II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hutan Rakyat 2.1.1 Definisi hutan rakyat Dilihat dari fungsi dibangunnya hutan rakyat, maka hutan rakyat merupakan bentuk pengelolaan lahan yang sangat mempertimbangkan aspek kelestarian hasil dan aspek konservasi namun tetap memberikan peluang untuk meningkatkan hasil tanaman pangan, peningkatan pendapatan, dan perbaikan kesejahteraan petani. Di dalam UUPK No.5/1967 istilah hutan rakyat dijumpai di dalam penjelasan undang-undang tersebut. Di dalam batang tubuhnya sendiri istilah hutan rakyat tidak ada, akan tetapi ada disebutkan istilah hutan milik, yaitu lahan milik rakyat yang ditanami dengan pepohonan. Titik berat perhatian rakyat adalah menanam tanaman pangan karena pada waktu itu masyarakat Indonesia masih mengalami defisit suplai pangan terutama beras, atau ditanami dengan tanaman holtikultura dan tanaman semusim yang cepat menghasilkan dan dapat dijual untuk menghasilkan uang tunai (Simon 1995). Sedikit berbeda dengan pengertian hutan rakyat yang disebutkan dalam UUPK No.5/1967, di dalam UU tentang Kehutanan No.41/1999 istilah hutan milik tidak dijumpai lagi, diganti dengan istilah hutan hak sebagai sisi lain dari hutan negara. Hutan hak diperuntukkan sebagai sinonim dari hutan rakyat tersebut. Pada dasarnya hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di lahan milik, dikelola dan dikuasai sepenuhnya oleh pemiliknya atau rakyat (Djuwadi 2002). Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.46/kpts-II/1997, hutan rakyat adalah hutan yang dimiliki oleh rakyat dengan luas minimal 0,25 Ha dengan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan jenis lainnya lebih dari 50% dan pada tanaman tahun pertama dengan tanaman sebanyak minimal 500 tanaman tiap hektar. Selain itu, sangat banyak sistem pengelolaan hutan oleh rakyat yang ditawarkan. Misalnya Perhutani menawarkan konsep Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat, masyarakat diperbolehkan melakukan penanaman tanaman semusim di sela tanaman jati yang arealnya masih dikelola oleh Perhutani dan masyarakat hanya ikut “menumpang” di lahan tersebut (Djuwadi 2002).
Sistem hutan untuk menggambarkan bahwa hutan bukan sekedar tegakan kayu, melainkan suatu sistem pengelolaan kawasan yang terdiri dari berbagai elemen, diantaranya hutan alam, hutan sekunder, sungai, danau, kebun, ladang, permukiman, hutan keramat, dan banyak lagi yang tergantung komunitas dan sistem ekologinya. Kerakyatan menegaskan bahwa aktor utama dalam pengelolaan hutan adalah komunitas lokal (Djuwadi 2002).
2.1.2 Peran hutan rakyat dan manfaatnya Menurut Deapartemen Kehutanan (1995) menyatakan bahwa hutan rakyat mempunyai manfaat ganda, yaitu selain manfaat ekologis juga mempunyai manfaat ekonomis. Tujuan dan manfaat dibangunnya hutan rakyat tersebut adalah (1) memperbaiki penutupan tanah sehingga akan mencegah erosi, (2) memperbaiki peresapan air ke dalam tanah, (3) menciptakan iklim mikro, perbaikan lingkungan dan perlindungan sumber air, (4) meningkatkan produktifitas lahan, (5) meningkatkan pendapatan masyarakat, dan (6) memenuhi kebutuhan bahan baku industri pengolahan kayu dan kebutuhan kayu rakyat. Tujuan pokok dari pengembangan hutan rakyat (Dephut 1995) adalah: 1. Memenuhi kebutuhan kayu 2. Meningkatkan kesejahteraan rakyat 3. Memperluas kesempatan kerja penduduk 4. Salah satu upaya pengentasan kemiskinan Toha (1987) menyebutkan bahwa sasaran pengembangan hutan rakyat terbagi menjadi tiga, yaitu sasaran fisik lingkungan hidup (environment), sasaran sosial ekonomi (prosperity) dan sasaran keamanan dan keutuhan negara (security). Saragih et al. (1995), mengemukakan hutan rakyat adalah bagian yang integral dari ekonomi rumah tangga rakyat yang mempunyai ciri multi purpose, yaitu : 1. Memenuhi sebagian dari kebutuhan pangan anggota rumah tangga, kebutuhan pakan ternak, bahan bangunan, dan sumber pendapatan. 2. Memberikan hasil sepanjang tahun, tidak terikat musim sehingga dapat mengisi kebutuhan pada saat lahan-lahan pertanian tanaman semusim tidak menghasilkan.
