II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORITIS
Kredit diartikan sebagai kesanggupan individu untuk memperoleh barang, jasa atau uang, dengan perjanjian akan membayar kembali di kemudian hari (Nizar, 2004). Tidak setiap orang memiliki kesanggupan untuk memperoleh kredit, termasuk petani. Kenyataannya, sebagian besar petani tidak cukup memiliki aset berharga sebagai jaminan bagi pengembalian kreditnya dan disisi lain, mereka sangat memerlukan kredit untuk mendanai usahanya. Tidak sedikit pula petani terpaksa menggunakan kredit usaha untuk keperluan konsumsi rumahtangga (Fajardo, 1992 dalam Asih, 2008). Pada umumnya kredit pertanian khususnya kredit program ditujukan untuk melindungi golongan ekonomi lemah. Kredit program bertujuan selain meningkatkan produksi melalui introduksi teknologi juga ditujukan untuk meningkatkan pendapatan petani dan mengurangi kemiskinan (Azhari, 1984). Tujuan lain pemberian kredit adalah sebagai bantuan modal usaha untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dengan memberikan kesempatan yang lebih besar kepada mereka yang berpartisipasi. Hal senada juga diungkapkan Braverman dan Guasch (1986) bahwa tujuan kredit program di negara berkembang (khususnya di pedesaan) adalah: (1) meningkatkan output dan produktivitas pertanian, (2) induksi secara optimal laju adopsi teknologi baru, (3) memperbaiki distribusi pendapatan, (4) mengurangi kemiskinan, dan (5) meningkatkan jumlah kesempatan kerja. Masalah kredit tidak terlepas dari unsur kepercayaan, bahwa kredit dapat dikembalikan oleh peminjam pada waktunya dengan imbalan bagi pemberi kredit
10
dalam bentuk bunga ataupun bentuk lain. Kepercayaan dalam pemberian kredit hanya akan timbul apabila suatu usaha mampu menunjukkan kemandiriannya, artinya mampu mengerjakan sesuatu berdasarkan kekuatan sendiri. Dengan demikian, kredit seharusnya dianggap sebagai pendukung bukan penopang berdirinya usaha. Dalam hal ini jelas kiranya dari segi usaha, kredit hanyalah merupakan salah satu faktor dari kombinasi faktor-faktor produksi yang harus secara bersama-sama mensukseskan suatu usaha. Dalam kredit terdapat juga unsur prestasi yaitu objek kredit itu sendiri baik uang, barang maupun jasa, dan unsur waktu yang mengandung pengertian nilai uang yang ada sekarang dan nilainya pada masa mendatang. Akibat dari unsur waktu terdapat suatu tingkat resiko yang harus dihadapi. Semakin lama kredit diberikan maka semakin tinggi pula tingkat resikonya, hal ini tidak terlepas dari unsur ketidakpastian di masa mendatang yang akhirnya menyebabkan munculnya jaminan dalam pemberian kredit (Suyatno et al., 1999 dalam Thamrin, 2002).
2.1. Teori Pasar Kredit Menurut Jaffee dan Stiglitz (1990) dalam Nuryartono (2005), teori permintaan kredit berbeda dengan teori permintaan barang dalam pasar pada umumnya. Pada pasar barang, untuk memenuhi permintaan dan penawaran barang, harga barang akan melakukan penyesuaian. Jika permintaan barang tertentu meningkat maka harga barang tersebut akan naik dan jumlah persediaan barang akan meningkat. Sebaliknya dalam pasar kredit, jika terjadi kelebihan permintaan kredit, maka terdapat keterbatasan untuk memenuhi peningkatan permintaan tersebut. Mengikuti aturan umum yang berlaku dalam pasar kredit, jika permintaan kredit melebihi persediaannya, maka akan diikuti dengan
11
peningkatan jumlah pinjaman dan tingkat suku bunga yang dikenakan tetap. Faktor resiko merupakan salah satu faktor yang membedakan permintaan kredit dan permintaan barang, dimana dalam permintaan kredit resiko yang dihadapi adalah pengembalian kredit. Rendahnya pengembalian kredit dapat menyebabkan kredit macet sehingga untuk menghindari resiko tersebut diperlukan jaminan sebagai alat pengaman bila penerima kredit tidak dapat melunasi kreditnya. Dalam pengembalian pinjaman akan dipengaruhi oleh tingkat suku bunga yang berlaku. Gambar 1 menunjukkan hubungan antara tingkat pengembalian yang diharapkan atas suatu kredit dengan tingkat suku bunga yang berlaku. Peningkatan suku bunga yang dibebankan tidak didasarkan pada peningkatan dan penurunan jumlah permintaan, tetapi lebih dipengaruhi oleh faktor lain seperti ekonomi dan politik. Pada titik R*, tidak ada insentif bagi bank untuk meningkatkan suku bunga karena tingkat pengembaliannya akan menurun. Oleh karena itu bank tidak akan mengenakan suku bunga di atas R* sehingga diharapkan pengembalian pinjaman akan maksimal. Pada Gambar 1 terlihat tingkat pengembalian kredit ditandai dengan kurva menurun jika dikenakan suku bunga di atas suku bunga R*.
