II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suren (Toona surenii Merr) A. Deskripsi Botani Suren Suren (Toona sureni Merr) merupakan tanaman yang cepat tumbuh dan kayunya dapat digunakan untuk papan dan bahan bangunan perumahan, peti, veneer, alat musik, kayu lapis, venir, dan mebel. Suren memiliki pohon berukuran sedang sampai besar, tinggi total 40 m - 60 m dengan tinggi bebas cabang hingga 25 m. Diameter batang mencapai 100 cm - 300 cm. Tanaman suren sering dimanfaatkan sebagai pemecah angin (wind breaker), pohon peneduh dan sering ditanam di tepi jalan. Bagian tanaman suren khususnya kulit kayu dan daunnya dapat dimanfaatkan sebagai bahan obat tradisional seperti tonik, obat diare, dan anti biotik (BBPBPTH, 2009). Menurut Djam’an (2002) klasifikasi tanaman suren adalah sebagai berikut: Kingdom: Plantae (Tumbuhan) Divisi: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) Kelas: Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil) Ordo: Sapindales Famili: Meliaceae Genus: Toona Spesies: Toona sureni Merr.
Universitas Sumatera Utara
B. Tempat Tumbuh Tanaman ini tumbuh pada daerah bertebing dengan ketinggian 600 - 2700 m dpl dengan temperatur 22ºC. Suren tumbuh tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar di Indonesia, Nepal, India, Burma, China, Thailand, Malaysia sampai ke barat Papua Nugini. Suren tumbuh dengan cepat (BBPBPTH, 2009). C. Sifat Kayu Suren Kayunya bernilai tinggi dan mudah digergaji serta memiliki sifat kayu yang baik. Warna kayu teras merah coklat, muda bersemu ungu, gubal berwarna putih kemerahan dan mempunyai batas yang jelas dengan kayu teras, tekstur kayu kasar, arah serat lurus atau agak berpadu, permukaan kayu agak licin dan mengkilap indah dengan lingkaran tahun yang jelas sehingga menimbulkan ornamen yang indah. Pada bidang radial dan tangensial tampak gambaran berupa pita-pita yang berwarna lebih tua. Berat jenis 0.53 (0.42 – 0.65), penyusutan dari keadaan basah sampai kering tanur 3.3% (radial) dan 4.1% (tangensial). Kayu suren memiliki kelas kuat IV dan kelas awet IV/V, serta daya tahannya terhadap rayap kayu kering termasuk kelas IV, sedangkan terhadap jamur pelapuk kayu termasuk kelas IV-V. Kayu mudah dibentuk dan diampelas dengan baik serta dapat diserut, dibuat lubang persegi dan dibubut. Kayu ini juga tergolong tahan lama di dalam air laut (APFORGEN, 2007). Seiring laju degradasi hutan alam maka habitat tegakan pohon suren juga mengalami penyusutan sehingga untuk menemukan pohon suren di hutan alam sudah sangat sulit. Penyusutan potensi jenis suren pada umumnya telah memasuki fase yang memprihatinkan apabila tidak diimbangi dengan upaya penyelamatan sumberdaya genetiknya. Dengan mengingat kegunaan dari jenis kayu ini, sangat perlu untuk
Universitas Sumatera Utara
diselamatkan dari penyusutan karena sangat berpotensi secara luas khususnya di masa mendatang. Suren memiliki potensi untuk digunakan sebagai salah satu jenis tanaman rehabilitasi lahan terdegradasi (Sofyan dan Islam, 2006). 2.2 Akasia (Acacia mangium Willd) A. Deskripsi Botani Akasia Pohon akasia pada umumnya besar dan bisa mencapai ketinggian 30 m, dengan batang bebas cabang lurus yang bisa mencapai lebih dari setengah total tinggi pohon. Pohon akasia jarang mencapai diameter setinggi dada lebih dari 60 cm. Di tempat tumbuh yang buruk, pohon akasia bisa menyerupai semak besar atau pohon kecil dengan tinggi rata-rata antara 7 sampai 10 m. Batang pohonnya beralur memanjang. Pohon yang masih muda umumnya berkulit mulus
dan berwarna
