BAB II PENDEKATAN TEORITIS
2.1
Tinjauan Pustaka
2.1.1 Areal Konservasi dan Taman Nasional Secara umum hutan konservasi sebagai pengemban misi pelestarian plasma nutfah, prioritas pengelolaannya diarahkan kepada upaya menjaga kelestarian ekologis, sementara pembangunan ekonomi dan sosial diarahkan kepada bentuk-bentuk kegiatan yang tidak mengganggu fungsi ekologis yang dibebankan kepada kawasan konservasi tersebut (Ngadiono, 2004). Menurut
Ngadiono
(2004),
taman
nasional
merupakan
kawasan
pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Fungsi taman nasional adalah sebagai kawasan perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta kawasan pemanfaatan secara lestari potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Tujuan pengelolaan taman nasional terjaminnya keutuhan kawasan taman nasional, potensi, keragaman tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya untuk kepentingan penelitian, pendidikan, dan ilmu pengetahuan, serta untuk menunjang budidaya, budaya, dan wisata alam bagi kesejahteraan masyarakat. Pembinaan daerah penyangga yang dititikberatkan pada pengembangan usaha ekonomi masyarakat di sekitarnya dapat dilaksanakan
dengan memanfaatkan potensi yang ada dalm kawasan taman nasional sepanjang tidak mengganggu fungsinya. Taman nasional dengan segala cirinya dan berbagai bentuk ekosistem di dalamnya merupakan suatu kawasan yang sangat penting dijaga kelestariannya. Dalam suatu ekosistem dijumpai hubungan timbal balik antara manusia, tumbuhan, binatang, makhluk isi alam lainnya, suhu, keadaan cuaca, udara, dan lain-lain yang dalam hal ini dapat dikatakan sebagai komponen biotik dan abiotik. Pembentukan taman nasional merupakan salah satu upaya melindungi tipe-tipe ekosistem yang khas, sehingga dalam langkah gerak pembangunan yang gencar ini tetap dapat dipelihara keselarasan antara manusia dengan ekosistem dalam rangkaian kurun waktu dan gerak yang dinamis. Kondisi demikian diharapkan agar ekosistem tetap berada dalam keseimbangan (Arifin, 1990). Menurut Suratmo sebagaimana dikutip Arifin (1990), banyak definisi dipakai untuk menggambarkan taman nasional. Definisi tersebut biasanya akan berbeda untuk negara yang berbeda. Perbedaan tersebut disebabkan adanya beberapa faktor yang mempengaruhi, antara lain keadaan areal yang ada, luas arealnya, kebutuhan perkembangan suatu populasi, latar belakang politik, masyarakatnya, adat kebiasaan, dan lain sebagainya. Masih menurut Arifin (1990), pengertian taman nasional tidak hanya mencakup kawasan alamiah yang berupa hutan saja, tetapi juga kawasan terrestrial dan bahkan perairan pada umumnya, yang secara kesatuan memiliki keunikan ekologis, biologis, dan geologis. Sesuatu yang penting dikemukakan bahwa dalam pengembangannya, taman nasional terbagi dalam beberapa zonasi
7
yang ditujukan sesuai dengan peruntukannya dengan berbagai pertimbangan agar upaya perlindungan dan konservasi dapat tercapai.
2.1.2
Taman Nasional Gunung Halimun-Salak Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 175/Kpts-II/2003 tanggal 10
Juni 2003 menerangkan tentang penunjukan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) dan perubahan fungsi kawasan hutan lindung, hutan produksi tetap, dan hutan produksi terbatas pada Kelompok Hutan Gunung Halimun dan Kelompok Hutan Gunung Salak yang dikelola oleh Perum Perhutani, maka (TNGH) yang luasnya 40 000 hektar berubah menjadi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) dengan luas kawasan 113.357 hektar. Pengelolaan TNGHS berada di bawah Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (BTNGHS). Wilayah kerja BTNGHS terletak dalam 28 kecamatan, dimana 9 kecamatan di Kabupaten Bogor, 8 kecamatan di Kabupaten Sukabumi dan 11 kecamatan di Kabupaten Lebak. Secara keseluruhan terdapat 108 desa yang sebagian/seluruh wilayahnya berada di dalam dan/atau berbatasan langsung dengan kawasan TNGHS. Komposisi jumlah penduduk dari 108 desa yang ada di TNGHS terdiri dari: 155.345 jiwa di Kabupaten Sukabumi (Tahun 2006), 296.138 jiwa di Kabupaten Bogor (Tahun 2005) dan 154.892 jiwa di Kabupaten Lebak (Tahun 2005). Berdasarkan survey kampung yang dilakukan oleh GHSNP MPJICA pada tahun 2005 dan 2007, tercatat ada 348 kampung yang berada di dalam kawasan TNGHS.
