BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka merupakan penelitian-penelitian sejenis terdahulu yang akan dibandingkan dengan penelitian ini. Dengan tinjauan pustaka ini, maka peneliti dapat membandingkan kesamaan-kesamaan dan dapat menemukan perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam penelitian sejenis terdahulu untuk menghindari plagiarisme. Selain itu, tinjauan pustaka ini digunakan untuk pembeda penelitian ini dengan penelitian yang lain untuk memunculkan kebaruan. Di bawah ini akan dipaparkan penelitian sejenis terdahulu, antara lain: 1. Penelitian oleh Elisa Nurul laili (2013) berupa jurnal berjudul Disfemisme pada Wacana Lingkungan: Sebuah Kajian Ekolinguistik Kritis dalam Media Massa Indonesia. Penelitian tersebut membahas permasalahan kebahasaan yang terdapat pada wacana lingkungan dalam media massa di Indonesia, yakni mengenai disfemisme. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Data dalam penelitian ini berasal dari majalah Gatra, Tempo, Trust, harian Kompas, Kabar Indonesia, Media Indonesia, Suara Merdeka, Surabaya Pagi, Portal Antara, Disfemisme pada Wacana Lingkungan: Sebuah Kajian Ekolinguistik Kritis dalam Media Massa Indonesia, Vivanews, Detiknews, Metronews, dan
14
15
Okezone. Pengumpulan data dengan metode simak dan dengan teknik lanjutan berupa teknik catat. Analisis data dalam penelitian ini dengan menggunakan metode agih dan metode padan, serta teknik substisusi dan parafrasa. Hasil penelitinnya dapat diambil simpulan (1) bentuk satuan ekspresi disfemisme yang digunakan oleh media massa di Indonesia pada wacana lingkungan yaitu kata, frasa, klausa, dan kalimat. Kata meliputi kata dasar dan kata turunan. Frasa meliputi frasa nomina, frasa adjektiva, frasa verba; (2) referen disfemisme yang ditemukan adalah yang berkaitan dengan manusia, tumbuhan, binatang, tanah, nuklir dan material beracun, sampah dan limbah, polusi, perusakan habitat alami, kepunahan spesies, dan tabu; (3) fungsi-fungsi satuan ekspresi disfemisme ada dua belas macam, yaitu mengungkapkan kemarahan
atau
menyalahkan,
kejengkelan, mengeluh,
mengritik, menyampaikan
menyindir,
menuduh
informasi,
atau
menghina,
memperingatkan, menunjukkan ketidaksetujuan, menunjukkan rasa tidak suka, melebih-lebihkan, dan menunjukkan bukti (2013: 47-58).
2. Penelitian yang dilakukan oleh Susilo Utami (2010) berjudul Konteks, Acuan, dan Partisipan Disfemisme pada Ujaran Siswa SMP Negeri 3 Ungaran mengenai konteks, acuan, dan pastisipan disfemisme. Tujuan dari penelitian ini untuk memaparkan konteks munculnya disfemisme, acuan disfemisme, dan partisipan disfemisme. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif serta bentuk penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Penelitian ini mendeskripsikan data
16
tentang disfemisme siswa SMP dari sisi konteks, acuan, dan partisipannya. Penelitian ini dilakukan di SMP Negeri 3 Ungaran Kabupaten Semarang, Jalan Patimura nomor 1 A. Subjek penelitian adalah siswa SMP yang menjadi siswa di sekolah tersebut. Data-data atau korpus yang berisi ujaran disfemisme didapatkan dari sumber data primer dan sekunder yang didefinisikan menurut Utami yaitu sumber data primer adalah tempat/peristiwa/aktivitas dan informan/ narasumber. Sumber data sekunder adalah dokumen (Utami, 2010:6). Validasi data yang digunakan dalam penelitian Utami adalah triangulasi data. Data diperoleh melalui observasi/pengamatan, rekam/catat data, dan wawancara. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode berpikir induktif. Sesuai dengan karakteristik penelitian kualitatif bahwa penelitian kualitatif pada akhirnya akan membentuk suatu teori yang berasal dari data yang ditemukan di lapangan. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian Utami adalah teknik analisis interaktif. Adapun hasil yang dapat diambil dari penelitian Utami adalah (1) konteks munculnya disfmisme antara lain karena marah, mengejek, meminta, berkomentar, menggerutu, membalas, bercanda, bertanya, kebiasaan, terkejut, geli, menggoda, mengingatkan, menjawab panggilan, merepon pertanyaan, tidak percaya, iseng, kesakitan, melihat orang lain, dan cemberut; (2) referen disfemisme yang digunakan adalah binatang, profesi, sifat, anggota tubuh, sapaan, bau, dan rasa; (3) partisipan disfemisme berasal dari dua macam, yaitu partisipan akrab positif dan partisipan akrab negatif (2010: 17).
