5
BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1.1
Tinjauan Pustaka
2.1.1
Potensi Sumberdaya Pesisir dan Laut serta Pemanfaatannya Wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan.
Apabila ditinjau dari garis pantai (coastline), suatu wilayah pesisir (pantai) memiliki dua batas, yaitu batas yang sejajar garis pantai (long share) dan batas yang tegak lurus dari pantai (cross-share). Penetapan batas-batas wilayah pesisir yang sejajar garis pantai relatif lebih mudah untuk keperluan pengelolaan. Potensi pembangunan yang terdapat di wilayah pesisir dan lautan dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu (1) sumberdaya yang dapat pulih seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun dan rumput laut serta sumberdaya perikanan laut; (2) sumberdaya yang tidak dapat pulih meliputi seluruh mineral dan geologi (3) jasa-jasa lingkungan seperti fungsi kawasan pesisir dan lautan sebagai tempat rekreasi dan pariwisata, media transportasi dan komunikasi, sumber energi, sarana pendidikan dan penelitian, pertahanan keamanan, penampungan limbah, pengatur iklim, kawasan perlindungan (konservasi dan preservasi) dan sistem penunjang kehidupan serta fungsi ekologis lainnya (Dahuri 2001 dalam Subri 2005). Pesisir dan laut dikenal sebagai kawasan yang mengandung kekayaan alam potensial untuk memenuhi kebutuhan manusia. Pemenuhan kebutuhan tersebut diantaranya berasal dari sumberdaya perikanan, sumberdaya mineral dan tambang, sumberdaya bahan obat-obatan, sumberdaya alternatif dari arus dan gelombang, serta sumberdaya alami untuk media transportasi, pertahanan, keamanan dan pariwisata (Mukhtasor 2006). Sumberdaya yang besar ini juga bisa menambah devisa negara dan banyak dilirik oleh pemodal besar. Wilayah laut dan pesisir beserta sumberdaya alamnya memiliki makna strategis bagi pengembangan ekonomi Indonesia, karena dapat diandalkan sebagai salah satu pilar ekonomi nasional.
6
Menurut Tuwo (2011) ekosistem pesisir dan laut terdiri dari: a. Terumbu karang merupakan bangunan kapur besar yang dibentuk dan dihasilkan oleh binatang karang organisme berkapur lainnya sehingga membentuk suatu ekosistem yang kompak sebagai habitat bagi biota-biota laut. Ekosistem karang berfungsi sebagai tempat penangkapan ikan-ikan hias yang sangat digemari oleh para penyelam. Secara ekonomis, berperan sebagai tempat penangkapan ikan, penghasil bahan konstruksi bangunan dan kapur, penghasil obat dan bahan kosmetik serta laboratorium untuk penelitian. Secara ekologis sebagai produser pertama, pelindung pantai dan habitat bagi berbagai biota laut. b. Ekosistem lamun yaitu satu-satunya angiospermae atau tumbuhan berbunga berdaun, batang dan akar sejati yang telah beradaptasi untuk hidup sepenuhnya di dalam air laut yang seringkali membentuk hamparan tumbuhan lamun yang menutupi suatu area pesisir atau laut dangkal menjadi padang lamun. Berbagai jenis ikan yang bernilai ekonomi tinggi memanfaatkan padang lamun sebagai tempat berlindung, memijah dan menghasilkan anak. c. Ekosistem mangrove adalah hutan pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Manfaat ekonomi yang diperoleh dari mangrove adalah kayu untuk bahan bangunan, kayu bakar, bahan arang, dan bahan pulp. Secara ekologis berfungsi sebagai pelindung pantai dari bahaya tsunami, penahan erosi, perangkap sedimen dan lain-lain. d. Ekosistem estuaria adalah wilayah pesisir semi tertutup yang berhubungan dengan laut terbuka dan menerima masukan air tawar dari daratan melalui sungai sehingga air laut yang berkadar garam tinggi dapat bercampur dengan air tawar. Daerah ini menjadi tempat bertemunya arus sungai dengan arus pasang surut dan berfungsi sebagai perangkap zat hara, habitat bagi ikan dan udang sehingga dijadikan sebagai tempat penangkapan ikan dan udang, jalur transportasi, pemukiman dan pelabuhan Rezim kepemilikan sumberdaya pesisir dan laut bersifat akses terbuka (open access), artinya tidak ada pengaturan tentang apa, kapan, dimana, siapa dan bagaimana sumberdaya alam dimanfaatkan, serta bagaimana terjadinya persaingan
7
bebas (free for all) (Satria 2009). Sumberdaya alam pesisir dan laut semakin disadari banyak orang sebagai potensi yang cukup menjanjikan dalam mendukung tingkat perekonomian masyarakat terutama bagi nelayan. Secara umum, wilayah pesisir dimanfaatkan oleh tiga aktor, yaitu oleh pemerintah, swasta dan juga nelayan. Biasanya pantai dan pesisir dimanfaatkan oleh nelayan untuk menangkap ikan dan pihak swasta untuk pertambangan, pengilangan minyak, industri, pariwisata, perkapalan dan transportasi. Laut dalam dikuasai negara untuk keperluan konservasi, pertahanan dan keamanan serta kehutanan. Nelayan memanfaatkan laut dengan menangkap ikan karang, ikan plagis dan ikan demersal. Biasanya mereka tergabung dalam armada kapal dan menggunakan kapal motor untuk memudahkan mereka menjangkau laut yang luas. Teknologi alat tangkap yang digunakan mempengaruhi pendapatan mereka. Nelayan yang menggunakan kapal motor biasanya memiliki pendapatan yang lebih tinggi dari pada nelayan yang menggunakan perahu (Patanda 2006). Masyarakat pesisir mengelola laut memang masih dengan cara tradisional. Mereka menganggap sumberdaya laut disekitarnya adalah milik mereka dan dimanfaatkan untuk kebutuhan ekonomi (Ginting 1998). Pemerintah juga berperan dalam pemanfaatan SDK untuk budidaya perairan seperti ekstensifikasi dan konversi hutan. Keluarnya UU No. 32/2004 telah memberikan wewenang secara nyata dan bertanggung jawab kepada pemerintah daerah serta kesempatan untuk meningkatkan pembangunan sesuai dengan aspirasi masyarakat. Otonomi daerah bagi berbagai kabupaten dapat menjadi peluang dalam menumbuhkembangkan pembangunan sumberdaya pesisir karena potensi wilayah pesisirnya yang besar. Provinsi diberi wewenang mengelola sejauh 12 mil laut, sementara kabupaten kota diberi wewenang 1/3 dari wilayah kewenangan provinsi. Pemerintah membuat peraturan perundang-undangan baik aturan berupa dorongan investasi atau sanksi-sanksi pelanggaran pemanfaatan sumberdaya pesisir dan pengalokasian sumberdaya pesisir dengan tetap memperhitungkan daya dukung ekologis. Pengalokasian ini dilakukan dengan menetapkan zona wilayah perlindungan (hutan mangrove, taman laut daerah) dan zona wilayah pemanfaatan. Selain itu,
8
pemerintah juga berperan dalam menetapkan suatu kawasan konservasi di suatu daerah perairan karena telah terjadi kerusakan lingkungan dan terjadinya overfishing di kawasan tersebut (Masyhudzhulhak 2006).