8
Kawasan TNGHS dihuni oleh masyarakat kasepuhan yang secara historis penyebarannya terpusat di Kampung Urug, Citorek, Bayah, Ciptamulya, Cicarucub, Cisungsang, Sirnaresmi, Ciptagelar dan Cisitu. Masyarakat Kasepuhan memiliki lembaga adat yang terpisah dari struktur administrasi pemerintahan formal (Desa). Masyarakat Kasepuhan memiliki kearifan tradisional dalam pemanfaatan dan konservasi hutan, melalui pembagian wilayah berhutan berdasarkan intensitas pemanfaatan dan tingkat perlindungannya, yaitu: leuweung titipan (hutan titipan), leuweung tutupan (hutan tutupan) dan leuweung sampalan (hutan bukaan). Mereka memiliki pengetahuan etnobotani dan
menggunakan
tanaman atau tumbuh-tumbuhan di sekitar mereka berdasarkan pengetahuan tersebut, serta mempertahankan pola pertanian yang mampu melestarikan sumberdaya genetik padi (Oryza sativa) lokal. Pada saat ini sebagian anggota Masyarakat Kasepuhan mulai meninggalkan kearifan tradisional yang mereka miliki akibat dinamika proses sosial yang terjadi (Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak, 2007). Kemampuan ekonomi masyarakat sekitar TNGHS cenderung rendah, walaupun sebagian besar tidak termasuk dalam kategori rumah tangga (RT) miskin. Secara umum jumlah RT miskin masyarakat di dalam dan di sekitar TNGHS dalam wilayah Kabupaten Sukabumi jumlah RT miskin berjumlah 15.699 RT atau 10% dari jumlah RT (data tahun 2006, tidak termasuk Desa Cianaga), di Kabupaten Bogor berjumlah 29.718 RT atau 10% dari jumlah RT (data tahun 2005), sedangkan di Kabupaten Lebak berjumlah 22.696 RT atau 15% dari jumlah RT (data tahun 2005, tidak termasuk Desa Wangun Jaya). Berbagai bentuk pemanfaatan sumberdaya alam di dalam kawasan TNGHS umumnya telah
9
berlangsung sejak sebelum ditetapkannya kawasan tersebut sebagai taman nasional. Beberapa kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam di TNGHS yang penting, antara lain: pemanfaatan lahan untuk pemukiman, budidaya pertanian, penambangan (emas, panas bumi, dan galena), pembangunan infrastruktur (SUTET, jalan kabupaten dan propinsi, desa), dan pemanfaatan hasil hutan di dalam kawasan TNGHS (Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak, 2007).
Gambar 1. Peta Zonasi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak, 2007) Kawasan Taman Nasional Gunung-Halimun Salak tidak seluruhnya menjadi hutan konservasi, berdasarkan Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak tahun 2007-2026, terdapat bagian-bagian atau zonasi yang memiliki fungsinya masing-masing, yaitu: a. Zona Inti dan Zona Rimba (=ZI, warna merah dan ZR, warna kuning muda) Pengidentifikasian zona ini dilakukan dengan pendekatan ilmiah yang dilakukan dengan mengkaji ekosistem dan habitat spesies penting, daerah-
10
daerah yang secara sosial budaya memiliki nilai serta pengaruhnya terhadap pengelolaan ekosistem TNGHS secara keseluruhan. Zona ini meliputi ekosistem hutan alam yang masih tersisa. b. Zona Rehabilitasi (=Zre, warna biru muda) Wilayah yang menjadi zona rehabilitasi merupakan ekosistem penting serta menjadi habitat spesies penting yang telah terdegradasi seperti hutan hujan dataran rendah, areal yang rusak akibat PETI, koridor Gunung Halimun-Salak dan sebagainya. Di masa depan, setelah ekosistem dinilai pulih kembali, zona rehabilitasi ini dapat ditetapkan sebagai zona inti atau zona rimba atau zona pemanfaatan. c. Penetapan Zona Pemanfaatan (=ZP, warna hijau) Zona pemanfaatan berkaitan dengan areal yang akan dikembangkan untuk memenuhi fungsi-fungsi pemanfaatan di dalam taman nasional, antara lain untuk kegiatan wisata