BAB II PENDEKATAN TEORITIS
2.1.
Tinjauan Pustaka
2.1.1.
Pengertian, Kategori dan Teori-teori Kemiskinan Definisi kemiskinan dibedakan menurut pendekatan yang digunakan
dalam mendefinisikan kemiskinan tersebut (Anonymous, 2003), yaitu pendekatan kebutuhan dasar, pendekatan pendapatan dan pendekatan kemampuan dasar. Menurut pendekatan kebutuhan dasar, kemiskinan diartikan sebagai suatu ketidakmampuan (lack of capabilities) seseorang, keluarga dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup minimum antara lain pangan, sandang, perumahan, pelayanan kesehatan dan pendidikan, penyediaan air bersih, dan sarana sanitasi. Ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar ini akan mengakibatkan rendahnya kemampuan fisik dan mental seseorang, keluarga dan masyarakat dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Menurut pendekatan pendapatan, kemiskinan adalah suatu tingkat pendapatan seseorang, keluarga dan masyarakat yang berada di bawah ukuran tertentu. Jika tingkat pendapatan tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar minimum yang memungkinkan seseorang dapat hidup secara layak, maka orang atau rumahtangga tersebut dikatakan miskin. Adapun menurut pendekatan kemampuan dasar, kemiskinan diartikan sebagai suatu keterbatasan kemampuan dasar seseorang dan keluarga untuk menjalankan fungsi minimal dalam suatu masyarakat. Keterbatasan kemampuan dasar akan menghambat seseorang dan keluarga dalam menikmati hidup yang lebih sehat dan maju.
11
Keterbatasan ini juga akan memperkecil kesempatan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupan masyarakat dan mengurangi kebebasan dalam menentukan pilihan terbaik bagi kehidupan pribadi (Anonymous, 2003). Mengacu pada strategi nasional penanggulangan kemiskinan definisi kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Definisi ini beranjak dari pendekatan berbasis hak yang mengakui bahwa masyarakat miskin mempunyai hak-hak dasar yang sama dengan anggota masyarakat lainnya (Propenas). Kemiskinan merupakan permasalahan yang kompleks, banyak faktor yang mempengaruhinya, diantaranya alam, demografi sosial, ekonomi dan yang dominan andil di dalamnya adalah kebijakan pembangunan yang tidak berpihak pada rakyat kecil (Mugniesyah, 2003). Penyebab kemiskinan mencakup empat hal pokok, yaitu (Anonymous, 2003): (1) Kurangnya kesempatan (lack of opportunity), (2) Rendahnya kemampuan (low of capabilities), (3) Kurangnya jaminan (low-level of security), dan (4) Ketidakberdayaan (low of capacity or empowerment). Kemiskinan dari segi tingkat pendapatan dibedakan ke dalam dua kategori, yaitu: (1) Kemiskinan absolut, yaitu seseorang dikatakan miskin secara absolut apabila tingkat pendapatannya lebih rendah daripada garis kemiskinan absolut yang ditetapkan, atau dengan kata lain jumlah pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan minimum yang dicerminkan oleh garis kemiskinan absolut tersebut, (2) Kemiskinan relatif, yaitu keadaan perbandingan antara kelompok
pendapatan
dalam masyarakat
pada
suatu
wilayah.
Dengan
12
perbandingan itu dapat disusun pandangan masyarakat mengenai mereka yang tergolong kaya dan relatif miskin di dalam komunitas tersebut. Ukuran yang dipakai adalah ukuran setempat (lokal). Walaupun tingkat pendapatan sudah mencapai tingkat kebutuhan dasar minimum, tetapi bila masih jauh dibandingkan dengan pendapatan masyarakat sekitarnya, maka orang atau rumahtangga tersebut masih berada dalam keadaan miskin. Dengan menggunakan ukuran pendapatan, maka
keadaan
ini
dikenal
sebagai
ketimpangan
distribusi
pendapatan
(Anonymous, 2003). Bila dilihat dari faktor penyebabnya, kemiskinan dibagi menjadi dua, yaitu: kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural. Wignosoebroto (1995) dalam BPS (2005) mendefinisikan kemiskinan struktural sebagai kemiskinan yang ditenggarai atau didalihkan bersebab dari kondisi struktur atau tatanan kehidupan yang tak menguntungkan. Di dalam kondisi struktur yang demikian itu, kemiskinan menggejala bukan oleh sebab-sebab yang alami, melainkan oleh sebab tatanan sosial yang tak adil. Tatanan yang tak adil ini menyebabkan banyak warga masyarakat gagal memperoleh peluang atau akses untuk mengembangkan dirinya serta meningkatkan kualitas hidupnya, sehingga mereka yang malang dan terperangkap ke dalam perlakuan yang tidak adil ini menjadi serba berkekurangan, tak setara dengan tuntutan untuk hidup yang layak dan bermartabat sebagai manusia, sedangkan kemiskinan kultural diakibatkan oleh faktor-faktor adat dan budaya suatu daerah tertentu yang membelenggu seseorang tetap melekat dengan indikator kemiskinan. Kemiskinan karena tradisi sosio-kultural terjadi pada sukusuku terasing, seperti halnya suku Badui di Cibeo Banten Selatan, suku Dayak di pedalaman Kalimantan dan suku Kubu di Jambi.