kehijauan; celah-celah pada kulit mulai terlihat pada umur 2–3 tahun. Pohon yang tua biasanya berkulit kasar, keras, bercelah dekat pangkal, dan berwarna coklat sampai coklat tua (Djam’an, 2002). Pada awal perkecambahan, A. mangium mempunyai daun majemuk yang serupa dengan Leucaena dan Albizia sp. Jenis lain dari sub famili mimosoideae. Daun majemuk setelah beberapa minggu membentuk daun palsu yang disebut Phyllodia, yang ditandai dengan melebarnya tangkai daun dan sumbu utama daun majemuk menjadi rata. Daun umumnya berbentuk bulat telur sampai ellips, halus atau sedikit bersisik, berwarna hijau tua. Bunga majemuk berbentuk simetris dengan banyak stemen. Petal dan filamen berwarna putih sedangkan anter berwarna kuning. Biji yang telah masak berkulit keras, warna hitam dengan panjang 7-8 mm dan lebar 3-5 mm ( Anhar, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Adapun klasifikasi akasia menurut Krisnawati et al. (2011a) adalah sebagai berikut : Kingdom: Plantae (Tumbuhan) Divisi: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) Kelas: Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil) Ordo: Fabales Famili: Fabaceae (suku polong-polongan) Genus: Acacia Spesies: Acacia mangium Willd. B. Penyebaran A. mangium Jenis akasia tumbuh secara alami di hutan tropis lembab di Australia bagian timur laut, Papua Nugini dan Kepulauan Maluku kawasan timur. Setelah berhasil diintroduksikan ke Sabah, Malaysia, pada pertengahan tahun 1960-an, akasia banyak diintroduksikan ke berbagai negara, termasuk Indonesia, Malaysia, Papua Nugini, Bangladesh, Cina, India, Filipina, Sri Lanka, Thailand dan Vietnam. Di Indonesia, jenis ini pertama kali diintroduksikan ke daerah lain selain Kepulauan Maluku pada akhir tahun 1970-an sebagai jenis pohon untuk program reboisasi (Pinyopusarerk et al., 1993). C. Tempat Tumbuh A. mangium A. mangium merupakan jenis tanaman pioner yang tidak memerlukan persyaratan tumbuh yang tinggi. Jenis ini dapat tumbuh pada tanah dengan pH rendah yaitu di bawah 4.2, tanah miskin hara, padang alang-alang, lahan bekas tebangan,
Universitas Sumatera Utara
tanah-tanah tererosi dan tanah berbatu. A. mangium mampu tumbuh dan beradaptasi dengan baik pada kondisi klimatis yang berbeda dari habitat alaminya, namun keberhasilan dari pertumbuhannya kemungkinan dipengaruhi oleh ketinggian tempat, kelembaban, curah hujan tinggi dan temperatur yang tetap sepanjang tahun. A. mangium dapat tumbuh dengan bagus pada keadaan yang penuh cahaya. Jenis ini dapat tumbuh pada ketinggian di atas permukaan laut sampai ketinggian 480 m. Jumlah curah hujan tahunan di areal tumbuhnya akasia bervariasi dari 1000 mm sampai lebih dari 4500 mm dengan rata-rata curah hujan tahunan antara 1446 dan 2970 mm. Suhu minimum rata-rata berkisar 12–16oC dan suhu maksimum rata-rata sekitar 31–34 oC (Krisnawati et al., 2011a). A. mangium melakukan simbiosis dengan bakteri tanah dari genus Rhizobium. Bakteri melakukan penetrasi pada permukaan akar muda dalam tanah kemudian akan memperbanyak diri dengan membentuk bintil akar pada permukaan akar. Melalui bintil-bintil akar, bakteri akan menyerap gas nitrogen dari udara pada tanah. A. mangium yang tumbuh dengan normal memiliki bintil akar yang besar sehingga dapat mencegah terjadinya kekurangan nitrogen, karena bakteri Rhizobium mampu menyediakan kebutuhan nitrogen yang cukup (Anhar, 2006). D. Kegunaan A. mangium Penanaman A. mangium pada HTI umumnya adalah untuk menghasilkan bahan baku pembuatan pulp dan kertas, selain itu untuk pembuatan furnitur dan pembuatan alat-alat rumah tangga serta pembuatan papan partikel unggul. Dengan kepadatan dan nilai kalori sebesar 4800 sampai 4900 kkal per kilogram kayu A. akasia sangat bagus digunakan untuk pembuatan papan partikel yang cukup bagus.
