2 TINJAUAN PUSTAKA Sistem Distribusi Distribusi adalah upaya untuk menghantarkan produk (barang dan jasa) ke tempattempat yang paling mudah untuk dijangkau konsumen, pada saat yang tepat. Distribusi merupakan kegiatan yang tidak menimbulkan nilai tambah secara langsung kepada barang dan jasa tetapi mutlak diperlukan. Barang dengan kualitas baik yang gagal disampaikan ke tangan konsumen pada saat yang tepat pada akhirnya tidak akan mendatangkan keuntungan. Sistem distribusi didefinisikan sebagai rangkaian dan keterkaitan secara menyeluruh dari sub-sub sistemnya yang mencakup sub sistem utama yaitu bahan, fasilitas, manusia dan lingkungan. Sub sistem bahan yang harus diperhatikan yaitu unsur mutu, jumlah, waktu, harga dan jenisnya. Sub sistem distribusi perlu didukung oleh fasilitas bangunan, alat angkut, jalan, alat komunikasi dan pasar. Sistem distribusi juga selayaknya ditunjang oleh adanya sumberdaya manusia yang handal, cakap, terampil bersikap baik dan berpengetahuan. Sub sistem lingkungan yang terdiri dari lingkungan mikro dan makro memberikan kontribusi kelancaran sistem distribusi (Anwar, 1998). Dalam kaitannya dengan beras, distribusi terkait dengan tingkat kualitas beras yang ternyata berbeda-beda untuk pasar lokal, pasar supermarket, dan pasar stok nasional Seringkali beras ditolak di pasar karena derajat sosoh kurang dari 90 persen (Suwamo, 2001). Kualitas tersebut sangat ditentukan oleh kualitas bahan baku, mesin pengolah, dan manusia sebagai pengelolanya. Di samping subsistem bahan sebagai penentu sistem distribusi, fasilitas merupakan unsur pendukung yang sangat penting. Jika suatu daerah tidak terhubung jaringan transportasi dengan daerah lainnya atau biaya transportasi sangat tinggi, maka daerah tersebut terpaksa menggantungkan dirinya pada hasil-hasil produksi dari sumber alamnya sendiri. Beras sebagian besar diangkut dengan kapal laut yang mencakup lebih dari 80 persen total pemindahan beras antar daerah. Di daerah Kalimantan distribusi beras banyak dilakukan melalui sungai. Distribusi melalui darat menggunakan truk biasa dilakukan untuk pemindahan antar sub Dolog atau antar Dolog yang prasarana angkutan daratnya memadai (Amang dan Sawit, 1999). Transportasi berkaitan erat dengan pergudangan karena keduanya meningkatkan manfaat barang. Transportasi dapat menciptakan manfaat tempat, yaitu dengan memindahkan 7
barang dari suatu tempat ke tempat lain yang tidak memilikinya. Di lain pihak, penyimpanan memungkinkan barang disimpan sampai pada saat dibutuhkan yang berarti menciptakan manfaat waktu. Sistem distribusi mencakup transportasi dan penyimpanan. Sistem distribusi yang baik dapat menjamin terjadinya pengiriman barang secara efisien (biaya murah dan tepat waktu), sekaligus menjamin tersedianya persediaan yang mencukupi kebutuhan untuk setiap sentra konsumen (Nasution, 2000). Distribusi beras di Indonesia diatur oleh pemerintah, karena karakteristik kegiatan produksi dan pemasarannya tidak sama dengan produk dari sektor industri dan jasa. Sejak tahun 1983, program peningkatan produksi padi dalam negeri mengalami keberhasilan, sehinggap roduksi dan persediaan beras mencukupi kebutuhan dalam negeri. Sudah lama pemerintah memiliki kebijakan untuk melindungi pendapatan riil Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Angkatan Bersenjata Repulik Indonesia (ABRI), oleh karenanya sebagian upah PNS dan ABRI diberikan dalam bentuk natura (beras), sekaligus kebijakan distribusi ini difungsikan sebagai outlet penyaluran untuk persediaan Bulog dalam rangka mempertahankan harga dasar untuk merangsang pertumbuhan produksi. Bulog pada prinsipnya didirikan untuk menguntungkan produsen dan sekaligus tidak merugikan konsumen (Amang dan Sawit, 1999). Pada dasarnya ada empat golongan distribusi yang pada waktu itu dilayani oleh Bulog yaitu golongana anggaran (PNS dan ABRI), BUMN, Operasi Pasar Murni (OPM) dan distribusi lain-lain. Distribusi tersebut ada yang memiliki kepastian dalam jumlah seperti distribusi untuk PNS dan ABRI ada juga yang tidak memiliki kepastian seperti untuk OPM yang ditujukan untuk menjaga batas harga beras tertinggi. Distribusi lain-lain yang dimaksud adalah untuk persediaan bencana alam dan sejenisnya. Namun sejak tahun 2000 pemerintah merubah struktur Bulog dan melalui Keppres No 29/2000 ditegaskan bahwa tugas Bulog adalah melaksanakan tugas umum Pemerintah dan pembangunan di bidang manajemen logistik melalui pengelolaan persediaan distribusi dan pengendalian harga beras serta usaha jasa logistik sesuai dengan peraturan perundangundangan. Dalam hal ini Bulog dapat memainkan dua peranan yaitu pengamanan harga gabah dan subsidi beras ke kelompok sasaran. Disamping ini, monopoli Bulog atas distribusi beras telah dihentikan sehingga Bulog harus mencari pelanggan baru yang dikenal dengan istilah effective marketing yaitu membeli beras dengan mutu baik, merawat dengan lebih baik, dan mendistribusikan beras yang bermutu dengan baik (Alexander, 2000). 8
Beras Beras adalah produk utama hasil penggilingan gabah kering. Beras merupakan salah satu di antara tiga jenis biji-bijian terpenting di dunia, di samping gandum dan jagung. Di Indonesia sekitar 95 persen penduduk mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok, sehingga kebutuhan Indonesia terhadap beras sangat besar. Kebutuhan ini secara nasional hampir dua setengah kali jumlah beras yang beredar di pasar dunia. Tabel 1 menunjukkan perkembangan produksi beras di Indonesia dari tahun 1998 sampai dengan tahun 2011. (BPS, 2009).
Tabel 2. Produksi dan impor beras Indonesia (1998-2011) Tahun
Luas Panen (juta Ha) 11,73 11,96 11,79 11,49 11,52 11,45 11,92 11,89 11,78 12,15 12,34 12,88 13,253 13,566
Produksi GKG (juta ton) 49,24 50,87 51,90 50,46 51,49 52,14 54,09 54.15 54,45 57,16 60,28 64,38 66,469** 65,385**
Produksi setara beras (juta ton) 31,11 32,15 32,80 31,89 32,54 32,95 34,18 34,22 34,41 36,13 37,81 41,39 41,70 41,03
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Sumber : 1. http://www.bps.go.id/brs_file/aram_03nov08.pdf?
Impor beras (juta ton) 2,90 4,75 1,36 0,64 1,81 1,41
1,56 0,25* -* -
2. *) http://www.bumn.go.id/23775/publikasi/berita/bulog-izinkan-penyelidikan-imporberas-2007/ 3. **) http://www.bps.go.id/tnmn_pgn.php?eng=0
Keterangan: GKG = Gabah Kering Giling. Konversi GKG ke beras = 63,2 (sampai th 2007) Konversi GKG ke beras = 62,74% (sejak 2009)
Beras diperoleh dari tanaman padi (Oryza) yang terbagi menjadi dua jenis spesies utama yaitu O. sativa dan O. glaberrima. Jenis yang paling banyak ditanam di seluruh dunia adalah O. sativa, yang berasal dari daerah tropis Asia dan memiliki ribuan sub species. O. glaberrima berasal dari Afrika Barat, terutama di daerah dengan curah hujan tinggi. 9
Pihak yang terlibat dalam budidaya dan perdagangan beras membedakan beras berdasarkan kriteria yang berbeda. Kelompok pemulia tanaman (breeder) mengelompokkan beras ke dalam tiga varietas yaitu Indika, Javanika dan Japonika. Jenis Indika tersebar didaerah tropis berkelembaban tinggi, Timur Tengah, Eropa, dan Afrika. Jenis Javanika yang berbiji gemuk dan berbatang tinggi tersebar di sebagian Asia dan kepulauan terdekat meliputi Indonesia, Filipina, Jepang, dan Taiwan, sedangkan jenis musim dingin Japonika, semula dikembangkan di lembah sungai Yangse di China kemudian pertama kali diperkenalkan ke Korea, Jepang dan belakangan ke Eropa Selatan, Rusia, Amerika Serikat dan Amerika Selatan (FAO, 2006). Kelompok pedagang beras (traders), di lain pihak, menggunakan bentuk biji atau kernel untuk membedakan varitas. Bentuk kernel tersebut sangat penting dalam perdagangan internasional karena untuk setiap kegunaan memerlukan bentuk kernel yang spesifik. a.
Long grain rice. Beras ini mempunyai bentuk kernel panjang dan ramping yang akanmenghasilkan nasi yang kering dan lepas-lepas (pera). Jenis ini disukai di Eropa, Amerika Utara dan Selatan, Asia Tenggara, dan Timur Tengah.
b.
Medium grain rice. Beras ini memiliki bentuk kernel panjang dan gemuk, yang akan menghasilkan nasi lebih pulen (sticky and softer). Ini merupakan jenis yang disukai di RR Cina, Jepang, Korea,Italia dan Spanyol.
c.
Round grain rice. Beras ini berbentuk kernel mendekati bulat. Jenis ini juga disukai di daerah yang menyakai medium grain rice.
Pada umumnya data statistik konsumsi dan perdagangan padi dinyatakan dalam bentuk beras. Sebaliknya data produksi pada umumnya dinyatakan dalam bentuk jumlah gabah kering panen (GKP) atau gabah kering giling (GKG). Dengan menggunakan faktor konversi gabah ke beras atau sebaliknya maka dua jenis data tersebut dapat dengan mudah dimanfaatkan.
10
Beras dan gabah di Indonesia secara tradisional dipasarkan dari petani ke konsumen melalui beberapa saluran seperti yang diperlihatkan pada Gambar 1. Saluran tataniaga ini tidak mengalami banyak perubahan sampai saat ini.
Gambar 1. Saluran pemasaran beras tradisional (BULOG, 1993)
Beras dikumpulkan dari sejumlah petani yang masing-masing menjual hasil panennya kepada sejumlah pedagang perantara, penggilingan padi dan koperasi. Petani pada umumnya tidak mempunyai dana dan fasilitas untuk mengolah atau menyimpan hasil panennya sehingga harus cepat-sepat melepas produknya pada saat panen. Akibatnya petani tidak mempunyai daya tawar yang cukup kuat. Apalagi pada umunnya mereka telah terikat kepada pedagang perantara secara finansial, misalnya dengan sistem ijon.
11
Variasi saluran pemasaran gabah dari petani ke pihak lain sampai menjadi beras di tangan konsumen dapat terjadi di setiap wilayah. Sebagai contoh, Gambar 2 memperlihatkan saluran pemasaran gabah dan beras di beberapa kabupaten.