13
Berdasarkan sifatnya, kemiskinan dibagi menjadi dua, yaitu: kemiskinan kronis dan kemiskinan sementara (Anonymous, 2003). Kemiskinan kronis merupakan kondisi kemiskinan yang berlangsung secara terus menerus. Mereka yang mengalami kemiskinan kronis adalah mereka yang selalu berada di bawah kemiskinan pada kurun waktu yang cukup panjang dan berbagai usaha telah mereka lakukan namun tetap miskin. Penyebabnya yaitu: (1) kondisi sosial budaya yang mendorong sikap dan kebiasaan hidup masyarakat yang tidak produktif, (2) keterbatasan sumberdaya dan keterisolasian, terutama penduduk yang tinggal di daerah-daerah kritis sumberdaya alam dan daerah terpencil, serta keterbatasan kemampuan penduduk untuk melakukan perpindahan dalam rangka peningkatan taraf hidup, (3) rendahnya taraf pendidikan dan derajat kesehatan, dan (4) terbatasnya lapangan kerja dan ketidakberdayaan masyarakat dalam mengikuti ekonomi pasar. Kemiskinan sementara terjadi akibat adanya perubahan dari luar yang menyebabkan suatu keluarga atau kelompok masyarakat yang semula tidak miskin menjadi miskin. Perubahan tersebut disebabkan oleh: (1) pergeseran siklus ekonomi dari kondisi normal menjadi krisis ekonomi, (2) perubahan yang bersifat musiman seperti dijumpai pada kasus kemiskinan nelayan dan pertanian tanaman pangan, dan (3) bencana alam, kerusakan sosial atau dampak dari suatu kebijakan tertentu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan suatu masyarakat. Dari
beragam
penjelasan
mengenai
konsep
kemiskinan
yang
dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa secara garis besar kemiskinan berkaitan dengan dengan aspek-aspek material dan aspek-aspek non-material. Seperti yang dijelaskan oleh Scott (1979) dalam Ala (1996) berikut: Pertama,
14
kemiskinan pada umumnya ditinjau dari segi pendapatan dalam bentuk uang ditambah dengan keuntungan-keuntungan non-material yang diterima oleh seseorang. Secara luas kemiskinan didefinisikan meliputi kekurangan atau tidak memiliki pendidikan, keadaan kesehatan yang buruk, kurang akses terhadap transportasi yang dibutuhkan oleh masyarakat. Kedua, kemiskinan didefinisikan dari segi kurang atau tidak memiliki asset-asset seperti tanah, rumah, peralatan, uang, emas, kredit dan lain-lain. Ketiga, kemiskinan non-material meliputi berbagai macam kebebasan, hak untuk memperoleh pekerjaan yang layak, hak atas rumahtangga dan kehidupan yang layak.
2.1.2.
Pengertian dan Kriteria Rumahtangga Miskin Untuk mewujudkan pencapaian tujuan program Keluarga Berencana
(KB), pada tahun 1999, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) melakukan pendataan keluarga untuk memperoleh gambaran kondisi keluarga, khususnya status perkembangan kesejahteraannya. Untuk itu BKKBN menetapkan
lima
kriteria
keluarga
yang
menggambarkan
jenjang
kesejahteraannya, yaitu: (1) Keluarga Pra-Sejahtera (Pra-KS), (2) Keluarga Sejahtera I (KS I), (3) Keluarga Sejahtera II (KS II), (4) Keluarga Sejahtera III (KS III), dan (5) Keluarga Sejahtera III Plus (KS III-Plus). Dua kategori keluarga yang pertama dikategorikan sebagai keluarga miskin. Kriteria keluarga sejahtera tersebut didasarkan pada lima indikator yang menggambarkan kondisi dimana dalam keluarga dijumpai adanya: (1) anggota keluarga yang melaksanakan ibadah sesuai agama yang dianut masing-masing, (2) seluruh anggota keluarga pada umumnya makan dua kali sehari, (3) seluruh anggota keluarga mempunyai pakaian yang berbeda untuk di rumah, di sekolah,
15
bekerja dan bepergian, (4) bagian terluas lantai rumah bukan dari tanah, dan (5) bila anak sakit atau Pasangan Usia Subur (PUS) ingin mengikuti KB pergi ke sarana atau petugas kesehatan. Selanjutnya, BPS melakukan Studi Penentuan Kriteria Penduduk Miskin (SPKPM 2000) untuk mengetahui beberapa karakteristik yang mencirikan konsepsi rumahtangga miskin berdasar pendekatan kebutuhan dasar, yang diharapkan berguna bagi penentuan sasaran program pengentasan kemiskinan. Hasil studi tersebut menemukan adanya delapan variabel penentu rumahtangga miskin atau sejahtera yang mencakup lima aspek, yaitu: (1) ciri tempat tinggal, (2) kepemilikan asset, (3) aspek pangan (makanan), (4) aspek sandang (pakaian), dan (5) kegiatan sosial. Selengkapnya mengenai indikator tersebut dapat dilihat pada Lampiran 2.
2.1.3.
Kelembagaan P2KP Struktur organisasi pelaksanaan P2KP dapat dilihat pada Gambar 1.
