6
TINJAUAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Pengertian Kemiskinan dan Petani Miskin
Pengertian Kemiskinan. Kemiskinan merupakan kondisi absolut atau relatif yang menyebabkan seseorang atau kelompok masyarakat dalam suatu wilayah tidak mempunyai kemampuan untuk mencapai kebutuhan dasarnya sesuai dengan tata nilai atau norma tertentu yang berlaku di dalam masyarakat karena sebab-sebab natural, kultural, atau struktural (Nugroho dan Dahuri, 2004). Ada dua pengertian tentang kemiskinan, yaitu pertama, kemiskinan relatif dan kedua, kemiskinan absolut. Kemiskinan relatif dinyatakan dengan berapa persen dari pendapatan total yang diterima oleh kelompok penduduk dengan kelas pendapatan tertentu dibandingkan dengan proporsi pendapatan total yang diterima oleh kelompok penduduk dengan kelas pendapatan lainnya (Djojohadikusumo, 1980). Sedangkan kemiskinan absolut adalah, apabila tingkat pendapatan berada di bawah ”garis kemiskinan” atau sejumlah pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan minimum, antara lain kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, perumahan, dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup bekerja (Jamasy, 2004). Kriteria kemiskinan yang dikembangkan oleh Sajogyo (1978) menggunakan tingkat pengeluaran setara beras dalam menetapkan garis kemiskinan. Tingkat pengeluaran perkapita pertahun setara kurang dari 240 kg beras bagi penduduk perdesaan dan 360 kg beras bagi penduduk perkotaan digolongkan miskin sekali. Adapun pengeluaran setara kurang dari 180 kg beras bagi penduduk perdesaan dan 270 kg beras bagi penduduk perkotaan digolongkan sebagai paling miskin.
Petani Miskin. Menunjuk pada suatu profesi maka yang dimaksud dengan petani adalah mereka yang menggantungkan hidupnya dari usaha pertanian. Menurut Redfield sebagaimana dikutip oleh Soetarto (2005), di Indonesia terdapat
7
dua tipe petani; “peisan” dan “farmer”. Perbedaan antara keduanya terletak pada sifat usaha pertanian mereka. Petani “peisan” mengolah lahan pertanian dengan bantuan tenaga keluarga sendiri untuk menghasilkan bahan makanan bagi keperluan hidup sehari- hari keluarga petani tersebut. Petani “farmer”, sebaliknya mengusahakan lahan pertanian mereka dengan bantuan tenaga buruh tani, dan mereka menjalankan produksi dalam rangka meraih keuntungan. Dengan demikian maka petani “peisan” menjalankan usaha rumahtangga sedangkan petani “farmer” mengusahakan ekonomi perusahaan. Sementara itu pengertian petani miskin jika ditinjau dari aspek ekonomi dicirikan sebagai berikut; 1. Pendapatan rumahtangga petani rendah (termasuk pendapatan di luar usaha tani). Dari perhitungan pendapatan rumahtangga petani ini dapat dihitung pendapatan per kapita, yang selanjutnya dipergunakan untuk menentukan kedudukan petani terhadap garis kemiskinan. Petani tersebut disebut miskin bila tingkat pendapatan per kapita per tahun kurang dari 320 kilogram setara beras untuk daerah perdesaan (menurut klasifikasi Sajogyo). 2. Luas tanah garapan sempit (khusus untuk usaha tani pertanaman dan perikanan darat). Untuk Jawa, luas tanah garapan tersebut kurang atau sama dengan 0,25 hektar dan di luar Jawa luasnya kurang dari 0,5 hektar atas dasar tanah sawah yang tingkat produktivitasnya tinggi (dapat ditanami dua kali setahun). Untuk tanah darat digunakan kriteria yaitu untuk Jawa kurang atau sama dengan 0,50 hektar dan luar Jawa kurang dari satu hektar. 3. Produktivitas tenaga kerja rendah. Penggunaan tenaga kerja tidak efisien, sehingga pendapatan per kapita rendah. 4. Modal relatif kecil atau tidak ada. Karena pendapatan rendah, simpanan atau tabungan yang dimiliki sangat kecil atau relatif tidak ada. Akibatnya kesempatan untuk memperluas usahanya menjadi sangat terbatas. Selain uang tunai, pengertian modal di sini termasuk tanah, ternak, alat-alat dan sebagainya. 5. Tingkat ketrampilan rendah. Secara umum, ketrampilan petani miskin rendah. Akibatnya jiwa kewirausahaan dan kemampuan ma najerialnya juga rendah.