Keterangan Kabupaten: 1=Indramayu, 2=Majalengka, 3=Klaten, 4=Kediri, 5=Ngawi, 7=Sidrap
Gambar 2. Jalur pemasaran gabah/beras di tujuh Kabupaten, 2002. (Rusastra dkk., 2002)
Pengaruh Liberalisasi Perdagangan Liberalisasi perdagangan
telah mengubah peta produksi pangan dan peta impor
pangan. Pasokan pangan termasuk beras bergeser dari negara-negara LDC (less Developing Countries) ke DC (Developed Countries). Laju impor pangan/ beras Negara – Negara LDC semakin meningkat, sedangkan laju ekspor negara-negar DC semakin pesat akibat dari terbukanya pasar yang selama ini ditutup dengan berbagai cara seperti adanya hambatan TB (tariff barrier) maupun hambatan NTB (non-tariffbarrier).
12
Liberalisasi perdagangan juga telah menyebabkan surplus di sejumlah negara seperti Uni Eropa, AS, Kanada dan Australia. Pada umumnya surplus tersebut dilempar ke pasar dunia sehingga menyebabkan harga terus merosot. Penurunan harga tersebut tentu telah menguntungkan konsumen secara global tidak terkecuali konsumen di negara-negara miskin yang menikmati penurunan harga ini. Sebaliknya terjadinya penurunan harga bagi petani berskala sempit seperti Jepang, Korsel, Indonesia yang luas usaha taninya tidak lebih dari 1,5 Ha, tidak akan mampu bersaing dengan petani AS/Kanada/Australia yang rata-rata luas usaha taninya 100 - 200 Ha/petani. Negara-negara terakhir ini di samping telah menggunakan teknologi produksi yang cukup efisien, mereka juga diperkuat oleh infrastruktur pemasaran dan perdagangan yang cukup baik dan efisien, sehingga mereka mampu menghemat biaya pemasaran/ekspor. Kecuali Jepang, Taiwan dan Korsel, pada umumnya negara-negara importir beras didukung oleh infrastruktur pertaniannya yang buruk terutama untuk pengolahan dan distribusi hasil, sehingga telah meningkatkan ongkos transaksi seperti kerugian akibat kerusakan, waktu menunggu dan sebagainya, yang akhimya meningkatkan ongkos pemasaran atau perdagangan sehingga berpengaruh kepada nilai jualnya (Sawit, 2000). Posisi perdagangan beras dalam kerangka GATT atau WTO sangat unik mengingat kompleksnya masalah yang dihadapi dalam kaitannya dengan aspek ekonomi, sosial dan politik suatu negara. Dalam perdagangan beras dunia Indonesia mengikuti ketentuan GATT dengan melakukan tarifikasi dan akses pasar tanpa mengurangi perlindungan terhadap petani. Kesepakatan GATT atau WTO masih memberi kesempatan Indonesia untuk memberlakukan tarif impor untuk komoditas beras. Bea masuk impor yang diperbolehkan adalah 90 persen untuk volume impor hingga 70 ribu ton dan 160 persen untuk volume impor diatas 70 ribu ton. Dengan demikian, sambil mempelajari perkembangan harga internasional dan dalam upaya meningkatkan daya saing beras di pasar dalam negeri, pemerintah dapat menerapkan strategi pembatasan beras impor melalui pemberlakuan tarif, sehingga harga paritas impor beras setara dengan harga beras domestik (Sudaryanto, et al.,, 2000).
Dalam satu dekade terakhir, volume beras yang diperdagangkan meningkat sekitar 2 kali lipat dibandingkan pada awal tahun 1980-an. Pada tahun 1984 misalnya, volume beras yang diperdagangkan hanya 11,7 juta ton, kemudian naik menjadi 19,3 juta ton tahun 1994. Volume beras yang diperdagangkan di pasar dunia pada tahun 1999 menjadi 25,2 juta ton. Pertumbuhan ekspor dan impor diperkirakan menurun dalam periode 1994-2005 13
dibandingkan dengan periode 1984-1995 yaitu masing-masing tumbuh 1,99 persen/tahun dan 5,25 persen/tahun (Sawit, 2000).
Pasar beras internasional masih belum berubah dari pasar tipis (thin market), yaitu pasar yang perdagangannya didominasi oleh sekitar enam negara eksportir penting dan tetap belum dapat disebut sebagai pasar persaingan bebas. Harga beras pasar dunia di masa mendatang tetap masih tidak stabil, dan pada tahun 2000 harga beras kualitas sedang tetap rendah yaitu sekitar US$ 190/ton. Dalam kaitan itulah maka untuk negara yang berpenduduk banyak seperti Indonesia, ketahanan pangan nasional dan pengurangan jumlah orang miskin hanya mungkin dapat dicapai serta resikonya lebih kecil apabila Indonesia mampu meningkatkan produktivitas dan efisieni produksi beras, dan tidak terlalu banyak bergantung pada beras impor. Angka impor beras yang aman untuk Indonesia oleh karena itu tidak boleh melebihi 5 persen dari jumlah produksi dalam negeri dan harus ditangani dengan lebih serius di masa mendatang. Misi seperti ini jelas akan sangat berat bila ditimpakan kepada satu sektor atau satu departemen teknis saja seperti Departemen Pertanian. Ini adalah tugas nasional dan harus dipikul oleh banyak pihak dalam kerangka memperkuat ketahanan pangan nasional (Sawit, 2000).
Perkembangan Pasar Beras Dalam Negeri Sasaran kebijakan pangan merupakan bagian dari sasaran pembangunan nasional yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Konsisten dengan hal tersebut, maka sasaran kebijakan pangan dapat digolongkan sebagai berikut. (i). Meningkatkan produksi pangan sampai dapat mencukupi kebutuhan dalam negeri (aspek kecukupan) (ii). Meningkatkan pendapatan petani tanaman pangan (aspek pendapatan), (iii). Mengendalikan kecukupan pangan sehingga tersedia di seluruh wilayah dalam waktu dan jumlah yang cukup serta dalam batas harga yang layak bagi masyarakat (aspek stabilitas harga, dan (iv). Memperbaiki mutu produksi pangan (aspek gizi) (Amang dan Sawit, 1999).
14
Usaha yang berkaitan dengan sasaran tersebut dilakukan secara serentak. Yaitu, di bidang peningkatan produksi sebagai komoditas pangan yang bersumber dari nabati maupun hewani, pengendalian konsumsi terutama yang berhubungan dengan kecukupan dan mutu gizi, serta kelancaran distribusi untuk menjamin tersedianya pangan secara merata di berbagai tempat (Amang dan Sawit, 1999). Gabah produksi dalam negeri yang dibeli oleh pemerintah adalah gabah kering giling yang harus memenuhi persyaratan yang ditentukan seperti dipaparkan dibawah ini. 1. Persyaratan umum a. Bebas hama dan penyakit yang hidup; yaitu ada tidaknya kehadiran hama (serangga hama, ulat, dan sebagainya) dan/atau penyakit (cendawan dan sebagainya) yang hidup dan terdapat pada contoh gabah yang diperiksa. Bebas hama/penyakit berarti secara visual tidak ditemui hama/penyakit yang hidup dalam contoh gabah yang diperiksa (contoh primer). b. Bebas bau busuk, asaln atau bau-bau asing lainnya, yaitu bau yang dapat ditangkap oleh indra penciuman (hidung) pada contoh gabah yang diperiksa. Bau yang ditolak adalah bau busuk, asam atau bau-bau asing lainnya yang jelas berbeda dengan bau gabah yang sehat. c. Bebas dari tanda-tanda adanya bahan kimia yang membahayakan baik secara visual maupun secara organoleptik yaitu, sisa-sisa bahan kimia seperti pupuk, insektisida, fungisida
dan
bahan-bahank
imia
lainnya
yang
membahayakan
kesehatan/
keselamatmaann usia. 2. Persyaratan Khusus a. Kadar air
Maksimum 14 persen
b. Butir hampa./kotoran
Maksimum 3 persen
c. Butir Kuning/rusak
Maksimum 3 persen
d. Butir hijau/mengapur
Maksimum 5 persen
e. Butir Merah
Maksimum 3 persen
Indonesia termasuk negara berkembang yang sangat berani dalam
mengarahkan
kebijaksanaan perdagangan sesuai dengan tuntutan mekanisme pasar. Hal ini ditandai dengan dua hal pokok, di bawah ini. 15
(a) Ikut sertanya Indonesia dalam meratifikasi kesepakatan perdagangan baik dalam konteks global (WTO) maupun regional (APEC, AFTA, dll); (b) Sejalan dengan butir (a) deregulasi sektor perdagangan domestik telah ditakukan dengan sangat dalam dan meluas. Sejalan dengan arah perdagangan secara umum, perdagangan beras Indonesia juga telah menunjukkan perubahan yang fenomenal. Di masa lalu, sebagai bagian dari kebijaksanaan stabilitas harga dasar dalam negeri, Bulog memegang monopoli dalam impor beras Indonesia. Dengan kewenangan tersebut, BULOG dapat mengatur kapan dan berapa harus mengimpor beras untuk mengamankan cadangan beras dalam negeri. Dengan demikian pengaruh fluktasi harga Internasional terhadap harga beras dan gabah dalam negeri dapat dihindarkan. Hasil analisis menunjukan bahwa koefisien variasi harga beras di pasar dunia lebih tinggi (23 persen ) dari koefisien variasi harga beras dalam negeri (9 persen). Dalam hal ini Bulog berhasil mengendalikan harga beras dan gabah dalam negeri (Sudaryanto, et al., ,2000).
Impor beras bukan hal yang baru bagi Indonesia akan tetapi volumenya sangat kecil pada tahun 1980-an. Indonesia adalah salah satu Negara yang berhasil dalam memacu produksi padi selama awal revolusi hijau tahun 1970-an sampai pertengahan 1980-an. Namun demikian sejak 1990-an, suplai beras dalam negeri tidak lagi dianggap mampu memenuhi laju permintaan beras dalam negeri karena meningkatnya pendapatan dan jumlah penduduk, yang berakibat impor beras terus meningkat dari tahun ke tahun. Selama periode 1985-1990, impor beras per tahun rata-rata mencapai 101 ribu ton, tetapi sejak tahun 1991 impor beras telah mencapai angka yang lebih tinggi. Pada tahun 1992 mencapai 634 ribu ton. Impor beras dihentikan pada tahun 1993, karena diramalkan bahwa produksi dalam negeri akan mencukupi kebutuhannya, tetapi ramalan tersebut ternyata meleset akibat kemarau panjang tahun 1993-1994, sehingga pada tahun 1995 impor melonjak menjadi tiga juta ton (Sawit, 2000)
Sebagai bagian dari paket kebijakan pemerintah dalam perberasan pada Desember 1998 peran monopoli Bulog dalam hal impor beras dihapuskan sehingga importir swasta dapat mengimpor beras sesuai dengan mekanisme pasar. Pada tahun 1999, impor beras oleh pihak swasta telah memegang peran 64 persen dari total impor. Stok beras yang berlebih inilah yang menjadi salah satu sumber dari sulitnya mengangkat harga beras dalam negeri saat 16
ini, walaupun bea masuk telah ditetapkan sejak Januari 2000. Dampak penetapan tarif impor beras adalah sebagai berikut. 1.
