II. PENDEKATAN TEORITIS
2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Teori Kepemilikan Sumber Daya (Property rights) Kondisi ”tragedy of the common” didorong oleh kondisi sumber daya perikanan yang bersifat milik bersama (common pool resources). Status “milik bersama” tersebut memiliki konsekuensi terhadap akses bagi pengelolaannya. Konsekuensi akses pengelolaan tersebut dapat bersifat ekslusif bagi kelompok tertentu atau seringkali bersifat open access. Permasalahan yang kemudian muncul akibat pengelolaan bersifat open access adalah tidak adanya pihak yang bertanggungjawab dalam pemeliharaan kelestarian sumber daya. Terkait hal ini, Benda-Beckmann et al (2001) berpendapat kebebasan berpindah tempat mencari sumber daya baru merupakan salah satu alasan tidak adanya pihak yang perduli untuk mengembalikan sumber daya perikanan yang telah rusak atau habis. Hal lainnya karena konservasi dianggap hanya akan menghambat usaha, menambah biaya produksi dan akhirnya mengurangi keuntungan (Kinseng, 2003). Berbicara kaitan sumber daya dengan masyarakat tidak dapat terlepas dari permasalahan akses. Akses terhadap sumber daya haruslah dipandang sebagai sebuah kesatuan dalam suatu sistema hak kepemilikan sumber daya yang ada di dalam masyarakat. Sistem hak kepemilikan sumber daya seringkali diartikan sebagai mekanisme sosial yang memberikan wewenang, serta mengikat individu dalam suatu masyarakat atas kepemilikan wewenangnya. Sistem hak kepemilikan sumber daya dan pola pengelolaan sumber daya juga dapat dipandang sebagai suatu kesatuan dari struktur hak dan kewajiban (Bromley, 1991). Struktur hak dan kewajiban tersebut mewarnai pola hubungan antara seorang individu dengan lainnya atas sumber daya yang sama (North, 1990 dalam Hanna et al, 1996). Terkait dengan sifat hak kepemilikan (property rights), Ostrom (1990) dan Bromley (1992) menyebutkan bahwa sumber daya milik bersama (common-pool resources) dapat terjadi dalam empat bentuk rezim. Keempat rezim tersebut adalah non-property, private property, state property dan communal property.
12
Open-access (non-property), terjadi ketika hak kepemilikan tidak terdefinisi dan diatur dengan jelas, sehingga akses pemanfaatan sumber dayanya bebas dan terbuka bagi semua pihak. Private property terjadi ketika kondisi yang ada memberikan seseorang atau badan usaha suatu kewenangan atau hak untuk membatasi atau melarang orang lain serta memiliki kewenangan untuk mengatur pemanfaatan sumber daya tersebut. State property terjadi ketika kewenangan mengatur dan membatasi penggunaan dalam pemanfaatan sumber daya hanya terbatas pada tingkat negara. Communal property terjadi pada kondisi ketika sumber daya ”dimiliki” oleh suatu komunitas yang teridentifikasi dengan jelas dan dapat mengatur serta melarang pihak di luar anggota komunitasnya untuk memanfaatkan sumber daya tersebut. Bromley (1991) menyebutkan bahwa unsur-unsur atau komponen-komponen property right dalam pengelolaan sumber daya meliputi: (1) klaim kepemilikan; (2) batas wilayah pengelolaan dan pemanfaatan; (3) pemegang wewenang dan pendistribusian hak pengelolaan dan pemanfaatan; dan (4) aturan pengelolaan dan pemanfaatan (rules of the game). Namun demikian, kenyataan dalam kehidupan keseharian cenderung menyebabkan satu sumber daya berada pada status yang merupakan kombinasi dan memiliki berbagai variasi yang berbeda dari keempat bentuk rezim hak kepemilikan di atas (Berkes, 1996). Tipe rezim hak kepemilikan berdasarkan tugas dan kewajiban pemilik wewenang dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Jenis-Jenis Rezim Hak Kepemilikan (Property Rights) Sumber Daya Tipe Rezim Pemilik Hak Pemilik Kewajiban Pemilik Kepemilikan Individu Pemanfaatan sumber Menghindari Pribadi daya pemanfaatan yang yang diterima secara tidak diterima secara umum; mengatur akses umum Kepemilikan Kolektif Melarang pihak lain di Menjaga; membatasi komunal luar komunitas tingkat pemanfaatan Kepemilikan Warga Negara Membuat dan Menjaga pencapaian negara diwakili Pemerintah menerapkan peraturan tujuan masyarakat Akses Tidak ada Pemanfaatan Tidak ada terbuka Sumber : Diadaptasi dari Hanna et al (1996)
13
Kunci utama dalam konsep property right adalah adanya bundle of rights yang menjadi acuan dalam menata relasi antara aktor dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya. Ostrom dan Schlager (1996) mengklasifikasikan bundle of rights menjadi empat, yaitu access right, yaitu hak memasuki suatu wilayah sumber daya, withdrawal right, yaitu hak melakukan kegiatan produksi atau ekstraksi sumber daya, management right, yaitu hak terlibat dalam pengelolaan sumber daya, exclusion right, yaitu hak menentukan pihak mana saja yang dapat memiliki access dan withdrawal right, alienation right, yaitu hak menjual atau mengalihkan atau mentransfer management dan exclusion right. Konfigurasi bundle of rights tersebut yang menentukan tipe atau jenis property right system yang ada. Tabel 2 memberikan gambaran konfigurasi bundle of rights terkait status dan posisi aktor dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya.
