II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pendekatan Teoritis 2.1.1 Manajemen Sumber Daya Manusia Human Resources Management (Manajemen Sumber Daya Manusia) adalah bagian dari fungsi manajemen. Jikalau manajemen menitikberatkan ‘bagaimana mencapai tujuan bersama dengan orang lain’, maka MSDM memfokuskan pada “orang” baik sebagai subyek atau pelaku dan sekaligus sebagai obyek dari pelaku. Jadi bagaimana mengelola orang-orang dalam organisasi
yang
direncanakan
(planning),
diorganisasikan
(organizing),
dilaksanakan (directing) dan dikendalikan (controlling) agar tujuan yang dicapai organisasi dapat diperoleh hasil yang seoptimal mungkin, efisien dan efektif. Manajemen Sumber Daya Manusia sangatlah penting di dalam suatu organisasi atau perusahaan. Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi hal tersebut, yaitu (1) untuk menggali potensi manusia dalam organisasi sehingga dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin, (2) manusia sebagai makhluk sosial yang unik harus menjadi fokus perhatian terhadap keinginan (wants) dan kebutuhannya (needs) yang harus dipenuhi, (3) manusia memiliki cita-cita untuk mencapai tujuan yang diinginkan melalui jalur karir yang ditempuhnya, (4) organisasi adalah kumpulan orang-orang. Kesuksesan orang-orang di dalamnya haruslah sesuai dengan tujuan organisasi yang ingin dicapai, (5) organisasi dibentuk bukan hanya dalam jangka pendek, melainkan dalam jangka panjang sehingga kebutuhan SDM harus direncanakan, diorganisasikan, dilaksanakan dan dikendalikan secara efektif. Pentingnya MSDM menurut Fischer, et.al dalam Haryono (2010) mencakup berbagai kegiatan yaitu : a. Staffing/Human Resource Planning : Perencanaan Sumber Daya Manusia. b. Organization/Employee Development : Pengembangan Pegawai/Organisasi. c. Compensation/Employee
Relations:
Hubungan
Pegawai
Karyawan/Kompenasi. d. Employee Support : Dukungan Pegawai. e. Legal Reqruitments/Compliance : Rekrutmen Legal/Keluhan.
atau
7
f. Labor/Union Relations : Serikat/Organisasi Buruh g. Policy Adherence : Kebijakan h. Administrative Services : Pelayanan Administrasi.
Peran MSDM menurut Mathis dan Jackson (2002) dapat digambarkan pada Tabel 1 sebagai berikut : Tabel 1. Tinjauan Peran MSDM Tinjauan Fokus
Pemilihan Waktu Aktivitas Khusus
Peran Administratif Pemrosesan administratif dan penyimpanan catatan Jangka pendek (kurang dari 1 tahun) Memberikan tunjangan karyawan Memberikan orientasi karyawan baru Memberikan kebijakan dan prosedur SDM Mempersiapkan laporan pekerjaan yang sama.
Peran Operasional dan Penasehat Dukungan operasional mewakili karyawan Jangka menengah (1-2 tahun) program Mengatur program kompensasi Merekrut dan menyeleksi lowongan sekarang ini Mengadakan pelatihan keselamatan Menyelesaikan keluhankeluhan karyawan Mengemukakan kekhawatiran karyawan
Peran Strategis Seluruh organisasi
Jangka panjang (2-5 tahun) Mengevaluasi tren dari persoalan angkatan kerja Terlibat dalam perencanaan pengembangan angkatan kerja masyarakat Membantu restruktrisasi dan perampingan organisasi Menganjurkan merger dan akuisisi Merencanakan strategi kompensasi
Sumber : Mathis dan Jackson (2002)
2.1.2 Stres Spielberger (1991) menyebutkan bahwa stres merupakan tuntutan eksternal yang mengenai seseorang, misalnya obyek-obyek dalam lingkungan atau stimulus yang secara obyektif adalah berbahaya. Stres juga bisa diartikan sebagai tekanan, ketegangan atau gangguan yang tidak menyenangkan yang berasal dari luar diri sendiri. Menurut Lazarus (1991) stres terjadi dengan didahului oleh adanya ketegangan yang merupakan suatu pengantisipasian terhadap hal-hal yang merugikan atau tidak menyenangkan dari sumber-sumber tertentu yang potensial; konflik yang menggambarkan suatu ketidaksesuaian atau pertentangan serta
8