8
Akibat selanjutnya daya tanggap mereka terhadap teknologi baru lambat atau kecil, sehingga produktivitas usaha secara keseluruhan rendah. Ciri-ciri petani miskin tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi saling kait mengkait satu sama lain serta saling pengaruh- mempengaruhi penilaian terhadap seorang petani apakah dia termasuk petani miskin atau tidak (Ampang, 1984). Petani berlahan sempit di pedesaan dapat diidentifikasikan sebagai anggota masyarakat berpenghasilan rendah. Pada dasarnya, petani berlahan sempit menghadapi dua hal pokok yang krusial dan saling berkaitan satu dengan lainnya. Disatu sisi, kelompok masyarakat ini menerima pendapatan yang rendah dari penguasaan dan pengusahaan lahan yang sempit, di sisi lain menghadapi keterbatasan terhadap peluang-peluang ekonomi terutama pada jenis-jenis kegiatan dengan produktivitas tinggi yang menuntut adanya dukungan ketrampilan dan permodalan.
Sebab-Sebab Kemiskinan Petani
Sumodiningrat (1999) beranggapan bahwa kemiskinan disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berasal dari dalam diri seseorang atau lingkungannya. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor di luar jangkauan individu yang menghambat seseorang untuk meraih kesempatan. Dengan perkataan lain, bukan karena seseorang tidak mau bekerja tapi struktur yang ada menjadi hambatan. Berbagai studi memberi gambaran bahwa kemiskinan suatu komunitas dicirikan oleh rendahnya kualitas sumberdaya manusia, rendahnya penguasaan aset produktif, seperti lahan pertanian dan rendahnya aksesibilitas anggota komunitas terhadap sumber-sumber permodalan dan
peluang-peluang
ekonomi.
Sedangkan
menurut
Friedmann
(1992),
kemiskinan disebabkan oleh ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasi basis kekuasaan sosial. Basis kekuasaan sosial ini meliputi; modal yang produktif (lahan, perumahan, dan peralatan); sumber-sumber keuangan (pendapatan dan kredit yang memadai); organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan dan tujuan bersama ( partai politik, koperasi, kelompok usaha, kelompok simpan pinjam); jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan,
9
barang-barang, pengetahuan dan keterampilan, dan informasi yang berguna untuk memajukan kehidupan. Penny dan Ginting (1984), Prayitno dan Arsyad (1986) menyatakan di Indonesia, para petani merupakan golongan terendah pendapatannya. Pendapatan yang rendah itu terutama disebabkan oleh produksi yang rendah. Produksi yang rendah ini disebabkan lahan yang sempit dan dikelola dengan teknologi yang sederhana serta peralatan yang terbatas. Karena pendapatan rendah, petani miskin tidak mampu untuk menabung dan menambah investasi. Karena tidak ada investasi maka teknologi dan peralatan yang mereka gunakan tetap sederhana dan tidak mengalami kemajuan. Akibat selanjutnya adalah produksi dan pendapatan yang diperoleh tetap rendah dan seterusnya. Keadaan tersebut akan lebih buruk lagi jika kondisi lahan garapan tergolong pada lahan marjinal (marginally suitable land). Karena intensifikasi usahatani, dengan menambah modal atau berapapun faktor masukan produksi lainnya pada lahan seperti ini biasanya tidak mendapatkan hasil yang memadai (Djamhuri dan Maamun, 1996). Termasuk katagori lahan marjinal antara lain; lahan sulfur masam, lahan salin, lahan pasir, lahan perbukitan, dan lahan bebatuan. Dengan memperhatikan faktor-faktor penyebab kemiskinan tersebut, maka faktor penyebab kemiskinan adalah bersifat multidimensional. Dalam kajian ini kemiskinan dan faktor-faktor penyebabnya dipahami menurut pengertian yang disampaikan oleh Friedmann. Kemiskinan dan faktor- faktor penyebabnya yang dialami petani di Desa Kudi, disebabkan; tidak memiliki organisasi sosial dan jaringan sosial yang berfungsi secara baik dan berguna untuk memajukan kehidupannya. Sehubungan dengan hal itu upaya penanggulangan kemiskinan perlu dilakukan dengan membangun kelembagaan sosial yang tepat sesuai dengan karakteristik mereka, agar petani miskin di Desa Kudi dapat melepaskan diri dari belenggu lingkaran setan kemiskinan. Salah satu upaya itu dapat diatasi denga n melakukan serangkaian kegiatan pembangunan alternatif yang mendasarkan diri pada asas keadilan sosial dan ekologis. Yaitu
melalui program pemberdayaan
untuk pengembangan masyarakat yang berbasis pada komunitas petani miskin.
