7
TINJAUAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Pengembangan Kapasitas Pengembangan
Kapasitas
(capacity
building),
diartikan
sebagai
peningkatkan kemampuan masyarakat di segala bidang, termasuk mengorganisir diri sendiri dan mengembangkan jaringan (Gunardi, dkk, 2007). Sumpeno yang dikutip oleh Gunardi, dkk (2007), mengartikan pengembangan kapasitas sebagai peningkatan atau perubahan perilaku individu, organisasi, dan sistem masyarakat dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien. Peningkatan kemampuan individu mencakup perubahan daya, dalam hal pengetahuan, sikap, dan ketrampilan; peningkatan kemampuan kelembagaan meliputi perbaikan organisasi dan manajemen, keuangan, dan budaya organisasi; peningkatan kemampuan masyarakat mencakup kemandirian, keswadayaan, dan kemampuan mengantisipasi perubahan. Peningkatan kapasitas sangat diperlukan agar program dapat berkelanjutan, karena tanpa kemampuan yang besar, masyarakat akan tergantung pada pihak luar untuk mengatasi masalahnya. Ada tiga level yang dapat menjadi obyek dalam capacity building, yaitu: (a) level individu dan group, (b) level institusi dan organisasi, dan (c) level sistem institusi secara keseluruhan. Peningkatan kapasitas individu biasanya berupa pelatihan-pelatihan untuk memperbaiki pengetahuan dan ketrampilan, untuk institusi dan organisasi dikenal dengan pendekatan social learning process, sedangkan kapasitas masyarakat secara umum akan tergantung kepada institusi yang sehat (viable institutions), kepemimpinan yang memiliki visi, dukungan finansial dan sumberdaya material, ketrampilan sumberdaya manusia, dan kerja yang efektif termasuk sistem, prosedur dan insentif kerja yang sesuai (Syahyuti, 2006). Pengembangan
kapasitas
masyarakat
merupakan
suatu
pendekatan
pembangunan yang berbasis pada kekuatan-kekuatan dari bawah secara nyata (Maskun, 1999 yang dikutip oleh Kolopaking dan Tonny, 2007). Kekuatankekuatan itu adalah kekuatan sumberdaya alam, sumberdaya ekonomi dan
8
sumberdaya manusia sehingga menjadi suatu local capacity. Kapasitas lokal yang dimaksud adalah kapasitas pemerintahan daerah, kapasitas kelembagaan swasta dan kapasitas masyarakat desa. Organisasi-organisasi lokal diberi kebebasan untuk menentukan kebutuhan organisasi dan kebutuhan masyarakat. Karena itu, kebutuhan penting disini adalah bagaimana mengembangkan kapasitas masyarakat, yang mencakup
kapasitas
institusi dan kapasitas sumberdaya manusia. Di dalam kerangka kebijakan untuk pengembangan kelembagaan dan kawasan berbasis komunitas menjelaskan bahwa kapasitas kelembagaan (institutional capacity) merupakan program bottom-up, berupa program pemberdayaan dan partisipasi masyarakat, yang berupa aksi kolektif (Kolopaking, Tonny, 2007). Menurut Kolopaking dan Tonny (2007), dalam pedoman umum kebijakan untuk pengembangan kelembagaan perlu berlandaskan prinsip-prinsip : 1. “Partisipatif”, yakni dimulai dengan suatu proses perencanaan partisipatif di aras mikro yang dilakukan bersama komunitas dengan melibatkan Pemerintah Komunitas, Badan Permusyawaratan Komunitas, dan pemangku kepentingan lainnya, seperti lembaga swadaya masyarakat. 2. “Keseimbangan” antara pembangunan di aras mikro dan makro. Dalam mengimplementasikan kedua aras tersebut perlu melibatkan pemerintah lokal dalam bentuk kebijakan pemerintah, maupun pihak swasta. Partisipasi dari pihak pemerintah lokal dalam hal ini dengan memberikan kemudahan dalam mendapatkan akses terhadap sumberdaya yang dimiliki. 3. “Keterkaitan” sosial, ekonomi, dan ekologis. Prinsip ini menekankan pentingnya bahwa dalam kelembagaan dan komunitas-komunitas tersebut memiliki ikatan, sebagai suatu: “local society”, yang secara sosial ekonomi memiliki keterkaitan dalam konteks struktur sosial dan kultural; local ecology, yakni secara ekologis diantara kelompok-kelompok masyarakat memiliki pola adaptasi ekologi dalam menghadapi dinamika dan perubahan sosial ekonomi yang sedang berlangsung, dan collective action, yaitu suatu aksi kolektif dalam bentuk kapital sosial dan kelembagaan sebagai wadah proses kehidupan dan pembangunan di kawasan perkomunitasan.
9
4. “Sinergis” antar kelembagaan dan antar sektor pembangunan, artinya dalam pengembangan perlu dilakukan antara public sector, private sector, dan participatory
sector.
pengembangannya
yang
Dalam
manajemen
difasilitasi
pembangunan
pemerintah,
sinergi
antar
untuk sektor
pembangunan dan antar institusi pemerintah menjadi suatu prinsip yang sangat krusial yang dimanifestasikan dalam bentuk rencana pembangunan. 5. “Transparansi”
dalam
proses
pengembangan
kelembagaan.
