TINJAUAN PUSTAKA
Pendekatan Sistem
Untuk membahas suatu fenomena alam harus ditinjau dari berbagai sudut pandang, Hal ini berhubungan dengan kejadian lian yang mempengaruhi fenomena alam tersebut. Pembahasan tersebut dapat didekati dengan Pendekatan Sistem (System Approach), Sistem dapat dibatasi sebagai suatu interaksi beberapa komponen sistem yang terorganisasi untuk mencapai tujuan (Manetsch dan Park, 1977; Eriyatno, 1989a). Pendekatan
sistem
sebagai
suatu
metode
pemecahan
masalah terdiri dari lima fase utama, yaitu (1) evaluasi kelayakan, (2) model abstrak, (3) rancangbangun implementasi, (4) implementasi, dan (5) operasi sistem. Model Abstrak merupakan suatu alat mendasar yang penting, memberikan gambaran abstrak sistem nyata di alam yang berperilaku seperti sistew nyata di alam dalam ha1 tertentu (Manetsch dan Park, 1977). Selanjutnya Eriyatno (1989a) mengemukakan, bahwa model digunakan dalam banyak cara di dalam merancang bangun dan mengelola sistem sebagai fungsi analisis. Analisis itu sendiri dibatasi sebagai penentuan output model, input
model, dan struktur model. Model yang dipakai
dapat
33
berupa model analitik, dan model simulasi, di mana keduanya merupakan model matematik (Gordon, 1980). Pendekatan sistem menyediakan pemecahan masalah dengan metode logika dan alat-alat yang memungkinkannya mengidentifikasi komponen/subsistem yang berinteraksi untuk menyelesaikan beberapa tujuan, sehingga memungkinkan untuk melakukan pilihan secara rasional di antara pilihan yang tersedia di dalam masalah-masalah kritis. Dalam pendekatan sistem, untuk pengambilan keputusan dikenal dengan istilah sistem penunjang keputusan. Sistem ini dimaksudkan untuk memaparkan secara mendetil elemen sistezu, sehingga dapat menunjang pengambil keputusan dalam proses pengambilan keputusan. Konsep sistem penunjang keputusan lebih menekankan pada keputusan yang ingin dicapai, sedangkan data atau informasi yang diperlukan telah dianggap memenuhi syarat, sehingga sistem penunjang keputusan tersebut dapat merupakan sarana proses pengambilan keputusan yang umumnya bersifat semi struktural, yaitu adanya kemampuan untuk mengawinkan proses keputusan struktural dengan penilaian masing-masing keputusan yang bersifat subyektif (Keen dan Marton, 1978 dalam Eriyatno, 1989b). Menurut Minch dan Burns (1983 dalam Eriyatno 1989b) karakteristik pokok yang melandasi teknik sistem penunjang keputusan adalah:
34 (1) Interaksi langsung antara komputer dengan pengambil ke-
putusan, (2) Dukungan menyeluruh dari keputusan bertahap ganda,
(3) Suatu sintesis dari konsep yang diambil dari berbagai
bidang, antara lain ilmu komputer, psikologi, inteligensia buatan, ilmu sistem, dan ilmu manajemen, (4) Hempunyai kemampuan adaptip terhadap perubahan kondisi dan kemampuan berevolusi menuju sistem yang lebih bermanfaat
.
Sistem penunjang keputusan dapat membantu para pengambil keputusan dengan cara menyediakan alat yang berharga (Leight dan Doherty, 1986)' berupa: (1) Sistem penunjang keputusan, dapat menelusuri data dasar menurut sejarah waktu lampau, untuk mendapatkan hasil keputusan yang sama, (2) Model perhitungan, dapat dipergunakan untuk menduga ha-
sil keputusan-keputusan yang memungkinkan, (3) Penampilan-penampilan grafik berdasarkan sejarah waktu lampau, dapat dibangkitkan untuk membantu menelusuri arah yang mungkin mempengaruhi keputusan sekarang, (4) Pendugaan secara kuantitatif, dapat dikembangkan untuk dampak proyek dengan pertimbangan masing-masing solusi alternatifnya. Pada langkah awal penggunaan sistem penunjang keputusan untuk pengembangan, perlu dilakukan analisis keputusan,
35
di mana para pengambil keputusan mendefinisikan perihal apa yang penting diputuskan. Mereka pasti mampu menentukan aspek-aspek khusus yang dapat diperbaiki dan komponen-komponen apa yang paling mempengaruhi efektifitas keputusan. Dalam penggunaan sistem penunjang keputusan seyogyanya mampu mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu melalui pendekatan sistem. Langkah selanjutnya diperlukan pendekatan perspektif ditinjau dari lima sudut pandangan (Eriyatno, 1989b), yaitu: (1) Konsep ekonomi rasional, (2) Pandangan yang berorientasi pada proses pengambilan
keputusan, tidak hanya pada hasilnya, (3) Pandangan prosedur organisatoris,
Pandangan politis yang ditekankan pada kebutuhan,
(4)
(5) Pandangan individual yang tercermin pada sikap dan
prilaku keputuan. Teknik dasar sistem penunjang keputusan tidak terlepas dari skema permodelan abstrak. Model konseptual sistem penunjang keputusan merupakan gambaran hubungan abstrak antara tiga komponen utama, yaitu (a) para pengambil keputusan/pengguna (user), (b) model, dan (c) data. Struktur sistem penunjang keputusan tertera pada Gambar 8 (Eriyatno, 1989b). \
DATA
MODEL
BASIS DATA
BASIS MODEL
\
1
\
i
SISTEM MANAJEMEN BASIS DATA (SMBD)
SISTEM MANAJEMEN BASIS MODEL (SMBM)
2
2
7
SISTEM PENGOLAHAN PROBLEMATIK
.
