10
2. TINJAUAN PUSTAKA Kerangka Teoritis Konsep Pembangunan Berkelanjutan Pembangunan berkelanjutan diperkenalkan dalam World Conservation Strategy (Strategi Konservasi Dunia) yang diterbitkan oleh United Nations Environment Programme (UNEP), International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN), dan World WideFund for Nature (WWF) pada 1980. Pada 1982, UNEP menyelenggarakan sidang istimewa memperingati 10 tahun gerakan lingkungan hidup dunia (1972-1982) di Nairobi, Kenya, sebagai reaksi ketidakpuasan atas penanganan lingkungan selama ini. Menurut Brundtland (1987), pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan yang berprinsip “memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan”. Salah satu faktor yang harus dihadapi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan ekonomi. Berdasarkan konsep berkelanjutan, maka indikator pembangunan berkelanjutan tidak terlepas dari aspek ekonomi, sosial dan ekologi. Sejalan dengan hal itu, Djajadiningrat (2005) menyatakan bahwa dalam pembangunan berkelanjutan terdapat aspek keberlanjutan yang perlu diperhatikan yaitu; 1) Keberlanjutan ekologis, 2) Keberlanjutan ekonomi, 3) Keberlanjutan politik, 4) Keberlanjutan sosial dan budaya dan 5) Keberlanjutan pertahanan dan keamanan. Soemarwoto (1997) mengajukan tiga tolok ukur pembangunan berkelanjutan secara sederhana dapat digunakan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah untuk menilai keberhasilan seorang kepala pemerintahan dalam proses pembangunan berkelanjutan. Ketiga tolok ukur itu meliputi; 1) Pro ekonomi kesejahteraan, maksudnya adalah pertumbuhan ekonomi ditujukan untuk kesejahteraan semua anggota masyarakat yang dapat dicapai melalui teknologi inovatif yang berdampak minimum terhadap lingkungan; 2) Pro lingkungan berkelanjutan, maksudnya adalah etika lingkungan non antroposentris yang menjadi pedoman hidup masyarakat, sehingga mereka selalu mengupayakan kelestarian dan keseimbangan lingkungan, konservasi sumber daya alam vital, dan mengutamakan peningkatan kualitas hidup non material; 3) Pro keadilan sosial, maksudnya adalah keadilan dan kesetaraan akses terhadap sumber daya alam dan pelayanan publik, menghargai diversitas budaya dan kesetaraan gender. Dengan paradigma pembangunan berkelanjutan, yang dikonservasi dan yang diberlanjutkan adalah pembangunan itu sendiri dan bukan alam atau ekologi. Menurut Triligayanti (2010) ada beberapa kelemahan utama dari paradigma pembangunan berkelanjutan, yaitu 1) Tidak ada sebuah titik kurun waktu yang jelas dan terukur yang menjadi sasaran pembangunan berkelanjutan, hanya berupa komitmen sehingga sulit untuk diukur kapan tercapainya; 2) Asumsi paradigma pembangunan berkelanjutan didasarkan pada cara pandang yang sangat antroposentris, cara pandang yang menganggap alam sekedar sebagai alat pemenuhan kebutuhan manusia. Sehingga yang dilestarikan bukan alam yang nasibnya justru menjadi keprihatinan dan agenda internasional, melainkan memperluas kepentingan manusia untuk memperoleh kemakmuran;
11
3) Asumsi yang ada dibalik paradigma ini adalah manusia bisa menentukan daya dukung ekosistem lokal dan regional. Padahal alam mempunyai kekayaan dan kompleksitas yang rumit jauh melampui kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi manusia; 4) Paradigma pembangunan berkelanjutan bertumpu pada ideologi materialisme yang tidak diuji secara kritis tetapi diterima begitu saja sebagai benar. Konsekuensinya, semua aspek kehidupan yang lain ditempatkan dibawah imperative ekonomi. Dengan demikian, bisa ditebak bahwa aspek-aspek lain, termasuk sosial-budaya dan lingkungan hidup, dikorbankan demi imperative ekonomi. Pertemuan terakhir pada tingkat global yang berkaitan dengan pembangunan berkelanjutan adalah KTT Bumi Rio +20 tahun 2012 dimana telah menghasilkan gagasan ekonomi hijau (green economy) sebagai strategi baru pembangunan berkelanjutan (Wanggay, 2012). Gagasan ini bertolak dari kondisi pembangunan yang menyumbang pada dampak eksternalitas dan kerusakan lingkungan yang besar sehingga menggradasi bumi beserta kehidupannya. Hal ini terjadi pada negara-negara berkembang yang pembangunannya bertumpu pada pertumbuhan tanpa memperhitungkan dampak ekologis. Oleh karena itu, gagasan pada KTT Rio+20 yang mengusung paradigma ekonomi hijau sebagai evolusi pembangunan berkelanjutan. Pada pertemuan tersebut dihasilkan pula target pencapaian pembangunan yang ramah lingkungan di dalam dokumen“ The Future We Want” yang mengintroduksi Sustainable Development Goals didalamnya, termasuk pula target terhadap masalah sosial dan ekonomi (United Nation, 2013). Target-target yang telah ditetapkan oleh masing-masing negara tersebut harus dapat dicapai dengan baik, sehingga selanjutnya yang lebih penting adalah pada tataran implementasi. Diperlukan berbagai strategi-strategi implementasi melalui berbagai model-model pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan sepertihalnya model eko-efisiensi; ekoindustri; dan eco-city. Berbagai pendekatan dalam konsep pembangunan berkelanjutan mengalami berbagai pro dan kontra. Pendekatan teori pembangunan berkelanjutan yang sering di samakan dengan modernisasi ekologi merupakan teori sosial (Buttel, 2000) pertama kali dipublikasikan dalam laporan utama yang telah disampaikan oleh World Commision on Environment, Growth and Development (WCED). Dalam prespektif modernisasi ekologi terdapat lima tema meliputi; 1. Peran iptek dalam perbaikan lingkungan; 2. Pentingnya pertumbuhan dan pengaruh ekonomi, dinamika pasar dan institusi dalam perbaikan lingkungan; 3. Perubahan posisi peran dan kinerja negara; 4. Modifikasi ekologi kata kuncinya adalah masalah lingkungan dapat diatasi melalui inovasi iptek tanpa meninggalkan modernisasi. Selain teori modernisasi ekologi, berkembang pula teori-teori yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam yang melihat dari aspek politik yang berkaitan dengan relasi kekuasaan yang berlangsung dalam pelaksanaan pembangunan yang lebih dikenal sebagai kajian ekologi politik. Forsyth (2003) dalam bukunya Critical Political Ecology; The Politics of Environmental Science menjelaskan bahwa kajian ekologi politik merupakan kelanjutan dari kajian cultural ecology yang berfokus pada pengelolaan lahan yang dikondisikan secara budaya dan lokal, sementara ekologi politik lebih memfokuskan kepada aspek politik atas terjadinya kerusakan sumber daya alam. Terjadinya konflik kepentingan antara para pihak yang berkepentingan dengan sumber daya alam, masyarakat pada tingkat lokal, negara dan pihak lain yang berkepentingan, sehingga menimbulkan ketidakadilan sosial dalam proses pembangunan (Forsyth ,2003). Bryant et al. (1997) menekankan pada pendekatan aktor dimana asumsi yang mendasari pendekatan aktor adalah; 1. Biaya dan manfaat yang dinikmati aktor tidak merata; 2. Distribusi biaya manfaat mendorong ketimpangan dan 3. Dampak sosial ekonomi memiliki implikasi politik. Disisi lain Forsyth (2003) menawarkan pendekatan kritis dalam mendiskripsikan
12
fenomena ekologi politik yang meliputi; 1. Dominasi terhadap alam terkait dengan kapitalisme menyebabkan degradasi lingkungan; 2. Pendekatan baru bersifat post strukturalist pengaruh sejarah dan budaya terhadap evolusi konsep perubahan degradasi lingkungan sebagai kekuatan linguistik dan politik; 3. Mengkritik konsep balance of nature; equilibrium ecology. Pandangan serta perkembangan ilmu yang berkaitan dengan sumber daya alam dan lingkungan menjadi semakin komplek dan akan terus berlanjut seiring dengan terjadinya perubahan lingkungan yang disertai pula dengan kerusakan lingkungan. Paling tidak apabila pembangunan akan diarahkan kepada ekonomi ekologi maka 3 (tiga) alternatif pendekatan yang dapat dipilih meliputi; 1. Pendekatan degrowth dengan mengurangi skala ekonomi (economy downsizing) dengan mengurangi produksi dan konsumsi supaya mencapai keadilan sosial, keberlanjutan ekologi dan kesejahteraan. 2. Pendekatan postgrowth society merupakan pendekatan yang menolak pertumbuhan ekonomi. Caranya dengan memperbaiki kualitas hidup dan stabilitasi daya dukung ekologi dalam jangka panjang ditengah keterbatasan ekologi dan 3. Solidaritas ekonomi dimana pendekatan ini menekankan kepada ekonomi alternatif yang bersifat lokalitas yang memposisikan rakyat menjalankannya kekuatan sendiri serta didukung dengan sistem demokrasi deliberative yang menomorsatukan kedaulatan rakyat dan berorientasi kepada kebutuhan rakyat (Karim M, 2014). Dari pendekatan di atas, pembangunan berkelanjutan maupun keberlanjutan ekologi adalah dua alternatif yang bisa dipilih untuk diterapkan oleh masing-masing negara, termasuk Indonesia. Kedua alternatif itu mempunyai sasaran sama yaitu integrasi ketiga aspek, yaitu aspek pembangunan ekonomi, aspek pelestarian sosial budaya dan aspek lingkungan hidup. Bedanya, paradigma pembangunan berkelanjutan memusatkan perhatian secara proporsional pada kedua aspek lain, sementara paradigma berkelanjutan ekologi mengutamakan pelestarian ekologi dengan tetap menjamin kualitas kehidupan ekonomi dan sosial budaya bagi masyarakat setempat (Triligayanti, 2010). Dalam arti itu, sejauh ketiga aspek itu bisa diintegrasikan dengan baik, paradigma pembangunan berkelanjutan atau paradigma keberlanjutan ekologi harus konsekuen dilaksanakan sesuai dengan komitmen untuk menjamin ketiga aspek tersebut secara proporsional. Memang, untuk menghindari jebakan ideologi developmentalisme, paradigma keberlanjutan ekologi tentu lebih menarik. Sejauh paradigma ini bisa diterapkan secara konsekuen dan dengan kesabaran tinggi, hasilnya akan lebih berkelanjutan. Dalam paradigma keberlanjutan ekologi, dilakukan dengan melestarikan ekologi dan sosial budaya masyarakat demi menjamin kualitas kehidupan masyarakat yang lebih baik. Dengan paradigma ini, rakyat sendiri yang mengembangkan kemampuan ekonominya sesuai dengan kondisi yang dihadapi, khususnya kondisi lingkungan dan sosial budaya. Dalam rangka itu, akan lebih terdorong untuk menjaga lingkungan karena sadar bahwa kehidupan ekonomi sangat tergantung dari sejauhmana mereka menjaga lingkungan.
