INDUSTRIALISASI MADURA: PENGEMBANGAN AGRIBISNIS DAN AGROPOLITAN OLEH BURHANUDDIN Staf Pengajar Departemen Agribisnis FEM-IPB
Otonomi daerah telah menjadi komitmen pemerintah dalam rangka mewujudkan sistem pengelolaan sumberdaya alam dan manusia secara lebih efisien dan berkeadilan di setiap wilayah. Kebijakan otonomi daerah ini, di satu sisi memberikan keleluasaan bagi pemerintah daerah dalam melakukan aktivitas pembangunan, tetapi di sisi lain menuntut setiap pemerintah daerah mampu merancang dan mengimplementasikan rogram pengelolaan sumberdayanya secara lebih profesional yang sebelumnya dilakukan secara terkonsentrasi dan top down. Dengan demikian, otonomi telah membuat pemerintah daerah dihadapkan pada berbagai alternatif pengembangan komoditas atau sektor yang dapat diandalkan menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi wilayah dan kesejahteraan masyarakatnya. Pada kenyataannya hal demikian tidaklah mudah bagi pemerintah daerah, karena: Pertama; beragamnya faktor-faktor penggerak ekonomi daerah, baik dari sisi sumberdaya alam dan sumberdaya manusianya maupun tahapan pembangunan ekonominya. Ini berarti, suatu daerah tidak memiliki potensi dan daya dukung sumberdaya yang sama dengan daerah lain. Bahkan daerah yang memiliki kondisi agroklimatologi yang tidak jauh berbeda pun, sering tidak bisa dikelola dengan rancang bangun yang sama. Kedua; beberapa pemerintah daerah belum berpengalaman dalam mengelola penuh pembangunan daerah. Hal ini terlihat dari adanya ketidaksinkronan pembangunan antar subsektor, bahkan kurangnya berkoordinasi dengan daerah lain menyebabkan proses pemunculan potensi wilayah terhambat dan cenderung mematikan pengembangan komoditas. Dan ketiga; kurangnya eksekutor-eksekutor pembangungan agribisnis di daerah yang mampu mengharmonisasikan sistem agribisnis berbasis komoditas dan wilayah. Ini terjadi karena, selama bertahun-tahun proses pengembangan sistem agribisnis nasional masih tersekat-sekat. Era otonomi daerah telah dimulai sejak dikeluarkannya UU No.22 Tahun 1999, UU No.25 Tahun 1999 dan PP 25 Tahun 2000. Esensi dari pelaksanaan otonomi daerah adalah pendayagunaan keunggulan komparatif (comparative advantage) yang dimiliki masing-masing daerah menjadi keunggulan bersaing (competitive advantage). Keunggulan komparatif yang dimiliki setiap daerah secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua golongan besar yakni sumberdaya manusia (human resources) dengan segala keragaman sosial-budaya dan kemampuannya; dan sumberdaya alam (natural resources). Sumberdaya alam berdasarkan karakteristiknya dapat dibedakan atas sumberdaya alam tak terbarui (non-renewable resources) dan sumberdaya alam terbaharui (renewable resources). Sumberdaya alam tak terbaharui seperti barang tambang dan galian, tidak dapat digunakan sebagai basis kegiatan
ekonomi rakyat banyak, sebab selain jumlahnya terbatas juga akan habis (exhausted) suatu saat. Oleh karena itu, sumberdaya tersebut harus dimanfaatkan secara bijaksana dan harus mampu mengembangkan kegiatan ekonomi baru. Sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan untuk basis kegiatan ekonomi khususnya dalam jangka panjang adalah sumberdaya hayati (keragaman hayati), agroklimat, lahan, dan lain-lain yang terkait dengannya. Dengan kata lain, sumberdaya yang dapat dijadikan sebagai basis pembangunan ekonomi daerah, khususnya Madura adalah sumberdaya hayati (hewani dan nabati) dan sumberdaya manusianya. Madura adalah pulau yang sejak dulu dikenal sebagai penghasil garam, jagung, tembakau, sapi, dan hasil laut sepanjang pantai utara-selatan. Walaupun dibagi ke dalam empat kabupaten (Sumenep, Pamekasan, Sampang, dan Bangkalan), secara umum aktivitas utama ekonomi keempat kabupaten tersebut masih dominan produksi sumberdaya alam yang dapat diperbarui. Karena secara geografi, wilayah keempat kabupaten