TINJAUAN PUSTAKA Konsep tentang Kapasitas dan Pengembangan Kapasitas Penelitian tentang perilaku sebagaimana yang banyak dilakukan dalam penelitian penyuluhan, tidak jarang terdapat kerancuan pemahaman tentang beberapa konsep yang terkait dengan perilaku subjek penelitian, seperti kapasitas, kompetensi, dan kemandirian. Oleh karena itu, berikut akan dijelaskan tentang ketiga konsep tersebut, sehingga dapat diperoleh pemahaman tentang perbedaan yang mendasar antara ketiga konsep tersebut. Konsep Kapasitas Konsep kapasitas pada awalnya mengacu pada konteks objek fisik yang berarti menunjukkan suatu size atau ukuran suatu daya dukung objek. Sebagai contoh
kapasitas
mesin
produksi
dengan
ukuran
tertentu
menunjukkan
kemampuannya dalam memproduksi pada batasan tertentu sesuai dengan ukurannya. Selanjutnya, konsep kapasitas ini diintroduksi untuk konsep kapasitas pada objek orang, baik sebagai individu, kelompok, organisasi, maupun masyarakat. Konsep kapasitas mengacu pada tiga makna, yaitu sebagai (a)
ABILITY,
power, strength, facility, gift, intelligence, efficiency, genius, faculty, capability, forte, readiness, aptitude, aptness, competence or competency, (b)
SIZE,
room,
range, space, volume, extent, dimensions, scope, magnitude, compass, amplitude, dan (c)
FUNCTION,
position, role, post, appointment, province, sphere, service,
office (Collins Essential Thesaurus 2006). Liou (2004) menyatakan bahwa kapasitas mengarah pada konteks kinerja (performance), kemampuan (ability), kapabilitas (capability) dan potensi kualitatif suatu objek atau orang. Selaras dengan hal tersebut, Milen (2001) mendefinisikan kapasitas sebagai kemampuan individu, organisasi atau sistem untuk menjalankan secara tepat fungsi-fungsinya secara efektif, efesien, dan berkelanjutan. Kapasitas ini berhubungan dengan kinerja yang ditetapkan, dan ketepatan dalam menjalankan fungsi dan tugas, misalnya tingkat kontribusi seseorang dalam mencapai tujuan yang ditetapkan. Govnet (Morgan 2008) menyatakan bahwa kapasitas sebagai “the ability of people, organization, and society as a whole to manage their affairs succesfully” atau dengan kata lain kapasitas sebagai kemampuan orang-orang, 7
8
organisasi, dan masyarakat dalam mengelola segala urusannya secara sukses. Kaplan (Morgan 2008) mendefinisikan kapasitas sebagai kemampuan mengorganisir sesuai kegiatan, sehingga bersifat ulet, strategis, dan mandiri.
Dalam
kaitannya dengan pembangunan masyarakat, menurut Morgan (2008) kapasitas merupakan aset dan keterampilan yang diperlukan dalam implementasi program pembangunan, dan diperlukan pengorganisasian
infrastruktuktur kolektif dari
keterampilan, kepandaian dan pemecahan masalah dan efeknya bagi kehidupan masyarakat itu sendiri United Nation Development Program (UNDP 1998) mendefinisikan kapasitas sebagai kemampuan individu, lembaga atau masyarakat dalam menjalankan fungsi-fungsinya, memecahkan masalah, dan dalam menyusun dan mencapai tujuan yang berkelanjutan, seperti yang dinyatakan bahwa "capacity as the ability of individuals, institutions and societies to perform functions, solve problems, and set and achieve objectives in a sustainable manner.” Kapasitas yang ditunjukkan dalam suatu performa mengacu pada adanya tiga ranah yang mendasarinya, yaitu ranah pengetahuan, sikap dan keterampilan atau
tindakan (konatif).
Menurut Kenneth dan Stanley (McKenzie 1991),
pengetahuan (knowladge) merujuk pada konteks segala sesuatu yang diketahui, dengan demikian cakupannya sangat luas terhadap segala sesuatu yang diketahui manusia. Thurstone, Likert, dan Osgood (Azwar 1997) menyatakan bahwa sikap diartikan sebagai bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap juga diartikan sebagai kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu, seperti yang dinyatakan oleh Chave, Borgadus, LaPiere, Mead, Allport (Azwar 1997). Pengertian sikap yang lain adalah sikap sebagai konstelasi komponen-konponen kognitif, afektif, dan konatif yang saling berinteraksi dalam memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap suatu objek, seperti yang dinyatakan oleh Secord & Backman (Azwar 1997). Spencer dan Spencer (1993) mendefinisikan keterampilan sebagai kemampuan untuk mengerjakan tugas secara fisik dan mental.
Adapun kategori
keterampilan oleh Yukl (1998) dibagi menjadi tiga jenis, yaitu keterampilan teknis, keterampilan antar pribadi, dan keterampilan konseptual.
9
Kapasitas yang dimiliki oleh seseorang tidak serta merta diperoleh dengan sendirinya, melainkan berkembang sesuai dengan perkembangan dirinya sebagai manusia yang meliputi perkembangan biologi, psikologi, dan tingkah laku. Teori maturity model yang dikemukakan oleh Gessel (Salkind 1985) menyatakan bahwa kematangan manusia melalui tahapan secara biologis dan mengikuti sejarah evolusi suatu spesies. Tingkatan kemajuan pertumbuhan anak manusia melalui urutan dan bersifat individualistik yang ditentukan genotip dari anak itu sendiri, dengan demikian tingkat pertumbuhan tidak dapat dirubah secara mendasar. Penganut teori ini mempercayai, kemampuan seseorang hanya dapat dicapai pada tahap-tahap tertentu sesuai sebatas pada kemampuan biologis yang diperoleh secara genetis. Pengaruh lingkungan sosial terhadap perkembangan psikologis dinyatakan dalam teori psikososial Erik Erikson. Erikson (Salkind 1985) menyatakan bahwa perkembangan psikologikal merupakan hasil dari sebuah interaksi antara proses menuju kedewasaan atau kebutuhan biologis dengan permintaan sosial, serta kekuatan-kekuatan sosial yang dialami dalam setiap kehidupan sehari-hari. Erikson tidak mengabaikan kenyataan, secara biologi seseorang memiliki beberapa unsurunsur dasar dalam konsepsi, tetapi seiring waktu unsur-unsur tersebut bergabung membentuk struktur yang baru.
Dengan cara yang sama, bagian-bagian
psikologikal yang berbeda-beda secara bersama-sama menjadi bentuk yang baru dan secara kualitatif menjadi kesatuan yang unik. Tahapan dalam menuju bentuk sebagai fungsi yang menyeluruh tersebut, sebagai pengontrol proses pendewasaan, yang merupakan prinsip epigenetik. Erikson (Salkind 1985) menggambarkan delapan tahapan perkembangan yang diatur oleh kekuatan kematangan yang mendasarinya. Pada setiap tahapan terjadi konflik sebagai akibat secara tidak langsung dari perjuangan antara pendewasaan seseorang anak (kebutuhan biologi/insting) dan suatu permintaan sosial yang berlangsung pada seseorang. Ego menjadi kekuatan penengah utama dalam proses perkembangan tersebut. Sigmund Freud (Salkind 1985) dalam model psikoanalitik menyatakan bahwa perkembangan manusia terjadi secara dinamis, bersifat struktural, dan sequential. Komponen dinamis didasarkan pada asumsi bahwa manusia sebagai suatu sistem energi, energi tersebut tidak akan berubah apabila sistem tersebut
10
tertutup, dan distribusi energi dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti kebutuhan biologis tubuh, tingkatan perkembangan individu, pengalaman hidup, dan lingkungan. Insting merupakan sesuatu hal yang menggerakkan psikologikal yang tidak dipelajari, dan merupakan sifat yang asli di dalam kebutuhan biologis dan merupakan proses metabolisme pada setiap organisme/manusia. Tujuan insting adalah mencapai kepuasan. Menurut Freud (Salkind 1985), sebagian besar energi psikis pada kondisi di bawah sadar akan mempengaruhi tingkah laku, namun tidak pada tingkatan organisme tersebut sadar atau berfikir tentang sesuatu hal. Lebih lanjut Freud menguraikan bahwa dalam diri setiap manusia ada tiga tingkatan struktural, yaitu id, ego, dan superego. Pada tingkatan id, energi psikis sebagai energi yang bertujuan untuk mencapai kepuasan memenuhi kebutuhan dasar banyak dituangkan, maka organisme tersebut berada pada tahap proses berfikir tahap awal. Tahap selanjutnya adalah ego, merupakan hasil interaksi antara organisme dengan lingkungan.
Ego dibangun akibat tidak sanggupnya id
memenuhi
mencapai
kebutuhan
sendiri
membutuhkan bantuan lingkungan. identifikasi
ditandai
oleh
adanya
kepuasan,
sehingga
Proses ini disebut identifikasi. kesadaran,
membedakan antara kenyataan dan khayalan.
sehingga
organisme Mulainya
organisme
dapat
Proses ego difasilitasi adanya
perencanaan dengan menggunakan pemikiran, yang dinyatakan sebagai proses berfikir tahap kedua.
Tahap ketiga, superego sebagai psikis energi aktivitas
sebagai kekuatan yang menentang hal-hal yang yang diikatkan tentang kepuasan id. Pada komponen sequential, Freud membagi lima tingkatan, yaitu tingkatan oral, anal, phallic, latency, dan genetalis. Setiap tingkatan dihubungkan dengan kebutuhan biologis dan psikologis. Model perkembangan manusia pada model psikoanalitik Freud, model psikososial Erikson, dan model maturational Gesell menekankan perkembangan manusia merupakan hasil interaksi yang kompleks antara faktor biologi dan sejumlah faktor lain. Ketiga model itu menempatkan faktor lingkungan sebagai faktor yang penting. Perkembangan kapasitas manusia tidak semata dipengaruhi oleh faktor biologis, melainkan justru lebih banyak faktor lingkungan, seperti yang dikemukanan oleh para penganut paham perilaku (behaviorisme). Asumsi dasar
11
dalam teori perilaku antara lain (a) perkembangan adalah suatu fungsi dari belajar, (b) perkembangan adalah hasil dari tipe-tipe belajar yang berbeda, (c) perbedaanperbedaan individu dalam perkembangan mencerminkan perbedaan pengalaman sebelumnya, (d) perkembangan adalah hasil pengorganisasian perilaku-perilaku yang ada, (e) faktor biologis membentuk batasan umum pada jenis perilaku yang dikembangkan tetapi lingkungan yang menentukan perilaku organisme, dan (f) perkembangan individu tidak secara langsung berhubungan dengan tingkat ketekunan secara biologis. Ivan Pavlov merupakan ilmuwan pertama yang mempelajari hubungan langsung antara perilaku dan kejadian-kejadian di lingkungannya. Teori classical conditioning dari Pavlov memperlihatkan proses belajar terjadi ketika kejadian berbeda terjadi secara simultan, seperti yang ditunjukkan ketika seekor anjing lapar diberi makanan, keluar air liurnya. Faktor yang mempengaruhi kekuatan reflek yang dikondisikan yaitu penguatan (reinforcement) dan yang melemahkan (extinction). Paham perilaku analisis eksperimental dari BF Skinner menyatakan bahwa melalui pasangan berulang, stimuli netral terdahulu menjadi stimuli dan respon kebiasaan, dan konsep penguatan (reinforcement) dan melemahkan (extinction) berhubungan dengan kekuatan respon. Analisis perilaku fungsional dari Bijou dan Baer (Salkind 1985) sebagai konsep yang berangkat dari gagasan gabungan stimulus-respon merupakan pembentuk perkembangan. Dalam konsep ini stimulus memperhitungkan hubungan fungsional antara sebuah stimulus dan sebuah respon sedemikian rupa sehingga untuk sebuah stimulus tertentu, sebuah respon diarahkan untuk melayani stimulus khusus tersebut. Konsep Kompetensi Konsep kompetensi berkembang dari bidang
pendidikan, yaitu dengan
konsep awal behavioral objective yang bersumber dari pemikiran para pendidik seperti Benjamin Bloom pada tahun 1950 di Amerika (Susanto, 2006). Konsep behavioral objective ini menjelaskan bahwa spesifikasi tujuan sebagai perilaku yang dapat diobservasi secara langsung dan dapat dicatat. Pada hakikatnya konsep ini menggunakan pendekatan melakukan observasi dan menarik kesimpulan yang dapat dipercaya dengan prinsip operasional, observasi yang dapat dipercaya, dan tidak ada tenggang waktu interpretasi. Menurut Bowden dan Masters (Bhardwaj
12
2008), pada awal penerapannya dilakukan pada program pendidikan guru dengan melihat perilaku guru. Selanjutnya dikembangkan dalam bidang manajemen yang dikembangkan oleh Boyatzis. Pada perkembangan selanjutnya istilah kompetensi digunakan pada segala bidang profesi. Menurut Burgoyne (Bhardwaj 2008), arti istilah ini bergantung pada tujuan masing-masing bidang. Menurut Stenberg dan Kolligian (Bhardwaj 2008), bidang psikologi memberikan perhatian pada konsep kemampuan terukur (a measure ability) yang diukur dari performa seseorang dari sifat (traits) dan kapasitasnya, sedangkan pada teori manajemen menekankan pada pencapaian
tujuan organisasi melalui
peningkatan performa individu. Pandangan dari seorang manajer sumberdaya manusia adalah konsep ini sebagai alat teknis untuk mengimplementasikan strategi melalui rekrutmen, penempatan, pelatihan, assesment, promosi, reward system, dan perencanaan personalia, seperti yang dinyatakan oleh Burgoyne (Bhardwaj 2008). Menurut Bowden dan Masters (Bhardwaj 2008), dalam pada ahli pendidikan konsep ini dikaitkan dengan rencana kerja dengan pengakuan profesionalisme dalam cakupan pendidikan yang luas. Kompetensi didefinisikan oleh beberapa ahli, diantaranya adalah (1) The American Compensation Association (Bhardwaj 2008) menyatakan bahwa kompetensi sebagai perilaku kinerja individu yang dapat diobservasi (diamati), diukur, dan kritis menilai kesuksesan individu atau performa perusahaan; (2) Spencer & Spencer mengartikan kompetensi sebagai karakteristik dasar seseorang yang mempengaruhi cara berpikir dan bertindak, membuat generalisasi terhadap segala situasi yang dihadapi, serta bertahan cukup lama dalam diri manusia; (3) The Jakarta Consulting Group (Susanto, 2006) menyatakan bahwa kompetensi adalah segala bentuk perwujudan, ekspresi, dan representasi dari motif, pengetahuan, sikap, perilaku utama agar mampu melaksanakan pekerjaan dengan sangat baik atau yang membedakan antara kinerja rata-rata dengan kinerja superior. Pendekatan ini dilihat dari sudut pandang individual; dan (4) Menurut Wyatt (Ruky 2004), kompetensi
merupakan kombinasi dari keterampilan (skill), pengetahuan
(knowledge), dan perilaku (attitude) yang dapat diamati dan diterapkan secara kritis untuk suksesnya sebuah organisasi dan prestasi kerja serta kontribusi pribadi karyawan terhadap organisasinya.
13
Spencer & Spencer (1993) menyatakan bahwa kompetensi meliputi lima komponen (Gambar 1), yaitu: (1)
Motives, tingkah laku seperti mengendalikan, mengarahkan, membimbing, memilih untuk menghadapi kejadian atau tujuan tertentu.
(2)
Traits, yaitu karakteristik fisik dan tanggapan yang konsisten terhadap informasi atau situasi tertentu.
(3)
Self Concept, yaitu sikap, nilai, atau imajinasi seseorang.
(4)
Knowledge, informasi seseorang dalam lingkup tertentu. Komponen kompetensi ini sangat kompleks. Nilai dari knowledge test, sering gagal untuk memprediksi kinerja karena terjadi kegagalan dalam mengukur pengetahuan dan kemampuan sesungguhnya yang diperlakukan dalam pekerjaan.
(5)
Skills, yaitu kemampuan untuk mengerjakan tugas-tugas fisik atau mental tertentu.
Visible
Skills Knowladge
Self Concept Traits Motives
Hidden
The Iceberg Model
Gambar 1. Komponen Kompetensi (Spencer & Spencer 1993) Komponen kompetensi motives dan traits disebut hidden competency, karena sulit untuk dikembangkan dan sulit mengukurnya. Komponen kompetensi knowledge dan skills disebut visible competency yang cenderung terlihat, mudah dikembangkan dan mudah mengukurnya. Komponen kompetensi self concept berada di antara kedua kriteria kompetensi tersebut. Menurut Stone (Ruky 2003), model kompetensi memiliki tiga elemen kunci: (1) Underlying Characteristics, kompetensi merupakan bagian kepribadian seseorang. (2) Causality, kompetensi dapat memprediksi perilaku dan kinerja.
integral dari
14
(3) Performance, kompetensi memprediksi secara nyata dan efektif. Berhasil tidaknya kinerja seseorang tergantung dari kompetensi yang dimilikinya, apakah sesuai atau matching dengan kompetensi yang menjadi persyaratan minimal dari jabatan yang dipangkunya. Konsep Kemandirian Tanggungjawab agen penyuluhan di berbagai negara di dunia beragam. Penyuluh di Amerika Serikat berperan sebagai pendidik, dan penyuluhan menjadi bagian dari pendidikan orang dewasa. Tanggung jawab penyuluh di negara-negara Eropa lebih kepada membantu petani atau klien dalam memecahkan masalahnya. Peran penyuluh di
negara-negara berkembang, termasuk Indonesia lebih
ditekankan pada penggunaan teknologi modern seperti pupuk dan obat-obatan kimia, sehingga ukuran keberhasilan penyuluhan dilihat dari tingkat produktivitas hasil pertanian (van den Ban dan Hawkins 1999, dan Pretty 1995). Model yang ketiga ini berhasil meningkatkan produksi pertanian pangan di negara-negara berkembang, namun menimbulkan dampak kebergantungan petani pada pihak di luar diri petani (Sumardjo 1999). Menurut van den Ban dan Hawkins (1999), mendidik petani untuk meningkatkan efesiensi usaha dan meningkatkan produksi memang penting, tetapi lebih penting lagi menolong petani memecahkan masalahnya sendiri, meskipun diperlukan waktu dan dana yang lebih banyak. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan mandiri sebagai keadaan dapat berdiri sendiri; tidak bergantung pada orang lain, dan kemandirian berarti hal atau keadaan dapat berdiri sendiri tanpa bergantung pada orang lain. Kemandirian dalam Bahasa Inggris banyak diterjemahkan sebagai self-reliance (personal independence), self-direction, self-sufficiency, autonomy, independence, independency - freedom from control or influence of another or others. (The American Heritage® Dictionary of the English Language 2000). Pemahaman tentang kemandirian tidak berarti bahwa tidak memerlukan orang atau pihak lain, seperti yang dinyatakan oleh Slamet (2008), orang yang mandiri adalah orang yang bisa bekerja sama dengan orang lain. Sumardjo (1999) mengemukakan bahwa konsep tingkat kemandirian petani (farmer auotonomy) sebagai petani yang secara utuh mampu memilih dan mengarahkan kesiapan usahataninya sesuai dengannya kehendaknya sendiri, yang paling tinggi
15
manfaatnya, tetapi bukan berarti sikap menutup diri melainkan dengan rendah hati menerima situasi masyarakat dan aturan-aturan yang ada di dalamnya. Berdasarkan penjelasan ketiga konsep di atas, dibuat perbedaan ketiga konsep tersebut berdasarkan unsur-unsurnya (Tabel 1). Tabel 1. Perbedaan Konsep Kapasitas, Kompetensi, dan Kemandirian Unsur Terminologi
Kapasitas Kemampuan dalam menjalankan fungsifungsinya, memecahkan masalah dan membuat perencanaan
Kompetensi Segala bentuk perwujudan, ekspresi, dan representasi dari motif, pengetahuan, sikap, perilaku utama untuk melaksanakan pekerjaan sesuai dengan standar kinerja yang ditetapkan.
Kemandirian Kemampuan dalam mengambil keputusan secara otonom tanpa mengabaikan kerjasama dengan orang lain Individu, kelompok, organisasi, sampai masyarakat
Level
Individu, kelompok, organisasi, sampai masyarakat
Cenderung pada tingkat individu yang nantinya mempengaruhi organisasi tempat individu tersebut bekerja
Tujuan
Mengidentifikasi kemampuan individu, kelompok, maupun organisasi dalam menjalankan fungsi-fungsinya.
