BAB II PENDEKATAN TEORITIS
2.1.
Masyarakat Desa dan Komunitas Petani Terdapat beragam definisi mengenai petani, hal ini disebabkan karena kata petani
itu sendiri memiliki dimensi makna yang luas (sosial, budaya, ekonomi dan politik). Setidaknya tedapat dua pandangan umum terkait dengan konsep atau istilah petani. Pertama, konsep petani dalam arti luas yang merujuk kepada penduduk pedesaan secara umum, tidak peduli apapun jenis pekerjaannya. Kedua, konsep petani dalam arti yang lebih spesifik, yang hanya merujuk kepada anggota masyarakat yang bekerja atau memiliki mata pencaharian di bidang pertanian. Seperti halnya Scoot (1976), memandang bahwa petani adalah orang yang bercocoktanam (melakukan budidaya) di lahan pertanian. Sementara Wolf (1985) mendefinisikan petani sebagai segolongan orang yang memiliki sekaligus menggarap lahan pertanian dimana hasil produks pertaniannya digunakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan bukan untuk dijual. Karakteristik dan ciri-ciri petani juga beragam, hal ini dipengaruhi oleh adanya perbedaan karakteristik dan perkembangan masyarakat (sosial, budaya, ekonomi, politik dan ekologi) dimana
petani itu berada.
Berdasarkan pada aspek teknologi yang
digunakan serta dari sifat usahatani yang dilakukan, tipe petani dapat dibedakan menjadi petani primitif, petani peasant dan farmer.
Ditinjau dari aspek teknologi (peralatan yang
digunakan), petani primitif masih sangat sederhana (seperti tugal dan golok), sedangkan petani peasant menggunakan peralatan cangkul, garu dan bajak.
Redfield (1985)
menyatakan bahwa perbedaan terpenting antara petani primitif dengan petani peasant adalah hubungannya dengan kota. Terbentuknya petani peasant itu karena munculnya kota, atau dengan kata lain kotalah yang membuat adanya petani peasant.
Dengan kata lain,
tidak ada yang dinamakan peasant sebelum kota pertama muncul di permukaan bumi. Sedangkan petani primitif adalah petani yang hidup dan hubungannya dengan kota relatif terisolir.
12
Sedangkan perbedaan yang mendasar antara petani peasant dengan farmer seperti yang dijelaskan oleh Wolf (1985) lebih pada aspek sifat dan orientasi usahataninya. Dimana petani peasant menjalankan usahataninya dengan memanfaatkan tenaga kerja keluarga dan hasil produksinya sebagian besar untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
Sementara itu, petani farmer menjalankan usahataninya dengan bantuan
tenaga buruh tani dan orientasi usahataninya adalah untuk memperoleh keuntungan ekonomi (komersial).
Persamaan antara petani peasant dan farmer adalah bahwa
keduanya sama-sama memiliki hubungan dengan kota baik itu secara ekonomi, kultural dan politik. Terkait dengan penelitian ini, peneliti cenderung untuk menggunakan konsep petani yang relatif lebih moderat dan dapat dioperasionalisasikan untuk konteks petani di Indonesia. Sebagaimana konsep Marzali (1999) tentang petani, yang penekanannya lebih kepada proses perkembangan tingkat sosio-kultural masyarakat. Dimana petani dicirikan melalui tiga aspek yaitu karakteristik perkembangan masyarakat, lokasi (tempat menetap), dan tipe produksi. Pertama, secara umum petani berada diantara masyarakat primitif dan modern, Kedua, petani adalah masyarakat yang hidup menetap di dalam komunitas pedesaan, dan Ketiga, ditinjau dari tipe produksi dan orientasi usahataninya, maka petani berada dalam posisi transisi antara petani primitif dan petani modern (farmer).
Jadi
sebenarnya konsep petani yang digunakan Marzali di atas, cenderung mengacu pada konsep Redfield tentang peasant. Perbedaan utamanya terletak pada aspek penggunaan tenaga kerja dan orientasi hasil usahataninya. Dimana petani pedesaan di Indonesia pada umumnya tidak lagi sepenuhnya menggunakan tenaga kerja keluarga, melainkan untuk jenis-jenis pekerjaan tertentu, mereka juga memanfaatkan tenaga kerja dari luar keluarganya (buruh tani). Demikian pula dari orientasi hasil usahataninya, produksi petani tidak lagi semata-mata hanya diorientasikan untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga, melainkan juga untuk memperoleh keuntungan ekonomi (semi-komersil). Mengacu kepada konsep atau definisi tentang petani sebagaimana telah diuraikan di atas, maka konsep petani itu jelas tidak dapat dilepaskan dari konsep komunitas. Sama halnya dengan konsep petani, konsep tentang komunitas pun beragam, tergantung dari dimensi apa seorang ahli memandang dan menjelaskannya. Sebagian ahli antropolog
13
mendefinisikan komunitas dengan menekankan pada dimensi ekologis (Redfield dalam Koentjaraningrat, 1990) (Sander, 1958).
dan sebagian lagi menggunakan pendekatan sistem sosial
Terkait dengan penelitian ini, penulis akan menggunakan konsep
komunitas yang lebih moderat. Dimana komunitas tidak hanya dipandang melalui dimensi ekologisnya saja (spasial), melainkan juga dimensi perkembangan sistem sosialnya (sosiokultural). Gambaran komunitas sebagai sistem sosial menurut Sander (1958), mengacu pada ruang relasi sosial yang diisi oleh lima faktor yaitu : 1. Ekologi, komunitas berada dan terorganisasi di dalam suatu wilayah dengan pola hidup dan pola pemukiman tertentu. Di dalamnya tercipta jaringan komunikasi yang beroperasi dengan baik, ada distribusi berbagai fasilitas, layanan sosial dan orang mampu mengembangkan identitas psikologis dengan simbol lokalitas. 2. Demografi, dalam komunitas yang terdiri dari populasi pada semua tahap lingkaran hidup, sedemikian rupa sehingga anggota baru muncul melalui proses kelahiran. Setiap individu di komunitas harus memiliki keterampilan dan pengetahuan teknis yang memadai untuk kelangsungan hidupnya. 3. Budaya, setiap komunitas bertujuan mencapai kesejahteraan tertentu, untuk itu mereka mempunyai cara dan nilai tersendiri. Kecenderunganya mencapai suatu integrasi normatif dan merangkum secara keseluruhan dibandingkan dengan tujuan satu atau beberapa kelompok di dalam komunitas. 4. Personalitas, komunitas mempunyai mekanisme mensosialisasikan anggota baru dan mengembangkan identitas psikologis dengan simbol lokalitas. 5. Waktu, komunitas tentu berada dalam rentang waktu. Artinya komunitas membutuhkan waktu sehingga bisa mencapai tingkat kebudayaan yang berbeda satu sama lainnya. Karakteristik komunitas petani di desa Cigadog dan desa Girijaya, Kabupaten Garut, pada faktanya tidak lagi dapat dibatasi hanya dengan pendekatan dimensi ruangekologi (spasial-ekologis), melainkan perlu pendekatan dimensi ruang-ekologi dan relasi sosial (spasial-ekologi dan sosio-kultural).
Sehingga konsep tentang komunitas yang
14
dikemukakan oleh Sander (1958) di atas, dalam pandangan peneliti lebih mendekati dan dapat dioperasionalisasikan bagi komunitas petani yang akan diteliti. 2.2. Kelembagaan Komunitas Petani 2.2.1. Konsep dan Fungsi Kelembagaan Kelembagaan masyarakat menurut Soemardjan dan Soemardi (1984) didefinisikan sebagai himpunan semua norma dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat. Berdasarkan pada definisi tersebut, maka fungsi dasar dari keberadaan kelembagaan yaitu untuk mengatur dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Soekanto (1990), membagi fungsi kelembagaan menjadi empat fungsi utama yaitu untuk ; (1) memenuhi kebutuhan pokok manusia, (2) memberi pedoman kepada anggota masyarakat bagaimana bersikap dan bertingkah laku dalam menghadapi masalahmasalah yang dihadapinya, terutama dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat, (3) menjaga keutuhan masyarakat, dengan adanya pedoman yang diterima bersama maka kesatuan dalam masyarakat dapat terpelihara,
dan (4) memberi pegangan kepada
masyarakat untuk mengadakan kontrol sosial (social control). Setiap masyarakat pasti memiliki kebutuhan-kebutuhan pokok dan tujuan-tujuan hidup yang disepakati bersama. Mengingat bahwa kebutuhan hidup dan kepentingan anggota masyarakat itu beragam, maka perlu adanya nilai-nilai dan norma-norma yang berfungsi untuk mengatur sedemikian rupa agar proses pemenuhan kebutuhan hidup dan kepentingan tersebut berjalan secara lancar, tertib dan adil. Adanya keragaman kebutuhan hidup yang ada di masyarakat kemudian melahirkan beragam jenis dan bentuk kelembagaan masyarakat. Koentjaraningrat (1965) menggolongkan kelembagaan yang ada di masyarakat menjadi delapan bentuk/jenis kelembagaan yaitu ; (1) kelembagaan kekerabatan/domestik (kehidupan kekerabatan), (2) kelembagaan ekonomi (mata pencaharian, memproduksi, menimbun, dan mendistribusikan kekayaan), (3) kelembagaan pendidikan (penerangan dan pendidikan), (4) kelembagaan ilmiah (ilmiah manusia dan menyelami alam semesta), (5) kelembagaan politik (mengatur kehidupan kelompok secara besar-besaran atau kehidupan negara), (6) kelembagaan keaagamaan (mengatur hubungan
15
manusia dengan Tuhan), (7) kelembagaan estetika dan rekreasi, dan (8) kelembagaan somatik (jasmaniah manusia). Kelembagaan selain dapat digolongkan berdasarkan keragaman kebutuhan masyarakat, Uphoff (1992) juga menggolongkan kelembagaan berdasarkan lokalitas yakni meliputi sektor publik, sektor partisipatori dan sektor swasta. Kelembagaan sektor publik di tingkat lokal mencakup administrasi dan pemerintahan lokal dengan birokrasi dan organisasi politik sebagai bentuk organisasi yang mutakhir.
Kelembagaan sektor
partisipatori mencakup lembaga-lembaga yang tumbuh dan dibangkitkan oleh masyarakat secara sukarela, seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM). Sedangkan sektor swasta meliputi lembaga-lembaga swasta yang berorientasi kepada upaya untuk mencari keuntungan baik itu di bidang jasa, perdagangan dan industri. Kelembagaan masyarakat sebagai perwujudan pola-pola hidup bermasyarakat, menurut Soekanto (1990) memiliki ciri-ciri umum sebagai berikut : (1) pengorganisasian pola pemikiran akibat aktivitas dan hasil-hasilnya, (2) berkekalan tertentu, (3) mempunyai satu atau lebih tujuan, (4) mempunyai lambang-lambang yang melambangkan tujuan, (5) mempunyai alat-alat untuk mencapai tujuan, dan (6) mempunyai tradisi tertulis dan tidak tertulis yang merumuskan tujuannya dan tata tertib yang berlaku. Terkait dengan komunitas pedesaan di Indonesia, terdapat beberapa unit sosial (kelompok, kelembagaan dan organisasi) yang dapat diasumsikan sebagai suatu satuan komunitas, yang merupakan aset penting dan berharga untuk dikembangkan dalam rangka pembangunan pedesaan.