10
Komunitas
Konsep komunitas menjadi semakin penting dalam upaya pembangunan, karena setiap proses pembangunan sosial-ekonomi, pertanian, kesehatan, hukum, perekonomian dan sebagainya selalu menggunakan komunitas sebagai titik masuk kebijakan. Cary sebagaimana dikutip oleh Lubis, dkk. (2005), mengungkapkan bahwa keunggulan menggunakan pendekatan komunitas adalah adanya partisipasi tinggi dari warga dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan tindakan, adanya penelaahan masalah- masalah secara menyeluruh, dan menghasilkan perubahan yang didasari oleh pengertian, dukungan moral pelaksanaan oleh seluruh warga. Warren, sebagaimana dikutip oleh Nasdian dan Dharmawan (2005) secara sosiologi mendefinisikan komunitas sebagai kombinasi dari lokalitas (kawasan) dan unit-unit sosial (manusia dan kelembagaan sosial) yang membentuk keteraturan di mana setiap unit sosial menjalankan fungsi- fungsi sosialnya secara konsisten, sehingga tersusun sebuah tatanan sosial yang tertata secara tertib. Sedangkan Koentjaraningrat (1981), mendefinisikan bahwa komunitas merupakan suatu kesatuan hidup manusia yang menempati suatu wilayah yang nyata, dan berinteraksi secara kontinyu sesuai dengan suatu sistem adat istiadat dan terikat oleh suatu rasa identitas komunitas. Hillery Jr., sebagaimana dikutip oleh Nasdian dan Dharmawan (2005) merumuskan sebanyak 69 dari 94 definisi tentang komunitas memfokuskan makna komunitas sebagai; (i) the common elements of area; (ii) commonties; dan (iii) social interaction. Berdasarkan fokus tersebut, dirumuskan suatu pengertian komunitas sebagai; “people living within a specific area, sharing common ties, and interacting with one another”. Masih dalam tulisan Nasdian dan Dharmawan, oleh karena itu sangat relevan pengertian komunitas yang dipaparkan oleh R.E. Park, bahwa ; A community is not only a collection of people, but is a collection of institutions, Not people but institutions, are final and decisive in distinguishing the community from other social constellations. (R.E. Park, dikutip Nasdian dan Dharmawan , 2005:21-22)
11
Pemahaman lebih luas mengenai komunitas tersebut ialah suatu unit atau kesatuan sosial yang terorganisasikan dalam kelompok-kelompok dengan kepentingan bersama (communities of common interest), baik yang bersifat fungsional maupun yang mempunyai teritorial. Istilah community dapat diterjemahkan sebagai “masyarakat setempat”. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa komunitas menunjuk pada bagian masyarakat yang bertempat tinggal di suatu wilayah (dalam arti geografis) dengan batasan-batasan tertentu dan faktor utama yang menjadi dasar adalah interaksi yang lebih besar di antara anggotanya, dibandingkan dengan penduduk di luar batas wilayahnya (Soekanto, 1990). Dari beberapa pandangan tersebut terdapat beberapa elemen atau aspek penting pembentuk komunitas yang selalu melekat pada pengertian komunitas. Suatu komunitas terbentuk atas dasar lokalitas, adanya ikatan- ikatan sosialbudaya, adanya interaksi kontinyu antar sesama angota dalam komunitas. Membandingkan dengan Young yang dikutip Soetarto (2005) mengemukakan komunitas memiliki ciri-ciri; (i) menempati suatu wilayah (teritorial); (ii) mempunyai kepentingan sosial-ekonomi bersama; (iii) mempunyai pola hubungan sosial-ekonomi bersama; (iv) menarik suatu ikatan solideritas bersama dari kondisi keberadaannya; (v) me miliki suatu konstelasi pranata sosial; dan (vi) tunduk pada pengendalian group sampai taraf tertentu. Dengan demikian komunitas dapat dikenal adanya faktor penciri atau pembeda yang secara cepat dapat diidentifikasi. Berdasarkan uraian tersebut berkenaan dengan konsep komunitas beserta ciri-ciri yang mengikutinya, maka kelompok petani miskin dapat disebut sebagai komunitas. Petani miskin memiliki pembeda yang secara cepat dapat diidentifikasikan, yaitu; mata pencaharian pokok bercocok tanam; mengusahakan tanah pertanian mereka dengan bantuan tenaga keluarga sendiri; interaksi sosial berlangsung secara kontinyu; memiliki budaya dan adat istiadat yang bercirikan masyarakat tradisioanl, kuatnya ikatan dengan alam, eratnya ikatan kelompok, ”guyub rukun, gotong royong, alon-alon waton kelakon gremet-gremet asal selamet”, paternalistik dan sebagainya; berada di pedesaan; dan hidup dalam kondisi kemiskinan (sesuai dengan ciri-ciri kemiskinan yang telah dijelaskan pada uraian sebelumnya).
