7
TINJAUAN PUSTAKA Konsep tentang Informasi dan Pesan Penemuan terbaru mengatakan bahwa bumi dihuni oleh makhluk hidup sejak empat miliar tahun yang lalu. Manusia memperoleh kemampuan fisik untuk berbicara, diketahui baru antara 90 ribu dan 40 ribu tahun yang lalu. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Manusia memiliki jiwa dan raga yang dilengkapi dengan panca indera (mata, telinga, hidung, kulit, dan lidah) yang berfungsi menerima stimulus dari luar, kemudian diserap ke dalam jaringan syaraf dalam bentuk getarangetaran ke otak atau pusat syaraf (Wiryanto, 2004). Proses ini diketahui sebagai gejala mikro elektronika. Stimulus yang diterima panca indera kita kemudian dikirim ke otak. Selanjutnya, diproses di otak untuk membuat kode-kode perintah sebagai reaksi dari stimulus, yang diteruskan kepada sub-sub sistem dalam tubuh. Proses ini dikenal sebagai proses mikro elektroniks. Teknologi mikro elektronika telah menciptakan era informasi yang menjadi pilar masyarakat baru, disebut masyarakat informasi (information society). Rogers (2003) menyatakan masyarakat informasi adalah “Suatu bangsa yang mayoritas angkatan kerjanya sudah menjadi pekerja informasi. Wiryanto (2004) mengutip pernyataan Straubhaar dan LaRose (2002 : 1-2) menyebutkan bahwa di dalam masyarakat informasi pertukaran informasi merupakan aktivitas ekonomi yang utama. Pekerja informasi adalah orang-orang yang pekerjaan pokoknya memproduksi, memroses, atau mendistribusikan informasi. Para pekerja informasi meliputi jurnalis, editor, redaktur, programmer komputer, desktop publishing specialist, produser televisi, sekretaris, public relations officer, advertising account executives, akuntan, dan klerk. Apakah konsep informasi dan kekuatan apa yang dimilikinya? Pemahaman mengenai konsep informasi sangat penting, agar kita dapat bersikap arif dan bijaksana terhadap informasi. Untuk memahami informasi, Fisher (1986) bahwa dalam mengemukakan tiga konsep informasi sebagai berikut : 1. Informasi menunjukkan fakta atau data yang diperoleh selama proses komunikasi. Informasi dikonseptualisasikan sebagai kuantitas fisik yang dapat dipindahkan dari satu titik ke titik yang lain, individu satu kepada individu lain, atau medium yang satu ke medium lainnya. semakin banyak memperoleh fakta atau data, secara kuantitats seseorang juga memiliki banyak informasi. 2. Informasi menunjukkan makna data. Informasi merupakan arti, maksud, atau makna yang terkandung dalam data. Peranan seseorang sangat dominan di dalam memberikan makna data. Suatu data akan mempunyai nilai informasi bila bermakna
8
bagi seseorang yang menafsirkannya. Kemampuan seseorang untuk memberikan makna pada data akan menentukan kepemilikan informasi. Penafsiran terhadap data atau stimulus yang diterima otak akan menentukan kualitas informasi. Sebagai produk sebuah “pabrik” (otak kita), kualitas informasi sangat ditentukan oleh berbagai unsur yang digunakan untuk mengolah setiap stimulus yang masuk ke dalam diri seseorang melalui panca indera, kemudian diteruskan ke otak untuk diolah berdasarkan pengetahuan (frame of reference), pengalaman (field of experience), selera (frame of interest), dan keimanan (spiritual) seseorang. Semakin luas pengetahuan, pengalaman, dan semakin baik selera dan moralitas, maka informasi yang dihasilkan akan semakin berkualitas. Proses di dalam otak kita tersebut dikenal sebagai proses intelektual (intellectual process). 3. Informasi sebagai jumlah ketidakpastian yang diukur dengan cara mereduksi sejumlah alternatif yang ada. Informasi berkaitan erat dengan situasi ketidakpastian. Keadaan yang semakin tidak menentu akan menimbulkan banyak alternatif informasi, yang dapat digunakan untuk mereduksi ketidakpastian itu. Untuk memahami proses pengolahan data menjadi informasi dan pesan, Henry Fayol dan Frederick Taylor dikutip oleh Koontz, O’Donnel, dan Wehrich (1986) dalam Wiryanto (2004) menggunakan pendekatan input-output model. Menurut Fayol dan Taylor, masukan (input) dari “pabrik” informasi berupa stimulus yang ditangkap paca indera, selanjutnya diteruskan ke otak/pusat syaraf. Di dalam otak, stimulus mengalami proses transformasi, yaitu diolah dengan pengetahuan, pengalaman, selera, dan iman seseorang. Keluaran (output) dari proses tersebut berupa informasi yang diingat (memori) dalam diri seseorang atau diteruskan kepada orang lain. Informasi yang dikomunikasikan kepada orang lain atau khalayak disebut sebagai pesan (message). Informasi dan pesan bersifat subyektif. Mengapa? Karena informasi dan pesan tidak pernah bebas nilai (free value). Sebagai contoh, selama Perang Teluk Kedua (2003), Televisi Aljazeera cenderung menyampaikan berita Perang Irak dari sudut pandangan mereka. Dikatakan bahwa pasukan sekutu (Amerika Serikat dan Inggris) sebagai “invader” ke Irak, karena Irak merupakan negara yang berdaulat. Sementara CNN memiliki sudut pandang yang berbeda di dalam memberitakan perang yang sama. CNN menyiarkan bahwa pasukan sekutu sebagai dewa pembebas bagi rakyat Irak yang tertindas rejim Sadam Hussein. Jelas sekali bahwa pesan yang disampaikan mempunyai tujuan berbeda. Wiryanto (2004) mengutip pernyataan Hoveland (1953) bahwa pesan yang disampaikan kepada individu atau khalayak mempunyai tujuan untuk mengubah sikap,
9
pendapat, dan perilaku individu atau khalayak. Melalui pengungkapan sistematika terbentuknya informasi dan pesan. dapat diketahui kekuatan informasi dan pesan di dalam mengubah sikap dan perilaku orang lain. Pengertian Informasi dan Pesan Proses komunikasi merupakan aktivitas yang mendasar bagi manusia sebagai makhluk sosial. Setiap proses komunikasi diawali dengan adanya stimulus yang masuk pada diri individu yang ditangkap melalui panca indera. Stimulus diolah di otak dengan pengetahuan, pengalaman, selera, dan iman yang dimiliki individu. Stimulus tersebut mengalami proses intelektual menjadi informasi. Adapun informasi yang telah dikomunikasikan disebut sebagai pesan. Bulletin UNIDO, United Nations, New York (1986) dalam Wiryanto (2004) memuat artikel yang menyatakan bahwa : Thinking and communication are informations. Hal ini berarti bahwa proses berpikir merupakan proses komunikasi yang kita kenal sebagai proses komunikasi intrapribadi (intrapersonal communication). Di dalam proses berpikir dan proses komunikasi akan menghasilkan informasi. Claude E. Shannon dan Warren Weaver dalam Wiryanto (2004) mendefinisikan informasi sebagai energi yang terpolakan, yang mempengaruhi individu dalam mengambil keputusan dari kemungkinan pilihan-pilihan yang ada. Dari pengertian informasi yang diberikan oleh Shannon dan Weaver tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengertian informasi dan pesan adalah sebagai berikut : “Informasi adalah hasil dari proses intelektual seseorang. Proses intelektual adalah mengolah atau memproses stimulus, yang masuk ke dalam diri individu melalui panca indera, kemudian diteruskan ke otak atau pusat syaraf untuk diolah atau diproses dengan pengetahuan, pengalaman, selera, dan iman yang dimiliki seseorang. Setelah mengalami pemrosesan, stimulus itu dapat dimengerti sebagai informasi. Informasi ini bisa diingat di otak, bila dikomunikasikan kepada individu atau khalayak, maka akan berubah menjadi pesan.” Yusup (2009) mengutip pernyataan Estrabrook (1977) bahwa informasi adalah suatu rekaman fenomena yang diamati, atau bisa juga berupa putusan-putusan yang dibuat seseorang. Sebuah fenomena akan menjadi informasi jika ada orang yang melihatnya atau menyaksikannya, atau bahkan kemudian mungkin merekamnya. Hasil kesaksian atau rekaman dari orang yang melihat atau menyaksikan peristiwa atau fenomena itu yang dimaksudkan dengan informasi. Dalam hal ini informasi lebih bermakna berita. Berita adalah bentuk dari pesan-pesan komunikasi.