2.1.2
Pengembangan Ekowisata Bahari Pengertian pariwisata dalam arti luas adalah kegiatan rekreasi di luar domisili
untuk melepaskan diri dari pekerjaan rutin atau mencari suasana lain. Pariwisata telah menjadi bagian penting dari kebutuhan dasar masyarakat maju dan sebagian kecil Negara berkembang. Pariwisata kemudian menjadi kanal yang tepat untuk membebaskan masyarakat dari tekanan fisik dan psikis serta semakin berkembang sejalan perubahan-perubahan sosial, budaya, ekonomi, teknologi dan politik (Damanik dan Weber, 2006). Secara ekonomi, Damanik dan Weber (2006) membagi keberadaan pariwisata muncul dari empat unsur pelaku yang terkait erat, yaitu: a) Permintaan atau kebutuhan. Unsur penting dalam permintaan wisata adalah wisatawan dan penduduk lokal yang menggunakan sumberdaya wisata. Waktu luang, uang, sarana dan prasarana merupakan permintaan potensial yang harus ditransformasikan menjadi permintaan riil, yakni pengambilan keputusan wisata. b) Penawaran atau kebutuhan berwisata itu sendiri; yaitu produk dan jasa. Melalui pasar, produk dijual kepada wisatawan seperti hotel, restoran, objek wisata dan lain-lain. Jasa adalah layanan
yang diterima wisatawan ketika mereka
memanfaatkan produk tersebut, seperti pembersihan kamar, cara penyajian makanan sampai penyediaan informasi. c) Pasar dan kelembagaan yang berperan untuk memfasilitasi keduanya. Pasar wisata yang faktual adalah unsur-unsur industri, sering juga disebut para pelaku pariwisata yang mempertemukan permintaan dan penawaran produk dan jasa wisata. d) Pelaku atau aktor yang menggerakkan ketiga elemen tersebut, yaitu wisatawan, industri pariwisata, pendukung jasa wisata, pemerintah, masyarakat lokal dan lembaga swadaya masyarakat.
9
Objek atau atraksi wisata adalah segala sesuatu yang menarik dan bernilai untuk dikunjungi dan dilihat, yaitu panorama keindahan alam yang menakjubkan seperti gunung, lembah air terjun, danau, pantai, matahari terbit dan terbenam, cuaca dan hal-hal lain yang berkaitan dengan keadaan alam sekitarnya. Objek wisata hasil manusia juga sering digunakan sebagai objek wisata seperti monumen, candi, bangunan klasik, peninggalan purbakala, museum, seni tari, seni musik, agama, adatistiadat dan lain-lain. Secara singkat, objek atau atraksi wisata adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan keindahan alam, kebudayaan, perkembangan ekonomi, politik dan sebagainya. Saat ini, salah satu jenis objek wisata yang sangat digemari adalah keindahan alam seperti laut, gunung, hutan, keanekaragaman flora dan fauna. Ekowisata merupakan salah satu bentuk kegiatan wisata khusus yang menaruh perhatian besar terhadap kelestarian sumberdaya alam. Ekowisata juga diartikan sebagai perjalanan wisata alam yang bertanggung jawab dengan cara mengonservasi lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal (TIES dalam Fandeli 2000). Ada tiga perspektif pandangan terhadap ekowisata yaitu: a) Ekowisata sebagai produk yang merupakan semua atraksi yang berbasis pada sumberdaya alam. b) Ekowisata sebagai pasar yag merupakan perjalanan yang diarahkan pada upayaupaya pelestarian lingkungan. c) Ekowisata sebagai pendekatan pengembangan yang merupakan metode pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pariwisata secara ramah lingkungan. Kegiatan ekowisata apabila dilakukan dengan sangat baik dan terencana, maka akan memberikan keuntungan yang sangat besar bagi masyarakat dan daerah. Kehadiran wisatawan membawa dampak yang besar bagi kehidupan masyarakat lokal. Potensi kawasan ekowisata menurut Tuwo (2011) dapat berupa (1) peningkatan peluang ekonomi, seperti meningkatkan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan, berkembangnya usaha baru dan kerajinan barang lokal dan lain-lain (2) perlindungan sumberdaya
alam
dan
nilai
budaya
seperti
perlindungan
ekologis
dan
keanekaragaman, meningkatnya fasilitas lokal, pengembangan keuangan mandiri, melindungi dan melestarikan budaya-budaya lokal dan lain-lain (3) peningkatan
10
kualitas hidup seperti estetika, nilai-nilai, pendidikan, pemahaman antar budaya dan mendorong masyarakat lokal untuk menghargai lingkungannya. Ekowisata bahari merupakan jenis kegiatan pariwisata yang berhubungan dengan sasaran antara lain melihat atau mengamati terumbu karang, berbagai jenis ikan, hewan-hewan kecil di laut yang dilakukan dengan cara antara lain “diving”, “snorkeling”, dan “swimming”. Kegiatan pariwisata ini harus didukung dengan penyediaan jasa transportasi, kapal pesiar, pengelola pulau kecil, pengelola taman laut, hotel, restaurant terapung, kawasan lepas, pantai, rekreasi pantai, konvensi di pantai dan di laut, pemandu wisata alam dan sebagainya. Kegiatan pariwisata ini juga membutuhkan fasilitas pendukung seperti jasa foto dan video, pakaian, peralatan olahraga, jasa kesehatan dan lain-lain. Konsep wisata pesisir dan bahari didasarkan pada view, keunikan alam, karakteristik ekosistem, kekhasan seni budaya dan karakteristik masyarakat yang berbeda di setiap daerah (Garrod dan Wilson 2004 dikutip Tafalas 2010). Potensi ekosistem kawasan Karimunjawa sangat beragam dan unik baik di darat maupun di laut sehingga sangat menarik bagi wisatawan untuk berkunjung. Aryono (2003) menyatakan bahwa konsep pariwisata yang dikembangkan biasanya mengacu pada jenis pariwisata bahari, seperti yang terdapat di Karimunjawa, yaitu: 1. Kegiatan ekowisata bahari yang dikembangkan yaitu kegiatan berenang dengan menikmati perairan yang jernih dengan panorama pantai berpasir putih. a. Scuba Diving yaitu kegiatan di perairan yang dapat menikmati prasarana dan keindahan dalam laut, karang, ikan hias, dan lain-lain. b. Snorkelling yaitu kegiatan di perairan laut dengan menikmati keindahan panorama di bawah permukaan laut. c. Becak air yaitu kegiatan yang bersifat rekreasi yang tidak membutuhkan keahlian khusus seperti berenang. d. Ski air, yaitu kegiatan olah raga yang harus diimbangi dengan keterampilan sambil menikmati kegiatan rekreasi. e. Layar, yaitu kegiatan bersifat atraktif di permukaan laut dengan menggunakan fasilitas kapal layar dan diimbangi dengan menikmati pemandangan alam laut.