Tingkat pengembalian
R*
Tingkat suku bunga
Sumber: Jaffee dan Stiglitz, 1990 dalam Nuryartono, 2005 Gambar 1. Hubungan Pengembalian Kredit dengan Tingkat Suku Bunga
12
Interaksi antara permintaan dan penawaran memimpin ke arah suatu kondisi keseimbangan (Gambar 2). Jika permintaan berada pada kurva LD1, dan persediaan berada pada kurva LS, maka tingkat bunga nominal berada pada R1. Apabila jumlah permintaan meningkat dan bergeser ke kurva LD2, maka akan menunjuk pada kondisi dimana kurva penawaran dan permintaan tidak saling tumpang tindih. Dalam kondisi seperti ini keseimbangan pasar kredit akan memberlakukan pemberian pinjaman yang terbatas ditandai oleh tingkat bunga nominal pada titik R* dan tidak ada laba untuk pihak bank.
Volume kredit Keseimbangan kelebihan permintaan
LD2
LD1
R1
R*
LS
Tingkat suku bunga
Sumber: Freixas dan Rochet, 1998 dalam Nuryartono, 2005 Gambar 2. Interaksi Permintaan dan Penawaran ke Arah Keseimbangan Kredit Menurut Asih (2008), pada dasarnya sumber permodalan usaha berasal dari modal sendiri dan modal dari luar dalam bentuk pinjaman atau kredit. Kredit sebagai modal usaha secara tidak langsung mencerminkan bahwa kredit terpaut dalam kegiatan produksi, yaitu berperan dalam pengadaan faktor-faktor produksi. Tambahan modal dari kredit, dalam beberapa hal dapat mengembangkan kegiatan peternak dalam usaha produksinya. Terhadap program perkreditan, petani dapat memandangnya sebagai volume effect yaitu pinjaman petani untuk memperbesar
13
modal tetap (fixed cost). Hal ini berarti bahwa peternak menggunakan kredit ternak ke arah pemanfaatan yang lebih baik, sehingga akan menambah kemampuan produksinya. Pemerintah dalam memberikan penawaran (supply) kredit bermaksud untuk mendorong menghasilkan produksi ternak yang lebih banyak. Hal ini berdasarkan anggapan bahwa rendahnya produksi yang dicapai selama ini karena rendahnya tingkat pemilikan modal untuk membeli input produksi. Selama penggunaan input masih berada pada tingkat produksi rata-rata yang meningkat, maka input masih dapat ditingkatkan sampai produk rata-rata mulai menurun dan produk marjinal lebih besar dari nol, yaitu di daerah pada tingkat usaha yang rasional. Adanya kredit domba yang digunakan sebagai tambahan input produksi berarti mampu menggunakan input bibit yang lebih baik. Hal ini akan menyebabkan bergeraknya fungsi produksi ke atas yaitu dari t1 menjadi t2 seperti yang terlihat pada Gambar 3.
Sumber: Mankiw, 2003 Gambar 3. Pengaruh Penambahan Modal terhadap Fungsi Produksi
14
Dengan demikian, dapat dianalogkan bahwa peningkatan fungsi produksi akan meningkatkan penerimaan total. Namun meningkatnya penerimaan total belum tentu akan meningkatkan pendapatan yang diperoleh, hal ini disebabkan adanya biaya yang harus dikeluarkan sehubungan dengan kredit seperti cicilan kredit, dan biaya lainnya.
2.2. Teori Ekonomi Rumahtangga Memahami sebuah skim kredit usaha ternak bagi rumahtangga peternak tentu terkait dengan pemahaman tentang perilaku rumahtangga pengguna kredit. Hiershleifer (1958) dalam Syukur (2002) mengembangkan model ekonomi rumahtangga yang digunakan untuk menganalisis perilaku rumahtangga terhadap kredit. Model ekonomi rumahtangga menganggap bahwa tiap individu berusaha untuk memaksimumkan utility dari kegiatan produksi, konsumsi dan kegiatan santai (leisure), yang dapat dituliskan sebagai berikut: U = μ (Xi, Xc, Lj, Fl) ……………………………………………… (3.2.1) keterangan: U = Kepuasan (utility) Xi = Input faktor i Xc = Barang dan jasa konsumsi Lj = Waktu santai (leisure) Fl = Faktor lain Untuk meningkatkan kepuasan dari ketiga jenis kegiatan yaitu dari U ke U* maka rumahtangga dihadapkan pada berbagai kendala, salah satunya adalah kendala
likuiditas.