10
Menurut Yusup (2009), dari sekian banyaknya informasi yang ada di alam ini, hanya sebagian kecil yang berhasil dirasakan, didengar, dilihat, dan direkam oleh manusia. Informasi yang dirasakan, didengar, dan dilihat itu susah diolah karena ia akan menjurus kepada jenis informasi lisan. Informasi lisan ini lebih banyak dikembangkan oleh studi komunikasi. Orang tahu bahwa jenis informasi lisan jumlahnya sangat banyak, dan tentu saja lebih banyak dari jumlah manusia yang pernah ada. Akan tetapi, informasi yang sempat direkam dalam berbagai bentuk alat perekam inilah yang kelak bisa dikembangkan menjadi komoditas unggulan dalam kinerja kehidupan manusia. Informasi terekam ini banyak dicari dan dimanfaatkan oleh manusia sesuai kepentingannya. Pesan-pesan atau isi dari tulisan ini adalah salah satu contoh jenis informasi terekam, lebih tepatnya tertulis. Meskipun telah dibatasi hanya pada jenis informasi terekam, namun itupun ternyata jumlahnya sangat banyak karena menyangkut segala aspek kehidupan manusia yang semakin kompleks. Jenis dan Fungsi Informasi Yusup (2009) menjelaskan bahwa informasi terekam yang dimaksud dapat dibedakan antara yang tidak ilmiah dan yang ilmiah. Informasi tidak ilmiah yaitu berupa informasi biasa yang banyak tersedia di mana-mana. Sebenarnya jenis informasi biasa ini bisa berubah menjadi luar biasa atau bahkan menjadi penting kedudukannya jika hal tersebut berkaitan dengan peristiwa besar di masyarakat. Informasi yang mengandung makna sejarah sangat penting dalam waktu yang akan datang, karena ini merupakan data dan fakta sejarah. Yusup (2009) menjelaskan bahwa jenis informasi bisa digunakan untuk banyak hal yang bermanfaat bagi umat manusia, asal pengelolaan dan pengorganisasiannya sesuai dengan sifat dan karakteristik yang dimilikinya. Informasi yang tidak dikelola dengan semestinya akan kehilangan makna dan manfaatnya. Informasi sangat beragam, baik dalam jenis, tingkatan, maupun bentuknya. Dengan demikian maka fungsinya juga beragam karena akan bergantung pada manfaatnya bagi setiap orang yang kebutuhannya berbeda-beda. Demikian pula fungsinya bagi suatu organisasi, informasi akan disesuaikan dengan jenis organisasi yang bersangkutan. Informasi yang bermanfaat dalam organisasi atau lembaga-lembaga pendidikan pada umumnya adalah yang banyak mendukung tugas-tugas lembaga tersebut, yaitu sekitar semua jenis informasi yang mempunyai aspek edukatif, riset, dan rekreatif. Informasi jenis lain juga diperlukan, akan tetapi tidak menonjol. Demikian pula untuk suatu lembaga
yang berorientasi perdagangan (profit oriented), di sini sangat
11
diperlukan segala jenis informasi yang berkaitan dengan aspek peningkatan produktivitas organisasi, seperti misalnya informasi yang tepat untuk
suatu
pengambilan keputusan para manajer, informasi dengan aspek peningkatan pemasaran produk-produknya, dan juga informasi tentang analisis pasar. Di dalam lingkungan keluarga, informasi dan sumber-sumber informasi sangat berguna keberadaanya. Buku, majalah, surat kabar, radio, televisi, komputer, bahkan internet, semuanya bermanfaat bagi pengembangan wawasan anggota keluarga. Terlebih lagi bagi keluarga-keluarga yang mempunyai kedudukan sosial relatif tinggi di masyarakat. Hal yang penting adalah bahwa informasi itu bermacam ragam jenisnya, fungsinya, juga manfaatnya, karena hampir tidak ada seorangpun yang tidak membutuhkan informasi walau sekecil apapun kebutuhan tersebut. Sumber-sumber Informasi Yusup (2009) menjelaskan bahwa informasi ada di mana-mana, di pasar, di sekolah, di rumah, di lembaga-lembaga suatu organisasi komersial, di buku-buku, di majalah, di surat kabar, di perpustakaan, dan tempat-tempat lainnya. Intinya, di mana suatu benda atau peristiwa berada, di sana dapat timbul informasi. Semua jenis informasi tersebut, terutama yang sudah disimpan dalam rekaman, sebagian besar disimpan di lembaga-lembaga informasi, dokumentasi, dan perpustakaan di berbagai tingkatan, baik perpustakaan yang berada pada lembaga-lembaga formal maupun perpustakaan di rumah. Dalam dunia pertanian, petani memperoleh informasi pertanian dari berbagai sumber baik melalui media maupun non media yaitu komunikasi tatap muka secara langsung (komunikasi antarpribadi). Media komunikasi yang dimaksud dapat dikategorikan dalam dua bagian, yakni media umum dan media massa. Media umum ialah media yang dapat digunakan oleh segala bentuk komunikasi, contohnya telepon, handphone, telegram, OHP, LCD proyektor, dan sebagainya. Media massa adalah media yang digunakan untuk komunikasi massa. Disebut demikian karena sifatnya yang massal, yang termasuk dalam media komunikasi massa ialah pers, radio, film, televisi, dan media dotcom (Priyatna, 2003). Komunikasi massa memiliki karakteristik yang berbeda dengan jenis komunikasi lainnya. Karakterisitik tersebut ialah komunikator terlembagakan, pesan bersifat umum, komunikannya anonim dan heterogen, media massa menimbulkan keserempakan, komunikasi mengutamakan isi ketimbang hubungan, dan komunikasi massa bersifat satu arah. Fungsi komunikasi massa menurut Dominick (2001) dalam Ardianto dan Erdinaya (2004), terdiri dari surveillance (pengawasan), interpretation (penafsiran), linkage
12
(keterkaitan), transmission of values (penyebaran nilai), dan entertainment (hiburan). Fungsi komunikasi massa secara khusus adalah to persuade (meyakinkan), menganugerahkan status, narcotization (membius), menciptakan rasa kebersatuan, privatisasi dan hubungan parasosial. Berdasarkan formula Laswell dapat dipahami bahwa dalam proses komunikasi massa terdapat lima unsur yang disebut komponen atau unsur dalam proses komunikasi, yaitu : who (siapa), says what (apa yang dikatakan), in which channel (melalui saluran apa), to whom (kepada siapa), with what effect (dengan efek apa). Selain
komponen-komponen
yang
telah
diuraikan,
Shannon
dan
Weaver
menambahkan satu komponen yaitu noise (gangguan). Proses komunikasi massa lebih kompleks karena setiap komponennya mempunyai karakteristik tertentu. Dalam komunikasi massa komunikator harus memiliki daya tarik dan keterpercayaan bagi komunikan, pesan bersifat umum. Media yang digunakan dalam komunikasi massa memiliki ciri khas yaitu mempunyai kemampuan untuk memikat khalayak secara serempak dan serentak. Media komunikasi massa terdiri dari pers (media cetak), radio siaran, televisi, dan film. Khalayak yang dituju oleh komunikasi massa adalah massa yang jumlahnya banyak serta sifatnya anonim, dan heterogen. Komunikasi massa memiliki filter yang terdiri dari tiga kondisi yaitu budaya, psikologikal, dan fisikal. Adapun regulator dalam komunikasi massa yaitu lembaga atau individu yang mewakili lembaga yang berwenang yang memberi perhatian atau tekanan terlebih terhadap kasus-kasus tertentu, serta mengurangi hal-hal lainnya. Sedangkan, gatekeeper dalam komunikasi massa berperan memilih informasi yang dipengaruhi oleh beberapa variabel. Variabel-variabel tersebut yaitu ekonomi, pembatasan legal, batas waktu, etika pribadi dan profesionalisme, kompetisi, nilai berita, dan reaksi terhadap umpan balik tertunda. Kehadiran media massa memberikan efek terhadap ekonomi, sosial, penjadwalan
kegiatan
sehari-hari,
hilangnya
perasaan
tidak
nyaman,
dan
menumbuhkan perasaan tertentu. Sedangkan, efek pesan dari komunikasi massa mempengaruhi kognitif, afektif, dan behavioral khalayak. Dampak sosial media massa secara pasti mempengaruhi pemikiran dan tindakan khalayak. Media membentuk opini publik untuk membawanya pada perubahan yang signifikan. Komunikasi antarpribadi adalah menggunakan jasa juru penerangan, penyuluh, tokoh masyarakat, dan tokoh agama. Peranan keempat sumber informasi cukup penting sebagai agen perubahan dalam menyebarkan berbagai informasi baru.
13
Kredibilitas keempat sumber sangat terpercaya untuk mengajak orang lain dalam menerima berbagai informasi, walaupun tidak menutup kemungkinan sumber informasi lainnya, seperti : keluarga, teman, penjual sayuran di pasar dan sebagainya turut berperan. Van den Ban dan Hawkins (1999) menjelaskan bahwa petani memanfaatkan berbagai sumber untuk mendapatkan pengetahuan dan informasi yang mereka perlukan untuk mengelola usaha tani mereka dengan baik, yang meliputi : 1.
Petani-petani lain ;
2.
Organisasi penyuluhan milik pemerintah ;
3.
Perusahaan yang menjual input, menawarkan kredit, dan membeli hasil pertanian ;
4.
Agen pemerintah yang lain, lembaga pemasaran dan politisi ;
5.
Organisasi petani dan organisasi swasta beserta stafnya ;
6.
Jurnal usaha tani, radio, televisi, dan media massa lainnya ;
7.