11
2. Kegiatan wisata pantai merupakan wisata pesisir dengan memanfaatkan pantai sebagai objek dan daya tarik wisata, seperti menikmati keindahan alam pantai, olah raga pantai dan sebagainya. Kegiatan yang bisa dikembangkan adalah sebagai berikut. a. Camping adalah kegiatan wisata yang bersifat menikmati keindahan alam langsung dan dapat mendirikan perkemahan. b. Jogging adalah kegiatan wisata yang bersifat olah raga seperti lari-lari kecil di pasir putih atau daerah dataran yang sejuk. c. Berjemur merupakan kegiatan santai di sepanjang pantai sambil menikmati panorama laut. d. Sand play adalah kegiatan wisata yang menggunakan sarana pasir. e. Photo hunting merupakan kegiatan yang bersifat atraktif dalam pengambilan dokumentasi dengan latar belakang panorama yang indah. Perencanaan pariwisata saat ini menjadi agenda yang sangat penting. Persaingan dalam penawaran produk wisata semakin meningkat. Perilaku wisatawan juga cenderung berubah sesuai dengan perubahan zaman. Hal ini berkaitan juga dengan minat, selera dan kebutuhan wisatawan. Oleh sebab itu perlu ditingkatkan lagi pengembangan perencanaan wisata agar mampu bersaing dengan pihak lain dan tetap memperhatikan kebutuhan konsumen wisata. Damanik dan Weber (2006) menyatakan bahwa sumberdaya alam dan sumberdaya budaya merupakan kebutuhan untuk meningkatkan kesejahteraan dan harus dipelihara agar bisa digunakan lagi di masa mendatang. Pembatasan secara ketat kegiatan eksploitasi dalam pemanfaatan sumberdaya tanpa menyisakan kerusakan lingkungan hidup secara permanen harus diwujudkan dalam program pembangunan. Pembangunan sumberdaya wisata bertujuan untuk memberikan keuntungan optimal bagi pemangku kepentingan wisatawan dalam jangka panjang. Pariwisata hanya dapat berkelanjutan apabila komponen-komponen subsistem pariwisata, terutama pelaku pariwisata, mendasarkan kegiatannya pada pencarian hasil (keuntungan dan kepuasan) yang optimal. Kegiatan tersebut dilakukan dengan
12
tetap menjaga semua produk dan jasa wisata berkembang dan lestari dengan sangat baik. Syarat untuk mencapai pariwisata yang berkelanjutan adalah sebagai berikut. 1. Wisatawan mempunyai kemauan mengonsumsi produk dan jasa pariwisata secara efektif, dalam arti bahwa produk tersebut tidak diperoleh dengan mengeksploitasi secara eksesif sumberdaya pariwisata setempat. 2. Produk wisata didorong ke produk berbasis lingkungan. 3.
Kegiatan wisata diarahkan untuk melestarikan lingkungan dan peka terhadap budaya lokal.
4. Masyarakat harus dilibatkan dalam perencanaan, implementasi dan monitoring pengembangan pariwisata. 5. Masyarakat juga harus memperoleh keuntungan secara adil dari kegiatan wisata. 6. Posisi tawar masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya semakin meningkat. Setiap kegiatan yang dilakukan pasti akan menimbulkan dampak, baik itu dampak positif maupun dampak negatif. Kegiatan ekowisata juga ikut mengakibatkan perubahan ekosistem sebagai basis dari kegiatan tersebut. Hal ini bisa terwujud dalam pencemaran, lingkungan yang tidak bersih, terjadinya penurunan kualitas air dan ikan dan lain-lain.
2.1.3
Perubahan Ekosistem Masyarakat pesisir kepulauan Indonesia telah mengalami berbagai kontak
dengan kebudayaan di luar komunitas mereka sehingga pengetahuan masyarakat semakin berkembang. Namun, pengetahuan dan teknologi peralatan yang cenderung eksploitatif juga ikut berkembang di masyarakat dan dijadikan sebagai bagian dari pemenuhan kebutuhan mereka. Eksploitasi ini mengakibatkan penurunan daya lingkungan alam yang berbanding terbalik dengan tekanan akibat jumlah peningkatan populasi manusia. Kegiatan eksploitasi yang sering terjadi adalah pembuatan lahan pertanian pasang surut, tambak-tambak udang dan ikan serta daerah pertambangan. Reklamasi pantai untuk dijadikan tempat pemukiman, pabrik, pelabuhan dan lahan
13
wisata juga semakin banyak dilakukan yang mengakibatkan lahan pesisir semakin banyak kehilangan dukungan bagi keanekaragaman hayati alamiahnya dan menimbulkan kerugian bagi masyarakat pesisir (Purba 2002). Aktivitas perekonomian utama yang menimbulkan permasalahan pengelolaan sumberdaya dan lingkungan wilayah pesisir dan lautan, yaitu (1) perkapalan dan transportasi (tumpahan minyak, limbah padat dan kecelakaan); (2) pengilangan minyak dan gas (tumpahan minyak, pembongkaran bahan pencemar, konservasi kawasan pesisir); (3) perikanan (overfishing, pencemaran pesisir, pemasaran dan distribusi, modal dan tenaga keahlian); (4) budidaya perairan (ekstensifikasi dan konservasi hutan); (5) pertambangan (penambangan pasir dan terumbu karang); (6) kehutanan (penambangan dan konservasi hutan); (7) industri (reklamasi dan pengerukan); dan (8) pariwisata (pembangunan infrastruktur dan pencemaran air). Pekerjaan nelayan dalam memanfaatkan laut dan pesisir dengan memburu ikan juga ikut berkontribusi dalam krisis ekologi pesisir. Hasil tangkapan mereka tidak dapat ditentukan kepastiannya karena semuanya hampir bersifat spekulatif. Masalah resiko dan ketidakpastian (risk and uncertainty) terjadi karena laut adalah wilayah yang dianggap bebas untuk dieksploitasi (open access) (Subri 2005). Pemanfaatan SDK oleh berbagai aktor membuat ekosistem kawasan pesisir menjadi berubah. Kepemilikan SDK yang bersifat open access memicu terjadinya tragedy of the commons, kerusakan sumberdaya, konflik antar pelaku dan kesenjangan ekonomi (Satria 2009). Konsekuensi logis dari sumberdaya pesisir dan laut sebagai sumberdaya milik bersama (common property) dan terbuka untuk umum (open access) menjadikan pemanfaatan sumberdaya alam pesisir dan laut semakin meningkat di hampir semua wilayah. Pemanfaatan yang demikian cenderung melebihi daya dukung sumberdaya (over exploitation) (Stefanus et al. 2007). Kegiatan pariwisata adalah salah satu kegiatan yang sangat potensial untuk pengembangan perekonomian negara dan masyarakat setempat. Namun jika pengelolaannya tidak memperhatikan lingkungan maka berpotensi menimbulkan masalah bagi lingkungan. Kemajuan pesat yang dicapai dalam pembangunan guna