Atas dasar kesepakatan IMF, ditetapkan tarif impor beras Rp. 430/kg atau setara dengan 30 persen. Dari perspektif makro, pengenaan tarif impor beras tidak bersifat inflatoir. Setiap kenaikan 1 persen tarif impor beras hanya akan menaikkan harga beras domestik sebesar 0,04 persen, sehingga bea masuk sebesar 30 persen hanya meningkatkan harga beras domestik 1,2 persen dengan sumbangan inflasinya sebesar 0,07 persen. Suatu indikasi bahwa penetapan tarif berdampak sangat kecil terhadap inflasi dan relatif tidak mengganggu stabilitas perekonomian nasional. Hal senada diungkap oleh Dawe (1999) bahwa bea masuk 25 persen tidak akan berdampak inflasi, sedangkan bea masuk 30 persen hanya menaikan harga beras domestik 5 persen serta dampak inflasi 0,32 persen.
2.
Dengan penetapan tarif impor yang realistik dan efektif, maka harga beras domestik relatif stabil dan petani dapat menikmati harga dasar gabah yang diberlakukan karena mereka masih berstatus net producer dengan mengkonsumsi sekitar 20 - 60 persen dari total produksinya.
3.
Manfaat lain yang timbul dengan diberlakukannya kebijaksanaan tarif impor beras adalah (a) peningkatan pendapatan petani dan produksi beras nasional, (b) tercapainya tingkat harga dasar yang telah ditetapkan pemerintah, (c) stabilitas harga dalam negeri, dan (d) mengurangi beban anggaran pemerintah untuk pengamanan harga dasar gabah.
4.
Elastisitas produksi terhadap harga gabah sebesar 0,04 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa petani merespon untuk meningkatkan produksi melalui perbaikan manajemen usahatani yang disebabkan oleh kenaikan harga gabah (Sudaryanto et al., 2000).
Beras juga harus dipandang sebagai bahan semi publik, karena tidak saja berfungsi sebagai bahan privat, tetapi juga barang publik. Banyak kepentingan publik dihasilkan oleh komoditas beras dan juga lahan sawah. Beras memberikan sumbangan besar terhadap ketahan pangan, stabilitas ekonomi, dan lapangan kerja. Sementara itu sawah juga memberikan andil yang juga sangat banyak seperti sebagai penyerap air, pencegah erosi, pengatur suhu udara, produsen udara segar, diversitas biota, pemandangan indah, dan penahan arus urbanisasi (Sawit, 2000). Konsumsi beras dalam negeri terus meningkat terutama didorong oleh pertumbuhan penduduk dan meningkatnya konsumsi per kapita kelompok berpendapatan menengah ke 17
bawah. Pada tahun 2000 diperkirakan konsumsi beras telah mencapai 35 juta ton. Sayangnya, produksi gabah cenderung menurun dan variasi pertumbuhan produksi gabah semakin besar khususnya dalam 1990-an sehingga menyebabkan ketidakstabilan pasokan gabah dalam negeri. Demikian juga rendemen gabah ke beras semakin menurun sehingga berpengaruh negatif pada persediaan beras dalam negeri. Stagnansi pertumbuhan produksi padi/beras diindentifikasikan oleh Dillon et al., (1999) sebagai berikut (a) Stagnasi dan degradasi teknologi, (b) kesuburan tanah yang semakin merosot, (c) kejenuhan intensitas tanam, (d) Rendemen penggilingan yang semakin menurun, (e) Serangan hama dan penyakit, dan (f) Iklim yang tidak normal. Oleh karena itu masih banyak peluang untuk memacu produksi beras ke tingkat yang lebih tinggi apabila kita semua serius memecahkan konstrain tersebut dan perlu dilaksanakan secara terencana dan serius. Perkembangan politik dan ekonomi yang semakin membaik belakangan ini, diharapkan
memberikan
kesempatan
dan
peluang
untuk
diversifikasi
produksi
pangan/padi/beras yang lebih besar, terutama dipacu oleh mekanisme pasar. Faktor yang perlu diperhatikan adalah agar tidak ada lagi intervensi pasar yang distortif dan harus ada pengawasan secara transparan melalui berbagai lembaga pengawasan yang sudah ada termasuk DPR-MPR. Menurut Tampubolon (2000) dalam kondisi yang lebih terbuka ini, ada beberapa faktor yang patut diperhitungkan yang akan mempengaruhi produksi beras dalam negeri sebagai berikut. 1. Pengaruh sisi permintaan terutama yang berkaitan dengan selera. Dengan membaiknya ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Indonesia, akan ada perubahanyang sangat berarti dalam konsumsi beras dari segi jumlah dan mutu. Petani akan lebih berorientasi pada peningkatan pendapatan, dari pada peningkatan produksi. 2. Faktor kemampuan alamiah juga patut dipertimbangkan. Tidak banyak lagi lahan tersedia untuk dikembangkan menjadi lahan sawah beririgasi yang produktif. Jika mengandalkan impor juga dimasa depan akan menimbulkan banyak masalah dan mahal. 3. Gerakan produksi beras dan konsumsi beras, serta program diversifikasi pangan dimasa depan akan dipengaruhi pula oleh seberapa jauh kita berhasil dalam mengembangkan sistem perdagangan yang canggih pada komoditas pertanian agar nilai tambah dari perdagangan ini bisa kita raih sebagai sumber pertumbuhan ekonomi. 18
Penentuan kebutuhan beras bagi Indonesia pada saat ini dilakukan dengan menggunakan rumus jumlah penduduk dikalikan kebutuhan rata-rata perkapita (113,5 kg perkapita). Untuk itu kebutuhan beras tahun 2011 dihitung sebesar 237 juta x 113,5 kg perkapita = 26,899 juta ton Menurut BPS produksi GKG Indonesia tahun 2011 adalah 65,385 juta ton yang setara dengan 41,02 juta ton beras (rendemen 62,74 persen). Perkiran produksi tersebut masih dianggap jumlah kotor karena belum dikurangi gabah untuk bibit dan pakan dan persentasi susut pasca panen yang angkanya diperkirakan mencapai 10,5 persen, sehingga diproduksi beras bersih kurang lebih 36,71 juta ton. Angka ini menunjukkan adanya kelebihan produksi beras di dalam negeri. Akan tetapi ternyata, kelebihan produksi ini tidak serta merta dapat menyetop masuknya beras impor baik secara legal maupun ilegal. Produksi beras dan kualitas beras harus dapat ditingkatkan yaitu dengan cara memperbaiki angka rendemen yang terus merosot menjadi 62 persen pada tahun 1998 (rendemen pada tahun 1950 mencapai 71 persen), karena setiap penurunan satu persen rendemen setara dengan kehilangan sekitar 0,5 juta ton beras. Walaupun banyak faktor yang mempengaruhi nilai rendemen, akan tetapi perhatian perlu diberikan pada penggilingan padi. Penggilingan padi saat ini didominasi oleh penggiling skala kecil dan umumnya telah tua sehingga berpengaruh buruk terhadap rendemen dan kualitas beras. Oleh karena itu, perlu pula dipertimbangkan pemberian sanksi misalnya pengenaan pajak apabila tidak mampu memenuhi standar minimum rendemen. Produksi beras lokal yang berkualitas baik, seperti Rojolele, Solok, beras Cianjur dan sebagainya yang punya karakteristik tertentu harus pula digalakkan guna memenuhi kebutuhan kelompok berpendapatan menengah ke atas yang terus bertambah jumlahnya, dengan memperbaiki aspek pemasaran seperti grading, packing, labelisasi yang transparan dan jaminan kualitas/mutu.
Langkah-langkah yang telah ditempuh oleh pemerintah dalam melaksanakan kebijakan pangan yang berkaitan dengan tugas Bulog adalah sebagai berikut (i) subsidi input produksi, (ii) kebijakan harga, dan (iii) pembenahan kelembagaan pangan. Pemerintah menetapkan sistem harga baik untuk output maupun input pertanian. Khusus untuk input pupuk, bahan kimia serta benih unggul pemerintah menetapkan harga subsidi kepada petani dengan harapan agar petani dapat menerapkan teknologi tersebut ke dalam usaha-taninya. Pemberian subsidi pupuk dimaksudkan untuk meningkatkan 19
penggunaan pupuk yang merupakan pelengkap input produksi terhadap varietas unggul (HW). Dengan pemberian pupuk lebih banyak sampai batas tertentu, akan meningkatkan produksi beras. Sayangnya kebijakan ini tidak dapat sepenuhnya dinikmati petani, karena banyak pupuk dengan harga subsidi dijual ke pihak non pertanian pangan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Lembaga distribusi beras Lembaga pangan yang berkaitan dengan distribusi dan logistik khususnya beras telah lama dikenal di tanah air. Pada zaman Belanda lembaga tersebut dinamai VMF (Voeedings Middelen Fonds) dan zaman jepang dikenal dengan nama Sangyobu-Nannyo Kohatsu Kaisha (SKK). Pemerintah Belanda merasa perlu campur tangan dalam perdagangan beras untuk kepentingan politik serta ekonominya. Campur tangan ini didasari pada pengalaman pahit, karena kerajaan Mataram pernah memonopoli perdagangan beras dan menutup pelabuhan di pantai Utara Jawa sehingga telah
melumpuhkan perdagangan VOC dan merugikan
pemerintah Belanda. VMF kemudian mengatur impor beras dengan memberikan lisensi dan kuota kepada swasta. Pada masa pemerintahan Jepang, campur tangan pemerintah bergeser. Lembaga tersebut dipakai untuk mendukung logistik bala tentara Jepang dalam perang Pasifik. SSK menjadi satu-satunya lembaga yang diperbolehkan membeli padi. Peran swasta dalam aktivitas perdagangan beras antar pulau dibatasi. Swasta hanya diberi peran oleh pemerintah Jepang terbatas pada kegiatan penggilingan padi milik pemerintah (Sapuan, 2000). Harga beras pernah meningkat tajam setelah Indonesia merdeka, yaitu pada akhir tahun 1957, sehingga menurunkan pendapatan riil kelompok masyarakat berpendapatan tetap. Kemudian ditempuh kebijakan distribusi fisik beras yang semula hanya untuk kelompok pendapatan tetap (PNS dan TNI), selanjutnya meluas kepada rakyat sehingga telah merepotkan pemerintah yaitu tidak mampu menyediakan beras untuk memenuhi kebutuhan. Selanjutnya pemerintah membentuk YBPP (Yayasan Badan Pembelian Padi)
untuk
mengumpulkan, mengolah dan mendistribusikan beras ke konsumen. Pada saat inflasi melanda Indonesia begitu dahsyat, maka beras dipakai sebagai alat untuk meredam inflasi, karena beras berperan sebesar 65 persen dalam perhitungan index harga komoditas (IHK) untuk 9 bahan pokok, dan 31 persen dalam IHK umum. Pemerintah perlu campur tangan yaitu dengan menyediakan dana sebesar 40 persen dari total anggaran, pemerintah menumpuk stok 20
beras baik berasal dari dalam negeri maupun dari impor kemudian dijual pada tingkat harga separohnya (Sapuan, 1991) . Lembaga yang ditugaskan untuk melaksanakannya adalah Badan Urusan Pangan (BPUP), kemudian diubah menjadi Kolognas. Mubyarto (1975) menyebutkan bahwa kebijakan beras murah pada masa Orde Lama (Orla) telah membunuh insentif petani untuk meningkatkan produktivitas padi/ beras. Pergantian rezim dari Orla beralih ke Orba telah mengubah pula kebijakan pangan khususnya beras. Pada tahun 1967, lembaga Kolognas diganti menjadi Bulog dengan tugas pokok sebagai lembaga stabilitas harga beras, gabah, gandum serta bahan pokok lainnya. Sejak itulah lembaga ini telah menjadi lembaga stabilitas harga pangan khususnya beras dengan instrumen kebijakan bufferstock. Tujuan kebijakan stabilitasi harga beras untuk melindungi keduanya sekaligus yaitu konsumen dan produsen padi/ beras, disamping tentunya mengendalikan inflasi. Seperti diketahui insentif petani padi telah diabaikan dalam masa Orla (Mubyarto,1975). Bulog pada prinsipnya didirikan untuk menguntungkan produsen, sekaligus tidak merugikan konsumen, sedangkan secara makro, tujuan pembentukannya adalah untuk menciptakan kesejahteraan petani produsen dan melindungi konsumen secara ekonomi yang sekaligus menciptakan stabilitas yang kondusif untuk peningkatan produksi dan pendapatan petani dari usaha tani padi. Tujuan tersebut dalam prakteknya selalu menimbulkank epentingan yang berlawanan. Produsen di satu sisi mengharapkah harga yang cukup tinggi untuk hasil produksinya sedangkan konsumen disisi lain menginginkan harga yang rendah untuk mempertahankan nilai riil pendapatannya. (Amang dan Sawit, 1999). Keberhasilan program produksi padi dalam negeri pada tahun 1983 menyebabkan pasokan beras melonjak tajam sehingga surplus tersebut perlu diserap agar harga padi/beras tidak jatuh. Bulog dalam hal ini terpaksa membeli beras dalam jumlah yang lebih banyak dari biasanya, sehingga terjadi penumpukan stok beras yang berlebih. Hal ini berdampak langsung pada peningkatan biaya penyimpanan yang mencakup biaya penurunan mutu, susut, biaya bunga bank, biaya perawatan, dan lain-lain. Pada saat itulah dirancang suatu outlet tambahan yaitu penyaluran untuk PNS dan TNI/Polisi, di samping tetap mempertahankan outlet yang telah ada seperti OPM. Era keterlibatan dari penyaluran beras untuk kelompok anggaranpun dimulai.
