II.
2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teoritis
2.1.1 Teori Modal Manusia Sampai dengan periode 1960-an, ekonom neo-klasik mengasumsikan bahwa tenaga kerja sudah tertentu dan tidak bisa dikembangkan. Analisis mengenai pendidikan dan pelatihan tidak terintegrasi ke dalam diskusi produktivitas. Pendidikan dalam pandangan neo-klasik selama sekian dekade dipahami sebagai bentuk pelayanan sosial yang harus diberikan kepada masyarakat. Dalam konteks ini pelayanan pendidikan sebagai bagian dari public service atau jasa layanan umum dari negara kepada masyarakat yang tidak memberikan dampak langsung bagi perekonomian masyarakat. Sehingga pembangunan pendidikan tidak menarik untuk menjadi tema perhatian dan kedudukannya tidak mendapat perhatian dalam gerak langkah pembangunan. Konsep modal manusia (human capital) dalam ilmu ekonomi diperkenalkan oleh Schultz (1960, 1961) dan Becker (1962). Theodore W. Schultz merintis benih-benih teoritis hubungan antara pendidikan dan produktivitas. Schultz berpendapat bahwa para ekonom neo-klasik hanya menganalisis secara eksplisit mengenai modal manusia. Schultz mengajarkan gagasan modal pendidikan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pengetahuan dan ketrampilan sehingga dapat meningkatkan produktivitas, berkaitan secara spesifik dengan investasi yang dilakukan dibidang pendidikan. Schultz membahas mengenai investasi sumber daya manusia dan hubungan pendidikan dengan pertumbuhan ekonomi, dan menetapkan bahwa pendidikan bukan hanya sebagai kegiatan konsumsi, tetapi juga merupakan kegiatan investasi yang mengarah pada pembentukan modal manusia yang sebanding dengan modal fisik, dan akan diikuti oleh pertumbuhan yang signifikan. Pengeluaran langsung konsumsi pendidikan merupakan investasi dalam modal manusia, karena mengharapkan pengembalian berupa penghasilan yang akan diperoleh dimasa depan.
23
24
Konsep antara sumber daya manusia dibedakan dengan konsep modal manusia. Sumber daya manusia dapat berubah menjadi modal manusia melalui input efektif nilai-nilai pendidikan, kesehatan dan moral. Transformasi sumber daya manusia mentah menjadi sumber daya manusia yang sangat produktif melalui input-input tersebut adalah proses pembentukan modal manusia. Jadi modal manusia memiliki pengertian persediaan kompetensi, pengetahuan, keahlian, keterampilan, cita-cita, kesehatan, dan sebagainya yang merupakan hasil pengeluaran atau pembelanjaan di bidang pendidikan, program perawatan dan pemeliharaan kesehatan (Todaro & Smith 2006). Kemudian, Becker14 menganalisis secara empiris investasi modal manusia sehingga muncul teori modal manusia. Penelitian Becker merupakan fundamental dalam meyakinkan banyak orang untuk membuat pilihan investasi dalam modal manusia dengan menimbang biaya dan manfaat rasional yang mencakup pengembalian investasi dalam pendidikan. Manfaat investasi pendidikan tidak hanya menekankan dimensi moneter saja (manfaat private), tetapi juga memperhitungkan manfaat dari dimensi non-moneter (manfaat sosial) seiring dengan peningkatan pendapatan dan pekerjaan. Sementara, biaya yang dikeluarkan adalah biaya langsung terkait biaya pendidikan dan biaya tidak langsung berupa biaya lain-lain, termasuk penghasilan yang hilang apabila bekerja. Penelitian Becker menerangkan perbedaan tingkat pengembalian untuk setiap orang yang berbeda dalam kemampuan berinvestasi dalam pendidikan dan implikasi makroekonomi yang dihasilkan. Gambar 2.1 memperlihatkan representasi skematis dari trade-off dan tingkat pengembalian dalam keputusan untuk melanjutkan sekolah. Skema ini mengasumsikan bahwa seseorang bekerja dari saat ia lulus sekolah hingga ia tidak mampu bekerja lagi atau meninggal. Dua profil golongan pencari nafkah disajikan di sini, yaitu lulusan pendidikan dasar (diasumsikan mulai bekerja pada usia 16 tahun) dan lulusan pendidikan menengah atas (diasumsikan mulai bekerja pada usia 19 tahun).
14
Becker (1965) juga mengembangkan teori yang mempelajari model ekonomi rumah tangga, dimana kegiatan produksi dan konsumsi rumah tangga tidak terpisah dari penggunaan tenaga kerja serta hubungannya dengan alokasi waktu dan pendapatan.
25
Pendapatan
Lulusan Sekolah Menengah Atas Lulusan Pendidikan Dasar
Manfaat
Biaya Tidak Langsung 16 19 Biaya Langsung
66
Umur
Biaya Langsung Sumber: Todaro dan Smith 2006.
Gambar 2.1 Trade-off dan tingkat pengembalian dalam pengambilan keputusan untuk melanjutkan pendidikan. Tingkat pendidikan yang dienyam oleh seseorang, secara umum dapat dipandang sebagai hasil yang ditentukan oleh perpaduan antara permintaan dan penawaran. Dari sisi permintaan, terdapat dua hal yang paling berpengaruh terhadap jumlah atau tingkat pendidikan yang diinginkan, yaitu: (i) harapan bagi siswa yang lebih terdidik untuk mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang lebih baik dimasa yang akan datang (hal ini merupakan manfaat pendidikan individual bagi siswa dan/atau keluarganya); serta (ii) biaya-biaya pendidikan, baik bersifat langsung maupun tidak langsung yang harus ditanggung oleh siswa dan/atau keluarganya. Jadi sebenarnya, permintaan terhadap pendidikan merupakan “permintaan tidak langsung” terhadap kesempatan memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang lebih baik (Todaro & Smith 2006). Hal ini dikarenakan untuk memperoleh pekerjaan di sektor modern, sangat ditentukan oleh tingkat pendidikan seseorang. Bagi sebagian masyarakat negara berkembang, terutama golongan miskin, permintaan pendidikan adalah untuk mengamankan kesempatan memperoleh pekerjaan. Permintaan atas tingkat pendidikan yang dianggap harus dicapai untuk mendapatkan pekerjaan berpenghasilan tinggi di sektor modern bagi seseorang atau bagi anggota masyarakat, sangat ditentukan oleh kombinasi pengaruh dari: selisih atau perbedaan upah/pendapatan antara
26
sektor modern dengan sektor tradisional, probabilitas keberhasilan untuk mendapat pekerjaan di sektor modern dengan adanya pendidikan, serta biaya langsung yang harus ditanggung siswa/keluarganya dan biaya tidak langsung atau biaya oportunitas dari pendidikan. Pada sisi penawaran, jumlah sekolah dimasing-masing tingkat pendidikan lebih banyak ditentukan oleh proses politik, yang sering tidak ada kaitannya dengan kriteria ekonomi. Tingkat penawaran atau penyediaan tempat-tempat sekolah oleh pemerintah, dibatasi oleh tingkat pengeluaran pemerintah untuk sektor pendidikan. Pada gilirannya, hal tersebut akan dipengaruhi oleh tingkat permintaan agregat dari masyarakat terhadap pendidikan (Todaro & Smith 2006). Pendekatan modal manusia menganggap pendidikan sebagai instrumen penting untuk mengurangi kemiskinan. Menurut teori modal manusia, investasi di bidang pendidikan mengarah pada pembentukan modal manusia, yang merupakan faktor penting dalam pertumbuhan ekonomi. Pendidikan bersama dengan pelatihan, mengajarkan keterampilan dan pengetahuan produktif dan mengubah manusia menjadi modal manusia yang lebih berharga. "Persediaan keterampilan dan pengetahuan produktif yang terkandung pada manusia" merupakan manusia modal. Pengetahuan, yang disampaikan melalui pendidikan, akan meningkatkan produktivitas masyarakat dan dengan demikian pendapatan mereka.