14
peningkatan taraf hidup masyarakat ternyata diiringi oleh kemunduruan kemampuan sumberdaya alam sebagai penyangga kehidupan. Pengembangan ekowisata juga dapat mendatangkan dampak positif berupa meningkatnya upaya reservasi sumberdaya alam, pembangunan taman nasional, perlindungan pantai dan taman laut serta mempertahankan hutan mangrove. Namun di lain pihak, pengelolaan kegiatan ekowisata yang kurang tepat dapat menimbulkan dampak negatif berupa polusi, kerusakan lingkungan fisik, pemanfaatan berlebihan, pembangunan fasilitas tanpa memperhatikan lingkungan dan kerusakan hutan mangrove. Pelaksanaan pembangunan yang semakin beragam sering menghasilkan produk sampingan berupa limbah sampah dan buangan lainnya. Peningkatan pembangunan telah mengakibatkan pergeseran pola pemanfaatan lahan dan tidak sesuai dengan kaidah penataan ruangan sesuai dengan daya dukungnya serta kesesuaian lahan. Sjafi’i (2001) menyatakan bahwa perubahan-perubahan ekosistem yang terjadi dengan adanya kegiatan wisata dapat dilihat melalui: 1. Perubahan tata ruang dalam pemanfaatan sumberdaya dalam pembangunan pariwisata juga terkait dengan pembangunan wilayah dan pembangunan sektor ekonomi. Kawasan pariwisata di wilayah pesisir telah banyak menghadirkan bangunan-banguan hotel-hotel berbintang bahkan di sepanjang jalan telah berdiri pelabuhan-pelabuhan, restoran-restoran, kios-kios tempat penjualan souvenir ataupun tempat hiburan lainnya. 2. Perubahan daya dukung wilayah pesisir. Apabila hal ini terjadi dikawasan yang padat penduduk serta melebihi kapasitas tampung, dimana tidak dimungkinkan lagi tersedianya lahan untuk pembangunan kawasan pariwisata, maka pemerintah akan mereklamasi daerah tersebut. Pengembangan suatu kawasan untuk kegiatan pariwisata bukan hanya dilihat dari kemegahan fisiknya tetapi yang lebih penting adalah bagaimana jenis, frekuensi dan kualitas dari agenda pariwisata sendiri. Jumlah penduduk terus bertambah sedangkan luas tanah tidak pernah bertambah. Pengembangan sarana dan prasarana wisata akan mempersempit ruang gerak penduduk untuk melakukan aktivitasnya.
15
Tuwo (2011) juga menyatakan bahwa pengenalan potensi ancaman yang berpeluang ditimbulkan oleh berbagai kegiatan pembangunan merupakan hal penting dalam penyusunan rencana pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. Ancaman dapat berupa penurunan kualitas sumberdaya alam dan jasa lingkungan. Ancaman terhadap perubahan ekosistem antara lain: 1. Sedimentasi yang disebabkan oleh kegiatan pemanfaatan lahan dan pesisir untuk kegiatan pertanian, pertambangan pemukiman dan pembangunan sarana dan prasarana pariwisata serta pengusahaan hutan. Sedimen yang mengendap di daerah muara dapat menyebabkan pendangkalan yang serius di muara sungai. 2. Pencemaran daerah pesisir dapat disebabkan oleh bahan pencemar yang datang dari daerah pertanian, pemukiman, industri dan pertambangan. Limbah padat dan cair dari rumah tangga dan industri seperti industri pariwisata, merupakan bahan pencemar pesisir dan laut yang sulit dikontrol. Hal ini sesuai dengan pendapat Amelia (2009) yang menyatakan bahwa dampak kegiatan wisata yang sering terjadi adalah menurunnya kualitas air laut (warna perairan yang berubah, menimbulkan bau tak sedap, terdapat bakteri E. Coli, tercemar logam berat), abrasi pasir, serta penumpukan sampah dari kegiatan wisatawan yang menumpuk dan menyebar akan menurunkan kualitas lingkungan. 3. Degradasi habitat merupakan salah satu masalah serius bagi daerah pesisir yang merupakan dampak negatif dari aktivitas manusia seperti erosi. Erosi pantai dapat disebabkan oleh pembukaan pantai dan pembangunan infrastruktur sehingga mengurangi fungsi perlindungan terhadap pantai. Kegiatan penambangan batu karang untuk mendirikan bangunan dan jalan dapat memberikan kontribusi penting terhadap erosi pantai. 4. Degradasi sumberdaya dan keanekaragaman hayati
yang sangat menonjol di
daerah pesisir dan laut adalah kerusakan hutan mangrove dan terumbu karang. Kerusakan hutan mangrove sejalan dengan aktivitas pembangunan seperti pemukiman dan industri. Terumbu karang mengalami banyak tekanan akibat pola pemanfaatan yang tidak ramah lingkungan. Berdasarkan data Departemen Kelautan dan Perikanan,
16
sekitar 70% karang telah mengalami kerusakan yang parah. Salah satu penyebabnya adalah adanya wisatawan yang sering mengoleksi keindahan dan keunikan karang sebagai hiasan. Padang lamun juga mengalami ancaman dari aktifitas manusia seperti alih fungsi pantai untuk pelabuhan dan limbah industri rumah tangga dan pertanian yang dibuang ke laut. Kekayaan flora dan fauna seringkali menjadi terancam dengan kehadiran wisatawan yang mengusik habitat mereka. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi krisis ekologi laut dan pesisir akibat pemanfaatannya. Dampak negatif juga timbul dari pemanfaatan yang kurang memperhatikan aspek kelestarian seperti penangkapan ikan yang berlebihan, penangkapan ikan dengan bahan peledak serta pembuangan sampah kelaut. Jika laut tercemar maka kehidupan biota yang ada di dalamnya menjadi terancam. Bagi nelayan, keadaan ini sangat berbahaya dan akan berdampak bagi kehidupan perekonomian mereka karena nelayan menggantungkan hidupnya dari hasil penangkapan ikan di laut. Apabila kerusakan ini terjadi, maka daerah tersebut akan dikonservasi oleh pemerintah.
