajemen, atau model kuantitatif lain yang menyediakan kemampuan sistem analisis. 3. Subsistem Dialog, yaitu subsistem yang menghubungkan pengguna dengan perintah-perintah dalam Sistem Penunjang Keputusan. Komponen manajemen data memelihara data sistem penunjang keputusan dimana fungsinya adalah untuk menyimpan dan memanipulasi basis data seperti yang diarahkan oleh komponen manajemen model atau manajemen dialog. Komponen ini mengandung elemen yang berfungsi untuk menyimpan data dalam basis data, mengambil data dari basis data, dan mengontrol basis data (Turban, 1990). Manajemen model berfungsi untuk mengontrol pengeksekusian suatu model dan pengoperasian suatu model dan pengoperasian kombinasi beberapa model bila dibutuhkan. Komponen ini memberikan fasilitas pengolahan model untuk mengkomputasikan pengambilan keputusan dan meliputi semua aktivitas yang tergabung dalam pemodelan sistem penunjang keputusan (Turban, 1990). Komponen manajemen dialog berfungsi menerima masukan (input) dari pengguna dan memberikan keluaran (output) kepada pengguna. Komponen ini berfungsi menghubungkan pengguna dengan komponenkomponen sistem penunjang keputusan lainnya, yaitu komponen manajemen data dan komponen manajemen model. Menurut Lucas (1993), penerapan DSS akan berhasil jika sistem tersebut sederhana dan mudah digunakan, mudah dalam melakukan pengawasan,
mudah
dalam melakukan adaptasi
terhadap
perubahan
lingkungan dan mudah melakukan kegiatan komunikasi dengan berbagai entiti.
Karakteristik pokok yang melandasi teknik sistem penunjang keputusan menurut Minch dan Burn (1983) yaitu: (1) Interaksi langsung antara komputer dengan pengambil keputusan; (2) Dukungan menyeluruh dari keputusan bertahap ganda; (3) Suatu sintesa dari konsep yang diambil dari berbagai bidang antara lain ilmu komputer, psikologi, intelegensia buatan (Artificial Intelegence), ilmu sistem, dan ilmu manajemen. (4) Mempunyai kemampuan adaptif terhadap perubahan kondisi dan kemampuan berevolusi menuju sistem yang lebih bermanfaat.
D. TEKNIK PENDUKUNG PENGAMBILAN KEPUTUSAN 1. Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) Metoda Perbandingan Eksponensial merupakan salah satu metode untuk menentukan urutan prioritas alternatif keputusan dengan kriteria jamak. Menurut Marimin (2004), Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) merupakan suatu metode untuk menentukan urutan prioritas alternatif keputusan dengan kriteria jamak, dimana teknik ini digunakan sebagai pembantu bagi individu pengambil keputusan untuk menggunakan rancang bangun model yang telah terdefinisi dengan baik pada tahapan proses. Metode Perbandingan Eksponensial akan menghasilkan nilai alternatif yang perbedaannya lebih kontras. Dalam menggunakan metode MPE ada beberapa tahapan yang harus dilakukan diantaranya menyusun alternatif-alternatif yang akan dipilih, menentukan kriteria atau perbandingan kriteria keputusan yang penting untuk dievaluasi, menentukan tingkat kepentingan dari setiap kriteria keputusan atau pertimbangan kriteria, melakukan penilaian terhadap semua alternatif pada setiap kriteria, menghitung skor atau nilai total setiap alternatif, dan menentukan urutan prioritas keputusan didasarkan pada skor atau nilai total masing-masing alternatif. Struktur model MPE adalah sebagai berikut : m Total Nilai i
=
∑ j=1
RK ij TKKj
Keterangan : Total Nilai i
=
Total Nilai alternatif ke-i
RK ij
=
Derajat kepentingan relatif kriteria ke-j pada pilihan keputusan i
TKKj
=
Derajat kepentingan kriteria keputusan ke-j; TKKj > 0
N
=
Jumlah pilihan keputusan
M
=
Jumlah kriteria keputusan
2. Metode AHP (Analitical Hierarchy Process) Analitical Hierarchy Process (AHP) adalah suatu pendekatan analisis yang bertujuan untuk membuat suatu model permasalahan yang tidak mempunyai struktur. Analisis ini biasanya diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah yang terukur (kuantitatif), maupun masalah-masalah yang memerlukan pendapat (judgement), AHP banyak digunakan pada pengambilan keputusan untuk banyak kriteria, perencanaan, alokasi sumberdaya, dan penentuan prioritas dari strategi yang dimiliki pihak yang terlibat (aktor) dalam situasi konflik (Saaty, 1993). AHP memungkinkan pengguna untuk memberikan nilai bobot relatif dari suatu kriteria majemuk (atau alternatif majemuk terhadap suatu kriteria) secara intuitif, yaitu dengan melakukan perbandingan berpasangan (pairwise comparison). Semua elemen dikelompokkan secara logika dan diperingatkan secara konsisten sesuai dengan suatu kriteria yang logis (Marimin, 2004). Hirarki dalam metode AHP Hirarki terdiri atas fokus, faktor, aktor, tujuan dan alternatif dapat dilihat pada Gambar 3.
Fokus
Sasaran Utama
Faktor
Faktor yang terlibat
Aktor
Pelaku yang terlibat
Tujuan
Tujuan dari aktor
Alternatif
Alternatif Penyelesaian
Gambar 3. Hirarki Metode Proses Hirarki Analitik (Saaty, 1993)
E. KRITERIA INVESTASI 1. Net Present Value (NPV) NPV merupakan perbedaan antara nilai sekarang dari manfaat dan biaya. Dengan demikian, apabila NPV bernilai posisitf maka dapat diartikan sebagai besarnya keuntungan yang diperoleh proyek. NPV bernilai negatif menunjukkan kerugian. NPV dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut: n
NPV= ∑
T =0
Bt − Ct (1 + i ) t
Dimana : NPV
: Net Present Value
Bt
: Keuntungan kotor proyek pada tahun ke-t
Ct
:
n
: Umur ekonomik proyek
t
: Tingkat bunga dalam persen (Gray et al, 1993)
Biaya pengeluaran kotor proyek pada tahun ke-t
2. Net Benefit Cost Ratio (B/C ratio) Net B/C merupakan perbandingan sedemikian rupa sehingga pembilangnya tediri atas Present Value total dari benefit bersih dalam tahuntahun dimana benefit besih itu bersifat positif, sedangkan penyebutnya terdiri atas Present Value total dari biaya bersih dalam tahun-tahun dimana Bt-Ct bersifat negatif, yaitu biaya kotor lebih besar daripada benefit kotor (Kadariah et al., 1999). Formulasinya adalah sebagai berikut : Net B/C = ∑ (Bt – Ct)/(1+i)t [Bt-Ct>0] ∑ (Ct-Bt)/ (1+i)t [Bt-Ct<0] Benefit Cost Ratio (B/C Ratio) juga dapat dibuat dalam bentuk persamaan
perbandingan antara total penerimaan kotor dan total biaya
produksi. Persamaan yang digunakan untuk menghitung B/C Ratio adalah : Gross Benefit Total B/C Ratio = Production Cost Total Kriteria keputusan yang diambil dalam menentukan kelayakan berdasarkan B/C Ratio adalah : 1)
Jika B/C Ratio ≥ 1, maka proyek dikatakan layak diterima;
2)
Jika B/C Ratio <1, maka proyek dikatakan tidak layak diterima.
3. Titik Impas (Break Even Point) Menurut Sutojo (1993), proyek dikatakan impas apabila jumlah hasil penjualan produk pada periode waktu tertentu sama dengan jumlah biaya yang ditanggung sehingga proyek tersebut tidak mengalami kerugian dan juga tidak memperoleh laba. Jumlah hasil penjualan minimal yang harus dilampaui dapat dihitung dengan mempergunakan persamaan berikut (Kadariah et al., 1999). Biaya Tetap (Rp) Q (BEP) = Harga jual (Rp) – Biaya Variabel (Rp)
4. Internal Rate of Return (IRR) IRR merupakan nilai discount rate (i) yang membuat NPV sama dengan nol (Kadariah et al., 1999). Menurut Gray et al. (1993) persamaan IRR adalah sebagai berikut : IRR = i1 +[NPV1 – (i2-i1)/NPV1-NPV2] Penyelesaian persamaan tersebut dilakukan dengan menggunakan metode trial and error atau dengan teknik penelusuran oleh komputer untuk mencari nilai akar persamaan polinomial dalam i, dimana i1 adalah tingkat suku bungan yang menyebabkan NPV1 bernilai positif, sedangkan i2 merupakan tingkat suku bunga yang menyebabkan NPV2 bernilai negatif mendekati nol. Kriteria pembanding IRR adalah tingkat suku bunga yang berlaku (i) dan jika tingkat bunga>i, maka keputusan yang diambil adalah layak.
5. Payback Period (PBP) PBP menunjukkan berapa lama modal yang ditanam dalam investasi akan kembali. Pengembalian modal ini dipandang dari kas masuk. Persamaan yang digunakan menurut Djasmin (1984) adalah sebagai berikut : Investasi PBP = Keuntungan
E. PENELITIAN TERDAHULU Agustian (2005) melakukan penelitian mengenai biodiesel dengan judul Sifat Fisiko Kimia Biodiesel Jarak Pagar (Jatropha curcas) suatu Sumber Energi Terbarukan. Dalam penelitiannya, minyak jarak pagar dikonversi menjadi biodiesel dengan menganalisis sifat-sifat fisik, kimia, dan bahan bakarnya. Dengan mengacu pada standar ASTM PS 121, beliau
menyimpulkan bahwa biodiesel yang dihasilkan dalam penelitian tersebut memenuhi beberapa parameter standar, kecuali pada viskositas dan bilangan asam. Indrajaya (2005) melakukan penelitian mengenai biodiesel dengan judul Optimasi Sintesis Biodiesel dari Minyak Jarak Pagar (Jatropha curcas) melalui Proses Esterifikasi-Transesterifikasi. Penelitian tersebut dilakukan untuk menentukan kondisi optimum pada konversi minyak jarak pagar menjadi metil ester asam lemaknya (metil ester) sehingga menghasilkan biodiesel dengan kualitas yang sesuai dengan standar perdagangan. Berdasarkan pengamatan pada penelitian tersebut, kondisi optimum reaksi esterifikasi dicapai pada penambahan metanol 10%, jumlah katalis sebanyak 1%, dan waktu reaksi selama 120 menit, sedangkan kondisi optimum reaksi transesterifikasi dicapai pada penambahan metanol 10% dan waktu reaksi 30 menit. Setiadi (2004) melakukan penelitian mengenai Sistem Penunjang Keputusan Investasi Agroindustri Berbasis Daging Sapi di Kabupaten Boyolali. Tujuan dari penelitian tersebut adalah merancang model Sistem Penunjang Keputusan Investasi Agroindustri Berbasis Daging Sapi di Kabupaten Boyolali, memberikan alternatif keputusan investasi produk agroindustri berbasis daging sapi yang tepat dan paling potensial, memberikan rekomendasi strategi dan alternatif pengembangan agroindustri berbasis daging sapi kepada Pemda Kabupaten Boyolali. Di dalam Sistem Penunjang Keputusan tersebut, terdapat 4 model utama yaitu Model Pemilihan Produk Utama untuk menentukan produk olahan daging sapi yang tepat dan paling potensial untuk diinvestasikan dan dikembangkan, Model Pemilihan Lokasi Potensial untuk menentukan urutan prioritas kecamatan yang berpotensi dan tepat untuk dijadikan suatu usaha atau sentra agroindustri yang berbasis daging sapi, Model Prakiraan Pasar Produk Agroindustri untuk menentukan tingkat permintaan produk yang paling unggul pada tahun 2004, serta Model Analisa Kelayakan Finansial Agroindustri untuk mengukur kelayakan dari agroindustri berbasis daging sapi yang terpilih berdasarkan aspek finansial.
III. METODOLOGI A. Kerangka Pemikiran Kelangkaan bahan bakar minyak yang sering terjadi akhir-akhir ini sudah seharusnya menjadi faktor pendorong bagi kita untuk mencari sumber bahan bakar alternatif yang terbarukan (renewable). Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan mengolah beberapa komoditi pertanian seperti kelapa sawit, biji jarak pagar serta kelapa menjadi bahan bakar nabati berupa biodiesel. Pengembangan industri biodiesel itu sendiri memiliki prospek yang cukup bagus. Namun, pengembangannya pasti akan terhambat berbagai macam kendala yang kompleks. Untuk menanggulanginya, maka diperlukan suatu sistem penunjang keputusan yang dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan yang akurat mengenai aspek-aspek yang terkait dalam perencanaan pembangunan suatu industri biodiesel. Aspek-aspek yang terkait antara lain pemilihan bahan baku dan teknologi pengolahan, pemilihan lokasi potensial, pemilihan dan penentuan strategi pengembangan, analisis finansial dan kelayakan usaha, proyeksi arus kas, dan analisis strategi pengembangan terpilih. Aspek pemilihan lokasi sangat berkaitan erat dengan ketersediaan bahan baku yang berhubungan langsung dengan kontinuitas produksi, lokasi pasar, ketersediaan tenaga kerja, dan ketesediaan utilitas penunjang. Pemilihan lokasi yang tepat juga akan mempengaruhi aspek finansial dari proyek, yaitu dengan penentuan lokasi yang tepat akan meminimalkan biaya-biaya seperti biaya transportasi baik bahan baku maupun biaya distribusi dan biaya tenaga kerja. Ditinjau dari aspek sosialnya, sebuah lokasi industri yang tepat akan memberikan manfaat bagi masyarakat sekitarnya antara lain penyerapan tenaga kerja, konservasi sumberdaya alam, dan pembangunan daerah. Selain itu, pemilihan lokasi yang tepat dapat meningkatkan efisiensi waktu penjadwalan produksi. Di dalam melakukan analisis aspek finansial, hal yang menjadi perhatian utama adalah pengadaan modal usaha dan modal kerja. Analisis finansial tersebut digunakan dengan tujuan membantu perusahaan mengambil keputusan keuangan seperti kredit dan investasi. Modal usaha berkaitan dengan pembelian mesin dan
peralatan industri, pembelian lahan untuk pabrik, dan pendirian bangunan. Modal kerja mencakup biaya pembelian bahan baku, biaya tenaga kerja, biaya produksi dan biaya penunjang produksi. Dalam kegiatan perencanaan proyek, penggunaan perangkat lunak akan memberikan banyak kemudahan dalam pengambilan keputusan secara cepat, efisien sehingga dapat menghemat waktu dan biaya. Pengembangan suatu rekayasa sistem penunjang keputusan akan mampu membantu para pengambil keputusan (investor) dalam hal proses pengambilan keputusan. Permasalahan yang menjadi kajian perancangan sistem penunjang keputusan ini merupakan suatu permasalahan yang kompleks karena melibatkan berbagai faktor yang terkait, baik faktor terkontrol maupun faktor yang tak terkontrol. Oleh karena itu, suatu pendekatan sistem dibutuhkan untuk memecahkan permasalahan tersebut. Rekayasa sistem dimulai dengan analisis kebutuhan formulasi permasalahan, identifikasi sistem, pemodelan sistem, pembuatan pemrograman komputer dan implementasi. Kerangka Pemikiran Sistem Penunjang Keputusan Perumusan Strategi Pengembangan Agroindustri Biodiesel dapat dilihat pada Gambar 4.
Mulai
Studi Pustaka
SWOT
Analisis Penentuan Bahan Baku
MPE
Analisis Penentuan Lokasi Potensial
AHP
Analisis Penentuan Strategi Pengembangan Agroindustri Biodiesel
AHP
Analisis Kelayakan Finansial
NPV, IRR, PBP, B/C Ratio, BEP
Pemodelan Sistem
Implementasi Model
Computer Programming
Tidak
Sesuai Ya
Verifikasi Model
Evaluasi Model
Sesuai Ya
Selesai
Gambar 4. Kerangka Pemikiran Sistem Penunjang Keputusan Perumusan Strategi aaaaaaaaaa
aPengembangan Agroindustri Biodiesel
B. Pendekatan Sistem Pendekatan sistem merupakan suatu metodologi pemecahan masalah yang diawali dengan identifikasi serangkaian kebutuhan dan menghasilkan sistem operasi yang efektif. Langkah-langkah yang dilakukan yaitu analisis kebutuhan, formulasi masalah, serta identifikasi sistem. Tahapan analisis sistem dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Metodologi Pemecahan Masalah Dengan Pendekatan Sistem (Manetsch dan Park, 1977) Pendekatan sistem dicirikan oleh adanya suatu metodologi perencanaan atau pengelolaan, adanya penggunaan model matematika, berpikir secara kualitatif, optimasi, serta pengaplikasian ke dalam komputer. Pendekatan sistem
menggunakan abstraksi keadaan nyata untuk pengkajian suatu masalah. Gagasan utama mengenai pendekatan sistem adalah hubungan timbal balik antar data, model dan keputusan yang dihasilkan. Titik awal pendekatan adalah tujuan dan fokusnya adalah pada rancangan sistem secara keseluruhan. Tujuan pendekatan sistem adalah untuk mendapatkan suatu gugus alternatif sistem yang layak untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan yang telah diidentifikasi dan diseleksi.
1. Analisis Kebutuhan Komponen-komponen yang terdapat dalam sistem mempunyai kebutuhan yang berbeda sesuai dengan fungsi dan tujuannya. Dalam melakukan analisis kebutuhan ini, terlebih dahulu dinyatakan kebutuhan-kebutuhan yang ada, kemudian dilakukan tahap pengembangan terhadap kebutuhan-kebutuhan yang dideskripsikan tersebut. Identifikasi ini menyangkut interaksi antara respon yang timbul dari seorang pengambil keputusan terhadap jalannya sistem. Identifikasi ini dapat meliputi hasil suatu survei, pendapat seorang ahli, diskusi, observasi lapang, dan lain-lain. Analisis kebutuhan dari Sistem Penunjang Keputusan Perumusan Strategi Pengembangan Agroindustri Biodiesel meliputi aktor dan kebutuhannya sebagai berikut: a. Investor •
Gambaran dan informasi dari perencanaan suatu industri biodiesel .
•
Tingkat keuntungan yang maksimal.
•
Usaha yang dipilih mempunyai prospek yang baik dalam berinvestasi.
•
Menentukan besar investasi untuk membangun industri biodiesel yang dinilai layak secara finansial.
b. Industri Biodiesel •
Jumlah produksi yang sesuai dengan permintaan pasar
•
Memperoleh keuntungan yang maksimal.
•
Kemudahan memperoleh bahan baku dan modal.
•
Permintaan konsumen terpenuhi.
c. Lembaga Perbankan •
Kredit yang diberikan diketahui jumlah dan waktu pengembaliannya.
•
Perbankan dapat memantau perkembangan usaha secara langsung.
•
Meminimalkan kredit macet.
d. Pemerintah •
Terciptanya lapangan pekerjaan dan meningkatkan pendapatan daerah
•
Mendukung pertumbuhan eknonomi yang cukup tinggi melalui banyaknya kegiatan investasi
2. Formulasi Permasalahan Pendirian industri biodiesel memerlukan analisis yang mendalam terutama berhubungan dengan aspek finasialnya dengan memperhatikan kriteria kelayakan investasi. Analisis tersebut bertujuan untuk mengurangi atau menghindari resiko kesalahan dalam memutuskan pendirian industri biodiesel sehingga resiko kegagalan pun dapat dihindari. Hasil analisis dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi investor atau pendiri industri biodiesel apakah industri tersebut layak untuk didirikan dan dijalankan. Permasalahan utama yang akan dihadapi dalam penentuan investasi biodiesel dan menentukan strategi pengembangannnya adalah sebagai berikut : a. Penentuan bahan baku serta lokasi potensial pengembangan agroindustri biodiesel. b. Penentuan strategi pengembangan agroindustri biodiesel. c. Kelayakan finansial agroindustri Biodiesel. d. Perkiraan modal investasi agroindustri Biodesel. Pemecahan masalah yang digunakan : a. Mengumpulkan
informasi
mengenai
kriteria-kriteria
yang
mempengaruhi lokasi pembangunan industri biodiesel. b. Mencari informasi mengenai harga bahan baku biodiesel, harga produk biodiesel, jumlah tenaga kerja
dan luasan lokasi yang
disesuaikan dengan kapasitas industri biodiesel. c. Mencari informasi mengenai biaya variabel dan biaya penyusun lainnya yang mempengaruhi biaya total.
3. Identifikasi Sistem Identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan dengan pernyataan khusus dari masalah yang harus dipecahkan untuk mencukupi kebutuhan yang dijabarkan dalam bentuk diagram input-output. Diagram sebab akibat dan diagram input-output Sistem Penunjang Keputusan Perumusan Strategi Pengembangan Agroindustri Biodiesel disajikan dalam Gambar 6 dan Gambar 7.
+
Sarana & Prasarana Produksi
+ Produktivitas
+
Pajak
+
Kebijakan Pemerintah
+ Keuntungan +
Ketersediaan Bahan Baku
+
+ Perbankan
Agroindustri Biodiesel +
+ +
+
Kredit Investasi
Minat Investor +
+
+
Kelayakan Investasi
+ Iklim Usaha
+ Gambar 6. Diagram Sebab Akibat Sistem Penunjang Keputusan Perumusan Strategi Pengembangan Agroindustri Biodiesel
Input Lingkungan 1. kebijakan pemerintah 2. kondisi sosial dan ekonomi 3. Globalisasi perdagangan
Output Dikehendaki 1. Penentuan bahan baku dan lokasi potensial 2. Kesesuaian bahan baku, tenaga kerja, dan luasan lokasi dengan kapasitas produksi. 3. Penentuan strategi pengembangan 4. Proyeksi Arus kas 5. Kelayakan agroindustri
Input Tak Terkendali 1. Perilaku konsumen 2. Permintaan pasar 3. Kontinuitas produksi
Sistem Penunjang Keputusan Perumusan Strategi Pengembangan Agoindustri Biodiesel
Output Tak Dikehendaki
Input Terkendali 1. Volume produksi 2. Mutu produk 3. Struktur biaya agroindustri
1. 2. 3. 4.
Manajemen Pengendalian Strategi Pengembangan Agroindustri Biodiesel Gambar 7. Diagram Input-Output
Kegagalan produksi Kerusakan lingkungan Biaya operasional meningkat Pendapatan berkurang
C. Tata Laksana 1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder yang dapat berupa data kuantitatif maupun kualitatif. Data primer merupakan data yang didapat dari hasil wawancara langsung dengan orang yang ahli di bidang pengembangan biodiesel. Data sekunder diperoleh dari studi pustaka, data dari Departemen Pertanian, Departemen Perindustrian, Pertamina, Badan Pusat Statistik, BPPT, Puspitek, dan pihak-pihak lain yang terkait. Perolehan dan pengolahan data dapat dilihat pada Lampiran 1.
