2 TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1
Fungsi Pemerintah Pemerintah memanfaatkan pendapatannya yang berasal dari pungutan
pajak serta sumber pendapatan lainnya untuk dialokasikan ke berbagai bidang secara efektif dan efisien. Fungsi pemerintah dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: 1. Fungsi alokasi, yaitu mengalokasikan sumber daya yang digunakan dalam memproduksi barang yang berasal dari barang swasta atau barang publik. 2. Fungsi distribusi, yaitu peran pemerintah dalam melakukan distribusi sumber daya bagi masyarakat. 3. Fungsi stabilisasi, yaitu peran pemerintah dalam menjaga kestabilan penyerapan tenaga kerja, stabilitas harga, serta tingkat pertumbuhan ekonomi yang tepat yang berdampak pada neraca perdagangan dan neraca pembayaran (Mangkoesoebroto, 2008). Dalam
menjalankan
fungsi
stabilisasi,
pemerintah
menggunakan
instrumen moneter maupun fiskal berupa kebijakan pada bidang-bidang fiskal dan moneter. Sebagai contoh, untuk menjaga kestabilan tingkat bunga, pemerintah mengeluarkan kebijakan moneter yang mengatur jumlah uang beredar yang mana pada akhirnya dapat mempengaruhi tingkat permintaan masyarakat. Kebijakan ini secara tidak langsung mempengaruhi tingkat bunga, harga, maupun tingkat inflasi. Sehingga instrumen uang beredar akan mempengaruhi tingkat bunga, harga, maupun tingkat inflasi. Kebijakan fiskal berhubungan dengan pengeluaran pemerintah dan penerimaan pemerintah yang berasal dari pajak. Apabila pemerintah menurunkan pajak, hal ini dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan permintaan masyarakat. Namun dari sisi penerimaan pemerintah, hal ini berdampak pada peningkatan defisit anggaran. Dari sisi pengeluaran, apabila pengeluaran pemerintah naik maka permintaan terhadap barang publik dan barang swasta naik. Jadi anggaran belanja pemerintah baik dari sisi penerimaan
maupun
pengalokasiannya berdampak pada permintaan agregat dan tingkat aktivitas
12
perekonomian yang mana hal tersebut mempengaruhi penyerapan tenaga kerja dan tingkat inflasi.
2.2
Penerimaan Pemerintah Daerah Menurut Undang-Undang No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pusat dan Daerah, penerimaan daerah terdiri dari pendapatan daerah dan pembiayaan. Pendapatan daerah bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan lain-lain pendapatan, sedangkan pembiayaan bersumber dari sisa lebih perhitungan anggaran daerah, penerimaan pinjaman daerah, dana cadangan daerah, dan hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan. PAD bersumber dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah, misalnya hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, dan komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan atau pengadaan barang dan jasa oleh daerah. Dana Perimbangan terdiri atas Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). DBH bersumber dari pajak dan sumber daya alam. DBH yang bersumber dari pajak terdiri atas Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan Pajak Penghasilan. DBH yang bersumber dari sumber daya alam berasal dari kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan pertambangan panas bumi. DAU suatu daerah dialokasikan atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar. Celah fiskal adalah kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal daerah. Alokasi dasar dihhitung berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah. Kebutuhan fiskal daerah merupakan kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum. Kebutuhan pendanaan tersebut diukur berdasarkan jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi, PDRB per kapita, dan Indeks Pembangunan Manusia. Kapasitas fiskal daerah merupakan sumber pendanaan daerah yang berasal dari PAD dan DBH. Jumlah keseluruhan DAU
13
ditetapkan sekurang-kurangnya 26 persen dari Pendapatan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan dalam APBN. DAK dialokasikan kepada daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah. Pemerintah menetapkan kriteria DAK yang meliputi kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis. Kriteria umum ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah dalam APBD. Kriteria khusus ditetapkan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan dan karakteristik daerah. Kriteria teknis ditetapkan oleh kementerian negara/departemen teknis. Lain-lain pendapatan terdiri atas pendapatan hibah dan pendapatan dana darurat. Pendapatan hibah merupakan bantuan yang tidak mengikat. Dana darurat berasal dari APBN untuk keperluan mendesak yang diakibatkan oleh bencana nasional dan peristiwa luar biasa yang tidak dapat ditanggulangi oleh daerah dengan menggunakan sumber APBD. Pinjaman daerah ditetapkan dengan memperhatikan keadaan dan perkiraan perkembangan perekonomian nasional. Batas maksimal kumulatif pinjaman yaitu tidak lebih dari 60 persen dari PDB tahun bersangkutan. Pinjaman dapat bersumber dari pemerintah pusat, pemerintah daerah lain, lembaga keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank, dan masyarakat. Penerimaan pemerintah daerah dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi daerah. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu wilayah. Pertumbuhan ekonomi merupakan gambaran dari kenaikan PDRB. PDRB merupakan nilai barang dan jasa yang diproduksi di suatu wilayah pada tahun tertentu. PDRB bukan saja diproduksi oleh penduduk di wilayah tersebut, tetapi juga penduduk wilayah lain yang bertempat tinggal di wilayah tersebut. Semakin tinggi pendapatan seseorang maka semakin tinggi pula kemampuan orang tersebut untuk membayar berbagai pungutan yang ditetapkan pemerintah. Dalam konsep makro dapat dianalogikan bahwa semakin besar PDRB yang diperoleh maka semakin besar pula potensi penerimaan daerah. Jadi dengan adanya peningkatan PDRB maka hal ini akan mendorong peningkatan PAD. Halim (2000) menyatakan bahwa PAD dipengaruhi oleh PDRB. Semakin tinggi PDRB, diharapkan prosentase PAD terhadap PDRB juga meningkat (tax effort). Jika tax effort kecil, maka PAD akan memberikan kontribusi yang kecil terhadap
14
belanja daerah. Jika tax effort ditingkatkan, maka PAD akan meningkat secara signifikan. Selain pertumbuhan ekonomi, jumlah penduduk juga mempengaruhi penerimaan pemerintah daerah. Penduduk merupakan orang yang bertempat tinggal menetap di suatu wilayah selama enam bulan atau lebih dan yang bertempat tinggal kurang dari enam bulan tetapi berencana menetap di suatu wilayah. Todaro dan Smith (2006) mengemukakan bahwa pertumbuhan penduduk bukan suatu masalah. Pengaruh jumlah penduduk pada dasarnya positif dan bermanfaat bagi pembangunan, karena semakin banyak orang maka semakin banyak ide, semakin banyak yang memiliki kretivitas, semakin banyak tenaga ahli, sehingga teknologi semakin berkembang. Sehingga akan meningkatkan kemampuan berproduksi dan PDRB meningkat. Selain itu semakin besar penduduk akan meningkatkan permintaan barang-barang konsumsi sehingga mendorong economic of scale dalam berproduksi dan akan menurunkan biaya produksi yang selanjutnya akan mengakibatkan perluasan usaha dan pendirian usaha baru. Hal itu akan menambah angkatan kerja yang bekerja sehingga pendapatan masyarakat meningkat. Dengan adanya penambahan jumlah penduduk maka akan meningkatkan pendapatan daerah (Sukirno, 2003).