2.1.2 Teori Signaling dan Screening Sehubungan
dengan
pendidikan
dan
pasar
kerja,
Spence
(1973)
menganalisis pasar dengan informasi asimetrik mengenai signaling dalam pasar kerja. Teori tersebut menjelaskan hubungan antara pendidikan dan pendapatan. Signaling adalah strategi untuk menghindari beberapa masalah yang terkait dengan seleksi yang merugikan, mengacu pada tindakan yang dapat diamati dan dilakukan oleh satu pihak (disebut agen) untuk menyampaikan beberapa informasi tentang dirinya sendiri kepada pihak lain (pengusaha) tentang kualitas mereka. Spence menggunakan pendidikan sebagai contoh signaling. Sertifikat pendidikan dapat digunakan sebagai sinyal untuk menunjukkan tingkat kemampuan tertentu yang dimiliki individu. Umumnya, pengusaha bersedia membayar upah lebih tinggi untuk mempekerjakan pekerja dengan kemampuan
27
atau pendidikan lebih tinggi, karena lebih murah dan mudah bagi perusahaan untuk melatih karyawan berkemampuan tinggi daripada karyawan dengan kemampuan rendah. Di sisi lain, Stiglitz (1973) juga menganalisis pasar dengan informasi asimetrik dan menunjukkan bahwa agen yang kurang informasi kadang dapat menangkap informasi dari agen yang mempunyai informasi lebih baik melalui screening. Dalam model screening, diasumsikan bahwa perusahaan memilih tingkat pendidikan terkait dengan tugas dan upah yang akan diberikan. Pendidikan dapat digunakan sebagai screening device untuk mengidentifikasi produktivitas sumber daya manusia yang telah terbentuk sebelumnya dan membedakan tingkat upah di antara kelompok sumber daya manusia yang berbeda pendidikannya. signaling Pihak yang lebih mengetahui informasi
Pihak yang kurang mengetahui informasi screening
Sumber: Yamamoto 2009
Gambar 2.2 Perbedaan signaling dan screening. Misalkan dalam pasar tenaga kerja, dimana perusahaan akan merekrut pekerja pabrik dengan upah rendah dan pekerja kantor dengan upah tinggi. Diasumsikan terdapat 2 (dua) tipe individu yang berbeda sehubungan dengan kemampuan bawaan mereka (θ), yaitu kemampuan tinggi (θH) dan kemampuan rendah (θL; dimana θH.>.θL.>.0). Pekerja mengetahui kemampuan mereka sendiri, tetapi perusahaan (majikan) tidak bisa mengamati secara langsung. Perusahaan kurang mengetahui informasi kemampuan bawaan (produktivitas) dari individu. Utilitas individu adalah: ( , , )=
− ( , )
………. (2.1)
Utilitas (U) diasumsikan meningkat secara linear terhadap upah (w) dan dianggap menurun terhadap biaya pendidikan (C). Biaya pendidikan tersebut diasumsikan meningkat terhadap proses signaling pendidikan (s) dan menurun terhadap kemampuan bawaan (θ). Oleh karena itu, individu dengan kemampuan bawaan
28
yang lebih tinggi akan bersedia mengorbankan biaya lebih sedikit untuk meningkatkan tingkat pendidikan mereka dan membedakan dari individu dengan kemampuan bawaan yang rendah. Hal ini juga berimplikasi bahwa individu berkemampuan tinggi mempunyai kurva indiferen lebih datar. Dengan efek peningkatan produktivitas melalui pendidikan, maksimisasi produksi perusahaan (π) juga tergantung pada biaya signaling pendidikan (s) dan kemampuan bawaan (θ). Maksimisasi produksi dapat ditulis sebagai: ( , , )= ( , )−
………. (2.2)
Dimana ( , ) menunjukkan produk marjinal pekerja dengan sinyal pendidikan (s) dan kemampuan bawaan pekerja (θ). Dalam signaling terdapat dua tipe keseimbangan yang mungkin terjadi untuk tipe pekerja yang berbeda menurut tingkat pendidikan, yaitu: separating equilibria, dimana kedua tipe pekerja memilih tingkat pendidikan yang berbeda, dan pooling equilibria, dimana kedua tipe pekerja memilih tingkat pendidikan yang sama. Setiap pekerja akan menerima upah sesuai dengan tingkat produktivitasnya. Jika terdapat informasi tidak sempurna, yaitu ketika kedua tipe pekerja tidak dapat dibedakan oleh perusahaan, tipe pekerja θL akan memilih kontrak tipe θH di mana kurva indiferen mereka akan melalui titik B yang terkait dengan tingkat utilitas yang lebih tinggi. Namun, perusahaan akan mengalami kerugian jika mereka membayar tipe θL dan θH dengan upah
∗
yaitu upah untuk produktivitas
tinggi. Oleh karena itu, perusahaan memiliki kepentingan dalam memisahkan dua tipe pekerja dan karenanya tidak akan menawarkan kontrak ( Dalam kondisi tertentu, beberapa individu
∗
;
∗
).
ingin memberi sinyal
kemampuan mereka kepada perusahaan dengan memilih tingkat pendidikan tertentu untuk membedakan diri dari individu lain dengan produktivitas lebih rendah. Signaling bisa berhasil hanya jika biaya signaling cukup berbeda antara individu. Selama perusahaan tidak dapat membedakan produktivitas pekerja, maka perusahaan akan mengupah lebih tinggi bagi lulusan pendidikan tinggi dibanding lulusan pendidikan menengah.
29
Untuk ilustrasi lebih lanjut, Gambar 2.3 menunjukkan kasus separating equilibrium dengan informasi yang tidak sempurna untuk dua tipe pekerja yang berbeda. Untuk mencegah tipe pekerja berkemampuan rendah (θL) meniru pekerja berkemampuan tinggi (θH), perusahaan akan menawarkan kontrak kepada tipe pekerja berkemampuan rendah pada ( ∗ ;
∗
). Dengan adanya informasi yang
tidak sempurna, pekerja berkemampuan tinggi harus berinvestasi lebih banyak dalam pendidikan untuk membedakan diri dari pekerja berkemampuan rendah dengan menurunkan utilitasnya, bergerak dari
∗
titik B ke
di titik C.
Kontrak untuk pekerja berkemampuan tinggi (θH), sekarang adalah pada (
;
).
Dengan kata lain, tipe pekerja θH harus melakukan signaling sedikit di atas tingkat ∗
agar benar-benar terpisah dari tipe pekerja θL. Tipe pekerja θH terkena
eksternalitas negatif, karena mereka perlu berinvestasi dalam signaling yang lebih tinggi dibanding jika produktivitas dapat diamati, sehingga utilitas mereka menurun dari
∗
ke
.
Sumber: Hornig et al. 2011.
Gambar 2.3 Informasi asimetris: separating equilibrium untuk dua tipe pekerja yang berbeda. Dengan dua tipe kontrak, jika tipe pekerja θL tidak melakukan signaling maka kontraknya pada titik A. Jika seandainya tipe pekerja θL melakukan signaling, maka kontraknya pada titik C tetapi harus mengorbankan biaya signaling sebesar
∗
–
. Namun demikian, tipe pekerja θL tetap mempunyai
tingkat utilitas yang sama antara kontrak A dan C yaitu pada
∗
.
30
Bergantung pada produktivitas relatif dan rasio dari dua tipe pekerja, separating equilibrium mungkin tidak mewakili solusi kesetimbangan. Misalnya, kedua jenis pekerja lebih memilih satu kontrak dengan upah
(upah rata-rata)
atau tingkat di atasnya. Jika rata-rata produktivitas dari dua jenis pekerja lebih tinggi dari upah rata-rata tersebut, maka ruang lingkup kontrak pooling yang mungkin adalah pada daerah BCD yang diarsir pada Gambar 2.4. Tingkat pendidikan minimal
∗
diperlukan untuk mencapai tingkat produktivitas di mana
perusahaan dapat membayar
tanpa membuat kerugian, tingkat signaling ini
menandai batas bawah dari daerah yang diarsir. Batas atas adalah
karena pada
tingkat ini tipe pekerja θL akan lebih memilih kontrak separating equilibrium.
Sumber: Hornig et al. 2011.
Gambar 2.4 Informasi asimetris: pooling equilibrium untuk dua tipe pekerja yang berbeda. Sebagai akibat dari fenomena pengutamaan ijazah atau sertifikasi pendidikan dalam kegiatan signaling dan screening, orang-orang dengan berbagai macam alasan –kebanyakan karena kemiskinan mereka– yang tidak dapat melanjutkan pendidikan, akan berada dalam golongan orang-orang putus sekolah atau tidak berpendidikan. Pada akhirnya mereka akan sulit mendapatkan pekerjaan di sektor formal karena tidak memiliki sertifikasi pendidikan formal.
31
2.1.3 Teori Pertumbuhan Ekonomi Teori pertumbuhan ekonomi semakin berkembang dari masa ke masa. Beberapa teori pertumbuhan ekonomi yang menonjol sebagaimana diuraikan Todaro dan Smith (2006) adalah model pertumbuhan Harrod-Domar, teori perubahan struktural (model pembangunan Lewis), model pertumbuhan neoklasik Solow dan model pertumbuhan endogen Lucas-Romer. Model Harrod-Domar yang dikembangkan secara independen oleh Sir Roy Forbes Harrod (1939) dan Evsey D. Domar (1946), digunakan dalam ekonomi pembangunan untuk menjelaskan tingkat pertumbuhan ekonomi dalam hal tingkat tabungan
dan produktivitas
modal.
Model
pertumbuhan
Harrod-Domar
menyatakan bahwa jika semakin banyak bagian dari output nasional yang ditabung dan diinvestasikan, maka tingkat pertumbuhan output nasional akan semakin meningkat. Secara lebih spesifik, model pertumbuhan Harrod-Domar menyatakan bahwa tanpa adanya intervensi pemerintah, tingkat pertumbuhan pendapatan nasional tergantung pada tingkat tabungan yang kemudian diinvestasikan (Todaro & Smith 2006). Teori perubahan struktural (model pembangunan Lewis) memusatkan perhatiannya pada mekanisme transformasi ekonomi negara berkembang dari kegiatan ekonomi sektor tradisional (pertanian) yang bersifat subsisten menuju sektor modern yang berbasis industri manufaktur yang lebih bervariasi dan sektor jasa-jasa yang tangguh. Proses transformasi ini disebabkan adanya surplus tenaga kerja di sektor pertanian dengan produktivitas marginal tenaga kerja yang rendah dan pindah ke sektor industri dengan tingkat produktivitas tinggi dan tingkat upah yang lebih tinggi. Kemudian, teori pertumbuhan neo-klasik dengan model pertumbuhan Solow15 (1956) yang merupakan pengembangan dari formulasi Harrod-Domar dengan menambahkan faktor tenaga kerja, serta memperkenalkan faktor teknologi. Teori pertumbuhan neo-klasik menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi tergantung pada akumulasi aktiva ekonomi (modal dan tenaga kerja), dan laba atas aset-aset tersebut, yang pada gilirannya tergantung pada kemajuan teknologi, efisiensi aset yang digunakan, dan kerangka kelembagaan produksi. 15
Robert M. Solow, dianugerahi Nobel Memorial Prize dalam ilmu ekonomi pada tahun 1987 atas kontribusinya dalam teori pertumbuhan ekonomi.
