II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Tinjauan Teori-Teori
2.1.1 Konsep Desentralisasi Fiskal Desentralisasi merupakan sebuah instrumen untuk mencapai salah satu tujuan bernegara, yaitu terutama memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Desentralisasi akan diwujudkan dengan memberikan kewenangan kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak (taxing power), terbentuknya dewan yang dipilih oleh rakyat, kepala daerah yang dipilih oleh rakyat, dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari pemerintah pusat (Bird, 2000). Desentralisasi fiskal merupakan salah satu komponen utama dari desentralisasi, karena apabila pemerintah daerah melaksanakan fungsinya dan diberikan kebebasan dalam mengambil keputusan di sektor publik, maka harus mendapat dukungan dari pemerintah pusat berupa subsidi/bantuan maupun pinjaman dari pemerintah pusat serta sumber-sumber keuangan yang memadai, baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), termasuk surcharge of taxes, pinjaman, maupun dana perimbangan dari pemerintah pusat. Pemerintah pada hakekatnya mengemban tiga fungsi utama, antara lain fungsi distribusi, alokasi dan stabilisasi (Stiglitz, 2000). Fungsi alokasi adalah peran pemerintah dalam mengalokasikan sumber daya ekonomi agar tercipta secara efisien, yaitu peran pemerintah dalam menyediakan barang yang tidak bisa disediakan oleh pasar. Fungsi distribusi adalah peran pemerintah dalam memengaruhi distribusi pendapatan dan kekayaan untuk menjamin adanya keadilan dalam mengatur distribusi pendapatan. Fungsi stabilisasi merujuk pada tindakan pemerintah dalam memengaruhi keseluruhan tingkat pengangguran, pertumbuhan ekonomi dan harga. Dalam hal ini pemerintah menggunakan kebijakan anggaran untuk mengurangi pengangguran, kestabilan harga dan tingkat pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Pelaksanaan desentralisasi fiskal menurut Halim (2007) akan berjalan dengan baik dengan berpedoman pada hal-hal sebagai berikut :
10
1.
Adanya Pemerintah Pusat yang kapabel dalam melakukan pengawasan dan enforcement.
2.
Terdapat keseimbangan antara akuntabilitas dan kewenangan dalam melakukan pungutan pajak dan retribusi Daerah.
3.
Stabilitas politik yang kondusif.
4.
Proses pengambilan keputusan di daerah harus demokratis, dimana pengambilan keputusan tentang manfaat dan biaya harus transparan serta pihak-pihak yang terkait memiliki kesempatan memengaruhi keputusankeputusan tersebut.
5.
Desain kebijakan keputusan yang diambil sepenuhnya merupakan tanggung jawab masyarakat setempat dengan dukungan institusi dan kapasitas manajerial yang diinginkan sesuai dengan permintaan pemerintah
6.
Kualitas sumberdaya manusia yang kapabel dalam menggantikan peran sebelumnya yang merupakan peran pemerintah pusat. Salah satu teori yang mendukung desentralisasi antara lain dikemukakan
oleh Tiebout yang dikenal sebagai "The Tiebout Model" yang terkenal dengan ungkapannya "Love it or leave it" (Stiglitz, 2000). Tiebout menekankan bahwa tingkat dan kombinasi pembiayaan barang publik bertaraf lokal dan pajak yang dibayar oleh masyarakat merupakan kepentingan politisi masyarakat lokal dengan pemerintah daerahnya. Masyarakat akan memilih untuk tinggal di lingkungan yang anggaran daerahnya memenuhi preferensi yang paling tinggi antara pelayanan publik dari pemerintah daerahnya dengan pajak yang dibayar oleh masyarakat. Ketika masyarakat tidak senang pada kebijakan pemerintah lokal dalam pembebanan pajak untuk pembiayaan barang publik bersifat lokal, maka hanya ada dua pilihan bagi warga masyarakat, yaitu meninggalkan wilayah tersebut atau tetap tinggal di wilayah tersebut dengan berusaha mengubah kebijakan pemerintah lokal melalui DPRD-nya. Hipotesis tersebut memberikan petunjuk bahwa terdapat potensi untuk mencapai efisiensi ekonomi (maximizing social welfare) dalam penyediaan barang publik pada tingkat lokal (Stiglitz, 2000).
11
Model Tiebout ini menunjukkan kondisi yang diperlukan untuk mencapai efisiensi ekonomi dalam penyediaan barang publik yang bersifat lokal yang pada gilirannya akan menciptakan kondisi yang dikenal sebagai "the market for local services would be perfectly competitive" (Stiglitz, 2000). Disinilah arti penting desentralisasi dalam pengambilan keputusan publik yang diperdebatkan antara pemerintah lokal dengan DPRD-nya.
2.1.2 Pengelolaan Keuangan Daerah Prinsip-prinsip pengelolaan keuangan daerah berubah seiring dengan adanya desentralisasi fiskal. Pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan yang
meliputi
perencanaan,
pelaksanaan,
penatausahaan,
pelaporan,
pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah (Halim, 2007:23). Menurut Peraturan Pemerintah (PP) 58 tahun 2005, tentang pengelolaan keuangan daerah, pasal 1 ayat 5 yang dimaksud dengan keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut, dalam rangka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Berdasarkan UU No 33 Tahun 2004 pada pasal 66 ayat 1, keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan keadilan, kepatutan dan manfaat untuk masyarakat. Oleh karena itu, pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan dengan pendekatan kinerja yang berorientasi pada output, menggunakan konsep nilai uang (value for money) dengan
prinsip tata
pemerintahan yang baik. Pendekatan anggaran kinerja adalah suatu sistem anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja (output) dari perencanaan alokasi biaya (input) yang telah ditetapkan (PP. Nomor 105 tahun 2000, pasal 8). Kinerja mencerminkan efisiensi dan efektifitas pelayanan publik dan harus berpihak pada kepentingan publik, yang artinya memaksimumkan penggunaan anggaran untuk memenuhi kebutuhan masyarakat daerah.
12
Pada dasarnya pengelolaan keuangan daerah menyangkut tiga aspek analisis yang saling terkait satu dengan lainya. Ketiga aspek tersebut meliputi : 1. Analisis penerimaan, yaitu analisis mengenai kemampuan pemerintah daerah dalam menggali sumber-sumber pendapatan yang potensial dan biaya-biaya dikeluarkan untuk meningkatkan pendapatan tersebut. 2. Analisis pengeluaran, yaitu analisis mengenai seberapa besar biaya-biaya dari suatu pelayanan publik dan faktor-faktor yang menyebabkan biaya-biaya tersebut meningkat. 3. Analisis anggaran, yaitu analisis mengenai hubungan antara pendapatan dan pengeluaran serta kecenderungan yang diproyeksikan untuk masa depan. Dalam konsep yang lebih luas, sistem pengelolaan keuangan daerah terdiri dari aspek-aspek berikut : 1. Pengelolaan (optimalisasi dan/atau penyeimbangan) seluruh sumber-sumber yang mampu memberikan penerimaan, pendapatan dan atau penghematan yang mungkin dilakukan. 2. Ditetapkan oleh badan eksekutif dan badan legislatif, dilaksanakan oleh badan eksekutif serta diawasi oleh badan legislatif dan seluruh komponen masyarakat daerah. 3. Diarahkan untuk kesejahteraan seluruh masyarakatnya. 4. Didasari oleh prinsip-prinsip ekonomis, efisien dan efektif. 5. Dokumentasi, transparansi, dan akuntabilitas. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa alokasi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah salah satu wujud pengelolaan keuangan daerah. APBD adalah sebuah rencana yang disusun dalam bentuk kuantitatif dalam satuan moneter untuk suatu periode, yang biasanya satu tahun. Pendapatan daerah adalah semua penerimaan daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi hak daerah, dan belanja daerah adalah semua pengeluaran daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi beban daerah. Tabel 2 menunjukkan perkembangan dasar hukum pengelolaan keuangan daerah semenjak diberlakukannya desentralisasi fiskal.
