PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Pembangunan Perekonomian Pedesaan Menurut Suhardjo (1998), dalam menentukan program pembangunan dikenal tiga bentuk pendekatan, yaitu : Program pembangunan ditentukan oleh pihak luar (pemerintah), oleh masyarakat sendiri dan ditentukan bersama oleh masyarakat sendiri dan pemerintah. Program pembangunan yang ditentukan oleh pihak luar (pemerintah) didasarkan atas perhitungan bahwa program tersebut diperlukan oleh masyarakat, tanpa melalui konsultasi atau pertemuan formal terlebih dahulu dengan masyarakat setempat, baik dengan seluruh anggota masyarakat ataupun melalui pemimpin/wakil mereka. Kegiatan
pembangunan
semacam
ini
bercirikan
instruktif
dan
dimaksudkan untuk kecepatan bertindak, efisien dari segi waktu dan energi, menyelesaikan masalah dengan segera, dan menghasilkan manfaat yang besar. Resiko dari cara ini adalah bahwa masyarakat tidak dipersiapkan dari awal untuk berpartisipasi
terhadap
program
pembangunan
tersebut,
sehingga
ada
kemungkinan akan sulit diajak berpartisipasi dalam tahap pelaksanaannya, bahkan pada pemanfaatannya, padahal partisipasi masyarakat merupakan factor yang esensial dalam pembangunan. Program pembangunan yang
ditetapkan
oleh
masyarakat
sendiri
bertitiktolak dari pandangan bahwa jika penentuan program diserahkan kepada masyarakat sendiri, maka mereka akan mempunyai motivasi yang kuat untuk melaksanakan program tersebut dengan baik. Hal ini disebabkan hal-hal yang dicapai dalam program tersebut adalah yang mereka rasakan sebagai kebutuhan dan pengalaman mereka. Program yang ditetapkan bersama merupakan gabungan antara kedua pendekatan, hal ini dimaksudkan untuk menutupi kelemahan pada kedua pendekatan sebelumnya. Dalam pelaksanaannya pihak luar mengadakan konsultasi dengan masyarakat mendiskusikan pendapat-pendapat tentang situasi lingkungan serta perikehidupan masyarakat setempat, kemudian memutuskan bersama program yang menjadi kesepakatan.
9
Pembangunan selalu membawa dimensi kepentingan politik, perebutan sumberdaya ekonomi, konflik sosial, dan membawa masalah dalam menentukan pilihan-pilihan penyelesaian. Menurut Arsyad (1999), pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan pekerjaan baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam suatu wilayah tersebut. Pembangunan ekonomi daerah juga mencakup proses pembentukan institusi-institusi baru, identifikasi pasar-pasar baru, alih ilmu pengetahuan dan pengembangan perusahaan-perusahaan baru.
Setiap upaya pembangunan
ekonomi daerah, mempunyai tujuan utama utnuk meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat daerah, dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya harus secara bersama-sama mengambil inisiatif pembangunan daerahnya. Pembangunan yang juga merupakan pemberdayaan masyarakat pedesaan adalah upaya menuju kemandirian masyarakat pedesaan, yang dapat berdiri dengan kaki sendiri dengan mengoptimalkan segala kemampuan yang dimiliki. Pembangunan pedesaan dipahami sebagai serangkaian aktivitas dan aksi dari beragam pelaku individu, organisasi, kelompok yang bahu-membahu melakukan pembaharuan demi kemajuan (progress) berbagai sektor di wilayah pedesaan (Dharmawan, 2002). Mengacu pada Unicef dalam Sumarti dan Syaukat (2002), terdapat tujuh komponen kapasitas di tingkat komunitas yang dapat dikembangkan untuk mendorong
aktivitas-aktivitas
ekonomi
anggotanya
melalui
pembentukan
kelompok-kelompok usaha ekonomi produktif, yaitu : Community Leader, Community Technology, Community Fund, Community Material, Community Knowledge,
Community
Penyelenggaraan
Decision
pembangunan
Making, daerah
Community
tidak
Organization.
semata-mata
menjadi
tanggungjawab Pemerintah Daerah, tetapi juga berada pada pundak masyarakat secara keseluruhan.
10
Salah satu wujud rasa tanggungjawab yang dimaksud adalah sikap mendukung
dari
warga
masyarakat
daerah
terhadap
penyelenggaraan
pembangunan daerah yang ditujukkan dengan keterlibatan (partisipasi) aktif warga masyarakat (Tony, 2003). Pendekatan pembangunan di negara-negara berkembang dan termasuk di Indonesia (terutama di masa Orde Baru) pada kenyataannya cenderung menggunakan pendekatan modernisasi dengan indikator keberhasilannya diukur dari tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Sebagaimana dikemukakan oleh Korten dan Syahrir (1988), walaupun tujuan dasarnya untuk mensejahterakan rakyat, namun karena strategi, metodologi dan implementasinya berpusat pada produksi, maka pada akhirnya kurang memberi manfaat bagi kesejahteraan rakyat. Hal ini terjadi karena tercapainya pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tidak secara otomatis menjamin tercapainya pemerataan hasil atau manfaatnya secara adil bagi seluruh lapisan masyarakat.
Hal ini mulai disadari oleh para pengambil
keputusan kebijaksanaan pembangunan di era reformasi dan otonomi daerah ini, dimana pendekatan pembangunan nasional mulai bergeser pada “ekonomi kerakyatan”. Proses modernisasi meliputi proses transformasi model struktur, kultur, pengetahuan, modal dan juga teknologi dari luar (negara maju) ke dalam sebuah masyarakat di negara-negara Dunia Ketiga. Proses transformasi ini dapat berjalan dengan baik, jika individu-individu di dalam
masyarakat juga mengalami
transformasi kepribadian. Untuk kasus proses modernisasi di Indonesia, transformasi kepribadian ini tidak terjadi, karena upaya-upaya pembangunan (modernisasi) lebih ditekankan pada aspek-aspek fisik (perangkat keras) seperti fasilitas transportasi, fasilitas komunikasi, gedung sekolah, dll. Sebagaimana dikemukakan oleh Ogburn dalam Strasser (1981), bahwa proses laju perubahan dalam kebudayaan material lebih cepat dibandingkan dengan perubahan-perubahan dalam kebudayaan non-material (kultural), seperti kelembagaan (adat, kepercayaan, filsafat, hukum dan pemerintahan).
11
Menurut
Israel
(1990),
timbulnya
kecenderungan
penekanan
pembangunan terhadap aspek-aspek fisik disebabkan oleh dua alasan pokok yaitu ; pertama, teori pembangunan dan praktek telah begitu lama berada di tangan para ahli ekonomi, mengikuti tradisi yang memfokuskan pada alokasi sumberdaya dan alokasi yang berdasarkan pada efisiensi, bukan pada cara-cara yang paling efektif dalam
menggunakan
sumberdaya
yang
sudah
dialokasikan.
Strategi
pembangunan penekanannya masih pada perencanaan dan penaksiran bukan pada pelaksaanaan, lebih kepada investasi serta kebijakan bukannya pada operasi. Selain itu kecondongan kuantitatif dalam ilmu ekonomi dan pembangunan ekonomi selama dekade belakangan ini lebih menguntungkan masalah analisa lokasi sumberdaya, seperti perencanaan dan prakiraan dibandingkan dengan masalah pelaksanaan, yang memang kurang dapat dikuantifikasi. Kedua, terabaikannya masalah-masalah kelembagaan karena hal ini merupakan bidang yang rumit.
Bidang-bidang seperti ilmu manajemen dan
administrasi pembangunan belum cukup berhasil dalam mengatasi masalah di negara-negara sedang berkembang. Tujuan utama ilmu manajemen telah terlanjur mengarah pada masalah-masalah sektor swasta di negara maju, dan telah menemui kesulitan dalam mengadaptasikannya ke dalam kegiatan publik atau campuran dari lingkungan yang lebih buruk dan lebih politis. Ketika teori dan praktek pembangunan adalah ahli ekonomi, maka secara otomatis perencanaan pembangunan cenderung menggunakan pendekatan ekonomi makro. Padahal, menurut Uphoff (1997), rekomendasi makro ekonomi biasanya tergabung (incorporated) dalam paket “penyesuaian struktural” (structural adjustment) hanya memberi dampak yang sangat kecil terhadap masyarakat miskin di pedesaan, dan sedikit (bahkan tidak sama sekali) membangun kemampuan organisasi lokal dan menengah untuk merencanakan, memonitor dan mengelola berbagai perbaikan-perbaikan taraf hidup masyarakat dan mata pencahariannya. masyarakat lokal diberi
Berbagai studi kasus menunjukan bahwa ketika kapasitas (kesempatan) yang sangat besar untuk
mengelola (sumberdaya) yang ada disekitar mereka, ternyata mereka mampu untuk memasukan inovasi-inovasi baru yang dapat meningkatkan produktivitas dan mempertinggi kualitas hidupnya.
12
Ketika pihak luar memberikan banyak investasi terhadap kapasitas kelembagaan (organizational capability), maka hal itu akan memberikan keuntungan yang berlipat. Pendekatan-pendekatan ekonomi makro, nyata-nyata kurang mampu menjangkau dan menyelesaikan masalah masyarakat miskin di pedesaan dan perkotaan. Ketika kebijakan pembangunan ekonomi tidak dapat menyelesaikan masalah kemiskinan di pedesaan, maka dapat dikatakan secara umum kebijakan pembangunan tersebut telah gagal. Aktivitas
pembangunan
yang
diwujudkan
dalam
bentuk-bentuk
modernisasi maka indikator keberhasilannya dilihat melalui ukuran-ukuran kuantitatif seperti tingkat pertumbuhan ekonomi, tingkat pendapatan negara (GDP) atau tingkat produktivitas.
Model-model indikator keberhasilan
pembangunan ekonomi seperti itu tidak dapat menggambarkan realitas (kondisi tingkat kesejahteraan masyarakat) yang sebenarnya. Tercapainya pertumbuhan ekonomi yang tinggi di suatu negara, tidak serta merta berarti pula telah tercapai upaya-upaya pemerataan bagi masyarakat dalam menikmati hasil-hasil pertumbuhan ekonomi secara adil. Jika sarana atau modal produksi tidak dimiliki secara “merata” dan adil oleh seluruh lapisan masyarakat, maka bisa jadi
angka-angka tersebut bersifat semu karena manfaat atau
keuntungan dari surplus produksi sebagian besar terkonsentrasi pada sekelompok kecil masyarakat. Sedangkan sebagian besar dari masyarakat hanya menikmati sedikit dari hasil-hasil pertumbuhan ekonomi, bahkan ada diantaranya yang tidak menikmati sama sekali.