tersebut memiliki kekayaan laut dan lahan pertanian. Selain itu, karakter masyarakatnya yang religius dan pekerja keras merupakan keunggulan kompetitif dan komparatif bagi Madura yang akan mampu mengelola sumberdaya daya alamnya secara terus menerus. Kegiatan ekonomi yang berbasis pada pendayagunaan sumberdaya hayati dan sumberdaya manusia tersebut dikenal dengan pembangunan sistem agribisnis. Dengan demikian, pembangunan sistem agribisnis Madura yang dimaksud, mencakup 4 (empat) sub-sistem yakni: (1) sub-sistem agribisnis hulu (up-stream agribusiness) yakni kegiatan yang menghasilkan barang-barang modal bagi pertanian seperti industri perbenihan/pembibitan, industri agro-kimia (pupuk, pestisida, dll), industri agrootomotif (alat dan mesin pertanian); (2) sub-sistem usahatani/pertanian primer (on-farm agribusiness) yakni kegiatan yang menggunakan barang-barang modal, sosial budaya, lahan untuk menghasilkan komoditas primer seperti usahatani tanaman pangan dan hortikultura, usahatani perikanan, usaha peternakan, usaha perikanan dan usaha kehutanan; (3) sub-sistem agribisnis hilir (down-stream agribusiness) yakni industriindustri yang mengolah komoditas pertanian primer menjadi produk olahan ternasuk kegiatan pemasarannya; dan (4) sub-sistem jasa penunjang yakni kegiatan yang menyediakan jasa bagi ketiga sub-sistem diatas seperti perkreditan, transportasi, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan, kebijakan pemerintah dan lain-lain. Di masa lalu, dalam rangka pembangunan ekonomi daerah telah dikembangkan sistem ekonomi desa-kota, di mana perkotaan menjadi pusat industri dan jasa sedangkan pedesaan sebagai sumber bahan baku. Setelah lebih dari 30 tahun sistem tersebut dikembangkan di Indonesia, ternyata disparitas desa-kota makin meningkat, memacu urbanisasi bahkan cenderung memeras pedesaan bukan hanya sekadar terjadi pemutus hubungan (decoupling) antara perkembangan ekonomi pedesaan dan perkotaan. Keadaan perkembangan desa-kota yang demikian terjadi akibat dari beberapa faktor yang antara lain adalah: (1) pengembangan industri pengolahan hasil pertanian dan jasa kebutuhan pertanian terpusat dan kurang memiliki kaitan dengan pedesaan;
(2) tidak ada kelembagaan dan organisasi ekonomi yang mampu menggerakkan mekanisme pasar agar surplus di daerah perkotaan dapat kembali (reinvest) ke daerah pedesaan; (3) kurangnya perhatian pada pengembangan infrastruktur pedesaan yang dapat membangkitkan investasi baru di pedesaan. Dengan perkataan lain, di masa lalu pembangunan sistem agribisnis tidak dikembangkan secara integratif dan harmonis, melainkan dikembangkan secara partial dan tersekat-sekat. Belajar dari pengalaman masa lalu, di masa yang akan datang pembangunan ekonomi daerah Madura pun perlu mengintegrasikan pengembangan ekonomi desakota melalui pengembangan sistem agribisnis yang terintegrasi dengan pengembangan kota-desa yang dikenal dengan pembangunan Agropolitan. Pengembangan agropolitan di daerah Madura, menjadi sangat urgen dilakukan mengingat daerah Madura termasuk daerah yang belum kritis masalah disparitas ekonominya, sehingga lebih mudah untuk mengembangkan secara lebih terencana. Pengembangan agropolitan di daerah Madura dapat menjadi momentum pembangunan ekonomi Madura berbasis agribisnis dalam menjawab tantangan industrialisasi Madura yang mau tidak mau, suka tidak suka harus dihadapi masyarakat Madura. Industrialisasi yang berbasis pada sumberdaya lokal Madura (adalah agroindustrialisasi) akan menempatkan Madura sebagai penggerak sekaligus pendorong pembangunan ekonomi regional dan nasional, sekaligus membangun ekonomi daerah Madura yang mengintegrasikan perkembangan perkotaan dan pedesaan dengan disparitas minimum. PEMBANGUNAN AGRIBISNIS MADURA Pada hakekatnya, pembangunan ekonomi Madura merupakan suatu proses pendayagunaan sumberdaya yang ada di