2. Metode Pengumpulan Data a. Studi Pustaka Studi pustaka merupakan studi untuk mengumpulkan dan menganalisis data sekunder dari pihak-pihak yang terkait, buku-buku acuan, laporan-laporan hasil penelitian, jurnal, dan literatur lainnya. b. Observasi Lapang Observasi dilakukan untuk mengidentifikasi serta mempelajari proses pengambilan keputusan dalam investasi proyek agroindustri biodiesel dari pabrik pengolah biodiesel di Puspitek Serpong untuk mendapatkan data primer. c. Wawancara Wawancara dilakukan dengan orang-orang yang ahli di bidang pengembangan biodiesel dari berbagai instansi.
3. Metode Pengolahan Data Metode pengolahan data dilakukan setelah data terkumpul pada tahap pengumpulan data. Metode pengolahan data dilakukan dengan menggunakan berbagai model atau metode, antara lain metode MPE, AHP, SWOT, dan metode analisis kelayakan finansial (NPV, IRR, BEP, PBP, dan B/C Ratio).
a. Pemilihan Bahan Baku Analisis pemilihan bahan baku sangat berkaitan erat dengan pemilihan lokasi potensial untuk mendirikan industri biodiesel dan dilakukan dengan menggunakan metode MPE. Alternatif bahan baku yang akan terpilih merupakan bahan baku dari komoditi yang terdapat pada propinsi yang diinginkan oleh user. Selanjutnya dengan menggunakan teknik komparasi langsung akan ditentukan bobot kriteria yang merupakan faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap pemilihan bahan baku. b. Pemilihan Lokasi Potensial Analisis pemilihan lokasi potensial dilakukan dengan menggunakan Analitical Hierarchy Process (AHP). Penilaian terhadap alternatif bahan baku dilakukan oleh pakar yang benar-benar mengetahui kondisi lokasi. c. Analisis Pemilihan Strategi Pengembangan Agroindustri Biodiesel Analisis ini menggunakan analisis SWOT dan dilanjutkan dengan teknik Analitical Hierarchy Process (AHP) untuk menentukan strategi terbaik dari beberapa alternatif strategi pengembangan industri. d. Analisis Kelayakan Finansial Analisis kelayakan finansial agroindustri biodiesel tersebut dilakukan dengan menggunakan metode NPV, IRR, B/C Ratio, PBP dan BEP. Hasil analisis pada tahap ini akan memberikan predikat kelayakan usaha ditinjau dari aspek finansial.
4. System Development Life Cycle (SDLC) Tahapan ini adalah tahap untuk menganalisis sistem, desain sistem, dan tahapan pengembangan implementasi serta verifikasi dan validasi sistem. a. Analisis Sistem Tahapan analisis sistem, bertujuan untuk menetapkan berbagai dasar sistem dan keperluannya serta menjadi landasan untuk merancang dan
mengimplementasikan sistem. Pada tahap analisis sistem juga dilakukan penentuan ruang lingkup yang bertujuan untuk menentukan batasan-batasan, asumsi-asumsi dan ruang lingkup permasalahan yang akan diimplementasikan Sistem Penunjang Keputusan. b. Desain Sistem Tahap desain sistem bertujuan untuk merancang dan mendesain sistem sesuai dengan hasil analisis sistem. Tahap desain sistem didasarkan atas sistem yang dikaji meliputi tahap perancangan sistem basis model, sistem pengolahan data, sistem pengolah pusat dan sistem dialognya. c. Pengembangan dan Implementasi Sistem Tahap selanjutnya adalah tahap pengembangan implementasi yang meliputi kegiatan transformasi desain ke sistem dan pembuatan perangkat lunak yang meliputi analisis program, perancangan program dan pengkodean program. Tahap implementasi sistem mencakup kegiatan pembuatan perangkat lunak dan apabila program telah selesai, maka selanjutnya dilakukan proses pelacakan kesalahan (debugging) dan pengujian program. Akhirnya, pada tahap ini akan diperoleh
pemodelan
Sistem
Penunjang
Keputusan
Perumusan
Strategi
Pengembangan Agroindustri Biodiesel. d. Verifikasi dan Validasi Tahapan verifikasi dilakukan dengan tujuan apakah sistem yang digunakan layak digunakan. Dan tahap validasi dilakukan dengan tujuan menentukan tingkat keakuratan model yang dibuat dibandingkan dengan dunia nyata.
IV. PEMODELAN SISTEM B. Konfigurasi Sistem Sistem Penunjang Keputusan Strategi Pengembangan
Agroindustri
Biodiesel dirancang dalam suatu paket software (perangkat lunak) dengan nama BioDSS 1.0. Sistem Penunjang Keputusan ini terdiri dari empat model, yaitu : 1. Model Penentuan Bahan Baku Biodiesel 2. Model Penentuan Lokasi Potensial 3. Model Penentuan Strategi Pengembangan Agroindustri vvvv Biodiesel 4. Model Kelayakan Finansial Agroindustri Biodiesel Konfigurasi model BioDSS 1.0 terdiri dari sistem manajemen basis data dan sistem manajemen basis model yang dihubungkan dengan sistem pengolahan terpusat. Kemudian dengan adanya sistem manajemen dialog akan memudahkan komunikasi antara pengguna (user) dengan komputer yang bersifat interaktif melalui antar muka pengguna (user interface) yang bersifat user friendly. Pengembangan model pada BioDSS 1.0
menggunakan bahasa
pemrograman Pascal dengan perangkat lunak (software) Borland Delphi 7.0. Selain itu, BioDSS 1.0 ini juga terhubung dengan perangkat analisis lain yang telah siap pakai yaitu Expert Choice 2000 untuk penggunaan teknik AHP (Analitical Hierarchy Process) pada model penentuan lokasi potensial dan model penentuan strategi pengembangan agroindustri biodiesel. Masukan (input) dari perangkat lunak BioDSS 1.0 ini adalah masukan dari pendapat para pakar yang hasil keluarannya (output) akan menjadi komponen sistem penunjang keputusan. BioDSS 1.0 tersebut dapat dipasang pada satu unit komputer dengan persyaratan spesifikasi minimalnya sebagai berikut : 1. Prosesor Intel Pentium III, 2. Memori (RAM) sebesar 128 megabytes, 3. VGA 1 MB, 4. CD-Room, 5. Monitor ukuran 600 x 800 pixels, 6. Menggunakan sistem operasi Microsoft Wondows 98/ME/2000/XP,
7. Ruangan harddisk kosong sebesar 1 Gigabyte. 8. Perangkat lunak (software) Expert Choice 2000 yang telah terpasang. Struktur DSS dari program BioDSS 1.0 dapat dilihat pada Gambar 8.
PENGGUNA (USER)
SISTEM MANAJEMEN DIALOG
SISTEM PENGOLAHAN TERPUSAT
SISTEM MANAJEMEN BASIS DATA STATIS
SISTEM MANAJEMEN BASIS DATA DINAMIS
SISTEM MANAJEMEN BASIS MODEL
DATA UMUM BIODIESEL
DATA PRIMER
MODEL PEMILIHAN BAHAN BAKU
DESKRIPSI SISTEM
DATA LOKASI
MODEL PEMILIHAN LOKASI
BioDSS 1.0
DATA STRATEGI PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI
DATA FINANSIAL
Gambar 8. Stuktur DSS program BioDSS 1.0.
MODEL PENENTUAN STRATEGI PENGEMBANGAN
MODEL ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL
C. Rancangan Global Sistem Secara umum, rancangan global sistem memberikan gambaran kepada pengguna mengenai sistem yang digunakan. Rancang bangun tersebut merupakan rancang bangun terinci untuk mengidentifikasikan elemen-elemen sistem informasi yang akan didesain. Teknik rancang bangun secara umum merupakan Process Analyst Modelling yang berbentuk Data Flow Diagram (DFD). Aliran informasi sistem secara menyeluruh digambarkan dengan diagram arus data untuk mempermudah perancangan basis data. Diagram arus data (Data Flow Diagram / DFD) digunakan untuk menggambarkan suatu sistem secara logika tanpa melihat lingkungan fisik. DFD menggambarkan arus data secara terstruktur serta merupakan dokumentasi yang tersimpan dalam sistem. DFD dapat dibuat dalam program aplikasi (software) Power Designer Process Analyst. Paket Program BioDSS 1.0 menggunakan dua level DFD yaitu DFD level 0 dan DFD level 1 seperti pada Gambar 9 dan Gambar 10. DFD level 1 merupakan DFD yang lebih terperinci daripada DFD level 0.
3 Bahan Baku 1 Pakar 4
Alternatif Terpilih
Lokasi
Bobot Prioritas
BioDSS Prioritas 6
Nilai Finansial 2
Strategi
Asumsi Parameter
5 Kelayakan Investasi
Gambar 9. DFD (Data Flow Diagram) Level 0 BioDSS1.0
Data Pakar Data Bobot Alternatif Bahan Baku Input Nilai
1 Bobot
Input Bobot
Pembobotan Nilai
Pakar
Nilai Data Bobot Kriteria
Perbandingan Berpasangan
Nilai
Pemilihan Bahan Baku (MPE)
Matriks Data Bobot Strategi (SWOT)
Data Bobot Elemen Hirarki Pemilihan Lokasi Potensial (AHP)
Matriks
Nilai
Matriks Penyaringan Alternatif Strategi (Matriks SWOT) Penentuan Lokasi Potensial (AHP)
Data Hasil Pembobotan MPE Nilai
Perbandingan Berpasangan Data Bobot Elemen Hirarki Pemilihan Strategi Pengembangan
Prioritas
Penentuan Bahan Baku
Matriks Penentuan Strategi Pengembangan (AHP)
Data Urutan Prioritas Lokasi
Prioritas
Prioritas
Prioritas
Data Urutan Prioritas Strategi Penentuan Lokasi
Prioritas Penentuan Strategi Pengembangan
2
Prioritas
Bahan Baku Terpilih
Prioritas
3 4
Lokasi Terpilih
Strategi Terpilih Bahan Baku Terpilih Lokasi Terpilih
5
Strategi Terpilih
Analisis Finansial Agroindustri Biodiesel
Nilai
Asumsi Input
Data Biaya Investasi dan Penyusutan
Perhitungan
Input Input
Input
Data Proyeksi Laba Rugi
Data Biaya Operasional
Perhitungan
Perhitungan
Data Arus Kas
Perhitungan
Penentuan Kriteria Investasi (NPV IRR BC Ratio PBP BEP) Parameter
6 Kelayakan Investasi
Gambar 10. DFD (Data Flow Diagram) Level 1 BioDSS 1.0
D. Kerangka Model BioDSS 1.0 Perancangan dan pengembangan Sistem Penunjang Keputusan Perumusan Strategi Pengembangan Agroindustri Biodiesel akan dirancang dalam perangkat lunak (software) dan diberi nama BioDSS 1.0. Perangkat lunak ini terdiri dari 4 bagian utama yaitu :
1. Sistem Pengolahan Terpusat Paket program BioDSS 1.0 menyediakan fasilitas Sistem Pengolahan Terpusat yang berfungsi mengelola seluruh elemen sistem
sehingga
menjadi
bagian
yang
terintegrasi.
Sistem
Manajemen Basis Data Statis, Sistem Manajemen Basis Data Dinamis, dan Sistem Manajemen Basis Model diatur oleh Sistem Pengolahan Terpusat sehingga memungkinkan pengguna untuk mengakses seluruh fasilitas yang tersedia. Akses tersebut dilakukan melalui perintah-perintah yang terdapat dalam menu BioDSS 1.0.
2. Sistem Manajemen Basis Data Statis Sistem Manajemen Data Statis akan mengorganisasikan data dalam menu Informasi yang terdiri dari sekelompok data yaitu data dan infromasi umum mengenai biodiesel. Penambahan kelompok data ini akan disesuaikan dengan kebutuhan. Basis Data Statis ini manampilkan informasi
yang meliputi data umum
biodiesel dengan dideskripsikan oleh sistem BioDSS 1.0.
3. Sistem Manajemen Basis Data Dinamis Sistem manajemen basis data merupakan satu kesatuan sebagai pusat penyimpanan, pengolahan dan pemasukan data. Sistem manajemen basis data harus mempunyai kemampuan terhadap perubahan struktur dan isi dari elemen data. Paket program BioDSS 1.0 memiliki sistem manajemen Basis Data Dinamis yang dibedakan menjadi empat kelompok, yaitu
Kelompok Data Bahan Baku, Kelompok Data Lokasi, Kelompok Data Strategi Pengembangan Agroindustri dan Kelompok Data Finansial terdiri dari Data Struktur Biaya Investasi, Data Struktur Biaya Tetap dan Data Struktur Biaya Variabel.
4. Sistem Manajemen Basis Model Sistem Manajemen Model akan menganalisis basis data dengan menggunakan perhitungan matematis. Berbagai model digunakan untuk menganalisis pemilihan alternatif lokasi dan bahan baku, penentuan strategi pengembangan agroindustri biodiesel, dan aspek finansial. a. Model Pemilihan Bahan baku Model ini digunakan untuk memilih alternatif-alternatif bahan baku yang dapat digunakan dalam agroindustri biodiesel. Model ini menggunakan teknik MPE (Metode Perbandingan Eksponensial). b. Model Pemilihan Lokasi Potensial Model ini digunakan untuk memilih alternatif-alternatif lokasi potensial untuk agroindustri biodiesel. Model ini menggunakan Analitical Hierarchy Process (AHP). Metode ini digunakan untuk menganalisis alternatif-alternatif lokasi yang potensial berdasarkan kriteria-kriteria pada masing-masing elemen hirarki. c. Model Penentuan Strategi Pengembangan Strategi pengembangan yang akan diterapkan
pada
agroindustri biodiesel didapatkan dari analisis SWOT beserta matriksnya oleh para pakar yang berkompeten di bidang agroindustri biodiesel. Model penentuan strategi pengembangan agroindustri biodiesel ini menggunakan teknik Analitical Hierarchy Process (AHP).
d. Model Kelayakan Agroindustri Model
Kelayakan
Agroindustri
digunakan
untuk
menentukan layak atau tidaknya agroindustri Biodiesel sesuai dengan kapasitas produksi yang akan dibangun berdasarkan kelayakan kriteria investasinya. Kriteria-kriteria yang digunakan adalah NPV, IRR, BEP, PBP, dan B/C ratio. Keseluruhan Penunjang
Keputusan
diagram Strategi
alir
deskriptif
Pengembangan
model
Sistem
Agroindustri
Biodiesel dapat dilihat pada Gambar 11, sedangkan diagram alir deskriptif untuk masing-masing model dapat dilihat pada Gambar 12, Gambar 13, Gambar 14, dan Gambar 15.
5. Sistem Manajemen Basis Dialog Sistem manajemen dialog merupakan bagian dari paket program yang berinteraksi secara langsung dengan pengguna, yaitu menerima masukan dan keluaran dari sistem. Sistem ini menerima masukan dan memberikan keluaran yang dikehendaki oleh pengguna.
Mulai
Input Penentuan Bahan Baku: 1. Alternatif Bahan baku 2. Nilai dan Kriteria
Penentuan Alternatif Bahan Baku dengan Metode MPE
Hasil Penyaringan Alternatif Bahan Baku
Input Data Penentuan Lokasi: 1. Elemen Goal 2. Elemen Faktor 3. Elemen Aktor 4. Elemen Tujuan 5. Elemen Alternatif Lokasi
Penentuan Prioritas Tiap Elemen (termasuk Alternatif Lokasi) dengan metode AHP
Output : Bobot untuk tiap elemen (faktor, aktor, tujuan, dan prioritas alternatif lokasi)
A
Gambar 11. Diagram Alir Deskriptif Model Sistem Penunjang Keputusan Perumusan Strategi Pengembangan Agroindustri Biodiesel
A
Input Data Penentuan Lokasi: 1. Elemen Goal 2. Elemen Faktor 3. Elemen Aktor 4. Elemen Tujuan 5. Elemen Alternatif Strategi
Penentuan Prioritas Tiap Elemen (termasuk Alternatif Strategi) dengan metode AHP
Output : Bobot untuk tiap elemen (faktor, aktor, tujuan, dan prioritas alternatif strategi)
Input Data Analisis Finansial: 1. Data-data Biaya Operasional 2. Kapasitas Produksi 3. Persentase Produksi 4. Harga Produk 5. Komposisi Biaya Investasi 6. Bunga Bank 7. Pajak Bumi dan Bangunan (%) 8. Penyusutan (Depresiasi) 9. Pemeliharaan
Penentuan Kelayakan Investasi (NPV, IRR, B/C Ratio, PBP, BEP)
Output : Nilai Kelayakan Investasi Usaha
Tidak
Layak?
Ya
Selesai
Gambar 11. Diagram Alir Deskriptif Model Sistem Penunjang Keputusan Perumusan Strategi Pengembangan Agroindustri Biodiesel (Lanjutan)
Mulai
Input/Edit/Hapus Kriteria dan Alternatif Bahan Baku
Input/Edit/Hapus Penilaian terhadap Kriteria dan Alternatif Bahan Baku
Data Kriteria dan Alternatif Bahan Baku
Penentuan Bobot Kriteria dengan Pairwise Comparison
Data Nilai Kriteria
Tidak Sesuai? Ya
Tidak Konsisten?
Input/Edit/Hapus Ya
Responden (Pakar)
Data Bobot Kriteria Data Jumlah Responden
Tidak
Cukup?
Penentuan Bobot Alternatif Bahan Baku dengan MPE
Ya
Data Pembobotan Alternatif Bahan Baku
Selesai
Gambar 12. Diagram Alir Model Penentuan Bahan Baku
Mulai
Input/Edit/Hapus Elemen-elemen Hirarki Penentuan Lokasi (faktor, aktor, tujuan, alternatif)
Penentuan Bobot Elemen tiap Level dengan metode AHP
Data elemen tiap level : 1. Elemen Faktor 2. Elemen Aktor 3. Elemen Tujuan 4. Elemen Alternatif
Tidak
Input/Edit/Hapus Penilaian terhadap Elemenelemen tiap Level
Data elemen tiap level : 1. Nilai untuk Faktor 2. Nilai untuk Aktor 3. Nilai untuk Tujuan 4. Nilai untuk Alternatif
Sesuai? Ya
Konsisten?
Input/Edit/Hapus Responden (Pakar)
Ya Data Nilai Elemen pada Masing-masing Level (Faktor, Aktor, Tujuan, Alternatif Lokasi)
Data Jumlah Responden
Tidak
Cukup?
Ya Selesai
Gambar 13. Diagram Alir Model Penentuan Lokasi Potensial
Tidak
Mulai
Input/Edit/Hapus Penilaian terhadap Elemenelemen tiap Level
Input/Edit/Hapus Elemen-elemen Hirarki Penentuan Strategi (faktor, aktor, tujuan, alternatif)
Penentuan Bobot Elemen tiap Level dengan metode AHP
Data elemen tiap level : 1. Elemen Faktor 2. Elemen Aktor 3. Elemen Tujuan 4. Elemen Alternatif
Tidak
Data elemen tiap level : 1. Nilai Faktor 2. Nilai Aktor 3. Nilai Tujuan 4. Nilai Alternatif
Sesuai? Ya
Konsisten?
Input/Edit/Hapus
Tidak
Responden (Pakar) Ya Data Nilai Elemen pada Masing-masing Level (Faktor, Aktor, Tujuan, Alternatif Strategi)
Data Jumlah Responden
Tidak
Cukup?
Ya
Selesai
Gambar 14. Diagram Alir Model Penentuan Strategi Pengembangan Agoindustri Biodiesel
Mulai
Input/Edit/Hapus Asumsi-asumsi dan Komponen Biaya
Data Asumsi dan Komponen Biaya : 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Asumsi Biaya Investasi Biaya Operasional Pajak Proyeksi Laba-Rugi Proyeksi Arus Kas
Tidak
Sesuai? Ya
Penentuan Analisis Finansial dengan manggunakan Kriteria Investasi
Parameter Kelayakan Investasi : 1. 2. 3. 4. 5.
Net Present Value (NPV) Internal Rate Ratio (IRR) Payback Period (PBP) Net B/C Ratio Break Event Point (BEP)
Selesai
Gambar 15. Diagram Alir Model Kelayakan Investasi
V. PROGRAM UTAMA BioDSS 1.0 A. Sistem Pengolahan Terpusat Sistem Penunjang Keputusan Perumusan Strategi Pengembangan Agroindustri Biodiesel ini dimodelkan dalam sebuah perangkat lunak (software) BioDSS 1.0 yang dirancang dengan menggunakan bahasa pemrograman Pascal dalam Borland Delphi 7. BioDSS 1.0 merupakan sebuah paket program yang mengintegrasikan beberapa model yang saling terkait dengan tujuan untuk menentukan strategi terbaik yang dapat diambil oleh para calon investor dalam pengembangan agroindustri biodiesel. Dalam penelitian ini, terdapat empat model analisis yang digunakan yaitu: 1. Model penentuan bahan baku
: Teknik MPE
2. Model penentuan lokasi
: Teknik AHP
3. Model penentuan strategi
: Teknik SWOT dan teknik AHP.
4. Model kelayakan finansial
: Kelayakan investasi (NPV, IRR, vvPBP, ikB/C Ratio, BEP)
Verifikasi dari paket program BioDSS 1.0 ini dimulai dengan pengolahan data-data primer yang diperoleh dari pengisian kuisioner dan wawancara dengan para pakar biodiesel serta data-data sekunder yag diperoleh dari studi literatur dan data dari BPPT Engineering Center. Terdapat empat orang pakar biodiesel yang diwawancarai serta mengisi kuisioner dalam setiap model analisis. Keempat orang pakar tersebut yaitu : 1. Ir. Arie Rahmadi, MSc. : Project Manager di Engineering Center (Balai Rekayasa Desain & Sistem Teknologi) di Balai Pengembangan dan Pengkajian Teknologi (BPPT). 2. Dr. Ir. Yoga Peryoga : Peneliti (Engineer) di Balai Termodinamika dan Motor Propulsi (BTMP) pengolahan Biodiesel di Pusat Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspitek) Serpong. 3. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA. : Peneliti di Surfactan And Bioenergy Research Center (SBRC) serta staf pengajar di Departemen TIN, FATETA-IPB.
4. Dr. Ir. Dwi Setyaningsih. : Peneliti di Surfactan And Bioenergy Research Center (SBRC) serta staf pengajar di Departemen TIN, FATETA-IPB. Paket program BioDSS 1.0 akan dapat membantu calon investor atau pelaku industri biodiesel dalam pengembangan agroindustri biodiesel dengan memberikan informasi kelayakan investasi dan peluang pengembangannya dengan strategi pengembangan terbaik yang dapat dipilih, sehingga dapat menarik minat investor untuk berinvestasi dalam agroindustri biodiesel dengan mengurangi resiko kegagalan dalam investasinya. BioDSS 1.0 memiliki paket program terpusat yang dapat digunakan oleh pengguna (user) untuk mengakses keseluruhan data dan informasi. Petunjuk instalasi dan pemakaian program BioDSS 1.0 dapat dilihat pada Lampiran 2. Sistem pengolahan terpusat tersebut merupakan sistem yang mengatur keseluruhan interaksi antara sistem manajemen basis data dan sistem manajemen basis model. Tampilan yang muncul pertama kali ketika pengguna mengakses BioDSS 1.0 dapat dilihat pada Gambar 16.