3. Hutan rakyat di Pulau Jawa berfungsi sebagai jaminan bagi kredit informal 4. Dapat berperan sebagai kebutuhan ekonomi daerah akan kayu, sayur, dan buah-buahan serta tanaman obat-obatan 5. Berperan positif di dalam penyerapan air dan mencegah erosi 6. Dapat menjadi sumber plasma nutfah, khususnya hutan rakyat di Pulau Jawa.
2.1.3 Sistem pengelolaan hutan rakyat Pengelolaan hutan rakyat di satu sisi memang menunjukkan potensi hasil hutan kayu dan non kayu yang besar, peningkatan nilai ekologis kawasan, dan peningkatan pendapatan masyarakat pengelola hutan. Akan tetapi di sisi lain masih ditemui beberapa permasalahan, misalnya keterbatasan akses dan pengetahuan pasar masyarakat, penebangan yang masih dilakukan dengan sistem “tebang butuh”, kualitas kayu dari hutan rakyat yang belum optimal akibat kurangnya pengetahuan tentang teknik silvikultur (Hardjanto 1990). Pola usahatani hutan rakyat masih dilakukan secara tradisional dan belum sepenuhnya memperhatikan prinsip-prinsip ekonomi perusahaan yang paling menguntungkan (Hardjanto 1990). Pemilik hutan rakyat umumnya belum menggantungkan penghidupannya pada hutan-hutan yang dimilikinya, mereka mengusahakan hutan rakyat tersebut sebagai sambilan. Faktor penyebab para petani tidak menggantungkan penghidupannya pada hutan (Hardjanto 1990) yaitu: 1. Belum adanya persatuan antar pemilik hutan rakyat 2. Sistem silvikultur belum diterapkan secara sempurna. 3.
Kurangnya pengetahuan petani dalam pemasaran hasil hutan rakyat
4. Belum adanya lembaga khusus yang menangani pengusahaan hutan rakyat. Pengelolaan hutan rakyat pada dasarnya adalah merupakan upaya menyeluruh dari kegiatan-kegiatan perencanaan, pembinaan, pengembangan, dan penilaian serta pengawasan pelaksanaan kegiatan produksi, pengolahan hasil dan pemasaran secara terencana dan berkesinambungan. Tujuan akhir yang ingin dicapai dari pengelolaan hutan rakyat adalah adanya peningkatan peran dari kayu
rakyat terhadap peningkatan pendapatan pemilik/pengusahanya secara terus menerus selama daur (Hardjanto 1990). Keberhasilan pengembangan hutan rakyat (Dephut 1995) sangat tergantung pada : 1. Tujuan pengembangan hutan rakyat yang jelas 2. Lokasi dan luas unit usaha hutan rakyat 3. Pemilihan jenis yang di tanam 4. Sistem penanaman, pemeliharaan, dan pengelolaan 5. Produksi tahunan yang terencana 6. Investasi yang tersedia dan keterkaitan dengan industri pengelolaan kayu. Sistem pendanaan yang dilaksanakan dalam pengembangan hutan rakyat (Dephut 1995) dapat ditempuh melalui: 1. Swadaya masyarakat baik perorangan, kelompok, maupun mitra usaha 2. Program bantuan inpres penghijauan dan reboisasi/APBD. 3. Kredit, berupa pinjaman lunak kepada petani/kelompok tani dengan pola acuan P3KUK-DAS melalui bank penyalur. 4. Kredit usaha perhutanan rakyat, berupa pinjaman lunak kepada petani melalui mitra usaha yang pelaksanaannya diatur oleh Departemen Kehutanan dan BRI selaku bank penyalur.