Prosesnya
dilaksanakan dengan semangat keterbukaan, sehingga seluruh warga komunitas dan pemangku kepentingan lainnya memiliki akses yang sama terhadap informasi tentang rencana dan pengembangan. Syahyuti (2003)
menjelaskan bahwa untuk
menguatkan kapasitas
kelembagaan perlu dianalisa variabel-variabel yang ada di dalam kelembagaan tersebut. Dengan demikian kita dapat menentukan indikator-indikator yang menunjukkan kekuatan dari kelembagaan tersebut, sekaligus potensi dan kesempatan
untuk
ditingkatkan
kapasitasnya.
Variable-variabel
dalam
kelembagaan yang perlu dianalisa adalah nilai, norma yang berlaku, dan group atmosphere (berkaitan dengan perilaku kolektif). Menurut Floyd Ruch yang dikutip oleh Santoso (2004), group atmosphere menyangkut hal-hal berikut : 1. Keadaan fisik tempat/kelompok, seperti tersedianya fasilitas dan peralatan yang dibutuhkan anggota. 2. Treat Reduction (rasa aman), menyangkut ketentraman anggota untuk tinggal dalam kelompoknya (tidak ada ancaman, tidak saling curiga, tidak saling bermusuhan). 3. Distributive
leadership
(kepemimpinan
bergilir),
adanya
pemindahan
kekuasaan untuk pengendalian dan pengawasan terhadap kelompoknya. Dengan demikian, tiap anggota yang diberi kekuasaan akan dapat mengetahui kemampuan mereka masing-masing dan lebih dari itu akan menanamkan rasa tanggung jawab yang besar terhadap kelompok secara keseluruhan, baik pada saat menjadi pimpinan maupun sebagai anggota kelompok. 4. Goal formulation (perumusan tujuan), yang menjadi arah kegiatan bersama.
10
5. Flexibility (fleksibilitas). Segala sesuatu yang menyangkut kelompok seperti suasana, tujuan, kegiatan, struktur, dapat mengikuti perubahan yang terjadi. 6. Concensus (mufakat). Dengan mufakat yang ada dalam kelompok, semua perbedaan angggota dapat teratasi sehingga tercapai keputusan yang memuaskan semua anggota. 7. Process awareness (kesadaran berkelompok). Adanya peranan, fungsi, dan kegiatan masing-masing anggota dalam kehidupan berkelompok maka tiap-tiap anggota pasti timbul rasa kesadaran terhadap kelompoknya, terhadap sesama anggota, dan pentingnya berorientasi satu sama lain. 8. Continual evaluation (penilaian yang kontinyu). Kelompok yang baik seringkali mengadakan penilaian secara kontinyu terhadap perencanaan kegiatan dan pengawasan kelompok sehingga dapat diketahui tercapai/tidaknya tujuan kelompok. Kluckkon dalam Syahyuti (2003) memberikan pertanyaan-pertanyaan yang berguna untuk mengetahui nilai dalam kelembagaan tersebut. Inti pertanyaan tersebut adalah untuk mengupas nilai yang berlaku dari sistem tata nilai, jenis nilai dan orientasi dari nilai tersebut. Sedangkan norma dilihat berupa aturanaturan yang merupakan kesepakatan bersama dan dilakukan oleh masyarakat dalam kelembagaan tersebut. Sementara group atmosphere lebih menyangkut kinerja kelembagaan tersebut dan masyarakat yang ada di dalamnya. Berdasarkan penjelasan tersebut, penguatan kapasitas kelembagaan dapat dilakukan dalam berbagai aspek, yaitu: (a) Perubahan peran dan fungsi kelembagaan, (b) Pengertian nilai dan norma, (c) Pengertian kelembagaan melalui pengertian program teknologi, informasi, jejaring dan kepemimpinan. Apabila dikaitkan dengan pengembangan kapasitas kelembagaan pengelolaan air bersih komunitas, yang dilakukan ialah dengan melakukan perubahan peran dan fungsi, termasuk norma/aturan kelompok berdasarkan kebutuhan komunitas, termasuk mempertimbangkan perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan komunitas. Keberhasilan suatu masyarakat dalam menjalankan pola pengelolaan sumberdaya air yang berbasis masyarakat akan ditentukan oleh kemampuan kelembagaan dalam meningkatkan kapasitas dengan pendekatan partisipatori.
