TINJAUAN PUSTAKA
Sayuran Ekologi Sayuran Tipe tanah, iklim dan ketinggian tempat merupakan salah satu syarat penting untuk penanaman sayuran . Setiap jenis tanaman sayuran mempunyai lingkungan tumbuh yang berbeda-beda, sayuran dapat dijumpai di daerah dingin baik tropik maupun subtropik. Pada umumnya sayuran akan mencapai pertumbuhan optimum pada daerah yang bersuhu dingin (Arifin 1992). Secara geografis, pertumbuhan optimum tersebut akan dicapai pada daerah yang terletak pada 100-150LU dan 100-150 LS. Untuk daerah pertanaman sayuran yang ada diluar kedua daerah tersebut, pertumbuhan optimum sayuran akan dicapai bila daerah tersebut memiliki ketinggian 1000 m di atas permukaan laut (dpl) (Moentono 1996).
Komoditas Sayuran Sayuran merupakan salah satu bahan makanan penting serta relatif murah dan cukup tersedia di Indonesia. Menurut Novary (1999), berdasarkan kebiasaan tumbuhnya, sayuran dibedakan menjadi sayuran semusim dan sayuran tahunan. Sayuran semusim adalah sayuran yang hidupnya hanya dalam satu musim dan banyak menghasilkan biji, misalnya daun bawang, wortel dan sawi. Sayuran yang bersifat tahunan adalah sayuran yang pertumbuhan dan produktivitasnya tidak terbatas, misalnya kangkung darat. Berdasarkan bentuk yang dikonsumsinya, sayuran dapat dibedakan menjadi sayuran daun, sayuran buah, sayuran bunga, sayuran umbi dan rebung (Novary 1999). Kandungan vitamin dan mineral yang lengkap serta bervariasi dan juga banyak mengandung serat, menyebabkan tanaman ini dapat dijadikan sebagai bahan makanan bergizi yang dapat menunjang kesehatan. Sayuran merupakan salah satu produk hortikultura, yang terdiri atas berbagai jenis dan dapat dibedakan berdasarkan tempat tumbuh, kebiasaan tunbuh dan bentuk yang dikonsumsi. Berdasarkan tempat tumbuhnya, sayuran dapat dibedakan menjadi sayuran dataran rendah dan sayuran dataran tinggi atau
sayuran yang dapat tumbuh pada kedua tempat tersebut, sebagai contoh yaitu tomat dan wortel (Rahadi et al. 2001). Menurut Rahadi et al. (2001), sayuran juga memiliki sifat yang berbeda dengan komoditi yang lain yaitu mudah rusak. Sifat-sifat sayuran antara lain dalah sebagai berikut : a) Tidak tergantung musim Pada dasarnya pembudidayaan sayuran dapat dilakukan kapan saja dan dimana saja, asalkan syarat tumbuhnya terpenuhi. b) Memiliki resiko tinggi Umumnya sayuran memiliki sifat mudah busuk sehingga umurnya pendek. Akibat dari sifat itu, tampilan fisik dari produk tersebut menjadi buruk dan akhirnya tidak memiliki nilai jual.
Beberapa Jenis Sayuran Brokoli (Brassica oleracea). Brokoli adalah tumbuhan yang termasuk dalam
famili
Brassicaceae
(yaitu
kubis-kubisan:
Cruciferae).
