3
TINJAUAN PUSTAKA
Sayuran Indigenous Sayuran adalah tanaman yang ditumbuhkan untuk mendapatkan bagian tanaman yang biasa dikonsumsi mentah atau dimasak sebagai bagian dari makanan (Somantri, 2006). Sayuran merupakan makanan pelengkap yang banyak mengandung vitamin dan mineral. Sayuran dapat menyediakan nutrisi, salah satu komponen diet yang tidak dapat ditinggalkan dan bukan makanan tambahan untuk menambah rasa. Menurut Duriat et al. (1999) apabila manusia kurang mengkonsumsi sayuran maka akan kekurangan vitamin dan mineral sehingga akan berpengaruh pada kesehatannya. Engle dan Altoveros (1999) menyatakan bahwa jumlah sayuran sudah tercatat di Asian Vegetable Research and Development Center (AVRDC) lebih dari 45 000 aksesi meliputi sayuran biji, sayuran daun, dan sayuran buah, 90 % dari 45 000 aksesi tersebut merupakan sayuran yang dapat tumbuh di berbagai wilayah dan sisanya merupakan sayuran indigenous. Tanaman sayuran indigenous banyak terdapat di daerah tropis dan dikonsumsi oleh penduduk aslinya yaitu Afrika, Asia Selatan, dan Asia Tenggara. Menurut Hossain dan Razzaque (1999) sayuran indigenous adalah sayuran pribumi atau sayuran yang tumbuh di suatu negara dan dikonsumsi di daerah tertentu. Awal pengembangan sayuran indigenous dilakukan dengan cara eksplorasi di daerah-daerah kemudian dikoleksi untuk dikembangkan. Koleksi plasma nutfah diprioritaskan untuk dipelihara dan dipertahankan karena plasma nutfah penting untuk meningkatkan manfaat tanaman pada masa sekarang maupun masa yang akan datang. Koleksi bertujuan untuk menyediakan bahan genetik secara luas yang dapat memenuhi kebutuhan pemulia berupa genotipe-genotipe yang diinginkan sebagai bahan pemuliaan tanaman. Oleh karena itu, bahan-bahan yang tersedia dalam gene bank dapat digunakan oleh pemulia, sehingga data karakterisasi dan evaluasi dapat tersedia (Engle, 1992). Sayuran indigenous di Indonesia terutama Jawa Barat sudah memasuki pasar yang lebih luas yaitu sebagai sajian lalap di rumah makan. Sayuran yang
4
tergolong sayuran indigenous adalah sayuran asli daerah yang telah banyak diusahakan dan dikonsumsi atau sayuran introduksi yang telah berkembang lama dan dikenal masyarakat seperti kemangi, kenikir, katuk, kecipir, koro (roay), gambas, dan paria. Keberadaan sayuran tersebut di atas perlu dilestarikan, karena selain mempunyai nilai ekonomi juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan obatobatan (Putrasamedja, 2009).