11
Konsep partisipatori mengandung makna masyarakat memiliki peran dalam pengelolaan sumberdaya air. Adapun prinsip-prinsip pengembangan kapasitas kelembagaan dalam pengembangan masyarakat adalah: pengembangan kapasitas masyarakat dengan pendekatan pembangunan berbasis kekuatan dari bawah (kekuatan sumberdaya manusia, sumberdaya ekonomi, sumberdaya alam) atau local capacity; kapasitas lokal (kapasitas pemda, lembaga swasta, komunitas) untuk pengembangan masyarakat; organisasi lokal menentukan kebutuhan organisasi dan kebutuhan masyarakat (Tonny, 2007). Kelembagaan Mempelajari kelembagaan merupakan sesuatu
yang esensial, karena
masyarakat modern beroperasi dalam organisasi-organisasi. Tiap perilaku individu selalu dapat dimaknai sebagai representatif kelompoknya. Seluruh hidup kita dilaksanakan dalam organisasi, mulai dari lahir, bekerja, sampai meninggal. Kegiatan manusia, baik sengaja maupun tidak sengaja selalu diulang-ulang, akhirnya menjadi melekat dan menjadi bagian yang tak terpisahkan serta mengatur aktivitas manusia itu sendiri. Kelembagaan sendiri merupakan terjemahan langsung dari istilah “social institution”. ‘Social institution’ dan ‘social organization’ berada dalam level yang sama, untuk menyebut apa yang kita kenal dengan kelompok sosial, group, social form dan lain-lain yang relatip sejenis. Kata kelembagaan lebih disukai karena memberi kesan lebih sosial, lebih menghargai budaya lokal, lebih humanis dan mengindikasikan suatu keinginan serta harapan yang murni, karena lebih menuju inti pokok suatu sistem sosial, sesuatu yang mengakar dan datang dari bawah (Syahyuti, 2003). Secara keilmuan, seluruh apa yang dikenal dengan organisasi, institusi, asosiasi baik formal maupun non formal disebut kelembagaan, karena mengandung aspek yang sama, yaitu aspek kultural terdiri dari nilai, norma, dan aturan. Sementara aspek struktural berupa sesuatu yang lebih visual dan statis yaitu struktur, penetapan peran, tujuan, keanggotaan. Sedangkan pengembangan
12
kelembagaan hanya difokuskan kepada kelembagaan yang memiliki struktur, serta organisasi yang potensial untuk dikembangkan (Syahyuti, 2006). Adapun institution atau pranata ialah sebagai kelakuan berpola dari manusia dalam pengaruh dari tiga wujud kebudayaan, yaitu: (1) sistem norma dan tata kelakuan dalam konteks wujud ideal kebudayaan, (2) kelakuan berpola untuk wujud kelakuan kebudayaan, dan (3) peralatannya untuk wujud fisik kebudayaan. Ditambah dengan personelnya sendiri, dari empat komponen tersebut yang saling berinteraksi satu sama lain (Koentjaraningrat, 2002). Gambar komponenkomponen pranata atau institution, dapat dilihat pada gambar 1: Sistem Norma
Pranata yang berpusat pada suatu kelakuan berpola Peralatan fisik
Personal
Gambar 1: Komponen-komponen dari Pranata Sosial
Aktivitas manusia yang berulang-ulang terus menjadi bagian dari manusia dan masyarakatnya
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, kemudian
prosesnya menjadi kerangka pengaturan untuk memenuhi kebutuhan yang terbentuk-tumbuh-berkembang-berubah-mati-berganti-berbentuk
yang
baru,
kemudian seterusnya menjadi siklus kehidupan dinamakan kelembagaan sosial (Kolopaking dan Tonny, 2007). Dari hasil analisis kajian potensi kelembagaan lokal bagi pengelolaan sumberdaya air berbasis masyarakat salah satu kesimpulannya, yaitu: Kondisi kelembagaan ideal bagi sistem Community Based Management adalah apabila masyarakat setempat memiliki bentuk kelembagaan dengan tingkat kepemimpinan, rule of law, derajat ketaatan dan penegakkan yang tinggi (Suharno, 2005).
13
Dari pendapat para ahli tentang kelembagaan, namun apa yang dimaksud pada umumnya adalah sama, merupakan sesuatu yang stabil, mantap, berpola, berfungsi untuk tujuan-tujuan tertentu dalam masyarakat, ditemukan dalam sistem sosial tradisional
maupun modern dan berfungsi untuk mengefisiensikan
kehidupan sosial.
Ada dua aspek dalam kelembagaan, yaitu: (a) aspek
kelembagaan perilaku; (b) aspek keorganisasian-struktur, dimana keduanya merupakan komponen pokok dalam setiap kelompok sosial. Perilaku dan Struktur sebagai bagian utama aspek kelembagaan dan aspek keorganisasian saling membutuhkan satu sama lain, ibarat dua sisi mata uang (Syahyuti, 2003). Sedangkan menurut pendekatan konseptual kelembagaan berkelanjutan, karena faktor-faktor internal (kepemimpinan, pendidikan dan ketersediaan anggaran) dan faktor-faktor eksternal ( kebijakan pemerintah lokal dan insentif kelembagaan). Hasil studi ilmiah dirumuskan faktor-faktor yang mempengaruhi keberlanjutan kelembagaan komunitas lokal dalam pengelolaan DAS Citanduy, yaitu: (a) jejaring kerjasama; (b) intervensi positif pemerintah; (c) kecukupan anggaran dan (d) aturan-aturan tertulis (Tonny, 2004). Pemberdayaan Masyarakat Proses peningkatan kesejahteraan masyarakat, dapat