Konsultan swasta, pengacara, dan dokter hewan. Hanya sedikit saja petani yang bisa berhubungan langsung dengan peneliti,
khususnya di negara-negara berkembang yang jumlahnya petaninya tidak sebanding dengan jumlah peneliti pertanian, sistem transportasi yang terbatas, dan kesenjangan sosial antara petani dan peneliti. Penelitian hanya akan berdampak nyata pada produksi pertanian apabila ada pihak lain yang berfungsi sebagai komunikator efektif bagi peneliti dan petani ; tidak dapat dikatakan sebagai “pengalih” teknologi dari lembaga penelitian kepada petani, karena mengkomunikasikan masalah petani, pengalaman serta keadaannya, bagi peneliti setidak-tidaknya sama pentingnya dengan menghasilkan penemuan-penemuan yang relevan dan penting bagi pembangunan pertanian. Beberapa contoh nyata pemanfaatan media komunikasi sebagai sumber informasi untuk memperoleh dan berbagi informasi pertanian antara lain melalui media telepon seluler (handphone). Telepon seluler dapat dimanfaatkan untuk memasarkan hasilhasil produksi pertanian. Seperti yang dialami oleh petani di Desa Langlanglinggah, Kecamatan Selamadeg Barat, Kabupaten Tabanan, Bali, hampir sekitar 4000 petani kakao di kawasan ini lebih menentukan harga pasar produknya karena mereka mempunyai informasi harga di pasar New York. Harga tersebut mereka peroleh dari PT Big Tree Farm yang merupakan perusahaan yang mengadvokasi pemasaran produk mereka yang mendapatkan harga itu lewat akses internet. Dari PT Big Tree Farm harga tersebut kemudian disebarkan ke kelian (ketua) kelompok tani melalui layanan Short Message Service (SMS). Ketua kelompok tani tersebut langsung
14
menyampaikan ke petani-petani lain. Sehingga dengan begitu seluruh petani kakao mendapatkan informasi harga. Dengan adanya harga dari pasar New York itu membuat para petani setempat lebih mempunyai posisi tawar ketika mereka menjual produk pertaniannya. Hal yang sama juga dilakukan oleh para petani di Sulawesi yang dibantu International Finance Corporation (IFC), yang merupakan divisi swasta World Bank. Namun terdapat perbedaan, jika di Tabanan, Bali SMS masih dilakukan satu arah maka di Sulawesi ini sudah dua arah. Para petani di Sulawesi juga dapat menanyakan berapa harga kakao di pasar dunia saat itu juga. Dengan cara cukup mengirimkan SMS ke nomor tertentu, maka para petani akan segera mendapatkan informasi harga kakao di New York dan London yang kemudian dibandingkan dengan rupiah dan berapa harganya di pasar lokal. 1 Kasus lainnya yang berkaitan dengan pemanfaatan berbagai sumber informasi dapat dilihat dari hasil survai pendasaran Proyek Peningkatan Pendapatan Petani melalui
Inovasi
(P4MI)
yang
dilaksanakan tahun
2004
di
lima
Kabupaten
(Temanggung, Blora, Lombok Timur, Ende, dan Donggala), diketahui bahwa petani memperoleh informasi pertanian dari berbagai sumber baik melalui media maupun komunikasi tatap muka secara langsung. Media interpersonal baik sesama petani, penyuluh, maupun orang tua masih merupakan media utama yang paling sering (80100%) digunakan oleh petani. Sumber informasi melalui media cetak masih sedikit digunakan, karena terbatasnya ketersediaan informasi melalui media cetak di tingkat petani. Radio dan televisi merupakan sumber informasi elektronis terbanyak yang digunakan petani dalam memperoleh informasi pertanian.
Fungsi kelembagaan
sebagai sumber informasi teknologi pertanian di beberapa lokasi masih cukup berperan, khususnya untuk lembaga penyuluhan sekalipun persentasenya kecil (Mulyandari et al, 2004). Klasifikasi Media Komunikasi Mugniesyah (2010) menjelaskan bahwa media komunikasi yang pernah diciptakan dalam peradaban manusia, dari yang sangat sederhana sampai kompleks (rumit) sangat banyak. Oleh karena itu, untuk dapat membedakan satu sama lain, para ahli berusaha membuat klasifikasi media. Diantara mereka terdapat tiga ahli komunikasi
1
http://diofanipratama.wordpress.com/category/pertanian/ diakses pada tanggal 19 Oktober 2010
15
yang rumusan klasifikasinya perlu dipelajari, yakni
Wilbur Schramm, Ruben dan
Leeuwis. Schramm (1964) dalam Mugniesyah (2010) membedakan media komunikasi ke dalam empat generasi berikut. a) Media generasi pertama: Media yang termasuk kategori ini meliputi peta, tulisan-
tulisan, gambar-gambar, kapur tulis,
dan model-model. Media ini dipandang
sebagai media pendidikan yang dalam penggunaannya tidak menggunakan mesin atau listrik. b) Media generasi kedua: Media yang muncul setelah ditemukannya mesin pencetak
oleh Johann Guttenberg merupakan media generasi kedua.
Penemuan mesin
cetak telah mampu mengomunikasikan secara mudah dan murah segala sesuatu yang telah ditulis oleh pengarangnya atau digambar oleh pelukisnya. Menurut Schramm, media ini telah lebih dari 300 tahun digunakan sebagai alat pendidikan, seperti pencetakkan buku-buku teks, buku-buku kerja dan sebagainya. Dewasa ini beberapa metode percetakan baru seperti percetakan offset membuat buku lebih mudah dimanfaatkan di negara-negara non industri. c) Media generasi ketiga: Merupakan media yang dikenal setelah penemuan teknologi
audio visual, seperti film, radio dan televisi. Media yang tertua dalam generasi ini berumur lebih dari 100 tahun. Eastman.
Film ditemukan pada tahun 1885 oleh George
Fotografi, slide, film, rekaman, radio, televisi yang bergantung pada
pemanfaatan mesin-mesin dalam proses komunikasi
melalui penglihatan dan
pendengaran, atau penglihatan saja dan pendengaran saja. d) Media generasi keempat: Media generasi keempat ini proses komunikasinya
bergantung pada komunikasi antar-manusia dan mesin komputer. Termasuk dalam kategori ini adalah laboratorium bahasa dan komputer.
Laboratorium bahasa,
misalnya telah memungkinkan seorang pelajar mempelajari bahasa secara mudah melalui komunikasi antar-manusia (pelajar-instruktur) dan mesin komputer (situs bahasa). Meskipun pada awalnya penggunaan komputer bagi tujuan-tujuan pendidikan telah lebih dahulu dilakukan oleh negara-negara industri, kini hampir semua negara di dunia telah mengakses komputer sebagai media pendidikan, baik formal maupun non formal. Ruben (1992) dalam Mugniesyah (2010) membedakan media komunikasi menurut kemampuan media dalam memperluas kemampuan atau kapasitas pihak-pihak yang terlibat dalam proses komunikasi, termasuk hubungannya dengan konteks level
16
komunikasinya. Berdasar hal tersebut, Ruben mengklasifikasikan media ke dalam empat kategori berikut. a) Media
intrapersonal,
yakni
alat-alat
yang
digunakan
untuk
memperluas
kemampuan-kemampuan komunikasi intrapersonal. Contohnya, tape recorder, video rumahan, cermin dan catatan harian (diary). Media akan tergolong pada media komunikasi intrapersonal jika media tersebut dapat mengembangkan kemampuan orang untuk memproduksi, menyimpan atau memanggil kembali pesan-pesan ketika orang tersebut menjadi sumber. b) Media
interpersonal, adalah alat-alat yang digunakan untuk memperluas
kemampuan interpersonal atau media komunikasi yang membantu dalam pertukaran informasi antara dua atau beberapa orang. Termasuk dalam kategori ini antara lain surat, kartu ucapan selamat, telepon, telepon genggam dan email. Dengan menggunakan media interpersonal ini, seseorang
dapat mengatasi
kendala waktu dan ruang ketika berinteraksi dengan orang lainnya. c) Media
kelompok
dan organisasi,
yakni
alat-alat
yang
digunakan
untuk
mengembangkan kemampuan-kemampuan komunikasi kelompok dan organisasi, seperti telepon, interkom, pajer (pager), dan komputer. d) Media massa, umumnya meliputi teknologi yang mampu
memperbanyak,
menggandakan, atau menguatkan pesan-pesan untuk didistribusikan ke sejumlah banyak khalayak, seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, buku dan internet. Leuwis (2004) dalam Mugniesyah (2010) membedakan komunikasi dalam tiga kategori, yakni media interpersonal, media massa konvensional, dan media hibrida. Adapun pengertian dan contoh dari setiap media tersebut adalah sebagai berikut. a) Media interpersonal, yang mencakup semua media yang memungkinkan adanya
pertukaran pesan secara lebih langsung diantara pihak yang berkomunikasi; dalam arti bahwa dengan menggunakan media tersebut, pengirim dan penerima dapat bertukar peran secara mudah, contohnya telepon. Kebanyakan komunikasi interpersonal berlangsung tanpa media buatan (artificial media), tanpa alat-alat teknologi dan karenanya jenis komunikasi ini perlu melibatkan kehadiran fisik dari orang-orang yang berkomunikasi. b) Media konvensional, adalah media yang memungkinkan
menjangkau banyak orang yang berjarak jauh
pengirim pesan dapat
tanpa ada kemungkinan untuk
melangsungkan interaksi langsung dengan penerima atau khalayak. Contoh diantaranya adalah koran, buletin usahatani, surat edaran (leaflets), radio dan televisi, dan poster yang karakteristiknya dapat dilihat pada Tabel 1.