Para pegawai sipil dan militer dijadikan sebagai salah satu saluran penting
pemasaran beras pemerintah dalam rangka mengemban stabilitas harga beras. Disamping itu, lembaga ini juga berperan untuk mendistribusikan beras dalam arti memindahkan beras yang 21
dikumpulkan di daerah surplus beras, kemudian disalurkan ke daerah-daerah defisit sehingga harga beras antar daerah dan antar musim tidak bergejolak yang terlalu tinggi, dan tetap berada di dalam batas-batas harga terendah dan tertinggi. Pada waktu itu, antara 5-10 persen total beras dalam negeri diserap oleh Bulog. Lembaga ini berkembang menjadi satu-satunya perusahaan yang mampu membeli beras dalam jumlah besar dengan kapasitas dan distribusi gudang yang cukup memadai serta tersebar di berbagai wilayah di tanah air. Tidak ada lembaga pemasaran swasta dan koperasi yang mampu menyaingi infrastruktur ini, maupun volume beras yang dikuasai Bulog. Volume beras yang dikuasai oleh masing-masing pedagang swasta dan koperasi sangat kecil dibandingkan dengan yang dikuasai Bulog, sehingga dengan kekuatan ini Bulog telah menjadi penentu harga beras di pasar dalam negeri. Dalam melaksanakan kegiatan stabilitas harga tersebut, KUD juga didorong untuk ikut serta di dalamnya. Bulog ditugaskan membeli beras tidak langsung kepada petani/ swasta, tetapi melalui KUD sehingga dengan kebijakan ini dapat mendorong keterlibatan koperasi dalam perdagangan beras. Pada periode 1996 - 1998, 76 persen sampai 89 persen pembelian Bulog berasal dari KUD. Harga pembelian beras oleh Bulog dari lembaga KUD sedikit lebih tinggi dari pembelian dari swasta, tujuannya adalah untuk mendorong berkembangnya kekuatan ekonomi lembaga koperasi. Pembelian langsung (Satgas Bulog) paling banyak 5 persen, sisanya dari non-KUD atau swasta ( Amang dan Sawit, 1999). Dalam paradigma baru, campur tangan pemerintah dalam memberikan jaminan pasar bagi hasil pengadaan beras dalam negeri cenderung semakin dikurangi. Hal ini ditandai dengan keluarnya Keppres 17/ 2000 tanggal 21 Februari 2000 tentang pelaksanan APBN, pasal 28 ayat I yang menyebutkan bahwa kepada pegawai negeri sipil/ TNl dan Polri/ penerima pensiun beserta keluarganya diberikan tunjangan beras dalam bentuk uang (innatura). Keputusan pemerintah tersebut memberikan implikasi yang cukup luas baik bagi golongan anggaran, perdagangan beras, maupun. bagi organisasi Bulog. Selaku konsumen beras, keadaan ini memberikan kebebasan bagi golongan anggaran untuk menentukan preferensi beras yang ingin dikonsumsinya. Akibatnya, melalui partisipasi langsungnya bergerak menuju pasar beras, terbukalah kesempatan bagi dunia perdagangan beras untuk mengatur kuantitas dan kualitas persediaan beras sesuai mekanisme pasar yang sangat dipengaruhi oleh aspek permintaan dan penawaran. Pada tahun 1999, pemerintah menyediakan dana sekitar Rp. 800 Milyar untuk pengadaan pangan yang disalurkan langsung kepada KUD. Akan tetapi dana ini yang 22
bersumber dari KLBI telah dihentikan sejak akhir tahun 1999. KUD semakin terbatas dalam melaksanakan pembelian beras dalam negeri, sehingga penyerapan produksi beras tertumpu pada swasta dan tentunya pada lembaga Bulog. Kedua lembaga ini juga terkendala dengan modal/ dana serta semakin kecilnya margin perdagangan sebagai akibat suplai beras impor yang berlebih masuk ke pasar dalam negeri (Sapuan, 2000). Perubahan keadaan sosial, politik maupun ekonomi yang begitu cepat akhir-akhir ini, telah membawa pengaruh besar kepada lembaga Bulog. Lembaga ini harus mampu menyesuaikan
diri
dengan
perubahan
tersebut,
melakukan
penyesuaian
terhadap
perkembangan demokrasi, penerapan hukum, transparansi, pengurangan KKN dan lain-lain tidak saja di lingkup Bulog tetapi juga berlaku untuk semua lembaga publik lainnya. Dalam tatanan dan perubahan inilah, maka Bulog juga harus menyesuaikan diri dengan hal-hal yang penting dibawah ini. 1. Komitmen pemerintah terhadap IMF yaitu mensyaratkan agar Bulog beroperasi hanya pada komoditas beras, dan lembaga ini tidak mendapat perlakuan khusus seperti biasanya, sehingga kegiatan Bulog harus mampu bersaing dengan swasta. Penerapan tarif impor beras bulan Januari 2000 misalnya, Bulog mendapat perlakuan yang sama dengan swasta bila mengimpor beras, yaitu harus membayar bea masuk sesuai dengan ketentuan. 2. Desentralisasi pembangunan daerah dan pembagian dana pembangunan yang tertuang dalam UU no.22 dan no. 25, tahun 1999, telah membawa pengaruh semakin kuatnya peran pemerintah daerah dalam mengambil keputusan termasuk keputusan yang terkait dengan Bulog. Perubahan penyaluran beras untuk PNS daerah misalnya, akan membawa konsekuensi terhadap pembelian gabah dalam rangka penangkalan turunnya harga pada musim panen raya. 3. BI tidak lagi menyediakan KLBI untuk mendukung program pengadaan dan penyaluran beras sesuai dengan tugas Bulog. Dalam melakukan kegiatannya Bulog harus bergantung kepada kredit komersial, sehingga biaya yang harus ditanggung Bulog dan pendapatan dari pinjaman tersebut harus menjadi sandaran keputusan setiap aktivitas Bulog. 4. Pemerintah diperkirakan akan membuat program Jaringan Pengamanan Sosial (JPS) pangan yang permanen.
Menurut Alexander (2000) dalam membuat suatu pendekatan pemasaran terhadap saluran distribusi, banyak usaha pemasaran yang mengakui bahwa membuat pendekatan saluran distribusi ini lebih superior daripada pendekatan suatu perusahaan tunggal saja, 23
sehingga pendekatan pemasaran ini meniadakan batas-batas penyelenggaraan hanya dengan sistem vertikal. Terdapat empat pendekatan yang umum dipakai oleh penulis pemasaran untuk mengkaji dan menguraikan perihal saluran distribusi. 1.
Deskriptif Intstitusional : pendekatan ini untuk menganalisa saluran distribusi yang berfokus kepada identifikasi, deskripsi dan klasifikasi lembaga-lembaga perantara.
2.
Mata rantai : pendekatan ini menggambarkan suatu struktur distribusi yang paling lazim terdapat dalam saluran barang konsumen, yaitu saluran grosir-pengecer-konsumen. Kebanyakan barang konsumen diproduksi secara massal itu mencapa ipasar melalui grosir dan pengecer.
3.
Pengelompokan komoditi: Pendekatan ini menggabungkan pendekatan institusional dan mata rantai dalam suatu komoditi.
4.
Fungsional : pendekatan fungsional adalah pendekatan untuk memberikan penjelasan yang logis mengenai proses pemasaran keseluruhan. Di dalam pemasaran suatu fungsi adalah suatu aktivitas ekonomi terpenting yang harus dilaksanakan sampai tingkat tertentu dalam memasarkan semua produk.
