2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendekatan Sistem Sistem adalah sekumpulan elemen-elemen dari suatu obyek dengan pembatas jelas, yang saling berinteraksi dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan.
Filosofi dasar kesisteman yang menjadi landasan pokok dalam
menyelesaikan masalah melalui pendekatan sistem adalah: (1) sibernetik, yaitu berorientasi pada tujuan (2) holistik, yaitu memandang secara utuh terhadap keseluruhan sistem, dan (3) efektif, yaitu prinsip yang lebih mementingkan hasil guna yang lebih operasional serta dapat dilaksanakan daripada pendalaman teoritis untuk mencapai keputusan
(Eriyatno
2003). Pengkajian sistem
mensyaratkan dipenuhinya tiga karakteristik, yaitu (1) kompleks, dimana interaksi antar elemen cukup rumit, (2) dinamis, dimana faktornya mengandung prediksi dan berubah menurut waktu, dan (3) probabilistik, dimana memerlukan fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi. Pendekatan sistem merupakan suatu kerangka berpikir yang mencari keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh mengenai suatu permasalahan. Tahapan pendekatan sistem terdiri dari enam tahapan analisis, yaitu (1) analisis kebutuhan, (2) identifikasi sistem, (3) formulasi masalah, (4) formulasi model, (5) verifikasi dan validasi model, dan (6) implementasi model. Metodologi sistem dibagi menjadi dua yaitu hard system methodology (HSM)
dan soft system methodology (SSM).
Kebijakan publik adalah
pengetahuan yang bersifat multidisiplin, oleh karena itu untuk menghasilkan sintesis yang mendalam dan komprehensif, tidak cukup hanya menggunakan satu metode. Riset kebijakan menggunakan teknik-teknik dari SSM, namun dapat juga dikombinasikan dengan HSM untuk analisis sebab akibat. Dalam SSM terdapat berbagai teknik yang digunakan dalam memperoleh atau menganalisis input penelitian. Setiap teknik memiliki kelebihan dan kekurangan sehingga dengan menggunakan kombinasi teknik yang tepat dapat mempertajam analis, meningkatkan mutu disain, dan meminimalisasi bias dalam penelitian (Eriyatno dan Sofyar 2007). Tahapan dalam SSM meliputi: (1) analisis situasi permasalahan yang tidak terstruktur, (2) identifikasi situasi permasalahan, (3) pendefinisian sistem yang 5
relevan, (4) pengembangan model konseptual, (5) perbandingan model konseptual dan situasi permasalahan yang ditemukenali, (6) identifikasi hal yang diinginkan secara sistematis, dan (7) tindakan perbaikan. Tahapan tersebut disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Soft System Methodology Sumber: Checkland (1981) dalam Eriyatno dan Sofyar (2007)
Analisis
kebutuhan merupakan langkah awal yang dilakukan dalam
pengkajian sistem. komponen-komponen
Pada tahap ini dinyatakan kebutuhan-kebutuhan dari yang
terkait,
untuk
kemudian
dilakukan
tahap
pengembangan terhadap kebutuhan-kebutuhan yang dideskripsikan. Permasalahan merupakan kesenjangan antara tujuan yang telah ditetapkan berdasarkan analisis kebutuhan dengan kemampuan pemenuhannya akibat adanya keterbatasan sumberdaya.
Pendekatan sistem berorientasi kepada pencapaian
tujuan, maka permasalahan yang diformulasikan adalah masalah yang terkait dengan pencapai tujuan. Hal ini yang membedakan formulasi masalah pada pendekatan sistem dengan pendekatan yang hanya berorientasi pada pemecahan masalah saja, dimana tujuan ditetapkan setelah muncul adanya permasalahan. 6
Identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan dari masalah yang dipecahkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sistem.
Tahapan selanjutnya adalah mengembangkan
model yang sejalan dengan tujuan dan karakteristik sistem.
Model adalah
abstraksi dari suatu gejala. Pemodelan merupakan alat uji sistem yang bertujuan untuk memudahkan mempelajari perilaku suatu gejala secara seksama agar dapat dilakukan generalisasi terhadap masalah tersebut. Melalui model akan diketahui struktur suatu obyek, elemen-elemen penyusunnya dan interaksinya secara logis. Model simulasi yang dibangun diharapkan merupakan representasi sistem nyata, oleh karena itu kesesuaian model perlu dianalisis melalui verifikasi dan validasi model. Implementasi model adalah tahapan akhir dari pendekatan sistem. Pada tahap ini, model yang telah valid dapat diimplentasikan untuk melakukan prediksi dan mengambil keputusan atas suatu permasalahan.
2.2 Sistem Komoditas Lada Sistem komoditas lada dapat dilihat dari subsistem pengadaan input, budidaya,
agroindustri,
pemasaran,
serta
kelembagaan
dan
kebijakan
pengembangan komoditas. 2.2.1 Subsistem Pengadaan Input Subsistem ini meliputi berbagai kegiatan yang menghasilkan bibit, benih, pupuk, obat-obatan, dan peralatan pertanian.
Fungsi subsistem ini adalah
memproduksi dan memasok kebutuhan input yang akan digunakan dalam subsistem berikutnya, yaitu subsistem produksi. Pada saat ini telah dilepas 7 varietas lada yaitu Petaling 1, Petaling 2, Natar 1, Natar 2, Chunuk RS, Lampung daun kecil RS dan Bengkayang LU. 2.2.2 Subsistem Budidaya Perkembangan luas areal penanaman lada dan produksi lada di Indonesia mengalami penurunan sejak tahun 2006. Perkembangan produksi lada meningkat tajam dari tahun 1980 sebesar 36.626 ton kemudian menjadi 69.899 ton pada tahun 1990. Selama satu dekade berikutnya, produksi lada berfluktuasi dan relatif stagnan. Pada tahun 2011 areal lada Indonesia seluas 179.038 ha dengan produksi mencapai 77.808 ton (Tabel 1). 7
Tabel 1. Perkembangan Luas Areal dan Produksi Lada di Indonesia TahunL Luas Areal (ha)PProduksi (ton) 1980 68.130 36.626 1990 127.398 69.899 2000 150.213 69.087 2001 186.022 82.078 2002 204.068 90.181 2003 204.362 90.740 2004 209.572 94.371 2005 211.729 99.139 2006 192.604 77.533 2007 189.054 74.131 2008 183.082 79.726 2009 185.941 80.420 2010 179.318 83.663 2011 179.038 77.808
Sumber: Ditjen Perkebunan (2012)
Lada diusahakan pada hampir seluruh wilayah di Indonesia (Gambar 2). Daerah sentra produksi lada adalah Provinsi Lampung, Kepulauan Bangka Belitung,
Kalimantan
Timur
dan
Kalimantan
Barat.
Berdasarkan
data
penyebarannya, 56,23% dari areal lada berada di provinsi Lampung dan Kepulauan Bangka Belitung. Luas areal lada di Provinsi Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat yaitu sebesar 19,08%, sedangkan sisanya tersebar pada provinsi lain (Tabel 2).
Gambar 2. Sebaran Pengembangan Lada Nasional Sumber: Badan Litbang Pertanian (2007)
8
Tabel 2. Luas Areal dan Produksi Lada Berdasarkan Provinsi No.