2.3
Pengeluaran Pemerintah Daerah Berkaitan dengan fungsi stabilisasi di atas, pusat dari segala aktivitas
operasional pemerintah adalah penerimaan (pajak) dan pengeluaran pemerintah. Pengeluaran
pemerintah
sebagai
kebijakan
fiskal
akan
mempengaruhi
perekonomian dengan menjadi bagian dari permintaan agregat. Pengeluaran pemerintah digunakan untuk membiayai pembelian barang dan jasa output dari perekonomian. Permintaan agregat terdiri dari konsumsi rumah tangga, investasi, pengeluaran pemerintah, dan ekspor neto. Pembelian/belanja pemerintah merupakan nilai barang dan jasa yang dibeli oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah. Belanja pemerintah merupakan instrumen kebijakan fiskal selain pajak. Peningkatan belanja pemerintah meningkatkan pendapatan disposabel, sedangkan peningkatan pajak menurunkan pendapatan disposabel. Pengaruh kedua kebijakan
15
tersebut terhadap pendapatan nasional terjadi melalui efek pengganda (multiplier effect). PDB = C+I+G+NX…………………….……………………………….(1) C = c 0 +c 1 (Y-T)……………………………….…………………………(2) PDB = c 0 +c 1 (Y-T)+I+G+NX………………….………………………..(3) Setelah dilakukan transformasi, maka diperoleh: Y(1-c 1 ) = c 0 -c 1 T+I+G+NX………………………………....…………...(4) Y = (c 0 -c 1 T+I+G+NX)/(1-c 1 )……………………….………………..…(5) Setelah dilakukan diferensiasi terhadap G, maka diperoleh: dY/dG = 1/(1-c 1 )……………………………………………………...…(6) dY/dG adalah multiplier effect. Jadi besarnya multipler effect dari belanja pemerintah tergantung dari Marginal Propensity to Consume (MPC), yaitu kenaikan konsumsi akibat kenaikan pendapatan. Angka pengganda menunjukkan rasio antara perubahan tingkat output dan perubahan pengeluaran pemerintah. Semakin besar angka pengganda maka semakin besar dampak pengeluaran pemerintah terhadap tingkat output (Blanchard, 2006) Ada beberapa teori yang membahas tentang perkembangan pengeluaran pemerintah (Mangkoesoebroto, 2008) yaitu: 1. Model Rostow dan Musgrave Model Rostow dan Musgrave berisi tentang perkembangan pengeluaran pemerintah. Model ini menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi yaitu tahap awal, tahap menengah dan tahap lanjut. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah terhadap total investasi besar sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana seperti pendidikan, kesehatan, prasarana transportasi. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas, namun pada tahap ini peranan investasi swasta sudah semakin besar. Peranan pemerintah tetap besar pada tahap menengah, oleh karena peranan swasta semakin besar akan menimbulkan banyak kegagalan pasar dan juga menyebabkan pemerintah harus menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih banyak. Selain itu pada tahap ini perkembangan ekonomi menyebabkan terjadinya
16
hubungan antar sektor yang makin komplek. Misalnya pertumbuhan ekonomi yang ditimbulkan oleh perkembangan sektor industri akan menimbulkan semakin tingginya pencemaran atau polusi. Pemerintah harus turun tangan mengatur dan mengurangi dampak negatif dari polusi. Pemerintah juga harus melindungi buruh dalam meningkatkan kesejahteraannya. Musgrave (1991) dalam Mangkoesoebroto (2008) berpendapat bahwa dalam suatu proses pembangunan, investasi swasta dalam persentase terhadap PDB semakin besar dan persentase investasi pemerintah terhadap PDB akan semakin kecil. Pada tingkat ekonomi lebih lanjut, Rostow mengatakan bahwa aktivitas pemerintah dalam pembangunan ekonomi beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaran-pengeluaran untuk aktivitas sosial seperti program kesejahteraan hari tua dan pelayanan kesehatan masyarakat. 2. Hukum Wagner Wagner mengemukakan suatu teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah yang semakin besar dalam prosentase terhadap PDB. Wagner mengemukakan pendapatnya bahwa dalam
suatu perekonomian apabila
pendapatan per kapita meningkat maka secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Hukum Wagner dikenal dengan “The Law of Expanding State Expenditure”. Dasar dari hukum tersebut adalah pengamatan empiris dari negaranegara maju (Amerika Serikat, Jerman, Jepang). Dalam hal ini Wagner menerangkan mengapa peranan pemerintah menjadi semakin besar, terutama disebabkan karena pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat. Kelemahan hukum Wagner adalah karena hukum tersebut tidak didasarkan pada suatu teori mengenai pemilihan barang-barang publik. Wagner mendasarkan pandangannya dengan suatu teori yang disebut teori organisasi mengenai pemerintah (organic theory of the state) yang menganggap pemerintah sebagai individu yang bebas bertindak, terlepas dari anggota masyarakat lainnya. 3. Teori Peacock dan Wiseman Inti dari teori Peacock dan Wiseman adalah Pertumbuhan ekonomi (PDB) menyebabkan pemungutan pajak semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah, dan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat. Oleh karena itu, dalam keadaan normal, meningkatnya PDB menyebabkan penerimaan pemerintah yang semakin besar,
17
begitu juga dengan pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar.
Apabila
keadaan normal tersebut terganggu, misalnya karena adanya perang, maka pemerintah harus memperbesar pengeluarannya untuk membiayai perang. Karena itu penerimaan pemerintah dari pajak juga meningkat dan pemerintah meningkatkan penerimaannya tersebut dengan cara menaikkan tarif pajak sehingga dana swasta untuk investasi dan konsumsi menjadi berkurang. Keadaan ini disebut efek pengalihan (displacement effect) yaitu adanya gangguan sosial menyebabkan aktivitas swasta dialihkan pada aktivitas pemerintah. Perang tidak hanya dibiayai dengan pajak, akan tetapi pemerintah juga melakukan pinjaman ke negara lain. Akibatnya setelah perang sebetulnya pemerintah dapat kembali menurunkan tarif pajak, namun tidak dilakukan karena pemerintah masih mempunyai kewajiban untuk mengembalikan pinjaman tersebut. Sehingga pengeluaran pemerintah meningkat karena PDB yang mulai meningkat, pengembalian pinjaman dan aktivitas baru setelah perang. Ini yang disebut efek inspeksi (inspection effect). Adanya gangguan sosial juga akan menyebabkan terjadinya konsentrasi kegiatan ke tangan pemerintah dimana kegiatan ekonomi tersebut semula dilaksanakan untuk swasta. Ini disebut efek konsentrasi (concentration effect). Adanya ketiga efek tersebut menyebabkan aktivitas pemerintah bertambah. Setelah perang selesai dan keadaan kembali normal maka tingkat pajak akan turun kembali. Teori ini didasarkan pada suatu pandangan bahwa pemerintah senantiasa berusaha untuk memperbesar pengeluaran sedangkan masyarakat tidak suka membayar pajak yang semakin besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang semakin besar tersebut. Peacock dan Wiseman mendasarkan teori mereka pada suatu teori bahwa masyarakat mempunyai suatu tingkat toleransi pajak, yaitu suatu tingkat dimana masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Jadi masyarakat menyadari bahwa pemerintah membutuhkan dana untuk membiayai aktivitas pemerintah 4. Kurva Scully Kurva Scully merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh professor Gerald Scully,
yang menerangkan hubungan antara peran pengeluaran
pemerintah dengan tingkat pertumbuhan ekonomi. Gambarnya seperti ditunjukkan
18
pada Gambar 4.
Dalam model kuadratik yang diformulasikan Scully, rasio
pengeluaran pemerintah menjadi variabel independent dan pertumbuhan ekonomi menjadi variabel dependent. Dari model dapat disimpulkan bahwa peningkatan porsi pengeluaran pemerintah terhadap PDRB sampai pada tingkat tertentu memberikan pengaruh yang lebih tinggi pada pertumbuhan, namun pada porsi yang lebih tinggi lagi (melebihi tingkat optimal) maka porsi pemerintah semakin besar akan berdampak lebih rendah terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi bahkan dapat mencapai nol. g
Tingkat Pertumbuhan Ekonomi
0
t
Rasio pengeluaran pemerintah terhadap PDRB Sumber : Syaibani, 2005
Gambar 4
Hubungan antara tingkat pertumbuhan ekonomi dengan rasio pengeluaran pemerintah terhadap PDRB
Pengeluaran pemerintah daerah dipengaruhi oleh penerimaannya. HolztEakin et al. (1985) dalam Prakosa (2004) menyatakan bahwa terdapat pengaruh positif dari sumber pendanaan terhadap belanja daerah. Mereka menemukan bahwa semua current spending ditentukan oleh current resources. Selain itu Gamkhar dan Oates (1996) dalam Prakosa (2004) menyatakan bahwa berdasarkan hasil penelitiannya terhadap pemerintah federal di Amerika Serikat periode 19531991, pengurangan jumlah transfer menyebabkan penurunan pengeluaran daerah. Pendapatan daerah dan transfer memberikan stimulus yang berbeda terhadap pengeluaran daerah, jika stimulus terhadap pengeluaran daerah yang ditimbulkan oleh transfer lebih besar dibandingkan dengan stimulus dari pendapatan daerah maka terjadi flypaper effect. Selain penerimaan, PDRB juga menentukan besaran pengeluaran pemerintah daerah. Hal tersebut sesuai dengan hukum Wagner yang sudah dijelaskan di atas, yang menyatakan bahwa dalam suatu perekonomian
19
apabila pendapatan per kapita meningkat maka secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat.