17
c) Media
hibrida,
umumnya
berbasis
teknologi
komputer
yang
cenderung
mengombinasikan kekayaan fungsional dari media massa dan komunikasi interpersonal, sehingga menjadikan media baru tersebut secara potensial dapat menjangkau khalayak di banyak lokasi yang berbeda, akan tetapi pada waktu yang sama didukung oleh suatu level interaktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan media konvensional. Itu sebabnya media hibrida juga dikenal sebagai teknologi informasi dan komunikasi (Information and Communication Technology atau ICT) atau media baru. Tabel 1. Perbedaan antara beberapa media komunikasi menurut kualitas fungsinya Kualitas Fungsi Media
Radio
Televisi, Video
Brosur
Artikel, Koran
Poster
Kemungkinan menstimulasi debat dalam konteks + + 0 0 penerimaan Kemudahan mendapat perhatian + + 0 + /memobilisasi minat Kapasitas untuk mendalami dan 0 0 + 0 mendukung belajar aktif Potensi berfungsi sebagai 0 + 0 − + pengingat Kemudahan menyimpan pesan+ 0 0 − − pesan Kecepatan (waktu produksi + 0 0 + singkat) Fleksibilitas waktu + 0 + − − Fleksibilitas spasial 0 + 0 − + Biaya yang mungkin untuk 0 + 0 − − mengintervensi organisasi Biaya yang mungkin bagi 0 + 0 − penerima Kebebasan agen perubah dalam 0 + 0 − + menentukan isi perubahan Keterangan: + = relatif tinggi dibandingkan dengan media massa lainnya (dalam kebanyakan konteks); 0 = sebanding dengan media massa lainnya (dalam kebanyakan konteks); − = relatif rendah dibandingkan dengan media massa lainnya (dalam kebanyakan konteks). Sumber: Leeuwis (2004) dalam Mugniesyah (2010)
Mugniesyah (2010) menjelaskan bahwa penggunaan tiga media komunikasi tersebut (interpersonal, konvensional dan hibrida) dalam realita kehidupan dewasa ini, lebih dikombinasikan lagi ke dalam paket-paket baru, sehingga batasan-batasan antara tiga kategori media tersebut menjadi lebih kabur. Sebagai contoh, telepon dan internet semakin banyak digunakan untuk berinteraksi dengan khalayak melalui program radio dan televisi, yang menghasilkan radio interaktif dan televisi interaktif. Meskipun ada berbagai kecenderungan tersebut, Leeuwis menyatakan bahwa masih tetap bermanfaat untuk mengetahui masing-masing kategori media komunikasi
18
tersebut, karena penjelasan klasifikasi yang dibuat para ahli adalah dimaksudkan untuk mempermudah pembedaan sejumlah media yang berperan dalam komunikasi yang tergantung pada faktor dasar pembedanya. Selanjutnya, yang perlu diketahui adalah bahwa media komunikasi dapat berperan pada level-level komunikasi intrapersonal, interpersonal (berpasangan), kelompok, organisasi dan komunikasi massa. Semua level komunikasi tersebut dapat disebut sebagai komunikasi bermedia (mediated communication), karena adanya
campurtangan media atau medianya memediasi
antara sumber-sumber pesan dengan penerima-penerima pesan. Kualitas Informasi dan Pesan Kualitas informasi sangat ditentukan oleh pengetahuan, pengalaman, selera, dan iman seseorang yang mengolah stimulus menjadi informasi. Adapun kualitas pesan sangat ditentukan oleh kemampuan dan kreativitas seseorang dalam mengolah informasi menjadi pesan. Burch (1986 : 5) dikutip oleh Wiryanto (2004) mengatakan bahwa sebuah informasi yang berkualitas sangat ditentukan oleh kecermatan (accuracy), tepat waktu (timeliness) dan relevansinya (relevancy). Keakuratan informasi adalah bila informasi tersebut terbebas dari bias. Informasi dikatakan tepat waktu bila dihasilkan pada saat diperlukan. Adapun relevansi suatu informasi berhubungan dengan kepentingan pengambilan keputusan yang telah direncanakan. Data akan menjadi informasi bagi individu setelah diterima, diolah dan interpretasikan. Jung (1953) dikutip oleh Wiryanto (2004) mengajukan teori mengenai bagaimana individu akan memilih data yang akan menjadi masukan, dan mengolahnya menjadi informasi. Ada seseorang yang lebih percaya pada panca inderanya (pengamat) untuk menangkap data. Ada yang menangkap data secara intuitif melalui persepsi subyektifnya. Pada pengolahan data terdapat dua pola, yaitu jenis pemikir dan perasa. Pemikir adalah orang yang rasional, dengan proses yang muncul dan konsisten. Adapun perasa adalah orang yang lebih menekankan keselarasan, keseimbangan, dan kebijakan dalam penalaran secara menyeluruh. Menurut teori Jung tersebut, kepribadian setiap orang didominasi oleh salah satu dari empat karakteristik yang dilengkapi oleh salah satu karakteristik lainnya. Kombinasi dua dimensi dari Jung itu akan menghasilkan gabungan karakteristik manusia di dalam memilih dan mengolah data menjadi informasi. Adapun kombinasi dua dimensi tersebut adalah jenis pengamat-perasa-intuitif-perasa, pengamat-pemikir, dan intuitif-pemikir. Implikasi dari teori Jung tersebut adalah bahwa data yang sama akan diolah menjadi informasi yang berbeda, yang berakibat pesan yang disampaikan
19
berbeda antara orang satu dengan yang lainnya. Pertama, untuk masalah yang sama, seseorang akan mencari informasi yang berbeda. Kedua, interpretasi seseorang terhadap suatu informasi akan berbeda karena perbedaan persepsi. Ketiga, kepribadian seseorang akan mempengaruhi pandangan terhadap kebijakan yang diambil, sehingga terjadi ketidakcocokan mengenai kebijakan yang sama. Selektivitas Informasi Fisher (1986) menjelaskan komunikasi manusia berpusat pada “keaktifan” komunikator/penafsir. Model masukan-keluaran dengan jelas memperlihatkan bahwa semata-mata adanya informasi tidaklah menjamin bahwa individu menerimanya atau menyimpannya. Dengan kata lain, para komunikator secara aktif mengendalikan informasi yang mereka olah. Strategi pengontrolan yang paling penting yang mereka miliki adalah selektivitas, di mana individu dapat memilih bagi dirinya informasi apa yang ingin diterimanya, informasi apa yang diingatnya, dan informasi apa yang akan disalurkan kepada orang lain. Biasanya selektivitas dijelaskan sebagai alat pertahanan ego, di mana individu mencari informasi yang konsisten dengan keyakinan sebelumnya dan menyimpan (mengingat) informasi yang juga konsisten dengan keyakinan semula, sehingga dengan cara itu melupakan informasi yang berbeda. Hasil dari prinsip terpaan dan ingatan yang selektif ini adalah penghindaran selektif, yang menyatakan bahwa seseorang akan cenderung untuk mengabaikan atau menghindari informasi yang ada dalam lingkungannya yang tidak konsisten dengan keyakinan yang ada. Prinsip terpaan ini merupakan penunjang empiris teori keseimbangan kognitif. Faktor yang mempengaruhi prinsip terpaan atau seleksi informasi, antara lain : pertahanan ego mencakup asimilasi informasi baru yang ada dalam batas-batas penerimaannya (latitudes of acceptance) dengan pengalaman informasi di masa lampau, kepercayaan pada keyakinan yang dimiliki, rasa keterbukaan, relevansi atau pentingnya keyakinan, daya guna informasi dan kompromi pada tekanan sosial. Kapasitas individu untuk mengolah informasi tidaklah memada dan hanya menangani sebagian kecil saja dari informasi yang telah diterima. Sistem Informasi Pertanian Van den Ban dan Hawkins (1999) menjelaskan konsep sistem pengetahuan dan informasi pertanian atau Agricultural Knowledge and Information System (AKIS) berguna untuk menganalisis cara-cara yang mendukung petani karena adanya pengetahuan dan informasi. Sistem tersebut dapat didefinisikan sebagai :
20
“Orang-orang, jaringan-jaringan kerja, dan lembaga-lembaga beserta penyatuan dan hubungan di antara mereka yang mengikutsertakan atau mengatur pembangkitan, transformasi,
transmisi,
penyimpanan,
pemanggilan,
integrasi,
difusi,
serta
pemanfaatan pengetahuan dan informasi, dan yang secara potensial bekerja secara sinergis untuk meningkatkan keserasian antara pengetahuan dan lingkungan, dan teknologi yang digunakan dalam pertanian.“ Sistem pengetahuan dan informasi pertanian tersebut dapat berperan dalam membantu petani dengan melibatkannya secara langsung dengan sejumlah besar kesempatan, sehingga mampu memilih kesempatan yang sesuai dengan situasi dan kondisi faktual di lapangan. Peningkatan efektifitas jejaring pertukaran informasi antar pelaku agribisnis terkait merupakan aspek penting untuk mewujudkan sistem pengetahuan dan informasi pertanian. Gagasan yang melandasi AKIS adalah bahwa petani menggunakan sumbersumber yang berbeda untuk mendapatkan pengetahuan dan informasi yang mereka perlukan
untuk
mengelola
usaha
tani
mereka,
dan
pengetahuan
baru
itu
dikembangkan tidak hanya oleh lembaga penelitian, tetapi juga oleh banyak pelaku yang berbeda. Hal ini akan sangat bermanfaat untuk menganalisis bagaimana sumbersumber ini saling melengkapi dan mendukung satu sama lain, atau mungkin macammacam konflik yang ada di antara sumber-sumber tersebut. Sumber yang manakah yang dituju oleh petani untuk mendapatkan sejenis pengetahuan atau informasi, dan dari manakah sumber tersebut memperoleh pengetahuan dan informasi itu ? Misalnya, bagaimana penelitian pertanian dan penyuluhan dapat bekerka sama? Sistem Pengetahuan dan Informasi pertanian atau AKIS ini juga menganalisis arus informasi dari petani ke petani lain, ke peneliti, ke pembuat kebijakan dan ke pengusaha. Petani memerlukan pengetahuan dan informasi mengenai berbagai topik untuk mengelola usaha taninya dengan baik, seperti : 1.
Hasil penemuan dari penelitian berbagai disiplin pengelolaan usaha tani dan teknologi produksi;
2.
Pengalaman petani lain;
3.
Situasi mutakhir dan perkembangan yang mungkin terjadi di pasaran input dan hasil-hasil produksi; dan
4.