Provinsi
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Lampung Bangka Belitung Sulawesi Selatan Kalimantan Timur Kalimantan Barat Sulawesi Tenggara Kalimantan Tengah Bengkulu Sumatera Selatan Jawa Barat Jawa Timur Jawa Tengah Kalimantan Selatan Lainnya Total Indonesia
2001 Luas Produksi Areal (ton) (ha) 55.675 21.143 64.572 34.165 17.983 3.770 10.789 5.874 6.669 2.212 6.009 749 5.388 6.196 5.465 951 5.020 5.280 1.078 131 1.087 191 1.063 400 1.292 234 3.932 782 186.022
Sumber: Ditjen Perkebunan (2012)
82.078
2005 Luas Produksi Areal (ton) (ha) 64.989 25.681 61.413 34.471 20.922 6.575 14.030 7.717 9.980 4.950 12.315 2.267 8.014 6.043 3.209 406 6.118 7.379 2.250 827 1.113 387 1.493 531 1.119 518 4.765 1.389 211.730
99.141
2010 Luas Produksi Areal (ton) (ha) 64.303 20.505 36.376 16.952 12.583 5.333 12.380 9.460 9.191 4.067 11.930 4.580 2.704 709 4.901 2.356 11.358 10.492 2.613 486 1.021 370 1.582 882 913 283 7.183 1.333 179.038
77.808
2.2.3 Subsistem Agroindustri Agroindustri adalah unit usaha yang melakukan pengolahan terhadap bahan yang berasal dari tumbuhan atau hewan. Agroindustri menggunakan bahan baku pertanian dengan sifat yang mudah rusak (perishable), bulky atau voluminous, bersifat musiman, menerapkan teknologi dan manajemen yang akomodatif terhadap heterogenitas sumberdaya manusia, serta dengan kandungan bahan baku lokal yang tinggi. Pengolahan meliputi transformasi dan pencegahan melalui tindakan fisik dan kimia, penyimpanan, pengemasan, dan distribusi (Austin 1992). Agroindustri terbagi menjadi empat tingkat kegiatan yaitu: (1) agroindustri tingkat satu yang terdiri dari: kegiatan pembersihan, pengelompokan, atau penyimpanan. Kegiatan ini antara lain dilakukan pada buah segar, sayur segar, dan telur; (2) agroindustri tingkat dua yang terdiri dari: kegiatan penggilingan, pemotongan, atau pencampuran. Kegiatan ini antara lain dilakukan pada rempah, serelia, serat, kapas, dan karet; (3) agroindustri tingkat tiga yang terdiri dari: kegiatan pemasakan, pasteurisasi, pengalengan, pembekuan, pengeringan, atau ekstraksi. Kegiatan ini antara lain dilakukan pada industri makanan minuman, gula, tekstil, dan furnitur; serta (4) agroindustri tingkat empat
9
yang terdiri dari: kegiatan proses kimiawi, atau teksturisasi. Kegiatan ini antara lain dilakukan pada industri makanan instan, dan ban. Lada putih adalah lada yang dihasilkan melalui proses pengupasan atau pemisahan kulit dan pengeringan, sedangkan lada hitam adalah lada yang dihasilkan langsung melalui proses pengeringan tanpa melalui proses pengupasan atau pemisahan kulit. Pengolahan lada dapat dilakukan secara tradisional dan secara
mekanis (Gambar 3).
Gambar 3. Proses Pengolahan Lada
Pasca panen, menurut pasal 31 UU Nomor 12/1992 tentang budidaya tanaman, adalah suatu kegiatan yang meliputi pembersihan, pengupasan, penyortiran, pengawetan, pengemasan, penyimpanan, standardisasi mutu, dan transportasi hasil produksi budidaya tanaman (Ditjen P2HP 2009). Penanganan pasca panen lada adalah penanganan buah lada segar hingga menghasilkan produk primer berupa lada kering. Panen adalah proses pemetikan atau pemungutan buah lada pada tingkat kematangan optimal.
Sortasi buah lada segar adalah proses
pemilahan hasil panen yang masak dan yang baik dari buah yang kecil, rusak atau cacat karena terkena serangan hama dan penyakit, serta benda asing lainnya. 10
Perendaman adalah proses menempatkan lada di dalam genangan air mengalir yang bertujuan untuk melunakkan kulit buah. Pengupasan adalah proses memisahkan kulit bagian luar. Pengeringan adalah upaya menurunkan kadar air sampai mencapai kadar air kesetimbangan sehingga aman untuk disimpan. Sortasi kering adalah proses pemilahan biji lada kering atas dasar membuang kotoran atau benda-benda asing lainnya yang tidak diperlukan.
Pengolahan lada putih secara tradisional meliputi kegiatan perendaman, pencucian dan pemisahan kulit, pengeringan, sortasi dan pengemasan. Kegiatan pengolahan lada dilakukan di tingkat petani. Pemetikan buah lada dilakukan setelah 8-9 bulan bunga muncul dengan ditandai sebagian buah pada pangkal tandan sudah berwarna kuning kemerahan.
Setelah pemetikan, buah lada
dimasukkan ke dalam karung untuk direndam. Perendaman dilakukan selama 1214 hari. Lamanya perendaman lada tergantung dari jenis atau varietas tanaman, lingkungan tumbuh, kemasakan buah dan keadaan lingkungan tempat perendaman seperti, kesadahan air, intensitas cahaya dan lain-lain.
Setelah perendaman
dilakukan pengupasan kulit dan pencucian, dimana apabila kulit luar telah terkelupas, kemudian dilakukan pencucian dan pengeringan. Pengeringan dapat dilakukan dengan menghamparkan lada, yang sudah terkupas dan bersih, di atas alas yang bersih. Pengolahan lada putih secara mekanis dilakukan dengan menggunakan alat perontok, pengupas, pengering, dan sortasi lada. Perbaikan cara pengolahan lada hitam secara mekanis dilakukan dengan menggunakan alat perontok lada, pengering, dan blansir.
Pengolahan secara mekanis disebut juga sebagai
pengolahan secara semi mekanis untuk membedakan pengolahan dengan bantuan mesin yang tanpa melalui perendaman.
Perbaikan pengolahan dengan cara
mekanis bertujuan agar proses pengolahan lebih efisien, serta mutu dan kebersihan menjadi lebih baik (Nurdjannah et al. 2000). Spesifikasi teknis alat dan mesin yang digunakan tertera pada Tabel 3. Perontokan dilakukan untuk memisahkan buah lada dari tangkainya. Pengupasan kulit lada dilakukan untuk memisahkan kulit buah lada dari bijinya. Alat pengupas dapat mengupas lada segar dengan baik, namun warna dari lada putih yang dihasilkan tidak seputih yang dihasilkan dengan cara tradisional yang menggunakan air yang bersih dan mengalir. Oleh karena itu dapat dilakukan 11
perendaman buah lada selama 6 hari. Pengeringan dilakukan dalam beberapa tahap dan dengan suhu tidak melebihi 60 oC. Sortasi dilakukan untuk memisahkan lada enteng, menir, dan debu dari lada putih yang dihasilkan. Sortasi dilakukan untuk mengelompokkan lada berdasarkan mutunya.