2.4
Pengeluaran Pemerintah di Indonesia Pengeluaran pemerintah di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam tiga
tingkat pemerintahan. Pertama, pengeluaran pemerintah yang dilakukan tingkat pusat, yang tercermin dalam pengeluaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). APBN direalisasikan dalam berbagai pos pengeluaran yang dilaksanakan di berbagai wilayah Indonesia (sebagian dibelanjakan di luar negeri). Kedua, pengeluaran pemerintah yang dilakukan pemerintah propinsi yang tercermin dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) provinsi. APBD propinsi direalisasikan dalam berbagai pos pengeluaran dalam wilayah propinsi yang bersangkutan (sebagian dibelanjakan di luar wilayah propinsi). Ketiga, pengeluaran pemerintah yang dilakukan pemerintah kabupaten/kota. APBD kabupaten/kota direalisasikan dalam berbagai pos pengeluaran dalam wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan (sebagian dibelanjakan di luar wilayah kabupaten/kota). Format anggaran mengalami perubahan dalam rangka reformasi keuangan negara.
Reformasi
pengelolaan
keuangan
negara
ini
bertujuan
untuk
meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam mengelola belanja negara, meningkatkan keterkaitan antara output dan outcome yang dicapai melalui penganggaran organisasi, dan menyesuaikan dengan standar klasifikasi yang digunakan secara internasional. Berikut uraian mengenai format laporan keuangan sebelum dan sesudah reformasi keuangan.
2.4.1
Sebelum Reformasi Anggaran Format APBN diklasifikasikan berdasarkan sektor, tipe pengeluaran
(klasifikasi
ekonomi)
serta
berdasarkan
organisasi.
Klasifikasi
sektoral
diklasifikasikan ke dalam sektor, sub sektor, program dan kegiatan. Di dalam klasifikasi ini, terdiri dari 20 sektor dan 50 subsektor. Lalu beberapa program di break-down dari beberapa sektor kepada belanja rutin dan belanja modal. Dengan
20
susunan klasifikasi seperti ini, mengakibatkan para stakeholder kesulitan dalam mengukur keberhasilan pemerintah dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Anggaran Belanja Negara masih memberlakukan pemisahan antara belanja rutin dan belanja modal (dual budgeting). Belanja rutin negara terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, pembayaran bunga utang, subsidi, dan belanja lain-lain. Tujuan utama pemisahan belanja rutin dan belanja modal/pembangunan ini adalah untuk menekankan pentingnya peranan program pembangunan. Pemerintah menyadari bahwa pengelolaan keuangan negara yang dilaksanakan sampai saat ini perlu diadakan penyempurnaan terutama dalam mengatasi kelemahan seperti kurangnya keterkaitan antara perencanaan nasional, penganggaran dan pelaksanaannya. Kemudian kelemahan dalam pelaksanaan penganggaran yang menggunakan line-item budget dimana usulan anggaran didasarkan perubahan tertentu (incremental) atas anggaran sebelumnya. Oleh karena itu, pemerintah merasa harus segera melakukan reformasi pengelolaan keuangan negara agar memenuhi syarat pengelolaan yang transparan, akuntabel, dapat diprediksi/predictability dan memperhatikan partisipasi.
2.4.2
Setelah Reformasi Anggaran Sejak tahun 2003, reformasi keuangan negara mencapai babak baru
dengan disahkannya Undang-undang nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara. Setelah itu, pada tahun 2004 disahkan beberapa produk perundang-undangan yang merupakan satu kesatuan paket reformasi keuangan negara, diantaranya: UU no. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara; UU no. 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.; serta UU no.25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Munculnya peraturan perundang-undangan ini telah merubah cara pengelolaan keuangan Negara Republik Indonesia. Implikasi dari reformasi keuangan negara ini merubah format dan struktur anggaran belanja negara, yaitu: 1. Pemisahan antara belanja pemerintah pusat dan pemerintah daerah 2. Semua belanja negara yang berhubungan dengan subsidi dan hibah harus dikategorikan sebagai subsidi
21
3. Semua “belanja lain-lain” yang tersebar di banyak komponen anggaran belanja pusat disatukan satu dalam “belanja lain-lain”. 4. Belanja modal dirubah menjadi format baru dan dibagi ke dalam semua jenis belanja.
Tabel 1
Perbedaan antara Format APBN Lama dan APBN Baru Format Baru
Format Lama Klasifikasi Organisasi Tidak dimasukkan dalam Nota Keuangan dan UU APBN, hanya diatur dalam Keppres Klasifikasi Sektoral Terdiri dari 20 sektor dan 50 subsektor; Program di break-down dari subsektor; Nama program antara belanja rutin dan belanja modal berbeda Klasifikasi Ekonomi Dual Budgeting; Belanja Negara terdiri dari 6 item (termasuk belanja modal) Basis Alokasi Sektor, subsektor, dan program
Klasifikasi Organisasi Daftar pengguna anggaran, termasuk dalam Nota Keuangan dan UU APBN.Daftar itu sama dengan Kementrian/Lembaga (K/L) yang ada Klasifikasi Fungsional Terdiri dari 11 fungsi dan 79 subfungsi; Program di tiap K/L akan dikumpulkan sesuai fungsinya; Nama program berdasarkan unified budget Klasifikasi Ekonomi Unified Budgeting; Belanja Negara terdiri dari 8 item Basis Alokasi Alokasi berdasarkan pada program masing-masing K/L
Sumber: Badan Analisa Fiskal, 2005
2.4.3
Klasifikasi Anggaran Baru Berdasarkan UU no. 17/2003 Bab III tentang Penyusunan dan Penetapan
APBN pasal 11 ayat (5) dinyatakan bahwa: “Belanja negara dirinci menurut organisasi, fungsi dan jenis belanja”. Dan sesuai pasal 15 ayat (5) dinyatakan bahwa: APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan Unit Organisasi, Fungsi, Program, Kegiatan dan Jenis Belanja. 1. Klasifikasi Organisasi Berdasarkan penjelasan pasal 11 ayat (5) UU No. 17/2003, disebutkan bahwa rincian belanja Negara menurut organisasi disesuaikan dengan susunan Kementrian Negara/Lembaga pemerintahan pusat yang disebut Bagian Anggaran
22
(BA), terdiri dari 58 Kementrian Negara/ Lembaga. Dalam masing-masing kementrian Negara/lembaga dibagi dalam eselon I yang bertanggung jawab terhadap suatu pelaksanaan suatu program, unit eselon II dan unit eselon III yang bertanggung jawab terhadap suatu pelaksanaan kegiatan pendukung program. Pelaksanaan, monitoring dan pelaporan anggaran akan terjadi suatu sinergi yang positif apabila ada sinkronisasi antara struktur program dan kegiatan dengan struktur organisasinya. Tanggung jawab dan kewenangan akan lebih jelas bagi para manajer apabila dalam suatu unit organisasi walaupun tetap akan ada sedikit kesulitan apabila program dimaksud dilaksanakan secara lintas unit organisasi dan lintas kementrian Negara/ lembaga. Bagian Anggaran merupakan klasifikasi anggaran berdasarkan organisasi antara lain menurut kementrian/ lembaga. 2. Klasifikasi Fungsional Fungsi adalah perwujudan tugas kepemerintahan di bidang tertentu yang dilaksanakan dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional. Penerapan klasifikasi
fungsional
mendukung
performance-based
budgeting
dengan
