TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Desentralisasi dan Implementasinya Sistem desentralisasi pada pemerintahan di suatu negara merupakan wujud pencerminan demokratisasi di negara tersebut. Menurut Arzaghi dan Henderson (2004), sistem desentralisasi berbanding lurus dengan perkembangan kondisi demokratisasi suatu negara. Hal ini berarti bahwa semakin terdesentralisasi kebijakan fiskal suatu sistem pemerintahan akan semakin tumbuh demokratisasi di negara tersebut. Di Indonesia, sistem desentralisasi diatur dalam UndangUndang No. 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Pada Pasal 1 Ayat 7 dalam undang-undang ini disebutkan bahwa “desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Sedangkan definisi daerah otonom menurut undang-undang ini
dalam Pasal 1 Ayat 6 adalah “daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Menurut Oates dalam Arzaghi dan Henderson (2004), faktor yang mempengaruhi terjadinya desentralisasi di suatu negara adalah: Pertama, pendapatan per kapita dan pengeluaran publik yang naik secara tidak proporsional, sehingga menimbulkan tekanan adanya desentralisasi fiskal. Kedua, ukuran negara, dalam hal ini semakin besar/luas suatu negara, pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah pusat semakin terbatas, karena biaya transportasi lebih tinggi, keterbatasan informasi, dan kekurangan perhatian dari pusat ke daerah terutama daerah pedalaman terkait tuntutan dengan latar belakang etnis yang berbeda dan preferensi, menimbulkan tekanan adanya desentralisasi fiskal. Menurut Oates, pemerintahan yang memiliki kontrol geografis yang paling terjangkau publik adalah yang paling efisien dalam menyelenggarakan pelayanan publik, karena:
31
1.
Pemerintah
daerah
tersebut
yang
paling
memahami
kebutuhan
masyarakatnya; 2.
Keputusan pemerintah daerah tersebut yang paling responsif terhadap kebutuhan masyarakat, sehingga mendorong pemerintah daerah untuk melakukan efisiensi dalam penggunaan dana yang berasal dari masyarakat;
3.
Mengurangi tumpangtindih kewenangan;
4.
Persaingan antar daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya akan mendorong pemerintah daerah untuk meningkatkan inovasinya. Di era desentralisasi saat ini, realisasi penyelenggaraan pelayanan publik
oleh pemerintah daerah yang ditujukan bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat daerah, masih dalam proses perbaikan secara bertahap. Penyusunan perencanaan dan implementasi program layanan publik bagi masyarakat lebih banyak dibebankan pada peran Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dibandingkan pada peran pemerintah berdasarkan struktur pemerintahan yang ada, terutama di tingkat kecamatan dan desa. Hal ini tentu saja membawa konsekuensi pada alokasi pembiayaan pembangunan yang lebih besar di SKPD dibandingkan pada pemerintahan ditingkat kecamatan dan desa di daerah tersebut, padahal pemerintahan di tingkat tersebut yang paling mengetahui kebutuhan akan masyarakat diwilayahnya. Di instansi pemerintahan daerah (SKPD), alokasi pengeluaran publik masih lebih banyak untuk belanja tidak langsung, terutama belanja pegawai, dibandingkan untuk belanja langsung yang ditujukan bagi pembiayaan pembangunan daerah. Dana anggaran belanja pemerintah daerah ditetapkan lebih besar dibandingkan pendapatannya, sehingga menyebabkan defisit anggaran pada pemerintahan daerah tersebut. Padahal bila dilihat dari peruntukannya di atas menunjukkan bahwa pengeluaran publik yang dilakukan pemerintah daerah belum secara efisien dan efektif digunakan bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat dan pembangunan ekonomi daerah.
32
2.2. Urusan Pemerintahan Daerah Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, dalam Pasal 13 dan 14; serta Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan, dalam Pasal 7 Ayat 2 dan 4, telah mengatur pembagian urusan wajib dan pilihan bagi pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Tabel 1 menunjukkan bahwa urusan pemerintahan wajib dan pilihan baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota relatif sama, yang membedakannya adalah pemerintah provinsi memiliki fungsi pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten/kota.
Penjelasan
Peraturan
Pemerintah
No.
38
Tahun 2007
menyebutkan bahwa secara proporsional pembagian urusan antara pemerintah pusat, pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi. Penggunaan ketiga kriteria tersebut diterapkan secara kumulatif sebagai satu kesatuan dengan mempertimbangkan keserasian dan keadilan hubungan antar tingkatan dan susunan pemerintahan: 1.
Eksternalitas adalah kriteria pembagian urusan pemerintahan dengan memperhatikan dampak yang timbul sebagai akibat dari penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan pemerintahan daerah kabupaten/kota. Sedangkan apabila dampaknya bersifat lintas kabupaten/kota dan/atau regional maka urusan pemerintahan itu menjadi kewenangan pemerintahan provinsi; dan apabila dampaknya bersifat lintas provinsi dan/atau nasional, maka urusan itu menjadi kewenangan pemerintah pusat.
2.
Akuntabilitas adalah kriteria pembagian urusan pemerintahan dengan memperhatikan pertanggungjawaban pemerintah pusat, pemerintahan daerah provinsi, dan pemerintahan daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tertentu kepada masyarakat. Akuntabilitas dimaksudkan untuk mencegah terjadinya tumpang tindih pengakuan atau klaim atas dampak yang timbul dari penyelenggaraan urusan pemerintahan. Apabila dampak penyelenggaraan bagian urusan pemerintahan secara langsung hanya dialami secara lokal (satu kabupaten/kota), maka pemerintahan daerah
33
kabupaten/kota
bertanggungjawab
mengatur
dan
mengurus
urusan
pemerintahan tersebut. Sedangkan apabila dampak penyelenggaraan bagian urusan pemerintahan secara langsung dialami oleh lebih dari satu kabupaten/kota dalam satu provinsi, maka pemerintahan daerah provinsi yang bersangkutan
bertanggung
jawab
mengatur
dan
mengurus
urusan
pemerintahan tersebut; dan apabila dampak penyelenggaraan urusan pemerintahan dialami lebih dari satu provinsi dan/atau bersifat nasional maka pemerintah pusat bertanggung jawab untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dimaksud. 3.
