14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
2.1. Kelembagaan Lokal Kelembagaan yang hidup dalam masyarakat bersifat dinamis dan kompleks, jenis dan ragamnya berkembang sesuai dengan dinamika kehidupan masyarakat.34 Interaksi desa dengan supra desa yang intensif mengakibatkan kelembagaan yang hidup dalam masyarakat pedesaan tidak hanya berasal dari dalam dan tumbuh dalam komunitas atau desa, tetapi juga berasal dari supra desa. Hal ini menunjukkan kelembagaan yang terdapat dalam wilayah pedesaan atau entitas bersifat dinamis dan kompleks. Dinamika dan kompleksitas kelembagaan dalam masyarakat dapat disimak dari analisis yang dikemukakan oleh Tjondronegoro (1984). Menurutnya kelembagaan masyarakat berkembang secara kontinum, dari lembaga menjadi organisasi.35 Meskipun antara lembaga atau institusi sulit dipisahkan dan memiliki persamaan, tetapi antara keduanya terdapat perbedaan ciri-cirinya. Menurut Tjondronegoro, lembaga memiliki ciri: berorientasi pada kebutuhan, peranan yang dimainkan, upacara, pengawasan sosial, pengakuan karena membudaya, terlibatnya pendukung, tradisi turun-temurun, empiris, berpegang pada norma, prioritas usia dan gengsi dan sifat memenuhi kebutuhan tertentu. Sedangkan organisasi memiliki karakteristik: berorientasi pada tujuan, tugas yang dilaksanakan, prosedur, pengawasan peraturan, pengakuan karena didirikan resmi, kebiasaan karena rutin, digagas dan diwujudkan, kesetiaan dan ikatan pada tujuan, prioritas pada keterampilan dan kemampuan dan alat mencapai tujuan tertentu. Kompleksitas kelembagaan dalam masyarakat juga dapat dilihat dari jangkauan dan cakupannya. Dimensi kelembagaan seperti ini dikemukakan oleh
34
Koentjaraningrat mengidentifikasi kelembagaan menurut fungsinya meliputi kelembagaan: (1) kekerabatan/domestik, (2) ekonomi (mata pencaharian, produksi, menimbun dan distribusi kekayaan), (3) pendidikan, (4) ilmiah, (5) politik (mengatur kehidupan kelompok besar atau kehidupan negara), (5) keagamaan (untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhan), (6) estetika dan rekreasi (untuk menyatakan rasa keindahan dan rekreasi) dan (7) somatik (jasmaniah manusia). Lihat Koentjaraningrat, 1986. Pengantar Antropologi. Jakarta, Aksara Baru.
35
Sediono M.P Tjondronegoro, “Gejala Organisasi dan Pembangunan Berencana Dalam Masyarakat Pedesaan di Jawa.” Dalam Koentjaraningrat (penyunting), 1984. Masalah-Masalah Pembangunan Bunga Rampai Antropologi Terapan. Jakarta LP3ES, p.220.
15
dikemukakan oleh Uphoff (1986). Ia mengidentifiksi kelembagaan secara hirakis dan vertikal: kelembagaan mikro, meso dan kelembagaan makro. Kelembagaan mikro atau kelembagaan lokal, adalah kelembagaan yang hidup dinamis dalam komunitas/masyarakat, baik publik, partisipatori maupun swasta. Dalam analisis Uphoff, kelembagaan lokal jangkauannya mencakup administrasi pemerintahan terkecil, seperti desa.36 Pada kelembagaan lokal yang bersifat publik, jangkauannya mencakup administrasi dan pemerintahan lokal dengan perangkat birokrasi yang terdapat di dalamnya. Pada kelembagaan lokal bersifat partisipatori, meliputi lembaga-lembaga yang tumbuh dalam masyarakat yang dibangun secara sukarela dan swadaya. Menurut Uphoff, kelembagaan lokal dapat berupa kelembagaan bisnis yang terdapat dalam suatu wilayah seperti kelembagaan pertanian, perdagangan, kerajinan, industri dan kelembgaan bisnis lainnya yang berorientasi profit. Kelembagaan lokal baik partisipatori, publik maupun bisnis, dinamika dan kompleksitasnya dipengaruhi oleh kemampuan dan fungsinya dalam pemenuhan kebutuhan sosial dan ekonomi komunitas. Sepanjang kelembagaan lokal tersebut memiliki kapasitas dan adaptabilitas untuk memenuhi kebutuhan sosial dan ekonomi komunitas, eksistensinya akan terjaga dan terpelihara dengan baik. Tetapi bila kapasitas dan adaptabilitas melemah dan disfungsional, kelembagaan lokal tersebut hanya akan menjadi artefak sejarah. Salah salah kelembagaan lokal yang bersifat parsipatori dan persisten dalam kehidupan komunitas pedesaan adalah kelembagaan tata kelola sumberdaya agraria. Kelembagaan jenis ini ditemukan pada berbagai komunitas dan entitas di Indonesia. Merujuk pada Schmidt, (1987)37, persistensi kelembagaan parsipatori ini disebabkan memiliki yurisdiksi, representasi dan mengatur hak kepemilikan
36
Lihat Uphoff, Norman, 1986. Local Institutional Development: An Analytical Sourcebook With Cases. Conecticut, Kumarian Press. p.130
37
Yurisdiksi merujuk pada adanya batas wilayah kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki oleh suatu kelembagaan, mengatur siapa dan apa saja yang boleh dilakukan oleh anggota dalam suatu komunitas. Hak kepemilikan merupakan bagian integral dari kelembagaan, bentuknya dapat berupa hukum formal atau yang diatur dalam tradisi atau adat kebiasaan dalam suatu masyarakat. Aturan representasi mengatur siapa yang berhak berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Keputusan apa yang diambil dan apa akibatnya terhadap performa akan ditentukan oleh kaidah representasi yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan. Partisipasi warga ditentukan oleh hasil kesepakatan karena partisipasi sering berimplikasi pengorbanan atau adanya
16
sumberdaya. Perangkat aturannya mengatur hak, kewajiban dan tanggung jawab bagi anggotanya dan menyediakan jaminan sosial, kepercayaan dan perlindungan ekonomi (aturan main dan ”kepastian” tentang siapa memperoleh apa dan berapa banyak). Kelembagaan jenis ini secara sosiologis berpotensi menurunkan derajat ketidakpastian dalam kehidupan masyarakat. Dalam analisis Berkes (1989)38 hal ini disebabkan pada kelembagaan kategori ini bersifat praktis, menghargai kolektivitas dan resiprositas sesuai ruang spasial dan kulturalnya. Kelembagaan lokal ketegori ini
tercakup dalam kelembagaan buyut, pipeling dan liliuran
sebelum meluasnya kapitalisasi sumberdaya pada komunitas petani di hulu DAS Cidanau. Dalam perspektif sosiologi, kelembagaan yang hidup dalam suatu komunitas dapat dianalisis dalam dua perspektif. Perspektif pertama kelembagaan sebagai nilai, norma, aturan perilaku dan aturan main, dan perspektif kedua kelembagaan sebagai institusi/organisasi atau struktur.
Pandangan yang
menempatkan kelembagaan sebagai nilai, norma, aturan perilaku dan aturan main terangkum dalam fakta sosial yang dikemukakan oleh Emile Durkheim39 atau tindakan subjektif penuh arti (verstehen) yang dikemukakan oleh Max Weber.40 Kelembagaan sebagai nilai, norma, aturan perilaku dan aturan main, menurut Giddens (Scot, 2008) memberikan kedamaian bagi kehidupan sosial dan dukungan pada sistem sosial.41 Dalam analisis Scott (1989) keberadaan
ongkos yang dikeluarkan. Lihat Schmidt, A. 1987. Property, Power, and an Inquiry Into Law and Economic. New York Praeger. 38
Fikret Berkes, C. Folke and J. Colding, eds, 1998. Linking Social and Ecological Systems: Management Practices and Social Mechanisms for Building Resilience. Cambridge: Cambridge University Press.
39
Durkheim membedakan fakta sosial atas material (dapat disimak, ditangkap dan diobservasi) dan non material (fenomena inter subjektif dari kesadaran manusia). Fakta sosial material dan non material bersifat nyata dan eksternal. Fakta sosial antara lain kesadaran, sistem sosial, kesatuan masyarakat, nilai, keluarga, dan perusahaan dan pemerintahan. Emile, Durkheim, 1964. The Rule of Sociological Method. New York: The Free Press.
40
Inti pemikiran Weber adalah tindakan sosial penuh arti, hanya individu yang riil secara objektif yang berarti, masyarakat hanyalah satu nama menunjuk pada sekumpulan individu. Menurut Weber tindakan sosial adalah tindakan individu sepanjang tindakannya mempunyai arti subjektif bagi dirinya dan diarahkan pada orang lain dan untuk memahaminya perlu empati dan pemahaman (verstehen). Lihat Max Weber, 1964. The Theory of Social and Economic Organization. New York: The Free Press.p.88
41
Lihat Richard, W. Scot, 2008, Institutions and Organizations, Idea and Interest. Los Angeles: Sage Publications. p.48-587.
17
kelembagaan komunitas di pedesaan pra kapitalis berfungsi sebagai “asuransi terselubung” dan “energi sosial” dalam mengatasi masalah-masalah kehidupan. Sehingga ketika kedua fungsi itu memudar akibat penetrasi kekuatan ekonomi kapitalis menimbulkan ketegangan sosial dan pemberontakan di pedesaan.42 Kelembagaan sebagai institusi/organisasi telah mendapat perhatian dari Durkheim dan Weber. Analis Durkheim tentang organisasi dijelaskan dalam pembagian kerja, solidaritas organis dan solidaritas mekanis.43 Analisis Weber tentang organisasi diuraikan dalam birokrasi modern berciri otoritas legal/rasional, regulatif, memiliki struktur formal dan aturan main yang diatur secara legal. 44 Peran kelembagaan lokal baik sebagai nilai, norma, aturan perilaku dan aturan main atau sebagai institusi, eksistensinya dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman dan budaya komunitas, fungsionalitas dan intensitas interaksinya dengan supralokal. Kelembagaan komunitas kehadirannya didorong oleh adanya kebutuhan bersama dari anggota untuk menciptakan ketertiban, keamanan dan keberlanjutan sumberdaya ataupun kesejahteraan. Dalam hal ini kelembagaan lokal merupakan upaya pemenuhan kebutuhan bersama yang dilembagakan. Karena keberadaannya didasarkan pada kebutuhan bersama, maka kelembagaan komunitas muncul dan tenggelam seiring dengan kebutuhan dan dinamika masyarakatnya.45 Kelembagaan komunitas akan tetap eksis jika dirasakan fungsional oleh masyarakatnya, dan akan ditinggalkan jika dirasakan sudah disfunction.46 Kelembagaan lokal yang hidup dalam komunitas dapat berupa kelembagaan tradisional/adat dan kelembagaan bukan tradisional. Kelembagaan 42
Scott, James, 1989. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Jakarta, LP3ES.
