II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Agribisnis Florikultura Agribisnis secara umum adalah suatu sistem yang terdiri dari empat subsistem yang terintegrasi secara fungsional. Sub-sistem pertama adalah agribisnis hulu (up-streem agribusiness) berupa ragam kegiatan industri dan perdagangan sarana produksi pertanian. Kedua adalah pertanian primer (on-farm agribusiness) yang menghasilkan komoditas pertanian primer dengan menggunakan saprotan. Ketiga, agribisnis hilir (down-stream agribusiness) berupa ragam kegiatan industri pengolahan hasil pertanian dan perdagangan. Sub-sistem keempat adalah lembaga jasa. Satu dari sub-sistem tersebut saling tergantung secara fungsional, sehingga keterbelakangan salah satu sub-sistem akan menghambat perkembangan sub-sistem lainnya (Sitorus 2001). Uraian tersebut menunjukkan bahwa kegiatan agribisnis saling terkait dan saling mempengaruhi. Kegiatannya berbasis pada keunggulan sumberdaya alam (on-farm agribusiness) yang berhubungan dengan penerapan teknologi dan keunggulan sumberdaya manusia untuk perolehan nilai tambah (off-farm agribusiness), serta memiliki lingkup yang sangat luas, mulai dari skala usaha kecil dan rumah tangga hingga skala usaha raksasa, atau dari yang berteknologi sederhana hingga yang berteknologi tinggi. Menurut Saragih (2001) prospek agribisnis florikultura di Indonesia dapat dilihat dari sisi penawaran (potensi sumberdaya) maupun dari sisi permintaan (potensi pasar). Dari sisi potensi sumberdaya, prospek agribisnis florikultura di Indonesia antara lain ditunjukkan hal-hal berikut: 1.
Indonesia merupakan wilayah tropis yang memiliki agroklimat tropis (wilayah dataran rendah dengan ketinggian di bawah 500 meter dari permukaan laut) dan agroklimat (mirip) sub tropis (wilayah dataran tinggi dengan ketinggian di atas 500 meter dari permukaan laut). Dengan kedua agroklimat yang demikian hampir seluruh komoditas agribisnis florikultura yang terdapat di dunia, dapat dikembangkan di Indonesia.
2.
Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman sumberdaya florikultura yang cukup besar baik jenis florikultura dataran rendah maupun dataran tinggi.
Dengan keragaman florikultura yang ada memungkinkan
untuk memenuhi hampir semua segmen pasar florikultura Internasional memungkinkan dimasuki Indonesia. 3.
Indonesia masih memiliki lahan yang relatif luas sehingga ruang gerak pengembangan agribisnis yang relatif bersifat land based seperti florikultura pada umumnya masih cukup besar.
4.
Teknologi dan sumberdaya manusia untuk pengembangan florikultura relatif tersedia. Pusat-pusat teknologi florikultura baik di lembaga penelitian pemerintah maupun di perguruan tinggi telah berkembang. Demikian juga sumberdaya manusia, keberagaman sunberdaya manusia di Indonesia (mulai dari “pekerja otot” sampai “pekerja otak”) bukan kendala bagi pengembangan agribisnis melainkan potensi karena setiap kualifikasi tenaga kerja memiliki relung pada agribisnis florikultura. Selanjutnya Saragih (2001) juga menjelaskan dari segi potensi pasar,
prospek agribisnis florikultura masih cukup cerah, baik pasar domestik maupun internasional: 1.
Jumlah penduduk Indonesia yang cukup besar dengan kecenderungan peningkatan pendapatan ke depan, merupakan pasar yang besar bagi produk agribisnis florikultura. Saat ini Indonesia masih tergolong negara dimana konsumsi per kapita florikultura terendah di dunia.
Sehingga pasar
florikultura di dalam negeri masih merupakan emerging market. 2.
Terdapat sejumlah perubahan di masa yang akan datang yang membuka kesempatan bagi agribisnis florikultura Indonesia baik di pasar domestik maupun pasar internasional.
Perubahan yang dimaksud adalah sebagai
berikut : (1) Kawasan Asia Pasifik khususnya kawasan ASEAN dan Asia Timur di masa yang akan datang merupakan lokomotif perekonomian dunia menggeser kawasan atlantik saat ini. Pertumbuhan kawasan tersebut akan merupakan kawasan pemukiman, perkantoran, dan real estate lainnya yang cukup besar.