Kebijaksanaan pembangunan (modernisasi) pedesaan di negara-
negara berkembang yang cenderung bertumpu pada pertumbuhan ekonomi terbukti belum berhasil mengurangi kemiskinan di negara berkembang (Kasryno dan Stepanek, 1985). Demikian pula halnya dengan pembangunan pertanian di pedesaan Indonesia, meskipun berhasil meningkatkan produktivitas pertanian, namun tidak dibarengi dengan peningkatan kapasitas diri petani (terutama petani gurem) untuk menolong dirinya sendiri.
13
Sebagaimana dikemukakan Sajogjo (1982), petani kecil masih dihadapkan pada resiko-resiko seperti lemahnya akses mereka pada kredit murah yang disediakan pemerintah dan mereka tidak mampu membebaskan dirinya dari ketergantungan dan lilitan hutang dari petani kaya dan tengkulak. Meskipun modernisasi pertanian di pedesaan telah memulai membimbing petani untuk mengorganisasikan dirinya agar dapat menolong dirinya sendiri, seperti melalui penyuluhan dan pembentukan koperasi petani (KUD), namun terbukti upaya tersebut belum memberi hasil yang memuaskan. Kondisi masyarakat miskin di pedesaan Indonesia tidak mengalami banyak perubahan dan bahkan kondisinya semakin memburuk sebagai dampak krisis ekonomi di tahun 1997. Kondisi perekonomian masyarakat pedesaan di negara berkembang, sebagaimana dikemukakan oleh Boeke (1953) masih dicirikan dengan adanya dualisme ekonomi. Masyarakat pedesaan di Indonesia (terutama Jawa) memang tidak sepenuhnya persis sebagaimana tesis yang dikemukakan oleh Geertz (1974) tentang involusi pertanian, karena pada dasarnya petani itu selain pekerja keras juga kreatif dalam mensiasati kerasnya kehidupan. Breman dan Gunardi (2004) menunjukkan bahwa keterbatasan sektor pertanian dipedesaan untuk menutupi kebutuhan hidup telah mendorong masyarakat desa untuk mencari mata pencaharian ganda. Bahkan pada perkembangan lebih lanjut, kecenderungan ini meluas dan melintasi batas-batas geografis desa, yaitu hingga ke perkotaan, dan bahkan hingga ke manca negara untuk bekerja sebagai tenaga kerja wanita (TKW). Satu hal yang menjadi ciri dasar, bahwa posisi petani sebagai strata bawah juga terbawa pada jenis-jenis pekerjaan di perkotaan dan di manca negara, dimana karakteristik pekerjaan mereka didominasi oleh pekerjaan-pekerjaan kelas bawah dan rentan terhadap pengusiran, eksploitasi, penindasan dan bahkan perkosaan. Kondisi ini membuktikan bahwa posisi petani kecil dan keluarganya masih termarginalkan baik dalam tataran lokal, nasional, maupun global.
Kondisi
keterpurukan mayoritas petani kecil di pedesaan ini membutuhkan perhatian serius dari semua kalangan terutama pemerintah.
14
Sebagaimana dikemukakan Tjondronegoro dalam kata pengantarnya untuk buku karya Breman dan Wiradi (2004), pasar tenaga kerja untuk petani kecil dan keluarga miskin di pedesaan tidak mempunyai kelenturan. Dengan tingkat pendidikan yang sangat rendah, sulit bagi mereka untuk melakukan mobilitas horisontal apalagi vertikal, pun untuk jenis-jenis pekerjaan di sektor informal. Posisi terdesak dari mayoritas petani
ini sangat membahayakan bagi
keamanan dan ketahanan nasional. Dalam tataran lokal dan daerah, kondisi ini akan mendorong maraknya tindak
kejahatan. Namun jika kondisi ini terus
berlangsung, hingga melampaui batas-batas kesabaran dan kesadaran, maka bukan tidak mungkin akan menimbulkan pembangkangan dan bahkan hingga pemberontakan, yang cakupannya tidak hanya meliputi geografis lokal kedaerahan, bahkan nasional. Tentunya kondisi tersebut tidaklah kita harapkan terjadi, oleh karena itu bagi
pemerintahan sekarang, sebagaimana dikemukakan oleh Tjondronegoro
tantangan yang terberat adalah masalah kemiskinan di pedesaan sebagai akibat pengangguran terbuka dan pengangguran terselubung. Sehingga dibutuhkan model pembangunan baru, yang mampu memecahkan masalah pengangguran dan kemiskinan struktural dalam kurun waktu yang sependek mungkin. Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses aksi sosial yang berkesinambungan dimana masyarakat mengorganisir diri mereka dalam merencanakan yang akan dikerjakan, merumuskan masalah dan kebutuhankebutuhan baik yang sifatnya untuk kepentingan individu maupun yang sifatnya untuk kepentingan bersama, membuat rencana-rencana tersebut didasarkan atas kepercayaan yang tinggi terhadap sumber-sumber yang dimiliki masyarakat, dan bilamana perlu dapat melengkapi dengan bantuan teknis dan material dari pemerintah dan badan-badan non-pemerintah di luar masyarakat. Pemberdayaan
masyarakat
bertujuan
untuk
meningkatkan
potensi
masyarakat agar mampu meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik bagi seluruh warga masyarakat melalui kegiatan-kegiatan swadaya. Memberdayakan masyarakat bertujuan mendidik masyarakat agar mampu mendidik diri mereka sendiri.
15
Karenanya pola pemberdayaan masyarakat apapun yang dipilih, maka pola tersebut harus bebas dari perlakuan-perlakuan diskriminasi, prejudice, dan subjektif terhadap masyarakat. Pendapat ini sesuai dengan hakikat dari pemberdayaan masyarakat yakni terimalah perlakukan masyarakat sebagaimana mereka adanya tanpa membandingkan dengan masyarakat lain, dan mulailah kegiatan pembangunan masyarakat dimana masyarakat berada. Pemberdayaan
masyarakat
dengan
segala
kegiatannya
dalam
pembangunan sebaiknya menghindari metode kerja "doing for the community", tetapi mengadopsi metode kerja "doing with the community". Metode kerja doing for, akan menjadikan masyarakat menjadi pasif, kurang kreatif dan tidak berdaya, bahkan mendidik masyarakat untuk bergantung pada bantuan pemerintah atau organisasi-organisasi sukarela pemberi bantuan. Sebaliknya, metode kerja doing with, merangsang masyarakat menjadi aktif dan dinamis serta mampu mengidentifikasi mana kebutuhan yang sifatnya - real needs, felt needs dan expected need .
Program Aksi Mandiri Pangan (Mapan) Terjadinya kasus rawan pangan dan gizi buruk di beberapa daerah, menunjukkan bahwa masalah ketahanan pangan bukan masalah yang sederhana dan dapat diatasi sesaat saja, melainkan merupakan masalah yang cukup kompleks karena tidak hanya memperhatikan situasi ketersediaan pangan atau produksi disisi makro saja melainkan juga harus memperhatikan programprogram yang terkait dengan fasilitasi peningkatan akses terhadap pangan dan asupan gizi baik ditingkat rumah tangga maupun bagi anggota rumah tangga itu sendiri. Kerawanan pangan merupakan suatu kondisi ketidakmampuan untuk memperoleh pangan yang cukup dan sesuai untuk hidup sehat dan aktif. Kerawanan pangan ini terjadi apabila setiap individu hanya mampu memenuhi 80 persen kebutuhan pangan dan gizi hariannya. Munculnya kasus rawan pangan dan gizi menunjukkan bahwa ketersediaan bahan pangan dan akses terhadap pangan serta konsumsi pangan yang bergizi dan seimbang masih menjadi masalah bagi masyarakat.
16
Berdasarkan sifatnya kerawanan pangan dibedakan menjadi dua yaitu kerawanan pangan sementara dan kerawanan pangan khronis. Kerawanan pangan sementara terjadi karena individu tidak mampu memperoleh pangan yang cukup pada suatu waktu karena sebab-sebab tertentu yang terjadi secara mendadak seperti bencana alam. Kerawanan pangan khronis terjadi karena individu tidak mampu memperoleh pangan yang cukup dalam jangka waktu yang lama. Kondisi kerawanan pangan yang lebih parah akan berdampak pada terjadinya kelaparan dimana individu tidak mampu memenuhi 70 persen dari kebutuhan pangan dan gizinya berturut-turut selama 2 bulan dan diikuti dengan penurunan berat badan karena masalah daya beli dan atau masalah ketersediaan pangan. Ketahanan pangan sebagai terjemahan dari food security telah dikenal luas di dalam forum pangan sedunia seperti FAO. Sebagai titik tolak alat evaluasi yang penting dalam kebijakan pangan, konsep ketahanan pangan mengalami banyak perubahan sesuai kondisi sosial, ekonomi dan politik. Pada tahun 1970-an, aspek ketersediaan pangan menjadi perhatian utama, Tahun 1980-an, beralih ke akses pangan pada tingkat rumah tangga dan individu dan Tahun 1990-an, konsep ketahanan pangan mulai memasukan aspek kelestarian lingkungan (Handewi dan Ariani, 2002). Badan Bimas Ketahanan Pangan (2004), merumuskan konsepsi ketahanan pangan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumahtangga yang tercermin dari : (1) tersedianya pangan secara cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya; (2) aman; (3) merata; (4) terjangkau. Dengan pengertian tersebut, mewujudkan ketahanan pangan dapat lebih dipahami sebagai berikut : a. terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup, diartikan ketersediaan luas, pangan yang mencakup pangan yang yang berasal dari tanaman, ternak, dan ikan untuk memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral serta turunannya, yang bermanfaat bagi pertumbuhan kesehatan manusia
17
b. terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, diartikan bebas dari cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia, serta aman dari kaidah agama c. terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, diartikan pangan yang harus tersedia setiap saat dan merata di seluruh tanah air d. terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, diartikan pangan mudah diperoleh rumah tangga dengan harga yang terjangkau
Pembangunan subsistem ketersediaan mencakup pengaturan kestabilan dan kesinambungan penyediaan pangan baik yang berasal dari produksi dalam negeri, cadangan maupun impor dan ekspor. Pembangunan subsistem distribusi mencakup aksesibilitas pangan antar wilayah dan antar waktu serta stabilitas harga pangan strategisl. Pembangunan subsistem konsumsi mencakup jumlah, mutu, gizi/nutrisi, keamanan, dan keragaman konsumsi pangan. Pendekatan yang ditempuh dalam membangun ketiga subsistemtersebut adalah koordinasi dan pemberdayaan masyarakat secara partisipatif . Pendekatan ini berbasis pada system dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berkelanjutan, berkerakyatan dan desentralistis. Keberhasilan pembangunan ketiga subsitem ketahanan pangan tersebut perlu didukung oleh faktor-faktor input berupa sarana,prasarana dan kelembagaan kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, pengolahan, juga didukung oleh faktorfaktor penunjang seperti kebijakan, peraturan, pembinaan dan pengawasan. Di samping itu perlu adanya jaringan informasi yang mencakup dimensi yang luas seperti produksi ketersediaan, konsumsi dan harga pangan serta status gizi antar waktu dan wilayah. Informasi ini berguna sebagai basis perencanaan, prakiraan dan evaluasi serta intervensi program. Ketahanan pangan diselenggarakan oleh banyak pelaku, seperti produsen, pengolah, pemasar dan konsumen, yang dibina oleh berbgai institusi sektoral, subsektoral, serta dipengaruhi oleh interaksi lintas wilayah.
