II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Agribisnis Florikultura Sistem agribisnis terdiri atas berbagai macam subsistem yang saling terkait dan mempengaruhi satu sama lain. Menurut Saragih (2001)2 , setidaknya terdapat empat subsistem sebagai berikut: (1) Sub-sistem agribisnis hulu (up-stream agribusiness), yakni industri-industri yang menghasilkan barang-barang modal bagi pertanian, seperti industri perbenihan/pembibitan, tanaman, ternak, ikan, industri agrokimia (pupuk, pestisida, obat, vaksin ternak/ikan), industri alat dan mesin pertanian (agro-otomotif); (2) Sub-sistem pertanian primer (on-farm agribusiness), yaitu kegiatan budidaya yang menghasilkan komoditi pertanian primer (usahatani tanaman pangan, usahatani hortikultura, usahatani tanaman obat-obatan (biofarmaka), usaha perkebunan, usaha peternakan, usaha perikanan, dan usaha kehutanan); (3) Sub-sistem agribisnis hilir (down-stream agribusiness), yaitu industri-industri yang mengolah komoditi pertanian primer menjadi olahan seperti industri makanan./minuman, industri pakan, industri barang-barang serat alam, industri farmasi, industri bio-energi dll; dan (4) Sub-sistem penyedia jasa agribisnis (services for agribusiness) seperti perkreditan, transportasi dan pergudangan, Litbang, Pendidikan SDM, dan kebijakan ekonomi. Pada sistem agribisnis
pelakunya
adalah
usaha-usaha
agribisnis
(firm)
yakni usahatani
keluarga, usaha kelompok, usaha kecil, usaha menengah, usaha koperasi dan usaha korporasi, baik pada sub-sistem agribisnis hilir, sub-sistem on farm, subsistem agribisnis hulu maupun pada sub-sistem penyedia jasa bagi agribisnis. Agribisnis
florikultura
saat
ini
menjadi
pilihan
usaha
yang
dapat
menjanjikan laba yang besar karena memiliki prospek pasar yang besar. Industri florikulutra berkembang menjadi pusat pertumbuhan baru yang dapat diandalkan. Tanaman hias adalah tipe tanaman yang memiliki nilai artistik yang menjadi bagian tak terpisahkan bagi kehidupan sebagian masyarakat Indonesia saat ini. Tanaman hias banyak digunakan sebagai pelengkap yang menyeimbangkan kebutuhan lahir dan batin. Perhatian masyarakat Indonesia terhadap tanaman hias semakin meningkat dari tahun ke tahun sejalan dengan perkembangan prefernsi 2
disampaikan pada seminar “Peranan Public Relation dalam Pembangunan Pertanian” yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana PS. KMP-IPB di Bogor, 19 April 2001
9
pasar. Minat masyrakat untuk menanam tanaman hias secara komersial juga semakin besar, hal ini terlihat dari perkembangan pasar yang semakin meluas sebagai dampak perubahan tren internasional. Agribisnis tanaman hias memiliki beberapa kelompok menurut produk yang dihasilkannya antara lain yaitu tanaman hias bunga potong seperti mawar, krisan, gladiol, sedap malam, anggrek, dan anthurium; tanaman hias pot seperti anggrek, kaktus, petunia, adenium, dan Euphorbiace; tanaman hias untuk replanting, beding dan taman yaitu tanaman hias dalam unit polibag untuk ditanam di media tanah; tanaman hias berupa daun, ranting, buah untuk filler karangan bunga; industri perbenihan dan pembibitan (seedling and planting material) seperti pada anggrek dan krisan; tanaman hias hasil alam seperti palem, pakis, dan Dracaena; tanaman hias bonsai sebagai hasil seni bentuk dan kesabaran; dan industri BTH (Bunga Tanaman Hias) preservatif dengan pengeringan dan pewarnaan (Direktur Jendral Bina Produksi Hortikultura, 2004). Bunga potong biasa dimanfaatkan sebagai bahan rangkaian bunga untuk berbagai keperluan dalam kehidupan manusia seperti kelahiran, perkawinan, kematian, pesta ulang tahun, upacara adat, dan upacara keagamaan. Beberapa orang percaya bahwa melalui merangkai bunga mereka mampu mengekspresikan kemampuan estetika (Widyawan dan Prahastuti, 1994). Tim Direktorat Bina Produksi Hortikultura (2008) mensurvei pendapat para petani bunga yang menyatakan bahwa tipe bunga potong yang mempunyai nilai komersial di Indonesia antara lain yaitu
krisan, mawar, sedap malam,gladiol, anggrek,,
gerbera, anthurium, anyelir, dan helicona. Krisan merupakan salah satu tipe bunga potong penting di dunia. Pada perdagangan tanaman hias dunia, bunga krisan merupakan salah satu bunga yang banyak diminati oleh beberapa negara Asia seperti Jepang, Singapore dan Hongkong, serta Eropa seperti Jerman, Perancis dan Inggris. 2.2. Perkembangan Usaha Bunga Krisan Krisan atau Chrysanthemum merupakan salah satu tipe tanaman hias berupa perdu dengan sebutan lain Seruni atau Bunga emas (Golden Flower) berasal dari dataran Cina.