L
\
SISTEM MANAJEMEN DIALOG A'
DSS
PENGGUNA
Gambar 7.
S t r u k t u r D a s a r S is t e m Penunj a n g K e p u t u s a n
Dent dan Young (1981) mangemukakan, bahwa evaluasi Jahan adalah suatu proses penilaian potensi lahan untuk berbagai alternatif penggunaan. ~ i r idasar evaluasi lahan yaitu membandingkan persyaratan penggunaan lahan dengan potensi sumberdaya yang diberikan oleh lahan tersebut. Hal ini beranjak dari kenyataan bahwa berbagai macam penggunaan yang berbeda memerlukan syarat yang berbeda pula. Evaluasi lahan harus mencakup pertimbangan sosial, ekonomi, dan faktor lingkungan. Penggunaan lahan saat ini, merupakan pertanda dinamis adanya eksploitasi oleh manusia, baik secara perorangan maupun secara kelompok atau masyarakat, terhadap sumberdaya
-
lahan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Istilah eksploita
Si mengandung arti yang bersifat kultural, sosial, dan ekonomi, sedangkan istilah sumberdava. Jahan mengemukakan adanya kemampuan suatu wilayah tertentu dalam ha1 faktorfaktor produksi yang bersifat biofisis, seperti: tanah, air, iklim, hewan, dan tumbuhan (Malingreau, 1978)- Keputusan untuk mengubah penggunaan lahan harus didasarkan pada kemungkinan pembangunan yang berkelanjutan yang akan menberikan keuntungan, baik ditinjau dari pengertian ekonomi, sosial, maupun lingkungan. Dengan demikian membuat keputusan tentang penggunaan lahan adalah juga merupakan kegiatan
38
politis yang sangat dipengaruhi oleh keadaan sosial dan ekonomi masyarakat. Proses evaluasi lahan bukan ditujukan untuk menentukan perubahan penggunaan lahan, tetapi melengkapi data untuk dasar pengambilan keputusan dalam memilih penggunaan lahan yang paling sesuai, dengan dasar pertimbangan-pertimbangangan tersebut di atas. Cara ini akan efektif apabila hasil evaluasi lahan secara normal memberikan informasi dalam dua atau lebih bentuk potensi penggunaan lahan masing-masing daerah termasuk konsekuensi keuntungan dan kerugian masingmasing penggunaan tersebut. Fungsi perencanaan penggunaan lahan merupakan pedoman pengambilan keputusan penggunaan lahan, dengan cara menempatkan sumberdaya alam pada penggunaan yang paling menguntungkan bagi manusia dan dalam waktu yang sama melakukan konservasi sumberdaya alam untuk masa mendatang.
Perenca-
naan seyogyanya didasarkan pada pengertian lingkungan alami dari berbagai macam penggunaan yang dipertimbangkan (FAO, 1976).
Menurut Mitchell (1973), sistem evaluasi lahan memiliki beberapa ciri, yaitu
(1) sebagai suatu cara dalam men-
jawab permintaan pemakai, (2) sebagai suatu cara pengumpulan, penyimpanan, analisis, dan penyajian informasi lahan dan potensi penggunaannya, (3) sebagai suatu cara pemanggilan kembali dan manipulasi informasi.
39
Metode evaluasi lahan terus berkembang dan lebih mengarah ke model kuantitatif, agar lebih menunjang sistem informasi lahan dan geografi yang diharapkan akan menjadi alat penting bagi perencanaan penggunaan lahan dan pengendalian lingkungan (Beek, Burrough, dan McCormack, 1987). Sehubungan dengan ha1 tersebut, tahun 1983 di Indonesia telah dikembangkan sistem evaluasi lahan terkomputer yang dikenal dengan 'ILECSW (Land Evaluation Computer System oleh Wood dan Dent, 1983).