Keluaran yang
diharapkan dari pangan, meningkatnya kualitas sumberdaya manusia, serta meningkatnya ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional.
18
Selanjutnya menurut Handewi dan Ariani, (2002), dimensi ketahanan pangan sangat luas, mencakup dimensi waktu, dimensi sasaran, dimensi sosial ekonomi masyarakat, sehingga diperlukan banyak indikator untuk mengukurnya. Pada tingkat global, nasional, regional indikator ketahanan pangan yang dapat digunakan adalah tingkat ketersediaan pangan dengan memperhatikan variabel tingkat kerusakan tanaman/ternak/perikanan, rasio ketersediaan (stock) dengan konsumsi, skor PPH, keadaan keamanan pangan, kelembagaan pangan, dana pemerintah dan harga pangan. Sementara itu, untuk tingkat rumah tangga dan individu, indikator yang dapat digunakan adalah pendapatan dan alokasi tenaga kerja, proporsi pengeluaran pangan terhadap tingkat pengeluaran total, perubahan kehidupan sosial, keadaan konsumsi pangan (jumlah, kualitas, kebiasaan makan), keadaan kesehatan dan status gizi.
Berdasarkan luasnya dimensi ketahanan pangan
tersebut di atas, maka pilihan kebijakan dan program juga sangat kompleks, tergantung seberapa besar ancaman ketahanan pangan, misalnya kronis atau sementara. Ditinjau dari aspek pendekatan yang terkait dengan strategi untuk mencapai ketahanan pangan, secara umum digunakan dua pendekatan yaitu : (1) pendekatan ketersediaan pangan, dan (2) pendekatan kepemilikan (entitlement).
1
Pendekatan atau paradigmma terbaru mengacu pada konsep ketahanan pangan yang berkelanjutan, yang mendasarkan pada empat aspek yaitu : pertama, pangan merupakan kebutuhan dasar manusia ;
kedua, ketahanan pangan harus
diperlakukan sebagai sistem hirarki dari tingkat global, nasional, daerah hingga rumah tangga ; dan ketiga, perlunya peranan pemerintah yang bersih dan bertanggung jawab dalam mencapai ketahanan pangan yang berkelanjutan, dan keempat, ketahanan pangan mencakup aspek kuantitatif dan kualitatif.
1
Konsep entitlement yang diperkenalkan Amartya Sen (1981). Konsep tersebut menggambarkan manusia (individu maupun kelompok) merupakan penggerak berbagai aset dan kebijakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mengatasi berbagai masalah dan ancaman. Manusia memiliki akses terhadap berbagai aset produktif yang dapat dikelola untuk memenuhi kebutuhan pangan dan kebutuhan hidup lainnya.
19
Salah satu program pemerinthah untuk meningkatkan ketahanan pangan adalah Program Desa Mandiri Pangan (Proksi Mapan). Program ini dimulai pada tahun 2005 merupakan suatu kegiatan strategis yang menjadi andalan pemerintah untuk mewujudkan ketahanan pangan di wilayah pedesaan, dimana perwujudan ketahanan pangan nasional dimulai dari pemenuhan pangan di wilayah terkecil (pedesaan) sebagai basis kegiatan pertanian. Tujuan dari program adalah meningkatkan ketahanan pangan dan gizi (mengurangi kerawanan pangan dan gizi) masyarakat melalui pendayagunaan sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal di pedesaan. Sasaran program adalah desa rawan pangan yang pada tahun 2006 Pemerintah melalui departemen pertanian mengeluarkan daftar 100 kabupaten rawan pangan di Indonesia. Alasan pokok pentingnya melakukan pengembangan kegiatan berkenaan dengan ketahanan pangan di pedesaan yaitu bahwa masih adanya masyarakat yang memiliki kemampuan rendah dalam mengakses pangan yang disebabkan oleh keterbatasan penguasaan sumberdaya alam, rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, terbatasnya akses masyarakat terhadap informasi dan teknologi, terbatasnya akses masyarakat desa terhadap lembaga pemasaran serta belum optimalnya fungsi kelembagaan aparat dan kelompok tani sehingga kurang mempunyai peluang dalam berusaha di bidang pertanian maupun non-pertanian. Selain itu di pedesaan masih banyak adanya kemiskinan structural, sehingga meskipun telah berusaha tetapi pendapatan yang diperoleh belum dapat memenuhi kebutuhan keluarga. Serta yang tidak kalah penting adalah masih minimnya sarana dan prasarana seperti pengairan, jalan desa, sarana usaha tani, air bersih, listrik dan pasar yang dimiliki di pedesaan. Salah satu upaya pemerintah adalah melalui program aksi desa mandiri pangan. Melalui kegiatan pengembangan desa mandiri pangan sebagai salah satu program untuk peningkatan kesejahteraan petan, diharapkan masyarakat desa mempunyai kemampuan untuk mewujudkan ketahanan pangan dan gizi sehingga dapat menjalani hidup sehat dan produktif dari hari ke hari, secara berkelanjutan. Upaya tersebut dilakukan melalui proses pemberdayaan masyarakat untuk mengenali potensi dan kemampuannya, mencari alternatif peluang dan pemecahan masalah dengan menempatkan tenaga pendamping di setiap desa pelaksana.
20
Kegiatan ini merupakan kegiatan lintas pemerintah yang ditangani berjenjang antara pemerintah pusat dan daerah dalam penyelenggaraan : 1) pelatihan untuk petugas penyusun data awal desa (data base desa) dan pelatih untuk aparat, dilaksanakan oleh pusat, selanjutnya provinsi melakukan pelatihan untuk kabupaten, sedangkan kabupaten melakukan pengumpulan data desa, dan menyusun profil desa dalam data base desa; 2) apresiasi, advokasi dan sosialisasi dilaksanakan berjenjang; 3) pendampingan merupakan suatu kegiatan dilakukan oleh pendamping yang menguasai pemberdayaan masyarakat untuk bersama-sama masyarakat menumbuhkan kelompok mandiri, mengajarkan cara mengenali potensi, masalah dan peluang yang ada serta menyusun rencana kelompok untuk membangun dan mengembangkan usahanya; 4) pemberdayaan masyarakat dilakukan oleh kabupaten melalui pertemuan kelompok yang efektif dan efisien yang difasilitasi oleh pendamping sedapat mungkin tidak mengganggu aktifitas usaha yang selama ini dilakukan. Melalui program ini diharapkan masyarakat
mempunyai kemampuan
untuk mewujudkan ketahanan pangan dan gizi sehingga dapat menjalani hidup sehat dan produkstif dari hari kehari, secara berkelanjutan. Beberapa kondisi yang diperlukan untuk pengembangan program mapan diantaranya keterlibatan masyarakat secara efektif, terbangunnya skenario berbasis pemberdayaan masyarakat, adanya dukungan infrastruktur ekonomi yang tangguh dan memihak kepada kepentingan orang banyak, serta adanya fasilitator yang bervisi jauh kedepan dan terampil mengelola program tersebut. Pengembangan desa mandiri dilakukan pada wilayah desa rawan pangan yang merupakan titik-titik potensi penyebab rendahnya kualitas sumberdaya manusia melalui proses pemberdayaan masyarakat, penguatan kelembagaan, serta pengembangan sarana dan prasarana pedesaan yang memadai. Masyarakat diharapkan mampu mengembangkan sistem ketahanan pangan yang meliputi subsistem ketersediaan, distribusi dan konsumsi, menuju terwujudnya desa mandiri pangan yang masyarakatnya ; (1) mempunyai kemampuan
untuk
meningkatkan
ketahanan
pangan
dan
gizi
dengan
memanfaatkan potensi sumberdaya setempat; (2) mampu memperkecil resiko kemumgkinan terjadinya penurunan ketahanan pangan karena sebab ekonomi atau alam; dan (3) mampu memberikan manfaat bagi desa-desa lain disekitarnya.
21
Basis pembangunaan pedesaan bertujuan untuk mewujudkan ketahanan pangan dalam suatu wilayah yang mempunyai keterpaduan sarana dan prasarana dari aspek ketersediaan, distribusi dan konsumsi pangan untuk mencukupi dan mewujudkan ketahanan pangan rumah tangga.
Melalui Program Aksi Desa
Mandiri Pangan diharapkan desa mampu memproduksi dan memenuhi produk – produk pangan yang dibutuhkan masyarakat dengan dukungan unsur – unsur pendukungnya yang selanjutnya dapat mengurangi kerawanan pangan, upaya tersebut dilakukan melalui proses pemberdayaan masyarakat untuk mampu mengenali potensi dan kemampuannya, mencari alternatif pemecahan masalah serta memanfaatkan sumber daya alam secara efisien sehingga tercapai kemandirian. Salah satu upaya pemerintah untuk mewujudkan ketahanan pangan melalui Peraturan Pemerintah (PP) no. 68 tahun 2002 tentang ketahanan pangan, yang menyatakan bahwa penyediaan pangan diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan rumah tangga yang terus berkembang dari waktu ke waktu melalui : a) pengembangan system produksi pangan yang bertumpu pada sumberdaya keseimbangan dan budaya local ; b) pengembangan efisiensi system usaha pangan; c) pengembangan teknologi pangan; d) pengembangan sarana dan prasarana produk pangan ; dan e) mempertahankan dan mengembangkan lahan produktif. Operasionalisasi pelaksanaan PP tersebut pada hakekatnya adalah pemberdayaan masyarakat, yang berarti meningkatkan kemandirian dan kapasitas masyarakat untuk berperan aktif dalam memanfaatkan kelembagaan social ekonomi yang telah ada dan dapat dikembangkan di tingkat pedesaan dengan focus utamanya adalah rumah tangga pedesaan. Kabupaten Klaten dalam program ini juga berkesempatan untuk mengelola dan menerapkan program ini karena dari 401 Desa/Kelurahan ada beberapa desa yang termasuk kriteria rawan pangan. Dengan adanya program Aksi Desa Mandiri Pangan tersebut, kriteria rawan pangan yang melekat didesa sasaran program akan hilang dan menjadi desa yang mampu mewujudkan ketahanan pangan di tingkat terendah yaitu di tingkat rumah tangga sehingga secara perlahan bisa mewujudkan ketahanan tingkat desa.