Setelah
mempertimbangkan
resiko
kegagalan
dan
ketidakpastian, maka rumahtangga dapat menilai kelayakan mengambil kredit.
15
Tambahan dana berupa kredit yang diperoleh rumahtangga ditujukan untuk meningkatkan utilitasnya, sehingga persamaan (3.2.1) dapat dituliskan menjadi: U * = μ (Xi, Xc, Lj, K, Fl) .............................................................
(3.2.2)
keterangan: K = Besarnya kredit yang diperlukan untuk diambil Kendala yang dihadapi rumahtangga untuk memaksimumkan U* adalah: 1. Kendala Produksi Q = g (Xi, Lw) ................................................................................
(3.2.3)
Dalam hal ini setiap input dibayar sesuai produktivitasnya dengan mempertimbangkan biaya alternatif masing-masing input. Apabila kredit yang diambil berpengaruh nyata terhadap perubahan produksi, maka persamaan kendala produksi akan mengalami perubahan karena dimasukkannya peubah kredit (K) sebagai salah satu faktor dalam produksi. Dengan demikian kendala produksi bagi petani yang menggunakan kredit menjadi: Q = g (Xi, Lw, K) ............................................................................ (3.2.4) keterangan: Q = Output barang atau jasa Xi = Input faktor Lw = Jam kerja yang dicurahkan 2. Kendala Waktu untuk Bekerja Lw = L – Lj ..................................................................................... (3.2.5) keterangan: L = Waktu yang tersedia
16
3. Kendala Anggaran (L-Lj)W + In = Xc x P .................................................................... (3.2.6) keterangan: (L-Lj) = Waktu bekerja W = Tingkat upah In = Pendapatan yang diperoleh dari kegiatan produksi (3.1.4) Persamaan (3.2.6) berlaku apabila tingkat upah yang diterima sudah dipotong untuk pelunasan kredit berikut bunganya. Kendala produksi, anggaran dan waktu bekerja akan menghasilkan kendala anggaran secara menyeluruh yaitu: W.Lw + In = Xc x P .......................................................................
(3.2.7)
Karena In adalah pendapatan yang diperoleh dari kegiatan produksi (3.2.4), maka akan diperoleh pendapatan menyeluruh sebagai berikut: Lw.W + g(Xi, Lw, K)P = Xc x P ...................................................
(3.2.8)
Untuk menurunkan fungsi atau model empirik permintaan kredit dapat diperoleh melalui metode Lagrange. Fungsi permintaan Xi, Lw dan K dapat diturunkan dengan maksimumkan fungsi La-grange tersebut sebagai berikut: Maks μ = U* (Xi, Xc, Lw, K, Fl) + δ [P.Xc-(Lw.w) – g (Xi, Lw, K)P] dμ/dXi = Ui – δ.gi = 0 atau δ = Ui/gi .............................................
(3.2.9)
dμ/dLw = Uw – δ.w – gw = 0 atau δ = Uw/(w-gw) ...................... (3.2.10) dμ/dk = Uk – δ.gk = 0 atau δ = Uk/gk ..........................................
(3.2.11)
dμ/dδ = Xc – Lw.w – g (Xi, Lw, K) = 0 .......................................
(3.2.12)
Penggunaan sumberdaya akan optimum jika nilai produk marginal penggunaan tenaga kerja (Lw), faktor produksi (Xi) dan kredit (K) sama dengan masing-
17
masing harganya yaitu w, Pi dan r. Fungsi permintaan terhadap faktor produksi (Xi), tenaga kerja (Lw) dan kredit (K) dapat diturunkan menjadi: Xi = f (Pi, w, r, Xc, Fl) .................................................................
(3.2.13)
Lw = f (w, Pi, r, Xc, Fl) ................................................................
(3.2.14)
K = f (r, Pi, w, Xc, Fl) ..................................................................
(3.2.15)
keterangan: Pi = Harga input faktor W = Tingkat upah R = Tingkat bunga pinjaman Fl = Faktor lain Kegiatan produksi, leisure dan konsumsi erat kaitannya dengan pendapatan yang diterima oleh rumahtangga. Pendapatan yang diperoleh dari berbagai sumber merupakan total pendapatan yang diterima oleh rumahtangga. Setelah dikurangi pajak, maka akan diperoleh sisa pendapatan yang siap dibelanjakan.