17
3. Penelitian oleh Heti Kurniawati (2011) dengan judul Eufemisme dan Disfemisme dalam Spiegel Online di dalamnya membahas mengenai bagaimana penggunaan eufemisme dan disfemisme dalam Spigel Online. Penelitian Kurniawati termasuk analisis isi karena sumber datanya berupa dokumen, yakni teks berita. Langkah-langkah analisis isi yang mencakup empat tahapan. Tahapan pertama adalah pengadaan data yang meliputi penentuan satuan (unit), penentuan sampel, dan pencatatan. Objek penelitian Kurniawati adalah eufemisme dan disfemisme yang digunakan dalam dalam Spiegel Online, sedangkan data dalam penelitian ini berupa satuan lingual dalam teks beritadi Spiegel Online yang mengandung eufemisme dan disfemisme. Konteks data berupa kalimat bila datanya berupa kata atau frasa, dan paragraf bila datanya berupa klausa. Sumber data pada penelitian Kurniawati adalah media Spiegel Online edisi November 2008. Rubrik yang digunakan sebagai sumber data adalah rubrik berita. Berita (Nachrichten) dalam Spiegel Online terdiri atas berita politik (Politik), ekonomi (Wirtschaft), panorama (Panorama), olahraga (Sport), budaya (Kultur), dunia internet atau komputer (Netzwelt), ilmu pengetahuan (Wissenschaft), perguruan tinggi (Unispiegel), sekolah (Schulspiegel), wisata (Reise), mobil (Auto). Berita yang dipilih sebagai sumber data adalah berita politik, ekonomi, panorama, olahraga, budaya, dan ilmu pengetahuan. Menurut Kurniawati, pemilihan tersebut didasarkan pada asumsi bahwa berita-berita tersebut lebih sering digunakan dalam pembelajaran bahasa Jerman. Berita yang disajikan dalam Spiegel Online selalu diperbarui setiap harinya.
18
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian Kurniawati adalah teknik simak dan catat. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik padan. Teknik padan yang digunakan adalah teknik padan referensial untuk mengetahui satuan gramatikal eufemisme dan disfemisme. Teknik padan referensial dengan pendekatan semantik digunakan untuk mengetahui makna eufemisme dan disfemisme. Analisis latar belakang penggunaan eufemisme dan disfemisme
menggunakan
analisis
padan
pragmatik.
Hasil
penelitian
Kurniawati disajikan dengan menggunakan metode informal. Menurut Kurniawati, metode informal adalah menggunakan kata-kata biasa, termasuk penggunaan terminologi (2011: 55). Penelitian Kurniawati dapat diambil simpulan bahwa disfemisme ditemukan dalam bentuk gramatikal kata, frasa, dan kalimat dan penemuan yang terbenyak adalah bentuk gramatikal kata. Dalam penelitiannya, disfemisme dalam Spigel Online dilatarbelakangi oleh (1) menyakan hal yang tabu, tidak senonoh, asusila; (2) menunjukkan rasa tidak suka atau tidak setuju terhadap seseorang atau sesuatu; (3) penggambaran yang negatif tentang seseorang atau sesuatu; (4) mengungkapkan kemarahan atau kejengkelan; (5) mengumpat atau memaki; (6) menunjukkan rasa tidak hormat atau merendahkan seseorang; (7) mengolok-olok; (8) melebih-lebihkan sesuatu; (9) menghujat atau mengkritik; (10) menunjukkan sesuatu hal yang bernilai rendah (2011: 51-63). 4. Penelitian yang dilakukan oleh Dian Rica Luxelmi, dkk (2012) dengan judul Disfemisme dalam Acara Indonesia Lawyers Club bersimpulan bahwa
19
penelitian ini terfokus pada penggunaan disfemisme dalam acara Indonesia Lawyers Club. Penelitian Luxelmi merupakan penelitian deskriptif karena penulis mendeskripsikan disfemisme berdasarkan data, yaitu tuturan para peserta diskusi di dalam acara Indonesia lawyers Club. Penyajian data dilakukan berdasarkan fakta yang tampak sebagaimana adanya. Data dalam penelitian ini adalah tuturan peserta diskusi berupa disfemisme yang terdapat dalam acara Indonesia lawyers Club. Indonesia Lawyers Club yang ditayangkan secara langsung setiap Selasa malam. Sumber data penelitian Luxelmi adalah acara diskusi Indonesia lawyers Club di Televisi One, dipilih sepuluh topik dari dua puluh empat topik selama November 2011 sampai dengan April 2012. Penetapan sepuluh topik didasarkan pertimbangan bahwa tuturan di dalam kesepuluh topik tersebut dapat mendeskripsikan disfemisme tuturan peserta diskusi Indonesia lawyers Club. Data penelitian Luxelmi adalah tuturan disfemisme berupa kata, frasa, dan ungkapan atau idiom. Penelitian ini dikumpulkan secara bertahap sesuai teknik yang telah ditentukan. Pertama, penulis menyimak setiap tuturan peserta diskusi pada masing-masing topik acara Indonesia Lawyers Club. Ke dua, penulis menranskripsikan tuturan peserta diskusi setiap topik ke dalam bentuk tertulis untuk memudahkan pemerolehan data. Ke tiga, penulis mencatat tuturan yang tergolong ke dalam disfemisme dari masing-masing topik acara. Sedangkan langkah-langkah dalam proses analisis data yang dilakukan adalah, (1)
20