13
Tabel 2 Perkembangan dasar hukum pengelolaan keuangan daerah Sebelum dan Sekarang
Sekarang dan Nanti
UU 22/1999
Pemerintahan Daerah
UU 17/2003
Keuangan Negara
UU 25/1999
Perimbangan Keuangan Pemerintah
UU 1/2004
Perbendaharaan Negara
Pusat dan Pemerintah Daerah.
UU 32/2004
Pemerintahan daerah
PP 105/2000
Pengelolaan Keuangan Daerah
UU 33/2004
Perimbangan
KMDN 29/2002
Pedoman Pengurusan,
Pemerintah
Keuangan Pusat
dan
Pertanggungajawaban dan
PP 24/2005
pemerintah daerah
Pengawasan Keuangan Daerah
PP 58/2005
Standar Akuntansi Pemerintah
Permendagri
Pedoman Pengelolaan Keuangan
13/2006
Daerah
Pengelolaan Keuangan daerah
Sumber : Halim, 2007. Ada beberapa format APBD yang digunakan sejak dilaksanakan desentralisasi fiskal. Pada tahun 2001-2002 menggunakan format APBD yang berdasarkan Manual Administrasi Keuangan Daerah (MAKUDA) 1981. Pada awal tahun 1980-an dikeluarkan Permendagri Nomor 900/099 tentang Manual Administrasi Keuangan Daerah (MAKUDA), dan Permendagri Nomor 020-595 tentang Manual Administrasi Barang Daerah, dan Permendagri Nomor 970 Tentang Manual Administrasi Pendapatan Daerah. Kelemahan paling mendasar sistem administrasi keuangan daerah adalah masih diterapkannya pembukuan tunggal (Single entry book keeping) dan berbasis kas (cash basis). Secara struktural, yaitu penerimaan meliputi sisa anggaran tahun lalu, Pendapatan Asli Daerah (PAD), bagi hasil pajak dan bukan pajak, sumbangan dan bantuan, dan pinjaman. Sedangkan Belanja di bagi menjadi belanja rutin dan Belanja Pembangunan (Mulyana, 2006). Belanja rutin didefinisikan sebagai belanja keperluan operasional untuk menjalankan kegiatan rutin pemerintahan. Pengeluaran rutin mencakup belanja pegawai, belanja barang, pembayaran bunga, subsidi, dan belanja lain-lain. Belanja pembangunan didefinisikan sebagai belanja
yang menghasilkan nilai
tambah aset, baik fisik maupun non fisik, yang dilaksanakan dalam periode tertentu. Belanja pembangunan adalah pengeluaran berkaitan dengan proyekproyek yang meliputi belanja modal dan belanja penunjang. Belanja modal mencakup pembebasan tanah, pengadaan mesin dan peralatan, konstruksi bangunan dan jaringan (infrastruktur), dan belanja modal fisik maupun non fisik
14
lainnya. Sementara itu, belanja penunjang yang dialokasikan untuk mendukung pelaksanaan proyek terdiri dari gaji/upah, bahan, perjalanan dinas, dan belanja penunjang lainnya. Format
yang
berbasis
Manual
Administrasi
Keuangan
Daerah
(MAKUDA 1981) (format lama) diganti dengan format yang berbasis kinerja dengan berdasarkan Kepmendagri No. 29 Tahun 2002. Perundangan Kemendagri No. 29 Tahun 2002 tersebut tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Perubahan struktur anggaran belanja dalam APBD berdasarkan MAKUDA 1981 berbeda dengan struktur belanja dalam APBD tahun anggaran 2002-2006 (Kepmendagri No. 29 Tahun 2002). Perbedaan tersebut karena adanya perubahan sistem pencatatan dari ’Single Entry ke Double Entry (dari sistem tunggal ke sistem berpasangan) yang berbasis kinerja dan prestasi (Mulyana, 2006). Struktur keuangan daerah berdasarkan Kepmendagri 29 Tahun 2002 merupakan satu kesatuan yang terdiri dari Pendapatan Daerah, Belanja daerah dan Pembiayaan. Dalam hal ini, yang dimaksud satu kesatuan adalah dokumen APBD yang merupakan rangkuman seluruh jenis pendapatan, jenis belanja dan sumber-sumber pembiayaannya. Pendapatan Daerah dirinci menurut kelompok pendapatan dan jenis pendapatan. Kelompok pendapatan meliputi Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Menurut jenis pendapatan misalnya, pajak daerah, retribusi daerah , Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus (Mulyana, 2006). Sementara itu, belanja dirinci menurut organisasi, fungsi dan jenis belanja. Belanja menurut organisasi adalah satu kesatuan pengguna anggaran seperti DPRD dan sekretariat DPRD, Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah, Sekretariat Daerah serta dinas daerah dan lembaga teknis daerah lainnya. Fungsi belanja misalnya, pendidikan, kesehatan, dan fungsi-fungsi lainnya. Jenis belanja maksudnya adalah belanja pegawai, belanja barang,
15
belanja
pemeliharaan,
belanja
perjalanan
dinas
dan
belanja
modal/pembangunan. Selanjutnya, pembiayaan dirinci menurut sumber pembiayaan. Sumbersumber pembiayaan yang merupakan penerimaan daerah antara lain, yaitu sisa lebih perhitungan anggaran tahun lalu, penerimaan pinjaman dan obligasi serta penerimaan dari penjualan aset daerah yang dipisahkan. Sumber pembiayaan yang merupakan pengeluaran yaitu pembayaran hutang pokok. Surplus anggaran adalah selisih lebih pendapatan daerah terhadap belanja daerah, dan defisit anggaran adalah selisih kurang Pendapatan daerah terhadap Belanja Daerah (Mulyana, 2006). Anggaran untuk membiayai pengeluaran yang sifatnya tidak terduga dibedakan dalam bagian anggaran pengeluaran tidak terduga. Pengeluaran yang dibebankan pada pengeluaran tidak terduga adalah penanganan bencana alam, bencana sosial, dan pengeluaran tidak terduga lainnya yang sangat diperlukan dalam rangka penyelenggaraan kewenangan pemerintah daerah (Mulyana, 2006). Belanja Aparatur Daerah adalah bagian belanja berupa belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, serta belanja modal/pembangunan
yang
dialokasikan
pada
atau
digunakan
untuk
membiayai kegiatan yang hasil (outcome), manfaat (benefit) dan dampaknya (impact) tidak secara langsung dinikmati oleh masyarakat. Sedangkan belanja pelayanan publik adalah bagian belanja berupa belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan serta belanja modal/pembangunan yang dialokasikan pada atau digunakan untuk membiayai kegiatan hasil (outcome), manfaat (benefit) dan dampaknya (impact) secara langsung dinikmati masyarakat (Publik) (Mulyana, 2006). Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 tersebut berjalan hanya sampai 4 tahun dan direvisi kembali dengan PP 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan yang ditentukan lebih lanjut oleh Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang
Pedoman
Pengelolaan
Keuangan
Daerah
sebagai
pengganti
Kepmendagri No. 29 Tahun 2002. Permendagri No. 13 Tahun 2006 ini sebagai pedoman umum bagi pemerintahan daerah dalam melaksanakan tata
16
kelola keuangannya, yang tentu saja dalam rangka perbaikan manajemen keuangan daerah yang sehat tercapai transparasi dan akuntabilitas. Format baru belanja tahun 2006, berdasarkan Permendagri No. 13 Tahun 2006, belanja dikelompokkan ke dalam dua bentuk yaitu belanja tidak langsung dan belanja langsung. Belanja tidak langsung merupakan
belanja yang
dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan di dalamnya yang terdiri atas belanja pegawai, belanja bunga, belanja subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil, bantuan keuangan dan belanja tidak terduga. Belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan di dalamnya terdiri atas belanja pegawai, belanja barang dan jasa dan belanja modal. Pengeluaran pemerintah digunakan untuk membiayai kepentingan publik. Pengeluaran pemerintah dilaksanakan dalam rangka : 1. Menyediakan barang publik atau proses pembagian keseluruhan sumberdaya untuk digunakan sebagai barang pribadi dan barang publik 2. Distribusi pendapatan dan kekayaan untuk menjamin terpenuhinya apa yang dianggap oleh masyarakat sebagai keadaan distribusi yang merata dan adil, kemudian disebut fungsi distribusi. 3. Penggunaan kebijakan anggaran sebagai suatu alat untuk mempertahankan tingkat kesempatan kerja yang tinggi, tingkat stabilitas yang semestinya dan laju pertumbuhan ekonomi yang cepat, dengan memperhitungkan segala akibatnya terhadap perdagangan dan neraca pembayaran, yang kemudian disebut fungsi stabilisasi.