Cara kerja mesin sortasi
adalah berdasarkan perbedaan berat dari masing-masing bagian. Tabel 3. Spesifikasi Teknis Mesin dan Peralatan Pengolah Lada Peralatan
Tipe
Alat perontok (Thresher) Alat pengayak (Sieve) Bak perendaman (Soaking tank)
Throw-in Manual
Alat pengupas (Decorticator) Bak pemisahan pulp Alat pengering (Mechanical dryer) Unit penjemuran (Sun drying) Alat sortasi
Piringan Manual Bak Rak Saringan dan hisap
Kapasitas (kg)
Keterangan
650-700 Maks.2.000
kg buah lada bertangkai/jam kg buah lada tanpa tangkai/jam
Maks. 1.000 400-450
kg buah lada tanpa tangkai/proses kg buah lada tanpa tangkai/jam
Maks. 1.000
kg biji lada/proses
150-180
kg lada putih/jam
Sumber: Hidayat et al. (2009)
Pengolahan lada putih secara mekanis dapat mengurangi kontaminasi mikroorganisme yang berbahaya, dan kotoran lainnya. Pengolahan dengan cara ini juga dapat mempersingkat waktu pengolahan. Selain produk utama berupa lada putih, juga dapat diperoleh tambahan pendapatan dengan menjual produk samping dalam bentuk lada enteng, menir, dan debu sebagai sumber minyak lada. Lada putih yang diolah secara mekanis mempunyai aroma khas lada, bebas dari bau busuk, dan mengandung minyak atsiri yang tinggi (Winarti dan Nurjannah 2007). Pemanfaatan lada yang diperoleh dari sisa hasil sortasi dapat dijadikan minyak lada dan oleoresin. Ekstraksi minyak lada dapat dilakukan dengan cara penyulingan, yaitu proses pemisahan komponen berupa cairan atau padatan dari dua campuran atau lebih berdasarkan perbedaan titik uapnya. Proses ini dapat dilakukan terhadap minyak lada karena sifatnya yang tidak larut dalam air, sedangkan ekstraksi oleoresin dilakukan dengan cara solvent extraction. Minyak lada terutama digunakan sebagai pemberi aroma dan rasa pada berbagai macam industri makanan serta dipakai dalam industri kosmetika dan 12
farmasi. Bahan baku untuk penyulingan minyak lada yaitu lada gugur, lada enteng, lada menir, debu, tangkai lada. Penyulingan dengan uap langsung pada tekanan 1 atmosfir (suhu 100°C) selama 4 jam akan menghasilkan minyak dengan rendemen sekitar 2,15%. Balsam lada adalah salah satu sediaan obat yang dapat dibuat dari minyak lada. Krim merupakan sediaan setengah padat, berupa emulsi yang mengandung air tidak kurang dari 60%. Oleoresin diperoleh dengan cara melakukan ekstraksi ampas sisa penyulingan dengan menggunakan pelarut mudah menguap. Ekstraksi oleoresin dapat juga dilakukan secara langsung dari lada enteng, tanpa pemisahan minyak lada dengan penyulingan. Agroindustri
lada
di
beberapa
negara
berkembang
dengan
baik.
Perkembangan agroindustri lada di India ditandai dengan jumlah dan besarnya perusahaan serta tingkat teknologi yang digunakan. Agroindustri menggunakan standar mutu yang ketat dalam menghasilkan produk dalam bentuk lada kering dan oleoresin. Strategi pengembangan industri lada sebagai upaya mengatasi jumlah lada di India, yang menurun drastis karena kegagalan produksi pada saat permintaan dalam negeri terus berkembang, yaitu melakukan investasi di Vietnam. Vietnam pada saat ini merupakan basis bagi 13 agroindustri lada asing yang berasal dari India, Belanda, Indonesia, Jepang, Singapura (VPA 2010). Agroindustri rempah di Srilanka mencanangkan tahun 2011 sebagai tahun peningkatan nilai tambah bagi industri rempah. Selama ini ekspor dilakukan dalam bentuk bahan baku.
Oleh karena itu, industri diharapkan dapat
dikembangkan dengan teknologi dan penggunaan teknik untuk peningkatan mutu produk. 2.2.4 Subsistem Pemasaran Lada diproduksi oleh sebelas negara yang terbagi dalam dua kelompok yaitu: anggota International Pepper Community (IPC), yang terdiri dari: Brazilia, India, Indonesia, Malaysia, Srilanka, Vietnam, dan (2) non anggota IPC seperti: China, Thailand, Madagaskar, Kambodia, dan Equador. Tingkat persaingan pada industri lada semakin meningkat. Hal ini ditunjukkan oleh terjadinya pergeseran pangsa pasar negara produsen seiring dengan munculnya Vietnam. 13
Perkembangan produksi lada hitam pada awalnya didominasi oleh India dengan peruntukkan bagi pemenuhan kebutuhan domestik yang relatif besar. Pada tahun 2000-an, Vietnam menjadi pemain penting dan mendominasi produksi lada hitam dunia. Pada sisi yang lain, dengan pola produksi yang cenderung stagnan, Indonesia tidak mampu untuk memperbaiki posisinya (Gambar 4).
B
I
V
C
PR
I
M
S L
T
M
L
Gambar 4. Perkembangan Produksi Lada Hitam Negara Produsen Utama Sumber: IPC (2011)
B
I
I
S L
V
C
M PR
Gambar 5. Perkembangan Produksi Lada Putih Negara Produsen Utama Sumber: IPC (2011) 14
Perkembangan produksi lada putih pada awalnya didominasi oleh Indonesia, namun demikian produksi Indonesia terus mengalami penurunan yang sangat signifikan sejak tahun 2000. Hal ini berbeda dengan Vietnam yang terus mengalami peningkatan produksi (Gambar 5). Pelaku dalam sistem pemasaran lada yaitu: petani, pengumpul, pedagang, eksportir, dan retail. Pemasaran lada di Kepulauan Bangka Belitung dilakukan melalui beberapa cara. Petani dapat menjual lada ke pengumpul, ke pedagang besar, atau langsung ke eksportir. Hal ini dimungkinkan karena adanya dukungan infrastruktur transportasi dan dukungan fasilitas telekomunikasi yang memadai. 2.2.5 Subsistem Kelembagaan dan Kebijakan Pengembangan Komoditas Pengembangan
sistem
komoditas
lada
memerlukan
dukungan
kelembagaan dan kebijakan. Lembaga riset dibawah Kementerian Pertanian telah menghasilkan teknologi komoditas lada antara lain dalam bentuk: varietas unggul, teknik budidaya, cara penanggulangan hama penyakit, alat dan mesin pengolah lada, namun adopsi teknologi ini masih rendah. diketahui
bahwa
pemerintah
dibawah
Pada bidang kelembagaan
Direktorat
Jenderal
Perkebunan
Kementerian Pertanian membentuk Direktorat Budidaya Tanaman Rempah dan Penyegar, dibawah Badan Litbang Pertanian telah membentuk Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro). Melalui lembaga ini dihasilkan dukungan dalam bentuk teknologi dan kebijakan bagi pengembangan lada. Kelembagaan lain yang bergerak dalam pengembangan lada adalah: Asosiasi Eksportir Lada (AELI), Asosiasi Petani Lada Indonesia (APLI), serta Masyarakat Rempah Indonesia. Di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung telah dibentuk Badan Pengelolaan Pengembangan dan Pemasaran Lada (BP3L) yang bertugas dalam proses percepatan pengembangan lada.