Efisiensi
adalah
memperhatikan
kriteria daya
pembagian
guna
tertinggi
urusan yang
pemerintahan dapat
dengan
diperoleh
dari
penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan agar sedapat mungkin mencapai skala ekonomis. Apabila urusan pemerintahan lebih berdayaguna ditangani pemerintahan daerah kabupaten/kota, maka diserahkan kepada pemerintahan daerah kabupaten/kota, sedangkan apabila akan lebih berdayaguna bila ditangani
pemerintahan
daerah
provinsi,
maka
diserahkan
kepada
pemerintahan daerah provinsi. Sebaliknya apabila suatu urusan pemerintahan akan berdayaguna bila ditangani pemerintah pusat maka akan tetap menjadi kewenangan pemerintah pusat. Menurut Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007, urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintahan daerah yang terkait dengan pelayanan dasar (basic services) bagi masyarakat, seperti pendidikan dasar, kesehatan, lingkungan hidup, perhubungan, kependudukan dan sebagainya. Urusan pemerintahan yang bersifat pilihan adalah urusan pemerintahan yang diprioritaskan oleh pemerintahan daerah untuk diselenggarakan yang terkait dengan upaya mengembangkan potensi unggulan (core competence) yang menjadi kekhasan daerah. Urusan pemerintahan di luar urusan wajib dan urusan pilihan yang diselenggarakan oleh pemerintahan daerah, sepanjang menjadi kewenangan daerah yang bersangkutan tetap harus diselenggarakan oleh pemerintahan daerah yang bersangkutan.
Namun,
mengingat terbatasnya sumber daya dan sumber dana yang dimiliki oleh daerah,
34
maka prioritas penyelenggaraan urusan pemerintahan difokuskan pada urusan wajib dan urusan pilihan yang benar-benar mengarah pada penciptaan kesejahteraan masyarakat disesuaikan dengan kondisi, potensi, dan kekhasan daerah yang bersangkutan (lihat Tabel 1). Tabel 1 Pembagian Urusan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota Urusan
Provinsi
Kabupaten/Kota
Urusan
1. perencanaan dan pengendalian pembangunan; 2. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; 3. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; 4. penyediaan sarana dan prasarana umum; 5. penanganan bidang kesehatan; 6. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial; 7. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota; 8. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota; 9. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota; 10. pengendalian lingkungan hidup; 11. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota; 12. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; 13. pelayanan administrasi umum pemerintahan; 14. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota; 15. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota ; dan 16. Urusan wajib lainnya.
1. perencanaan dan pengendalian pembangunan; 2. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; 3. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; 4. penyediaan sarana dan prasarana umum; 5. penanganan bidang kesehatan; 6. penyelenggaraan pendidikan; 7. penanggulangan masalah sosial; 8. pelayanan bidang ketenagakerjaan; 9. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; 10. pengendalian lingkungan hidup; 11. pelayanan pertanahan; 12. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; 13. pelayanan administrasi umum pemerintahan; 14. pelayanan administrasi penanaman modal; 15. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan 16. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Meliputi: 1. kelautan dan perikanan; 2. pertanian; 3. kehutanan; 4. energi dan sumber daya mineral; 5. pariwisata; 6. industri; 7. perdagangan; dan 8. ketransmigrasian.
Urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Meliputi: 1. kelautan dan perikanan; 2. pertanian; 3. kehutanan; 4. energi dan sumber daya mineral; 5. pariwisata; 6. industri; 7. perdagangan; dan 8. ketransmigrasian.
Wajib
Urusan Pilihan
Sumber: UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No.38 Tahun 2007 Pasal 7 Ayat 2 dan 4
35
Sistem desentralisasi berdasarkan struktur pemerintahan di daerah hanya ditetapkan pada tingkat pemerintahan daerah kabupaten/kota. Bila didasarkan pada definisi daerah otonom menurut Undang-Undang No.32 Tahun 2004 pada Pasal 1 Ayat 6 yang menyebutkan bahwa “daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Pernyataan di atas mengindikasikan
bahwa
pemerintahan
daerah
kabupaten/kota
merupakan
pemerintahan yang paling dekat dalam memberikan pelayanan publik bagi masyarakat-nya melalui penyelenggaraan urusan wajib dan pilihan.
2.3. Konsep dan Proses Perencanaan Pembangunan Perencanaan merupakan salah satu dari empat fungsi manajemen yang saling terkait satu sama lain. Kesalahan dalam penyusunan perencanaan pembangunan akan berdampak pada kesalahan dalam mengimplementasikan perencanaan tersebut dan pada akhirnya menimbulkan inefisiensi dalam pemanfaatan pengeluaran publik. Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengendalian dan Evalusi Pelaksanaan Rencana Pembangunan, dalam Pasal 1 Ayat 4 menyebutkan bahwa perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia.
Sedangkan Tjokroamidjojo (1995) menyebutkan
bahwa perencanaan adalah suatu cara bagaimana mencapai tujuan maksimal (maximum output) dengan penggunaan sumber-sumber yang ada secara lebih efisien dan efektif. Terdapat 5 (lima) hal pokok yang perlu diketahui dalam perencanaan ataupun perencanaan pembangunan, yaitu: 1.
Permasalahan-permasalahan pembangunan suatu negara/masyarakat yang dikaitkan dengan sumber-sumber pembangunan yang dapat diusahakan, dalam hal ini sumber-sumber daya ekonomi dan sumber-sumber daya lainnya.
2.
Tujuan serta sasaran yang ingin dicapai. 36
3.
Kebijaksanaan dan cara untuk mencapai tujuan dan sasaran rencana dengan melihat penggunaan sumber-sumbernya dan pemilihan alternatif-alternatifnya yang terbaik.
4.
Penterjemahan dalam program-program atau kegiatan-kegiatan usaha yang konkrit.
5.
Jangka waktu pencapaian tujuan.
Menurut Wiroatmodjo (2001), perencanaan memiliki kedudukan penting di dalam pembangunan daerah. Perencanaan yang baik menjadikan kegiatan pembangunan daerah: 1.
Dilaksanakan secara sistematis, terarah sesuai dengan tujuan pembangunan dan berkelanjutan.
2.
Lebih efisien di dalam penggunaan dana, tenaga dan sumberdaya yang lain pada setiap kegiatan.
3.
Lebih tepat guna bagi peningkatan kesejahteraan daerah dan pemeliharaan lingkungan serta sumber daya yang lain untuk tetap mendukung kesejahteraan.
4.
Memiliki dasar-dasar untuk pelaksanaan, pengendalian dan pengawasan.
5.
Memiliki sarana untuk mencatat dan menilai pelaksanaan dan manfaat kegiatan pembangunan daerah.
Berdasarkan Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, sistem perencanaan pembangunan nasional adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara pemerintahan di pusat dan daerah dengan melibatkan masyarakat. Setiap pemerintah daerah diwajibkan menyusun rencana pembangunan yang sistematis, terarah, terpadu dan berkelanjutan dengan mempertimbangkan keunggulan komparatif wilayah dan kemampuan sumberdaya keuangan daerah. Beberapa dokumen perencanaan yang diamanatkan dalam undang-undang tersebut untuk segera disusun dalam rangka menyelenggarakan pembangunan daerahnya, mencakup: (i) Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), (ii) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD);
37
(iii) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra- SKPD), (iv) Rencana Pembangunan Tahunan Daerah atau Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), dan (v) Rencana Pembangunan Tahunan Satuan Kerja Perangkat Daerah atau Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja-SKPD). Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) adalah dokumen perencanaan untuk periode 20 tahun yang mencakup visi, misi dan arah pembangunan jangka panjang daerah yang mengacu pada RPJP Provinsi dan PRJP Nasional. Sedangkan RPJMD adalah dokumen perencanaan untuk periode lima tahun yang meliputi penjabaran visi, misi, dan program kerja kepala daerah selama lima tahun masa jabatannya (Berita Daerah Kota Bogor, 2009). Secara detail alur proses penyusunan perencanaan dapat dilihat pada Gambar 6 dibawah.
