II. PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Televisi Sebagai Media Massa Media adalah alat atau sarana yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari komunikator kepada khalayak. Media massa sering dibedakan menjaadi media massa bentuk tampak (visual) media massa bentuk dengar (audio), dan media massa bentuk gabungan tampak dengar (audio visual). Media massa adalah alat yang digunakan dalam penyampaian pesan dari sumber kepada khalayak penerima dengan menggunakan alat-alat komunikasi mekanis seperti surat kabar, film, radio, dan televisi (Mulyana, 2001). MCQuail dalam Novilena (2004) mengungkapkan tentang serangkaian ide dasar mengenai tujuan media dalam masyarakat yakni : informasi, korelasi, kesinambungan, hiburan, dan mobilisasi. Azwar dalam Novilena (2004) mengungkapkan bahwa khalayak pengguna media massa memiliki alasan-alasan tertentu yang menyebabkannya menggunakan media. Hal ini tentu saja menyebabkan fungsi media massa bagi khalayak. (Rivers dkk, 2003) memaparkan bahwa tiap orang menggunakan media secara berbeda. Usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status ekonomi mempengaruhi alasan seorang mengunakan media. Alasan utama yakni media massa diyakini mampu memberikan kepuasan akan kebutuhan dan keinginan khalayaknya. Anzwar dalam (Novilena, 2004) menyatakan bahwa sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa mempunyai pengaruh besar dalam pembentukkan opini dan kepercayaan orang. Diantara berbagai media massa yang ada, salah satunya yang banyak dimanfaatkan orang dewasa adalah televisi. Televisi adalah media komunikasi yang menyalurkan gagasan dan informasi dalam bentuk suara dan gambar secara umum, baik terbuka maupun tertutup, berupa program yang teratur dan berkesinambungan (Novilena, 2004). Dewasa ini televisi boleh dikatakan telah mendominasi hampir semua waktu luang setiap orang. Televisi memiliki sejumlah kelebihan terutama kemampuannya dalam meyatukan antara fungsi audio dan visual, ditambah dengan kemampuannya dalam memainkan warna. Selain itu televisi juga mampu
mengatasi jarak dan waktu, sehingga penonton yang tinggal di daerah terpencil dapat menikmati siaran televisi (Mulyana, 2001). Menurut (Suangga, 2004) televisi dianggap sebagai kotak ajaib yang memiliki pengaruh besar dalam kehidupan manusia saat ini, menawarkan kenikmatan yaitu mendapatkan hiburan dan informasi, tetapi televisi juga memberikan kehancuran atau kerusakan yang sangat fatal pada berbagai segi kehidupan manusia, yaitu berubahnya nilai-nilai sosial masyarakat, moral, etika, dan sebagainya.
Selain itu, televisi memiliki posisi yang penting dalam
kehidupan manusia apabila benar-benar di manfaatkan sebagaimana seharusnya. Televisi menawarkan berbagai alternatif, sehingga dapat memilih informasi yang diinginkan sesuai dengan kebutuhan. Dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk menyampaikan ilmu, pendidikan, pengetahuan, dan sebagainya.
2.1.2 Keterdedahan Khalayak pada Siaran Televisi Keterdedahan khalayak terhadap siaran televisi diartikan bagaimana khalayak mengkonsumsi berbagai program acara yang disuguhkan televisi untuk memenuhi kebutuhan yang belum terpuaskan. Televisi sebagai media massa dianggap mampu memenuhi kebutuhan khalayak, seperti kebutuhan akan informasi, hiburan, maupun sosial budaya. Selanjutnya, khalayak akan memilih berbagai jenis tayangan televisi yang dapat memuaskan kebutuhan pribadinya. Model Uses and Gratification memandang individu sebagai makhluk supra rasional dan sangat selektif. Dalam model ini perhatian bergeser dari proses pengiriman pesan ke proses penerimaan pesan (Wiryanto, 2004). Perhatiannya terpusat pada kerangka psikologis yang mendasari motif serta pemuasan kebutuhan melalui komunikasi massa. Menurut aliran uses and gratification, perbedaan motif dalam konsumsi media massa menyebabkan kita bereaksi pada media massa secara berbeda pula. Teori ini memfokuskan pada kemampuan media dalam menambah pengetahuan, mengubah sikap dan menggerakkan perilaku. Lanjutnya efek media massa juga akan berlainan pada setiap anggota khalayaknya (Rakhmat, 2004).
Penelitian (Suharto, 2004) membuktikan teori Uses and Gratification ini bahwa motif menonton khalayak siswa SMPN 1 Dramaga berhubungan nyata dengan tindakan siswa SMPN 1 Dramaga. Semakin sedikit motif menonton maka semakin tinggi mereka melakukan tindakan pencegahan terlibat kriminalitas. Keterdedahan khalayak terhadap tayangan kekerasan di televisi didasari adanya
motif-motif
khalayak
menonton
televisi.
Umumnya
khalayak
menggunakan media massa karena didorong oleh motif-motif tertentu (Rakhmat, 2004). Menurut McGuire (Rakhmat, 2004) mengelompokkan motif dalam dua kelompok besar yakni motif kognitif (berhubungan dengan pengetahuan) dan motif afektif (berkaitan dengan perasaan). Menurut Blumler (Rakhmat, 2001) motif yang ada pada tiap individu sangat beragam, yaitu : informasi (information), pengawasan (surveillance), hiburan (entertainment), ketidakpastian (uncertainty). Keterdedahan khalayak terhadap tayangan kekerasan di televisi didasari adanya
motif-motif
khalayak
menonton
televisi.