Seperti terlihat pada gambar, secara nasional lembaga penyelenggara (executing agency) P2KP adalah Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil), yang untuk kelancaran tugas membentuk PMU (Project Management Unit). PMU didukung oleh Tim Pengarah Inter Departemen, yang terdiri dari Bappenas, Departemen Kimpraswil, Depdagri, Depkeu dan kantor Menko Kesra. Untuk pelaksanaan lapangan, PMU mengontrak Konsultan Manajemen Pusat (KMP) untuk melakukan manajemen proyek termasuk Konsultan Manajemen Wilayah (KMW) yang akan bertugas di tiap Satuan Wilayah Kerja (SWK) dan dipimpin oleh seorang Team Leader. Begitu juga untuk di tiap sub-wilayah, KMW memiliki Sub-Team Leader yang berkantor di
16
Kota/Kabupaten. Penanggung jawab P2KP pada tingkat Propinsi adalah Bappeda Propinsi, sedangkan penanggung jawab pada tingkat Kota/Kabupaten adalah Bappeda Kota/Kabupaten. Unsur pelaksana di tingkat Kecamatan terdiri atas: Camat dan perangkatnya, serta Penanggung Jawab Operasional Kegiatan (PJOK). Pada tingkat Kelurahan/Desa, Lurah/Kepala Desa berperan utama dalam memberikan dukungan dan jaminan agar pelaksanaan P2KP di wilayah kerjanya berjalan dengan lancar dan mampu mewujudkan tujuan P2KP. Di tingkat kelurahan/desa, tiap 10 kelurahan/desa akan didampingi oleh tim fasilitator yang terdiri dari seorang fasilitator senior dan tiga fasilitator. Tim fasilitator ini bertanggung jawab langsung ke KMW. Disamping itu, di tiap kelurahan/desa, warga masyarakat harus memilih tiga sampai dengan lima orang calon Kader Masyarakat yang nantinya akan menjadi Kader Masyarakat P2KP setelah melalui pelatihan oleh KMW. Untuk pelaksanaan P2KP pada tingkat kelurahan/desa dibentuk Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) yang berperan sebagai motor penggerak masyarakat dalam menanggulangi kemiskinan di wilayahnya, sekaligus bertanggung jawab dalam pengelolaan P2KP, sejak perencanaan, pelaksanaan, pemantauan serta evaluasinya di tingkat kelurahan/desa.
17
PROYEK
MASYARAKAT
PEMERINTAH
DEPT. KIMPRASWIL DITJEN PERKIM
TEAM PENGARAH/ TEKNIS/POKJA NASIONAL
PMU KMP
Tingkat Pusat
TEAM KOORDINASI PROPINSI
KMW
Tingkat Propinsi
SUB-WILAYAH KMW
TEAM KOORDINASI KOTA/KABUPATEN
FORUM BKM Tingkat Kota
PJOK BLM KELURAHAN
TEAM FASILITATOR YANG MENANGANI 10 KELURAHAN/DESA
Tingkat Kecamatan Tingkat Kelurahan Kader BKM
LURAH
KSM
Gambar 1. Struktur Organisasi P2KP Catatan:
Tim Koordinasi Nasional
: : : :
PJOK
:
PMU KMP KMW BKM UPK KSM Kader
: : : : : : :
Garis fungsional Garis fasilitasi Garis koordinasi Terdiri dari perwakilan Bappenas, Departemen Keuangan, Depdagri dan Departemen Kimpraswil sebagai ”Excecuting Agency” Penanggungjawab Operasional Kegiatan BLM di tingkat Kecamatan Project Management Unit Konsultan Manajemen Pusat Konsultan Manajemen Wilayah Badan Keswadayaan Masyarakat Unit Pengelola Keuangan Kelompok Swadaya Masyarakat Kader Masyarakat
18
Secara umum keberhasilan P2KP diukur oleh faktor-faktor keluaran (output) dari P2KP yang terjadi pada kelompok sasaran P2KP. Mengacu pada rumusan tujuan P2KP, terdapat empat indikator keluaran (output) P2KP, yaitu: (1) perbaikan sarana dan prasarana dasar perumahan dan permukiman masyarakat miskin perkotaan serta perbaikan kualitas rumah keluarga miskin, (2) meningkatnya Kegiatan Ekonomis Produktif (KEP) dan pendapatan keluarga miskin, (3) terbentuknya kelembagaan BKM dan KSM yang mengelola program P2KP atas dasar prinsip partisipatif, serta (4) meningkatnya jumlah fasilitator lokal yang membantu masyarakat miskin. Pelaksanaan P2KP dibagi menjadi dua komponen kegiatan, yaitu: komponen proyek pengembangan komunitas dan pengelolaan dana Bantuan Langsung ke Masyarakat (BLM). Untuk mengelola dana BLM, BKM membentuk Unit Pengelola Keuangan (UPK). Selain itu, juga membentuk Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) yang di dalamnya beranggotakan rumahtangga miskin penerima dana pinjaman kredit yang membutuhkan dana tersebut untuk mendanai kegiatan ekonomis produktif. Kegiatan
komponen
pengembangan
masyarakat
meliputi
pengorganisasian masyarakat (pembentukan BKM) dan penyusunan Perencanaan Jangka Menengah dan Rencana Tahunan Program Penanggulangan Kemiskinan (PJM
Pronangkis).
Selanjutnya
komponen
kegiatan
pengelolaan
BLM
mengintroduksikan stimulan berupa dana BLM yang dialokasikan kepada rumahtangga dan komunitas miskin dalam bentuk hibah dan pinjaman kredit mikro. Penggunaan dana hibah dapat berbentuk kegiatan fisik, seperti pembangunan pelayanan sarana dan prasarana dasar perumahan dan permukiman,
19
antara lain berupa jalan setapak, dan sarana Mandi-Cuci-Kakus (MCK). Selain itu, dana BLM dapat digunakan untuk kegiatan pelatihan yang memberi manfaat langsung bagi masyarakat dan kegiatan sosial seperti pemberian santunan bagi jompo dan anak yatim piatu. Dalam hal pinjaman kredit mikro, dapat dialokasikan sebagai bantuan untuk kegiatan ekonomis produktif yang akan dilakukan kepada mereka yang bergabung dalam KSM.
2.1.4.