Sistem distribusi/ pemasaran beras merupakan bagian yang penting dari mata rantai sejak produksi sampai ke tangan konsumen. Sistem distribusi/ pemasaran juga akan berpengaruh terhadap efisiensi pasar suatu barang atau pangan beras. Pemasaran yang menimbulkan biaya tinggi akan berdampak bukan saja mengurangi surplus produsen, tetapi juga akan membebani konsumen. Dalam distribusi/ pemasaran pangan, terdapat banyak variasi dalam jumlah rantai agen-agen pemasaran, dari yang cukup sederhana yaitu mata rantai yang pendek sampai ke pemasaran yang melibatkan mata rantai yang panjang (Kamaluddin, 2000). Struktur pasar beras domestik saat ini sudah mengalami perubahan dengan dibukanya kesempatan impor beras secara bebas oleh swasta. Pada pasar beras yang terbuka, maka suplai beras dalam negeri dapat berasal dari produksi dalam negeri atau impor, sehingga secara keseluruhan suplai beras di pasar domestik tidak lagi sepenuhnya mencerminkan suplai hasil panen petani akan tetapi dihitung dari kontribusi impor. Konsekuensi logis pada harga beras di pasaran memiliki sifat tidak simetris dengan perkembangan harga gabah (Kamaluddin, 2000). Pola pemasaran komoditi pertanian pada umumnya akan selalu mengalami perubahan dan perkembangan yang terjadi pada struktur produksi dan konsumsi. Tidak saja itu tetapi 24
situasi perekonomian dengan mengikuti mekanisme pasar bebas juga akan kait mengkait dengan pasar komoditi pertanian, karena pemasaran pangan merupakan salah satu dari subsistem dalam ekonomi makro secara keseluruhan. Untuk itu signifikasi pasar yang efisien dari komoditas pangan khususnya beras akan memberikan kontribusi peningkatan nilai tambah dan surplus produsen maupun konsumen (Kamaluddin, 2000). Bulog dengan kekuatan logistik baik SDM dan infrastrukturnya kini telah lebih tegas arahnya, yaitu sebagai salah satu lembaga yang memperkuat ketahanan pangan nasional dan rumah tangga, khususnya melalui komoditas beras. Tugas tersebut disusun sejalan dengan amanat UU No.7 tahun 1996 tentang pangan. Adalah tidak mungkin, ketahanan pangan nasional dan rumah tangga dapat diwujudkan tanpa memberikan perhatian terhadap perdagangan dan distribusi, dan masalah ini tentu sebagian sangat terkait dengan fungsi logistik yang dikuasai pemerintah (Sapuan, 2000). Campur tangan pemerintah khususnya dalam bidang distribusi dan perdagangan produk pertanian terjadi karena karakteristik kegiatan produksi dan pemasaran komoditas pertanian yang tidak sama dengan produk-produk dari sektor industri dan jasa. Tingkat campur tangan tersebut tentunya berbeda antara satu komoditas dengan komoditas pertanian lainnya (Sapuan, 2000). Justifikasi campur tangan dalam komoditas beras/padi tidak saja dilakukan pemerintah Indonesia tetapi juga negara-negara lain di Asia, karena beras dianggap sebagai komoditas kuasi publik, punya nilai strategis secara nasional, sehingga campur tangan tersebut tidak mungkin dapat dihindari (Tsujii, 1998; Ditlon et aI., 1999; dan Sawit, 2000). Sejumlah ekonom pembangunan sepakat perlunya intervensi pemerintah dalam pasar, karena ketidakmampuan pasar konvensional berfungsi secara sempurna. Smith dan Thomson (1991) menyebutkannya dengan alasan sebagai berikut. 1. Asimetri dalam informasi dan hal ini menjadi ciri yang menonjol atas pasar barangbarang hasil pertanian, terutama di negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia. Artinya tingkat harga yang terjadi di pasar tidak menggambarkan efisiensi serta tidak selalu ditangkap dengan baik oleh para produsen. 2. Komoditas pertanian bergantung pada lahan dalam hamparan yang luas serta pemilikannya tersebar, bergantung pada iklim, musim dan kesuburan tanahnya, sehingga tidak mungkin faktor produksi penting seperti lahan ini menjadi mobile untuk dipindahkan, serta tidak mungkin komoditas tersebut dapat diproduksikan bila tidak 25
sesuai dengan iklim, musim serta jenis tanahnya, sehingga sinyal harga pasar tidak dapat direspon oleh produsen. 3. Produk pertanian terutama pangan sebagian besar terkait dengan sifat dan perkembangan kehidupan petani yaitu bergerak dari subsisten (peasant) ke semi-komersial (farming) ke komersial (agribusiness). Akan tetapi dalam kenyataannya hal tersebut berjalan dan tumbuh secara bersama sehingga muncul dualisme ekonomi seperti diungkapkan Boeke (1953) di dalam Sapuan (2000).
Bulog juga melakukan distribusi dalam arti pemindahan beras untuk meratakan penyediaan pangan di seluruh wilayah Indonesia. Dengan begitu, akan lebih mudah bagi Bulog untuk menyalurkannya bila sewaktu-waktu terjadi gejolak harga di suatu tempat. Angkutan yang digunakan untuk pemindahan beras antar daerah dapat berupa angkutan laut, angkutan darat, angkutan sungai maupun angkutan udara. Pemindahan beras dengan menggunakan angkutan udara hanya dilakukan di Irian Jaya dari Jaya Pura atau Biak ke Wamena. Angkutan yang terbesar digunakan adalah angkutan laut, yaitu lebih dari 80 persen total pemindahan beras antar daerah. Hal ini sesuai dengan keadaan geografis Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau. Angkutan sungai hanya sekitar 1,5 persen dan terbatas di Kalsel dan Kalteng. Sedangkan angkutan darat banyak dilakukan dalam pelaksanaan pemindahan regional antar Subdolog dalam suatu Dolog, misalnya dari pusat produksi ke pelabuhan/pusat konsumsi seperti dari Kediri ke Surabaya di Jawa Timur. Atau, pemindahan antar propinsi yang prasarana transportasinya telah cukup tersedia, misalnya dari Jawa Timur ke Jakarta Raya (Amang dan Sawit, 1999). Pada dasarnya campur tangan pemerintah terhadap komoditas pertanian terutama pangan di Indonesia hampir selalu diawali oleh adanya kegagalan pasar dalam menjawab fenomena “kelebihan pasokan“ maupun “kelebihan permintaan”. Kegagalan pasar ini sangat menonjol ketika musim panen dan umumnya hanya berlangsung dalam waktu relatif singkat serta terkonsentrasi pada daerah produsen, sementara konsumen tersebar di banyak tempat, sehingga munculah hambatan struktural karena faktor geografis dan klimatologis (Sapuan, 2000). Kebijakan distribusi di Indonesia ditujukan kepada para penerima penghasilan tetap. Mereka adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan anggota ABRI, yang sebagian upahnya berbentuk natura (jatah beras) yang dibayarkan melalui Departemen Keuangan. Pada 26
awalnya, kebijakan ini untuk melindungi pendapatan riil PNS dan ABRI. Tetapi sejak 1983, dengan berhasilnya program peningkatan produksi padi dalam negeri, kebijakan distribusi tersebut sekaligus berfungsi sebagai outlet penyaluran untuk persediaan Bulog yang dikumpulkan guna mempertahankan harga dasar untuk merangsang pertumbuhan produksi (Amang dan Sawit, 1999). Aspek distribusi atau logistik terkait erat dengan ketahanan pangan nasional dan rumah tangga, seperti yang diungkapkan oleh Braun, et al., (1992) dengan alasannya sebagai berikut. 1. Kebijakan penyimpanan dan perdagangan untuk tujuan stabilitas harga, mampu pula menghindari gejolak harga. Kebijakan ini berpengaruh positif pada rangsangan dari para petani untuk berproduksi (meningkatkan produksi pangan) serta berdampak positif terhadap pendapatan rumah tangga. Untuk mencapai kestabilan harga pangan, maka diperlukan biaya yang tidak kecil untuk mencapainya. Oleh karena itu, tidak semua negara industri di Asia seperti Jepang dan Korea Selatan, mengganggap bahwa biaya yang dikeluarkan untuk kebijakan ini masih lebih kecil dari ongkos yang ditanggung akibat mengabaikannya, karena ketahanan pangan terkait erat dengan pertumbuhan industri. 2. Target bantuan dan subsidi pangan langsung tentu lebih baik dari pada melalui bantuan dalam bentuk uang
tunai.
Pada kebijakan terakhir, rumah tangga tidak langsung
terjamin tercapainya ketahan pangan, karena mereka dapat membelanjakan uang tersebut untuk keperluan lainnya. 3. Program darurat khusus untuk mengatasi masalah kelaparan, terutama yang disebabkan oleh bencana alam dan sejenisnya. Kegiatan ini tidak saja dapat dilaksanakan oleh lembaga tetapi juga dapat dilaksanakan oleh LSM seperti dilakukan untuk program OPM beras di wilayah miskin di lima kota beras di Jawa.
Penyaluran beras Bulog dapat dikelompokkan dalam empat golongan, yaitu Golongan Anggaran (PNS dan ABRI), BUMN, Operasi Pasar Murni (OPM) dan penyaluran lain-lain. Penyaluran beras kepada golongan anggaran dan BUMN merupakan penyaluran yang berdasarkan perjanjian (kontrak jual beli) dengan jumlah yang relatif pasti setiap tahunnya. Penyaluran OPM dimaksudkan untuk menjaga harga batas tertinggi dengan menambah kekurangan penawaran di pasaran umum. Dengan demikian, jumlah penyaluran untuk OPM tidak pasti setiap tahunnya tergantung pada stabilitas perkembangan harga beras di pasar 27
umum. Di sisi lain, penyaluran lain-lain ditujukan untuk memenuhi kebutuhan darurat seperti bencana alam dan sebagainya (Amang dan Sawit, 1999). Rata-rata pengadaan beras oleh Bulog sampai tahun 1998 dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Pengadaan Beras Dalam Negeri oleh Bulog (1996-1998)
Tabel 3 memperlihatkan bahwa porsi beras dalam negeri yang dibeli Bulog merupakan bagian kecil dari total produksi. Besarnya hanya berkisar antara 0,84 persen sampai 8,86 persen. Angka pengadaan tertinggi pada tahun 1989 inipun tidak pernah terulang lagi. Artinya sebagian besar beras produksi dalam negeri pada akhirnya tetap berada di tangan masyarakat, yaitu petani produsen pedagang, KUD, dan grosir.