mengelompokkan bentuk disfemisme, (2) Menentukan fungsi disfemisme, dan (3) Menentukan makna disfemisme berdasarkan tuturan. Hasil penelitiannya adalah (1) disfemisme sebagai perantara untuk menyatakan hal yang tabu atau senonoh, (2) sebagai petunjuk rasa tidak suka atau tidak setuju, (3) sebagai penggambaran negatif pada orang lain, (4) sebagai petunjuk rasa marah atau jengkel, (5) sebagai penunjuk rasa tidak hormat, (6) sebagai sarana mengolok-olok, mencela, atau menghina, (7) sebagai sarana melebih-lebihkan dalam bertutur, (8) sebagai sarana untuk mengritik, dan (9) sebagai penunjuk sesatu hal yang bernilai rendah (2012: 1-10). Dari tinjauan pustaka di atas terdapat uraian-uraian penelitian terdahulu yang sejenis dengan penelitian ini. Tinjauan pustaka di atas dapat diambil simpulan bahwa penelitian disfemisme pada berita kriminal dalam koran Jateng Pos edisi September - Desember 2015 belum pernah dilakukan. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian terdahulu di atas yaitu pada penelitian-penelitian terdahulu di atas tidak terdapat analisis disfemisme berbentuk frasa berdasarkan distribusi, yaitu frasa eksosentrik dan frasa endosentrik. Selain itu juga tidak terdapat analisis unsur sintaksis untuk menentukan objek penelitian yaitu kata atau frasa. Dengan demikian hal tersebut dapat menjadi pembeda penelitian ini dan memunculkan kebaruan terhadap penelitian-penelitian sejenis terdahulu di atas. Penelitian ini menghasilkan kebaruan dari penelitian-penelitian terdahulu, yaitu ditemukannya referen peristiwa, referen aktivitas, dan referen keadaan pada penelitian ini.
21
B. Landasan Teori 1. Pengertian Semantik Semantik adalah (1) bagian struktur bahasa yang berhubungan dengan makna ungkapan dan juga dengan struktur makna suatu wicara; (2) sistem dan penyelidikan makna dan arti dalam suatu bahasa pada umumnya (Kridalaksana, 2008: 216). Definisi tersebut diperkuat oleh Abdullah yang menyatakan bahwa semantik di dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Inggris semantics, dari bahasa Yunani sema (nomina tanda) atau dari verba samaino (menandai berarti). Istilah tersebut digunakan para pakar bahasa untuk menyebut bagian ilmu bahasa yang mempelajari makna. Semantik merupakan bagian dari tiga tataran bahasa yang meliputi fonologi, morfologi, dan sintaksis (2012: 87). 2. Pengertian Disfemisme Disfemisme merupakan konotasi yang menyakitkan oleh berbagai pihak. Pendapat tersebut diperkuat oleh pendapat Allan dan Burrigde yang menyatakan bahwa “A dysphemism is an expression with connotation that are offensive either abuut the denotatum or the audience, or both, an it is substituted
for
a
reason.”(disfemisme
neutral adalah
or
euphemistic
ekspresi-ekspresi
expression dengan
for
just
konotasi
that yang
menyakitkan bagi yang diajak bicara maupun yang mendengarkan, sehingga ungkapan tersebut biasanya diganti dengan ekspresi-ekspresi yang lebih netral atau eufemistis) (1991: 26). Ditambahkan oleh Allan dan Burrigde (2006: 31) bahwa:
22
“Dysphemism is the opposite of euphemism and, by and large , it is tabooed. Like euphemism, it is sometimes motivated by fear and distaste, but also by hatred and contemp. Speakers resort to dysphemism to talk about people and things that frustrate and annoy them, that they disapprove of and wish to disparage, humiliate and degrade. Dysphemism are therefore characteristic of political groups and cliques talking about their oppenets; of feminist speaking about men; and also of male larrikins and macho types speaking of women and effete behaviors. Dysphemism expression include curses, name-calling, and any sort of derogatory comment directed towards others in order to insult or wound them. Dysphemism is also a way let off steam; for example, when exclamatory swear words alleviate frustration or anger. To be more technical: dysphemism is a word or phrase with connotations that are offensive either about the denotatum and/or to people addressed or overhearing the utterance” (Allan dan Burrigde, 2006: 31).
(Disfemisme adalah kebalikan dari eufemisme dan lebih kuat maknanya dan merupakan hal yang tabu. Seperti eufemisme, hal itu kadang memberikan ketakutan dan kebencian, tabu juga dekat dengan rasa benci dan jijik. Usaha pendengar berkata disfemisme tentang orang-orang dan hal-hal yang menghalangi dan mengganggu mereka, mereka tidak menyetujui dan berharap meremehkannya, menghina, dan merendahkan. Oleh karena itu, karakteristik disfemisme adalah grup politik dan kelompok yang berbicara dengan saingannya, perempuan berbicara tentang laki-laki, dan juga laki-laki larikan dan tipe maco berbicara tentang wanita dan kelakukan payahnya. Disfemisme mengekspresikan kutukan, penamaan, dan macam orang yang menghina pendapat yang mengarah ke mitra tutur. Disfemisme juga sebuah cara untuk memperkirakan hal-hal yang bersih menjadi kotor. Sebagai contoh adalah kalimat seru yang diucapkan untuk manandakan frustasi atau marah.
