II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendekatan Penelitian Sistem Usaha Pertanian dan Agribisnis Pada awalnya penelitian tentang sistem pertanian hanya terbatas pada tahap budidaya atau pola tanam, tetapi pada tahun 2000, sistem pertanian terus disempurnakan sehingga menjadi sebuah sistem agribisnis yang terintegrasi antara industri hulu, usahatani, industri hilir dan jasa pendukung. Hal ini berkaitan dengan Indonesia merupakan produsen terbesar untuk beberapa komoditas primer, tetapi belum memiliki kemampuan bersaing (Sudaryanto dan Adnyana, 2002)6. Sistem agribisnis sangat berkaitan dengan kemampuan bersaing, Suryana (2002) berpendapat bahwa setiap subsistem harus berdayasaing, berkerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi sehingga terwujud secara nyata dan konkrit pada skala ekonomi di lapangan7. Berdayasaing memiliki ciri berorientasi pasar, sehingga memperluas pangsa pasar (internasional), mengandalkan produktivitas dan nilai tambah yang didukung dengan pemanfaatan modal, teknologi dan kreativitas sumberdaya manusia sehingga tidak mengandalkan sumberdaya yang melimpah dan tenaga kerja tidak terdidik. Berkerakyatan adalah mendayagunakan sumberdaya yang dimiliki sehingga nilai tambah yang dihasilkan bisa dinikmati oleh orang banyak dan menjadi pelaku utama dalam kegiatan agribisnis. Berkelanjutan dicirikan dengan kemampuan merespon perubahan pasar dengan cepat dan efisien, memperhatikan kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup sehingga berorientasi jangka panjang. Terdesentralisasi
yaitu
memiliki
basis
pendayagunaan
keragaman
sumberdaya lokal, sehingga kreativitas pelaku ekonomi daerah tersebut menjadi terpacu untuk meningkatkan kesejahteraan yang didukung oleh pemerintah daerah.
6
Bachrein, S. 2006. Penelitian Sistem Usaha Pertanian Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian Volume 4 Nomor 2, Juni 2006. 7 Loc.cit 12
Pengusahaan ubi Cilembu di Kabupaten Sumedang, sistem pertaniannya belum terintegrasi dengan baik. Pada industri hulu, hanya bisa memasok bahan baku berupa bibit, tetapi input lainnya seperti pupuk, masih dikendalikan oleh pemerintah dengan menggunakan pupuk bersubsidi dan insektisida yang tidak disubsidi. Alat-alat pertanian pun seperti sprayer masih menggunakan produk impor, sedangkan untuk cangkul, sabit dan parang sudah diproduksi di dalam negeri. Usahatani ubi Cilembu, pengelolaannya masih tradisional, dengan lahan yang sempit, dan teknologi yang masih terbatas. Lahan yang dimiliki berkisar antara 1400 m2 – 7.000 m2, sedangkan untuk lahan yang lebih dari satu hektar, para petani menyewa per musim. Sehingga bisa mengurangi keuntungan yang seharusnya diperoleh. Pada industri hilir, lembaga pemasaran untuk domestik yang ada pada usahatani Ubi Cilembu yaitu petani-pedagang pengumpul-pedagang besarpedagang eceran-konsumen, dan berdasarkan informasi dari pedagang besar, margin harga yang paling besar berada pada pedagang eceran atau kios. Harga di tingkat petani Rp 2.500,00 (7 persen), pedagang pengumpul Rp 3.500,00 dan pedagang besar Rp 5.000,00 (14 persen) serta pedagang eceran Rp 10.000,00 (50 persen) per kilogram. Margin yang terlalu besar di tingkat pengecer mengakibatkan keuntungan yang diperoleh tidak merata dan merugikan petani. Kios untuk pemasaran Cilembu sangat banyak di Cadas Pangeran dan lokasi tersebut dekat dengan tempat usahatani, sehingga biaya transportasi tidak terlalu besar. Sedangkan untuk pemasaran tujuan ekspor, lembaga pemasaran yang terbentuk yaitu petani- pedagang besar atau eksportir-konsumen. Harga di tingkat petani yaitu Rp 2.000,00 dan di tingkat eksportir yaitu Rp 7.500,00 per kilogram. Perbedaan harga yang tinggi dikarenakan petani hanya berperan untuk menanam, sedangkan panen, transportasi, pencucian, sortasi, grading serta pengepakan oleh eksportir. Ekspor yang dilakukan adalah dengan melakukan ekspor langsung dan tidak langsung. Ekspor langsung melalui distributor yang berada di Malaysia, pedagang besar hanya melakukan pengiriman barang dan pengemasan sampai di 13