Umumnya
khalayak
menggunakan media massa karena didorong oleh motif-motif tertentu (Rakhmat, 2004). Menurut McGuire (Rakhmat, 2004) mengelompokkan motif dalam dua kelompok besar yakni motif kognitif (berhubungan dengan pengetahuan) dan motif afektif (berkaitan dengan perasaan). Menurut Blumler (Rakhmat, 2001) motif yang ada pada tiap individu sangat beragam, yaitu : informasi (information), pengawasan (surveillance), hiburan (entertainment), ketidakpastian (uncertainty). Menurut aliran uses and gratification, perbedaan motif dalam konsumsi media massa menyebabkan kita bereaksi pada media massa secara berbeda pula. Lanjutnya efek media massa juga akan berlainan pada setiap anggota khalayaknya (Rakhmat, 2004). Motif kognitif merupakan motif yang timbul untuk memenuhi kebutuhan pengetahuannya atau bersifat informatif. Motif khalayak menonton tayangan kekerasan di televisi sebatas ingin memuaskan kebutuhannya akan informasi kekerasan. Menurut Nathanson dalam Budhiarty (2004) seseorang menyaksikan tayangan kekerasan guna memuaskan keingintahuan tentang hal-hal yang mengerikan. Hal ini diperkuat oleh
Romer (2003) keterdedahan menonton
tayangan televisi berhubungan dengan keterdedahan informasi yang mereka terima dari berita televisi setempat serta tergantung dari karakteristik penonton.
Dimana penonton mempercayai apapun isi yang disampaikan media dan pengaruhnya langsung pada personal. Khalayak yang didasari motif kognitif memiliki keterdedahan informasi yang tinggi. Motif afektif merupakan motif yang timbul berupa perasaan atau emosi khalayak akan tayangan kekerasan. Motif afektif menonton tayangan kekerasan didasari pada rasa penasaran, mengobati kegelisahan, menghibur, dan sekedar mengisi waktu luang. Menurut Budhiarty (2004) remaja menonton program berita bukan sekedar untuk memperoleh informasi, terkadang responden hanya sekedar iseng menonton berita kriminal karena tidak ada acara lain yang menarik. Keterdedahan tayangan kekerasan menyangkut format acara atau jenis tayangan terutama yang mengandung unsur kekerasan atau adanya adegan kekerasan. Umumnya format acara yang mengandung adegan kekerasan lebih diminati oleh khalayak. Kekerasan yang ditayangkan di TV tak hanya muncul dalam film kartun, film lepas, serial, dan sinetron. Adegan kekerasan juga tampak pada hampir semua berita, khususnya berita kriminal. Seolah, tak ada film lain yang menarik tanpa salah satu adegan tersebut yang patut untuk dihadirkan di ruang keluarga penonton Indonesia (Pitaloka, 2006)1. Hasil penelitian Mazdalifah (1999) Film atau sinetron yang bermuatan kekerasan digemari responden yang berusia 7-9 tahun. Alasannya, karena ceritanya seru, banyak berkelahi, tokoh jagoannya berkelahi, dan punya senjata. Keterdedahan tayangan kekerasan pada khalayak juga menyangkut frekuensi dan durasi menonton tayangan kekerasan di televisi. Menurut Mazdalifah (1999) adegan kekerasan ditelevisi jika ditonton secara teratur dalam waktu yang panjang akan berpengaruh pada keterdedahan pada pengetahuan anak tentang kekerasan, penumpukkan sikap terhadap perilaku kekerasan dan peniruan terhadap perilaku kekerasaan. Hasil penelitian Mazdalifah (1999) pada murid SD Gunung Batu Bogor menunjukkan bahwa responden yang terpaan media yang tinggi, sebagian besar memiliki pengetahuan yang tinggi. Selain itu, tingginya keterdedahan tayangan kekerasan pada anak-anak terutama dalam memenuhi
1
Pitaloka, Ardiningtiyas RR. 2006. Pengkondisian Kekerasan oleh Media Televisi Kita. http://www.epsikologi.com/sosial/111206.htm. Diakses pada Sabtu, 17 Januari 2009.