diterapkan dengan berbagai pendekatan, salah satunya adalah pemberdayaan masyarakat. Istilah keberdayaan dalam konteks masyarakat adalah kemampuan individu-individu lainnya dalam masyarakat untuk membangun keberdayaan masyarakat yang bersangkutan (Anwar, 2007). Memberdayakan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang berada dalam kondisi tidak mampu dengan mengandalkan kekuatannya sendiri sehingga dapat keluar dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan atau proses memampukan dan memandirikan masyarakat (Kartasasmita, 1996). Pemberdayaan merupakan sebuah proses untuk mendapatkan energi yang cukup yang bisa digunakan untuk mendayagunakan kemampuannya memperoleh daya saing, untuk membuat keputusan sendiri, dan mudah mengakses sumbersumber kehidupan yang lebih baik (Dharmawan, 2000 yang dikutip oleh Tonny,
14
2007). Konsep pemberdayaan (empowerment) dalam wacana pengembangan masyarakat selalu dikembangkan dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja dan keadilan (Hikmat, 2006). Pemberdayaan masyarakat, mengacu kepada kata empowerment, yaitu sebagai upaya untuk mengaktualisasikan potensi yang sudah dimiliki oleh masyarakat. Jadi, pendekatan pemberdayaan masyarakat titik beratnya adalah pemahaman pada pentingnya masyarakat lokal yang mandiri sebagai suatu sistem yang mengorganisir diri mereka sendiri. Pendekatan pemberdayaan masyarakat yang demikian diharapkan dapat memberi peranan kepada individu bukan sebagai objek, tetapi justru sebagai subjek pembangunan yang ikut menentukan masa depan kehidupan masyarakat secara umum (Hikmat, 2006). Dilihat dari sasaran dan ruang lingkupnya, menurut Wasistiono dalam Roesmidi dan Riza (2006) pemberdayaan dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu pemberdayaan individu, anggota organisasi atau masyarakat; pemberdayaan pada tim atau kelompok masyarakat ; pemberdayaan pada organisasi dan pemberdayaan pada masyarakat secara keseluruhan. Dalam hal ini adalah pemberdayaan pengelolaan air bersih berbasis masyarakat dengan pengembangan kapasitas kelembagaannya. Pemberdayaan kawasan perkomunitasan adalah sebuah proses pemampuan, empowering, komunitas dan masyarakatnya untuk menemu-kenali, menggali potensi potensi komunitas yang ada dan membuat kebijakan-kebijakan (Perdes, Perda) dan program yang kondusif bagi upaya pemanfaatan secara maksimum bagi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat (Kolopaking, Tonny, 2007). Studi kasus mengenai Pemberdayaan Masyarakat dalam Penyediaan Air Bersih di Pedesaan,
disimpulkan bahwa untuk
mewujudkan pengelolaan berbasis
masyarakat, perlunya keterlibatan warga baik secara fisik, pemikiran, material maupun finansial akan dapat meningkatkan rasa kebersamaan dan rasa memiliki proses dan hasil pembangunan di komunitas (Pipip, 2004).
15
Partisipasi Masyarakat Partisipasi menurut Sumardjo dan Saharuddin (2007); mengandung makna peranserta seseorang atau sekelompok orang atau sesuatu pihak dalam suatu kegiatan atau upaya mencapai sesuatu yang secara sadar diinginkan oleh pihak yang berperanserta tersebut. Bila menyangkut partisipasi dalam pembangunan masyarakat, maka menyangkut keterlibatan secara aktif dalam pengambilan keputusan, pelaksanaan, evaluasi dan menikmati hasilnya atas suatu usaha perubahan masyarakat yang direncanakan untuk mencapai tujuan-tujuan masyarakat. Sebagaimana diketahui, pembangunan pada dasarnya merupakan proses perubahan, dan salah satu bentuk perubahan yang diharapkan adalah perubahan sikap dan perilaku. Partisipasi masyarakat yang semakin meningkat baik secara kualitatif maupun kuantitatif merupakan salah satu perwujudan dari perubahan sikap dan perilaku tersebut. Agar proses pembangunan dapat berlangsung secara berkelanjutan, maka perlu diusahakan agar ada kesinambungan dan peningkatan yang bersifat komulatif dari partisipasi masyarakat melalui berbagai tindakan bersama dan aktivitas lokal tadi. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan adalah keterlibatan masyarakat dalam proses tersebut yang dilandasi oleh kesadaran dan determinasi. Prasyarat untuk berpartisipasi ( Kolopaking dan Tonny, 2007), yaitu adanya: 1. Kesempatan, yaitu adanya suasana atau kondisi lingkungan yang disadari oleh orang tersebut bahwa dia berpeluang untuk berpartisipasi. 2. Kemauan, adanya sesuatu yang mendorong menumbuhkan minat dan sikap mereka untuk termotivasi berpartisipasi, misalnya berupa manfaat yang dapat dirasakan atas partisipasinya tersebut. 3. Kemampuan, adanya kesadaran dan keyakinan pada dirinya bahwa dia mempunyai kemampuan untuk berpartisipasi, bisa berupa pikiran, tenaga, waktu, atau sarana dan material lainnya. Adanya kesempatan, kemauan dan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang,
kelompok
atau
masyarakat
senantiasa
dapat
memberikan