Mengidentifikasi kinerja individu dalam organisasi apakah sesuai standar yang ditetapkan secara formal
Ruang lingkup
Cenderung pada organisasi kemasyarakatan Organisasi formal swasta formal dan informal, maupun organisasi maupun pemerintah pemerintah
Cenderung pada organisasi kemasyarakatan formal dan informal, maupun organisasi pemerintah
Target studi
Anggota masyarakat di berbagai bidang/sektor
Individu dari semua tingkatan dalam struktur organisasi
Substansi
Pada level masyarakat, mencakup kepemimpinan, partisipasi, pemberdayaan, jaringan sosial, nilai sosial, dan kemampuan kolektif . Pada level organisasi terkait dengan aspek yang terkait dengan kepemimpinan, misi dan strategi, administrasi (termasuk sumber daya manusia, manajemen keuangan, dan hukum peraturan, kerjasama dan kolaborasi, evaluasi . Pada level individu mencakup aspek personal dan profesi, seperti kepemimpinan, keterampilan advokasi, kemampuan berbicara, keterampilan teknik, keterampilan mengorganisir, kesadaran, keterampilan, pengetahuan, motivasi, komitmen, dan kepercayaan diri.
Cenderung pada konteks profesi individu dalam organisasi, dengan komponen motif, trait, self concept, pengetahuan, dan keterampilan yang diwujudkaan dalam kinerja
Anggota masyarakat di berbagai bidang/sektor Pemberdayaan, interaksi kerjasama.
Mengidentifikasi kemampuan individu, kelompok, atau organisasi dalam mengambil keputusan maupun bekerjasama dengan pihak lain.
16
Pengembangan Kapasitas Pengembangan kapasitas menjadi isu utama dalam mekanisme kerjasama internasional bagi pembangunan di negara-negara sedang berkembang. Dengan menekankan pada kebutuhan negara berkembang dan prioritas pembangunan yang berkelanjutan melalui proses partisipasi, dengan memperkuat sumberdaya manusia dan kapasitas kelembagaan. Bagi negara sedang berkembang pengembangan kapasitas berperan untuk meningkatkan perannya di dunia internasional. UNDP (1998) mendefinisikan pengembangan kapasitas (capacity building) atau pembangunan kapasitas (capacity development) sebagai mengembangkan tingkatan kapasitas manusia dan lembaga. Istilah capacity building muncul sejak tahun 1990 dari hasil perkembangan istilah institutional building. Istilah institutional building sendiri terlahir pada awal tahun 1970-an yang tercantum dalam buku petunjuk untuk staf UNDP (PBB) dan agen pemerintah dalam penyelenggaraan kegiatan program pembangunan oleh UNDP di negara-negara berkembang. UNDP mendefinisikan pengembangan kapasitas sebagai penciptakan suatu kondisi yang sesuai melalui ketepatan mekanisme kebijakan dan peraturan, pengembangan kelembagaan, partisipasi masyarakat, pengembangan sumberdaya manusia, dan penguatan sistem manajerial, seperti yang dinyatakan bahwa “capacity building as the creation of an enabling environment with appropriate policy and legal frameworks, institutional development, including community participation (of women in particular), human resources development and strengthening of managerial systems.” Morgan (2008) dan Linell (2003) menyatakan bahwa pengembangan kapasitas memiliki arti
yang lebih luas dari hanya sekedar sebagai pelatihan
(training), melainkan juga terkait dengan upaya pengembangan SDM dan pengembangan organisasi. Penjelasannya adalah sebagai berikut: (a) Pengembangan sumberdaya manusia (SDM), yaitu proses melengkapi individu dengan pemahaman, keterampilan, dan akses terhadap informasi, pengetahuan dan pelatihan. (b) Pengembangan organisasi, meliputi perluasan struktur manajemen, proses dan prosedur, hubungan internal dan eksternal dengan organisasi dan sektor lain (publik, swasta, dan komunitas).
17
Dilihat dari sisi level objek pengembangan kapasitas, Syahyuti (2006) membagi menjadi tiga, yaitu (1) individu dan grup, (2) institusi dan organisasi, dan (3) institusi secara keseluruhan mencakup institusi hukum, politik, serta kerangka pikir ekonomi dan administratif. Pengembangan kapasitas dapat dilakukan oleh pemerintah maupun oleh masyarakat. Program-program pengembangan kapasitas oleh pemerintah umumnya yang mengarah pada sektor publik, seperti pengurangan tingkat kemiskinan, peningkatan kesehatan dan sektor publik lainnya.
Pengembangan kapasitas
pemerintahan sangat ditentukan oleh pengembangan sumberdaya manusia, karena dengan sumberdaya yang berkualitas maka akan menjadikan tata kelola pemerintahan yang baik.
Program-program pengembangan kapasitas oleh
masyarakat akan dapat tercapai jika dilandasi oleh asas transparansi dan keberlanjutan (Linell 2003). Pelaksanan program pengembangan masyarakat juga dapat dilaksanakan oleh organisasi berbasis masyarakat maupun oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Strateginya dengan pelatihan pada tenaga-tenaga sukarela dalam manajemen organisasi, menggunakan jaringan peer group, membangun kerjasama,dan meningkatkan keterampilan mengakses donor. Pada dasarnya pengembangan kapasitas harus mengedepankan peran masyarakat bukan pihak di luar masyarakat, artinya bahwa pihak di luar masyarakat hanya sebagai pihak yang memfasilitasi proses terbangunnya kapasitas masyarakat. Menurut Morgan (2008), pengembangan kapasitas mencakup hal-hal berikut: (1) Pengembangan kapasitas bukan pendidikan dan pelatihan atau transfer teknologi, meskipun hal-hal tersebut sebagai alat untuk meningkatkan kapasitas. (2) Pengembangan kapasitas bukan transfer pengetahuan dari tenaga ahli, tetapi didasarkan pada konsep belajar bersama (co-learning), dan pengetahuan bisa berasal dari masyarakat yang memiliki pengetahuan lebih. (3) Proses pencapaian hasil dalam pengembangan kapasitas tidak ditentukan oleh organisasi eksternal masyarakat. Menurut Linnell (2003) dalam organisasi, pengembangan kapasitas terkait dengan beberapa aspek yang terkait dengan bidang kerjanya, seperti peningkatan tata pemerintahan, kepemimpinan, misi dan strategi, administrasi (termasuk sumber daya
manusia,
manajemen
keuangan,
dan
hukum
peraturan),
program
18
pembangunan dan implementasinya, peningkatan sumber pendanaan dan sumbersumber keuangan, penganekaragaman, kerjasama dan kolaborasi, evaluasi, advokasi dan perubahan kebijakan, pemasaran, positioning, perencanaan dan sebagainya.
Untuk individu pengembangan kapasitas berhubungan dengan
pembangunan kepemimpinan, keterampilan advokasi, kemampuan berbicara, keterampilan teknik, keterampilan mengorganisir yang terkait dengan aspek personal maupun profesi. Terkait dengan pembangunan yang berkelanjutan, Morgan (2008) menyatakan bahwa aspek-aspek kapasitas masyarakat yang perlu dikembangkan antara lain adalah kesadaran, keterampilan, pengetahuan, motivasi, komitmen, dan kepercayaan diri. Pengembangan kapasitas, menurut Syahyuti (2006), merupakan sebuah bentuk respon menuju proses yang multi dimensi, tidak semata-mata hanya sekedar teknik.
Demikian juga menurut Linnell (1993), berbagai kapasitas yang harus
dibangun untuk ini adalah pembangunan intelektual, organisasional, sosial, politik, kultural, material, maupun finansial. Menurut Morgan (2008), keterampilan, aset, dan kekuatan yang dimiliki oleh masyarakat harus dipersiapkan untuk mencapai tujuan masyarakat itu sendiri. Terdapat 10 faktor yang memberikan sumbangan dalam meningkatkan kemampuan masyarakat, yaitu: (1) kepemimpinan, (2) partisipasi masyarakat, (3) keterampilan; (4) sumberdaya, (5) jaringan sosial dan organisasi, (6) sense of community, (7) pemahaman sejarah komunitas, (8) kekuasaan komunitas, (9) nilai komunitas, dan (10) critical reflection Perspektif pengembangan kapasitas menurut Morgan (2008), bukan sebagai suatu bentuk intervensi, dengan diukur dari sejauhmana sasaran objek dapat menjalankan sesuai dengan guideline, tetapi lebih kepada bagaimana praktisi lebih memahami
kapasitas,
memetakannya,
menaksir,
membantu
membangun,
memonitor dan mengevaluasinya, serta lebih mencari jawaban atas mengapa dan bagaimana bukan pada apa. Dalam kaitannya dengan pembangunan masyarakat, konsep kapasitas harus dipahami sebagai suatu nilai yang harus dipegang. terdapat lima aspek utama konsep kapasitas, yaitu:
Menurut Morgan (2008),
19
(1)
Kapasitas terkait dengan pemberdayaan (empowerment) dan identitas (identity), yang diperlukan agar organisasi atau sistem tetap bertahan, tumbuh dan berkembang lebih kompleks. Itu semua membutuhkan kekuatan, kontrol, dan ruang. Kapasitas dikembangkan bersama-sama dengan masyarakat dalam mengontrol kehidupannya sendiri dalam berbagai bentuk.
(2)
Kapasitas harus dikerjakan dengan kemampuan kolektif (collective ability), seperti pengkombinasian
atribut
dalam sistem, pertukaran nilai, dan
membangun relasi yang kuat. (3)
Kapasitas sebagai suatu fenomena sistem yang bersifat tetap atau kondisional. Kapasitas adalah sifat yang muncul sebagai efek interaksi. Sebagai hasil yang dinamis seperti kombinasi kompleks antara perilaku, sumberdaya, strategi, dan keterampilan.
(4)
Kapasitas sebagai keadaan yang potensial. Kapasitas bersifat laten bertolak belakang dengan energi kinetik. Berbeda dengan kinerja yang memiliki arti implementasi atau hasil dari aplikasi/penggunaan kapasitas. Sebagai kualitas laten kapasitas sulit dinyatakan secara jelas, sehingga sulit untuk ditetapkan, dikelola, dan diukur. Dengan demikian diperlukan pendekatan yang berbeda untuk pengembangan, pengelolaan, perkiraan, dan monitoring.
(5)
Kapasitas sebagai kreasi nilai masyarakat (creation of public value). Kapasitas yang bernilai kekuatan, kontrol, dan sumberdaya dinyatakan sebagai kemampuan suatu kelompok atau sistem yang memberikan kontribusi yang positif bagi kehidupan masyarakat. Lebih lanjut Morgan (2008) menyatakan bahwa secara alami kapasitas
memiliki empat aspek, yaitu sebagai berikut: (1) Memiliki komponen atau elemen dasar, berupa: sumberdaya keuangan, struktur, informasi, budaya, lokasi, nilai dan sebagainya. (2) Mengarah pada kompetensi yang fokus pada energi, keterampilan, perilaku, motivasi, pengaruh, dan kemampuan individu. (3) Istilah kemampuan (capabilities) yang mencakup bidang yang luas tentang keterampilan yang kolektif, baik secara teknis dan logistik ”lebih keras” (analisis kebijakan, perkiraan sumberdaya perikanan, manajemen keuangan)
20
dan generatif ”lebih lunak” (kemampuan memperoleh legitimasi, adaptasi, menciptakan arti dan identitas). (4) Kapasitas memiliki arti seluruh kemampuan (ability) suatu sistem untuk menciptakan nilai. Berdasarkan berbagai konsep pengembangan kapasitas di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengembangan masyarakat memiliki arti sebagai berikut: (1) Pengembangan kapasitas merupakan suatu proses. (2) Pengembangan kapasitas sebagai suatu peningkatan kemampuan individu, kelompok maupun organisasi. (3) Asas-asas yang dianut dalam pengembangan masyarakat adalah penghargaan pada potensi diri seseorang, keterbukaan, kerjasama, dan keberlanjutan . (4) Pengembangan kapasitas memiliki konteks yang terkait dengan perubahan yang harus dihadapi oleh individu, kelompok maupun organisasi. (5) Sumberdaya manusia menjadi fokus utama dalam pengembangan kapasitas. (6) Aktor pelaksana kegiatan pengembangan kapasitas bisa pemerintah atau organisasi masyarakat. Faktor-Faktor Karakteristik Internal yang Mempengaruhi Kapasitas Tingkat kapasitas yang ada pada diri seorang pembudidaya ikan dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari dalam dirinya maupun dari lingkungan di luar dirinya, terutama dari lingkungan kelompok tempat dirinya hidup. Karateristik
personal
sebagai
faktor
internal
akan
mempengaruhi
kemampuan seseorang dalam menjalankan pekerjaannya. Dalam hal ini termasuk petani, nelayan, maupun pembudidaya ikan yang melakukan usahanya. Beberapa penelitian menunjukkan hal ini, diantaranya yang dilakukan oleh Chianu dan Tjujii (2005) di Nigeria, usia muda dan pendidikan lebih tinggi cenderung memiliki kemampuan untuk menerapkan inovasi yang diperkenalkan.
Demikian pula
penelitian Kposowa (1996) di Maryland, Amerika Serikat menunjukkan bahwa luas lahan, pengetahuan, pengalaman usaha, persepsi tentang praktek pemupukan tanah, dan keterampilan teknis mempengaruhi kemampuannya dalam menerapkan pupuk organik dalam usahanya.
21
Faktor-faktor karakteristik internal yang diduga akan mempengaruhi kapasitas diri pembudidaya ikan dalam mengelola usahanya adalah umur, pendidikan formal, pendidikan non formal, pengalaman kerja, tanggungan keluarga, pendapatan, dan luas skala usaha. Umur Secara demografi pembagian umur seseorang didasarkan atas umur produktif dan umur tidak produktif. Umur produktif berkisar antara 15 sampai 65 tahun, dan sebaliknya di bawah 15 tahun dan di atas 65 tahun digolongkan sebagai tidak produktif. Pengertian produktif sendiri terkait dengan kemampuannya bekerja untuk memperoleh pendapatan atas pekerjaannya tersebut. Umur juga berpengaruh terhadap kemampuan seseorang belajar. Umur 1545 tahun sebagai puncak seseorang menyerap pelajaran dengan baik. Lepas dari umur
45
tahun
retensi
belajar
sesorang
mulai
mengalami
penurunan
(Padmowihardjo 1994). Oleh karenanya, proses pembelajaran dalam penyuluhan akan lebih efektif jika peserta belajar berada pada selang umur puncak tersebut, walaupun tidak berarti pada umur yang lebih tua seseorang tidak bisa belajar. Beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan, umur memberikan pengaruh terhadap kemampuan seseorang dalam menjalankan suatu hal.
Penelitian Abdullah dan Jahi (2006) memperlihatkan bahwa umur petani
sayuran berhubungan dengan pengetahuannya tentang pengelolaan usahatani sayuran di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Penelitian Batoa et al. (2008) juga memperlihatkan bahwa umur berhubungan dengan kompetensi petani rumput di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Umur juga berhubungan positif dengan keberdayaan petani sayuran di Sulawesi Selatan (Hakim dan Sugihen 2006). Pendidikan Pendidikan merupakan usaha sadar dan sistematis untuk mencapai taraf hidup atau kemajuan yang lebih baik. Pada akhirnya pendidikan bertujuan untuk menjadikan
seseorang
menjadi
anggota
masyarakat
tempat
dia
tinggal,
sebagaimana yang dinyatakan UNESCO dengan Empat Empat Pilar Pendidikan, yaitu sebagai berikut: (a) learning to know: belajar untuk mengetahui; (b) learning to do: belajar untuk berbuat; (c) learning to be: belajar untuk menjadi dirinya
22
sendiri; dan (d) learning to live together: belajar untuk hidup bersama dengan orang lain. Tujuan pendidikan menurut United Nations for Development Programme (UNDP) dalam “Human Development Report 1999” yang dikenal dengan istilah The Seven Freedoms adalah sebagai berikut: (1) Freedom from discrimination: bebas dari perlakuan yang diskriminatif. (2) Freedom from fear: bebas dari ketakutan. (3) Freedom of thought, speech and participate: bebas untuk berpikir, berbicara dan berpartisipasi. (4) Freedom from want: bebas dari berbagai keinginan. (5) Freedom to develop and realize: bebas untuk mengembangkan dan merealisasi (idea). (6) Freedom from injustice and violations: bebas dari ketidakadilan dan kekerasan. (7) Freedom from undecent work: bebas dari pekerjaan yang tidak patut. Undang-undang Dasar tahun 1945, pasal 31 ayat (3) secara eksplisit menyebutkan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undangundang. Tujuan pendidikan menurut UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003 pasal 3, adalah untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, serta untuk mengembangkan potensi peserta didik supaya menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab Konsep pendidikan terbagi menjadi tiga jenis, yaitu pendidikan formal, pendidikan non formal, dan pendidikan informal. Pendidikan formal mengacu pada makna pendidikan bangku sekolah, artinya pendidikan yang diselenggarakan di sekolah formal, sedangkan pendidikan non formal diperoleh di luar sekolah, dan pendidikan informal sebagai pendidikan sosialisasi dalam keluarga. Penyuluhan merupakan
pendidikan non formal (Wiriaatmadja 1983).
Adapun konsep pendidikan non formal yang disarikan dari tulisan Tarigan (Harian
23
Analisa, Senin 5 Januari 2009) adalah sebagai berikut: (a) Pendidikan non formal atau pendidikan luar sekolah (PLS) yang didalamnya ada life skill merupakan usaha sadar untuk menyiapkan, meningkatkan, dan mengembangkan sumberdaya manusia agar memiliki pengetahuan, keterampilan, sikap, dan daya saing; (b) Pendidikan non formal bertugas untuk menyiapkan SDM yang memiliki kebiasaan siap menghadapi perubahan sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang pesat; (c) Ciri-ciri pendidikan non formal berkaitan dengan misi yang mendesak dan praktis, tempatnya di luar kelas, bukti memiliki pengetahuan adalah keterampilan, tidak terkait dengan ketentuan yang ketat, peserta bersifat sukarela, merupakan aktivitas sampingan, biaya pendidikan lebih murah, persyaratan penerimaan peserta lebih mudah; dan (d)
Tujuan pendidikan non
formal adalah peserta didik dapat memiliki yang diperlukan oleh masyarakat. Pendidikan berpengaruh pada kemampuan seseorang dalam menjalankan suatu pekerjaan.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh
ataupun hubungan antara pendidikan formal dengan kompetensi petani dan peternak mengelola usahanya (Muatip et al. 2008, Batoa et. al 2008, Domihartini dan Jahi 2005, Abdullah dan Jahi 2006). Demikian pula pendidikan non formal berhubungan dengan kemampuan petani dalam mengelola usahataninya (Kustiari et al. 2006) Pengalaman Usaha Pengalaman usaha secara umum diartikan sebagai pengalaman seseorang yang diperoleh selama menjalankan suatu kegiatan usaha.
Pengalaman terkait
dengan dimensi waktu dan proses belajar yang didapatkan dalam selang waktu tersebut.
Artinya bahwa semakin sering seseorang mengalami proses belajar,
maka secara gradual akan semakin banyak memperoleh pengalaman. Havelock (1969) menyatakan bahwa pengalaman masa lalu yang dimiliki oleh seseorang akan mempengaruhi kecenderungannya untuk merasa memerlukan dan siap menerima pengetahuan baru Berdasarkan teori-teori perkembangan, pengalaman hidup seseorang diperoleh selama proses kehidupannya. Pada teori biologis yang dipengaruhi oleh pemikiran Charles Darwin dinyatakan bahwa faktor perkembangan manusia dipengaruhi oleh faktor naturitas. Arnold Gessel menyatakan bahwa perkembangan
24
diarahkan oleh faktor dari dalam-maturasi biologis (berjalan, berbicara, kontrol diri). Teori psikoanalisa dari Segmund Freud menyatakan bahwa perilaku dan proses mental manusia dimotivasi oleh kekuatan-kekuatan dan konflik dari dalam, dan manusia memiliki sedikit kesadaran dan kontrol atas kekuatan tersebut. Dalam hal ini pengalaman awal mempengaruhi perkembangan kepribadian berikutnya. Erikson
dengan
teori
psikososial-nya
menyatakan
bahwa
perkembangan
kepribadian manusia terjadi sepanjang rentang kehidupan, dan dipengaruhi oleh interaksi sosial. Tingkat pengalaman petani dalam mengelola usahatani berhubungan dengan kemampuannya dalam menjalankan usahataninya tersebut, seperti yang ditunjukkan dari penelitian Batoa et al. (2008), Domihartini dan Jahi (2005), Abdullah dan Jahi (2006), Kustiari et al. (2006), serta Putra et al. (2006). Pendapatan Secara umum pendapatan diartikan sebagai penghasilan yang diperoleh seseorang atau rumah tangga dalam satuan waktu, bisa harian, mingguan, bulanan, maupun tahunan. Pendapatan merupakan salah satu indikator kesejahteraan rumah tangga.