12
Pemberdayaan
Pranarka (1996), Lubis, dkk. (2005) menyatakan pemberdayaan merupakan perolehan kekuatan dan akses terhadap sumberdaya untuk mencari nafkah. Sedangkan Marriam Webster, Negarayati, sebagaimana dikutip Subagio (2005) mengemukakan pemberdayaan mengandung dua pengertian, yaitu; 1. to give ability or enable to,
upaya untuk meningkatkan kemampuan
masyarakat melalui pelaksanaan berbagai kebijakan dan program-program pembangunan, agar kondisi kehidupan masyarakat mencapai tingkat kemampuan yang diharapkan; 2. to give power or authority to, memberi kewenangan, mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan otoritas kepada masyarakat, agar masyarakat memiliki kemandirian dalam pengambilan keputusan dalam rangka membangun diri dan lingkungannya secara mandiri. Sementara itu Friedmann (1992) menyatakan bahwa pemberdayaan dimaknai sebagai mendapatkan kekuatan (power) dan mengkaitkannya dengan kemampuan golongan miskin untuk mendapatkan akses ke basis kekuasaan sosial. Ife (1995), menyatakan bahwa pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan kekuasaan kepada orang-orang yang lemah atau tidak beruntung. Selanjutnya menurut Persons (1994) pemberdayaan adalah sebuah proses dengan mana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam berbagai pengontrolan atas, dan mempengaruhi
terhadap,
kejadian-kejadian
serta
lembaga-lembaga
yang
mempengaruhi kehidupannya. Pemberdayaan
menekankan
bahwa
orang
memperoleh
ketrampilan,
pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya. Dalam proses ini masyarakat didampingi untuk membuat analisis masalah yang dihadapi, dibantu untuk menemukan alternatif solusi masalah tersebut, serta diperlihatkan strategi memanfaatkan berbagai resources
yang
dimiliki
dan
dikuasai.
Proses
pemberdayaan umumnya dilakukan secara kolektif, namun dalam beberapa situasi tertentu strategi pemberdayaan dapat dilakukan secara individual meskipun pada
13
gilirannya strategi ini tetap berkaitan dengan kolektifitas yaitu dengan mengaitkan antara klien dengan sumber atau sistem di luar dirinya. Sesuai dengan visi pengembangan masyarakat itu sendiri merujuk pada definisi sebagaimana disampaikan oleh Brokensha dan Hodge dalam kutipan Adi (2001); Pengembangan masyarakat adalah suatu gerakan yang dirancang guna meningkatkan taraf hidup keseluruhan masyarakat melalui patisipatif aktif dan inisiatif dari masyarakat. (Brokensha dan Hodge (1969): h. 36 dalam Adi 2001) Ini berarti terkandung makna sesungguhnya pemberdayaan selaras dengan pengembangan masyarakat yang dimaksudkan untuk me ningkatkan taraf hidup masyarakat, yang didukung secara aktif dan partisipasi masyarakat melalui inisiatif yang datang dari masyarakat itu sendiri. Dari berbagai pengertian pemberdayaan tersebut menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat. Termasuk kelompok lemah dalam masyarakat adalah petani miskin yang mengalami keterbatasan kemampuan dalam mengakses sumber-sumber kekuasaan sosial, dan tidak cukup berpartisipasi dalam berbagai pengontrolan yang mempengaruhi kehidupannya. Sebagai tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial, yaitu kelompok petani miskin yang berdaya ; mampu mengakses sumberdaya untuk mencari nafkah dan memiliki cukup kuat untuk berpartisipasi dalam berbagai pengontrolan atas, dan mempengaruhi terhadap, kejadian-kejadian serta
lembaga-lembaga
yang
mempengaruhi
kehidupannya.
Pengertian
pemberdayaan sebagai tujuan ini seringkali digunakan sebagai indikator keberhasilan pemberdayaan sebagai sebuah proses. Schuler,
Hashemi,
mengembangkan
delapan
dan
Riley
indikator
,
dalam
kutipan
pemberdayaan
Suharto
(2005)
yang disebut
sebagai
empowerment index atau indeks pemberdayaan. Merangkum kedelapan indikator keberdayaan tersebut apabila dikaitkan dengan dimensi kekuasaan, yaitu; “kekuasaan untuk ” dan “kekuasaan atas” kemampuan ekonomi dan manfaat kesejahteraan, maka indikator keberdayaan petani miskin berkenaan dengan
14
kegiatan usaha simpan pinjam yang dilakukan oleh Koperasi RT adalah kemampuan mereka untuk mengakses pelayanan keuangan mikro dan kekuasaan untuk mengkontrol (keterlibatan dalam pengambilan keputusan) atas penggunaan pinjaman dan tabungan serta keuntungan yang dihasilkannya. Sedangkan kemampuan mengakses manfaat kesejahteraan termasuk didalamnya adalah kemampuan untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan ketrampilan.