43
Lihat Emile, Durkheim,1967. The Division of Labor in Society. The Free Press, p.79,172. Lihat Max Weber, 1964. The Theory of Social and Economic Organization. New York: The Free Press Press, p,328,358. 44
45
Berkaitan dengan fungsi kelembagaan, Soekanto mengidentifikasinya atas empat hal, yaitu (1) memenuhi kebutuhan pokok manusia, (2) memberi pedoman pada anggota masyarakat bagaimana mereka bersikap dan bertingkah laku dalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat, terutama yang menyangkut pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia, (3) menjaga keutuhan masyarakat, dan (4) memberi pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan kontrol sosial. Soerjono, Soekanto. 1990. Sosiologi, Suatu Pengantar. Jakarta, Rajawali.
46
Lihat Masyhuri Imron, Peran Pemerintah Dalam Pengembangan Kelembagaan Masyarakat Nelayan” Makalah disampaikan Dalam Seminar Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Masyarakat Nelayan”, Bappenas, 21 April 2009.
18
tradisional dibentuk dan dipraktikkan secara turun-temurun oleh masyarakat yang bersangkutan. Sedangkan kelembagaan bukan tradisional bentuknya mungkin tradisional (belum memiliki struktur kepengurusan seperti kelembagaan modern), tetapi merupakan bentukan generasi baru (bukan turun-temurun) atau hasil bentukan (intervensi) dari luar komunitas, seperti KUB (Kelompok Usaha Bersama), Kelompok Tani Hutan, Lembaga Masyarakat Desa Hutan dan sejenisnya. Struktur kelembagaan lokal tidak selalu formal, tetapi nilai dan aturan mainnya tersosialisasikan secara melembaga, sehingga kelembagaan lokal terinternalisasikan secara terus-menerus. Internalisasi kelembagaan lokal dalam suatu komunitas berkaitan dengan pengetahuan/kearifan lokalnya. Kearifan lokal merupakan totalitas pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki komunitas dalam wilayah geografis tertentu yang memungkinkan mereka menjangkau dan menata lingkungan alamiahnya. Pengetahuan dan keterampilan komunitas bersumber dari pengalaman trial and error dan berasal dari proses adaptasi dan akomodasi terhadap keadaan dan lingkungan yang senantiasa berubah. Pengetahuan lokal yang hidup dalam suatu komunitas merupakan implikasi dari keterlibatannya dengan tradisi, praktik tata kelola sumberdaya dan lingkungan. Dalam istilah Geertz pengetahuan lokal berakar pada pengalaman dan ruang spasial.47 Meskipun demikian, pengetahuan lokal bukan merupakan suatu kategori pengetahuan yang bersifat distingtif dan terpisah, murni yang diwariskan, dipelajari dan dilestarikan secara apa adanya.48 Sebaliknya pengetahuan lokal dikonstruksi oleh para partisipan dan pelakunya melalui uji coba, praksis dan wacana secara terus menerus. Karena sifat dasar dari setiap bentuk pengetahuan manapun termasuk pengetahuan lokal selalu kontekstual dan menyerap unsur-
47
Kajian antropologis tentang proses pembentukan pengetahuan lokal diulas oleh Geertz. Lihat Clifford Geertz. 2003. Pengetahuan Lokal: Esai-Esai Lanjutan Antropologi Interpretatif. Yogyakarta: 253-267.
48
Pengetahuan lokal bersifat kategoris dan distingtif dikemukakan kaum positvis/modernis karena landasan metodologis/epistemologis pengetahuan lokal dan pengetahuan modern berlainan di dalam menangkap realitas. Pengetahuan sains bersifat terbuka, sistematis, objektif, analitis dan dikembangkan melalui capaian-capaian rigorus terdahulu, sedangkan indigenous knowledge dinilai tertutup, non-sistematis, holistis ketimbang analitis dan dikembangkan atas dasar pengalaman dan bukan berdasar logika deduktif. Lihat Agrawal, A. ‘Indigenous and Scientific Knowledge: Some Critical Comments”, Indigenous Knowledge and Development Monitor 3(3), 1995
19
unsur yang berlainan.49 Gambaran bahwa pengetahuan lokal bersifat orisinal dan statis merupakan konstruksi “the other”. Karakteristik dari pengetahuan lokal seperti ini ditemukan dan dialami oleh berbagai entitas. Dalam kajian Nygren terhadap komunitas lokal di Rio San Juan, salah satu “the other” yang menempatkan pengetahuan lokal bersifat distingtif adalah petugas/ agensi konservasi.50 Mereka memandang kelembagaan lokal sebagai “ignorant” dan kendala pembangunan, dipersepsi terbelakang dan terasing. Karena itu agensi konservasi berpendapat, negara dan agensi pembangunan berkewajiban untuk menolong dan membawanya menuju kebudayaan modern dan global. Prejudice tersebut menyebabkan benturan antara otoritas konservasi dengan komunitas lokal di kawasan penyangga hutan lindung. Para petugas konservasi memandang bahwa komunitas lokal hidup dalam suatu habitat tropis yang kaya, namun mereka tidak menyadari keanekaragaman hayatinya dan tidak tahu bagaimana cara memeliharanya. Agensi konservasi memandang dirinya sebagai aktor yang memiliki kapasitas untuk melakukan konservasi atas kekayaan ekologis hutan tropis. Perbedaan pengetahuan dan kelembagaan dalam merawat hutan tropis, selanjutnya dijadikan alasan untuk memperkuat hak-hak pemegang otoritas konservasi untuk mengontrol sumberdaya alam dan komunitas lokal. Mereka menganggap komunitas lokal memerlukan bimbingan dan pencerahan agar mencapai kesadaran lingkungan yang modern.51 Kalaupun terdapat penghargaan terhadap kelembagaan lokal terbatas pada upaya memperkaya diskursif bukan sebagai basis diskursif dan praksis tata kelola hutan tropis dan lingkungannya.52
49
Sillitoe, Paul, “The Development of Indigenous Knowledge: A New Applied Anthropology” Current Anthropology, Vol. 39, No. 2, 1998. 50 Nygren, 1999. “Indigenous Knowledge in Environment Development Discourse: From Dichotomies to Situated Knowledge” dalam Crtique of Antropology Vol. 19 No. 3 Th 1999 51
Pemahaman demikian dikemukakan oleh konservasionis. Sebaliknya eko-populis memandang masyarakat adat/lokal memiliki kemampuan untuk melakukan konservasi lebih baik dan pengawal kelestarian sumberdaya. Lihat Wittemer, Heidi dan Regina Bitmer, 2005. Between Conservationsm, Eco-Populisme and Developmentalism: Discurse in Biodiversity Policy in Thailand and Indonesia. CAPRI Working paper No. 37. Washington DC, International Food Policy Research Institute.
52
Eko populis memandang kelembagaan lokal sebagai gudang kesadaran refleksif, mitos- pada komunitas lokal sebagai sikap hormat terhadap alam (repect for nature), mengandung moral responsibility for nature, solidaritas kosmis, kasih sayang dan kepedulian terhadap alam, no harm,
20
Pandangan agensi kehutanan dan konservasi tentang kelembagaan lokal di Rio San Juan Brazil yang dikemukakan Nygren, ternyata terjadi dan dialami oleh komunitas sekitar hutan di Indonesia, seperti Komunitas Dayak Kanarakan di Kalimantan, komunitas Kulawi di Bolapapu, Sulawesi Tengah dan komunitas Naulu di Seram Tengah Maluku. Pandangan pemangku otoritas atau “the other” terhadap komunitas lokal yang cenderung bersifat
prejudice merupakan
”pembungkus” dalam proses ”teritorialisasi” karena sering berujung pada penguasaan sumberdaya dan peluruhan kelembagaan komunitas. Pada Komunitas Dayak Kanarakan di Kalimantan Tengah, penetrasi supra lokal melalui industrialisasi kehutanan menyebabkan anomali, degradasi
dan
bersitegangnya posisi asosiasi-asosiasi tradisional ke aras bawah komunitas, resiprositas dan kerjasama balas-membalas yang sebelumnya berskala luas bergeser ke dalam jaringan primordial.53 Pada komunitas Kulawi, penetrasi kelembagaan supra lokal telah menyebabkan terkooptasinya kelembagaan tradisional totua ngata dan mendorong terjadinya pertarungan antar kelompok sosial yakni Totua Ngata dengan Ngato Toro. 54 Pada komunitas Naulu di Seram Tengah,
kehadiran
perusahaan
kehutanan
yang
mengeksploitasi
hutan
menimbulkan kerusakan ekosistem hutan dan ketidakpastian kehidupan. Karena pengusahaan hutan yang dilakukan oleh pemilik modal di wilayah suku Naulu mengakibatkan kerusakan eksosistem hutan, hilangnya binatang buruan dan ikan di sungai, kesulitan suku Naulu mendapatkan makanan, deforestasi dan degradasi hutan.55 Kapitalisasi sumberdaya hutan yang berujung pada marginalisasi kelembagaan lokal bukan hanya terjadi pada komunitas Dayak Kanarakan, berkeadilan, demokrasi, dan integritas moral. Bryant, Raymond L., “Power, Knowlwdge and Political Ecology in the Third World: A Review,” Progress in Geography, 22 (1),p. 998. 53 Lihat Siregar, Budi Baik, 2004. “Modal Sosial Komunitas Perladangan (Kasus Komunitas Kanarakan, Kecamatan Bukit Batum Kota Palangkaraya, Propinsi Kalimantan Tengah”. Thesis, Pascasarjana IPB 54
Lihat Hunawu, Momy, 2004. “Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berkelanjutan: Terjadinya Pertarungan Pengetahuan Antar Pemimpin Lokal (Studi Kasus Kepemimpinan Lokal Pada Komunitas Kulawi di Desa Bolapapu, Sulawe Tengah”. Thesis, IPB.