Pengembangan kelembagaan di tingkat lokal dapat
dilakukan dengan jalan membangun sistem jejaring kerjasama (kolaboratif) dan sinergy (Nasdian, 2006). Sebuah program atau proyek pembangunan misalnya dapat melibatkan beberapa lembaga di tingkat komunitas dan tingkat supra desa seperti (pemerintah, swasta, LSM dan perguruan tinggi) dengan menggunakan strategi membangun jejaring kerjasama dengan posisi yang setara (kolaboratif) dan saling menguntungkan (sinergy). Secara umum lembaga-lembaga yang ada pada komunitas pedesaan dapat dibagi ke dalam dua kelompok besar yaitu : pertama, lembaga formal bentukan pemerintah seperti ; pemerintah desa, BPD, KUD, PKK, Posyandu, dll. Kedua, lembaga tradisional atau lokal yang tumbuh dari dalam komunitas desa itu sendiri, yang kerapkali memberikan “asuransi
16
terselubung” bagi kelangsungan hidup warga komunitas desa tersebut. Kelembagaan lokal tersebut pada dasarnya juga merupakan kapital sosial (social capital) yang berwujud nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan (tolong menolong dan kerjasama seperti gotong royong), lumbung paceklik, jimpitan, beras perelek, arisan, simpan pinjam, kelompok pengajian, kelompok kesenian dan budaya, dan lain sebagainya. Sebagaimana dikemukakan oleh Scott (1976), keberadaan lembaga asli dalam komunitas pedesaan memiliki fungsi ambivalensi, dimana selain berfungsi untuk memenuhi kebutuhan hidup warganya, juga memberikan “energi sosial” yang merupakan kekuatan internal komunitas tersebut dalam memecahkan masalah-masalah hidup yang dihadapi dengan kekuatan yang ada pada diri mereka sendiri (self help). Sebagai contoh, keberadaan kelembagaan “lumbung paceklik” bagi komunitas pedesaan tidak hanya berfungsi sebagai “benteng utama” masyarakat dalam menghadapi masalah paceklik atau rawan pangan, melainkan juga sebagai “ciri atau perlambang” dari tegaknya kedaulatan, solidaritas sosial, ekonomi dan budaya komunitas petani di pedesaan. Berdasarkan keseluruhan uraian di atas, maka yang menjadi ciri dasar dari sebuah kelembagaan masyarakat adalah adanya nilai-nilai, norma-norma yang disepakati bersama untuk mengatur sedemikian rupa, agar tercapai suatu tata tertib hidup bermasyarakat. Jika diibaratkan dengan tubuh manusia, maka kelembagaan yang hidup di dalam masyarakat bagaikan jiwa dalam tubuh. Dengan kata lain, kelembagaan merupakan esensi atau bagian pokok dari sebuah masyarakat dan kebudayaannya.
Sehingga sebagai
konsekwensinya, setiap upaya yang bertujuan untuk mengetahui dan mengkaji sebuah permasalahan di dalam masyarakat, maka mau tidak mau kita harus mempelajari dan memahami kelembagaan yang hidup dan bekerja di dalam masyarakat tersebut. Hanya dengan cara seperti itulah sebuah permasalahan yang timbul di dalam masyarakat dapat dipahami secara sistematis, jelas, utuh dan menyeluruh. 2.2.2.
Kelembagaan dan Kepemimpinan Kelembagaan dan kepemimpinan adalah dua hal yang saling terkait dan tidak dapat
dipisahkan satu dengan yang lainnya. Setiap unit-unit sosial (kelompok, kelembagaan dan organisasi) dipastikan membutuhkan pemimpin untuk dapat mendukung upaya pencapaian tujuan lembaga atau organisasi. Sebagaimana dikemukakan Kartodirjo (1984),
17
pemimpin memiliki posisi dan peran yang sangat penting dalam masyarakat terutama sebagai kekuatan penggerak.
Pemimpin pada dasarnya
sebagai fokus dari proses
kelompok. Dalam pengertian, pemimpin merupakan pusat aktifitas, pusat perubahan, pusat proses, pusat dari kecenderungan, pusat ekspresi kebutuhan dan kekuasaan dari semua anggota kelompok, serta tokoh sentral yang dapat mengarahkan dan mengintegrasikan kelompok. Pembahasan mengenai kepemimpinan sudah pasti akan selalu terkait erat dengan aspek kekuasaan dan wewenang. Sementara itu karakteristik atau tipe kekuasaan dan wewenang dalam suatu masyarakat beragam tergantung pada bentuk dan tahap perkembangan suatu masyarakat. Robert MacIver dalam Soekanto (1990) membedakan tipe kekuasaan ke dalam tiga tipe yaitu tipe kasta, oligarkis dan demokratis. Dari ketiga tipe tersebut, tipe pemimpin demokratis adalah tipe yang ideal atau tipe idaman. Tipe ini dicirikan dengan hampir tidak adanya garis pemisah antara lapisan-lapisan masyarakat dan mobilitas kekuasaan sangat tinggi dan terbuka lebar bagi seluruh anggota masyarakat. Sementara itu Max Weber dalam Soekanto (1990) membagi wewenang ke dalam tiga tipe yaitu tipe kharismatik, tradisional dan rasional (legal). Dari ketiga tipe wewenang tersebut, tipe yang paling ideal adalah tipe wewenang rasional atau legal, karena disandarkan pada sistem hukum yang berlaku, diakui dan ditaati di dalam masyarakat. Terkait dengan kasus masalah kepemimpinan di Indonesia, menurut Kartodirdjo (1990), masyarakat Indonesia di berbagai lapisan masyarakat tengah dihadapkan pada masalah serius yakni terjadinya krisis identitas diri bangsa. Kondisi ini bila ditinjau dari aspek sejarah, disebabkan karena adanya proses transformasi kebudayaan yang terputus. Dimana generasi golongan literasi (sastrawan) telah punah dan digantikan oleh kaum intelegentsia modern sebagai produk pendidikan sistem-barat. Sedangkan diantara dua generasi tersebut terdapat generasi peralihan yang dengan satu kaki berada di alam tradisional dan dengan kaki lain berada di alam sistem pendidikan birokrasi. Masyarakat petani Indonesia adalah salah satu diantaranya dari generasi peralihan tersebut, dimana ideologi mereka tentang kedamaian dan kesejahteraan masih didominasi oleh ideologi mesiah (juru penyelamat), seperti halnya legenda Ratu Adil. Legenda tentang Ratu Adil yang tumbuh subur dalam impian dan harapan kaum petani di pedesaan, pada akhirnya
18
menjadikan mereka bersikap pasif, menunggu datangnya pihak luar yang mampu mengentaskan mereka dari segala belitan kesusahan hidup yang mendera mereka selama lebih dari tiga abad silam. Pemerintah Indonesia sejak zaman Orde Lama, Orde Baru hingga Era Reformasi, sebenarnya telah berupaya
mentransformasikan masyarakat petani tersebut melalui
proses modernisasi pedesaan. Sayangnya sebagaimana dikemukakan oleh Sajogjo (1982), proses modernisasi masyarakat pedesaan di Indonesia tanpa diiringi dengan proses pembangunan (modernization without development). Jika mengacu kepada pemikiran Dube (1988), proses modernisasi meliputi
proses transformasi model struktur, kultur,
pengetahuan, modal dan juga teknologi dari luar (negara maju) ke dalam sebuah masyarakat di negara-negara Dunia Ketiga. Proses transformasi ini dapat berjalan dengan baik, jika individu-individu di dalam masyarakat juga mengalami transformasi kepribadian. 4 Nampaknya, untuk kasus proses modernisasi di Indonesia,
transformasi
kepribadian ini tidak terjadi, karena upaya-upaya pembangunan (modernisasi)
lebih
ditekankan pada aspek-aspek fisik (perangkat keras) seperti sarana transportasi, fasilitas komunikasi, gedung sekolah, dll. Padahal sebagaimana dikemukakan oleh Ogburn dalam Strasser (1981) dengan teorinya “Cultural Lag”, bahwa proses laju perubahan dalam kebudayaan material lebih cepat dibandingkan dengan perubahan-perubahan dalam kebudayaan non-material (cultural), seperti kelembagaan (adat, kepercayaan, filsafat, hukum dan pemerintahan). Adanya kelambatan (lag) tersebut akan menyebabkan terjadinya kegagalan menyesuaian (maladjustment) di dalam masyarakat yang mengarah pada terjadinya perubahan sosial dalam struktur yang adaptif (gegar budaya, keresahan atau bahkan konflik sosial). Berdasarkan pada uraian di atas, nyata bahwa posisi dan peran pemimpin sangat penting dan esensial dalam suatu unit sosial (kelompok, kelembagaan dan organisasi), terutama untuk mentransformasikan masyarakat yang dipimpinnya menuju pada kondisi Menurut Dube (1988), transformasi kepribadian menuju ke arah kepribadian dan sikap yang rasional seperti halnya sikap ; empati (emphaty), mobilitas dan partisipasi yang tinggi (mobility and high participation). Transformasi ini di promosikan dan di langgengkan oleh sebuah struktur kelembagaan yang ada di dalam masyarakat. Modernisasi kepribadian mengarahkan pergaulan sosial dan kultural masyarakat kepada budaya berprestasi (achievement), terwujudnya sikap atau jiwa universal (universalistic) dan berorientasi pada tujuan (orientation).
4
19
masyarakat yang dicita-citakan bersama.