kebutuhan pengetahuan dimana anak-anak mengetahui senjata, gaya berkelahi, dan tokoh jagoan dari televisi terutama dari film kartun dan film non kartun. Pengawasan orangtua berpengaruh pada keterdedahan tayangan kekerasan bagi khalayak khususnya anak-anak dan remaja. Menurut Singer yang dikutip Surono (Budhiarty, 2004) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara kebiasaan menonton televisi dengan tingkat pengawasan orang tua. Ada hubungan nyata antara kebiasaan menonton TV dengan tingkatan pengawasan orang tua. Pengawasan itu berupa pengenalan orang tua akan teman-teman sang anak, di mana mereka berada sepanjang hari. Selain itu, apakah orang tua juga menetapkan dan menjalankan peraturan pembatasan waktu bermain di luar rumah atau nonton TV. Anak yang tidak diawasi dengan ketat akan menonton TV lebih banyak dibandingkan anak-anak yang lain. Kelompok ini lebih banyak menonton program aksi dan perkelahian atau video musik. "Sebanyak 58% anak perempuan yang kurang diawasi, lebih memilih program TV berbau kekerasan atau video musik," ungkap Singer. Sehingga semakin jelas bahwa keterdedahan anak-anak dan remaja akan tayangan kekerasan dipengaruhi adanya peran orang tua. Keterdedahan tayangan kekerasaan dalam penelitian ini meliputi format atau jenis tayangan terutama yang mengandung adegan kekerasan, frekuensi dan durasi menonton tayangan kekerasan. 2.1.3 Efek Siaran Televisi 2.1.3.1 Efek Kognitif Efek kognitif komunikasi massa menurut Rakhmat (2004) lebih menekankan pada citra. Citra adalah dunia menurut persepsi kita. Menurut Robert dalam Rakhmat (2004), Komunikasi tidak secara langsung menimbulkan perilaku tertentu tetapi cenderung mempengaruhi cara kita mengorganisasikan citra kita tentang lingkungan, dan citra inilah yang mempengaruhi cara kita berperilaku. Efek kognitif mengenai tayangan kekerasan berupa citra dan persepsi yang dibangun khalayak saat dan sesudah menonton tayangan kekerasan di televisi. Gerbner (Rakhmat, 2004) melaporkan penelitian berkenaan dengan persepsi penonton televisi tentang realitas sosial. Citra tentang lingkungan sosial kita terbentuk berdasarkan realitas yang ditampilkan media massa. Karena televisi
sering menyajikan adegan kekerasan, sehingga khalayak cenderung memandang dunia ini lebih keras, lebih tidak aman, dan lebih mengerikan. Persepsi tentang dunia dipengaruhi oleh apa yang dilihatnya dalam televisi. Efek kognitif dari tayangan kekerasan di televisi meliputi pengetahuan teknis khalayak akan tindak kekerasan. Khalayak yang menonton tayangan kekerasan akan mengetahui bagaimana gaya berkelahi, penggunaan senjata, bahkan pelajaran tentang modus operandi kejahatan. Efek kognitif tayangan kekerasan berhubungan dengan penilaian khalayak mengenai realitas yang ditampilkan televisi dengan realitas sebenarnya. Realitas yang ditampilkan media adalah realitas yang sudah diseleksi. Karena media massa melaporkan dunia nyata secara selektif, sudah tentu media massa mempengaruhi pembentukan citra tentang lingkungan sosial yang timpang, bias, dan tidak cermat. Terjadilah apa yang disebut stereotip. Media massa juga “menipu” manusia; memberikan citra dunia yang keliru. Media massa juga mempertahankan citra yang sudah dimiliki khalayaknya (Rakhmat, 2004). Menurut penelitian Suangga (2004) terhadap persepsi remaja pedesaan terhadap tayangan berita kriminalitas di televisi mengungkap bahwa semakin banyak materi yang dikemukakan, maka berita tersebut akan semakin menarik minatnya. Responden menyukai berita yang dikemas dengan membahas satu atau dua kejadian secara rinci dan menyeluruh, gambar/ilustrasi yang jelas atau detail (tidak ada penyensoran). Hal ini menunjukkan bahwa responden terbuka atas penayangan kriminal dan hal-hal tersebut mempengaruhi persepsi mereka dalam menilai kriminalitas di lingkungan sekitar. Berbagai teori di atas menjelaskan efek kognitif media massa merupakan citra atau persepsi yang dibentuk khalayak setelah diterpa oleh isi media. Penelitian ini mendefinisikan efek kognitif media massa merupakan pembentukan citra atau persepsi khalayak saat atau setelah diterpa isi media massa, memberikan pengaruh terutama pengetahuan teknis mengenai kekerasan, serta khalayak membuat penilaian-penilaian terhadap realitas yang ditampilkan media dengan realitas sebenarnya yang terjadi di sekitarnya.
2.1.3.2 Efek Afektif Efek afektif
mengenai tayangan kekerasan di televisi menyangkut
perasaan yang timbul setelah menonton tayangan kekerasan di televisi. Perasaan berkaitan dengan rangsangan emosional khalayak terhadap tayangan kekerasan di televisi. Perasan tersebut meliputi rasa takut dan curiga yang timbul setelah menonton tayangan kekerasan. Tayangan kekerasan dan kekerasan di layar televisi, telah lama menimbulkan kegelisahan. Dalam tayangan TV, banyak peristiwa pembunuhan atau adegan orang sedang dipukuli, termasuk rekayasa (ilustrasi) yang diperankan model. Menurut penelitian, khalayak yang telah menonton tayangan kekerasan di televisi mengalami susah tidur, karena terbayang peristiwa tersebut. Yang terjadi pada anak-anak, rupanya adegan itu sampai terbawa dalam mimpi. Fenomena tersebut mengambarkan meningkatnya kecemasan pada diri seseorang sesudah menonton tayangan kekerasan (Arix, 2006)2. Penelitian yang dilaporkan Weiss (Rakhmat, 2004) anak-anak lebih ketakutan menonton televisi dalam keaadaan sendirian atau di tempat gelap. Penelitian yang dilakukan Garbner dan kawankawan (Mc Quail, 2000) menunjukkan bahwa penonton berat kekerasan di televisi merasa menjadi penakut di dunia, merasa takut menjadi korban kekerasan, sehingga menjadi lebih waspada pada dirinya sendiri, dan memiliki rasa kecurigaan yang tinggi terhadap orang lain. Hasil penelitian Novilena (2004) menunjukkan bahwa adanya hubungan sikap terhadap tayangan berita kriminal di televisi. Selain itu, hasil penelitian mengenai dampak tayangan berita kriminal di televisi menunjukkan bahwa dampak positif yang dirasakan yaitu timbulnya sikap waspada dan hati-hati terhadap bahaya, sedangkan dampak negatifnya adalah menjadi mudah curiga, perasaan takut dan ngeri bahkan mencekam sampai berhari-hari lamanya. Efek afektif yang dirasakan khalayak mengenai tayangan kekerasan di televisi yakni toleransi khalayak akan tindak kekerasan. Hal ini berarti bagaimana empati khalayak mengenai kekerasan yang terjadi pada realitas di televisi dengan realitas nyata, terutama kepada korban atau pelaku kekerasan. Media televisi 2
Arixs. 2006. Tayangan Kekerasan dan Kesadisan perlu Dikontrol. http://www.cybertokoh.com/mod.php?mod= publisher&op=viewarticle&artid=715. Diakses pada Sabtu, 17 Januari 2009.