32
Namun, teori pertumbuhan neo-klasik tidak mampu menjelaskan sumbersumber pertumbuhan ekonomi jangka panjang yang bukan hanya dari faktor tenaga kerja dan modal. Kemajuan teknologi ditetapkan sebagai faktor residu untuk menjelaskan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang, dan tinggi rendahnya pertumbuhan diasumsikan bersifat eksogen atau tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Dalam model pertumbuhan neo-klasik, tingkat jangka panjang dari pertumbuhan eksogen ditentukan oleh tingkat tabungan (model HarrodDomar) atau tingkat kemajuan teknis (model Solow). Namun, tingkat tabungan dan tingkat kemajuan teknologi tetap tidak dapat dijelaskan. Ketidakpuasan terhadap teori pertumbuhan neo-klasik model Solow yang kurang sesuai secara empiris di negara-negara berkembang, memicu motivasi untuk meneliti faktor-faktor penentu pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Dimulai dengan karya Romer (1986) yang menyusun representasi matematis ekonomi dimana perubahan teknologi sebagai hasil dari tindakan yang disengaja oleh manusia dalam penelitian dan pengembangan, untuk peningkatan output per pekerja berkelanjutan. Kemudian, model pertumbuhan endogen Lucas (1988) menyatakan bahwa akumulasi modal manusia yang merupakan akumulasi dari pendidikan dan pelatihan, sebagaimana akumulasi modal fisik, menentukan pertumbuhan ekonomi. Secara khusus, teori pertumbuhan endogen menunjukkan dampak pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi, yang menekankan pada pentingnya modal manusia untuk inovasi dan kemajuan teknologi. Para ekonom telah lama berpendapat bahwa manfaat dari akumulasi modal manusia tidak mungkin terbatas hanya kepada penerima langsung saja, tetapi mungkin akan mengimbas kepada orang lain juga. Teori pertumbuhan endogen telah membedakan diri dari pendekatan neo-klasik dengan secara eksplisit menjelaskan peran eksternalitas pendidikan dalam pertumbuhan ekonomi: tenaga kerja berpendidikan dapat meningkatkan produktivitas dibandingkan rekan sekerja mereka yang kurang berpendidikan, atau mungkin ada efek spillover dari akumulasi pengetahuan atau kemajuan teknis yang timbul dari investasi dalam modal manusia.
33
2.1.4 Peranan Pemerintah dalam Perekonomian Intervensi pemerintah sering digunakan dalam menanggulangi permasalahan pembangunan dengan berbagai jenis keputusan kebijakan publik, karena adanya fenomena kegagalan pasar. Kegagalan pasar yaitu sebuah konsep dalam teori ekonomi yang menjelaskan ketika alokasi barang dan jasa oleh pasar bebas tidak efisien. Kegagalan pasar sering dikaitkan dengan informasi asimetri, pasar persaingan tidak sempurna,
masalah principal-agent,
eksternalitas,
atau
keberadaan barang publik. Samuelson
(1954,
1955,
1958)
dengan
perspektif
Keynesian,
mengembangkan teori keuangan publik dalam beberapa penelitiannya untuk menentukan alokasi sumber daya yang optimal dengan adanya barang private dan barang publik. Samuelson menyatakan bahwa barang publik harus disediakan selama manfaat keseluruhan untuk konsumen dari barang publik setidaknya sama besar dengan biaya penyediaannya. ‘Kondisi Samuelson’ dalam teori barang publik di bidang ekonomi, adalah kondisi untuk penyediaan barang publik yang efisien dapat dianggap sebagai generalisasi dari konsep penawaran dan permintaan dari private untuk barang publik. Peran pemerintah dibangun di atas teori ekonomi kesejahteraan dan digunakan sebagai alat untuk meningkatkan kesejahteraan sosial melalui kebijakan pemerintah dari sudut pandang efisiensi ekonomi dan pemerataan (Stiglitz 2000). Ada beberapa alasan penting perlunya campur tangan pemerintah, antara lain: (i) tidak semua barang dan jasa bisa disediakan melalui mekanisme pasar; (ii) untuk memecahkan masalah konflik kepentingan dalam masyarakat; (iii) supaya pelaku ekonomi, masyarakat, atau pasar bisa berfungsi sebaikbaiknya; (iv) untuk menjamin terpenuhinya hak-hak dasar; dan (v) untuk lebih menyeimbangkan kekuatan-kekuatan pasar sehingga tercipta struktur yang lebih adil (Hyman 2006). Dari beberapa alasan tersebut di atas, dapat dirangkum menjadi 3 (tiga) fungsi utama pemerintah, yaitu: 1. Fungsi alokasi, yaitu peran pemerintah dalam mempengaruhi alokasi sumber daya oleh sektor swasta.
34
2. Stabilisasi, yaitu dalam konteks yang lebih luas, tidak hanya stabilisasi perekonomian tetapi dalam konteks politik, sosial, dan keamanan. 3. Redistribusi, yaitu fungsi pemihakan yang berupa kebijakan. Di samping peran pemerintah yang strategis tersebut, ternyata pemerintah juga menghadapi resiko kegagalan dalam mencapai tujuannya. Terdapat empat sumber pokok kegagalan pemerintah yaitu, keterbatasan informasi, keterbatasan kendali atas respon pasar, keterbatasan kendali atas birokrasi, dan keterbatasan karena proses politik (Stiglitz 2000).
2.1.5 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per Kapita Produk domestik regional bruto (PDRB) per kapita sering digunakan sebagai salah satu indikator dasar pertumbuhan ekonomi yang mengukur tingkat output total ekonomi relatif terhadap jumlah penduduk suatu wilayah pada periode tertentu. PDRB per kapita mengukur kemampuan suatu wilayah untuk memperbesar outputnya dalam laju yang lebih cepat daripada tingkat pertumbuhan penduduk. PDRB per kapita bukanlah pengukuran standar hidup dalam suatu perekonomian, namun sering digunakan sebagai indikator kesejahteraan dengan alasan rasional bahwa semua penduduk akan mendapatkan keuntungan dari peningkatan produksi ekonomi wilayah mereka. PDRB per kapita mencerminkan perubahan kesejahteraan populasi secara keseluruhan (UN 2007). Pendapatan individu memainkan peran kunci dalam status kemiskinan seseorang ketika mempertimbangkan ukuran kemiskinan secara ekonomi (baik absolut atau relatif). Dasar pemikiran dibelakang kedua pendekatan tersebut merupakan pengukuran penghasilan (yang didekati dengan pengeluaran). Orang dianggap miskin ketika mereka tidak memiliki pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Hal yang sama berlaku untuk suatu wilayah dengan PDRB per kapita pada tingkat agregat, berkaitan dengan tingkat kemiskinan. Pandangan aktivis propertumbuhan mengatakan bahwa peningkatan pendapatan per kapita suatu wilayah pada akhirnya mengarah pada penurunan jumlah penduduk miskin dengan meningkatkan pendapatan individu atau sebaliknya. Gagasan ini yang dikenal dalam literatur bahwa tingkat pertumbuhan yang tinggi dari pendapatan
35
per kapita mengkonversi ke dalam pengurangan kemiskinan (Goh et al. 2009). Secara umum, tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita telah menjadi tujuan utama dalam program pengentasan kemiskinan di seluruh dunia. Bagaimanapun, negara mengalami pengurangan kemiskinan melalui pertumbuhan ekonomi yang difokuskan pada penggunaan tenaga kerja produktif, satu-satunya aset yang dimiliki oleh orang miskin (Squire 1993). Pertumbuhan dalam produksi barang dan jasa merupakan faktor penentu bagaimana kinerja perekonomian. Todaro dan Smith (2006) mendefinisikan pertumbuhan
ekonomi
sebagai
peningkatan
kapasitas
produktif
suatu
perekonomian secara berkesinambungan sepanjang waktu, sehingga menghasilkan tingkat pendapatan dan output nasional. Dornbusch et al. (2008) mendefinisikan pertumbuhan ekonomi secara makro sebagai penambahan nilai PDRB riil dari waktu ke waktu. Nilai PDRB dapat dihitung melalui tiga pendekatan, yakni pendekatan produksi, pendekatan pendapatan dan pendekatan pengeluaran. Pendekatan produksi dan pendekatan pendapatan merupakan pendekatan dari sisi penawaran agregat, sedangkan pendekatan pengeluaran merupakan pendekatan dari sisi permintaan agregat. PDRB dari sisi produksi atau disebut juga pendekatan output, didefinisikan sebagai penjumlahan nilai tambah bruto (NTB) yang dihasilkan oleh seluruh aktivitas ekonomi di suatu wilayah tertentu selama periode tertentu. PDRB dengan pendekatan produksi disajikan dalam sembilan sektor lapangan usaha, yakni: (i).pertanian; (ii).pertambangan dan penggalian; (iii).industri pengolahan; (iv).listik, gas dan air bersih; (v).konstruksi; (vi).perdagangan, hotel dan restoran; (vii).transportasi dan komunikasi; (viii).keuangan, persewaan dan jasa perusahaan; dan (ix).jasa-jasa. PDRB dengan pendekatan pendapatan dihitung berdasarkan jumlah pendapatan atau balas jasa yang diterima oleh semua faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi di semua sektor. Balas jasa atau pendapatan berupa upah/gaji untuk pemilik tenaga kerja, bunga atau hasil investasi bagi pemilik modal, sewa tanah bagi pemilik lahan serta keuntungan bagi pengusaha. PDRB dari sisi pengeluaran dihitung sebagai penjumlahan semua komponen
36
permintaan akhir, yakni konsumsi rumah tangga (C), investasi (I), pengeluaran pemerintah (G), serta ekspor bersih (X-M). Pengukuran PDRB dengan ketiga pendekatan tersebut menunjukkan adanya keterkaitan antara ‘nilai tambah’ yang diturunkan oleh berbagai lapangan usaha (sektor ekonomi produksi) dengan ‘pendapatan yang diterima masyarakat’, serta bagaimana masyarakat menggunakan pendapatannya tersebut untuk konsumsi dan investasi.