Terkait dengan upaya penguatan dan
pengembangan kelembagaan masyarakat pedesaan, maka dibutuhkan tipe kepemimpinan demokratis, partisipatif dan transformatif. Pemimpin tipe ini inilah yang dapat menghargai dan memahami seluruh potensi anggotanya dan mengarahkannya secara tepat dan efektif untuk mencapai tujuan bersama. Beberapa ciri kepemimpinan tipe seperti ini adalah : (1) mampu mendorong para anggota kelompok atau pengikut untuk menentukan sendiri kebijakan, (2) memberikan kebebasan kepada para anggota kelompok atau pengikut untuk berinteraksi dan melaksanakan tugas-tugas yang ditentukan oleh anggota kelompok itu sendiri, (3) mampu memberikan perspektif alternatif langkah-langkah yang tepat dan efektif untuk mencapai tujuan, (4) prinsip secara mayoritas dipakai kalau terjadi perbedaan pendapat dalam pengambilan keputusan, serta (5) memberikan penghargaan dan mengkritik anggota kelompok/pengikut atas dasar penilaian yang objektif (Nasdian dan Utomo, SB., 2004). 2.2.3. Perkembangan kelembagaan Perkembangan kelembagaan yang ada pada suatu masyarakat, pada hakikatnya juga menunjukan perkembangan kebudayaan masyarakat tersebut. Terkait dengan masyarakat petani di Indonesia, mengacu kepada pemikiran Redfield (1985), maka dapat pula dikatakan bahwa masyarakat petani di pedesaan Indonesia adalah masyarakat terbelah (part societies). Jika masyarakat petani di Indonesia dikatakan sebagai masyarakat terbelah, maka kebudayaan dan kelembagaannya pun juga turut terbelah. Kondisi ini tercermin dari adanya “pertarungan” eksistensi antara kelembagaan lokal (tradisional) dengan kelembagaan formal (modern) bentukan pemerintah di dalam ruang kehidupan komunitas petani pedesaan di Indonesia. Terdapat beragam teori yang membahas tentang perkembangan kebudayaan dan kelembagaan masyarakat, namun secara umum para peneliti sepakat bahwa keberagaman kondisi/karakteristik sosial, ekonomi, budaya , politik dan ekologi (sosekbudpoleko) yang ada dalam suatu masyarakat, akan menimbulkan keragaman bentuk-bentuk kelembagaan yang tumbuh dan berkembang dalam komunitas tersebut (Steward 1955 ; Geerzt, 1963. Rambo, 1981 ; Kano, 1980 ; Sajogjo, 1982 ; Hayami dan Kikuchi 1987 ; Tjondronegoro 1999 ; Pakpahan, dkk., 2004 ; Kolopaking, 2006). Perbedaan hasil kajian antara satu
20
peneliti dengan peneliti lainnya, pada dasarnya hanyalah terletak pada aspek mana seorang peneliti memberikan penekanannya. Julian Steward (1955) misalnya mengembangkan teori perubahan kebudayaan (theory of culture change) yang disebutnya sebagai ekologi budaya (cultural ecology).
Dimana
esensi atau pokok dari teori “ekologi budaya” tersebut adalah bahwa inti kebudayaan (cultural core) dari sebuah masyarakat pada dasarnya merupakan hasil dari pola adaptasi ekologi masyarakat tersebut terhadap kondisi sumberdaya alam yang ada di lingkungannya. Dimana inti kebudayaan itu sendiri terdiri dari ; (1) teknologi sumber daya alam (exploitative technology), (2) pola-pola kependudukan (population paterns), (3) organisasi ekonomi (economic organization) dan (4) sistem sosial politik (socio-politic system).
Sedangkan aspek-aspek
kebudayaan lainnya seperti bahasa, seni, agama dan nilai-nilai menurutnya lebih merupakan hasil atau ciri diffusi dari masyarakat luar melalui proses pergaulan masyarakat (social milieu), yang kemudian digolongkannya sebagai non-inti kebudayaan (non-core of elemens). Teori dan pendekatan Julian Steward tentang “cultural ecology” tersebut di atas pernah diterapkan untuk kasus masyarakat Indonesia oleh salah satu antropologis Amerika yakni Clifford Geert.
Dimana Geertz pada tahun 1963 menerbitkan hasil penelitiannya
yang berjudul “Involusi Pertanian : Proses Perubahan Ekologi di Indonesia”, yang isinya berupaya menjelaskan tentang perbedaan ekosistem Jawa dan Luar Jawa.
Melalui tulisannya
tersebut, Geertz menunjukan beberapa perbedaan karakteristik antara keduanya diantaranya ; (1) populasi penduduk di Jawa pada saat itu jauh lebih padat dibanding dengan populasi penduduk luar Jawa; (2) proporsi lahan permukaan yang dibudidayakan di Jawa lebih tinggi jika dibandingkan dengan di luar Jawa, (3) teknik pertanian di Jawa adalah sawah dengan dukungan sarana irigasi, sedangkan di luar Jawa adalah sistem ladang berpindah ; (4) kebutuhan akan tenaga kerja di lahan pertanian Jawa tinggi, sedangkan di luar Jawa rendah ; (5) stablilitas sistem di jawa tinggi, sedangkan di luar Jawa rendah; (6) karakteristik lingkungan di Jawa pada umumnya memiliki relief dengan kemiringan tinggi, aliran sungai cepat dengan tingkat sedimentasi tinggi, jenis tanahnya muda dan kaya akan nutrisi, sedangkan di luar Jawa memliliki relief dataran rendah tidak beraturan, sungai-
21
sungainya mengalir lambat dengan tingkat sedimentasi rendah, jenis tanahnya tua dan miskin nutrisi. Suatu hal yang sangat menarik dengan hasil penelitian Geertz jika dihubungkan dengan pendekatan “ekologi budaya” Steward yaitu terkait dengan adanya upaya dari Geertz untuk “mematahkan” teori tersebut, terutama jika dikaitkan dengan konteks pertumbuhan kebudayaan dan masyarakat Indonesia. Geertz dalam tulisannya menyatakan bahwa “oleh karena perkembangan politik, pelapisan masyarakat, perdagangan dan intelektual kelihatannya merupakan proses pranata atau penertib yang penting di dalam sejarah Indonesia, maka ternyata perkembangan ekologis itu menjadi tidak seberapa penting.”
5)
Pertanyaannya kemudian apakah memang benar demikian ?
Hayami dan Kikuchi (1987) dalam tulisannya “Dilema Ekonomi Desa” secara umum berusaha membahas tentang perubahan kelembagaan agraria di desa-desa Asia dengan menggunakan pendekatan ekonomi. Kedua penulis memiliki asumsi dasar bahwa evolusi kelembagaan di desa-desa Asia dipandang sebagai akibat perjuangan di antara berbagai kelompok di dalam komunitas yang berusaha mendapatkan alokasi sumberdaya yang lebih efisien dan untuk memantapkan tuntutan terhadap bagian pendapatan yang lebih besar dalam menganggapi perubahan-perubahan dalam variabel ekonomi seperti anugerah sumber-sumber daya dan teknologi. Kedua penulis tersebut berhipotesa bahwa kekuatan dasar yang melandasi keketatan dalam struktur komunitas adalah kelangkaan sumberdaya yang relatif. Struktur sosial menjadi lebih ketat dan terpadu dalam menanggapi kebutuhan yang lebih besar untuk mengkoordinasi dan mengendalikan pemakaian sumberdaya ketika sumberdaya tersebut menjadi langka.
Berdasarkan hipotesis tersebut maka keduanya mencoba
membangun sebuah teori tentang perubahan kelembagaan dengan dalil yang berbunyi sebagai berikut : “Pranata-pranata dan sistem sosial berubah sebagai reaksi terhadap berubahnya kelangkaan relatif sumberdaya. Kelangkaan relatif sumberdaya di dalam komunitas tidak hanya tergantung pada penyediaan sumberdaya, tetapi juga pada kondisi teknologi dan pasar.” 5)
Geerz, Clifford. 1983. Involusi Pertanian : Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Hal 11- 12.
22
Hayami dan Kikuchi juga berpandangan bahwa kekuatan-kekuatan ekonomi yang sedang bekerja di pedesaan Asia menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan dalam struktur agraria. Kedua penulis tersebut membangun sebuah hipotesa bahwa tekanan penduduk yang kuat terhadap tanah telah mengakibatkan ketimpangan dalam distribusi kekayaan dan pendapatan, dan bahwa komunitas pedesaan sekarang ini berada di persimpangan jalan menuju arah polarisasi atau stratifikasi petani. Tipe-tipe perkembangan ekonomi, kebijaksanaan pemerintah, struktur kekuasaan dan lingkungan lembaga dasar pada komunitas menjadi faktor-faktor penting dalam menentukah arah perubahan menuju pada polarisasi atau stratifikasi petani. Sedangkan arah perubahan agraria akan ditentukan melalui suatu proses interaksi sosial yang kompleks. Melalui hasil studi kasusnya di Desa Laguna Timur dan Laguna Selatan, Hayami dan Kikuchi memberi bukti tentang adanya kecenderungan terjadinya stratifikasi dan polarisasi petani. Perbandingan cara-cara yang dijalankan oleh kedua komunitas desa itu untuk menyesuaikan kelembagaan mereka dalam menanggapi tekanan penduduk, perubahan teknologi dan land reform, telah memperlihatkan bahwa proses yang menyebabkan kekuatankekuatan ekonomi yang sama dapat menghasilkan pranata yang berbeda, tergantung pada lingkungan sosial yang berbeda yang disebabkan oleh ekologi dan sejarah yang berbeda. Sebenarnya teori Geertz tentang ”Involusi Pertanian” menurut Hiroyosi (1980) sudah tidak tepat lagi untuk digunakan guna menjelaskan kondisi
perekonomian
masyarakat pedesaan di Jawa pasca tahun 1970-an. Konsep Geertz tersebut dianggap memiliki dua kelemahan pokok yaitu : pertama, Geertz tidak berhasil menganalisa keadaan yang sesungguhnya dalam sistem pemilikan tanah, sehingga mengabaikan kelas yang ada antara golongan pemilik tanah dengan golongan tak bertanah. Fakta tersebut ditemukan dan dikemukakan oleh Sajogjo pada tahun 1982 melalui tulisannya yang bertajuk ”Modernization Without Development in Rural Java.” Kedua, sejumlah perkembangan mutakhir (pasca tahun 1970-an) benar-benar bertentangan dengan dalil Geertz tentang terjadinya proses involusi pertanian. Dalam hal ini Kano mengacu pada hasil penelitian Collier yang menyatakan bahwa dalam perekonomian beras yang terjadi bukanlah proses involusi (proses penyerapan tenaga kerja yang membengkak), melainkan memperlihatkan kecenderungan kuat ke arah alineasi atau penyingkiran. Salah satu faktor yang dipandang
23
menjadi penyebab terhentinya proses involusi pertanian adalah masuknya kekuatan yang baru, yakni masuknya Program Revolusi Hijau pada awal tahun 1970-an ke dalam sistem masyarakat desa. Sehingga bukan lagi proses ”involusi pertanian” yang terjadi, melainkan proses ”perubahan evolusioner”. Terkait dengan dinamika kelembagaan masyarakat pedesaan, Tjondronegoro (1999) dalam tulisannya yang berjudul “memudarnya otonomi desa” berusaha untuk memberikan penjelasan tentang proses sejarah pudarnya otonomi desa di Indonesia (Jawa dan Luar Jawa).