2.3. Dampak Kredit Terhadap Pendapatan Petani Peranan kredit domba dalam pengembangan usaha bidang peternakan pada prinsipnya bertujuan memperbaiki perekonomian petani sekaligus mendorong kenaikan produksi yang lebih besar. Pentingnya peranan kredit tergantung pada seberapa besar tambahan input yang dialokasikan mampu menaikkan tambahan penerimaan. Fungsi produksi digunakan untuk menggambarkan hubungan teknis antara input dan output yang dihasilkan dalam proses produksi. Fungsi produksi dibangun dengan asumsi bahwa petani berusaha mencari keuntungan
sebesar-besarnya
dengan
memaksimumkan
output
dan
18
mengoptimumkan penggunaan faktor produksi. Keuntungan jangka pendek merupakan selisih antara total penerimaan dengan total biaya input variabel. Sedangkan pada konsep jangka panjang, karena semua input dianggap variabel, maka keuntungan adalah nilai output dikurangi total biaya input. Selanjutnya, fungsi produksi yang dihadapi petani diasumsikan sebagai berikut:
Q f ( Xi,.... Xn, Zi,....Zn) ................................................................
(3.3.1)
keterangan: Q = Jumlah output yang dihasilkan Xi = Input variabel Zi = Input tetap Jika harga per satuan produk adalah P, maka total penerimaan menjadi: TP = Pf (X1, X2) .............................................................................
(3.3.2)
Sementara itu, biaya total yang dikeluarkan sebesar: C = R1X1 + R2X2 + V ...................................................................... (3.3.3) dimana R1 dan R2 adalah harga per satuan input X1 dan X2, V adalah biaya tetap. Keuntungan diperoleh dari penerimaan dikurangi dengan biaya totalnya yaitu:
Pf ( X 1 , X 2 ) R1 X 1 R2 X 2 V ................................................. (3.3.4) Keuntungan maksimum dicapai dengan menurunkan fungsi keuntungan terhadap masing-masing input yaitu: PF1 R1 0 atau PF1 = R1 .................................................. X 1
(3.3.5)
PF2 R2 0 atau PF2 = R2 ................................................ X 2
(3.3.6)
Sehingga diperoleh produk marginal input X1 (MPx1) dan X2 (MPx2) adalah:
19
F1
Y R MPx1 1 .................................................................... X 1 P
(3.3.7)
F2
Y R MPx2 2 .................................................................. X 2 P
(3.3.8)
Keuntungan maksimum tercapai bila tingkat penggunaan input optimal yaitu nilai produk marginal input sama dengan rasio harga input (Ri) dan harga output (P). Baker (1968) menyatakan bahwa dalam kegiatan produksi kredit berperan sebagai penambah modal untuk membiayai input produksi sehingga produsen dapat meningkatkan produknya pada tingkat yang lebih tinggi. Input produksi yang dibiayai dengan kredit mempunyai biaya tambahan sebesar bunga kredit dan biaya transaksi lainnya. Adanya tambahan biaya ini dengan sendirinya dapat mempengaruhi
komposisi
penggunaan
input
optimum.
Jika
pengusaha
menggunakan kombinasi dua input dengan bentuk fungsi produksi seperti pada persamaan (3.3.1), maka total penerimaan seperti persamaan (3.3.2) dan biaya yang dikeluarkan seperti persamaan (3.3.3). Jika sekarang hanya tersedia sejumlah modal tertentu sebesar C0, maka persamaan biaya menjadi sebagai berikut: C0 = R1X1 + R2X2 + V ...................................................................
(3.3.9)
Dari persamaan (3.3.9), dapat diturunkan persamaan isocost yang menggambarkan jumlah input X1 yang dapat dibeli dengan modal C0 yaitu: X1
C0 V R2 X 2 .................................................................... R1 R1
(3.3.10)
X2
C0 V R1 X 1 .................................................................... R2 R2
(3.3.11)
Pada jumlah biaya sebesar C0, produsen dapat memaksimumkan Q pada kondisi:
X 2 R1 .................................................................................. X 1 R2
(3.3.12)
20
Dimana –dX2/dX1 merupakan sudut kemiringan garis isoquant dan R1/R2 merupakan sudut kemiringan garis isocost. Jika input X1 diperoleh dari kredit, maka harga satuan input menjadi lebih mahal yaitu R1+ k, dimana k merupakan biaya kredit. Kemudian keseimbangan penggunaan input optimal akan terganggu
X 2 R1 k ............................................................................. X 1 R2
(3.3.13)
Untuk mengembalikan pada keseimbangan semula maka produsen harus mengurangi jumlah input X1. Jika jumlah produk Q dipertahankan pada kondisi semula maka modal perlu ditambah menjadi Ck, sehingga diperoleh jalur perluasan usaha baru. Gambar 4 menunjukkan perubahan yang terjadi sebelum dan setelah adanya kredit. Penggunaan input untuk biaya minimum tanpa biaya kredit diperoleh pada titik K. Jalur perluasan usaha tanpa biaya kredit ditunjukkan dengan garis S1. Jalur perluasan usaha setelah X1 dibiayai kredit cenderung akan mengurangi penggunaan input X1. Jika input X1 dibiayai kredit sehingga harganya lebih mahal sebesar k, maka kombinasi penggunaan input optimum diperoleh pada titik L dan jalur perluasan usaha menjadi garis S2.