55
Roy Ellen, 2002. “Pengetahuan tentang Hutan, Transformasi Hutan: Ketidakpastian Politik, Sejarah Ekologi dan Renegosiasi Terhadap Alam di Seram Tengah,” dalam Tania Murray Li (peny.), 2002. Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
21
komunitas Kulawi dan komunitas Naulu, tetapi juga dialami oleh komunitas petani hutan di hulu DAS Cidanau Kabupaten Serang. Mistifikasi pembangunan ekonomi dan menguatnya kontestasi sektoral, mengakibatkan peluruhan kelembagaan buyut, pipeling, liliuran,
tanah kajaroan dan tanah kaguronan
yang merupakan keunikan di kawasan hulu DAS Cidanau.
2.2. Kontestasi Sektoral dan Lokal Supralokal
Ostrom dan Gardner, (1994) mengklasifikasikan sumberdaya agraria atas private goods, club goods, quasi public goods dan pure public goods. Klasifikasi Ostrom dan Gardner didasarkan atas rivalitas dan excludabilitas sumberdaya dan manfaat yang dihasilkannya.56 Keempat tipe kepemilikan sumberdaya merupakan pilihan bentuk hak-hak, lazimnya disebut rejim hak milik (regimes of rights). Dari empat rejim hak milik tersebut dapat dikelompokkan atas tiga kelompok (1) rezim hak (state property), (2) rezim hak masyarakat atau komunitas (common property) (3) rezim hak individu (private property). Rejim hak merupakan alat untuk mengendalikan penggunaan sumberdaya agraria dan menentukan hubungan sosial antara kelompok.57 Rezim hak merupakan manifestasi dan representasi dari ideologi yang dianutnya: liberal, neo liberal, atau sosialis/populis. Rezim hak sumberdaya yang dikuasai negara (state property) dan dikuasai komunitas (common property) merupakan representasi dari ideologi sosialis atau populis; sedangkan rejim hak milik sumberdaya yang dikuasai individu (private property) atau swasta adalah representasi dari ideologi liberal atau neo liberal.58 56
Rivalitas sumberdaya, terjadi bila sumberdaya yang dimanfaatkan seseorang mengurangi jumlah yang tersedia bagi orang lain baik pada sumberdaya yang dikategorikan private goods maupun common pool goods. Sebaliknya bila dimanfaatkan seseorang tetapi tidak mengurangi jumlah bagi orang lain, diklasifikasikan club goods dan public goods. Excludabilitas terjadi bila pengguna sumberdaya dapat dipisahkan satu dari yang lain baik pada sumberdaya yang dikategorikan private goods maupun club goods. Sebaliknya bila penggunanya tidak dapat dipisahkan satu dari lainnya diklasifikasikan common pool goods atau public goods. Pemanfaatan sumberdaya common pool goods, public goods (hutan, sungai, pantai, laut dan padang gembala) dan open acces menimbulkan tampilnya penunggang gratis (free riders). Lihat Ostrom E, Gardner, R and Walker,J, 1994. Rules, Games and Common Pool Resources. University of Michigan Press, Ann Arbor, MI. 57
Hanna, Susan, Carl Folke, Karl, Goran Maler, 1996. Property Right and Natural Environment dalam Right to Nature: Ecological, Economic, Cultural and Political Principles of Institutions for Environment, Stockholm (Sweden): Island Press.
58
Jones (1999) mengidentifikasi lima perspektif atau ideologi tata kelola sumberdaya: yaitu (1) Neo-Malthusian, (2) Paternalis/Technocratik, (3) Populis, (4) Neo Marxis/Dependensi, (5) Neo
22
Antara kedua rezim hak terdapat perbedaan krusial dan memiliki implikasi yang luas terhadap pola penguasaan dan akses masyarakat terhadap sumberdaya. Perbedaan kedua rezim hak mencakup: derajat kesetaraan, institusi pengendali, pelaku produksi, moral justification, tujuan/orientasi ekonomi, pola hubungan, peluang terjadi kemiskinan, ketimpangan dan kerusakan alam. Dalam negara yang menganut rezim hak sosialis, negara memonopoli penguasaan
dan
pengaturan
sumberdaya.
Pendiri
republik
merumuskan
sumberdaya agraria “dikuasai negara” untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Rumusan ini didasarkan pemahaman historis dan sosiologis pengelolaan sumberdaya oleh berbagai komunitas di wilayah nusantara dan suasana kebatinan penyelenggaraan pemerintahan yang akan mereka laksanakan. Pendiri republik memahami bahwa pengelolaan sumberdaya agraria oleh negara dan masyarakat, tujuan akhirnya sama, yakni terwujudnya kesejahteraan rakyat. Rumusan itu didukung oleh suasana kebatinan dan pemahaman ideal tentang kinerja birokrasi yang efisien seperti dikemukakan oleh Max Weber.59 Negara merupakan instrumen, fasilitator, regulator dan mediator yang netral, berdiri di atas berbagai kepentingan golongan, partai dan kelompok dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Pemahaman atas kondisi sosiologis historis bangsa dan birokrasi yang ideal dari pendiri republik itu, dalam empat dekade terakhir mengalami deviasi, kontradiktif dan bahkan kontraprodukitf. Deviasi dari semangat pendiri republik, paling tidak dapat diidentifikasi dalam dua hal. Pertama arah kebijakan dan politik agraria berorientasi kapitalis, kedua pendekatan yang digunakan dalam tata kelola sumberdaya bersifat sektoral. Amanat konstitusi yang menyatakan pengelolaan tanah dan air untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat
dan semangat
Liberal. Kelima persepektif menjadi bahan perdebatan yang signifikan karena sebagian besar sumberdaya di berbagai belahan dunia kondisinya semakin kritis. Lihat Jones, S. 1999. From Meta Narratives to Flexible Framwork: An Actor Analysis of Land Degradtionin Higland Tanzania. P. 211-219. Global Environmental Vol 9. 59 Weber memandang birokrasi sebagai organisasi yang tepat dan ideal untuk masyarakat modern. Ciri-ciri birokrasi ideal yang dikemukakan Weber adalah: (1) struktur hirarkis dan pendelegasian wewenang dari atas ke bawah dalam organisasi (2) posisi-posisi/jabatan masing-masing memiliki tugas dan tanggungjawab yang tegas (3) aturan, standar formal yang mengatur bekerjanya organisasi dan tingkah laku para anggota, (4) personil yang secara teknis memenuhi syarat yang dipekerjakan atas dasar karir dan promosi berdasarkan kualifikasi kinerja. Lihat Weber, 1968. Economy and Society on Outline of Interpretative Sociology. New York, Bedminster Press.
23
“populisme” yang terkandung dalam Undang–Undang Pokok Agraria, dewasa ini menjadi “vehicle to get power” dari penyelenggara negara dan kelompok kecil pengusaha. Sementara itu pendekatan dan kelembagaan tata kelola sumberdaya bersifat sektoral, tidak sineregis dan tidak terkoordinasi secara baik. Arah orientasi politik sumberdaya agraria kapitalis dan sektoral, tercermin dalam sejumlah peraturan perundangan dan praktik penyelengaraan pemerintahan rezim Orde Baru dan rezim penggantinya.60 Berbagai regulasi kebijakan pengelolaan dan pemanfataan sumberdaya cenderung memfasilitasi dan membuka akses kepada pemilik modal untuk menguasai sumberdaya melalui “mekanisme pasar”: supply and demand. Dalam kondisi penyelenggaraan negara bersifat transaksional,
maka mekanisme pasar dan menguatnya kontestasi sektoral
pengelolaan sumberdaya agraria berpotensi menyuburkan pelaku usaha oportunis. Pemilik modal, pengusaha yang memiliki jaringan pertemanan dan akses terhadap kekuasaan,
berpeluang
pertambangan)
secara
memonopoli berlebihan,
sumberdaya
menimbulkan
agraria
(hutan
ketimpangan
dan
struktural
penguasaan/pemilikan sumberdaya. Sejumlah kecil pelaku usaha yang memiliki akses terhadap kekuasaan, menguasai sumberdaya hutan yang berlimpah untuk mengakumulasi modalnya, sementara sebagian besar masyarakat yang hidupnya tergantung pada sumberdaya hutan, berkeluh keringat dan mencucurkan darah memperebutkan setapak tanah untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya.
2.2.1. Kontestasi Sektoral Kerangka politik pengelolaan sumberdaya agraria, idealnya berlandaskan karakteristik sumberdaya dan landasan konstitusional. Pengelolaan sumberdaya secara sektoral apalagi diserahkan pada mekanisme pasar, selain bertentangan dengan landasan konstitusi, juga kontradiktif dan kontraproduktif dengan sifat dari sumberdaya itu sendiri. Sifat sumberdaya agraria dapat dibedakan sebagai
60
Di era reformasi lahir TAP MPR No.IX/2001 tentang Pembahruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, tapi perundang-undangan sesudahnya berpihak dan melayani kepentingan pasar nasional dan global daripada kesejahteraan rakyat. Misalnya UU No. 7/2004 Tentang Sumber Daya Air; Perpu No.1/ 2004 tentang Perubahan Undang-Undang No. 41/1999 tentang Kehutanan; UU No.25/2007 tentang Penanaman Modal, UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan UU No. 4/2009 tentang Pertambangan dan Mineral.