UU No. 25 Tahun 2004
UU No. 17 Tahun 2003
Sumber: Hariyoga, 2010
Gambar 6 Alur Proses Penyusunan Perencanaan Pembangunan Nasional dan Daerah
38
2.4. Konsep Sinergi Perencanaan Sinergi berasal dari kata yunani yang berarti “synergos”, yaitu bekerja bersamasama dalam rangka untuk mencapai tujuan secara maksimal. Hal ini berarti, antar organisasi dalam suatu komunitas harus mempunyai perasaan harmoni dengan pihak lainnya sehingga memungkinkan untuk bekerja secara bersama-sama dalam menghadapi perubahan lingkungan dimana energi yang dipakai bersifat efisien. Syarat utama terciptanya sinergi adalah: kepercayaan, komunikasi yang efektif, feedback yang cepat, dan kreatifitas. Empat syarat tersebut, menjadi ciri gaya manajemen sinergi6. Menurut Penrose dalam Iversen (1997), menyebutkan bahwa sinergi adalah kerjasama khususnya dalam berbagi (sharing) manajerial sumber daya, yang membawa akibat pada dua hal, yaitu pengurangan pengelolaan sumberdaya secara sendiri-sendiri dan adanya transfer kelebihan (transfer of excess) sumber daya, dalam hal ini berkaitan dengan upaya untuk mendorong efisiensi alokasi sumberdaya. Pendapat dari Penrose tersebut, kemudian dipertegas oleh Porter dalam Iversen (1997) yang menyebutkan bahwa “sharing” dalam konteks sinergi berpotensi untuk mengurangi biaya, bila biaya dari suatu kegiatan berkaitan dengan dua hal, yaitu skala ekonomi dan kapabilitas pemanfaatannya. Menurut Covey (2008), salah satu dari 7 kebiasaan yang efektif adalah “mewujudkan sinergi”. Sinergi adalah hasil dari sikap saling menghargai — sikap memahami dan bahkan memanfaatkan perbedaan-perbedaan yang ada dalam mengatasi masalah, memanfaatkan peluang. Sinergi lebih dari sekedar kompromi atau kerjasama. Bila diartikan bahwa kompromi adalah 1 + 1 = 1½, kerjasama adalah 1 + 1 = 2, maka sinergi adalah 1 + 1 = 3 atau lebih. Sinergi adalah kerjasama yang kreatif, yang hasilnya lebih besar daripada bila dilaksanakan secara sendiri-sendiri oleh suatu organisasi. Sedangkan menurut Prahalad dalam Kersanah (2004) menyebutkan bahwa hasil dari sinergi adalah peningkatan nilai tambah ekonomis melalui penggabungan berbagai potensi ekonomi yang antara satu dengan lainnya ada keterkaitan atau ketergantungan. Selain itu menurut Prahalad, sinergi merupakan suatu fenomena dengan sebuah program atau produk 6
http://id.shvoong.com/business-management/management/1658535-sinergi-style-management/. 10/8/2011.
39
yang hanya dapat dibangun oleh dua atau lebih kapabilitas. Program atau produk tersebut tidak dapat terbangun bila hanya mengandalkan pada masing-masing kapabilitas saja. Menurut Goold dan Chambel dalam Kersanah (2004), terdapat tiga gaya sinergi manajerial, yaitu: 1.
Gaya kontrol finansial dengan pendekatan portofolio bertujuan untuk mendorong melakukan inovasi secara terus menerus dalam rangka upaya untuk mengurangi biaya secara keseluruhan, dan efisiensi. Gaya sinergi ini memiliki ciri-ciri antara lain adalah: (i) ketat mengontrol finansial walaupun memiliki level yang rendah pada perencanaan di masing-masing unit kerja atau usaha, (ii) dalam jangka pendek mensyaratkan pencapaian keuntungan tertentu; (iii) mengontrol keuangan dengan derajat pengawasan yang tinggi. Berdasarkan ciri-ciri di atas dapat dinyatakan bahwa strategi sinergi dengan pendekatan finansial adalah mengutamakan keseimbangan portofolio.
2.
Gaya kontrol strategi dengan pendekatan jejaring dimaksudkan untuk membantu dalam melakukan tahapan kegiatan inovasi. Gaya sinergi ini memiliki ciri-ciri antara lain adalah: (i) aktif terlibat dalam menyusun perencanaan pada masing-masing unit kerja atau usaha; (ii) fleksibel memberi kesempatan pada masing-masing unit usaha untuk membangun strategi secara mandiri; (iii) aturan yang berasal dari organisasi dibangun berdasarkan perencanaan dari masing-masing unit kerja atau usaha; (4) ketat dalam mengontrol hasil dari kegiatan sinergi.
3.
Gaya strategi perencanaan dengan pendekatan kompetensi inti adalah dimaksudkan untuk mendorong tahapan kegiatan inovasi melalui pencarian (scanning) potensi
inovasi,
pengembangan
potensi tersebut dengan
membangun strategi sampai pada tahap implementasinya. Cara yang dapat dilakukan adalah mengintegrasikan kompetensi yang berbeda-beda dari masing-masing unit kerja yang memiliki keterkaitan kuat. Hasil integrasi tersebut membangun kompetensi inti organisasi yang pada akhirnya membangun produk-produk inti yang inovatif dan berkembang menjadi usaha-usaha unggulan. Tipe gaya ini memiliki beberapa ciri-ciri, yaitu (i) keterlibatan manajemen di level pengambil keputusan dalam membangun
40
strategi di masing-masing unit kerja; (ii) secara teratur mereview setiap perencanaan; (iii) koordinasi antar unit kerja atau usaha; (iv) proses kooperatif; dan (v) perencanaan yang fleksibel. Menurut Millan dalam Kersanah (2004), kompetensi inti memiliki beberapa karakter inovasi, yaitu: (i) diperlukan untuk kelangsungan pembangunan dari organisasi dalam jangka pendek maupun jangka panjang; (ii) merupakan hasil sinergi dari keahlian, sumberdaya, dan fungsi organisasi yang berbeda, (iii) lebih terintegrasi dibandingkan bila dibangun oleh hanya satu unit kerja saja; (iv) digunakan untuk mengembangkan strategi implementasi dalam membangun produk inti; (v) mampu membantu dalam memilih strategi organisasi yang tepat; (vi) memenuhi keinginan pasar. Menurut peneliti dalam konteks pembangunan daerah, karakter inovasi dari pendekatan kompetensi inti yang terkait dengan pengembangan produk inti adalah bermanfaat untuk menjembatani antara kebutuhan sektor swasta dan perencanaan pembangunan yang disusun oleh pemerintah daerah. Peraturan Presiden (Perpres) No. 28 Tahun 2008 Tentang Kebijakan Industri Nasional (KIN) telah mengamanatkan bahwa strategi operasional pembangunan daya saing industri yang berkelanjutan terdiri dari 2 (dua) pendekatan dalam perencanaan pembangunan industri, yaitu pertama, pendekatan top down (by design) ditentukan secara nasional yaitu 35 industri prioritas dengan pendekatan klaster. Kedua, melalui pendekatan perencanaan secara bottom up yaitu melalui penetapan kompetensi inti yang didasarkan potensi yang dimiliki daerah dan merupakan keunggulan daerah sehingga daerah memiliki daya saing. Dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dan b pada Perpres tersebut menyebutkan bahwa: “a. Pemerintah Provinsi menyusun peta panduan pengembangan industri unggulan provinsi; dan b. Pemerintah Kabupaten Kota menyusun peta panduan pengembangan kompetensi inti industri kabupaten/kota”. Peraturan Presiden di atas,
sayangnya
hanya
difokuskan
untuk
pengembangan
perencanaan
pembangunan industri, padahal perencanaan pembangunan yang berbasis kompetensi inti lebih bersifat lintas sektoral. Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, dalam Pasal 33 Ayat 1 menyebutkan bahwa Rencana Kerja Pemerintah 41
Daerah (RKPD) yang disusun untuk menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan.