Dengan sistem ini diharapkan proses
evaluasi lahan dapat dilakukan dengan cepat dan akurat, dapat dilakukan kapan saja diperlukan, pada daerah yang tidak terbatas. Namun demikian kebenaran dan ketepatan ha1 ini masih perlu dikaji lebih jauh.
Satuan Lahan
Satuan lahan merupakan pembagian bentang alam yang secara hirarkis dikelompokkan berdasarkan kesamaan karakteristik lahan. Pengelompokkan ini dapat dilakukan dari kategori rendah ke kategori tinggi, misalnya pengelompokkan dilakukan dari tingkat Tapak Lahan menjadi Faset Lahan, kemudian Faset Lahan dikelompokkan menjadi Kompleks Lahan, lalu Kompleks Lahan dikelompokkan mejadi Sistem Lahan, dan akhirnya pengelompokan Sistem Lahan menjadi Sistem Fisiogarafi. Cara ini akan menghasilkan satuan lahan dengan sebaran masing-masing satuan lahan pada berbagai kategori
40
terdeteksi dengan baik. Tetapi cara ini membawa konsekuensi waktu dan biaya yang tinggi, karena data yang diperlukan dimulai dari data yang sangat detil. Dengan kondisi data lahan yang ada di Indonesia maka cara ini sangat sulit untuk dilakukan secara utuh. Pemecahan bentang alam dapat pula dilakukan dengan cara pembagian dari kategori tinggi ke rendah. Pembagian ini terutama didasarkan pada kesamaan pola bentuk lahan yang secara mudah dapat dibedakan pada citra foto udara, dan citra penginderaan jauh lainnya, seperti citra radar, citra landsat, dan sebagainya. Pembagian satuan lahan dimulai dari kategori tinggi, misalnya kelompok Fisiografi, lalu masing-masing kelompok Fisiografi dibagi menjadi beberapa Sistem Lahan, masing-masing Sistem Lahan dibagi menjadi beberapa Kompleks Lahan, masing-masing kompleks Lahan dibagi menjadi beberapa Faset Lahan, dan akhirnya masingmasing Faset Lahan dibagi menjadi beberapa Tapak Lahan. Pembagian ini dapat dilakukan dengan baik dan ketelitian tetap tinggi bila diketahui struktur hirarki spasialnya. Pengamatan lapang cara kedua yaitu dilakukan
pada
daerah yang dapat mewakili masing-masing satuan lahan sebagai hasil interpretasi foto udara dan atau citra penginderaan jauh lainnya. Cara ini menghasilkan satuan lahan yang teliti tanpa harus mengorbankan waktu dan biaya yang tinggi
.
41 Pengelompokan bentang alam telah banyak dibahas oleh peneliti-peneliti terdahulu. Wiradisastra dan Mahi (1992) mengemukakan bahwa para pakar geomorfologi seperti Linton (1951), Christian (1958), Christian, Stewart, dan Perry (1960), dan Wiradisastra (1973) mendekati permasalahan klasifikasi wilayah melalui pendekatan fisiografi, karena fisiografi selain memberikan kemungkinan prediksi homogenitas karakteristik lahan, mempunyai kelebihan yaitu kemampuan pengenalan yang lebih langsung di lapangan. Hal ini penting karena meningkatkan kemampun pengenalan (recognizability) membantu memperbaiki kemampuan pemisahan kelas maupun penarikan batas (deliniation) sehingga dapat dilakukan secara langsung baik pada foto udara ataupun di lapang. Konsepsi dasar metode di atas didasari pemikiran bahwa area dengan kesamaan genesis, ialah area sebagai hasil aksi iklim yang sama terhadap batuan yang sejenis akan mempunyai sifat-sifat yang sama atau paling tidak "miripW, oleh sebab itu daerah dengan sejarah tektonik yang sama dapat diasumsikan mempunyai sifat-sifat yang sama pula (Wiradisastra dan Mahi, 1992). Oleh karena itu menurut Mitchell (1973) "terrainM dapat diklasifikasikan ke dalam "natural unitn masing-masing dengan kesamaan genesis. Wiradisastra (1978) menemukan bahwa konsep pionir pendekatan fisiografi yang diajukan Linton (1951) menyarankan pentingnya konsep "sitev1yang dikemukakan Bourne (1931).