2.1.4
Perubahan Sosial dan Perekonomian Nelayan Satria (2009) mendefinisikan masyarakat pesisir yaitu masyarakat yang sama-
sama mendiami wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan khas yang terkait dengan ketergantungannya pada pemanfaatan sumberdaya pesisir. Mereka adalah nelayan, pembudidaya ikan, pengolah ikan bahkan penjual ikan. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Subri (2005) yang mendefinisikan nelayan sebagai suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung pada hasil laut, baik dengan cara melakukan penangkapan ataupun budidaya. Mereka pada umumnya tinggal di pinggir pantai, sebuah lingkungan pemukiman yang dekat dengan lokasi kegiatannya. Pemanfaatan potensi perikanan laut Indonesia belum dapat memberi kekuatan dan peran yang kuat terhadap perekonomian serta peningkatan pendapatan masyarakat nelayan Indonesia. Kekayaan potensi perikanan memang sangat besar namun kehidupan nelayan yang dekat dengan potensi tersebut sebagian besar masih
17
hidup dalam kemiskinan. Kekurangberdayaan masyarakat pesisir disebabkan oleh tingkat pendidikan yang masih rendah, keterbatasan dalam menguasai teknologi, modal dan kelembagaan usaha. Hal ini tidak terlepas dari faktor kerentanan dan kepemilikan aset yang berpengaruh terhadap kehidupan nelayan. Kedua faktor inilah yang akan mempengaruhi aksesibilitas nelayan dalam mempertahankan hidupnya. Sahri et al. (2006) membagi aksesibilitas sosial ekonomi nelayan kecil kedalam lima modal, yaitu modal sumberdaya manusia, modal sumberdaya alam, modal ekonomi, modal fisik dan modal sosial. Aksesibilitas paling tinggi adalah modal sosial, artinya masyarakat nelayan memiliki integritas sosial yang tinggi. Sikap sosial ini terlihat dalam konteks ekonomi (arisan) dan keagamaan. Modal fisik, yaitu keberadaan pangkalan pendaratan ikan yang berfungsi untuk tempat pendaratan kapal ikan, tempat memperbaiki jaring, tempat pelelangan dan penjemuran ikan dan berbagai hal lainnya yang bertujuan memudahkan nelayan dalam bekerja. Modal SDM, yaitu pengetahuan nelayan tentang penangkapan ikan, misalnya menggunakan alat tangkap yang sederhana dan ada juga yang dilarang. Modal finansial, yaitu kemampuan nelayan mendapatkan modal untuk mengembangkan usaha. Hal ini mengindikasikan kemudahan nelayan untuk mendapatkan modal berusaha. Modal paling rendah adalah modal alam (stok ikan), artinya stok ikan sebagai salah satu aset nelayan kecil pada saat ini dalam kondisi yang sangat kritis (Sahri dkk. 2006). Keberadaan kegiatan ekowisata bahari sering menimbulkan pencemaran pesisir dan laut dari hasil sampah-sampah wisatawan serta pembangunan sarana dan prasarana wisata yang kurang memperhatikan daya dukung lingkungan. Hal ini bisa mengancam kehidupan biota laut dan berdampak pada penurunan modal alam (ketersediaan ikan). Apabila laut tercemar, maka kehidupan yang ada di dalamnya akan mengalami kerusakan biologis dan degradasi laut yang berkepanjangan sehingga produktivitas nelayan akan menurun. Jumlah ikan yang tersedia di laut menjadi berkurang dan kualitas air menjadi menurun. Hal ini tentu saja langsung berdampak pada penurunan jumlah pendapatan nelayan. Pemanfaatan sumberdaya kelautan (SDK) oleh berbagai aktor membuat akses nelayan terhadap laut semakin terbatas. Penetapan kawasan wisata di suatu daerah
18
pesisir dapat menyebabkan wilayah penangkapan nelayan menjadi semakin sempit akibat adanya penetapan zona wisata dikawasan tempat dimana nelayan biasanya menangkap ikan. Nelayan juga tidak diperkenankan melakukan fishing ground yang lebih jauh lagi. Keterbatasan modal yang dimiliki nelayan membuat nelayan hanya bisa melakukan penangkapan di sekitar pantai dengan alat yang sederhana. Keterbatasan ini mereka atasi dengan memanfaatkan secara maksimal daerah-daerah pesisir dan terumbu karang untuk mengeksploitasi ikan secara besar-besaran. Munculnya kegiatan wisata ternyata tidak hanya mengakibatkan perubahan pada ekosistem, tetapi juga membuka peluang kerja bagi masyarakat setempat. Sekalipun kegiatan ekonomi wisata ini belum mampu mengubah struktur mata pencaharian namun telah memberikan dampak positif berupa perluasan lapangan pekerjaan seperti mengembangkan usaha transportasi, akomodasi, rumah makan dan usaha cindera mata untuk menunjang kegiatan wisata.
Pengembangan kegiatan
ekowisata bahari di Raja Ampat misalnya memberikan dampak yang positif kepada masyarakat dan lingkungannya. Perilaku masyarakat untuk melindungi kawasannya dari kerusakan semakin positif karena masyarakat menyadari bahwa terumbu karang dan keindahan alam mereka dapat menjadi atraksi wisata yang mengagumkan sehingga dapat menambah pendapatan (Tafalas 2010). Kedatangan
wisatawan
yang
melakukan
kontak
dengan
penduduk
memberikan peluang transfer budaya baik dalam bentuk sikap maupun perbuatan dan tingkah laku. Fenomena perubahan ekosistem juga mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat pesisir khususnya nelayan. Berkurangnya ketersediaan ikan di laut membuat nelayan banyak yang beralih profesi menjadi pekerja di bidang yang lain seperti ikut serta dalam kegiatan ekowisata. Apabila musim atau cuaca sedang tidak bagus untuk melaut maka nelayan melakukan kegiatan ekowisata untuk menambah pendapatan. Hal ini membuat struktur masyarakat yaitu jumlah penduduk yang profesi utamanya sebagai nelayan menjadi berkurang. Ekosistem pesisir yang telah mengalami degradasi atau krisis ekologi juga harus diperbaiki kembali. Purnomowati (2001) dalam penelitiannya menyatakan bahwa sistem pengelolaan berbasis masyarakat (PBM) adalah suatu alternatif yang
19
diharapkan dapat memberikan manfaat bagi segenap pengguna sumberdaya dan pihak-pihak yang terkait dalam upaya pengelolaan wilayah pesisir dalam rangka memanfaatkan sumberdaya pesisir secara lestari dan memperbaiki kerusakan akibat degradasi
lingkungan.