17
Tabel 3 Pemetaan format anggaran pemerintah kabupaten/kota berdasarkan beberapa peraturan Jenis Makuda 1981 Pengeluaran Rutin Pengeluaran Staff
Rutin Rutin
Rutin Rutin
Rutin Rutin
Aparatur-Adm umum Publik-Adm umum
Pengeluaran Staff Pengeluaran Staff
Permendagri No. 13/2006 Belanja Tidak langsung
Pembayaran Hutang dan Bunga Pengeluaran yang Tidak termasuk dalam pengeluaran lainnya
Keuangan untuk Pemerintah di Tingkat yang lebih rendah Pengeluaran tak terduga Barang dan Jasa Operasional
Belanja pembangu n
Belanja Pembangunan
Hibah Bantuan Sosial Dana bagi Hasil
Pembagian pendapatan untuk pemerintah daerah atau desa Bantuan keuangan untuk pemerintah daerah atau desa
Bantuan keuangan
Aparaturoperasional dan Perawatan PublikOperasonal dan perawatan AparaturOperasional dan Perawatan
PublikOperasional dan Perawatan
Aparatur Publik
Sumber : Mulyana, 2006
Pengeluaran Staff
Pembayaran Hutang Subsidi
Pensiun dan santunan Subsisi/Bantuan
Pemeliharaan Biaya perjalanan Dinas
Belanja pembangu n
Kepmendagri No. 29/2002
Pengeluara tak terduga Pengeluaran Staf
Belanja Langsung
Pengeluaran tak terduga Belanja Barang dan Jasa
Pengeluaran staf Barang dan Jasa Biaya Perjalanan Dinas Operasional dan perawatan Lain-lain Barang dan Jasa Biaya Perjalanan Dinas Operasional dan Perawatan Lain-lain Belanja modal Belanja Modal
Belanja modal
18
Di dalam perekonomian, pemerintah telah berperan yang terlihat pada alokasi anggaran khususnya alokasi pengeluaran. Keynes (Todaro, 2006) berpendapat tingkat kegiatan dalam perekonomian ditentukan oleh perbelanjaan agregat. Pada umunya perbelanjaan agregat dalam suatu periode tertentu adalah kurang dari perbelanjaan agregat yang diperlukan untuk mencapai tingkat full employment. Keynes berpendapat sistem pasar bebas tidak akan dapat membuat penyesuaian-penyesuaian yang akan meciptakan full employment. Untuk mencapai kondisi tersebut diperlukan kebijakan pemerintah. Tiga bentuk kebijakan pemerintah yaitu kebijakan fiskal, moneter dan pengawasan langsung. Kebijakan fiskal melalui pengaturan anggaran pengeluaran dan penerimaan pemerintah. Kebijakan moneter dilakukan dengan memengaruhi jumlah uang beredar dan tingkat suku bunga. Pengawasan langsung dilakukan dengan membuat peraturanperaturan. Menurut Mangkoesoebroto (1997), perkembangan pengeluaran pemerintah ditentukan oleh beberapa faktor yaitu : 1. Perubahan permintaan akan barang publik. 2. Perubahan aktivitas pemerintah dalam menghasilkan barang publik, dan juga perubahan dari kombinasi faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi. 3. Perubahan kualitas barang publik. 4. Perubahan harga faktor produksi. Ada beberapa teori yang membahas tentang perkembangan pengeluaran pemerintah (Mangkoesoebroto, 1997) yaitu : 1. Model Rostow dan Musgrave Model Rostow dan Musgrave berisi tentang perkembangan pengeluaran pemerintah. Model ini menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi yaitu tahap awal, tahap menengah dan tahap lanjut. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah terhadap total investasi besar sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana seperti pendidikan, kesehatan, prasarana transportasi. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap
19
diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas, namun pada tahap ini peranan investasi swasta sudah semakin besar. Peranan pemerintah tetap besar pada tahap menengah, oleh karena peranan swasta semakin besar akan menimbulkan banyak kegagalan pasar dan juga menyebabkan pemerintah harus menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih banyak. Selain itu pada tahap ini perkembangan ekonomi menyebabkan terjadinya hubungan antar sektor yang makin komplek. Misalnya pertumbuhan ekonomi yang ditimbulkan oleh perkembangan sektor industri akan menimbulkan semakin tingginya pencemaran atau polusi. Pemerintah harus turun tangan mengatur dan mengurangi dampak negatif dari polusi. Pemerintah juga harus melindungi buruh dalam meningkatkan kesejahteraannya. Musgrave dan Musgrave (1991) berpendapat bahwa dalam suatu proses pembangunan, investasi swasta dalam persentase terhadap PDB semakin besar dan persentase investasi pemerintah terhadap PDB akan semakin kecil. Pada tingkat ekonomi lebih lanjut, Rostow mengatakan bahwa aktivitas pemerintah dalam pembangunan ekonomi beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaran-pengeluaran untuk aktivitas sosial seperti program kesejahteraan hari tua dan pelayanan kesehatan masyarakat. 2. Hukum Wagner Wagner mengemukakan suatu teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah yang semakin besar dalam prosentase terhadap PDB. Wagner mengemukakan pendapatnya bahwa dalam suatu perekonomian apabila pendapatan per kapita meningkat maka secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Hukum Wagner dikenal dengan “The Law of Expanding State Expenditure”. Dasar dari hukum tersebut adalah pengamatan empiris dari negaranegara maju (Amerika Serikat, Jerman, Jepang). Dalam hal ini Wagner menerangkan mengapa peranan pemerintah menjadi semakin besar, terutama disebabkan karena pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat. Kelemahan hukum Wagner adalah karena hukum tersebut tidak didasarkan pada suatu teori mengenai pemilihan barang-barang publik. Wagner mendasarkan pandangannya dengan suatu teori yang disebut teori organisasi mengenai pemerintah (organic theory of the state) yang menganggap pemerintah sebagai individu yang bebas bertindak, terlepas dari anggota masyarakat lainnya.