Madura untuk menghasilkan manfaat sosialekonomi bagi masyarakat Madura. Sumberdaya Madura dapat dikelompokkan ke dalam: (1) sumberdaya alam (natural resources), seperti sumberdaya keragaman hayati (biodiversity), lahan dan air, agroklimat, dan yang terkait dengannya; (2) sumberdaya manusia (human resources) baik waktu, tenaga, pikiran dan keahlian; (3) sumberdaya sosial (socio capital) atau sering disebut quasi knowledge seperti kelembagaan lokal, nilainilai sosial, etno-technologies atau indegeneous technologies, kearifan lokal (local wisdom) dan lain-lain, serta (4) sumberdaya yang dihasilkan dari interaksi ketiga sumberdaya tersebut (man-made resources) seperti barang-barang modal, inovasi-teknologi, managemen, dan organisasi. Bentuk persekutuan pendayagunaan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya sosial dan sumberdaya man-made tersebut dikenal dengan agribisnis (pembangunan pertanian dalam arti luas yakni usahatani tanaman pangan, usahatani hortikultura, usahatani tanaman obat (biofarmaka), usahatani perkebunan, usaha peternakan, usaha perikanan dan usaha kehutanan). Dalam upaya membangun ekonomi Madura, membangun pertanian saja tidaklah cukup, karena pembangunan pertanian tanpa disertai dengan pengembangan barang-barang modal untuk kebutuhan pertanian itu sendiri akan membuat pertanian tidak mampu berkembang. Demikian juga, pengembangan pertanian tanpa disertai dengan pengembangan pengolahan hasil pertanian tidak akan dapat memenuhi produk yang diminta pasar. Oleh karena itu, untuk membangun ekonomi Madura,
pembangunan pertanian harus seiring dengan pengembangan barang-barang modal, dan jasa yang diperlukan pertanian dan pengolahan hasil pertanian, yang secara keseluruhan disebut sebagai pembangunan sistem agribisnis. Pembangunan sistem agribisnis dalam upaya pembangunan ekonomi Madura dimaksudkan untuk dual hal pokok yakni: (1) memperbesar kapasitas ekonomi Madura dalam menghasilkan “kue ekonomi” yakni kesempatan kerja, kesempatan berusaha, pendapatan dan produk-produk yang dibutuhkan masyarakat (pangan, sandang, papan, energi); dan (2) memperbesar bagian (share) “kue ekonomi” yang dinikmati masyarakat Madura, dari total “kue ekonomi” yang tercipta dalam pembangunan sistem agribisnis di Madura. Dalam upaya memperbesar share kue ekonomi yang dapat dinikmati masyarakat Madura, selain dengan meningkatkan penguasaan dan kualitas sumberdaya yang dimiliki masyarakat dalam pembangunan sistem agribisnis, juga disertai dengan pengembangan organisasi ekonomi masyarakat yang merupakan persekutuan modal sosial dengan modal ekonomi. Para petani-nelayan yang merupakan kelompok terbesar dari masyarakat Madura, diarahkan untuk membentuk usaha kelompok atau usaha koperasi yang bergerak pada sub-sistem agribisnis hulu, pada sub-sistem agribisnis hilir dan pada sub-sistem jasa penunjang, baik dalam bentuk jargon usaha (kordinasi vertikal) maupun dalam bentuk usaha patungan (community corporate). Dengan demikian, meskipun para petani-nelayan hanya mengusahai sub-sistem onfarm, melalui organisasi ekonominya para petani dapat menikmati nilai tambah yang tercipta pada sub-sistem agribisnis hulu, hilir dan jasa penunjang agribisnis. Cara ini juga dapat memberi kepastian dan mengurangi resiko bagi usahataninya karena mereka memiliki akses yang besar pada input usahatani (sub-sistem agribisnis hulu), pada perkreditan, teknologi, pendidikan, dan lain-lain (sub-sistem penunjang) dan pada pasar (sub-sistem agribinis hilir). Kemudian, upaya peningkatan kapasitas ekonomi Madura dalam menghasilkan kue ekonomi dilakukan dengan peningkatan produktivitas dan nilai tambah baik yang bersumber dari penggunaan barang-barang modal, peningkatan kemampuan sumberdaya manusia (SDM) dan dari inovasi-teknologi. Karena itulah ke-empat subsistem agribisnis tersebut dikembangkan secara simultan dan