alam, pembangunan sarana prasarana pengunjung, dan lokasi penelitian intensif, seperti seputar Stasiun Penelitian Cikaniki, Cangkuang, dan sebagainya. Untuk zona pemanfaatan yang meiliki obyek wisata dan merupakan areal bekas Perhutani akan tetap dikelola oleh Perhutani dengan dilandaskan pada MoU kerjasama pengelolaam wisata antara BTNGHS dan Perhutani dengan mekanisme pembagian keuntungan yang jelas. Khusus zona pemanfaatan yang merupakan jalur-jalur pendakian dan wilayah-wilayah yang rawan pengunjung akan tetap dikelola oleh BTNGHS. d. Zona dengan Fungsi Utama Ekonomi Wilayah (=Zona Khusus, ZKh, warna abu-abu tua)
11
Wilayah-wilayah yang telah ada sarana SUTET serta wilayah kuasa pengelolaan PT. Chevron Geothermal Salak di kawasan Gunung Salak dan PT. antam di daerah Cikidang-Gunung Sibentang Gading yang terletak di Kabupaten Lebak, dimasukkan ke dalam zona khusus. Demikian pula dengan jalan propinsi dan kabupaten yang melintas di TNGHS, MKK site, yaitu Desa Cipeuteuy dan Desa Gunung Malang. e. Zona untuk Tujuan Sosial Budaya (=Zona Budaya, Religi, dan Sejarah, ZBs, warna ungu tua dan Zona Tradisional, ZTr, warna kuning tua) Penelusuran sejarah pengelolaan perlu dilakukan untuk menentukan zonasi ini. Areal yang penting bagi kegiatan religi budaya, seperti makam di puncak Gunung Salak, situs Cibedug, dan situs Kosala di Lebak dijadikan zona religi dan budaya. Sedangkan wilayah dimana penduduk secara tradisional memanfaatkan hasil hutan non kayu dijadikan zona tradisional untuk memastikan akses masyarakat sekitar hutan. Dalam peta ini, wilayah yang termasuk zona tradisional adalah kasepuhan yang ada di kawasan TNGHS. Hal ini dikarenakan adanya asumsi bahwa kasepuhan adalah masyarakat tersendiri yang karena kesejarahan mempunyai ketergantungan dengan sumberdaya alam. f. Zona Lainnya (=ZL, warna putih) Zona ini tidak termasuk dalam Permenhut No. 56. Zona ini adalah bagian dari taman nasional yang nantinya akan ditetapkan menjadi zona tertentu melalui komunikasi dengan para pihak.
12
2.1.3
Aksesibilitas Masyarakat Aksesibilitas seperti yang diterangkan oleh Adiwibowo (2008) memiliki
beberapa tingkatan, secara umum terbagi atas: hanya memiliki akses dan kontrol, di tingkatan selanjutnya, masyarakat memiliki kewenangan menjaga sumberdaya, mengelola sumberdaya dan yang teratas adalah dapat memanfaatkan sumberdaya tersebut serta mengolahnya dengan cara mereka. Hal ini juga dijabarkan ke dalam suatu segitiga yang menggambarkan tingkatan-tingkatan dalam betuk yang lain. Di level paling bawah, masyarakat mempunyai kewenangan mengatur diri sendiri untuk akses serta kontrol terhadap sumberdaya alam. Pada level-level selanjutnya, yaitu masyarakat mempunyai kekuatan untuk membuat agenda komunitas dan menegakkan aturan lokal, mengelola sendiri, baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, pemeriksaan, dan tindak lanjut, selanjutnya masyarakat dapat membangun jaring kerja untuk pengelolaan hutan dan pengembangan ekonomi dan yang terakhir yaitu memperoleh dan mendistribusikan manfaat ekonomi dan ekologi dari hutan yang telah mereka kelola. Selain itu, kelima tingkatan di atas masih dibagi lagi dalam tiga tingkatan penataan. Tata kuasa ditempatkan sebagai tingkatan yang paling rendah, dimana masyarakat hanya mempunyai akses dan kontrol namun masih berada di bawah pemerintah, yang kedua yaitu tata kelola, dimana masyarakat dapat mengolah sumberdaya hutan dengan cara mereka sendiri, dan yang terakhir adalah tata produksi, dimana masyarakat sudah mampu mendistribusikan manfaat-manfaat yang mereka peroleh dengan baik.