22
Upaya tersebut dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat untuk mengenali potensi dan kemampuannya, mencari alternative peluang dan pemecahan masalah serta mampu mengambil keputusan untuk memanfaatkan sumber daya alam secara efisien dan berkelanjutan, dan akhirnya tercapai kemandirian masyarakat. Tujuan Program adalah untuk meningkatkan Ketahanan Pangan dan Gizi (mengurangi kerawanan pangan dan gizi) masyarakat melalui pendayagunaan sumber daya, kelembagaan dan budaya lokal di pedesaan. Sedangkan sasarannya adalah terwujudnya ketahanan pangan dan gizi tingkat desa yang ditandai dengan berkurangnya tingkat kerawanan pangan dan gizi. Dalam pelaksanaannya, program akan difasilitasi dengan masukan antara lain: instruktur, pendamping dalam bidang manajemen kelompok dan usaha serta teknis, bantuan permodalan, sarana dan prasarana, tenaga kerja serta teknologi. Berbagai masukan tersebut akan digunakan untuk mendukung kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan seperti pemberdayaan masyarakat (pendampingan, pelatihan, fasilitasi dan penguatan kelembagaan), harmonisasi system ketahanan pangan dan pengembangan keamanan pangan serta antisipasi maupun penanggulangan kerawanan pangan.
Melalui berbagai kegiatan tersebut,
diharapkan masyarakat desa mempunyai kemampuan dalam mengelola aspek ketersediaan dan distribusi pangan dengan gizi seimbang dan aman, dan mampu mengatasi masalah pangan serta mampu membentuk aliansi untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam melawan kelaparan dan kemiskinan, sehingga diharapkan dapat menurunkan kerawanan pangan dan gizi. Strategi yang digunakan dalam pelaksanaannya antara lain melalui : (a) penerapan prinsip pemberdayaan masyarakat, dengan meningkatkan kapasitas masyarakat untuk menolong dirinya sendiri; (b) penguatan kelembagaan pedesaan dalam membangun ketahanan pangan dan gizi, peningkatan pendapatan, akses dan konsumsi pangan beragam dan bergizi seimbang, sanitasi lingkungan serta antisipasi situasi darurat; (c). optimalisasi pemanfaatan sumber daya dengan dukungan multi sektor dan multi disiplin; (d) sinergitas antar stakeholder yang diwujudkan melalui peningkatan kemampuan Dewan Ketahanan Pangan Kabupaten/Kota dalam bekerjasama dengan stakeholder lain dan memfasilitasi Tim Pangan di tingkat desa.
23
Komunitas Petani dan Kemiskinan Teori mengenai ekonomi rumah tangga petani telah dikemukakan oleh beberapa ahli, diantaranya menurut Chayanov (1966), Vink (1984), Geertz (1983), Scott (1976), dan Popkin (1979). Melalui konsepsinya tentang peasant family farms, Chayanov mengatakan bahwa variabel penggunaan tenaga kerja keluarga (operated with hired workers) yang membedakannya dengan perusahaan (capitalistic enterprises). Pada usaha tani keluarga, semua tenaga kerjanya adalah anggota keluarga sehingga tidak diberi upah. Sedangkan pada perusahaan, tenaga kerjanya adalah orang lain yang diberi upah agar dapat mendatangkan keuntungannya. Variabel itulah yang oleh Chayanov dipandang dominan, disamping variable lainnya yaitu ada-tidaknya kepentingan untuk pembentukan modal (interest on capital), sewa lahan (rent for land), dan keuntungan dalam peruasahaan (profits of enterprises). Akhirnya Chayanov menyimpulkan bahwa terdapat dua karakteristik yang dimiliki usahatani keluarga, yaitu eksistensinya sebagai unit ekonomi yang sekaligus juga sebagai unit social. Sebagai unit ekonomi, usahatani keluarga akan mengalokasikan segala sumberdaya yang dimilikinya untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Pada tingkat yang paling ekstrim, alokasi sumber daya tersebut sampai sedemikian rupa sehingga merusak fisik dan mentalnya hanya sekedar upah yang tidak seberapa (self-exploitation). Di sisi lain, usahatani keluarga juga sebagai unit social karena tempat mensosialisasikan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Konsepsi keluarga oleh Chayanov dipergunakan secara meluas, karena disamakan dengan konsepsi rumahtangga. Menurut Chayanov, rumahtangga terdiri dari keluarga dan termasuk juga sejumlah orang yang secara tetap makan dari satu dapur. Berbeda dengan Chayanov, G.J. Vink (1984) justru melihat adanya kesamaan antara usahatani keluarga dengan suatu perusahaan. Menurut Vink, usahatani keluarga dapat dijelaskan sebagai ilmu perusahaan. Sebagai suatu ilmu, maka usahatani mempelajari bagaimana seorang petani mengelola usaha pertaniannya untuk mencukupi kesejahterannya. Kesejahteraan paling sederhana bagi seorang petani adalah terpenuhinya kebutuhan pangan yang cukup, perlindungan terhadap pengaruh iklim, dimilikinya beberapa sarana kenikmatan dan terjalinnya hubungan yang baik dengan lingkungannya.
24
Oleh karena itu menurut Vink, terdapat beberapa keterikatan dalam melakukan usahatani. Masing-masing adalah keterikatan dengan masyarakat, keadaan alam, hubungan kerja, permodalan dan kondisi lahan pertanian. Dengan kata lain menurut Vink, usahatani khususnya di Indonesia lebih merupakan perusahaan kolektif daripada perusahaan perseorangan. Kesimpulan sedemikian ini ditarik oleh Vnk dari hasil penelitiannya di beberapa pedesaan di Indonesia pada tahun 1940-an dan tampaknya saat ini masih relevan dengan keadaan petani di pedesaan Indonesia. Kesimpulan Vink, senada dengan temuan Clifford Geertz (1983) di daerah pedesaan Jawa. Melalui pendekatan ekologi budayanya Julian Steward, Geertz melihat bahwa sawah bagi masyarakat pedesaan Jawa sangat erat sangkut pautnya dengan cara organisasi kerja, bentuk struktur desa, dan proses pelapisan masyarakat. Inti budaya Jawa lah yang meliputi pola-pola social, politik dan agama yang secara empiris mempengaruhi penyelenggaraan kehidupan dan kegiatan perekonomian masyarakat. Dalam usaha tani sawah misalnya, tidak hanya merupakan kegiatan yang akan menghasilkan keluaran ekonomik saja, akan tetapi akan berkaitan juga dengan kemampuan menyerap atau mempekerjakan tenaga kerja manusia. Sehingga menurut Geertz, meskipun sebenarnya sebidang usahatani sawah telah cukup dikerjakan olej sekelompok tenaga kerja, akan tetapi terpaksa menerima tambahan tenaga kerja. Akibatnya memang dapat meningkatkan hasil produksi secara keseluruhan per unit usahatani sawah, akan tetapi perolehan per tenaga kerja justru menurun.
Fenomena demikian inilah yang diformulasikan oleh
Geertz sebagai “Involusi Pertanian”. Konsepsi Involusi kemudian diperluas oleh Geertz, tidak hanya diberlakukan di sector pertanian sawah saja, akan tetapi juga dalam sector-sektor lainnya. Seperti misalnya, sector perdagangan atau industri rumah tangga. Dengan membandingkan antara usaha tani sawah di pedesaan Jawa dan usahatani ladang di luar Jawa, Geertz memandang variabel kepadatan penduduklah yang menjadi determinannya. Kepadatan penduduk yang kontras antara Jawa dengan luar Jawa akan menyebabkan pula perbedaan dalam pola usahataninya.
25
Involusi
pertanian
menjadi
semacam
penyakit
menular
yang
menghinggapi masyarakat pedesaan di Jawa. Dibawah tekanan penduduk yang semakin meningkat di satu sisi, dan keterbatasan sumberdaya lahan disisi yang lain, masyarakat pedesaan di Jawa masih tetap mempertahankan homogenitas ekonominya, dengan cara membagi rejeki yang ada secara merata. Oleh karena rejeki semakin lama semakin menipis, maka pembagian kemiskinanpun tidak dapat dielakkan lagi.
Proses itulah yang disebut kemiskinan berbagi (shared
poverty). Lepas dari berbagai kritik yang dilontarkan pada hasil temuan Geertz kurang lebih 30 tahun (1963-1994) yang lalu, ternyata relevansinya masih cukup tinggi dengan fenomena yang berkembang di pedesaan Jawa saat ini. Sepanjang perjalanan waktu tersebut, masyarakat di pedesaan jawa juga semakin berubah. Kemiskinan memang masih menjadi penyakit yang belum dapat disembuhkan secara tuntas, akan tetapi perubahan orientasi produksinyapun juga terjadi. Di satu sisi sekelompok masyarakat masih bertahan dengan orientasi produksi secara subsistens dan di sisi yang lain, sekelompok masyarakat terlah berorientasi produksi secara komersial.. Adalah James C. Scoot (1976) dan Samuel L. Popkin (1979) yang berhasil menjelaskannya melalui penelitiaannya di pedesaan Asia Tenggara. Keduanya mencoba mengangkat kehidupan petani kecil (peasant), akan tetapi dari sudut pandang yang berbeda. Scoot menelusurinya melalui pendekatan ekonomi moral (the moral economy) sedangkan Popkin melalui pendekatan ekonomi politik (the political economy).
Menurut scoot, inti dari perilaku
ekonomi petani kecil adalah mendahulukan agar dapat selamat (safety-first principle).