42
Menurut Bourne (1931), ttsitett (setara dengan pengertian tapak) adalah area yang mempunyai keseragaman karakteristik lingkungan dan terdapat secara berulang untuk dapat dikelompokkan sebagai gabungan "sitett(Site Assemblages) dalam suatu wilayah. Secara fisiografis gabungan "siten tersebut dapat dikenal melalui foto udara. Menurut Wiradisastra dan ~ a h i(1992), perbedaan yang tegas antara cara pendekatan lama dalam pemetaan lahan dengan cara b a r ~yang mendekatinya melalui pendekstan fdsiografi yaitu bahwa pada cara lama pengamatan banyak dilaksanakan di lapangan melalui transek-transek, sedangkan cara baru lebih sesuai dengan menggunakan foto udara atau citra penginderaan jauh. Pada cara lama kompilasi data harus di arahkan sewaktu melakukan pengamatan lapang, karena keadaan lapang tidak seluruhnya dapat direkam. Permasalahan yang serius akan dihadapi bila parameter lahan yang dipergunakan sebagai kriteria kelas maupun deliniasi berupa sifat yang tidak dapat diukur langsung di lapang seperti pada penggunaan konsep pemetaan tanah. Cara ini dapat memberikan hasil yang memadai bila pemetaan dilakukan pada skala detil, dan bila parameter lahan yang digunakan berasosiasi dan berkorelasi dengan sifat yang terlihat langsung di lapang. Sebaliknya dengan menggunakan foto udara, pengumpulan data telah dapat dimulai sejak sebelum pergi ke lapang, dan kriteria kelas maupun cara deliniasi dikembangkan sejak
43
awal. Di lapang pengumpulan data lebih ditujukan untuk menunjang hasil interpretasi dan menambah data yang diperlukan akan tetapi tidak dapat diperoleh dari interpretasi foto udara. Pengelompokan bentang
alam
berdasarkan hirarkinya
antara lain dikemukakan oleh: (1) Bourne (1931 dalam Thownshend, 1981) mengelompokkan
bentang alam menjadi dua bagian yaitu I1Sitew dan llRegionll. (2) Unstead (1933 dalam Thownshend, 1981) mengelompokkan
bentang alam menjadi tiga bagian, yaitu " F e a t ~ r e ~ ~ , llStornll, dan llFacetll. (3) Isacenko (1965 dalam Thownshend, 1981) mengelompokkan
bentang alam men jadi tiga bagian, yaitu wFaciesll, wUcocisew,dan "Mestnost". (4) MEXE (1969) mengelompokkan bentang alam menjadi lima
bagian, yaitu "Land Elementw, nLand Facetn, "Land Patternm, "Land Regionw, dan "Land Provincew. (5) Grand
dan Aitchison (1965 dalam Thownshend, 1981)
mengelompokkan bentang alam menjadi empat bagian, yaitu "Land Componentw, "Terrain Unitu, nTerrain Patternn, dan "Land Provincew. (6) Brink dkk. (1965 dalam Mitchell, 1973) mengelompokkan
bentang
alam
menjadi
tujuh bagian,
yaitu
"Land
44
Elementw, nLand Facetn, "Land Systemw, "Land RegionI1, "Land Provincew, "Land Devisionvg,dan "Land Zoneu. (7) Christian dan Stewart
(1968) mengelompokkan bentang
alam menjadi tiga bagian, yaitu nLand Elementw, "Land Unitw, dan IgLand Systemw. (8) Wiradisastra, U.S.
(1973) mengelompokkan bentang alam
menjadi empat bagian, yaitu "Sitew, nSite Typew, "Land Complexw, dan "Terrain Typegv. (9) Mahi, A.K.
(1987) untuk keperluan evaluasi kemampuan
lahan mengelompokkan bentang alam menjadi empat bagian, yaitu ggTapakgg,IgTipe Tapakw , "Kompleks Lahann , dan "Satuan Fisiografiw.