Katuk (Sauropus androgynus L.) Katuk memiliki nama ilmiah Sauropus androgynus L. Merr. dari famili Euphorbiaceae. Nama daerahnya antara lain memata, mata-amata, cekop manis, simani (Sumatera), katuk, babing, katukan (Jawa), dan karetur (Madura). Jenis sayur ini banyak tumbuh di dataran rendah hingga 1 300 meter di atas permukaan laut (m dpl) dengan struktur tanah ringan dan menyukai tempat terbuka atau sedikit terlindung. Katuk banyak ditanam di kebun, ladang, atau pekarangan (Van den Bergh, 1994). Tanaman ini merupakan sejenis tanaman perdu yang tumbuh menahun. Penampilan tanaman ramping sehingga sering ditanam sebagai tanaman pagar. Tinggi tanaman sekitar 1-2 m dengan batang tumbuh tegak, berkayu, dan bercabang jarang. Batang tanaman berwarna hijau saat masih muda dan menjadi kelabu keputihan saat sudah tua. Daun katuk merupakan daun majemuk genap. Bunga berkelopak keras berwarna putih semu kemerahan dan bersifat majemuk tandan, uniseksual, dan monoecious (terdapat dua macam bunga dalam satu tanaman yaitu bunga jantan dan bunga betina). Buah berbentuk bulat, berukuran kecil-kecil seperti kancing, berwarna putih, dan berbiji tiga buah. Tanaman katuk mulai berbunga pada 48 hari setelah tanam dan daun muda dapat dipanen pada 124 hari setelah tanam dan panen berikutnya dapat dilakukan secara berkelanjutan sebulan sekali (Bermawie, 2006). Berdasarkan pengamatan kriteria panen di beberapa pasar tradisional dan pasar modern, tanaman katuk dipanen dengan ukuran 27-30 cm dari tanaman yang paling muda dan terdapat 8-10 helai daun. Sampai saat ini, plasma nutfah tanaman katuk yang tumbuh di berbagai daerah belum dikarakterisasi menurut jenis dan varietas. Namun, di lapangan
5
dikenal dua jenis katuk, yaitu katuk hijau dan katuk merah. Katuk hijau juga disebut katuk baster. Jenis katuk ini produktif menghasilkan daun, dengan warna daun hijau. Jenis katuk ini biasa dibudidayakan oleh masyarakat. Katuk merah kurang produktif menghasilkan daun dan memiliki daun-daun yang berwarna hijau kemerah-merahan (Rukmana dan Harahap, 2004). Tanaman katuk diperbanyak dengan stek batang. Stek batang diambil dari batang yang mulai berkayu, stek batang yang digunakan dengan panjang kira-kira 20-30 cm. Umumnya katuk ditanam oleh petani dengan jarak tanam rapat dan dilakukan pemeliharaan sampai produksi berumur kurang lebih 3 bulan dan dapat dilakukan panen selanjutnya setelah 1 bulan (Kusmana dan Suryadi, 2004). Katuk merupakan sayuran daun yang memiliki kandungan protein dan vitamin yang tinggi. Dalam 100 g daun katuk terdapat 79. 8 mg air, 7.6 g protein, 1.8 g lemak, 6.9 g karbohidrat, 1.9 g serat, 2 g abu 10000 IU vitamin A, 0.23 mg vitamin B1, 0.15 mg vitamin B2, 136 mg vitamin C, 234 mg kalsium, 64 mg phospor, 3.1 mg zat besi, dengan total energi 310 kJ (Van den Bergh, 1994). Kandungan nutrisi lain pada daun dan akar katuk antara lain klorofil, saponin, flavonoid, tanin, dan asam folat. Kandungan nutrisi tersebut bermanfaat untuk memperlancar ASI, mengobati borok atau bisul, memperlancar saluran pencernaan, dan mencegah konstipasi serta sebagai antioksidan (Wirakusumah, 2006).
Kenikir (Cosmos caudatus Kunth.) Kenikir (Cosmos caudatus Kunth.) merupakan tanaman dari famili Asteraceae yang berasal dari daerah tropis Amerika yang kemudian dibawa oleh orang Spanyol ke Filipina. Di Filipina kenikir dikenal dengan nama cosmos, di Malaysia kenikir disebut ulam raja dan di Thailand kenikir disebut daoruangphama (Van den Bergh, 1994). Kenikir merupakan tanaman herba tahunan yang tingginya dapat mencapai 3 m. Batang tanaman tegak, beralur, dan mempunyai banyak cabang. Tanaman kenikir memiliki daun majemuk dan bergerigi pada bagian tepi, bunga tersusun seperti bunga matahari yang terletak di tepi berbentuk pita berjumlah delapan.