2.3 Manajemen Risiko Risiko mengandung pengertian sebagai perubahan kehilangan (change of loss), kemungkinan kehilangan (possibility of loss), ketidakpastian (uncertainty), penyebaran hasil aktual dari hasil yang diharapkan, atau probabilitas atas hasil
15
yang berbeda dari yang diharapkan.
Risiko adalah situasi dimana terdapat
ketidakpastian hasil atau akibat dari suatu kejadian (Field 2003). Risiko dapat didefinisikan sebagai pengukuran dari peluang dan keparahan atas suatu dampak yang tidak diinginkan (Haimes 2009).
Risiko merupakan
variasi dari hasil yang muncul selama periode tertentu akibat dari situasi tertentu (IOSH 2002).
Biaya-biaya yang ditimbulkan karena menanggung risiko atau
ketidakpastian dapat dibagi menjadi: (1) biaya-biaya dari kerugian yang tidak diharapkan, dan (2) biaya-biaya dari ketidakpastian itu sendiri (Marrison 2002). Risiko menunjukkan adanya variasi dari hasil, yang dinyatakan sebagai pengukuran dari tingkat peluang dan keparahan.
Peluang dapat dinyatakan
sebagai probability (Lam 2003), frequency, probability of frequency (Haimes 2009), occurrence (McDermott et al. 2009). Occurrence adalah peluang atau frekuensi dimana sebuah kegagalan terjadi.
Keparahan dinyatakan sebagai
severity (McDermott et al. 2009; Lam 2003). Severity merupakan konsekuensi yang timbul sebagai akibat dari suatu kegagalan. Pada kasus tertentu, risiko dinyatakan juga sebagai fungsi detection. Detection mengindikasikan peluang atas tidak dapat dideteksinya sebuah kejadian sebelum terjadi. Pada penelitian ini digunakan istilah “occurrence” untuk menunjukkan tingkat kejadian, “severity” untuk tingkat keparahan dampak, dan “detection” untuk ketidakmampuan pendeteksian. Pada ranah keteknikan, risiko digambarkan secara kuantitatif dan lebih fokus kepada teknologi. Pada sisi yang lain, ilmu sosial menyediakan informasi yang dapat membantu memahami bagaimana individu berinteraksi, mengambil keputusan, menyusun kekuatan, dan merespon perubahan (Gerber 2004). Penggambaran risiko pada kedua sisi tersebut akan memberikan gambaran yang menyeluruh tentang struktur dan perilaku risiko. Pengelompokan risiko dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan. Berdasarkan sumbernya, risiko dapat dibagi menjadi: (1) kegagalan perangkat keras (hardware failure), (2) kegagalan perangkat lunak (software failure), (3) kegagalan kelembagaan (organizational failure), dan (4) kegagalan sumberdaya manusia (human failure) (Haimes 2009).
16
Pendekatan sistem dapat membantu proses identifikasi risiko secara komprehensif (O’Donnel 2005).
Analisis risiko dan pengelolaan risiko pada
rantai nilai lebih kompleks daripada individu. Risiko dan kerentanan dianalisis dengan pendekatan sistem yang memperhitungkan eskposur, potensi kerugian, pilihan manajemen risiko, serta hubungan dengan pelaku di luar rantai nilai baik secara individu maupun kelompok (Jaffee et al. 2008) Pada kerangka manajemen rantai pasok (supply chain management), risiko rantai pasok dibagi menjadi dua, yaitu risiko eksternal dan risiko internal. Risiko eksternal merupakan risiko yang dihadapi oleh unit usaha berkaitan dengan jalannya sistem rantai pasok, yang terdiri dari risiko kerjasama, risiko keputusan manajemen, risiko pembagian informasi, dan risiko penjadwalan. Risiko internal merupakan risiko yang dihadapi usaha berkaitan dengan operasional unit usaha, yang terdiri dari risiko finansial, risiko proses, dan risiko pasar (Kim et al. 2004). Manajemen risiko didefinisikan sebagai suatu pendekatan komprehensif untuk menangani semua kejadian yang menimbulkan kerugian (COSO 2006). Manajemen risiko merupakan suatu aplikasi dari manajemen umum yang mencoba untuk mengidentifikasi, mengukur, serta menangani sebab dan akibat dari ketidakpastian pada sebuah organisasi (Hanafi 2006). Manajemen risiko adalah suatu proses dengan menggunakan metode-metode tertentu, dimana dipertimbangkan risiko yang dihadapi dalam setiap kegiatan organisasi dalam proses mencapai tujuan (Bowe 2006).
Secara prosedural, manajemen risiko
terdiri dari kegiatan penetapan konteks, identifikasi risiko, analisis risiko, evaluasi risiko, dan penanganan risiko, yang didalamnya disertai pula kegiatan pengembangan komunikasi, serta monitoring dan evaluasi pada setiap tahapannya (GRA 2006). Tahapan manajemen risiko tertera pada Gambar 6. Manajemen risiko bertujuan untuk melakukan identifikasi risiko sehingga dapat diperkirakan dampak jika risiko terjadi, membuat keputusan yang tepat mengenai dampak yang telah diperkirakan, mengimplementasikan program penanggulangan risiko tersebut, serta secara berkesinambungan melakukan pengukuran dan memperkirakan apakah program yang telah dijalankan telah berjalan efektif atau masih membutuhkan perbaikan (Olson dan Desheng 2008; Reuvid 2008). 17
Identifikasi Risiko
Pengendalian dan evaluasi
komunikasi dan konsultasi
Penetapan Konteks
Analisis Risiko
Evaluasi Risiko
Perlakuan terhadap Risiko
Gambar 6. Proses Manajemen Risiko Sumber: GRA (2006) Teknik dalam identifikasi risiko dapat dilakuan dengan menggunakan brainstorming, kuesioner, patok duga industri (industry benchmarking), analisis skenario (scenario analysis), risk assessment workshop, investigasi kejadian (incident investigation), audit dan inspeksi, atau Hazard and Operability Studies (HAZOP) (Siahaan 2009; Hayes 2004). Teknik evaluasi dan pengukuran risiko dipilih berdasarkan jenis risiko yang akan diukur. Teknik ini terdiri dari: Value at Risk (VaR), stress testing, credit rating, creditmetricts, metode pengukuran jangka waktu, risk mapping atau matriks frekuensi dan keparahan, analisis skenario (Hanafi 2006; CAS 2003), atau Hierarchical Holographic Modeling (Haimes 2009; Haimes et al. 2002, 1995). Pengelolaan risiko dapat dilakukan dengan cara penghindaran risiko (risk avoidance), penahanan risiko (risk retention), pengalihan risiko (risk transfer) dan pengendalian risiko (risk control). Pengalihan risiko dapat dilakukan melalui asuransi, perlindungan nilai (hedging), atau pembentukan perseroan terbatas. Risiko yang tidak dapat dihindari, maka dilakukan pengendalian risiko. Dalam kerangka dua dimensi, yaitu frekuensi dan tingkat keparahan (severity), maka pengendalian bertujuan untuk mengurangi
peluang munculnya kejadian,
mengurangi tingkat keparahan (severity), atau keduanya (Field 2003). 18
2.4 Manajemen Risiko Agroindustri Risiko pertanian dapat dibedakan menjadi: risiko alam, risiko tanaman, risiko lahan, risiko persaingan internasional, risiko kebijakan, risiko teknologi, dan risiko petani (Su et al. 2011). Risiko alam terdiri dari risiko iklim, geologi, kelautan, dan sumberdaya alam. Risiko tanaman terdiri dari risiko produksi, permintaan, harga, serangan hama, serangan penyakit, cuaca, curah hujan, struktur pasar, pestisida, varietas, dan polusi. Risiko lahan terdiri dari risiko jenis lahan, kelangkaan lapisan dan air. Risiko persaingan internasional terdiri dari risiko impor dan ekspor yang terdiri dari risiko mutu, keamanan, dan harga. Risiko kebijakan terdiri dari risiko investasi finansial, harga, dan jasa informasi. Risiko teknologi terdiri dari risiko peralatan modern, organisasi, penyuluhan, dan teknisi. Risiko petani terdiri dari risiko pendapatan, pendidikan, dan populasi. Pada sudut pandang yang lain, risiko pada kegiatan agribisnis dapat dibedakan menjadi: risiko harga, risiko produksi, risiko aset, risiko kelembagaan, risiko keuangan, dan risiko sumberdaya manusia (Angelucci dan Conforti 2010). Ditinjau dari sisi pelaku, risiko yang dihadapi petani berasal dari berbagai sumber dari perubahan atau ketidakpastian, baik yang langsung maupun yang tidak langsung berhubungan dengan kegiatan usahatani. Oleh karena itu risiko yang dihadapi terdiri dari risiko produksi, risiko harga, risiko kehilangan aset, dan risiko teknologi (Miller 2004). Risiko harga terjadi sebagai akibat dari perubahan yang tak terduga atas harga input atau output.