Konsep Pengembangan Wilayah Kajian pengembangan wilayah perkotaan di Indonesia selama ini selalu didekati dari aspek sektoral dan aspek spasial. Pada kajian aspek sektoral lebih menyatakan ukuran dari aktifitas masyarakat suatu wilayah perkotaan dalam mengelola sumberdaya alam yang dimilikinya. Pada kajian aspek spasial (keruangan) lebih menunjukkan arah dari kegiatan sektoral atau dimana letak lokasi serta dimana sebaiknya letak lokasi kegiatan sektoral tersebut.
13
Menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mendefinisikan wilayah sebagai suatu ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Isard (1975) menambahkan bahwa wilayah merupakan suatu area yang memiliki arti karena masalah-masalah yang ada didalamnya sedemikian rupa, bukan hanya sekedar area dengan batas tertentu akan tetapi menyangkut permasalahan ekonomi dan sosial. Pendekatan yang mengacu pada aspek sektoral dan spasial tersebut mendorong lahirnya konsep pengembangan wilayah perkotaan yang harus mampu meningkatkan efisiensi penggunaan ruang, sesuai daya dukung, mampu memberi kesempatan kepada sektor untuk berkembang tanpa konflik dan mampu meningkatkan kesejahteraan secara merata. Konsep tersebut digolongkan dalam konsep pengembangan wilayah perkotaan yang didasarkan pada penataan ruang. Ada tiga kelompok konsep pengembangan wilayah yaitu konsep pusat pertumbuhan, konsep integrasi fungsional dan konsep pendekatan desentralisasi (Alkadri et al.l, 1999). Konsep pusat pertumbuhan menekankan pada perlunya melakukan investasi secara besar-besaran pada suatu pusat pertumbuhan atau wilayah/kota yang telah mempunyai infrastruktur yang baik. Pengembangan wilayah di sekitar pusat pertumbuhan diharapkan melalui proses tetesan ke bawah (trickle down effect). Penerapan konsep ini di Indonesia telah melahirkan adanya 111 kawasan andalan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Konsep integrasi fungsional mengutamakan adanya integrasi yang diciptakan secara sengaja diantara berbagai pusat pertumbuhan karena adanya fungsi yang komplementer. Konsep ini menempatkan suatu kota atau wilayah mempunyai hirarki sebagai pusat pelayanan relatif terhadap kota atau wilayah yang lain. Pada konsep desentralisasi ditujukan agar mencegah tidak terjadinya aliran keluar dari sumberdana dan sumberdaya manusia. Rencana tata ruang kota yang baik nampaknya juga belum cukup untuk mewujudkan keberlanjutan. Dalam upaya implementasinya rencana tata ruang harus disertai dengan perangkat peraturan, diantaranya adalah peraturan zonasi (zoning code), yang mengatur secara tegas kegiatan apa yang boleh, apa yang bersyarat dan apa yang dilarang pada setiap jenis zona sesuai peruntukannya. Pelanggaran terhadap peraturan pemanfaatan tersebut akan diancam dengan sanksi. Sehingga benar apabila dikatakan: better regulation without planning, than planning without regulation. Tanpa peraturan semacam ini, rencana tata ruang hanya akan menjadi macan kertas. Konsep Kawasan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, mendefinisikan kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budidaya. Berdasarkan kegitan utamanya kawasan dibagi menjadi kawasan perdesaan, agropolitan, perkotaan, metropolitan dan kawasan megapolitan. Adapun kawasan strategis nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya atau lingkungan atau wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia. Menurut Kustiwan (2006) kawasan adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek funsional serta memiliki ciri tertentu/spesifik/khusus. Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) memberikan definisi mengenai kawasan sebagai berikut: kawasan adalah wilayah yang berbasis pada keberagaman fisik dan ekonomi tetapi memiliki hubungan erat dan saling mendukung satu sama lain secara fungsional dan mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah dan meningkatkan
14
kesejahteraaan rakyat. Dalam kaitan ini, kawasan didefinisikan sebagai kawasan yang mempunyai fungsi tertentu, dimana kegiatan ekonominya, sektor dan produk unggulannya mempunyai potensi mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah sekitarnya. Dari berbagai kawasan Mizany et al. (2008) mendefinisikan special district atau yang dapat disetarakan dengan kawasan khusus sebagai any agency of the state for the local of governmental or proprietary functions within limited boundaries. Kawasan khusus merupakan pemerintahan lokal yang terpisah yang menyelenggarakan pelayanan publik pada daerah tertentu. Dawud (2003) mendefinisikan mengenai kawasan khusus (special district) sebagai konsep kawasan khusus dalam kajian ini mengacu kepada situasi dan kondisi daerah yang memiliki kekhasan yang potensial dan dominan bagi pengembangan daerahnya (wilayahnya) dalam satu daerah kabupaten/kota. Selanjutnya Badan Perencanaan PembangunanNasional (2004) mendifinisikan kawasan sebagai berikut: konsep kawasan adalah wilayah yang berbasis pada keberagaman fisik dan ekonomi tetapi memiliki hubungan yang erat dan mendukung satu sama lain secara fungsional dan mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam konteks ini kawasan didefinisikan sebagai kawasan yang memiliki fungsi tertentu, dimana sektor dan produk unggulannya memiliki potensi mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah sekitar. Sejalan dengan konsep di atas, salah satu strategi dalam mendorong investasi dan meningkatkan daya saing Indonesia maka dibentuk kawasan ekonomi antara Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET), Kawasan Berikat (KB), Kawasan Industri (KI) dan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB). Kawasan-kawasan yang telah dibentuk di atas belum secara optimal meningkatkan perekonomian nasional karena masih terdapat kendala baik dalam bentuk kelembagaan, konsistensi peraturan yang menunjang serta infrastruktur yang belum memadai. Kedepan apabila pembangunan nasional bertumpu pada kekuatan inovasi, maka perlu adanya kebijakan yang memperkuat kawasan PUSPIPTEK sebagai sebuah kawasan yang memiliki fungsi strategis terhadap perekonomian nasional. Eko-Inovasi Penggunaan yang paling umum dari istilah "eko-inovasi" pada dasarnya mengacu pada produk yang inovatif dan proses yang mengurangi dampak lingkungan. Istilah tersebut sering digunakan bersama dengan “eko-efisiensi” dan “Eco-design”. Ekoinovasi mengacu pada semua bentuk inovasi-teknologi dan non-teknologi, produk dan layanan baru dan praktek bisnis baru yang menciptakan untuk penciptaan dan pengembangan peluang bisnis baru dan manfaat lingkungan dengan mencegah atau mengurangi dampaknya terhadap lingkungan, atau dengan mengoptimalkan penggunaan sumber daya alam. Eko-inovasi berkaitan erat dengan pengembangan dan penggunaan teknologi lingkungan dan juga untuk konsep eko-efisiensi dan eko-industri. Tujuan umum dari eko-inovasi adalah untuk memberikan kontribusi terhadap produksi dan berkelanjutan. Konsep eko-inovasi merupakan konsep baru. Komisi Eropa dalam mengukur ekonomi inovasi menggunakan definisi eko-inovasi sebagai "produksi, asimilasi atau eksploitasi produk, proses produksi, layanan atau manajemen atau metode bisnis yang baru untuk organisasi (mengembangkan atau mengadopsi itu) dan yang menghasilkan, sepanjang siklus hidupnya, pengurangan risiko lingkungan, polusi dan lainnya dampak negatif penggunaan sumber daya (termasuk penggunaan energi) dibandingkan dengan alternatif yang relevan".
15
Eko-inovasi didefinisikan oleh OECD (2009) pada Laporan Manufaktur Berkelanjutan dan Eko-inovasi sebagai penciptaan atau penerapan baru, atau secara signifikan ditingkatkan, produk (barang dan jasa), proses, metode pemasaran, struktur organisasi dan kelembagaan pengaturan yangdengan atau tanpa maksud menyebabkan terjadinya perbaikan lingkungan dibandingkan dengan alternatif yang relevan. Kedua, definisi yang sejalan dengan definisi Oslo Manual (2011) inovasi, meliputi implementasi teknologi baru yang dikembangkan oleh perusahaan atau lembaga yang berbeda. Menurut Oslo Manual (2011), perusahaan dapat berinovasi (eko-inovasi) dengan membeli teknologi produksi bersih dari pemasok dan menerapkan teknologi ke lini produksi. Oslo Manual menjadi penting karena digunakan sebagai pedoman untuk survei inovasi resmi dihampir semua negara-negara anggota OECD. Andersen (2005) mengklasifikasikan eko-inovasi kedalam lima kategori yakni: 1) Add-on innovations (pollution-and resource handling technologies and services) adalah industri apabila menerapkan teknologi atau memberikan service yang meningkatkan kepedulian lingkungan dari pelanggan seperti peralatan pembersih, peralatan yang dapat mengontrol emisi sehingga sering di sebut sebagai industri berbasis lingkungan; 2) Integrated innovation (cleaner technology processes and products) adalah industri yang melakukan aktivitasnya dengan mengintegrasikan pemanfaatan teknologi bersih dalam memproduksi serta menghasilkan barang yang memberikan dampak pada performance perusahaan serta produk yang berorientasi lingkungan; 3) Eco-efficient technological system innovation (new technological) adalah yang berkaitan dengan pengembangan teknologi ramah lingkungan yang meliputi pengembangan teori, kapabilitas serta implementasi yang akan merubah secara signifikan dalam sistem produksi maupun konsumsi; 4) Eco-organizational system innovation (new organizational structure) adalah klasifikasi eko-inovasi yang berkaitan dengan pengembangan organisasi masyarakat secara luas yang dilakukan secara sistemik. Struktur organisasi baru ini akan menciptakan fungsi baru terhadap hubungan antara sistem industri, keluarga dan lingkungan kerja dan tatanan baru bagi pengembangan organisasi kota dengan tehnis infra struktur (ekologi urban). Oleh karena itu diperlukan adanya perubahan organisasi maupun kelembagaan; 5) General purpose eco-efficient innovations, adalah teknologi yang berfungsi umum yang dapat memberikan dampak luas terhadap pertumbuhan ekonomi serta proses inovasi yang dapat membawa effek pada implementasi eko-inovasi seperti halnya ICT, Bioteknologi, Nano teknologi ( Andersen,2006) . Berdasarkan klasifikasi di atas, konsep eko-inovasi adalah lebih inklusif daripada definisi teknologi lingkungan sebelumnya yang biasanya memiliki orientasi teknis. Konsep teknologi bersih juga memiliki orientasi pasar dan konsep yang sangat dekat dengan konsep eko-inovasi, konsep eko-inovasi memiliki keuntungan yang meliputi seluruh inovasi proses dari generasi ide untuk penciptaan nilai di pasar. Ini juga mengandung arti bahwa konsep tersebut dapat dihubungkan dengan lebih luas "konsumsi berkelanjutan dan produksi (Andersen, 2008). Dalam rangka memperkuat konsep ekoinovasi, Jones et al.(2001) melakukan penelitian yang berkaitan aspek proses pengembangan eko-inovation dan menghasilkan dua kebaruan yang meliputi form proses standar desin dan diagram pohon produk idea. Penelitian ini memberikan kontribusi pemahaman terhadap konsep eko-inovasi yang memiliki kompleksitas yang tinggi, baik dalam tataran teori maupun implementasi.