16
konstribusi/sumbangan
yang
dapat
menunjang
keberhasilan
program
pembangunan dengan berbagai bentuk atau jenis partisipasi. Adapun bentukbentuk jenis partisipasi sosial menurut Sulaiman (1985), ada lima macam, yaitu: 1. Partisipasi langsung dalam kegiatan bersama secara fisik dan tatap muka 2. Partisipasi dalam bentuk iuran uang, atau barang dalam kegiatan partisipatori, dana, dan sarana sebaiknya datang dari dalam masyarakat sendiri 3. Partisipasi dalam bentuk dukungan 4. Partisipasi dalam proses pengambilan keputusan 5. Partisipasi representatif dengan memberikan kepercayaan dan mandat kepada wakil-wakil yang duduk dalam organisasi atau panitia. Selanjutnya, agar tindakan bersama tersebut lebih bersandar pada prakarsa dan partisipasi masyarakat sendiri dibutuhkan adanya kompetensi masyarakat terhadap proses pembangunan di lingkungannya. Menurut Ndraha (1987) yang dikutip oleh Soetomo (2006) menyebutkan komunitas yang kompeten merupakan kehidupan bersama yang memiliki empat komponen, yaitu: (a) mampu mengidentifikasi masalah dan kebutuhan komunitas; (b) mampu mencapai kesepakatan tentang sasaran yang hendak dicapai dan skala prioritas; (c) mampu menemukan dan menyepakati cara dan alat mencapai sasaran yang telah disepakati bersama; (d) mampu bekerjasama secara rasional dalam bertindak mencapai sasaran. Adapun untuk mengembangkan partisipasi, dilihat dari proses belajar maka pendekatan partisipasi atas permintaan setempat lebih sesuai dan banyak digunakan dalam praktek lapangan. Kegiatan ini peranan pihak eksternal lebih bersifat menjawab kebutuhan yang diputuskan dan dinyatakan oleh masyarakat lokal, bukan kebutuhan berdasarkan program yang dirancang dari luar (Mikkelsen, 2003). Di samping merupakan perwujudan dari upaya pengembangan kapasitas masyarakat, partisipasi dalam identifikasi masalah juga lebih menjamin program pembangunan yang dirumuskan akan lebih relevan dengan persoalan dan kebutuhan aktual masyarakat yang bersangkutan. Lebih lanjut, partisipasi
17
masyarakat dalam perumusan program, tidak semata-mata sebagai konsumen program, tetapi juga sebagai produsen karena telah ikut serta terlibat dalam proses pembuatan atau perumusannya. Hal ini menyebabkan masyarakat merasa ikut memiliki program tersebut, sehingga kemudian juga mempunyai tanggungjawab bagi keberhasilannya. Oleh sebab itu masyarakat juga lebih memiliki motivasi bagi partisipasi pada tahaptahap berikutnya. Dengan demikian keterkaitan masyarakat dalam pelaksanaan program akan terbentuk karena kesadaran dan determinasinya, bukan karena dimobilisasi oleh pihak luar. Apabila hal tersebut dilakukan secara berulang-ulang, maka akan memacu semakin cepat terwujudnya proses institusionalisasi atau keterlembagakannya perilaku membangun dalam masyarakat. Hal itu disamping merupakan suatu bentuk perwujudan dari berlakunya prinsip pengelolaan yang berbasis komunitas juga akan menjamin proses yang berkelanjutan karena masyarakat telah mempunyai kapasitas swakelola. Partisipasi masyarakat pada tahap evaluasi akan membawa dampak positif bagi penyempurnaan dan pencarian alternatif yang terus menerus. Hasil evaluasi yang dilakukan akan dapat menjadi umpan balik bagi perbaikan dan penyempurnaan program-program berikutnya.
Dengan demikian,
melalui
partisipasi masyarakat akan terjadi proses bekerja sambil belajar secara berkesinambungan. Melalui proses bekerja sambil belajar, pola aktivitas yang semakin baik juga akan terjadi proses penguatan kelembagaan pembangunan dalam masyarakat lokal, sebagai institusi pembangunan yang ada bukan semata-mata dalam bentuk wadah organisasi, melainkan terutama adalah suatu sistem dan pola aktivitas yang sudah terintegrasi dalam kehidupan keseharian masyarakatnya. Tidak kalah pentingnya adalah partisipasi dalam menikmati hasil. Melalui bentuk partisipasi ini hasil-hasil pembangunan dapat dinikmati secara lebih merata oleh seluruh lapisan masyarakat secara profesional.
18
Studi Kasus mengenai Peningkatan Partisipasi Anggota Organisasi PKK dalam Pengembangan Masyarakat, bahwa dalam rancangan program Pelatihan Pengembangan Masyarakat secara partisipatif bagi pengurus PKK, disimpulkan bahwa pelibatan anggota dalam pengambilan keputusan dan implementasinya, sehingga pelaksanaan program-programnya sesuai dengan keinginan dan kebutuhan anggota, yang pada akhirnya timbul rasa memiliki, tanggung jawab dan berkelanjutan program tersebut (Rokna, 2004). Pengelolaan Air Bersih Berbasis Masyarakat Pengelolaan Air Bersih Berbasis Masyarakat merupakan penerapan dari konsep Community Based Resource Management (CBRM). Menurut Syahyuti (2006) CBRM adalah suatu pendekatan pembangunan yang menekankan kepada kesalinghubungan manusia dengan segala hal yang ada di lingkungannya, yang dimulai dengan pengembangan komunitas yang terdiri