Kelembagaan dan Modal Sosial
Kelembagaan merupakan social form atau kelompok-kelompok sosial yang berfungsi ibarat organ-organ dalam tubuh masyarakat. Bertrand, sebagaimana dikutip oleh Nasdian dan Utomo (2005) mengemukakan bahwa kelembagaan sosial adalah tata abstraksi yang lebih tinggi dari group, organisasi dan sistem lainnya. Menurut Sugiyanto (2002), kelembagaan dalam pendekatan bahasa merupakan terjemahan dari dua istilah, yaitu; institute yang merupakan wujud konkrit dari lembaga yang berarti organisasi dan institution yang merupakan wujud abstrak dari lembaga yang berarti pranata, sebab merupakan sekumpulan norma-norma pengatur perilaku dalam aktifitas hidup tertentu. Koentjaraningrat (1981), menggunakan istilah pranata sosial
untuk
menjelaskan kelembagaan sosial adalah suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan Soekanto (1990), mendefinisikan kelembagaan sebagai himpunan norma-norma yang diwujudkan dalam hubungan antar manusia. Sesungguhnya masih banyak lagi pendapat ahli tentang kelembagaan, namun apa yang dimaksud pada umumnya adalah sama. Kelembagaan merupakan sekumpulan norma yang stabil, mantap, dan berpola, berfungsi untuk tujuan tertentu di masyarakat, ditemukan dalam sistem sosia l tradisional dan modern atau dapat berbentuk tradisional dan modern, dan berfungsi untuk mengefisienkan kehidupan sosial. Penelaahan lebih jauh, Syahyuti (2003) menunjukkan bahwa jika masuk kedalamnya, maka terlihat ada dua aspek dalam kelembagaan, yaitu; (i) aspek
15
kelembagaan---nilai; (ii) aspek keorganisasian---struktur. Keduanya merupakan komponen pokok dalam setiap kelompok sosial. Perhatian pokok aspek kelembagaan adalah perilaku dengan kompleks faktor- faktor yang menyebabkan terjadinya perilaku tersebut. Sekumpulan faktor- faktor tersebut adalah berupa ideide, gagasan, nilai, norma, dan peraturan. Sedangkan pokok utama aspek keorganisasian adalah struktur, yaitu; menjelaskan tentang bagian-bagian pekerjaan dalam aktifitas kelembagaan, bagaimana kaitan antar fungsi- fungsi yang berbeda, penjenjangan antar bagian, konfigurasi otoritas, kesalinghubungan antar otoritas, serta berhubungan dengan lingkungan. Masih dalam tulisan Syahyuti, dengan mempelajari kinerja suatu kelembagaan berarti dapat dipahami seluruh aspek kelembagaan. Kinerja kelembagaan dalam hal ini didefinisikan sebagai kemampuan suatu kelembagaan untuk
menggunakan
sumberdaya
yang
dimilikinya
secara
efisien
dan
menghasilkan keluaran yang sesuai dengan tujuannya dan relevan dengan kebutuhan pengguna. Sitorus (1998), mengemukakan ada dua hal untuk menilai kinerja kelembagaan yaitu produknya sendiri berupa jasa atau material--pelayanan, dan faktor manajemen yang membuat produk tersebut dapat dihasilkannya---pengelolaan. Kedua hal
tersebut; pela yanan dan pengelolaan
dalam kajian ini, terkait dengan tinjauan penguatan kelembagaan Koperasi RT, digunaakan sebagai aspek dalam kategorisasi keragaan kinerja kelembagaan Koperasi RT. Djatiman (1997) menggolongkan institusi atau kelembagaan menjadi tiga, yaitu sebagai berikut ; 1. Bureaucratic institution; adalah institusi yang datangnya dari pemerintah dan tetap akan menjadi milik birokrasi, contohnya pemerintahan desa; 2. Community Based institution ; adalah institusi yang dibentuk pemerintah berdasarkan atas sumber daya masyarakat yang diharapkan menjadi milik masyarakat, seperti Koperasi; 3. Grass Root institution; adalah institusi yang murni tumbuh dari masyarakat dan merupakan milik masyarakat, contohnya arisan. Saptana dkk. (2003) menyatakan bahwa ada tiga pilar utama kelembagaan sebagai pendukung kehidupan masyarakat di pedesaan, yaitu kelembagaan
16