2.4. Konsep Pengembalian Kredit Ternak Domba Pengembalian kredit domba sangat terkait dengan produksi dan suplai seperti yang disajikan pada Gambar 5. Fungsi produksi menggambarkan hubungan teknis antara tingkat penggunaan input dan output. Setiap output ternak yang diperoleh petani digunakan untuk dua tujuan yaitu: (1) dikembalikan untuk pembayaran kredit, dan (2) dijual ke pasar. Pada X1 diperoleh output Q1 dan jika semua output dikembalikan maka output untuk dijual menjadi nol, begitu juga
21
X2
Ck r2 S2
C0 r2
S1
L K
X1
C0 r1 k
Ck r1 k
C0 r1
Sumber: Baker, 1968 Gambar 4. Pengaruh Kredit terhadap Kombinasi Input Biaya Minimum dan Jalur Perluasan Usaha sebaliknya. Jika titik Q1 dan Q1’ dihubungkan akan membentuk kombinasi alokasi output bagi peternak dengan dua kewajiban. Seberapa besar output yang dikembalikan dan yang dijual tergantung pada harga yang berlaku di pasar. Jika harga di pasar tinggi maka output dijual lebih besar dari yang dikembalikan, demikian juga sebaliknya. Jika harga di pasar sebesar P1, maka jumlah ternak yang dikembalikan sebesar K1 dan ternak yang dijual sebesar J1. Jika terjadi kenaikan harga dari P1 ke P2 maka jumlah yang dijual meningkat dari J1 ke J2 dan ternak yang dikembalikan berkurang dari K3 menjadi K2. Dengan hal yang sama, apabila petani menambah penggunaan input dari X1 menjadi X2, maka output juga akan meningkat dari Q1 menjadi Q2. Dengan demikian kurva kemungkinan alokasi produksi akan bergeser dari Q1Q1’ menjadi
22
Q2Q2’. Dalam kondisi demikian, jika harga di pasar tetap sebesar P 1, maka petani akan cenderung mempertahankan penjualan ternak sebesar J1 dan menambah besar pengembalian kredit dari K1 menjadi K3.
Output yang dikembalikan (Q) Q2 Q1
K3 K1
Output yang dijual (Q’)
K2 J2
J1
Q2 ’ Q 1 ’
X1
X2
Input (X)
P1 P2
Harga (P) Sumber: Sembiring, 1996 Gambar 5. Keterkaitan Antara Produksi, Suplai dan Pengembalian Kredit Domba
2.5. Konsep Evaluasi dan Monitoring Efektivitas kredit merupakan kegiatan penyediaan dan penyaluran kredit yang dilaksanakan dengan tepat serta mencapai sasaran yang telah ditentukan. Program kredit domba dapat dikatakan efektif, efisien dan berhasil atau telah berjalan lancar melalui kegiatan evaluasi dan monitoring (Yani, 2008). Selanjutnya disebutkan juga bahwa, monitoring merupakan proses kajian yang dilakukan secara berkesinambungan terhadap pelaksanaan suatu kegiatan.
23
Selanjutnya, evaluasi merupakan suatu proses kajian yang dilakukan secara berkala menyangkut relevansi, kinerja, efisiensi dan dampak terkait dengan tujuan yang telah ditetapkan di awal desain proyek. Monitoring dan evaluasi pada program kredit domba sangat bermanfaat dalam memberikan informasi kinerja program tersebut, apakah pelaksanaannya sudah efektif sehingga menjadi pertimbangan menentukan program selanjutnya. Menurut Muljadi (2006) dalam Yani (2008), terdapat lima indikator kinerja organisasi yaitu: 1. Input/masukan yaitu sesuatu yang dibutuhkan agar pelaksanaan kegiatan menghasilkan output yang ditentukan misalnya dengan informasi dan lainnya. 2. Output/keluaran adalah sesuatu yang langsung dicapai dari kegiatan berupa fisik maupun non fisik. 3. Outcome/hasil adalah sesuatu yang mencerminkan efek langsung. 4. Benefit/manfaat adalah sesuatu yang terkait dengan tujuan akhir pelaksanaan kegiatan. 5. Impact/dampak adalah ukuran yang ditimbulkan setiap kegiatan baik positif maupun negatif pada setiap indikator berdasarkan asumsi yang ditetapkan.