dari individu-individu yang paham tentang ekosistemnya, dan ingin berkerja dengan orang lain secara inklusif, hormat untuk memperbaiki dan menjaga lingkungannya, mencoba untuk menyediakan kehidupan yang sustain untuk generasi sekarang dan mendatang, serta komitmen dengan keadilan sosial (social justice). Dari konsep ini lahirlah pendekatan Comunnity-Based Natural Resource Management (CBNRM) dengan tekanan pada sumberdaya alam. CBNRM yaitu suatu aktivitas yang menekankan kepada manajemen sumberdaya alam oleh, untuk, dan dengan komunitas lokal (Syahyuti, 2006). Untuk mengimplementasikan CBRM atau CBNRM pada suatu desa menurut Syahyuti (2006), kunci keberhasilannya, adalah dari faktor internal yaitu perlu kepemimpinan organisasi yang cakap, strategi dan tujuan organisasi yang jelas, sumberdaya manusia dan logistik yang cukup, pendekatan pengelolaan yang dapat diadaptasikan dalam situasi dan konteks yang berubah-ubah, harapan-harapan yang wajar terhadap waktu dan usaha yang diperlukan, serta keberlanjutan keterlibatan dengan masyarakat. Pengelolaan air bersih berbasis komunitas memiliki beberapa karakteristik, yaitu: (a) masyarakat bertanggung jawab atas perawatan, perbaikan, manajemen lokal, pengorganisasian dan finansial; (b) masyarakat membuat keputusan dalam pemilihan teknologi, tingkat pelayanan,
19
bentuk organisasi lokal, peraturan dan pengaturan penggunaan setempat, mekanisme finansial, dan perumusan sangsi; (c) masyarakat memiliki kontrol dalam hal kepemilikan sarana, hasil pembuatan keputusan, serta kualitas kerja dan fungsi sarana ( IRC, 1999). Pengelolaan
air
bersih
oleh
komunitas
merupakan
perwujudan
terselenggaranya desentralisasi. Sudah tentu untuk terselenggaranya desentralisasi dalam bentuk swakelola dengan berbagai perubahan metode dalam proses pengambilan keputusan tersebut, diperlukan beberapa prasyarat: (a) Mekanisme baru dalam proses pengambilan keputusan dan pengelolaan sumberdaya alam perlu difasilitasi dalam bentuk institusi sosial yang cukup mengakar dalam masyarakat, bukan hanya suatu kelompok/organisasi atau lembaga formal, tetapi lebih sebagai suatu pola aktivitas yang sudah menjadi bagian integral dalam kehidupan masyarakat; (b) pemberian kewenangan kepada masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan yang didukung oleh kapasitas masyarakat; (c) desentralisasi mengandung makna pendelegasian wewenang kepada level yang lebih rendah, dalam hal ini kepada masyarakat lokal (Soetomo, 2006). Untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat tersebut dibutuhkan proses perubahan dalam berbagai dimensi yang menyesuaikan dengan dimensi kesejahteraan yang diharapkan. Sehubungan dengan hal tersebut, perubahan fisik, teknologi dan ekonomi saja belumlah cukup. Salah satu bentuk perubahan sosial yang penting adalah perubahan kelembagaan. Sajogyo (1997), menyatakan bahwa setiap perubahan adalah pembangunan, dimana keberhasilan pembangunan masyarakat yang berkelanjutan apabila dalam proses perubahan tersebut terkandung perubahan kelembagaan dan organisasi yang mampu menggerakkan masyarakat secara mandiri. Studi Kasus mengenai Pengelolaan Air Bersih Berbasis Masyarakat di Desa Cibodas, dengan membentuk Badan Pengelola Air Bersih dan Sanitasi Cibodas (BPABS). Adapun struktur kepengurusan terdiri dari Ketua, Sekretaris, Bendahara dan teknisi-teknisi, serta dibuat penyusunan tata tertib/peraturan dan tarif air, dengan administrasi yang rapih, sehingga mendapatkan keuntungan yang tidak sedikit dari sistem yang telah dibuat dan telah disalurkan bagi pembangunan
20
desa Cibodas dan kesejahteraan masyarakat. Bahkan jumlah mata air bertambah dari yang tadinya tergantung satu mata air, sekarang menjadi tiga buah mata air yang dikelola untuk memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat (Suci, 2007). Pengalaman di beberapa tempat seperti pengolahan dan pengelolaan air bersih di Ngampilan Yogyakarta, penanganan air bersih dari konsep, konstribusi hingga manajemen bagi masyarakat di Kabupaten Sumba Barat dan Sumba Timur, menunjukkan bahwa masyarakat merupakan “center point” yang harus diikutsertakan agar bersama-sama menyelesaikan masalah yang dihadapi melalui bentuk-bentuk seperti “community participatory”. Jelas pula pengalaman kami menunjukkan bahwa sistim dapat berfungsi dengan baik dan terbukti harga/tarif dari air bersih relatif terjangkau oleh masyarakat (Peteryan, 2004). Tidak termanfaatkan pasokan air bersih itulah yang dikatakan sebagai krisis manajemen air, bukan karena krisis ketersediaan air bersih. Krisis manajemen air menyebabkan terganggunya pasokan air bersih ke konsumen kelompok masyarakat. Terganggunya akses air bersih ini bukan karena ketersediaan air terbatas, melainkan karena kelembagaan pengurusan air tidak siap dalam mengantisipasi dan mengatasi