Pengelolaan
berbasis
masyarakat
menekankan
pada
pengetahuan dan kesadaran masyarakat lokal sebagai dasar pengelolaan karena masyarakat lokal merupakan salah satu kunci keberhasilan pengelolaan sumberdaya alam. Program-program yang dikembangkan harus mencerminkan preferensi, ketersediaan
sumberdaya
lokal,
dukungan
aturan
dan
kelembagaan
yang
memungkinkan lahirnya partisipasi aktif serta inovasi kreatif dari masyarakat. Penyusunan aturan-aturan lokal dan lembaga-lembaga yang bersifat formal dan nonformal merupakan salah satu bentuk alternatif pengelolaan SDK yang berkelanjutan dan memberi peluang partisipasi semua stakeholder. Solihin dan Satria (2007) menyatakan bahwa pengelolaan perikanan yang berbasiskan kearifan lokal telah mampu menciptakan pembangunan yang berkelanjutan, terjaganya sumberdaya ikan dari kegiatan penangkapan yang merusak dan menjamin kelangsungan hidup masyarakat pesisir khususnya nelayan kecil. Penegakan hukum yang tegas bagi para pelanggar serta adanya kekuatan hukum yang mengikat bagi seluruh masyarakat membuat peraturan ini dapat dijalankan dengan baik sehingga tercipta ketertiban dan keamanan masyarakat. Hukum ini berisi larangan dan sanksi dimana yang menjadi kekuatannya adalah kesadaran kolektif dari masyarakat untuk melindungi hasil laut di wilayahnya. Lembaga-lembaga lain juga ikut dibentuk untuk menjaga kelestarian laut seperti AMPHIBI dan KPP. Kedua lembaga ini adalah lembaga keamanan swadaya masyarakat yang bersifat formal dan turut meningkatkan peran masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir yang mempercepat pelaksanaan pengelolaan terpadu berbasis masyarakat. Ketersediaan sumberdaya alam yang cukup besar dan lapangan pekerjaan yang luas merupakan potensi untuk menjadi kekuatan ekonomi. Tetapi jika potensi sumberdaya manusia (SDM) yang kurang menguntungkan baik dalam kuantitas dan kualitasnnya, maka pembangunan tidak bisa mengandalkan SDM dari daerah tersebut saja. Kondisi seperti ini menjadikan mobilitas penduduk menjadi salah satu aspek
20
pendorong pertumbuhan kawasan tersebut. Raharto (1999) mengatakan bahwa perkembangan perekonomian suatu daerah menjadi daya tarik bagi penduduk yang berada diluar daerah tersebut untuk melakukan migrasi dan mencari kehidupan yang lebih baik disana. Para migran tertarik untuk mengisi kesempatan-kesempatan ekonomi yang terbuka, terutama disektor industri dan jasa. Rusli (2010) mendefinisikan migrasi sebagai dimensi gerak penduduk geografis, spasial atau teritorial antara unit-unit geografis yang melibatkan perubahan tempat tinggal yaitu dari tempat tinggal asal kepada tempat tinggal tujuan. Seseorang dikatakan melakukan migrasi jika ia melakukan pindah tempat tinggal secara permanen atau relative permanen dengan menempuh jarak minimal tertentu. Banyak faktor yang melatarbelakangi migrasi, salah satunya untuk memperoleh pekerjaan. Adanya pariwisata menurut Muriatmo (1992) dalam Marisa (2007) mendatangkan pendapatan devisa negara dan terciptanya lapangan pekerjaan yang berabrti mengurangi jumlah pengangguran serta adanya kemungkinann bagi masyarakat daerah wisata dan masyarakat di luar daerah wisata untuk meningkatkan pendapatan dan standar hidup mereka. Munculnya hotel-hotel, toko-toko, dan restoran di daerah wisata memberikan kesempatan kerja sehingga banyak penduduk di luar daerah wisata bermigrasi ke daerah wisata tersebut .
2.1.5
Pola Adaptasi Nelayan Perubahan lingkungan akibat pengembangan ekowisata juga berdampak pada
kehidupan masyarakat nelayan. Strategi yang digunakan untuk bertahan hidup adalah dengan melakukan adaptasi. Subri (2005) menyatakan bahwa dalam menghadapi perubahan lingkungan, manusia akan mengembangkan pola adaptasi yang berbentuk pola tingkah laku seperti perubahan strategi mata pencaharian. Tiga strategi mata pencaharian yang bisa dilakukan untuk memutus rantai persoalan nelayan menurut Satria (2009), yaitu (1) mengembangkan strategi nafkah ganda (2) mendorong ke laut lepas (3) mengembangkan diversifikasi alat tangkap. Ketiga strategi inilah yang bisa menjadi alternatif bagi nelayan untuk bertahan hidup ditengah rusaknya sumber mata
21
pencaharian mereka dan pembatasan akses pemanfaatan akibat aktivitas swasta dan keberadaan zonasi oleh pemerintah. Pekerjaan sebagai nelayan merupakan pekerjaan yang dilakukan secara turun temurun dengan alat tangkap yang masih sederhana dan tradisional serta operasionalnya terbatas. Kehidupan nelayan yang memiliki ketergantungan pada lingkungan alam (musim) ini mengakibatkan nelayan tidak bisa melaut sepanjang tahun sehingga pendapatan mereka juga tidak pasti. Salah satu cara mempertahankan kelangsungan ekonomi rumah tangga nelayan yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan diversifikasi pekerjaan yang tergantung pada sumberdaya-sumberdaya yang tersedia di desa-desa nelayan tersebut. Upaya untuk melakukan diversifikasi pekerjaan amat ditentukan oleh kemampuan nelayan yang bersangkutan untuk menghadapi berbagai tekanan dalam kehidupannya. Selain suami dan isteri, anakanak juga dilibatkan dalam berbagai kegiatan mencari nafkah. Hal tersebut tidak lepas dari kondisi keterbatasan ekonomi rumah tangga mereka. Diversifikasi pekerjaan bagi keluarga nelayan memiliki makna yang sangat berarti bagi kelangsungan ekonomi rumah tangganya. Hal ini terkait dengan ketidakteraturan dan ketidakstabilan penghasilan mereka dari hasil melaut (Haryono 2005). Perubahan iklim seperti perubahan cuaca ekstrim yang tidak menentu dapat menimbulkan perubahan kecepatan angin dan ketinggian arus gelombang laut. Fenomena perubahan iklim ini berdampak pada usaha nelayan karena bisa mengurangi produktivitas dan pendapatan bagi nelayan. Perubahan cuaca dan iklim akan mengganggu perikanan dan kelautan. Nelayan tidak akan melaut pada cuaca yang buruk. Mereka akan menjadi buruh tani, tukang becak, buruh bangunan, berdagang dan pekerja serabutan untuk mengisi kekosongan pekerjaan dan mendapatkan penghasilan. Strategi peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan juga bisa dilakukan dengan (a) pengembangan perikanan tangkap (b) peningkatan mutu hasil perikanan (c) pengembangan budidaya laut (d) pengembangan budidaya tambak. Nelayan yang tinggal di kawasan pariwisata bahari juga banyak melakukan diferensiasi pekerjaan. Kehadiran wisatawan bisa menambah pendapatan mereka