Risiko produksi timbul dari bahaya alam yang
mempengaruhi jumlah atau mutu tanaman. Risiko aset timbul dari kerugian atas perubahan atau kehilangan yang terjadi pada peralatan, bangunan dan aset produktif lainnya. Risiko kelembagaan merupakan risiko yang timbul sebagai akibat dari perubahan kebijakan nasional dan internasional, atau perubahan konsentrasi kekuatan pasar sepanjang rantai nilai. Risiko keuangan merupakan risiko yang muncul dari perubahan tak terduga atas biaya modal, fluktuasi nilai tukar, atau gangguan dalam kemampuan untuk mengakses kredit.
Risiko
sumberdaya manusia muncul karena gangguan atau perubahan dari kapabilitas tenaga kerja. Risiko pengolahan terjadi sebagai akibat dari terjadinya variasi proses, atau terhentinya produksi. 19
Agroindustri merupakan aktivitas pemberian nilai tambah pada komoditas pertanian melalui pengolahan sebelum produk sampai di tangan kepada konsumen (Benfica 2002).
Risiko agroindustri dalam konteks sistem agribisnis dapat
ditinjau dari sisi pengadaan bahan baku, teknis dan teknologi, pemasaran, serta kelembagaan. Risiko pengadaan bahan baku merupakan parameter penting dalam risiko usaha agroindustri karena ketersediaan bahan baku tergantung pada sub sistem budidaya, yang memiliki ketidakpastian yang tinggi. Potensi risiko bahan baku disebabkan oleh sifat produksi yang musiman, sifat produk yang mudah rusak, bervariasi, dan bervolume besar, sifat produsen yang resisten terhadap inovasi serta sifat pasar yeng tersebar secara geografis dan unit-unit kecil dengan jumlah yang banyak (Austin 1992). Sebagian risiko pada agroindustri merupakan transmisi dari risiko yang dihadapi pada tingkat budidaya (Jafee et al. 2008). Risiko pada pelaksanaan kegiataan budidaya yaitu perubahan cuaca, bencana alam, biologi dan lingkungan, risiko pemasaran, risiko kebijakan dan kelembagaan, risiko logistik, serta risiko manajemen dan operasi. Secara umum risiko tersebut akan memberikan pengaruh pada kegiatan agroindustri terhadap ketersediaan, harga, mutu produk, serta biaya logistik.
Risiko bencana alam akan memberikan pengaruh pada biaya
pengembangan sumber pengadaan.
Risiko biologi dan lingkungan akan
berpengaruh pada reputasi merek dan akses pasar.
Risiko kebijakan dan
kelembagaan serta risiko logistik akan berpengaruh pada ketersediaan dan harga produk lain, serta biaya operasi dan kebutuhan terhadap sumber pengadaan lain. Risiko manajemen dan operasi akan berpengaruh pada keamanan produk, kehandalan produk, dan biaya operasi. Pengelolaan risiko merupakan upaya untuk menghindari atau mengurangi dampak risiko yang telah teridentifikasi. Strategi pengelolaan risiko pada bidang pertanian terdiri dari: strategi budidaya, strategi pembagian risiko, diversifikasi, jaminan sosial, pasar berjangka, atau asuransi. Adapun alat pengelolaan risiko antara lain asuransi pertanian (asuransi biaya, asuransi hasil, asuransi pendapatan, asuransi indeks meteorologi), contract farming, atau perdagangan berjangka komoditas pertanian (Qiao 2011).
Strategi pada tingkat budidaya ditekankan
kepada manajemen budidaya termasuk pemilihan produk dengan risiko rendah, 20
atau produk dengan siklus produksi yang pendek, memberikan kecukupan likuiditas, dan diverisifikasi produk. Strategi pembagian risiko termasuk kontrak produksi dan pemasaran, integrasi vertikal, pasar berjangka, partisipasi pada pendanaan bersama dan asuransi. Pasar berjangka akan membantu mengurangi risiko harga pada jangka pendek, dan pada saat yang bersamaan akan meningkatkan transparansi pembentukan harga. Strategi diversifikasi dilakukan melalui peningkatan pendapatan yang bersumber dari kegiatan di luar pertanian. Jaring pengaman merupakan sebuah strategi pengelolaan risiko yang disediakan oleh pasar. Risiko produksi dapat dilindungi dengan asuransi jika risiko sedikit berhubungan dengan invidu yang telah terlindungi oleh asuransi dan jika petani dengan perusahaan asuransi membangun informasi yang simetri.
2.5 Manajemen Risiko Investasi Agroindustri Investasi adalah awal kehilangan dari sesuatu yang akan ditukar dengan manfaat, sebagai bentuk antisipasi atas didapatkannya kembali dari yang ditanamkan. Perbedaan antara nilai yang ditanam dengan apa yang diperoleh kemudian merupakan pengembalian (return). Pengembalian adalah kompensasi yang diperoleh atas diserahkannya sejumlah modal. Berbagai bentuk investasi akan memberikan tingkat ketidakpastian yang berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat risiko yang dihadapi.
Dengan demikian maka analisis investasi
merupakan analisis yang mengintegrasikan aspek pengembalian dan risiko dalam sebuah kerangka analisis (Feibel 2003). Investasi pada sektor pertanian dapat dilakukan dalam berbagai bentuk model bisnis. Model bisnis merupakan cara dimana sebuah unit usaha mengelola sumberdaya, kerjasama, dan hubungan pelanggan dalam upaya menciptakan dan mendapatkan nilai. Derajat inklusivitas diukur dari kepemilikan, suara, risiko, dan penghargaan yang dibagi antar mitra kerja. Model kerjasama pada bidang budidaya adalah perjanjian pembelian, sewa lahan, bagi hasil, kontrak manajemen, join ventura (Vermeulen dan Cotula 2010). Dukungan pemerintah yang dapat diberikan antara lain dalam bentuk penyediaan peraturan, informasi, dan pelibatan kelompok.