Dimana secara umum, masyarakat desa-desa di Indonesia telah
mengalami perubahan dalam struktur sosial dasarnya ; dari hubungan-hubungan sosial yang berdasar pada ikatan kekeluargaan atau kekerabatan (genealogis) menjadi hubunganhubungan antara keluarga-keluarga inti yang mandiri dan bersifat teritorial. Perubahan tersebut kemudian berimplikasi terhadap perlunya perubahan metodologi penelitian yang digunakan untuk meneliti masyarakat desa. Terdapat perbedaan proses perubahan kelembagaan antara desa-desa di Jawa dengan desa-desa di luar Jawa. Bagi desa-desa di Pulau Jawa, perubahan tersebut telah dimulai sejak zaman Kolonial Belanda, dimana ketika itu kebanyakan desa di Jawa sudah mempunyai kedudukan sebagai daerah hukum.6
Sedangkan pada komunitas-komunitas di
luar Jawa pada umumnya sistem kelembagaannya masih dicirikan dan terikat erat dengan sistem perladangan berpindah. Sistem perladangan berpindah dilakukan secara terpencarpencar dan lokasinya jauh dari pusat jangkauan sistem pemerintahan dan sistem perpajakan, sehingga upaya penerapan daerah hukum pada komunitas tersebut sulit untuk diterapkan. Jika dibandingkan dengan desa-desa di Jawa, pengaruh kekuasaan pemerintah kolonial Belanda terhadap komunitas di luar Jawa relatif lebih lemah, sehingga warga komunitasnya pun relatif lebih bebas. Proses memudarnya otonomi desa mengalami percepatan yang tinggi pada masa pemerintahan Orde Baru. Program-program pemerintah seperti Inpres Desa serta 6
Daerah hukum tersebut memiliki beberapa ciri yaitu : berhak mempunyai wilayah sendiri dengan batas-batas yang syah ; berhak mengurus dan mengatur pemerintahan sendiri ; berhak mempunyai harta benda sendiri dan memungut pajak. Maka dengan ciri-ciri tersebut, Tjondronegoro berpendapat bahwa desa Jawa sejak lama telah memiliki otonomi untuk mengatur rumah tangganya sendiri.
24
percetakan dan pengeluaran kartu tanda penduduk (KTP,) sebagai tanda pengenal sejak Sensus Penduduk 1971, telah mendorong semakin bertambah banyaknya jumlah desa baru (terutama di luar Jawa).
Proses “formalisasi desa” ini mencapai titik puncaknya
ketika pemerintah mengeluarkan Undang-undang No.5 Tahun 1979. Undang-undang ini pada hakikatnya dikeluarkan untuk menyeragamkan sistem kelembagaan desa agar lebih mudah diatur, dikontrol dan diawasi oleh struktur pemerintah supra desa. Dampak lanjutan dari diberlakukannya UU ini adalah munculnya kecenderungan bahwa perbedaan antara masyarakat genealogis dan teritorial akan hilang. Sehingga yang tersisa kemudian hanyalah masyarakat yang diikat dengan ikatan teritorial administratif saja, sebuah masyarakat yang tidak memiliki otonomi desa yang berarti. Sumbangan besar dan penting dari tulisan Tjondronegoro ini terutama terkait dengan upaya untuk menjelaskan perubahan kelembagaan tradisional desa dengan cara membedakannya antara gejala organisasi dan lembaga desa. Dimana kedua terminologi tersebut dibedakan berdasarkan perbedaan orientasi keduanya yaitu antara “orientasi ke atas” dengan “orientasi ke bawah”.
Menurut Tjondronegoro, masuknya ekonomi uang
yang sudah dimulai sejak zaman kolonial telah merubah hubungan tradisional di daerah pedesaan.
Lembaga-lembaga yang semula berdasarkan atas jiwa gotong royong dan
autarki ekonomi (kemandirian) retak, dan pengaruh kota semakin mengikis hubungan pedesaan tradisional. Organisasi yang berakar pada daerah perkotaan meluas ke desa dan kepentingan kota menjadi lebih terpenuhi (permintaan, perkreditan, pelemparan barangbarang konsumsi dan sebagainya).
Lembaga-lembaga tradisional kemudian semakin
mengecil dan kekuatan norma berkurang. Masyarakat desa yang semula bersifat egalitarian kemudian tampak menjadi berlapis; kepentingan-kepentingan lapisan bertentangan dan timbulah proses differesiansi dan perenggangan (melebarnya jarak sosial) dan bahkan mengarah pada pengasingan (alineasi). Pada akhirnya lembaga semakin bercirikan lapisan bawah dan lemah, dan organisasi mencerminkan lapisan tengah dengan orientasi ke atas dan kota. Proses pelapisan dam differensiasi tersebut terus berlangsung hingga sekarang dan membentuk presepsi kita tentang desa. Adanya kenyataan ini di dalam masyarakat desa kemudian berimplikasi perlunya sebuah pendekatan yang berorientasi kepada lapisanlapisan yang paling membutuhkan uluran tangan dan bantuan dari pemerintah dan
25
masyarakat kota. Keserasian kepentingan antara kota dan desa perlu diusahakan lebih keras dan lebih tegas, lebih-lebih pada masa pasca krisis tahun 1997. Kondisi sebagai mana telah disebutkan di atas, lebih lanjut juga berimplikasi pada perlunya suatu metode penelitian yang berpihak, diprioritaskan dan difokuskan kepada masalah-masalah dan kebutuhan lapisan bawah (yaitu kaum petani). Terkait dengan pengembangan kelembagaan komunitas petani di Indonesia, pemerintahan Orde Baru telah berupaya untuk membangun kelembagaan petani di tingkat desa untuk memfasilitasi dan mendukung program pembangunan, seperti halnya lembaga Pemerintahan Desa dan Koperasi Unit Desa (KUD). Namun proses pembentukan dan operasionalisasinya dilakukan dengan pendekatan terpusat (sentralisasi), searah (top-down) dan seragam. Sehingga hampir tidak ada ruang dan akses bagi kelompok masyarakat strata bawah (yang sebelumnya tergabung dalam kelembagaan lokal) untuk terlibat aktif dan menikmati manfaat dari keberadaan lembaga-lembaga baru bentukan pemerintah atas desa tersebut.
Pada akhirnya keberadaan kelembagaan bentukan
pemerintah tersebut bukannya semakin menguatkan kelembagaan lokal yang telah ada, melainkan sebaliknya justru semakin melemahkan. Kondisi sebagaimana dikemukakan di atas, sejalan dengan apa yang telah dikemukakan oleh Tjondronegoro (1977),
bahwa kelembagaan intervensi bentukan
pemerintah cenderung menumbuhkan kepemimpinan yang berorientasi kepada kepentingan ”supra-desa”, dibandingkan pada kepentingan kesatuan kecil masyarakat, seperti halnya petani-petani kecil.
Kondisi ini kemudian diperparah oleh semakin
melemahnya kerjasama antar desa yang dikoordinasikan oleh Pemerintah Kecamatan. Terlebih setelah dikukuhkannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, sebagaimana dikemukakan oleh Kolopaking (2008), UU tersebut di satu sisi telah mendorong terjadinya penguatan posisi pemerintah Kabupaten dan Desa, namun di sisi lain juga terbukti telah melemahkan posisi pemerintahan Kecamatan. Lembaga Kecamatan di era otonomi daerah belum dapat menjadi “jembatan” yang kokoh untuk menghubungkan kepentingan pemerintah “supra desa” dan warga masyarakat (komunitas desa).
Dengan kata lain, Camat dan kelembagaan kecamatan sebagai suatu sistem
26
organisasi dipandang belum representatif dan juga lemah dalam mengontrol sumberdaya yang ada di wilayahnya. Selanjutnya Nasdian (2008) mengkaji tentang “studi penguatan kecamatan dari perspektif kelembagaan”,
dimana dalam mengkaji aspek perubahan kelembagaan
kecamataan, Nasdian memadukan kerangka teori “institutional and organization co-evolution” dari Carney dan Gedajlevic (2003) dengan kerangka pendekatan Scoot (2008) 7 tentang tiga pilar penopang kelembagaan dan organisasi. Dimana dasar pertimbangan digunakannya kerangka teori dan pendekatan tersebut adalah mengingat bahwa struktur sosial dan kultur masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk dan beragam. Lihat juga pada Tabel 1. Tabel 1. Tiga Pilar “Penopang” Kelembagaan (Three Pillars of Institutions)
Principal Dimensions
Regulative
Normative
Cultural-Cognitive
Basis of compliance Basis of order Mechanisms Logic Indicator
Expedience
Social obligation
Taken-for-grantedness Shared understanding
Regulative rules
Binding expectations
Constitutive schema
Coercive
Normative
Mimetic
Instrumentality
Appropriateness
Orthodoxy
Rules Laws Sanctions
Certification Accreditation
Common beliefs Shared logic of actions Ishomorfism
Affect Basis of legitimacy
Fear Guilt/Innocence
Shame/honor
Certainty/Confusion
Legally sanctioned
Morally governed
Comprehensible Recognizable Culturally supported
Sumber : Scoot, W. Richard (2008)
Nasdian (2008) dengan merujuk pada kerangka teori Carney dan Gedajlevic (2002), merumuskan bahwa
perubahan bersama antara kelembagaan dan organisasi
kecamatan tersebut mengarah pada : (1) organisasi kecamatan akan beradaptasi pada 7
Menurut Scott (2008) dalam buku teksnya:“Institutions and Organizations : Ideas and Interest”, menyatakan bahwa konsep dari institutions adalah sebagai berikut : “Institutions are comprised of regulative, normative and cultural-cognitive elements that, together with associated activities and resources, provide stability and meaning to social life”.