Hal ini dikarenakan kehidupan petani kecil laksana orang yang
berendam dalam kolam air sampai sebatas lehernya, sehingga ombak kecil apapun telah mampu menenggelamkannya. Para petani kecil itu pada umumnya akan lebih memilih berproduksi secara subsisten daripada berupaya meningkatkan kapasitas hasil produksi pertaniannya. Sebagaimana juga dikatakan oleh Chayanov, upaya kerja keras ini seringkali melebihi kemampuannya (self-exploitation), meskipun hasil yang diperolehnya hanya secukup hidup saja.
26
Oleh karena itu menurut Scoot, masyarakat petani kecil akan cenderung mempertahankan mekanisme-mekanisme social di desanya yang selama ini dianggap dapat membantu terpenuhinya ambang batas subsistensinya. Seperti misalnya, bentuk-bentuk kelembagaan di pedesaan yang mengatur hubungan tolong-menolong, hubungan patron-klien, ataupun bentuk-bentuk “arisan social” lainnya. Bagi masyarakat petani kecil, konsepsi keadilan social adalah penjabaran dari aturan tolong-menolong tersebut, dan adanya hak untuk melakukan produksi secara subsisten (norm of reciprocity and right to subsistence). Desa lah yang dipandang sebagai sebuah komunitas yang dapat memberikan kerangka kelembagaan tersebut. Scoot melihat bahwa seandainya terjadi pemberontakan di kalangan petani, hal ini bukan dikarenakan oleh adanya perebutan kelebihan hasil produksi. Akan tetapi lebih merupakan adanya pengrusakan kelembagaan social petani yang dapat menjamin terpenuhinya ambang batas subsistensinya. Dinamit sosial yang selama ini telah melekatinya, yaitu kerentanan ekologis (ecological vulnerability), kerentanan system harga (price-system vulnerability), dan kerentanan monokultur usaha tani (monocrop vulnerability) akan serta merta menjadi pemicu timbulnya pemberontakan petani. Akhirnya menurut Scoot, yang harus juga dipahami secara lebih mendalam adalah berkembangnya semacam filosophi bahwa : bukan apa yang diambil ? Akan tetapi lebih pada berapa banyak yang masih tersisa ? Analisis Scoot yang sedemikian itu mendapat kritik tajam dari Popkin. Menurut Popkin, tidaklah selalu tepat jika melihat kehidupan masyarakat petani kecil di pedesaan melalui gambaran yang romantis (romantic portraits). Dalam kenyataannya, kehidupan mereka tidaklah selalu dipandu oleh sifat-sifat tradisionalisme.
Ada beberapa hal dalam kehidupan petani kecil yang justru
menunjukkan indikator yang rasional. Dan tentu saja rasionalitas ini haruslah dilihat dalam konteks yang khas kehidupan petani kecil di pedesaan. Indicatorindikator
rasionalitas
petani
kecil
tersebut,
tampak
pada
kemampuan
intelegensianya untuk mengembangkan cara-cara pemecahan masalah secara praktis, terhadap kompleksnya permasalahan alokasi sumberdaya, kewenangan, dan penyelesaian perselisihan yang dihadapinya.
27
Berbeda dengan Scoot yang melihat bahwa petani tidak bersedia menanggung resiko, justru sebaliknya bagi Popkin.
Dia melihat sebenarnya
petani kecilpun berani menanggung resiko, terutama jika dilihat keberaniannya melakukan investasi, merubah norma-norma yang menjamin terpenuhinya ambang batas subsistensi dan rasionalitasnya dalam melakukan tindakan kolektif. Jika terjadi pemberontakan di kalangan petani kecil, hal ini bukan dikarenakan kelembagaan sosialnya dilanggar sebagaimana dinyatakan oleh Scoot, tetapi dalam rangka petani kecil tersebut menjinakkan kapitalisme yang mencoba melakukan intervensi pasar ke pedesaan. Desa dalam pandangan Popkin bukanlah sebuah komunitas tertutup yang masih mengembangkan kebersamaan yang kental diantara warganya dan membina hubungan yang berikatan ganda antara petani dengan tuan tanahnya sebagaimana dikatakan oleh Scoot, akan tetapi sebagai sebuah komunitas terbuka yang mengembangkan hubungan-hubungan yang bersifat kontraktual dan berikatan tunggal. Oleh karena itu ancaman subsistensi bagi petani tidak berhubungan dengan munculnya tindakan kolektif.
Popkin menyebut pula kemungkinan
adanya para petani pembonceng (free-riders) cukup tinggi. Petani sedemikian ini memiliki pertimbangan untung-rugi dalam berpartisipasi untuk kegiatan kolektif, seperti misalnya, proyek pembangunan. Factor-faktor yang dipertimbangkannya meliputi : seberapa besar sumberdaya yang harus dikeluarkannya, keuntungan apa yang akan diperolehnya nanti, ada tidaknya peluang untuk melakukan dalam memperoleh keuntungan tersebut, dan ada tidaknya pemimpin yang mampu memobilisasi sumberdaya yang tersedia. Akhirnya, Popkin mengingatkan bahwa dikalangan petani kecil pun memiliki kemampuan untuk “bermain”, yaitu dengan jeli melihat kesempatan yang dapat dimanfaatkan demi keuntungan. Istilah petani bukan istilah yang umum, begitu diucapkan setiap orang (otomatis) mempunyai pengertian sama, karena itu tidak salah jika kata petani mengandung dimensi makna yang luas. Setidaknya ini diketahui dari adanya ketidaksamaan konsep yang diajukan oleh para ahli berkaitan dengan definisi petani.
28
Untuk mendefinisikan secara tepat juga mengalami kesulitan. Berkaitan dengan itu Lansberger dan Alexandrov (1981), mengatakan bahwa berpanjangpanjang dalam hal olah membuat definisi petani, itu sama halnya dengan membuka diri untuk dituduh sebagai ilmuwan yang sok ilmiah dan steril. Penjelasan tentang konsep petani umumnya masih berbeda. Pertama, istilah petani menunjuk kepada penduduk pedesaan secara umum, tidak peduli apa pun kerjanya. Kedua, pandangan yang lebih terbatas dibanding konsep pertama, seperti dalam tulisan James C. Scott. Menurutnya definisi petani tidak mencakup seluruh penduduk pedesaan, tetapi hanya menunjuk kepada penduduk pedesaan yang bekerja sebagai petani saja. Artinya petani adalah orang yang bercocok tanam (melakukan budidaya) di lahan pertanian (Scott, 1976). Ketiga, pandangan yang mengikuti Wolf, menurutnya petani adalah segolongan orang yang memiliki sekaligus menggarap lahan pertanian guna menghasilkan produk yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri, bukan dijual (Wolf, 1985). Ketiga konsep di atas cenderung menimbulkan pertanyaan. Setidaknya jika petani mencakup seluruh penduduk pedesaan. Disadari bahwa belum tentu seluruh penduduk pedesaan itu adalah petani. Di antara penduduk pedesaan ada pedagang, pegawai, buruh dan sebagainya. Jika mengacu pada konsep petani saja, maka perlu diperhatikan petani yang mana, karena belum tentu petani itu pemilik sekaligus penggarap. Ada petani yang hanya sebagai pemilik, di pihak lain ada petani yang tidak memiliki lahan dan hanya sebagai penggarap. Berkaitan dengan hal tersebut Marzali (1999), memberikan konsep petani (peasant) agar dapat dioperasionalkan sesuai konteks Indonesia. Menurutnya, petani ditinjau dari proses perkembangan tingkat sosio-kultural masyarakat manusia, maka dapat dibagi dalam tiga ciri-ciri khusus. Pertama, secara umum petani berada di antara masyarakat primitif dan kota (moderen). Kedua, petani adalah masyarakat yang hidup menetap dalam komunitas pedesaan. Ketiga, dipandang dari sudut tipe produksi, termasuk di dalamnya teknologi dan mata pencaharian, maka petani berada pada tahap transisi antara petani primitif dan petani moderen (farmer).
29
Petani primitif dan petani (peasant) perbedaannya pada teknologi yang digunakan. Petani primitif menggunakan peralatan sederhana seperti tugal dan golok, sedangkan petani (peasant) menggunakan cangkul (pacul), garu dan bajak. Perbedaan pada tingkat ini belum dipandang sebagai hal penting. Perbedaan penting adalah bagaimana hubungan kedua tipe petani itu dengan kota. Seperti diungkapkan oleh Redfield (1985), bahwa terbentuknya petani peasant itu karena munculnya kota atau kotalah yang membuat adanya petani peasant. Tidak ada petani peasant sebelum kota pertama muncul di muka bumi ini. Sebaliknya petani primitif adalah petani yang hidup dan hubungannya dengan kota relatif terisolasi (terbatas). Pada konteks Indonesia saat ini, kelompok masyarakat (komunitas) primitif ini mungkin dikenakan kepada masyarakat berburu dan meramu atau dikenal dengan masyarakat terasing. Perbedaan antara petani peasant dengan farmer terletak pada sifat usahatani yang dilakukan. Peasant berusahatani dengan bantuan keluarga dan hasilnya juga untuk keluarga. Sedangkan petani farmer berusahatani dengan bantuan tenaga buruh tani dan bertujuan mencari keuntungan. Produksi tidak hanya untuk keluarga, justru sebagian besar dijual ke pasar guna mendapatkan keuntungan. Singkatnya, dikatakan oleh Wolf (1985) bahwa, petani peasant berusahatani keluarga, sedangkan petani farmer berusahatani seperti prinsip ekonomi perusahaan (komersil). Kesamaannya adalah sama-sama mempunyai hubungan dengan kota secara politis, ekonomis dan kultural. Berbagai konsep petani tersebut, mengisyarakatkan bahwa petani tidak lepas dari komunitas. Istilah komunitas pun mempunyai makna beragam, setiap segi-segi pengertiannya mempunyai arti yang sama penting. Redfield dalam Koentjaraningrat (1990) mengatakan bahwa, umumnya antropolog memandang komunitas dari sudut pandang ekologis. Dari sudut pandang ini komunitas didefinisikan sebagai satuan sosial yang utuh dan terikat pada sistem ekologi yang bulat. Keterikatan pada tempat ini kemudian dikenal dengan sebutan kesatuan hidup setempat, yaitu yang lebih terikat pada ikatan tempat kehidupan daripada ikatan lain seperti kekerabatan, kepercayaan dan sejenisnya.