2.1.4 Pengusahaan hutan rakyat 1. Biaya Pengusahaan Hutan Rakyat Biaya secara sederhana dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang mengurangi suatu tujuan. Jadi biaya pengusahaan hutan rakyat adalah segala bentuk korbanan ekonomi yang dikeluarkan atau akan dikeluarkan untuk mencapai tujuan pembangunan hutan rakyat. Pada prinsipnya biaya yang terlibat dalam pengusahaan hutan rakyat dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu biaya produksi tetap (fixed cost) dan biaya produksi berubah (variable cost). Biaya produksi tetap adalah semua jenis biaya yang tidak berubah besarnya walaupun jumlah barang yang dihasilkan berubah, misalnya sewa tanah. Sedangkan biaya produksi berubah adalah biaya produksi yang besarnya
tergantung dari jumlah barang yang dihasilkan, misalnya membeli pupuk, bibit, upah tenaga kerja (Sumarta 1963 dalam Hayono 1996). 2. Pendapatan Usaha Hutan Rakyat Pendapatan adalah penerimaan total dari penjualan hasil produksi sebelum dikurangi dengan biaya produksi. Besarnya Pendapatan dipengaruhi oleh jumlah barang yang dihasilkan/diproduksi dan harga masing-masing jenis dan kualitas produk. Pendapatan dari usaha hutan rakyat diperoleh dari penjualan kayu rakyat baik berupa kayu pertukangan maupun kayu bakar (Sumarta 1963 dalam Hayono 1996).
2.2 Pendapatan Rumah Tangga Petani Pendapatan rumah tangga adalah kumpulan dari pendapatan anggotaanggota rumah tangga dari masing-masing kegiatannya. Menurut Soeharjo (1973), pendapatan merupakan selisih antara penerimaan dari penjualan, konsumsi keluarga akan komoditi yang dihasilkan dengan biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan komoditi tersebut. Pendapatan rumah tangga petani tidak hanya berasal dari usaha pertaniannya saja, tetapi juga berasal dari sumber-sumber lain di luar sektor pertanian, seperti perdagangan, jasa pengangkutan, industri pengolahan, dan lain-lain (BPS 1993). Bahkan kadang penghasilan di luar usaha pertanian justru lebih besar daripada pendapatannya dari pertanian. Kartasubrata (1986) menjelaskan bahwa pendapatan rumah tangga menurut sumbernya dibagi menjadi dua golongan, yaitu pendapatan kehutanan dan non kehutanan. Pendapatan kehutanan adalah pendapatan yang berasal dari kegiatan di hutan dan pendapatan non kehutanan adalah pendapatan yang berasal dari hasil kegiatan di luar kehutanan.
2.3 Industri Kayu Rakyat 2.3.1 Pengertian industri kayu rakyat Pengertian industri menurut BPS (2010) adalah sebagai cabang kegiatan ekonomi, sebuah perusahaan atau badan usaha sejenisnya dimana tempat seseorang bekerja. Kegiatan ini diklasifikasikan berdasarkan Klasifikasi Lapangan Usaha Indonesia (KLUI). Berdasarkan pengertian tersebut di atas, industri kayu rakyat dapat didefinisikan sebagai suatu usaha yang melakukan kegiatan mengubah kayu rakyat menjadi barang jadi/setengah jadi baik secara mekanis atau
tidak, untuk menjadi suatu barang yang bernilai. Salah satu jenis industri kayu rakyat yang dapat diusahakan adalah industri penggergajian. Penggergajian merupakan proses konversi paling primitif dibandingkan dengan konversi lain, yaitu industri plywood. Industri penggergajian adalah suatu kegiatan yang merubah log kayu rakyat menjadi kayu gergajian seperti balok, papan dan kaso (Rusmawan 1993).