Pengertian Beberapa Konsep dalam Gender dan Pembangunan dan Teknik Analisis Gender (TAG) Terdapat banyak lembaga, ahli dan/atau peminat studi perempuan/gender
dan pembangunan yang mengemukakan definisi konsep gender. Menurut ILO (2000) dalam Mugniesyah (2007) gender mengacu pada perbedaan-perbedaan dan relasi sosial antara laki-laki dan perempuan yang dipelajari, bervariasi secara luas diantara masyarakat dan budaya dan berubah sejalan dengan perkembangan waktu/jaman. Kantor Meneg PP (2001) dalam Mugniesyah (2007) mendefinisikan gender sebagai pandangan masyarakat tentang perbedaan peranan, fungsi dan tanggungjawab antara perempuan dan laki-laki yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan jaman. Adapun Wood (2001) dalam Mugniesyah (2007) menyatakan bahwa gender sebagai suatu konstruksi sosial yang bervariasi lintas budaya, berubah sejalan perjalanan waktu dalam suatu kebudayaan tertentu, dan bersifat relasional, karena feminitas dan maskulinitas memperoleh maknanya dari fakta dimana masyarakatlah yang menjadikan mereka berbeda. Menurut Moser (1993) seperti yang dikutip Mugniesyah (2006), peranan gender adalah peranan yang dilakukan perempuan dan laki-laki sesuai status,
20
lingkungan, budaya dan struktur masyarakatnya. Peranan gender adalah perilaku yang diajarkan pada setiap masyarakat, komunitas dan kelompok sosial tertentu yang menjadikan aktivitas-aktivitas, tugas-tugas dan tanggung jawab tertentu dipersepsikan sebagai peranan perempuan dan laki-laki. Peranan gender tersebut dipengaruhi oleh umur, kelas, ras, etnik, agama dan lingkungan geografi, ekonomi dan politik. Terdapat tiga kategori peranan gender, yaitu: peranan produktif, peranan reproduktif, dan pengelolaan masyarakat. Peranan produktif adalah peranan yang dikerjakan perempuan dan laki-laki untuk memperoleh bayaran/upah secara tunai atau natura; mencakup kegiatan produksi pasar dengan suatu nilai tukar dan atau aktivitas produksi rumahtangga/subsisten dengan suatu nilai guna, tetapi memiliki suatu nilai tukar potensial. Kegiatan bekerja di sektor formal dan informal termasuk dalam peranan ini. Peranan reproduktif adalah peranan yang berhubungan dengan tanggung jawab pengasuhan anak dan tugas-tugas domestik lainnya yang dibutuhkan untuk menjamin pemeliharaan dan reproduksi tenaga kerja yang menyangkut kelangsungan keluarga, seperti melahirkan, memelihara dan mengasuh anak, mengambil air, memasak, mencuci, dan membersihkan rumah (Moser, 1993 dalam Mugniesyah, 2006). Peranan yang ketiga, dibedakan ke dalam dua kategori: peranan dalam pengelolaan masyarakat dan politik. Peranan pengelolaan masyarakat (kegiatan sosial), mencakup semua aktivitas pada tingkat komunitas yang dilakukan sebagai kepanjangan peranan reproduktif, bersifat volunter dan tanpa upah, sebagaimana kegiatan perempuan dalam program Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Adapun pengelolaan kegiatan politik mencakup semua peranan berkenaan
21
pengorganisasian komunitas pada tingkat formal secara politik, biasanya dibayar (langsung atau tidak langsung), serta meningkatkan kekuasaan atau status; seperti peran serta dalam partai politik (Moser, 1993 dalam Mugniesyah, 2006). Selanjutnya, Moser (1993) dalam Mugniesyah (2006) juga menawarkan suatu konsep yang dapat digunakan untuk menganalisis pengaruh dari manfaat yang dapat dipenuhi oleh program-program pembangunan dalam merespon relasi gender, baik dalam keluarga maupun komunitas, yang dikenal sebagai pemenuhan kebutuhan praktis gender (practical gender needs) dan pemenuhan kebutuhan strategis gender (strategical gender needs). Pemenuhan kebutuhan praktis gender mencakup pemenuhan yang merespon atas kebutuhan-kebutuhan perempuan yang bersifat segera dan praktis, dalam arti secara segera dapat meringankan beban kerja perempuan, namun tidak merubah status subordinasi perempuan. Adapun pemenuhan kebutuhan strategis gender berhubungan dengan upaya untuk mengurangi atau meniadakan subordinasi perempuan, dalam arti meningkatkan kontrol perempuan terhadap program pembangunan sehingga tercipta kesetaraan gender. Pemenuhan kategori kedua ini berupaya menghilangkan ketidaksetaraan (ketimpangan) antara perempuan dan laki-laki di dalam dan luar rumahtangga serta menjamin hak dan peluang perempuan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Untuk menganalisis ada tidaknya ketimpangan gender dalam masyarakat, para pakar mengintroduksikan Teknik Analisis Gender (TAG), yang diartikan sebagai suatu teknik yang menguji secara sistematis terhadap peranan-peranan, hubungan-hubungan dan proses-proses yang memusatkan perhatiannya pada ketidakseimbangan kekuasaan, kesejahteraan dan beban kerja antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Teknik Analisis Gender diaplikasikan terhadap
22
proses pembangunan, khususnya untuk melihat bagaimana suatu kebijakan/ program pembangunan menimbulkan pengaruh dan dampak yang berbeda pada laki-laki dan perempuan. Itu sebabnya Surbakti dkk. (2001) menyatakan bahwa teknik analisis gender merupakan langkah awal dalam penyusunan tujuan pembangunan yang responsif gender. Menurut Surbakti dkk. (2001)
terdapat empat faktor penting yang
tercakup dalam TAG, yaitu: 1) Faktor akses, yang mempertanyakan apakah perempuan dan laki-laki memperoleh akses yang sama terhadap sumber-sumber daya pembangunan? 2) Faktor kontrol, yang mempertanyakan apakah perempuan dan lakilaki memiliki kontrol (kekuasaan) yang sama terhadap sumbersumber daya pembangunan? 3) Faktor partisipasi, yang mempertanyakan bagaimana perempuan dan laki-laki berpartisipasi dalam program-program pembangunan? 4) Faktor manfaat, yang mempertanyakan apakah perempuan dan lakilaki menikmati manfaat yang sama dari hasil pembangunan?