Tabel 2. Bundle of Rights terkait Status dan Posisi Aktor Owner Proprietor Claimant Authorized user Access X X X X Withdrawal X X X X Management X X X Exclusion X X Alienation X Sumber : Ostrom dan Schlager (1996)
Authorized Entrant X
2.1.2. Teori Akses Teori akses memiliki pemahaman yang berbeda dari pemahaman akses konvensional seperti yang umumnya dikaji dalam kerangka property right. Teori akses mencoba melihat secara lebih luas cakupan dibanding dengan teori “kepemilikan”. Teori akses lebih memfokuskan pada “kemampuan” dibanding “hak” seperti dalam teori kepemilikan, sehingga lebih menekankan secara luas atas relasi sosial yang dapat mendorong atau mencegah seseorang mengambil manfaat dari sumber daya tanpa membatasinya semata-mata pada kepemilikannya. Teori akses dipahami sebagai segala hal yang dimungkinkan bagi setiap orang melalui berbagai cara untuk mengambil manfaat dari sesuatu (Ribbot dan Peluso, 2003). Akses dalam teori ini lebih ditekankan atas kesatuan kekuasaan (bundle of power),
14
berbeda dengan pemahaman kepemilikan yang lebih menekankan atas kesatuan hak (bundle of rights). Cakupan kekuasaan tersebut terbentuk dari unsur material, kultural, dan ekonomi politik yang terjalin dalam sebuah kesatuan dan jejaring kekuasaan yang mempengaruhi akses sumber daya. Menurut teori akses (Ribbot dan Peluso, 2003), setiap pihak memiliki posisi yang berbeda terkait dengan sumber daya bergantung atas bundle of power yang dimilikinya. Sebagian pihak mampu mengontrol akses atas sumber daya, sementara lainnya harus mempertahankan aksesnya atas sumber daya melalui pihak yang mengontrolnya. Menggunakan teori akses ini dimungkinkan untuk memahami fenomena sebagian pihak yang mampu memanfaatkan sumber daya walaupun tidak memiliki hak untuk memanfaatkannya. Hal yang menjadi perbedaan mendasar antara teori akses dengan teori kepemilikan adalah jika teori kepemilikan menitikberatkan
pada
pemahaman
atas
klaim,
sementara
teori
akses
menitikberatkan pada cara-cara seseorang mengambil manfaat atas sumber daya yang tidak hanya terbatas pada relasi kepemilikan sumber daya. Peluso menyarankan sebuah metode analisis akses untuk mengidentifikasi konstelasi cara-cara, hubungan-hubungan, dan proses-proses yang memungkinkan aktor-aktor yang beragam memperoleh keuntungan dari sumber daya. Peluso juga menyatakan bahwa analisis akses melibatkan; (1) pengidentifikasian dan pemetaan aliran dari keuntungan tertentu dari kepentingan; (2) pengidentifikasian mekanisme-mekanisme yang mana aktor-aktor berbeda terlibat memperoleh, mengontrol, dan memelihara aliran keuntungan dan distribusinya; dan (3) sebuah analisis dari hubungan-hubungan kekuasaan yang mendasari mekanismemekanisme akses terlibat dalam peristiwa dimana keuntungan-keuntungan diperoleh (Ribbot and Peluso, 2003). Blaikie dalam Ribbot dan Peluso (2003), menjelaskan bahwa kapital dan identitas sosial mempengaruhi siapa pihak yang memperoleh prioritas akses. Ribbot dan Peluso (2003) mengemukakan konsep mekanisme struktural dan relasional akses. Ribbot dan Peluso (2003), selanjutnya membagi mekanisme struktural dan relasional akses tersebut seperti teknologi, kapital, pasar, tenaga kerja, pengetahuan, otoritas, identitas sosial, dan relasi sosial yang dapat membentuk atau mempengaruhi akses.