6
Bunga kenikir berwarna merah muda biasanya untuk dikonsumsi dan bunga kenikir berwarna kuning sebagai tanaman hias. Kenikir mempunyai buah berbentuk lonceng yang mengandung banyak biji berwarna hitam seperti jarum (Sastrapradja, 1979). Van den Bergh (1994) menyatakan bahwa tanaman kenikir dapat tumbuh dengan baik pada daerah dengan sinar matahari penuh di dataran rendah sampai pegunungan dengan ketinggian 1 600 m dpl. Perbanyakan kenikir dapat dilakukan melalui biji yang disemai terlebih dahulu kemudian dipindahkan ke lapangan setelah tiga minggu. Pengaturan drainase dan irigasi yang baik dapat mendukung pertumbuhan kenikir. Kondisi tanah yang terlalu lembab dapat memicu perkembangan cendawan yang mengganggu pertumbuhan tanaman kenikir. Pemanenan daun kenikir dapat dilakukan setelah tanaman berumur enam minggu. Apabila daun-daunnya dipetik,
tunas
baru
akan cepat
tumbuh untuk
menggantikannya. Berdasarkan pengamatan kriteria panen di beberapa pasar tradisional dan pasar modern, tanaman kenikir dipanen dengan ukuran 27-30 cm dari tanaman yang paling muda dan terdapat 6-8 helai daun. Kenikir merupakan sayuran daun yang memiliki kandungan protein dan vitamin yang tinggi. Dalam 100 g daun kenikir terdapat 93 g air, 3 g protein, 0.4 g lemak, 0.4 g karbohidrat, 1.6 g serat, 270 mg kalsium, dan 0.9 mg vitamin A, serta dengan total energi (Van den Bergh, 1994). Daun kenikir apabila diremasremas akan mengeluarkan bau yang khas karena mengandung minyak esensial. Adanya minyak tersebut menimbulkan rasa yang khas pada daun mentah, akan tetapi dengan pengukusan rasa tersebut akan hilang. Daun kenikir, setelah dikukus dapat dibuat urap atau pecel (Sastrapradja, 1979). Manfaat herbal kenikir adalah sebagai penambah nafsu makan, penghilang rasa mual, penghilang bau badan, dan menyembuhkan penyakit kulit (Wirakusumah, 2006). Tanaman kenikir juga dapat digunakan sebagai tanaman penghias pekarangan karena bunganya yang berwarna cerah.
7
Kemangi (Ocimum americanun L.) Menurut Sunarto (1994) kemangi (Ocimum americanum L.) merupakan tanaman dari famili Lamiaceae (Labiatae) yang berasal dari daerah Afrika dan Asia tropik kemudian dikenalkan ke daerah Amerika tropik dan kepulauan India barat. Tanaman kemangi di Indonesia dikenal dengan beberapa nama lokal yaitu seraung, lampes (Sunda), kemangi (Jawa), kemangek (Madura), uku-uku (Bali), lufe-lufe (Ternate), dan bramakusu (Minahasa/Manado). Kemangi merupakan tanaman herba aromatik dan tahunan, dan memiliki karakteristik umum tumbuh tegak dengan batang berwarna hijau atau ungu, daun berbentuk lanset (panjang: 1.7-6.4 cm dan lebar: 1-3 cm) warna hijau tua, memiliki aroma yang khas, bunga tersusun pada ujung batang utama dan cabang samping berwarna putih, biji lonjong berwarna coklat gelap hitam terdapat dalam kapsul (Bermawie, 2006). Tanaman kemangi berbunga ketika berumur 8-12 minggu (Sunarto, 1994). Pengamatan morfologi tanaman diamati secara visual terhadap karakter: habitus (penampilan/tipe pertumbuhan), karakter batang (warna, bentuk, ada tidaknya bulu batang), daun (warna, bentuk, ada tidaknya bulu di permukaan daun, ada tidaknya gerigi tepi daun), bunga (warna rangkaian bunga, warna mahkota bunga, tipe rangkaian, warna putik sari), biji (bentuk, warna). Umumnya kemangi dipanen dalam bentuk daun untuk lalapan atau campuran masakan tertentu untuk penyedap dan biji untuk campuran aneka kudapan (Bermawie, 2006). Berdasarkan pengamatan kriteria panen di beberapa pasar tradisional dan pasar modern, tanaman kemangi dipanen dengan ukuran 2025 cm dari tanaman yang paling muda dan terdapat 6-8 helai daun. Dalam 100 g daun kemangi terkandung 87 g air, 3.3 g protein, 2 g serat, 320 mg kalsium, 4.5 mg zat besi, dan 27 mg vitamin C (Sunarto, 1994). Kemangi juga dimanfaatkan sebagai tanaman obat tradisional karena memiliki kandungan lain untuk mengatasi bau badan (minyak atsiri), sebagai anti oksidan (klorofil, apigenin), mengobati panas dalam dan sariawan (Wirakusumah, 2006).