komunitas lokal- tradisional (voluntary sector), kelembagaan pasar (private sector) dan kelembagaan politik dalam pengambilan keputusan ditingkat publik (public sector). Kelembagaan komunitas lokal-tradisional perlu ditransformasikan ke arah kelembagaan komunitas lokal yang maju dan representatif terhadap perubahan. Perubahan tersebut dapat berupa perubahan teknologi (tradisional- modern), sektoral (pertanian-industri) maupun tata nilai yang hidup dalam masyarakat (budaya pertanian tradisional-pertanian industrial). Kelembagaan pasar dapat menciptakan pelaku-pelaku ekonomi rakyat yang punya jiwa kewirausahaan tinggi, ulet, tidak mengenal lelah dan dinamis dalam mengikuti perubahan. Sementara kelembagaan politik di tingkat lokal dapat mempermudah akses masyarakat dalam pengambilan keputusan di tingkat otonomi yang lebih tinggi. Dengan diperlukannya ketiga pilar kelembagaan sebagai pendukung kehidupan masyarakat di pedesaan, maka kelembagaan Koperasi RT yang dibentuk dengan mendasarkan diri pada kelembagaan tradisional atau usaha ekonomi komunitas, dapat berperan memajukan kelembagaan komunitas. Sebagai sebuah kelembagaan, koperasi memiliki nilai-nilai, norma dan peraturanperaturan. Jika nilai- nilai koperasi tersebut dapat dilembagakan pada komunitas maka arah perubahan tata nilai kelembagaan yang ada di komunitas akan dapat mengikuti perubahan sosial yang terjadi, dan memungkinkan Koperasi RT dapat mencapai kesetaraan dalam berinteraksi dengan kelembagaan lain yang telah berkembang lebih maju. Dalam pembahasan tentang kelembagaan dikenal suatu konsep modal sosial, yang secara umum didefinisikan oleh Woolcock sebagai informasi, kepercayaan dan norma- norma timbal-balik yang melekat dalam suatu sistem jaringan sosial. Dengan mengulas pandangan beberapa ahli, Woolcock menggolongkan modal sosial menjadi empat tipe utama, yaitu; (i) tipe ikatan solidaritas (bounded solidarity), dimana modal sosial menciptakan mekanisme kohesi kelompok dalam situasi yang merugikan kelompok; (ii) tipe pertukaran timbal-balik (reciprocity transaction), yaitu pranata yang melahirkan pertukaran antar para pelaku; (iii) tipe nilai luhur (value introjection), yakni gagasan dan nilai, moral yang luhur, dan komitmen melalui hubungan-hubungan kontraktual dan menyampaikan tujuan-tujuan individu dibalik tujuan-tujuan instrumental; dan
17
(iv) tipe membina kepercayaan (enforceable trust), bahwa institusi formal dan kelompok-kelompok partikelir menggunakan mekanisme yang berbeda untuk menjamin pemenuhan kebutuhan berdasarkan kesepakatan terdahulu dengan menggunakan mekanisme rasional. Portes, sebagaimana dikutip oleh Nasdian dan Utomo (2005) menyatakan bahwa keempat tipe modal sosial terebut selalu terikat dengan penggunaan nilainilai yang hidup dalam masyarakt untuk mencapai tujuan tertentu dan bersifat timbal-balik. Sumber dari modal sosial itu dapat bersifat consummatory, yaitu nilai- nilai sosial budaya dasar dan solideritas sosial. Dan dapat pula bersifat instrumental, yaitu pertukaran yang saling menguntungkan dan saling percaya. Uphoff yang dikutip Dasgupta dan Ismail (2000) menjelaskan bahwa modal sosial sangat membantu jika dipahami dalam dua katagori, yaitu struktural, dan kognitif. Katagori pertama diasosiasikan dengan berbagai bentuk organisasi sosial, khususnya peran (roles), atau aturan (rules), preseden (precedents), prosedur (procedures), dan networks yang memberikan kontribusi terhadap perilaku kerjasama (cooperative behavior), serta terutama terhadap tindakan kolektif yang memberikan manfaat timbal-balik, “mutuallly beneficial collective action” (MBCA). Sedangkan katagori yang kedua berasal dari proses mental dan hasil gagasan-gagasan yang diperkuat oleh budaya dan idiologi, khususnya norma-norma (norms), nilai- nilai (values), sikap perilaku (attitudes), dan keyakinan (beliefs) yang memberikan kontribusi terhadap perilaku kerjasama. Kedua katagori tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi saling mempengaruhi dan saling melengkapi satu sama lain. Dalam konteks komunitas petani miskin, beberapa konsep modal sosial di atas dijadikan sebagai alat analisis, nilai- nilai dan norma-norma yang membentuk perilaku kerjasama (cooperative behavior); kedua, kapabilitas yang muncul dari prevalansi kepercayaan dalam komunitas. Dalam kasus ini, modal sosial dapat diamati pada dua tingkat, yaitu; vertikal dan horisontal. Pada tingkat vertikal, dilihat
bagaimana
komunitas
membangun
hubungan
kerjasama
dengan
kelembagaan lain (swasta dan pemerintah). Sedangkan pada tingkat horisontal, dilihat
bagaimana
komunitas
kepercayaan sosial (social trust).