tertundanya seseorang dalam pencapaian suatu tujuan yang dialami oleh individu di dalam kehidupan sehari-hari. Stres sangat bersifat individual dan pada dasarnya bersifat merusak bila tidak ada keseimbangan antara daya tahan mental individu dengan beban yang dirasakannya. Namun, berhadapan dengan suatu sumber stres (stressor) tidak selalu mengakibatkan gangguan secara psikologis maupun fisiologis. Terganggu atau tidaknya individu, tergantung pada persepsinya terhadap peristiwa yang dialaminya. Faktor kunci dari stres adalah persepsi seseorang dan penilaian terhadap situasi dan kemampuannya untuk menghadapi atau mengambil manfaat dari situasi yang dihadapi. Beberapa tahapan terjadinya stres pada diri individu adalah sebagai berikut: proses kognitif primer yaitu proses mental yang berhubungan dengan aktifitas evaluasi terhadap situasi tertentu; penilaian sekunder yaitu proses evaluasi yang berkaitan dengan satu pilihan tentang satu bentuk penanggulangan serta evaluasi terhadap sumber yang berhubungan dengan kejadian tersebut; penilaian kembali adalah proses menilai ulang terhadap situasi yang menimbulan stres. Menurut Lazarus (1991) dalam Siahaan (2004), stres dibagi berdasarkan rangsangan pada tubuh manusia, yaitu: a. Stres sistemik: stres yang menimbulkan gangguan pada jaringan sistem organ tubuh. b. Stres psikologi: stres yang berhubungan dengan factor-faktor kognitif terhadap kejiwaan akibat konflik. c. Stres sosial: stres yang menimbulkan perpecahan unit sosial atau sistem.
2.1.3 Stres Kerja Pengertian stres dengan stres kerja sebenarnya hampir sama, hanya ruang lingkup untuk pengertian stres jauh lebih luas, karena bisa terjadi dan disebabkan oleh lingkungan kerja maupun di luar lingkungan kerja. Sedangkan stres kerja terjadi di lingkungan kerja. Menurut Mangkunegara (2001), stres kerja merupakan perasaan tertekan yang dialami karyawan dalam menghadapi pekerjaan. Stres kerja ini tampak dari symptom, antara lain emosi tidak stabil, perasaan tidak
9
tenang, suka menyendiri, merokok yang berlebihan, tidak bisa rileks, cemas, tegang, gugup, tekanan darah meningkat, dan mengalami gangguan pencernaan. Bagi kebanyakan individu yang dipekerjakan, kerja adalah lebih daripada komitmen 40 jam setiap minggu. Bahkan jika waktu kerja yang nyata adalah 40 jam, kebanyakan individu menghabiskan 10 jam atau lebih per hari untuk aktivitas yang berkaitan dengan kerja bila jam-jam untuk perjalanan, persiapan kerja, makan siang, dan sebagainya ditambahkan ke dalamnya. Tidak hanya merupakan sejumlah waktu yang dihabiskan untuk aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan kerja, namun banyak individu mendapatkan bagian yang substansial dari kepuasan mereka dan identitas dalam pekerjaan mereka. Konsekuensinya adalah aktivitas kerja dan bukan kerja adalah saling bergantung. Kaitan
antara
penyebab
stres,
stres,
dan
konsekuensinya
telah
dikembangkan dalam bentuk sebuah model stres menurut Robbins dan Judge (2008). Sebuah model stres bisa dilihat dalam Gambar 1. Model membagi sumber-sumber potensial penyebab stres ke dalam tiga kategori: lingkungan, individu, dan organisasi. Model ini juga menghadirkan tiga kategori potensial dari akibat stres. Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh Margolis, Kroes, dan Quinn (1974); Pelletier (1977); Pines dan Maslach (1978) dalam Siahaan (2004), terdapat beberapa indikator dalam stres kerja (job stress) yaitu: a. Indikator sikap/perilaku Indikator sikap/perilaku merupakan indikator yang mencerminkan tindaktanduk dari tiap individu yang mengalami stres. Perilaku tersebut meliputi suka lupa, kurang perhatian terhadap sesuatu hal, sering melakukan kesalahan, produktivitas menurun, melamun, berangan-angan, lebih suka menyendiri, konsentrasi rendah, kreativitas berkurang, intensitas merokok meningkat, cenderung mengkonsumsi alkohol dan obat-obat terlarang, sering sakit, absensi meningkat, dan mudah mengalami kecelakaan. b. Indikator fisik Indicator fisik yang terjadi jika seseorang mengalami stres bisa dilihat dari semakin meningkatnya tekanan, tensi otot meningkat, denyut nadi meninggi, telapak tangan sering berkeringat, sakit kepala, tangan dan kaki dingin, perut
10
mual, suara serak meninggi, nafsu makan berkurang, sering buang air kecil, gelisah, dan susah tidur. c. Indikator emosional Indikator emosional bisa dilihat dari mudahnya tersinggung, lebih cepat marah, merasa tertekan, bermusuhan dan sikap tidak bersahabat, cenderung menyalahkan orang lain, cemas, merasa dirinya tidak berharga, dan lebih cepat curiga.