Kebijakan pemerintah. Untuk menganalisis sistem pengetahuan dan informasi pertanian (AKIS), dapat
digunakan analisis SWOT (kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman) terhadap AKIS. Analisis AKIS dapat menjadi tanggung jawab lembaga penyuluhan dan harus
21
dimanfaatkan untuk meningkatkan koordinasi antar para pelaku di dalamnya, misalnya dengan cara mendiskusikan bagaimana tiap organisasi dapat berperan semaksimal mungkin untuk membuat sistem ini lebih efektif. Keberhasilan sistem informasi dapat terwujud apabila dibentuk jaringan kerja di antara para pelaku-pelaku informasi yang bersangkutan dan yang menjadi koordinatornya adalah lembaga penyuluhan. Sumardjo, dkk (2010) menjelaskan bahwa dewasa ini pelaku pengembangan pertanian di Indonesia masih mengeluhkan minimnya informasi pertanian tepat guna yang dapat disediakan oleh Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pertanian. Oleh karena itu, menjadi kewajiban Kementerian untuk dapat menyediakan informasi pertanian bagi pelaku agribisnis. Kementerian
Pertanian
untuk
Penyuluhan pertanian sebagai tonggak penting melakukan
pengembangan
sistem
informasi
pembangunan pertanian saat ini masih menghadapi banyak permasalahan penting, khususnya dalam mengembangkan informasi tepat guna yang berkelanjutan. Penyuluh sering dihadapkan pada permasalahan keterbatasan informasi yang sebenarnya dibutuhkan oleh petani sebagai pelaku utama pembangunan pertanian. Sementara itu, dalam UU No. 16 Tahun 2006 pasal 15 ayat 1c telah diamanatkan bahwa Balai Penyuluhan berkewajiban menyediakan dan menyebarkan informasi tentang teknologi, sarana produksi, pembiayaan, dan pasar. Adapun dalam ayat 1e diamanatkan pula bahwa Balai Penyuluhan bertugas memfasilitasi peningkatan kapasitas penyuluh PNS, Penyuluh Swadaya, dan Penyuluh Swasta melalui proses pembelajaran secara berkelanjutan. Dalam situasi saat ini, tugas tersebut menjadi sulit atau tidak dapat dilaksanakan apabila tidak ada mekanisme yang terprogram untuk mendukung ketersediaan informasi inovatif pertanian yang mutakhir dan berkelanjutan. Kondisi sistem informasi agribisnis pada saat ini masih cenderung asimetris. Pelaku agribisnis hilir lebih menguasai informasi tentang kualitas dan kuantitas produk yang dibutuhkan oleh pasar dibandingkan dengan pelaku agribisnis yang berada di hulu. Terdapat kesenjangan yang nyata antara pelaku agribisnis hulu (petani) dengan hilir (pelaku usaha). Keadaan ini lebih menguntungkan para pelaku agribisnis hilir dan pelaku agribisnis hulu menjadi terdominasi oleh pelaku agribisnis hilir, karena lemahnya informasi dalam proses pengambilan keputusan usahatani. Pengembangan pusat pemadu sistem informasi bidang pertanian di lokasi yang stretegis dengan pemanfaatan berbagai media yang mampu menjembatani antara penghasil atau sumber teknologi dengan pengguna akhir merupakan salah satu pemecahan permasalahan dalam meningkatkan efektivitas pembangunan pertanian (Sumardjo et al , 2010).
22
Petani Sayuran Pertanian merupakan suatu usaha untuk mengadakan suatu ekosistem buatan yang bertugas menyediakan bahan makanan bagi manusia (Nasoetion, 2002). Sedangkan menurut Leeuwis (2004) pertanian memiliki fungsi untuk memproduksi makanan dan non makanan, tanaman atau produk-produk hewani. Adapun produk pertanian antara lain : buah-buahan, sayuran, bunga dan makanan olahan. Singkatnya pertanian merupakan segala kegiatan manusia, mencakup bercocok tanam, perikanan, peternakan, dan kehutanan. Menurut Mosher (1966) dalam Tamba (2007), petani adalah orang yang mengubah tanam-tanaman dan hewan serta sifat-sifat tubuh tanah supaya lebih berguna baginya dan manusia lainnya. Selanjutnya, dijelaskan bahwa petani sebagai orang yang menjalankan usahataninya, di samping sebagai juru tani sekaligus juga pengelola (manajer). Menurut Soejitno (1968) dalam Tamba (2007), batasan pengertian tentang petani adalah sebagai penduduk atau orang-orang yang untuk sementara atau secara tetap memiliki dan atau menguasai sebidang tanah pertanian dan mengerjakannya sendiri, baik dengan tenaganya sendiri (beserta keluarganya) maupun dengan menggunakan tenaga orang lain atau orang upahan. Termasuk dalam pengertian menguasai di sini adalah: menyewa, menggarap (penyakap), mamaro (bagi hasil), sedangkan buruh tani tak bertanah tidak masuk tidak masuk dalam kategori petani. Dengan demikian, pada dasarnya petani mempunyai eksistensi ganda di dalam kehidupannya sehari-hari, baik petani sebagai manusia, sebagai juru tani maupun selaku manajer dari usahataninya. Sehubungan dengan itu, setiap kegiatan penyuluhan pertanian yang menjadikan petani sebagai sasaran utamanya harus selalu memperhatikan sifat-sifat yang dimiliki petani sebagai ciri-ciri pokok yang akan mempengaruhi keberhasilan usaha dan perubahan perilaku yang ingin dicapai melalui kegiatan penyuluhan pertanian tersebut. Definisi lain menjelaskan bahwa petani adalah seseorang yang bergerak di bidang bisnis pertanian utamanya dengan cara melakukan pengelolaan tanah dengan tujuan untuk menumbuhkan dan memelihara tanaman (seperti padi, bunga, buah, sayuran dan lain lain), dengan harapan untuk memperoleh hasil dari tanaman tersebut untuk digunakan sendiri ataupun menjualnya kepada orang lain. Mereka juga dapat menyediakan bahan mentah bagi industri, seperti serealia untuk minuman beralkohol, buah untuk jus, dan wol atau flax (rami) untuk penenunan dan pembuatan pakaian. Dalam negara berkembang atau budaya pra-industri, kebanyakan petani melakukan
23
agrikultur subsistence yang sederhana - sebuah pertanian organik sederhana dengan penanaman bergilir yang sederhana pula atau teknik lainnya untuk memaksimumkan hasil, menggunakan benih yang diselamatkan yang "asli" dari ecoregion.
2
Dengan
demikian, petani sayuran dapat didefinisikan adalah seseorang yang bergerak di bidang bisnis pertanian utamanya dengan cara melakukan pengelolaan tanah dengan tujuan untuk menumbuhkan dan memelihara produk pertanian sayuran, dengan harapan untuk memperoleh hasil dari produk pertanian sayuran tersebut untuk digunakan sendiri ataupun menjualnya kepada orang lain. Agribisnis Tanaman Sayuran Nasoetion (2002) menjelaskan bahwa jauh sebelum para petani padi di Indonesia mengenal sarana produksi pertanian seperti pupuk dan obat pemberantas hama dan penyakit, para petani sayuran sebenarnya sudah lebih dahulu menggunakan sarana produksi seperti itu. Petani sayuran pada mulanya hanya berkembang usahanya di dekat kota-kota besar yang padat penduduknya, karena untuk pemasaran sayuran itu diperlukan pasar yang dekat. Hal itu disebabkan sayuran tidak tahan lama. Sekarang ini pola itu mulai berubah karena teknologi pascapanen sudah mulai berkembang sehingga cara mengemas dan cara menyimpan bahan kemasan di dalam ruang yang disejukkan sangat membantu para petani sayuran untuk memasarkan hasil pertaniannya ke tempat yang lebih jauh. Daerah produksi sayuran di Indonesia ialah Tanah Karo untuk daerah pemasaran Medan dan Singapura, Bukit Tinggi untuk Padang, Pengalengan untuk Bandung, Bogor, dan Jakarta, Puncak/Sindanglaya untuk Bogor dan Jakarta, Batu untuk Malang dan Surabaya. Salah satu kelemahan dalam peningkatan mutu hasil pertanian sayuran ialah bahwa jenis-jenis unggul belum cepat dimanfaatkan oleh para petani karena belum banyak pengusaha yang berani menanamkan modalnya dalam budang penangkaran bibit unggul. Rahardi et al (1993) menjelaskan bahwa sayuran dapat digolongkan pada jenis sayuran komersial dan non komersial. Komersial di sini berarti sayuran tersebut mempunyai banyak peminat meskipun harganya relatif rendah atau sayuran tersebut diminati kalangan tertentu dengan harga tinggi atau mempunyai peluang bagus untuk komoditi ekspor.Idealnya seseorang mengkonsumsi sayuran sekitar 200 gram per hari. Berarti penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 170 juta jiwa memerlukan 34.000 ton sayuran per hari. Jumlah total kebutuhan sayuran merupakan potensi yang besar bagi pasar sayuran. 2
http.wikipedia.org/wiki diakses pada tanggal 2 Juli 2010
24
Kesadaran masyarakat tentang pentingnya mutu makanan, termasuk sayuran, semakin meningkat seiring dengan meningkatnya pendidikan dan pengetahuan masyarakat. Hal ini jelas terlihat pada masyarakat kota yang sebagian besar memang mampu membelinya. Dengan demikian jelaslah bahwa mutu dan kesegaran sayuran sangat menentukan harganya. Padahal seperti produk hortikultura yang lain, sayuran sangat mudah rusak dan membusuk dalam waktu yang relatif singkat sehingga mutunya menurun atau bahkan tidak dapat dikonsumsi sama sekali. Hal ini berarti pasar harus selalu dipasok sayuran segar setiap hari. Dari sini bisa ditarik kesimpulan, peluang bisnis sayuran cukup besar dan menarik. Untuk menghasilkan sayuran komersial yang segar dan bermutu tinggi dengan harga yang layak dan keuntungan yang memadai diperlukan suatu penanganan yang baik mulai dari perencanaan tanam hingga pemasarannya ke konsumen. Kesemuanya ini tercakup dalam manajemen sayuran komersial yang merupakan suatu kasus manajemen yang bersifat unik. Ada tiga aspek pokok yang penting diketahui dalam bisnis apapun termasuk bisnis sayuran. Ketiga aspek tersebut adalah sebagai berikut: 1. Aspek produksi, yaitu proses kegiatan manajemen yang diterapkan dalam sistem produksi. Manajemen produksi mencakup tentang perencanaan produksi dan pengendalian proses produksi yang di dalamnya terdapat pula pengambilan keputusan dalam bidang persiapan dan proses produksi untuk jangka pendek menengah atau panjang. Dengan demikian diharapkan pengusaha dapat diharapkan berproduksi secara efisien. 2. Aspek pemasaran, yaitu kegiatan untuk mendistribusikan hasil produksi ke tangan konsumen dengan harga yang layak. Untuk melakukan pemasaran diperlukan manajemen yang baik agar pengusaha mendapatkan keuntungan yang diharapkan. 3. Aspek keuangan, yaitu kegiatan pengelolaan keuangan dalam suatu usaha. Di dalamnya termasuk pula bagaimana cara mendapatkan dan mengalokasikan dana untuk suatu rangkaian kegiatan usaha (bisnis). Usaha sayuran komersial membutuhkan suatu manajemen yang sifatnya unik. Keunikan ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain: produksi sayuran komersial tidak dipengaruhi musim, komoditi sayuran komersial relatif mudah rusak, usianya pendek (sayur musim) dan dalam pengusahaannya membutuhkan perawatan yang relatif intensif. Dalam bisnis sayuran manajemennya dapat didefinisikan sebagai kegiatan menghasilkan dan mendistribusikan pada pengusaha atau langsung pada konsumen, dan memrosesnya bila mungkin.