28
Sistem Dinamis
Sistem Dinamis adalah cabang dari management science yang berkaitan dengan dinamika dan pengendalian sistem (Coyle, 1996). Sistem dinamis dikembangkan sebagai kelanjutan dari penggunaan operation research di bidang bisnis sejak akhir perang dunia II dan merupakan aplikasi teori pengendalian sistem (control system) pada tahun 1960-an. Teknik operation research (semacam Linear Programing) tidak dapat sepenuhnya diterapkan untuk sistem yang kompleks dan dinamis. Demikian pula teknik matematik teori pengendalian sistem disadari oleh pelopornya (Forrester dari Massachuset Institute of Technology) tidak dapat digunakan untuk menangani Sistem Dinamis karena sistem tersebut cenderung lebih kompleks dari pada persoalan keteknikan. Untuk keperluan itu kemudian dikembangkan oleh Forrester bahasa simulasi komputer khusus agar memungkinkan perhitungan-perhitungan di dalam Sistem Dinamis dilakukan dengan cepat dan mudah. Sistem Dinamis telah banyak dimanfaatkan untuk memodelkan berbagai persoalan dalam berbagai aspek antara lain total quality management (Hidaka, 1999), industri bunga potong (Catley et al., 1999), industri perikanan (Dias et al, 1999) dan industri peternakan sapi (Woodford, 1999). Paradigma Sistem Dinamis menuntut adanya definisi tentang sistem. Dalam hal ini sistem didefinisikan secara pragmatis sebagai sekumpulan bagian (parts) yang diorganisir untuk tujuan tertentu (Coyle, 1996). Yang dimaksud sebagai "bagian" dapat berupa “bagian rekruitmen pegawai” dalam sebuah perusahaan atau “bagian pemasaran” yang diorganisir dengan cara tertentu sehingga mereka dapat berkontribusi dalam pencapaian tujuan sistem seperti kelangsungan usaha atau kesejahteraan perusahaan. Ketidak-berhasilan pencapaian tujuan sistem dengan demikian dapat disebabkan oleh buruknya rancangan bagian, atau jeleknya hubungan antar bagian, atau karena adanya gangguan dari luar, atau karena buruknya kebijakan yang diterapkan untuk mencapai tujuan tersebut. Tujuan dasar Sistem Dinamis, yaitu untuk mendapatkan kualitas disain yang comparable dan unjuk kerja sistem yang baik. Dalam rangka mencapai maksud tersebut, untuk Sistem Dinamis diadopsi cara pandang seperti yang diperlihatkan pada Gambar 3, yang didukung dengan prosedur sistematis. Kata-kata yang tertulis di sekeliling lingkaran menekankan pentingnya paradigma info/aksi/konsekuensi. Informasi akan menghasilkan aksi-aksi yang mempunyai konsekuensi dan selanjutnya akan menghasilkan informasi baru, dan seterusnya. 29
Rangkaian perubahan tersebut merupakan perilaku dinamis sistem. Status sistem akan berubah bersama waktu dan pola perilakunya akan dipengaruhi oleh seberapa baik informasi dan aksi disesuaikan satu sama lain dan seberapa baik penanganan konsekuensinya. Dalam hal ini proses penyesuaian (tuning) harus memperhitungkan faktor keterlambatan (Delay) yang hampir selalu muncul. Sebagai contoh, informasi tentang kekurangan stok pangan di suatu daerah memerlukan waktu tunda (Dk) untuk diubah menjadi pengetahuan (knowledge). Kemudian, untuk mengambil tindakan (aksi) berdasarkan pengetahuan tersebut sehingga menghasilkan pilihan-pilihan juga memerlukan waktu tunda (Dc). Dan terakhir, terdapat DS yang merupakan waktu tunda yang biasanya terjadi sejak sesuatu pilihan aksi diambil sampai pengaruhnya terasa oleh sistem dalam bentuk tercapainya kondisi tertentu sistem (stok terpenuhi atau masih tetap kurang)
Gambar 3. Paradigma Sistem Dinamis: Informasi/Aksi/Konsekuensi
Berdasarkan cara pandang tersebut maka Sistem Dinamis dapat didefinisikan sebagai aplikasi pola pikir control engineer untuk perbaikan perilaku dinamis sistem-sistem yang dapat diatur. Perbaikan yang dimaksud meliputi analisis sistem sedemikian rupa sehingga pemodel dapat melakukan hal-hal dibawah ini : • Memodelkan interaksi antara informasi, aksi dan konsekuensi yang melahirkan perilaku dinamis. • Mendiagnosa penyebab munculnya perilaku yang menyimpang (faulty behaviour). • Mengatur (tuning) umpan balik yang dapat menghasilkan perilaku yang lebih baik. 30
Dalam pengertian sistem yang dapat diatur selalu terkandung dua hal, yaitu adanya upaya untuk membuat suatu urusan menjadi lebih baik melalui pengajuan pertanyaan yang dapat melahirkan kebijakan dan kriteria, serta ditemuinya lingkar umpan balik yang dibedakan sebagai lingkar negatif dan positif. Lingkar negatif dapat dikenali dari adanya target yang ingin dicapai berdasarkan adanya jarak antara kondisi yang diinginkan dengan kenyataan, sedangkan lingkar positif ditandai dengan adanya mekanisme pertumbuhan atau akumulasi (seperti tabungan di bank yang jumlahnya selalu bertambah akibat adanya bunga sebagai parameter pengubah). Menurut Coyle (1996), analisis Sistem Dinamis dilakukan secara terstruktur melalui lima tahap pendekatan sebagai berikut.
1. Pengenalan masalah (who cares dan why) 2. Pemahaman masalah dan deskripsi sistem (melalui penyusunan diagram sebab akibat atau influence diagram) 3. Analisa kualitatif atau pendalaman diagram pengaruh. Kadang-kadang persoalan dapat diselesaikan di sini sehingga tidak perlu dilanjutkan ke tahap empat. 4. Pembuatan model simulasi dengan bahasa simulai khusus, dilanjutkan dengan tes model 5. Uji kebijakan dan Disain model.
31
Secara ringkas proses Sistem Dinamis dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Proses Sistem Dinamis (Coyle, 1996)
Dalam penyusunan diagram pengaruh, digunakan berbagai konvensi sebagai berikut: •
Garis penuh menunjukkan aliran fisik; seperti konsekuensi di dalam paradigma Sistem Dinamis
•
Garis terputus-putus mewakili pengaruh-pengaruh yang bukan aliran fisik, yaitu aksi dan informasi di dalam paradigma Sistem Dinamis
•
Huruf D menyatakan delay dan dapat diberi subskrip untuk membedakan satu dengan lainnya
•
Sebuah kotak melambangkan pengaruh eksternal yang berada diluar kendali sistem atau yang harus direspon oleh sistem
•
Tanda + (plus) untuk menunjukkan bahwa nilai variabel pada ujung panah berubah, maka variabel yang berada di pangkal panah akan berubah juga dengan arah perubahan yang sama.
32
•
Tanda - (minus) untuk menunjukkan pengaruh perubahan yang berlawanan pada variabel di ujung dan pangkal tanda panah.
•
Item yang ditulis dengan huruf tebal italik menunjukkan faktor-faktor konstan atau parameter. Garis putus-putus dari parameter menunjukkan adanya pengaruh parameter terhadap sistem, bukan merupakan aliran fisik.
•
Tanda atau polariti suatu lingkar dapat diketahui dengan mengalikan tandatanda plul dan minus di sekeliling lingkar. Jika hasilnya negatip berarti lingkar tersebut adalah goalseeking loop, sebaliknya bila positip berarti lingkar tersebut adalah gowth generating loop atau positip.
Secara visual Gambar 5 memperlihatkan dua tipe lingkaran dalam Sistem Dinamis sebagai berikut.
Gambar 5. Struktur umpan balik negatip dan positip
Menurut Coyle (1996) penyusunan diagram pengaruh dapat dilakukan dengan memanfaatkan metoda list extension, metoda entity/state/transition atau metoda common modules. Pada metoda list extension, diagram pengaruh dianggap sebagai daftar faktor-faktor dalam suatu masalah, bersama tanda panah dan tanda negatip/positip yang menunjukkan 33
hubungan antar faktor-faktor tersebut. Pembuatan diagram dimulai dengan menyiapkan kerangka tabel lima kolom, lalu mencantumkan sebuah variabel (yang akan dimodelkan atau yang akan dibuatkan policy untuk mengendalikannya) di kolom paling kanan yang berjudul "daftar model". Kemudian pada kolom sebelah kirinya dengan nama "ekstensi pertama" dicantumkan nama-nama variabel yang langsung dan segera mempengaruhi variabel pada kolom paling kanan, dengan menambahkan tanda dan anak panah yang sesuai. Demikian seterusnya dilakukan pencantuman nama-nama variabel yang berpengaruh sampai ekstensi ke empat atau lima pada kolom-kolom di sebelah kiri. Metode yang kedua (metoda entity/state/transition) dibangun dengan mengambil analogi proses pengaturan aliran air melalui satu set pipa dan tangki-tangki. Entity dalam hal ini diibaratkan sebagai sejumlah air yang sedang berada dalam state (kondisi) tertentu di dalam sebuah tangki. Kondisi tersebut akan berubah ke kondisi berikutnya akibat dibukanya kran sehingga aliran air ke dalam atau keluar tangki tersebut dan transisi antara dua kondisi tersebut dapat diketahui. Ini merupakan kelanjutan dari cara berpikir fisika (think physics) yang diterapkan dalam pembuatan diagram pengaruh. Metoda yang ketiga (metoda common modul) disusun berdasarkan kenyataan bahwa dalam setiap sistem terdapat struktur unit yang sama, ditandai dengan adanya komponen informasi, aksi dan konsekuensi serta delay. Struktur yang sama tersebut dapat dianggap sebagai modul umum (common modules). Penggunaan pengertian modul ini akan mempermudah penyusunan diagram pengaruh. Berikut adalah contoh modul bersama yang sering dijumpai dalam diagram pengaruh.
34
Gambar 6. Beberapa bentuk modul umum untuk menyusun diagram pengaruh (Coyle, 1996)
35
Untuk memeriksa apakah hasil sebuah simulasi sesuai dengan perilaku sistem yang dimodelkan, beberapa hal di bawah ini perlu diperhatikan: 1. Diagram pengaruh harus berhubungan dengan pernyataan persoalan. 2. Persamaan-persamaan harus berhubungan dengan diagram pengaruh, terutama tanda plus dan minus di persamaan harus sesuai (match) dengan tanda-tanda tersebut pada diagram pengaruh. 3. Model harus mempunyai dimensi dan satuan yang benar. 4. Model tidak menghasilkan angka aneh, seperti stok pangan negatif. 5. Perilaku model dapat diperkirakan dan dapat diperiksa dengan hitungan sederhana. 6. Kesetimbangan massa harus berlaku.
Simulasi kuantitatif
Model matematis sering dibagi menjadi dua katagori, yaitu model statis dan model dinamis. Model statis berguna untuk mempelajari perilaku sistem pada saat berada dalam kondisi istirahat atau stabil (steady state). Sebaliknya, model-model dinamis berbeda, karena dapat digunakan untuk mempelajari bagaimana sebuah sistem berubah (tumbuh, runtuh, atau berosilasi) bersama berubahnya waktu (Ford, 1999). Sistem dinamis disusun dengan mengkombinasikan variabel stock dan flow, lalu disimulasikan di dalam komputer secara numerik. Simulasi numerik digunakan karena relatif lebih cepat dibandingkan pendekatan analitik. Metoda simulasi numerik pada umumnya mengikuti tahapan sebagai berikut: 1. mengenali persoalan; 2. membangun hipotesa dinamis yang menjelaskan penyebab persoalan; 3. membangun model simulasi komputer untuk sistem pada akar persoalan; 8. pemodelan dinamis untuk manajemen rantai pasokan. 4. memeriksa apakah model berprilaku seperti keadaan yang dimode 5. Mencoba dan menguji beberapa alternatif kebijakan yang dapat mengurai persoalan; 6. implementasi solusi terbaik (Marquez, 2010).