2.3.2 Pengelompokan industri Industri di Indonesia secara umum dapat dikelompokan berdasarkan jumlah tenaga kerja, cara pengolahan, modal dan hasil serta pemasaran produknya. Industri dilihat dari jumlah tenaga kerja yang aktif dapat dikelompokan menjadi empat kelompok BPS (2010) yakni : 1) Industri Besar Industri besar adalah perusahaan industri yang memiliki tenaga kerja berjumlah lebih dari 100 orang tenaga kerja. 2) Industri Sedang/Menengah Industri sedang/menengah adalah perusahaan industri yang memiliki tenaga kerja berjumlah antara 20-100 orang tenaga kerja. 3) Industri Kecil Industri kecil adalah perusahaan industri yang memiliki tenaga kerja berjumlah antara 5-19 orang tenaga kerja. 4) Industri Kerajinan Industri kerajinan adalah perusahaan industri yang memiliki tenaga kerja berjumlah antara 1-4 orang tenaga kerja.
2.3.3 Ekonomi pengolahan kayu rakyat Industri kayu rakyat memegang peran penting dalam kegiatan perdagangan kayu rakyat. Hal ini dikarenakan industri kayu rakyat berfungsi sebagai pembeli kayu rakyat pada tingkat kedua dan juga sebagai penyedian bahan baku kayu rakyat atau bahan jadi yang dapat langsung dikonsumsi oleh konsumen (Rusmawan 1993).
Kemajuan di bidang industri secara global menyebabkan peningkatan industri kayu rakyat. Permintaan akan produk kayu rakyat dari hari-kehari kian meningkat. Berdasarkan ekonomi mikro kayu rakyat telah memiliki daya guna tinggi sehingga dapat memberikan kepuasan kepada konsumen (Sudarsono 1995). Adanya permintaan tersebut diiringi dengan adanya suatu penawaran. Penawaran dan permintaan akan produk kayu rakyat dapat membentuk harga produk kayu rakyat, yang selanjutnya dapat menciptakan pasar. Menurut Hardjanto (2003), permintaan industri kayu rakyat dapat berasal dari pasar lokal, industri menengah dan industri besar. Permintaan pasar akan kayu rakyat bagi industri, dapat digunakan sebagai acuan dalam merencanakan produksi atau penyediaan barang. Dalam perencanaan tersebut, seorang pengusaha harus dapat memprediksikan biaya-biaya yang dibutuhkan, untuk memenuhi permintaan konsumen agar dapat memperoleh keuntungan yang maksimal (Sudarsono 1995). Permintaan pasar ini dipengaruhi oleh struktur pasar yang berlaku. Untuk dapat memaksimalkan keuntungan, maka perlu diketahui struktur pasar dalam pembentukan harga, komponen-komponen biaya dan pendapatan, serta marginal keuntungan.
2.3.4 Manfaat industri kayu rakyat Pembangunan industri kayu rakyat merupakan syarat mutlak, untuk meningkatkan nilai kayu rakyat, terutama log. Menurut Tandiono (1982) dalam Rusmawan (1993), kegiatan industri kayu rakyat memberikan manfaat yang sangat berarti diantaranya : 1) Meningkatkan penerimaan daerah dan devisa Negara. 2) Meningkatkan nilai tambah bahan baku log. 3) Meningkatkan pendapatan masyarakat. 4) Memungkinkan usaha dengan efisiensi tinggi.
2.4 Konsep Kemitraan Kemitraan adalah kerjasama antara usaha kecil dengan menengah atau dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan yang berkelanjutan oleh usaha menengah atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling menguntungkan.