Gambar 16. Tampilan Menu Login BioDSS 1.0 Apabila paket program BioDSS 1.0 dijalankan untuk pertama kali, maka akan muncul tampilan menu login seperti yang tersaji pada gambar di atas dan pengguna harus memilih pilihan sebagai user tanpa memasukkan password. Sedangkan pilihan sebagai administrator harus memasukkan password. Setelah mengakses menu login, maka pengguna akan masuk ke menu utama BioDSS 1.0 seperti tersaji pada Gambar 17.
Gambar 17. Tampilan Menu Utama BioDSS 1.0 Menu utama tersebut merupakan sistem pengolahan terpusat dari paket program BioDSS 1.0. Ada 2 menu utama yang dapat diakses oleh pengguna yaitu Menu Informasi dan Menu Model. Menu Informasi merupakan menu yang dapat diakses oleh pengguna untuk mengetahui informasi mengenai biodiesel secara lengkap. Contoh tampilannya dapat dilihat pada Gambar 18, Gambar 19, dan Gambar 20 :
Gambar 18. Tampilan Informasi Biodiesel pada Menu Utama BioDSS 1.0
Gambar 19. Tampilan Menu Informasi Teknologi Proses Biodiesel pada Menu Utama BioDSS 1.0
Gambar 20. Tampilan Menu Informasi Desain Pabrik Biodiesel pada Menu Utama BioDSS 1.0 Di dalam Menu Informasi, pengguna dapat mengetahui semua informasi yang tersaji secara lengkap mulai dari informasi tentang biodiesel secara umum, definisi dan peluang pasarnya, teknologi proses pengolahan biodiesel
dan perkembangannya hingga saat ini, proses pembuatan biodiesel mulai dari penggunaan teknologi secara sederhana hingga penggunaan teknologi yang cukup canggih, contoh gambar desain pabrik pengolahan biodiesel, dan informasi tentang kebijakan pemerintah yaitu Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 2006 mengenai Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain. Menu utama berikutnya adalah Menu Model. Di dalam Menu Model tersebut, pengguna dapat mengakses keempat model analisis yang terdapat dalam BioDSS 1.0. Keempat model analisis tersebut adalah Model Penentuan Bahan Baku Biodiesel dengan menggunakan teknik MPE, Model Penentuan Lokasi Potensial Agroindustri Biodiesel dengan menggunakan teknik AHP, Model Perumusan Strategi Pengembangan Agroindustri Biodiesel dengan menggunakan analisis SWOT dan dilanjutkan dengan teknik AHP, serta Model Analisis Finansial dengan menggunakan kriteria Kelayakan Investasi (NPV, IRR, B/C Ratio, PBP, dan BEP). Tampilan yang akan muncul ketika pengguna mengakses Menu Model dapat dilihat pada Gambar 21.
Gambar 21. Tampilan Menu Model BioDSS 1.0
B. Sistem Manajemen Basis Data Paket program BioDSS 1.0 menggunakan dua macam sistem manajemen basis data , yaitu sistem manajemen basis data statis dan sistem manajemen basis data dinamis. Sistem manajemen basis data statis digunakan pada tampilan Menu Informasi. Di dalam Menu Informasi ini, semua jenis data dan informasi disajikan dalam format data HTML. Dengan format data HTML tersebut, pengguna hanya dapat mengaksesnya namun tidak dapat melakukan input data sebab perubahan (update) data hanya dapat dilakukan oleh administrator atau dalam hal ini administrator saja yang dapat melakukan proses editing terhadap sistem dan data statis tersebut. Sistem manajemen basis data dinamis digunakan pada tampilan Menu Model sehingga pengguna dapat melakukan perubahan (update) data terhadap masing-masing model. Sistem manajemen basis data dinamis tersebut merupakan masukan (input) untuk sistem manajemen basis model. Sistem manajemen basis data dinamis dalam BioDSS 1.0 ini menggunakan perangkat Microsoft Access. Contoh penggunaan basis data dinamis dapat dilihat pada Gambar 22.
Gambar 22. Basis Data Dinamis pada Model Penentuan Bahan Baku
VI. MODEL PENENTUAN BAHAN BAKU BIODIESEL
A. Input Penentuan Bahan Baku Biodiesel Teknik yang digunakan dalam model ini adalah Metode Perbandingan Eksponensial
(MPE)
dimana
pembobotan
kriteria
dilakukan
dengan
menggunakan perbandingan berpasangan (Pairwise Comparison) pada software Expert Choice 2000. Penilaian altenatif dan kriteria dalam model penentuan bahan baku biodiesel diperoleh dari wawancara dan pengisian kuisioner oleh para pakar. Kriteria dan alternatif tersebut diberikan rentang penilaian dengan skala 1 sampai 5. Penilaian yang dilakukan oleh pakar adalah dengan memberikan bobot nilai dari kriteria kemudian memberikan bobot alternatif berdasarkan kriterianya pada kuisioner. Terdapat enam kriteria yang dijadikan pertimbangan dalam penentuan alternatif bahan baku biodiesel, yaitu : a. Ketersediaan bahan baku Indonesia memiliki beragam jenis tanaman yang dapat digunakan sebagai bahan baku biodiesel. Namun dari sekian banyak jenis tanaman tersebut, ketersediaannya sebagai bahan baku untuk industri biodiesel haruslah dalam jumlah yang besar dan kontinu agar pasokan bahan baku selalu terpenuhi untuk kelangsungan produksi biodiesel. Hal ini yang patut menjadi pertimbangan dalam penentuan bahan baku biodiesel. b. Harga bahan baku Selain ketersediaannya, harga bahan baku juga harus dipertimbangkan dengan cermat karena kriteria tersebut berhubungan langsung dengan biaya produksi dan keuntungan yang akan didapat. Untuk harga bahan baku, berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa harga bahan baku menyumbang sekitar 70-80% dari harga biodiesel. c. Teknologi produksi Teknologi produksi yang digunakan juga menjadi kriteria yang tidak bisa dikesampingkan, sebab dengan penggunaan teknologi produksi yang tepat maka hal tersebut dapat menghemat biaya produksi. Teknologi produksi yang
paling umum digunakan adalah esterifikasi-transesterifikasi baik satu tahap maupun dua tahap. d. Kandungan asam lemak bebas (ALB) Keberadaannya yang semakin besar dapat membuat penggunaan katalis dan bahan kimia lain meningkat. Peningkatan penggunaan katalis akan meningkatkan jumlah konsenstrasi garam dan air dalam produk gliserin. Disamping terjadi peningkatan biaya produksi atas bahan-bahan kimia tersebut, kehadiran ALB juga menigkatkan potensi terjadinya pembentukan sabun dan segala masalah produksi yang berkaitan dengan sabun. e. Kandungan air Keberadaan
air
dalam
bahan
baku
juga
akan
menimbulkan
permasalahan yang berkaitan dengan pembentukan sabun. f. Kandungan fosfor Keberadaan fosfor merupakan indikasi tingkat gum (getah) atau phospholipids dalam minyak nabati, dan menyebabkan kesulitan pemisahan fase gliserol dan methyl ester. Selain itu, keberadaan senyawa phospholipids dapat mengganggu terjadinya reaksi. Peningkatan fosfor akan meningkatkan potensi kontaminasi fosfor dalam biodiesel sehingga dapat menyebabkan produknya tidak memenuhi standar spesifikasi biodiesel (Solikhah et al, 2007). Pada model penentuan bahan baku biodiesel ini, terdapat tiga alternatif bahan baku biodiesel, yaitu kelapa sawit, jarak pagar, dan kelapa. Ketiga alternatif tersebut diperoleh dari wawancara dengan para pakar dan hasil studi literatur yang mendukung dan sesuai dengan kondisi saat ini berdasarkan ketersediaan bahan baku tersebut.
B. Output Penentuan Bahan Baku Biodiesel Hasil keluaran atau output penentuan bahan baku biodiesel dengan menggunakan teknik MPE menghasilkan urutan yang alternatif bahan baku yang akan dipilih dapat dilihat pada Tabel 4. Dari perhitungan dengan teknik MPE tersebut, pengguna dapat memperoleh urutan alternatif bahan baku berdasarkan peringkatnya. Urutannya yaitu kelapa sawit sebagai alternatif bahan baku dengan peringkat pertama, jarak pagar sebagai alternatif bahan
baku dengan peringkat kedua, sedangkan kelapa terpilih sebagai alternatif bahan baku dengan peringkat ketiga. Tabel 4. Hasil Perhitungan dengan MPE No. 1 2 3
Alternatif Kelapa Sawit Jarak Pagar Kelapa
Peringkat 1 2 3
Berdasarkan kondisi nyata saat ini, harga bahan baku dari komoditas kelapa sawit (CPO) sangat mahal dan menyebabkan harga jual biodiesel menjadi tidak dapat bersaing dengan harga jual solar dalam negeri, baik solar tanpa subsidi terlebih lagi dengan solar bersubsidi. Maka CPO yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku biodiesel adalah CPO parit atau CPO off grade. CPO parit adalah CPO yang memiliki kualitas di bawah standar atau tidak memenuhi standar nasional, sehingga CPO parit tidak layak digunakan menjadi bahan baku olahan pangan (Afrizal, 2007). Jumlah rata-rata CPO parit di Indonesia yang tidak memenuhi standar perdagangan CPO (CPO off grade) adalah sebesar 0,355 juta ton per tahun dengan kecenderungan yang semakin meningkat seiring dengan peningkatan produktivitas CPO. Tentunya CPO parit sebanyak itu bukanlah jumlah yang sedikit. Dengan jumlah sebesar itu, maka pemanfaatan CPO parit melalui produksi biodiesel merupakan salah satu alternatif yang dapat dilakukan dalam memberikan nilai tambah (added value). Karakteristik syarat mutu minyak kelapa sawit (CPO) berdasarkan Standar Nasional Indonesia disajikan pada uraian berikut: 1. Memiliki warna kuning jingga sampai dengan kemerah-merahan dengan cara pengujian visual. 2. Kadar asam lemak bebas (ALB) yang diperbolehkan adalah maksimal 5% (b/b) dengan cara pengujian BS684-1958. 3. Kadar kotoran yang diperbolehkan adalah maksimal 0,05% (b/b) dengan cara pengujian SNI 01-3184-1992. 4. Kadar air yang diperbolehkan adalah maksimal 0,45% (b/b) dengan cara pengujian BS684-1958.
C. Tampilan Model Penentuan Bahan Baku Biodiesel Proses pemasukan data (input) dan hasil perhitungan (output) model penentuan bahan baku biodiesel dalam program BioDSS 1.0 dapat dilihat pada Gambar 23 dan Gambar 24.:
Gambar 23. Form Alternatif dalam Penilaian Bahan Baku dengan Teknik MPE
Gambar 24. Form Kriteria dalam Penilaian Bahan Baku dengan Teknik MPE Setelah memasukkan data kriteria dan alternatif bahan baku biodiesel, maka nilai pembobotan kriteria dan alternatif langsung dapat dimasukkan pula berdasarkan hasil pengisian kuisioner oleh para pakar. Tampilannya dapat dilihat pada Gambar 25, Gambar 26, dan Gambar 27.
Gambar 25. Form Pembobotan Alternatif oleh Pakar
Gambar 26. Form Pembobotan Kriteria oleh Pakar
Gambar 27. Form Hasil Perhitungan Model Penentuan Bahan Baku
VII. MODEL PENENTUAN LOKASI POTENSIAL 1. Input Penentuan Lokasi Potensial Model penentuan lokasi potensial ini bertujuan untuk mendapatkan lokasi yang strategis dan potensial sebagai lokasi pendirian agroindustri biodiesel. Teknik yang digunakan dalam model ini adalah Analitical Hierarchy Process (AHP) dimana pembobotan masing-masing elemen pada tiap level dilakukan dengan menggunakan perbandingan berpasangan (Pairwaise Comparison) pada software Expert Choice 2000 yang sudah terintegrasi atau terhubung dengan paket program BioDSS 1.0. Berdasarkan model analisis penentuan bahan baku yang telah dilakukan sebelumya, yakni alternatif bahan baku terpilihnya adalah komoditas kelapa sawit, maka penentuan lokasi strategis agroindustri biodesel dalam model yang kedua ini difokuskan pada pemilihan lokasi berdasarkan bahan baku kelapa sawit. Penilaian terhadap kriteria dari masing-masing level struktur hirarki model penentuan lokasi potensial diperoleh dengan wawancara dan hasil pengisian kuisioner oleh para pakar. Kriteria dan alternatif tersebut diberikan rentang penilaian dengan skala 1 sampai 9 dengan metode perbandingan berpasangan (pairwaise comparison) dalam teknik AHP (Analitical Hierarchy Process) yang dilakukan oleh pakar. Selain itu, nilai inconsistency ratio dari setiap level masing-masing pakar harus kurang dari 0,1. Apabila nilainya lebih besar dari 0,1 maka dilakukan revisi penilaian atau pemberian bobot kembali oleh pakar yang bersangkutan. Berdasarkan struktur hirarki AHP pada Gambar 28, level 1 atau fokusnya adalah memperoleh lokasi yang paling strategis untuk pendirian agroindustri biodiesel. Level 2 dari struktur hirarki AHP model penentuan lokasi potensial tersebut adalah faktor. Berdasarkan struktur hirarkinya, terdapat lima faktor yang mempengaruhi pemilihan lokasi potensial pendirian agrondustri
biodiesel,
yaitu
ketersediaan
bahan
baku,
ketersediaan
infrastruktur dan transportasi, ketersediaan utilitas (air dan listrik), kedekatan dengan pasar, serta faktor kebijakan pemerintah (Regulasi Pemda).
Penentuan Lokasi Pendirian Agroindustri Biodiesel
Fokus
Ketersediaan bahan baku
Faktor
Aktor
Ketersediaan infrastruktur & transportasi
Pelaku industri
Investor
Meningkatkan keuntungan (profit) dengan meminimalisasi biaya produksi
Tujuan
Alternatif
Riau
Ketersediaan utilitas (air dan listrik)
Kedekatan dengan pasar
Pemerintah
Pemerataan lokasi industri
Sumatera Utara
Kebijakan pemerintah (Regulasi Pemda)
Masyarakat sekitar
Meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar dengan membuka lapangan kerja
Sumatera Selatan
Banjarmasin
Gambar 28. Struktur Hirarki Model Penentuan Lokasi Potensial Agroindustri Biodiesel Level 3 dari struktur hirarki AHP model penentuan lokasi potensial tersebut adalah aktor. Berdasarkan struktur hirarki tersebut, ada 4 aktor yang terlibat dan turut mempengaruhi terpilihnya lokasi pendirian agroindustri biodiesel. Keempat aktor tersebut adalah investor, pelaku industri, pemerintah, serta masyarakat sekitar. Level 4 dari struktur hirarki AHP model penentuan lokasi potensial tersebut adalah tujuan. Terdapat tiga tujuan utama yang mempengaruhi pemilihan lokasi potensial berdasarkan struktur hirarki AHP tersebut. Ketiga
tujuan
tersebut
yaitu
meningkatkan
keuntungan
(profit)
dengan
meminimalisasi biaya produksi, pemerataan lokasi industri di Indonesia, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar lokasi terpilih dengan membuka lapangan kerja. Level 5 dari struktur hirarki AHP model penentuan lokasi potensial tersebut adalah alternatif lokasi. Terdapat empat alternatif lokasi yang dianalisis dalam pemilihan lokasi potensial berdasarkan struktur hirarki AHP tersebut. Keempat alternatif
itu adalah Riau, Sumatera Utara, Sumatera
Selatan, dan Banjarmasin. Sebagai informasi tambahan, produktivitas kelapa sawit di keempat lokasi tersebut sangat tinggi sehingga pasokan kelapa sawit sebagai bahan baku biodiesel tersebut cukup melimpah. Masing-masing kriteria (Fokus, Faktor, Aktor, Tujuan, dan Alternatif lokasi) dalam hirarki di atas merupakan kriteria berdasarkan hasil wawancara, studi literatur di berbagai sumber, data dari BPPT bagian Engineering Center dan Departemen Pertanian, serta pengisian pra-kuisioner oleh para pakar. Perhitungan pembobotan setiap kriteria dilakukan dengan menggunakan software Expert Choice 2000 yang sudah terhubung dengan paket program BioDSS 1.0 dimana hasil perhitungannya langsung dapat diperoleh setelah memasukkan masing-masing bobot oleh tiap pakar. Verifikasi dan validasi AHP untuk model penentuan lokasi potensial dapat dilihat pada Lampiran 3.
B. Output Penentuan Lokasi Potensial
Hasil perhitungan dengan teknik AHP (Analitical Hierarchy Process) tersebut berupa urutan prioritas berdasarkan peringkat dari masing-masing elemen tiap levelnya. Hasil perhitungan agregat pada analisis faktor (level 2) dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil Perhitungan Agregat Level 2 (Faktor) AHP Lokasi Potensial Level 2 (Faktor) Ketersediaan bahan baku Ketersediaan infrastruktur & transportasi Ketersediaan utilitas (listrik dan air) Kedekatan dgn pasar Kebijakan pemerintah (Regulasi Pemda)
1 2 3 4 5
Bobot 0.363 0.247 0.219 0.097 0.075
Peringkat 1 2 3 4 5
Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, faktor ketersediaan bahan baku merupakan faktor yang paling utama yang harus dipertimbangkan dalam analisis penentuan lokasi potensial pendirian agroindustri biodiesel dengan nilai bobot paling tinggi yaitu sebesar 0.363. Hal tersebut penting karena ketersediaan bahan baku pada lokasi yang terpilih amat menentukan kontinuitas produksi biodiesel. Sedangkan urutan faktor lain berdasarkan perhitungan tersebut adalah faktor ketersediaan infrastruktur dan transportasi pada urutan kedua dengan nilai bobot sebesar 0.247, faktor ketersediaan utilitas (listrik dan air) pada urutan ketiga dengan nilai bobot sebesar 0.219, faktor kedekatan dengan pasar pada urutan keempat dengan nilai bobot sebesar 0.097, dan faktor kebijakan pemerintah (Regulasi Pemda) pada urutan terakhir dengan nilai bobot sebesar 0.075. Selanjutnya adalah perhitungan pada level 3 (aktor). Hasil perhitungan agregat pada level 3 (aktor) dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Hasil Perhitungan Agregat Level 3 (aktor) AHP Lokasi Potensial. 1 2 3 4
Level 3 (Aktor) Investor Pelaku industri Pemerintah Masyarakat sekitar
Bobot 0.376 0.271 0.238 0.139
Peringkat 1 2 3 4
Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, aktor investor merupakan aktor yang paling utama yang mempengaruhi penentuan lokasi potensial pendirian agroindustri biodiesel dengan nilai bobot paling tinggi yaitu sebesar 0.376.
Sedangkan urutan aktor lain berdasarkan perhitungan tersebut adalah aktor pelaku industri pada urutan kedua dengan nilai bobot sebesar 0.271, aktor pemerintah pada urutan ketiga dengan nilai bobot sebesar 0.238, dan aktor masyarakat pada urutan terakhir dengan nilai bobot sebesar 0.139. Selanjutnya adalah perhitungan pada level 4 (tujuan). Hasil perhitungan agregat pada level 4 (tujuan) dapat dilihat pada Tabel 7: Tabel 7. Hasil Perhitungan Agregat Level 4 (tujuan) AHP Lokasi Potensial. 1 2 3
Level 4 (Tujuan) meningkatkan profit & mengurangi cost pemerataan lokasi industri kesejahteraan masy. & lap kerja
Bobot 0.485 0.209 0.306
Peringkat 1 3 2
Berdasarkan hasil perhitungan di atas, tujuan meningkatkan keuntungan (profit) dengan mengurangi biaya produksi merupakan tujuan yang paling utama yang mempengaruhi penentuan lokasi potensial pendirian agroindustri biodiesel dengan nilai bobot paling tinggi yaitu sebesar 0.485. Sedangkan urutan tujuan berikutnya berdasarkan perhitungan tersebut adalah tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar dengan membuka lapangan kerja pada urutan kedua dengan nilai bobot sebesar 0.306, dan tujuan pemerataan lokasi industri di Indonesia pada urutan terakhir dengan nilai bobot sebesar 0.209. Perhitungan terakhir adalah perhitungan pada level 5 (alternatif lokasi). Hasil perhitungannya dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Hasil Perhitungan Agregat Level 5 (alternatif lokasi). Level 4 (Alternatif) 1 Riau 2 Sumatra Utara 3 Sumatera Selatan 4 Banjarmasin
Bobot 0.402 0.249 0.165 0.183
Peringkat 1 2 4 3
Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, Provinsi Riau terpilih menjadi lokasi utama sebagai lokasi potensial untuk pendirian agroindustri biodiesel dengan nilai bobot paling tinggi yaitu sebesar 0.402. Sedangkan urutan prioritas lokasi berikutnya berdasarkan perhitungan tersebut adalah Provinsi Sumatera Utara pada urutan kedua dengan nilai bobot sebesar 0.249, Banjarmasin pada
urutan ketiga dengan nilai bobot sebesar 0.183 dan Provinsi Sumatera Selatan pada urutan terakhir dengan nilai bobot sebesar 0.165.
C. Tampilan Model Penentuan Lokasi Potensial Proses pemasukan data (input) dan hasil perhitungan (output) model penentuan bahan baku biodiesel dalam program BioDSS 1.0 dapat dilihat pada tampilan-tampilan sebagai berikut. Untuk tahap pertama, pengguna diminta untuk membuat hirarki AHP dari model penentuan lokasi potensial seperti pada Gambar 29.
Gambar 29. Form Pembuatan Hirarki AHP Model Penentuan Lokasi Potensial Setelah hiraki AHP tersebut selesai dibuat, maka pengguna dapat memberikan nilai pembobotan untuk setiap elemen dari masing-masing levelnya. Pembobotan elemen mempunyai rentang antara nilai 1 sampai dengan nilai 9 dan dilakukan dengan cara perbandingan berpasangan (pairwise comparison) antara elemen-elemen pada satu level. Contoh pengisian bobot elemen tersebut dapat dilihat pada Gambar 30.
Gambar 30. Form Pembobotan Hirarki AHP Model Penentuan Lokasi Potensial Setelah itu, pengguna dapat melihat urutan prioritas elemen dari setiap levelnya yang lebih jelas dalam bentuk grafik, seperti pada Gambar 31.