Dalam
pengertian
sederhana,
ketiga
pendekatan
tersebut
menggambarkan hubungan langsung antara pendapatan yang diterima dengan perilaku penggunaannya.
2.1.6 Distribusi Pendapatan Todaro dan Smith (2006) menyebutkan bahwa proses pembangunan memerlukan output (PDB/PDRB) yang lebih tinggi dan pertumbuhan yang cepat. Permasalahannya bukan hanya ‘bagaimana meningkatkan output’, tetapi juga ‘siapakah yang akan meningkatkan output tersebut’. Apakah sejumlah besar masyarakat yang ada dalam suatu negara ataukah hanya sekelompok kecil masyarakat tertentu. Jika yang menumbuhkan output hanya golongan orang-orang kaya yang jumlahnya sedikit, maka manfaat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi hanya akan dinikmati oleh orang kaya, sehingga distribusi pendapatan menjadi tidak merata dan kemiskinan akan semakin parah. Distribusi pendapatan menunjukkan porsi pendapatan yang diterima oleh setiap individu atau rumah tangga dalam suatu wilayah. Pendapatan yang diterima setiap individu tergantung pada tingkat produktivitas dan peranannya dalam perekonomian. Para ekonom pada umumnya membedakan distribusi pendapatan menjadi dua, yakni : 1. Disribusi Pendapatan Perorangan Ukuran sederhana ini menunjukan hubungan antara individu-individu dengan pendapatan total yang mereka terima. Berapa banyak pendapatan masing-masing pribadi, atau apakah pendapatan itu berasal dari hasil kerja semata ataukah dari sumber-sumber lain seperti bunga, laba, hadiah, warisan, dan lain-lain tidak diperhatikan. Lebih jauh lagi, sumber-sumber yang bersifat lokasional (perkotaan atau perdesaan) dan okupasional
37
(misalnya pertanian, industri pengolahan, perdagangan, jasa-jasa) juga diabaikan. Semua individu disusun menurut tingkat pendapatannya yang semakin meninggi dan kemudian membagi semua individu tersebut ke dalam kelompok-kelompok yang berbeda-beda, ke dalam kuintil (5 kelompok) atau desil (10 kelompok) sesuai dengan tingkat pendapatannya. Kemudian menentukan proporsi dari pendapatan nasional yang diterima oleh masing-masing kelompok tersebut.
2. Distribusi Fungsional Ukuran distribusi pendapatan lain yang sering digunakan oleh para ekonom adalah “distribusi fungsional” atau “distribusi pangsa faktor produksi”. Ukuran distribusi ini berusaha untuk menjelaskan pangsa pendapatan nasional yang diterima oleh masing-masing faktor produksi. Teori ukuran distribusi pendapatan fungsional menyelidiki presentase yang diterima tenaga kerja secara keseluruhan dibandingkan dengan presentase dari pendapatan nasional yang terdiri dari: sewa, bunga dan laba. Sehubungan dengan pendidikan,
mudah untuk dipahami mengapa
pendidikan meningkatkan upah dari perspektif penawaran dan permintaan. Perusahaan, yang meminta tenaga kerja, bersedia membayar lebih untuk pekerja berpendidikan tinggi karena pekerja berpendidikan tinggi memiliki produk marjinal yang lebih tinggi. Dari sisi pekerja, pekerja bersedia membayar biaya pendidikan lebih tinggi jika ada harapan imbalan atau insentif untuk melakukannya. Pada dasarnya, perbedaan upah antara pekerja berpendidikan tinggi dan pekerja berpendidikan rendah dapat dianggap sebagai kompensasi perbedaan biaya untuk menjadi terdidik. Ketimpangan pendapatan adalah suatu kondisi dimana distribusi pendapatan yang diterima masyarakat tidak merata. Todaro dan Smith (2006) menyatakan bahwa ketimpangan pendapatan yang ekstrim akan menyebabkan beberapa hal, antara lain: (i) inefisiensi ekonomi; (ii) melemahkan stabilitas sosial dan solidaritas; serta (iii) umumnya dianggap tidak adil.
38
Beberapa ukuran ketimpangan yang sering digunakan antara lain: Indeks Gini, Indeks Theil dan ukuran ketimpangan dari Bank Dunia. Dalam penelitian ini, ukuran ketimpangan yang digunakan adalah Indeks Gini. Indeks Gini bisa dihitung dengan menggunakan Kurva Lorenz. Indeks Gini dirumuskan sebagai rasio antara luas bidang yang terletak antara Kurva Lorenz dan garis diagonal dengan luas separuh segi empat dimana Kurva Lorenz berada. Seperti di ilustrasikan pada Gambar 2.5, maka: Indeks Gini =
Luas bidang A Luas bidang BCD
Gambar 2.5 Kurva Lorenz
2.1.7 Kemiskinan Kemiskinan merupakan persoalan yang kompleks karena banyak faktor yang mempengaruhi. Variasi konsep mengungkapkan sifat multidimensi kemiskinan. Kemiskinan dapat dipahami sebagai kemiskinan absolut atau relatif, sebagai kurangnya pendapatan atau kegagalan untuk mencapai kemampuan. Kemiskinan dapat kronis atau sementara, kadang-kadang terkait erat dengan ketidakadilan, dan sering berhubungan dengan kerentanan dan pengucilan sosial. Konsep yang digunakan untuk mendefinisikan kemiskinan menentukan metode yang digunakan untuk mengukurnya dan kebijakan paket program berikutnya untuk mengatasinya.
39
Kemiskinan yaitu suatu kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu memenuhi hak-hak dasar dalam kebutuhan pokok, seperti makanan, tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, dan keamanan untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Sen16 (1999) memandang kemiskinan melalui pendekatan kemampuan (capability approach), dimana kemiskinan tidak hanya sebatas kekurangan pendapatan dan standar hidup minimal, akan tetapi juga sebagai konsekuensi dari kurangnya kemampuan dan keberfungsian (lack of capability and functionings). Pada dasarnya definisi kemiskinan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu: 1. Kemiskinan absolut Kemiskinan ini dikaitkan dengan perkiraan tingkat pendapatan dan kebutuhan yang hanya dibatasi pada kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar minimum yang memungkinkan seseorang untuk hidup secara layak. Kemiskinan diukur dengan membandingkan tingkat pendapatan yang dibutuhkan untuk memperoleh kebutuhan dasarnya yakni makanan, pakaian dan perumahan agar dapat menjamin kelangsungan hidupnya. 2. Kemiskinan relatif Kemiskinan ini dilihat dari aspek ketimpangan sosial, karena ada orang yang sudah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya tetapi masih jauh lebih rendah dibanding masyarakat sekitarnya. Semakin besar ketimpangan antara tingkat penghidupan golongan atas dan golongan bawah maka akan semakin besar pula jumlah penduduk yang dikategorikan miskin. Kemiskinan relatif erat kaitannya dengan masalah distribusi pendapatan. Konsep penduduk miskin yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada konsep yang digunakan oleh BPS yaitu menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar. Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah garis kemiskinan. 16 Amartya Sen dianugerahi Nobel Memorial Prize dalam ilmu ekonomi pada tahun 1998 atas kontribusinya dalam ekonomi kesejahteraan, teori pilihan sosial di bidang pengukuran ekonomi kemiskinan dan ketidaksetaraan.