2.1.5.
Evaluasi Program dan Pendekatan Sistem Evaluasi adalah suatu proses untuk menentukan relevansi, efisiensi,
efektivitas dan dampak kegiatan-kegiatan proyek atau program sesuai dengan tujuan yang akan dicapai secara sistematik dan obyektif. Evaluasi ini merupakan proses untuk menyempurnakan kegiatan-kegiatan yang sedang berjalan,
23
membantu perencanaan, penyusunan program dan pengambilan keputusan di masa depan (BPLPP, 1989)2. Terdapat tiga kategori evaluasi proyek/program, yaitu: (1) evaluasi awal (ex-ante evaluation atau pre-evaluation), (2) evaluasi proses (process or on-going evaluation) atau disebut juga sebagai monitoring atau evaluasi formatif, dan (3) evaluasi akhir (ex-post evaluation) atau disebut juga evaluasi sumatif (Mugniesyah, 2006). Evaluasi sumatif atau evaluasi yang dilakukan setelah proyek/program berakhir adalah suatu proses untuk menentukan relevansi, efisiensi, efektivitas dan dampak kegiatan-kegiatan proyek atau program sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan program. Tujuan dari evaluasi adalah mengubah seperangkat sumberdaya yang tersedia (input) untuk menghasilkan output, effect dan impact (BPLPP, 1989). Input (masukan) adalah semua jenis barang, jasa, dana, tenaga manusia, teknologi dan sumberdaya lainnya, yang perlu tersedia untuk terlaksananya kegiatan dalam rangka menghasilkan output (hasil) dan mencapai suatu tujuan program atau proyek. Mengacu pada Eriyatno (1996), input dibedakan ke dalam input terkendali dan tidak terkendali. Input terkendali peranannya sangat penting dan dapat bervariasi selama pengoperasian untuk menghasilkan output yang dikehendaki. Input yang terkendali dapat meliputi aspek manusia, bahan, energi, modal dan informasi. Sedangkan input yang tidak terkendali peranannya tidak cukup penting dalam menghasilkan output, tetapi tetap diperlukan. Output (hasil) adalah produk atau jasa tertentu yang diharapkan dihasilkan oleh suatu kegiatan dari input yang tersedia untuk mencapai tujuan program atau proyek. Effect
2
Badan Pendidikan, Latihan dan Penyuluhan Pertanian
24
(pengaruh) adalah hasil yang diperoleh dari pencapaian hasil atau keluaran proyek, sementara impact (dampak) adalah pengaruh lebih lanjut yang dihasilkan dari efek proyek. Sistem adalah suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau suatu gugus dari tujuan-tujuan (Manetsch dan Park, 1979 dalam Eriyatno, 1996). Pendekatan sistem merupakan cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhan-kebutuhan sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif. Metodologi sistem mempunyai tujuan mendapatkan suatu gugus alternatif sistem yang layak untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan yang telah diidentifikasi dan diseleksi (Eriyatno, 1996).
Gambar 2. Diagram Kotak Gelap
Metodologi sistem pada prinsipnya melalui enam tahap analisis sebelum tahap sintesa (rekayasa), meliputi: (1) analisa kebutuhan, (2) identifikasi sistem, (3) formulasi masalah, (4) pembentukan alternatif sistem, (5) determinasi dari realisasi fisik, sosial dan politik, dan (6) penentuan kelayakan ekonomi dan keuangan (finansial). Yang penting dalam identifikasi sistem adalah setelah membuat suatu rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan
25
dengan pernyataan khusus dari masalah yang harus dipecahkan untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan
tersebut,
melanjutkan
interpretasi
tersebut
dan
mengkonstruksikannya ke dalam konsep kotak gelap (black box) (Eriyatno, 1996). Dalam meninjau suatu perihal untuk menyusun kotak gelap, perlu diketahui macam informasi yang dikategorikan menjadi tiga golongan yaitu: (1) peubah input, (2) peubah output, dan (3) parameter-parameter yang membatasi struktur sistem. Input terdiri dari dua golongan yaitu yang berasal dari luar sistem (eksogen) atau input lingkungan dan overt input yang berasal dari dalam sistem(Eriyatno, 1996).
2.2.
Kerangka Pemikiran Studi Gender dalam Program Penanggulangan Kemiskinan: Kasus
Pelaksanaan P2KP di Desa Banjarwaru, Kabupaten Bogor ini secara umum mengacu pada beragam konsep, pendekatan dan teori-teori berkenaan gender dan pembangunan, pendekatan evaluasi program dan sistem, serta berbagai aspek berkenaan pelaksanaan program P2KP sebagaimana diatur dalam Pedoman Umum P2KP. Seperti tercantum pada Pedoman Umum P2KP, pelaksanaan proyek ini diantaranya salah satunya harus dilandasi oleh prinsip kesetaraan gender. Prinsip ini harus diterapkan dengan pelibatan masyarakat pada pelaksanaan dan pemanfaatan P2KP. Kesetaraan gender yang dimaksud yaitu semua pihak; baik laki-laki dan perempuan diberi kesempatan yang sama untuk terlibat dan/atau menerima manfaat P2KP, termasuk dalam pengambilan keputusan. Disebutkan pula bahwa kriteria miskin yang digunakan dalam menentukan sasaran penerima bantuan P2KP harus menggunakan ukuran lokal yang disepakati oleh warga.