harmonis. TAHAPAN PEMBANGUNAN AGRIBISNIS MADURA Pada tahap awal (pertama) pembangunan sistem agribisnis masih mengandalkan kelimpahan sumberdaya alam dan SDM belum terampil (natural resources and unskill labor based) atau factor-driven. Pada tahap ini antara lain ditandai oleh peningkatan output agribisnis yang diperoleh dengan memperluas areal usahatani dan mendiversifikasi usaha tani sesuai dengan potensi Madura. Selain itu, output akhir didominasi oleh komoditi pertanian primer (bahan mentah). Sehingga kemampuan penetrasi pasar rendah, segmen pasar yang dimasuki terbatas dan nilai tambah (pendapatan) yang dinikmati masyarakat Madura masih relatif rendah. Tahapan kedua yakni pembangunan sistem agribisnis yang digerakkan oleh penggunaan barang-barang modal dan SDM lebih (semi) terampil (capital and semi-skill
labor based) atau capital-driven pada setiap sub-sistem agribisnis. Pada tahap ini antara lain ditandai oleh peningkatan produktivitas dan nilai tambah sebagai sumber pertumbuhan output total agribisnis, baik akibat peningkatan penggunaan barangbarang modal maupun akibat peningkatan mutu sumberdaya manusia. Sedangkan dari segi output akhir agribisnis, tahap ini dicirikan oleh dominasi produk agribisnis bentuk olahan (diversifikasi produk) yang sesuai dengan permintaan pasar. Sehingga kemampuan penterasi pasar meningkat, segmen pasar yang dimasuki makin luas (peningkatan pangsa pasar) dan nilai tambah (pendapatan) yang dinikmati masyarakat Madura meningkat. Tahap ketiga adalah tahap pembangunan sistem agribisnis yang digerakkan oleh ilmu pengetahuan-teknologi dan SDM terampil (knowledge and skill labor based) atau innovation–driven. Pada tahap ini ditandai dengan peningkatan produktivitas dan nilai tambah yang makin besar akibat inovasi-teknologi dan SDM terampil pada seluruh sub-sistem agribisnis. Sedangkan pada produk akhir agribisnis ditandai oleh peningkatan pangsa produk yang bernilai tambah tinggi (high value), diversifikasi produk sesuai dengan segmen-segmen pasar yang berkembang, sehingga pendapatan yang diterima masyarakat Madura juga akan semakin meningkat. Tahap innovationdriven ini tidak memiliki batas. Sepanjang inovasi-teknologi terus terjadi maka produkproduk baru dan bernilai tambah tinggi akan selalu dihasilkan. Peningkatan kapasitas ekonomi Madura melalui pembangunan sistem agribisnis yang bergerak dari factor-driven kepada capital-driven yang kemudian pada innovationdriven, merupakan proses pendayagunaan keunggulan komparatif Madura (sebagai daerah agraris dan maritim) menjadi keunggulan bersaing. Dan, karena pada setiap tahap tersebut juga dikembangkan kapasitas sumberdaya yang dimiliki masyarakat Madura dan disertai dengan pengembangan organisasi ekonomi beserta jaringan usaha dari para petani-peternak-nelayan, maka peningkatan manfaat ekonomi yang terjadi pada setiap tahapan tersebut juga dinikmati oleh masyarakat Madura. PENUTUP Membangun industri di Madura merupakan pekerjaan besar Masyarakat Madura dari mulai ujung timur di Sumenep sampai ujung barat di Bangkalan. Oleh karena itu, koordinasi dan teamwork keempat kabupaten merupakan kunci sekaligus penentu arah industrialisasi Madura. Berdasarkan pada sumberdaya Madura, maka Agroindustri merupakan jalur utama industrialisasi Madura. Untuk itu, secara terintegrasi dan harmonis, administrator Madura dapat menyusun rencana strategis pengembangan agropolitan dan rencana strategis pembangunan sistem agribisnis untuk mengisi rencana pengembangan agropolitan tersebut serta menyusun rekomendasi-rekomendasi pengembangan agribisnis dan agropolitan Madura. Akhirnya, berdasarkan pertimbangan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, kebutuhan teknologi, prospek pasar, lingkungan, dan efektivitas dalam pemberdayaan masyarakat, sektor agribisnis secara luas merupakan alternatif penggerak ekonomi Madura.