Berdasarkan perkembangan pengelompokan bentang alam tersebut terlihat bahwa pada kategori rendah satuannya hampir sama, perbedaan lebih banyak pada nama, sedangkan pada kategori tinggi satuannya sangat beragam. Hal ini terutama disebabkan oleh jalur pengembangannya yang tidak searah. Oleh karena itu diperlukan adanya struktur hirarki yang lebih jelas, dalam ha1 ini lebih ditekankan pada struktur hirarki spasial satuan lahan. Perkembangan konsep satuan lahan di Indonesia beranjak dari pendekatan fisiografi, seperti yang dikemukakan Linton (1951), Christian (1958), Christian, Stewart, dan Perry (1960), dan Wiradisastra
(1973). Pendekatan
fisiografi
45
tersebut berkembang menjadi pendekatan "Land Systemn atau Pendekatan Survei Terpadu, yang dikembangkan oleh Christian dan Stewart (1968) di Australia. Model "Land Systemn tersebut
terus dikembangkan dan disesuaikan dengan
keadaan
landform di Indonesia, agar informasi potensi lahan yang disampaikan lebih mendekati kenyataan di lapang. Perkembangan ini dipelopori oleh Pusat Penelitian Tanah Bogor bekerjasama dengan FAO, sehingga muncullah konsep-konsep satuan bentang alam, seperti
"Catalogue of Landform for
Indonesia1@oleh Desaunettes (1977), nLand Unit1' oleh Kips, Djaenudin, dan Suharta (1981), ''Land Unitn oleh Buurman dkk. (1988), dan nLand Systemw oleh RePPProT (1988). Desaunettes (1977) mengelompokkan bentang alam atas dasar kesamaan hubungan fisiografi, landform, tanah, dan penggunaan lahan (landuse). Secara hirarki bentang alam dikelompokkan men jadi IIComplex
of Land Catenasw1, "Land
Catenaw, IILand Facetw, dan "Land Elementw.
Kom~leksPaten9
Lahan adalah satuan lahan yang dikelompokkan berdasarkan kesamaan landform (misalnya lereng vulkan tengah), kompleks asosiasi tanah, dan pola penggunaan lahan. Katena Lahan adalah satuan lahan yang dikelompokkan berdasarkan kesamaan tingkat penorehan landform, asosiasi tanah, dan tipe penggunaan lahan. Faset Lahan adalah satuan lahan yang dikelompokkan berdasarkan kesamaan keadaan interfluve (wilayah yang dibatasi dan berada diantara dua aliran sungai yang
46
secara umum arahnya sama) masing-masing landform, seri atau famili tanah, dan tipe penggunaan lahan. plemen Lahan adalah satuan lahan yang dikelompokkan berdasarkan kesamaan gradien lereng, fase tanah, dan penggunaan lahan pada masing-masing bagian interfluve. Di dalam "Catalogue of Landform for Indonesian oleh Desaunettes (1977), pembagian hirarki di atas tidak dilakukan. Pembagian bentang alam yang dilakukan adalah pengelompokan "Land Systemn berdasarkan pengelompokkan fisiografi, seperti Aluvial, Marin, Dataran, Perbukitan, Pegunungan, Vulkan, dan Karst. Oleh karena itu pembagian bentang alam oleh Desaunettes (1977) tersebut hanya dapat digunakan untuk pemetaan lahan kategori tinggi, dan belum dapat digunakan untuk evaluasi penggunaan lahan pertanian. Peneliti lain, yaitu Kips dkk. (1981) mengelompokkan bentang alam secara hirarki dari kelompok terbesar ke kelompok terkecil menjadi "land zonew, nland divisionv1, "land provincem, "land regionn, If land systemw, nland catena", "land facetn, dan "land elementw. Land System merupakan pusat dan satuan lahan terpenting dalam hirarki tersebut. Pengelompokkan ini sama dengan pengelompokan bentang alam yang dikemukakan Brink dkk. (1965 dalam Mitchell, 1973).
47
Lana zone adalah satuan lahan yang dikelompokkan berdasarkan kesamaan intensitas morfologi iklim. DAS Sekampung termasuk dalam "Humid tropical Land Zonew. Land division adalah satuan lahan yang dikelompokkan berdasarkan kesamaan struktur umum
Nusantara.
DAS Sekampung termasuk dalam
"Indo-Philippine Archipelago Land DivisionIs. band pro~vince adalah satuan lahan yang dikelompokkan berdasarkan pengelompokan landform secara luas. DAS Sekampung termasuk dalam "Sumatra Land Provincen. Land reaion adalah satuan lahan yang dikelompokkan berdasarkan pengelompokkan landform pada sekala yang lebih kecil. DAS Sekampung merupakan bagian dari "Coastal plainn, ItNortheastern Lowlandsn, dan "Barisan Rangew.
Land svstexq adalah suatu kesatuan besar geomorfik
yang pada umumnya bersusunan geologi seragam. Secara geografik satuan lahan ini memiliki satu atau lebih hubungan topografi, tanah, dan vegetasi. ~ e j i magroklimat di dalam satu sistem lahan tidak berbeda nyata.
Land catena adalah
satuan lahan yang dikelompokkan berdasarkan pengulangan pola topografi, tanah, dan vegetasi. Land facet adalah satuan lahan yang merupakan bagian dari land system atau land catena yang sama. Satuan lahan ini dikelompokkan berdasarkan kesamaan satuan topografi dan struktur vegetasi. Land element adalah satuan lahan terkecil yang dikelompokkan berdasakan kesamaan geologi, topografi, tanah, dan vegetasi
.