Krisan kuning berasal dari dataran Cina,
dikenal dengan
Chrysanthenum indicum (kuning), C. Morifolium (ungu dan pink) dan C. daisy 10
(bulat, ponpon). Di Jepang abad ke-4 mulai membudidayakan krisan, dan tahun 797 bunga krisan dijadikan sebagai simbol kekaisaran Jepang dengan sebutan Queen of The East. Tanaman krisan dari Cina dan Jepang menyebar ke kawasan Eropa dan Perancis tahun 1795.
Tahun 1808
Mr.
Colvil dari Chelsa
mengembangkan 8 varietas krisan di Inggris. Tipe atau varietas krisan modern diduga mulai ditemukan pada abad ke-17. Krisan masuk ke Indonesia pada tahun 1800. Sejak tahun 1940, krisan dikembangkan secara komersial. 3 Krisan telah lama dikenal dan banyak disukai masyarakat serta mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Disamping memiliki keindahan karena keragaman bentuk dan warnanya. bunga krisan juga memiliki kesegaran yang relatif lama dan mudah dirangkai. Keunggulan lain yang dimiliki adalah bahwa pembungaan dan panennya dapat diatur menurut kebutuhan pasar. Sebagai bunga potong, krisan digunakan sebagai bahan dekorasi ruangan, jambangan (vas) bunga dan rangkaian bunga. Sebagai tanaman pot krisan dapat digunakan untuk menghias meja kantor, ruangan hotel, restaurant dan rumah tempat tinggal. Selain digunakan sebagai tanaman hias, krisan juga berpotensi untuk digunakan sebagai tumbuhan obat tradisional dan penghasil racun serangga (hama). Menurut Rukmana dan Mulyana (1997), terdapat 1000 varietas krisan yang tumbuh di dunia. Beberapa varietas krisan yang dikenal antara lain adalah C. daisy, C. indicum, C. coccineum, C. frustescens, C. maximum, C. hornorum, dan C. parthenium. Varietes krisan yang banyak ditanam di Indonesia umumnya diintroduksi dari luar negeri, terutama dari Belanda, Amerika Serikat dan Jepang. Bunga krisan sangat populer di masyarakat karena banyaknya tipe, bentuk dan warna bunga. Selain bentuk mahkota dan jumlah bunga dalam tangkai, warna bunga juga menjadi pilihan konsumen. Pada umumnya konsumen lebih menyukai warna merah, putih dan kuning, sebagai warna dasar krisan. Namun sekarang terdapat berbagai macam warna yang merupakan hasil persilangan di antara warna dasar tadi. Bunga krisan digolongkan dalam dua tipe yaitu tipe spray dan standard. Krisan tipe spray dalam satu tangkai bunga terdapat 10 – 20 kuntum bunga 3
Tentang budidaya pertanian. www.ristek.go.id (diaksses pada tanggal 28 Juni 2012)
11
berukuran kecil. Sedangkan tipe standard pada satu tangkai bunga hanya terdapat satu kuntum bunga berukuran besar.