16
Eko-inovasi dalam pengembangannya dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu inovasi lingkungan dan inovasi non-lingkungan. Inovasi lingkungan berkelanjutan merupakan faktor penting. Oleh karena itu eko-inovasi dapat diklasifikasikan menjadi teknologi eko-inovasi, eko-inovasi organisasi, eko-inovasi kawasan bisnis dan inovasi sosial. Esders (2008) menyatakan bahwa yang lebih penting berkaitan dengan gaya hidup yang berwawasan lingkungan, diantara kebiasaan konsumsi, menerima aturan yang berkaitan dengan penggunaan energi baru dan terbarukan, merupakan contoh dari sosial eko-inovasi. Sarkar (2013) menyatakan bahwa ada berbagai faktor penentu eko-inovasi yang menyediakan baik potensi keterbatasan maupun untuk pertumbuhan hijau. Keberhasilan pengembanganeko-industri masa depan sangat ditentukan oleh kesinambungan pengembangan eko-teknologi. Oleh karena itu, pengembangan eko–teknologi akan terus bergantung antara lain pada dukungan dana untuk kegiatan penelitian dan pengembangan dan prioritas yang direncanakan akan diberikan oleh eko-industri di masa depan. EraNET ECO-INNOVERA (2012) dalam melakukan penelitian terhadap kawasan ekoinovasi, menggunakan kriteria eko-inovasi yang dapat dilihat pada Tabel 1. Upaya-upaya khusus harus diarahkan untuk meniru model berkelanjutan bagi keberhasilan kawasan eko-industri atas dasar kondisi ekologi yang beragam. Hal ini penting dalam rangka membantu membalikkan degradasi ekologis yang disebabkan oleh perubahan iklim global. Upaya tersebut harus dilakukan secara bersama-sama dengan mitigasi dan inisiatif program adaptasi dengan dukungan aktif kelembagaan dan mekanisme pendanaan hijau. Pengukuran kinerja eko-efisiensi pada kedua proyek eko-industri dan eko-produk akan menjadi pendorong utama untuk memastikan keberhasilan dan kegagalan proyek eko-industri. Setelah eko-proyek menetapkan kinerja tinggi dan peringkat keberlanjutan didasarkan pada indikator kinerja yang terukur lingkup perluasan proyek, yang harus direncanakan dengan analisis ekonomi untuk memastikan kelangsungan hidup jangka panjang. Kolaborasi antar-organisasi dan berbagi informasi penelitian dan pengembangan teknologi, akan memberikan dampak untuk menambah nilai inisiatif baru dalam bisnis eco-industri di masa depan.
17
Tabel 1 Kriteria dan variabel dalam pengembangan eko-inovasi Kriteria Eko-inovasi Variabel Efisiensi energi
Sumber energi terbarukan
Pengelolaan limbah Pengelolaan air
Material / bahan kimia aliran
Keanekaragaman Mobilitas, transportasi
Pemanfaatan Lahan
Pencegahan polusi udara Pencegahan Kebisingan Pengelolaan Lingkungan
Budaya, sosial, kesehatan, keselamatan
Optimasi atau pengurangan penggunaan energi, termasuk energi dibutuhkan untuk bangunan dan infrastruktur lainnya serta produksi. Penggunaan dan atau penukaran produksi energi terbarukan diantaranya penggunaan energi surya, energi angin, tenaga air, menggabungkan panas dan tenaga (CHP) generasi atas limbah, energi panas bumi, pasang surut atau dihasilkan energi gelombang, pemanfaatan biofuel. Koleksi tempat, transportasi, penukaran / pengolahan eksternal (Daur ulang) atau pembuangan limbah. Pengolahan air limbah pengurangan / optimalisasi penggunaan air untuk infrastruktur dan produksi, penggunaan kembali air untuk penghematan penggunaan air. Sinergi, pertukaran materi (bahan kimia, limbah, dll) antara perusahaan, antar-perusahaan kolaborasi. Skema input output secara teoritis didefinisikan oleh industri simbiosis. Konservasi keanekaragaman hayati atau revitalisasi alam di industri / perkotaan dan wilayah sekitarnya. Transportasi yang layak Efisien barang atau orang yang dengan rendah dampak lingkungan (misalnya kendaraan listrik, plug-in hibrida). Optimasi / pengurangan penggunaan lahan untuk industri / perkotaan infrastruktur, revitalisasi lahan terlantar (Zona industri / perkotaan). Pengurangan emisi polutan melalui cleaner proses produksi atau teknologi akhir-of-pipe. Pengurangan emisi suara melalui produksi bersih proses atau teknologi pengelolaan akhir. Sertifikasi dan label dengan standar lingkungan di skala kawasan seperti ISO 14000. Aspek budaya meliputi pelestarian keragaman budaya dan kekhususan lokal, aspek sosial : kesetaraan gender, perawatan anak, untuk kesehatan: aman dan bersih alami dan bekerja lingkungan di kawasan industri / perkotaan dan menyenangkan.
Sumber : Era-NET ECO-INNOVERA (2012)
Kebijakan Publik Menurut beberapa literatur kebijakan publik dalam kepustakaan Internasional disebut sebagai public policy, yaitu suatu aturan yang mengatur kehidupan bersama yang harus ditaati dan berlaku mengikat seluruh warganya. Setiap pelanggaran akan diberi sanksi sesuai dengan bobot pelanggarannya yang dilakukan dan sanksi dijatuhkan didepan masyarakat oleh lembaga yang mempunyai tugas menjatuhkan sanksi (Nugraha. 2004; 1-7).
18
Aturan atau peraturan tersebut secara sederhana kita pahami sebagai kebijakan publik, jadi kebijakan publik ini dapat kita artikan suatu hukum. Akan tetapi tidak hanya sekedar hukum namun kita harus memahaminya secara utuh dan benar. Ketika suatu isu yang menyangkut kepentingan bersama dipandang perlu untuk diatur, maka formulasi isu tersebut menjadi kebijakan publik yang harus dilakukan dan disusun serta disepakati oleh para pejabat yang berwenang. Ketika kebijakan publik tersebut ditetapkan menjadi suatu kebijakan publik; apakah menjadi Undang-Undang, apakah menjadi Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden termasuk Peraturan Daerah, maka kebijakan publik tersebut berubah menjadi hukum yang harus ditaati. Pakar kebijakan publik mendefinisikan kebijakan publik segala sesuatu yang dikerjakan atau tidak dikerjakan oleh pemerintah, mengapa suatu kebijakan harus dilakukan dan apa manfaat bagi kehidupan bersama harus menjadi pertimbangan yang holistik agar kebijakan tersebut mengandung manfaat yang besar bagi warganya dan berdampak kecil dan sebaiknya tidak menimbulkan persoalan yang merugikan. Walaupun demikian tetap saja ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan, pemerintah harus bijaksana dalam menetapkan suatu kebijakan (Dye 1992; 2-4). Dalam rangka memahami kedudukan dan peran yang strategis dari pemerintah sebagai aktor publik terkait dengan kebijakan publik, maka diperlukan pemahaman bahwa untuk mengaktualisasikannya diperlukan suatu kebijakan yang berorientasi pada kepentingan rakyat. Aminullah dalam Muhammadi 2001: 371 – 372, seorang pakar mengatakan bahwa kebijakan adalah suatu upaya atau tindakan untuk mempengaruhi sistem pencapaian tujuan yang diinginkan, upaya dan tindakan dimaksud bersifat strategis yaitu berjangka panjang dan menyeluruh. Namun demikian kata kebijakan yang berasal dari policy, dianggap sebagai konsep yang relatif (Hill 1993): The concept of policy has a particular status in the rational model as the relatively durable element against which other premises and actions are supposed to be tested for consistency. Menurut Kybernology yang dimaksud dengan kebijakan adalah sistem nilai kebijakan dan kebijaksanaan yang lahir dari kearifan aktor atau lembaga yang bersangkutan. Selanjutnya kebijakan setelah melalui analisis yang mendalam dirumuskan dengan tepat menjadi suatu produk kebijakan. Dalam merumuskan kebijakan Dye (1992) merumuskan model kebijakan menjadi: model kelembagaan, model elit, model kelompok, model rasional, model inkremental, model teori permainan, model pilihan publik, dan model sistem. Selanjutnya tercatat tiga model yang diusulkan Dye (1992) yaitu: model pengamatan terpadu, model demokratis, dan model strategis. Terkait dengan organisasi, kebijakan menurut Terry (1964) dalam bukunya Principles of Management, adalah suatu pedoman yang menyeluruh, baik tulisan maupun lisan yang memberikan suatu batas umum dan arah sasaran tindakan yang akan dilakukan pemimpin. Namun demikian berdasarkan perspektif sejarah, maka aktivitas kebijakan dalam tataran ilmiah yang disebut analisis kebijakan, berupaya mensinkronkan antara pengetahuan dan tindakan (Dunn 2003: 89). Analisis kebijakan (policy analysis) dalam arti historis yang paling luas merupakan suatu pendekatan terhadap pemecahan masalah sosial dimulai pada satu tonggak sejarah ketika pengetahuan secara sadar digali untuk dimungkinkan dilakukannya pengujian secara eksplisit dan reflektif kemungkinan menghubungkan pengetahuan dan tindakan. Setelah memaparkan makna kebijakan, maka secara sederhana kebijakan publik digambarkan oleh Jenkins (1978) didalam buku The Policy Process bahwa kebijakan publik adalah suatu keputusan berdasarkan hubungan kegiatan yang dilakukan oleh aktor politik guna menentukan tujuan dan mendapat hasil berdasarkan pertimbangan situasi tertentu. Selanjutnya Jenkins (1978) mendefinisikan kebijakan publik sebagai berikut: A set of interrelated decisions taken by a political actor or group of actors concerning the
19