22
dengan mengusahakan alat transportasi, penginapan, pembuatan dan penjualan cinderamata. Masyarakat kapitalisme harus dibentuk jika ingin keluar dari keterbelakangan. Keterbelakangan ini disebabkan karena tidak adanya formasi kapital dan kesadaran atau mentalitas yang menawarkan perkembangan. Kemajuan terjadi bila orang-orang telah mengadopsi pikiran rasional, nilai-nilai yang berorientasi masa depan dan sistem etik. Aliran modernisasi dapat disejajarkan dengan teori-teori liberal, yaitu untuk mengejar ketertinggalan maka diperlukan strategi pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan perdagangan bebas. Keadaan inilah yang sedang terjadi di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi dilakukan dengan memanfaatkan SDK secara maksimal, seperti penangkapan ikan secara besar-besaran, pertambangan, wisata bahari dan konservasi. Modernisasi yang dimaksud adalah kapitalisasi berupa perluasan teknologi yang lebih tinggi dalam meningkatkan hasil kerja (Sanderson 1993 dikutip Satria 2002). Nelayan yang mampu bertahan adalah nelayan yang bisa mengikuti modernisasi dengan perluasan teknologi yang lebih tinggi padahal tidak semua nelayan mampu memiliki modal yang cukup untuk memiliki teknologi tersebut. Berbagai alternatif telah dilakukan nelayan untuk bisa bertahan hidup, seperti perubahan alat tangkap, diversifikasi pekerjaan dan peningkatan keterampilan untuk meningkatkan nilai jual ikan. Adaptasi ini disesuaikan dengan kondisi daerah mereka masing-masing. Adaptasi alat produksi terlihat dari penurunan jumlah nelayan tanpa perahu dan peningkatan jumlah armada motor tempel atau kapal motor. Jumlah perahu meningkat dikarenakan ketersediaan ikan yang berkurang sehingga kapal motor tempel dan kapal motor ini diharapkan dapat menjangkau daerah penangkapan yang lebih jauh untuk mendapatkan ikan yang banyak. Keterampilan nelayan juga semakin meningkat sehingga bisa menjadikan kualitas ikan semakin baik dan bernilai ekspor. Selain itu, nelayan tidak lagi bergantung pada Ponggawa dan mereka menjual tangkapannya kepada pedagang pengumpul dengan harga yang lebih tinggi.
23
2.2.
Kerangka Pemikiran Pesisir dan laut sangat bermanfaat bagi negara dan masyarakat lokal karena
kekayaan sumberdaya alam yang terdapat di dalamnya. Potensi laut dimanfaatkan untuk mengembangkan kegiatan perikanan oleh nelayan lokal. Kekayaan alam yang dimiliki juga sangat berpotensi untuk pengembangan kegiatan wisata bahari. Pembangunan kawasan pariwisata akan membawa perubahan bagi ekosistem akibat perubahan pemanfaatan lingkungan, daya dukung lingkungan dan ketersediaan ikan di laut. Perubahan ekologi tersebut akan berdampak pada kondisi perekonomian dan kehidupan sosial masyarakat. Laut dan pesisir yang dijadikan sebagai objek tujuan wisata adalah tempat dimana nelayan melakukan kegiatan ekonominya, yaitu menangkap ikan. Keberadaan aktivitas ekowisata dan sarana maupun prasarana penunjangnya membatasi akses nelayan untuk menangkap ikan di tempat dimana mereka biasaya menangkap ikan. Pengaruh terhadap perekonomian nelayan akan dilihat dari jumlah hari melaut nelayan, jumlah hasil tangkapan ikan, tingkat pendapatan dari sektor perikanan serta peluang kerja di bidang sektor pariwisata. Struktur sosial masyarakat juga ikut berubah akibat perubahan ekologi seperti aturanaturan sosial dan tingkat migrasi. Dampak yang timbul akibat penyelenggaraan wisata bahari dapat bersifat negatif dan dapat juga bersifat positif. Aktivitas nelayan yang menjadikan laut sebagai sumber mata pencaharian serta kehadiran kegiatan pariwisata juga menyebabkan perubahan ekologi. Apabila menimbulkan dampak negatif, maka pengembangan ekowisata tersebut harus ditinjau kembali dan apabila menimbulkan dampak positif maka pengembangan tersebut ditingkatkan dan dipertahankan. Untuk tetap bertahan, maka nelayan harus melakukan strategi adaptasi berupa diversifikasi pekerjaan dan perubahan alat tangkap. Berdasarkan uraian di atas, kerangka pemikiran mengenai dampak pengembangan ekowisata bahari terhadap kehidupan sosial dan ekonomi nelayan di Desa Karimunjawa, Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah selengkapnya disajikan pada Gambar 1.
24
Pemanfaatan kekayaan hayati dan keindahan fisik laut dan darat oleh sektor ekowisata bahari
Perubahan ekologi: - Pemanfaatan ruang - Daya dukung lingkungan
Ekonomi: - jumlah trip melaut - jumlah hasil tangkapan ikan -tingkat Pendapatan -peluang kerja
Sosial: - aturan-aturan sosial - tingkat migrasi
Pola adaptasi: - Diversifikasi pekerjaan - perubahan alat tangkap
Keterangan: mempengaruhi dianalisis secara deskriptif Gambar 1. Kerangka Berpikir
2.3
Hipotesis Berdasarkan kerangka pemikiran di atas dapat disimpulkan bahwa hipotesis
yang disoroti adalah: 1. Semakin rendah tingkat ekonomi nelayan maka semakin tinggi tingkat pola adaptasi yang dikembangkannya. 2. Semakin rendah jumlah trip melaut maka semakin tinggi diversifikasi pekerjaan. 3. Semakin rendah jumlah hasil tangkapan, maka semakin tinggi diversifikasi.
25
4. Semakin rendah jumlah hasil tangkapan maka semakin tinggi perubahan alat tangkap. 5. Semakin rendah pendapatan, maka semakin tinggi diversifikasi pekerjaan. 6. Semakin rendah pendapatan maka semakin tinggi perubahan alat tangkap.