a
b
Gambar 2. Tipe Krisan (a) Standard (b) Spray Sumber :Direktorat Budidaya dan Pascapanen Florikultura (2011)
Krisan tergolong sebagai tanaman berhari pendek atau Short Day Plant (SDP) yang memiliki dua fase dalam hidupnya, yaitu fase vegetatif (pertumbuhan tanaman) dan fase
generatif (inisiasi atau pemunculan bunga). Krisan akan tetap
tumbuh vegetatif bila panjang hari yang diterimanya lebih dari batas kritisnya dan akan tereduksi untuk masuk ke fase generatif apabila panjang hari yang diterimanya kurang dari batas kritisnya. Pada umumnya digunakan metode pemasangan lampu dengan periode sampai fase vegetatif (2-8 minggu) untuk mendorong pembentukan bunga. Tanaman krisan membutuhkan kelembaban 90 hingga 95 persen pada awal pertumbuhannya dan kelembaban 70 sampai 85 persen pada saat tanaman tumbuh dewasa. Meskipun membutuhkan kelembaban dan air yang cukup, krisan tidak tahan terhadap terpaan air hujan. Penanaman sebaiknya dilakukan di dalam bangunan rumah plastik untuk daerah yang curah hujannya tinggi. Agribisnis bunga krisan dimulai dari subsistem pengadaan input yang meliputi penyediaan bibit,pupuk, tenaga kerja dan peralatan pertanian seperti cangkul, gunting panen, ember, drum, selang air, dan lain-lain. Subsistem onfarm meliputi kegiatan budidaya tanaman bunga krisan di rumah lindung. Kegiatan pada sistem ini meliputi persiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan tanaman dan pemanenan. Pada subsistem hilir, tidak terdapat pengolahan terhadap
12
bunga krisan, karena produk dijual dalam bentuk segar berupa krisan potong. Kegiatan yang dibutuhkan dalam subsistem ini adalah grading, yaitu pemilihan produk mana yang memiliki kualitas baik, sedang, ataupun buruk. Selanjutnya dilakukan sortasi, yaitu produk- produk yang telah di grading tadi dipilah untuk dijual ke tempat- tempat dengan permintaan yang sesuai dengan grading tersebut. Lalu dilakukan pengemasan yang disesuaikan juga dengan permintaan konsumen ataupun pelanggan. Subsistem pemasaran mencakup perjalanan komoditas dari produsen hingga ke tangan konsumen akhir. Pada skala petani, rantai pemasaran yang terjadi umumnya berawal dari petani (produsen) yang selanjutnya dikumpulkan di kelompok tani, namun ada juga sebagian dari petani yang tidak menyalurkan lewat kelompok tani, selanjutnya ke tengkulak, dari tengkulak ini ada yang terus disalurkan ke pasar, namun ada juga yang ke pengumpul besar terlebih dahulu lalu ke pasar, hingga akhirnya sampai ke tangan konsumen. Namun untuk skala perusahaan,
biasanya
produk
yang
diproduksi perusahaan
akan
langsung
dipasarkan ke konsumen akhir yang umunya merupakan florist – florist
atau
pedagang besar yang nantinya produk akan dijual kembali. Subsistem selanjutnya adalah
subsistem
pendukung,
yang
mencakup
keseluruhan
lembaga
yang
mendukung terjalinnya sistem agribisnis komoditas bunga krisan, seperti Dinas Pertanian,
Balai Penelitian Tanaman Hias, Gabungan Kelompok Tani dan
lembaga keuangan mikro. 2.3. Studi Penelitian Mengenai Risiko Penelitian terdahulu yang berhubungan dengan risiko adalah penelitian yang dilakukan oleh Wisdya (2009) mengenai risiko produksi anggrek. Perusahaan yang diteliti mempunyai lahan sekitar 30 hektar yang dibagi menjadi 3 yaitu kebun Cikampek untuk pembibitan anggrek, lokasi Cimanggis untuk pembungaan anggrek Phalaenopsis, dan bagian pemasaran yang berlokasi di pusat perkantoran Roxy di Jakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada analisis spesialisasi risiko produksi berdasarkan produktivitas pada tanaman anggrek menggunakan bibit teknik seedling dan mericlone diperoleh risiko yang paling tinggi adalah tanaman anggrek teknik seedling yaitu sebesar 0,078 yang artinya setiap satu satuan yang dihasilkan maka risiko yang dihadapi akan sebesar 0,078. Sedangkan 13
risiko produksi berdasarkan pendapatan risiko yang paling tinggi adalah tanaman anggrek teknik seedling yaitu 1,319 yang artinya setiap satu rupiah yang dihasilkan maka risiko yang dihadapai akan sebesar 1,319. Kemudian
adalah
penelitian
yang
dilakukan
oleh
Ginting
(2009).
Perusahaan mempunyai lahan sekitar 4.000 m2, bangunan seluas 24m x 14m yang dijadikan sebagai tempat memproduksi bibit dan areal kantor serta aset lainnya. Komoditas yang dihasilkan hanya jamur tiram putih, hasil panen dijual kepada pedagang pengumpul yang datang langsung ke perusahan. Hasil penilaian risiko yang menggunakan ukuran Coefficient Variation, diketahui bahwa budidaya jamur tiram putih pada Cempaka Baru menghadapi risiko produksi sebesar 0,32 artinya untuk setiap satu satuan hasil produksi yang diperoleh Cempaka Baru, maka risiko (kerugian) yang dihadapi adalah sebesar 0,32. Berdasarkan hasil penilaian risiko produksi pada kegiatan budidaya jamur tiram putih Cempaka Baru diperoleh nilai expected return sebesar 0,25. Artinya usaha Cempaka Baru dapat mengharapkan perolehan hasil sebanyak 0,25 kg per baglog untuk setiap kondisi dalam proses budidaya yang telah direkomendasikan oleh perusahaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa kegiatan budidaya jamur tiram putih memberi harapan hasil produksi sebesar 0,25 kg untuk setiap baglog jamur tiram putih. Penelitian yang dilakukan oleh Safitri (2009), menunjukkan hasil yaitu adanya risiko produksi pada usaha daun potong. Adanya risiko produksi disebabkan oleh faktor iklim atau cuaca, tingkat kesuburan lahan serta serangan hama penyakit.