23
Secara teknis disfemisme adalah sebuah kata atau frasa dengan konotasi yang menghina atau menyakitkan, baik terhadap orang yang diajak bicara dan/atau terhadap orang yang
dibicarakan serta mendengarkan ungkapan tersebut)
(2006: 31). Dalam hal ini, Allan dan Burrigde (2006: 31) memberikan contoh disfemisme sebagai berikut.
Euphemism
Dysphemism
Poo
Shit
Loo
Shithouse
have a period
Bleed
my bits
My cunt
Lord
Christ!
Dari contoh yang disebutkan oleh Allan dan Burrigde, kata poo dan shit merupakan arti dari buang air besar. Tetapi poo merupakan makna halus dan lebih sopan sedangkan shit merupakan makna yang kasar dan tidak sopan. Seperti pada bahasa Indonesia pada ungkapan ke belakang dan eek. Kata ke belakang memiliki makna yang lebih halus dan sopan didengar sedangkan eek memiliki makna yang kasar dan tidak sopan untuk didengar. Seperti halnya dengan kata loo dan kata shithouse merupakan arti dari tempat untuk membuang air (kecil atau besar). Tetapi dalam hal ini kata loo lebih halus maknanya seperti halnya pada bahasa Indonesia yaitu ‘kamar kecil’ atau ‘kamar
24
mandi’ sedangkan kata shithouse memiliki makna kasar dan tidak sopan seperti halnya pada bahasa Indonesia yaitu ‘WC’. Makna konotasi yang terdapat pada disfemisme merupakan wujud dari sifat emosional. Hal tersebut didukung oleh pendapat Razak yang menyatakan bahwa kata denotatif lebih bersifat rasionaldan kata konotataif lebih bersifat emosional (1985: 79). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Utami mendefinisikan bahwa disfemisme berasal dari kata eufemisme yang memperoleh imbuhan dis yang berarti ‘tidak’. Eufemisme berasal dari bahasa Yunani Euphimismos. Eu berarti ‘baik’, pheme berarti ‘perkataan’, dan ismos berarti ‘tindakan’. Secara keseluruhan eufemisme adalah menggantikan kata-kata yang dipandang tabu dan dirasa kasardengan kata-kata lain yang lebih pantas atau dianggap halus. Dari penjelasan tersebut dapat diambil simpulan bahwa disfemisme merupakan kebalikan atau antonim dari eufemisme yaitu kata-kata yang bermakna kasar atau tidak baik (2010: 4). 3. Pengertian Referen Referen merupakan makna di luar bahasa. Hal tersebut didasarkan pada pendapat Ullman yang menyatakan bahwa bagi kajian makna, segitiga dasar itu bias dikatakan kekecilan atau kebesaran. Kebesaran, karena referen, yaitu unsur atau peristiwa non-bahasa, jelas terletak di luar wilayah kekuasaan para linguis (2007: 67). Selanjutnya dilengkapi lagi oleh Ullman yang menyatakan bahwa, Makna kita pakai dalam arti umum tanpa mengaitkan dengan sesuatu doktrin psikologi; ia adalah informasi yang dibawa oleh nama untuk disampaikan kepada pendengar, sedangkan benda (atau yang menurut istilah Odgen dan Richards disebut referen) merupakan unsur atau peristiwa nonbahasa yang kita bicarakan.
25
Referen memang berada di luar wilayah kekuasaan linguis, tetapi hubungan antarnama dan makna harus kita tinjau lebih seksama (2007: 68). Senada dengan pendapat Hoffmann yang menyatakan bahwa, “We can refer, i.e identify or select, something so that it can be talked about with some elementary gestures if the thing (or representation of it) is visible and near to hand. Otherwise we can must use nomina phrase to describe the referent and tell the addressee that we are refering to something. in special cases names and pronoun - a single word in complete nomina, but in languages that use articles it always the whole nomina that selects the object. In such a language, the noun functions as a description, and the article or 'determiner' guides the reference. Reference is not meaning but rather selecting an object or objects by means of meaning, thought other uses of this term exist. When the selection of the objets in the world is complete, philosophers speak of singular reference, but when it is halted at the level of meaning because it refers to some unspecified member or members of a class, we have general reference. Extension, and the older denotation, include everything to wich a word or expression can refer” (1993: 197).
(Merujuk dapat dilakuakan ,yaitu dengan mengidentifikasi atau memilih sesuatu sehingga dapat berbicara tentang dengan beberapa gerakan dasar jika hal (atau representasi dari itu ) terlihat dan dekat dengan tangan. Jika tidak bisa dilakuakan, maka harus menggunakan frasa nomina untuk menggambarkan rujukan dan memberitahu penerima bahwa kita mengacu sesuatu. Dalam kasus khusus nama dan ganti - satu kata dalam nomina yang lengkap, tetapi dalam bahasa yang menggunakan artikel selalu seluruh nomina yang memilih objek. Dalam bahasa seperti itu, fungsi benda sebagai deskripsi, dan artikel atau 'penentu' panduan referensi. Istilah referen berarti memilih suatu objek atau benda-benda berdasarkan makna, pikiran, dan kegunaan lain dari istilah ini.