Pertumbuhan real estate tersebut akan meningkatkan
permintaan tanaman bunga; dan (2) Meningkatnya pendapatan masyarakat serta meningkatnya pengetahuan masyarakat akan kesegaran dan keindahan juga akan meningkatkan permintaan akan bunga potong.
13
2.2 Karakteristik Komoditas Florikultura Menurut Soekartawi dalam Syarif (2005) Komoditas bunga potong secara umum dicirikan oleh karakteristik agribisnis yang berbeda dengan bisnis lainnya. Karakteristik alami komoditas pertanian yang umumnya bulky dan perishable mengakibatkan agribisnis bunga potong menjadi usaha yang memerlukan penanganan yang cepat dan tepat waktu, bersifat musiman dan memiliki biaya tata niaga serta risiko tingkat usaha (pengembalian investasi) yang tinggi akibat ketergantungan yang besar terhadap faktor eksternal seperti iklim dan kondisi alam.
Oleh karena itu, dalam agribisnis bunga potong diperlukan kegiatan
pengelolaan yang baik agar tuntutan kualitas dapat dipenuhi. Menurut Purba (2010), ada beberapa hal yang terkait dalam menguasai perilaku pasar dan trend terhadap tanaman hias (florikultur) yaitu: 1.
Perilaku pasar sangat dinamis sehingga memaksa kita untuk tetap proaktif mengikutinya.
2.
Data dan Informasi untuk tanaman hias, perlu sosialisasi antar sesama pelaku pasar sejenis.
3.
Trend masyarakat terhadap tanaman cepat berubah.
4.
Channel Distribution di dalam pengembangan pasar tanaman hias. Perilaku pasar terhadap tanaman hias terbukti cepat berubah karena hal ini
terkait dengan selera konsumen, misalnya mengenai informasi tentang manfaat dan harga pasarannya. Terkait trend masyarakat yang cepat berubah sehingga perlunya sosialisasi antar sesama pelaku pasar tanaman hias. Budidaya tanaman hias menuntut penanganan yang spesifik dan berbeda-beda. Oleh karena itu, usaha agribisnis tanaman hias ini akan lebih baik bila dikelola dalam suatu lembaga khusus dan secara berkelompok misal seperti Koperasi Bunga dan sejenisnya.
2.3 Produk Karangan Bunga Pusat Pengembangan Pasar Wilayah Eropa (2004) dalam Anwari (2006), memberikan batasan ruang lingkup florikultura menjadi empat kelompok yaitu akar/bonggol (roots/tubers), tanaman hias (live-plants), bunga potong (cutflower), serta daun dan tanaman (foliage, branch of plants). Bunga potong adalah 14
bunga yang biasa digunakan untuk keperluan dekorasi, acara perkawinan, dan hari-hari khusus, seperti Idul Fitri, hari Kemerdekaan, hari Valentine, Peresmian gedung dan lain-lain. Sedangkan bunga hias adalah bunga yang biasa digunakan untuk keperluan taman (Hanapi 2006).
Menurut Syarif (2005), diversifikasi
produk dari komoditas florikultura yang mempunyai nilai tambah salah satunya adalah produk-produk karangan bunga seperti papan bunga ucapan, bouquet, standing flower, mobil hias, dan dekorasi taman. Fungsi dari produk-produk karangan bunga adalah sebagai karangan bunga ucapan pada hari-hari besar atau perayaan hari nasional, kampanye, peresmian gedung dan kantor, perayaan keagamaan, acara pernikahan, kematian, kelahiran, dan sebagainya.