memberikan evaluasi kinerjanya. Tidak seperti klasifikasi sektoral yang cenderung mengalokasikan kepada sektor tertentu, klasifikasi fungsional lebih menekankan fungsi yang dilakukan pemerintah sehingga stakeholder dapat mengukur tingkat keberhasilan pemerintah. Klasifikasi fungsi dan subfungsi hanya akan digunakan sebagai alat analisis, sedangkan anggaran pengeluarannya disiapkan berdasarkan program-program yang telah diajukan oleh tiap Kementrian Negara/ Lembaga. Seperti disebutkan di atas, penerapan klasifikasi fungsi oleh pemerintah mengacu pada GFS yang diperkenalkan oleh IMF seperti yang disebutkan dalam manual GFS dimana fungsi pemerintahan di breakdown ke dalam 10 fungsi (COFOG). Namun dalam pelaksanaan di Indonesia, pemerintah hanya mengadopsinya menjadi 11 fungsi dan 79 subfungsi. Fungsi-fungsi tersebut antara lain: pelayanan umum, pertahanan, ketertiban dan keamanan, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum, kesehatan, pariwisata, budaya agama, pendidikan, dan perlindungan sosial. Klasifikasi belanja menurut fungsi berdasarkan urusan pemerintahan disesuaikan
menurut
kewenangan
pemerintah
provinsi
dan
pemerintah
23
kabupaten/kota, yang meliputi klasifikasi belanja menurut belanja urusan wajib dan belanja urusan pilihan. Klasifikasi belanja urusan wajib mencakup pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, perumahan rakyat, penataan ruang, perencanaan pembangunan, perhubungan, lingkungan hidup, pertanahan, kependudukan dan catatan sipil, pemberdayaan perempuan, keluarga berencana dan keluarga sejahtera, sosial, tenaga kerja dan transmigrasi, koperasi dan usaha kecil dan menengah, penanaman modal, kebudayaan dan pariwisata, pemuda dan olahraga, kesatuan bangsa dan politik dalam negeri, pemerintahan umum dan kepegawaian, pemberdayaan masyarakat dan desa, statistik, arsip, dan komunikasi dan informatika. Sedangkan klasifikasi belanja menurut urusan pilihan mencakup pertanian, kehutanan, energi dan sumber daya mineral, kelautan dan perikanan, perdagangan, dan perindustrian (Depkeu, 2005). Penelitian ini menggunakan klasifikasi belanja berdasarkan urusan. 3. Klasifikasi Ekonomi Di dalam APBN yang baru, belanja rincian belanja dibagi ke dalam 8 (delapan) kategori (Tabel 2). Dalam klasifikasi ekonomi ini, belanja pemerintah dibagi berdasarkan jenis-jenis pengeluaran yang berbeda seperti APBN sebelumnya. Belanja dalam klasifikasi ini terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, beban bunga, subsidi, bantuan sosial, dan hibah. Tabel 2 1
Klasifikasi Ekonomi Belanja Pemerintah
Belanja
Merupakan kompensasi dalam bentuk uang maupun barang
Pegawai
yang diberikan kepada pegawai pemerintah yang bertugas di dalam maupun di luar negeri sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan. Dikecualikan untuk pekerjaan yang berkaitan denan pembentukan modal. Belanja ini antara lain digunakan untuk gaji dan tunjangan, honorarium, vakasi, lembur dan kontribusi sosial.
2
Belanja Barang
Pembelian barang atau jasa yang habis dipakai untuk memproduksi barang dan jasa yang dipasarkan maupun yang tidak dipasarkan maupun yang tidak dipasarkan. Belanja ini antara lain digunakan untuk pengadaan barang dan jasa, pemeliharaan dan perjalanan.
24
3
Belanja Modal
Pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal. Dalam belanja ini termasuk untuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jaringan, maupun dalam bentuk fisik lainnya, seperti buku, binatang, dan lainnya.
4
Beban Bunga
Pembayaran yang dilakukan atas kewajiban pembangunan pokok utang (principal outstanding), baik utang dalam negeri maupun utang luar negeri yang dihitung berdasarkan posisi pinjaman.
5
Subsidi
Alokasi anggaran yang diberikan kepada perusahaan/ lembaga yang memproduksi, menjual, mengekspor atau mengimpor barang dan jasa untuk memenuhi hajat hidup orang banyak sedemikian rupa sehingga harga jualnya dapat terjangkau oleh masyarakat. Belanja ini antara lain digunakan untuk penyaluran subsidi kepada perusahaan Negara dan perusahaan swasta.
6
Bantuan Sosial
Transfer uang atau barang yang diberikan kepada masyarakat guna melindungi dari kemungkinan terjadinya resiko social. Bantuan social ini dapat dibeerikan langsung kepada anggota masyarakat atau lembaga kemasyarakatan.
7
Hibah
Transfer dana yang sifatnya tidak wajib kepada Negara lain atau kepada organisasi internasional.
8
Belanja lain
Lain- Pengeluaran/ belanja pemerintah pusat selain 1 sampai 7 di atas.
Sumber: Badan Analisa Fiskal, 2005
2.5
Produk Domestik Regional Bruto Salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu
daerah dalam suatu periode tertentu adalah PDRB, baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan. PDRB pada dasarnya merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu daerah tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang
25
dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada setiap tahun, sedangkan PDRB atas dasar harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa tersebut yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun tertentu sebagai dasar. PDRB dalam penelitian ini tahun dasar yang digunakan adalah tahun 2000. PDRB atas dasar harga berlaku dapat digunakan untuk melihat pergeseran dan struktur ekonomi, sedang harga konstan digunakan intuk mengetahui pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun. Menurut BPS (2010) terdapat tiga pendekatan untuk menghitung PDRB, yaitu pendekatan produksi, pendekatan pendapatan, dan pendekatan pengeluaran. Penjelasan dari masingmasing pendekatan adalah sebagai berikut. 1.
Pendekatan Produksi PDRB adalah jumlah nilai tambah atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di wilayah suatu daerah dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Unit-unit produksi tersebut dikelompokkan menjadi 9 lapangan usaha (sektor) yaitu: (1). Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan, (2). Pertambangan dan Penggalian, (3). Industri Pengolahan, (4). Listrik, Gas dan Air Bersih, (5). Bangunan, (6). Perdagangan, Hotel dan Restoran, (7). Pengangkutan dan Komunikasi, (8). Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan, (9). Jasa-jasa termasuk jasa pelayanan pemerintah.
2.
Pendekatan Pendapatan PDRB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh fakor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi di suatu daerah dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Balas jasa faktor produksi yang dimaksud adalah upah dan gaji (balas jasa tenaga kerja), sewa tanah (balas jasa tanah), bunga
modal
(balas
jasa
modal),
dan
keuntungan
(balas
jasa
kewiraswastaan); semuanya sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya. Dalam definisi ini PDRB juga mencakup penyusutan dan pajak tidak langsung neto (pajak tak langsung dikurangi subsidi). 3.
Pendekatan Pengeluaran PDRB adalah semua komponen permintaan akhir yang terdiri dari pengeluaran rumah tangga dan lembaga swasta nirlaba, konsumsi
26
pemerintah, pembentukan modal tetap domestik bruto, perubahan stok, dan ekspor neto (ekspor dikurangi impor). Secara konsep tiga pendekatan tersebut akan menghasilkan angka yang sama. Jadi jumlah pengeluaran akan sama dengan jumlah barang dan jasa akhir yang dihasilkan dan harus sama pula dengan jumlah pendapatan untuk faktorfaktor produksi (BPS, 2010). Penelitian ini menggunakan PDRB pendekatan produksi.