tantangan permasalahan akses masyarakat atas sumberdaya air (Chary, 2008). Kerangka Berfikir Pengelolaan sumber daya berbasis komunitas (Community Based Resources Management) merupakan strategi pembangunan masyarakat yang memberi peran dominan kepada masyarakat pada tingkat komunitas untuk mengelola proses pembangunan, salah satunya dalam mengontrol dan mengelola sumber daya air yang dapat memenuhi kebutuhan lokal dan bernilai produktif. Oleh sebab itu, dalam strategi pengelolaan sumber daya air berbasis komunitas ini sangat diperlukan peranan prakarsa, kreativitas dan partisipasi masyarakat dalam keseluruhan proses pengembangan kapasitasnya. Agar proses pembangunan dapat berlangsung secara berkelanjutan, maka perlu diusahakan ada kesinambungan dan peningkatan partisipasi masyarakat
21
melalui berbagai tindakan bersama dan aktivitas lokal, termasuk adanya perubahan kelembagaan dan organisasi yang mampu menggerakan masyarakat secara mandiri. Dengan demikian, berarti pendekatan partisipatoris harus dilihat sebagai pendekatan utama dalam strategi pengelolaan sumberdaya air berbasis komunitas. Permasalahan mendasar adalah keterbatasan manajemen pengelolaan air bersih berbasis masyarakat yang diharapkan dapat menumbuhkan kapasitas kelembagaan dengan mensinergikan insentif-insentif kelembagaan dalam bentuk pembangunan
infrastruktur
maupun
fasilitas
program
pemerintah
yang
mendukung pengelolaan sumber daya air dengan adanya tanggung jawab sosial masyarakat dalam bentuk partisipasi. Apabila didukung dengan tingkat kemampuan yang memadai dan adanya kesempatan untuk berpartisipasi dalam menentukan aspek pemanfaatan, pelestarian dan pengendalian dalam pengelolaan sumberdaya air, maka masyarakat dapat terpenuhi kebutuhan air bersih bagi kepentingan rumah tangga secara adil dan dengan biaya yang terjangkau. Menganalisis kapasitas kelembagaan air bersih berbasis masyarakat, harus melihat pengelolaan yang telah dilakukan oleh masyarakat, yaitu dengan menganalisis dari aspek
sarana dan prasarana,
ketersediaan anggaran,
norma/aturan kelompok, dan jejaring yang dikembangkan oleh Pokmair Sayom. Adapun untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi kapasitas kelompok pengelola air bersih Sayom, yaitu dengan mengidentifikasi faktor kapasitas pengurus, seperti kepemimpinan, tingkat pendidikan
pengurus, kemampuan
pengelolaannya (termasuk mengelola anggaran/dana), penegakkan aturan kelompok yang telah disepakati dan sudah menjadi sistem nilai/aturan kelompok; serta mengidentifikasi faktor kapasitas anggota Pokmair Sayom seperti, partisipasi anggota dalam kemandirian, pendidikan, derajat ketaatan terhadap aturan kelompok. Faktor kebijakan dan intervensi program pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan air bersih yang diharapkan dapat memposisikan sebagai mitra dalam proses belajar dan pemberdayaan masyarakat, termasuk memberikan peluang dan ruang membuka jejaring kerjasama dengan stakeholders lainnya.
22
Dengan
pendekatan
partisipatoris,
setelah
menganalisis
kapasitas
kelembagaan pengelolaan air bersih berbasis masyarakat dan mengidentifikasi faktor-faktornya, maka melalui Focus Group Discussion dapat menyusun program pengembangan kapasitas kelembagaan dalam rangka adanya proses perubahan yang dibarengi perubahan sosial dalam kelembagaan Pokmair Sayom, sehingga mampu menggerakkan masyarakat secara mandiri, dengan menekankan pada pendekatan proses, dari mulai proses identifikasi, perumusan masalah, kebutuhan, kemudian menyusun rencana program kelembagaan pengelolaan air bersih berbasis masyarakat yang mampu mengembangkan kapasitas dalam pelayanan memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat untuk keperluan rumah tangga. Gambar kerangka pemikiran kajian tertera berikut ini:
Kapasitas Pengurus: 1. Kepemimpinan 2. Pendidikan 3. Kemampuan penge lolaan (termasuk anggaran/dana) 4. Penegakkan aturan (Norma Kelompok) Kapasitas Anggota ,Komunitas: 1. Partisipasi 2. Pendidikan 3. Derajat Ketaatan (Norma Kelompok)
Kapasitas Kelembagaan Pengelolaan Air Bersih Berbasis Masyarakat: ---------------------------------1. Sarana dan Prasarana 2. Anggaran 3. Norma/Aturan 4. Jejaring kerjasama
Kebijakan dan Intervensi Pemerintah
Gambar 2: Kerangka Pemikiran Kajian
Penyusunan Rencana Program Pengembangan Kapasitas Kelembagaan
23