27
perubahan pranata sosial (sistem norma dan nilai) dari tradisional-local institutions (endogenus) dan formal-local institutions (exogenus) ; (2) respons terhadap perubahan pranata sosial tersebut menimbulkan bentuk organisasi kecamatan yang baru sesuai dengan kondisi traditional dan formal institutions ; (3) bentuk organisasi kecamatan yang baru tersebut merupakan sinergy dari pertukaran sistem dan nilai (asimilasi dan akulturasi) traditional dan formal instititions. Beberapa temuan dari kajian Nasdian (2008) tersebut diantaranya adalah : (1) realitas perkembangan lembaga kecamatan pada masa pemerintahan Orde Lama ditopang oleh pilar regulative dan normative berbasis pada monoloyalitas pada aliansi partai politik tertentu dengan landasan nasionalisme. Sedangkan pada masa pemerintahan Orde Baru kelembagaan kecamatan ditopang oleh pilar regulative dan normative dengan berbasis pada monoloyalitas tunggal dengan landasan pembangunan (deveopmentalism). Dimana pada realitas tersebut, kelembagaan kecamatan berlangsung efektif (dalam ukuran kuantitatif ekonomi), tetapi hampir tiada “ruang” yang diciptakan untuk aspirasi dan partisipasi masyarakat lokal (dalam ukuran kualitatif-sosiologis). Perubahan berikutnya pada masa pemerintahan era reformasi, terjadi perubahan bersama (co-evolution) di dalam pranata sosial kecamatan yang merujuk pada paradigma desentralisasi, yakni menciptakan “ruang” untuk menangkap kekhasan lokal, menyebabkan adaptasi dan respons setiap daerah menjadi berbeda dan beragam, (2)
Hasil kajian terhadap pilar-pilar penopang
kelembagaan (regulative, normative, cultural-cognitive) kecamatan di beberapa daerah (NAD, Sumbar, DIY, Bali dan Kalbar) ditemukan fakta-fakta bahwa kelembagaan-kelembagaan kecamatan yang didukung oleh ketiga pilar tesebut secara kontinum (dan terutama) dengan didukung pilar cultural-cognitive, diperkirakan dapat memperkuat proses pelembagaan kecamatan menjadi kelembagaan kecamatan yang efektif. Berdasarkan pada keseluruhan uraian di atas, maka implikasinya terhadap upaya pengembangan lembaga ketahanan pangan di pedesaan adalah ; (1) Teori “cultural ecology” Julian Steward, dengan segala keterbatasannya masih dapat digunakan sebagai pisau analisis pengembangan kelembagaan ketahanan pangan di pedesaan, terutama untuk menjelaskan sejarah perkembangan kelembagaan pertanian sebagai hasil pola adaptasi ekologi masyarakat desa terhadap perubahan lingkungan
28
sumberdaya alam. Sebagaimana di kemukakan oleh Rambo (1981), keterbatasan dari teori “cultural ecology” adalah cenderung statis dan tertutup dalam memetakan hubungan antara sistem sosial dengan sistem ekologi dan memandang ciri budaya sosial dan ekologi secara terpisah. Padahal menurut teori “Systems-Model of Human Ecology”, sistem sosial dan sistem ekologi dipandang sebagai satu kesatuan yang utuh menyeluruh, dimana hubungan antara keduanya bersifat kompleks dan dinamis. Kebaikan (virtue) dari teori ini adalah fokus perhatiannya ditekankan pada proses dari dinamika perubahan dan adaptasi, dan bukan pada penekanan statika struktur sistem sosial dan ekologi.8 (2) Hasil kajian Tondronegoro (1999) yang menyatakan telah terjadinya perubahan kelembagaan pedesaaan yang dicirikan dengan retaknya kemandirian, differensiasi, perenggangan dan alineasi, maka upaya-upaya untuk membangun kelembagaan ketahanan pangan seyogyanya dilakukan di tingkat komunitas dan ditujukan terutama untuk memecahkan kebutuhan dan masalah komunitas petani pedesaan. (3) Terkait dengan adanya fenomena tarik menarik kepentingan antara lembaga tradisional dengan lembaga intervensi dalam ruang kehidupan masyarakat pedesaan, maka perlu ada upaya-upaya untuk melebur atau menyatukannya dalam sebuah “ruang dialog” yang berlandaskan pada pendekatan kesetaraan posisi, kerjasama dan sinergy.
Hal ini penting agar nilai-nilai yang menjadi esensi dari budaya dan
kelembagaan lama (tradisional) yang bersifat positif dan membangun, dapat terintegrasi atau bahkan melebur menjadi satu ke dalam nilai-nilai kelembagaan baru (modern). Terkait dengan upaya di atas, maka kerangka teori Carney dan Cedajlevic (2002) tentang “Institutional and Organizational Co-Evolution” dan kerangka pendekatan Scoot (2008) tentang “tiga pilar kelembagaan” dapat digunakan untuk menganalisis proses perubahan kelembagaan ketahanan pangan komunitas petani pesisir dan komunitas petani pegunungan dalam mewujudkan ketahanan pangan masyarakat pedesaan.
8
Rambo (1981). Conceptual Approaches to Human Ecology : A Sourcebook on Alternative Paradigms for The Study of Human Interactions with The Environment. Hal. 39, alinea kedua.
29
2.3.
Pengembangan dan Pemberdayaan Komunitas Petani
2.3.1. Konsep Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Pengembangan masyarakat dapat didefinisikan sebagai pendekatan yang memungkinkan orang dapat meningkatkan kualitas hidupnya serta mampu memperbesar pengaruhnya terhadap proses-proses yang mempengaruhi kehidupannya. Proses tersebut juga dilakukan untuk memperbaiki komunitasnya melalui tindakan kolektif. Pendekatan ini berfokus pada upaya menolong anggota masyarakat (khususnya golongan yang tidak beruntung/tertindas baik oleh kemiskinan maupun diskriminsi kelas sosial, gender) yang memiliki kesamaan minat untuk bekerjasama, mengidentifikasi kebutuhan bersama, dan kemudian melakukan kegiatan bersama untuk memenuhi kebutuhan tersebut (Suharto, 2005). Sedangkan sebagai sebuah proses, pengembangan masyarakat merupakan metode atau pendekatan pembangunan yang menekankan adanya partisipasi dan keterlibatan langsung penduduk dalam proses pembangunan, dimana semua usaha swadaya masyarakat diintegrasikan dengan usaha-usaha pemerintah setempat dan stakeholders lainnya untuk meningkatkan taraf hidup, dengan sebesar mungkin ketergantungan pada inisiatif penduduk sendiri, serta pelayanan teknis sehingga proses pembangunan berjalan efektif (Nasdian, 2006). Sementara itu, konsep pemberdayaan lahir dari analisis bahwa adanya pihak yang tidak berdaya (powerless) berhadapan dengan pihak lain yang berkuasa (powerfull), pada akhirnya cenderung menimbulkan pola hubungan yang bersifat eksploitatif, dominasi dan penindasan. Karena itu untuk membantu pihak yang tidak berdaya, perlu adanya suatu proses pembagian (sharing) dan juga peralihan (transfer) sumber-sumber daya (ekonomi, sosial, budaya dan politik) diantara pihak-pihak pemangku kepentingan (stakeholders) secara adil. Sehingga pada akhirnya terjadi sebuah proses perubahan pola hubungan antara pihak-pihak yang berkepentingan, dari pola hubungan subyek - obyek menjadi hubungan subyek - subyek. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Pranarka dan Moelyarto (1990) yang menyimpulkan bahwa pemberdayaan pada dasarnya adalah upaya menjadikan suasana kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi semakin efektif secara struktural, baik dalam kehidupan keluarga, masyarakat, negara, regional, internasional dalam bidang politik, ekonomi dan lain-lain.
30
Berdasarkan uraian di atas, pendekatan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dan saling terkait satu sama lain. Hal ini dikarenakan kedua pendekatan tersebut bertumpu pada tiga elemen utama yang sama, yaitu partisipasi, kerjasama yang adil dan kemandirian. Sebuah masyarakat bisa jadi mengalami perkembangan meskipun tanpa proses pemberdayaan, hanya saja masyarakat tersebut akan selalu tergantung.
Tanpa adanya proses pemberdayaan, partisipasi dan
kerjasama yang berlangsung cenderung bersifat semu (penuh rekayasa), dan kental dengan pola hubungan yang sifatnya dominasi. Ada pelbagai strategi yang dilakukan dalam kegiatan pengembangan masyarakat. Sedikitnya ada lima komponen kegiatan yang dilakukan dalam rangka pengembangan masyarakat.
Sebenarnya, kelima komponen ini tak dapat dipisahkan, karena saling
mempengaruhi. Namun, pada umumnya kegiatan pengembangan masyarakat memilih satu di antara kelima komponen ini (Lubis, 2007) : 1.
Advokasi (Advocacy), yaitu upaya untuk mengubah atau mempengaruhi perilaku penentu kebijaksanaan agar berpihak pada kepentingan publik melalui penyampaian pesan-pesan yang didasarkan pada argumentasi yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, legal, dan moral. Melalui kegiatan advokasi dilakukan identifikasi dan pelibatkan semua sektor di berbagai level untuk mendukung program.
2.
Pengorganisasian Komunitas (Community Organizing), agar masyarakat mempunyai arena untuk mendiskusikan dan mengambil keputusan atas masalah di sekitarnya. Bila terorganisir, masyarakat juga akan mampu menemukan sumberdaya yang dapat mereka manfaatkan.
Biasanya, dalam pengembangan masyarakat,
dibentuk kelompok-kelompok sebagai wadah refleksi dan aksi bersama anggota komunitas. Pengorganisasian ini bisa dibentuk berjenjang: di tingkat komunitas, antar komunitas di tingkat desa, antar desa di tingkat kecamatan dan seterusnya sampai ke tingkat nasional bahkan regional. 3.
Pengembangan Jaringan (Networking atau Alliance Building), artinya menjalin kerjasama dengan pihak lain (individu, kelompok, dan atau organisasi) agar bersamasama saling mendukung untuk mencapai tujuan. Jaringan dan saling percaya (trust) merupakan salah satu unsur penting dari kapital sosial, sehingga menjadi komponen
31
penting dalam pengembangan masyarakat. Pada komuntas yang mempunyai jaringan yang baik, sumber daya yang ada pada seluruh kompenen komunitas dan komponen lain yang terbangun dalam jaringan akan dapat dimanfaatkan bersama-sama. Advokasi
Komunikasi, Informasi dan Edukasi
Pengembangan Kapasitas
Pengorganisasian Komunitas
Pengembangan Jaringan
Gambar 1. Lima komponen kegiatan dalam rangka pengembangan masyarakat (Lubis, 2007).
4.
Pengembangan Kapasitas (Capacity Building), yaitu meningkatkan kemampuan masyarakat di segala bidang (termasuk untuk advokasi, mengorganisir diri sendiri, dan mengembangkan jaringan).
Sumpeno (tt) mengartikan pengembangan kapasitas
sebagai peningkatan atau perubahan perilaku individu, organisasi, dan sistem masyarakat dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien. Peningkatan kemampuan individu mencakup perubahan dalam hal pengetahuan, sikap, dan keterampilan; peningkatan kemampuan kelembagaan meliputi perbaikan organisasi dan manajemen, keuangan, dan budaya organisasi; peningkatan kemampuan masyarakat mencakup kemandirian, keswadayaan, dan kemampuan mengantisipasi perubahan. 5.
Komunikasi, Informasi, dan Edukasi, menyangkut proses pengelolaan informasi, pendidikan masyarakat, dan
penyebaran informasi untuk mendukung keempat
komponen di atas. Pengelolaan informasi juga menyangkut mencari dan mendokumentasikan informasi agar informasi selalu tersedia bagi masyarakat yang memerlukannya. Kegiatan edukasi perlu dilakukan agar kemampuan masyarakat
32
dalam segala hal meningkat, sehingga masyarakat mampu mengatasi masalahnya sendiri setiap saat. Untuk mendukung proses komunikasi, berbagai media komunikasi (modern – tradisional; massa – individu – kelompok) perlu dimanfaatkan dengan kreatif. 2.4.