2.6
Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi mengandung makna adanya peningkatan produksi
barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh aktifitas ekonomi yang terjadi di masyarakat. Peningkatan produksi barang dan jasa yang dimaksud diukur berdasarkan suatu periode tertentu sebagai tahun dasar sehingga nilai peningkatan benar-benar mencerminkan adanya pertumbuhan produksi yang terbebas dari pengaruh harga (BPS, 2008). Berbagai model pertumbuhan ekonomi bermunculan secara dinamis mengikuti perubahan perekonomian dari waktu ke waktu (Todaro dan Smith, 2006). Teori Klasik yang dimotori oleh Adam Smith beranggapan bahwa pertumbuhan ekonomi sebenarnya bertumpu pada adanya pertambahan penduduk. Dengan adanya pertambahan penduduk maka akan terdapat pertambahan output atau hasil. Selain Adam Smith, yang termasuk dalam teori klasik adalah David Ricardo. Ricardo berpendapat bahwa faktor pertumbuhan penduduk yang semakin besar sampai menjadi dua kali lipat pada suatu saat akan menyebabkan jumlah tenaga kerja melimpah. Kelebihan tenaga kerja akan mengakibatkan upah menjadi turun. Upah tersebut hanya dapat digunakan untuk membiayai taraf hidup minimum sehingga perekonomian akan mengalami kemandegan (stationary state). Teori Klasik selanjutnya berkembang menjadi Teori Neoklasik yang dimotori oleh Harrord Domar dan Robert Solow. Harrord Domar beranggapan bahwa modal harus dipakai secara efektif, karena pertumbuhan ekonomi sangat dipengaruhi oleh peranan pembentukan modal tersebut. Teori ini juga membahas tentang pendapatan nasional dan kesempatan kerja. Sedangkan Solow berpendapat
27
bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan rangkaian kegiatan yang bersumber pada manusia, akumulasi modal, pemakaian teknologi modern. Adapun pertumbuhan penduduk dapat berdampak positif dan dapat berdampak negatif. Oleh karenanya, menurut Robert Solow pertambahan penduduk harus dimanfaatkan sebagai sumber daya yang positif. Model pertumbuhan Solow dikatakan merupakan pilar yang sangat memberi kontribusi terhadap teori pertumbuhan neoklasik. Pada intinya model ini merupakan pengembangan dari model pertumbuhan Harrod-Domar dengan menambahkan faktor tenaga kerja dan teknologi kedalam persamaan pertumbuhan. Dalam model pertumbuhan Solow, input tenaga kerja dan modal memakai asumsi skala yang terus berkurang (diminishing returns) jika keduanya dianalisis secara terpisah, sedangkan jika keduanya dianalisis secara bersamaan memakai asumsi skala hasil tetap (constant returns to scale) (Todaro dan Smith, 2006). Model Neoklasik beranggapan bahwa mobilitas faktor produksi, baik modal maupun tenaga kerja, pada permulaan proses pembangunan adalah kurang lancar. Akibatnya, pada saat itu modal dan tenaga kerja ahli cenderung terkonsentrasi di daerah yang lebih maju sehingga ketimpangan pembangunan regional cenderung melebar. Akan tetapi bila proses pembangunan terus berlanjut, dengan semakin baiknya prasarana dan fasilitas komunikasi, maka mobilitas modal dan tenaga kerja tersebut akan semakin lancar. Dengan demikian, nantinya setelah negara yang bersangkutan telah maju, maka ketimpangan pembanguan regional akan berkurang. Perkiraan ini merupakan kesimpulan kedua dari model ini dan kemudian dikenal sebagai Hipotesa Neoklasik. Dalam
teori
Neoklasik,
perkembangan
ekonomi
tergantung
pada
perkembangan teknologi dan pertumbuhan faktor produksi. Komponen tersebut merupakan variabel dalam fungsi produksi yang disebut fungsi produksi CobbDouglas, yaitu: Y=AKαL1-α……………………………………………………………….(7) Dimana Y = output A = teknologi K = modal L = tenaga kerja
28
α dan 1-α adalah elastisitas modal dan tenaga kerja Dari persamaan tersebut dapat diketahui bahwa output tergantung dari modal dan tenaga kerja, sehingga pertumbuhan output tergantung dari pertumbuhan modal dan tenaga kerja. Pertumbuhan tenaga kerja berasal dari pertumbuhan penduduk, sedangkan pertumbuhan modal berasal dari tabungan masyarakat. Tabungan merupakan selisih antara pendapatan dengan konsumsi masyarakat. Model pertumbuhan Solow juga menyatakan bahwa output bergantung pada persediaan modal dan tenaga kerja. Y = F(K, L)……………………………………...……………………….(8) Model ini mengasumsikan bahwa fungsi produksi memiliki skala pengembalian konstan (constant returns to scale). Fungsi produksi memiliki skala pengembalian konstan jika zY = F(zK, zL)…………………………………….....…………….……(9) dengan z bernilai positif. Misalnya z = 1/L, sehingga Y/L = F(K/L, 1)………………………...……………………..………..(10) Y/L = y adalah output per pekerja, dan K/L = k adalah modal per pekerja. Sehingga fungsi produksi adalah sebagai berikut. Y = f(k)……………………..……………………………………….….(11) Permintaan terhadap barang dalam Model Solow berasal dari konsumsi dan investasi (belanja pemerintah dan ekspor neto sementara dihilangkan). Dengan kata lain, output per pekerja y merupakan konsumsi per pekerja c dan investasi per pekerja i: y = c+i……………………………………………….…………………(12) Model Solow mengasumsikan bahwa setiap tahun orang menabung dari sebagian s dari pendapatan mereka dan mongkonsumsi sebagian (1-s). c = (1-s)y…………………….…………………………………….....(13) sehingga y = (1-s)y + i……………………..……………………………………..(14) i = sy…………………………..………………………………………..(15) Setiap tahun modal terdepresiasi sebesar δk, sehingga perubahan persediaan modal adalah sebagai berikut. Δk = i-δk………………………..…….………………..……………….(16)
29
Δk = sf(k)-δk……………………………….……..…………………….(17) Δk adalah perubahan persediaan modal. Investasi meningkatkan persediaan modal, dan depresiasi menurunkannya. Terdapat hal lain yang bisa mengubah jumlah modal per pekerja, yaitu pertumbuhan jumlah pekerja. Pertumbuhan jumlah pekerja menyebabkan modal per pekerja turun. Perubahan persediaan modal per pekerja adalah: Δk = sf(k)-(δ+n)k……………..…………………………………..…….(18) 2.7
Tenaga Kerja Tenaga kerja adalah penduduk berumur 15 tahun ke atas yang bekerja,
yaitu melakukan kegiatan ekonomi dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan, paling sedikit satu jam (tidak terputus) dalam seminggu yang lalu, kegiatan tersebut termasuk pula kegiatan pekerja tak dibayar yang membantu dalam suatu usaha/kegiatan ekonomi. Masalah utama dan mendasar dalam ketenagakerjaan di Indonesia adalah masalah upah yang rendah dan tingkat pengangguran yang tinggi. Hal tersebut disebabkan karena pertambahan jumlah tenaga kerja baru jauh lebih besar dibandingkan dengan pertumbuhan
lapangan
kerja
yang
dapat
disediakan
setiap
tahunnya.
Pengangguran dari sisi ekonomi merupakan produk dari ketidakmampuan pasar kerja dalam menyerap angkatan kerja yang tersedia. Ketersediaan lapangan kerja yang relatif terbatas tidak mampu menyerap pencari kerja yang terus bertambah setiap tahun seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk (BPS, 2010). Semakin banyak tenaga kerja yang terserap, maka pengangguran semakin kecil. Penawaran tenaga kerja adalah hubungan antara tingkat upah dengan jumlah tenaga kerja, begitu pula dengan permintaan tenaga kerja. Motif perusahaan
untuk
mempekerjakan
seseorang
adalah
untuk
membantu
memproduksi barang atau jasa yang akan dijual kepada konsumen. Besarnya permintaan perusahaan terhadap permintaan tenaga kerja tergantung pada besarnya permintaan masyarakat terhadap barang yang diproduksi perusahaan itu. Sehingga permintaan terhadap tenaga kerja merupakan permintaan turunan (derived demand). Penentuan permintaan tenaga kerja dapat diturunkan dari
30
fungsi produksi yang merupakan fungsi dari tenaga kerja (L) dan modal (K) sebagai berikut: TP = f (L,K)…………………………………………………..………(19) Dimana TP = produksi total. Keseimbangan pasar tenaga kerja merupakan suatu posisi tertentu yang terbentuk oleh interaksi permintaan dan penawaran tenaga kerja. Todaro dan Smith (2000) menyatakan bahwa dalam pasar persaingan sempurna tidak ada produsen dan konsumen yang mampu mempengaruhi harga-harga input, tingkat penyerapan tenaga kerja, dan harganya (tingkat upah). Mereka ditentukan secara bersamaan oleh harga-harga output dan faktor produksi selain tenaga kerja.
