10
TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Teoritis
Konsep Pendidikan Nasional Pendidikan, menurut Tirtarahardja dan La Sulo (2005), seperti sifat sasarannya yaitu manusia, mengandung banyak aspek dan sifatnya sangat kompleks. Karena sifatnya yang kompleks itu, maka tidak sebuah batasan pun yang cukup memadai untuk menjelaskan arti pendidikan secara lengkap. Ahmadi dan Uhbiyati (1991) mencoba memberikan pengertian bahwa kata pendidikan, secara etimologi berasal dari bahasa Yunani, paedagogie, terdiri dari kata “pais”, artinya anak, dan “again” diterjemahkan membimbing. Jadi, paedagogie yaitu bimbingan yang diberikan kepada anak. Sementara Hatimah dkk (2006) menulis bahwa pedagogi berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata paid dan agogus. Paid berarti anak, dan agogus berarti leader of. Pedagogi diartikan sebagai seni dan ilmu mendidik anak. Brodjonegoro (Ahmadi & Uhbiyati 1991) mengatakan bahwa pendidikan atau mendidik adalah memberi tuntunan kepada manusia yang belum dewasa dalam pertumbuhan dan perkembangan, sampai terjadinya kedewasaan dalam arti jasmani dan rohani. Dunia pendidikan mengenal konsep life long education atau pendidikan sepanjang hayat (PSH) yaitu tujuan atau ide formal untuk pengorganisasian dan penstrukturan pengalaman pendidikan. Pengorganisasian dan penstrukturan ini diperluas mengikuti seluruh rentangan usia, dari usia yang paling muda sampai paling tua (Cropley, diacu oleh Tirtarahardja & La Sulo 2005). Joesoef (1992) mengemukakan bahwa PSH dikenal dalam dunia pendidikan internasional sebagai asas pendidikan sebagaimana ditetapkan oleh PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) dan dikemukakan oleh para pakar pendidikan internasional antara lain Edgar Fause, Paul Lengrand, dan Roland G. Paulston. Konsepkonsep tersebut menyatakan bahwa pendidikan yang sebelumnya selalu berorientasi pada sekolah, mulai diragukan orang artinya orang selalu bertanyatanya apakah yang dimaksud dengan pendidikan hanya terbatas pada sekolah saja. Beberapa hasil penelitian terhadap sekolah mengungkapkan bahwa peningkatan kuantitas dan kualitas sekolah tidak akan membantu memecahkan masalah kekurangan tenaga kerja, bahkan memperlebar jurang antara yang kaya
11
dan miskin karena hanya yang kaya yang mendapat kesempatan sekolah. Pada perkembangannya, konsep PSH diadopsi oleh banyak negara berkembang, sehingga negara-negara tersebut lebih berani mencari alternatif-alternatif dari sistem pendidikan yang ada khususnya pendidikan non formal. Konsep PSH telah menggeser anggapan bahwa proses pendidikan yang terjadi hanya di dunia sekolah; di luar sekolah sebenarnya terdapat pula proses pendidikan yang terjadi pada orang-perorang. Tujuan pendidikan nasional (Mujahidin 2005) pada hakikatnya adalah untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya. Hal itu dapat terlihat pada rumusan Ki Hadjar Dewantara, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-Dasar Pengajaran di Sekolah untuk Seluruh Indonesia, Rumusan Induk Sistem Pendidikan Nasional 1965, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989, dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pengertian “manusia seutuhnya” adalah manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Rumusan tujuan tersebut, meskipun bersifat “eksplosif” (mengandung pengertian yang besar dan rumit), tetapi mencerminkan perpaduan pengembangan intelligence quotient (IQ), emotional quotient (EQ), dan spiritual quotient (SQ). Pengembangan IQ terlihat dari tujuan mendidik manusia yang menguasai ilmu, cakap, dan kreatif. Pengembangan EQ termaktub dari tujuan mendidik manusia yang berkepribadian mandiri, demokratis, dan mempunyai rasa tanggung jawab. Adapun pengembangan SQ terumuskan dalam tujuan mendidik manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia. Visi pendidikan nasional di Indonesia (Hatimah et al 2008) adalah pendidikan yang mengutamakan kemandirian menuju keunggulan untuk meraih kemajuan dan kemakmuran berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Misi pendidikan nasional, sesuai dengan amanat Pembukaan UUD 1945, adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, yang ditempuh melalui pembelajaran dan pembudayaan bangsa dan masyarakat Indonesia agar setiap insan Indonesia berpendidikan, berbudaya, cerdas, berakar kuat pada moral dan budaya, dan berkeadilan sosial. Misi ini dijabarkan dalam misi jangka pendek yaitu pemulihan dari krisis, misi jangka menengah yakni pemberdayaan masyarakat dalam bidang pendidikan, dan misi jangka panjang yaitu tercapainya masyarakat Indonesia baru yaitu masyarakat madani (civil society). Hikam (dalam Tilaar 2000) merumuskan
12
masyarakat madani adalah masyarakat yang mengakui akan kebebasan individu untuk berkarya terlepas dari hegemoni negara dan menekankan kepada kebebasan individu yang bertanggung jawab. Selanjutnya Tilaar (2000) juga merumuskan bahwa masyarakat madani Indonesia yang dicita-citakan adalah masyarakat yang mengakui human dignity (martabat manusia) yang berarti pengakuan pada setiap orang untuk berkembang, mengatur dirinya sendiri baik secara perorangan maupun dalam hidup bersama. Pencapaian visi dan misi pendidikan tersebut dilaksanakan melalui pilarpilar pendidikan (Hatimah et al 2008; Winatapura et al 2007), yaitu bahwa pendidikan hendaknya mengembangkan kemampuan belajar untuk mengetahui (learning to know), belajar untuk melakukan sesuatu (learning to do), belajar untuk menjadi seseorang (learning to be), dan belajar menjalani kehidupan bersama (learning to life together). Satu hal yang perlu dicatat bahwa proses pendidikan tidak terbatas hanya berlangsung dalam lembaga pendidikan, melainkan sesuai dengan prinsip PSH, terjadi di mana pun, misalnya dalam keluarga, di tengah masyarakat, dan bahkan dalam lingkungan kerja. Misi pendidikan yang diemban oleh kelembagaan-kelembagaan tersebut sama pentingnya dengan proses pendidikan yang dilaksanakan di sekolah atau institusi pendidikan lainnya. Lebih lanjut Hatimah et al (2008) menulis bahwa untuk menuju civil society, dikembangkan konsep demokratisasi pendidikan, yaitu bahwa proses pengambilan keputusan pendidikan melibatkan semua tingkatan secara maksimal. Upaya yang harus dilakukan dalam rangka demokratisasi pendidikan adalah: 1. perluasan dan pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan; 2. pendidikan untuk semua; 3. pemberdayaan dan pendayagunaan berbagai institusi kemasyarakatan; 4. pengakuan hak-hak masyarakat termasuk hak pendidikan; dan 5. kerja sama dengan dunia usaha dan industri. Dalam
dunia
pendidikan,
terdapat
tiga
bentuk
penyelenggaraan
pendidikan, yaitu bentuk formal, non formal, dan informal; yang oleh Ki Hadjar Dewantara (Wahyudin et al 2008) konsep ini dikenal sebagai “tri pusat pendidikan”. Demikian pula Philip H. Coombs (Joesoef 1992) membagi pendidikan dalam tiga macam pendidikan seperti diungkapkan Ki Hadjar Dewantara tersebut. Dalam pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
13
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional juga dinyatakan bahwa jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, non formal, dan informal. Karena itu dalam konteks sistem pendidikan nasional, keluarga yang merupakan tempat berlangsungnya pendidikan informal, sekolah sebagai tempat pendidikan formal, dan masyarakat dalam kaitan dengan pendidikan non formal; merupakan komponen sistem pendidikan. Bentuk formal biasa kita kenal sebagai pendidikan yang berstruktur dan berprogram, sedangkan bentuk non formal biasanya singkat waktunya dan tujuannya untuk memperoleh bentuk-bentuk pengetahuan atau keterampilan tertentu yang langsung dapat dimanfaatkan oleh pemiliknya. Bentuk pendidikan informal tidak mengenal jangka waktu tertentu serta tidak berstruktur, dan terjadi seumur hidup karena melibatkan proses interaksi dan adaptasi dengan lingkungan sosial masyarakat. Ketiga jenis pendidikan dimaksud digabung menjadi dua bagian, yaitu pendidikan sekolah (pendidikan formal) dan pendidikan luar sekolah (PLS) yang mencakup pendidikan informal dan non formal. Dengan demikian, PLS bersifat lebih umum dan memiliki cakupan yang luas dalam kegiatan pembelajarannya. Pendidikan formal terlaksana di dalam pranata sosial yang disebut sekolah. Di dalam pendidikan sekolah kita kenal berbagai jenis dan jenjang di dalam program yang berstruktur yang dikenal sebagai kurikulum. Pola pikir yang dikembangkan
adalah
bahwa
sekolah
merupakan
sarana
penunjang
keberhasilan pembangunan. Sekolah dibagi atas tiga jenjang pendidikan, yaitu pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah, yang berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs). Jenjang pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK). Sedangkan pendidikan tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, atau universitas yang merupakan kelanjutan dari jenjang pendidikan menengah. Pendidikan non formal menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 pasal 26 ayat 1, diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung PSH. Bentuk pendidikan non formal yang dikenal sebagai PLS, dikenal dalam
14
masyarakat dalam bentuk kursus-kursus. Biasanya lama pendidikan terbatas meskipun programnya tetap berstruktur. Tetapi, PLS tidak terbatas pada kursus semata, karena kita kenal adanya Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang setara dengan pendidikan Taman Kanak-Kanak, Kelompok Belajar Paket A, B, dan C yang setara dengan sekolah formal SD, SMP, dan SMA/SMK. Selain kursus-kursus, terdapat juga program Keaksaraan Fungsional (KF), Pendidikan Perempuan, life skills, Kelompok Belajar Usaha (KBU), dan magang yang diarahkan kepada penguasaan keterampilan fungsional, yaitu agar keterampilan yang dikuasai tersebut dapat difungsikan secara langsung untuk meningkatkan pendapatan. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh The Kellog Fellow (Mujahidin 2005),
PLS
memiliki
tiga
model
pendekatan,
yaitu
model
pelengkap
(supplementary model), model sejajar (parallel model), dan model alternatif (alternative model). Model pelengkap menunjuk kepada kegiatan PLS yang dilaksanakan untuk menambah kemampuan peserta didik dalam masalahmasalah tertentu. Penyelenggaraan kegiatannya dilakukan di luar kegiatan pendidikan sekolah. Di Indonesia, PLS yang termasuk dalam kategori ini adalah bimbingan belajar siswa, pramuka, dan lain-lain. Model sejajar menunjuk pada penyelenggaraan PLS yang paralel dengan pendidikan sekolah. Kedua jenis pendidikan ini berjalan berdampingan dan saling menunjang antara yang satu dengan lainnya. Para peserta didik adalah mereka yang tidak memiliki kesempatan untuk mengikuti pendidikan sekolah. Contoh dari pendekatan ini yaitu program SLTP Terbuka. Adapun model alternatif menunjuk kepada PLS sebagai alternatif pendidikan sekolah. Model ini memiliki kebebasan yang luas dalam mengembangkan sistem dan program-program PLS. Contoh dari pendekatan ini adalah berbagai kursus dan pelatihan yang diselenggarakan untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam
dunia
pendidikan
saat
ini
dikembangkan
pula
konsep
pembelajaran berwawasan kemasyarakatan yang berlandaskan pada pendidikan berbasis masyarakat (community based education). Pembelajaran berwawasan kemasyarakatan
yaitu
pembelajaran
yang
diselenggarakan
dengan
menggunakan berbagai potensi (sumber daya) yang ada pada lingkungan masyarakat, yang terdiri atas sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya budaya, dan sumber daya teknologi; sedangkan community based education mempunyai makna pendidikan diselenggarakan dari masyarakat, oleh
15
masyarakat,
dan
untuk
masyarakat
sendiri.