saling
bekerjasama
kemudian
melahirkan
18
Ekonomi Kelembagaan Koperasi
Soetrisno (2003) menyatakan bahwa sejak kelahiranya, koperasi disadari sebagai suatu upaya untuk menolong diri sendiri secara bersama-sama. Karena itu dasar "self help and cooperation" atau "individualitet and solidaritet" selalu disebut bersamaan sebagai dasar pendirian koperasi. Hendar dan Kusnadi (1999) mendefinisikan koperasi menurut pengertian nominalis yang sesuai dengan pendekatan ilmiah modern dalam ilmu ekonomi koperasi; koperasi adalah lembaga- lembaga atau organisasi-organisasi yang tanpa meperhatikan bentuk hukum atau wujudnya memenuhi kriteria atau ciri-ciri; (i) kelompok koperasi; sejumlah individu yang bersatu dalam suatu kelompok atas dasar sekurang-kurangnya satu kepentingan atau tujuan yang sama; (ii) swadaya dari kelompok koperasi; anggota-anggota kelompok koperasi secara individu bertekad mewujudkan tujuannya, yaitu memperbaiki situasi ekonomi dan sosial mereka, melalui usaha-usaha (aksi-aksi) bersama dan saling membantu; (iii) perusahaan koperasi; sebagai instrumen (wahana) untuk mewujudkannya adalah suatu perusahaan yang dimiliki dan dibina secara bersama; (iv) tujuan/tugas atau prinsip promosi anggota; perusahaan koperasi itu ditugaskan untuk menunjang kepentingan para anggota kelompok koperasi itu, dengan cara menyediakan atau menawarkan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh para anggota dalam kegiatan ekonominya, yaitu dalam perusahaan atau usaha dan atau rumah tangganya masing- masing. Dari ciri-ciri koperasi tersebut maka jika mendefinisikan suatu koperasi tidak cukup hanya dengan mendefinisikan karakter sosial, tetapi juga harus mendefinisikan karakter ekonomi, dan sebaliknya. Namun demikian wujud eksistensi dan tujuan pembentukan koperasi pada dasarnya adalah sebagai lembaga usaha atau lembaga ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan anggota berdasarkan nilai- nilai seperti kejujuran, keterbukaan, tanggung jawab sosial dan perhatian pada sesama. Adapun nilai- nilai koperasi yang tertuang dalam prinsip-prinsip koperasi yang dianut oleh koperasi di Indonesia, berdasarkan Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian adalah; (i) keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka; (ii)
19
pengelolaan dilakukan secara demokratis; (iii) pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya usaha masing- masing anggota; (iv) pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal; (v) kemandirian; (vi) pendidikan koperasi; (vii) kerjasama antar koperasi. Krisnamurthi (1998) menyatakan setidaknya ada lima alasan mengapa kegiatan usaha dilakukan dengan badan hukum berbentuk koperasi. Pertama, karena koperasi merupakan perusahaan komunitas (community enterprises). Koperasi
mempertahankan
manfaat
ekonomi
dalam
masyarakat
yang
bersangkutan. Keuntungan tidak dibawa keluar oleh kepentingan luar karena anggota koperasi adalah pemilik, dan keberadaan koperasi adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang tidak dapat dipenuhi oleh bentuk usaha atau perusahaan lainnya. Kedua, koperasi mendorong demokrasi
(promote
democracy). Setiap anggota dalam koperasi mengembangkan modal bersamasama, mengangkat pengurus, dan menerima manfaat dari koperasi dengan prinsip persamaan dan pemerataan. Pemecahan masalah dan kebijakan usaha juga diputuskan secara demokratis melalui suatu mekanisme tertentu. Ketiga, koperasi mengembangkan pasar yang terbuka. Keberadaan koperasi dengan melibatkan banyak anggota mencegah pemusatan kekuatan ekonomi pada beberapa swasta tertentu. Keempat, koperasi meningkatkan harkat hidup dan harga diri kemanusiaan.
Kelima,
koperasi
merupakan
sistem
untuk
melakukan
pembangunan, terutama jika kegiatan komunitas dikembangkan dalam jaringan regional dan nasional. Bagi koperasi yang masih baru tumbuh dan memiliki skala usaha kecil, seperti Koperasi RT yang ada di Desa Kudi, maka perspektif ekonomi kelembagaan perlu mendapatkan perhatian. Hanafiah (1990) mengemukakan bahwa struktur sosial komunitas, nilai- nilai dan norma komunitas yang terintegrasi
dengan
pengembangan
dan
fungsionalisasi
menciptakan; 1. Kegiatan sosial ekonomi komunitas yang melembaga; 2. Peningkatan peran serta komunitas; dan 3. Peningkatan kemampuan dan kapasitas komunitas.