Brokoli
diklasifikasikan kedalam kelompok kultivar Italica dari spesies Brassica oleracea (Pracaya 2001). Tanaman ini banyak sekali memiiki kepala bunga berwarna hijau yang teratur seperti cabang pohon dengan batang yang tebal yang dapat dimakan. Sebagian besar kepala bunga tersebut dikelilingi dedaunan. Brokoli mirip sekali dengan kembang kol, namun brokoli berwarna hijau sedagkan kembang kol berwarna putih. Brokoli merupakan tanaman yang hidup pada temperatur cuaca yang dingin. Brokoli mengandung vitamin C dan serat makanan dalam jumlah yang banyak (Wahyuni 2007). Caisin (Brassica campestris). Dikenal oleh petani dengan nama sawi hijau atau sawi bakso. Batangnya panjang, tegap dan daunnya berwarna hijau. Daundaun tanamannya lebar dan berbentuk pipih, warna tangkai daun putih atau hijau muda. Caisin adalah sayuran yang sangat digemari oleh orang banyak. Tanaman ini dapat tumbuh di dataran rendah sampai dengan dataran tinggi. Syarat penting untuk tumbuhnya adalah tanah gembur dan subur dengan pH antara 6-7 (Rahadi et al.2001). Waktu tanam yang baik adalah menjelang akhir musim hujan atau awal musim hujan. Selama pertumbuhannya caisin memerlukan
banyak air, penanamannya dilakukan dengan menebar biji secara merata pada lahan yang telah disiapkan. Pemanenan dapat dilakukan setelah caisin berumur 40-50 hari setelah penanaman (Wisastri 2006). Wortel (Daucus carota L). Wortel merupakan famili Umbelliferae (Apiaceae) bukan tanaman asli Indonesia, berasal dari negeri yang beriklim sedang (subtropis) yaitu berasal dari Asia timur dan Asia Tengah (Novary 1999). Di Indonesia budidaya wortel pada mulanya hanya terkonsentrasi di wilayah Jawa Barat yaitu Lembang dan Cipanas, namun dalam perkembangannya menyebar luas ke daerah-daerah jawa dan luar jawa (Wisaatri 2006). Bentuk tanamannya berupa rumput dan menyimpan cadangan makanannya dalam bentuk umbi. Memiliki batang pendek, berakar tunggang yang bentuk dan fungsinya berubah menjadi umbi bulat dan memanjang. Umbi berwarna kemerahan, berkulit tipis dan jika dimakan mentah terasa renyah dan manis Sayuran ini sudah sangat dikenal masyarakat Indonesia dan popular sebagai sumber vitamin A. Selain itu, wortel juga mengandung vitamin B, vitamin C dan sedikit Vitamin G, serta zat-zat yang lain yang bermanfaat bagi kesehatan manusia (Wahyuni 2007). .Menurut Novary (1999), wortel merupakan tanaman subtropis yang memerlukan suhu dingin, lembab dan cukup cahaya matahari. Di Indonesia kondisi seperti itu biasanya terdapat di daerah dengan ketinggian antara 12001500 m dpl. Sekarang wortel sudah banyak ditanam di daerah dengan ketinggian 600 m dpl, dianjurkan untuk menanam wortel pada tanah yang subur, gembur dan kaya akan humus dengan pH antar 5,5-6,5. Tanah yang kurang subur masih dapat ditanami wortel asalkan dilakukan pemupukan yang intensif. Kebanyakan tanah dataran tinggi di Indonesia memilii pH rendah, bila demikian tanah tersebut perlu dikapur dengan menggunakan kapur pertanian (dolomit) (Pracaya 2001). Bawang daun (Allium fistulosum). Menurut Rahadi et al. (2001), bawang daun termasuk ke dalam famili Alliaceae. Tanaman ini bisa tumbuh di dataran rendah maupun dataran tinggi. Dataran rendah yang terlalu dekat dengan pantai bukanlah lokasi yang tepat karena pertumbuhan bawang daun memerlukan ketinggian sekitar 250-1500 m dpl. Di daerah dataran rendah produksi anakan bawang daun relatif sedikit. Curah hujan yang tepat sekitar 1500-2000 mm/tahun
dan juga memiliki suhu udara harian 18-25ºC merupakan kndisi yang tepat unuk menanam bawang daun (Novary 1999). Terung (Solanum mengolena). Terung termasuk ke dalam famili Solanaceae. Terung merupakan tanaman setahun berjenis perdu yang dapat tumbuh hingga mencapai tinggi 60-90 cm. Daun tanaman ini lebar dan berbentuk telinga, bunganya berwarna ungu dan merupakan bunga yang sempurna, biasanya terpisah dan terbentuk dalam tandan bunga (Pracaya 2001). Terung sangat mudah dibudidayakan karena dapat hidup di dataran rendah hingga dataran tinggi sekitar 1200 m dpl. Namun demikian tanah itu harus memiliki cukup banyak kandungan bahan organik dan berdrainase baik. Selain itu pH tanah harus berkisar antara 5-6 agar pertumbuhannya optimal (Novary 1999). Pare (Momardica charantina). Pare termasuk dalam famli Cucurbitaceae. Terung dapat tumbuh sekitar satu tahun, menjalar atau memanjat serta berbau tidak enak. Tanaman ini dapat tumbuh dimana saja. Daerah dengan ketinggian 1000-1500 m dpl cocok untuk tempat tumbuhnya (Novary 1999). Tanah yang cenderung asam merupakan tanah yang cocok sehingga tak perlu melakukan pengapuran (Pracaya 2001). Oyong (Luffa acutangula). Oyong adalah tanaman sayuran pasar yang banyak dikenal di bagian wilayah tropika. Bentuk-bentuk yang diusahakan kelihatan semuanya sama. Benih biasanya diperoleh setempat atau dihasilkan dari sendiri. Bunga jantan dihasilkan pada pembungaan yang terpisah dan bunga betina menyendiri pada tangkai. Buahnya memiliki gigir yang menyudut. Tanamanya tegap dan toleran pada tanah yang kurang subur dan dengan kondisi pemeliharaan yang kurang baik (Novary 1999).