Namun, dalam
peraturan pemerintah tersebut dan Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional belum secara jelas mengatur keterkaitan (sinergi) perencanaan pembangunan antar instansi pemerintah daerah. Sehingga menyebabkan masing-masing instansi daerah menyusun Renstra SKPD maupun Renja-nya menurut kepentingan masing-masing tanpa mengedepankan perencanaan permbangunan daerah yang berkelanjutan. Menurut peneliti, Perencanaan pembangunan yang berkelanjutan adalah perencanaan yang mengedepankan sinergi atau keterkaitan antar perencanaan di instansi pemerintahan daerah dalam rangka meningkatkan produktivitas sumberdaya unggulan yang dimiliki daerah.
Undang-Undang No. 25 Tahun 2004, hanya
secara jelas mengatur keterkaitan perencanaan pembangunan secara vertikal, namun belum mengatur keterkaitan atau sinergi perencanaan pembangunan secara horisontal antar instansi pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah. Pada proses penganggaran, masing-masing instansi dengan argumentasi yang telah disiapkan tanpa mengedepankan prinsip sinergi dan efisiensi, berusaha untuk memperjuangkan perencanaannya agar disetujui untuk didanai lebih besar sesuai keinginannya. Namun pada kenyataannya setelah disetujui, dana yang sudah dianggarkan pada instansi tersebut tidak terserap secara optimal, dan yang mengkhawatirkan adalah indikator kinerjanya pun tidak tercapai. Peraturan Presiden No. 29 Tahun 2011 Tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2012 dalam Bab IX menunjukkan bahwa sinergi perencanaan yang diarahkan pemerintah hanya difokuskan pada sinergi antara pusat dan daerah, dan antar daerah pada seluruh proses, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi yang mencakup: (i) sinergi kerangka perencanaan kebijakan, (ii) sinergi dalam regulasi, (iii) sinergi dalam kerangka anggaran, sinergi kerangka kelembagaan, dan (iv) sinergi dalam kerangka pengembangan wilayah. Selain itu, dalam Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 050/200/II/Bangda/2008
Tentang
Pedoman
Penyusunan
Rencana
Kerja
Pembangunan Daerah (RKPD), juga hanya mengatur bahwa sinergi perencanaan RKPD harus memuat hal-hal sebagai berikut: (i) sinergi antara RKP dan RENJA
42
K/L; (ii) konsistensi antara RPJMD dan RPJPD; (iii) sinergi dengan RTRWD; (iv) penanganan masalah dengan pendekatan holistik dan pendekatan sistem; dan (v) sinergi dan komitmen pemerintah terhadap tujuan-tujuan pembangunan global seperti Millenium Development Goals (MDGs), Sustainable Development, pemenuhan Hak Asasi Manusia, pemenuhan standar pelayanan minimal (SPM). Sinergi perencanaan antar unit-unit kerja (SKPD) dalam organisasi pemerintahan belum diatur secara jelas baik dalam undang-undang perencanaan yang ada maupun dalam peraturan turunannya, sehingga perencanaan pembangunan daerah di masing-masing unit kerja (SKPD) belum bersinergi secara memadai.
2.5. Pengukuran Kinerja Pengertian kinerja dalam organisasi adalah jawaban dari berhasil atau tidaknya tujuan organisasi yang telah ditetapkan7. Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, dalam Pasal 1 Ayat 35 dan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2006 Tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah, Pasal 1 Ayat 2 menyebutkan bahwa kinerja adalah keluaran/hasil dari kegiatan/program yang akan atau telah dicapai sehubungan dengan penggunaan anggaran dengan kuantitas dan kualitas yang terukur. Menurut Kane and Johnson dalam Solihin (2008), kinerja adalah hasil (outcome) dari kerja keras organisasi dalam mewujudkan tujuan strategi yang ditetapkan organisasi, kepuasan pelanggan serta kontribusinya terhadap perkembangan ekonomi masyarakat. Sependapat dengan pernyataan di atas dan ditegaskan oleh Poister (2003) bahwa keluaran (output) merupakan implikasi dari kegiatan yang dilakukan, sedangkan hasil (outcome) adalah perolehan yang timbul dari output yang ada untuk menunjukkan efektifitas dari program yang dilaksanakan tersebut, dengan kata lain outcome digunakan untuk mengukur keberhasilan dari pelaksanaan program. Dalam hal ini, indikator outcome merupakan data atau informasi yang sangat diperlukan untuk mengukur kinerja dari suatu organisasi. Manfaat pengukuran kinerja adalah sebagai bahan informasi bagi pengambil keputusan dan pembuat kebijakan dalam rangka memperbaiki 7
http://id.wikipedia.org/wiki/Kinerja. 5/3/2011.