13
Gambar 2. Jenjang Aksesibilitas Masyarakat berdasarkan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (Adiwibowo, 2008) 2.1.4
Pengelolaan Hutan Lestari Menurut Ngadiono (2004), pengelolaan hutan lestari merupakan
keharusan bagi seluruh pelaku pengelolaan hutan di Indonesia. Hutan sebagai sebuah SDA yang dapat diperbaharui harus dipandang sebagai resource capital, human capital, dan social capital yang harus dipertahankan dan dimanfaatkan secara lestari dan lintas generasi. Ketiga kelestarian fungsi tersebut tidak dapat dipisah-pisahkan dalam pemahaman dan pelaksanaannya. Hal ini dikarenakan adanya saling keterkaitan antar kelestarian fungsi tersebut. Pengelolaan hutan dapat dikatakan lestari (sustainable forest management) apabila ketiga kelestarian fungsi tersebut telah terpenuhi berdasarkan berbagai kriteria dan indikator yang sudah ditetapkan. Kaidah pengelolaan hutan lestari mulai mengemuka pada era 90-an ketika kesadaran akan kelestarian ekosistem dibakukan oleh pemerintah melalui UU No. 5 Tahun 1990. Dalam UU tersebut ditegaskan bahwa dalam setiap pengelolaan
14
SDA harus dilakukan pengawetan terhadap plasma nutfah, flora, fauna dan ekosistem unik. Selain itu juga perlu dilakukan perlindungan sistem penyangga kehidupan sekaligus perlu dilakukan pemanfaatan secara lintas generasi (Ngadiono, 2004).
2.1.5
Lahan Masyarakat Menurut FAO sebagaimana dikutip Munibah (2008), lahan merupakan
suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi, dan vegetasi dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaannya termasuk di dalamnya adalah akibat kegiatan manusia, baik pada masa lalu maupun sekarang, seperti reklamasi daerah-daerah pantai, penebangan hutan, dan juga akibat yang merugikan seperti erosi dan akumulasi garam. Arsyad seperti dikutip Munibah (2008), menyatakan bahwa sistem penggunaan lahan dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan nonpertanian. Penggunaan lahan pertanian antara lain tegalan, sawah, kebun, padang rumput, hutan produksi, hutan lindung, dan sebagainya. Penggunaan lahan nonpertanian antara lain penggunaan lahan perkotaan atau pedesaan, industri, rekreasi, pertambangan, dan sebagainya. Lahan pertanian bisa berupa lahan milik sendiri atau lahan milik orang lain yang digarap petani, yang disebut sebagai lahan garapan. Semakin besar persentase luas lahan milik dari luas lahan pengusahaan, maka usaha tani akan semakin efisien dan relatif besar keuntungannya daripada berusaha tani pada lahan milik orang lain karena berusaha tani pada lahan milik orang lain resikonya akan lebih besar daripada berusaha tani pada lahan milik sendiri. Dengan
15
menggarap lahan milik orang lain, paling tidak si peggarap harus membayar sewa, bagi hasil, dan bentuk lainnya. Selain itu, kontinuitas usaha pada lahan milik orang lain kurang terjamin. Suatu waktu apabila lahan tersebut dijual pemiliknya, atau diganti penggarapnya, maka petani tersebut akan kehilangan lahannya (Ruswandi 2005).
2.1.6
Pendapatan Petani Pendapatan pertanian menggambarkan tingkat produktivitas lahan tersebut
yang digunakan untuk usaha tani. Dalam ekonomi lahan, pendapatan usaha tani disebut land rent (keuntungan bersih atas penggunaan lahan). Usaha tani merupakan sumber pendapatan utama bagi keluarga tani (Ruswandi, 2005). Usahatani di Indonesia sebagian besar dilakukan oleh petani-petani kecil dengan cara tradisional. Keterbatasan sumberdaya (khususnya lahan dan modal) menjadi ciri yang utama sehingga petani berusaha untuk memilih dan memutuskan model usahatani dalam memenuhi kebutuhan keluarga melalui usaha yang beresiko rendah. Peningkatan produksi dan produktivitas dapat ditempuh dengan tetap memperhatikan distribusi produksi yang merata dari waktu ke waktu sehingga mengamankan kebutuhan sepanjang tahun dan mendayagunakan sumber tenaga kerja yang ada. Petani akan mengalokasikan penggunaan sumberdaya usahataninya, khususnya melalui penambahan jumlah dan jenis input jika diyakini bahwa usaha tersebut akan berdampak pada peningkatan produksi dsn pendapatan. Bagi keluarga petani dengan keterbatasan pemilikan lahan, keamanan produksi dan pendapatan merupakan suatu hal yang sangat penting mengingat kelangsungan hidupnya sangat bergantung akan hal ini sehingga untuk menjamin
16
kelangsungan cara hidupnya, petani juga harus mampu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan, misalnya inovasi teknologi baru. Kemampuan untuk menyesuaikan dengan kondisi yang berubah, akhirnya menentukan keberlanjutan pertanian (Priyanti, 2007).
2.1.7
Konflik Agraria Menurut Fisher et al. (2000), konflik adalah hubungan antara dua pihak
atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau yang merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan.