qq
Sumber-sumber potensial
Faktor lingkungan - Ketidakpastian ekonomi - Ketidakpastian politik - Perubahan teknologi Faktor Organisasional - Tuntutan tugas - Tuntutan peran - Tuntutan antarpersonal Faktor-faktor personal - Persoalan keluarga - Persoalan ekonomi - Kepribadian
Perbedaan-perbedaan individual -
Persepsi Pengalaman kerja Dukungan sosial Keyakinan pada lokus kontrol - Keyakinan diri - Permusuhan Stres yang dialami
Konsekuensi Gejala fisiologis - Sakit kepala - Tekanan darah tinggi - Sakit jantung Gejala psikologis - Kecemasan - Depresi - Menurunnya tingkat kepuasan kerja Gejala Perilaku - Produktivitas - Kemangkiran - Perputaran karyawan
Gambar 1. Sebuah Model Stres (Robbins dan Judge, 2008)
Beberapa penelitian tentang stres kerja mengemukakan bahwa sebagian besar karyawan yang bekerja di perusahaan yang sangat besar, atau yang kurang memiliki struktur yang jelas, mengalami stres karena konflik peran. Mereka stres karena ketidakjelasan peran dalam bekerja dan tidak tahu apa yang diharapkan oleh manajemen. Kenyataan seperti ini mungkin banyak dialami oleh pekerja di Indonesia, dimana perusahaan tidak memiliki aturan main yang jelas, visi dan misi sering kali tidak dikomunikasikan pada seluruh karyawannya. Akibatnya sering muncul rasa ketidakpuasan kerja, ketegangan, menurunnya prestasi hingga akhirnya timbul keinginan untuk meninggalkan pekerjaan. Wanita yang bekerja disebutkan sebagai pihak yang mengalami stres lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Wanita yang bekerja menghadapi konflik peran
11
sebagai wanita karir sekaligus ibu rumah tangga. Sesuai dengan alam budaya Indonesia, wanita sangat dituntut perannya sebagai ibu rumah tangga yang baik dan benar sehingga banyak wanita karir yang merasa bersalah ketika harus bekerja. Perasaan bersalah sekaligus dengan tuntutan dari dua sisi yaitu pekerjaan dan ekonomi rumah tangga, sangat berpotensi menyebabkan wanita mengalami stres. Konflik peran menurut Munandar (2001) timbul jika seorang tenaga kerja mengalami adanya: 1. Pertentangan antara tugas-tugas yang harus ia lakukan dan antara tanggung jawab yang ia miliki. 2. Tugas-tugas yang harus ia lakukan menurut pandangannya bukan merupakan bagian dari pekerjaannya. 3. Tuntutan-tuntutan yang bertentangan dari atasan, rekan, bawahannya, atau orang lain yang dinilai penting bagi dirinya. 4. Pertentangan dengan nilai-nilai dan keyakinan pribadinya sewaktu melakukan tugas pekerjaannya. Sedangkan menurut Spielberger (1991) dalam Siahaan (2004), pembangkit atau sumber stres kerja dapat dibagi ke dalam dua kategori, yaitu: 1. Tekanan pekerjaan yang disebabkan karena mengerjakan pekerjaan tersebut (job pressure), seperti kerja lembur, menghadapi situasi kritis, dll. 2. Kurangnya dukungan yang diperlukan dalam menjalankan pekerjaan tersebut dengan baik (lack of support) antara lain kurangnya kesempatan untuk maju, kurangnya dukungan dari atasan, peralatan yang kurang memadai, dll.
2.1.4 Usaha-usaha Penanggulangan Stres Kerja Usaha-usaha untuk menangani stres dapat ditempuh melalui dua cara, yaitu dengan menangani sebab-sebab yang menimbulkan stres (preventif) dan usaha untuk mengurangi dampak negatif dari stres (kuratif). Untuk mengurangi dampak stres karyawan dapat dilakukan melalui konseling.