24
sistem daya dukung kehidupan, stock atau modal alam dan sebagai komoditi ekonomi.61 Sumberdaya alam dalam bentuk stock menghasilkan sejumlah kegunaan yang dapat dirasa dan dilihat, seperti menyimpan air dan mencegah banjir di musim hujan, mengendalikan kekeringan di musim kemarau, menyerap CO2 di udara, mempertahankan kesuburan tanah, mengurai berbagai bahan beracun, dan sebagai sumber pengetahuan serta hubungan sosial dan budaya komunitas. Fungsi sumberdaya alam dalam bentuk stock merupakan barang publik, sehingga tidak dapat dimiliki secara perorangan, meskipun setiap orang memerlukannya. Sebagai komoditi, sumberdaya dapat dimanfaatkan untuk mendukung kehidupan manusia, sepanjang pemanfaatannya memperhatikan daya dukung alamiahnya. Kedua fungsi sumberdaya tersebut saling terkait erat dan tak dapat dibagi-bagikan, berdasarkan wilayah administrasi kekuasaan/pemerintahan. Sumberdaya sebagai sistem daya dukung kehidupan misalnya bentang alam DAS, pengelolaannya tidak dapat disekat berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan. Menurut Hariadi, (2006) upaya melestarikan kedua fungsi sumberdaya ditentukan oleh kelembagaan tata kelola dan sifat sumberdaya, karena sumberdaya mempunyai keterbatasan daya dukung untuk menghasilkan komoditi dan fungsinya secara berkelanjutan. Setiap jenis komoditi yang diambil dari sumberdaya berupa stock, akan mempengaruhi produktifitas jenis komoditi lain dan fungsi sumberdaya alam secara keseluruhan, seperti ketersediaan air dalam DAS atau bioregion lainnya. Karakteristik DAS, seharusnya menjadi dasar perumusan pembuatan undang-undang, peraturan pemerintah dan peraturan daerah, yang menjamin keberlanjutan sumberdaya dan sekaligus memberi kesempatan kepada masyarakat terlibat. Kondisi ini tidak dipahami sepenuhnya oleh pembuat kebijakan. Regulasi yang dirumuskan oleh pemangku otoritas lebih mengutamakan kepentingan fungsi sumberdaya sebagai komoditi dari fungsinya sebagai daya dukung kehidupan. Arus utama pengelolaan sumberdaya yang berorientasi pada produksi komoditi 61
Klasifikasi sumberdaya sebagai stock atau modal alam (hutan dan daerah aliran sungai) dan sebagai aset ekonomi atau barang/komoditi (tanah dan barang yang ada di bawah dan di atas tanah), Lihat Hariadi Kartodiharjo dan Hira Jhamtani, 2006. Politik Lingkungan dan Kekuasaan Di Indonesia. Jakarta: Equinox Publisihing, p.55-56.
25
dan pertumbuhan ekonomi, mendorong komoditifikasi sumberdaya
dan
pengelolaan sumberdaya secara transaksional dalam rangka memburu rente ekonomi dan vehicle to get power” penyelenggara negara dan kelompok kecil pengusaha. Pendekatan tata kelola sumberdaya secara demikian mengakibatkan berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan pendukungnya yang mengatur tata kelola sumberdaya, cenderung kontradiktif dan kontraproduktif dari upaya mewujudkan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Gambaran kontradiktif dan kontraproduktif dari sejumlah peraturan perundang-undangan tersebut disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Pengelolaan SDA Menurut 5 UU dan Potensi Masalahnya Undang Undang No.41/’99 Kehutanan
No. 7/’04 SD Air
No. 31/’04 Perikanan
No.5/1990 Konserv. SDA Hayati dan Ekosistem No 22/’01 Minyak dan Gas Bumi
Pengaturan dan Usaha Lingkup Tata Kelola Sumberdaya Lingkup Pemanfaatan Lingkup Organisasi Perencanaan Obyek/ Tata Kelola SDA Pengelola Komoditi dan Izin DAS,Hutan Balai dan Pembentukan Kayu, Non Izin Usaha Kayu&jasa Pemanfaatan &Hsl Hutan Pengelola Wilayah Wilayah Pengelolaan Lingkungan Pemungutan dan & Izin Pengelolaan Hutan & Akti Hutan vitas Pengelo Pinjam Pakai laan Penggunaan Wil. SuDewan SDA Pola Pengelo- Air peran serta, ngai (Dpt Air (Nas, laan wil. supengemb, izin Lebih dr 1 Prov dan ngai, Pengelo laan SD air pengusahaan Kab./ Kota DAS& &pendayagu sda air Cekungan anaan sda Air Air Tanah Perairan Pengawas Renc.Pengel. Ikan Izin PenangZEE danau Perikanan Perikanan, Po kapan Ikan & Waduk su tensi&Alokasi Izin Kapl ngai Rawa SDA ikan & Pengangkut dan Ikan Jum Tangkp ikan &alat tangkap
Potensi Masalah & Dampaknya
Wil. Sbg sistem per lindungan penyangga kehidupan Minyak dan Gas Bumi sbg komoditi
Tidak Menetapkan perizinan
Konservasi mengabaikan komunitas lokal
Hulu: Kontrak Kerjasama, Hi lir: Perizinan
Wil. kerja hulu hilir tak terkait. Harga migas makin tinggi/ sulit dijangkau
LembagaLembaga Pengelola Kawasan Konservasi Badan Pelaksana Pengatur
Pembentukan Wil. Pola dsr, Pengaturan & Pemanfaatan Konservasi Wilayah Kerja untuk Kegiattan Hulu dan Hilir
Kondisi Lingkungan, Tumbuhan dan Satwa Liar Minyak dan Gas Bumi
Izin dikeluarkan meski perencanaan tidak dilaksanakan. (Secara nasional mengukuhkan hutn < 10% kwasan hutn Izin dpt dikeluarkan meski belum ada perencanaan. Degradasi dan komersialisasi air Tak disebutkan dgn jelas, Izin dpt diberikan tanpa diketa tahui daya dukung sda perikannan. Eks ploitasi & konflik
Dari Tabel 1 diketahui bahwa undang-undang sektoral (pertambangan, kehutanan, perikanan, minyak dan energi) satu sama lainnya tumpang tindih, tidak adanya kordinasi antar sektor dan menimbulkan sejumlah masalah dalam hal perizinan, pemanfaatan, pengelolaan dan kelembagaannya. Arus utama dari
26
regulasi dan tata kelola sumberdaya diarah orientasikan untuk menyokong pertumbuhan ekonomi dan menempatkannya sebagai komoditas semata-mata. Arus utama dan pendekatan tata kelola sumberdaya secara demikian berimplikasi cukup kompleks terhadap keberlanjutan sumberdaya maupun keberadaan komunitas di sekitarnya. Dari
penelaahan
terhadap
lima
peraturan
perundangan
di
atas
diidentifikasi sejumlah implikasi negatif sebagai berikut: 1. Mendorong perubahan fungsi bentang alam yang luas untuk perkebunan, pertambangan dan infrastruktur (jalan, bendungan), properti, pemukiman dan kawasan industri. 2. Konsentrasi peruntukan lahan untuk sektor-sektor yang diunggulkan demi mengejar target, meskipun yang menikmati dari pencapaian target segelintir orang pemilik modal yang melakukan negoisasi secara transaksional. 3. Menyingkirkan kebutuhan lain seperti keberlanjutan tata air permukaan dan bawah permukaan, keberlanjutan lahan untuk penyediaan pangan, serta ketersediaan kawasan pemukiman yang sehat bagi warga miskin. 4.
Peluruhan kelembagaan dan alienasi komunitas di wilayah yang menjadi kawasan sektor-sektor unggulan.
5. Kelima meluasnya pengungsi ekologik di perkotaan dengan fasilitas pendukung terbatas yang menimbulkan pertumbuhan kriminalitas, sektor informal, kantung-kantung permukiman kumuh. Kelima aspek tersebut menunjukkan bahwa kontestasi sektoral yang menempatkan sektor tertentu sebagai sektor unggulan sulit untuk menselaraskan pertumbuhan ekonomi dengan upaya mempertahankan ekosistem bentang alam dan perbaikan kesejahteraan masyarakat. Menguatnya kontestasi dan ego sektoral menyebabkan program pembangunan yang melibatkan berbagai sektor tidak mencapai sasaran yang diharapkan. Misalnya program agropolitan yang dilakukan Kementerian Pertanian dan Pekerjaan Umum. Kontestasi sektoral mengakibatkan konversi lahan pertanian untuk kepentingan bukan pertanian (pemukiman, perkantoran, wisata, restoran, hotel dan jalan tol) baik di Jawa maupun di luar Jawa
terus berlanjut dan sulit dikendalikan. Dampak dari tak terkendalinya
konversi lahan pertanian untuk kepentingan bukan pertanian mengakibatkan
27
semakin sulitnya mencapai swa-sembada pangan dan tergusurnya petani dari kawasan pertanian. Dalam
bidang
pertambangan
dan
energi,
kontestasi
sektoral
menyebabkan rusaknya ekosistem hutan lindung sebagai akibat ekploitasi pertambangan. Di sisi lain swa sembada energi semakin sulit dicapai dan harga semakin tidak terjangkau oleh masyarakat lapisan bawah di pedesaan. Hal ini disebabkan masing-masing instansi sektoral lebih mengutamakan pencapaian program, produktivitas dan target sektoral, sementara aspek perlindungan dan pelayanan publik cenderung diabaikan. Kondisi ini terjadi pada berbagai jenjang kelembagaan pemerintahan (kementriaan,
provinsi dan
Kabupaten/Kota).
Otonomi daerah yang bertumpu pada pemerintah Kabupaten/Kota, bukan hanya tidak mampu meredam ego sektoral, tetapi menumbuh-suburkan ego kedaerahan. Ego kedaerahan tersebut ditunjukkan oleh perilaku dan tindakan Kepala Daerah sebagai ”raja lokal”. Menguat ego kedaerahan mengakibatkan semakin sulitnya koordinasi dan sinkroniasasi pembangunan antar daerah,
termasuk antar
pemerintah kabupaten/kota yang berada di satu kawasan/ bentang DAS.
2.2.2. Kontestasi Lokal Supralokal Visi dan misi pengelolaan sumberdaya yang dirumuskan oleh pendiri republik untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat mengambarkan pemikiran politik agraria populis. Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya secara populis diarahkan untuk mencapai keselarasan, ketentraman, terjaganya keberlanjutan dan keseimbangan ekosistem. Politik agraria populis sangat kecil peluang terjadinya ketimpangan dan kemiskinan dalam masyarakat, karena aktivitas tata kelola sumberdaya diarahkan untuk kepentingan bersama dari pada kepentingan/ keuntungan individual.62 Tata kelola sumberdaya populis didukung oleh pengetahuan dan kearifan lokal yang bersifat “mutable immobiles” (pengetahuan yang relatif lunak dan selalu selaras dengan lingkungan lokal). Partisipan yang terlibat dalam tradisi dan praktik tata kelola sumberdaya agraria berbasis komunitas memiliki pengalaman 62
Dewalt, Billie R. 1994. Using Indigenous Knowledge to Improve Agriculture and Natural Resource Management. Human Organization, Vol. 53, No. 2.