Komunitas
Sumber-sumber Agraria Swasta
Pemerintah
Gambar 3. Lingkup Hubungan-Hubungan Agraria (Suhendar et al. 2002) Konflik pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan yang tidak seimbang banyak terjadi di tanah-tanah perkebunan. Konfik ini memicu terjadinya pendudukan tanah-tanah perkebunan yang HGU-nya belum berakhir oleh masyarakat tanpa seizin pemegang hak atas tanah yang bersangkutan (occupatie) dan diklaim sebagai tanah miliknya. Sumber konflik pertanahan yang terjadi antara lain disebabkan oleh (Suhendar et al. 2002): a. Pemilikan atau penguasaan tanah yang tidak seimbang dan merata; b. Ketidakserasian penggunaan tanah pertanian dan non-pertanian; c. Kurangnya keberpihakan kepada masyarakat golongan ekonomi lemah (red);
17
d. Kurangnya pengakuan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat atas tanah (hak ulayat); e. Lemahnya posisi tawar masyarakat pemgang hak atas tanah dalam pembebasan tanah. Empat faktor yang biasanya menjadi pemicu konflik (Fermata, 2006), yaitu: sejarah lokal, dimana masyarakat merasa tanah itu miliknya karena mereka yang lebih dahulu tinggal; intervensi asing berupa campur tangan pihak luar terhadap
permasalahan
yang
ada;
kebijakan
pemerintah
yang
tidak
memperhatikan hak ulayat dan masyarakat, dan; dinamika internal, dimana tanah yang tersisa dan alternatif strategi bertahan hidup lainnya tidak lagi dapat mencukupi kebutuhan mereka.
2.1.8
Proses Menyeimbangkan Kekuasaan Kerapkali para ahli di masa Orde Baru meragukan kehandalan pengelolaan
sumberdaya hutan oleh komunitas lokal. Keraguan itu umumnya bersandar pada fenomena
tragedy
of
common,
yaitu
kerusakan
sumberdaya
akibat
penyalahgunaan berlebihan tatkala sumberdaya tersebut ditetapkan sebagai “milik umum”. Padahal, tragedi itu lebih cenderung sebagai fenomena unik tatkala permintaan terhadap sumberdaya tersebut jauh lebih besar dibandingkan dengan kelimpahan sumberdayanya (resource endowment) atau tatkala kelembagaan pada komunitas lokal justru sedang mengalami proses marjinalisasi sedemikian rupa. (Suhendar et al. 2002) Strategi konfrontasi nampaknya kini sudah mulai dikurangi, berganti dengan cara yang lebih halus namun lebih ampuh untuk menyelesaikan masalah18
masalah yang ada. Mulai dari strategi pengelolaan multipihak, negosiasi, mediasi hingga advokasi kebijakan pun ditempuh. LSM-LSM tidak lagi selalu berlawanan arah dengan pemerintah namun kini stakeholders dirangkul untuk menyelesaikan konflik dengan cara yang lebih ‘manusiawi’ seraya mengelola sumberdaya yang ada secara lebih lestari.
Penindasan, Ketidakadilan, Konflik Laten (Kekuasaan tidak seimbang)
Perubahan sikap
Kesadaran
Mobilisasi, Pemberdayaan
Konfrontasi, Konflik Negoisasi, Mediasi
Perubahan hubungan, Keseimbangan, Kekuasaan baru
Hubungan yang disetujui (Kekuasaan yang seimbang)
Gambar 4. Proses Menyeimbangkan Kekuasaan (Fisher et al. 2001) Gambar 3 menerangkan bahwa salah satu langkah dalam menyelesaikan konflik sumberdaya, dalam hal ini sumberdaya hutan perlu adanya komunikasi untuk menyeimbangkan kekuasaan. Adanya kesadaran masing-masing pihak dibutuhkan agar muncul mobilisasi dan pemberdayaan yang sebenarnya sangat riskan terhadap konfrontasi dan konflik dan apabila itu terjadi, maka perlu dimunculkan kembali kesadaran semua pihak. Kesadaran tersebut dapat dimunculkan baik melalui negoisasi, mediasi maupun diskusi formal dan informal lainnya. Siklus ini akan terus berputar sampai terbentuk hubungan yang disetujui oleh stakeholders atas sumberdaya hutan tersebut. Tanpa hal ini, intervensi pada
19
satu pihak akan terus terjadi dan konflik tidak akan mencapai titik penyelesaian sehingga ketika muncul konflik yang baru, konflik yang belum selesai tersebut akan terakumulasi sehingga pada akhirnya tidak terbendung lagi dan berakibat pada hancurnya sumberdaya yang ada. 2.1.9
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Menurut Khususiyah (2009), Memasuki era reformasi, menghadapi krisis
ekonomi dan adanya euforia otonomi daerah, sejak 2001 diterapkan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang merupakan hasil pembelajaran
yang
disempurnakan
secara
bertahap
tentang
perlunya
mengakomodasi aspek sosial dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Sesuai Keputusan
Ketua
Dewan
Pengawas
Perum
Perhutani
Nomor