Konsep, Dimensi dan Dinamika Ketahanan Pangan
2.4.1. Konsep dan Dimensi Ketahanan Pangan Ketahanan pangan sebagai terjemahan dari food security telah dikenal luas di dalam forum pangan sedunia seperti FAO. Sebagai titik tolak alat evaluasi yang penting dalam kebijakan pangan, konsep ketahanan pangan mengalami banyak perubahan sesuai kondisi sosial, ekonomi dan politik. Pada tahun 1970-an, aspek ketersediaan pangan menjadi perhatian utama dalam ketahanan pangan, namun mulai tahun 1980-an, beralih ke akses pangan pada tingkat rumah tangga dan individu. Kemudian memasuki tahun 1990-an, konsep ketahanan pangan mulai memasukan aspek kelestarian lingkungan (Handewi dan Ariani, 2002). Undang-Undang No.7 Tahun 1996 tentang pangan memberikan definisi tentang ketahanan pangan sebagai : kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Ketahanan pangan dapat dicapai apabila telah terbangunnya suatu tata kelembagaan nasional pangan yang kokoh, yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan struktur dan proses pengaturan, pembinaan, dan atau pengawasan terhadap kegiatan atau proses produksi, distribusi dan konsumsi. Dharmawan dan Kinseng (2006) menyatakan bahwa dalam wacana akademik terdapat tiga konsep ketahanan pangan yang dapat saling dipertukarkan yaitu ; (1) ketahanan pangan, (2) kemandirian pangan, dan (3) kedaulatan pangan.
Konsep
ketahanan pangan berkaitan dengan beberapa konsep turunannya, yaitu kemandirian pangan yang diartikan sebagai kapasitas suatu kawasan untuk memenuhi kebutuhan pangannya secara swasembada. Sedangkan konsep kedaulatan pangan menunjuk pada kemandirian pangan juga melibatkan beberapa variabel tambahan di bidang sosioproduksi dan sosio-politis dari sebuah sistem pangan di suatu wilayah. Dengan demikian, konsep ketahanan pangan itu sendiri menunjukan situasi yang berbeda. Dimana konsep
33
ketahanan pangan seolah-olah menempatkan kemandirian dan kedaulatan pangan sebagai prioritas kedua. Selanjutnya menurut Handewi dan Ariani, (2002), dimensi ketahanan pangan sangat luas, mencakup dimensi waktu, dimensi sasaran, dimensi sosial ekonomi masyarakat, sehingga diperlukan banyak indikator untuk mengukurnya. Pada tingkat global, nasional, regional indikator ketahanan pangan yang dapat digunakan adalah tingkat ketersediaan
pangan
dengan
memperhatikan
variabel
tingkat
kerusakan
tanaman/ternak/perikanan, rasio ketersediaan (stock) dengan konsumsi, skor PPH, keadaan keamanan pangan, kelembagaan pangan, dana pemerintah dan harga pangan. Sementara itu, untuk tingkat rumah tangga dan individu, indikator yang dapat digunakan adalah pendapatan dan alokasi tenaga kerja, proporsi pengeluaran pangan terhadap tingkat pengeluaran total, perubahan kehidupan sosial, keadaan konsumsi pangan (jumlah, kualitas, kebiasaan makan), keadaan kesehatan dan status gizi.
Berdasarkan luasnya
dimensi ketahanan pangan tersebut di atas, maka pilihan kebijakan dan program juga sangat kompleks, tergantung seberapa besar ancaman ketahanan pangan, misalnya kronis atau sementara. Berdasarkan pada keseluruhan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep dan dimensi ketahanan pangan bersifat luas dan kompleks, sehingga pilihan atas kebijakan dan program yang akan diambil guna memecahkan permasalahan pangan di suatu wilayah, tergantung pada kondisi dan karakteristik sosial, ekonomi, budaya, politik dan ekologi yang ada di wilayah tersebut. Hal ini juga mengandung arti bahwa terdapat keragaman potensi dan masalah pangan, antara satu wilayah dengan wilayah lainnya.
Sehingga
kebijakan dan program ketahanan pangan yang akan disusun, tidak dapat diseragamkan untuk seluruh wilayah, melainkan harus berlandaskan pada keragaman dan sekaligus keunikan potensi dan masalah pangan yang ada di masing-masing wilayah. Pertimbangan ini menjadi lebih relevan
mengingat bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang
memiliki tingkat keragaman yang tinggi dari berbagai aspek kehidupan (sosial, ekonomi, budaya, politik dan ekologi). Terkait dengan kondisi ketahanan pangan bangsa Indonesia saat ini yang semakin melemah, dimana salah satunya penyebabnya adalah berkaitan dengan terlalu mudahnya
34
pemerintah membuka “keran” bagi masuknya investasi asing di bidang pangan, maka pada tingkat nasional pemerintah tidak memiliki pilihan lain, selain wajib hukumnya untuk mengambil dan menerapkan konsep “kedaulatan pangan”.
Dimana konsep
kedaulatan pangan sangat memperhatikan aspek sosio-produksi dan sosio-politis dari sebuah sistem pangan di suatu wilayah.
Pilihan ini sangat penting dan mendasar karena
pemerintah telah berjanji untuk memegang dan menjalankan amanah konstitusi UUD 1945, terutama terkait dengan Pasal 33 ayat 1,2,3 dan pasal 4 (perubahan). Dimana aspek sosio-produksi tercermin pada Pasal 2 yang secara eksplisit menyatakan bahwa “cabangcabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” Sedangkan aspek sosio-politis tercermin dalam ayat 4 (perubahan) yang secara tegas menyatakan bahwa “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan Indonesia.” 2.4.2. Dinamika Ketahanan Pangan Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk memahami dan memetakan masalah pangan dan kemiskinan secara menyeluruh dan terpadu, menurut Witoro (2003) adalah dengan memadukan antara kerangka kerja sustainable livelihood yang dikembangkan oleh DfID Amartya Sen.10
9
dengan konsep entitlement yang diperkenalkan oleh
Kerangka kerja ini menggambarkan manusia sebagai individu dan
kelompok, merupakan penggerak berbagai aset dan kebijakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mengatasi berbagai masalah dan ancaman, demi tercapainya suatu penghidupan yang berkelanjutan.
Chamber dan Conway (1991), mendefinisikan
penghidupan yang berkelanjutan sebagai : “ suatu penghidupan yang meliputi kemampuan dan kecakapan, aset-aset (simpanan, sumberdaya, claims dan akses) dan kegiatan yang dibutuhkan sebagai sarana untuk hidup, dan suatu penghidupan dikatakan berkelanjutan jika dapat mengatasi dan memperbaiki diri dari tekanan dan bencana, menjaga dan meningkatkan kecakapan dan aset-aset, dan menyediakan penghidupan berkelanjutan bagi generasi berikutnya, dan yang memberi sumbangan
9
Department of International Developmen (DfID), Sustainable Livelihood Manual, 1999. Sen, Amartya, 1981. Poverty and Famines, An Essay on Entitlement and Deprivation.
10
35
terhadap penghidupan-penghidupan lain, pada tingkat lokal dan global dalam jangka pendek maupun jangka panjang.” Terdapat lima sumber kehidupan yang dimiliki oleh setiap individu atau unit sosial yang lebih tinggi di dalam upaya mengembangkan kehidupannya, yaitu : (1) humane capital, yakni modal yang dimiliki manusia yang meliputi pengetahuan, keterampilan, tenaga untuk bekerja dan kesehatan, (2) social capital, adalah kekayaan sosial yang dimiliki masyarakat seperti jaringan, keanggotaan dari kelompok-kelompok, hubungan berdasarkan kepercayaan, pertukaran hak yang mendorong untuk berkooperasi dan juga mengurangi biaya-biaya transaksi, serta menjadi dasar dari sistem jaringan pengaman sosial informal, (3) natural capital adalah persediaan sumberdaya alam seperti tanah, air, udara, hutan, perlindungan terhadap erosi, keanekaragaman hayati dan lain sebagainya, (4) phisical capital adalah infrastruktur dasar jalan, saluran irigasi, sarana komunikasi, sanitasi dan persediaan air yang memadai, akses terhadap komunikasi, dan sebagainya, (5) financial capital adalah sumber-sumber keuangan yang digunakan oleh masyarakat untuk mencapai tujuan-tujuan kehidupannya seperti uang tunai, persediaan dan peredaran uang reguler. Hubungan antara individu atau unit sosial yang lebih tinggi terhadap pangan dalam studi ini didasarkan pada konsep entitlement atau hak terhadap pangan. Dalam konsep entitlement, kegiatan memproduksi dan memperoleh pangan bagi manusia merupakan sebuah hak asasi. Konsep entitlement ini juga menjelaskan beberapa cara manusia dalam mengakses pangan, yaitu : (1) direct entitlement, yakni hak dan akses atas pangan yang diperoleh melalui hubungan-hubungan dalam kegiatan proses produksi pangan; (2) exchange entitlement, yakni hak dan akses atas pangan yang diperoleh melalui hubungan tukar menukar jasa atau keahlian; (3) trade entitlement, yakni hak dan akses atas pangan yang diperoleh melalui hubungan jual beli komoditas yang diproduksi sendiri, dan (4) social entitlement, yakni hak dan akses atas pangan yang diperoleh melalui pertukaran sosial diantara anggota komunitas. Kondisi ketahanan pangan individu, rumah tangga atau komunitas yang lebih luas bukanlah sesuatu yang statis, melainkan senantiasa mengalami perubahan secara dinamis. Dinamika tersebut dipengaruhi antara lain oleh tingkat kerentanan (vulnerability) dan kemampuan individu atau unit sosial yang lebih besar dalam merespon sebuah perubahan.
36
Penyebab kerentanan yang berat dinamakan sebagai shock , yaitu perubahan secara mendadak dan tak terduga (seperti bencana alam, konflik, dan lainnya). Sedangkan perubahan yang masih dapat diamati disebut juga dengan trend (seperti pertumbuhan penduduk, perkembangan teknologi, pertumbuhan ekonomi, dan perkembangan politik). Disamping itu terdapat juga perubahan yang bersifat seasonality (musiman) yang masih dapat diperkirakan secara lebih akurat - seperti perubahan secara musiman dari harga, produksi dan iklim. Kebijakan Struktur Proses
Livelihood Asset : Humane Social Physical Natural Financial
Ancaman (Shock, Trend, Seasonality)
Entitlement : Direct Exchange Trade Social
Aman Pangan
Hasil lain dari penghidupan : Peningkatan pendapatan Peningkatan kesejahteraan Pengurangan kerentanan Pemanfaatan sumberdaya scr berkelanjutan
Rentan
Coping & Adaptive Mechanism
Gambar 2. Kerangka alur berfikir hasil perpaduan antara konsep Sustainable Livelihood (DfID) dengan Entitlement (Amartya Sen) dalam Witoro, 2003. Dalam menghadapi dan merespon suatu perubahan (shock, trend dan sesonality), setiap individu dan unit sosial yang lebih besar mengembangkan penyesuaian diri yang bersifat jangka pendek (coping mechanism) dan jangka panjang (adaptive mechanism). Mekanisme penyesuaian dalam jangka pendek terutama bertujuan untuk mengakses pangan (entitlement), sedangkan dalam jangka panjang bertujuan untuk memperkuat sumber-sumber kehidupannya (livelihood assets). Ketidakmampuan suatu individu atau masyarakat dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan dalam jangka pendek akan membawa kepada kondisi rawan pangan. Sedangkan penyesuaian yang tidak
37
memperhatikan aspek-aspek kelestarian sumber-sumber penghidupan dalam jangka panjang, maka hal itu tidak akan menjamin terciptanya keberlanjutan ketahanan pangan individu dan masyarakat. Kondisi ketahanan pangan individu, keluarga dan masyarakat tidak bisa berdiri, melainkan senantiasa terkait dan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang datang dari luar. Sistem pangan dalam hal ini sangat dipengaruhi oleh struktur (kelembagaan dan tingkatannya) dan proses implementasi kebijakan pangan, baik itu yang lahir dari di dalam (kelembagaan dan kebijakan lokal) maupun dari luar sistem (kelembagaan dan kebijakan intervensi).