36
Sebagai ilustrasi, di bawah ini disajikan data pertumbuhan penduduk selama 20 tahun. Berdasarkan teori matematik, bila jumlah penduduk selalu meningkat dua kali lipat setiap 10 tahun sekali, maka hal itu menandakan adanya pertumbuhan penduduk sebesar tujuh persen per tahun.
Tabel 4. Contoh data pertumbuhan penduduk Tahun ke 0 10 20
Jumlah penduduk (Juta) 10 20 40
Bila dituangkan ke dalam bentuk grafik, maka data pada tabel di atas akan menghasilkan grafik eksponensial sebagai berikut:
Bagaimana cara menghitung atau menduga jumlah penduduk, pada tahun ke 17 atau tahun ke 36, misalnya? Untuk menjawab pertanyaan seperti ini dapat dilakukan dua pendekatan. Pertama, dengan pendekatan analitik dan kedua dengan pendekatan numerik.
Pendekatan analitik Pendekatan analitik bertujuan menemukan bentuk persamaan matematik yang paling mewakili bentuk pertumbuhan populasi di atas. Pertumbuhan penduduk ini dapat dimodelkan dengan mencari bentuk persamaan matematis yang paling tepat, dengan metoda coba-dansalah (trial and error). Pertama kali, perlu dibuat asumsi-asumsi sebagai berikut: 37
•
P(t) = populasi sebagai fungsi waktu.
•
P(0)= 10,0 sebagai nilai awal populasi.
•
dP/dt = turunan dari P(t) terhadap t; yaitu slope (kemiringan) yang akan menunjukkan bagaimana nilai P(t) berubah sepanjang waktu.
•
Slope di sembarang posisi di sepanjang kurva akan memperlihatkan besarnya pertumbuhan yang nilainya sama dengan laju perumbuhan (r =7 persen) dikalikan dengan ukuran populasi pada saat itu.
Pendekatan ini akan menghasilkan turunan pertama dP/dt = r.P, yaitu sebuah persamaan diferensial biasa yang linier (linear ordinary differential equation). Persoalannya adalah bagaimana bentuk persamaan P(t)-nya? Bila bentuk persamaan ini dapat ditemukan maka nilai populasi pada saat t = x, dapat dihitung dengan memasukkan nilai x tersebut ke dalam persamaan P(t). Yang menjadi persoalan, bentuk persamaan P(t) yang mempunyai turunan pertama dP/dt = r.P dan memenuhi asumsi-asumsi di atas, tidak dapat ditemukan seketika. Diperlukan beberapa kali percobaan atau pendugaan supaya bentuk P(t) yang paling tepat dapat ditemukan. Sebagai contoh, ambil P(t) = l0 + t sebagai percobaan pertama penduga P(t). Fungsi ini akan menghasilkan P(0) = 10 seperti yang dikehendaki dalam asumsi dan akan tumbuh bersama waktu, akan tetapi turunan pertamanya dP/dt = 1, bukan dP/dt = r.P. Dengan demikian percobaan pertama ini belum berhasil dan masih perlu dicari bentuk fungsi P(t) yang lain. Percobaan ke dua, misalnya, diambil P(t)= 10 + r t. Bentuk ini akan menghasilkan P(0) = 10 juga, tetapi turunan pertamanya yaitu dP/dt = r, bukan rP. Jadi, percobaan kedua inipun belum berhasil dan perlu dicari bentuk P(t) yang lain lagi. Misalnya, sebagai percobaan ke tiga diambil P(t) = 10 + rt + rt2. Percobaan ini akan menghasilkan P(0) = 10 juga, tetapi turunannya akan menjadi dP/dt = r + 2rt bukan dP/dt = r.P sehingga perlu dicoba bentuk P(t) yang lain lagi. Demikian percobaan ini harus dilakukan terus menerus sampai akhirnya, pada percobaan yang kesekian kali jika beruntung akan ditemukan bentuk fungsi paling tepat yaitu P(t) = 10r.ert. Fungsi yang terakhir ini akan menghasilkan P(0) = 10, dan apabila diturunkan akan menghasilkan dP/dt = 10r.ert = r 10ert = rP. Dengan fungsi terakhir ini maka jumlah penduduk 38
pada tahun ke 17 (atau berapapun) dapat dihitung dengan memasukkan nilai t= 17 dan r = 0,07 pada persamaan tadi. Contoh di atas menunjukkan bahwa cara analitik memerlukan banyak tahap pendugaan yang bersifat trial-and-error, dan hanya sesuai bagi orang yang sudah terbiasa dengan operasi penurunan dan pengintegralan persamaan diferensial.
Pendekatan numerik Cara ke dua adalah menghitung perkembangan jumlah penduduk dengan metode numerik. Jumlah penduduk dari tahun ke tahun dapat dihitung secara bertahap, dengan memanfaatkan data populasi di awal periode. Secara numerik, angka-angka pertumbuhan penduduk sebesar tujuh persen setiap tahunnya dapat dihitung baris demi baris pada tabel berikut:
Tabel 5 . Taksiran jumlah penduduk setiap tahun dengan hitungan tangan. (dengan dt = 1 tahun) Tahun Ke
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Dalam jutaan Populasi Di awal tahun
Tambahan Penduduk dalam setahun (7%)
Populasi Di akhir tahun
10,00 10,70 11,45 12.25 13.11 14.03 15.01 16,06 17,18 18,38
0,70 0,749 0.80 0.86 0,91 0.98 1.05 1,12 1,20 1,28
10,70 11,45 12,25 13.11 14.03 15.01 16.06 17,18 18,38 19,66
Angka-angka pada kolom terakhir pada Tabel 5 merupakan nilai taksiran untuk contoh data populasi pada kolom kedua Tabel 4. Angka-angka pada kolom terakhir Tabel 5 ini, bila diplotkan akan menghasilkan grafik berupa anak tangga (dengan lebar anak tangga = dt = satu tahun) pada Gambar 8, sedangkan yang berupa garis lurus merupakan plot data populasi pada Tabel 4. Apabila perhitungan dilakukan dengan nilai dt yang lebih kecil, misalnya dt = 39
setengah tahun, maka akan diperoleh gambar "anak tangga" yang lebih rapat atau dengan kata lain, memberikan taksiran nilai yang lebih halus. Kekurangan metoda ini adalah membutuhkan banyak perhitungan untuk menghitung populasi penduduk pada tahun tertentu. Sebagai contoh untuk menghitung populasi pada tahun ke 25 akan diperlukan dua puluh lima baris perhitungan dengan dt=1, atau 50 perhitungan apabila menggunakan dt=1/2.
Gambar 8. Perbandingan data asli (garis lurus) dengan hasil perhitungan tangan (anak tangga) Metoda numerik ini menjadi dasar untuk perhitungan pertumbuhan penduduk dengan sistem dinamis. Apabila digunakan perangkat lunak ithink misalnya, maka persoalan di atas cukup diwakili dengan membuat diagram sistem dinamis sebagai berikut
Gambar 9. Diagram ithink untuk menghitung pertumbuhan penduduk 40
Gambar 9 memperlihatkan adanya tiga jenis variabel, yaitu variabel stok (populasi), variabel flow (pertumbuhan) dan converter (laju pertumbuhan). Diagram di atas mengisyaratkan bahwa populasi setiap saat akan bertambah sebesar nilai pertumbuhan. Adapun besarnya nilai variabel pertumbuhan ditentukan oleh besarnya laju pertumbuhan dan nilai populasi terakhir. Berdasarkan gambar tersebut, perangkat lunak akan memproduksi persamaan-persamaan program komputer sebagai berikut:
Populasi(t)
= Populasi(t - dt) + (pertumbuhan) * d t
INIT Populasi
= 10.0
pertumbuhan
= Iaju_pertumbuhan*Populasi
laju_pertumbuhan
= 7/100
Persamaan-persamaan ini selanjutnya dapat digunakan untuk menghasilkan grafik pertumbuhan penduduk selama beberapa tahun ke depan sebagai berikut:
Gambar 10. Contoh grafik pertumbuhan jumlah penduduk
Di dalam sebuah model dinamis, setiap persamaan stok (dalam hal ini adalah populasi) merupakan persamaan diferensial finit. Secara konsep, pemecahan persamaan diferensial finit
41
dapat dilakukan secara langsung. Pemecahannya akan melibatkan tahap inisialisasi dua langkah dan tahap evaluasi yang terdiri dari tiga langkah. Tahap inisialisasi: Langkah 1. Buat daftar semua persamaan mengikuti aturan evaluasi. Langkah 2. Hitung nilai awal untuk semua variabel stock, flow dan converters (mengikuti urutan evaluasi) Tahap iterasi: Langkah 1. Estimasi perubahan stok dalam interval waktu DT. Hitung nilai baru stok berdasarkan estimasi tersebut. Langkah 2. Gunakan nilai baru stok untuk menghitung nilai-nilai baru untuk flow dan converters Langkah 3. Update waktu simulasi dengan menambahkan DT. Stop iterasi pada saat Waktu >= Waktu simulasi.
Langkah 1 pada tahan iterasi sangat menentukan. Di sinilah dilakukan penaksiran besarnya perubahan nilai variabel stok dalam kurun waktu DT. Perangkat lunak yang digunakan menyediakan tiga jenis algoritma untuk melakukan penaksiran ini, yaitu metoda Euler, Runge-Kutta orde-2, dan Runge-Kutta orde-4
Metoda Euler Metoda paling sederhana yang digunakan di dalam perangkat lunak adalah metoda Euler. Di dalam metoda ini nilai terhitung variabel flow digunakan untuk menaksir perubahan variabel stock dalam interval waktu DT. Dalam contoh mengenai pertumbuhan populasi di atas, tahap inisialisasi dan iterasinya akan seperti ini:
Tahap Inisialisasi (Metoda Euler): Langkah 1. Buat daftar semua variabel stok, flow dan converfer, sesuai dengan urutan yang diperlukan untuk evaluasi. Langkah 2. Hitung nilai awal untuk semuas tock,f lows danc onverters( sesuai urutan evaluasi). Time: From Time --->Time=0 Stok t=0 = f(nilai awal stok, converter, flow) 42
--->INIT Populasi= 10 Converter= f(stok, converter, flow) --->laju pertumbuhan = 0,07 Flows: f(stok, converter, flow) --->Pertumbuhan = Populasi* laju_pertumbuhan
Tahap iterasi (Metoda Euler): Langkah 1. Taksir perubahan nilai stok dalam selang waktu DT. Stok = dt * flow Hitung nilai baru untuk stok berdasarkan nilai taksiran tadi. Stok t = Stok t-dt + stok --->Populasi = Populasi + (pertumbuhan)* dt Langkah 2. Hitung nilai-nilai baru untuk variabel flow dan converter sesuai dengan urutan. Converter = f(stok, converter, flow) --->laju pertumbuhan = 0,07 Flows = f(stok, converter, flow) --->Pertumbuhan = Populasi* laju_pertumbuhan Langkah 3. Perbarui waktu simulasi. Hentikan simulasi apabila Time >= waktu simulasi yang ditentukan. Time = Time + dt
Kelemahan metoda Euler adalah dalam hal akurasi, bila dibandingkan dengan hasil model analitik matematik (populasi = 10.e.rt). Hal ini disebabkan karena metoda Euler hanya menggunakan taksiran perubahan pada variabel flow (yaitu pertumbuhan) untuk menghitung nilai baru stok (yaitu populasi) dalam interval waktu DT. Selain itu, karena nilai interval waktu DT yang digunakan cukup besar, maka muncul kesalahan diferensial, yang ditunjukkan dengan adanya selisih nilai antara hasil diferensiasi dengan hasil model analitik.