28
yang melimpah tentang ekologi lokal dan kaya dengan detail-detail teknis pada ruang spasial komunitas menjalin interrelasinya. Sehingga komunitas yang terlibat dalam tata kelola sumberdaya agraria berbasis kearifan lokal memiliki kesadaran yang tinggi tentang keterkaitan ekologis antara manusia, fauna, flora dan tanah. Atas dasar itu tata kelola sumberdaya agraria populis dinilai sebagai kelembagaan yang efektif dan berkelanjutan.63 Karena praktik tata kelolanya bersumber dari trust, menyediakan akses dan partisipasi komunitas lebih besar daripada kelembagaan formal (state and private property). Meski tata kelola sumberdaya agraria berbasis kelembagaan lokal lebih menjanjikan keberlanjutan sumberdaya dan berkeadilan, sejauh ini tidak menjadi pilihan politik dan strategi pembangunan sumberdaya agraria di Indonesia. Sebaliknya rezim hak sumberdaya di Indonesia mengalami transformasi dari indigenous property dan common property ke state dan private/business property. Proses transformasinya berjalan seiring dengan proses transformasi politik dari sistem politik tradisional menuju sistem politik demokrasi modern. Penguasaan sumberdaya agraria oleh negara dan swasta dianggap sebagai syarat menuju masa depan negara yang lebih modern dan demokratis. Pengarusutamaan state property dan private/business property menyebabkan eksistensi dan posisi tata kelola berbasis kelembagaan komunitas ditentukan oleh pemegang kekuasaan dan pemilik modal.64 Sejak rezim Orde Baru berkuasa, hegemoni dan dominasi state dan private/business property mengalami transformasi menjadi kapitalis dan perjalanan politik agraria Orde Baru merupakan panggung kapitalis. Orientasi politik agraria kapitalis, terlihat dari sejumlah kebijakan dan regulasi yang membuka pintu masuknya penanaman modal di Indonesia, baik PMDN maupun PMA. Melalui UU PMDN dan PMA, pemerintah memberikan konsesi pada pemilik modal untuk menguasai sumberdaya hutan dalam skala besar seperti 63
Efektivitas dan keberlanjutan kelembagaan (intitutional sustainability) dapat dinilai berdasarkan faktor partisipasi, keragaman, kompleksitas dan derajat kemerosotan kelembagaannya. Modal sosial, kondisi aktor, ekologi dan struktur otoritas, merupakan variabel yang mempengaruhi dinamika kelembagaan komunitas. Lihat Brinkerhoff, Derick W, and Arthur A. Goldsmith, 1992. “Promoting the Sustainability of Development Institutions: A Framework for Strategy”, World Development, Vol. 20.
64 Escobar (1999), mencatat relasi kekuasaan (power relations) tata kelola berbasis kelembagaan lokal sering tidak seimbang, sehingga sering dimanfaatkan menjadi obyek kepentingan sosial dan ekonomi supra lokal dan global. Escobar, Arturo, 1999. “After Nature: Steps to an Anti essentialist Political Ecology” in Current Anthropology Volume 40 Number 1 Februari 1999.
29
HPH, HTI, hak kuasa pertambangan. Dalam era reformasi dewasa ini, penguasaan sumberdaya
dalam skala besar ditunjukkan oleh pencanangan Merauke
Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Papua. Pencanangan (MIFEE) yang mengintegrasikan produktivitas makanan dan energi dalam skala besar di Papua mengingatkan kita pada program pembukaan sawah satu juta hektar di lahan gambut di Kalimantan pada masa Orde Baru yang gagal. Pencanangan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), menunjukkan bahwa setelah reformasi, politik agraria berpihak kepada yang besar dan pro bisnis terus menguat, dengan berbagai dalih (dalam rangka memacu pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah). Di era reformasi, proses liberalisasi dan komodifikasi, tidak terbatas pada sumberdaya agraria tetapi juga menyentuh pada bidang usaha untuk kepentingan publik, seperti privatisasi BULOG di bidang pangan, privatisasi PT. Krakatau Steel di industri strategis, privatisasi Indosat di bidang telekomunikasi dan privatiasi Garuda di bidang transportasi. Privatisasi pada dasarnya merupakan ”amputasi” peran dan fungsi negara untuk kepentingan publik atau hajat orang banyak, seperti terlihat dari amputasi peran dan fungsi BULOG sebagai stabilator harga dan ”penyangga” kebutuhan pokok masyarakat. Program privatisasi BUMN, seperti Bulog, Krakatau Steel, Indosat dan
Garuda merupakan langkah untuk
memuluskan jalan masuknya pemilik modal dan perusahaan transnasional untuk menguasai pelayanan publik dan industri-industri strategis di Indonesia. Selain privatisasi bidang publik, sepak terjang politik agraria kapitalis di era reformasi, dapat disimak dari Undang-Undang No. 41/1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang No. 7/2004 tentang Sumberdaya Air dan UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Semangat yang terkandung dalam undang-undang tersebut menempatkan sumberdaya agraria sebagai komoditi. Komoditifikasi sumberdaya agraria tercermin dari fasilitasi dan kemudahan yang diberikan kepada pemilik modal, baik domestik maupun asing melalui pemberian konsesi hutan dan hak kuasa pertambangan dan program privatisasi yang berlangsung secara masif dan kolosal di berbagai wilayah Indonesia. Sepanjang fasilitasi itu diberikan secara adil dan transparan serta ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat merupakan tugas pemerintah.
30
Masalahnya berbagai program fasilitasi pemerintah kepada dunia bisnis dan pemilik modal, tidak berkoeksistensi dengan kegiatan ekonomi masyarakat, sebaliknya cenderung menegasikan aktivitas ekonomi komunitas. Sehingga kebijakan
konsesi
dan
transformasi
penguasaan
sumberdaya
dari
indigenous/common property ke business property, menjadi presenden buruk, mengancam
keberlanjutan
sumberdaya
dan
menurunnya
kesejahteraan
masyarakat. Argumentasi bahwa transformasi penguasaan sumberdaya dari indigenous/ common property ke state dan private property sebagai upaya meminimalkan free rider
dalam kenyataan empirik yang terjadi sebaliknya. Transformasi hak
kepemilikan menyebabkan meningkatnya biaya transaksi65
dan menambah
semaraknya semangat memburu rente ekonomi, merebaknya konflik agraria,66 dan semakin termarginalkannya kehidupan komunitas di sekitar pertambangan, perkebunan dan kawasan HTI dan HPH. Pemasukan pajak dan retribusi yang diperoleh pemerintah dari pemberian konsensi kepada pemilik modal tidak sebanding dengan kerusakan dan degradasi ekosistem hutan dan marginalisasi komunitas. Dari segi ini dapat dikatakan pemerintah sebagai regulator, tidak mampu membuat regulasi dan membangun kelembagaan politik tata kelola sumberdaya yang adil untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Negara sebagai protektor, tidak mampu melindungi sumberdaya ke arah terjadinya Drama of The Commons67 yang berpotensi dan mengarah pada ”Indonesia Sebentar Lagi.” 65
Biaya transaksi adalah dana yang dikeluarkan untuk mendapatkan informasi tentang barang, biaya koordinasi, pembuatan dan evaluasi kebijakan, biaya pembuatan dan pengawasan kontrak yang dilakukan para pihak yang terlibat. Kinerja kelembagaan yang buruk diukur oleh biaya transaksi yang tinggi, ketimpangan informasi dan meluasnya sikap oportunis dan free rider. Menurut Poffenberger, kerangka kebijakan regulasi yang didesain pemerintah dalam tata kelola sumberdaya agraria cenderung tidak mempertimbangkan kendala biaya transaksi. Lihat, Pofenberger, Mark, 1990. “The Evolulution of Forest Management System in Southeast Asia” in M. Poffenberger, (ed), Keeper of The Forest: Land Management Alternatives in Southeast Asia. Connecticut: Kumarian Press. 66
Merujuk pada Wiradi (2002) konflik agraria di sekitar hutan disebabkan oleh (1) ketimpangan akses dan pengusaaan sumberdaya hutan, (2) ketimpangan peruntukan tanah dan (3) ketimpangan persepsi dan konsepsi mengenai agraria. Wiradi, Gunawan, 2000. Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir. Yogyakarta: Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar.
67
Laju kerusakan hutan Indonesia, 6 kali lapangan sepak bola per menit. Dari 673 bencana (banjir, longsor dan kebakaran hutan) > 65% karena kesalahan kebijakan. Dari total kayu ditebang, 73% diantaranya illegal dengan kerugian 30 triliun rupiah/tahun dgn total kayu tercuri 70 juta m3/tahun.
31
2.3. Politik Agraria dan Peluruhan Kelembagaan Lokal Soetiknyo (1990) merumuskan politik agraria sebagai bidang kebijakan yang berfokus pada tiga hal: (1) hubungan antara manusia dengan tanah, (2) manusia dari sudut politik, sosial, ekonomis, kulural dan mental, (3) alam dan khususnya tanah. 68 Rumusan politik agraria yang dikemukakan Soektinyo oleh Wiradi disebut sebagai strategi agraria, yakni suatu pendekatan dan pemahaman berkaitan dengan penguasaan tanah, tenaga kerja, dan pengambilan keputusan mengenai produksi, akumulasi dan investasi.69 Arah dan pelaksanaan politik agraria di Indonesia dapat dianalisis dari pandangan Habermas tentang dua dimensi tindakan manusia, yaitu tindakan teknis/kerja (terhadap obyek) dan tindakan komunikasi (tindakan sosial terhadap subyek berdasarkan norma sosial).70 Tindakan teknis atau hubungan subyek agraria dengan agraria cenderung searah, karena tindakan di dunia kerja merupakan tindakan instrumental dan produktif, sedangkan tindakan komunikasi untuk mencapai pemahaman dan saling memahami. Tindakan teknis untuk memecahkan masalah ekonomi sedangkan tindakan komunikasi menjaga pranata ssial.71
Perkiraan lain menyebutkan US$ 4 milyar/tahun. Dari 129 perusahaan kehutanan dengan total hutang mencapai Rp 21,9 trilyun, 12 trilyun milik perusahaan pengolahan kayu tanpa HPH. Nilai ekspor kehutanan tahun 2007 sekitar 1,25 juta dolar pertahun lebih rendah dari pemasukan negara dari TKI yang mencapai 12 juta dollar/tahun. Luas kawasan yang masih tertutup pepohonan di Jawa hanya 4 persen berfungsi sebagai wilayah tangkapan air pada daerah aliran sungai (DAS). Sekitar 65 % (125 juta jiwa) penduduk Indonesia menetap di Pulau Jawa yang potensi airnya 4,5% dari total potensi air di Indonesia. Lihat Chalid Muhammad, “Indonesia Sebentar Lagi” Makalah Seminar, diselenggarakan oleh Forum Wacana Pascasarjana, IPB, 8 September 2007. 68
Ilmu politik agraria adalah bidang ilmu yang mengkaji tentang hubungan dengan tanah beserta segala persoalan dan lembaga-lembaga masyarakat yang timbul karenanya yang bersifat politis, ekonomi, sosial dan budaya. Iman Soetiknyo, 1990. Politik Agraria Nasional: Hubungan Manusia Dengan Tanah yang Berdasarkan Pancasila. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
69 Gunawan Wiradi, 1991. “Reforma Agraria: Masalah dan Relevansinya dengan Pembangunan Jangka Panjang: Suatu Pandangan ke Depan.” Sekretariat Bina Desa, 1991. 70
Konsep kerja (arbeit) Habermas merupakan kritik terhadap Karl Marx, karena merombak struktur dengan revolusi/jalan sosialis terbukti gagal dan tidak relevan dengan late capitalis. Habermas memandang perlu merubah paradigma emansipasi revolusioner berdasar paradigma kerja dengan paradigma komunikasi untuk mencapai konsensus. Habermas, J. 1990. Ilmu dan Teknologi Sebagai Ideologi. Jakarta: LP3ES, Hardiman F.B. 1990. Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan. Yogyakarta: Kanisius.