1. Menangani penyebab stres (preventif) Cara terbaik untuk menangani atau mengurangi munculnya stres adalah dengan menangani penyebab-penyebabnya, baik yang berasal dari lingkungan
12
pekerjaan maupun penyebab dari luar pekerjaan. Penyebab dari luar biasanya menjadi tanggung jawab dari karyawan yang bersangkutan, walaupun tidak menutup kemungkinan bagi lembaga untuk membantu dengan memberi nasehat atau bantuan lainnya. Usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk mengurangi penyebab stres yang berasal dari lingkungan pekerjaan di antaranya adalah dengan: a. Memindahkan (transfer) karyawan ke pekerjaan atau tugas lain yang dianggap lebih cocok dan menyenangkan. b. Mengganti penyelia (atasan langsung) yang berbeda c. Menyediakan lingkungan kerja yang baru d. Kegiatan pendidikan dan pelatihan (pengembangan karyawan) yang terencana dengan baik dan sesuai dengan kebutuhan, baik kebutuhan organisasi, kebutuhan jabatan maupun kebutuhan pribadi masing-masing karyawan. e. Merancang kembali pekerjaan-pekerjaan sehingga karyawan mempunyai alternatif
keputusan
yang
lebih
banyak
dan
wewenang
untuk
melaksanakan tanggung jawab mereka. f. Meningkatkan komunikasi dua arah yang seimbang antara lembaga dengan karyawan sehingga memberikan feedback yang lebih baik dalam pelaksanaan pekerjaan dan partisipasi karyawan dalam kegiatan lembaga. Alternatif yang terakhir ini membutuhkan keterbukaan dan kesediaan dari lembaga (pimpinan) untuk selalu siap menerima kritik dan saran maupun pengaduan dari karyawan. 2. Konseling Untuk menangani atau mengurangi dampak negatif dari stres, kegiatan konseling merupakan cara yang paling efektif yang dapat dilakukan oleh lembaga untuk membantu karyawan menghadapi stres. Konseling atau bimbingan dan penyuluhan adalah pembahasan suatu masalah dengan karyawan, dengan maksud untuk membantu karyawan tersebut agar dapat menangani masalah secara lebih baik. Dengan kata lain, konseling bertujuan untuk membuat orang-orang menjadi lebih efektif dalam memecahkan masalah-masalah mereka.
13
2.1.5 Kinerja Karyawan Kinerja menurut Mangkunegara (2001) adalah hasil kerja secara kualitas, kuantitas, dan ketepatan waktu yang dicapai oleh seseorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Menurut Rivai dan Basri (2005), kinerja adalah hasil atau tingkat keberhasilan seseorang secara keseluruhan selama priode tertentu di dalam melaksanakan tugas dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, seperti standar hasil kerja, target atau sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama. Stolovitch dan Keeps (1992) menyatakan pula bahwa kinerja merupakan seperangkat hasil yang dicapai dan merujuk pada tindakan pencapaian serta pelaksanaan sesuatu pekerjaan yang diminta. Hersey dan Blanchard (1992) bahwa kinerja merupakan suatu fungsi dari motivasi dan kemampuan. Untuk menyelesaikan tugas atau pekerjaan, seseorang harus memiliki derajat kesediaan dan tingkat kemampuan tertentu. Kinerja di dalam suatu organisasi dilakukan oleh segenap sumberdaya manusia dalam organisasi, baik unsur pimpinan maupun pekerja. Banyak sekali faktor yang mempengaruhi sumber daya manusia dalam menjalankan kinerjanya. Terdapat faktor yang berasal dari dalam diri sumber daya manusia sendiri maupun dari luar dirinya. Setiap pekerja mempunyai kemampuan berdasarkan pengetahuan dan keterampilan, kompetensi yang sesuai dengan pekerjaannya, motivasi kerja dan kepuasan kerja. Namun, pekerja juga mempunyai kepribadian, sikap, dan perilaku yang dapat mempengaruhi kinerjanya. Kepemimpinan dan gaya kepemimpinan dalam organisasi sangat berperan dalam mempengaruhi kinerja karyawan. Bagaimana pemimpin menjalin hubungan dengan pekerja, bagaimana mereka member penghargaan kepada pekerja yang berprestasi, bagaimana mereka mengembangkan
dan
memberdayakan
pekerjanya.