Artinya bahwa semakin tinggi pendapatan, maka semakin tinggi
kesejahteraan rumah tangga tersebut. Sebaliknya, semakin rendah pendapatan, maka semakin rendah pula kesejahteraannya. Pendapatan juga menjadi salah satu komponen pengukur Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI), dengan ukuran pengeluaran per kapita real. Dengan demikian dengan mengetahui pendapatan akan diketahui tingkat kualitas SDM dari suatu daerah atau negara. Ada dua pendekatan yang digunakan untuk mengukur pendapatan, yaitu dari sisi penerimaan dan sisi lain dari pengeluaran.
PBB menggunakan sisi
penerimaan, yaitu dengan penerimaan sebesar 2 dollar US per hari, yang berarti jika pendapatan seseorang dalam satu rumah tangga kurang dari nilai tersebut, maka dia dapat dikatakan miskin.
Pengukuran pendapatan dari sisi pengeluaran, salah
satunya diukur dengan garis kemiskinan Sajogyo yaitu dengan mengukur jumlah pengeluaran setara harga beras di wilayah perkotaan dan pedesaan. Pendapatan rumah tangga pembudidaya ikan diperoleh dari usaha akuakultur yang digelutinya.
Pendapatan ini bisa bersifat pendapatan utama,
25
artinya sebagian besar pendapatan diperoleh dari hasil usaha akuakultur, maupun sebagai pendapatan sampingan apabila hanya sebagian kecil pendapatannya diperoleh dari luar kegiatan akuakultur. Pendapatan yang tinggi memberi peluang seorang pembudidaya untuk meningkatkan kapasitasnya menjalankan kegiatan akuakultur yang dilakukannya. Asumsinya adalah semakin tinggi pendapatan, maka semakin tinggi pula kemungkinan mengakses berbagai sumberdaya yang berguna untuk meningkatkan kapasitasnya. Di Tanzania pembudiaya ikan yang dinilai berhasil jika memperoleh pendapatan yang tinggi dari usaha budidaya ikan (Edwards dan Demaine 1998). Hasil kajian empiris menunjukkan, pendapatan memiliki pengaruh yang positif terhadap kapasitas seseorang.
Penelitian Abdullah dan Jahi (2005)
memperlihatkan, pendapatan petani sayuran berhubungan dengan pengetahuannya tentang pengelolaan usahatani. Skala Usaha Skala usaha menunjukkan luas usaha yang dikelola oleh seeorang, baik milik sendiri maupun milik orang lain. Pada masyarakat pedesaan pemilikan usaha diindikasikan dari luas lahan yang dimilikinya, untuk usaha akuakultur dengan luas kolam yang dimilikinya, sedangkan pada usaha ikan hias selain dari kolam juga dari jumlah akuarium. Secara sosiologis, luas lahan yang dimiliki seseorang menunjukkan tingkatan struktur sosial seseorang dalam masyarakatnya. Menurut Sajogyo (Tony et al. 2000), pemilikan lahan sebagi sumber kekuasaan pada masyarakat pedesaan. Dengan demikian pada masyarakat pembudidaya ikan, seseorang yang memiliki skala usaha yang luas akan menduduki peringkat sosial ekonomi yang lebih tinggi dalam komunitasnya. Skala usaha juga bisa menunjukkan keberhasilan seseorang dalam mengelola usahanya, karena mereka yang berhasil dalam usahanya akan menginvestasikan keuntungannya untuk memperluas skala usahanya. Di Tanzania pembudidaya ikan dianggap berhasil
selain dari nilai pendapatannya yang
meningkat, juga adanya peningkatan jumlah kolam ikan dan mampu menyediakan benih ikan untuk pembudidaya ikan yang lain. Hubungan antara skala usaha dengan kapasitas pembudidaya ikan dalam mengelola usahanya dapat dijelaskan bahwa pembudidaya ikan yang memiliki
26
skala usaha yang luas cenderung akan memiliki peluang lebih besar untuk meningkatkan kapasitasnya dengan berbagai macam cara. Dalam sektor pertanian terbukti bahwa terdapat hubungan yang positif antara skala usaha dengan kompetensi atau kemampuannya dalam pengelolaan usaha (Batoa et. al 2008, Domihartini dan Jahi 2005, Abdullah dan Jahi 2006). Penyuluhan dan Pengembangan Kapasitas Sejarah Penyuluhan Istilah penyuluhan dimulai dari univesitas, yaitu dengan adanya istilah “extension university” atau “extension of the university” yang dipergunakan di Inggris pada tahun 1840-an. Sekitar tahun 1867-1868 James Stuart dari Trinity College (Cambridge) untuk pertamakalinya memberikan ceramah kepada perkumpulan wanita dan perkumpulan pekerja pria di Inggris Utara. kemudian dianggap sebagai bapak penyuluhan.
Stuart
Stuart mengusulkan pada
Universitas Cambridge agar penyuluhan dijadikan mata kuliah.
Tahun 1873
Universitas Cambridge secara resmi menerapkan sistem penyuluhan, yang kemudian diikuti oleh Universitas London (1876) dan Universitas Oxford (1878). Menjelang tahun 1880 kegiatan ini telah menjadi gerakan penyuluhan tempat perguruan tinggi melebarkan sayapnya ke luar kampus. Sejak awal abad 20 istilah penyuluhan pertanian mulai digunakan secara umum di Amerika Serikat untuk menunjukkan bahwa sasaran pengajaran di universitas tidak hanya terbatas di lingkungan kampus tetapi diperluas sampai ke semua kelompok masyarakat.
Penyuluhan dapat dikatakan sebagai bentuk
pendidikan untuk orang dewasa yang menempatkan pengajar dari universitas. Bertahun-tahun hal ini menjadi kegiatan akademik fakultas pertanian yang menempatkan tenaga penyuluh di setiap negara bagian.
Seiring
dengan
menurunnya jumlah petani, dinas penyuluhan kemudian berupaya melayani semua warga negara dengan memberikan informasi yang tersedia dari beragai sumber di universitas. Saat ini sebagian negara berbahasa Inggris menggunakan istilah-istilah Amerika
untuk
pendidikannya.
kata
“penyuluhan,”
tetapi
sebagian
kehilangan
makna
Tujuan penyuluhan bagi mereka adalah menjamin agar
27
peningkatan produksi pertanian dicapai dengan cara merangsang petani untuk memanfaatkan teknologi produksi modern dan ilmiah yang dikembangkan melalui penelitian (van den Ban dan Hawkins, 1999). Sejarah penyuluhan di Indonesia tidak lepas dari dimulainya pembangunan pertanian di masa penjajahan Belanda, yaitu dengan didirikannya Kebun Raya di Bogor oleh C.G.L. Reinwardt pada tanggal 17 Mei 1817.
Pada saat itu
diperkenalkan banyak jenis tanaman baru yang diintroduksikan ke masyarakat petani yang berupa, kelapa sawit, ketela pohon, dll sekitar 50 jenis (Wiriaatmadja, 1983). Pada tahun 1905 Departemen Pertanian, Kerajinan dan Perdagangan didirikan atas usul Treub.
Tugasnya antara lain melaksanakan kegiatan
penyuluhan. Akan tetapi tugas tersebut dilaksanakan melalui Pangreh Praja yang mendasarkan kegiatan atas perintah-perintah kepada petani. Namun, pada tahun 1921 Dinas Penyuluhan Pertanian (Landbouw Voorlichtings Dients: LVD) dilepaskan dari Pangreh Praja, dan berdiri sendiri bertanggung jawab pada Departemen Pertanian. Dinas ini tidak hanya menangani penyuluhan dalam bidang tanaman pangan saja melainkan juga tanaman perkebunan dan bahkan perkreditan. Masa pendudukan Jepang, penyuluhan pertanian dapat dikatakan tidak ada, karena para petani praktis dipaksa menanam bahan pangan dan bahan strategis lainnya dalam ekonomi peperangan.
Selanjutnya pada masa sistem negara
terpimpin (1959-1968) penyuluhan pertanian didasarkan pada penggerakan masa, dengan menggunakan metode yang bersifat massal bukan perorangan, sistem tetesan minyak diganti dengan tumpahan air sehingga semua kecipratan. Masa orde baru (1968-1979), pembangunan pertanian maju pesat termasuk dalam hal penyuluhan.
Organisasi-organisasi
penyuluhan dibentuk untuk
membantu masyarakat petani mengembangkan usahanya, seperti BPP (Balai Penyuluhan Pertanian) beserta perangkatnya, seperti PPL (Penyuluh Pertanian Lapang), PPM (Penyuluh Pertanian Madya), Penyuluh Pertanian Spesialis (PPS), dll. Peningkatan produksi pangan yang cukup signifikan juga tidak lepas dari peran penyuluhan,
dengan penyuluhan teknologi-teknologi pertanian yang bersifat
intensif menyebabkan meningkatnya produktivitas tanaman pangan, seperti panca
28
usaha tani yang diperkenalkan kepada para petani. Intoduksi panca usaha tani ini dikenal sebagai program Bimas (Bimbingan Massal). Penyuluhan perikanan pada awalnya tergabung dalam penyuluhan pertanian, karena memang perikanan sebagai sub sektor pertanian. Namun, sejak tahun 2000 perikanan dan kelautan menjadi sektor tersendiri lepas dari pertanian seiring dengan dibentuknya Departemen Kelautan dan Perikanan sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 165 Tahun 2000 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Wewenang,
Susunan
Organisasi,
dan
Tata
Kerja
Departemen,
dan
penyempurnaannya Keputusan Presiden Nomor 177 Tahun 2000 tentang Susunan Organisasi dan Tugas Departemen. Perkembangan Paradigma Penyuluhan Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) memberikan arti paradigma sebagai model dalam teori ilmu pengetahuan dan kerangka berpikir. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa dalam makna paradigma terdapat unsur-unsur: ilmu pengetahuan dan
pola berpikir.
Terkait dengan konsep penyuluhan, maka
paradigma penyuluhan dapat dimaknai sebagai cara memandang suatu konsep penyuluhan yang didasarkan atas alur berpikir yang rasional. Cara pandang seseorang atau sekelompok orang terhadap penyuluhan dari masa ke masa mengalami perubahan, seiring dengan perubahan jaman. Cara pandang ini dibagi menjadi paradigma lama dan paradigma baru.
Hal yang
mendasar yang membedakan kedua paradigma ini antara lain dalam hal memaknai filosofi penyuluhan itu sendiri, sehingga rentetannya adalah dalam mengaplikasikan konsep penyuluhan dalam masyarakat. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan meneguhkan kedudukan petani, pembudidaya ikan, dan masyarakat sekitar hutan yang setara, seperti adanya asas demokrasi, manfaat, kesetaraan, keterpaduan, keseimbangan, keterbukaan,
kerjasama,
partisipatif,
kemitraan
keberlanjutan,
berkeadilan,
pemerataan, dan bertanggung gugat. Paradigma Lama Penyuluhan Paradigma lama penyuluhan antara lain dicirikan oleh peran pemerintah yang lebih besar dalam proses kegiatan penyuluhan, dengan pengabaian terhadap
29
partisipasi masyarakat (van den Ban dan Hawkins 1999). Metode yang dikembangkan cenderung top down, dengan bentuk komunikasi bersifat linier, dan menempatkan petani lebih sebagai komunikan dan aparat sebagai komunikator (Soemardjo 1999). Pandangan lama penyuluhan pada awalnya dimunculkan dari model vertikal (top-down) yang menunjukkan adanya arah penyuluhan secara linier dari atas ke bawah (Gambar 2). Model ini berimplikasi pada masalah yang dihadapi petani-pembudidaya ikan diputuskan oleh peneliti yang dibuat di laboratorium atau kebun percobaan. Selanjutnya, dari hasil percobaan tersebut ditransferkan ke petani melalui penyuluh (Rhoades 1990).
Penelitian – Penyuluhan
Pengetahuan
Transfer
Adopsi
Difusi Gambar 2. Model Penyuluhan Linier (Rhoades 1990) Pendekatan berorientasi produksi, komoditas, dan proyek yang dinyatakan oleh Axinn (1988) juga dapat dikatakan sebagai pendekatan penyuluhan yang menggunakan paradigma lama.
Menurut Axinn (1988), pendekatan produksi memiliki ciri-ciri: (a)
tujuan penyuluhan adalah meningkatkan produksi, (b) perencanaan dibuat secara
terpusat oleh pemerintah “yang lebih tahu dibandingkan petani,” (c) bersifat top down planning, (d) jumlah penyuluh lapang sangat banyak dan dibiayai dari pemerintah, (e) keberhasilan penyuluhan diukur dari tingkat adopsi inovasi yang dianjurkan dan peningkatan produksi secara nasional, (f) umumnya penyuluhan pertanian berada di bawah wewenang Menteri Pertanian, dan penyuluh lapang berada di hierarki paling bawah, (g) informasi bersifat satu arah dan pesan yang
30
disampaikan tidak bersifat lokalit, (h) hanya sedikit petani yang memperoleh manfaat, yaitu mereka yang memiliki skala usaha yang luas, dan (i) petani hanya menerima informasi dari satu sumber. Pendekatan komoditas pada penyuluhan menitikberatkan seluruh fungsi pada suatu komoditas tertentu, termasuk di antaranya penyuluhan, riset, suplai input, pasar, dan harga (Axinn 1988), dengan ciri-ciri sebagai berikut: (a) perencanaan dibuat oleh suatu organisasi yang berkecimpung dalam komoditas tertentu dan
bertujuan untuk meningkatkan produksi komoditas tertentu, (b)
adanya pelatihan personal secara intensif dan memperkerjakan banyak tenaga lapang yang terlatih, (c) teknik-teknik produksi diperkenalkan kepada petani yang ditujukan untuk meningkatkan keuntungan finansial, dan didemonstrasikan pada lahan milik petani sendiri, (d) disediakan skim kredit dan input-input produksi, (e) memperhitungkan rasio antara input produksi dengan nilai jual yang diterima petani, (f) teknologi disampaikan tepat waktu, karena rentang waktu teknologi terbatas, serta (g) perhatian pemerintah diprioritaskan pada “organisasi komoditas” (commodity organization) bukan pada petani. Pendekatan proyek yang dinyatakan oleh Axinn (1988) memiliki ciri-ciri: (a) membutuhkan campur tangan dari pihak luar masyarakat yang lebih banyak dalam memperkenalkan teknologi baru, (b) kontrol proyek dilakukan oleh pemerintah pusat, dan seringkali input dana dan teknik berasal dari lembaga donor internasional, dan (c) keberhasilan program diukur dari adanya perubahan jangka pendek (short-term). Model penyuluhan yang masih mengarah pada paradigma lama penyuluhan lain adalah model horisontal (Gambar 3).
Pada model ini peran peneliti dan
penyuluh masih sangat kuat, masyarakat petani hanya bersifat pasif menerima informasi (Rhoades 1990).
Peneliti
Penyuluh
Petani-Pembudidaya ikan
Gambar 3. Model Penyuluhan Horisontal (Rhoades 1990)
Penerapan model horisontal dikembangkan di negara-negara sedang berkembang di dunia melalui program-program peningkatan pangan yang
31
disponsori oleh Bank Dunia pada tahun 1970-an, yang dikenal dengan metode LAKU (Latihan dan Kunjungan) atau T&V (Training and Visit). Menurut Ejembi et.al (2006) metode LAKU merupakan kombinasi beberapa faktor, yaitu teknologi yang tepat,
penyampaian pesan yang tepat waktu dan efesien, kontak petani dan
penyuluh yang intensif, dan pelatihan berkala. Axinn (1988) menguraikan tentang karakteristik pendekatan LAKU, yaitu: (1) tujuan pendekatan LAKU adalah membujuk petani untuk meningkatkan produksi tanaman tertentu; (2) perencaaan dibuat oleh pemerintah pusat, dan penyuluh lapang berasal dari pusat;(3) pelatihan diberikan kepada penyuluh lapang dan penyuluh lapang melakukan kunjungan lapang secara intensif; (4) keberhasilan program diukur dari peningkatan produksi tanaman yang diprogramkan; (5) diperlukan pelayanan terpadu dan penyuluh lapang yang terjun langsung menemui petani, sehingga diperlukan biaya besar untuk supervisi teknik dan dukungan logistik; dan (6) komunikasi dua arah sangat terbatas dan cenderung kurang fleksibel. Kritik terhadap metode LAKU adalah hanya berfokus pada tanaman pangan saja, tidak memperhatikan kebutuhan petani miskin, pendekatan yang sangat top down, memerlukan biaya yang sangat besar, dan kurang memperhatikan aspek ekonomi dan pemasaran (Ilevbaoje 2004). Pendekatan penyuluhan lain yang tergolong pada paradigma lama penyuluhan dan cenderung bersifat horisontal adalah pendekatan pembangunan sistem pertanian (the farming system development approach). Menurut Axinn (1988), asumsi yang digunakan dalam pendekatan FSDA adalah teknologi yang tersedia tidak sesuai dengan kebutuhan petani, khususnya untuk petani skala kecil, sehingga perencanaan harus dibuat secara perlahan-lahan dan disesuaikan dengan kondisi masing-masing agroklimat ekosistem pertaniannya.
Pendekatan ini
diimplementasikan melalui kerjasama antara peneliti dan penyuluh. Analisis dan percobaan lapang dilakukan di lahan milik petani. Ukuran keberhasilan dilihat dari tingkat pengadopsian petani terhadap teknologi yang diperkenalkan dan keberlanjutan pengadopsiannya. Kontrol program dilakukan secara bersama antara petani, penyuluh, dan peneliti.
Lebih lanjut Axinn (1988) menyatakan bahwa
kelebihan pendekatan ini adalah adanya hubungan yang erat (strong linkages)
32
antara penyuluh dan peneliti, dan komiten yang tinggi dari petani untuk menerapkan teknologi yang diperkenalkan. Kelemahannya adalah membutuhkan biaya tinggi dan waktu yang lama untuk dapat melihat hasilnya. Penerapan berbagai model penyuluhan yang cenderung top down tersebut, sedikit banyak memunculkan persepsi penyuluhan yang kurang tepat, yang pada akhirnya dapat menjadi cara memandang (paradigma) penyuluhan yang juga kurang tepat.
Menurut Sumardjo (2007), beberapa persepsi penyuluhan yang
kurang tepat yang perlu diluruskan antara lain: (1)
Penyuluhan diidentikkan
dengan penerangan, sehingga sudah dirasa cukup jika penyuluhan dilakukan dengan ceramah, pidato, dan penjelasan yang sifat komunikasinya searah, yang bersifat merubah ranah kognitif; (2) Penyuluhan diidentikkan dengan komunikasi yang non dialogis, dengan sifat interaksi cenderung anjuran dan instruktif untuk mengikuti anjuran-anjuran pemerintah dalam rangka pencapaian target-target pemerintah; (3) Penyuluhan diidentikkan dengan proses perencanaan yang bersifat top down, dengan diwarnai oleh kepentingan-kepentingan tertentu yang bukan kepentingan petani; (4) Penyuluhan diidentikkan dengan proses indoktrinasi, dengan adanya kewajiban petani untuk menggunakan teknologi yang telah ditetapkan pemerintah; (5) Penyuluhan diidentikkan dengan proses dogmatis, yang memandang sesuatu yang dari luar lebih baik, sehingga indigenous knowledge terabaikan dan tergantikan oleh transfer of knowledge atau transfer of technology; (6) Penyuluhan diidentikkan dengan proses menggurui, dengan menggunakan asumsi bahwa petani harus dirubah sesuai dengan target-target yang telah ditetapkan; (7) Penyuluhan diidentikkan dengan proses rekayasa sosial oleh pihak luar, muncul dari pemahaman bahwa sasaran penyuluhan sebagai objek dan bukan subjek perencanaan; dan (8) Penyuluhan diidentikkan dengan proses yang berorientasi target pemerintah. Paradigma Baru Penyuluhan Paradigma baru penyuluhan memandang bahwa petani atau pembudidaya ikan merupakan aktor penting dalam mencapai pembangunan yang berkelanjutan, sehingga pendekatan penyuluhan yang digunakan bersifat partisipatori. Pendekatan partisipatif memberikan peran yang tinggi pada petani atau pembudidaya untuk bersama-sama dengan penyuluh ataupun peneliti untuk mengembangkan program
33
pembangunan mulai dari tahap mengidentifikasi masalah, merencanakan, melaksanakan hingga tahap mengevaluasinya.