26
Dengan pertimbangan bahwa pelaksanaan P2KP harus dilandasi oleh nilai kesetaraan gender dan dengan mengacu pada pedoman TAG, variabelvariabel keluaran (output) P2KP berbasis kesetaraan gender meliputi: (1) Tingkat Akses RMKL dan RMKP pada Dana BLM untuk: (a) pemugaran perumahan dan permukiman, (b) perbaikan sarana dan prasarana fasilitas umum, dan (c) kegiatan sosial (Y1), (2) Tingkat Akses RMKL dan RMKP pada Dana BLM untuk Bantuan Pinjaman Kredit Mikro (Y2), (3) Tingkat Akses RMKL dan RMKP pada Pengembalian Dana BLM untuk Bantuan Pinjaman Kredit Mikro (Y3), (4) Tingkat Kontrol RMKL dan RMKP pada Dana Bantuan: (a) pemugaran perumahan dan permukiman, (b) perbaikan sarana dan prasarana fasilitas umum, dan (c) kegiatan sosial (Y4), Tingkat Kontrol RMKL dan RMKP pada Dana BLM untuk Bantuan Pinjaman Kredit Mikro (Y5), dan Tingkat Kontrol RMKL dan RMKP pada Pengembalian dana BLM untuk Bantuan Pinjaman Kredit Mikro (Y6). Dengan menganggap bahwa P2KP merupakan suatu sistem, maka keberhasilan proyek ini dipengaruhi oleh subsistem-subsistem yang berhubungan langsung dengan pelaksanaan P2KP. Sehubungan dengan itu, dalam studi ini keluaran (output) yang dicapai partisipan P2KP diduga dipengaruhi oleh berbagai faktor, yakni: input terkontrol yang berasal dari program P2KP, lingkungan serta karakteristik sumberdaya individu dan rumahtangga partisipan P2KP. Terdapat beberapa variabel pada faktor input terkontrol P2KP yang diduga mempengaruhi keluaran P2KP, yaitu: faktor stimulan fisik, serta pengelolaan oleh kelembagaan P2KP. Pada faktor stimulan, terdapat dua variabel yang diduga mempengaruhi output P2KP, yaitu: Jumlah Bantuan Dana BLM
27
untuk: (a) pemugaran rumah dan permukiman, (b) perbaikan sarana dan prasarana fasilitas umum, dan (c) bantuan sosial (X1), Tingkat Kemudahan Sistem Alokasi dan Pengembalian Dana BLM untuk Bantuan Pinjaman Kredit (X2), dan Tingkat Kesesuaian Jenis Pelatihan Ketrampilan/Kewirausahaan (X3). Adapun pada kelembagaan pengelola P2KP variabel-variabel yang diduga berpengaruh adalah: Tipe Pendekatan BKM dalam Pengelolaan P2KP pada: (a) Penentuan Sasaran P2KP
dan
(b)
Pembentukan
KSM
(X4),
serta
Frekuensi
Kunjungan
Pendampingan oleh Fasilitator (X5). Keluaran (output) P2KP berkesetaraan gender pada keluarga partisipan sangat ditentukan oleh karakteristik sumberdaya pribadi dan rumahtangga RMKL dan RMKP itu sendiri. Dalam studi ini, karakteristik sumberdaya pribadi yang diduga berpengaruh terdiri dari dua variabel, yaitu: Tingkat Pendidikan (X6) dan Status Bekerja (X7); sementara pada karakteristik sumberdaya rumahtangga meliputi: Status Kategori Rumahtangga (X8), dan Jumlah Anggota Rumahtangga yang Bekerja dan/atau Berusaha (X9). Dalam studi ini, subsistem lingkungan yang diduga mempengaruhi variabel keluaran P2KP diukur melalui variabel Pengawasan dan Dukungan dari Aparat Pemerintah Tingkat Desa dan Kecamatan serta LSM (X10). Hubungan antara variabel-variabel bebas dalam studi ini, yakni karakteristik
individu,
karakteristik
rumahtangga,
stimulan
fisik,
serta
kelembagaan yang mengelola program P2KP dengan variabel tidak bebasnya yakni gender dalam P2KP di dalam studi ini selanjutnya dapat dilihat pada Gambar 3.
28 GENDER DALAM P2KP STIMULAN P2KP X1: Tingkat Bantuan Dana BLM untuk: (a) Pemugaran rumah RMKL/RMKP (b) Perbaikan sarana & prasarana fasilitas umum dan (c) Bantuan sosial X2: Tingkat Kemudahan Sistem Alokasi & Pengembalian Dana Bantuan Pinjaman Kredit Mikro X3: Tingkat Kesesuaian Jenis Pelatihan dengan Kebutuhan Sasaran P2KP
PENGELOLAAN P2KP
Y1: Tingkat Akses RMKL & RMKP terhadap Dana BLM untuk: (a) Pemugaran rumah RMKL/RMKP (b) Perbaikan sarana & prasarana fasilitas umum dan (c) Bantuan sosial Y2: Tingkat Akses RMKL & RMKP terhadap Dana Bantuan Pinjaman Kredit Mikro
SUMBERDAYA INDIVIDU RMKL & RMKP X6: Tingkat Pendidikan X7: Status Bekerja
Y3: Tingkat Akses pada Pengembalian Dana Bantuan Pinjaman Kredit Mikro Y4: Tingkat Kontrol RMKL & RMKP terhadap Dana BLM untuk: (a) Pemugaran rumah RMKL/RMKP, (b) Perbaikan sarana & prasarana fasilitas umum dan (c) Bantuan sosial
X4: Tipe Pendekatan BKM dalam Pengelolaan P2KP dalam (a) Penentuan Sasaran P2KP dan (b) Pembentukan KSM
Y5: Tingkat Kontrol RMKL & RMKP terhadap Dana Bantuan Pinjaman Kredit Mikro
X5: Frekuensi Kunjungan Pendampingan Fasilitator
Y6: Tingkat Kontrol RMKL dan RMKP pada Pengembalian Dana Bantuan Pinjaman Kredit Mikro
SUMBERDAYA RUMAHTANGGA RMKL & RMKP X8: Status Ketegori Rumahtangga X9: Jumlah ART Bekerja/berusaha
FAKTOR LINGKUNGAN X10: Pengawasan dan Dukungan dari Pemerintah Desa dan Kecamatan serta LSM Gambar 3. Bagan Hubungan Antar Peubah Studi Gender dalam Penanggulangan Kemiskinan (P2KP)
29
2.3.