26
Ketika pemilihan benda-benda di dunia selesai, filsuf berbicara tentang referensi tunggal, tetapi ketika dihentikan pada tingkat makna karena mengacu pada beberapa anggota atau anggota kelas yang tidak ditentukan, kita memiliki referensi umum . Ekstensi, dan denotasi tua, termasuk segala sesuatu yang kata atau ekspresi dapat dirujuk) (Hoffmann, 1993: 197). Dari paparan mengenai referen di atas, maka dapat diilustrasikan melalui salah satu data yang digunakan penelitian ini yang berasal dari koran Jateng Pos edisi Selasa, 1 September 2015 halaman 15 terdapat sebuah kalimat,
(4) Adapun ancaman hukumannya adalah lima tahun kurungan penjara.
Kalimat pada contoh (4) terdapat frasa kurungan penjara. Frasa tersebut memiliki referen binatang karena unsur kurungan memiliki kekhasan dan identik dengan binatang (burung). Hal ini diperkuat oleh pengertian kurungan dari Kamus Besar Bahasa Indosesia (2012: 763) bahwa kurungan didefinisikan sebagai 1 sangkar; kandang burung; 2 hukuman penjara; 3 ruamah yang diberi berdinding; bilik (di perahu); 4 wadah peliharaan ikan yang biasanya diletakkan di suatu perarian (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2012: 763).
4. Pengertian Kata Kata adalah bentuk yang dapat diujarkan dan memiliki makna tetapi tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Hal tersebut sejalan dengan pendapat
27
Bloomfield dalam Parera yang menyatakan bahwa kata merupakan satu bentuk yang dapat diujarkan tersendiri dan bermakna, tetapi bentuk itu tidak dapat dipisahkan atas bagian-bagian yang di antaranya (mungkin juga semua) tidak dapat diujarkan tersendiri (bermakna) (2007: 2). Proses morfemis tidak terlepas dari kata. Parera menyatakan bahwa proses morfemis merupakan proses pembentukan kata bermorfem jamak, baik derivative maupun inflektif (2007: 18). Proses morfemis oleh Parera dapat dibedakan, di antaranya yaitu proses morfemis afiksasi dan proses morfemis pengulangan (2007: 18). Adapun kata yang belum mengalami proses morfemis afiksasi disebut sebagai kata dasar. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Rohmadi dkk yang menyatakan bahwa kata dasar merupakan bentuk linguistik yang berupa kata asal maupun bentuk kompleks (bentuk jadian) yang menjadi dasar bentukan bagi suatu bentuk kompleks (2012: 26). Kata yang mengalami proses morfemis beupa pengulangan atau reduplikasi disebut kata ulang. Hal tersebut didasarkan oleh pendapat Muslich yang menyatakan bahwa proses pengulangan merupakan peristiwa pembentukan kata dengan jalan mengulang bentuk dasar, baik seluruhnya maupun sebagian, baik bervariasi fonem maupun tidak, baik berkombinasi sengan afiks maupun tidak (2008: 48). Selanjutnya, bentuk disfmisme berupa kata ada yang mengalami proses morfemis afiksasi. Parera berpendapat bahwa proses afiksasi terjadi apabila sebuah morfem terikat dibubuhkan atau dilekatkan pada sebuah morfem bebas secara urutan lurus (2007: 18). Dalam hal tersebut, Alwi dan kawankawan menjelaskan bahwa ada empat macam afiks atau imbuhan yang dipakai
28
untuk menurunkan verba: prefik, sufiks, konfiks, dan yang tidak begitu produktif lagi infiks. Prefiks, yang sering juga dinamakan awalan, adalah afiks yang diletakkan di muka dasar. Sufiks, yang juga disebut akhiran, diletakkan di belakang dasar. Konfiks, adalah gabungan prefiks dan sufiks yang mengapit dasar dan membentuk satu kesatuan. Infiks, yang juga dinamakan sisipan, adalah bentuk afiks yang ditempatkan di tengah dasar (2003: 102). Dari penjelasan secara rinci megenai afiks di atas dapat diambil contoh disfemisme yang mengalami proses afiksasi yaitu pada disfemisme dibekuk (Jateng Pos/Kamis, 17 September 2015/hal. 5). Kata dibekuk mengalami proses afiksasi yaitu dari kata dasar bekuk yeng mendapatkan prefiks di- menjadi dibekuk. Berdasarkan kelasnya, kata dibagi menjadi nomina, verba, adjektiva, dan lain-lain. Kelas kata dibagi oleh Kridalaksana menjadi tiga belas kelas kata yiatu verba (kata kerja), adjektiva (kata sifat), Nomina (kata benda), pronomina (kata ganti orang), numeralia (kata bilangan), adverbia (kata keterangan), interogativa (kata tanya), demonstrativa (kata tunjuk), artukula, preposisi, konjungsi, kategoti fatis, dan interjeksi (kata ungkapan). Pembagian kelas kata tersebut penjelasannya dapat dilihat dari uraian berikut ini. a. Verba (kata kerja) Verba merupakan kata yang berkmungkinan untuk didampingi oleh partikel tidak. Pandangan tersebut sepadan dengan pendapat Kridalaksana yang menyatakan bahwa,
29