Pendek kata, dengan menggabungkan kedua pendekatan ini
(sustainable livelihood dan entitlment), maka pemahaman akan permasalahan ketahanan pangan sangat memperhatikan keterkaitan permasalahan pada aras mikro, meso dan makro. Terkait dengan penelitian ini, maka kedua pendekatan di atas akan digunakan untuk memahami dan memetakan permasalahan ketahanan pangan di kedua desa studi, terutama difokuskan kepada aspek dinamika pemberdayaan kelembagaan komunitas dalam mewujudkan ketahanan pangan masyarakat desa. Ditinjau dari aspek sejarah, kondisi ketahanan pangan komunitas Nusantara ini dalam perjalanannya kemudian semakin melemah seiring dengan masuknya beragam kebijakan pertanian dari luar komunitas,
baik itu oleh pihak kolonial (Belanda dan
Jepang), juga oleh pemerintahan Indonesia itu sendiri (terutama pada masa rezim Orde Baru). Kebijakan-kebijakan pemerintah yang terkait dengan masalah pangan rakyat pada masa lalu, lebih banyak diwarnai dengan kebijakan yang sifatnya terpusat (tersentralisasi), searah (top-down) dan seragam. Bahkan eksistensi pihak swasta di dalam komunitas pada faktanya lebih banyak melemahkan kondisi ketahanan pangan warga komunitas tersebut. Hal ini terjadi karena pihak swasta pada umumnya dengan bekal previllage dan “jaminan perlindungan” keamanan dari pemerintah, pada tataran praktis lebih mengutamakan kepentingan ekonomis (produktivitas dan efisiensi) dan sangat kurang perhatiannya terhadap upaya pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat disekitarnya. Angin perubahan kemudian berhembus kencang, tuntutan reformasi di segala bidang bergema di setiap penjuru Nusantara, dimana pada akhirnya meruntuhkan pokokpokok kekuasaan Rezim Orde Baru. Kemudian lahirlah Undang-Undang (UU) No.22
38
Tahun 1999 dan koreksinya melalui UU. No.32 Tahun 2004, dimana UU tersebut telah memberi konsekwensi yang sangat luas dan mendalam pada sistem tata pemerintahan di Indonesia. Posisi dan peran pemerintahan daerah pun kembali bangkit dan semakin kuat, hal ini terjadi karena melalui UU tersebut, pemerintah pusat telah memberi peluang dan wewenang yang lebih besar kepada pemerintahan di bawahnya (terutama pemerintah Kabupaten dan Desa) untuk menjadi pemeran utama dalam proses pembangunan. Keberadaan UU No.32 Tahun 2004 meskipun telah memberi peluang dan wewenang yang lebih besar kepada pemerintah daerah untuk menjadi pemeran utama dalam proses pembangunan masyarakat pedesaan, namun pada faktanya masih dihadapkan pada beragam permasalahan.
Kolopaking (2006) melalui hasil kajiannya
tentang “Proses-Proses Pengembangan Kebijakan Tata-Kelola Pemerintahan Berbasis Lokal” di wilayah NAD, Sumbar, Jabar Bali dan Papua sampai pada kesimpulan bahwa kebijakan tentang hal tersebut pada umumnya berhenti sampai tahap perumusan. Seringkali dalam implementasinya, rumusan kebijakan tersebut tidak ada yang mengawal dari pelaksanaan, dan apalagi sampai melakukan penilaiaan atas pelaksanaan kebijakan. 2.5.
Kerangka Pemikiran Kelembagaan yang ada di dalam suatu masyarakat pada hakikatnya
memiliki
tujuan untuk mengatur agar suatu sistem sosial dapat sedemikian rupa bekerja sesuai dengan apa yang diharapkan oleh anggota masyarakat tersebut.
Ditinjau dari aspek
fungsinya, kelembagaan pada umumnya berfungsi untuk mengatur, mengelola dan mendistribusikan sumberdaya-sumberdaya yang ada, baik itu modal manusia (human capital), kapital sosial (social capital), modal fisik (phisical capital), sumberdaya uang (financial capital) dan modal alam (natural capital). Demikian pula halnya dengan lembaga pangan yang ada pada komunitas pedesaan pada dasarnya dibangun dengan tujuan untuk mengatur sistem pangan (sub-sistem produksi, distribusi dan konsumsi) agar sedemikian rupa bekerja sesuai dengan nilai-nilai serta konsensus yang telah disepakati bersama. Fokus penelitian ini adalah mengkaji dinamika pemberdayaan kelembagaan komunitas pedesaan dalam mewujudkan ketahanan pangan yang berkelanjutan (sustainable food scurity) dengan berbasis pada keragaman sosiologis dan ekologis. Penulis dalam penelitian ini menggunakan tiga pendekatan utama yaitu : (1) pendekatan ”sustainable
39
rural livelihood” dari Chambers dan Conway (1991), (2) pendekatan dan konsep ”entitlement” dari Amartya Sen (1981), serta (3) kerangka pendekatan dari Nasdian (2006) tentang pemberdayaan partisipatif komunitas pedesaan berbasis pengembangan dan penguatan kapasitas, jejaring kerjasama (networking), dan sinergy
antar stakeholders
(masyarakat, pemerintah dan swasta). Melalui pendekatan pemberdayaan partisipatif ini, semua usaha swadaya masyarakat diintegrasikan dengan usaha-usaha pemerintah setempat dan stakeholders lainnya untuk meningkatkan taraf hidup, dengan sebesar mungkin ketergantungan pada inisiatif penduduk sendiri, serta pelayanan teknis sehingga proses pembangunan berjalan efektif . Pemilihan kerangka teori tersebut di atas didasarkan pada pemikiran bahwa pemberdayaan kelembagaan pangan dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan komunitas petani pedesaan bukanlah merupakan proses yang sederhana dan statis, melainkan bersifat kompleks dan dinamis, sebagai hasil dari dinamila pola interaksi antara sistem sosial dengan sistem ekologi. Secara sederhana, kerangka kerja ini menggambarkan manusia sebagai individu dan kelompok, merupakan penggerak berbagai sumber-sumber kehidupan (human capital, social capital, natural capital, physical capital dan financial capital) dan kebijakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mengatasi berbagai masalah dan ancaman, demi tercapainya suatu penghidupan yang berkelanjutan. Hubungan antara individu atau unit sosial yang lebih tinggi terhadap pangan dalam studi ini didasarkan pada konsep entitlement atau hak terhadap pangan.
Dalam konsep entitlement, kegiatan
memproduksi dan memperoleh pangan bagi manusia merupakan sebuah hak asasi. Konsep entitlement ini juga menjelaskan beberapa cara manusia dalam mengakses pangan, yaitu : (1) direct entitlement; (2) exchange entitlement (3) trade entitlement, (4) social entitlement. Pertimbangan lain dari pemilihan kerangka teori di atas adalah adanya fakta-fakta bahwa proses implementasi program-program pemberdayaan kelembagaan komunitas petani di pedesaan kerapkali dihadapkan pada beberapa kendala diantaranya : (1) kurangnya pelibatan (partisipasi) masyarakat pedesaan (terutama lapisan bawah) dalam setiap tahapan kegiatan (perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi), (2) lemahnya kapasitas kelembagaan komunitas di pedesaan, (3) lemahnya jejaring kerjasama (networking), dan (4)
40
masih kurangnya upaya-upaya untuk mengoptimalkan sinergy atau positive sum antar para pemangku kepentingan (stakeholders). Sifat dari kelembagaan yang ada di dalam komunitas tidaklah bersifat statis, melainkan bersifat dinamis dan senantiasa mengalami perubahan sejalan dengan terjadinya perubahan sosial, ekonomi, budaya, politik dan ekologis (sosekbudpoleko) dalam komunitas tersebut. Pada umumnya, jika sebuah lembaga dibangun di atas nilai-nilai yang bersifat praktis-pragmatis, maka lembaga tersebut akan relatif lebih toleran dan lebih mudah untuk berubah. Namun jika sebuah lembaga dibangun tidak hanya sekedar untuk tujuan praktis-pragmatis, melainkan juga dilandasai dengan nilai-nilai ideologis, maka lembaga tersebut relatif akan memiliki daya resistensi yang tinggi terhadap suatu perubahan. Lembaga-lembaga yang ”bekerja” di dalam komunitas pedesaan, cenderung akan lebih mudah untuk melakukan adaptasi terhadap kekuatan pengubah yang berasal dari dari dalam (internal), jika dibanding terhadap kekuatan pengubah yang berasal dari luar (eksternal).