Di dataran rendah oyong akan mulai
berproduksi kira-kira enam minggu dan memberikan hasil yang ekonomis kirakira 14-16 minggu (Wahyuni 2007).
Hama dan Penyakit Sayuran Berdasarkan laporan Arifin (1992) hama dan penyakit utama yang ditemukan pertanaman sayuran di Kecamatan Pacet adalah kutu daun dan embun tepung yang menyerang tanaman wortel, Spodoptera exigua dan Alternaria porri yang menyerang tanaman bawang daun, Phylotreta vittata dan A.
brasicae
menyerang tanaman caisin. Tingkat serangan hama dan penyakit di atas cukup tinggi. Luas dan intensitas serangan kutu daun pada wortel adalah 23.2% dan 1.9%. Luas serangan dan intensitas serangan embun tepung pada wortel adalah 24.0% dan 7.6%. Luas dan intensitas serangan S. exigua dan A. porri pada bawang daun adalah 35.5% dan 72.8% dan 5.4% dan 13.1%. Luas serangan P. vittata dan A. brasicae pada caisin masing-masing adalah 8% dan 18.2% serta intensitas serangannya masing-masing 9.4% dan 0.6% (Arifin 1992).
Hama Ulat titik tumbuh (Crocidolomia binotalis). Hama ini menyerang tanaman keluarga Brassicaceae (Cruciferae) seperti kol, sawi, lobak, dan lainnya. Hama ini menyerang bagian yang terlindung daun hingga mencapai titik tumbuh Jika serangan ini ditambah lagi dengan serangan penyakit, tanaman ini bisa mati karena bagian dalamnya membusuk (Pracaya 2008). Pengendalian dapat dilakukan dengan cara : (1) menggunakan musuh alami (Ordo: Hymenoptera), (2) melakukan penyemprotan dengan menggunakan insektisida, misalnya Ambush atau Phosdrin (Pracaya 2008). Ulat grayak (Spodoptera litura). Hama ini sering menyerang tanaman bawang daun, bawang merah, jagung, cabai, dan kapri. Gejala yang ditimbulkan oleh hama ini, tanaman yang terserang terlihat ada bercak putih lalu tanaman akan layu. Pengendalian dapat dilakukan dengan cara : (1) menggunakan musuh alami (Ordo: Diptera), (2) melakukan penyemprotan dengan menggunakan insektisida, dan (3) rotasi tanaman (Pracaya 2008). Ngengat punggung belian (Plutella xylostella). Hama ini tersebar diseluruh dunia, yaitu di daerah tropis dan subtropis. Hama ini merupakan salah satu hama yang sangat merugikan bagi tanaman keluarga Cruciferae, karena tanaman yang terserang hama ini bisa menimbulkan kerusakan yang sangat berat. Pengendalian
dapat dilakukan dengan cara : (1) menggunakan musuh alami (Ordo: Odonata), (2) melakukan penyemprotan dengan menggunakan insektisida, (3) rotasi tanaman (4) sanitasi lahan, dan (4) secara mekanis (Pracaya 2008). Kepik (Leptoglossus australis). Hama ini termasuk kedalam famili Coreidae yang merupakan keluarga besar Heteroptera. Umumnya hama ini memakan tanaman dan dapat menyebabkan kerusakan pada tanaman. Gejala serangan hama ini disebabkan oleh nimfa dengan cara menusukan bagian mulutnya yang berbentuk seperti tabung ke dalam buah. Tanaman yang terserang hama ini akan ditumbuhi cendawan dan akhirnya membusuk. Pengendalian dapat dilakukan dengan cara : (1) menggunakan musuh alami dan predator (Famili Reduviidae), (2) melakukan penyemprotan dengan menggunakan insektisida Azodrin, (3) rotasi tanaman (4) sanitasi lahan, dan (4) secara mekanis (Pracaya 2008).