Universitas Sumatera Utara
Dalam keadaan mendesak daun A. mangium bisa juga digunakan untuk makanan ternak (Krisnawati et al., 2011a). Kayu gubal akasia tipis dan berwarna terang dan kayu terasnya berwarna agak coklat, keras, kuat, dan tahan lama pada ruangan yang berventilasi baik, meskipun tidak tahan apabila kontak dengan tanah. Pohon akasia juga dapat digunakan sebagai pohon penaung, ornamen, penyaring, pembatas dan penahan angin, serta dapat ditanam pada sistem wanatani dan pengendali erosi. Jenis ini banyak dipilih oleh petani untuk tujuan peningkatan kesuburan tanah ladang atau padang rumput. Beberapa spesies akasia dari daerah humid atau sub humid digunakan untuk kegiatan reforestasi, dan menghasilkan kayu untuk produksi pulp, kayu gergajian dan bahan bakar. Di daerah beriklim kering beberapa spesies akasia berguna untuk program rehabilitasi dan mempunyai potensi untuk digunakan dalam kegiatan agroforestri (Awang dan Taylor, 1993).
2.3 Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) A. Deskripsi Botani Sengon Pohon sengon umumnya berukuran cukup besar dengan tinggi pohon total mencapai 40 m dan tinggi bebas cabang mencapai 20 m. Diameter pohon dewasa dapat mencapai 100 cm atau kadang-kadang lebih, dengan tajuk lebar mendatar. Apabila tumbuh di tempat terbuka sengon cenderung memiliki kanopi yang berbentuk seperti kubah atau payung. Pohon sengon pada umumnya tidak berbanir meskipun di lapangan kadang dijumpai pohon dengan banir kecil. Permukaan kulit batang berwarna putih, abu-abu atau kehijauan, halus, kadang-kadang sedikit beralur dengan garis-garis lentisel memanjang (Atmosuseno, 1994).
Universitas Sumatera Utara
Daun sengon tersusun majemuk menyirip ganda dengan panjang sekitar 23– 30 cm. Anak daunnya kecil-kecil, banyak dan perpasangan, terdiri dari 15–20 pasang pada setiap sumbu (tangkai), berbentuk lonjong (panjang 6–12 mm, lebar 3–5 mm) dan pendek kearah ujung. Permukaan daun bagian atas berwarna hijau pupus dan tidak berbulu sedangkan permukaan daun bagian bawah lebih pucat dengan rambutrambut halus (Soerianegara dan Lemmens, 1993). Klasifikasi tanaman sengon (Paraserianthes falcataria), menurut Krisnawati dkk. (2011b) sebagai berikut: Kingdom: Plantae (Tumbuhan) Divisi: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) Kelas: Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil) Ordo: Fabales Famili: Mimosaceae Genus: Paraserianthes Spesies: Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen B. Penyebaran Sengon Sengon merupakan tanaman asli Indonesia, Papua Nugini, Kepulauan Solomon dan Australia. Tegakan alam sengon di Indonesia ditemukan tersebar di bagian timur (Sulawesi Selatan, Maluku dan Papua) dan di perkebunan di Jawa. Saat ini, sengon sudah banyak ditanam di negara-negara tropis termasuk Brunei, Kamboja, Kamerun, Kepulauan Cook, Fiji, Polinesia Perancis, Jepang, Kiribati, Laos, Malaysia, Kepulauan Marshall, Myanmar, Kaledonia Baru, Pulau Norfolk, Filipina, Samoa, Thailand, Tonga, Amerika Serikat, Vanuatu dan Vietnam (Orwa et al., 2009).
Universitas Sumatera Utara
C. Tempat Tumbuh Sengon Sengon dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, termasuk tanah kering, tanah lembap dan bahkan di tanah yang mengandung garam dan asam selama drainasenya cukup (Soerianegara dan Lemmens, 1993). Di Jawa, sengon dilaporkan dapat tumbuh di berbagai jenis tanah kecuali tanah grumusol. Pada tanah latosol, andosol, luvial dan podzolik merah kuning, sengon tumbuh sangat cepat. Di tanah marginal, pupuk mungkin diperlukan untuk mempercepat pertumbuhan awal. Setelah itu, pertumbuhan sengon akan lebih cepat karena kemampuan untuk mengikat nitrogen meningkat. Sengon termasuk jenis pionir yang dapat tumbuh di hutan primer, hutan hujan dataran rendah sekunder dan hutan pegunungan, padang rumput dan di sepanjang pinggir jalan dekat laut. Di habitat alaminya, sengon berasosiasi dengan jenis-jenis seperti Agathis labillardieri, Celtis spp., Diospyrosspp., Pterocarpus indicus, Terminalia spp. dan Toona sureni. Curah hujan tahunan berkisar antara 2000 dan 2700 mm, kadang-kadang sampai 4000 mm dengan periode musim kering lebih dari 4 bulan. Sengon mudah melakukan penguapan sehingga memerlukan iklim yang basah; curah hujan untuk pertumbuhan optimalnya adalah 2000–3500 mm per tahun. Curah hujan lebih rendah dari 2000 mm per tahun akan menghasilkan kondisi pertumbuhan yang kering, sedangkan lebih dari 3500 mm per tahun akan menciptakan kelembapan udara sangat tinggi, yang apabila dibarengi dengan intensitas cahaya matahari yang sangat rendah mungkin akan merangsang pertumbuhan jamur. Suhu optimal untuk pertumbuhan sengon adalah 22–29 °C dengan suhu maksimum 30–34 °C dan suhu minimum 20–24 °C (Soerianegara dan Lemmens 1993).