71
Dalam karyanya yang berjudul “The Communicative Action”, Habermas menyebut adanya empat tuntutan (klaim) yang harus dipenuhi dalam komunikasi, yaitu: (1) Klaim kebenaran (truth),
32
Merujuk pada pendapat Habermas, maka tindakan manusia dalam keagrariaan juga mengandung dimensi kerja dan interaksi/komunikasi. Dengan berfikir deduktif dirumuskan semacam proposisi. (1) Setiap subyek agraria (masyarakat, pemerintah dan swasta) saling berinteraksi dalam rangka penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria. (2)
Subjek agraria (masyarakat, pemerintah dan swasta) memiliki hubungan teknis dengan objek agraria dalam bentuk pemanfaatan dan penguasaan objek agraria untuk memenuhi kepentingan ekonomi dan sosial. Berbeda dengan tindakan teknis yang dilakukan subyek agraria bersifat
searah, maka tindakan komunikasi bersifat dua arah, saling mempengaruhi. Landasan terjadinya interaksi antar subyek agraria, karena masing-masing subyek mempunyai hak keagrariaan. Hak penguasaan dan pemilikan agraria oleh subyek agraria, lazimnya beragam sesuai dengan ruang spasial dan budayanya.
72
Hubungan sosial antar subyek agraria menghasilkan suatu tatanan sosial yang disebut struktur sosial agraria. Proses interaksi antar subyek agraria yang memiliki kesamaan cara kerja dalam satu kawasan mendorong terbentuknya komunitas. Sebaliknya proses interaksi antar subyek agraria yang berbeda cara kerjanya berpotensi menimbulkan konflik. Konflik terjadi jika cara kerja suatu subyek agraria berakibat buruk terhadap sumberdaya dan ekologi subyek agraria lain tanpa ada suatu konpensasi. Seperti masuknya pemilik modal yang difasilitasi pemerintah melalui HPH dan HTI yang mengeksploitasi sumberdaya hutan yang berakibat rusaknya ekosistem hutan dan merugikan komunitas sekitar hutan/komunitas adat. Ekploitasi hutan oleh pemegang HPH dan HTI bukan hanya mengakibatkan rusaknya sumberdaya
(2) Klaim ketepatan (rightness), (3) Klaim kejujuran (sincerity), (4) Klaim komprehensibilitas. Lihat Habermas, J. 1990. Ilmu dan Teknologi Sebagai Ideologi. Jakarta: LP3ES. 72
Sistem pemilikan tanah dalam masyarakat pedesaan/sekitar hutan didasarkan atas okupasi (natural acquisition) yang disebut John Locke, teori kerja. Hubungan agraria berawal dan diperoleh dengan cara membuka hutan. Makin intens hubungannya dengan tanah makin kukuh penguasaan dan pemilikan atas tanah. Penguasaan tanah de facto kemudian melahirkan hak tenurial dan hak teritorialitas karena pemiliknya melakukan perubahan jenis tutupan vegetasi, investasi tenaga, modal dan kontrol terhadap tanah. Locke John, 1988. Two Treatises of Government. Cambridge: Cambridge University Press.
33
hutan dan ekosistem hulu DAS, tetapi juga menimbulkan konflik agraria dan peluruhan komunitas lokal/sekitar hutan.73 Hubungan teknis antar subjek agraria (masyarakat, pemerintah dan swasta) dapat bervariasi, apakah ekstraktif, konservatif atau eksploitatif, tergantung pada ideologi, teknologi dan rezim hak.74 Basis ideologi kapitalis, sosialis dan populis,75 menentukan bentuk tata kelola sumberdaya agraria. Menurut ideologi kapitalis, sarana produksi utama (tanah) dikuasai oleh individu-individu non penggarap. Penggarap yang mengolah tanah adalah pekerja upahan atau “bebas”, diupah oleh pemilik tanah. Hubungan antara penguasaan/pemilikan tanah dan pekerjaan terpisah. Penggarap menjual tenaga yang dibeli dengan upah oleh pemilik tanah. Kedudukan tenaga kerja dalam sistem kapitalis sebagai komoditi dan tanggungjawab produksi, akumulasi dan investasi sepenuhnya di tangan pemilik tanah. Dalam sistem politik agraria sosialis, tanah dan sarana produksi dikuasi oleh negara (melalui serikat pekerja). Tenaga kerja memperoleh imbalan dari hasil kerjanya. Tanggung jawab produksi, akumulasi dan investasi berada di tangan organisasi pekerja yang dikuasai negara. Dalam politik agraria neo/populis, satuan usaha adalah usaha keluarga. Penguasaan tanah dan sarana produksi tersebar pada mayoritas
keluarga tani. Tenaga kerjanya adalah tenaga kerja keluarga dan
produksi secara keseluruhan merupakan pekerjaan keluarga tani walaupun tanggungjawab atas akumulasi diatur oleh negara. Berdasarkan karakteristik politik agraria di atas, maka semangat yang terkandung dalam UU No. 5 tentang Pokok Agraria 1960 bersifat populis dan
73
Wiradi, menyatakan konflik agraria disebabkan (1) terjadinya imcompatibility (ketidakserasian atau ketimpangan) dalam alokasi pengadaan tanah. Tanah-tanah pertanian tergusur sementara areal perkebunan besar justru bertambah. (2) ketimpangan yang parah dalam hal sebaran penguasaan tanah di sektor pangan. Lihat Gunawan Wiradi, 2001. ”Reforma Agraria Tuntutan Bagi Pemenuhan Hak-Hak Azasi Manusia”, dalam Jurnal Analisis Sosial, Vol. 6. No. 2 Juli 2001.
74 Rezim hak berdasarkan komunitas cenderung keberlanjutan dan rezim hak liberal/kapitalis berorientasi profit maximize, akumulasi kapital dan eksploitatif. Rezim hak merupakan mode of production yang dikemukakan oleh Karl Marx, yang menentukan cara masyarakat secara aktual berproduksi dan terlibat ke dalam hubungan kerja dan sosial satu sama lainnya. Karena mode of production merupakan unsur utama produksi/ekonomi dan menentukan sistem hubungan sosial dalam masyarakat. John,Taylor G, 1989. From Modernization to Modes of Production. London: The Macmillan Pres LTD. 75
Wiradi, Gunawan, 2000. Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir. Yogyakarta: Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar.
34
menentang politik agraria kapitalis dan sosialis. Politik agraria UU PA merupakan jalan tengah, yang mengakui hak individu atas tanah tetapi hak atas tanah tersebut memiliki fungsi sosial.76 Penentangan UU PA atas politik agraria kapitalis, didasarkan penilaian penyusun undang-undang atas watak/hukum dari ekspansi modal yang cenderung negatif terhadap kehidupan masyarakat. Watak dari modal adalah menuntut digandakan terus menerus yang disebut hukum akumulasi modal. Dalam sirkuit produksi kapitalis, pemilik modal berusaha merubah uang menjadi modal untuk memperoleh surplus dalam bentuk uang kembali yang lebih besar. Dari hasil akumulasi uang, sebagian kecil digunakan pemiliknya untuk memenuhi kebutuhan konsumif dan sebagian besar “dibunga-uangkan.” 77 Pemahaman yang mendalam atas sejarah penguasaan sumberdaya agraria oleh pemilik kapital dan perkembangan kapitalisme di Eropa pada abad ke delapan belas serta didorong semangat menjadi Bangsa Merdeka, menyebabkan spirit politik agraria Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 berorientasi populis. Spirit populis dari Presiden Soekarno
juga ditunjukkan
dalam UU 21 tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil, UU No. 21 1964 tentang Pengadilan Land Reform dan pembentukan organisasi Panitia Pelaksana Land Reform.78 Penyusunan undang-undang tersebut berkeyakinan bahwa introdusir politik agraria kapitalis dalam tatanan ekonomi bukan kapitalis mengakibatkan dekonstruksi sosial, alienasi petani dan mengakibatkan petani menjadi buruh upahan. Pergantian Orde Lama ke Orde Baru menyebabkan perubahan radikal dalam pentas politik agraria Indonesia, karena politik agraria Orde Baru merupakan anti tesa terhadap politik agraria Orde Lama. Bila politik agraria Orde
76
Prinsip yang terkandung dalam UUPA 1960 adalah nasionalitas, tanah mempunyai fungsi sosial, hak menguasai dari Negara, land reform dan perencanaan agraria. Uraian tentang UUPA 1960 lihat, A.P. Parlindungan, 1991. Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria. Bandung: Alumni.
77
Perputaran modal dapat digambarkan dalam skema: M (money) – C (Capital) – M (Money) atau C (Capital) – M (Money) C (Capital). Uraian mengenai watak kapital dan ekonomi klasik, lihat Sumitro Djojohadikusumo, 1991. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Yayasan Obor Indonesia.
78
Orientasi politik agraria populis Orde Lama ditunjukkan dengan pembentukan Organisasi/Panitia Pelaksana Land Reform dan Pengadilan Land Reform, yang strukturnya terbentuk dari tingkat Pusat sampai tingkat Kecamatan/Desa.