Pembelajaran
berwawasan
kemasyarakatan harus didasarkan pada hal-hal: 1. kebermaknaan dan kebermanfaatan bagi peserta didik; 2. pemanfaatan lingkungan dalam pembelajaran; 3. materi pembelajaran terintegrasi dengan kehidupan sehari-hari peserta didik; 4. masalah yang diangkat dalam pembelajaran ada kesesuaian dengan kebutuhan peserta didik; 5. menekankan pembelajaran partisipatif yang berpusat pada peserta didik; 6. menumbuhkan kerja sama di antara peserta didik; dan 7. menumbuhkan kemandirian. Pendidikan
memiliki
tiga
aspek,
sebagaimana
dikemukakan
Darmodihardjo (1978) yaitu (1) pembentukan kepribadian, (2) pengembangan ilmu pengetahuan, dan (3) pengetrapan ilmu pengetahuan yang berwujud keterampilan. Dengan pengertian demikian, maka pendidikan berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup serta nilai ilmu pengetahuan. Itu berarti bahwa ilmu pengetahuan yang benar bagi Indonesia adalah ilmu yang dapat diamalkan bagi pengembangan budi dan kesejahteraan masyarakat dengan tetap mempertahankan kaidah-kaidah ilmiahnya. Pemberdayaan Pemberdayaan, menurut Kartasasmita (1996), adalah upaya untuk membangun, mendorong, memotivasi, membangkitkan kesadaran (awareness) terhadap potensi yang dimiliki. Huraerah (2008) menulis bahwa pemberdayaan berasal dari bahasa Inggris “empowerment”, yang secara harfiah bisa diartikan sebagai “pemberkuasaan”, dalam arti pemberian atau peningkatan “kekuasaan” (power) kepada masyarakat yang lemah atau tidak beruntung (disadvantages). Sumodiningrat (1999, diacu oleh Riani 2005), mengatakan bahwa pemberdayaan berasal dari kata “memberi daya” atau “memberi enerji”. Dalam bahasa asing, pemberdayaan disebut sebagai empowerment. Istilah ini lebih cocok dengan istilah energizing karena lebih bersifat positif, menyalurkan sesuatu yang bersifat netral namun diperlukan secara hakiki. Di sini dapat dipahami pemberdayaan sebagai upaya memberi daya kepada mereka yang kurang atau tidak berdaya agar bisa mendayagunakan dirinya. Cook & Macaulay (1996) menggambarkan empowerment sebagai: membebaskan seseorang dari kendali yang kaku dan memberi orang tersebut kebebasan untuk bertanggung jawab terhadap ide-
16
idenya, keputusan-keputusannya, dan tindakan-tindakannya. Sementara Parsons (Suharto 2006) berpendapat bahwa pemberdayaan kebanyakan dilakukan secara kolektif dengan kelompok sebagai media intervensi, seperti pendidikan dan pelatihan, dinamika kelompok sebagai strategi dalam meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap agar mereka mampu memecahkan berbagai permasalahan kehidupan. Dalam perspektif ilmu kesejahteraan sosial, Payne (1997, diacu oleh Adi 2003) mengemukakan bahwa suatu proses pemberdayaan (empowerment) pada intinya, ditujukan guna membantu klien memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Shardlow (1998) dan Biestek (1961, diacu oleh Adi 2003) menulis bahwa pemberdayaan sebagai suatu gagasan tidaklah jauh berbeda dengan salah satu prinsip dasar dalam bidang pekerjaan sosial dan kesejahteraan sosial yaitu ‘self-determination’ yang pada intinya mendorong klien untuk menentukan sendiri apa yang harus ia lakukan dalam kaitan dengan upaya mengatasi permasalahan yang ia hadapi sehingga klien mempunyai kesadaran dan kekuasaan dalam membentuk hari depannya. Dalam konsep pembangunan masyarakat, konsep pemberdayaan erat kaitannya dengan konsep-konsep yang melingkupinya antara lain, konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja, dan keadilan. Partisipasi menurut Mikkelsel (1999), merupakan keterlibatan mental atau pikiran dan emosi seseorang dalam mendorong memberikan sumbangan kepada kelompok dalam usaha mencapai tujuan. Partisipasi aktif masyarakat dalam pelaksanaan program memerlukan kesadaran warga masyarakat akan minat dan kepentingan bersama. Sedangkan menurut Soelaiman (1985), partisipasi merupakan adalah keterlibatan aktif warga masyarakat secara perseorangan, kelompok, atau dalam kesatuan masyarakat dalam pelaksanaan program serta usaha pelayanan dan pembangunan kesejahteraan sosial di dalam atau di luar lingkungan masyarakatnya atas dasar rasa dan kesadaran tanggung jawab sosialnya. Bass et al (Sumardjo 2007) menyebutkan 7 (tujuh) tipologi partisipasi secara berurutan, yaitu partisipasi manipulatif, partisipasi informatif, partisipasi konsultatif, partisipasi insentif, partisipasi fungsional, partisipasi interaktif, dan partisipasi mandiri (self mobilization). Ketujuh urutan tipologi ini memperlihatkan derajat partisipasi masyarakat; semakin ke kanan partisipasi masyarakat
17
semakin tinggi dan pengaruh pemrakarsa semakin rendah, semakin ke kiri maka partisipasi masyarakat semakin kecil dan pengaruh pemrakarsa semakin besar. Strategi pembangunan
community
development
masyarakat.
Ife
(1995)
dikembangkan mengatakan
dalam
bahwa
konsep
community
development sebagai suatu gerakan yang dirancang untuk meningkatkan taraf hidup keseluruhan komunitas melalui partisipasi aktif dan jika memungkinkan berdasarkan prakarsa komunitas. Melalui strategi pemberdayaan tersebut masyarakat akan memperluas partisipasinya dalam pembangunan secara menyeluruh dan secara bertahap yang mengakses kepada pembangunan kemandirian (Chamber 1996). Berbagai
macam
pendapat
di
atas
dapat
disimpulkan
bahwa
pemberdayaan yang dimaksud dalam penulisan kajian ini adalah proses peningkatan dari suatu kondisi tertentu menuju kondisi yang lebih baik. Asumsinya adalah bahwa warga belajar yang terdiri dari masyarakat Desa Sukosono, santri pesantren Mamba’ul Qur’an, dan masyarakat sekitarnya didorong selain untuk terus meningkatkan kualitas terhadap pendalaman ilmuilmu agama Islam (ukhrowi) juga dapat turut serta aktif membekali mereka dengan ilmu pengetahuan dan teknologi (duniawi) melalui program life skills. Untuk mencapai maksud tersebut, maka diperlukan adanya bentuk intervensi sosial dalam aras mikro (individu dan keluarga) yaitu kepada para santri dan masyarakat sekitar pesantren sebagai peserta program, aras messo (kelompokkelompok kecil) yaitu kepada PKBM dan pesantren sebagai penyelenggara program, serta aras makro (organisasi dan institusi yang lebih besar) yaitu kepada Cabang Dinas P dan K Kecamatan Kedung serta instansi di atasnya. Pesantren Pesantren adalah suatu asrama tempat santri belajar mengaji (Kamus Besar Bahasa Indonesia 1990; Yandianto 1997). Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa pesantren merupakan pendidikan yang berbasis pada pendidikan keagamaan yang diselenggarakan kelompok masyarakat yang berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran agamanya dan atau menjadi ahli ilmu agama. Secara etimologis, Thaba (1996) berpendapat bahwa pesantren berasal dari kata pesantrian, yang berarti “tempat santri”. Kadang-kadang ikatan kata sant (manusia baik) dihubungkan dengan suku kata tra (suka menolong)
18
sehingga pesantren juga berarti “tempat pendidikan manusia baik-baik”. Mujahidin (2005) menulis bahwa kata pesantren atau santri diduga berasal dari bahasa Tamil yang berarti “guru mengaji”. Sumber lain menyebutkan bahwa kata itu berasal dari bahasa India shastri dari akar kata shastra yang berarti “bukubuku suci”, “buku-buku agama”, atau “buku-buku tentang ilmu pengetahuan”. Geertz (Ziemek 1986; Mujahidin 2005) menjelaskan bahwa santri memiliki arti sempit dan luas. Santri secara sempit adalah seorang pelajar sekolah agama yang disebut pesantren. Adapun dalam arti yang lebih luas, kata santri mengacu kepada seorang anggota bagian penduduk Jawa yang menganut Islam dengan sungguh-sungguh. Dari pengertian Geertz dapat ditarik pemahaman bahwa santri hanya dikenal dalam struktur masyarakat Jawa dan sekaligus pembeda dari masyarakat yang disebut abangan dan priyayi. Menurut Thaba (1996), lembaga pendidikan seperti pesantren sebenarnya sudah ada pada masa HinduBudha, dalam bentuk pendidikan asrama-asrama. Islam kemudian mengadopsi dan mengislamkannya. Sehingga dalam diri pesantren terkandung dua makna: makna keislaman dan makna keaslian Indonesia (indigenous). Rahardjo (1998, diacu oleh Riani 2005) mengatakan lembaga pesantren seperti lembaga ‘gotong-royong’ yang dikatakan sebagai ciri khas, bagian dari tradisi dan merupakan hal yang ‘asli Indonesia’, yang merefleksikan pola kultural masyarakat Indonesia. Sehingga, pondok pesantren dengan cara hidupnya yang kolektif, merupakan perwujudan dari semangat dan tradisi gotong-royong atau sebagai wujud dari kapital sosial yang umumnya terdapat di perdesaan, di mana pesantren sebagian besar berada dan melakukan eksistensinya. Thaba (1996) menyebutkan bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam dengan seseorang atau beberapa santri belajar pada pemimpin pesantren (kyai), dibantu oleh beberapa guru (ulama atau ustadz). Di dalamnya terdapat lima elemen dasar yang tidak terpisahkan: pondok, masjid, pengajaran kitab-kitab kuning, santri, dan kyai. Inilah yang disebut tradisi pesantren. Gus Dur (K.H. Abdurrahman Wahid - pen) menyebutnya “subkultur” pesantren, yaitu kultur sosial-religius yang merupakan hasil interaksi kehidupan pondok, masjid, santri, dan ajaran ulama terdahulu yang tertuang dalam kitab klasik kehidupan kyai. Ziemek (Thaba 1996) menyebutkan tiga ciri pesantren: (1) kyai sebagai pendiri, pelaksana, dan guru; (2) pelajar (santri) secara pribadi diajari berdasarkan naskah-naskah Arab klasik tentang pengajaran, paham, dan akidah keislaman;