Universitas Sumatera Utara
D. Kegunaan Sengon Kayu sengon pada umumnya ringan, lunak sampai agak lunak. Kayu terasnya berwarna putih sampai coklat muda pucat atau kuning muda sampai coklat kemerahan. Kayu sengon dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti bahan konstruksi ringan (misalnya langit-langit, panel, interior, perabotan dan kabinet), bahan kemasan ringan (misalnya paket, kotak, kotak cerutu dan rokok, peti kayu, peti teh dan pallet), korek api, sepatu kayu, alat musik, mainan dan sebagainya. Kayu sengon juga dapat digunakan untuk bahan baku triplex dan kayu lapis, serta sangat cocok untuk bahan papan partikel dan papan blok. Kayu sengon juga banyak digunakan untuk bahan rayon dan pulp untuk membuat kertas dan mebel (Krisnawati et al., 2011b). Sebagai jenis pengikat nitrogen, sengon juga ditanam untuk tujuan reboisasi dan penghijauan guna meningkatkan kesuburan tanah. Daun dan cabang yang jatuh akan meningkatkan kandungan nitrogen, bahan organik dan mineral tanah (Orwa et al., 2009). Sengon sering ditumpangsarikan dengan tanaman pertanian seperti jagung, ubi kayu dan buah-buahan. Sengon sering pula ditanam di pekarangan untuk persediaan bahan bakar (arang) dan daunnya dimanfaatkan untuk pakan ternak ayam dan kambing. 2.4 Fungi Mikoriza Arbuskula A. Pengertian Mikoriza Kata mikoriza berasal dari bahasa Yunani yaitu myces (fungi) dan rhiza (akar). Mikoriza adalah suatu bentuk hubungan simbiosis mutualisme antara fungi dan perakaran tumbuhan tingkat tinggi. Simbiosis ini terjadi saling menguntungkan,
Universitas Sumatera Utara
fungi memperoleh karbohidrat dan unsur pertumbuhan lain dari tanaman inang, sebaliknya fungi memberi keuntungan kepada tanaman inang, dengan cara membantu tanaman dalam menyerap unsur hara terutama unsur P. Berdasarkan struktur tumbuh dan cara infeksi maka mikoriza dapat dikelompokkan dalam dua kelompok besar yakni ektomikoriza dan endomikoriza (FMA) (Sieverding, 1991). Fungi mikoriza arbuskula dapat dibedakan dari endomikoriza dengan memperhatikan karateristik berikut ini: (a) sistem perakaran yang kena infeksi tidak membesar (b) funginya membentuk struktur lapisan hifa tipis dan tidak merata pada permukaan akar (c) hifa menyerang ke dalam sel jaringan korteks (d) dan pada umumnya ditemukan struktur percabangan hifa yang disebut dengan arbuscules (arbuskula) dan struktur khusus berbentuk oval yang disebut dengan vesicles (vesikula). Dibandingkan dengan fungi ektomikoriza yang tingkat asosiasinya lebih spesifik dan hanya terbatas pada jenis-jenis pohon hutan potensial seperti Pinus, Eucalyptus, Gnetum gnemon dan kelompok Dipterocarpus, endomikoriza tingkat asosiasi FMA nampaknya lebih luas. Tipe fungi ini mampu berasosiasi dengan jenisjenis pohon hutan potensial yang popular dipakai untuk HTI dan reboisasi lainya seperti (Paraserianthes falcataria, Acacia akasia, Switenia macrophylla, Pterocarpus sp, Tectona grandis, Toona surenii, dll) (Setiadi, 2001). Fungi mikoriza arbuskula adalah salah satu tipe fungi mikoriza dan termasuk ke dalam golongan endomikoriza. Fungi mikoriza arbuskula termasuk ke dalam kelas Zygomycetes, dengan ordo Glomales yang mempunyai 2 sub-ordo, yaitu Gigasporineae dan Glomineae. Gigasporineae dengan famili Gigasporaceae mempunyai 2 genus, yaitu Gigaspora dan Scutellospora. Giomaceae mempunyai 4