Gambar 31. Grafik Prioritas Elemen pada Hirarki AHP Lokasi Potensial
Pembobotan dilakukan dari level 2 (faktor) sampai dengan level 5 (alternatif lokasi). Setelah semua elemen diberikan nilai atau bobotnya, maka akan didapatkan hasil perhitungannya berupa urutan prioritas dari alternatif lokasi yang dianalisis. Tampilan programnya dapat dilihat pada Gambar 32.
Gambar 32. Form Hasil Pembobotan Hirarki AHP Penentuan Lokasi Potensial Berdasarkan perhitungan tersebut, Riau merupakan alternatif lokasi yang terpilih sebagai prioritas pertama karena mempunyai nilai yang paling besar (0.402), Sumatera Utara pada urutan prioritas kedua (0.249), Banjarmasin pada urutan prioritas ketiga (0.183), dan Sumatera Selatan pada urutan prioritas terakhir (0.165).
VIII. MODEL PENENTUAN STRATEGI PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI BIODIESEL A. Input Penentuan Strategi Pengembangan Agroindustri Biodiesel Penentuan menggunakan
strategi
teknik
pengembangan
analisis
SWOT.
Hal
agroindustri tersebut
biodiesel
dilakukan
ini
untuk
mendapatkan strategi terbaik yang dapat diambil berdasarkan kekuatan (Strength), kelemahan (Weakness), peluang (Opportunity), serta ancaman (Threats) dari agroindustri biodiesel. Selain itu, strategi yang diperoleh juga lebih fleksibel dan dapat dianalisis secara lebih mendalam. Melalui analisis SWOT, maka posisi perusahaan atau agroindustri biodiesel dapat diketahui sehingga beberapa strategi terbaik dapat diambil oleh pengambil keputusan dengan memanfaatkan kekuatan dan mengatasi kelemahan yang dimiliki perusahaan. Analisis strategi pengembangan agroindustri biodiesel kemudian dilanjutkan dengan menggunakan teknik AHP (Analitical Hierarchy Process) untuk mengetahui urutan prioritas strategi pengembangan yang sebelumnya diperoleh dari analisis SWOT. Analisis SWOT tersebut dilakukan dengan wawancara dan pengisian kuisioner oleh pakar. Berikut ini adalah kekuatan, kelemahan, peluang, serta ancaman yang ada pada agroindustri biodiesel secara umum pada analisis SWOT.
Kekuatan (Strength) 1. Banyaknya jenis bahan baku 2. Teknologi yang relatif mudah 3. Menyerap banyak jumlah tenaga kerja 4. Dapat menggunakan infrastruktur distribusi BBM 5. Didukung oleh Kebijakan Pemerintah
Kelemahan (Weakness) 1. Harga bahan baku masih mahal 2. Budidaya dan produktivitas bahan baku selain iiiiiCPO masih sangat rendah 3. Litbang Biodiesel masih kurang terpadu 4. Pemakaian BBN nasional belum maksimal 5. Harga jual sulit bersaing dengan BBM bersubsidi
Peluang (Opportunities) 1. Kelangkaan BBM membuat permintaan Biodiesel iiiiimeningkat 2. Lahan untuk pengembangan produktivitas bahan iiiiibaku masih sangat luas 3. Didukung oleh penelitian Perguruan Tinggi dan ii vviBadan Litbang 4. Tersedianya pasar yang potensial 5. Ada peluang yang besar untuk ekspor
Ancaman (Threats) 1. Persaingan internasional dengan negara lain yang ii itelah siap 2. Banyaknya pengembangan sumber energi iiiiialternatif lain yang lebih efisien 3. Standar mutu biodiesel internasional yang makin iiiiiketat 4. Tidak ada dukungan subsidi dari pemerintah
Pembobotan Faktor Strategi Internal maupun Faktor Strategi Eksternal dalam analisis SWOT dilakukan dengan perbandingan berpasangan, sedangkan penentuan rating faktor dilakukan dengan rentang skala 1 sampai dengan 4. Pembobotan tersebut juga diberikan oleh para pakar dengan cara mengisi kuisioner. Menurut Rangkuti (2006), untuk menggabungkan rating faktor dari beberapa pakar, nilai rating dapat dirata-ratakan dengan menggunakan rumus rataan aritmatika dengan pembulatan hingga desimal dua angka. Hasil pembobotan Internal Factor Evaluation (IFE) dapat dilihat pada Tabel 9 dan Hasil pembobotan External Factor Evaluation (EFE) dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 9. Internal Factor Evaluation (IFE) Bobot
Rating
Bobot * Rating
Banyaknya jenis bahan baku
0.091
3.00
0.274
Teknologi yang relatif mudah
0.103
3.33
0.344
Menyerap banyak jumlah tenaga kerja
0.097
3.00
0.292
Dapat menggunakan infrastruktur distribusi BBM
0.105
3.00
0.314
Didukung oleh Kebijakan Pemerintah
0.103
3.00
0.310
Harga bahan baku masih mahal
0.099
3.67
0.362
Budidaya dan produktivitas bahan baku selain CPO masih sangat rendah
0.105
2.33
0.245
Litbang Biodiesel masih kurang terpadu
0.105
2.33
0.245
Pemakaian BBN nasional belum maksimal
0.102
2.67
0.271
Harga jual sulit bersaing dengan BBM bersubsidi
0.090
3.00
0.269
1
-
2.93
Bobot
Rating
Bobot * Rating
0.105
2.33
0.244
0.115
3.33
0.384
Faktor Strategis Internal Strength
Weakness
Jumlah
Tabel 10. External Factor Evaluation (EFE) Faktor Strategis Eksternal Opportunities Kelangkaan BBM membuat permintaan Biodiesel meningkat Lahan untuk pengembangan produktivitas bahan baku masih sangat luas Didukung oleh penelitian Perguruan Tinggi dan Badan Litbang Tersedianya pasar yang potensial
0.101
2.67
0.270
0.103
3.00
0.309
Ada peluang yang besar untuk ekspor
0.105
2.67
0.279
0.117
2.33
0.273
0.103
2.33
0.240
0.119
2.00
0.238
0.133
2.33
0.310
1
-
2.55
Threats Persaingan internasional dengan negara lain yang telah siap Pengembangan sumber energi alternatif lain yang lebih efisien Standar mutu biodiesel internasional yang makin ketat Tidak ada dukungan subsidi dari pemerintah Jumlah
Berdasarkan matriks IFE dan EFE pada Tabel 9 dan Tabel 10, maka agroindustri biodiesel berada pada posisi (2,93 ; 2,55). Menurut Rangkuti (2006), Matriks Internal-Eksternal dikembangkan dengan parameter-parameter yang meliputi kekuatan internal perusahaan dan pengaruh eksternal yang dihadapi, tujuannya adalah untuk memperoleh strategi bisnis di tingkat korporat yang lebih detail. Matriks Internal-Eksternal menurut Rangkuti (2006) dapat dilihat pada Gambar 33.
Skor IFE (Internal Factor Evaluation) 4,0
4,0
3,0
3
2
1
1,0
2,0
Growth
Growth
Rentrenchment
Konsentrasi melalui integrasi vertical
Konsentrasi melalui integrasi horizontal
Strategi Turn-around
3,0
5 Skor EFE
Stability
(External Factor Evaluation)
Hati-hati
1,0
Rentrenchment
Captive company atau Divestment
Stability Tak ada perubahan Profit strategy
2,0
7
6 Growth Konsentrasi melalui integrasi horizontal
8
9
Growth
Growth
Rentrenchment
Diversifikasi konsentrik
Diversifikasi konglomerat
Bangkrut atau likuidasi
Gambar 33. Matriks Internal-Eksternal (Rangkuti, 2006)
Posisi agroindustri biodiesel berdasarkan matriks Internal-Eksternal berada pada posisi cell 5, seperti pada Gambar 34. Skor IFE (Internal Factor Evaluation) 4,0
3,0
4,0
3,0
2,0
1
2
3
4
5
6
1,0
Skor EFE (External Factor Evaluation)
2,0
(2,93 ; 2,55)
7
8
9
1,0
Gambar 34. Matriks Internal-Eksternal Agroindustri Biodiesel. Menurut Rangkuti (2006), strategi yang bisa dikembangkan melalui Matriks Internal-Eksternal jika perusahaan berada pada posisi cell 5 adalah strategi pertumbuhan melalui integrasi horizontal. Perusahaan yang berada pada cell ini dapat memperluas pasar, fasilitas produksi, serta teknologi dengan pengembangan internal maupun eksternal melalui kerjasama (joint venture) dengan perusahaan lain. Hal tersebut dapat diimplementasikan pada agroindustri biodiesel dengan cara menjalin kerjasama dengan perusahaan pemasok bahan baku (PT Perkebunan Nusantara) melalui Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yang dimilikinya untuk menjamin pasokan CPO sebagai bahan baku biodiesel akan terpenuhi setiap tahunnya. Hal ini sangat mungkin dilakukan dengan mendirikan industri biodiesel yang terintegrasi dengan Pabrik Kelapa Sawit (PKS). Strategi tersebut saat ini telah dilakukan oleh PT Ganesha Energy 77 sebagai industri pengolah biodiesel yang terletak di Sumatera Utara yang menjalin kerjasama dengan Pabrik Kelapa Sawit (PKS) PT Adolina sebagai pemasok CPO untuk bahan
baku biodiesel. PT Adolina merupakan salah satu perusahaan pengolah kelapa sawit dari PT Perkebunan Nusantara yang berada di Sumatera Utara. Sedangkan untuk pemasaran, agroindustri biodiesel dapat menjalin kerja sama dengan PT Pertamina. Strategi tersebut merupakan strategi yang saat ini dilakukan oleh PT Anugerahinti Gemanusa (Eterindo). Eterindo merupakan pemasok tunggal biodiesel kepada Pertamina sebagai distributor terbesar bahan bakar minyak di Indonesia. Tentunya strategi tersebut juga dapat dilakukan oleh perusahaan atau industri lain mengingat biodiesel yang dibutuhkan oleh Pertamina sebagai bahan bakar nabati yang ditujukan untuk mensubstitusi solar masih jauh dari kebutuhan yang diinginkan. Saat ini, biodiesel yang beredar di banyak pengisian bahan bakar (pom bensin) masih berupa B5 (solar yang dicampur dengan 5% biodiesel). Model penentuan strategi pengembangan agroindustri biodiesel ini dilanjutkan dengan teknik AHP (Analitical Hierarchy Process). Masing-masing elemen pada tiap level dalam struktur hirarkinya juga didapatkan melalui studi literatur, wawancara dengan para pakar serta melalui pengisian kuisioner. Struktur hirarki dari model penentuan strategi pengembangan agroindustri biodiesel tersebut dapat dilihat pada Gambar 35. Fokus (level 1) dari struktur hirarki tersebut adalah penentuan strategi pengembangan agroindustri biodiesel. Kemudian faktor (level 2) yang berpengaruh dan harus dipertimbangkan dalam penentuan strategi pengembangan agroindustri biodiesel adalah faktor harga bahan baku dan harga bahan-bahan kimia penolong, faktor harga jual biodiesel diperbandingkan dengan harga jual solar, faktor distribusi dan tata niaga biodiesel, faktor kontinuitas produksi biodiesel, faktor kebijakan pemerintah (Regulasi Pemda), serta faktor besarnya modal investasi. Aktor (level 3) yang mempengaruhi penentuan strategi pengembangan agroindustri biodiesel ialah investor, pelaku industri, pemerintah, pemasok bahan baku, dan pangsa pasar produk biodiesel. Kemudian level 4 dari struktur hirarki tersebut adalah tujuan. Terdapat tiga tujuan utama dalam penentuan strategi pengembangan agroindustri biodiesel, yaitu tujuan pertama memperoleh bahan baku dengan harga yang
layak sesuai kelayakan investasi (harga rendah) untuk mengurangi biaya produksi, tujuan kedua meningkatkan keuntungan (profit) dari penjualan biodiesel pada harga jual yang bersaing dengan harga solar untuk industri, dan tujuan ketiga adalah memenuhi kebutuhan pasokan biodiesel di Indonesia sesuai dengan standar yang berlaku. Selanjutnya level 5 yaitu alternatif strategi pengembangan agroindustri biodiesel yang dapat dilakukan. Ada empat alternatif strategi yang dapat dilakukan dalam pengembangan agroindustri biodiesel, yaitu alternatif 1 dengan menjalin kerja sama dengan perusahaan lain (seperti produsen CPO) sebagai pemasok bahan baku dengan cara mendirikan industri yang teintegrasi dengan pemasok bahan baku tersebut. Alternatif kedua adalah bekerja sama dengan Pertamina sebagai pembeli produk biodiesel sekaligus distributor biodiesel B5 kepada masyarakat. Alternatif strategi yang ketiga adalah dengan mendirikan industri biodiesel pada skala produksi besar dan kontinu serta memproduksi biodiesel tidak hanya dari satu jenis bahan baku. Sedangakn alternatif strategi keempat yang dapat dilakukan oleh para pengambil keputusan adalah menjalin kerja sama dengan berbagai industri lain sebagai konsumen dari produk biodiesel dalam memenuhi kebutuhan energi mereka untuk kelangsungan produksinya. Pada dasarnya, keempat alternatif strategi tersebut dapat dilakukan oleh para pengambil keputusan. Namun melalui teknik AHP ini, pengambil keputusan dapat mengetahui prioritas alternatif strategi terbaik berdasarkan bobot atau peringkat dari perhitungannya. Perhitungan pembobotan setiap kriteria dilakukan dengan menggunakan software Expert Choice 2000 yang sudah terhubung dengan paket program BioDSS 1.0 dimana hasil perhitungannya langsung dapat diperoleh setelah memasukkan masing-masing bobot oleh tiap pakar. Penilaian terhadap kriteria dari masing-masing level struktur hirarki model penentuan strategi pengembangan agroindustri biodiesel diperoleh dengan wawancara dan hasil pengisian kuisioner oleh para pakar. Kriteria dan alternatif tersebut diberikan rentang penilaian dengan skala 1 sampai 9 dengan metode perbandingan berpasangan (pairwaise comparison) dalam teknik AHP
(Analitical Hierarchy Process) yang dilakukan oleh pakar. Selain itu, nilai inconsistency ratio dari setiap level masing-masing pakar harus kurang dari 0,1. Apabila nilainya lebih besar dari 0,1 maka dilakukan revisi penilaian atau pemberian bobot kembali oleh pakar yang bersangkutan. Struktur hirarki model penentuan strategi pengembangan agroindustri biodiesel dapat dilihat pada Gambar 35. Penentuan Strategi Pengembangan Agroindustri Biodiesel
Fokus Faktor Harga bahan baku & bahan-bahan
Harga jual biodiesel VS Harga Solar
Distribusi & tata niaga biodiesel
Kontinuitas produksi biodiesel
Kebijakan pemerintah (Regulasi Pemda)
Besarnya modal investasi
Aktor Investor
Pelaku industri
Pemerintah
Pemasok bahan baku
Pangsa pasar biodiesel
Tujuan Memperoleh pasokan bahan baku dengan harga yang layak (rendah) untuk mengurangi biaya produksi
Meningkatkan profit dari penjualan biodiesel pada harga jual yang bersaing dengan harga solar industri
Memenuhi kebutuhan pasokan biodiesel di Indonesia sesuai dengan standar yang berlaku
Alternatif Bekerja sama dengan perusahaan lain seperti produsen CPO sebagai pemasok bahan baku dengan cara mendirikan industri yang terintegrasi dengan pemasok bahan baku tersebut
Bekerja sama dengan Pertamina sebagai pembeli produk biodiesel sekaligus distributor biodiesel B5 kepada masyarakat
Mendirikan industri biodiesel dengan produksi skala besar dan kontinu & Memproduksi biodiesel tidak hanya dari satu jenis bahan baku
Bekerja sama dengan berbagai industri lain sebagai konsumen dari produk biodiesel untuk memenuhi kebutuhan energi mereka dalam kelangsungan produksinya.
Gambar 35. Struktur Hirarki Model Penentuan Strategi Pengembangan Agroindustri Biodiesel Struktur hirarki pada Gambar 35 didapatkan dari pendapat para pakar melalui pengisian pra-kuisioner AHP strategi pengembangan agroindustri biodiesel. Pendapat para pakar tersebut digabungkan untuk membentuk hirarki AHP dari setiap elemennya. Selain itu, penggabungannya juga dilakukan dengan cara memperbanyak studi literatur dan wawancara kembali kepada para
pakar. Penentuan alternatif strategi pengembangan biodiesel juga dilakukan dengan wawancara dengan para pakar dan studi literatur. Bobot nilai elemen pada setiap levelnya diperoleh dari pengisian kuisioner oleh pakar. Setiap bobot elemen tersebut diolah melalui software Expert Choice 2000 dalam paket program BioDSS 1.0. Penggabungan nilai bobotnya telah secara langsung dilakukan di dalam software Expert Choice 2000 tersebut. Verifikasi dan validasinya dapat dilihat pada Lampiran 4.
B. Output Penentuan Strategi Pengembangan Agroindustri Biodiesel Teknik AHP (Analitical Hierarchy Process) tersebut memberikan hasil perhitungan berupa urutan prioritas berdasarkan peringkat dari masing-masing elemen tiap levelnya. Hasil perhitungan agregat pada analisis faktor (level 2) dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Hasil Perhitungan Agregat Level 2 (Faktor) Penentuan Strategi 1 2 3 4 5 6
Level 2 (Faktor) harga bahan baku & bahan-bahan kimia harga jual biodiesel VS harga solar distribusi & tata niaga biodiesel kontinuitas produksi biodiesel kebijakan pemerintah (Regulasi Pemda) besarnya modal investasi
Bobot 0.372 0.280 0.147 0.079 0.045 0.076
Peringkat 1 2 3 4 6 5
Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, faktor harga bahan baku dan bahan-bahan kimia merupakan faktor yang paling utama yang harus dipertimbangkan dalam analisis penentuan strategi pengembangan agroindustri biodiesel dengan nilai bobot paling tinggi yaitu sebesar 0.372. Hal tersebut menjadi faktor terpenting yang patut dipertimbangkan karena harga bahan baku dan harga bahan-bahan kimia mencapai 80% dari biaya produksi biodiesel, sehingga untuk mendapatkan harga bahan baku yang rendah, perlu diambil strategi yang tepat. Sedangkan urutan faktor lain berdasarkan perhitungan tersebut adalah faktor harga jual yang diperbandingkan dengan harga jual solar pada urutan kedua dengan nilai bobot sebesar 0.280, faktor distribusi dan tata niaga biodiesel pada urutan ketiga dengan nilai bobot sebesar 0.147, faktor kontinuitas produksi biodiesel pada urutan keempat dengan nilai bobot sebesar 0.079, faktor besarnya modal investasi pada urutan kelima dengan nilai bobot
sebesar 0.076 dan faktor kebijakan pemerintah (Regulasi Pemda) pada urutan terakhir dengan nilai bobot sebesar 0.045. Hasil perhitungan agregat level 3 (aktor) dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Hasil Perhitungan Agregat Level 3 (aktor) Penentuan Strategi. Level 3 (Aktor) 1 2 3 4 5
investor pelaku industri pemerintah pemasok bahan baku pangsa pasar biodiesel
Bobot 0.306 0.076 0.183 0.208 0.225
Peringkat 1 5 4 3 2
Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, aktor investor merupakan aktor yang paling utama yang mempengaruhi penentuan strategi pengembangan agroindustri biodiesel dengan nilai bobot paling tinggi yaitu sebesar 0.306. Sedangkan urutan aktor lain berdasarkan perhitungan tersebut adalah aktor pangsa pasar biodiesel pada urutan kedua dengan nilai bobot sebesar 0.225, aktor pemasok bahan baku pada urutan ketiga dengan nilai bobot sebesar 0.208, aktor pemerintah pada urutan keempat dengan nilai bobot sebesar 0.183 dan aktor pelaku industri pada urutan terakhir dengan nilai bobot sebesar 0.076. Selanjutnya adalah perhitungan pada level 4 (tujuan). Hasil perhitungan agregat level 4 (tujuan) dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Hasil Perhitungan Agregat Level 4 (tujuan) Penentuan Strategi. Level 4 (Tujuan) 1 memperoleh pasokan bahan baku dengan harga yang layak (rendah) untuk mengurangi biaya produksi 2 meningkatkan keuntungan dari penjualan biodiesel pada harga jual yang bersaing dengan harga solar industri 3 memenuhi kebutuhan pasokan biodiesel di Indonesia sesuai dengan standar yang berlaku
Bobot
Peringkat
0.359
1
0.332
2
0.308
3
Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, tujuan memperoleh pasokan bahan baku dengan harga yang layak (rendah) untuk mengurangi biaya produksi merupakan tujuan yang paling utama yang mempengaruhi penentuan strategi pengembangan agroindustri biodiesel dengan nilai bobot paling tinggi yaitu sebesar 0.359. Sedangkan urutan tujuan berikutnya berdasarkan perhitungan tersebut adalah tujuan meningkatkan keuntungan (profit) dari penjualan biodiesel pada harga jual yang bersaing dengan harga solar industri
pada urutan kedua dengan nilai bobot sebesar 0.332, dan tujuan memenuhi kebutuhan pasokan biodiesel di Indonesia sesuai dengan standar yang berlaku pada urutan terakhir dengan nilai bobot sebesar 0.308. Perhitungan terakhir adalah perhitungan pada level 5 (alternatif strategi). Hasil perhitungannya dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Hasil Perhitungan Agregat Level 5 (alternatif strategi). Level 4 (Alternatif) 1 Bekerja sama dengan perusahaan lain seperti produsen CPO & CJO sebagai pemasok bahan baku dengan cara mendirikan industri yang terintegrasi dengan pemasok bahan baku tersebut 2 Bekerja sama dengan Pertamina sebagai pembeli produk biodiesel sekaligus distributor biodiesel B5 kepada masyarakat 3 Mendirikan industri biodiesel dengan produksi skala besar dan kontinu & Memproduksi biodiesel tidak hanya dari satu jenis bahan baku 4 Bekerja sama dengan berbagai industri lain sebagai konsumen dari produk biodiesel untuk memenuhi kebutuhan energi mereka dalam kelangsungan produksinya
Bobot
Peringkat
0.486
1
0.223
2
0.175
3
0.116
4
Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, altenatif strategi 1 (bekerja sama dengan perusahaan lain seperti produsen CPO & CJO sebagai pemasok bahan baku dengan cara mendirikan industri yang terintegrasi dengan pemasok bahan baku tersebut) terpilih menjadi alternatif strategi sebagai prioritas utama untuk pendirian agroindustri biodiesel dengan nilai bobot paling tinggi yaitu sebesar 0.486. Sedangkan urutan alternatif strategi berikutnya berdasarkan perhitungan tersebut adalah alternatif strategi 2 (bekerja sama dengan Pertamina sebagai pembeli produk biodiesel sekaligus distributor biodiesel B5 kepada masyarakat) pada urutan kedua dengan nilai bobot sebesar 0.223, alternatif strategi 3 (mendirikan industri biodiesel dengan produksi skala besar dan kontinu & memproduksi biodiesel tidak hanya dari satu jenis bahan baku) pada urutan ketiga dengan nilai bobot sebesar 0.175 dan alternatif strategi 4 (bekerja sama dengan berbagai industri lain sebagai konsumen dari produk biodiesel untuk memenuhi kebutuhan energi mereka dalam kelangsungan produksinya) pada urutan terakhir dengan nilai bobot sebesar 0.116.