19
(3) kyai dan santri tinggal bersama-sama untuk masa yang lama, membentuk satu komunitas seperti asrama, tempat mereka sering disebut “pondok”. Menurut Zarkasyi, pimpinan Pondok Pesantren Modern Gontor (1970, diacu oleh Riani 2005), pesantren dibangun dari prinsip-prinsip dasar, yaitu keikhlasan, kesederhanaan, persaudaraan, kepercayaan pada diri sendiri, dan kebebasan. Dari prinsip-prinsip dasar tersebut lahir paling tidak dua pengaruh fenomenal yang berkembang, yaitu pertama, tradisi kepesantrenan sanggup bertahan dalam kurun waktu ratusan tahun. Kedua, karena sikap egaliter (percaya bahwa semua orang sederajat - pen) dari para kyai dan para pengasuhnya, pesantren menjadi pilihan alternatif yang diminati berbagai lapisan masyarakat. Oleh karena itu, fakta menunjukkan, di Indonesia terdapat puluhan ribu pesantren yang tersebar di berbagai pelosok daerah, baik kota maupun desa. Kondisi saat ini, pesantren tidak lagi semata-mata berfungsi mendidik santri, tetapi telah berkembang menjadi lembaga sosial yang bergerak di luar pesantren, terutama masyarakat pedesaan. Hubungan antara pesantren dan masyarakat dijalin melalui aktifitas pengajian dan gotong-royong. Ada kalanya pesantren menjadi juru penerang masyarakat untuk menyukseskan program pemerintah seperti keluarga berencana, transmigrasi, pelestarian lingkungan hidup, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan pendidikan formal/non formal. Islam sebagai pandangan hidup, sumber nilai, sumber inspirasi dan sumber motivasi, telah menempa manusia yang lahir dari pesantren menjadi manusia yang kokoh dalam wawasan, mental, dan akhlaknya. Untuk itu, secara ideal pesantren merupakan institusi penting yang harus terus dipelihara, dipacu keberadaannya dan diberdayakan komunitasnya. Melalui sejarah yang panjang, pesantren telah memainkan peran pentingnya dalam mengokohkan character building bangsa. Perjuangan merintis kemerdekaan bangsa tidak terlepas dari perjuangan para santri, yang berjuang secara fisik maupun diplomasi. Lahirnya berbagai organisasi sosial keislaman bahkan partai politik yang dipelopori para kyai dan santri menjadi bukti bahwa pesantren mempunyai kontribusi yang tidak kecil
terhadap
keberlangsungan
kehidupan
berbangsa,
bernegara,
dan
bermasyarakat Indonesia. Sampai dengan saat ini, dunia mengenal bangsa Indonesia sebagai bangsa yang religius dan terbesar jumlah umat Islamnya. Namun demikian, realitas lain menunjukkan tidak semua pesantren maju dan modern, serta tanggap dalam menangkap perubahan. Pesantren sering
20
diidentikkan dengan image: kemandegan (jumud), kumuh, dan menghasilkan manusia yang kurang berdaya serta kurang kompetitif. Dan tidak dipungkiri bahwa, kesenjangan perkembangan pesantren juga sangat kita rasakan dari data yang sering dijumpai di lapangan (Forum Lintas Pelaku 2002, diacu oleh Riani 2005). Senada dengan itu, Sidik (2000) menyatakan bahwa dunia pesantren sering diidentikkan dengan kejumudan, keterbelakangan, dan ketertinggalam terhadap dunia ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga bagi sebagian kalangan masih meragukan potensi yang ada pada pondok pesantren. Selain itu, terdapat pendapat di kalangan pesantren, bahwa urusan duniawi tidak sepenting urusan ukhrowi, menjadikan pesantren makin tidak berdaya dalam kehidupan duniawi. Akibatnya, setelah santri menamatkan pendidikan pesantren untuk kemudian masuk ke kehidupan masyarakat umum, mereka kelabakan dan tidak siap menghadapi kemajuan jaman serta persaingan hidup yang semakin kompleks. Dari sisi lain, anggapan yang melekat pada pesantren tradisional adalah kemiskinan, baik dari segi kehidupan dunia maupun pengetahuan umum. Sehingga diperlukan lembaga kepesantrenan yang mampu memberikan pendidikan tambahan seperti pendidikan umum yang dilaksanakan di sekolahsekolah. Mundurnya ilmu pengetahuan dan teknologi dalam dunia Islam menurut Sidik (2000) mengutip pendapat Prof. Dr. Abdus Salam, tidak terlepas dari pemikiran salah seorang cendekiawan terbesar Islam yaitu Ibnu Khaldun yang mengatakan bahwa mempelajari ayat-ayat kauniyyah (ayat-ayat alam raya dan fenomenanya) adalah tidak ada gunanya dibandingkan mempelajari ayat-ayat kitabiyyah (ayat-ayat yang tertulis dalam kitab suci). Pemikiran ini mempunyai pengaruh yang besar dalam dunia Islam karena diucapkan oleh salah seorang cendekiawan besar pada jamannya. Sikap acuh terhadap bagian dunia lain yang mempelajari ayat-ayat kauniyyah, yang semula dikembangkan oleh dunia Islam itulah merupakan salah satu faktor kemunduran ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia Islam. Mastuhu (dalam Mujahidin 2005) berpendapat bahwa sejak sekitar dua dasawarsa terakhir, pesantren mulai menurun harga dirinya di mata masyarakat. Pesantren dianggap kurang mampu memenuhi aspirasi mereka dan tantangan pembangunan. Oleh karena itu, masyarakat memiliki hati mendua terhadap pesantren. Pada satu sisi mereka masih mengharapkan pesantren dapat membina mental spiritual anak-anaknya. Pada sisi lainnya, mereka tidak
21
yakin pesantren dapat memberikan ilmu sebagai bekal hidup pada masa yang akan datang. Dalam kehidupan pesantren, segala sesuatu tidak lepas dari otoritas pemimpin atau kyai atau pengasuh pondok pesantren. Hal ini karena kyai merupakan panutan bagi komunitas santri. Usman (2006) mengungkapkan: Di kalangan komunitas santri, para kyai mempunyai posisi yang amat mulia karena dengan kemampuan dan pengetahuannya para kyai telah menempatkan dirinya sebagai ulama-ulama pewaris Nabi Muhammad SAW, atau menjadi ‘penjaga’ utama proses sosialisasi ajaran Islam. Anggapan demikian dalam perkembangannya menjadi tali pengikat ‘emosi-religius’ baik bagi lapisan bawah (yang kebanyakan bercirikan tradisional-agraris) maupun lapisan menengah yang telah mengenyam pendidikan modern. Dari sini, berkembanglah tradisi taqlid, yaitu suatu kepatuhan yang hampir tanpa syarat. Kyai
secara
tradisional
dianggap
mempunyai
otoritas
yang
tak
tergoyahkan dan kharismatik, walaupun di beberapa kasus, kepemimpinan kharismatik ini telah mulai tergeser oleh kepemimpinan rasional. Hal ini semakin menciptakan kehidupan yang lebih partisipatoris di dunia pesantren. Uraian di atas memperlihatkan bahwa pesantren merupakan perwujudan kultur asli Indonesia, muncul dari, oleh, dan untuk masyarakat. Peran para kyai sangat dominan dalam kehidupan pesantren, yang sangat berperan besar dalam perkembangan masyarakat. Pesantren selain memiliki lingkungan, juga milik lingkungannya. Dengan kemandiriannya, pesantren mampu bertahan dalam kurun waktu yang lama. Mengingat posisi pesantren tersebut, dapat disimpulkan bahwa pesantren mempunyai potensi yang besar dalam pengembangan masyarakat (community development) yang bila ‘dipertemukan’ dengan programprogram pemerintah yang tepat akan mempunyai manfaat yang besar pula. Berdasarkan perkembangan selanjutnya, pesantren dapat diklasifikasikan kepada empat jenis (Arifin 1995, diacu oleh Mujahidin 2005) yaitu: Pertama, pesantren salafi (tradisional), yaitu pesantren yang hanya memberikan materi agama kepada para santrinya. Tujuan pokok dari pesantren ini adalah mencetak
kader-kader
dai
yang
akan
menyebarkan
Islam
di
tengah
masyarakatnya. Pada pesantren ini, seorang santri hanya dididik dengan ilmuilmu agama dan tidak diperkenankan mengikuti pendidikan formal. Kalaupun ilmu-ilmu itu diberikan, maka hal itu hanya sebatas pada ilmu yang berhubungan dengan keterampilan hidup.