dapat memberikan efek yang tajam dari tayangan kekerasan terhadap khalayak salah satunya yakni de-sensitization effects, berkurang atau hilangnya kepekaan kita terhadap kekerasan itu sendiri (Pitaloka, 2006)3. Studi menunjukkan akibat dari banyaknya menonton tayangan kekerasan, orang tidak lagi mudah merasakan penderitaan atau rasa sakit yang dialami orang lain (Baron (1974) dalam Baron & Byrne, 2000). Secara biologis, ketika menonton tayangan yang menyakitkan atau kekerasan, aktivitas otak akan bergerak dari ranah bahasa di otak kiri ke otak kanan yang mendominasi proses emosi dan pengkodean gambaran visual. Itu sebabnya menonton memberi dampak emosional yang lebih kuat dari pada membaca. Jika hal ini terlalu banyak, maka kita akan menjadi kebal dan tidak peka lagi dengan kekerasan (Flora, 2004) dalam pitaloka (2006). Ron Solby dari Universitas Harvard secara terinci menjelaskan, ada empat macam dampak kekerasan dalam televisi terhadap perkembangan kepribadian anak. Pertama, dampak agresor di mana sifat jahat dari anak semakin meningkat. Kedua, dampak korban di mana anak menjadi penakut dan semakin sulit mempercayai orang lain. Ketiga, dampak pemerhati, di sini anak menjadi makin kurang peduli terhadap kesulitan orang lain. Keempat, dampak nafsu dengan meningkatnya keinginan anak untuk melihat atau melakukan kekerasan dalam mengatasi setiap persoalan yang dialami4. Berdasarkan pemaparan mengenai efek afektif dapat disimpulkan bahwa efek afektif media massa merupakan perasaan atau emosi khalayak setelah menerima dan menseleksi informasi yang dibentuk persepsi mereka masingmasing saat diterpa atau sesudah diterpa media. Efek afektif sebagai hasil dari pembentukan citra. Efek afektif menonton tayangan kekerasan berupa perasaan takut, curiga bahkan toleransi khalayak terhadap tindak kekerasan.
3 4
Pitaloka, op. ci.t, hal.3 Anonim, 2002. Tayangan Kekerasan. http://72.14.235.132/search?q =cache:4xVt597LpAwJ:www.warmasif.co.id/ kesehatanonline/mod.php%3Fmod%3Ddownload%26op%3Dvisit%26lid%3D394+tayangan+kekerasan&hl=id&ct=clnk &cd=26&gl=id. Diakses pada 8 januari 2009.
2.1.4 Faktor-Faktor yang Memunculkan Efek Menurut Raymond Bavor Little John dalam (Vera, 2002) media massa tidak langsung menimbulkan dampak bagi audiens. Banyak variabel terlibat dalam proses terjadinya efek. Gaver (Rakhmat, 1989) dalam Vera (2002) menyatakan bahwa komunikasi massa terjadi lewat serangkaian perantara.