pelabuhan Tanjung Priuk, sedangkan untuk masalah transportasi (Kapal Laut) ke negara Malaysia menjadi tanggung jawab importir. Sedangkan untuk ekspor tidak langsung, melalui agen ekspor yaitu Perusahaan Bona Vista. Pedagang besar di Cilembu hanya melakukan pengemasan ke dalam keranjang bambu, dan perusahaan tersebut melakukan pengemasan sendiri dan diberi logo perusahaan pada kemasan serta mengekspor dengan produk-produk lain seperti sayuran maupun sabut kelapa. Jasa pendukung misalnya Bank, sebagai penyedia modal untuk petani, tidak dimanfaatkan oleh petani. Padahal dengan adanya Bank, maka petani bisa meningkatkan produksinya. Tetapi birokrasi yang terlalu rumit dan lama, menyebabkan petani tidak meminjam modal dari Bank. Koperasi yang terbentuk di Desa Cilembu, yaitu Koperasi Wanita Tani belum mampu mengolah ubi Cilembu menjadi makanan yang memiliki nilai jual tinggi hanya mengolah menjadi dodol atau keripik dan dipasarkan hanya sekitar Kabupaten Sumedang. Setiap subsistem dalam pengusahaan ubi Cilembu belum berdayasaing, masih menggunakan tenaga kerja tidak terdidik dan hanya mengandalkan sumberdaya alam yang melimpah, walaupun sudah memperluas pemasarannya (ekspor). Informasi pasar tentang kualitas produk dan harga masih dikuasai oleh pedagang besar, sehingga petani hanya bersifat menerima harga (price taker). Kebijakan pemerintah belum mendukung sepenuhnya, terutama anggaran untuk pengembangan usahatani ubi Cilembu sehingga belum terdesentralisasi antara lembaga pemasaran yang terkait dengan pemerintah.
2.2 Perkembangan Alat Analisis Daya Saing
Penelitian tentang daya saing terus berkembang, awalnya hanya mengukur keunggulan komparatif yang dilakukan dengan berbagai metoda diantaranya Biaya Sumberdaya Domestik (BSD) dan Revealed Comparative Advantage (RCA). Pada era globalisasi saat ini penuh dengan persaingan maka keunggulan kompetitif juga perlu dianalisis dan metoda Policy Analysis Matrix (PAM) adalah alat analisis yang bisa mengukur keunggulan komparatif dan kompetitif. 14
Metoda PAM mengidentifikasi tiga analisis secara keseluruhan yaitu keuntungan privat, keuntungan sosial atau finansial, analisis daya saing dan dampak kebijakan. Analisis sensitivitas digunakan untuk mereduksi kelemahan karena PAM bersifat statis, sedangkan dalam kenyataan terdapat beberapa perubahan atau kesalahan dalam perhitungan biaya atau manfaat. Penelitian dengan menggunakan metoda PAM dan analisis sensitivitas telah digunakan oleh beberapa peneliti dengan komoditi yang berbeda-beda dan menunjukkan hasil yang hampir sama yaitu memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif. Pada komoditi ubi jalar (Juarsa, 2008), pepaya di Desa Nagrak (Permana, 2007) dan manggis di Kecamatan Guguk (Irawadi, 2007) didapatkan bahwa analisis daya saing ketiga komoditi tersebut memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif yang menunjukkan bahwa pengusahaannya efisien secara finansial dan ekonomi. Terdapat perbedaan pada dampak kebijakan input dan output pada komoditi manggis yang menunjukkan bahwa transfer bersih bernilai positif mengindikasikan distorsi pasar terhadap input dan output bersifat melindungi petani seperti kemudahan dalam pemasaran hasil. Sedangkan pada komoditi ubi jalar dan pepaya bernilai negatif yang mengindikasikan kebijakan pemerintah tidak bersifat melindungi petani. Hal ini dikarenakan kebijakan belum efektif terhadap kedua komoditi sehingga tidak memberikan dampak positif untuk pengusahaannya. Analisis sensitivitas yang dilakukan adalah mengenai perubahan terhadap harga output, input, nilai tukar, serta analisis gabungan dan hasilnya tetap memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif.
2.3 Kebijakan Subsidi Pupuk
Pada akhir tahun 1990-an, Pemerintah mengumumkan paket Kebijakan Desember 1998 diantaranya menghapus perbedaan harga pupuk, menghapus subsisi pupuk, menghilangkan monopoli distribusi pupuk, menghapus holding company sehingga mendorong kompetisi dan menghapus quota ekspor dan kontrol impor pupuk.