40
2.1.8 Pendidikan Konsep pendidikan sebagai sebuah investasi berkembang secara pesat dan semakin diyakini oleh setiap negara bahwa pembangunan sektor pendidikan merupakan prasyarat kunci bagi pertumbuhan pembangunan sektor lainnya. Pendidikan telah diidentifikasi sebagai faktor kunci dalam pembangunan ekonomi dan sosial, dan kesetaraan akses terhadap pendidikan yang berkualitas telah menjadi tujuan penting dari kebijakan pembangunan. Negara dengan tingkat ketimpangan pendidikan tinggi secara konsisten menunjukkan tingkat inovasi yang lebih rendah, rendahnya tingkat efisiensi produksi, dan kecenderungan untuk mentransmisi kemiskinan lintas generasi (World Bank 2006). Dalam memahami hubungan antara pendidikan dan kemiskinan, dapat menggunakan kerangka modal manusia, kerangka hak asasi manusia, kerangka kemampuan manusia maupun kerangka pengucilan sosial (Maile 2008). Melalui pendekatan modal manusia, menegaskan bahwa investasi dalam pendidikan mengarah pada pembentukan modal manusia sebagai faktor kunci dalam pertumbuhan ekonomi. Melalui pendidikan, orang mengembangkan keterampilan dan menghasilkan pengetahuan yang berubah menjadi peningkatan produktivitas, sehingga pendapatan meningkat dan pertumbuhan ekonomi meningkat. Selanjutnya, peningkatan pendapatan dan pertumbuhan diharapkan dapat mengurangi kemiskinan. Inti dari pendekatan hak asasi manusia menegaskan pentingnya pendidikan sebagai kondisi hakiki manusia dan sebagai tujuan akhir. Penyediaan pendidikan bukan sarana menuju akhir yang lain, seperti pertumbuhan ekonomi. Penyediaan pendidikan menambah nilai dan makna pada setiap individu dan harus diberikan tanpa bentuk diskriminasi atau pembatasan. Lebih lanjut, dalam pendekatan hak asasi manusia menegaskan bahwa mewujudkan hak atas pendidikan juga memungkinkan orang untuk mengakses hak asasi manusia lainnya seperti kesehatan, kebebasan dan keamanan. Pendekatan kemampuan manusia sebagai pendekatan holistik untuk pembangunan, menekankan nilai hakiki pendidikan yakni: sebagai kesempatan, hak dan sarana untuk meningkatkan nilai kehidupan. Dengan pendekatan ini, kemiskinan dapat diidentifikasi sebagai kekurangan kemampuan –kekurangan
41
yang secara intrinsik signifikan karena mengurangi kemampuan seseorang– untuk meningkatkan nilai kehidupan mereka. Perspektif pengucilan sosial memungkinkan para pembuat kebijakan dan analis untuk memahami proses-proses marginalisasi dan depresiasi dalam-wilayah dan lintas-wilayah, dengan fokus pada sifat ketidaksetaraan dan keberagaman kelompok-kelompok masyarakat. Melalui pendekatan ini, memungkinkan pendidikan fokus pada mereka yang miskin dan mereka yang tidak miskin, mereka yang tidak termasuk dan mereka yang termasuk. Pendekatan ini menegaskan pembedaan kebutuhan yang lebih disempurnakan berbasis kelompok orang miskin dan strategi yang memperhitungkan kelompok yang terkucilkan. Misalnya, orang miskin yang tak memiliki tanah mengalami dan membutuhkan hal yang berbeda dengan kemiskinan etnis atau kultural; dan orang miskin di perkotaan membutuhkan hal yang berbeda dengan orang miskin di pedesaan. Hubungan antara pendidikan dan kemiskinan bisa diterjemahkan melalui jalur ketenagakerjaan. Orang-orang berpendidikan memiliki potensi penghasilan yang lebih tinggi dan lebih mampu meningkatkan kualitas hidup mereka, yang berarti kecil kemungkinannya bagi mereka untuk terpinggirkan dalam masyarakat pada umumnya. Pendidikan memberdayakan seseorang dan membantu mereka untuk menjadi lebih proaktif, memiliki kontrol yang kuat atas hidup mereka, dan memperlebar rentang pilihan yang tersedia (UNESCO 1997). Peran Pendidikan terhadap Distribusi Pendapatan Schultz (1972) menyatakan bahwa perubahan pada modal manusia merupakan faktor dasar dalam mengurangi ketimpangan distribusi pendapatan. Ahluwalia (1976) menjelaskan proses pendidikan dalam mempengaruhi distribusi pendapatan adalah melalui peningkatan pengetahuan dan keahlian tenaga kerja. Hal ini akan menghasilkan pergeseran dari pekerjaan bergaji rendah bagi pekerja tidak terampil ke pekerjaan yang dibayar tinggi bagi pekerja terampil. Pergeseran ini menghasilkan pendapatan pekerja yang lebih tinggi. Peningkatan jumlah orang yang lebih terdidik dan terampil akan meningkatkan rasionya dan mengurangi rasio orang yang kurang berpendidikan dalam angkatan kerja total, sehingga akan mengurangi perbedaan keterampilan. Over supply di pasar tenaga kerja dari orang yang lebih terdidik dan terampil,
42
tanpa ada perubahan dalam permintaan, akan menurunkan upah pekerja trampil dan menaikkan upah pekerja tidak trampil, sehingga secara keseluruhan memberikan kontribusi untuk pengurangan perbedaan penghasilan di pasar tenaga kerja. Dengan demikian, efek perluasan pendidikan tidak hanya terhadap upah mereka yang berpendidikan lebih tinggi, tetapi juga bagi mereka yang berpendidikan lebih rendah (Ahluwalia 1976). Peran pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi Pendidikan mempunyai efek langsung maupun tidak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi. Efek langsung pendidikan yaitu pendidikan mengubah manusia menjadi modal manusia produktif dengan menanamkan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan oleh sektor ekonomi tradisional dan modern, melalui kemampuannya dalam meningkatkan produktivitas penduduk atau tenaga kerja pada khususnya. Tidak hanya di pasar tenaga kerja tetapi juga dalam rumah tangga yang dapat menyebabkan peningkatan pendapatan dan output produksi sehingga pertumbuhan ekonomi semakin meningkat (Romer 1986; Lucas 1988; Tilak 1989). Efek tidak langsung pendidikan atau eksternalitas pendidikan adalah melalui kemampuan dan kesadaran yang memungkinkan individu berpengetahuan, menjadi lebih baik dan mampu menerapkan pengetahuan tersebut yang berhubungan dengan pencapaian pendidikan dan prestasi anak-anak; kesehatan dan tingkat kematian anak; serta penurunan jumlah kelahiran sehingga mempengaruhi pertumbuhan ekonomi (Tilak 1989). Efek tidak langsung dari pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi juga ditemukan pada persediaan modal per kapita, sebagian karena pengaruh pendidikan terhadap tingkat kesehatan dan kesuburan, yang mendukung peningkatan tabungan per kapita (Benhabib & Spiegel 1994; Guisan & Neira 2006). Peran Pendidikan terhadap Pengurangan Kemiskinan Hubungan antara pendidikan dan kemiskinan ditengarai akan berbanding terbalik, dimana semakin tinggi tingkat pendidikan penduduk –yang memberi pengetahuan dan keterampilan– berkaitan dengan peningkatan produktivitas yang mendukung perolehan upah yang lebih tinggi dan membuat proporsi orang miskin
43
dalam populasi semakin rendah. Jadi, pengaruh langsung pendidikan pada pengurangan kemiskinan adalah melalui peningkatan penghasilan atau upah. Dalam teori lingkaran setan kemiskinan, ketidaksetaraan pendidikan dapat melestarikan kemiskinan antargenerasi, melalui jalur sebagai berikut: (i) sebuah keluarga yang hidup dalam kemiskinan tidak mampu menyekolahkan anaknya ke sekolah; (ii) anak-anak miskin menerima sedikit pendidikan atau tidak sama sekali dan seringkali mereka dipaksa untuk bekerja; (iii) anak-anak tumbuh tanpa keterampilan dasar dan pendidikan; (iv) kurangnya keterampilan dasar dan pendidikan membatasi kesempatan kerja mereka, meskipun dalam pekerjaan dengan upah rendah; (v) pada anak perempuan, akan menikah muda dan memiliki anak; (vi) selanjutnya mereka memiliki sejumlah anak yang ditanggung dengan pendapatan yang sedikit. Demikian seterusnya, lingkaran akan mulai dari awal lagi dan proses ini berjalan dan terus terulang. Efek tidak langsung pendidikan terhadap pengurangan kemiskinan adalah melalui pengaruhnya terhadap pemenuhan kebutuhan dasar seperti pemanfaatan yang lebih baik terhadap fasilitas kesehatan, air bersih dan sanitasi, tempat tinggal dan lain-lain (Noor 1980 diacu dalam Tilak 1986). Blau et al. (1988) menambahkan efek tidak langsung pendidikan terhadap perilaku fertilitas dan keputusan ukuran keluarga, yang akan mempengaruhi angkatan kerja dan pada gilirannya meningkatkan produktivitas masyarakat sehingga dapat menghasilkan upah yang lebih tinggi dan mengurangi ketimpangan pendapatan.
2.2
Tinjauan Empiris Penelitian mengenai hubungan antara pendidikan terhadap pertumbuhan
ekonomi,
distribusi
pendapatan
maupun
terhadap
kemiskinan
semakin
berkembang selama periode 1960–1985. Peran pendidikan dalam pembangunan, sebenarnya telah lama diakui sejak zaman Plato. Plato yakin bahwa pendidikan sangat diperlukan bagi kesehatan ekonomi suatu masyarakat, dimana pendidikan membuat 'orang berpengetahuan’. Kontribusi besar dalam diskusi hubungan pendidikan dan pertumbuhan ekonomi, dilakukan oleh Adam Smith yang kemudian diikuti oleh peneliti-peneliti selanjutnya seperti Alfred Marshall yang
44
menyatakan bahwa yang paling berharga dari semua modal adalah yang diinvestasikan kepada manusia. Salah satu penelitian tentang peran pendidikan, pernah dilakukan oleh Tilak (1989) dengan tujuan untuk mengkaji kembali: a) pengaruh pendidikan dalam mengurangi kemiskinan; b) pengaruh pendidikan terhadap bagian pendapatan dari kelompok penduduk berdasarkan kelas pendapatan; dan c) pengaruh subsidi publik pendidikan tinggi pada ketimpangan pendapatan. Data yang digunakan yaitu dari 80 negara selama periode tahun 1970–1980, antara lain data dari: (i) Bank Dunia, berupa data kemiskinan, distribusi pendapatan, dan pertumbuhan ekonomi; (ii) UNESCO, berupa data melek huruf dan partisipasi sekolah; (iii) sumber lain, dari Paukert dan Fields berupa koefisien gini; Psacharopoulos dan Arriagada berupa perkiraan tingkat sekolah. Studi ini menggunakan metode persamaan regresi sederhana dengan menggunakan lag dari variabel-variabel pendidikan. Untuk menjawab tujuan penelitian pertama, pengaruh pendidikan terhadap kemiskinan, Tilak menggunakan model: = (
)
= (
⁄
........... (1) ,
)
........... (2)
Keterangan: Povj
= rasio penduduk miskin; j = desa, kota.