Hipotesis Pengarah Hipotesis Umum: Semakin tinggi sistem nilai kesetaraan gender terinternalisasi di kalangan
pengelola P2KP dan warga masyarakat desa, semakin setara akses dan kontrol RMKL dan RMKP terhadap P2KP. Hipotesis Kerja: 1) Semakin tinggi karakteristik stimulan P2KP (tingkat bantuan dana, kemudahan dan kesesuaian), semakin tinggi akses dan kontrol RMKL dan RMKP terhadap/dalam program P2KP. 2) Semakin partisipatif pendekatan yang digunakan dan semakin tinggi frekuensi kunjungan fasilitator, semakin tinggi akses dan kontrol RMKL dan RMKP terhadap/dalam program P2KP. 3) Semakin rendah sumberdaya individu, maka semakin tinggi akses dan kontrol RMKL dan RMKP terhadap/dalam program P2KP. 4) Semakin rendah sumberdaya rumahtangga RMKL dan RMKP semakin tinggi akses dan kontrol RMKL dan RMKP terhadap/dalam program P2KP. 5) Semakin tinggi pengawasan dan dukungan dari aparat pemerintah tingkat desa dan kecamatan serta LSM, semakin tinggi akses dan kontrol RMKL dan RMKP terhadap/dalam program P2KP.
2.4.
Definisi Operasional Definisi operasional variabel-variabel pada penelitian ini adalah sebagai
berikut:
30
1) Tingkat Akses RMKL dan RMKP pada Dana BLM untuk Bantuan Fisik (Y1) adalah jumlah nilai rupiah dana BLM yang diperoleh RMKL dan RMKP dari program P2KP, dibedakan ke dalam kategori: (a) rendah, jika tidak menerima bantuan fisik sama sekali, (b) sedang, jika hanya menerima satu atau dua dari jenis bantuan fisik, dan (c) tinggi, jika menerima semua jenis bantuan fisik. 2) Tingkat Akses RMKL dan RMKP terhadap Dana BLM untuk Bantuan Pinjaman Kredit Mikro (Y2) adalah jumlah rupiah bantuan pinjaman kredit yang diperoleh RMKL dan RMKP, dikategorikan sebagai: (a) rendah, jika jumlahnya lebih rendah dari rata-rata ketentuan P2KP (
Rp.500.000,00). 3) Tingkat Akses RMKL dan RMKP pada Pengembalian Dana BLM untuk Bantuan Pinjaman Kredit Mikro (Y3) adalah ketaatan RMKL dan RMKP dalam mengembalikan dana sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati; dikategorikan: (a) rendah, jika di bawah 50 persen dari jumlah angsuran, (b) sedang, jika diantara 50 persen hingga <80 persen, dan (c) tinggi, jika memenuhi 80 persen atau lebih pengembalian angsuran. 4) Tingkat Kontrol RMKL dan RMKP terhadap Dana BLM untuk Bantuan Fisik (Y4) adalah pola pengambilan keputusan RMKL dan RMKP untuk menentukan bantuan fisik yang akan diperoleh,
31
dibedakan ke dalam: (a) rendah, jika pengambilan keputusan hanya dilakukan suami sendiri atau istri sendiri, (b) sedang, jika pola pengambilan keputusannya suami dan istri tapi suami dominan atau suami dan istri tapi istri dominan, serta (c) tinggi, jika suami dan istri setara. 5) Tingkat Kontrol RMKL dan RMKP terhadap Dana BLM untuk Bantuan Pinjaman Kredit Ekonomi Mikro (Y5) adalah pola pengambilan keputusan RMKL dan RMKP untuk menentukan pengalokasian dana bantuan, dibedakan ke dalam pengambilan keputusan: (a) rendah, jika hanya suami sendiri atau istri sendiri, (b) sedang, jika pola pengambilan keputusannya suami dan istri tapi suami dominan atau suami dan istri tapi istri dominan, serta (c) tinggi, jika suami dan istri setara. 6) Tingkat Kontrol RMKL dan RMKP pada Pengembalian Dana BLM untuk
Bantuan
Pinjaman
Kredit
Mikro
(Y6)
adalah
pola
pengambilan keputusan RMKL dan RMKP dalam menentukan jumlah dana bantuan pinjaman kredit, dibedakan ke dalam pengambilan keputusan: (a) rendah, jika hanya suami sendiri atau istri sendiri, (b) sedang, jika pola pengambilan keputusannya suami dan istri tapi suami dominan atau suami dan istri tapi istri dominan, serta (c) tinggi, jika suami dan istri setara. 7) Tingkat Bantuan Dana BLM Bagi Perumahan dan Sosial (X1) adalah besarnya jumlah bantuan (rupiah) yang dialokasikan kepada RMKL dan RMKP, dikategorikan: (a) rendah, jika di bawah rata-rata dana
32