20
3. Teori Peacock dan Wiseman Inti dari teori Peacock dan Wiseman adalah Pertumbuhan ekonomi (PDB) menyebabkan pemungutan pajak semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah, dan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat. Oleh karena itu, dalam keadaan normal, meningkatnya PDB menyebabkan penerimaan pemerintah yang semakin besar, begitu juga dengan pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar. Apabila keadaan normal tersebut terganggu, misalnya karena adanya perang, maka pemerintah harus memperbesar pengeluarannya untuk membiayai perang. Karena itu penerimaan pemerintah dari pajak juga meningkat dan pemerintah meningkatkan penerimaannya tersebut dengan cara menaikkan tarif pajak sehingga dana swasta untuk investasi dan konsumsi menjadi berkurang. Keadaan ini disebut efek pengalihan (displacement effect) yaitu adanya gangguan sosial menyebabkan aktivitas swasta dialihkan pada aktivitas pemerintah. Perang tidak hanya dibiayai dengan pajak, akan tetapi pemerintah juga melakukan pinjaman ke negara lain. Akibatnya setelah perang sebetulnya pemerintah dapat kembali menurunkan tarif pajak, namun tidak dilakukan karena pemerintah masih mempunyai kewajiban untuk mengembalikan pinjaman tersebut. Sehingga pengeluaran pemerintah meningkat karena PDB yang mulai meningkat, pengembalian pinjaman dan aktivitas baru setelah perang. Ini yang disebut efek inspeksi (inspection effect). Adanya gangguan sosial juga akan menyebabkan terjadinya konsentrasi kegiatan ke tangan pemerintah dimana kegiatan ekonomi tersebut semula dilaksanakan untuk swasta. Ini disebut efek konsentrasi (concentration effect). Adanya ketiga efek tersebut menyebabkan aktivitas pemerintah bertambah. Setelah perang selesai dan keadaan kembali normal maka tingkat pajak akan turun kembali. Teori ini didasarkan pada suatu pandangan bahwa pemerintah senantiasa berusaha untuk memperbesar pengeluaran sedangkan masyarakat tidak suka membayar pajak yang semakin besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang semakin besar tersebut. Peacock dan Wiseman mendasarkan teori mereka pada suatu teori bahwa masyarakat mempunyai suatu tingkat toleransi pajak, yaitu suatu tingkat dimana masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan oleh
21
pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Jadi masyarakat menyadari bahwa pemerintah membutuhkan dana untuk membiayai aktivitas pemerintah sehingga mereka mempunyai tingkat kesediaan masyarakat untuk membayar pajak. Tingkat toleransi ini merupakan kendala bagi pemerintah untuk menaikkan pemungutan pajak secara semena-mena. 4. Kurva Scully. Kurva Scully merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh professor Gerald Scully, yang menerangkan hubungan antara peran pengeluran pemerintah dengan
tingkat
diformulasikan
pertumbuhan Scully,
rasio
ekonomi. pengeluaran
Dalam
model
pemerintah
kuadratik menjadi
yang
variabel
independent dan pertumbuhan ekonomi menjadi variabel dependent. Dari model dapat disimpulkan bahwa : peningkatan porsi pengeluaran pemerintah terhadap PDRB sampai pada tingkat tertentu memberikan pengaruh yang lebih tinggi pada pertumbuhan, namun pada porsi yang lebih tinggi lagi (melebihi tingkat optimal) maka porsi pemerintah semakin besar akan berdampak lebih rendah terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi bahkan dapat mencapai nol seperti ditunjukkan pada Gambar 3. g Tingkat Pertumbuhan Ekonomi
0 t Rasio pengeluaran pemerintah terhadap PDRB Sumber : Kharisma, 2006. Gambar 3 Hubungan antara tingkat pertumbuhan ekonomi dengan rasio pengeluaran pemerintah terhadap PDRB. 2.1.3 Pembangunan Ekonomi Pembangunan ekonomi dalam jangka panjang adalah meningkatkan kualitas dari setiap individu. Manusia merupakan subyek sekaligus obyek dari
22
pembangunan
ekonomi.
Jika
pengeluaran
pemerintah
diarahkan
pada
pembangunan ekonomi, maka pembangunan kualitas sudah semestinya menjadi bagian terpenting dari kebijakan yang dijalankan. Sehingga jika pembangunan dapat berjalan dengan baik, maka selain terdapat pertumbuhan ekonomi yang semakin meningkat, menurunnya persentase penduduk miskin, naiknya IPM, naiknya pendapatan perkapita serta diiringi dengan adanya pemerataan pembangunan antar daerah.
Pembangunan Menurut Bappenas (1999) pembangunan dapat didefinisikan sebagai suatu rangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan yang dilakukan secara terencana dan berkelanjutan dengan memanfaatkan dan memperhitungkan kemampuan sumber daya, informasi, dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memperhatikan perkembangan global. Sedangkan pembangunan daerah adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang dilaksanakan melalui otonomi daerah dan pengaturan sumber daya nasional, yang memberi kesempatan bagi peningkatan demokrasi dan kinerja daerah yang berdaya guna dalam penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan masyarakat, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah secara merata dan berkeadilan. Pembangunan dapat pula diartikan sebagai suatu proses perubahan peningkatan kualitas kehidupan manusia. Perubahan yang dimaksud adalah perubahan ekonomi dan sosial. Dewasa ini negara-negara yang sedang berkembang menggebu-gebu keinginannya untuk melakukan pembangunan, terutama pembangunan dibidang ekonomi. Padahal perubahan dibidang ekonomi bukan
hanya
satu-satunya
arti
yang
terkandung
dalam
pembangunan.
Pembangunan harus diartikan lebih dari pemenuhan kebutuhan materi di dalam kehidupan
manusia.
Pembangunan
seharusnya
merupakan
proses
multidimensional yang meliputi berbagai perubahan yang mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan masyarakat serta pengentasan kemiskinan (Todaro dan Smith, 2006).
23
Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, bukan hanya menciptakan peningkatan pada produksi nasional riil, tetapi juga harus ada perubahan dalam kelembagaan, struktur administrasi, perubahan sikap, dan kebiasaan. Jadi dalam hal ini istilah pembangunan diartikan sebagai perubahan yang meningkat baik di bidang sosial maupun di bidang ekonomi. Istilah pembangunan ekonomi diartikan sebagai perubahan yang meningkat pada kapasitas produksi nasional. Peningkatan ini dicerminkan dengan pertumbuhan ekonomi. Indikator pertumbuhan ekonomi tidak bisa hanya dilihat secara material, seperti meningkatnya pendapatan per kapita, tetapi juga peningkatan formasi kapital non material seperti kebijakan sosial-budaya yang menunjang harmoni sosial dan kestabilan politik serta kemandirian. Peningkatan pendapatan per kapita riil bisa dicapai apabila pertumbuhan
produksi
masyarakat
masih
meningkat
setelah
dikurangi
peningkatan jumlah penduduk dan tingkat inflasi. Pertumbuhan ini dapat dicapai apabila struktur ekonomi yang berat pada sektor pertanian diubah dititikberatkan pada sektor industri. Hal ini tidak berarti bahwa suatu negara mengabaikan pembangunan sektor pertanian atau menurunkan produksi sektor pertanian. Produksi sektor pertanian tetap ditingkatkan, karena bagaimanapun produksi pertanian juga menopang sektor industri. Perubahan struktur ini adalah karena adanya kenyataan bahwa dengan investasi yang sama di sektor industri akan menghasilkan pertumbuhan pendapatan masyarakat yang lebih cepat dibanding dengan investasi yang sama di sektor pertanian. Hal ini disebabkan karena pembangunan di sektor industri mempunyai dampak kebelakang dan kedepan yang lebih luas dibanding dengan sektor pertanian. Menurut Todaro dan Smith (2006) dalam melaksanakan pembangunan, pada umumnya negara-negara yang sedang berkembang masih mempunyai hambatanhambatan, antara lain; (1) hambatan alam (kekurangan sumber daya alam) dan (2) hambatan yang berhubungan dengan ciptaan manusia (kekurangan peraturan pendukung), hambatan obyektif (kekurangan modal), dan hambatan subyektif (kekurangan jiwa kepemimpinan). Perubahan ekonomi dan sosial dapat dicapai dengan cara-cara yang berbeda-beda tergantung dari tujuan pembangunan itu sendiri. Pada umumnya menurut (Todaro dan Smith, 2006) tujuan pembangunan mencakup hal-hal pokok