43
kinerjanya dengan harapan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan, dalam Pasal 1 Ayat 23 dan 24 menyebutkan bahwa keluaran (output) adalah barang atau jasa yang dihasilkan oleh kegiatan yang dilaksanakan untuk mendukung pencapaian sasaran dan tujuan program dan kebijakan, sedangkan hasil (outcome) adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran dari kegiatan-kegiatan dalam satu program. Ketentuan umum dalam Peraturan pemerintah ini belum secara jelas mengatur bahwa outcome adalah untuk menilai pencapaian sasaran dan tujuan program dan kebijakan. Perencanaan kinerja adalah aktivitas analisis dan pengambilan keputusan ke depan untuk menetapkan tingkat kinerja yang diinginkan di masa mendatang. Pada prinsipnya perencanaan kinerja merupakan penetapan tingkat capaian kinerja yang dinyatakan dengan ukuran kinerja atau indikator kinerja dalam rangka mencapai sasaran atau target yang telah ditetapkan. Perencanaan merupakan komponen kunci untuk lebih mengefektifkan dan mengefisienkan pemerintah daerah. Sedangkan perencanaan kinerja membantu pemerintah untuk mencapai tujuan yang sudah diidentifikasikan dalam rencana strategi, termasuk didalamnya pembuatan target kinerja dengan menggunakan ukuran-ukuran kinerja (BPKP, 2005). Dalam hal ini, pengukuran kinerja tidak dapat dilepaskan dari suatu indikator. Menurut Green dalam Solihin (2008), indikator adalah variabel-variabel yang mengindikasikan atau memberi petunjuk tentang suatu keadaan tertentu, sehingga dapat digunakan untuk mengukur perubahan. Indikator kinerja merupakan suatu tolak ukur yang dapat digunakan untuk mengindikasikan pencapaian suatu sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya, dengan menggunakan ukuran kualitatif dan kuantitatif. Menurut Solihin (2008), jenis-jenis indikator kinerja yang sesuai dengan proses pengelolaan anggaran, mencakup: indikator masukan, (input), indikator proses, indikator keluaran (output), indikator hasil (outcome), indikator manfaat (benefit), dan indikator dampak (impact). Sedangkan dalam
44
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 73 Tahun 2009 Tentang Tatacara Pelaksanaan Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Pasal 1 Ayat 10 menyebutkan bahwa “indikator kinerja adalah alat ukur spesifik secara kuantitatif yang terdiri dari unsur masukan, proses, keluaran, hasil, manfaat, dan/atau dampak yang menggambarkan tingkat capaian kinerja suatu kegiatan”. Menurut BPKP (2005), jenis-jenis indikator kinerja antara lain adalah: 1. Masukan (input), yaitu sumber daya yang digunakan untuk memberikan pelayanan pemerintah. Indikator masukan meliputi biaya personil, biaya operasional, biaya modal, dan lain-lain yang secara total dituangkan dalam belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, dan belanja modal. Ukuran masukan ini berguna dalam rangka memonitor jumlah sumber daya
yang
digunakan
untuk
mengembangkan,
memelihara
dan
mendistribusikan produk, kegiatan dan atau pelayanan. 2. Keluaran (output), yaitu Produk dari suatu aktivitas/kegiatan yang dihasilkan satuan kerja perangkat daerah yang bersangkutan Indikator keluaran dapat menjadi landasan untuk menilai kemajuan suatu kegiatan apabila target kinerjanya (tolok ukur) dikaitkan dengan sasaran-sasaran kegiatan yang terdefinisi dengan baik dan terukur. Karenanya, indikator keluaran harus sesuai dengan tugas pokok dan fungsi unit organisasi yang bersangkutan. Indikator keluaran (ouput) digunakan untuk memonitor seberapa banyak yang dapat dihasilkan atau disediakan. Indikator tersebut diidentifikasikan dengan banyaknya satuan hasil, produk-produk, tindakan-tindakan. 3. Efisiensi. Ukuran efisiensi biaya berkaitan dengan biaya pada setiap kegiatan/aktivitas, dan menjadi alat dalam membuat ASB (analisa standar biaya) serta menentukan standar biayanya. Ukuran efisiensi merupakan fungsi dari biaya satuan (unit cost) yang membutuhkan alat pembanding dalam mengukurnya. Indikator ini berguna untuk memonitor hubungan antara jumlah yang diproduksi dengan sumber daya yang digunakan. Ukuran efisiensi menunjukkan perbandingan input dan output dan sering diekspresikan dengan rasio atau perbandingan. Mengukur efisiensi dapat dilihat dari dua sisi yaitu biaya yang dikeluarkan per satuan produk (input ke output) atau produk yang dihasilkan per satuan sumber daya (output ke input). Sedangkan sisi lainnya,
45
efisiensi dapat dipandang sebagai produktivitas sumber daya tersebut dalam satuan waktu/unit. 4. Kualitas. Ukuran kualitas digunakan untuk menentukan apakah harapan konsumen sudah dipenuhi. Bentuk harapan tersebut dapat diklasifikasikan dengan: akurasi, memenuhi aturan yang ditentukan, ketepatan waktu, dan kenyamanan. Harapan itu sendiri hasil dari umpan balik lingkungan internal dan eksternal. Perbandingan antara input-output sering digunakan untuk menciptakan ukuran kualitas dan mengidentifikasikan aspek yang pasti perihal pelayanan, produk dan aktivitas yang diproduksi unit kerja yang diperlukan masyarakat. Perbandingan antara output yang spesifik dengan keseluruhan output menciptakan ukuran akurasi, ketepatan waktu, dan aturan tambahan yang diperlukan. 5. Hasil (outcome), Indikator ini menggambarkan hasil nyata dari keluaran (output) suatu kegiatan. Pengukuran indikator hasil seringkali rancu dengan pengukuran indikator output. Sebagai contoh penghitungan “jumlah bibit unggul” yang dihasilkan dari suatu kegiatan merupakan tolok ukur keluaran (output), namun penghitungan “besar produksi per ha” merupakan tolok ukur hasil (outcome). Indikator hasil (outcome) merupakan ukuran kinerja dari program dalam memenuhi sasarannya. Pencapaian sasaran dapat ditentukan dalam satu tahun anggaran, beberapa tahun anggaran, atau periode pemerintahan. Ukuran hasil (outcome) digunakan untuk menentukan seberapa jauh tujuan dari setiap fungsi utama, yang dicapai dari output suatu aktivitas (produk atau jasa pelayanan), telah memenuhi keinginan masyarakat yang dituju. Menurut peneliti, terdapat adanya kesalahan dalam menginterpretasikan indikator kinerja di lingkungan pemerintahan, sehingga menyebabkan penyusunan rencana strategi pembangunan yang ada, terutama di daerah masih memfokuskan pada indikator kinerja pemerintahan yang berorientasi output. Selain itu, jenis-jenis indikator kinerja yang dimaksud oleh pemerintah mempersempit pemahaman dalam menentukan/menyusun indikator kinerja, yaitu untuk mengukur indikator kinerja dapat dilakukan dengan hanya didasarkan pada hubungan input-output yang terkait dengan aspek keuangan, padahal indikator kinerja mempunyai
46
pengertian yang lebih berorentasi pada pengukuran hasil (outcome based). Penjelasan Peraturan Pemerintah No.39 Tahun 2006 menyebutkan bahwa perencanaan yang transparan dan akuntabel harus disertai dengan penyusunan indikator kinerja pelaksanaan rencana yang sekurang-kurangnya meliputi: (i) indikator masukan, (ii) indikator keluaran, dan (iii) indikator hasil/manfaat. Dalam hal ini, bila indikator kinerja dalam perencanaan tidak memenuhi minimal ketiga persyaratan di atas, berarti perencanaan yang ada belum transparan dan akuntabel. Menurut hasil studi pada program LGSP (2009: 3) menyebutkan bahwa “penerapan penyusunan indikator kinerja, selama ini cenderung dipersepsikan hanya pada proses penyusunan anggaran, sehingga dikenal model anggaran berbasis kinerja. Salah kaprah ini harus diluruskan bahwasanya anggaran berbasis kinerja hanyalah subsistem dalam penerapan manajemen kinerja yang diletakkan pada seluruh proses kebijakan publik di pusat maupun di daerah, sejak proses formulasi kebijakan, implementasi kebijakan, tahapan evaluasi dan monitoring hingga pelaksanaan pelaporan”. Pengukuran kinerja digunakan untuk menilai keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan program/kebijakan sesuai dengan sasaran dan tugas yang telah ditetapkan dalam rangka mewujudkan visi dan misi pemerintah daerah (BPKP, 2005).