Secara harfiah kemitraan diartikan sebagai suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan (Hafsah 2000). Adapun definisi kemitraan secara resmi diatur dalam Undang-Undang Usaha Kecil No. 9 Tahun 1995 pasal 1 ayat 8 menyatakan bahwa kemitraan merupakan kerjasama antara usaha kecil dengan usaha menengah atau besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Sementara berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 944/Kpts/OT.210/10/97 yang dimaksud dengan kemitraan usaha pertanian adalah kerjasama usaha antara perusahaan mitra dengan kelompok mitra di bidang usaha pertanian.
2.4.1 Konsep kemitraan perusahaan-masyarakat Konsep kemitraan perusahaan-masyarakat atas dasar kontrak kesepakatan dan kerjasama mampu menyediakan pendekatan-pendekatan efektif yang mampu menjamin ketersediaan bahan pasokan kayu disamping berbagi manfaat, keuntungan dan juga resiko dengan masyarakat lokal sekitarnya (Mayers, 2000). Menurut Mayers & Vermeulen (2002), beberapa istilah yang sering digunakan dalam pelaksanaan kemitraan adalah sebagai berikut : 1. Perusahaan, mencakup badan hukum berskala besar, dapat berupa perusahaan swasta yang dikelola dengan berorientasi untuk mendapatkan keuntungan. 2. Masyarakat, termasuk didalamnya petani, masyarakat lokal yang berada pada tingkat-tingkat sosial yang berada pada organisasi-organisasi sosial seperti kelompok-kelompok tani dan kelompok-kelompok pengguna produk yang pada suatu saat tertentu melaukan kegiatan dengan berorientasi untuk mendapatkan keuntungan saja. 3. Kehutanan, merupakan seni menanam, memelihara serta mengelola hutan dan tegakan dengan tujuan untuk memperoleh manfaat hasil dan jasa. 4. Kemitraan, hubungan atau kerjasama yang secara aktif dilakukan oleh dua pihak atau lebih dengan ekspektasi penerimaan manfaat
5. Konsep
kemitraan
perusahaan-masyarakat,
mencakup
tempat
bekerjasama, bentuk dari sisi kehutanannya, serta tipe-tipe hubungan antara dua atau lebih pihak. Menurut Mayers & Vermeulen (2002), beberapa gambaran mengenai konsep kemitraan yang kuat adalah sebagai berikut : 1. Adanya dialog. Pihak-pihak yang terlibat setuju dan bersedia untuk saling berkonsultasi dan berinteraksi selama dalam tahap persiapan rencana. 2. Kesepakatan bersama. Pihak-pihak yang terlibat setuju untuk tidak bertindak tanpa persetujuan dari pihak lain. Dengan kata lain, adanya suatu sikap saling pengertian yang tinggi antar pihak terhadap tindakan yang akan dilakukan. 3. Adanya kontrak kerjasama. Pihak-pihak yang terlibat paham bahwa salah satu pihak memberikan pelayanan atas dasar kontrak terhadap pihak lain. 4. Berbagi Rencana Kerja. Pihak-pihak yang terlibat setuju untuk membahas serta mengimplementasikan rencana kerja yang telah dibuat secara bersama-sama menuju pada suatu tujuan yang telah direncanakan. 5. Berbagi tanggung jawab dan juga resiko. Pihak-pihak yang terlibat setuju untuk sama-sama bertanggung jawab secara penuh terhadap rencana yang telah dibuat. 2.4.2 Pola kemitraan Terdapat beberapa pola yang dapat diterapkan dalam pelaksanan kerjasama kemitraan. Pemilihan bentuk kerjasama dapat disesuaikan dengan melihat kondisi masing-masing pelaku kerjasama. Jangka waktu kemitraan dibedakan menjadi tiga Deptan (1997), yaitu : 1. Kemitraan Insidental Bentuk kemitraan ini didasarkan pada kepentingan ekonomi bersama dalam jangka pendek dan dihentikan jika kegiatan tersebut telah selesai, dengan atau tanpa kesepakatan tertulis atau kontrak kerja. Bentuk kemitraan seperti ini biasanya ditemui dalam pengadaan input dan pemasaran usaha tani.