Edui
= variabel pendidikan; i = angka melek huruf; rata-rata lama sekolah; angka partisipasi kasar tingkat pendidikan dasar, menengah dan tinggi.
GNP/pc = Produk Domestik Bruto per kapita. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1.
Ketika tingkat melek huruf penduduk dan partisipasi pendidikan meningkat, proporsi penduduk miskin di pedesaan mengalami penurunan, tetapi pengaruh pendidikan terhadap penurunan kemiskinan di perkotaan tidak signifikan;
2.
Pendidikan memberikan kontribusi positif dan signifikan terhadap pengurangan ketimpangan pendapatan;
45
3.
Pendidikan menengah memiliki pengaruh yang lebih signifikan terhadap redistribusi pendapatan daripada pendidikan dasar.
Secara umum,
pendidikan tinggi berperan memperburuk distribusi pendapatan. 4.
Semakin tinggi tingkat subsidi publik untuk pendidikan tinggi, semakin tinggi ketimpangan pendapatan. Pada dua dasawarsa terakhir telah berkembang pesat literatur yang
memperdebatkan
hubungan
antara
pertumbuhan
ekonomi,
ketimpangan
pendapatan, dan pengurangan kemiskinan (Datt & Ravallion 1992; Deininger & Squire 1997, 1998; Wodon 1999; Kakwani et al. 2000; Ravallion 2001, 2005a, 2005b; Bourguignon 2004). Datt dan Ravallion (1992) memperkenalkan perubahan kemiskinan dapat diuraikan melalui pertumbuhan ekonomi dan redistribusi pendapatan. Hasilnya dapat memberitahu kita, apakah perubahan dalam distribusi pendapatan mengimbangi keuntungan dari pertumbuhan ekonomi dalam mengurangi kemiskinan. 1. Komponen diakibatkan
pertumbuhan oleh
merupakan
perubahan
dalam
perubahan
dalam
kesejahteraan
kemiskinan
rata-rata
(yaitu,
pertumbuhan ekonomi) ketika menganggap distribusi relatif konstan: Bourguignon (2004) menjelaskan secara grafis dari efek pertumbuhan terhadap perubahan kemiskinan seperti terlihat pada Gambar 2.6. Masyarakat yang pendapatannya berada dibawah garis kemiskinan disebut sebagai penduduk miskin, sedangkan yang berada diatas garis kemiskinan disebut penduduk tidak miskin. Peningkatan pada tingkat pendapatan seluruh lapisan masyarakat dengan distribusi tetap, berarti distribusi pendapatan bergeser ke kanan dengan bentuk kurva tetap, sehingga penduduk yang masuk kategori miskin menjadi berkurang. Penurunan kemiskinan ditandai dengan daerah berwarna hijau (1a). Efek pertumbuhan menyebabkan jumlah penduduk miskin akan berkurang sebesar daerah hijau tersebut, sehingga jumlah orang miskin sekarang hanya sebesar daerah yang berwarna merah (2).
46
1a 2
1a Sumber: Bourguignon 2004.
2
Gambar 2.6 Perubahan kurva distribusi pendapatan dan perubahan kemiskinan karena efek pertumbuhan. 2. Komponen redistribusi mewakili perubahan dalam kemiskinan diakibatkan oleh perubahan dalam kurva distribusi dengan menganggap kesejahteraan rata-rata konstan: Dengan kata lain, perubahan dalam kemiskinan yang akan terjadi jika perubahan yang diamati dalam kurva distribusi kesejahteraan (yaitu, redistribusi) telah terjadi tanpa pergeseran kurva rata-rata (yaitu, tidak ada pertumbuhan). Perubahan menjadi distribusi yang lebih merata dengan tingkat pendapatan tetap, berarti distribusi pendapatan menjadi semakin menyempit, menyebabkan penduduk yang masuk kategori miskin semakin sedikit. Pada Gambar 2.7, efek distribusi menyebabkan jumlah penduduk miskin akan berkurang sebesar daerah biru (1b), sehingga jumlah orang miskin sekarang hanya sebesar daerah yang berwarna merah (2).
47
1b 2
1 b 2 Sumber: Bourguignon 2004.
Gambar 2.7 Perubahan kemiskinan karena efek distribusi. Peningkatan pendapatan dan perbaikan distribusi pendapatan masyarakat secara bersama-sama akan menggeser distribusi pendapatan ke kanan dan mempersempit ketimpangan antarindividu. Hal ini akan mengurangi kemiskinan sebesar daerah hijau ditambah dengan daerah biru, sehingga semakin efektif dalam mengentaskan kemiskinan. Pada kondisi ini maka jumlah orang miskin hanya akan sebesar daerah yang berwarna merah (Gambar 2.8).
1a 1b 2
1a 1b 2 Sumber: Bourguignon 2004.
Gambar 2.8 Perubahan Kemiskinan karena Efek Pertumbuhan dan Efek Distribusi
48
3. Residual, kadang disebut sebagai istilah interaksi, merupakan efek perubahan simultan dalam pendapatan rata-rata dan distribusi terhadap kemiskinan yang tidak dijelaskan oleh kedua komponen tersebut. Hal ini pada dasarnya adalah bagian yang tidak dapat secara eksklusif dikaitkan dengan pertumbuhan atau redistribusi. Dekomposisi serupa Kakwani dan Subbarao (1990); Jain dan Tendulkar (1990) (diacu dalam Ravallion & Datt 1992) tidak memasukan residu, menganggap sama dengan nol, dan disertakan sebagai bagian dari satu atau kedua komponen lainnya.
Pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan memainkan peran utama dalam menghasilkan perubahan dalam kemiskinan. Selanjutnya, tim World Bank (2006) telah mengkompilasi beberapa konsensus hasil dari perdebatan tersebut, antara lain: Pertama, pentingnya pertumbuhan untuk pengurangan kemiskinan. Negara-negara yang secara historis mengalami penurunan terbesar dalam kemiskinan adalah mereka yang telah mengalami waktu yang lama dari pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Kedua, perubahan distribusi yang progresif, baik untuk pengurangan kemiskinan. Pertumbuhan yang terkait dengan perubahan distribusi progresif akan mengurangi kemiskinan lebih dari pertumbuhan yang membuat distribusi tidak berubah. Ada dua alasan utama, secara umum, untuk tingkat pendapatan tetap, perubahan distribusi progresif akan menggeser sumber daya dari kaya ke miskin dan dengan demikian menyebabkan pengurangan kemiskinan. Alasan lain adalah bahwa kemiskinan lebih responsif terhadap pertumbuhan yang lebih memeratakan distribusi pendapatan. Temuan ketiga adalah bahwa tidak ada bukti empiris yang kuat menunjukkan kecenderungan umum pertumbuhan yang membuat distribusi pendapatan lebih merata. Penelitian Ravallion dan Chen (1996) dengan menggunakan lebih dari 100 survei rumah tangga dan lebih dari 40 negara pada periode 1987–1993, menyimpulkan bahwa secara keseluruhan terjadi penurunan kecil dalam insiden kemiskinan, meskipun antardaerah dan negara memiliki pengalaman berbeda. Kesimpulan Easterly (1999) dengan kumpulan data panel dari 81 indikator yang mencakup hingga 4 periode waktu (1960, 1970, 1980, dan
49
1990) menyatakan bahwa keragaman dari indikator menunjukkan kualitas hidup seluruh bangsa secara positif terkait dengan pendapatan per kapita. Pada saat yang sama, pendapatan tumbuh secara tidak merata dan perubahan pendapatan dan perubahan ketimpangan tidak berkorelasi. Penelitian Dollar dan Kraay (2002) terhadap 92 negara yang mencakup empat dekade terakhir, menyimpulkan bahwa pendapatan rata-rata dari seperlima masyarakat termiskin meningkat secara proporsional dengan pendapatan rata-rata. Bourguignon (2004)
menggambarkan hubungan antara pertumbuhan
ekonomi, distribusi pendapatan, dan pengentasan kemiskinan seperti pada Gambar 2.9. Pengentasan kemiskinan dapat dilakukan dengan melakukan perubahan pada distribusi pendapatan atau dapat juga dengan meningkatkan level pendapatan (mendorong pertumbuhan). Dengan melakukan redistribusi pendapatan, maka kelompok dengan pendapatan rendah akan mendapatkan tambahan pendapatan sehingga bisa memenuhi kebutuhan dasarnya dan dapat terbebas dari kemiskinan. Sedangkan dengan meningkatkan tingkat pendapatan, pertumbuhan ekonomi harus cukup tinggi sehingga secara rata-rata pendapatan masyarakat naik. Kenaikan pendapatan ini akan meningkatkan taraf hidup dan dapat mengentaskan kemiskinan.