Definisi Operasional 1. Variabel-Indikator : Kapasitas Pengurus a) Kepemimpinan : Perilaku yang dimiliki oleh Ketua Pokmair Sayom serta kemampuannya untuk mempengaruhi orang lain 1) Hubungan anggota dengan Ketua Pokmair Sayom; 2) Hubungan pengurus dengan Ketua Pokmair Sayom; 3) Keterlibatan dalam perencanaan, pengelolaan dan evaluasi; 4) Keterlibatan dalam menghadapi dan mengatasi setiap persoalan; 5) Frekwensi mengontrol jaringan dan administrasi; b) Pendidikan : Tingkat pendidikan formal dan non formal yang dimiliki pengurus 1) Pendidikan formal terakhir yang ditempuh; 2) Pelatihan tentang pengelolaan teknis air bersih yang pernah diikuti c) Kemampuan mengelola Pokmair Sayom: Kemampuan mengelola baik secara organisatoris, administratif maupun secara teknis. 1) Status dalam kepengurusan (Pengurus harian, Seksi-seksi/Pembantu Umum); 2) Keberhasilan melaksanakan tugas dan tanggung jawab secara organisatoris, teknis dan adminstrasi sesuai dengan jabatan dalam kepengurusan secara rutin. d) Penegakkan aturan (Norma Kelompok); Kemampuan melaksanakan tugas dan tanggung jawab dalam pelayanan terhadap anggota sesuai dengan aturan/norma kelompok. 1) Adanya aturan tetulis tentang sangsi dan penghargaan terhadap anggota dan pengurus berdasarkan kesepakatan; 2) Merealisasikan aturan sangsi dan penghargaan terhadap anggota dan pengurus. 2. Variabel-Indikator: Kapasitas Anggota a) Partisipasi: Peranserta seseorang atau sekelompok orang melalui suatu proses
kegiatan,
karena
adanya
prasyarat
kesempatan,
kemauan,
24
kemampuan dengan melakukan tindakan dalam bentuk pemikiran, dana, dukungan, pengambilan keputusan maupun tenaga. 1) Adanya kesempatan, kemauan, dan kemampuan sebagai prasyarat yang mendukung dalam melaksanakan partisipasi. 2) Keterlibatan dalam proses kegiatan dalam berbagai bentuk (dukungan, tenaga, dana, pemikiran, pengambilan keputusan). 3) Kehadiran di dalam forum pertemuan Pokmair Sayom. b) Pendidikan : Tingkatan pendidikan formal dan non formal yang dimiliki pengurus 1) Pendidikan formal terakhir yang ditempuh; 2) Pelatihan tentang pengelolaan teknis air bersih yang pernah diikuti. c) Derajat ketaatan: Kesadaran rasa tanggung jawab terhadap kewajiban sebagai anggota dalam melaksanakan aturan/norma kelompok. 1) Keaktifan melaksanakan kewajiban iuran bulanan 2) Adanya stop kran di jaringan air bersih rumah tangga; 3) Keaktifan memfungsikan stop kran, di saat kebutuhan air bersih sudah terpenuhi. 3. Variabel-Indikator: Kebijakan dan Intervensi Program Pemerintah a) Kebijakan Pemerintahan Desa: Keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan tindakan oleh pemerintahan Desa Bumijawa yang secara langsung mengatur pengelolaan dan pendistribusian sumber daya air, finansial dan manusia demi kepentingan publik, yakni masyarakat. 1) Realisasi kebijakan pemerintahan desa Bumijawa yang berkaitan dengan pengelolaan air bersih di Desa Bumijawa (Perdes, Keputusan Kades, Surat Perintah Tugas, tidak ada). b) Intervensi Program Pemerintah 1) Intervensi Program Pemerintah dalam pembangunan dan perbaikan sarana air bersih;
25
2) Alokasi anggaran yang pernah dilakukan berkaitan intervensi program pemerintah dalam pembangunan dan perbaikan sarana air bersih (APBN, APBD I, APBD II); 3) Pembinaan atau pelatihan yang berkaitan dengan teknis pengelolaan air bersih. 4. Variabel-Indikator: Kapasitas Kelembagaan Pengelolaan Air Bersih Berbasis Masyarakat. a) Sarana dan prasarana: fasilitas dan perlengkapan yang dimiliki dan dibutuhkan dalam menunjang pengelolaan dan pelayanan air bersih bagi anggota. 1) Adanya kantor sekretariat; 2) Adanya kelengkapan administrasi Pokmair Sayom; 3) Adanya peralatan teknis untuk perawatan dan perbaikan jaringan air bersih Sayom; 4) Banyaknya/Jumlah Sumberdaya air yang dikelola (lebih dari satu sumber, satu sumber); 5) Terpenuhinya kebutuhan minimum air bersih. b) Ketersediaan anggaran: Jumlah dana yang dikelola dari hasil iuran wajib bulanan anggota, yang dapat mencukupi untuk kebutuhan operasional. 1) Adanya pemasukan dana dari iuran wajib anggota setiap bulan; 2). Tersedianya dana operasional bulanan untuk pengurus; 3) Tersedianya dana operasional bulanan untuk pemeliharaan dan perbaikan jaringan; 4) Tersedianya kas/tabungan, setelah dikurangi pengeluaran bulanan. c) Norma/Aturan tertulis: Nilai-nilai dan aturan-aturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang telah disepakati berdasarkan hasil musyawarah anggota dan pengurus. 1) Adanya AD/ART Pokmair Sayom; 2) Kalau tidak ada, aturan tertulis dalam bentuk (Surat Keputusan Pengurus, Tata Tertib, Aturan tidak tertulis);
26
3) Dasar Hukum keberadaan kepengurusan Pokmair Sayom dari hasil musyawarah anggota (Perdes, SK. Kepala Desa, Surat Tugas Kepala Desa, Tidak ada). d) Jejaring kerjasama: Adanya kerjasama dalam hal pembinaan teknis, keuangan, administrasi, ekologis dengan stakeholders lain 1) Adanya pembinaan teknis pengelolaan air bersih dari stakeholders pemerintah/swasta; 2) Adanya
pembinaan
administrasi
pengelolaan
air
bersih
dari
stakeholders; 3) Adanya pelatihan teknis dan administrasi pengelolaan air bersih dari stakeholders; 4) Adanya kerjasama administrasi dan keuangan dengan stakeholders; 5) Adanya
kerjasama
dalam
kegiatan pemeliharaan keberlanjutan
sumberdaya air dengan stakeholders.