2.4
Definisi Operasional
1.
Karakteristik responden adalah faktor-faktor yang terdapat dalam diri individu seperti umur, tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga, jumlah pendapatan dan pengalaman melaut menangkap ikan. 1.1 Umur, adalah selisih antara tahun responden dilahirkan hingga tahun pada saat penelitian dilaksanakan. Havighurst dan Acherman dalam Sugiah (2008) membagi usia menjadi tiga kategori: a. 18-30 tahun
kategori muda
diberi skor 1
b. 31-50 tahun
kategori sedang
diberi skor 2
c. > 50 tahun
kategori tua
diberi skor 3
1.2 Tingkat pendidikan yang dilihat saat penelitian dilakukan, dikelompokkan menjadi: a. Tidak sekolah- tidak tamat SD
kategori rendah
diberi skor 1
b. Tamat SD-tamat SMP
kategori sedang
diberi skor 2
c. Tamat SMA-perguruan tinggi
kategori tinggi
diberi skor 3
1.3 Jumlah anggota keluarga yang tinggal dan yang ditanggung oleh keluarga pada saat penelitian dilakukan (berdasarkan data BPS Karimunjawa 2011): a. ≥ 2
kategori kecil
diberi skor 1
b. 3-4
kategori menengah
diberi skor 2
c. > 4
kategori besar
diberi skor 3
1.4 Jumlah pendapatan nelayan yang diperoleh dari usaha penangkapan ikan dan dari
pekerjaan
sampingan
lainnya.
Berdasarkan
Survei
Base
Perekonomian Karimunjawa (2011), tingkat pendapatan dibagi menjadi: a. < Rp833.000,-
kategori rendah
diberi skor 1
b. Rp833.000-Rp 1.666.000
kategori sedang
diberi skor 2
Line
26
c. > Rp1.666.000,-
kategori tinggi
diberi skor 3
1.5 Pengalaman melaut merupakan lama waktu dalam satuan tahun yang dihabiskan oleh responden dalam aktivitas penangkapan ikan secara reguler: a. 7≤ x ≤18 tahun
kategori rendah
diberi skor 1
b. 18< x ≤ 29 tahun
kategori sedang
diberi skor 2
c. >29 tahun
kategori tinggi
diberi skor 3
2. Pemanfaatan ruang kawasan pesisir adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang. Dalam penelitian ini akan dilihat bagaimana penataan ruang kawasan pesisir untuk kegiatan wisata dan perikanan. 3. Tingkat daya dukung pesisir adalah kemampuan lingkungan untuk mendukung kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya serta keseimbangan antara keduanya. 4.
Peluang kerja adalah ketersediaan lapangan kerja yang siap diisi oleh para pencari kerja. Dalam penelitian ini adalah lapangan kerja yang bisa menambah pendapatan bagi para nelayan.
5.
Aturan-aturan sosial adalah aturan-aturan yang menjadi patokan dalam suatu kelompok masyarakat dengan batasan wilayah tertentu dan merupakan hasil dari kesepakatan-kesepakatan masyarakat sekitar.
6. Jumlah hari untuk melaut yaitu rata-rata aktifitas melaut selama 1 bulan, berdasarkan hari libur nelayan
yaitu hari Jumat dan setiap terang bulan,
dikelompokkan menjadi: a. < 20 hari
kategori rendah
diberi skor 1
b. 20-24 hari
kategori sedang
diberi skor 2
c. ≥ 25 hari
kategori tinggi
diberi skor 3
7. Jumlah hasil tangkapan ikan yaitu jumlah berat ikan dalam satuan kg yang bisa di dapatkan oleh nelayan dalam satu kali melaut. a. < 100
kategori rendah
diberi skor 1
b. 100-200
kategori sedang
diberi skor 2
c.
kategori tinggi
diberi skor 3
> 200
27
8.
Tingkat pendapatan dari hasil tangkapan setiap kali melaut adalah nilai jual yang diterima nelayan dari hasil tangkapan ikan.
9.
a.
< Rp50.000,-
kategori rendah
diberi skor 1
b.
Rp50.000-Rp100.000,- kategori sedang
diberi skor 2
c.
>Rp100.000,-
diberi skor 3
kategori tinggi
Tingkat perekonomian dalam sektor perikanan adalah kondisi perekonomian nelayan yang dilihat dari tiga variabel perekonomian yang diukur secara kuantitatif yaitu jumlah trip melaut, jumlah tangkapan dan tingkat pendapatan dari hasil jual ikan. Parameter pengukurannya dikategorikan menjadi rendahsedang-tinggi. Skor minimum
:1
Skor maksimum
:9
Selang a.
Interval 1 < x ≤ 3
kategori rendah
skor 1
b.
Interval 4 < x ≤ 6
kategori sedang
skor 2
c.
Interval 7 < x ≤ 9
kategori tinggi
skor 3
10. Tingkat adaptasi adalah kegiatan yang dilakukan nelayan dalam menyiasati perubahan ekonomi yang dibagi menjadi diversifikasi pekerjaan dan perubahan alat tangkap nelayan. Parameter pengukurannya dibedakan menjadi tinggirendah-sedang. Skor minimum
:1
Skor maksimum
:6
Selang a.
Interval 1 < x ≤ 2
kategori rendah
diberi skor 1
b.
Interval 3 < x ≤ 4
kategori sedang
diberi skor 2
c.
Interval 5< x ≤ 6
kategori tinggi
diberi skor 3
11. Diversifikasi pekerjaan adalah penerapan pola nafkah yang beragam dengan cara mencari pekerjaan lain selain perikanan untuk menambah pendapatan. a.
Tidak melakukan diversifikasi (rendah)
diberi skor 1
b.
Memiliki 1 pekerjaan sampingan (sedang)
diberi skor 2
28
c. 12.
Memiliki ≥ 2 pekerjaan sampingan (tinggi)
diberi skor 3
Tingkat partisipasi dalam kegiatan ekowisata adalah tingkat keikutsertaan nelayan dalam memanfaatkan peluang bekerja di bidang pariwisata.
13.
a.
Memiliki 1 pekerjaan di wisata (rendah)
diberi skor 1
b.
Memiliki 2 pekerjaan di wisata (sedang)
diberi skor 2
c.
Memiliki ≥ 3 pekerjaan di wisata (tinggi)
diberi skor 3
Tingkat perubahan alat tangkap adalah kegiatan mengubah alat menangkap ikan yang biasanya digunkan untuk menangkap ikan sebelum adanya kegiatan pariwisata. a.
Pancing
kategori rendah
diberi skor 1
b.
Kompressor
kategori tinggi
diberi skor 2