2.6. Keberlanjutan Skema Kredit Keberlanjutan dalam sebuah skema kredit terkait dengan persoalan sumber-sumber pembiayaan. Keberlanjutan pembiayaan adalah kemampuan sebuah lembaga kredit untuk mempertahankan atau meningkatkan aliran manfaat, menyalurkan melalui dana-dana yang diciptakan secara internal. Keberlanjutan sebuah skema kredit sangat erat kaitannya dengan kelembagaan, khususnya kelembagaan tentang aturan main terutama menyangkut prosedur seleksi
24
(screening), sistem insentif (incentive) dan persoalan yang berkaitan dengan enforcement. Dilihat dari sisi lembaga (lender), ketiga masalah tersebut sangat menentukan apakah sebuah skema kredit akan dapat mencapai sasaran kredit (borrower) secara tepat, yang selanjutnya akan dapat menjamin tercapainya viabilitas finansial yang merupakan komponen penting untuk mencapai keberlanjutan (sustainability). Kelembagaan (institution) secara umum didefinisikan sebagai aturan main dalam masyarakat yang menjadi pedoman dalam memenuhi kebutuhan tertentu (North, 1991 dalam Syukur, 2002). Uphoff (1986) dalam Syukur (2002) juga memberikan batasan kelembagaan dan membandingkannya dengan batasan organisasi yang seringkali tertukar dalam penggunaannya. Kelembagaan adalah kumpulan norma-norma dan perilaku yang berlangsung sepanjang waktu dengan melayani beberapa tujuan nilai sosial. Sementara itu organisasi merupakan struktur aturan formal dan informal yang diakui dan diterima. Kelembagaan berfungsi sebagai suatu unsur pendukung informasi yang merupakan wadah informasi untuk menyediakan pengetahuan dan melakukan hubungan interpersonal. Peran kelembagaan yang ada harus memungkinkan informasi yang diperlukan masyarakat untuk memberdayakan dirinya dapat diperoleh. Kemampuan akses terhadap kelembagaan merupakan kondisi yang memungkinkan masyarakat mampu meningkatkan produktivitas yang selanjutnya dengan bimbingan kelembagaan peningkatan produktivitas tersebut dapat ditransfer ke peningkatan pendapatan dan kesejahteraan.
25
2.7. Penelitian Terdahulu Penelitian yang didasari oleh model ekonomi rumahtangga usahatani yang menekankan pada kredit dan tabungan relatif belum banyak dilakukan. Model Hiersleifer (1958) dalam Syukur (2002) merupakan salah satu model ekonomi rumahtangga yang berusaha memaksimumkan manfaat dari kegiatan produksi, santai dan konsumsi. Model permintaan Hiersleifer merupakan model permintaan turunan dimana dengan menggunakan model ekonometrika fungsi permintaan kredit dapat diturunkan. Aplikasi model Hiersleifer juga dilakukan Binari (1993) untuk menganalisis perilaku meminjam dan menabung rumahtangga di tiga desa di Kabupaten Sumedang. Hanya saja peubah-peubah yang digunakan dalam penelitian terbatas pada peubah yang terkait langsung dengan kredit, tabungan dan konsumsi. Padahal kenyataannya perilaku rumahtangga pengguna kredit sangat dipengaruhi banyak peubah yang sangat terkait satu sama lain. Selanjutnya peubah-peubah tersebut dicoba dielaborasi dalam penelitian Syukur (2002) misalnya pengeluaran untuk pendidikan, kesehatan, biaya investasi dan lainnya. Namun kelemahan penelitian ini adalah peubah pendapatan rumahtangga dalam analisis rumahtangga, tidak dikelompokkan menjadi berbagai sumber pendapatan, demikian juga halnya dengan curahan waktu kerja. Dengan demikian pengaruh sumber pendapatan, curahan kerja antar kegiatan dan pelaku terhadap model ekonomi rumahtangga tidak dapat dievaluasi. Selama ini kredit program yang telah dilaksanakan Pemerintah sebagian besar ditujukan untuk pembiayaan subsektor tanaman pangan. Nizar (2004) melakukan penelitian di Sumatera Barat menggunakan pendekatan ekonomi rumahtangga Hiersleifer untuk menganalisis determinan perilaku permintaan
26