24
seperti: (1) meningkatkan pertumbuhan ekonomi, (2) meningkatkan pemerataan pendapatan
masyarakat,
(3)
meningkatkan
kesempatan
kerja,
dan
(4)
meningkatkan pemerataan pembangunan antar daerah. Dari keempat tujuan ini, beberapa memang ada yang tampak kontradiktif satu sama lain. Misalnya tujuan pertama, yaitu usaha untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan tujuan kedua, yaitu meningkatkan pemerataan. Tujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi biasanya dapat dicapai dengan usaha yang menggunakan teknologi tinggi, namun di pihak lain penggunaan teknologi tinggi dapat merampas kesempatan kerja seseorang yang berarti hanya sebagian kecil masyarakat yang menikmati pendapatannya, sedangkan masyarakat yang lainnya menganggur. Kebalikannya apabila diutamakan tujuan untuk peningkatan pemerataan, maka ini berarti harus menggunakan lebih banyak tenaga kerja dari pada tenaga mesin. Keadaan seperti ini dapat berakibat mengurangi kecepatan pertumbuhan ekonomi, walaupun mungkin pemerataan lebih dapat ditingkatkan. Pemilihan untuk lebih mengutamakan salah satu di antara dua tujuan tersebut bukanlah hal yang mudah. Oleh karena itu dalam menetapkan kebijaksanaan program pembangunan perlu dilakukan secara hati-hati dengan memperhitungkan untung ruginya. Beberapa ukuran yang digunakan untuk melihat keberhasilan suatu pembangunan ekonomi (Todaro dan Smith, 2006) yaitu : 1. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi mengandung makna adanya peningkatan produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh aktifitas ekonomi yang terjadi di masyarakat. Peningkatan produksi barang dan jasa yang dimaksud diukur berdasarkan suatu periode tertentu sebagai tahun dasar sehingga nilai peningkatan benar-benar mencerminkan adanya pertumbuhan produksi yang terbebas dari pengaruh harga (BPS, 2008). Berbagai model pertumbuhan ekonomi bermunculan secara dinamis mengikuti perubahan perekonomian dari waktu ke waktu (Todaro dan Smith, 2006). Teori Klasik yang dimotori oleh Adam Smith beranggapan bahwa pertumbuhan ekonomi sebenarnya bertumpu pada adanya pertambahan penduduk. Dengan adanya pertambahan penduduk maka akan terdapat pertambahan output
25
atau hasil. Selain Adam Smith, yang termasuk dalam teori klasik adalah David Ricardo. Ricardo berpendapat bahwa faktor pertumbuhan penduduk yang semakin besar sampai menjadi dua kali lipat pada suatu saat akan menyebabkan jumlah tenaga kerja melimpah. Kelebihan tenaga kerja akan mengakibatkan upah menjadi turun. Upah tersebut hanya dapat digunakan untuk membiayai taraf hidup minimum sehingga perekonomian akan mengalami kemandegan (stationary state). Teori Klasik selanjutnya berkembang menjadi Teori Neoklasik yang dimotori oleh Harrord Domar dan Robert Solow. Harrord Domar beranggapan bahwa modal harus dipakai secara efektif, karena pertumbuhan ekonomi sangat dipengaruhi oleh peranan pembentukan modal tersebut. Teori ini juga membahas tentang pendapatan nasional dan kesempatan kerja. Sedangkan Solow berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan rangkaian kegiatan yang bersumber pada manusia, akumulasi modal, pemakaian teknologi modern. Adapun pertumbuhan penduduk dapat berdampak positif dan dapat berdampak negatif. Oleh karenanya, menurut Robert Solow pertambahan penduduk harus dimanfaatkan sebagai sumber daya yang positif. Model pertumbuhan Solow dikatakan merupakan pilar yang sangat memberi kontribusi terhadap teori pertumbuhan neoklasik. Pada intinya model ini merupakan pengembangan dari model pertumbuhan Harrod-Domar dengan menambahkan faktor tenaga kerja dan teknologi kedalam persamaan pertumbuhan. Dalam model pertumbuhan Solow, input tenaga kerja dan modal memakai asumsi skala yang terus berkurang (diminishing returns) jika keduanya dianalisis secara terpisah, sedangkan jika keduanya dianalisis secara bersamaan memakai asumsi skala hasil tetap (constant returns to scale) (Todaro dan Smith, 2006). Model Neoklasik beranggapan bahwa mobilitas faktor produksi, baik modal maupun tenaga kerja, pada permulaan proses pembangunan adalah kurang lancar. Akibatnya, pada saat itu modal dan tenaga kerja ahli cenderung terkonsentrasi di daerah yang lebih maju sehingga ketimpangan pembangunan regional cenderung melebar. Akan tetapi bila proses pembangunan terus berlanjut, dengan semakin baiknya prasarana dan fasilitas komunikasi, maka mobilitas modal dan tenaga kerja tersebut akan semakin lancar. Dengan demikian, nantinya setelah negara
26
yang bersangkutan telah maju, maka ketimpangan pembanguan regional akan berkurang. Perkiraan ini merupakan kesimpulan kedua dari model ini dan kemudian dikenal sebagai Hipotesa Neoklasik.
2. Kemiskinan Konsep kemiskinan menurut Bellinger (2007) memiliki dua dimensi yaitu dimensi pendapatan dan dimensi non pendapatan. Kemiskinan dalam dimensi pendapatan didefinisikan sebagai keluarga yang memiliki pendapatan rendah yang diukur dari hal kepemilikan harta kekayaan seperti lahan dan kesulitan dalam mengakses jasa pelayanan publik. Sedangkan dari dimensi non pendapatan ditandai dengan adanya ketidakmampuan, ketiadaan harapan, tidak adanya perwakilan dan kebebasan yang dapat juga menimpa pada berbagai level pendapatan. Kemiskinan dari sisi pendapatan lebih sering didiskusikan karena lebih mudah diukur, dan dapat dibedakan menjadi kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut. Menurut Todaro dan Smith (2006), besarnya kemiskinan dapat diukur dengan atau mengacu kepada garis kemiskinan. Konsep yang mengacu pada garis kemiskinan disebut kemiskinan absolut, sedangkan pengukurannya tidak didasarkan pada garis kemiskinan disebut kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut adalah derajat kemiskinan di bawah kebutuhan minimum untuk bertahan hidup tidak dapat terpenuhi. Ukuran ini relatif tetap dalam bentuk kebutuhan kalori minimum ditambah komponen non makanan yang juga sangat dibutuhkan untuk tetap survive. Garis kemiskinan berbeda untuk tiap negara, tetapi yang umum dijadikan standar untuk membandingkan antar negara adalah sebesar US$ 1 per hari. Sedangkan kemiskinan relatif adalah ukuran mengenai kesenjangan di dalam distribusi pendapatan, biasanya berkaitan dengan ukuran di bawah tingkat ratarata distribusi pendapatan. Kemiskinan menurut BPS diukur dengan menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmammpuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Metode yang digunakan adalah menghitung Garis Kemiskinan (GK),
27
yang terdiri dari dua komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM). Penghitungan Garis Kemiskinan dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan dibawah garis kemiskinan. Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2 100 kalori perkapita per hari yang setara dengan beras 320 kg/kapita/tahun di pedesaan dan 480 kg/kapita/tahun di daerah perkotaan. Garis kemiskinan non makanan (GKNM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, kesehatan dan kebutuhan dasar lainnya. BPS setiap tahun menetapkan besarnya garis kemiskinan berdasarkan hasil Survei Ekonomi Nasional (SUSENAS). Garis kemiskinan juga berbeda-beda untuk tiap daerah tergantung besarnya biaya hidup minimum masing-masing daerah.
Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa pertumbuhan ekonomi berarti perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksikan dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat. Dalam tingkat negara seluruh barang dan jasa yang dihasilkan di dalam negeri diukur secara agregat dalam bentuk Produk Domestik Bruto (PDB). Agar dapat diagregasikan seluruh barang dan jasa yang diproduksi dikonversi dalam bentuk mata uang negara yang bersangkutan. Pertumbuhan ekonomi dapat diukur dari perubahan PDB dalam periode tertentu misalnya dalam periode satu tahun. Terdapat kontroversi antara pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan. Banyak yang berpendapat bahwa pertumbuhan yang cepat berakibat buruk pada kaum miskin, karena mereka akan tergilas dan terpinggirkan oleh perubahan struktural pertumbuhan modern. Di samping itu, terdapat pendapat di kalangan pembuat kebijakan bahwa pengeluaran publik yang digunakan untuk menanggulangi kemiskinan akan mengurangi dana yang dapat digunakan untuk untuk mempercepat pertumbuhan. Namun banyak juga yang berpendapat bahwa
28
kebijakan untuk mengurangi kemiskinan tidak harus memperlambat laju pertumbuhan (Todaro dan Smith, 2006), dengan pertimbangan sebagai berikut: a. Kemiskinan membuat kaum miskin tidak punya akses kredit, menyekolahkan anaknya, tidak punya peluang berinvestasi sehingga akan memperlambat pertumbuhan perkapita. b. Data empiris menunjukkan kaum kaya di negara miskin tidak mau menabung dan berivestasi di negara mereka sendiri. c. Kaum miskin memiliki standar hidup seperti kesehatan, gizi dan pendidikan yang rendah sehingga menurunkan tingkat produktivitas ekonominya. d. Peningkatan pendapatan kaum miskin akan mendorong kenaikan permintaan produk lokal, sementara golongan kaya cenderung mengkonsumsi barang impor. e. Penurunan kemiskinan secara masal akan menciptakan stabilitas sosial dan memperluas partisipasi publik dalam proses pertumbuhan. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi yang cepat dan pengurangan kemiskinan bukanlah hal yang saling bertentangan, tetapi harus dilaksanakan secara simultan. Berbagai kebijakan yang tepat dapat dirumuskan agar seluruh elemen masyarakat dapat berperan serta dalam pertumbuhan yang berkelanjutan.
3. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indeks Pembangunan Manusia (IPM), secara khusus mengukur capaian pembangunan manusia menggunakan beberapa komponen dasar kualitas hidup. Sebagai ukuran kualitas hidup, IPM dibangun melalui pendekatan tiga dimensi dasar. Dimensi tersebut mencakup umur panjang dan sehat, pengetahuan dan kehidupan yang layak. Ketiga dimensi tersebut memiliki pengertian sangat luas karena terkait banyak faktor didalamnya. Untuk mengukur dimensi kesehatan, digunakan angka umur harapan hidup. Selanjutnya untuk mengukur dimensi pengetahuan digunakan indikator angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah yang dikombinasikan. Adapun untuk mengukur dimensi hidup layak digunakan indikator kemampuan daya beli (Purchasing Power Parity). a. Umur Harapan Hidup
29
Angka harapan hidup dapat dihitung dengan menggunakan pendekatan tak langsung (indirect estimation). Ada dua jenis data masukan yang digunakan untuk menghitung angka umur harapan hidup yaitu Anak Lahir Hidup (ALH) dan Anak Masih Hidup (AMH). Paket program Mortpack digunakan untuk menghitung angka harapan hidup dengan input data ALH dan AMH. Selanjutnya menggunakan program Mortpack ini, dipilih metode Trussel dengan model West, yang sesuai dengan dengan histori kependudukan dan kondisi Indonesia dan Negara-negara Asia Tenggara umumnya. Besarnya nilai maksimum dan nilai minimum untuk masing-masing komponen ini merupakan nilai besaran yang telah disepakati oleh semua negara (175 negara didunia).
Pada komponen angka umur harapan hidup, angka
tertinggi sebagai batas atas untuk penghitungan indeks dipakai 85 tahun dan terendah adalah 25 tahun. Angka ini merupakan angka rata-rata umur terpanjang penduduk Swedia dan terpendek dari negara Siera Leon di Afrika.
b. Tingkat Pendidikan Untuk mengukur dimensi pengetahuan penduduk digunakan dua indikator, yaitu rata-rata lama sekolah (mean of years schooling) dan angka melek huruf. Selanjutnya rata-rata lama sekolah menggambarkan jumlah tahun yang digunakan oleh penduduk usia 15 tahun ke atas dalam menjalani
pendidikan formal.
Sedangkan angka melek huruf adalah persentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis huruf latin dan atau huruf lainnya. Proses penghitungannya, kedua indikator tersebut digabung setelah masing-masing diberikan bobot. Rata-rata lama sekolah diberi bobot sepertiga dan angka melek huruf diberi bobot dua pertiga. Untuk penghitungan indeks pendidikan, dua batasan dipakai sesuai kesepakatan beberapa negara saat pertama kali penghitungan IPM dilakukan. Batas atas untuk angka melek huruf, dipakai maksimum 100 dan minimum 0 (nol), yang menggambarkan kondisi 100% atau semua
masyarakat mampu
membaca dan menulis, dan nilai nol mencerminkan kondisi sebaliknya.
c. Standar Hidup Layak
30
Selanjutnya dimensi ketiga dari ukuran kualitas hidup manusia adalah standar hidup layak. Dalam cakupan lebih luas standar hidup layak menggambarkan tingkat kesejahteraan yang dinikmati oleh penduduk sebagai dampak semakin membaiknya ekonomi. UNDP mengukur standar hidup layak menggunakan GDP riil yang disesuaikan, sedangkan BPS dalam menghitung standar hidup layak menggunakan rata-rata pengeluaran per kapita riil yang disesuaikan dengan formula Atkinson. Jika C(i) < Z
C (I) = C(i) = Z + 2(C(i)`-`Z)1/2 = Z + 2(Z)
1/2
Jika Z < C(i) < 2Z
+ 3(C(i)`-`2Z)
1/3
Jika 2Z < C(i) < 3Z .................(2.1)
dst Keterangan : C(i) = PPP dari nilai riil pengeluaran per kapita Z
= Batas tingkat pengeluaran yang ditetapkan secara arbiter sebesar Rp 549 500.00 per kapita per tahun atau Rp1 500.00 per kapita per hari
Penghitungan indeks daya beli, seperti terlihat pada uraian sebelumnya dan diagram penghitungan IPM, terlihat bahwa batas atas penghitungan digunakan batas masksimum dan minimum adalah sebesar Rp732 720.00 dan Rp300 000.00 ini merupakan batas sampai dengan tahun 1996. Pada tahun 2002, batas bawah penghitungan PPP dirubah dan disepakati menjadi Rp360 000.00
mengikuti
kondisi pasca krisis ekonomi.
Penyusunan Indeks Sebelum penghitungan IPM, setiap komponen harus dihitung indeksnya. Formula yang digunakan sebagai berikut; Indeks X ( i , j ) =
keterangan
X(i,j)
( X ( i , j ) − X ( i − min) ) ( X ( i − maks ) − X ( i − min) )
................................ (2.2)
= Indeks komponen ke-i dari daerah j
X(i-min) = Nilai minimum dari Xi X(i-maks) = Nilai maksimum dari Xi
31
Nilai IPM dapat dihitung sebagai: IPM j =
1 ∑ Indeks X (i , j ) 3 j
……………………………………(2.3)
keterangan : Indeks X(i,j)
= Indeks komponen IPM ke i untuk wilayah ke j; i = 1, 2, 3 j = 1, 2 ……. k wilayah
Untuk menghitung indeks rangkuman batas minimun dan maksimum setiap komponen IPM ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 4 Nilai maksimum dan minimum dari setiap komponen IPM
Komponen IPM 1. Angka Harapan Hidup 2. Angka Melek Huruf 3. Rata-rata lama sekolah 4. Daya beli
Maksimum
Minimum
Keterangan
85
25
Standar UNDP
100
0
Standar UNDP
15
0
732 720
a
300 000 (1996) UNDP menggunakan PDB Riil disesuaikan b
360 000 (1999,2002)
Keterangan
: a) b)
Perkiraan maksimum pada akhir PJP II tahun 2018 Penyesuaian garis kemiskinan lama dengan garis kemiskinan baru
Sumber : BPS, 2009. Gambar 4 menunjukkan bahwa untuk menghitung IPM, terlebih dahulu dihitung untuk masing-masing indeks harapan hidup, indeks pendidikan dan indeks pendapatan. Penghitungan masing-masing indeks dilakukan seperti dalam penjelasan dan rumusan yang telah diuraikan. Dengan menggunakan IPM, UNDP membagi status pembangunan manusia di kabupaten/kota ke dalam empat kategori dengan kriteria sebagai berikut : a.