21
Vermeulen dan Cotula (2010) menyebutkan beberapa pilihan bentuk lembaga pengolahan yaitu: koperasi pengolahan, kepemilikan bersama, atau pengolahan yang disediakan oleh perusahaan besar atau pengumpul. Dukungan pemerintah yang dapat diberikan antara lain dalam bentuk promosi, dan dukungan bisnis bagi peningkatan kepemilikan. Secara lebih spesifik, investasi agroindustri berdasarkan kepemilikannya dapat dibedakan menjadi: perusahaan agroindustri, unit pengolahan bersama, dan unit pengolahan perseorangan (VPA 2010). Perusahaan agroindustri biasanya dalam bentuk pabrik dengan mesin modern dan kapasitas besar, serta menerapkan sistem sanitary dan food safety. Perusahaan agroindustri biasanya merupakan eksportir yang melakukan kegiatan pembersihan, sortasi, dan pengemasan.
Ruang lingkup kegiatan perusahaan
dipengaruhi oleh bentuk pengadaan bahan baku lada. Perusahaan dimungkinkan memiliki kebun sendiri, kontrak pengadaan bahan baku dengan petani, atau pembelian bebas. Unit pengolahan bersama merupakan usaha milik badan usaha atau kelompok yang dioperasikan oleh tim manajemen. Unit pengolahan perseorangan merupakan unit pengolahan milik individu yang mensyaratkan luasan kebun tertentu dengan kemampuan pembiayaan investasi dan operasional yang tinggi. Tingkat pengembalian selama periode investasi (holding period of return) berdasarkan historis dihitung dengan melakukan perbandingan nilai akhir investasi (ending value of investment) terhadap nilai awal investasi (beginning value of investment). Analisis investasi meliputi pengukuran pengembalian dan pengukuran risiko. Pengukuran pengembalian dilakukan untuk mengetahui: (1) bagaimana nilai absolut dari portofolio yang berubah dari waktu ke waktu, (2) apakah penyebab kenaikan nilai, (3) apa dampak dari biaya manajemen, pajak, dan fluktuasi mata uang terhadap pengembalian, dan (4) bagaimana pengembalian dibandingkan dengan alternatif lain. Pengukuran risiko dilakukan untuk mengetahui: (1) berapa banyak total risiko diambil untuk mencapai tingkat pengembalian tertentu, (2) bagaimana peluang pencapaian tingkat pengembalian yang diharapkan, dan (3) apakah diperlukan acuan arah portofolio (Feibel 2003). Teknik pengukuran tingkat pengembalian biasanya dilakukan melalui analisis finansial. Kriteria investasi yang digunakan yaitu adalah Net Present 22
Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Net Benefit Ratio (Net B/C), dan Pay Back Period (PBP). Analisis tingkat pengembalian yang diketahui melalui analisis finansial memiliki keterbatasan (Merna dan Detlef 2000) yaitu: (1) analisis sensitivitas pada analisis finansial tidak menunjukkan indikasi peluang terjadinya perubahan, dan (2) pada variabel kunci antar variabel diasumsikan saling independen. Value at Risk (Var) merupakan sebuah standar industri dalam kuantifikasi risiko dan pengendalian pada perusahaan-perusahaan, terutama yang bergerak pada perdagangan instrumen pasar modal seperti lembaga finansial, perusahaan energi, dan lembaga non keuangan, dengan aktivitas yang signifikan pada pasar modal.
Pada perusahaan seperti ini, VaR digunakan untuk mengukur risiko
terhadap posisi keuangan. VaR merepresentasikan sebuah alat yang efektif dalam proses pengukuran dan pengendalian risiko. Manajemen risiko pada perusahaan non finansial lebih difokuskan kepada manajemen arus kas dan pendapatan, serta tidak kepada nilai pasar dari aset dan liabilitas. Oleh karena itu, perusahaan non finansial menerapkan teknik VaR untuk mengukur dan mengelola arus kas berbasis risiko (Cash Flow at RiskCFaR) dan pendapatan berbasis risiko (Earning at Risk-EaR). Tujuan dari CFaR dan EaR adalah untuk mengkuantifikasi dan mengendalikan variabel kunci yang berkontribusi terhadap perubahan pada arus kas dan pendapatan. Perhitungan yang dapat digunakan untuk mengestimasi mengukur dan mengelola arus kas berbasis risiko (Cash Flow at Risk-CFaR) dan pendapatan berbasis risiko (Earning at Risk-EaR) adalah: (1) Pro Forma Analysis, (2) Analisis Regresi, dan (3) Analisis Simulasi (Lam 2003). Pro Forma Analysis berbasis kepada kinerja dari setiap komponen pada arus kas dan laporan keuangan. Analisis finansial dugaan menjadi dasar yang kemudian digunakan untuk menetapkan variabel yang mungkin akan mempengaruhi outcome dari setiap elemen dan kisaran potensial perubahannya. Analisis regresi menghitung arus kas dan pendapatan pada variasi faktor risiko tertentu dan berbasis kepada analisis data deret waktu suatu unit usaha. Model ini menyediakan estimasi linear terhadap arus kas dan pendapatan pada aturan tertentu.
Analisis simulasi
menghitung potensi perubahan terhadap arus kas dan pendapatan atas perubahan 23
pada variabel kunci. Analisis finansial berbasis risiko dilakukan dengan cara menyusun diagram pengaruh (influence diagram) dan menghitung risiko yang menjadi pemicu (Shenkir dan Walker 2007). Pada kondisi dimana terdapat keterbatasan sumberdaya dan kemampuan, maka kegiatan pengelolaan risiko membutuhkan dukungan fasilitas dalam bentuk instrumen pengelolaan risiko. Fasilitasi adalah modifikasi dari sebuah sistem yang akan membuat sesuatu menjadi lebih mudah dalam proses pencapaian tujuan.
Fasilitasi digambarkan sebagai sebuah kondisi dari kesempatan,
sumberdaya, dukungan terhadap sebuah kelompok untuk mencapai tujuan mereka (NAPSF 2008). Fasilitasi bagi pengembangan komoditas melibatkan pemerintah, dunia usaha, donor, dan masyarakat. Bentuk fasilitasi dari setiap pelaku sejalan dengan peran yang diemban dalam pengembangan komoditas. Terdapat berbagai bentuk fasilitas yang dapat diberikan dalam upaya mempercepat pencapaian tujuan yaitu: fasilitas teknis, fasilitas finansial, fasilitas sumberdaya, fasilitas legal dan administratif (BSFMCT 2008). Instrumen pengelolaan risiko yang dapat meningkatkan kemampuan pengelolaan risiko pada rantai pasok komoditas pertanian dapat dikelompokkan menjadi (Jaffee et al. 2008): (1) adopsi dan pengembangan teknologi: penelitian dan pengembangan untuk perbaikan benih, penanganan pasca panen, teknologi informasi dan pengetahuan, serta penyuluhan (2) manajemen unit usaha: manajemen usahatani, manajemen usaha pengolahan, manajemen pengadaan barang, manajemen mutu, dan manajemen keamanan pangan; (3) instrumen finansial: pembiayaan, dan hedging; (4) infrastruktur: transportasi dan komunikasi, energi, transfer informasi dan pengetahuan, fasilitas penyimpanan dan penanganan produk, dan fasilitas pengolahan; (5) kebijakan: institutional arrangement, pengaturan, kebijakan pemerintah, hak kekayaan intelektual, dan peraturan perburuhan; serta (6) kemitraan: tindakan oleh kelompok tani, asosiasi, koperasi, dan kerjasama. Fasilitas teknis dilakukan dengan tujuan untuk memperbaiki infrastuktur teknologi.