Untuk sampai
kepada perilaku tertentu, maka pengaruh ini disaring, bahkan ditolak sesuai dengan faktor-faktor yang menyertainya, seperti faktor personal dan faktor situasional. Menurut (Vera, 2002) faktor personal adalah faktor-faktor yang berasal dari dalam diri yang mempengaruhi perilaku seseorang, terdiri atas sikap dan emosi. Faktor situasional adalah faktor-faktor yang berasal dari luar diri yang mempengaruhi perilaku seseorang. Faktor luar pertama adalah lingkungan masyarakat. Faktor kedua adalah lingkungan keluarga. Faktor personal yang dimaksud penulis meliputi pendapat khalayak menilai isi tayangan kekerasan atau persepsi. Faktor personal memberi pengaruh terhadap perkembangan perilaku agresif, yang lebih berpengaruh lebih pada pandangan dan pendapat seseorang. Semakin positif pandangan dan pendapat seseorang terhadap adegan kekerasan di televisi maka semakin tinggi perilaku agresifnya (Vera, 2002). Remaja dalam menonton berita kriminal berhubungan dengan tingkat pengetahuan mereka tentang manfaat mereka menonton berita tersebut bagi dirinya. Jenis kelamin juga termasuk faktor-faktor yang memicu efek perilaku khalayak. Responden laki-laki menunjukkan sikap positif yang lebih besar terhadap tayangan kriminal, responden perempuan menunjukkan sikap negatif yang besar. Sikap positif paling banyak ditunjukkan oleh responden dengan tingkat pendidikan rendah, sedangkan sikap negatif paling banyak ditunjukkan oleh responden dengan tingkat pendidikan tinggi. Faktor personal lainnya yakni prestasi akademis di kelas. Hasil penelitian Suharto (2006) menjelaskan bahwa semakin rendah peringkat di kelas maka semakin rendah minat menonton berita kriminal. Pada remaja di kota Jakarta dengan kemudahannya mengakses berita kriminal di TV, menunjukkan semakin tinggi peringkat di kelas ternyata minat remaja dalam menonton berita kriminal juga semakin tinggi. Hal ini terjadi karena bagi remaja berprestasi menganggap
telah menguasai pelajaran dengan baik sehingga mereka bosan akan tayangan berita yang umum. Hal ini dipekuat dengan penyataan Lowery & De Fleur dalam Budhiarty (2004) bahwa anak-anak yang memiliki tingkat intelegensi yang tinggi memiliki variasi yang lebih banyak dalam pemilihan program acara televisi dibanding mereka yang memiliki intelegensi yang rendah. Faktor situasional yang dimaksud penulis adalah lingkungan dimana khalayak tinggal. Lingkungan terdiri dari lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat. Faktor situasional memberi pengaruh pada perilaku agresif. Tindak kekerasan lingkungan yang sering melakukan tindak kekerasan akan terciptanya semakin tingginya perilaku agresif (Vera, 2002). Selain itu lingkungan juga faktor mempengaruhi persepsi khalayak. Persepsi khalayak akan kejahatan tergantung pada jarak tempat dimana tindak kejahatan itu terjadi. Menurut Heath dalam Romer (2003) semakin jauh lokasi tindak kejahatan itu terjadi maka semakin rendah ketakutan khalayak akan kejahatan. Ellen (2005) meneliti persepsi resiko kejahatan sebagai fungsi keduanya pada tingkat kejahatan regional dan setempat. Persepsi orang akan kejahatan tergantung pada jarak tempat dimana kejahatan itu terjadi, semakin jauh dari tempat kejadian kejahatan maka semakin rendah rasa ketakutannya.
2.1.5 Berita kriminal (Morissan, 2008) mengemukakan bahwa berita adalah informasi yang penting dan menarik bagi khalayak audiens. Soehoet (Novilena, 2004) memaparkan bahwa berita yang lengkap mengandung semua elemen yang dibutuhkan khalayaknya, untuk itu media massa dalam menyusun suatu berita lengkap dengan menggunakan rumusan 5W + 1 H. Menurut (Novilena, 2004) berita kriminal adalah uraian tentang peristiwa/fakta atau pendapat yang mengandung nilai berita tentang kejahatan yang ditayangkan di televisi. (Budhiarty, 2004) mendefinisikan berita kriminal sebagai acara yang menayangkan informasi hanya berkisar mengenai kejadian kriminal/kejahatan, kecelakaan, kebakaran dan atau orang hilang; tayangan ini dapat dikemas dalam format berita (news) ataupun laporan mendalam (indepth
report) yang mengupas suatu kasus lama atau baru yang belum. Sudah terungkap, dan terkadang disertai tips-tips untuk mengantisipasi setiap modus kejahatan. Berita kriminal adalah uraian tentang peristiwa atau fakta mengenai berbagai tindakan kriminal (kejahatan) yang dilakukan oleh pelaku kejahatan. Berita dianggap menarik minat khalayak pemirsanya dengan kemasan aktual dan mendalam. Selain itu dengan berita yang bersifat komprehensif, interpretatif dan investigatif, akan menambah pengetahuan dan wawasan khalayak secara mendalam. Menurut Miller (Siagan, 2000) dalam (Budhiarty, 2004) kemasan berita berisikan fakta atau pendapat dalam bentuk langsung dan berita mendalam. Berita langsung adalah uraian fakta yang makna beritanya kuat (penting). Berita mendalam adalah berita komprehensif, interpretatif dan investigatif. 1. Berita komprehensif adalah uraian secara terperinci tentang peristiwa atau fakta dan atau pendapat yang mengandung nilai berita di dalam suatu sistem sosial tertentu 2. Berita interpretatif adalah uraian fakta atau pendapat yang mengandung nilai berita dengan menempatkan fakta sebagai mata rantai atau konteks permasalahan yang lebih luas, ragam sumber informasi dapat memberikan pendapat menurut interpretasi masing-masing. 3. Berita investigatif adalah uraian fakta atau pendapat yang mengandung nilai berita dengan membandingkan antara fakta di permukaan dengan fakta tersembunyi yang diperoleh dengan menyelusuri jejak melalui investigasi. Perbedaan berita langsung dan berita mendalam adalah dari isi uraian, kecepatan penyajiaan kepada khalyak, kepadatan dan rincian fakta atau pendapat yang disajikan. Uraian berita mendalam apapun bentuknya akan memberikan informasi lebih lengkap dan menyeluruh bila dibandingkan dengan uraian berita langsung (Budhiarty, 2004).