Rendah, bila angka IPM < 50.
b.
Menengah Bawah, bila angka 50 ≤ IPM < 66.
32
c.
Menengah Atas, bila angka 66 ≤ IPM < 90.
d.
Tinggi, bila angka IPM ≥90.
DIMENSI
INDIKATOR
INDEKS
Umur panjang Dan sehat Angka harapan hidup pada saat Lahir
Pengetahuan Angka melek Rata-rata huruf lama seko(Lit) lah (MYS)
Indeks harapan hidup
Indeks pendidikan
Kehidupan yang layak Pengeluaran per kapita riil yang disesuaikan (PPP Rupiah) Indeks pendapatan
INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM)
Sumber : BPS, 2009. Gambar 4 Diagram alur perhitungan IPM.
4. Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah Ketimpangan pembangunan antar wilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan ekonomi suatu daerah. Ketimpangan ini pada dasarnya disebabkan oleh adanya perbedaan berbagai faktor yang terdapat pada masingmasing daerah. Akibat dari perbedaan ini, kemampuan suatu daerah dalam mendorong proses pembangunan suatu daerah juga menjadi berbeda. Oleh karena itu tidaklah mengherankan bilamana pada suatu proses pembangunan suatu wilayah biasanya terdapat wilayah maju dan wilayah terbelakang. Terjadinya ketimpangan antar wilayah membawa implikasi terhadap tingkat kesejahteraan antar wilayah. Karena itu, aspek ketimpangan pembangunan antar wilayah ini juga mempunyai implikasi pula terhadap formulasi kebijakan pembangunan wilayah yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Beberapa faktor utama yang menyebabkan atau memicu terjadinya ketimpangan pembangunan wilayah tersebut (Sjafrizal, 2008), adalah : a. Faktor geografis
33
Suatu wilayah atau daerah yang sangat luas akan terjadi variasi pada keadaan fisik alam berupa topografi, iklim, curah hujan, sumberdaya mineral dan variasi spasial lainnya. Apabila faktor-faktor lainnya baik dan ditunjang dengan kondisi geografis yang lebih baik dari daerah lain, maka wilayah tersebut akan berkembang lebih baik daripada daerah lain. b. Faktor historis Perkembangan masyarakat dalam suatu wilayah tergantung dari kegiatan atau budaya hidup yang telah dilakukan di masa lalu. Bentuk kelembagaan, budaya atau kehidupan perekonomian pada masa lalu merupakan penyebab yang cukup penting terutama yang terkait dengan sistem intensif terhadap kapasitas kerja. c. Faktor politis Tidak stabilnya suhu politik sangat mempengaruhi perkembangan dan pembangunan di suatu wilayah. Instabilitas politik akan menyebabkan orang ragu untuk berusaha atau melakukan investasi sehingga kegiatan ekonomi suatu wilayah tidak akan berkembang. Bahkan pelarian modal keluar wilayah untuk diinvestasikan ke wilayah yang lebih stabil. d. Faktor kebijakan Terjadinya kesenjangan antar wilayah bisa diakibatkan oleh kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah yang sentralistik di beberapa sektor dan lebih menekankan pertumbuhan dan pembangunan pada daerah-daerah yang menjadi pusat-pusat pembangunan di wilayah tertentu menyebabkan kesenjangan yang luar biasa antar daerah. e. Faktor administratif Kesenjangan wilayah dapat terjadi karena adanya perbedaan kemampuan pengelola administrasi. Wilayah yang dikelola dengan administrasi yang baik cenderung lebih maju. Sehingga dapat dikatakan wilayah yang ingin maju harus mempunyai administrator yang jujur, terpelajar, terlatih yang berarti sama dengan mempunyai sumberdaya manusia yang lebih baik. f. Faktor sosial Masyarakat dengan kepercayaan-kepercayaan yang primitif, kepercayaan tradisional dan nilai-nilai sosial yang rendah cenderung akan menghambat
34
perkembangan ekonomi. Sebaliknya masyarakat maju memiliki institusi dan perilaku yang kondusif untuk berkembang. g. Faktor ekonomi Beberapa faktor ekonomi yang menyebabkan kesenjangan antar wilayah adalah perbedaan kuantitas dan kualitas dari faktor produksi yang dimiliki seperti lahan, infrastruktur, tenaga kerja, modal, organisasi dan perusahaan. Hal ini mengakibatkan terjadinya akumulasi dari berbagai faktor ekonomi. Wilayah yang mempunyai faktor-faktor ekonomi yang baik, mendorong untuk menjadi daerah yang lebih maju, dan menjadi pusat kegiatan ekonomi, sedangkan daerah lainnya akan tertinggal.
2.2 Tinjauan Empiris Ada beberapa tinjauan empiris yang relevan dengan permasalahan yang diangkat dan menambah kajian lebih baik. Penelitian yang dilakukan oleh Alfirman dan Sutriono (2006), bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan timbal balik antara pengeluaran pemerintah dan Produk Domestik Bruto (PDB) di Indonesia periode 1970-2003. Metode yang dipakai adalah Granger Causality dan Vector Autoregression (VAR) dengan memperlakukan kedua variabel sebagai variabel endogen. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan kausalitas antara total pengeluaran pemerintah dengan Produk Domestik Bruto (PDB). Pengeluaran rutin tidak signifikan mempengaruhi Produk Domestik Bruto (PDB) karena lebih bersifat konsumtif dan tidak produktif serta sebagian besar bersifat kontraktif seperti belanja untuk pembayaran bunga utang. Sementara pengeluaran pembangunan memiliki hubungan kausalitas positif dan signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Hal ini dapat dijelaskan oleh pengaruh positif pengeluaran sektor pertanian, infrastruktur dan transportasi serta pendidikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan pengaruh positif perubahan Produk Domestik Bruto (PDB) terhadap pengeluaran pemerintah di sektor infrastruktur dan transportasi. Penelitian Syaibani (2005) yang bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pengeluaran
pemerintah
pusat
maupun
pengeluaran
pemerintah
daerah
35
mempengaruhi pembangunan ekonomi, dengan menggunakan data pengeluaran pemerintah di semua propinsi di Indonesia dari tahun 2001-2003. Metode analisisnya menggunakan model-model ekonometrik. Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa pengeluaran pemerintah memiliki pengaruh yang positif terhadap
pertumbuhan
ekonomi.