Hasil
rangkaian yang terpadu antara warna dan jenis bunga serta dekor seni yang bagus dan ditata menarik dapat digunakan untuk mengungkapkan perasaan hati, pujian, simpati kepada yang berduka, ucapan selamat, perayaan dan sebagainya. Pemanfaatan berbagai jenis bunga potong dalam berbagai fungsi kegiatan atau acara dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Pemanfaatan Jenis Bunga Potong dalam Berbagai Kegiatan No Kegiatan 1 Perkawinan 2 3 4 5 6 7
Jenis Bunga yang Digunakan Anggrek, Gladiol, Mawar, Krisan, Melati, Sedap Malam, Anyelir, Aster, Lily, Garbera Upacara/Peresmian Anggrek, Melati, Krisan, Gladiol, Mawar, Aster, dan Garbera Ucapan Selamat Anggrek, Mawar, Krisan, Gladiol, Sedap Malam, Aster, dan Garbera Hari Besar Islam Anggrek, Mawar, Gladiol, Sedap Malam, Aster, dan Garbera Natal dan Tahun Baru Anggrek, Mawar, Krisan, Sedap Malam, Lily, dan Garbera Imlek Anggrek, Gladiol, Sedap Malam, Mawar, Lily, dan Garbera Kematian Anggrek, Krisan, Aster, Melati, Gladiol, Sedap Malam, dan Garbera
Sumber: Buletin Penelitian Tanaman Hias 2 (2);12 (1994) dalam Syarif (2005)
15
2.4 Definisi dan Peran Florist Menurut Soekartawi dalam Syarif (2005) florist adalah orang yang aktif menggeluti bidang usaha bunga dan dapat berupa pengusaha atau perangkai bunga. Florist dikategorikan sebagai pedagang pengecer karena merupakan mata rantai terakhir yang menghubungkan produsen tanaman hias dan bunga potong dengan konsumennya. Peranan pedagang pengecer dalam konteks pemasaran komoditas bunga potong sangatlah strategis, yaitu mempercepat penyampaian produk ke konsumen.
Sesuai dengan sifatnya yang sangat mudah rusak
(perishable) maka pemanfaatan bunga potong oleh konsumen diupayakan secepat mungkin agar masa penggunaan menjadi cukup lama. Florist dalam kegiatan usahanya lebih banyak menggunakan kios atau toko untuk memasarkan produknya. Produk-produk florist diantaranya berupa papan bunga ucapan (stik), buket meja, buket besar (pakai kaki), standing flower (krans), mobil hias, dan dekorasi taman serta juga melayani pembelian eceran per tangkai. Nilai tambah produk bunga potong yang didapatkan florist cukup besar, karena dengan mengolah atau mengubah bunga potong menjadi beberapa produk yang dirangkai menarik sebagai hiasan ataupun ucapan (Syarif 2005).
2.5 Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu yang diperlukan untuk penelitian analisis risiko penjualan produk-produk karangan bunga di Florist X adalah penelitian yang berhubungan dengan manajemen risiko dan florist. Oleh karena itu, beberapa penelitian terdahulu yang berhubungan dengan kedua topik tersebut diantaranya adalah penelitian yang dilakukan Arfah (2009), Lubis (2009), Safitri (2009), Tarigan (2009), dan Wisdya (2009). Persamaan dengan penelitian ini adalah terletak pada topik tanaman hias pada penelitian Arfah (2009), Safitri (2009), dan Wisdya (2009). Sedangkan alat analisis yang dipakai sama dengan penelitian Lubis (2009) yaitu Z-score yang digunakan untuk menentukan probabilitas dan Value at Risk untuk menentukan dampak risiko. Sedangkan perbedaanya adalah terletak pada risiko yang dianalisis.