22
Kedua, pesantren ribathi, yaitu pesantren yang mengkombinasikan pemberian materi agama dengan materi umum. Biasanya, selain tempat pengajian, pada pesantren ini juga disediakan pendidikan formal yang dapat ditempuh oleh para santrinya. Tujuan pokok dari pesantren ini, selain untuk mempersiapkan kader dai, juga memberikan peluang kepada para santrinya untuk mengikuti pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan demikian, kelak mereka diharapkan dapat mengisi posisi-posisi strategis, baik di dalam pemerintahan maupun di tengah masyarakat. Ketiga, pesantren khalafi (modern), yaitu pesantren yang didesain dengan kurikulum yang disusun secara baik untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Disebut khalafi, karena adanya berbagai perubahan yang dilakukan baik pada metode maupun materi pembelajaran. Para santri tidak hanya diberikan materi agama dan umum, tetapi juga berbagai materi yang berkaitan dengan skill atau vocational (keterampilan). Keempat, pesantren jami’i (asrama pelajar dan mahasiswa), yaitu pesantren yang memberikan pengajian kepada pelajar atau mahasiswa sebagai suplemen bagi mereka. Dalam perspektif pesantren ini, keberhasilan santri dalam belajar di sekolah formal lebih diutamakan. Oleh karena itu, materi dan waktu pembelajaran di pesantren disesuaikan dengan luangnya waktu pembelajaran di sekolah formal. Berbeda dengan Arifin, Ziemek (1986, diacu oleh Mujahidin 2005) membagi pesantren berdasarkan kelengkapan sarana dan fungsi dari pesantren tersebut. Atas dasar hal itu, pesantren dibagi kepada lima jenis, yaitu: Pertama, pesantren tarekat (pesantren kaum sufi), yaitu pesantren yang menyelenggarakan pengajian-pengajian yang teratur dalam masjid dengan sistem pengajaran yang bersifat pribadi. Di sini, beberapa orang santri diterima belajar dan berdiam di rumah kyai. Pesantren tarekat lebih menekankan kepada pendidikan santri dalam hubungannya dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalam pesantren ini banyak diajarkan berbagai tahapan untuk mencapai derajat yang tinggi di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan berbagai kegiatan, seperti melaksanakan riyadhoh, dzikir, dan sebagainya. Kedua, pesantren klasik/tradisional, yaitu pesantren yang memiliki asrama bagi para santri yang sekaligus digunakan sebagai tempat tinggal dan tempat belajar yang sederhana. Komplek kediaman para santri sering terdiri dari rumah-rumah kayu/bambu untuk pemondokan maupun ruangan-ruangan belajar yang terpisah.
23
Ketiga, pesantren plus sekolah, yaitu pesantren dengan komponen-komponen klasik yang dilengkapi dengan suatu madrasah (sekolah) yang menunjukkan adanya dorongan modernisasi dan pembaruan Islam. Madrasah tersebut memiliki tingkatan kelas dan kurikulumnya berorientasi kepada sekolah-sekolah yang resmi. Keempat, pesantren, sekolah, plus pendidikan keterampilan; yaitu pesantren yang di samping menyelenggarakan sekolah, juga menyelenggarakan berbagai pendidikan keterampilan bagi
santri dan
warga
sekitarnya. Pendidikan
keterampilan tersebut antara lain jahit-menjahit, teknik elektro yang sederhana, perbengkelan, pertukangan, dan lain-lain. Kelima, pesantren modern, yaitu pesantren yang mencakup pendidikan keislaman klasik dan semua tingkat sekolah formal dari sekolah dasar hingga universitas. Selain itu, pesantren jenis ini juga menyelenggarakan program pendidikan
keterampilan.
Program-program
pendidikan
yang
berorientasi
lingkungan mendapat prioritas utama dari pesantren ini. Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) PKBM adalah tempat di mana seluruh aktivitas kegiatan belajar masyarakat
diarahkan
pada
pemberdayaan
potensi
desa
baik
dari
pengembangan aspek ekonomi, sosial, maupun budaya yang dilaksanakan secara terpadu agar masyarakat mampu mengembangkan kualitas hidupnya secara mandiri. Atau dengan kata lain PKBM merupakan basis penyelenggaraan PLS yang berlokasi di tengah masyarakat; yang pengelolaannya berdasarkan prinsip dari, oleh, dan untuk masyarakat (DOUM). Artinya bahwa prakarsa penyelenggaraan pembelajaran diharapkan dapat tumbuh dan berkembang atas prakarsa dan kebutuhan masyarakat sendiri. Sehingga masyarakat setempat akan lebih mempunyai rasa memiliki yang selanjutnya kegiatan belajar tersebut dapat berkembang dan berkelanjutan (continuiting learning) dan berjalan optimal. PKBM
sebagai
tempat
pembelajaran
masyarakat
telah
dirintis
dan
disosialisasikan pembentukannya oleh Direktorat Dikmas Dirjen PLS dan Pemuda Depdiknas sejak tahun 1998 sebagai respon atas meningkatnya angka anak putus sekolah serta meningkatnya jumlah penduduk miskin di Indonesia pasca krisis ekonomi. Hal ini dilatarbelakangi bahwa belum semua anak usia pendidikan dasar dan menengah (7-18 tahun) masuk sekolah dan/atau dapat menyelesaikan pendidikannya (putus sekolah). Berdasarkan hasil SUSENAS
24
2006, pada tahun 2002 BPS mencatat sekitar 3.580.000 anak usia pendidikan dasar yang tidak bersekolah dan sekitar 7,9 juta anak usia 16-18 tahun tidak bersekolah di SLTA. Penduduk buta aksara usia 10 tahun ke atas masih tercatat 15 juta orang dan untuk kelompok usia 10-44 tahun tercatat sekitar 4 juta orang. Jumlah penduduk yang terindikasi buta aksara mengalami kenaikan, mencapai 9,1%. Apabila jumlah penduduk Indonesia adalah 200 juta jiwa, maka terdapat 18 juta jiwa lebih di Indonesia termasuk dalam kategori buta aksara. Di Kabupaten Jepara, masih tercatat 12,8% jumlah penduduk Kabupaten Jepara yang terindikasi buta aksara. Berbagai kelompok masyarakat yang tidak tertampung oleh jalur formal inilah yang sebagian harus dilayani melalui jalur pendidikan non formal, yang salah satunya diselenggarakan oleh PKBM. PKBM didefinisikan sebagai suatu wadah berbagai pembelajaran masyarakat yang diarahkan pada pemberdayaan potensi untuk menggerakkan pembangunan di bidang sosial, ekonomi, dan budaya; yang pengelolaannya berdasarkan prinsip DOUM (Direktori PKBM Jawa Barat 2006, diacu oleh Yuliantoro 2008). Dari konsepsi tersebut, terlihat penekanan pada aspek partisipasi
masyarakat
dalam
penyelenggaraan
pembelajaran/pendidikan.
Sejalan dengan Ife (1995) yang mengatakan bahwa community development sebagai suatu gerakan yang dirancang untuk meningkatkan taraf hidup keseluruhan komunitas melalui partisipasi aktif dan jika memungkinkan berdasarkan prakarsa komunitas, maka penyelenggaraan pendidikan non formal melalui PKBM dapat diartikan sebagai community development. PKBM memberikan wahana bagi warga masyarakat dalam memenuhi kebutuhan belajar berupa pengetahuan dan keterampilan yang bermakna bagi kehidupannya, berfungsi sebagai wadah berbagai kegiatan belajar masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperlukan untuk mengembangkan diri dan masyarakat. Tujuan dibentuknya PKBM adalah untuk memperluas kesempatan warga belajar, khususnya bagi anak keluarga tidak mampu untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap mental yang diperlukan untuk mengembangkan diri dan meningkatkan kualitas hidupnya. Dalam bingkai konsep pembelajaran berwawasan kemasyarakatan yang berlandaskan education)
pada
seperti
pendidikan diuraikan
berbasis terdahulu,
diimplementasikan dalam masyarakat.
masyarakat PKBM
(community
dibangun
dan
based coba
25
Terdapat empat bidang kegiatan yang dikelola PKBM, yaitu: 1) Pendidikan, meliputi: bimbingan, pengajaran, dan pelatihan keterampilan; 2) Pelayanan informasi: menghimpun dan memberikan layanan informasi dari PKBM kepada masyarakat sekitar dan lembaga luar; 3) Jaringan informasi dan kemitraan, meliputi: a. mengembangkan jaringan informasi dan kemitraan dengan lembaga lokal maupun di luar masyarakat; b. memelihara jaringan yang telah terbina; 4) Pembinaan tenaga kependidikan PKBM meliputi: meningkatkan kualitas kinerja tenaga pengelola dan tenaga pendidik (tutor, instruktur, maupun nara sumber) baik dilakukan secara mandiri maupun difasilitasi dari luar (pemerintah). Secara operasional, PKBM merupakan tempat di mana kegiatan PLS dipusatkan pelaksanaannya dengan lokasi berada di tingkat kecamatan. Syarat minimal dapat didirikan PKBM adalah: 1. Adanya gedung sekolah/gedung lainnya yang kosong dan tidak dimanfaatkan; 2. Minimal dapat digunakan selama 5 tahun; 3. Ada izin tertulis dari pihak berwenang; 4. Memiliki sekurang-kurangnya 2 lokal; 5. Letaknya mudah dijangkau oleh masyarakat; serta 6. Adanya warga masyarakat yang akan dibelajarkan. Indikator keberhasilan PKBM yang ditetapkan Depdiknas adalah: 1. Keberhasilan pengelolaan a. Setiap hari ada kegiatan pembelajaran; b. Minimal diselenggarakan lima jenis kegiatan pembelajaran. 2. Keberhasilan proses pembelajaran a. Meningkatkan peran serta warga belajar dan masyarakat sekitarnya; b. Terciptanya suasana belajar yang kondusif; c. Semakin
meningkatnya
kemampuan
warga
belajar
dan
warga
masyarakat sekitar dalam mengelola sumber daya yang ada di lingkungannya atau sebagai mata pencaharian warga desa setempat; d. Semakin meningkatnya kualitas hidup warga belajar dan masyarakat sekitar PKBM.