2. Kemitraan Jangka Menengah Bentuk kemitraan ini didasarkan pada motif ekonomi bersama dalam jangka menengah atau musim produksi tertentu, dengan atau tanpa perjanjian tertulis. 3. Kemitraan Jangka Panjang Kemitraan ini dilakukan dalam jangka waktu yang sangat panjang dan terusmenerus dalam skala besar dan dengan perjanjian tertulis. Misalnya adalah kepemilikan perusahaan oleh petani atau koperasi.
Adapun pola-pola kemitraan yang banyak dilaksanakan oleh beberapa kemitraan usaha pertanian di Indonesia (DPU 2002) meliputi : 1. Inti-Plasma Merupakan hubungan kemitraan antara perusahaan mitra dengan kelompok mitra. Perusahaan mitra bertindak sebagai inti dan kelompok mitra bertindak sebagai plasma. Dalam hal ini, perusahaan mitra mempunyai kewajiban : (1) berperan sebagai perusahaan inti, (2) menampung hasil produksi, (3) membeli hasil produksi, (4) memberi bimbingan teknis dan pembinaan manajemen kepada kelompok mitra, (5) memberikan pelayanan kepada kelompok mitra berupa permodalan/kredit, sarana produksi, dan teknologi, (6) mempunyai usaha budidaya pertanian/memproduksi kebutuhan perusahaan, dan (7) menyediakan lahan. Sementara kewajiban kelompok mitra : (1) berperan sebagai plasma, (2) mengelola seluruh usaha budidaya sampai dengan panen, (3) menjual hasil produksi kepada perusahaan mitra, (4) memenuhi kebutuhan perusahaan sesuai dengan persyaratan yang telah disepakati. Keunggulan dari pola ini adalah : (1) kedua belah pihak saling mempunyai ketergantungan dan sama-sama memperoleh keuntungan, (2) terciptanya peningkatan usaha, dan (3) dapat mendorong perkembangan ekonomi. Namun, dikarenakan belum adanya kontrak kemitraan yang menjamin hak dan kewajiban komoditas plasma, kelemahan pola ini menyebabkan perusahaan inti mempermainkan harga komoditi plasma. 2. Subkontrak Merupakan hubungan kemitraan antara perusahaan mitra dengan kelompok mitra. Kelompok mitra dalam hal ini memproduksi komponen yang diperlukan oleh perusahaan mitra sebagai bagian dari produksinya. Tugas perusahaan mitra dalam pola subkontrak, meliputi : (1) menampung dan membeli komponen
produksi perusahaan yang dihasilkan oleh kelompok mitra, (2) menyediakan bahan baku / modal kerja, dan (3) melakukan kontrol kualitas produksi. Sementara tugas kelompok mitra adalah : (1) memproduksi kebutuhan yang diperlukan perusahaan mitra sebagai komponen produksinya, (2) menyediakan tenaga kerja, dan (3) membuat kontrak bersama yang mencantumkan volume, harga, dan waktu. Pola subkontrak ini sangat kondusif bagi terciptanya alih teknologi, modal, keterampilan, dan produktivitas serta terjaminnya pemasaran produk pada kelompok mitra. Namun sisi kelemahannya tampak dari hubungan yang terjalin semakin lama cenderung mengisolasi produsen kecil dan mengarah pada monopoli atau monopsoni. 3. Dagang Umum Salah satu pola kemitraan di mana perusahaan mitra berfungsi memasarkan hasil produksi kelompok mitranya atau kelompok mitra memasok kebutuhan yang diperlukan perusahaan mitra. Keuntungan pola ini adalah pihak kelompok mitra tidak perlu bersusah payah dalam memasarkan hasil produknya sampai ke konsumen. Sementara kelemahannya terletak pada harga dan volume produk yang sering ditentukan secara sepihak oleh perusahaan mitra sehingga merugikan kelompok mitra. 4. Keagenan Pola keagenan merupakan hubungan kemitraan di mana kelompok mitra diberi hak khusus untuk memasarkan barang atau jasa usaha perusahaan mitra. Sementara perusahaan mitra bertanggung jawab atas mutu dan volume produk. Keuntungan pola ini bagi kelompok mitra bersumber dari komisi yang diberikan perusahaan mitra sesuai dengan kesepakatan. Namun disisi lain pola ini memiliki kelemahan dikarenakan kelompok mitra dapat menetapkan harga produk secara sepihak. Selain itu kelompok mitra tidak dapat memenuhi target dikarenakan pemasaran produknya terbatas pada beberapa mitra usaha saja. 5. Kerjasama Operasional Agribisnis (KOA) Dalam pola ini perusahaan mitra menyediakan biaya, modal, manajemen dan pengadaan sarana produksi untuk mengusahakan atau membudidayakan suatu komoditi pertanian, sedangkan kelompok mitra menyediakan lahan, sarana, dan