Kemiskinan Absolut dan Pengentasan Kemiskinan
Strategi Pembangunan Distribusi dan Perubahan Distribusi
Tingkat Pendapatan dan Pertumbuhan Agregat
Sumber: Bourguignon 2004.
Gambar 2.9 Hubungan antara pertumbuhan pendapatan, dan kemiskinan.
ekonomi,
distribusi
50
Oxaal (1997) menjelaskan hubungan antara pendidikan dan kemiskinan dapat dipahami dalam dua cara: 1. Investasi dalam pendidikan sebagai strategi penanggulangan kemiskinan dapat meningkatkan keterampilan dan produktivitas dikalangan rumah tangga miskin; 2. Kemiskinan sebagai kendala untuk mencapai prestasi pendidikan, baik di tingkat makro –negara-negara miskin umumnya memiliki tingkat partisipasi pendidikan yang rendah– maupun tingkat mikro –anak-anak rumah tangga miskin menerima pendidikan yang kurang.
Gutierrez
et
al.
(2007)
menjelaskan
tentang
pertumbuhan
yang
diterjemahkan ke dalam pengurangan kemiskinan melalui lapangan kerja: "Orang miskin hidup dari pendapatan mereka dari bekerja". Pada tingkat individu, seseorang dapat bergerak keluar dari kemiskinan dengan: 1. Penciptaan lapangan kerja; 2. Meningkatkan upaya per jam kerja: meningkatkan produktivitas tenaga kerja dalam rangka meningkatkan penghasilan per jam; 3. Mobilitas: pindah ke pekerjaan yang memberikan penghasilan yang lebih tinggi dengan tingkat produktivitas tertentu.
Njong (2010) mengevaluasi pengaruh dari tingkat pendidikan yang berbeda dari individu-individu yang bekerja sebagai faktor penentu kemiskinan di Kamerun. Data untuk penelitian ini menggunakan data Survei Rumah Tangga Kamerun tahun 2001. Dengan menggunakan model regresi logistik berdasarkan data cross-sectional, dengan probabilitas individu menjadi miskin sebagai variabel tak bebas dan variabel tingkat pendidikan dan pengalaman sebagai variabel penjelas. Hasil menggambarkan bahwa peningkatan pengalaman dan pencapaian pendidikan mengurangi kemungkinan menjadi miskin dari individu yang bekerja. Disisi jenis kelamin, studi menyimpulkan bahwa tingkat pendidikan laki-laki di Kamerun lebih mengurangi kemiskinan daripada tingkat pendidikan perempuan.
51
Chaudhry et al. (2010) mengevaluasi efek dari berbagai tingkat pendidikan dan melek huruf pada insiden kemiskinan di Pakistan. Menggunakan data timeseries selama 35 tahun (1972–2007) dengan variabel kunci: kemiskinan absolut (P0); angka melek huruf; tingkat partisipasi pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi (sebagai proxy untuk pendidikan). Selain itu, beberapa variabel yang berguna seperti laju pertumbuhan, tingkat inflasi, dan keterbukaan perdagangan juga digunakan dalam model. Dalam analisis digunakan nilai logaritma natural dari semua variabel dan menggunakan metode autoregressive. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pengentasan kemiskinan akan dapat dipercepat jika sumber daya ditargetkan pada sektor pendidikan, khususnya dalam pendidikan tinggi. Awan et al. (2011) mengevaluasi efek dari berbagai tingkat pendidikan, pengalaman kelamin dari individu-individu yang bekerja (pengusaha, pencari nafkah, dan pekerja keluarga tidak dibayar) sebagai variabel penjelas dan individu miskin sebagai variabel tak bebas dalam penentu kemiskinan di Pakistan untuk tahun 1998–1999 dan 2001–2002. Dengan model regresi logistik, hasilnya menunjukkan bahwa pengalaman dan tingkat pendidikan berhubungan negatif dengan kemiskinan pada dua periode tersebut. Semakin tinggi tingkat pendidikan, probabilitas menjadi miskin semakin berkurang. Selain itu, probabilitas laki-laki menjadi miskin lebih kecil dibandingkan probabilitas perempuan. Selain itu, Awan et al. (2011) menjelaskan keterkaitan antara pendidikan dan kemiskinan dapat dilihat dalam dua arah: Pertama, investasi dalam bidang pendidikan meningkatkan keterampilan dan produktivitas rumah tangga miskin. Hal ini meningkatkan tingkat pendapatan serta standar hidup secara keseluruhan. Kedua, kemiskinan merupakan hambatan besar dalam pencapaian pendidikan. Kemiskinan mempengaruhi prestasi pendidikan dalam tiga dimensi: (i) dari sisi sumber daya (pengetahuan dan sumber daya keuangan), (ii) tekanan sosial yang merusak pola pikir siswa miskin, dan (iii) ketika kemiskinan meraih institusi apapun akan memperburuk standar pengajaran. Pada tingkat makro, biasanya negara-negara miskin memiliki tingkat pendidikan rendah dan pada tingkat mikro anak dari keluarga miskin sering putus sekolah atau bahkan tidak sekolah.
52
Kiani (2011) melakukan penelitian untuk mencoba mengembangkan hubungan antara tingkat pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi dan seberapa jauh dapat membantu dalam mengurangi kemiskinan di Pakistan selama tahun 1980–2007. Data yang digunakan adalah PDB riil dan persentase kemiskinan (P0) sebagai variabel tak bebas dan rasio lulusan siswa menurut tingkat pendidikan terhadap total angkatan kerja yang bekerja17 dan tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) sebagai variabel bebas. Semua variabel menggunakan nilai logaritma natural, dan Kiani menggunakan dua tahun tertinggal (lag) pada variabel pendidikan karena membutuhkan waktu dalam penerapan kebijakan atau strategi pendidikan
dan
untuk
mendapatkan
pekerjaan,
yang
disebut
periode
implementasi. Dengan menggunakan metode persamaan regresi sederhana, hasilnya menyimpulkan bahwa pertumbuhan PDB riil berhubungan positif dengan rasio lulusan siswa pendidikan dasar terhadap total angkatan kerja yang bekerja. Tetapi pendidikan tinggi tidak memainkan peran signifikan secara independen untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan. Janjua dan Kamal (2011) melakukan penelitian dengan tujuan utama untuk menyelidiki apakah penduduk berpendidikan formal suatu negara memiliki dampak besar terhadap besarnya kemiskinan, serta variabel lain seperti pendapatan per kapita dan kesenjangan pendapatan. Janjua dan Kamal menggunakan data panel dari 40 negara berkembang tahun 1999–2007, dengan variabel tak bebas adalah persentase penduduk miskin dan variabel bebas pertumbuhan pendapatan per kapita, ketimpangan pendapatan (indeks gini) dan angka partisipasi murni pendidikan menengah. Hasil perkiraan koefisien dengan menerapkan efek acak teknik Genaral Least Square (GLS). Studi ini menyimpulkan, pertama, bahwa pertumbuhan pendapatan per kapita memainkan peran cukup positif dalam mengurangi kemiskinan, tetapi bahwa distribusi pendapatan tidak memainkan peran kunci dalam penanggulangan kemiskinan dalam sampel secara keseluruhan. Kedua, menyimpulkan bahwa pendidikan merupakan penyumbang yang paling signifikan untuk pengentasan kemiskinan.
17
Kiani (2011) menyebut rasio ini sebagai tingkat kesempatan kerja.
53
Birowo (2011) melakukan penelitian untuk menemukan hubungan antara pengeluaran pemerintah dan tingkat kemiskinan di Indonesia, dengan memeriksa efek dari kelompok anggaran belanja sebelum dan sesudah reformasi anggaran tahun 2004. Selain itu, penelitian tersebut bertujuan untuk menentukan alokasi pengeluaran pemerintah yang memiliki pengaruh signifikan terhadap pengurangan kemiskinan. Penelitian tersebut menggunakan regresi ordinary least square (OLS) untuk menganalisis hubungan. Untuk mendapatkan hubungan antara klasifikasi anggaran pengeluaran pemerintah dan tingkat kemiskinan, penelitian tersebut mengembangkan persamaan sebagai berikut: = (
)
........... (3)
Keterangan: Pov
= rasio penduduk miskin;
GOVi
= klasifikasi pengeluaran pemerintah, i = industri, pertanian, tenaga kerja, perdagangan, keuangan, bisnis, transportasi, pertambangan, pembangunan daerah, lingkungan, pendidikan, kesehatan dan sosial, perumahan, teknologi, aparatur pemerintah, urusan luar negeri, pertahanan dan keamanan.
Penelitian tersebut menyimpulkan: 1.
Sebelum reformasi anggaran, dari 8 sektor pengeluaran pemerintah, sektor pendidikan memiliki hubungan negatif yang signifikan dengan tingkat kemiskinan.
2.
Pengeluaran dalam sektor pendidikan adalah satu-satunya pengeluaran yang memiliki hubungan negatif yang stabil dengan tingkat kemiskinan.