Penelitian ini diharapkan mampu
memperkaya penelitian mengenai risiko. Penelitian ini menganalisis risiko usaha
16
dari penjualan produk karangan bunga dari florist-florist yang terdapat di Pasar Bunga Wastukencana. Arfah (2009) menganalisis tentang risiko penjualan anggrek Phalaenopsis pada PT Ekakarya Graha Flora di Cikampek, Jawa Barat. Variabel-variabel yang diambil dalam penelitian ini adalah mengenai anggrek Phalaenopsis dan bagaimana risiko penjualannya. Analisis data yang digunakan adalah dengan menghitung expected return, ragam (variance), simpangan baku (standard deviation), dan koefisien variasi (coefficient variance) pada kegiatan spesialisasi dan analisis pendapatan, selain itu juga menggunakan analisis deskriptif yang digunakan untuk menganalisis manajemen risiko. Hasil penelitian menunjukkan bahwa risiko penjualan pada kegiatan spesialisasi berdasarkan realisasi penjualan anggrek Phalaenopsis pada pasar lokal dan ekspor diperoleh risiko tertinggi yaitu pasar ekspor sebesar 0,114832332 yang artinya setiap satu satuan yang dihasilkan maka risiko yang dihadapi akan sebesar 0,114832332. Sedangkan risiko yang terendah adalah pada pasar lokal sebesar 0,099549102 yang artinya setiap satu satuan yang dihasilkan maka risiko yang dihadapi akan sebesar 0,099549102. Hal ini dikarenakan penjualan anggrek Phalaenopsis pada pasar ekspor sangat rentan terhadap klaim penjualan yang mengakibatkan pengembalian dan pemusnahan tanaman serta kerusakan mekanis dibandingkan dengan pasar lokal. Berdasarkan pendapatan bersih diperoleh risiko yang tertinggi yaitu pasar lokal sebesar 0,249112134 yang artinya setiap satu rupiah yang dihasilkan maka risiko yang dihadapi akan sebesar 0,249112134. Sedangkan yang terendah adalah pasar ekspor yaitu 0,170427671 yang artinya setiap satu rupiah yang dihasilkan maka risiko yang dihadapi akan sebesar 0,170427671. Hal ini dikarenakan perbedaan harga yang terjadi dan biaya yang dikeluarkan untuk pasar lokal relatif besar meskipun realisasi penjualannya tinggi. Alternatif manajemen risiko dalam mengatasi risiko penjualan anggrek Phalaenopsis yaitu dengan melakukan peningkatan teknologi pengaturan cahaya green house, penerapan teknologi biopestisida sebagai pengendali hama dan penyakit, bimbingan manajemen mutu dan pasca panen, penerapan sistem SOP (standar operasional) terhadap kebijakan mutu produk, serta menciptakan fungsifungsi manajemen yang terarah dengan baik. 17
Lubis (2009) menganalisis manajemen risiko produksi dan penerimaan Padi Semi Organik (studi kasus Gabungan Kelompok Tani Silih Asih di Desa Ciburuy, Bogor). Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi sumber-sumber risiko produksi dan risiko penerimaan, menganalisis dampak risiko, serta menganalisis strategi penanganan risiko pada Gapoktan Silih Asih. Alat analisis yang digunakan adalah menggunakan alat analisis sekuen, identifikasi sumbersumber risiko dan teknik pendukung lainnya, dengan alat analisis ini akan diperoleh daftar risiko yang akan digunakan untuk mengetahui ukuran risiko dan kemudian dilanjutkan untuk mengetahui status risiko dan peta risiko. Analisis selanjutya adalah analisis probabilitas dan dampak dari risiko produksi padi semi organik.
Pengukuran probabilitas atau kemungkinan
terjadinya kerugian dapat dilakukan dengan analisis nilai standar yang dikenal dengan analisis z-score.
Pengukuran dampak risiko dilakukan dengan
menggunakan analisis Value at Risk (VaR). Analisis dilakukan menggunakan data produksi dan harga produk.
Hasil analisis menunjukkan bahwa risiko
penerimaan memiliki dampak besar dan probabilitas kecil, sedangkan rsisiko produksi memiliki probabilitas dan dampak yang besar. Strategi penanganan risiko diklasifikasikan pada dua kelompok yaitu preventif (penghindaran risiko) dan mitigasi (pencegahan risiko). Alternatif penanganan risiko penerimaan adalah monitor, sedangkan untuk kerugian produksi dengan prevent at source. Monitor akan menurunkan tingkat risiko yang disebabkan serangan hama dan penyakit maupun adanya kecelakaan kerja. Prevent at source ditujukan untuk mengurangi risiko penggunaan pupuk kimia dan pengaturan musim tanam sesuai dengan iklim. Safitri (2009) menganalisis risiko produksi daun potong di PT Pesona Daun Mas Asri, Ciawi, Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis risiko produksi yang dihadapi oleh PT PDMA dan menganalisis strategi yang dilakukan untuk mengatasi risiko produksi daun potong di PT PDMA. Produk yang dikaji adalah daun potong jenis Asparagus bintang dan Philodendron marble. Hal ini disebabkan karena jenis tersebut merupakan komoditas unggulan perusahaan dan banyaknya permintaan, selain itu luasan lahan yang diusahakan untuk komoditas ini lebih besar daripada jenis yang lain.
Data yang digunakan adalah data 18
produksi dari tahun 2007-2008. Penelitian ini difokuskan pada analisis risiko produksi pada kegiatan spesialisasi dan portofolio. Analisis data pada penelitian ini dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif.