Universitas Sumatera Utara
famili, yaitu famili Glomaceae dengan genus Glomus, famili Acaulosporaceae dengan genus Acaulospora dan Entrophospora, Paraglomaceae dengan genus Paraglomus, dan Archaeoporaceae dengan genus Archaeospora (INVAM, 2004). B. Peranan Mikoriza Arbuskula Fungi mikoriza sangat penting bagi ketersediaan unsur hara seperti P, Mg, K, Fe dan Mn untuk pertumbuhan tanaman. Hal ini terjadi melalui pembentukan hifa pada permukaan akar yang berfungsi sebagai perpanjangan akar terutama di daerah yang kondisinya miskin unsur hara, pH rendah dan kurang air. Akar tanaman bermikoriza ternyata meningkatkan penyerapan seng dan sulfur dari dalam tanah lebih cepat daripada tanaman yang tidak bermikoriza (Abbot dan Robson, 1991). Manfaat fungi mikoriza ini secara nyata terlihat jika kondisi tanahnya miskin hara atau kondisi kering, sedangkan pada kondisi tanah yang subur peran fungi ini tidak begitu nyata (Setiadi, 2001). Banyak penelitian melaporkan bahwa tanaman bermikoriza lebih tahan terhadap kekeringan dibandingkan dengan tanaman yang tidak bermikoriza. Menurut Musfal (2008), hubungan FMA dengan tanaman inangnya adalah saling menguntungkan baik bagi tanaman pangan, pertanian, kehutanan maupun tanaman penghijauan. Mekanisme translokasi dan penyerapan langsung air melalui jaringan hifa sama dengan cara penyerapan nutrisi. Kemungkinan pengaruh kolonisasi mikoriza pada tanaman tahan kekeringan, terkait dengan penyerapan nutrisi. Pada tanah kering, ketersedian nutrisi menjadi berkurang karena adanya peningkatan proses difusi (Smith dan Read, 1997).
Universitas Sumatera Utara
Kelebihan yang dimiliki oleh FMA ini adalah kemampuannya dalam meningkatkan penyerapan unsur hara makro terutama fosfat dan beberapa unsur mikro seperti Cu, Zn, dan Bo. Oleh sebab itu, maka penggunaan FMA ini dapat dijadikan sebagai alat biologis untuk mengefisienkan penggunaan pupuk buatan terutama fosfat. Untuk membantu pertumbuhan tanaman reboisasi pada lahan-lahan yang rusak, penggunaan tipe fungi ini dianggap merupakan suatu cara yang paling efisien karena kemampuannya meningkatkan resistensi tanaman terhadap kekeringan. Beberapa penelitian membuktikan bahwa fungi ini juga mampu mengurangi serangan patogen tular tanah dan dapat membantu pertumbuhan tanaman pada tanah-tanah yang tercemar logam berat, sehingga penggunaannya dapat berfungsi sebagai bioproteksi (Riyanto, 2009). Asosiasi antara akar tanaman dengan jamur dalam bentuk mikoriza akan memperbesar kemampuan tanaman untuk mendapatkan unsur hara pada tanah yang miskin hara. Penelitian rumah kasa yang dilakukan Rasyid (2011) menunjukkan aplikasi FMA dan asam humik berpengaruh terhadap pertumbuhan Suren (Toona sureni merr) pada media tumbuh tanah bekas tambang emas. Hal ini dikarenakan peran FMA dan asam humik dalam meningkatkan dan memperbaiki kemampuan akar dan tanaman, hal ini sesuai dengan pernyataan Setiadi (2001) bahwa FMA selain mampu menyerap air, FMA juga mampu memperbaiki kemampuan akar dalam menyerap dan mencari air dan mineral, dengan meningkatnya kemampuan akar, maka sangat memungkinkan semai dapat tumbuh pada lahan marginal terutama lahan bekas tambang.