tenaga kerja. Keunggulan pola ini hampir sama dengan pola inti-plasma, namun dalam pola ini lebih menekankan pada bentuk bagi hasil. 6. Waralaba Merupakan pola hubungan antara kelompok mitra dengan perusahaan mitra, dimana perusahaan mitra memberikan hak lisensi, merek dagang, saluran distribusi perusahaannya kepada kelompok mitra usahanya sebagai penerima waralaba. Kelebihan pola ini, kedua belah pihak sama-sama mendapatkan keuntungan sesuai dengan hak dan kewajibannya. Keuntungan tersebut dapat berupa adanya alternatif sumber dana, penghematan modal, dan efisiensi. Selain itu pola ini membuka kesempatan kerja yang luas. Kelemahannya, bila salah satu pihak ingkar dalam menepati kesepakatan sehingga terjadi perselisihan. Selain itu, pola ini menyebabkan ketergantungan yang sangat besar dari perusahaan terwaralaba terhadap perusahaan pewaralaba dalam hal teknis dan aturan atau petunjuk yang mengikat. Sebaliknya perusahaan pewaralaba tidak mampu secara bebas mengontrol atau mengendalikan perusahaan terwaralaba terutama dalam hal jumlah penjualan. 7. Pola Kemitraan (Penyertaan) Saham Dalam pola kemitraan ini, terdapat penyertaan modal (equity) antara usaha kecil dengan usaha menengah atau besar. Penyertaan modal usaha kecil dimulai sekurang-kurangnya 20% dari seluruh modal saham perusahaan yang baru dibentuk dan ditingkatkan secara bertahap sesuai kesepakatan kedua belah pihak. 2.4.3 Karakteristik kemitraan
Karakteristik
umum
kemitraan
cenderung
untuk
mengganbungkan
kedekatan hubungan antara taraf dimana para partner dapat bekerjasama dan kesamaan dari hubungan itu, serta seberapa kuat keseimbangan antara mereka. Sebagai contoh, dimana salah satu definisi kemitraan dijelaskan sebagai suatu persekutuan
dimana
individu-individu
masyarakat,
kelompok-kelompok
masyarakat ataupun organisasi/lembaga, sepakat untuk bekerjasama dalam menjalankan
suatu
kegiatan,
berbagi
resiko
sebagaimana
berbagi
manfaat/keuntungan serta menilai kembali hubungan tersebut secara periodik dan
merevisi kesepakatan apabila diperlukan (Tennyson 1998 dalam Mayers & Vermeulen 2002). Menurut Nawir et al. (2003), proses kemitraan merupakan proses berkelanjutan yang dinamis dalam rangka menuju suatu keadaan yang saling menguntungkan bagi semua pihak yang terlibat. Salah satu alasan ekonomi dari hubungan kerjasama kemitraan adalah akan tercipta perusahaan yang berskala besar, sehingga perusahaan akan lebih efisien dan lebih kompetitif daripada skala kecil (Oktaviani & Daryanto 2001). Sementara tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan kemitraan, adalah (1) meningkatkan pendapatan usaha kecil dan masyarakat, (2) meningkatkan perolehan nilai tambah bagi pelaku kemitraan, (3) meningkatkan pemerataan dan pemberdayaan masyarakat dan usaha kecil, (4) meningkatkan pertumbuhan ekonomi pedesaan, wilayah dan nasional, (5) memperluas kesempatan kerja, dan (6) meningkatkan ketahanan ekonomi nasional (Hafsah 2000). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hubungan bisnis yang terjadi dalam kemitraan harus mampu menghasilkan integrasi bisnis yang saling berkaitan dan menjamin terciptanya keseimbangan, keselarasan, keterpaduan yang dilandasi saling menguntungkan, saling membutuhkan dan saling membesarkan. Disamping itu, kemitraan harus mengandung konsekuensi peningkatan nilai lebih pada semua elemen mulai dari pengadaan sarana produksi, usahatani, pengolahan hasil, distribusi dan pemasaran. Dengan kata lain, kemitraan seharusnya mengandung makna kerjasama sinergi yang menghasilkan nilai tambah (Hafsah 2000).