C. Tampilan Model Penentuan Strategi Pengembangan Agroindustri Biodiesel Pengguna dapat melakukan analisis penentuan strategi pengembangan agroindustri biodiesel tersebut di dalam paket program BioDSS 1.0, mulai dari pembuatan hirarkinya, pembobotan elemen untuk setiap levelnya, hingga memperoleh urutan prioritas alternatif strategi. Tampilannya dapat dilihat pada Gambar 36 sampai dengan Gambar 39.
Gambar 36. Form Pembuatan Hirarki AHP Model Penentuan Strategi
Gambar 37. Form Pembobotan Hirarki AHP Model Penentuan Strategi
Gambar 38. Grafik Prioritas Elemen pada Hirarki AHP Penentuan Strategi
Gambar 39. Form Hasil Pembobotan Hirarki AHP Penentuan Strategi
IX. MODEL KELAYAKAN INVESTASI A. Kriteria Kelayakan Investasi Di dalam model kelayakan investasi ini, ada beberapa asumsi yang ditetapkan sesuai dengan hasil dari model analisis sebelumnya serta sesuai dengan keadaan saat ini. Asumsi-asumsi tersebut antara lain : • • •
• • • • • • • • • • • • • • • • • • •
CPO yang dijadikan bahan baku biodiesel merupakan CPO off grade sehingga harga bahan baku tidak mahal (masih layak secara ekonomi). Umur proyek = 12 tahun (berdasarkan umur mesin & peralatan) Nilai sisa : 1. Nilai sisa bangunan pada akhir proyek = 50% dari harga awal 2. Nilai sisa kendaraan pada akhir proyek = 50% dari harga awal 3. Nilai sisa mesin & peralatan pada akhir proyek = 30% dari harga awal 4. Nilai sisa utilitas & peralatan kantor pada akhir proyek = 15% dari harga awal Nilai tanah tetap Biaya pemeliharaan bangunan, mesin & peralatan (per tahun) = 1% dari harga awal Penyusutan garis lurus (Straight Line Depretiation) Pajak Bumi dan Bangunan = 2,5% Kapasitas produksi = 6 ton CPO off grade per hari atau 1584 ton CPO off grade per tahun Dalam satu hari, 3 kali produksi (3 shift) @ 2 ton CPO off grade. Waktu tiap shift produksi = 6 – 7 jam Waktu produksi = 24 jam per hari, 22 hari per bulan, 264 hari per tahun Pabrik biodiesel terintegrasi dengan pabrik kelapa sawit (PKS) Pabrik biodiesel mendapat pasokan bahan baku CPO off grade secara kontinu tiap tahun Harga bahan baku CPO off grade diasumsikan sama setiap tahun selama 12 tahun Kebutuhan metanol = 15,454 % dari kapasitas CPO off grade Metanol recovery yg dihasilkan = 13,065% dari kapasitas CPO off grade Kebutuhan metanol yg ditambahkan tiap produksi biodiesel = 2,389% dari kapasitas CPO off grade Kebutuhan katalis (NaOH) = 10,296 % dari kapasitas CPO off grade Kebutuhan Listrik = 64197,355 KW per tahun = 243,17 KW per hari = 10,13 KW per jam Biaya Listrik untuk industri per KWh = Rp 460 Biaya Kebutuhan Listrik = Rp 29.524.492,8 = Rp 29.524.500 per tahun Biaya Kebutuhan Air = Rp 200.000 per bulan = Rp 2.400.000 per tahun
• • • • • • • • •
Biaya Kebutuhan Telepon = Rp 150.000 per bulan = Rp 1.800.000 per tahun Total Biaya Utilitas yang harus dikeluarkan = Rp 33.724.500 per tahun (untuk produksi 100%) Harga Jual Biodiesel di bawah harga jual solar untuk industri dengan margin keuntungan tertentu. Biodiesel Terjual = 1.567.542 kg = 1.783.324 liter per tahun (terjual sebanyak 100%). Densitas biodiesel = 0.879 kg/L Debt Equity Ratio = 50 : 50 Tingkat suku bunga pinjaman bank = 16 % MARR = 16 % Pinjaman Bank dibayarkan selama 6 tahun Hasil analisis kelayakan finansial agroindustri biodiesel secara lengkap
dapat dilihat pada Lampiran 5 sampai dengan Lampiran 12. Kelayakan finansial tersebut juga dapat dianalisis melalui paket program BioDSS 1.0. Pengguna dapat memasukkan nilai asumsi di atas pada program BioDSS 1.0 seperti pada Gambar 40.
Gambar 40. Tampilan menu asumsi pada model kelayakan finansial dalam program BioDSS 1.0
Kemudian pengguna juga diminta memasukkan struktur biaya investasi yang dibutuhkan di awal proyek. Tampilan programnya dapat dilihat pada Gambar 41.
Gambar 41. Tampilan menu biaya investasi dalam program BioDSS 1.0 Setelah itu, struktur biaya tetap per tahun serta biaya variabel yang dibutuhkan dalam proyek investasi juga dimasukkan. Tampilan programnya dapat dilihat pada Gambar 42 dan Gambar 43.
Gambar 42. Tampilan menu biaya tetap dalam program BioDSS 1.0
Gambar 43. Tampilan menu biaya variabel dalam program BioDSS 1.0
Selanjutnya, setelah semua nilai biaya dan asumsi dimasukkan, pengguna dapat memperoleh hasil kelayakannya berdasarkan kriteria investasi seperti pada gambar 44. Berdasarkan hasil perhitungan di atas, dapat dilihat hasil tiap kriteria kelayakan investasinya. NPV-nya bernilai positif dengan nilai sebesar Rp 8.993.322.066,61. Nilai Internal Rate Ratio (IRR) sebesar 31,38 % dan nilai IRR tersebut lebih besar dari tingkat suku bunga bank 16%. Kemudian Pay Back Period (PBP) adalah 2,05 tahun atau lebih cepat dari umur proyek. Nilai Net B/C Ratio sebesar 1,36 atau lebih besar dari 1, serta nilai Break Event Point setara dengan 868.703,39 liter biodiesel. Dari kriteria-kriteria kelayakan investasi tersebut, maka investasi agroindustri biodiesel dinyatakan layak untuk dijalankan. Tampilannya dapat dilihat pada Gambar 44.
Gambar 44. Tampilan menu kelayakan investasi dalam program BioDSS 1.0
B. Analisis Sensitivitas Dalam analisis sensitivitas investasi agroindustri biodiesel tersebut, terdapat empat skenario yang berbeda. Skenario I adalah kondisi harga bahan baku yang naik sebesar 10% dan harga jual tetap yaitu pada harga jual solar
untuk industri sesuai dengan kebijakan pemerintah. Skenario II adalah kondisi harga bahan baku yang naik sebesar 20% dan harga jual tetap yaitu pada harga jual solar untuk industri sesuai dengan kebijakan pemerintah. Skenario III adalah harga bahan baku sesuai dengan kondisi saat ini dan biodiesel diekspor ke luar negeri dengan standar harga internasional yang berlaku saat ini. Skenario IV adalah kondisi harga bahan baku yang naik sebesar 10% dan biodiesel diekspor ke luar negeri dengan standar harga internasional yang berlaku saat ini. Untuk analisis sensitivitas berdasarkan skenario I, hasilnya dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Kriteria kelayakan investasi skenario I. Kriteria NPV IRR Net B/C Ratio PBP (tahun) BEP (Rp.) BEP (liter)
Nilai 1,535,044,496 21.04% 1.28 5.18 16,885,266,480 2,813,539.81
Dari hasil analisis sensitivitas berdasarkan skenario I di atas, investasi agroindustri biodiesel masih layak untuk dijalankan. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai NPV yang benilai positif, nilai IRR yang masih lebih besar dari tingkat suku bunga bank yang berlaku, nilai B/C Ratio yang masih lebih besar dari 1, dan nilai PBP yang lebih cepat dari umur proyek. Untuk analisis sensitivitas berdasarkan skenario II, hasilnya dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Kriteria kelayakan investasi skenario II. Kriteria NPV IRR Net B/C Ratio PBP (tahun) BEP (Rp.) BEP (liter)
Nilai -1,335,787,032 11.70% 0.77 7.49 21,477,793,327 3,579,632.22
Dari hasil analisis sensitivitas berdasarkan skenario II di atas, investasi agroindustri biodiesel dinyatakan tidak layak untuk dijalankan. Hal tersebut
dapat dilihat dari nilai NPV yang benilai negatif, nilai IRR yang lebih rendah dari tingkat suku bunga bank yang berlaku, nilai B/C Ratio kurang dari 1. Untuk analisis sensitivitas berdasarkan skenario III, hasilnya dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Kriteria kelayakan investasi skenario III. Kriteria NPV IRR Net B/C Ratio PBP (tahun) BEP (Rp.) BEP (liter)
Nilai 12,368,189,749 57.73% 3.36 1.86 10,574,069,676 1,456,483.43
Dari hasil analisis sensitivitas berdasarkan skenario III di atas, investasi agroindustri biodiesel layak untuk dijalankan. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai NPV yang benilai positif, nilai IRR yang masih lebih besar dari tingkat suku bunga bank yang berlaku, nilai B/C Ratio yang masih lebih besar dari 1, dan nilai PBP yang lebih cepat dari umur proyek. Untuk analisis sensitivitas berdasarkan skenario IV, hasilnya dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Kriteria kelayakan investasi skenario IV. Kriteria NPV IRR Net B/C Ratio PBP (tahun) BEP (Rp.) BEP (liter)
Nilai 9,506,425,013 46.45% 2.72 2.32 11,885,859,199 1,637,170.69
Dari hasil analisis sensitivitas berdasarkan skenario IV di atas, investasi agroindustri biodiesel layak untuk dijalankan. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai NPV yang benilai positif, nilai IRR yang masih lebih besar dari tingkat suku bunga bank yang berlaku, nilai B/C Ratio yang masih lebih besar dari 1, dan nilai PBP yang lebih cepat dari umur proyek. Secara lengkap, hasil analisis sensitivitas dari keempat skenario tersebut dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19. Analisis sensitivitas dari keempat skenario Skenario I
Skenario II
Skenario III
Kriteria Investasi
(Harga bahan baku naik 10%, harga jual tetap)
(Harga bahan baku naik 20%, harga jual tetap)
(Harga bahan baku tetap, harga jual internasional)
NPV IRR Net B/C Ratio PBP BEP (liter) Status
1,535,044,496 21.04% 1.28 5.18 2,813,539.81 Layak
-1,335,787,032 11.70% 0.77 7.49 3,579,632.22 Tidak Layak
12,368,189,749 57.73% 3.36 1.86 1,456,483.43 Layak
Skenario IV (Harga bahan baku naik 10%, harga jual internasional) 9,506,425,013 46.45% 2.72 2.32 1,637,170.69 Layak
Dari analisis sensitivitas tersebut, untuk Skenario II (harga bahan baku yang naik 20% dan harga jual tetap) menunjukkan bahwa proyek agroindustri biodiesel tersebut tidak layak dijalankan. Sedangkan ketiga Skenario lainnya menunjukkan bahwa proyek agroindustri biodiesel tersebut tetap layak untuk dijalankan.
X. RANCANGAN IMPLEMENTASI Rancangan implementasi merupakan salah satu tahapan yang dapat memberikan langkah atau gambaran untuk mengembangkan agroindustri biodiesel berdasarkan beberapa model yang telah dianalisis sebelumnya. Rancangan implementasi ini dibuat dengan lebih mengarah kepada pembahasan mengenai pabrik biodiesel yang akan didirikan. Dalam rancangan implementasi tersebut, ada beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan secara cermat sebelum mendirikan pabrik biodiesel secara komersial. Menurut Rahmadi (2007), walaupun tahapan proses produksi biodiesel terlihat sederhana, namun untuk mendapatkan produk biodiesel yang memenuhi standar mutu dan perhitungan finansial yang optimal, terdapat berbagai tantangan teknis, yaitu: 1.
Pemilihan bahan baku yang paling efisien dan layak secara ekonomi, dalam hal ini, CPO off grade menjadi bahan baku yang paling mungkin untuk dikembangkan mengingat harganya yang masih terjangkau sehingga harga jual biodiesel dapat bersaing dengan harga solar untuk industri di dalam negeri.
2.
Pemilihan alkohol didasarkan pada harga dan ketersediaanya di pasar. Metanol lebih banyak digunakan pada industri biodiesel karena harganya yang lebih murah dan mudah didapat dibandingkan dengan jenis alkohol lain seperti etanol. Selain itu, metanol memiliki nilai konversi yang tinggi pada reaksi transesterifikasi biodiesel dan tidak membentuk campuran azeotrop dengan air sehingga memudahkan pemungutan kembali metanol (methanol recovery).
3.
Pemilihan katalis merupakan salah satu keputusan yang penting dalam memulai proyek biodiesel. Katalis basa sering digunakan untuk reaksi transesterifikasi karena memiliki nilai konversi reaksi yang mencapai 90%-98%. Kekurangan dari sistem katalis basa adalah sangat sensitif terhadap air dan FFA sebab akan menyebabkan mudahnya terjadi penyabunan. Katalis basa yang biasa digunakan adalah NaOH, KOH, atau Na-methylate.
4.
Proses pemurnian produk metil ester yang menggunakan air sebagai media pelarut memberikan tantangan tersendiri. Seringkali air bekas pencucian metil ester masih mengandung metanol, gliserin, dan metil ester dalam jumlah yang cukup signifikan sehingga memerlukan penanganan tersendiri sebelum air limbah tersebut dapat dibuang dengan aman.
5.
Oleh karena bahan baku, metanol, katalis, dan gliserin mempunyai pasar yang berbeda dan tidak bergantung satu sama lain, perencanaan finansial yang matang pada desain awal sangat mutlak diperlukan untuk menghindari kerugian.
A. Tahapan Pendirian Pabrik Biodiesel Untuk mempermudah pelaksanaan pendirian pabrik biodiesel tersebut, maka diperlukan tahapan-tahapan tertentu. Berikut ini adalah tahapantahapannya:
1. Penentuan Kapasitas Produksi Kapasitas produksi yang digunakan pada kondisi normal adalah 1584 ton CPO per tahun atau 6 ton CPO per hari dengan bahan baku CPO off grade. Dalam satu hari, pabrik berproduksi sebanyak tiga kali (3 shift) dan masingmasing shift adalah 2 ton CPO off grade. Penentuan kapasitas ini didasarkan pada kapasitas reaktor transesterifikasi. Selain itu, berdasarkan keterangan dan hasil wawancara dengan para peneliti biodiesel di pabrik pengolahan biodiesel Puspitek-Serpong, kapasitas minimal pabrik biodiesel skala komersial adalah 1,5 ton per hari dengan berdasarkan kepada nilai keekonomiannya.
2. Pendirian Pabrik Agroindustri biodiesel ini didirikan di tanah seluas 30 m x 20 m. Selanjutnya, dilakukan instalasi mesin dan peralatan pengolahan biodiesel (fabrikasi), instalasi utilitas penunjang (listrik, air, telepon), dan sebagai tahap akhir dilakukan percobaan produksi. Diagram alir proses dan peralatan dari tiga tahapan utama proses produksi biodiesel dapat dilihat pada Gambar 45, Gambar 46, dan Gambar 47
Gambar 45. Diagram Alir Proses dan Peralatan pada Tahap Degumming
Gambar 46. Diagram Alir Proses dan Peralatan pada Tahap Transesterifikasi dan Pencucian Ester
Distillation Column
Heater Collecting Tank
P Decanter
Glycerol Tank
Acidulation Reactor
Gambar 47. Diagram Alir Proses dan Peralatan pada Tahap Methanol Recovery dan Pemurnian Gliserol
3. Rekruitmen Tenaga Kerja Kebutuhan tenaga kerja minimum yang dianjurkan adalah sebanyak 9 orang di bagian administrasi (tenaga kerja tak langsung), yaitu 1 orang kepala direksi, 1 orang manager pabrik, 1 orang staff administrasi dan keuangan, 1 orang staff pemasaran, 1 orang staff Quality Control, 2 orang satpam, dan 2 orang supir. Sedangkan kebutuhan tenaga kerja langsung yang berhubungan dengan proses pengolahan biodiesel adalah sebanyak 13 orang, yaitu sebanyak 12 orang operator produksi, dan seorang laboran.
B. Proses Produksi Biodiesel Menurut Tapasvi, et al. (2004), secara umum proses produksi biodiesel dibagi ke dalam tiga tahapan utama, yaitu:
a. Proses degumming minyak mentah dan pemurnian Tahap proses yang pertama adalah degumming minyak mentah (CPO off grade). Proses tersebut merupakan proses berbasis asam, sehingga dapat menghilangkan sifat hydratable dan non-hydratable phosphatide, kemudian diikuti oleh proses pemurnian senyawa alkali, yang bertujuan untuk menghilangkan asam lemak bebas. CPO off grade akan dipanaskan hingga suhu 70ºC dengan pemanas (heater). Asam fosfor ditambahkan pada CPO off grade yang dipanaskan pada tangki pencampuran dengan tujuan untuk mengubah non-hydratable phosphatides menjadi water-soluble phosphatic acid. Kemudian soft water ditambahkan ke dalam tangki pencampuran untuk mengubah gums dari senyawa hydratable phosphtides. Aliran yang keluar dari tangki pencampuran akan dipisahkan dengan proses sentrifugasi untuk memisahkan minyak murni dengan campuran air dan gum. Melalui separator, maka gums akan dipisahkan dari air. Minyak yang telah diproses degumming dialirkan ke dalam tangki pemurnian dengan penambahan senyawa alkali pada suhu 70ºC. Sodium hidroksida (NaOH) ditambahkan untuk mengubah asam lemak bebas yang terdapat pada minyak yang sudah mengalami degumming menjadi sabun oil-
insoluble. Pencampuran yang baik sangat berpengaruh terhadap reaksi yang terjadi. Proses ini diikuti dengan penambahan air pencuci untuk menguraikan partikel sabun. Partikel tersebut dalam minyak dapat dipisahkan dengan proses sentrifugasi. Hasil aliran yang keluar dari proses sentrifugasi dipanaskan pada heater dengan suhu 90ºC kemudian dialirkan ke dalam pengering minyak (vacuum oil dryer) dengan tujuan untuk menghilangkan kadar air dalam minyak murni. Minyak yang kering dan murni selanjutnya akan dialirkan ke tangki pendinginan yang akan digunakan sebagai bahan untuk proses selanjutnya.
b. Reaksi transesterfikasi dan pencucian ester Transesterifikasi minyak menjadi metil ester dapat dilakukan baik dengan satu tahap maupun dua tahap proses, bergantung pada mutu awal minyak. Minyak yang mengandung asam lemak bebas tinggi seperti CPO off grade dapat dikonversi menjadi esternya secara efisien melalui beberapa tahap reaksi yang melibatkan katalis asam untuk mengesterifikasi asam lemak bebas yang dilanjutkan dengan transesterifikasi berkatalis basa yang mengkonversi sisa gliserida (Canacki dan Gerpen, 2001). Apabila minyak mempunyai kandungan asam lemak bebas yang rendah, transesterifikasi dapat dilakukan dengan satu tahap (Ambarita, 2002). Selain mengesterifikasi asam lemak bebas, katalis asam juga mengkonversi trigliserida menjadi metal esternya. Meskipun demikian, kecepatannya lebih rendah dibandingkan dengan transesterifikasi yang menggunakan katalis basa (Haas, 2003). Prinsip proses dari esterifikasi adalah asam lemak dari minyak atau CPO off grade direaksikan dengan methanol dengan bantuan katalis asam sehingga terbentuk ester dan air. Sedangkan prinsip proses transesterifikasi pun hampir sama dengan esterifikasi, tetapi yang direaksikan adalah trigliserida dari minyak dengan methanol menggunakan bantuan katalis basa sehingga terbentuk metil ester dan gliserol. Minyak murni yang dialirkan ke dalam Continuous Stirred Tank Reactor (CSTR) 1 pada suhu 65ºC. Kemudian pada reaktor tersebut ditambahkan metanol 100% bersamaan dengan penambahan katalis, yakni
sodium metoksida. Reaksi transeterifikasi antara trigliserida dan metanol dengan bantuan katalis sodium metoksida akan menghasilkan senyawa sabun dan metanol. Produk-produk hasil reaksi ini akan dipisahkan dengan menggunakan decanter menjadi bebeapa fase gliserol (gliserol, metanol, sodium metoksida, dan sabun) dan beberapa fase ester (metil ester, minyak yang tidak bereaksi, metanol, dan sabun). Selanjutnya fase ester akan masuk ke dalam CSTR 2, sedangkan fase gliserol akan menuju tangki pengumpulan. Pada CSTR 2 dan decanter 2, reaksi yang sama terjadi seperti pada CSTR 1 dan decanter 1. Fase gliserol akan masuk ke tangki pengumpul sedangkan fase ester dipanaskan pada suhu 70ºC sebelum ke tahap pencucian ester. Kotoran yang terdapat pada fase ester seperti metanol, sabun, dan gliserol bebas harus dipisahkan dari metil ester. Pemisahan tersebut dilakukan dengan cara pencucian pada kolom pencucian (continuous wash column) menggunakan air lunak (soft water) yang terlebih dahulu dipanaskan pada suhu 70ºC. Limbah yang dikeluarkan dari kolom pencuci akan ditampung pada tangki pengumpul sedangkan ester yang sudah dicuci akan dimasukkan ke dalam settler tank. Alat tersebut berfungsi untuk memisahkan fase air yang masih terdapat pada metil ester. Metil ester kemudian dipanaskan pada suhu 90ºC sebelum dialirkan ke dalam pengering vakum ester pada tekanan absolut 35 mmHg yang berfungsi untuk menghilangkan nilai kelembaban di dalam pengering vakum ester sehingga menjadi metil ester (biodiesel).
c. Methanol Recovery dan pemurnian gliserol Aliran yang terkumpul pada tangki pengumpul akan dipanaskan sampai titik didih senyawa metanol 64,5ºC dengan pemanas. Senyawa metanol akan terpisahkan dengan cara diuapkan menggunakan super heated steam pada glycerol-alkohol stripper. Kemudian uap dari senyawa metanol yang dihasilkan akan dialirkan ke dalam kolom distilasi dengan tujuan untuk memperoleh uap metanol murni. Uap metanol akan dikondensasi dengan menggunakan kondensor dan akan digunakan kembali ke dalam CSTR.