15
Pada tahun 2000, terjadi peningkatan harga gas, sehingga pada tahun 2001, pemerintah kembali memberikan subsidi dalam bentuk insentif gas domestik (IGD) sebagai bahan baku untuk produksi pupuk Urea walaupun jumlah nya tidak terlalu besar (PSEKP 2005). Tahun 2003 harga pupuk dunia menjadi meningkat, sehingga pemerintah meningkatkan dan memperluas subsidi, tidak hanya untuk pupuk Urea, tetapi untuk pupuk lainnya seperti SP-36, ZA dan NPK. Subsidi gas dinilai tidak efisien karena lebih tinggi harga pupuk eceran dibandingkan dengan HET, volume penyaluran tidak dapat dipastikan dan tidak tegasnya wilayah tanggung jawab distribusi. Dengan adanya ketidakefisienan tersebut, maka pada tahun 2006, mekanisme pupuk berubah menjadi subsidi harga (PSEKP 2006). Kebijakan ini berawal dari adanya peraturan Presiden RI Nomor 77 tahun 2005 tentang pengawasan yang meliputi pengadaan dan penyaluran (jenis, jumlah, mutu, wilayah dan waktu). Harga eceran tertinggi (Rp/kg) untuk pupuk Urea Rp 1.200,00, SP-36 Rp 1.550,00, ZA Rp 1.050,00, NPK Phonska Rp 1.750,00 dan pupuk organik Rp 500,00. Subsidi ditujukan untuk petani tanaman pangan, hortikultura, dan pekebun rakyat. Pada tahun 2008, Kebijakan baru Permentan Nomor 42 memberikan bantuan langsung, jumlah dan alokasi terdiri dari 41.796,5 ton pupuk NPK, 835.930,5 liter pupuk organik cair dan 125.389,5 ton pupuk organik padat. Walaupun ada kebijakan baru bantuan langsung, bantuan pemerintah terhadap petani Ubi Cilembu masih menggunakan kebijakan Tahun 2005 yaitu menggunakan harga eceran tertinggi (HET) dan penyaluran pupuk bersubsidi di untuk Kecamatan Rancakalong dan Pamulihan pada tahun 2010 masing-masing sebanyak 1.072 dan 616,50 ton Urea, 189 dan 91 ton SP-36, 206 dan 150 ton KCL, 524 dan 377 ton NPK Phonska.
2.4 Penelitian Tentang Ubi Jalar Cilembu
Jawa Barat merupakan wilayah paling proritas bagi pengembangan ubi jalar, hal ini bisa dilihat dari perhitungan analytical hierarchy process (AHP) dengan vektor prioritas peringkat 1 dibanding dengan wilayah Jawa Tengah, Jawa 16
Timur, Yogyakarta, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara. Menurut Surono (1999), tingginya vektor disebabkan faktor permintaan dan produktivitasnya tinggi serta indikator-indikator keunggulan komparatif relatif baik. Dengan adanya potensi tersebut, penelitian terhadap analisis daya saing ubi jalar Cilembu sebagai komoditi unggulan daerah Sumedang, Jawa Barat sangat penting dilakukan. Pada tahun 2007, Juarsa melakukan penelitian tentang daya saing ubi jalar di Kabupaten Kuningan. Terdapat persamaan dengan penelitian sebelumnya yaitu menggunakan metoda PAM dan sensitivitas, sedangkan perbedaannya pada produk yang diekspor, tujuan ekspor dan lembaga pemasaran yang terkait dalam mendukung ekspor ubi jalar. Analisis daya saing terhadap ubi jalar di Kabupaten Kuningan menguntungkan secara finansial dan ekonomi serta memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif (daya saing). Dampak kebijakan pemerintah terhadap output masih bersifat menghambat dengan diberlakukannya pajak ekspor. Sedangkan untuk input tradable, petani membayar lebih murah dikarenakan adanya subsidi, sedangkan untuk non tradable, petani membayar lebih mahal. Untuk kebijakan secara keseluruhan, masih bersifat menghambat dan mengurangi penerimaan petani. Analisis sensitivitas yang dilakukan adalah terjadi perubahan harga ubi jalar, input pupuk, nilai tukar, dan jumlah produksi. Berdasarkan analisis yang dilakukan, pengusahaan ubi jalar di Kabupaten Kuningan masih memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif. Produk yang diekspor pada penelitian yang dilakukan Juarsa, adalah ubi jalar berbentuk pasta, tujuan ekspor Jepang dan Korea, dan melalui PT. Galih Estetika. Sedangkan dalam penelitian yang akan dilakukan, produk yang diekspor adalah ubi mentah, tujuan Malaysia, dan ekspor secara langsung oleh pedagang besar yang berada di Desa Cilembu.
17