136/KPTS/DIR/2001, PHBM adalah suatu sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan bersama oleh Perum Perhutani dan masyarakat desa, atau Peru Perhutani dan Masyarakat Desa Hutan (MDH) dengan pihak yang berkepentingan (stakeholder) dengan jiwa berbagi, sehingga kepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan dapat diwujudkan secara dan proposional. Pemberdayaan masyarakat bukan suatu program tetapi built in dalam pengelolaan hutan. Proses pelaksanaannya adalah sebagai berikut (Khususiyah, 2009). a. Perencanaan menggunakan metoda participatory rural appraisal (PRA) b. Pengambilan keputusan bersama dalam pengelolaan hutan c. Ada pembagian wewenang yang jelas
20
d. Pendekatan kelompok masyarakat dalam bentuk wilayah/blok hutan yang secara administratif termasuk wilayah desa e. Menumbuhkan perekonomian rakyat f. Membangun sense of belonging dan sense of responsibility masyarakat tentang arti dan fungsi sumberdaya hutan. PHBM merupakan Perhutanan Sosial Plus jiwa bersama, berdaya, berbagi, transparan, dan sederhana. Masih menurut Khususiyah (2009), dalam hal ini, PHBM dapat dianggap sebagai praktek social forestry yang lebih difokuskan di kawasan utan produksi khususnya hutan tanman di Pulau Jawa serta hutan lindung yang dikelola oleh Perum Perhutani. Tujuannya untuk memecahkan masalah tekanan sosial ekonomi penduduk desa di dalam atau sekitar kawasan hutan terhadap sumberdaya hutan, sehingga aspek sosial dan ekonomi dalam pengelolaan sumberdaya hutan menjadi pertimbangan utama. Untuk memperbaiki implementasi di lapangan, PHBM sesuai Keputusan Dewan Pengawas (selaku pengurus perusahaan) Nomor 136/Kpts/Dir/2001 disempurnakan menjadi PHBM Plus sesuai SK 268/Kpts/Dir/2007.
2.1.10 Pengetahuan Lokal Menurut Pratomo (2005), pengetahuan lokal suatu masyarakat yang hidup di lingkungan spesifik biasanya diperoleh berdasarkan pengalaman yang diwariskan
secara
turun-temurun.
Adakalanya
suatu
terkonogi
yang
dikembangkan di tempat lain dapat diselaraskan dengan kondisi lingkungannya sehingga menjadi bagian integral sistem mata pencaharian mereka. Teknologi
21
eksternal ini akan menjadi bagian dari teknologi lokal mereka sebagaimana layaknya teknologi yang mereka kembangkan sendiri. Pengetahuan lokal yang sudah demikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma dan budaya, dan diekspresikan di dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu cukup lama kemungkinan akan menjadi suatu ‘kearifan lokal’. Pada banyak kasus masyarakat lokal tidak mendokumentasikan pengetahuannya, sehingga tidak mudah untuk diakses oleh orang di luar lingkungan masyarakat tersebut. Pengetahuan masyarakat lokal umumnya terbatas pada apa yang dapat mereka rasakan secara langsung, biasanya melalui pengamatan dan apa yang dapat dipahami berdasarkan konsep dan logika mereka. Walker et al. dalam Pratomo (2005) mengidentifikasi empat alasan utama mengapa harus memasukkan pengetahuan lokal ke dalam penelitian dan program pembangunan agar lebih efisien dan efektif, yaitu: a. Masyarakat lokal telah mengembangkan pengetahuan yang melengkapi pengetahuan ilmiah b. Teknis yang dikembangkan secara lokal dapat melengkapi sumberdaya ilmuwan yang terbatas c. Kombinasi efektif sektor formal dan informal menghindarkan terjadinya duplikasi d. Kolaborasi, efektif memperbaiki sasaran serta fokus penelitian ilmiah. Prasodjo (2005) mengemukakan bahwa adanya keragaman pengetahuan lokal yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya, penting untuk digali dan dipetakan dalam rangka membantu merumuskan pembangunan lokal dalam memanfaatkan sumberdaya alam, finansial, manusia, sosial, dan fisik/infrastruktur 22
yang berkesinambungan melalui cara-cara membangun komunikasi yang efektif dengan orang lokal dan membuat aksi bersama yang telah mempertimbangkan kendala pengalaman yang dirasakan secara lokal. Dalam kaitan ini memahami pengetahuan lokal berfungsi sebagai: (1) sarana untuk berkomunikasi yang efektif dengan masyarakat lokal, dan (2) dasar untuk melakukan kajian atau aksi bersama masyarakat yang tepat karena telah mempertimbangkan kendala dan potensi pengalaman lokal. Kekuatan utama sistem pengetahuan lokal dikemukakan Berkes dalam Prasodjo (2005) dalam tiga hal, yaitu: a. Self interest, dalam arti pengetahuan lokal menjadi kunci penting upaya konservasi karena kekuatannya yang datang dari “dalam” dan bukan dari luar. b. Sistem pengetahuan yang akumulatif, dalam arti bahwa pengetahuan lokal merupakan akumulasi atas pola adaptasi ekologi komunitas lokal yang telah berlangsung berabad-abad (summation of millennia of ecological adaptation of human groups). c. Pengetahuan tradisional sangat potensial untuk membantu mendesain upaya konservasi sumberdaya alam yang efektif karena dukungan local dan tingkat adaptasi serta pertimbangan kepraktisan yang tinggi. Menurut Prasodjo (2005) pengetahuan lokal dapat ditelusuri dalam bentuk pragmatis
maupun
supranatural.