Secara sintaksis sebuah satuan gramatikal dapat diketahui berkategori verba dari perilakunya dalam satuan yang lebih besar; jadi sebuah kata dapat dikatakan berkategori verba hanya dari perilakunya dalam frasa, yakni dalam hal kemungkinannya satuan itu didampingi partikel tidak dalam konstruksi dan dalam hal tidak dapat didampinginya satuan itu dengan partikel di, ke, dari, atau dengan pertikel seperti sangat, lebih, atau agak (1990: 51). Dari paparan tersebut menegnai verba, dapat diambil simpulan bahwa verba tidak dapat didampingi dengan partikel di, ke, dari,sangat, lebih, atau agak. Hal ini dapat diambil contoh dari kata pergi. Jika kata tersebut ditambahkan partikel sangat dan menjadi sangat pergi, maka tidak akan berterima. b. Adjektiva (kata sifat) Ajektiva adalah kategori yang ditandai oleh kemungkinannya untuk (1) bergabung dengan partikel tidak, (2) mendampingi nomina, atau (3) didampingi partikel seperti –er (dalam honorer), -if (dalam sensitif), -i (dalam alami), seperti adil – keadilan, halus – kehalusan, yakin – keyakinan (Kridalaksana, 1990: 59). Dari paparan di atas dapat diketahui bahwa adjektiva dapat bergabung dengan partikel seperti tidak.Dalam hal ini dapat diambil contoh pada kata tinggi. Kata tersebut bila didampingi oleh partikel tidak dan menjadi tidak tinggi, maka akan berterima. Lain halnya jika kata kursi didampingi partikel tidak menjadi tidak kursi, maka hal tersebut tidak berterima karena kata kursi bukan adjektiva. c. Nomina (kata benda)
30
Nomina adalah kategori yang secara sintaksis (1) tidak mempunyai potensi untuk bergabung dengan partikel tidak, (2) mempinyai potensi untuk didahului olah partikel dari (Kridalaksana, 1990: 68). Paparan tersebut dapat diambil simpulan bahwa nomina dapat digabungkan dengan partikel seperti dari. Hal tersebut dapat diambil contoh pada kata rumah yang digabungkan dengan partikel dari menjadi dari rumah, maka hal tersebut akan berterima. Jika kata sedih digabungkan dengan partikel dari menjadi dari sedih, maka hal tresebut tidak akan berterima karena kata sedih bukan kelas kata nomina. d. Pronomina (kata ganti orang) Pronomina adalah kata ganti. Pendapat tersebut diperkuat oleh Kridalaksana yang menyatakan bahwa, Pronomina adalah kategori yang berfungsi untuk menggantikan nomina. Apa yang digantikannya itu disebut anteseden. Anteseden itu ada di dalam dan di luar wacana (di luar bahasa). Sebagai pronomina, kategori ini tidak bisa berafiks, tetapi beberapa di antaranya bisa direduplikasikan, yakni kami-kami, dia-dia, beliau-beliau, mereka-mereka, dengan pengertian ‘meremehkan’ atau ‘merendahkan’ (1990:76). e. Numeralia (kata bilangan) Numeralia merupakan kelas kata yang mewakili bilangan yang ada di luar bahasa. Hal ini didukung oleh pendapat Kridalaksana yang menyatakan bahwa, Numeralia adalah kategori yang dapat (1) mendampingi nomina dalam konstruksi sintaktis, (2) mempunyai potensi untuk mendampingi numeralia lain, dan (3) tidak dapat bergabung dengan tidak atau dengan sangat. Numeralia
31
mewakili bilangan yang terdapat dalam alam di luar bahasa. Contoh: (1) dua tambah dua sama dengan empat, (2) gunung semeru lebih dari 1000 kaki tingginya (1990: 79). f.
Adverbia (kata keterangan) Adverbia adalah kategori yang dapat mendampingi adjektiva, numeralia, atau preposisi dalam kontruksi sintaktis (Kridalaksana, 1990: 81). Penjelasan tersebut dapat diambil contoh pada kata agak gemuk, kata agak merupakan adverbia karena berpotensi untuk mendampingi adjektiva gemuk.
g. Interogativa (kata tanya) Interogativa adalah kategori dalam kalimat interogatif yang berfungsi menggantikan sesuatu yang ingin diketahui oleh pembicara atau mengukuhkan apa yang telah diketahui pembicara (Kridalaksana, 1990: 88). Paparan tersebut dapat diketahui kata yang termasuk dalam kelas interogativa seperti apa, mengapa, mana, siapa, dan lain-lain. h. Demonstrativa (kata tunjuk) Demonstrativa adalah kategori yang berfungsi untuk menunjukkan sesuatu di dalam maupun di luar wacana.Sesuatu itu disebut anteseden. Dari sudut bentuk dapat dibedakan antara (1) demonstrativa dasar, seperti itu dan ini, (2) demonstrativa turunan, seperti berikut, sekian, (3) demonstrativa gabungan seperti disini, di situ, di sana, ini itu, di sana di sini (Kridalaksana, 1990: 92). i. Artikula
32
Artikula dalam bahasa Indonesia adalah kategori yang mendampingi nomina dasar (misalnya si kancil, sang dewa, para pelajar) (Kridalaksana, 1990: 93). Biasanya artikula digunakan dalam tokoh-tokoh dalam cerita. j. Preposisi Preposisi adalah kategori yang terletak di depan kategori lain (terutama nomina) sehingga terbentuk frasa eksosentrik direktif (Kridalaksana, 1990: 95). Dalam hal ini dapat dijelaskan bahwa preposisi merupakan partikel yang terletak di depan nomina misalnya di, ke, dari, dan lain-lain. k.