selection of goals and the means of achieving them within a specified situation where these decisions should, in principle, be within the power of these actors to achieve. Terkait hal tersebut maka kebijakan publik sangat berkaitan dengan administrasi negara ketika public actor mengkoordinasi seluruh kegiatan berkaitan dengan tugas dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat melalui berbagai kebijakan publik/umum untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan negara. Teori Kelembagaan Teori kelembagaan (institusionalisme) merupakan sebuah teori yang berangkat dari konsep-konsep dalam sosiologi yang menjelaskan bagaimana dinamika yang terjadi di dalam sebuah organisasi yang terdiri dari sekumpulan manusia. Sebuah studi tentang sistem sosial yang membatasi penggunaan dan pertukaran sumber daya langka, serta upaya untuk menjelaskan munculnya berbagai bentuk peraturan institusional yang masing-masing mengandung konsekwensi. Teori institusional telah berkembang dalam berbagai disiplin ilmu bahkan bersifat multi disiplin. Diantara kelompok disiplin ilmu yang memberikan kontribusi terhadap perkembangan teori institusional adalah ilmu ekonomi, ilmu politik dan sosiologi (Scott, 2001). Dalam kajian sosiologis, pengertian institusi mencakup aspek yang luas. Luasnya cakupan tersebut dapat dilihat dari definisi sebagaimana yang dikemukakan Scott (2001) yang meliputi; 1) institusi adalah struktur sosial yang memiliki tingkat ketahanan yang tinggi; 2) institusi terdiri dari kultur kognetif, normatif dan elemen regulatif yang berhubungan dengan sumber daya, memberikan stabilitas dan makna kehidupan sosial beroperasi; 3) institusi pada tingkat yurisdiksi dari sistem dunia sampai ke hubungan interpersonal; 4) institusi memiliki kestabilan, akan tetapi dapat berubah sesuai proses baik berkembang ke arah positif maupun negatif. Scott (2001) mengembangkan tiga pilar dalam tatanan sebuah kelembagaan, yaitu regulatif, normatif dan kognitif. Pilar regulatif menekankan kepada aturan dan penerapan sanksi, pilar normatif mengandung dimensi evaluatif dan kewajiban. Pilar kognitif melibatkan konsepsi bersama dan frame yang menepatkan pada pemahaman makna. Setiap pilar tersebut memberikan alasan yang berbeda dalam hal legitimasi, baik yang berdasarkan sanksi hukum, moral maupun dukungan budaya. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa institusi merupakan batasan sistem sosial yang dilingkupi oleh aturan formal maupun non formal sebagai pengontrol dan pengarah interaksi antar manusia dan aksesnya terhadap sumber daya. Dalam sebuah kajian kebijakan publik, diperlukan sebuah teori yang dapat menjelaskan serta membatasi bagaimana seharusnya organisasi publik berperilaku dalam hubungannya dengan pembuatan kebijakan publik yang dapat mencapai tujuan akhir. Teori kelembagaan telah memposisikan dirinya untuk membantu para penentu kebijakan dalam menjawab pertanyaan penting dalam menentukan kelembagaan yang sesuai dengan dasar-dasar kesamaan organisasi dan turunannya, hubungan antara struktur dan perilaku, peran simbol dalam kehidupan sosial, hubungan antara gagasan dan kepentingan, serta ketegangan antara kebebasan dan ketertiban. Dalam konteks politik ekologi maka penataan kelembagaan baik dalam skala makro, meso dan mikro harus dilakukan penataan secara bersama. Penataan dalam wilayah individu dilakukan melalui pendidikan serta kapasitas kognitif individu, sedangkan pada wilayah sistem sosial maka dilakukan penataan kelembagaan dan pada norma serta aturan-aturan yang berlaku (Dharmawan, 2007).
20
Sistem Utilitas Kawasan Dalam pembangunan kawasan atau revitalisasi kawasan yang memiliki konsep eko (green techno park), maka semua aspek di atas harus diselaraskan dengan kriteria dalam penentuan apakah suatu kawasan tersebut termasuk dalam kategori green atau tidak. Sederet prasyarat dalam pengembangan kawasan sudah disiapkan oleh Green Building Council Indonesia (GBCI) dalam rangka penilaian tersebut. Pencapaian penilaian green atau tidaknya suatu kawasan disebut dengan peringkat. Peringkat ini merupakan akumulasi nilai yang diperoleh suatu kawasan terhadap penilaian kriteria yang sudah ditetapkan berdasarkan 6 enam kategori. Adapun kenam kategori yang diterjemahkan ke dalam kriteria yang memiliki bobot dan nilai yang telah ditetapkan. Penilaian terhadap suatu kawasan bahwa kawasan tersebut memiliki predikat hijau maka utilitas dalam suatu kawasan harus memiliki kategori serta kriteria-kriteria sebagaimana Tabel 2 berikut: Tabel 2 Kriteria penilaian green building di Indonesia No Kategori 1 Peningkatan Ekologi Lahan
2
3
4
5
Pergerakan dan Konektivitas Manajemen dan Konservasi Air Manajemen Siklus Material Strategi Kesejahteraan Masyarakat
Kriteria Area dasar hijau Area hijau publik Pelestarian habitat Revitalisasi lahan Iklim mikro Pangan lokal Kajian dampak lalu lintas Konektivitas jaringan jalan Utilitas dan fasilitas umum Aksesibilitas universal Transportasi umum Jaringan dan fasilitas pedistrian Jaringan dan tempat penyimpanan sepeda Parkir lokal Perhitungan neraca air Pengolahan air limbah Sumber air alternatif Manajemen limpasan air hujan Pelestarian badan air dan lahan basah Manajemen limbahpadat-tahap oprasional Manajemen limbah padat tingkat lanjut Manajemen limbah konstruksi Material regional untuk infrastruktur jalan Material daur ulang untuk infrastruktur jalan Panduan lokal Keterlibatan GA/GP Pengembangan Bisnis Partisipasi masyarakat dalam perencanaan Pengembangan masyarakat Kebudayaan lokal Keamanan lingkungan Inovasi
21
6
Bangunan dan Infra Struktur
Bangunan hijau Greenship Hunian berimbang Kawasan campuran Efisiensi energi sistem pencahayaan
Sumber : Indonesia Green Building Council, 2013. Upaya-upaya dalam bentuk kebijakan maupun program telah dan terus dilakukan oleh pemerintah sebagai respon terhadap komitmen Indonesia untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Melalui Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penghematan Energi dan Air setiap instansi pemerintah pusat, pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara maupun Badan Usaha Milik Daerah diintruksikan untuk melakukan langkah-langkah strategis dalam melakukan penghematan energi dan air dengan tetap memperhatikan kebutuhan energi dan air. Adapun target yang ditetapkan adalah penghematan energi sebesar 20 persen serta 10 persen penghematan air dihitung dari ratarata penggunaan listrik dalam waktu enam bulan sebelum dikeluarkan instruksi. Oleh karena itu, sebagai implementasi instruksi presiden, konsep eko-inovasi yang mengimplementasikan pengelolaan ekologis merupakan upaya strategis. Pengelolaan Energi 1) Sistem refrigerasi dasar Sistem refrigerasi merupakan hal yang tidak asing lagi bagi orang-orang yang bergerak dalam bidang fisika teknik. Fluida yang mengalir dalam siklus ini biasa disebut refrigeran. Refrigeran adalah fluida kerja yang bersirkulasi dalam siklus refrigerasi. Refrigeran merupakan komponen terpenting siklus refrigerasi karena menimbulkan efek pendinginan dan pemanasan pada mesin refrigerasi. Refrigeran menyerap panas dari satu lokasi dan membuangnya ke lokasi yang lain, biasanya melalui mekanisme evaporasi dan kondensasi. Refrigerasi pada AC konsep dasarnya dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Sistem refrigerasi dasar pada AC( diadopsi dari machine-history.com)
22
Mula-mula kondenser menyebabkan fasa berubah dari gas menjadi cair jenuh akibat adanya pelepasan kalor ke lingkungan. Refrigeran masuk ke expansion valve, dan mengalami drop tekanan, fasanya berubah menjadi campuran cair dan gas. Expansion valve berfungsi untuk mengatur laju aliran. Lalu refrigeran masuk ke evaporator dan mengalami perubahan fasa dari campuran menjadi uap jenuh. Pada evaporator, terjadi perpindahan kalor dari objek yang didinginkan ke evaporator. Setelah itu, refrigeran masuk ke kompresor dan mengalami kenaikan tekanan, kemudian masuk ke kondenser dan siklus berulang. Pada penggunaan AC, umumnya input energi untuk siklus ini berupa energi listrik yang digunakan untuk menggerakkan kompresor mekanik. 2) Sistem solar thermal cooling (refrigerasi absorpsi) AC dengan tenaga surya menggunakan sistem solar thermal cooling, yaitu pendinginan ruangan dengan menggunakan panas matahari. Pada dasarnya tidak ada perbedaan yang mendasar antara refrigerator sistem solar thermal cooling yang dirubah menjadi energi listrik seperti pada Hukum Termodinamika I dengan sistem refrigerasi konvensional, kecuali pada bagaimana fluida dapat dinaikkan titik didihnya sehingga dapat mengembun (kondensasi) pada kondenser. Pada sistem biasa yang menggunakan input listrik, titik didih ini dicapai dengan menggunakan kompresi mekanik. Pada sistem pendingin yang menggunakan energi matahari, titik didih ini dicapai dengan kompresi thermal (Kartika, 2012, Akbar, 2014). Penggantian kompresor pada sistem refrigerasi konvensional, digunakan tiga komponen di dalam siklus absorpsi, yaitu absorber, pompa, dan generator. Absorber berfungsi untuk menyerap uap refrigeran ke dalam absorben, sehingga keduanya bercampur menjadi larutan. Fluida yang digunakan adalah air dengan LiBr (Lithium Bromida). Air dan LiBr digunakan karena memenuhi kriteria fluida kerja (campuran antara refrigeran dan absorben), yaitu: 1. Perbedaan titik didih antara refrigeran dan larutan pada tekanan yang sama besar. 2. Refrigeran memiliki panas penguapan yang tinggi dan konsentrasi yang tinggi di dalam absorben, untuk menekan laju sirkulasi larutan diantara absorber dan generator per-satuan kapasitas pendinginan. 3. Memiliki sifat-sifat transport, seperti viskositas, konduktivitas termal, dan koefisien difusi yang baik sehingga dapat menghasilkan perpindahan panas dan massa yang juga baik. 4. Baik refrigeran dan absorbennya bersifat non-korosif, ramah lingkungan, dan murah. Kriteria lainnya stabil secara kimiawi, tidak beracun, tidak mudah terbakar, dan tidak mudah meledak. Dalam sistem solar thermal cooling, air berfungsi sebagai refrigeran, sedangkan LiBr sebagai absorben. Pada sistem ini, fluida bersuhu dan bertekanan rendah memasuki evaporator lalu menguap karena adanya kalor dari lingkungan yang masuk ke evaporator. Lalu fluida berubah fasa dari cair menjadi gas. Kemudian gas memasuki absorber yang memiliki larutan yang rendah kadar airnya. Larutan ini menyerap refrigeran dan bertambah kadar airnya. Karena reaksi di dalam absorber adalah eksoterm (mengeluarkan panas), maka perlu dilakukan proses pembuangan panas dari absorber. Tanpa dilakukannya proses pembuangan panas, maka kelarutan uap refrigeran ke dalam absorben akan rendah. Selanjutnya larutan dipompa ke generator. Daya pompa yang diperlukan sangat kecil, sehingga dalam perhitungan COP siklus absorpsi, daya ini biasanya diabaikan. Di generator, kalor disuplai dengan energi panas matahari, sehingga refrigeran (titik didih lebih rendah) menguap dan absorber (titik didih lebih rendah) dialirkan ke absorber. Uap dengan tekanan tinggi masuk ke kondenser lalu mengalami perubahan fasa menjadi cair, sehingga kalor dilepas ke lingkungan.