26
Program Kecakapan Hidup (Life Skills) Life skills atau biasa disebut sebagai kecakapan hidup jika dirunut dari segi bahasa berasal dari dua kata yaitu life dan skill. Life berarti hidup, sedangkan skill adalah kecakapan, kepandaian, ketrampilan; sehingga life skills secara
bahasa
dapat
diartikan
sebagai
kecakapan,
kepandaian
atau
keterampilan hidup. Umumnya dalam penggunaan sehari-hari orang menyebut life skills dengan istilah kecakapan hidup. Penjelasan secara lebih komperehensif tentang kecakapan diajukan oleh IOWA State University (2003 dalam Nurohman 2008), dalam hal ini skill diartikan sebagai berikut, a skill is a learned ability to do something well. Kecakapan tidak hanya diartikan sebagai kemampuan untuk melakukan sesuatu, lebih daripada itu, kecakapan dimaknai sebagai kemampuan belajar untuk melakukan sesuatu secara lebih baik. Jadi mampu melakukan sesuatu saja belum cukup untuk dikatakan sebagai cakap, melainkan kemampuan untuk melakukan sesuatu tersebut harus ditunjukan secara lebih baik dan diperoleh melalui suatu aktivitas belajar. Demikianlah IOWA State University mensyaratkan aspek kesempurnaan dalam konteks skill. Life skills diartikan sebagai, are abilities individuals can learn that will help them to be successful in living a productive and satisfying life. Kecakapan hidup dimengerti sebagai kemampuan individual untuk dapat belajar sehingga seseorang memperoleh kesuksesan dalam hidupnya, produktif dan mampu memperoleh kepuasan hidup. Indikator seseorang telah memperoleh life skills dengan demikian dapat dilihat dari sejauhmana ia mampu eksis dalam kehidupannya di tengah-tengah masyarakat. Apabila seseorang mampu produktif dan membuat berbagai kesuksesan, maka dapat dikatakan orang tersebut memiliki life skills yang baik. Definisi
lain
tentang
life
skills
diungkap
oleh
lifeskills4kids
(http://www.lifeskills4kid.com) bahwa, “In essence, life skills are an "owner's manual" for the human body. These skills help children learn how to maintain their bodies, grow as individuals, work well with others, make logical decisions, protect themselves when they have to and achieve their goals in life”. Secara esensial, life skills didefinisikan sebagai (semacam) petunjuk praktis yang membantu anak-anak untuk belajar bagaimana merawat tubuh, tumbuh untuk menjadi seorang individu, bekerja sama dengan orang lain,
27
membuat keputusan-keputusan yang logis, melindungi diri sendiri untuk mencapai tujuan dalam hidupnya. Sehingga dalam hal ini yang akan menjadi tolok ukur life skills pada diri seseorang adalah terletak pada kemampuannya untuk meraih tujuan (goal) hidupnya. Life skills memotivasi anak-anak dengan cara membantunya untuk memahami diri dan potensinya sendiri dalam kehidupan, sehingga mereka mampu menyusun tujuan-tujuan hidup dan melakukan proses problem solving apabila dihadapkan pada persoalanpersoalan hidup. Istilah life skills menurut Depdiknas (2002 dalam Nurohman 2008) tidak semata-mata diartikan memiliki ketrampilan tertentu (vocational job) saja, namun ia harus memiliki kemampuan dasar pendukungnya secara fungsional seperti membaca, menghitung, merumuskan, dan memecahkan masalah, mengelola sumber daya, bekerja dalam tim, terus belajar di tempat kerja dan mempergunakan teknologi. Depdiknas melukiskan komponen life skills dalam sebuah diagram sebagaimana tertera di bawah ini. Gambar 1. Diagram Klasifikasi Life Skills Personal Skills
General Life Skills
Thinking Skills
Social Skills
Life Skills Academic Skills
Specific Life Skills
Sumber: Depdiknas 2002
Vocational Skills
Life skills yang harus dikembangkan dalam dunia pendidikan setidaknya terbagi dalam dua kategori, yaitu pertama General Life Skills (GLS) yang terdiri dari kecakapan mengenal diri, kecakapan berpikir rasional, dan kecakapan sosial.
28
Sedangkan yang kedua adalah Spesific Life Skills (SLS) yang terdiri dari kecakapan akademik dan kecakapan vokasional. Life skills dengan demikian memiliki cakupan yang luas, berinteraksi antara pengetahuan yang diyakini sebagai unsur penting untuk hidup lebih mandiri. Pendidikan yang berorientasi pada life skills berarti harus senantiasa cerdas menangkap setiap kebutuhan masyarakat. Keduanya, yaitu lembaga pendidikan dan masyarakat harus mengupayakan adanya pola hubungan yang dinamis untuk mengomunikasikan berbagai persoalan yang harus ditangani oleh lembaga pendidikan. Menurut Broling (Depdiknas 2004) life skills adalah interaksi berbagai pengetahuan dan kecakapan yang sangat penting dimiliki oleh seseorang sehingga mereka dapat hidup mandiri. Broling mengelompokkan life skills ke dalam tiga kelompok kecakapan, yaitu: (1) kecakapan hidup sehari-hari (daily living skill), (2) kecakapan hidup pribadi/sosial (personal/social skill), dan (3) kecakapan hidup bekerja (occupational skill). Kecakapan hidup sehari-hari (daily living skill) antara lain meliputi: pengelolaan
kebutuhan
pribadi,
pengelolaan
rumah
pribadi,
kesadaran
kesehatan, kesadaran keamanan, pengelolaan makanan-gizi, pengelolaan pakaian, kesadaran pribadi sebagai warga negara, pengelolaan waktu luang, rekreasi, dan kesadaran lingkungan. Kecakapan hidup sosial/pribadi (personal/social skill) antara lain meliputi: kesadaran diri (minat, bakat, sikap, kecakapan), percaya diri, komunikasi dengan orang lain, tenggang rasa dan kepedulian pada sesama, hubungan antar personal,
pemahaman
dan
pemecahan
masalah,
menemukan
dan
mengembangkan kebiasaan positif, kemandirian dan kepemimpinan. Kecakapan hidup bekerja (occupational skill), meliputi: kecakapan memilih pekerjaan, perencanaan kerja, persiapan keterampilan kerja, latihan keterampilan, penguasaan kompetensi, menjalankan suatu profesi, kesadaran untuk
menguasai
berbagai
keterampilan,
kemampuan
menguasai
dan
menerapkan teknologi, merancang dan melaksanakan proses pekerjaan, dan menghasilkan produk barang dan jasa. WHO memberikan pengertian bahwa kecakapan hidup adalah berbagai keterampilan/kemampuan untuk dapat beradaptasi dan berperilaku positif, yang memungkinkan seseorang mampu menghadapi berbagai tuntutan dan tantangan
29
dalam hidupnya sehari-hari secara efektif. WHO mengelompokkan kecakapan hidup ke dalam lima kelompok, yaitu: (1) kecakapan mengenal diri (self awareness) atau kecakapan pribadi (personal skill), (2) kecakapan sosial (social skill), (3) kecakapan berpikir (thinking skill), (4) kecakapan akademik (academic skill), dan (5) kecakapan kejuruan (vocational skill). UNICEF mendefinisikan life skill sebagai sesuatu yang lebih detail lagi dengan menggunakan tambahan based education. Life skill-based education adalah pendekatan pengembangan perilaku atau perubahan perilaku antara pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Keterampilan yang dimaksud menurut WHO, terdiri dari: keterampilan memecahkan masalah, keterampilan berpikir kritis,
keterampilan
keterampilan
mengambil
berhubungan
keputusan,
keterampilan
interpersonal,
keterampilan
berpikir
kreatif,
bernegosiasi,
keterampilan mengembangkan kesadaran diri, keterampilan berempati, dan keterampilan mengatasi stress dan emosi. Berbagai uraian di atas dapat dirumuskan bahwa hakikat pendidikan kecakapan hidup dalam pendidikan non formal adalah merupakan upaya untuk meningkatkan keterampilan, pengetahuan, sikap, dan kemampuan yang memungkinkan warga belajar dapat hidup mandiri. Penyelenggaraan pendidikan kecakapan hidup didasarkan atas prinsip empat pilar pendidikan, yaitu kemampuan belajar untuk mengetahui (learning to know) yang diikuti dengan belajar untuk tahu cara belajar (learning to learn), belajar untuk melakukan sesuatu (learning to do), belajar untuk menjadi seseorang (learning to be), dan belajar menjalani kehidupan bersama (learning to life together). Secara operasional, program kecakapan hidup (Depdiknas 2004) dalam pendidikan non formal dipilah menjadi empat jenis, yaitu: 1. kecakapan pribadi (personal skill), yang mencakup kecakapan mengenal diri sendiri, kecakapan berpikir rasional, dan percaya diri; 2. kecakapan sosial (social skill), seperti kecakapan melakukan kerja sama, bertenggang rasa, dan tanggung jawab sosial; 3. kecakapan akademik (academic skill), seperti kecakapan dalam berpikir secara ilmiah, melakukan penelitian, dan percobaan dengan pendekatan ilmiah;
30
4. kecakapan vokasional (vocational skill) adalah kecakapan yang dikaitkan dengan bidang pekerjaan tertentu yang terdapat di masyarakat, seperti di bidang jasa (perbengkelan, jahit-menjahit), dan produksi barang tertentu (peternakan, pertanian, perkebunan). Keempat jenis kecakapan hidup di atas, dilandasi oleh kecakapan spiritual, yakni: keimanan, ketakwaan, moral, etika, dan budi pekerti yang luhur sebagai salah satu pengamalan dari sila pertama Pancasila. Dengan demikian, pendidikan kecakapan hidup diarahkan pada pembentukan manusia yang berakhlak mulia, cerdas, terampil, sehat, mandiri, serta memiliki produktivitas dan etos kerja tinggi. Penyelenggaraan pendidikan kecakapan hidup pada satuan dan program pendidikan non formal, utamanya dalam rangka pengentasan kemiskinan dan penanggulangan pengangguran lebih ditekankan pada upaya pembelajaran yang dapat memberikan penghasilan (learning and earning). Secara khusus, pendidikan life skills menurut Depdiknas memberikan pelayanan kepada warga belajar agar: a) memiliki keterampilan, pengetahuan, dan sikap yang dibutuhkan dalam memasuki dunia kerja baik bekerja mandiri (wira usaha) dan/atau bekerja pada suatu perusahaan produksi/jasa dengan penghasilan yang semakin layak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya; b) memiliki motivasi dan etos kerja yang tinggi serta dapat menghasilkan karyakarya yang unggul dan mampu bersaing di pasar global; c) memiliki kesadaran yang tinggi tentang pentingnya pendidikan untuk dirinya sendiri maupun untuk anggota keluarganya; d) mempunyai
kesempatan
yang
sama
untuk
memperoleh
pendidikan
sepanjang hayat dalam rangka mewujudkan keadilan pendidikan di setiap lapisan masyarakat. Penyelenggaraan
pendidikan
life
skills
diarahkan
pada
upaya
pengentasan kemiskinan dan upaya memecahkan masalah pengangguran, oleh karena itu pemilihan keterampilan yang akan dipelajari oleh warga belajar didasarkan atas kebutuhan masyarakat, potensi lokal, dan kebutuhan pasar, sehingga diharapkan akan memberikan manfaat positif bagi warga belajar, masyarakat sekitar, dan pemerintah. Manfaat bagi warga belajar, masyarakat, dan pemerintah sebagai berikut:
31