koperasi
akan
20
Kerangka Pikir
Program pemberdayaan Koperasi RT secara normatif dimaksudkan untuk memberdayakan kelompok masyarakat miskin, termasuk kelompok tersebut adalah petani miskin yang ada di Desa Kudi. Sebagai suatu kelembagaan, dilihat dari struktur dan nilai- nilai yang dikembangkannya, kelembagaan Koperasi RT memiliki potensi sebagai wahana pemberdayaan bagi anggota. Karena eksistensi dan tujuan pembentukan Koperasi RT pada dasarnya adalah sebagai lembaga ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan anggota berdasarkan nilai- nilai yang selaras dengan tujuan pemberdayaan komunitas. Akan tetapi dalam kenyataannya, di Desa Kudi banyak Koperasi RT belum dapat memperbaiki nasib anggota yang sebagian besar adalah petani miskin. Diduga hal ini berkaitan dengan kinerja kelembagaan Koperasi RT yang belum optimal. Sebagai suatu kelembagaan; pelayanan dan pengelolaan Koperasi RT merupakan dua hal yang dapat digunakan untuk mengetahui kinerja kelembagaan Koperasi RT. Karena dari pelayanan dan pengelolaan itulah dapat diketahui bagaimana keberadaan kelembagaan Koperasi RT memberikan manfaat dan memiliki peran dalam memberdayakan anggotanya. Dalam perkembangannya masing- masing Koperasi RT menunjukkan kinerja kelembagaan yang berbedabeda dengan segala permasalahannya. Hal ini berkaitan dengan adanya berbagai faktor yang terkait dengan kinerja kelembagaan Koperasi RT. Faktor-faktor yang terkait dengan kinerja Koperasi RT tersebut yang dipelajari dalam kajian ini adalah; (i) profil anggota yang terdiri dari; identitas dan karakteristik anggota, yaitu matapencaharian,
tingkat pendidikan, tingkat
pendapatan, dan tingkat partisipasi; (ii) profil pengurus yang terdiri dari; pengetahuan tentang perkoperasian yang mereka miliki, dan tingkat ketrampilan manajemen usaha ; (iii) modal sosial, yaitu; tingkat kepercayaan dan jejaring; dan (iv) kondisi lingkungan meliputi; sumberdaya lokal, kebijakan pemerintah (program pemberdayaan Koperasi RT), serta dukungan dari pihak lain (pemerintah, bank, pengusaha, Lembaga Swadaya Masyarakat). Berkaitan dengan faktor-faktor yang terkait dengan kinerja Koperasi RT tersebut, kelembagaan Koperasi RT perlu dikembangkan kearah kelembagaan
21
yang
maju
dan
representatif
terhadap
terjadinya
perubahan
sosial.
Mengembangkan kelembagaan Koperasi RT berarti melakukan penguatan kapasitas komunitas dalam arti luas, sehingga dalam melakukan penguatan kelembagaan Koperasi RT perlu diperhatikan struktur sosial komunitas, nilai- nilai dan norma-norma komunitas. Berkaitan dengan hal tersebut maka strategi penguatan kelembagaan Koperasi RT tidak dapat terlepas dari pengamatan terhadap keragaan kinerja kelembagaan Koperasi RT dan permasalahan yang ada pada komunitas. Harapan dilaksanakannya program penguatan kelembagaan Koperasi RT adalah terciptanya kelembagaan Koperasi RT yang berdaya, sehingga setelah dilaksanakannya
program
tersebut,
Koperasi
RT
mampu
berperan
memberdayakan anggotanya baik secara individu maupun kelompok yang ditandai dengan; (i) meningkatnya kemampuan akses terhadap sumber keuangan dan informasi; (ii) semakin aktif ikut terlibat dalam setiap kegiatan Koperasi RT dan kegiatan pembangunan di wilayahnya. Untuk lebih jelasnya kerangka pikir sebagaimana telah dijelaskan tersebut dapat dapat dilihat pada Gambar 1.
22
Profil Anggota (i) Identitas dan karakteristik; ⇒ umur ⇒ matapencaharian ⇒ tingkat pendidikan ⇒ tingkat pendapatan (ii) Tingkat partisipasi
Profil Pengurus (ii) Pengetahuan perkoperasian (iii) Manajemen usaha
Modal Sosial (ii) Tingkat kepercayaan (iii) Jejaring
PENGUATAN KELEMBAGAAN KOPERASI RT
Kinerja Kelembagaan Koperasi RT (i) Pengelolaan dalam usaha simpan pinjam (ii) Pelayanan dalam usaha simpan pinjam
Keberdayaan Anggota (individu-kelompok) (i) Meningkatnya kemampuan akses kepada sumber keuangan dan informasi (ii) Meningkatnya partisipasi dalam setiap kegiatan Koperasi RT
Kondisi Lingkungan (i) Sumberdaya lokal (ii) Kebijakan pemerintah (iii) Kelembagaan lain; ⇒ pemerintah, bank, pengusaha, LSM
Keterangan: Tanda panah menunjukan arah pengaruh
Gambar 1. Kerangka pikir penguatan kelembagaan Koperasi Rukun Tetangga untuk meningkatkan keberdayaan anggota di Desa Kudi Tahun 2006