Rhoades mengembangkan model
partisipatif yang menjadikan program relevan dengan kondisi masyarakat lokal (Gambar 4). 4. Evaluasi hasil penelitian dan adaptasi oleh petani
Pengetahuan lokal dan masalah
1. Diagnosa masyarakat lokal dengan peneliti
Pendefinisian masalah secara umum
Penyelesaian dengan adaptasi
3
Adaptasi di stasiun penelitian/lapangan
Penyelesaian masalah
2.
Penyelesaian masalah secara terpadu
Gambar 4. Model dari Petani untuk Petani (Rhoades 1990) Partisipasi petani dalam program pembangunan juga terkait dengan keikutsertaannya dalam pembiayaan.
Axinn (1988) menyebutkan adanya
pendekatan pembagian biaya (the cost sharing approach). Pada pendekatan ini masyarakat lokal
ambil bagian dalam membiayai program penyuluhan.
Pengawasan dan perencanaan dilakukan bersama dan bersifat responsif terhadap keinginan masyarakat setempat. Kesuksesan program yang diterapkan diukur dari kemauan petani dan kemampuan petani untuk menyediakan sebagian biaya program. Masalah yang dihadapi dengan pendekatan ini adalah jika petani lokal dipaksa untuk berinvestasi pada perusahaan yang tidak terbukti hasilnya. Menurut Rajashree (2005), model penyuluhan lama yang berbasis pada intervensi pemerintah yaitu pemerintah yang mengorganisasi, membiayai penyuluhan, dan menyediakan tenaga penyuluh berakibat pada biaya tinggi dengan dampak program penyuluhan yang kecil, dan bisa terjadi konflik kepentingan antara tujuan pemerintah dengan kebutuhan petani. Bagi penyuluh yang dirasakan
34
adalah rasa ketidakpuasan atas insentif yang diberikan, karena tidak jelas sistem reward yang diterapkan dengan kinerjanya. Pola-pola komunikasi yang dikembangkan pada pendekatan partisipatif bersifat setara, egaliter, dan konvergen dengan adanya pemahaman masing-masing tanpa ada unsur pemaksaan. Sumber informasi tidak harus bersumber dari luar diri petani, melainkan justru dikembangkan dari potensi yang dimiliki petani yang selanjutnya disebarluaskan di antara sesama mereka. Menurut Axinn (1988), asumsi yang digunakan dalam pendekatan partisipatif adalah petani telah terampil dalam mengelola lahannya, tetapi kesejahteraan hidupnya masih rendah yang bisa ditingkatkan dengan penambahan pengetahuan. Partisipasi aktif dari diri petani sangat dipentingkan yang nantinya akan memberikan efek pada penguatan kelompok. Sebagian besar pekerjaan dilakukan melalui pertemuan kelompok, demonstrasi, kunjungan individu dan kelompok, dan pertukaran teknologi lokal. Kesuksesan diukur dari jumlah petani yang berpartisipasi dan kontinuitas program. Terdapat kombinasi antara pengetahuan setempat (indigenous knowladge) dengan ilmu pengetahuan (science). Penekanan pada kebutuhan petani sasaran. Sistem ini membutuhkan penyuluh yang juga sebagai animator dan katalisator, dan menstimulasi petani mengukuhkan kelompok. Masyarakat lokal yang mengevaluasi programnya sendiri dan berperan dalam penelitian. Pendekatan penyuluhan partisipatori membutuhkan biaya lebih rendah, sesuai dengan kebutuhan, dan lebih efesien. Namun demikian, membutuhkan usaha lebih banyak dari penyuluh untuk mengorganisir dan memotivasi petani.
Oleh karenanya,
diperlukan penyuluh yang tinggal di wilayah kerjanya dan bersosialisasi dengan petani. Penyuluh sebagai sahabat petani. Kinerja Penyuluh Menurut Rue dan Byars (Keban 2000), konsep kinerja (performance) dapat didefinisikan sebagai sebuah pencapaian hasil atau degree of accomplishtment. Dengan demikian kinerja suatu organisasi, termasuk organisasi penyuluhan dapat dilihat dari pencapaian tujuan organisasi penyuluhan yang telah ditetapkan sebelumnya. Untuk menilai kinerja organisasi ini diperlukan indikator-indikator atau kriteria-kriteria untuk mengukurnya secara jelas. Indikator dan kriteria yang
35
jelas
dapat digunakan untuk menentukan mana yang relatif lebih efektif
diantaranya: alternatif alokasi sumber daya yang berbeda; alternatif desain-desain organisasi yang berbeda; dan diantara pilihan-pilihan pendistribusian tugas dan wewenang yang berbeda, seperti yang dinyatakan Bryson (Keban, 2000). Tujuan suatu organisasi menjadi pedoman dasar dalam menilai suatu kinerja. Oleh karenanya, penilaian organisasi penyuluhan diukur dari kemampuan organisasi penyuluhan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui kegiatankegiatan pendidikan non formal yang dilakukan dan berasaskan pada filosofi atau prinsip-prinsip penyuluhan. pencapaian
Asngari (2001)
menggambarkan bahwa dalam
tujuan penyuluhan jangka panjang yaitu kesejahteraan masyarakat
memerlukan tahapan-tahapan tertentu. Hal tersebut digambarkan dalam bidang pertanian tanaman pangan. Tujuan penyuluhan jangka pendek adalah mengubah perilaku individu pada ranah pengetahuan, sikap, dan tindakannya, sehingga individu tersebut berubah perilakunya dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mau menjadi mau dan dari tidak bisa menjadi bisa. Melalui perubahan perilaku ini, menjadikan klien melakukan usahanya lebih baik dan dari aspek bisnis atau usahataninya juga lebih baik, dengan syarat tersedia sarana usaha yang memadai dan iklim usaha yang kondusif. Selanjutnya, dengan teknik usaha dan bisnis yang lebih baik menjadikan pendapatan petani atau pembudidaya ikan akan meningkat, sehingga kehidupannya menjadi lebih baik dan lebih sejahtera.
Apabila setiap individu mengalami
peningkatan kondisi hidup yang lebih sejahtera ini, maka secara keseluruhan masyarakat juga akan menjadi lebih sejahtera (Gambar 5). Terkait dengan upaya membangun profesionalisme penyuluhan pertanian, Departemen Pertanian menetapkan sembilan indikator kinerja penyuluhan, yaitu (1) tersusunnya programa penyuluhan pertanian di tingkat BPP/kecamatan sesuai dengan kebutuhan petani, (2) tersusunnya kinerja penyuluh pertanian di wilayah kerjanya masing-masing, (3) tersusunnya peta wilayah komoditas unggulan spesifik lokasi, (4) terdisimenasinya informasi teknologi pertanian secara merata dan sesuai dengan kebutuhan petani, (5) tumbuh kembangnya keberdayaan dan kemandirian petani, kelompok tani, usaha/asosiasi petani dan usaha formal (koperasi dan kelembagaan lainnya), (6) terwujudnya kemitraan usaha antara petani dengan
36
pengusaha yang saling menguntungkan, (7) terwujudnya akses petani ke lembaga keuangan, informasi, sarana produk pertanian dan pemasaran, (8) meningkatnya produktivitas agribisnis komoditi unggulan di masing-masing wilayah kerja, dan (9) meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan petani di masing-masing wilayah kerja. Tujuan jangka pendek
Penyuluhan pembangunan
Perubahan perilaku: - pengetahuan - sikap - keterampilan
SDM klien
Menjadi: tahu mau bisa
SDM klien
Better Farming Better Business
Peningkatan pendapatan
Tujuan jangka panjang
Ditunjang
Sarana usaha yang memadai (agro support) dan iklim usaha yang kondusif (agroclimate)
Hidup lebih baik Hidup lebih sejahtera Masyarakat lebih makmur
Gambar 5. Tujuan Penyuluhan Pembangunan (Asngari, 2001) Berdasarkan pelaksanaan bidang kinerja, hasil penelitian Suhanda (2008) menunjukkan adanya urutan kinerja terbaik yang dilakukan oleh penyuluh pertanian, berturut-turut sebagai berikut (1) pelibatan tokoh masyarakat, (2) penumbuhan kelompok tani, (3) penyusunan rencana kerja penyuluhan, (4) penerapan metode penyuluhan, (5) penyusunan programa, (6) penyusunan materi, (7) penumbuhan keswadayaan dan keswakarsaan petani, (8) tata laksana kantor, (9) penumbuhan kelembagaan ekonomi pedesaan, dan (10) analisis potensi dan kebutuhan petani. Bidang kerja yang paling rendah pelaksanaannya berturut-turut adalah (1) pengembangan profesionalisme, (2) pengembangan jejaring dan kemitraan, dan (3) evaluasi dan pelaporan. Kinerja penyuluh lapang di Malaysia dinilai dari
kemampuannya
melaksanakan tujuh aspek kompetensi utama seorang penyuluh, yaitu dalam aspek organisasi dan administrasi penyuluhan, perencanaan program dan pembangunan,
37
komunikasi dan metode mengajar, pengajaran (extension teaching), evaluasi program dan kegiatan, struktur dan nilai sosial, dan pengembangan diri (Awang 1992). Menurut Long (1995), kompetensi yang diperlukan penyuluh adalah: administrasi, perencanaan program, pelaksanaan program, pengajaran, komunikasi, pemahaman perilaku manusia, pemeliharaan profesionalisme, dan evaluasi. Hasil penelitian Dube (1993) di
Iowa, Amerika Serikat menunjukkan,
penyuluh memandang penting tujuan program penyuluhan, yaitu menolong petani meningkatkan kualitas produksi, mengajarkan konservasi tanah, dan mendorong petani membuat perencanaan. Prinsip-prinsip program penyuluhan dinilai tinggi, seperti mendorong kerjasama tim para staf penyuluhan, menggunakan metode penyuluhan yang tepat, membangun keterampilan memecahkan masalah, dan menggunakan kebutuhan petani sebagai basis program.
Demonstrasi cara,
demonstrasi hasil dan kunjungan lapang memperoleh rating tinggi sebagai metode mengajar. Masalah utama yang dihadapi adalah luasnya areal kerja, keterbatasan transportasi, dan keengganan petani untuk ikut pertemuan. Kinerja organisasi merupakan hasil interaksi yang kompleks dan agregasi kinerja sejumlah individu dalam organisasi. Menurut Gibson dan Brown (2003), ada tiga kelompok peubah yang mempengaruhi perilaku kerja dan kinerja individu, yaitu: peubah individu, peubah organisasi dan peubah psikologis. Kelompok
peubah
individu
terdiri dari
peubah
kemampuan
dan
keterampilan, latar belakang pribadi dan demografis. Peubah kemampuan dan keterampilan merupakan faktor utama yang mempengaruhi perilaku kerja dan kinerja individu, sedangkan peubah demografis mempunyai pengaruh yang tidak langsung. Kelompok peubah psikologis terdiri dari peubah persepsi, sikap, kepribadian, belajar dan motivasi. Peubah ini banyak dipengaruhi oleh keluarga, tingkat sosial, pengalaman kerja sebelumnya dan peubah demografis. Kelompok peubah organisasi terdiri atas peubah sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur dan desain pekerjaan. Menurut Suhanda (2008) yang melakukan penelitian tentang kinerja penyuluh di Jawa Barat, faktor internal yang mempengaruhi kinerja penyuluh pertanian adalah usia, masa kerja, jenis kelamin, jabatan penyuluh, pendidikan fomal dan pelatihan.
Faktor di luar diri individu yang mempengaruhi kinerja
38
penyuluh adalah gaji dan honor, administrasi dan kebijakan, pembinaan dan supervisi, dan kondisi kerja. Peran Penyuluhan dalam Pengembangan Kapasitas Gabriel (1991) menyatakan bahwa penyuluhan merupakan proses yang kompleks yang meliputi perspektif pemecahan masalah, proses pendidikan nonformal yang ditujukan pada masyarakat
pedesaan, dan menyediakan saran dan
informasi untuk mengatasi masalah, dan tujuannya adalah meningkatkan produksi, meningkatkan standar kehidupan, dan efesiensi usaha keluarga. Penyuluhan juga berusaha untuk merubah sikap petani agar dapat memecahkan masalahnya sendiri melalui diskusi dan pengambilan keputusan, sehingga penyuluhan sebagai proses yang membutuhkan waktu yang lama, mengandung pendidikan, dan bekerja saling mendukung dengan masyarakat pedesaan guna mengatasi kesulitan yang dihadapi. Gabriel (1991) menguraikan ada empat komponen yang diperlukan dalam penyuluhan kontemporer, yaitu: (1) saran dan informasi, dengan menyediakan saran teknik dan informasi yang bermanfaat untuk kehidupannya, seperti informasi harga, kredit, informasi pasar, dan saran penggunaan input seperti pupuk yang tepat.
Informasi tidak harus berasal dari penyuluh, tetapi dikembangkan dari
pengetahuan lokal (indigenous knowladge); (2) keterampilan dan pengetahuan, dengan menambahkan pengetahuan dan keterampilan sistem usaha pertanian dan lingkungan baik kepada petani yang “maju” maupun petani yang memiliki keterbatasan akses; (3) lembaga petani (farmer institutions), petani yang efesien dan produktif tidak hanya dikembangkan dengan pengetahuan dan keterampilan saja, melainkan juga ditunjukkan dari interes petani, kesempatan untuk aksi bersama, dan jaringan komunikasi antar petani yang semuanya dapat dikembangkan melalui organisasi petani yang efektif. Dalam hal ini penyuluhan berperan untuk memperkuat lembaga-lembaga usaha petani dalam rangka mencapai tujuannya; dan (4) membangun kepercayaan diri (confidence building), isolasi dan perasaan tidak mampu menjadikan masalah dalam diri petani untuk meningkatkan kehidupan yang lebih baik. Oleh karenanya, penyuluh berperan untuk meyakinkan petani bahwa mereka memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu sendiri, dan mengatasi kemiskinannya.
39
Menurut Boone (1989), penyuluhan bertujuan: (1) sebagai pembelajaran pada masyarakat sesuai dengan konteks dan situasi masyarakat itu sendiri, agar masyarakat mampu secara mandiri mengidentifikasi kebutuhan dan masalah yang dihadapinya; (2) menolong mereka menyediakan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dan masalahnya; dan (3) Menginspirasi untuk bertindak. Selanjutnya dinyatakan bahwa penyuluhan harus difokuskan pada upaya untuk peningkatan kemanusiaan (human condition). Upaya tersebut ditujukan untuk menolong masyarakat “yakin pada dirinya sendiri” dalam hal informasi potensi dan keuntungan suatu teknologi, teknologi baru, peningkatan keterampilan, dan mengelola usaha. Penyuluhan juga bertindak sebagai penghubung masyarakat dalam penelitian, teknologi, dan prosedur.
Misi
penyuluhan adalah menolong masyarakat dalam konteks sosial budaya mereka sendiri,
sehingga
kapasitasnya
menjadi
meningkat
untuk
mengatasi
permasalahannya sendiri. Menurut van den Ban dan Hawkins (1999), peran utama penyuluhan adalah menolong petani untuk mengatasi masalahnya sendiri, dengan cara: (1) membantu petani menganalisis situasi yang sedang dihadapi dan melakukan perkiraan ke depan; (2) membantu petani menyadarkan terhadap kemungkinan-kemungkinan timbulnya masalah dari analisis tersebut; (3) meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan wawasan terhadap suatu masalah, serta membantu menyusun kerangka berdasarkan pengetahuan yang dimiliki petani; (4) membantu memperoleh pengetahuan yang khusus berkaitan dengan cara pemecahan masalah yang dihadapi serta akibat yang ditimbulkannya, sehingga mereka mempunyai berbagai alternatif tindakan; (5) membantu petani memutuskan pilihan yang tepat yang menurut pendapat mereka sudah optimal; (6) meningkatkan motivasi petani untuk dapat menerapkan pilihannya; dan (7) membantu petani untuk mengevaluasi dan meningkatkan keterampilan mereka dalam membentuk pendapat dan mengambil keputusan. Peran penyuluh dalam pengembangan kapasitas tidak bisa dilepaskan dari filosofi penyuluhan itu sendiri, yaitu membantu pembudidaya ikan agar mereka mampu menolong dirinya sendiri dalam menyelesaikan masalahnya.