Konjungsi Konjungsi adalah kategori yang berfungsi untuk meluaskan satuan yang lain dalam kontruksi hipotaktis, dan selalu menghubungkan dua satuan lain atau lebih dalam kontruksi (Kridalaksana, 1990: 102). Nama lain dari konjungsi adalah kata penghubung. Kata penghubung itulah yang menghubugkan ujaran yang setataran dan tidak setataran. Cotohnya adalah kata karena dalam kalimat ia pergi karena saya marah.
l. Kategori Fatis Kategori fatis adalah kategori yang betugas dan memulai, mempertahankan, atau mengukuhkan komunikasi antara pembicara dan kawan bicara (Kridalaksana, 1990: 114). Dapat diambil contoh dari ungkapan “yang benar ah”. Kategori ah disebut kategori fatis karena digunakan untuk mempertahankan, atau mengukuhkan komunikasi antara pembicara dan kawan bicara.
33
m. Intrejeksi Interjeksi adalah kategori yang bertugas mengungkapkan perasaan pembicara; dan secara sintaktis tidak berhubungan dengan kata-kata lain dalam
ujaran
(Kridalaksana,
1990:
120).
Kridalaksana
(1990)
mencontohkan interjeksi antara lain aduh, ah, ahoi, ai, amboi, eh, hai, wah, wahai, sip, dan lain-lain (Kridalaksana, 1990: 51-121) 5. Pengertian Frasa Frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yang bersitat tidak predikatif. Pendapat ini dijelaskan lagi oleh Kridalaksana yang menyatakan bahwa frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yang sifatnya tidak predikatif; gabungan itu dapat rapat; dapat renggang; mis.Gunung tinggi adalah frasa karena merupakan konstruksi nonpredikatif; konstruksi ini berbeda dengan gunung itu tinggi yang bukan frasa karena bersifat predikatif (2008: 66). Hal tersebut diperkuat oleh pendapat Ramlan yang menjelaskan pengertian frasa adalah unsur klausa yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi itu merupakan satuan gramatik. Jadi, frasa adalah satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi unsur klausa (2001: 138). Dari penjelasan Ramlan tersebut, dapat diketahui bahwa frasa merupakan dua kata yang tidak melampaui batas klausa. Dalam hal ini, pengertian klausa adalah menurut Ramlan, satuan gramatik yang terdiri dari S, dan P, baik disertai O, PEL, dan KET ataupun tidak (2001: 79). Berarti frasa tidak melampaui batas klausa yaitu mengandung unsur predikatif. Frasa tersusun atas unsur yang saling berhubungan secara fungsional. Hal ini
34
sependapat dengan pendapat Khairah dan Ridwan yang menyatakan bahwa sebagai suatu kontruksi, frasa disusun oleh beberapa unsur pembentuk yang saling berhubungan secara fungsional (2014: 21). Ramlan membagi frasa atas dua dasar, yaitu berdasarkan distribusi dan berdasarkan kelas kata. Berdasarkan distribusi, frasa dapat digolongkan atas frasa endosentrik dan eksosentrik. Menurut Ramlan frasa endosentrik adalah frasa yang mempunyai distribusi yang sama dengan unsurnya, baik semua unsurnya maupun salah satu dari unsurnya (2001: 142). Dalam hal ini, Ramlan juga memberi ilustrasi mengenai frasa endosentrik sebagai berikut: •
dua orang mahasiswa sedang membaca buku di perpustakaan Pada ilustrasi di atas terdapat frasa dua orang mahasiswa yang memiliki distribusi yang sama yaitu antara dua orang dan mahasiswa. Persamaan distribusi tersebut dapat dilihat dari jajaran di bawah ini:
•
------------- mahasiswa sedang membaca buku di perpustakaan
•
dua orang ------------- sedang membaca buku di perpustakaan
Frasa eksosentrik menurut Ramlan adalah frasa yang tidak mempunyai distribusi yang sama dengan semua unsurnya (2001: 142). Dari pengertian tersebut, Ramlan juga memberi ilustrasi mengenai frasa eksosentrik sebagai berikut: •
dua orang mahasiswa sedang membaca buku di perpustakaan
35
pada ilustrasi di atas terdapat farse di perpustakaan yang tidak memiliki distribusi yang sama yaitu antara di dan perpustakaan. Perbedaan distribusi tersebut dapat dilihat dari jajaran di bawah ini: •
dua orang mahasiswa sedang membaca buku --- perpustakaan
•
dua orang mahasiswa sedang membaca buku di ----------------Berdasarkan kelas kata, frasa dapat digolongkan atas frasa nomina, frasa
verbal, frasa bilangan, frasa keterangan, dan frasa depan. Di bawah ini adalah pemaparan mengenai frasa berdasarkan kelas kata sebagai berikut: 1. Frasa Nomina Frasa nomina adalah frasa yang memiliki distribusi yang sama sengan kata nomina (Ramlan, 2001: 145). Dalam hal ini, Ramlan memberikan ilustrasi mengenai frasa nomina sebagai berikut: •