Metoda Runge-Kutta Kesalahan diferensiasi pada metoda Euler selalu dapat diperbaiki dengan cara memperkecil nilai DT. Bila nilai DT semakin kecil (mendekati nol) maka hasil metoda Euler akan semakin mendekati solusi yang sebenarnya. Akan tetapi, apabila DT dibuat semakin kecil, maka akan muncul persoalan baru yang tidak dikehendaki, yaitu membesarnya jumlah 43
dan waktu perhitungan. Cara lain untuk mengurangi kesalahan integrasi adalah dengan memperbaiki cara penghitungan nilai stok dalam interval DT. Dua metoda Runge-Kutta memberikan perbaikan ini. Untuk memudahkan pemahaman terhadap metoda Runge-Kutta, diasumsikan terlebih dahulu variabel "x" sebagai variabel stok (dalam hal ini populasi) dan "f(t,x)" sebagai persamaan yang menyatakan variabel flow sebagai fungsi dari variabel waktu t dan stok x .
Runge-Kutta orde-2 Di antara dua metoda Runge-Kutta tadi, metoda Runge-Kutta orde-2 adalah yang lebih sederhana. Pada dasarnya, metoda ini menggunakan dua hitungan flow dalam satu interval waktu DT, untuk menghitung taksiran perubahan nilai stok dalam interval DT juga. Seperti pada metoda Euler, pemecahan Runge-Kutta juga terdiri dari dua tahap, yaitu inisialisasi dan iterasi.
Tahap inisialisasi Runge-Kutta orde-2 Langkah 1. Buat daftar semua variabel stok, flow dan converter sesuai urutan evaluasi. Langkah 2. Hitung atau tetapkan nilai awal untuk semua stock, flow dan converter (sesuai urutan). Time = From Time Stok t=0 = f(nilai-nilai awal stok, converter, flow) Converter = f(stok, converter, flow) Flow = f(stok, converter, flow)
Tahap Iterasi (Runge-Kutta orde-2): Langkah l. (a) Taksir perubahan variabel stok dalam interval DT. Gunakan dua titik untuk menghitung nilai taksiran ini. (1) F1 = dt * f(t, x) [sama dengan cara Euler] (2) F2= dt * f(t+dt, x + F1) (3) Stok = l/2 * (Fl + F2) (b) Hitung nilai baru untuk semua stok berdasarkan hasil penaksiran tadi. Stok t = Stok t-dt + stok 44
Langkah 2. Hitung nilai terbaru untuk semua variabel flow dan converter. Converter = f(stok, converter, flow) Flow = f(stok, converter, flow) Langkah 3. Perbarui waktu simulasi. Hentikan simulasi apabila waktu simulasi sudah sama atau lebih besar dari waktu yang ditetapkan (Time >= simulation Time) Time = Time + dt Perhitungan di pertengahan Langkah 1 pada tahap iterasi tadi memungkinkan metode Runge-Kutta orde-2 untuk menghasilkan taksiran perubahan stok yang lebih tepat dalam interval DT tertentu. Taksiran ini dihitung dengan memanfaatkan dan nilai variabel flow pada awal dan akhir interval DT yang dirata-ratakan.
Runge-Kutta orde-4 Prinsip kerja metoda Runge-Kutta orde-4 serupa dengan yang orde-2, hanya saja pada orde-4 digunakan empat nilai variabel flow dalam interval DT untuk menaksir perubahan nilai variabel stok. Empat nilai variabel flow tersebut kemudian dirata-ratakan dengan menggunakan metoda pembobotan.
Tahap Inisialisasi (Runge-Kutta orde-4): Langkah 1. Susun daftar semua variabel stocks, flows dan converters sesuai urutan evaluasi. Langkah 2. Hitung nilai awal untuk semua variabel, sesuai urutan. Time = From Time Stok t=0 , = f(nilai awal, stok, converter, flow) Converter = f(stok, converter, flow) Flow = f(stok, converter, flow)
Tahap Iterasi (Runge-Kutta orde-4): Langkah 1. (a) Taksir perubahan nilai variabel stok dalam interval DT menggunakan empat nilai variabel flow. (1) F1 = dt * (t,x) (2) F2 = dt * f(t+dtl2, x + 1/2F1) (2) F3 = dt * f(t+dtl2,x+ l/2F2) (4) F4 = dt * f(t+dt, x + F3) 45
(5) Stok = 1/6 * (F1 + 2F2+ 2F3 + F4) (b) Hitung nilai variabel stok terbaru. Stok t = Stok t-dt + stok Langkah 2. Hitung nilai terbaru variabel flow dan converter sesuai urutan. Converter = f(stok, converter, flow) Flow = f(stok, converter, flow) Langkah 3. Perbarui nilai waktu simulasi. Time = Time + dt
Perhitungan Langkah 1 pada tahap iterasi tadi merupakan inti dari metode RungeKutta orde-4. F1 menyatakan laju perubahan nilai stok, yaitu sebesar nilai flow, pada saat waktu = "t". F2 adalah nilai flow untuk 1/2 interval ke depan (t+dt/2). Agar F2 dapat dihitung, F1 digunakan untuk menghitung nilai mutakhir stok. Keduanya kemudian dipakai untuk menghitung nilai flow pada t+dt/2. Setengah nilai F1 digunakan karena waktunya hanya 1/2 interval DT. F3 adalah nilai flow untuk t+dt/2 berikutnya. Untuk menghitung F3, terlebih dahulu F2 digunakan untuk menghitung nilai stok, yang kemudian digunakan untuk menghitung ulang nilai flow pada t+dt/2. Dalam hal ini hanya setengah F2 yang digunakan untuk meng-update stok karena waktunya hanya 1/2 interval. F4 merupakan nilai flow dalam interval t+dt penuh. F4 dihitung dengan menggunakan nilai F3 sebagai nilai flow pada kurun DT penuh. Nilai stok diperbarui dengan memanfaatkan nilai F3, dan kemudian nilai F4 dapat dihitung. Pada tahap akhir, empat taksiran nilai flow tersebut dirata-ratakan dengan metoda pembobotan menghasilkan nilai terbaru variabel flow. Nilai terbaru inilah yang kemudian digunakan untuk meng-update nilai variabel stok, sebelum iterasi berikutnya dimulai.
46
Perangkat Lunak
Program komputer untuk menjalankan Sistem Dinamis dapat dibuat sendiri dengan memanfaatkan paket perangkat lunak spread-sheet seperti Lotus l-2-3 atau Microsoft Excell, atau ditulis sendiri dengan bahasa serba guna semacam FORTRAN. Akan tetapi, saat ini telah dikembangkan berbagai perangkat lunak khusus untuk Sistem Dinamis untuk memudahkan pekerjaan para pemodel Sistem Dinamis melakukan simulasi. DYNAMO adalah perangkat lunak pertama yang dikembangkan untuk keperluan ini, yang dirancang untuk komputer besar (mainframe). Secara ringkas perkembangan perangkat lunak untuk Sistem Dinamis dan jalur pengembangan yang dilalui masing-masing dapat dilihat pada Gambar 11 berikut ini.
Gambar 11. Jalur evolusi perangkat lunak Sistem Dinamis (Coyle, 1996)
Terdapat tiga grup utama perangkat lunak untuk Sistem Dinamis yang saling berbeda satu sama lain. Kelompok pertama adalah DYNAMO/DYSMAP/COSMIC yang diturunkan dari konsep penulisan persamaan menggunakan editor teks (meskipun COSMIC juga mempunyai kemampuan pemodelan grafis). Kelompok kedua adalah jalur STELLA dan POWERSIM yang dibuat untuk memungkinkan pengembangan diagram LEVEL dan RATE dengan ikon yang beberapa diantaranya dapat menuliskan persamaan secara otomatis. Jenis ketiga adalah VENSIM yang agak berbeda dari dua kelompok diatas. VENSIM 47
dikembangkan dari editor teks tetapi dengan kemampuan pemodelan menggunakan ikon (Coyle, 1996). Pada penelitian ini digunakan perangkat lunak dari kelompok kedua, bernama ithink versi 6.0.1 (tahun 2000) karena perangkat lunak ini sangat memudahkan proses pemodelan dan memberikan fasilitas antar muka (interface) yang ramah pemakai atau user friendly. Selain itu ithink memungkinkan dilakukannya analisa sensitivitas terhadap model dengan operasi yang mudah dipahami.
48
Dasar Pemikiran
Berdasarkan hasil studi literatur dan pengamatan di lapangan maka dapat dikenali permasalahan perberasan di Indonesia yang meliputi: 1. Kerawanan pangan 2. Fluktuasi harga antar daerah dan kebijakan harga 3. Persediaan beras yang fluktuatif (surplus/minus) 4. Beras impor memasuki Indonesia pada saat panen raya karena bea masuk yang terlalu rendah.
Hal-hal di atas merupakan persoalan yang berkaitan erat dengan sistem distribusi sediaan beras. Mengingat sistem distribusi beras merupakan sistem yang dinamis maka perlu dirancang sebuah model yang dapat digunakan untuk mendeteksi dan melakukan antisipasi yang tepat apabila terjadi perubahan mendadak pada beberapa variabel penentunya. Sampai saat penelitian ini dilaksanakan, belum tersedia model yang dapat digunakan untuk memprediksi perilaku Sistem Distribusi ataupun untuk mengendalikan sistem jika sistem itu mendapatkan kejutan (shock) dari luar agar stabil kembali. Oleh karena itu, perlu dirancang Sistem Dinamis distribusi beras untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Penelitian Terdahulu
Kajian terdahulu (Setiadi, 1983) berusaha membangun model aliran beras Indonesia yang dapat digunakan untuk mempelajari/mengembangkan kebijaksanaan perberasaan nasional. Penelitian berjudul SARI (Satellite Assessment of Rice in Indonesia) juga dilakukan pada kurun waktu 1998-2001 dengan tujuan untuk mengoptimumkan produksi dan distribusi beras melalui pengembangan sebuah system monitoring yang obyektif dan efisien menggunakan satelit. SARI akan mengembangkan metodologi yang akan digunakan oleh pemerintah untuk mengkaji kondisi beras dan memprediksi produksi. Dalam studi kali ini model Sistem Dinamis dipilih dengan pertimbangan bahwa model tersebut akan memberikan pandangan yang lebih holistik serta pemahaman terhadap perilaku sistem yang lebih dalam. Model Sistem Dinamis juga lebih mampu memprediksi perubahan perilaku sistem yang dinamis dibandingkan alat manajemen ilmiah lainnya. 49