Untuk keperluan perencanaan proyek-proyek transmigrasi Tim RePPProT (1988) mengelompokkan bentang alam berdasarkan hubungan
kombinasi pola
landform, batuan/litologi, dan
tanah. Secara hirarki bentang alam dikelompokkan men jadi "Physiographic Type", "Land Systemn, dan %and
Facetn. Peta
yang dihasilkan RePPProT (1988) adalah Peta Land System, skala 1:250.000,
pembagian selanjutnya tidak dilakukan.
Oleh karena itu peta ini sulit untuk digunakan dalam eva-
luasi penggunaan lahan pertanian karena data dasar tanah pada "Land Systemw yang sama masih sangat beragam. phvsioara~hic t v ~ eadalah satuan lahan yang dikelompokkan berdasarkan kesamaan pola landform. Penamaan nPhysigraphic tipen mengacu pada Desaunettes (1977), tetapi bukan merupakan kelanjutan pengelompokan bentang alam Indonesia yang telah dilakukan Desaunettes (1977) tersebut. Untuk Sumatera tipe fisiografi dibagi menjadi tipe fisiografi di daerah wlowlandn yaitu "terracesn , wfansn, nlaharsll,npeat swampsw, wfloodplains~,dan "coastn, sedangkan di daerah "uplandsn terdiri
dari
nplainsw, mhillocksn, nhillsM,
Mmountainsw, dan nvolcanoesn.
Pengertian
Land svsterg yang
dikemukakan RePPProT mirip dengan yang dikemukan Kips dkk. (1981). Penamaan sistem lahan didasarkan pada nama daerah dimana satuan ini secara dominan pertama kali ditemukan, seperti Tanggamus di Lampung, Muara Beliti di Sumatera Selatan, dan lain-lain.
Untuk Sumatera dikelompokkan
men-
49
jadi 78 Land System. Land facet adalah satuan lahan kategori bawah pembentuk "land systemw yang memiliki kesamaan landform, seperti dataran, kaki lereng, kaki bukit, lembah, dan sebagainya.
etap pi ha1 yang terakhir ini tidak dipeta-
kan. Pada saat yang sama untuk keperluan LREP, Buurman dkk. (1988) mengemukakan bahwa di antara kelemahan sistem lahan seperti yang dikemukakan di atas (oleh Kips dkk, 1981; RePPProT, 1988) yaitu menggunakan nama daerah/lokal tempat ditemukannya sistem lahan tersebut. Untuk penggunaan yang luas ha1 ini kurang tepat karena berdasarkan definisi, suatu daerah yang susunan morfologinya sama/hampir sama tetapi keadaan iklimnya berbeda maka sistem lahannya harus berbeda. Oleh karena itu Buurman dkk (1988) mengajukan konsep "Land Unit1@ yang dikelompokkan berdasarkan kesalaaan landform, litologi, dan tingkat penorehan,
sedangkan jenis
tanah pada IVLand Unitn yang sama masih beragam. Peta "land unitgg yang dihasilkan berskala 1 :250.000, sedangkan
pemetaan
nland Facetoo tidak dilakukan.
Oleh
karena itu peta ini, seperti halnya peta "Land Systemg1 masih sulit untuk dapat digunakan dalam evaluasi penggunaan lahan pertanian, karena data dasar tanah pada nLand Unitn yang sama masih beragam. Wiradisastra dan Mahi
(1992) telah melakukan studi
untuk melihat keragaan pengelompokan Faset Lahan menjadi
50
Kompleks Lahan, dan Sistem Lahan. Dalam ha1 ini Sistem Lahan yang digunakan adalah "Land Systemw RePPProT (1988). Berdasarkan hasil penelitian tersebut didapatkan bahwa hirarki satuan lahan yang jumlah anggotanya terbesar dijumpai pada "Land Systemmg di daerah Dataran, lalu diikuti pada "Land Systemw di daerah Pegunungan. Untuk daerah bawah yang berfisiografi Dataran Banjir dan Aluvial, karena lerengnya sukar diukur di foto udara sehingga interpretasi foto udara menghasilkan faset lahan berimpit dengan Kompleks Lahan dan Sistem Lahan. Pembagian daerah ini hanya dapat dilakukan dengan tambahan data/informasi hasil pengeboran tanah, Contoh hirarki Faset Lahan, Kompleks Lahan, dan nLand Systemw tertera pada Gambar 7. Contoh agregasi Faset Lahan menjadi Komplek Lahan dan Sistem Lahan Tanggarnus (TGM) tertera pada Gambar 8, Sistem Lahan Muara Beliti (BLI) tertera pada Gambar 9, dan Sistem Lahan Sebangau (SBG) tertera pada Gambar 10. Menyimak perkembangan satuan lahan di ~ndonesiaseperti dikemukakan di atas, terlihat bahwa hirarki spasial yang dikemukakan cukup beragam. Penggunaan vegetasi atau landuse sebagai komponen penentu satuan lahan, membuat satuan lahan dimaksud menjadi tidak mantap, Karena vegetasi dan atau pola penggunaan lahan dapat berubah-ubah dalam waktu singkat. Demikian halnya dengan penamaan sistem lahan menurut nama
a. $istern Lahan 'fanagasus
A
B
F
C D E
'
I
H
G
b. Sister lahan luara Beliti fBlI) 011
c. Sistem Lahan Sebanaau (SBGI
SBG
I
I
I
I
I
I
Keteranaan: Nomor 1,2,3 dst adalah nomor Faset Lahan A, B, C, dst adalah nomr Kompleks Lahan.