Hal
tersebut
sangat
mempengaruhi kinerja sumber daya manusia yang menjadi bawahannya. Kinerja suatu organisasi tidak hanya dipengaruhi oleh sumber daya manusia di dalamnya, tetapi juga oleh sumber daya lainnya seperti dana, bahan, peralatan, teknologi, dan mekanisme kerja yang berlangsung dalam organisasi (Wibowo, 2008). Demikian pula apakah lingkungan kerja atau situasi kerja
14
memberikan kenyamanan sehingga mendorong kinerja karyawan. Juga termasuk bagaimana kondisi hubungan antaramanusia di dalam organisasi, baik antara atasan dengan bawahan maupun di antara rekan sekerja. Faktor-faktor tersebut merupakan faktor lingkungan kerja internal organisasi. Faktor lingkungan eksternal organisasi seperti fluktuasi nilai rupiah, kenaikan suku bunga, dan kenaikan harga minyak juga mempengaruhi kinerja karyawan dalam suatu organisasi (Wibowo, 2008). Kinerja dalam menjalankan fungsinya tidak berdiri sendiri, tapi berhubungan dengan kepuasan kerja dan tingkat imbalan, dipengaruhi oleh keterampiln, kemampuan, dan sifat-sifat individu. Oleh karena itu, menurut model partner-lawyer (Gibson, Donnely, and Ivancevich, 1994), kinerja individu pada dasarnya dipengaruhi oleh faktor-faktor: (a) harapan mengenai imbalan; (b) dorongan; (c) kemampuan, kebutuhan, dan sifat; (d) persepsi terhadap tugas; (e) imbalan internal dan eksternal; (f) persepsi terhadap tingkat imbalan dan kepuasan kerja. Dengan demikian, kinerja pada dasarnya ditentukan oleh tiga hal, yatu: (1) kemampuan, (2) keinginan dan (3) lingkungan. Oleh karena itu, agar mempunyai kinerja yang baik, seseorang harus mempunyai keinginan yang tinggi untuk mengerjakan serta mengetahui pekerjaannya. Tanpa mengetahui ketiga faktor ini, kinerja yang baik tidak akan tercapai. Dengan demikian, kinerja individu dapat ditingkatkan apabila ada kesesuaian antara pekerjaan dan kemampuan. Menurut Rivai dan Basri (2005) ukuran-ukuran keberhasilan dalam pekerjaan dapat ditentukan dengan tepat dan lengkap, juga dapat diuraikan dalam bentuk perilaku yang dapat diamati dan diukur secara cermat dan tepat. Ukuranukuran keberhasilan yang sering digunakan dalam pekerjaan ialah ciri kepribadian dalam bentuk sifat, seperti kemampuan dalam bekerja sama, dan hasil kerja. Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kinerja merupakan prestasi yang dapat dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugasnya atau pekerjaannya sesuai dengan standar dan kriteria yang ditetapkan untuk pekerjaan itu.
15
2.1.6 Hubungan Antara Stres Kerja dan Kinerja Karyawan Ada korelasi langsung antara stres kerja dengan prestasi kerja. Stres yang dialami oleh karyawan dapat membantu (fungsional) dalam meningkatkan prestasi kerja, tetapi juga sebaliknya, yaitu menghambat atau merusak (infungsional) prestasi kerja. Hal ini tergantung pada seberapa besar tingkat stres yang dialami karyawan. Untuk melihat seberapa pengaruh stres terhadap prestasi kerja dapat dilihat pada Gambar 2. Menurut Wood, et. al (2001) menyatakan bahwa stres mempunyai dua sisi yaitu stres yang bersifat membangun (constructive stress) dan stres yang merusak (destructive stress). Jika tidak ada stres sama sekali, pekerja akan merasa tidak ada tantangan sehingga kinerjanya cenderung menurun. Jika intensitas stres ditingatkan sampai tingkat optimal (moderate), maka akan membantu pekerja untuk mengerahkan segala sumber daya yang ada.
Gambar 2. Model Hubungan Stres-Prestasi Kerja/Kinerja (Handoko, 2001)
Dari gambar di atas dapat diperoleh gambaran bahwa bila karyawan tidak mengalami stres walaupun dalam tingkat yang rendah, tantangan-tantangan kerja tidak ada sehingga prestasi kerja cenderung rendah. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya usaha untuk menghadapi tantangan. Sejalan dengan meningkatnya stres, prestasi kerja karyawan cenderung naik karena stres membantu karyawan untuk mengerahkan segala kemampuan yang dimilikinya dalam memenuhi berbagai persyaratan atau kebutuhan pekerjaan. Bila stres telah mencapai “puncak”, yang dicerminkan oleh kemampuan pelaksanaan kerja harian karyawan
16
yaitu semakin meningkatnya stres cenderung tidak menghasilkan perbaikan prestasi kerja. Akhirnya bila stres menjadi terlalu besar, prestasi kerja mulai menurun, karena stres mengganggu pelaksanaan kerja. Karyawan kehilangan kemampuan untuk mengendalikannya, menjadi tidak mampu untuk mengambil keputusankeputusan yang tepat dan perilaku menjadi tidak teratur. Dampak atau akibat yang lebih ekstrim adalah prestasi kerja menjadi nol karena karyawan menjadi sakit atau tidak mampu bekerja lagi, putus asa, atau keluar maupun melarikan diri dari pekerjaannya, dan mungkin dapat diberhentikan dari pekerjaannya.