Universitas Sumatera Utara
Penelitian Nusantara (2002) menunjukkan inokulasi FMA meningkatkan kadar P jaringan semai sengon. Hal ini disebabkan hifa eksternal mikoriza tersebut membantu melarutkan bentuk-bentuk P tidak tersedia dalam tanah dan juga melindungi tudung akar dari pelukan ion-ion logam misalnya Al yang banyak dijumpai pada tanah Ultisol. Penelitian Safriyanto (2004) menunjukkan bakteri yang diisolasikan dari tanah perakaran sengon bermikoriza dan tidak bermikoriza untuk pertumbuhan semai A. mangium terlihat bakteri rhizosfer sengon secara konstan meningkatkan pertumbuhan tinggi, diameter dan persentase infeksi akar untuk semai A. mangium serta inokulasi FMA terlihat dapat meningkatkan pertumbuhan semai A. mangium tetapi untuk interaksi FMA dan bakteri rhizosfer tidak berpengaruh nyata dalam meningkatkan pertumbuhan A. mangium. Menurut Abbot dan Robson (1991) dalam Irwanto (2006) peran FMA sebetulnya secara tidak langsung meningkatkan ketahanan terhadap kadar air yang ekstrim. Fungi mikoriza dapat mempengaruhi kadar air tanaman inang. Ada beberapa dugaan tanaman bermikoriza lebih tahan terhadap kekeringan, antara lain : 1. Adanya mikoriza menyebabkan resistensi akar terhadap gerakan air menurun sehingga transpor air ke akar meningkat. 2. Peningkatan status P tanaman sehingga daya tahan tanaman terhadap kekeringan meningkat. Tanaman yang mengalami kahat P cenderung peka terhadap kekeringan.
Universitas Sumatera Utara
3. Pertumbuhan yang lebih baik serta ditunjang adanya hifa eksternal fungi yang dapat menjangkau air jauh ke dalam tanah sehingga tanaman dapat bertahan pada kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan 4. Pengaruh tidak langsung karena adanya hifa eksternal yang menyebabkan FMA efektif dalam mengagregasi butir tanah sehingga kemampuan tanah menyimpan air meningkat. 2.5 Tanah Ultisol Konsepsi pokok dari Ultisol (ultimus : terakhir) adalah tanah-tanah berwarna merah kuning, yang sudah mengalami proses hancuran iklim lanjut sehingga merupakan tanah yang berpenampang dalam sampai sangat dalam (> 2 m), menunjukkan adanya kenaikan kandungan liat dengan bertambahnya kedalaman yaitu terbentuknya horizon bawah akumulasi liat. Tanah Ultisol mempunyai tingkat perkembangan yang cukup lanjut, dicirikan oleh penampang tanah yang dalam, kenaikan fraksi liat seiring dengan kedalaman tanah, reaksi tanah masam, dan kejenuhan basa rendah. Tanah ini mempunyai potensi keracunan Al dan miskin kandungan bahan organik. Tanah ini miskin kandungan hara terutama P dan kationkation dapat ditukar seperti Ca, Mg, Na, dan K, kadar Al tinggi, kapasitas tukar kation rendah, dan peka terhadap erosi (Sri Adiningsih dan Mulyadi, 1993). Reaksi tanah Ultisol pada umumnya masam hingga sangat masam (pH 3.10−5), kecuali tanah ultisol dari batu gamping yang mempunyai reaksi netral hingga agak masam (pH 6.80−6. 50). Kapasitas tukar kation pada tanah Ultisol dari granit, sedimen, dan tufa tergolong rendah masing-masing berkisar antara 2.90−7. 50 cmol/kg, 6.11−13.68 cmol/kg, dan 6.10−6.80 cmol/kg. Hasil penelitian menunjukkan
Universitas Sumatera Utara
bahwa beberapa tanah Ultisol dari bahan volkan, tufa berkapur, dan batu gamping mempunyai kapasitas tukar kation yang tinggi. Di Indonesia, Ultisol umumnya belum tertangani dengan baik. Dalam skala besar, tanah ini telah dimanfaatkan untuk perkebunan kelapa sawit, karet dan hutan tanaman industri, tetapi pada skala petani kendala ekonomi merupakan salah satu penyebab tidak terkelolanya tanah ini dengan baik (Prasetyo et al., 2005).
Universitas Sumatera Utara