Pengetahuan
dalam
bentuk
pragmatis
menyangkut pengetahuan tentang kaitan pemanfaatan sumberdaya alam (tanah, lahan, air, udara, mineral, dan lain-lain), baik yang diakui sebagai milik sendiri, umum/kolektif, maupun aset pemerintah, yang berakibat langsung pada perubahan landscape dan perubahan stok (perubahan biodiversity, perubahan cadangan
23
karbon, perubagan kualitas dan kuantitas air, dan lain-lain), serta fungsi-fungsi dari komponen agroekosistem itu. Sedangkan pengetahuan lokal yang berupa pengetahuan
supranatural
dapat
ditelusuri
melalui
bentuk-bentuk
dasar
aturan/norma yang dihasilkan oleh kepercayaan/budaya, agama dan moral.
2.2
Kerangka Pemikiran
2.2.1
Kerangka Berpikir Adanya penunjukan areal konservasi yang batasnya masuk ke Desa
Cirompang menyebabkan dampak yang besar bagi masyarakat. Batas yang ditetapkan oleh Taman Nasional Gunung Halimun-Salak memakan sebagian besar hutan milik desa dan lahan garapan masyarakat. Imbasnya atas klaim hutan adalah berkurangnya aksesibilitas masyarakat terhadap hutan yang akan berpengaruh pada pengelolaan hutan secara lestari. Sedangkan lahan masyarakat yang terkena klaim, baik lahan milik, lahan pengusahaan maupun lahan garapan kemungkinan juga akan mempengaruhi pendapatan masyarakat di bidang pertanian. Fenomena ini kemudian menimbulkan konflik sumberdaya, mengingat hampir seluruh kebutuhan pangan dipenuhi dari dalam desa sendiri dan untuk memperbaiki keadaan perlu adanya proses menyeimbangkan kekuasaan dengan menimbulkan rasa saling percaya diantara para stakeholder sehingga mereka dapat sejajar dalam mengelola hutan. Luasnya areal hutan yang tidak memungkinkan dapat diawasi oleh pemerintah secara keseluruhan, akan dibantu oleh masyarakat menggunakan asas simbiosis mutualisme, dimana masyarakat juga dapat mengelola hutan dengan cara dan hukum yang mereka miliki serta memanfaatkan hasilnya untuk kelangsungan hidup masyarakat lokal sehingga
24
kemudian menimbulkan sinergi yang harmonis antar stakeholders, terutama pemerintah dan masyarakat dalam mengelola areal hutan.
Penunjukan areal konservasi
Aksesibilitas masyarakat
Lahan Masyarakat a. SPPT b. Garapan
Pengelolaan hutan lestari Pendapatan petani
Konflik Agraria
Proses menyeimbangkan kekuasaan
Pengelolaan hutan bersama masyarakat
Gambar 5. Kerangka Pemikiran Implikasi Penunjukan Areal Konservasi terhadap Pengelolaan Hutan dan Luas Lahan
25
2.2.2
Hipotesis Uji Bagan alur pemikiran di atas menghasilkan beberapa pola yang akan dikaji
dalam penelitian ini, yaitu: a. Terjadi penurunan luas lahan garapan setelah adanya klaim lahan dari Taman Nasional dan akan mempengaruhi tingkat pendapatan keseluruhan petani. b. Terjadi penurunan luas lahan keseluruhan setelah adanya klaim lahan dari Taman Nasional dan akan mempengaruhi tingkat pendapatan keseluruhan petani.