2.5 Analisis Kelayakan Usaha
2.5.1 Analisis Finansial Menurut Gray et al. (1997) salah satu analisis yang dapat memperkirakan apakah suatu investari layak atau tidak layak adalah analisis finansial. Analisis finansial dilakukan dengan tujuan untuk melihat suatu hasil kegiatan investasi dari sisi individu, dalam hal ini perorangan, perseroan, CV, atau kelompok usaha lainnya yang berhubungan dengan proyek. Hasil analisis tersebut disebut private return yang merupakan hasil untuk modal saham yang ditanam proyek. Analisis
finansial didasarkan pada keadaan sebenarnya dengan menggunakan data harga yang ditemukan dilapangan (real price). Dengan mengetahui hasil analisis finansial, para pembuat keputusan dapat melihat apa yang terjadi pada proyek dalam keadaan yang sebenarnya dan para pembuat keputusan juga dapat segera melakukan penyesuaian apabila proyek berjalan menyimpang dari rencana semula. Adapun menurut Gittinger (1986) salah satu cara untuk melihat kelayakan dari analisis finansial adalah dengan menggunakan cash flow analysis. Alasan penggunaan metode ini adalah adanya pengaruh waktu terhadap nilai uang selama umur ekonomis kegiatan usaha. Cash Flow Analysis dilakukan setelah komponenkomponenya
ditentukan
dan
diperoleh
nilainya.
Komponen
tersebut
dikelompokkan dalam dua bagian, yaitu penghasilan atau manfaat (benefit; inflow). Selisih antara keduanya disebut manfaat bersih (net benefit) yang kemudian dijadikan nilai sekarang (present value) dengan mengalikannya dengan tingkat diskonto (discount rate) yang ditetapkan. Tingkat diskonto ini harus senilai dengan opportunity cost of capital atau biaya marginal kegiatan tersebut dari sudut pandang pemilik modal atau peserta usaha dan biasanya tingkat diskonto merupakan tingkat usaha untuk meminjam modal.
2.5.2 Analisis kriteria investasi Menurut Gittinger (1986), dalam menilai suatu proyek yang menggunakan Discounted Cash Flow (DCF) atau aliran kas yang berdiskonto berdasarkan pada tiga kriteria, yaitu : 1. Net Present Value (NPV), yaitu nilai kini atau sekarang dari suatu proyek setelah dikurangi dengan seluruh biaya pada suatu tahun tertentu dari keuntungan atau manfaat yang diterima pada tahun bersangkutan dan di diskontokan pada tingkat bunga yang berlaku. 2. Benefit Cost Ratio (BCR), adalah suatu cara evaluasi proyek dengan membandingkan nilai sekarang seluruh hasil yang diperoleh proyek dengan nilai sekarang seluruh biaya proyek.
3. Internal Rate of Return (IRR), adalah suatu tingkat suku bunga maksimal yang dibayarkan oleh suatu proyek untuk semua investasi dan sumberdaya yang digunakan.