2.1.7 Structural Equation Modelling (SEM) dan Partial Least Square (PLS) SEM merupakan suatu teknik modeling statistika yang telah digunakan secara luas. SEM merupakan kombinasi dari analisis principal component, analisis regresi dan analisis path. Secara teknis SEM dikembangkan berdasarkan 2 kelompok yaitu SEM berbasis konvarian yang diwakili oleh LISREL dan SEM berbasis varian yang paling dominan adalah Partial Least Squares (PLS). Partial Least Square (PLS) dikembangkan pertama kali oleh Wold sebagai metode umum untuk mengestimasi path model yang menggunakan konstruk laten dengan multiple indicator. PLS dapat dianggap sebagai model alternatif dari SEM. Menurut Fornell dan Bookstein dalam
Ghozali (2008),
PLS mampu
menghindarkan dua masalah besar yang dihadapi oleh SEM yaitu inadmissible solution dan factor indeterminacy. Perbandingan antara SEM berbasis covariance dan SEM berbasis variance-PLS dapat dilihat dalam Tabel 2. Pendekatan PLS adalah distribution free (tidak mengasumsikan data berdistribusi tertentu, dapat berupa nominal, kategori, ordinal, interval dan ratio). Partial Least Square merupakan faktor indeterminacy metode analisis yang powerfull karena tidak didasarkan banyak asumsi, jumlah sampel kecil, dan residual distribusi. Selain dapat digunakan untuk mengkonfirmasi teori, PLS juga dapat digunakan untuk menjelaskan ada tidaknya hubungan antar variabel laten. Contoh model path PLS disajikan dalam Gambar 3.
17
No.
Tabel 2. Perbandingan antara PLS dan Covariance Based SEM /CBSEM (Ghozali, 2008) Kriteria PLS CBSEM
1.
Tujuan
Orientasi Prediksi
Orientasi Parameter
2.
Pendekatan
Berdasar variance
Berdasar covariance
3.
Asumsi
Spesifikasi prediktor (nonparametric)
Multivariate normal distribution, independence observation (parametric)
4.
Estimasi Parameter
Konsisten sebagai indikator dan sampel size meningkat (consistency en large)
Konsisten
5.
Skore variabel Laten
Secara eksplisit diestimasi
Indeterminate
6.
Hubungan epistemic antara variabel laten dan indikatornya
Dapat dalam bentuk reflektif maupun formatif indikator
Hanya dengan reflektif indikator
7.
Implikasi
Optimal untuk ketepatan prediksi
Optimal untuk ketepatan parameter
8.
Kompleksitas model
Kompleksitas besar (100 konstruk dan 1000 indikator)
Kompleksitas kecil sampai menengah (kurang dari 100 indikator)
9.
Besar sampel
Kekuatan analisis didasarkan pada porsi dari model yang memiliki jumlah predictor terbesar - minimal direkomendasikan berkisar dari 30 sampai 100 kasus.
Kekuatan analisis didasarkan pada model spesifik - minimal direkomendasikan berkisar dari 200 sampai 800 kasus.
Gambar 3. Contoh model path PLS
18
PLS dibentuk dari 2 gugus model persamaan linear yaitu model luar (outer) dan model dalam (inner). Model Inner merupakan relasi antar variabel laten atau unobserved. Sedangkan model outer merupakan relasi antara variabel laten dengan variabel observed atau manifest atau indikator. Dengan asumsi bahwa variabel indikator distandarisasi maka persamaan untuk model inner adalah: ……………………………………(1) Sedangkan model outer terdiri dari 2 macam model yaitu model reflective (model A) dan model formative (model B). Pemilihan model mana yang digunakan berdasarkan alasan teoritis. Model reflective merupakan relasi dari variabel laten ke variabel indikator atau “effect” yang dapat digambarkan melalui persamaan: ………………………………(2) Model formative merupakan relasi dari variabel indikator membentuk variabel laten “causal” dan dapat digambarkan dalam persamaan: ……………………………….(3)
dimana:
: vektor variabel laten : koefisien path : error : koefisien loading : koefisien bobot
Menurut Ghazali (2008), langkah-langkah yang harus dilakukan dalam analisa Partial Least Square (PLS) yaitu meliputi: 1. Merancang Model struktural (inner model) Pada SEM perancangan model adalah berbasis teori, akan tetapi pada PLS bisa berupa teori, hasil penelitian empiris, analogi (hubungan antar variabel pada bidang ilmu yang lain), normatif (contoh peraturan pemerintah, undangundang, dsb), dan rasional.