Penilaian risiko produksi pada kegiatan spesialisasi dilihat
berdasarkan produktivitas dan pendapatan bersih yang diperoleh dari Asparagus bintang dan Philodendron marble. Philodendron marble mempunyai nilai variance yang lebih tinggi dibandingkan dengan Asparagus bintang yaitu 0.48. Demikian halnya dengan nilai standart deviation pada Philodendron marble mempunyai nilai lebih tinggi dibandingkan dengan Asparagus bintang yaitu 0.69. Koefisien variasi diukur dari rasio standar deviasi dengan Expected return. Nilai coefficient variation menunjukkan bahwa Asparagus bintang mempunyai nilai yang lebih rendah dibandingkan Philodendron marble. Hal tersebut menunjukkan bahwa untuk setiap satu satuan yang dihasilkan ternyata Philodendron marble menghadapi risiko produksi yang lebih tinggi dibandingkan Asparagus bintang.
14
Penelitian yang dilakukan oleh Permana (2011) menggunakan metode analisis manajemen risiko dan analisis risiko. Penilaian terhadap risiko produksi berdasarkan ukuran yang menggunakan pendekatan Expected Return, sedangkan risiko produksi diukur berdasarkan penilaian hasil perhitungan ragam (variance), simpangan baku (standard deviation), dan koefisien variasi (coefficient variation). Hasil penilaian menunjukkan
risiko
dengan
menggunakan
ukuran
coefficient
variation,
bahwa budidaya bunga potong mawar pada PT Momenta
Agrikultura (Amazing Farm) menghadapi risiko sebesar 0,23. Artinya, untuk setiap satu tangkai hasil yang diperoleh akan mengalami risiko sebesar 0,23 tangkai pada saat terjadi risiko produksi. Berdasarkan hasil penilaian risiko produksi pada budidaya bunga potong mawar pada PT Momenta Agrikultura (Amazing Farm) diperoleh nilai expected return sebesar 11,27. Artinya, PT Momenta Agrikultura (Amazing Farm) dapat mengharapkan perolehan hasil sebanyak 11,27 tangkai per meter2 untuk setiap kondisi dalam proses budidaya yang telah diakomodasi oleh perusahaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa kegiatan budidaya bunga potong mawar dapat memberi harapan perolehan hasil sebesar 11,27 tangkai untuk setiap meter2. Penelitian yang dilakukan oleh Wisdya (2009) menggunakan analisis risiko dengan mencari nilai Variance, Standard deviation, Coefficient variation pada kegiatan spesialisasi dan portofolio. Hal serupa yang juga dilakukan oleh Safitri (2009)
yaitu
menggunakan
analisis
risiko
pada
kegiatan
spesialisasi dan
portofolio. Berbeda dengan Permana (2011) dan Ginting (2009) yang tidak menggunakan analisis risiko yang diterapkan pada kegiatan spesialisasi dan portofolio. Hal ini dikarenakan tidak ada kombinasi terhadap komoditas yang diteliti oleh Permana (2011) yaitu hanya mawar potong saja dan Ginting (2009) yaitu hanya jamur tiram putih. Namun demikian kedua peneliti ini tetap menggunakan analisis risiko untuk mencari besar risiko yang terjadi pada usaha penelitian, hanya saja sampai sebatas mencari berapa nilai pengembalian yang diharapkan (expected return) dari usaha yang diteliti. Sedangkan pada penelitian Wisdya (2009) membandingkan risiko produksi pada budidaya anggrek dengan teknik seedling dan mericlone. Begitu pun pada penelitian Safitri (2009) yang mengkombinasikan tanaman hias Dipladenia crimson dengan Asparagus bintang.
15
Penelitian ini pun menggunakan analisis risiko untuk menentukan besar risiko produksi yang terjadi pada usaha krisan yang diteliti, serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh empat penulis sebelumnya. Namun Permana (2011) dan Ginting (2009) tidak menggunakan analisis spesialisasi dan portofolio dikarenakan komoditas yang diteliti hanya krisan saja. Sedangkan penelitian ini menggunakan analisis risiko portofolio juga seperti apa yang dilakukan oleh Wisdya (2009) dan Safitri (2009). Adapun metode yang digunakan dalam manajemen risiko pada penelitian ini adalah menggunakan alat bantu berupa peta risiko. Hal ini berbeda dengan empat peneliti sebelumnya yang menggunakan analisis deskriptif dalam mencari strategi yang dapat dilakukan untuk manajemen risiko perusahaan.
16