2.1.6 Perilaku Remaja Masa remaja menunjukkan masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Batas umurnya tidak dirinci dengan jelas, tetapi secara kasar berkisar antara umur 12 sampai akhir belasan tahun, ketika pertumbuhan (Atkinson dkk, 1983). Istilah Adolescene atau remaja berasal dari kata Latin adolescere (kata bendanya, adolescentia yang berarti remaja) yang berarti ”tumbuh” atau ”tumbuh menjadi dewasa”. Istilah adolescene mempunyai arti luas, mencangkup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik (Hurlock, 1980). Secara umum masa remaja dibagi menjadi dua bagian, yaitu awal masa dan akhir masa remaja. Garis pemisah antara awal masa dan akhir masa remaja terletak kira-kira sekitar usia tujuh belas tahun; usia saat mana rata-rata setiap remaja memasuki sekolah menegah tingkat atas. Awal masa remaja berlangsung kira-kira dari tiga belas tahun sampai enam belas tahun atau tujuh belas tahun, dan masa akhir masa remaja bermula dari usia 16 atau 17 tahun sampai delapan belas tahun (Hurlock, 1980). Perkembangan fisik yang cepat dan penting disertai dengan cepatnya perkembangan mental
yang cepat, terutama pada masa awal remaja. Semua
perkembangan itu menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan perlunya membentuk sikap, nilai, dan minat baru. Perubahan fisik yang terjadi selama tahun awal remaja mempengaruhi tingkat perilaku individu dan mengakibatkan diadakannya penilaian kembali penyesuaian nilai-nilai yang telah bergeser (Hurlock, 1980). (Hurlock, 1980) memaparkan adanya lima perubahan pada masa remaja awal. Pertama, meningginya emosi yang itentitasnya bergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikologis yang terjadi. Kedua, perubahan tubuh. Ketiga, perubahan minat, peran yang diharapkan kelompok sosial tertentu. Keempat, dengan berubahnya minat dan pola perilaku, maka nilai-nilai juga berubah. Kelima, Sebagian besar remaja bersikap ambivalen terhadap setiap perubahan. Mereka menginginkan dan menuntut kebebasan. Perubahan perilaku mencangkup aspek kognisi, afeksi dan aspek konasi. Menurut Winkel dalam (Suharto, 2006) kognisi adalah pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki khalayak. Afektif adalah sikap khalayak mengenai
tayangan berita di TV. Konasi adalah tindakan individu menurut cara tertentu. Menurut Hurlock dalam (Suharto, 2006) menjelaskan beberapa pola perilaku sosial pada masa anak-anak hingga remaja yaitu : (1) hasrat akan penerimaan sosial, (2) empati, kemampuan meletakkan diri dalam posisi orang lain dan menghayati pengalaman orang tersebut. Berkaitan dengan televisi terhadap perilaku remaja, Hurlock dalam (Suharto, 2006) menjelaskan beberapa faktor (karakteristik remaja) yang mempengaruhi minat anak hingga remaja pada televisi yaitu : (1) prestasi akademik, (2) penerimaan sosial. Semakin mereka diterima secara sosial maka semakin kurang perhatiannya pada televisi dan sebaliknya. Artinya ada keinginan remaja untuk memanfaatkan waktu luang yang dimiliki di luar waktu sekolah. (3) Kepribadiaan. Pengaruh televisi terhadap remaja yakni : (1) pengaruh pada sikap yaitu tokoh pada televisi biasanya digambarkan dengan berbagai stereotip. Anak kemudian mengetahui semua orang dalam kelompok tertentu mempunyai sifat yang sama dengan yang ada di televisi. Ini mempengaruhi sikap anak-anak. (2) Pengaruh pada perilaku yaitu keinginan anak untuk meniru, mereka merasa apa saja yang disajikan dalam acara televisi tentunya merupakan cara yang dapat diterima baginya dalam bersikap sehari-hari. Dapat ditambahkan pengaruh pada pengetahuan remaja tersebut. Menurut Lubis dalam (Budiarty, 2004) remaja sebagai individu dalam masa transisi memiliki beragam tujuan untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan mereka, antara lain untuk mendapatkan informasi yang saat ini menjadi topik pembicaraan banyak orang, medapat hiburan ketika bosan, mencari jalan keluar atas masalah mereka dan mungkin sekedar mengisi waktu luang. Salah satu cara memenuhi kebutuhan tersebut yakni dengan menonton televisi. Salah satu program yang digemari pemirsa yakni berita kriminal. Berdasarkan penelitian (Suangga, 2004) mengenai persepsi remaja terhadap tayangan berita kriminalitas ditelevisi memperoleh kesimpulan bahwa semakin banyak materi yang dikemukakan, maka berita tersebut akan semakin menarik minat remaja. Menurut (Budiarty, 2004) memaparkan bahwa
intentitas dan kualitas
pemberitaan kriminalitas terus-menerus dengan tingkat kekerasan tinggi, dapat
menciptakan iklim ketakutan (fear of crime) , sehingga pada akhirnya akan menciptakan masyarakat yan resisten (kebal) terhadap perilaku kekerasan. Apabila dibiarkan terus-menerus situasi ini tidak akan sehat karena dapat menimbulkan masyarakat yang penuh kecurigaan dan kehilangan kehangatan (sense of friendly), serta kepekaan sosial yang sangat dibutuhkan di dalam kehidupan masyarakat. Menurut penelitian (Suharto, 2006)
dikembangkan pemikiran bahwa
perilaku remaja terkait kriminalitas, juga dipengaruhi oleh jumlah stasiun TV yang ditonton, ini menunjukkan tingkat variasi stasiun TV yang ditonton. (2) Saat Menonton. Subiakto dalam (Suharto, 2006) menyebutkan saat menonton termasuk dalam pola tayangan kriminalitas rutin. (3) Minat menonton dan (4) motif menonton.