Penyakit Akar gada (Plasmodiophora brassicae). Cendawan ini menyerang tanaman keluarga Cruciferae seperti kol, sawi, bunga kol, dan brokoli. Cendawan ini menyerang tanaman pada sistem perakaran. Gejala yang timbul yaitu akarakarnya membesar dan menyatu, seperti gada sehingga sering disebut dengan akar gada atau setiap akar membentk seperti jari kaki. Pengendalian dapat dilakukan dengan cara : (1) tanah yang asam dijadikan basa, yaitu dengan memberikan kapur tani sehingga pH tanah kurang lebih 7,2 , (2) melakukan penyemprotan pada lahan dengan menggunakan senyawa mercuri klorida, (3) rotasi tanaman (4) sanitasi lahan, dan (4) penanaman varietas yang tahan, dan (5) pembuatan drainase yang baik (Pracaya 2008). Bercak kering (Alternaria sp). Penyakit ini sering juga diseebut dengan bercak alternaria. Penyakit ini tersebar di seluruh daerah kentang di dunia seperi Amerika, Kanada, Indonesia, dan Selandia Baru. Selain menyerang tanaman kentang, cendawan in juga menyerang tomat, terung, dan cabai. Gejala yang disebabkan oleh cendawan ini daun terlihat ada bercak-bercak tua sampai hitam. Bentuk bulat dengan lingkaran-lingkaran yang konsentris. Dalam keadaan
tertentu, bercak itu kecil dan bersudut dan dibatasi beberapa tulang daun. Semakin lama bercak ini membesar dan bergabung menjadi satu. Pengendalian dapat dilakukan dengan cara : (1) melakukan penyemprotan dengan menggunakan senyawa kalsium arsenat, (2) rotasi tanaman (3) sanitasi lahan, dan (4) penanaman varietas yang tahan, dan (5) pembuatan drainase yang baik (Pracaya 2008). Busuk hitam (Xanthomonas campestris pv.campestris). Penyakit ini terdapat hampir di seluruh pertanaman kubis
dan dapat menyebabkan kerugian
yang sangat besar. Gejala yang disebabkan oleh bakteri ini mula-mula di tepi daun terdapat daerah berwarna kuning atau pucat, kemudian meluas kebagian tengah. Pada tingkatan yang lebih parah penyakit ini menyerang bagian batang dan buah, yang akan terlihat membusuk dan seperti ditutupi jelaga berwarna hitam. Pengendalian dapat dilakukan dengan cara : (1) rotasi tanaman (2) sanitasi lahan, dan (3) penanaman varietas yang tahan, dan (4) pembuatan drainase yang baik (Semangun 1989)
Jagung Botani dan Ekologi Jagung Tanaman jagung termasuk ke dalam keluarga rumput-rumputan dengan spesies Zea mays L. Secara umum klasifikasi dan sistematika tanaman jagung memiliki Kingdom Plantae, Divisi Spermatophyta, Subdivisi Angiospermae, Kelas Moncotyledone, Ordo raminae, Famili Graminaceae dan Genus Zea (Istikomah 2007). Jagung termasuk ke dalam tanaman berakar serabut. Batang jagung tidak bercabang, berbentuk silinder dan terdiri dari beberapa ruas dan buku ruas. Tinggi batang jagung tergantung varietas dan tempat penanaman, umumnya berkisar antara 60-300 cm. Daun jagung memanjang dan keluar dari buku-buku batang. Jumlah daun terdiri dari 8-48 helaian tergantung varietasnya. Daun terdiri dari tiga bagian yaitu kelopak daun, lidah daun dan helaian daun (Purwono dan Hatono, 2005).
Hama dan Penyakit Jagung Hama Lalat bibit (Atherigona exigua Stein). Lalat bibit memiliki ciri-ciri warna lalat abu-abu, warna punggung kuning kehijauan bergaris, warna perut coklat kekuningan, warna telur putih mutiara, dan panjang lalat 3-3,5 mm. Gejala yang disebabkan oleh hama ini berupa daun berubah warna menjadi kekuningan, bagian yang terserang mengalami pembusukan, akhirnya tanaman menjadi layu, pertumbuhan tanaman menjadi kerdil atau mati (Pracaya 2008). Pengendaliannya dapat dilakukan dengan cara : (1) penanaman serentak dan penerapan pergiliran tanaman, (2) tanaman yang terserang segera dicabut dan dimusnahkan, (3) sanitasi kebun, dan (4) penyemprotan dengan insektisida (Deptan 2003). Ulat pemotong.. Gejala yang disebabkan oleh hama berupa
tanaman
terpotong beberapa sentimeter diatas permukaan tanah, ditandai dengan bekas gigitan pada batangnya, akibatnya tanaman yang masih muda roboh gejala tersebut disebabkan oleh beberapa jenis ulat pemotong: Agrotis ipsilon; S. litura. Pengendaliannya dapat dilakukan dengan cara : (1) tanaman serentak atau pergiliran tanaman, (2) sanitasi berupa pemusnahan ulat-ulat tersebut (biasanya terdapat di dalam tanah), dan (3) penyemprotan dengan menggunakan insektisida (Deptan 2003). Belalang kembara (Locusta migratoria). Hama ini berukuran besar dan berwarna cerah. Belalang ini bersifat folifag, dalam jumlah yang sangat besar dapat merugikan kerusakan yang sangat besar juga. Pengendaliannya dapat dilakukan dengan cara : (1) secara mekanis, (2) sanitasi kebun, dan (3) penyemprotan dengan insektisida Phosdrin atau Diazinon (Pracaya 2008). Penyakit Bulai (downy mildew). Menurut Semangun (1989), penyebab dari penyakit ini adalah cendawan Peronosclerospora maydis dan P. javanica serta P. philippinensis, merajalela pada suhu udara 27ºC ke atas serta keadaan udara lembab. Gejala yang ditimbulkan berupa, (1) pada umur 2-3 minggu daun runcing, kecil, kaku, pertumbuhan batang terhambat, warna menguning, sisi bawah daun terdapat lapisan spora cendawan warna putih, (2) pada umur 3-5
minggu mengalami gangguan pertumbuhan, daun berubah warna dari bagian pangkal daun, tongkol berubah bentuk dan isi, dan (3) pada tanaman dewasa, terdapat garis-garis kecoklatan pada daun tua. Pengendaliannya dapat dilakukan dengan cara : (1) penanaman menjelang atau awal musim penghujan, (2) pola tanam dan pola pergiliran tanaman, penanaman varietas tahan, (3) pencabutan tanaman terserang dan musnahkan, dan (4) preventif diawal tanam dengan fungisida (Deptan 2003). Bercak daun (leaf spot). Menurut Semangun (1989), penyebab dari penyakit ini adalah cendawan Helminthosporium turcicum. Gejala yang ditimbulkan berupa pada daun tampak bercak memanjang dan teratur berwarna kuning dan dikelilingi warna coklat, bercak berkembang dan meluas dari ujung daun hingga ke pangkal daun, semula bercak tampak basah, kemudian berubah warna menjadi coklat kekuning-kuningan, kemudian berubah menjadi coklat tua. Akhirnya seluruh permukaan daun berwarna coklat. Pengendalian dapat dilakukan dengan cara : (1) pergiliran tanaman, (2) mengatur kondisi lahan tidak lembab, dan (3) prenventif diawal tanam dengan fungisida (Deptan 2003). Penyakit karat (rust). Menurut Semangun (1989), penyebab dari penyakit ini adalah cendawan Puccinia sorghi Schw dan P. polypora Underw. Gejala yang ditimbulkan pada tanaman dewasa, daun tua terdapat titik-titik noda berwarna merah kecoklatan seperti karat serta terdapat serbuk berwarna kuning kecoklatan, serbuk cendawan ini berkembang dan memanjang. Pengendaliannya dapat dilakukan dengan cara : (1) mengatur kelembaban, (2) menanam varietas tahan terhadap penyakit, (3) sanitasi kebun, dan (4) penyemprotan dengan fungisida (Deptan 2003). Gosong bengkak (corn smut/boil smut). Menurut Semangun (1989), penyebab dari penyakit ini adalah cendawan Ustilago maydis, Ustilago zeae (Schw) Ung, Uredo zeae Schw, Uredo maydis DC. Gejala yang ditimbulkan pada saat masuknya cendawan ini ke dalam biji pada tongkol sehingga terjadi pembengkakan
dan
mengeluarkan
kelenjar
(gall),
pembengkakan
ini
menyebabkan pembungkus rusak dan spora tersebar. Pengendaliannya dapat dilakukan dengan cara : (1) mengatur kelembaban, (2) memotong bagian tanaman dan dibakar, dan (3) benih yang akan ditanam dicampur Fungisida (Deptan 2003).