bantuan yang dialokasikan untuk total perumahan dan bantuan sosial, (b) sedang, jika disekitar rata-rata jumlah total bantuan, dan (c) tinggi, jika di atas rata-rata jumlah total bantuan (untuk setiap rumahtangga miskin). 8) Tingkat Kemudahan Sistem Alokasi dan Pengembalian Pinjaman Bantuan Pinjaman Kredit (X2) diartikan sebagai penilaian mudah tidaknya persyaratan yang harus dipenuhi oleh sasaran P2KP (RMKL dan RMKP) untuk memperoleh dana bantuan dan pengembaliannya kepada BKM, dibedakan ke dalam: (a) tingkat kemudahan rendah, jika sulit/tidak dapat dipenuhi RMKL dan RMKP dan (b) tingkat kemudahan tinggi, jika dapat dipenuhi oleh RMKL dan RMKP. 9) Tingkat Kesesuaian Jenis Pelatihan Ketrampilan/Kewirausahaan dengan Kebutuhan Rumahtangga Miskin (X3) adalah kesesuaian antara
semua
pelatihan
yang
diberikan
BKM
dengan
permintaan/harapan anggota RMKL dan RMKP, dalam hal: waktu, materi pelatihan, metode pelatihan, dan keahlian pelatihnya, dibedakan ke dalam: (a) kesesuaian rendah, jika lebih rendah atau sama dengan dua komponen pelatihan yang sesuai dan (b) kesesuaian tinggi, jika lebih dari dua komponen pelatihan sesuai permintaan/harapan peserta. 10) Tipe Pendekatan BKM dalam Pengelolaan P2KP (X4) adalah jenis pendekatan yang dilakukan BKM dalam pengelolaan P2KP dalam menentukan sasaran P2KP dan pembentukan KSM, dikategorikan:
33
(a) rendah, jika tidak ada yang menggunakan pendekatan partisipatif, (b) sedang, jika hanya salah satu aspek yang partisipatif, dan (c) tinggi, jika kedua aspek tersebut dilakukan secara partisipatif. 11) Frekuensi Kunjungan Pendampingan (X5) adalah jumlah kunjungan yang dilakukan oleh fasilitator terhadap RMKL dan RMKP sejak program P2KP diintroduksikan sampai dengan berakhirnya program tersebut. Dibedakan ke dalam kategori rendah, sedang dan tinggi dengan disesuaikan pada jumlah kunjungan yang seharusnya dilakukan oleh fasilitator selama periode penyelenggaraan P2KP. (a) rendah, jika di bawah 50 persen total frekuensi kunjungan, (b) sedang, jika diantara 50 persen hingga 80 persen total frekuensi kunjungan, dan (c) tinggi, jika memenuhi lebih dari 80 persen total frekuensi kunjungan. 12) Tingkat Pendidikan (X6) adalah pendidikan formal yang pernah diikuti RMKL dan RMKP. Pendidikan formal adalah lamanya (tahun) pendidikan yang ditempuh di bangku sekolah yang ditamatkan, yang dibedakan ke dalam: (a) tingkat pendidikan rendah (tidak sekolah dan tamat SD), (b) sedang (tamat SMP dan SMA) dan (c) tinggi (tamat akademi/perguruan tinggi). 13) Status Pekerjaan (X7) adalah kondisi bekerja yang dialami individu dalam hubungannya dengan ada tidaknya dukungan tenaga kerja lainnya, dibedakan ke dalam: (a) rendah, jika berstatus sebagai pekerja keluarga atau bekerja tanpa upah, (b) sedang, jika bekerja selaku buruh tidak tetap atau berusaha sendiri tanpa bantuan orang
34
lain/pekerja keluarga dan (c) tinggi, jika bekerja sebagai karyawan PNS/swasta (dengan gaji tetap) dan/atau berusaha sendiri dengan bantuan pekerja upahan. 14) Status Kategori Rumahtangga RMKL dan RMKP (X8) adalah miskin tidaknya status rumahtangga RMKL dan RMKP dengan menggunakan ukuran BPS 2000/2005, dibedakan: (a) miskin, jika memenuhi lima atau lebih dari variabel kemiskinan yang berskor 1 dan (b) tidak miskin, jika lebih rendah dari lima variabel kemiskinan yang berskor 1. 15) Jumlah Anggota Rumahtangga yang Bekerja dan/atau Berusaha (X9) adalah banyaknya anggota rumahtangga yang bekerja untuk membantu perekonomian keluarga, diukur dengan banyaknya anggota keluarga yang bekerja, dibedakan ke dalam: (a) rendah (hanya kepala keluarga yang bekerja), (b) sedang (kepala keluarga dan istri/suami yang bekerja) dan tinggi (seluruh anggota keluarga bekerja). 16) Tingkat Pengawasan dan Dukungan Aparat Pemerintahan di Tingkat Desa dan Kelurahan, serta LSM (X10) adalah kehadiran dan peranserta
ketiga
aktor
lingkungan
tersebut
selama
P2KP
berlangsung. Dikategorikan: (a) rendah, jika hanya salah satu aktor lingkungan saja yang memberikan dukungan/hadir dalam satu atau dua rembug desa dan/atau acara lain yang dianggap penting oleh partisipan RMKL dan RMKP, (b) sedang, jika hanya dua aktor lingkungan saja yang memberikan dukungan/hadir dalam satu atau
35
dua rembug desa dan/atau acara lain yang dianggap penting oleh partisipan RMKL dan RMKP, dan (c) tinggi, jika semua aktor lingkungan memberikan dukungan/hadir dalam satu atau dua rembug desa dan/atau acara lain yang dianggap penting oleh partisipan RMKL dan RMKP.