1. manfaat bagi warga belajar a) memiliki keterampilan, pengetahuan, kemampuan dan sikap sebagai bekal untuk berusaha sendiri dan atau bekerja pada perusahaan terkait; b) memiliki penghasilan sendiri yang dapat digunakan untuk menghidupi diri sendiri dan keluarganya; c) memiliki penghasilan yang dapat digunakan untuk meningkatkan profesionalismenya dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi; d) memiliki keterampilan, pengetahuan, kemampuan dan sikap positif/ bermanfaat yang dapat diberikan/ditularkan kepada sesamanya; 2. manfaat bagi masyarakat a) pengangguran berkurang; b) tumbuhnya aneka mata pencaharian baru yang diusahakan oleh masyarakat sekitar; c) berkurangnya kesenjangan sosial; d) keamanan masyarakat membaik; 3. manfaat bagi pemerintah a) meningkatnya kualitas sumber daya manusia; b) produktivitas bangsa meningkat; c) memajukan perdesaan; d) tumbuhnya kegiatan usaha ekonomi masyarakat; e) mencegah kerawanan sosial. Kelembagaan Nasdian (2007) menyebutkan bahwa kelembagaan pembangunan terdiri atas public sector, private sector, dan collective action sector. Public sector mengacu kepada lembaga-lembaga pemerintah yang bertanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat (public), private sector lebih dominan kepada swasta yang menjalankan kegiatan berdasarkan kepentingan normatif dan ekonomis, sedangkan collective action sector yang didefinisikan sebagai aktivitas bersama yang didasarkan pada keinginan mencapai tujuan tertentu, dengan jalan mengubah sesuatu secara temporer atau tetap, mengacu kepada lembaga yang diselenggarakan oleh komunitas secara kolektif. Ketiga jenis lembaga tersebut, dalam kaitannya dengan good governance (tata kelola yang baik), dapat mencapai tujuan pengembangan masyarakat apabila
32
bersinergi membangun jejaring yang kuat. PKBM dapat digolongkan dalam collective action sector karena dilakukan secara kolektif oleh elemen masyarakat, baik sebagai pengelola, tutor/nara sumber teknik, maupun warga belajar. Analisis kelembagaan sebagai collective action sector dengan melihat perubahan kelembagaan dalam dimensi historis dan prospek kelembagaan, pilar-pilar yang diperlukan untuk menopang kelembagaan, serta melihat kelembagaan sebagai suatu sistem organisasi dan kontrol terhadap sumber daya. Dengan melihat perubahan kelembagaan, merujuk pada teori Carney and Gedajlevic (2005, diacu oleh Nasdian 2008), bahwa perubahan bersama antara kelembagaan dan organisasi sebagai suatu “institutional and organizational coevolution”, penyelenggaraan PLS dapat dilihat berdasarkan perubahan atau evolusi antara pranata-pranata yang ada dengan organisasi penyelenggara yang terbentuk. Melalui alat analisis ini, dapat diketahui apakah pemerintah mulai memberikan ruang yang luas bagi masyarakat dalam menyelenggarakan PLS, dengan didukung oleh regulasi yang lebih memihak dan stimulan anggaran. Perubahan
program
PLS
termasuk
program
life
skills
yang
diselenggarakan melalui PKBM tersebut di atas secara teoritis tidak hanya disebabkan oleh faktor regulasi, walaupun faktor ini yang dominan. Selain faktor tersebut faktor struktur sosial masyarakat dan faktor kultural merupakan faktorfaktor yang dapat mempercepat atau memperlambat evolusi bersama pranata dan organisasi PKBM tersebut. Oleh karena itu, merujuk pendapat Scott (2008, diacu oleh Nasdian 2008), pada setiap tahap atau periode perubahan (evolusi bersama) tersebut perlu ditelaah apa dan bagaimana “pilar-pilar kelembagaan” yang mendukungnya. Tiga pilar kelembagaan tersebut meliputi pilar regulatif yang mendasarkan pada aturan pemerintah, pilar normatif mendasarkan pada kepentingan norma yang berlaku dalam masyarakat, serta pilar cultural cognitif yang berbasis pada nilai-nilai dalam masyarakat. Bentuk-bentuk kelembagaan PLS yang dikonstruksikan sebagai hasil dari proses evolusi bersama antara kelembagaan dan organisasi kecamatan (perubahan kelembagaan PLS) pada setiap periode atau tahap akan menunjukkan kekhasan dengan “pilar-pilar” penopang kelembagaan PKBM sebagai penyelenggara PLS.
Oleh karena itu, dengan kekhasan “pilar-pilar”
penopang kelembagaan PKBM akan berimplikasi sampai sejauh mana kelembagaan
PKBM
mampu
menjadi
“sistem
organisasi
dan
kontrol
33
sumberdaya”.
Dengan merujuk kepada konsepsi Schmid (1972, diacu oleh
Nasdian 2008), PKBM dapat dipandang sebagai suatu “sistem organisasi dan kontrol terhadap sumberdaya” yang memiliki tiga karakteristik utama dalam melaksanakan fungsi dan peranannya, yakni memiliki : (1) batas yurisdiksi; (2) property rights; dan (3) aturan representasi (rules of representation). Tiga karakteritik utama tersebut menjadi faktor “pengikat” suatu kelembagaan PKBM dalam melaksanakan fungsi dan peranannya. Kuatlemahnya kelembagaan PKBM dalam melaksanakan fungsi dan peranannya dipengaruhi oleh sampai sejauh mana batas yurisdiksi, property rights, dan rules of representation dimiliki oleh kelembagaan PKBM. Pemantauan dan Evaluasi Dalam melakukan analisis terhadap suatu program diperlukan kegiatan pemantauan
dan
evaluasi.
Pemantauan
dan
evaluasi
dalam
praktek
pengembangan masyarakat merupakan salah satu langkah yang sangat penting yang harus dilakukan, sama pentingnya dengan langkah-langkah lainnya seperti need asessment, menyusun rencana intervensi, intervensi, serta tindak lanjut yang kesemuanya merupakan tahapan yang harus dilalui dalam proses pemberian pertolongan dalam praktek pengembangan masyarakat. Secara umum, evaluasi diartikan sebagai kegiatan pengukuran terhadap sesuatu, apakah itu suatu proses atau hasil dari kegiatan dengan menggunakan alat ukur atau standar tertentu. Menurut Hendrakusumaatmaja (2007), evaluasi adalah suatu proses yang dilakukan secara obyektif untuk menentukan keterkaitan, efisiensi, efektifitas dan dampak suatu upaya sesuai dengan tujuan yang akan dicapai, sedangkan pemantauan meliputi kegiatan mengamati, meninjau kembali, mempelajari dan mengawasi yang dilakukan secara terus-menerus atau berkala. Pemantauan dilakukan untuk memastikan bahwa pelaksanaan suatu upaya berjalan sesuai dengan rencana, dan dilakukan selama upaya tersebut dilaksanakan. Sedangkan evaluasi dilakukan untuk menyempurnakan upaya atau
kegiatan-kegiatan
yang
sedang
berjalan, membantu
perencanaan,
penyusunan upaya atau kegiatan dan pengambilan keputusan di masa depan. Evaluasi dapat dilakukan pada saat pelaksanaan, saat berakhirnya suatu upaya, atau beberapa tahun setelah suatu upaya selesai. Lebih lanjut Hendrakusumaatmaja (2007) menyebutkan beberapa tujuan pemantauan dan evaluasi, yaitu:
34
1. mengetahui pelaksanaan suatu upaya keberhasilan-kelemahan, kegagalan, penyimpangan, dan penyebabnya; 2. mengetahui pencapaian tujuan yang hendak dicapai; 3. mengetahui manfaat dan dampaknya terhadap kelompok sasaran; 4. membuat tindakan korektif secara dini; 5. mengoptimalkan upaya yang dilakukan (sumber daya manusia, dana, waktu); 6. menarik bahan pelajaran untuk perencanaan dan pelaksanaan upaya penanggulangan di masa mendatang secara lebih baik. Mengenai
pentingnya
hasil
pemantauan
dan
evaluasi,
adalah
sebagaimana disebutkan oleh Sumardjo (2008), yaitu: 1. sarana untuk meningkatkan efektivitas organisasi dan manajemen program pemberdayaan fakir-miskin; 2. meningkatkan kualitas perencanaan secara partisipatif dan kolaboratif antar pihak terkait; 3. membantu pihak-pihak terkait dalam membuat keputusan secara partisipatif yang akuntabel (bertanggungjawab) secara tepat dalam pengembangan program pemberdayaan fakir-miskin; 4. membantu dalam membuat kebijakan secara tepat, konvergen, dan sinergis bagi pemerintah; 5. menunjukkan di mana dibutuhkan penyesuaian dan tindakan selanjutnya dalam pengembangan program pemberdayaan fakir-miskin; 6. menunjukkan di mana dibutuhkan tindak lanjut lebih lanjut dan mendalam; 7. memberikan informasi kepada masyarakat yang lebih luas. Efisiensi dan efektifitas merupakan dua konsep yang sangat penting dalam mengevaluasi suatu kegiatan program pengembangan masyarakat dan keduanya tidak dapat dipisahkan dalam mengukur pencapaian tujuan kegiatan. Informasi dari hasil evaluasi yang berkaitan dengan kedua tujuan itu dapat digunakan sebagai bahan untuk perbaikan ketika kegiatan selesai atau sedang berjalan dan sebagai bahan untuk menyusun rencana kegiatan berikutnya. Menurut teori sistem, Hartrisari (2007) mengungkapkan bahwa evaluasi dilakukan melalui pengukuran pencapaian pada tujuan sistem. Ukuran evaluasi sistem adalah efektif dan efisien. Efektif merupakan derajat ketercapaian tujuan yang telah ditetapkan, misalnya pencapaian jumlah total penjualan dari target suatu perusahaan. Efisien merupakan pengukuran rasio output terhadap penggunaan input, misalnya tingkat penjualan tertentu dibandingkan terhadap jumlah
35
biaya yang dikeluarkan. Seringkali orang tidak dapat membedakan dengan benar arti kata efisien dan efektif, padahal pengertian kedua kata tersebut berbeda. Efektif berhubungan dengan mengukur ketercapaian tujuan yang telah ditetapkan, sedangkan efisien berhubungan dengan ukuran keberhasilan dalam penggunaan input. Suatu sistem dapat dikatakan efektif tetapi tidak efisien jika dalam pencapaian tujuannya membutuhkan biaya yang besar. Sebaliknya suatu sistem dapat dikatakan efisien tetapi tidak efektif jika tujuan yang ditetapkan tidak tercapai walau biaya yang dikeluarkan relatif kecil. Turban (1999, diacu oleh Hartrisari 2007) memberikan acuan pembeda kata efektif dan efisien. Efektif adalah “doing the right thing” (melakukan hal yang benar); sedangkan efisien adalah “doing the thing right” (melakukan hal dengan benar). Berkaitan
dengan
penelitian
ini,
yang
salah
satunya
adalah
melaksanakan evaluasi terhadap program life skills, perlu dibangun indikator yang merupakan ciri khas penelitian evaluasi. Indikator tersebut meliputi indikator proses, indikator input (komponen), dan indikator eksternal, yang dapat menggambarkan keberhasilan program. Indikator proses diperlukan untuk mengetahui apakah pembentukan PKBM Al-Wathoniyah, penentuan jenis keterampilan life skills, serta penyelenggaraan kegiatan melibatkan partisipasi aktif masyarakat. Indikator input digunakan untuk mengetahui stakeholder (komponen) yang terlibat dalam program ini, dan komponen mana yang bertindak sebagai pekerja komunitas dalam bingkai pengembangan masyarakat. Sedangkan
indikator
eksternal
berhubungan
dengan
faktor-faktor
yang
mempengaruhi keberhasilan PKBM Al-Wathoniyah, misalnya regulasi pemerintah, pendanaan, motivasi penyelenggara dan warga belajar, faktor lingkungan yang berhubungan dengan jejaring dan kondisi perekonomian saat ini. Tinjauan terhadap Konsep Life Skills Depdiknas Secara
konseptual,
program-program
life
skills
disepakati
dan
dilaksanakan di berbagai negara di dunia dengan menyesuaikan situasi dan kondisi yang berlaku di negaranya masing-masing. Konsep-konsep life skills dikemukakan antara lain oleh Broling, Pat Hendriks (Iowa State University), UNICEF, WHO, dan Depdiknas sebagaimana diuraikan di bawah ini. Broling (http://www.google.com/lifeskills) menjelaskan bahwa, “Life skills constitute a continuum of knowledge and attitude that are necessary for a person to function effectively and to avoid interruptions of employment experience”.