25
Teori Uses and Effects Menurut Sendjaja (2002) dikutip oleh Bungin (2007), teori uses and effects pertama kali dikemukakan oleh Sven Windahl pada tahun 1979, merupakan sintesis antara pendekatan uses and gratifications dan teori tradisional; mengenai efek. Asumsi yang mendasari teori ini melihat effect, consequences atau conseffect sebagai hasil dari aktivitas khalayak untuk mengkonsumsi isi media (Rakhmat, 2005). Konsep ‘use’ (penggunaan) merupakan bagian yang sangat penting atau pokok dari pemikiran ini, karena pengetahuan mengenai penggunaan media yang menyebabnya, akan memberikan jalan bagi pemahaman dan perkiraan tentang hasil dari suatu proses komunikasi massa. Penggunaan media massa dapat memiliki banyak arti. Ini dapat berarti exposure yang semata-mata menunjuk pada tindakan mempersepsi. Dalam konteks lain, pengertian tersebut dapat menjadi suatu proses yang lebih kompleks, di mana isi terkait harapan-harapan tertentu untuk dapat dipenuhi, fokus dari teori ini lebih kepada pengertian yang kedua. Tahap Perubahan dalam Komunikasi Bungin (2007) menjelaskan tahap-tahap perubahan dalam proses komunikasi terhadap pengambilan keputusan. Suatu keputusan biasanya diawali oleh adanya kesadaran atas pemenuhan kebutuhan dan keinginan, yang disebut need arousal atau timbulnya kebutuhan. Sehingga banyak orang memahami tahap ini sebagai tahap menyadari adanya masalah (problem recognition). Kemudian dengan melakukan pencarian informasi atau pengetahuan yang berhubungan dengan apa yang dikomunikasikan melalui seleksi alternatif sumber yang tersedia, akan berkembang. Untuk mempermudah memahami tahap-tahap pengaruh komunikasi terhadap perubahan pada diri individu dalam masyarakat, lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1. Pada model ini terdapat enam tahap perubahan, yakni : kesadaran, pengetahuan, kesukaan, pilihan, pernyataan, dan tindakan. Enam tahap perubahan tersebut merupakan pengaruh komunikasi yang dikelompokkan dalam tiga dimensi yang harus dilalui oleh proses komunikasi, yaitu : kognitif, afektif, dan konatif. Dimensi kognitif berkaitan dengan kesadaran dan pengetahuan (ide/gagasan) yang kita ketahui, dimensi afektif berkaitan dengan sikap (suka/tidak) kita terhadap sesuatu menuju kepada pilihan-pilihan, sedangkan dimensi konatif berkaitan dengan keadaan di mana kita berada pada penentuan pengambilan keputusan (tingkah laku kita) terhadap sesuatu. Melalui mekanisme proses yang bertahap, efektivitas pesan diorganisasi dan diberi makna, sehingga akan menentukan dan membentuk rangkaian struktur
26
kesadaran kita dalam mengambil keputusan yang tepat. Pada konteks ini, tersirat bahwa faktor-faktor aktual pada diri individu berkaitan dengan kebutuhan dan kepentingannya yang dominan, sementara faktor ideal selalu menjadi suatu rujukan. Jika kedua faktor tersebut (aktual dan ideal) berada dalam posisi yang sejajar atau sama, pada saat itu tidak akan timbul perubahan dalam dirinya. Namun jika faktor ideal lebih eksis dan dominan, pada saat itu akan timbul kesadaran dan kesempatan melakukan perubahan terhadap obyek yang dimaknai. Selain itu, faktor sosial budaya yang hidup dan berkembang dalam masyarakat seperti : nilai, norma, dan kepercayaan, merupakan sesuatu yang ikut memengaruhi tahap perubahan pada diri seseorang. Faktor tersebut menjadi sumber dan modal kepercayaan dan harapan, baik bagi individu maupun kelompok dalam masyarakat. Pesan-pesan komunikasi yang disampaikan perlu dirumuskan dan dipertimbangkan secara cermat sehingga akan sangat membantu individu, kelompok dan masyarakat dalam merumuskan dan mengonstruksi kembali makna dan manfaat pesan komunikasi sesuai dengan kepercayaan dan harapan mereka. Berikut akan ditampilkan ilustrasi jalur perubahan kepercayaan, sikap, dan perilaku. Dimensi-dimensi yang berhubungan
Pergerakan menuju tindakan
KONATIF
Tindakan
Bidang motivasi. Pesan-pesan merangsang atau mengarahkan keinginan.
Pernyataan
AFEKTIF Bidang emosi. Pesan-pesan yang
Pilihan
mengubah tingkah laku dan perasaan. Kesukaan KOGNITIF Bidang Pikiran/Gagasan. Pesan-pesan
Pengetahuan
menyediakan informasi dan kenyataankenyataan.
Kesadaran
Gambar 1. Pengaruh-pengaruh komunikasi (Severin-Tankard, 2005 dikutip oleh Dilla, 2007)
Gambar 2 memperlihatkan bagaimana sebuah pesan komunikasi, melalui saluran komunikasi yang tersedia merumuskan dan mempertimbangkan faktor sosialbudaya yang secara inheren berlaku dalam masyarakat. Lewat mekanisme tertentu,
27
faktor
sosial
budaya
kemudian
akan
memengaruhi
pemrossesan
informasi,
kepercayaan, sikap, dan perilaku. Proses perubahan terjadi melalui seluruh jalur secara berbeda. Pada jalur pengambilan keputusan, perubahan terjadi berdasarkan informasi logis sehingga keputusan tersebut bersifat rasional semata. Sementara pada jalur eksperiental, selain melalui pertimbangan informasi, perubahan juga terjadi berdasarkan pengalaman-pengalaman yang mendukung sebelumnya. Sedangkan pada jalur behavioral, perubahan terjadi selain pertimbangan logis dan pengalaman yang mendukung sebelumnya, perubahan yang terjadi berdasarkan beberapa perilaku yang relevan. Inilah yang kemudian dalam teori komunikasi dikenal sebagai efek dari proses komunikasi.