Gambar 8. Hirarki Faset Lahan, Kompleks Lahan, dan Sistem Lahan (Wiradisastra dan Mahi, 1992)
FASET LAHAN
KOMPLEKS LAHAN
SISTEM LAHAN
Gambar 9. Contoh Agregat Faset Lahan menjadi Kompleks Lahan dan Sistem Lahan Tanggamus (TGM, ~iradisastra dan Mahi, 1992)
-
FASET LAI-fAN
KOMPLEKS LAHAN
SISTEM LAWN
Gambar 10. Contoh Agregat Faset Lahan menjadi Kompleks Lahan dan Sistem Lahan Muara B e l i t i (MBI, Wiradisastra dan Mahi, 1 9 9 2 )
-
54
FASET LAHAN
KOMPLEKS LAHAN
SISTEH LAHAN
Gambar 11. Contoh Agregat Faset Lahan menjadi Kompleks Lahan Sebangau (SBG, Wiradisastra dan Sistem Lahan dan Mahi, 1992)
-
55
daerah/lokal, sulit untuk digunakan pada daerah yang luas. Hirarki satuan lahan yang dikemukakan di atas baru berupa konsep, dan belum dilakukan pemetaan secra berhirarki Sampai kategori yang lebih redah. Pemetaan yang telah dilakukan
baru
1:250.000,
pada
kategori
tinggi
dengan
skala
pemetaan
sehingga data dasar pada satuan yang sama,
terutama data dasar tanah, masih sangat beragam. Oleh karena itu masih sulit untuk dapat digunakan dalam evaluasi penggunaan lahan pertanian. Berdasarkan pemetaan satuan lahan yang telah dilakukan di Indonesia baru pada kategori tinggi, dan ha1 ini menyulitkan di dalam melakukan pemantauan dan evaluasi sumberdaya lahan, karena pada satuan lahan yang sama data dasarnya masih sangat beragam. Beranjak dari pemikiran ini maka perlu melakukan pemetaan satuan lahan pada kategori yang lebih rendah. Akan tetapi bila pemetaan dilakukan dari kategori bawah akan memerlukan waktu dan biaya yang tinggi, sehingga diperlukan jalan keluarnya. Pemecahan masalah dapat dilakukan dengan pendekatan sistem, untuk ini diperlukan struktur hirarki spasial sistem lahan Hirarki spasial sistem lahan di atas perlu dikaji lebih jauh, bila dikaitkan dengan keperluan evaluasi lahan termasuk penilaian kerusakan lahan yang mungkin terjadi. Oleh karena itu di dalam penelitian ini dikemukakan konsep hirarki spasial sistem lahan yang merupakan modifikasi
dan
56
pengembangan dari satuan lahan yang telah ada, disesuaikan dengan keperluan evaluasi lahan, termasuk sistem informasi potensi lahan dan sistem penilaian kerusakan lahan terkomputer. Bentang alam dikelompokkan dari ketegori tinggi ke kategori rendah, yaitu kelompok Fisiografi, Sistem Lahan, Kompleks Lahan, Faset Lahan, dan Tapak Lahan, seperti dikemukakan dalam metode penelitian. Sistem penamaan satuan lahan pada penelitian ini belum disusun. Hal ini berhubungan dengan keterbatasan waktu dan kerumitan dalam pemberian nama pada masing masing satuan lahan yang selaras dengan hirarki spasialnya. Untuk mengatasi ha1 tersebut maka sistem penamaan menggunakan nomor.