Sedangkan menurut Poister (2003), pengukuran kinerja adalah
dimaksudkan untuk mencapai tujuan, dalam hal ini informasi yang relevan terkait hasil pengukuran kinerja terhadap pelaksanaan program organisasi sangat diperlukan untuk memperkuat manajemen dan pengambilan keputusan, dalam rangka meningkatkan kinerja organisasi secara keseluruhan, dan meningkatkan akuntabilitas. Menurut Parker (1993) menyebutkan bahwa terdapat lima manfaat adanya pengukuran kinerja suatu entitas pemerintahan, yaitu: (1) Meningkatkan mutu pengambilan keputusan, (2) meningkatkan akuntabilitas internal, (3) meningkatkan akuntabilitas publik, (4) mendukung perencanaan stategi dan penetapan tujuan, dan (5) memungkinkan suatu entitas untuk menentukan penggunaan
sumber
daya
secara
efektif.
Berdasarkan
uraian
di
atas
mengindikasikan bahwa pengukuran kinerja pada pemerintahan daerah sulit dilakukan bila perumusan indikator kinerja (outcome) tidak ditentukan pada tahap
47
perencanaan pembangunan, sehingga pada akhirnya sulit untuk menilai sasaran dan tujuan dari penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah. Gambar 7 menunjukkan bahwa untuk meningkatkan akuntabilitas pemerintahan dalam menyelenggarakan pelayanan publik di daerah tidak hanya dilihat dari aspek keuangannya saja, namun juga harus dilihat dari pencapaian indikator kinerja yang telah ditentukan dalam proses perencanaan pembangunan. Selama ini, pemerintah masih memfokuskan pengukuran akuntabilitas pada aspek keuangannya saja, sedangkan aspek pencapaian indikator kinerja (outcome) mulai dari terukur tidaknya indikator kinerja sampai pada sinergi antar indikator kinerja dalam rangka mencapai visi pembangunan belum menjadi fokus utama untuk menilai akuntabilitas dari penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Accountability Sumber: Smith, 2001
Gambar 7 Framework Desentralisasi
Menurut Smith (2001), penyelenggaraan desentralisasi diharapkan dapat memberikan: 1. Perubahan dalam struktur pengeluaran publik dari pemerintah pusat ke daerah dalam rangka perbaikan pelayanan publik bagi masyarakat, 2. Peningkatan akuntabilitas dan transparansi dalam pengambilan keputusan, 3. Peningkatan kuantitas dan kualitas layanan publik, 4. Peningkatan kesadaran publik untuk memenuhi kewajibannya sebagai konsekuensi menerima kualitas pelayanan publik yang telah memadai, 48
5. Peningkatan pendapatan asli daerah, dan 6. Efisiensi keseluruhan biaya pemerintah. Isu utama saat ini adalah tidak lagi pada besaran dana perimbangan dari pemerintah pusat ke daerah, melainkan yang menjadi isu utama dalam penyelenggaraan desentralisasi adalah penggunaan atau manfaat keuangan negara baik dari dana perimbangan maupun dari PAD (pendapatan asli daerah) itu sendiri di daerah. Dalam hal ini, perencanaan pembangunan daerah merupakan kunci utama dari upaya untuk memanfaatkan keuangan negara dalam rangka untuk mencapai visi pembangunan daerah baik dalam jangka menengah maupun jangka panjang. Apabila perencanaannya kurang baik, dalam arti visinya tidak fokus, programnya tidak sinkron dengan visi yang akan dicapai atau penentuan indikator kinerja (outcome) tidak terukur, maka integrasi perencanaan dan penganggaran menjadi lemah, dimana penetapan plafond anggaran SKPD maupun program tidak terhubungkan dengan penetapan target yang hendak dicapai, yang pada akhirnya kinerja akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan daerah sulit dicapai. Penentuan kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah masih dominan diukur dari aspek keuangannya. Padahal, sebelum mengukur kinerja berdasarkan aspek keuangan, hal yang paling mendasar untuk dinilai terlebih dahulu adalah kinerja perencanaan, yaitu dengan tahapan penilaian antara lain adalah sinkronisasi dan sinergi antar dokumen perencanaan pada tiap instansi pemerintahan daerah, dan indikator kinerja yang disusun adalah berorientasi outcome dan terukur. Menurut hasil studi program LGSP (2009: 4-5) menyebutkan bahwa “cara pandang pemerintah daerah belum berubah sebagaimana era orde baru berkuasa dimana kesuksesan pelaksanaan program/kegiatan mengacu kepada kemampuan menyerap anggaran (input dan output oriented), belum mengacu pada outcome oriented”. Implikasi dari kondisi tersebut adalah: (i) belum diperhatikannya penataan internal hubungan inter dan intra SKPD dalam penyusunan indiktor kinerja, (ii) model laporan kinerja daerah masih cenderung berorientasi pada akuntabilitas vertikal, formalistik dan berorientasi pada laporan penggunaan input fisik; (iii) keterkaitan, sinkronisasi dan harmoni antar dokumen perencanaan pembangunan daerah menjadi terabaikan, dalam hal ini, mengukur keterhubungan antar dokumen perencanaan, termasuk di dalamnya mengevaluasi pencapaian
49
kinerja perencanaan menjadi sulit dilakukan akibat lemahnya indikator, target kinerja serta sasaran yang sangat kualitatif.