Analisis kualitatif dilakukan
melalui pendekatan deskriptif yang digunakan untuk mengetahui gambaran mengenai keadaan umum perusahaan dan manajemen risiko yang diterapkan perusahaan. Analisis kuantitatif terdiri dari analisis risiko yang meliputi analisis risiko pada kegiatan spesialisasi dan diversifikasi. Hasil analisis risiko menunjukkan adanya risiko produksi pada usaha daun potong. Adanya risiko produksi disebabkan oleh faktor iklim atau cuaca, tingkat kesuburan lahan serta serangan hama penyakit. Penilaian risiko produksi pada kegiatan spesialisasi dilihat berdasarkan produktivitas dan pendapatan bersih yang diperoleh dari Asparagus bintang dan Philodendron marble. Philodendron marble mempunyai nilai variance yang lebih tinggi dibandingkan dengan Asparagus bintang yaitu 0.48.
Demikian halnya dengan nilai standart deviation pada
Philodendron marble mempunyai nilai lebih tinggi dibandingkan dengan Asparagus bintang yaitu 0.69. Koefisien variasi diukur dari rasio standar deviasi dengan Expected return. Nilai coefficient variation menunjukkan bahwa Asparagus
bintang
mempunyai
nilai
yang
lebih
rendah
dibandingkan
Philodendron marble. Hal tersebut menunjukkan bahwa untuk setiap satu satuan yang dihasilkan ternyata Philodendron marble menghadapi risiko produksi yang lebih tinggi dibandingkan Asparagus bintang.
Berdasarkan informasi di atas
terlihat bahwa Asparagus bintang memiliki risiko produksi paling tinggi berdasarkan pendapatan bersih dibandingkan dengan Philodendron marble. PT Pesona Daun Mas Asri melakukan diversifikasi dari beberapa kegiatan usahanya yaitu risiko yang dihadapi perusahaan dengan melakukan diversifikasi Asparagus bintang dan Philodendron marble, ternyata lebih rendah jika dibandingkan risiko produksi tunggal yaitu produksi Asparagus bintang atau Philodendron marble.
Strategi yang dilakukan oleh PT PDMA untuk dapat
mengatasi risiko yang ada yaitu dengan diversifikasi dan pola kemitraan. Tarigan (2009) menganalisis tentang risiko produksi sayuran organik pada Permata Hati Organic Farm di Bogor, Jawa Barat. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis risiko produksi dalam pengelolaan sayuran organik pada kegiatan 19
spesialisasi dan diversifikasi dan juga menganalisis alternatif dalam mengatasi risiko produksi tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan expected return. Risiko produksi diukur berdasarkan penilaian hasil perhitungan variance, standard deviation, dan coefficient variation pada kegiatan spesialisasi dan portofolio. Komoditas yang dianalisis pada spesialisasi adalah brokoli, bayam hijau, tomat, dan cabai keriting.
Sedangkan komoditas yang dianalisis pada
portofolio adalah tomat dengan bayam hijau dan cabai keriting dengan brokoli. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada analisis spesialisasi risiko produksiberdasarkan produktivitas pada brokoli, bayam hijau, tomat dan cabai keriting diperoleh risiko yang paling tinggi dari keempat komoditas adalah bayam hijau yaitu 0,225 yang artinya setiap satu satuan yang dihasilkan maka risiko yang dihadapi akan sebesar 0,225. Sedangkan yang paling rendah adalah cabai keriting yakni 0,048. Hal ini dikarenakan bayam hijau sangat rentan terhadap penyakit terutama pada musim penghujan. Berdasarkan pendapatan bersih diperoleh risiko yang paling tinggi dari keempat komoditas adalah cabai keriting yaitu 0,80. Sedangkan yang paling rendah adalah brokoli yakni 0,16. Hal ini dikarenakan penerimaan yang diterima lebih kecil sedangkan biaya yang dikeluarkan tinggi. Penanganan untuk mengatasi risiko produksi Permata Hati Organic Farm dapat dilakukan dengan pengembangan diversifikasi pada lahan yang ada. Dengan adanya diversifikasi, maka kegagalan pada salah satu kegiatan usahatani masih dapat ditutupi dari kegiatan usahatani lainnya.