2.3
Kerangka Pemikiran Kemiskinan merupakan salah satu permasalahan pembangunan yang
dialami oleh setiap negara dan bersifat multidimensi, sehingga tidak ada penyebab tunggal yang dapat menjelaskan sepenuhnya. Salah satu instrumen paling kuat yang dimiliki masyarakat untuk mengurangi kemiskinan dan kerentanan adalah pendidikan. Secara langsung, pendidikan memberikan pengetahuan dan keterampilan, sehingga meningkatkan produktivitas dan menciptakan akses ke lapangan kerja. Secara tidak langsung, pendidikan memberdayakan orang dan
54
membantu mereka untuk menjadi lebih proaktif, mengkontrol hidup mereka, dan memperluas berbagai pilihan yang tersedia. Teori modal manusia menunjukkan bahwa ketika individu berinvestasi dalam pendidikan, akan membuat diri mereka lebih produktif dalam pasar tenaga kerja, dan pada gilirannya dapat membawa mereka untuk memiliki penghasilan yang lebih tinggi. Implikasi teori modal manusia pada kebijakan pemerintah yang dihasilkan adalah perlunya intervensi pemerintah dalam alokasi sumber daya pada pendidikan, karena investasi dalam modal manusia berlangsung melalui pendidikan dan pelatihan. Lebih khusus lagi, kebijakan pemerintah yang ditujukan untuk menyediakan pendidikan publik dan pelatihan, akan menentukan proses pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Selain hal tersebut, terdapat perbedaan kemampuan dalam hal keputusan berinvestasi dalam pendidikan. Masyarakat yang tidak mampu secara finansial akan sulit mengakses pendidikan ke setiap jenjang pendidikan, tanpa adanya intervensi pemerintah. Masyarakat miskin mengalami kendala kredit (credit constrains) karena ketiadaan aset yang bisa dijadikan sebagai jaminan ketika mencoba untuk mendapatkan pinjaman dari lembaga keuangan formal. Dalam hal ini, intervensi pemerintah diperlukan dalam menanggulangi permasalahan pembangunan karena adanya fenomena kegagalan pasar, yang sering dikaitkan dengan adanya informasi asimetri, pasar persaingan tidak sempurna, masalah principal-agent, eksternalitas, atau keberadaan barang publik. Pendidikan sebagai salah satu barang publik, harus disediakan pemerintah selama manfaat keseluruhan untuk konsumen dari barang publik setidaknya sama besar dengan biaya penyediaannya. Peran pemerintah dibangun di atas teori ekonomi kesejahteraan dan digunakan sebagai alat untuk meningkatkan kesejahteraan sosial melalui kebijakan pemerintah dari sudut pandang efisiensi ekonomi dan pemerataan. Dengan demikian, untuk meningkatkan akses dan pemerataan pendidikan, maka diperlukan intervensi pemerintah dalam penyediaan layanan dan pembiayaan pendidikan, terutama bagi masyarakat miskin. Dunia pendidikan erat kaitannya dengan lapangan pekerjaan. Permintaan terhadap pendidikan merupakan permintaan tidak langsung atau permintaan turunan terhadap kesempatan memperoleh pekerjaan berpenghasilan tinggi di sektor modern. Hal ini dikarenakan untuk memperoleh pekerjaan di sektor modern, sangat ditentukan oleh tingkat pendidikan seseorang. Dalam kerangka teori modal manusia dan teori signalling-screening (teori pemilahan), pendapatan akan dibayar sesuai dengan produktivitas marginal tenaga kerja. Kedua teori
55
tersebut mengkaitkan pendidikan yang lebih tinggi dengan produktivitas yang lebih tinggi, maka akan mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi bagi mereka. Sementara itu, dalam pasar tenaga kerja juga terdapat permasalahan informasi asimetri yang menimbulkan masalah principal-agent antara calon pencari kerja dan calon majikan (perusahaan) yang tidak mengetahui produktivitas pekerja. Ketika calon majikan (perusahaan) pertama kali merekrut seorang calon pekerja, variabel penting yang mudah diamati adalah tingkat pendidikan. Calon majikan akan melakukan proses screening untuk mengidentifikasi calon pekerja berdasarkan produktivitasnya. Dalam proses screening tersebut, proses signaling menjadi penting, karena dapat digunakan sebagai sinyal kemampuan atau produktivitas yang dimiliki calon pekerja. Calon pekerja dapat memberikan sinyal kepada calon majikan, salah satunya melalui sertifikasi pendidikan. Sebagai akibat dari fenomena pengutamaan ijazah atau sertifikasi pendidikan dalam kegiatan signaling dan screening, orang-orang dengan berbagai macam alasan –kebanyakan karena kemiskinan mereka– yang tidak dapat melanjutkan pendidikan, akan berada dalam golongan orang-orang putus sekolah atau tidak berpendidikan. Pada akhirnya mereka akan sulit mendapatkan pekerjaan di sektor formal karena tidak memiliki sertifikasi pendidikan formal. Oleh karena itu, peran pemerintah sangat diperlukan dalam penyediaan layanan pendidikan dan pembiayaan pendidikan, terutama bagi masyarakat miskin. Masyarakat miskin benar-benar membutuhkan lebih banyak pendidikan dan pelatihan keterampilan, dan juga membutuhkan suatu konteks ekonomi dimana mereka dapat menyadari keuntungan ekonomi dari peningkatan modal manusia mereka. Selanjutnya, dalam kerangka teori pertumbuhan endogen, akumulasi modal manusia merupakan kontributor penting bagi pertumbuhan ekonomi. Unsur penting dalam model ini adalah perhatian yang diberikan kepada modal manusia sebagai mesin pertumbuhan ekonomi. Teori pertumbuhan endogen berfokus pada eksternalitas positif dan efek spillover ekonomi berbasis pengetahuan, akan mengarah
pada
pembangunan
ekonomi dan
pertumbuhan
sektor-sektor
pembangunan lainnya, sehingga pada akhirnya mempunyai peran terhadap pengurangan kemiskinan. Disisi lain, adanya kesenjangan pada modal manusia juga akan berpengaruh terhadap ketimpangan pendapatan dan pertumbuhan ekonomi (Castelló 2004). Selanjutnya, Bourguignon (2004) menjelaskan bahwa perubahan kemiskinan dapat diuraikan melalui pertumbuhan ekonomi dan redistribusi pendapatan.
56
Hubungan ketiga teori ini yakni teori modal manusia menyediakan dan menciptakan kualitas modal manusia, sedangkan teori pemilahan akan memilah tenaga kerja berpendidikan dengan produktivitas lebih baik yang akan memasuki dunia kerja dan menggantikan kelompok tua yang tidak produktif lagi, sehingga akumulasi modal manusia produktif akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Implikasi dari ketiga teori tersebut adalah pentingnya investasi pada modal manusia melalui pendidikan maupun pelatihan, salah satunya melalui kebijakan wajib belajar. Berdasarkan teori modal manusia, kebijakan wajib belajar secara langsung mempengaruhi orang-orang yang terkendala dalam partisipasi pendidikan, sedangkan berdasarkan hipotesis pemilahan pendidikan, kebijakan wajib belajar secara tidak langsung akan meningkatkan pencapaian pendidikan bagi pekerja berkemampuan tinggi (Lang & Kropp 1986). Implikasi teori pertumbuhan endogen adalah bahwa setiap investasi dalam pendidikan akan menghasilkan perbaikan yang terus-menerus dan berkelanjutan terhadap perubahan teknis dan pertumbuhan ekonomi yang didorong faktor inovasi (Bredt & Sycz 2007). Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini secara sederhana akan menganalisis peran pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia, serta peran pemerintah dalam pembiayaan pendidikan dasar. Selanjutnya menentukan kebijakan yang bisa diambil untuk mendorong pemerataan pendidikan, peningkatan pertumbuhan ekonomi agar dapat mengurangi ketimpangan pendapatan dan mengentaskan kemiskinan, seperti pada Gambar 2.10. 2.4
Hipotesis Penelitian Hipotesis dalam penelitian ini adalah:
1. Secara umum, pendidikan di Indonesia melalui indikator angka melek huruf, angka partisipasi sekolah dan rata-rata lama sekolah, masing-masing diduga berpengaruh negatif terhadap kemiskinan; 2. Rasio anggaran bidang pendidikan diduga berpengaruh negatif terhadap kemiskinan; 3. Jenjang pendidikan dasar diduga tidak berperan efektif dalam mengurangi kemiskinan; 4. Besarnya kontribusi setiap jenjang pendidikan terhadap kemiskinan, diduga berbeda-beda. Semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin tinggi pula pengaruh negatif terhadap kemiskinan; 5. Efek tidak langsung pendidikan melalui PDRB per kapita sebagai efek
57
pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan, diduga berpengaruh negatif; 6. Efek tidak langsung pendidikan melalui indeks gini sebagai efek ketimpangan
distribusi
pendapatan
terhadap
kemiskinan,
diduga
berpengaruh positif; 7. Peran
jenjang
pendidikan
terhadap
kemiskinan,
diduga
berbeda
antarkawasan di Indonesia. Permasalahan multidimensi kemiskinan Perbedaan kemampuan berinvestasi pendidikan
Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun
Intervensi Pemerintah: Anggaran Pendidikan
Pendidikan ((AMH, APS, RLS) Efek Langsung: - Pengetahuan - Keterampilan
Efek tidak Langsung: - Kesadaran - Kemampuan - Mobilitas Kualitas SDM (Dasar, Menengah, Tinggi)
Produktivitas
Tingkat Kesempatan Kerja Tingkat Pendapatan & Pertumbuhan Agregat
Distribusi & Perubahan Distribusi
Kemiskinan Absolut & Pengentasan Kemiskinan
Alternatif Strategi Kebijakan
Gambar 2.10 Kerangka pemikiran penelitian