Asngari
(2007) menyebutkan tujuh prinsip atau filosofi yang harus dipegang dalam
40
menerapkan kegiatan penyuluhan yaitu: (1) Falsafah mendidik, bahwa dalam proses mendidik klien tidak bisa dengan paksaan yang justru akan menyebabkan klien merasa terpaksa menjalankan apa yang diinginkan penyuluh, tetapi dengan dengan sabar mendidiknya sehingga klien menjadi terbiasa; (2) Falsafah pentingnya individu, karena potensi pribadi setiap individu sangat besar untuk berkembang dan dikembangkan; (3) Falsafah demokrasi, seperti yang dikutip dari Comb, Avila dan Purkey (1971), bahwa demokrasi sebagai dasar martabat seseorang, melalui kebebasan dan keterbukaan informasi seseorang dapat menemukan sendiri jalan yang terbaik, dan dengan demokrasi seseorang akan mencapai tingkat intelektual, kebebasan, dan tanggungjawab; (4) Falsafah bekerja bersama, seperti ajaran Ki Hadjar Dewantoro “hing madya mangun karsa” yang mengandung makna adanya kerjasama antara penyuluh dengan klien. Penyuluh bekerjasama dengan klien agar klien aktif berprakarsa dalam proses belajar untuk mengembangkan usaha bagi dirinya; (5) Falsafah “membantu klien membantu dirinya sendiri”, seperti yang dikuti dari Thompson Repley Bryant (Vines dan Anderson 1976) bahwa: “The whole extension philosophy is built on the idea of helping people help themselves, and getting them to realize that it is their interest to help themselves. It is essential that they will not get real help until they do it themselves;” (6) Falsafah berkelanjutan, semua hal di dunia berkembang, sehingga penyuluhan harus mengikuti perkembangan tersebut, baik dalam hal materi yang disajikan, cara penyajian, maupun alat bantu penyajian; dan (7) Falsafah “membakar sampah,” penyuluhan dianalogikan dengan membakar sampah yang dimulai dengan sampah disiram minyak tanah lalu dibakar sampai ada yang kering dan merambat mempengaruhi kekeringan yang lain. Maknanya adalah dalam penyuluhan perlu kesabaran; pada pendekatan individu perlu kesabaran menunggu perkembangan individu, dan pada pendekatan kelompok dimaknai bahwa antar anggota kelompok akan saling pengaruh mempengaruhi. Terdapat berbagai pendekatan untuk merubah perilaku, seperti yang dinyatakan oleh van den Ban dan Hawkins (1999) yaitu berupa: (a) kewajiban atau pemaksaan, (b) pertukaran, (c) pemberian saran, (d) mempengaruhi pengetahuan dan sikap klien (petani), (e) manipulasi, (f) penyediaan sarana, (g) pemberian jasa, dan (h) merubah struktur sosial ekonomi klien (petani). Dari berbagai pendekatan
41
tersebut yang lebih tepat untuk diterapkan dalam aktivitas penyuluhan sesuai dengan filosofinya adalah pendekatan “mempengaruhi pengetahuan dan sikap klien (petani),” Pendekatan ini paling tepat untuk penyuluhan, karena menyiratkan unsur “menolong seseorang untuk menolong dirinya sendiri,” artinya peran penyuluh hanya sebatas memberikan motivasi ataupun memfasilitasi dengan informasi, wawasan, pengetahuan dan lain sebagainya sedangkan klien (petani, pembudidaya ikan, nelayan) menggunakannya untuk membantu memecahkan masalahnya sendiri. Lippitt (1969) menyatakan adanya sembilan situasi yang menyebabkan masyarakat resisten terhadap perubahan, yaitu (1) ketika tujuan perubahan tidak jelas, (2) ketika masyarakat tidak dilibatkan dalam perencanaan, (3) ketika seruan tidak didasarkan pada alasan personal, (4) ketika norma dan kebiasaan masyarakat tidak diindahkan, (5) ketika komunikasi untuk berubah sangat jelek; (6) ketika ada rasa takut gagal, (7) ketika biaya terlalu mahal atau tidak sebanding dengan manfaatnya, dan (8) ketika situasi yang ada sudah cukup memuaskan, maka seorang penyuluh atau agen pembaharuan perlu melakukan pendekatan yang lebih intensif pada masyarakat ini, agar bisa tergali dengan jelas “kondisi psikologis” yang dirasakan oleh mereka yang nantinya bisa dijadikan untuk melakukan perubahan perilaku dari seorang pembudidaya tradisional menjadi pengusaha budidaya ikan. Secara garis besar metode penyuluhan terdiri dari tiga macam, yaitu perorangan, kelompok, dan massal. Menurut van den Ban dan Hawkins (1999), masing-masing metode tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan (Tabel 2). Tabel 2. Tingkat Kesesuaian Berbagai Macam Metode Penyuluhan Media yang sesuai atau memiliki ciri Media Ceramah Demonstrasi Media rakyat Kelompok Dialog khas massa diskusi O O Menciptakan kesadaran inovasi XXX X XX XX Menciptakan kesadaran akan masalah O X XX XXX XXX XXX sendiri Alih pengetahuan XXX XX XX XX X XX O O XX X XXX XX Perubahan perilaku O Menggunakan pengetahuan sesama O X XX XXX X petani O O X X XXX XX Membangkitkan proses belajar O X Xx XX XXX Menyesuaikan pada masalah petani O O O Tingkat abstraksi *) XXX XX X X O X X XX XX XXX Biaya/petani yang dicapai *) Keterangan: o=tidak cocok. Jumlah tanda silang menunjukkan kecocokan, kecuali bila ditandai dengan tanda (*)
42
Menurut Wiriaatmadja (1983) pemilihan metode penyuluhan harus tepat sasaran, tepat waktu, dan murah. Crouch dan Chamala (1981) menyatakan bahwa metode demonstrasi (cara dan hasil) sebagai metode yang tepat diterapkan di negara-negara sedang berkembang, karena dapat memfasilitasi komunikasi bagi masyarakat yang buta huruf. van den Ban dan Hawkins (1999) menghubungkan antara sifat tujuan belajar dengan strategi dan metode yang tepat. Pada belajar yang bertujuan untuk merubah pengetahuan dengan menggunakan strategi alih informasi dan metode media massa, ceramah, dan dialog yang diarahkan, sedangkan pada ranah perubahan sikap
strateginya belajar dari pengalaman dengan metode diskusi
kelompok, dialog yang tidak diarahkan, simulasi, dan film. Selanjutnya, tujuan belajar yang berupa perubahan keterampilan menggunakan strategi latihan dengan metode yang mendorong tindakan, seperti latihan dan demontrasi (Tabel 3). Tabel 3. Strategi dan Metode untuk Mencapai Tujuan Belajar Sifat Tujuan Belajar Pengetahuan (kognitif)
Strategi Alih informasi (dari luar)
Sikap (afektif)
Belajar dari pengalaman (informasi dari dalam)
Keterampilan (psikomotorik)
Latihan keterampilan
Metode yang tepat Publikasi dan rekomendasi dari media massa, ceramah, selebaran, dialog yang diarahkan Diskusi kelompok, dialog yang tidak diarahkan, simulasi, dan film Metode yang mendorong tindakan: latihan, demonstrasi
Kelompok Secara naluriah manusia senantiasa ingin selalu berhubungan dengan orang lain atau dengan kata manusia dapat dikatakan sebagai makhluk sosial yang memerlukan orang lain dalam seluruh hidupnya guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Menurut Soekanto (1990), sejak manusia dilahirkan memiliki dua keinginan pokok, yaitu keinginan menjadi satu dengan manusia lain di sekitarnya (masyarakat) dan keinginan untuk menjadi satu dengan suasana alam di sekelilingnya. Untuk memenuhi kebutuhan ini manusia harus berkelompok. Secara harafiah kelompok diartikan sebagai kumpulan dari dua orang atau lebih yang memiliki kebutuhan bersama.
Soekanto (1990) menyatakan bahwa
himpunan orang-orang dapat dikatakan sebagai kelompok apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (1) adanya kesadaran setiap anggota kelompok
43
sebagai bagian dari kelompoknya, (2) ada hubungan timbal balik antar anggota kelompok, (3) adanya faktor yang dimiliki bersama, misalnya nasib, kepentingan, tujuan, idiologi yang sama dan sebagainya, (4) berstruktur, berkaidah, dan mempunyai pola tertentu, dan (5) bersistem dan berproses. Pandangan psikologi sosial terhadap kelompok memperlihatkan, kelompok terdiri dari sekumpulan individu-individu yang memiliki daya, kemauan, potensi dan karakteristik lain yang berbeda satu sama lain. Lebih lanjut pandangan ini digunakan untuk menganalisis dinamika kelompok. Sejarah dinamika kelompok sudah ada sejak zaman Yunani dengan ajaran Plato yang menyatakan bahwa“daya pikir individu tercermin di dalam golongan pemerintahahan, daya kemauan tercermin di dalam golongan ketentaraan, dan daya perasaan tercermin di dalam golongan pedagang.” Masing-masing golongan memiliki norma dan sistem yang berbeda, namun saling berinteraksi membentuk satu kesatuan yang lebih besar. Pada zaman liberalisme, ada gagasan untuk membentuk negara sebagai bentuk pengelompokan yang memiliki norma, struktur, dan pimpinan. Gagasan ini muncul sebagai akibat dari kebutuhan individu akan pedoman dalam kehidupan dan kebutuhan akan kepastian kehidupan, yang semuanya muncul dari pengaruh cara berfikir bebas bahwa setiap individu bebas menentukan nasibnya sendiri dan tidak bisa menentukan kehidupan individu lain. Lazarus dan Hall (Santosa 2006) menyatakan bahwa pengaruh adat dan bahasa rakyat menimbulkan homogenitas pada masyarakat, sehingga setiap sikap dan tingkah laku setiap anggota masyarakat tidak berbeda satu sama lain. Pada perkembangan berikutnya teori ini berkembang menjadi teori sosial yang menyatakan bahwa setiap kelompok masyarakat memiliki kesatuan psikologi menjadi suku bangsa tertentu, lengkap dengan kepribadian masing-masing. Ruang lingkup kajian tentang dinamika kelompok seperti yang dinyatakan oleh Jetkins (Mardikanto 1992) adalah kajian terhadap kekuatan-kekuatan yang terdapat di dalam maupun di lingkungan kelompok yang akan menentukan perilaku anggota-anggota kelompok dan perilaku kelompok yang bersangkutan, untuk bertindak atau melaksanakan kegiatan-kegiatan demi tercapainya tujuan bersama yang merupakan tujuan kelompok.
Perilaku kelompok yang ditunjukkan dari
keaktifan maupun kedinamisan kelompok dipengaruhi oleh faktor-faktor penyebab
44
timbulnya dinamika yang ada di dalamnya. Menurut Slamet (1990) yang disarikan dari Cartwrigt dan Zander (1964), faktor-faktor yang sangat penting untuk mendinamisasikan kelompok ada sembilan, dengan uraian sebagai berikut: (1) Tujuan kelompok, yaitu sesuatu yang ingin dicapai oleh kelompok, sehingga semua aktivitas kelompok ditujukan untuk pencapaian tersebut. Tujuan dapat mempengaruhi dinamika kelompok dalam hal menunjang tercapainya tujuantujuan pribadi para anggotanya (2) Struktur kelompok, diartikan sebagai bentuk hubungan antara individu-individu dalam kelompok dan pengaturan peranan yang ditentukan oleh tujuan kelompok yang ingin dicapai.
Beberapa unsur yang mempengaruhinya, yaitu besar
kecilnya kelompok, aspek-aspek kualitatif, kesempurnaan dalam mencapai tujuan, sarana interaksi yang tersedia dan solidaritas. (3) Fungsi tugas, yaitu segala sesuatu yang harus dilakukan sehingga tujuan kelompok dapat tercapai. Indikator bahwa fungsi tugas telah dijalankan dengan baik jika ada kepuasan dalam kelompok, ketersediaan informasi bagi seluruh anggota, koordinasi yang baik, adanya prakarsa, dan penyebaran informasi, dan adanya penjelasan kepada anggota. (4) Pengembangan
dan
pemeliharaan
kelompok,
merupakan
fungsi
yang
berorientasi pada keberlangsungan kehidupan kelompok, karena jika fungsi ini tidak ada maka kelompok akan mati. Beberapa unsur yang diperlukan agar kelompok tetap eksis adalah adanya partisipasi dari seluruh anggota kelompok, tersedia fasilitas yang memadai, ada aktivitas, ada koordinasi untuk mencegah konflik, komunikasi yang baik antar individu dalam kelompok, adanya standar perilaku, dilakukan sosialisasi, dan mencari anggota baru. (5) Kekompakan kelompok, yaitu kesatuan kelompok yang dicirikan oleh keterikatan yang kuat antar anggota kelompok. Kekompakan dapat terjadi jika ada komitmen yang kuat dari seluruh anggota dan tulus menjalankan keputusan kelompok. Faktor-faktor yang mempengaruhi kekompakan kelompok adalah kepemimpinan yang kuat, rasa kepemilikan anggota terhadap kelompok, nilai dari tujuan kelompok, homogenitas anggota kelompok, integrasi, kerjasama, dan besarnya kelompok
45
(6) Suasana kelompok, diterjemahkan sebagai perasaan-perasaan yang ada pada diri anggota. Semakin menyenangkan suasana kelompok maka semakin tinggi dinamika kelompok.
Faktor-faktor yang mempengaruhi suasana kelompok
adalah: ketegangan, suasana lingkungan fisik, kelonggaran (permissiveness), dan hubungan antar anggota. (7) Tekanan kelompok, merupakan semacam tegangan yang disebabkan oleh tekanan di dalam kelompok yang menimbulkan tegangan. Tegangan dapat dikatakan sebagai stimuli yang dapat mendinamisasikan kelompok. Sumber tegangan bisa berasal dari dalam ataupun luar kelompok. (8) Keberhasilan kelompok, pada kelompok yang berhasil dalam mencapai tujuantujuannya akan menimbulkan dinamika kelompok yang lebih tinggi. (9) Maksud-maksud tersembunyi, yaitu sesuatu yang ada di bawah permukaan, yang artinya orang yang bersangkutan tidak sadar atau tidak pernah mampu mengemukakan secara terbuka. Sumbernya bisa berasal dari anggota maupun pemimpin kelompok.
Maksud-maksud tersembunyi mempunyai pengaruh
terhadap dinamika kelompok. Kelompok atau yang diistilahkan oganisasi masyarakat oleh Ismawan dan Budi (2005) memiliki peran sebagai wahana bagi para anggotanya dalam meningkatkan kemandiriannya. Kelompok merupakan: (1) Wahana belajar mengajar, yaitu wahana saling asah, asih, dan asuh, sehingga akan terjadi saling pembelajaran dan peneguhan antara anggota organisasi (learning organization). (2) Wahana identifikasi masalah dan pengambilan keputusan bersama, yaitu menjadi sarana pemecahan keputusan untuk pencapaian kebaikan bersama (common goods) (3) Wahana pooling of resources, yaitu tempat untuk memobilisasi sumberdaya individu (tenaga, pikiran, material) individu yang memiliki keunikan dan kelebihan masing-masing, serta bisa menghasilkan sinergi. (4) Wahana berinteraksi pihak ketiga (representasi), merupakan sarana yang representatif untuk memperjuangkan aspirasi para anggota kepada pihak-pihak lain (pemerintah, lembaga keuangan, pasar dan lainnya) dengan posisi tawar yang lebih baik.
46
Peran kelompok pembudidaya ikan cukup penting dalam aspek pemasaran. Fox (1979) menyatakan bahwa kelompok sebagai cara untuk meningkatkan kondisi ekonomi petani kecil yang lebih baik, yaitu dengan peningkatan skala ekonomi, memperkuat posisi tawar dan menciptakan integrasi vertikal. Diuraikan lebih lanjut, pemerintah perlu memotivasi petani kecil membentuk kelompok pemasaran sehingga sumberdaya para petani miskin dapat tersalurkan. Menurut Pretty (1995), peran kelembagaan lokal dan kelompok dalam keberhasilan pembangunan masyarakat desa cukup signifikan, seperti keberhasilan pembangunan pertanian yang berkelanjutan di beberapa negara berkembang (China, India, Indonesia, Nepal dll) terjadi karena adanya perhatian pada sistem kelembagaan lokal.
Motivasi, keterampilan, dan pengetahuan individu petani
bukan menjadi penyebab kesuksesan pembangunan tersebut, melainkan justru dipengaruhi aksi dalam kelompok atau komunitas secara menyeluruh. Konsepsi “lokal” mengarah pada karakteristik yang khas dalam hal mengorganisir kegiatan, membangun konsensus, mengkoordinir berbagi tugas dan tanggung jawab, mengumpulkan, menganalisis dan mengevaluasi suatu informasi, dan lain-lain. Fungsi kelembagaan atau organisasi lokal cukup penting, yaitu: (1)
Mengorganisir sumberdaya tenaga kerja agar memiliki nilai lebih
(2)
Mengorganisir sumberdaya material untuk menghasilkan sesuatu yang bernilai, seperti kredit, tabungan, pemasaran.
(3)
Membantu kelompok-kelompok untuk mengakses sumberdaya
(4)
Mengamankan sumberdaya alam yang berkelanjutan
(5)
Sebagai penghubung antara petani, peneliti, dan jasa penyuluhan
(6)
Sebagai penghubung informasi dengan pemerintah dan LSM
(7)
Menciptakan kerangka kerjasama
(8)
Meningkatkan kohesi sosial, dan sebagainya
Pemimpin Kelompok Peran pemimpin kelompok penting dalam mewujudkan tujuan kelompok itu sendiri.
Secara umum pemimpin diartikan sebagai orang yang memiliki
pengaruh terhadap orang lain untuk melakukan suatu tujuan yang diinginkan oleh seseorang atau kelompok. Dalam menjalankan kepemimpinannya, seorang pemimpin memiliki gaya tertentu, yaitu cenderung otoriter, partisipatif atau tidak
47
peduli (laissez faire), serta tipe tertentu, yaitu kharismatis, situasional, tradisional, formal ataupun informal. Kelompok yang terbentuk dalam masyarakat petani/nelayan di pedesaan, misalnya Kelompok Tani dan Nelayan Andalan (KTNA), Kelompok Tani, Kelompok Pembudidaya Ikan, Kelompok Nelayan dan sebagainya digolongkan sebagai kelompok informal dan berorientasi tugas. Menurut Slamet (1990), hal-hal yang terkait dengan kepemimpinan pada kelompok informal adalah: (1) Kepemimpinan Kepemimpinan pada kelompok tani atau nelayan di pedesaan umumnya bersifat informal, kekuasaan status (position power) sangat lemah, sehingga menghukum anggota tidak dilakukan dan biasanya pemimpin adalah orang yang disegani, dihormati dan diharapkan memberi petunjuk. (2) Hubungan antara pemimpin dan anggota sangat penting. Mengingat umumnya pemimpin kelompok informal adalah orang yang sangat dihormati maka pemimpin harus mampu memanipulasi tujuan individu sama dengan tujuan kelompok, dan mampu memotivasi anggota secara maksimal. (3) Kematangan anggota sangat diperlukan, untuk menyelesaikan tugas-tugas kelompok menuju pencapaian tujuan. (4) Keterlibatan anggota pada tujuan harus kuat, dalam hal ini pemimpin harus memelihara komitmen anggota terhadap tujuan kelompok. (5) Spesifikasi peranan harus dihindarkan (6) Kegiatan kelompok seharusnya dijaga tetap informal (7) Kelompok harus tetap kecil (8) Kesukarelaan harus tetap dipertahankan. Pemimpin informal di wilayah pedesaan, termasuk pada masyarakat pembudidaya ikan seringkali dijadikan sebagai kontak tani, yang berperan sebagai penghubung antara masyarakat setempat dengan pihak luar, khususnya pemerintah. Program-program pemerintah akan menjadi lebih efesien tersebar di masyarakat melalui peran kontak tani. Umumnya kontak tani memiliki tingkat sosial ekonomi yang
tinggi di
masyarakat sekitarnya. Di Arunadhapura, Srilanka pada umumnya kontak tani berusia lebih tua, aktif dalam kegiatan sosial, memiliki lebih banyak pengalaman
48
dalam pertanian sawah, memiliki usaha lebih besar, dan memiliki pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan non kontak tani. Pada petani non kontak tani sumber informasi utama dari penyuluh lapang, selanjutnya dari petani lain, radio, dan tetangga. Hubungan antara kontak tani dengan non kontak tani melalui kelompok lebih efektif dibandingkan jika bertemu secara individu (Sivayoganathan 1982). Konsep Akuakultur Menurut Edwards dan Demaine (1998), budididaya pada wilayah perairan ekuivalen dengan budidaya pada lahan darat. Pertanian secara umum termasuk di dalamnya budidaya ternak dan budidaya tanaman (perkebunan, hortikultur maupun hutan), dalam hal ini akuakultur masuk ke dalam budidaya ternak (udang, ikan, dan moluska). Pertanian dominan menggunakan air tawar, tetapi pada akuakultur selain menggunakan air tawar pada lahan daratan juga menggunakan air payau dan air laut pada area pesisir. Perbedaan utama antara perikanan budidaya (akuakultur) dengan perikanan tangkap adalah pada tujuan, proses produksi, dan sistem pemilikan usahanya. Akuakultur bertujuan untuk meningkatkan jumlah produksi dari organisme air yang berupa ikan, udang, moluska, dan tanaman air melalui intervensi serangkaian proses produksi mulai dari penyediaan benih, pemberian pakan, proteksi hama penyakit dan sebagainya. Pola pemilikan akuakultur bersifat perorangan maupun perusahaan, yang melakukan proses produksi tersebut. Namun demikian, juga ada yang dimiliki secara umum pada sumberdaya publik (common property resources) tanpa atau dengan izin. Sebagaimana yang dinyatakan oleh FAO (1988): “Aquaculture is the farming of aquatic organisms, including fish, molluscs, crustaceans and aquatic plants. Farming implies some form of intervention in the rearing process to enhance production, such as regular stocking, feeding, protection from predators, etc. Farming also implies individual or corporate ownership of the stock being cultivated. For statistical purposes, aquatic organisms which are harvested by an individual or corporate body which has owned them throughout their rearing period contribute to aquaculture, while aquatic organisms which are exploitable by the public as a common property resources, with or without appropriate licences, are the harvest of fisheries.”
49
Akuakultur memiliki ciri-ciri khusus yang membedakan dengan sistem pertanian, seperti yang dinyatakan oleh Effendi (2004), yaitu: (1) Usaha dilakukan di lokasi perairan, baik di laut, sungai, waduk ataupun danau. (2) Organisme akuatik yang diproduksi mencakup banyak jenis, yaitu mencakup ikan (finfish), udang (crustacea), hewan bercangkang (moluska), ekinodermata, dan alga. (3) Produk akuakultur bisa dalam beragam bentuk yaitu dalam bentuk hidup dan segar atau olahan dengan beragam jenis olahan, seperti sosis, burger, dan nuget ikan. (4) Terdapat banyak sistem akuakultur, paling tidak ada 13 jenis, yaitu kolam air tenang, kolam air deras, tambak, jaring apung, jaring tancap, karamba, kombongan, penculture, enclosure, longline, bak-tangki-akuarium, dan ranching (melalui restocking). (5) Ruang lingkup akuakultur sangat luas, dilihat dari aspek kegiatan, spasial, sumber air, zonasi darat laut, dan posisi wadah produksi. Akuakultur merupakan suatu sistem produksi yang mencakup input produksi (sarana dan prasara produksi), produksi (mulai dari persiapan sampai panen), dan out put produksi (penanganan pascapanen dan pemasaran). Orientasi akuakultur adalah memperoleh keuntungan, sehingga akuakultur merupakan kegiatan bisnis akuakultur atau akuabisnis sebagai padanan agribisnis pada bidang pertanian (Effendi dan Oktariza 2006). Menurut Den Ouden et al. (Edwards dan Demaine 1998), karakteristik pasar dan proses produksi sektor perikanan adalah sebagai berikut: (a) Mudah rusak (perishable) dan tidak tahan lama (shel-live) (b) Kualitas dan kuantitas bersifat variatif, bergantung pada perbedaan turunan (genetic differences), musim, iklim, pencemaran lingkungan, penanganan, pemeliharaan produk dan sebagainya. (c) Kecepatan proses produksi bervariasi bergantung pada industri pengolahan dan produksi akuakultur. (d) Terdapat perbedaan skala pada rantai pemasaran, sehingga dimungkinkan integrasi vertikal.