Pesan komunikasi (ide, gagasan, produk) Komunikasi Pribadi, kelompok/organisasi, dan media massa Faktor sosial-budaya
Pemrosesan Informasi
Jalur Pembuatan
Keputusan Jalur
Perubahan Kepercayaan
Eksperiental
Jalur
High Involvement Low Involvement Perubahan Sikap
Pengaruh Behavioral Perubahan Perilaku
Gambar 2. Jalur kepercayaan, sikap dan perilaku (Diadaptasi dari John C. Mowen (1995) dikutip oleh Dilla (2007)
Pada komunikasi antarpribadi, proses komunikasi berlangsung secara tatap muka. Sedangkan pada komunikasi kelompok, selain berlangsung secara tatap muka, proses komunikasi juga mengikat mereka yang terlibat. Pada komunikasi massa,
28
proses komunikasi berlangsung satu arah (linear), selain memiliki kemampuan melipatgandakan penyebaran pesan komunikasi, komunikasi massa juga memiliki daya memengaruhi (persuasi) khalayak dalam jumlah yang tak terbatas. Untuk itu, McQuail (1987) membedakan jenis perubahan yang mungkin terjadi dengan menggunakan media massa, yakni : (1) menyebabkan perubahan yang diinginkan, (2) menyebabkan perubahan yang tidak diinginkan, (3) menyebabkan perubahan kecil (bentuk dan intensitas), (4) memperlancar perubahan (suka atau tidak), (5) memperkuat yang ada, (6) mencegah perubahan. Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini antara lain yaitu : 1. Tesis
penelitian
Ma’mir
(2001)
berjudul
‘Perilaku
petani
sayuran
dalam
pemanfaatan sumber informasi agribisnis tanaman sayuran di Kabupaten Kendari, Sulawesi Tenggara.’ Penelitian ini menghasilkan kesimpulan sebagai berikut: a. Tingkat pemanfaatan sumber informasi agribisnis tanaman sayuran yang paling tinggi, baik persentase jumlah petani dan intensitas keterdedahan informasi tanaman sayuran maupun pemanfaatan informasi adalah melalui saluran interpersonal disusul kemudian media elektronik dan media cetak. b. Informasi agribisnis yang paling dibutuhkan oleh petani adalah informasi subsistem hilir (informasi harga hasil produksi). Urutan selanjutnya adalah informasi subsistem hulu (obat-obatan, jenis dan harga sarana produksi), informasi subsistem budidaya (memilih/menggunakan obat-obatan) dan informasi subsistem penunjang (mencari dan menggunakan modal). c. Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku pemanfaatan sumber informasi adalah motivasi kognitif dan kebutuhan inforrnasi, khususnya mengenal subsistem hulu, susbsistem hilir dan subsistem penunjang. Karakteristik demografis dan ketersediaan inforrnasi tidak berhubungan dengan perilaku pemanfaatan sumber inforrmasi agribinis tanaman sayuran di Kabupaten Kendari. 2. Tesis penelitian Wijayanti (2003) berjudul ‘Kebutuhan informasi petani tanaman hias (kasus di Kota Jakarta Barat).’ Penelitian ini menghasilkan kesimpulan sebagai berikut: a. Pola pencarian informasi oleh petani tanaman hias di Jakarta Barat secara umum termasuk sedang, dengan dukungan faktor : (1) usaha pencarian informasi sedang (petani cenderung mencari sendiri, tetapi tidak dilakukan secara rutin); (2)
sumber
informasi
rendah-sedang
(menggunakan
petani
dan
29
pedagang/konsumen sebagai sumber informasi); (3) inisiatif pencarian informasi tinggi; dan komunikasi informasi rata-rata sedang (petani lebih menyukai kontak langsung secara informal atau kalau menggunakan media lebih menyukai yang terlihat dan terdengar). b. Pola pencarian informasi petani tanaman hias di Jakarta Barat berhubungan secara tidak nyata dengan ciri pribadi petani. c. Pola pencarian informasi petani tanaman hias di Jakarta Barat berhubungan sangat nyata dengan ciri usahatani tanaman hias. Faktor ciri usahatani yang berhubungan sangat nyata dengan pola pencarian informasi adalah status usaha, skala usaha, dan cara usaha, faktor yang berhubungan nyata dengan pola pencarian informasi adalah profesionalisme, lokasi dan pengalaman usahatani. d. Pola pencarian informasi petani tanaman hias Jakarta Barat berhubungan secara tidak nyata oleh kebutuhan informasi pertanian. 3. Tesis penelitian Ihsaniyati (2010) berjudul ‘Kebutuhan dan perilaku pencarian informasi petani gurem (kasus Desa Rowo Kecamatan Kandangan Kabupaten Temanggung).’ Penelitian ini menghasilkan kesimpulan sebagai berikut: a. Petani gurem di Desa Rowo tidak homogen, peneliti menduga ada dua golongan petani gurem yaitu petani gurem pengambil resiko tinggi (PRT) dan petani gurem pengambil resiko rendah (PRR). Petani gurem di Desa Rowo juga menekuni pekerjaan lain diluar usahatani untuk bertahan hidup. Usahatani atau pekerjaan lain yang ditekuni petani gurem PRT cenderung lebih komersial, beresiko tinggi, membutuhkan modal besar, garapan/pekerjaan rumit, membutuhkan curahan pikiran/konsentrasi dan tenaga yang lebih besar. Usahatani/pekerjaan lain yang ditekuni petani gurem PRR cenderung lebih rendah resiko, tidak membutuhkan banyak curahan pikiran dan konsentrasi yang lebih besar. Dalam menjalankan usahatani/pekerjaan lain, petani gurem baik PRT dan PRR sangat membutuhkan informasi. Kebutuhan informasi mereka penuhi dengan melakukan usaha pencarian/penemuan informasi. Namun dalam proses pencarian informasi yang dibutuhkan, mereka menghadapi kendala. b. Kebutuhan informasi petani gurem pengambil resiko tinggi (PRT) dan petani gurem
pengambil
resiko
rendah
(PRR)
berbeda.
Petani
gurem
PRT
membutuhkan informasi yang lebih bersifat fluktuatif, akurat, perlu pemenuhan segera (berkaitan dengan waktu), berkaitan dengan untung/rugi secara ekonomis maupun non ekonomis, perlu pemantauan terus menerus. Petani gurem
30
pengambil resiko rendah (PRR) membutuhkan informasi yang cenderung lebih stabil, rutin dan biasa, relatif rendah resiko, dan bagi petani gurem relatif tidak mendesak. c. Perilaku pencarian informasi petani gurem pengambil resiko tinggi (PRT) dan petani gurem pengambil resiko rendah (PRR) berbeda. Perilaku pencarian informasi petani gurem PRT lebih kompleks, meliputi bayak tahap/kegiatan pencarian
informasi,
lebih
aktif,
lebih
berhati-hati,
dan
bersifat
siklis
(melingkar/berputar). Perilaku pencarian informasi petani gurem PRR lebih sederhana, linear, tidak melakukan banyak tahap/kegiatan pencarian informasi. Semakin banyak dan kompleks kegiatan pencarian informasi yang dilakukan petani gurem, maka semakin beragam dan banyak sumber informasi yang didatangi/digunakan. d. Kendala dalam pencarian informasi yang ditemui petani gurem pengambil resiko tinggi (PRT) dan petani gurem pengambil resiko rendah (PRR) berbeda. Kendala yang ditemui petani gurem PRT lebih bersifat ekstrem (interpersonal dan lingkungan).
Kendala
ketidakpercayaan,
interpersonal
ketidakterbukaan,
yang
ditemui
ketidakakraban.
mereka Kendala
antara
lain
lingkungan
meliputi keterbatasan penyuluh dan penyuluhan pertanian, alur dan waktu pencarian yang panjang, keterbatasan akses petani terhadap media audio dan cetak, jarak dengan sumber informasi. Kendala yang ditemui petani gurem PRR lebih cenderung bersifat intern (personal) seperti keterbatasan ekonomi dalam pencarian dan penggunaan informasi, karakter/sifat (“tidak memaksakan diri”), rasa sungkan/pekewuh, usia. Ada satu kendala interpersonal yang ditemui petani gurem PRR yaitu ketidakterbukaan sumber informasi. 4. Disertasi penelitian Tamba (2007) berjudul ‘Kebutuhan informasi pertanian dan aksesnya bagi petani sayuran: pengembangan model penyediaan informasi pertanian dalam pemberdayaan petani, kasus di Provinsi Jawa Barat.’ Penelitian ini menghasilkan kesimpulan sebagai berikut: a. Secara keseluruhan, penyelenggaraan penyuluhan pertanian di Provinsi Jawa Barat mengalami distorsi, antara lain karena tidak adanya satu kesatuan kelembagaan manajemen penyuluhan, mengakibatkan rendahnya motivasi dan kineria penyuluh. b. Tingkat kesadaran petani sayuran akan pentingnya informasi umumnya masih rendah, karena petani berkembang masih fokus pada kegiatan rutin usahatani
31
dan pemenuhan kebutuhan hidup keluarganya, sedangkan petani maju pesimis akan ketersedian informasi yang dibutuhkannya tersedia di wilayah/desanya. c. Secara keseluruhan, baik petani maju maupun petani berkembang sama-sama membutuhkan
berbagai
informasi
pertanian
seperti
informasi
tentang
peningkatan produksi dan mutu sayuran; ketersediaan sarana produksi, ketersediaan permodalan; lokasi pemasaran dan harga sayuran; teknologi pengolahan hasil sayuran, dan informasi tentang metode analisis usahatani sayuran. Perbedaannya adalah dalam hal tingkat kebutuhan untuk masing-masing jenis informasi pertanian, karena tingkat kesadaran akan pentingnya informasi dan tingkat motivasi petani maju dalam berusahatani sayuran lebih tinggi daripada petani berkembang. Jenis informasi yang paling tinggi tinggi tingkat kebutuhannya adalah informasi tentang metode analisis usahatani sayuran. Informasi ini sangat dibutuhkan pada tahap perencanaan usahatani. d. Kemampuan petani dalam mengakses informasi, umumnya masih rendah, dan kemampuan petani maju dalam mengakses informasi lebih tinggi dari petani berkembang, karena terkait dengan biaya yang dimiliki untuk akses ke sumber informasi. Umumnya petani berkembang memiliki pendapatan yang lebih rendah dari petani maju sehingga petani berkembang lebih mementingkan pemenuhan kebutuhan hidup keluarganya daripada kebutuhan terhadap informasi pertanian. e. Faktor lingkungan seperti: lingkungan fisik, lingkungan sosial, ketersediaan informasi pertanian, kondisi megapolitan, serta kebijakan bidang penyuluhan dan pembangunan subsektor hortikultura, umumnya masih kurang kondusif, karena kurangnya komitmen pemerintah daerah terutama dalam hal penyediaan sarana dan prasarana (seperti: gudang pendingin, pasar tani), modal usahatani, perbaikan ranJai pemasaran, kerjasama pemasaran antar daerah dalam satu kawasan (megapolitan), penyediaan tenaga penyuluh yang kompeten, dan penyediaan sarana dan prasarana penyuluhan. Lingkungan yang kurang kondusif ini, akan mempengaruhi motivasi petani dalam mencari informasi pertanian. f. Kualitas sumber informasi pertanian umumnya masih rendah, hal ini dapat dilihat dari ketersediaan sumber informasi pertanian yang masih terbatas seperti: penyuluh pertanian, BPP, koperasi, kelompok tani. Petani hanya mengandalkan pedagang sarana produksi dan tengkulak. Di samping itu, terbatasnya kemampuan sumber informasi menyediakan informasi pertanian karena belum ada institusi/lembaga yang bertanggungiawab mengolah dan menyediakan