15
2.1.3. Konflik, Konflik Kepentingan dan Struktur Sosial Terkait akses atas sumber daya, beberapa aktor dalam jaring relasi sosial mengontrol dan mempertahankan akses melalui penguasaan atas satu bentuk atau sekumpulan set kekuasaan (bundle of powers) (Ribbot dan Peluso, 2003). Ribbot dan Peluso (2003), menjelaskan dalam perjalanannya, sebagian aktor yang menguasai beberapa bentuk akses dapat beraliansi atau berkonflik dengan pihak lainnya. Demikian juga aktor yang mendapatkan akses melalui pihak yang menguasai akses sering kali juga beraliansi atau berkonflik dengan lainnya. Teori konflik mengasumsikan bahwa tindakan dan perilaku sosial dapat dipahami dengan cara terbaik melalui melihat ketegangan dan konflik antara kelompok-kelompok dan individu-individu (Vago, 1989). Masyarakat adalah sebuah arena yang di dalamnya merupakan perjuangan atas komoditas yang langka. Teori konflik melihat perubahan dibanding kepatuhan sebagai elemen dasar dari masyarakat. Marx menyebutkan bahwa tanpa konflik tidak akan terjadi perubahan, hal ini merupakan hukum yang diikuti oleh setiap peradaban hingga saat ini (Vago, 1989). Marx menganggap setiap masyarakat, apapun tahapan kemajuan historisnya, terletak atas pondasi ekonomi. Apa yang disebutnya sebagai moda produksi dari suatu komoditas. Moda produksi memiliki dua elemen, yaitu kekuatan produksi atau pengaturan fisik, teknologi dari aktifitas ekonomi, dan relasi sosial dari produksi atau keterikatan manusia yang tak terbantahkan antara satu dengan lainnya untuk melakukan aktifitas ekonomi. Marx tidak pernah secara sistematis mendefinisikan dan mengelaborasi konsep kelas, walaupun hal ini menjadi pusat dalam kajiannya. Namun demikian, kajian yang dilakukan Marx penuh dengan analisis kelas. Marx banyak mengkaji setidaknya tentang dua permasalahan, yaitu elaborasi abstract structural maps dari relasi kelas dan analisis atas concrete conjuctural maps dari aktor sebagai kelas (Wright, 1987). Wright (1987), menjelaskan bahwa abstract structural maps dari relasi kelas merupakan analisis terkait cara-cara yang dengannya organisasi sosial produksi menentukan suatu struktur “ruang kosong” dalam relasi kelas yang ditempati oleh perorangan. Sementara concrete conjuctural maps dari aktor sebagai kelas tidaklah terkait dengan struktur kelas seperti demikian, namun lebih terkait dengan cara-cara yang dengannya setiap perorangan dalam struktur kelas
16
terorganisir menjadi kolektifitas yang berhadapan dalam perjuangannya. Struktur kelas ditentukan oleh oleh hubungan sosial antar berbagai kelas sosial, sedangkan formasi kelas ditentukan oleh hubungan sosial di dalam kelas sosial itu sendiri (Wright, 1987; Kinseng, 2007). Marx memandang hubungan antara moda produksi mempengaruhi dan melandasi kehidupan masyarakat. Manusia ditentukan oleh produksi mereka, baik apa yang mereka produksikan, maupun cara mereka berproduksi. Sehingga individu tergantung pada syarat-syarat produksinya. Sementara pemahaman organisasi sosial menurut Marx terkait erat dengan dua tahapan kelas, yaitu kelas “in it self” dan kelas “for it self” (Kinseng, 2009). Kelas “in it self” adalah kelas dalam arti sekumpulan orang-orang yang berada pada posisi yang sama dalam hubungan dengan kepemilikan alat produksi (posisi kelas atau situasi kelas). Sementara kelas “for it self” adalah kelas sosial yang telah mempunyai kesadaran kelas, kepentingan kelas (interest) dan tujuan perjuangan kelas (formasi kelas). Organisasi sosial berada pada tahapan kelas kedua yaitu formasi kelas, dimana masyarakat telah mengorganisasikan