36
Dengan demikian life skills dapat dinyatakan sebagai kecakapan untuk hidup. Istilah hidup, tidak semata-mata memiliki kemampuan tertentu saja (vocational job), namun ia harus memiliki kemampuan dasar pendukungnya secara fungsional
seperti:
membaca,
menulis,
menghitung,
merumuskan,
dan
memecahkan masalah, mengelola sumber daya, bekerja dalam tim, terus belajar di tempat kerja, menggunakan teknologi. Pendidikan kecakapan hidup (life skills) lebih luas dari sekedar keterampilan bekerja, apalagi sekedar keterampilan manual. Pendidikan kecakapan hidup merupakan konsep pendidikan yang bertujuan untuk mempersiapkan warga belajar agar memiliki keberanian dan kemauan menghadapi masalah hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan kemudian secara kreatif menemukan solusi serta mampu mengatasinya. Pat Hendriks (Iowa State) menggambarkan model pencapaian life skills sebagaimana disebutkan Steve McKinley (http://www.google.com/lifeskills): Gambar 2. Model Pencapaian Life Skills
Gambar di atas menyebutkan bahwa pencapaian life skills meliputi empat kuadran (4-H) yaitu HEART, HAND, HEALTH, HEAD. Jika diterjemahkan secara bebas maka konsep life skills
ditujukan untuk mencapai kemampuan
berhubungan dengan pihak lain di luar dirinya (Heart), kemampuan untuk bekerja
37
dan saling memberi (Hand), kemampuan untuk hidup sehat (Health), dan kemampuan untuk berpikir positif dalam mencapai tujuan (Head). Hal ini berarti bahwa life skills bukan hanya ditujukan untuk mencapai kemampuan menguasai keterampilan praktis semata. Lebih luas lagi, life skills ditujukan agar seseorang cakap dalam menjalani hidup dengan memanfaatkan segenap potensi yang dimilikinya baik kognisi (Head, Health), afeksi (Heart), maupun psikomotornya (Hand, Health). UNICEF mendefinisikan life skills sebagai: this term refers to a large group of psychosocial and interpersonal skills which can help people make informed decisions, communicate effectively, and develop coping and self managemen skills that may help them lead a healthy and productive life (http://www.unicef.org/lifeskills). Life skills menunjuk kepada kajian yang luas dari psikososial dan kemampuan berhubungan dengan orang lain yang dapat membantu seseorang menyusun keputusan, berkomunikasi secara efektif, dan membangun coping (kemampuan mental dalam mengatasi masalah) dan kemampuan mengatur diri yang membimbing seseorang untuk hidup sehat dan produktif. Lebih lanjut, UNICEF mengungkapkan bahwa life skills sebagai “a behaviour change or behaviour development approach designed to address a balance of three areas: knowledge, attitude and skills”. The UNICEF definition is based on research evidence that suggests that shifts in risk behaviour are unlikely if knowledge, attitudinal and skills based competency are not addressed. Life skills adalah suatu perubahan perilaku atau pendekatan pembangunan perilaku yang dialamatkan untuk menyeimbangkan tiga area: pengetahuan, perilaku, dan keterampilan. Berdasarkan penelitian, apabila ketiga area ini tidak seimbang maka tujuan perubahan perilaku tidak terwujud dengan baik. WHO mendefinisikan life skills sebagai, "the abilities for adaptive and positive behaviour that enable individuals to deal effectively with the demands and challenges of everyday life". Life skills adalah kemampuan untuk beradaptasi dan berperilaku positif yang memungkinkan seseorang menghadapi tantangan dan persaingan dalam kehidupan sehari-hari secara efektif. Esensi life skills adalah kemampuan yang membantu meningkatkan mental dan berguna bagi para pemuda untuk menghadapi realita kehidupan. Sebagian besar profesional pengembangan masyarakat sepakat bahwa secara umum life skills diaplikasikan dalam konteks sosial dan kesehatan. Life skills
38
bermanfaat dalam area: pencegahan penyalahgunaan narkoba, pelecehan seksual, kehamilan di luar nikah, pencegahan HIV/AIDS, dan pencegahan bunuh diri. Secara singkat, life skills memberdayakan para pemuda bertindak positif untuk melindungi diri sendiri dan meningkatkan perilaku hidup sehat dan hubungan sosial yang positif. Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep life skills menurut UNICEF dan WHO dititikberatkan kepada usaha-usaha perubahan perilaku, yang diawali dengan perubahan pola pikir positif bagi para pemuda untuk dapat menghadapi persoalan hidup sehari-hari. Berbeda dengan tersebut di atas, konsep life skills menurut Depdiknas dijabarkan melalui program yang dititikberatkan pada kemampuan untuk menguasai keterampilan praktis (vocational skill). Penulis melakukan analisis terhadap konsep life skills Depdiknas (Depdiknas 2004) sebagai berikut: a. Program life skills ditujukan untuk mengatasi kemiskinan dan pengangguran, sehingga dimungkinkan terjadi tumpang-tindih dengan tugas pokok dan fungsi Departemen Tenaga Kerja maupun Departemen Sosial yang lebih berkompeten menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Permasalahan kemiskinan dan pengangguran merupakan permasalahan yang memerlukan sinergi
antara
berbagai
komponen
bangsa,
termasuk
departemen-
departemen pemerintah, tetapi jika saling tumpang-tindih hanya akan menyelesaikan masalah secara parsial. b. Depdiknas mendasarkan konsep life skills pada konsep WHO yang meliputi lima jenis skills: personal skill, thinking skill, social skill, academic skill, dan vocational skill; tetapi titik beratnya hanya pada vocational skill saja. Hal ini menjadikan life skills terbatasi dalam pengertian dan pelaksanaannya. Padahal esensi dari life skills adalah perubahan perilaku yang diawali dengan perubahan pola pikir, agar masyarakat dapat cakap dalam mengatasi berbagai persoalan hidup, bukan hanya pada persoalan ekonomi semata. c. Konsep life skills dipahami oleh masyarakat dan Dinas P dan K sebagai padanan dari kata keterampilan, atau keterampilan kerja. Orang yang punya life skills bisa dimaknakan sebagai orang yang terampil atau orang yang siap kerja, siap masuk dunia kerja. Dengan kata lain, life skills diartikan sebagai skill yang ujung-ujungnya adalah keterampilan yang bisa menghasilkan pendapatan
(income
earning).