35
Lama bersifat populis maka politik agraria Orde Baru berorientasi kapitalis/liberal dan menganut kebijakan “rumah terbuka”.79 Anti tesa politik agraria Orde Baru antara lain: (1) Land reform yang sebelumnya merupakan strategi pembangunan80 dan bagian penting dari “Revolusi Indonesia” dijadikan rutinitas dan kegiatan teknis birokrasi. Rezim Orde Baru mengambangkan UU Pokok Agraria dan tidak menjadikannya sebagai induk peraturan keagrariaan, bahkan sejumlah undang-undang sektoral cenderung menegasikan semangat UU Pokok Agraria. (2) Penghapusan Pengadilan Land Reform dan organisasi Panitia Pelaksana Land Reform. Pengahapusan dua institusi itu melenyapkan legitimasi partisipasi petani dalam agraria, karena Organisasi dan Tata Kerja Penyelenggaraan Land Reform berdasarkan Kepres No. 55 tahun 1980 didominasi oleh birokrasi.81 Kepres ini merupakan bagian dari kebijakan sistemik pemerintah Orde Baru untuk memperkuat kontrol dan cengkraman birokrasi terhadap petani. Berbagai organisasi sosial dan ekonomi
yang hidup di pedesaan
sebelum Orde Baru yang merupakan underbouw dari partai politik dilarang beroperasi.82
79
Perubahan politik agraria itu digambarkan Wiradi: “dari berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan dan meletakkan masalah pembaruan agraria sebagai basis pembangunan” diubah total menjadi “bertumpu pada yang kuat (betting on the strong), mengandalkan bantuan, utang dari luar negeri dan mengundang modal asing”. Lihat Gunawan Wiradi, 2001. “Kedudukan UUPA 1960 dan Pengelolaan Sumberdaya Agraria di Tengah Kapitalisasi Negara (Politik Kebijakan Hukum Agraria Melanggengkan Ketidakadilan) dalam Jurnal Analisis Sosial Vo. 6. No.2 Juli 2001.
80
Lihat Gunawan Wiradi, “Kebijakan Agraria, Modal Besar dan Kasus-Kasus Sengketa Tanah.” Makalah pada Lokakarya Antar Wilayah Advokasi Kasus-Kasus Tanah, 1993. 81
Dalam organisasi Panitia Pelaksana Land Reform terdapat perwakilan organisasi petani, sedangkan dalam Tata Kerja Penyelenggaraan Land Reform didominasi birokrasi. Pemerintah hanya melibatkan organisai petani “boneka” pemerintah, yakni HKTI, karena sebagian besar pengurusnya berasal dari mantan atau pejabat yang tidak pernah hidup sebagai petani. Lihat Loekman Soetrisno, 1995. Menuju Masyarakat Partisipatif. Yogyakarta: Kanisius.
82
Kebijakan sistemik dilakukan dengan penyederhanaan partai politik, pemberlakuan floating mass dan peleburan berbagai organisasi sosial dan ekonomi dalam satu wadah tunggal dibawah kontrol pemerintah. Beragam koperasi di desa sebagai underbouw partai politik dihapus, kemudian disatukan dalam wadah tunggal Koperasi Unit Desa (KUD). Lihat Frans Husken dan Benjamin White, “Ekonomi Politik Pembangunan Pedesaan dan Struktur Agraria di Jawa” dalam Prisma No.4, 1989.
36
Kedua langkah itu dimaksudkan untuk menciptakan situasi yang kondusif bagi iklim investasi dan kenyamanan pemilik modal. Kebijakan bertumpu pada yang kuat (betting on the strong), merupakan ciri politik agraria kapitalis Orde Baru. Politik agraria kapitalis Orde Baru dapat diidentifikasi sebagai berikut: (1) tanah dijadikan sebagai kekayaan/milik individual (private), (2) tanah dijadikan sebagai komoditas atau perdagangan, (3) tanah ditujukan untuk kepentingan perusahaan nasional dan transnasional,83 (4) pelaku utama pengusahaan sumberdaya agraria adalah perusahaan skala besar (nasional dan transnasional), (5) peran, insiatif partisipasi dan akses masyarakat terhadap sumberdaya agraria dieliminasi dan dimarginalkan, 84 (6) kriminalisasi terhadap hak penguasaan dan pemilikan tanah berbasis komunitas dan kelembagaan lokal/adat. Sejalan dengan arus-utama politik agraria kapitalis, maka institusi agraria diarahkan untuk melayani kepentingan pemilik modal dan memfasilitasi transasksi pasar tanah.85 Karena itu politik agraria Orde Baru diawali dengan program Catur Tertib Pertanahan86 dan penyusunan berbagai regulasi yang kondusif masuknya investasi dalam pengelolaan sumberdaya agraria. Politik agraria pro pasar/bisnis yang berlangsung pada rezim Orde Baru, tidak banyak berubah secara berarti di bawah payung otonomi daerah. Dalam era otonomi daerah, kepala daerah berlomba dan merasa bangga bila berhasil mengundang pemilik modal untuk mengeksploitasi kakayaan alam yang berada di wilayah kekuasaannya. Dampak dari politik agraria pro bisnis dan investasi yang ditempuh oleh masing-masing Kepala Daerah menyebabkan laju kerusakan hutan
83
Faizi, mencatat politik agraria kapitalis Orde Baru berupa revolusi hijau, ekspolitasi hutan dan agro industri. Lihat Noer Faizi, 1991. Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia. Yogyakarta: INSIST, KPA, Pusaka Pelajar. 84
Uraian tentang politik ekonomi liberal lihat Sonny Keraf, 1996. Pasar Bebas, Keadilan dan Peran Pemerintah. Yogyakarta: Kanisius. 85
Sistem pasar identik dengan kapitalisme karena hubungannya yang integral dengan sistem hak milik pribadi dan prioritas pengejaran akumulasi laba. Pasar adalah sarana tukar menukar barang/jasa dan mekanisme untuk mengorganisir hidup bersama atas logika untung rugi. Lihat B. Herry Proyono, 2003. “Bangsa Dalam Tegangan Lokal Global” dalam Jurnal Filsafat dan Teologi, STF Driyarkara, Diskursus, Vol. 2 Oktober 2003.
86
Catur Tertib Pertanahan meliputi (1) tertib hukum pertanahan (2) tertib administrasi (3) tertib administrasi pertanahan dan (4) tertib pemeliharaan tanah dan lingkungan. Peningkatan status Dirjen Agraria menjadi Badan Pertanahan Nasional tahun 1988 melalui Kepres Presiden No. 26 tahun 1988, tidak dimaksudkan untuk penataan tanah dalam konsep land reform, melainkan untuk mengontrol dan penguasaan tanah oleh pemerintah karena meningkatnya kebutuhan akan tanah.
37
di era otonomi daerah meningkat dengan pesat, sementara tingkat kesejahteraan masyarakatnya seperti jalan di tempat, tanpa ada perbaikan. Meskipun kebijakan pro investasi dan bisnis tersebut berdalih untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dalam analisis Tjondronegro (2001), kebijakan pro bisnis yang ditempuh oleh rezim Orde Baru dan pemangku otoritas di era reformasi didorong oleh “ambisi” yang ingin cepat merubah struktur ekonomi Indonesia dari pertanian ke perdagangan dan industri (merkantilisme ke neoklasik) dengan mengabaikan pembenahan agraria, yang dasar-dasarnya sudah dirumuskan dalam UUPA.87 Implikasinya dari politik agraria kapitalis adalah meluasnya eksploitasi sumberdaya agraria, ketimpangan struktural agraria dan merebaknya konflik agraria.88 Sekelompok kecil pengusaha memiliki akses besar terhadap sumberdaya agraria (sumberdaya hutan), sementara akses masyarakat sekitar hutan dibatasi dan dirampas haknya, kearifan rokal dan tradisi resiprositasnya diluruhkan.89 Atas dasar itu tak berlebihan jika dikatakan bahwa kinerja politik agraria kapitalis, gagal menjalankan tugas konstitusional melindungi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Di bawah payung politik agraria kapitalis, penyelenggara negara tidak mampu mengayomi dan melindungi masyarakat dan sumberdayanya secara adil dan demokratis. Karena sebagian agensinya, tidak mampu berperan menjadi wasit yang adil dalam distribusi sumberdaya dan mengatasi konflik agraria. Bahkan dalam sejumlah konflik agraria, penyelenggara berperan sebagai pihak berkepentingan dan menjadi representasi kelompok kepentingan.90
87
Sediono M.P.Tjondronegoro, 2001. “Pengelolaan Sumberdaya Agraria: Kelembagaan dan Reforma Agraria” dalam Jurnal Analisis Sosial, Vol.6 No.2 Juli 2001.
88
Kondisi ini disebabkan penguasaan sumberdaya hutan dijadikan sebagai alat kekuatan ekonomi dan politik elit penguasa dan pemilik modal. Tampilnya pengusaha konglemerat bukan karena kepiawian dan enterprenershipnya tapi karena difasilitasi negara sehingga berkembang Ersaz Capitalism” (Kapitalisme Semu). Lihat Yoshihara Kunio, 1990, Kapitalisme Semu Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES, 89 90
Awang, San Afri, (2003). Politik Kehutanan Masyarakat. Kreasi Wacana, Yogyakarta.