Gliserol yang terdapat pada bagian bawah stripper akan dialirkan ke dalam tangki penampung gliserol. Senyawa gliserol yang belum murni pada tangki penampung ini akan dicampurkan dengan HCl pada reaksi acidulation. Katalis sodium metoksida di dalam aliran bereaksi dengan HCl, sehingga terbentuk metanol. NaCl dan sabun yang dihasilkan pada aliran ini bereaksi juga dengan HCl untuk membentuk asam lemak bebas dan NaCl di dalam acidulation reactor. Aliran tersebut kemudian masuk ke dalam decanter, sehingga produk gliserol akan terpisahkan dari asam lemak bebas dan senyawa tidak murni lainnya. Neraca massa dan neraca energi dapat dilihat pada Lampiran 13 dan Lampiran 14. Dengan proses pengolahan biodiesel yang telah dijelaskan tersebut, biodiesel yang diperoleh diharapkan dapat memenuhi standar mutu. Standar mutu biodiesel di Indonesia yang berlaku saat ini dapat dilihat pada Tabel 20 : Tabel 20. Standar Mutu Biodiesel Indonesia (SNI Biodiesel No. 04-71822006). Parameter dan Satuannya
Batas Nilai
Metode Uji
Massa jenis (kg/m , 40°C)
850-890
ASTM D 1298
Viskositas kinematik (40°C, cSt)
2,3-6,0
ASTM D 445
Angka setana
Min. 51
ASTM D 613
Titik nyala (°C)
Min. 100
ASTM D 93
Titik kabut (°C)
Maks. 18
ASTM D 2500
Korosi bilah tembaga (3 jam, 50°C)
Maks. No. 3
ASTM D 130
Residu karbon (%-b)
Maks. 0,05
ASTM D 4530
Air dan sedimen (%-vol.)
Maks. 0,05
ASTM D 2709
Temperatur distilasi 90% (°C)
Maks. 360
ASTM D 1160
Abu tersulfatkan (%-b)
Maks. 0,02
ASTM D 874
Belerang (mg/kg)
Maks. 100
ASTM D 5453
Fosfor (mg/kg)
Maks. 10
AOCS Ca 12-55
Angka asam (mg KOH/g)
Maks. 0,8
AOCS Ca 3-63
Gliserol bebas (%-b)
Maks. 0,02
AOCS Ca 14-56
Gliserol total (%-b)
Maks. 0,24
AOCS Ca 14-56
Kadar ester alkil (%-b)
Min. 96,5
Dihitung
Angka iodium (g I2/100 g)
Maks. 115
AOCS Cd 1-25
Negatif
AOCS Cb 1-25
3
Uji Halphen
Sumber: Forum Biodiesel Indonesia (2006)
C. Adaptasi Model 1. Penentuan Bahan Baku Berdasarkan analisis pada Model Penentuan Bahan Baku, maka komoditas yang digunakan sebagai bahan baku yang digunakan dalam proses produksi biodiesel tersebut adalah CPO. Menurut data dari Direktorat Jenderal Perkebunan-Departemen Pertanian (2006), produktivitas CPO di Indonesia terus mengalami peningkatan yang signifikan dalam tiga tahun terakhir, mulai dari tahun 2004 (10,83 juta ton CPO), tahun 2005 (11,86 juta ton CPO) sampai dengan tahun 2006 (13,39 juta ton CPO). Hal tersebut tentunya menjadikan CPO sebagai komoditas yang cukup siap dan berpotensi besar untuk dikembangkan sebagai bahan baku biodiesel. Saat ini, volume CPO untuk eskpor masih tetap yang terbesar dibandingkan untuk pemanfaatannya di dalam negeri. Tahun 2004, sekitar 70% produksi CPO nasional diorientasikan untuk ekspor, dan selebihnya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri terutama minyak goreng untuk kebutuhan pangan yaitu sekitar 25% dan selebihnya untuk komoditas produk lain (Afrizal, 2007). Hal ini bisa menjadi lebih besar lagi jika pemerintah tidak melakukan intervensi untuk melindungi kebutuhan CPO dalam negeri (Hariana, 2007). Potensi lain dari produktivitas CPO yang tidak bisa dikesampingkan adalah CPO off grade, yaitu CPO yang tidak memenuhi standar nasional. Menurut Afrizal (2007), rata-rata CPO di Indonesia yang tidak memenuhi standar perdagangan CPO (CPO off grade) adalah sebesar 0,355 juta ton. Tentunya CPO sebanyak itu bukanlah jumlah yang sedikit. Dengan jumlah sebesar itu, maka pemanfaatan CPO off grade melalui produksi biodiesel merupakan salah satu alternatif yang dapat dilakukan dalam memberikan nilai tambah (added value).
2. Pemilihan Lokasi dan Strategi Pengembangan Pabrik biodiesel ini didirikan di lokasi yang telah didapatkan dari analisis penentuan lokasi sebelumnya, yaitu di Provinsi Riau. Pabrik didirikan secara terintegrasi dengan pabrik pengolah kelapa sawit untuk mendapatkan jaminan pasokan bahan baku secara kontinu. Hal tersebut saat ini telah dan sedang
dilakukan oleh PT Ganesha Energi 77 di Provinsi Sumatera Utara. PT Ganesha Energi 77 menjalin kerjasama dengan PT Adolina sebagai pemasok bahan baku CPO untuk pengolahan biodiesel. Hal tersebut dapat pula dilakukan di Provinsi Riau. Kerja sama dapat dilakukan dengan menjalin kerja sama dengan PT Perkebunan Nusantara sebagai pemasok bahan baku CPO, mengingat Riau merupakan provinsi yang memiliki produktivitas tinggi untuk komoditas kelapa sawit. Riau tercatat sebagai provinsi yang memiliki produktivitas terbesar kedua di Indonesia untuk komoditas kelapa sawit. Pada tahun 2006, produktivitas kelapa sawit Provinsi Riau mencapai angka 2.680.179 ton (Direktorat Jenderal Perkebunan-Departemen Pertanian, 2007). Pertimbangan lainnya yang juga turut menguatkan adalah Pemerintah Daerah Provinsi Riau mempunyai ambisi yang kuat dalam pengembangan biodiesel berbasis CPO di daerahnya. Hal ini dibuktikan dengan keseriusan Pemda Provinsi Riau untuk menjalin kerjasama dengan Balai Rekayasa Desain dan Sistem Teknologi (BRDST-Engineering Center) BPPT serta Puspitek Serpong untuk membangun pabrik biodiesel dengan kapasitas yang sangat besar yaitu mencapai 100.000 ton per tahun. Saat ini, proyek tersebut sedang berjalan dan Pemerintah Daerah Provinsi Riau terus menjalin kerjasama dengan perusahaan rekayasa desain lainnya untuk pendirian pabrik tersebut. Sebelumnya, Provinsi Riau juga telah mendirikan pabrik biodiesel dengan kapasitas 8 ton per hari berbasis CPO.
XI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Sistem penunjang keputusan perumusan strategi pengembangan agroindustri biodiesel menghasilkan output berupa pemodelan sistem yang bertujuan untuk membantu para investor atau pelaku industri biodiesel mendapatkan gambaran dan informasi yang akurat tentang prospek pengolahan
biodiesel
serta
menentukan
strategi
yang
tepat
untuk
pengembangan agroindustri biodiesel. Pemodelan sistem penunjang keputusan ini dirancang dalam suatu paket program BioDSS 1.0. Paket program BioDSS 1.0 terdiri dari empat model analisis, yaitu Model Penentuan Bahan Baku, Model Penentuan Lokasi Potensial, Model Penentuan Strategi Pengembangan Agroindustri Biodiesel, dan Model Kelayakan Investasi. Untuk memberikan informasi mengenai nilai tambah komoditas pertanian sebagai bahan baku biodiesel, dapat dilakukan melalui analisis pada model penentuan bahan baku dengan teknik MPE. Hasil perhitungannya menunjukkan bahwa komoditas bahan baku terpilih berdasarkan kondisi nyata saat ini adalah kelapa sawit. Komoditas kelapa sawit ini merupakan alternatif terbaik yang dapat digunakan sebagai bahan baku biodiesel berdasarkan kriteria-kriteria yang telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya. Namun berdasarkan kondisi nyata saat ini, harga bahan baku dari komoditas kelapa sawit (CPO) sangat mahal dan menyebabkan harga jual biodiesel menjadi tidak dapat bersaing dengan harga jual solar dalam negeri. Maka CPO yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku biodiesel adalah CPO off grade. Selain itu, dengan pemanfaatan CPO off grade, nilai tambahnya semakin meningkat melalui proses produksi biodiesel. Hasil perhitungan model penentuan lokasi potensial dengan teknik AHP, urutan prioritas dari lokasi yang paling potensial adalah Riau, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Banjarmasin. Riau merupakan provinsi yang memiliki produktivitas tinggi untuk komoditas kelapa sawit. Riau tercatat sebagai provinsi yang memiliki produktivitas terbesar kedua di Indonesia
untuk komoditas kelapa sawit. Dengan produktivitas yang besar tersebut, jumlah CPO off grade yang dapat dimanfaatkan dalam pengolahan biodiesel pun jumlahnya akan semakin besar. Untuk
menghasilkan
strategi
terbaik
dalam
pengembangan
agroindustri biodiesel dilakukan dengan analisis SWOT dan tkenik AHP. Hasil analisis SWOT dan teknik AHP pada model penentuan strategi menunjukkan bahwa strategi bekerja sama dengan perusahaan lain seperti produsen CPO sebagai pemasok bahan baku dengan cara mendirikan industri yang terintegrasi dengan pemasok bahan baku tersebut terpilih menjadi strategi dengan prioritas utama untuk pendirian agroindustri biodiesel. Implementasinya yaitu dengan mendirikan pabrik secara terintegrasi dengan pabrik pengolah kelapa sawit untuk memanfaatkan CPO off grade yang tidak termanfaatkan karena tidak memenuhi standar pengolahan pada sektor pangan. Model analisis kelayakan investasi bertujuan untuk mengetahui peluang dan kelayakan usaha dari proyek agroindustri biodiesel berdasarkan aspek finansialnya. Hasil analisis kelayakan investasi agroindustri biodiesel dengan umur proyek selama 12 tahun layak untuk dijalankan berdasarkan kriteria investasinya, yaitu nilai NPV sebesar Rp 8.993.322.066,61; Nilai Internal Rate Ratio (IRR) sebesar 31,38 %; Pay Back Period (PBP) selama 2,05 tahun; nilai Net B/C Ratio sebesar 1,36; dan nilai Break Event Point (BEP) setara dengan 868.703,39 liter biodiesel.
B. Saran Perlu pengkajian strategi pengembangan agroindustri yang lebih mendalam sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih mendetail dan lebih mudah untuk diaplikasikan. Selain itu, perlu pengkajian yang lebih lanjut pada proses pendirian agroindustri dengan kapasitas produksi yang lebih besar serta
mempertimbangkan
perancangan komputer
agroindustri
dalam
sistem
faktor-faktor biodiesel penunjang
lain
tersebut.
yang
berpengaruh
Pengembangan
keputusan
perumusan
pada
program strategi
pengembangan agroindustri biodiesel juga perlu dilakukan agar proses pemasukan data ke dalam program BioDSS 1.0 dapat lebih mudah dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA Ambarita, M. T. D. 2002. Transesterifikasi Minyak Goreng Bekas untukProduksi Metil Ester. Tesis. Bogor: Program Pasca Sarjana IPB. Agustian, H. Y. 2005. Sifat Fisiko Kimia Biodiesel Jarak Pagar (Jatropha curcas) suatu Sumber Energi Terbarukan. Skripsi. Bogor: Departemen Kimia, FMIPA, Institut Pertanian Bogor. Austin, J. E. 1981. Agroindustrial Project Analysis. London: The John Hopkins University Press. Barnwal, B.K. dan M.P. Sharma. 2005. Jurnal. Prospects of biodiesel production from vegetable oils in India, Renewable and Sustainable Energy Reviews 9. pp. 363–378. Bona, S., G. Mosca dan T. Vamerli. 1999. Jurnal. Oil crops for biodiesel production in Italy, Renewable Energy 16. pp. 1053–1056. BRDST. 2006. Laporan Basic Design Pabrik Biodiesel Kapasitas Komersial. Jakarta : Balai Rekayasa Desain dan Sistem Teknologi, BPPT. Canacki, M. dan V. Gerpen. 2001. Biodiesel from Oils and Fats with High Free Fatty Acids. Trans Am Soc Automotive Engine. Divisi Pemasaran Pertamina. 2006. Peluang dan Prospek Pasar Biodiesel di Indonesia. Jakarta: Direktorat Pemasaran dan Niaga Pertamina. Direktorat Jenderal Perkebunan-Departemen Pertanian. 2007. Rekapitulasi Komoditas Kelapa sawit. Jakarta: Departemen Pertanian RI. Djasmin, Z. 1984. Perencanaan dan Analisis Proyek. Jakarta: UI Press. Dominguez, P. G., dan L. S. Adriano. 1994. Agroindustrial Cooperation: A Proposed Frame Work and Plan of Action. BIMP-EAGA, USM (Mimeograph). Eriyatno. 1990. Sistem Penunjang Keputusan. Makalah Khusus Laboratorium Teknik Manajemen Industri. Bogor: Departemen Teknologi Industri Pertanian, FATETA, IPB. Eriyatno. 1999. Ilmu Sistem, Meningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajemen. Bogor: Institut Pertanian Bogor Press. Haas, M. 2003. Detoxification Experiments with The Seed Oil from Jatropha curcas L Indus Corps Produstion.
Hariana. 2007. Teknologi Proses Biodiesel. Jakarta: Balai Teknologi dan Motor Propulsi (BTMP), Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspitek) Serpong. Indrajaya. 2005. Optimasi Sintesis Biodiesel dari Minyak Jarak Pagar (Jatropha curcas) melalui Proses Esterifikasi-Transesterifikasi. Skripsi. Bogor: Departemen Kimia, FMIPA, Institut Pertanian Bogor. Idris, F. 2006. Prosiding Simposium Biodiesel Indonesia: Pengembangan Industri Biodiesel di Indonesia. Jakarta: Departemen Perindustrian Republik Indonesia. Jurusan TIN-IPB. 1983. Simposium Nasional Agroindustri I. Bogor: Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Kadariah, L. K., dan C. Gray. 1999. Pengantar Evaluasi Proyek. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Univesitas Indonesia. Lucas, H. C. Jr. 1993. Analisis Desain dan Implementasi Sistem Informasi Edisi ketiga. Jakarta: Erlangga. Manetsh, T. J dan G. L. Park. 1977. System Analysis and Simulation with Application to Economic and Social System. Michigan: Michigan State University. Mangunwidjaja, D., Muslich, dan Suprihatin. 2000. Seri Agroindustri I: Agroindustri: Peran, Prospek, dan Perkembangannya di Indonesia. Bogor: Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Minch, R. P dan J. R Burn. 1983. Conceptual Design of Decision Support System Utilizing Management Science Model, IEEE Transaction on System. Mac and Cybermetic, USA. Mittelbach, M. dan C. Remschmidt. 2004. Biodiesel: The Comprehensive Handbook 1st Edition. Vienna: Boersedruck Ges. M. B. H. Rahmadi, A. 2007. Pengembangan Pabrik Biodiesel dalam Rangka Kemandirian Suplai Energi Bersih. Jakarta: Balai Rekayasa Desain dan Sistem Teknologi BPPT. Rangkuti, F. 2006. Analisis SWOT, Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Reksowardojo. 2002. Menggalang Upaya Menegakkan Industri Biodiesel yang Tangguh di Indonesia. Jakarta: Penebar Swadaya.
Saaty, T. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin: Proses Hirarki Analitik untuk Pengambilan Keputusan dan Situasi yang Komplek. Terjemahan. PT Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta. Sendzikiene, E., V. Makareviciene dan P. Janulis. 2006. Jurnal. Influence of fuel oxygen content on diesel engine exhaust emissions, Renewable Energy, pp. 2505–2512. Setiadi. H. 2004. Sistem Penunjang Keputusan Investasi Agroindustri Berbasis Daging Sapi di Kabupaten Boyolali. Skripsi. Departemen Teknologi Industri Pertanian, FATETA, IPB. SNI. 2006. Di dalam Jurnal. Solikhah, M. D., A. Rahmadi, S. S. Wirawan, A. Kismanto, dan M. Nuramin. Biodiesel Plant Design, Perencanaan, Pemilihan Lokasi, dan Hal-hal Penting Lainnya. Jakarta: Balai Rekayasa Desain dan Sistem Teknologi BPPT. Solikhah, M. D., A. Rahmadi, S. S. Wirawan, A. Kismanto, dan M. Nuramin. 2007. Jurnal. Biodiesel Plant Design, Perencanaan, Pemilihan Lokasi, dan Hal-hal Penting Lainnya. Jakarta: Balai Rekayasa Desain dan Sistem Teknologi BPPT. Suryadi dan Ramdhani. 1998. Sistem Pendukung Keputusan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.. Sutojo. 1993. Studi Kelayakan Proyek: Teori dan Praktek. Jakarta: PT Pustaka Binaman Pressindo. Soerawidjaja, T. H. 2003. Studi Kebijakan Penggunaan Biodiesel di Indonesia. Bogor : SEAFAST, IPB. Turban, E. 1990. Decision Support System and Expert Manajemen Support System, Second Edition. New York: Mc Milan Publishing Company. Vicente, G., A. Coteron, M. Matinez dan J. Aracil. 1998. Jurnal. Application of Factorial Design of Experiments and Response Surface Methodology to Optimize Biodiesel Production, Industrial Crops and Products 8 ., pp. 29– 35.
Lampiran 1. Perolehan dan pengolahan data Langkah-langkah Penelitian
PERSIAPAN PENELITIAN
PEMILIHAN PAKAR
PENGUMPULAN DATA
Data dan Informasi
Latar belakang penelitian, tujuan penelitian, ruang lingkup penelitian, output dan manfaat penelitian
Sumber Data
Internal dan eksternal perusahaan/instansi terkait
Pakar yang harus mewakili: Pihak praktisi Pihak Birokrasi Pihak Akademisi
Internal dan eksternal perusahaan/instansi terkait
Data bahan baku biodiesel
Internal dan eksternal perusahaan/instansi terkait
Data lokasi potensial
Internal dan eksternal perusahaan/instansi terkait
Cara Pengambilan Data
- Studi literatur - Studi dokumentasi - Browsing interniet - Survey lapangan
Konsultasi dan diskusi
- Pengisian kuesioner oleh pakar - Wawancara
- Pengisian kuesioner oleh pakar - Wawancara
Tipe Data
Teknik yang digunakan utuk Pengolahan data
Data Sekunder
Analisis Deskriptif
Data Sekunder
Pakar yang dipilih adalah seorang yang berpengalaman dan memiliki kompetensi dalam pengembangan agroindustri biodiesel
Data Primer
Penilaian tingkat kepentingan dengan skala 1-9
Data Primer
Penilaian tingkat kepentingan dengan skala 1-9
Prosedur Pelaksanaan Kegiatan
- menetapkan topik yang dilteliti - menetapkan substansi yang dikaji - menentukan tool yang digunakan - menetapkan ruang lingkup kajian
- Diskusi dengan pakar mengenai permasalahan yang dikaji - Mengajukan permohonan - Menetapkan pakar
- Menyusun kusioner - Penentuan skala tingkat kepentingan - Pengisian kuesioner oleh pakar
- Menyusun kusioner - Penentuan skala tingkat kepentingan - Pengisian kuesioner oleh pakar
Lampiran 1 (lanjutan)
Data perumusan strategi pengembangan agroindustri biodiesel
Langkah-langkah Penelitian
Data dan Informasi
Analisis data bahan baku biodiesel
ANALISIS DATA
ANALISIS
Analisis data lokasi potensial
Internal dan eksternal perusahaan/instansi terkait
Sumber Data
Informasi pakar
Informasi pakar
- Pengisian kuesioner oleh pakar - Wawancara
Cara Pengambilan Data
Analisis hasil pengisian kuesioner oleh pakar
Analisis hasil pengisian kuesioner oleh pakar
Data Primer
Tipe Data
Data Primer
Data Primer
Penilaian tingkat kepentingan dengan skala 1-9 Teknik yang digunakan utuk Pengolahan data
- Menyusun kusioner - Penentuan skala tingkat kepentingan - Pengisian kuesioner oleh pakar
Prosedur Pelaksanaan Kegiatan
MPE
- Menentukan alternatif bahan baku biodiesel - Menentukan kriteria bahan baku biodiesel yang memenuhi syarat - Analisis dan perhitungan pembobotan
AHP
- Menentukan alternatif lokasi potensial - Menentukan kriteria lokasi potensial - Analisis dan perhitungan pembobotan
Analisis data perumusan strategi pengembangan agroindustri biodiesel
Informasi pakar
Analisis hasil pengisian kuesioner oleh pakar
Data Primer
AHP
- Menentukan alternatif strategi pengembangan agroindustri biodiesel - Menentukan kriteria pengembangan agroindustri biodiesel - Analisis dan perhitungan pembobotan
Data dan informasi
Informasi pakar dan
Wawancara dan studi
Data
NPV, IRR, PBP, B/C
Perhitungan NPV, IRR, PBP, B/C
Lampiran 1 (lanjutan) KELAYAKAN FINANSIAL
PEMBANGUNAN MODEL SISTEM PENUNJANG KEPUTUSAN PERUMUSAN STRATEGI PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI BIODIESEL
keuangan pendirian agroindustri biodiesel
Data dan informasi kebutuhan pemodelan sistem
Data dan informasi kebutuhan pembuatan program komputer
pustaka
Pustaka
Pustaka
literatur
Primer
Ratio, dan BEP
Ratio, dan BEP
Studi literatur
Data Sekunder
Pemodelan sistem terbagi menjadi submodel penentuan bahan, baku, submodel lokasi potensial, dan submodel strategi pengembangan
Membangun model berdasarkan elemen-elemen penyusun model
Studi literatur
Data Sekunder
Aplikasi langung pada komputer
- Pembuatan program komputer Penggunaan software pendukung
Data dan Informasi
INTEGRASI PEMODELAN SISTEM DENGAN PROGRAM KOMPUTER
Data kebutuhan integrasi pemodelan sistem dengan program komputer
Pustaka
Studi literatur
Data Sekunder
Menggunakan integrasi dan transformasi model
Pemodelan sistem diintegrasikan ke dalam program komputer untuk menghasilkan keputusan akhir
PENGUJIAN
Menguji validitas program yang dibangun
Pustaka
Studi literatur
Data Sekunder
Pengujian dengan data
Menyelesaikan contoh kasus yaitu menerapkan data masa lalu untuk menguji performance sistem
Sumber Data
Cara Pengambilan Data
Teknik yang digunakan utuk Pengolahan data
Langkah-langkah Penelitian
Tipe Data
Prosedur Pelaksanaan Kegiatan
Lampiran 2. Petunjuk Instalasi dan Pemakaian Program BioDSS 1.0 Aplikasi BioDSS 1.0 Program aplikasi BioDSS 1.0 merupakan program yang berbasis stand alone, artinya dapat diinstal dengan mudah digunakan secara dinamis pada setiap PC (Personal Computer). Sistem dalam BioDSS 1.0 membutuhkan suatu perangkat lunak (software) dan perangkat keras (hardware) dengan spesifikasi tertentu. Kebutuhan Minimal Perangkat Keras 9. Prosesor Intel Pentium III, 10. Memori (RAM) sebesar 128 megabytes, 11. VGA 1 MB, 12. CD-Room, 13. Monitor ukuran 600 x 800 pixels, 14. Menggunakan sistem operasi Microsoft Wondows 98/ME/2000/XP, 15. Ruangan harddisk kosong sebesar 1 Gigabyte. Kebutuhan Minimal Perangkat Lunak 1. Sistem operasi Windows 2000/ME/2003/XP 2. Microsoft Office 2000/2003 3. Expert Choice 2000
Prosedur Instalasi Petunjuk Instalasi Untuk memulai program BioDSS 1.0, sebaiknya di dalam komputer telah terinstal program aplikasi Expert Choice 2000, sebab di dalam program BioDSS 1.0 terdapat model-model analisis yang terintegrasi dengan Expert Choice 2000 tersebut. Apabila belum terinstal, pengguna diminta untuk melakukan proses instalasi terlebih dahulu. 1. Klik icon set up ec pada folder master program Expert Choice 2000. 2. Setelah icon tersebut diklik, pengguna diminta mengikuti petunjuk penginstalan dengan mengklik tombol Next sampai muncul tampilan sebagai berikut:
Serial number
Setelah muncul tampilan tersebut, pengguna diminta memasukkan serial number seperti yang tertera di samping. Kemudian, klik tombol Ok untuk melanjutkan proses instalasi.