19
2. Merancang Model Pengukuran (outer model) Pada SEM semua bersifat reflektif, model pengukuran tidak penting. Pada PLS perancangan outer model sangat penting baik reflektif maupun formatif dengan dasar perancangan dalam langkah pertama. 3. Mengkonstruksi Diagram Jalur 4. Konversi Diagram Jalur ke Sistem Persamaan 5. Estimasi : Koef, Jalur, Loading dan Weight Pendugaaan parameter: a. Weight estimate yang digunakan untuk menghitung data variabel laten b. Estimasi jalur (path estimate) yang menghubungkan antar variabel laten (koefisien jalur) dan antara variabel laten dengan indikatornya (loading). c. Berkaitan dengan means dan lokasi parameter (nilai konstanta regresi) untuk indikator dan variabel laten. d. Metode estimasi PLS: OLS dengan teknik iterasi 6. Evaluasi Goodness of Fit a. Goodness of Fit Outer Model Outer Model Refleksif : convergent dan discriminant validity, composite reliability Outer Model Formatif : dievaluasi berdasarkan pada substantive contentnya yaitu dengan melihat signifikansi dan weight. b. Goodness of Fit Inner Model Diukur menggunakan Q-Square predictive relevance 7. Pengujian Hipotesis (Resampling Bootstraping)
2.2. Kerangka Pemikiran Visi merupakan suatu pernyataan yang berisikan tentang arahan yang jelas dari apa yang akan diperbuat oleh perusahaan di masa yang akan datang, sehingga untuk mewujudkan visi tersebut maka perusahaan melakukan pengembangan misi yang akan dijalaninya dalam setiap aktivitas. Misi merupakan penetapan tujuan dan sasaran perusahaan yang berisi kegiatan jangka panjang tertentu dan jangka pendek yang akan dilakukan dalam upaya mencapai visi yang telah ditetapkan.
20
Pernyataan tentang visi dan misi yang jelas harus sesuai dengan kebutuhan perusahaan sehingga dapat menumbuhkan komitmen karyawan terhadap pekerjaan dan memupuk semangat kerja karyawan, menumbuhkan rasa keharmonisan di dalam kehidupan kerja karyawan, menumbuhkan standar kerja yang prima, sehingga dengan visi yang jelas akan mengantarkan perusahaan dalam mencapai tujuan. Hal tersebut dirumuskan dalam strategi-strategi yang tertuang dalam kebijakan PT. XYZ di dalam setiap divisinya antara lain divisi News, Produksi, Corporate Services, Tech. & Facilities Services, Finance, serta Programming. Sumber daya yang dimiliki perusahaan terdiri dari manusia, modal, material, metode, mesin, maupun pasar. Unsur manusia adalah penting dalam manajemen karena keberhasilan manajemen bergantung pada kemampuan menggerakkan orang-orangnya. Pencapaian tujuan perusahaan harus didukung sumberdaya manusia yang berkualitas dan tergantung kepada tahapan dalam merekrut, menyeleksi, penempatan karyawan yang sesuai dengan kemampuannya, pelatihan, dan pengembangan serta sistem imbalan dengan demikian mampu menghasilkan kinerja karyawan yang baik. Divisi news sebagai salah satu divisi di PT.XYZ merupakan bagian dari jantung perusahaan dimana memiliki persaingan yang tinggi baik di lingkungan internal
maupun
eksternal perusahaan.