Melalui fasilitasi ini maka diharapkan akan terbangun inovasi
teknologi yang akan mempercepat proses pengembangan komoditas. Tiga bentuk utama inovasi teknologi yang diharapkan dapat terjadi dalam infrastruktur 24
teknologi yaitu: (1) inovasi produk-proses, (2) inovasi pengetahuan-ketrampilan, dan (3) inovasi metode-sistem. Fasilitas
sumberdaya
manusia
dilakukan
dengan
tujuan
untuk
meningkatkan ketrampilan pengetahuan, keahlian, dan kreativitas dalam mengelola sumberdaya.
Fasilitasi sumberdaya manusia bertujuan untuk
meningkatkan proses pembelajaran yang menghasilkan peningkatan produktivitas dan efisiensi. Fasilitasi organisasi dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan
organisasi
dalam
melaksanakan
pengembangan
komoditas.
Peningkatan dilakukan terhadap perangkat organisasi dalam bentuk: metode, teknik, jaringan organisasi, dan manajemen praktis. Fasilitas pembiayaan diberikan dalam upaya untuk meningkatkan akses terhadap lembaga keuangan yang selama ini menjadi kendala bagi Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Hybrid Microfinancing adalah sebuah sistem perkuatan permodalan bagi usaha mikro melalui mekanisme pemadu-serasian sumbersumber pembiayaan dari dana masyarakat pada perbankan dengan dana pemerintah untuk penanggulangan kemiskinan serta perluasan lapangan pekerjaan (Kusmuljono 2009).
Pada sektor pertanian, beberapa jenis pembiayaan yaitu:
Kredit Usaha Rakyat (KUR), Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP), Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE), Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan (KPEN-RP), dan Skim Pelayanan Pembiayaan Pertanian (SP3). KUR adalah kredit atau pembiayaan kepada Usaha Mikro Kecil Menengah Koperasi dalam bentuk pemberian modal kerja dan investasi yang didukung fasilitas penjaminan untuk usaha produktif. KUR merupakan salah satu skim kredit yang diberikan oleh Perbankan dengan pola penjaminan, yang bekerjasama dengan Lembaga Penjamin yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Perkembangan
pelaksanaan program KUR, sangat ditentukan oleh terselenggaranya koordinasi yang melibatkan tiga unsur berikut: instansi/departemen pembina, perbankan, dan lembaga penjaminan. KUR untuk sektor pertanian diarahkan untuk mendukung program-program kementerian Pertanian dalam rangka pemenuhan permodalan untuk mengembangkan usahanya. Usaha sektor pertanian yang dapat dibiayai KUR (Direktorat Pembiayaan Pertanian 2012) meliputi: (1) aspek budidaya (on25
farm) yang terdiri dari: tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan; (2) aspek hulu yang terdiri dari: (a) pengadaan sarana produksi: pupuk, pestisida, herbisida, dan lain-lain; (b) pengadaan alsintan pra panen: traktor, pompa air, bajak, luku, pacul, mesin pembibitan (seedler), alat tanam bijibijian (seeder) dan lain-lain; serta (3) aspek hilir yang terdiri dari: (a) pengadaan hasil produksi: tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan, (b) pengadaan alsintan tanaman pangan; (c) pengadaan alsintan hortikultura; (d) pengadaan alsintan perkebunan antara lain meliputi: pengolah kelapa sawit mini, sangrai kopi, sangrai kakao, pengolah teh, pengolah lada, pengolah kelapa, kepras tebu, alat tebang (tracer), mesin pengolah biji jarak dan lain-lain; (e) pengadaan alsintan peternakan; dan (f) usaha budidaya, pengelolaan hasil dan pengadaan atau pembiayaan alsintan. Dalam upaya menyelesaikan permasalahan kurangnya akses kepada sumber permodalan, pasar dan teknologi, serta organisasi petani yang masih lemah, Kementerian Pertanian mulai tahun 2008 telah melaksanakan program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) dibawah koordinasi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-Mandiri) dan berada dalam kelompok program pemberdayaan masyarakat. Pola dasar PUAP dirancang untuk meningkatkan keberhasilan penyaluran dana BLM PUAP kepada Gapoktan dalam mengembangkan usaha produktif petani dalam mendukung empat sukses Kementerian Pertanian yaitu: (1) pencapaian swasembada dan swasembada berkelanjutan; (2) peningkatan diversifikasi pangan; (3) peningkatan nilai tambah, daya saing dan ekspor, serta (4) peningkatan kesejahteraan petani. Skim Kredit Ketahanan Pangan (KKP), yang sumber dananya berasal dari Perbankan dengan subsidi suku bunga bagi petani dan peternak disediakan oleh pemerintah, telah diluncurkan sejak tahun 2000. Dalam perkembangannya KKP mengalami penyesuaian dari tahun ke tahun, sejak Oktober 2007 KKP disempurnakan menjadi Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE). Hal ini mengadopsi upaya mengurangi ketergantungan energi berbahan baku fosil dan perkembangan teknologi energi dikembangkan energi lain yang berbasis sumber energi nabati.
26
Berdasarkan peruntukannya, penyaluran kredit perbankan untuk Usaha Kecil Menengah dan Mikro (UMKM) lebih banyak diserap untuk keperluan konsumsi bila dibandingkan untuk investasi dan modal kerja. Penyebarannya masih belum merata dan alokasinya masih terpusat didaerah perkotaan, sedangkan untuk daerah perdesaan alokasinya masih kurang. Penyaluran KUR masih terkonsentrasi di pulau Jawa dan didominasi sektor perdagangan, sedangkan provinsi di luar Jawa pada umumnya masih terbatas. Penyaluran KUR untuk sektor diluar perdagangan seperti: pertanian dan perikanan masih rendah. Aternatif sumber pembiayaan non perbankan yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku usaha agribisnis adalah dana Social Corporate Responsibility (CSR), antara lain dana Program Kemitraan dan Bina Lingkungan BUMN (PKBLBUMN). Sesuai Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Penyisihan dan Penggunaan Laba BUMN dapat digunakan untuk keperluan pembinaan terhadap usaha kecil atau koperasi dan pembinaan masyarakat sekitar BUMN melalui PKBL-BUMN, termasuk usaha sektor pertanian. Pinjaman diberikan untuk membiayai modal kerja dan atau pembelian aktiva tetap dalam rangka meningkatkan produksi dan penjualan usaha kecilnya. Usaha kecil yang dibiayai adalah usaha produktif yang mempunyai prospek dikembangkan antara lain perdagangan, industri kecil, jasa, budidaya pertanian (tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan), perikanan, dan promosi (Direktorat Pembiayaan Pertanian 2011).
2.6 Posisi Penelitian Penelitian tentang risiko telah dilakukan pada berbagai aspek dan bidang kajian, termasuk agroindustri.