23
Cairan masuk ke expansion valve lalu mengalami drop tekanan, kemudian, masuk ke evaporator sehingga siklus terus berulang. Pada proses ini, input energi panas matahari pada generator menggantikan input energi listrik pada kompresor. Penyerapan panas terjadi pada evaporator, sama dengan sistem konvensional dan pembuangan panas terjadi pada absorber dan kondenser. Dengan menggunakan sistem ini, energi listrik yang mahal dapat digantikan oleh panas matahari menggunakan proses kompresi. Jika panas matahari sedang tidak mencukupi dapat dibackup juga dengan pemanas gas. Menurut Eicker dan Pietruschka (2008) dalam “Optimisation and Economics of Solar Cooling Systems” telah menghitung Biaya dengan AC solar cell untuk setiap cooling power /KW yang disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3 Biaya yang diperlukan setiap cooling power (Sumber: Eicker dan Pietruschka, 2008)
Pendekatan Sistem Pendekatan sistem adalah pendekatan terpadu yang memandang suatu objek atau masalah yang kompleks dan bersifat interdisiplin sebagai bagian dari suatu sistem. Pendekatan sistem mencoba menggali elemen-elemen terpenting yang memiliki kontribusi signifikan terhadap tujuan sistem. Gagasannya adalah suatu paham sinergi, yakni jumlah bagian-bagian yang diintegrasikan lebih besar dari jumlah bagian secara terpisah. Dengan kata lain, hasil suatu sistem secara keseluruhan dapat ditingkatkan bila bagian-bagian komponennya dapat diintegrasikan. Gagasan lain adalah adanya hubungan timbal balik antar bagian atau sub sistem (komunikasi), hirarki bagian-bagian sistem, umpan balik, kontrol, batasan, dan lingkungan sistem (Simatupang 1995; Eriyatno 1999; Buede 2009; Stair et al. 2010). Metode sistem pada prinsipnya melalui enam tahap analisis sebelum tahap sintesa (rekayasa), meliputi: (1) analisis kebutuhan, (2) identifikasi sistem, (3) formulasi masalah, (4) pembentukan alternatif sistem, (5) determinasi dari realisasi fisik, sosial dan politik, (6) penentuan kelayakan ekonomi dan keuangan (Eriyatno, 1999; Buede 2009). Pendekatan sistem dicirikan oleh adanya suatu metodologi perencanaan atau pengelolaan, bersifat multi disiplin terorganisir, adanya penggunaan model matematik, berpikir secara kualitatif, optimasi serta dapat diaplikasikan dengan komputer. Pendekatan sistem menggunakan abstraksi keadaan nyata ataupun penyederhanaan sistem nyata untuk pengkajian suatu masalah . Menurut Simatupang (1995); Eriyatno (1999) dan Hadiguna (2009) ada beberapa alasan mengapa perlu melakukan pendekatan sistem dalam mengkaji suatu permasalahan, yaitu: 1) memastikan bahwa pandangan yang menyeluruh telah dilakukan, 2) mencegah analis menyajikan secara dini definisi masalah yang spesifik, 3) mencegah analis
24
menerapkan secara dini model tertentu, 4) agar lingkungan masalah didefinisikan secara luas sehingga berbagai kebutuhan yang relevan dapat dikenali. Pada penelitian ini, pengembangan kebijakaneko-inovasimerupakan proses yang berorientasi jangka panjang serta memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi. Kompleksitas ini menyangkut: 1) berbagai tujuan dan kepentingan yang dapat saling bertentangan, 2) faktor dan kriteria yang tidak seluruhnya dapat dinyatakan secara kuantitatif-numerik, akan tetapi bersifat kualitatif dan bahkan fuzzy, dan 3) berada pada lingkungan yang dinamis. Selain itu pengembangan kebijakan eko-inovasi juga merupakan sistem yang memiliki banyak ketidakpastian, dengan demikian dalam pengembangan kebijakan eko-inovasi perlu dilakukan pendekatan sistem, sehingga diperoleh penyelesaian yang utuh dan komprehensif. Sistem didefinisikan sebagai keseluruhan interaksi antar unsur dari sebuah obyek dalam batas lingkungan tertentu yang bekerja mencapai tujuan. Pengertian keseluruhan adalah lebih dari sekedar penjumlahan atau susunan, yaitu terletak pada kekuatan yang dihasilkan oleh keseluruhan itu jauh lebih besar dari suatu penjumlahan atau susunan. Sistem adalah seperangkat elemen yang saling berinteraksi, membentuk kegiatan atau suatu prosedur yang mencari pencapaian tujuan atau tujuan-tujuan bersama dengan mengoperasikan data dan/atau barang pada waktu rujukan tertentu untuk menghasilkan informasi dan/atau energi dan/atau barang. Sistem merupakan totalitas himpunan hubungan yang mempunyai struktur dalam nilai posisional serta matra dimensional terutama demensi ruang dan waktu. Syarat awal untuk memulai berpikir sistemik adalah adanya kesadaran untuk mengapresiasikan dan memikirkan suatu kejadian sebagai sebuah sistem (systemic approach). Kejadian apapun baik fisik maupun non fisik, dipikirkan sebagai unjuk kerja atau dapat berkaitan dengan unjuk kerja dari keseluruhan interaksi antar unsur sistem tersebut dalam batas lingkungan tertentu. Sistem dibagi kedalam tiga bagian yaitu input, proses dan output yang dikelilingi oleh lingkungannya yang seringkali termasuk mekanisme umpan balik. Manusia sebagai pengambil keputusan adalah merupakan bagian dari sistem tersebut (Turban 1993). Menurut Eriyatno (1999) yang dimaksud dengan pendekatan sistem adalah merupakan cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhan-kebutuhan sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif. Dalam pendekatan sistem umumnya ditandai oleh dua hal yaitu: 1. Mencari semua faktor penting yang ada dalam mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah. 2. Dibuat suatu model kuantitatif untuk membantu keputusan secara rasional. Suatu pendekatan sistem dapat bekerja secara sempurna jika mempunyai delapan unsur yaitu: (1) metodologi untuk perencanaan dan pengelolaan, (2) suatu tim yang multidisipliner, (3) pengorganisasian, (4) disiplin untuk bidang non kuantitatif, (5) teknik model matematik, (6) teknik simulasi, (7) teknik optimasi, (8) aplikasi komputer. Multidimensi adalah salah satu prinsip terpenting cara berpikir secara sistemik (Gharajedaghi 1999). Dengan mempertimbangkan berbagai kendala Eriyatno (1999) menyimpulkan ada tiga karakteristik dalam pendekatan sistem yaitu: 1. Kompleks, dimana interaksi antara elemen cukup rumit. 2. Dinamis, dalam arti faktornya ada yang berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan. 3. Probabilistik yaitu diperlukan fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi.