ia membeli baju baru
•
ia membeli baju -----
Frasa baju baru dalam klausa di atas mempunyai distribusi yang sama dengan kata baju. Kata baju termasuk golongan kata nomina, karena itu, frasa baju baru termasuk golongan frasa nomina (Ramlan, 2001: 145). 2. Frasa verbal Frasa verbal atau frasa golongan V ialah frasa yang mempunyai distribusi yang sama dengan kata verbal (Ramlan: 154). Dalam hal ini, Ramlan memberikan ilustrasi mengenai frasa verbal sebagai berikut: •
dua orang mahasiswa sedang membaca buku di perpustakaan
36
•
dua orang mahasiswa --------- membaca buku di perpustakaan
Frasa sedang membaca dalam klausa di atas mempunyai distribusi yang sama dengan kata membaca. Kata membaca termasuk golongan V, karena itu, sedang membaca termasuk golongan V (Ramlan, 2001: 154). 3. Frasa Bilangan Frasa bilangan adalah frasa yang mempunyai distribusi yang sama dengan kata bilangan (Ramlan, 2001: 162). Ramlan memberikan ilustrasi pada frasa dua buah dan dua buah rumah. Frasa ini mempunyai distribusi yang sama dengan kata dua. Persamaan distribusi itu dapat diketahui pada jajaran: •
dua buah rumah
•
dua ------ rumah
4. Frasa Keterangan Frasa keterangan ialah frasa yang mempunyai distribusi yang sama dengan keterangan (Ramlan, 2001: 163). Ramlan memberikan ilustrasi pada frasa tadi malam yang mempunyai persamaan distribusi yang sama dengan kata tadi. Persamaan tersebut dapat dilihat dari jajaran di bawah ini: •
tadi malam Ahmad menghadiri pertemuan keluarga
•
tadi -------- Ahmad menghadiri pertemuan keluarga
5. Frasa Depan
37
Frasa depan adalah frasa yang terdiri dari kata depan sebagai penanda, diikuti oleh kata atau frasa sebagai aksisnya (Ramlan, 2001: 163). Dari pengertian tersebut, Ramlan memberikan ilustrasi pada frasa dengan sangat tenang. Frasa dengan sangat tenang terdiri dari kata depan dengan sebagai penanda, diikuti frasa sangat tenang sebagai aksisnya. 6. Media Cetak Media cetak merupakan media tertua yang ada di muka bumi. Media cetak berawal dari media yang disebut Acta Diurna dan Acta Senatusdi kerajaan Romawi, kemudian berkembang pesat setelah Johannes Buttenberg menemukan mesin cetak, hingga kini sudah beragam bentuknya, seperti surat kabar (koran), tabloid, dan majalah (Mondry, 2008: 13). 7. Berita Kriminal “Berita adalah informasi atau laporan yang menarik perhatian masyarakat konsumen, berdasarkan fakta, berupa kejadian dan atau ide (pendapat), disusun sedemikian rupa dan disebarkan media massa dalam waktu secepatnya” (Mondry, 2008: 133). “Berita mejadi informasi yang terbanyak diperoleh bila seseorang membaca media cetak, bahkan ada yang mengatakan bisa mencapai 90 persen, meskipun belum tentu persentasenya seperti itu bila dia memanfaatkan media elektronik” (Mondry, 2008: 132). Selanjutnya, seperti yang telah dijelaskan pada di depan, jika didasarkan persoalanya, berita terbagi menjadi beberapa bagian dan salah satunya adalah berita kriminal. Berita berisi persoalan mengenai pelanggaran norma dan aturan. Pandangan tersebut senada dengan pendapat Barus yang menyatakan
38
bahwa berita kriminal adalah berita mengenai segala peristiwa kejadian dan perbuatan
yang melanggar hukum seperti pembunuhan, perampokan,
pencurian, penodongan, pemerkosaan, penipuan, korupsi, penyelewengan, dan segala sesuatu yang bertentangan dengan norma-norma kesusilaan yang ada dalam masyarakat (2010: 45). Dari paparan di atas mengenai berita kriminal, dapat diambil simpulan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan kriminal adalah hal yang negatif. Maka dari itu redaktur berita dalam menyajikan berita ini pasti menggunakan makna yang ngatif pula. Dengan demikian, disfemisme merupakan makna yang mengarah ke hal negatif dan dalam berita kriminal pasti menggunakan pengasaran makna atau disfemisme.
39
C. Kerangka Pikir Kerangka pirkir merupakan gambaran bagaimana masalah-masalah dalam penelitian ini dimunculkan. Hal ini dapat digambarkan di bawah ini. Kalimat-kalimat yang di dalamnya mengandung disfemisme tataran kata atau frasa dalam berita
Berita Kriminal
Disfemisme
Bentuk Disfemisme
Referen Disfemisme
Sumber data pada penelitia ini adalah koran Jateng Pos edisi September Desember 2015. Di dalam koran tersebut terdapat berita keriminal. Berita kiminal tersebut mengandung disfemisme. Disfemisme dalam berita tersebut memiliki bentuk dan referen.