2.8
PDRB per Kapita Produk Domestik Regioanl Bruto (PDRB) per kapita dapat digunakan sebagai
proxy pendapatan per kapita yang mencerminkan tingkat kesejahteraan penduduk. PDRB per kapita dapat dirumuskan sebagai (BPS, 2010). PDRBKP = PDRB/POP…………………………………………………....(20) Keterangan: PDRBKP = rata-rata pendapatan per kapita PDRB = total pendapatan daerah POP = jumlah penduduk Walaupun PDRB rata-rata merupakan alat ukur yang lebih baik tetapi belum mencerminkan kesejahteraan penduduk secara tepat karena PDRB rata-rata tidak mencerminkan kesejahteraan ekonomi yang sungguh-sungguh dirasakan masyarakat, bisa terjadi PDRBK tinggi tetapi ada sekelompok penduduk yang tidak menerima pendapatan itu. Oleh karena itu perlu juga diperhatikan distribusi pendapatan. Pada studi ini distribusi pendapatan dihitung dengan indeks Williamson. Indeks Williamson digunakan untuk menganalisis seberapa besar ketimpangan antar wilayah. Dasar perhitungannya adalah dengan menggunakan PDRB per kapita dalam kaitannya dengan jumlah penduduk per wilayah, dengan rumus: …………………………………...…………..(21) Keterangan : CV W
: indeks Williamson
31
Y
: rata-rata PDRBKP
Yi
: PDRBKP provinsi i
POP
: jumlah penduduk provinsi
TPOP : jumlah penduduk seluruh provinsi (Astuti, 2007) Nilai indeks Williamson berkisar antara 0 dan 1, dimana 0 menunjukkan pemerataan sempurna dan 1 menunjukkan ketimpangan sempurna. Jadi semakin besar nilai Indeks Williamson, semakin timpang pendapatan per kapita antar wilayah.
2.9
Kemiskinan
Menurut Todaro dan Smith (2006), besarnya kemiskinan dapat diukur dengan atau mengacu kepada garis kemiskinan. Konsep yang mengacu pada garis kemiskinan disebut kemiskinan absolut, sedangkan pengukurannya tidak didasarkan pada garis kemiskinan disebut kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut adalah derajat kemiskinan di bawah kebutuhan minimum untuk bertahan hidup tidak dapat terpenuhi. Ukuran ini relatif tetap dalam bentuk kebutuhan kalori minimum ditambah komponen non makanan yang juga sangat dibutuhkan untuk tetap survive. Garis kemiskinan berbeda untuk tiap negara, tetapi yang umum dijadikan standar untuk membandingkan antar negara adalah sebesar US$ 1 per hari. Sedangkan kemiskinan relatif adalah ukuran mengenai kesenjangan di dalam distribusi pendapatan, biasanya berkaitan dengan ukuran di bawah tingkat ratarata distribusi pendapatan. Konsep kemiskinan pada penelitian ini yaitu persentase penduduk miskin atau Head Count Index (HCI-P 0 ), adalah persentase penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan (GK).
……………………………………………...…….(22) Dimana : α=0 z = garis kemiskinan. yi = Rata-rata pengeluaran per kapita sebulan penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan (i=1, 2, 3, ...., q), yi < z
32
q = Banyaknya penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. n = jumlah penduduk.
2.10
Hubungan Pengeluaran Pemerintah dengan Pertumbuhan Ekonomi (PDRB) Richardson (2001) dalam Astuti (2007) menyebutkan bahwa dampak
desentralisasi fiskal terhadap perekonomian dapat dikaji sebagaimana dampak kebijakan fiskal terhadap perekonomian nasional, yaitu dari sisi permintaan dan penawaran. Pada sisi penawaran atau sisi produksi, desentralisasi fiskal diasumsikan akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi melalui dua cara yaitu: (1) meningkatkan investasi modal di level daerah yang akan meningkatkan stok modal sehingga mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, dan (2) peningkatan efisiensi alokasi sumberdaya. Penelitian ini akan memfokuskan dampak penerimaan dan pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi melalui sisi permintaan. Pengaruh besaran dana yang dikelola dan keleluasaan tersebut merupakan faktor dari derajat desentralisasi fiskal suatu daerah. Makin tinggi penerimaan fiskal yang bebas pengalokasiannya makin tinggi derajat desentralisasi fiskal yang dimiliki daerah yang diharapkan makin optimal pengalokasiannya. Demikian pula makin tinggi penerimaan fiskal diharapkan makin tepat pilihan infrastruktur sehingga makin tinggi insentif investasi yang diciptakan. Namun demikian, keleluasaan dari sisi penerimaan terutama upaya peningkatan pajak dan retribusi justru bisa berpengaruh negatif terhadap investasi (Vaillancourt, 2000) dalam Astuti (2007).
2.11
Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dengan Peyerapan Tenaga Kerja Salah satu aspek untuk melihat kinerja perekonomian adalah seberapa efektif
penggunaan sumber-sumber daya yang ada sehingga lapangan pekerjaan merupakan hal yang menjadi perhatian dalam pembuatan kebijakan. Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan penyerapan tenaga kerja dapat dilihat dari hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan pengangguran. Angkatan kerja merupakan jumlah dari tenaga kerja dan pengangguran, sedangkan pengangguran merupakan angkatan kerja yang menganggur. Pertumbuhan ekonomi dan pengangguran memiliki hubungan yang erat karena penduduk yang bekerja berkontribusi dalam menghasilkan barang dan jasa, sedangkan pengangguran tidak memberikan kontribusi. Hubungan
33
antara pertumbuhan ekonomi dan pengangguran didasarkan pada hukum Okun (Okun Law). Hukum Okun menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif antara pertumbuhan ekonomi dan pengangguran (Blanchard, 2006). u t – u t-1 = -g yt ……………………………………………………………...(20) dimana: ut
= tingkat pengangguran pada tahun t
u t-1
= tingkat pengangguran pada tahun t-1
g yt
= pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan hukum Okun tersebut, dapat dikatakan bahwa semakin besar
pertumbuhan ekonomi maka semakin kecil pengangguran. Semakin kecil pengangguran berarti semakin besar penyerapan tenaga kerja.
2.12
Penelitian Terdahulu
2.12.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Daerah Sumedi (2005) meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan pemerintah daerah provinsi di Indonesia tahun 2005 dengan metode sistem persamaan simultan. Hasilnya variabel yang mempengaruhi penerimaan pajak yaitu PDRB, kesenjangan fiskal, desentralisasi fiskal, dan penerimaan pajak tahun sebelumnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan retribusi antara lain PDRB non pertanian, kesenjangan fiskal, desentralisasi fiskal, dan penerimaan retribusi tahun sebelumnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi bagi hasil SDA adalah PDRB pertambangan dan lainnya, potensi SDA, desentralisasi fiskal, dan penerimaan
retribusi
tahun
sebelumnya.
Sedangkan
faktor-faktor
yang
mempengaruhi bagi hasil pajak daerah antara lain PDRB per kapita sektor jasa, pengeluaran pembangunan, pengeluaran domestik, desentralisasi fiskal, dan bagi hasil pajak tahun sebelumnya. Variabel yang mempengaruhi DAU adalah kapasitas fiskal, pengeluaran daerah, jumlah penduduk, perubahan DAU, dan desentralisasi fiskal. Astuti (2007) meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan daerah di Provinsi Bengkulu tahun 1993-2003 dengan metode sistem persamaan simultan. Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan pajak adalah PDRB sektoral, lag total transfer pemerintah, jumlah kendaraan bermotor, trend, dan lag penerimaan pajak. Faktor-faktor yang mempengaruhi retribusi daerah antara lain
34
PDRB sektoral, jumlah kendaraan bermotor, perubahan jumlah penduduk, dan retribusi tahun sebelumnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi DAU antara lain PDRB sektoral, kesenjangan fiskal daerah, perubahan jumlah penduduk, dan desentralisasi fiskal. Faktor-faktor yang mempengaruhi bagi hasil pajak adalah pengeluaran pemerintah, luas wilayah, perubahan jumlah penduduk, dan bagi hasil pajak tahun sebelumnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi bagi hasil bukan pajak adalah luas wilayah, perubahan jumlah penduduk, total produksi SDA, dan lag bagi hasil bukan pajak.
2.12.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengeluaran Daerah Sumedi (2005) meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi pengeluaran pemerintah daerah tahun 2005 di provinsi-provinsi di Indonesia. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengeluaran rutin adalah PAD, dana perimbangan, desentralisasi fiskal, dan pengeluran rutin tahun sebelumnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengeluaran pembangunan sektor pertanian adalah produktivitas tenaga kerja sektor pertanian, PAD, dana perimbangan, dan pengeluaran pembangunan
sektor
pertanian
tahun
sebelumnya.