8
Pengaturan Jarak Tanam Keberhasilan pengelolaan suatu tanaman sangat dipengaruhi oleh ketersediaan dan kemampuan tanaman dalam memanfaatkan sumber daya lingkungan tumbuh tanaman. Melalui pengaturan jarak tanam yang tepat tingkat persaingan antar maupun inter tanaman dapat ditekan serendah mungkin. Persaingan intensif antar tanaman mengakibatkan terjadinya perubahan morfologi pada tanaman, seperti jumlah organ tanaman yang terbentuk berkurang sehingga berdampak kurang baik terhadap perkembangan dan hasil tanaman (Harjadi, 1996). Pengaturan jarak tanam merupakan salah satu teknik penting untuk budidaya tanaman setelah pemilihan varietas tanaman yang baik. Menurut Rubatzky dan Yamaguchi (1998) penanaman dengan jarak tanam rapat dapat meningkatkan serangan penyakit dan jumlah benih yang dibutuhkan, sehingga perlu dilakukan pengaturan jarak tanam yang tepat. Rosliani dan Sumarini (2002) menyatakan bahwa jarak tanam akan mempengaruhi penggunaan cahaya, air, unsur hara, dan ruang yang akan terus meningkat dengan bertambahnya umur tanaman. Sutapradja (2008) menyatakan bahwa tinggi tanaman dipengaruhi oleh jarak tanam, sehingga berpengaruh pada biomassa tanaman budidaya. Pengaturan jumlah populasi tanaman melalui
pengaturan jarak tanam
akan mempengaruhi efisiensi tanaman dalam memanfaatkan cahaya matahari, air, hara, dan ruang tumbuh. Efisiensi tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman. Peningkatan produksi tanaman pada luasan tertentu dapat dilakukan dengan meningkatkan populasi tanaman mencapai batas dimana persaingan internal tanaman dalam pemanfaatan hara, air, dan cahaya tidak terlalu kuat yang turut mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman. Kerapatan jarak tanam atau populasi tanaman sangat mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan menentukan produksi tanaman. Muhammad et al. (1993) menyatakan pola jarak tanam yang ideal adalah apabila kebutuhan tanaman terhadap kondisi lingkungan cahaya, kelembaban, aerasi udara, maupun tumbuh perakaran dapat tercukupi. Harjadi (1996) menyatakan produksi setiap satuan luas yang tinggi dapat dicapai dengan populasi tinggi, karena tercapainya penggunaan cahaya secara maksimum pada awal pertumbuhan. Namun demikian,
9
pada akhirnya penampilan masing-masing individu menurun karena persaingan untuk mendapatkan cahaya dan faktor-faktor lainnya. Jarak tanam akan mempengaruhi produktivitas dengan dua cara yaitu penggunaan jarak tanam rapat dan jarak tanam lebar. Pada jarak tanam rapat, tanaman akan mengalami kompetisi dengan tanaman lain di dekatnya, sedangkan jarak tanam lebar mungkin akan mengurangi hasil per satuan luas karena jumlah tanamannya menjadi berkurang, meskipun ukuran produksi dari masing-masing individu tanaman semakin besar. Menurut Muliasari (2009) jarak tanam lebar cenderung untuk tumbuh lebih baik, karena pada jarak tanam ini tanaman mempunyai kesempatan lebih baik untuk mendapatkan cahaya, unsur hara yang cukup dari pada jarak tanam sempit. Pambayun (2008) menyatakan jarak tanam lebar memberikan pengaruh kuadratik pada bobot produksi sayuran katuk dan kenikir dengan jarak tanam optimum secara berurutan yaitu 50 cm × 12.5 cm (160 000 tanaman/ha) dan 50 cm × 16 cm (126 667 tanaman/ha).