25
Metode untuk penyelesaian persoalan yang dilakukan dengan pendekatan sitem terdiri dari beberapa tahap. Tahapan tersebut meliputi analisis sistem, rekayasa model, rancangan implementasi sistem dan operasi sistem. Setiap tahap dalam proses tersebut diikuti oleh evaluasi berulang untuk mengetahui apakah hasil dari tahapan tersebut telah sesuai dengan yang diharapkan. Bila telah sesuai, dilanjutkan pada tahap berikutnya, bila tidak kembali pada proses tahapan tersebut. Model dan Pemodelan Sistem Model adalah sebagai suatu representasi atau abstraksi dari suatu sistem atau dunia nyata (Turban 1993; Simatupang 1994; Suryadi et al. 2000). Sistem nyata adalah sistem yang sedang berlangsung dalam kehidupan atau sistem yang dijadikan titik perhatian dan dipermasalahkan. Melakukan eksperimen langsung pada sistem nyata untuk memahami bagaimana perilakunya dalam beberapa kondisi mungkin saja dilakukan. Namun pada kenyataannya, kebanyakan sistem nyata itu terlalu kompleks atau masih dalam bentuk hipotesis atau tidak mungkin dapat dilakukan eksperimen secara langsung. Kendala ini yang menjadi alasan bagi analis untuk membuat model. Alasan lain adalah bahwa model merupakan representasi yang ideal dari suatu sistem untuk menjelaskan perilaku sistem. Repesentasi ideal berarti hanya menampilkan elemen-elemen terpenting dari suatu persoalan sistem nyata, sehingga memungkinkan analis untuk mengkaji dan melakukan eksperimen atau manipulasi suatu situasi yang rumit sampai pada tingkat keadaan tertentu yang tidak mungkin dilakukan pada sistem nyatanya. Model yang dibuat harus memiliki kegunaan, sederhana dan mewakili persoalan. Kegunaan model bisa dipandang secara akademik dan manajerial. Model dari segi akademik berguna untuk menjelaskan fenomena atau objek-objek. Di sini model berfungsi sebagai pengganti teori, namun bila teorinya sudah ada maka model dipakai sebagai konfirmasi atau koreksi terhadap teori tersebut. Model dari segi manajerial berfungsi sebagai alat pengambil keputusan, komunikasi, belajar dan memecahkan masalah. Model pada dasarnya terdiri dari tiga komponen dasar yakni meliputi: (1) decision variables, (2) uncontrollable variables (dan/atau parameter), (3) result (outcome) variables. Komponen-komponen tersebut dihubungkan dengan hubungan matematik, pada model non kuantitatif hubungannya menggunakan simbol atau kualitatif (Turban 1993). Model dapat diklasifikasikan kedalam dua bentuk besar yaitu model fisik dan model matematik, baik model fisik maupun model matematik dapat dibagi lagi menjadi model statis dan model dinamis (Suryadi et al. 2000). Simatupang (1994) mengklasifikasikan model kedalam klas yang lebih spesifik berdasarkan: (1) fungsi, (2) struktur, (3) acuan waktu, (4) acuan tingkat ketidakpastian, (5) derajat generalisasi, (6) acuan lingkungan, (7) derajat kuantifikasi dan (8) demensi. Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi untuk memodelkan suatu sistem, antara lain: (1) model harus mewakili (merepresentasikan) sistem nyatanya dan (2) model merupakan penyederhanaan dari kompleksnya sistem, sehingga diperbolehkan adanya penyimpangan pada batas-batas tertentu (Simatupang 1994). Model tidak hanya digunakan untuk menggambarkan sekumpulan pemikiran, tetapi juga mengadakan evaluasi dan meramalkan kelakuan sistem, sehingga akan didapatkan perancangan terbaik tanpa membutuhkan konstruksi seluruh kenyataan alamiah. Suryadi dan Ramdhani (2000) menyebutkan bahwa secara umum model digunakan untuk memberikan gambaran (description), memberikan penjelasan (prescriotion), dan memberikan perkiraan (prediction) dari realitas yang diselidiki.
26
Menurut Turban (1993) proses pemodelan terdiri dari tiga fase utama yakni meliputi: fase intelligence, fase desain dan fase pemilihan. Konsep formulasi model merupakan suatu upaya membangun model formal yang menunjukkan ukuran performansi sistem sebagai fungsi dari variabel-variabel model. Secara garis besar langkah-langkah konsep formulasi model diawali dengan pemahaman terhadap sistem, dan dengan sistem yang dibangun, disusun model konseptual, variabel-vaariabel model dan formulasi model. Simatupang (1994) mengatakan formulasi model adalah suatu upaya untuk menghasilkan model yang berisikan variabel, kendala serta tujuan-tujuannya dalam bentuk istilah matematis sehingga dapat diidentifikasi dengan jelas, mengikuti penyederhanaan matematis serta siap untuk dimanfaatkan untuk kalkulasi dengan substitusi kuantitas bagi lambang-lambang. Dengan kata lain formulasi model adalah merumuskan masalah yang dihadapi ke dalam bentuk model maatematis yang dapat mewakili sistem nyata. Formulasi model menghubungkan variabel-variabel yang telah diidentifikasi dalam model konseptual dengan bahasa simbolik. Formulasi model merupakan suatu bentuk pernyataan hipotesis dalam pemodelan. Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap masalah, dalam bahasa model, ia sering dinyatakan dalam suatu ungkapan bahwa suatu variabel merupakan fungsi dari variabelvariabel lain. Pengujian terhadap hipotesis ini dilakukan pada tahap verifikasi, parameterisasi dan validasi model. Sistem Manajemen Ahli Para pengambil keputusan sering dihadapkan pada tantangan baik internal dan eksternal yang semakin komplek. Semakin banyaknya informasi pada satu sisi memberikan keuntungan dalam membantu pengambilan keputusan, namun pada sisi lain juga akan semakin menambah komplek permasalahan. Sistem penunjang keputusan (SPK) merupakan alat yang membantu efektifitas pengambilan keputusan yang semakin komplek tersebut. SPK adalah konsep spesifik sistem yang menghubungkan komputerisasi informasi dengan para pengambil keputusan sebagai pemakainya (Eriyatno 1999). Sistem penunjang keputusan merupakan integrasi dari tiga komponen utama yaitu: sistem manajemen basis data, sistem manajemen basis model dan sistem manajemen dialog. Sistem manajemen dialog adalah subsistem yang berkomunikasi dengan pengguna. Tugas utamanya adalah menerima input dan memberikan output yang dikehendaki pengguna. Pada perkembangan selanjutnya SPK ini dapat diintegrasikan dengan sistem pakar yang disebut dengan sistem manajemen ahli. Integrasi tersebut dapat berupa memasukkan sistem pakar ke dalam komponen-komponen sistem penunjang keputusan atau dengan membuat sistem pakar sebagai sistem terpisah dari sistem penunjang keputusan. Integrasi sistem pakar ke dalam sistem penunjang keputusan dapat dilakukan pada sistem manajemen basis data, sistem manajemen basis model, sistem manajemen dialog serta pada rekayasa sistem dan pengguna (Turban 1993). Sistem pakar atau sistem berbasis pengetahuan kecerdasan (intelligent knowledge based system) merupakan salah satu bagian kecerdasan buatan yang memungkinkan komputer dapat berpikir dan mengambil kesimpulan dari sekumpulan aturan. Proses tersebut seorang pengguna dapat berkomunikasi secara interaktif dengan komputer untuk memecahkan suatu persoalan atau seolah-olah pengguna berhadapan dengan seorang ahli dengan masalah tersebut (Marimin 2005).
27
Menurut Marimin (2005) sistem pakar terdiri dari dua bagian utama, yaitu bagian pengembangan dan konsultasi. Bagian pengembangan sistem pakar digunakan oleh penyusunnya untuk memasukkan pengetahuan dasar ke dalam lingkungan sistem informasi, sedangkan bagian konsultasi digunakan oleh pemakai untuk mendapatkan pengetahuan ahli serta saran, nasehat maupun justifikasi. Keterkaitan antar komponen tersebut disajikan pada Gambar 4.
Pengguna
Penghubung nasehat
Pakar fakta fakta
aturan
Akuisis ilmu model pengetahuan
justifikasi
Sistem berbasis pengetahuan
aturan model
Dangkal Mendalam
konsultasi fakta
Mekanisme inferensi
aturan
Strategi penalaran
model
Strategi pengendalian
Statis Dinamis Fasilitas penjelasan
Gambar 4 Struktur dasar sistem pakar (Marimin 2005) Pada prinsipnya sistem pakar tersusun dari beberapa komponen yang mencakup: (1) fasilitas akuisis pengetahuan, (2) sistem berbasis pengetahuan (knowledge based system), (3) mesin inferensi (inference engine), (4) fasilitas untuk penjelasan dan justifikasi dan (5) penghubung antara pengguna dan sistem pakar (user interface). Tiap bagian mempunyai hubungan yang erat dengan bagian lainnya.
Proses Hirarki Analitik (Analytical Hierarchy Process) Sumber kerumitan masalah keputusan bukan hanya ketidakpastian atau ketidaksempurnaan informasi, penyebab lain adalah banyaknya faktor yang berpengaruh terhadap pilihan-pilihan yang ada, beragamnya kriteria pilihan dan pengambil keputusan lebih dari satu. Jika sumber kerumitan itu adalah beragamnya kriteria maka maka analytical hierarchy process (AHP) merupakan teknik untuk menyelesaikan masalah ini (Mulyono 1996). Proses hirarki analitik ini memungkinkan untuk mengambil keputusan yang efektif atas persoalan kompleks dengan jalan menyederhanakan dan mempercepat proses pengambilan keputusan. Pada dasarnya metode ini adalah memecahkan situasi yang kompleks, tak terstruktur kedalam bagian-bagian komponennya, menata bagian atau variabel ini dalam suatu susunan hirarki, memberi nilai numerik pada pertimbangan
28
subyektif tentang tentang relatif pentingnya setiap variabel dan mensintesis berbagai pertimbangan untuk menetapkan variabel mana yang memiliki prioritas yang paling tinggi dan bertindak mempengaruhi hasil pada situasi tersebut (Saaty 1993). AHP mempunyai banyak keunggulan dalam menjelaskan proses pengambilan keputusan, karena dapat digambarkan secara grafis, sehingga mudah dipahami oleh semua pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan. Proses keputusan kompleks dapat diuraikan menjadi keputusan lebih kecil yang dapat ditangani dengan mudah dengan AHP. Selain itu AHP juga menguji konsistensi penilai, bila terjadi penyimpangan yang terlalu jauh dari nilai konsistensi sempurna, maka hal ini menunjukkan bahwa penilaian perlu diperbaiki atau hirarki harus distruktur ulang ( Marimin 2004). Ada beberapa prinsip yang harus dipahami dalam menyelesaikan persoalan AHP antara lain adalah : decomposition, comparative judgement, synthesis of priority, dan logical consistency ( Mulyono 1996). 1. Decomposition yaitu memecahkan persoalan menjadi unsur-unsurnya. Jika ingin mendapatkan hasil yang akurat maka pemecahan dilakukan terhadap unsur-unsurnya sampai tidak mungkin dilakukan pemecahan lebih lanjut, sehingga didapatkan tingkatan dari persoalan tadi. 2. Comparative judgement berarti membuat penilaian tentang kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya tingkat diatasnya. Penilaian ini merupakan inti dari AHP karena akan berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemen. Hasil dari penilaian ini akan lebih baik bila disajikan dalam bentuk matrik yang dinamakan matrik pairwise comparison. 3. Synthesis of priority, dari setiap matrik pairwise comparison kemudian dicari eigenvectornya untuk mendapat local priority harus dilakukan sintesa diantara local priority. 4. Logical consistency, konsistensi mempunyai dua makna pertama adalah bahwa obyekobyek yang serupa dapat dikelompokkan sesuai dengan keseragaman dan relevansi dan arti yang kedua adalah menyangkut tingkat hubungan antara obyek-obyek yang didasarkan pada kriteria tertentu. Interpretive Structural Modelling (ISM) ISM merupakan proses pengkajian kelompok (group learning process) di mana model-model struktural dihasilkan guna memotret perihal yang kompleks dari suatu sistem, melalui pola yang dirancang secara seksama dengan mengunakan grafis serta kalimat. Teknik ISM merupakan salah satu teknik permodelan sistem untuk menangani kebiasaan yang sulit diubah dari perencanaan jangka panjang yang sering menentukan secara langsung teknik penelitian operasional atau aplikasi statistik deskriptif (Marimin 2004). ISM adalah salah satu metodologi berbasis komputer yang membantu kelompok mengidentifikasi hubungan antara ide dan struktur tetap pada isu yang kompleks. ISM dapat digunakan untuk mengembangkan beberapa tipe struktur, termasuk struktur pengaruh, struktur prioritas, dan kategori ide (Kanungo dan Bhatnagar 2002). ISM merupakan sebuah metodologi yang interaktif dan diimplementasikan dalam sebuah wadah kelompok. Metodologinya tersebut memberikan lingkungan yang sangat sempurna untuk memperkaya dan memperluas pandangan dalam konstruksi yang cukup kompleks. ISM menganalisis elemen-elemen sistem dan memecahkannya dalam bentuk grafik dari hubungan langsung antar elemen dan tingkat hierarki. Elemen-elemen dapat merupakan tujuan kebijakan, target organisasi, faktor - faktor penilaian, dan lain-lainnya. Hubungan langsung dapat dalam konteks-konteks yang beragam (berkaitan dengan hubungan konstekstual) (Marimin 2004).
29
Pada penelitian ini, ISM digunakan untuk merancang kebijakan strategis. Langkahlangkah dalam ISM adalah identifikasi elemen, hubungan kontekstual (tergantung pada tujuan dari pemodelan). Selanjutnya adalah matriks internal tunggal terstruktur (Structur Self Interaction Matrix/SSIM), matriks ini mewakili elemen persepsi responden terhadap elemen hubungan yang dituju. Selanjutnya, Reachability Matrix (RM) dipersiapkan kemudian mengubah simbol-simbol SSIM kedalam sebuah matriks biner. Eriyatno (1999) menyatakan bahwa metodologi dan teknik ISM dibagi menjadi dua bagian, yaitu penyusunan hierarki dan klasifikasi subelemen. Prinsip dasarnya adalah identifikasi dari struktur di dalam suatu sistem yang memberikan nilai manfaat yang tinggi guna meramu sistem secara efektif dan untuk pengambilan keputusan yang lebih baik. Struktur dari suatu sistem yang berjenjang diperlukan untuk lebih menjelaskan pemahaman tentang perihal yang dikaji. Menentukan tingkat jenjang mempunyai banyak pendekatan diamana ada lima kriteria. Pertama, kekuatan pengikat dalam dan antar kelompok atau tingkat. Kedua, frekuensi relatif dari oksilasi (guncangan) di mana tingkat yang lebih rendah lebih cepat terguncang dari yang di atas. Ketiga, konteks pada tingkat yang lebih tinggi beroperasi pada jangka waktu yang lebih lambat daripada ruang yang lebih luas. Keempat, liputan pada tingkat yang lebih tinggi mencakup tingkat yang lebih rendah. Kelima, hubungan fungsional, pada tingkat yang lebih tinggi mempunyai peubah lambat yang mempengaruhi peubah cepat tingkat di bawahnya
Verifikasi dan Validasi Model Verifikasi dan validasi model merupakan bagian penting dari setiap analisis yang bersifat empirik (Mihram 1972). McCarl dan Apland (1986) menekankan bahwa suatu model akan dapat digunakan dengan keyakinan bila model yang dikembangkan cukup mewakili dari permasalahan atau sistem yang dianalisis. Tingkat keyakinan yang obyektif akan dapat diperoleh bila model yang dikembangkan sudah melalui proses verifikasi dan validasi. Pada kondisi tersebut, kelemahan dan kelebihan model akan dapat diidentifikasi sehingga model dapat digunakan secara lebih seksama (McCarl dan Apland 1986). Walaupun verifikasi dan validasi model dinilai bagian yang penting dalam proses pengembangan model, penerapannya masih sangat terbatas (Gass 1983 dan McCarl et al. 1986). Kenyataan yang sering ditemui adalah bahwa para penyusun model sering bersusah payah dalam mengembangkan model namun kurang memberi perhatian pada masalah verifikasi dan validasi (Gass 1983). Padahal hasil verifikasi dan validasi sering memberi umpan balik yang sangat penting pada penyusunan model. Ada beberapa faktor yang menyebabkan penerapan verifikasi dan validasi model masih terbatas (Mihram 1972, McCarl et al. 1986). Pertama, masih banyak para penyusun model yang belum menyadari manfaat verifikasi dan validasi model. Mereka biasanya baru menyadari setelah mereka mendapatkan nilai atau tanda dari suatu parameter yang berlawanan dengan yang diharapkan. Faktor kedua adalah adanya keengganan dari beberapa penyusun model untuk melakukan verifikasi dan validasi. Disamping proses ini sering memakan waktu lama, validasi khususnya sering menunjukkan demikian banyaknya kelemahan model yang divalidasi. Dengan demikian, penyusun model diharapkan memperbaiki model tersebut. Kenyataan ini sering mengintimidasi penyusun model untuk tidak melakukan validasi model terutama bila cara memperbaiki model belum ditemukan atau laporan mengenai model tersebut harus segera diselesasikan. Faktor ketiga yang tidak kalah pentingnya adalah keterbatasan metode-metode untuk melakukan validasi model. Keterbatasan tersebut terutama akan sangat kentara untuk model-model matematik atau model pemrograman. Sebagai teladan, penggunaan perencanaan linier yang sudah demikian
30
meluas belum diiringi metode validasi yang memadai (McCarl et al. 1986). Sampai saat ini, metode validasi yang sudah agak berkembang adalah untuk model-model ekonometrik dan simulasi. Chattergy dan Pooch (1977) menyebutkan bahwa verifikasi model berkaitan dengan kesesuaian antara model konsepsional (conceptual model) dengan model matematik (mathematic model). Validasi model berkaitan dengan kesesuaian antara keluaran dari model matematik dengan keluaran dari sistem yang sebenarnya. Perbedaan ini diilustrasikan pada Gambar 5.
Gambar 5 Proses penyusunan model( dimodifikasi dari Chattergy dan Pooch,1977 didalam Susila , 1991 Seperti terlihat pada Gambar 5, verifikasi model seharusnya mendahului validasi model. Verifikasi model dimaksudkan untuk meyakinkan bahwa model matematik yang dikembangkan bertingkah laku seperti diinginkan oleh penyusun modelnya (Mihram 1972, Chattergy dan Pooch 1977). Dengan demikian perkataan, verifikasi dimaksudkan untuk memeriksa apakah model kosepsional sudah dapat diterjemahkan oleh model matematiknya. Validasi model pada dasarnya dimaksudkan untuk memeriksa kesesuaian antara tingkah laku model matematik dengan tingkah laku sistem yang diwakili. Sebagai teladan, jika model yang dikembangkan adalah ekspor karet Indonesia, maka model validasi dimaksudkan untuk melihat kesesuaian model matematiknya dengan kenyataan yang sebenarnya dari ekspor karet Indonesia. Banyak parameter yang bisa dipakai untuk melihat tingkat kesesuaian tersebut seperti kecenderungan harga dan produksi antara yang diramalkan oleh model matematikanya dengan kenyataan yang ada. Verifikasi Model Secara umum, verifikasi model dapat dilakukan melalui pemeriksaan secara sederhana atau penggunaan uji statistik. Chattergy dan Pooch (1977) memperkenalkan beberapa pemeriksaan sederhana seperti pemeriksaan aliran logika dari suatu submodel ke submodel berikutnya, data mentah dan file data. Secara prinsip, pemeriksaan ini bermaksud mencari kekeliruan dalam program baik yang bersifat logika maupun kesalahan editorial. Mengingat pesatnya perkembangan perangkat lunak, kesalahan-kesalahan yang berkaitan dengan verifikasi model dapat diminimasi. Banyak paket program yang tidak perlu lagi dimodifikasi sehingga yang menggunakan Paket tersebut hanya bertugas memasukkan data. Kesalahan logika program akan dibuat minimum sehingga perhatian
31
hanya dipusatkan pada pemeriksaan data. Hal ini yang menyebabkan verifikasi model menjadi relatif kurang mendapat perhatian bila dibandingkan dengan validasi model. Validasi model Naylor et al. (1967) dan Gass (1983) menekankan bahwa tujuan dari validasi model bukanlah untuk membuktikan suatu model adalah sah (valid) karena hal ini tidak mungkin dilakukan. Validasi model pada dasarnya dimaksudkan untuk memperbaiki tingkat keyakinan bahwa berdasarkan kondisi yang diasumsikan, model yang dikembangkan dapat mewakili sistem yang sebenarnya (Mc Carl et al. 1986). McCarl et al. (1986) membagi validasi model menjadi dua tahapan yaitu validasi penyusunan (validation by construct) dan validasi hasil (validation by result). Validasi penyusunan terutama dimaksudkan untuk menilai keabsahan teori dan asumsi-asumsi yang digunakan, serta metode pengukuran dan pengumpulan data. Dilain pihak, validasi hasil dimaksudkan untuk menilai kesesuaian antara keluaran dari model dan keluaran dari sistem yang sebenarnya. Secara prinsip, validasi penyusunan merupakan suatu persyaratan sebelum melakukan validasi hasil. Sebelum validasi penyusunan menunjukkan hasil yang memuaskan, validasi hasil hendaknya belum dilakukan. Harus dicatat pula bahwa dalam validasi penyusunan, pengetesan mengenai keabsahan teori ataupun asumsi tidaklah dapat dilaksanakan. Keabsahan suatu teori atau asumsi didasarkan pada banyaknya faktor yang mendukung, bukan karena dibuktikan atau diuji (McCarl et al. 1986). Verifikasi dan validasi model yang dilakukan tidak dapat dihindarkan dari unsur subyektivitas, McCarl et al. (1986) menekankan bahwa verifikasi dan validasi yang dilakukan secara sistematis akan memberikan umpan balik untuk perbaikan model tersebut. Disamping itu, kegiatan tersebut juga memberikan kesempatan kepada pembuata model untuk melihat sifat-sifat dari model yang dikembangkan. Pemahaman sifat-sifat tersebut, baik kelemahan maupun kekuatannya, akan menuntun para pembuat model untuk menggunakan secara arif dan luwes. Menurut Suryadi et al. (2000) dalam pemodelan harus diperhatikan validitas model, yaitu bagaimana kemampuan model untuk mewakili dunia nyata. Validitas diukur dengan melihat tingkat kesamaan antar data sistem nyata dengan data yang dibangkitkan model. Validitas memiliki beberapa tingkatan, yaitu: 1. Replicaticely valid, data yang dibangkitkan sama dengan data yang sudah ada dari sistem nyata. 2. Predictively valid, data yang dibangkitkan diperkirakan atau terlihat sama dengan data yang belum diambil dari dunia nyata. 3. Structurally valid, model tersebut benar-benar menunjukkan pola tingkah laku sistem nyata. Langkah yang dapat dilakukan untuk mengetahui validitas model yang dirancang, yaitu melakukan perunutan secara terstruktur (walk trough) terhadap model yang dibuat dan berkonsultasi dengan ahli yang terkait dengan sistem yang dimodelkan. Hal lain yang perlu diperhatikan selama perunutan (1) asumsi-asumsi yang digunakan dalam model, (2) tingkat keakuratan model yang diinginkan. Uji coba program dilakukan untuk melakukan validasi. Cara yang dapat dilakukan untuk melaksanakan validasi program adalah: 1) Menggunakan analisis sensitivitas untuk mengetahui aspek yang berpengaruh berdasarkan kriteria performansi yang telah ditentukan. 2) Membandingkan hasil simulasi dengan performansi di masa lalu (data historis). Jika hasil performansi tidak berbeda secara signifikan (berarti) maka model simulasi dikatakan valid.