Pengeluaran
pemerintah
daerah
lebih
berpengaruh dibanding pengeluaran pemerintah pusat. Selain itu pengeluaran pemerintah pusat mempunyai pengaruh terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Kharisma (2006) yang melakukan penelitian dengan tujuan mengetahui pengaruh anggaran pemerintah daerah dari sisi penerimaan dan pengeluaran terhadap pertumbuhan ekonomi daerah propinsi di Indonesia. Penelitian yang menggunakan data sekunder dari 26 propinsi di Indonesia selama periode 19952004 yang diestimasi dengan menggunakan model ekonometrik data panel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelum pelaksanaan desentralisasi selama periode 1995-2000, peran anggaran pemerintah daerah dari sisi penerimaan dan pengeluaran terhadap pertumbuhan berpengaruh negatif, baik di Jawa maupun luar jawa. Sedang kurun waktu 2001-2004, peran anggaran Pemerintah daerah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi melalui sisi pengeluaran lebih besar dibandingkan sisi penerimaan, baik di Jawa maupun luar Jawa. Di era desentralisasi
peran
PAD
terhadap
pertumbuhan
ekonomi
mengalami
peningkatan, walaupun masih di bawah dana perimbangan. Selain itu selama masa era desentralisasi, peran anggaran pemerintah daerah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pengeluaran pembangunan maupun pengeluaran rutin mengalami peningkatan dibandingkan era sebelumnya. Landiyanto (2005) dalam penelitiannya yang bertujuan untuk melihat kinerja keuangan daerah kota surabaya, dengan menggunakan metode eksploratif yang diperkuat dengan melihat tingkat kemandirian keuangan dan derajat desentralisasi. Data yang digunakan adalah data yang berasal dari Kota Surabaya tahun 1998-2002 menunjukkan bahwa Kota Surabaya masih memiliki ketergantungan pada pemerintah pusat, yang disebabkan belum optimalnya penerimaan dari pendapatan Asli daerah Kota Surabaya. Sehingga perlu di cari alternatif-alternatif untuk meningkatkan PAD.
36
Wang (2007) dalam penelitiannya yang bertujuan untuk melihat keterkaitan antara pengeluaran pemerintah, pengangguran, dan pertumbuhan ekonomi menggunakan dengan metode VAR dengan data dari 20 negara selama kurun waktu 1970-1999. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan jangka panjang antara ketiga variabel tersebut, sedang dalam jangka pendek tidak terlihat. Sedangkan perbedaan tipe pemerintahan akan mempunyai dampak yang berbeda terhadap pertumbuhan dan pengangguran. Loizides dan Vamvoukas (2008) melakukan penelitian untuk mencari hubungan antara proporsi belanja pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi dengan dimodifikasi tambahan inflasi dan pengangguran dengan metode Trivariate Causality Testing. Dengan menggunakan sampel 3 negara yaitu Yunani, Irlandia, Inggris yang mewakili Negara berkembang dan maju selama kurun waktu 1960-1995. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dengan metode yang sama, karena kondisi negara yang berbeda ternyata memberikan hasil yang berbeda antara negara berkembang dan maju. Sehingga dapat dikatakan kondisi serta sejarah suatu negara/daerah sangat mempengaruhi dalam hubungan alokasi belanja pemerintah dan pertumbuhan ekonomi yang dihubungkan dengan inflasi dan tingkat penggangguran.
2.3 Kerangka Pemikiran Pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1999 yang diperbaharui dengan UU No. 33 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan UU No. 25 tahun 1999
yang
diperbaharui dengan UU No. 34 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah merupakan langkah strategis dalam pengaturan desentralisasi fiskal bagi pemerintah daerah. Desentralisasi fiskal merupakan inti dari desentralisasi itu sendiri karena pemberian kewenangan di bidang politik maupun administrasi tanpa dibarengi dengan desentralisasi fiskal merupakan desentralisasi yang sia-sia, sebab untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab serta tugas-tugas pelayanan publik tanpa dibarengi wewenang baik penerimaan maupun pengeluaran desentralisasi tidak akan efektif. Desentralisasi akan memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menggali potensi daerah dan memperoleh transfer dari pusat dalam rangka keseimbangan fiskal. Selain itu,
37
pemerintah daerah juga diberi kewenangan untuk menentukan alokasi pengeluaran yang dikaitkan dengan tugas dan fungsi pemerintah daerah untuk menyediakan barang dan jasa publik, yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Desentralisasi fiskal adalah pendelegasian tanggung jawab dan pembagian kekuasaan dan kewenangan untuk mengambil keputusan di bidang fiskal yang meliputi aspek penerimaan maupun aspek pengeluaran. Dengan adanya perubahan mendasar pada peraturan perundangan mengenai pelaksanaan pemerintahan di daerah tentunya harus diiringi dengan perubahan tentang ketentuan dan tata cara pengelolaan keuangan daerah. Hal ini dilakukan dengan harapan dapat mengharmonisasikan pengelolaan keuangan daerah baik antara pemerintah dengan pemerintah daerah, pemerintah daerah dengan DPRD dan pemerintah daerah dengan masyarakat (Halim, 2007). Dengan demikian, daerah dapat mewujudkan pengelolaan keuangan secara efektif dan efsien serta dapat mewujudkan tata pemerinah yang baik. Agar pelaksanaan desentralisasi fiskal dan pengelolaan keuangan dapat berjalan dengan baik, maka diperlukan adanya manajemen yang baik dengan memperhatikan asas-asas umum dalam kebijakan keuangan negara dan keuangan daerah. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa pelaksanaan desentralisasi fiskal mempunyai tujuan utama untuk mendukung pendanaan atas urusan-urusan yang telah diserahkan di daerah, agar dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik sehingga diharapkan dapat memberikan kesempatan bagi daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sehingga pada gilirannya akan mendorong perkembangan ekonomi melalui pembangunan ekonomi. Hal itu dapat ditunjukkan dengan semakin membaiknya nilai indikator-indikator yang menunjukkan keberhasilan pembangunan ekonomi suatu daerah. Oleh karenanya pelaksanaan desentralisasi fiskal diharapkan mampu memberikan dampak positif pada pelaksanaan pembangunan ekonomi dan dapat mengurangi kesenjangan pembangunan antar daerah. Hal ini dikarenakan desain alokasi dana dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah juga memperhatikan keberhasilan pembangunan ekonomi suatu daerah pada masa
38
sebelumnya melalui indikator-indikator yang ada yaitu pertumbuhan ekonomi, tingkat kemiskinan, pengangguran, dan IPM. Sehingga dapat dikatakan ada hubungan yang erat antara pengelolaan keuangan daerah dan pembangunan ekonomi di era desentralisasi. Berdasarkan kerangka pemikiran di atas maka dapat disusun diagram alur kerangka pemikiran dari Analisis Pengelolaan Keuangan Daerah dan Dampaknya terhadap Pembangunan Ekonomi Provinsi Jawa Timur yang ditunjukkan pada Gambar 5.
UU No 32 dan 33 Tahun 2004
Desentralisasi Fiskal
Penerimaan Daerah (PAD, Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah, Lain-lain yang sah)
Pengeluaran Daerah (Belanja , Pembiayaan)
Pengelolaan Kuangan Daerah Analisis penerimaan Keuangan Daerah Analisis Pengeluaran Keuangan Daerah
Pembangunan Ekonomi (PDRB, IPM, Persentase Penduduk miskin, Kesenjangan Pembangunan )
Rekomendasi Kebijakan atas Hasil Penelitian Gambar 5 Diagram alur kerangka pemikiran.
39
2.4 Hipotesis Penelitian Adanya desentralisasi fiskal yang berdampak pada perubahan pengelolaan keuangan daerah diharapkan dapat meningkatkan kemandirian daerah serta peran anggaran pemerintah dalam pembangunan ekonomi suatu daerah baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini disebabkan karena : 1. Ada beberapa daerah yang mengalami kemajuan dalam hal kemandirian keuangan daerah, namun ada juga
beberapa daerah yang masih sangat
tergantung pada pemerintah pusat. 2. Ada beberapa daerah yang mengalami kemajuan pembangunan ekonomi yang sangat pesat di era desentralisasi fiskal. 3. Alokasi belanja daerah mempengaruhi tingkat keberhasilan pelaksanaan pembangunan ekonomi daerah.