Identifikasi risiko yang dilakukan berbasis
pendekatan rantai komoditas dapat memberikan gambaran risiko secara komprehensif (Zeng et al. 2007; Jaffee et al. 2008; Su et al. 2011). Perhitungan risiko dapat dilakukan dengan berbasis data histori atau berbasis pengetahuan. Logika fuzzy merupakan metode yang dapat digunakan pada perhitungan risiko yang berbasis pengetahuan.
Pendekatan logika fuzzy pada analisis risiko
diaplikasian pada beberapa metode antara lain: fuzzy logic (Shull 2006), fuzzy geometric mean FMEA (Wang et al. 2009), grey relational analysis (Su et al. 27
2011), fuzzy reasoning approach (Zeng et al. 2007), fuzzy AHP (Buchmeister et al. 2006), fuzzy inference system (Markowski 2008), serta
fuzzy application
procedure (Mure dan Demichela 2009). FMEA merupakan salah satu alternatif kerangka analisis yang dapat digunakan dalam menilai risiko.
Sebagai upaya untuk memperhitungkan
penilaian secara detail, pada kasus tertentu diperlukan perhitungan bobot komponen risiko (occurrence, severity, dan detection) serta bobot pakar (Wang et al. 2009). Selain itu untuk mendapatkan gambaran secara menyeluruh, perlu dilakuan agregasi nilai risiko dan statusnya. Pada situasi tertentu, analisis pengelolaan risiko tidak mencukupi, sehingga diperlukan analisis lanjutan berkaitan dengan analisis kerentanan (vulnerability analysis) sebagai dasar untuk menentukan dukungan fasilitas berupa pemberian instrumen pengelaan risiko (Jaffee et al. 2008). Validasi model analisis risiko dapat dilakukan dengan studi kasus seperti dilakukan oleh Su et al. (2011), Zeng et al. (2007), serta Mure dan Demichela (2009). Analisis finansial pada investasi agroindustri telah dilakukan pada berbagai komoditas pertanian. Sebagian besar analisis merupakan kajian yang melakukan analisis sensitivitas dengan melakukan simulasi atas asumsi yang ditetapkan.
Analisis risiko merupakan salah satu dasar simulasi yang dapat
digunakan untuk mengetahui kinerja investasi. Penggunaan SPK dalam proses manajemen risiko investasi telah diterapkan pada berbagai bidang. Caliskan (2006) mengembangkan SPK bagi evaluasi investasi pada sektor transportasi, Marquez dan Carol (2006) pada bisnis teknologi, serta Wang (2005) pada investasi real estate. Secara lebih spesifik, T.Aven (2003) mengintegrasikan analisis risiko sebagai bagian dari proses pengambilan keputusan. Pada bidang pertanian telah dibangun SPK pada model AgriSupport yang membantu perencanaan dalam usahatani (Recio et al. 2003), sedangkan pada analisis risiko rantai pasok telah dikembangkan Rapid Agricultural Supply Chain Risk Assessment (RapAgRisk) (Jafee et al. 2008), namun belum dikembangkan dalam bentuk SPK. Penelitian ini merupakan analisis manajemen risiko pada investasi agroindustri lada putih, yang didalamnya menggabungkan analisis risiko dan 28
analisis finansial dengan perhitungan sensitivitas yang menggunakan teknik simulasi berbasis risiko. Kebaharuan pada penelitian ini terdapat pada risiko yang teridentifikasi, penilaian risiko, dan analisis lanjutan bagi pengelolaan risiko, serta terintegrasinya analisis risiko dan analisis investasi pada sebuah kerangka analisis. Identifikasi risiko dilakukan dengan menggunakan pendekatan sistem komoditas. Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan adanya transmisi risiko pada mata rantai lain, sehingga diperlukan kerangka identifikasi risiko yang komprehensif.
Risiko
pada
aspek
agroindustri
diidentifikasi
dengan
menggunakan pendekatan sumber risiko (Haimes 2009), selain itu diperhitungkan transmisi risiko (Jaffee et al. 2008) sehingga diperhitungkan risiko pada aspek budidaya, pemasaran, finansial dan kelembagaan. Identifikasi pada aspek lain dilakukan dengan menggunakan risiko pada konsep pertanian (Miller et al. 2004), agribisnis (Angelucci dan Conforti 2010), rantai pasok (Kim et al. 2004). Dilakukan penambahan jenis risiko pada aspek budidaya, pemasaran, dan kelembagaan berdasarkan struktur dan perilaku sistem komoditas obyek kajian. Perbaikan penilaian risiko dilakukan dengan menggunakan pendekatan logika fuzzy yang memungkinkan dilakukan penilaian bagi data yang bersifat pengetahuan. Pendekatan logika fuzzy tersebut yang diaplikasikan pada fuzzy weighted average FMEA.
Perbaikan penilaian risiko juga dilakukan dengan
mengaplikasikan penambahan perhitungan bobot komponen risiko (occurrence, severity, dan detection), serta perhitungan bobot pakar.
Penelitian ini juga
melakukan agregasi nilai risiko untuk mendapatkan status risiko secara keseluruhan yang tidak dilakukan pada setiap analisis risiko pada penelitian lain. Berkaitan dengan pengelolaan risiko, pada penelitian ini dilengkapi analisis lanjutan dalam bentuk analisis kerentanan (vulnerability) dan analisis instrumen pengelolaan risiko. Nilai kerentanan (vulnerability) yang dihasilkan dapat menggambarkan perbandingan antara kemampuan untuk mengelola risiko dengan nilai risiko.
Analisis kerentanan (vulnerability) tidak dipetakan pada
matriks dua dimensi seperti kebanyakan dilakukan, tetapi dipetakan pada grafik dalam bentuk radar chart. Hal ini dilakukan untuk memperbaiki visualisasi nilai tersebut.
Analisis ini merupakan dasar untuk menentukan dukungan fasilitas
dalam bentuk instrumen pengelolaan risiko. Analisis instrumen risiko dilakukan 29
dengan metode perbandingan berpasangan untuk mendapatkan nilai prioritas antar instrumen pengelolaan risiko. Analisis kelayakan investasi diperkaya dengan melakukan simulasi kelayakan investasi berbasis kepada nilai risiko yang telah dianalisis sebelumnya. Pendekatan ini dapat memperbaiki kelemahan analisis kelayakan investasi yang dilakukan secara konvensional.
Hal ini mampu memberikan gambaran
menyeluruh mengenai perilaku kinerja investasi yang dipengaruhi oleh risiko. Keseluruhan aspek kajian diintegrasikan dalam sebuah kerangka analisis dalam bentuk Sistem Penunjang Keputusan Sistem Manajemen Risiko Terpadu pada Investasi Agroindustri dengan nama SMART INVEST.
Model ini
merupakan integrasi atas berbagai aspek analisis yang didalamnya terdapat kebaharuan yang dihasilkan dari penelitian ini. Model yang dibangun merupakan sistem
komputerisasi
informasi
yang
menggunakan
model-model
yang
diakomodasikan dengan basis data. Pada SPK yang dibangun dipaparkan secara rinci elemen-elemen sistem, sehingga dapat menunjang pengguna dalam proses pengambilan keputusan.
SPK akan menghasilkan gambaran bagi investor
mengenai kelayakan investasi dan pengaruh risiko terhadap kelayakan investasi, gambaran bagi pelaku dalam sistem komoditas mengenai risiko pengelolaan risiko terpadu, serta panduan bagi pemerintah dan stakeholder lain dalam penyusunan instrumen pengelolaan risiko.
30