Faktor-faktor
yang
mempengaruhi pengeluaran pembangunan sektor industri adalah produktivitas tenaga kerja sektor industri, PAD, dana perimbangan, dan pengeluaran pembangunan mempengaruhi
sektor
industri
pengeluaran
tahun
sebelumnya.
pembangunan
sektor
Faktor-faktor infrastruktur
yang adalah
produktivitas tenaga kerja sektor jasa, PAD, dana perimbangan, dan pengeluaran pembangunan sektor infrastruktur tahun sebelumnya. Prakosa (2004) meneliti pengaruh DAU dan PAD terhadap prediksi belanja daerah. Penelitian tersebut dilakukan terhadap Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta periode 2000-2002. Penelitian ini menggunakan metode OLS. Variabel bebas yang digunakan dalam penelitian ini adalah perubahan belanja pemerintah daerah, sedangkan variabel tak bebasnya yaitu PAD, DAU, dan pajak. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa PAD, DAU, dan pajak berpengaruh positif terhadap belanja daerah. Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengeluaran pemerintah daerah dipengaruhi oleh penerimaan pemerintah daerah.
35
Sihombing (2003) meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi pengeluaran pemerintah di Indonesia tahun 1969-2000 menggunakan metode Error Correction Model (ECM). Penelitian ini menggunakan hukum Wagner dan Keynes dalam memformulasi model pengeluaran pemerintah. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa dalam jangka pendek pengeluaran pemerintah dipengaruhi oleh modal masuk dan inflasi, sedangkan dalam jangka panjang pengeluaran pemerintah dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi, modal masuk, inflasi, pengeluaran pemerintah tahun sebelumnya, perubahan inflasi tahunan, dan perubahan pengeluaran pemerintah tahunan. Shelton (2007) meneliti ukuran dan komposisi pengeluaran pemerintah di 100 negara periode 1970 sampai dengan 2000. Shelton mengelompokkan pengeluaran pemerintah ke dalam sektor pendidikan, kesehatan, social, pertahanan dan keamanan, pelayanan umum, dan transportasi. Shelton mengevaluasi fakorfaktor yang mempengaruhi pengeluaran pemerintah dengan variabel bebas yaitu pertumbuhan PDB per kapita, pertumbuhan penduduk, persentase penduduk yang berumur kurang dari 15 tahun, persentase penduduk yang berumur lebih dari 65 tahun, tingkat keterbukaan, dan tingkat fraksionalisasi etnik. Hasilnya adalah variabel pertumbuhan penduduk berpengaruh positif terhadap pengeluaran untuk pertahanan dan keamanan, pelayanan umum dan transportasi. Variabel persentase penduduk berumur kurang dari 15 tahun berpengaruh negatif terhadap semua jenis pengeluaran kecuali pengeluaran untuk sosial. Variabel persentase penduduk berumur lebih dari 65 tahun berpengaruh positif terhadap pengeluaran untuk pendidikan, pertahanan dan keamanan, pelayanan umum, dan transportasi. Pertumbuhan PDB per kapita berpengaruh positif terhadap pengeluaran untuk pertahanan dan keamanan, tetapi berpengaruh negatif terhadap pengeluaran untuk pelayanan umum. Tingkat keterbukaan berpengaruh negatif terhadap semua jenis pengeluaran. Sanz dan Velazquez (2000) meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi komposisi pengeluaran pemerintah menurut fungsi di negara-negara sedang berkembang periode 1970 sampai dengan 1997. Metode yang digunakan adalah Three Stage Least Square, dengan variabel bebas pendapatan, harga, populasi, kepadatan penduduk, penduduk yang berumur lebih dari 64 tahun, dan penduduk
36
yang berumur kurang dari 15 tahun. Variabel tak bebasnya adalah pengeluaran untuk pelayanan umum, pertahanan, kesehatan, pendidikan, perumahan, transportasi dan komunikasi, lainnya, dan sosial. Hasilnya disamping pendapatan dan harga, faktor institusi, kepadatan penduduk, dan struktur umur berpengaruh nyata terhadap komposisi pengeluaran pemerintah. Studi Holzt-Eakin, Rosen, dan Tilly (1994) menganalisis model maximazing under uncertainty of intertemporal utility function. Penelitian ini menggunakan data runtun waktu selama tahun 1934-1991. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pengeluaran pemerintah, dimana keputusan-keputusan untuk melakukan pengeluaran tersebut didasarkan pada ketersediaan sumberdaya secara permanen, bukan ketersediaan yang sifatnya temporer. Studi ini menemukan bahwa semua current spending ditentukan oleh current resources, dengan kata lain pengeluaran pemerintah saat ini dipengaruhi oleh penerimaan pemerintah saat ini juga.
2.12.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi (PDRB) Nurudeen dan Usman (2010) meneliti pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi di Nigeria pada tahun 1970 sampai dengan 2008. Metode yang digunakan adalah Kointegrasi dan Error Correction Model (ECM) dengan menggunakan variabel total belanja modal, total belanja barang, pengeluaran untuk pendidikan, pengeluaran untuk transportasi dan komunikasi, dan pengeluaran untuk kesehatan. Hasil dari penelitian ini adalah total belanja modal, total belanja barang, dan pengeluaran untuk pendidikan berpengaruh nyata negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, sedangkan pengeluaran untuk transportasi dan komunikasi, dan kesehatan berpengaruh nyata positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Alexiou (2009) melakukan penelitian hubungan antara pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi di South Eastern Europe (SEE). Variabel yang digunakan yaitu pertumbuhan ekonomi, belanja modal, investasi swasta, tingkat keterbukaan (ekspor neto), dan development assistance. Metode yang digunakan yaitu OLS. Hasilnya adalah belanja modal, investasi swasta, tingkat
37
keterbukaan (ekspor neto), dan development assistance berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Penelitian Syaibani (2005) yang bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pengeluaran
pemerintah
pusat
maupun
pengeluaran
pemerintah
daerah
mempengaruhi pembangunan ekonomi, dengan menggunakan data pengeluaran pemerintah di semua propinsi di Indonesia dari tahun 2001-2003. Metode analisisnya menggunakan model-model ekonometrik. Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa pengeluaran pemerintah memiliki pengaruh yang positif terhadap
pertumbuhan
ekonomi.