Lingkungan
internal perusahaan
menggambarkan persaingan antara divisi news dengan divisi lainnya di dalam PT. XYZ itu sendiri. Sedangkan lingkungan eksternal menggambarkan persaingan divisi news khususnya dengan stasiun televisi lainnya baik swasta maupun pemerintah. Oleh karena itu, manajemen perusahaan berusaha untuk senantisa memperhatikan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan sumber daya manusia guna meningkatkan kualitas sumber daya manusianya dalam rangka pencapaian visi, misi, dan tujuan perusahaan. Tanpa karyawan yang berkualitas, maka visi, misi, dan tujuan perusahaan tidak akan tercapai secara maksimal. Pengaruh yang ada, baik langsung maupun tidak langsung tentunya akan mempengaruhi kinerja karyawan di masing-masing bagian baik operasional maupun non-operasional. Salah satu pengaruh yang terjadi adalah stres kerja pada karyawan baik yang bersifat positif ataupun negatif. Oleh karena itu, stres kerja pada karyawan sebagai
21
salah satu akibat dari bekerja perlu dikondisikan pada posisi yang tepat agar kinerja mereka juga berada pada posisi yang diharapkan. Untuk memposisikan stres kerja pada posisi yang tepat, maka perlu diketahui terlebih dahulu tingkat stres kerja dan kinerja karyawan ada saat ini. Begitupun dengan pembangkit stres (stressor) yang tidak akan terlepas dari stres itu sendiri. Tingkat stres kerja dan kinerja karyawan dapat diketahui melalui penyebaran kuesioner yang berisi pernyataan-pernyataan yang telah disebarkan sebelumnya. Faktor-faktor pembangkit stres (stressor) yang dilihat berupa tekanan pekerjaan dan kurangnya dukungan. Stres kerja yang muncul akibat pengaruh tekanan pekerjaan dan kurangnya dukungan direfleksikan dalam bentuk emosional dan sikap. Individu yang mengalami stres kerja cenderung mudah marah, cepat tersinggung, serta mudah mengalami kecelakaan kerja karena konsentrasi yang rendah. Hal tersebut berdampak pada kinerja karyawan. Jika stres kerja menimbulkan motivasi yang tinggi bagi karyawan, maka kinerja individu tersebut akan meningkat. Namun, jika stres kerja berdampak negatif pada karyawan, maka kualitas, kuantitas, dan ketepatan waktu dalam menyelesaikan pekerjaan tidak sesuai dengan yang diharapkan dan pada akhirnya kinerja karyawan akan menurun. Hasil yang diperoleh diharapkan bisa memberikan masukan bagi perusahaan sehingga bisa digunakan sebagai bahan pertimbangan di dalam pengambilan kebijakan SDM. Kerangka pemikiran konseptual bisa dilihat dalam Gambar 4. Selanjutnya dilakukan analisa deskriptif terhadap karakteristik responden berdasarkan karakteristik gender, usia, pendidikan, dan masa kerja. Pembangkit stres (stressor), stres kerja dan kinerja dianalisa menggunakan Partial Least Square (PLS) untuk mengetahui hubungan diantaranya ketiganya, sejauh mana stressor mempengaruhi tingkat stres kerja dan sejauh mana tingkat stres kerja mempengaruhi kinerja karyawan divisi pemberitaan (news) PT. XYZ. Flow proses penelitian bisa dilihat dalam Gambar 5.
22
Misi
Visi
Tujuan
Strategi PT. XYZ
Kebijakan PT. XYZ
Tech. & facilities services
Finance
News
Supporting
Bulletin
Programming
Corporate Services
Magazine
Pengelolaan SDM
Aspek pembangkit stres karyawan: 1. Stressor tekanan pekerjaan (job pressure) 2. Stressor kurangnya dukungan (lack of support)
Aspek stres kerja karyawan: 1. Sikap 2. Emosional
Aspek kinerja karyawan: 1. Kualitas 2. Kuantitas 3. Ketepatan waktu
Manajemen stres
Peningkatan mutu SDM
Masukan bagi divisi news
Gambar 4. Kerangka Pemikiran Konseptual
Produksi
23
Rumusan masalah
Faktor stressor Stres kerja Pengaruh stres kerja ke kinerja
Studi literatur
Mengembangkan model Membuat revisi dan kuesioner
Pengumpulan data di lapangan
PT. XYZ
Pengolahan data dan pengujian
PLS dengan Smart PLS: Validitas & Realibilitas: reflective koefisien bobot : formative Bootstrap
Pembahasan hasil
Hasil, kesimpulan dan saran
Gambar 5. Flow proses penelitian
2.3. Perumusan Hipotesis Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, dan kerangka pemikiran, maka selanjutnya dapat dirumuskan jawaban sementara yang menyatakan adanya pengaruh aspek-aspek stressor, stres kerja dan kinerja yang disebut sebagai hipotesis. Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Ho :
Pembangkit stres kerja (stressor) tekanan pekerjaan tidak berpengaruh terhadap stres kerja karyawan.
H1 :
Pembangkit stres kerja (stressor) tekanan pekerjaan berpengaruh positif terhadap stres kerja karyawan.
24
Ho :
Pembangkit stres kerja (stressor) kurangnya dukungan tidak berpengaruh terhadap stres kerja karyawan.
H1 :
Pembangkit stres kerja (stressor) kurangnya dukungan berpengaruh positif terhadap stres kerja karyawan.
Ho :
Stres kerja tidak berpengaruh terhadap kinerja karyawan.
H1 :
Stres kerja berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan.