II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1
Penetapan Komoditas Unggulan Pengembangan suatu komoditas di daerah yang sesuai dengan kondisi
lahan dan berskala luas dapat meningkatkan efisiensi usaha tani, menjaga kelestarian sumberdaya lahan dan meningkatkan aktivitas perdagangan antar pulau dan daerah sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani. Agar hal ini dapat berjalan dengan baik diperlukan penetapan kawasan pengembangan dan komoditas unggulan yang didukung oleh ketersediaan data dan informasi kondisi biofisik dan sosial ekonomi petani. Konsep dan pengertian komoditas unggulan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi penawaran (supply) dan sisi permintaan (demand). Dilihat dari sisi penawaran, komoditas unggulan merupakan komoditas yang paling superior dalam pertumbuhannya pada kondisi biofisik, teknologi, dan kondisi sosial ekonomi petani di suatu wilayah tertentu. Pengertian tersebut lebih dekat dengan pengertian locational advantages. Sedangkan dilihat dari sisi permintaan, komoditas unggulan merupakan komoditas yang mempunyai permintaan yang kuat baik untuk pasar domestik maupun pasar internasional. Dengan pengertian tersebut maka komoditas unggulan bersifat dinamis baik dilihat dari sisi penawaran karena adanya perubahan teknologi maupun dilihat dari sisi permintaan karena adanya pergeseran permintaan konsumen (Syafa‟at dan Priyatno 2000). Dalam laporan akhir Kajian Peluang Perencanaan Investasi Pertanian Indonesia yang dikeluarkan oleh Departemen Pertanian bekerjasama dengan SUCOFINDO melaporkan bahwa, berdasarkan hasil survey yang dilakukan dengan melakukan diskusi dan konfirmasi dengan instansi terkait, diperoleh beberapa faktor yang dijadikan dasar dalam penentuan komoditas unggulan diantaranya adalah: (1) kesesuaian lahan, (2) historikal budaya masyarakat, (3) ketersediaan lahan pengembangan, (4) keunggulan teknis yang dimiliki oleh masing‐masing komoditas dimaksud, dan (5) belum adanya investor untuk komoditas dimaksud. Selain faktor tersebut di atas penentuan komoditas unggulan juga didasarkan pada kriteria:
8 a. Kandungan lokal yang cukup menonjol dan inovatif b. Mempunyai daya saing tinggi di pasaran baik ciri, kualitas, harga yang kompetitif, dan jangkauan pemasaran c. Mempunyai ciri khas daerah karena melibatkan masyarakat banyak (tenaga kerja setempat) d. Mempunyai jaminan kandungan bahan baku lokal yang cukup banyak, stabil dan berkelanjutan e. Difokuskan pada komoditas yang mempunyai nilai tambah tinggi baik kemasan maupun pengolahannya f.
Secara ekonomi menguntungkan dan bermanfaat untuk meningkatkan pendapatan dan kemampuan SDM, dan
g. Ramah lingkungan serta tidak merusak budaya setempat. Siahaan (2003) dalam tesisnya mengemukakan bahwa kriteria yang berpengaruh dalam penentuan produk unggulan adalah: 1. Harga, terdiri atas: a) harga bahan baku, b) harga mesin/investasi, c) harga jual 2. Perspektif pasar, terdiri atas: a) distribusi pemasaran, b) persaingan, c) mutu produk 3. Sifat bahan baku, terdiri atas: a) kontinuitas, b) dapat menjadi bahan dasar bagi banyak produk, c) tingkat teknologi olahan yang diperlukan
2.1.2
Sistem Usaha Tani Usaha tani tidak terlepas dari budaya dan sejarah. Peluang dan hambatan
ekologis dan geografis dalam zona agroekologi tercermin dalam budaya setempat. Hal ini kemudian tercermin dalam pertanian setempat yang merupakan hasil dari suatu proses interaksi antara manusia dan sumberdaya yang dimiliki. Nilai-nilai masyarakat pedesaan, pengetahuan, keterampilan, teknologi, dan institusi sangat mempengaruhi jenis budaya pertanian yang telah dan terus berkembang. Istilah „sistem pertanian‟ mengacu pada suatu susunan khusus dari kegiatan usaha tani (misalnya budidaya tanaman, peternakan, pengolahan hasil pertanian) yang dikelola berdasarkan kemampuan lingkungan fisik, biologis, dan sosioekonomis serta sesuai dengan tujuan, kemampuan, dan sumberdaya yang dimiliki petani (Shaner et al 1982 dalam Reijntjes et al. 2006).
9 Sistem usaha tani merupakan sistem yang terbuka: berbagai input (unsur hara, air, informasi, dan sebagainya) diterima dari luar, dan sebagian output meninggalkan sistemnya, misalnya dijual. Model yang sangat sederhana ditunjukkan pada Gambar 3, membantu menjelaskan konsep input dan output (Reijntjes et al. 2006). Masyarakat/Pasar
Hasil (dijual/ ditukar)
Input luar
Input alami
Konsumsi rumah tangga
Input dalam
Sumberdaya usaha tani
Kerugian
Batas sistem usaha tani
Gambar 3 Aliran barang dan jasa dalam suatu sistem usaha tani sederhana.
Konsep sistem agribisnis dewasa ini dimunculkan untuk mengubah paradigma petani bahwa petani bukanlah hanya sebagai pekerja tani atau pengusaha usahatani, tetapi harus dapat bertindak sebagai pengelola atau “manajer perusahaan agribisnis,” yang berkedudukan setara dengan perusahaan agribisnis lainnya yang berada di subsistem agribisnis hulu maupun di subsistem agribisnis hilir. Petani seharusnya senantiasa berorientasi kepada kebutuhan pasar, bersama-sama perusahaan agribisnis lainnya bersinergi untuk dapat memenuhi kebutuhan konsumen. Kebersamaan dan saling ketergantungan antar perusahaan agribisnis dalam menghasilkan produk yang berkualitas sesuai permintaan pasar itulah disebut dengan “sistem agribisnis”. Makna secara harfiah agribisnis adalah kegiatan bertani yang sudah dipandang sebagai sebuah kegiatan bisnis, tidak lagi hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup sendiri (Syahyuti 2006) Sistem agribisnis terdiri dari lima subsistem, yaitu: 1) agribisnis hulu (upstream agribusiness) berupa ragam kegiatan industri dan perdagangan sarana produksi pertanian, 2) pertanian primer atau disebut subsistem budidaya (onfarm agribusiness), 3) agribisnis hilir (down-stream agribusiness) atau subsistem
10 pengolahan, adakalanya disebut dengan agroindustri, 4) subsistem perdagangan atau tata niaga hasil, dan 5) subsistem jasa pendukung berupa kegiatan penelitian, penyediaan kredit, sistem transportasi, pendidikan dan penyuluhan, serta kebijakan makro (Syahyuti 2006). Premis dasar paradigma agribisnis adalah usaha pertanian haruslah bersifat profit oriented. Dengan demikian, pasar berperan besar dalam menentukan keberhasilan agribisnis. Berbicara tentang pasar, dalam era globalisasi dan perdagangan bebas tentunya produk yang akan dipasarkan perlu mempunyai daya saing tinggi, dan perlu mempunyai keunggulan kompetitif. Sehubungan dengan hal tersebut, konsep keunggulan kompetitif merupakan konsep
yang
menekankan
pada kedinamikaan
pelaku
ekonomi dalam
menembus pasar melalui inovasi dan pengembangan proses kreativitas lainnya. Melalui proses tersebut, hal-hal yang ketinggalan zaman harus segera diganti dengan hal-hal baru yang lebih baik, lebih murah, lebih disukai dan lebih bermanfaat (Siahaan 2003). 2.1.3
Permintaan dan Penawaran Komoditas Permintaan (demand) merupakan keinginan dan kebutuhan pembeli atau
konsumen terhadap suatu produk dalam jumlah tertentu pada berbagai tingkat selama periode tertentu. Secara spesifik, permintaan komoditas pertanian merupakan keseluruhan atau banyaknya jumlah komoditas pertanian yang dibutuhkan dan diinginkan oleh pembeli berdasarkan harga yang sudah ditentukan oleh produsen. Hukum dasar permintaan mengindikasikan bahwa bila harga suatu komoditas naik dan faktor lain tetap maka jumlah komoditas yang diminta akan berkurang, begitu juga sebaliknya. Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan komoditas pertanian dapat dirumuskan secara matematis dan sederhana sebagai berikut (Rahim dan Hastuti 2008): D = f (Px, Py, I, T, N, Q, EsP) Dimana: D Px Py I T
: Permintaan akan komoditas (produk) : Harga komoditas itu sendiri : Harga komoditas lain (substitusi dan komplementer) : Pendapatan : Selera/kebiasaan
11 N Q EsP
: Jumlah penduduk : Kualitas komoditas : Perkiraan harga di masa mendatang
Penawaran dalam pertanian merupakan banyaknya komoditas pertanian yang disediakan atau ditawarkan oleh berbagai produsen di suatu daerah. Hubungan antara harga dengan jumlah yang ditawarkan atau sering disebut hukum penawaran, menyebutkan bahwa makin tinggi harga suatu barang semakin banyak pula jumlah barang tersebut akan ditawarkan oleh produsen. Sebaliknya, makin rendah harga suatu barang semakin sedikit jumlah barang yang ditawarkan. Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
penawaran
dirumuskan
secara
matematis sebagai berikut (Rahim dan Hastuti 2008): S = f (Pi, Ppl, T, Nlp, Hpro) dimana: S Pi Ppl T Nlp Hpro 2.1.4
: Penawaran akan komoditas pertanian : Harga input : Harga komoditas lain : Teknologi : Jumlah lembaga pemasaran : Harapan produsen terhadap harga komoditas di masa datang
Zona Agroekologi (ZAE) Zona Agroekologi (ZAE) merupakan salah satu cara dalam menata
penggunaan lahan melalui pengelompokan wilayah berdasarkan kesamaan sifat dan kondisi wilayah. Pengelompokan bertujuan untuk menetapkan area pertanaman dan komoditas potensial, berskala ekonomi, dan tertata dengan baik agar diperoleh sistem usaha tani yang berkelanjutan. Komponen utama dalam penetapan ZAE adalah kondisi biofisik lahan (kelerengan, kedalaman tanah, dan elevasi), iklim (curah hujan, kelembaban, dan suhu), dan persayaratan tumbuh tanaman agar tanaman dapat tumbuh dan berproduksi dengan optimum (Syafruddin et al. 2004). Agroekologi didefinisikan sebagai penerapan konsepkonsep
dan
prinsip-prinsip
ekologi
dalam
membentuk
dan
mengatur
agroekosistem yang berkelanjutan (Gliessman 2004). Secara spesifik dikatakan bahwa agroekologi menggambarkan interaksi diantara tanaman, hewan, manusia, dan lingkungan dalam suatu sistem pertanian (Dalgaard et al. 2003).
12 Dengan demikian, dalam pengembangan pertanian diperlukan suatu strategi yang didasarkan pada kemampuan lahan (carrying capacity) suatu wilayah untuk mewujudkan pertumbuhan (growth), keseimbangan (equity), dan berkelanjutan (sustainability). Fauzi (2006) menjelaskan bahwa pengukuran carrying capacity didasarkan pada pemikiran bahwa lingkungan memiliki kapasitas maksimum untuk mendukung suatu pertumbuhan/aktifitas dan pertumbuhan yang terus menerus akan menimbulkan kompetisi terhadap ruang sampai daya dukung lingkungan tidak mampu lagi mendukung pertumbuhan. Kondisi tersebut mengharuskan adanya sistem pertanian berkelanjutan. Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) merupakan pengelolaan sumberdaya pertanian untuk memenuhi perubahan kebutuhan manusia sambil mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumberdaya alam (Reijntjes et al. 2006). Sistem pertanian berkelanjutan harus mengatur atau meningkatkan produktivitas biologis dan ekonomis. Produktivitas biologis dibutuhkan untuk pemenuhan konsumsi pangan individu dan masyarakat di sekitarnya. Sedangkan produktivitas ekonomis dibutuhkan untuk peningkatan pendapatan petani (Edwards et al. 1993). Melalui pendekatan zona agroekologi, pemanfaatan potensi lahan dapat diidentifikasi dengan cepat dan lebih tepat. Dengan dikelompokkannya variasi lahan ke dalam satuan-satuan unit lahan berdasarkan keadaan lahan, hidrologi, dan iklim, maka hasil inventarisasi sumberdaya lahan akan lebih mudah dipahami oleh pengguna. Dengan demikian, informasi ZAE juga dapat digunakan sebagai alat bantu untuk menilai sumberdaya lahan sebagai dasar untuk perencanaan penggunaan lahan, perencanaan pengembangan pertanian atau manajemen sumberdaya lahan lainnya. Penyusunan keragaan zona agroekologi mengacu pada konsep sistem pakar (Expert System), yang dikembangkan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Prinsip metode didasarkan pada pendekatan pencocokan (matching) antara karakteristik iklim dan sumberdaya lahan dengan persyaratan tumbuh tanaman. Menurut sistem pakar pembagian zonasi agroekologi dibedakan berdasarkan perbedaan rejim iklim dan relief (kisaran lereng). Rejim iklim yang digunakan ialah rejim kelembaban dan suhu (Rumayar et al. 2005).
13 2.1.5
Perencanaan Wilayah Secara historis kegagalan program-program pembangunan dalam
mencapai tujuannya seringkali bukan semata-mata kegagalan dalam program atau
pelaksanaannya,
tetapi
ada
sumbangan
“kesalahan”
karena
berkembangnya kepercayaan terhadap kebenaran teori-teori atau konsepkonsep pembangunan yang melandasinya (Rustiadi et al. 2009). Dalam bahasa sehari-hari biasa disebut dengan pergeseran paradigma atau lahirnya paradigma baru. Biasanya perubahan paradigma ini dilakukan untuk menampilkan wajah baru untuk menggantikan atau menghilangkan kesan negatif atas kekurangan yang ada di masa lampau. Paradigma baru perencanaan wilayah adalah pembangunan yang berkelanjutan (sustainability). Menurut Komisi Brundtland (Fauzi
2006)
menyatakan
bahwa,
pembangunan
berkelanjutan
adalah
pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Salah satu peran perencanaan adalah sebagai arahan bagi proses pembangunan untuk berjalan menuju tujuan yang ingin dicapai disamping sebagai tolak ukur keberhasilan proses pembangunan yang dilakukan. Definisi perencanaan adalah upaya institusi publik untuk membuat arah kebijakan pembangunan yang harus dilakukan di sebuah wilayah baik negara maupun di daerah dengan didasarkan keunggulan dan kelemahan yang dimiliki oleh wilayah tersebut (Widodo 2006). Sedangkan perencanaan wilayah menurut Tarigan (2008) adalah mengetahui dan menganalisis kondisi saat ini, meramalkan perkembangan berbagai faktor noncontrollable yang relevan, memperkirakan faktor-faktor pembatas, menetapkan tujuan dan sasaran yang diperkirakan dapat dicapai, menetapkan langkah-langkah untuk mencapai tujuan tersebut, serta menetapkan lokasi dari berbagai kegiatan yang akan dilaksanakan. Perencanaan pengembangan wilayah secara umum ditunjang oleh empat pilar pokok (Rustiadi et al. 2009), yaitu: 1) Inventarisasi, klasifikasi, dan evaluasi sumberdaya, 2) Aspek ekonomi, 3) Aspek kelembagaan (institusional), dan 4) Aspek lokasi/spasial. Sumberdaya selalu memiliki sifat langka dan nilai guna yang tidak merata. Sehingga pengalokasian sumberdaya harus dimanfaatkan secara efisien dan efektif yang diatur secara kelembagaan dengan tetap memperhatikan aspek tata ruang.
14 Perencanaan yang mempertimbangkan kondisi spatial suatu daerah akan mampu mengembangkan harmonisasi fungsi ruang secara berkelanjutan, penataan
ruang
juga
diharapkan
dapat
menjadi
landasan
koordinasi
pembangunan, yang mengedepankan kepentingan wilayah atau kawasan yang lebih luas melalui pelaksanaan prinsip-prinsip sinergi pembangunan dan pemanfaatan bersama (complementary benefit). Melalui sinergi antar wilayah, antar sektor, dan antar pelaku, nantinya diharapkan dapat memberikan hasilhasil yang efektif bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat dan lingkungannya (Riyadi dan Bratakusumah 2004). Kebijakan pembangunan selalu dihadapkan pada pilihan pendekatan pembangunan yang terbaik. Secara teoritis strategi pengembangan wilayah baru dapat digolongkan dalam dua kategori strategi yaitu demand side strategy dan supply side strategy (Rustiadi et al. 2009). Demand side strategy diupayakan melalui peningkatan barang-barang dan jasa-jasa dari masyarakat setempat melalui kegiatan produksi lokal untuk meningkatkan taraf hidup penduduk. Sedangkan supply side strategy
diupayakan melalui investasi modal untuk
kegiatan-kegiatan produksi yang berorientasi ke luar yang diproses dari sumberdaya alam lokal yang akan menjadi daya tarik kegiatan lain untuk datang ke wilayah tersebut. Selanjutnya konsep pengembangan wilayah setidaknya didasarkan pada prinsip: (1) berbasis pada sektor unggulan; (2) dilakukan atas dasar karakteristik daerah; (3) dilakukan secara komprehensif dan terpadu; (4) mempunyai keterkaitan kuat ke depan dan ke belakang; (5) dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip otonomi dan desentralisasi. 2.2 Tinjauan studi terdahulu Berdasarkan hasil penelitian Nurwahidah (2004), selama kurun waktu 1997–2002 sektor pertanian di Kabupaten Sumbawa masih memberikan kontribusi paling besar terhadap PDRB. Analisis LQ menunjukkan sektor pertanian, sektor bangunan/konstruksi, sektor perdagangan, hotel dan restoran, dan sektor listrik, gas, dan air bersih merupakan sektor basis di Kabupaten Sumbawa. Sedangkan hasil analisis Klassen typology menunjukkan Kabupaten Sumbawa termasuk daerah maju tapi tertekan. Sebagai upaya pembangunan daerah Kabupaten Sumbawa agar dapat lebih maju, maka sektor pertanian yang merupakan salah satu sektor basis
15 tersebut perlu terus dikembangkan. Untuk itu, perlu ditetapkan komoditas pertanian yang dapat menjadi unggulan untuk dikembangkan dalam berbagai bentuk kebijakan program. Penetapan komoditas unggulan dapat dilakukan dengan berbagai metode analisis. Pendekatan secara biofisik dapat dilakukan dalam menetapkan komoditas unggulan, yaitu pendekatan pedo-agroklimat atau zona agroekologi. Djaenuddin et al. (2002) dalam penelitiannya di Kawasan Timur Indonesia (KTI) memberikan arahan pewilayahan komoditas pertanian secara biofisik di Nusa Tenggara Barat ke dalam komoditas unggulan utama yaitu: tembakau, jagung, kedelai, dan pisang, serta komoditas unggulan pendukung/alternatif yaitu: padi sawah, padi gogo, srikaya, sayuran dan umbi-umbian dataran tinggi, bawang merah, dan bawang putih. Penelitian lebih spesifik dilakukan oleh Suparto et al. (2006) di Kecamatan Buer Kabupaten Sumbawa untuk mendukung prima tani. Komoditas yang disarankan adalah kedelai, kacang hijau, padi gogo, dan jagung. Secara nasional penentuan komoditas unggulan diaplikasi dengan metode Location Quotient (LQ) seperti yang dikemukakan oleh Hendayana (2003). Namun metode LQ memiliki beberapa keterbatasan seperti hambatan dalam akurasi data yang dikumpulkan di lapangan dan kesulitan deliniasi wilayah kajian sehingga hasil LQ terkadang aneh, misalnya suatu wilayah yang diduga memiliki keunggulan di sektor nonpangan namun hasil LQ dapat menunjukkan keunggulan sektor pangan. Variabel yang dipakai dalam penelitian tersebut adalah luas areal panen yang dipandang dapat memenuhi kriteria unggul dari sisi penawaran. Hasil analisis LQ tersebut menunjukkan bahwa komoditas unggulan Nusa Tenggara Barat adalah padi sawah, kedele, kacang hijau, kacang tanah, cabe, bawang merah, mangga, dan pisang. Metode analisis yang lain adalah model Input – Output seperti yang dilakukan oleh Syafa‟at dan Priyatno (2000). Metode ini lebih menekankan pada penetapan komoditas unggulan dari sisi demand, hasil analisis disajikan dalam matriks komoditas berdasarkan pengganda permintaan akhir terhadap nilai tambah dan tenaga kerja di Sulawesi tahun 1995. Kuadran I dengan nilai tambah tinggi dan tenaga kerja tinggi adalah komoditas padi dan jagung. Kuadran II dengan nilai tambah tinggi dan tenaga kerja rendah adalah komoditas kentang, kedele, ubi kayu, hortikultura dan pangan lainnya. Kuadran III dengan nilai tambah rendah dan tenaga kerja tinggi adalah komoditas jeruk, bawang merah,
16 bawang putih, dan umbi-umbian lainnya. Sedangkan kuadran IV dengan nilai tambah rendah dan tenaga kerja rendah adalah komoditas perkebunan. Kedua pendekatan tersebut dapat digunakan secara bersama-sama dalam matriks
komoditas
yang
disajikan
ke
dalam
bentuk
kuadran
dengan
menggunakan analisis Tipologi Klassen. Dengan analisis Tipologi Klassen, keunggulan dari sisi penawaran (supply) maupun sisi permintaan (demand) dapat digabungkan secara simultan. Berbagai komoditas unggulan yang dihasilkan dari analisis tersebut belum tentu sepenuhnya sesuai dengan preferensi masyarakat. Sementara produktivitas komoditas tersebut juga dipengaruhi oleh tingkat kesukaan atau preferensi berbagai pihak terkait. Preferensi terkait dengan pengambilan keputusan atau skala prioritas dari berbagai alternatif komoditas yang ada. Metode yang banyak dikembangkan saat ini dalam pengambilan keputusan adalah the analythic hierarchy process (AHP). Oddershede et al. (2007) menggunakan the analythic hierarchy process untuk mendukung kebijakan pengembangan masyarakat pedesaan di Chile. Hal ini dilakukan karena melihat bahwa ada inconsistency (ketidaktepatan) antara apa yang diinginkan oleh masyarakat, program yang ditawarkan, dan tujuan yang ada. AHP yang disusun dalam penelitian tersebut mengangkat tujuan umum mengembangkan pembangunan daerah. Pada level 0 diletakkan sasaran umum yaitu pembangunan daerah, pada level 1 berisikan sektor-sektor yang berkontribusi dalam pembangunan daerah, pada level 2 terdiri dari aspek-aspek yang berpengaruh nyata terhadap sektor-sektor tersebut, dan pada level 3 terdiri dari alternatif-alternatif kegiatan pembangunan yang memungkinkan untuk memacu
pertumbuhan
aspek-aspek
pada
level
sebelumnya.
Hasilnya
menunjukkan bahwa sektor pariwisata merupakan prioritas dengan pendidikan sebagai aspek yang paling mendukung sektor tersebut. Berbagai contoh penggunaan AHP dalam sektor pertanian di negara berkembang
juga
dikemukan
oleh
Alphonce
(1997).
Misalnya
dalam
memutuskan bagian lahan yang akan dialokasikan untuk tanaman jagung, padi, dan ketela. Kriteria yang berpengaruh adalah biaya produksi, resiko kerusakan, kesukaan, dan ketersediaan di pasaran saat surplus. Berdasarkan studi dan metode tersebut, maka penelitian ini mensintesa faktor-faktor apa saja yang berpengaruh dalam penentuan prioritas komoditas yang diusahakan.
17 2.3 Tinjauan kebijakan yang terkait Pemerintah Kabupaten Sumbawa melalui Dinas Pertanian Tanaman Pangan sampai dengan akhir tahun 2008 masih tetap memprioritaskan peningkatan
produksi
pertanian
pada
peningkatan/pemantapan
produksi
padi/beras, palawija (kedele, jagung, kacang hijau, ubi kayu) dan pengembangan hortikultura terutama tanaman sayuran dan buah-buahan. Kegiatan lain yang menjadi skala prioritas adalah pembangunan sarana dan prasarana penunjang meliputi pembangunan check dam, jaringan irigasi, dan jalan usaha tani serta pengembangan alat dan mesin pertanian untuk mempercepat pengolahan lahan pertanian (Diperta 2009). Saat ini telah dikembangkan kawasan Agropolitan Alasutan di bagian barat Kabupaten Sumbawa yang meliputi Kecamatan Alas Barat, Alas, Buer, utan, dan Rhee. Agropolitan Alasutan merupakan kebijakan program Provinsi Nusa Tenggara Barat dan pemerintah Kabupaten Sumbawa masih sebatas pendukung program. Kawasan ini terdiri dari 15 subkawasan unggulan dengan komoditas unggulan masing-masing seperti sapi, kelapa, rambutan, srikaya, pisang, anggur, jambu mete, mangrove, dan ikan. Namun perkembangannya sampai dengan saat ini belum menunjukkan kemajuan yang nyata. Sementara itu, untuk mendukung keberhasilan pembangunan pertanian ke depan, Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Sumbawa melaksanakan lima program utama (Diperta, 2009) yaitu: 1) Peningkatan kesejahteraan petani, 2) Peningkatan ketahanan pangan, 3) Peningkatan pemasaran hasil, 4) Peningkatan penerapan teknologi pertanian, dan 5) peningkatan produksi pertanian