Pengeluaran
pemerintah
daerah
lebih
berpengaruh dibanding pengeluaran pemerintah pusat. Selain itu pengeluaran pemerintah pusat mempunyai pengaruh terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Nuryanto (2005) meneliti pengaruh pengaruh pengeluaran pemerintah dan pajak terhadap pertumbuhan ekonomi di 25 negara berkembang dan 25 negara sedang berkembang pada tahun 1997. Metode yang digunakan yaitu OLS dengan variabel bebas PDB inisial, belanja barang, belanja modal, pengeluaran pelayanan umum, pengeluaran human capital, pengeluaran sosial, dan pengeluaran industri dan infrastruktur. Hasilnya adalah PDB inisial, belanja barang, dan pengeluaran sosial berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Belanja modal, pengeluaran industri dan infrastruktur berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Pengeluaran pelayanan umum dan human capital tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan ekonomi. Panjaitan (1996) meneliti pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi dengan menggunakan sistem persamaan simultan. Variabel yang digunakan yaitu pendapatan riil per kapita, ekspor, arus modal masuk, investasi, penduduk usia produktif. Hasilnya adalah pengeluaran pemerintah dipengaruhi oleh PDB tahun lalu, pertumbuhan pengeluaran pemerintah tahun lalu berpengaruh positif terhadap PDB per kapita. Hasil yang lain yaitu investasi merupakan variabel yang paling dominan pengaruhnya terhadap PDB perkapita. Kweeka dan Morissey (1996) meneliti pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi. Penelitian dilakukan terhadap pengeluaran pemerintah di Tanzania periode 1965 sampai dengan 1996. Metode yang
38
digunakan adalah Kointegrasi Engle-Granger dan ECM. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu investasi swasta, total belanja modal, total belanja barang untuk pendidikan dan kesehatan, total belanja modal untuk pendidikan dan kesehatan. Hasilnya adalah investasi swasta, total belanja barang, pengeluaran untuk human kapital berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
2.12.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyerapan Tenaga Kerja Sumedi (2005) meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan tenaga kerja di tingkat nasional dan daerah. Tingkat nasional meliputi seluruh provinsi di Indonesia, sedangkan tingkat daerah meliputi kabupaten-kabupaten di provinsi Jawa Barat. Metode yang digunakan adalah sistem persamaan simultan dengan Three Stage Least Squares (3SLS). Hasilnya faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan tenaga kerja sektoral yaitu indeks harga sektoral, PDRB sektoral, tenaga kerja sektor lain, dan tenaga kerja sektoral tahun sebelumnya. Indriani (2006) meneliti hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan tingkat pengangguran di Indonesia periode 1985-2002. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah pertumbuhan ekonomi dan tingkat pengangguran. Metode yang digunakan adalah OLS. Hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya hubungan yang negatif antara pertumbuhan ekonomi dan tingkat pengangguran. Berdasarkan penelitian ini pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap tingkat pengangguran di Indonesia selama tahun 1985 sampai tahun 2002,
penurunan
pertumbuhan
ekonomi
dapat
meningkatkan
tingkat
pengangguran. Jadi, untuk menurunkan tingkat pengangguran di Indonesia adalah dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Astuti (2007) meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan tenaga kerja di Provinsi Bengkulu tahun 1993-2003. Penelitian ini menggunakan pool data (data time series tahun 1993-2003 dan cross section 3 kabupaten dan 1 kota). Model penelitian ini dibangun dalam bentuk persamaan simultan terdiri dari 26 persamaan struktural dan 17 persamaan identitas, diestimasi dengan Two Stage Least Squares (2SLS). Faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan tenaga kerja antara lain PDRB sektoral, upah sektoral, dan tenaga kerja sektoral tahun
39
sebelumnya. Realokasi pengeluaran rutin ke pengeluaran pembangunan sektor pertanian dan infrastruktur berdampak besar dalam meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Siregar dan Sukwika meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi kesempatan kerja sektoral menurut tingkat pendidikan di Kabupaten Bogor Tahun 1998-2001. Metode yang digunakan adalah 2SLS. Hasilnya faktor-faktor yang mempengaruhi kesempatan kerja terdidik di sektor jasa adalah upah pekerja sektor jasa, investasi sektor jasa, pengangguran terdidik, dan pendapatan regional sektor jasa.
2.12.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan dan Ketimpangan Rindayati (2009) meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Jawa Barat periode 1995-2005. Metode yang digunakan adalah 2SLS. Hasilnya faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Jawa Barat antara lain pengeluaran kesehatan per penduduk miskin, pendapatan per kapita, dan jumlah penduduk. Usman (2006) meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan menggunakan pendekatan ekonometrika yang terdiri dari 17 persamaan struktural dan 8 persamaan identitas. Studi ini menggunakan data time series tahun 1995-2003 dan data cross section dari 26 provinsi di Indonesia. Penelitian ini menemukan desentralisasi fiskal teridentifikasi dapat mengurangi tingkat kemiskinan. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan yaitu konsumsi per populasi, selisih garis kemiskinan provinsi dengan nasional, dan DAU per populasi. Nanga (2006) meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Indonesia dengan menggunakan sistem persamaan simultan yang terdiri dari 20 persamaan struktural dan 7 persamaan identitas. Hasilnya adalah kemiskinan dipengaruhi oleh ketimpangan pendapatan yang ditunjukkan oleh berbagai ukuran kemiskinan yang memiliki hubungan yang responsif atau elastis terhadap perubahan indeks Gini, selain itu kemiskinan dipengaruhi oleh garis kemiskinan dan pendapatan per kapita.
40
Niehues (2010) meneliti pengaruh kebijakan pemerintah di bidang pengeluaran sosial terhadap pengurangan ketimpangan pendapatan di negaranegara Eropa tahun 1993 sampai dengan 2007. Metode yang digunakan adalah General Method of Moment (GMM). Data yang digunakan adalah koefisien GINI, pengeluaran pemerintah untuk sosial, pengangguran, kesehatan, perumahan, PDB per kapita, rata-rata lama hidup, rasio ketergantungan, penduduk yang berpendidikan tinggi, kepadatan penduduk. Hasil dari penelitiannya adalah semakin besar belanja pemerintah untuk sosial akan menurunkan tingkat ketimpangan pendapatan. Roine (2009) meneliti penentu ketimpangan pendapatan di 16 negara selama periode abad dua puluh. Roine mengelompokkan penerima pendapatan ke dalam tiga golongan, yaitu kelas kaya, kelas menengah, dan sisanya. Variabel yang digunakan adalah pengeluaran pemerintah pusat, tingkat pajak marjinal, PDB per kapita, dan populasi. Metode yang digunakan adalah First Differenced Generalized Least Square (FDGLS) dan Dynamic First Differences (DFD). Hasilnya pengeluaran pemerintah berpengaruh negatif terhadap pendapatan kelas menengah, dan berpengaruh positif terhadap penduduk miskin. Pengeluaran pemerintah tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan kelompok kaya.
2.13
Kerangka Pemikiran Diagram alur kerangka pemikiran dari Dampak Penerimaan dan
Pengeluaran Pemerintah Daerah terhadap Kinerja Ekonomi dan Kemiskinan di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 5. Pemerintah mempunyai peran terhadap kinerja sektor riil melalui konsumsi dan investasi langsung maupun melalui multiplier effect dan stimulasi kepada pelaku ekonomi. Peranan pemerintah melalui kebijakan fiskal antara lain melalui alokasi pengeluaran antar urusan. Melalui kebijakan pemerintah dalam mendorong sektor riil, diharapkan tercapainya target pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, distribusi pendapatan, dan kemiskinan. Pemerintah telah memberlakukan UU No. 22 Tahun 1999 yang diperbaharui dengan UU No. 33 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan UU No. 25 tahun 1999 yang diperbaharui dengan UU No. 34 Tahun 2004 tentang Perimbangan
41
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Hal tersebut berimplikasi pada munculnya hak, wewenang, serta kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Target Nasional: Pertumbuhan Ekonomi, Penyerapan Tenaga Kerja, Distribusi Pendapatan, dan Kemiskinan
APBN: alokasi menurut urusan
UU No 32 Tahun 2004 UU No 33 Tahun 2004
Penerimaan Pemerintah Daerah: PAD, DBH, DAU, DAK
Kewenangan Pengelolaan pada Pemerintah Daerah
APBD: alokasi pengeluaran menurut urusan
Kinerja Ekonomi Daerah: Pertumbuhan Ekonomi, Penyerapan Tenaga Kerja, Distribusi Pendapatan, Kemiskinan Gambar 5 Diagram Alur Kerangka Pemikiran
42
Desentralisasi
fiskal
mencakup
aspek
penerimaan
maupun
aspek
pengeluaran pengeluaran pemerintah. Aspek penerimaan merupakan kewenangan bagi daerah untuk menggali sumber-sumber potensial, sedangkan aspek pengeluaran mencakup pengalokasian pengeluaran pemerintah. Dengan adanya pembagian sumber-sumber penerimaan daerah dan pusat dalam bentuk dana bagi hasil sumber daya dan pajak, pemerintah daerah memiliki kemampuan yang lebih besar dalam menghimpun pendapatan daerah, terutama bagi daerah yang memiliki potensi sumber daya dan potensi ekonomi yang baik, selain itu juga dengan adanya dana perimbangan yang disalurkan melalui DBH, DAU dan DAK. Sehingga kebijakan tersebut berpengaruh terhadap penerimaan pemerintah daerah melalui peluang peningkatan PAD dan alokasi DBH, DAU, dan DAK. Hal itu menyebabkan pemerintah daerah memiliki peluang peningkatan kapasitas keuangan daerah dalam pendanaan, sehingga mampu meningkatkan permintaan daerah melalui konsumsi dan investasi. Penerimaan pemerintah daerah akan mempengaruhi pengeluaran pemerintah yang dialokasikan ke dalam berbagai jenis belanja. Alokasi pengeluaran pemerintah yang efektif dan efisien diperlukan agar dampak dari belanja tersebut dapat memberikan kesempatan bagi daerah untuk meningkatkan kinerja ekonomi, antara lain pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, menurunkan ketimpangan distribusi pendapatan dan kemiskinan. Sehingga target nasional mengenai pertumbuhan ekonomi,
penyerapan tenaga
pendapatan, dan kemiskinan juga tercapai.
kerja,
distribusi