2.2 Kerangka Pemikiran 2.2.1 Deskripsi Tayangan kekerasan di televisi berpotensi memunculkan efek terhadap perilaku khalayak remaja, khususnya siaran berita kriminal. Perilaku individu mengandung tiga ranah utama: kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), dan konatif (tindakan), namun penelitian ini tidak mengkaji perubahan perilaku pada ranah konatif. Oleh karena itu, efek tayangan siaran berita kriminal televisi dapat dirinci sebagai pengaruh yang diberikan kepada khalayak melalui isi berita kriminal di televisi, salah satunya berita kriminal. Efek berita kriminal di televisi meliputi efek kognitif dan efek afektif. Efek kognitif berhubungan dengan persepsi khalayak terhadap isi berita kriminal, pengetahuan teknis khalayak akan tindak kejahatan, dan penilaian khalayak terhadap realitas. Afek afektif berkaitan dengan perasaan khalayak sesudah menonton tayangan kekerasan meliputi rasa takut dan curiga. Selain itu, efek afektif juga menyangkut toleransi khalayak akan tindak kekerasan. Khalayak yang menonton berita kriminal tidak secara langsung terkena efek. Gaver (Rakhmat, 1989) dalam Vera (2002) menyatakan bahwa komunikasi massa terjadi lewat serangkaian perantara.
Untuk sampai kepada perilaku
tertentu, maka pengaruh ini disaring, bahkan ditolak sesuai dengan faktor-faktor
yang menyertainya, seperti faktor personal dan faktor situasional. Faktor personal meliputi Karakteristik individu yang terdiri dari : umur, jenis kelamin, prestasi akademis di kelas, dan motif menonton. Faktor situasional meliputi karakteristik sosial yakni lokasi tempat tinggal dan lingkungan keluarga. Menurut Little John (Vera, 2002) banyak variabel terlibat dalam proses terjadinya efek. Proses terjadinya efek ditentukan pada keterdedahan khalayak akan berita kriminal di televisi. Keterdedahan khalayak remaja pada berita kriminal di televisi berkaitan dengan jenis berita kriminal, frekuensi dan durasi menonton, selanjutnya keterdedahan khalayak akan memberikan efek bagi perilaku khalayak. Menurut Romer (2003) keterdedahan khalayak akan media massa berperan menentukan efek media apa yang akan diterima khalayak.
Karakteristik Individu -Umur -Jenis Kelamin -Prestasi akademis di kelas -Motif menonton
Karakteristik Lingkungan sosial -lokasi tempat tinggal - lingkungan keluarga • Pekerjaan Orang tua • Pendidikan orang tua • Pengawasan orang tua
Keterdedahan Khalayak Remaja Pada Berita Kriminal di Televisi - Jenis berita kriminal - Frekuensi Menonton - Durasi Menonton
Efek Berita Kriminal -Kognitif 1. Persepsi khalayak remaja terhadap isi berita kriminal 2. Pengetahuan teknis akan tindak kekerasan 3. Penilaian khalayak remaja terhadap realitas -Afektif • Perasaan sesudah menonton berita kriminal (takut, curiga) • Toleransi akan tindak kekerasan
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Efek Berita Kriminal Terhadap Perilaku Khalayak Remaja 2.2.2 Hipotesis Berdasarkan kerangka berfikir di atas, maka hipotesis penelitian sebagai berikut : 1. Ada hubungan antara karakteristik individu dengan keterdedahan khalayak remaja pada berita kriminal di televisi. 2. Ada hubungan antara karakteristik lingkungan sosial dengan keterdedahan khalayak remaja pada berita kriminal di televisi. 3. Ada hubungan antara keterdedahan khalayak remaja pada berita kriminal di televisi dengan efek kognitif dan efek afektif.
2.2.3 Definisi Operasional 1. Karakteristik Individu adalah kondisi atau keadaan spesifik yang dimiliki oleh individu, meliputi umur, jenis kelamin, dan prestasi akademis. a.
Umur adalah lama hidup seseorang sejak lahir hingga sekarang yang diukur dalam satuan waktu. Batas usia remaja awal berkisar 13 tahun-14 tahun.
b.
Jenis Kelamin adalah pembedaan secara biologis responden yang dikategorikan atas; 1.
c.
Laki-laki
2. Perempuan
Prestasi akademis di kelas adalah tingkat kepandaian remaja di kelas berdasarkan penilaian guru berdasarkan akumulasi nilai akademis yang dinyatakan dalam nilai rapor. Kategorinya meliputi : 1.
Tinggi (Jika peringkatnya 1-5)
2.
Sedang (jika peringkatnya 6-10)
3.
Rendah (jika peringkatnya < 10)
d. Motif menonton adalah dorongan yang timbul dari dalam diri remaja untuk menonton
siaran
televisi
sesuai
kebutuhannya
yang
berpotensi
mengarahkan perilaku remaja tersebut dalam menoton televisi. Motif menonton dikategorikan ; 1.
Informasi
2.
Hiburan
3.
Mengisi waktu luang
4.
Interaksi sosial
2. Karakteristik lingkungan sosial adalah spesifik lokasi tempat tinggal individu yang menggambarkan situasi yang berpotensi mempengaruhi individu yang bersangkutan. a. Lokasi tempat tinggal adalah situasi yang menggambarkan suasana sekitar pemukiman remaja, berdasarkan sering atau tidaknya terjadi tindak kriminalitas seperti (pembunuhan, perampokan, pencurian, pemerkosaan, tawuran, penculikan,pemerkosaan, narkoba). Kategori tersebut terdiri dari : 1.