Busuk tongkol dan busuk biji. Menurut Semangun (1989), penyebab dari penyakit ini adalah cendawan Fusarium sp atau Gibberella antara lain G. zeae (Schw), G. fujikuroi (Schw), G moniliforme. Gejala yang ditimbulkan dapat diketahui setelah membuka pembungkus tongkol, biji-biji jagung berwarna merah jambu atau merah kecoklatan kemudian berubah menjadi warna coklat sawo matang. Pengendaliannya dapat dilakukan dengan cara : (1) menanam jagung varietas tahan, pergiliran tanam, mengatur jarak tanam, perlakuan benih, dan (2) penyemprotan dengan fungisida di awal tanam (Deptan 2003).
Penggunaan Pestisida Bidang pertanian merupakan bidang yang paling umum dalam penggunaan pestisida baik untuk pertanian dalam arti sempit yaitu pertanian pangan dan hortikultura yang meliputi tanaman sayuran, tanaman hias dan buah-buahan, maupun pertanian dalam arti luas yang juga meliputi perkebunan, kehutanan, perikanan (Sastrosiswoyo 1995). Bahaya yang ditimbulkan oleh penggunaan pestisida yang berlebihan akan melibatkan semua pihak, diantaranya adalah lingkungan, manusia, hewan liar yang lain, ikan dan lainnya (Djojosumarto et al 1996). Dalam pemilihan produk pestisida, pengguna akan mempertimbangkan banyak faktor. Faktor yang dapat mempengaruhi
pengguna sehingga dapat
memungkinkan terjadinya pergeseran atau pengalihan produk-produk pestisida yang digunakan adalah jenis tanaman yang dibudidayakan, jenis hama yang menyerang, faktor ekonomi atau harga, jenis pestisida, dan keamanan produk serta undang-undang dan persepsi masyarakat tentang hal tersebut (Oka 1995). Menurut Kogan (1986), untuk mengaplikasi suatu pestisida agar tepat sasaran dan efektif harus memeperhatikan beberapa hal, diantaranya adalah : (1) memiliki strategi pengendalian, (2) menggunakan pestisida yang tepat, (3) mengetahui habitat hama, dan (4) mengetahui tingkah laku hama. Cara penggunaan pestisida yang tepat merupakan salah satu faktor yang penting dalam menentukan keberhasilan pengendalian hama. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan pestisida diantaranya adalah keadaan angin, suhu udara, kelembaban dan curah hujan (Sastrosiswoyo 1995).
Pegendalian Hama Terpadu Pengelolaan organisme penggangu tanaman yang kurang bijaksana dapat mempengaruhi kelestarian budidaya tanaman dan keseimbangan lingkungan. Oleh karena itu, diperlukan suatu sistem pengelolaan OPT yang berwawasan lingkungan. Konsep pengelolaan OPT yang sesuai dengan kriteria tersebut dan telah menjadi landasan program perlindungan tanaman adalah Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Konsep PHT merupakan perpaduan yang serasi dari berbagai macam metode pengendalian yang bertujuan untuk mengelola populasi hama dalam tingkat yang tidak merugikan secara ekonomi (Rauf 1992). Strategi PHT lebih menekankan pada penerapan teknik pengendalian non kimiawi. Menurut Oka (1995), strategi atau langkah dari beberapa metode pengendalian dapat dilakukan yaitu : (1) penggunaan varietas resisten, (2) pengunaan kultur teknis dengan memanipulasi ekologi melalui pergiliran tanaman, sanitasi selektif, pengelolaan air dan (3) pengunaan musuh-musuh alami berupa predator dan parasit. Pemerintah telah menerapkan PHT sebagai kebijaksanaan dasar bagi setiap
program
perlindungan
tanaman.
Dasar
hukum
penerapan
dan
pengembangan PHT di Indonesia adalah Instruksi Presiden Nomor 3 tahun 1986 tentang penanggulangan hama wereng dan undang-undang Nomor 12 tahun 1992 tentang sistem Budidaya Tanaman (Basyit 1994). Pengembangan dan penerapan PHT memerlukan tiga komponen utama yaitu teknologi PHT, jalinan informasi dan proses pengambilan keputusan. Teknologi PHT meliputi berbagai teknik yang diterapkan untuk mengelola agrosistem agar sasaran PHT dapat tercapai. Proses pengambilan keputusan pengendalian hama harus dilakukan dengan menggunakan informasi yang cukup lengkap, monitoring dan memperhatikan ambang pengendalian (Arifin 1992). Preferensi petani dalam pengendalian organisme pengganggu tanaman merupakan bagian penting dalam keberhasilan pengendalian hama dan penyakit secara terpadu.