30
Sehingga penting memperhatikan batas-batas ruang komunitas. Berkaitan dengah hal itu Sanders (1958) membagi komunitas menjadi empat tipe. Pertama, komunitas pedesaan yang terisolir dan relaltif mampu mencukupi kebutuhan sendiri. Kedua, komunitas kota kecil dan ketiga, komunitas urban serta yang keempat, sub-komunitas metropolitan. Berbeda dengan Redfield, Sanders juga menekankan komunitas sebagai sistem sosial. Konsep ini tidak hanya membatasi komunitas pedesaan yang cenderung terisolasi. Namun aspek ekologis juga tidak dilupakan, dan segi-segi lain yang membentuk pengertian komunitas juga dikemukakan. Misalnya komunitas sebagai suatu ruang maka, dalam dirinya juga terbentuk suatu arena interaksi. Artinya sebagai suatu tempat untuk berinteraksi maka, komunitas melibatkan setiap pelaku dalam komunitas yang mencakup seluruh segi kehidupan dari kategori. Gambaran komunitas sebagai sistem sosial menurut Sanders (1958) mengacu pada ruang relasi sosial. Ruang relasi sosial diisi oleh lima faktor yaitu: a. Ekologi, komunitas berada dan terorganisasi di wilayah serta hidup dengan pola pemukiman tertentu. Di dalamnya tercipta jaringan komunikasi yang beroperasi dengan baik, ada distribusi berbagai fasilitas, layanan sosial dan orang mampu mengembangkan identitas psikologis dengan simbol lokalitas. b. Demografi, dalam komunitas yang terdiri dari populasi pada semua tahap lingkaran hidup sedemikian rupa sehingga anggota baru muncul melalui proses kelahiran. Setiap individu di komunitas harus memiliki keterampilan dan pengetahuan teknis yang memadai untuk kelangsungan hidupnya. c. Budaya, setiap komunitas bertujuan mencapai kesejahteraan tertentu, untuk itu mereka mempunyai cara dan nilai tersendiri. Kecenderunganya mencapai suatu integrasi normatif dan merangkum secara keseluruhan dibandingkan dengan tujuan satu atau beberapa kelompok di dalam komunitas. d. Personalitas, komunitas mempunyai mekanisme mensosialisasikan anggota baru dan mengembangkan identitas psikologis dengan simbol lokalitas. e. Waktu, komunitas tentu berada dalam rentang waktu. Artinya komunitas membutuhkan waktu sehingga bisa mencapai tingkat kebudayaan yang berbeda satu sama lainnya.
31
Kelembagaan Lokal dan Kelembagaan Ketahanan Pangan Menurut
Koentjaraningrat,
kelembagaan
sosial
adalah
terjemahan
langsung dari istilah social institustion (pranata sosial) yang memiliki dua makna. Yaitu kelembagaan sebagai seperangkat norma-norma dan peraturan yang tumbuh dalam masyarakat yang bersumber pada pemenuhan kebutuhan pokok, dan memiliki bentuk konkritnya adalah asosiasi. Kelembagaan sosial dan asosiasi adalah sebagai satu bagian yang saling mendukung satu sama lain. Kelembagaan berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang bersifat umum, sedangkan asosiasi adalah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan khusus.Setiap masyarakat pasti memiliki kebutuhan-kebutuhan pokok dan tujuantujuan hidup yang disepakati bersama. Upaya-upaya untuk memenuhi kebutuhan pokok dan mencapai tujuan hidup lainnya tentunya harus diatur sedemikian rupa melalui aturan yang tercerin dalam norma-norma agar tercapai suatu tata tertib hidup bermasyarakat. Pada hakikatnya, norma-norma dan peraturan-peraturan tata tertib itulah yang menjadi ciri dasar dari sebuah lembaga masyarakat. Kelembagaan yang ada di dalam masyarakat merupakan esensi atau bagian pokok dari masyarakat dan kebudayaannya. Oleh karena itu, jika ingin mengetahui dan mempelajari masyarakat dan kebudayaan tertentu, maka menjadi suatu keharusan untuk mempelajari organisasi atau lembaga sosial dan ekonomi yang ada di dalam masyarakat yang bersangkutan. Kelembagaan masyarakat sebagai wujud pola-pola hidup bermasyarakat menurut Soekanto (1990) memiliki ciri-ciri umum sebagai berikut : (1) pengorganisasian pola pemikiran akibat aktivitas dan hasil-hasilnya, (2) berkekalan tertentu, (3) mempunyai satu atau lebih tujuan, (4) mempunyai lambang-lambang yang melambangkan tujuan, (5) mempunyai alat-alat untuk mencapai tujuan dan (6) mempunyai tradisi tertulis dan tidak tertulis yang merumuskan tujuannya dan tata tertib yang berlaku. Terdapat beragam definisi kelembagaan masyarakat, namun untuk membatasinya maka
definisi
kelembagaan yang akan digunakan mengacu pada definisi Soemardjan dan Soemardi (1984).
32
Menurutnya, kelembagaan masyarakat didefinisikan sebagai himpunan semua norma dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat. Berdasarkan pada definisi tersebut, maka fungsi dasar keberadaan kelembagaan masyarakat tiada lain yaitu untuk mengatur dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Kelembagaan yang ada di dalam masyarakat menurut Soekanto (1990) pada dasarnya memiliki fungsi untuk (1) memenuhi kebutuhan pokok manusia, (2) memberi pedoman pada anggota masyarakat bagaimana mereka bersikap dan bertingkah laku dalam menghadapi masalahmasalah dalam masyarakat, terutama yang menyangkut pemenuhan kebutuhankebutuhan manusia, (3) menjaga keutuhan masyarakat,
dan (4) memberi
pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan kontrol sosial (social control). Keragaman kebutuhan manusia tersebut pada akhirnya melahirkan berbagai jenis atau bentuk kelembagaan yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat. Menurut Koentjaraningrat (1965) dapat digolongkan menjadi : (1) Kelembagaan kekerabatan domestik (kehidupan kekerabatan), (2) kelembagaan ekonomi (mata pencaharian, memproduksi, menimbun dan mendistribusikan kekayaan), (3) kelembagaan pendidikan (penerangan dan pendidikan), (4) kelembagaan ilmiah (ilmiah manusia dan menyelami alam semesta), (5) kelembagaan politik (mengatur kehidupan kelompok secara besar-besaran atau kehidupan negara), (5) kelembagaan keagamaan (untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhan), (6) kelembagaan estetika dan rekreasi (untuk menyatakan rasa keindahannya dan rekreasi) dan (7) kelembagaan somatik (jasmaniah manusia). Kelembagaan juga dapat digolongkan berdasarkan lokalitas sebagaimana Uphoff (1992) menggolongkan kelembagaan menjadi tiga yaitu ; sektor publik, sektor partisipatori dan sektor swasta. Kelembagaan sektor publik di tingkat lokal mencakup administrasi dan pemerintahan lokal dengan birokrasi dan organisasi politik sebagai bentuk organisasi yang mutakhir. Kelembagaan sektor partisipatori mencangkup lembaga-lembaga yang nama, tumbuh dan dibangkitkan oleh masyarakat secara sukarela, seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM). Sektor swasta meliputi lembaga-lembaga swasta yang berorientasi kepada upaya untuk mencari keuntungan baik itu di bidang jasa, perdagangan dan industri.
33
Terkait dengan komunitas pedesaan di Indonesia, maka terdapat beberapa unit-unit sosial (kelompok, kelembagaan dan organisasi) yang dapat diasumsikan sebagai satu satuan komunitas yang merupakan aset untuk dapat dikembangkan dalam rangka mencapai tujuan pembangunan. Pengembangan kelembagaan dan organisasi di tingkat lokal dapat dilakukan dengan membangun sistem jejaring kerjasama (kolaboratif) dan sinergy. Sebuah program atau proyek pembangunan misalnya dapat melibatkan beberapa organisasi di tingkat komunitas dan juga lembaga di tingkat supra-desa (pemerintah, swasta, LSM, perguruan tinggi) dengan menggunakan strategi jejaring kerjasama yang setara dan saling menguntungkan. Kelembagaan di pedesaan dapat dibagi ke dalam dua kelompok yaitu : pertama, lembaga formal seperti pemerintah desa, BPD, KUD, dan lain-lain. Kedua, kelembagaan tradisional atau lokal. Kelembagaan ini merupakan kelembagaan yang tumbuh dari dalam komunitas itu sendiri yang sering memberikan “asuransi terselubung” bagi kelangsungan hidup komunitas tersebut. Kelembagaan tersebut biasanya berwujud nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan dan cara-cara hidup yang telah lama hidup dalam komunitas seperti kebiasaan tolong menolong, gotong-royong, jimpitan, simpan pinjam, arisan, beras perelek, lumbung paceklik, pesantren, dan lain-lain. Menurut Scott (1976), keberadaan lembaga asli di pedesaan memiliki fungsi ambivalensi, dimana lembaga tersebut memberikan “energi sosial” yang merupakan kekuatan internal masyarakat dalam mengatasi masalah-masalah mereka sendiri. Kelembagaan
masyarakat
bersifat
dinamis,
senantiasa
mengalami
perubahan-perubahan sebagai salah satu bentuk adaptasi dan/atau penyesuaian lembaga tersebut terhadap terjadinya perubahan sosial masyarakat (sosial, ekonomi, politik) dan ekologi/lingkungan alam di sekitarnya. Pengembangan kelembagaan mengacu pada proses untuk memperbaiki kemampuan lembaga dalam mengelola sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang ada. Pembangunan di negara-negara dunia ketiga, terutama pada program-program atau proyek-proyek yang dibiayai oleh Bank Dunia, sebagaimana dikemukakan Israel (1990) cenderung menekankan pada pembangunan fisik-ekonomi, namun kurang memperhatikan upaya pembangunan kelembagaan
34
Kondisi ini terjadi terjadi disebabkan oleh beberapa alasan yaitu : pertama, bahwa teori dan praktek pembangunan telah lama berada di tangan para ahli ekonomi yang memfokuskan pada alokasi sumberdaya dan alokasi yang berdasarkan pada aspek efisiensi dan bukan pada cara-cara yang paling efektif dalam menggunakan sumberdaya yang dialokasikan. Kedua, karena masalah kelembagaan merupakan bidang keilmuan yang rumit. Ketiga, hampir semua program pembangunan lebih ditekankan pada pembangunan di bidang fisik, hal ini karena pembangunan fisik tersebut relatif lebih berhasil dan mudah diukur tingkat keberhasilannya jika dibandingkan dengan bidang kelembagaan. Kebijakan pembangunan di Indonesia, terutama pada masa Orde Baru, cenderung menekankan pada tercapainya stabilitas ekonomi dan politik yang tinggi.