3. Apabila proses instalasi telah berhasil dilakukan, maka akan muncul tampilan sebagai berikut:
Klik tombol Finish untuk mengakhiri proses instalasi, dan program aplikasi Expert Choice 2000 telah siap untuk dijalankan melalui Program BioDSS 1.0
Pendahuluan Untuk menjalankan program BioDSS 1.0, pengguna tidak harus melakukan proses instalasi rumit seperti program aplikasi lain. Pengguna hanya diminta untuk memindahkan folder program BioDSS 1.0 yang terdapat dalam CD, kedalam komputer dan folder tersebut dapat ditempatkan dimana saja di dalam komputer tersebut. Hal ini merupakan kemudahan tersendiri bagi pengguna dalam menjalankan program BioDSS 1.0. Login Agar program BioDSS 1.0 dapat dioperasikan, maka pengguna harus mengklik icon Project BioDSS 1.0 yang terdapat dalam folder tersebut seperti gambar berikut ini:
BioDSS 1.0.ico
Setelah icon tersebut diklik maka, akan muncul menu login seperti gambar berikut: Pada menu tersebut, pengguna diminta untuk memasukkan nama dan memilih login sebagai user. Apabila pengguna memilih login sebagai user, maka pengguna tidak perlu memasukkan password, sebab password tersebut hanya diperlukan oleh administrator untuk melakukan perubahan (editing)
sistem dan memperbaharui (up dating) data statis dalam sistem. Selanjutnya, klik tombol OK untuk meneruskan program.
User Interface Berikutnya, pengguna akan dapat mengoperasikan program BioDSS 1.0 tersebut dan akan muncul tampilan user interface seperti gambar berikut. Shortcut Menu
Klik 1
User interface seperti uang tersaji gambar disamping merupakan tampilan awal program BioDSS 1.0. User interface tersebut memiliki dua menu utama, yaitu Menu Informasi dan Menu Model. Klik 1:
Menu Informasi Klik 2 merupa-kan menu yang digunakan untuk mengetahui segala macam informasi tentang biodiesel. Pengguna hanya dapat mengaksesnya, tetapi tidak dapat mengeditnya karena merupakan basis data statis. Klik 2: Menu Model merupakan menu yang digunakan untuk melakukan analisis model. Pengguna dapat memasukkan data-data analisis atau mengeditnya karena merupakan basis data dinamis. Selain itu, pengguna juga dapat memilih menu jalan pintas (shortcut menu) untuk langsung menuju ke sub menu yang diinginkan.
Menu Informasi
Pada menu informasi tersebut, terdapat empat sub menu yang berisi informasi mengenai biodiesel dengan basis data statis, yaitu sub menu Biodiesel, Teknologi Proses, Desain Pabrik, dan Regulasi Pemerintah. Bila pengguna memilih sub menu Biodiesel, maka akan muncul tampilan seperti yang tertera di atas.
Menu Model
Klik 1
Klik 2
Klik 3
-ngan (Klik 2), dan Model Analisis Finansial (Klik 4)
Pada menu model tersebut, terdapat empat sub menu yang berisi model analisis. Yaitu, Model Pemilihan Baku (Klik 1), Model Penentuan Lokasi Potensial (Klik 2), Model Strategi Pengemba
Model Pemilihan Baku Model tersebut menggunakan teknik analisis dengan menggunakan Metode Perbandingan Eksponensial (MPE). Beberapa langkah yang harus dilakukan oleh pengguna, yaitu:
Klik 1
Klik 2
1. Memasukkan jumlah pakar 2. Memasukkan alternatif bahan baku yang akan dianalisis 3. Memasukkan kriteria/faktor penilaian 4. Memasukkan pengisian matriks (pembobotan) pendapat pakar.
Klik 1: untuk mengedit alternatif bahan baku Klik 2: untuk mengedit kriteria/faktor penilaian Klik 3: untuk memasukkan jumlah pakar yang terlibat Klik 3
1. Alternatif Penilaian Setelah pengguna mengklik tombol Edit Alternatif Penilaian (Klik 1), maka akan muncul tampilan seperti gambar disamping.
Klik 1
Pengguna diminta memasuk-kan jumlah alternatif (Klik1), setelah itu program secara otomatis akan memberikan tabel dengan jumlah baris sesuai dengan jumlah alternatif yang dimasukkan. Lalu pengguna dapat memasukkan masing-masing alternatif pada tabel tersebut.
2. Kriteria Penilaian
Proses pemasukan datanya dilakukan seperti pada form pengisian alternatif pada tahap sebelumnya. Pengguna diminta memasukkan jumlah kriteria (Klik1), setelah itu program secara otomatis Tabel Input Kriteria
Klik 1
akan memberikan tabel dengan jumlah baris sesuai dengan jumlah kriteria yang dimasukkan. Lalu pengguna dapat memasukkan masing-masing kriteria pada tabel tersebut.
3. Pembobotan
Gambar disamping merupa-kan form untuk melakukan pembobotan kriteria. Pembo-botan tersebut dilakukan sesuai dengan pendapat pakar. Banyaknya pembobo-tan sesuai dengan jumlah pakar yang terlibat dan telah diinputkan pada form sebelumnya.
Sedangkan gambar disam-ping merupakan form untuk melakukan pembobotan alternatif. Pembobotan tersebut dilakukan sesuai dengan pendapat pakar. Banyaknya pembobotan sesuai dengan jumlah pakar yang terlibat dan telah diinputkan pada form sebelumnya. Setelah semua pendapat pakar dimasukkan, maka pengguna dapat melihat hasil analisis bahan baku tersebut dan akan muncul tampilan sebagai berikut:
Model Penentuan Lokasi Potensial Model tersebut menggunakan teknik Analitical Hierarchy Process (AHP). Beberapa langkah yang harus dilakukan oleh pengguna, yaitu: Icon Penentuan Jumlah Pakar
Input Alternatif Goal Hirarki AHP
Hirarki AHP
1. Memasukkan jumlah pakar 2. Membuat Hirarki Model AHP pada form yang tersedia. 3. Menentukan Goal dari model tersebut. 4. Menentukan masing-masing elemen pada setiap level hirarki tersebut. 5. Menentukan alternatif lokasi yang dianalisis. 6. Masukkan bobot masingmasing elemen berdasarkan
pendapat setiap pakar. 7. Melakukan revisi pembobo-tan bila terdapat nilai inconsistency ratio yang lebih besar dari 0,10. 8. Nilai prioritas setiap elemen dan prioritas alternatif didapatkan secara otomatis.
AHP
Prioritas
Apabila hirarki telah selesai dibuat, maka tahap selanjutnya adalah melakukan pengisian bobot (matriks) elemen pada setiap level, dan pengisian bobot alternatif. Icon untuk pembobotan
Untuk melakukan pembobotan elemen serta alternatif, pengguna harus mengklik icon untuk pembobotan, sampai muncul tampilan seperti gambar di samping. Setelah itu, pengguna langsung dapat memasukkan bobot nilai setiap Form Pembobotan elemen elemen dengan skala penilaian 19 dengan perbandingan berpa-sangan dari dua elemen yang diperbandingkan. Bobot nilai yang berwarna hitam berarti elemen horizontal lebih penting daripada elemen vertikal, sedangkan bobot nilai yang berwarna merah berarti sebaliknya Icon Grafik
Skala Penilaian
Pengguna diminta untuk memasukkan bobot semua elemen pada tiap levelnya. Selanjutnya, pengguna dapat melihat prioritas dari setiap elemen atau alternatif dalam Nilai inconsistency ratio bentuk grafik batang agar lebih mudah dalam pembacaannya. Tampilannya dapat dilihat pada gambar di samping. Selain grafik batang, nilai inconsistency ratio dari setiap levelnya ditampilkan pada form tersebut.
Bobot Prioritas Alternatif
Setelah semua bobot dari masing-masing pakar dimasukkan, maka akan muncul tampilan seperti gambar di samping. Semua elemen pada tiap levelnya akan mempunyai bobot nilai tertentu sesuai dengan iterasi AHP yang perhitungannya dilakukan se-cara
otomatis oleh program. Pengguna juga akan menda-patkan hasil akhir analisis berupa bobot prioritas dari alternatif lokasi
Model Penentuan Strategi Pengembangan Model tersebut menggunakan teknik Analitical Hierarchy Process (AHP). Beberapa langkah yang harus dilakukan oleh pengguna dalam model ini memiliki tahapan yang sama seperti pada Model Penentuan Lokasi Potensial.
Bobot Prioritas Alternatif
Setelah semua tahapan analisis tersebut dilakukan, dimana semua bobot dari masing-masing pakar dimasukkan, maka akan muncul tampilan seperti gambar di samping. Semua elemen pada tiap levelnya akan mempunyai bobot nilai tertentu sesuai dengan iterasi
AHP yang perhitungannya dilakukan secara otomatis oleh program. Pengguna juga akan menda-patkan hasil akhir analisis berupa bobot prioritas dari alternatif strategi pengembangan.
Model Analisis Finansial Di dalam model tersebut, terdapat tiga komponen analisis utama yang tersaji, yaitu form asumsi investasi, form biaya, dan form kelayakan. Tahapan pertama, pengguna diminta untuk memberikan data masukkan asumsi yang digunakan dalam investasi agroindustri biodiesel tersebut. Tampilan programnya tersaji pada gambar berikut :
Di dalam form asumsi tersebut, pengguna diminta memasukkan data-data asumsi secara lengkap agar hasil yang di dapat adalah hasil yang akurat berdasarkan kondisi nyata saat ini. Bila input data telah lengkap, klik tombol simpan. Setelah itu, pengguna juga diminta untuk memasukkan data biaya yang terdiri dari tiga form, yaitu form data biaya investasi, biaya tetap per tahun serta biaya variabel. Untuk melakukannya, pengguna dapat mengklik tombol Struktur Biaya, lalu akan muncul tampilan sebagai berikut: Gambar di samping adalah form biaya investasi . Datadata investasi dimasuk kan pada input box satu persatu dengan mengklik tombol Tambah yang terda-pat di bawah form Basis data investasi
Data biaya investasi yang dimasukkan tersebut akan ditampilkan pada basis data investasi yang terdapat di sebelahnya. Sedangkan total biaya investasi secara keseluruhan dapat dilihat pada bagian kanan bawah form biaya investasi. Berikutnya, pengguna diminta untuk memasukkan data biaya tetap yang dibutuhkan per tahun pada form Biaya Tetap dan Biaya Variabel, seperti yang tersaji pada gambar di
bawah ini. Proses pemasukkan datanya untuk kedua form tersebut sama seperti pemasukkan data pada form Biaya Investasi.
Basis data biaya tetap
Input data biaya tetap
Basis data biaya variabel
Input data biaya variabel
Selanjutnya, setelah semua nilai biaya dan asumsi dimasukkan, pengguna dapat memperoleh hasil kelayakannya berdasarkan kriteria investasi seperti pada gambar di samping.
Lampiran 3. Verifikasi dan validasi AHP untuk model penentuan lokasi potensial Level 2
1 2 3 4 5
Priorities with respect to: Goal: pemilihan lokasi strategis Ketersediaan bahan baku Ketersediaan infrastruktur & transportasi Ketersediaan utilitas kedekatan dgn pasar kebijakan pemerintah Inconsistency = 0.02 with 0 missing judgments.
Level 3
0.363 0.247 0.219 0.097 0.075 1.001
1 2 3 4
1 2 3 4
1 2 3 4
1 2 3 4
1 2 3 4
Priorities with respect to: Goal: pemilihan lokasi strategis >Ketersediaan bahan baku investor pelaku industri pemerintah masyarakat sekitar Inconsistency = 0.00 with 0 missing judgments. Priorities with respect to: Goal: pemilihan lokasi strategis >Ketersediaan infrastruktur & transportasi investor pelaku industri pemerintah masyarakat sekitar Inconsistency = 0.00 with 0 missing judgments. Priorities with respect to: Goal: pemilihan lokasi strategis >Ketersediaan utilitas investor pelaku industri pemerintah masyarakat sekitar Inconsistency = 0.02 with 0 missing judgments. Priorities with respect to: Goal: pemilihan lokasi strategis >kedekatan dgn pasar investor pelaku industri pemerintah masyarakat sekitar Inconsistency = 0.01 with 0 missing judgments. Priorities with respect to: Goal: pemilihan lokasi strategis >kebijakan pemerintah investor pelaku industri pemerintah masyarakat sekitar Inconsistency = 0.01 with 0 missing judgments.
Level 4
Level 5
Priorities with respect to: Goal: pemilihan lokasi strategis 0.423 0.356 0.122 0.099 1
1 2 3
>investor meningkatkan profit & mengurangi cost pemerataan lokasi industri kesejahteraan masy. & lap kerja Inconsistency = 0.01 with 0 missing judgments.
0.698 0.164 0.137 0.999
1 2 3 4
Priorities with respect to: Goal: pemilihan lokasi strategis 0.27 0.257 0.344 0.13 1.001
1 2 3
>pelaku industri meningkatkan profit & mengurangi cost pemerataan lokasi industri kesejahteraan masy. & lap kerja Inconsistency = 0.00 with 0 missing judgments.
0.652 0.192 0.156 1
1 2 3 4
Priorities with respect to: Goal: pemilihan lokasi strategis 0.368 0.205 0.308 0.119 1
1 2 3
>pemerintah meningkatkan profit & mengurangi cost pemerataan lokasi industri kesejahteraan masy. & lap kerja Inconsistency = 0.00 with 0 missing judgments.
0.131 0.174 0.695 1
Priorities with respect to: Goal: pemilihan lokasi strategis 0.566 0.207 0.096 0.131 1
0.273 0.178 0.431 0.118 1
1 2 3
>masyarakat sekitar meningkatkan profit & mengurangi cost pemerataan lokasi industri kesejahteraan masy. & lap kerja Inconsistency = 0.00 with 0 missing judgments.
0.103 0.22 0.678 1.001
1 2 3 4
Priorities with respect to: Goal: pemilihan lokasi strategis >meningkatkan profit & mengurangi cost riau sumatra utara sumsel banjarmasin Inconsistency = 0.07 with 0 missing judgments. Priorities with respect to: Goal: pemilihan lokasi strategis >pemerataan lokasi industri riau sumatra utara sumsel banjarmasin Inconsistency = 0.00 with 0 missing judgments. Priorities with respect to: Goal: pemilihan lokasi strategis >kesejahteraan masy. & lap kerja riau sumatra utara sumsel banjarmasin Inconsistency = 0.01 with 0 missing judgments.
0.482 0.242 0.172 0.103 0.999
0.315 0.302 0.128 0.255 1
0.182 0.195 0.194 0.428 0.999
Lampiran 3 (lanjutan) Level 2 (Faktor) 1 Ketersediaan bahan baku 2 Ketersediaan infrastruktur & transportasi 3 Ketersediaan utilitas 4 kedekatan dgn pasar 5 kebijakan pemerintah
Bobot 0.363 0.247 0.219 0.097 0.075 1.001
Peringkat 1 2 3 4 5
Level 3 (Aktor) 1 investor 2 pelaku industri 3 pemerintah 4 masyarakat sekitar
Bobot 0.376 0.271 0.238 0.139 1.025
Peringkat 1 2 3 4
Level 4 (Tujuan) 1 meningkatkan profit & mengurangi cost 2 pemerataan lokasi industri 3 kesejahteraan masy. & lap kerja
Bobot 0.485 0.209 0.306 1.000
Peringkat 1 3 2
Level 4 (Alternatif) 1 riau 2 sumatra utara 3 sumsel 4 banjarmasin
Bobot 0.402 0.249 0.165 0.183 0.999
Peringkat 1 2 4 3
Lampiran 4. Verifikasi dan validasi AHP untuk model penentuan strategi pengembangan agroindustri biodiesel Level 2
1 2 3 4 5 6
Priorities with respect to: Goal: Strategi Pengembangan Industri Biodiesel harga bahan baku & bahan kimia harga jual biodiesel VS harga distribusi & tata niaga biodiesel kontinuitas produksi biodiesel kebijakan pemerintah (Regulasi Pemda) besarnya modal investasi Inconsistency = 0.01 with 0 missing judgments.
Level 3
0.372 0.28 0.147 0.079 0.045 0.076 0.999
1 2 3 4 5
1 2 3 4 5
Priorities with respect to: Goal: Strategi Pengembangan Industri Biodiesel >harga bahan baku & bahan kimia investor pelaku industri pemerintah pemasok bahan baku pangsa pasar biodiesel Inconsistency = 0.01 with 0 missing judgments. Priorities with respect to: Goal: Strategi Pengembangan Industri Biodiesel >harga jual biodiesel VS harga solar investor pelaku industri pemerintah pemasok bahan baku pangsa pasar biodiesel Inconsistency = 0.01 with 0 missing judgments.
Level 3
0.297 0.073 0.119 0.275 0.236 1
0.297 0.076 0.236 0.198 0.192 0.999
1 2 3 4 5
1 2 3 4 5
Priorities with respect to: Goal: Strategi Pengembangan Industri Biodiesel >distribusi & tata niaga biodiesel 1 2 3 4 5
investor pelaku industri pemerintah pemasok bahan baku pangsa pasar biodiesel Inconsistency = 0.02 with 0 missing judgments.
Priorities with respect to: Goal: Strategi Pengembangan Industri Biodiesel >kontinuitas produksi biodiesel investor pelaku industri pemerintah pemasok bahan baku pangsa pasar biodiesel Inconsistency = 0.01 with 0 missing judgments. Priorities with respect to: Goal: Strategi Pengembangan Industri Biodiesel >kebijakan pemerintah (Regulasi Pemda) investor pelaku industri pemerintah pemasok bahan baku pangsa pasar biodiesel Inconsistency = 0.01 with 0 missing judgments.
0.326 0.095 0.111 0.242 0.226 1
0.209 0.062 0.406 0.165 0.157 0.999
Priorities with respect to: Goal: Strategi Pengembangan Industri Biodiesel >pemerintah 0.291 0.074 0.271 0.124 0.24 1
1 2 3 4 5
investor pelaku industri pemerintah pemasok bahan baku pangsa pasar biodiesel Inconsistency = 0.02 with 0 missing judgments.
0.451 0.089 0.078 0.073 0.309 1
Lampiran 4 (lanjutan) Level 4
1 2 3
1 2 3
Priorities with respect to: Goal: Strategi Pengembangan Industri Biodiesel >investor memperoleh bhn baku dgn harga rendah utk mengurangi cost meningkatkan profit dr penjualan biodiesel memenuhi pasokan biodiesel indonesia Inconsistency = 0.01 with 0 missing judgments.
Priorities with respect to: Goal: Strategi Pengembangan Industri Biodiesel >pelaku industri memperoleh bhn baku dgn harga rendah utk mengurangi cost meningkatkan profit dr penjualan biodiesel memenuhi pasokan biodiesel indonesia Inconsistency = 0.01 with 0 missing judgments.
Level 5
0.462 0.43 0.108
0.393 0.312 0.295 1
Priorities with respect to: Goal: Strategi Pengembangan Industri Biodiesel >pemerintah 1 2 3
1 2 3
memperoleh bhn baku dgn harga rendah utk mengurangi cost meningkatkan profit dr penjualan biodiesel memenuhi pasokan biodiesel indonesia Inconsistency = 0.00 with 0 missing judgments.
Priorities with respect to: Goal: Strategi Pengembangan Industri Biodiesel >pemasok bahan baku memperoleh bhn baku dgn harga rendah utk mengurangi cost meningkatkan profit dr penjualan biodiesel memenuhi pasokan biodiesel indonesia Inconsistency = 0.00 with 0 missing judgments.
Priorities with respect to: Goal: Strategi Pengembangan Industri Biodiesel >memperoleh bhn baku dgn harga rendah utk mengurangi cost 1 industri biodiesel terintegrasi dgn pabrik kelapa sawit (pemasok bhn baku) 2 kerja sama dgn Pertamina sbg pembeli & distributor biodiesel 3 Produksi skala besar & lebih dari satu jenis bhn baku 4 kerjasama dgn industri lain sbg konsumen biodiesel utk memenuhi kebutuhan energi mereka Inconsistency = 0.03 with 0 missing judgments.
Priorities with respect to: Goal: Strategi Pengembangan Industri Biodiesel >meningkatkan profit dr penjualan biodiesel 1 industri biodiesel terintegrasi dgn pabrik kelapa sawit (pemasok bhn baku) 2 kerja sama dgn Pertamina sbg pembeli & distributor biodiesel 3 Produksi skala besar & lebih dari satu jenis bhn baku 4 kerjasama dgn industri lain sbg konsumen biodiesel utk memenuhi kebutuhan energi mereka Inconsistency = 0.01 with 0 missing judgments.
0.531 0.172 0.154 0.142 0.999
0.469 0.231 0.211 0.088 0.999
Priorities with respect to: Goal: Strategi Pengembangan Industri Biodiesel >memenuhi pasokan biodiesel indonesia 0.28 0.28 0.44 1
0.462 0.404 0.134 1
1 2 3 4
industri biodiesel terintegrasi dgn pabrik kelapa sawit (pemasok bhn baku) kerja sama dgn Pertamina sbg pembeli & distributor biodiesel Produksi skala besar & lebih dari satu jenis bhn baku kerjasama dgn industri lain sbg konsumen biodiesel utk memenuhi kebutuhan energi mereka Inconsistency = 0.00 with 0 missing judgments.