50
(e) Input produksi bersifat komplementer, sehingga menyulitkan untuk merubah sejumlah penawaran (amounts supplied) (f) Permintaan dan konsumsi produk relatif konstan (peningkatan konsumsi ikan dunia meningkat pelan) (g) Peningkatan kesadaran konsumen akan pengaruh produk dan metode berproduksi pada kesehatan, keamanan, dan lingkungan (h) Kualitas produk bergantung pada ketepatan waktu panen. (i) Diperlukan investasi modal dan pengetahuan untuk menghasilkan kemandirian. Tipe dan skala akuakultur mengikuti perkembangan evolusi pertanian, karena keduanya merupakan suatu sitem yang terintegrasi, seperti halnya yang ada pada sebagian besar usaha akuakultur skala kecil di dunia. Menurut Lazard et al. (Edwards dan Demaine 1998) dalam studinya di SubSahara
Afrika,
terdapat
empat
tipe
akuakultur
berdasarkan
tingkat
komersialisasinya, yaitu: (1) Akuakultur yang bersifat subsisten (subsistence aquaculture), pada level keluarga. (2) Akuakultur dengan tenaga manual yang terampil (artisanal aquaculture), yang tujuan produksi untuk dipasarkan, tetapi dengan skala yang kecil. (3) Akuakultur terspesialisasi (specialised aquaculture), dicirikan pada setiap tahapan rangkaian produksi dikerjakan oleh pembudidaya ikan yang berbeda. (4) Akuakultur skala industri (industrial-scale aquaculture). Martinez-Espinosa (1995) memperkenalkan dua tipe pengembangan akuakultur pedesaan, yaitu: (1)
Tipe 1 akuakultur bagi “termiskin dari yang miskin” (aquaculture for the “poorest of the poor”) yang dicirikan dari biaya dan hasil yang sangat rendah, bersifat dasar subsisten alamiah atau barter dengan menjual sebagian kecil produksinya ke tetangga atau pasar lokal.
Tipe ini ekuivalen dengan tipe l
the family-level dari Lazard et al. (1991). (2)
Tipe 2 akuakultur yang dikerjakan oleh mereka yang “kurang miskin”(“less poor”) dengan kondisi kehidupan pembudidaya ikan yang lebih baik, yang menjual sebagian besar produknya dengan memperhitungkan keuntungan ekonomi. Tipe ini sama dengan tipe arsanal dari Lazard et al. (1991).
51
Pengklasifikasian skala usaha berdasarkan teknologi produksi, khususnya pada jenis pakan, oleh Edwards dan Demaine (1998) dibagi menjadi tiga jenis, yaitu: (a) Sistem budidaya ekstensif, yang mengandalkan pada pakan alami yang dibawa arus air ataupun dari perubahan pasang surut. (b) Sistem budidaya semi-intensif, yang masih mengandalkan pakan alami, tetapi ada upaya untuk meningkatkan jumlahnya melalui pemupukan dan atau dengan pakan tambahan. (c) Sistem budidaya intensif, yang menggunakan nutrisi pakan tambahan yang lengkap, berupa ikan tawar atau ikan laut ataupun pakan formula yang biasanya dalam bentuk pelet kering. Klasifikasi tersebut didasarkan pada penyediaan pakan, namun intensitasnya akan mempengaruhi input yang lain, seperti benih, tenaga kerja, modal, dan manajemen. Sistem ini kurang relevan untuk jenis moluska karena moluska selalu dibudidayakan dengan menggunakan pakan alami. Hubungan antara beberapa skema klasifikasi skala sistem pertanian dikaitkan dengan sistem yang ada di sistem akuakultur diperlihatkan pada Tabel 4. Tabel 4. Hubungan antara Beberapa Skema Klasifikasi Skala Sistem Pertanian Sistem
Penulis
Pertanian menetap fase Pertanian menetap fase Pertanian menetap fase 3 (dominasi tanaman) 2 (integrasi monokultur industri)* tanaman/ternak)*
Edwards et al., (1988)
Pertanian miskin sumberdaya (Resourcepoor agriculture)
WCED (1987)
Revolusi hijauPertanian industri
Subsisten (Subsistence)*
Artisanal Spesialisasi (Specialized)*
Tipe 1 akuakultur*
Lazard et al., (1991) Industri* MartinezEspinosa (1995)
Tipe 2 akuakultur* Balanced model* *Termasuk di dalamnya akuakultur, sebagian maupun seluruhnya. Sumber: Edwards dan Demaine (1998)
Edwards et al., (1996)
52
Kementerian Kelautan dan Perikanan tidak secara eksplisit membagi pembudidaya dalam strata tertentu, tetapi menyebutkan istilah pembudidaya kecil untuk menunjukkan adanya golongan pembudidaya sebagai sasaran bantuan berbagai program pembangunan akuakultur. Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, dinyatakan pembudidaya ikan kecil adalah “orang yang mata pencahariannya melakukan pembudidayaan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.” Pelaku usaha akuakultur (akuabisnis) dibagi berdasarkan beberapa hal bergantung pada ruang lingkup kegiatan usahanya. Menurut Effendi dan Oktariza (2006) secara garis besar pelaku akuabisnis budidaya terbagi lima, yaitu: (1) Pembudidaya ikan, yakni mereka yang memiliki usaha produksi ikan dengan kegiatan mulai persiapan sampai pasca panen. Pembudidaya ikan terbagi lagi menjadi beberapa kategori biasanya bergantung pada: jenis ikan yang diusahakan (ikan hias atau ikan konsumsi), lokasi usaha (petambak yang mengusahakan tambak di air payau, pembudidaya air laut/mariculture, pembudidaya
air
tawar),
tahapan
produksi
(pembudaya
pembenihan,
pendederan, atau pembesaran). (2) Penyedia input produksi, yaitu mereka yang berada di subsistem hilir, seperti pengusaha pupuk, obat-obatan, pengusaha hatchery, dan pengusaha peralatan produksi. (3) Pengolah ikan, yaitu pelaku akuabisnis yang bergerak di usaha pengolahan produk dasar ikan, misalnya pengolah bakso, abon, nuget, sosis ikan dan sebagainya. (4) Pedagang atau distributor, yang berusaha dalam bisnis menjual produk akuakultur maupun hasil olahannya. Dalam rantai pemasaran, pelaku ini mulai dari pedagang pengumpul, pedagang besar, sampai eksportir maupun pengecer. (5) Pihak-pihak yang mendukung kegiatan akuakultur yang berperan sebagai faktor penunjang akuabisnis, seperti lembaga keuangan (perbankan, koperasi, simpan pinjam dll), lembaga penyedia bibit dari pemerintah seperti dari Balai Pengembangan Budidaya Ikan dan Balai Benih Ikan (BBI), raiser dan lain-lain. Kegiatan produksi akuakultur yang dilakukan pembudidaya ikan sebagai pelaku on farm, terdiri atas pembenihan, pendedaran dan pembesaran (Gambar 6).
53
Pembenihan
adalah
kegiatan
pemeliharaan
yang
bertujuan
untuk
menghasilkan benih dan selanjutnya benih menjadi komponen input bagi kegiatan pembesaran. Pembesaran ikan adalah kegiatan pemeliharaan yang bertujuan untuk menghasilkan ikan konsumsi. Adapun pendederan adalah kegiatan pemeliharaan untuk menghasilkan benih yang siap ditebarkan di unit produksi pembesaran atau benih yang siap dijual. Kegiatan pendedaran ini muncul karena adakalanya benih yang dihasilkan oleh unit produksi pembenihan masih kecil sehingga belum siap ditebarkan dan dipelihara dalam unit pembesaran.
Produksi akuakultur
Pembenihan
Pendederan
Pembesaran
Gambar 6. Kegiatan Produksi Akuakultur on Farm (Effendi 2004) Secara lebih rinci kegiatan produksi akuakultur on farm oleh Effendi (2004) dijelaskan sebagai berikut: (1) Pembenihan Pembenihan merupakan salah satu tahap kegiatan on farm yang sangat menentukan tahap kegiatan selanjutnya, yaitu pembesaran. Oleh karena itu, tahapan ini harus dilakukan secara cermat agar diperoleh hasil produksi yang memuaskan.
Kegiatan
pembenihan yang harus dikuasai oleh seorang
pembudidaya pembenihan adalah sebagai berikut: (a) Pemeliharaan induk atau pematangan gonad. Pemeliharaan induk bertujuan untuk menumbuhkan dan mematangkan gonad (sel telur dan sperma ikan). pembudidaya ikan dalam tahap ini
Hal-hal yang perlu dikuasai oleh ini antara lain: menciptakan
lingkungan dan media hidup yang sesuai untuk ikan, pemberian pakan yang tepat dan teratur, penyiapan wadah induk, pencegahan dan penanggulangan hama penyakit, dan pemeriksaan kematangan gonad secara teratur.
54
(b) Pemijahan induk, yaitu proses pembuahan telur oleh sperma. Beberapa hal yang perlu dikuasai pembudidaya ikan dalam kegiatan ini adalah: menciptakan lingkungan yang mendorong ikan melakukan pemijahan, dan menyiapkan substrat pemijahan. (c) Penetasan telur, yang bertujuan untuk mendapatkan larva. Kemampuan yang harus dimiliki oleh pembudidaya ikan dalam tahap ini adalah: dapat melakukan penetasan telur dengan memindahkan ke wadah pemijahan sesuai sifat telur yang menempel pada substrat atau mengapung dan mampu menciptakan lingkungan media hidup telur. (d) Pemeliharaan larva dan benih. Pembudidaya ikan harus dengan cermat melakukan hal-hal sebagai berikut: mempersiapkan wadah pemeliharaan larva agar larva berkembang optimal, penebaran secara tepat, pemberian pakan sesuai dengan umur larva, pengelolaan air, penanggulangan hama penyakit, dan melakukan pemanenan secara tepat. (2) Pembesaran Pembesaran ikan merupakan kegiatan untuk menghasilkan ikan dalam ukuran konsumsi atau ukuran yang dikehendaki oleh pasar (marketable size). Pasar umumnya menghendaki ketepatan jumlah, ukuran, mutu, dan harga tertentu. Pertumbuhan didorong secara maksimal dengan cara menyediakan lingkungan hidup yang optimal, pemberian pakan yang tepat mutu, jumlah, cara, dan waktu serta dengan pengendalian hama penyakit.
Kegiatan-kegiatan yang
dalam unit produksi pembesaran adalah: (a) Persiapan wadah Persiapan wadah bertujuan untuk menyiapkan wadah pemeliharaan, untuk mendapatkan lingkungan yang optimal sehingga ikan dapat hidup dan tumbuh maksimal. Pada sistem akuakultur yang berbasis daratan, kegiatan yang dilakukan oleh pembudidaya ikan adalah: (a) pengeringan dan penjemuran dasar kolam atau tambak, (b) pengangkatan lumpur, (c) perbaikan pematang dan pintu air, (d) pengapuran, (e) pemupukan, (f) pengisian air, (g) pengendalian hama penyakit, dan (h) pengisian air lanjutan.
55
(b) Penebaran benih Penebaran benih bertujuan untuk menempatkan ikan dalam wadah kultur dengan padat penebaran tertentu.
Dalam tahap ini hal-hal yang perlu
dikuasai oleh pembudidaya ikan antara lain: (1) dapat memilih kualitas benih yang akan ditebarkan; (2) menebar benih sesuai dengan padat penebaran benih yang tepat; dan (3) melakukan aklimatisasi suhu sebelum benih ditebarkan (c) Pemberian pakan Pakan merupakan faktor penting dalam pembesaran ikan. Oleh karena itu, pembudidaya harus mampu memberikan pakan yang tepat jumlah, jenis, ukuran, frekwensi, dan waktu pemberian pakan. (d) Pengelolaan air Pengelolaan air dalam akuakultur bertujuan menyediakan lingkungan yang optimal bagi ikan agar tetap hidup dan tumbuh maksimal.
Prinsip
pengelolaan air adalah memasukkan bahan yang bermanfaat seperti oksigen dan mengeluarkan bahan yang tidak bermanfaat (feses CO2,NH3,NO2) ke luar sistem produksi. Hal-hal yang perlu dilakukan oleh pembudidaya dalam kegiatan ini antara lain: pengaturan suhu, cahaya, salinitas, dan sebagainya dalam wadah produksi. (e) Pemberantasan hama penyakit Hama penyakit merupakan organisme dan mikroorganisme yang keberadaannya tidak dikehendaki karena bersifat kompetitor dan predator terhadap ikan kultur. Beberapa jenis hama penyakit antara lain: ikan, ular, burung, musang, bakteri cendawan dan virus. Kemampuan yang harus dimiliki oleh pembudidaya ikan dalam kegiatan ini adalah dapat melakukan cara
pemberantasan, pencegahan, dan pengobatan hama
penyakit pada ikan kultur secara tepat, sesuai dengan sifat masing-masing jenis hama penyakit yang menyerang. (f) Pemantauan populasi dan pertumbuhan. Pemantauan ini dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang jumlah dan bobot rata-rata ikan kultur, kesehatan, dan nafsu makan ikan. Informasi ini dapat digunakan untuk menganalisis kondisi lingkungan dan
56
mengantisipasi perbaikan lingkungan.
Sampling merupakan salah satu
cara untuk mengetahui informasi ini. (g) Pemanenan Pemanenan merupakan kegiatan akhir dalam rantai produksi budidaya ikan.
Ukuran panen beragam bergantung pada jenis komoditas yang
dibudidayakan, tujuan akuakultur, lokasi, dan tujuan pemasaran. Ukuran panen untuk tujuan konsumsi akan berbeda untuk kolam pemancingan ataupun bahan baku fillet. Demikian juga ukuran di lokasi Jawa akan berbeda dengan
luar Jawa yang umumnya selera konsumen di Jawa
menghendaki ukuran yang lebih kecil, dan ukuran untuk tujuan pasar ekspor umumnya juga menginginkan ukuran yang lebih besar di bandingkan pasar domestik.
Pembudidaya ikan perlu mengetahui
informasi ukuran ikan yang dikehendaki oleh konsumen, sehingga ikan yang diproduksi dapat terserap pasar. Informasi preferensi konsumen ini juga bermanfaat bagi pembudidaya ikan dalam merencanakan produksi. (3) Pendederan Pendederan adalah kegiatan pemeliharaan untuk menghasilkan benih yang siap ditebarkan di unit produksi pembesaran atau benih yang siap dijual. Tahapan kegiatan pendederan hampir mirip dengan kegiatan pembesaran seperti telah diuraikan di atas.
Adapun berdasarkan ukuran ikan yang diproduksi,
pendederan ikan seringkali terdiri dari beberapa stadia, yaitu pendederan I, pendederan II dan selanjutnya.
Ikan kultur yang didederkan berada pada
pertumbuhan yang cepat secara eksponensial. Oleh karenanya, pembudidaya ikan perlu melakukan upaya penjarangan dan pemindahan ikan dari tempat semula yang terasa sempit karena tercapainya carrying capacity. Pembangunan Akuakultur Orientasi pembangunan pada masa orde lama dan orde baru lebih mengarah wilayah daratan, sedangkan wilayah laut ataupun perairan belum mendapatkan perhatian yang cukup. Padahal jika dilihat dari sumberdaya yang dimiliki wilayah laut dan perairan cukup potensial dan beragam. Potensi sumberdaya tersebut terdiri dari sumberdaya yang dapat diperbaharui, seperti sumberdaya perikanan, baik
57
perikanan tangkap maupun budidaya laut dan pantai, energi non konvensional dan energi serta sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui seperti sumberdaya minyak dan gas bumi dan berbagai jenis mineral. Selain dua jenis sumberdaya tersebut, juga terdapat berbagai macam jasa lingkungan lautan yang dapat dikembangkan untuk pembangunan kelautan dan perikanan seperti pariwisata bahari, industri maritim, jasa angkutan dan sebagainya. Menyadari arti pentingnya sektor perikanan dan kelautan ini, dibentuklan Departemen Kelautan dan Perikanan, yang perintisannya sejak pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid dengan dibentuknya Departemen Eksplorasi Laut (DEL) melalui Keppres 136 Tahun 1999 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Departemen. Selanjutnya melalui Keputusan Presiden Nomor 147 Tahun 1999 nama DEL dirubah menjadi Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan (DELP).
Pada tahun 2000 terjadi perubahan
nomenklatur DELP menjadi Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) sesuai Keputusan Presiden Nomor 165 Tahun 2000 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Wewenang, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Departemen. Visi DKP sebagai lembaga yang bertanggungungjawab atas pembangunan kelautan dan perikanan adalah: ”pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan yang lestari dan bertanggungjawab bagi kesatuan dan kesejahteraan anak bangsa”. Adapun misinya adalah: (1) meningkatkan kesejahteraan nelayan, pembudidaya ikan, dan pelaku usaha kelautan dan perikanan lainnya, (2) meningkatkan peran sektor kelautan dan perikanan sebagai sumber ekonomi, (3) memelihara daya dukung dan meningkatkan kualitas lingkungan dan sumberdaya kelautan dan perikanan, (4) meningkatkan kecerdasan dan kesehatan bangsa melalui peningkatan konsumsi ikan, (5) meningkatkan peran laut sebagai pemersatu
bangsa dan
memperkuat budaya bahari bangsa. Program-program yang dikembangkan oleh DKP sesuai dengan visi, misi, dan tujuannya antara lain: (1) program pemberdayaan nelayan, pembudidaya ikan, dan pelaku usaha perikanan lainnya. Bentuk programnya antara lain penyediaan kredit untuk usaha skala kecil, mikro, dan menengah, peningkatan usaha kecil mulai produki, pengolahan, dan pemasaran, serta pemberian bantuan langsung, (2) program pengelolaan dan pengembangan sumberdaya kelautan dan perikanan,
58
dalam bentuk kegitan revitalisasi kegiatan usaha, pengembangan sarana pelabuhan, dan sarana budidaya, dan peningkatan partisipasi Indonesia dalam perikanan global, (3)
program konservasi dan pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan,
dengan bentuk kegiatan yang mencegah Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing, illegal sea-sand mining, dan pelanggaran hukum lainnya. Pembangunan perikanan di Indonesia ditujukan untuk memanfaatkan sumberdaya perikanan yang ada dalam rangka meningkatkan kesejahteraan bangsa, khususnya masyarakat perikanan. Potensi perikanan Indonesia, baik yang berasal dari hasil tangkapan maupun budidaya (akuakultur) cukup tinggi, dan pertumbuhan tingkat produksinya meningkat setiap tahunnya.
Produksi perikanan mengalami
pertumbuhan produksi yang cukup signifikan yaitu rata-rata sebesar 9,5 persen, yang disumbangkan dari budidaya sebesar 28,1 persen dan dari penangkapan yang hanya sebesar 1 persen pada 2004 sampai 2007 (Tabel 5). Pada sektor perikanan budidaya, pemerintah mencoba mengembangkan industri yang menyerap tenaga kerja, perikanan berskala mikro, pengembangan kawasan budidaya, produksi induk dan benih unggul dan lainnya. Di perikanan tangkap, pemerintah menerapkan kegiatan pemacuan stock ikan, memaksimalkan rumpon, perbaikan ekositem laut dan pemberantasan illegal fishing. Tabel 5. Jumlah Produksi Perikanan Indonesia Tahun 2004-2007 Produksi (ton) Budidaya Penangkapan Total Produksi
2004 1.468.610 4.651.121 6.119.731
2005 2.163.674 4.705.868 6.869.542
2006 2.682.596 4.769.160 7.451.756
2007 3.088.800 4.940.000 8.028.800
Sumber: DKP (2008)
Beberapa program yang terkait dengan akuakultur yang telah dikembangkan oleh DKP diantaranya adalah: (1) Pencanangan program peningkatan produksi perikanan budidaya untuk konsumsi ikan masyarakat (PROKSIMAS), peningkatan produksi perikanan budidaya untuk ekspor (PROPEKAN), serta program perlindungan dan rehabilitasi sumberdaya perikanan budidaya (PROLINDA), yang realisasinya dilaksanakan dalam program-program tertentu. Salah satunya dengan bantuan benih (2) Program yang bersifat pemberian bantuan, seperti bantuan penguatan modal dan Bantuan Sosial Pengembangan Usaha Kecil Perikanan Budidaya (Bansos
59
PUKPB). Bansos PUKPB adalah bantuan berupa uang yang dialokasikan oleh Direktorat Jenderal Perikanan Budaya yang dialokasikan kepada pembudidaya ikan pemula melalui Unit Pengembangan sebagai modal usaha di bidang perikanan budidaya.