2.6. Pengembangan Potensi Unggulan Daerah Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Daerah, dalam Pasal 7 Ayat 3 menyebutkan bahwa urusan pilihan adalah “urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan”. Urusan pilihan pemerintah daerah mengandung dua makna utama, yaitu pengembangan komoditi unggulan daerah dan pengembangan wirausaha yang berkaitan dengan individu masyarakat daerah dalam mengelola potensi sumberdaya unggulan daerah tersebut. Dalam rangka pelaksanaan urusan pilihan pemerintahan secara efektif, pemerintah daerah harus menetapkan sektor unggulan (terutama komoditi) daerahnya terlebih dahulu. Menurut Muhammad (2008), upaya pembangunan daerah di Provinsi Gorontalo dilakukan melalui pengembangan strategi pemanfaatan potensi komoditi unggulan daerah misalnya komoditi jagung, dengan memfokuskan pelaksanaan urusan pemerintahan daerahnya pada upaya untuk: 1. Menjalankan kebijakan yang digerakkan oleh pasar untuk memperkuat fondasi ekonomi rakyat; 2. Menjadi pemerintah yang katalis dengan memanfaatkan endowment factor di daerah untuk meningkatkan produksi pertanian; 3. Menyiasati hambatan lingkungan makro berupa kekakuan dari instansi pusat yang mengakibatkan daerah tidak mampu memanfaatkan potensi dan peluang bisnis di daerah; 4. Menilai faktor lingkungan makro di daerah; dan 5. Menjadikan pemerintah daerah berorientasi pelanggan dan pemerintah yang antisipatif. Berdasarkan strategi pembangunan daerah tersebut di atas, Provinsi Gorontalo yang merupakan salah satu provinsi termuda di Indonesia, sekaligus sebagai salah satu provinsi yang memiliki keterbatasan sumberdaya alam di bandingkan
50
provinsi muda lainnya, mampu meningkatkan laju pertumbuhan PDRB-nya. Selama periode 2005-2008, Provinsi Gorontalo memiliki laju pertumbuhan PDRB rata-rata sebesar 7.23 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan provinsi yang kaya sumberdaya alam, misalnya Kalimantan Timur
(2.41 persen) dan
Papua sebesar 0.26 persen (lihat Gambar 8). 10,00 6,00
6,08 5,92
5,92 4,22
PDRB 4,00 (%)
5,13
5,79
6,71 6,015,72
5,00
3,82
7,63 5,84 5,35 5,89 5,785,34 5,27 5,18 4,46
7,62 7,23 6,09
5,34
5,16 3,86
5,17 5,32 4,76
6,42
2,41
2,00
Gambar 8 Rata-Rata Laju Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto Periode 2004-2008 Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Provinsi (persen)
Keberhasilan yang dicapai Provinsi tersebut untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerahnya, tidak lepas dari upaya pemerintah daerah (pemda) Gorontalo melalui APBD-nya untuk membiayai program-program yang
terkait dengan
pengembangan komoditi unggulan yang sudah di tentukan sebelumnya. Menurut Mawardi (2009), orientasi pembangunan daerah yang harus dimiliki oleh pemerintahan daerah dalam rangka penyelenggaraan urusan pilihan pemerintahan adalah mencakup: 1. Fokus, yaitu pemerintah daerah harus fokus terhadap arah kebijakan pembangunan sehingga terdapat sektor yang menjadi prioritas pengembangan (mis: pariwisata, pertanian, perdagangan, dll); 2. Pengembangan komoditas unggulan, yaitu pemilihan terhadap komoditas unggulan pada salah satu sektor. Misalnya sektor perkebunan mencakup komoditi kakao, cengkeh, dll. Sektor Perikanan & Kelautan mencakup rumput laut, mutiara, dll);
51
Papua Barat
Maluku
Sumber: BPS (www.bps.go.id). 2008 dan www.bi.go.id
Maluku Utara
Nusa Tenggara …
Nusa Tenggara …
Gorontalo
Sulawesi Barat
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Kalimantan Timur
Kalimantan Selatan
Kalimantan Tengah
Bali
Kalimantan Barat
Banten
Jawa Timur
DI. Yogyakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DKI Jakarta
Kepulauan Riau
Lampung
Kepulauan…
Bengkulu
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
(6,00) (5,14)
Sumatera Barat
(4,00)
Nanggroe Aceh…
(2,00)
0,26
Sumatera Utara
0,00
Papua
8,00
3. Kerjasama antar daerah, yaitu kerjasama yang saling menguntungkan antara daerah guna peningkatan kepentingan bersama; 4. Jaminan pemerintah daerah, yaitu terkait di bidang pemasaran dan pembiayaan. Dalam hal ini pemerintah daerah melalui APBD-nya menjamin wirausaha daerah yang bergerak pada bisnis komoditi unggulan dalam berhadapan dengan lembaga keuangan dan perbankan; 5. Investasi, yaitu komitmen pemerintah daerah dalam memberikan insentif baik dalam bentuk kebijakan fiskal maupun non-fiskal guna mendukung pengembangan komoditi unggulan daerah. Menurut Yuvarani (2010) peranan pemerintah daerah sangat penting dalam mengembangkan wirausaha daerah selaku pengelola usaha komoditi unggulan daerah. Peran pemerintah daerah tersebut antara lain adalah: 1. Memberikan informasi tentang peraturan, standar, perpajakan, bea cukai, dan masalah pemasaran; 2. Memberikan konsultansi tentang perencanaan usaha, pemasaran dan akuntansi, kontrol kualitas dan jaminan; 3. Membuat unit inkubator, termasuk menyediakan ruang dan infrastruktur untuk pemula bisnis dan perusahaan-perusahaan yang inovatif, dan membantu mereka untuk memecahkan masalah teknologi, sekaligus turut serta dalam kegiatan promosi, dan 4. Membantu
dalam
mencari
mitra.
Dalam rangka
untuk
merangsang
kewirausahaan dan meningkatkan lingkungan bisnis untuk usaha kecil. Di era desentralisasi sebagian besar pemerintahan daerah belum memiliki komitmen yang jelas dalam menyelenggarakan urusan pilihan pemerintahan. Terdapat beberapa pemerintahan daerah yang telah memproklamirkan daerahnya sebagai sentra produksi komoditi tertentu, namun sayangnya upayanya tersebut belum didukung dengan perencanaan yang jelas. Selain itu, penyelenggaraan pemerintahan daerah lebih berorientasi pada penyelenggaraan urusan wajib dibandingkan urusan pilihannya. Kondisi ini tentu saja akan menciptakan kebingungan dan ketidakpastian bagi investor untuk menginvestasikan dananya
52
dalam rangka mengembangkan komoditi unggulan derah8. Ditambah lagi, penyelenggaraan urusan pilihan pemerintahan daerah cenderung dilaksanakan dengan
membentuk
instansi-instansi
pemerintahan
yang
baru
tanpa
memperhatikan terlebih dahulu potensi unggulan yang dimiliki daerah bersangkutan, sehingga akibatnya terjadi struktur organisasi pemerintah daerah yang membesar. Menurut Suwandi dalam ASSD (2009) menyebutkan bahwa struktur kelembagaan perangkat daerah saat ini menciptakan masalah dalam penyelenggaraan desentralisasi. Masalah tersebut adalah: (1) kecenderungan daerah untuk menerapkan struktur gemuk; (2) nomenklatur struktur yang berbedabeda sehingga menyulitkan koordinasi dan pembinaan; (3) struktur yang membutuhkan PNS yang banyak; serta (4) struktur organisasi yang belum sepenuhnya mengakomodasikan fungsi pelayanan publik yaitu penyediaan pelayanan dasar dan pengembangan potensi unggulan daerah.