dirinya
ke
dalam
organisasi-organisasi
bertujuan
memperjuangkan kepentingannya, sebagai bentuk dari munculnya kesadaran kelas. Organisasi sosial berfungsi sebagai alat mencapai tujuan. Perjuangan kelas merupakan perjuangan politik (Kinseng, 2009). Wright (1987), mengajukan kontrol yang efektif atas sumber daya sebagai dasar atas basis material dari relasi kelas, kelas yang berbeda dibentuk atas hubungannya dengan sumber daya yang berbeda. Wright (1987) menekankan atas konseptualisasi eksploitasi berbasiskan aset (faktor input dalam produksi) maupun non aset (keyakinan, otoritas, dominasi), sepanjang hal tersebut terkait dengan penguasaan atau kepemilikan atas aset produktif. Marx memandang sumber konflik adalah karena adanya dua kelompok atau kelas yang memiliki kepentingan berbeda akibat kepemilikan alat dan faktor produksi. Satu pihak berupaya mendominasi dan mengambil keuntungan dari pihak yang lain, sementara pihak yang lain berupaya menghindari upaya dominasi. Bagi Marx, tidak dapat diterima bahwa orang-orang di kelas buruh dapat memenuhi kebutuhannya melalui pekerjaannya atau bahwa mereka dapat menyatakan bentuk nilai manusiawi yang benar dari jenis apapun yang dikerjakannya (Johnson, 1986).
17
Wright (1987) menekankan bahwa struktur kelas merupakan sebuah struktur dari relasi sosial yang menciptakan matrix dari ekploitasi berdasarkan kepentingankepentingan. Struktur kelas tidak menciptakan pola tertentu dari terbentuknya formasi kelas, tetapi menentukan underlying probabilities dari berbagai formasi kelas. Wright (1987), kemudian menyebutkan permasalahan aliansi yang dapat terjadi antar kelas, bagian dalam kelas, dan diantara lokasi kelas yang bertentangan. Aliansi dibentuk berdasarkan strategi-strategi yang bertujuan mengamankan ekploitasi kelas. Bagi Wright (1987), kelas dibentuk atas pola penguasaan atau kepemilikan efektif atas aspek-aspek dari force of production. Berbagai relasi ekploitasi yang berbeda yang menjelaskan berbagai kelas yang berbeda terhubung atas qualitatives properties dari berbagai aspek terkait force of production. Dengan demikian, kelas yang diajukan oleh Wright (1987) dengan sendirinya memiliki dimensi kritis karena mengajukan permasalahan eksploitasi sebagai dasar material pembentukan kelas.
2.2. Kerangka Pemikiran Permasalahan pengelolaan sumber daya tidaklah semudah dan sesederhana permasalahan membagi-bagikan atau mendistribusikan perangkat-perangkat kesatuan hak-hak kepada satu atau lebih aktor. Jenis sumber daya yang cenderung bersifat common pool resource, seperti sumber daya perairan, umumnya melibatkan banyak aktor yang masing-masing memiliki derajat kepentingan yang berbeda. Bahkan tidak jarang derajat kepentingan tersebut saling bertolak belakang sehingga menimbulkan potensi konflik dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya. Masing-masing aktor memiliki dan terus mengembangkan strategi-strategi yang bertujuan mempertahankan akses mereka atas sumber daya tersebut. Hal ini menjadi menarik untuk dikaji karena pilihan-pilihan strategi tersebut melibatkan proses-proses terbentuknya relasi-relasi kekuasaan. Relasi kekuasaan tersebut saling berebut tempat dan pengaruh, berkontestasi satu dengan lainnya dalam ruang kebijakan. Dalam proses kontestasi tersebut terjadi distribusi atau polarisasi relasi kekuasaan yang tidak seimbang antara berbagai aktor yang terlibat.