Pemanfaatan dana ini untuk kegiatan usaha budidaya
pembenihan dan pembesaran ikan. (3) Pengadaan dan penyaluran benih ikan yang diberikan kepada pembudidaya ikan kecil berupa bantuan selisih harga benih ikan. Tujuannya adalah membantu pembudidaya ikan kecil agar mampu membeli benih ikan budidaya yang berkualitas dengan harga yang terjangkau, sehingga dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas produktivitas ikan hasil budidaya yang berbasis ekonomi rakyat. (4) Prasasti Mina ( Program Rintisan Akselerasi dan Sosialisasi Teknologi Inovasi Kelautan dan Perikanan) sebagai suatu rangkaian atau proses kegiatan percepatan diseminasi teknologi (biofisik, sosial ekonomi dan kelembagaan) kepada para pelaku utama (nelayan, pembudidaya ikan dan pengolah ikan) dan pelaku usaha di bidang kelautan dan perikanan. Dalam kegiatan Prasasti Mina ini proses alih teknologi yang dilakukan didasari kepada kebutuhan para pelaku utama dan pelaku usaha untuk pemecahan masalah yang dihadapi dalam meningkatkan kapasitas kemampuan berusaha yang berorientasi kepada bisnis perikanan, kesesuaian dengan potensi wilayah serta penyediaan sarana dan fasilitas yang mendukung diterapkannya teknologi secara berkelanjutan. Rancang bangun Prasasti Mina pada intinya adalah membangun model percontohan sistem dan usaha bisnis perikanan progresif berbasis teknologi inovatif yang memadukan sistem inovasi dan sistem bisnis perikanan. Dalam model ini, DKP tidak lagi hanya berfungsi sebagai produsen teknologi sumber/dasar, tetapi juga terlibat aktif dalam memfasilitasi penggandaan, penyaluran dan penerapan teknologi inovatif yang dihasilkannya melalui jajaran unit kerjanya. Prasasti Mina dapat dikatakan sebagai model untuk memadukan dan menyatukan berbagai fungsi dan peran institusi penyuluhan - penelitianbisnis perikanan –pelayanan Pendukung (Extension-Research–Business of Fisheries–Supporting Service Linkages). Pembentukan jejaring kerja terpadu
60
Penyuluhan–Penelitian–bisnis perikanan–Pelayanan merupakan salah satu terobosan kelembagaan dalam Prasasti Mina. (5) Kampanye “Gerakan Makan Ikan” yang ditujukan di tingkat konsumen. Secara tidak langsung program ini akan meningkatkan motivasi pembudidaya ikan untuk meningkatkan produksinya, seiring dengan meningkatkanya permintaan. (6) Kredit Ketahanan Pangan yang juga ditujukan untuk pembudidaya ikan kecil, diperuntukkan sebagai modal kerja dengan jangka waktu pengembalian sesuai siklus usaha . Suku bunganya lebih rendah dari kredit umum, karena disubsidi pemerintah. (7) Program Mina Padi yang telah dilakukan sejak sektor perikanan di bawah Departemen
Pertanian.
Program
ini
bertujuan
untuk
meningkatkan
produktivitas lahan, yang menggabungkan pemeliharaan ikan dengan padi. Ikan dipelihara 30 hari dan benih ikan mencapai ukuran 30-40 ekor/kg dari waktu tanam hingga penyiangan padi pertama atau kedua. Menilik dari berbagai program tersebut, dapat dinyatakan bahwa target program diarahkan pada pembudidaya ikan skala kecil, karena memang mayoritas pengelola usaha akuakultur di Indonesia adalah pada skala kecil. Seperti halnya di negara-negara Asia lainnya (FAO, 1988). Penyuluhan Akuakultur Penyuluhan akuakultur sebagai penyuluhan yang dilakukan pada sub sektor budidaya perikanan, dengan pelaku utama masyarakat pembudidaya ikan. Merujuk pada Undang-undang nomor 16 Tahun 2006, maka konsep penyuluhan perikanan termasuk di dalamnya penyuluhan akuakultur sebagai proses pembelajaran bagi pelaku utama dan pelaku usaha, dalam hal ini pembudidaya ikan agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efesiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam kelestarian fungsi lingkungan hidup. Sama halnya dengan penyuluhan pada sektor pertanian, kehutanan, maupun sektor yang lain, pada dasarnya penyuluhan akuakultur memiliki prinsip dasar yang sama. Perbedaannya pada pelaku utama dan pelaku usahanya, yaitu pada pertanian
61
masyarakat tani, pada kehutanan masyarakat sekitar hutan, dan pada perikanan akuakultur masyarakat pembudidaya ikan. Selain itu, perbedaannya pada jenis materi penyuluhan, karena jenis usaha yang berbeda tersebut. Untuk penyuluhan akuakultur materinya terkait dengan usaha budidaya ikan, baik pada aspek yang sifatnya teknis maupun manajerial. Mengacu pada fungsi pembudidaya ikan sebagai pengelola usaha, maka materi-materi penyuluhan yang efektif jika terkait dengan aspek pengambilan keputusan, perencanaan, dan pemasaran. Slamet (2008) menjelaskan beberapa hal yang diperlukan petani termasuk pembudidaya ikan agar dapat merencanakan usahanya dengan baik, antara lain pengetahuan dan keterampilan cara menghitung biaya dan pendapatan (cost and return) yang benar, berbagai data tentang harga input yang diperlukan dan ketersediaannya, data dan informasi pasar. Demikian pula diperlukan materi-materi yang bersifat untuk menumbuhkan kemampuan software pembudidaya ikan juga diperlukan guna meningkatkan posisi tawarnya, misalnya kemampuan berkomunikasi dan berinteraksi dengan pihak non pembudidaya ikan, melakukan tawar menawar, membangun strategi pasar. Perkembangan penyuluhan akuakultur di Indonesia tidak terlepas dari program-program pembangunan perikanan yang sebelumnya masih menyatu dengan program pertanian. Beberapa yang pernah dikenal secara umum adalah mina padi, yaitu memelihara ikan di sawah bersamaan dengan penanaman bibit padi, “longyam” (balong ayam) yang mengintegrasikan usaha ternak ayam dan ikan, dan introduksi varietas ikan yang produktivitasnya tinggi, seperti nila gift, patin, lele sangkuriang, udang galah dan sebagainya. Menurut Pillay (1979), pembangunan akuakultur di negara-negara dunia ketiga relatif belum lama baru sekitar 20-50 tahun belakangan, bahkan di Amerika Serikat industri perikanan mulai berkembang pada tahun 1950-an. Perkembangan akuakultur di negara-negara berkembang banyak diinisiasi dari proyek-proyek bantuan internasional, khususnya dari FAO.
Seiring dengan hal tersebut,
penyuluhan perikanan sebagai pendukung pembangunan program-program pembangunan
akuakultur
juga
berkembang.
Peran
penyuluhan
dalam
pembangunan akuakultur masih mengarah pada strategi transfer teknologi, yaitu dengan memperkenalkan masyarakat pembudidaya ikan akan teknologi akuakultur.
62
Beberapa kasus penyuluhan akuakultur yang ada di beberapa negara diuraikan sebagai berikut: (1) Rwanda Program penyuluhan akuakultur pernah dilakukan di Rwanda pada tahun 1982, tetapi mengalami kegagalan.
Beberapa faktor penyebabnya adalah
keterbatasan input pemupukan kolam, rendahnya suhu udara, tidak tersedia benih, keterbatasan pengetahuan teknik di tingkat pembudidaya ikan, dan lemahnya seleksi dan pelatihan para penyuluh. Selanjutnya pada tahun 1985 dimulai lagi program penyuluhan akuakultur dengan menyertakan komponen penelitian, dengan terlebih dahulu dilakukan pelatihan kepada para penyuluh. Materi pelatihan yang diberikan berupa teknik standar budidaya nila (tilapia) dan pengelolaan kolam secara efesien dengan sedikit menggunakan input. Guna mencapai keberhasilan transfer teknologi dari penyuluh kepada pembudidaya, maka dikembangkan hubungan yang intens antara kedua pihak. Radius kerja penyuluh seluas 15 km, yang ditempuh dengan sepeda. Dalam luasan tersebut penyuluh dapat mengunjungi 10-15 tempat, dengan setiap lima tempat dibuat 1 poros yang ditengahnya tempat tinggal penyuluh. Satu hari dalam seminggu penyuluh mengunjungi satu lokasi poros, dan jadwalnya terulang. Setiap 2 atau 3 tempat ditempatkan kolam ikan. Kunci
keberhasilan
proyek
adalah
kualitas
personal
dalam
menyampaikan pengetahuan teknologi yang tepat kepada pembudidaya ikan guna perbaikan produksi.
Pelatihan secara tetap ditujukan kepada agen
penyuluh (“moniteurs”) dan supervisor regional sebagai “agronomes”. Pusat pelatihan telah dibangun selama proyek ini di Pusat Budidaya Ikan Nasional di Kigembe. Pelatihan dilakukan secara terus menerus. “Moniteurs” dilatih selama 3 bulan, nantinya menjadi tenaga di lembaga penyuluhan di tingkat kabupaten. Mereka dipilih dari tingkat kecamatan dengan cara seleksi. Kriteria seleksi antara lain: tinggal di lokasi tempat kerja baik sebelum maupun sesudah pelatihan, selesai sekolah paling tidak tiga tahun dari pendidikan dasar, dan lulus tes dengan materi dasar membaca, menulis dan berhitung.
Peserta
63
pelatihan dibekali sepeda sebagai sarana transportasi, ransel, dan peralatan lapang, seperti termometer, sepatu karet, senter, dip net dan sebagainya. Workshop dilakukan untuk mengatasi keterbatasan petugas lapang. Disediakan petunjuk teknis dan kesempatan untuk berinteraksi dengan petugas administrasi, guna menumbuhkan jiwa korp “esprit de corps”.
Moniteurs
diberi kesempatan mengikuti dua kali workshop per tahun. Lulusan universitas (agronomi) direkrut di lembaga penyuluhan, yang beberapa diantaranya mengikuti pelatihan di tempat lain, seperti di Pusat Pelatihan FAO. Mereka diberi kesempatan mengembangkan ide-idenya dan mencari informasi teknik-teknik baru, Kursus-kursus singkat juga diberikan kepada manajer proyek stasiun guna meningkatkan standar kompetensinya, dan juga kepada penyuluh lapang.
Seminar ditujukan ke pegawai pemerintah,
administratur, dan petugas teknik dengan materi prinsip-prinsip akuakultur. (2) Zaire Proyek perikanan di Zaire dimulai tahun 1975 dengan nama the Peace Corps Fisheries Project, yang awalnya didanai dari OXFAM.
Tujuan
utamanya adalah membangun kemandirian dan memajukan pembudidaya ikan dengan meningkatkan pendapatannya dari usaha budidaya ikan. Pada tahapan selanjutnya dibentuk Peace Corp Volunteers untuk menciptakan kemandirian pembudidaya ikan.
Tujuannya agar program
teroganisir, efesien, dan menciptakan kohesivitas kelompok pembudidaya ikan yang saling bekerjasama dalam mengatasi masalah-masalah dan isu yang timbul. Pada awal-awal tahun proyek diberikan insentif kepada pembudidaya ikan, berupa gerobak kecil dan skop, yang kemudian dihentikan. Selanjutnya lokasi proyek dipindahkan ke tempat lain tanpa menimbulkan ketergantungan pembudidaya ikan. Kiriteria sosial pemilihan lokasi program adalah interes masyarakat lokal dan kepadatan penduduk di area tersebut. Kriteria tekniknya lahan kolam milik pribadi, suplai air selalu ada tiap tahun, tanah berlempung sesuai untuk kolam ikan, dan irigasi yang baik, serta lokasi mudah diakses. Hal yang penting dalam program ini adalah mengidentifikasi individu dinamis yang memiliki potensi sukses dibandingkan orang-orang desa yang
64
lain. Mereka ini bisa menjadi pemimpin pembudidaya ikan dan menjadi pendukung volunteers (penyuluh) pada basis informal dan kesukarelaan. Tahap kerja yang dilakukan oleh voluntir adalah pada tahap pertama, menjalin kontak sebanyak mungkin, mengidentifikasi lokasi, membangun dan mencadangkan kolam-kolam ikan, memperkenalkan teknik manajemen, dan menetapkan sejumlah pembudidaya ikan. Jadwal harian kerja voluntir adalah 6-8 jam mengunjungi 2-3 orang pembudidaya ikan. Tahap kedua, volunter menjalin kontak-kontak baru dan tetap melanjutkan pekerjaan yang telah dilakukan pada tahap pertama, dengan fokus pada pengelolaan kolam-kolam yang telah dibuat. Selama periode ini perlu diperhatikan mempertahankan keberhasilan teknik intensif, oleh karenanya metode yang dirancang harus sesederhana mungkin, mengingat bahwa banyak pembudidaya ikan memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Peningkatan hasil panen diiringi dengan pemahaman tentang perhitungan finansial yang terkait dengan penghitungan laba dan efesiensi biaya dari usaha budidaya ikan.
Pengembangan kelompok ditekankan yang nantinya
berkembang menjadi bentuk asosiasi bersama dengan kelompok pembudidaya ikan yang lain.
Melalui asosiasi ini bisa terjalin bentuk kerjasama dalam
penyediaan benih ikan dan konsultasi teknik antar sesama pembudidaya ikan. Pembentukan kelompok pembudidaya ikan tidak serta merta dibentuk, terlebih dahulu mengajak pembudidaya ikan sebagai model atau guru untuk diikutsertakan dalam kegiatan seminar, rapat dan kunjungan lapang. Melalui cara ini pembudidaya ikan model tersebut menjadi saling kenal dan saling belajar di antara mereka. Asosiasi pembudidaya ikan diperkuat agar menjadi mandiri dalam menyediakan input produksi dan saran, serta dapat melanjutkan program pembangunan setelah Peace Corp sebagai penyelenggaran program pergi.
Zaire merupakan negara pertama di Afrika yang
menghasilkan
pembudidaya ikan pada level ahli dari program ini. Asosiasi berbeda dengan lembaga kerjasama yang lain, yaitu tidak ada uang yang diinvestasikan, yang bisa menimbulkan kecemburuan. Asosiasi dibentuk
sebagai
tempat
mempertemukan
kebutuhan
akan
ikan,
65
mengembangkan keberanian, nasehat, dan proteksi melawan pencurian dan eksploitasi. Pelatihan formal kepada pembudidaya ikan dilakukan setelah terbentuk asosiasi. Hasil pelatihan ini adalah munculnya kepercayaan diri dan motivasi untuk maju dari diri pembudidaya ikan. Pelatihan dilakukan secara singkat diorganisir di tingkat desa, bertempat di gereja atau sekolah dan dilakukan kunjungan lapang ke desa terdekat yang dibangun kolam percobaan. Tahap ketiga, voluntir memperhatikan secara intensif keberlangsungan asosiasi. Banyak kesempatan diberikan kepada pembudidaya ikan kunjungan riset dan demonstrasi di stasiun ikan, dan pelatihan kepada beberapa orang pembudidaya ikan yang nantinya sebagai ahli. Pada tahap akhir ini peran voluntir hanya sebagai kontributor. Adapun pengelolaan fungsi asosiasi dan arahan diserahkan kepada pembudidaya ikan itu sendiri. Peace Corps/Zaïre dibiayai dari USAID. Dibangun lima pusat pelatihan sebagai model. Pelatihan dengan menggunakan bahasa setempat. Sebagai tambahan dibentuk tim penyuluhan yang bergerak (mobile extension team:Equipe Mobil) yang mengunjungi asosiasi pembudidaya ikan dua bulannan. Faktor-faktor keberhasilan proyek Peace Corps/Zaïre adalah: (1) motivasi diri, akses lahan, perlatan dan tenaga kerja oleh pembudidaya ikan, (2) ketatnya voluntir pada aspek teknis dan bukan pada layanan materi, (3) kesederhanaan dan biaya yang rendah pada peralatan yang dibuat dan dapat diakses semua orang. Proyek di Zaire menunjukkan bahwa birokrasi yang besar tidak diperlukan, lebih difokuskan kepada individu, sistem yang dikembangkan adalah pelayanan sektor publik oleh pembudidaya ikan dan asosiasinya. Benih ikan diproduksi dan didistibusikan secara lokal, pembudidaya ikan yang lebih ahli memberikan nasehatnya kepada pembudidaya ikan yang baru, dan pembudidaya ikan bertemu secara teratur dalam kelompok dan berdiskusi tentang masalah yang ada.
66
(3) Liberia Penyuluhan perikanan di Liberia diselenggarakan oleh pemerintah di bawah Departemen Pertanian, Divisi Perikanan. Sejak tahun 1952 penelitian dan penyuluhan akuakultur sudah ada. Pendekatan yang digunakan adalah dengan cara masal, dengan membangun kolam percobaan dengan tujuan memperkenalkan
budidaya
ikan
kepada
sasaran
sebanyak
mungkin.
Pendekatan ini dinilai kurang berhasil, banyak proyek yang terbengkalai. Pendekatan penyuluhan yang baru dilakukan pada tahun 1979 bersama the Nimba County Rural Development Project (NCRDP). bekerjasama dengan pemerintah Jerman Barat.
Proyek ini
Tujuannnya adalah
meningkatkan suplai ikan dan pendapatan masyarakat pedesaan. Output proyek termasuk pelatihan pembudidaya ikan dan penyuluh, menyediakan layanan penyuluhan, dan hatchery di tingkat kabupaten. Penyuluhan diselenggarakan oleh NCRPD dan the Peace Corps/Liberia. Voluntekan (penyuluh) bekerja dengan sedikit pembudidaya ikan kurang dari 10 orang. Tugasnya adalah menjadikan pembudidaya ikan skala kecil meningkatkan luas kolamnya.
Tujuan utamanya adalah menjadikan
pembudidaya mandiri mengembangkan usahanya, yang nantinya tumbuh menjadi industri. Program penyuluhan didisain dalam bentuk kelompok (cluster). Pada setiap kluster masing-masing anggota saling mendukung secara formal, membantu ketersediaan benih ikan, nasehat, dan bantuan fisik untuk membangun kolam dan pemanenan, serta manajemen yang lebih baik. Proyek menekankan pada sistem produksi multipel kolam (multiple-pond production) yang memperhitungkan nilai ekonomi unit produksi.
Petani
menjadikan budidaya ikan sebagai suatu usaha yang produktif (productive farming enterprise), kolam ikan menjadi “bank hidup”. Kelebihan proyek ini adalah adanya pembudidaya yang lebih ahli mengkomunikasikan teknologi dan informasi pada pembudidaya lain dengan bahasa setempat. (4) Panama Sistem akuakultur yang dikembangkan di Panama adalah sistem polikultur. Pada lahan kolam (150-300 m2) dikembangkan polikultur tanaman dan ternak dengan variasi jenisnya sesuai dengan yang diinginkan petani dan
67
karakateristik lokasi. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan asupan protein hewani masyarakat pedesaan. Sedangkan pada kolam yang berukuran lebih luas (lebih dari 300 m2) diintegrasikan ikan dengan ternak, seperti sapi, ayam, dan bebek yang kotorannya menjadi pupuk kolam. Berbagai jenis tanaman, seperti pisang, yucca, ote dan tanaman tradisional lainnya diairi dari kolam ikan. Pada tahun awal proyek penyuluh melakukan inisiasi dengan petani yang memiliki sumberdaya.