kredit usahatani. Hasil penelitian menunjukkan bahwa permintaan kredit petani padi nyata dipengaruhi oleh suku bunga, nilai produksi usahatani dan biaya produksi. Sementara itu, pengembalian kredit usahatani (KUT) sebagai hasil analisis model logit nyata dipengaruhi oleh frekuensi kontak petani dengan petugas lapangan, konsumsi, luas lahan, jarak antara rumah petani dengan sumber kredit dan jenis bantuan kredit. Faktor lain yang tidak nyata berpengaruh adalah pendidikan, jumlah anggota keluarga, nisbah penerimaan dengan nilai kredit dan status penggarapan lahan. Pola kredit yang dianalisis dibedakan menjadi pola umum dan pola khusus, yang semuanya merupakan kredit program dalam bentuk uang tunai. Adanya pengaruh positif dari variabel frekuensi kontak menunjukkan bahwa program kredit sangat berkaitan erat dengan kualitas hubungan antara petani dengan petugas kredit seperti penyuluh lapangan, ketua kelompok dan pengurus KUD. Untuk meningkatkan kinerja pemanfaatan kredit, mekanisme hubungan antara petani dan petugas perlu dikembangkan. Sanim (1998a) mengkaji sejauhmana peran lembaga yang terlibat dalam peningkatan efektivitas penyaluran dan pengembalian KUT pola khusus. Hasil menunjukkan bahwa peran kelembagaan sangat mendukung dalam proses pencairan, penyaluran dan pengembalian kredit. Tingkat pengembalian kredit lebih tinggi pada petani yang memperoleh pembinaan intensif dari petugas lapangan. Disebutkan juga bahwa KUT pola khusus telah memberikan dampak positif bagi petani dalam peningkatan produksi dan pendapatannya (Sanim, 1998b). Hasil penelitian Kuntjoro (1983) menggunakan model analisis fungsi diskriminan menunjukkan bahwa faktor-faktor positif yang nyata mendorong
27
sejumlah petani peserta Bimas padi di Propinsi Jawa Barat mengembalikan kredit adalah lama petani mengikuti program Bimas, tagihan langsung yang dilakukan oleh petugas Bimas, dan nisbah penerimaan total produksi padi dengan jumlah pinjaman kredit Bimas. Sementara faktor-faktor yang cenderung membuat petani tidak membayar pinjaman adalah tingginya pengeluaran konsumsi keluarga dan nisbah jumlah kredit Bimas padi terhadap penerimaan tunai keluarga yang semakin meningkat. Braverman dan Guasch (1986) mencoba menunjukkan bukti intervensi pemerintah dalam pasar kredit pedesaan di negara berkembang selama 3 dekade terakhir dan
membandingkannya
dengan
teori
modern.
Bukti tersebut
menunjukkan kegagalan signifikan dari kredit program selain untuk mencapai peningkatan output pertanian dengan biaya efektif juga gagal dalam memperbaiki distribusi pendapatan di pedesaan dan mengurangi kemiskinan. Hal ini akibat kecerobohan dan kehilangan akuntabilitasnya dari banyak institusi finansial yang diciptakan sebagai channel kredit pedesaan. Analisis institusi dan lingkungan institusi
yang
lebih
sistematis
sangat
penting
untuk
memahami
dan
mengimplementasikan bentuk kebijakan efektif pasar kredit pedesaan. Studi identifikasi pengembalian kredit ternak domba yang dikembangkan secara terintegrasi dengan perkebunan telah diteliti oleh Sembiring (1996). Faktor-faktor yang mempengaruhi pengembalian kredit adalah produksi ternak, sex ratio betina, strategi pengembalian setoran cicilan yang tidak terikat dan keaktifan petani dalam kegiatan kelompok tani. Keterlambatan pengembalian kredit lebih disebabkan masalah teknis yang berkaitan dengan pengembangan produktivitas. Petani lebih menyukai pengembalian bentuk ternak karena sex ratio
28
betina di atas 50 persen dan juga karena harga jual di tingkat petani masih rendah. Penelitian ini lebih menitikberatkan pada faktor teknis dan tidak mengkaitkannya dengan pengeluaran rumahtangga. Hambatan dalam pengembalian kredit akan berdampak pada rendahnya penyaluran kredit selanjutnya. Syafa’at dan Djauhari (1992) dalam penelitiannya mengidentifikasi penyebab rendahnya penyaluran KUT. Salah satu penyebab rendahnya penyaluran KUT adalah adanya kemacetan yang bersifat struktural akibat tidak diperbolehkannya Koperasi Unit Desa mengambil kredit berikutnya bila tunggakan kredit sebelumnya melebihi 20 persen. Kemudian disarankan agar penyaluran kredit berikutnya berdasarkan pada jumlah kredit sebelumnya yang sudah dikembalikan untuk menjamin kredit yang berkelanjutan. Disamping itu juga disarankan terus melakukan upaya penyesuaian paket kredit sesuai kebutuhan petani untuk mengurangi tunggakan KUT. Adanya bantuan modal petani dalam bentuk pemberian kredit tentunya akan memberikan perubahan dalam tingkat pendapatan petani. Penelitian Thamrin (2002) yang menganalisis dampak kredit usaha kecil terhadap penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan pada usaha kecil kasus nasabah BRI cabang Bogor menyatakan bahwa kredit usaha kecil berperan baik meningkatkan pendapatan pengusaha pada sektor pertanian. Lebih lanjut, faktor-faktor yang berpengaruh positif terhadap penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan adalah besar kredit yang diambil, pengalaman usaha, pendidikan pekerja, nilai penjualan, umur pekerja dan pendidikan pemilik usaha. Asih (2008) dalam penelitiannya menganalisis dampak dan kelayakan kredit terhadap usaha perikanan dan ekonomi rumahtangga nelayan tradisional di