Tidak pernah
2.
Jarang (1-3 kali/bulan)
3.
Sangat sering (>3 kali/bulan)
b. Lingkungan keluarga adalah keadaan spesifik orang tua (bapak/ibu/wali) yang berpotensi mempengaruhi perilaku remaja, meliputi : 1. Jenis pekerjaan adalah macam usaha yang dilakukan bapak/ibu/wali yang menjadi sumber penghasilan utama keluarga. Pengukuran menggunakan skala nominal . Dikategorikan sebagai berikut : 1. Ibu rumah tangga
2. Buruh
3. Wiraswasta
5. Swasta
6. TNI/POLRI
4. PNS 7. Tidak Bekerja
2. Pendidikan orang tua adalah tingkat pendidikan formal tertinggi yang diraih bapak/ibu/wali. Pengukuran menggunakan skala ordinal. Dikategorikan sebagai berikut : 1. SD
2. SLTP
3. SMU
4. D1/D2/D3 5. S1/S2/S3
3. Pengawasan orang tua adalah arahan dan penjelasan yang diberikan ayah dan ibu atau wali kepada remaja saat menonton televisi. Kategori tersebut terdiri dari : 1. Tidak pernah 2. Kadang-kadang 3. Sering 3. Keterdedahan khalayak remaja terhadap berita kriminal di televisi adalah beragam penerimaan khalayak remaja terhadap siaran berita kriminal di televisi. Meliputi jenis berita kriminal, fekuensi menonton, dan durasi menonton. a.
Jenis berita kriminal adalah kemasan pesan atau format siaran berita kriminal yang ditonton di televisi. Pengukuran menggunakan skala nominal. Kategori jenis berita kriminal di televisi terdiri dari : 1.
Berita langsung (berita yang langsung disampaikan pada pemirsa)
2.
Berita mendalam (berita yang dikupas mendalam yang bertujuan memberi pemahaman yang mendalam kepada pemirsa)
b. Frekuensi menonton adalah banyaknya siaran berita kriminal yang ditonton remaja pada waktu satu minggu. Diukur dalam satuan kali/minggu, kemudian dikategorikan sebagai berikut : 1.
Tidak pernah
2.
Jarang (jika frekuensi 1-5 kali/minggu)
3.
Sering (jika frekuensi > 5 kali/minggu)
c. Durasi menonton adalah lama waktu remaja melihat dengan cermat siaran berita kriminal di televisi. Pengukuran menggunakan satuan menit per tayangan. Dikategorikan menjadi :
4.
1.
Tidak lengkap (durasi berita yang ditonton <15 menit)
2.
Lengkap (durasi berita yang ditonton 15-25 menit)
3.
Sangat lengkap (durasi berita yang ditonton > 25 menit)
Efek kognitif adalah citra atau persepsi yang dibangun khalayak remaja saat dan sesudah menonton berita kriminal di televisi, meliputi persepsi khalayak remaja terhadap isi berita kriminal, pengetahuan teknis akan tindak kekerasan, dan penilaian khalayak remaja tehadap realitas. a. Persepsi khalayak remaja terhadap isi berita kriminal adalah pemaknaan remaja
terhadap
kriminalitas
menurut
alur
cerita,
kemasan,
gambar/ilustrasi. Pengukuran menggunakan skala ordinal. Kategori persepsi remaja terhadap isi berita kriminal adalah : 1.
Tidak setuju
2.
Kurang setuju
3.
Setuju
b. Pengetahuan teknis akan tindak kekerasan adalah kedalaman pemahaman tentang cara-cara kriminal seperti gaya berkelahi, penggunaan senjata, dan modus operandi kejahatan saat ataupun sesudah menonton berita kriminal. Pengukuran menggunakan skala ordinal. Kategori tersebut adalah : 1.
Tidak paham
2.
Kurang paham
3.
Paham
c. Penilaian khalayak remaja terhadap realitas adalah perbandingan yang diberikan khalayak remaja saat menonton berita kriminal dengan peristiwa yang ditayangkan di televisi dan kejadian yang terjadi disekitarnya. Pengukuran menggunakan skala ordinal. Dikategorikan sebagai berikut : 1.
Tidak setuju (tayangan berita kriminal tidak mewakili kehidupan secara keseluruhan)
2.
Kurang setuju (tayangan berita kriminal di televisi tidak semua mewakili kehidupan secara keseluruhan)
3.
Setuju (tayangan berita kriminal mewakili kehidupan secara keseluruhan)
5.
Efek Afektif adalah rangsangan emosional yang timbul saat atau sesudah remaja menonton siaran berita kriminal di televisi. Meliputi,
Perasan
sesudah menonton berita kriminal dan toleransi akan tindak kekerasaan. a.
Perasaan sesudah menonton berita kriminal meliputi rasa takut dan curiga. Kategori tersebut diukur dalam skala ordinal berikut :
b.
1.
Tidak Takut
2.
Agak takut
3.
Takut
Toleransi akan tindak kekerasan adalah empati yang ditimbulkan individu saat melihat cermat tindak kekerasan terutama kepada korban dan pelaku kejahatan dalam berita kriminal di televisi. Pengukuran menggunakan skala ordinal sebagai berikut: 1.
Tidak setuju = berempati
2.
Kurang setuju= berkurang rasa toleransi
3.
Setuju = sangat berkurang rasa toleransi