Mereka menjelaskan tentang akuakultur kepada
pembudidaya ikan yang telah terseleksi, termasuk manfaatnya. Setiap putusan proyek ditetapkan bersama antara pembudidaya ikan dengan penyuluh. Pembudidaya ikan berpartisipasi dalam membuat konstruksi kolam, memilih ternak, pakan, dan pupuk. Pembudidaya ikan bertanggungjawab penuh atas pengorganisasian kelompok, dan waktu panen. Strategi penyuluhan utama di Panama adalah dengan pelatihan personel di tingkat menengah guna memperkuat kekuatan penyuluhan atau transfer teknologi. On-the-job-training dilakukan untuk meningkatkan keahlian penyuluh muda. Sebagian besar penyuluh akuakultur di Panama memperoleh pengetahuan melalui pengalaman kerja lapang.
Pelatihan demikian dinilai
tidak efesien, karena membutuhkan waktu yang lama.
Pelatihan kelas
menengah diselenggarakan oleh universitas dengan sistem perkuliahan selama 2,5 tahun. Kurikulum diarahkan dari Kementerian Akuakultur. Lulusannya menjadi petugas penyuluh akuakultur Pendekatan di Panama telah menggunakan personel penyuluh untuk menghubungkan pembudidaya ikan pada sistem riset budidaya. Kedua pihak meningkatkan pengetahuan dan pengalamannya secara bersama-sama, seperti juga dalam hal meningkatkan produk yang laku di pasar. (5) Bangladesh Penyuluhan akuakultur di Bangladesh berada di bawah lembaga The Department of Fisheries (DOF) yang pada level daerah ditangani oleh District Fishery Officer (DFO).
Metode penyuluhan yang digunakan dengan
pendekatan individu, kelompok, maupun secara masal.
Pada pendekatan
individu pembudidaya ikan menghubungi penyuluh guna meminta saran,
68
penyuluh melakukan kunjungan lapang ataupun dengan korespondensi melalui surat. Sedangkan pada pendekatan kelompok dilakukan dengan beberapa cara, seperti: pelatihan dan workshop, pertemuan informal, serta demonstrasi dan kunjungan. Penyuluhan secara massal dilakukan melalui media massa, seperti televisi, radio, surat kabar, poster, serta dengan beberapa jenis publikasi tercetak seperti buklet, pamflet, buletin dan sebagainya yang diberikan kepada pembudidaya ikan. Pusat-pusat pelatihan akuakultur didirikan di beberapa wilayah. Dalam lembaga ini penyuluh akuakultur juga dilatih untuk menguasai teknologi tertentu, terutama tentang pembenihan (hatchery ikan dan udang), yang nantinya disebarluaskan ke masyarakat pembudidaya ikan Lembaga Pendukung Agribisnis Akuakultur Paradigma agribisnis memandang bahwa pengoperasian usaha pertanian tidak hanya melihat dari aspek peningkatan produksi saja melainkan juga perlu memperhatikan aspek-aspek lain pendukung produksi, seperti pabrik dan distribusi input produksi, pengolahan, dan distribusi komoditas hasil produksi, seperti yang dinyatakan oleh Downey dan Erickson (1987) sebagai berikut “The sum total of all operations involved in the manufacture and distribution of farm supplies, production operations on the farm, processing and distribution of farm commocities and items made from them.” Terkait dengan hal tersebut Saragih (1995) menyatakan bahwa terdapat keterkaitan vertikal antar subsistem agribisnis dan keterkaitan horisontal dengan sistem atau subsistem lain di luar, seperti jasajasa (finansial dan perbankan, transportasi, perdagangan, pendidikan dan lain-lain). Keterkaitan sistem produksi dan pendukung perlu dijaga dan diseimbangkan, seperti: (a) penyediaan input produksi (benih, pupuk, pestisida, tenaga kerja), (b) kredit perbankan, (c) unit-unit industri pengolahan, (d) lembaga pemasaran, dan (e) lembaga penelitian dan pengembangan untuk menciptakan dan mengembangkan teknologi usaha tani yang mutakhir. Demikian pula dukungan sistem informasi serta tersedianya data yang akurat dan mudah didapat setiap waktu mengenai produksi, permintaan, dan harga perlu diusahakan. Pengembangan agribisnis pada akuakultur mencakup sektor hulu hingga sektor hilir (Gambar 7).
69
Akuabisnis sebagai suatu manajemen, khususnya pada kegiatan on farm meliputi subsistem-subsistem yang saling terkait, sehingga tujuan akuakultur untuk memperoleh keuntungan akan dapat tercapai (Gambar 8).
Subsistem Agribisnis Hulu
Subsistem Usahatani
Subsistem Pengolahan
Subsistem Pemasaran
Industri perbenihan ikan Industri agrokimia (pupuk, obatobatan) Industri perkapalan Industri otomotif
Usaha penangkapan Usaha pengolahan Usaha budidaya
Industri makanan Industri minuman Industri kosmetik Industri biofarma Industri agrowisata dan estetika
Distribusi Promosi Informasi pasar Kebijakan perdagangan Struktur pasar
Subsistem Jasa dan Penunjang Perkreditan dan asuransi Penelitian dan pengembangan Pendidikan dan penyuluhan Transportasi, pergudangan, dan pelabuhan
Gambar 7. Lingkup Pembangunan Sistem Agribisnis Akuakultur (diadopsi dari Sistem Agribisnis Pertanian oleh Saragih 2005) Beberapa cakupan kegiatan bisnis yang ada pada masing-masing sub sistem adalah sebagai berikut: (1) Subsistem pengadaan sarana dan prasarana produksi.
Mencakup kegiatan
pemilihan lokasi, pengadaan bahan, dan pembangunan fasilitas produksi. Dalam pengadaan sarana produksi terdiri dari kegiatan pengadaan induk, benih, pakan, pupuk, obat-obatan, peralatan akuakultur, tenaga kerja dan sebagainya. (2) Subsistem proses produksi, mencakup kegiatan sejak persiapan wadah kultur, penebaran (stocking), pemberian pakan, pengelolaan lingkungan, pengelolaan kesehatan ikan, pemantauan ikan, hingga pemanenan. (3) Subsistem penanganan pasca panen dan pemasaran, mencakup kegiatan meningkatkan mutu produk sehingga bisa lebih diterima oleh konsumen, distribusi produk, dan pelayanan (service) kepada konsumen. (4) Subsistem pendukung, antara lain mencakup aspek hukum (perundanganundangan dan kebijakan, aspek keuangan (pembiayaan atau kredit, pembayaran
70
dan sebagainya), aspek kelembagaan (organisasi perusahaan, asosiasi, koperasi perbankan, lembaga birokrasi, lembaga riset pengembangan dan sebagainya). Berdasarkan keterkaitan berbagai subsistem dalam sistem manajemen agribisnis akuakultur (akuabisnis), maka dapat dicatat bahwa lembaga-lembaga yang terkait dalam subsistem-subsistem sangat dibutuhkan perannya dalam mendukung keberlanjutan usaha milik pembudidaya ikan, baik yang mencakup lembaga pengadaan sarana dan prasarana produksi, terutama lembaga penyedia input produksi, lembaga pemasaran, lembaga keuangan, dan lembaga penyedia informasi dan teknologi.
Pengadaan sarana dan prasaran
Proses produksi
Penanganan pasca panen dan pemasaran
Pendukung
Gambar 8. Sistem Manajemen Akuabisnis Pada era sekarang ini informasi menjadi kebutuhan yang sangat penting bagi kehidupan manusia di seluruh dunia, termasuk bagi pembudidaya ikan guna keberlanjutan usahanya. Seperti halnya yang dinyatakan oleh Nakazawa dan John (1993), informasi yang relevan dan tepat waktu penting untuk keberhasilan usaha. Informasi usaha dapat berupa informasi peluang-peluang usaha, informasi pasar, dan informasi hasil-hasil penelitian. Terkait dengan informasi pasar yang sangat diperlukan oleh pembudidaya ikan skala kecil adalah informasi tentang jumlah permintaan, jumlah penawaran, pola konsumsi (consumption patterns), pasar, dan harga. Pentingnya informasi bagi pengembangan masyarakat desa, khususnya para petani mendorong pemerintahan di negara-negara membentuk lembaga-lembaga yang menyediakan informasi ini. Pemerintah Amerika Serikat membentuk lembaga Pusat Informasi Pedesaan atau Rural Information Center (RIC) yang berfungsi menyediakan informasi dan referensi pelayanan bagi pegawai pemerintah daerah setempat, organisasi masyarakat, pengusaha, warga desa dan pihak lain yang terkait di desa, guna membantu revitalisasi dan perencanaan projek, pengembangan wisata
71
desa, kesehatan desa, sumber-sumber pembiayaan, pendidikan, penelitian dan isu lain yang terkait. Selain itu, melalui lembaga
Economist-Management Group of
the Texas Agricultural Extension Service petani dan peternak diperkenalkan program pengelolaan pertanian dan peternak dengan berbasis teknologi komputer. Hasil penelitian oleh Breazeale (1989) menunjukkan, petani dan peternak memiliki tingkat kepuasan yang cukup tinggi atas TAEX software yang diperkenalkan. Pemerintah Australia juga mengembangkan sistem informasi
Target-specific
Expert System (ES). Pendekatan dengan target-specific ES telah terbukti membantu proses pengambilan keputusan usaha para peternak sapi perah di Australia (Miah et al. 2009). Beberapa jenis media dapat digunakan dalam masyarakat pedesaan yang sesuai dengan kondisi sosio struktural masyarakat setempat. Penggunaan media informasi yang bersifat pendidikan-hiburan (entertainment-education) seperti sandiwara radio telah terbukti merubah perilaku petani (Heong et al. 2008). Demikian pula penggunaan ICT telah
memudahkan tujuan arah penyuluhan
pertanian yang modern (Feng et al. 2005). Bentuk kegiatan pengamatan yang dilakukan sendiri oleh petani juga menjadi sumber informasi yang utama, karena mampu meningkatkan keyakinan (belief) tentang efek pestisida, kualitas air, dan isu lingkungan (Lichtenberg dan. Zimmerman 1999). Lembaga penyedia input produksi pada masyarakat pedesaan juga penting peranannya dalam mendukung keberhasilan usaha masyarakat desa, termasuk di antaranya pembudidaya ikan.
Lembaga penyedia input bisa berasal dari
pemerintah, swasta, maupun masyarakat pembudidaya ikan yang lain. Jenis input yang diperlukan dalam usaha akuakultur yang utama adalah benih ikan dan pakan. Penyediaan benih ikan pada usaha akuakultur di negara-negara berkembang sebagian besar dilakukan oleh pemerintah (Edwards dan Demaine 1998). Lembaga pemerintah yang berfungsi menyediakan benih ikan bagi pembudidaya ikan di Indonesia adalah Balai Benih Ikan (BBI) yang umumnya ada di setiap kabupaten yang memiliki potensi perikanan darat. Penyediaan pakan buatan seperti pelet umumnya diperoleh dari lembaga swasta melalui agen-agen penjualan, dan untuk pakan alami pembudidaya ikan mengandalkan pada planton yang hidup di kolam atau pakan dari daun-daunan seperti daun sente.
72
Dukungan lembaga pemasaran berperan sangat penting guna memasarkan hasil produksi pembudidaya ikan secara efesien dan efektif.
Dalam rantai
pemasaran ikan, posisi pembudidaya sebagai produsen seringkali memiliki posisi tawar yang paling lemah, sehingga harga yang diterima juga menjadi rendah. Menurut FAO (2008) guna meningkatkan posisi tawar dan memendekkan rantai pemasaran diperlukan kerjasama dalam bentuk asosiasi (kelompok) pembudidaya ikan skala kecil, untuk itu diperlukan dukungan dari institusi.
Survai pasar,
pertemuan bisnis antara penjual dan pembeli, dan seminar dapat dilakukan secara berkala sebagai bentuk promosi produk, meningkatkan kontak bisnis, serta meingkatkan arus informasi. Pemasaran produk ikan memerlukan berbagai jenis fasilitas yang baik, sehingga produk tersebut sampai ke tangan konsumen secara cepat dan terjaga kualitasnya. Mengingat ikan konsumsi yang diinginkan oleh konsumen dalam keadaan hidup, maka kecepatan waktu dan penanganan yang baik sangat diperlukan. Pada umumnya ketersediaan fasilitas pemasaran menjadi masalah yang dihadapi pembudidaya ikan skala kecil, terutama dalam hal sarana transportasi (FAO 2008). Perikanan sebagai Suatu Sistem Pembangunan Berkelanjutan Paradigma pembangunan yang berkelanjutan dimunculkan oleh negaranegara di Barat pada awal abad 19 yang tergabung dalam International Institute for Sustainable Development (IISD). Selanjutnya, pada tahun 1990-an organisasi dunia yang beranggota 170 perusahaan multinasional Eropa yaitu The World Business Council
for
Sustainability
Development
(WBCSD)
berkomitmen
untuk
mengaplikasikan pembangunan berkelanjutan telah menyusun konsep eko-efesiensi yang menjelaskan adanya korelasi antara pembangunan sektor ekonomi dengan sektor lingkungan hidup. Sejak diterbitkannya dalam dokumen Bruntland Report oleh World Commission on Environtment and Development (WCED), tahun 1987 maka banyak perhatian pada paradigma pembangunan berkelanjutan. Pendekatan keberlanjutan
umum digunakan dalam hal-hal yang terkait dengan kebijakan
lingkungan atau etika bisnis. Pada laporan tersebut pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai “pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi
73
sekarang tanpa mengorbankan generasi akan datang untuk dapat memenuhi kebutuhannya.” Pengakuan akan pentingnya pembangunan perikanan berkelanjutan sudah nyata di Indonesia, dengan adanya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Dinyatakan bahwa pengelolaan perikanan ditujukan untuk membuka peluang kerja, kesejahteraan pembudidaya ikan dan nelayan, serta menjaga keberlanjutan sumberdaya perikanan dan lingkungan. Oleh karena itu, seluruh aspek kegiatan pembangunan perikanan, termasuk akuakultur sudah seharusnya berasas pada pandangan pembangunan berkelanjutan. Pembangunan
akuakultur
berkelanjutan
mengacu
pada
pendekatan
ekosistem pada akuakultur atau Ecosystem Approach to Aquaculture (EAA) yang didefinsikan sebagai berikut: “An ecosystem approach to aquaculture (EAA) strives to balance diverse societal objectives, by taking account of the knowledge and uncertainties of biotic, abiotic and human components of ecosystems including their interactions, flows and processes and applying an integrated approach within ecologically and operationally meaningful boundaries.” Penerapan EAA pada level usaha akuakultur (farm), zonasi geografi akuakultur, industri dan komoditi, serta pada tingkat makro (kebijakan). Melalui EAA akan memperbaiki perputaran nutrient sehingga meminimalisir dampak negatif pada berbagai tingkatan intensitas, seperti dengan polikultur atau akuakultur terintegrasi (misalnya ikan dengan remis, ikan dengan rumput laut), serta dengan memperluas penggunaan ekosistem perikanan melalui penggabungan atau peningkatan aktifitas dengan sektor lain (pertanian), seperti mina padi (FAO 2007). Edward dan Demaine (1998) menyatakan bahwa sistem berkelanjutan pada akuakultur
meliputi tiga aspek, yaitu teknologi produksi, sosial-ekonomi, dan
lingkungan.
Teknologi produksi mencakup: spesies ikan yang dibudidayakan,
fasilitas budidaya, dan jenis usaha (husbandry), seperti pembenihan, pendederan, dan pembesaran. Aspek sosial ekonomi terdiri dari tingkat mikro atau komunitas dan rumah tangga, dan tingkat makro atau internasional, nasional, dan regional. Aspek lingkungan mencakup dampak positif maupun negatif . Frankic dan Hershner (2003) mengemukakan bahwa dalam konsep akuakultur berkelanjutan terkandung tiga dimensi, yaitu lingkungan, ekonomi, dan
74
sosial.
Dinyatakan lebih lanjut, bahwa praktek usaha akuakultur yang
berkelanjutan tidak hanya dengan memaksimalkan keuntungan, melainkan juga meminimalisir kerusakan, seperti halnya dampak negatif pada lingkungan alam dan lingkungan sosial.
Terkait dengan aspek sosial, Pretty (1995) mengemukakan
perlunya mengembangkan perhatian terhadap keterampilan dan pengetahuan lokal masyarakat setempat, perlunya menciptakan kreativitas teknologi pertanian alternatif, dan perjuangan untuk menghadapi rintangan yang besar. Strategi pembangunan berkelanjutan pada industri akuakultur tidak hanya ditujukan untuk peningkatan produksi saja. Di negara-negara Uni-Eropa industri akuakultur ditujukan untuk membuka lapangan kerja, menyediakan konsumsi pangan yang sehat, aman, dan berkualitas yang dihasilkan dari ikan yang sehat dan dari produksi yang ramah lingkungan (Focardi dan Franci 2005). Menurut Sukadi (2008), pembangunan berkelanjutan tidak semata-mata berorientasi pada peningkatan produksi saja, melainkan juga pada dampak usaha budidaya pada keberlanjutan lingkungan di sekitarnya, serta tuntutan kualitas dan keamanan produk oleh konsumen dan aturan yang berlaku. Untuk itu, diperlukan perbaikan teknologi dan sistem manajemen yang mengarah pada proses produksi yang ramah lingkungan dan memperhatikan keamanan pangan. Macgregor dan Warren (2006) menyatakan bahwa pengembangan akuakultur yang berkelanjutan memerlukan praktek-praktek pengelolaan lahan dan perairan yang tepat, sehingga menekan terjadinya degradasi lingkungan, terutama akibat polusi perairan (aquatiq pollution). Faktor-faktor yang penting untuk meningkatkan keberlanjutan sektor akuakultur di Indonesia menurut Sukadi (2008) adalah benih yang berkualitas, teknik produksi yang tepat, lingkungan akuakultur, pengelolaan kesehatan ikan, kualitas produk, dan pemasaran. Paradigma
pembangunan
perikanan
berkelanjutan
diawali
dengan
munculnya paradigma konservasi (conservation paradigm) yang dipengaruhi oleh pandangan biologi. Dalam paradigma ini, keberlanjutan perikanan diartikan sebagai konservasi jangka panjang (long-term conservation) sehingga sebuah kegiatan perikanan akan disebut “berkelanjutan” apabila mampu melindungi sumberdaya perikanan dari kepunahan. Konsep ini memberikan sedikit perhatian pada tujuan
755
m manusia daalam melakuukan kegiatan perikanaan tersebut.
Dominasii paradigmaa
k konservasi ini mendappat tantangaan dari paraadigma lainn yang diseebut sebagaii p paradigma r rasionalitas (rationalizat ( tion paradiggm) pada tahhun 1950-ann. Paradigmaa i memfok ini kuskan padaa keberlanjuutan perikannan yang raasional secaara ekonomii ( (economical lly rationall or efficieent fishery) dan menddasarkan pada konsepp p pencapaian k keuntungan maksimal suumberdaya perikanan p baagi pemilik sumberdaya. s Charrles (2001) mengkritiisi secara sistematik konsep keberlanjutan k n p perikanan k konvensiona al yang seelama ini hanya berrgantung paada konsepp k keberlanjuta an secara bioologi-ekologgi dengan konsep k MSY Y (maximum sustainablee y yield) dan keberlanjutann ekonomi ddengan konseep MEY (maaximum econ nomic yield)) d OSY (op dan optimum susttainable yielld). Konsepp pertama paada dasarnyaa merupakann r representasi dari paraddigma konservasi dan dua konsepp berikutnyya mewakilii p paradigma rasionalitas yang telaah lama mendominasi m konsep keberlanjutan k n p perikanan.
n wacana bbaru tentan ng perlunyaa Charles (2001) menngemukakan
p paradigma sosial dan koomunitas (community parradigm). Menuurut Kusum mastanto (22003), perikkanan yangg berkelanjutan bukann s semata-mata a ditujukan untuk u kepenntingan kelesstarian ikan itu sendiri (as ( fish) atauu k keuntungan ekonomi semata (ass rents) taapi lebih ddari itu addalah untukk k keberlanjuta an komunitaas perikanann (sustainablle communitty) yang dittunjang olehh k keberlanjuta an institusi (institutionnal sustaina ability) yanng mencak kup kualitass k keberlanjuta an dari peranngkat regulaasi, kebijakaan dan organnisasi untuk mendukungg t tercapainya keberlanjutaan ekologi, eekonomi dann komunitas pperikanan (G Gambar 9).
Gam mbar 9. Segittiga Keberlannjutan Sistem m Perikanann (Charles, 2001)