Dalam kebijakan pembangunan seperti ini, tujuan akhirnya yaitu
tercapainya pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Pertumbuhan ekonomi yang
tinggi pada kenyataannya tidak didukung dengan kelembagaan yang mampu membangun instrumen untuk mendistribusikan hasil-hasil dari pertumbuhan ekonomi tersebut secara adil. Demikian pula halnya dengan pembangunan di bidang pertanian, upaya-upaya modernisasi pertanian lebih ditekankan pada upaya peningkatan
produktivitas
yang
tinggi,
tetapi
tidak
dimbangi
dengan
pembangunan kelembagaan di tingkat desa. Ditinjau dari segi produktivitas pertanian (beras) memang meningkat, tetapi ditinjau dari kelembagaan lokal penunjang aktifitas pembangunan pertanian lemah. Lemahnya pembangunan di bidang kelembagaan kerapuhan
perekonomian
pedesaan
Pranadji
(2003),
selain menyebabkan juga
menyebabkan
masyarakat desa (terutama petani gurem) lemah secara sosial dan politik. Pada akhirnya masyarakat desa (terutama petani gurem) belum mampu menjadi mitra sejajar dan sekaligus sebagai kekuatan kontrol sosial bagi pemerintah dalam menjalankan roda pembangunan. Sebenarnya sudah ada upaya-upaya pemerintah Orde Baru untuk membangun lembaga-lembaga dan kelompok-kelompok petani di tingkat desa untuk memfasilitasi dan mendukung program pembangunan, seperti halnya lembaga Pemerintahan Desa dan Koperasi Unit Desa. Namun proses pembentukannya dan operasionalisasinya dilakukan dengan pendekatan terpusat (sentralisasi), searah (top-down) dan seragam.
35
Sehingga hampir tidak ada ruang dan akses bagi kelompok strata bawah (kelompok miskin dan petani gurem) untuk terlibat aktif dan menikmati manfaat pembangunan melalui lembaga-lembaga tersebut. Lembaga-lembaga tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Tjondronegoro (1977), cenderung menumbuhkan kepemimpinan yang berorientasi kepada kepentingan ”supra-desa”, dibandingkan pada kepentingan kesatuan kecil masyarakat, seperti halnya petani-petani kecil. Kerjasama antar desa yang dikoordinasikan oleh Pemerintah Kecamatan sudah lama
melemah.
Sehingga
kedepannya,
untuk
menumbuhkan
partisipasi
masyarakat strata bawah (petani gurem), seyogyanya dilakukan dengan merangsang organisasi pada tingkat dukuh (komunitas) yang disebutnya sebagai ”sodality”. Pada era reformasi dan otonomi daerah ini, terbuka peluang yang sangat besar untuk mewujudkan upaya-upaya pemberdayaan masyarakat pedesaan melalui pendekatan partisipasi, modal sosial dan pengorganisasian (rekayasa) masyarakat sipil. Sebagaimana dikemukan Ufford dan Giri (2004), model pendekatan seperti ini mesti ditempatkan secara kritis, karena terdapat kecenderungan bahwa model tersebut berupaya memperluas area intervensi dan pengelolaan dari bidang teknik dan ekonomi (dalam arti insentif untuk memaksimalkan hasil materi) ke bidang sosial dan budaya. Dimana pendekatan pembangunan dari bawah ke atas (bottom-up), dan pendekatan partisipatoris dirangkai dengan ”manajemen orientasi hasil” kerapkali cenderung memenuhi kebutuhan penting untuk penyampaian program, bila dibanding untuk menghidupkan kembali politik kritis. Hal ini
dibuktikan dimana pendekatan partisipatoris jarang menghasilkan
tantangan yang radikal terhadap struktur kekuasaan yang tidak demokratis dan berkeadilan, sehingga yang terjadi malah sebaliknya sejalan dengan sistem-sistem perencanaan yang terpusat dan searah (top-down). Berdasarkan uraian di atas, maka suatu keharusan untuk segera melakukan penguatan kelembagaan di tingkat pedesaan agar pembangunan tidak hanya melulu pada pencapaian kemajuan kebudayaan material dan melupakan kemajuan kebudayaan non-material. Jika pembangunan pertanian di negara kita pernah melakukan ”revolusi kebudayaan material” melalui program revolusi hijau dan terbukti tidak berhasil memandirikan dan mensejahterakan petani kecil, maka
36
sudah saatnya sekarang melakukan ”revolusi kebudayaan non-material” melalui pemberdayaan petani di bidang politik, sosial, ekonomi dan kesehatan.
Upaya
tersebut juga membutuhkan dukungan penuh dari pemerintah, LSM, Perguruan Tinggi dan sektor swasta. Hal ini penting karena kapasitas kelembagaan pedesaan masih rendah dan untuk meningkatkannya perlu adanya pendampingan serta transfer pengetahuan tentang nilai-nilai pembangunan yang selaras dan menguatkan nilai-nilai lokal. Melalui mekanisme jaringan kerjasama (kolaborasi) dan kemitraan antara lembaga masyarakat lokal dengan pemerintah, LSM, perguruan tinggi dan sektor swasta, maka masing-masing pihak dapat saling belajar dan bekerjasama untuk mencari dan merumuskan nilai-nilai pembangunan yang berkeadilan dan mensejahterakan. Jika upaya-upaya peningkatan kapasitas kelembagaan masyarakat lokal berhasil dibangun, maka hal ini tidak hanya bermanfaat bagi masyarakat desa saja, melainkan juga bagi pemerintah dan sektor swasta.
Disatu sisi kewajiban
pemerintah untuk membangun dan mensejahterakan masyarakat pedesaan terpenuhi dan disisi lain sektor swasta diuntungkan karena kelembagaan lokal yang kuat akan mampu mendukung keberlanjutan usahanya. Dengan catatan, penguatan kapasitas kelembagaan melalui jaringan kerjasama dan kemitraan ini tidak hanya melulu ditujukan bagi pencapaian tujuan-tujuan ekonomi, melainkan juga berusaha menguatkan masyarakat petani secara sosial dan politik. Ini penting agar dalam jaringan kerjasama tersebut tidak terjadi dominasi (Agusyanto dan Lukito, 1997) dan selain masyarakat desa dapat berperansetara sebagai mitra sejajar, juga dapat memposisikan diri sebagai kontrol sosial (social control) bagi jalannya roda pembangunan. Secara konseptual, sebagaimana dikemukakan Tonny (2006), pendekatan jaringan
kolaboratif
pemerintahan
dan
sinergy
tersebut
mampu
menciptakan
sistem
desa (politik, sosial-budaya dan ekonomi) yang demokratis,
desentralisitik, partisipatoris dan lebih menjamin kesejahteraan masyarakat desa (lokal).
Mengingat dinamika masyarakat desa akan senantiasa terkait dan
dipengaruhi secara langsung maupun tidak langsung dengan adanya interaksi dan intervensi “pihak luar” (pemerintah, swasta nasional dan internasional, LSM, dll) ke dalam masyarakat desa atau komunitas tradisional.
37
Interaksi dan intervensi “pihak luar” tersebut dapat merubah corak dan karakteristik sumber kehidupan masyarakat desa. Sebagaimana kasus pedesaan di Indonesia, model pembangunan
(modernisasi) yang kurang menghargai
kebudayaan dan kedaulatan komunitas lokal, telah menyebabkan terjadinya perubahan pola mata pencaharian masyarakat pedesaan, baik di Jawa dan di luar jawa (Husken, 1998 ; Whertheim, 1999 ; Breman dan Wiradi, 2004 ; Suparlan, 1995 ; Maunati, 2004).
Dimensi Kepentingan
Teori tentang dimensi kepentingan merujuk pada Swedberg (2003), yaitu Sosiologi Kepentingan dalam Tindakan Ekonomi (Principles of Economic Sociology) dalam tulisan Titik Sumarti (2005). Bahwasanya, pola-pola interaksi sosial dan kelembagaan, yang dibentuk oleh manusia dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup dan memperoleh keuntungan, merupakan subyek utama kajian sosiologi ekonomi. Bidang kajian pendekatan baru dalam sosiologi ekonomi ini bukan lagi pada dampak relasi sosial pada tindakan ekonomi, melainkan pada pertimbangan-pertimbangan kepentingan yang menentukan tindakan ekonomi. Analisa pada level kepentingan dimulai dengan penempatan kepentingankepentingan manusia (dalam kasus Weber, kepentingan agama dan ekonomi), dan mengkaji kekuatan-kekuatan sosial yang mempengaruhi kepentingan serta konsekuensinya. Analisa ini lebih tajam dan realistis dibanding analisa pada level relasi sosial maupun kelembagaan. Dalam pendekatan baru ini, Swedberg memperkenalkan konsep sosiologi kepentingan. Dengan merujuk pada sosiologi religi yang dikemukakan oleh Weber, religi sebagai suatu kepentingan merupakan metafora (kiasan) dari tindakantindakan manusia yang berlangsung sepanjang perjalanan-perjalanan hidup yang berbeda, pun ketika hal itu diinspirasikan melalui motivasi-motivasi yang serupa. Menurut Weber, kepentingan mendorong tindakan manusia, yaitu dimana cara pandang aktor terhadap dunia kehidupannya yang akan menentukan arah tindakan yang akan diambil sang aktor. Selain Weber, Swedberg juga mengemukakan karya penulis lain seperti Alexis de Tocqueville, James Coleman, Pierre Bourdieu.