32
informasi pertanian bagi petani sayuran dan kurangnya komitmen pemerintah dalam menyediakan informasi pertanian bagi petani. g. Secara keseluruhan, tingkat kemudahan petani dalam mendapatkan informasi pertanian masih rendah (tidak mudah) terutama karena petani kurang komunikatif atau kurang berinteraksi dengan kelompok tani, penyuluh, inovator, dan masyarakat luas. Di samping itu, menurunnya kualitas penyuluhan (seperti terbatasnya jumlah penyuluh dan materi penyuluhan) karena kondisi penyuluhan saat ini kurang mendukung pengembangan usahatani sayuran. Demikian juga, penggunaan saluran komunikasi (inter-personal dan media massa) dan alat komunikasi (telepon dan handphone) serta keterjangkauan petani (faktor biaya dan jarak/lokasi) masih kurang, karena pendapatan petani saat ini umumnya masih rendah sehingga belum termotivasi untuk mencari informasi pertanian. h. Kualitas informasi pertanian yang tersedia masih rendah, artinya informasi pertanian
yang
diperoleh
petani
sayuran
selama
ini
belum
mampu
memberdayakan petani. Artinya, informasi yang diperoleh petani masih kurang relevan (kurang terkait dengan usahatani sayuran; kurang akurat (kurang dapat dipercaya kebenarannya karena sumber informasi tidak dapat dipercaya); kurang lengkap (belum cukup dibandingkan dengan jumah informasi yang dibutuhkan); kurang tajam (tidak spesifik menggambarkan atau mengatasi masalah usahatani sayuran); kurang tepat waktu (tidak diperoleh informasi pada saat dibutuhkan); dan kurang terwakili (kurang sesuai dengan kenyataan atau fakta sebenarnya) karena kondisi penyelenggaraan penyuluhan saat ini, kurang kondusif dalam menyediakan informasi bagi petani sayuran. i. Tingkat keberdayaan petani dalam mengembangkan usahatani sayuran masih rendah atau kurang berdaya, antara lain karena rendahnya kesadaran petani akan pentingnya informasi, kurangnya kemampuan petani untuk akses ke sumber informasi pertanian, kurang kondusifnya faktor lingkungan, dan rendahnya mutu informasi pertanian yang tersedia. Demikian juga, petani maju lebih tinggi tingkat keberdayaannya dalam mengembangkan usahatani sayuran daripada petani berkembang, karena petani maju lebih memiliki akses ke sumber informasi daripada petani berkembang. j. Tingkat keberdayaan petani sayuran, dipengaruhi oleh: (a) kesadaran petani sayuran terhadap pentingnya informasi serta memiliki akses ke sumber informasi pertanian; (b) tuntutan kebutuhan dan memperoleh informasi pertanian; (c) faktor lingkungan yang kondusif; (d) kualitas sumber informasi pertanian; (e)
33
tersedianya informasi yang mudah dicerna dan diserap petani; dan (t) mudahnya petani mendapatkan informasi pertanian. Dalam hal ini, keberdayaan petani sayuran
dapat
merencanakan,
dilihat
dari
melaksanakan,
meningkatnya mengevaluasi,
kemampuan dan
petani
mengatasi
dalam masalah
usahatani sayuran. k. Model penyediaan informasi pertanian bagi petani sayuran dirumuskan dengan melakukan beberapa strategi antara lain: (1) meningkatkan kesadaran petani sayuran akan pentingnya informasi dan akses ke sumber informasi; (2) mengidentifikasi informasi yang dibutuhkan petani sayuran; (3) meningkatkan kompetensi penyuluh pertanian; (4) membangun komitmen bersama antar lembaga terkait untuk berkerjasama dan berkoordinasi dalam penyediaan informasi pertanian; (5) memanfaatkan saluran dan alat komunikasi untuk meningkatkan kemampuan mengakses informasi serta memudahkan petani mendapatkan informasi; (6) menyiapkan rancangan mekanisme aliran informasi pertanian; (7) menyediakan publikasi informasi dalam bentuk cetakan dan digital yang mudah dicema dan diserap petani; (8) kebijakan· yang mendukung agribisnis sayuran (seperti: pemasaran, penyediaan sarana dan prasarana); dan (9) memanfaatkan UU No.16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan sebagai landasan hukum dalam penyelenggaraan penyuluhan pertanian. 5. Disertasi penelitian Mulyandari (2011) berjudul ‘Cyber Extension sebagai Media Komunikasi dalam Pemberdayaan Petani Sayuran.’ Penelitian ini menghasilkan kesimpulan sebagai berikut: a.
Meskipun tidak didukung oleh program pengembangan akses sistem informasi berbasis teknologi informasi, petani di Jabar memiliki tingkat pengetahuan dan keterampilan yang secara nyata lebih tinggi dibandingkan dengan petani di Jatim. Hal ini disebabkan oleh lebih proaktifnya petani di Pacet dalam memanfaatkan teknologi informasi untuk mendukung kegiatan usahatani terutama dalam menghadapi penetrasi pasar dan pengembangan jaringan pemasaran. Namun demikian, ternyata sikap petani di Jatim terhadap pemanfaatan teknologi informasi lebih positif dibandingkan dengan petani di Jabar. Pengalaman yang kurang baik dari petani di Jabar terkait dengan content yang belum komprehensif dan tepat guna cenderung membuat petani lebih berhati-hati dalam memanfaatkan informasi melalui teknologi informasi untuk mendukung kegiatan usahatani. Karakteristik individu yang dipersepsikan
34
dengan tingkat kekosmopolitan merupakan faktor dominan yang memiliki pengaruh positif yang nyata terhadap perilaku dalam pemanfaatan teknologi informasi. b.
Pemanfaatan
cyber
extension
dipengaruhi
secara
nyata
oleh
tingkat
kekosmopolitan, persepsi terhadap karakteristik cyber extension, dan perilaku petani dalam memanfaatkan teknologi informasi. Faktor lingkungan yaitu ketersediaan sarana teknologi informasi secara langsung tidak mempengaruhi tingkat pemanfaatan cyber extension yang dipersepsikan dengan tingkat manfaat yang dirasakan, tingkat pengelolaan informasi, dan kualitas berbagi informasi. Sedangkan perilaku petani dalam pemanfaatan teknologi informasi memberikan pengaruh yang paling dominan terhadap tingkat keberdayaan petani. Semakin positif sikap petani terhadap pemanfaatan teknologi informasi dan semakin terampil dalam memanfaatkan teknologi informasi untuk mendukung kegiatan usahataninya, semakin tinggi tingkat keberdayaan petani utamanya yang ditunjukkan dengan tingginya kemampuan petani dalam menentukan mengatur input, mengolah hasil pertanian, dan mengakses teknologi yang dibutuhkan untuk kegiatan usahataninya. Di samping itu,dengan tingginya tingkat ketersediaan sarana teknologi informasi yang dapat diakses untuk mendukung kegiatan usahatani juga akan meningkatkan keberdayaan petani khususnya dalam mengatur input produksi dan mengakses teknologi pertanian. c.
Strategi konvergensi komunikasi dalam pemanfaatan cyber extension dalam pemberdayaan petani sayuran disusun dengan mengembangkan komunikasi banyak tahap atau multi step flow communication dan kombinasi media sesuai dengan karakteristik petani. Peningkatan kapasitas petani dalam pemanfaatan teknologi informasi dan cyber extension dapat dilakukan melalui proses pendampingan dan pengembangan forum media dengan mengoptimalkan kelembagaan komunikasi lokal. Interaksi dengan pihak luar sistem sosial (tingkat kosmopolitan petani) dapat ditingkatkan melalui pengembangan access point yang disertai dengan operator yang mampu memfasilitasi petani dalam mengakses dan mengelola informasi.
d.
Mekanisme penguatan kinerja lembaga dalam pemanfaatan cyber extension dibagi menjadi empat tipe berdasarkan subyek pertama penggunanya, yaitu: 1) Pemanfaatan cyber extension oleh petani maju dan disebarkan kepada petani lain melalui berbagai media komunikasi yang ada di tingkat lokal, 2)
35
Pemanfaatan cyber extension oleh fasilitator telecenter dan disebarkan ke petani lain, 3) Pemanfaatan cyber extension oleh komunitas (lembaga komunikasi lokal) dan disebarkan ke petani lain, dan 4) Pemanfaatan cyber extension oleh penyuluh dan disebarkan secara interaktif secara langsung maupun tidak langsung ke petani. Berbagai hasil penelitian tersebut merupakan salah satu pemicu pemikiran untuk membuat sebuah kajian yang sama, namun dalam aspek yang berbeda yaitu pada pemanfaatan informasi oleh petani sayuran di mana pada penelitian-penelitian sebelumnya belum dikaji secara mendalam. Seperti yang telah dibahas dalam latar belakang bahwa informasi memiliki peran yang penting dalam berbagai aspek kehidupan termasuk pertanian yang merupakan leading sektor di Indonesia. Berbagai hasil temuan di beberapa wilayah di luar negeri dan dalam negeri mengenai pengalaman petani yang berhasil memanfaatkan informasi dalam usaha pertaniannya menambah argumen logis bahwa penelitian ini layak untuk dikaji dalam sebuah penelitian ilmiah.