Oleh karena itu,
diversifikasi usahatani merupakan alternatif yang tepat untuk meminimalkan risiko sekaligus melindungi dari fluktuasi produksi. Sealin itu, untuk penanganan risiko juga dapat dilakukan kemitraan produksi dengan petani sekitar yang memproduksi sayuran organik serta kemitraan dalam penggunaan input serta perlu adanya peningkatan manajemen pada perusahaan dengan melakukan fungsifungsi manajemen yang terarah dengan baik. Wisdya (2009) menganalisis risiko Anggrek Phalaenopsis pada PT Ekakarya Graha Flora di Cikampek, Jawa Barat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis risiko produksi Anggrek Phalaenopsis pada kegiatan spesialisasi dan diversifikasi menggunakan bibit mericlone dan seedling, selain itu tujuan lainnya adalah menganalisis alternatif untuk mengatasi risiko produksi Anggrek 20
tersebut. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh melalui pengamatan langsung dan wawancara dengan pihak perusahaan dan data sekunder yang diperoleh dari PT EGF yang meliputi luas lahan, harga produk, biaya-biaya yang dikeluarkan selama produksi berlangsung, jumlah produksi serta data pendukung lainnya.
Analisis yang dilakukan dengan
menggunakan Variance, Standard deviation, dan Coefficient variation pada kegiatan spesialisasi dan portofolio. Komoditas yang dianalisis pada spesialisasi adalah tanaman Anggrek yang menggunakan bibit teknik seedling dan tanaman Anggrek teknik mericlone, sedangkan kegiatan portofolio adalah tanaman Anggrek menggunakan bibit teknik seedling dan mericlone. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada analisis spesialisasi risiko produksi berdasarkan produktivitas pada tanaman Anggrek menggunakan bibit teknik seedling dan mericlone diperoleh risiko yang paling tinggi adalah tanaman Anggrek teknik seedling yaitu sebesar 0,078 yang artinya setiap satu satuan yang dihasilkan maka risiko yang dihadapi akan sebesar 0,078.
Anggrek teknik
seedling sangat rentan terjadi reject yang dikategorikan ke dalam adanya mutan, serangan hama penyakit dan kerusakan mekanis dibandingkan dengan tanaman Anggrek teknik mericlone, karena tanaman Anggrek dengan teknik seedling memiliki banyak variasi dalam pertumbuhannya sehingga tidak seragam dan seringkali terjadi mutasi genetik atau kelainan dari bentuk yang diinginkan perusahaan oleh karena itu harus dimusnahkan dan menyebabkan persentase keberhasilan produksi menurun. Selain itu serangan hama dan penyakit juga rentan terjadi pada musim penghujan atau peralihan sehingga banyak serangga yang menyerang tanaman Anggrek. Penanganan untuk mengatasi risiko produksi PT EGF dapat dilakukan dengan pengembangan diversifikasi pada lahan yang ada.
Dengan adanya
diversifikasi, maka kegagalan pada salah satu kegiatan usahatani masih dapat ditutupi dari kegiatan usahatani lainnya. Selain itu untuk penanganan risiko juga dapat dilakukan kerjasama penyediaan bibit dengan konsumen, dan usaha pembungaan berupa rangkaian bunga dalam pot sehingga tanaman dengan kategori rusak mekanis masih dapat dimanfaatkan.
21
Daftar penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Daftar Penelitian Terdahulu No
Nama
1.
Arfah (2009)
2.
Lubis (2009)
3.
Safitri (2009)
4.
Tarigan (2009)
5.
Wisdya (2009)
Topik Metode RISIKO Analisis Risiko Penjualan Expected Return, Ragam Anggrek Phalaenopsis (Variance), Simpangan Baku (Standard Deviation), dan Koefisien Variasi (Coefficient Variance) Analisis manajemen Produksi Z-Score dan Value at Risk dan Penerimaan Padi Semi (VaR) Organik Analisis Risiko Produksi Daun Expected Return, Variance, Potong Standard Deviation, dan Coefficient Variation Analisis Risiko Produksi Variance, Standard Sayuran Organik Deviation, dan Coefficient Variation Analisis Risiko Produksi Variance, Standard Anggrek Phalaenopsis Deviation, dan Coefficient Variation
22