Hal ini disebabkan lembaga-lembaga tersebut sudah terbiasa dihadapkan
dengan perubahan-perubahan yang datang dari dalam lingkungannya. Sehingga lembagalembaga tersebut kemudian dapat mengenali dan mengetahui pola-pola perubahan yang mungkin dan biasa terjadi. Pengetahuan tentang pola-pola perubahan internal tersebut selanjutnya dijadikan dasar informasi untuk meramal dan sekaligus mengantisipasi perubahan-perubahan yang mungkin terjadi. Lain halnya jika kekuatan-kekuatan pengubah tersebut datang dari luar (seperti melalui rekayasa sosial atau ”pembangunan” oleh pemerintah), maka lembaga-lembaga tersebut bisa saja gagal dalam beradaptasi terhadap perubahan tersebut. Kegagalan ini terjadi karena dua hal : pertama, lembaga-lembaga tersebut belum siap untuk mengantisipasi, menyesuaikan diri, atau mengikuti arah perubahan yang datang dari luar, yang pada umumya bersifat cepat, tak terduga dan memaksa. Kedua, kekuatan pengubah yang berasal dari luar kerapkali kurang memperhatikan, mempertimbangkan dan mengakomodasi adanya keragaman karakteristik sosiologis dan ekologis dari suatu kelembagaan masyarakat yang akan dirubah atau digantikan peran dan fungsinya. Sehingga upaya-upaya yang bertujuan untuk merubah atau mengganti bentuk, fungsi dan peran suatu kelembagaan lama (tradisonal) dengan suatu kelembagaan baru
41
(modern) tidak jarang dihadapkan pada kegagalan yang bersifat fatal. Sebagian anggota masyarakat (terutama lapisan bawah) yang pada mulanya terintegrasi ke dalam lembaga tradisional, pada akhirnya tidak terakomodir (aspirasi dan kepentingannya) di dalam kelembagaan yang baru terbentuk. Anggota masyarakat tersebut pada akhirnya berada pada posisi mengambang (floating) dan bahkan tersingkir (teralineasi). Disatu sisi mereka tidak bisa sepenuhnya kembali kepada kelembagaan lama (tradisional), dan di sisi lain mereka tidak juga dapat terintegrasi ke dalam lembaga baru (organisasi modern). Kondisi masyarakat seperti ini bisa juga penulis katakan sebagai masyarakat yang mengalami “gegar lembaga”. Fenomena tersebut di atas, jika mengacu kepada pemikiran Tjondronegoro (1977 ; 1999) disebabkan karena kelembagaan intervensi bentukan pemerintah cenderung menumbuhkan kepemimpinan yang berorientasi kepada kepentingan ”supra-desa”, dibandingkan pada kepentingan kesatuan kecil masyarakat, seperti halnya petani-petani kecil. Disamping itu, masuknya ekonomi uang dan “organisasi” yang berakar perkotaaan ke pedesaan telah menyebabkan terkikisnya lembaga-lembaga tradisional yang berdasarkan gotong royong dan retaknya autarki (kemandirian) ekonomi pedesaan. Peran lembagalembaga tradisional semakin mengecil dan kekuatan norma berkurang. Masyarakat desa yang
semula bersifat egalitarian kemudian tampak menjadi berlapis; kepentingan-
kepentingan antar lapisan masyarakat menjadi bertentangan dan timbulah proses differesiansi dan perenggangan (melebarnya jarak sosial) dan bahkan pengasingan (alineasi). Pada akhirnya lembaga-lembaga tradisional semakin bercirikan lapisan bawah dan lemah, sementara organisasi mencerminkan lapisan tengah dengan orientasi ”ke atas” dan ”kota”. Kondisi terkikis dan teralineasinya komunitas petani dari lembaga-lembaga yang ada sangat kontradiktif dan ironis jika dikaitkan dengan adanya fakta bahwa negara kita turut meratifikasi kesepakatan-kesepakatan internasional, baik itu di bidang pertanian (AFTA, WTO) dan juga di bidang lingkungan (protokol Kyoto, CDM, dsb.).
Hal ini
menggambarkan bahwa disatu sisi telah terjadi proses lokalisasi dan alienasi komunitas petani di pedesaan, namun disisi lain komunitas tersebut diharapkan dapat terintegrasi kepada percaturan komunitas dunia (global).
Padahal berbagai hasil penelitian
menunjukan bahwa kapasitas kelembagaan komunitas petani di pedesaan Indonesia masih
42
tergolong lemah, sehingga belum cukup kuat untuk dapat terintegrasi ke dalam struktur dan jaringan kelembagaan global.
Terkait dengan fenomena tersebut, maka sudah
selayaknya dan sudah saatnya lembaga-lembaga komunitas petani yang ada di pedesaan ditingkatkan kapasitasnya serta diperluas jaringan kerjasamanya agar mampu ber-sinergy dengan kelembagaan di tingkat nasional dan bahkan global, guna mendukung tercapainya kedaulatan petani di tingkat lokal, daerah, nasional dan internasional, terutama yang terkait dengan pemenuhan hak asasi setiap petani untuk memproduksi, mendistribusikan dan mengkonsumsi pangan secara mencukupi dan berkelanjutan. Pembangunan kelembagaan pangan itu sendiri tidak dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan terpusat, searah (top-down) dan seragam untuk seluruh wilayah, melainkan harus terdesentralisasi, partisipatif, spesifik-unik dan beragam sesuai dengan keragaman sosilogis dan ekologis komunitas setempat. pembangunan
di
bidang
pangan
seyogyanya
Selain itu, kebijakan-kebijakan dapat
mempertemukan
dan
mengharmoniskan antara kepentingan negara/pemerintah dengan kepentingan komunitas petani di pedesaan.
Agar kedua kepentingan tersebut dapat bertemu dan harmonis,
maka diperlukan sebuah bentuk “pemberdayaan masyarakat” yang menyediakan ruang yang luas bagi proses “dialog” yang mengedepankan aspek kesetaraan posisi dan kerjasama yang adil. Dalam pengertian, baik mulai dari tahap perencanaan, implementasi dan hingga tahap evaluasi, seluruh pihak yang berkepentingan (stakeholders), terutama petani gurem dan rawan pangan dilibatkan secara aktif dan intensif di dalamnya. Dan proses dialog hanya akan berjalan efektif, jika setiap pemangku kepentingan (stakeholders) berada dalam posisi yang setara. Proses “dialog” tersebut, jika mengacu pada pemikiran Carney dan Gedajlevic (2002) dan Scoot (2008) identik dengan proses evolusi bersama (co-evolution) antara kelembagaan dan organisasi yang ditopang oleh tiga pilar kelembagaan yang meliputi : pilar regulative, normative dan cultural-cognitive. Dimana lembaga dan aktor secara bersamasama berasosiasi dengan stakeholders dan sumberdaya-sumberdaya yang ada untuk menyediakan atau menyumbang pada terciptanya sistem sosial yang stabil dan penuh
43
arti.11 Sedangkan pada tataran praktis, sebagaimana di kemukakan oleh Nasdian (2008), proses evolusi bersama ini dilakukan oleh kelembagaan-kelembagaan dari berbagai level (pusat, daerah dan komunitas) pada tataran sistem nilai dan norma, serta proses membentuk pola perilaku para aktor pada kondisi tatanan kehidupan sosial yang lebih baik. Sudah barang tentu, setiap upaya pemberdayaan masyarakat membutuhkan sebuah unit sosial (kelompok, lembaga, atau organisasi) sebagai pintu masuknya, karena melaluinya setiap stakeholders dapat berdialog, belajar dan bekerja bersama untuk mengkaji permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi dan mencari alternatif-alternatif jalan keluarnya. Sebenarnya, sejak lama komunitas petani di pedesaan memiliki lembagalembaga asli yang juga berfungsi sebagai pembangkit “energi sosial” untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan hidup mereka secara mandiri.
Namun kelembagaan-
kelembagaan asli itu menjadi melemah, memudar dan bahkan hancur karena digerus oleh pendekatan pembangunan masa lalu yang berciri terpusat, berorientasi ke atas dan mendominasi. Ketika lembaga-lembaga asli tersebut melemah, maka akan berdampak pada lemahnya kemampuan dan kemandirian komunitas petani di pedesaan dalam mengatasi masalah-masalah hidup yang dihadapinya. Jika kapasitas kelembagaan asli di pedesaan melemah, maka hal ini juga akan melemahkan kapasitas lembaga negara secara keseluruhan. Hal ini terjadi selain karena komunitas petani di pedesaan tidak mampu secara optimal berpartisipasi dalam implementasi program-program pembangunan, juga karena tingginya tingkat ketergantungan komunitas petani di pedesaan terhadap negara/pemerintah. Kondisi ini misalnya tercermin dari rendahnya kemampuan komunitas petani di pedesaan dalam mengatasi masalah kerawanan pangan, terutama pada saat terjadinya kasus kegagalan panen yang disebabkan oleh kekeringan dan juga bencana alam. Fakta-fakta tersebut di atas, sebenarnya juga menunjukan adanya fenomena tarik menarik kepentingan antara lembaga tradisional dengan lembaga intervensi dalam ruang
11
Scoot (2008). Institutions and Organizations : “Ideas and Interest. “ Institutions are comprised of regulative, normative, normative and cultural-cognitive elements that, together with associated activities and resources, provide stability and meaning to social life.”
44
kehidupan masyarakat pedesaan. Hal ini juga pada dasarnya menunjukan adanya tarik menarik kepentingan antara kepentingan masyarakat pedesaan pada umumnya (khususnya kaum petani) dengan kepentingan pemerintah. Oleh karena itu menjadi penting dan perlu adanya upaya dan tindakan kongkrit untuk melebur/menyatukan kedua kepentingan lembaga tersebut dalam sebuah “ruang dialog” yang berlandaskan pada pendekatan kesetaraan posisi, kerjasama dan sinergy. Hal ini penting agar nilai-nilai yang menjadi esensi dari budaya dan kelembagaan lama (tradisional) yang bersifat positif dan membangun, dapat terintegrasi atau bahkan melebur menjadi satu ke dalam nilai-nilai kelembagaan baru (modern). Mengacu pada keseluruhan uraian di atas, maka tujuan akhir dari penelitian ini adalah untuk merumuskan strategi pemberdayaan kelembagaan pangan komunitas petani di pedesaan yang berkelanjutan secara sosiologis dan ekologis, serta berbasis pada keragaman/kebinekaan karakteristik sosiologis (sosial, ekonomi, budaya, politik) dan ekologis yang ada di kedua desa yang menjadi lokasi penelitian. Adanya perbedaan serta keragaman karakteristik sosiologi dan ekologi di kedua desa yang menjadi lokasi penelitian, diperkirakan akan menumbuhkan bentuk-bentuk kelembagaan pangan yang relatif berbeda. Demikian pula dinamika kelembagaan dan proses-proses sosial antar aktor pada kedua komunitas pedesaan tersebut dalam implementasi program-program pemberdayaan ketahanan pangan yang datang dari atas desa, diperkirakan akan menunjukan respon, proses dan hasil yang relatif berbeda pula.
45
Gambar 3. Kerangka Pemikiran Pemberdayaan Kelembagaan Ketahanan Pangan Komunitas Petani Pesisir dan Pegunungan Dinamika Pemberdayaan Kelembagaan Komunitas Petani Pegunungan Perguruan Tinggi
Kebijakan & Implementasi Program Desa Mandiri Mapan
Evaluasi Program Pemberdayaan Masyarakat
Shock
Dinamika Pemberdayaan Kelembagaan Komunitas Petani Pesisir Perguruan Tinggi
Peta Sosial Sumber-Sumber Kehidupan Shock
Keterangan:
Pemerintah
SumberSumber Kehidupan
Masyarakat
Pemerintah
SumberSumber Kehidupan
Masyarakat
Trend
Swasta
Ketahanan Pangan : 1. Sos-Bud 2. Ekonomi 3. Kesehatan 4. Politik 5. Ekologi
Strategi Pemberdayaan Kelembagaan Ketahanan Pangan Komunitas Pegunungan
Seasonality
Trend
Swasta
Ketahanan Pangan : 1. Sos-Bud 2. Ekonomi 3. Kesehatan 4. Politik 5. Ekologi
Strategi Pemberdayaan Kelembagaan Ketahanan Pangan Komunitas Pesisir
Seasonality
Pola Relasi Sosial
Evaluasi Kebijakan
Pola Entitlement/Akses
Penyebab kerentanan (shock, trend, seasonality) 46