38
Pemikir seperti David Hume, Adam Smith dan John Stuart Mill, mengungkapkan bahwa kepentingan menjadi penjelas utama dalam teori perilaku sosial. Menurut analisa mereka, ada beragam tipe kepentingan. Kepentingan dapat bertentangan satu sama lain, menghalangi maupun memperkuat satu sama lain. Kepentingan yang membuat orang mengambil tindakan. Kepentingan mampu mensuplai energi (kekuatan) dan membuat orang bangkit dari tidur dini hari serta bekerja keras sepanjang hari. Jika dikombinasikan (digabungkan) dengan kepentingan orang lain, akan menjadi suatu kekuatan yang cukup besar yang mampu menggerakkan dan menciptakan masyarakat baru. Analisa kepentingan membantu untuk menjelaskan konflik, yang muncul ketika terjadi benturan kepentingan. Konflik tersebut dapat berlangsung dalam pikiran seseorang, antar individu, kelompok, dan masyarakat. Tetapi kepentingan tidak hanya berbenturan dan menggerakkan aktor, kepentingan juga bisa menghalangi satu sama lain, menguatkan satu sama lain, atau melumpuhkan sang aktor, misalnya pembentukan beberapa religi atau politik yang mendukung tradisi. Konsep kepentingan merupakan suatu alat analisa yang fleksibel. Menggunakan konsep kepentingan berarti mengubah pusat analisa dari kekuatan di permukaan ke daerah kekuatan yang lebih mendalam yang memiliki impak penting pada tindakan sosial. Analisa Weber dalam The Protestan Ethic merupakan paradigma dalam hal upayanya untuk menganalisa apa yang membuat orang merubah perilaku mereka secara mendasar yang menciptakan suatu mentalitas rasionalistis baru secara menyeluruh. Menggunakan konsep kepentingan juga dapat membantu memberikan tempat seimbang pada peranan subyektivitas dan kebudayaan dalam analisa perilaku ekonomi. Sesungguhnya tidak bisa dilupakan – kepentingan dalam beberapa hal selalu subyektif dan
dibentuk melalui kebudayaan – tetapi
kepentingan juga bersifat obyektif dalam arti bahwa kepentingan membentuk suatu bagian yang stabil dan kukuh dari realitas sosial. Moralitas negara atau umum, misalnya, bisa melarang aktivitas tertentu tetapi bisa juga membolehkan di tempat lain. Terdapat upaya mengintegrasikan kepentingan kedalam tipe analisa sosiologi.
39
Pendekatan ini memperhitungkan baik kepentingan maupun relasi sosial – menjelaskan bahwa kepentingan didefinisikan dan diekspresikan melalui relasi sosial. Kepentingan adalah sesuatu yang mendorong tindakan individu-individu pada beberapa tingkatan yang mendasar. Lebih lanjut, kepentingan merupakan fenomena sosial yang intens. Individu lain harus dipertimbangkan ketika seorang aktor berupaya untuk merealisasikan kepentingannya. Hal ini juga merupakan fakta bahwa kepentingan didefinisikan secara sosial. Definisi kepentingan ini cukup luas mencakup beragam tipe kepentingan, tidak hanya kepentingan ekonomi. Konsep kepentingan digunakan untuk menangkap kekuatan pokok yang mendorong perilaku manusia.
Sumbangan
sosiologi ekonomi baru lainnya datang dari Coleman yang memperkenalkan sosiologi berbasis kepentingan. Coleman mengemukakan bahwa ahli ekonomi telah gagal memperkenalkan relasi sosial dalam analisa mereka. “cara-cara utama teori ekonomi bergerak dari tingkat mikro aktor tunggal ke tingkat makro yang melibatkan banyak aktor adalah melalui konsep “agent representative”. Kumpulan para aktor secara sederhana tidak sesuai dengan fenomena seperti trust, sementara trust merupakan suatu hubungan antara dua aktor”. Coleman menggunakan tiga subyek untuk menjelaskan hal tersebut: trust, pasar, dan perusahaan. Beberapa pokok pikiran Coleman yaitu, pertama; dalam tindakan ekonomi tidak cukup membahas aktor dan kepentingannya, penting pula dibahas “sumberdaya” dan “kontrol” yang dimiliki. Jika seorang aktor memiliki kepentingan terhadap aktor lain, kedua aktor tersebut akan berinteraksi. Kedua; analisa kepercayaan (trust). Coleman mencirikan trust sebagai suatu pertaruhan dengan kesadaran. Anda mengkalkulasi apa yang anda peroleh dan kehilangan bila mempercayai seseorang, dan dalam situasi tersebut anda terus dan mempercayai orang tersebut. Ketiga; analisa modal sosial. Modal sosial didefinisikan Coleman sebagai adanya relasi sosial yang dapat membantu individu ketika mencoba untuk merealisasikan kepentingannya. Suatu perusahaan merepresentasikan, misalnya, suatu bentuk modal sosial. Keempat; kemampuan perusahaan - sekali orang menciptakannya untuk merealisasikan kepentingannya untuk membangun kepentingannya sendiri. Bagi Coleman, perusahaan merupakan suatu penemuan sosial yang mendasar.
40
Dari tulisan dapat dikemukakan beberapa proposisi yang ditawarkan dalam pendekatan sosiologi ekonomi baru yaitu; bahwa tindakan ekonomi didorong oleh suatu kepentingan sebagai kekuatan yang mendasar, kepentingan merupakan fenomena sosial yang didefinisikan secara sosial, dan kepentingan direalisasikan melalui relasi sosial.
Kerangka Pemikiran Upaya pemerintah untuk mengatasi masalah kerawanan pangan dan pengentasan kemiskinan hingga saat ini
belum memberikan hasil yang
memuaskan. Program-program seperti KUT, IDT, Raskin dan BLT empiris terbukti
tidak efektif
secara
dan dalam banyak kasus menemui kegagalan
karena masih terpinggirkannya kepentingan rumah tangga petani miskin di pedesaan dalam program-program tersebut. Kondisi ini terjadi terutama disebabkan oleh adanya penyimpangan yang dilakukan oleh penerima program maupun pelaksananya, dengan program cenderung lebih berorientasi proyek. Keadaan lain yang mempersulit terakomodirnya kepentingan rumah tangga miskin dalam program pemerintah adalah bahwa program-program tersebut hanya dinikmati oleh golongan lapisan elit desa dan kerabat-kerabatnya yang secara sosial-ekonomi relatif mampu. Pendekatan politik pembangunan di pedesaan masih bias elit desa, baik elit aparat pemerintahan desa maupun elit pemilik faktor-faktor produksi di pedesaan.
Hal inilah yang pada akhirnya
menyebabkan implementasi program tidak partisipatif bagi rumah tangga miskin pedesaan sebagai subyek utama dan mengabaikan energi sosial lokal (sumberdaya manusia, kelembagaan, jaringan sosial), serta menyebabkan semakin sulit terakomodirnya kepentingan rumah tangga miskin. Kebijakan
pembangunan
seyogyanya
dapat
mempertemukan
mengharmoniskan antara kepentingan pemerintah dengan kepentingan tangga petani.
dan
rumah
Agar kedua kepentingan tersebut dapat bertemu dan harmonis,
maka harus ada kelembagaan yang menyediakan ruang yang luas untuk mendialogkan kepentingan-kepentingan.
41
Salah satu upaya pemerintah untuk mengatasi masalah kemiskinan rumah tangga petani di pedesaan adalah melalui program Aksi Mandiri Pangan dengan sasaran wilayah adalah desa rawan pangan dan rumah tangga miskin sebagai penerima manfaat program. Program ini sudah dimulai sejak tahun 2005, salah satunya di Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah dan berpontensi menjadi kelembagaan yang bisa mempertemukan kepentingan rumah tangga miskin dengan pihak supradesa. Sebagai program untuk pengentasan kemiskinan dan kerawanan pangan, yang bertujuan untuk meningkatkan ketahanan pangan masyarakat masyarakat melalui pendayagunaan sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal pedesaan, hadir dengan bentuk dan model baru. Keberadaan kelembagaan lokal di desa berfungsi sebagai panutan berperilaku dalam menjaga keutuhan masyarakat setempat baik dalam kehidupan beragama, berekonomi maupun juga berpolitik serta dalam berinteraksi dengan pihak luar desa. Kelembagaan lokal yang terdapat di pedesaan telah memainkan peranannya
dalam
ikut
menggiatkan
aktivitas
perekonomian
dengan
menggerakkan, memberdayakan dan memandirikan masyarakat sekitarnya dengan semua potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang dimiliki. Belum berhasilnya program penanggulangan kemiskinan dan kerawanan pangan yang telah dilakukan selama ini karena tidak diiringi dengan perubahan kelembagaan yang ada. Terkait dengan uraian tersebut, pengembangan kelembagaan lokal dalam hal ini kelembagaan ketahanan pangan program aksi mandiri pangan, sebagai salah satu upaya untuk penanggulangan kemiskinan dan kerawanan pangan di pedesaan harus memperhatikan sudah sejauh mana kepentingan rumah tangga petani miskin terakomodir dalam program. Hal inilah yang melandasi kenapa penelitian tentang dimensi
kepentingan
dalam pengembangan kelembagaan
ketahanan pangan lokal serta interaksinya dengan program pemerintah (mapan) dilakukan peneliti. Keseluruhan alur pemikiran tersebut diatas tertuang dalam gambar 1.
42
Rumah Tangga Petani Miskin
Potensi Komunitas (SDA/SDM, Modal Sosial, Modal Fisik, Modal Finansial)
Ketahanan Pangan Lokal
Pengembangan Kelembagaan Ketahanan Pangan Lokal
Analisa Kepentingan Aktor dlm Pelaksanaan Program Mapan
Elit Dinas
Elit Desa Pendamping
Gambar 1.
TPD/LKD
Kelompok Afinitas
Alur Pemikiran Penelitian Dimensi Kepentingan dalam Pengembangan Kelembagaan Ketahanan Pangan
Keterangan :
1. Komunitas rumah tangga petani miskin pedesaan menurut Sajogyo (1993), A.V Chayanov (1996), Clifford Geertz (1983), James C. Scott (1976), Samuel L.Popkin (1979) 2. Perkembangan kelembagaan lokal pedesaan menurut Uphoff (1992), Arturo Israel (1990), Husken (1998), Soerjono Soekanto(1990), Tri Pranadji (2003) 3. Sosiologi Kepentingan menurut Richard Swedberg (2003), Titik Sumarti (2005)
43
Hipotesa Pengarah Penelitian
Bertolak dari kesimpulan-kesimpulan teoritis dan akumulasi pengetahuan pustaka peneliti maka beberapa hipotesa penelitian yang dirumuskan sebagai arahan pelaksanaan penelitian di lapangan adalah sebagai berikut :
1. Upaya untuk mengatasi kemiskinan dan kerawanan pangan akan lebih efektif apabila diikuti dengan pengembangan kelembagaan ketahanan pangan lokal
2. Jika dinamika berbagai kepentingan
(ekonomi, sosial, politik) tidak
diperhatikan akan mengganggu pengembangan kelembagaan ketahanan pangan lokal
3. Jika kepentingan rumah tangga petani miskin tidak dijadikan fokus program pengembangan kelembagaan ketahanan pangan lokal dapat berakibat proses pemiskinan dan rawan pangan berlanjut
44