2.2.3
Hipotesis Pengarah
a. Aksesibilitas masyarakat terhadap hutan mempengaruhi pengelolaan hutan lestari. b. Bentuk penyelesaian konflik menuju ke arah Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM).
2.2.4
Definisi Operasional
a. Taman Nasional Areal konservasi bagi daerah hutan yang ditunjuk oleh pemerintah dengan peraturan perundang-undangan b. Lahan dan areal Sebidang tanah yang digunakan dan/atau oleh suatu pihak untuk tujuan tertentu. Pada penelitian kali ini, lahan yang dimiliki masyarakat dibedakan atas: 26
− Luas lahan SPPT (Surat Peringatan Pajak Terhutang) yaitu lahan yang dimiliki sendiri oleh masyarakat. − Luas lahan garapan yaitu luas lahan yang dikelola petani sebagai kebun namun masuk pada kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. − Luas lahan keseluruhan adalah luas lahan SPPT ditambah dengan luas lahan garapan. Untuk luas lahan, baik SPPT, garapan, maupun keseluruhan akan dikategorikan sebagai berikut: 1 = < 0,5 hektar 2 = 0,5 - 1 hektar 3 = > 1 hektar c. Pendapatan petani Materi yang didapatkan oleh petani baik itu pemilik, penggarap, maupun pemilik penggarap baik dari bidang pertanian maupun non-pertanian. Pada pendapatan akan dikelompokkan dalam 2 kategori, yaitu: − Pendapatan dari pertanian, yang masih dikategorikan menjadi: pendapatan dari lahan SPPT dan pendapatan dari lahan garapan − Pendapatan dari non pertanian Hasil data dikategorikan berdasarkan: 1 = < Rp. 1.000.000,00 per tahun untuk pendapatan dari hasil pertanian dan non pertanian dan < Rp 5.000.000,00 per tahun untuk keseluruhan pendapatan
27
2 = Rp 1.000.000,00 – Rp 2.500.000,00 per tahun untuk pendapatan dari hasil pertanian dan non pertanian dan Rp 5.000.000,00 – Rp. 10.000.000,00 untuk keseluruhan pendapatan 3 = > Rp 2.500.000,00 per tahun untuk hasil pertanian dan non pertanian dan > Rp 10.000.000,00 per tahun untuk keseluruhan pendapatan
2.2.5
Definisi Konseptual
a. Konflik sumberdaya Adanya benturan kepentingan antara pihak-pihak pengelola hutan. Dalam hal ini antara Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak sebagai pemerintah dengan masyarakat lokal. b. Proses menyeimbangkan kekuasaan Adalah tahapan dimana para pemangku kepentingan atas suatu sumberdaya menuju posisi yang sejajar, tidak ada yang dominan maupun marjinal, semua pihak memiliki bargaining position yang sama. c. Pengelolaan hutan berbasis masyarakat Sistem tata kelola hutan dimana masyarakat sebagi pengelola yang didampingi oleh pihak-pihak yang terkait demi tercapainya pengelolaan hutan yang lestari dan terpenuhinya tujuan masing-masing stakeholder yang dalam hal ini masyarakat untuk memenuhi kebutuhan subsistennya sedangkan pemerintah d. Pengelolaan hutan Kegiatan memelihara, menjaga dan memanfaatkan hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup, dengan indikator kelestarian sebagai berikut
28
− Pengelolaan hutan menjaga atau meningkatkan akses antar generasi terhadap sumberdaya dan berbagai manfaat ekonomi secara adil − Stakeholder yang relevan memiliki hak dan kemampuan yang diakui untuk mengelola hutan secara bersama dan adil − Kesehatan hutan, para pengelola hutan, dan budayanya dapat diterima oleh para stakeholder Dari indikator tersebut, dibuat pernyataan-pernyataan yang akan diukur dengan skala 1= Sangat tidak setuju, 2= Tidak setuju, 3= Setuju, dan 4 = Sangat Setuju e. Aksesibilitas masyarakat lokal terhadap hutan dapat diketahui dengan melakukan perbandingan pada setiap masa kekuasaan. Tingkatan dari yang rendah hingga tinggi digunakan adalah sebagai berikut adalah sebagai berikut: 1. Mempunyai kewenangan untuk mengatur akses dan kontrol terhadap hutan; 2. Mempunyai kekuatan untuk membuat agenda komunitas dan menegakkan aturan lokal; 3. Mengelola sendiri (perencanaan-pelaksanaan-pemeriksaan-tindak lanjut); 4. Membangun jaring kerja pengelolaan hutan berbasis masyarakat dan mengembangkan ekonomi; 5. Memperoleh dan mendistribusikan manfaat ekonomi dan ekologi dengan tujuan konservasi atau pelestarian hutan.
29