29
Kabupaten Tojo Una-una, Provinsi Sulawesi Tengah. Dari hasil analisis menggunakan model ekonomi rumahtangga nelayan dan kelayakan finansial, kredit yang diberikan kepada nelayan tradisional memberikan dampak positif. Hal ini terlihat dari peningkatan pendapatan, tambahan manfaat serta peningkatan produksi yang dihasilkan oleh nelayan. Hasil analisis finansial dengan menggunakan discount rate 12 persen, menunjukkan usaha perikanan nelayan tradisional memenuhi Net Present Value (NPV) > 0, Net Benefit Cost (B/C) > 1 dan Internal Rate of Return (IRR) > discount rate. Hal ini berarti bantuan kredit di Kabupaten Tojo Una-una, Provinsi Sulawesi Tengah layak dilakukan. Pada penelitian ini sumber pendapatan rumahtangga hanya dibedakan menjadi pendapatan dari perikanan dan di luar perikanan, sedangkan alokasi tenaga kerja dipisahkan menurut gender. Namun demikian, pada penelitian ini tidak dibahas mengenai tingkat kemampuan pengembalian kredit nelayan tradisional sebagai tolak ukur keberhasilan pemberian kredit program. Hal senada juga diungkapkan Azriani (2008) yang menganalisis dampak Bank Perkreditan Rakyat terhadap kinerja usaha kecil menggunakan model persamaan simultan. Hasil menunjukkan bahwa kredit yang diterima usaha kecil berpengaruh positif dan berbeda nyata terhadap nilai omset penjualan, namun tidak berpengaruh nyata terhadap penyerapan tenaga kerja usaha kecil.
2.8. Kerangka Pemikiran Penelitian Peternak membutuhkan kredit ternak untuk menambah modal dalam kegiatan usaha ternaknya. Kebutuhan modal peternak dalam hal ini disediakan pemerintah dalam bentuk kredit domba secara bergulir di Kabupaten Bogor.
30
Secara lengkap bagan kerangka pemikiran operasional penelitian kredit domba ditunjukkan pada Gambar 6.
Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor
Program Kredit Ternak Domba
Efektivitas Program Kredit
Tingkat pendapatan dan pengembalian kredit
Monitoring dan Evaluasi
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Input Proses Output Outcome Benefit Impact
Ekonomi rumahtangga peternak: 1. Produksi 2. Pendapatan 3. Curahan waktu kerja 4. Konsumsi
Gambar 6. Kerangka Pemikiran Penelitian Kredit Domba di Kabupaten Bogor Pada tahap awal, kredit domba akan digulirkan pemerintah kepada peternak
yang
telah
diseleksi
sebelumnya.
Setelah
kesepakatan
usaha
dilaksanakan dan waktu pengembalian kredit berakhir, maka dilaksanakan tahap kedua yaitu penyebaran ternak domba yang berasal dari pengembalian kredit tahap awal kepada petani berikutnya. Apabila pelaksanaan kredit domba berjalan baik, maka akan terjadi kontinuitas perguliran yang disertai dengan peningkatan populasi ternak dan nantinya diharapkan meningkatkan pendapatan petani. Namun
31
jika terjadi hambatan, tentunya akan mengurangi efektivitas dari skema program kredit domba itu sendiri sehingga manfaat yang diinginkan tidak dapat tercapai. Hambatan bisa terjadi pada tahap awal, tahap proses penyaluran maupun tahap pengembalian kredit. Untuk itu dalam penelitian akan dianalisis efektivitas skema kredit domba melalui kegiatan monitoring dan evaluasi terhadap kinerja pelaksanaan program meliputi 6 aspek yaitu aspek kinerja input, proses, output, outcome, benefit dan impact. Analisis dilakukan dengan metode skoring menggunakan beberapa indikator untuk setiap aspek. Skema program yang efektif tentunya akan memberi dampak positif terhadap penerima kredit yaitu peningkatan pendapatan petani sesuai dengan sasaran dan tujuan dari program tersebut. Perilaku rumahtangga sebagai penyedia tenaga kerja, produsen sekaligus konsumen, akan mempengaruhi keputusannya dalam mengembalikan ternak, dimana kredit domba akan mempengaruhi produksi, curahan waktu kerja dan pendapatan yang akhirnya akan mempengaruhi konsumsi rumahtangga. Hal ini selanjutnya mempengaruhi tingkat pengembalian kredit, sehingga model operasional yang menunjukkan keterkaitan antar peubah yang diduga mempengaruhi pengembalian kredit domba dan ekonomi rumahtangga petani akan dianalisis secara simultan.