18
Dampaknya adalah terjadinya proses marjinalisasi salah satu atau beberapa aktor dalam proses pengelolaan sumber daya tersebut. Sementara dalam konteks pengelolaan perairan Waduk Jatiluhur, setidaknya terdapat beberapa aktor yang saling berinteraksi, yaitu PJT II, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Dinas Perikanan Kabupaten Purwakarta, pembudidaya KJA, nelayan, dan pabrik pakan melalui agen-agen pakan. Titik masuk permasalahan utama pengelolaan Waduk Jatiluhur adalah berkembang pesatnya usaha budidaya KJA hingga nyaris tidak terkendali. Dua kutub kepentingan setidaknya terlihat, yaitu pihak-pihak yang tidak menghendaki keberadaan atau pengurangan jumlah usaha budidaya KJA dan pihak-pihak-pihak yang menghendaki keberadaan atau pengembangan jumlah usaha budidaya KJA. Tarik menarik diantara dua kutub kepentingan ini terlihat implikasinya atas tidak terkendalinya dan tidak dipatuhinya zonasi-zonasi yang telah ditetapkan sebelumnya. Selain itu, penetapan jumlah batasan maksimal KJA dan perangkat aturannya selalu terkendala karena masing-masing kutub kepentingan ini mengacu atas dasar “klaim” pengetahuan ilmiah yang berbeda. Hal yang kemudian menarik adalah proses termarjinalisasinya nelayan yang notabene adalah mayoritas penduduk setempat dalam proses kontestasi pengelolaan sumber daya perairan waduk tersebut. Ketika timbul wacana dan “nasionalisme” atas nama usaha KJA adalah untuk kepentingan rakyat, maka menjadi sebuah pertanyaan besar karena mayoritas usaha KJA adalah pemodal besar dan bukan penduduk setempat. Sementara pada tataran masyarakat sendiri yang jauh dari hiruk pikuk masalah kebijakan, muncul adanya potensi konflik akibat kecemburuan sosial dan ekonomi. Potensi konflik ini adalah antara penduduk setempat, yang diwakili oleh nelayan, dengan penduduk luar daerah setempat, yang diwakili oleh pembudidaya dan pekerjanya. Sementara itu, kondisi sumber daya perairan waduk itu sendiri terus mengalami tekanan yang berdampak pada degradasi perairan. Degradasi perairan pada akhirnya akan berpengaruh terhadap seluruh kegiatan usaha yang saat ini tengah berlangsung. Proses kontestasi, negosiasi atau bahkan pembiaran menjadi sangat menarik untuk dikaji mengingat terus terdegradasinya sumber daya.
19
Teori akses dan teori kepemilikan (property rights) akan digunakan untuk melihat dan memetakan bagaimana mekanisme distribusi bundle of powers dan bundle of rights yang terjadi dalam konteks pengelolaan sumber daya perairan waduk. Teori akses juga digunakan untuk mengkaji proses-proses dan bentukbentuk relasi kekuasaan yang terjadi diantara para aktor yang terlibat dalam pengelolaan sumber daya perairan waduk. Sementara teori konflik digunakan untuk mengkaji terjadinya ketimpangan relasi kekuasaan yang terjadi antar aktor dan dampaknya atas perbedaan distribusi manfaat dan kerugian dari pengelolaan sumber daya perairan waduk tersebut. Kerangka pemikiran pemikiran secara sederhana ditampilkan dalam Gambar 1.
Degradasi Sumber Daya Perairan
Sumber Daya Perairan Waduk
KKP dan Diskan Kab Purwakarta
Pembudidaya
Teori Konflik Teori Property Rights Teori Akses
Kepentingan Kekuasaan Kewenangan
PJT II Pedagang Pakan
Nelayan
Akses dan Kontrol
Teknologi Kapital Pasar Tenaga Kerja Pengetahuan Otoritas Identitas Sosial Relasi Sosial
Pengelolaan Sumber Daya Perairan Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian
Teori Akses (Mekanisme Struktural dan Relasional)
20
2.3. Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian yang digunakan dalam penelitian bersifat hipotesis pengarah dan bertujuan memberikan bingkai serta arahan dalam keseluruhan proses penelitian. Hipotesis pengarah yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Konfigurasi aktor akan mempengaruhi distribusi hak kepemilikan sumber daya yang juga dipengaruhi oleh kontestasi kepentingan, kekuasaan dan kewenangan para aktor 2. Akses sumber daya akan dipengaruhi oleh bentuk-bentuk strategi para aktor dan akhirnya akan mempengaruhi dinamika pengelolaan sumber daya perairan waduk 3. Proses kontestasi kepentingan dalam pengelolaan sumber daya perairan waduk memberikan hasil yang berbeda bagi masing-masing aktor yang terlibat