Dalam teori negara organis (1) negara merupakan akumulasi dari kelompok eksekutif, pengusaha, militer dan politisi (representasi partai politik), (2) masyarakat bagian dari negara dan kehendak negara sebagai manifestasi dan representasi rakyat (3) posisi negara kuat dan intervensionis dalam proses politik. Menurut pandangan Marxian, negara merupakan perpanjangan tangan dari pemilik modal/kapitalis. Lihat Bryan Tunner, 2002. Orientalisme, Posmodernisme dan
38
Politik agraria kapitalis yang menjadi ciri rezim Orde Baru, tidak berubah secara berarti setelah berlangsungnya era otonomi daerah.91 Di bawah payung otonomi, praktek pengelolaan sumberdaya semakin eksploitatif dan diwarnai ego kedaerahan dalam upaya meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Pada era otonomi daerah, politik sumberdaya agraria tidak didasarkan good governance, sebaliknya cenderung mengarah ke resentralisasi di tingkat lokal, yang mengakibatkan injustice the agrarian and ecology. Pemangku otoritas di tingkat lokal, tidak hanya tidak rela berbagi otoritas dengan masyarakat, tetapi otoritasnya sedapat mungkin mendatangkan manfaat dan keuntungan ekonomi serta melestarikannya secara hegemonik. Praktik nepotis dalam rekruitmen aparat birokrasi, elitis dalam pengambilan keputusan politik dan ekonomi serta birokrasi koorporasi yang menjadi ciri rezim Orde Baru,92 pada era otonomi dewasa ini gejalanya semakin mengemuka pada sejumlah pemerintah daerah. Stabilitas politik dan rekrutmen birokrasi daerah, tidak terkonstruksi atas mekanisme demokrasi dan profesionalitas tetapi atas keseimbangan, konfigurasi, koeksistensi kekuatan partai politik. Hegemoni, penetrasi dan ekpsploitasi sumberdaya pada era sentralisasi, berulang kembali dalam era otonomi daerah. Praktik birokrasi pemerintahan pada era otonomi merujuk Evers dan Schiel (1990) merupakan perpaduan weberisasi, parkinsonisasi dan orwelisasi93. Proses Weberisasi ditandai dengan penggunaan peraturan perundangundangan dan ketentuan formal yang memfasilitasi dan akses kepada pemilik modal menguasai dan mengeksploitasi sumberdaya untuk meningkatkan Globalisasi. Jakarta: Piora Cipta. Stepan mengidentifikasi kelompok kepentingan atas aliansi tripel (elit eksekutif pemerintah, elit eksekutif perusahaan, elit militer/elit politisi). Alfred Stepan, (1979). The State and Civil Society: Peru in Coorporative Perspective. Princeton: Princeton Univertrty Press. 91
Ini terjadi karena jatuhnya Orde Baru merupakan keberhasilan para pendukung neoliberalisme daripada keberhasilan massa rakyat. Kanishka Jayasuriya,”Negara, Pembangunan dan Globalisasi: Dari Kekuasan Negara ke Kekuasaan Pasar Global”, dalam Jurnal Wacana, Edisi 5, tahun II, 2000 dan James Petras dan Veltmeyer, 2002. Imperialisme Abad 21. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
92
Ciri penting dari birokrasi korporasi adalah (1) legalistik dan mencitrakan diri sebagai benevolence (pelindung, pengayom dan pemurah hati), (2) mempersepsi rakyat tidak tahu apa-apa, belum siap dan karenanya harus setia (obidience). Pola benevolence - obidience tidak hanya berlangsung dalam hubungan kerja tetapi merembes dan meluas dalam hubungan aparat dengan masyarakat. Nasikun. “Reformasi, Jalan Berliku Menuju Transisi Demokrasi” dalam Mahfud MD. Editor: Kritik Sosial Dalam Wacana Pembangunan. Yogyakarta: UII Press.
93
Lihat Evers, Hans Dieter dan Schiel, 1990. Kelompok Strategis: Perbandingan Tentang Negara Birokrasi dan Pembentukan Kelas di Dunia Ketiga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
39
pendapatan asli daerah (PAD). Di sisi lain,
terdapat peraturan perundang-
undangan yang membatasi dan mengabaikan hak-hak sosial ekonomi komunitas. Proses weberisasi politik tata kelola sumberdaya agraria pada era otonomi daerah, selain lemah dalam kordinasi dan tidak sinergi, juga tidak berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat dan tidak memihak pada wong cilik. Proses weberisasi hanya mengukuhkan arogansi agensi pemerintah sejalan dengan semakin tambunnya kelembagaan birokrasi yang disebut Evers dan Schiel, parkinsonisasi. Pembentukan struktur baru dan peningkatan jumlah personal agensi (Kecamatan, Dinas Pertanian, Kehutanan), tidak mempermudah pelayanan dan akses komunitas pada sumberdaya agraria dan perbaikan kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya parkinsonisasi cenderung mendorong semakin intensifnya proses orwelisasi, yakni meningkatnya pengawasan dan pembatasan pemerintah daerah terhadap wong cilik untuk mengakses sumberdaya. Tetapi proses orwelisasi berlangsung secara transaksional. Proses orwelisasi dalam bentuk penegakkan hukum terhadap aktivitas illegal logging yang melibatkan oknum penguasa dan pemilik modal cenderung mandul, meskipun berakibat rusaknya ekosistem sumberdaya hutan dan mengakibatkan kritisnya kawasn hulu DAS. Lain halnya bila aktivitas illegal logging tersebut melibatkan wong cilik, aparat penegak hukum tidak segan mengkriminalkan dan melakukkan aksi polisionil. Politik agraria berciri Weberisasi, Parkinsonisasi dan Orwelisasi, merujuk pada Beck mengantarkan Indonesia berada pada risk society,
94
yakni kondisi
masyarakat yang kian dicengkram individualistik dan kekuatan pasar yang disebabkan manufactured risk (bencana akibat perbuatan dan keputusan politik yang tidak tepat). Bencana banjir, kebakaran hutan, deforestasi, ketimpangan sosial, merupakan manufactured risk yang diakibatkan keputusan politik untuk kepentingan politik berdurasi pendek dan demokrasi prosedural. Sementara substansi politik dan demokrasi untuk kesejahteraan masyarakat terabaikan. Pentas panggung politik demikian oleh Blau95 sebagai pertanda bentuk akhir dari
94
Lihat Beck, Ulrich, 2000. “Risk Society Revisited: Theory, Politics and Research Programmes” in J. Van Loon (ed). The Risk Society and Beyond Critical Issues for Social Theory. London: Sage.
95
Lihat Turner, Jonathan, 1998. The Structure of Sociological Theory. First Edition,Wadsworth Publishing Company.
40
kekuasaan, karena kekuasaan tidak menjadi solusi masalah masyarakat, tetapi menjadi sumber masalah bagi masyarakat. Kondisi inilah yang disebut oleh penulis kegagalan politik agraria sehingga politik agraria transformatif menjadi semakin penting. 2.4. Kerangka Pikir Bentuk rezim hak milik sumberdaya berkisar antara milik negara (state property), diatur bersama (common property) atau berupa hak individu (private property). Rezim hak merupakan alat kendali penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria dan relasi sosial antara kelompok masyarakat. Rezim hak sumberdaya berbasis komunitas, bersumber dari tradisi, trust, budaya dan religi. Hubungan teknis dan hubungan sosial agraria pada komunitas lebih menekankan keseimbangan dan keberlanjutan daripada keuntungan ekonomi berdurasi pendek. Hal ini berbeda dengan hubungan teknis dan hubungan sosial agraria berbasis state/business property bersifat reduksionis, utilitarian dan eksploitatif. Dalam istilah Evers dan Schiel kelembagaan agraria berbasis negara bercirikan weberisasi dan orwelsiasi dan perilaku individual aparatnya cenderung oportunis. Pada rezim hak berbasis bisnis, sumberdaya dan kelembgaannya diletakaan sebagai vehicle to get power semata-mata. Akibatnya sejarah rezim hak state/private property gagal mewujudkan tujuan konstitusional untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat.
Indikasinya adalah meluasnya konflik agraria,
terancamnya keberlanjutan sumberdaya dan luruhnya kelembagaan komunitas. Komunitas yang telah memiliki hubungan teknis dan sosial, hak sejarah dan ekonominya dimarginalkan. Kelembagaan lokal buyut,
pipeling, liliuran,
kajaroan dan kaguronan dan kearifan lokal yang kondusif untuk agroforestry berkelanjutan dimarginalkan. Dampak lebih lanjut dari marginalisasi kelembagaan lokal adalah tergerusnya kemandirian masyarakat dan hilangnya potensi masyarakat untuk membangun kelembagaan DAS partisipatif. Peluruhan kelembagaan lokal di DAS Cidanau ditandai dengan melemahnya modal sosial, resiprositas, pudarnya kearifan lokal budidaya tanaman obat-obatan dan zonasi hutan. Peluruhan
41
kelembagaan komunitas yang disebabkan oleh manufactured risk mengarah pada risk society. Risk society terjadi karena manufactured risk berlangsung secara sistematik. Pada aras sistem, diwarnai dengan weberisasi dan orwelisasi (pengawasan ketat terhadap wong cilik tetapi lembut terhadap penguasa dan pengusaha). Pada aras organisasional, ditandai dengan menguatnya ego sektoral dan kontestasi sektoral serta proses pengambilan keputusan secara hegemonik dan berdasarkan demokrasi prosedural. Pada aras individual, ditandai dengan sikap agensi yang cenderung oportunis dan menempatkan otoritasnya atas sumberdaya sebagai vehicle to get power bagi kelompok kepentingan. Dalam kawasan hulu DAS Cidanau indikasi dari risk society adalah peluruhan kelembagaan lokal, kegagalan mewujudkan politik agraria berkeadilan dan tata telola DAS secara partisipatif. Kegagalan mewujudkan politik agraria berkeadilan ditandai dengan meluasnya konflik agraria, penggusuran petani, munculnya predator agraria, kepedulian semu terhadap jasa lingkungan. Kondisi ini hanya mungkin dipecahkan dengan melakukan transformasi politik agraria kehutanan, pertanian dan pengelolaan kawasan DAS. Politik agraria transformatif diperlukan supaya sumberdaya hutan terpelihara dan terdistribusi secara adil. Sumberdaya hutan yang terkelola dengan baik yang didukung oleh kelembagaan tepat dan berkelanjutan merupakan modal ekonomi dan modal sosial dalam mengahadapi persaingan dan perubahan iklim global. Kerangka pemikiran dari penelitian ini diilustrasikan dalam Gambar 1 di bawah.
42
Rezim Hak Sumber daya Berbasis Bisnis
Rezim Hak Sumber daya Berbasis Negara
Pertukaran&Pasar
Institusi Pengendali
Dominatif dan Eksploitatif
Justifikasi Moral
Majikan Buruh
Hubungan Produksi
Rezim Hak Sumberdaya Berbasis Komunitas
Kelembagaan Komunitas Keselarasan dan Keberlanjutan Berbasis Bisnis Kekeluargaan/ Kolekktivitas
Korporasi
Agensi
Kolektif/Individu al
Kompetisi & Liberal
Pendekatan
Holistik Kontestasi Sektoral
Peluruhan Kelembagaan Lokal dan Kegagalan Politik Tata Kelola Agraria
Politik Agraria Transformatif
Gambar 1. Kerangka Pikir
2.5. Hipotesa Pengarah Hipotesa pengarah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Dinamika unsur-unsur kelembagaan lokal pada komunitas petani di hulu DAS Cidanau dipengaruhi oleh adaptabilitas, dinamika internal dan intensitas interaksinya dengan kekuataan supralokal. 2. Kontestasi sektoral dalam proses pembangunan ekonomi pedesaan dan komunitas sekitar hutan
di kawasan DAS Cidanau menimbulkan konflik
agraria dan kapitalisasi sumberdaya pedesaan. 3.
Negara sebagai regulator dan protektor yang bertugas memfasilitasi dan memberi payung hukum dalam kenyataan empirik sering tampil sebagai bagian dari kelompok kepentingan yang memiliki karakter meluruhkan kelembagaan komunitas dan terancamnya eksistensi politik agraria yang berkeadilan.