0.399 0.357 0.118 0.126 1
1 2 3
Priorities with respect to: Goal: Strategi Pengembangan Industri Biodiesel >pangsa pasar biodiesel memperoleh bhn baku dgn harga rendah utk mengurangi cost meningkatkan profit dr penjualan biodiesel memenuhi pasokan biodiesel indonesia Inconsistency = 0.00 with 0 missing judgments.
0.178 0.182 0.64 1
Lampiran 4 (lanjutan) Level 2 (Faktor) 1 harga bahan baku & bahan kimia 2 harga jual biodiesel VS harga 3 distribusi & tata niaga biodiesel 4 kontinuitas produksi biodiesel 5 kebijakan pemerintah (Regulasi Pemda) 6 besarnya modal investasi
Bobot 0.372 0.28 0.147 0.079 0.045 0.076 0.999
Peringkat 1 2 3 4 6 5
Level 3 (Aktor) 1 investor 2 pelaku industri 3 pemerintah 4 pemasok bahan baku 5 pangsa pasar biodiesel
Bobot 0.306 0.076 0.183 0.208 0.225 0.999
Peringkat 1 5 4 3 2
Level 4 (Tujuan) 1 memperoleh bhn baku dgn harga rendah utk mengurangi cost 2 meningkatkan profit dr penjualan biodiesel 3 memenuhi pasokan biodiesel indonesia
Bobot 0.359 0.332 0.308 0.999
Peringkat 1 2 3
Level 4 (Alternatif)
Bobot
Peringkat
0.486 0.223 0.175 0.116 1.000
1 2 3 4
1 2 3 4
industri biodiesel terintegrasi dgn pabrik kelapa sawit (pemasok bhn baku) kerja sama dgn Pertamina sbg pembeli & distributor biodiesel Produksi skala besar & lebih dari satu jenis bhn baku kerjasama dgn industri lain sbg konsumen biodiesel utk memenuhi kebutuhan energi mereka
Lampiran 5. Investasi Awal Agroindustri Biodiesel No. I
Komponen
Nilai (Rp)
1
Perizinan
2
Biaya konstruksi dan Fabrikasi
3
AMDAL
2
Tanah (30 m x 20 m) Bangunan (Pabrik + kantor + laboratorium) Total II
1
Instalasi Telepon
2
Instalasi Listrik
3
Instalasi Air
0
2.083.333
0
0
10.416.667
0
20.000.000
0
1.666.667
0
170.000.000
0
14.166.667
0
300.000.000
300.000.000
0
0
500.000.000
250.000.000
20.833.333
5.000.000
800.000.000
550.000.000
20.833.333
5.000.000
950.000
285.000
55.417
9.500
5.000.000
1.500.000
291.667
50.000
2.000.000
600.000
116.667
20.000
7.950.000
2.385.000
463.750
79.500
360.000
Mesin dan Peralatan 1 Mesin Produksi Degumming
36.000.000
10.800.000
2.100.000
Reaktor Transesterifikasi (2 unit)
84.000.000
25.200.000
4.900.000
840.000
Bleaching (Methanol Recovery)
25.000.000
7.500.000
1.458.333
250.000
Mesin Pencucian
22.000.000
6.600.000
1.283.333
220.000
Tangki Penyimpan Minyak
43.000.000
12.900.000
2.508.333
430.000
Tangki Penyimpan Alkohol
16.500.000
4.950.000
962.500
165.000
Tangki Penyimpan Produk
43.000.000
12.900.000
2.508.333
430.000
Tangki Bahan Pembantu
16.500.000
4.950.000
962.500
165.000
Centrifuge
55.000.000
16.500.000
3.208.333
550.000
Heater (4 unit)
92.000.000
27.600.000
5.366.667
920.000
Vacum Dryer
55.000.000
16.500.000
3.208.333
550.000
Filter
39.000.000
11.700.000
2.275.000
390.000
Valve
5.000.000
1.500.000
291.667
50.000
Pompa
82.000.000
24.600.000
4.783.333
820.000
Pipa
45.000.000
13.500.000
2.625.000
450.000
13.180.000 672.180.000
3.954.000 201.654.000
768.833 39.210.500
0 6.590.000
10.000.000 10.000.000
3.000.000 3.000.000
583.333 583.333
100.000 100.000
Spare parts 2% Sub Total 1 2 3
Peralatan laboratorium Sub Total 2 Perlengkapan utilitas Tangki Bahan Bakar Boiler Tabung Pemadam Kebakaran Kompressor udara Kendaraan pick up (2 unit)
V
25.000.000 125.000.000
Fasilitas Penunjang
Total III IV
Pemeliharaan (per tahun)
Tanah dan Bangunan 1
III
Depresiasi (SLN)
Biaya Pra Investasi
Total I II
Nilai Sisa (Rp)
200.000
60.000
11.667
2.000
35.000.000
10.500.000
2.041.667
350.000
7.000.000
2.100.000
408.333
70.000
4.500.000
1.350.000
262.500
45.000
80.000.000
40.000.000
3.333.333
800.000
Sub Total 3
126.700.000
54.010.000
6.057.500
1.267.000
Total IV
808.880.000
258.664.000
45.851.333
7.957.000
14.000.000
4.200.000
816.667
140.000
750.000
225.000
43.750
7.500
3.000.000
900.000
175.000
30.000
Alat Kantor 1
Komputer (4 unit)
2
Lemari Arsip
3
Meja dan kursi kantor
4
Pesawat telepon
150.000
45.000
8.750
1.500
5
Peralatan kantor
2.500.000
750.000
145.833
25.000
Total V Total I, II, III, IV, V (Modal Tetap) Kontingensi 5 % Total Investasi
20.400.000
6.120.000
1.190.000
204.000
1.807.230.000
817.169.000
82.505.083
13.240.500
90.361.500
0
7.530.125
0
1.897.591.500
817.169.000
90.035.208
13.240.500
Lampiran 6. Biaya Tenaga Kerja No.
Jumlah (orang)
Keterangan
Gaji per bulan (Rp)
Total gaji / bulan (Rp)
Total gaji / tahun (Rp)
Tenaga Kerja Tak Langsung 1
Kepala Direksi
1
2
Manager Pabrik
1
2.000.000
2.000.000
24.000.000
3
Staff Administrasi & Keuangan
1
1.500.000
1.500.000
18.000.000
4
Staff Pemasaran
1
1.500.000
1.500.000
18.000.000
5
Staff Quality Control
1
1.500.000
1.500.000
18.000.000
6
Keamanan (Satpam)
2
850.000
1.700.000
20.400.000
7
Supir
2
850.000
Sub Total
3.000.000
9
3.000.000
36.000.000
1.700.000
20.400.000
12.900.000
154.800.000
Tenaga Kerja Langsung 1
Operator Poduksi
12
850.000
10.200.000
122.400.000
2
Laboran
1
850.000
850.000
10.200.000
Sub Total Total
13
11.050.000
132.600.000
22
23.950.000
287.400.000
Lampiran 7. Biaya Operasional, Modal Kerja (6 bulan pertama), dan Total Investasi a. Biaya Operasional No. A
B
Thn ke-1 (90%)
Keterangan
Ke-2 (95%)
Ke-3 (100%)
Ke-4
Ke-5
Ke-6
Ke-7
Ke-8
Ke-9
Ke-10
Ke-11
Ke-12
Biaya Tetap 1. Tenaga Kerja
287.400.000
287.400.000
287.400.000
287.400.000
287.400.000
287.400.000
287.400.000
287.400.000
287.400.000
287.400.000
287.400.000
287.400.000
2. Pemeliharaan
13.240.500
13.240.500
13.240.500
13.240.500
13.240.500
13.240.500
13.240.500
13.240.500
13.240.500
13.240.500
13.240.500
13.240.500
3. Depresiasi
90.035.208
90.035.208
90.035.208
90.035.208
90.035.208
90.035.208
90.035.208
90.035.208
90.035.208
90.035.208
90.035.208
90.035.208
4. Pajak PBB (2,5%)
20.000.000
20.000.000
20.000.000
20.000.000
20.000.000
20.000.000
20.000.000
20.000.000
20.000.000
20.000.000
20.000.000
20.000.000
Total Biaya Tetap
410.675.708
410.675.708
410.675.708
410.675.708
410.675.708
410.675.708
410.675.708
410.675.708
410.675.708
410.675.708
410.675.708
410.675.708
5,987,520,000
6,320,160,000
6,652,800,000
6,652,800,000
6,652,800,000
6,652,800,000
6,652,800,000
6,652,800,000
6,652,800,000
6,652,800,000
6,652,800,000
6,652,800,000
197,555,760
208,531,080
219,506,400
219,506,400
219,506,400
219,506,400
219,506,400
219,506,400
219,506,400
219,506,400
219,506,400
219,506,400
3. Utilitas (Listrik, Telepon, Air)
30,352,050
32,038,275
33,724,500
33,724,500
33,724,500
33,724,500
33,724,500
33,724,500
33,724,500
33,724,500
33,724,500
33,724,500
4. Transportasi (0,1 % dari BV)
6,215,428
6,560,729
6,906,031
6,906,031
6,906,031
6,906,031
6,906,031
6,906,031
6,906,031
6,906,031
6,906,031
6,906,031
6,221,643,238
6,567,290,084
6,912,936,931
6,912,936,931
6,912,936,931
6,912,936,931
6,912,936,931
6,912,936,931
6,912,936,931
6,912,936,931
6,912,936,931
6,912,936,931
6,632,318,946
6,977,965,793
7,323,612,639
7,323,612,639
7,323,612,639
7,323,612,639
7,323,612,639
7,323,612,639
7,323,612,639
7,323,612,639
7,323,612,639
7,323,612,639
Biaya Variabel 1. Bahan Baku (CPO) 2. Bahan kimia
Total Biaya Variabel
Total Biaya Operasional
b. Total Modal Kerja No. A
c. Total Investasi Keterangan
Nilai
1. Biaya Tenaga Kerja 2. Biaya Pemeliharaan 3. Depresiasi
Nilai
143.700.000
1
Modal Tetap (Investasi Awal)
1,897,591,500
6.620.250
2
Modal Kerja
3,336,159,473
10.000.000 Total Biaya Tetap
205.337.854
Biaya Variabel 1. Biaya Bahan Baku Biodiesel (CPO)
2,993,760,000
2. Biaya Bahan Kimia
98,777,880
3. Biaya Utilitas (Listrik, Telepon, Air)
15,176,025
4. Biaya Transportasi (0,1 % dari BV) Total Biaya Variabel C
Keterangan
45.017.604
4. Pajak Bumi dan Bangunan (2,5%) B
No.
Biaya Tetap
Persediaan Kas TOTAL MODAL KERJA
3,107,714 3,110,821,619 20,000,000 3,336,159,473
TOTAL INVESTASI
5,233,750,973
Lampiran 8. Harga Produk Biodiesel dan Penerimaan Penjualan Produk
Harga Jual Biodiesel Harga Pokok = (Biaya Tetap + Biaya Variabel) / Produksi Biodiesel per tahun Harga Pokok = Rp. 5.315 (Per liter)
Penjualan Biodiesel Biodiesel terjual (liter) Harga (Rp. / liter) Penerimaan (Rp)
Thn ke-1
2
3
4
5
Harga Jual = Harga Pokok + Margin 12,8% Harga Jual = Rp 5.996 (Per liter) Æ di bawah harga jual solar untuk industri
6
7
8
9
10
11
12
1,604,992
1,694,158
1,783,324
1,783,324
1,783,324
1,783,324
1,783,324
1,783,324
1,783,324
1,783,324
1,783,324
1,783,324
5,996
5,996
5,996
5,996
5,996
5,996
5,996
5,996
5,996
5,996
5,996
5,996
9,622,745,160
10,157,342,114
10,691,939,067
10,691,939,067
10,691,939,067
10,691,939,067
10,691,939,067
10,691,939,067
10,691,939,067
10,691,939,067
10,691,939,067
10,691,939,067
Lampiran 9. Pembayaran Kredit
No. 1 2
STRUKTUR PEMBIAYAAN AWAL Modal Modal Jenis Kredit Pinjaman (Rp) Sendiri (Rp) Modal Tetap 948,795,750 948,795,750 Modal Kerja 1,668,079,737 1,668,079,737 Jumlah
Thn. 0 1 2 3 4 5 6
2,616,875,487
2,616,875,487
ANGSURAN UNTUK MODAL TETAP Jumlah Angsuran Bunga Kredit Pokok 948.795.750 948.795.750 158.132.625 151.807.320 790.663.125 158.132.625 126.506.100 632.530.500 158.132.625 101.204.880 474.397.875 158.132.625 75.903.660 316.265.250 158.132.625 50.602.440 158.132.625
158.132.625
25.301.220
Pembayaran
Sisa Kredit
Thn.
309.939.945 284.638.725 259.337.505 234.036.285 208.735.065
790.663.125 632.530.500 474.397.875 316.265.250 158.132.625
0 1 2 3 4 5
183.433.845
0
6
ANGSURAN UNTUK MODAL KERJA Jumlah Angsuran Bunga Kredit Pokok 1,668,079,737 1,668,079,737 278,013,289 266,892,758 1,390,066,447 278,013,289 222,410,632 1,112,053,158 278,013,289 177,928,505 834,039,868 278,013,289 133,446,379 556,026,579 278,013,289 88,964,253 278,013,289
278,013,289
44,482,126
Pembayaran
Sisa Kredit
544,906,047 500,423,921 455,941,795 411,459,668 366,977,542
1,390,066,447 1,112,053,158 834,039,868 556,026,579 278,013,289
322,495,416
0
Lampiran 10. Laporan Laba Rugi No. A.
B
C.
D.
Ket. Penerimaan Total Penerimaan
Tahun ke-1 (Rp)
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
9,622,745,160
10,157,342,114
10,691,939,067
10,691,939,067
10,691,939,067
10,691,939,067
10,691,939,067
10,691,939,067
10,691,939,067
10,691,939,067
10,691,939,067
10,691,939,067
Pengeluaran 1. Biaya Tetap 2. Biaya Variabel Total Pengeluaran
410,675,708
410,675,708
410,675,708
410,675,708
410,675,708
410,675,708
410,675,708
410,675,708
410,675,708
410,675,708
410,675,708
410,675,708
6,221,643,238
6,567,290,084
6,912,936,931
6,912,936,931
6,912,936,931
6,912,936,931
6,912,936,931
6,912,936,931
6,912,936,931
6,912,936,931
6,912,936,931
6,912,936,931
6,632,318,946
6,977,965,793
7,323,612,639
7,323,612,639
7,323,612,639
7,323,612,639
7,323,612,639
7,323,612,639
7,323,612,639
7,323,612,639
7,323,612,639
7,323,612,639
Laba Operasi
2,990,426,214
3,179,376,321
3,368,326,428
3,368,326,428
3,368,326,428
3,368,326,428
3,368,326,428
3,368,326,428
3,368,326,428
3,368,326,428
3,368,326,428
3,368,326,428
151,807,320
126,506,100
101,204,880
75,903,660
50,602,440
25,301,220
0
0
0
0
0
0
544,906,047
500,423,921
455,941,795
411,459,668
366,977,542
322,495,416
0
0
0
0
0
0
696,713,367
626,930,021
557,146,675
487,363,328
417,579,982
347,796,636
0
0
0
0
0
0
2,293,712,847
2,552,446,300
2,811,179,753
2,880,963,099
2,950,746,446
3,020,529,792
3,368,326,428
3,368,326,428
3,368,326,428
3,368,326,428
3,368,326,428
3,368,326,428
Pembayaran Bunga 1. Bunga Modal Tetap 2. Bunga Modal Kerja Total Pembayaran Bunga
E
Laba Sebelum Pajak
F
Pajak Penghasilan
670,613,854
748,233,890
825,853,926
846,788,930
867,723,934
888,658,938
992,997,928
992,997,928
992,997,928
992,997,928
992,997,928
992,997,928
G
Laba Bersih
1,623,098,993
1,804,212,410
1,985,325,827
2,034,174,170
2,083,022,512
2,131,870,854
2,375,328,499
2,375,328,499
2,375,328,499
2,375,328,499
2,375,328,499
2,375,328,499
Perhitungan Pajak : 0,1*50.000.000
5,000,000
5,000,000
5,000,000
5,000,000
5,000,000
5,000,000
5,000,000
5,000,000
5,000,000
5,000,000
5,000,000
5,000,000
0,15*50.000.000
7,500,000
7,500,000
7,500,000
7,500,000
7,500,000
7,500,000
7,500,000
7,500,000
7,500,000
7,500,000
7,500,000
7,500,000
0,3*100.000.000
658,113,854
735,733,890
813,353,926
834,288,930
855,223,934
876,158,938
980,497,928
980,497,928
980,497,928
980,497,928
980,497,928
980,497,928
Jumlah Pajak
670,613,854
748,233,890
825,853,926
846,788,930
867,723,934
888,658,938
992,997,928
992,997,928
992,997,928
992,997,928
992,997,928
992,997,928
Lampiran 11. Proyeksi Arus Kas No. A
B
Keterangan Kas Masuk 1. Laba Bersih 2. Depresiasi 3. Nilai Sisa 4. Modal Sendiri 5. Modal Pinjaman Total Kas Masuk Kas Keluar 1. Biaya Modal Tetap 2. Biaya Modal Kerja 3. Angsuran Pokok iiiiiiPinjaman Total Kas Keluar
Tahun ke-0
Tahun ke-1
2
3
4
5
0 0 0 2,616,875,487 2,616,875,487 5,233,750,973
1,623,098,993 90,035,208 0 0 0 1,713,134,201
1,804,212,410 90,035,208 0 0 0 1,894,247,618
1,985,325,827 90,035,208 0 0 0 2,075,361,035
2,034,174,170 90,035,208 0 0 0 2,124,209,378
2,083,022,512 90,035,208 0 0 0 2,173,057,720
1,897,591,500
0
0
0
0
0
3,336,159,473
0
0
0
0
0
0 5,233,750,973
436,145,914 436,145,914
436,145,914 436,145,914
436,145,914 436,145,914
436,145,914 436,145,914
436,145,914 436,145,914
C D
Aliran Kas Bersih Kas Awal Tahun
0 0
1,276,988,287 0
1,458,101,704 1,276,988,287
1,639,215,121 2,735,089,990
1,688,063,463 4,374,305,112
1,736,911,806 6,062,368,575
E
Kas Akhir Tahun
0
1,276,988,287
2,735,089,990
4,374,305,112
6,062,368,575
7,799,280,381
No. A
B
Keterangan Kas Masuk 1. Laba Bersih 2. Depresiasi 3. Nilai Sisa 4. Modal Sendiri 5. Modal Pinjaman Total Kas Masuk Kas Keluar 1. Biaya Modal Tetap 2. Biaya Modal Kerja 3. Angsuran Pokok iiiiiiPinjaman Total Kas Keluar
6
7
8
9
10
11
12
2,131,870,854 90,035,208 0 0 0 2,221,906,063
2,375,328,499 90,035,208 0 0 0 2,465,363,708
2,375,328,499 90,035,208 0 0 0 2,465,363,708
2,375,328,499 90,035,208 0 0 0 2,465,363,708
2,375,328,499 90,035,208 0 0 0 2,465,363,708
2,375,328,499 90,035,208 0 0 0 2,465,363,708
2,375,328,499 90,035,208 817,169,000 0 0 3,282,532,708
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
436,145,914 436,145,914
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
0 0
C D
Aliran Kas Bersih Kas Awal Tahun
1,785,760,148 7,799,280,381
2,465,363,708 9,585,040,529
2,465,363,708 12,050,404,237
2,465,363,708 14,515,767,944
2,465,363,708 16,981,131,652
2,465,363,708 19,446,495,360
3,282,532,708 21,911,859,067
E
Kas Akhir Tahun
9,585,040,529
12,050,404,237
14,515,767,944
16,981,131,652
19,446,495,360
21,911,859,067
25,194,391,775
Lampiran 12. Kriteria Investasi Kriteria NPV
Nilai 8.993.322.066,61
IRR
31,38 %
Net B/C
1,36
Æ Net B/C > 1
PBP (tahun)
2,05
Æ PBP < umur proyek
BEP (Rp.) BEP (liter)
5.208.745.526,44 868.703,39
Æ NPV > 0 Æ IRR > MARR (12%)
Berdasarkan kriteria invetasi, Proyek Agroindustri Biodiesel tersebut LAYAK.
DAFTAR ISTILAH
Added value nilai tambah pada komoditas pertanian menjadi produk yang lebih bernilai melalui agroindustri. AHP
Analitical Hierarchy Process, yaitu suatu pendekatan analisis yang bertujuan untuk membuat suatu model permasalahan yang tidak mempunyai struktur dan biasanya diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah yang terukur (kuantitatif), maupun masalahmasalah yang memerlukan pendapat (judgement).
Biodiesel
senyawa ester monoalkil dari asam lemak yang diolah dari sumber lipid alami terbarukan, dan digunakan sebagai bahan bakar motor diesel.
CPO
Crude Palm Oil, yaitu minyak mentah yang dihasilkan dari komoditas kelapa sawit.
Debugging
proses pelacakan kesalahan dan pengujian program.
DFD
Data Flow Diagram atau diagram arus data yang digunakan untuk menggambarkan suatu sistem secara logika tanpa melihat lingkungan fisik. DFD menggambarkan arus data secara terstruktur serta merupakan dokumentasi yang tersimpan dalam sistem.
Edible oil
minyak yang dihasilkan dari komoditas pertanian yang digunakan untuk pengolahan produk pangan.
Esterifikasi
reaksi antara asam lemak bebas dengan gliserol atau alkohol yang membentuk ester dan melepaskan air.
MPE
suatu metode untuk menentukan urutan prioritas alternatif keputusan dengan kriteria jamak, dimana teknik ini digunakan sebagai pembantu bagi individu pengambil keputusan untuk menggunakan rancang bangun model yang telah terdefinisi dengan baik pada tahapan proses.
Plant design suatu pekerjaan bersama dari berbagai disiplin yang dilakukan oleh perusahaan atau lembaga engineering bersama-sama dengan pemilik pabrik guna menoptimalkan yield, neraca massa dan integrasi bahan baku serta fasilitas yang ada. Sistem
kumpulan elemen-elemen yang saling berinteraksi dan bekerja sama untuk mencapai tujuan tertentu.
SPK
Sistem
Penunjang
Keputusan,
sistem yang berfungsi
mentransformasi data dan informasi menjadi alternatif keputusan dan prioritasnya. Tranesterifikasi, proses penggantian alkohol ester (gliserol) dengan alkohol lain (metanol) melalui reaksi alkoholisis atau metanolisis. Validasi
tahap yang dilakukan dengan tujuan menentukan tingkat keakuratan model yang dibuat dibandingkan dengan dunia nyata.
Verifikasi
tahapan yang dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui apakah sistem yang dibuat layak digunakan.