32
Kajian Penelitian Terdahulu Penelitian penelitian terdahulu yang dipandang relevan dengan pengembangan kebijakan eko-inovasi (Studi Kasus Kawasan Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Kota Tangerang Selatan) dapat dijadikan rujukan dalam penelitian ini. Pendekatan yang diterapkan untuk mengembangkan sebuah kawasan eko-inovasi yang sangat beragam, yang meliputi aspek budaya, kelembagaan kerangka politik yang mempengaruhi tindakan dimulai di berbagai negara atau daerah (Boons et al. 2009). Beberapa kawasan fokus hanya pada aktivitas tunggal seperti pengelolaan sampah sementara yang lain mencoba untuk klaster dan berinteraksi dalam rangka untuk lebih dekat dengan materi siklus dan aliran energi. Sebuah studi yang dilakukan oleh University of Patras, Yunani, menganalisis 33 kawasan eko-industri menunjukkan bahwa tujuh puluh persen dari kasus yang diteliti menggunakan istilah kawasan eko-industri karena dibangunnya kawasan hijau serta kerjasama dengan ilmu lingkungan dan teknologi. Sedangkan proses kerjasama untuk pertukaran aliran energi dan materi sebagai sebuah kawasan tidak terjadi( Adamides et al. 2009) Survei internasional tentang eko-inovasi kawasan yang berkaitan dengan Pelajaran dari pengalaman mengenai spasial dimensi eko-inovasi oleh Era-NET ECO-INNOVERA (2012) menyimpulkan bahwa eko-inovasiyang dikembangkan oleh negara-negara secara umum berkaitan dengan pengelolaan energi, limbah dan air. Kesimpulan dari studi ini menyatakan bahwa eko-inovasi harus dipertimbangkan pada masing-masing dari enam tahap siklus hidup dari sebuah kawasan: 1. Pengembangan ide untuk menciptakan kawasan baru 2. Pemilihan lokasi untuk pengembangan kawasan baru 3. Organisasi spasial dari kegiatan ekonomi dalam batas-batas kawasan (pengelompokan dibandingkan keragaman, nilai tambah proximities) 4. Pengembangan plot dan peralatan 5. Operasi 6. Rekualifikasi daerah deindustrialisasi . Sebagai pendekatan baru dalam mengatasi kerusakan lingkungan dan upaya mempertahankan keberlanjutan ekosistem studi yang berkaitan dengan kebijakan ekoinovasi belum banyak dilakukan. Renning (1998) menyimpulkan bahwa ada 3(tiga) kekhususan yang diidentifikasi dalam eko-inovasi meliputi; 1) permasalahan ganda eksternal; 2) Efek dari tarik menarik aturan dan; 3) Meningkatnya potensi dari sosial dan kelembagaan inovasi. Oleh karena itu, dalam pengembangan eko-inovasi diperlukan adanya sinergi antara kebijakan inovasi dan kebijakan lingkungan. Adapun yang menjadi faktor krusial dan penting adalah dalam hal meningkatkan arti pentingnya aspek sosial dan kelembagaan inovasi. Badriyah (2010) bahwa tingkat urbanisasi di Kabupaten Bandung mengakibatkan fenomena palau bahang. Fenomena tersebut diakibatkan oleh tingkat emisi CO2 dan pembangunan yang tinggi sehingga mengakibatkan suhu udara di pusat kota lebih tinggi dengan pedesaan yang mencapai 7oC. model kota hijau dapat menurunkan tingkat emisi CO2 dengan menurunkan beberapa parameter yakni laju pertumbuhan penduduk menjadi 1%, kendaraan bermotor roda empat menjadi 2%/tahun; kendaraan roda dua menjadi 10%/tahun; dan menurunkan laju pembangunan menjadi 4%/tahun; meningkatkan laju penambahan ruang terbuka hijau menjadi 100 ha per tahun, serta penurunan jumlah industri menjadi 0%/tahun. Model kota hijau dapat memperthankan suhu udara < 30oC hingga tahun 2046. Pembentukan ruang terbuka hijau minimal 30% dapat menurunkan fenomena pulau bahang kota sehingga terjadi penurunan suhu udara yang lebih efektif yakni sebesar 6,3oC.
33
Fatimah (2012) meneliti mengenai rancang bangun sistem pengelolaan ruang terbuka hijau untuk pembangunan kota hijau. Penelitian ini membuktikan bahwa terjadinya perubahan penggunaan lahan yang signifikan. Lahan lebih besar untuk lahan terbangun. Pada tahun 2011 terjadi peningkatan luas bangunan hingga sebesar 44% serta menurunnya lahan alami hingga ruang terbuka hijau (RTH) menjadi bagian yang dikesampingkan. Korelasi yang tejadi adalah penurunan luasan RTH kota terhadap kualitas ekologi. Studi kasus RTH Kota Bogor sebesar 17%. Penurunan RTH mengakibatkan meningkatnya emisi karbon dan kualitas udara di lingkungan kota Bogor. Dalam rangka menjaga RTH maka dibutuhkan model kelembagaan yang melibatkan stakeholder dari kalangan akademis, pelaku bisnis, pemerintah, dan masyarakat. RTH menjadi salah satu hal yang dilakukan untuk menjaga kelestarian lingkungan. Nanang (2012) melakukan penelitian arahan kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di pinggiran Metropolitan DKI Jakarta (Studi Kasus Permukiman di Cisauk, Provinsi Banten). Skenario yang terpilih dalam penelitian ini adalah skenario moderat yang secara operasional meliputi; pemanfaatan lahan terkendali. Pengembangan sarana dan prasarana dasar yang meningkat, mempertahankan kohesi sosial, perkembangan penduduk yang terkendali, dan kondisi sub daerah aliran sungai (DAS) Cisadane yang terkendali. Mulyadi (2001) mengembangkan starategi terpadu agroindustri rotan. SPK yang dikembangkan terdiri dari model pemerataan, model analisis nilai tambah, model daya saing, model pemilihan inti dan aliansi, model struktur klaster, model pemasaran, model sumberdaya manusia dan model keunggulan bersaing. Agustedi (2001) mengembangkan rancang bangun model perencanaan dan pembinaan agroindustri hasil laut kualitas ekspor dengan pendekatan wilayah yang diberi nama AGROSILA. Penelitian tersebut menghasilkan model perencanaan dan pembinaan agroindustri hasil laut terpadu kualitas ekspor dan mampu merancang suatu kondisi optimum melalui pemenuhan kebutuhan aktor terkait. Santoso (2004) mengembangkan SPK M-RISK untuk manajemen resiko pengembangan agroindustri buah-buahan. Model tersebut terdiri atas enam model utama, yaitu model penentuan produk olahan unggulan, model analisis resiko, model kelayakan finansial, model resiko finansial, model manajemen resiko dan model manajemen pengendalian. Pojoh et al. (2010), meneliti tentang pengembangan agro-eco-industrial park di Kota Bitung, Provinsi Sulawesi Utara. Model dinamik pengembangan agro-ecoindustrial park dengan powersim studio expert 2005 telah dirancang sebagai hasil penelitiannya. Raymond et.al. (1998) meneliti tentang design eco-industrial parks dengan mensintesis dari beberapa pengalaman untuk mendapatkan 11 karakteristik dari ecoindustrial park. Sintesa terhadap sejumlah hasil penelitian yang telah dilakukan di atas, apabila ditinjau dari aspek metodologi maka sebagiaan besar menggunakan pendekatan sistem sebagai alat analisanya. Secara substansi topik-topik yang diteliti bersifat mikro, meso maupun makro dan bersifat spesifik. Berdasarkan studi pustaka di atas, belum ditemukan suatu penelitian yang khusus mengkaji tentang Pengembangan Kebijakan Ekoinovasi di kawasan PUSPIPTEK. Melalui penelitian pengembangan kebijakan ekoinovasi di Kawasan PUSPIPTEK ini diharapkan akan didapatkan pengembangan kebijakan yang basis modelnya dikembangkan dari berbagai disiplin keilmuan yang dirangkai dalam ilmu sistem guna membantu pengguna dalam pengambilan keputusan yang bersifat dinamis, sibernetik dan efektif. Penyusunan pengembangan kebijakan ekoinovasi akan menghasilkan model yang dapat menjadi acuan dalam pengambilan keputusan pengembangan eko-inovasi di kawasan PUSPIPTEK khususnya mengenai pengembangan sub model ekologis yang meliputi; pengelolaan air, energi dan limbah dengan prinsip eco-utility,serta sub model kelembagaan yang meliputi sistem pengelolaan kawasan dan struktur lembaga menuju kawasan eko-inovasi.