Pemahaman
ini
bisa
jadi
karena
39
sosialisasi program yang dilaksanakan Depdiknas beserta jajarannya membatasi pengertian life skills yang seharusnya lebih luas. d. Program life skills dapat identik dengan pengertian “proyek” sebagaimana sering diartikan pada masa orde baru, yang menitikberatkan pada top-down approach. Hal ini menjadikan partisipasi masyarakat hanya sebatas sebagai “pelaksana” program yang telah digariskan pemerintah, atau berada pada kategori partisipasi fungsional, di mana masyarakat menjalankan kegiatan setelah pemerintah memutuskan dan menerbitkan petunjuk pelaksanaannya. Di beberapa tempat, pola pendekatan semacam ini akan dapat mematikan kreatifitas, prakarsa, dan inisiatif masyarakat sendiri. Lebih lanjut tentang konsep life skills, berikut ini disajikan analisis perbedaan konsep life skills menurut WHO dan Depdiknas sebagai berikut: Tabel 2. Perbedaan Konsep Life Skills menurut WHO dan Depdiknas WHO
Konsep life skills Tujuan Sasaran Kegiatan
Issue
Tindakan aksi
Jenis
Depdiknas
Mengubah perilaku, diawali Menanggulangi masalah kemisdengan perubahan berpikir positif kinan dan pengangguran Para pemuda/remaja Pengangguran, anak putus sekolah, penduduk miskin Masuk dalam kurikulum sekolah, Masuk dalam kegiatan pendidiktransfer pemahaman tentang an luar sekolah, mendorong masyarakat melakukan kegiatan hidup sehat dan berpikir positif penguasaan keterampilan praktis penyalahgunaan narkoba, pele- Pengangguran dan kemiskinan, cehan seksual, kehamilan di luar penguasaan ketrampilan praktis, nikah, pencegahan HIV/AIDS, mencari penghasilan pencegahan bunuh diri, dsb Sosialisasi perilaku hidup sehat Pemberian juknis dan stimulan dan berpikir positif yang modal bagi perorangan/kelompok dilakukan berulang-ulang melalui untuk menjalankan sekolah, media massa kegiatan/usaha Personal skill, thinking skill, social Vocational skill skill, academic skill, vocational skill
Sumber: Depdiknas 2002, http://www.google.com/lifeskills, diolah Penyelenggaraan program life skills di beberapa negara Amerika Latin mendasarkan pada konsep WHO (http://www.google.com/lifeskills), masuk dalam kurikulum sekolah mulai dari TK hingga SLTP, yang sangat bermanfaat bagi pengembangan pendidikan kesehatan sejak dini. Anak-anak sekolah tersebut diberikan
pemahaman
dan
berpikir
kritis
mengenai
bahaya
merokok,
penyalahgunaan narkoba, pelecehan seksual, kehamilan di luar nikah, HIV/AIDS,
40
dan permasalahan lain yang dihadapi di masa remaja. Melalui pemahaman tersebut, mereka mempunyai life skills (pengetahuan, berperilaku, dan berketerampilan) untuk dapat melindungi diri dari perilaku negatif, meningkatkan derajat kesehatan dan hubungan sosial di tengah masyarakat. Berbagai uraian di atas, menunjukkan adanya perbedaan yang mendasar pada konsep dan aplikasi program life skills antara WHO dan Depdiknas. Depdiknas (2004) menyatakan bahwa pendidikan kecakapan hidup pada satuan dan program pendidikan non formal, utamanya dalam rangka pengentasan kemiskinan dan penanggulangan pengangguran lebih ditekankan pada upaya pembelajaran yang dapat memberikan penghasilan (learning and earning). Dengan demikian, Depdiknas telah memberikan batasan mengenai life skills yang diberikan melalui jalur non formal, yaitu dalam jenis vocational skills atau kecakapan dalam bidang pekerjaan tertentu bagi warga belajar; sementara personal skills, social skills, dan academic skills, bukan menjadi prioritas meskipun dalam implementasinya ketiga jenis life skills tersebut turut mengiringi. Personal skills terutama diperoleh karena dengan mengikuti program warga belajar dapat mengenal kemampuan diri sendiri terhadap penguasaan jenis keterampilan, dapat lebih berpikir rasional untuk menjalankan suatu usaha, dan lebih percaya diri apabila usahanya tersebut berhasil. Social skills didapatkan dalam interaksi antara tutor dan warga belajar, serta dalam kelompok-kelompok usaha yang dibentuk karena dalam menjalankan usaha bersama diperlukan kecakapan untuk melakukan kerja sama, bertenggang rasa, dan tanggung jawab sosial agar usaha dimaksud membuahkan hasil. Sedangkan academic skills lebih didapatkan oleh pengelola program/pengurus PKBM dalam pembuatan proposal yang didahului dengan analisis kebutuhan warga belajar dan kebutuhan pasar sehingga program dapat berkelanjutan. Tujuan utama penyelenggaraan program life skills di Desa Sukosono adalah
penguasaan
bidang
pekerjaan
tertentu (vocational
skills),
yaitu
keterampilan seni ukir/meubel, bobok, jahit-menjahit dan bordir, pembuatan rengginan, pembuatan roti bolu, dan sablon. Jenis keterampilan tersebut diarahkan agar warga belajar langsung mempraktekkannya untuk mendapatkan penghasilan, kecuali jahit-menjahit dan bordir yang ditujukan sebagai bekal keterampilan bagi para santri. Beberapa program dapat berjalan dengan baik dan berkelanjutan, beberapa yang lain tidak dapat dilanjutkan dengan berbagai alasan. Menilik dari proses penyelenggaraan program ini yang hanya
41
menitikberatkan pada vocational skills, maka sebenarnya lebih tepat apabila disebut living skills education atau income earning training. Apabila program ini berlanjut pada masa yang akan datang, Depdiknas seyogianya memberi istilah yang tepat agar tidak terjadi kesalahpahaman pemakaian istilah. Dalam kajian ini, penulis melakukan evaluasi terhadap program life skills sebagaimana dikeluarkan oleh Depdiknas, yaitu penulis mencoba menganalisis sejauh mana program life skills Depdiknas ini dapat memberi nilai tambah bagi masyarakat, bagaimana memecahkan permasalahan yang dihadapi dalam penyelenggaraan program melalui musyawarah bersama. Sehingga rencana program aksi pengembangan masyarakat yang disusun adalah dalam rangka mengembangkan program yang telah dijalankan sebelumnya, tetapi tetap merekomendasikan
kepada
Depdiknas
untuk
menciptakan
konsep
penyelenggaraan program life skills yang sesuai dengan konsep yang disepakati oleh dunia internasional. Kerangka Pikir Kajian Dunia pendidikan saat ini mengembangkan konsep pembelajaran berwawasan kemasyarakatan yang berlandaskan pada pendidikan berbasis masyarakat (community
based education). Community
based education
mensyaratkan bahwa pendidikan diselenggarakan dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat. Sejalan dengan konsep ini, pemerintah melalui Depdiknas mendorong pembentukan PKBM di seluruh wilayah Indonesia. Proses
pembentukan
dan
penyelenggaraan
PKBM,
dalam
konsepnya,
menggunakan prinsip DOUM (dari, oleh, dan untuk masyarakat) yang berarti community based education. Melalui masyarakat,
PKBM karena
didorong masyarakat
adanya
pemberdayaan
diberikan
porsi
yang
dan
partisipasi
besar
dalam
menyelenggarakan pendidikan khususnya PLS. Pemberdayaan memungkinkan masyarakat menentukan sendiri apa yang harus ia lakukan dalam kaitan mengatasi permasalahan yang dihadapi sehingga mempunyai kesadaran dan kekuasaan dalam membentuk hari depannya. Melalui pemberdayaan juga, masyarakat diberikan kebebasan untuk bertanggung jawab terhadap ide-idenya, keputusan-keputusannya, dan tindakan-tindakannya. Konsep pembedayaan berkaitan erat dengan partisipasi, yang merupakan keterlibatan aktif masyarakat
42
dalam pelaksanaan kegiatan atas dasar rasa dan kesadaran tanggung jawab sosialnya. PKBM bergerak dalam bidang garapan PLS, yang menekankan pada pemberdayaan penyelenggaraan
dan
partisipasi
masyarakat
program-programnya,
salah
dalam
pembentukan
satunya
adalah
dan
program
kecakapan hidup (life skills). Depdiknas telah menetapkan program life skills sejak tahun 1998 sebagai respon atas meningkatnya angka anak putus sekolah serta meningkatnya jumlah penduduk miskin di Indonesia pasca krisis ekonomi. Program life skills yang dikelompokkan ke dalam PLS ini diselenggarakan antara lain melalui PKBM, termasuk di PKBM Al-Wathoniyah Desa Sukosono. Program life skills di Sukosono
telah
diselenggarakan
sejak
tahun
2003,
sehingga
demi
kesinambungan program diperlukan adanya pemantauan dan evaluasi, berupa evaluasi sumatif dan evaluasi formatif. Evaluasi sumatif untuk menentukan efektifitas tindakan dan intervensi program life skills bagi kesejahteraan masyarakat, serta menilai dan merumuskan cara yang efektif dan kondisi yang kondusif untuk mencapai efektifitas program. Sedangkan evaluasi formatif dilakukan untuk membuat rekomendasi perbaikan program life skills di masa yang akan datang. Pemantauan dan evaluasi ini dimaksudkan agar program berjalan dengan efektif. Penyelenggaraan life skills (Depdiknas) di Sukosono tidak terlepas dari faktor penghambat dan faktor pendukung. Beberapa faktor penghambat berupa: belum tersosialisasinya program dengan baik, kendala persyaratan yang memberatkan PKBM, jenis keterampilan yang tidak sesuai dengan yang diharapkan warga belajar, kecenderungan warga belajar yang serba ingin “instant” untuk memperoleh penghasilan sehingga mempengaruhi motivasi, anggaran pemerintah yang “terbatas”, serta rendahnya honor tutor di samping kualitas tutor itu sendiri. Sedangkan beberapa faktor pendukung yaitu: terdapatnya peraturan perundangan yang mengatur tentang program ini, terdapatnya anggaran dan pendampingan oleh dinas teknis terkait, telah terdapatnya PKBM Al-Wathoniyah sebagai penyelenggara program, keberadaan pesantren Mamba’ul Qur’an yang telah lama tumbuh dan berkembang dalam masyarakat
Sukosono
serta
dapat
bekerjasama
dengan
PKBM
untuk
menyelenggarakan program, dan adanya sasaran program yaitu para santri dan masyarakat sekitar pesantren.
43
Strategi yang perlu dikembangkan menuju keberhasilan program ini yaitu dengan melakukan sosialisasi yang intensif tentang keberadaan program life skills kepada masyarakat, melakukan need assessment tentang jenis keterampilan yang diinginkan warga belajar, menjalin kolaborasi dengan pesantren terutama dalam perekrutan warga belajar, menjalin kolaborasi dengan dunia industri dan perdagangan untuk menampung dan memasarkan produk hasil life skills, mendorong pemerintah mempermudah persyaratan dan pencairan dana, serta meningkatkan peran serta masyarakat dalam menyukseskan program. Dengan strategi tersebut, diharapkan program ini dapat menambah lapangan kerja bagi masyarakat Sukosono sebagai alternatif selain meubel, mengembangkan industri kecil (barang dan jasa) dari life skills yang diberikan, terjalin kolaborasi dengan swasta untuk menampung dan memasarkan produk, memberi kesempatan kepada warga belajar untuk berpartisipasi dalam pembangunan, serta dapat memberikan penghasilan bagi diri sendiri maupun keluarga. Kerangka pemikiran di atas dapat disajikan dalam bentuk Gambar 3: Gambar 3. Kerangka Pikir Kajian
Faktor pendukung:
♣ adanya peraturan perundangan ♣ tersedianya anggaran dan pendampingan ♣ terbentuk PKBM ♣ keberadaan pesantren ♣ adanya sasaran program Dasar teoritis:
♣ community based education ♣ pemberdayaan dan partisipasi ♣ pemantauan dan evaluasi (sumatif dan formatif) ♣ efektifitas Dasar faktual: ♣ meningkatnya kemiskinan dan pengangguran ♣ rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat
Rencana Aksi / Strategi Pengembangan:
Penyelenggaraan program life skills (Depdiknas)
Faktor penghambat: ♣ sosialisasi terbatas ♣ kendala persyaratan ♣ jenis keterampilan kurang sesuai ♣ motivasi warga belajar kurang maksimal ♣ terbatasnya dana dan kuota pemerintah ♣ rendahnya honor dan kualitas tutor
♣ sosialisasi intensif ♣ need assessment jenis keterampilan ♣ kolaborasi PKBM dan pesantren ♣ kolaborasi dengan dunia industri & perdagangan ♣ penyederhanaan birokrasi ♣ peran serta masyarakat ditingkatkan
Output / pemberdayaan masyarakat sekitar:
♣ lapangan kerja bertambah ♣ berkembangnya industri kecil ♣ kolaborasi dengan swasta ♣ kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan ♣ penghasilan masyarakat meningkat