2.7. Hasil Penelitian Sebelumnya Penelitian yang memfokuskan pada perencanaan suatu pemerintahan daerah kabupaten/kota masih terbatas. Lebih banyak studi yang dilakukan adalah berkaitan
dengan
hubungan
antara
anggaran
publik
dan
perencanaan
pembangunan, belanja publik dengan pelayanan publik. Sedangkan untuk studi mengenai sinergi kegiatan dan indikator kinerja antar instansi pemerintah daerah, boleh dikatakan masih sangat terbatas. Penelitian Program LGSP yang didanai oleh USAID pada tahun 2009, dengan judul “Tantangan dalam Penyelenggaraan Evaluasi Kinerja Berbasis Hasil (Outcome-Based) untuk Pemerintah Daerah di Indonesia”, menyebutkan bahwa penerapan manajemen yang berorientasi kepada kinerja hasil (outcome) di lingkungan instansi pemerintah di Indonesia merupakan sebuah keniscayaan dan keharusan. Seluruh aktivitas dalam lingkungan instansi pemerintah akan diukur dari sisi akuntabilitas kinerjanya, baik dari sisi kinerja individu, kinerja unit kerja dan kinerja instansi, dan bahkan juga kinerja pemerintahan secara keseluruhan.
8 Kompas. “China Tawarkan Bantuan Ke UKM, Gubernur dan Bupati Punya program Sendiri”. Rabu 17 April 2010. Jakarta.
53
Di masa lalu pengukuran kinerja Pemerintah Indonesia masih terfokus pada pengukuran masukan (input) dan keluaran (output). Dibanding dengan pengukuran hasil (outcome), manfaat (benefit) dan dampak (impact). Pengukuran ini masih berfokus pada sisi sumberdaya yang telah dihabiskan tentang anggaran dan realisasi anggaran, akan tetapi belum memberi perhatian yang memadai kepada hasil dan dampak nyata program dan kegiatan pemerintah terhadap proses pelayanan masyarakat. Hal yang sama juga tercermin dalam proses pelaporan dan pengawasan
kinerja
penyelenggaraan
pemerintahan.
Bermacam
evaluasi
penerapan manajemen kinerja di Indonesia menunjukkan hasil yang belum memuaskan. Evaluasi LAKIP, BPKP (2006) terhadap 153 pemerintah daerah di Indonesia menunjukkan; 3 Pemda memiliki nilai sangat baik (1,9 persen), 15 Pemda Baik (9,49 persen), 61 Pemda nilai cukup (38.61 persen), selebihnya 79 Pemda bernilai kurang (50
persen). Ditengarai berbagai kelemahan dalam
pengembangan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP), antara lain muncul dalam semua komponen fungsi pemyelenggaraan pemerintahan, sejak di perencanaan kinerja, pengukuran kinerja, pelaporan kinerja, evaluasi kinerja, dan pencapaian kinerja itu sendiri. Berbagai kelemahan utama dalam penyusunan laporan kinerja belum menyajikan data kinerja yang memadai serta masih berorientasi untuk kepentingan vertikal. Kelemahan pencapaian kinerja terletak pada proses penyusunan output dan outcome yang tidak tepat, informasi kinerja output dan outcome tidak dapat diandalkan serta kinerja outcome tidak selaras dengan indikator kinerja dalam RPJMD dan RKPD. Khusus dalam komponen evaluasi kinerja kelemahan dasar yang dialami oleh Pemda di Indonesia antara lain adalah Pemda belum melakukan pemantauan mengenai pencapaian kinerja beserta hambatan dan kendala pencapaiannya, Pemda belum melakukan evaluasi LAKIP SKPD, serta lemahnya alat ukur yang digunakan oleh Pemda untuk melakukan evaluasi. Berbagai
permasalahan
yang
mengemuka
sebagai
penyebab
penerapan
manajemen kinerja, khususnya evaluasi kinerja di indonesia berjalan lamban, antara lain; (a) legal yuridis yang ada (tumpang tindih, disorientasi dan partial) dalam manajemen kinerja di Indonesia;, (b ) Manajemen kinerja dan pengukuran kinerja belum dan tidak disatukan dalam fungsi manajemen pemerintah daerah,
54
seperti halnya dalam perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pelaporan, evaluasi dan monitoring dan audit ;(c) tidak terdapatnya manajemen kompensasi (mekanisme reward dan punishment) yg merefleksikan pelakasanaan manajemen kinerja di tingkat manajemen publik; (d) lemahnya kapasitas teknis sumberdaya manusia aparatur, dalam transisi paradigma sdm dari paradigma input ke dalam paradigma baru yang mengukur kesuksesan kerja melalui pengukuran hasil “outcome oriented”; (e) peran publik masih lemah untuk “memaksa” Pemda mampu berlaku akuntabel dan transparan. Penelitian oleh Koswara di tahun 2010 berjudul “Strategi penyelarasan penyusunan APBD dengan RPJMD untuk meningkatkan pembangunan sarana dan prasarana di Kota Bekasi”. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Analytical Hierarchy Process (AHP). Penelitian oleh Cardiman dalam Koswara di tahun 2006 berjudul “Strategi belanja publik untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat”, Analisis hubungan antara pengeluaran publik dan tingkat kesejahteraan masyarakat dengan menggunakan pendekatan SWOT analisa, menyebutkan bahwa belanja aparatur dan belanja publik pada APBD berpengaruh secara signifikan terhadap PDRB per kapita Kota Bekasi. Pada periode 1977-2005 rasio alokasi belanja aparatur dan belanja publik terhadap APBD masing-masing 52,56 persen dan 47,44 persen. Belanja aparatur dan belanja publik berpengaruh secara signifikan terhadap IPM. Penelitian oleh Djuharman Arifin di tahun 2003 yang berjudul “Mekanisme penyusunan APBD Provinsi Riau Yang Berkeadilan”. Studi ini menghubungkan proses perubahan RAPBD menjadi APBD di tingkat legislatif. Hasil studi ini menunjukkan adanya deviasi yang cenderung semakin melebar dalam proses penganggaran dari RAPBD menjadi APBD. Hal ini menunjukkan adanya kelemahan mendasar dalam pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999. Kelemahan ini adalah memungkinkan DPRD untuk melakukan penambahan item proyek yang belum terencana sebelumnya, sehingga secara prinsipil bertentangan dengan fungsi legislatif sebagai pengawas, dan juga menyebabkan program atau kegiatan dibuat secara tumpang tindih antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Kondisi ini menyebabkan inefisiensi dalam penggunaan anggaran publik.
55