Plasifikasi Kesesuaian Lahan
Kesesuaian lahan merupakan gambaran tentang kecocokan suatu penggunaan pada bidang lahan tertentu. Kelas kesesuaian suatu areal dapat berbeda-beda, tergantung pada kecocokan potensi lahan yang ada dibandingkan dengan persyaratan suatu penggunaan tertentu.
Evaluasi kesesuaian lahan
adalah penilaian kesesuaian lahan untuk penggunaan khusus. Penggunaan tersebut dapat bersifat umum, seperti pertanian tadah hujan, produksi peternakan, kehutanan, atau penggunaan yang lebih detil, seperti pengguaan untuk tanaman jagung, padi, kopi, cengkeh, tempat rekreasi pantai, rekreasi alam/hutan, pemukiman, dan sebagainya.
58
yang dapat digunakan secara berkelanjutan untuk suatu tujuan tertentu, tanpa atau sedikit resiko kerusakan sumberdaya lahannya. Keuntungan yang diharapkan dari hasil pengelolaan lahan ini akan memuaskan setelah memperhitungkan input yang diberikan. 2. Order N
: Tidak ~esuai(Not Suitable)
Lahan yang termasuk order ini mempunyai pembatas sedemikian rupa sehingga mencegah kegunaannya untuk suatu tujuan tertentu. Kesesuaian Lahan pada Tinukat Kelas Kesesuaian lahan pada tingkat kelas adalah pembagian lebih lanjut dari order dan menggambarkan tingkat kesesuaian order, Kelas ini dalam simbolnya diberi nomor urut yang ditulis di belakang simbol order, seperti tertera pada Tabel 3. Nomor urut tersebut menunjukkan tingkat kelas yang menurun dalam suatu order. Banyaknya kelas dalam tiap order sebenarnya tidak terbatas, akan tetapi dalam ha1 ini hanya dianjurkan rnenggunakan tiga kelas dalam order sesuai dan dua kelas dalam order tidak sesuai, Penentuan jumlah kelas ini didasarkan pada keperluan minimal untuk mancapai tujuan penafsiran. Jika tiga kelas yang dipakai dalam order sesuai dan dua kelas dalam order tidak sesuai, maka pembagian serta definisinya dikemukakan berikut ini:
Kelas S1: Sangat Sesuai (Highly Suitable) Lahan ini tidak mempunyai pembatas yang serius untuk menerapkan pengelolaan yang diberikan atau hanya mempunyai pembatas yang tidak berarti, atau berpengaruh sangat nyata terhadap produksi dan tidak akan menaikkan input yang biasa diberikan. Kelas S2: Cukup Sesuai (Moderately Suitable) Lahan ini mempunyai pembatas agak serius untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi produksi dan keuntungan atau lebih meningkatkan input yang diperlukan. Kelas S3: Sesuai Marginal (Marginally Suitable) Lahan ini mempunyai pembatas yang serius untuk tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi produksi dan keuntungan atau lebih meningkatkan input yang diperlukan. Kelas N1: Tidak Sesuai pada Saat Ini (Currently Not Suit able) Lahan ini mempunyai pembatas yang lebih serius, tetapi masih memungkinkan untuk diatasi, hanya saja tidak dapat diperbaiki dengan tingkat pengelolaan dengan modal normal.
Tabel 3. Struktur Klasifikasi Kesesuaian Lahan -
Order
Kelas
S. Sesuai
'
-
--- - --
Sub
-
Kelas
S1
S2w
S2
> S2e
S3
-
Unit
%e-l
'
S2e-2
S2we
dsb.
dsb. N. Tidak Sesuai
>
N1
> Nlm
N2
Nle dsb.
Kelas N2: Tidak Sesuai Permanen (Permanently Not Suit able) Lahan ini mempunyai pembatas permanen sehingga mencegah segala kemungkinan penggunaan berkelanjutan pada lahan tersebut. Kesesuaian Lahan ~ a d qTinakat
Kelas
Sub kelas kesesuaian lahan mencerminkan jenis pembatas atau macam perbaikan yang diperlukan dalam suatu kelas kesesuaian lahan. Tiap kelas kecuali kelas S1 dapat dibagi menjadi satu atau lebih sub kelas, tergantung pada jenis pembatas yang ada. Jenis pembatas ini ditunjukkan dengan
61
simbol huruf kecil yang diletakkan setelah simbol kelas, seperti tertera pada Tabel 3. Kesesuaian Lahan pada Tinukat Unit Kesesuaian lahan pada tingkat unit merupakan pembagian sub kelas lebih lanjut. Semua unit berada dalam satu sub kelas akan mempunyai tingkatan yang sama dalam kelas, dan mempunyai jenis pembatas yang sama pada tingkat sub kelas, seperti tertera pada Tabel 3.